BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Pendahuluan Sekilas Memahami Embeddedness Embeddedness merupakan hasil kajian dari ranah studi sosiologi dan ekonomi, untuk menyandingkan ekonomi dengan ilmu sosial dalam mengkaji berbagai tindakan ekonomi dalam kacamata sosial (Mudiarta, 2011). Bidang usaha ekonomi selama ini selalu dibahas dari kiblat ekonomi yang rasional saja, sehingga menghasilkan solusi-solusi yang rasional pula. Padahal usaha yang bertumbuh dalam sebuah konteks sosial, tidak bisa langsung didikte dengan ilmu ekonomi rasional, tanpa mengkaji aspek sosial yang menjadi latar setting usaha. Pendekatan ekonomi yang demikian menurut Zahri Nasution cenderung parsial dan ahistoris sehingga menyebabkan ekonomi belum bisa mencapai tujuannya untuk mensejaterahkan masyarakat. Maka lahirlah sosiologi ekonomi yang merupakan pengintegrasian antara teori ekonomi dan masyarakat. Tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial, yang dihasilkan dari relasi-relasi sosial (Nasution, 2008). Dalam pengertian kontemporer, suatu tindakan ekonomi pada prinsipnya selalu melekat (embeddedness) dalam struktur sosial, namun tidak berarti meniadakan atau melemahkan individu itu sendiri (Mudiarta, 2009). Tindakan ekonomi lahir dalam ranah stuktur sosial. Tindakan ekonomi itu sendiri melekat dalam relasi sosial. Granovetter tidak mengutak-atik soal struktur sosial itu sendiri, tetapi lebih menekankan pada jaringan sosial yang terbentuk dalam relasi sosial tersebut. Embeddedness diindentifikasi sebagai sifat, kedalaman dan tingkat hubungan individu ke dalam lingkungan (Anderson and Jack, 9 2002: 468). Jadi relasi social yang terbentuk dari hubungan individu memiliki karakteristik yang menyatu dengan lingkungan sosial. Ditambahkan pula baru-baru ini embeddedness dikatakan sebagai elemen pembentuk proses bisnis yang umum. (Uzzi, 1997 dalam Anderson and Jack, 2002: 468). Karena peluang berasal dari lingkungan dan lingkungan memiliki link dan struktur yang menjiwai bisnis itu sendiri. Pengambilan keputusan untuk merespon peluang dan memulai usaha baru tidak dilakukan dalam kondisi samar-samar, melainkan yang terlibat dalam jaringan hubungan sosial. Kondisi samar-samar bisa menghasilkan keputusan yang tanpa pertimbangan. Individu didorong oleh jaringan sosialnya untuk mengambil keputusan serta menjadikan jaringan sosial sebagai item-item pertimbangan. Dengan demikian, individu tidak memutuskan untuk memulai bisnis di ruang hampa; sebagai gantinya mereka berkonsultasi dan dipengaruhi oleh orang lain yang signifikan dalam lingkungan sosial mereka. (Aldrich dan Cliff, 2003). Lingkungan sosial tidak bisa lepaskan dari konteks sosial, sejalan dengan perspektif embeddedness social menyatakan bahwa pengusaha tidak terisolasi atau yang disebutkan atomized pengambil keputusan (Granovetter, 1985). Artinya pengusaha bukanlah atom yang lepas dari konteks sosial. Pengusaha terhubung dalam jaringan sosial yang menyediakan informasi, pengetahuan dan pengaruh (Aldrich dan Cliff, 2003). Keterhubungan pengusaha dalam jaringan social dikarenakan keterbatasannya sebagai individu pada ketersediaan sumber daya yang hendak disumbangkan bagi pengembangan ikatan atau tindakan sosial tertentu. Usaha merupakan suatu bentuk ikatan sosial ekonomi. Karena keterbatasan individu itulah, maka ikatan membutuhkan sumber daya lain yang dapat diperoleh melalui jaringan yang lemah agar ikatan bisa menjadi lebih kuat.(Hayton et.al, 2011:16). Penulis setuju dengan pemikiran Granovetter yang meletakkan individu embedded dalam sistem sosial berupa relasi sosial yang mikro. Artinya secara sadar individu dipengaruhi oleh relasi sosial tersebut 10 untuk menghasilkan tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi berupa pembentukan usaha baru misalnya, diproduksi karena interaksi individu dengan relasi sosial di sekitarannya. Di dalam relasi sosial itu sendiri terdapat jaringan sosial yang semakin menguatkan individu dalam menghasilkan tindakan ekonomi. Relasi sosial yang berisi jaringan sosial (Granovetter, 2005) selanjutnya menjadi ranah atau field bagi individu untuk berkreasi, merupakan pandangan penulis yang sedikit bergeser dari Granovetter. Kreasi individu itu bahkan termasuk andilnya membentuk jaringan sosial itu sendiri dan selanjutnya memanfaatkan jaringan sosial itu untuk memproduksi tindakan ekonomi. Pada titik ini, Granovetter tidak berbicara tentang pembentukan jaringan sosial tempat individu embedded , seakan-akan jaringan itu sudah ada dengan sendirinya. Jadi menurut penulis, tindakan individu embedded dengan struktur sosial disekitarnya sebagai ranah bertindak memproduksi jaringan sosial untuk semakin menguatkan tindakan individu dan struktur sosial yang ada serta relasi di antara keduanya. Pada tesis ini, penulis hendak menganalisis aktivitas ekonomi yang menyatu dengan sistem jaringan sosial dalam keluarga dan masyarakat, karena itu penulis menjadikan Embeddedness ala Granovetter sebagai alat analisis. Granoveter bergantung pada jaringan untuk merangkum aktor-aktor ekonomi dalam relasi-relasi sosial. Konsepnya lebih mengarah kepada pelekatan ekonomi pada relasirelasi sosial. Analisis terhadap relasi-relasi sosial tersebut memunculkan tindakan sosial, termasuk di dalamnya tindakan ekonomi. Granoveter menggunakan kata embeddedness untuk menegaskan teori jaringan sebagai metode terbaik untuk menganalisis masalah di sekitar sosial ekonomi.Menurut Granoveter, konsep tindakan sosial melekat (embeddedness) dalam jaringan sosial. Penyelidikan atas pola keterlibatan individu ke dalam relasi sosial, memberikan penjelasan yang lebih mendesak tentang perilaku dalam konteks ekonomi. 11 Usaha yang Embedded Dengan Lingkungan Sosialnya Usaha tidak berdiri di dalam ruang hampa, melainkan ia dikelilingi oleh konteks sosial yang mempengaruhi pengusaha dalam mengambil keputusan dan memunculkan tindakan ekonomi. Jika ditilik lebih jauh, sebuah usaha ada di dalam keluarga selanjutnya usaha dan keluarga ada di dalam masyarakat, jadi sebuah usaha embedded dengan famili, kemudian embedded pula dengan lingkungan sosialnya. Pengambilan keputusan seorang pengusaha tentunya sangat terkait dengan konteks tempatnya melekat, baik keluarga maupun masyarakat. Pengambilan keputusan yang terjadi dalam sebuah usaha bukanlah sesuatu yang tersamar, melainkan mereka semuanya terlibat dalam jaringan hubungan sosial. Dalam pengambilan keputusan tersebut mereka harus berkonsultasi dengan individu lain di sekitarnya, untuk memulai usaha baru atau untuk melakukan mobilisasi sumber daya yang signifikan bagi usaha yang baru tersebut (Aldrich dan Zimmer, 1986: 6). Tindakan ekonomi lahir dari perkawinan individu dengan konteks tempatnya embedded, karena itu individu bukanlah seseorang yang independen. Hal ini sejalan dengan kritik Granovetter terhadap paradigma ekonomi neoklasik yang memandang usaha sebagai hal yang rasional, independen dan deterministik. Asumsi ekonomi neo klasik bahwa secara rasional individu berperilaku menurut kepentingan diri sendiri dan sangat minim pengaruh hubungan sosial terhadapnya. Argumen Granoveter secara tegas menyatakan bahwa perilaku dan institusi yang dianalisis begitu dibatasi oleh hubungan sosial yang sedang berlangsung bahwa untuk menafsirkan mereka sebagai independen adalah kesalahpahaman yang menyedihkan. (Granovetter, 1985: 481) Pandangan Granovetter tentang Embeddednes ini kemudian menjadi dasar kritikan para ahli lain, misalnya Howard Aldrich terhadap pendekatan tradisional dan mengusulkan pendekatan alternatif. Pendekatan tradisional berbasis pada teori kepribadian yang 12 melihat adanya ciri-ciri khas pada kepribadian seseorang yang membuatnya mampu menjadi seorang pengusaha yang suskes. Pengusaha tersebut rasional, independen dan deterministik. Padahal Howard Aldrich mengatakan individu memiliki keterbatasan kognitif. Selain itu sudah ada penelitian psikologi sosial yang membuktikan bahawa individu sangat tergantung pada lingkungannya. Seorang pengusaha tidaklah independen seperti dikatakan oleh pendekatan tradisional tetapi embedded dengan lingkungan sosialnya. Model alternatif kewirausahaan diusulkan yang mengidentifikasi kewirausahaan sebagai: (1) tertanam dalam jaringan melanjutkan hubungan sosial, (2) difasilitasi atau dibatasi oleh hubungan antara calon pengusaha, sumber daya dan kesempatan, dan (3) dipengaruhi oleh interaksi kesempatan, kebutuhan, dan tujuan semua tindakan sosial (yaitu perspektif masyarakat terhadap pembentukan organisasi dan ketekunan).(Aldrich dan Zimmer, 1986). Pendirian usaha baru yang terkait dengan perolehan peluang, keputusan start-up serta mobilisasi sumber daya (Cliff dan Aldrich, 2003) membutuhkan korelasi positif antara usaha dengan konteks sosialnya. Peluang dapat ditemukan karena dorongan kebutuhan keluarga. Bahkan ketika keluarga bertransisi sekalipun seperti yang terjadi di Amerika Utara dalam penelitian Jeniffer Cliff dan aldrich (2003), justru memunculkan banyak peluang usaha baru. Pengambilan keputusan start-up bersinggungan dengan konteks sosialnya yakni keluarga. Mobilisasi sumber daya untuk memulai usaha baru, biasanya dimulai dari konteks sosial usaha yakni keluarga. Dalam rewiew beberapa literatur di atas, konsep embeddedness dan usaha kebanyakan melihat korelasi konteks sosial dengan usaha pada tahap pembentukan usaha baru saja. Menurut penulis, korelasi ini berlaku pula hingga perjalanan usaha di tengah situasi sosial ekonomi yang kondusif maupun tidak. Pertanyaan tentang bagaimana konteks sosial dalam hal ini jaringan sosial memainkan perannya dalam roda perputaran usaha, belum banyak dikaji. Apalagi ketika usaha berada di 13 tengah krisis, usaha terus berupaya untuk tetap berjalan, sumbangsih konteks sosial bagi usaha tentunya sangat menarik untuk dikaji pula. Family Embeddednees Pengertian keluarga terkait dengan relasi kekerabatan berdasarkan perkawinan, biologi atau adopsi dan mengharuskan bahwa keluarga itu dibangun diatas kewajiban dan tugas minimal (Rothausen, 1999 dalam Toumbeva, 2012 : 10). Jadi keluarga tidak dibatasi pada keluarga inti saja. Tetapi relasi kekerabatan secara vertical dan horizontal yang terbentuk karena adanya perkawinan dan adopsi. Relasi kekerabatan vertikal berarti keluarga inti dan keluarga ayah ibu di atasnya. Secara horizontal relasi kekerabatan saudara sepantaran. Family embeddedness menurut Tatiana Toumbeva adalah sejauh mana individu tertanam dalam keluarga mereka. Individu itu tertanam di dalam jaringan dan struktur sosial. Jadi family embeddedness tidak sama dengan motivasi atau komitmen terhadap keluarga. Tetapi family embeddedness lebih luas dari hal tersebut.bahwa nantinya ada komitmen dalam keluarga, itu adalah hal yang semakin menguatkan link atau jaringan dalam keluarga. (Toumbeva, 2012: 11) Seperti api hidup oleh oksigen, kewirausahaan hidup karena adanya oksigen yang berupa: Sumber daya keuangan, sumber daya manusia, pendidikan, kondisi ekonomi dan keluarga. Meskipun keluarga meresapi kebanyakan usaha bisnis di sekitarnya, memberi kontribusi berupa SDM dan keuangan bagi sebagian besar usaha dan menyediakan sumber utama dan asal pendidikan dan nilai-nilai yang sangat penting untuk pengusaha, penelitian kewirausahaan umumnya mengesampingkan keluarga sebagai oksigen bagi api kewirausahaan. Pada setiap usaha, hubungan keluarga merupakan bahan bakar utama. Karena di dalam keluarga ada berbagai sumber daya termasuk jaringan sosial. Kewirausahaan tidak dapat tumbuh tanpa mobilisasi kekuatan keluarga. Keluarga yang membuat seorang pengusaha ada lewat fungsi 14 berkembang biak. Keluarga pula yang terlebih dahulu memberikan mereka pendidikan, nilai-nilai dan pengalaman. Kemudian keluarga memberikan kontribusi sumber daya manusia dan keuangan kepada pemilik usaha. Sebaliknya keluarga yang memiliki dan mengelola bisnis dapat berkembang lebih baik1. Keluarga dan bisnis sering diperlakukan sebagai lembaga terpisah secara alami, Howard Aldrich dan Jeniffer Cliff berpendapat bahwa mereka saling terkait. Penelitian mereka terhadap perkembangan keluarga di Amerika utara, membuktikkan bahwa terjadi perubahan jangka panjang dalam komposisi keluarga dalam peran dan hubungan anggota keluarga. Keluarga di Amerika Utara mengalami pertumbuhan lebih kecil dan kehilangan banyak hubungan peran mereka sebelumnya. Transisi seperti dalam lembaga keluarga memiliki implikasi bagi munculnya peluang bisnis baru, pengakuan peluang, keputusan bisnis start-up, dan proses mobilisasi sumberdaya. Aldrich dan Jennifer melihat adanya perspektif embeddedness keluarga pada penciptaan usaha baru. (Aldrich dan Jeniffer Cliff, 2003: 573). Tulisan Howard Aldrich dan Jennifer Cliff hendak menegaskan bahwa bisnis dan keluarga merupakan bagian yang kait-mengait satu dengan yang lainnya. Selama ini penelitian-penelitian kewirausahaan selama ini menganggap ada keterpisahan yang tegas antara bisnis dan keluarga. Bisnis dan keluarga menjadi 2 subsistem berbeda yang dibahas dalam kajian ilmu yang berbeda pula. Namun dalam penelitian Howard dan Jeniffer terhadap transisi keluarga di Amerika utara, mereka menemukan adanya peluang usaha yang muncul karena transisi dalam keluarga. Selain itu muncul pula pengakuan terhadap peluang tersebut, pengambilan keputusan memulai bisnis baru dan proses mobilisasi sumber daya2. Dalam perspektif family embeddedness, keluarga mempengaruhi proses penciptaan peluang usaha baru dan selanjutnya 1 Editorial Journal of Business Venturing 18 (2003) 559–566. 2 Journal of Business Mengawali 18 (2003) 573 - 596 15 usaha baru yang telah terbentuk itu mempengaruhi perkembangan keluarga tersebut. Keluarga pengusaha itu memiliki karakteristik tertentu yang terkait dengan transisi, sumber daya, norma-norma, sikap dan nilai-nilai. Karakteristik tersebut dapat mempengaruhi proses penciptaan peluang usaha yakni pengakuan peluang yang meluncurkan keputusan, mobilisasi sumber daya, implementasi dari strategi pendiri, proses dan struktur. Hasil selanjutnya dari pembentukan usaha baru adalah adanya keberlangsungan hidup, tampilan yang objektif dan kesuksesan yang subjektif. Semua itu mempengaruhi sumber daya keluarga pengusaha yang berpotensi memicu transisi keluarga,dan bahkan akhirnya mengubah norma anggota keluarga, sikap dan nilainilai. Tiga dimensi family embeddedness menurut Tatiana H. Toumbeva adalah:pertama fit to family, kedua Link to Family dan ketiga Sacrifice to family. Fit to family mengandung arti : (1). Kenyamanan dengan keluarga, lingkungan atau budaya,( 2). Tingkat perbandingan atau kesamaan antar karakteristik individu dalam hal nilai, norma, tujuan, keyakinan, motif dan kepentingan serta rencana untuk masa depan. (3). Tumpang-tindih antara tuntutan keluarga, harapan dan ketrampilan kemampuan individu. (4).Sejauh mana pemenuhan kebutuhan psikologi dan biologis oleh keluarga. Link adalah blok bangunan dari sebuah web social, psikologi dan materi yang meliputi lingkungan keluarga dari individu. Semakin banyak, lebih kuat dan lebih tinggi kualitas hubungan interpersonal, lebih erat individu tertanam di dalam keluarga. Bisnis keluarga lebih spontan dan kreatif dalam menemukan peluang bisnis baru dan mengelaborasikan sedemikian rupa menjadi sebuah usaha baru. Hayton et.al melakukan study komparatif terhadap usaha keluarga dan bukan usaha keluata, ternyata bisnis keluarga lebih mampu menemukan peluang usaha baru, karena jaringan yang ada di dalamnya menghubungkannya dengan sumber informasi, sumber daya lainnya serta sumber pengaruh.Jaringan yang unik di dalam keluarga adalah sistem kekerabatan atau Kinship dapat memberi informasi yang 16 terpercaya dan membuka jaringan semakin luas. (Hayton et.al, 2011: 16)3. Menurut penulis, diskursus tentang family embeddedness masih ada di sekitar start up sebuah usaha atau bisnis baru, belum melangkah lebih jauh pada tahap menjalankan usaha. Para peneliti melihat bagaimana peran keluarga untuk memperoleh peluang usaha, memulai usaha baru dan melakukan mobilisasi sumber daya. Menurut penulis kajian tentang Family embeddedness perlu dilihat juga pada tahap-tahap selanjutnya dari start-up usaha. Salah satunya adalah melihat konsep family embeddedness ketika usaha berjalan di tengah krisis. Di dalam Family embeddedness, usaha akan berrelasi dengan yang namanya jaringan kekerabatan. Kekerabatan adalah jaringan hubungan silsilah dan ikatan sosial dimodelkan pada hubungan silsilah orang tua. Kekerabatan juga termasuk pernikahan dan afinitas yakni hubungan yang berasal dari pernikahan (Scheffler, 2001).Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori dan silsilah (Forte, 1969). Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan4. Dalam kekerabatan terkandung moral altruisme. Moral ini bertentangan dengan logika amoral pasar. Norma-norma yang membakar dalam jaringan kekerabatan di dalam keluarga berputar pada satu kutub pertukaran yakni timbal balik, jangka panjang dan umum. Sedangkan norma pasar berputar di kutub lain lagi yakni: jangka pendek, timbal balik yang seimbang dan searah. Moral altruisme tersebut mengakar pada domain keluarga dan diasumsikan mengikat di berbagai bidang. Hal ini merupakan prinsip altruime preskriptif yang disebut oleh Fortes sebagai asas kekeluargaan 3 Int. J. Entrepreneurship and Innovation Management Vol. 13, No. 1, 2011 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_kekerabatan 17 persahabatan.(Fortes, 1969 : 231-232) Salah satu nilai dalamnya adalah berbagi tanpa perhitungan. (Bloch, 1973 : 76). Berbagi tanpa perhitungan ini tidak dapat menjadi slogan pasar. Kekerabatan memiliki manfaat terhadap keluarga itu sendiri dan juga bermanfaat terhadap usaha. Manfaat kekerabatan terhadap keluarga ada di sekitar emosi, kesehatan mental, dan kohesi kelompok (Schweitzer , 2000 : 16) Sebuah perusahaan keluarga yang sukses dapat memfasilitasi penyatuan kembali keluarga nuklir dan umur panjang dari sendi terbagi keluarga. Manfaat kekerabatan terhadap bisnis yaitu mendapatkan akses ke berbagai sumber daya. Secara universal kekerabatan menjadi sumber modal bagi start-up suatu perusahaan. Kerabat tidak hanya memberikan modal, tetapi juga hidup mereka selama start-up. Mereka juga menggabungkan sumber daya mereka seperti yang dilakukan suami-istri, teman-untuk menghasilkan modal yang cukup. Kerabat menyediakan difus, sumber jangka panjang dukungan sosial yang olis yang kapasitas pengusaha untuk mengambil risiko jangka pendek. Jaringan luas affines dan kerabat juga menyediakan sumber utama pendampingan, akses ke saluran bisnis dan pasar dan informasi5. Konsep Habitus, Ranah,Modal Dan Strategi Sosial Ala Piere Boerdieu Konsep Habitus Konsep Habitus merupakan konsep kunci dalam sintesa teori Bourdieu. Habitus adalah produk sruktur sosial dan habitus itu sendiri adalah struktur generatif dari praktik-paktik sosial yang mereproduksi 5 Kajian Literatur dari Alex Steward dalam artikel Help One Another, Use One Another: Toward an Anthropology of Family Business. 18 struktur-struktur sosial. Habitus hendak menjelaskan bagaimana individu dibentuk oleh struktur sosial. Sementara di sisi lain individu berpeluang membentuk habitus akibat relasi sosial. Jadi, Habitus sifatnya subyektif dan obyektif sekaligus. Habitus juga adalah mikro (yang bekerja pada tingkat individu dan antar individu) dan sekaligus makro (produk dari dan yang memproduksi struktur sosial). Konsep Habitus merupakan karya Bourdieu sebagai alternatif bagi solusi yang ditawarkan subjektivisme dan reaksi terhadap filsafat tindakan ganjil ala strukturalisme yang mereduksi agen atau ekspresi bawah sadar struktur. Karya ini dipandang sebagai jalan tengah mengatasi oposisi antara dua konsepsi pengetahuan ilmiah ini dan mengubahnya menjadi sebuah hubungan dialektis antara struktural dan agensi. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linear itu. Bourdieu mengajukan konsep khasnya tentang Habitus dan ranah* (*akan dibahas di bagian lain).Bourdieu sendiri mendefenisikan Habitus sebagai : “Sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan, struktur yang distrukturkan diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur terhadap struktur-struktur yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif ....” Menurut defenisi Bourdieu di atas disposisi-disposisi yang direpresentasikan oleh habitus bersifat: a. Bertahan lama dalam arti bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen. b. Bisa dialih-pidahkan dalam arti sanggup melahirkan praktikpraktik di berbagai arena aktivitas yang beragam. c. Merupakan struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertakan kondisi-kondisi sosial objektif pembentukannya; inilah yang menyebabkan terjadinya kemiripan Habitus pada diri agen-agen yang berasal dari kelas sosial yang 19 sama dan menjadi justifikasi bagi pembicaraan tentang Habitus sebuah kelas. d. Merupakan struktur-struktur yang mengstrukturkan artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi khusus dan tertentu. Sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur dan sejarah personal menjadi acuan habitus. Habitus ini tercipta karena posisi bersama dalam satu ranah memotret pengalaman objektif yang sama dan dikawinkan dengan sejarah personal yang subjektif. Hal ini menyebabkan individu dalam tempat dan habitus yang sama membentuk basis pergaulan, persahabatan, pembelajaran bersama. Jadi habitus bukan bawaan sejak lahir, melainkan bentukan dari interaksi individu dalam ruang sosial mereka. Proses pendidikan dan pengasuhan bersama dalam proses panjang sejak masa kanak-kanak menghasilkan Habitus yang kemudian menjadi semacam penginderaan kedua atau hakekat alamiah kedua. Proses ini membentuk habitus dalam pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Pengetahuan ini dibatinkan oleh individu sehingga menjadi sebuah ketidaksadaran kultural. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia yang mmberi kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Oleh sebab itu, pengetahuan seseorang memiliki kekuasaan konstitutif -atau kemampuan menciptakan bentuk realitas dunia- yang genuin dan bukan semata-mata refleksi dunia real. Karena cara perkembangannya ini, habitus tidak pernah tak berubah, baik melalui waktu untuk seorang individu, maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana posisi yang terdapat di dalam berbagai ranah berubah-ubah, demikian juga berbagai disposisi yang membentuk habitus. Konsep perubahan habitus mengalami posisi dilematis pula namun dapat dikompromikan sehingga perubahan terjadi dengan arus yang lambat. Perubahan habitus terjadi karena situasi perbahan yang relatif cepat, kondisi objektif lingkungan material dan sosial tidak akan 20 sama bagi generasi baru. Karena itu praktik yang lahir adalah yang sejalan dengan perubahan kondisi itu, karena Bourdieu mengatakan habitus berubah-ubah pada tiap urutan atau perulangan peristiwa ke suatu arah yang mengupayakan kompromi dengan kondisi material. Namun kompromi tersebut mengalami bias, karena persepsi tentang kondisi objektif itu sendiri dilahirkan dan disaring lewat habitus. Sehingga menurut penulis, perubahan habitus mungkin saja terjadi meski dalam ritme yang lambat. Ranah Agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan di dalam situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang obyektif. Agar bisa memahami tindakan agen tanpa jatuh dalam determinisme analisis obyektif inilah, sehingga Bourdieu mengembangkan konsep ranah. Ranah dilihat sebagai ranah kekuatan yang di dalamnya beragam potensi ataupun modal eksis. Ranah secara parsial otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi untuk memperebutkan sumber daya (modal) dn juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Kepemilikan terhadap modal sosial berbeda pada masing-masing aktor, baik besar atau kecil, banyak atau sedikit, namun semua itu tidak meluputkan aktor dari pertarungan kekuatan di dalam ranah. Tidak saja sebagai ranah kekuatan, ranah juga merupakan domain perjuangan memperebutkan posisi-posisi yang tersedia atau menciptakan posisi-posisi baru. Kemudian terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan. Di dalam arena ekonomi misalnya agen-agen saling bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan menggunakan akumulasi modal ekonomi. Sistem ranah dapat dianalogikan sebagai sebuah sistem planet yang memiliki gaya gravitasi, mengandung energa, dan memiliki 21 semacam atmosfer yang bisa melindungi diri dari daya rusak yang datang dari luar planet. Dengan kata lain, setiap ranah memiliki struktur dan kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu ruang sosial yang mencakup banyak ranah yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dan terdapat titik-titik kontak yang saling beehubungan (Fasri : 2007). Memahami konsep ranah berarti mengaitkannya dengan modal. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal memuat beberapa ciri penting, yaitu : (1) modal terakumulasi melalui investasi ; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan (3) modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. 6 Konsep “modal” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu, Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap modal sebagai berikut: “…capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only produces its effects in the field in which it is produced and reproduced, each of the properties attached to class is given its value and efficacy by the specific laws af each field”7 Ide Bourdieu tentang modal, lepas dari pemahaman dalam tradisi marxian dan juga dari konsep ekonomi. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Pembedaan kelas masyarakat bukanlah kelas terstruktur seperti sebuah hirarki, melainkan pembedaan karena kepemilikan 6 Dikutip oleh Haryatmoko dari Patrice Bonnewitz, Premieres Lecons sur la Sociologie de Pierre Bourdieu (1998). Lihat essay Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Pengasa, (Jurnal Basis, No. 11-12, Tahun 2003), 11 Dikutip oleh Fauzi Fashri dari Pierre Bourdieu, Distinction, (London: Routledge, 1984), Lihat Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol. Ibid, 97 7 22 modal. Hasil dari pembagian dan akumulasi modal, yang menentukan posisi dan status mereka dalam ranah. Menurut Haryatmoko (2003), para pelaku menempati posisiposisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: “untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya.” Jenis-jenis modal yang tersebar dalam ranah digolongkan oleh Bourdieu menjadi 4 jenis, yaitu : pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan dengan uang yang dengn mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat, Modal simbolik yang berbentuk akumulasi dari prestise, status, otoritas dan legitimisi. 23 Strategi Sosial Pertarungan dalam ranah tentunya menghadirkan kompetisi untuk memenangkan nya dengan menggunakan strategi tertentu. Strategi digunakan dengan tujuan untuk mempertahankan dan mengubah distribusi modal-modal dalam kaitannya dengan hirarki kekuasaan. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka stateginya diarahkan kepada upaya melestarikan dan mempertahankan status quo. Sementara yang terdominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-posisinya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Strategi berperan sebagai manuver para pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena pertarungan. Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoritas, modal dan akses atas posisi-posisi kekuasaan terikat dengan strategi yang digunakan aktor. Bourdieu menggolongkan strategi ke dalam 5 jenis, yaitu : 1. Strategi investasi biologis, yaitu strategi kesuburan dan pencegahan. Strategi kesuburan menggunakan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal dengan cara membatasi jumlah anak. Sementara strategi pencegahan bertujuan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari penyakit. 2. Strategi suksesif yang ditujukan untuk menjamin pengalihan (transmission) harta warisan antar-generasi dengan menekan pemborosan seminimal mungkin. Misalnya penerusan usaha dari orang tua ke anak-anaknya. 3. Strategi edukatif yang dimaksudkan untuk sebagi upaya menghasilkan pelaku sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial serta mampu memperbaiki jenjang hierarki. Misalnya memasukan anak ke sekolah-sekolah tertentu. 4. Strategi investasi ekonomi yang merupakan upaya mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal yaitu akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Investasi 24 modal sosial bertujuan melanggengkan dan membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. Agar langgeng kelangsungannya, hubungan-hubungan sosial diubah dalam bentuk kewajibankewajiban yang bertahan ama, seperti melalui pertukaran uang, perkawinan, pekerjaan dan waktu. 5. Strategi investasi simbolik merupakan upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apresiasi yang paling cocok dengan properti mereka dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Elaborasi Konsep Embeddedness Dengan Konsep Piere Bourdieu Terhadap Usaha Oleh Penulis Embeddedness-nya sebuah usaha dengan konteks sosialnya mengakibatkan usaha sangat dipengaruhi oleh Habitus dan ranah yang ada di dalam konteks sosial sebagai sebuah ruang sosial. Konteks sosial yang merupakan ruang sosial, telah terisi dengan ranah-ranah lain, yang terhubung satu dengan yang lainnya. Ketika usaha melekat dalam konteks sosial masuk pula dalam ruang sosial yang sama, maka akan terhubung dengan ranah yang sudah ada sebelumnya. Keterhubungan ini bagaikan sebuah irisan dalam bidang matematika, yang menghasilkan sebuah ranah baru pada wilayah irisan tersebut. Jika digambarkan ruang sosial bagaikan sebuah diagram Fenn yang di dalamnya terdapat banyak ranah yang saling terhubung sehingga terbentuk irisan baru atau ranah baru, demikian: 25 ranah 1 dstnya ranah 2 ranah 6 ranah 3 ranah 5 ranah 4 Gambar 2.1 Model keterhubungan antar ranah ranah ranah ranah ranah 4 3 2 1 Gambar 2.2 Gambar proses pembentukan ranah baru (irisan ranah 1 dan 2 membentuk ranah baru pada irisannya, dstnya) Posisi kait mengait antara usaha dan konteks sosial, membuat satu dengan yang lain ter-embedded sehingga terbentuk ranah usaha baru. Ketika kedua elemen ini ter-embedded dalam sebuah relasi maka akan membentuk sebuah ranah baru sebagai ajang pembentukan modal. Ranah usaha baru sebagai perkawinannya dengan konteks sosial memberikan akses bagi individu dan konteks sosial untuk memproduksi pula habitus sebagai struktur bersama. Embeddedness ranah-ranah dalam ruang sosial memungkinkan terproduksinya modal berupa modal sosial, modal ekonomi, modal budaya yang terakumulasi dan diperebutkan oleh aktor. Aktor dengan modal sosialnya melakukan upaya pertukaran modal sehingga aktor bisa memiliki modal ekonomi dan modal budaya agar dapat mempertahankan ranah usahanya. 26 Individu bisa memilih ranah mana saja untuk berjaring, tergantung kebutuhan perjuangan individu di dalam ranah tersebut. Jadi, relasi antar individu tidak diatasi dengan seorang saja atau sebuah ranah saja. Individu bebas memilih dan memperjuangkan pilihan tersebut. Kegigihan perjuangan aktor memperebutkan modal sosial menghasilkan akumulasi modal sosial. Akumulasi modal sosial merupakan capaian maksimal dalam ruang sosial, karena dengan kekayaan modal sosial aktor dapat meraih modal ekonomi, modal budaya bahkan modal simbolik. Habitus yang diproduksi oleh relasi antar aktor di ruang sosial, turut mempertahankan kebelanjutan ranah usaha yang telah terbentuk. Habitus itu diwariskan dari generasi ke generasi sehingga tetap berkelanjutan. Habitus itu terinternalisasi dengan sangat baik dalam wilayah family embeddedness, karena secara gamblang Bourdieu mengatakan sosialisasi habitus terjadi karena proses pengasuhan. Proses embeddedness terwujud dalam family embeddednees yang mengkumulasi sejumlah modal sosial, sehingga berjuang dalam arena/ranah untuk meraih modal yang lainnya. Modal sosial yang berjasa dalam ajang ini adalah jaringan sosial itu sendiri yang sukses menjadi perekat antar ranah, sehingga aktor mendapatkan akses untuk mengakumulasi modal ekonomi dan modal budaya. Jaringan sosial akan dibahas pada bagian selanjutnya. Jaringan sosial sebagai perekat antar elemen yang ber- embedded Jaringan sosial merupakan elemen subtansi yang berada di dalam embeddedness itu sendiri. Jaringan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok (Granovetter, 27 1985). Jaringan sosial membawa pengusaha kepada sumber informasi, sumber modal, dan peluang usaha. Dalam perspektif embeddedness ala Granovetter, jaringan sosial dilihat sebagai suatu keterhubungan yang dihasilkan dari interaksi aktor dalam suatu relasi sosial. Aktor yang embedded dengan relasi sosial, saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi inilah yang menghasilkan jaringan sosial dalam suatu relasi sosial. Sehingga untuk menganalisis embeddedness individu dalam relasi sosialnya, perlu menganalisa jaringan sosial yang terbentuk karena aktor yang berrelasi. Relasi sosial individu-individu memproduksi Jaringan sosial yang merupakan keterhubungan individu dengan individu lain atau komunitas tertentu, dalam simpul ikatan tertentu pula dengan harapan saling memberi keuntungan (Lawang, 2004). Simpul ikatan ini merupakan titik sama dari individu yang menjadi titik temu individuindividu yang berjaring dalam suatu relasi sosial. Jaringan sosial dibentuk karena adanya rasa saling membutuhkan di antara pihak-pihak yang berjaring. Kebutuhan untuk mengetahui sesuatu, kebutuhan untuk mengakses sesuatu, kebutuhan untuk mendapatkan sesuatu, dan kebutuhan lainnya, mendorong orang untuk membangun jaringan dengan pihak lain. Jaringan ini ada agar tindakan sosial maupun ekonomi dapat dilakukan dengan maksimal atas dukungan jaringan. Dalam bahasa Lawang dikatakan agar kegiatan dapat berjalan dengan efektif dan efisien (Lawang, 2004). Kajian tentang jaringan oleh Granovetter menghasilkan 4 point menarik untuk dijadikan cermin terhadap realitas. 4 hal yang menjadi hasil kajian Granovetter terhadap jaringan sosial adalah: pertama, Norma dan kepadatan jaringan. Kedua, lemah atau kuatnya ikatan. Ikatan yang lemah cenderung memberikan keuntungan ekonomi bagi pelakunya. Contohnya jika individu berkenalan dengan seorang teman baru, maka sang individu akan mendapatkan banyak informasi baru dari sang teman, yang tidak diperolehnya dari teman dekatnya yang sudah lama berrelasi, karena dengan teman dekat mereka sudah 28 memiliki informasi yang sama. Ikatan yang kuat juga memberikan manfaat dengan totalitas diri serta kesamaan visi. Ketiga, Peran lubang struktural yang memungkinkan terbangunnya relasi individu dengan pihak luar. Keempat, Jaringan sosial mengakibatkan interpretasi terhadap tindakan sosial sebagai tindakan ekonomi. (Granovetter: 2005) Menurut Granovetter, kekuatan ikatan adalah kombinasi jumlah waktu, intensitas emosi, Keintiman yang mutual dan layanan reprositas yang mencirikan ikatan tersebut. Kekuatan ikatan yang demikian dimiliki oleh keluarga (Granovetter, 1973). Di dalam keluarga dapat ditemukan curahan waktu dalam tingkat yang tinggi intensitas emosional, keintiman dan layanan timbal balik (Hayton et,al : 2011). Sedangkan ikatan yang lemah dimisalkan seperti ikatan dalam relasi dengan teman baru. Merespons pendapat Granovetter tentang ikatan yang kuat dan lemah, Baker (1984) dan Burt (1983) memiliki pandangan yang berbeda. Baker di tahun 1984 meneliti perilaku perdagangan pada sebuah option market dan menemukan bahwa volatilitas harga berkurang pada kelompok yang lebih kecil, sedangkan akan bertambah jika kelompoknya membesar di lantai perdagangan. Oleh karena itu ikatan jaringan yang lebih kuat dalam kelompok yang lebih kecil memungkinkan informasi tentang harga berjalan lebih efektif dan juga memfasilitasi pemenuhan kewajiban para pedagang satu terhadap yang lain. Sedangkan Burt di tahun 1983 sepakat dengan Granovetter, ia mengeksplorasi situasi yang berbeda dan menemukan bukti bahwa sebuah jaringan social yang longgar dengan ikatan yang lemah diasosiasikan dengan keuntungan perusahaan yang lebih besar. Burt mengatakan bahwa Jaringan yang kaya dalam structural holes itulah yang dibutuhkan untuk merangsang informasi dan sumber-sumber untuk mengalir melalui jaringan seperti halnya arus listrik melalui kabel.(Blikololong, 2012: 26) Terhadap pendapat Granovetter tentang ikatan sosial ini, menurut penulis individu tidak perlu memilih antara ikatan yang 29 lemah atau yang kuat. Meski Granovetter berpendapat bahwa ikatan lemah bisa menguntungkan secara ekonomi, namun menurut penulis segala hal memiliki manfaat. Ikatan kuat yang dibentuk karena ikatan emosional yang kental bahkan ikatan darah, memiliki manfaat terhadap realitas tertentu. Jadi secara teoritis ada gap pada teori ini, yakni untuk memberi tempat pada masing-masing ikatan agar keduanya memiliki manfaat ekonomi dalam kasus tertentu. 2 jenis ikatan yang lain adalah ikatan tidak terlekat (arms length tie) untuk pasar yang anonym dan ikatan yang terlekat (embedded tie) untuk relasi pertukaran yag terbentuk di luar pasar. Uzzi dalam penelitiannya terhadap 23 perusahaan garmen menemukan adanya kedua ikatan tersebut. Dalam ikatan yang terlekat itu ada tiga mekanisme untuk menciptakan nilai ekonomi, yaitu trust, transfer informasi dan pemecahan masalah bersama. Dengan adanya trust pada pelaku pertukaran, mendorong para mitra bisnis untuk saling berbagi informasi di antara mereka, mendorong kemungkinan bahwa informasi tersebut relevan dan dapat dipercaya. Transer informasi memungkinkan koordinasi yang dekat, saling penyesuaian dan pemecahan masalah bersama. Pada relasi pertukaran yang multipleks, sinergi dari elemen-elemen tersebut sungguh luar biasa sehingga transaksi diarahkan pada terciptanya harapan bersama. Harapan bersama ini disebarkan kepada pihak ketiga sehingga mengembangkan ikatan dan mendinamiskan pola ekonomi. Jaringan sosial yang terbentuk menjadi sebuah struktur sosial yang memposisikan masing-masing individu di tempatnya masing otomatis dengan peran yang berbeda pula. Individu menyatu dengan struktur dalam jaringan sosial, sehingga menghasilkan struktur sosial baru yang komorehensif. Jadi Individu yang embedded, mengenali struktur, berinteraksi di dalamnya dan selanjutnya menghidupkan kembali struktur yang lama. (Anderson Et.al, 2002: 483)8 8 Jur nal of Business Venturing 17 (2002) 467 – 487 30 Terhadap struktur sosial menurut penulis individu punya kemampuan untuk membentuk struktur baru di atas bangunan struktur lama, sehingga menjadi sebuah struktur yang semakin luas. Struktur yang baru tidak meniadakan struktur yang lama menurut penulis, karena itu dibangun di atas ataupun di samping struktur yang lama. Struktur yang lama akan tetap ada di tengah masyarakat, sehingga terjadi akumulasi modal. Akumulasi modal sangat mungkin terjadi menurut kajian Bourdieu, sehingga timbul dominasi dan terdominasi dalam sebuah ranah usaha. Dominasi dilakukan oleh aktor yang mampu mengakumulasi modal. Sedangkan aktor yang tidak bisa mengakses modal Jaringan ada di posisis terdominasi. Ketidakseimbangan sosial yang demikian bisa terjadi karena ketidakmerataan modal karena posisi sosial ekonomi individu yang berbeda, disebutkan oleh Lin sebagai Inequality capital (Lin : 2000). Penelitian Sebelumnya Tentang Industri Kecil Menghadapi Krisis Keuangan Global Ketika krisis ekonomi global terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008, industri-industri yang berorientasi pada ekspor merupakan salah satu di antara industri-industri yang terkena pukulan paling keras, baik melalui penurunan permintaan maupun melalui penurunan harga komoditas. Di industri-industri lainnya, dampak krisis semakin terlihat nyata di semester pertama tahun 2009, namun pada kuartal empat tahun 2009, sejumlah sektor menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang jelas. Permintaan dalam negeri yang terkait dengan pemilihan umum anggota legislatif, sedikit mengurangi krisis yang terjadi. Penelitian Bapennas bekerja sama dengan Smeru dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan juga kualitatif menjadi 31 referensi penting tentang dampak Krisis Global di Indonesia. 9Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif secara umum mereka menemukan bahwa adanya beberapa akibat merugikan yang mungkin disebabkan oleh Krisis ekonomi Global antara bulan Mei dan July 2009, diikuti dengan sejumlah bukti adanya pemulihan antara bulan September dan November dan tanpa dampak krisis yang berarti pada bulan November 2009 dan februari 2010. Hasil Penelitian kualitatif menunjukkan bahwa tingkat keparahan dari dampak-dampak krisis tersebut berbeda antar sektor. Terdapat sektor-sektor yang terkena dampak yang parah dari krisis, seperti industri elektronik dan otomotif, sementara sektor-sektor lainnya, seperti industri tekstil dan garmen, dan sektor-sektor perikanan merasakan dampak yang lebih ringan. Masyarakat miskin dan rentan merupakan salah satu kelompok yang terkena dampak krisis global yang paling besar. Penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masyarakat miskin dan rentan dapat terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Dalam sejumlah sektor ataukalangan masyarakat, kelompok-kelompok lainnya seperti para pengusaha juga mungkin terpengaruh oleh krisis, namun mereka biasanya memiliki aset dan/atau sumber daya produktif lainnya yang memberikan mereka daya tahan yang lebih baik untuk mengatasi dampak-dampak krisis. Hasil-hasil kuantitatif menunjukkan bahwa dampak-dampak pada orang miskin lebih besar daripada untuk orang yang tidak miskin, walaupun hal tersebut antara lain disebabkan oleh 9 Pada tahun 2009 Bapennas membentuk tim untuk melakukan monitoring terhadap dampak krisis terhadap rumah tangga dan menemukan langkah respons terhadap krisis tersebut. Bapennas dala hal ini bekerja sama dengan BPS dan Bank Dunia menyusun suatu Sistem Monitoring Krisis Global (SMKG) yang mereka gunakan untuk memantau dampak krisis global secara kuantitatif melalui survey cepat (quick survey). Penelitian ini kemudian digandeng dengan penelitian kualitatif dari lembaga penelitian Smeru denganmelalui pemantauan berita, pemantauan kondisi social-ekonomi masyarakat studi kasus. SMKG diterapkan untuk memantau dan memperoleh data dari lebih dari 14.000 rumah tangga di 471 kabupaten/kota dalam selang waktu tiga bulan. Pemantauan kuantitatif bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasikan perubahan-perubahan “negatif” pada rumah tangga. Tujuan pemantauan kualitatif adalah untuk memberikan suatu penilaian secara cepat untuk memantau dan mengevaluasi dampak-dampak krisis terhadap keadaan sosial dan ekonomi masyarakat. 32 faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan krisis seperti kenaikan harga pangan pada triwulan ketiga tahun 2009. Industri menjadi sektor yang cukup merasakan dampak dari krisis keuangan global tahun 2008-2010 ini.Beberapa penelitian yang menunjukan adanya dampak KKG Penelitian Smeru terhadap industry tekstil dan garmen di desa Sokolon, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ditemukan adanya tekanan krisis global terhadap usaha. Para pengusaha di desa itu, bertindak sebagai penyedia jasa dan berproduksi berdasarkan pesanan pemegang merek di AS (70 persen), Eropa (27 persen), dan Afrika (sekitar 3 persen). Dampak langsung dari krisis pertama kali dirasakan pada awal tahun 2009 dengan merosotnya pesanan rata-rata sebesar 30 persen. Sepanjang tahun 2009, tidak ada perusahaan yang tutup karena semua perusahaan terus berproduksi dan melanjutkan pesanan dari tahun 2008. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kesulitan dalam memperoleh pesanan untuk tahun 2010. Dampak krisis terhadap bisnis-bisnis ini mengakibatkan menumpuknya tunggakan tagihan sewa tempat, listrik, dan telepon bagi manajemen. Pada beberapa unit usaha krisis mengalami penurunan menjelang akhir tahun 2009, yang ditandai dengan penerimaan pekerja baru di unit usaha tersebut. Meskipun untuk karyawan kontrak belum ada peluang untuk menjadi pekerja tetap di perusahaan tersebut. Di sisi lain ada perusahan yang tutup saat dilakukan kunjungan ketiga di bulan April 2010. Sejumlah pabrik telah tutup,sementara lainnya mulai merekrut pekerja, walaupun dengan pengurangan jaminan bagi parapekerja tersebut. Kontrak-kontrak mungkin diberikan untuk jangka waktu yang lebih pendek,dan walaupun upah minimum dibayarkan, tunjangan-tunjangan lainnya dikurangi. Strategi industri untuk menghadapi krisis dengan mengurangi karyawan tetap dan diganti dengan karyawan lepas/kontrak yang temporer sifatnya.Hal ini terjadi pada usaha perkebunan kelapa sawit dan juga di perusahaan konveksi Damatex. Mereka yang kemungkinan sudah mengalami krisis sejak krisis moneter 1998 dan mengalami pula 33 krisis Global di tahun 2008-2010, mengakibatkan terjadi akumulasi persoalan. Sehingga krisis global yang sebenarnya hanya sedikit mengganggu pasar ekspor, ternyata memberi pengaruh yang cukup signifikan bagi perusahaan.Untuk melakukan efisiensi, 150 karyawan dirumahkan oleh pihak Damatek. Damatex juga tidak memberi kontrak kerja dalam waktu lama kepada kayawan. Kontrak yang sudah ada juga seringkali tidak dilakukan perpanjangan.Perkebunan kelapa sawit di Sumatera selatan hanya menggunakan tenaga kerja lepas, agar lebih efisien. Ekonomi rumah tangga yang mengalami gangguan akibat krisis, mengatasi pembiayaan rumah tangganya dengan menggunakan sistem jaringan kekerabatan dan pertemanan. Jaringan kekerabatan dan pertemanan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan karena lembaga keuangan resmi seperti Bank ataupun tukang kredit belum bisa memberikan pinjaman di masa krisis.(Bapennas : 2010). Penelitian tentang dampak krisis global masih lebih banyak ada di sekitar usaha besar. Karena ada keyakinan bahwa krisis global tidak berdampak pada usaha kecil. Padahal relasi antar usaha kecil dan besar yang terbangun, mengakibatkan hantaman terhadap usaha besar berefek pula terhadap usaha kecil. Kajian terhadap usaha kecil masih cenderung melemahkan pelaku usaha kecil sebagai sumber daya yang lemah yang menyebabkan kemunduran usaha kecil. Hal ini dapat dilihat pada penelitian kajian Kuncoro yang masih cendrung ambigu, di satu sisi melihat kepemilikan usaha kecil yang merangkap sebagai pengelola adalah sebuah kelemahan, tetapi di sisi lain melihat kebertahanan usaha kecil di masa krisis moneter karena pemilik usaha menyatu dengan pengelola (Kuncoro, 2000). Kajian tentang usaha kecil juga masih cenderung melihat tingkat pendidikan formal sebagai indikator SDM berkualitas yang berkorelasi positif terhadap kinerja UKM. (Ardiana et.all : 2010)10 10 Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.12, No. 1, Maret 2010: 42-55 34 Kualitas dan kinerja seseorang ditentukan oleh berbagai faktor modal yang dimilikinya. Bahkan pengalaman seseorang yang kaya tentang sesuatu hal, lebih membuatnya berkualitas pada bidangnya dan tidak didapatkan oleh mereka yang duduk di pendidikan formal. Sektor UKM justru menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat yang tidak bisa melanjutkan tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Jadi kajian ardiana et.all di tahun 2010 ini justru semakin menstigma sebagian besar pelaku UKM yang tingkat pendidikan formalnya rendah, sebagai penyebab dari kemandekan UKM. Salah satu kajian tentang UKM Indonesia di masa Krisis keuangan global ditulis Nur Afiah, yang melihat pelaku UKM harus kreatif dan inovatif dalam menghadapi KKG. Menurut penulis kalau pelaku UKM tidak kreatif dan inovatif mana mungkin UKM itu bisa terbentuk. Karena hanya dengan daya kreatif dan inovatif lah sebuah usaha dibentuk. Tulisan ini tidak dibangun atas penelitian lapangan yang konkrit terhadap UKM, penulis hanya mengelaborasikan pemikirannya sendiri. Sebaiknya pemikiran-pemikiran yang baik didasarkan pada fakta sosial ekonomi. Adapula kajian yang hendak melihat kemandekan usaha kecil dari aspek struktural, tetapi masih tetap terjebak dalam paradigma mengganggap yang kecil itu lemah dan yang besar itu lebih hebat. Kajian Sri Wahyuningsih sebenarnya sudah melangkah melihat aspek lain dari penyebab kemandekan terhadap IKM pakaian jadi, yakni masalah struktural. Namun pada kesimpulan penelitian kembali terjebak menstigma usaha kecil dengan segala kelemahannya sebagai penyebab dari kemandekan mereka.(Wahyuningsih et.all, 2010) 35 Model Analisis Gambar 2.3 Gambar Model Analisis Embeddedness Industri Kecil Konveksi 36