bab ii tinjauan pustaka tentang perlindungan hukum terhadap anak

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK JALANAN DAN HASIL PENELITIAN DAN
ANALISIS
Bab ini berisi tinjauan pustaka. Uraian pertama akan menyangkut teori keadilan
bermartabat. Selanjutnya akan dikemukakan pula teori tentang perlindungan hukum. Serta
tidak lupa membahas mengenai teori tentang anak.
Bab ini juga berisi hasil penelitian dan analisis perlindungan hukum terhadap anak.
Uraian pertama akan menyangkut hasil penelitian yang berhubungan dengan kasus terdakwa
Dodot Siswo Suwondo Bin Wowok Suwongko mengenai tindak pidana “secara bersamasama mengeksploitasi ekonomi anak dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain.”
Pada bagian berikutnya dibahas mengenai analisis dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kediri Nomor 118/Pid.B/2012/PN.Kdr., dimana perlindungan hukum terhadap anak menjadi
roh putusan tersebut.
2.1.Teori Keadilan Bermartabat
Pada hakikatnya pengertian teori keadilan bermartabat itu dapat diketahui dengan
jalan memahami bahwa teori keadilan bermartabat itu adalah suatu nama dari teori hukum.
Teori keadilan bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hukum. Sebagai suatu ilmu
hukum, cakupan dari teori keadilan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam
ilmu hukum.1
Teori keadilan bermartabat sebagi ilmu hukum memiliki suatu cakupan, yang antara
lain dapat dilihat dari susunan atau lapisan ilmu hukum, yang meliputi filsafat hukum di
tempat pertama. Pada lapisan kedua terdapat teori hukum. Sementara itu dogmatik hukum
1
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm., 1-2.
atau ilmu hukum positif berada di tempat ketiga.Hukum dan praktik hukum berada pada
susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat.2
Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat itu adalah
lapisan yang saling terpisah antara satu dengan lapisan lainnya, namun pada prinsipnya
lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik, mengendap, hidup dalam
satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan lainnya, bahu-membahu, gotong-royong
sebagai suatu sistem. Teori keadilan bermartabat berangkat dari postulat sistem, bekerja
mencapai tujuan, yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia. 3
Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa sekalipun ilmu hukum itu
tersusun sebagaimana dapat dilihat dalam ilustrasi berbentuk susunan atau lapisan, namun
keempat komponen atau lapisan-lapisan dalam teori keadilan bermartabat sebagai suatu ilmu
hukum tersebut merupakan suatu sistem atau satu kesatuan yang terdiri dari beberapa bagian,
namun saling kait-mengkait.
Lapisan-lapisan ilmu hukum dalam perspektif teori keadilan bermartabat itu bekerja
atau berfungsi sebagai sumber, atau tempat dimana hukum itu ditemukan.
Memahami ilmu hukum secara utuh berarti memahami lapisan-lapisan hukum
tersebut secara kait-mengait.4 Lapisan yang di atas mendikte, atau menerangi, atau memberi
pengayaan terhadap ilmu hukum di bawahnya. Begitu pula seterusnya.
2.2.Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar
tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti
2
Susunan atau bagan dimaksud merupakan modifikasi dari bagan lapisan ilmu hukum sebelumnya, terdapat
dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli
Hukum Sepanjang Zaman, Cet., Keempat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm., 21.
3
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Loc. Cit.
4
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Loc. Cit.
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Perlindungan hukum juga dapat
menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum sejatinya
harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya
karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Setiap aparat
penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum,
maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap
hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu
sendiri.5
Menurut Fitzgerald, teori perlindungan hukum Salmond mengatakan bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat
karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.6 Kepentingan hukum
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi
untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.7 Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum
dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.8
5
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hlm., 53.
Ibid.
7
Ibid., hlm., 69.
8
Ibid., hlm., 54.
6
Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan respresif.9Perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan
perlindungan yang represif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.10
Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, bahwa hukum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
predektif dan antisipatif.11
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai
dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat
represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan
hukum. Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir
seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat
banyak macam perlindungan hukum.
Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas,
dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak
merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai
rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya
9
Pjillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987) hlm., 2.
Maria Alfons, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat Lokal Dalam
Prespektif Hak Kekayaan Intelektual(Malang: Universitas Brawijaya, 2010) hlm., 18.
11
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993) hlm.,
118.
10
telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak
asasi korban.12
Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum
mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia
menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian
dan rasa keadilan.
2.3. Teori Tentang Anak
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam
keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat perlindungan dan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik,
mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa
adanya perlakuan diskriminatif. Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa
berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.13 Namun seiring berjalannya
waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif
karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait
dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah
masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh
orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap
anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku ±
12
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jurnal Hukum
Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998), hlm 16-17.
13
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Cet. Ke.3 PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 1984.
(kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan
denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan
untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan
kembali fisik, psikis, dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak
(korban kejahatan) di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena
berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku
kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah
mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang
pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami.14
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai efektif berlaku pertanggal 18
Oktober 2014 banyak mengalami perubahan "paradigma hukum", diantaranya memberikan
tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta
dinaikkannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta
diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi. Dalam tulisan ini Penulis
akan membahas secara singkat beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut yang
dianggap "paradigma baru".15
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang sedang terlibat
dengan masalah hukum atau sebagai pelaku tindak pidana, sementara anak tersebut belum
dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, mengingat usianya yang
belum dewasa dan sedang bertumbuh berkembang, sehingga berhak untuk dilindungi sesuai
dengan undang-undang. Menurut hal ini adalah anak yang telah mencapai umur 8 tahun dan
14
Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang Perlindungan
Anak, Hakim Pengadilan Negeri Palopo, artikel sama pernah dimuat di surat kabar harian Palopo Pos.
15
Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Anak, Cet. 1. Rajawali, Jakarta, 1986.
belum mencapai 18 tahun atau belum menikah. Faktor penyebab anak berhadapan dengan
hukum dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal, yang
pertama faktor internal anak berhadapan dengan hukum mencakup: keterbatasan ekonomi
keluarga; keluarga tidak harmonis (Broken Home); tidak ada perhatian dari orang tua, baik
karena orang tua sibuk bekerja ataupun bekerja di luar negeri sebagai TKI; lemahnya iman
dan takwa pada anak maupun orang tua. Sedangkan untuk faktor eksternal ialah kemajuan
globalisasi dan kemajuan tekhnologi tanpa diimbangi kesiapan mental oleh anak; lingkungan
pergaulan anak dengan teman-temanya yang kurang baik; tidak adanya lembaga atau forum
curhat untuk konseling tempat anak menuangkan isi hatinya; kurangnya fasilitas bermain
anak mengakibatkan anak tidak bisa menyalurkan kreativitasnya dan kemudian mengarahkan
kegiatannya untuk melanggar hukum.16
Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang diantaranya mewajibkan
dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status
hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental, serta melindungi, dan
menghormati hak anak dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang
ini pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan dan
mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah yang
dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak, serta
memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.17
16
Ismi Dwi A. Nurhaeni, Siany I. Listyasari, Diana T. Cahyaningsih, Atik C. Budiati, Eva Agustinawati, 2010,
Kajian Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Provinsi Jawa Tengah.
17
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cet. Ke . PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Selain kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di atas negara, pemerintah, dan
pemerintah daerah juga menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggungjawab terhadap anak, mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak,
menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan
usia dan tingkat kecerdasan anak, serta kewajiban dan tanggung jawab yang paling penting
adalah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak
dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan serta memberikan biaya pendidikan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang tinggal di daerah
terpencil. Semoga amanah besar yang diberikan oleh undang-undang ini dapat dilaksanakan
oleh negara, pemerintah dan pemerintah daerah demi mewujudkan tanggungjawab dan
kewajibannya terhadap anak yang merupakan generasi bangsa.18
Selain tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah, undang-undang ini
pun memberikan amanah, tanggung jawab dan kewajiban kepada masyarakat, sehingga
masyarakat tidak boleh lagi berpangku tangan dan bermasa bodoh dalam hal perlindungan
kepada anak, diantara kewajiban dan tanggungjawab masyarakat, di antaranya adalah
melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang
dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak.
Sehingga dalam hal ini organisasi masyarakat, akademisi dan pemerhati anak sudah
seharusnya turun langsung ke lapangan melakukan pencegahan dengan jalan banyak
melakukan edukasi dalam hal perlindungan kepada anak, sehingga kasus-kasus kejahatan
18
Ibid.
terhadap anak (terutama kejahatan seksual) yang akhir-akhir ini banyak menghantui kita bisa
diminimalisir.19
Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara,
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang ini juga memberikan
kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal perlindungan kepada anak,
mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak
yang masih relatif dini, dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi
pekerti pada anak. Karena pada kenyataannya orang tualah yang paling dekat dengan sang
anak dalam kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis
sang anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak.20
Salah satu kejahatan terhadap anak yang menjadi perhatian publik adalah kejahatan
seksual yang akhir-akhir ini banyak terjadi di sekeliling kita, bahkan terkadang dilakukan
oleh orang-orang yang dekat dengan sang anak yang selama ini kita tidak pernah sangkasangka, seperti kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya (baik
ayah kandung maupun ayah angkat), bahkan pada tahun 2014 ada kasus yang
menggemparkan dunia pendidikan yakni adanya kejahatan seksual yang terjadi disalah satu
sekolah yang konon kabarnya "bertaraf internasional" yang "diduga" dilakukan oleh oknum
pendidik, serta masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya yang terjadi diberbagai pelosok
nusantara.21
Dahulu, kejahatan seksual terhadap anak dianggap tabu dan menjadi aib yang luar
biasa, namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, kejahatan seksual terhadap
anak sudah dianggap sesuatu hal yang tidak tabu lagi. Bahkan pelaku kejahatan seksual
terhadap anak, adalah pelaku-pelaku yang mempunyai trauma masa lalu, tentu masih segar
19
Bismar Siregar, Loc. Cit.
Darwan Prinst, Loc. Cit.
21
Ibid.
20
dalam ingatan kita pelaku kejahatan seksual pada tahun 1996 yang terjadi di Jakarta yang
dilakukan oleh Robot Gedek yang menyodomi 8 (delapan) orang anak dan selanjutnya
membunuh anak-anak tersebut dan dari pengakuannya Robot Gedek mengaku puas dan
merasa tak bersalah dan tidak takut masuk penjara apalagi dosa. Semua itu dilakukan demi
kepuasaan seksnya dan ia mengaku pusing kepala apabila dalam sebulan tidak melakukan
perbuatan tersebut.22 Dalam kasus lain yang tidak kalah hebohnya terjadi pada tahun 2014
dimana jumlah korban pedofilia dengan pelaku Andri Sobari alias Emon, 24 tahun, telah
mencapai 110 anak,23 ternyata baik Robot Gedek dan Emon mempunyai trauma masa lalu
dalam hal pelecehan seksual. Maraknya kasus-kasus kejahatan seksual tersebut menjadi
perhatian publik, sehingga publik pun mendesak supaya hukuman bagi pelaku kejahatan
seksual lebih diperberat dan ketentuan minimalnya dinaikkan.
Dalam undang-undang perlindungan anak yang lama ancaman pelaku kejahatan
seksual hanya diancam dengan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 3 (tiga) tahun
dan denda maksimal Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp 60.000.000,(enam puluh juta rupiah), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diubah
dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda
maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam
undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga).24
Dalam undang-undang ini juga sudah mengakomodir perlindungan hukum kepada
anak-anak penyandang "disabilitas". Istilah "disabilitas" mungkin masih awam kita dengar
apa yang dimaksud dengan "disabilitas". Istilah ini mulai dikenal dalam Convention on The
Rights of Persons With Disabilities (CRPD). Dalam CRPD tersebut, penyandang disabilitas
22
www.museum.polri.go.id.
tempo.com.
24
Ibid.
23
diartikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi
partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 lebih spesifik kepada pengertian anak penyandang disabilitas
yaitu anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak.25
Sehingga, dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, diharapkan
sudah memberikan perlindungan hukum, persamaan derajat anak penyandang disabilitas
dengan anak-anak yang normal, dan tidak ada lagi diskriminasi kepada anak penyandang
disabilitas. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah
daerah dalam memberikan fasilitas kepada anak-anak penyandang disabilitas, karena hal
tersebut merupakan hak asasi anak-anak penyandang disabilitas.
Hal yang sangat baru dalam sistem pemidanaan kita di Indonesia adalah adanya hak
restitusi dalam undang-undang ini. Mendengar istilah restitusi mungkin kita belum mengerti
apa yang dimaksud dengan "restitusi" walaupun mengenai restitusi ini sudah diatur dalam
hukum positif kita di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia restitusi dapat
berarti ganti kerugian, pembayaran kembali, pegawai berhak memperoleh pengobatan,
penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa, sedangkan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, restitusi adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
25
www.museum.polri.go.id. Loc. Cit.
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan,
atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.26
Berdasarkan gambaran tersebut di atas tentu kita sudah paham bahwa yang dimaksud
dengan restitusi adalah adanya ganti rugi kepada korban. Dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 masalah restitusi hanya diatur dalam satu pasal yakni pada Pasal 71 D yang
menyebutkan bahwa:
(1) Setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan
ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab pelaku
kejahatan;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelasan pasal tersebut di atas yang dimaksud dengan "restitusi" adalah
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban
atau ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak
mendapatkan restitusi adalah anak korban.
Berdasarkan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan eksploitasi adalah:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap
anak.”
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan
eksploitasi adalah:
“1. pengusahaan; pendayagunaan; 2. pemanfaatan untuk keuntungan sendiri;
pengisapan; pemerasan tenaga orang.”27
26
Ibid.
Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa eksploitasi anak adalah pemanfaatan untuk
keuntungan sendiri melalui anak dibawah umur yang belum berusia 18 tahun. Oleh sebab itu
anak jalanan digunakan sebagai media untuk mencari uang. Pengertian eksploitasi terhadap
anak jika dilihat secara umum adalah mempekerjakan seorang anak dengan tujuan ingin
meraih keuntungan yang sebesar besarnya. Hal ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan
mental maupun sosial anak, khususnya anak jalanan. Pasal 64 dan 65 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:
Pasal 64:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat
mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental
spiritualnya.”
Pasal 65
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”
Dilihat dari penjelasan di atas, seorang anak mempunyai jaminan perlindungan
hukum dari kegiatan eksploitasi ekonomi, hal ini dikarenakan seorang anak belum bisa
menjaga dirinya sendiri dan bisa berdampak buruk untuk kesehatan fisik maupun moralnya.
Maka dari itu, seorang anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua atau pihak lain
yang bertanggungjawab, seperti yang tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa:
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e.
ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka orang tua atau pihak lain yang bertanggung
jawab atas anak tersebut wajib memberikan perlindungan dari tindakan-tindakan yang dapat
27
Anne Ahira, Anak Bukan Objek Eksploitasi, http:// AnneAhira.com, Diakses pada 4 Januari 2016, Pukul 20.
00 WIB.
menghilangkan hak-hak seorang anak dan masa depan seorang anak. Tindak kekerasan dapat
diartikan juga sebagai:
“Semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan
seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang
mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan
anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau
kekuasaan.”28
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa tindak kekerasan
terhadap seorang anak harus dihindari oleh berbagai pihak karena dapat berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak, oleh sebab itu seorang
anak harus mendapatkan perlindungan khusus baik oleh orang tua ataupun oleh hukum, hal
ini dikarenakan seorang anak jalanan sangat rentan terhadap eksploitasi dan tindak kekerasan.
Teori-teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di
antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu, yang meliputi:29
1. Stres berasal dari anak, misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku
yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan
penyakit kronis yang berlangsung bertahun-tahun juga merupakan salah satu penyebab stress;
2. Stres yang berasal dari orang tua, misalnya orang tua dengan gangguan jiwa
(psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua ingin
anaknya sempurna dengan harapan pada anak terlampau tinggi. Orang tua tersebut adalah
orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin;
3. Stres berasal dari situasi tertentu, misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan
kerja) yang dialami oleh orang tua, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan
28
Mellysa Adelia, Pengertian Kekerasan Terhadap Anak, http://Kadnet.com, Diakses pada 4 Januari 2016,
Pukul 20. 05 WIB.
29
Ibid.
ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai
bagian dari mendidik anak, maka para pelaku tindak kekerasan semakin merasa
membenarkan atas tindakannya untuk mendera anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya
berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada orang tua, maka terjadilah
penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan
keluarganya.30
Berdasarkan macam-macam bentuk stres tersebut bisa dipahami bahwa terjadinya
tindak kekerasan bisa diakibatkan oleh stres yang berlebihan dari berbagi pihak dalam
lingkup keluarga. Berdasarkan tindak kekerasan tersebut, dapat diambil macam-macam
tindak kekerasan terhadap anak jalanan, tindak kekerasan dapat digolongkan menjadi 4
bagian, yaitu:
1. Penyiksaan Fisik (Physical Abuse)
Segala bentuk penyiksaan fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, dan
tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan anak.
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse)
Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak,
selanjutnya konsep diri anak terganggu, anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan
dikasihi.
3. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)
Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas
seksual, anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau
bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.
4. Pengabaian (child neglect)
30
Irma SetiaWati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak Jalanan, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm., 19.
Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara psikis, yaitu segala ketiadaan
perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial.31
Berdasarkan macam-macam tindak kekerasan yang dijelaskan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa seorang anak sangat rentan akan tindak kekerasan yang sangat merugikan
bagi pertumbukan anak tersebut dan bisa mengganggu pertumbuhan mental seorang anak.
Selain tindak kekerasan yang sangat membahayakan pertumbuhan anak, pengabaian terhadap
seorang anak juga sangat membahayakan bagi pertumbuhan anak.
Jenis-jenis pengabaian terhadap anak:
1. Pengabaian fisik
Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai,
serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
2. Pengabaian pendidikan
Orang tua sering kali tidak memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan bakat
dan kemampuan anak.
3. Pengabaian secara emosi
Ketidaksadaran orang tua akan kehadiran anaknya ketika sedang bertengkar.
Pembedaan perlakuan dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
4. Pengabaian fasilitas medis
Orang tua tidak menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial
memadai.
5. Mempekerjakan anak dibawah umur
Hal ini melanggar hak asasi anak untuk memperoleh pendidikan, dapat
membahayakan kesehatan, serta melanggar hak anak sebagai manusia.32
31
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, Makalah, Jakarta, Seminar Perlindungan HakHak Anak, 1986, hlm., 22.
32
Rika Saraswati S.H., CN., M.Hum. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, hlm., 16.
Eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak memang sangat membahayakan bagi
pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, maka dari itu peran serta masyarakat
sangatlah penting. Pasal 100 dan 101 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, mengatur pula mengenai peran serta masyarakat dalam rangka penegakan hak
asasi manusia dalam masyarakat, yang isinya adalah:
Pasal 100
“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak
berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia.”
Pasal 101
“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak
menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada
komnas HAM atau lembaga lainnya yang berwenang dalam rangka
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.”
Berdasarkan pasal yang diuraikan di atas, maka jelas kiranya bahwa peranan
masyarakat sangatlah penting, bahkan masyarakat berhak melaporkan atas terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini pelanggaran hak asasi manusia sebagai seorang
anak. Partisipasi dari masyarakat ini bisa sangat membantu untuk memberi perlindungan bagi
anak jalanan dari eksploitasi ekonomi dan tindakan-tindakan kekerasan yang bisa dilakukan
oleh berbagai pihak termasuk oleh orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu peran serta
pemerintah, lembaga masyarakat, masyarakat, dan orang tua asuh sangatlah penting untuk
menghindari jumlah anak jalanan di Indonesia yang tereksploitasi dan korban tindak
kekerasan.
Anak jalanan merupakan suatu komunitas anak yang paling rentan terhadap
eksploitasi dan tindakan kekerasan yang terjadi pada diri anak jalanan. Semua tindak
kekerasan yang terjadi pada anak jalanan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup lingkungan sosial anak tersebut. Masalah
anak terutama anak jalanan, semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini akibat krisis
ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Anak adalah amanah dan juga karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi.33
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak
Anak. Pengertian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa
dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari eksploitasi dan
tindak kekerasan serta hak sipil dan kebebasan.
Sebelum berbicara anak jalanan, Penulis akan menjelaskan tentang definisi anak.
Konsep anak didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut
pandang dan pemahaman yang beragam. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah:
“Seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.”
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, yang dimaksud anak adalah:
“Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin.”
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, menyebutkan bahwa:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.”
33
Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm., 76.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak adalah
seorang anak yang masih dalam kandungan sampai anak yang berusia 18 tahun dan belum
menikah. Pemahaman tentang anak jalanan adalah seorang anak yang belum sampai berusia
18 tahun yang melakukan kegiatan dan kesehariannya di jalanan yang dapat mengganggu
ketenteraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri.34 Direktorat
Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya
sambil bekerja mengemis atau menganggur saja.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak terlantar yaitu:
“Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental,
sepiritual, maupun sosial.”
Hal tersebut menjelaskan bahwa seorang anak terlantar atau anak jalanan yang masih
belum dewasa atau belum berumur 18 tahun harus dilindungi oleh berbagai pihak, baik oleh
pihak orang tua, masyarakat maupun oleh negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya adalah:
“(1). Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, dan negara; (2). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak
dalam kandungan.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa pentingnya perlindungan kepada seorang anak
bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, turut serta masyarakat
sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup seorang anak yang sejahtera, baik secara
mental maupun sosial dan terhindar dari eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak
jalanan.
Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, anak jalanan dibedakan menjadi
empat kelompok, yaitu:
34
H. Ahmad Kamil, H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan Anak Jalanan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
1999, hlm., 22.
1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the
street). Anak-anak yang tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan
sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini
disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan,
penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya anak tersebut tidak mau kembali ke rumah,
kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua adalah anak yang
bekerja di jalanan (children on the street). Anak sering kali diidentikkan sebagai pekerja
migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya
mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen,
tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal anak jalanan di lingkungan
kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Seorang anak yang
masih tinggal dengan orang tuanya, seorang anak yang dalam posisi tersebut berada di
jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi anak dalam posisi tersebut turun ke jalan
karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas
usaha anak jalanan yang paling menyolok adalah berjualan koran.
4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Seorang anak berada di jalanan
untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya anak tersebut telah lulus SD
bahkan ada yang SLTP. Anak jalanan biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa
(orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan anak jalanan biasanya mencuci bus
menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,
pengemis, dan pemulung.
Berdasarkan pengelompokan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran serta
orang tua sangat mempengaruhi bagi seorang anak yang turun ke jalan. Hal ini disebabkan
faktor-faktor sosial psikologis keluarga yang tidak harmonis. Akibatnya eksploitasi ekonomi
dan tindak kekerasan terhadap seorang anak akan terjadi.
2.4. Tujuan Hukum
Dari sekian banyak pendapat yang ada mengenai tujuan hukum, apabila hendak
diinventarisasi hanyalah terdapat 2 teori, yaitu teori etis dan teori utilitas. Kedua teori ini
merupakan landasan dari teori atau pendapat lainnya, dan terori lainnya itu merupakan varian
atau kombinasi dari teori etis dan/atau teori utilitas.35
1. Teori Etis
Filsuf Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul Rhetorica
dan Ethica Nicomachea. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk
mewujudkan keadilan. Keadilan disini adalah ius suum cuique tribuere (slogan lengkapnya
iustitia est constans et perpetua voluntas ius suumcuique tribuere) yang dapat diartikan
“memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya”. Selanjutnya,
Aristoteles membagi keadilan menjadi 2, yaitu keadilan komutatif (keadilan yang
memberikan kepada tiap orang menurut jasanya), dan keadilan distributif (keadilan yang
memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa
perseorangan).36
Disebut dengan toeri etis karena isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran etis kita mengenai mana yang adil dan mana yang tidak adil. Teori ini oleh L.J.Van
Apeldoorn dianggap berat sebelah karena terlalu mengagungkan keadilan yang pada akhirnya
35
Disarikan dari Dudu Duswara Machmudin, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, RefikaAditama,
Bandung, hlm., 23.
36
Ibid.,hlm. 23-24. Dalam buku ini disebutkan bahwa selain keadilan distributif dan komutatif, pakar hukum lain
juga membedakan keadilan menjadi beberapa jenis, antara lain keadilan vindikatif, keadilan kreatif, keadilan
protektif, dan keadilan legalis.
tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan peraturan umum itu merupakan
sarana untuk kepastian dan tertib hukum.37
2. Teori Utilitas
Jeremy Bentham, seorang pakar hukum asal Inggris, mengemukakan bahwa hukum
bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna
(efektif). Adapun yang terkenal adalah “the greatest happiness for the greatest number”
(kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbanyak).
Teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya
peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis terkenal yang
dikumandangkan oleh Ulpianus dalam Digesta “lex dura sed tament scripta” atau “lex dura
sed ita scripta” yang kalau diterjemahkan artinya“undang-undang itu keras, akan tetapi
memang sudah ditentukan demikian bunyinya.”38
Kedua teori di atas, mengandung kelemahan yang sama, yaitu tidak seimbang atau
berat sebelah. Akibat mengagungkan keadilan, maka teori etis mengabaikan kepastian
hukum. Apabila kepastian hukum terabaikan, maka ketertiban akan terganggu. Padahal justru
dengan ketertiban, keadilan dapat terwujud dengan baik. Sebaliknya, karena terlalu
mengagungkan kegunaan, teori utilitas mengabaikan keadilan. Justru hukum dapat berfaedah,
apabila sebanyak mungkin menegakkan keadilan.39
Berdasar dari kelemahan-kelemahan kedua teori tersebut, muncul banyak teori-teori
turunan atau gabungan dari kedua teori tersebut, yang tidak terlalu menonjolkan keadilan atau
menonjolkan kemanfaatan. Sampai hari ini pun, perkembangan teori tujuan hukum masih
tetap berlangsung. Beberapa contoh dari perkembangan teori tujuan hukum yang dapat
dipakai untuk mendalami makna sebenarnya dari tujuan hukum antara lain:
37
Ibid.,hlm. 25-26. Baca .juga L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta,hlm. 10-17.
38
Ibid., hlm. 26-27.
39
Ibid., hlm. 27.
1. Betapa pun, tujuan hukum adalah untuk menciptakan damai sejahtera
dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itulah perlu dirujuk pandangan Ulpianus
yang menyatakan: “iuris praecepta sunt haec: honeste vivere, alterumnon-ladere,
suum cuique tribuere” yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya: “perintah
hukum adalah: hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia, dan setiap orang
mendapatkan bagiannya.”40
2. Dalam perbincangan mengenai tujuan hukum ini, perlu juga dikemukakan pendapat
Bellefroid
yang
menyatakan:
“het
recht
beoogt
de
geestelijke,
zedelijke
en
stoffelijkebehoeften der gemenschaap op passende wijze te bevredigen of ook: de
persoonlijkheid der mensen in het gemeenschapsleven te volmaken, d.w.z. de gemeenschap zo
teordenen, dat de persoon zijn geestelijke, zedelijke, en lichamelijke vermogens daarin
ontplooien en tot hun hoogste ontwikkeling brengen”41
3. Inilah maksud dan tujuan hukum yang sebenar-benarnya. Hukum menghendaki
kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan
yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.42
4. Perundang-undangan tertua yang diketahui dari studi hukum ialah perundangan
Hammourabi, Raja Babylonia (± 2000 tahun SM). Maksud tujuan hukum dalam perundangundangan itu, berintikan ketentuan yang menyatakan “janganlah hendaknya yang kuat
merugikan yang lemah.”43
5. Tujuan hukum versi teori pengayoman (pengayoman sebagai lambang keadilan
yang disimbolkan dengan Pohon Beringin. Ditemukan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo
untuk menggantikan simbol keadilan negara barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri
40
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 162.
Ibid.,(terjemahan bebas: hukum berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmani, kejiwaan, dan rohani
masyarakatnya, atau juga meningkatkan kepribadian individu-individu dalam hidup bermasyarakat. Dengan
demikian, apabila dikatakan bahwa masyarakat dalam keadaan tertib, berarti setiap orang di dalam masyarakat
tersebut dapat mengembangkan keadaannya baik secara jasmani, pikiran, maupun rohaninya).
42
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17.
43
Ibid.
41
Ouranos dan Gala). Menurut teori pengayoman, tujuan hukum adalah untuk mengayomi
manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk
menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung
secara wajar. Sedangkan yang dimaksud dengan secara pasif, adalah mengupayakan
pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha
mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: a). Mewujudkan ketertiban
dan keteraturan, b). Mewujudkan kedamaian sejati, c). Mewujudkan keadilan, dan d).
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.44
2.5. Fakta Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 118/Pid.B/2012/PN.Kdr.
Contoh kasus (yang masih menggunakan pengaturan dalam UU Perlindungan Anak)
dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 118/Pid.B/2012/PN.Kdr.
Fakta yang muncul dari putusan tersebut adalah bahwa Terdakwa diminta mencari
calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk dipekerjakan di Malaysia oleh saksi. Walaupun
terdakwa tidak dapat mencarikan, namun terdakwa telah menampung saksi korban di
rumahnya, kemudian terdakwa menyuruh seseorang untuk mengantarkan saksi korban itu ke
bandara. Usia korban yang dipekerjakan masih tergolong anak-anak. Akibat perbuatan
terdakwa tersebut, para saksi mengalami eksploitasi ekonomi karena dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga tanpa mendapatkan upah. Terdakwa juga mengakui telah mendapat
keuntungan karena melakukan perbuatan itu.
Atas perbuatannya itu, hakim menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur
dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak, dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
Dudu Duswara Machmudin, op.cit., hlm. 28. Secara khusus mengenai kisah “Pohon Beringin yang
menggantikan Dewi Themis” dan biodata singkat Dr. Sahardjo, SH. dapat dibaca dalam artikel berjudul “Dr.
Saharjo, Menolak Dewi Keadilan Demi Pohon Beringin” yang dapat diakses pada situs
http://hukumonline.com/berita/baca/hol23198/dr-saharjo-menolak-dewi-keadilan-demi-pohon-beringin.
44
tindak pidana “secara bersama-sama melakukan eksploitasi ekonomi terhadap seorang
anak.”
Jika ditilik dari fakta dalam putusan tersebut di atas, menurut Teguh Prasetyo,45
hukum itu sejatinya adalah moral. Maka, dalam perspektif teori keadilan bermartabat,
moralitas hukum itu sejatinya adalah hukum itu sendiri. Hanya saja, manakala suatu sistem
hukum itu harus di-break down atau dianalisis, maka moralitas hukum itu haruslah dibuat
pengkualifikasian. Fuller mengemukakan adanya delapan persyaratan bagi pengkualifikasian
terhadap suatu sistem hukum yang mencerminkan moralitas hukum. Dengan moralitas yang
demikian itu, maka suatu sistem hukum dapat dinilai baik atau tidak baik. Dengan demikian,
maka kegagalan untuk menciptakan sistem yang mengandung kedelapan moralitas menurut
Fuller dimaksud tidak hanya melahirkan sistem hukum yang tidak baik (jelek),46 melainkan
sesuatu yang tidak dapat disebut sebagai sistem hukum sama sekali.47 Sebagaimana umum
diketahui, Lon Fuller adalah seorang ahli hukum Amerika (1902-1978). Orang ini dikenal
dalam kepustakaan filsafat hukum sebagai penggagas suatu pendekatan hukum alam yang
sekuler (a secular natural law approach).48 Menurut Fuller, suatu sistem hukum mempunyai
suatu “inner morality”,49 moral yang ada dan sengaja dibangun dan dimasukkan ke dalam
sistem hukum itu. Dengan moralitas yang ada di dalam sistem hukum itu, maka menurut
Fuller, suatu sistem hukum mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang tertentu adalah
menundukkan perilaku orang dalam sistem hukum itu untuk diperintah oleh kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum di dalam sistem hukum itu.
45
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Op. Cit., hlm., 179.
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Cet., Pertama, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2013, hlm., 45.
47
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet., Keenam, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, hlm. 52. Dikutip pula
dalam Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Ibid.
48
Raymond Wacks, Philosophy of Law, A Very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2006,
hlm., 12. Dikutip pula dalam Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Op. Cit., hlm.,
179.
49
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Ibid.
46
Teguh Prasetyo mengibaratkannya dalam perumpamaan Fuller yang menggunakan
contoh seorang raja khayalan yang bernama King Rex, sedangkan Penulis menggunakan
contoh nyata, yaitu apa yang terrekam dalam putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor
118/Pid.B/2012/PN.Kdr, tersebut di atas, yang mana perbuatan terdakwa tersebut para saksi
mengalami eksploitasi ekonomi karena dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa
mendapatkan upah. Terdakwa juga mengakui telah mendapat keuntungan karena melakukan
perbuatan itu.
2.6. Hasil Penelitian
2.6.1. Dakwaan Penuntut Umum
Pada persidangan tanggal 12 Juni 2012 juga dibacakan permohonan yang diajukan
oleh INDARTI, alamat Jl. Dahlia No. 10 RT. 002 RW. 003 Desa Mojongapit, Kecamatan
Jombang, Kabupaten Jombang tertanggal : 03 Mei 2012 perihal pinjam pakai barang bukti
berupa 1 (satu) unit kendaraan Toyota Avanza Type G, WARNA Black Mica tahun 2011,
No.pol S-822-WH beserta STNK-nya, dan atas hal tersebut Penuntut Umum menanggapi
dengan menyatakan tidak keberatan atas adanya permohonan pinjam pakai barang bukti
tersebut. Kemudian Majelis Hakim mengeluarkan Penetapan No: 118/Pen.Pid./2012/PN. Kdr
tertanggal 12 Juni 2012 tentang pinjam pakai barang bukti.
Timbul pertanyaan, bahwa apakah dengan fakta-fakta yuridis tersebut di atas,
terdakwa sudah dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal-pasal tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, tentunya harus dipertimbangkan dakwaan Penuntut Umum sebagaimana tersebut
di bawah ini:
Terdakwa, oleh Penuntut Umum telah didakwa dengan dakwaan alternatif sebagai
berikut: Pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1) huruf c dan huruf f Undang-Undang No.
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Oleh karena dakwaan disusun secara alternatif yang memberi pilihan kepada Majelis
Hakim untuk memilih dakwaan mana yang paling tepat untuk dipertimbangkan terlebih
dahulu berdasarkan ketentuan pidana mana yang paling tepat berdasarkan fakta hukum yang
didapat dalam persidangan.
Dakwaan Pertama mengenai tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, dan dakwaan Kedua mengenai Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004, yang mana di dalam persidangan tidak ada unsur-unsur yang
membuktikan bahwa perbuatan terdakwa merupakan jaringan kerja yang terorganisir,
berjaringan luas dan beraneka perbuatan turunan yang dilarang, serta bukan merupakan
perekrutan calon TKI dengan tujuan eksploitasi atau dengan ancaman maupun pemaksaan,
maka Majelis Hakim memilih dakwaan yang paling tepat, dalam hal ini adalah pada dakwaan
alternatif yang Ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis Hakim, setelah membaca berkas perkara yang bersangkutan, setelah
mendengarkan dakwaan Penuntut Umum, setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan
Terdakwa di persidangan, setelah memeriksa barang bukti yang diajukan di persidangan,
setelah mendengarkan tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yang pada pokoknya mohon
agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:
Menyatakan Terdakwa Dodot Siswo Suwondo Bin Wowok Suwongko secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Secara bersama-sama mengeksploitasi
ekonomi anak dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana
dinyatakan dalam dakwaan ketiga, yaitu melanggar Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) jo
Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan ketiga.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh)
bulan dikurangkan selama terdakwa berada dalam masa tahanan dengan perintah terdakwa
tetap ditahan dan membayar denda sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara
sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
Atas tuntutan pidana tersebut Terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan yang
pada pokoknya mohon keringanan hukuman dengan alasan terdakwa mengaku bersalah,
menyesal, berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Terhadap pembelaan terdakwa tersebut, Penuntut Umum dalam repliknya secara lisan
menyatakan pada pokoknya tetap pada tuntutannya, demikian pula terdakwa dalam dupliknya
secara lisan menyatakan tetap pada permohonannya.
Penuntut Umum, dengan surat dakwaannya No.Reg.Perk:PDM-40/KDIRI/04/2012
tanggal 24 April 2012, Terdakwa telah didakwa sebagai berikut:
Terdakwa Dodot Suwondo Bin Wowok Suwongko pada hari Sabtu tanggal 28 Januari
2012 dan hari Kamis tanggal 2 Februari 2012 atau setidak-tidaknya dalam bulan Januari dan
Februari tahun 2012 di Perum Citra Pratama Garden Blok A/ 20 Dsn Kweden. Ds.
Karangrejo, Kec. Ngasem, Kab. Kediri atau pada suatu tempat dimana berdasarkan ketentuan
Pasal 84 ayat (2) KUHP apabila tempat kediaman sebagian saksi yang dipanggil lebih dekat
pada tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di
dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan, maka Pengadilan Negeri Kediri berwenang
untuk mengadili perkara tersebut, yaitu terdakwa sebagai orang yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan melakukan pengiriman anak
ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi perbuatan tersebut, terdakwa lakukan dengan cara-cara:
Awalnya terdakwa dihubungi oleh saksi Wiwik Winarsih als. Diyah (dalam BAP
terpisah) untuk mencarikan orang yang mau dipekerjakan di Malaysia, karena suami saksi
Wiwik yang bekerja di Malaysia memberikan informasi apabila ada kebutuhan TKI di
Malaysia, berhubung terdakwa tidak ada orang untuk diberangkatkan sebagai TKI, kemudian
saksi Wiwik meminta tolong kepada saksi Reza untuk mencarikan calon TKI.
Dari saksi Reza akhirnya ada calon TKI yang mau diberangkatkan ke Malaysia,
selanjutnya saksi Wiwik meminta kepada terdakwa untuk menampung calon TKI tersebut
dirumahnya sekaligus meminta terdakwa membantu melayani pemberangkatan calon TKI ke
bandara karena terdakwa bekerja sebagai sopir sekaligus mempunyai usaha rental/carter
mobil yang melayani jasa pengantaran dan penjemputan.
Pada hari Sabtu tanggal 28 Januari 2012 terdakwa menampung saksi korban Ribut
Patmosari alias Nita di rumahnya yaitu di Perum Citra Pratama Garden Blok A/20 Dsn.
Kweden Ds. Gampengrejo. Kab. Kediri sebagai calon TKI yang akan diberangkatkan ke
Malaysia, padahal saksi korban Ribut Patmosari berdasarkan surat keterangan lahirnya masih
berusia 14 tahun, sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dikirimkan bekerja ke luar
negeri sebagai TKI.
Pada tanggal 29 Januari 2012 terdakwa telah menyuruh saksi Warsono untuk
mengantarkan korban Ribut Patmosari ke bandara Juanda Surabaya untuk berangkat bekerja
di Malaysia dengan memberi ongkos sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dengan
sarana mobil miliknya yaitu 1 (satu) unit Mobil Toyota Avanza warna hitam, tahun2011 No.
Pol S 622 WH an. Indarti.
Selain korban Ribut Patmosari, terdakwa pada tanggal 22 Februari 2012 juga
menampung calon TKI anak-anak lain, yaitu korban Surya Witanti yang masih berumur 18
tahun berdasarkan surat keterangan lahirnya dan juga memberikan sarana kendaraan untuk
memberangkatkan korban ke bandara Juanda pada tanggal 3 Februari 2012 untuk bekerja ke
Malaysia.
Dari perbuatan terdakwa yang menampung dan memberangkatkan para korban
tersebut, terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh
ribu rupiah) dari saksi Wiwik Winarsih.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut di atas, maka para korban akhirnya mengalami
eksploitasi, yaitu korban Ribut akhirnya ditampung oleh orang untuk bekerja sebagai wanita
penghibur/purel di sebuah tempat karaoke setelah melarikan diri dari pekerjaannya sebagai
pembantu rumah tangga tanpa mendapatkan upah sama sekali, dan korban Surya Wisanti
dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa mendapatkan gaji/upah pula.
Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 21 Tahun2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatan terdakwa juga diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1)
huruf c dan huruf f Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
Pula, perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 88
Undang-Undang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas surat dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum dipersidangan, Terdakwa
menyatakan telah mengerti dan tidak mengajukan keberatan.
2.6.1.1. Saksi-Saksi
Untuk membuktikan dakwaannya tersebut, Penuntut Umum di persidangan telah
mengajukan saksi-saksi yang telah menerangkan di bawah sumpah, saksi-saksi tersebut
adalah: Sukarmin Bin Parto Rejo, Djoemono Bin Dono Pairen, Surya Wisanti Binti
Djomono, Lucky Hartanti Binti Katiran, Dwi Agus Wahyunto (Saksi Ahli), dan Ribut
Patmosari Binti Sukarmin.
2.6.1.2. Keterangan Terdakwa
Di persidangan, terdakwa telah pula memberikan keterangannya, yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Terdakwa pernah diperiksa oleh Polisi sebagai tersangka sehubungan dengan
terdakwa telah menampung calon TKI yang akan diberangkatkan ke Malaysia. Pekerjaan
terdakwa adalah melayani jasa pengantaran dan penjemputan (rental mobil).
Terdakwa tidak kenal dengan WIJAYA KUSUMA alias REZA, namun pernah
bertemu di simpang lima Gumul Kab. Kediri, dan pernah bertemu di rumah terdakwa ketika
mengantarkan calon TKI untuk menginap di rumah terdakwa. Terdakwa kenal dengan
WIWIK WINARSIH alias DIYAH karena ia sering merental mobil terdakwa. Terdakwa
tidak kenal dengan RIBUT PATMOSARI alias NITA, namun tahu ketika tidur/ditampung di
rumah terdakwa saat akan diberangkatkan ke bandara Juanda, sedangkan untuk saudara
SURYA WISANTI alias SANTI terdakwa tidak kenal dan tidak tahu, karena pada saat
ditampung dirumah terdakwa, waktu itu terdakwa tidak berada di rumah.
Pernah ada dua orang calon TKI yang akan diberangkatkan dan ditampung untuk
menginap di rumah terdakwa, yang pertama bernama RIBUT PATMOSARI alias NITA dan
yang kedua bernama SURYA WISANTI alias SANTI. Saudari RIBUT PATMOSARI alias
NITA dan SURYA WISANTI alias SANTI yang ditampung untuk menginap di rumah
terdakwa sesuai keterangan saudari WIWIK akan diberangkatkan ke Malaysia untuk
dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
RIBUT PATMOSARI alias NITA ditampung di rumah terdakwa mulai tanggal 28
Januari 2012 dan diberangkatkan ke bandara Juanda pada tanggal 29 Januari 2012, sedangkan
untuk saudari SURYA WISANTI alias SANTI ditampung di rumah terdakwa mulai tanggal 2
Pebruari 2012 dan diberangkatkan ke bandara Juanda pada tanggal 3 Pebruari 2012.
Orang yang mengantar RIBUT PATMOSARI alias NITA dan SURYA WISANTI
alias SANTI ke bandara Juanda bukan terdakwa, melainkan terdakwa menyuruh saudara
WARSONO sebagai sopir dengan menggunakan mobil terdakwa. Mobil yang dipergunakan
untuk mengantar saudara RIBUT PATMOSARI alias NITA dan SURYA WISANTI alias
SANTI ke bandara Juanda adalah jenis Toyota Avanza warna hitam No. Pol. S 822 WH atas
nama INDARTI, dan Mobil tersebut atas hak milik terdakwa sendiri.
Terdakwa kenal dengan barang bukti berupa 1 (satu) unit Mobil Toyota Avanza tahun
2011 S 822 WH, kunci, Stnk, 1 (satu) buah Hp Nokia 6030 warna putih dan sim card,
sedangkan barang bukti lainnya terdakwa tidak kenal. Terdakwa tidak mengetahui dokumendokumen apa saja yang harus dipenuhi saudari RIBUT PATMOSARI alias NITA dan
SURYA WISANTI alias SANTI untuk bekerja sebagai TKI di negara Malaysia.
Orang yang merekrut dua orang calon TKI yang akan diberangkatkan ke Malaysia
tersebut, sepengetahuan terdakwa adalah saudara WIJAYA KUSUMA alias REZA, dan yang
memberangkatkan calon TKI yang akan diberangkatkan ke Malaysia tersebut adalah saudari
WIWIK WINARSIH. Sepengetahuan terdakwa, usia minimal untuk menjadi calon TKI
adalah 21 (dua puluh satu) tahun, namun saudari RIBUT PATMOSARI alias NITA lebih
kurang masih berumur14 tahun, sedangkan untuk SURYA WISANTI alias SANTI lebih
kurang berumur 18 tahun.
Terdakwa mau menampung calon TKI dan mengantar calon TKI ke bandara Juanda
karena terdakwa mendapat imbalan dari WIWIK WINARSIH berjumlah Rp.550.000,00 (lima
ratus lima puluh ribu Rupiah). Terdakwa tidak tahu apakah WIWIK WINARSIH tersebut
mempunyai izin dari Pemerintah untuk memberangkatkan orang menjadi TKI ke luar negeri
atau tidak. Saudari WIWIK WINARSIH tidak mempunyai PT yang bergerak dalam bidang
perekrutan TKI.
Benar terdakwa sebelumnya tidak pernah melakukan tindak pidana dan belum pernah
dihukum.
2.6.2. Pertimbangan Hakim
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti surat, serta
barang bukti yang satu dengan lainnya saling bersesuaian dan berhubungan, maka dapatlah
diperoleh fakta hukum yang terungkap di persidangan sebagai berikut:
Terdakwa DODOT SISWO SUWONDO Bin WOWOK SUWONGKO telah disuruh
oleh saksi WIWIK WINARSIH untuk mencarikan orang yang mau dipekerjakan di Malaysia
karena suami saksi WIWIK WINARSIH yang di Malaysia memberikan informasi kalau
membutuhkan TKI di Malaysia.
Karena terdakwa DODOT SISWO SUWONDO Bin WOWOK SUWONGKO tidak
bisa menyediakan tenaga tersebut, maka saksi WIWIK WINARSIH meminta kepada
terdakwa agar mau menampung calon TKI yang akan diberangkatkan ke bandara karena
terdakwa bekerja sebagai sopir yang melayani jasa pengantaran dan penjemputan.
Pada hari Sabtu tanggal 28 Januari 2012 terdakwa menampung saksi korban bernama
Ribut Patmosari yang berdasarkan surat keterangan kelahirannya masih berumur 14 tahun
dan saksi Surya Wisanti masih berumur 18 tahun, sehingga belum memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya 18 tahun dan sekurang-kurangnya 21 tahun untuk dipekerjakan pada
pengguna perorangan (informal) sesuai ketentuan untuk dikirim ke luar negeri sebagai TKI.
Pada tanggal 29 Januari 2012 terdakwa telah menyuruh saksi Warsono untuk
mengantarkan saksi korban Ribut Patmosari ke bandara Juanda di Surabaya untuk berangkat
bekerja di Malaysia dengan memberi ongkos Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu Rupiah).
Pada tanggal 2 Februari 2012 terdakwa juga menampung calon TKI anak-anak yang
lain bernama Surya Wisanti yang masih berumur 18 tahun berdasarkan surat keterangan
lahirnya dan juga memberangkatkan korban ke bandara Juanda di Surabaya pada tanggal 3
Februari 2012 untuk bekerja di Malaysia.
Dari menampung dan memberangkatkan para korban tersebut, terdakwa mendapatkan
keuntungan sebesar Rp. 550.000,00 (lima ratus lima puluh ribu Rupiah) dari saksi WIWIK
WINARSIH yang telah menyuruhnya.
Para korban di Malaysia menjalani eksploitasi secara ekonomi, mereka bekerja
sebagai pembantu rumah tangga dan akhirnya melarikan diri tanpa mendapat upah dan
kemudian dipulangkan kembali ke Indonesia.
Terdakwa dalam memberangkatkan para korban ke Bandara Juanda tersebut dengan
menggunakan kendaraan mobil 1 (satu) unit Toyota Avanza warna hitam tahun 2011
No.Polisi S 822 WH atas nama Indarti yang dijadikan barang bukti dalam perkara yang
berkaitan dengan perkara ini yang juga ditunjuk pula sebagai bukti dalam perkara lain yang
terkait dengan perkara ini.
Karena ketiga unsur tersebut yang terdapat dalam dakwaan alternatif yang ketiga
melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
Oleh karena selama persidangan pada diri terdakwa tidak diketemukan adanya alasan
pemaaf atau alasan pembenar, dan terdakwa adalah orang yang sehat akal dan jiwanya, maka
perbuatan terdakwa yang telah terbukti tersebut harus dipertanggungjawabkan kepadanya.
Untuk menentukan pidana apakah yang sepatutnya dijatuhkan terhadap diri terdakwa,
perlulah diperhatikan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata untuk menista atau
menderitakan seseorang, tetapi lebih bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menjatuhkan hukuman demi pengayoman warga masyarakat, mengadakan koreksi
terhadap terdakwa agar setelah menjalani pidana ini, terdakwa akan menjadi warga masyrakat
yang baik, yang taat dan patuh pada segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pidana yang akan dijatuhkan terhadap diri
terdakwa sebagaimana akan ditentukan dalam amar putusan ini dipandang telah cukup adil
dan mendidik, baik untuk melindungi masyarakat pada umumnya, terutama mengembalikan
perasaan keadilan saksi korban yang telah dirugikan akibat perbuatan terdakwa tersebut,
pembinaan diri terdakwa dan ataupun demi kepastian hukum.
Mengenai barang bukti yang diajukan di persidangan adalah barang bukti yang telah
diajukan dalam perkara lain yang terkait dalam perkara ini, sehingga dalam perkara ini hanya
menunjuk pada barang bukti tersebut karenanya tidak perlu dipertimbangkan.
Akhirnya untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka perlu dipertimbangkan
hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa tersebut, di
antaranya adalah:
Hal-hal yang memberatkan: perbuatan terdakwa telah merugikan saksi korban Ribut
Patmosari dan saksi SuryaWisanti yang masih anak-anak dibawah umur; terdakwa telah
menikmati hasil dari perbuatannya.
Hal-hal yang meringankan: terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; terdakwa
berlaku sopan dalam persidangan; terdakwa belum pernah dihukum; terdakwa adalah seorang
kepala keluarga yang harus memberi penghidupan bagi dirinya dan keluarganya.
Oleh karena terdakwa dinyatakan terbukti bersalah, maka ia harus dibebani membayar
biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan di bawah ini.
Memperhatikan Pasal 88 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan perkara ini.
Maka, mengadili: 1. Menyatakan Terdakwa DODOT SISWO SUWONDO Bin
WOWOK SUWONGKO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana: “Secara bersama-sama melakukan eksploitasi ekonomi terhadap seorang
anak“; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 9 (sembilan) bulan dan denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana
kurungan selama 1 (satu) bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan Terdakwa
tetap ditahan; 5. Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah Hp Nokia C2 warna putih, 1
(satu) buah Hp Nokia 6030 warna putih dan sim card-nya, 1 (satu) buah Hp. Merk Vefeli
V.333 warna putih kombinasi merah muda, 1 (satu) buah Hp Nokia 2600 warna merah muda
metalik; 1(satu) lembar Akta kelahiran dan 1 (satu) lembar Kartu UASBN an. Ribut
Patmosari, 1 (satu) unit Mobil Toyota Avanza tahun 2011 S 822 WH beserta kuncinya dan
STNKnya, 1 (satu) lembar KK An. Djoemono, uang Rp 100.000,00 (seratus ribu Rupiah), 1
(satu) lembar KTP dan 1 (satu) buah paspor An. Surya Wisanti, Surat Perjalanan Laksana
Paspor yang dikeluarkan di Kedutaan Besar RI di Malaysia, Surat dari Imigrasi Malaysia, 2
(dua) lembar Boarding Pass, 1 keping uang logam senilai 10 sen Malaysia, 1 (satu) bungkus
Kartu Perdana merk DG Prepaid warna kuning, semua dikembalikan kepada Penuntut Umum
untuk dijadikan barang bukti dalam perkara Nomor: 120/Pid.B/2012/PN.Kdr; dan 6.
Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2.000,00 (dua ribu Rupiah).
2.7. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Upaya-upaya dalam rangka perlindungan hukum dilakukan dengan melakukan
ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak yang diwujudkan ke dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak, yang dengan jelas menegaskan kewajiban pemerintah untuk melakukan
perlindungan secara khusus terhadap anak dalam situasi darurat. Peraturan ini secara eksplisit
menyadari bahwa pentingnya upaya negara untuk memberikan perlindungan kepada anakanak.
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 20:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Dan Pasal 22:
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.”
Dengan demikian negara atau pemerintah berkewajiban untuk
melakukan
perlindungan terhadap anak dan bertanggungjawab memberikan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan tersebut.
Sanksi-sanksi pidana yang dicantumkan dalam beberapa pasal antara lain:
a) Pasal 77:
“Setiap orang yang melakukan penelantaran yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000
(seratus juta).”
b) Pasal 78:
“Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi
darurat, anak yang behadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak
korban perdagangan, anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta).”
c) Pasal 80 ayat (1):
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000
(tujuh puluh dua juta).”
Ayat (2):
“Jika anak yang jadi korban mengalami luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).”
Ayat (3):
“Dalam hal anak yang jadi korban meninggal, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta).”
Ayat (4):
“Pidana
ditambah
sepertiga
dari
ketentuan
penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.”
d) Pasal 81:
apabila
yang
melakukan
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga
ratus juta) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta).”
e) Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta)
dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta).”
f) Pasal 83
“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri
sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga tahun) dan denda paling banyak Rp.
300.000.000 (tiga ratus juta) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh
juta).”
g) Pasal 88
“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000 (dua ratus juta).”
Pasal-pasal yang berkaitan dengan sanksi tersebut memberikan gambaran bahwa
pemerintah menunjukkan keseriusan dan komitmennya untuk benar-benar melakukan
perlindungan terhadap anak. Atau dengan kata lain dapat diartikan bahwa, perlindungan anak
secara yuridis sudah tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang juga mengatur
tentang pemberian sanksi terhadap hal-hal yang berimplikasi pada kerugian yang dialami
oleh anak, seperti kekerasan, perdagangan, dan lain-lain, dengan bentuk sanksi yang berupa
tahanan maupun denda yang cukup besar.
Pemilihan dakwaan yang dianggap paling tepat oleh Majelis Hakim, dalam hal ini
adalah pada dakwaan alternatif yang Ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mengekploitasi ekonomi atau seksual anak; dan
3. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ad. 1: Melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan. Terdakwa dalam persidangan pada pokoknya telah membenarkan keterangan para
saksi dan barang bukti, yaitu bahwa terdakwa telah disuruh mencarikan calon TKI untuk
dipekerjakan di Malaysia oleh saksi Wiwik, akan tetapi walupun terdakwa tidak dapat
mencarikan, namun terdakwa telah menampung saksi korban Ribut Patmosari dan saksi
Surya Wisanti di rumahnya, kemudian terdakwa menyuruh saksi Warsono untuk
mengantarkan ke bandara Juanda di Surabaya dengan menggunakan mobil Toyota Avanza
warna hitam, tahun 2011 No. Polisi S 822 WH atas nama Indarti, yang diakui terdakwa
sebagai barang bukti yang dijadikan sarana melayani jasa pengantaran dan penjemputan oleh
terdakwa dengan mendapatkan upah Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu Rupiah), dengan
demikian terdakwa telah berhasil memberangkatkan ke luar negeri para korban dari kerja
sama terdakwa dengan para saksi terkait tersebut, sehingga dengan demikian unsur ini telah
dapat dipenuhi.
Ad. 2: Unsur mengekploitasi ekonomi atau seksual anak. Bahwa saksi korban
bernama Ribut Patmosari dari surat keterangan lahirnya masih berusia 14 tahun, sedangkan
saksi korban bernama Surya Wisanti dari surat keterangan lahirnya juga masih berumur 18
tahun, sekurang-kurangnya 21 tahun untuk dipekerjakan pada pengguna perseorangan
(informal) sesuai ketentuan untuk dapat dikirim ke luar negeri, namun terdakwa telah
menampung di rumahnya dan memberangkatkannya ke bandara Juanda di Surabaya pada
tanggal 28 dan tanggal 29 Januari 2012 dengan mendapatkan keuntungan Rp.550.000,00
(lima ratus lima puluh ribu Rupiah) dari saksi Wiwik Winarsih, sehingga akibat perbuatan
terdakwa tersebut para saksi mengalami eksploitasi ekonomi, karena dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga tanpa mendapatkan upah yang akhirnya melarikan diri dan
dipulangkan ke Indonesia. Dengan demikian unsur ini telah terbukti pula.
Ad. 3: Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Bahwa dari faktafakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa telah membenarkan keterangan para
saksi dan mengakui bahwa korban Ribut Patmosari dan Surya Wisanti telah diberangkatkan
secara terpisah pada tanggal 28 Januari 2012 dan 29 Januari 2012 dengan menggunakan
sarana satu unit mobil Avanza warna hitam No. Polisi S 822 WH atas nama Indarti sebagai
barang bukti dalam perkara ini, dan terdakwa mengakui telah mendapat keuntungan sebesar
Rp.550.000,00 (lima ratus lima puluh ribu Rupiah) dari saksi Wiwik Winarsih. Dengan
demikian unsur ini telah terpenuhi pula.
Di samping itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjaraselama 9 (sembilan) bulan dan denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Menurut Penulis, jika dikaitkan dengan teori keadilan bermartabat, Majelis Hakim
dalam putusan a quo hendaknya memutus lebih berat dari hanya memberikan putusan
berdasarkan dakwaan Ketiga dari Penuntut Umum. Seharusnya Majelis Hakim juga memutus
berdasarkan dakwaan Pertama mengenai tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, dan dakwaan Kedua mengenai Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004.
Jika timbul pertanyaan mengapa, maka jika Majelis Hakim berargumentasi bahwa
yang mana di dalam persidangan tidak ada unsur-unsur yang membuktikan bahwa perbuatan
terdakwa merupakan jaringan kerja yang terorganisir, berjaringan luas dan beraneka
perbuatan turunan yang dilarang, serta bukan merupakan perekrutan calon TKI dengan tujuan
eksploitasi atau dengan ancaman maupun pemaksaan, harusnya Majelis Hakim wajib
memutus dengan metode tafsir atau mengkonstruksi hukum dengan cara menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.50
Bertolak dari prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam
memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya
melalui kegiatan berpikir, yaitu memanusiakan manusia atau ngewongke wong, maka
tindakan Terdakwa terhadap Korban sama sekali bukan tindakan yang memanusiakan
manusia. Jelas, jika ditilik dari fakta hukum dalam putusan tersebut, bahwa jaringan kerja
mengirimkan tenaga kerja ke Malaysia tersebut sudah sangat terstruktur (terbukti dengan
pembuatan paspor yang begitu sederhana), berjaringan luas pula (hingga terdapat seseorang
yang bertanggungjawab di tiap-tiap tempat Korban singgah, misal Batam dan Malaysia),
beraneka perbuatan turunan yang dilarang seperti rangkaian kebohongan iming-iming bahwa
bekerja di Malaysia mendapat gaji yang banyak dan hari libur yang fleksibel, sehingga
menarik minat Korban untuk bergabung, apalagi jaringan Terdakwa tidak terdaftar secara
resmi di Disnaker setempat (Kediri), tentunya tujuan utamanya adalah eksploitasi (Terdakwa
seharusnya mengerti jika usia korban masih belum mencukupi untuk bekerja di luar negeri).
Dalam bagian analisis ini, Penulis akan membahas masalah perlindungan terhadap
anak melalui tolok ukur ketiga undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perdagangan Manusia, dan UndangUndang Ketenagakerjaan.
50
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm., 19.
1. Undang-Undang Perlindungan Anak
Dalam UU No. 23 tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 diatur hak dan kewajiban
anak (Pasal 4 s/d 19). Penegasan hak anak dalam undang-undang a quo merupakan legalisasi
hak - hak. Dengan demikian, Pasal 4 s/d 18 undang-undang a quo menciptakan norma hukum
tentang apa yang menjadi hak-hak anak. Dalam Pasal 4 s/d 19 undang-undang a quo,
dirumuskan hak - hak anak serta 1 pasal mengenai kewajiban anak, yaitu sebagai berikut :
1. Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi secara wajar
(Pasal 4).
2. Hak atas nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi
(Pasal 6).
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtua (Pasal 7
ayat (1)).
5. Hak untuk diasuh atau diangkat oleh orangtua asuh atau orangtua angkat (Pasal 7
ayat (2)).
6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 8).
7. Hak untuk memperoleh jaminan sosial (Pasal 8).
8. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 9 ayat (1)).
9. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak cacat (Pasal 9 ayat (2)).
10. Hak memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan (Pasal
9 ayat (2)).
11. Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya (Pasal 10).
12. Hak menenerima, mencari, dan memberikan informasi (Pasal 10).
13.
Hak
untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu
sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi (Pasal 11).
luang, bergaul dengan
Dan bagi anak yang menyandang cacat, berhak untuk memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12). Ketentuan ini mengacu
kepada Pasal 54 UU No. 39 tahun 1999 ditentukan bahwa anak yang cacat fisik dan atau
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara.
Demikian pula dalam Pasal 7 UU No. 4 tahun 1979, anak cacat berhak memperoleh
pelayanan khusus untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan anak.
Serta anak yang dalam status pengasuhan, berhak untuk dilindungi dari diskriminasi.
eksploitasi (ekonomi dan seksual), penelantaran kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
ketidakadilan dan perlakuan salah (Pasal 13 ayat (1)). Ketentuan ini untuk menegaskan
bahwa sangat mungkin perbuatan diatas terjadi di dalam keluarga yakni dalam menjalankan
pengasuhan anak. Karenanya, hak anak untuk dilindungi dari berbagai tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) menolak pandangan lama bahwa eksploitasi,
penyalahgunaan ataupun kekerasan yang dilakukan orangtua atau walinya dalam status
pengasuhan anak di dalam lingkungan keluarga (domestic violence) adalah bukan
pelanggaran hak anak.
Pada prinsipnya, negara melakukan upaya agar anak berada dalam pengasuhan orang
tuanya sendiri, dan tidak dipisahkan dari orang tua secara bertentangan dengan keinginan
anak. Jika anak dan orang tua berada dalam negara yang lain, maka anak berhak untuk
bersatu kembali (family reunification) secara cepat dan manusiawi. Ketentuan Pasal 14 pada
prinsipnya memuat norma hukum yang melarang pemisahan anak dari orang tuanya.
Ditegaskan bahwa anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan
dengan kehendak anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud mempunyai alasan hukum yang
sah, dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak.
Anak haruslah memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik,
pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).
Anak juga memperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat (1)). Karenanya, pemerintah sebagai
pembayar hak rakyat (dalam hal ini anak) wajib melakukan upaya tertentu untuk melindungi
anak dari perbuatan yang dirumuskan pasal 16 ayat (1). Jadi, konteksnya adalah larangan
memposisikan anak sebagai sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
Anak yang dirampas kemerdekaannya, berhak untuk memperoleh perlakuan
manusiawi,
penempatan dipisah
dari
orang
dewasa,
memperoleh bantuan
hukum,
memperoleh bantuan lainnya, membela diri dan memperoleh keadilan di pengadilan yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang tertutup untuk umum. Dan anak korban atau
pelaku kekerasan seksual ataupun anak-anak yang berhadapan dengan hukum, berhak
dirahasiakan identitasnya (Pasal 17 ayat (2)). Ketentuan ini merupakan penegasan dari norma
hukum dalam UU No. 3 Tahun 1997. Dalam Pasal 8 ayat (5) UU No. 3 Tahun 1997
ditentukan bahwa pemberitaan mengenai perkara anak mulai penyidikan sampai dengan saat
sebelum pembacaan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orangtua,
wali, atau orangtua asuhnya.
Selanjutnya, menurut Pasal 42 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1997, proses penyidikan
terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan. Kewajiban untuk merahasiakan identitas
anak nakal ini konsisten dengan norma hukum Pasal 8 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang
menentukan bahwa hakim memeriksa perkara anak nakal dalam sidang tertutup. Kecuali
dalam hal tertentu, sidang dapat dinyatakan sebagai sidang terbuka. Jadi, sebelumnya adanya
UU Perlindungan Anak yang baru, dalam hal menjaga kerahasiaan anak yang berhadapan
dengan hukum, sudah tersedia UU No. 3 Tahun 1997 yang lebih maju, dimana adanya norma
hukum yang mewajibkan penyidikan yang merahasiakan identitas anak. Karenanya, bukan
lagi hanya sekadar hak anak, namun telah dirumuskan sebagai kewajiban penyidik dalam
penyidikan.
Anak berhak memperoleh bantuan hukum, dan bantuan lainnya, baik korban atau
pelaku tindak pidana (Pasal 18 UU Perlindungan Anak).
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sudah diatur sebelumnya dalam UU No. 3
tahun 1997. Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No.3 tahun 1997, setiap anak nakal sejak saat
ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Namun
dalam Penjelasan Pasal 18 UU No.23 tahun 2002, dijelaskan bahwa anak berhak pula atas
bantuan lainnya, seperti bantuan medik, sosial, rehabilitas, vokasional, dan pendidikan.
Anak berkewajiban (Pasal 19 UU Perlindungan Anak) untuk menghormati orangtua,
wali dan guru, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air,
bangsa, dan Negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia. Dalam UU Perlindungan Anak ini juga diatur tentang kewajiban
anak. Hal ini tertuang dalam Pasal 19. Namun norma dalam Pasal 19 tersebut hanya bersifat
umum, dan hanya memuat prinsip-prinsip penting saja sehingga lebih sebagai “primary
laws”. Perumusan Pasal 19 UU Perlindungan Anak ini dalam sejarah dan latar belakang
pembentukannya dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang antara hak dan kewajiban anak.
Namun, norma yang tertera dalam Pasal 19 itu sebenarnya relevan dengan norma
hukum lainnya di Indonesia, dan norma dalam UU Perlindungan Anak. Norma kewajiban
anak dalam pasal 19 sebenarnya tidak lepas dari hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang
(mental dan spiritualnya, serta etika moralnya), berpartisipasi (dalam bermasyarakat,
bersosialisasi dengan sesama anak/tema, berbangsa dan bernegara). Norma kewajiban anak
ini relevan dengan tanggungjawab orangtua, dimana anak dalam masa evolusi menjadi
dewasa. Bahwa orangtua diberi ruang untuk menjalankan tugasnya sebagai orangtua guna
memberi pengarahan kepada anak (to provide direction to the child in the exercise of his or
her right).
2. Undang-Undang Perdagangan Manusia
Berangkat dari masalah Perdagangan anak yang semakin meluas, baik dalam bentuk
jaringan kejahatan yang terorganisir dan tidak terorganisir, baik bersifat antarnegara maupun
dalam negeri. Hal ini dirasakan merupakan ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara,
serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Ditambah pula peraturan perundang-undangan selama ini yang berkaitan dengan
perdagangan orang khususnya anak belum memberi landasan hukum yang menyeluruh dan
terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang maka pada tanggal 19
April 2007 Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dengan berlakunya UU N. 21 Tahun 2007 maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun segala perkara tindak pidana perdagangan
orang yang masih dalm proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang
mengaturnya. Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 memberikan rumusan tentang tindak pidana
perdagangan orang sebagai berikut:
1.
Setiap
orang
yang
melakukan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp. 600.000 juta.
2.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang ter-eksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Khusus tentang perdagangan anak, Pasal 5 UU No. 21
Tahun 2007 merumuskan bahwa setiap orang yang melakukan pengangkatan anak
dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk
mengeksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama15 (lima belas tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000
(seratus dua puluh juta) dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Selanjutnya Pasal 6
merumuskn bahwa untuk setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam
atau ke luar negeri dengan cara apapaun yang mengakibatkan anak tereksploitasi
dipidana dengan masa hukuman dan denda yang sama dengan hukuman yang
termaktub dalam Pasal 5.
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
telah disahkan, selanjutnya diperlukan kegiatan sosialisasi dengan unsur-unsur masyarakat,
antara lain dengan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), kaukus anak dan NGO
anak, kaukus perempuan dan NGO perempuan, sektor pemerintah yang terkait, perguruan
tinggi dan masyarakat luas.
Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam Legal
System, maka upaya penegakan hukum dapat dilakukan melalui pembenahan struktur hukum
(legal structure). Struktur hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Pengacara/Konsultan Hukum, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakatan). Untuk membangun
sistem penegakan hukum yang baik, peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) yang dibarengi dengan sistem Reward and
Punishment, menjadi suatu yang harus mendapat prioritas utama. Legal culture (budaya
hukum) berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap hukum. Dengan
demikian, diperlukan upaya membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap
penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap perdagangan orang.
Dengan demikian dalam konteks upaya penegakan hukum akhirnya akan sangat
tergantung pada kualitas substansi hukum, kinerja struktur hukum, dan kesadaran masyarakat
yang merupakan suatu sistem. Akhirnya dengan mengambil teori hukum Roscoe Pound yang
menyatakan bahwa law is a tool of social engineering/social engineering by law. Roscoe
Pound ingin memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya yang diinginkan dan apa
yang telah diinginkan oleh pengguna hukum sebagai alat rekayasa sosial. UU No. 21 Tahun
2007 telah disahkan, namun sekarang tergantung kepada kita mau diapakan undang-undang
ini, karena undang-undang ini hanya sebagai alat yang mengatur tindak pidana perdagangan
orang terutama perdagangan anak.51
3. Undang-Undang Ketenagakerjaan
Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang
no.25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus
menetapkan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak
laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan
tersebut sudah memadai dan sejauhmana pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena
sampai saat ini masalah pekerja anak masih menjadi kontroversi dalam isu tentang
perlindungan anak pada umumnya. Bisa dikatakan, masalah pekerja anak merupakan masalah
klasik dalam hal perlindungan anak.
51
https://zulianaistichomah.wordpress.com/2013/04/12/implementasi-uu-perlindungan-anak-dan-uu-tindakpidana-perdagangan-orang-terhadap-kasus-perdagangan-anak-child-traffiking/
Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres
No.36 Tahun 1990, maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar
anak yang kita temui. Di dalam pasal 32 dari KHA, dinyatakan bahwa anak mempunyai hak
untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan
yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau
mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu
negara berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan
kondisi penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihakpihak yang melanggar peraturan tersebut.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya
melalui UU Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja
anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang berbahaya,
dsb. Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah yang sangat berbeda.
Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan
(abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan
abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi
apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta
mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan
pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai
warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan
sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan
terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hakhaknya. Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terusmenerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja
anak.
Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan
terhadap eksploitasi, rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semenamena, serta berpotensi untuk kehilangan akses dan kesempatan mengembangkan diri,
menimbulkan kewajiban baru bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada anak yang
terpaksa bekerja, dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan perlindungan melalui
peraturan ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja
sebagaimana orang dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan
penyalahgunaan.
Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya
negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan sebagai
pekerja, serta memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara
memfasilitasi mereka dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Jika ditarik dari ketiga undang-undang tersebut di atas, maka masalah terhadap
perlindungan anak terkait kasus tersebut adalah sama sekali belum terrealisasikan mengenai
bagaimana sebenarnya bentuk perlindungan hukum yang paling maksimal untuk dapat
melindungi anak.
2.8.
Kontradiktif
Undang-Undang
Perlindungan
Anak
dan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang
Perlindungan
Anak
dan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
merupakan sama-sama undang-undang yang bersifat khusus, namun kedua undang-undang
tersebut saling berhubungan satu dengan lain.
Undang-Undang Perlindungan Anak tidak menerangkan secara rinci bagaimana yang
dimaksud dengan eksploitasi anak secara ekonomi dan kriteria apa yang menunjukkan bahwa
seorang anak telah dieksploitasi secara ekonomi (dalam hal ini jika anak dipekerjakan sebagai
tenaga kerja). Tetapi dalam UU Ketenagakerjaan, hal ekploitasi anak dapat kita lihat pada
Pasal 68 sampai dengan Pasal 75, yang mana apabila seorang anak yang dipekerjakan di luar
ketentuan yang disebutkan pada Pasal 68 sampai dengan Pasal 75, maka dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana eksploitasi anak secara ekonomi.
Ketentuan pidana tentang eksploitasi anak secara ekonomi memang telah diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang terdapat dalam
Pasal 88 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Tindak Pidana Eksploitasi anak secara ekonomi dengan cara mempekerjakan anak
haruslah sesuai dan tidak bertentangan antara Undang-Undang Perlindungan Anak yang
dipakai untuk memidana pelaku kejahatan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan
yang mengatur lingkup dan batas pekerjaan anak. Selain hubungan tersebut diatas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak dapat juga dihubungkan (juncto) dengan Pasal 190 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam hal penambahan sanksi
administrasi bagi perusahaan (badan hukum/badan usaha) dengan mencabut izin
perusahaan.
Download