BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 MONITORING EFEK SAMPING OBAT (Farmakovigilans) sebagai Upaya Pencegahan Medication Error ARTIKEL e-SiAPIk sebagai Upaya Peningkatan Pengawasan Iklan Obat Sebelum Beredar sebagai Bagian dari Pelayanan Publik di Badan POM Siaran Pers: Penjelasan BPOM tentang Kejadian Tidak Diinginkan yang Serius Terkait Injeksi Buvanest Spinal InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 Penjelasan Badan POM Mengenai Produk Nata de Coco SWAMEDIKASI BERSIN-BERSIN & HIDUNG TERSUMBAT 1 editorial Pembaca yang budiman, Sebagai lembaga pemerintah yang melakukan pengawasan Obat dan Makanan, salah satu program BPOM adalah melakukan surveilan keamanan produk terapetik (farmakovigilans). Penjelasan mengenai aktivitas farmakovigilans, potensi terjadinya medication error, serta peranan tenaga kesehatan, pasien, dan pemerintah dalam pencegahan terjadinya medication error diulas secara mendalam pada Sajian Utama InfoPOM edisi ini dengan judul “Monitoring Efek Samping Obat (Farmakovigilans) sebagai Upaya Pencegahan Medication Error”. Dalam rangka melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat dari potensi risiko yang membahayakan, BPOM telah mengeluarkan siaran pers mengenai “Penjelasan BPOM tentang Kejadian yang Tidak Diinginkan yang Serius Terkait Injeksi Buvanest Spinal”, yang dapat dibaca pada rubrik Public Warning/ Press Release. Selain siaran pers tersebut, BPOM juga telah mengeluarkan “Penjelasan BPOM mengenai Produk Nata de Coco” terkait dengan adanya pemberitaan media massa mengenai adanya produk Nata de Coco yang diduga menggunakan pupuk ZA dalam proses pengolahannya. Salah satu cara penyampaian informasi mengenai suatu produk adalah melalui iklan, baik yang ditampilkan di media massa maupun media sosial.Terkait dengan iklan produk obat, salah satu inovasi BPOM di tahun 2015 ini adalah pengembangan Sistem Aplikasi Persetujuan Iklan (Aplikasi e-SiAPIk) oleh Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT. Pada rubrik “e-SiAPIk sebagai Upaya Peningkatan Pengawasan Iklan Obat Sebelum Beredar sebagai Bagian dari Pelayanan Publik di Badan POM” dibahas mengenai perlunya iklan yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan agar masyarakat terlindungi dari efek negatif suatu produk akibat informasi yang tidak sesuai, serta mekanisme pengawasan iklan obat oleh BPOM dalam rangka penerapan e-Government. Selain Aplikasi e-SiAPIk, pada peringatan ulang tahun BPOM ke-14 lalu juga diluncurkan buku “Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo” yang disusun oleh Pusat Riset Obat dan Makanan. Buku ini dapat digunakan sebagai pedoman uji toksisitas non klinis dalam pengembangan obat baru, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, pangan, serta bahan berbahaya. Ulasan singkat buku ini dapat disimak pada rubrik Publikasi. Keluhan batuk dan pilek dapat dialami oleh semua orang, tak terkecuali oleh ibu yang sedang hamil. Pilek lazimnya ditandai dengan bersin, keluarnya ingus, dan hidung tersumbat. Pengobatan sendiri untuk penanganan pilek dikupas pada rubrik swamedikasi, sedangkan keamanan penggunaan obat batuk dan pilek pada ibu hamil dibahas pada Forum PIO Nas kali ini. Pada Forum SIKer Nas diulas mengenai penanganan keracunan akibat menelan produk kimia rumah tangga berupa cairan pembersih lantai. Selamat membaca. tim redaksi Penasehat: Pengarah : Penanggung jawab : Redaktur : Editor Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Sekretaris Utama Badan POM Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan Kepala Bidang Informasi Obat : • Arief Dwi Putranto, S.Si, MT (PIOM) • Tanti Kuspriyanto, S.Si, M.Si (PIOM) • Dwi Resmiyarti, S.Farm, Apt (PIOM) Kontributor: • • • • Judhi Saraswati, SP, MKM (PIOM) Dwi Resmiyarti, S.Farm, Apt (PIOM) Dra. Lince Yarni, Apt., M.Si (PROM) Fatriani, S.Si, Apt. (Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT) Sekretariat: • • • • • • • • • • • Ridwan Sudiro, S.IP (PIOM) Netty Sirait (PIOM) Surtiningsih (PIOM) Dwi Resmiyarti, S.Farm, Apt (PIOM) Syatiani Arum Syarie, S.Farm, Apt (PIOM) Riani Fajar Sari, A.Md (PIOM) Khafidloh Tri Rusdaniati, A.Md (PIOM) Tri Handayani, S.Farm, Apt (PIOM) Rizki Jaka Gustiansyah, S.Farm, Apt (PIOM) Endah Nuftapia, S.Farm, Apt (PIOM) Prapanca Fitria Sutomo, S.Farm, Apt (PIOM) Fotografer: • Khafidloh Tri Rusdaniati, A.Md (PIOM) • Syatiani Arum Syarie, S.Farm, Apt (PIOM) Redaksi menerima sumbangan artikel yang berisi informasi terkait dengan obat, makanan, kosmetika, obat tradisional, komplemen makanan, zat adiktif dan bahan berbahaya. Kriteria penulisan yaitu berupa tulisan ilmiah populer dengan jumlah karakter tidak lebih dari 10.000 karakter. Kirimkan tulisan melalui alamat redaksi dengan melampirkan identitas diri penulis. Alamat redaksi: Ged. Pusat Informasi Obat dan Makanan lt. 5 BPOM, Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat.Telepon/fax: 021-42889117. Email ke: [email protected] 2 InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 SAJIAN UTAMA MONITORING EFEK SAMPING OBAT (FARMAKOVIGILANS) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN MEDICATION ERROR Kejadian yang tidak diinginkan hingga membahayakan pada proses pengobatan menjadi momok bagi tenaga kesehatan dan pasien. Kesalahan-kesalahan pada pengobatan seharusnya dapat dihindari agar tidak muncul masalah baru karena yang sesungguhnya diharapkan adalah kesembuhan bukan malah bertambah parahnya kondisi pasien. Keamanan menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat, selain tentunya efektivitas kerja obat, mutu/kualitas ataupun faktor ekonomi. Keamanan obat sudah dapat dideteksi ketika dilakukan uji klinik, yaitu serangkaian uji manfaat dan keamanan suatu obat pada manusia. Akan tetapi tidak mungkin semua permasalahan terkait keamanan dapat diidentifikasi selama uji klinik karena populasi yang diberi obat saat uji klinik terbatas pada kondisi tertentu saja. Setelah produk dipasarkan, umumnya terdapat peningkatan jumlah pasien yang menggunakan obat, termasuk diantaranya adalah pasien yang menderita lebih dari satu penyakit dan pasien yang diobati dengan lebih dari satu jenis obat. Hal tersebut menjadi alasan bahwa sangat penting untuk mengamati keamanan obat selama pemberian obat. Pengumpulan data keamanan produk setelah dipasarkan (post market) dan penilaian risiko berdasarkan data observasi sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi dan mengkarakterisasi profil risiko obat sehingga dapat diambil keputusan yang tepat untuk minimalisasi risiko obat. Data keamanan ini akan menjadi acuan bagi regulator, yaitu Badan POM, industri farmasi maupun tenaga kesehatan. Salah satu upaya monitoring keamanan obat adalah dengan farmakovigilans atau disebut juga MESO (Monitoring Efek Samping Obat). Pengertian farmakovigilans berdasarkan WHO, yaitu suatu keilmuan dan aktivitas tentang pendeteksian, pengkajian (assessment), pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pusat farmakovigilans di Indonesia adalah Badan POM yang merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam menjamin keamanan obat (ensuring drug safety), baik sebelum dipasarkan (pre market) atau setelah dipasarkan (post market) yang berdampak pada jaminan InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir suatu obat. Di dalam farmakovigilans ini akan dicatat dan dianalisis semua kejadian yang tidak diinginkan termasuk diantaranya adalah efek samping obat. Analisis terhadap kejadian yang tidak diinginkan ini dapat mengarah kepada produk obat itu sendiri atau penyebab yang lainnya. Penyebab lainnya diantaranya adalah medication error. Efek samping yang disebabkan oleh produk merupakan hal yang tidak dapat dihindari, namun sebaliknya, kejadian efek samping akibat medication error merupakan hal yang dapat dihindari. Oleh karena itu kejadian medication error perlu dikenali agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan. Seluk-beluk Medication Error Medication error (ME) merupakan kesalahan dalam proses pengobatan yang dapat dihindari dimana dapat menyebabkan pelayanan obat yang tidak tepat hingga membahayakan pasien. Medication error dapat timbul pada setiap tahap proses pengobatan, antara lain prescribing (peresepan), transcribing (penerjemahan resep), dispensing (penyiapan obat) dan administration. Medication error dapat menyebabkan hilangnya khasiat obat, peningkatan insiden dan/atau keparahan reaksi efek samping hingga efek samping yang serius, termasuk kematian. Kejadian medication error dapat menyebabkan beban ekonomi terhadap kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi lebih besar. Oleh karena itu, dalam ilmu farmakoekonomi khususnya dalam era Jaminan Kesehatan Nasional seperti sekarang, kejadian medication error menjadi perhatian khusus untuk dihindari bahkan dihilangkan, sebagai upaya meminimalkan beban anggaran yang besar karena terjadinya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan tersebut. 3 SAJIAN UTAMA KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN (KTD) Asesmen Kausalitas Pencegahan Medication Error EFEK SAMPING OBAT (ESO) Asesmen Preventabilitas ESO DAPAT DICEGAH Kejadian medication error dapat dihindari baik oleh industri farmasi, regulator (Badan POM), tenaga kesehatan atau pasien/ masyarakat itu sendiri. • Kewajiban Industri Farmasi ESO TIDAK DAPAT DICEGAH MEDICATION ERROR Gambar 1. Skema Monitoring Efek Samping Obat Kesalahan dalam proses prescribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep obat oleh dokter, khususnya yang perlu diperhatikan adalah pada penulisan resep menggunakan tulisan tangan. Dalam peresepan harus tertera instruksi yang jelas terkait obat, bentuk sediaan, dosis, kekuatan, jumlah, cara pemberian, ataupun lama pemberian. Kesalahan peresepan terkait dosis akan menimbulkan bahaya terutama untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, misalnya morfin dan teofilin. Obat yang diresepkan dengan dosis yang tidak tepat, jika terlalu besar dan melebihi dosis terapi bagi pasien, maka dapat menyebabkan efek toksik yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Sedangkan bila dosisnya terlalu kecil, maka efek terapi obat tersebut tidak tercapai. Contoh kesalahan dalam proses prescribing lainnya adalah tidak jelasnya tulisan dalam resep, adanya kekeliruan penulisan nama obat atau tidak jelasnya instruksi yang diberikan dalam resep. Kesalahan dalam proses transcribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam menerjemahkan resep obat di apotek. Resep yang keliru dibaca/diterjemahkan akan menyebabkan kesalahan pemberian obat kepada pasien. Hal ini dapat juga terjadi akibat instruksi yang diberikan dalam resep terlewat atau tidak dikerjakan oleh apoteker atau asisten apoteker. Kesalahan dalam proses dispensing merupakan kesalahan yang terjadi dalam peracikan atau pengambilan obat di apotek, seperti kesalahan pengambilan obat karena adanya kemiripan nama atau kemasan. Misalnya obat yang seharusnya adalah prednisolon, tetapi obat yang diambil adalah propanolol. Kesalahan dapat pula terjadi akibat kesalahan dalam pemberian label obat sehingga aturan pemakaian obat atau cara pemakaian obat menjadi tidak sesuai lagi. Kesalahan dalam proses administration berkaitan dengan halhal yang bersifat administrasi pada saat obat diberikan atau diserahkan kepada pasien. Kesalahan tersebut diantaranya adalah kekeliruan dalam membaca nama pasien atau tidak teliti dalam memeriksa identitas pasien sehingga obat yang diberikan/ diserahkan juga menjadi salah. Contoh lainnya adalah kesalahan 4 dalam menuliskan instruksi pemakaian obat kepada pasien, kesalahan dalam penyiapan obat yang tidak sesuai dengan prosedur (misal kesalahan rekonstitusi injeksi) atau kesalahan memberikan penjelasan secara lisan kepada pasien. Pada tataran industri farmasi, selama proses pengembangan produk, pemegang izin edar/Marketing Authorization Holder (MAH) harus mempertimbangkan berbagai hal yang dapat menimbulkan medication error. Pertimbangan tersebut mencakup perubahan yang signifikan yang dapat meningkatkan risiko medication error, misalnya perubahan kekuatan sediaan, bentuk sediaan, komposisi, metode pembuatan, rute administrasi, perbedaan populasi pasien atau perbedaan indikasi, dan desain kemasan. Dalam hal desain kemasan, pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan penamaan, pengemasan dan pelabelan dengan menghindari look alike dan sound alike (LASA) atau mirip secara tulisan maupun pengucapan. Saat ini, dengan adanya kewajiban yang dituntut kepada industri farmasi untuk melaporkan data farmakovigilans, menjadikan industri farmasi memiliki peranan penting dalam pengumpulan data dan menganalisis kemungkinan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh medication error. •Tugas Regulator Sebagai pusat farmakovigilans di Indonesia, Badan POM mendapatkan laporan MESO, baik dari industri farmasi maupun dari tenaga kesehatan yang diberikan secara sukarela. Kualitas laporan yang diberikan sangat penting, agar dapat dilakukan evaluasi dan analisis kausalitas yang tepat antara produk dan efek samping. Seluruh kejadian yang dicurigai sebagai efek samping harus dilaporkan sesegera mungkin, termasuk efek samping obat akibat medication error. Dengan adanya laporan tersebut, pusat farmakovigilans akan mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis dan mengklasifikasikan medication error, serta menemukan akar penyebab terjadinya medication error. Data medication error ini menjadi masukan yang sangat penting bagi Badan POM serta Industri Farmasi dalam menindaklanjuti kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan potensi medication error pada produk obat. •Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien menerima resep dan pengobatan yang tepat tanpa kesalahan. Saat pasien bertanggung jawab untuk menggunakan obat sendiri, baik pada saat rawat jalan atau dalam rangka swamedikasi, tenaga kesehatan harus memastikan bahwa pasien mengerti cara penggunaan obat yang tepat untuk meminimalkan risiko medication error. Pemberi resep memiliki peran penting dalam menentukan pengobatan yang tepat bagi pasien, berdasarkan indikasi yang dijelaskan dalam informasi produk. InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 SAJIAN UTAMA Pencegahan medication error pada peresepan dapat dilakukan antara lain dengan menuliskan resep obat dengan menggunakan sistem komputerisasi sehingga resep dapat lebih mudah dibaca/ diterjemahkan. Rumah sakit/tataran klinis lainnya sebaiknya membuat standarisasi penulisan resep obat (misalnya dalam penggunaan singkatan-singkatan dalam resep), serta pemberian pendidikan (training) kepada setiap tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses pengobatan. Apoteker berperan penting dalam memverifikasi ketepatan pengobatan untuk pasien dan mengidentifikasi potensi terjadinya medication error sebelum obat tersebut diberikan kepada pasien. Penulisan label aturan pakai (etiket) dengan jelas dapat menghindari medication error. Saat penyerahan obat, apoteker perlu melakukan konseling terhadap pasien pada saat penyerahan/pemberian obat, serta melakukan double check terhadap permintaan resep atau terhadap identitas pasien sebelum memberikan/menyerahkan obat. •Tindakan Pasien/Masyarakat Pencegahan medication error dapat dilakukan oleh pasien atau pendamping pasien. Pasien perlu bertanya kepada tenaga kesehatan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya, misalnya kegunaan obat, cara aturan pakai, serta batas waktu penggunaan suatu obat. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan selalu membaca etiket atau informasi obat dalam kemasan sebelum menggunakan obat, senantiasa menyimpan obat beserta etiket atau informasi obat tersebut, tidak memisahkan obat dari kemasan aslinya, serta menyimpan secara terpisah obat-obat yang digunakan sebagai obat luar. Penulis: Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT. Pustaka Penutup Medication error merupakan kejadian yang dapat dihindari. Dengan adanya peran serta Badan POM, industri farmasi, tenaga kesehatan serta masyarakat diharapkan angka kejadiannya dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Kualitas data yang baik atas kejadian yang tidak diinginkan dalam laporan MESO dapat memberikan masukan yang sangat berarti terhadap analisis kausalitasnya. Jika medication error dapat terdeteksi dari analisis yang dilakukan maka hal itu dapat menjadi masukan bagi Badan POM sebagai regulator untuk memberikan kebijakan dalam mengatur produk obat sebelum diedarkan. PUBLIKASI Judul buku Penerbit Tahun terbit Penulis : : : : 2. WHO. 2014. Reporting And Learning Systems For Medication Errors: The Role Of Pharmacovigilance Centres. World Health Organization. http://www.who.int/medicines/areas/quality_ safety/safety_efficacy/emp_mes/en/ [diakses pada tanggal 6 Mei 2015] Buku Pedoman Toksisitas Nonklinik secara In Vivo Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI 2014 Bidang Toksikologi - Pusat Riset Obat dan Makanan Bahaya akibat pemaparan suatu zat pada manusia dapat diketahui dengan melakukan percobaan menggunakan hewan uji sebagai model yang dirancang pada serangkaian uji toksisitas. Terdapat berbagai uji yang berbeda tergantung dari tujuan penggunaan suatu zat dan kemungkinan terjadinya risiko akibat pemaparan pada manusia. Agar keabsahan hasil uji toksisitas dapat terjamin dan diterima secara nasional dan internasional, maka diperlukan adanya pedoman uji toksisitas yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada pedoman yang sudah baku. Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM telah menerbitkan Buku Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo pada tahun 2015. Pedoman ini disusun dengan tujuan agar dapat digunakan InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 1. Pharmacovigilance Risk Assessment Committee (PRAC). 2015. Good Practice Guide on Risk Minimisation and Prevention of Medication Errors. European Medicines Agency.http://www. ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/Scientific_ guideline/2009/09/WC500003412.pdf [diakses pada tanggal 14 April 2015] sebagai pedoman uji toksisitas nonklinis dalam pengembangan obat baru, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan serta pangan dan bahan berbahaya. Keabsahan suatu uji toksisitas sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu sediaan uji, penyiapan sediaan uji, hewan uji, dosis, teknik dan prosedur pengujian, serta kemampuan SDM sehingga sangat diperlukan pemahaman terhadap bermacam-macam faktor tersebut. Pada buku pedoman ini diulas mengenai uji toksisitas akut oral, toksisitas subkronis oral, toksisitas kronis oral, teratogenisitas, sensitisasi kulit, iritasi mata, iritasi akut dermal, iritasi mukosa vagina, toksisitas akut dermal, dan toksisitas subkronis dermal. Pedoman ini disusun bersama para pakar dari berbagai disiplin ilmu terkait dan berdasarkan pengalaman melakukan uji toksisitas di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM serta merujuk pedoman World Health Organization (WHO): General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine, dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) : 401, 404, 405, 406, 407, 408, 410, 411, 414 dan 434. 5 ARTIKEL e-SiAPIk SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN IKLAN OBAT SEBELUM BEREDAR SEBAGAI BAGIAN DARI PELAYANAN PUBLIK DI BADAN POM Banyaknya produk obat yang dapat dibeli bebas, yang dipromosikan kepada masyarakat melalui iklan yang begitu intens dipaparkan kepada masyarakat, menjadikan iklan obat sebagai salah satu sumber informasi yang sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih obat. Namun sayangnya, seringkali informasi yang disajikan pada iklan kurang lengkap sehingga menimbulkan pengertian yang salah. Misalnya seperti obat turun panas atau obat demam yang digambarkan dapat membuat penderita bisa langsung sembuh dalam sekejap, oleh masyarakat dipercaya bahwa obat tersebut dapat menimbulkan efek penyembuhan dalam waktu singkat. Padahal, bukan demikian kenyataannya. Dari kondisi di atas, jelas sekali dibutuhkan iklan yang tidak menyesatkan, lengkap dan objektif. Oleh karena itu, Badan POM sebagai institusi yang melakukan pengawasan obat dan makanan, selain melakukan pengawasan terhadap mutu dan keamanan produk, juga melakukan pengawasan atas informasi yang disampaikan melalui iklan terkait produk. Pengawasan terhadap iklan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari efek negatif suatu produk akibat informasi yang tidak berimbang dari suatu produk. Dengan demikian masyarakat dapat menentukan pilihan berdasarkan baik/buruknya suatu produk. Pengawasan iklan obat dilakukan oleh Badan POM melalui dua mekanisme pengawasan yakni sebelum beredar serta sesudah beredar di masyarakat. Dalam rangka pengawasan iklan obat sebelum beredar, Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT melakukan evaluasi atas rancangan iklan yang diajukan oleh Industri Farmasi sebelum iklan tersebut disampaikan ke masyarakat. Evaluasi tersebut meliputi obyektivitas informasi serta kelengkapannya sesuai dengan yang dipersyaratkan. Di sisi lain, kegiatan evaluasi iklan obat sebelum beredar ini merupakan salah satu kegiatan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Badan POM. Oleh karena itu, Badan POM harus dapat memberikan pelayanan yang cepat, mudah diakses serta transparan. Solusi yang terbaik adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam 6 kegiatan pengawasan iklan obat sebelum beredar tersebut. Sesuai dengan kebijakan dalam penerapan e-Government maka Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai institusi yang berupaya untuk melaksanakan kebijakan tersebut sangat membutuhkan pembuatan sistem teknologi informasi yang menunjang pelaksanaan pengawasan iklan obat yang efektif dan efisien. Dalam pengawasan tersebut dibutuhkan sistem yang nantinya akan terhubung untuk memudahkan pengawasan iklan obat sebelum beredar maupun pengawasan iklan obat sesudah beredar. Untuk melakukan upaya tersebut Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT membuat aplikasi Pengajuan Persetujuan Rancangan Iklan secara online atau yang akan dikenal e-SiAPIk. Melalui pembuatan e-SiAPIk ini diharapkan dapat mempermudah Industri Farmasi melakukan pengajuan rancangan iklan obat secara online. Dengan kemudahan ini diharapkan jumlah iklan obat yang diajukan persetujuannya semakin meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan beredarnya jumlah iklan obat yang memenuhi ketentuan. Selain itu aplikasi ini juga menyediakan layanan informasi yang memudahkan pemantauan proses guna peningkatan kinerja dalam rangka reformasi birokrasi. Sebelumnya dalam pelaksanaan pengawasan iklan obat sebelum beredar, industri farmasi harus melalui beberapa tahapan mulai dari mengisi Formulir Pengajuan Layanan Publik (FPLP), InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 ARTIKEL penerimaan surat perintah bayar, melakukan pembayaran PNBP, menyerahkan berkas, memantau hasil evaluasi hingga mengambil hasil akhir persetujuan iklan obat. Selama ini keseluruhan proses tersebut dilakukan secara manual dan industri farmasi harus beberapa kali melakukan tatap muka dengan petugas mulai dari awal proses hingga akhir proses. Program SiAPIk ini disusun dengan memodifikasi proses pengajuan iklan obat secara manual menjadi pengajuan iklan obat secara elektronik.Tahapan-tahapan yang tadinya harus dilakukan melalui tatap muka kini dapat dilakukan secara online. Menu yang terdapat pada program ini disusun dengan memperhatikan kesesuaian dan keselarasan data obat yang terdapat pada WebReg sehingga data yang dihasilkan dapat terintegrasi dengan sistem data informasi yang ada di Badan POM. Pada hakikatnya iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang produk atau jasa yang dimiliki suatu perusahaan. Iklim persaingan menuntut para kreator melakukan inovasi dan terus berkreasi dalam mengemas pesan yang akan mereka sampaikan. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang mempermudah pelaksanaan pengawasan informasi yang disampaikan melalui iklan obat. Melalui e-SiAPIk ini diharapkan dapat menjadi penyedia data yang cepat dan akurat yang bermanfaat dalam pelaksanaan analisa data sebagai bahan laporan hasil pengawasan iklan obat sebelum beredar. akan memberikan user ID dan password yang dapat dicetak untuk digunakan oleh perusahaan pendaftar. 3. Form permohonan/pendaftaran rancangan Iklan. Form ini sesuai dengan formulir yang telah ada secara manual. Data-data pendukung sebagai penunjang pengajuan persetujuan iklan kemudian diunggah ke dalam aplikasi. 4. Form evaluasi rancangan Iklan. Form evaluasi ini adalah form yang digunakan evaluator dalam melakukan penilaian.Tahap ini memudahkan petugas dalam melaksanakan evaluasi karena dapat dilaksanakan secara online. 5. Pengolahan data. Pengolahan data dari formulir elektronik untuk kemudian menjadi bahan yang akan dirapatkan bersama tim ahli penilaian iklan obat. Selanjutnya hasil rapat akan menjadi bahan rekomendasi apakah iklan tersebut disetujui, ditolak atau perlu diperbaiki. 6. Pembuatan laporan untuk bahan pertemuan evaluasi iklan secara periodik. Dapat melakukan pengumpulan data dalam waktu tertentu untuk digunakan pada pertemuan dengan tim ahli penilaian iklan obat. Tahapan prosedur yang tersedia dalam aplikasi pengajuan persetujuan rancangan iklan obat (e-SiAPIk) ini adalah sebagai berikut : 7. Pembuatan hasil evaluasi. Pembuatan surat akhir hasil evaluasi iklan berupa surat persetujuan, penolakan maupun perbaikan rancangan iklan yang dapat digunakan oleh perusahaan sebagai tindak lanjut atas rancangan iklan yang telah diajukan. 1. Form Registrasi perusahaan. Form registrasi perusahaan merupakan form awal yang harus diisi oleh pelaku usaha/Industri Farmasi agar dapat melakukan pengajuan persetujuan rancangan iklan obat secara online. Untuk tahun 2015 diharapkan e-SiAPIk yang telah berhasil dibuat dan diselesaikan pada akhir tahun 2014 ini dapat disosialisaikan kepada pelaku usaha dan siap untuk diimplementasikan guna meningkatkan pelaksanaan pengawasan iklan obat sebelum beredar. 2. Konfirmasi form registrasi (loket/evaluator). Form konfirmasi berfungsi sebagai persetujuan awal yang diberikan oleh petugas. Jika telah disetujui maka petugas Penulis: Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT. Gambar 2. Tampilan Halaman Depan Aplikasi e-SiAPIk InfoPOM Vol. 17 No. 1 Maret-April 2015 7 SIARANPERS Penjelasan Badan POM Tentang Kejadian Tidak Diinginkan yang Serius Terkait Injeksi Buvanest Spinal. Sehubungan dengan adanya kejadian tidak diinginkan yang serius pada penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy (Bupivacaine HCl) produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. di Siloam Hospital Lippo Village Karawaci, berikut ini penjelasan dari Badan POM terkait kasus tersebut: 1. Bahwa Sabtu 14 Februari 2015, Badan POM menerima informasi dari Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan mengenai kejadian tidak diinginkan yang serius dan mengakibatkan meninggalnya pasien setelah penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy (Bupivacaine HCl) produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. di Siloam Hospital Lippo Village Karawaci; 2. Bahwa guna melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat dari potensi risiko yang membahayakan, atas informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Badan POM telah melakukan langkah-langkah regulatory actions sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut: a. 14 Februari 2015, Badan POM membentuk Tim Inspeksi Investigasi yang telah melakukan inspeksi pada sarana pelayanan kesehatan tempat terjadinya kejadian yang tidak diinginkan tersebut, yaitu Siloam Hospital Lippo Village Karawaci; b. 15 dan 16 Februari 2015, Badan POM telah melakukan pemeriksaan terkait pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) terhadap produsen injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy, yaitu Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. dan jalur distribusinya, yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Enseval Putra Megatrading, Tbk. serta melakukan monitoring farmakovigilans ke Siloam Hospital Lippo Village Karawaci; 3. Bahwa berdasarkan hasil inspeksi dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, dan dalam rangka kehati-hatian, Badan POM pada 16 Februari 2015 telah mengirimkan laporan, surat peringatan (safety alert letter), dan/atau surat perintah kepada: a. Menteri Kesehatan Republik Indonesia berupa laporan tindakan regulatory Badan POM terkait injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produk Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk dan injeksi Asam Traneksamat produk Industri Farmasi PT Hexpharm Jaya Laboratories; b. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) untuk tidak menggunakan injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. sampai investigasi dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan POM selesai dilakukan; c. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan PB. Ikatan Dokter Indonesia (PB. IDI), untuk tidak menggunakan injeksi Asam Traneksamat, kemasan Dus 10 ampul @ 5 mL, nomor bets 629668 dan 630025 dari Industri Farmasi PT Hexpharm Jaya Laboratories yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma, Tbk., sampai investigasi dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan POM selesai dilakukan; d. Pimpinan/Apoteker Penanggung Jawab Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. untuk melakukan penghentian distribusi dan melakukan penarikan kembali injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy seluruh bets serta melaporkan hasilnya kepada Badan POM; e. Pimpinan/Apoteker Penanggung Jawab Industri Farmasi PT Hexpharm Jaya Laboratories untuk melakukan penghentian distribusi dan melakukan penarikan kembali injeksi Asam Traneksamat, kemasan Dus 10 ampul @ 5 mL, Nomor bets 629668 dan 630025 serta melaporkan hasilnya kepada Badan POM; dan f. Kepala Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk melakukan verifikasi dan monitoring pelaksanaan penarikan injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk dan injeksi Asam Traneksamat produk Industri Farmasi PT Hexpharm Jaya Laboratories, kemasan Dus 10 ampul @ 5 mL, Nomor bets 629668 dan 630025. 4. Bahwa pada 17 Februari 2015, berdasarkan hasil investigasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Badan POM telah menetapkan sanksi administratif sebagai berikut: a. Menerbitkan Surat Perintah Penghentian Sementara Kegiatan Fasilitas Produksi Larutan Injeksi Volume Kecil Nonbetalaktam Industri Farmasi PT Kalbe Farma,Tbk. Hal ini berarti dilakukan penyegelan terhadap ruangan, peralatan di line 6 serta seluruh produk injeksi yang masih ada di pabrik. Selain itu, PT Kalbe Farma, Tbk., diwajibkan untuk: • Melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi dan Asam Traneksamat Injeksi yang kemungkinan terjadi pada kegiatan pembuatan obat untuk mendapatkan akar masalah dan menetapkan tindakan perbaikan dan tindakan pencegahan; dan 8 • Membuat kajian dan manajemen risiko; b. Menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan POM tentang pembekuan izin edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. Hal tersebut karena melanggar: • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, khususnya ketentuan Pasal 3 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “Industri Farmasi dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pembuatan obat dan/ atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman CPOB”. • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.04.1.33.12.11.09938 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Cara Penarikan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan, khususnya ketentuan Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Penarikan obat yang tidak memenuh standar dan/atau persyaratan harus dilaporkan pelaksanaannya kepada Kepala Badan”. 5. Bahwa industri farmasi PT Kalbe Farma, Tbk., melalui surat nomor 010/ QO/KF/II/2015 tanggal 25 Februari 2015 perihal Tanggapan terhadap Surat Penghentian Sementara Kegiatan Fasilitas Produksi Larutan Injeksi Volume Kecil Nonbetalaktam, telah menyampaikan hasil investigasi terhadap dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi dan Asam Traneksamat Injeksi yang kemungkinan terjadi pada kegiatan pembuatan obat serta menyampaikan hasil kajian dan manajemen risiko; 6. Bahwa Badan POM telah melakukan evaluasi atas hasil investigasi terhadap dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi dan Asam Traneksamat Injeksi serta hasil kajian dan manajemen risiko PT Kalbe Farma, Tbk., sebagaimana dimaksud pada angka 5, dengan kesimpulan bahwa hasil investigasi internal dan kajian manajemen risiko tersebut belum menggambarkan akar masalah terjadinya dugaan mix-up produk Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy, sehingga PT Kalbe Farma tidak dapat memberikan Corrective Action and Preventive Action (CAPA) yang tepat; 7. Bahwa berdasarkan hal sebagaimana dimaksud dalam angka 6, pada tanggal 2 Maret 2015 Badan POM telah memberikan sanksi administratif dengan menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan POM tentang pembatalan izin edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. dan diinstruksikan untuk memusnahkan semua persediaan obat yang ada dalam penguasaan dan hasil penarikan dengan disaksikan oleh Petugas Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia dengan membuat Berita Acara Pemusnahan, dengan catatan obat tersebut sudah tidak digunakan lagi sebagai barang bukti yang terkait dengan masalah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Hal tersebut karena melanggar: • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 3 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 540) khususnya Pasal 57 ayat (2) huruf d 8. Karena hasil investigasi internal dan kajian manajemen risiko PT.Kalbe Farma, Tbk. belum menggambarkan akar masalah, maka pada tanggal 3-6 Maret 2015, Badan POM melakukan inspeksi sistemik ke Fasilitas Produksi Larutan Injeksi Volume Kecil Nonbetalaktam (line 6) Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. Berdasarkan hasil inspeksi tersebut, pada 18 Maret 2015 PT. Kalbe Farma, Tbk., diinstruksikan melakukan langkah-langkah untuk menghilangkan potensi risiko (risk elimination) dari produk yang sudah berada di peredaran. Hal ini berarti Badan POM memerintahkan untuk menghentikan pendistribusian dengan cara tidak mendistribusikan seluruh produk yang diproduksi pada line 6, baik produk yang belum beredar maupun menarik (me-recall) 26 (dua puluh enam) produk lainnya yang sudah beredar untuk dilakukan batch-review. Hal tersebut karena melanggar: • Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, khususnya ketentuan Pasal 3 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “Industri Farmasi dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pembuatan obat dan/ atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman CPOB”. 9. Badan POM melakukan pengawalan terhadap pelaksanaan penghilangan potensi risiko (risk elimination) dari produk yang sudah berada di peredaran tersebut. Jakarta, 23 Maret 2015 Biro Hukum dan Humas Badan POM RI InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 SWAMEDIKASI BERSIN-BERSIN DAN HIDUNG TERSUMBAT Tiba-tiba bersin-bersin dan keluar ingus saat kondisi jalan berdebu. Badan tidak panas, akan tetapi pilek ini juga tidak kunjung sembuh, maka haruskah kemudian minum obat? Pilek merupakan gejala yang lazim terjadi di masyarakat yang ditandai dengan bersin, keluar ingus, dan hidung tersumbat. Pilek sangat identik dengan kondisi flu yang dikaitkan akibat infeksi virus. Selain infeksi virus, pilek dapat juga disebabkan oleh infeksi bakteri dan terjadi karena alergi yang sering disebut sebagai rinitis alergi atau pilek alergi. Perlu diperhatikan pula pilek berat yang disebabkan oleh kelainan anatomi, tumor, kelainan mukosilia, gangguan hormonal serta gangguan vasomotor yang penanganannya tidak dapat dilakukan dengan pengobatan sendiri. Pilek alergi terjadi karena seseorang menghirup alergen seperti serbuk sari,rambut atau bulu binatang peliharaan,serat kain/kapas, debu ataupun polutan udara. Reaksi alergi yang terjadi antara alergen dan zat pertahanan tubuh menyebabkan terlepasnya beberapa zat mediator yang menyebabkan pembengkakan selaput lendir hidung yang kemudian menimbulkan hidung tersumbat, meningkatnya sekresi lendir/meler, mata berair, dan bersin-bersin. Pilek alergi jika berlangsung lama tanpa pengobatan dapat mengakibatkan berbagai komplikasi seperti asma bronkhial, sinusitis, konjungtivitis alergi, polip hidung, radang telinga tengah/otitis media dengan efusi (OME), dan maloklusi gigi. Secara prinsip penanganan pilek alergi sama dengan pilek pada flu yaitu pemberian terapi ditujukan untuk mengurangi gejala yang muncul, memperbaiki kualitas hidup, serta mengurangi kejadian komplikasi. Penanganan pilek dapat berupa terapi non obat atau terapi dengan obat. Pencegahan dari keterpaparan dengan alergen merupakan pilihan utama penanganan non obat untuk pilek alergi. Sedangkan untuk pilek karena flu dapat ditangani terlebih dahulu dengan minum air putih yang banyak, cukup istirahat serta nutrisi yang cukup. Terapi non obat lebih diutamakan sebelum diberikan terapi obat. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa tidak semua pilek alergi dapat ditangani dengan pengobatan sendiri. Berikut kondisi pilek alergi yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan sendiri: InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 1. Anak berusia kurang dari 12 tahun 2. Wanita hamil atau menyusui 3. Pilek alergi tingkat sedang hingga parah atau gejala tidak dapat diatasi setelah mendapatkan pengobatan 4. Penderita otitis media, sinusitis, bronkitis, atau infeksi lain 5. Pasien dengan asma yang tidak terkontrol (dengan gejala berupa suara mengi dan napas yang pendek), PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), atau ISPB (Infeksi saluran Pernapasan Bawah) 6. Pilek alergi karena efek samping penggunaan obat Tidak disarankan juga untuk melakukan pengobatan sendiri pada pilek karena flu dengan kondisi panas tinggi (>38,6 ºC), dada sakit, sesak napas, pilek menjadi memburuk setelah pengobatan sendiri, serta pilek pada bayi di bawah usia 9 bulan. TERAPI OBAT Seperti halnya pada pilek karena flu, terapi obat yang paling sering digunakan untuk penderita pilek alergi umumnya kombinasi antara golongan antihistamin dan dekongestan. Antihistamin Antihistamin (anti-alergi) yang dapat dibeli tanpa resep dokter adalah klorfeniramin maleat (CTM), prometazin, triprolidin hidroklorida dan difenhidramin. Antihistamin ini memberikan efek samping mengantuk. Oleh karena itu, sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan maupun mengoperasikan mesin serta aktivitas lain yang memerlukan konsentrasi selama mengonsumsi obat golongan antihistamin. Efek samping lainnya adalah fotosensitivitas (sensitif terhadap cahaya). Penggunaan antihistamin bersama dengan obat lain dan atau makanan dapat menimbulkan interaksi. Oleh karena itu, penggunaannya sebaiknya dikomunikasikan terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker. Perlu kehati-hatian pula penggunaan obat ini pada 9 SWAMEDIKASI pasien glaukoma sudut sempit, tukak lambung, hipertrofi prostat, penyumbatan saluran kemih, penyumbatan usus, serta gangguan saluran napas bagian bawah (asma, emfisema, bronkitis kronik). Dosis penggunaan CTM yaitu 1 (satu) tablet (4 mg) setiap 4-6 jam, maksimal 24 mg/hari. Antihistamin lainnya umumnya dalam bentuk kombinasi, karena itu dalam pemilihan dan penggunaan obat harus selalu memperhatikan informasi obat dalam kemasan. 7. Jika diperlukan, ulangi tahapan di atas untuk lubang hidung yang lain. 8. Bilas alat penetes dengan air mendidih. Cara penggunaan untuk semprot hidung adalah sebagai berikut: 1. Lebarkan lubang hidung. 2. Duduk dengan kepala sedikit menunduk. 3. Kocok obat sebelum digunakan. 4. Masukkan ujung sediaan di satu lubang hidung. 5. Tutup mulut dan lubang hidung yang lain. 6. Semprotkan obat dengan cara menekan alat/wadah, dan hisap pelahan-lahan. 7. Cabut ujung sediaan dari hidung dan kepala dimiringkan ke depan sehingga posisi kepala diantara lutut. 8. Kembali tegak setelah beberapa detik; obat akan mengalir ke kerongkongan 9. Bernafas melalui mulut. 10. Ulangi prosedur untuk lubang hidung yang lain, jika diperlukan. 11.Bilas ujung sediaan dengan air mendidih. Dekongestan Dekongestan biasanya merupakan salah satu komponen dalam obat flu, bekerja dengan cara menyempitkan pembuluh darah di daerah hidung sehingga melegakan hidung tersumbat karena pembengkakan mukosa. Obat-obat yang dapat digolongkan sebagai dekongestan antara lain fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin, dan efedrin. Berdasarkan cara pemberiannya, dekongestan dibagi menjadi dekongestan oral (diberikan melalui mulut) dan dekongestan topikal (diteteskan ke dalam lubang hidung). Penggunaan dekongestan secara umum dapat memberikan efek samping diantaranya adalah kenaikan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, palpitasi, aritmia, insomnia, susah untuk beristirahat, tremor, kecemasan, rasa takut, serta halusinasi. Oleh karena itu obat ini sebaiknya tidak digunakan pada penderita hipertensi, kelainan jantung, serta diabetes. Informasi lengkap terkait penggunaan obat golongan ini dapat diperoleh pada kemasan. Selain dalam bentuk oral, dekongestan juga tersedia dalam bentuk dekongestan hidung topikal. Sediaan dekongestan topikal ada yang berbentuk tetes hidung atau spray (semprot). Cara penggunaan tetes hidung adalah sebagai berikut: 1. Lebarkan lubang hidung 2. Posisi duduk dan kepala dimiringkan ke belakang atau berbaring dengan diganjal bantal di bawah bahu; jaga agar kepala tetap tegak. 3. Masukkan ujung alat penetes sedalam satu sentimeter ke dalam lubang hidung. 4. Teteskan sesuai dosis yang ditentukan. 5. Kepala segera dicondongkan jauh ke depan sehingga posisi kepala berada diantara lutut. Dekongestan topikal yang dapat dibeli tanpa resep dokter diantaranya mengandung efedrin hidroklorida, xilometazolin hidroklorida atau oksimetazolin. Efedrin klorida dalam bentuk tetes hidung diberikan 1-2 tetes ke dalam tiap lubang hidung sampai 3-4 kali per hari bila dibutuhkan. Xilometazolin hidroklorida 0,1% tetes hidung diberikan 2-3 tetes ke dalam tiap lubang hidung sebanyak 2-3 kali sehari bila perlu. Sedangkan untuk xilometazolin hidroklorida 0,05% diberikan 1-2 tetes ke dalam tiap lubang hidung 1-2 kali sehari bila diperlukan. Penggunaan oksimetazolin tetes hidung yaitu 2-3 tetes atau semprot oksimetazolin 0,05% pada setiap lubang hidung setiap 10-12 jam dan agar tidak digunakan lebih dari 2 kali dalam 24 jam. Perlu diperhatikan pula bahwa obat dekongestan topikal tidak boleh digunakan terus-menerus lebih dari 7 hari, karena pemakaian jangka panjang justru dapat menyebabkan pilek semakin parah (gejala Rebound) serta setiap botol tetes/semprot hidung hanya boleh digunakan untuk satu orang saja. Penggunaan dekongestan topikal ini pada anak-anak serta ibu hamil dan menyusui, harus berdasarkan petunjuk/resep dokter. Dengan mengenal pilek yang dialami, maka penanganannya dapat menjadi lebih tepat, khususnya terapi non obat. Obatobat pilek yang telah dijelaskan umumnya tersedia dalam bentuk kombinasi. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa dalam pemilihan obat agar disesuaikan dengan kondisi yang diderita. Hal penting lainnya adalah membaca semua informasi obat dalam kemasan serta selalu menyertakan informasi obat tersebut saat menyimpan obat. Pustaka 1. Badan POM RI. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan POM RI, Jakarta. 2. British National Formulary 67. 2014. Pharmaceutical Press, UK. 3. Krinsky, D.L et al. 2012. Handbook of Nonprescription Drugs 17th Edition. American Pharmacist Association, Washington DC. 6. Kembali tegak setelah beberapa detik, tetesan akan mengalir ke kerongkongan atas. 10 InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 FORUMPIONas Batuk dan Pilek pada Ibu Hamil Pertanyaan: Saya sedang hamil dengan usia kehamilan 16 minggu dan saya menderita batuk disertai pilek. Apakah ada obat batuk dan pilek yang aman digunakan untuk ibu hamil ? (AR, PNS) Jawaban: Penggunaan obat batuk dan pilek pada ibu yang sedang hamil harus berhati-hati. Terapi tanpa obat dapat menjadi pilihan utama untuk membantu penyembuhan batuk dan pilek. Terapi tanpa obat untuk mengurangi rasa gatal akibat batuk dapat dilakukan antara lain dengan mengkonsumsi permen pelega tenggorokan, menghangatkan daerah leher dan hidung dengan minyak penghangat, dan menghindari debu serta makanan yang dapat merangsang batuk. Istirahat yang cukup, banyak minum air seperti air putih atau teh, dan berkumur dengan air garam untuk megurangi batuk dan sakit tenggorokan. Saline nasal drop atau spray serta menghirup uap air panas dapat berfungsi untuk melegakan pernapasan dan membantu mengeluarkan lendir. Pada saat memutuskan untuk membeli dan menggunakan obat batuk dan pilek secara swamedikasi, ibu hamil wajib membaca semua informasi obat pada label dengan teliti. Obat batuk dan pilek yang beredar dan dapat dibeli tanpa resep dokter umumnya mengandung salah satu atau kombinasi dari zat aktif dekstrometorfan, bromheksin HCl, pseudoefedrin, efedrin, prometazin, parasetamol, gliseril guaiakolat, difenhidramin, dan guaifenesin. Beberapa obat tersebut seperti pseudoefedrin, efedrin, dan difenhidramin tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil dan menyusui. Penggunaan dekstrometorfan, bromheksin HCl, prometazin, gliseril guaiakolat, guaifenesin harus sesuai petunjuk dokter. Parasetamol dapat digunakan bagi ibu hamil tanpa mempengaruhi janin namun disarankan hanya mengkonsumsi obat tersebut apabila diperlukan dan atas petunjuk dokter yang sedang merawat kandungannya. Berdasarkan hal tersebut, tidak semua zat aktif dapat digunakan pada ibu hamil karena zat aktif tersebut kemungkinan dapat mempengaruhi perkembangan janin. Oleh karena itu, agar selalu membaca dengan teliti informasi komposisi obat. Pada saat hamil agar selalu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi berbagai jenis obat. Perlu diperhatikan khususnya pada kehamilan di trimester pertama, karena pada trimester ini organ janin sedang berkembang. Demikian pula pada usia kehamilan Ibu yang menginjak trimester kedua (16 minggu), harus tetap berdasarkan petunjuk dokter saat menggunakan obat. Pustaka 1. Badan POM RI. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan POM, Jakarta. 2. Briggs, G.G. 2011. Drugs in Pregnancy and Lactation. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 3. British National Formulary 67. 2014. Pharmaceutical Press, UK. 4. American Pregnancy. Cough and Cold During Pregnancy. http:// americanpregnancy.org/pregnancy-complications/cough-cold-duringpregnancy/ [Diakses pada tanggal 12 maret 2015] FORUMSIKerNas Mekanisme keracunan bahan tersebut adalah menyebabkan iritasi pada jaringan karena bahan bersifat dapat mengendapkan dan mendenaturasi protein, keratolitik (dapat menghilangkan lapisan keratin di kulit) dan korosif. Efek keracunan benzalkonium klorida tergantung pada jumlah bahan (dosis) dan rute paparan. Benzalkonium klorida yang tertelan dapat menyebabkan efek lokal dan sistemik, antara lain rasa sakit di mulut dan kerongkongan (seperti terbakar), muntah, hipersalivasi (sekresi air liur yang berlebihan), dan gangguan gastrointestinal. Terhadap seseorang yang telah menelan benzalkonium klorida disarankan untuk dijaga agar tidak muntah lagi karena bahan bersifat iritan. Dapat diberikan minum berupa air atau susu namun perlu berhati-hati agar tidak muntah. Pemberian arang aktif pada kasus tertelannya bahan ini pada dasarnya tidak efektif tetapi tidak menjadi masalah jika sudah terlanjur diberikan. Jika rasa panas pada kerongkongan masih terasa dan berkembang menjadi lebih panas serta terjadi muntah kembali, maka disarankan untuk segera dibawa ke rumah sakit. Keracunan Cairan Pembersih Lantai Pertanyaan: Suami saya meminum cairan pembersih lantai dua jam yang lalu. Pembersih tersebut dimasukkan ke botol bekas minuman yang sudah diencerkan dengan air. Gejala yang terjadi adalah muntah dan sakit/rasa panas di tenggorokan. Sudah diberikan norit satu botol. Apa yang harus saya lakukan? (N, IRT). Jawaban: Produk cairan pembersih lantai yang dimaksud merupakan produk kebersihan rumah tangga yang mengandung benzalkonium klorida. Benzalkonium klorida merupakan senyawa kimia golongan ammonium kuartener dan bersifat bakteriostatik. Senyawa ini digunakan sebagai komponen aktif dalam desinfektan dan sanitizer produk rumah tangga, pertanian, rumah sakit dan sebagainya. InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015 Pustaka 1. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM. 2013. Benzalkonium Klorida. http://ik.pom.go.id/v2014/katalog/BENZALKONIUM%20KLORIDA. pdf [diakses pada tanggal 27 Maret 2015] 2. National Library Medicine. 2007. Benzalkonium Chloride. http://toxnet.nlm. nih.gov/cgi-bin/sis/search2/f?./temp/~Oyuxuc:3 [diakses pada tanggal 27 Maret 2015] 3. International Programme on Chemical Safety Poisons Information. 1998. Quaternary Amonium. http://www.inchem.org/documents/pims/chemical/ pimg022.htm [diakses pada tanggal 27 Maret 2015] 4. Kulbay H. and et al. 2014. A case of accidental benzalkonium chloride (10 %) ingestion. Turkish Journal Of Family Medicine And Primary Care (TJFMPC).www. tjfmpc.com.Volume 8, Nomor 4. 5. Spiller, H.A. 2014. A Case of Fatal Ingestion of a 10% Benzalkonium Chloride Solution. Journal of Forensic Toxicology & Pharmacology. Case Report: Ascitechnol journal. 11 PENJELASAN BADAN POM MENGENAI PRODUK NATA de COCO Sehubungan dengan adanya pemberitaan di media massa terkait produk Nata de Coco yang diduga diolah menggunakan pupuk ZA, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) memberikan penjelasan kepada masyarakat sebagai berikut: 1. Nata de Coco adalah produk pangan hasil fermentasi dengan bahan baku air kelapa dan menggunakan starter bakteri Acetobacter xylinum. Aktivitas bakteri tersebut akan menghasilkan lembaran-lembaran selulosa berwarna putih keruh yang semakin lama semakin tebal dan produk yang dihasilkan mempunyai tekstur kenyal. 2. Untuk mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum, dibutuhkan kondisi optimum berupa pH, suhu, dan asupan nutrisi yang sesuai. Salah satu nutrisi yang berperan penting dalam pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah nitrogen. 3. Amonium sulfat atau disebut juga ZA (Zwavelzure Amoniak) dengan rumus kimia (NH4)2SO4 dan Urea dengan rumus kimia CH4N2O merupakan sumber nitrogen yang baik untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum. Amonium sulfat atau ZA dan Urea berfungsi sebagai bahan penolong (processing aids) BPOM Jl Percetakan Negara 23 Jakarta Pusat 10560 12 021 4244691 081 21 9999 533 021 4263333 [email protected] www.pom.go.id @HaloBPOM1500533 Bpom RI golongan nutrisi untuk mikroba (microbial nutrients atau microbial adjusts). 4. Dalam rangka keamanan pangan, ZA dan Urea yang digunakan adalah jenis food grade (tara pangan/khusus untuk pangan), karena jika menggunakan yang non-food grade dikhawatirkan ada potensi cemaran logam berat. 5. Faktor keamanan pangan lain yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan Nata de Coco adalah penerapan praktek cara produksi pangan olahan yang baik. Badan POM akan tetap memantau dan mengawasi isu ini, jika memerlukan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Contact Center HALO BPOM 1-500-533, SMS 0-8121-9999-533, email [email protected], atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia. Jakarta, 8 April 2015 Biro Hukum dan Humas Badan POM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan institusi pemerintah yang melaksanakan tugas di bidang pengawasan Obat dan Makanan agar produk Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetik, dan Makanan/Minuman yang beredar terjamin keamanan, mutu, dan khasiat/manfaatnya dalam upaya melindungi kesehatan masyarakat. Untuk menghubungi, menyampaikan pengaduan maupun permintaan informasi ke BPOM dapat menghubungi Contact Center HALO BPOM. InfoPOM Vol. 16 No. 2 Maret-April 2015