GAMBARAN PATOLOGI PARU-PARU AYAM PETELUR YANG TERSERANG CORYZA (SNOT) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum linn) SKRIPSI OLEH NURSYAMSI ASHERI O 111 11 255 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 iv GAMBARAN PATOLOGI PARU-PARU AYAM PETELUR YANG TERSERANG CORYZA (SNOT) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum linn) NURSYAMSI ASHERI O111 11 255 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 v Tanggal lulus : 25 November 2015 vi PERNYATAAN KEASLIAN 1. Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Nursyamsi Asheri NIM : O111 11 255 Menyatakan dengan sebenanya bahwa : 1. Karya skripsi saya adalah asli. 2. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 3. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya. Makassar, 25 November 2015 Nursyamsi Asheri vii Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum linn). ABSTRAK Nursyamsi Asheri (O11111255). Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih sativum linn). Dibawah bimbingan drh.A.Magfirah Satya Apada pembimbing utama dan Abdul Wahid Jamaluddin, S. Farm, Apt Pembimbing anggota Petelur (Allium sebagai sebagai Telah dilakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum linn)”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya perubahan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental dengan menggunakan 25 ekor ayam petelur sebagai sampel yang dibagi menjadi lima kelompok perlakuan terdiri dari 2 kelompok kontol (P1 : enrofloksasin dan P2 : NaCMC) dan 3 kelompok perlakuan (P3 : ekstrak bawang putih 2,5%, P4 : ekstrak bawang putih 5% dan P5 : ekstrak bawang putih 7,5%). Semua sampel ayam petelur yang digunakan sebagai hewan coba, positif terserang coryza. Perlakuan diberikan melalui rute oral dengan cara dicekokkan menggunakan spoit. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan patologi paruparu ayam petelur yang terserang coryza setelah diberikan ekstrak bawang putih berupa adanya penurunan derajat haemoragi dengan dosis ekstrak bawang putih yang paling efektif ialah ekstrak bawang putih 7,5%. Kata Kunci : Coryza, ayam petelur, ekstrak bawang putih viii Overview Of Laying Hens Lungs Pathology Attacked by Coryza (Snot) After Giving The Extract of Garlic (Allium satifum linn) ABSTRACT Nursyamsi Asheri (O11111255). Overview Of Laying Hens Lungs Pathology Attacked by Coryza (Snot) After Giving The Extract of Garlic (Allium satifum linn). Under the guidance of drh.A.Maghfirah Satya Apada as main supervisor and Abdul Wahid Jamaluddin, S. Farm, Apt as Advisor members. Has conducted a study entitled "Overview of Lung Pathology Chicken Laying the Esophageal Coryza (Snot) After granting Extract Garlic (Allium sativum Linn)". This study aims to look at the changes in lung pathology, laying hens are attacked coryza after administration of garlic extract. This study uses an experimental study using 25 laying hens as samples were divided into five treatment groups consisting of two groups of dick (P1: enrofloksasin and P2: NaCMC) and 3 treatment groups (P3: garlic extract 2.5%, P4: garlic extract 5% and P5: garlic extract 7.5%). All samples laying hens were used as experimental animals, a positive attacked by coryza. The treatment is given through the oral route by means had fed using spoit. This research was conducted using qualitative and quantitative descriptive. Results showed that pathological changes in the lungs were infected laying hens coryza after being given garlic extract in the form of a decrease in the degree of haemoragi with a dose of garlic extract is the most effective extract of garlic 7.5%. Keywords: Coryza, laying hens, garlic extract ix KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Alium sativum linn). Salawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah mengangkat derajat dari lembah kegelapan ke alam yang terang benderang penuh dengan ilmu pengetahuan yang semakin meningkat. Proses penyusunan skripsi ini melalui berbagai proses yang panjang dan tidak lepas dari dukungan banyak pihak. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1. drh. A. Magfirah Satya Apada dan Abdul Wahid Jamaluddin, S.Farm, Apt selaku dosen pembimbing yang tidak bosan terus memberikan bimbingan berupa masukan dan arahan dalam proses penyusunan skripsi, sehingga penyusunan skripsi dapat selesai. 2. Dr.drh. Dwi Kesuma Sari ,drh. Muhammad Fadlullah Mursalim, M.Kes dan drh Wahyu Suhadji sebagai dosen pembahas yang ikut memberikan masukan dan saran dalam penyusunan dan perbaikan penulisan skripsi ini. 3. Prof.Dr.drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku ketua Prodi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 4. Bapak dan Ibu dosen tim pengajar serta para staf administrasi (Pak Hasyim, Pak Nawir dan Ibu Murni) Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 5. Drs Asheri Suddin, MM dan Hj Nurhaedah, S.Pd kedua orang tua saya yang terus memberikan dukungan, semangat dan doa sehingga saya dapat menyusun dan menyelesaikan proses terakhir dalam menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran Hewan. 6. Saudara saya Mutmainnah Asheri dan Siti Rahma Asheri serta Sepupu saya Mardatillah Daeng Sabbe, Nurhikmah Mustakim, Khusnul Khatimah, Nurfadillah Awaluddin yang begitu membantu dalam memberikan dukungan moril yang begitu dasyat. 7. Masdyanto yang semasa hidupnya terus memberikan semangat. 8. Tim penelitian Coryza Andi Futri Febriani dan Nurwahidah Adnin serta tim pembuatan ekstrak Wahyu Andry Lesmana, Andi Moh Iekram, Irwan Ismail dan Muhammad Reza Basri yang telah menemani, membantu dan diiringi dukungan untuk terus berjuang dengan semangat mengerjakan skripsi. 9. Ibu Heriawati Usman Spt dan drh I Gede selaku kepala dan anggota seksi keswan dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pinrang yang telah menyediakan dan mendampingi selama proses penelitian berlangsung. 10. Clavata teman seangkatan 2011 yang telah bersama lebih dari 3 tahun melewati proses perkuliahan, Bahenil (Elly, Umhy, Pute dan Hj Idha) yang terus mendukung dan membantu dalam berbagai hal mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini, Karakter (Nusbun, Wana, Rika, Jijah, Lia, x Anti, Aswar, Joe, Ichal, Opi, Hefry, Gunawan, Soleh, Aco) sahabat UKM Teater Kampus Unhas yang terus melukiskan senyum, Laleng Bata Cetar (Tita, Wahda, Fuad dan Awal) yang terus memberikan dorongannya untuk menyelesaikan skripsi dan teman-teman Roll-Vet yang setia hingga akhir untuk terus memberikan dukungan dan menularkan semangatnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 11. Kakak – kakak angkatan 2010 (V-Gen) terutama k’Andi Aswan Salam yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan mulai dari judul hingga selesai. Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan. Makassar, November 2015 Nursyamsi Asheri xi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN ...............................................................................iv ABSTRAK .............................................................................................................iv ABSTRACT ...........................................................................................................vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI .........................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi DAFTAR TABEL .................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1 I.1 Latar Belakang .................................................................................1 I.2 Rumusan Masalah ............................................................................2 I.3 Tujuan Penelitian .............................................................................2 I.4 Manfaat Penelitian ...........................................................................2 1.5 Hipotesis........................................................................................... 3 1.6 Keaslian Penelitian ...........................................................................3 BAB II TINJAUANPUSTAKA.............................................................................4 II.1 Coryza ............................................................................................. 4 II.1.1 Etiologi Coryza ................................................................................4 II.1.2 Gejala Klinis Coryza .......................................................................5 II.1.3 Perubahan Patologi Coryza ............................................................. 5 II.1.4 Diagnosa Coryza .............................................................................6 II.2 Ayam Petelur ....................................................................................8 II.3 Paru-paru .......................................................................................... 8 II.4 Bawang Putih ...................................................................................9 II.4.1 Klasisfikasi ....................................................................................... 9 II.4.2 Kandungan ..................................................................................... 10 II.4.3 Ekstrak Bawang Putih ....................................................................10 BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................12 III.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 12 III.2 Materi Penelitian ............................................................................12 III.2.1 Populasi Penelitian .........................................................................12 III.2.2 Sampel Penelitian ..........................................................................12 III.3 Desain penelitian ............................................................................12 III.4 Alat dan Bahan ...............................................................................13 III.4.1 Persiapan Kandang dan Perawatan Selama Penelitian....................13 III.4.2 Perlakuan ......................................................................................... 13 III.4.3 Nekropsi .......................................................................................... 13 III.5 Metode Penelitian............................................................................13 III.5.1 Variabel Penelitian ..........................................................................13 III.5.1.1 Variabel Dependen .......................................................................13 III.5.1.2 Variabel Independen ....................................................................13 III.5.2 Jumlah Sampel ..............................................................................13 xii III.5.3 Ternak ............................................................................................ 14 III.5.4 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih .................................................14 III.5.5 Perlakuan ........................................................................................ 14 III.5.6 Nekropsi ......................................................................................... 14 III.5.7 Parameter Penelitian.......................................................................14 III.5.7.1 Evaluasi Patologi ..........................................................................15 III.5.8 Jenis dan Sumber Data ....................................................................15 III.6 Analisis Data ..................................................................................15 III.7 Alur Penelitian ...............................................................................16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 17 IV.1 Hasil ............................................................................................... 17 IV.1.1 Kondisi Ayam Sebelum Perlakuan ................................................17 IV.1.2 Kondisi Ayam Saat Diberi Perlakuan ............................................18 IV.1.3 Gambaran Patologi Paru-Paru Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih ............................................................................................. 19 IV. Pembahasan ....................................................................................26 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 31 V.1 Kesimpulan ....................................................................................31 V.2 Saran ............................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32 LAMPIRAN ..........................................................................................................35 RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. 37 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar.1 Haemoragi Paru-Paru ..............................................................................5 Gambar.2 ................................................................................................................22 Gambar.2.a. Gambaran Makroskopik Kelompok X0 ............................................22 Gambar.2.b. Gambaran Makroskopik Tanpa Perlakuan ........................................22 Gambar.3 ................................................................................................................23 Gambar.3.a. Gambaran Makroskopik Kelompok X1 ............................................23 Gambar.3.b. Gambaran Makroskopik Tanpa Perlakuan ........................................23 Gambar.4 ................................................................................................................24 Gambar.4.a. Gambaran Makroskopik Kelompok X2 ............................................24 Gambar.4.b. Gambaran Makroskopik Tanpa Perlakuan .......................................24 Gambar.5 ................................................................................................................25 Gambar.5.a Gambaran Makroskopik Kelompok X3 ............................................25 Gambar.5.b. Gambaran Makroskopik Tanpa Perlakuan .......................................25 Gambar.6 ..............................................................................................................25 Gambar.6. a. Gambaran Makroskopik Kelompok X4 ..........................................25 Gambar.6. b. Gambaran Makroskopik Tanpa Perlakuan ......................................25 DAFTAR TABEL Tabel.1 Gejala Klinis Dari Beberapa Penyakit Pernafasan Pada Unggas ..............6 Tabel.2 Kondisi Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Sebelum Diberi Perlakuan ................................................................................................................17 Tabel.3 Kontol Positif Antibiotik (Enrofloksasin) ................................................18 Tabel.4 Kontol Negatif NaCMC 0,5% ..................................................................19 Tabel.5 Kelompok Perlakuan Ekstrak Bawang Putih 2,5% ..................................19 Tabel.6 Kelompok Perlakuan Ekstrak Bawang Putih 5% .....................................20 Tabel.7 Kelompok Perlakuan Ekstrak Bawang Putih 7,5% ..................................21 Tabel.8 Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Paru-Paru ...................................22 Tabel.9 Rata-Rata Hasil Skoring Haemoragi Paru-Paru .......................................26 xiv BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beternak ayam petelur merupakan salah satu komoditas andalan yang diunggulkan oleh masyarakat Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan dan merupakan usaha yang dapat menghasilkan perputaran modal yang cepat, karena hasil produksi (telur) digemari masyarakat sulawesi selatan. Ayam petelur menghasilkan telur hampir setiap hari dan dapat menghasilkan antara 250 sampai 280 butir pertahun. Telur yang dihasilkan dari ayam petelur merupakan bahan makanan sempurna untuk balita hingga dewasa, karena mengandung zat gizi seperti protein, vitamin, lemak dan mineral dalam jumlah yang cukup (I Gede, 2012). Periode pemeliharaan ayam petelur umumnya berlangsung selama 2 tahun dengan masa produksi dimulai pada umur 20 minggu atau sekitar 5 bulan (Zulfikar, 2009). Masa pemeliharaan yang lama memungkinkan unggas akan terserang banyak penyakit, salah satunya adalah coryza. Coryza merupakan penyakit yang disebabkan oleh Avibacterium paragallinarum, yang dapat menginfeksi saluran pernafasan pada ayam petelur, ayam pedaging atau unggas lain baik pada peternakan rakyat maupun komersial. Infeksi pada stadium pertumbuhan menyebabkan penurunan bobot badan, dan pada petelur dewasa produksi telur menurun 10-50%, sehingga menyebabkan kerugian ekonomi pada industri perunggasan akibat penurunan hasil produksi dan biaya pengobatan (Tabbu, 2000). Penanggulangan penyakit ini dapat menggunakan vaksinasi dan antibiotik untuk mengendalikan dan mencegah penularan coryza, tetapi pada penggunaan vaksin sering terjadi kegagalan akibat adanya strain varian baru. Pemberian antibiotik merupakan salah satu cara selain vaksinasi yang dapat dilakukan tanpa harus menimbulkan strain varian baru. Penggunaan antibiotika dalam pengendalian coryza akan menimbulkan dampak timbulnya residu dalam telur maupun daging serta dapat membahayakan konsumen (Indrawati, 1987). Penggunaan obat tradisional jarang dijadikan alternatif dalam pengobatan, padahal tanaman obat sudah dipakai sejak nenek moyang kita untuk mengatasi masalah kesehatan mereka, baik untuk pencegahan maupun penyembuhan suatu penyakit. Selain lebih murah, diyakini bahwa obat-obat alamiah tidak memiliki efek samping, seperti obat-obat kimiawi (Hariana, 2006). Salah satu tanaman yang digunakan dalam pengobatan tradisional pengganti antibiotik ialah bawang putih. Bawang putih merupakan salah satu bahan alam yang dapat digunakan sebagai pengganti antibiotik dan pemanfaatannya sudah sangat luas di berbagai negara. Bawang putih mempunyai salah satu bahan aktif yaitu allicin. Allicin adalah suatu senyawa yang terdiri atas 40% sulfur, tanpa nitrogen maupun halogen dan mempunyai sifat antibiotik. Pendekatan patologi diagnostik merupakan suatu tindakan yang umum dilakukan dalam manajemen kesehatan hewan. Dengan pemeriksaan bedah bangkai (nekropsi), maka diagnosa penyakit (tentatif) dapat ditetapkan. Lesi yang menciri (patognomonis) pada organ/jaringan tubuh akibat penyakit tertentu 1 memiliki tingkat ketepatan diagnosa yang tinggi. Dengan melihat gambaran patologi, maka dapat membuktikan adanya perubahan kondisi jaringan pada hewan yang terserang coryza setelah diberikan ekstrak bawang putih. Berdasarkan latar belakang di atas tentang pengaruh coryza dalam penurunan produksi telur dan menimbulkan kerugian ekonomi sehingga dibutuhkan pencegahan berupa antibiotik peneliti mengangkat permasalahan tersebut dengan judul “Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih”. I.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini, antara lain: I.2.1. Bagaimana gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza. I.2.2. Bagaimana gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. I.3. Tujuan Penelitian I.3.1.Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. I.3.2. Tujuan Khusus - Untuk mengetahui gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang penyakit coryza. - Untuk mengetahui berapa persentase pemberian ekstrak yang efektif terhadap gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang penyakit coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. I.4. Manfaat penelitian I.4.1. Manfaat Teoritis - Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang patologi dan farmasi yang berhubungan dengan obat-obatan herbal dalam ruang lingkup kedokteran hewan. - Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. - Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk mengetahui dosis ekstrak bawang putih yang efisien terhadap perubahan gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza. 1.4.2 Manfaat aplikasi Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau referensi bagi para mahasiswa kedokteran hewan, tenaga veteriner dan masyarakat tentang pemanfaatan ekstrak bawang putih sebagai antibiotik herbal pengganti antibotik alami pada ayam petelur yang terserang coryza. 2 I.5. Hipotesis Penelitian “Terdapat perubahan gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih”. I.6. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul “Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih” belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang serupa pernah dilakukan dengan judul “Pathogenesis Of infectiuos Coryza In chicken (Gallus gallus) by Avibacterium Paragallinarum Isolate of Bangladesh” pada tahun 2013 penelitian ini melihat perubahan patologi organ pernafasan pada ayam yang terserang Coryza setelah pemberian kaldu. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Infectious Coryza II.1.1 Etiologi Coryza Penyakit yang diberi nama Bacillus Haemoglobinophilus coryza gallinarum ini pertama kali ditemukan oleh De Blieck, seorang peneliti Belanda pada tahun 1931-1932. Nama bakteri yang semula Haemoglobinophilus coryza gallinarum diganti menjadi Haemophilus gallinarum atas usulan peneliti dari Amerika (Eliot dan Lewis). Bakteri Haemophillus gallinarum diduga memerlukan hemin (faktor x) dan nocotinamide adenine denucleotide/NAD (faktor v) untuk pertumbuhannya dan hanya memerlukan faktor v (NAD) untuk menginfeksikan penyakit coryza pada unggas. Pertumbuhan invitro pada bakteri ini hanya memerlukan nocotinamide adenine denucleotide/NAD (faktor v) untuk penginfeksiannya. Bakteri Haemophilus penyebab Infeksius coryza pada unggas selain ayam yang memerlukan NAD dan hemin untuk pertumbuhan invitro dinamakan Haemophillus Paragallinarum (Reid dan Blackall, 1984). Bakteri penyebab infeksius coryza (Haemophillus Paragallinarum) pada ayam terbagi dalam 3 serotipe, yaitu A, B dan C, hal ini dibuktikan menggunakan metode Plate Aglutination Test (PAT). Penelitian Kato dan Tsubahara pada tahun 1962 mengklasifikasikannya ke dalam3 serotipe, yaitu I, II, dan III, tetapi selanjutnya dikatakan bahwa serotipe II dan III merupakan varian dari serotipe I. Penelitian lebih lanjut dikembangkan oleh Sawata et all pada tahun 1979, menggunakan metode Rapid PAT dan Cross Absorption Test (CAT), dan mengidentifikasi 2 serotipe, yaitu 1 dan 2, dimana serotipe 1 dan 2 dari Sawata identik dengan serotipe A dan C. (Kume et al, 1980). Penyakit coryza yang dikenal dengan nama Haemophillus paragallinarum diketahui masih satu genus dengan Pasteurella gallinarum, Pasteurella avium dan Pasteurella volantium yang juga menyerang hewan lain, sehingga diklasifikasikan kembali dengan nama Avibacterium paragallinarum. Bakteri Avibacterium paragallinarum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccobacilli, tercat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob dan membutuhkan faktor-v untuk bisa menyebabkan penyakit pada unggas. Avibacterium Paragallinarum merupakan organisme yang mudah mati atau mengalami inaktivasi secara cepat diluar tubuh hospes. Penyakit ini dapat menyerang ayam kampung, ayam petelur dan ayam pedaging dan sangat mudah menular dari satu ayam ke ayam yang lain dalam satu kandang (Tabbu, 2000). Masa inkubasi penyakit terjadi antara 1-3 hari, dengan perjalanan penyakit dapat mencapai 1-3 minggu. Berdasarkan kejadian di lapangan angka kematian sangat rendah antara 0-5%, tetapi angka kesakitan dapat mencapai 30-40% dan sangat berpeluang menyebabkan penurunan produksi telur hingga 10-50%. Eksudat infeksius yang bercampur dengan air minum dalam kandang akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang fluktuatif. Eksudat atau jaringan yang mengandung bakteri ini akan tetap infeksius selama 24 jam pada temperatur 37, bahkan kadang-kadang dapat sampai 48 jam sehingga 4 penyebaran tergolong cepat terutama pada peternakan dengan sistem sanitasi dan biosecurity yang kurang baik (Tabbu, 2000). II.1.2 Gejala Klinis Gejala klinis yang muncul dari infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur, sejak umur 3 minggu sampai masa produksi. Ayam dewasa cenderung bereaksi lebih parah dibandingkan ayam muda karena pada ayam muda masih memiliki antibodi maternal yang kuat. Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang pendek, antara 24-46 jam, kadang-kadang sampai 72 jam. Gejala yang muncul paling awal adalah bersin yang diikuti dengan keluarnya eksudatseru sampai mukoid dari rongga hidung ataupun mata (Tabbu, 2000). Eksudat yang dihasilkan mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Eksudat ini sering keluar dan dapat mencemari pakan. Bagian paruh disekitar hidung tampak kotor atau berkerak, hal ini disebabkan karena sisa pakan yang dimakan menempel pada paruh yang di leleri eksudat yang keluar dari sinus. Ciri lain yang muncul ialah adanya pembengkakan yang terjadi di sekitar Sinus infraorbitalis meliputi daerah sekitar mata dan muka. Suara ngorok kadang terdengar dan terlihat ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Hardjoutomo, 1985). Penyakit yang disertai dengan infeksi sekunder, misalnya infeksius bronchitis, infeksius laringotraheitis, mycoplasma atau cronic respiratory diseases, dapat berlangsung beberapa bulan (Gordon dan Jordan, 1982). II.1.3 Perubahan Patologi Perubahan patologi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu perubahan makroskopik dan perubahan mikroskopik. Perubahan makroskopik biasanya terbatas pada pernafasan bagian atas. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan kataralis akut pada membran mukosa cavum nasi dan sinus. Kerap kali akan ditemukan adanya konjungtivitis kataralis dan edema subkutan pada daerah fasialis dan pial. Peradangan (haemoragi) pada paru-paru dapat terlihat pada gambaran makroskopik paru-paru dari hasil nekropsi ayam yang terserang coryza (Anonim, 2007). Gambar.1 Hemoragi paru-paru Gambaran mikroskopik terjadi perubahan histopatologi pada cavum nasi, sinus infraorbitalis dan trakea meliputi deskuamasi dan hiperplasia lapisan 5 mukosa dan glandularis, edema hipimia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makrofag di daerah tunika propria. Terjadinya infeksi meluas sampai ke saluran pernafasan bagian bawah, dapat menyebabkan terjadinya brankopneumonia akut, yang ditandai oleh adanya infiltrasi heterofil di antara dinding parabronchi (Tabbu, 2000). II.1.4 Diagnosa Diagnosa coryza dapat dilakukan dengan beberapa cara. Lesi yang timbul dapat digunakan untuk menjadi acuan diagnosa awal. Identifikasi bakteri dengan cara mengambil swab dari sinus merupakan langkah selanjutnya yang dapat dilakukan untuk menegaskan bakteri yang menginfeksikan ayam yang diduga terserang coryza. Langkah lain yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan serologi dengan metode : HI, DID, aglutinasi dan IF. Isolasi laboratorium dilakukan dengan menggunakan plat agar darah dalam suasana anaerob. Diagnosa dugaan dapat diajukan berdasarkan atas gejala klinik dan perubahan patologik yang ditimbulkan oleh ayam / unggas yang diduga terinfeksi bakteri Avibacterium Paragallinarum yang dapat menyebabkan penyakit coryza. Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari kasus coryza pada stadium akut (1-7 hari pasca infeksi), diagnosis juga dapat dilakukan secara invivo dan inokulasi pada ayam yang sensitif menggunakan eksudat dari ayam sakit atau suspensi kultur bakteri Avibacterium paragallinarum (Islam, 2007). Metode lain untuk mendiagnosis penyakit ini adalah secara serologik dengan menggunakan uji agar gel presifitation (AGT), uji hemaglutination (HI), uji hemaglunination (HA) tidak langsung dan uji flouresent antibodi (FA) langsung. Penyakit pernafasan yang memiliki ciri hampir sama dengan gejala yang muncul pada ayam yang terserang coryza, adalah penyakit SHS, CRD, IB, ILT, dan Fowl fox. Perbedaan yang menciri dari penyakit coryza yang membedakan dengan penyakit pernafasan lain dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 1. Gejala Klinis dari Beberapa Penyakit Pernafasan Pada Unggas Nama Penyakit Penyebab Gejala Klinis Penyakit Infectious Avibacterium - Keluar eksudat dari hidung yang Coryza Paragallianarum lama kelamaan berubah menjadi kuning kental - Muka dan pial bengkak - Kesulitan bernafas Infectious Bronchitis (IB) Corona virus - Anak ayam : gangguan pernafasan dan keluarnya transudat dari hidung - Ayam dewasa : gangguan pernafasan, produksi turun, mutu telur buruk Infectious Herpes virus Laryngotracheiti (ILT) - Gangguan pernafasan lebih jelas daripada IB - Conjuctivitis 6 - Eksudat mukopurulen dari hidung Kolera Unggas Pasteurella multocida - Lesu, sayap menggantung, tidak mau makan, diare kehijauan cairan berlendir dari hidung dan mata (akut) - Pembengkakan pial, persendian (kronis) Chronic Respiratory Disease (CRD) Mycoplasma gallisepticum - Gangguan pernafasan - Hidung berair, berlendir - Pembengkakan sinus kepala Newcastle Disease (ND) Paramixovirus - Penularan Cepat - Gangguan Pernafasan dan Syaraf - Tinja hijau keputihan - Kematian tinggi dalam waktu singkat Swollen Head Avian Syndrome pneumovirus (SHS) - Lakrimasi - Conjuctivitis - Mata tertutup - Pembengkakan kepala Avian Influenza Orthomyxo virus (AI) - Sianosis pada pial dan jengger - Leleran hidung - Hiper salivasi - Ptekhiae subkutan pada kaki dan paha - Kematian tinggi dan mendadak Koliseptisemia E.coly - Aspergillosis Aspergillus fumigatus - Pertumbuhan terhambat - Sesak nafas - Sianosis Lesu Bulu berdiri Frekuensi nafas tinggi Kadangkala bernafas melalui mulut Infeksi campuran yang ditemukan bersamaan dengan bakteri Avibacterium Paragallinarum penyebab infeksi coryza dengan bakteri lain serta terjadinya tingkat mortalitas yang tinggi dan proses penyakit yang lama, maka kemungkinan tersebut dapat dipertimbangkan (Tabbu, 2000) 7 II.2 Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah berasal dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya. Arah dari produksi yang banyak dalam seleksi yang terjadi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Seleksi pada ayam petelur juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini (Abidin, 2004). Ayam petelur memiliki sifat nervous (mudah terkejut), bentuk tubuh ramping, cuping telinga berwarna putih, produksi telur tinggi (200 butir / ekor / tahun ), efisien dalam pengunaan ransum untuk membentuk telur sehingga hemat dalam pengeluaran dana untuk pakan dan tidak memiliki sifat mengeram sehingga diminati dalam bidang ternak penghasil telur yang unggul (Sudarmono, 2003). Jenis ayam petelur dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe ayam petelur ringan dan tipe ayam petelur medium. Tipe ayam petelur ringan biasa di sebut dengan ayam petelur putih. Tipe ayam petelur ringan mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur murni white leghorn. Ayam ini mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Ayam petelur ringan ini sangat sensitif dan mudah kaget. Gangguan-gangguan berupa cuaca panas dan keributan yang dialami ayam petelur ini menyebabkan turunnya produksi telur. Tipe ayam petelur medium memiliki bobot tubuh ayam yang cukup berat dibandingkan dengan tipe ayam petelur ringan. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi juga tidak terlihat gemuk. Telur yang dihasilkan cukup banyak dan juga dapat menghasilkan daging yang banyak. Ayam tipe ini biasa disebut ayam petelur cokelat yang umumnya mempunyai warna bulu yang berwarna coklat. Ayam petelur tipe medium ini yang sering dibudidayakan dan diternakkan karena dapat memperoleh keuntungan berupa penjualan daging apabila masa bertelur sudah berakhir/ afkir (Anonim, 2000). II.3 Paru-Paru Paru-paru merupakan organ penting pada unggas, karena organ inilah yang berfungsi sebagai alat respirasi dengan cara menyuplai O2 yang akan diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh ayam. Anatomi paru-paru ayam terdiri atas jaringan yang kenyal dan banyak pembuluh darah, sehingga memudahkan proses pertukaran udara (Anonim, 2012). Paru-paru ayam merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak di dalam rongga dada dan toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Tiap paru-paru mempunyai apeks (bagian atas paru-paru), basis (bagian bawah paru–paru), pembuluh darah paru-paru, bronkhial, saraf dan pembuluh limfe yang memasuki tiap paru-paru, terutama pada bagian hilus dan akan membentuk akar paru-paru (Johnson, 2008). 8 Paru-paru ayam normal terdiri dari bronchus intrapulmonum, parabronchus, dan alveoli. Bronkhus intrapulmonum memiliki mukosa dan adventisia. Epitel mukosa berbentuk silinder banyak baris bersilia, dengan propria submukosa banyak mengandung pembuluh darah (Brown, 1997). Kapiler pembuluh darah berfungsi untuk tempat pertukaran gas yang dihirup dari udara yang kaya akan kandungan O2 dan kurang akan kandungan O2, sistem tersebut dikenal dengan blood air barrier. Parabronchus pada paru–paru ayam merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan udara dari dan atau ke paru–paru. Epitel parabronchus berbentuk kubus, di bawahnya terdapat jaringan ikat dan otot polos. Alveoli merupakan bagian terpenting dari paru–paru karena merupakan lokasi terjadinya pertukaran gas yang kaya O2 dan kurang O2 bersama dengan kapiler sekitarnya. Dinding paru-paru di sekitar alveolus terdapat sel pneumosit, yang terdiri dari pneumosit type I (memranous pneumocytes) dan pneumosit type II (Granular Pneumocytes), (Slomianka, 2009). Gambaran normal pada sel pneumosit type I ini melapisi 95% dinding alveoli dan menjalankan fungsi utama paru-paru sebagai tempat pertukaran udara, karena sel ini yang akan mengembang bila terisi udara, karena sel ini berfungsi sebagai tempat pertukaran udara, sel ini akan selalu siap menampung udara yang membawa O2. Sel ini sangat rentan terhadap kekurangan oksigen (Codd, 2005). II.4 Bawang Putih II.4.1 Klasifikasi dan Morfologi Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis, tumbuhan ini dikatakan berumbi lapis karena memiliki siung yang bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabutserabut kecil yang bejumlah banyak. Kedudukan bawang putih secara botani berdasarkan klasifikasinya ialah : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Liliales Suku : Liliaceae Marga : Allium Jenis : Allium sativum Linn. (Hutapea, 2000). Umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang setiap siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih. Bawang putih yang semula merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, kemudian mulai dibudidayakan di dataran rendah seperti di Indonesia. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian tanah berkisar 200-250 meter di atas permukaan laut (Anonim, 2005). 9 II.4.2 Kandungan Bawang Putih Bawang putih mengandung lebih dari 200 senyawa kimia yang terkandung dalam umbinya. Senyawa kimia yang terkandung terdapat beberapa diantaranya yang sangat penting untuk senyawa penghambat pertumbuhan bakteri. Kandungan yang terdapat didalam bawang putih salah satunya termasuk : volatile oil (0,1-0,36 %) yang mengandung sulfur, termasuk didalamnya adalah allicin; ajoene dan vinyldithiines (produk sampingan alliin yang dihasilkan secara non enzimatik dari allicin); Sallylmercaptocysteine (ASSC) dan S-methylmercaptocysteine (MSSC); terpenes (citral, geraniol, linalool, α-phellandrene, dan β-phellandrene). Allicin (diallyl thiosulphinate) yang diproduksi secara enzimatik dari alliin, berperan sebagai antibiotik. Bawang putih juga mengadung enzim dan myrosinase, serta bahan lain seperti protein, mineral, vitamin, lemak, asam amino dan prostaglandin (Newall et al, 1996). Pembentukan zat aktif yang terkandung dalam bawang putih. Komponen utama bawang putih yang tidak berbau, disebut komplek sativumin, yang diabsorbsi oleh glukosa dalam bentuk aslinya untuk mencegah proses dekomposisi. Dekomposisi komplek sativumin akan menghasilkan bau khas yang tidak sedap dari allyl sulfide, allyl disulfide, allyl mercaptane, alun allicin, dan alliin (Sunarto dan Susetyo, 1995). Hal ini disebabkan oleh senyawa yang mengandung belerang dalam bawang putih. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa seperlima kandungan minyaknya merupakan senyawa belerang. Bau khas pada bawang akan timbul bila jaringan tanaman tersebut terluka, karena prekursor bau dan cita rasa terletak pada bagian sitoplasma. Bawang putih utuh mengandung γ-glutamil sistein dalam jumlah besar. Komponen ini dapat mengalami proses hidrolisis dan oksidasi menjadi alliin yang terakumulasi secara alami selama penyimpanan pada suhu kamar. Bila bawang putih diolah, enzim yang terdapat pada vakuola, yaitu aliinase, akan mengubah alliin menjadi allisin. Allisin secara cepat pula berubah menjadi bentuk lain seperti dialil sulfida (DAS), dialil disulfida (DADS), dialil trisulfida (DATS), ditiin dan ajoene. Pada saat yang bersamaan γ-glutamil sistein berubah menjadi S-alil sistein (SAC) melalui jalur yang berbeda. SAC berdasarkan hasil penelitian dilaporkan mempunyai efek yang baik terhadap kesehatan (Amagase et al, 2001). II.4.3 Ekstrak Bawang Putih Sediaan ekstrak bawang putih merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan menarik zat aktif dari simpilisia bawang putih menggunakan pelarut yang sesuai. Metode penarikan zat aktif ini berupa pemisahan senyawa dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisah dari komponen yang tidak larut dengan pelarut sesuai, sedangkan proses pemindahan massa zat aktif yang semula berada dalam sel yang ditarik oleh cairan penyari disebut dengan penyarian. Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya terbagi 4, yaitu : 1. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsentrasi yang tidak solid dan cair, konsistensi ekstrak ini semacam madu dan dapat dituang. 2. Ekstrak kental adalah sediaan yang liat didalam keadaan diinginkan tidak dapat dituang. Kandungan air berjumlah sampai 30%. 3. Ekstrak kering sediaan yang memiliki konsentrasi kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab, tidak lebih dari 5% 10 4. Ekstrak cair adalah ekstrak yang di buat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair (Voight, 1995). Metode ekstraksi ada beberapa macam, diantaranya yaitu maserasi dengan cara perendaman simplisia kedalam pelarut yang mudah menguap, perkolasi dengan cara penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui bubuk simplisia yang telah dibasahi, digesti dengan cara mengubah simplisia menjadi bentuk yang lebih mudah diabsorbsi, infusi dengan cara merendam butir simplisia kedalam air, dan dekoksifikasi. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut organik dengan kepolaran yang semakin meningkat secara berurutan. Pelarut yang digunakan harus memenuhi syarat tertentu guna kelancaran pembuatan ekstrak yaitu tidak toksik, tidak meninggalkan residu, harga murah, tidak korosif, aman, dan tidak mudah meledak. Syarat dalam pemilihan bahan pencampur/ pelarut sangat penting untuk kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan (Wientarsih dan Prasetyo, 2006). 11 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Kabupaten Pinrang Kecamatan Watang Sawitto. Nekropsi dilakukan di laboratorium dinas peternakan Kabupaten Pinrang. III.2 Materi Penelitian III.2.1 Populasi: Populasi dalam penelitian ini adalah semua ayam petelur yang terserang coryza di Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. III.2.2 Sampel: Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yang di ambil secara acak yaitu semua ayam petelur yang terserang coryza pada peternakan ayam yang ada di Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten Pinrang. Jumlah sampel yang digunakan yaitu 25 ekor ayam petelur yang terserang coryza. III.3 Desain Penelitian III.3.1 Desain Penelitian X0 Y0 Y1 X1 X X2 X3 X4 Mengamati adanya perubahan Y2 Y3 Y4 Keterangan : X = Subjek penelitian X0 = Kelompok kontrol positif pemberian antibiotik Enrofloksasin X1 = Kelompok kontrol negatif dengan pemberian NaCMC 0,5% X2 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 2,5% X3 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 5% X4 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 7,5% Y0 = Pengamatan derajat perubahan paru-paru pada kelompok kontrol positif Y1 = Pengamatan derajat perubahan paru-paru pada kelompok kontrol negatif Y2 = Pengamatan derajat perubahan paru-paru pada kelompok perlakuan 2,5% Y3 = Pengamatan derajat perubahan paru-paru pada kelompok perlakuan 5% Y4 = Pengamatan derajat perubahan paru-paru pada kelompok perlakuan 7,5% 12 Desain penelitian yang dilakukan adalah experimental, yaitu satu kelompok kontrol positif dengan pemberian anibiotik Enrofloksasin, satu kelompok sebagai kelompok kontrol negatif tanpa pemberian ekstrak bawang putih dan tiga kelompok ayam yang terserang coryza dengan pemberian ekstrak bawang putih 2,5%, 5%, dan 7,5%, kemudian akan dilihat perubahan patologinya. III.4 Alat dan Bahan III.4.1 Persiapan Kandang dan Perawatan Selama Penelitian Alat dan bahan yang digunakan untuk persiapan kandang dan perawatan selama penelitian adalah 5 buah kandang, tempat pakan, tempat minum, air, dan pakan. III.4.2 Perlakuan Alat dan bahan yang digunakan selama perlakuan adalah antibiotik enrofloksasin, NaCMC, ekstrak bawang putih dengan dosis 2,5%, 5%, dan 7,5% , botol coklat, dan spoit. III.4.3 Nekropsi Alat dan bahan yang digunakan selama nekropsi adalah satu spoit berukuran 1 ml untuk proses euthanasia; Ketamin 800cc; satu set alat bedah nekropsi yaitu, gunting, scalpel, pinset anatomis, dan pinset chirurgis. III.5 Metode Penelitian III.5.1 Variabel Penelitian a. Variabel Dependen: Gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza. b. Variabel Independen: Pemberian ekstrak bawang putih. III.5.2 Jumlah Sampel Penelitian ini menggunakan uji coba dengan metode pemberian ekstrak bawang putih kepada ayam petelur yang terserang coryza (snot), maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor ayam petelur yang terserang coryza. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus federer yaitu: (n1)(t-1) > 15, dimana n = jumlah sampel dan t = jumlah kelompok. Dalam penelitian ini lima kelompok perlakuan yang terdiri dari dua kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Bila dimasukkan dalam rumus Federer, maka dapat ditentukan jumlah sampel per kelompok yaitu : (n-1)(t-1) > 15 (n-1)(5-1) > 15 (n-1)(4) > 15 (n-1)> 15: 4 (n-1)>4 n>4+1 n>5 4,..........∞ 5 Maka jumlah sampel per kelompok minimal 5 ekor ayam petelur yang terserang coryza (snot). Sehingga dalam penelitian ini dipakai 25 ekor ayam petelur yang terserang coryza (snot). 13 III.5.3 Ternak Ayam petelur yang terserang coryza diisolasi selama 3 hari. Ayam yang diisolasi atau dikarantina diberikan perlakuan yang sama. Pengelompokan berdasarkan kandang dilakukan setelah masa pengisolasian selesai dan dalam setiap kandang perlakuan berisi 5 ekor ayam petelur yang terserang coryza. III.5.4 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih Bawang putih sebanyak 1,5kg dirajang kemudian dikeringkan dengan menggunakan hair dryer atau sinar matahari dan ditutupi dengan kain hitam. Bawang putih yang telah kering dimasukkan dalam maserator dengan sepuluh bagian ethanol 70%. Campuran dikocok selama 6 jam dan direndam selama 18 jam, maserat dipisahkan menggunakan penyaring kemudian diulangi dengan proses dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan dimasukkan kedalam rotari evopator dengan suhu 500c dan kecepatan 30 rpm untuk menguapkan ethanol. Filtrat yang tersisa diuapkan menggunakan cawan penguap didalam waterbath pada suhu 500c hingga diperoleh ekstrak kental. III.5.5 Perlakuan Setelah dilakukan isolasi dan karantina pada sampel ayam petelur yang terserang Coryza, diberikan 5 perlakuan berbeda pada masing-masing kelompok. Ekstrak bawang putih dengan dosis berbeda diberikan melalui rute peroral pada 3 kelompok yaitu 2,5% pada kelompok pertama, 5% pada kelompok kedua, dan 7,5% pada kelompok ketiga. Penggunaan ekstrak bawang putih dengan dosis 2,5%, 5%, 7,5% memiliki tingkat kerusakan yang berbeda-beda sesuai dengan taraf pemberian ekstrak bawang putih, semakin tinggi taraf yang diberikan maka semakin rendah tingkat kerusakan (Hastuti, 2008). Pemberian NaCMC 0,5% sebanyak 10 ml dengan rute peroral pada kelompok keempat dan pemberian antibiotik kimia pada kelompok kelima, perlakuan tersebut yaitu: P1 = NaCMC 0,5 % P2 = Antibiotik Enrofloksasin P3= 2,5% Ekstrak Bawang Putih P4= 5% Ekstrak Bawang Putih P5= 7,5% Ekstrak Bawang Putih III.5.6 Nekropsi Ayam yang telah di eutanasia kemudian dinekropsi menggunakan alat bedah (scapel), penyayatan dilakukan untuk membuka bagian pectoralis untuk menggambil sampel paru-paru yang melekat di tulang rusuk ayam. III.5.7 Parameter Penelitian Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap ayam petelur yang terserang coryza dan mengamati pengaruh pemberian ekstrak bawang putih dari 3 perlakuan pemberian dosis yang berbeda dan 2 perlakuan kontrol. Parameter yang diamati adalah perubahan patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza. Pada kasus coryza menginfeksi meluas ke saluran pernafasan bagian bawah akan ditemukan adanya bronkoneumonia akut yang ditandai dengan adanya infiltrasi heterofil antara dinding parabronki (Tabbu, 2000). Pada lesi histopatologi terjadi kongesti, haemoragi, nekrosis, (peningkatan sel-sel inflamasi) di berbagai organ 14 yang dinilai sebagai ± = hampir tidak adanya lesi, + = lesi ringan, ++ = lesi sedang dan +++ = lesi parah (Islam, 2010). III.5.8 Evaluasi Patologi Pada perubahan patologi anatomi pada penyakit Coryza dapat dilihat dari muka asimetris serta sinus infraorbital dan trakea terdapat eksudat serous (Prasetyo, 2014). Pada pernafasan bawah dapat dilihat terjadinya hemoragi pada paru-paru (Ali. M et all, 2012). III.4.9 jenis dan sumber data Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Berupa hasil gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. III.6 Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif kualitatif dan kuantitatif yang merupakan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung perubahan patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. 15 III.7 Alur Penelitian Populasi Sampel Isolasi Kelompok Pemberian Ekstrak Bawang Putih Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 Nekropsi Pengamatan Analisis Data 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Hasil evaluasi patologi dari organ paru–paru ayam petelur yang terserang coryza, tampak adanya perbedaan tingkat keparahan haemoragi yang terjadi pada seluruh kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Pemberian ekstrak bawang putih 2,5%, 5% dan 7,5% pada ayam petelur yang terserang coryza dapat memberikan pengaruh pada tingkat haemoragi organ paru-paru ayam. IV.1.1 Kondisi Ayam Petelur yang Terserang Coryza Sebelum Diberi Perlakuan Tabel 2. Kondisi Ayam Petelur yang Terserang Coryza Sebelum Diberi Perlakuan Kelompok Ayam Bau Air Mata Pembengkakan Leleran dari Eksudat hidung Kontrol Positif (Enrofloksasin) +++  ++  Kontrol Negatif (NaCMC) +++  ++  Perlakuan (2,5%) +++  ++  Perlakuan (5%) +++  ++  Perlakuan (7,5%) +++  ++  (Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan 25 ekor ayam petelur dengan bobot rata-rata 1,8 kg dan usia rata-rata 1,5 tahun, yang dibagi atas 5 kelompok sebelum dilakukan penelitian yaitu: kelompok kontrol menggunakan antibiotik (enrofloksasin), kelompok kontrol negatif menggunakan NaCMC 0,5%, kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak bawang putih dosis 2,5%, 5%, dan 7,5%. Hasil yang ditemukan setelah dilakukan evaluasi terhadap eksudat hampir sama pada masing-masing kelompok yaitu +++ (sangat bau), air mata selalu keluar sehingga daerah sekitar mata menjadi lembab, pembengkakan dibagian mata jelas terlihat dan hidung terlihat lembab akibat leleran yang keluar. Pemeriksaan kondisi ayam yang dilakukan sebelum penelitian memberikan hasil yang hampir sama untuk setiap ekor ayam petelur. 17 IV.1.2 Kondisi Ayam Petelur yang Terserang Coryza Saat Diberikan Perlakuan Tabel 3. Kontrol Positif antibiotik (Enrofloksasin) Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi Telur Pembengkakan X0 1 +++ 2 ++ 2 +++ 2 ++ 3 +++ 3 ++ 4 +++ 3 ++ 5 +++ 2 ++ 6 +++ 3 ++ 7 +++ 3 ++ 8 ++ 4 ++ 9 ++ 4 ++ 10 ++ 3 ++ 11 ++ 3 ++ 12 + 3 + 13 + 4 + 14 + 4 + (Sumber : Data Primer, 2015) Tabel diatas menunjukkan bahwa adanya perubahan terhadap penurunan bau eksudat berdasarkan pemeriksaan kondisi ayam kelompok kontrol positif antibiotik (enrofloksasin) atau kelompok X0 saat diberikan perlakuan. Perubahan yang terjadi dimulai dari hari ke-8 dan kembali mengalami penurunan bau pada hari ke- 12 dan penurunan tingkat kebengkakan pada hari ke-12. Produksi telur setiap harinya tidak stabil, air mata yang berbusa dan leleran hidung masih terlihat sampai hari ke-14 18 Tabel 4. Kontrol Positif (NaCMC 0,5%) Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi Telur Pembengkakan X1 1 +++ 2 ++ 2 +++ 2 ++ 3 +++ 2 ++ 4 +++ 2 ++ 5 +++ 2 ++ 6 +++ 2 ++ 7 +++ 2 ++ 8 +++ 3 ++ 9 +++ 2 ++ 10 +++ 3 ++ 11 +++ 2 ++ 12 +++ 2 ++ 13 +++ 3 ++ 14 +++ 3 + (Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa kondisi ayam pada kelompok kontrol negatif (NaCMC 0,5%) atau kelompok X1 saat diberikan perlakuan dari hari pertama sampai hari ke-14 tidak terjadi perubahan yang signifikan, hal itu ditandai dengan hasil pemeriksaan. Bau eksudat tidak berkurang dan pembengkakan menurun pada hari ke- 14. Air mata yang berbusa dan leleran hidung masih terlihat sampai hari ke-14. Tabel 5. Kelompok Perlakuan Ekstrak Bawang Putih 2,5% Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi Telur Pembengkakan X2 1 +++ 2 ++ 2 +++ 2 ++ 3 +++ 2 ++ 4 +++ 2 ++ 5 +++ 2 ++ 6 +++ 3 ++ 7 +++ 3 ++ 8 +++ 3 ++ 9 +++ 2 ++ 10 ++ 3 ++ 11 ++ 3 ++ 12 ++ 2 ++ 13 ++ 3 + 14 ++ 3 + (Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa pemeriksaan kondisi ayam kelompok perlakuan (2,5%) atau kelompok X2 saat diberikan perlakuan pada hari pertama sampai hari ke-14 terjadi perubahan penurunan eksudat yang signifikan pada hari ke-10. Penurunan derajat kebengkakan terjadi pada hari ke-13. Produksi telur tidak stabil tiap harinya dan tidak mengalami penurunan produksi telur yang drastis sampai hari ke-14. 19 Tabel 6. Kelompok Perlakuan Ekstrak Bawang Putih 5% Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi Telur Pembengkakan X3 1 +++ 2 ++ 2 +++ 2 ++ 3 +++ 3 ++ 4 +++ 2 ++ 5 +++ 2 ++ 6 +++ 3 ++ 7 +++ 3 ++ 8 +++ 3 ++ 9 ++ 3 ++ 10 ++ 3 ++ 11 ++ 3 ++ 12 ++ 3 ++ 13 + 3 + 14 + 3 + (Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi ayam kelompok perlakuan (5%) atau kelompok X3 saat dilakukan penelitian terjadi penurunan derajat eksudat pada hari ke-9 dan terjadi penurunan kembali pada hari ke-14, tetapi tidak disertai dengan penurunan pada tingkat kebengkakan dan peningkatan produksi telur yang bersamaan. Derajat kebengkakan baru mengalami penurunan pada hari ke-13. Produksi telur mulai mengalami peningkatan pada hari ke-6. Air mata yang berbusa dan leleran hidung masih terlihat sampai hari ke-14. 20 Tabel. 7 Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 7,5% Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi Telur Pembengkakan X4 1 +++ 2 ++ 2 +++ 2 ++ 3 +++ 3 ++ 4 +++ 2 ++ 5 +++ 2 ++ 6 +++ 3 ++ 7 +++ 3 ++ 8 +++ 3 ++ 9 ++ 3 ++ 10 ++ 3 ++ 11 + 4 ++ 12 + 4 + 13 + 4 + 14 + 4 + (Sumber : Data Primer, 2015) Berdasarkan pemeriksaan kondisi ayam kelompok perlakuan (7,5%) atau kelompok X4 saat dilakukan penelitian pada hari pertama sampai hari ke-14 menunjukkan adanya penurunan eksudat pada hari ke-9 dan terjadi penurunan kembali pada hari ke-11. Derajat kebengkakan mulai menurun pada hari ke-12. Produksi telur tidak stabil pada hari pertama hingga hari ke-5. Produksi telur mulai meningkat pada hari ke-6, air mata yang berbusa dan leleran hidung masih terlihat sampai hari ke-14. IV.1.3 Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (allium sativum linn). Pengamatan Makroskopik Pengamatan makroskopik yang dilakukan bertujuan untuk melihat perubahan yang terjadi pada paru-paru setelah pemberian antibiotik (enrofloksasin), NaCMC 0,5% dan ekstrak bawang putih dosis 2,5%, 5% dan 7,5% . Pengamatan makroskopik berupa adanya haemoragi pada paru-paru. 21 Tabel 8. Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Paru-Paru Skor Keterangan 0 Normal 1 Sebagian Haemoragi 2 Sebagian besar Haemoragi 3 Seluruh Bagian Haemoragi a. Gambaran makroskopik paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian enrofloksasin, kelompok X0 (Gambar.2). (Gambar a) (Gambar b) Hasil pengamatan patologi paru-paru ayam yang terserang coryza setelah pemberian enrofloksasin (kelompok X0) memperlihatkan adanya haemoragi pada bagian tepi (dexter dan sinister) yang tergolong haemoragi ringan atau haemoragi kecil dengan skor : 1, (Gambar b). Haemoragi yang terlihat pada (Gambar a) jika dibandingkan dengan haemoragi yang terlihat pada (Gambar b) sangat jauh berbeda tingkat keparahannya. Paru-paru (Gambar a) menunjukkan hasil yang lebih buruk dibandingkan pada paru-paru (Gambar b), pada paru-paru (Gambar a) terlihat adanya haemoragi di ujung bagian dexter dan sinister. 22 b. Gambaran makroskopik paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian NaCM 0,5%, kelompok X1, (Gambar 3). (Gambar a) (Gambar b) Hasil pengamatan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian NaCMC 0,5% pada kelompok X1, memperlihatkan adanya haemoragi menyeluruh pada organ paru-paru (Gambar b). Gambaran yang terlihat memiliki tingkat keparahan yang hampir sama dengan pada (Gambar a). NaCMC merupakan pelarut dalam pembuatan ekstrak bawang putih dosis 2,5%, 5% dan 7%. Berdasarkan kegunaannya ada empat fungsional yang penting dari NaCMC yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel dan sebagai pengemulsi/pelarut, NaCMC banyak digunakan sebagai pelarut karena ekonomis, mudah di aplikasikan dan tidak toksik (Fardias,dkk. 1987). Tidak adanya perubahan yang drastis disebabkan karena NaCMC merupakan cairan penambah atau pelarut pada proses pengenceran ekstrak bawang putih dan tidak memiliki efek antibiotik untuk mengobati penyakit coryza. 23 c. Gambaran makroskopik paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih 2,5%, kelompok X2 (Gambar 4). (Gambar a) (Gambar b) Hasil pengamatan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis 2,5% pada kelompok X2, memperlihatkan adanya haemoragi yang parah pada permukaan paru-paru bagian dexter (Gambar b). Hampir seluruh bagian dari paru-paru bagian dexter mengalami haemoragi dan pada paru-paru bagian sinister dapat dilihat adanya haemoragi pada bagian ujung (tidak keseluruhan), jika dibandingkan dengan gambar a tingkat keparan haemoragi hampir sama dengan gambar b. Perbedaan tingkat keparahan terlihat pada lokasi haemoragi. Haemoragi (Gambar a) terlihat menyebar mulai dari ujung sampai melebihi garis tengah paru-paru bagian dexter dan sinister, sedangkan pada paru-paru (Gambar b) terlihat adanya haemoragi dengan tingkat keparahan lebih ringan satu tingkat dibandingkan pada gambaran paru-paru (Gambar a) tanpa pemberian perlakuan. 24 d. Gambaran makroskopik paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih 5%, kelompok X3 (Gambar 5). (Gambar a) (Gambar b) Hasil pengamatan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih dosis 5% pada kelompok X3, memperlihatkan adanya haemoragi disetiap bagian dari paru-paru, baik itu paru-paru bagian dexter, maupun paru-paru bagian sinister. Haemoragi pada paru-paru bagian dexter terjadi di bagian tepi dan tidak menyeluruh. Haemoragi pada paru-paru bagian sinister juga terjadi pada bagian tepi, tidak menyeluruh dan merupakan bagian yang terjadi haemoragi lebih kecil dibandingkan dengan paru-paru dexter. Perbandingan haemoragi pada gambar a dan gambar b terletak pada standar haemoragi yang terjadi. Gambar a memperlihatkan haemoragi yang hampir menyeluruh mulai pada masing- masing ujung sampai batas petengahan paru-paru, serta terlihat adanya haemoragi pada tepian paru-paru dexter dan sinister. e. Gambaran makroskopik paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih 7,5%, kelompok X4 (Gambar 6). (Gambar a) (Gambar b) 25 Hasil pengamatan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih dosis 7,5% pada kelompok X4, memperlihatkan adanya haemoragi yang tidak meluas. Gambaran yang ditunjukkan sangat berbeda dengan gambaran paru-paru tanpa pemberian perlakuan (Gambar a). Hasil dari sampel paru-paru ayam petelur yang terserang coryza pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis 7,5% (Gambar b) memberikan gambaran yang lebih baik dibandingkan dengan gambaran paru-paru (Gambar a) tanpa perlakuan. Gambar a jika dibandingkan dengan gambar b, memiliki tingkat keparahan yang berbeda tiga tingkat. Tingkat haemoragi yang hampir menyeluruh terlihat pada gambaran paru-paru tanpa perlakuan, sedangkan pada gambaran paru-paru dengan pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis 7,5% (Gambar b) terlihat adanya haemoragi yang sedikit dan hampir tidak terlihat. Tabel 9. Rata-Rata Hasil Skoring Haemoragi Paru-Paru Kelompok Keterangan Xo Pemberian Enrofloksasin X1 Pemberian NaCMC 0,5% X2 Pemberian Ekstrak Bawang Putih 2,5% X3 Pemberian Ekstrak Bawang putih 5% X4 Pemberian Ekstrak Bawang Putih 7,5% Skoring 1 3 2 2 1 Berdasarkan hasil pengamatan dari gambaran patologi paru-paru ayam petelur dengan pemberian antibiotik enrofloksasin (Gambar 2.b) tidak berbeda jauh dari hasil yang ditunjukkan pada gambaran patologi dengan pemberian ekstrak bawang putih 7,5% (Gambar 6.b). Hasil gambaran yang ditemukan dari perlakuan pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis 2,5 % (Gambar 4.b) dan 5% ( Gambar 5.b) tidak jauh berbeda, tampak adanya haemoragi yang lebih ringan pada perlakuan dengan dosis yang lebih tinggi (5%). Pathogenesis Of infectiuos Coryza In chicken (Gallus gallus) by Avibacterium Paragallinarum Isolate of Bangladesh, merupakan penelitian yang hampir serupa dengan penelitian terhadap gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih. Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan patologi makros dan mikros pada organ pernafasan ayam broiler setelah pemberian kaldu, dan terlihat adanya penurunan sel radang. IV.2 Pembahasan Ayam petelur dijadikan pilihan menjanjikan masyarakat dalam pilihan beternak karena mampu untuk menghasilkan telur dalam jumlah yang cukup dengan waktu yang cepat. Pemeliharaan ayam petelur yang baik membutuhkan penanganan khusus dan perhatian khusus, berupa penyesuaian lokasi kandang, kebersihan kandang dan pemberian pakan yang baik (Zulfikar, 2009). Pemeliharaan yang baik sangat diperlukan untuk mengindari berbagai jenis penyakit yang bisa menyerang ayam petelur seperti coryza. Coryza adalah penyakit menular pada unggas yang menyerang sistem pernafasan dan disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini bersifat akut sampai subakut dan dalam progresnya bisa 26 menjadi kronis (Anonim, 2012). Perubahan patologi postmorthem pada kasus coryza diantaranya adalah trakea mengalami peradangan akut yang berisi lendir encer sampai purulent dari hidung dan sinus infraorbitalis, paru-paru haemoragi, pneumonia, air sacculitis, oedema subkutan dan radang selaput lendir mata (Anonim, 2008). Haemoragi pada paru-paru terjadi karena adanya infeksi mikroorganisme yang terdapat dalam mulut, hidung dan saluran napas (Suyono, 2001). Perubahan gambaran patologis yang terjadi pada paru-paru kelompok X0 dikarenakan paru-paru merupakan salah satu organ target penyakit coryza yang sudah kronis (Tabbu, 2000). Penelitian ini menggunakan 25 ekor ayam petelur yang terserang coryza dengan usia 1,5 tahun dan bobot 1,8 kg, jumlah sampel ditentukan dengan rumus federer. Sebelum memberikan perlakuan sampel diisolasi atau dikarantina selama 3 hari, hal ini bertujuan agar ayam petelur yang akan diberi perlakuan berbeda tiap kelompok memiliki kondisi yang sama. Penegakan diagnosa dilakukan dengan mengambil sampel eksudat dari nasal ayam petelur yang terserang coryza menggunakan swab steril, yang kemudian ditumbuhkan ke medium agar darah. Hasil dari kultur bakteri memperlihatkan adanya pertumbuhan bakteri yang kemudian dibuat preparat ulas untuk pengamatan mikroskop dan dari hasil pengamatan terlihat adanya bakteri Avibacterium paragallinarum yang merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek, non motil, tidak berspora fakultatif anaerob dan memerlukan faktor v (Anonim, 2008). Tahap yang dilakukan setelah proses karantina berakhir ialah mengelompokkan ayam secara acak kemudian dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok perlakuan berisi lima ekor ayam. Pemberian perlakuan diberikan setelah pembagian kelompok perlakuan. Kelompok terbagi atas kelompok P1 (antibiotik enrofloksasin), P2 (NaCMC), P3 (Ekstrak bawang putih 2,5%), P4 (Ekstrak bawang putih 5%), dan P5 (Ekstrak bawang putih 7,5%). Kelompok kontrol P2 menggunakan NaCMC sebagai perlakuan untuk melihat adanya pengaruh NaCMC terhadap ayam petelur yang terserang coryza. Kondisi ayam petelur yang terserang coryza sebelum diberi perlakuan menunjukkan kondisi ayam yang lemah, terlihat adanya pembengkakan pada wajah bagian sinus infraorbital, terdapat eksudat yang keluar dari nasal berwarna kekuningan dengan bau seperti telur busuk, serta adanya air mata yang terlihat berbusa. Hasil pengamatan langsung pada kelompok P1 dengan pemberian antibiotik enrofloksasin sebelum sampel di nekropsi terlihat adanya penurunan eksudat pada hari ke-8 dan terjadi penurunan kebengkakan pada hari ke-11. Pemberian antibiotik enrofloksasin bertujuan untuk menjadi standar keberhasilan efektifitas ekstrak bawang putih dalam pengobatan penyakit coryza. Gambaran patologi setelah di nekropsi pada hari ke-14 menunjukkan adanya perbedaan derajat keparahan jika dibandingkan dengan gambaran paru-paru ayam petelur yang terserang coryza tanpa perlakuan. Kelompok P2 dengan pemberian NaCMC 0,5% menunjukkan adanya penurunan kebengkakan pada hari ke-14, tidak terdapat penurunan eksudat, dengan air mata berbusa. Hasil yang ditemukan sesuai data tidak menunjukkan adanya perubahan penyembuhan dalam penampakan luar. Gambaran patologi paru-paru setelah pemberian NaCMC terlihat adanya haemoragi yang menyeluruh pada paru-paru dan tidak menunjukkan adanya perbedaan drastis dengan gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza tanpa perlakuan. 27 Tanda–tanda pokok peradangan akut mencakup pembengkakan atau edema, haemoragi, panas dan gangguan fungsi pada organ yang sudah parah (Prince dan wilson, 1995). Kumpulan data yang ditemukan menunjukkan bahwa NaCMC yang digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan ekstrak bawang putih tidak menunjukkan efek, karena sifat alami dari bahan berupa NaCMC hanya meningkatkan kekentalan dan digunakan pada emulsi dengan kadar 0,25% sampai 1%, zat ini juga tidak memiliki sifat antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik maupun bakteriosidal sehingga tidak dapat menyebabkan terjadinya penyembuhan pada paru-paru ayam petelur yang terserang coryza atau yang terinfeksi bakteri Avibacterium paragallinarum (Rowe, 2009). Penurunan tingkat kebengkakan dengan pemberian ekstrak bawang putih kelompok perlakuan 3 lebih baik dibandingkan dengan penurunan tingkat kebengkakan pada kelompok perlakuan 2 dengan pemberian NaCMC yang mengalami penurunan kebengkakan 1 hari lebih cepat dibandingkan pada P3 (ekstrak bawang putih 2,5%). Hasil pengamatan sebelum diberikan perlakuan pada kelompok P3 (ekstrak bawang putih 2,5%) menunjukkan adanya penurunan eksudat mulai hari ke-10 dan penurunan kebengkakan pada hari ke-13. Haemoragi pada gambaran paru-paru dengan pemberian ekstrak bawang putih 2,5% memiliki tingkat keparahan yang hampir sama pada kelompok 2 dengan perlakuan pemberian NaCMC dan pada gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza tanpa pemberian perlakuan, tetapi gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian NaCMC dan tanpa perlakuan. Kebengkakan yang terjadi pada kelompok P4 (ekstrak bawang putih 5%) mengalami penurunan mulai hari ke-1. Efek penurunan kebengkakan memberikan hasil yang sama dengan pemberian ekstrak bawang putih 2,5% , tapi memiliki efek penurunan kebengkakan yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian NaCMC. Gambaran paru-paru pada kelompok ini memiliki hasil yang berbeda setengah tingkat lebih baik dibandingkan dengan pemberian ekstrak bawang putih dosis 2,5% (P3) jika dilihat dari tingkat keparahan haemoragi yang terjadi pada tiap ujung paru-paru dexter dan sinister. Haemoragi yang terjadi hanya di tiap sisi tapi tidak tampak adanya haemoragi total pada salah satu sisi dari paru-paru. Hasil pengamatan sebelum diberikan perlakuan pada kelompok P5 (ekstrak bawang putih 7,5%) pada hari ke-9 terjadi penurunan eksudat sama dengan hari penurunan eksudat pada perlakuan pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis 5%, penurunan kebengkakan yang terjadi pada dosis 7,5% sama dengan 5% akan tetapi penurunan kebengkakan terjadi lebih cepat 1 hari dibandingkan dengan dosis 5%. Gambaran paru-paru yang terlihat menunjukkan adanya derajat haemoragi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok P2 (NaCMC), P3 (ekstrak bawang putih 2,5%) dan P4 (ekstrak bawang putih 5%). Tingkat haemoragi yang terlihat hampir sama dengan tingkat haemoragi pada gambaran paru-paru dengan pemberian antibiotik enrofloksasin yang memiliki gambaran patologi dengan batas haemoragi lebih kecil. Gambaran pada setiap kelompok P1 (enrofloksasin), P2 (NaCMC), P3 (ekstrak bawang putih 2,5%), P4 (ekstrak bawang putih 5%) dan kelompok P5 (ekstrak bawang putih 7,5%), terlihat adanya hasil yang hampir sama pada kelompok X0 (enrofloksasin) dan X2 (ekstrak bawang putih 7,5%) yang memiliki 28 hasil skor 1 (haemoragi kecil). Perlakuan pada kelompok X2 (ekstrak bawang putih 5%) dan X3 (ekstrak bawang putih 7,5%) menunjukkan hasil yang hampir sama dengan tingkat keparahan tertinggi pada pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis yang lebih rendah. Hasil yang ditemukan membuktikan bahwa bawang putih dapat digunakan sebagai antibiotik dalam mengurangi gejala dari penyakit coryza. Allicin adalah zat aktif dalam bawang putih yang efektif dapat membunuh mikroba. Penelitian yang berjudul “Uji Aktifitas Antibakteri Ekstrak Bawang Putih (Alium sativum linn) Terhadap Bakteri Esccherichia coli In Vitro”, menegaskan hasil temuan dari penelitian yang diujikan bahwa kandungan bawang putih (allicin) mempunyai aktivitas antimikroba yang bervariasi tergantung dari jenis/ golongan bakteri. Allicin dalam bentuk yang murni mempunyai daya antibakteri dengan spectrum luas, termasuk pada strain bakteri E coli yang enterotoksigenik multi-drug resistant (Ari, 2008). Bakteri E coli merupakan bakteri gram negatif dan bakteri ini memiliki golongan gram yang sama dengan bakteri Avibacterium Paragallinarum yang merupakan bakteri penyebab coryza, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dan persamaan bahwa kandungan antibiotik dari ekstrak bawang putih mampu membunuh bakteri gram negatif, termasuk bakteri Avibacterium Paragallinarum. Kelompok perlakuan X1 menunjukkan hasil dengan tingkat haemoragi tertinggi dibandingkan dengan keempat kelompok perlakuan lainnya. Hasil yang ditemukan dapat menunjukkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum linn) dapat memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza, perubahan yang terjadi tergantung dari dosis ekstrak bawang putih yang diberikan. Paru-paru ayam petelur yang terserang coryza pada semua kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan, menunjukkan adanya haemoragi yang terlihat dengan perbedaan tingkat keparahan pada masing-masing kelompok perlakuan dan tingkat keparahan ini tergantung dari dosis ekstrak bawang putih yang diberikan. Semakin tinggi dosis ekstrak bawang putih yang diberikan, semakin rendah pula keparahan haemoragi yang terjadi. Ekstrak bawang putih memiliki kandungan Allicin (Thiopropen sulfinic acid allyl ester). Allicin merupakan senyawa yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah serta bersifat anti bakteri, sehingga dapat digunakan sebagai antibiotik herbal (Reynold, 1982). Pengaruh zat aktif yang dikandung oleh bawang putih yaitu allicin dan scordinin, dimana allicin mempunyai kemampuan membunuh bakteri dalam hal ini adalah bakteri Avibacterium Paragallinarum. Allicin yang terkandung dalam bawang putih juga dapat membunuh bakteri baik itu bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif serta berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara menghambat masuknya dan tumbuhnya bakteri didalam tubuh (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Efek bakteriostatik dan bakteriosidal yang dapat ditemukan pada bawang putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri, selain itu dapat membunuh bakteri dengan barbagai jenis misalnya Staphiloccocus, Bacillus difteri, Bacillus tuberculosis dan Vibrio cholerae (Yuhua dan Soetrisno, 2003). Kajian histopatologi paru-paru ayam broiler yang diuji tantangan virus avian influensa (H5N1) setelah pemberian ektrak tanaman sirih merah (piper crocatum), merupakan penelitian yang sama-sama membahas tentang efektifitas ekstrak tumbuhan terhadap penyembuhan berdasarkan perubahan gejala klinis 29 maupun perubahan terhadap gambaran patologi paru-paru ayam yang terserang penyakit. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) dengan dosis 10% dapat memberikan efektifitas yang baik terhadap kondisi sel secara normal dan dapat menimbulkan efek imunomodulator dalam tubuh (Corry, 2011). Hasil dari penelitian yang samasama menggunakan ekstrak tanaman, menunjukkan bahwa ekstrak dengan dosis diatas 5% menunjukkan adanya efektifitas yang baik dalam perbaikan organ sesuai dengan kandungan dari ekstrak tanaman yang di ekstraksi. Penelitian dengan judul “Efektivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn) dalam Penanggulangan Aflatoksikosis pada Ayam Petelur” menyatakan bahwa pemberian bawang putih dengan dosis 4% pada kelompok perlakuan AFB1 0,4 mg/kg BH terlihat menaikkan tingkat produksi telur dibandingkan dengan perlakuan tanpa bawang putih (Maryam Romsyah, dkk, 2003). Pernyataan ini membuktikan bahwa ekstrak bawang putih memiliki khasiat terhadap penanggulangan penyakit. Berdasarkan dari data gambaran patologi paru-paru dari seluruh kelompok, maka dapat diketahui bahwa ekstrak bawang putih (allium sativum linn) 7,5% memiliki efektifitas yang hampir sama dengan antibiotik enrofloksasin (antibiotik enrofloksasin lebih unggul) terhadap gambaran patologi paru-paru, yaitu dapat menurunkan derajat kebengkakan dan keparahan haemoragi. Dilihat dari segi ketahanan terhadap bakteri, maka bahan aktif dari ekstrak bawang putih (allium sativum linn) 7,5% yang digunakan pada penelitian ini mampu menghambat infeksi dari bakteri Avibacterium Paragallinarum sehingga memberikan perubahan yang baik terhadap gambaran patologi paru-paru ayam petelur yang terserang coryza meskipun tidak memberikan kesembuhan yang membuat organ kembali normal, sehingga bawang putih dapat digunakan sebagai alternatif pengganti antibiotik enrofloksasin untuk menghindari terjadinya paparan antibiotik yang berlebih dan terjadinya resistensi bakteri. 30 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih memberikan perbaikan pada gambaran patologi berupa penurunan tingkat haemoragi, dimana ekstrak yang paling kuat efeknya adalah ekstrak dengan dosis 7,5%. a. b. c. V.2 Saran Saran dari hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut : Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan mengamati histopatologi paruparu ayam petelur yang terserang coryza dengan pemberian ekstrak bawang putih. Dapat dilakukan penelitian serupa dengan rute pemberian ekstrak yang berbeda. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kandungan telur dan daging ayam petelur setelah pemberian ekstrak bawang putih. 31 DAFTAR PUSTAKA Abidin,Z.2004. Meningkatkan Produksi Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta. Ali.M, M.S. Hossain, S. Akter, M.A.H.N.A, Khan and M. 2012. Pathogenesis of Infectious Coryza in Chiken (Gallus gallus) by Avibacterium paragallinarum Isolate of Bangladesh. Bangladesh. Amagase H.,B.L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga and Y. Itakura. 2001. Intake of garlic and its bioactive components. J. Nutr. 131:955S-962S. Ari, W. N. 2008. Streptococcus Mutans, Si Plak Dimana-mana. Available from : http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05 Streptococcus-mutans 31.pdf. Blackall,P.J.and G.G.Reid. 1982. Furher characterization of Haemophilus paragallinarumand Haemophilus avium. Vet. Microbiol. 7: 359-367. Blackall,P.J., Cristensen, H., Beckenham, T., Blackall, L.L. and Bisgaard, M. 2005. Reclassification Of pasteurella Gallinarum, (Haemophillus) Paragallinarum, Pasteurella Avium and Pasteurella Volantium as Avibacterium Gallinarum Gen. Nov, comb. Nov, Avibacterium paragallinarumcomb. Nov, Avibacterium Avium comb. Nov. Avibacterium Volantium comb. Nov. Int J Syst Evol Microbiol. 55: 353362. Biberstein, E.L. and D.C. White. 1969. A Proposal For The Establishment Of Two New Haemophilusspecies. J. Med. Microbiol. 2: 75-78. Brown RE, JD. Brain, and N. Wang. 1997. The Avian Respiratory Sistem: A Unique Model for Studies of Respiratory Toxicosis and for Monitoring Air Quality. Environ Health Perspectives 105:188-200. Direktorat Jenderal Peternakan. 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid II. Direktorat Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2000. Budidaya Ayam Petelur, Gallus.Sp. Budidaya Peternakan. Jakarta Direktur Kesehatan Hewan. 2002. Manual Penyakit Unggas. Jilid I. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Codd JR, DF Boggs, SF Perry, and DR Carrier. 2005. Activity of three muscles associated with the uncinate processes of the giant Canada Goose (Branta canadensis maximus).J.Experimental Biology 208:849-857 Corry D.B Porter P.C. Roberts L (ed.). 2011. Necessary and Sufficient Role For T Helper Cells to Prevent Fungal Dissemination In Allergic Lung Disease. Infect. Immun. 79, 4459-4471 Gordon, R.F.and F.T.W. Jordan (ed.). 1982. Infectious coryza(Haemophilus gallinarum; H. paragallinarum). In: Poultry Disease. 2th. ed. Bailliere Tindal. London. 48-50. Hardjoutomo, S. 1985, Snot Menular Pada Ayam Petelur. Wabah snot menular pada peternakan ayam sambilan di Kabupaten Bogor. Penyakit Hewan. 30: 13-18. Hariana, A., 2006. 812 Resep untuk Mengobati 236 Penyakit. Cetakan ke-1. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal: 7 32 Hutapea, J.R.,2000. Allium sativum Linn. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jilid I Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Hal: 15-16 IndrawanI Gede, I Made Sakada, dan I Ketut Suada.2012. Kualitas Telur dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penanganan Telur di Tingkat Rumah Tangga. Denpasar. Indrawati, Y.M.1987. Kajian Terhadap Beberapa Antibiotika Sebagai Feed Additive Dalam Ransum Ayam Broiler. (Thesis S2). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Islam M.S, Rahman M.M dan Rahman A.Z, 2007. Bacterial Disease Of Poultry Prevailing In Bangladesh. Journal of Poultry Science, Vol; 1; No; 1-6. Islam M.S. 2010. Pathogenesis of experimental infectious of chiken with field isolate of Clostridium perfingens. MS Thesis Submitted to Departemen of Patology, Faculty of Veterinary sience, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh-2202 Kume, K., A.Sawata, and Y. Nakase. 1980. Immunogenic relatoinship between Page’sand Sawata’s serotype strains of Haemophilus paragallinarum. Am. J. Vet. Res.41: 759-760 Kusumaningsih, Anni dan Sri Poernomo. 2004. Infeksius Coryza Pada Ayam Broiler Di Indonesia. Bogor. Marchelinda, Corry. 2011. Kajian Histopatologi Paru-Paru Ayam Broiler yang Diuji Tantangan Virus Avian Influenza (H5N1) Setelah Pemberian Ekstrak Tanaman Sirih Merah (Piper Crocatum).Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor. Maryam Romsyah, Yulvian Sani, Siti Juariah, Rachmat Firmansyah dan Miharja. 2003. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn) dalam Penanggulangan Aflatoksikosis pada Ayam Petelur. Balai Penelitian Veteriner Bogor. Bogor Medion. 2007. Cara Jitu Atasi Coryza. Info Medion Online (http://info.medion.co.id). Newall, C.A., Anderson, L.A., Phillipson, J.D., 1996. Herbal Medicines, A Guide for Health-care Professionals. London: The Pharmaceutical Press. Hal: 129-132 Pricen S and Wilson L. 1995. Respon Tubuh Terhadap Cedera Peradangan dan Perbaikan. Patofisiologis Konsep Klinis Proses Penyakit. Rasyat, M. 1995. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Reid,G.G.and P.J. Blackall. 1984. Phatogenicity of Australian isolates of Haemophilus paragallinarum and H. aviumin chicken. Vet. Biol. 9: 7782. Rowe, .C. 2009. Handbook of Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association. USA. Sawata, A., K. Kume, and Y. Nakase. 1979. Antigenic structure and relationship between serotype 1 and 2 of Haemophilus paragallinarum. Am. J. Vet. Res.41: 1450-1453. Santoso, H.B. 2000. Bawang Putih. Edisi ke-12. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Slomianka L. 2009. Blue Histology -Respiratory Sistem. School of Anatomy and Human Biology- The University of Western Australia 33 Sudarmono. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sunarto, P. dan Susetyo, B., 1995. Pengaruh garlic terhadap penyakit jantung koroner. Cermin Dunia Kedokteran. No: 102. hal: 28-31 Slamet Suyono,dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI Suhemi, HK, Anemia dalam Kehamilan. Jakarta Syamsiah, I.S., Tajudin. 2003. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih Raja Antibiotik. Agromedia Pustaka. Jakarta. Alami. Agromedia Pustaka. Jakarta Tabbu. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius Yogjakarta. Tarmudji. 2005. Penyakit Pernafasan Pada Ayam Ditinjau Dari Aspek Klinik dan Patologik Serta Kejadiannya di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor UK. 2008. Infectious Coryza. Poultry Information and Guide. Voight, R. 199. Buku Pelajaran Tekhnologi Farmasi. Alih Bahasa Drs. Soendani Noerono Soewandhi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta; 577-578. Wientarsih, I dan .B. F. Prasetyo. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Bagian Farmasi PPDH FKH IPB. Bogor. Yuhua, W.FD., E. Soetrisno. 2003. Terapi Jahe dan Bawang Putih. Taramedia dan Restu Agung. Jakarta Zulfikar. 2009. Penggunaandan Pelaksanaan Vaksin Yang Benar, Makalahdisampaikan pada “Pelatihan Kader Vaksinator Gampong Berdampak Positif Terhadap Penyakit Unggas” Dinas Pertanian dan Peternakan. Kabupaten Pidie Jaya. Aceh. Zulfikar. 2012. Manajemen Ternak Unggas. Modul. Sekolah Pengamat Kehewanan (SPK) Saree, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh. Zulfikar. 2013. Manajemen Agribisnis dan Pengolahan Hasil Peternakan. Makalah yang di sampaikan Pada Kegiatan Pelatihan Petani Bidang Peternakan. Badan Penyuluh Pertanian (BPP)Kabupaten Bireuen. 34 LAMPIRAN 1 Kultur Bakteri Pengelompokkan Berdasarkan Perlakuan 35 LAMPIRAN 2 Penyuntikan ketamin 1cc untuk eutanasia Nekropsi 36 RIWAYAT HIDUP Penulis yang bernama lengkap Nursyamsi Asheri dilahirkan pada tanggal 20 September 1993 di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan dari ayahanda Drs Asheri, MM dan ibunda Hj. Nurhaedah,S.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Unggulan No.8 Pinrang pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Pinrang dan lulus pada tahun 2008. Pada 2011 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Pinrang . Penulis diterima di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin melalui ujian tertulis SNMPTN. Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH, menjabat sebagai anggota divisi Minat dan Bakat pada periode 20122013. Selain itu penulis juga aktif di UKM Teater Kampus Unhas mulai tahun 2011 hingga saat ini. Tahun 2013 penulis mulai aktif di UKM Shorinji Kempo. Tahun 2014 penulis bergabung di UKM Seni dan Pantun Unhas. Penulis juga aktif di organisasi daerah KMP UNHAS mulai dari 2011 hingga saat ini. Penulis menyelesaikan Program Sarjana Kedokteran Hewan dengan skripsi yang berjudul “Gambaran Patologi Paru-Paru Ayam Petelur yang Terserang Coryza (Snot) Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum linn)” dibawah bimbingan drh A Magfirah Satya Apada dan Abdul Wahid Jamaluddin, S.Farm, Apt. 37