View/Open - Digital Repository Universitas Jember

advertisement
Digital Repository Universitas Jember
EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN
RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH
DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014
SKRIPSI
Oleh
Imelda Rosa Indira
112210101056
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Digital Repository Universitas Jember
EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN
RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH
DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014
SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Pendidikan Strata Satu Fakultas Farmasi dan mencapai gelar
Sarjana Farmasi
Oleh
Imelda Rosa Indira
NIM 112210101056
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
ii
Digital Repository Universitas Jember
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Bapak Fransiskus Xaverius Suradi dan Ibu Jovita Roch Aju Wiludjeng
tercinta yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan doa yang tak hentihentinya siang dan malam serta pengorbanan dan dukungannya selama ini.
2. Bapak Ibu Guruku di TK Budi Mulia Tolitoli, SDN 3 Parigi, SDK Fransiskus
Xaverius Palu, SDK Andaluri Waingapu, SMPK Andaluri Waingapu, SMPK
Tegaljaya Denpasar, dan SMAK Santo Yoseph Denpasar yang telah
membantu memahami hakikat ilmu yang sesungguhnya.
3. Almamater Fakultas Farmasi Universitas Jember.
4. Kakakku Melita Isti Septiasari dan adikku Maria Okta Safira yang telah
memberi motivasi dan dukungannya.
iii
Digital Repository Universitas Jember
MOTTO
Hidup adalah pilihan. Setiap manusia punya kesempatan untuk memilih jalannya
sendiri.
Kamu adalah garam dan terang dunia.
(Mat. 5:13-16)
Tiada hasil yang menghianati usaha. Selama usaha itu baik dan Tuhan bekerja di
dalamnya maka akan menuai hasil yang baik.
iv
Digital Repository Universitas Jember
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Imelda Rosa Indira
NIM
: 112210101056
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul: Evaluasi
Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran
Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014 adalah benar-benar hasil karya
sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan
belum pernah diajukan pada institusi manapun serta bukan karya jiplakan. Saya
bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap
ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya
tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi
akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Jember, 1 Desember 2015
Yang menyatakan,
Imelda Rosa Indira
NIM 112210101056
v
Digital Repository Universitas Jember
SKRIPSI
EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN
RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH
DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014
Oleh
Imelda Rosa Indira
NIM.112210101056
Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama
: Antonius Nugraha W. P., S.Farm.,Apt.,M. P. H.
Dosen Pembimbing Anggota : Ema Rachmawati, S.Farm., M.Sc.,Apt.
vi
Digital Repository Universitas Jember
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat
Inap Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014
telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Farmasi Universitas Jember pada:
Hari
: Selasa
Tanggal
: 1 Desember 2015
Tempat
: Fakultas Farmasi Universitas Jember
Tim Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama,
Dosen Pembimbing Anggota,
Antonius N. W. P., S. Farm., Apt.,M.P.H. Ema Rachmawati, S.Farm., M.Sc., Apt.
NIP.198309032008121001
NIP.196409271992031006
Tim Penguji
Dosen Penguji I,
Dosen Penguji II,
Afifah Machlaurin, S.Farm.,Apt.,M.Sc. Indah Purnama Sary, S.Si.,Apt.,M.Farm.
NIP.198501262008012003
NIP.198304282008122004
Mengesahkan
Dekan,
Lestyo Wulandari, S.Si., Apt., M.Farm
NIP.197604142002122001
vii
Digital Repository Universitas Jember
RINGKASAN
Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita
Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014; Imelda
Rosa Indira, 112210101056; Skripsi; Desember; 2015; 115 halaman; Fakultas
Farmasi Universitas Jember.
Secara global infeksi saluran kemih masih menjadi masalah kesehatan
yang penting dan banyak dijumpai di berbagai unit pelayanan kesehatan dasar
hingga subspesialistik. Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih
menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat. Menurut National
Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK
merupakan penyakit infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan
yaitu sebanyak 8,1 juta kasus per tahun. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu
reaksi inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk
pertahanan yang disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan
berkembangbiak di dalam media urin. Selain menggunakan antibiotik, tata laksana
terapi ISK juga memungkinkan penggunaan obat dari golongan lain untuk
meringankan gejala lain, yaitu mual, muntah, demam, disuria, dan terdesak
kencing yang biasanya terjadi bersamaan disertai nyeri suprapubik dan daerah
pelvis. Penggunaan lebih dari satu jenis obat dalam suatu proses terapi dapat
disebut dengan polifarmasi. Salah satu akibat dari polifarmasi yaitu semakin
besarnya risiko interaksi obat. Potensi interaksi obat—obat dibagi menjadi 3
kategori yaitu mayor, moderat, dan minor. Potensi interaksi mayor sangat
berbahaya karena menyebabkan kematian dan kerusakan permanen sehinggan
perlu dihindari. Interaksi obat—obat merupakan perubahan efek obat utama oleh
pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK,
profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme, dan tingkat keparahan potensi
viii
Digital Repository Universitas Jember
kejadian interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr.
Soebandi.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember
pada bulan Agustus 2015. Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif dengan
menggunakan data rekam medik selama Januari-Desember 2014. Sampel adalah
pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode
Januari-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode total sampling berjumlah 59.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: hampir separuh
(42,4%) dari 59 pasien mengalami interaksi obat—obat yang relevan. Bila dilihat
dari total 59 kejadian interaksi obat—obat yang relevan, sebanyak 3 (5,1%) kasus
interaksi kategori mayor dan 42 (71,2%) kasus interaksi kategori moderat yang
dapat dihindari dengan pengaturan jam atau pemberian obat lain yang tidak
menimbulkan interaksi. Sebanyak 23 (39,0%) kejadian interaksi farmakodinamik
dan
35
(61,0%)
kejadian
interaksi
farmakokinetik.
Separuh
interaksi
farmakokinetik (32,2%) terjadi pada proses absorpsi.
Penelitian ini menunjukkan 59 potensi kejadian interaksi yang terjadi pada
25 (42,4%) pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan jam, pemberian obat
lain yang tidak berinteraksi, atau pemberian obat melalui jalur lain untuk
menghindari adanya interaksi obat—obat. Perlu adanya monitor dari dokter dan
apoteker untuk mencegah terjadinya interaksi obat—obat yang berbahaya dan
pemantauan efek dari interaksi obat—obat. Perlu dilakukan penelitian mengenai
interaksi obat—obat secara prospektif agar dapat memberikan hasil penelitian
yang lebih baik.
ix
Digital Repository Universitas Jember
PRAKATA
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran
Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1)
Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Ibu Lestyo Wulandari, S.Si., Apt., M.Farm selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Jember.
2. Bapak Antonius Nugraha W.P., S.Farm.,Apt.,M.P. H. selaku Dosen
Pembimbing Utama dan Ibu Ema Rachmawati, S.Farm., M. Sc.,Apt. selaku
Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran serta
perhatiannya
guna
memberikan
bimbingan
dan
pengarahan
demi
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
3. Ibu Afifah Machlaurin, S.Farm.,Apt.,M.Sc. dan Ibu Indah Purnama Sary,
S.Si.,Apt.,M.Farm. selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang
diberikan.
4. Orang tuaku Fransiskus Xaverius Suradi dan Ibu Jovita Roch Aju Wiludjeng
atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tiada henti.
5. Kak Widi, Kak Isti, Fira, Yulanta, Putri, Binar, Cahya, Ima, Rere, Ocha, dan
Aslyni yang menjadi tempat curhat dan tukar pikiran serta tak henti-hentinya
memberikan dukungan dan selalu ada di saat suka maupun duka.
6. Teman-temanku seperjuangan Sendika, Husnul, dan Moly.
7. Kak Indra, mbak Fury, mbak Dila, mbak Ben, Galih, dan teman-teman UKM
Katolik UNEJ yang memotivasi, memberikan contoh, mendengarkan keluh
kesah, dan mengukir senyuman.
x
Digital Repository Universitas Jember
8. Seluruh civitas akademika atas segala bantuan dan kemudahan yang
diberikan.
9. Seluruh teman-teman Farmasi angkatan 2011 dan pihak lain yang turut
membantu terselesaikannya skripsi ini.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Jember, 1 Desember 2015
Penulis
xi
Digital Repository Universitas Jember
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
I
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................
ii
HALAMAN MOTTO...................................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................
v
HALAMAN PEMBIMBINGAN.................................................................
vi
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................
vii
RINGKASAN................................................................................................
viii
PRAKATA....................................................................................................
x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………....
xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………....
xvi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xix
BAB 1. PENDAHULUAN ………………………………………………...
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………….....
1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………....
3
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….
4
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………...
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
5
2.1 Infeksi Saluran Kemih………………………………………..
5
xii
Digital Repository Universitas Jember
2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih ……………....................
5
2.1.2 Epidemiologi……………………………………………..
5
2.1.3 Patofisiologi………………………………………………
6
2.1.4 Etiologi…………………………………………………...
7
2.2 Terapi Farmakologi ISK...........................................................
8
2.3 Interaksi Obat—Obat…………………………………………
15
2.3.1 Klasifikasi Interaksi………………………………………
15
2.3.1.1 Interaksi Farmakokinetik…………………………
15
2.3.1.2 Interaksi Farmakodinamik……………………….
19
2.3.2 Tingkat Keparahan Interaksi……………………………...
20
BAB 3 METODE PENELITIAN………………………………………….
21
3.1 Jenis Penelitian………………………………………………...
21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian………………………………..
21
3.3 Definisi Operasional…………………………………………...
21
3.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Sampling……
22
3.4.1 Populasi…………………………………………………..
22
3.4.2 Sampel……………………………………………………
22
3.4.3 Besar Sampel……………………………………………..
22
3.4.4 Teknik Sampling………………………………………….
23
3.5 Bahan Penelitian dan Kriteria Pengambilan Sampel……….
23
3.5.1 Bahan Penelitian………………………………………….
23
3.5.2 Kriteria Pengambilan Sampel…………………………….
23
3.5.2.1 Inklusi…………………………………………….
23
3.5.2.2 Eksklusi…………………………………………..
23
xiii
Digital Repository Universitas Jember
3.6 Rancangan Penelitian…………………………………………
24
3.6.1 Teknik dan Instrumen Perolehan Data……………………
24
3.6.2 Penyajian, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data……….
24
3.6.2.1 Penyajian Data……………………………………
24
3.6.2.2 Analisis Data……………………………………..
25
3.7 Pertimbangan Etika Penelitian……………………………….
27
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………...
28
4.1 Hasil Penelitian……………………………………………………….
28
4.1.1 Karakteristik Pasien ISK dan Pengobatannya……………
28
4.1.2 Jumlah Potensi Interaksi pada Pasien ISK dan
Mekanismenya……………………………………………
30
4.1.3 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK
Berdasarkan Jenis Kelamin...............................................
34
4.1.4 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK
Berdasarkan Usia…...…………………………………….
35
4.1.5 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK
Berdasarkan Jumlah Obat………………………………...
4.2 Pembahasan..............................................................................
35
36
4.2.1 Karakteristik Pasien ISK dan Pengobatannya…………….
36
4.2.2 Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK…………..
38
4.2.3 Potensi Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik....
40
4.2.3Kategori Interaksi Mayor, Moderat, dan Minor pada
Pasien ISK………………………………………………..
42
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………
45
5.1 Kesimpulan……………………………………………………..
45
xiv
Digital Repository Universitas Jember
5.2 Saran…………………………………………………………….
45
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
46
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………...
51
xv
Digital Repository Universitas Jember
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Terapi ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita
premenopous ……………………………………………...........
9
Tabel. 2.2
Terapi parenteral kasus berat ………………………..…………
9
Tabel 2.3
Rekomendasi awal terapi empiris antimikroba tanpa komplikasi
akut pielonefritis wanita premenopous ..........................……….
Tabel 2.4
Aturan profilaksis antimikroba pada wanita dengan ISK
berulang ………………………………………………………...
Tabel 2.5
10
Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita
dengan ISK berulang ……....…………………………………...
Tabel 2.6
10
11
Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis
pada wanita hamil ……………….……………………………..
11
Tabel 2.7
Aturan pengobatan pielonefritis dalam kehamilan …………….
12
Tabel 2.8
ISK komplikasi karena gangguan urologi seperti kencing batu,
penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang menggunakan
pilihan terapi antimikroba untuk terapi empiris ……………….
Tabel 2.9
12
Dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai 12
tahun ………………………………………………………...
13
Tabel 2.10 Klirens antibiotik pada hemodialisis …………………………...
14
Tabel 2.11 Pengobatan non gonoreal uretritis……………………………...
14
Tabel 3.1
Penyajian data ……………………...…………………………...
24
Tabel 4.1
Karakteristik pasien dan pengobatan……………………………
28
xvi
Digital Repository Universitas Jember
Tabel 4.2 Jumlah pasien dengan potensi interaksi obat ……………..……..
31
Tabel 4.3 Potensi interaksi obat—obat dan tingkat keparahan pada pasien
ISK ……………………………………………………………….
31
Tabel 4.4 Obat-obat yang berpotensi terjadi interaksi dan relevan………...
32
Tabel 4.5 Interaksi farmakokinetik dan tempat interaksinya ………...…….
33
Tabel 4.6 Interaksi farmakodinamik dan mekanismenya…..…...………….
34
xvii
Digital Repository Universitas Jember
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Grafik risiko Infeksi Saluran Kemih………………………..
6
Gambar 3.1 Diagram pengecekan interaksi obat—obat yang potensial
pada pasien ISK……………………………………………...
25
Gambar 3.2 Diagram pengecekan relevansi interaksi obat—obat yang
potensial pada pasien ISK……………………………………..
26
Gambar 4.1 Grafik jumlah obat yang digunakan pasien ISK rawat inap…..
29
Gambar 4.2 Kerangka hasil potensi interaksi pada pasien ISK rawat inap...
30
Gambar 4.3 Jumlah interaksi famakodinamik dan farmakokinetik………...
33
Gambar 4.4 Diagram jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin……………
34
Gambar 4.5 Grafik distribusi umur pasien ISK rawat inap di RSD dr.
Soebandi ………………………………………...……………
35
Gambar 4.6 Grafik potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat yang
diterima pasien ISK………...…………………………………
xviii
35
Digital Repository Universitas Jember
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A Hasil Pengumpulan Data…………………………………………………………...……
51
B Tabel Lama Rawat Inap dan Obat yang Digunakan……………………………………..
97
C Obat yang Digunakan………...………………………………………………………….
107
D Interaksi Obat—Obat yang Potensial dan Relevan……………………...………………
109
E Jumlah Obat yang Digunakan dan Potensi Interaksinya…………………..…………….
114
xix
Digital Repository Universitas Jember
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara global infeksi saluran kemih masih menjadi masalah kesehatan
yang penting dan banyak dijumpai di berbagai unit pelayanan kesehatan dasar
hingga subspesialistik (Kusnan, 2014). Di negara-negara berkembang penyakit
infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat
(Nelwan, 2002). Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse (NKUDIC), ISK merupakan penyakit infeksi kedua tersering
setelah infeksi saluran pernafasan yaitu sebanyak 8,1 juta kasus per tahun.
Jumlah pasien ISK perempuan yang berkunjung ke tempat praktek dokter dua
kali lipat lebih banyak dibandingkan pasien laki-laki yaitu 1,2% versus 0,6%
(Foxman, 2003). Sekitar 1 dari 3 perempuan menderita penyakit infeksi saluran
kemih pada usia 24 tahun. Infeksi pada pria lebih sedikit terjadi sampai usia 65
tahun, di mana titik tingkat insiden pada laki-laki dan perempuan adalah sama
(Coyle & Prince, 2008).
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium
melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena
masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembangbiak di dalam media
urin (Purnomo, 2003). ISK perlu mendapat perhatian karena berbagai alasan.
Pertama, ISK sering kali menjadi tanda adanya kelainan yang serius pada ginjal
dan saluran kemih seperti refluks vesiko-ureter (RVU) atau uropati obstruktif
(Pardede, dkk, 2011). Komplikasi ISK yang paling berat adalah urosepsis yang
menyumbang angka kematian yang tinggi yaitu 25% sampai 60% di Amerika
Serikat dan Eropa dan bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut yang dapat
mengancam nyawa penderita penyakit ini (Kusnan, 2014). ISK dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi atau bagian tubuh yang terinfeksi, yakni
sistitis (radang kandung kemih), uretritis (radang uretra), prostatitis (radang
kelenjar
prostat),
dan
epididimitis
(Ariwijaya
&
Suwitra,
2007).
Digital Repository Universitas Jember
2
Selain berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi, ISK juga diklasifikasikan
menjadi dua yaitu, uncomplicated (tanpa komplikasi, non komplikata) dan
complicated (dengan komplikasi, komplikata). Infeksi tanpa komplikasi terjadi
pada individu yang tidak memiliki kelainan struktural atau fungsional saluran
kemih yang mengganggu aliran normal urin atau mekanisme berkemih. Infeksi
jenis ini banyak terjadi pada wanita usia subur (15 sampai 45 tahun). Sedangkan
pada laki- laki yang paling banyak terjadi adalah infeksi dengan komplikasi
kelainan struktural atau neurologis (Coyle & Prince, 2008).
Seseorang dapat dicurigai sebagai penderita ISK apabila ditemukan bakteri
di dalam urin karena pada saluran kemih normal tidak dihuni oleh bakteri aerob
atau mikroba lain. Walaupun demikian uretra bagian bawah terutama pada
wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya semakin berkurang pada bagian
yang mendekati kandung kemih (Kumala, dkk, 2009). Mikroorganisme yang
paling sering ditemukan sebagai penyebab ISK adalah jenis aerob yaitu
Escherecia coli, Klebsiella aerogenes, Acinetobacter calcoaceticus, dan jamur
Candida albicans (Febrianto et al., 2013;Samirah et al., 2006). E. coli
menduduki persentase biakan paling tinggi yaitu sekitar 50–90% (Kumala, dkk,
2009). Paparan antibiotik saat ini merupakan faktor risiko yang paling signifikan
yang terkait dengan resistensi E. coli dan semakin meluas hingga mencapai
proporsi yang mengkhawatirkan (Coyle & Prince, 2008;Nikolaou, 2005). Pada
keadaan tertentu, apabila efek obat terhadap mikroba kurang baik atau tidak
terjadi sama sekali, maka dikatakan bahwa antibiotik tersebut telah resisten
terhadap mikroba tertentu (Tan & Raharja, 2002).
Selain
menggunakan
antibiotik,
tata
laksana
terapi
ISK
juga
memungkinkan penggunaan obat dari golongan lain untuk meringankan gejala
lain yang dapat dirasakan pasien ISK, yaitu mual, muntah, demam, disuria, dan
terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan disertai nyeri suprapubik dan
daerah pelvis (Israr, 2009). Penggunaan lebih dari satu jenis obat dalam suatu
proses terapi dapat disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi adalah kombinasi
obat yang dapat berupa kombinasi tetap dan kombinasi tidak tetap. Akibat dari
polifarmasi yaitu semakin besarnya risiko interaksi obat, efek samping, dan
Digital Repository Universitas Jember
3
penyakit karena obat (Tan dan Raharja, 2002).
Evaluasi interaksi obat—obat bisa dianalisis dengan menggunakan drug
interaction checker (www.drugs.com). Potensi interaksi obat—obat menurut
Drugs.com (2015) dibagi menjadi 3 kategori yaitu mayor, moderat, dan minor.
Menurut penelitian Sari et al. (2012) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
ditemukan 4 potensi interaksi obat—obat pada 10 pasien rawat inap infeksi
saluran kemih. Potensi interaksi obat—obat pada kategori mayor di Jepara pada
tahun 2011 terjadi sebanyak 13 (1,05%) dari total 71 pasien (Indriyanti et al.,
2012). Potensi interaksi mayor menimbulkan efek klinis yang signifikan dan
risiko interaksi melebihi manfaat kombinasi. Oleh karena itu potensi interaksi
mayor ini perlu dihindari karena efeknya yang lebih berbahaya (Drugs.com,
2015).
Interaksi obat—obat merupakan perubahan efek obat utama oleh
pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Penggunaan antibiotik
seringkali disertai dengan obat lain untuk mengatasi gejala lain atau komplikasi
dari penyakit ini sehingga dapat menimbulkan interaksi antarobat. Selain itu,
interaksi obat juga memiliki dampak yang berbeda-beda bila ditinjau dari tingkat
keparahan interaksi sehingga perlu dimonitor. Oleh karena itu, penelitian atau
evaluasi potensi interaksi obat-obat pada terapi ISK perlu dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK
pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014?
2. Bagaimana
profil
interaksi
obat—obat
berdasarkan
mekanisme
farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada pasien ISK rawat
inap di RSD dr. Soebandi Jember tahun 2014?
3. Seberapa besarkah tingkat keparahan potensi kejadian interaksi obat—obat
pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014
berdasarkan drug interaction checker (Drugs, 2015)?
Digital Repository Universitas Jember
4
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK
pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014.
2. Untuk mengetahui profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme
farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada pasien ISK rawat
inap di RSD dr. Soebandi Jember tahun 2014.
3. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat keparahan potensi kejadian
interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr.
Soebandi tahun 2014 berdasarkan drug interaction checker (Drugs, 2015).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Memberikan informasi kepada praktisi kesehatan dan masyarakat
mengenai interaksi obat-obat yang digunakan pada pasien ISK di RSD dr.
Soebandi.
2.
Menyediakan sarana evaluasi mengenai interaksi obat-obat yang
digunakan pada pasien ISK di RSD dr. Soebandi.
Digital Repository Universitas Jember
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Kemih
2.1.1. Definisi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya
mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal air kemih
tidak mengandung bakteri, virus, dan mikroorganisme lain (Rahardjo dan Sualit,
1999). Infeksi ini dapat mengenai laki-laki maupun perempuan dari semua umur
pada anak, remaja, dewasa ataupun umur lanjut. Untuk menyatakan adanya ISK
harus ditemukan bakteri, virus, ataupun mikroorganisme lain di dalam urin.
Penyakit infeksi ini merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan
di praktik umum, walaupun bermacam-macam antibiotika yang sudah tersedia
luas di pasaran (Israr, 2009).
2.1.2. Epidemiologi
Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% dari
semua pria dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya (Israr, 2009). Namun,
gejala ISK lebih umum dijumpai di kalangan wanita aktif secara seksual dan jauh
lebih umum pada wanita dibandingkan pria. Diperkirakan 1 dari 3 wanita akan
memiliki setidaknya 1 kali diagnosa ISK oleh dokter dan memerlukan pengobatan
antimikroba pada usia 24 tahun, dan 40%-50% wanita mengalami minimal 1 kali
ISK selama masa hidup mereka (Gambar 2.1). Di bawah ini adalah grafik
kejadian ISK pada wanita berdasarkan umur (Foxman, 2003).
Digital Repository Universitas Jember
6
200
Jumlah kumulatif ISK
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Usia (tahun)
Gambar 2.1. Grafik risiko Infeksi Saluran Kemih
Dari grafik dapat dilihat bahwa risiko ISK dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya usia dengan pola sigmoidal. Pada usia anak dan remaja, tingkat
resiko ISK masih 5%-12%. Risiko ISK meningkat tajam pada usia dewasa yaitu
20%-50%. Lalu stabil pada usia manula (Foxman, 2003).
2.1.3. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu
steril karena jumlah dan frekuensi kencing dipertahankan. Utero distal merupakan
tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogen Gram-positif dan Gram-negatif
(Sukandar, 2004).
Ada beberapa jalur masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih
yaitu melalui ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari organ sekitar
yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari pemakaian
intrumen. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari
uretra ke dalam kandung kemih. Infeksi secara ascending dapat terjadi melalui 4
tahapan, yaitu kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina,
lalu masuk ke dalam buli-buli, multiplikasi dan penempelan mikroorganisme
dalam kandung kemih, lalu naik ke ginjal. Proses ini, dipermudah refluks
Digital Repository Universitas Jember
7
vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme lainnya yaitu hematogen yang sangat
jarang ditemukan di klinik, mengungkit akibat lanjut dari bakteriema. Infeksi
hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah,
karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau pada pasien yang mendapatkan
pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya
fokus infeksi di tempat lain, misalnya infeksi Staphylococcus aureus pada ginjal
bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit,
endotel, atau tempat lain. Bakteri lain yang menyebar melalui hematogen, yaitu
M. Tuberculosis, Salmonella, pseudomonas, Candida, dan Proteus sp. Ginjal
diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis
akibat S. aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (S. aureus)
dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut
(PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen (Israr, 2009;Sukandar, 2004).
2.1.4. Etiologi
Bakteri yang menyebabkan ISK biasanya berasal dari usus inang. Meskipun
hampir semua organisme berhubungan dengan ISK, organisme tertentu
mendominasi sebagai akibat dari faktor virulensi tertentu. Penyebab paling umum
dari ISK dengan komplikasi adalah Escherichia coli. Selain itu, organisme yang
juga menyebabkan infeksi tanpa komplikasi yaitu Staphylococcus saprophyticus
(5% sampai 15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus spp., Pseudomonas
aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5% sampai 10%). Karena Staphylococcus
epidermidis sering terdapat di saluran kemih, juga harus dipertimbangkan sebagai
kontaminan awal. Untuk memastikan pathogen yang diduga sebagai penyebab
ISK harus dilakukan isolasi ulang dari urin (Coyle dan Prince, 2008).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan resiko ISK ini meningkat, yaitu :
1. Faktor genetik yaitu status nonsekretor dan antigen golongan darah ABO (B
dan AB beresiko tinggi).
Digital Repository Universitas Jember
8
2. Faktor biologi yaitu abnormalitas yang dibawa sejak lahir seperti kelainan
congenital, adanya gangguan saluran kemih, jenis kelamin, dan riwayat ISK
sebelumnya.
3. Faktor perilaku yaitu hubungan seksual wanita premenopous, penggunaan
diafragma, penggunaan kondom, penggunaan spermisida, dan penggunaan
antibiotik sebelumnya.
4. Faktor lain-lain yaitu kelainan esterogen dan operasi urogenital.
(Kulkarni dan Venkatesh, 2003;Sukandar, 2004)
Banyak perempuan yang tidak menjalani evaluasi radiografi setelah
menderita ISK awal dalam waktu 1 tahun mengalami kekambuhan, dan
perempuan yang mengalami ISK berulang dapat meningkatkan risiko jaringan
parut ginjal, kemudian meningkatkan risiko penyakit ginjal yang progresif di
masa dewasa (Foxman, 2003).
2.2. Terapi Farmakologi ISK
Pengobatan ISK secara klinis umumnya menggunakan antibiotik dan
dibedakan berdasarkan klasifikasi ISK. Klasifikasi ISK berdasarkan gejalanya
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. ISK ringan tanpa komplikasi (sistitis)
2. Pielonefritis tanpa komplikasi, yaitu infeksi yang melibatkan ginjal dan
merupakan infeksi saluran atas
3. Komplikasi ISK dengan atau tanpa pielonefritis
4. Urosepsis
5. Uretritis
6. Prostratis, epididimitis, orsitis.
(Ariwijaya dan Suwitra, 2007;Naber et al., 2001)
Pengobatan pasien ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita
premenopous
menggunakan
pivmesilinam.
Sebagai
fosfomisin
alternatif
trometamol,
diberikan
nitrofurantoin,
siprofloksasin,
dan
levofloksasin,
norfloksasin, ofloksasin. Jika diketahui terjadi local resisten E. coli kurang dari
20%, maka diberikan trimetoprim dan sulfametoksazol. Penggunaan yang tepat
Digital Repository Universitas Jember
9
diberikan pada dosis dan lama pemberian seperti yang ditunjukan tabel 2.1 (Grabe
et al,, 2014).
Tabel 2.1 Terapi ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita premenopous
Antibiotik
Fosfomisin trometamol
Nitroflurantoin
Nitrofurantoin makrokistal
Pivmesilinam
Pivmesilinam
Dosis per hari
Durasi terapi
3 gram dosis tunggal
1 hari
50 mg setiap 6 jam
7 hari
100 mg 2 kali sehari
5-7 hari
400 mg 2 kali sehari
3 hari
200 mg 3 kali sehari
5 hari
Alternatif
Siprofloksasin
250 mg 2 kali sehari
3 hari
Levofloksasin
250 mg 4 kali sehari
3 hari
Norfloksasin
400 mg 2 kali sehari
3 hari
Ofloksasin
200 mg 2 kali sehari
3 hari
Jika diketahui ada resisten lokal (resistensi E. coli<20%)
Trimetoprim
160/800 mg 2 kali sehari
3 hari
sulfametoksazol
Trimetoprim
200 mg 2 kali sehari
5 hari
Terapi antimikroba ISK akut tanpa komplikasi pielonefritis pada pasien
wanita premenopous berbeda dengan terapi tanpa komplikasi akut sistitis. Berikut
antibiotik dan dosis yang digunakan pada terapi parenteral kasus berat ditunjukkan
pada tabel 2.2.
.
Tabel. 2.2 Terapi parenteral kasus berat
Antibiotik
Siprofloksasin
Levofloksasin
Levofloksasin
Dosis per hari
400 mg 2 kali sehari
250-500 mg 4 kali sehari
750 mg 4 kali sehari
Alternatif
Sefotaksim
Seftriakson
Seftasidim
Sefepim
Ko-amoksiklaf
Piperasilin/tazobaktam
Gentamisin
Amikasin
Ertapenem
Imipenem/silastatin
Meropenem
Doripenem
2 g 3 kali sehari
1-2 g 4 kali sehari
1-2 g 3 kali sehari
1-2 g 2 kali sehari
1,5 g 3 kali sehari
2,5-4,5g 3 kali sehari
5 mg/kg 4 kali sehari
15 mg/kg 4 kali sehari
1 g 4 kali sehari
0,5/0,5 g 3 kali sehari
1 g 3 kali sehari
0,5 g 3 kali sehari
Digital Repository Universitas Jember
Pengobatan
rekomendasi
awal
terapi
empiris
antimikroba
10
tanpa
komplikasi akut pielonefritis pada wanita premenopous ditampilkan pada Tabel
2.3.
Tabel 2.3 Rekomendasi awal terapi empiris antimikroba tanpa komplikasi akut
pielonefritis wanita premenopous.
Antibiotik
Siprofloksasin
Levofloksasin
Levofloksasin
Dosis perhari
500-750 mg 2 kali sehari
250-500 mg 4 kali sehari
750 mg 4 kali sehari
Alternatif
Sefpodoksim proksetil
200 mg 2 kali sehari
Seftibuten
400 mg 4 kali sehari
Jika diketahui rentan terhadap patogen:
Trimetroprim-sulfametoksazol 160/ 800 mg 2 kali sehari
Ko-amoksiklav
0,5/ 0.125 g 3 kali sehari
Durasi terapi
7-10 hari
7-10 hari
5 hari
10 hari
10 hari
14 hari
14 hari
Aturan profilaksis antimikroba pada pasien wanita dengan ISK yang
berulang ditampilkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Aturan profilaksis antimikroba pada wanita dengan ISK berulang
Aturan
TMX-SMX 40/200 mg 1 kali sehari
TMP-SMX 40/200 mg 3 kali sehari
Trimetroprim 100 mg 1 kali sehari
Nitrofurantoin 50 mg 1 kali sehari
Nitrofurantoin 100 mg 1 kali sehari
Sefaktor 250 mg 1 kali sehari
Sefaleksin 125 mg 1 kali sehari
Sefaleksin 250 mg 1 kali sehari
Norfloksasin 200 mg 1 kali sehari
Siprofloksasin 125 mg 1 kali sehari
Fosfomisin 3 g setiap 10 hari
Diduga ISK pertahunnya
0-0.2
0.1
0-1.5
0-0.6
0-0.7
0.0
0.1
0.2
0.0
0.0
0.14
Digital Repository Universitas Jember
11
Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita dengan ISK
berulang ditampilkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita dengan ISK
berulang.
Aturan pakai
TMP-SMX 40/200 mg
TMP-SMX 80/400 mg
Nitrofurantoin 50 atau 100 mg
Sefaleksin 250 mg
Siprofloksasin 125 mg
Norfloksasin 200 mg
Ofloksasin 100 mg
Dugaan ISK per tahun
0,30
0,00
0,10
0,03
0,00
0,00
0,06
Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis pada wanita
yang sedang dalam masa kehamilan ditampilkan pada Tabel 2.6.
.
Tabel 2.6 Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis pada
wanita hamil
Antibiotik
Nitrofurantoin (makrobid) 100
mg
Amoksisilin 500 mg
Ko-amoksisilin/klafulanat
Sefaleksin (kefleks) 500 mg
Fosfomisin 3 g
Trimetoprim
Durasi terapi
Setiap 12 jam, 3-5 hari
Setiap 8 jam, 3-5 hari
500 mg setiap12 jam,
3-5 hari
Setiap 8 jam, 3-5 hari
Dosis tunggal
Setiap 12 jam, 3-5 hari
Keterangan
Mencegah kelainan
G6PD
Meningkatkan resistensi
Meningkatkan resistensi
Cegah trimetoprim pada
trimester pertama
Digital Repository Universitas Jember
12
Aturan pengobatan pasien ISK pielonefritis pada wanita dalam kehamilan
ditampilkan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Aturan pengobatan pielonefritis dalam kehamilan
Antibiotik
Seftriaksone
Aztreonam
Piperasililin-tazobaktam
Sefepim
Imipenem-klasstatin
Ampisilin
Gentamisin
Dosis
1-2 g IV atau IM setiap 24 jam
1 g IV setiap 8-12 jam
3.375-4.5 g IV setiap 6 jam
1 g IV setiap 12 jam
500 mg IV setiap 6 jam
2 g IV setiap 6 jam
3-5 mg/kg/ hari IV dibagi menjadi 3
dosis
Pengobatan pada pasien ISK dengan komplikasi karena gangguan urologi
seperti kencing batu, penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang
menggunakan pilihan terapi antimikroba untuk terapi empiris yang ditampilkan
pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 ISK komplikasi karena gangguan urologi seperti kencing batu,
penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang menggunakan pilihan terapi
antimikroba untuk terapi empiris
Rekomendasi antibiotik untuk terapi empiris awal
Florokuinolon
Aminopenisilin + β laktam inhibitor
Sefalosforin (golongan 2 atau 3a)
Aminoglikosida
Rekomendasi antibiotik untuk pengobatan empiris dalam kasus kegagalan awal atau
kasus berat
Florokuinolon (jika tidak digunakan untuk terapi awal)
Ureldopenisilin (piperasilin) + β laktam inhibitor
Sefalosporin (golongan 3b)
Karbapenem
Terapi kombinasi:
Aminoglikosida + β laktam inhibitor
Aminoglikosida + florokuinolon
Antibiotik yang tidak direkomendasikan untuk pengobatan empiris
Aminopenisilin seperti amoksisilin, ampisilin
Trimetoprim-sulfametoksazol (hanya jika diketahui rentan terhadap pathogen)
Fosfomisin trometamol
Digital Repository Universitas Jember
13
Terapi dengan dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai
12 tahun ditampilkan pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai 12 tahun
Agen antimikroba
Ampisilin
Ampisilin
Amoksisilin
Amoksisilin/
klavulanat
Amoksisilin/
klavulanat
Sefaleksin
Pengobatan
Profilaksis
Sefaktor
Pengobatan
Profilaksis
Sefiksim
Seftriakson
Aztreonam
Gentamisin
Rute
IV
IV
IV
IV
Umur
3-12 bulan
1-12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
Total dosis perhari
100-300 mg/kgBB
60-150 (-300) mg/kgBB
50-100 mg/kgBB
60-100 mg/kgBB
Oral
3 bulan sampai 12 tahun
37.5 mg/kgBB
Oral
Oral
3 bulan sampai 12 tahun
1-12 tahun
50-100 mg/kgBB
10 mg/kgBB
Oral
Oral
Oral
IV
IV
IV
3 bulan sampai 12 tahun
1-12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
3 bulan sampai 12 tahun
1-12 tahun
50-100 mg/kgBB
10 mg/kgBB
8-12 mg/kgBB
50-100 mg/kgBB
50-100 mg/kgBB
5-7.5 mg/kgBB
IV
Trimetropim
Pengobatan
Profilaksis
Nitrofurantoin
Pengobatan
Profilaksis
5 mg/kgBB
Oral
Oral
1-12 tahun
1-12 tahun
6 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
Oral
Oral
1-12 tahun
1-12 tahun
3-5 mg/kgBB
1 mg/kgBB
Pada pasien ISK dengan gangguan ginjal, kebanyakan antibiotik memiliki
indeks terapeutik yang luas. Tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan sampai
GFR atau laju filtrasi glomerulus <20 mL / menit, kecuali antibiotik dengan
potensi nefrotoksik, misalnya aminoglikosida. Obat yang hilang oleh dialisis
harus diberikan setelah pengobatan dialisis. Kombinasi loop diuretik (misalnya
furosemid) dan sefalosporin adalah nefrotoksik. Nitrofurantoin dan tetrasiklin
merupakan kontraindikasi, tetapi tidak untuk doksisiklin.
Digital Repository Universitas Jember
14
Pada pasien ISK dengan hemodialisis, memiliki perbedaan klirens pada
antibiotik yang ditujukan untuk terapi ISK. Hemodialisis (HD) adalah suatu
bentuk tindakan pertolongan dengan menggunakan alat yaitu dializer yang
bertujuan untuk menyaring dan membuang sisa produk metabolisme toksik yang
seharusnya dibuang oleh ginjal. Hemodialisis merupakan terapi utama selain
transplantasi ginjal pada orang- orang dengan penyakit ginjal kronik (PGK)
(Rahman dkk, 2013). Klirens antibiotik pengobatan ISK pada hemodialisis
ditunjukkan tabel 2.10.
Tabel 2.10 Klirens antibiotik pada hemodialisis
Dialisis
Amoksisilin/ampisilin
Karbenisilin
Sefalosporin
Aminoglikosida
Trimetoprim
Metronidazol
Aztreonam
Flukonazol
Dialisis ringan
Florokuinolon
Ko-trimoksazol
Eritromisin
Vankomisin
Tanpa dialisis
Amfoterisin
Metisilin
Teikoplanin
Pengobatan pasien ISK nongonoreal uretritis dengan dosis dan aturan
pakai yang tepat diatur pada tabel 2.11
Tabel 2.11 Pengobatan non gonoreal uretritis
Terapi Pertama:
Azitromisin 1 gram secara oral dosis tunggal
Doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari untuk 7 hari
Terapi kedua:
Eritromisin basa 500 mg oral 4 kali sehari untuk 14 hari
Eritromisin etilsuksinat 800 mg oral 4 kalix sehari untuk 7 hari
Ofloksasin 300 mg oral 2 kali sehari untuk 7 hari
Levofloksasin 500 mg oral 1 kali sehari untuk 7 hari
(Grabe et al., 2014)
Digital Repository Universitas Jember
15
2.3. Interaksi Obat—Obat
2.3.1. Klasifikasi Interaksi
Interaksi
diklasifikasikan
berdasarkan
proses
farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat. Interaksi farmakokinetik berhubungan dengan perubahan
seperti kadar obat dalam plasma, area di bawah kurva (AUC), onset, dan waktu
paruh. Interaksi farmakokinetik adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi
pada absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain.
Sedangkan interaksi farmakodinamik berhubungan dengan kemampuan suatu obat
untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya
(Gapar, 2003).
2.3.1.1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi dalam proses farmakokinetik termasuk interaksi dalam hal
mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein
plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi atau
dipercepat (Gapar, 2003). Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada
suatu obat tidak dapat berlaku untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu
kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang
menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda (Gitawati, 2008).
Menurut Gitawati, interaksi farmakokinetik dibagi berdasarkan proses
terjadinya interaksi yaitu:
1. Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal
Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi
melalui beberapa cara, yaitu secara langsung sebelum absorpsi, terjadi perubahan
pH cairan gastrointestinal, penghambatan transport aktif gastrointestinal, adanya
perubahan flora usus, dan efek makanan.
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya
adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan
Digital Repository Universitas Jember
16
antasida yang mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa kelat yang tidak larut
sehingga obat antibiotika tidak diabsorpsi.
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH
karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa-proton akan
menurunkan absorpsi basa-basa lemah dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat
asam lemah. Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorpsi
antibiotika golongan selafosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim
proksetil.
Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika
berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya
konversi obat menjadi komponen aktif. Efek makanan terhadap absorpsi terlihat
misalnya pada penurunan absorpsi penisilin dan rifampisin karena pengaruh
adanya makanan (Dipiro et al., 1997).
2. Interaksi yang terjadi pada proses distribusi
Suatu interaksi terjadi bila suatu obat menggeser obat lain dari tempat
ikatannya dengan protein plasma sehingga kadar obat yang bebas didalam darah
meningkat, akibatnya effek obat tersebut bertambah (Gapar, 2003). Mekanisme
interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan
protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna
klinik jika:
a. obat indeks memiliki ikatan protein sebesar >85%, volume distribusi
(Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas keamanan sempit
b. obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (finding
site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi untuk
menempati dan menjenuhkan binding-sitenya.
Digital Repository Universitas Jember
17
3. Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat
Mekanisme interaksi pada proses metabolisme dapat berupa (Ito et al., 1998):
a. Penghambatan (inhibisi) metabolisme
Inhibisi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku terhadap obatobat yang dapat mempengaruhi enzim mikrosom hati yaitu sitokrom P450 (CYP).
Terdapat beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat, antara
lain:
1) Isoenzim CYP3A berperan dalam memetabolisme lebih dari 50% obat-obat
yang banyak digunakan. Selain di hati, CYP3A ini juga terdapat di usus halus
dan ginjal. Isoenzim CYP3A dapat dihambat oleh antibiotik seperti
eritromisin dan klaritromisin.
2) CYP1A2 sangat penting untuk memetabolisme obat-obat di hati seperti
teofilin, kofein, klozapin dan R-warfarin. Namun, CYP1A2 dapat dihambat
oleh antibiotik seperti siprofloksasin dan fluvoksamin.
Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan
kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas. Hal ini mengakibatkan aktivitas
substrat meningkat dan menimbulkan efek samping obat. Contoh-contoh interaksi
yang melibatkan inhibitor CYP dengan substratnya (Bauman, 2001):
1) Terfenadin, astemizol, dam cisapride yaitu substrat CYP3A dapat berinteraksi
dengan etitromisin, atau klaritromisin yaitu inhibitor poten CYP3A. Interaksi
yang akan terjadi ialah peningkatan kadar substrat yang menyebabkan
toksisitas berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia
ventrikel (torsades de pointes) yang fatal atau disebut juga cardiac infarct.
2) Triazolam, midazolam (substrat) dapat berinteraksi dengan eritromisin
(inhibitor)
yang
akan
meningkatkan
kadar
substrat,
meningkatkan
bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, mengakibatkan efek sedasi obat-obat
sedative meningkat.
Digital Repository Universitas Jember
18
b. Pemacuan (induksi) enzim
Induktor atau zat penginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan meningkatkan
aktivitas enzim tersebut dengan cara meningkatkan laju kecepatan metabolisme
obat (substrat), sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan menurun. Selain
itu, induksi CYP juga dapat menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit
yang bersifat reaktif sehingga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Contoh
interaksi antibiotik yang melibatkan induktor CYP dengan substratnya:
1)
Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya rifampisin sebagai
inductor enzim, dapat menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga
efikasi kontraseptik oral menurun.
2)
Teofilin yaitu substrat CYP1A2 pada perokok hidrokarbon polisiklik
aromatik pada asap sigaret adalah induktor CYP1A2. Teofilin jika diberikan
bersama karbamazepin (induktor), akan meningkatkan metabolisme teofilin
sehingga diperlukan dosis teofilin lebih tinggi. Tetapi jika pemberian
karbamazepin dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah, dapat terjadi
intoksikasi teofilin yang berat.
3. Interaksi pada proses ekskresi obat
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu,
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan perubahan pH urin. Gangguan
dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit
obat untuk sistem transport yang sama, contohnya probenesid menurunkan
ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter
protein yang sama, yaitu P-glikoprotein (Levy, 2000). Obat-obat yang
menghambat Pglikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas substrat
P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan
ekskresi substrat ginjal.
Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang mensupresi
flora usus untuk mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat
Digital Repository Universitas Jember
19
(misalnya kontrasepsi oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis
dan reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.
Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens
ginjal melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini
akan bermakna klinik jika:
a. fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%)
b. obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa
3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah
(amfetamin,
efedrin,
fenfluramin,
kuinidin)
dengan
obat
yang
mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat
pertama meningkat sehingga efeknya menurun.
2.3.1.2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi
efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma
ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,
karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu,
umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat
dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat. Mekanisme yang
terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau
reseptor (Dipiro et al., 1997;Kastrup, 2000).
Interaksi farmakodinamik meliputi:
a. Aditif yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1. Ketika
dikombinasi keduannya maka akan memberikan efek =2.
b. Potensiasi yaitu obat A memiliki efek =0 dan obat B memiliki efek = 1.
Namun, jika obat A dan obat B dikombinasi, maka obat A akan memiliki
efek. Sehingga efek keduanya menjadi =2.
Digital Repository Universitas Jember
20
c. Sinergisme yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1. Jika
dikombinasi maka efek keduanya akan meningkat menjadi =3.
d. Antagonisme yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1.
Jika dikombinasi maka kedua obat memiliki interaksi yang berlawanan satu
sama lain sehingga menurunkan efek satu sama lain dalam tubuh menjadi
=0.
2.3.2. Tingkat Keparahan Interaksi
Menurut penelitian Manik (2014), tingkat keparahan interaksi digolongkan
menjadi tiga, yaitu:
a. Kategori mayor atau tinggi memiliki efek klinis yang sangat signifikan.
Kombinasi obat yang berinteraksi mayor dianggap kontraindikasi dan harus
dihindari karena memiliki risiko interaksi obat-obat yang lebih tinggi
dibandingkan keuntungan kombinasi obat-obat tersebut.
b. Interaksi obat-obat dalam kategori moderat atau sedang juga cukup
signifikan sehingga kombinasi obat ini tidak dianjurkan, kecuali untuk
kasus-kasus khusus.
c. Kategori minor memiliki efek klinis minor dan risiko rendah. Namun, obat
alternatif harus dibuat sebagai langkah untuk mencegah ketergantungan dan
risiko interaksi. Jika obat-obat yang berinteraksi dengan kategori minor ini
harus diresepkan, maka pasien harus dimonitor secara seksama.
Digital Repository Universitas Jember
21
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian non-eksperimental dengan rancangan
deskriptif, analitis, dan retrospektif. Data diperoleh dari rekam medik pasien
penderita ISK periode Januari 2014-Desember 2014 yang dilakukan pada bulan
Agustus 2015 lalu dianalisis potensi interaksi obatnya.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan di bagian rekam medik RSD dr. Soebandi
Jember selama 1 bulan (Agustus 2015).
3.3. Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini sebagai berikut:
a.
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang diakibatkan oleh
berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang
seharusnya dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri,
virus atau mikroorganisme lain. Berdasarkan International Classification
of Disease (ICD) X ISK dapat diklasifikasikan ke dalam golongan P. 39. 0
termasuk infeksi primer ataupun sekunder.
b.
Kartu rekam medik merupakan dokumen milik rumah sakit tetapi data
isinya milik pasien. Rekam medik bersifat informatif dan memuat antara
lain karakteristik demografi pasien, tanggal kunjungan dan perawatan,
riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, catatan anamnesis, gejala
klinik yang diobservasi, hasil pemeriksaan penunjang medik dan
pemeriksaan fisik, nama/paraf dokter dan petugas perekan data.
Digital Repository Universitas Jember
c.
22
Diagnosa adalah kesimpulan penyakit yang dialami pasien didukung dari
gejala dan pemeriksaan lainnya.
d.
Polifarmasi adalah kombinasi obat yang dapat berupa kombinasi tetap dan
kombinasi tidak tetap yang dapat berpotensi terjadi interaksi.
e.
Interaksi obat adalah aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat
lain yang diberikan bersamaan di dalam tubuh.
f.
Mekanisme interaksi obat adalah cara suatu obat mempengaruhi obat lain
di dalam tubuh.
g.
Interaksi obat yang dinilai dalam penelitian ini adalah potensi interaksi
obat yang potensial dan relevan.
h.
Interaksi obat yang potensial dan relevan adalah interaksi obat yang
ditemukan
dan
telah
dilakukan
analisis
melalui
skrining
I
(www.drugs.com) dan skrining II (Gambar 3.2).
i.
Tingkat keparahan interaksi adalah tingkatan yang menunjukan besar
interaksi yang terjadi.
j.
Pedoman terapi ISK yang digunakan sebagai acuan interaksi obat
menggunakan situs www.drugs.com yang dibuat oleh Wolters Kluwer
Health, American
Society
of
Health-System
Pharmacists, Cerner
Multum and Micromedex from Truven Health.
3.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Sampling
3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap dengan
diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014- Desember 2014
sebanyak 60 orang.
3.4.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosa
ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014 - Desember 2014 yang
memenuhi kriteria inklusi.
Digital Repository Universitas Jember
23
3.4.3. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
sampling melalui observasi.
3.5 Bahan Penelitian dan Kriteria Pengambilan Sampel
3.5.1. Bahan Penelitian
Bahan penelitian ini adalah Data Rekam Medik pasien rawat inap dengan
diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014- Desember 2014.
3.5.2 Kriteria Pengambilan Sampel
3.5.2.1. Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu
target terjangkau yang akan diteliti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian ini adalah:
a.
Pasien ISK dengan atau tanpa penyakit penyerta.
b.
Data Rekam Medik yang digunakan adalah data pasien rawat inap dengan
diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014Desember 2014.
c.
Pasien ISK yang berusia di atas 12 tahun.
3.5.2.2. Ekslusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab. Kriteria eksklusi
dalam penelitian ini adalah:
a.
Pasien ISK yang hanya mendapat satu jenis obat.
b.
Data Rekam Medik yang tidak lengkap dan tidak terbaca.
Digital Repository Universitas Jember
24
3.6 Rancangan Penelitian
3.6.1. Teknik dan Instrumen Perolehan Data
Instrumen penelitian adalah rekam medik yaitu berkas yang menyatakan
siapa, apa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimana pelayanan yang diperoleh
seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan. Cara perolehan data
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a.
Melalui sumber informasi Data Rekam Medik di RSD dr. Soebandi
Jember diketahui jumlah dan nomor Data Rekam Medik dengan diagnosis
ISK mulai Januari 2014- Desember 2014.
b.
Pengelompokan lembar Data Rekam Medik pasien diagnosis ISK mulai
Januari 2014-Desember 2014.
c.
Pencatatan data ke dalam Lembar Pengumpul Data (LPD) yang meliputi:
a. Nomor Data Rekam Medik dan tanggal masuk-keluar rumah sakit.
b. Identitas pasien
c. Diagnosis
d. Penggunaan obat/ terapi
e. Keterangan (sembuh/ membaik/ pulang/ meninggal)
3.6.2 Penyajian, Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.6.2.1. Penyajian data
Data yang diperoleh dikelompokkan per pasien dalam satu tabel yang
terdiri atas nomor Data Rekam Medik, identitas pasien (inisial, jenis kelamin,
usia, berat badan, tinggi badan), diagnosis, nama generik antibiotik, dosis, rute
penggunaan dan lama pemberian. Tabel disajikan seperti di bawah, yaitu :
Tabel 3.1 Penyajian data
No. No.
Rm
Identitas
pasien
Diagnosis
Ab dan obat Gol Dosis Rute Lama
lain
yang ab
pemakaian
dipakai
Digital Repository Universitas Jember
25
3.6.2.2.Analisis data
Analisis data dilakukan melalui 3 tahap:
1.
Mencatat obat yang digunakan pada pengobatan infeksi saluran kemih
pada pasien yang menjalani rawat inap di RSD dr. Soebandi Jember.
Melihat potensi interaksi obat pada literatur situs www.drugs.com
(Gambar 3.1). Setiap interaksi obat yang potensial, dianalisis relevansinya
pada masing-masing pasien berdasarkan kriteria rute penggunaan, dosis
yang mencapai efek terapi, waktu penggunaan, dan t½ kedua obat (Gambar
3.2).
Semua obat yang diterima selama rawat
inap
Drug Interaction Checker
(www.drugs.com)
Ada interaksi obat—obat ?
Ya
Semua interaksi dicatat pada tabel
interaksi obat yang potensial
berdasarkan ID masing-masing pasien
Tidak
Tidak dicatat pada tabel interaksi obat
yang potensial
Dilakukan uji relevansi interaksi
obat—obat
Gambar 3.1 Diagram pengecakan interaksi obat-obat yang potensial pada pasien ISK
Digital Repository Universitas Jember
Salah satu tidak
Apakah obat yang
tidak untuk rute
sistemik mampu
memberikan efek
sistemik?
Tidak
Apakah kedua obat
ditujukan untuk rute
sistemik?
Tidak
Kedua obat
bukan untuk rute
sistemik.
Ya
Apakah dosis yang
diberikan masuk rentang
dosis terapi atau
Yadosis
berlebih?
Ya
Potensi interaksi
obat A dan B tidak
ditemukan.
Ya
a kedua
Apakah durasi
obat saling beririsan?
Tidak
Potensi interaksi
obat A dan B tidak
ditemukan.
Tidak
Ya
Apakah kedua obat diberikan Tidak
pada hari yang sama?
Ya
Ya
Apakah kedua obat diberikan
pada waktu yang sama?
Tidak
Apakah data t1⁄2 kedua obat yang diberikan
mungkin terjadi potensi interaksi?
Ya
Interaksi obat A dan B
potensial terjadi.
Tidak
Potensi interaksi obat A dan
B tidak ditemukan.
Gambar 3.2 Diagram pengecekan relevansi interaksi obat—obat yang potensial pada
pasien ISK
26
Download