1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seseorang dituntut untuk selalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, kadang seseorang melupakan kesehatan dan kebugaran tubuh jika sudah melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan yang melebihi kemampuan tubuh akan berdampak secara langsung atau tidak langsung bagi kebugaran dan kondisi tubuh yang sehat. Kerja fisik yang dilakukan secara berlebihan bisa membuat kelelahan pada tubuh, sering kali melebihi dari kemampuan atau berlebihan sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan jasmani dan fisik seseorang. Kemampuan seseorang untuk dapat melakukan kegiatan fisik dengan baik tergantung terhadap kondisi kebugaran fisik seseorang. Upaya untuk bisa menjaga kebugaran tubuh adalah dengan berolahraga. Olahraga adalah serangkaian gerak yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak dan meningkatkan kemampuan gerak. Olahraga bertujuan untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosial (Watson,1999). Olahraga bisa dilakukan setiap hari dengan teratur dan atau dengan kegiatan olahraga yang terjadwal. Berkembangnya pusat kebugaran seperti gym, lapangan futsal, basket dan sebagainya, merupakan sarana olahraga bagi remaja yang selalu menarik antusiasme untuk rajin berolahraga. Beberapa di antara mereka bahkan tidak mengetahui manfaat dari olahraga yang mereka lakukan, namun mereka 1 2 rajin melakukannya hanya karena hobi dan ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman mereka dengan berolahraga (Haryanto, 2010). Remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun (masa remaja awal), 15 – 18 tahun (masa remaja pertengahan), dan 18 – 21 tahun (masa remaja akhir). Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Haryanto, 2010). Cedera hamstring dapat terjadi pada siapapun dengan tingkat cedera yang berbeda. Pada atlit kondisi cedera kadang bisa lebih komplek kasusnya bisa terjadi spasme, nyeri sampai pada robekan otot yang mengganggu aktifitas latihan seorang atlit dan pada remaja bisa disebabkan karena tulang dan otot tidak tumbuh pada tingkat yang sama. Cedera pada otot hamstring dapat menyebabkan terjadinya kerusakan otot paha, cedera yang terjadi dapat diakibatkan karena melakukan aktifitas berlari dan gerakan berhenti dengan tiba tiba. Gejala yang dapat dirasakan ketika otot hamstring terkena cedera seperti nyeri pada belakang paha, otot terasa sobek, bengkak dan terasa lunak dalam beberapa jam, otot melemah atau kaki tidak bisa mengangkat beban (Anonim, 2012). 3 Cedera hamstring dapat terjadi ringan ( tertariknya otot hamstring dan otot hanya kehilangan sedikit tarikan), cedera sedang ditandai dengan robeknya satu atau dua otot hamstring menimbulkan nyeri dan hilang sebagian kekuatan otot, cedera yang menyebabkan otot hamstring mengalami robekan yang dapat menimbulkan otot kehilangan seluruh kekuatan ototnya. (Anonim, 2012). Muscle soreness dapat menyebabkan rasa tidak nyaman atau nyeri yang kadang kita tidak mengetahui penyebab nyeri tersebut dapat timbul. Dari beberapa teori yang sudah dikemukakan penyebab terjadinya muscle soreness disebabkan oleh microtrauma yang terjadi pada serabut kecil muscle fiber. Muscle soreness dapat terjadi pada fase akut dimana pada fase akut ini terjadi muscle soreness yang berlangsung selama ataupun setelah melakukan aktifitas fisik yang berat dalam jangka waktu yang cepat yang disebut acute muscle soreness, kemudian muscle soreness yang dapat terjadi dan dirasakan setelah 24 jam sampai 72 jam setelah melakukan aktifitas fisik yang disebut dengan Delayed Onset Muscle Soreness (Anonim, 2012). Delayed Onset Muscle Soreness (DOMS) selalu dikaitkan dengan keadaan yang tidak biasa, kerja otot yang berlebihan dan kontraksi eksentrik dapat memicu terjadinya DOMS. Kontraksi otot eksentrik dapat dilihat dari adanya perpanjangan otot selama otot berkontraksi. Mekanisme terjadinya DOMS dapat dikaitkan dengan adanya stimulasi nyeri yang disebabkan dengan adanya pembentukan asam laktat, kekakuan otot, kerusakan jaringan ikat, kerusakan otot, peradangan, 4 dll. Gejala yang bisa muncul dalam 24 – 42 jam setelah latihan dan bisa menghilang setelah 5 – 7 hari ( Cheung et al., 2003). Muscle soreness terjadi ketika muscle fiber mengalami robekan, dan otot beradaptasi untuk menjaga kekuatannya. Muscle strain terjadi karena akibat karena overtraining yang tejadi pada sebagian besar muscle fiber yang berpengaruh terhadap derajat gerak dan tendon. Beberapa penelitian melakukan kombinasi beberapa tekhnik untuk dapat memberikan penanganan pada DOMS seperti warm up, stretching dan massage, warm underwater water jet massage dan ice massage. Tetapi beberapa juga hanya menggunakan satu tekhnik dalam menangani DOMS, seperti massage dan stretching, massage dan electric stimulation, pre exercise warm up dengan stretching dan post exercise dengan massage. Rasa nyeri dan kerusakan pada otot dapat terjadi karena melakukan latihan yang bersifat kontinyu atau terus menerus (Connoly et al., 2003). Tingkat kerusakan dan nyeri dapat disebabkan beberapa faktor misalnya pada tingkat profesional dapat disebabkan karena dosis latihan dan intensitas dari latihan yang diberikan. Bila pada seseorang yang bukan atlet kerusakan dapat disebabkan karena aktifitas otot melebihi dari kemampuan dlm melakukan aktifitas dan gerakan yang salah. Dan faktor yang lain adalah stiffness, kecepatan kontraksi, lelah otot, dan sudut pada saat akan melakukan gerakan. Dengan memperhatikan teori dan ilmu dasar pada mekanisme injury , penanganan untuk DOMS akan bisa meminimalkan kerusakan pada jaringan dan menghindarkan dari latihan otot yang berlebihan. Delayed Onset Muscle Soreness (DOMS) dapat 5 diklasifikasikan sebagai cedera pada otot tipe I dan dapat diketahui dengan adanya nyeri tekan dan spasme pada saat dilakukan palpasi dan gerakan. Nyeri tekan dapat terlokalisasi pada bagian distal otot dan dapat bertambah nyeri dalam waktu 24 – 48 jam setelah melakukan latihan. Rasa nyeri tersebut dapat menggambarkan tingginya receptor pada jaringan lunak dan pada tendon otot. (Cheung et al., 2003). Dalam penelitian disebutkan bahwa DOMS dapat terjadi pada saat kita melakukan aktifitas lari gunung (Hiking), Ressisted Cycling, Stepping, ballistic stretching, isocinetic dynamometri, dan latihan melawan tahanan. Serabut otot tipe I yaitu dengan tipe otot slow twitch yang berfungsi sebagai stabilisator atau mempertahankan sikap tubuh dengan kecepatan kontraktil lambat, kekuatan motor unit yang rendah, tidak cepat lelah, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi, serta jika terjadi patologi akan tegang dan memendek. Jika terjadi DOMS dan tidak dilakukan penanganan dengan tepat akan menimbulkan cedera yang berkelanjutan, sehingga akan mempengaruhi aktifitas dari seseorang untuk aktifitas (Cheung et al., 2003). Penanganan dan pemberian latihan yang baik pada DOMS akan mengurangi resiko terjadinya DOMS dan akan menjaga mobilitas agar tetap optimal. Setelah melakukan aktifitas olahraga fisik dengan kontraksi eksentrik dan menunjukkan rusaknya otot, otot secara perlahan lahan melakukan adaptasi untuk mengurangi terjadinya kerusakan lebih lanjut pada saat melakukan aktifitas olahraga yang sama, karena apabila otot mengalami cedera yang sama akan menimbulkan 6 repeated bout effect. Alasan terjadinya mekanisme protektif otot dapat terjadi karena adaptasi neuron ( penggunaan dan kontrol otot oleh sistem saraf), adaptasi mekanik (peningkatan kerusakan otot dan jaringan), dan adaptasi sel (adaptasi terhadap respon inflamasi dan peningkatan sintesis protein). Muscle soreness dapat dihindari dengan mengurangi latihan dengan kontraksi eksentrik dan konsentrik. Tetapi kontraksi eksentrik pada salah satu otot tidak dapat dihindari selama latihan ketika otot mengalami kelelahan (Cheung et al., 2003). Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), dan komunikasi (Anonim, 2001). Penanganan dengan menggunaan ice massage dilihat dari proses trauma atau cedera pada jaringan lunak. Aplikasi dengan menggunakan ice massage dapat memberikan perubahan pada kulit, jaringan subcutaneus, intramusculer dan suhu pada persendian. Penurunan suhu pada jaringan lunak dapat menstimulasi receptor untuk mengeluarkan simpatetic adrenergic fibers karena terjadinya fase konstriksi pembuluh darah lokal pada arteri dan vena. Ini menunjukkan adanya penurunan oedem dan mengurangi terjadinya proses metabolisme dengan adanya penurunan reaksi radang, permeabilitas peredaran darah dan bengkak. Ini menunjukkan bahwa dengan cryotherapy (ice) dapat memberikan fasilitasi terhadap terjadinya pemulihan pada muscle soreness (Cheung et al., 2003). 7 Pada DOMS, pemberian aplikasi ice massage pada hamstring yang mengalami cedera akan memberikan efek sedatif karena adanya sensasi dari ice dan pemberian gerakan massage pada grup otot. Pemberian ice massage dapat mencegah terjadinya kerusakan jaringan otot yang lebih berat karena rusaknya pembuluh darah disekitar otot. Pemberian ice massage akan memperlambat metabolisme pembuluh darah lokal pada area yang cedera dengan adanya penurunan temperatur atau suhu pada area lokal sebagai akibat dari reaksi hipoksi, sehingga terjadinya inflamasi dan pemicu reaksi dari munculnya nyeri dapat diminimalisir. Kecepatan konduksi saraf pada otot akan berkurang dan akan mengurangi reaksi gamma motor neuron dan mengurangi aktifitas pada sel muscle spindle (Anonim, 2011). Dari penjelasan diatas dilihat faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya DOMS, maka yang dapat dirasakan dan diperhatikan adalah rasa nyeri, kemampuan kekuatan otot yang menurun yang dapat berpengaruh terhadap aktifitas fungsional. Berdasarkan latar belakang masalah diatas untuk mengurangi terjadinya DOMS, maka dilakukan penelitian mengenai “Aplikasi Ice Massage dan Non Ice Massage Sesudah Pelatihan Resiko DOMS Pada Otot Hamstring”. Dalam Mengurangi 8 1.2.RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah : Apakah terdapat perbedaan pengaruh aplikasi pemberian Ice massage dan tanpa pemberian ice massage sesudah pelatihan dalam mengurangi terjadinya DOMS pada otot hamstring ? 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui efek pemberian ice massage sesudah pelatihan untuk mengurangi terjadinya Delayed Onset Muscle Soreness otot Hamstring. 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui perbedaan dalam mengurangi DOMS pada aplikasi pemberian Ice massage dan tanpa pemberian ice massage sesudah pelatihan. 1.4. MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan 1. Untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam bidang fisioterapi tentang kejadian DOMS dan bagaimana mengenal tanda dan gejala serta pelaksanaan penanganan terjadinya DOMS. 9 2. Untuk melihat pengaruh Ice massage untuk mengurangi terjadinya proses radang, timbulnya nyeri, bengkak, penurunan toleransi aktifitas sebagai tanda dan gejala terjadinya DOMS. 1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan 1. Sebagai bahan informasi bagi teman sejawat fisioterapi 2. Dapat digunakan untuk dasar penelitian selanjutnya 1.4.2 Bagi Peneliti 1. Penelitian ini dapat berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman bagi penulis untuk mempelajari manfaat dari penggunaan ice massage untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan, nyeri, serta penurunan toleransi aktifitas yang merupakan tanda dan gejala awal terjadinya DOMS 2. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama proses pendidikan diperoleh. 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Delayed Onset Muscle Soreness 2.1.1 Definisi DOMS Delayed Onset Muscle Soreness adalah suatu rasa sakit atau nyeri pada otot yang dirasakan 24-48 jam setelah melakukan aktivitas fisik atau olahraga. Melakukan aktifitas fisik yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya cedera, kerusakan otot atau jaringan ikat pada otot. Apabila pada otot mengalami kerusakan jaringan maka secara otomatis tubuh akan merespon dengan memperbaiki kerusakan dan merangsang ujung saraf sensorik sehingga akan timbul nyeri karena rangsangan tersebut. DOMS dapat terjadi ketika pertama kali melakukan olahraga dengan intensitas yang tinggi dan terjadi kerja otot secara berlebihan (Cheung et al., 2003). Delayed Onset Muscle Soreness pertama kali dijelaskan oleh Theodore Hough 1902 dalam penelitiannya menyebutkan karena adanya kerusakan yang dalam pada otot. Pada penelitian terdahulu menjelaskan adanya kerusakan ultrastructural dari myofilaments, terutama pada Z-disc, menjadi penyebab kerusakan pada jaringan ikat. Kerusakan jaringan ikat merupakan penyebab langsung terjadinya soreness, yang dapat menimbulkan peningkatan sensasi nyeri pada nosiseptor atau reseptor nyeri, dan nyeri akan bertambah bila dilakukan stretching dan palpasi. Delayed Onset Muscle Soreness (DOMS) merupakan suatu keadaan yang tidak asing, kerja dari otot 10 11 dengan intensitas tinggi yang terstimulasi dengan kontraksi otot eksentrik, dan terjadi proses peradangan yang menyebabkan munculnya nyeri/rasa tidak nyaman. Dengan latihan yang dilakukan secara intens dan bisa terjadi pada atlit yang lama istirahat atau tidak melakukan latihan. Pada seorang atlit hal tersebut dapat terjadi karena fase istirahat yang lama dan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas fisik. Gejala yang menyertai terjadinya DOMS meliputi spasme otot, keterbatasan ROM, terjadinya bengkak, penurunan kekuatan otot, nyeri lokal, dan rasa propioceptive sendi yang terganggu. Gejala yang muncul dapat terjadi dalam 24 jam setelah latihan dan akan menghilang setelah 5-7 hari (Chung et al., 2003). 2.1.2 Patologi DOMS Delayed Onset Muscle Soreness dapat terjadi karena nyeri otot yang tertunda yang disebabkan karena kerusakan jaringan otot. Pada pemeriksaan biopsi kerusakan otot yang terjadi pada sarcolema yang pecah dan memungkinkan isi sel meresap antara serat otot lainnya. Kerusakan pada filamen kontraktil aktin dan myosin dan juga kerusakan pada Z Disc merupakan bagian dari terjadinya kerusakan struktural sel. Terjadinya respon inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan pada sistem kekebalan tubuh karena terjadinya cedera. Banyak upaya yang dilakukan untuk meredam efek nyeri otot yang tertunda (DOMS) misalnya dengan pemberian obat anti inflamasi. Kerusakan otot mikroskopis disebabkan oleh latihan berat yang dapat menyebabkan respon inflamasi pada otot. Kerusakan struktural akut pada jaringan otot memulai terjadinya DOMS dan dapat mengarah terjadinya nekrosis 12 (kematian sel) memuncak sekitar 48 jam setelah latihan. Isi intraseluler dan efek respon immuno kemudian terakumulasi di luar sel merangsang ujung saraf dari otot (Marquez et al., 2001). Gerakan yang dilakukan pada keadaan otot tidak siap dapat mengakibatkan ketegangan berlebihan yang tidak dapat dikendalikan otot. Kejang otot ringan terjadi diawal latihan dan bertambah berat saat seseorang mengalami kelelahan. Banyak yang menyebutkan bahwa DOMS dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti penumpukan asam laktat atau olahraga yang intens (overload). Proses pembuangan penumpukan zat beracun yang tidak lancar menyebabkan terjadinya stimulus nyeri dan nyeri merupakan tahap terjadinya DOMS. Melakukan latihan yang tidak terprogram dengan latihan eksentrik dapat menyebabkan terjadinya cedera karena pemberian latihan yang berulang ulang atau overload. Jika latihan yang dilakukan secara overlod maka akan menimbulkan cedera pada otot dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan otot karena efek latihan yang berat. Latihan yang tidak dikontrol dengan baik tersebut dapat menyebabkan timbulnya kerusakan otot, peradangan, dan nyeri serta menurunnya lingkup gerak sendi (Cheung et al., 2003). Beberapa teori juga menyebutkan peningkatan jumlah Hydroxypoline (HP) dan Hydroxylysine juga tidak dapat menjelaskan keterkaitan dengan terjadinya DOMS. Teori tentang kerusakan otot merupakan salah satu teori yang dapat menjelaskan hubungannya dengan terjadinya DOMS. Hough menerangkan adanya gangguan pada komponen kontraktil otot, terutama pada Z-line, pada latihan 13 eksentrik. Karakteristik lesi mikroskopik meluas, dan akan terjadi kerusakan total myofibril pada Z line, dan akan meluas pada kerusakan sarcomere. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau nyeri pada semua area otot yang akan mengurangi keterlibatan motor unit pada saat kontraksi eksentrik. Nosiseptor pada jaringan ikat pada otot dan pada daerah arteri, capiler dan struktur jaringan otot dan tendon akan terjadi atau timbul sensasi nyeri (Cheung et al., 2003). Delayed Onset Muscle Soreness terjadi setelah adanya latihan eksentrik dan konsentrik yang berat atau intens yang menimbulkan adanya kondisi kerusakan yang nyata pada jaringan otot, peradangan, dan diikuti oleh pengeluaran enzim. Kerusakan ini akan menyebabkan adanya peningkatan terjadinya tegangan yang mengakibatkan menurunnya aktif motor unit selama kontraksi eksentrik. Terjadinya kerusakan bagian struktur sel otot terutama pada tipe otot II(Fast twitch) menjadi lebih kecil dan melemah pada Z line. Rangsang nyeri kemudian akan mengaktifasi timbulnya nyeri pada jaringan otot dan arteri, kapiler darah, serta tendon. CK (creatinin kinase) merupakan salah satu indikator terjadinya permeabilitas enzim pada membran yang terjadi pada otot skeletal dan otot jantung. (Cheung et al., 2003). Adanya kerusakan pada Z line dan sarkolema akan memungkinkan terjadinya difusi dan pelarutan enzim pada otot, seperti CK ke dalam cairan intersisil. Dalam keadaan normal jumlah plasma CK sebesar 100IU/L. Tetapi dengan adanya latihan eksentrik akan meningkat menjadi 40.000 IU/L yang menunjukkan penigkatan yang tinggi pada permeabilitas membran sel otot karena terjadinya kerusakan pada Z line. 14 Teori tentang terjadinya peradangan didasarkan karena adanya respon peradangan seperti terjadinya bengkak, dan peningkatan infiltrasi sel yang terjadi seiring dengan dilakukannya kontraksi eksentrik yang berulang. Struktur jaringan otot yang terdiri dari proteolitik merupakan penyebab terjadinya degradasi lipid dan struktur protein pada sel karena cedera. Kerusakan muscle fibres dan jaringan ikat menyebabkan terjadinya akumulasi bradikinin, histamin, dan prostaglandin akan menarik monosit dan neutrofil ke dalam jaringan yang cedera. Adanya tekanan osmosis dan nyeri menyebabkan group IV neuron sensorik teraktivasi (Cheung et al., 2003). Respon inflamasi akut yang terjadi dalam 1 hari dari mulai awal latihan yang dapat menyebabkan terjadinya DOMS dan nekrosis jaringan dapat dilihat dari adanya peningkatan konsentrasi CK yang terjadi antara 1 – 7 hari setelah diberikan latihan, kemudian jumlah leukosit, neutrofil, monosit dan basofil yang mengalami perubahan selama terjadinya cedera (Gleesson et al., 1995). 15 Gambar 2.1 Mekanisme DOMS pada Jaringan (Anonim, 2013) 2.1.3 Hamstring 2.1.3.1 Anatomi Hamstring Hamstring merupakan salah satu group otot yang terdiri dari 3 macam otot antara lain bisep femoris, semitendinosus, semimembranosus. Otot hamstring berfungsi untuk gerakan fleksi dari knee joint dan membantu untuk gerakan ekstensi dari hip joint (Connel et al., 2004). a. Otot Semimembranosus Letak dari otot semimembranosus berada pada bagian medial diantara ketiga otot hamstring. 16 Origo : berada pada tuberositas ischii Insersio : berada pada bagian posterior condylus medialis tibia Fungsi : ekstensi hip, fleksi knee, dan internal rotasi b. Otot semitendinosus Terletak diantara semimembranosus dan bisep femoris Origo : tuberositas ischii Insersio : permukaan atas bagian medial pada tibia Fungsi : ekstensi hip, fleksi knee, internal rotasi hip c. Otot bisep femoris Merupakan otot yang terletak pada bagian lateral Origo : pada tuberositas ischii, ½ distal linea aspera tulang femur, bagian lateral supracondylus Insersio : condylus lateral tibia, collum femur Fungsi : ekstensi hip, fleksi knee, lateral rotasi 17 Gambar 2.2 Group Otot Hamstring (Connel et al., 2004) 2.1.3.2 Patofisiologi DOMS Pada Hamstring Otot hamstring dapat terkena cedera secara tiba tiba, nyeri pada belakang paha dan sampai menyebabkan melakukan aktifitas terhambat. Setelah cedera knee tidak bisa gerakan ekstensi lebih dari 30 – 40 derajat . Riwayat pengobatan merupakan salah satu cara untuk membantu mengetahui adanya cedera pada hamstring. Cedera hamstring banyak terjadi pada lipatan bagian posterior yang dapat menghentikan aktivitas latihan atau olahraga. Tetapi tidak hanya adanya tarikan pada posterior otot yang bisa mengakibatkan cedera hamstring, adanya nyeri otot juga merupakan salah satu tanda terjadinya cedera pada hamstring karena adanya kerusakan pada jaringan fibrous. 18 Hamstring merupakan group otot yang melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada knee dan hip secara bersamaan yang akan membutuhkan kemampuan otot untuk dapat memanjang dan memendek dalam waktu yang bersamaan. Pada saat melakukan gerakan mengayun, hamstring berkontraksi untuk melakukan persiapan untuk ekstensi knee dan otot melakukan gerakan untuk memanjang dan akan mempengaruhi panjang otot. Hamstring harus merubah dari fungsi untuk eksentrik pada saat persiapan ekstensi knee ke gerakan konsentrik untuk melakukan ekstensi hip. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kontraksi dari eksentrik ke konsentrik memungkinkan terjadinya cedera DOMS pada hamstring (Peterson et al., 2006). Cedera pada hamstring terjadi akibat dari peregangan atau kontraksi otot yang melebihi batas normal (Abnormal stress) dan umumnya terjadi karena pembebanan secara tiba – tiba pada otot tertentu. Jenis cedera ini juga terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, atau ketika terjadi kontraksi otot belum siap. Overload otot adalah penyebab utama ketegangan otot hamstring, hal ini dapat terjadi ketika otot over stretch melampaui kapasitasnya atau pembebanan yang tiba tiba. Selama berlari,atau meloncat otot hamstring berkontraksi secara eksentrik dimana kaki belakang yang diluruskan dan jari-jari kaki yang digunakan untuk mendorong dalam keadaan toe off dan bergerak maju atau keatas. Otot-otot hamstring tidak hanya melakukan lenghtening atau memperpanjang otot tetapi juga menjaga berat beban oleh badan dan gaya yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan tersebut berlari ataupun meloncat (Nancy, 2012). 19 Kerusakan jaringan tersebut dapat pulih dari cedera pada hari ke 14 jika terjadi cedera yang ringan. Otot dapat melakukan fungsi semula sampai 90%, dan kemampuan otot untuk melakukan kontraksi memanjang dan memendek dapat kembali setelah terjadi adanya fibrosis. Pada otot hamstring gerakan yang banyak terjadi adalah untuk kontraksi otot eksentrik yang melindungi knee dan hip joint dari energi kinetik yang berlebihan. Terjadinya cedera hamstring tidak hanya karena gerakan eksentrik dan konsentik dari otot, tetapi dari hasil poto MRI menunjukkan bahwa terjadinya cedera pada hamstring dapat juga disebabkan karena adanya latihan otot eksentrik yang dilakukan secara terus menerus/intens dan menemukan bahwa untuk kontraksi otot secara konsentrik tidak menunjukkan efek yang sama setelah latihan. Terjadinya DOMS pada hamstring dilihat dari hasil laboratorium menunjukkan hasil cedera dengan derajat yang berbeda yang tejadi pada hamstring dimulai dari strain sampai terjadinya kerusakan otot keseluruhan yang dapat mengurangi kemampuan otot untuk ddapat bekerja atau berkontraksi disebabkan karena kelelahan dan kelemahan menyebabkan otot memiliki resiko untuk cedera karena kemampuan untuk menjaga energi hilang (Connel et al., 2004). 20 Gambar 2.3 Gambaran Kontraksi otot (Anonim, 2013) Gambar 2.4 Sarcomere Normal dan Setelah Latihan (Proske and Morgan, 2001) 21 Otot-otot hamstring merupakan struktur yang sering kali mengalami cedera, gangguan tersebut dapat berupa robekan atau regangan otot. Cedera hamstring paling sering terjadi dalam olah raga seperti lari, sepakbola, basket, dll. Cedera dapat ringan sampai berat, pada cedera yang ringan hanya mengalami robekan kecil pada hamstring sehingga hanya mengalami perasaan seperti tertekan pada paha bagian belakang. Pada cedera yang berat, terjadi apabila otot hamstring terputus dan bahkan terpisah dari bagian-bagiannya sehingga akan menimbulkan nyeri yang hebat hingga tidak dapat berjalan. Cedera hamstring merupakan cedera yang dapat berlangsung lama, penyembuhannya lambat, dan kejadian cedera sangat tinggi. Cedera hamstring merupakan salah satu cedera yang dapat terjadi pada olahraga misalnya pada saat lari dan melompat, tetapi bisa juga terjadi pada saat menari, dan ski air. Banyak penelitian yang dilakukan tentang cedera pada hamstring salah satunya penelitian pada pemain sepak bola inggris dan australia menunjukkan cedera hamstring terjadi antara 12 % - 16 % pemain. Cedera yang terjadi pada hamstring dapat terjadi secara langsung karena hantaman dan cedera yang terjadi karena strain (Petersen et al., 2006). Cedera otot dapat menunjukkan terjadinya muscle cramps (kejang otot) sampai terjadinya rupture otot (sobekan otot), dan terjadinya Delayed Onset Muscle Soreness dan partial strain injury. Cedera pada hamstring umumnya terjadi karena adanya kerentanan atau kesalahan pada posisi anatomi. Pada pemain sepakbola kebanyakan terjadi cedera strain hamstring pada saat lari biasa dan lari cepat atau 22 sprint. Penelitian menyebutkan cedera hamstring terjadi di saat fase kaki mengayun ( Swing Phase), ketika hamstring bergerak ke ekstensi knee dan terjadi pemanjangan otot hamstring bekerja secara eksentrik dan kontraksi konsentrik terjadi saat ekstensor hip. Jadi cedera terjadi karena adanya gerakan dan perubahan kontraksi eksentrik ke kontraksi konsentrik (Petersen et al., 2006). Exercise induced muscle soreness dapat disebut sebagai tanda tanda awal terjadinya Delayed Onset Muscle Soreness, seseorang yang terkena DOMS akan merasakan nyeri dan terbakar yang dirasakan pada otot. Penurunan ROM, dan hilang kekuatan otot yang terjadi selama 12 – 24 jam setelah latihan, akan bertambah buruk pada 48 - 72 jam, dan mereda dalam 5 – 7 hari setelah latihan. DOMS ditandai dengan munculnya nyeri dan rasa tidak nyaman yang terjadi pada otot pada 12 – 24 jam dan semakin memburuk pada 48 – 72 jam, rasa nyeri pada otot dan tendon ketika dipalpasi, spasme otot, penurunan kekuatan otot, tanda tanda radang dan bengkak, kekakuan dan terprofokasi terhadap peregangan otot (Day M dan Ploen E, 2010). 2.2 Penanganan DOMS Dengan Ice Massage 2.2.1 Definisi Ice massage Ice massage merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu mengurangi kerusakan jaringan, dan mencegah terjadinya inflamasi pada otot, tendon dan ligamen. Ice massage sangat baik untuk menyembuhkan atau 23 mengurangi rasa nyeri, dan rasa tidak nyaman yang disebabkan strain otot, proses pembengkakan, yang terjadi setelah cedera dan Ice massage dapat diaplikasikan pada semua anggota tubuh. Ice massage dapat diaplikasikan sewaktu waktu dan dapat digunakan sebagai metode penanganan cedera akut tetapi tergantung dari tingkat cedera yang dialami dari jaringan otot. Proses dari pemberian ice massage sangat sederhana, posisi pasien yang nyaman sebelum terapi. Ice digerakkan secara perlahan secara menyilang pada area yang terkena cedera atau dengan gerakan menyilang dari kulit dan usahakan otot pasien dalam keadaan rilek. Ice massage dilakukan setelah terjadi cedera, rasa dingin dari ice akan mengurangi terjadinya proses peradangan pada jaringan ikat dan mengurangi terjadinya resiko bengkak. Dan efek dari massage dapat memberikan efek rileksasi yang menimbulkan efek sedatif bagi jaringan otot. Fisioterapi membantu mempercepat proses penyembuhan, ketika metabolisme menurun saat diberikan ice massage, dan darah akan kembali membawa nutrisi dan akan mempercepat proses penyembuhan. Ice massage akan mengurangi terjadinya kerusakan pada cedera dengan mengurangi terjadinya bengkak dan menjaga peredaran darah 24 2.2.2 Indikasi dan Kontra indikasi Ice massage a. Indikasi Ice Massage 1. Cedera ( sprain, strain, contusio) 2. Sakit kepala 3. Gangguan temporo mandibular (TMJ disorder) 4. Nyeri post operasi 5. Peradangan pada sendi 6. Tendinitis dan bursitis 7. Nyeri lutut, nyeri sendi, nyeri perut b. Kontra Indikasi Ice Massage 1. Open wounds 2. Robekan pada otot 3. Robekan pada tendon 4. Luka bakar 5. Fraktur, dll 25 2.2.3 Efek Fisiologis Pemberian Ice Massage terhadap Jaringan Ice massage yang dilakukan atau diaplikasikan langsung pada kulit akan mempengaruhi penurunan suhu pada kulit. Aplikasi ice massage selama 5 menit akan berpengaruh pada penurunan suhu 18,9 derajat pada otot gastrok. Study lain juga menyebutkan dengan ice massage penurunan suhu ada kulit sebesar 2,7 derajat. Adapun aplikasi ice massage selama 10 menit akan menurunkan suhu kulit 26,6 derajat celcius pada kedalaman kulit sekitar 2 cm. Namun ada penelitian menyebutkan penurunan suhu 15,9 derajat celcius selama 5 menit dengan kedalaman 2 cm (Sterner, 2008). Pemberian ice massage ke pada kulit tidak hanya akan mempengaruhi kecepatan konduksi dan nyeri sensorik pada saraf pada serabut A delta dan C delta, tetapi juga dapat merangsang serabut A delta. Serabut yang berdiameter besar akan mengaktifkan gerbang kontrol nyeri dan akan menghambat munculnya sensasi nyeri karena cedera. Derajat penurunan suhu akan meningkat dengan pemberian ice massage yang lebih. Penelitian menunjukkan adanya penurunan suhu kulit 7,4 ° C akan berpengaruh terhadap kecepatan konduksi saraf sebanyak 33% . dengan pemberian ice massage tersebut menunjukkan bahwa suhu akan menurun 26,6 ° C pada paha setelah diberikan ice massage selama 10 menit dimana suhu kulit normal adalah 33 ° C. Penurunan suhu dari 33 ° C menjadi 26,6 ° C akan membuat suhu kulit menjadi 6,4 ° C. Ini jauh di bawah 14,4 ° C yang merupakan batas terjadinya analgesik maksimum (Sterner, 2008). 26 Respon terhadap cedera akut, ada vasokonstriksi pada tingkat arteriola dan venula yang berlangsung 5 – 10 menit. Pemberian ice massage akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat memperlambat terjadinya pendarahan dan memungkinkan trombosit darah untuk melakukan perbaikan. Terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh. Vasodilatasi ini akan membawa lebih banyak darah ke daerah yang mengalami cedera serta meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Reaksi kimia yang memicu vasodilatasi ini membuang leukosit dan racun yang tertinggal setelah cedera. Proses peredaran darah yang kembali lancar memungkinkan untuk menghambat terjadinya proses peradangan. Respon sel terjadi bersamaan dengan respon vaskular. Setelah trauma terdeteksi mediator kimia memicu respon vaskular. Mediator kimia lainnya juga akan mengingatkan tubuh untuk mengirim leukosit yang menggunakan fagositosis untuk membersihkan dan Sel-sel ini memainkan peran besar dalam perbaikan struktur yang menyebabkan pembengkakan dan edema. Vaskular limfatik dan sistem vaskular berperan untuk menghilangkan getah bening dan zat racun pada tubuh. Pada fase ini aliran darah yang membaik akan membantu untuk menghilangkan zat racun dan leukosit pada area yang cedera (Sterner, 2008). 27 2.2.4 Metode Ice Massage Metode yang digunakan dalam ice massage adalah efflurage (stroking movement), efflurage merupakan gerakan mengusap yang dilakukan secara ritmis dan berturut turut ke arah proksimal. Tekhnik efflurage memiliki efek seudatif yaitu menenangkan, oleh karena itu gerakan ini dapat dilakukan pada awal dan akhir pijatan. Efflurage terhadap peredaran darah antara lain mempercepat pengangkutan zat sampah dan darah yang mengandung karbondioksida dan memperlancar aliran limfe baru dan darah yang mengandung banyak sari makanan dan oksigen. Massage diberikan secara langsung ke area atau otot hamstring dengan gerakan memutar dan stroking selama 15 menit (Purnama, 2012). Beberapa studi menyebutkan penanganan yang sering dilakukan untuk DOMS adalah pasif stretching dan massage. Tetapi penelitian yang mendukung studi tersebut masih sedikit. Beberapa studi yang lain juga melakukan beberapa kombinasi penanganan seperti pemanasan, stretching dan massage, Cryotherapy dan ice massage, massage dan stretching, massage dengan elektrikal stimulasi dan infra merah. Kombinasi penanganan yaitu pemanasan sebelum latihan dan massage setelah latihan menghasilkan efek yang positif (Connolly et al., 2003). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ploen dkk, cryotherapy digunakan untuk mencegah dan untuk mengobati DOMS, Sebanyak 21 subyek dipilih secara acak umur 18 – 25 tahun sebagai kontrol grup. Pre exercise dicatat untuk latihan 28 kontraksi volunter maksimal dan mencatat nyeri. Kelompok kontrol diberikan latihan eksentrik dengan menggunakan dumbel 10 lb dengan tempo 1 detik konsentrik dan 3 detik eksentrik untuk induced muscle soreness. Kelompok yang diberikan perlakuan mengunakan aplikasi es selama 30 menit setelah latihan 2,4,6,24 dan 48 jam.variabel dependen yang dinilai pada 0, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Hasilnya adalah adanya perbedaan yang signifikan antara grup kontrol dan grup aplikasi terhadap nyeri dengan menggunakan latihan dumbel. Dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan latihan menggunakan isometrik . Hal ini menunjukkan kegunaan ice pada kasus DOMS efektif untuk mencegah terjadinya nyeri 24-96 jam setelah latihan. Sedangkan aplikasi menggunakan cryotherapy tidak efektif untuk mengurangi adanya defisit fungsional pada DOMS ( Ploen et al., 2010). Berbeda dengan massage dan stretching penanganan dengan menggunakan cryotherapy dan kompresi banyak digunakan untuk menangani pada cedera untuk mencegah timbulnya nyeri, mengurangi terjadinya efek inflamasi, dan mengurangi terjadinya proses peradangan. Cold Water Immersion (CWI), intermitten pneumatic compression dan compreeson sleeves menunjukkan hasil yang positif untuk menangani gejala timbulnya DOMS. Penanganan dengan CWI selama 15 menit setelah latihan eksentrik fleksi otot elbow setiap 12 jam dengan 7 kali penganan sangat efektif untuk mengurangi nyeri yang ditandai dengan adanya penurunan aktifitas plasma CK. Intermitten pneumatic compression selama 20 menit setelah latihan eksentrik fleksor elbow selam 5 hari berturut turut efektif untuk mengurangi 29 kekakuan (stifness) dan peradangan (sweeling). Kemudian kraemer et al melakukan kompresi pada fleksor elbow setelah aktifitas selama 5 hari efektif untuk mencegah penurunan kekuatan otot, soreness, sweeling dan stiffness ( Ploen et al., 2010). Dewasa ini terapi dingin banyak digunakan untuk menangani cedera akut pada cedera olahraga ataupun karena cedera latihan. Berbagai macam bentuk terapi seperti ice massage, ice pack, cold bath, cryotherapy digunakan untuk mengatasi peradangan dan mengurangi waktu yang diperlukan untuk pemulihan cedera lewat berbagai mekanisme fisiologis (Hurme et al.1993). Perubahan suhu jaringan bervariasi tergantung pada bentuk terapi, waktu pemaparan, suhu awal, dan lokasi anatomis (Bleakly et al.2004). Efek fisiologis terapi dingin disebabkan oleh penurunan suhu jaringan yang mencetuskan perubahan hemodinamis lokal dan sistemik serta disertai respon neuromuskuler. Secara klinis terapi dingin dapat meningkatkan ambang nyeri, mencegah pembengkakan dan menurunkan performa motorik lokal. Namun perlu dihindari pemberian aplikasi dingin yang berkepanjangan untuk menghindari terjadinya efek iritasi, hipotermia dan fros bite (Swenson et al., 1996). 2.2.5 Efek Ice Massage Terhadap DOMS Hamstring 2.2.3.3 Respon Mekanik Dan Neurofisiologis Ice Massage Masuknya ion kalsium ke dalam muscle fibres dan adanya gangguan keseimbangan kalsium pada saat latihan eksentrik akan pulih kembali dengan meningkatnya oksigen pembuluh darah pada area yang cedera. Peningkatan aliran 30 darah dengan pemberian ice massage akan mencegah jumlah produksi neutrofil dan mengurangi kerusakan lanjut yang dapat menyebabkan timbulnya proses peradangan. Peningkatan jumlah asupan oksigen dapat mendorong terjadinya regenerasi mitokondria pada ATP dan transpor aktif kalsium kedalam retikulum sarkoplasma.efek pengaruh pemberian ice massage pada aliran darah lokal dapat meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah vaskuler. Penelitian menunjukkan efek pemberian ice massage pada proses terjadinya DOMS sangat bervariasi, tidak ada perbedaan tingkat kelemahan atau penurunan kekuatan dengan menggunakan tekhnik massage petrissage (kneading) pada anggota tubuh atau ekstremitas atau kombinasi efflurage dan petrissage massage (2 menit efflurage, 5 menit petrissage dan 1 menit efflurage) pada latihan dengan intensitas tinggi (Sterner, 2008). Tubuh dapat memberikan respon hipoksia sekunder karena adanya vasodilatasi dari pembuluh darah . Salah satu efek pertama dari aplikasi ice massage pada sistem tubuh adalah vasokonstriksi yang diberikan pada area. Vasokonstriksi ini dapat menurunkan sel-sel untuk melakukan metabolisme. Penurunan tingkat metabolisme jaringan akan menurunkan suhu temperatur dan dengan terjadinya vasokonstriksi ini dapat mengurangi terjadinya edema. Timbulnya nyeri dapat dicegah dengan pemberian Ice massage karena memberikan pengaruh terhadap konduksi saraf. Serabut saraf akan terpengaruh oleh aplikasi yang diberikan terutama pada synapsis. Satu studi mengatakan penurunan 33% dalam kecepatan konduksi saraf sensorik setelah 10 derajat penurunan temperatur kulit. Penelitian yang sama mengatakan, 31 hasil yang sama dalam menurunkan suhu kulit saraf motorik sebesar 14% . Sensasi saraf sensorik yang menurun akan mengurangi sensasi rasa sakit dengan terjadinya penutupan pada gerbang Gate (Sterner, 2008). Penurunan sensasi saraf motorik akan mengurangi terjadinya kejang otot oleh karena cedera. Semakin cepat pemberian ice masage maka kecepatan konduksi diturunkan dan akan memberikan efek analgesia. Saraf propriocepive memiliki ambang batas yang sangat rendah dan bermielin tebal yang terletak jauh di dalam jaringan. Dengan pemberian es maka akan terjadi penurunan metabolisme dan akan mengurangi terjadinya nyeri dan spasme otot. Satu studi menunjukkan setelah diberikan Ice massage selama 20 menit dan dibagi menjadi beberapa sesi, dilakukan latihan eksentrik, konsentrik, dan isokinetik akan terjadi penurunan kekuatan otot dan kelelahan. Hal ini menunjukkan pemberian Ice massage dalam jangka pendek akan mempengaruhi produksi oksigen (Sterner, 2008). 32 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir DOMS merupakan suatu cedera yang biasa dialami oleh seorang atlit dan bisa juga terkena pada seseorang dengan intensitas latihan yang overload gejala yang timbul berasal dari nyeri otot dan timbulnya kelemahan. DOMS bisa diderita oleh seseorang yang melakukan aktifitas fisik dan kadang tidak melihat tingkat kebugaran seseorang, karena DOMS merupakan suatu efek fisiologis pada jaringan yang memberikan respon terhadap aktifitas yang diterima oleh otot. Delayed Onset Muscle Soreness paling lazim terjadi pada awal pemberian latihan dimana seseorang mulai melakukan latihan setelah lama istirahat dan tidak latihan. Pada seorang atlit hal tersebut terjadi karena fase istirahat yang lama dapat menimbulkan pengaruh terhadap aktifitas fisik yang mengalami penurunan. Gejala yang menyertai terjadinya DOMS meliputi pemendekan otot, spasme otot, terjadinya bengkak, penurunan kekuatan otot, nyeri lokal, dan rasa propioceptive sendi yang terganggu. Gejala yang muncul dapat terjadi dalam 24 jam setelah latihan dan akan menghilang setelah 5-7 hari (Chung et al., 2003). Masa remaja adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat penting. Selain aktif berolahraga, nutrisi yang lengkap dan seimbang juga penting untuk mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan ini. Olahraga bagi remaja 32 33 dapat meningkatkan pertumbuhan tubuh lebih optimal, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan. Latihan yang dilakukan secara rutin pada masa ini akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan. Pada masa pertumbuhan, otot dan tulang membutuhkan aktivitas yang tinggi untuk dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, olahraga bagi remaja memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan tubuh yang optimal. Memiliki tulang yang kuat saat remaja, dapat membantu mengurangi risiko keropos tulang saat dewasa, dan pertumbuhan otot yang baik akan membuat tubuh terlihat lebih ideal. Jenis olahraga yang dapat meningkatkan kekuatan otot dan tulang, seperti basket, bersepeda, dan berenang. Tubuh yang fleksibel dapat membantu meningkatkan performa saat berolahraga dan kegiatan lainnya. Olahraga bagi remaja dapat memperkuat otot-otot, meningkatkan koordinasi dan bahkan memperbaiki postur tubuh. Otot yang fleksibel dapat membantu mencegah keseleo, kram dan masalah punggung yang mungkin dapat terjadi di kemudian hari. Cedera olahraga secara umum dibedakan menjadi cedera traumatis dan cedera berkelanjutan (overuse injury). Cedera traumatis berupa benturan sedangkan overuse injury terjadi karena akibat dari beban kerja fisiologis yang berlebihan. Bentuk cedera dapat berupa memar, strain, sprain sampai patah tulang. Respon tubuh terhadap kerusakan jaringan dapat berupa inflamasi (radang) yang dipicu oleh mediator inflamasi yang dihasilkan oleh sel yang rusak. DOMS pada hamstring dapat terjadi karena adanya kontraksi eksentrik dan konsentrik dari otot tersebut. Adanya ketidakseimbangan antara kekuatan otot dan 34 latihan yang dilakukan berpengaruh terhadap kemampuan otot hamstring untuk dapat memenuhi kebutuhan katihan. Pada saat melakukan gerakan, hamstring berkontraksi untuk melakukan persiapan untuk ekstensi knee dan otot melakukan gerakan untuk memanjang. Hamstring harus merubah dari fungsi untuk eksentrik pada saat persiapan ekstensi knee ke gerakan konsentrik untuk melakukan ekstensi hip. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kontraksi dari eksentrik ke konsentrik memungkinkan terjadinya cedera DOMS pada hamstring. Overload otot adalah penyebab utama ketegangan otot hamstring terjadi ketika otot over stretch melampaui kapasitasnya atau pembebanan yang tiba tiba, dan jika tidak diselingi dengan masa istirahat yang cukup maka hamstring akan memberikan respon yang negatif terhadap latihan yang diberikan yaitu berupa kelelahan yang otot yang akan berujung sampai kerusakan struktur sel. Penanganan DOMS pada hamstring dengan menggunakan ice massage merupakan salah satu modalitas yang banyak digunakan untuk cedera pada fase akut. Pada fase akut , akan terjadi efek fisiologis dari modalitas yang digunakan yaitu berupa vase konstriksi arteri dan vena, penurunan kepekaan saraf bebas dan penurunan tingkat metabolisme sel sehingga mengakibatkan penurunan kebutuhan oksigen sel. Proses tersebut akan mengurangi proses pembengkakan, mengurangi nyeri, mengurangi spasme otot, dan resiko kematian sel. Dewasa ini terapi dingin banyak digunakan pada fase cedera akut pada cerdera olahraga. 35 Efek fisiologis terapi dingin disebabkan oleh penurunan suhu jaringan yang mencetuskan perubahan hemodinamis lokal dan sistemik serta adanya respon neuromuskuler. Terapi dingin dapat meningkatkan ambang nyeri, mencegah pembengkakan dan menurunkan performa motorik lokal. Terapi dingin pada suhu 3,5 derajad Celcius selama 10 menit dapat mempengaruhi suhu sampai dengan 4 cm dibawah kulit. Respon hormonal terhadap terapi dingin adalah pelepasan endorphin, penurunan transmisi saraf sensoris, penurunan aktivitas badan sel saraf, penurunan iritan yang merupakan limbah metabolisme sel, peningkatan ambang nyeri. Terapi dingin lebih mudah menembus jaringan daripada panas. Ketika otot sudah mengalami penurunan suhu akibat aplikasi dingin, efek dingin dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan panas karena adanya lemak subcutan yang bertindak sebagai insulator Dari kerangka berpikir diatas, maka penulis melakukan penelitian untuk melihat apakah aplikasi ice masssage sesudah pelatihan dapat mengurangi DOMS daripada tanpa pemberian aplikasi ice massage sesudah pelatihan pada otot hamstring pada remaja usia 19 tahun. 36 3.2 Konsep Non Ice Massage Post Exercise : Ice Massage Post Excercise : -. Memperlambat tjd inflamasi -. Proses inflamasi meningkat -. Memperlambat proses bengkak -. Kerusakan struktur sel luas -. Mengurangi tjd DOMS -. DOMS tdk dapat berkurang Faktor Eksternal Faktor Internal : -. Inflamasi akut -. Kurang pemanasan DOMS -. Terjadi kerusakan struktur sel Mengurangi DOMS -. Latihan yang overload 37 3.3 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah Aplikasi ice massage sesudah pelatihan dapat mengurangi terjadinya DOMS daripada tanpa aplikasi ice massage sesudah pelatihan pada otot hamstring. 38 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1.Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian post only with control group design (Suparyanto, 2010). Bagan rancangan post test only with control group design penelitian adalah sebagai berikut: P1 P O1 S P2 O2 Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian Keterangan : P : Populasi S : Sampel P1 : kelompok kontrol P2 : kelompok perlakuan O1 : Nilai kelompok 1 tanpa aplikasi Ice massaage sesudah pelatihan O2 : Nilai kelompok 2 dengan aplikasi Ice massage sesudah pelatihan. 38 39 Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian Ice massage dan tanpa ice massage dalam mengurangi terjadinya DOMS. Pada penelitian ini variabel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang diberikan Ice massage dan kelompok tanpa pemberian ice massage. Jumlah sampel masing masing kelompok 10 orang. 4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi penelitian: Penelitian ini dilakukan di Fitnes Centre Gajah Mada Batang dengan sampel mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan. 4.2.2. Waktu penelitian Persiapan penelitian : Juni - Juli 2013 Pengambilan data penelitian : Juli 2013 Pengelolaan hasil penelitian : Agustus 2013 Presentasi hasil penelitian : September 2013 Ujian tesis : Oktober 2013 40 4.3.Penentuan Sumber Data 4.3.1. Populasi Populasi penelitian ini adalah Mahasiswa Laki Laki Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan Program Studi Fisioterapi dan bukan mahasiswa yang terlatih. 4.3.2. Sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik quota sampling yaitu peneliti menentukan besarnya jumlah sampel atau responden untuk menjadi anggota sampel. Teknik pengambilan sampel ini dilakukan sampai jumlah yang telah ditentukan dapat tercapai, yang telah ditetapkan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria eligibilitas. Jumlah sampel dianggap mencukupi yang dihitung dengan rumus federer (Federer, 1963). 4.3.3. Kriteria eligibilitas Kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik populasi terjangkau. Kriteria pengambilan sampel : 4.3.3.1. Kriteria inklusi a. Umur 19 tahun b. Subjek berbadan sehat (tidak sedang cedera atau terapi akibat cedera) c. Bersedia menjadi sampel dan menanda tangani inform consent. d. Subjek bisa diajak bekerjasama dan mengerti instruksi yang diberikan. 41 4.3.3.2. Kriteria eksklusi a. Subjek memiliki kondisi yang buruk untuk mengikuti latihan. b. Subjek menderita cedera atau sakit. 4.3.3.3. Kriteria pengguguran a. Subjek tidak kooperatif dan tidak memenuhi program latihan yang sudah di jadwalkan. b. Subjek selama penelitian tidak teratur mengikuti prosedur penelitian. c. Subjek meminum obat pereda nyeri. 4.4.Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus (federer 1963): (n-1) x (t-1) ≥15 (n-1) x (2-1) ≥ 15 (n-1) ≥ 15/1 n – 1 ≥ 15 n ≥ 16 Ket : n = Jumlah Sampel t = jumlah perlakuan 42 Dari hasil penghitungan di atas maka sample ditetapkan minimal berjumlah 16 sampel. Untuk menghindari adanya sampel yang gugur maka peneliti menggunakan 20 sampel. Sampel akan di bagi menjadi dua kelompok masing-masing 10 orang. 4.5.Variabel Penelitian 4.5.1. Identifikasi variabel Mengukur variabel yang meliputi pengaruh Ice massage untuk mengurangi DOMS Hamstring. 4.5.2. Klasifikasi variabel Yang termasuk klasifikasi variabel dalam penelitian ini adalah: a. Variabel Dependent adalah variabel yang mempengaruhi variabel tergantung. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah terjadinya Delayed Onset Muscle Soreness b. Variabel Independent : Ice Massage 4.6. Definisi operasional variabel Yang termasuk di dalam definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah a. Ice massage Ice massage merupakan salah satu aplikasi yang mudah dilakukan, dengan memberikan efek pada kulit superfisial ataupun pada jaringan yang lebih dalam pada otot. Dan merupakan suatu aplikasi penatalaksanaan pada 43 fisioterapi yang dapat dikombinasi dengan berbagai macam metode. Ice massage memberikan efek untuk terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah kapiler, mengurangi terjadinya proses permeabilitas jaringan dan peredaran darah, sehingga dapat mengurangi terjadinya proses pembengkakan dan respon inflamasi atau peradangan (Smith, 1991). Pemberian aplikasi ice massage dilakukan segera setelah pelatihan pada kelompok perlakuan. Aplikasi ice massage dilakukan pada group otot hamstring dengan metode stroking dan efflurage. Waktu pemberian ice massage dilakukan selama 10 menit pada otot hamstring, segera 30 menit setelah pelatihan diberikan ice massage. Sehari setelah pemberian aplikasi ice massage dalam waktu 24 – 48 jam setelah dihitung nilai muscle soreness pada otot hamstring dengan menggunakan skala talaq. b. Skala Talaq (Talaq Scale) Merupakan salah satu instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur terjadinya Delayed Onset Muscle Soreness (DOMS). 44 c. 1 RM dengan metode Hollten Untuk mengetahui adanya DOMS dilakukan suatu pelatihan yang diberikan pada otot hamstring dengan menggunakan alat En Tree Train. Menghitung 1 RM dengan menggunakan diagram holten. Beban awal padda subjek ditentukan sebesar 12 kg , kemudian subjek melakukan gerakan dengan beban tersebut hingga lelah. Subyek dapat melakukan gerakan selama 26 x repetisi. Kemudian dengan diagram holten kita tarik garis lurus pada sisi repetisi 26 ke arah kiri, didapatkan angka 65 %. Maka B = 65%. Sehingga didapatkkan perhitungan nilai 1 RM adalah Nilai 1 RM = 12 kg x 100% : 65% = 18,46 kg Gambar 2.3 Diagram Holten (Anonim,2008) 45 4.7.Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah sebagai berikut : 1. Form pencatatan data awal 2. Talaq Scale 3. En – tree train (Leg Curl) 4.8.Prosedur Penelitian 4.8.1. Prosedur Penelitian Dalam prosedur penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini melalui dua tahapan yaitu : a. Tahap pertama, yakni pengukuran kemampuan otot dengan metode holten. b. Tahap kedua, yakni peneliti melakukan pengukuran akhir post-test setelah kedua kelompok selesai diberikan perlakuan/intervensi. Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahapan yaitu: a. Tahap persiapan, meliputi: 1. Peneliti membuat surat persetujuan, dan harus ditandatangani Subjek, yang isinya bahwa Subjek bersedia menjadi sample penelitian ini sampai dengan selesai. 2. Melakukan konsultasi untuk meminta ijin melakukan penelitian kepada Dekan dan Ka.Prodi Fisioterapi untuk melakukan penelitian kepada mahasiswa. 46 3. Meminta surat ijin ke TU Universitas Udayana, untuk melakukan penelitian di lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan. 4. Melakukan sosialisasi tentang penelitian yang akan dilaksanakan kepada Subjek dan Instansi penelitian. 5. Menyiapkan alat tulis dan instrumen penelitian. b. Tahap pelaksanaan Secara garis besar pelaksanaan penelitian dilakukan dengan tatacara dan tata urutan sebagai berikut : 1. Subjek penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan tatacara penelitian. 2. Subjek secara acak dibagi dalam 2 kelompok yang masing masing kelompok sejumlah 10, kelompok kontrol sebanyak 10, dan kelompok perlakuan sebanyak 10 Subjek. 3. Kelompok kontrol diberikan tata cara pelatihan dengan menggunakan urutan sebagai berikut : a. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi. b. kemudian masing masing subjek pada kelompok kontrol terlebih dahulu diukur kekuatan pada 1 RM dengan metode diagram holten pada otot hamstring dengan berat 12 kg untuk beban awal.. c. Pengukuran 1 RM menggunakan alat En Tree Train (leg curl) untuk kontraksi otot hamstring dengan posisi tengkurap. 47 d. Kemudian subjek diminta untuk melakukan gerakan sesuai kemampuan subjek. e. Setelah itu kita hitung berapa kali subjek bisa melakukan repetisi gerakan tersebut. f. Kemudian setelah diketahui kemampuan kontraksi, hasil tersebut dihitung dengan menggunakan metode holten dengan rumus yang sudah ditentukan. g. Setelah dihitung dengan rumus, maka akan didapatkan beban sub maksimal yang bisa dilakukan oleh subjek. h. Kemudian untuk mengetahui terjadinya DOMS maka diberikan pelatihan dengan repetisi yang melebihi dosis sebelumnya dan membagi pelatihan menjadi 3 set latihan, jadi akan mendapatkan efek dari pelatihan yang overload untuk memunculkan adanya DOMS. i. Setelah dilakukan pelatihan yang overload, pada kelompok kontrol tidak dilakukan ice massage sesudah pelatihan dan diukur nilai muscle sorenessnya. j. Penilaian muscle soreness dilakukan menggunakan skala talaq kemudian dicatat. 48 4. Kelompok perlakuan diberikan tata cara pelatihan dengan menggunakan urutan sebagai berikut : a. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi. b. kemudian masing masing subjek pada kelompok perlakuan terlebih dahulu diukur kekuatan pada 1 RM otot hamstring dengan berat 12 kg. c. Pengukuran 1 RM menggunakan alat En Tree Train (leg curl) dengan metode pada otot hamstring dengan posisi tengkurap diagram holten. d. Kemudian subjek diminta untuk melakukan gerakan sesuai kemampuan subjek. e. Setelah itu kita hitung berapa kali subjek bisa melakukan repetisi gerakan tersebut. f. Kemudian setelah diketahui kemampuan kontraksi, hasil tersebut dihitung dengan menggunakan metode holten. g. Setelah dihitung dengan rumus, maka akan didapatkan beban sub maksimal yang bisa dilakukan oleh subjek. h. Kemudian untuk mengetahui terjadinya DOMS maka diberikan pelatihan dengan repetisi yang melebihi dosis sebelumnya menjadi 3 set latihan, jadi akan mendapatkan efek dari pelatihan yang overload. i. Setelah dilakukan pelatihan yang overload, subjek diberikan aplikasi ice massage selama 10 menit pada otot hamstring dan 30 menit setelah pelatihan diberikan ice massage. Sehari setelah pemberian aplikasi ice 49 massage dalam waktu 24 – 48 jam dihitung nilai muscle soreness dengan menggunakan skala talaq. j. Penilaian muscle soreness dilakukan menggunakan skala talaq untuk mengetaui nilainya kemudian dicatat. 50 4.8.2. Alur Penelitian POPULASI sampel Kriteria Inklusi Kriteria ekslusi random Kelompok I Kelompok II Pemberian Ice Massage 30 menit sesudah Pelatihan Tanpa pemberian ice massage sesudah pelatihan Mengurangi DOMS Analisis Data Penyusunan tesis Gambar 4.2 : Alur peneliti 51 4.9.Analisis Data Setelah seluruh data terkumpul dari hasil pengukuran terhadap variabel-variabel penelitian dilakukan pengolahan data melalui langkahlangkah berikut : 1. Penyuntingan (editing) yaitu memeriksa kelengkapan data, isian data dan keseragaman data serta konsistensi dan kebenaran data terhadap semua data yang terkumpul. 2. Pemberian kode (koding) yaitu mengelompokan dan memberi kode terhadap data-data menurut variabel-variabel yang telah ditentukan sesuai kerangka penelitian. 3. Pengelompokan data (tabulasi) yaitu mengelompokan data-data dalam bentuk tabel-tabel dari data yang telah dikumpulkan. 4. Menetapkan skala nilai dan kategori untuk masing-masing variabel, kemudian direkapitulasi. Setelah proses pengolahan data selesai selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan fasilitas komputer melalui program Statistical Product and Service Solution (SPSS), dengan langkah sebagai berikut : 1) Variable karakteristik sampel akan diolah dengan SPSS dan dipaparkan secara deskriptif menggunakan grafik/tabel. 2) Uji normalitas distribusi dalam penelitian ini menggunakan uji sapiro wilk test. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah data sebelum perlakuan dan 52 setelah perlakuan pada kelompok perlakuan dan pada kelompok kontrol tersebut berdistribusi normal atau tidak normal. 3) Perbandingan data antara kedua kelompok diuji dengan Mann Whitney U, pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika probabilitas < 0,05 maka H0 diterima dan jika probabilitas > 0,05, maka H0 ditolak. 53 BAB V HASIL PENELITIAN Pengambilan data pelatihan dengan aplikasi ice massage dan non ice massage dalam mengurangi DOMS, telah dilaksanakan di fitnes centre “Gajah Mada” kota batang dengan menggunakan rancangan post test only with control group design terhadap dua kelompok. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui pengaruh Ice Massage dalam mengurangi DOMS. Sampel dalam penelitian berdasarkan rumus Pocock berjumlah 20 orang, dengan masing masing 10 orang kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelatihan dan 10 orang sampel kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pelatihan dengan melakukan pelatihan menggunakan En Tree Train. Masing masing kelompok dinilai terjadinya muscle soreness dengan menggunakan skala talaq setelah diberikan aplikasi ice massage. Karakteristik responden dalam penelitian telah disesuaikan dengan kriteria yang telah ditentukan sehingga mendapatkan jumlah yang diinginkan. Jenis data yang didapatkan dalam penelitian ini merupakan jenis data kategorik yang di ukur menggunakan skala talaq. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji t. 5.1. Karakteristik subjek Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik responden dalam penelitian ini, yaitu meliputi jenis kelamin dan usia, sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 20 orang dan 54 53 54 tidak terdapat responden yang berjenis kelamin perempuan serta usia responden 19 tahun. 5.2. Uji Normalitas Untuk melihat uji statistik apa yang akan digunakan dalam analisis maka dilakukan uji asumsi pada uji t-test, yaitu normalitas data dan homogenitas variansi. Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah distribusi data dalam penelitian berdistribusi normal atau tidak. Untuk melihat distribusi normal data dalam penelitian ini digunakan uji Saphiro wilk.. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 5.1 Uji Normalitas Rerata±SB Normalitas (p) Keterangan Postest Ice Massage 1,4±0,699 0,000 Tidak Normal Postest Non Ice Massage 2,1±0,782 0,108 Normal Variabel Berdasarkan Tabel 5.1 didapatkan dengan uji saphiro wilk test nilai signifikan pada variabel dengan pemberian Ice Massage sebesar 0,000 dan nilai signifikan pada variabel postest Non Ice Massage sebesar 0,108. nilai probabilitas yang didapatkan tersebut sehingga data postest dengan pemberian Ice Maasage tidak berdistribusi normal dan postest Non Ice Massage adalah berdistribusi normal. 55 5.3. Hipotesis perbedaan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terhadap DOMS Uji beda dilakukan untuk mengetahui perbandingan dalam mencegah resiko DOMS pada kelompok perlakuan (Ice Massage) dan kelompok kontrol (Non Ice Massage). Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka dilakukan uji Mann Whitney U. Suatu sampel yang saling independent dapat dikatakan mempunyai perbedaan yang signifikan jika nilai p-value (p) yang didapatkan lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Berdasarkan analisis yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 5.2 Uji Hipotesis Beda terhadap terjadinya DOMS Sesudah Pelatihan Variabel Kelompok Ice Massage dan Non Ice Massage Mean Non ice Ice Massage Massage 0,497 1,400 t-hitung p Keterangan -2,221 0,026 Signifikan Berdasarkan Tabel 5.2 didapatkan nilai t-hitung sebesar -2,208 dengan nilai probabilitas sebesar 0,026 < 0,05, hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok Ice Massage dan kelompok Non Ice Massage untuk mengurangi resiko DOMS. Jika melihat dari besarnya nilai rata-rata yang didapatkan pengurangan nyeri DOMS terbesar adalah terdapat pada kelompok perlakuan (Ice 56 Massage) sebesar 1,4. Sedangkan pada kelompok non Ice Massage adalah sebesar 0,497. 57 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Responden dan Jenis Data Subyek dalam penelitian ini di ambilkan dari populasi mahasiswa laki-laki Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pekalongan. Subyek dalam penelitian sebanyak 20 orang, dengan 10 orang subjek pada kelompok perlakuan dan 10 orang subjek pada kelompok kontrol. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapatkan sebagian besar responden adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 20 orang dengan umur rata-rata responden adalah 19 tahun. 6.2 Uji Asumsi Data Penelitian Pada analisis DOMS memiliki asumsi-asumsi atau syarat-syarat yang dipenuhi, yaitu normalitas data dan homogenitas variansi dari masing-masing variabel. Pada hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan nilai p-value pada uji normalitas kelompok ice massage sesudah pelatihan sebesar 0,000 dan uji normalitas pada kelompok non ice massage sesudah pelatihan didapatkan p value sebesar 0,108. Pada uji perbandingan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan dengan uji Mann whitney u test untuk membandingkan data pada kedua kelompok perlakuan. 57 58 6.3 Perbedaan aplikasi ice massage dan non ice massage sesudah pelatihan dalam mengurangi DOMS Dari hasil analisis data yang telah dilakukan didapatkan nilai Mann Whitney U rank sebesar -2,221 dengan nilai p-value sebesar 0,026 < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ice massage dan non ice massage setelah pelatihan dalam mengurangi resiko DOMS. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh yang menyebutkan bahwa pemberian ice massage pada waktu 20 menit setelah pelatihan akan menurunkan resiko terjadinya DOMS, mengurangi nyeri dan kerusakan yang lebih luas (Cheung et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan smith pada tahun 1991 menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pemberian ice massage post pelatihan terhadap terjadinya sweeling dan respon inflamasi sebagai akibat dari pelatihan yang berat yang bisa menyebabkan kerusakan otot sehingga memicu terjadinya DOMS. Pemberian tindakan berupa ice massage dapat mengurangi terjadinya efek negatif dari kerusakan otot pada pemberian ice massage sedini mungkin setelah adanya pelatihan terhadap terjadinya muscle soreness (Guick et al.,1996). Pemberian ice massage pada waktu 24 – 48 jam setelah pelatihan dapat digunakan untuk mengurangi terjadinya atau timbulnya kerusakan otot, tetapi pemberian ice massage pada 96 jam setelah pelatihan dapat menimbulkan efek negatif atau merupakan salah satu kontra indikasi karena proses metabolisme yang sudah berbeda dalam waktu rentan tersebut (Isabel et al., 1992). 59 Salah satu studi mengatakan penurunan 33% dalam kecepatan konduksi saraf sensorik setelah 10 derajat penurunan temperatur kulit. Penelitian yang sama mengatakan, hasil yang sama dalam menurunkan suhu kulit saraf motorik sebesar14% .Sensasi saraf sensorik yang menurunakan mengurangi sensasi rasa sakit dengan terjadinya penutupan pada gerbang Gate. Penurunan sensasi saraf motorik akan mengurangi terjadinya kejang otot oleh karena cedera. Semakin cepat pemberian ice masage maka kecepatan konduksi diturunkan dan akan memberikan efek analgesia. Saraf propriocepive memiliki ambang batas yang sangat rendah dan bermielin tebal yang terletak jauh di dalam jaringan. Dengan pemberian es maka akan terjadi penurunan metabolisme dan akan mengurangi terjadinya nyeri dan spasme otot. Satu studi menunjukkan setelah diberikan Ice Massage selama 20 menit dan dilakukan latihan eksentrik, konsentrik, dan isokinetik akan terjadi penurunan kekuatan otot dan kelelahan. Hal ini menunjukkan pemberian Ice Massage dalam jangka pendek akan mempengaruhi produksi oksigen (Sterner, 2008). Latihan merupakan salah satu stressor fisik yang dapat mengganggu keseimbangan homeostatis. Sehingga dalam pemberian latihan harus disesuaikan dengan kemampuan dengan dosis yang tepat, sehingga dapat memberikan kesempatan untuk melakukan mekanisme penyakit (coping) yang dapat merubah stressor menjadi stimulator (Sugiharto.2003). Ketika terjadi DOMS maka tubuh dapat memberikan respon hipoksia sekunder karena adanya vasodilatasi dari pembuluh darah . Salah satu efek pertama dari aplikasi Ice Massage pada sistem 60 tubuh adalah vasokonstriksi yang diberikan pada area. Vasokonstriksi ini dapat menurunkan sel-sel untuk melakukan metabolisme. Penurunan tingkat metabolisme jaringan akan menurunkan suhu temperatur dan dengan terjadinya vasokonstriksi ini dapat mengurangi terjadinya oedema. Timbulnya nyeri dapat dicegah dengan pemberian Ice Massage karena memberikan pengaruh terhadap konduksi saraf. Serabut saraf akan terpengaruh oleh aplikasi yang diberikan terutama pada synapsis (Sterner, 2008). Pada saat melakukan kontraksi eksentrik dan konsentrik otot beradaptasi untuk memanjang dan memendek, ketika terjadi kontraksi eksentrik otot berada pada kontraksi yang optimal memanjang, sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan dari otot terutama terjadi pada sarcomere yang berada pada posisi memanjang. Jika sarcomere pada kontraksi menanjang dan pada tegangan yang optimal, makan kemungkinan terjadi kerusakan jaringan otot dapat terjadi (Proske and Morgan, 2001). Perubahan suhu jaringan bervariasi tergantung pada bentuk terapi, waktu pemaparan, suhu awal, dan lokasi anatomis (Bleakly et al.,2004). Efek fisiologis terapi dingin disebabkan oleh penurunan suhu jaringan yang mencetuskan perubahan hemodinamis lokal dan sistemik serta disertai respon neuromuskuler. Secara klinis terapi dingin dapat meningkatkan ambang nyeri, mencegah pembengkakan dan menurunkan performa motorik lokal. Namun perlu dihindari pemberian aplikasi dingin yang berkepanjangan untuk menghindari terjadinya efek iritasi, hipotermia 61 dan fros bite. Tubuh mempunyai respon yang dapat berlangsung secara otomatis terhadap tubuh (Swenson et al., 1996). Tetapi dalam mekanisme perbaikan sel atau jaringan otot yang telah mengalami kerusakan tersebut diperlukan perlakuan yang sesuai dan tepat yang dapat mendukung proses perbaikan jaringan berlangsung dengan baik. Ketika terjadi DOMS jaringan disekitar cedera atau pada otot hamstring mengalami perubahan struktur jaringan dan metabolisme. Perubahan struktur jaringan yang mengalami kerusakan atau robek akan mengganggu aktifitas otot tersebut dapat berkontraksi dengan maksimal. Otot dapat mengalami peradangan, spasme, kelemahan, sehingga akan berpengaruh terhadap gerakan yang melibatkan sendi ataupin gerakan yang lain. Pemberian ice massage dengan durasi dan dosis yang sesuai dengan derajat kerusakan otot akan membantu mengurangi atau menurunkan derajat kerusakan otot yang bisa mengakibatkan DOMS. Jika pada kondisi DOMS dibiarkan dan tidak diberikan penanganan secara cepat, maka kemungkinan rasa nyeri dan kerusakan yang terjadi pada otot akan lebih lama mengalami perbaikan, sehingga penanganan jika terjadi DOMS sebaiknya dilakukan dengan secepatnya (Connoly et al., 2003). Apabila DOMS tidak diberikan penanganan apapun setelah dilakukan pelatihan overload, dimana pelatihan yang diberikan memberikan efek dapat merusak struktur dan jaringan pada otot maka akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada struktur otot yang lebih luas. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbaikan secara optimal pada jaringan ataupun struktur otot, tanpa memberikan 62 aplikasi ice massage pada otot hamstring yang mengalami kerusakan, akan menyebabkan metabolisme yang mengakibatkan kerusakan otot atau struktur otot akan terus berlangsung. Proses metabolisme pada saat terjadi kerusakan struktur sel akan terus meningkat, terjadinya proses degradasi dari Z disc dan akan menimbulkan terjadinya inflamasi, peningkatan jumlah leukosit. Jika hal tersebut semakin lama terjadi akan memberikan perubahan terhadap osm\olaritas pada jaringan, terjadi lokal ischemic, nyeri, terjadi sweeling dan inflamasi dan DOMS tidak akan berkurang (Connoly et al., 2003). Dengan melihat hasil tersebut, maka pemberian ice massage dengan segera setelah pelatihan akan dapat mengurangi terjadinya DOMS daripada tidak diberikan ice massage. 6.4 Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa penelitian yang telah dilakukan masih banyak keterbatasannya. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sedikitnya jumlah sampel, pengukuran dalam penelitian ini hanya menggunakan satu bentuk pengukuran talaq scale yang berkaitan dengan muscle soreness, tidak membandingkan dengan variabel yang berbeda, tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui jumlah kadar CK, pemeriksaan otot secara mikroskopis. Peneliti tidak dapat mengontrol sampel dari aktifitas yang lain, termasuk aktivitas pasien di lingkungan, dan tempat tinggal. 63 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian aplikasi ice massage sesudah pelatihan lebih baik dalam mengurangi terjadinya DOMS daripada tanpa pemberian ice massage pada otot hamstring. 7.2. Saran Beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti berdasarkan hasil penelitian di atas adalah sebagai berikut: 1. Pemberian ice massage dapat digunakan untuk mengurangi DOMS dan sebaiknya dilakukan tidak lebih dari 48 jam sesudah pelatihan. 2. Pemberian penanganan lebih dari satu tindakan fisioterapi terhadap terjadinya DOMS perlu diteliti. 3. Penggunaan pemeriksaan laboratorium sebagai tambahan informasi tentang cedera yang terjadi pada jaringan otot. 4. Perlu adanya penelitian yang lebih jauh tentang penanganan DOMS menggunakan metode Ice Massage ataupun menggabungkan beberapa metode dalam menangani DOMS. 63 64 Anonim.2013. What Is Ice Therapy. [cited 2013 http;//www.wisegeek.com/what-is-ice-therapy.html feb Anonim.2009.Otot Hamstring. [cited 2013 feb] available prostetik.blogspot.com/2009/04/cedera-otot-hamstring.html Anonim.2013.Contraindications Massage. [cited 2013 http;//www.sportsinjuryclinic.net/treatments-therapies/sports masage/contraindications-massage. 18] available http;//www.ortotik- feb] available Anonim.2013..Hamstring Strain. [cited 2013 feb] available http;//www.sportsinjuryclinic.net/sports-injuries/thigh-pain/hamstring-strain/expertinterview-hamstring-strain-massage Anonim.2013.Cryotherapy Cold Therapy [cited 2013 feb] available http;//www.sportsinjuryclinic.net/treatments-therapies/cryotherapy-cold-therapy/hotcold-therapy. Anonim.2013.Reducing The Effects Of Delayed Onset Muscle Soreness. [cited 2013 feb ] available http;//www.sports-fitness-advisor.com/delayed-onset-muscle-soreness.html Bryan C, Heiderscheit.2010. Hamstring Strain Injuries;Recomendations For Diagnosis, Rehabilitation, And Injury Prevention. Journal of orthopaedic & sports physical therapy Bleakley C, Mc Donough S, Gardner E, Baxter GD, Hopkins JT, Davison GW.2012.Cold Water Immersion(Cryotherapy)For Preventing And Treating Muscle Soreness After Exercise (Review).published in the cochrane library 2012,issue 2 Bleakey chris, Mc Donough Suzane, MacAuley Domnhall.2004. The Use Of Ice In The Treatment Acute Soft Tissuee Injury. Rehabilitation research group.american journal of sports medicine Cheung K, Hume P, Maxwell. 2003. Delayed Onset Muscle Soreness:Treatment Strategies And Performance Factors. School of community health and sports studies, auckland university of technology, auckland, new zealand. [sports med.2003,145-64 Cheung K, Hume PA, Maxwell L.2003. Delayed Onset Muscle Soreness Treatment Strategies And Performance Factors. Sports med 2003;33(2)145-164 65 Curtis D, Fallows S.Et al. 2008. The Efficacy Of Frequency Specific Microcurrent Therapy On Delayed Onset Muscle Soreness. Journal Of Bodywork & Movement Therapies. Available www.elsevier.com/jbmt Connolly D, Sayers P, Mc Hugh P.2003. Treatment And Prevention Of Delayed Onset Muscle Soreness. Journal Of Strength And Conditioning Research,17(1),197-208 Copland S, Tipton John S, Karl B Fields.2009. Evidence Based Treatment Of Hamstring Tears. Competitive sports and pain management.American College Of Sports Medicine.www.acsmr.org Connell D, Koulouris G. 2004. Hamstring Muscle Complex: An Imaging Review. Department of Radiology, The Alfred Hospital, Melbourne, Australia. Diunduh http://radiographics.rsna.info/content/25/3/571.full 21 jan 2013 Dahlan MS.2001. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.2001 Federer, Walter T. 1963 Procedures and Designs Useful for Screening Material in Selection and Allocation,Cornell University, USA Haryanto. 2010.Pengertian Remaja Menurut Para http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/. 18 des 2012. Ahli Diunduh Hilbert JE, Sforzo GA, Swensen T. The effects of massage on delayed onset muscle soreness. Br J Sports Med. 2003;37:72–75. [PMC free article] [PubMed] Hoskins W, Pollard H.2004.Hamstring Injury Management- Part 2:Treatment. Macquire Injury Management Group,Macquire University,Sydney,Australia. available online www.sciencedirect.com Howatson G, Gaze D, Someren K.A.2005. The Efficacy Of Ice Massage In The Treatment Of Exercise Induced Muscle Damage. Scandinavian journal of medicine & science in sports.2005;15;416-422. Howatson G, Gaze D, Someren K.A.2003. Ice Massage.Effects Of Exercise Induced Muscle Damage. J sports med phys fitness. Avvailable http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14767412 Howatson Et al.2004. The Efficacy Of Ice Massage In The Treatment Of Exercise Induced Muscle Damage. Scandinavian Journal Of Medicine & Science In Sports. 417-419 Igor Et al.1999.Hyperbaric oxygen therapy does not effects recovery from delayed onset muscle soreness. Medicine & Science In Sports & Exercise. American College Of Sports Medicine 558-563. 66 Jalalvand Ali, Anbarian Mehrdad, Tanaka Alice, Khorjahani Ali.2011. The Effects Of A Combination Treatment (Pnf Stretching Pre Exercise, Ice Massage Plus Static Stretching 30 S Post Exercise) On Markers Of Exercise Induced Muscle Damage. Australian Journal Of Basic And Applied Sciences Kangsgard.M, Aagaard.P, Roikjaer.P, Olsen.D, Jensen M, Langberg H, S.P. Magnusson.2006. Decline eccentric squats increases patellar tendon loading compared to standard eccentric squats. Institute of Sports Medicine, Bispebjerg Hospital. Mancinelly C.A, Davis Scott D, Aboulhosn L, Brady M, Eisenhofer J, Foutty S.2005. The Effects of Massage On Delayed Onset Muscle Soreness and Physical Performance in Female Collegiate Athlete Mendiguchia.J, Geli. EA, Brughelli. M.2013. Hamstring Strain Injuries : Are We Heading In The Right Direction?. Bjsm.com Molly D, Ploen E.2010.The Effectiveness Of Cryotherapy In The Treatment Of Exercise Induced Muscle Soreness. Departement of exercise and sport science. Novita I A.2012 Terapi Dingin (Cold Therapy) Dalam Penanganan Cedera Olahraga. UNY Petersen J, Holmich P.2006. Evidence Based Prevention of Hamstring Injuries In Sport. [WWW.bjsportmed.com]. 319-320 Proske, Morgan.2001. Muscle Damage From Exccentric Exercise Mechanism, Mechanism Sign, Adaptation and Clinical Applications. Dept.Of Physiology And Electrical And Computer System Engineering.Monash University Poltwaski L, Watson, T. 2009. Bioelectricity and Microcurrent Therapy For Tissue Healing – A Narrative Review. School of Health and Emergency Professions, University of Hertfordshire, UK Pichaiyongwongdee S, Akamanon C.2009. Effects Of Traditional Thai Massage On Exercise Induced Delayed Onset Mucle Soreness In Thai Females Aged 18-25 Years. Thailand. Roth.S.2013.Lactic Acid Build Up And Soreness In Muscle. Available http:/www.active.com/running/articles/what-causes-delayed-onset-muscle-soreness Smith L.L.1992. Causes Of Delayed Onset Muscle Soreness And Impact On The Athletic Performance:A Review. Journals Of Applied Sports Science Research. 67 Widiyanto.t.t. Latihan Tidak Teratur Dan Kerusakan Jaringan. Jurusan Pendidikan Kesehatan Dan Rekreasi FIK UNY Swenson C, Sward L, Karlsson J. Cryotherapy in sports medicine. Scandinavian Journal of Medicine and Science in Sports. 1996;6:193-200. Suparyanto, 2010. Rancangan Penelitian Eksperimen (Experiment Design Research). [cited 2013 sept 19 ] available http;// dr-suparyanto.blogspot.com/2010/08/rancanganpenelitian-eksperimen.html. Zainuddin Z, Newton M , Sacco P, Nosaka K. 2005. Effects of Massage on DelayedOnset Muscle Soreness, Swelling, and Recovery of Muscle Function. J Athl Train. 2005 Jul-Sep; 40(3): 174–180.