Digital Repository Universitas Jember EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh Imelda Rosa Indira 112210101056 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2015 Digital Repository Universitas Jember EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014 SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Strata Satu Fakultas Farmasi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi Oleh Imelda Rosa Indira NIM 112210101056 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2015 ii Digital Repository Universitas Jember PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Bapak Fransiskus Xaverius Suradi dan Ibu Jovita Roch Aju Wiludjeng tercinta yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan doa yang tak hentihentinya siang dan malam serta pengorbanan dan dukungannya selama ini. 2. Bapak Ibu Guruku di TK Budi Mulia Tolitoli, SDN 3 Parigi, SDK Fransiskus Xaverius Palu, SDK Andaluri Waingapu, SMPK Andaluri Waingapu, SMPK Tegaljaya Denpasar, dan SMAK Santo Yoseph Denpasar yang telah membantu memahami hakikat ilmu yang sesungguhnya. 3. Almamater Fakultas Farmasi Universitas Jember. 4. Kakakku Melita Isti Septiasari dan adikku Maria Okta Safira yang telah memberi motivasi dan dukungannya. iii Digital Repository Universitas Jember MOTTO Hidup adalah pilihan. Setiap manusia punya kesempatan untuk memilih jalannya sendiri. Kamu adalah garam dan terang dunia. (Mat. 5:13-16) Tiada hasil yang menghianati usaha. Selama usaha itu baik dan Tuhan bekerja di dalamnya maka akan menuai hasil yang baik. iv Digital Repository Universitas Jember PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Imelda Rosa Indira NIM : 112210101056 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul: Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014 adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi manapun serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar. Jember, 1 Desember 2015 Yang menyatakan, Imelda Rosa Indira NIM 112210101056 v Digital Repository Universitas Jember SKRIPSI EVALUASI POTENSI INTERAKSI OBAT—OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER TAHUN 2014 Oleh Imelda Rosa Indira NIM.112210101056 Pembimbing Dosen Pembimbing Utama : Antonius Nugraha W. P., S.Farm.,Apt.,M. P. H. Dosen Pembimbing Anggota : Ema Rachmawati, S.Farm., M.Sc.,Apt. vi Digital Repository Universitas Jember PENGESAHAN Skripsi yang berjudul Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014 telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Farmasi Universitas Jember pada: Hari : Selasa Tanggal : 1 Desember 2015 Tempat : Fakultas Farmasi Universitas Jember Tim Pembimbing Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota, Antonius N. W. P., S. Farm., Apt.,M.P.H. Ema Rachmawati, S.Farm., M.Sc., Apt. NIP.198309032008121001 NIP.196409271992031006 Tim Penguji Dosen Penguji I, Dosen Penguji II, Afifah Machlaurin, S.Farm.,Apt.,M.Sc. Indah Purnama Sary, S.Si.,Apt.,M.Farm. NIP.198501262008012003 NIP.198304282008122004 Mengesahkan Dekan, Lestyo Wulandari, S.Si., Apt., M.Farm NIP.197604142002122001 vii Digital Repository Universitas Jember RINGKASAN Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014; Imelda Rosa Indira, 112210101056; Skripsi; Desember; 2015; 115 halaman; Fakultas Farmasi Universitas Jember. Secara global infeksi saluran kemih masih menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak dijumpai di berbagai unit pelayanan kesehatan dasar hingga subspesialistik. Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat. Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK merupakan penyakit infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan yaitu sebanyak 8,1 juta kasus per tahun. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembangbiak di dalam media urin. Selain menggunakan antibiotik, tata laksana terapi ISK juga memungkinkan penggunaan obat dari golongan lain untuk meringankan gejala lain, yaitu mual, muntah, demam, disuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis. Penggunaan lebih dari satu jenis obat dalam suatu proses terapi dapat disebut dengan polifarmasi. Salah satu akibat dari polifarmasi yaitu semakin besarnya risiko interaksi obat. Potensi interaksi obat—obat dibagi menjadi 3 kategori yaitu mayor, moderat, dan minor. Potensi interaksi mayor sangat berbahaya karena menyebabkan kematian dan kerusakan permanen sehinggan perlu dihindari. Interaksi obat—obat merupakan perubahan efek obat utama oleh pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK, profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme, dan tingkat keparahan potensi viii Digital Repository Universitas Jember kejadian interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember pada bulan Agustus 2015. Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam medik selama Januari-Desember 2014. Sampel adalah pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling berjumlah 59. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: hampir separuh (42,4%) dari 59 pasien mengalami interaksi obat—obat yang relevan. Bila dilihat dari total 59 kejadian interaksi obat—obat yang relevan, sebanyak 3 (5,1%) kasus interaksi kategori mayor dan 42 (71,2%) kasus interaksi kategori moderat yang dapat dihindari dengan pengaturan jam atau pemberian obat lain yang tidak menimbulkan interaksi. Sebanyak 23 (39,0%) kejadian interaksi farmakodinamik dan 35 (61,0%) kejadian interaksi farmakokinetik. Separuh interaksi farmakokinetik (32,2%) terjadi pada proses absorpsi. Penelitian ini menunjukkan 59 potensi kejadian interaksi yang terjadi pada 25 (42,4%) pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan jam, pemberian obat lain yang tidak berinteraksi, atau pemberian obat melalui jalur lain untuk menghindari adanya interaksi obat—obat. Perlu adanya monitor dari dokter dan apoteker untuk mencegah terjadinya interaksi obat—obat yang berbahaya dan pemantauan efek dari interaksi obat—obat. Perlu dilakukan penelitian mengenai interaksi obat—obat secara prospektif agar dapat memberikan hasil penelitian yang lebih baik. ix Digital Repository Universitas Jember PRAKATA Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien Rawat Inap Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2014”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) Fakultas Farmasi Universitas Jember. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Lestyo Wulandari, S.Si., Apt., M.Farm selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Jember. 2. Bapak Antonius Nugraha W.P., S.Farm.,Apt.,M.P. H. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Ibu Ema Rachmawati, S.Farm., M. Sc.,Apt. selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran serta perhatiannya guna memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. 3. Ibu Afifah Machlaurin, S.Farm.,Apt.,M.Sc. dan Ibu Indah Purnama Sary, S.Si.,Apt.,M.Farm. selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang diberikan. 4. Orang tuaku Fransiskus Xaverius Suradi dan Ibu Jovita Roch Aju Wiludjeng atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tiada henti. 5. Kak Widi, Kak Isti, Fira, Yulanta, Putri, Binar, Cahya, Ima, Rere, Ocha, dan Aslyni yang menjadi tempat curhat dan tukar pikiran serta tak henti-hentinya memberikan dukungan dan selalu ada di saat suka maupun duka. 6. Teman-temanku seperjuangan Sendika, Husnul, dan Moly. 7. Kak Indra, mbak Fury, mbak Dila, mbak Ben, Galih, dan teman-teman UKM Katolik UNEJ yang memotivasi, memberikan contoh, mendengarkan keluh kesah, dan mengukir senyuman. x Digital Repository Universitas Jember 8. Seluruh civitas akademika atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan. 9. Seluruh teman-teman Farmasi angkatan 2011 dan pihak lain yang turut membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Jember, 1 Desember 2015 Penulis xi Digital Repository Universitas Jember DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL..................................................................................... I HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... ii HALAMAN MOTTO................................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... v HALAMAN PEMBIMBINGAN................................................................. vi HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... vii RINGKASAN................................................................................................ viii PRAKATA.................................................................................................... x DAFTAR ISI …………………………………………………………….... xii DAFTAR TABEL ……………………………………………………….... xvi DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… xix BAB 1. PENDAHULUAN ………………………………………………... 1 1.1 Latar Belakang……………………………………………..... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………….... 3 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………. 4 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………... 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 5 2.1 Infeksi Saluran Kemih……………………………………….. 5 xii Digital Repository Universitas Jember 2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih …………….................... 5 2.1.2 Epidemiologi…………………………………………….. 5 2.1.3 Patofisiologi……………………………………………… 6 2.1.4 Etiologi…………………………………………………... 7 2.2 Terapi Farmakologi ISK........................................................... 8 2.3 Interaksi Obat—Obat………………………………………… 15 2.3.1 Klasifikasi Interaksi……………………………………… 15 2.3.1.1 Interaksi Farmakokinetik………………………… 15 2.3.1.2 Interaksi Farmakodinamik………………………. 19 2.3.2 Tingkat Keparahan Interaksi……………………………... 20 BAB 3 METODE PENELITIAN…………………………………………. 21 3.1 Jenis Penelitian………………………………………………... 21 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian……………………………….. 21 3.3 Definisi Operasional…………………………………………... 21 3.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Sampling…… 22 3.4.1 Populasi………………………………………………….. 22 3.4.2 Sampel…………………………………………………… 22 3.4.3 Besar Sampel…………………………………………….. 22 3.4.4 Teknik Sampling…………………………………………. 23 3.5 Bahan Penelitian dan Kriteria Pengambilan Sampel………. 23 3.5.1 Bahan Penelitian…………………………………………. 23 3.5.2 Kriteria Pengambilan Sampel……………………………. 23 3.5.2.1 Inklusi……………………………………………. 23 3.5.2.2 Eksklusi………………………………………….. 23 xiii Digital Repository Universitas Jember 3.6 Rancangan Penelitian………………………………………… 24 3.6.1 Teknik dan Instrumen Perolehan Data…………………… 24 3.6.2 Penyajian, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data………. 24 3.6.2.1 Penyajian Data…………………………………… 24 3.6.2.2 Analisis Data…………………………………….. 25 3.7 Pertimbangan Etika Penelitian………………………………. 27 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………... 28 4.1 Hasil Penelitian………………………………………………………. 28 4.1.1 Karakteristik Pasien ISK dan Pengobatannya…………… 28 4.1.2 Jumlah Potensi Interaksi pada Pasien ISK dan Mekanismenya…………………………………………… 30 4.1.3 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK Berdasarkan Jenis Kelamin............................................... 34 4.1.4 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK Berdasarkan Usia…...……………………………………. 35 4.1.5 Jumlah Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK Berdasarkan Jumlah Obat………………………………... 4.2 Pembahasan.............................................................................. 35 36 4.2.1 Karakteristik Pasien ISK dan Pengobatannya……………. 36 4.2.2 Potensi Interaksi Obat—Obat pada Pasien ISK………….. 38 4.2.3 Potensi Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik.... 40 4.2.3Kategori Interaksi Mayor, Moderat, dan Minor pada Pasien ISK……………………………………………….. 42 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 45 5.1 Kesimpulan…………………………………………………….. 45 xiv Digital Repository Universitas Jember 5.2 Saran……………………………………………………………. 45 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 46 LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………... 51 xv Digital Repository Universitas Jember DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Terapi ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita premenopous ……………………………………………........... 9 Tabel. 2.2 Terapi parenteral kasus berat ………………………..………… 9 Tabel 2.3 Rekomendasi awal terapi empiris antimikroba tanpa komplikasi akut pielonefritis wanita premenopous ..........................………. Tabel 2.4 Aturan profilaksis antimikroba pada wanita dengan ISK berulang ………………………………………………………... Tabel 2.5 10 Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita dengan ISK berulang ……....…………………………………... Tabel 2.6 10 11 Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis pada wanita hamil ……………….…………………………….. 11 Tabel 2.7 Aturan pengobatan pielonefritis dalam kehamilan ……………. 12 Tabel 2.8 ISK komplikasi karena gangguan urologi seperti kencing batu, penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang menggunakan pilihan terapi antimikroba untuk terapi empiris ………………. Tabel 2.9 12 Dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai 12 tahun ………………………………………………………... 13 Tabel 2.10 Klirens antibiotik pada hemodialisis …………………………... 14 Tabel 2.11 Pengobatan non gonoreal uretritis……………………………... 14 Tabel 3.1 Penyajian data ……………………...…………………………... 24 Tabel 4.1 Karakteristik pasien dan pengobatan…………………………… 28 xvi Digital Repository Universitas Jember Tabel 4.2 Jumlah pasien dengan potensi interaksi obat ……………..…….. 31 Tabel 4.3 Potensi interaksi obat—obat dan tingkat keparahan pada pasien ISK ………………………………………………………………. 31 Tabel 4.4 Obat-obat yang berpotensi terjadi interaksi dan relevan………... 32 Tabel 4.5 Interaksi farmakokinetik dan tempat interaksinya ………...……. 33 Tabel 4.6 Interaksi farmakodinamik dan mekanismenya…..…...…………. 34 xvii Digital Repository Universitas Jember DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Grafik risiko Infeksi Saluran Kemih……………………….. 6 Gambar 3.1 Diagram pengecekan interaksi obat—obat yang potensial pada pasien ISK……………………………………………... 25 Gambar 3.2 Diagram pengecekan relevansi interaksi obat—obat yang potensial pada pasien ISK…………………………………….. 26 Gambar 4.1 Grafik jumlah obat yang digunakan pasien ISK rawat inap….. 29 Gambar 4.2 Kerangka hasil potensi interaksi pada pasien ISK rawat inap... 30 Gambar 4.3 Jumlah interaksi famakodinamik dan farmakokinetik………... 33 Gambar 4.4 Diagram jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin…………… 34 Gambar 4.5 Grafik distribusi umur pasien ISK rawat inap di RSD dr. Soebandi ………………………………………...…………… 35 Gambar 4.6 Grafik potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat yang diterima pasien ISK………...………………………………… xviii 35 Digital Repository Universitas Jember DAFTAR LAMPIRAN Halaman A Hasil Pengumpulan Data…………………………………………………………...…… 51 B Tabel Lama Rawat Inap dan Obat yang Digunakan…………………………………….. 97 C Obat yang Digunakan………...…………………………………………………………. 107 D Interaksi Obat—Obat yang Potensial dan Relevan……………………...……………… 109 E Jumlah Obat yang Digunakan dan Potensi Interaksinya…………………..……………. 114 xix Digital Repository Universitas Jember 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara global infeksi saluran kemih masih menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak dijumpai di berbagai unit pelayanan kesehatan dasar hingga subspesialistik (Kusnan, 2014). Di negara-negara berkembang penyakit infeksi masih menempati urutan pertama dari penyebab sakit di masyarakat (Nelwan, 2002). Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK merupakan penyakit infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan yaitu sebanyak 8,1 juta kasus per tahun. Jumlah pasien ISK perempuan yang berkunjung ke tempat praktek dokter dua kali lipat lebih banyak dibandingkan pasien laki-laki yaitu 1,2% versus 0,6% (Foxman, 2003). Sekitar 1 dari 3 perempuan menderita penyakit infeksi saluran kemih pada usia 24 tahun. Infeksi pada pria lebih sedikit terjadi sampai usia 65 tahun, di mana titik tingkat insiden pada laki-laki dan perempuan adalah sama (Coyle & Prince, 2008). Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembangbiak di dalam media urin (Purnomo, 2003). ISK perlu mendapat perhatian karena berbagai alasan. Pertama, ISK sering kali menjadi tanda adanya kelainan yang serius pada ginjal dan saluran kemih seperti refluks vesiko-ureter (RVU) atau uropati obstruktif (Pardede, dkk, 2011). Komplikasi ISK yang paling berat adalah urosepsis yang menyumbang angka kematian yang tinggi yaitu 25% sampai 60% di Amerika Serikat dan Eropa dan bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut yang dapat mengancam nyawa penderita penyakit ini (Kusnan, 2014). ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi atau bagian tubuh yang terinfeksi, yakni sistitis (radang kandung kemih), uretritis (radang uretra), prostatitis (radang kelenjar prostat), dan epididimitis (Ariwijaya & Suwitra, 2007). Digital Repository Universitas Jember 2 Selain berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi, ISK juga diklasifikasikan menjadi dua yaitu, uncomplicated (tanpa komplikasi, non komplikata) dan complicated (dengan komplikasi, komplikata). Infeksi tanpa komplikasi terjadi pada individu yang tidak memiliki kelainan struktural atau fungsional saluran kemih yang mengganggu aliran normal urin atau mekanisme berkemih. Infeksi jenis ini banyak terjadi pada wanita usia subur (15 sampai 45 tahun). Sedangkan pada laki- laki yang paling banyak terjadi adalah infeksi dengan komplikasi kelainan struktural atau neurologis (Coyle & Prince, 2008). Seseorang dapat dicurigai sebagai penderita ISK apabila ditemukan bakteri di dalam urin karena pada saluran kemih normal tidak dihuni oleh bakteri aerob atau mikroba lain. Walaupun demikian uretra bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya semakin berkurang pada bagian yang mendekati kandung kemih (Kumala, dkk, 2009). Mikroorganisme yang paling sering ditemukan sebagai penyebab ISK adalah jenis aerob yaitu Escherecia coli, Klebsiella aerogenes, Acinetobacter calcoaceticus, dan jamur Candida albicans (Febrianto et al., 2013;Samirah et al., 2006). E. coli menduduki persentase biakan paling tinggi yaitu sekitar 50–90% (Kumala, dkk, 2009). Paparan antibiotik saat ini merupakan faktor risiko yang paling signifikan yang terkait dengan resistensi E. coli dan semakin meluas hingga mencapai proporsi yang mengkhawatirkan (Coyle & Prince, 2008;Nikolaou, 2005). Pada keadaan tertentu, apabila efek obat terhadap mikroba kurang baik atau tidak terjadi sama sekali, maka dikatakan bahwa antibiotik tersebut telah resisten terhadap mikroba tertentu (Tan & Raharja, 2002). Selain menggunakan antibiotik, tata laksana terapi ISK juga memungkinkan penggunaan obat dari golongan lain untuk meringankan gejala lain yang dapat dirasakan pasien ISK, yaitu mual, muntah, demam, disuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis (Israr, 2009). Penggunaan lebih dari satu jenis obat dalam suatu proses terapi dapat disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi adalah kombinasi obat yang dapat berupa kombinasi tetap dan kombinasi tidak tetap. Akibat dari polifarmasi yaitu semakin besarnya risiko interaksi obat, efek samping, dan Digital Repository Universitas Jember 3 penyakit karena obat (Tan dan Raharja, 2002). Evaluasi interaksi obat—obat bisa dianalisis dengan menggunakan drug interaction checker (www.drugs.com). Potensi interaksi obat—obat menurut Drugs.com (2015) dibagi menjadi 3 kategori yaitu mayor, moderat, dan minor. Menurut penelitian Sari et al. (2012) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo ditemukan 4 potensi interaksi obat—obat pada 10 pasien rawat inap infeksi saluran kemih. Potensi interaksi obat—obat pada kategori mayor di Jepara pada tahun 2011 terjadi sebanyak 13 (1,05%) dari total 71 pasien (Indriyanti et al., 2012). Potensi interaksi mayor menimbulkan efek klinis yang signifikan dan risiko interaksi melebihi manfaat kombinasi. Oleh karena itu potensi interaksi mayor ini perlu dihindari karena efeknya yang lebih berbahaya (Drugs.com, 2015). Interaksi obat—obat merupakan perubahan efek obat utama oleh pemberian obat lain sebelumnya atau secara bersamaan. Penggunaan antibiotik seringkali disertai dengan obat lain untuk mengatasi gejala lain atau komplikasi dari penyakit ini sehingga dapat menimbulkan interaksi antarobat. Selain itu, interaksi obat juga memiliki dampak yang berbeda-beda bila ditinjau dari tingkat keparahan interaksi sehingga perlu dimonitor. Oleh karena itu, penelitian atau evaluasi potensi interaksi obat-obat pada terapi ISK perlu dilakukan. 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014? 2. Bagaimana profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada pasien ISK rawat inap di RSD dr. Soebandi Jember tahun 2014? 3. Seberapa besarkah tingkat keparahan potensi kejadian interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014 berdasarkan drug interaction checker (Drugs, 2015)? Digital Repository Universitas Jember 4 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui potensi terjadinya interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014. 2. Untuk mengetahui profil interaksi obat—obat berdasarkan mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada pasien ISK rawat inap di RSD dr. Soebandi Jember tahun 2014. 3. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat keparahan potensi kejadian interaksi obat—obat pada terapi ISK pasien rawat inap di RSD dr. Soebandi tahun 2014 berdasarkan drug interaction checker (Drugs, 2015). 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi kepada praktisi kesehatan dan masyarakat mengenai interaksi obat-obat yang digunakan pada pasien ISK di RSD dr. Soebandi. 2. Menyediakan sarana evaluasi mengenai interaksi obat-obat yang digunakan pada pasien ISK di RSD dr. Soebandi. Digital Repository Universitas Jember 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Kemih 2.1.1. Definisi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus, dan mikroorganisme lain (Rahardjo dan Sualit, 1999). Infeksi ini dapat mengenai laki-laki maupun perempuan dari semua umur pada anak, remaja, dewasa ataupun umur lanjut. Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri, virus, ataupun mikroorganisme lain di dalam urin. Penyakit infeksi ini merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum, walaupun bermacam-macam antibiotika yang sudah tersedia luas di pasaran (Israr, 2009). 2.1.2. Epidemiologi Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35% dari semua pria dewasa pernah mengalami ISK selama hidupnya (Israr, 2009). Namun, gejala ISK lebih umum dijumpai di kalangan wanita aktif secara seksual dan jauh lebih umum pada wanita dibandingkan pria. Diperkirakan 1 dari 3 wanita akan memiliki setidaknya 1 kali diagnosa ISK oleh dokter dan memerlukan pengobatan antimikroba pada usia 24 tahun, dan 40%-50% wanita mengalami minimal 1 kali ISK selama masa hidup mereka (Gambar 2.1). Di bawah ini adalah grafik kejadian ISK pada wanita berdasarkan umur (Foxman, 2003). Digital Repository Universitas Jember 6 200 Jumlah kumulatif ISK 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Usia (tahun) Gambar 2.1. Grafik risiko Infeksi Saluran Kemih Dari grafik dapat dilihat bahwa risiko ISK dapat meningkat seiring dengan bertambahnya usia dengan pola sigmoidal. Pada usia anak dan remaja, tingkat resiko ISK masih 5%-12%. Risiko ISK meningkat tajam pada usia dewasa yaitu 20%-50%. Lalu stabil pada usia manula (Foxman, 2003). 2.1.3. Patofisiologi Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena jumlah dan frekuensi kencing dipertahankan. Utero distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogen Gram-positif dan Gram-negatif (Sukandar, 2004). Ada beberapa jalur masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih yaitu melalui ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari pemakaian intrumen. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Infeksi secara ascending dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina, lalu masuk ke dalam buli-buli, multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih, lalu naik ke ginjal. Proses ini, dipermudah refluks Digital Repository Universitas Jember 7 vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme lainnya yaitu hematogen yang sangat jarang ditemukan di klinik, mengungkit akibat lanjut dari bakteriema. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain, misalnya infeksi Staphylococcus aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. Bakteri lain yang menyebar melalui hematogen, yaitu M. Tuberculosis, Salmonella, pseudomonas, Candida, dan Proteus sp. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat S. aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (S. aureus) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen (Israr, 2009;Sukandar, 2004). 2.1.4. Etiologi Bakteri yang menyebabkan ISK biasanya berasal dari usus inang. Meskipun hampir semua organisme berhubungan dengan ISK, organisme tertentu mendominasi sebagai akibat dari faktor virulensi tertentu. Penyebab paling umum dari ISK dengan komplikasi adalah Escherichia coli. Selain itu, organisme yang juga menyebabkan infeksi tanpa komplikasi yaitu Staphylococcus saprophyticus (5% sampai 15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus spp., Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5% sampai 10%). Karena Staphylococcus epidermidis sering terdapat di saluran kemih, juga harus dipertimbangkan sebagai kontaminan awal. Untuk memastikan pathogen yang diduga sebagai penyebab ISK harus dilakukan isolasi ulang dari urin (Coyle dan Prince, 2008). Ada beberapa faktor yang menyebabkan resiko ISK ini meningkat, yaitu : 1. Faktor genetik yaitu status nonsekretor dan antigen golongan darah ABO (B dan AB beresiko tinggi). Digital Repository Universitas Jember 8 2. Faktor biologi yaitu abnormalitas yang dibawa sejak lahir seperti kelainan congenital, adanya gangguan saluran kemih, jenis kelamin, dan riwayat ISK sebelumnya. 3. Faktor perilaku yaitu hubungan seksual wanita premenopous, penggunaan diafragma, penggunaan kondom, penggunaan spermisida, dan penggunaan antibiotik sebelumnya. 4. Faktor lain-lain yaitu kelainan esterogen dan operasi urogenital. (Kulkarni dan Venkatesh, 2003;Sukandar, 2004) Banyak perempuan yang tidak menjalani evaluasi radiografi setelah menderita ISK awal dalam waktu 1 tahun mengalami kekambuhan, dan perempuan yang mengalami ISK berulang dapat meningkatkan risiko jaringan parut ginjal, kemudian meningkatkan risiko penyakit ginjal yang progresif di masa dewasa (Foxman, 2003). 2.2. Terapi Farmakologi ISK Pengobatan ISK secara klinis umumnya menggunakan antibiotik dan dibedakan berdasarkan klasifikasi ISK. Klasifikasi ISK berdasarkan gejalanya dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. ISK ringan tanpa komplikasi (sistitis) 2. Pielonefritis tanpa komplikasi, yaitu infeksi yang melibatkan ginjal dan merupakan infeksi saluran atas 3. Komplikasi ISK dengan atau tanpa pielonefritis 4. Urosepsis 5. Uretritis 6. Prostratis, epididimitis, orsitis. (Ariwijaya dan Suwitra, 2007;Naber et al., 2001) Pengobatan pasien ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita premenopous menggunakan pivmesilinam. Sebagai fosfomisin alternatif trometamol, diberikan nitrofurantoin, siprofloksasin, dan levofloksasin, norfloksasin, ofloksasin. Jika diketahui terjadi local resisten E. coli kurang dari 20%, maka diberikan trimetoprim dan sulfametoksazol. Penggunaan yang tepat Digital Repository Universitas Jember 9 diberikan pada dosis dan lama pemberian seperti yang ditunjukan tabel 2.1 (Grabe et al,, 2014). Tabel 2.1 Terapi ISK tanpa komplikasi akut sistitis pada wanita premenopous Antibiotik Fosfomisin trometamol Nitroflurantoin Nitrofurantoin makrokistal Pivmesilinam Pivmesilinam Dosis per hari Durasi terapi 3 gram dosis tunggal 1 hari 50 mg setiap 6 jam 7 hari 100 mg 2 kali sehari 5-7 hari 400 mg 2 kali sehari 3 hari 200 mg 3 kali sehari 5 hari Alternatif Siprofloksasin 250 mg 2 kali sehari 3 hari Levofloksasin 250 mg 4 kali sehari 3 hari Norfloksasin 400 mg 2 kali sehari 3 hari Ofloksasin 200 mg 2 kali sehari 3 hari Jika diketahui ada resisten lokal (resistensi E. coli<20%) Trimetoprim 160/800 mg 2 kali sehari 3 hari sulfametoksazol Trimetoprim 200 mg 2 kali sehari 5 hari Terapi antimikroba ISK akut tanpa komplikasi pielonefritis pada pasien wanita premenopous berbeda dengan terapi tanpa komplikasi akut sistitis. Berikut antibiotik dan dosis yang digunakan pada terapi parenteral kasus berat ditunjukkan pada tabel 2.2. . Tabel. 2.2 Terapi parenteral kasus berat Antibiotik Siprofloksasin Levofloksasin Levofloksasin Dosis per hari 400 mg 2 kali sehari 250-500 mg 4 kali sehari 750 mg 4 kali sehari Alternatif Sefotaksim Seftriakson Seftasidim Sefepim Ko-amoksiklaf Piperasilin/tazobaktam Gentamisin Amikasin Ertapenem Imipenem/silastatin Meropenem Doripenem 2 g 3 kali sehari 1-2 g 4 kali sehari 1-2 g 3 kali sehari 1-2 g 2 kali sehari 1,5 g 3 kali sehari 2,5-4,5g 3 kali sehari 5 mg/kg 4 kali sehari 15 mg/kg 4 kali sehari 1 g 4 kali sehari 0,5/0,5 g 3 kali sehari 1 g 3 kali sehari 0,5 g 3 kali sehari Digital Repository Universitas Jember Pengobatan rekomendasi awal terapi empiris antimikroba 10 tanpa komplikasi akut pielonefritis pada wanita premenopous ditampilkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Rekomendasi awal terapi empiris antimikroba tanpa komplikasi akut pielonefritis wanita premenopous. Antibiotik Siprofloksasin Levofloksasin Levofloksasin Dosis perhari 500-750 mg 2 kali sehari 250-500 mg 4 kali sehari 750 mg 4 kali sehari Alternatif Sefpodoksim proksetil 200 mg 2 kali sehari Seftibuten 400 mg 4 kali sehari Jika diketahui rentan terhadap patogen: Trimetroprim-sulfametoksazol 160/ 800 mg 2 kali sehari Ko-amoksiklav 0,5/ 0.125 g 3 kali sehari Durasi terapi 7-10 hari 7-10 hari 5 hari 10 hari 10 hari 14 hari 14 hari Aturan profilaksis antimikroba pada pasien wanita dengan ISK yang berulang ditampilkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Aturan profilaksis antimikroba pada wanita dengan ISK berulang Aturan TMX-SMX 40/200 mg 1 kali sehari TMP-SMX 40/200 mg 3 kali sehari Trimetroprim 100 mg 1 kali sehari Nitrofurantoin 50 mg 1 kali sehari Nitrofurantoin 100 mg 1 kali sehari Sefaktor 250 mg 1 kali sehari Sefaleksin 125 mg 1 kali sehari Sefaleksin 250 mg 1 kali sehari Norfloksasin 200 mg 1 kali sehari Siprofloksasin 125 mg 1 kali sehari Fosfomisin 3 g setiap 10 hari Diduga ISK pertahunnya 0-0.2 0.1 0-1.5 0-0.6 0-0.7 0.0 0.1 0.2 0.0 0.0 0.14 Digital Repository Universitas Jember 11 Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita dengan ISK berulang ditampilkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Aturan pakai antimikroba postcoital profilaksis pada wanita dengan ISK berulang. Aturan pakai TMP-SMX 40/200 mg TMP-SMX 80/400 mg Nitrofurantoin 50 atau 100 mg Sefaleksin 250 mg Siprofloksasin 125 mg Norfloksasin 200 mg Ofloksasin 100 mg Dugaan ISK per tahun 0,30 0,00 0,10 0,03 0,00 0,00 0,06 Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis pada wanita yang sedang dalam masa kehamilan ditampilkan pada Tabel 2.6. . Tabel 2.6 Aturan pakai pengobatan bakteriuria asimptomatik dan sistitis pada wanita hamil Antibiotik Nitrofurantoin (makrobid) 100 mg Amoksisilin 500 mg Ko-amoksisilin/klafulanat Sefaleksin (kefleks) 500 mg Fosfomisin 3 g Trimetoprim Durasi terapi Setiap 12 jam, 3-5 hari Setiap 8 jam, 3-5 hari 500 mg setiap12 jam, 3-5 hari Setiap 8 jam, 3-5 hari Dosis tunggal Setiap 12 jam, 3-5 hari Keterangan Mencegah kelainan G6PD Meningkatkan resistensi Meningkatkan resistensi Cegah trimetoprim pada trimester pertama Digital Repository Universitas Jember 12 Aturan pengobatan pasien ISK pielonefritis pada wanita dalam kehamilan ditampilkan pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Aturan pengobatan pielonefritis dalam kehamilan Antibiotik Seftriaksone Aztreonam Piperasililin-tazobaktam Sefepim Imipenem-klasstatin Ampisilin Gentamisin Dosis 1-2 g IV atau IM setiap 24 jam 1 g IV setiap 8-12 jam 3.375-4.5 g IV setiap 6 jam 1 g IV setiap 12 jam 500 mg IV setiap 6 jam 2 g IV setiap 6 jam 3-5 mg/kg/ hari IV dibagi menjadi 3 dosis Pengobatan pada pasien ISK dengan komplikasi karena gangguan urologi seperti kencing batu, penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang menggunakan pilihan terapi antimikroba untuk terapi empiris yang ditampilkan pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 ISK komplikasi karena gangguan urologi seperti kencing batu, penggunaan kateter, dan cedera tulang belakang menggunakan pilihan terapi antimikroba untuk terapi empiris Rekomendasi antibiotik untuk terapi empiris awal Florokuinolon Aminopenisilin + β laktam inhibitor Sefalosforin (golongan 2 atau 3a) Aminoglikosida Rekomendasi antibiotik untuk pengobatan empiris dalam kasus kegagalan awal atau kasus berat Florokuinolon (jika tidak digunakan untuk terapi awal) Ureldopenisilin (piperasilin) + β laktam inhibitor Sefalosporin (golongan 3b) Karbapenem Terapi kombinasi: Aminoglikosida + β laktam inhibitor Aminoglikosida + florokuinolon Antibiotik yang tidak direkomendasikan untuk pengobatan empiris Aminopenisilin seperti amoksisilin, ampisilin Trimetoprim-sulfametoksazol (hanya jika diketahui rentan terhadap pathogen) Fosfomisin trometamol Digital Repository Universitas Jember 13 Terapi dengan dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai 12 tahun ditampilkan pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Dosis agen antimikroba pada anak-anak usia 3 bulan sampai 12 tahun Agen antimikroba Ampisilin Ampisilin Amoksisilin Amoksisilin/ klavulanat Amoksisilin/ klavulanat Sefaleksin Pengobatan Profilaksis Sefaktor Pengobatan Profilaksis Sefiksim Seftriakson Aztreonam Gentamisin Rute IV IV IV IV Umur 3-12 bulan 1-12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun Total dosis perhari 100-300 mg/kgBB 60-150 (-300) mg/kgBB 50-100 mg/kgBB 60-100 mg/kgBB Oral 3 bulan sampai 12 tahun 37.5 mg/kgBB Oral Oral 3 bulan sampai 12 tahun 1-12 tahun 50-100 mg/kgBB 10 mg/kgBB Oral Oral Oral IV IV IV 3 bulan sampai 12 tahun 1-12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun 3 bulan sampai 12 tahun 1-12 tahun 50-100 mg/kgBB 10 mg/kgBB 8-12 mg/kgBB 50-100 mg/kgBB 50-100 mg/kgBB 5-7.5 mg/kgBB IV Trimetropim Pengobatan Profilaksis Nitrofurantoin Pengobatan Profilaksis 5 mg/kgBB Oral Oral 1-12 tahun 1-12 tahun 6 mg/kgBB 1-2 mg/kgBB Oral Oral 1-12 tahun 1-12 tahun 3-5 mg/kgBB 1 mg/kgBB Pada pasien ISK dengan gangguan ginjal, kebanyakan antibiotik memiliki indeks terapeutik yang luas. Tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan sampai GFR atau laju filtrasi glomerulus <20 mL / menit, kecuali antibiotik dengan potensi nefrotoksik, misalnya aminoglikosida. Obat yang hilang oleh dialisis harus diberikan setelah pengobatan dialisis. Kombinasi loop diuretik (misalnya furosemid) dan sefalosporin adalah nefrotoksik. Nitrofurantoin dan tetrasiklin merupakan kontraindikasi, tetapi tidak untuk doksisiklin. Digital Repository Universitas Jember 14 Pada pasien ISK dengan hemodialisis, memiliki perbedaan klirens pada antibiotik yang ditujukan untuk terapi ISK. Hemodialisis (HD) adalah suatu bentuk tindakan pertolongan dengan menggunakan alat yaitu dializer yang bertujuan untuk menyaring dan membuang sisa produk metabolisme toksik yang seharusnya dibuang oleh ginjal. Hemodialisis merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal pada orang- orang dengan penyakit ginjal kronik (PGK) (Rahman dkk, 2013). Klirens antibiotik pengobatan ISK pada hemodialisis ditunjukkan tabel 2.10. Tabel 2.10 Klirens antibiotik pada hemodialisis Dialisis Amoksisilin/ampisilin Karbenisilin Sefalosporin Aminoglikosida Trimetoprim Metronidazol Aztreonam Flukonazol Dialisis ringan Florokuinolon Ko-trimoksazol Eritromisin Vankomisin Tanpa dialisis Amfoterisin Metisilin Teikoplanin Pengobatan pasien ISK nongonoreal uretritis dengan dosis dan aturan pakai yang tepat diatur pada tabel 2.11 Tabel 2.11 Pengobatan non gonoreal uretritis Terapi Pertama: Azitromisin 1 gram secara oral dosis tunggal Doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari untuk 7 hari Terapi kedua: Eritromisin basa 500 mg oral 4 kali sehari untuk 14 hari Eritromisin etilsuksinat 800 mg oral 4 kalix sehari untuk 7 hari Ofloksasin 300 mg oral 2 kali sehari untuk 7 hari Levofloksasin 500 mg oral 1 kali sehari untuk 7 hari (Grabe et al., 2014) Digital Repository Universitas Jember 15 2.3. Interaksi Obat—Obat 2.3.1. Klasifikasi Interaksi Interaksi diklasifikasikan berdasarkan proses farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Interaksi farmakokinetik berhubungan dengan perubahan seperti kadar obat dalam plasma, area di bawah kurva (AUC), onset, dan waktu paruh. Interaksi farmakokinetik adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Sedangkan interaksi farmakodinamik berhubungan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya (Gapar, 2003). 2.3.1.1. Interaksi Farmakokinetik Interaksi dalam proses farmakokinetik termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi atau dipercepat (Gapar, 2003). Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat berlaku untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda (Gitawati, 2008). Menurut Gitawati, interaksi farmakokinetik dibagi berdasarkan proses terjadinya interaksi yaitu: 1. Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu secara langsung sebelum absorpsi, terjadi perubahan pH cairan gastrointestinal, penghambatan transport aktif gastrointestinal, adanya perubahan flora usus, dan efek makanan. Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan Digital Repository Universitas Jember 16 antasida yang mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa kelat yang tidak larut sehingga obat antibiotika tidak diabsorpsi. Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa-proton akan menurunkan absorpsi basa-basa lemah dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah. Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorpsi antibiotika golongan selafosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim proksetil. Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya konversi obat menjadi komponen aktif. Efek makanan terhadap absorpsi terlihat misalnya pada penurunan absorpsi penisilin dan rifampisin karena pengaruh adanya makanan (Dipiro et al., 1997). 2. Interaksi yang terjadi pada proses distribusi Suatu interaksi terjadi bila suatu obat menggeser obat lain dari tempat ikatannya dengan protein plasma sehingga kadar obat yang bebas didalam darah meningkat, akibatnya effek obat tersebut bertambah (Gapar, 2003). Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika: a. obat indeks memiliki ikatan protein sebesar >85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg dan memiliki batas keamanan sempit b. obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (finding site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan binding-sitenya. Digital Repository Universitas Jember 17 3. Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat Mekanisme interaksi pada proses metabolisme dapat berupa (Ito et al., 1998): a. Penghambatan (inhibisi) metabolisme Inhibisi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku terhadap obatobat yang dapat mempengaruhi enzim mikrosom hati yaitu sitokrom P450 (CYP). Terdapat beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat, antara lain: 1) Isoenzim CYP3A berperan dalam memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan. Selain di hati, CYP3A ini juga terdapat di usus halus dan ginjal. Isoenzim CYP3A dapat dihambat oleh antibiotik seperti eritromisin dan klaritromisin. 2) CYP1A2 sangat penting untuk memetabolisme obat-obat di hati seperti teofilin, kofein, klozapin dan R-warfarin. Namun, CYP1A2 dapat dihambat oleh antibiotik seperti siprofloksasin dan fluvoksamin. Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas. Hal ini mengakibatkan aktivitas substrat meningkat dan menimbulkan efek samping obat. Contoh-contoh interaksi yang melibatkan inhibitor CYP dengan substratnya (Bauman, 2001): 1) Terfenadin, astemizol, dam cisapride yaitu substrat CYP3A dapat berinteraksi dengan etitromisin, atau klaritromisin yaitu inhibitor poten CYP3A. Interaksi yang akan terjadi ialah peningkatan kadar substrat yang menyebabkan toksisitas berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang fatal atau disebut juga cardiac infarct. 2) Triazolam, midazolam (substrat) dapat berinteraksi dengan eritromisin (inhibitor) yang akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, mengakibatkan efek sedasi obat-obat sedative meningkat. Digital Repository Universitas Jember 18 b. Pemacuan (induksi) enzim Induktor atau zat penginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan meningkatkan aktivitas enzim tersebut dengan cara meningkatkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat), sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan menurun. Selain itu, induksi CYP juga dapat menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehingga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Contoh interaksi antibiotik yang melibatkan induktor CYP dengan substratnya: 1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya rifampisin sebagai inductor enzim, dapat menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga efikasi kontraseptik oral menurun. 2) Teofilin yaitu substrat CYP1A2 pada perokok hidrokarbon polisiklik aromatik pada asap sigaret adalah induktor CYP1A2. Teofilin jika diberikan bersama karbamazepin (induktor), akan meningkatkan metabolisme teofilin sehingga diperlukan dosis teofilin lebih tinggi. Tetapi jika pemberian karbamazepin dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah, dapat terjadi intoksikasi teofilin yang berat. 3. Interaksi pada proses ekskresi obat Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu, sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein (Levy, 2000). Obat-obat yang menghambat Pglikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi substrat ginjal. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin, neomisin) yang mensupresi flora usus untuk mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat Digital Repository Universitas Jember 19 (misalnya kontrasepsi oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun. Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik jika: a. fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%) b. obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat sehingga efeknya menurun. 2.3.1.2. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat. Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor (Dipiro et al., 1997;Kastrup, 2000). Interaksi farmakodinamik meliputi: a. Aditif yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1. Ketika dikombinasi keduannya maka akan memberikan efek =2. b. Potensiasi yaitu obat A memiliki efek =0 dan obat B memiliki efek = 1. Namun, jika obat A dan obat B dikombinasi, maka obat A akan memiliki efek. Sehingga efek keduanya menjadi =2. Digital Repository Universitas Jember 20 c. Sinergisme yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1. Jika dikombinasi maka efek keduanya akan meningkat menjadi =3. d. Antagonisme yaitu obat A memiliki efek =1 dan obat B memiliki efek =1. Jika dikombinasi maka kedua obat memiliki interaksi yang berlawanan satu sama lain sehingga menurunkan efek satu sama lain dalam tubuh menjadi =0. 2.3.2. Tingkat Keparahan Interaksi Menurut penelitian Manik (2014), tingkat keparahan interaksi digolongkan menjadi tiga, yaitu: a. Kategori mayor atau tinggi memiliki efek klinis yang sangat signifikan. Kombinasi obat yang berinteraksi mayor dianggap kontraindikasi dan harus dihindari karena memiliki risiko interaksi obat-obat yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan kombinasi obat-obat tersebut. b. Interaksi obat-obat dalam kategori moderat atau sedang juga cukup signifikan sehingga kombinasi obat ini tidak dianjurkan, kecuali untuk kasus-kasus khusus. c. Kategori minor memiliki efek klinis minor dan risiko rendah. Namun, obat alternatif harus dibuat sebagai langkah untuk mencegah ketergantungan dan risiko interaksi. Jika obat-obat yang berinteraksi dengan kategori minor ini harus diresepkan, maka pasien harus dimonitor secara seksama. Digital Repository Universitas Jember 21 BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian non-eksperimental dengan rancangan deskriptif, analitis, dan retrospektif. Data diperoleh dari rekam medik pasien penderita ISK periode Januari 2014-Desember 2014 yang dilakukan pada bulan Agustus 2015 lalu dianalisis potensi interaksi obatnya. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan di bagian rekam medik RSD dr. Soebandi Jember selama 1 bulan (Agustus 2015). 3.3. Definisi Operasional Definisi operasional pada penelitian ini sebagai berikut: a. Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang diakibatkan oleh berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang seharusnya dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. Berdasarkan International Classification of Disease (ICD) X ISK dapat diklasifikasikan ke dalam golongan P. 39. 0 termasuk infeksi primer ataupun sekunder. b. Kartu rekam medik merupakan dokumen milik rumah sakit tetapi data isinya milik pasien. Rekam medik bersifat informatif dan memuat antara lain karakteristik demografi pasien, tanggal kunjungan dan perawatan, riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, catatan anamnesis, gejala klinik yang diobservasi, hasil pemeriksaan penunjang medik dan pemeriksaan fisik, nama/paraf dokter dan petugas perekan data. Digital Repository Universitas Jember c. 22 Diagnosa adalah kesimpulan penyakit yang dialami pasien didukung dari gejala dan pemeriksaan lainnya. d. Polifarmasi adalah kombinasi obat yang dapat berupa kombinasi tetap dan kombinasi tidak tetap yang dapat berpotensi terjadi interaksi. e. Interaksi obat adalah aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan di dalam tubuh. f. Mekanisme interaksi obat adalah cara suatu obat mempengaruhi obat lain di dalam tubuh. g. Interaksi obat yang dinilai dalam penelitian ini adalah potensi interaksi obat yang potensial dan relevan. h. Interaksi obat yang potensial dan relevan adalah interaksi obat yang ditemukan dan telah dilakukan analisis melalui skrining I (www.drugs.com) dan skrining II (Gambar 3.2). i. Tingkat keparahan interaksi adalah tingkatan yang menunjukan besar interaksi yang terjadi. j. Pedoman terapi ISK yang digunakan sebagai acuan interaksi obat menggunakan situs www.drugs.com yang dibuat oleh Wolters Kluwer Health, American Society of Health-System Pharmacists, Cerner Multum and Micromedex from Truven Health. 3.4 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Sampling 3.4.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014- Desember 2014 sebanyak 60 orang. 3.4.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014 - Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Digital Repository Universitas Jember 23 3.4.3. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling melalui observasi. 3.5 Bahan Penelitian dan Kriteria Pengambilan Sampel 3.5.1. Bahan Penelitian Bahan penelitian ini adalah Data Rekam Medik pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014- Desember 2014. 3.5.2 Kriteria Pengambilan Sampel 3.5.2.1. Inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu target terjangkau yang akan diteliti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini adalah: a. Pasien ISK dengan atau tanpa penyakit penyerta. b. Data Rekam Medik yang digunakan adalah data pasien rawat inap dengan diagnosa ISK di RSD dr. Soebandi Jember periode Januari 2014Desember 2014. c. Pasien ISK yang berusia di atas 12 tahun. 3.5.2.2. Ekslusi Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: a. Pasien ISK yang hanya mendapat satu jenis obat. b. Data Rekam Medik yang tidak lengkap dan tidak terbaca. Digital Repository Universitas Jember 24 3.6 Rancangan Penelitian 3.6.1. Teknik dan Instrumen Perolehan Data Instrumen penelitian adalah rekam medik yaitu berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimana pelayanan yang diperoleh seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan. Cara perolehan data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. Melalui sumber informasi Data Rekam Medik di RSD dr. Soebandi Jember diketahui jumlah dan nomor Data Rekam Medik dengan diagnosis ISK mulai Januari 2014- Desember 2014. b. Pengelompokan lembar Data Rekam Medik pasien diagnosis ISK mulai Januari 2014-Desember 2014. c. Pencatatan data ke dalam Lembar Pengumpul Data (LPD) yang meliputi: a. Nomor Data Rekam Medik dan tanggal masuk-keluar rumah sakit. b. Identitas pasien c. Diagnosis d. Penggunaan obat/ terapi e. Keterangan (sembuh/ membaik/ pulang/ meninggal) 3.6.2 Penyajian, Teknik Pengolahan dan Analisis Data 3.6.2.1. Penyajian data Data yang diperoleh dikelompokkan per pasien dalam satu tabel yang terdiri atas nomor Data Rekam Medik, identitas pasien (inisial, jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan), diagnosis, nama generik antibiotik, dosis, rute penggunaan dan lama pemberian. Tabel disajikan seperti di bawah, yaitu : Tabel 3.1 Penyajian data No. No. Rm Identitas pasien Diagnosis Ab dan obat Gol Dosis Rute Lama lain yang ab pemakaian dipakai Digital Repository Universitas Jember 25 3.6.2.2.Analisis data Analisis data dilakukan melalui 3 tahap: 1. Mencatat obat yang digunakan pada pengobatan infeksi saluran kemih pada pasien yang menjalani rawat inap di RSD dr. Soebandi Jember. Melihat potensi interaksi obat pada literatur situs www.drugs.com (Gambar 3.1). Setiap interaksi obat yang potensial, dianalisis relevansinya pada masing-masing pasien berdasarkan kriteria rute penggunaan, dosis yang mencapai efek terapi, waktu penggunaan, dan t½ kedua obat (Gambar 3.2). Semua obat yang diterima selama rawat inap Drug Interaction Checker (www.drugs.com) Ada interaksi obat—obat ? Ya Semua interaksi dicatat pada tabel interaksi obat yang potensial berdasarkan ID masing-masing pasien Tidak Tidak dicatat pada tabel interaksi obat yang potensial Dilakukan uji relevansi interaksi obat—obat Gambar 3.1 Diagram pengecakan interaksi obat-obat yang potensial pada pasien ISK Digital Repository Universitas Jember Salah satu tidak Apakah obat yang tidak untuk rute sistemik mampu memberikan efek sistemik? Tidak Apakah kedua obat ditujukan untuk rute sistemik? Tidak Kedua obat bukan untuk rute sistemik. Ya Apakah dosis yang diberikan masuk rentang dosis terapi atau Yadosis berlebih? Ya Potensi interaksi obat A dan B tidak ditemukan. Ya a kedua Apakah durasi obat saling beririsan? Tidak Potensi interaksi obat A dan B tidak ditemukan. Tidak Ya Apakah kedua obat diberikan Tidak pada hari yang sama? Ya Ya Apakah kedua obat diberikan pada waktu yang sama? Tidak Apakah data t1⁄2 kedua obat yang diberikan mungkin terjadi potensi interaksi? Ya Interaksi obat A dan B potensial terjadi. Tidak Potensi interaksi obat A dan B tidak ditemukan. Gambar 3.2 Diagram pengecekan relevansi interaksi obat—obat yang potensial pada pasien ISK 26