Teori Strukturalisme Genetik “PIERRE BOURDIEU” Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Prancis. Bourdieu lahir pada tahun 1930 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil selatan Prancis, lahir dari keluarga menegah ke bawah. Ayah Bourdieu adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Prancis. Dimana pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan atas. Disini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin merugikan golongan menegah ke bawah. Teori Bourdieu lahir di jiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, disini kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau biasa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim ,Marx, Saussure dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme. Untuk menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan dialektika antara struktural dan cara aktor membangun realitas sosialnya, Bourdieu memberikan nama pada orientasi pemikirannya sebagai “Strukturalisme Genetis”. Bourdieu mendefinisikan strukturalisme genetis dengan cara berikut:1 1 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 519. Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (di mana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini). Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya.2 Habitus berada di dalam pikiran aktor sedangkan lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi. Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar struktur. Dimengerti sebagai menjelaskan suatu pengetahuan/ pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa mengerti melalui bahasa yang kita pahami. 1. Habitus Habitus adalah struktur mental atau kognitif,3 yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah, sebagai warisan dari masa lalu yang di pengaruhi oleh struktur yang ada. 4 Habitus sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan 2 Ibid, hal: 522. Ibid. 4 Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 54. 3 individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu).5 Habitus dapat digambarkan sebagai hasil atau produk dari internalisasi struktur dunia sosial yang diwujudkan. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan berbeda-beda, tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut dalam kehidupan sosial. Sehingga seseorang yang menduduki posisi yang sama dalam dunia sosial, cenderung akan memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif.6 Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain. Dengan kata lain, meskipun habitus sebagai warisan pengalaman masa lalu atau produk dari internalisasi struktur, dapat berubah-ubah sesuai dengan ranah di mana ia berada. Sebagai contoh, seorang warga Indonesia dan tinggal di Indonesia, memiliki kebiasaan untuk menolong sesama apalagi kalau orang lain tersebut dalam keadaan kesusahan, seperti terdapat kewajiban untuk menolongnya. Namun ketika warga Indonesia tersebut pindah dan tinggal di Luar Negeri yang memiliki struktur dan kebudayaan yang berbeda, dimana ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, kita tidak memiliki kewajiban untuk menolongnya. Habitus warga Indonesia tersebut dalam kasus ini dapat tetap seperti ketika ia masih di Indonesia yaitu menolong orang lain, atau juga habitusnya dapat berubah, yaitu dengan bersikap acuh dan tidak menolong orang tersebut. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” (strukturing strukture); artinya, 5 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 522. 6 Ibid. habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak, habitus adalah “struktur yang terstruktur” (struktured strukture); yakni, habitus adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan kata lain Bourdieu menjelaskan habitus sebagai dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas.7 Sehingga, di satu pihak, habitus diciptakan oleh praktik atau tindakan; di lain pihak, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus.8 Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu.9 Logika tindakan Bourdieu (logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat konsep relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan di mana mereka berada.10 Kerja waktupun juga bisa mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Yang dimaksud kerja waktu disini adalah: habitus dan pengalaman praktek bisa berubah sesuai waktu dengan menggunakan logika.11 Misalnya kondisi kebiasaan orang ketika berpakaian, orang jawa perempuan pada waktu dulu identik dengan penggunaan jarit dan kebaya, akan tetapi dengan berjalannya waktu, dan kondisi social sekarang ini, pakaian itu sudah jarang 7 Ibid, hal: 523. Ibid, hal: 524. 9 Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 92. 10 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 524. 11 Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press: California. Hal: 99 8 kelihatan untuk dipakai sebagai pakain keseharian. Namun sering dipakai ketika acara-acara adat tertentu seperti pakaian waktu hari kartini. 2. Lingkungan (Ranah, Arena) atau Field. Lingkungan merupakan dunia tempat melakukan permainan-permainan atau disebut juga dengan game. Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya. Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri.12 Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas, terjadi sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat mengerjakan ujian dengan lancer, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang pengetahuannya. Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.13 Lingkungan juga adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting. Bourdieu mengemukakan tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan, yaitu:14 1) Menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan dengan lingkungan politik. 12 Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 34. George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. Hal: 524. 14 Ibid, hal: 525. 13 2) Menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu. 3) Menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Dalam hubungannya antara lingkungan dengan habitus, Bourdieu menyebut relasionisme metodologis, yakni adanya hubungan saling timbal balik antara lingkungan dengan habitus. Di satu pihak lingkungan mengkondisikan habitus, di pihak lain habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. 3. Keyakinan Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau di anggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan dan memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu. Sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah.15 Contoh, dalam ranah pendidikan yaitu diskusi dalam kelas, ketika seorang murid yakin telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahan diskusi, maka ketika diskusi berlangsung keyakinan bahwa ia memahami materi itu, mendorongnya untuk ikut aktif menyumbangkan pendapat dalam diskusi tersebut, sehingga di sini, keyakinan yang mendorong untuk melakukan praktek yaitu mengeluarkan pendapat. Dalam kaitan contoh diatas, tubuhpun menjadi alat yang digunakan untuk melakukan praktek tersebut sesuai dengan keyakinan dalam dirinya. Ketika yakin bisa untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar, maka tubuh akan menggambarkan lewat gerak-geriknya yang mencerminkan praktek. 4. Praktek Praktek merupakan salah satu konsep utama pilihan Bourdieu, sebagai konsep yang digunakan untuk menjelaskan konsepnya tentang penolakan terhadap 15 Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California. Hal: 67. dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Konsep praktek berarti bagaimana seseorang tersebut diberi stimulus kemudian akan melakuakan suatu respon. Dalam konsep Bourdieu tentang praktik, Bourdieu mengkritik tentang pandangan kaum objektivis yang menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan menentukan tindakan aktor dan membentuk lingkungan. Sehingga disini tindakan aktor tidak bebas melainkan terbatas. Begitu juga Bourdieu menolak terhadap pandangan kaum subjektivis yang menekankan bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur. Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Contohnya, dalam dunia perkuliahan, sistem pedidikannya menggunakan sistem kredit semester (SKS). Ketika seorang mahasiswa mengambil 24 SKS, maka sebagai konsekuensinya, setiap satu minggunya mahasiswa tersebut harus menyediakan waktu dan belajar sebanyak 72 jam atau rata-rata perharinya selama 10 jam. Struktur mempengaruhi praktek mahasiswa tersebut, agar dia belajar sesuai dengan SKS yang dia ambil, tetapi mahasiswa juga bebas untuk melakukan prakteknya sesuai dengan habitusnya, misalnya dengan hanya belajar selama 3 jam saja setiap harinya. 5. Struktur Struktur adalah aturan-aturan yang terbentuk dan ada dalam suatu ranah yang mempengaruhi pembentukan habitus seorang aktor. Menurut Bourdieu, struktur terdiri atas dua bentuk yaitu struktur objektif dan struktur buatan. Dalam teori logika praktis Bourdieu, struktur dapat mempengaruhi pembentukan habitus, tetapi struktur juga dapat di pengaruhi oleh habitus. Contoh struktur mempengaruhi habitus adalah, dalam masyarakat Jawa, terdapat aturan kalau makan dan memberi sesuatu kepada orang lain itu harus dengan menggunakan tangan kanan. Aturan ini membentuk habitus seseorang, ketika dia makan dan memberi kepada orang lain harus dengan tangan kanan (struktur membentuk habitus). Sedangkan contoh habitus mempengaruhi struktur adalah habitus seorang pelajar yang rajin, dia memiliki rutinitas belajar setiap sore dan malam hari. Ketika dia tidak melakukan itu, maka akan terjadi perasaan keganjilan, sehingga aktivitas belajar setiap sore dan malam hari membentuk sebuah struktur dalam hidupnya. Dalam konsep strukturnya, bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarkat, struktur sangat dominan dalam mempengaruhi Agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi Agen juga bisa berperan dalam mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, akan tetapi tidak sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur. Struktur disini bersifat sebagai genetik/ bawaan. STRUKTUR AGEN 6. Modal Modal merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu ranah. Modal itu harus selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik.16 1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain. 2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubunganhubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam 16 Ibid. penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Misalnya seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen. 3) Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun). 4) Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan. Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam sistem sosial. kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan. 7. Kekerasan Simbolik Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena kekerasan simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki modal simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan dan diterima publik secara luas. Legitimasi sebagai sebuah proses, menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubunganhubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya merupakan hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya. Modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki modal simbolik berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau yang lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekuasaan simbolik sering kali memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak mudah dikenali.17 Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi seringkali merasa tidak keberatan untuk masuk kedalam sebuah lingkungan dominasi. Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik.18 Secara garis besar, kekerasan simbolik dapat diartikan sebagai kekerasan yang secara paksa mendapat kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki, menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu:19 1) Eufemisasi: biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara “tak sadar”. Misalnya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Contoh: hubungan yang terdapat dalam sebuah keluarga antara anak dengan orang tua, dimana setiap mau keluar rumah, anak harus minta ijin kepada orang tua. Disini terjadi kekerasan simbolik eufimisme berdasarkan sopan santun. 2) Sensorisasi: kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”. Seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya. Contoh, seorang laki-laki harus menghormati seorang 17 Ibid, hal: 118. Basis. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Edisi 11-12. Hal: 38. 19 Ibid, hal: 39 18 perempuan, agar laki-laki tersebut dianggap memiliki moral yang tinggi dan memiliki nilai kesantunan (seorang laki-laki tidak melecehkan atau bertindak asusila terhadap perempuan). Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik sangat perlu dilakukan dalam dunia pendidikan, agar pelaksanaan pendidikan semakin efektif. Karena itulah para pendidik dalam dunia pendidikan sering melakukan kekerasan simbolik kepada peserta didiknya agar peserta didik lebih disiplin. Contohnya, setiap pertemuan kelas, selalu diadakan kuiz atau ulangan oleh guru, sehingga membuat murid, baik secara suka atau tidak, sehingga menjadi mau tidak mau murid harus membaca dan belajar materi sebelum kelas berlangsung agar dapat mengerjakan soal kuiz. 8. Kadar objektivitas dari subjektivisme Dalam dunia sosial selalu terdapat orang yang mendominasi dan orang yang didominasi. Ini akan selalu terjadi selama ada bentuk relasi yang tidak setara (asimetris). Ilmu pengetahuan sosial, harus mempertimbangkan dua macam atribut yang secara objektif terlekat pada mereka, yaitu atribut materi dan atribut simbolik.20 Atribut material dimulai dengan tubuh, yang dapat di lihat dan di ukur seperti benda lainnya dari dunia fisika. Kadar objektivitas dan subjektivitas disini menurut Pierre Bourdieu, seberapa besarkah kadar objektivitas subjektivitas dari seorang manusia tersebut. Bagaimana ukuran tingkat objektivitas dari pandangan subjektivitas tiap masingmasing dari individu dalam menilai suatu fenomena. STUDI KASUS Kasus yang kami angkat dalam mengkontekstualkan teori Bourdieu disini adalah adanya penolakan warga Desa Bence terhadap rencana pembangunan pabrik gula yang didirikan oleh PT. Kencana Gula Manis di Desa Bence, Kecamatan Garum Kabupaten Blitar. Pemaparan dalam kasus ini adalah dimana 20 Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press. Hal:135. para investor ingin mendirikan pabrik Gula dengan menggunakan lahan sawah yang masih produktif seluas 20 hektar milik petani desa setempat. Sedangkan petani, warga setempat Desa Bence serta LSM menolak rencana pendirian pabrik Gula tersebut, dengan alasan utama: 1. Merugikan warga dan lingkungan setempat, mengurangi lahan sawah produktif yang berakibat berkurangnya stok pangan berupa beras. 2. Akan menimbulkan pencemaran atau polusi berupa limbah produksi yang dapat mengganggu kesehatan warga sekitar pabrik serta mendatangkan hama berupa serangga yang timbul dari limbah pengolahan tebu yang dapat mematikan pohon kelapa warga. Karena sebagian besar penduduk Desa Bence memiliki pohon kelapa dan dimanfaatkan untuk diolah menjadi gula kelapa. 3. Melanggar UU nomor 41 tahun 2009, mengenai perlindungan lahan pangan yang berkelanjutan. 4. Dalam pembangunan tersebut, juga melanggar Perda nomor 5 tahun 2008, tentang rencana tata ruang wilayah. Dimana ada 10 Kecamatan di Kabupaten Blitar Jawa Timur, tidak boleh dijadikan tempat pembangunan infrastruktur kepentingan bisnis pribadi. Dan Kecamatan Garum termasuk dalam Kecamatan tersebut. Alasan pendukung lainnya, kabarnya Dinas pertanian setempat belum mendengar dan menerima informasi dari pihak PT. Kencana Gula Manis terkait rencana pendirian pabrik gula di daerah Bence tersebut, apalagi pembangunannya dilaksanakan di atas lahan pertanian yang sebenarnya masih produktif yang berhubungan dengan kelangsungan tingkat produksi daerah setempat. Dinas pertanianpun berjanji tidak akan memberikan izin terhadap pihak pengusaha tersebut jika lahan pertanian tersebut masih produktif. Jika pembangunannya dilaksanakan, dampak yang terjadi adalah produksi beras akan berkurang secara besar-besaran dalam daerah tersebut, selain itu petani pun akan kehilangan lahan pangannya tempat mereka bekerja dan mencari nafkah serta menghidupi kehidupan sehari-hari keluarganya. Menurut informasi yang kami dapatkan, meskipun pihak PT. Kencana Gula Manis belum mengantongi surat izin resmi, petani Desa Bence setempat dipaksa para investor PT. Kencana Gula Manis melalui makelar tanah dan preman-premannya untuk menandatangani surat penjualan lahan atas tanah sawah miliknya dan surat perjanjian yang tidak diketahi isinya apa, harga lahan tersebutpun dibeli dengan harga yang murah. Petani yang lahannya dibeli oleh pihak PT. Kencana Gula Manis, telah mendapatkan uang muka sebesar 5 %. Alasan dari pihak pengusaha untuk tetap mendirikan pabrik gula di lokasi tersebut terkait dengan isu telah mendapatkan surat izin dari Wakil Presiden Budiyono. Pihak LSM yang juga salah satu dari anggotanya berasal dari Desa Bence tersebut melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono, guna meminta agar Presiden menolak untuk memberikan izin terhadap pendirian Pabrik Gula di Desa Bence. Namun kabar terealisasinya pembangunan pabrik Gula semakin menunjukkan, karena warga setempat telah menerima uang muka sebesar 5%. Jika benar pembanguan tersebut jadi terlaksana , berarti disini antara pihak pemerintah daerah Kabupaten Blitar dengan pihak investor telah terjadi kesepakatan tanpa sepengetahuan rakyat Desa Bence dan persetujuan dari rakyat Desa Bence sendiri. Rencananya pembangunan pabrik gula ini akan di mulai pada tanggal 17 April 2011 mendatang, kontraktorpun sudah siap untuk mulai melakukan pembangunan di daerah tersebut.. Dari informasi yang dihimpun Blitar Raya News, pihak PT. Kencana Gula Manis, melalui kontraktor PT. Mandara Mulya Graha Andhika, rencana pekerjaan pembukaan lahan dan meratakan tanah akan dimulai pada tanggal 17/4/2011. Jika pihak PT. KGM benar-benar mengantongi izin, pasti ada permainan antara Pengusaha dengan Pejabat Pemerintah Kabupaten Blitar . Ketua Lembaga Penegak Demokrasi (LPD) Blitar Raya, Fajar Agustyono, saat ditemui Tim Blitar Raya News. Menurut Fajar, pembanguan pabrik gula tersebut selain melanggar RTRW juga melanggar UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dan akan mengancam stok pangan daerah, karena lahan yang akan didirikan pabrik gula tersebut adalah tanah sawah yang masih produktif. Jika Pemerintah Kabupaten Blitar atau pihak-pihak Dinas terkait, dikemudian hari ternyata benar-benar melanggar aturan, akan kami PTUN kan. Karena sudah jelas-jelas melanggar RTRW dan UU Nomor 41 tahun 2009, masih saja memaksakan diri. ANALISIS Berdasarkan acuan kasus diatas, kami berusaha untuk mengkritisi dengan menggunakan konsep Strukturalisme Genetik Bourdieu, disitu terlihat adanya kekerasan simbolik yang dilakukan oleh pihak PT. Kencana Gula Manis melalui makelar tanah dan preman-preman dari makelar tanah, dan Pemerintah terhadap masyarakat serta petani khususnya di Desa Bence Kecamatan Garum Kabupaten Blitar tersebut. Pihak PT. Kencana Gula Manis yang merasa mempunyai modal banyak dengan para investornya, mencoba memaksa petani Desa Bence untuk mau menjual tanah pertanian mereka guna kepentingan pendirian pabrik gula untuk memperbesar dan meluaskan usahanya. Melalui isu surat izin pendirian Pabrik Gula di atas Lahan pertanian di Desa Bence, dengan seenaknya memaksa warga untuk mau menjual tanah mereka kepada pihak PT. Kencana Gula Manis, dari itu modus dominasi yang digunakan oleh pihak pengusaha adalah dominasi ekonomi, modal simbolik dengan surat izin yang diduga diperoleh dari wakil Presiden serta surat izin dari pemkab setempat untuk mengalihfungsikan lahan pertanian. Sedangkan modus dominasi yang dilakukan oleh makelar tanah beserta premannya terhadap petani adalah dengan menggunakan modal simbolik yang diperolehnya dari PT. Kencana Gula Manis , didukung dengan isu surat izin yang diperolehnya dari presiden Budiyono. Relasi kuasapun terbentuk dengan adanya hubungan khusus/ kong kalikong antara pemerintah dan investor bertindak sebagai pendominasi ,sedangkan disini yang dijadikan objek dominasi adalah rakyat, dengan adanya kepatuhan rakyat terhadap surat perintah dari wakil presiden dan pemerintah daerah kota Blitar. Karena mungkin mereka merasa, bahwa rakyat haruslah tunduk terhadap kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. KESIMPULAN Jika pihak investor tersebut memang benar-benar mendapatkan surat izin dari wakil presiden Budiyono, dan juga izin dari pemerintah daerah kota Blitar setempat. Maka, yang terjadi adalah rakyat kecil khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani akan semakin tertindas dengan kebijakan tersebut yang berarti tertindas secara lapang dada dengan adanya dominasi ekonomi dengan modal simbolik pengusaha dari pemerintah pusat, khususnya yang berasal dari surat keputusan yang diberikan wakil presiden dan pemerintah daerah kota Blitar terhadap PT. Kencana Gula Manis. Jadi semakin tinggi kekuasaan seseorang, maka akan mendominasi pihak bawahannya, apalagi yang mendominasi mempunyai modal simbolik. Tentu setiap pembangunan yang dilakukan, akan selalu terdapat pro dan kontra, baik sesama warga sendiri maupun antara warga sekitar dengan pemerintah. Kelompok kami berusaha memberikan dua sudut pandang antara pro dan kontra terkait adanya pembangunan pabrik gula tersebut. Ada benarnya apabila pemerintah menyetujui pembangunan pabrik gula tersebut, jika memang benar lahan yang digunakan untuk mendirikan pabrik adalah tidak semuanya lahan produktif. Alasan pemerintah ini sangat tepat, karena dengan adanya pendirian pabrik gula akan dapat menambah pemasukan pendapatan daerah Kabupaten Blitar, berupa pajak bumi dan bangunan (PBB). Penambahan pendapatan daerah ini akan sangat membantu Pemerintah dalam pembangunan fasilitas yang di perlukan masyarakat sekitar. Pembangunan pabrik gula ini juga dapat menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar. Masyarakat yang mempunyai lahan pertanian yang semula digunakan untuk menanam padi dapat di alihkan dengan menanam tebu. Di sini peran pemerintah harus digerakkan untuk memfasilitasi penjualan tebu, dengan cara kerja sama antara petani dengan pabrik gula. Selain itu adanya kesepakatan (perjanjian) antara pihak pabrik dengan warga yang disaksikan pemerintah, bahwa pihak pabrik akan memperkerjakan masyarakat sekitar sebagai karyawan pabrik. Sedangkan jika memang benar lahan yang akan digunakan dalam pembangunan pabrik gula adalah lahan produktif, maka pemerintah harus bertindak adil dan bijaksana, dalam arti jangan ada kongkalikong atau permainan untuk membela pendirian pabrik, melainkan pemerintah harus mengayomi dan membela masyarakat sekitar dan mementingkan kebutuhan rakyatnya. Lahan yang produktif adalah lahan yang menjadi sumber penghasilan masyarakat, selain telah adanya peraturan yang mengatur tentang pelarangan pengalih fungsian lahan produktif. Apabila pembangunan terus di jalankan tanpa melihat dampak yang diakibatkan baik dalam jangka panjang maupun pendek, maka akan terjadi banyak permasalahan sosial, salah satunya bertambahnya jumlah angka kemiskinan. Solusi yang terakhir jika pembangunan pabrik gula itu tetap didirikan sementara masyarakat sekitar tetap menolak, maka pemerintah harus bisa membaca peluang dengan cara memindahkan pembangunan itu ke tempat yang memang benar-benar tidak produktif, sehingga tidak ada pihak yang di rugikan. Secara otomatis pula pembangunan yang di adakan di daerah yang benar-benar bukan lahan produktif akan menguntungkan, karena daerah lahan produktif bisa berjalan lancar dan menghasilkan keuntungan bahkan daerah lahan yang tidak produktif juga akan menghasilkan keuntungan dari di bangunnya pabrik gula. baik masyarakatnya, pemerintah, dan pemilik lahan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Diterjemahkan oleh Alimandan. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Edisi 11-12 (November-Desember). Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan. Basis.