BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Risiko
Program Kesehatan Kerja mempunyai tujuan utama yaitu memberikan
perlindungan utama kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang berhubungan
dengan lingkungan kerja. Lebih jauh lagi adalah menciptakan kerja yang tidak
hanya aman dan sehat, tetapi juga nyaman serta meningkatkan kesejahteraan
produktivitas kerja. Aspek dasar perlindungan kesehatan adalah manajemen
risiko kesehatan. Manajemen risiko adalah proses yang bertahap dan
berkesinambungan. Tujuan utama manajemen risiko kesehatan adalah
menurunkan risiko pada tahap yang tidak bermakna sehingga tidak
menimbulkan efek buruk terhadap kesehatan pekerja (Seaton et al, 1994).
Tujuan tersebut hanya akan tercapai melalui kerjasama antara professional
kesehatan dan keselamatan kerja yang membantu manajemen dalam
mengembangkan dan mengimplementasikan program kesehatan kerja, dalam
menjamin kesehatan petugasnya.
Keberhasilan kegiatan manajemen risiko kesehatan dengan efektifitas
dan efisiensinya sangat tergantung pada kerjasama antara berbagai pihak yang
terlibat dalam program kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk pekerja.
Manajemen risiko kesehatan mempunyai tujuan meminimalkan kerugian akibat
kecelakaan dan sakit, meningkatkan kesempatan/peluang untuk meningkatkan
produksi melalui suasana kerja yang aman, sehat, dan nyaman, memotong mata
7
8
rantai kejadian kerugian akibat kegagalan yang disebabkan oleh kecelakaan
dan sakit, serta pencegahan kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat
kerja.
Komponen utama manajemen risiko kesehatan adalah penilaian risiko
(risk assessment), surveilans kesehatan (health surveilans), dan pencatatan
(records). Di dalam komponen penilaian risiko (risk assessment), terdapat
unsur tahapan yang meliputi identifikasi bahaya, penilaian dosis, dan
karakteristik risiko. Untuk dapat melakukan karakterisasi risiko perlu diketahui
status kesehatan pekerja dan penilaian pajanan (WHO, 1993).
1. Identifikasi Bahaya
Langkah pertama manajemen risiko kesehatan adalah identifikasi
atau pengenalan bahaya kesehatan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi
faktor risiko kesehatan yang dapat tergolong fisik, kimia, biologi,
ergonomic, dan psikologi, yang terpajan pada pekerja. Untuk dapat
menemukan faktor risiko ini dipelukan pengamatan terhadap proses dan
simpulan kegiatan.
2. Penilaian Pajanan
Proses penilaian panajan merupakan bentuk evaluasi kualitatif dan
kuantitatif terhadap pola pajanan kelompok pekerja yang bekerja dan
pekerjaan tertentu dengan jenis pajanan risiko kesehatan yang sama.
Penilaian pajanan harus memenuhi tingkat akurasi yang adekuat dengan
tidak hanya mengukur konsentrasi atau intensitas pajanan, tetapi juga
faktor lain. Pengukuran dan pemantauan konsentrasi dan intensitas secara
kuantitatif saja tidak cukup, karena pengaruhnya terhadap kesehatan
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut perlu dipertimbangkan untuk
9
menilai potensial faktor risiko (bahaya/hazards) yang dapat menjadi
nyata dalam situasi tertentu (Bisesi, 2004).
3. Karakteristik Risiko
Tujuan langkah karakterisasi risiko adalah mengevaluasi besaran
(Magnitude) risiko kesehatan pada petugas kesehatan. Dalam hal ini
adalah perpaduan keparahan gangguan kesehatan yang mungkin timbul
termasuk daya toksisitas bila ada efek toksik, dengan kemungkinan
gangguan kesehatan atau efek toksik dapat terjadi sebagai konsekuensi
pajanan
bahaya
potensial.
Karakterisasi
risiko
dimulai
dengan
mengintegrasikan informasi tentang bahaya yang teridentifikasi dengan
perkiraan atau pegukuran intensitas/konsentrasi pajanan bahaya dan
status kesehatan petugas.
4. Surveilans Kesehatan
Surveilans kesehatan merupakan penilaian keadaan kesehatan
petugas yang dilakukan secara teratur dan berkala. Surveilans kesehatan
terdiri atas surveilans medis (termasuk pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan penunjang serta pemantauan biologis). Pelaksanaan
pemeriksaan kesehatan harus memperhatikan hasil proses penilaian
risiko. Bentuk dan jenis pemeriksaan kesehatan harus secara tegas terkait
dengan bahaya kesehatan yang teridentifikasi dan sesuai karakter
risikonya (WHO, 1993).
5. Penataan Data
Penataan data (record keeping) merupakan bagian yang tidak boleh
dilupakan dalam manajemen risiko kesehatan. Seluruh data yang
diperoleh dari kegiatan manajemen risiko kesehatan ini terutama data
tingkat
10
pajanan dan surveilans kesehatan harus tersimpan rapi dan dijaga untuk
setiap saat dapat digunakan sampai paling tidak selama 30 tahun. Perlu
dipahami bahwa data surveilans kesehatan petugas bersifat rahasia
sehingga harus mendapat penanganan untuk menjaa kerahasiaan tersebut
(Bisesi, 2004).
2.1.1 Identifikasi Risiko
Risiko dapat berasal dari masukan (input), proses, lingkungan dan
umpan balik. Risiko ini akan mempengaruhi keluaran (output), yaitu baik atau
tidaknya manajemen risiko suatu pelayanan kesehatan. Risiko dapat timbul
pada hampir semua kegiatan dalam proses pelayanan kesehatan. Identifikasi
risiko serta upaya pencegahannya akan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan (Affandi,2005).
2.1.2. Penyakit Akibat Pajanan Jarum Suntik
Benda tajam sangat berisiko menyebabkan perlukaan sehingga
meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan
infeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C di sarana pelayanan kesehatan,
sebgaian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum
suntik dan perlukaan alat tajam lainnya.
Di pelayanan kesehatan, penyakit infeksi ini termasuk dalam penyakit
yang paling berisiko terpajan kepada petugas kesehatan melalui penanganan
limbah klinis dan kontak dengan darah atau cairan tubuh yang lainnya.
Diperkirakan 8 juta petugas kesehatan terpajan penyakit infeksi lewat darah
dan berpotensi berakibat fatal (Healey dan Kenneth, 2009). Penyakit yang
paling
11
signifikan adalah HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Virus Hepatitis
B
diketahui menimbulkan risiko terbesar bagi petugas kesehatan (McCulloch,
2000).
Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda
tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas pakai
tidak boleh digunakan lagi. Sterilisasi jarum suntik dan alat kesehatan yang lain
yang menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Kebanyakan
kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah
penggunaannya.
2.1.3 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta pembinaan dalam upaya
menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah Sakit (Depkes,
2004). Center for Disease Control and Prevention (2007) menjelaskan bahwa
salah stau pengendalian infeksi nosokomial adalah melakukan kebersihan
tangan. Intervensi lainnya seperti pemasangan dan perawatan yang btepat dari
peralatan invansif, penggunaan alat steril dan aseptic pada waktu pergantian
balutan, kebersihan kulit, dekontaminasi dan sterilisasi dan surveilans yang
berkelanjutan terhadap infeksi nosokomial.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomila
terdiri dari dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
endogen meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh,
dan kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama
penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan.
Faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan
12
invansif, ruangan terlalu peuh dan kurang staf, penyalahgunaan
antiobiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat, dan ketidaktaatan
peraturan pengendalian infeksi khususnya melakukan kebersihan tangan
(Weston, 2008). Melakukan kebersihan tangan merupakan salah satu cara
pengontrolan infeksi yang sangat mudah dilakukan. Manfaat ini juga
penting dalam mengurangi penyebaran mikororganisme. Mikroorganisme
ini dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan
pencucian tangan dengan teknik yang benar (Potter dan Perry, 1999).
2. Kondisi-kondisi yang Mempermudah Terjadinya Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya beberapa keadaan
tertentu, yaitu sebagai berikut (Potter dan Perry, 1999) :
1. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien
sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak.
2. Rumah sakit seringkali melakukan tindakan invansif mulai dari
sederhana misalnya suntikan sampai tindakan yang lebih besar seperti
operasi. Dalam melakukan tindakan seringkali petugas kurang
memperhatikan tindakan aseptik dan antiseptik.
3. Mikroorganisme yang cenderung lebih resisten terhadap antibiotic,
akibat penggunaan berbagai macam antibiotik yang tidak rasional.
4. Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien
yang dapat menularkan kuman pathogen.
5. Pengunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman.
6. Dari petugas, terkadang petugas kurang memahami cara-cara
penularan, kurang memperhatikan kebersihan perorangan, tidak
menguasai cara
13
mengerjakan tindakan, tidak memperhatikan atau melaksanakan
aseptik dan antiseptik,dan tidak mematuhi SOP yang ada.
2.2. Prosedur Penatalaksanaan Jarum Suntik
Merupakan tindakan yang segera dilakukan setelah petugas melakukan
tindakan yang berhubungan dengan jarum suntik/benda tajam seperti injeksi.
Bila benar-benar dibutuhkan, tindakan recapping hanya boleh dilakukan
dengan cara yang benar pada kondisi tertentu. Tujuan dibuatnya standar
operasional prosedur ini adalah sebagai acuan dan langkah-langkah yang harus
dilakukan petugas untuk mencegah pajanan benda tajam dan penularan infeksi
akibat terpapar dengan jarum suntik/benda tajam.
Kebijakan pelaksanaan prosedur penatalaksanaan jarum suntik ini telah
dibakukan dan disepakati serta telah disahkan oleh Direktur Utama RSUP
Sanglah Denpasar No.HK.03.05/SK.IV.D.23/0690/2013 tanggal 9 Januari 2013
tentang Pemberlakuan Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah
Sakit di RSUP Sanglah Denpasar. Serta kebijakan Direktur Utama RSUP
Sanglah Denpasar No.HK/02.04/IV.C.11-D.23/4384/2014 tanggal 2 April 2014
tentang Perberlakuakn Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
RSUP Sanglah Denpasar (Tim PPI RSUP Sanglah Denpasar, 2015).
Prosedur penatalaksanaan jarum suntik injeksi adalah sebagai berikut :
1. Standar alat :
a. Sarung tangan
b. Sharpbox
c. Kupet
14
2. Prosedur kerja :
a. Petugas melakukan kebersihan tangan
b. Petugas menggunakan sarung tangan
c. Petugas melakukan desinfeksi tutup/karet obat/cairan pelarut dengan
alkohol bila berbentuk botol/vial
d. Petugas membuka tutup jarum dan letakkan di tempat yang aman dan
mudah dijangkau seperti dalam kupet
e. Bila obat diharuskan untuk diencerkan/dilarutkan, petugas memasukkan
cairan pelarut ke dalam vial obat dan lakukan pengocokan tanpa
menarik spuit dari vial obat
f. Petugas
menarik
obat/cairan
pelarut
dengan
spuit
sesuai
dosis/kebutuhan
g. Petugas menutup spuit pada kondisi jarum masih terbuka dengan cara
salah satu tangan mengarahkan ke tutup spuit yang telah diletakkan
sebelumnya dan memastikan seluruh bagian jarum telah masuk ke
dalam tutupnya
h. Kemudiankpetugas mengencangkan tutup jarum dengan menggunakan
tangan lainnya di bagian pangkal jarum
i. Petugas mengeluarkan udara yang masih ada di dalam spuit ketika
jarum sudah pasti tertutup dengan cukup kuat, dan jangan
mengeluarkan udara ketika jarum masih terbuka
j. Petugas melakukan tindakan injeksi sesuai intruksi yang diberikan
k. Setelah tindakan, petugas membuang segera jarum habis pakai ke
dalam sharpbox (tanpa melakukan recapping)
-
Bila sharpbox dilengkapi fasilitas pembuka jarum, petugas memutar
bagian pangkal jarum dengan tangan sehingga jarum dan syringe
15
terlepas/terpisah, lalu petugas membuang syringe ke dalam tempat
sampah infeksius
-
Bila sharpbox tanpa dilengkapi fasilitas pembuka jarum, petugas
membuang seluruh bagian spuit ke dalam sharpbox
l. Petugas membuang ampul bekas tempat obat ke sharpbox, vial/botol
bekas obat ke kantong sampah domestik (dipisahkan dengan sampah
domestik lainnya)
m. Petugas melakukan kebersihan tangan.
2.3. Standar Operasional Prosedur
Standar Operasional Prosedur merupakan suatu perangkat instruksi atau
langkah-langkah kegiatan yang dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
klien (Depkes RI, 2006). Merupakan tata cara atau tahapan yang harus dilalui
dalam suatu proses kerja tertentu, yang dapat diterima oleh seorang yang
berwenang atau yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat
penampilan atau kondisi tertentu sehingga suatu kegiatan dapat diselesaikan
secara efektif dan efisien (Depkes RI, 2006).
Tujuan umum standar operasional prosedur adalah untuk mengarahkan
kegiatan asuhan keperawatan untuk mencapai tujuan yang efisien dan efektif
sehingga konsisten dan aman dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
melalui pemenuhan standar yang berlaku.
2.3.1 Tujuan Khusus Standar Operasional Prosedur
Adapun tujuan khusus dari Standar Operasional Prosedur adalah sebagai
berikut:
16
a. Menjaga konsistensi tingkat penampilan kerja atau kinerja.
b. Meminimalkan
kegagalan,
kesalahan,
dan
kelalaian
dalam
proses
pelaksanaan kegiatan.
c. Merupakan parameter untuk menilai mutu kinerja dan pelayanan.
d. Memastikan penggunaan sumber daya secara efisien dan efektif.
e. Menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas terkait.
f. Mengarahkan pendokumentasian yang adekuat dan akurat
2.3.2 Fungsi Standar Operasional Prosedur
Adapun fungsi dari Standar Operasional Prosedur adalah sebagai berikut :
a. Memperkuat tugas petugas atau tim.
b. Sebagai dasar hukum dan etik bila terjadi penyimpangan.
c. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatan.
d. Mengarahkan perawat dan bidan untuk disiplin dalam bekerja.
e. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan tim.
Standar selalu berhubungan dengan mutu karena standar menentukan
mutu. Standar dibuat untuk mengarahkan cara pelayanan yang akan diberikan
serta hasil yang ingin dicapai.
2.4. Kepatuhan (Compliance)
2.4.1 Definisi Perilaku Kepatuhan
Perilaku manusia merupakan suatu fungsi dari interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Semua perilaku individu pada dasarnya dibentuk oleh
kepribadian dan pengalamannya. Perilaku merupakan keseluruhan (totalitas)
pemahaman dan aktivitas antara faktor internal dan faktor eksternal
(Notoatmojo, 2007).
17
Heynes, et al (1979) dalam Efstathiou (2011) mendefinisikan kepatuhan
yang diterima secara luas dalam pengaturan perawatan kesehatan. Menurut
konteks ini, kepatuhan adalah sejauh mana perilaku tertentu (misalnya,
mengikuti perintah dokter atau menerapkan gaya hidup sehat) sesuai dengan
instruksi dokter atau saran kesehatan. Kepatuhan dapat dipengaruhi atau
dikendalikan oleh berbagai faktor seperti budaya, faktor ekonomi dan sosial,
self-efficacy, dan pengetahuan. Pedoman yang memandu perilaku individu ada
dalam berbagai peraturan (termasuk peraturan perawatan kesehatan), tetapi
tidak selalu dipatuhi.
Definisi kepatuhan di atas, lebih merujuk kepada perilaku kepatuhan
pasien dalam pengobatan. Namun demikian, definisi ini juga dapat
diaplikasikan pada petugas kesehatan, yaitu perilaku petugas kesehatan
mengikuti standar prosedur dan kebijakan yang berlaku di pelayanan kesehatan
2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Niven (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual dan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, juga keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa
dan
negara.
Pendidikan
dapat
kepatuhan,
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
sepanjang
18
b. Akomodasi
Merupakan suatu usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian yang dapat mempengaruhi kepatuhan adalah jarak dan
waktu.
c. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindera manusia yaitu : indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior). Pengalaman dan penelitian terbukti bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pembentukan perilaku
terjadi melalui 3 domain, yaitu pengetahuan, sikap, dan pengetahuan
yang dimiliki petugas. (Notoatmojo, 2007).
Menurut fungsinya pengetahuan adalah dorongan dasar untuk ingin
tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan
pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak
konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun,
ditata kembali, ataupun diubah, sehingga tercapai suatu konsistensi
(Azwar, 2007).
d. Usia
Usia merupakan umur yang terhitung mulai saat manusia dilahirkan
sampai saat akan berulang tahun. Pada masa dewasa awal, seseorang
19
biasanya
berubah
mencari
pengetahuan
menuju
menerapkan
pengetahuan, yakni menerapkan apa yang diketahuinya (Anwar,
2007). Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang,
dengan
seiring
bertambahnya
usia
maka
tingkat
pengetahuan akan berkembang sesuai dengan pengetahuan yang
didapat juga dari pengalaman itu sendiri. (Notoatmojo, 2007).
e. Jenis Kelamin
Variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan. Data demografi
yang mempengaruhi kepatuhan adalah jenis kelamin wanita, ras, kulit
putih, dan orang tua. Sebagai contoh, di Amerika Serikat para wanita
kaum kulit putih dan orang-orang tua cenderung mengikuti anjuran
dokter ketika melakukan pengobatan (Smet, 1994).
Kepatuhan dalam konteks pelaksanaan prosedur penatalaksanaan jarum
suntik injeksi adalah istilah yang menggambarkan tindakan yang segera
dilakukan setelah petugas melakukan tindakan yang berhubungan dengan
jarum suntik seperti injeksi.
Dasar yang menjadi penopang perlunya SOP penatalaksanaan jarum
suntik injeksi untuk dipatuhi adalah untuk menghindari dampak negatif yang
dapat ditimbulkan dari tidak dilaksanakannya SOP tersebut.
2.4.2 Penelitian Tentang Kepatuhan Terhadap SOP
Dalam penelitian Muhammad Tukhfatul Atfhfal tahun 2014 di IGD RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul gambaran tingkat pengetahuan
perawat terhadap standar operasional prosedur cuci tangan didapatkan hasil
sebanyak 97 responden (97%) melakukan metode hand wash dengan kriteria
20
baik, dan 3 responden (3,0%) termasuk kriteria cukup. Sementara penelitian
yang dilakukan oleh Elizabeth Ari Setyarini tahun 2014 dengan judul
kepatuhan perawat melaksanakan standar operasional prosedur pencegahan
pasien resiko jatuh di Rumah Sakit Borromeus didapatkan hasil rata-rata 75%
patuh melaksanakan standar operasional prosedur pencegahan pasien resiko
jatuh,
dan
25
%
tidak
patuh
melaksanakan.
Download