1 TESIS KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN NI NYOMAN MARIADI NIM 0990561030 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 i 2 KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum, Porogram Pascasarjana Udayana NI NYOMAN MARIADI NIM: 0990561030 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 ii 3 TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 28 Oktober 20011 Pembimbing I, Pembimbing II , Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum. NIP. 19591231 198602 1 007 Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH. NIP. 19590923 198601 1 001 Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.MH NIP. 195604191983031003 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215198510200 iii 4 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal, 28 Oktober 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Nomor: 0035/H14.4/HK/2011 Ketua : Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.Mhum Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH. Anggota : 1. Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH.Mhum 2. Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH.MH. 3. I Gede Yusa, SH.MH. iv 5 UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa), karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian“, dan besar harapan penulis semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pemerintahan, yang tentunya atas dukungan, petunjuk dan bimbingan dari semua pihak. Mengingat Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka penulis sangat berharap kepada para pembimbing agar sudi kiranya memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran, sampai tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM), selaku Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi pada Program Stuti Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 2. Ibu Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. v 6 3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., SU., selaku Ketua Program Studi Maguster Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 4. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum., selaku dosen Pembimbing I atas petunjuk, dukungan, dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku dosen Pembimbing II atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. 6. Panitia Penguji Tesis, Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum., selaku Ketua, Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku Sekretaris, Bapak Prof. Dr. Yohanes Usfunan, SH., M..Hum., selaku Anggota, Bapak Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH., MH., selaku Anggota, dan Bapak I Gede Yusa, SH., MH., selaku Anggota, yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberi masukan-masukan dalam penulisan tesis ini. 7. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membagi ilmunya kepada penulis selama mengikuti studi. 8. Bapak/Ibu Staf Administrasi pada Program Magister Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang dengan dedikasi dan integritasnya yang tinggi melayani penulis selama menempuh pendidikan. vi 7 9. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 10. Ayahanda I Made Toya, Ibunda Ni Luh Kerni, Mertua, dan saudarasaudara tercinta, atas dukungan moral serta kasih sayangnya, dan atas doanya yang sangat besar. 11. Suami tercinta I Gede Surata, SH, Mkn, dan anak-anak tercinta (Ni Putu Aryanti Kamadeni, S.T., Kadek Vera Aryani, S. Ked., Komang Cristin Maryani, SH, I Gede Arya Wira Yuda, dan I Gede Arya Wira Sena) atas dukungan, bantuan, pengertian dan kasih sayangnya yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini. 12. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, baik perorangan maupun kelembagaan, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kriitik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman demi penyempurnaan tesis ini, dan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Om Santih, Santih, Santih, Om. Denpasar, 28 September 2011 Penulis Ni Nyoman Mariadi vii 8 RINGKASAN Penelitian tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari subsub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan permasalahan yang diteliti tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Bab I, sebagai bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan dan alasan melakukan penelitian yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”, yaitu adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang menguasai dan memiliki tanah pertanian melampaui batas maksimum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU 56 Prp Tahun 1960, untuk daerah yang digolongkan “daerah cukup padat” tidak diperbolehkan menguasai dan memiliki luas tanah pertanian melebihi batas maksimum 9 Ha untuk tanah kering dan 7 Ha untuk tanah basah, ini berarti boleh menguasai dan memikiki tanah pertanian seminim-minimnya. Namun disisi lain, pada Pasal 8 tidak diperbolehkan memiliki tanah pertanian dibawah batas minimum 2 Ha. Bab II, menguraikan mengenai tinjauan umum terhadap kewenangan pemerintah di bidang pertanahan. Bab III, merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yakni apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Dalam pembahasannya menguraikan tentang penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, bagaimana mekanisme pemberian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dan dasar hukum kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum-minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Bab IV, merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yakni apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum. Dalam pembahasannya menguraikan tentang pengaturan, tujuan, larangan tentang batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, dan bagaimana konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan batas minimum. Bab V, adalah bagian penutup yang merupakan simpulan dan saran dari pembahasan permasalahan dalam tesis ini. Dari pembahasan permasalahan pertama diperoleh simpulan bahwa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian adalah UU 56 Prp Tahun 1960 dan PP 224 Tahun 1960 yang merupakan perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dalam hal ini pemerintah memandang bahwa urusan pertanahan merupakan hukum nasional sehingga tidak dapat viii 9 dilimpahkan kepada pemerintah daerah otonomi berdasarkan Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Th. 2004. Konsekwensi yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas maksimum dan/atau batas minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana, dan tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh negara menjadi tanah obyek landreform tanpa mendapat ganti kerugian. Demikian juga terhadap peralihan hak melalui pemecahan tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi kurang dari 2 Ha (dibawah batas minimum) maka dinyatakan batal demi hukum dan tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi, kecuali dalam rangka pelaksanaan penatagunaan tanah. ix 10 ABSTRAK Tesis ini berjudul Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian. Permasalahan yang dibahas dari penelitian tesis ini adalah apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian?, dan apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum? Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (penelitian doktrinal) dengan menggunakan bahan penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur terkait dengan permasalahan yang dibahas, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa. Meskipun penelitian ini bersifat normatif namun tetap membutuhkan data-data di lapangan (empiris). Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, dengan metode pendekatan perundangundangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Selanjutnya bahan hukum yang dihimpun dianalisis secara deskriptif, interpretasi, evaluatif, sistematisasi, dan argumentatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini maka dapat ditemukan jawaban permasalahan yang diangkat yakni pertama dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian adalah UU Nomor 5 Tahun 1960, UU 56 Prp Tahun 1960 dan PP 224 Tahun 1960 sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tujuan pemerataan yang adil atas sumber penghidupan. Konsekwensi yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas maksimum dan/atau batas minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana dan tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh negara tanpa mendapat ganti kerugian, kecuali dengan izin Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka penatagunaan tanah. Kata Kunci: Kewenangan, Pemilikan, Tanah Pertanian. x 11 ABSTRACT This thesis entitled the Authority of Government in Determining the Concession and Ownership of Agriculture Land. The problem discussed in this thesis is on what basis the government’s authority in setting a maximum limit or minimum control and ownership of agricultural land, and what juridical consequences emerges on the acquisition and ownership of agricultural land that exceeds the maximum limit or below the minimum limit. This study applied normative law research method or doctrinal study using research material that consist of primary legal material in the form of legislation, secondary legal materials in the form of literature related to the subject matter, and legal materials in the form of tertiary language dictionary. Although the research is normative, it still needs the empirical data. This study is used a literature study, the method of approach to legislation, conceptual approaches, and historical approach. Further, the legal materials collected were analyzed in descriptive, interpretative, evaluative, systematic, and argumentative ways. Based on the result of the research conducted in this study, the answer of the problem raised can be found; first the basic authority of the government in setting maximum and minimum control and ownership of agricultural land is Law No. 5 of 1960, Act 56 Substitute Government Regulation Year 1960 and Government Regulation Number 224 of 1960 as manifestation of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution with the goal of equitable distribution of livelihood. Juridical consequence, if it violates the ban on the ownership limit and/or minimum limits will be subject to criminal sanctions and the excess of the maximum limit of land will be taken by the state without getting compensation, except in the context of stewardship land by the permission from the Head of Land Affairs Office. Keywords: Authority, Ownership, Agricultural Land xi 12 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................... i HALAMAN PERSYARATAN GELAR ........................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iv HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................. v UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... vi RINGKASAN .................................................................................................... viii ABSTRAK ......................................................................................................... x ABSRTACT ....................................................................................................... xi DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang masalah .................................................................. 1 1.2. Rumusan masalah ........................................................................... 11 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 11 a. Tujuan Umum ............................................................................ 12 b. Tujuan Khusus .......................................................................... 12 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 12 a. Manfaat Teoritis ......................................................................... 12 b. Manfaat Praktis .......................................................................... 12 1.5. Landasan Teoritis ............................................................................ 13 xii 13 1.5.1. Konsep Negara Hukum ......................................................... 13 1.5.2. Teori Kewenangan ............................................................... 22 1.5.3. Teori Keadilan ............................................................... 28 1.5.4. Konsep Hukum Tanah Nasional ..................................... 33 1.5.5. Asas Hukum Tanah Nasional .......................................... 35 1.6. Metode Penelitian .................................................................. 38 1. 6.1. Jenis Penelitian ................................................................ 38 1. 6.2. Jenis ................................................................................. 40 1. 6.3. Sumber Bahan Hukum ..................................................... 42 1. 6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 43 1. 6.5. Teknik Analisa Bahan ..................................................... 44 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN ................................. 47 2.1. Kewenangan Urusan Pemerintah di Bidang Pertanahan .............. 47 2.2. Sumber Wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN) ............... 61 BAB III DASAR HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN ......................................................... 75 3.1. Pengertian Tentang Penguasaan dan Pemilikan Hak Atas Tanah ........................................................................ 75 3.2. Mekanisme Pemberian Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan ................................................................ xiii 82 14 3.3. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ................................................ 100 BAB IV KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM DAN DIBAWAH MINIMUM ............................................................... 121 4.1. Pengaturan Tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ................................ 121 4.2. Tujuan Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian ...................................... 127 4.3. Larangan Menguasai Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan/atau Batas Minimum ......................................... 133 4.4. Konsekwensi Yuridis Terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan Batas Minimum ............... 144 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 162 5.1. Simpulan .................................................................................................. 162 5.2. Saran ........................................................................................................ 163 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 165 LAMPIRAN xiv 15 DAFTAR LAMPIRAN 1. UU No. 5 Prp Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. 2. PP. No. 224 Th. 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. 3. Kepres. No. 34 Th. 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. 4. Perpres. No. 10 Th. 2004 tentang Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah: pertanian. 6. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah perumahan. 7. Surat Pernyataan Tidak Menjadi Pemegang Hak Atas Tanah Melebihi Ketentuan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian. xv 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat terpisahkan dengan kehidupan manusia. Karena bagi manusia, tanah merupakan tempat untuk hidup dan sumber kehidupan. Tanah sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, dalam melakukan aktivitas apapun manusia tidak bisa lepas dari tanah. Dalam negara agraris seperti ini sebagian besar penduduknya mempunyai penghidupan atau bermatapencaharian dalam lapangan pertanian, sehingga tanah sangat berarti bagi sumber penghidupan manusia, baik sebagai tempat tinggal maupun untuk pertanian, dan sebagai tempat peristirahatan terakhir. merupakan hajat hidup orang banyak, merupakan kekayaan alam Tanah sumber daya alam, dan yang tiada bandingannya, sehingga wajib dipelihara untuk mencegah terjadinya kerusakan tanah agar lebih berdaya guna dan berhasil guna bagi kesejahteraan masyarakat. Kemajuan pesat yang telah dicapai Bangsa Indonesia dalam bidang industri, jasa dan properti tidak sebanding dengan perkembangan dalam sektor pertanian. Salah satu penyebabnya adalah karena tanah pertanian (lahan pertanian) yang menjadi tempat gantungan hidup dan sumber penghidupan petani sebagian besar dikonversi menjadi lahan industri dan lahan perumahan yang praktis membutuhkan ketersediaan tanah yang tidak sedikit. Disamping itu masih banyak 1 2 terdapatnya kepemilikan tanah yang tidak proporsional karena sebagian besar tanah-tanah pertanian dimiliki oleh penguasa absentee yang berdomisili di kotakota atau di tempat lain jauh dari tanah miliknya dengan cara mengupayakan multi identitas, tidak saja pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan tetapi juga adanya pemilikan di luar kabupaten, sehingga banyak pemilik tanah yang tidak mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian miliknya. Keadaan-keadaan seperti itu tidak hanya berdampak pada pemilikan tanah pertanian yang berlebih-lebihan sehingga mempersempit luas areal tanah pertanian rakyat petani, tetapi yang lebih serius lagi, yaitu antara lain dapat mendorong naiknya intensitas perpencaran tanah, mengkutubnya peralihan tanah, dan pemecahan tanah menjadi bagian yang kecil-kecil yang tidak teratur ukurannya atau luasnya, jelas keadaan ini tidak dapat mendukung dan tidak melengkapi usaha-usaha kearah yang lebih baik. Hal ini akan semakin mematikan fungsi sosial dari pada tanah, yang dapat menimbulkan konflik-konflik yuridis pertanahan dan bahkan bisa melebar pada aspek ekonomi politik. Keadaan yang mematikan fungsi sosial tanah, telah tercermin jauh sebelum dan setelah kemerdekaan. Pada jaman penjajahan Belanda, penguasaan tanah sangat tidak mencerminkan keadilan dan pemerataan. Hal ini terbukti pada jaman itu dikenal adanya tanah-tanah partikelir atau tanah pertuanan (hak-hak pertuanan). Tuantuan tanah ini memiliki tanah yang sifatnya monopoli, dan tuan-tuan tanah mempunyai hak yang demikian besar serta banyak yang menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat, 3 karena tidak adanya pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Sikap tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya yang sangat merugikan masyarakat menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, sehingga sudah barang tentu bertentangan dengan asas keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.1 Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mempunyai dua arti penting bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yaitu pertama; Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria kolonial, dan kedua; Bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum Agraria Nasional.2 Pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni dengan harapan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Pembaharuan di bidang keagrariaan adalah sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Jelas bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada tanggal 24 september 1960 merupakan hari yang sangat bersejarah dan sangat penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang 1 Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 102 2 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan kelima, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35. 4 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960 Nomor 104), yang lebih dikenal dengan nama “Undang-Undang Pokok Agraria” (selanjutnya disingkat UUPA), undang-undang ini bertujuan merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah. Salah satu yang cukup penting dengan diundangkannya UUPA antara lain ialah yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam reformasi pertanahan (dicanangkannya program landreform), yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas sumber penghidupan yakni hak atas tanah dan pembagian hasil yang adil dan merata, serta dapat mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tapi kenyataannya, dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan-ketimpangan pemilikan tanah yang ada atau kurang proporsionalnya penguasaan dan dalam masyarakat. Keadaan ini perlu diambil langkah-langkah persiapan mengantipasi keadaan tersebut dengan sebaik-baiknya, dalam hal ini perlu penerapan aturan secara optimal dalam mengatur pemilikan dan penguasaan tanah, agar benar-benar dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia. Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa: “Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara…”, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, pernyataan ini dapat berarti negara berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, 5 persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. Wewenang pada hak menguasai dari negara berarti untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya Pasal 7 UUPA, yang menyatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 ini dan untuk mencapai tujuan masyarakat yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, maka diimplementasikan dalam Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut diatas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1960. Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas maksimum dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan dimiliki sesuai dengan keadaan daerah, luas daerah, dan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 (LN. 1960 No. 174), penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN.) Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (selanjutnya disingkat UU 56 Prp Th. 1960), undang-undang ini dikenal 6 merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur tiga masalah yang pokok yaitu sebagai berikut:3 1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil 3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dalam daftar penggolongan daerah sesuai dengan Keputusan Mentri Agraria No. Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian. (T.L.N. NO. 2143), menetapkan penggolongan daerah dari yang tidak padat sampai pada daerah yang padat (kurang padat, cukup padat, dan sangat padat). Dan untuk Daerah Tingkat I Bali digolongkan sebagai Daerah yang “cukup padat”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) angka 2 huruf b UU 56 Prp Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian pada ditetapkan, yaitu: bahwa daerah yang cukup padat setiap orang dapat memiliki hak atas tanah dengan luas maksimum untuk tanah kering adalah 9 Ha dan/atau tanah sawah maksimum 7,5 Ha, sedangkan dalam Pasal 8 menyatakan bahwa “Pemerintah mengadakan usahausaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2 (dua) hektar”. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kedua pasal tersebut nampak adanya konflik norma dalam pengaturannya, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 1 3 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, 1995, Djambata, Jakarta, h. 355 7 ayat (2) menentukan batas maksimum, ini berarti luas tanah yang seminimminimnya boleh dimiliki (artinya batas maksimum yang dimaksud itu telah ditentukan seluas 9 Ha untuk tanah kering dan atau 7,5 Ha untuk tanah sawah). Menurut kajian peneliti, ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dapat diartikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dibawah batas maksimum diperbolehkan, namun jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 dapat diartikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah dibawah maksimum tidak diperbolehkan. Ini berarti ada kontradiksi antara kedua pasal tersebut, yaitu di satu pasal menentukan diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah pertanian dibawah batas maksimum, sedangkan di pasal lain menentukan tidak diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah dibawah batas maksimum. Ditetapkannya peraturan tentang pembatasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 17 UUPA, dapat disebut dengan “larangan latifundia” yang berarti adanya larangan terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang sangat luas sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan tanah).4 Ceiling adalah batas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertanian yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tidak bertanah atau petani gurem. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, pada intinya adalah memuat tentang batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. 4 A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, h. 72 8 Mengenai batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan ranah “bidang pertanahan” Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah bidang pertanahan, namun kenyataannya yang menyangkut bidang hukum tanah dan kebijakan di bidang pertanahan masih tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui instansi vertikal di daerah, jelas dalam hal ini bertentangan dengan undang-undang otonomi daerah. Oleh karena adanya konflik norma tersebut di atas dan adanya dissinkronisasi antara dasar hukum yang dipergunakan untuk mengatur kewenangan pemerintah (pemerintah dan pemerintah daerah) dalam bidang pertanahan maka peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian” Penelitian tentang Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ini secara umum adalah membahas mengenai bidang agraria atau bidang pertanahan. Dalam penelitian ini, peneliti telah memperbandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun penelitian tesis yang mirip dengan penelitian ini antara lain : 1. Penelitian tesis dari Zulkarnain, Program Studi Ilmu Hukum, Bidang Hukum Administrasi Negara, Program Pasca Sarjana Universitas 9 Sumatera Utara, judul tesis Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK. 24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat. Penelitian tesis ini mengkaji bidang pertanahan yang menyoroti tentang pemerataan ekonomi yang berkeadilan dimana tanah merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut kehidupan manusia. Penelitian ini menganalisis ketidakselarasan dalam masyarakat tentang penguasaan ekonomi yang miskin dengan penguasaan ekonomi nasional.5 2. Penelitian tesis dari Herry Iswanto, judul tesis “Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang”. Dalam penelitian ini meninjau tentang bagaimana usahausaha yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II Magelang dalam menunjang tercapainya pelaksanaan penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Pro Tahun 1960, dan meninjau bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.6 3. Penelitian tesis dari Ariska Dewi, Program Pasca Sarjana Magister kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2008, dengan judul: Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini mengkaji 5 Zulkarnain, 2006, Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK. 24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/.5098 6 Herry Iswanto, Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang, http//i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?datald=2030 10 tentang Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan tanah secara tidak merata dan tidak berkeadilan di Kabupaten Banyumas. 7 4. Penelitian tesis dari Nurhayati, SH., Progrtam Paasca Sarjana, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2006, dengan judul tesis “Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang”. Penelitian tesis ini mengkaji tentang redistribusi tanah yang menjadi obyek landreform. Dalam penelitian ini menganalisis permasalahan tentang bagamanakah pelaksanaan redistribusi tanah di Kecamatan Semarang Barat dan bagaimanakah kondisinya dewasa ini?, adakah hambatanhambatan yang terjadi, dan bagaimana penyelesaiaanya.8 5. Penelitian tesis dari Ira Sumaya, Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007-2008, dengan judul tesis “Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat”. Penelitian ini menganalisis permasalahan tentang: - Bagamana kebijakan hukum landreform dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat, dan bagaimana pelaksanaan redistribusi tanah obyek landreform di kota Medan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, serta apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.9 7 Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas, http//eprints.undip.ac.id/16527/1 8 Nurhayati, Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang, http//eprints.undip.ac.id/15762/1 9 Ira Sumaya, Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5144 11 Walaupun ke-5 penelitian tersebut di atas merupakan ranah penelitian dalam bidang pertanahan, namun kajiannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan ini yang berjudul “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian”, karena dalam penelitian ini, baik mengenai latar belakang, rumusan masalah yang dikaji, maupun pembahasannya tidak sama dengan ke 5 penelitian tersebut di atas. Hal ini membuktikan bahwa tulisan dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitianpenelitian terdahulu. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi pokok permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut: 1. Apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan Luas tanah pertanian? 2. Apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dapat penulis bedakan menjadi dua, yaitu tujuan penelitian yang bersifat umum dan tujuan penelitian yang bersifat khusus, sebagai berikut: 1. Tujuan Umum 12 Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pemerintahan dan hukum pertanahan, yaitu mengenai kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan khususnya tentang penetapan luas tanah pertanian. 2. Tujuan Khusus 2.1.Untuk mengetahui dan menganalisis hubungannya dengan permasalahan pertama dalam rumusan masalah, yaitu mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menentukan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. 2.2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan /atau dibawah batas minimum. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan bidang Hukum Pemerintahan pada khususnya. Dan Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan terkait dengan kedua permasalahan yang akan diteliti. 2. Manfaat Praktis 13 2.1. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum pemerintahan dan dalam bidang hukum pertanahan, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan hak dan kewajiban, serta akibat hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum. 2.2. Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas apa yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan mengenai penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. 2.3. Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemerintahan dan bidang hukum pertanahan. 1.5. Landasan Teoritis Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum pertanahan. 1.5.1. Konsep Negara Hukum Untuk memahami masalah penerapan prinsip-prinsip pembaruan agraria dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara hukum menjungjung tinggi adanya sistem 14 hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance and culture interact”10, terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum ( legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Konsep negara hukum juga menjungjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut: 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.11 A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:12 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah; 10 Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, h. 4 11 Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, h. 24 12 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, h. 75 15 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabatpejabatnya. Menurut C.F. Strong merumuskan bahwa arti konstitusi dapat disederhanakan rumusannya yaitu “a frame of political society, organised through and by law, that is to say on in which law has establish permanent institutions with recognised functions and definited rights”13, sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui undang-undang. Dalam perumusan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan 13 C.F.Strong, 1996, Modern Political Constitution, The Englis Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, h. 83 16 atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan , “first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called”14 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain. Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:15 a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system. b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system. Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah 14 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, h. 1 I Dewa Gede Atmadja, 2010,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157 15 17 diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.16 Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum Pancasila”.17 Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut: a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional; b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. keseimbangan antara hak dan kewajiban. Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan 16 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., h. 66-67 17 I Dewa Gede Atmadja,Op. Cit., h. 162 18 negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa–kebebasan beragama–ateisme tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan diutamakan.18 Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila, sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas.19 Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius (de Groot) pakar hukum alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara.20 Dalam konteks negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara. Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.21 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan 18 Ibid, h. 163 19 Muhammad Tahir Azhari, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, h. 102 20 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 11 21 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, h. 2 19 yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu.22 Disamping itu, suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum maka perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam Undang Undang Dasar beserta peraturan pelaksananya, dan yang terpenting dalam praktek sudah dilaksanakan atau belum.23 Mencermati bunyi Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajikan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Republik Indinesia yang terbentuk dalam suatu sususan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila”. Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa 22 Simposium Universitas Indonesia Seruling Masa PT, Jakarta, h. 159 23 h. 8 Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Joeniarto,1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 20 Indonesia dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.24 Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:25 a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara; b. Adanya pembagian kekuasaan negara; c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka. Konsep negara kesejahteraan menurut Bagir Manan adalah negara atau pemerintah yang tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat tetapi juga sebagai pemikul utama tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.26 Sejalan dengan pendapat tersebut, maka unsur-unsur 24 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009. 25 Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 11 26 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 16 21 minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir Manan, adalah sebagai berikut:27 a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); d. Adanya pembagian kekuasaan. Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara Hukum yang diuraikan diatas, maka dalam hubungannya dengan penelitian ini terdapat dua unsur yang bertalian erat dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria yang dapat mensejahterakan masyarakat sejalan dengan tujuan negara Indonesia, yaitu: a. Unsur semua tindakan stakeholders, terutama pemerintah, harus berdasarkan hukum (unsur kepastian hukum). Setiap tindakan penyelenggaraan negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekwensinya hukum harus dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk pada norma hukum yang berlaku. b. Unsur adanya pengakuan terhadap jaminan atas pelaksanaan hak-hak dasar (asasi) manusia dan masyarakat termasuk ke dalamnya masyarakat hukum adat, untuk memperoleh akses yang adil atas sumber daya agraria, terutama yang ada disekitar wilayahnya. Terkait dengan hal tersebut diatas, mengingat struktur penghidupan penduduk yang bertumpu pada sektor pertanian, dan dapat dikatakan bahwa tanah-tanah pertanian merupakan “soko guru” perekonomian rakyat dan negara, maka 27 Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h. 15 22 merupakan suatu kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum.28 Penambahan rumusan mengenai pengakuan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) Dasar ke dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin menganggap penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat dari negara hukum. Dengan demikian HAM secara konstitutif telah diakui sejak berdirinya negara. 1.5.2. Teori Kewenangan Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk menganalisis membahas dan tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan luas batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, dalam hal ini untuk menganalisis “apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian?. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam 28 H. Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung, h. 248 23 peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.29 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang- undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. 30 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung 29 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154. 30 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170 24 jawab untuk melakukan tugas tertentu.31 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menentukan tugas bawahan tersebut 2. Penyerahan wewenang itu sendiri 3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan. I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut : “Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.32 Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh : 1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik 2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi 3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal 31 32 Ibid, h. 172 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, h. 2 25 Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.33 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : “Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.34 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.35 33 34 Ibid Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta h. 29 35 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , h. 90 26 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 36 Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut : a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan; b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander; c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander. 37 Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut : “Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan 36 Ibid, h. 68 37 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, h. 56 27 wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”.38 Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: “Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.39 Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan penguasaan dan pemlikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.40 Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang 38 Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75 39 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 7 40 Philipus M. Hadjon, , Penataan Hukum Administrasi,Tahun 1997/1998, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, h. 2 28 pertanahan, khususnya dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. 1.5.3. Teori Keadilan Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945. Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.41 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang 41 Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Cv Rajawali, h. 169 29 semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.42 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ). Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.43 Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu 42 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006 , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156 43 Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 43 30 bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:44 1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal. 2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu: a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal. b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. 44 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., h. 167 31 Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensip, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria, salah satu yang menjadi prinsipprinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria S.W. Sumardjono adalah : “Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya)”.45 Berdasarkan uraian teori keadilan diatas, Nampaknya keadilan ditinjau dari hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah kehendak Pemerintah dalam menetapkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah untuk memberikan keadilan yang merata serta manfaat bagi masyarakat. Keduanya saling melengkapi agar mendapatkan pemahaman yang utuh kemudian dapat diwujudkan dalam tindakan nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan tentang penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan , penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; keadilan dalam memberikan ganti kerugian 45 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, Andi Offset, Yogyakarta, h. 4 32 dapat diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan pengakuan dan penghormatan kepada seseorang atau sekelompok orang yang haknya dikurangi, dengan memberikan imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya sebelum hal tersebut dikurangi atau diambil sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan. Dalam hal ini, keadilan harus dipahami dalam makna yang substansial (substatial justice).46 Lebih lanjut dikatakan bahwa, keadilan itu sendiri bersifat universal dan merupakan proses yang dinamis serta senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, menurut Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhannya bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi dimana lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini yang berupa perlakuan khusus dapat dilakukan asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal demikian biasa disebut sebagai corrective justice atau positive discrimination. Dalam pemahaman substansial, gagasan dasar keadilan terdiri atas tiga hal, sebagai berikut:47 1. Bahwa orang harus diperlakukan sama dalam hal atau kasus yang sama. 2. Bahwa hal yang baik harus memperoleh penghargaan. 46 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, h. 157 47 Maria S.W. Sumardjono, Op., Cit., h. 221 33 3. Bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak dasarnya. Ketiga gagasan dasar keadilan tersebut di atas mutlak diacu dalam hal penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria, karena hak atas sumber-sumber agraria adalah merupakan hak bagi setiap orang. 1.5.4. Konsep Hukum Tanah Nasional Penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, diselenggarakan berdasarkan konsepsi revolusi Indonesia yang bertujuan untuk mencapai masyarakat sosialis Pancasila agar dapat merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah yaitu pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.48 Yang dimaksudkan dengan sifat “komunalistik” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 1 UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara Indonesia adalah 48 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, h. 229. 34 tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya mengenai watak “religius” tampak pada Pasal 1 Butir 2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa Indonesia. Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas, maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut :49 a. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum yang akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan hukum tanah nasional; b. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia, sehingga kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak Bangsa Indonesia; c. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan Wilayah Indonesia bersifat abadi; d. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di 49 Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 65 35 dalamnya dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi; e. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari hak bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan, sehingga setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 1.5.5. Asas Hukum Tanah Nasional Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan), yakni ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah, Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan dan konflik di dalamnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merumuskan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik yang meliputi : kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Dalam UUPA dimuat 8 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asasasas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut : 36 a. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya, sedangkan “orang asing” hanya dapat mempunyai hak yang bersifat sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. b. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA yang menyatakan “semua hak atas tanah berfungsi sosial”, sehingga menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia. c. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan orientasi hidup dalam masyarakat adat yang mengedepankan “kesejahteraan kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan kebersamaan dalam kesejahteraan.” d. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan. e. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya 37 mencegah usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara monopoli. f. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda yang terdaapat di atasnya. g. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian yang dalam bahasa inggris disebut dengan research, pada hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan masalah.50 Sebagaimana dinyatakan dalam buku Legal Research, yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”51, bahwa penelitian hukum itu merupakan komponen penting dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang 50 M., Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RaJaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1 51 Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, h.1 38 mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material tersebut.Soerjono Soekanto mengemukakan, dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.52 Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam dikualifikasikan sebagai penelitian ini, dapat penelitian hukum normatif, karena penelitian ini beranjak dari adanya konflik dalam norma yaitu antara Pasal 1 ayat (2) dengan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal atau disebut juga sebagai penelitian perpustakaan. Disebut penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.53 Penelitian hukum normatif merupakan sebuah upaya untuk mencari dan menemukan asas-asas hukum, aturan-aturan hukum positif yang dapat diterapkan untuk menjawab atau menyelesaikan permasalahan atau isu hukum tertentu. Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian teoritik (theoretical research). Theoretical research sebagaimana dinyatakan oleh Terry Hutchinson “Research 52 Soerjono Soekanto1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press) , Jakarta, h. 51 53 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31 39 which fosters a more complete understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effects of a range of rules and procedures that touch on a particular area of activity54, bahwa penelitian teoritik adalah penelitian yang menyajikan suatu pemahaman yang lebih mendalam terhadap dasar konseptual dari sebuah prinsip hukum dan mengkombinasikan hasil antara peraturan dan prosedur yang berlaku pada suatu area aktifitas. Penelitian ini berangkat dari adanya konflik norma dengan berlandaskan pada doktrin positivisme, dimana hukum dikonsepkan pada kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku sekarang di Indonesia, dan terbit sebagai suatu produk dari suatu sumber kekuasaan yang memiliki legitimasi. Penelitian hukum normatif dalam tulisan ini, maksudnya adalah menganalisa permasalahan hukum yang berpedoman pada landasan hukum yaitu peraturan bidang pertanahan, serta pandangan dari pakar hukum yang terkait dengan permasalahan. Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini bermaksud meneliti bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah tentang dasar kewenangan pemerintah dalam menentukan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan di bawah batas minimum yang bersifat teoritis. Dengan kata lain, penelitian ini beranjak dari kontradikksi norma yang dijumpai dalam norma hukum. Oleh karena itu, dalam membahas pokok permasalahan dalam 54 tulisan ini akan didasarkan pada hasil penelitian Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook CO, Sydney, Australia, h. 9 40 kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun bahan hukum tersier. 1.6.2. Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan Perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).55 Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang berdasar pada : a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) yaitu dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut untuk meneliti dengan permasaahan hukum tanah, yakni peraturan perundang-undangan, khususnya dilakukan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang melandasi kewenangan Pemerintah dalam menetapkan luas tanah pertanian, dan tanggung jawab Warga Negara Indonesia sebagai pemegang hak atas tanah. 55 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Jakarta, h. 93-95. Kencana Prenada Media Group, 41 b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) yaitu pendekatan untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam menentukan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, bagaimana hak dan kewajiban masyarakat yang menguasai dan memiliki tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan di bawah batas minimum pada daerah cukup padat. Pendekatan konseptual ini dilakukan untuk menemukan pengertian hukum/konsep hukum tentang penguasaan tanah, pemilikan tanah, beserta tanggung jawabnya. Mengingat dalam UUPA menganut asas tanah berfungsi sosial, asas manfaat, dan asas keadilan, dengan demikian penguasaan dan pemilikan luas tanah yang melampaui batas merupakan konsep hukum yang mempunyai makna menyimpang dari asas-asas yang ada dalam UUPA. c. Pendekatan Historis (Historical Approach) yaitu pendekatan untuk pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan-aturan hukum agraria, khususnya dalam memahami perubahan dan perkembangan peraturan-peraturan tentang Pertanahan dan pelaksanaan dari aturan-aturan tersebut. Maraknya persoalan-persoalan tentang tanah dewasa ini, banyak pihak yang mempersoalkan kembali relevansi UUPA. Walau begitu, upaya meninjau kembali relevansi UUPA selayaknya melihat kembali perjalanan politik agraria sejak masa kolonial hingga sekarang. Tanpa pemahaman sejarah, proses yang akan ditempuh dan hasil yang akan dicapai sekedar 42 akan dibelenggu oleh aliran pikir yang bertanding saat ini saja, dan tak mampu mengenali apa sesungguhnya mandat yang diberikan rakyat kepada pemerintah, sebagaimana yang dimaksudkan pada awal mula pendirian Negara Republik Indonesia. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari hasil penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan terkait dengan pokok permasalahan, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier ( sebagai penunjang data primer dan data sekunder). Sebagai bahan hukum primer dari penelitian ini berasal dari penelitian terhadap peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian, yaitu yang melandasi dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, dan peraturanperaturan lainnya yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Mengenai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain diperoleh dari bahan-bahan bacaan (buku) dibidang hukum keperdataan, bidang hukum Agraria, dan bidang hukum yang berhubungan dengan pertanahan. Bahan-bahan hukum tersier diperoleh dari ensiklopedi tentang peralihan dan perolehan hak atas tanah, kamus hukum, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat 43 mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum Tehnik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan menurut kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-undangan. Terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan menggunakan telaahan kepustakaan (studi document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan tesis ini lebih menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahan-bahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan. Bahan-bahan hukum yang dipakai sebagai sumber penelitian kepustakaan meliputi : 1. Bahan Hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif yang berarti bahwa data-data yang mempunyai otoritas, berupa: UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian 44 Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Peraturan Pemerintah Tahun 1997 tentang Pendaftaran No. 24 Tanah, dan peraturan perundang- undangan lainnya. 2. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap data-data primer yaitu : a. Buku-buku literatur hukum (text book) b. Karya Ilmiah hukum (makalah atau tesis), atau pandangan praktisi hukum, jurnal hukum. c. Penjelasan UU terkait penelitian dan Peraturan Pelaksananya d. Internet dengan menyebut nama situsnya 3. Bahan hukum Tersier yaitu yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder yang berupa Kamus Umum, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris 1.6.5. Tehnik Analisa Bahan Hukum Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.56 Analisis bahan hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, serta kaidah-kaidah hukum. 56 Soerjono Soekanto, 1982, Rajawali, h. 137. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, 45 Bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan berkenaan dengan “kewenangan Pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian”, serta mengenai “konsekwensi hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan atau dibawah minimum, dalam hal ini terlebih dahulu dilakukan analisis yakni “deskripsi, interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi dengan menguraikan (mengabstrasikan) apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum dan non hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Teknik interpretasi atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk selanjutnya disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok permasalahan tesis ini. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik sistematisasi adalah berupaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut kemudian dilakukan analisis menurut isinya (content analysis), serta diberikan argumentasi untuk mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.57 Sehingga analisa yang dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan angka-angka untuk memberikan jawaban berkenaan dengan pokok permasalahan 57 Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta, h. 85 46 melainkan berupa fakta-fakta. Proses analisis dilakukan secara terus menerus hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid sesuai dengan substansi permasalahan yang diteliti. 47 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN 2.1. Kewenangan Urusan Pemerintah di Bidang Pertanahan Demokrasi merupakan salah satu persoalan yang sangat penting dalam kehidupan suatu negara. Di setiap negara menghendaki adanya jaminan pelaksanaan demokrasi di segala bidang. Lembaga Internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Organisation) menekankan perlunya demokrasi dalam pergaulan internasional, karena itu perlu dilaksanakan oleh semua negara di dunia. Kehidupan demokrasi di setiap negara sangat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa di negara bersangkutan. Demokrasi di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di berbagai daerah. Daerah menginginkan agar Pemerintah Pusat menyerahkan sebesar-besarnya urusan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai daerah otonomi atau otonomi daerah. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autos” yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya peraturan. Sehingga otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.58 Otonomi daerah merupakan suatu wewenang untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiiri (local self government) yang memiliki dua unsur utama, 58 Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta, h. 81 47 48 yaitu mengatur (rules making, regeling) dan mengurus (rules application, bestuur). Pada tingkat makro (negara) ke dua wewenang itu lazim disebut sebagai wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang untuk melaksanakan kebijakan (policy executing). Sehingga dengan pembentukan daerah otonomi berarti telah terkandung penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus oleh local government.59 Dengan demikian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara R.I Nomor 4437), diatur pemberian otonomi luas kepada daerah, khususnya daerah Kabupaten dan Kota. Undang-undang ini mengatur bahwa otonomi daerah itu dibentuk guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang menginginkan agar diberikan peran dan partisipasi yang lebih luas dalam mengatur daerahnya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal menggunakan asas-asas sebagai berikut : 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya dilakukan 59 Hoessein, Benyamin, Evaluasi Undang Undang Pemerintah Daerah, Harian Suara Karya, Jakarta, edisi 14 Februari 2002, h. IV. 49 oleh Pemerintah Pusat, melainkan juga oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik secara teritorial maupun fungsional. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan /atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pada tugas pembantuan dilaksanakan disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya serta mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya. Sejumlah istilah tersebut di atas menjadi istilah yang amat poluler pada awal tahun 2000. Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945), khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Pada Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, maka dekonsentrasi tidak diatur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, karena sebagai bagian penyelenggaraan 50 Pemerintahan Pusat melekat kewenangan Pemerintah Pusat. Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi yang menjadi Wakil Pemerintahan Pusat di daerah menerima sebagian pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat dalam melaksanakan pemerintahan berdasarkan dekonsentrasi. Dalam ayat (5), disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dimaksud adalah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama. Kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, menyatakan pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (2), (5), dan ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 berhak atau berwenang untuk : 60 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; 2. Memikiki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum; 3. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat; 4. Menetapkan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks pertanahan, ketentuan tersebut setidaknya menimbulkan ketidak jelasan apabila dikaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 60 Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 413. 51 yang merupakan sandaran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Dalam undang-undang ini tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada Pemerintah Daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yang oleh Jimly Asshiddiqie.61 dinyatakan memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri. Salah satu urusan yang diharapkan agar diserahkan kepada daerah adalah urusan di bidang pertanahan. Urusan di bidang pertanahan merupakan salah satu urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1k) UU No. 32 Tahun 2004 terlihat bahwa urusan pelayanan pertanahan menjadi salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, yang meliputi : a. perencaanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 61 Ibid, h. 423 52 d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. Pelaksanaan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten /kota; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Selanjutnya mengenai urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1k), yaitu meliputi 16 urusan pemerintah wajib, yaitu : a. perencaanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 53 c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelaksanaan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal, o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1.k) dan Pasal 14 ayat (1.k) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka urusan pelayanan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk diselenggarakan dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Atau dengan perkataan lain “pelayanan pertanahan” menjadi urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian sudah semestinya Pemerintah Pusat terutama instansi yang mengurusi pertanahan secara bertahap menyerahkan 54 urusan pelayanan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun pemerintah belum menuntaskan regulasi penyerahan kewenangan di bidang pertanahan, Pemerintah Pusat masih menunda penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah berdasarkan ketentuanketentuan dalam: 1. Keputusan Presiden (Kepres) No. 10 Tahun 2001, yang antara lain menyatakan bahwa kewenangan di bidang pertanahan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. 2. Pasal 1 (6) Kepres No. 62 Tahun 2001, ditegaskan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sampai ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan selambatlambatnya dua tahun. 3. Kepres No. 34 Tahun 2003, menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan ditangguhkan. Dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa penerbitan regulasi di bidang pertanahan bagi daerah akan dilaksanakan oleh BPN paling lambat tanggal 1 Agustus 2004. Ketiga ketentuan-ketentuan Keputusan Presiden tersebut, merupakan policy of non-enforcement (kebijakan untuk tidak menerapkan hukum) otonomi daerah di bidang pertanahan.62 Namun ketentuan-ketentuan tersebut seharusnya ditaati 62 Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Edisi 1, cetakan ke-1, Laks Bang Justitia, Surabaya, h. 17 55 oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di seluruh wilayah Republik Indonesia, karena yang membuat peraturan-peraturan itu adalah kepala pemerintahan negara tertinggi berdasarkan konstitusi.63 Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka kewenangan untuk mengurusi bidang pertanahan masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai unit pelaksana di Pusat dan Kantor Wilayah Pertanahan di tingkat Provinsi serta Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota. Hak menguasai oleh negara yang pada intinya dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan tanah yang sejak semula menurut sifatnya selalu dianggap sebagai tugas pemerintah pusat.64 Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada ayat (2) pasal ini menetapkan kewenangan yang dimaksud antara lain adalah : a. Pemberian izin lokasi; b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 63 Suhendro, 2001, Status Hukum Produk Dinas Pertanahan, Suara Merdeka, Semarang, 64 Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Op., Cit., h. 57 h. VI 56 e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; h. Pemberian izin membuka tanah; i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. Untuk kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan. Dan dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyusun norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan kualitas produk dan kualifikasi sumber daya alam yang diperlukan. Berdasarkan pada kerangka kebijakan pertanahan nasional yang disusun oleh tim teknis program pengembangan kebijakan dan managemen pertanahan, disebutkan bahwa kebijakan pertanahan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :65 1. Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, obyek 65 Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004), h. V. 57 spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 2. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “ …..bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”. Oleh karena itu, merupakan tugas dari Negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, yang salah satunya adalah tanah. 3. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan pelestarian lingkungan. 4. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan pertanahan. 5. Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam pengelolaan pertanahan. 6. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 5 ayat (5). 58 Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut, arah kebijakan pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut :66 1. Reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, dengan rencana tindak: mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang memayungi keseluruhan peraturan perundangan sektoral laiinya; sinkronisasi seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan pertanahan; revisi atas seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; mengintegrasikan pelaksanaan serta menegakkan berbagai ketentuan perundang-undangan pertanahan bagi semua pihak. 2. Pengembangan kelembagaan pertanahan dengan rencana tindak : menentukan kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat pemerintahan; menentukan struktur kelembagaan pertanahan sesuai dengan kewenangan tersebut di atas; memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pelaksana pengelola pertanahan dalam upaya mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah. 3. Peningkatan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya, dengan rencana tindak : mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan 66 Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004), h. vi 59 perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah; mengembangkan sistem informasi berbasis tanah yang terpadu dan konfrehensip untuk mendukung proses percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpajakan tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas semua jenis hak atas tanah; penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka meningkatkan kwalitas pelayanan kepada masyarakat. 4. Pengembangan mengembangkan penatagunaan mekanisme tanah dengan perencanaan rencana tataguna tanah tindak: yang konfrehensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip goodgovernance (trasparansi, partisipasi, dan akuntabel) mulai dari tingkatan nasional, regional, dan lokal; melaksanakan rencana tata guna tanah secara transparan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah maupun swasta; membangun mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah yang mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna pengelolaan tata guna tanah. 5. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah dengan rencana tindak: menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah untuk setiap level pemerintahan dan atau institusi; menentukan dan mengembangkan pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi, perubahan data menyangkut updating dan edit, serta penyajian informasinya; mengembangkan pola koordinasi teknis untuk pertukaran 60 dan pemanfaatan data dari berbagai institusi yang mengumpulkan, menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi berbasis tanah dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelayanan informasi bagi semua pihak; mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komonikasi serta sumber daya manusia yang andal. 6. Penyelesaian sengketa tanah dengan rencana tindak: menyelesaikan sengketa tanah secara konprehensif; membentuk mekanisme dan kelembagaan dalam penyelesaian sengketa pertanahan sebagai upaya mengeliminasi berbagai gejolak sosial akibat sengketa, serta memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasus-kasus struktural yang memiliki dampak sosial ekonomi dan politik yang sangat besar dengan cara yang berkeadilan. 7. Pengembangan sistem perpajakan tanah dengan rencana tindak: mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam distribusi aset tanah yang berkeadila; menetapkan mekanisme distribusi pendapatan yang bersumber dari pajak tanah sebagai upaya dan penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya mendorong pemanfaatan tanah secara maksimal dan disinsentif bagi penguasaan tanah secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal. 8. Perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dengan rencana tindak : mengakui dan melindungi semua jenis hak atas tanah yang saat ini sudah dimiliki, baik oleh masyarakat individu, kelompok masyarakat (tanah 61 ulayat), badan hujum tertentu, serta instansi pemerintah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memberikan jaminan kepastian hukum pola hubungan kelembagaan dalam penguasaan tanah. 9. Peningkatan akses atas tanah dengan rencana tindak; membuka akses yang adil kepada seluruh mnasyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin, untuk dapat menguasai dan atau memiliki tanah sebagai sumber penghidupannya, melalui kegiatan landreform; mengaitkan kegiatan landreform dengan berbagsai kegiatan pembangunan lainnya sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan, baik di pedesaan maupun di perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat miskin penerima tanah obyek landreform dan masyarakat secara luas melalui programprogram departemen atau instansi pemerintah terkait. 2.2. Sumber Wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan seharusnya mempunyai legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, karena hal ini sesuai dengan substansi dari asas legalitas adalah wewenang. Pemerintah mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu, secara umum kewenangan-kewenangan pemerintah itu ada dua jenis, yaitu : - kewenangan terikat dan; - kewenangan bebas. Kewenangan terikat adalah kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintah untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pembuat peraturan 62 perundang-undangan tanpa kemungkinan untuk mengambil keputusan lain dari yang telah ditentukan oleh pembuat perundang-undangan. Sedangkan kewenangan bebas adalah kewenangan organ pemerintah untuk mengambil keputusan tertentu berdasarkan inisiatif atau penilaiannya sendiri dan menginterpretasikan norma yang samar. Pemerintah dalam menggunakan wewenang publik wajib mengikuti aturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.67 Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yaitu: 1. Asas Yuridiktas (rechtmatiheid), yang artinya keputusan pemerintahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad ). 2. Asas legalitas (wetmatigheid), yang artinya keputusan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. 3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen) yang artinya pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya. Oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas tersebut. Ada dua macam diskresi, yaitu “diskresi bebas” apabila undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan “diskresi terikat” jika undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap yang paling dekat. 67 h. 84. Prajudi Atmo Sudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 63 Dari sisi hukum, organ pemerintah bertindak dalam batas tertentu dengan melihat kewenangan yang mendasarinya. Dalam hal suatu organ pemerintah melakukan tindakan berdasarkan kewenangan terikat, mesti dilihat dan diperhatikan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, baik menyangkut kewenangan, materi atau substansi, prosedur, wujud tindakannya, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam hal pemerintah mendasarkan pada kewenangan diskresi yang dapat digunakan sebagai koridor tindakan tersebut bukan lagi peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan hukum tidak tertulis, misalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kewenangan mesti dibatasi dari segi kewilayahan, segi substansi, dan sekaligus dari segi waktu penggunaannya. Demikian pula prosedur dalam bertindak dan substansi yang diputuskan semuanya harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Pemerintah dalam mengupayakan suatu penetapan yang ditujukan kepada individu, dalam hal ini kewenangan pemerintah harus dilaksanakan berdasarkan pada hukum yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu penetapan yang dikeluarkan pemerintah adalah “penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian”. Pemerintah memandang perlu untuk menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, karena pengaturan tentang pembatasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian ini ditetapkan oleh negara (pemerintah) adalah dalam rangka pemerataan, pendayagunaan tanah, serta menghindari tindakan-tindakan yang bersifat monopoli yang merugikan 64 masyarakat dan kepentingan umum. Sedangkan pembatasan minimum pemilikan tanah pertanian adalah bertujuan untuk mencegah dilakukan pemecahan tanah untuk meningkatkan taraf hidup petani. Penetapan pengaturan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian perlu lebih diarahkan kepada semakin terjaminnya tertib hukum pertanahan, sehingga dapat mewujudkan adanya kepastian hukum di bidang pertanahan. Menurut F.P.C.L. Tonnaer, “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overrheid en te scheppen”.68 (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dengan demikian, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara). Dalam negara hukum, kewenangan pemerintahan itu berasal dari peraturan perundangundangan yang berlaku, dan ini berarti sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitui: a. Atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan . 68 68 F.P.C.L. Tonnaer, 1986, Legaal Besturen, Het Legaliteistbeginsel, toetssteen of struikelblok, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen Opgedragen aan R. Crince Le Roy, Kluwer-Deventer, h. 265. 65 b. Delegasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Suatu delegesai selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. c. Mandat, bahwa terjadinya suatu mandat adalah ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.69 Setiap kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atau bertumpu atas kewenangan yang sah, demikian juga mengenai kewenangan dalam bidang pertanahan. Atribusi, terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan kepada organ pemerintahan. Dalam arti lain, atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi dapat dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan; kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan. Atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara 69 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit., h. 129 66 dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hukum positif yang berlaku mengklaim bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, karenanya pada tingkat tertinggi negara memiliki kewenangan atau berhak untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatannya; dengan landasan konstitusional yang merupakan “kewenangan atribusi” yang langsung dari Pasal 33 ayat (3), Negara memberikan wewenang kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengatur peruntukan dan penggunaan tanah. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ketentuan dalam Pasal 2, bahwa : hak menguasai dari negara adalah memberikan wewenang kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan kekayaan alam lainnya serta menentukan dan mengatur akan hubungan-hubungan khusus antara orang-orang dengan sumber alam sekaligus menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatanperbuatan hukum antara orang-orang terhadap sumber-sumber alam. Dalam Pasal 6 menentukan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, maka semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara, menambah kesuburannya dan mencegah terjadinya kerusakan tanah sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 26 Tahun 1988 pada tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional jo Peraturan 67 Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 10 Tahun 2006 tanggal 11 April 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dapat diartikan bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk Lembaga Badan Pertanahan Nasional yang menetapkan bahwa urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk menangani bidang pertanahan, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai pemberian kewenangan delegasi. Karena berupa kewenangan delegasi, maka semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan adalah tanggung jawab delegataris; dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada sipenerima delegasian, dalam hal ini adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Lembaga Badan Pertanahan Nasional yang pertama kali dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 26 Tahun 1988, pembentukan ini merupakan peningkatan dari Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sejak dibentuknya lembaga ini maka seluruh pegawai, keuangan, serta perlengkapan Direktorat Jenderal Departemen Dalam Negeri yang berkaitan dengan pertanahan dialihkan kepada Badan Pertanahan Nasional; dengan kata lain seluruh organisasi di lingkungan Kantor Direktorat Jenderal Agraria, Direktorat Agraria Provinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kota melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsi eksekutif, wewenang Presiden membentuk lembaga pemerintah non departemen melekat dalam kedudukan dan 68 kekuasaan Presiden sebagai pemegang dan penyelenggara pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Untuk kelancaran dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, Presiden berwenang membentuk satuan pelaksana pemerintahan di luar departemen yang dibentuk melalui Keputusan Presiden. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintah non departemen adalah badan pemerintah pusat yang menjalankan wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan di bidang pertanahan. Badan pemerintah ini berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden dengan kedudukan yang lebih rendah dari departemen. Pengaturan mengenai lembaga pemerintah non departemen seperti Badan Pertanahan Nasional tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang, yang diatur adalah mengenai tugas dan fungsi. Dalam rumusan tugas dan fungsi inilah secara tersirat termuat wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk mengeluarkan berbagai pengaturan, baik berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang umumnya bersifat mengatur berdasarkan wewenang delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian materi muatan peraturan atau keputusan dari Badan Pertanahan Nasional adalah menyangkut hal-hal penguasaan dan penggunaan tanah, kepemilikan tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah.70 Materi muatan peraturan atau keputusan yang bersifat pengaturan yang dikeluarkan menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan fungsi dan tanggung jawab dari 70 Badan pertanahan nasional yang telah memperoleh delegasi Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan , Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, h. 45 Cet. Pertama, 69 berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut masih tergolong sebagai peraturan perundang-undangan.71 Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam Pasal 28 menetapkan: (1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi di Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Kabupaten/Kota. (2) Organisasi dan tata kerja Kanor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Selanjutnya Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Dalam Pasal 2 ditetapkan bahwa Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang bersangkutan. Dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mempunyai fungsi sebagaimana berikut : 71 Ibid, h. 46 70 a. Penyusun rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelaksnaan tugas pertanahan; b. Pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan; c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan provinsi; d. Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah; e. Pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) di Provinsi; f. Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan; g. Pengkoordinasian pengembangan sumber daya manusia pertanahan; h. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan prasarana, perundang-undangan, serta pelayanan pertanahan. Dari uraian diatas, jelas terdapat pelimpahan wewenang bidang pertanahan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di tingkat provinsi, dan pelimpahan wewenang bidang pertanahan kepada Kantor Pertanahan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota. Mengingat pelimpahan wewenang tersebut prosedur pelimpahannya dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan, sehingga dalam hal ini disebut mandat. Oleh karena berupa mandat, 71 maka semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarka mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat, dengan kata lain sebagai tanggung jawab Kepala Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan pelimpahan kewenangan tersebut di atas, dan untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden di atas adalah dengan mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Pertanahan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 2 tersebut di atas maka terlihat bahwa Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional tidak melaksanakan pelaksanaan teknis di bidang pertanahan secara langsung tetapi lebih kepada pemantauan, monitoring ataupun pengawasan terhadap Kantor Pertanahan kecuali dalam batas wewenang yang dimilikinya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain mempunyai wewenang terbatas.72 Bidang pertanahan di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan dengan struktur organisasi yang terdiri atas 5 (lima) Unit Kerja Tata Usaha dan unit kerja teknis yang terdiri dari : Unit Kerja Survey, Pengukuran, dan Pemetaan Tanah; Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; Pengaturan dan Penataan Pertanahan; Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan; Sengketa, Konflik dan Perkara. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor 72 Ibid., h. 49 72 Pertanahan, yang mengatur mengenai penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian pada Kantor Pertanahan adala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan. Sub Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada Kantor pertanahan mempunyai tugas menyiapkan bahan dan melakukan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah, penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya. Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan mempunyai fungsi :73 - Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya, penetapan kriteria kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka perwujudan fungsi kawasan/zoning, penyesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah, penerbitan izin, perubahan penggunaan tanah, penataan tanah bersama untuk peremajaan kota, daerah bencana dan daerah bekas konflik serta pemukiman kembali; - Penyusunan rencana persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, neraca penatagunaan tanah kabupaten/kota dan kawasan lainnya; - Pemeliharaan basis data penatagunaan tanah kabupaten/kota dan kawasan; 73 Ibid., h. 58 73 - Pemantauan dan evaluasi pemeliharaan tanah, perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada tiap fungsi kawasan/zoning dan redistribusi tanah, pelaksanaan konsolidasi tanah, pemberian tanah obyek landreform dan pemanfaatan tanah bersama serta penertiban administrasi landreform; - Pengusulan penetapan/penegasan tanah menjadi obyek landreform; - Pengambilalihan/atau penerimaan penyerahan tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform; - Penguasaan tanah-tanah obyek landreform; - Pemberian izin peralihan hak atas tanah pertanian dan izin redistribusi tanah dengan luasan tertentu; - Penyiapan usulan penetapan surat keputusan redistribusi tanah obyek landreform dan obyek konsolidasi tanah; - Penyiapan usulan ganti kerugian tanah obyek landreform dan penegasan obyek konsolidasi tanah; - Penyediaan tanah untuk pembangunan; - Pengelolaan sumbangan tanah untuk pembangunan,; - Pengumpulan, pengelolaan, penyajian dan dokumentasi data landreform. Dengan demikian struktur Organisasi Kantor Pertanahan saat ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 jo Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006. Selanjutnya untuk lebih rinci, maka ditetapkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan 74 Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasionmal dan Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Pertanahan. Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban di bidang pertanahan yang dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan Presiden tersebut adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa fenomena desentralisasi bidang pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi kenyataan karena pemerintah berkeinginan untuk tetap mempertahankan eksistensi atau keberadaan Badan pertanahan Nasional dan instansi vertikal di daerah sebagai badan yang secara nasional berfungsi untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan. Dilain pihak, pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan model medebewind atau tugas pembantuan memperoleh pengaturannya dimana kedudukan Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertahanan secara nasional, regional, dan sektoral, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. 75 BAB III DASAR HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN 3.1. Pengertian Tentang Penguasaan dan Pemilikan Hak-hak Atas Tanah Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Disamping itu tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi multi-sektoral, multidisiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, dan bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 yang menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut dengan tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya, misalnya untuk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. 75 76 Obyek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “Sesuatu” disini adalah yang boleh, wajib, dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Negara yang bersangkutan.74 Kita juga mengetahui, bahwa penguasaan hak-hak atas tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkret (subjective recht), jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya. 75 Pengertian tentang “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, dan juga dalam arti yuridis. Pengertian penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.76 Pengertian penguasaan dan menguasai tersebut dipakai dalam arti perdata Dalam UUD 1945 dan UUPA pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam arti publik, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian yuridis yang beraspek perdata, terdiri atas hak tanah seperti : hak milik (Pasal 20), hak guna usaha dan 74 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 195 75 Budi harsono,2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet. Kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, h. 253 76 Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 66 77 hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan (Pasal 23, 33, 39, dan 51). Sedangkan hak menguasai negara yang sifatnya hukum publik merupakan hak menguasai negara yang meliputi semua tanah tanpa ada terkecualinya. UUPA membedakan hak penguasaan tanah menjadi 2 kelompok, yaitu hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah. Hak atas tanah yang menentukan sistem land tenure dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu :77 1. Semua hak yang diperoleh langsung dari negara (disebut dengan hak primer) 2. Semua yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama (disebut hak sekunder). Kedua hak tersebut di atas pada umumnya mempunyai persamaan, dimana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak sekunder pada pihak lain.78 Hak atas tanah yang diperoleh dari negara (hak primer), terdiri dari : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan. Sedangkan hak yang sekunder terdiri dari hak sewa, hak usaha bagi hasil, hak gadai, dan hak menumpang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA menentukan bahwa hak usaha bagi hasil, hak sewa, dan hak gadai tanah pertanian akan dihapuskan. Hal ini merupakan pelaksanaan azas-azas yang terkandung pada Pasal 10 UUPA, yang menyatakan bahwa “tanah pertanian harus diolah oleh 77 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Bagian I, Jambatan, Jakarta, h. 7 78 Ibid 78 pemiliknya sendiri”.79 Tetapi sampai saat ini azas ini belum sepenuhnya terlaksana. Dalam UUPA, seperti yang dirumuskan pada Pasal 20, pengertian Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dan mempunyai fungsi sosial.80 Dengan demikian, terpenuh tidak berarti hak milik adalah terkuat dan hak yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat seperti hak eigendom yang asli. Namun pengertian tersebut menunjukkan bila dibandingkan dengan hak lain, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh. Hak milik dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan pembayaran ganti rugi (Pasal 570 KUHPerdata). Dengan demikian, maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam KUHPerdata terdapat perbedaan dengan yang dirumuskan dalam UUPA , oleh karena dalam UUPA menyatakan bahwa “segala hak mempunyai fungsi sosial”, 79 80 Ibid, h. 15 Achmad Chuleemi, 1995, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya, FH. Undip, Semarang, h. 59 79 ini berarti berbeda dengan pengertian hak eigendom yang dirumuskan dalam KUHPerdata. Adapun sifat-sifat dari hak milik adalah : a. Merupakan hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak yang lainnya b. Bersifat turun-temurun (dapat diwariskan oleh si empunya tanah), dan secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. c. Dapat menjadi induk atas hak-hak atas tanah lain, artinya bahwa hak milik tersebut dapat dibebani oleh Hak Guna Bangunan, Hak Sewa, Hak Gadai. d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. e. Dapat dijual atau ditukar dengan benda lain atau dihibahkan dan diberikan secara wasiat. f. Dapat diwakafkan g. Yang boleh memiliki hak milik atas tanah sesuai dengan Pasal 21 UndangUndang Pokok Agraria adalah : 1) Hanya warga Negara lndonesia dapat mempunyai hak milik 2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya 3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau karena perkawinan, demikian pada warga percampuran harta negara Indonesia yang mempunyai hak milik setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melaporkan hak itu dalam jangka waktu 80 satu tahun sejak diperoleh hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung. 4) Selama seseorang yang memiliki kewarganegaraan lain selain sebagai warga negara Indonesia, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (13) pasal ini. Dengan demikian, pada prinsipnya hanya Warga Negara Indonesia tunggal yang boleh mempunyai tanah dengan Hak Milik (Pasal 21 ayat (1) jo ayat (4) Undang- Undang Pokok Agraria). Hal ini sebagaimana diatur dalam penjelasan umum UUPA dalam angka Romawi II angka 5, bahwa pemilikan tanah dipakai asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan maka hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA), ini berarti hak milik atas tanah kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat (2) UUPA). Orang-orang asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah ( Pasal 21 ayat (2) UUPA), akan tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan paham keagamaan, sosial, dan hubungan perekonomian maka diadakanlah suatu escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu dapat mempunyai hak milik. Escape clause merupakan dispensasi yang diberikan oleh Pemerintah dengan menunjuk 81 badan-badan hukum tertentu yang dapat mempunyai hak miliki sepanjang tanahnya diperlukan untuk bidang-bidang sosial dan keagamaan (Pasal 49). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik, termasuk dalam hal ini khususnya tentang kepemilikan hak atas tanah pertanian. Menurut Boedi Harsono hapusnya hak milik dikarenakan oleh hal-hal berikut: a. Pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA b. Penyerahan suka rela oleh pemiliknya c. Ditelantarkan d. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2) Dari uraian di atas mengenai pengertian “penguasaan”, disamping dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis, juga beraspek privat dan beraspek publik.81 Dalam hal ini, umumnya terhadap penguasaan secara yuridis adalah memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, namun disisi lain ada penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank), pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan) akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap berada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Sedangkan penguasaan yuridis 81 Urip Santoso, 2009, Op. Cit., h. 73 82 yang beraspek publik adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA. Pengertian penguasaan tanah secara yuridis formal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah berbunyi sebagai berikut : “seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini.” Dalam penjelasan yang sama lebih diuraikan lagi, bahwa seandainya orang yang mempunyai tanah dengan hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya disewakan atau dibagihasilkan kepada orang lain maka termasuk dalam pengertian menguasai tanah (penguasaan tanah). Dengan demikian, pengertian menguasai itu berarti menguasai baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu pula yang menyewa tanah termasuk pula dalam pengertian menguasai tanah tersebut. Dengan demikian, sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan menguasai tanah pertanian menurut peraturan perundangan yaitu selain dengan hak milik, dapat juga dilakukan dengan hak gadai, hak sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil, dan sebagainya. Dan yang dilarang oleh peraturan perundangan bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk yang lain. 3.2. Mekanisme Pemberian Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai undang-undang pokok tidak saja secara 83 tegas dinyatakan dalam judul undang-undangnya, tetapi juga diperlihatkan dalam pasal demi pasal pengaturannya. Kendati undang-undang secara formal merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh aparat yang berwenang untuk itu, namun mengingat sifatnya sebagai suatu peraturan dasar, dalam undang-undang tersebut hanyalah dimuat mengenai asas-asasnya dan garis-garis besarnya saja. Sebagai undang-undang pokok, pelaksanaannya lebih lanjut tentunya diatur dalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya, karena itu menjadikan bahwa UUPA merupakan dasar bagi peraturan pelaksana yang terkait di dalamnya. Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan dalam Pasal 2 UUPA didasarkan pada konsepsi bahwa semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya ditugaskan kepada negara untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) bahwa “hak menguasai dari Negara ini pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Ini berarti pelaksanaan yang dilimpahkan pada Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. 84 Atas dasar kewenangan itu, maka wewenang ke dalam, negara dapat melakukan :82 1. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis, dan sosial (Pasal 14 ayat (1) UUPA), sedangkan pemerintah daerah juga harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat (Pasal 14 ayat (2) UUPA). 2. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun bersamasama)/badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi perorangan/badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik privat atas tanah. 3. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki/dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap WNI mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA). 4. Menentukan bahwa setiap orang/badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri, dengan beberapa perkecualian 82 Iman Soetikno, 1994, Proses terjadinya UUPA;Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gajah Mada, University Press, Yogyakarta, Cet. ke tujuh, h. 51 85 (Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada tanah absentee. 5. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan 15 UUPA). 6. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 UUPA. 7. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA) dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47, 48 UUPA) 8. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA). 9. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA). Dalam hal wewenang ke luar, negara dapat melakukan :83 1. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapapun. 83 Ibid, h. 52 86 2. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah Indonesia (Pasal 21 UUPA). Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 2 UUPA memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan tanah yang menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945). Jelas bahwa pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Berdasarkan pada landasan konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pada tingkat tertinggi “Negara” memiliki kewenangan atribusi untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatan atau penggunaan tanah. Negara memberi kewenangan dalam bidang pertanahan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengundangkan UU No. 5 Th. 1960 (UUPA), dan kewenangan Negara tersebut diwujudkan dalam Pasal 2. Selanjutnya dalam Pasal 7 dan 17 menetapkan tentang batas maksimum dan minimum tanah yang boleh dimiliki, yang kemudian diimplementasikan ke dalam UU No. 56 Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertania. 87 Berdasarkan kewenangan konstitudi tersebut, Presiden selaku kepala Pemerintahan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 26 Th. 1988 tentang BPN jo Peraturan Presiden No. 10 Th. 2006 tentang BPN. Walaupun tidak diatur secara tegas mengenai wewenang, namun dari ketentuan peraturan tersebut tentang tugas dan fungsi BPN dapat diartikan bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk Lembaga BPN yang menetapkan bahwa untuk menangani bidang pertanahan menjadi wewenang BPN. Dengan demikian, BPN sebagai Badan Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan dalam melaksanakan atau menjalankan tugas dan fungsi serta tanggung jawab bidang pertanahan, termasuk dalam hal penetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Berdasarkan kewenangan ini, Kepala BPN mengeluarkan Peraturan No.4 Th. 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan, dan selanjutnya dikeluarkan Peraturan kepala BPN No. 5 Th. 2008 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan Seksi pada Kanwil BPN dan pada Kantor Pertanahan. Yang mengatur mengenai penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian pada Kantor Pertanahan adalah Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan. Wewenang dalam bidang agraria atau bidang pertanahan dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah bersangkutan. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakat atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah diatasnya untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Pengaturan dan penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan 88 perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya pada kenyataannya dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah ataupun kepada pemerintah daerah tetapi dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan otonomi daerah atau bukan desentralisasi. Hal ini menimbulkan persoalan tentang kewenangan pemerintah untuk mengurus bidang pertanahan. Persoalan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan menjadi mengemuka sejak bergulirnya era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Karena disatu sisi, otonomi daerah memberikan kewenangan pada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan kekhasan daerahnya, namun di sisi lain pemerintah merasa perlu untuk menetapkan sejumlah aturan main sehingga pelaksanaannya tidak menimbulkan gejolak separatisme dan ketidaksesuaian diantara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan demikian, walaupun daerah diberi kewenangan penuh, tetap ada suatu mekanisme yang memungkinkan masing-masing daerah untuk melaksanakan sesuai dengan bentuk dan isi kewenangannya yang memiliki standarisasi secara nasional. Dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, yang merupakan tindak lanjut dari Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang 89 Pertanahan, secara rinci diatur tentang 9 kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu : a. Pemberian izin lokasi b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum c. Penyelesaian sengketa tanah garapan d. Penyelesaian masalah ganti rugi kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong h. Pemberian izin membuka tanah i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. Dari 9 sub bidang pertanahan di atas, dalam hal ini yang akan dibahas adalah sub bidang tentang “Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee” mengingat bahwa penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah tersebut merupakan tindak lanjut dari adanya ketentuan penetapan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum, maka tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah (disebut tanah redis atau tanah obyek landreform), untuk kemudian tanah-tanah tersebut akan dibagi- 90 bagikan kepada rakyat yang membutuhkan, dan kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pasal 5 menyatakan, bahwa soal-soal tersebut dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UUPA.84 Adapun standar mekanisme ketatalaksanaan bidang pertanahan tentang “Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian dari tanahtanah kelebihan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dan tanah absentee”, adalah sebagai berikut : 1. Persiapan, yaitu membentuk Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) dengan susunan keanggotaan yeng terdiri dari :85 - Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota; - Kepala Kantor Pertanahan sebagai wakil ketua merangkap anggota; - Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota sebagai anggota; - Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Resort Kabupaten/Kota sebagai anggota; - Seorang pejabat yang bertanggung jawab di bidang pertanian di bidang kabupaten/Kota sebagai anggota; - Seorang pejabat yang bertanggung jawab koperasi Kabupaten/Kota sebagai anggota; - Seorang wakil cabang HKTI Kabupaten/Kota sebagai anggota; 84 Sumarsono, 1973, Himpunan Peraturan Agraria, Dirjen Agraria, Jakarta, h. 213 85 Arie Sukanti Hutagalung, Op., Cit., h. 133 91 - Pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dari instansi/dinas yang terkait dengan urusan pertanahan sebagai angota (disesuaikan dengan kebutuhan serta situasi dan kondisi Kabupaten /Kota masing-masing); - Camat, Kepala Desa/Lurah yang dalam wilayahnya terdapat tanah-tanah yang akan ditetapkan sebagai obyek landreform; 2. Tugas: - Memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota mengenai segala hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan Landreform di wilayahnya - Membentuk Sekretariat Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) dan mengangkat kepala seksi pengaturan penguasaan tanah dari kantor pertanahan Kabupaten/Kota sebagai sekretaris. 3. Pelaksanaan, antara lain: a. Menyiapkan bahan sidang yang merupakan hasil inventarisasi tanah-tanah yang terkiena ketentuan kelebihan maksimum dan absentee serta hal-hal lain yang berkaitan oleh sekretariat PPL b. Melaksanakan sidang yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua - Sidang memutuskan: tanah-tanah yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan absentee, bekas pemilik tanah, besarnya ganti kerugian, calon penerima pembagian tanah. - Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat. - Hasil sidang dituangkan dalam berita acara sidang, yang berisi saran dan pertimbangan. 92 - Sidang diadakan minimal tiga kali dalam setahun. c. Menerima penyerahan tanah PPL menerima penyerahan tanah kelebihan batas maksimum dan tanah absentee dari pemilik tanah, selanjutnya tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara, dan memberikan Surat Tanda Penyerahan Penerimaan Hak dan Pemberian Ganti Kerugian (STP 3), STP 3 berisi antara lain: - Kode/tanda STP 3 - Nama bekas pemilik - Umur, - Pekerjaan - Tempat tinggal bekas pemilik - Daftar susunan anggota keluarga - Luas dan letak tanah yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan absentee - Nama-nama penggarap calon penerima redistribusi - Nama yang menyerahkan - Nama yang menerima d. Menetapkan subyek dan obyek redistribusi, yaitu: - Penyiapan konsep SK Penetapan dengan kelengkapan sebagai berikut: Berita Acara Sidang PPL; STP 3; Riwayat tanah; surat keterangan pendaftarsn tanah,; surat keterangan tanah; daftar nama penggarap; dan hasil perhitungan besarnya ganti kerugian. 93 - Menetapkan tanah kelebihan maksimum dan absentee sebagai obyek landreform antara lain: nama-nama bekas pemilik tanah; tanah obyek landreform; bentuk ganti kerugian kepada bekas pemilik dalam bentuk uang (dapat dari pemerintah atau secara llangsung dari penerima redistribussi); dan nama-nama calon penerima pembagian tanah. e. Menyampaikan Berita Acara PPL dan SK Penetapan TOL kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk proses penerbitan SK Hak Atas Tanah (HAT) Redistribusi. f. Menyampaikan usulan kepada pemerintah cq BPN mengenai besarnya ganti kerugian terhadap bekas pemilik tanah kelebihan maksimum dan absentee, apabila ganti kerugian dalam bentuk uang dimaksud dari pemerintah, dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut : 1. Usul penetapan ganti kerugian yang dilampiri : - daftar nama bekas pemilik yang diusulkan ganti kerugiannya; - SK Hak Atas Tanah Redistribusi; - Perhitungan besarnya ganti kerugian; - STP 3; - Surat keputusan penetapan hasil bersih rata-rata per Ha; - Harga umum tanah setempat berdasarkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak); - Harga gabah per kwintal; surat keterangan tempat tinggal bekas pemilik/ahli waris/kuasanya; - Foto cophy KTP. 94 2. Besarnya ganti kerugian per Ha di hitung atas dasar hasil bersih ratarata per Ha, maksimum Rp 3.500.000.00,- per hektar. g. Menyampaikan usulan kepada pemerintah cq BPN untuk diterbitkan izin pembayaran ganti kerugian secara langsung kepada bekas pemilik tanah kelebihan maksimum dan absentee, dengan persyaratan sebagai berikut: 1. Usul penerbitan izin dimaksud dilampiri : - Daftar nama bekas pemilik yang diusulkan ganti kerugiannya; - SK Hak Atas Tanah redistribusi; - Perhitungan besarnya ganti kerugian; - STP 3; - Surat Keputusan Penetapan hasil bersih rata-rata penetapan per Ha; - Harga umum tanah setempat berdasarkan NJOP; - Harga gabah per kwintal - Surat keterangan tempat tingga bekas pemilik/ahli waris/kuasanya; - Foto cophy KTP. 2. Besarnya ganti kerugian per Ha dihitung atas dasar hasil bersih rata per Ha, maksimum Rp 3.500.000.00,- per hektar. 3. Pelaporan, yaitu : Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan kegiatan penetapan redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee serta ganti ruginya kepada 95 Pemerintah cq Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan nasional Provinsi setempat. Ketentuan mengenai desentralisasi atau pelimpahan wewenang di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan bahwa yang dilimpahkan kepada Daerah bukanlah urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya terkait dengan pelayanan pertanahan. Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat regulasi di bidang pertanahan tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara Pemerintah Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk hukum dibidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.86 Menurut Arie Sukanti Hutagalung, bahwa wewenang yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.87 Karena pemberian otonomi kepada daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut adalah berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian kebebasan untuk mengatur dan mengurus bidang pertanahan akan tetap dilaksanakan dalam rangka kebijakan dasar dan pokok-pokok ketentuan hukum pertanahan yang berlaku secara nasional sebagaimana yang dinyatakan dari katakata “sesuai peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, jelas bahwa otonomi di bidang pertanahan tidak dapat diartikan sebagai penyerahan pengaturan dan pengurusan segala segi masalah pertanahan sepenuhnya beralih menjadi wewenang Pemerintah 86 Suriansyah Murhaini, Op. Cit. h. 73 87 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op. Cit. h. 58 Daerah 96 Kabupaten/Kota masing-masing, akan tetapi masih ada kewenangan-kewenangan pengaturan mengenai hal-hal yang bersifat pokok dan umum, serta pembinaan yang sepenuhnya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pemerintah perlu mengatur secara jelas mengenai kewenangan apa yang dipunyai oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan-kewenangan mana yang akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah.88 Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang merupakan penjabaran pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam PP ini disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewernangan Pemerintah Pusat, dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedang urusan pemerintah yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan diluar 6 urusan pemerintahan tersebut. Dalam PP 38 Th. 2007, juga ditentukan bahwa urusan bidang pertanahan secara nasional masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi pembuatan produk hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian hak-hak atas tanah, pendaftaran tanah, reformasi atau perombakan pertanahan (landreform), yang 88 Suriansyah Murhaini, Op. Cit., h. 65 97 kesemuanya tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun keputusan atau peraturan presiden, dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya. Sementara itu, kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan hanya cukup pada aspek pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan nasional yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah. Menurut keterangan Komang Sumertajaya selaku Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng dari hasil wawancara yang dilakukan secara terstruktur pada tanggal 8 Juli 2011, menyatakan bahwa walaupun dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 menentukan adanya penyerahan sebagian kewenangan (9 kewenangan) Pemerintah di bidang pertanahan kepada Pemerintah kabupaten/Kota, namun dalam prakteknya dapat dikatakan hampir seluruh kebijakan teknis dalam bidang pertanahan masih dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui instansi vertikal di daerah (Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan). Dan dalam perkembangan terakhir dikatakan bahwa dengan terbitnya Peraturan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2011 maka sesungguhnya kewenangan Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan hanya sebatas pada pemberian izin lokasi, yang kemudian pelaksanaan petunjuk teknis (juknis) tidak melibatkan Kabupaten/Kota, sehingga dinilai bahwa petunjuk teknis tersebut tidak mencerminkan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dimana dalam peraturan ini semestinya memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan fakta semakin 98 berkurangnya kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan. Jika dikaitkan dengan masalah peningkatan kesejahteraan daerah otonomi dari bidang pertanahan, khususnya dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ini berarti kontribusi bidang pertanahan terhadap PAD belum begitu signifikan, ini disebabkan dalam kenyataannya masih begitu kecil kewenangan Pemerintah Daerah dalam penanganan urusan pertanahan, dan hal ini dinilai kurang mencerminkan apa yang tertuang dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, karena hampir seluruh proses (baik proses penanganan, penerbitan dokumen-dokumen hukum bidang pertanahan) masih dilaksanakan oleh instansi vertikal yang menangani bidang pertanahan (Kantor Pertanahan). Selanjutnya Sumertajaya menyatakan bahwa, Bidang “pelayanan pertanahan” yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, tidak dapat dilepaskan dari fungsi hakiki aparatur pemerintah, yaitu sebagai pelayan masyarakat, dan selama ini pelayanan pada masyarakat tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah sebatas pemberian rekomendasi terhadap permohonan tanah negara yang juga dalam hal penentuannya (dikabulkan atau tidak) masih ditentukan oleh instansi vertikal (BPN). Satu-satunya kewenangan nyata yang dimiliki Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pertanahan adalah pemberian “izin lokasi” meskipun dalam hal ini juga harus tetap berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar setiap permasalahan pertanahan yang ditangani tetap berada dalam naungan payung hukum yang berlaku. 99 Komang Sumertajaya juga menyatakan, bahwa sampai saat ini belum ditengarai adanya kesalahan prinsip dalam penanganan masalah pertanahan terlepas dari kontradiksi kewenangan antara bidang “pelayanan pertanahan” sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan “bidang pertanahan” sebagaimana diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini berkaitan dengan belum ditetapkannya Norma Standar prosedur dan Kriteria (NSPK) di bidang pertanahan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kewenangan bidang pertanahan sejak ditetapkannya PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut. Padahal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 kewajiban Pemerintah adalah membuat NSPK selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak ditetapkannya PP tersebut dan sudah harus disampaikan kepada Pemerintah Daerah. Terakhir berdasarkan Surat Edaran Kepala BPN Nomor 2473-170 pada tanggal 2 Agustus 2007 yang intinya hanya menyatakan akan segera menyiapkan penetapan NSPK pelaksanaan 9 (sembilan) kewenangan urusan pertanahan sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 38 tahun 2007. Dengan demikian, kewenangan dalam bidang pertanahan merupakan kewenangan konkuren, yaitu kewenangan yang dibagi bersama antar tingkatan pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah hanya melaksanakan sebagian kewenangan di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keppres Nomor 34 Tahun 2003. Untuk permasalahan tentang penguasaan dan pemilikan hak atas tanah (termasuk tentang penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian), perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah, dan 100 pendaftaran tanah, dalam pelaksanaannya, disini kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah hanyalah sebatas memberikan rekomendasi terhadap permohonan (jika diperlukan) dan inipun dalam penentuannya tetap menjadi kewenangan pemerintah dengan instansi vertikal yang ada di daerah. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kewenangan dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Badan pertanahan Nasional (BPN) melalui instansi vertikal yang ada di daerah yakni Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil. BPN) dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 3.3. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah pertanian. Kewenangan dalam mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya,bahwa kewenangan bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah. Ketentuan dalam UUPA tentang kewenangan mengurus bidang pertanahan tersebut berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945, yang menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat. Analisis ketentuan Pasal 33 ayat (3) dilihat secara terminologi (tata bahasa) maupun secara substansi diambil dari makna yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan 101 dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata “bumi” memiliki arti planet tempat hidup, dunia atau jagad atau permukaan dunia, tanah.89 Yang dimaksud “bumi” oleh Pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 adalah tanah berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ditinjau dari segi makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat, istilah “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya…” berorientasi ekonomi, karena menjadikan sumber daya alam sebagai kekayaan alam yang bernilai ekonomis walaupun penggunaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, penjelasan ketentuan pasal ini merefleksikan dasar demokrasi ekonomi negara, yang artinya kemakmuran bagi semua orang menjadi prioritas, dan hal inilah yang menjadi tujuan negara. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk menguasai tanah di wilayahnya atau mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur. Makna “dikuasai negara” merupakan dasar bagi konsep hak penguasaan negara. Pengertian “hak menguasai negara” sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi ini tidak dijelaskan secara rinci , baik dalam penjelasan umum maupun dalam penjelasan pasal demi pasal, karena itu memungkinkan bahwa pengertian hak menguasai negara tersebut ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang menafsirkan. 89 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. H. 136 102 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “menguasai” berarti kedudukan berkuasa atas sesuatu atau memegang kekuasaan atas sesuatu.90 Berasal dari kata “kuasa” yang berarti wenang (untuk melakukan perbuatan-perbuatan)91 Dengan mengacu pada ketentuan konstitusi di atas, ini berarti hak menguasai negara adalah meliputi semua tanah sebagaimana tertera dalam tanpa terkecuali. Dengan demikian rumusan Pasal 33 ayat (3) dapat berarti bahwa negara memegang kekuasaan atas sumber-sumber daya agraria. Hak menguasai negara, ini tidak berarti memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah karena sifatnya hanya semata-mata sebagai kewenangan publik, yaitu bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Negara diberikan kewenangan untuk mnengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini Negara berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.92 Kaitannya dengan Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh 90 Pusat Pembinaan dan Pengemvbangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 91 Michael R. Purba, 2009, Kamus Hukum Internasional&Indonesia, Widyatamma, Jakarta, h. 242 92 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 270-278 103 rakyat mempunyai kewenangan penuh dalam segala hal termasuk dalam bidang pertanahan. Di bidang pertanahan, kewenangan tersebut antara lain juga meliputi penentuan batas maksimum dan batas minimum tentang penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang dicerminkan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Menurut Noto Nagoro, menetapkan adanya 3 (tiga) macam bentuk hubungan langsung antara negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut:93 1. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan, badan yang publiekrechttelijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan. 2. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan sehingga hubungan antara negara dengan bumi dan lain sebagainya itu “ sama “ dengan hak perorangan atas tanah. 3. Hubungan antara negara “langsung” dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai subyek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki, tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari seluruh rakyat sehingga dalam konsep ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri dan pendukung kesatuan-kesatuan rakyat. Mengacu pada pendapat Notonegoro di atas , maka bentuk hubungan antara negara dan bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak 93 Notonagoro, dalam Sumardjono , Puspita Serangkai: Aneka Masalah Hukum Agraria, Cet. Pertama, Andi Offset, Yogyakarta, h. 12 104 menguasai negara adalah bentuk hubungan yang pada poin ke 3. Hubungan tersebut menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA adalah merupakan hubungan yang abadi. Dalam artian bahwa selama bangsa Indonesia masih ada, dan selama bumi, air, dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun. Istilah “menguasasi” berbeda dengan istilah “ dimiliki” sebagaimana dipahami dalam konsep “domein” negara sebelum berlakunya UUPA. Pembedaan makna “dikuasasi” dengan “dimilki” dinilai tepat oleh Boedi Harsono dalam upaya menarik landasan hukum bagi kewenangan negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya pada hak kepemilikan negara atas tanah, bukanlah merupakan konsep hukum tata negara yang modern, melainkan merupakan konsep hukum tata negara feodal. Makna dikuasai negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan terhadap hak-hak perorangan, akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Menurut Mohammad Hatta, bahwa dikuasai negara tidak berarti negara sendiri penjadi penguasa, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.94 94 Moh. Hatta, 1977, Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Mutiara, Jakarta, h. 28 105 Berdasarkan uraian di atas, kata “dikuasai negara” ini di dalam hukum publik mempunyai makna kewenangan Pemerintah Pusat (berstuursbevoegdheid). Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (5) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam undang-undang. Makna yuridis dari pengertian “diatur undangundang” dapat diartikan kewenangan mengelola dan mengatur tanah dalam . bidang hukum publik dalam hukum administrasi pemerintahan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Philipus M Hadjon menjelaskan “Kekuasaan hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam hukum administrasi pemerintahan. Kekuasaan hukum menunjuk kepada wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”.95 Norma pemerintahan memiliki dasar pengaturan secara konstitusional tentang kekuasaan pemerintahan pada Pemerintah Pusat. Arti “dikuasai negara” adalah menunjuk kepada tindakan hukum publik, dalam hal ini tindakan pemerintah. Tindakan pemerintah bertumpu atas kewenangan yang sudah dan memiliki dasar hukum sesuai dengan sistem pemerintahan, atau dengan kata lain kewenangan yang sah harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari K.C. Wheare “First of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rules are partly legal, in the sense that courts of law ill recognized and apply them, and partly non legal or extra-legal, taking the form of usages, understandings, customs, or convention which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so 95 Philipus M. Hadjon, Desember 1997, h. 1 Tentang Wewenang, Jurnal, Yuridika Nomor 5, September- 106 called”96 yang artinya: Pertama, dalam arti luas yaitu sitem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Ke dua, pengertian dalam arti sempit yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain. Makna “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” merupakan kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam sebagai konsekwensi logis dan etis atas penguasaan yang diberikan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, sehingga tujuan dari penguasaan oleh negara atas sumber daya alam adalah tercapainya keadilan sosial dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (3) bahwa konsep “dikuasai negara” artinya negara yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau dengan kata lain pada tingkatan tertinggi negara yang berhak dalam mengatur peruntukan dan pemanfaatannya. 97 Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk mengatur penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah pertanian. Penegasan tentang kewenangan yang diuraikan di atas adalah merupakan wewenang yang diatribusikan dalam Undang-Undang Dasar sebagai perwujudan dari jiwa Pancasila, sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. 96 97 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London oxpord university Press, h. 1 Yudhi Setiawan (1), 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT Radjagrafindo Persada, Jakarta, h. 43 107 Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik. Dengan demikian, berdasarkan kewenangan atribusi yang bersumber pada landasan konstitusional ini, negara memberi kewenangan dalam bidang pertanahan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengundangkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA). Undang-undang ini antara lain bertujuan untuk merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah Selanjutnya Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pernyataan “hak menguasai” ini berarti negara memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung di dalamnya.“Wewenang”ini berarti digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari Negara tersebut, dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh wilayah 108 Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (beraspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur, yaitu sebagai berikut:98 a. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia ( Pasal 1 ayat (1) UUPA ). b. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut. Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.99 Aspek publik ini tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh negara berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yakni bumi dan air 98 Arie Sukanti Hutagalung, Op. Cit. H. 17 99 bid 109 dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak menguasai Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPA tersebut maka memberi wewenang kepada penyelenggara Pemerintahan untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menetapkan berbagai segi peruntukan, penataan, penguasaan tanah dan penggunaan tanah, yang antara lain adalah kewenangan dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Pasal 2 ayat (2) UUPA juga menyebutkan bahwa wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah non pertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Ini berarti, negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan – peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution) peraturanperaturan itu, menggunakan (use), menyediakan (reservation) dan memelihara (maintenance) atas bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara. Ini berarti kewenangan dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian juga 110 ada pada negara, dimana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada menteri.100 Ketentuan dalam ayat (4) Pasal 2 UUPA adalah bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.101Ini berarti wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Disini kedudukan Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan negara yang tidak bersifat asli karena diberikan (dilimpahi) wewenang untuk itu oleh Pemerintah Pusat. Pelimpahan wewenang ini sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum adat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diuraikan di atas, antara ketentuan yang mengatur kewenangan di bidang pertanahan dalam UUPA dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah nampak adanya dissinkronisasi, sehingga dapat menjadikan pelaksanaan desentralisasi atau pelimpahan wewenang 100 101 Edy Ruchiyat, Op. Cit., h. 11 Penjelasan, Kitab Undang-Undang Agraria Dan Pertanahan, 2009, Fokusmedia, Bandung, h. 17 111 di bidang pertanahan tidak berjalan baik. Berdasarkan UU NO. 32 Tahun 2004, seharusnya prinsip otonomi daerah dilaksanakan seluas-luasnya dengan memberikan kewenangan kepada daerah otonomi untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah, yang salah satunya adalah bidang pertanahan. Namun disisi lain, undang-undang ini menentukan bahwa penyerahan urusan pemerintahan di bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah hanyalah pada aspek “pelayanan pertanahan” saja, bukan pada aspek pembuatan kebijakan atau regulasi bidang pertanahan yang masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pasal 10 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional), Pemerintah dapat: 1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan 2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah 3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA apabila dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak menguasai negara atas tanah dapat dilakukan melalui tugas medebewind (dalam rangka tugas pembantuan). Jelas bahwa kewenangan di bidang pertanahan, khususnya dalam 112 penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian adalah merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, walaupun ada sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatern/Kota. Pertimbangan-pertimbangan mengenai kewenangan pengurusan di bidang pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat, didasarkan pada beberapa hal, sebagai berikut:102 1. Seluruh Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan agraria. Sebagaimana dalam penjelasan umum angka II, konsep kenasionalan menghendaki bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia selayaknya menjadi hak bangsa Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, melainkan disana juga melekat hak bangsa Indonesia secara keseluruhan. 2. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Ketentuan ini mengandung makna bahwa sumber daya agraria merupakan kekayaan 102 nasional. Adapun pengelolaannya Arie Sukanti Hutagalung, Op. Cit., h. 60-61 harus memerhatikan 113 kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan tersebut. Dari konsep ini kiranya dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber daya alam dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan pembangunan maupun perlakuan terhadap WNI. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 3. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA) Ketentuan ini merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disadari bahwa bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan tanah merupakan komponen yang penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya. Dalam konsep ini tanah dalam arti kewilayahan diletakkan sebagai dan merupakan salah satu unsur pembentuk negara (NKRI). Oleh karena itu, hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah Republik Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Selama bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, selama itu pula NKRI akan berdiri dengan kokoh. Meskipun UUPA merupakan peraturan dasar atau sebagai peraturan induk (payung undang-undang atau umbrella act) di bidang pertanahan, namun masih dirasa belum lengkap untuk mengatur berbagai konflik di bidang pertanahan. Terdapat beberapa kelemahan-kelemahan dalam UUPA, antara lain:103 103 Herman Haeruman, 2000, Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem pertanahan Positif yang lebih Efektif untuk kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks International Converence on Land Policy Reform, Bappenas R.I, Jakarta, 26 Juli 2000, h. 1 114 1. Sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan, sehingga secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat 2. Sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang 3. Fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya secara adil dan transparan. Keberadaan UUPA sebagai undang-undang pokok atau merupakan peraturan dasar, ini berarti bahwa UUPA adalah induk dari semua peraturan perundangundangan tentang pertanahan, yang salah satunya adalah peraturan perundangundangan tentang penetapan luas tanah pertanian, yakni UU Nomor 56 Prp Tahun 1960. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuanketentuan Pasal 2, Pasal 7, dan Pasal 17 UUPA yang pengaturannya sebagai berikut: 1. Pasal 2 UUPA ayat (1) menyatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Pasal 7 UUPA menyatakan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pernyataan ini jika dihubungkan dalam masalah landreform dikenal dengan istilah groot grondbezitter atau latifundia.104 104 A.P. Parlindungan, 1983, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung, h. 8 115 3. Pasal 17 UUPA, menyatakan : (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tijuan yang dimaksud daalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat. (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Ketentuan dalam Pasal 17 ini merupakan pelaksanaan daripada yang ditentukan dalam Pasal 7. Penetapan batas luas maksimum akan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan dikeluarkannya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 oleh Pemerintah, yang antara lain menentukan batas maksimum dan/atau batas minimum luas tanah pertanian yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang, Pemerintah akan mengambil tanah yang melebihi batas penguasaan maksimum (tanah obyek landreform atau tanah redis) dengan membayar ganti kerugian kepada pemegang haknya untuk kemudian dibagikan (diredistribusikan) kepada para petani penggarap yang tidak bertanah (subyek redistribusi). Redistribusi tanah pada dasarnya merupakan pengambilalihan sebagian atau seluruh tanah dari kelebihan maksimum dan tanah absente dan pembagian kembali kepada petani yang tidak memiliki tanah atau kepada petani yang hanya memilki tanah yang sempit. 116 Selanjutnya untuk melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 17 ayat (3) UUPA jo UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini kemudian telah diubah dan ditambah dengan PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan oleh Pemerintah. Dari uraian tersebut, sangat jelas bahwa menurut UUPA (UU No. 5 Th. 1960) bahwa dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Pemerintah memandang bahwa dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan urusan bidang pertanahan dan termasuk dalam masalah hukum tanah nasional, sehingga tidak dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Kendati telah diserahkan kepada daerah otonomi berdasarkan Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Th. 2004, namun karena menyangkut bidang hukum tanah dan kebijakan di bidang pertanahan yang bersifat nasional maka masih tetap diurus oleh pemerintah, tidak dilimpahkan kepada daerah otonomi. Bidang pertanahan yang selama ini ditangani Pemerintah Daerah hanya menyangkut pengaturan dan pengurusan tanah-tanah (aset) yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian, ini berarti dengan berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, maka secara otomatis ketentuan 117 dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Kebijakan Keppres No. 34 Tahun 2003 ini menurut Sarjita menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tidak tulus dan tidak rela dalam menerapkan desentralisasi di bidang pertanahan, karena secara hirarkhis jelas bertentangan dengan undangundang otonomi daerah yang mengamanatkan bahwa urusan bidang pertanahan merupakan kewenangan pemerintah daerah, ditegaskan bahwa undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi tidak dapat dianulir oleh Keppres yang kedudukannya lebih rendah (lex superiori derogate legi inferiori). Jadi apabila Pemerintah menghendaki pembatasan jenis kewenangan bidang pertanahan yang akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah maka seharusnya dilakukan perubahan terhadap undang-undang bukan dengan menerbitkan Keppres.105 Sehubungan dengan itu, dalam Nasional (BPN) sejak penguatan kelembagaan Badan Pertanahan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dibentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Salah satu pertimbangan terbitnya Perpres ini, bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 2 Perpres Nomor 10 Tahun 2006 menentukan bahwa BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, 105 Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Tugujogja Pustaka, Yogyakarta, h. 11 118 regional, dan sektoral. Dalam hal ini tugas dan fungsi BPN tidak hanya berfungsi administratif tetapi juga mempunyai fungsi untuk merumuskan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lainnya.106 Ini berarti, bahwa kenyataan menunjukkan fenomena desentralisasi bidang pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi kenyataan karena pemerintah tetap mempertahankan eksistensi BPN sebagai badan yang secara nasional bertugas menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan, termasuk kewenangan dalam penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente . Dengan diterbitkannya UU No. 38 Th. 2007 yang menyatakan urusan pemerintahan dibagi bersama antar tingkatan dan/atau sususunan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota (31 bidang yang salah satunya bidang ”pertanahan”) , diharapkan permasalahan krusial tentang kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten Kota) sebagai akibat diundangkan UU No. 32 Th. 2004 dan Perpres No. 10 Th. 2006 tentang BPN terkait dengan sengketa kewenangan bidang pertanahan dapat diatasi. Kewenangan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan pemilikan tanah, dan perbuatan-perbuatan hukum bidang tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka 106 Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, h. 13 119 dekonsentrasi kepada pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah dalam rangka medebewind, bukan otonomi daerah. Namun dalam hal inipun masih terjadi kontradiksi, karena dalam UU No. 32 Th. 2004 menyebut “pelayanan pertanahan” dan dalam PP No. 38 Th. 2007 menyebut bidang”pertanahan” Dengan demikan, jika mengacu berdasarkan konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 jelas bahwa kebijakan di bidang pertanahan khususnya dalam hal ini mengenai “pemenetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian” adalah menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan hanya berdasarkan prinsip tugas pembantuan (medebewind), bukan melalui desentralisasi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bidang pertanahan yang dapat diurusi oleh Pemerintah Daerah hanya menyangkut masalah teknis operasional pertanahan dan pelaksanaan kebijakan, sementara mengenai pembuatan kebijakan hukum di bidang pertanahan secara nasional tetap menjadi wewenang pemerintah. Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Kewenangan Pemerintah dalam mengupayakan suatu penetapan yang ditujukan pada individu harus dilaksanakan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Salah satu penetapan yang dikeluarkan Pemerintah adalah “Penetapan Luas Tanah Pertanian” yakni UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 (L.N. 1960 No. 174: Penjdj. T. L. N. No. 2117). Sebagai peraturan pelaksana dari 120 undang-undang ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP Nomor 224 Th. 1961) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Jelas ini berarti bahwa dalam hal penetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian masih tetap diurus oleh Pemerintah, tidak dilimpahkan kepada Daerah Otonomi. Pemerintah hingga saat ini belum menghendaki bidang pertanahan diurus oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Hal itu terbukti dari adanya peraturan perundangundangan yang menganulir wewenang Pemerintah Daerah dalam mengurus bidang pertanahan dan adanya kebijakan Pemerintah untuk tetap mempertahankan keberadaan BPN dan instansi vertikal di daerah , yaitu Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur berdasarkan Kepres Nomor 26 Tahun 1988 tentang BPN jo Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk Lembaga BPN yang menetapkan bahwa urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang BPN, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai pemberian kewenangan delegasi. Berdasarkan kewenangan delegasi tersebut, Kepala BPN mengeluarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah BPN (Provinsi) dan Kantor Pertanahan Nasional (Kabupaten/Kota). 121 BAB IV KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH PERTANIAN YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM DAN DIBAWAH BATAS MINIMUM 4.1. Pengaturan Tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian Dalam rangka meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, maka asas domein sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Stb. 1870 No. 118, yang sebelum berlakunya UUPA menjadi dasar hukum agraria kolonial harus ditinggalkan dan telah dicabut. Sebagai gantinya, ditetapkan asas menguasai negara yang bersumber pada Pancasila dan konstitusi. Pancasila, dalam sila ke limanya menyebutkan: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ke lima ini mengharapkan bangsa Indonesia mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan serta kegotongroyongan. Untuk mewujudkjan isi dari sila ke lima tersebut, diperlukan langkah-langkah dan penafsiran di bidang pertanahan karena kewenangan itu tidak diberikan secara tegas oleh UUD Tahun 1945. Penafsiran diawali dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jelas , bahwa arti penting tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan 121 122 bumi diperintahkan kepada negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan hukum agraria nasional di Indonesia. UUPA yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 17 adalah merupakan dasar pengaturan tentang penetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan tanah pertanian Ketentuan-ketentuan dalam UUPA tersebut diatas adalah merupakan ketentuan pokok yang mengatur secara garis besarnya saja, dan untuk melaksanakannya diperlukan peraturan pelaksanaannya baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan mentri, maupun peraturan pelaksana lainnya dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan yang dibentuk ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UUPA. Adapun peraturan-peraturan itu, antara lain sebagai berikut: 1. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini merupakan pedoman atau tuntunan dalam melakukan pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan sumber hukum formil, namun ketentuan dalam Tap MPR ini dapat dijadikan sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan mengenai perombakan hukum pertanahan di Indonesia. Dalam pembaharuan agraria ini mencakup suatu proses yang berkesinambungan 123 dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan , penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.107 Ketetapan MPR ini secara tegas menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah, dan/atau mengganti semua undangundang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan ini. Selain itu, Pasal 7 ketetapan ini menugaskan kepada Presiden untuk segera melaksanakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang tahunan MPR.108 2. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA. Berdasrkan pada penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa perlunya penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada kenyataan: a. Keadaan masyarakat tani Indonesia saat ini ialah bahwa kurang lebih 60 % petani adalah petani tidak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian lagi mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian 107 108 Suriansyah Murhaini, Op. Cit., h. 73 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op. Cit., Jakarta, h. 81 bagi hasil. 124 Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya menguasai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian besar masing-masing tanahnya kurang dari 1 hektar, yang terang tidak mencukupi untuk hidup layak. Disamping petani-petani yang tidak mempunyai tanah pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar. Perlu diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa. Para pemilik yang menguasai tanah luas tersebut tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, ada yang dibagihasilkan kepada petanipetani tidak bertanah, dan bahkan tidak jarang tanah-tanah yang luas itu tidak diusahakan (dibiarkan terlantar), sehingga hal ini terang bertentangan dengan usaha produktifitas pertanian. b. Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai tanah atau tidak cukup tanahnya , hal ini terang bertentangan dengan asas sosialisme yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia yang menghedaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani. Agar ada pembagian yang adil atas hasil tanah, maka dipandang perlu ditetapkan batas maksimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Disamping itu, UUPA juga memandang perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, dengan tujuan dapat tercapainya taraf penghidupan yang lebih layak. Sehingga 125 penetapan batas minimum ini juga bertujuan untuk mencegah dilakukan pemecahan tanah lebih lanjut. 3. Keputusan Mentri Agraria Nomor Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian (T.L.N. Nomor 2143) Ditetapkannya batas maksimum pada undang-undang ini didasarkan pada klasifikasi jenis wilayah dan jenis tanah yang dikuasai. Penetapan luas maksimum ini sengaja menggunakan patokan daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan mempertimbangkan faktor-faktor tersedianya tanah yang masih dapat dibagi, juga kepadatan penduduk, jenis-jenis tanaman dan kesuburan tanahnya. 4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961 ini antara lain mengatur tentang tanahtanah yang menjadi obyek landreform yang antara lain meliputi tanahtanah yang melebihi ketetapan batas maksimum sebagaimana diatur dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960, tanah-tanah guntai yang diambil oleh Pemerintah, tanah-tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang telah kembali pada negara, dan tanah-tanah lainnya yang dikuasai langsung oleh negara. Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang dimaksud, antara lain: tanah-tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan hak guna usaha yang telah berakhir jangka waktunya dan yang telah dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali penguasaannya oleh jawatan yang bersangkutan kepada negara, dan lain 126 sebagainya. Untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut akan dibagi-bagikan kepada petani yang tidak bertanah. Selain itu, peraturan ini mengatur mengenai lembaga-lembaga pendukung landreform seperti koperasi pertanian, dimana keberadaan koperasi ini ditujukan untuk mengatur tentang penguasaan tanahnya, membantu penggarapannya, mengusahakan kredit, dan memberikan pembinaan dalam mengelola tanah pertanian. Dengan demikian, dari ketentuan-ketentuan tersebut pengaturan lembagalembaga pendukung (institusional supporting) landreform membuktikan bahwa program landreform di Indonesia bukan hanya redistribusi tanah semata-mata kepada petani, melainkan juga mengatur tentang tindak lanjut dari pembagian tanah tersebut. Sehingga tujuannya tidak hanya untuk pemerataan, tetapi yang paling penting adalah peningkatan kesejahteraan para petani. 5. Peraturan pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP No. 224 Tahun 1961, beserta penjelasannya. 6. Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut pelaksanaan landreform. Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan ini menyebutkan bahwa penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh pemerintah, wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada Bupati/Walikota cq Kepala sub Direktorat Agraria (yang sekarang pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota). Selanjutnya kepada pemilik yang 127 menguasai tanah melebihi batas maksimum, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihannya tersebut. 7. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja penyelenggaraan Landreform. Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang menyatakan antara lain bahwa perlu diadakan “penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah” maka pelaksanaan landreform perlu ditingkatkan, memandang perlu pengaturan kembali tentang organisasi dan tata kerja penyelenggaraannya. 4.2. Tujuan Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian Tujuan ditetapkannya luas maksimum penguasaan tanah pertanian dimaksudkan agar supaya dapat dihindari adanya segala bentuk atau praktik usaha tani yang mengandung unsur-unsur pemerasan, sekaligus juga bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan pangan rakyat. Berhubung pada kenyataannya bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah rakyat petani, di mana mata pencaharian utamanya adalah berasal dari usaha pertanian.109 Oleh karena itu tanah pertanian yang nyata-nyata dikuasailah yang paling menentukan tingkat pendapatan yang diperolehnya dari usaha tani. Dengan begitu semakin luas usaha tani yang mampu dikuasai, maka semakin tinggi total pendapatan yang akan 109 Ali Sofwan Husein, Op., Cit., h. 102 128 diperolehnya. Karena begitu pentingnya, maka tanah pertanian oleh kebanyakan petani sangat diharapkan mampu dijadikan sandaran hidup rakyat petani seandainya mereka sanggup menguasainya cukup luas. Dengan hanya memilikinya saja, maka minimal kebutuhan pokoknya akan jaminan pangan untuk subsitensi dapat terpenuhi, sisanya untuk di jual guna memenuhi kebutuhannya yang lain. Sayangnya dalam kenyataannya luas tanah pertanian telah semakin sempit sedangkan jumlah pertambahaan penduduk semakin tinggi. Melihat kenyataan terbatasnya lahan pertanian, maka beragam upaya terus dilakukan termasuk menciptakan tehnologi yang “menghemat lahan”, mengupayakan pemberian tanah yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-besaran di luar Jawa dan menyelenggarakan program transmigrasi dari daerah-daerah yang padat. Tetapi nampaknya sebagian besar rakyat petani tetap tidak berdaya menghadapi meningkatnya akan kebutuhan dan terbatasnya lahan yang semakin sempit. Tragisnya adalah banyaknya penguasa tanah luas yang dalam praktik pengusahaan tanahnya seringkali menggunakan cara-cara yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Berhubung dengan itu disamping usaha-usaha membuka tanah secara besarbesaran dengan menyelenggarakan transmigrasi, maka dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan agar tidak merugikan kepentingan umum, dengan asas sosialisme Indonesia, memandang perlu adanya pembatasan maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh satu keluarga baik itu dengan hak milik maupun dengan hak-hak yang lain, yaitu 129 mengupayakan pengaturan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah Pertanian. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan memberikan ganti kerugian. Dan tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat petani yang membutuhkannya atau kepada petani-petani yang tidak bertanah. Dengan demikian pemilikan tanah pertanian diharapkan akan lebih merata dan adil. Selain memenuhi syarat keadilan, maka tindakan-tindakan tersebut akan dapat berakibat pula bertambahnya produksi bahan makanan. Pengaturan batas maksimum penguasaan tanah itu tidak hanya ditujukan terhadap hak atas tanah yang berupa hak milik, tetapi juga terhadap hak atas tanah yang kedudukan yuridisnya lebih rendah, seperti hak sewa dan hak gadai tanah pertanian dan sebagainya. Karena sebagaimana diatur dalam Penjelasan Hukum Angka (1), Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, justru tanah-tanah yang dikuasai dengan hak sewa dan hak gadai tanah pertanian inilah yang merupakan jumlah terbesar yang mampu dikuasai secara melampaui batas maksimum dibandingkan dengan penguasaan tanah pertanian melalui hak milik. Seringkali petani yang dengan terpaksa menggadaikan tanahnya, salah satunya karena terdesak oleh kebutuhan, baik itu untuk kebutuhan konsumsi ataupun untuk produksi bagi keluarganya. Dan selama hutang itu belum dibayar lunas, maka tanah yang digadaikan itu akan tetap berada dalam kepenguasaan pemilik uang (pemegang gadai), demikian juga beserta seluruh hasil yang diperoleh atau dihasilkan dari tanah tersebut. Dan yang paling menyedihkan adalah manakala si petani penggadai demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 130 mereka harus dengan terpaksa bekerja di atas tanah miliknya sendiri, ada yang sebagai petani penggarap atau petani bagi hasil, atau tenaga buruh upahan, dimana dalam hal ini pendapatan yang diperolehnya masih sangat jauh dari cukup atau jauh dari keadilan dan sangat tidak layak apabila dibandingkan dengan resiko produksi dan modal serta tenaga yang harus dikeluarkan para petani bersangkutan. Namun hal itu terpaksa dilakukan dan harus terjadi karena sudah tidak mempunyai lahan garapan yang cukup mampu digunakan sebagai sandaran hidup keluarganya, sementara itu alternatif kerja lain di sektor non-pertanian sangat terbatas dan sulit mendapatkannya. Berhubung dari sifat-sifat dalam praktiknya yang dianggap mengandung unsur-unsur pemerasan dan penghisapan, maka hak sewa, hak gadai dan hak-hak lainnya yang bersifat sementara itu akan diupayakan untuk dihapuskan dengan segera. Hal ini bertujuan agar segera tercapai pembagian hasil yang layak dan adil, serta sekaligus memacu petani secara psikologis untuk terus berupaya meningkatkan produksi pangan nasional.110 Selain penetapan luas maksimum, dipandang perlu juga untuk diadakannya penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, dengan tujuan supaya tiap keluarga petani dapat memiliki tanah yang mencukupi luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak . Berhubung dengan berbagai faktor yang memungkinkan dicapainya batas minimum itu, maka perlu diselenggarakan tahap-demi tahap. Dalam hal ini yang terpenting adalah untuk pencegahan dilakukannya pemecahan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kecil. 110 Ibid. h. 103 131 Oleh karena itulah dirasa penting dan sangat mendesak untuk segera mengatur penetapan luas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh setiap keluarga atau orang-orang yang belum berkeluarga tetapi sudah mandiri, dan demikian juga mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian, serta halhal lain yang sejalan dengan usaha-usaha pemerintah tersebut seperti larangan memiliki tanah secara absentee, larangan pemecahan tanah lebih lanjut, dan sebagainya. Ditetapkannya batas maksimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian juga dimaksudkan agar dapat dihindari adanya bentuk atau praktik usaha tani yang mengandung unsur-unsur monopoli dan unsur-unsur pemerasan, dan sekaligus juga bertujuan agar tercapainya pembagian yang merata atas tanah sebagi sumber penghidupan. Sedangkan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian ditetapkannya batas minimum itu adalah bertujuan untuk memberikan jaminan kepada petani agar kehidupan mereka dapat terpenuhi secara layak. Dan kriteria yang dianggap mampu untuk bertahan hidup secara layak adalah seandainya mereka itu dapat memiliki hak milik tanah pertanian seluas 2 (dua) hektar. Hal ini dengan pertimbangan bahwa tanah seluas itu hanya dikelola dengan menggunakan teknologi sederhana dan melalui sektor pertanian tradisional yang dimanfaatkan sebagai sandaran hidupnya. Jadi tujuan penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian tersebut diharapkan agar pencapaian pelaksanaannya dilakukan dengan cara berangsur-angsur atau bertahap dengan mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian ini bukan berarti bahwa orang atau keluarga 132 yang hanya memiliki atau mengusahakan tanah yang kurang dari batas yang ditetapkan yakni kurang dari 2 ha akan dipaksa untuk melepas hak atas tanahnya. Penetapan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, sengaja memakai patokan dasar “satu keluarga”, meskipun yang berhak atas tanahnya mungkin hanya orang perorangan dalam keluarga itu. Yang penting dari jumlah total seluruh tanah yang dikuasai oleh satu keluarga itulah yang akan menentukan batas maksimumnya. Tidak peduli yang menguasai tanah tersebut laki-laki atau perempuan , anak, suami atau istri, karena dalam pengaturan penetapan batas maksimum itu diharapkan agar hukum pertanahan Indonesia menganut asas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dan juga berasaskan “nasionalitas” yaitu yang hanya membedakan golongan penduduk berdasarkan status kewarganegaraannya, yakni pembedaan antara warga negara asing dan warga negara Indonesia, terutama ketika mereka berhubungan dengan hak-hak atas tanah. Pada akhirnya pembuatan kebijakan itu tergantung kepada pembuatnya. Untuk merancang kebijakan yang adil, diperlukan kebijakan yang memiliki suatu pemahaman yang benar terhadap konsep keadilan. Dengan demikian, hal terpenting dari kebijakan pertanahan, khususnya dalam penetapan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, kebijakan itu mampu untuk memenuhi keadilan bagi seluruh masyarakat dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai kebutuhan yang esensial.111 111 Suriansyah Murhaini, Op. Cit, h. 140 133 4.3. Larangan Menguasai Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan/atau Dibawah Minimum Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang antara lain menyatakan perlunya diadakan penataan kembali penggunaan atau pendayagunaan tanah, penguasaan tanah, dan pemilikan tanah maka pengelolaan tanah perlu dibatasi untuk mencegah kemungkinan monopoli penguasaan tanah atau mencegah penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas . Ditegaskan pula bahwa pemanfaatan tanah harus sungguhsungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah. Disamping itu , Instruksi Mentri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 21 Tahun 1973 tentang Larangan Penguasaan Tanah yang Melampaui Batas, juga merupakan langkah nyata pemerintah untuk membatasi penguasaan tanah. Instruksi Mendagri ini diteruskan setelah melihat adanya gejala-gejala yang ada pada daerah-daerah tertentu tentang usaha-usaha pemilikan tanah yang melampaui kebutuhan usaha yang sesungguhnya, baik dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan hukum, yang jelas hal ini bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Usaha semacam ini akan menjurus pada tindakan-tindakan penguasaan tanah yang bersifat monopoli yang dapat merugikan masyarakat.112 112 Soedharyo Soimin, op. cit. h. 100 134 Instruksi tersebut pada intinmya melarang/tidak memberi izin dan atau persetujuan baik kepada perorangan maupun badan-badan hukum untuk memiliki atau menguasai bidang-bidang tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesungguhnya, seperti misalnya terhadap usaha-usaha atau tindakan-tindakan perorangan yang bersifat spekulatif, usaha badan hukum untuk membangun sesuatu industri, dan lain sebagainya. Instruksi itu juga memerintahkan kepada aparat Pemerintahan Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya serta Kecamatan sampai pada Desa yang berhubungan dengan masalah perizinan/persetujuan atas pemilikan dan/atau penguasaan tanah dalam bentuk apapun juga, untuk lebih mengintensifkan pengawasan terhadap kemungkinan adanya pemilikan dan atau penguasaan tanah yang melampaui batas tersebut. Dalam hal penguasaan tanah yang melampaui batas ini, harus diingat kembali makna dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Karena alasan-alasan untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang sangat istimewa. Lembaga tanah partikelir yang memberikan hak-hak istimewa kepada pemiliknya (tuan-tuan tanah) tidak mencerminkan sifat-sifat dan asas-asas keadilan sosialis yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara Indonesia. Lagi pula tanah-tanah partikelir itu sering menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan, hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah terhadap masyarakat lemah. 113 113 I bid. 135 Dengan demikian, sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1958, maka semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus, dengan dihapuskannya tanah partikelir ini maka berakhirlah hak-hak pertuanan. Dan pada saat yang bersamaan diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai dengan dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuanketentuan yang diatur dalam Agrarische Wet. Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan di bidang keagrariaan yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan salah satu aspek penting diundangkannya UUPA adalah dengan dicanangkannya program landreform di Indonesia. Landreform di Indonesia merupakan perombakan struktur pertanahan baik mengenai pemilikan ataupun penguasaan tanah serta dalam kerangka memperbaiki hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Landreform diharapkan dapat memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum petani. Secara umum landreform mempunyai tujuan memperbaiki situasi dimana banyak sekali petani dibawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah, hal ini disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat orang-orang yang menguasai tanah yang sangat luas, sementara pada sisi yang lain banyak orang (petani) menguasai tanah yang sangat sempit bahkan kebanyakan yang tidak memiliki tanah sama sekali (tunakisma), yang kehidupannya sangat tergantung kepada pemilik-pemilik tanah karena hidupnya sebagai penyakap atau penggarap. 136 Di Indonesia, tujuan landreform dapat dipahami dengan menelusuri latar belakang terbentuknya UUPA. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) salah satu lembaga yang ikut mengusulkan tentang perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah menyatakan bahwa tujuan dari landreform di Indonesia adalah:114 1. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur khususnya meningkatkan taraf hidup para petani. 2. Untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama kaum petani. Selanjutnya Sadjarwo pada saat itu dalam kedudukannya sebagai Mentri Agraria pada pidatonya yang mengantarkan Rencana Undang-Undang Pokok Agraria dihadapan sidang Pleno DPR/GR tanggal 12 September 1960, antara lain menyatakan bahwa: “perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum agraria nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan feodalisme (sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah) atas tanah dan pemerasan kaum modal asing. Itulah sebabnya maka landreform di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan revolusi nasional Indonesia. Oleh karenanya landreform di Indonesia mempunyai tujuan sebagai berikut:115 114 Boedi Harsono, Op. Cit, h. 154. 115 Boedi Harsosno, Op. Cit. h. 351 137 1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan merombak sruktur pertanahan sama sekali secara revolusioner (adalah perubahan secara menyeluruh dan mendasar) guna merealisir keadilan sosial; 2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan; 3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan privaatbezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi sosial; 4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas dengan menyelenggarakan batas masksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga (dalam hubungannya dengan tanah) dapat seorang laki-laki atau seorang perempuan. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme (adalah aliran ekonomi yang menghendaki kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga, dalam hal ini pemerintah tidak boleh turut campur) dan kapitalisme (adalah sistem dan paham ekonomi atau perekonomian, yang modalnya atau penanaman modalnya, atau kegiatan industrinya bersumber pada modal pribadi atau modal-modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di 138 pasar bebas) atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah; 5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dan dibarengi dengan sistem perkriditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani. A.P. Parlindungan menyatakan bahwa tujuan landreform Indonesia haruslah disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karna UUPA adalah induk dari landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga merupakan tujuan landreform, yaitu: 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuaran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; 2. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum 3. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut diatas, serta mengingat situasi dan kondisi agraria di Indonesia, maka program dari landreform adalah meliputi: 116 1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas; 116 Eddy Ruchiyat, 1983, Landreform, dan Jual Gadai Tanah, C.V. Armico, h. 20 139 2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau secara guntai; 3. Redesitribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, tanah-tanah eks partikelir dan tanah-tanah negara lainnya; 4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; 5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah-tanah pertanian; 6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. Dari uraian diatas, dapat diartikan bahwa pelaksanaan landrefortm adalah untuk melakukan penertiban dan pengaturan serta penataan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum dan pemilikan tanah secara absentee (Tanah absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh orang perorangan dan keluarga di mana letak tanah pertanian itu di luar wilayah Kecamatan tempat kedudukan (domisili) pemilik tanah. Pemilikan tanah secara absentee ini tidak diijinkan. Apabila telah terjadi peralihan hak yang mengakibatkan pemilikan tanah secara absentee, maka dalam waktu 6 (enam) bulan tanah tersebut harus dialihkan kembali kepada orang yang berdomisili di Kecamatan letak tanah. Dalam hal ini terdapat pengecualian, yaitu: apabila Kecamatan letak tanah tersebut berbatasan langsung dengan Kecamatan domisili pemilik tanah, 140 pensiunan pegawai negeri, tanah-tanah bekas swapraja, bekas tanah partikelir, tanah-tanah bekas perkebunan, dan tanah-tanah negara yang digarap rakyat. Diatas telah diuraikan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 7 yang dilarang itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga tentang penguasaan tanah yang dilakukan dengan hak gadai, sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain sebagainya. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu diadakan penetapan batas maksimum tanah yang boleh dikuasai seseorang atau keluarganya sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Dengan demikian yang dilarang itu bukan hanya dalam hal pemilikan, tapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk lainnya, karena hal ini sesuai dengan keadaan di Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 tersebut diatas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1960. Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas maksimum dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan dimilki. Luas tanah pertanian yang boleh dimiliki di masing-masing daerah berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan keadaan daerah, luas daerah, dan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 (LN. 1960 No. 174), penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara 141 (TLN.) Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (selanjutnya disingkat UU Nomor 56 Prp Th. 1960), undang-undang ini yang kemudian dikenal merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur tiga masalah yang pokok yaitu sebagai berikut:117 1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil 3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpem) Nomor 224 Tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian118. Selanjutnya ditetapkan lagi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian Penetapan batas maksimum tanah yang boleh dikuasai dan dimilki seseorang atau satu keluarga dalam pasal ini bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pasal ini menegaskan dilarangnya apa yang disebut “groot grondbezit” yang dapat 117 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, 1995, Djambata, Jakarta, h. 355 118 A.P. Parlindungan, 1992, Mandar Maju, Bandung, h. 23 Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA, 142 merugikan kepentingan umum,119yang salah satunya adalah menghilangkan kesempatan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri demi untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga. Pasal 17 ayat (1 dan 2) UUPA yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan asas Pasal 7 menyatakan, bahwa di dalam waktu yang singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum. Selanjutnya di tetapkan dalam ayat (3), bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, yang untuk selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Dengan demikia, pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan dapat lebih merata dan adil, dan pembagian hasilnya juga akan lebih merata. Menurut Roscoe Pound, keadilan dilihat pada hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Hasil-hasil itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Keadilan merupakan unsur yang mutlak keberadaannya dalam suatu tatanan hukum, sedangkan dalam kaitannya dengan tatanan masyarakat, keadilan diartikan sebagai hubungan yang ideal antarmanusia.120Pemerintah mengambil tanah kelebihan maksimum dengan memberikan ganti kerugian, yang kemudian tanah kelebihan tersebut dibagibagikan kepada masyarakat petani yang membutuhkan. Selain memenuhi syarat 119 Notonagoro, 1974, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, C.V. Pantjuran Tudjuh, Jakarta, h. 164 120 Roscoe Pound, 1965, Tugas Hukum (The Task of Law), diterjemahkan oleh Muhammad Radjab, Jakarta:Bhratara, cet. Pertama, h. 9 143 keadilan, tindakan pemerintah itu diharapkan dapat merupakan pula pendorong kearah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah bersangkutan, yang telah menjadi tanah miliknya.121 Selain penetapan batas maksimum, dalam undang-undang tersebut ditentukan juga tentang penetapan luas minimum dengan tujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun tanah kering, dan batas 2 hektar itu merupakan tujuan yang akan diusahakan tercapainya secara bertahap, sehubungan dengan itu maka ditetapkan larangan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kecil. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Undang-Undang 56 Prp Tahun 1960 ini hanya mengatur mengenai tanah-tanah pertanian saja, sedangkan penetapan maksimum luas dan jumlah tanah lainnya (seperti: tanah perumahan, tanah bangunan dan lainnya) diatur tersendiri dalam suatu peraturan pemerintah. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, melalui Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria Nomor Sekra 9/1/2 kepada semua Gubernur Kepala Daerah, kepada semua Bupati/Walikota Kepala Daerah, dan kepada Pejabat-pejabat Agraria, antara lain menginstruksikan:122 121 122 Ibid, h. 26 Anggota IKAPI, 2009, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Fokusmedia, Bandung, h. 678-679 144 1. Agar menyelenggarakan penerangan secara teratur di daerah masingmasing, hingga isi dan maksud tujuan UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 dipahami oleh rakyat umum. 2. Supaya diadakan pendaftaran tentang adanya pemilikan tanah pertanian lebih dari maksimum, sesuai ketentuan Pasal 3 UU No. 56 Prp Tahun 1960. 3. Pendaftaran hendaknya diadakan juga mengenai tanah-tanah pertanian yang atas dasar sesuatu hak atau perjanjian dikuasai orang lain dari pada pemiliknya (misalnya perjanjian gadai, sewa , bagi hasil, atau yang lainnya. 4. Kepada pemilik atau yang menguasai tanah pertanian perlu diberi penerangan khusus dan diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan mengenai bagian-bagian tanahnya yang dikehendaki supaya tetap ada padanya dan mana yang akan dilepaskan. Tanah yang diinginkan tersebut sedapat-dapatnya merupakan satu komplek guna memungkinkan penguasaan tanah pertanian secara efisien 4.4. Konsekwensi Yuridis Terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan Batas Minimum Pengertian penguasaan tanah secara yuridis-formal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (UU No. 56 Prp Tahun 1960) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yaitu berbunyi sebagai berikut: “Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri 145 bersama kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.” UU No. 56 Prp Tahun 1960 tidak memberikan perumusan yang tegas mengenai pengertian “keluarga”. Yang dimaksudkan dengan “keluarga” dalam undang-undang ini dapat diartikan sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur-unsur pertalian darah atau hubungan perkawinan. Dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960 ini juga tidak diberikan penjelasan tentang apakah yang dimaksud dengan “tanah pertanian, sawah, dan tanah kering”. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah, dan berapa yang merupakan tanah pertanian”. Selanjutnya yang dimaksud dengan “hak milik” adalah hak turun-temurun atas tanah yang terkuat dan terpenuh, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUPA. Belum tentu hak milik itu tercatat dalam buku administrasi desa (marga, negeri, atau kampung) dan dapat dibuktikan dengan surat-surat. Yang menentukan apakah sebidang tanah itu tanah milik adalah kenyataan , bahwa hak itu sudah berlaku turun-temurun, serta adanya tanda-tanda penguasaan tanah dan hak itu dihormati oleh orang-orang lain di lingkungannya. Dalam penjelasan pasal yang sama lebih diuraikan lagi, bahwa seandainya orang yang mempunyai tanah hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya disewakan atau dibagihasilkan kepada orang lain termasuk dalam pengertian 146 orang yang menguasai tanah tersebut. Jadi pengertian “menguasai” itu harus diartikan, baik menguasai secara langsung atau menguasai secara tidak langsung. Begitu pula yang menyewa tanah termasuk dalam pengertian menguasai tanah tersebut. Hanya kadar dari penguasaan itulah yang berbeda antara si pemilik tanah dengan petani bagi hasil atau si penyewa.123 Penetapan luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani ditetapkan untuk tiap-tiap kabupaten/kota dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor seperti: - ketersediaan tanah-tanah yang masih dapat dibagi; - kepadatan penduduk; - jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering, diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak); - besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya (the best farmsize) menurut kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa buruh tani; - serta kemajuan teknologi pertanian.124 Untuk itu diadakan daftar penggolongan daerah yang ditetapkan melalui Keputusan Mentri Agraria Nomor Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian, (T.L.T. Nomor 2143). Dalam daftar Penggolongan Daerah ini diadakan perbedaan antara daerah yang tidak padat dengan daerah yang padat, untuk daerah yang padat dibedakan lagi menjadi: sangat padat, cukup padat, dan kurang padat), yang disertai dengan 123 124 Ali Sofwan Husein, Op., Cit., h. 32 Pendastaren Tarigan, 2008, Arah Negara Hukum Demokrasi Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendal, Pustaka Bangsa Press, Medan, h. 307 147 jenis tanahnya yaitu antara tanah sawah dan tanah kering. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut: - Tabel 1 adalah kriteria kepadatan penduduk dan penggolongan daerah, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian Tabel 1:Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah Kepadatan penduduk tiap Penggolongan Daerah Kilometer persegi >50 Tidak padat 51- 250 Kurang padat 251- 400 Cukup padat <401 Sangat padat Pasal 1 ayat (2) UU No. 56 Prp Tahun 1960 yang menentukan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga, bersama-sama haknya diperbolehkan menguasai tanah pertanian , baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi maksimum yang disebut dalam tabel ke 2 berikut ini: Tabel 2: Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian No Di daerah-daerah : Jenis Tanah 148 Sawah Tanah Kering (ha) (ha) 15 20 a. Kurang Padat 10 12 b. Cukup Padat 7,5 9 c. Sangat Padat 5 6 1. Tidak Padat 2. Padat: Dalam hal yang demikian, dalam Pasal 1 ayat ( 2) tersebut menetapkan bahwa untuk menghitung luas maksimum dimakud, luas sawah dijumlahkan dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan tanah sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat dan 20 % di daerah-daerah yang padat, dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.125 Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui atau tidak bukanlah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri melainkan keseluruhan tanah pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual tahunan), dan sebagainya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hakhak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang diperoleh dari pemerintah (misalnya tanah hak pakai, tanah bengkok/jabatan) serta tanah-tanah yang dikuasai oleh badan hukum tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum tersebut.126 125 126 Dirman, dalam Eddy Ruchiyat, Op., Cit., h. 29 Chidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bina Cipta, Bandung. h. 9 149 Penetapan luas maksimum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, menunjuk pada semua tanah, sedangkan dalam penetapan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah khusus mengatur tentang tanah-tanah pertanian. Akan tetapi dalam undang-undang ini tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksudkan dengan “tanah pertanian, sawah, dan tanah kering”. Berhubung dengan itu maka dalam Instruksi Bersama Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Mentri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 diberikan penjelasan sebagai berikut:127 “yang dimaksud dengan tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak atau perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang, dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan”. Dari penjelasan diatas, jelas apa yang dimaksud dengan menguasai tanah pertanian menurut peraturan perundangan, yaitu sangat luas dari apa yang kita pergunakan. Sementara Buoedi Harsono mempertegas lagi pengertian penguasaan tanah, yaitu selain dengan hak milik dapat juga dilakukan dengan hak gadai , hak sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil, dan sebagainya. Yang dilarang oleh Pasal 7 UUPA itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk yang lain.128 Umumnya untuk menentukan apakah sebidang tanah termasuk golongan tanah sawah atau tanah kering dan sebagainya, cirinya dapat dilihat dari 127 128 Ibid, h. 28 Boedi Harsono, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 243 150 kenyataaan penggunaannya, misalnya tambak untuk perikanan, sesuai dengan praktek Jawatan Pajak Hasil Bumi dimasukkan ke dalam golongan tanah kering. Untuk menetapkan luas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian , sengaja memakai patokan dasar “ 1 keluarga” meskipun yang berhak atas tanahnya mungkin hanya orang perorangan dalam keluarga itu. Yang penting dari jumlah total seluruh tanah yang dikuasai oleh 1 keluarga itulah yang akan menentukan batas maksimumnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 UUPA, karena dalam UU 56 Prp Tahun 1960 tidak memberi perumusan atau tidak ditegaskan mengenai pengertian “keluarga”. Jadi berapa jumlah luas tanah yang dikuasai oleh anggota-anggota suatu keluarga, maka jumlah itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga itu. Perkataan “orang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 itu menunjuk pada mereka yang belum atau tidak berkeluarga. Sedangkan “orangorang” menunjuk pada mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga. Sedangkan yang termasuk “anggota satu keluarga” ialah mereka yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu, sekalipun tidak semuanya tinggal serumah. Siapa-siapa yang menjadi anggota keluarga harus diingat pada kenyataan dalam penghidupannya, sebaliknya orang yang bertempat tinggal se rumah belum tentu merupakan anggota keluarga, yaitu kalau ia tidak menjadi tanggungan keluarga itu.129 Sedangkan pengertian “keluarga” sesuai dengan penjelasan Pasal 17 UUPA, adalah suami, istri, dan anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungan dan yang jumlahnya sekitar 7 orang, baik laki-laki 129 Ibid, h. 30 151 maupun perempuan. Menurut Pasal 2, maka jumlah 7 orang itu adalah jumlah rata-rata keluarga di Indonesia. Untuk menghindari keraguan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 1 UU No. 56 Prp Tahun 1960, di dalam Instruksi Bersama Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Mentri Agraria dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keluarga” adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah atau perkawinan. Sedangkan untuk satu keluarga yang beristri lebih dari satu, dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan. Pasal 3 menyebutkan, orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggotaanggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum, wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan (sekarang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota) di dalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini, kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang lagi. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum, maka tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Ganti Kerugian dan Harga Tanah Kelebihan Maksimum dan Guntai (Absentee) Obyek Redistribusi Landreform, ditetapkan pembayaran ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah kelebihan maksimum adalah dilaksanakan sebagai berikut: 152 a. Pemerintah memberikan dalam bentuk uang tunai sebesar nilai dari hasil perhitungan besarnya ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP No. 224 Tahun 196, yakni yang besarnya ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan. b. Pembayaran secara langsung dari petani penerima redistribusi kepada bekas pemilik tanah sesuai dengan ketentuan tersebut dalam huruf a. Dengan memperhatikan pendapat Panitia Perimbangan Landreform Kabupaten/Kotamadya oleh Bupati/Walikotamadya kepada Daerah Tingkat II dengan Surat Keputusan menetapkan hasil bersih rata-rata setiap hektar setiap tahun tanah obyek redistribusi landreform di wilayahnya. Para pemilik lama dilarang menguasai ataupun memindahkan tanah kelebihan kepada pihak lain dari maksimum yang diperbolehkan. Hanya negara yang berhak menguasai dan memindahkan tanah kelebihan tersebut kepada orang lain. Pemilik asal tidak berhak untuk menentukan kepada siapa tanah itu harus diberikan. Pemilik tanah lebih hanya dapat memilih dari tanah yang dimilikinya mana yang diinginkan untuk tetap dikuasainya dan mana yang akan diserahkan kepada negara. Tanah kelebihan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para petani, terutama yang tidak mempunyai lahan pertanian dan atau yang mempunyai lahan pertanian yang sempit. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (L.N. 1961 Nomor 280), Peraturan Pemerintah tersebut kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Pemertintah Nomor 41 Tahun 1964. Peraturan Pemerintah itu memuat ketentuan-ketentuan tentang tanah- 153 tanah yang akan dibagi-bagikan, yang lazim disebut dengan di-redistribusikan, terbatas pada tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum yang diambil oleh pemerintah, tetapi juga tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karna pemiliknya “absentee”, tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja serta tanahtanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Mentri Agraria, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah bekas tanah partikelir. Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah-tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi batas maksimum, maka secara teknis-yuridis wajib melaporkan kepada Kantor Pertanahan atas kelebihan tanah yang dimilikinya. Kewajiban lapor itu disertai sanksi, berupa kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,- apabila kelebihan tersebut tidak dilaporkan. Selain sanksi pidana, ditentukan pula bahwa jika terjadi tindak pidana yang berupa pelanggaran Pasal 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut maka tanah yang selebihnya dari batas maksimum jatuh pada negara tanpa ganti rugi berupa apapun, yaitu jika tanah bersangkutan semuanya milik terhukum dan/atau anggota-anggota keluarganya. Selain itu pemilik tanah diberi kesempatan untuk mengungkapkan keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan diserahkan kepada negara. Dibuatnya ketentuan-ketentuan semacam ini agar mereka yang melanggar ketentuan maksimum tidak berusaha mengalihkan tanahnya dengan cara menyelundupi atau mengambil titik-titik lemah dari ketentuan hukum yang berlaku. Jika ketentuan-ketentuan tersebut tetap saja dilanggar, maka sebagai 154 sanksinya pemindahan yang telah dilakukan itu menjadi batal demi hukum, sehingga tidak memerlukan lagi keputusan hakim (pengadilan). Sedangkan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian. Demikian juga mengenai ketentuan gadai tanah pertanian tradisional, maka sanksinyapun sama seperti uraian diatas. Selanjutnya dengan Peraturan Mentri Dalam Negeri (P.M.D.N.) Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform menyebutkan antara lain, bahwa kewajiban melapor kelebihan maksimum tersebut dirubah menjadi 6 bulan terhitung sejak berlakunya P.M.D.N. ini. Dan selambat-lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak berlakunya peraturan itu pemiliknya harus sudah mengakhiri kepenguasaan tanah kelebihan maksimum tersebut dengan cara: 130 1. Memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut kepada pihak yang memenuhi syarat; 2. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Kewajiban untuk segera melaporkan diri bagi mereka yang menguasai tanah melebihi batas maksimum adalah bertujuan untuk mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat ketentuan yang berlaku dengan berupaya menyelubungi status penguasaannya. Bersamaan dengan itu diwajibkan pula bagi pejabat yang berwenang untuk secara aktif mengumpulkan keterangan dan atau menginventarisasikan masalah-masalah yang muncul dan berhubungan dengan tugas-tugasnya. Oleh karena mereka diwajibkan lapor, 130 maka mereka juga Chadidjah Dlimunthe, 2008, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Penceraahan Mandailing, Medan, h. 76 155 dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, dan kalaupun diperbolehkan memindahkan karena terkena pengecualian, maka harus dengan izin Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. Dalam praktiknya UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian masih diterapkan, namun penerapan UU No. 56 Prp Tahun 1960 tersebut hanya terbatas pada “Surat Pernyataan” dari pihak yang bersangkutan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 99 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga dengan Surat Pernyataan tersebut belum tentu menjamin adanya kepastian hukum apakah pihak penerima peralihan hak telah memiliki dan menguasai hak atas tanah melampaui batas maksimum atau tidak, meskipun dalam Pasal 99 tersebut disertai dengan sanksi hukum terhadap kebenaran surat pernyataan yang bersangkutan. Peralihan karna pewarisan tanpa wasiat tidak termasuk dalam pengertian “memindahkan hak milik”, karna pengertian “memindahkan” memerlukan perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik yang bersangkutan. Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada penegasan tanah mana yang akan diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap dikuasai oleh yang bersangkutan. Sementara itu perlu diadakan peraturan izin pemindahan hak untuk mencegah jangan sampai yang dipindahkan bagian-bagian tanah yang sebenarnya akan diambil oleh pemerintah. 156 Dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa tujuan ditetapkannya luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah dimaksudkan agar tidak lagi adanya bentuk atau praktik usaha tani yang mengandung unsur-unsur pemerasan, sekaligus bertujuan juga untuk meningkatkan produksi bahan pangan rakyat. Berhubung dari kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia bermatapencaharian utamanya adalah berasal dari usaha pertanian. Di sisi lain, sebagai mana diatur dalam Pasal 8 UU No. 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar”, jelas ini berarti Pemerintah berharap agar petani sekeluarga dapat memiliki tanah pertanian baik berupa tanh sawah atau tanah kering minimal 2 ha sebagai penggarap atau sebagai sebagai pemilik bukan penyewa. Yang dimaksud dengan “petani” sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerinmtah Nomor 224 Tahun 1961 adalah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah sendiri, yang matapencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. Sedangkan yang dimaksud dengan “penggarap” adalah petani, yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang bukan miliknya, dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksinya. Maksud dari penetapan luas minimum tanah pertanian ini ialah untuk meningkatkan kesejahteraan dan menambah gairah bekerja para petani kecil, yang semula tidak memiliki tanah sendiri lalu mendapatkan pembagian tanah untuk dimiliki sendiri dengan suatu hak . 157 Perintah pengaturan batas penguasaan tanah minimun ini telah dinyatakan pula dalam Pasal 17 ayat (4) UUPA yang berbunyi ", yang akan mengatur luas minimum tanah yang boleh dikuasai dengan suatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UUPA . Adanya Penetapan batas minimum ini juga ditujukan agar setiap keluarga petani dapat mempunyai tanah yang luasnya cukup layak untuk digunakan sebagai sandaran hidup keluarganya. Adanya pembatasan penguasaan tanah minimum ini bertujuan untuk mencegah dilakukannya pemecahan (fragmentasi) lebih lanjut, yang dapat menghambat usaha-usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani. Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 dan Penjelasannya angka (8) menetapkan: “Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, di dalam waktu satu tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada pihak lain.” Ketentuan ini dapat diartikan bahwa terhadap tanah yang luasnya 2 hektar atau kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian. Jika terpaksa dialihkan, maka haruslah semuanya kepada satu orang. Apabila lebih dari seorang, maka si penerima itu masing-masing harus sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 hektar, atau dengan adanya peralihan tersebut masing-masing penerima akan memiliki tanah sedikitnya 2 hektar. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pemilikan tanah yang lebih dari 2 hektar, pemiliknya dilarang mengalihkannya jika akan menimbulkan pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Lain halnya jika si penerima itu sudah 158 memiliki tanah pertanian sedikitnya 2 hektar, sementara sisanya yang dialihkan luasnya tidak kurang dari 2 hektar. Misalnya, tanah pertanian yang dimiliki 3 ha boleh dijual 1 ha kepada orang lain yang sudah memiliki 1 ha pula, jadi sisa tanah pertanian yang dijual masih 2 ha (tidak melampaui batas minimum). Larangan pengalihan ini dikecualikan terhadap pembagian tanah warisan. Karena baik mengenai pembagian warisan atau luasnya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Jika mereka yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan-ketentuan larangan pemilikan batas minimum, maka tindakan itu adalah pelanggaran. Terhadap pelanggaran ini maka dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman dan denda, yang selanjutnya dinyatakan bahwa pemindahan hak itu adalah batal karena hukum, sedangkan tanah bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun. Dengan demikian, terhadap tanah-tanah pertanian yang jatuh pada Negara yang disebabkan karna melanggar larangan pemilikan batas minimum tanah pertanian juga termasuk merupakan tanah obyek landreform dan menjadi tanah negara. Pengertian “Tanah negara” menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, bahwa tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yaitu tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Tanah-tanah ini untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para petani penggarap yang tidak mempunyai tanah, dan disebut dengan redistribusi tanah pertanian . Redistribusi tanah merupakan salah satu 159 kebijaksanaan Landreform. Obyek redistribusi tanah (obyek landreform) antara lain adalah tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah-tanah bekas tanah partikelir, dan di beberapa tempat tanah Negara bebas yang telah digarap penduduk serta tidak diperlukan oleh Pemerintah untuk maksud atau tujuan tertentu. Menurut keterangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng dari hasil wawancara yang dilakukan secara tersruktur pada tanggal 15 Juli 2011, bahwa Pemerintah setempat dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng, telah mengadakan pengawasan agar masyarakat tidak melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960, yaitu tentang ketentuan tidak melakukan pemecahan tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi kurang dari 2 hektar (dibawah batas minimum) Namun ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 56 Prp Tahun 1960 nampak adanya kontradiksi apabila dikaitkan dengan peraturan pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian , dimana dalam Pasal 10 pasal ini menyebutkan antara lain: penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 ha atau lebih, tidak mendapat bagian, demikian juga terhadap penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas kurang dari 1 hektar mendapat bagian seluas tanah yang dikerjakan tetapi jumlah tanah milik dan tanah yang dibagikan kepadanya itu tidak boleh melebihi dari 1 hektar. Dalam pelaksanaannya, sebagaimana berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Buleleng No. SK: A.55-22.04/BPN/BLL/2010 160 tentang Pemberian Hak Milik Dalam Rangka Redistribusi Tanah Obyek Landreform, bahwa terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang berasal dari tanah kelebihan maksimum yang telah ditegaskan menjadi obyek redistribusi, yang dibagikan kepada penerima redis jumlahnya tidak mencapai 2 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan penetapan batas maksimum dan/atau minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian masih sulit untuk diterapkan secara tegas mengingat sifat tanah adalah tetap sedangkan perkembangan jumlah populasi manusia bertambah terus. Demikian pula dalam praktiknya sangat sulit apabila peralihan hak atas tanah dilakukan secara di bawah tangan. Sebab apabila dilakukan secara legal pasti akan ditolak baik oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), maupun oleh aparat Kantor Pertanahan setempat. Untuk itu, terhadap peralihan hak atas tanah pertanian harus diperhatikan oleh baik penjual, pembeli, dan pejabat pembuat aktanya mengenai ketentuan-ketentuan landreform, antara lain ketentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan tanah pertanian serta larangan pemilikan tanah absentee, dan lainnya yang terdapat dalam program landreform. Pemerintah (Kantor Pertanahan) akan menolak permohonan pendaftaran pemecahan hak milik atas tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi dari 2 ha (dibawah batas minimum), karena pemecahan tersebut adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960, terkecuali mendapat izin dari Kepala Kantor Pertanahan setempat dalam rangka pendayagunaan tanah, berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan 161 Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Terhadap tanah yang akan dialihkan melalui pemecahan harus menyertakan “Surat Pernyataan” yang menyatakan masih memiliki tanah lain selain tanah yang rencana dialihkan. Disamping itu juga harus memenuhi persyaratan “Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pemecahan sertifikat” yang antara lain persyaratannya adalah: 1. Mengajukan permohonan yang disertai alasan pemecahan 2. Identitas diri permohonan dan atau kuasanya (foto copy KTP) 3. Sertifikat Hak Atas Tanah Asli 4. Site Plan 5. Izin perubahan penggunaan tanah dari Tim Pertimbangan Teknis Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan, apabila terjadi perubahan penggunaan tanah (patuah jika tetap menjadi tanah pertanian dan/atau aspek jika berubah menjadi tanah perumahan ) 162 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, baik mengenai kajian pustaka maupun pembahasannya, dapatlah ditarik kesimpulan yang mendasar pada kedua pokok permasalahan, sebagai berikut: 1. Dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian adalah berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA), UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. 2. Konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau di bawah batas minimum menimbulkan sanksi pidana berupa pelanggaran yang berakibat hukuman kurungan atau denda. Selain sanksi pidana, maka tanah kelebihan dari batas maksimum dan/atau tanah di bawah batas minimum akan jatuh pada negara (menjadi tanah obyek landreform) tanpa mendapat ganti rugi berupa apapun. Demikian juga terhadap peralihan hak atas tanah pertanian melalui pemecahan yang mengakibatkan luasnya menjadi 162 163 kurang dari 2 hektar maka dinyatakan bahwa pemindahan hak itu adalah batal demi hukum, dan tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi. Kecuali dalam rangka pelaksanaan penatagunaan tanah maka pemecahan perubahan penggunaan tanah harus memenuhi persyaratan “Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pemecahan Sertifikat”, dengan izin Kepala Kantor Pertanahan melalui permohonan pemecahan perubahan penggunaan tanah ( jika tetap menjadi tanah pertanian dengan “Patuah” dan jika merubah menjadi tanah perumahan dengan aspek). 5.2.Saran Dalam penulisan penelitian tesis ini, dapat disampaikan saran-saran berkenaan dengan hasil pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Kepada Pemerintah, hendaknya mengkaji ulang perihal kewenangan di bidang pertanahan, apakah tetap ditentukan sebagai kewenangan Pemerintah berdasarkan UUPA sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, atau dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah atas dasar otonomi daerah ( UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Karena itu perlu diadakan sinkronisasi norma antara UUPA dengan UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pelaksananya, agar tercapainya tujuan penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, untuk memenuhi pemerataan dan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam upaya perolehan dan 164 pemanfaatan tanah yang kebutuhan yang sangat esensial sebagai sumber penghidupan. 2. Kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional, hendaknya dalam pelaksanaan dan pengawasan tentang ketentuan batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian lebih ditingkatkan, dan bagi masyarakat hendaknya lebih memahami dan mentaati kaedah yang terkandung dalam setiap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan khususnya dalam hal ini aturan tentang penetapan luas tanah pertanian, sehingga dapat memenuhi keadilan dalam upaya perolehan pemerataan dan pemanfaatan sumber daya alam (tanah) sebagai kebutuhan yang sangat esensial. Dan kepada lembaga legislatif dan lembaga eksekutif) hendaknya proaktif untuk meninjau kembali eksistensi Undang-Undang N0; 56 Prp Tahun 1960, jo Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting dan sifatnya tetap sedangkan angka pertumbuhan populasi manusia bertambah, sehingga dapat sejalan dengan hakikat aturan-aturan hukum itu sendiri yakni membawa masyarakat yang adil dan makmur. 165 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Atmaja I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang. Azhari, Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta. Ali Chidir, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bina Cipta, Bandung. Anggota IKAPI, 2009, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Fokusmedia, Bandung. Asshidiqie, Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Adji, Oemar Seno, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta. Atmo, Prajudi Sudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Chuleermi, Achmad,1995, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan pemindahannya, FH. Undip, Semarang. Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Dirdjosiswojo Soedjono, Pengantar Hukum Indonesia, , PT RjaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. Darmodihardjo, Darji, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dlimunthe Chadidjah, 2008, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Penceraahan Mandailing, Medan. 166 Friedmand M Lawrence, 1975, The Legal System A. Social Sentence Perspektive, Russel Sage Foundation 1 New York. Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadila dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, 2007. _______,Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada FakultasHukum Universitas Airlangga, Surabaya. _______,Penataan Hukum Administrasi. Tahun 1997/1998. Tentang Wewenang,. Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1988. _______,Philipus M. Hadjon, H. Muladi, HAK ASASI MANUSIA: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakay, PT Rafika Aditama, Bandung, 2005. Harsono, Boedi, 1995, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, Djambata, Jakarta. _______, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta. _______, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Bagian I, Jambatan, Jakarta. _______, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta. Indroharto,. Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Harapan, Jakarta, 1993. Ibrahim,R. Status Hukum Internasional Dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional : Permasalahan Teoritik dan Praktek, Makalah Disajikan Dalam Lokakarya Evaluas iUU. No. 24 Tahun 2000Tentang Perjanjian Internasional, Diskusi Terbatas: Posisi Perjanjian Internasional Di Dalam Sistem Hukum Tata Negara, Kerjasama Departemen Luar Negeri Republik Indonesiadan Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Oktober 2008. 167 Joeniarto, 1968, Negara Yogyakarta. Hukum,. Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Martosoewignjo, Sri Sumantri , Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Cohen L. Morris, 2000, Legal Research In A Nutshell, West Group, ST. Paul, Minn., Printed in the United States of America Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta. _______, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Marbun,SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaaya Administrasi di Indonesia. Liberty, Yogyakarta, 1997. Muladi H., 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung. Marzuki, Peter, Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Group, Jakarta. Kencana Prenada Media Maria, S.W., SumardjonO, 2001, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Murhaini, Suriansyah , 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, Edisi 1, cetakan ke-1, Laks Bang Justitia, Surabaya. Manan , Bagir, 2008, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2008. Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta. ______, Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Notonagoro, 1974, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, C.V. Pantjuran Tudjuh, Jakarta. 168 Notonagoro, dalam Sumardjono , Puspita Serangkai: Aneka Masalah Hukum Agraria, Cet. Pertama, Andi Offset, Yogyakarta Oemar Seno Adji, Prasaran dalam Indonesia Negara Hukum, Jakarta, 1966. Simposium UI: Parlindungan, A.P., 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA, Mandar Maju, Bandung. _________, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. _________, 1983, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung. Perangin Efendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta. Prajudi Atm, Sudirdjo. 1981. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum. Group, Jakarta. Kencana Prenada Media Parlindungan, A.P. , 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA. Mandar Maju, Bandung. Poerwadarminta,WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987. Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Pancasila. CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, 1983. Negara Hukum Radjagukguk, Erman, 1979. Pemahaman Rakyat Tentang Hak Atas Tanah dimuat dalam Majalah Prisma No. 9. Ruchiyat, Eddy, 1983, Landreform, dan Jual Gadai Tanah, C.V. Armico. Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta Soekanto Soerjono, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Cv Rajawali: Jakarta. -----------, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali, Jakarta. -----------, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia (UI Press). 169 Strong C.F., 1996, Modern Political Constitutions, the English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limitid, London. Soedjono Dirdjosiswojo, 2008, Pengantar Hukum Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum. Seruling Masa PT, Jakarta. Sutjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sihidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum. PT RaJa Grafindo Persada, Jakarta. Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian. CV. Rajawali, Jakarta. Sofwan, Ali Husein, 1995, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Salam, Dharma Setyawan, 2003, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta Soetikno, Iman, 1994, Proses terjadinya UUPA;Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gajah Mada, University Press, Yogyakarta, Cet. ke tujuh. Setiawan, Yudhi, 2010, Hukum Pertanahan , Teori dan Praktik, Cet. Pertama, Bayumedia Publishing, Malang. Sumardjono, S.W. Maria, 2001, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, Andi Offset, Yogyakarta Sitorus, Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. Soimin, Soedharyo , 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Seruling Masa PT, Jakarta. 170 Soekanto, Rajawali. Soerjono , 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Cv Suryabrata, Sumandi , 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta. Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Syamsudin M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RaJaGrafindo Persada, Jakarta. Suhendro, 2001, Status Hukum Produk Dinas Pertanahan, Suara Merdeka, Semarang. Sumarsono, 1973, Himpunan Peraturan Agraria, Dirjen Agraria, Jakarta. Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Tugujogja Pustaka, Yogyakarta, Tonnaer/ F.P.C.L., 1986, Legaal Besturen, Het Legaliteistbeginsel, toetssteen of struikelblok, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen Opgedragen aan R. Crince Le Roy, Kluwer-Deventer. Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 1989. Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan, 2004, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004). Tarigan, Pendastaren, 2008, Arah Negara Hukum Demokrasi Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendal, Pustaka Bangsa Press, Medan. Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tana. Kencana Prenada media Group, Jakarta, 2005. Van Wijk/HDWillem Konijnenbelt. Hoofdstukken van Administratief Recht. Culemborg, Uitgeverij Lemma BV., 1988. Waluyo Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika, Jakarta. Wheare K.C., 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press. 171 Wahjono, Padmo, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, 2. Makalah: Atmadja, I Dewa Gede. Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen. Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996. Atmoredjo Sudjito bin , Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009. Benyamin, Hoessein, Evaluasi Undang Undang Pemerintah Daerah, Harian Suara Karya, Jakarta, edisi 14 Februari 2002. Haeruman, Herman, 2000, Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem pertanahan Positif yang lebih Efektif untuk kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks International Converence on Land Policy Reform, Bappenas R.I, Jakarta, 26 Juli 2000. Hadjon M., Philipus , 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadila dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta ________, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada FakultasHukum Universitas Airlangga, Surabaya, ________, 1997/1998, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya. 3. Kamus Hukum: Poerwadarminta,WJS, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Simorangkir, J.C.T., 2007, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Michael R. Purba, 2009, Kamus Hukum, Widyatamma, Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 172 Henry Campbell Black, M, A., 1919, Black’s Law Dictionary, With Pronunciations, West Publishing Co, the United States of America. 4. Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria ( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 ). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan ( Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60 ). UU NO. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian. Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten /Kota. Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Relevansinya Terhadap Kebijakan Pertanahan Nasional. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 5. Internet: Zulkarnain, Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform berdasarkan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 24/HGU/65 di Kabupaten Langkat, http//revository.usu.ac.id/handle/123456789/5098. 173 Herry Iswanto, Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang, http//ilib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php? Ariska Dewi, 2008, Peran Kantor Pertanahan dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas, http//eprints.undip.ac.id/16527/1 Nurhayati, Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kec. Semarang Barat Kota Semarang, http//eprints.undip.ac.id/15762/1 Ira Sumaya, 2007/2008, AnalisisHukum Landreform Meningkatkan Ekonomi http//revository.usu.ac.id/handle/123456789/5144. Sebagai Upaya Masyarakat,