MODEL PENGELOLAAN USAHATANI CABAI

advertisement
MODEL PENGELOLAAN USAHATANI CABAI
(Capsicum annuum) BERKELANJUTAN
PADA LAHAN DATARAN TINGGI
DISERTASI
OLEH
WA ODE MULIASTUTY ARSYAD
NIM. G3 IP 15 020
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
MODEL PENGELOLAAN USAHATANI CABAI
(Capsicum annuum) BERKELANJUTAN
PADA LAHAN DATARAN TINGGI
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pertanian
Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo
OLEH :
WA ODE MULIASTUTY ARSYAD
NIM. G3 IP 15 020
PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Wa Ode Muliastuty Arsyad
NIM
: G3 IP 15 020
Program Studi
: Ilmu Pertanian
Program Pendididkan
: Pascasarjana
Program
: Doktor
Universitas
: Halu Oleo
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Disertasi yang saya tulis ini
merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya
sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Disertasi ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Kendari,
Juli 2016
Yang membuat pernyataan,
Wa Ode Muliastuty Arsyad
ABSTRAK
WA ODE MULIASTUTY ARSYAD. Model Pengelolaan Usahatani Cabai
(Capsicum annuum) Berkelanjutan pada Lahan Dataran Tinggi. Dibimbing oleh
USMAN RIANSE, WEKA WIDAYATI dan LA ODE SANTIAJI BANDE.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui besar erosi, (2) menganalisis
pendapatan usahatani dan kontribusi pendapatan menganalisis kontribusi
pendapatan usahatani terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani, (3)
mengkaji alternatif teknik konservasi tanah dan air (KTA) dan (4) merancang
model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan di lahan dataran tinggi
Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Erosi dianalisis menggunakan persamaan USLE. Pendapatan usahatani
menggunakan analisis anggaran arus uang tunai. KHL petani dihitung berdasarkan
jumlah anggota keluarga petani, didekati dari kebutuhan fisik minimal ditambah
kebutuhan hidup tambahan. Teknik konservasi tanah diuji pada percobaan petak
erosi berukuran 3 x 20 meter dan dibuat pada kemiringan lereng 40 %. Penelitian
menggunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
8 perlakuan dan 3 ulangan sebagai kelompok. Penyusunan model dilakukan
dengan pendekatan sistem menggunakan Analytical Hierarchy Process dan
Interpretative Structural Modelling. Metode ini dapat memperkuat hasil penelitian
eksperimen dengan sistem yang lebih kompleks. Simulasi model dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Criterium Decision Plus dan ISM-Firman
untuk penyelesaian masalah sistem tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin curam kemiringan lereng
maka erosi semakin besar melebihi batas ETol dan kontribusi pendapatan
usahatani terhadap KHL petani semakin rendah. Pola tanam cabai monokultur
mempunyai erosi yang lebih besar dan kontribusi pendapatan terhadap KHL lebih
kecil daripada tumpangsari. Teknik konservasi guludan memotong lereng dengan
berbagai penyempurnaan dapat diterapkan pada lahan dataran tinggi karena
mampu menurunkan erosi ≤ ETol (34,21 ton/ha/th), menurunkan jumlah Corganik dan unsur hara yang terbawa erosi sehingga dapat meningkatkan
produktivitas tanaman dan meningkatkan pendapatan usahatani ≥ KHL (Rp.
23.920.000 kk/th), sehingga keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dapat
tercapai. Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras
gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari terpilih
dengan pertimbangan elemen kriteria biaya terjangkau menempati prioritas utama
dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian kemudahan pembuatan dan
perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di bawah ETol (nilai eigen 0,282
atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai eigen 0,276 atau 27,6%),
produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%), dan pengurangan luas
lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%). Penerapannya perlu didukung dengan
subsistem kelembagaan agar tercipta hubungan sinergis atara elemen terkait
kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelayanan pendukung.
Kata kunci: cabai, erosi, konservasi tanah dan air, model, usahatani berkelanjutan
ABSTRACT
WA ODE MULIASTUTY ARSYAD. Management Model of Sustainable Red
Pepper (Capsicum annuum) Farming System in Upland. Supervised by USMAN
RIANSE, WEKA WIDAYATI and LA ODE SANTIAJI BANDE.
The purposes of this study were (1) to gain knowledge about the extension of
erosion, (2) to analyze farm income and the contribution of farm income to the
farmers need of decent living (NDL), (3) to study alternative technique of soil and
water conservation, and (4) to design a model management of sustainable red pepper
farming in the highlands of the District Cikajang, Garut regency.
Erosion was analyzed by USLE equations. Farm income was analyzed by using
cash flow budget analysis. NDL was calculated based on amount of family member in
one family farmer, which was approached by minimum physical necessities added by
additional life necessities. Soil conservation technique were tested in erosion
experimental plots with 3 x 20 meters size made at the 40 % slope. Randomized
block design that was used with eight treatments and three replications as a group.
Modeling performed with systems approach, using Analytical Hierarchy Process and
Interpretative Structural Modelling. This method can reinforce the results of
experiments with more complex systems. Simulation models conducted by using the
Criterium Decision Plus dan ISM-Firman to resolve the problem of system
The research result shows that as the slope is getting steeper, the erosion is
getting higher and exceeded the TSL and the contribution of farm income to the
farmers NDL is getting lower. Monoculture red pepper cropping patterns have a
greater erosion and the contribution of farm income to the farmers NDL is smaller
than the intercropping. Conservation technique ridges cut off the slopes with various
improvements can be applied to the upland area because it is capable to decrease the
erosion less than or equal to the TSL (34.21 ton.ha-1.yr-1), decrease the number of Corganic and nutrient carried by erosion so it can increase crop productivity, and
increasing farming income more than or equal to the farmers NDL (Rp. 23,920,000
household-1.yr-1), and therefore the sustainability of the environment and the economy
can be accomplished. Conservation farming model the ridges in the direction of the
slope + the ridges in every 6.6 meters, intercropping patterns was selected with
consideration of the criteria of affordable cost elements occupy top priority with eigen
values 0.326 or 32.6%, then ease creation and maintenance (eigen values 0.317 or
31.7%), erosion under TSL (eigen values 0,282 or 28.2%), improved soil fertility
(eigen values 0.276 or 27.6%), increased productivity (eigen values 0.267 or 26.7%),
and reduction of land area (eigen values 0,225 or 22.5%). Its application should be
supported by institutional subsystem in order to create a synergistic relationship
between the elements related research activities, counseling, and support services.
Keywords:
erosion, model, red pepper, soil and water conservation, sustainable
farming system
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah di panjatkan ke hadhirat Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat, petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga penulis
dapat melaksanakan penelitian sampai tersusunnya penulisan disertasi
dengan judul : “Model Pengelolaan Usahatani Cabai (Capsicum annuum)
Berkelanjutan pada Lahan Dataran Tinggi”.
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terlaksana karena bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku
ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc, serta
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, sebagai anggota komisi pembimbing,
yang dengan konsisten telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan disertasi, selama penulis
menempuh studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Rektor Universitas Halu Oleo Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S.
atas kemurahan hatinya yang telah memberikan kesempatan kedua kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Program Studi Ilmu
Pertanian Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, sekaligus bersedia
menjadi Promotor penulis. Juga terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Weka
Widayati, M.S dan Dr. La Ode Santiaji Bande, S.P., M.P atas kesediaannya
menjadi ko-promotor penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada tim penilai dan penguji disertasi, yaitu penguji ekternal Dr. Jamhari,
S.P., M.P., dan penguji internal Prof. Dr. Ir. H. La Ode Sabaruddin., M.Si.,
Dr. Ir. H. R. Marsuki Iswandi, M.Si., Dr. Ir. M. Tufaila Hemon, M.P., Dr.
La Ode Afa., S.P., M.Si., dan Dr. Ir. Sitti Leomo, M.Si., yang telah banyak
memberikan telaah kritis dan saran yang sangat baik untuk penyempurnaan
disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :
1.
Rektor Institut Pertanian Bogor,
2.
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
3.
Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan SPs Institut
Pertanian Bogor,
4.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo,
5.
Ketua Program Studi
Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana
Universitas Halu Oleo
6.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo,
7.
Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan SDA
dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
8.
Staf Laboratorium Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian IPB,
9.
Rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi PSL SPs IPB khususnya
angkatan tahun 2010 dan 2011 atas dorongan dan motivasinya,
10.
Rekan-rekan
mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Pertanian UHO
angkatan tahun 2015,
Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada ayahanda Drs. La
Ode Muh. Arsyad Teno (alm) dan ibunda Dra. Hj. Wa Ode Maluhadina Hibi
atas doa dan kasih sayangnya yang tidak pernah putus, adik-adik (La Ode
Muh. Nurrakhmad, S.T., M.T., Dr. Wa Ode Sukmawati, S.Si., M.Si dan La
Ode Muh Fitrah, S.E., M.Si.) atas dukungan semangat dan doanya, suamiku
Andi Muhammad Kadhafi, S.Hut., M.Hut., atas dukungan doa, moril dan
materi, serta ketiga anak-anakku (Andi Fayza Maharani, Andi Aisha Fahira
dan Andi Raisa Putri Almaira) yang selalu menjadi penyemangatku.
Semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu-persatu yang
telah membantu dalam penyempurnaan penelitian dan penulisan disertasi
ini. Semoga segala budi baik, bantuan, perhatian, dan kerjasama yang telah
diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik
sistematika, metode maupun pendekatan yang digunakan untuk analisis dan
interpretasi data. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya kritik dan saran
sehingga disertasi ini dapat menjadi rujukan yang baik bagi penelitianpenelitian selanjutnya.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ..........................................................................................
PENGESAHAN................................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT .....................................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
DAFTAR TABEL ............................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
BAB I.
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
xi
xiii
xiv
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................
9
1.5. Kebaruan (Novelty)...................................................................
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
10
2.1. Agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi ..........................
10
2.2. Usahatani Cabai Dataran Tinggi ...............................................
14
2.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan ...............................................
18
2.3.1. Perencanaan
Penggunaan
Lahan
Sesuai
Kemampuannya ...............................................................
20
2.3.2. Tindakan-Tindakan Khusus Konservasi Tanah dan Air .
26
2.3.3. Menyiapkan Tanah dalam Keadaan Olah yang Baik......
31
2.3.4. Menggunakan Sistem Pergiliran Tanaman yang
Tersusun Baik .................................................................
2.3.5. Menyediakan Unsur Hara yang Cukup dan Seimbang ...
32
33
2.4. Pertanian Berkelanjutan ............................................................
35
2.5. Sistem dan Pendekatan Sistem..................................................
38
2.5.1. Analytical Hierarchy Process (AHP) ..............................
41
2.5.2. Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural ......................
42
2.6. Penelitian Terdahulu .................................................................
44
Halaman
BAB III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN.................................................
49
BAB IV. METODE PENELITIAN..................................................................
53
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................
53
4.2. Bahan dan Alat Penelitian.........................................................
53
4.3. Cakupan Kegiatan Penelitian ....................................................
55
4.4. Rancangan Penelitian ................................................................
57
4.4.1. Analisis Prediksi Erosi ....................................................
57
4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani .......................................
62
4.4.3. Analisis Kebutuhan Hidup Layak Petani ........................
64
4.4.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air
66
4.4.5. Menyusun Model Pengelolaan Usahatani Cabai ............
74
4.4.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi ..........
75
4.4.5.2. Menyusun Model kelembagaan Usahatani ......
79
BAB V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .........................
85
5.1. Keadaan Umum Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut..........
85
5.1.1. Letak Geografis dan Kependudukan...............................
85
5.1.2. Kondisi Iklim dan Curah Hujan ......................................
87
5.1.3. Topografi.........................................................................
87
5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah .................................................
87
5.1.5. Penggunaan Lahan ..........................................................
88
5.2. Karakteristik Petani Cabai.........................................................
89
5.2.1. Umur dan Pengalaman Petani Responden ......................
90
5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden ...........................
91
5.2.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan................................
92
5.2.4. Budidaya dan Pola Tanam Cabai ....................................
93
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 102
6.1. Prediksi Erosi pada Lahan Usahatani Cabai ............................. 102
6.1.1. Faktor Erosivitas Hujan .................................................. 102
6.1.2. Faktor Erodibilitas Tanah................................................ 103
6.1.3. Faktor Lereng.................................................................. 105
6.1.4. Faktor Penutupan dan Pengelolaan Tanaman ................. 105
Halaman
6.1.5. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah..................... 106
6.1.6. Erosi yang di Toleransi ................................................... 106
6.1.7. Prediksi Erosi dan Indeks Bahaya Erosi ......................... 107
6.2. Pendapatan Usahatani dan Kontribusi Pendapatan Usahatani
Terhadap Kebutuhan Hidup Layak Petani ................................ 109
6.2.1. Pendapatan Usahatani ..................................................... 109
6.2.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani Terhadap Kebutuhan
Hidup Layak Petani ........................................................ 114
6.3. Keberlanjutan Usahatani Cabai dataran Tinggi ........................ 116
6.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air .......... 118
6.4.1. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap
Aliran Permukaan dan Erosi........................................... 120
6.4.2. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor
Konservasi Tanah ........................................................... 122
6.4.3. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap
Kehilangan Unsur Hara .................................................. 125
6.4.4. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap
Pendapatan Usahatani..................................................... 128
6.5. Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi ............... 131
6.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi ......................... 131
6.5.2. Model Kelembagaan Usahatani Konservasi ................... 137
6.6. Implikasi Kebijakan .................................................................. 145
BAB VII.KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 148
7.1. Kesimpulan ............................................................................... 148
7.2. Saran.......................................................................................... 149
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 151
LAMPIRAN ..................................................................................................... 162
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 190
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Sifat fisik dan kimia beberapa tanah di dataran tinggi Jawa barat ..........
12
2.
Pengaruh tanaman penutup tanah dan mulsa organik terhadap tingkat
erosi tanah di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut...........................
30
Urutan beberapa sistem pergiliran tanaman menurut besar
Pengaruhnya terhadap kerusakan tanah (urutan ke bawah
menunjukkan makin besar Ancaman erosi) ............................................
33
4.
Parameter fisik-kimia tanah serta metode analisis yang digunakan........
58
5.
Kuesioner pair wise Comparison............................................................
76
6.
Penilaian pair wise Comparison .............................................................
76
7.
Rata-rata konsistensi acak (R1)...............................................................
79
8.
Tujuan penelitian, jenis, metode pengumpulan, sumber dan teknik
analisis data .............................................................................................
83
9.
Luas daerah menurut desa di Kecamatan Cikajang tahun 2013..............
86
10.
Penggunaan lahan di Kecamatan Cikajang .............................................
89
11.
Sebaran petani responden menurut umur dan pengalaman di
Kecamatan Cikajang ...............................................................................
91
Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di
Kecamatan Cikajang ...............................................................................
91
Sebaran petani responden berdasarkan luas garapan cabai di
Kecamatan Cikajang ...............................................................................
92
3.
12.
13.
14.
Prediksi erosi, ETol dan IBE berdasarkan pola tanam dan
kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang ........................................... 107
15.
Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan
Cikajang berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ...................... 110
16.
Rincian biaya usahatani pada tiga kelas kemiringan lereng di
Kecamatan Cikajang ............................................................................... 112
17.
Luas lahan garapan petani saat ini, pendapatan usahatani dan
kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL
petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ................... 115
18.
Rata-rata nilai CP berdasarkan kelas kemiringan lereng ....................... 119
19.
Pengaruh tindakan konservasi terhadap aliran permukaan dan erosi
di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut............................................... 120
Tabel
Halaman
20.
Nilai faktor CP pada masing-masing tindakan konservasi tanah dan
air............................................................................................................. 122
21.
Pengaruh tindakan konservasi terhadap kehilangan unsur hara tanah
terbawa erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ........................ 126
22.
Pengaruh tindakan konservasi terhadap produksi dan pendapatan
usahatani di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut............................... 129
23.
Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada AHP model pengelolaan
usahatani cabai di lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut ..................................................................................... 134
24.
Tampilan hasil pairwise setiap varibel.................................................... 135
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.
Kerangka pemikiran penelitian ...............................................................
52
2.
Peta lokasi penelitian...............................................................................
56
3.
Denah rancangan percobaan di lapangan ................................................
74
4.
Pembentukan Hierarki.............................................................................
75
5.
Structural Self Interaction Matrics (SSIM) ............................................
81
6.
Reachability Matrics (RM) .....................................................................
82
7.
Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power) dan D (Dependence).......
82
8.
Peta topografi ..........................................................................................
88
9.
Persiapan lahan dengan guludan searah lereng .......................................
96
10.
Penggunaan mulsa plastik hitam perak ...................................................
97
11.
Grafik penggunaan pupuk berdasarkan kemiringan lereng pada pola
tanam tumpangsari dan monokultur tanaman cabai di Kecamatan
Cikajang .................................................................................................. 113
12.
Grafik hubungan antara erosi, ETol, pendapatan usahatani, dan KHL
petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ................... 117
13.
(a) Rata-rata erosi per bulan , (b) nilai faktor CP perbulan..................... 123
14.
Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP .......... 124
15.
Hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi...... 133
16.
Grafik hasil analisis AHP........................................................................ 134
17.
Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen tujuan .......................................................................................... 138
18.
Struktur hirarki sub elemen tujuan...............................................................
19.
Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen kendala........................................................................................ 140
20.
Struktur hirarki sub elemen kendala ............................................................
21.
Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen lembaga....................................................................................... 143
22.
Struktur hirarki sub elemen lembaga ...........................................................
139
141
144
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1.
Kode struktur tanah ................................................................................. 163
2.
Kode permeabilitas profil tanah .............................................................. 163
3.
Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) ..................................................... 163
4.
Nilai faktor teknik konservasi tanah P dan CP........................................ 164
5.
Klasifikasi indeks bahaya erosi (Hammer, 1981) ................................... 165
6.
a. Curah hujan Kabupaten Garut tahun 2004 – 2013 .............................. 165
b. Hari hujan Kabupaten Garut tahun 2004 – 2013................................. 165
c. Curah hujan maksimum kabupaten garut tahun 2004 – 2013 ............. 166
7.
Hasil perhitungan erosivitas hujan di Kabupaten Garut.......................... 166
8.
Karakteristik tanah di daerah penelitian.................................................. 167
9.
Hasil perhitungan nilai faktor erodibilitas tanah (K) di Kecamatan
Cikajang Kabupaten Garut ...................................................................... 169
10.
Hasil perhitungan prediksi erosi yang ditoleransi (ETol) di
Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ................................................... 171
11.
Hasil perhitungan prediksi erosi (A) di Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut ..................................................................................... 173
12.
Perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak di Kecamatan
Cikajang Kabupaten Garut tahun 2013 ................................................... 175
13.
Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak kecil... 176
14.
Curah hujan selama penelitian ................................................................ 177
15.
Data jumlah erosi, erosi pada petak pembanding dan Nilai CP
masing-masing perlakuan........................................................................ 178
16.
Data jumlah aliran permukaan masing-masing perlakuan ..................... 179
17.
Data kehilangan hara C-organik, N, P, dan K yang terbawa erosi.......... 180
18.
Hasil sidik ragam limpasan permukaan dan erosi dari perlakuan
teknik konservasi tanah ........................................................................... 181
19.
Hasil sidik ragam kehilangan unsur hara tanah dari perlakuan teknik
konservasi tanah ...................................................................................... 183
20.
Hasil sidik ragam biaya dan pendapatan usahatani dari perlakuan
teknik konservasi tanah ........................................................................... 187
21.
Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan ...................................... 189
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Keterbatasan lahan pertanian, khususnya untuk komoditas-komoditas
pangan, merupakan tantangan besar dalam menjaga ketahanan pangan di
Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah konversi lahan pertanian
menjadi non pertanian di lahan dataran rendah (Agus dkk., 2006). Selain itu
peningkatan jumlah penduduk secara signifikan akan meningkatkan
kebutuhan konsumsi komoditas pangan (Pasandaran, 2006).
Perubahan
pemanfaatan lahan pertanian menjadi non pertanian terjadi dengan massif di
Pulau Jawa, sehingga lahan dataran tinggi menjadi pilihan penggunaan
lahan untuk pertanian. Lombart (2000) dan Dariah (2007) mengemukakan
bahwa sejak akhir abad ke 19 terjadi perkembangan pertanian lahan dataran
tinggi khususnya di pulau Jawa dengan peningkatan mencapai lebih dari
350 persen.
Pemanfaatan lahan pertanian di dataran tinggi memiliki kompleksitas
pengelolaan yang lebih tinggi dan produktivitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan lahan pertanian di dataran rendah (Prasetyo dan
Suriadikarta, 2006). Ciri umum kawasan ini adalah lahan dengan tingkat
kemiringan lereng yang tergolong curam dan jenis tanah pada umumnya
didominasi oleh tanah andisols. Tanah seperti ini umumnya mempunyai
kesuburan tanah tergolong tinggi dan porositas yang baik, sehingga
peresapan air ke dalam tanah dapat berjalan dengan baik (Subagyo dkk.,
2000; Hardjowigeno, 2003).
Akan tetapi, karena tekstur tanahnya
didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang sangat mudah diangkut oleh
aliran permukaan, maka begitu tanah jenuh dan terjadi aliran permukaan,
tanah menjadi sangat mudah tererosi (Sanchez, 1992).
Berdasarkan sifat-sifat bawaan lahan dataran tinggi seperti kemiringan
lereng dan kepekaan tanah terhadap erosi serta curah hujan yang tinggi,
maka peluang terjadinya erosi, terutama pada lahan yang digunakan untuk
pertanaman sayuran tergolong tinggi (Hogarth dkk., 2004; Gangcai, 2005;
Dariah, 2007). Praktek pengelolaan lahan yang diterapkan petani saat
ini
menyebabkan
multifungsi (eksternalitas positif) usahatani sayuran,
khususnya dalam pengendalian erosi dan banjir tidak optimal. Masalah
degradasi lahan usaha dan leveling-off produksi sayuran umumnya terkait
dengan fragmentasi lahan usaha, yaitu lahan usahatani keluarga yang sempit
sehingga terjadi inefisiensi pengelolaan usahatani (Adiyoga dkk., 2000;
Soetiarso dan Setiawati, 2010) dan sistem pengelolaan tanah yang tidak
berwawasan konservasi fisik maupun kesuburan (Sinukaban, 2007; El Kateb
dkk., 2013; Lihawa dkk., 2014).
Berbagai hasil penelitian erosi di lahan usahatani sayuran dataran
tinggi dengan kemiringan lereng di atas 15 % menunjukkan bahwa besaran
erosi yang terjadi berkisar antara 87 – 652 ton/ha/th (Arsanti dan Boehme,
2006; Firmansyah, 2007; Zhou, 2008; Sutrisna dkk., 2010). Bila mengacu
pada batas erosi yang ditoleransi sekitar 13,5 ton/ha/th (Thomson, 1957
dalam Arsyad, 2010), maka tingkat erosi yang terjadi pada lahan sayuran ini
tergolong membahayakan (Shukle dan Lal, 2005; Sutono, 2008).
Data kuantitatif dan karakteristik spasial penggunaan lahan dataran
tinggi tersebut menunjukan bahwa kesesuaian lahan untuk penggunaan
lahan dataran tinggi sebagai lahan pertanian tanaman semusim menunjukan
kecenderungan rendah ataupun tidak sesuai. Nilai harapan yang rendah
tersebut dapat ditingkatkan menjadi berkelanjutan dengan peningkatan
upaya dari sisi teknis, tenaga dan biaya oleh petani. Hipotesisnya adalah
output pertanian di dataran tinggi akan mendekati output pertanian di
dataran rendah, namun menjadi tidak efisien karena biaya, waktu dan tenaga
kerja yang lebih banyak. Oleh karena itu, pemilihan komoditas unggulan
yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat menjadi pilihan bagi
keberlanjutan pertanian di lahan dataran tinggi.
Salah satu komoditas sayuran yang saat ini menjadi salah satu
primadona petani, termasuk pada penggunaan lahan dataran tinggi di Jawa
Barat adalah cabai.
Cabai
merupakan sayuran penting di dunia dan
termasuk spesies pertama yang ditemukan telah digunakan manusia di
seluruh dunia (Berke, 2005). Cabai dapat dikonsumsi dalam bentuk buah
segar, kering atau bentuk olahannya dan memiliki berbagai manfaat. Cabai
telah menjadi bagian penting dalam resep masakan, kaya akan vitamin C, A,
dan B, kalium,fosfor dan kalsium (Boslan dan Votava, 2000), dan
kandungan kimianya merupakan bagian penting dalam obat-obatan,
pewarna makanan, dan kosmetika (Taychasinpitak dan Taywiya, 2003;
IISR, 2006). Cabai beradaptasi dengan cepat dan diterima oleh bangsa
Indonesia sehingga menjadi komoditas sayuran penting, mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai.
Konsumsi
cabai selama periode tahun 2012 – 2014 cenderung
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 konsumsi
cabai rumah tangga sebesar 1,653 kg/kapita/th, pada tahun 2013 mengalami
peningkatan sebasar 1,660 kg/kapita/th atau naik sebesar 0,43% dan pada
tahun 2014 juga mengalami peningkatan sebesar 1,680 kg/kapita/th atau
naik 1,20% dibandingkan tahun sebelumnya (Respati dkk., 2014) . Selain
untuk konsumsi rumah tangga, kebutuhan cabai untuk industri makanan
dan kebutuhan ekspor juga terus meningkat, sementara itu produksi cabai
dalam negeri mengalami penurunan.
Secara nasional data statistik menunjukkan bahwa penambahan luas
pertanaman cabai tidak linear dengan produktivitasnya. Tahun 2012 luas
areal pertanaman cabai tercatat sebesar 242.366 ha, dengan rata-rata
produktivitas 6,84 ton/ha, dan tahun 2013 luas areal pertanaman cabai
meningkat menjadi 249.232 ha namun produktivitasnya menurun menjadi
6,63 ton/ha (BPS, 2014).
Angka tersebut relatif rendah dibandingkan
dengan potensi produktivitas cabai secara nasional yang mencapai 12 – 15
ton/ha (Soetiarso dan Setiawati, 2010). Kabupaten Garut yang menjadi salah
satu kabupaten sentra produksi cabai di Jawa Barat mengalami penurunan
produksi dari 56.195 ton dengan produktivitas 10,91 ton/ha pada tahun
2011, menjadi 54.624 ton dengan produktivitas 10,52 ton/ha pada tahun
2012 (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Faktor penyebab
produksi cabai yang rendah tersebut antara lain produktivitas lahan yang
rendah akibat erosi (Sumarni dkk., 2006), penguasaan teknologi budidaya
cabai dan teknologi konservasi tanah yang rendah (Berke dkk., 2005;
sinukkaban, 2007), dan serangan organisme pengganggu tanaman (Gunaeni
dan Wulandari, 2010).
Peningkatan
permintaan
komoditas
cabai
dihadapkan
dengan
permasalahan ketersediaan lahan, baik dari sisi luas lahan maupun dari sisi
karakteristik lahannya tidak mendukung untuk peningkatan produktivitas
tanaman cabai. Dalam jangka panjang, situasi ini akan semakin menekan
produksi cabai dalam negeri sehingga impor cabai menjadi tinggi,
peningkatan harga cabai dan keberadaan petani cabai lokal semakin terjepit.
Peningkatan produktivitas cabai selain dengan penggunaan varietas unggul
dan pengendalian hama penyakit, perlu didukung teknik budidaya dan
teknik konservasi tanah yang tepat untuk mencapai hasil yang optimal
(Sumarni dkk., 2006; Sinukaban, 2007; Suwandi, 2009). Oleh karena itu,
perlu adanya rancangan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan
dataran tinggi secara berkelanjutan melalui pendekatan inovatif dan dinamis
dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani, sekaligus
mengurangi erosi tanah melalui pemilihan dan penerapan teknologi
konservasi spesifik lokasi secara partisipatif, sesuai dengan kondisi
lingkungan setempat (Vos, 1994). Lingkungan yang dimaksud meliputi
kondisi biofisik lahan (tanah, iklim, air dan organisme pengganggu
tanaman) dan sosial ekonomi.
Rancangan model pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi ini
penting mengingat permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan
sumberdaya lahan secara lestari sangat kompleks, bersifat multidisiplin dan
multisektor, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial oleh satu sektor
saja, melainkan dengan pendekatan sistem atau system approach (Eriyatno,
2003). Sistem produksi cabai mempunyai keterkaitan yang sangat erat
antara sub sistem hulu, usahatani, hilir, dan sub sistem pendukung. Demikan
pula keberlanjutan sistem produksi cabai dipengaruhi oleh keberlanjutan
dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial, baik pada kondisi saat ini maupun
masa yang akan datang.
1.2.
Perumusan Masalah
Kabupaten Garut menjadi salah satu sentra produksi sayuran di Jawa
Barat. Sebagian besar sayuran yang dibudidayakan oleh petani adalah
sayuran dataran tinggi yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi dan
merupakan sumber pendapatan utama petani. Salah satu
sayuran yang
teridentifikasi sebagai komoditas unggulan adalah cabai (Dinas Tanaman
Pangan dan Hortikultura, 2013).
Pada tahun 2011 produksi cabai sebesar 56.195 ton dengan luas areal
tanam 5.149 ha. Pada tahun 2012 terjadi penurunan menjadi sebesar
54.624, walaupun luas areal tanamnya meningkat menjadi 5.191 ha (Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Kecamatan Cikajang yang merupakan
sentra produksi cabai di Kabupaten Garut juga mengalami penurunan
produksi pada tahun 2011
sebesar 10.280 ton
dengan
produktivitas
sebesar 14,77 ton/ha menjadi 9.396 ton dengan produktivitas 13,46 ton/ha
(BPS Kabupaten Garut, 2013).
Produktivitas tanaman cabai yang rendah diduga disebabkan oleh
ketidaksesuaian agroteknologi dengan karakteristik lahan dan kebutuhan
tanaman sehingga mempercepat proses erosi dan meningkatkan kehilangan
lapisan atas tanah (topsoil) yang umumnya lebih subur dan pada gilirannya
menurunkan produktivitas lahan (Sutapraja dan Asandhi,1998; Erfandi dkk.,
2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Suganda dkk., (1997) yang
melaporkan bahwa kehilangan hara sangat tinggi akibat erosi sebesar 65,1
ton/ha pada pertanaman sayuran di lahan dataran tinggi Cipanas dengan
guludan searah lereng yaitu 241 kg N /ha, 80 kg P2O5 /ha, 18 kg K2O /ha.
Data erosi khusus pada lahan usahatani cabai dataran tinggi belum tersedia,
namun indikasi terjadinya erosi pada lahan sayuran dataran tinggi dapat
dilihat pada kandungan sedimen tanah yang tinggi dalam air sungai yang
senantiasa keruh sepanjang tahun, seperti di Sungai Serayu, Citanduy,
Citarum, dan lain-lain (Kurnia dkk., 2004; Dariah, 2007).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa permasalahan utama
usahatani cabai di dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut
adalah : 1) Kerusakan tanah akibat erosi yang semakin meningkat, 2)
produktivitas lahan yang semakin menurun, sehingga produksi tanaman
juga
semakin
menurun,
dan
3)
usahatani
yang
semakin
tidak
menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan
ekonomi keluarganya. Dengan memperhatikan berbagai permasalahan
tersebut,
maka
pertanyaan
utama
penelitian
adalah
“Bagaimana
Menentukan Model pengelolaan usahatani cabai yang berkelanjutan pada
lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ?”. Secara
spesifik pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Berapa besar erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai dataran tinggi
saat ini,
2. Berapa besar pendapatan petani cabai saat ini dan bagaimana
kontribusinya terhadap kebutuhan hidup layak petani ?
3. Bagaimana teknik konservasi tanah dan air yang tepat untuk menekan
laju erosi pada lahan dataran tinggi agar produksi cabai meningkat ?
4. Bagaimana
menentukan
model
pengelolaan
usahatani
cabai
berkelanjutan pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten
Garut?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model pengelolaan
usahatani cabai pada lahan dataran tinggi secara berkelanjutan di Kecamatan
Cikajang Kabupaten Garut. Tujuan utama tersebut diharapkan dapat
diwujudkan dengan mengkonstruksikan beberapa tujuan antara sebagai
berikut :
1. Melakukan prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai
2. Menganalisis pendapatan usahatani dan menganalisis kontribusi
pendapatan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi
terhadap
kebutuhan hidup layak petani.
3. Mengkaji alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan
erosi dan meningkatkan produksi tanaman cabai.
4. Menentukan model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada
lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi pemecahan
masalah pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi dalam
rangka peningkatan produktivitas tanaman cabai dan pendapatan petani.
1.5.
Kebaruan (Novelty)
Kebaruan atau Novelty penelitian ini adalah :
1. Membangun model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada
lahan dataran tinggi dengan mengintegrasikan tiga pilar atau dimensi
keberlanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) sesuai dengan konsep
sistem pertanian konservasi (SPK) yang merupakan aplikasi paradigma
pembangunan
pertanian
berkelanjutan.
Diharapkan
dengan
pengintegrasian ketiga aspek tersebut, maka akan dapat dirumuskan
suatu model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan
dataran tinggi yang dapat mengendalikan erosi hingga batas erosi yang
dapat ditoleransi sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman cabai
dan memberikan pendapatan petani yang dapat memenuhi Kebutuhan
Hidup Layak.
2. Menghasilkan nilai fakor pengelolaan tanaman dan nilai faktor
pengelolaan tanah/konservasi tanah (nilai faktor CP) untuk tanaman
cabai (Capsicum annuum) dengan berbagai teknik konservasi.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi
Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang
berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas
atau campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem.
Istilah pertanian dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang
mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan,
energi dan bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya
(Pranaji, 2006).
Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai
potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura
(sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan.
Agroekosistem lahan kering terbagi
kedalam beberapa kategori yaitu
berdasarkan iklim dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Menurut
Notohadiprawiro
(1989), agroekosistem lahan kering berdasarkan iklim
dibedakan menjadi (1) lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang
memiliki curah hujan diatas 2000 mm/tahun dan (2) lahan kering iklim
kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000
mm/th. Berdasarkan ketinggian tempat agroekosistem lahan kering
dibedakan menjadi (1) Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah
yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl dan (2) Lahan kering
dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 – 700
meter dpl (Manuwoto, 1991).
Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala
1:1.000.000 (Puslittanak, 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20
juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan
basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama
karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau
solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan
(Abdurachman dan Sutono, 2002). Dari luas 148 juta ha, lahan kering yang
sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan
sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar
bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan
mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15-30% lebih sesuai untuk
tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk
tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44
juta ha (Puslittanak, 2001).
Secara umum, lahan kering dataran tinggi di daerah tropika basah
didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Andisol
dan Entisol yang biasa dijumpai pada ketinggian di atas 1000 meter dpl
serta Inceptisol pada ketinggian 700-1000 meter dpl. Sifat-sifat fisik tanah
umumnya baik, yaitu struktur tanah remah/gembur (friable) sampai lepas
(loose) dengan kedalaman tanah (solum) dalam, drainase baik dan porositas
tinggi (Sanchez, 1992). Kesuburan tanah pada lahan kering dataran tinggi
lebih baik dari pada jenis tanah mineral lainnya dan tergolong tinggi
(Tabel 1). Hal tersebut karena tanahnya terbentuk dari bahan volkan dengan
bahan organik dan kandungan fosfor tinggi, dan secara umum kapasitas
tukar kation (KTK) tanah andisol biasanya tinggi ditandai dengan nilai Corganik yang tinggi (Kurnia dkk., 2000).
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia beberapa tanah di dataran tinggi Jawa Barat
Sifat-sifat Tanah
Hydric
Dystrandeps
Segunung
Jabar
Sifat Fisik
Berat isi (g/cm3)
0,85
Porositas (%Vol)
Pasir (%)
44,00
Debu (%)
37,00
Liat (%)
19,00
Sifat Kimia
C-Organik (%)
5,72
N Total (%)
0,68
P2O5 (me/100g)
242,00
KTK (me/100g)
Sumber : Kurnia dkk. (2000)
Curah hujan
Ultic
Hapludands
Batulawang
Jabar
Typic
Melanudands
Pengalengan
Jabar
0,80
62,10
23,00
48,00
29,00
0,70
68,50
27,00
54,00
19,00
4,20
0,40
173,00
-
8,20
0,50
-
dengan intensitas yang tinggi
yang berkisar antara
2.000 – 4.000 mm/th pada lahan kering dataran tinggi (Balitklimat, 2003)
ditambah dengan kemiringan lereng > 15% merupakan penyebab utama
tingginya erosi dan penurunan produktivitas tanah pada daerah tersebut
terlebih lagi pada umumnya budidaya tanaman yang dilakukan pada lahan
berlereng sangat intensif tanpa melakukan pencegahan erosi (Hidayat dan
Mulyani, 2002). Hasil penelitian Medina dkk. (2000) di beberapa daerah
dataran tinggi di Indonesia menunjukkan jumlah tanah yang hilang atau
erosi dari kegiatan budidaya tanaman kentang mencapai 828 ton/ha/th,
sedangkan untuk kegiatan budidaya tanaman wortel sebesar 138 ton/ha/th.
Hasil penelitian Arsanti dan Boehme (2006), di daerah sentra produksi
sayuran Pengalengan (Jawa Barat), Kejajar Wonosobo (Jawa Tengah) dan
Berastagi (Sumatera Utara) menunjukkan besaran erosi yaitu 347 - 652
ton/ha/th. Bila mengacu pada batas erosi yang
dapat ditoleransikan
(tolerable soil loss) yang maksimal hanya sekitar 13,5 ton/ha/th (Thomson
dalam Arsyad, 2010), maka tingkat erosi yang terjadi pada lahan sayuran ini
sudah tergolong sangat tinggi atau membahayakan.
Aktivitas budidaya tanaman semusim yang sangat intensif di lahan
kering dataran tinggi tanpa adanya tindakan konservasi tanah berpengaruh
tidak baik terhadap lahan pertanian, yaitu menurunnya tingkat kesuburan
tanah akibat terkikisnya tanah lapisan atas dan terjadinya pemadatan
permukaan tanah yang dapat meningkatkan volume aliran permukaan akibat
menurunnya laju infiltrasi (Erfandi dkk., 2002). Hasil penelitian Sutrisna
dan Surdianto (2007), ada indikasi penurunan kesuburan tanah akibat erosi
di lahan dataran tinggi Lembang, yaitu N sebesar 6,8% dari 3,98 menjadi
3,71%; P2O5 16,3 % dari 43 mg/100 g menjadi 36 mg/100 g; dan K2O
28,6% dari 35 me/100 g menjadi 25 me/100 g.
KEPAS (1988) mengidentifikasi permasalahan di daerah lahan kering
sebagai berikut: (1) Upaya pemerintah dalam pembangunan pertanian di
masa lampau terlalu dipusatkan pada padi sawah, sedangkan lahan kering
(termasuk DAS bagian hulu) kurang mendapatkan perhatian sehingga tidak
memperoleh keuntungan dari program-program pembangunan yang
disponsori pemerintah. Satu-satunya program khusus untuk lahan kering
adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Namun,
program ini pun dihadapkan pada berbagai kesulitan yang antara lain
disebabkan oleh relatif kurangnya perhatian, sehingga kondisi infrastruktur
yang ada jauh lebih buruk daripada di daerah dataran rendah. (2) Di daerah
lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan cukup
tinggi, lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang berlangsung
lama telah menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan mengurangi
atau menghilangkan lapisan olah tanah. (3) Modal dan motivasi penduduk
terbatas akibat rendahnya pendapatan dan produktivitas lahan. Selain itu,
tipe penguasaan lahan berhubungan erat dengan sistem usahatani dan
konservasi tanah di daerah lahan kering. Pemilikan lahan yang relatif sempit
serta sistem sewa dan sakap ikut memberikan dampak negatif terhadap
sistem usahatani berwawasan lingkungan. (4) Kegiatan penyuluhan
dihadapkan pada kendala sosial budaya dan prasarana/sarana perhubungan
sehingga penyuluhan relatif kurang. Keterampilan petani umumnya hanya
bersifat kebiasaan yang diwariskan dan berorientasi subsisten, sedangkan
program penyuluhan yang ada seperti penghijauan, perkebunan, dan
kehutanan hanya berkaitan dengan aspek tertentu dan kurang menekankan
pada partisipasi petani.
2.2. Usahatani Cabai (Capsicum annuum) Dataran Tinggi
Sayuran dataran tinggi mempunyai peran strategis dan memperoleh
prioritas pengembangan dalam pembangunan pertanian nasional terutama
tanaman cabai, yang merupakan komoditas sayuran unggulan nasional.
Permintaan cabai cenderung meningkat baik dalam bentuk segar maupun
olahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan
masyarakat dan berkembangnya industri makanan yang
membutuhkan
bahan baku cabai (BPPT, 2010).
Secara umum dataran tinggi mempunyai iklim yang memenuhi
persyaratan optimum untuk pengembangan berbagai komoditas sayuran
termasuk cabai. Curah hujan yang diperlukan oleh tanaman cabai merah
adalah 1500 – 2500 mm/th, suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 24 –
28 0C, dan pH optimum 6,0 – 6,5. Tanah yang paling sesuai untuk tanaman
cabai merah adalah tanah yang berstruktur granuler/remah, dan bertekstur
halus
tidak terlalu liat, tidak terlalu poros serta kaya bahan organik
(Puslittanak, 2003).
Pada dasarnya cabai adaptif dengan kondisi agroklimat lahan dataran
tinggi, namun dihadapkan pada kendala pembatas yaitu: lahan yang
umumnya berlereng (> 15%), rendahnya produktivitas tanah akibat erosi
(Erfandi dkk., 2002), penguasaan teknologi budidaya cabai yang rendah,
penerapan teknologi konservasi tanah yang masih kurang, dan serangan
organisme pengganggu tanaman (Semangun, 2000).
Umumnya budidaya tanaman cabai dataran tinggi dilakukan secara
intensif pada lahan berlereng (> 15%) dengan tanah yang didominasi oleh
Andisol (Balai Penelitian Tanah, 2004), tanah seperti ini umumnya
mempunyai porositas tinggi (Kurnia dkk., 2004), sehingga peresapan air ke
dalam tanah dapat berjalan dengan baik. Namun demikian, karena tekstur
tanahnya didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang sangat mudah diangkut
oleh aliran permukaan, maka begitu tanah jenuh dan terjadi aliran
permukaan, tanah menjadi sangat mudah tererosi (Agus dkk., 2006). Oleh
karena itu, bila teknologi konservasi tanah yang diterapkan tidak cukup
memadai, usahatani cabai menjadi sangat beresiko tinggi dipandang dari
segi bahaya erosi, terutama pada kondisi curah hujan tinggi.
Petani pada umumnya berusahatani cabai dengan membuat guludan
atau bedengan (raised bed) selebar 70 - 120 cm, dan tinggi 20 – 30 cm serta
panjang bervariasi mengikuti arah lereng. Guludan yang dibuat panjang
searah lereng bertujuan untuk menciptakan kondisi aerasi atau drainase dan
kelembaban tanah tetap baik. Menurut Juarsah dkk. (2002) kondisi aerasi
tanah yang jelek dapat membahayakan pertumbuhan tanaman sayuran.
Namun parit atau saluran diantara guludan searah lereng akan mempercepat
aliran permukaan dan menyebabkan tanahnya makin mudah tererosi.
Kondisi ini akan mempercepat hilangnya tanah lapisan atas yang subur,
sehingga akibat usahatani sayuran yang terus menerus pada gilirannya akan
menyebabkan kerusakan atau degradasi lahan (Kurnia dkk., 2004).
Faktor lain yang diduga menjadi pembatas dalam peningkatan
produktivitas cabai adalah kegagalan hasil yang disebabkan oleh penyakit
tanaman sehingga menimbulkan kerugian mencapai 75% (Kusandriani dan
Permadi, 1996). Tanaman cabai cukup rentan terhadap penyakit sejak dari
bentuk benih sampai tanaman tersebut menghasilkan buah. Serangan hama
dan penyakit dapat menyebabkan tanaman mengalami kerusakan parah dan
berakibat gagal panen. Beberapa hama utama cabai antara lain : kutu daun
persik (Myzus persicae Sulz.), thrips (Thrips parivispinus Karny), tungau
(Polyphagotarsonemus latus Banks), hama lalat buah (Bactrocera dorsalis
Hendel), dan hama ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera Hubner),
sedangkan penyakit tanaman cabai antara lain : Antraknosa, busuk
Phytophthora, layu Fusarium, bercak daun cercosfora, layu bakteri, virus
kuning – bulai, dan penyakit mosaic (Vos dan Duriat, 1994; Semangun,
2000; Pernezny dkk., 2003).
Dari beberapa hama dan penyakit tanaman cabai di atas, antraknosa
merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas
cabai di Indonesia (Suryaningsih dkk., 1996). Pada umumnya penyakit
antraknos dikendalikan dengan fungisida. Petani di Brebes dan Tegal sering
menggunakan lebih dari 1 jenis fungisida pada dosis yang sangat tinggi
dengan interval waktu penyemprotan 2 – 3 kali sehari (Gunawan, 2005).
Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana telah menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan dan organisme bukan sasaran.
Beberapa alternatif pengendalian hama dan penyakit tanaman cabai
yang lebih murah dan ramah lingkungan antara lain : 1) penggunaan mulsa
plastik hitam perak dapat mengurangi masuknya kutu daun dan hama thrips
dari luar pertanaman cabai (Vivrina dan Roka, 2000), 2) penggunaan mulsa
jerami di musim kemarau akan meningkatkan populasi predator di dalam
tanah yang pada akhirnya akan memangsa hama thrips yang akan berpupa di
dalam tanah, 3) pengaturan pola tanam, misalnya tumpangsari, pola
tumpang gilir dengan bawang merah, tanaman bawang dapat bersifat
sebagai pengusir hama kutu daun dan menekan serangan hama thrips pada
tanaman cabai muda, 4) secara biologis dilakukan dengan pemanfaatan
musuh alami. Penggunaan musuh alami yang menyerang hama ulat buah,
antara lain parasitoid telur Trichogramma nana, parasitoid larva Diadegma
argenteopilosa, dan cendawan Metharrhizium (Bosland dan Lindsey, 1991;
Berke dkk., 2005).
2.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Permasalahan utama yang sering di hadapi dalam mengelola
sumberdaya lahan/tanah bagi pembangunan berkelanjutan dan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bagaimana
memanfaatkan sumberdaya lahan/tanah tersebut secara terencana dan efisien
sesuai dengan kemampuannya sehingga lahan/tanah dapat digunakan secara
berkesinambungan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Kerusakan lingkungan yang disertai dengan kemunduran produktivitas
lahan untuk usaha-usaha pertanian sering merupakan masalah yang serius
karena dapat mengakibatkan kerugian pada petani serta menghambat usaha
peningkatan produksi pertanian. Di Indonesia kerusakan tanah terutama
disebabkan oleh hilangnya lapisan-lapisan atas tanah (topsoil) oleh kekuatan
aliran permukaan air hujan. Kerusakan ini juga menyebabkan akibat-akibat
lanjutan seperti banjir di musim hujan, pendangkalan saluran irigasi, dan
kekeringan di musim kemarau.
Bertambahnya jumlah penduduk dan sempitnya pemilikan lahan untuk
kegiatan-kegiatan pertanian serta para petani yang relatif masih lemah
ekonominya, berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi bahan pangan,
dan merupakan salah satu masalah nasional yang kita hadapi dewasa ini.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas dapat dilakukan antara lain
melalui perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas lahan, serta
rehabilitasi lahan-lahan kritis dan yang tidak produktif yang kemudian juga
dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah.
Erosi merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan tanah.
Tanah-tanah yang gundul dalam waktu singkat akan menjadi rusak dan
tandus apabila tidak diteras, atau tidak ditanami dengan tanaman pelindung
untuk pencegahan erosi, dan tidak diusahakan pergiliran tanaman yang tepat
dengan memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah. Kesemuanya ini
terjadi sebagai akibat dari penggunaan lahan yang tidak terencana, dan
sistem pengelolaan lahan yang kurang baik, yang tidak memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah.
Permasalahan utama di berbagai lahan usahatani adalah pangkal pada
faktor-faktor pembatas yaitu berupa rendahnya kualitas sumberdaya
manusia setempat dan pertambahan penduduk yang cukup tinggi, serta
kemunduran kualitas sumberdaya lahan sebagai akibat dari erosi yang
berkelanjutan. Oleh sebab itu lahan sebagai salah satu faktor fisik
lingkungan perlu dikelola dengan baik dan perlu ditempatkan sebagai
bagian dari pengelolaan kualitas lingkungan untuk dapat melaksanakan
pembangunan secara berkelanjutan (Rustiadi, 2001).
Menurut Sitorus (2004) pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala
tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga
dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara berkesinambungan.
Pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar mempunyai dua tujuan
yaitu :
1. Tujuan fisik : adalah tujuan yang dinyatakan atau diukur dalam satuansatuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain, yang dapat
dinyatakan dalam satuan-satuan volume atau berat dari hasil yang
diperoleh.
2. Tujuan ekonomis : dinyatakan atau diukur dalam terminologiterminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum
Pada umumnya kedua tujuan di atas compatible artinya kedua tujuan
itu sejalan atau dicapai secara bersama-sama. Akan tetapi bisa juga kedua
tujuan tersebut tidak sejalan (incompatible), misalnya produksi beras tinggi,
tetapi harga beras rendah sehingga tujuan ekonomis tidak tercapai meskipun
tujuan fisik dapat tercapai.
Sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur yaitu : 1) perencanaan
penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, 2) tindakan-tindakan
konservasi tanah dan air, 3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang
baik, 4) menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan 5)
menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan
tanaman. Kelima unsur ini dalam sistem pengelolaan lahan/tanah harus
dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling mengisi.
2.3.1. Perencanaan Penggunaan Lahan Sesuai dengan Kemampuannya
Rencana penggunaan lahan haruslah disesuaikan atau tergantung dari
kemampuan sumberaya lahan itu sendiri untuk dapat diusahakan bagi suatu
penggunaan tertentu. Oleh karena itu terlebih dahulu haruslah diketahui
potensi sumberdaya lahan itu sendiri untuk mendukung suatu kegiatan
usahatani tertentu serta tindakan-tindakan yang diperlukan agar lahan
tersebut dapat memberikan hasil yang baik secara berkesinambungan.
Kemampuan sumberdaya lahan untuk dapat diusahakan tergantung
dari banyak faktor, diantaranya yang penting adalah sifat-sifat lahan itu
sendiri yang meliputi : (1) keadaan lereng atau topografi daerah, (2)
kedalaman efektif tanah, (3) tekstur tanah, (4) tingkat kesuburan tanah, (5)
permeabilitas tanah, (6) keadaan drainase.
Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponenkomponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam
beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan
penghambat dalam penggunaannya secara lestari. (Arsyad, 2010)
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang sering digunakan adalah
sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943)
dan Klingebel dan Montgomery (1973). Menurut sistem ini lahan
digolongkan ke dalam tiga kategori utama yaitu kelas, sub-kelas dan satuan
kemampuan atau pengelolaan.
Kelas
Pengelompokkan di dalam kelas di dasarkan atas intensitas faktor
penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai
dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII. Lahan
kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya.
Lahan kelas I sesuai unutk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari
tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman
rumput, padang rumput, hutan dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas I
yang dipergunakan untuk penanaman tanaman pertanian memerlukan
tindakan pengelolaan untuk memelihara produktivitas, berupa pemeliharaan
kesuburan dan struktur tanah. Tindakan tersebut dapat berupa pemupukan
dan pengapuran, penggunaan tanaman penutup tanah dan pupuk hijau,
penggunaan sisa-sisa tanaman dan pupuk kandang, dan pergiliran tanaman.
Di dalam peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas I biasanya diberi warna
hijau.
Tanah-tanah dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau
ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau
mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan
kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya
tindakan pencegahan erosi, pengendalian air lebih atau metode pengolahan
jika dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan
pengolahan tanah. Hambatan pada kelas II sedikit, dan tindakan yang
diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan
tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan
produksi, hutan lindung dan cagar alam. Di dalam peta kelas kemempuan
lahan, lahan kelas II biasanya diberi warna kuning.
Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat
yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi
khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman
semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman
rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Jika
diusahakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian umumnya, pada
tanah yang basah, berpemeabilitas rendah tetapi hampir datar di dalam kelas
III memerlukan drainase dan pengelolaan tanah yang dapat memelihara
atau memperbaiki struktur dan keadaan olah tanah. Untuk mencegah
pelumpuran dan pemadatan dan memperbaiki permeabilitas umumnya
diperlukan penambahan bahan organik dan tidak mengolah tanah sewaktu
tanah masih basah. Pada tanah berlereng tindakan-tindakan konservasi tanah
untuk mencegah erosi , seperti guludan bersaluran, penanaman dalam strip,
penggunaan mulsa, pergiliran tanaman atau
pembuatan teras atau
kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Dalam peta kemampuan lahan,
lahan kelas III biasanya diberi warna merah.
Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan
kelas IV lebih besar dari lahan kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas.
Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih
hati-hati dan tindakan konservasi tanah yang lebih sulit diterapkan dan
dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat,
di samping tindakan yang yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan
kondisi fisik tanah. Tanah dalam kelas IV dipergunakan untuk tanaman
semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan
produksi, padang penggembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Pada peta
kemampuan lahan, lahan kelas IV diberi warna biru.
Tanah-tanah dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi
mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga
membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman
rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan
suaka alam. Tanah-tanah dalam kelas V mempunyai hambatan yang
membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman dan menghambat
pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada
topografi datar tetapi tergenang air, sering banjir atau berbatu-batu atau
iklim kurang sesuai atau kombinasi hambatan tersebut. Pada peta kelas
kemampuan, lahan kelas V biasanya diberi warna hijau tua.
Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang
menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian,
penggunaannya
terbatas
untuk
tanaman
rumput
atau
padang
penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanahtanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika dipergunakan
untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk
menghindari erosi. Peta kelas kemampuan, lahan kelas VI biasanya diberi
warna oranye.
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika
dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan
dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Pada peta kelas kemampuan
lahan, lahan kelas VII diberi warna coklat.
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih
sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat
untuk hutan lindung tempat rekreasi atau cagar alam. Pada peta kelas
kemampuan, lahan kelas VIII diberi warna putih.
Sub Kelas
Pengelompokkan dalam sub kelas berdasarkan atas jenis faktor
penghambat atau ancaman kerusakan. Jadi sub kelas adalah pengelompokan
unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman
dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifatsifat tanah, relief, hidrologi dan iklim.Terdapat beberapa jenis hambatan
atau ancaman yang dikenal pada subkelas yaitu :

Sub kelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah
terjadi. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan
erosi tanah.

Sub kelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang
disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir
yang merusak tanaman.

Sub kelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran.
Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah
terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar,
adanya batuan di permukaan lahan, kapasitas menahan air yang rendah,
sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan
natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat
pertumbuhan.

Sub kelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperature dan curah
hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan
Satuan Kemampuan (Capability Unit)
Satuan kemampuan memberikan informasi yang lebih spesifik dan
terinci untuk setiap bidang lahan daripada sub kelas. Satuan kemampuan
adalah pengelompokkan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaian bagi
tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan
tanggapan yang sama terhadap pengelolaan yang diberikan. Dengan
demikian maka lahan di dalam suatu satuan kemampuan harus cukup
seragam dalam (a) produksi tanaman pertanian atau rumput di bawah
pengelolaan yang sama, (b) kebutuhan akan tindakan konservasi dan
pengelolaan yang sama dibawah vegetasi penutup yang sama, (c)
mempunyai produktivitas potensial yang setara.
Hasil dari evaluasi kemampuan lahan inilah yang kemudian akan
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rencana penggunaan lahan
tersebut sampai pada sistem pengelolaannya (Sitorus,2004).
Oleh sebab itu penggunaan lahan haruslah berdasarkan atas
kemampuan lahan itu dan penggunaannya haruslah menuruti persyaratan
yang diperlukan agar lahan tersebut terus berproduksi serta tidak mengalami
kerusakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
2.3.2. Tindakan-Tindakan Khusus Konservasi Tanah dan Air
Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan
kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usahatani tanaman semusim
seperti tanaman pangan dan hortikultura (Abdurachman dan Sutono, 2002;
Kurnia dkk., 2005). Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman
pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar
antara 46 – 351 ton/ha/th (Sukmana, 1995).
Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan
bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa
input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu,
penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan
usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan
erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10 – 13,50
ton/ha/th, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Arsyad, 2010).
Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa
jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan
teknis (Agus dkk. 2006).
Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti
teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik
konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah,
teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi
sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada
jenis tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik
konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena
efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah dkk., 2004; Santoso dkk., 2004)
dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan
penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan
tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya
makin tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau
bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.
Hasil penelitian Erfandi dkk. (2002) pada tanah Andic Eutrudepts di
Campaka Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa dengan bedengan dengan
panjang 5 meter searah lereng yang dipotong teras gulud dan bedengan yang
dibuat searah kontur mampu mengurangi jumlah aliran permukaan dan erosi
sangat nyata. Dibandingkan dengan bedengan searah lereng, besarnya erosi
di daerah tersebut berkurang berturut-turut 50-70% pada bedengan searah
lereng dan 90-95% pada bedengan searah kontur. Selain itu sifat-sifat fisik
tanah pada kedua bedengan tersebut membaik, yaitu berat isi tanah pada
bedengan panjang 5 meter searah lereng dan bedengan searah kontur lebih
rendah dibandingkan berat isi tanah pada bedengan lainnya. Demikian juga
pori aerasi dan pori air tersedia pada kedua macam bedengan tersebut lebih
baik.
Penerapan teknik konservasi secara vegetatif pada lahan sayuran juga
cukup efektif mengurangi erosi. Hasil penelitian Soleh dan Arifin (2003) di
Sundoro, Lumajang Jawa Timur menunjukkan bahwa aplikasi strip rumput
dengan jarak antar strip 10 m dan bedengan tetap searah lereng dapat
menurunkan erosi sekitar 28% (dari 26 ton/ha menjadi 12 ton/ha).
Penerapan strip rumput yang disertai dengan perubahan arah bedengan
dapat menurunkan erosi sampai < 10 ton/ha.
Penanaman tanaman penutup tanah dan penutupan permukaan
tanah dengan sisa-sisa tanaman merupakan teknik konservasi secara
vegetatif/kultur teknis yang mudah dilaksanakan. Adanya tanaman
penutup tanah dan mulsa organik dapat menahan percikan air hujan dan
aliran air di permukaan tanah sehingga pengikisan lapisan atas tanah
dapat ditekan (Nelson dkk., 1991, Anwarudinsyah dkk., 1993). Di
samping itu juga dapat memelihara struktur tanah, meningkatkan
infiltrasi tanah, mengurangi pencucian hara, dan menekan pertumbuhan
gulma (Sarief, 1985), sehingga akan menambah kemampuan tanah
dalam mendukung tanaman yang ada di atasnya. Untuk tanaman penutup
tanah harus dipilih jenis-jenis tanaman yang mudah diperbanyak
(sebaiknya dengan biji), mempunyai sistem perakaran yang tidak
memberikan persaingan berat dengan tanaman pokok, dapat tumbuh
cepat dan banyak menghasilkan daun, tahan pemangkasan, dan mampu
mengikat N bebas.
Menurut Anwarudinsyah dkk. (1993) penanaman tomat di antara
barisan tanaman lorong atau tanaman penutup tanah Felmingia
congesta meningkatkan hasil tomat hingga 20%, dan hasil pangkasan
tanaman penutup tanah tersebut yang dikembalikan ke tanah sebagai
mulsa, cukup efektif untuk menekan laju erosi. Hasil penelitian
Sumarni dkk. (2006) di dataran tinggi Samarang Kabupaten Garut
menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah dapat ditekan baik dengan
pemberian mulsa organik ataupun dengan penanaman tanaman penutup
tanah. Pemakaian mulsa jerami dan mulsa sisa-sisa tanaman sama
efektifnya dalam menekan erosi. Tingkat erosi tanah dengan pemberian
mulsa organik tersebut dapat ditekan sebesar 34,82%. Begitu pula
penggunaan tanaman kacang jogo, kacang tanah, dan ubi jalar sebagai
tanaman penutup tanah dapat menekan tingkat erosi tanah, berturut-turut
sebesar 22,41%, 39,65%, dan 41,38% (Tabel 2)
Tabel 2. Pengaruh tanaman penutup tanah dan mulsa organik terhadap
tingkat erosi tanah di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut .
Erosi Tanah (kg/m 2)
Perlakuan Konservasi Tanah
Mulsa Organik
- Tanpa mulsa
- Jerami
- Sisa tanaman
Tanaman Penutup Tanah
- Tanpa tanaman penutup tanah
- Kacang jogo
- Kacang tanah
- Ubi jalar
Sumber : Sumarni dkk. (2006)
0,56a
0,37b
0,36b
0,58a
0,45b
0,35c
0,34c
Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan
produktivitas
lahan
kering.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan
Osborne, 1982; Suwardjo dkk., 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan
organik tanah (Rachman dkk., 2004). Olah tanah konservasi (OTK)
merupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan
produktivitas lahan tetap tinggi (Brown dkk., 1991; Wagger dan Denton,
1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan
tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya
sebagai
mulsa,
kadang-kadang
(namun
tidak
dianjurkan)
disertai
penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman
pengganggu lainnya.
2.3.3. Menyiapkan Tanah dalam Keadaan Olah yang Baik
Paling tidak dikenal tiga fungsi pengolahan tanah, yaitu (1) untuk
menggemburkan tanah, (2) memberantas tanaman pengganggu, sehingga
persaingan antara tanaman utama dan tanaman pengganggu terhadap
kebutuhan unsur hara dan air dapat dikurangi, dan (3) memasukkan sisa-sisa
tanaman ke dalam tanah.
Ditinjau dari saatnya dilakukan, dikenal dua macam pengolahan tanah,
yaitu (1) pengolahan tanah sebagai persiapan untuk penanaman, misalnya
pencangkulan dan pembajakan, dan (2) pengolahan tanah setelah tanaman
tumbuh, biasanya pengolahannya lebih ringan dan tidak sedalam seperti
yang dilakukan pada no (1) di atas.
Pengolahan tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan air tanah pada
saat mengolah. Atterberg telah memberikan batasan-batasan dalam
kandungan air tanah yang umumnya disebut angka-angka atau konstanta
Atterberg, yang dapat digunakan untuk menentukan batas waktu pengolahan
tanah yang terbaik. Bila tanah diolah pada keadaan basah, maka akan mudah
terjadi pemadatan, dan struktur tanah akan rusak. Sebaliknya bila tanah
diolah dalam keadaan kering, akan terjadi penghancuran agregat-agregat
tanah. Oleh karena itu pengolahan tanah pada keadaan kering maupun basah
dapat mengakibatkan kerusakan pada struktur tanah. Keadaan olah yang
baik dinyatakan sebagai suatu keadaan dimana terbentuk struktur remah.
Dalam keadaan seperti ini akan terjadi perbaikan-perbaikan dalam hal
peredaran atau sirkulasi udara dalam tanah. Keadaan olah yang baik dapat
dicapai apabila tanah diolah dalam keadaan lembab.
2.3.4. Menggunakan Sistem Pergiliran Tanaman yang Tersusun Baik
Pergiliran tanaman adalah sistem penanaman berbagai tanaman secara
bergilir dalam urutan waktu tertentu pada satu bidang tanah. Pergiliran dapat
berupa padi-palawija, padi-tanaman penutup tanah/pupuk hijau atau
palawija-tanaman penutup tanah/pupuk hijau. Pada tanah-tanah berlereng
pergiliran yang efektif untuk pencegahan erosi adalah menurut pola tanaman
bahan makanan-tanaman penutup tanah.
Pergiliran tanaman memberikan keuntungan antara lain : (1)
pemberantasan hama dan penyakit; menekan populasi hama dan penyakit
karena memutuskan siklus hidup hama dan penyakit atau mengurangi
sumber makanan dan tempat hidup hama dan penyakit, (2) pemberantasan
gulma; penanaman satu jenis tanaman tertentu terus menerus akan
meningkatkan pertumbuhan jenis-jenis gulma tertentu, (3) mempertahankan
dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah; jika sisa atau
potongan tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah
akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air,
mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah; jika tanaman
tersebut adalah leguminosa akan menambah kandungan nnitrogen tanah dan
akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorbsi unsur dari
kedalaman dan preferensi yang berlainan.
Sistem
pergiliran
tanaman
yang
tersusun
baik,
selain
dari
mempertahankan kesuburan tanah, menghindari kerusakan tanah dan
mempertinggi produksi per satuan luas, per musim, per tahun.Pengaruh
sistem pergiliran tanaman dalam mengurangi atau mencegah erosi dan
dalam meningkatkan produksi tanaman masih sangat terbatas diketahui
karena masih kurangnya penelitian dilakukan. Sebagai gambaran diberikan
contoh urutan berbagai sistem pergiliran tanaman terhadap kerusakan oleh
erosi yang dihasilkan oleh Universitas Purdue seperti tertera pada Tabel 3.
Tabel ini menunjukkan bahwa makin lama tanah digunakan untuk
penanaman tanaman yang ditanam berjarak dan dalam barisan (row crops)
makin besar kemungkinan terjadinya erosi.
Tabel 3. Urutan beberapa sistem pergiliran tanaman menurut besar
pengaruhnya terhadap kerusakan tanah (urutan ke bawah
menunjukkan makin besar ancaman erosi)
Nomor Urut
Sistem Pergiliran Tanaman
1
G–M–M–M
2
R–G–M–M
3
R–G–M
4
R–R–G–M–M
5
R–R–G–M
6
R – R – G – M – R – G (SC)
7
R – G (SC)
8
R–R–R–G–M
9
R – R – G (SC)
10
R–R–R–R-R
Keterangan :
G
= Tanaman biji-bijian kecil (jenis-jenis gandum : Wheat, Oats, Rye)
M
= Rumput untuk ternak
R
= Tanaman yang ditanam dalam barisan seperti jagung, kedelai,
kacang tanah, dan singkong
(SC) = Tanaman penutup tanah
2.3.5. Menyediakan Unsur Hara yang Cukup dan Seimbang Bagi
Pertumbuhan Tanaman
Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan
kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini
berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya
dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan
pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung
berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah
pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah
pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso dkk. (2005) menunjukkan
pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara
berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran
tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah,
dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman
menurun (Santoso dan Sofyan, 2005). Hara yang tidak termanfaatkan
tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian
pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini
masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat
menimbulkan
ketidakseimbangan
kandungan
hara
tanah
sehingga
menurunkan produktivitas tanaman. Penerapan teknologi pemupukan
organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk
organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau
sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat
dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga
penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan
mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur
tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan.
Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati
(biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu
tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk
hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat
untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi
sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar,
3) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup
bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit
pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik.
2.4. Pertanian Berkelanjutan
Pertanian
berkelanjutan
merupakan
salah
satu
pendekatan/implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Dalam The
Bruntland Commission Report Tahun 1987 yang berjudul “Our Common
Future”
dijelaskan
batasan
atau
pengertian
tentang
pembangunan
berkelanjutan, sebagai berikut : “Sustainable Development is defined as
development that meet the needs of the present without compromising the
ability of futuregenerations to meet their own needs”, artinya :
Pembangunan
Berkelanjutan
merupakan
pembangunan
yang
dapat
menjamin terpenuhinya kebutuhan penduduk generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya (Mitchell dkk., 2010).
Dari
batasan/definisi
tersebut
dapat
dikemukakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian, yaitu : (1)
memenuhi kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan
penduduk di masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung
lingkungan (ekosistem), dan (3) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya
alam. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki
tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, yaitu : tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi (ecological
objective) dan tujuan sosial (sosial objective).
Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan
pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang
konservatif dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu
cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan,
air, genetik tanaman dan hewan terpelihara atau lingkungan tidak
terdegradasi, teknologi yang tepat, dan memberikan pendapatan yang tinggi
secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani dan menekan
dampaknya terhadap lingkungan, maka sistem usahatani konvensional perlu
diubah menjadi sistem usahatani konservasi untuk mewujudkan sistem
pertanian berkelanjutan yang memiliki ciri pemanfaatan sumberdaya efisien
dan efektif serta pengendalian degradasi lahan terutama akibat erosi dan
teknik budidaya yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan
tanaman. Secara umum dalam sistem produksi pertanian yang berkelanjutan
harus terjadi transformasi pertanian dari subsisten menjadi pertanian
produktif yang tangguh, sehingga sistem pertanian tersebut dapat
mengurangi kemiskinan dengan memberikan pendapatan yang cukup dan
pada waktu yang sama juga mengkoservasi sumberdaya lahan secara efektif
(Khisa, 2002).
Konsep keberlanjutan di bidang pertanian mengandung pengertian
bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, guna menjaga keberlanjutan
pertanian dalam jangka panjang dan lintas generasi. Dengan demikian
sustainability merupakan suatu konsep yang dinamis dan pertanian
berkelanjutan mencakup keberhasilan pengelolaan sumberdaya untuk
pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah
sekaligus memelihara atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
konservasi sumberdaya alam (Harwood dan Kassam, 2003).
Berdasarkan definisi dan tujuannya, maka indikator keberlanjutan
suatu sistem pertanian harus mencakup semua aspek yang terkandung di
dalamnya terutama aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Namun yang
terpenting
dalam
menentukan
indikator
keberlanjutan
bukan
pengelompokan aspek-aspek tersebut, melainkan variabel dan kriteria setiap
aspek yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan sistem
tersebut. Menurut Sinukaban (2007) ada tiga ciri utama suatu sistem
pertanian berkelanjutan yaitu : 1) pendapatan petani atau produksi usahatani
harus cukup tinggi sehingga petani bergairah meneruskan usahanya, jika
pendapatannya tidak mencukupi cepat atau lambat petani akan mengganti
usahanya; 2) erosi dalam sistem usahatani tersebut harus lebih kecil dari
Etol agar produktivitas yang tinggi dapat dipertahankan atau ditingkatkan
secara terus menerus, jika erosi > Etol maka produktivitas akan menurun
dan cepat atau lambat tidak memberikan hasil yang optimal; dan 3)
teknologi pertanian atau sistem produksi yang dianjurkan harus dapat
diterapkan dan dikembangkan oleh petani terus menerus dengan
pengetahuan dan sumberdaya lokal secara substansial, jika teknologi yang
dianjurkan tidak dapat diterapkan oleh petani, maka petani akan mengganti
dengan teknologi yang mampu diterapkannya.
Agar ciri diatas terwujud, maka dalam sistem pertanian berkelanjutan
itu harus diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang
menempatkan setiap bidang tanah itu dalam penggunaan yang sesuai dengan
kemampuannya dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang
diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu di dalam sistem pertanian berkelanjutan
akan diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan
memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang
dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
2.5. Sistem dan Pendekatan Sistem
Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya
lahan secara lestari ternyata sangat beragam dan rumit. Dengan demikian
upaya pemecahannya memerlukan suatu pendekatan sistemik yang bersifat
komprehensif, sibernetik, dan efektif (Gao dkk., 2003).
Suatu sistem
didefinisikan sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan
dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Lebih lanjut Hartrisari
(2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang
saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan.
Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat
didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari
sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem
mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem
sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan.
Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat
dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih
kecil disebut dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau
manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut
mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan
keterkaitan di antara komponen dan atribut (Muhammadi dkk., 2001).
Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep
yng bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem (system
thinking) dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau
pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir
sistem menyediakan pengetahuan tentang mekanisme untuk membantu
pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari
hubungan sebab akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi
permasalahan utama, dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao
dkk., 2003).
Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir
sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial;
system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernetik (goal
oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal
oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3)
efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen,
di mana suatu aktivitas mentransformasikan input menjadi output yang
dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang
efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding
efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient, akan lebih baik
apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien.
Pendekatan sistem (system approach) adalah suatu metodologi
penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara
efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks
oleh karena itu pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian
melalui pemahaman yang utuh (Eriyatno, 2003). Lebih lanjut menurut
Marimin (2004) pendekatan sistem adalah suatu
pendekatan analisis
organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis.
Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
sistem
dan
memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah
dalam kerangka sistem.
Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem
diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari
berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk
menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur
koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak
hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan
pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang
menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan
kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus
disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama
berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat
memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu
sistem dalam mencapai tujuan.
2.5.1. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Thomas L.
Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan sebuah hierarki fungsional
dengan input utamanya persepsi manusia. Karena menggunakan input
persepsi manusia, AHP dapat digunakan untuk mengolah data yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu AHP mempunyai kemampuan untuk
memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi kriteria yang
didasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hierarki
Di samping bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu
proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur. Kegiatan
tersebut dilakukan oleh ahli-ahli yang representatif berkaitan dengan
alternatif-alternatif yang akan disusun prioritasnya (Bougeois, 2005).
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu
model pengambilan keputusan yang sering digunakan. Sebagai contoh,
Bayazit and Karpak (2005) menggunakan AHP dalam menyeleksi pemasok
(supplier) untuk pasar modern. Pemilihan berbagai alat transportasi dengan
menggunakan AHP dilakukan oleh Teknomo (1999). Alphonce (1997) juga
menggunakan AHP di bidang petanian untuk memilih jenis tanaman yang
cocok dikembangkan di daerah berkembang.
Menurut Bourgeois (2005) AHP umumnya digunakan dengan tujuan
untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif/pilihan yang ada dan
pilihan-pilihan tersebut bersifat kompleks atau multi kriteria. Secara umum,
dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat
konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan
yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP
akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik
yang menuntut transparansi dan partisipasi. Secara garis besar, ada tiga
tahapan AHP dalam penyusunan prioritas, yaitu : 1) Dekomposisi dari
masalah; 2) Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil
dekomposisi; dan 3) Sintesis dari prioritas.
2.5.2. Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural
Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural
(Interpretative Structural Modelling) atau disingkat ISM. Menurut Eriyatno
(2003), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process)
dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang
kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama
dengan menggunakan grafis dan kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu
teknik pemodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari
perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik
penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. ISM merupakan
salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok
mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang
kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe
struktur termasuk pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur
prioritas (misalnya: ‘lebih penting dari’ atau ‘sebaiknya dipelajari
sebelumnya’) dan kategori ide (misalnya: ‘termasuk dalam kategori yang
sama dengan’).
ISM menghasilkan elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam
bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki.
Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktorfaktor penilaian, dll. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang
beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual).
Langkah-langkah penyelesaian ISM: (1) Mengidentifikasi elemen, (2)
Hubungan konseptual, (3) Matrik interaksi tunggal terstruktur, (4) Matrik
Reachability, (5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi
elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM, (6)
Matriks Canonical: pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama
mengembangkan matrik ini, (7) Diagraph: sebuah grafik dari elemenelemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki, dan (8)
Interpretive Structural Model: memindahkan seluruh jumlah elemen dengan
deskripsi elemen aktual, sehingga memberikan gambaran yang sangat jelas
dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.
Penyelesaian bisa secara manual atau menggunakan program ISMTMI (Kustanto, 1999). Teknik ISM memberikan basis analisis dimana
informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta
perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi
menjadi sembilan elemen, yaitu: (1) Sektor masyarakat yang terpengaruh,
(2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala utama, (4) Perubahan yang
dimungkinkan, (5) Tujuan dari program, (6) Tolak ukur untuk menilai setiap
tujuan, (7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8)
Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas,
dan (9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
2.6. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini yang
dilakukan oleh beberapa peneliti, hasilnya diuraikan berikut ini.
Pfister dkk.
(2005) melakukan penelitian tentang “Dynamic
modelling of resource management for farming systems”. Penelitian ini
dilakukan di dataran tinggi Nikaragua. Enam skenario yang dipilih untuk
analisis dibagi menjadi dua kelompok yaitu : usahatani minimum (minimum
farm)
dan usahatani monokultur. Simulasi menunjukkan bahwa faktor
kunci dari sistem yang diteliti adalah jenis tanaman, ketersediaan tenaga
kerja, dan pemupukan. Hasil simulasi minimum farm antara lain : a) petani
membutuhkan hampir dua kali lipat lahan usahatani untuk memenuhi
kebutuhan pokok keluarga petani, b) tenaga kerja keluarga belum dapat
memenuhi kebutuhan minimum mereka tanpa mempekerjakan tenaga kerja
luar, dan c) dengan meningkatkan input pupuk, petani bisa meningkatkan
produksi mereka.
Hasil simulasi usahatani monokultur antara lain : a)
jagung menghasilkan banyak kalori per hektar per tahun, dan kacangkacangan menghasilkan protein dan nilai tambah tertinggi. b) produksi
kacang-kacangan sangat dibatasi oleh kekurangan tenaga kerja selama
menabur benih.
Wibowo (2008) melakukan penelitian tentang “Model Pengelolaan
Usahatani Dataran Tinggi Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan”.
Penelitian dilaksanakan di kawasan agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur.
Hasil penelitian keberlanjutan USDT dengan analisis rap-fish menunjukkan
bahwa kondisi pengelolaan USDT di kawasan agropolitan Pacet belum
berkelanjutan, karena indeks keberlanjutannya baru mencapai 49,29%. Hasil
analisis tingkat penerapan teknologi Asta USDT oleh petani telah mencapai
72% atau termasuk kategori baik. Usaha budidaya wortel, bawang daun,
caisim dan lobak termasuk dalam kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai
marginal), sedangkan brokoli termasuk dalam kelas keseuaian lahan S2
(cukup sesuai). Analisis komoditas unggulan dengan metode CPI
menghasilkan wortel dan bawang daun merupakan komoditas unggulan di
kawasan agropolitan Pacet, selanjutnya berdasarkan Metode Perbandingan
Eksponensial diperoleh tepung wortel merupakan usaha agroindustri yang
paling prospektif pada komoditas wortel dan bawang daun bumbu dapur
untuk
komoditas
bawang
daun.
Berdasarkan
hasil
analisis
erosi
menggunakan menggunakan metode USLE diperoleh laju erosi rata 222,045
ton/ha/th yang bila diasumsikan berat volume tanah 1,2 gr/cm3, maka ratarata tanah tererosi setebal 18, 5 mm/th. Bila dibandingkan dengan laju erosi
yang masih dapat dibiarkan yaitu 30 ton/ha/th atau 2,5 mm/th, maka indeks
bahaya erosinya sebesar 7,4 yang termasuk kategori tinggi.
Hasil analisis persepsi dan partisipasi menggunakan analisis skala
Likert menunjukkan pendapat masyarakat terhadap pengelolaan USDT
berkelanjutan termasuk kategori setuju dengan nilai rata-rata 3,67,
sedangkan masyarakat tani di kawasan agropolitasn Pacet termasuk kurang
berpartisipasi aktif dengan nilai rata-rata 2,29. Analisis pengambilan
keputusan pengelolaan USDT berkelanjutan dengan Analytical Hierarchy
Process (AHP) diperoleh alternatif pengelolaan USDT berkelanjutan adalah
program pembangunan pertanian terpadu dan agrowisata. Rancangan model
yang dihasilkan merupakan model dinamik pengelolaan usahatani sayuran
dataran tinggi yang baik, karena sesuai dengan kondisi aktualnya, valid dan
sensitive, hal ini berdasarkan nilai Absolutes Mean Error (AME) sebesar
0,137%. Menurut Wibowo (2008) , implementasi model
pengelolaan
USDT berkelanjutan dikawasan agropolitan memerlukan
kesungguhan
pemerintah kabupaten dengan kebijakan komprehensif melalui pola
pemecahan masalah, peningkatan kinerja, percepatan adopsi teknologi dan
kemitraan mencakup semua subsistem agribisnis dengan program utama
pengembangan pertanian terpadu.
Widiriani (2009) melakukan penelitian “Model Ecofarming untuk
Mewujudkan Sistem Usahatani Berkelanjutan di Lahan Dataran Tinggi yang
Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat”. Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko
Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem
usahatani lahan dataran tinggi di Kecamatan Lembang dan Dongko
termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan, ditunjukkan dengan nilai
indeks keberlanjutan rata-rata untuk lima dimensi < 50 (pada skala 1 – 100).
Untuk Kecamatan Lembang berturut-turut nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekologi, ekonomi, Sosial, Kelembagaan, dan Teknologi, yaitu
sebesar : 35,47; 38,14; 56,42; 34,49; dan 17,30, sedangkan untuk
Kecamatan Dongko sebesar : 24,16; 47,13; 63,78; 64,78; dan 41,55.
Variabel pengungkit dan variabel dominan yang digunakan untuk
meningkatkan status keberlanjutan usahatani di kedua wilayah penelitian
adalah : pengaturan proporsi tanaman semusim terhadap tanaman tahunan,
pemanfaatan sumber bahan organik lokal (jumlah ternak), jumlah bahan
organik tanah, produktivitas lahan, harga produk pertanian, harga faktor
produksi, laju erosi aktual, laju infiltrasi, laju aliran permukaan,
pertumbuhan rumah tangga pertanian (RTP), dan intervensi pemerintah.
Menurut
Widiariani
(2009)
keinginan
pemerintah
mengembalikan seluruh fungsi lahan dataran tinggi sebagai
untuk
kawasan
lindung sangat sulit direalisasikan, karena bagi petani bertani adalah cara
hidup sehingga cenderung untuk menolak jika harus dipindahkan ke tempat
lain. Oleh karena itu diperlukan model ecofarming sebagai model
pengelolaan kawasan yang dapat menjalankan fungsi lindung dan fungsi
budidaya secara bersamaan sebagai bentuk penyelesaian yang dapat
diterima oleh berbagai pihak. Penerapan model ecofarming akan menjamin
keberlanjutan fungsi lindung dan fungsi budidaya yang terukur dari manfaat
ekonomi berupa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, manfaat
sosial dalam bentuk stabilitas sosial masyarakat serta manfaat ekologi
berupa kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
BAB III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Permasalahan utama pada usahatani cabai pada lahan dataran tinggi
Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut adalah kerusakan/degradasi lahan
akibat erosi yang terus menerus terjadi pada lahan usahatani. Degradasi
lahan yang terjadi menyebabkan penurunan kesuburan tanah, dan penurunan
produktivitas lahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan
petani karena produksi tanaman cabai yang menurun. Masalah degradasi
lahan juga terkait dengan fragmentasi lahan usahatani, dimana penguasan
lahan yang sempit sehingga terjadi inefisiensi pengelolaan usahatani dan
praktek pengelolaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air.
Permasalahan usahatani cabai pada dataran tinggi dapat diatasi dengan
membangun model usahatani cabai berkelanjutan yang salah satu indikator
pengukurannya adalah pendapatan petani dapat memenuhi Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). Model ini diharapkan juga dapat mengendalikan erosi
hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (ETol)
melalui penerapan agroteknologi spesifik lokasi, sehingga dapat diterima
dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Indikator
tersebut sesuai dengan konsep sistem pertanian konservasi (SPK) yang
merupakan aplikasi paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan
dengan tiga pilar atau dimensi keberlanjutan (Sinukaban, 2007).
Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang
mengintegrasikan teknik konservasi tanah ke dalam sistem pertanian yang
telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani sekaligus menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat
berlanjut secara terus menerus. Sistem pertanian konservasi dicirikan oleh :
1)
agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan diterapkan petani
sesuai dengan kemampuannya secara terus menerus, 2) komoditas yang
diusahakan sesuai dengan kondisi biofisik daerah,diterima petani dan laku
di pasar, 3) erosi minimal sehingga produktivitas lahan dapat terpelihara
secara berkesinambungan, dan 4) produksi pertanian dan pendapatan cukup
tinggi (Sinukaban 2007).
Langkah-langkah yang harus dilakukan di dalam perencanaan SPK
adalah, meliputi : (a) inventarisasi keadaan biofisik daerah, (b) inventarisasi
keadaan sosial ekonomi petani, dan (c) inventarisasi pengaruh luar
(Sinukaban 2007). Inventarisasi keadaan biofisik wilayah, seperti iklim,
sifat-sifat tanah topografi, dan penggunaan lahan. Data ini akan diperlukan
untuk menganalisis prediksi erosi dan nilai erosi yang dapat ditoleransikan
(ETol), menentukan agroteknologi yang diperlukan, serta teknik konservasi
yang sesuai. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti : jumlah
anggota keluarga, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pengetahuan
teknologi budidaya dan pasca panen, pendapatan usahatani, serta persepsi
tentang erosi dan partisipasi dalam tindakan konservasi tanah. Inventarisasi
pengaruh luar, seperti pasar/pemasaran hasil, perangkat penyuluhan,
lembaga keuangan pedesaan, dan organisasi yang berkaitan dengan petani.
Secara komprehensif pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi
berkelanjutan memiliki beberapa dimensi terkait yang terdiri dari aspek
ekologis, aspek ekonomi, aspek social dan kelembagaan. Oleh karena itu,
pembangunan model untuk keberlanjutan produksi cabai sebaiknya
terstruktur melalui pengintegrasian berbagai dimensi tersebut.
Aspek ekologi didekati dengan daya dukung lahan dalam hal ini
dilakukan analisis prediksi erosi di lahan usahatani cabai, sehingga dapat
ditentukan alternatif teknik konservasi tanah dan air yang efektif dan efisien
untuk menekan laju erosi di lahan dataran tinggi agar produktivitas cabai
meningkat. Aspek ekonomi didekati dengan penentuan besarnya pendapatan
petani cabai dan seberapa besar kontribusi pendapatan usahatani cabai
terhadap kebutuhan hidup layak petani yang terdiri atas kebutuhan fisik
minimal dan kebutuhan hidup tambahan (pendidikan dan sosial, kesehatan
dan rekreasi, asuransi dan tabungan). Parameter ini menjadi acuan untuk
mengukur tingkat kemampuan petani mengelola lahannya secara lebih baik.
Aspek sosial dan kelembagaan didekati dengan persepsi dan partisipasi
petani terhadap usaha-usaha konservasi tanah termasuk lembaga atau
organisasi yang mendukung keberlanjutan usahatani.
Dengan pengintegrasian berbagai aspek tersebut, diharapkan dapat
dirumuskan suatu model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada
dataran tinggi yang dapat mengendalikan erosi hingga batas erosi yang
dapat ditoleransi sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman cabai dan
memberikan pendapatan petani yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup
Layak. Kerangka pemikiran model usahatani cabai dataran tinggi
berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1.
USAHATANI CABAI
PADA LAHAN DATARAN TINGGI
Permasalahan Utama
- Usahatani subsisten
- Erosi tinggi
- Produktivitas rendah
Karakteristik biofisik :
Iklim, Tanah, Topografi,
Penggunaan lahan
Faktor
Ekologi
 Pendugaan
Erosi
Karakteristik sosial ekonomi dan
kelembagaan
Karakteristik petani, Persepsi dan
partisipasi petani, Perangkat kelembagaan
Faktor
Ekonomi
 Petak
percobaan
erosi
 Analisis
Pendapatan
 Analisis KHL
Faktor
Sosial dan
Kelembagaan


Indikator :
AHP
ISM
Indikator :
Pendapatan ≥
KHL
Erosi ≤ ETol
Model pengelolaan usahatani
cabai berkelanjutan pada
lahan dataran tinggi
Perbaikan pengelolaan usahatani
- Erosi minimal << ETol
- Produktivitas meningkat
- Pendapatan usahatani tinggi
- Kebutuhan Hidup Layak Terpenuhi
- Agroteknologi acceptable dan replicable
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Penentuan areal penelitian
ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu : (a) Lokasi penelitian ini
dipilih untuk mewakili kondisi lahan dataran tinggi yang ada di Jawa Barat,
dimana lokasi penelitian berada pada ketinggian 1.200 – 1.300 meter diatas
permukaan laut, (b) Kabupaten Garut merupakan sentra produksi sayuran
khususnya tanaman cabai terbesar di Jawa Barat, dan Kecamatan Cikajang
adalah salah satu sentra produksi tanaman cabai di Kabupaten Garut (c)
Kondisi lahan di lokasi penelitian telah mengalami degradasi akibat erosi
yang indikasinya dapat dilihat pada kandungan sedimen tanah yang tinggi
dalam air sungai yang senantiasa keruh sepanjang tahun.
Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Pelaksanaan penelitian di lapangan selama ± 10 bulan, mulai dari
bulan Januari 2013 sampai bulan Oktober 2013.
4.2.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Peta yaitu : Peta semi detil (skala 1 : 50 000) yang terdiri dari peta
administrasi wilayah Kabupaten Garut, peta kemiringan lereng, peta
penggunaan lahan, dan peta tanah.
2. Bahan yang diperlukan untuk percobaan lapangan yaitu : bibit cabai dan
bibit kubis, pupuk (Kandang, Urea, Sp-36, KCl), pestisida, ajir, tali,
drum, terpal, ember, pipa paralon),
3. Bahan-bahan untuk analisis sifat kimia tanah di laboratorium yaitu
Natrium pirofosfat dan amilalkohol (untuk analisis tekstur), H2SO4,
NaOH, HCl, Selenium, H3BO3, dan Indikator Conway (penetapan N
total dengan Kjeldahl method), HCl (penetapan P dan K dengan ekstrak
HCl 25%) dan K2Cr2O7, H2SO4, FeSO4, indikator ferroin, KMnO4, dan
natrium oksalat (penetapan C-organik dengan Walkley-Black).
4. Bahan-bahan untuk survei lapangan yaitu kuesioner untuk wawancara
sosial ekonomi masyarakat.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1. Peralatan yang digunakan di lapangan yaitu : meteran, bor tanah (untuk
mengambil samper tanah), infiltrometer (untuk mengukur infiltrasi),
ombrometer (untuk mengukur curah hujan), kamera digital, cangkul,
dan pisau.
2. Peralatan yang digunakan di laboratorium yaitu : ayakan kering dan
basah (untuk penetapan stabilitas agregat); gelas piala, milk shaker,
hydrometer, tabung sedimentasi, termometer, dan bak air pengatur suhu
(untuk analisis tekstur); oven (untuk penetapan BD, kadar air, dan
jumlah
sedimen),
timbangan
elektrik,
Atomic
Absorption
Spectrophotometry atau AAS (untuk penetapan sifat kimia tanah).
3. Seperangkat personal komputer (PC) dan
Software yang digunakan
untuk analisis data adalah, MS. Excel, SPSS ver. 16, Criterium Decision
Plus ver. 3.0, dan Interpretative Structural Modelling-Firman
4.3. Cakupan Kegiatan Penelitian
Pengambilan data primer dilakukan pada tingkat usahatani cabai
(Capsicum annuum). Petani responden merupakan petani cabai yang berada
pada sentra produksi cabai di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut, yang
berstatus petani pemilik, pengelola atau penggarap lahan usahatani cabai
dan berusahatani cabai sebagai sumber pendapatan utama pada musim
tanam 2013/2014. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)
berdasarkan data base Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten
Garut (2013) bahwa Kecamatan Cikajang merupakan sentra produksi cabai
terbesar di Kabupaten Garut. Jumlah petani cabai di Kecamatan Cikajang
(N) adalah 218 petani. Petani responden di Kecamatan Cikajang dipilih
secara acak (random sampling). Jumlah respoden pada penelitian ini
dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (Sevila dkk., 1993) :
.…..…………….………………………...….... (1)
di mana :
ni
= Jumlah sampel/responden satuan kecamatan homogen i
Ni
= Jumlah populasi (jumlah petani pada satuan kecamatan
homogen i)
E
= Galat yang diterima (10%)
Dengan demikian jumlah petani responden (n) adalah 69 petani yang
tersebar di 12 (duabelas) desa. Setelah itu petani responden di stratified
berdasarkan kemiringan lereng dan pola tanam.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian.
Untuk mencapai output yang diharapkan, secara garis besar kegiatan
penelitian mencakup empat kegiatan pokok, yaitu : (1) analisis prediksi
erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai, (2) analisis pendapatan
usahatani cabai dan analisis kontribusi pendapatan usaha tani cabai terhadap
kebutuhan hidup layak petani, (3) penentuan alternatif teknik konservasi
tanah yang dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan produksi tanaman
cabai dan (4) penyusunan model pengelolaan usahatani sayuran dataran
tinggi berkelanjutan.
4.4. Rancangan Penelitian
4.4.1. Analisis Prediksi Erosi
4.4.1.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan untuk prediksi erosi adalah curah hujan
rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan, curah hujan
maksimum 24 jam bulanan, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, bahan
organik tanah,
permeabilitas tanah, penggunaan lahan, panjang lereng,
kemiringan lereng, pengelolaan lahan, kedalaman efektif tanah, laju
pembentukan tanah dan masa pakai tanah.
Data iklim bersumber dari
stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi penelitian sedangkan data tanah
diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan dan hasil
analisis laboratorium tanah.
4.4.1.2. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan contoh tanah komposit untuk analisis laboratorium
dilakukan pada setiap unit lahan petani responden. Contoh tanah
dikumpulkan dari 5 (lima) titik pengambilan menggunakan bor tanah
sedalam lapisan olah atau topsoil tanah sekitar 0 - 20 cm, kemudian sampelsampel tanah individu tersebut di campur secara merata dan diambil sekitar
1 kg untuk dianalisis di laboratorium tanah. Dengan demikian jumlah
keseluruhan sampel tanah adalah 69 sampel. Parameter fisik dan kimia
tanah serta metode analisis tanah yang digunakan selengkapnya disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Parameter fisik-kimia tanah serta metode analisis yang digunakan
Parameter Fisik Kimia Tanah
C organik (%)
N total (%)
P2O5 (ppm)
K2O (cmol+ /kg)
Tekstur (3 fraksi)
Metode Analisis
Walkley and Black
Kjeldhal
Bray dengan spektrofotometer
Bray dengan flamefotometer
Pipet (gravimetri)
4.4.1.3. Teknik Analisis Data
Analisis prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani dapat
menggunakan pendekatan persamaan prediksi kehilangan tanah secara
komprehensif atau the Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE
merupakan model kotak hitam untuk memprediksi erosi dari suatu bidang
tanah, yang memungkinkan menduga rata-rata laju erosi suatu tanah tertentu
pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap
macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah)
yang mungkin dilakukan atau sedang dipergunakan. Prediksi erosi (A)
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Wischmeier dan Smith,1978
dalam Arsyad, 2010):
A
=
R * K * LS * C * P…………...……………….(2)
di mana :
A
= Rata-rata jumlah tanah tererosi setiap tahun (ton/ha/th)
R
= Indeks daya erosi oleh hujan (erosivitas hujan)
K
= Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS
= Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C
= Faktor tanaman (vegetasi)
P
= Faktor usaha-usaha pencegahan erosi/tindakan erosi
Indeks Erosivitas Hujan. Indeks erosivitas hujan (R) didekati dengan
Indeks Erosivitas Hujan Wischmeier (EI30), di mana R adalah jumlah satuan
indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi kinetik hujan
total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (EI30) tahunan.
Besarnya nilai EI30 dapat dihitung dengan persamaan Lenvain (Asdak,
2002) sebagai berikut:
………...…...(3)
di mana:
EI30
= indeks erosivitas hujan bulanan rata-rata
RAIN
= curah hujan rata-rata bulanan (cm)
DAYS
= jumlah hari hujan rata-rata bulanan (hari)
MAXP
= curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm)
Faktor Erodibilitas Tanah. Faktor erodibilitas tanah
menunjukkan
resistensi
partikel
tanah
terhadap
pengelupasan
(K)
dan
transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energy kinetik hujan. Pada
penelitian ini nilai K diduga dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut (Arsyad, 2010) :
……(4)
di mana :
M
= persentase pasir sangat halus dan debu (diameter 0,1 – 0,05 mm
dan 0,05 – 0,02 mm) x (100 – persentase liat)
b
= kode tipe struktur tanah (Lampiran 1)
c
= kelas permeabilitas tanah (Lampiran 2)
a
= persentase bahan organik tanah
Faktor Panjang Lereng dan Kemiringan Lahan. Faktor indeks
topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan
kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Dalam prediksi erosi
menggunakan persamaan USLE komponen panjang dan kemiringan lereng
diintegrasikan menjadi faktor LS dan dihitung dengan rumus, sebagai
berikut:
…...…………...…..(5)
di mana:
LS
= faktor lereng
L
= panjang lereng (m)
S
= kemiringan lereng (%)
Rumus diatas diperoleh dari percobaan dengan menggunakan plot
erosi pada lereng 3 – 18%. Untuk lahan berlereng terjal digunakan rumus
berikut ini (Foster dan Wischmeier, 1973 dalam Arsyad, 2010) :
…….....(6)
di mana:
m
= 0,5 untuk lereng 5% atau lebih
0,4 untuk lereng 3,5 – 4,9 %
0,3 untuk lereng 3,5 %
C
= 34,71
α
= sudut lereng
l
= panjang lereng
Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor Konservasi tanah.
Faktor pengelolaan tanaman (C) menunjukkan keseluruhan pengaruh dari
vegetasi, serasah, kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap
besarnya tanah yang hilang (erosi). Faktor konservasi tanah (P) adalah
nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan
konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah
tanpa tindakan konservasi, di mana faktor-faktor penyebab erosi lain
diasumsikan tidak berubah.
Faktor
pengelolaan
tanaman
dan
faktor
konservasi
tanah
menggunakan tabel nilai C dan P hasil-hasil penelitian terdahulu oleh
lembaga penelitian tanah sejak tahun 1970 dan NWMCP tahun 1998 dan
atau hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti dan lembaga
penelitian lainnya (Lampiran 3 dan 4).
Pemilihan Tindakan Konservasi. Pemilihan tindakan konservasi
ditentukan dengan cara mencari alternatif pengelolaan lahan yang tingkat
erosinya (A) dibawah batas erosi yang ditoleransikan (Etol). Tindakan
konservasi dihitung berdasarkan rumus USLE (Universal Soil Loss
Equation), sebagai berikut (Arsyad, 2010):
……………………....……………….(7)
Erosi
yang dapat
ditoleransikan
(Etol) dihitung berdasarkan
persamaan Wood and Dent (1983) dalam Arsyad (2010) dengan persamaan:
......…….……….......………..…(8)
di mana :
Etol
= erosi yang dapat ditoleransikan (mm/th)
DE
= kedalaman tanah ekivalen (mm)
(kedalaman efektif tanah x faktor kedalaman tanah)
Dmin = kedalaman minimum tanah untuk tanaman pertanian semusim =
30 cm (Wood and Dent, 1983 dalam arsyad, 2010)
MPT = masa pakai tanah untuk pemakaian terus menerus dan intensif
selama 250 tahun. (Sinukaban, 2007)
LPT
= laju pembentukan tanah sebesar 1,0 mm/th (Arsyad, 2010)
Besarnya nilai prediksi erosi berdasarkan metode USLE dinyatakan
dalam ton/ha/th, sedangkan nilai ETol dinyatakan dalam mm/th. Menurut
Arsyad (2010), untuk mengkonversikan besaran tersebut yaitu sebagai
berikut :
ETol (mm/th) x Berat Volume (gr/cm3) x 10 = ton/ha/th atau
ton/ha/th = mm/th
BV x 10
.………............…...………………..(9)
4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani
4.4.2.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan untuk analisis pendapatan usahatani
cabai di lahan dataran tinggi adalah data primer, yaitu: luas pengusahaan
lahan, curahan tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja, upah tenaga kerja,
penggunaan saprodi (bibit/benih, pupuk, pestisida, alsintan), biaya
transportasi produksi, produktivitas, harga jual komoditas. Data tersebut
bersumber dari responden petani.
4.4.2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data terdiri dari survei dan pengamatan
langsung ke lapangan
dan wawancara. Petani responden di Kecamatan
Cikajang dipilih secara acak (random sampling). Jumlah respoden pada
penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (Sevila dkk.,
1993) seperti pada persamaan 1. Jumlah petani cabai di Kecamatan
Cikajang (N) adalah 218 petani, sehingga jumlah petani yang di wawancara
adalah 69 petani.
4.4.2.3. Teknik Analisis Data
Analisis usahatani menggunakan input komponen penerimaan, biaya
dan pendapatan usahatani (cash flow analysis) (Soekartawi, 2006) sebagai
berikut :
TR = YiPyi = Σ (Y1Py1 + Y2Py2 + …. + YnPyn)...……..…………(10)
di mana:
TR
= total penerimaan usahatani
Yi
= produksi yang diperoleh dalam usahatani ke-i
Pyi
= harga produksi usahatani ke-i
Biaya usahatani merupakan nilai semua keluaran (output) yang
digunakan dalam usahatani (proses produksi), mencakup biaya tetap dan
biaya tidak tetap dengan persamaan :
TC = FC + VC..…………...………...…………………...………..(11)
VC = XiPxi = Σ (X1Px1 + X2 Px2 + ........... .Xn Pxn)……………...(12)
di mana :
TC
= total biaya usahatani
FC
= biaya variabel tetap berupa biaya-biaya penyusutan modal petani
VC
= biaya variabel tidak tetap
Xi
= input usahatani ke-i
Pxi
= harga input usahatani ke-i
Pendapatan usahatani (π) merupakan selisih antara total penerimaan
usahatani (TR) dengan total biaya usahatani (TC).
Analisis kelayakan finansial usahatani berdasarkan nilai BCR (benefit
cost ratio) tanpa discount factor (Soekartawi, 2006)
BCR = Pendapatan / Biaya Produksi ................................................... (13)
BCR > 1, usahatani efisien dan menguntungkan
BCR < 1, usahatani tidak efisien dan tidak menguntungkan
4.4.3. Analisis Kebutuhan Hidup Layak Petani
4.4.3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan untuk analisis kebutuhan hidup layak
petani adalah data primer, yaitu: jumlah pengeluaran rumah tangga dalam
satu tahun setara beras, harga beras, dan jumlah anggota rumah tangga.
Data-data tersebut bersumber dari responden petani.
4.4.3.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data terdiri dari survei dan pengamatan
langsung ke lapangan (direct observation) serta wawancara (interview).
Jumlah petani responden yang diwawancara adalah 69 petani.
4.4.3.3. Teknik Analisis Data
Keluarga tani dinyatakan hidup layak jika telah memenuhi kebutuhan
hidup layak (KHL) meliputi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Standar kebutuhan fisik minimum
(KFM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) ditentukan berdasarkan
kebutuhan kecukupan pangan (beras) per keluarga dan harga beras yang
berlaku di lokasi penelitian. Menurut Sajogyo (1997), nilai ambang
kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di
daerah pedesaan berkisar 240–320 kg/org/th, sedangkan untuk daerah
perkotaan berkisar 360-480 kg/org/th. Standar kebutuhan fisik minimum
(KFM) ditetapkan dengan pendekatan sebagai berikut :
KFM = KRT x 100% x n x Rp ...................................................(14)
di mana :
KFM = kebutuhan fisik minimum
KRT = kebutuhan rumah tangga setara beras
n = jumlah anggota keluarga
Rp = harga beras
Menurut Sinukaban (2003), KHL adalah KFM ditambah dengan
kebutuhan hidup tambahan (KHT) berupa kebutuhan untuk menabung,
rekreasi ataupun kebutuhan untuk kegiatan sosial yang masing-masing
sebesar 50% dari KFM. Oleh karena itu besarnya KHL adalah 2,5 kali
(250%) KFM. Besarnya kebutuhan hidup tambahan (KHT) dan kebutuhan
hidup layak (KHL) ditetapkan dengan persamaan :
KHT = KPS + KKR + Ktab = 150% KFM ...............................(15)
KHL = KFM + KHT = KRT x 250% x n x Rp .........................(16)
di mana :
KFM = standar kebutuhan fisik minimum (rupiah)
KRT = standar kebutuhan rumah tangga setara beras (rupiah)
n
= jumlah anggota keluarga (jiwa)
KHT = standar kebutuhan hidup tambahan (rupiah)
KHL = standar kebutuhan hidup layak (rupiah)
KPS
= standar kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial (rupiah)
KKR = standar kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi (rupiah)
Ktab
= standarkebutuhan untuk tabungan dan asuransi (rupiah)
Kebutuhan luas lahan minimal (Lm) adalah luas lahan garapan
minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan usahatani,
sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL.
Oleh karena itu kebutuhan luas lahan minimal (Lm) dirumuskan sebagai
perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan pendapatan
bersih usahatani (Pb), dituliskan dengan persamaan (Tim IPB 2004) :
Luas Lm = KHL / Pendapatan ………………...……………..…(17)
4.4.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air
4.4.4.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer yaitu : 1) sifat
fisika dan kimia tanah sebelum perlakuan; 2) sifat kimia (C-organik, Ntotal, P dan K-tersedia) setelah perlakuan (seminggu menjelang panen); 3)
aliran permukaan dan erosi; 4) konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen
dan tanah, 5) jumlah hara terbawa erosi; 6) produktivitas cabai; 7) Curah
hujan selama percobaan. Adapun sumber datanya dari petak percobaan di
lapangan.
4.4.4.2. Metode Pengumpulan Data
Satuan percobaan berupa petakan 20 m x 3 m (panjang petak searah
lereng) sehingga luasnya 60 m2. Pembatas petakan percobaan menggunakan
plastik terpal yang dibenamkan ke dalam tanah sedalam ± 20 cm dan tinggi
± 40 cm. Aliran permukaan dan erosi dari petak erosi ditampung dengan
penampung berupa bak A berukuran 3 m x 0,5 m x 0,5 m. Pada sisi bak A
yang menghadap keluar dibuat lubang pembuangan dengan diameter 6 cm
sebanyak 7 buah dengan posisi horizontal dan sama tinggi dari dasar bak.
Satu lubang di bagian tengah dihubungkan dengan pipa paralon ke dalam
bak B penampung luapan air dari bak A. Jarak dari dasar bak A ke bibir
bawah lubang adalah 0.45 m (Lampiran 13). Dengan demikian, kapasitas
bak A adalah 3 m x 0,5 m x 0.45 m = 0,675 m3 (675 L). Bak B yang
digunakan berukuran 500 L (0,5 m3). Di atas bak A diletakkan kain kasa
yang berfungsi untuk menampung erosi tanah yang terbawa bersama dengan
aliran permukaan. Bagian atas bak A dan bak B ditutup untuk mencegah
masuknya air hujan.
Contoh tanah komposit untuk penetapan sifat fisik dan kimia tanah
sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan diambil pada kedalaman 0 – 20
cm sebanyak 1 kg pada masing-masing petak percobaan. Curah hujan
selama percobaan dicatat dengan alat penakar hujan otomatis (ombrometer)
yang ditempatkan di dekat petak percobaan.
Penanaman Cabai
Setelah tanah diolah sempurna dibuat bedengan dengan ukuran lebar
100 cm, tinggi bedengan 40 cm, panjang guludan 20 m, dan jarak antar
bedengan 80 cm. Penanaman cabai menggunakan jarak tanam 40 cm x 50
cm. Pemupukan diaplikasikan pada setiap petak percobaan dengan takaran
21 kg Urea, 18 kg ZA, 1,2 kg SP-36, 1,2 kg KCl dan 120 kg pupuk
kandang. Bibit yang digunakan adalah varietas Hot Beauty. Penanaman
dilakukan setelah pemberian pupuk kandang dan sekaligus pemberian
pupuk buatan (Urea dan KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis
penuh) dengan cara tugal. Pemasangan ajir dilakukan pada saat tanaman
berumur 7 hst. Penyiangan pertama dan pemupukan susulan (600 g kompos
+ 300 g NPK) dilakukan 14 hari setelah tanaman tumbuh dilakukan setiap
minggu dengan minimal 8 kali selama masa pemeliharaan tanaman.
Pengendalian hama pada tanaman cabai di petak percobaan menggunakan
insektisida dari golongan I.G.R., yaitu Fipronil (2 ml/l) dan Diafentiuron (2
ml/l). Insektisida tersebut digunakan secara bergantian untuk mengendalikan
hama kutu daun pesik, thrips, dan ulat grayak. Pengendalian penyakit pada
tanaman cabai dilakukan dengan penyemprotan fungisida Klorotalonil (2
g/l) dan Difenoconazole (0,5 ml/l). Fungisida tersebut digunakan secara
bergantian untuk mengendalikan penyakit antraknosa (busuk buah dan
penyakit bercak daun. Pemberian insektisida dan fungisida setiap dua kali
seminggu.
Penanaman Kubis
Penanaman bibit kubis (Varietas Master Grand) diantara tanaman
utama (tanaman cabai) mengikuti jarak tanam tanaman cabai yaitu 40 cm x
50 cm. Kubis ditanam di antara dua tanaman cabai dalam barisan dan
lubang tanam kubis dibuat tidak sejajar dengan lubang tanam cabai, dengan
tujuan agar pertumbuhan kubis tidak terganggu/terhalang oleh tanaman
cabai yang lebih tinggi. Takaran pupuk buatan yang diaplikasikan pada
setiap petak percobaan adalah 20 kg Urea, 15 kg ZA, 2 kg SP-36, 2 kg KCl
per hektar, dan 100 kg pupuk kandang. Pemberian pupuk buatan (Urea dan
KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis penuh) dilakukan saat
tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST) dengan cara tugal.
Penyiangan pertama dan pemupukan susulan (setengah dosis Urea dan KCl)
dilakukan 6 MST. Penyiangan kedua pada umur 45 HST. Pengendalian
hama dan penyakit menggunakan insektisida dan fungisida dengan
penyemprotan dua kali seminggu mengikuti dosis dan jadwal penyemprotan
tanaman utama (cabai).
Pengukuran Aliran Permukaan
Pengamatan jumlah aliran permukaan pada petak berukuran 20 x 3
meter (60 m2) dilakukan setiap hari hujan dengan mengukur tinggi muka air
dalam bak penampung.
Pengukuran Erosi
Pengukuran erosi pada petak erosi seluas 60 m2 diukur setiap hari
hujan yang meliputi :
1. Pengukuran bobot kering tanah yang tertampung pada kain kasa
Tanah yang tertampung pada kain kasa ditimbang seluruhnya,
sehingga diperoleh bobot basah tanah (BBt). Tanah yang tertampung
tersebut, kemudian diambil sebanyak ± 100 g sebagai sampel tanah (BBs),
selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 ºC selama 24 jam atau
sampai bobot tanah konstan, dan ditimbang bobot keringnya (BKs). Bobot
kering tanah yang tertampung pada kain kasa (BKe) dihitung dengan
persamaan :
BKt
.…………….……………………..………(18)
di mana :
BKt = bobot kering total tanah yang tersaring kain kasa (g)
BKs = bobot kering mutlak tanah sampel (g)
BBs = bobot basah tanah sampel (g)
BBt = bobot basah total tanah yang tersaring kain kasa (g.60 m-2)
2. Pengukuran bobot kering sedimen yang terlarut di dalam air pada bak A
Pengukuran bobot kering sedimen pada bak A dilakukan dengan
mengambil sampel air dari bak A sebanyak ± 500 ml (0,0005 m3) dengan
terlebih dahulu mengaduk air di dalam bak A sampai merata, kemudian
segera dimasukkan ke dalam botol berukuran ± 500 ml (0.0005 m3). Sampel
air di dalam botol tersebut didiamkan selama 24 jam sampai muatan
sedimen di dalamnya mengendap. Endapan sedimen kemudian dipisahkan
dari air dengan cara menyaring air dengan kertas saring yang sudah
diketahui bobotnya, dikeringkan di dalam oven selama 24 jam pada suhu
105 ºC, ditimbang bobot sedimennya. Bobot kering sedimen pada bak A
(BKA) dihitung dengan persamaan :
BKA = (BKAf – BKf) x
……………………………(19)
di mana :
BKA
= bobot kering sedimen bak A (g)
BKAf
= bobot kering sedimen pada kertas saring (g)
BKf
= bobot kering kertas saring (g)
VA
= volume air yang tertampung pada bak A (m3)
0.0005 m3
= volume sampel air
3. Pengukuran bobot kering sedimen pada bak B
Pengukuran bobot kering sedimen pada bak B dilakukan dengan cara
sama seperti pengukuran sedimen pada bak A. Kemudian bobot kering
sedimen pada bak B (BKB) dihitung dengan persamaan :
BKB = {(BKBf – BKf) x
…………………………..(20)
di mana :
BKB
= bobot kering sedimen bak B (g)
BKBf
= bobot kering sedimen pada kertas saring (g)
BKf
= bobot kering kertas saring (g)
VB
= volume air yang tertampung pada bak B (m3)
0.0005 m3
= volume sampel air
7
= jumlah lubang pada bak A yang berfungsi untuk
= menampung luapan air dari bak A ke bak B
Selanjutnya diukur total erosi tanah per petak erosi 60 m2 pada setiap
kejadian hujan (ETot1) dengan persamaan :
ETotal1= BKt + BKA + BKB…………………………………………(21)
di mana :
ETotal1
= total erosi tanah pada luasan petak erosi 60 m2 pada setiap
= kejadian hujan (kg/60 m2/HH).
BKt
= bobot kering total tanah yang tersaring kain kasa (g)
BKA
= bobot kering sedimen bak A (g).
BKB
= bobot kering sedimen bak B (g).
Total erosi tanah pada luasan petak erosi 60 m2 pada setiap kejadian
hujan (ETotal1) ditotalkan selama percobaan (Januari 2013 – April 2013)
dan diperoleh ETotal2 (kg/60 m2). Selanjutnya dilakukan perhitungan
jumlah total erosi dengan luasan satu hektar (kg/ha) dengan persamaan
sebagai berikut :
E = {ETotal2 x (10000 m2/ 60 m2 )} …………………..……………..(22)
di mana :
E
= Erosi total (ton/ha)
ETotal2
= Total erosi tanah (kg/60 m2)
Pengukuran konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen dan tanah
Konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen dan tanah diukur dengan
mengambil sedimen menggunakan botol plastik pada bak A dan bak B
setiap kejadian hujan. Selanjutnya dari sampel sedimen tersebut dilakukan
analisis kandungan C-organik (Metode Walkley & Black), N-total (Metode
Kjeldhal), P2O5 (Metode Bray dengan spektrofotometer) dan K2O (Metode
Bray dengan flamefotometer).
Perhitungan kehilangan hara yang terbawa erosi
Jumlah C-organik, N, P, dan K yang terbawa erosi pada setiap
perlakuan dihitung dengan rumus:
X
=
Y
x
E....................................................(23)
di mana :
X = Jumlah N, P, K dan C-organik terbawa erosi (kg/petak)
Y = Kadar N, P, K dan C-organik di dalam sedimen
(N = %; P = mg P2O5 /100 g; K = mg K2O /100 g dan C-organik = %)
E = Jumlah total tanah tererosi (kg/petak)
Nilai Faktor CP (Pengelolaan Tanaman dan Pengelolaan Tanah)
Nilai faktor CP dihitung dengan membandingkan jumlah tanah
tererosi
pada perlakuan dengan petak pembanding, atau dengan rumus
sebagai berikut:
…....(24)
Perhitungan Produksi Tanaman
Produksi tanaman dihitung pada saat panen. Tanaman cabai dan kubis
dibersihkan terlebih dahulu lalu di timbang.
4.4.4.3. Rancangan Percobaan
Pengujian teknik konservasi tanah dan air dilakukan pada kemiringan
lereng 40%. Penelitian ini didesain menggunakan rancangan lingkungan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan
sebagai kelompok. Kedelapan perlakuan adalah sebagai berikut :
TK1
= Cabai monokultur + guludan searah lereng
TK2
= Cabai monokultur + guludan searah lereng + pembuatan teras
= gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter
TK3
= Cabai monokultur + guludan memotong lereng
TK4
= Cabai monokultur + guludan memotong lereng miring 20°
TK5
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng
TK6
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng +
= pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter
TK7
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng
TK8
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng
= miring 20°
Dengan demikian jumlah keseluruhan satuan percobaan adalah 8 x 3 =
24 satuan percobaan, dan untuk menghitung nilai faktor CP dibuat petak
pembanding secara terpisah sebanyak 3 ulangan sehingga total satuan
percobaan erosi yang dibuat adalah 27 satuan percobaan. Satuan percobaan
tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. Denah rancangan percobaan di
lapangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Model aditif linier yang digunakan adalah:
Yijk
= µ + τi + βj + εij ……………………………....…………......(25)
di mana :
i = 1, 2, 3, ∙∙∙, p (p = perlakuan)
j = 1, 2, 3, ∙∙∙, k (k = kelompok)
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
µ
= Nilai tengah umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj
= Pengaruh kelompok ke-j
∈ij = Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
TK1
TK8
TK5
TK7
TK2
TK3
TK6
TK4
CP1
TK5
TK6
TK1
TK3
TK8
TK7
TK4
TK2
CP2
TK6
TK8
TK3
TK1
TK4
TK5
TK7
TK2
CP3
Gambar 3. Denah rancangan percobaan di lapangan
Hipotesis yang diuji dalam rancangan acak kelompok lengkap
dirumuskan sebagai berikut:
H0
: τ1 = τ2 = τ3 =…... = τp = 0
: (tidak ada respon diantara perlakuan yang dicobakan)
H1
: τ1 ≠ τ2 ≠ τ3 ≠ … ≠ τp ≠ 0
: (ada perbedaan respon diantara perlakuan yang dicobakan)
Metode analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh antara
perlakuan digunakan analisis sidik ragam (anova) pada taraf 5 %. Apabila
hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur) atau
uji Tukey.
4.4.5. Menyusun Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi
Berkelanjutan
Pendekatan sistem digunakan untuk menganalisis suatu kumpulan
beberapa subsistem usahatani dan setiap subsistem usahatani terdiri atas
beberapa komponen yang saling menerangkan interaksi dan ketergantungan
untuk membangun sebuah sistem usahatani cabai pada lahan dataran tinggi
Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Salah satu alat analisis yang
digunakan adalah berupa decision making model (model pembuatan
keputusan) yang memungkinkan untuk membuat keputusan untuk masalah
yang bersifat kompleks.
4.4.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi Cabai Dataran Tinggi
dengan Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan sebuah hierarki
fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Karena menggunakan
input persepsi manusia, AHP dapat digunakan untuk mengolah data yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Pemilihan responden untuk pemilihan model usahatani konservasi
(AHP) menggunakan metode purposive sampling berdasarkan bidang
keahlian, yaitu: 1) tanah, 2) hidrologi dan klimatologi, 3) sosial ekonomi
pertanian, 4) kebijakan pertanian, 5) aparat pemerintahan dan 6) petani.
Masing-masing bidang keahlian dipilih 1 orang, sehingga keseluruhan
jumlah responden sebanyak 6 orang.
Untuk membuat AHP terdapat empat prosedur yang harus dilakukan
yaitu pembentukan hierarki, pair – wise comparison, pengecekan
konsistensi, dan evaluasi. Hierarki dibentuk untuk menyederhanakan suatu
masalah yang rumit menjadi lebih terstruktur. Sebuah hierarki
menunjukkan pengaruh tujuan dari level atas sampai level paling bawah.
Pembentukan hierarki dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Pembentukan Hierarki
Pair – Wise Comparison merupakan perbandingan berpasangan
yang digunakan untuk mempertimbangkan kriteria – kriteria keputusan
dengan memperhitungkan hubungan antara kriteria dengan sub kriteria itu
sendiri. Pengisian Pair – Wise Comparison ini dilakukan oleh para pakar
(expert) melalui pembuatan kuesioner. Kuesioner untuk Pair – Wise
Comparison dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Kuesioner Pair – Wise Comparison
Kriteria
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Penilaian
Kriteria 1
Pair
–
Wise
Kriteria 2
Comparison
Kriteria 3
dilakukan
dengan
menggunakan skala berdasarkan tingkat kepentingannya. Penilaian ini
dapat dilihat pada tabel 6. Hasil pengisian Pair – Wise Comparison
kemudian diolah untuk menentukan bobot pada setiap kriteria dalam
menentukan alternatif keputusan. Pengolahan ini menggunakan tiga
langkah yaitu menentukan geometric mean, melakukan proses normalisasi,
dan menentukan bobot nilai.
Tabel 6. Penilaian Pair – Wise Comparison
Nilai numerik
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1/(1/9)
Penilaian preferensi verbal
Preferensi mutlak
Preferensi sangat kuat sampai mutlak
Preferensi sangat kuat
Preferensi kuat sampai sangat kuat
Preferensi kuat
Preferensi menengah sampai kuat
Preferensi menengah
Preferensi sama sampai menengah
Preferensi sama
Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
Menentukan rata-rata geometrik dilakukan jika terdapat multi
partisipan maka nilai perbandingan sebelumnya (jawaban dari masingmasing partisipan) harus dirata-ratakan terlebih dahulu. Untuk itu,
Saaty menyarankan untuk menggunakan Metode Geometric Mean. .
Dalam menentukan geometric mean, formulasi yang digunakan adalah :
……………………………….…………………(26)
di mana:
MG = Geometric Mean ; Xi = Atribut ke – i ; n = Jumlah atribut
Geometric Mean merupakan teori yang menyatakan bahwa jika
terdapat n partisipan yang telah melakukan perbandingan berpasangan
terhadap suatu topik yang sama, maka akan terdapat n jawaban/nilai
numerik untuk setiap pasangan. Untuk mendapatkan satu nilai dari
semua nilai tersebut, masing-masing nilai harus dikalikan satu sama lain
kemudian hasil perkaliannya dipangkatkan dengan 1/n.
Proses normalisasi dilakukan dengan membuat proporsi geometric
mean. Formulasi yang digunakan dalam proses normalisasi adalah :
…………...……………………………………....(27)
di mana:
Pi
= Proporsi atribut ke – i;
MGi = Geometric mean atribut ke-I;
n
= Jumlah atribut
Bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria ditentukan dengan formulasi
sebagai berikut:
…………..………………………………………..………(28)
di mana :
Pi
= Proporsi atribut ke-i
Vi
= Bobot nilai atribut ke-i
Wi
= Bobot kriteria ke-i
Setelah bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria diperoleh, maka
langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pengecekan konsistensi.
Pengecekan
konsistensi
dilakukan
untuk
mengetahui
apakah
perbandingan berpasangan yang sudah dibuat masih berada di dalam batas
kontrol penerimaan atau tidak. Apabila berada di luar batas maka dapat
diartikan
terjadi
ketidakkonsistenan.
Ketidakkonsistenan
menyebabkan hubungan pada matriks berpasangan menyimpang dari
keadaan yang sebenarnya. Penyimpangan ini dinyatakan dengan Consistency
Index (CI) yang diformulasikan sebagai berikut:
………………………………...……………..(29)
di mana:
λmax= eigen value maksimum; n = Ukuran matriks.
Untuk mengetahui konsistensi penilaian yang dilakukan oleh
pengambil keputusan, maka perlu dilakukan perhitungan Consistency
Ratio (CR) yang diformulasikan sebagai berikut:
……………………………………………………….(30)
di mana:
CI = Consistency Index; RI = Ratio Index
Nilai Ratio Index dapat dilihat pada tabel 7. Batasan diterima
tidaknya konsistensi suatu matriks apabila nilai Consistency Ratio-
nya lebih kecil dari 10%. Jika CR < 0.1 maka nilai perbandingan
berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Jika CR >
0.1 maka maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang
diberikan tidak konsisten. Sehingga jika tidak konsisten, maka pengisian
nilai-nilai pada matriks berpasangan pada unsur kriteria maupun
alternatif harus diulang.
Tabel 7. Rata-rata konsistensi acak (R1)
Ukuran matriks
Konsistensi acak
1
0
2
0
3
0,58
4
0,9
5
6
7
8
1,12 1,24 1,32 1,41
9
1,45
10
1,49
Untuk memudahkan dalam perhitungan menggunakan program
Criterium Decision Plus.
4.4.5.2. Meyusun Model Kelembagaan Usahatani Cabai Dataran
Tinggi Menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM)
Pemilihan responden untuk merancang model kelembagaan (ISM)
menggunakan metode purposive sampling berdasarkan instansi/lembaga
pemerintah, yaitu: Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), 2) Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 3) Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Kabupaten Garut, 4) Balai Penyuluh Pertanian (BPP), dan 5)
Pemerintah daerah setempat (Camat Cikajang). 6) Perguruan tinggi, 7)
Lembaga Pasar, 8) Lembaga Keuangan. Masing-masing instansi/lembaga
dipilih 1 orang, sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 8 orang.
Secara garis besar pengembangan model ISM meliputi 3 langkah: 1)
Menentukan elemen penting yang harus dikaji sesuai dengan visi dan misi,
2) Menguraikan elemen-elemen terpilih menjadi sub elemen yang lebih
rinci, dan 3) Melakukan pengolahan matrik dan dilanjutkan dengan
pengelompokan sub elemen berdasarkan Driver Power (DP) dan
Dependence (D).
Matriks perbandingan berpasangan
Matriks perbandingan berpasangan ini menggunakan simbol-simbol
sebagai berikut (Gambar 5):
V , jika eij = 1 dan eji = 0
A , jika eij = 0 dan eji = 1
X , jika eij = 1 dan eji = 1
O , jika eij = 0 dan eji = 0

Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara
subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada
hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j.

V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani
dibandingkan subelemen ke-j

A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani
dibandingkan subelemen ke-i

X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama

O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang
ditangani.
Kemudian dibandingkan baris ke kolom untuk hubungan antar faktor kunci
dalam bentuk huruf (V, A, X, O).
Gambar 5. Structural Self Interaction Matrics (SSIM)
Reachability Matrix (RM)
Setelah Structural Self Interaction Matrix (SSIM) terisi sesuai
pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan
simbol (1 dan 0) dengan ketentuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai
dari hasil reachability matrix (RM) (Gambar 6).
Klasifikasi Sub elemen

Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (Autonomous).
Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D
≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.

Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent).
Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D
> 0.5 X.

Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage).
Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D
> 0.5 X.

Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent).
Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D
≤ 0.5 X.
Ket: Driver power = DP ; Rangking = R
Dependence = D ; Level/hierarki = L
Gambar 6. Reachability Matrix (RM)
Gambar 7 menunjukkan Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power)
dan D (Dependence). Adapun penyelesaian model menggunakan program
ISM-Firman.
Gambar 7. Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power) dan D
(Dependence)
Jenis data, metode pengumpulan data, sumber data, dan teknik analisis
data untuk masing-masing tujuan penelitian tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Tujuan penelitian, jenis, metode pengumpulan, sumber dan teknik analisis data
N
o
Tujuan Penelitian
(1)
(2)
1 Melakukan prediksi
erosi yang terjadi
pada lahan usahatani
cabai
2
Menganalisis
pendapatan usahatani,
serta
menganalisis
kontribusi pendapatan
usahatani cabai pada
lahan dataran tinggi
Kabupaten
Garut
terhadap kebutuhan
hidup layak petani
Kegiatan Penelitian
(3)
Prediksi Erosi
Jenis Data
(4)
Primer
Curah hujan rata-rata bulanan, jumlah
hari hujan rata-rata bulanan, curah
hujan maksimum 24 jam bulanan, jenis
tanah, tekstur tanah, struktur tanah,
bahan organik tanah, permeabilitas
tanah, penggunaan lahan, panjang
lereng, kemiringan lereng, pengelolaan
lahan, kedalaman efektif tanah, laju
pembentukan tanah dan masa pakai
tanah.
Analisis pendapatan Primer
usahatani
Luas pengusahaan lahan, Curahan
tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja,
upah tenaga kerja, penggunaan saprodi
(bibit/benih, pupuk,
pestisida,
alsintan), Produksi, produktivitas,
harga jual komoditas, keuntungan
usahatani
Analisis KHL
Jumlah pengeluaran rumah tangga
dalam satu tahun setara beras, harga
beras, jumlah anggota rumah tangga
Metode
Pengumpulan
Data
(5)
Sumber Data
Teknik Analisis
Data
(6)
(7)
Pengamatan
dan
Pengukuran
Stasiun
metereologi
dan Lapangan
USLE
(Wischmeier dan
Smith, 1978)
Wawancara
Responden
(petani)
Analisis
Pendapatan
usahatani
Wawancara
Responden
(petani)
Analisis
KHL
pengeluaran
tahun-1 setara beras
(1)
(2)
3 Mengkaji
alternatif
teknik
konservasi
tanah yang dapat
mengendalikan erosi
dan
meningkatkan
produksi
tanaman
cabai
(3)
Percobaan petak erosi,
ukuran 3 m x 20 m,
dibuat pada kemiringan
lereng 40%, Rancangan
Lingkungan = RAK,
dengan 8 perlakuan dan 3
ulangan
sebagai
kelompok
Jumlah satuan percobaan
= 24,
untuk menghitung nilai
faktor CP dibuat petak
pembanding
secara
terpisah
sebanyak
3
ulangan
total satuan percobaan
erosi = 27
Menyusun
model  Pemilihan
model
pengelolaan usahatani
usahatani konservasi
cabai pada
lahan
dataran tinggi
Primer
Data sifat fisik-kimia tanah, kapasitas
infiltrasi, aliran permukaan dan erosi,
konsentrasi sedimen tersuspensi,
jumlah C-organik, N, P, K di dalam
sedimen, curah hujan, produktivitas
tanaman
4
 Data penelitian 3
 Menyusun
model
kelembagaan usahatani
(4)
(5)
Pengamatan
dan
Pengukuran
(6)
 Lapangan
(7)
• Anova
 Sumber
penelitian 3
 Responden
stakeholders
Analisis sistem
AHP
 Kebutuhan stakeholders
 Metode
penelitian 3
 Wawancara
Kebutuhan stakeholders
Wawancara
Responden
(stakeholders)
Analisis sistem
ISM
• Uji BNJ
BAB V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1.
Keadaan Umum Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut
5.1.1.
Letak Geografis dan Kependudukan
Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah
administrasi Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut terletak diantara 6°57’34”
- 7°44’57” LS dan 107°24’3” - 108°24’34” BT dengan luas wilayah sekitar
3.065,19 Km2 (BPS Kabupaten Garut, 2013). Secara umum sebagian besar
wilayah Kabuaten Garut merupakan daerah dataran tinggi dengan kondisi alam
berbukit dan berupa pegunungan yang memiliki iklim tropis dengan curah hujan
tinggi serta hari hujan yang banyak. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar
luas wilayahnya dipergunakan sebagai lahan pertanian dan peternakan.
Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan dengan potensi sumberdaya yang
berbeda-beda.
Kecamatan Cikajang merupakan kecamatan yang terletak di Garut bagian
selatan. Kecamatan Cikajang terletak sekitar 26 km dari Ibu Kota Kabupaten
Garut. Kecamatan Cikajang sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan
Cisurupan
Kecamatan
dan
Cigedug,
sebelah
timur
berbatasan
dengan
Banjarwangi, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cihurip dan sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan. Luas wilayah
Kecamatan Cikajang sekitar 12.139,35 ha, terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, 37
Dusun, 111 Rukun Warga (RW) dan 496 Rukun Tetangga (RT) (BPS Kabupaten
Garut, 2013).
Jumlah penduduk Kecamatan Cikajang pada tahun 2013 sebanyak 82.658
jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 20.529 kepala keluarga, dengan anggota
rumah tangga antara 3 sampai 4 orang. Dengan luas wilayah sekitar 120,39 Km2
Kecamatan Cikajang memiliki kepadatan rata-rata sebanyak
613 jiwa/Km2
dengan sebaran yang tidak merata pada setiap desa. Jumlah desa di Kecamatan
Cikajang sebanyak 12 (duabelas) desa, dimana luas setiap desa dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Luas daerah menurut desa di Kecamatan Cikajang tahun 2013
Luas Daerah
(ha)
1
Cipangramatan
1.756,00
2
Mekarjaya
790,95
3
Girijaya
281,10
4
Giriawas
1.495,01
5
Cibodas
206,80
6
Cikajang
100,10
7
Padasuka
110,23
8
Mekarsari
210,00
9
Simpang
2.036,00
10
Cikandang
1.199,21
11
Margamulya
1.809,96
12
Karamatwangi
2.144,00
Jumlah
12.139,35
Sumber : BPS Kabupaten Garut, 2013
No
Desa
% Luas Desa Terhadap
Kecamatan
14,47
6,52
2,32
12,32
1,70
0,82
0,91
1,73
16,77
9,88
14,91
17,66
100,00
Sebagian besar penduduk Kecamatan Cikajang bermata pencaharian sebagai
petani. Sektor pertanian di Kecamatan Cikajang mampu menyerap tenaga kerja
hingga 9.559 jiwa atau 37,78% dari jumlah penduduk. Sektor pertanian di
Kecamatan Cikajang meliputi bertani, berkebun dan beternak. Selain dari sektor
pertanian, mata pencaharian penduduk Kecamatan Cikajang yaitu pedagang
sebesar 26,11%, penjual jasa 5.90%, PNS/ TNI/ Polri 2,84%, dan buruh sebesar
27,37% (BPS Kabupaten Garut, 2013).
5.1.2. Kondisi Iklim dan Curah Hujan
Kecamatan Cikajang terletak pada ketinggian 1.200 – 1.300 meter dari
permukaan air laut dengan suhu udara 15 – 20 °C. Kecamatan Cikajang beriklim
tropis basah (humid tropical climate), dimana iklim dan cuaca dipengaruhi oleh
tiga faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation
pattem), topografi regional (bergunung) dan curah hujan, dimana jumlah curah
hujan rata-rata sebesar 2.035 mm/th dan jumlah hari hujan rata-rata 175 hari. Tipe
iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim C
(agak basah), dimana setiap tahunnya terdapat 8 bulan basah dan 4 bulan kering.
Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Kecamatan Cikajang sesuai untuk
pengembangan budidaya tanaman sayuran.
5.1.3. Topografi
Topografi wilayah Kecamatan Cikajang berupa dataran tinggi dengan
kemiringan lahan datar ( 0 – 8 %) seluas 1.858,68 ha, lahan bergelombang (8 – 15
%) seluas 2.184,39 ha, lahan curam (15 – 25 %) seluas 3.162,46 ha, dan lahan
agak curam (25 – 45 %) seluas 3.676,21 ha dan lahan sangat curam ( > 45 %)
seluas 1.257,61 (BPS Kabupaten Garut, 2013). Peta Topografi tertera pada
Gambar 8.
5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah
Kondisi geologis Kecamatan Cikajang terdiri atas tanah sedimen hasil
letusan Gunung Papandayan dan Gunung Guntur dengan bahan induk batuan tuf
dan batuan yang mengandung kwarsa. Jenis tanah di Kecamatan Cikajang terdiri
asosiasi andosol mencakup areal seluas 9.851,2 ha (81,15 %), latosol coklat
seluas 1.947,5 ha (16,04 %), dan regosol coklat seluas 340,65 ha (2,8 %). Tanah
bertekstur halus tersebar pada hampir seluruh wilayah Kecamatan Cikajang yang
mencakup areal seluas 8.423,72 ha (69,39 %) dan tanah bertekstur sedang
mencakup areal seluas 3.715,63 (30,61 %).
Gambar 8. Peta topografi Kecamatan Cikajang
5.1.5. Penggunaan Lahan
Pemanfaatan lahan di Kecamatan Cikajang sebagian besar berupa
perkebunan dan hutan. Luas lahan perkebunan seluas 4.261 ha atau 34,10% dan
pemanfaatan hutan seluas 3.218 ha atau 25,75%. Perkebunan sebagian besar
dikelola oleh perorangan atau kepemilikan pribadi sedangkan hutan merupakan
tanah milik pemerintah UPTD Kehutanan yang dikelola bersama masyarakat
setempat. Data penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Cikajang dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Penggunaan lahan di Kecamatan Cikajang
No
Penggunaan Lahan
1
Perkampungan
2
Industri
3
Persawahan
4
Pertanian semusim
5
Kebun campuran
6
Perkebunan
7
Padang, semak
8
Hutan
9
Perairan darat
10
Lain-lain
Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Garut, 2013
5.2.
Luas (ha)
893,00
2,25
218,00
1.701,00
851,00
4.195,00
16,10
3.148,00
56,00
1.059,00
12.139,35
Persentase (%)
7,36
0,02
1,80
14,01
7,01
34,56
0,13
25,93
0,46
8,72
100,00
Karakteristik Petani Cabai
Kecamatan Cikajang merupakan salah satu daerah sentra produksi tanaman
cabai terbesar di Kabupaten Garut (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Garut , 2013). Jumlah petani cabai di Kecamatan Cikajang (N) adalah
218 petani. Petani responden di Kecamatan Cikajang dipilih secara acak (random
sampling). Jumlah respoden pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus Slovin (persamaan 1). Dengan demikian jumlah petani responden (n)
adalah 69 petani yang tersebar di 12 (duabelas) desa. Usahatani yang dilakukan
responden menggunakan sistem monokultur dan tumpang sari dengan tanaman
sayuran lainnya seperti kubis, caisin, bawang daun dan tomat.
Karakteristik
petani yang akan diuraikan meliputi usia dan pengalaman petani, tingkat
pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap, budidaya dan
pola tanam.
5.2.1. Umur dan Pengalaman Petani Responden
Secara umum petani cabai masih tergolong pada kelompok umur produktif
yaitu kisaran 20-50 tahun (sekitar 87,32 persen). Hal ini disebabkan dalam
usahatani cabai dibutuhkan keterampilan dan tenaga fisik yang cukup kuat
terutama pada kegiatan pemeliharaan. Tanaman cabai memiliki karakteristik
budidaya yang lebih rumit dan umur yang lebih lama dibandingkan tanaman
sayuran lain. Curahan waktu kerja dan frekuensi pekerjaan untuk tanaman cabai
relatif lebih tinggi, mulai dari pengolahan lahan, penyemaian, pemupukan awal,
pemasangan mulsa, penanaman, penyulaman, penyiangan, penyemprotan,
penugalan, pengecoran, sampai pemanenan. Tahapan budidaya yang sedemikian
banyak, menuntut petani untuk memiliki tenaga dan kondisi fisik yang kuat.
Dalam satu periode panen, tanaman cabai paling tidak membutuhkan tiga kali
penyiangan, delapan belas kali pengecoran, dan dua puluh empat kali
penyemprotan. Oleh karena itu, kondisi dan kekuatan fisik menjadi hal penting
yang harus diperhatikan petani, sehingga usahatani cabai ini lebih banyak dikelola
oleh petani yang relatif muda. Sebaran petani responden berdasarkan umur dan
pengalaman dapat dilihat pada Tabel 11.
Menurut Nainggolan (2001) dalam Iryanti (2005) bahwa umur seseorang
dapat mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Semakin
muda umur petani diduga akan mempengaruhi kemampuan dan kemauan dalam
mengadopsi inovasi. Para petani tersebut melakukan kegiatan usahatani sesuai
dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga tingkat adopsi mereka terhadap
inovasi dan sistem yang baru tinggi. Ditinjau dari pengalaman usahatani cabai,
diketahui bahwa umumnya responden telah berpengalaman membudidayakan
cabai diatas 5 tahun ( 85,51% responden). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar petani sudah cukup terampil dalam kegiatan usahatani cabai sesuai kondisi
daerah penelitian. Adapun petani lainnya (14,49 % responden) tergolong petani
baru yang mencoba mencari keuntungan dalam budidaya cabai. Dibandingkan
jenis sayuran yang lain, cabai memberikan tantangan tersendiri bagi petani baru
karena harganya yang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya.
Tabel 11. Sebaran petani responden menurut umur dan pengalaman di Kecamatan
Cikajang
No Karakteristik Responden
1 Berdasarkan umur
a.
21 – 30
b.
31 – 40
c.
41 – 50
d.
51 – 60
e.
61 – 70
2 Berdasarkan pengalaman tanam cabai
a.
0 – 5 tahun
b.
6 – 10 tahun
c.
11 – 20 tahun
Sumber : Data Primer (2014)
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
20
22
16
8
3
28,99
31,88
23,19
11,59
5,80
10
22
37
14,49
31,88
52,62
5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden
Inovasi dan teknologi baru yang berkembang dalam usahatani dapat
dipengaruhi
oleh
tingkat
pendidikan
formal
dalam
memperoleh
dan
mengaplikasikannya. Baik dari sisi produksi, pemasaran, pengolahan, maupun
keuangan. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki
pendidikan yang beragam mulai dari jenjang SD, SMP SMA dan D1. Sebaran
tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 12. Namun,
berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, dapat diketahui
bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap kegiatan
usahatani. Pengetahuan usahatani yang petani miliki berasal dari pengalaman
bertani dan pengetahuan turun-temurun.
Tabel 12. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
di Kecamatan Cikajang
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
SD
27
SMP
19
SMA
10
D1
3
Jumlah
69
Sumber : Data Primer (2014)
Persentase (%)
39,13
27,54
28,99
4,35
100,00
5.2.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan
Luas lahan garapan cabai di daerah penelitian masih tergolong sempit,
karena mayoritas petani melakukan usahatani cabai diatas luasan lahan 0,05 – 0,2
hektar (Tabel 13).
Tabel 13. Sebaran petani responden berdasarkan luas garapan cabai di Kecamatan
Cikajang
Luas Lahan (ha)
Jumlah (orang)
0,05 – 0,2
44
0,21 – 0,35
15
0,36 – 0,5
10
Jumlah
69
Sumber : Data Primer (2014)
Persentase (%)
63,77
21,74
14,49
100,00
Pada umumnya petani menggarap lahan hanya satu persil. Hal ini
disebabkan kepemilikan dan pengelolaan lahan yang sempit, artinya petani hanya
mengelola lahan budidaya dalam satu hamparan. Petani yang memiliki persil lebih
dari satu umumnya petani yang memiliki status lahan ganda yaitu lahan milik dan
lahan non milik seperti sewa, sehingga mampu mengelola lahan pada dua lokasi
yang berbeda. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
petani memiliki status tunggal dalam pengelolaan usahatani yaitu lahan milik atau
lahan non milik bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri.
Sebagian besar petani di Kecamatan Cikajang memiliki lahan sendiri untuk
menjalankan kegiatan usahatani cabai merah. Namun ada sebagian kecil petani
yang menyewa lahan untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Petani yang tidak
memiliki lahan sehingga harus menyewa lahan untuk menjalankan usahataninya.
Petani yang menjadi responden di Kecamatan cikajang rata-rata memiliki lahan
sendiri, sehingga tidak memerlukan biaya usahatani tambahan untuk menyewa
lahan.
Hernanto (1996) menyatakan bahwa pengaruh status kepemilikan lahan
terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain :
a) Petani bebas mengelola lahan pertaniannya.
b) Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan
ditanam.
c) Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya.
d) Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya.
e) Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang
dimilikinya.
5.2.4. Budidaya dan Pola Tanam Cabai
Petani umumnya membudidayakan tanaman cabai pada triwulan pertama
tahun 2013 (bulan Januari - Maret) agar petani dapat memanen cabai menjelang
hingga setelah lebaran. Pemanenan-pemanenan akhir umumnya triwulan ketiga
hingga masuk ke triwulan keempat tahun 2013 (bulan September-Oktober). Pada
kondisi menjelang lebaran, petani memprediksi harga cabai akan meningkat.
Sebagian besar petani menanam cabai dengan periode tanam 6 – 7 bulan sejak
penyemaian benih. Namun, beberapa petani ada yang membiarkan tanaman
hingga berumur 9-10 bulan dengan alasan memanfaatkan pembungaan kedua
yang apabila tanaman dalam kondisi baik, mampu memberikan hasil paling tidak
50 persen dari hasil pembungaan pertama (Wawancara petani, 2013).
Pada saat musim hujan, tidak banyak petani yang bersedia menanam cabai.
Hal ini disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi menyebabkan tanaman
mudah busuk dan rontok. Di samping itu, tanaman juga mudah terserang hama
penyakit seperti antraknosa (patek), thrips, dan layu bakteri. Akan tetapi, kondisi
cuaca di Kabupaten Garut yang beberapa tahun terakhir kurang dapat diprediksi,
menyebabkan petani kesulitan untuk menentukan waktu tanam cabai yang paling
tepat, dan juga dalam pemeliharaan tanaman. Bahkan sebagian petani mengalami
gagal panen akibat turunnya hujan yang sulit diprediksi (Wawancara petani,
2013).
Di samping prediksi cuaca, penentuan waktu tanam umumnya disesuaikan
dengan waktu panen pertama dan panen raya. Rata-rata waktu panen pertama
yang dibutuhkan tanaman cabai di lokasi penelitian adalah 100 hari untuk lahan
yang tidak jauh dari pemukiman penduduk dan 110-120 hari untuk lahan di
sekitar gunung. Panen raya biasanya terjadi pada panen ke-5 sampai panen ke-10
dengan jeda antar panen 4 hari sekali. Sebagian besar petani menginginkan panen
raya terjadi menjelang ramadhan dan lebaran dikarenakan pada saat tersebut harga
cabai naik, sehingga penyesuaian waktu tanam menjadi penting bagi petani
(Wawancara petani, 2013).
Secara umum, tahapan budidaya cabai di daerah penelitian terdiri dari
persiapan lahan, penyemaian, pengolahan lahan, pemupukan dasar, pemasangan
mulsa, penanaman, penyiangan, penyemprotan, pengecoran, dan pemanenan.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan budidaya masingmasing petani berbeda. Namun, pada umumnya tahapan-tahapan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Penyemaian
Tahapan paling awal dalam kegiatan usahatani cabai adalah penyemaian.
Penyemaian merupakan kegiatan penebaran benih dalam bentuk biji untuk
dijadikan bibit cabai yang siap tanam dan dipindahkan ke lahan budidaya.
Penyemaian umumnya dilakukan di polybag dimana setiap polybag berisi 1-2
benih cabai. Selain polybag, beberapa petani menyemaikan benih cabai di tray
pembenihan. Untuk mempercepat proses penyemaian dan menghindarkan calon
bibit cabai dari serangan hama penyakit, areal semai biasanya ditutup dengan
tudung (telungkup) yang terbuat dari plastik atau kain kasa pada malam hari,
sedangkan pada siang hari dibiarkan terbuka agar calon bibit mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Umumnya lama waktu penyemaian adalah 25-30 hari
sebelum bibit siap dipindahkan ke lahan budidaya. Jenis benih yang secara umum
dipakai petani adalah Hot Beauty, Lembang 1, Tanjung 1, dan Tanjung 2 (BPTP,
2010).
Persiapan lahan
Tahapan ini dilakukan untuk mempersiapkan lahan budidaya bagi tanaman
baru. Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan bekas tanaman lama dan
pembuatan bedengan. Lama pengolahan lahan tergantung luas sempitnya lahan
yang akan dijadikan areal budidaya. Biasanya petani di daerah penelitian
menyiapkan lahan sambil menunggu benih tumbuh dan siap dipindah ke lahan.
Oleh karena itu, mengetahui umur bibit yang siap dipindah ke lahan menjadi
penting, agar persiapan lahan budidaya tidak terlambat atau terlalu cepat. Pada
umumnya bedengan atau guludan di daerah penelitian dibuat searah lereng,
terutama lahan-lahan di sekitar gunung.
Gambar 9. Persiapan lahan dengan guludan searah lereng
Pemupukan dasar
Kegiatan mengolah tanah budidaya dengan pupuk dasar agar tanah budidaya
menjadi subur dan siap untuk ditanami tanaman budidaya. Pupuk yang digunakan
pada pemupukan dasar terdiri dari pupuk kandang dan pupuk kimia. Pupuk
kandang yang umum dipakai didaerah penelitian adalah pupuk kandang kambing
dan ayam. Sementara pupuk kimia yang biasa dipakai untuk pemupukan dasar
adalah Urea, KCl, Sp-36/TSP dan NPK Phoska. Pemupukan dasar dilakukan
beberapa hari sebelum bibit siap dipindah ke lahan budidaya.Tujuannya agar
pupuk dasar terdekomposisi dengan sempurna dan tidak banyak terbuang akibat
penguapan (BPTP, 2010).
.
Pemasangan mulsa plastik
Tahapan ini dilakukan setelah pemupukan dasar. Meskipun tidak semua
petani menerapkan mulsa plastik hitam perak, tetapi sebagian petani yang
mempunyai modal menggunakannya karena dianggap hasil produksi lebih baik.
Mulsa plastik memiliki dua sisi warna yang berbeda. Dalam penerapannya, warna
hitam menghadap ke bawah, sementara disisi atas berwarna perak. Tujuannya
adalah warna hitam atau gelap akan menghambat proses penguapan pupuk atau
obat-obatan yang diaplikasikan ke tanah, juga menghambat sinar matahari
menembus ke tanah sehingga tanah tetap lembab. Sedangkan sisi atas berwarna
perak dan anti air agar ketika terjadi hujan, tanah areal budidaya tidak tergenang
air. Mulsa plastik yang telah terpasang selanjutnya akan dilubangi sesuai dengan
jarak tanam sebagai lubang tanam untuk masing-masing bibit cabai (BPTP, 2010).
Gambar 10. Penggunaan mulsa plastik hitam perak
Penanaman
Tahapan ini dilakukan pada saat bibit telah siap dipindah ke lubang tanam
yaitu sekitar 25-30 hari setelah persemaian. Penanaman dilakukan pada pagi hari
dari jam enam hingga jam sepuluh atau sore diatas jam tiga. Hal ini dilakukan
agar bibit yang dipindah dari polybag tanaman atau tray tidak mudah layu akibat
sengatan matahari yang terlalu panas pada siang hari. Setelah penanaman, bibit
yang sudah ditanam di lubang tanam akan disiram sehingga kegiatan ini tidak
dilakukan pada siang hari ketika intensitas sinar matahari terlalu banyak.
Penyiraman dilakukan agar bibit tidak gagal atau mati ketika dipindah ke lahan
budidaya.
Penyiangan
Kegiatan ini biasanya dilakukan petani 3x selama periode tanam hingga
panen terakhir pada petani yang menerapkan mulsa plastik. Penerapan mulsa
cukup membantu petani mengurangi pertumbuhan gulma di sekitar areal budidaya
tanaman, sehingga dapat menghemat tenaga kerja untuk penyiangan. Petani hanya
membersihkan gulma yang tumbuh di parit-parit antar bedengan, karena paritparit tidak tertutup mulsa. Sedangkan petani yang tidak menerapkan mulsa plastik,
penyiangan umumnya dilakukan 6-12x selama periode tanam. Hal ini dikarenakan
petani harus membersihkan gulma yang cepat tumbuh tidak hanya di parit-parit
antara bedengan tetapi juga gulma yang tumbuh di areal budidaya tanaman cabai.
Jika tidak dibersihkan, maka keberadaan gulma akan mengganggu pertumbuhan
tanaman cabai (BPTP, 2010).
Pengecoran
Tahapan ini merupakan pemupukan lanjutan yang diberikan agar tanaman
budidaya terpenuhi kebutuhan nutrisinya. Pengecoran dilakukan dengan
pemberian pupuk kimia dan zat pengatur tumbuhan (ZPT). Pupuk kimia yang
biasa dipakai untuk pengecoran adalah NPK mutiara dan pupuk hayati, sedangkan
ZPT yang umum dipakai adalah Gandasil B dan D, serta Supergro B dan D. Ratarata petani melakukan pengecoran sebanyak 12x selama satu periode tanam mulai
dari tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST) sampai panen pertama umur
100 HST. Meskipun beberapa petani ada yang melakukan pengecoran hanya 6x,
namun ada juga petani lain yang melakukan pengecoran hingga 16x (BPTP,
2010).
Penyemprotan
Penyemprotan merupakan kegiatan pemeliharaan dengan frekuensi paling
banyak. Dalam satu periode tanam, petani rata-rata melakukan penyemprotan
hingga 24x yaitu sejak tanaman berumur 10-14 HST hingga panen terakhir 6-7
bulan setelah tanam (BST). Banyak sedikitnya penyemprotan disesuaikan dengan
keinginan petani untuk memerpanjang atau tidak umur budidaya. Semakin lama
petani membiarkan tanaman budidaya sampai pada pembungaan kedua, maka
penyemprotan akan dilakukan selama periode tersebut. Alasan penyemprotan
sering dilakukan petani adalah untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman.
Penyemprotan dilakukan dengan melarutkan obat-obatan baik padatan maupun
cair ke dalam air. Obat-obatan ini terdiri dari insektisida dan fungisida. Beberapa
fungisida yang berupa padatan biasanya diaplikasikan langsung ke dalam tanah
melalui proses penugalan. Jenis hama penyakit yang sering dihadapi petani adalah
patek (antraknosa), layu bakteri/ layu fusarium, daun menguning dan keriting
(thrips), busuk pada tanaman (busuk batang, akar, daun, dan buah), serta rontok
(rontok daun, bunga, dan buah). Dari jenis hama penyakit ini yang paling sulit
diatasi menurut petani adalah patek. Banyak petani yang mengaku gagal panen
jika tanaman budidaya sudah terserang patek, karena penyakit ini sangat cepat
menular ke tanaman lain yang masih sehat. Petani juga mengakui belum ada obatobatan yang secara efektif menanggulangi hama patek. Sementara hama penyakit
yang lain masih mampu diatas oleh petani dengan cara pengobatan maupun
pencegahan (BPTP, 2010).
Panen
Panen dibedakan menjadi dua jenis yaitu panen biasa dan panen raya. Panen
biasa terjadi pada saat panen cabai belum maksimal. Pembungaan cabai yang
tidak serentak menyebabkan tingkat kematangan buah dalam satu pohon berbedabeda waktunya. Oleh karena itu, pemanenan cabai dilakukan berkali-kali. Namun
pada waktu umur produktif tertentu, satu pohon cabai dapat menghasilkan buah
maksimal sehingga hasil yang dapat dipanen jauh lebih banyak dari panen biasa
yang disebut oleh petani sebagai panen raya. Masing-masing petani berbeda
frekuensi panennya baik panen biasa maupun panen raya. Terdapat petani yang
melakukan pemanenan hanya 12 kali kemudian tanaman di bongkar, tetapi ada
juga petani yang membiarkan tanaman hingga dapat dipanen sampai 30 kali. Pada
umumnya petani yang melakukan pemanenan 12-15 kali, panen raya terjadi pada
panen ke-5 hingga ke-10, sedangkan sisanya merupakan panen biasa. Panen raya
dicirikan dengan jumlah hasil panen yang jauh lebih banyak dibandingkan panen
biasa. Tanaman cabai sudah dapat dipanen mulai umur 100 hari dan seterusnya
dengan jarak antar panen di daerah penelitian umumnya 4-5 hari.
Tanaman cabai di Kecamatan Cikajang ditanam secara monokultur dan
tumpang sari. Pola tanam monokultur dilakukan oleh petani yang mengusahakan
cabai dengan alasan ingin mendapatkan hasil yang optimal. Tanaman cabai dapat
ditumpang sarikan dengan tanaman seperti kubis, caisin, bawang daun dan tomat.
Sebanyak 65,42 % petani responden di Kecamatan Cikajang membudidayakan
cabai
merahnya secara monokultur dan sisanya sebanyak 34,58 % petani
responden menanam cabai secara tumpangsari.
Pada umumnya petani yang
menggunakan pola tanam tumpangsari termotivasi karena efisiensi biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan penerimaan setinggi-tingginya. Petani cenderung
menggunakan pola tanam tumpang sari dengan menanam cabai dan kubis dalam
satu musim tanam, kemudian tanaman sayuran lain seperti caisin, bawang daun
dan tomat dapat ditanam sebagai substitusi tanaman kubis. Hal tersebut dapat
dilakukan karena tanaman cabai memiliki umur produktif selama 6 – 7 bulan
dengan umur siap panen selama 3 bulan sedang umur produktif tanaman
tumpangsarinya (kubis, caisin, bawang daun dan tomat) hanya berkisar 3 bulan
saja (Wawancara petani, 2013).
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Prediksi Erosi pada Lahan Usahatani Cabai
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metoda untuk memperkirakan laju
erosi yang terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan
pengelolaan tertentu (Arsyad, 2010). Jika laju erosi yang akan terjadi dapat di
prediksi dan laju erosi yang ditoleransi (ETol) sudah dapat ditetapkan, maka dapat
ditentukan tindakan pengelolaan tanaman dan konservasi tanah yang yang tepat
agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan secara produktif dan
lestari (Suripin, 2002). Laju erosi yang terjadi diprediksi dengan menggunakan
metode USLE. Pengukuran erosi dilakukan pada skala usahatani berdasarkan
kondisi fisik lahan. Pada setiap lahan usahatani dianalisis besarnya faktor-faktor
penentu erosi untuk selanjutnya dilakukan prediksi erosi.
6.1.1. Faktor Erosivitas Hujan
Erosivitas hujan (R) adalah kemampuan hujan dengan energi kinetiknya
untuk menimbulkan erosi pada suatu bidang lahan dalam waktu tertentu (EI30)
(Asdak, 2007), dengan demikian erosivitas hujan (R) diperoleh dari pendekatan
Energi Kinetis (EI30) yang diterima pada lahan usahatani cabai. Komponen
erosivitas hujan terdiri dari curah hujan, hari hujan dan curah hujan maksimum
selama 24 jam didapat dari stasiun curah hujan BMKG Kabupaten Garut selama
10 tahun dari tahun 2003 – 2012 seperti yang terdapat pada Lampiran 6.a – 6.c.
Erosivitas hujan ditentukan oleh intensitas hujan, diameter butir hujan,
distribusi hujan, dan kecepatan jatuh butir-butir hujan. Menurut Arsyad (2010)
dari keempat sifat-sifat hujan tersebut, yang paling berpengaruh terhadap erosi
adalah intensitas hujan yang menunjukkan banyaknya curah hujan persatuan
waktu. Berdasarkan data BMKG Kabupaten Garut pada Lampiran 6.a, jumlah
curah hujan rata-rata di daerah penelitian tergolong tinggi yaitu sebesar 2.034,73
mm/th, dengan intensitas hujan rata-rata sebesar 75,17 mm/jam. Hasil perhitungan
erosivitas hujan (Lampiran 7) diperoleh nilai erosivitas hujan tahunan (EI30)
sebesar 1.516,46. Nilai erosivitas hujan bulanan berkisar antara 40,23 – 321,85 di
mana erosivitas hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juli sedangkan
erosivitas hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari. Besarnya erosivitas
hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke permukaaan tanah, kecepatan
aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkannya (Wei dkk., 2009).
6.1.2. Faktor Erodibilitas Tanah
Pada penelitian ini penentuan besarnya faktor erodibilitas tanah berdasarkan
hasil analisis tanah sebanyak 69 sampel tanah dari lahan petani di Kecamatan
Cikajang. Adapun hasil analisis faktor erodibilitas tanah dapat dilihat pada
Lampiran 9. Data tersebut menunjukkan bahwa besaran nilai K bervariasi antara
0,171 – 0,274, dengan rata-rata
nilai erodibilitas tanah adalah 0,222. Nilai
erodibilitas ini termasuk dalam kategori sedang (0,21 – 0,32) berdasarkan
klasifikasi nilai erodibilitas Dangler dan El-Swaify 1976 (Arsyad, 2010).
Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi
kinetik air hujan (O’Geen dkk., 2007; Wang dkk., 2013). Semakin besar nilai K,
maka semakin peka suatu tanah terhadap erosi. Meskipun besarnya resistensi
tersebut akan tergantung pada kemiringan lereng, besarnya erodibilitas tanah juga
ditentukan oleh karakteristik tanah antara lain tekstur tanah, kandungan organik,
stabilitas agregat tanah, dan permeabilitas tanah (Asdak, 2007; Arsyad 2010).
Tekstur tanah sangat berperan terhadap besar kecilnya erodibilitas tanah.
Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah (Lampiran 8), tekstur tanah di
Kecamatan Cikajang
didominasi oleh tanah dengan partikel agregat halus
(lempung liat, liat berpasir dan liat berdebu). Pada tanah dengan unsur dominan
liat ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong kuat, liat juga memiliki
kemampuan memantapkan agregat tanah sehingga tidak mudah tererosi (Soepardi,
1983; Hardjowigeno, 2003).
Bahan organik tanah mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan
agregat tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka semakin
tinggi pula erodibilitasnya. Kandungan bahan organik tanah diukur berdasarkan
kandungan karbon (C) tanah. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah
(Lampiran 8), rata-rata besarnya C - organik tanah di Kecamatan Cikajang adalah
4,10 %, di mana nilai ini termasuk dalam kategori sedang (3 – 5%) (Arsyad,
2010).
Struktur tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah. Berdasarkan hasil
pengamatan struktur tanah di Kecamatan Cikajang mempunyai struktur tanah
remah atau granuler (Lampiran 8) di mana struktur tanah granuler ini memiliki
keporosan tanah yang tinggi sehingga akan meningkatkan laju infiltrasi tanah
(Hardjowigeno, 2003).
Permeabilitas memberikan pengaruh pada kemampuan tanah dalam
meloloskan air, tanah dengan permeabilitas tinggi menaikkan laju infiltrasi.
Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah (Lampiran 8), permeabilitas
tanah rata-rata adalah 6,70 cm/jam di mana menurut Arsyad (2010) nilai ini
tergolong dalam kelas sedang (6,3 – 12,7 cm/jam).
6.1.3. Faktor Lereng
Faktor lereng L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan
kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Berdasarkan hasil pengamatan dan
pengukuran di Kecamatan Cikajang mempunyai kisaran panjang lereng antara 4,3
m – 15,8 m dan kemiringan lereng antara 8,5 % - 43,2% .
Panjang lereng berperan terhadap besarnya erosi yang terjadi, semakin
panjang lereng maka semakin besar volume aliran permukaan yang terjadi.
Kemiringan lereng memberikan pengaruh besar terhadap erosi yang terjadi,
karena sangat mempengaruhi kecepatan limpasan permukaan (Arsyad, 2010).
Makin tinggi kemiringan lereng, maka kesempatan air untuk masuk kedalam
tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga volume limpasan permukaan semakin
besar yang mengakibatkan terjadinya erosi.
6.1.4. Faktor Penutupan dan Pengelolaan Tanaman
Faktor penutupan dan pengelolaan tanaman (C) dalam USLE adalah Rasio
antara besarnya erosi dari tanah yang ditanami dengan pengelolaan tertentu
terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Faktor C ini
mengukur pengaruh bersama jenis tanaman dan pengelolaannya. Pada umumnya
(65,42 %) petani responden di Kecamatan Cikajang menanam tanaman cabai
dengan sistem monokultur sepanjang tahun, sisanya (34,58 %) menanam tanaman
cabai dengan sistem tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya. Berdasarkan
tabel angka C yang diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor
(Lampiran 3) diperoleh nilai C tanaman cabai monokultur adalah 0,9 dan nilai C
tanaman cabai tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya adalah 0, 495.
6.1.5. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah
Pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terhadap besarnya
erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan
tanaman (C). Faktor P adalah nisbah antara tanah yang tererosi rata-rata dari lahan
yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari
lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi (Asdak, 2007). Beberapa nilai P telah
dapat ditentukan berdasarkan penelitian tanah-tanah di Jawa seperti tersebut pada
Lampiran 4. Tabel tersebut menunjukkan beberapa nilai P menurut kemiringan
lereng dan bentuk usaha konservasi tanah yang diterapkan (Abdurachman dkk.,
1984 dalam Asdak, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapang menunjukkan, hanya
sekitar 12% petani cabai di dataran tinggi Kecamatan Cikajang yang mengelola
lahannya mengikuti kaidah konservasi dengan membuat teras guludan memotong
lereng dan penggunaan mulsa. Sekitar 88% lainnya mengelola lahan dengan
sistem guludan dan arahnya mengikuti lereng. Berdasarkan tabel angka P yang
diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor (Lampiran 4), nilai P
yang digunakan adalah nilai P untuk teras gulud dengan konstruksi sedang (P =
0,15) dan nilai P untuk teras gulud tradisional (P = 0,4).
6.1.6. Erosi yang di Toleransi
Berdasarkan pedoman penetapan nilai Erosi yang di Toleransi (ETol) oleh
Wood and Dent (1983) dalam Arsyad (2010), ETol dihitung pada tanah dengan
kedalaman efektif sebesar 1.080,5 mm dan faktor kedalaman untuk sub order
tanah andosol atau andept sebesar 1,0 (Hammer, 1981 dalam Arsyad, 2010).
Dengan demikian kedalaman ekivalen tanah sebesar 1.080,5 mm. Kedalaman
tanah minimum untuk tanaman pertanian semusim adalah 300 mm. Jika rata-rata
laju pembentukan tanah sebesar 1,0 mm/th, bobot isi tanah rata-rata sebesar 0,83
gr/cm3, dan umur guna lahan selama 250 tahun, maka erosi yang dapat
ditoleransikan di lokasi penelitian sebesar 34,21 ton/ha/th.
6.1.7. Prediksi Erosi dan Indeks Bahaya Erosi
Setelah nilai dari faktor – faktor penentu erosi diketahui, kemudian dapat
dilakukan analisis prediksi erosi (A), Erosi yang di Toleransi (ETol) dan Indeks
Bahaya Erosi (IBE) seperti yang tertera pada Lampiran 10. Hasil perhitungan
prediksi erosi dengan menggunakan metode USLE dapat dilihat pada Tabel 14.
Jumlah erosi yang terjadi di lahan usahatani cabai merah termasuk dalam kategori
sangat tinggi dengan nilai Indeks Bahaya Erosi lebih dari 10 (IBE > 10).
Tabel 14. Prediksi erosi, ETol dan IBE berdasarkan pola tanam dan kemiringan
lereng di Kecamatan Cikajang.
Pola Tanam
Monokultur
A
ETol
IBE
Tumpangsari A
ETol
IBE
Rata-rata
A
ETol
IBE
(ton/ha/th)
(ton/ha/th)
(ton/ha/th)
(ton/ha/th)
(ton/ha/th)
(ton/ha/th )
Kemiringan lereng (%)
10
20
40
210,74
264,80 327,91
35,63
35,50
33,51
18,40
27,03
48,89
121,76
149,26 226,46
35,16
32,56
29,66
17,02
26,66
33,94
113,11
140,64 188,59
35,40
34,03
31,59
17,71*
26,85* 41,42*
Rata-rata
267,82
34,88
31,44*
165,83
32,46
25,87*
Sumber : Data primer (2014)
Ket :
* Sangat Tinggi, A = Erosi, ETol = Erosi yang ditoleransi, IBE = Indeks Bahaya Erosi
Erosi yang sangat tinggi tersebut disebabkan oleh intensitas hujan yang
tinggi di daerah penelitian yaitu sebesar 75,17 mm/jam. Menurut Printz (1999)
dalam Hardiyatmo (2006) untuk intensitas hujan sekitar 30 – 60 mm/jam hanya
sekitar 10% dari hujan yang menimbulkan erosi, tetapi untuk intensitas hujan
yang lebih besar dari 60 mm/jam kemungkinan besar akan menimbulkan erosi.
Sifat hujan yang sangat penting mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan,
karena merupakan penyebab utama penghancuran agregat-agregat tanah (Asdak,
2007; Li dkk., 2009; Arsyad, 2010). Goro (2008) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa intensitas hujan 60 mm/jam menghasilkan energi kinetik
27,45 joule/m2/mm dan setiap penambahan intensitas 10 mm/jam bertambah pula
energi kinetiknya.
Erosi yang sangat tinggi juga dipengaruhi oleh lahan usahatani terletak pada
areal yang landai sampai curam, dimana 35,03% lahan petani berada pada
kemiringan landai (10%), 35,13% lahan petani berada pada kemiringan agak
curam (20%) dan 29,84% lahan petani berada pada kemiringan curam (40%).
Tabel 14 menunjukkan bahwa kenaikan lereng sebesar dua kali lebih curam, maka
erosi menjadi 1,25 – 1,5 kali lebih banyak. Dengan demikian semakin curam
kemiringan lereng maka semakin besar erosi yang terjadi, jauh melebihi batas
ETol. Kondisi kemiringan lereng yang curam tanpa tindakan KTA akan
memperbesar
jumlah
dan
kecepatan
aliran
permukaan,
sehingga
akan
memperbesar energi angkut air. Selain itu semakin miring lereng, maka jumlah
butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan semakin
banyak (Hogarth dkk., 2004; Armand dkk., 2009; Arsyad, 2010).
Efektivitas penutupan tanah dan pengelolaan tanaman yang rendah juga
menjadi penyebab erosi. Berdasarkan Tabel 14, pola tanam monokultur
memberikan nilai erosi lebih besar dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari
dengan nilai erosi aktual jauh di atas ETol. Perbedaan erosi antar pola tanam
tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai C masing-masing pola tanam, di mana
nilai faktor C tanaman cabai monokultur adalah 0,9 dan nilai faktor C tumpangsari
tanaman sayuran adalah 0,495. Disamping itu tidak efektifnya usaha konservasi
tanah dan air, dimana sekitar 88% petani mengelola lahan dengan guludan searah
lereng sehingga memberikan nilai faktor pengelolaan tanah (P) yang tinggi yaitu
sebesar 0,4. Menurut Asdak (2007) faktor CP menunjukkan keseluruhan pengaruh
vegetasi, serasah, kondisi permukaan tanah, pengelolaan tanaman dan pengelolaan
lahan terhadap besarnya erosi. Semakin besar nilai Faktor CP maka semakin besar
pula erosi yang terjadi (Zhang dkk., 2004).
6.2. Pendapatan Usahatani, Kontribusi Pendapatan Usahatani Terhadap
Kebutuhan Hidup Layak Petani dan Keberlanjutan Usahatani
6.2.1. Pendapatan Usahatani Cabai
Pendapatan usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan kegiatan
usahatani.
Pendapatan
usahatani
juga
memberikan
gambaran
mengenai
keuntungan dan tingkat kelayakan dari kegiatan usahatani. Pendapatan usahatani
cabai yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari selisih antara penerimaan
dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan usahatani tersebut.
Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan Cikajang dapat dilihat
pada Tabel 15.
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa usahatani cabai, baik yang diusahakan
dengan pola tanam
tumpangsari maupun monokultur pada semua kelas
kemiringan lereng memberikan nilai BC rasio lebih dari 1. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah pendapatan usahatani lebih besar dari biaya yang dikeluarkan atau
memperoleh keuntungan sehingga layak untuk diusahakan.
Tabel 15. Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan Cikajang
berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng.
Uraian
Produksi Cabai (Kg)
Produksi Kubis (Kg)
Harga Cabai (Rp/kg)
Harga Kubis (Rp/kg)
Penerimaan Cabai
Penerimaan Kubis
Total Penerimaan
Biaya Usahatani
Pendapatan (Rp/ha/th)
B/C
Lereng 10 %
Lereng 20 %
Lereng 40 %
Tumpangsari
Monokultur
Tumpangsari
Monokultur
Tumpangsari
Monokultur
4.531
4.612
3.825
3.884
3 093
3 103
1.918
0
1.514
0
1 269
0
----------------------------------------------------------16.000------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1.500-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Rp/ha/th--------------------------------------------------------72.496.000
73.792.000
61.200.000
62.144.000
49.488 .000
49.648.000
2.877.000
0
2.421.000
0
1.903.550
0
75.373.000
73.792. 000
63.621.000
62.144.000
51.391.500
49.648.000
18 234.507
18.555.779
18.773.085
19.295.022
19.064.516
19.738.368
57.138 .493
55. 236.221
44.847.915
42.848.978
32.326.984
29.909.632
3,13
2,98
2,39
2,22
1,70
1,52
Sumber : Data primer (2014)
Jika dilihat berdasarkan pola tanam, maka pola tanam tumpangsari lebih
menguntungkan atau lebih layak diusahakan dibandingkan monokultur, di mana
nilai BC rasio pola tanam tumpangsari selalu lebih besar daripada monokultur
pada semua kelas kemiringan lereng. Perbedaan pendapatan dan nilai BC rasio
antar pola tanam dan kemiringan lereng terutama disebabkan oleh perbedaan
tingkat produktivitas, nilai penerimaan dan biaya usahatani. Dengan demikian
tingkat produktivitas maupun nilai penerimaan yang tinggi belum tentu
mencerminkan tingkat pendapatan atau nilai BC rasio yang tinggi apabila biaya
yang dikeluarkan juga tinggi (Soekartawi, 2006).
Produksi tanaman cabai yang sedikit lebih rendah pada pola tanam tumpang
sari dibandingkan produksi tanaman pola monokultur di semua kelas kemiringan
lereng (Tabel 15) diduga akibat adanya persaingan hara dengan tanaman
tumpangsarinya (kubis) sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman utamanya
(cabai). Namun dengan hasil produksi dari tanaman tumpangsari (kubis) maka
total penerimaan usahatani lebih besar pada pola tanam tumpang sari daripada
monokultur. Hal ini sejalan dengan penelitian Suwandi
dkk. (2003) yang
menyatakan bahwa sistem tumpangsari cabai dan tomat di dataran tinggi yang
terkelola dengan baik selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman juga Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL) melalui tambahan hasil tanaman tumpangsarinya.
Produksi cabai pada lahan usahatani di Kecamatan Cikajang relatif rendah
dibandingkan dengan potensi produktivitas cabai rata-rata Kabupaten Garut yang
mencapai 10.520 kg/ha (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Hal ini
disebabkan oleh penurunan produktivitas lahan akibat erosi yang sangat tinggi
pada lahan usahatani cabai (Tabel 14) sehingga penerimaan usahatani semakin
berkurang seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng.
Erosi menyebabkan terkikisnya lapisan tanah atas yang banyak mengandung
unsur hara sehingga menyebabkan produksi yang diperoleh seringkali di bawah
potensi yang ada, dan produktivitas lahan semakin menurun (Suganda dkk., 1997;
Suwandi, 2009). Hal ini juga berhubungan dengan penggunaan sarana produksi
yang tinggi terutama penggunaan pupuk yang semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya kemiringan lereng (Gambar 11), sehingga semakin tinggi
kemiringan lereng maka biaya sarana produksi semakin besar. Menurut Suganda
dkk. (1997) dan Sumarni dkk. (2006) semakin curam lereng maka kehilangan
hara terutama unsur N, P, K dalam tanah semakin besar akibat adanya erosi.
Jika dilihat berdasarkan kemiringan lereng (Tabel 15), walaupun nilai BC
rasio masih diatas 1, tetapi ada kecenderungan penurunan nilai BC rasio seiring
dengan peningkatan kemiringan lereng, baik pada pola tanam tumpangsari
maupun pada monokultur. Hal ini diakibatkan semakin curam lereng, maka
semakin berkurang penerimaan usahatani dan semakin besar biaya usahatani yang
harus dikeluarkan. Biaya usaha tani cabai menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata antar pola tanam pada setiap kemiringan lereng, terutama biaya tenaga kerja
dan biaya sarana produksi yang harus dikeluarkan. Biaya usahatani secara lebih
rinci disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rincian biaya usahatani pada tiga kelas kemiringan lereng di
Kecamatan Cikajang.
Komponen Biaya
Lereng 8 – 15 %
Lereng 15 – 25 %
Lereng 25 – 45 %
Tumpangsari
Monokultur
Tumpangsari
Monokultur
Tumpangsari
Monokultur
-----------------------------------------------------Rp ha-1th-1-------------------------------------------------------1. Biaya Tenaga Kerja
- Pengolahan tanah
- Pengapuran
- Pemupukan 1
- Pemupukan 2
- Pembibitan
- Penanaman
- Penyulaman
- Pemasangan Ajir
- Pemupukan 3
- Penyeprotan
- Penyiangan
- Pemanenan
JUMLAH (1)
2. Biaya Sarana Produksi
- Benih
- Pupuk
- NPK (Phonska)
- NPK (Mutiara)
- Urea
- ZA
- KCl
- SP 36
- Pupuk Kandang
- ZPT Cair
- ZPT Padat
- Obat-obatan
- Obat cair
- Obat padat
- Ajir
- Tali
- Polibag
JUMLAH (2)
Jumlah Biaya Usahatani
1.813.271
1.837.108
1.852.405
1.867.108
1.866.285
1.927.108
400.748
412.312
421.315
433.817
430.565
439.317
598.744
605.484
593.511
621.984
607.561
629.484
405.901
416.917
431.371
458.817
448.561
468.317
294.176
312.258
313.743
332.558
324.193
345.058
860.189
882.576
885.756
891.076
896.006
897.576
296.633
311.033
310.200
339.533
336.425
339.033
207.967
222.527
210.534
229.027
228.084
238.527
425.744
445.377
421.311
447.817
431.141
449.317
589.522
612.035
600.089
623.410
615.338
626.976
195.932
213.068
206.499
221.558
212.149
234.058
5.046.365
4.923.522
5.092.173
4.952.173
5.110.297
5.093.231
11.135.192
11.194.207
11.338.907
11.418.878
11.506.605
11.688.002
---------------------------------------------------- Rp ha-1th-1----------------------------------------------532.667
506.933
562.667
524.400
571.333
531.067
423.324
612.600
171.493
162.440
166.684
212.791
1.800.000
246.533
387.833
436.556
646.333
173.733
166.367
171.243
217.453
1.936.389
242.593
380.093
429.853
635.200
172.100
165.220
169.716
215.956
1.904.167
251.822
398.222
446.667
680.000
176.067
170.400
175.778
222.111
2.076.667
255.555
405.555
433.956
643.700
174.457
165.960
169.957
216.264
1.906.667
259.600
413.500
455.911
693.500
177.583
171.900
177.500
223.850
2.122.500
261.778
417.778
808.611
444.833
960.556
59.950
109.000
7.099.315
18.234.507
850.000
432.870
1.017.593
65.083
118.333
7.361.572
18.555.779
888.333
460.889
1.003.333
62.700
114.000
7 434 178
18 773 085
995.833
472.222
1.088.889
66.000
120.000
7.876.144
19.295.022
931.389
484.500
1.005.278
64.350
117.000
7.557.911
19.064. 516
1.036.111
491.111
1.098.611
67.833
123.333
8.050.366
19.738.368
Sumber : Data primer (2014)
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar biaya usahatani adalah untuk
membiayai tenaga kerja, dimana pengeluaran biaya tenaga kerja terbesar
dipergunakan untuk upah panen, disusul biaya pengolahan tanah, penanaman,
pemupukan 1 (pupuk kandang), penyemprotan, pemupukan 2 dan 3, pengapuran,
penyulaman, pembibitan, penyiangan dan pemasangan ajir. Pengeluaran biaya
tenaga kerja berbeda antara pola tanam monokultur dan pola tanam tumpangsari,
dimana petani yang mengusahakan tanaman cabai dengan pola tanam monokultur
lebih banyak membutuhkan tenaga kerja sehingga biaya yang dikeluarkan untuk
membayar tenaga kerja lebih besar.
Gambar 11. Grafik penggunaan pupuk berdasarkan kemiringan lereng pada pola
tanam tumpangsari dan monokultur tanaman cabai di Kecamatan
Cikajang.
Pengeluaran biaya sarana produksi terbesar adalah untuk pembelian pupuk,
yaitu pupuk kandang, NPK mutiara, NPK Phonska, ZPT padat, ZPT cair, SP 36,
Urea, KCL, dan ZA. Selanjutnya berturut-turut untuk pembelian pupuk, plastik
hitam perak, ajir, obat - obatan, benih, polibag dan tali. Besarnya pengeluaran
untuk pembiayaan sarana produksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar pola
tanam di setiap kemiringan lereng yang berbeda. Petani yang mengusahakan
tanaman cabai dengan pola tanam monokultur lebih banyak mengeluarkan biaya
sarana produksi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Menurut
Sumaryanto
(2005)
tujuan
dari
mengatur
pola
tanam
adalah
untuk
mengoptimalkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal dan manajemen
yang dimiliki petani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani.
6.2.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani Cabai Terhadap Kebutuhan Hidup
Layak Petani
Kebutuhan hidup layak adalah kebutuhan untuk hidup sehat minimal dari
suatu keluarga petani dalam bentuk nilai nominal yang setara dengan total nilai
kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan
tabungan untuk jaminan hari tua sepasang kepala keluarganya. Oleh karena itu
nilai KHL lebih besar dari nilai ambang kecukupan pangan (beras). Batasan
mengenai KHL tersebut dapat dipastikan sebagai standar kebutuhan hidup yang
lebih tinggi daripada sekedar cukup pangan, sandang dan perumahan sederhana
yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup subsisten (Tim IPB, 2004).
Menurut Sinukaban (2007), jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh
keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal setara beras 800 kg/kapita/th yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik minimal (KFM) 320 kg, kebutuhan
kesehatan dan rekreasi 160 kg, kebutuhan pendidikan 160 kg, dan kebutuhan
sosial, asuransi, dan lain-lain 160 kg.
KHL petani ditentukan oleh harga beras rata-rata per kilogram dan jumlah
anggota rumah tangga per kepala keluarga. Dengan harga beras rata-rata adalah
Rp. 6.500 /kg dan jumlah anggota rumah tangga petani responden rata-rata 4,6
org/kk, maka KHL petani cabai di Kecamatan Cikajang rata-rata sebesar Rp.
23.920.000,- /kk/th Jumlah pendapatan usahatani cabai berdasarkan kemiringan
lereng dan pola tanam, serta luas penguasaan lahan saat ini dapat digunakan untuk
menghitung kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap KHL petani (Tabel
17).
Tabel 17. Luas lahan garapan petani saat ini, pendapatan usahatani dan kontribusi
pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL petani
berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng.
Pola Tanam
Monokultur
Tumpangsari
Rata-rata
Luas lahan (ha)
Pendapatan (Rp/kk/th)
Kontribusi (%)
Luas lahan (ha)
Pendapatan (Rp/kk/th)
Kontribusi (%)
Luas Lahan (ha)
Pendapatan (Rp/kk/th)
Kontribusi (%)
Kemiringan lereng (%)
10
20
40
0,35
0,25
0,20
19.332.677 10.712.245
5.981.926
28,29
11,20
5,00
0,37
0,28
0,22
21.141.247 12.557.416
7.111.936
30,50
14,70
6,54
0,36
0,27
0,21
20.236.962 11.634.831
6.546.931
30,50
12,95
5,77
Rata-rata
0,27
12.008.949
14,83
0,29
13.603.533
17,98
Sumber : Data primer (2014)
Tabel 17 menunjukkan semakin curam kemiringan lereng, maka kontribusi
pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL petani semakin rendah. Hal
ini disebabkan luas lahan garapan petani yang semakin sempit dan pendapatan
usahatani yang semakin berkurang seiring dengan kemiringan lereng yang
semakin curam. Kontribusi pendapatan usahatani cabai pada kemiringan lereng
10%, 20% dan 40% berturut-turut adalah 30,50%; 12,95%; dan 5,77%. Menurut
Adiyoga dkk. (2000) luas usahatani sayuran dataran tinggi di tingkat petani
umumnya rata-rata hanya 0,2 – 0,3 ha. Selain disebabkan oleh kepemilikan atau
lahan garapan yang sempit, kontribusi pendapatan usahatani yang kecil juga
karena biaya usahatani cabai baik yang ditanam monokultur maupun tumpangsari
relatif mahal, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani.
Berdasarkan pola tanam, kontribusi pola tanam tumpangsari lebih tinggi
daripada kontribusi pola tanam monokultur, dimana kontribusi pola tanam
tumpangsari adalah 17,98% dan kontribusi pola tanam monokultur adalah
14,83%. Perbedaan kontribusi tersebut disebabkan pendapatan usahatani lebih
tinggi karena ada tambahan hasil produksi dari tanaman tumpangsari (kubis).
Kontribusi usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL baik pada pola tanam
tumpangsari maupun monokultur di kemiringan lereng 20 % dan 40 % masih
lebih rendah dari yang dilaporkan Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan, 2005),
bahwa sumbangan pendapatan usahatani sayuran terhadap pendapatan rumah
tangga petani mencapai 25 – 35 %.
6.3. Keberlanjutan Usahatani Cabai Dataran Tinggi
Indikator keberlanjutan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi di
Kecamatan Cikajang ditentukan berdasarkan nilai prediksi erosi dan pendapatan
usahatani. Suatu usahatani dikatakan berlanjut apabila erosi yang terjadi pada
suatu lahan usahatani lebih kecil atau sama dengan nilai ETol dan pendapatan
usahatani lebih besar atau sama dengan nilai KHL petani (Sinukaban, 2007).
Berdasarkan hasil prediksi erosi, hasil analisis usahatani dan hasil analisis KHL
petani dibuat suatu hubungan yang menjelaskan keberlanjutan usahatani cabai
dataran tinggi (Gambar 12).
Gambar 12 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani pada pertanaman
cabai monokultur dan tumpangsari di tiga kelas kemiringan lereng lebih kecil dari
nilai KHL. Hal ini mengindikasikan usahatani cabai dataran tinggi di Kecamatan
Cikajang belum menunjukkan indikator keberlanjutan ekonomi. Dalam rangka
tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan, pendapatan petani yang cukup
tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya. Dalam dimensi
ekonomi, kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui
produktivitas yang tinggi baik dari usahatani maupun di luar usahatani.
Produktivitas dan pendapatan petani yang tinggi untuk dapat memenuhi KHL
dapat diperoleh melalui pemilihan usahatani, komoditas dan agroteknologi yang
tepat. Dengan demikian petani mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya dan dapat melakukan kegiatan investasi termasuk teknologi untuk
meningkatkan produktivitas/kualitas lahan (Adnyana, 1999; Khisa, 2002).
Gambar 12.
Grafik hubungan antara erosi, ETol, pendapatan usahatani, dan
KHL petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng.
Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa besar erosi di lahan usahatani jauh
melebihi batas ETol, sehingga usahatani cabai daratan tinggi di Kecamatan
Cikajang belum menunjukkan indikator keberlanjutan lingkungan. Erosi
merupakan penyebab utama kerusakan/degradasi tanah. Dampak langsung erosi
terhadap lingkungan dapat berupa
kehilangan lapisan tanah yang baik bagi
berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah,
dan kemerosotan produktivitas tanah. Dengan demikian erosi merupakan faktor
negatif pertama yang menentukan produktivitas dan profitability dalam konsep
keberlanjutan (Minami, 1997). Hal ini didukung oleh Belcher dkk. (2004) yang
mengemukakan bahwa karakteristik biofisik agro-ekosistem yang mencakup
karakteristik tanah dan iklim merupakan critical determinant dari performa
ekonomi dan keberlanjutan sistem produksi. Oleh karena itu konsekuensinya
menurut Wolf dan Snyder (2003) keberlanjutan hanya dapat dicapai jika erosi
dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan
dan/atau ditingkatkan. Derpsch dan Moriya (1998) menambahkan bahwa jika
tanah yang hilang lebih besar daripada laju erosi yang dapat ditoleransikan, maka
sistem pertanian berkelanjutan tidak mungkin dicapai. Oleh karena, itu diperlukan
penyempurnaan teknik pengelolaan usahatani berupa teknik konservasi tanah dan
air yang sesuai dan memadai. Konservasi tanah sekaligus konservasi bahan
organik tanah merupakan suatu keharusan pada setiap usaha pertanian, sehingga
level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan
sumberdaya lahan (Stocking, 1994; Wolf dan Snyder, 2003).
6.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah Dan Air
Untuk menjaga agar kerusakan tanah tidak terjadi dan tanah dapat
digunakan secara berkelanjutan, maka nilai erosi harus ditekan menjadi sama atau
lebih kecil dari nilai ETol, dengan mencari dan menerapkan tanaman/pola tanam
(C)
dan tindakan konservasi tanah (P) yang sesuai. Caranya adalah dengan
membandingkan nilai ETol dengan erosi yang terjadi pada lahan tersebut tanpa
tindakan konservasi, disebut erosi potensial. Rata-rata nilai CP berdasarkan
kemiringan lereng tertera pada Tabel 18.
Berdasarkan Tabel 18, Erosi potensial rata-rata pada kemiringan lereng 10,
20 dan 40 % berturut-turut sebesar 598,641 ton/ha/th; 835,158 ton/ha/th; dan
1.326,437 ton/ha/th. Jika nilai erosi yang ditoleransi rata-rata pada kemiringan
lereng 10 % sebesar 35,42 ton/ha/th, kemiringan lereng 20 % sebesar 33,20
ton/ha/th, dan kemiringan lereng 40 % sebesar 33,07 ton/ha/th, maka nilai CP
rata-rata yang digunakan untuk menekan erosi menjadi sama atau lebih kecil dari
ETol pada kemiringan lereng 10, 20 dan 40 % berturut-turut sebesar 0,06; 0,04;
dan 0,03. Dengan demikian alternatif tindakan konservasi yang direkomendasikan
adalah guludan tanaman memotong lereng (nilai CP = 0,03 – 0,28) (Asmaranto
dan Juwono, 2007).
Tabel 18. Rata-rata nilai CP berdasarkan kelas kemiringan lereng
Kemiringan Lereng
RKLS
(%)
ton/ha/th
10
598.641
20
835.158
40
1.326.437
Sumber : Data primer (2014)
ETol
ton/ha/th
35,42
33,20
33,07
Nilai
CP
0,06
0,04
0,03
Berdasarkan nilai faktor CP tersebut, maka dibuat suatu percobaan lapangan
teknologi KTA yang lebih difokuskan pada penerapan guludan dengan
penyempurnaan dari beberapa segi. Pada kenyataan di lapangan, budidaya
tanaman cabai dataran tinggi dilakukan dalam guludan-guludan searah lereng.
Oleh sebab itu perlu dicari ukuran dan
bentuk guludan yang sesuai dengan
agroekosistem dataran tinggi tanpa mengabaikan kebiasaan petani, namun dapat
mengendalikan aliran
permukaan dan erosi sampai batas yang ditoleransi,
meningkatkan produksi tanaman dan pendapatan usahatani, serta dapat diterima
(acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) oleh petani setempat.
6.4.1. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Aliran
Permukaan dan Erosi
Pengukuran aliran permukaan dan erosi dilakukan selama periode musim
tanam. Data hasil pengukuran aliran permukaan dan erosi pada setiap perlakukan
disajikan pada Tabel Lampiran 15 dan 16. Analisis ragam masing-masing
disajikan pada Tabel Lampiran 18. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan tindakan konservasi tanah berpengaruh nyata terhadap aliran
permukaan dan erosi tanah (Psig < 0,05). Rata-rata volume aliran permukaan dan
kehilangan tanah akibat erosi dengan hasil uji hasil uji BNJ atau uji Tukey
disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Pengaruh tindakan konservasi terhadap aliran permukaan dan erosi di
Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Aliran Permukaan
mm
% CH
TK1 (Kontrol)
253,35f
87,58
e
TK2
195,89
67,72
TK3
92,74b
32,06
c
TK4
130,76
45,21
TK5
203,57e
70,38
d
TK6
143,56
49,63
TK7
60,21a
20,82
TK8
95,11b
32,88
Sumber : Data Primer (2014)
Perlakuan
Erosi
109,08f
28,74d
10,66b
18,43c
89,26e
19,29c
5,22a
11,46b
Erosi (ton/ha)
Jum PE
80,34
98,42
90,64
19,82
89,78
103,86
97,62
% PE
73,65
90,23
83,10
18,17
82,31
95,21
89,49
* Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
menurut BNJ
* CH (curah hujan) = 289,26 mm (Lampiran 14)
* % CH
= persentase aliran permukaan terhadap curah hujan
* Jum PE
= Jumlah penurunan erosi terhadap kontrol
* % PE
= persentase penurunan erosi terhadap kontrol
Berdasarkan hasil uji BNJ, perlakuan TK7 nyata paling efektif menurunkan
aliran permukaan sebesar 60,21 mm dan erosi sebesar 5,22 ton/ha di bawah nilai
ETol (34,21 ton/ha/th) dibandingkan kontrol (TK1), disusul kemudian perlakuan
TK3 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 92,74 mm dan erosi sebesar
10,66 ton/ha/th, perlakuan TK8 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar
95,11 mm dan erosi sebesar 11,46 ton/ha, perlakuan TK4 dan mampu menurunkan
aliran permukaan sebesar 130,76 mm dan erosi sebesar 18,43 ton/ha, perlakuan
TK6 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 143,56 mm dan erosi sebesar
19,29 ton/ha, perlakuan TK2 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar
195,89 mm dan erosi sebesar 26,74 ton/ha, dan terakhir perlakuan TK5 mampu
menurunkan aliran permukaan sebesar 203,57 mm dan erosi sebesar 89,26 ton/ha.
Pengaruh perlakuan teknik konservasi tanah terhadap erosi dapat dilihat dari
nilai persentase penurunan erosi terhadap perlakuan kontrol. Persentase penurunan
erosi paling besar adalah pada perlakuan cabai tumpangsari + guludan memotong
lereng (TK7). Hal ini selaras dengan penelitian Wezel dkk. (2002) dan Subekti
(2004) bahwa sistem guludan horizontal sebagaimana kaidah teras, sangat efektif
mengurangi laju erosi dan efektifitas guludan akan semakin meningkat apabila
jarak guludan semakin dekat. Guludan memotong lereng sangat efektif dalam
memperlambat aliran permukaan dan menahan serta menampungnya agar lebih
banyak air yang meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi sehingga aliran
permukaan dan erosi menjadi kecil (Zhang dkk., 2004; Shukle dan Lal, 2005;
Asmaranto dan Juwono, 2007; Mawardi, 2013).
Aliran permukaan dan erosi yang rendah
pada lahan tanaman cabai
tumpangsari dengan kubis selain disebabkan oleh guludan memotong lereng, juga
disebabkan oleh jarak tanaman cabai dengan tanaman tumpangsarinya (kubis)
yang rapat dan tersebar merata menutupi permukaan tanah. Hal ini sangat efektif
mengurangi daya perusak hujan sehingga mengurangi butiran tanah yang terbawa
aliran permukaan. Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa hanya 20,82 % dari
jumlah curah hujan yang menjadi aliran permukaan pada guludan memotong
lereng pola tanam cabai tumpangsari. Peranan penutupan tajuk dalam menurunkan
persentase hujan yang mengalir sebagai aliran, selain karena adanya reduksi
energi kinetik hujan juga karena lebih banyak curah hujan yang diintersepsi oleh
tajuk tanaman (Abas dkk. 2003; Auerswald dkk., 2006; Sumarni, 2006; ; Zhou
dkk. 2008).
6.4.2. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor Konservasi (Faktor
CP)
Perhitungan nilai faktor CP didasarkan pada erosi yang diperoleh pada
setiap petak perlakuan (kombinasi dari faktor pengelolaan tanaman dan teknik
konservasi tanah) dan erosi yang diperoleh pada petak yang identik tanpa
pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah atau petak pembanding, yang
mana nilai faktor CP merupakan nisbah antara erosi pada petak perlakuan dengan
erosi pada petak pembanding. Rata-rata erosi pada petak pembanding adalah
sebesar 130,47 ton/ha. Nilai faktor CP perbulan selama musim tanam dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 15, sedangkan rata-rata nilai faktor CP pada berbagai
perlakuan teknik konservasi disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai faktor CP pada masing-masing tindakan konservasi tanah dan air
Perlakuan
Nilai CP
TK1 (Kontrol)
0,84
TK2
0,22
TK3
0,08
TK4
0,14
Sumber : Data primer (2014)
Perlakuan
TK5
TK6
TK7
TK8
Nilai CP
0,68
0,15
0,04
0,09
Berdasarkan Tabel 20, perlakuan TK7 memberikan nilai CP yang lebih kecil
disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6, TK2, TK5 dan TK1. Nilai
faktor CP yang Rendah pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan
memotong lereng) disebabkan erosi yang juga rendah pada perlakuan tersebut
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rata-rata nilai faktor CP dan erosi
perbulan dapat dilihat pada Gambar 13.
(a)
(b)
Gambar 13. (a) Rata-rata erosi perbulan (b) Nilai faktor CP per bulan.
Gambar 13 menunjukkan bahwa pada bulan ke 1, 2, 3 dan 4 berturut nilai
faktor CP mengalami penurunan, yang berarti peran dalam pengendalian erosi
justru sebaliknya yaitu mengalami peningkatan atau jumlah tanah tererosi semakin
kecil. Nilai CP berturut-turut menurun tipis, dengan mencermati tahapan dalam
proses terjadinya erosi, bahwa perlakuan pola tanam dan guludan menjalankan
fungsi konservasinya baik pada tahap pengangkutan ketika hujan berlangsung
maupun pada tahap pelepasan agregat ketika terjadi aliran permukaan. Selain itu
vegetasi melalui pertumbuhan akar dan tajuk tanaman turut berperan dalam
mengendalikan erosi dan aliran permukaan.
Gambar 14. Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP.
Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP untuk
perlakuan TK3 dan TK7 ditunjukkan pada Gambar 14. Berdasarkan pengamatan
terhadap luas penutupan kanopi tanaman pada Gambar 14, nampak bahwa bahwa
pada bulan 1 (umur tanaman 0 – 30 hari) tanaman cabai baik monokultur maupun
tumpangsari masih berada pada fase awal pertumbuhan. Nilai faktor CP relatif
lebih tinggi pada awal penanaman, dimana penutupan tajuk tanaman masih
sangat rendah sehingga erosi yang terjadi tinggi. Pada bulan 2 dan 3 (umur
tanaman 60 hari dan 90 hari) nilai faktor CP kemudian menurun sejalan dengan
peningkatan
penutupan
tajuk
tanaman,
sehingga
erosi
juga
menjadi
menurun.Vegetasi memberikan pengaruh baik melalui fungsi proteksi permukaan
tanah, energi hujan dan aliran permukaan, serta kegiatan perakaran dan aktivitas
biologi yang lain sehingga menyebabkan penurunan nilai CP (Suripin, 2002;
Mawardi, 2013). Ini artinya bahwa peran sinergi antara guludan dan tanaman
cabai baik yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari dalam
mengendalikan erosi nilainya sebagian ditentukan oleh peran vegetasi.
6.4.3. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terhadap Kehilangan
Unsur Hara
Peristiwa erosi tidak hanya mengakibatkan hilangnya lapisan olah tanah
namun juga dapat mengurangi kesuburan tanah akibat terangkutnya hara tanaman
baik dalam aliran permukaan maupun dalam tanah tererosi. Lapisan tanah bagian
atas umumnya lebih subur (kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan
dengan lapisan bawah. Tanah yang subur atau produktivitasnya tinggi yaitu tanah
yang dapat menyediakan unsur hara yang sesuai bagi kebutuhan tanaman tertentu
sehingga produktivitasnya tinggi. Unsur hara dalam tanah dapat berkurang karena
terangkut pada waktu panen, pencucian, dan terangkutnya pada waktu proses
erosi. Oleh karena itu diperlukan teknik konservasi tanah yang dapat menekan
jumlah erosi dan dapat menurunkan jumlah C-organik serta unsur hara yang
terbawa erosi.
Pengukuran jumlah C-organik dan hara N,P dan K yang terbawa erosi
dilakukan selama periode musim tanam. Adapun data hasil pengukuran jumlah
C-organik dan hara N,P dan K yang terbawa erosi pada setiap perlakukan
konservasi tanah disajikan pada Tabel Lampiran 17 dan analisis ragam masingmasing perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 19. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap
kehilangan C-organik dan hara N, P, K dari dalam tanah (Psig < 0,05). Rata-rata
kehilangan C-organik dan hara N, P, K tanah dengan hasil uji lanjut BNJ disajikan
pada Tabel 21.
Tabel 21. Pengaruh tindakan konservasi terhadap kehilangan C-Organik dan hara
N, P, K tanah terbawa erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Perlakuan
C - Organik
TK1 (Kontrol)
2.677,72e
TK2
1.622,68c
TK3
360,55a
TK4
969,97b
TK5
1.974,15d
TK6
1.083,72b
TK7
224,58a
TK8
464,08a
Sumber : Data primer (2014)
Unsur Hara (kg/ha)
N - Total
P2O5
f
342,54
31,31f
de
229,85
14,85e
80,32ab
5,68b
156,51cd
8,03c
e
253,77
15,60e
175,57cd
12,00d
a
44,11
3,51a
125,38bc
7,66c
K2O
54,19e
25,64c
11,09ab
16,63ab
34,40d
18,43bc
9,34a
14,53ab
*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
5 % m enurut BNJ
Berdasarkan hasil uji BNJ pada Tabel 21, perlakuan TK7 nyata paling efektif
menurunkan jumlah C-organik dan hara N,P,K yang hilang terbawa erosi
dibandingkan kontrol (TK1), disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6,
TK2, TK5 dan TK1. Hal ini disebabkan oleh jumlah C-organik dan hara N, P dan
K yang hilang tergantung dari jumlah aliran permukaan dan tanah yang tererosi,
dimana jumlah aliran permukaan dan erosi perlakuan TK7 nyata lebih kecil,
disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6, TK2, TK5 dan TK1.
Apabila erosi berjalan terus-menerus pada permukaan tanah, maka dengan
sendirinya akan terangkut partikel liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang
kaya akan unsur hara yang diperlukan tanaman (Wolf dan Snyder, 2003; El Kateb
dkk., 2013). Oleh karena itu jumlah unsur hara yang hilang oleh erosi tergantung
pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam tanah yang tererosi
(Utami, 2001; Chen dkk., 2013).
Dalam peristiwa erosi, partikel-partikel halus tanah seperti liat terangkut
terlebih dahulu dan partikel-partikel kasar lebih banyak mengendap, sehingga
kandungan liat sedimen lebih tinggi dari kandungan tanah semula. Sementara itu,
bahan organik dan unsur hara tanah umumnya terikat pada partikel bahan halus
(liat), akibatnya bahan organik dan hara yang terkandung dalam tanah tererosi
menjadi lebih besar (Fen Li, 2005; Auerswarld dkk., 2006).
Jumlah C-organik terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah N, P dan K, disebabkan tanah yang terangkut oleh erosi adalah tanah
lapisan atas/topsoil yang paling banyak mengandung karbon tanah dalam bentuk
C-organik. Kehilangan bahan organik akibat erosi merupakan masalah yang serius
karena mempercepat kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini
karena penurunan bahan organik tanah berkorelasi dengan kerusakan struktur
tanah, meningkatnya kepadatan, erodibilitas tanah dan pencucian serta
menurunnya infiltrasi dan status hara tanah.
Jumlah unsur N yang terbawa erosi pada semua perlakuan lebih besar
dibandingkan dengan jumlah unsur P dan K (Tabel 21) disebabkan oleh unsur N
di dalam tanah merupakan unsur hara yang berasal dari bahan organik tanah.
Peningkatan jumlah unsur N di dalam tanah karena adanya peningkatan
kandungan bahan organik tanah dan pemberian pupuk N serta melalui air
hujan. Namun bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam
tanah, selain unsur hara lainnya dengan perbandingan 100 :10:1:1: sangat sedikit
(C : N : P : S : unsur mikro) (Hardjowigeno, 2003). Dengan demikian jumlah Corganik yang besar akibat terbawa erosi diikuti oleh jumlah N yang juga cukup
besar. Sutono (2008) juga menyatakan bahwa kehilangan hara didominasi N
khususnya nitrat karena hara ini memiliki mobilitas yang tinggi.
Kehilangan hara kalium yang cukup besar dibandingkan dengan hara fosfor
disebabkan kalium merupakan unsur yang sangat mudah hilang dan terbawa
dalam aliran permukaan dan erosi. Menurut Tan (1996) ion K+ sangat sulit
mengendap, sehingga ketika tidak dimanfaatkan oleh tanaman ion K+ akan cepat
tercuci dari tanah. Unsur N dan K mempunyai sifat yang relatif mobile dibanding
unsur P. Kehilangan hara fosfor yang relatif sedikit, karena walaupun merupakan
anion tetapi umumnya P terikat kuat dalam partikel tanah (Hartono, 2008).
Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatanai cabai pada lahan dataran tinggi
dapa mempercepat degradasi lahan akibat erosi dan penurunan kandungan bahan
organik tanah serta kehilangan hara tanah (Arsyad 2010), namun dengan
konservasi tanah menggunakan tanaman penutup tanah dan teras gulud, erosi dan
kehilangan bahan organik serta unsur hara dapat dikendalikan, karena kehilangan
unsur hara berhubungan langsung dengan jumlah erosi serta merupakan fungsi
dari konsentrasi C-organik dan unsur hara tersebut di dalam sedimen (Sinukaban
2007; Arsyad 2010).
6.4.4. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terhadap Pendapatan
Usahatani
Produksi tanaman dalam satuan luas tertentu ditentukan oleh kondisi
pertumbuhan tanaman tersebut. Perbedaan perlakuan teknik konservasi tanah
pada pertanaman cabai monokultur dan tumpangsari menyebabkan perbedaan
pertumbuhan dan hasil produksi tanaman. Hal tersebut disebabkan dengan teknik
konservasi tanah, jumlah tanah yang tererosi dan jumlah hara yang hilang
berkurang cukup signifikan (Tabel 19 dan 21). Hasil analisis ragam biaya dan
pendapatan usahatani masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran
20. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tindakan konservasi
berpengaruh nyata terhadap biaya dan pendapatan usahatani (Psig < 0,05). Ratarata biaya dan pendapatan usahatani dengan hasil uji lanjut BNJ disajikan pada
Tabel 22.
Tabel 22. Pengaruh tindakan konservasi terhadap produksi dan pendapatan
usahatani di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Perlakuan
TK1 (kontrol)
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Produksi (kg/ha)
Cabai
4.320,7
8.645,0
9.365,0
9.066,3
4.126,7
8.548,0
9.206,3
8.947,3
Kubis
5.210,7
5.847,6
6.273,3
6.076,0
Penerimaan
(Rp/ha)
69.130.667
138.320.000
149.840.000
145.061.333
73.842.667
145.539.500
156.711.312
152.271.333
Biaya
(Rp/ha)
Pendapatan
(Rp/ha)
B/C
19.078.641a
20.278.214ab
27.132.987de
25.445.341c
19.766.187ab
20.655.076b
27.318.668e
25.752.187cd
50.052.026a
118.041.786b
122.707.013bc
119.615.992b
54.076.480a
124.773.313bc
129.392.666c
126.519.146bc
2,62
5,82
4,52
4,70
2,74
6,01
4,74
4,91
Sumber : Data primer (2014)
*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
menurut BNJ
Tabel 22 menunjukkan bahwa perlakuan TK3 (cabai monokultur + guludan
memotong lereng) memberikan hasil produksi cabai yang lebih tinggi yaitu 9.365
ton/ha. Selanjutnya perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong
lereng) memberikan hasil produksi cabai sebesar 9.206 ton/ha dan kubis sebesar
6.273 ton/ha kubis. Meskipun hasil produksi cabai pada perlakuan TK7 lebih
rendah dibandingkan perlakuan TK3, namun karena ada hasil produksi dari
tanaman tumpangsarinya (kubis) menyebabkan penerimaan usahatani pada
perlakuan TK7 lebih besar. Dengan hasil tersebut menepis anggapan bahwa teknik
konservasi tanah dapat menurunkan hasil tanaman sayur-sayuran, sebagaimana
dikemukakan oleh Dariah dkk. (2004) bahwa penerapan teknik konservasi tanah
berdampak pada pengurangan luas bidang olah yang selanjutnya berdampak pada
pengurangan populasi dan produksi tanaman. Hal ini tidak terbukti karena
guludan juga ditanami oleh cabai baik monokultur maupun tumpangsari sehingga
tidak mengurangi hasil panen (produktivitas tanaman). Perlakuan teknik
konservasi tanah guludan memotong lereng bukan hanya dapat menekan jumlah
aliran permukaan dan erosi namun juga akan menurunkan input produksi terutama
penggunaan pupuk, karena tanah dan hara yang terbawa aliran permukaan dari
lahan pertanaman dapat dihambat, sehingga produktivitas tanah dapat
dipertahankan dan tanaman dapat berproduksi dengan baik
Selanjutnya hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa semua perlakuan
teknik konservasi tanah layak secara ekonomi karena mempunyai nilai BC ratio
lebih besar dari 1 yang berarti jumlah pendapatan usahatani lebih besar dari biaya
yang dikeluarkan. Berdasarkan Tabel 22 perlakuan teknik konservasi tanah
berpengaruh nyata terhadap biaya dan pendapatan usahatani. Pendapatan
usahatani nyata paling besar terdapat pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari +
guludan memotong lereng) yaitu sebesar Rp. 129.392.666,- /ha, dibandingkan
kontrol (TK1). Pendapatan usahatani yang tinggi pada perlakuan TK7 disebabkan
oleh tingginya penerimaan akibat hasil produksi dari tanaman cabai dan tanaman
tumpangsarinya (kubis). Namun jika dilihat dari nilai BC rasionya, perlakuan TK6
(cabai tumpangsari + guludan searah lereng + teras gulud memotong lereng setiap
jarak 6,60 m) mempunyai nilai BC rasio 6,01. Nilai BC rasio tersebut lebih besar
dari pada perlakuan TK7. Hal ini disebabkan oleh perbedaan biaya usahatani
diantara perlakuan. Menurut Soekartawi (2006) pendapatan usahatani selain
dipengaruhi oleh produksi tanaman juga dipengaruhi oleh biaya usahatani antara
lain biaya benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.
Tabel 22 menunjukkan bahwa biaya usahatani nyata paling besar terdapat
pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong lereng) yaitu
sebesar Rp. 27.318.668,-/ha dan berbeda nyata dengan biaya usahatani perlakuan
TK1, TK2, TK5 dan TK6.
Dalam penelitian ini meskipun ada penurunan
penggunaan input pupuk pada masing-masing perlakuan konservasi tanah, namun
pembuatan guludan pengendali erosi, dimana pembuatan guludan memotong
lereng diasumsikan membutuhkan tambahan tenaga kerja 80 HOK/ha (BPTP,
2010) mengakibatkan adaya penambahan biaya usahatani. Hal ini sejalan dengan
penelitian Aris dkk. (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh
sangat nyata terhadap pendapatan usahatani wortel dataran tinggi Kota Batu
Malang adalah biaya tenaga kerja.
6.5. Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi Berkelanjutan
6.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi Tanaman Cabai Dataran
Tinggi
Berdasarkan hasil analisis kelayakan teknis (erosi) dan analisis kelayakan
ekonomi dari setiap perlakuan teknik konservasi tanah dan air yang berpengaruh
pada sistem usahatani cabai dataran tinggi, diperoleh 6 (enam) alternatif model
usahatani cabai dataran tinggi, antara lain :
1. Model TK2: Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan
teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam
monokultur
2. Model TK3: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng pola
tanam monokultur
3. Model TK4: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng miring 20°
pola tanam monokultur
4. Model TK6: Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan
teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam
tumpangsari
5. Model TK7: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng pola
tanam tumpangsari
6. Model TK8: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng miring 20°
pola tanam tumpangsari
Perumusan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi
menggunakan AHP dengan alasan :
1. Komponen yang membangun model sangat kompleks, sehingga tidak bisa
memaksakan untuk berpikir secara linier dalam merumuskan model tersebut,
karena elemen-elemen dalam suatu sistem usahatani saling ketergantungan,
2. Merumuskan model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi harus
mampu memilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat
berlainan dan mampu mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap
tingkatan (berhierarki),
3. Ada prioritas, yaitu berdasarkan tujuan agar responden (pakar) konsisten
menetapkan berbagai prioritas dalam memilih suatu model,
4. Ada beberapa alternatif dalam memilih model, sehingga harus mampu
menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif,
5. Tidak boleh memaksakan konsensus dalam memilih model, tetapi harus
mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang
berbeda.
Pemilihan melibatkan pakar yang memiliki keahlian berkaitan dengan
usahatani konservasi, antara lain: budidaya pertanian, pengelolaan sumberdaya
lahan, tanah, agroklimat, dan sosial ekonomi pertanian. Petani sebagai pelaku
utama dalam usahatani juga dilibatkan dalam pemilihan model. Elemen kriteria
pemilihan model adalah (1) erosi di bawah erosi yang ditoleransi, (2) biaya
terjangkau, (3) produktivitas meningkat, (4) pengurangan luas lahan, (5)
kemudahan pembuatan dan perawatan, dan (6) kesuburan tanah meningkat. Secara
sederhana hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi
ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi
Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada Tabel 23, menunjukkan bahwa
nilai setiap elemen berada pada kisaran < 0,1 yang berarti penilaian elemenelemen dalam AHP oleh responden konsisten (Marimin, 2004). Kekonsistenan
penilaian elemen oleh responden pakar ini penting untuk menghilangkan
subyektifitas dalam memilih kriteria yang melibatkan persepsi yang berbeda-beda
dari setiap pakar.
Tabel 23. Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada AHP model pengelolaan
usahatani cabai pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut
No Elemen
1 Fokus
2 Kriteria
Variabel
Pengelolaan UT tanaman cabai dataran tinggi
 Erosi di bawah ETol
 Biaya Terjangkau
 Produktivitas meningkat
 Pengurangan luas lahan
 Kemudahan pembuatan dan perawatan
 Kesuburan tanah meningkat
Nilai Faktor
0,094
0,069
0,033
0,092
0,067
0,084
0,092
Sumber : Data Primer (2014)
Hasil analisis pairwise setiap variabel dapat dilihat pada Tabel 24 dan
Grafik hasil analisis AHP dapat dilihat pada Gambar 16. Dari hasil analisis AHP
pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi (Gambar 14) model TK6
menempati prioritas tertinggi dengan nilai eigen 0,268 atau 26,8%, diikuti dengan
Model TK2 dengan nilai eigen 0,203 atau 20,3% ; Model TK7 dengan nilai eigen
0,185 atau 18,5%; Model TK3 dengan nilai eigen 0,155 atau 15,5% ; Model TK8
dengan nilai eigen 0,099 atau 9,9% dan terakhir adalah Model TK4 dengan nilai
eigen 0,090 atau 9,0%.
Gambar 16. Grafik hasil analisis AHP
Hasil analisis AHP pada Tabel 24, dengan mempertimbangkan keenam
elemen kriteria pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi, para pakar dan petani
responden sepakat bahwa terpilihnya model TK6 (Model usahatani konservasi
guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak
6,60 meter pola tanam tumpangsari) dengan elemen kriteria biaya terjangkau
menempati prioritas utama dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian
kemudahan pembuatan dan perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di
bawah ETol (nilai eigen 0,282 atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai
eigen 0,276 atau 27,6%), produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%),
dan pengurangan luas lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%).
Tabel 24. Tampilan hasil pairwise setiap variabel
Lowest Level
Erosi dibawah ETol
Biaya terjangkau
Produktivitas meningkat
Pengurangan luas lahan
Kemudahan pembuatan dan perawatan
Kesuburan tanah meningkat
Results
Model
TK2
0,194
0,250
0,205
0,152
0,215
0,191
0,203
Model
TK3
0,174
0,144
0,161
0,149
0,157
0,172
0,155
Model
TK4
0,102
0,075
0,089
0,092
0,092
0,081
0,090
Model
TK6
0,282
0,326
0,267
0,225
0,317
0,276
0,268
Model
TK7
0,234
0,169
0,174
0,148
0,131
0,182
0,185
Model
TK8
0,126
0,088
0,096
0,077
0,090
0,081
0,099
Sumber : Data Primer (2014)
Dari keenam model teknik konservasi yang diperkenalkan, model TK6
(Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud
memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari) merupakan
teknik konservasi dengan biaya yang paling murah. Berdasarkan hasil analisis
pengaruh perlakuan teknik konservasi tanah terhadap biaya usahatani pada Tabel
22, biaya usahatani model TK6 nyata lebih kecil dibandingkan biaya usahatani
model TK3, model TK7, Model TK4 dan model TK8. Dengan demikian meskipun
penerimaan usahatani model TK6 masih dibawah atau lebih kecil daripada model
TK3, model TK7, Model TK4 dan model TK8, tetapi karena biaya produksi
usahatani yang rendah pada model TK6 menyebabkan nilai BC rasio nya lebih
tinggi dibandingkan dengan model yang lain. Hasil penelitian menunjukkan
walaupun pengurangan erosi model TK6 tidak seefektif model lainnya, namun
biaya yang dikeluarkan (terutama biaya tenaga kerja) untuk pembuatan model
TK6 merupakan alternatif yang bersifat lebih ekonomis.
Terpilihnya model TK6 juga didasari oleh pertimbangan kemudahan
pembuatan dan perawatan. Berdasarkan hasil wawancara persepsi petani terhadap
adopsi teknologi konservasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
kemudahan teknologi tersebut untuk diterapkan dan tidak bertentangan dengan
sosial budaya masyarakat setempat. Teknologi konservasi model TK6 merupakan
penyempurnaan yang tidak terlalu ekstrim dari model pengelolaan yang sudah di
lakukan oleh petani selama ini. Pemilihan model TK6 karena lebih mudah dalam
pengelolaan tanaman seperti penyiangan dan pembumbunan, disamping itu
pengolahan tanah memakai cangkul lebih mudah, terutama pada lereng-lereng
yang curam, sehingga membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan model konservasi guludan memotong lereng. Pemilihan model TK6 juga
berdasarkan pertimbangan pencegahan hama penyakit tanaman terutama pada
musim hujan, dimana dengan kondisi curah hujan yang tinggi, guludan searah
lereng dengan guludan memotong lereng yang diberi jarak atau tidak terlalu rapat
mencegah tergenangnya
air hujan diantara guludan, sehingga tanaman tidak
mudah terserang penyakit busuk daun dan layu bakteri.
6.5.2. Kelembagaan Model Usahatani Konservasi Tanaman Cabai Dataran
Tinggi
Kelembagaan merupakan suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang
dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki
struktur. Untuk memperoleh elemen kunci kelembagaan penerapan model
usahatani cabai dataran tinggi dilakukan kajian mengenai keterkaitan antar
elemen. Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kelembagaan ini
adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan
pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi.
Dari 9 elemen yang dikembangkan oleh Saxena (1994), berdasarkan hasil
diskusi dengan pakar dipilih 3 elemen yang berpengaruh secara dominan, yaitu : 1)
Tujuan penerapan model, 2) Kendala utama penerapan model, dan 3) Lembaga yang
terlibat dalam pelaksanaan penerapan model.
1. Elemen Tujuan Penerapan Model
Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di lapangan, elemen
tujuan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi diuraikan lagi menjadi 7 sub
elemen tujuan, yaitu: 1) peningkatan produktivitas tanaman, 2) peningkatan
peluang kerja dan usaha, 3) penurunan laju erosi dan sedimentasi, 4) peningkatan
pendapatan usahatani, 5) pelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan, 6)
peningkatan partisipasi petani dalam upaya konservasi tanah dan air, dan 7)
peningkatan pendapatan daerah.
Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan dapat dilihat pada Lampiran
21. Hubungan kontekstual antar sub elemen dapat digambarkan dalam plot
kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub elemen tujuan
penerapan model usahatani cabai dataran tinggi seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 17. Berdasarkan diagram pada Gambar 17, hanya ada 2 kelompok, yaitu
sektor II atau dependent yaitu sub elemen tujuan 1, 2, 4 dan 7, serta sektor IV atau
independent yang terdiri dari sub elemen tujuan 3, 5 dan 6. Hal ini berarti dalam
pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi yang menjadi pendorong utama (driver
power) atau sebagai variabel bebas adalah penurunan laju erosi dan sedimentasi,
pelestarian lingkungan dan peningkatan partisipasi petani dalam upaya konservasi
tanah dan air.
Independent
Autonomous
Linkage
Dependent
Gambar 17. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen tujuan
Kelompok selanjutnya yaitu sub elemen tujuan yang masuk dalam sektor II
atau dependent, yang artinya bahwa sub elemen tujuan tersebut tidak bebas sangat
tergantung pada sub elemen lainnya. Kelompok dependent terbagi ke dalam 3
level, yaitu sub elemen tujuan 1 dan 4 pada level yang sama, dan sub elemen
tujuan 2 dan 7 pada dua level yang berbeda. Sehingga dari diagram di atas bisa
disusun diagram yang disebut digraph, yang menunjukkan stuktur hirarki sub
elemen tujuan seperti pada Gambar 18.
Level 1
7
Level 2
2
4
Level 3
Level 4
3
1
5
6
Gambar 18. Struktur hirarki sub elemen tujuan
Gambar 18 menunjukkan bahwa dari tujuh sub elemen tujuan ada empat
tingkat hierarki dimana sub elemen tujuan 3, 5, dan 6 (penurunan laju erosi dan
sedimentasi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan partisipasi petani dalam
upaya konservasi tanah dan air ), berada pada level 4 merupakan elemen kunci
keberhasilan penerapan model usahatani cabai pada lahan dataran tinggi.
Sub elemen tujuan 1 dan 4 (peningkatan produktivitas tanaman dan
peningkatan pendapatan usahatani) berada pada level 3. Sub elemen tujuan 2
(peningkatan peluang kerja dan usaha) dan sub elemen tujuan 7 (peningkatan
pendapatan daerah) masing-masing berada pada level 2 dan 1, merupakan peubah
bebas yang memiliki kekuatan penggerak kecil dan sangat tergantung pada sub
elemen tujuan lainnya.
2. Elemen Kendala Utama Penerapan Model
Hasil identifikasi elemen kendala penerapan model usahatani cabai dataran
tinggi diperoleh 5 sub elemen kendala, yaitu: (1) tingkat pendidikan petani rendah,
(2) kepemilikan lahan sempit, (3) kemampuan modal petani terbatas, (4) harga
hasil usahatani fluktuatif dan (5) informasi teknologi kurang/terbatas. Hubungan
kontekstual antar subelemen dapat digambarkan dalam plot kekuatan penggerak
dan ketergantungan masing-masing sub elemen kendala penerapan model
usahatani cabai dataran tinggi seperti diperlihatkan pada Gambar 19.
Linkage
Independent

3,5
4

Autonomous
2

1

Dependent
Gambar 19. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen kendala
Gambar 19 memperlihatkan sebaran kelima sub elemen sesuai dengan
ordinatnya dan masuk ke dalam tiga kelompok yaitu sektor I atau autonomous,
sektor II atau dependent dan sektor IV atau independent. Sub elemen kendala
yang termasuk independent adalah sub elemen 3 dan 5 (kemampuan modal petani
terbatas dan informasi teknologi kurang/terbatas). Hal ini berarti bahwa ke dua
sub elemen kendala tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar atau
sebagai variabel bebas dalam penerapan model usahatani cabai dataran tinggi. Sub
elemen kendala 1 dan 2 (tingkat pendidikan petani rendah dan kepemilikan lahan
sempit) termasuk ke dalam dependent. Artinya bahwa sub elemen kendala
tersebut tidak bebas sangat tergantung pada sub elemen lainnya. Tingkat
pendidikan petani rendah dan kepemilikan lahan sempit dapat diatasi dengan
tindakan dari sub elemen kendala lainnya.
Sub elemen kendala harga hasil usahatani fluktuatif termasuk ke dalam
autonomous, artinya bahwa sub elemen kendala tersebut tidak berkaitan dengan
sistem kelembagaan usahatani meskipun mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga tidak dapat dikendalikan oleh
kelembagaan usahatani tetapi harus ada kelembagaan khusus yang menangani
masalah tersebut. Kekuatan pasar tidak hanya ditentukan oleh kondisi di daerah
setempat tetapi sangat tergantung pada kondisi pasar di daerah lain. Berdasarkan
kekuatan penggerak dapat digambarkan diagram struktur hirarki yang disebut
digraph dari elemen kendala, seperti diperlihatkan pada Gambar 20.
Level 1
1
4
2
Level 2
Level 3
4
1
3
5
Gambar 20. Struktur hirarki sub elemen kendala
Gambar 20 menunjukkan bahwa dari lima sub elemen kendala ada tiga
tingkat hierarki dimana sub elemen kendala 3 dan 5, yaitu kemampuan modal
petani terbatas dan informasi teknologi rendah/terbatas berada pada level 3 yang
merupakan elemen kunci keberhasilan penerapan model usahatani cabai dataran
tinggi. Sub elemen kendala 2, yaitu kepemilikan lahan sempit berada pada level 2
merupakan peubah tidak bebas yang tergantung pada sub elemen kendala 1 dan 4,
yaitu tingkat pendidikan petani rendah dan harga hasil usahatani fluktuatif.
3. Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksanaan Penerapan Model
Hasil identifikasi elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan
penerapan model usahatani cabai pada lahan dataran tinggi diperoleh 8 sub
elemen lembaga, yaitu : 1) Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), 2) Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 3) Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kabupaten Garut, 4) Balai Penyuluh Pertanian (BPP), 5) Pemerintah daerah
setempat (Camat Cikajang). 6) Perguruan tinggi, 7) Lembaga Pasar, 8) Lembaga
Keuangan.
Hubungan kontekstual antar sub elemen dapat digambarkan dalam plot
kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub elemen lembaga
yang terlibat dalam pelaksanaan penerapan model usahatani cabai pada lahan
dataran tinggi seperti diperlihatkan pada Gambar 21. Berdasarkan diagram pada
Gambar 21, diketahui bahwa lembaga yang berperan dalam pengelolaan usahatani
cabai dataran tinggi sebagian besar berada pada Sektor III atau Linkages (pengait)
dari sistem ini. Sub elemen lembaga dari 1 sampai 6 berada pada posisi ini, yang
berarti tindakan dari lembaga-lembaga ini akan mendukung keberhasilan dari
pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi, sedangkan jika tidak dilakukan
tindakan dari lembaga ini, maka pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi tidak
dapat berjalan dengan baik.
Independent
7,8

Linkage
5
3
Autonomous
2
4
1
6
Dependent
Gambar 21. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub
elemen lembaga
Sub elemen lembaga 7 dan 8 (lembaga pasar dan lembaga keuangan) berada
pada Sektor IV atau Independent, yang berarti variabel ini mempunyai kekuatan
penggerak (driver power) yang besar. Berdasarkan kekuatan penggerak dapat
digambarkan diagram struktural yang disebut digraph dari elemen lembaga,
seperti diperlihatkan pada Gambar 22.
Gambar 22 menunjukkan bahwa dari delapan sub elemen lembaga ada
empat tingkat hierarki dimana sub elemen kendala 7 dan 8, yaitu lembaga pasar
dan
lembaga keuangan berada pada level 4 yang merupakan elemen kunci
keberhasilan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi. Sub elemen
lembaga 5, yaitu Pemerintah daerah setempat (Camat Cikajang) berada pada level
3, selanjutnya sub elemen lembaga 2 dan 4 yaitu Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) berada pada level 2, dan
terakhir sub elemen lembaga 3, 1 dan 6, yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kabupaten Garut, Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan Perguruan Tinggi
berada pada level 1. Level 1 sampai level 3 merupakan peubah linkages (pengait)
yang dapat mendukung sub elemen lembaga 7 dan 8.
Level 1
Level 2
3
1
4
2
5
Level 3
Level 4
6
7
8
Gambar 22. Struktur hirarki sub elemen lembaga
Berdasarkan elemen kunci pada elemen tujuan, kendala, dan lembaga dapat
dikembangkan interaksi langsung antara kegiatan penelitian, penyuluhan, dan
pelayanan pendukung. Kegiatan penelitian oleh elemen lembaga balai penelitian
pertanian dan perguruan tinggi dilakukan untuk mencapai elemen kunci tujuan,
yaitu mengendalikan laju erosi dan sedimentasi yang akhirnya dapat
meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Kegiatan penyuluhan oleh elemen
lembaga balai penyuluh pertanian dilakukan untuk mengatasi elemen kendala
tingkat pendidikan rendah dan informasi teknologi rendah/terbatas. Pelayanan
pendukung seperti elemen lembaga pasar dan lembaga keuangan untuk mengatasi
kendala kemampuan modal petani terbatas dan harga hasil usahatani yang
fluktuatif.
6.6. Implikasi Kebijakan
Penerapan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi
pada dasarnya adalah suatu kegiatan usaha pertanian yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan mengendalikan laju erosi. Hal ini
dimaksudkan agar produktivitas dan kualitas tanah tetap terjaga, sehingga lahan
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Model teknologi konservasi yang dihasilkan adalah bersifat pencegahan dan
perbaikan bukan perubahan. Pencegahan agar erosi tanah tidak terus berlangsung
dalam jumlah besar dan perbaikan kesuburan tanah akibat terjadi penurunan
kualitas tanah. Rancangan model teknologi yang dihasilkan secara teknis mampu
mengendalikan erosi dan secara finansial menguntungkan. Disamping itu model
yang diintroduksi tidak bertentangan dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat
dan sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah setempat serta memperhatikan
aspirasi dan kemampuan petani.
Komponen yang terlibat dalam pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi
adalah sebuah sistem yang utuh dan menyeluruh. Dalam prosesnya, harus ada
sebuah mekanisme komunikasi yang intensif mengarah pada sebuah misi
bersama, pengelolaan secara terpadu. Model komunikasinya berlangsung dalam
sebuah mekanisme yang dialogis dan partisipatif diantara pemangku kepentingan
(stakeholders). Pada pelaksanaannya di lapangan, lembaga yang terkait langsung
dalam penerapan model pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi adalah:
1. Balai penelitian/pengkajian yang berperan menyiapkan materi penyuluhan dan
teknologi serta advokasi kelembagaan terkait.
2. Penyuluh pertanian (Dinas Pertanian dan atau Badan Penyuluh Pertanian
Kabupaten dan Kecamatan) yang berperan dalam menyampaikan informasi
teknologi, manajemen usaha, finansial, dan pengembangan jaringan usaha.
Penyampaian informasi teknologi bisa berupa penyuluhan masal, konsultasi di
laboratorium lapang, maupun kunjungan lapang.
3. Dinas Pertanian berperan menyiapkan informasi pasar dan permodalan
usahatani, memperkuat kelembagaan usahatani, advokasi dan pengembangan
jaringan usaha.
4. Asosiasi komoditas, berperan dalam menyediakan informasi pasar dan
konsultasi pengembangan jaringan usaha.
5. Lembaga keuangan di desa, yang berperan menyediakan bantuan modal
usahatani.
Kerjasama antara petani dengan lembga-lembaga di atas dapat terwujud jika
petani terkoordinasi dalam kelompok tani, oleh karena itu kelembagaan kelompok
tani harus aktif. Kelembagaan usahatani konservasi akan sangat menunjang
tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi. Namun kemampuan yang
dimiliki petani terbatas terutama modal, sehingga pemerintah perlu membuat
suatu kebijakan.
Alternatif kebijakan yang dibuat antara lain kebijakan pembayaran jasa
lingkungan bagi masyarakat yang ada di luar tempat kejadian atau pemberian
insentif untuk usaha-usaha tindakan konservasi yang dilakukan oleh petani.
Insentif kepada petani yang menerapkan konservasi akan memberikan dampak
cukup besar terhadap nilai pendapatan usahatani. Bentuk insentif dapat dilakukan
dengan mensubsidi modal kepada petani yang mengerjakan usahatani konservasi,
terutama untuk pembuatan teras gulud. Pembuatan teras gulud memerlukan biaya
tinggi, yaitu Rp 2.500.000 – 5. 000.000 per hektar. Sistem pemberian modal
dengan cara bergulir (revolving) melalui kelompok tani, dikembalikan setelah
tanaman berproduksi dengan cara dicicil sesuai dengan kesepakatan di dalam
kelompok tani.
Menurunkan standar atau membebaskan pajak tanah bagi petani yang
mengerjakan usahatani konservasi juga dapat dijadikan bentuk insentif/subsidi
pemerintah. Namun hingga saat ini pajak tanah bagi lahan usahatani masih
tergolong rendah, masih terjangkau oleh petani sehingga subsidi yang diberikan
akan sangat kecil. Bentuk subsidi seperti ini mungkin akan berlaku untuk masa
yang akan datang.
Bentuk insentif lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah pemberian
kredit usahatani dengan bunga pinjaman rendah dan sistem pembayaran dicicil
setiap musim panen. Penyaluran pinjaman dapat dilakukan melalui lembaga
keuangan mikro (LKM) di desa dan sekaligus juga untuk mengembangkan LKM
yang sudah ada di desa.
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Erosi yang terjadi di lahan usahatani cabai lebih besar dari batas erosi yang
ditoleransi (34,21 ton/ha/th) dan termasuk dalam kategori sangat tinggi (nilai
IBE > 10). Rata-rata erosi pada kemiringan 10% sebesar 113,11 ton/ha/th,
kemiringan 20% sebesar 140,64 ton.ha-1.th-1dan kemiringan 40% sebesar
188,55 ton/ha/th. Pola tanam monokultur memberikan nilai erosi lebih besar
yaitu 267,82 ton/ha/th dibandingkan dengan pola tanam tumpang sari yaitu
165,83 ton/ha/th.
2. Pendapatan usahatani cabai eksisting pada lahan dataran tinggi Kecamatan
Cikajang lebih rendah dari KHL petani (Rp. 23.920.000,- kk/th). Kontribusi
pendapatan usahatani cabai pada kemiringan lereng 10%, 20% dan 40%
berturut-turut adalah 30,50%; 12,95%; dan 5,77%. Berdasarkan pola tanam,
kontribusi pola tanam tumpangsari lebih tinggi daripada kontribusi pola tanam
monokultur, dimana kontribusi pola tanam tumpangsari adalah 17,98% dan
kontribusi pola tanam monokultur adalah 14,83%
3. Teknik konservasi guludan memotong lereng dengan berbagai penyempurnaan
dapat diterapkan pada lahan dataran tinggi karena mampu menurunkan erosi
≤ ETol (34,21 ton/ha/th), menurunkan jumlah C-organik dan unsur hara yang
terbawa erosi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan
meningkatkan pendapatan usahatani ≥ KHL (Rp. 23.920.000 kk/th), sehingga
keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dapat tercapai.
4. Nilai faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi (nilai faktor CP)
Cabai monokultur + guludan
searah lereng + pembuatan teras
gulud
memotong lereng setiap jarak 6,60 meter adalah 0,22; Cabai monokultur +
guludan memotong lereng adalah 0,08; Cabai monokultur + guludan
memotong lereng miring 20° adalah 0,14; Cabai tumpangsari dengan kubis +
guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap
jarak 6,60 meter adalah 0,15; Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan
memotong lereng adalah 0,04 dan Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan
memotong lereng miring 20° adalah 0,09
5. Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud
memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari terpilih
dengan pertimbangan elemen kriteria biaya terjangkau menempati prioritas
utama dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian kemudahan pembuatan
dan perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di bawah ETol (nilai eigen
0,282 atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai eigen 0,276 atau 27,6%),
produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%), dan pengurangan luas
lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%). Penerapannya perlu didukung dengan
subsistem kelembagaan agar tercipta hubungan sinergis antara elemen terkait
kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelayanan pendukung.
7.2. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa dengan pertimbangan
biaya terjangkau dan kemudahan dalam pembuatan dan perawatan, maka
penerapan teknik konservasi tanah dan air yang efektif pada tanah andisol
dataran tinggi Kecamatan Cikajang adalah guludan
searah lereng +
pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam
tumpangsari (Model TK6).
2. Secara teknis dan ekonomi teknik konservasi guludan memotong lereng pola
tanam tumpangsari (Model TK7) lebih baik diterapkan, oleh karena itu
diharapkan agar lembaga keuangan dan lembaga penyuluh dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dalam memberikan kemudahan kredit usahatani dan
menyampaikan informasi teknologi maka kendala keterbatasan modal petani
dan keterbatasan informasi teknologi dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, A., Soelaeman, Y., dan Abdurachman, A., 2004. Keragaan Dampak
Penerapan Sistem Usahatani Konservasi terhadap Tingkat Produktivitas
Lahan Perbukitan Yogyakarta. J. Litbang Pertanian, 22:49-56.
Abdurachman, A. dan Sutono, S., 2002. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan
Berlereng. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering : Menuju
Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 103-145.
Adiyoga, W., Ameriana, M., Suherman, R., Soetiarso, T.A., Udhiarto, B.K., dan
Sulastrini, I., 2000. Sistem Produksi Beberapa Jenis Sayuran di Indonesia. J.
Hort. 9(2):258–265.
Adnyana, M.O.,1999. Farming Systems Research In Indonesia : Lesson Learn
And Future Direction. Dalam Goto J, Mayrowani H, editor. Learning from
the Farming Systems Research Experiences in Indonesia. Proceeding of
CASER-JIRCAS International Workshop; Bogor, 3-4 March 1999. Japan:
JIRCAS. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. hal 19-36.
Agus, F., Irawan, Nurida, N.L., Dariah, A., dan Husen, E., 2006. Konversi Lahan
Pertanian Sebagai Suatu Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan dan
Kualitas
Lingkungan.
Prosiding
Seminar
Multifungsi
dan
RevitalisasiPertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. pp. 101–121.
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2013. Profil Kawasan Cabai di
Kabupaten Garut. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura. Garut.
Anwarudinsyah, M.J., Sukarna dan Satsijati, 1993. Pengaruh Tanaman Lorong
dan Mulsa Pangkasnya Terhadap Produksi Tomat Dan Bawang Merah
dalam Lorong. J. Hortikultura, 3(1): 7 – 12.
Aris, S., Hanani, N., dan Muhaimin, A.W., 2013. Pengaruh Tingkat Penerapan
Usahatani Konservasi Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Usahatani
Wortel di Kecamatan Bumiaji Kota Batu. J. Agrise, 13(3) : 221 – 231.
Armand, R., Bockstaller, C., Auzet, A.V., dan Van Dijk, P., 2009. Runoff
Generation Related to Intra Field Soil Surface Characteristics Variability:
Application to Conservation Tillage Context. Soil Tillage Res. 102:27–37.
Arsanti, I.W., dan Boehme, M., 2006. Sistem Usahatani Tanaman Sayuran di
Indonesia: Apresiasi Multifungsi Pertanian, Ekonomi dan Eksternalitas
Lingkungan. Seminar Multifungsi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Lido, 26 – 27 Juni 2006.
Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. IPB Press. Bogor.
Asdak, C., 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Asmaranto, R., dan Juwono, 2007. Analisis Laju Erosi dan Arahan Konservasi di
DAS Pikatan Mojokerto Berbasis Sistem Informasi Geografis. J. Teknik,
14(1):5–17.
Auerswald, K., Gerl, G., dan Kainz, M., 2006. Influence of Cropping System on
Harvest Erosion under Potato. Soil and Tillage Research, 89:22–34.
[BALITKLIMAT] Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2003. Atlas
Sumberdaya Iklim Pertanian skala 1:1 000 000 . Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
[BALITTANAH] Balai Penelitian Tanah, 2004. Laporan Akhir. Penyusunan Peta
Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-Ekologi skala
1:50.000 di Kabupaten Temanggung. Provinsi Jawa Tengah. Bagian Proyek
Penelitian Sumberdaya Tanah dan Poor Farmers’ Income Improvement
Through Innovation Project. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Bogor.
[BALITBANGTAN] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005.
Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Bayazit, O. dan Karpak, B,. 2005. An AHP Application in Vendor Selection.
Departement of Business Administration, College of Business. Washington.
Belcher, K.W., Boehm, M.M., dan Fulton, M.E., 2004. Agroecosystem
sustainability : A system simulation model approach. J Agric System,
79(5):225-245.
Berke, T.G., Black, L.L., Green, S.K., Morris, R.A., Talaker, N.S., dan Wang,
J.F., 2005. Suggested Cultural Practices For Sweet Pepper. Asian Vegetable
Research and Development Center (AVRDC) Publication, 9:9–49.
Bosland, P.W., dan Votava, E. J., 2000. Peppers: Vegetables And Spice
Capsicums. Cabi Publishing. New York.
Bosland, P.W., dan Lindsey, D.L., 1991. A Seeding Screen For
Phytophthora Root Rot Of Pepper, Capsicum Annuum. J.Plant Disease, 75:
1048-1050.
Bourgeois, R., 2005. Analytical Hierarchy Process: an Overview, UNCAPSAUNESCAP. Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Kabupaten Garut 2013. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Indonesia 2013. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
[BPTP] Badan Pengkajian Teknologi Pertanian, 2010. Budidaya dan Pascapanen
Cabai (Capsicum Annuum L.). Badan Penelitian dan Pengembagan
Pertanian. Jakarta.
Brown, R.E., Havlin, J.L., Lyons, D.J., Fenster, C.R., dan Peterson, G.A., 1991.
Long-Term Tillage And Nitrogen Effects On Wheat Production In A Wheat
Fallow Rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA,
and SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991.
Chechland, P. B., 1981. Systems Thinking. Systems Practices. Wiley Chichester.
Chen, L., Liu, D.F., Song, L.X., Cui, Y.J., dan Zhang, G., 2013. Characteristis of
Nutrient Loss by Runoff in Sloping Arable Land of Yellow-Brown under
Different Rainfall Intensities. J. Environmental Science, 34(6):2151–2158.
Dariah, A., Haryati, U., dan Budhyastoro, T., 2004. Teknologi Konservasi
Mekanik. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 109-132.
Dariah, A., 2007. Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Indonesia, 29(1):7–10.
Derpsch, R. dan Moriya, K., 1998. Implications Of No-Tillage Versus Soil
Preparation On Sustainability Of Agricultural Production. Dalam Blume
HP, Eger H, Fleischhauer E, Hebel A, Reij C, Steiner KG, editor. Towards
Sustainable Land Use. Advances in Geoecology, 31:1197-1186.
Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2013. Produksi Sayuran Tahun 2008 – 2012
Menurut
Kabupaten
dan
Kota
di
Jawa
Barat.
http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/924 [29 Agustus 2013].
El Kateb, H., Zhang, H., Zhang, P., dan Mosandl, R., 2013. Soil Erosion and
Surface Runoff on Different Vegetation Covers and Slope Gradients: A
Field Experiment in Southern Shaanxi China. J. Catena, 105(6):1–10.
Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
IPB Press. Bogor.
Erfandi, D., Kurnia, U., dan Sopandi, O., 2002. Pengendalian Erosi Dan
Perubahan Sifat Fisik Tanah Pada Lahan Sayuran Berlereng. Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk, Cisarua 3031 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Buku II. Hal 277-286.
[FAO] Food and Agriculture Organization, 2000. Selected Indicators of Food and
Agriculture Development in Asia Pacific Region, 1989 – 1999, FAO
Regional Office For Asian and The Pacific, Bangkok, Thailand.
Fen Li, Z., 2005. Effects of Accelerated Soil Erosion on Soil Nutrient Loss After
Deforestation on the Loess Plateau. Pedospkere, 15(6): 707-715.
Firmansyah, 2007. Prediksi Erosi Tanah Podsolik Merah Kuning Berdasarkan
Metode USLE di Berbagai Sistem Usahatani: Studi Kasus di Kabupaten
Barito Utara dan Gunung Mas. J. Pengkajian dan Pengembang Teknologi
Pertanian, 10:2–29.
Gangcai, L., Zhang, J., Tian, G., dan Wei, C., 2005. The Effects of Land Uses on
Purplish Soil Erosion in Hilly Area of Sichuan Province, China. Journal of
Mountain Science, 2(1):68–75.
Gao, F., Li, M., dan Nakamori, Y., 2003. Critical System Thinking as a Way to
Manage Knowledge. Sis. Res. 20: 3-19.
Goro, G.L., 2008. Kajian Pengaruh Intensitas Hujan pada Jenis Tanah Regosol
Kelabu untuk Kemiringan Lereng yang Berbeda. Wahana Teknik Sipil,
13(2):86–98.
Gunaeni, N., dan Wulandari, A.W., 2010. Cara Pengendalian Non Kimiawi
Terhadap Serangga Vektor Kutu Daun dan Intensitas Serangan Penyakit
Virus Mosaik pada Tanaman Cabai. J. Hort., 20(4):68–76.
Gunawan, O.S., 2005. Uji Efektivitas Biopestisida sebagai Pengendali Biologi
terhadap Penyakit Antraknos pada Cabai. J. Hort., 15(4):297-302.
Hardiyatmo, H.C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hartono, A., 2008. The Effect of Calcium Silicate on The Phosphorus Sorption
Characteristic of Andisols Lembang West Java. J. Tanah Lingk., 10(1) :14 –
19.
Hartrisari, 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri
dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Harwood, R. R dan Kassam, A. H., 2003. Research Towards Integrated Natural
Resources Management. Interim Science Council. Centre Directors
Committee on Integrated Natural Resources Management. FAO. Rome.
Hidayat dan Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Hal.
1-34.
Hogarth, W.L., Parlange, J.Y., Rose, C.W., Sander, G.C., Stenhuis, T.S., dan
Barry, A., 2004. Soil Erosion Due to Rainfall Impact with Inflow : An
Analytical Solution with Spatial and Temporal Effect. J. Hidrology,
295(14):140–148.
[IISR] India Institute og Spices Research., 2006. Chilli peppers Database Varities.
http://www.iisr.org/spices/chilli.php (1 Maret 2012).
Juarsah, I., Haryati, U., dan Kurnia, U., 2002. Pengaruh Bedengan Dan Tanaman
Penguat Teras Terhadap Erosi Dan Produktivitas Tanah Pada Lahan
Sayuran. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Pupuk. Cisarua-Bogor, 30-31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Buku II. Hal 207-219.
[KEPAS] Kelompok Peneliti Agroekosistem, 1988. Pendekatan Agroekosistem
pada Pola Pertanian Lahan Kering. Hasil Penelitian di Empat Zone
Agroekosistem Jawa Timur. Bogor: KEPAS. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian dan The Ford Foundation.
Khisa, K.S.. 2002. Farming practices and sustainable development in the
Chittagong Hill Tracts. dalam: Khan NA, Alam MK, Khisa SK, editor.
Farming Practices and Sustainable Development in the Chittagong Hill
Tracts. Banglades: CHT Devlopment Board Government of the People’s
Republic of Bangladesh. Hal. 49-60.
Kurnia, U., Sulaeman, Y., dan Muti, A., 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan
Kering Dataran Tinggi. Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian
dan pengembangan Pertanian. Bogor.
Kurnia, U., Suganda, H., Erfandi, D., dan Kusnadi, H., 2004. Teknologi
Konservasi Tanah pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor.
Kurnia, U., Sudirman, dan Kusnadi, H., 2005. Teknologi Rehabilitasi Dan
Reklamasi Lahan. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju
Pertanian Produktif Dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hal. 147-182.
Larson , W.E., dan Osborne, G.J., 1982. Tillage Accomplishments And Potential.
In Predicting Tillage Effects On Soil Physical Properties And Processes.
ASA Special Publ. No. 44.
Lihawa, F.,Partuti, I.M., dan Nurfaika, 2014. Sebaran Aspek Keruangan Tipe
Longsoran di Daerah Aliran Sungai Alo Provinsi Gorontalo. J. Manusia dan
Lingkungan, 21(3):277-285.
Li, Y.X., Tullberg, J.N., Freebairn, D.M., dan Li, H.W., 2009. Functional
Relationship between Soil Water Infiltration and Wheeling Rainfall Energy.
Soil Tillage Res., 104:156–163.
Lombart, D., 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan – kerajaan
Konsentris. Penerbit. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Manuwoto., 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan
Daerah. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem
Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.
Marimin, 2004. Teori dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Cetakan pertama. Jakarta. Grasindo. PT. Gramedia.
Mawardi, 2013. Analisis Faktor Konservasi Kombinasi Teras Nikolas dan
Tanaman Kacang Tanah (Faktor CP untuk Teras Nikolas + Kacang Tanah).
Wahana Teknik Sipil, 18(2):30–40.
Medina, S.M., Narioka, H., Garcia, J.N.M., dan Mastur, 2000. Soil Conservation
and farming Systems on Slope Land in Indonesia and the Philippines. J.Jpn.
Soc. Soil Phys., 84:57-64.
Minami, K., 1997. How To Achieve Sustainable Agriculture. Dalam: Approriate
Use of Inputs for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity
Organization. Hal. 86-108.
Mitchell, B., Setiawan, B., dan Rahmi, D.H., 2010. Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Muhammadi, E., Aminullah, dan Soesilo, B., 2001. Analisis Sistem Dinamis :
Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press.
Munasinghe, M., 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.
World Bank Environment Paper Number 3. Washington, D.C. USA : The
World Bank.
Nelson, W.A., Kahn, B.A., dan Roberts, B.W., 1991. Screening Cover Crops
For Use In Conservation Tillage System For Vegetables Following Spring
Plowing. Hort.Sci., 26 : 860-862.
Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian Lahan Kering Di Indonesia : Potensi,
Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan
Proyek Pengembangan Palawija. USAID. Bogor.
Nurmi, 2009. Keefektifan Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode
Vegetatif dalam Menekan Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada
Pertanaman Kakao. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Nursjamsi, D., Sutriadi, M.T., dan Kurnia, U., 2002. Penelitian Teknologi
Pemupukan P dan K Lahan Kering Berdasarkan Uji Tanah. Draft Laporan
Akhir Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kesuburan Tanah dan
Iklim. Bogor: Balai Penelitian Tanah-Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agoklimat.
O’Geen, A.T., Elkins, R., dan Lewis, D., 2007. Erodibility of Agricultural Soils.
University of California Division of Agriculture and Natural Resources,
Publication 8195. http://anrcatalog.ucdavis.edu.
Pasandaran, E., 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
25(4):123–129.
Pernezny, E. K., Roberts, P. D., Murphy, J. F. dan Goldberg,
2003. Compendium of Pepper Diseases. APS Press, St. Paul.
N. P.,
Pfister, F., Bader, H.P., Scheidegger, R., dan Baccini, P., 2005. Dynamic
Modelling Of Resource Management For Farming Systems. Agricultural
Systems, 86 : 1–28.
Pranadji, T., 2006. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan untuk
Pengelolaan Agrosistem Lahan Kering. Disertasi. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo, B.H., dan Suriadikarta, D.A., 2006. Karakteristik, Potensi, dan
Teknologi Pengolahan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Kering diIndonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 25(2):39–
46.
[PUSLITTANAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal 37.
[PUSLITTANAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2003. Penilaian Lahan untuk Tanaman Cabai. Bogor.
Rachman, H. P. S., Suhartini, S. H., dan Hardono, G. S., 2004. Prospek
Ketahanan Pangan Nasional (Analisis Dari Aspek Kemandirian Pangan).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Respati, E., Hasanah, L., Wahyuningsih, S., Sehusman, Manurung, M., Supriyati,
Y., dan Rinawati, 2014. Konsumsi Pangan Indonesia. Buletin Konsumsi
Pangan, 4(3):17–22.
Rustiadi, 2001. Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan FaktorFaktor Penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saaty, T.L., 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Komplek.
Ir.Liana Setiono [Penerjemah]. Terjemahan dari: Decision Making for
Leader, The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World.
1986. University of Pitsburgh. 322 Mervis Hall. Pitsburgh.
Sajogjo, 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP. IPB.
Bogor.
Sanchez, P.A., l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan.
Penerjemah : J.T. Jayadinata. Penerbit Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena, I.G.P., dan Tuherkih, E., 2004. Teknologi
Konservasi Vegetatif. Olah tanah konservasi. Dalam Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor. Hal. 77- 108.
Santoso, D., dan Sofyan, A., 2005. Pengelolaan Hara Tanaman Pada Lahan
Kering. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian
Produktif Dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 73-100.
Sarief, S., 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Saxena, J.J.P., 1992. Haerarchy and Classification of Program Plan Elements Using
ISM. J. Practice, Vol 5(6) 651-670.
Semangun, H., 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Edisi
ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sevila, C.G., Ochave, J.A., Punsalam, T.G., Regala, B.P., dan Uriarte, G.G., 1993.
Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shukle, M.K., dan Lal, R., 2005. Erosional Effect on Soil Physical Properties in
an on-Farm Study on Alfisols in West Central Ohio. J. Soil Sci. Am., 170(6):
445–456.
Sitorus, S.R.P., 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito. Bandung.
Sinukaban, N., 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari
dengan Pertanian Konservasi. Dalam: Sinukaban N., Konservasi Tanah dan
Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS.
Departemen Kehutanan. Jakarta. pp. 226–241.
Soekartawi, 2006. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Soepardi, G., 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soetiarso, T.A., dan Setiawati, W., 2010. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem
Tanam Dua Varietas Cabai di Dataran Tinggi. J. Hort., 20(3): 84–98.
Soleh, M., dan Arifin, Z., 2003. Usahatani Berbasis Tanaman Kentang di Lahan
Berlereng Dataran Tinggi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Timur.
Sterman, J.D., 2000. System Dynamics : System Thinking and Modeling for a
Complex World. Boston : Irwin/McGraw-Hill.
Stocking, M., 1994. Soil Erosion And Conservation : A Place For Soil Science
Dalam: Syers JK, Rimmer DL, editor. Soil Science and Sustainable Land
Management in The Tropic. Cab. International and British Society of Soil
Science. Hal. 28-40.
Subagyo, H., Suharta, N., dan Siswanto, A.B., 2000. Tanah-tanah Pertanian di
Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Subekti, 2004. Efektivitas Guludan dalam Mengendalikan Erosi Lahan. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Suganda, H., Djunaedi, M.S., Santoso, D., dan Sukmana, S., 1997. Pengaruh Cara
Pengendalian Erosi Terhadap Aliran Permukaan, Tanah Tererosi Dan
Produksi Sayuran Pada Andisols. J. Tanah dan Iklim, 15(2):38-50.
Sukmana, S., 1995. Teknik Konservasi Tanah Dalam Penanggulangan Degradasi
Tanah Pertanian Lahan Kering. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan
Dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah Dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah Dan Agroklimat, Bogor. Hal. 23-42.
Sumarni, N., Hidayat, A., dan Sumiati, E., 2006. Pengaruh Tanaman Penutup
Tanah dan Mulsa Organik terhadap Produksi Cabai dan Erosi Tanah. J.
Hort., 16(3):197–201.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta.
Suryaningsih, E.R., Sutarya, dan Duriat, A.S., 1996. Penyakit Tanaman Cabai
Dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. Hal.
64-83.
Sutapraja, H. dan Asandhi., 1998. Pengaruh Arah Guludan, Mulsa Dan
Tumpangsari Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kentang Serta Erosi Di
Dataran Tinggi Batur. J. Hortikultura, 8(1): 106-113.
Sutono, S., 2008. Kerugian Petani Akibat Erosi. Warta Sumberdaya Lahan,
3(4):1–5.
Sutrisna, N. dan Surdianto, Y., 2007. Pengaruh Bahan Organik dan Interval
sertaVolume Pemberian Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kentang di
Lahan Dataran Tinggi Lembang. J. Hort, 17:224-236.
Sutrisna, N., Sitorus, S.R.P., Pramudya, B., dan Harianto, 2010. Alternatif Model
Usahatani Konservasi Tanaman Sayuran di Hulu Sub DAS Cikapundung. J.
Hort., 20(3):223–240.
Suwandi, R., Rosliani, N., Sumarni, dan Setiawati, W., 2003. Interaksi Tanaman
pada Sistem Tumpangsari Tomat dan Cabai di Dataran Tinggi. J. Hort.,
13(4):244-250.
Suwandi, 2009. Menakar Kebutuhan Hara Tanaman dalam Pengembangan
Inovasi Budidaya Sayuran Berkelanjutan. J. Pengembangan Inovasi
Pertanian, 2(2):131–147.
Suwardjo, H., Abdurachman, A., dan Abujamin, S., 1989. The Use Of Crop
Residue Mulch To Minimize Tillage Frequency. Pemberitaan Penelitian
Tanah Dan Pupuk,8: 31-37.
Tan, K. H., 1996. The Andosols in Indonesia. Soil Sci., 99(6) : 375-378.
Taychasinpitak, T., dan Taywiya, P., 2003. Specific Combining Ability of
Ornamental Pepper (Capsicum annuum L.). J. Kasetsart, 37:123-128.
[TIM IPB] Tim Institut Pertanian Bogor, 2004. Analisis Pengembangan
Usahatani Tanaman Pangan Terpadu Cianjur Selatan. Laporan akhir.
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Utami, U.B.L., 2001. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah Terhadap Aliran
Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara dan Penghasilan pada Usahatani
Kentang dan Kubis. J. Manusia dan Lingkungan, 3(2):98–107.
Vivrina, C.S., dan Roka,M., 2000. Comparison of Plastic Mulch and Bareground
Production And Economics of Short Day Onions In A Semitropical
Environment. Hort. Technology, 10(2) : 326-330.
Vos, J.G.M., 1994. Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada Cabai (Capsicum Spp.)
di Dataran Rendah. Terjemahan. Penerjemah : Lilies, Ch. dan E. van de
Fliert. Wageningen Agricultural University. Wageningen.
Vos , J. G. M., dan Duriat, A. S., 1994. Hot Pepper (Capsicum Sp.) Production In
Java, Indonesia: Toward Integrated Crop Management. Crop Protect,
14:205-213.
Wagger, M.G., dan Denton, H.P., 1991. Consequences Of Continuous And
Alternating Tillage Regimes On Residue Cover And Grain Yield In CornSoybean Rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA,
And SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. 344 p.
Wang, B., Zheng, F., Römkens, M.J.M., dan Darboux, F., 2013. Soil Erodibility
For Water Erosion: A Perspective And Chinese Experiences. J.
Geomorphology, 187 : 1–10
Wei, W., Chen, L., dan Fu, B., 2009. Effects Of Rainfall Change On Water
Erosion Processes In Terrestrial Ecosystems: A Review. Physical
Geography, 33(3): 307-318.
Wezel, A., Steinmüller, N. J., Friederichsen, R., 2002. Slope Position Effects On
Soil Fertility And Crop Productivity And Implications For Soil
Conservation In Upland Northwest Vietnam. Agriculture, Ecosystems &
Environment, 91(1–3):113-126.
Wibowo, S., 2008. Model Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi
Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Widiriani, R., 2009. Model Ecofarming untuk Mewujudkan Sistem Usahatani
Berkelanjutan di Lahan Dataran Tinggi yang Telah di Manfaatkan Oleh
Masyarakat (Kasus Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan
Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek). Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wolf, B., dan Snyder, G.H., 2003. Sustainable Soils. The Place of Organic Matter
in Sustainability Soils and Their Productivity. London: Food Product Press.
Zhang, J., Frielinghaus, M., Tian, G., dan Lobb, D.A., 2004. Ridges and Contour
Tillage Effect on Soil Erosion from Hillslope in The Sichuan Basin China.
J. Soil and Water Conservation, 90:123–134.
Zhou, P., Luukkanen, O., Tokola, T., dan Nieminen, J., 2008. Effect of Vegetation
Cover on Soil Erosion in a Mountainous Watershed. J. Catena, 75(4): 319–
325.
Lampiran 1. Kode struktur tanah
No
1
2
3
4
Kode Struktur Tanah (Ukuran Diameter)
Granuler sangat halus (< 1 mm)
Granuler halus (1 – 2 mm)
Granuler sedang sampai kasar (> 2 – 10 mm)
Berbentuk blok, blocky plat, masif
Kode
1
2
3
4
Lampiran 2. Kode permeabilitas profil tanah
No
Kode Permeabilitas
1
2
3
4
5
6
Sangat lambat
Lambat
Lambat sampai sedang
Sedang
Sedang sampai cepat
cepat
Kecepatan
(cm/jam)
< 0,5
0,5 – 2,0
2,0 – 6,3
>6,3 – 12,7
>12,7 – 25,4
>25,4
Kode
6
5
4
3
2
1
Lampiran 3. Nilai faktor C (Pengelolaan tanaman)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Pengelolaan Tanaman
Rumput (Brachiaria sp.)
Kacang jogo
Gandum
Ubi kayu
Kedelai
Serai wangi
Padi lahan kering
Ubi kayu + kedelai
Tanaman jagung
Tanaman cabe, jahe
Tanaman kentang ditanam searah lereng
Tanaman kentang ditanam searah kontur
Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami (6 ton/ha/th)
Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman
Pola tanam berurutan
Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa tanaman
Kebun campuran :
- Kerapatan tinggi
- Kerapatan sedang
- Kerapatan rendah
Tumpang sari tanaman sayuran
Hutan alam :
- Serasah banyak
- Serasah kurang
Tanah terbuka tanpa tanaman
Sawah
Tegalan yang tidak dispesifikasikan
Ubi kayu kacang tanah
Padi + sorghum
Padi + kedelai
Sumber : Abdurachman dkk., (1984) dalam Asdak (2002)
Nilai Faktor C
0,290
0,161
0,242
0,363
0,399
0,434
0,560
0,181
0,637
0,900
1,000
0,350
0,079
0,347
0,398
0,357
0,100
0,200
0,500
0,495
0,001
0,005
1,000
0,010
0,700
0,195
0,345
0,417
Lampiran 4. Nilai faktor teknik konservasi tanah P dan CP dalam persamaan
USLE
Lampiran 5. Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi (Hammer, 1981)
Nilai Indeks Bahaya Erosi
< 1,0
1,01 – 4,0
4,01 – 10,0
> 10,01
Sumber : Arsyad (2010)
Harkat
Ringan
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Lampiran 6.a. Curah hujan Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012
Tahun
Bulan (mm)
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
2003
341
188
372
215
157
2004
397
220
168
258
117
2005
295
269
273
303
143
2006
423
126
148
414
2007
503
250
154
2008
280
234
237
2009
296
202
2010
294
2011
2012
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
62
20
96
151
163
116
129
2690
122,3
117
6
100
52
94
147
2328,3
169
110
44
181
146
125
145
2781
232
40
23
23
33
12
193
194
2094
409
265
117
11
55
19
242
148
168
2886
230
80
10
25
61
113
253
152
163
2352
219
323
254
68
100
15
24
272
113
187
2658
170
157
231
120
157
200
170
151
102
132
192
2670
289
238
192
416
244
77
48
89
25
97
197
143
2390
567
206
201
323
125
56
56
92
25
158
137
146
2425
Jumlah
3685
2103
2121
3122
1737
878,3
710
651
822
1497
1407
1614
Rata-rata
368,5
210,3
212,1
312,2
173,7
87,83
71
65,1
82,2
149,7
140,7
161,4
2034,73
Okt
Nov
Des
Jumlah
13
12
Lampiran 6.b. Hari hujan Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012
Tahun
Bulan (hari)
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
2003
9
21
22
7
8
3
2004
20
24
28
12
14
5
8
1
12
8
24
26
182
2005
27
22
18
22
7
18
11
1
13
20
11
15
185
2006
28
22
12
24
21
4
4
0
0
2
11
28
156
2007
12
23
23
26
16
16
2
0
2
11
18
29
178
2008
16
25
28
25
0
2
0
0
5
24
27
22
174
2009
26
24
26
22
16
11
2
0
5
18
19
23
192
2010
31
23
23
21
28
24
14
8
27
26
24
18
267
2011
14
22
19
22
19
3
2
0
0
13
21
11
146
25
134
2012
12
21
11
13
8
Jul
Agt
0
2
Sep
1
0
9
0
1
13
28
27
Jumlah
195
227
210
194
137
88
43
11
74
148
195
224
Rata-rata
19,5
22,7
21
19,4
13,7
8,8
4,3
1,1
7,4
14,8
19,5
22,4
132
174,6
Lampiran 6.c. Curah hujan maksimum Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012
Tahun
Bulan (mm)
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
2003
63
91
37
98
56
2004
85
58
78
65
33
2005
40
70
19
48
2006
81
77
87
2007
98
54
2008
90
76
2009
42
2010
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
48
0
56
43
69
20
48
629
67
24
3
24
45
33
18
533
76
59
30
37
72
62
13
22
548
73
74
29
19
4
0
21
13
40
518
95
55
59
58
10
7
11
42
33
47
569
43
73
60
6
0
9
13
60
57
29
516
61
40
122
97
46
23
4
19
57
21
41
573
33
54
55
79
54
37
19
11
16
74
28
50
510
2011
67
78
77
40
28
35
20
4
0
40
39
18
446
2012
56
90
22
115
97
28
0
1
3
17
32
28
489
Jumlah
655
709
553
768
634
413
145
136
201
487
289
341
Rata-rata
65,5
70,9
55,3
76,8
63,4
41,3
14,5
13,6
20,1
48,7
28,9
34,1
Lampiran 7. Hasil perhitungan erosivitas hujan di Kabupaten Garut
No
Bulan
RAIN
(cm)
RAIN^1,21
DAYS
DAYS^-0,47
MAXP
(cm)
MAXP^0,53
6,119 *(4)*(6)*(8)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
36,85
78,46
19,5
0,25
6,55
2,71
321,85
1
Januari
2
Februari
21,03
39,87
22,7
0,23
7,09
2,82
158,79
3
Maret
21,20
40,28
21,0
0,24
5,53
2,48
145,88
4
April
31,22
64,31
19,4
0,25
7,68
2,95
287,69
5
Mei
17,37
31,63
13,7
0,29
6,34
2,66
150,55
6
Juni
8,78
13,86
8,80
0,36
4,13
2,12
64,69
7
Juli
7,10
10,72
4,30
0,50
1,45
1,22
40,23
8
Agustus
6,51
9,65
1,10
0,96
1,36
1,18
66,44
9
September
8,22
12,79
7,40
0,39
2,01
1,45
44,24
10
Oktober
14,97
26,43
14,8
0,28
4,87
2,31
105,45
11
November
14,07
24,52
19,5
0,25
2,89
1,75
65,17
12
Desember
16,14
28,94
22,4
0,23
2,41
1,59
65,48
Jumlah EI30
1516,46
Lampiran 8. Karakteristik tanah di daerah penelitian
DESA
Giriawas
Margamulya
Mekarsari
Padasuka
Simpang
Cikandang
Cikajang
PETANI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Tekstur (%)
Pasir Halus
Pasir Debu
8,7
21,43 46,17
8,58
21,08 46,76
8,5
21,85 46,15
9,2
21,35 45,25
2,38
25,90 32,88
3,78
26,54 30,90
4,24
22,35 32,17
3,55
25,83 31,12
2,42
29,76 31,40
2,8
29,56 30,84
3,4
24,60 32,00
2,7
28,14 31,46
4,2
21,60 32,00
1,24
26,26 33,26
1,55
31,48 31,47
3,4
29,78 30,42
4,1
23,40 32,30
2,27
25,73 32,53
3,54
26,66 31,36
3,98
22,86 32,16
3,45
25,40 32,15
2,11
21,50 34,69
6,55
24,69 47,21
9,7
20,43 45,17
8,58
21,08 46,76
6,5
25,00 47,00
5,11
25,22 30,19
3,8
27,13 31,09
3,22
26,30 32,28
4,11
21,10 32,99
3,3
21,65 33,70
3,96
25,78 31,30
2,15
28,17 32,53
3,76
22,65 32,65
2,05
27,28 32,62
Liat
23,70
23,58
23,50
24,20
38,84
38,78
41,24
39,50
36,42
36,80
40,00
37,70
42,20
39,24
35,50
36,40
40,20
39,47
38,44
41,00
39,00
41,70
21,55
24,70
23,58
21,50
39,48
37,98
38,20
41,80
41,35
38,96
37,15
40,94
38,05
Sifat Fisik Tanah
Kedalaman Tanah
Permeabilitas
mm
cm/jam
1250
6,80
970
8,20
900
10,40
930
9,30
790
5,10
810
3,20
810
2,96
780
4,20
690
4,90
710
6,00
650
5,40
720
4,20
750
3,81
920
2,76
910
3,65
1120
5,88
1150
5,43
950
4,79
920
4,32
880
3,55
850
2,78
870
6,21
800
7,12
820
8,45
820
10,76
870
9,23
1180
5,44
1120
4,08
980
4,57
990
3,64
850
2,80
820
3,65
800
5,36
790
4,99
810
5,61
Bulk Density
g/cm3
0,7
0,85
0,83
0,72
0,69
0,81
0,65
0,86
0,91
0,87
0,74
0,69
0,77
0,82
0,92
0,9
0,83
0,76
0,88
0,65
0,86
0,81
0,65
0,86
0,91
0,87
0,74
0,69
0,77
0,83
0,72
0,69
0,81
0,65
0,86
Porositas
%
66,34
66,92
68,82
64,23
63,24
63,74
64,31
68,43
69,21
70,34
75,33
58,56
55,98
59,21
60,94
63,65
65,21
62,34
60,54
71,98
68,43
59,32
61,43
64,78
70,22
76,43
65,88
55,87
59,76
62,81
65,39
66,03
70,81
62,37
75,06
C- Organik
%
4,61
4,62
4,50
4,47
3,66
3,68
3,56
3,52
3,54
3,66
3,48
3,35
3,34
3,46
3,72
3,85
3,79
3,70
3,80
3,60
3,72
3,62
4,60
4,48
4,58
4,64
3,67
3,83
3,86
3,71
3,72
3,85
3,79
3,81
3,64
Sifat Kimia Tanah
N-Total
P 2O5
%
mg/100g
0,68
245
0,7
175
0,45
189
0,52
203
0,41
243
0,72
228
0,58
216
0,47
193
0,4
184
0,55
190
0,52
181
0,64
194
0,61
223
0,71
215
0,75
238
0,45
241
0,43
218
0,57
192
0,62
185
0,69
195
0,63
180
0,55
187
0,72
200
0,44
228
0,49
231
0,51
185
0,57
199
0,65
231
0,6
179
0,73
184
0,75
195
0,49
231
0,58
240
0,66
226
0,62
237
K2O
mg/100g
30
45
51
34
32
53
44
48
52
35
43
37
42
50
40
36
61
34
47
50
52
66
71
58
70
65
59
45
48
62
71
37
45
51
64
Lampiran 8. Lanjutan
DESA
Cibodas
Girijaya
Mekarjaya
Cipangramatan
Karamatwangi
PETANI
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
Tekstur (%)
Pasir Halus
Pasir Debu
4,72
21,13 32,43
3,54
24,10 31,86
3,71
24,59 32,00
7,15
23,79 46,91
8,7
21,43 46,17
10,58
19,08 44,76
8,5
21,85 46,15
5,2
20,35 49,25
4,35
21,65 32,65
2,96
25,78 32,30
2,15
28,17 32,53
4,86
22,65 31,55
2,05
27,28 32,62
10,4
18,36 45,84
10,5
18,07 45,93
8,2
22,59 46,01
9,6
20,32 45,48
8,55
21,89 46,01
8,77
20,72 46,74
6,55
24,69 47,21
9,7
20,43 45,17
9,58
20,08 45,76
8,5
21,85 46,15
9,2
21,35 45,25
8,9
20,73 46,47
11,2
17,56 45,04
8,6
20,95 46,85
8,88
21,78 45,46
8,55
22,00 45,90
10,72
19,11 44,45
8,23
22,56 45,98
7,2
23,49 47,11
7
24,22 46,78
9,4
20,34 45,86
Liat
41,72
40,50
39,70
22,15
23,70
25,58
23,50
25,20
41,35
38,96
37,15
40,94
38,05
25,40
25,50
23,20
24,60
23,55
23,77
21,55
24,70
24,58
23,50
24,20
23,90
26,20
23,60
23,88
23,55
25,72
23,23
22,20
22,00
24,40
Sifat Fisik Tanah
Kedalaman Tanah
Permeabilitas
mm
cm/jam
690
3,56
690
5,81
710
4,22
690
7,36
700
6,93
650
10,76
710
11,32
730
9,85
690
5,31
700
3,09
720
2,88
750
5,65
770
4,33
650
9,31
690
10,75
700
11,52
760
10,13
630
8,76
600
7,61
650
6,90
710
7,65
700
8,40
650
9,43
670
10,24
630
11,43
620
9,62
750
8,54
770
7,33
800
9,05
690
11,46
740
8,52
790
7,45
720
8,28
800
9,44
Bulk Density
g/cm3
0,69
0,77
0,82
0,92
0,9
0,83
0,76
0,88
0,65
0,86
0,81
0,65
0,86
0,91
0,86
0,81
0,65
0,86
0,91
0,87
0,74
0,69
0,77
0,83
0,72
0,7
0,85
0,83
0,72
0,69
0,81
0,81
0,65
0,86
Porositas
%
70,55
65,82
61,56
59,77
70,53
65,33
63,21
55,62
62,34
60,54
71,98
68,43
59,32
61,43
64,78
70,22
76,43
68,43
69,21
70,34
75,33
58,56
55,98
62,81
65,39
66,03
70,81
62,37
75,06
63,24
63,74
64,31
68,43
59,77
C- Organik
%
3,80
3,44
3,70
4,62
4,54
4,42
4,58
4,32
3,67
3,83
3,86
3,71
3,65
4,53
4,65
4,51
4,48
4,57
4,60
4,66
4,45
4,53
4,50
4,48
4,63
4,45
4,69
4,50
4,47
4,36
4,48
4,63
4,54
4,58
Sifat Kimia Tanah
N-Total
P 2O5
%
mg/100g
0,75
185
0,45
182
0,43
193
0,57
196
0,62
213
0,69
240
0,63
234
0,55
192
0,72
185
0,44
231
0,49
179
0,41
184
0,72
228
0,58
216
0,47
193
0,4
194
0,55
223
0,52
215
0,64
195
0,61
231
0,51
240
0,57
187
0,65
200
0,6
228
0,73
231
0,55
193
0,52
184
0,64
233
0,61
205
0,71
197
0,75
184
0,45
179
0,43
192
0,57
217
K2O
mg/100g
34
29
43
56
62
50
49
37
25
31
48
55
63
70
58
45
38
41
27
31
34
42
56
64
70
61
37
42
50
40
36
61
34
47
Lampiran 9. Hasil perhitungan nilai faktor erodibilitas tanah (K) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Desa
2
Giriawas
Margamulya
Mekarsari
Padasuka
Simpang
Cikandang
Cikajang
Petani
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
% Bahan
Organik
a
4
4,61
4,62
4,50
4,47
3,66
3,68
3,56
3,52
3,54
3,66
3,48
3,35
3,34
3,46
3,72
3,85
3,79
3,70
3,80
3,60
3,72
3,62
4,60
4,48
4,58
4,64
3,67
3,83
3,86
3,71
3,72
3,85
3,79
3,81
3,64
12 - a
%
%
M
5
7,39
7,38
7,50
7,53
8,34
8,32
8,44
8,48
8,46
8,34
8,52
8,65
8,66
8,54
8,28
8,15
8,21
8,30
8,20
8,40
8,28
8,38
7,40
7,52
7,42
7,36
8,33
8,17
8,14
8,29
8,28
8,15
8,21
8,19
8,36
Pasir
Halus+debu
6
54,87
55,34
54,65
54,45
35,26
34,68
36,41
34,67
33,82
33,64
35,40
34,16
36,20
34,50
33,02
33,82
36,40
34,80
34,90
36,14
35,60
36,80
53,76
54,87
55,34
53,50
35,30
34,89
35,50
37,10
37,00
35,26
34,68
36,41
34,67
(100 liat)
7
76,30
76,42
76,50
75,80
61,16
61,22
58,76
60,50
63,58
63,20
60,00
62,30
57,80
60,76
64,50
63,60
59,80
60,53
61,56
59,00
61,00
58,30
78,45
75,30
76,42
78,50
60,52
62,02
61,80
58,20
58,65
61,04
62,85
59,06
61,95
(6) x
( 7)
8
4186,58
4229,08
4180,73
4127,31
2156,50
2123,11
2139,45
2097,54
2150,28
2126,05
2124,00
2128,17
2092,36
2096,22
2129,79
2150,95
2176,72
2106,44
2148,44
2132,26
2171,60
2145,44
4217,47
4131,71
4229,08
4199,75
2136,36
2163,88
2193,90
2159,22
2170,05
2152,27
2179,64
2150,37
2147,81
M1,14
9
13456,12
13611,96
13434,66
13239,16
6316,47
6205,10
6259,57
6119,96
6295,69
6214,89
6208,06
6221,95
6102,75
6115,59
6227,36
6297,95
6384,03
6149,60
6289,58
6235,59
6366,91
6279,55
13569,36
13255,26
13611,96
13504,38
6249,25
6341,11
6441,50
6325,55
6361,73
6302,35
6393,79
6296,02
6287,45
0,00021
x
(9) x
(5)
10
20,88
21,10
21,16
20,94
11,06
10,84
11,09
10,90
11,18
10,88
11,11
11,30
11,10
10,97
10,83
10,78
11,01
10,72
10,83
11,00
11,07
11,05
21,09
20,93
21,21
20,87
10,93
10,88
11,01
11,01
11,06
10,79
11,02
10,83
11,04
Kode
struktur
b
11
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
b-2
3,25
X
(12)
Kelas
permeabilitas
c-3
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c
14
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
15
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2,5 x (15)
(10) +
(13) +
(16)
1,292
x
(17)
K
16
0
0
0
0
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
0
0
0
0
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
17
20,88
21,10
21,16
20,94
13,56
13,34
13,59
13,40
13,68
13,38
13,61
13,80
13,60
13,47
13,33
13,28
13,51
13,22
13,33
13,50
13,57
13,55
21,09
20,93
21,21
20,87
13,43
13,38
13,51
13,51
13,56
13,29
13,52
13,33
13,54
18
26,98
27,26
27,34
27,05
17,52
17,24
17,56
17,31
17,68
17,29
17,58
17,83
17,57
17,40
17,22
17,16
17,45
17,08
17,22
17,44
17,53
17,51
27,24
27,05
27,40
26,97
17,35
17,29
17,46
17,46
17,52
17,17
17,47
17,22
17,49
(18)/100
19
0,270
0,273
0,273
0,270
0,175
0,172
0,176
0,173
0,177
0,173
0,176
0,178
0,176
0,174
0,172
0,172
0,175
0,171
0,172
0,174
0,175
0,175
0,272
0,270
0,274
0,270
0,174
0,173
0,175
0,175
0,175
0,172
0,175
0,172
0,175
Lampiran 9. Lanjutan
Desa
2
Cibodas
Girijaya
Mekarjaya
Cipangramatan
Karamatwangi
Petani
3
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
% Bahan
Organik
a
4
3,80
3,44
3,70
4,62
4,54
4,42
4,58
4,32
3,67
3,83
3,86
3,71
3,65
4,53
4,65
4,51
4,48
4,57
4,60
4,66
4,45
4,53
4,50
4,48
4,63
4,45
4,69
4,50
4,47
4,36
4,48
4,63
4,54
4,58
12 a
5
8,20
8,56
8,30
7,38
7,46
7,58
7,42
7,68
8,33
8,17
8,14
8,29
8,35
7,47
7,35
7,49
7,52
7,43
7,40
7,34
7,55
7,47
7,50
7,52
7,37
7,55
7,31
7,50
7,53
7,64
7,52
7,37
7,46
7,42
%
%
Pasir
Halus+debu
6
37,15
35,40
35,71
54,06
54,87
55,34
54,65
54,45
37,00
35,26
34,68
36,41
34,67
56,24
56,43
54,21
55,08
54,56
55,51
53,76
54,87
55,34
54,65
54,45
55,37
56,24
55,45
54,34
54,45
55,17
54,21
54,31
53,78
55,26
(100 liat)
7
58,28
59,50
60,30
77,85
76,30
74,42
76,50
74,80
58,65
61,04
62,85
59,06
61,95
74,60
74,50
76,80
75,40
76,45
76,23
78,45
75,30
75,42
76,50
75,80
76,10
73,80
76,40
76,12
76,45
74,28
76,77
77,80
78,00
75,60
M
(6) x ( 7)
8
2165,10
2106,30
2153,31
4208,57
4186,58
4118,40
4180,73
4072,86
2170,05
2152,27
2179,64
2150,37
2147,81
4195,50
4204,04
4163,33
4153,03
4171,11
4231,53
4217,47
4131,71
4173,74
4180,73
4127,31
4213,66
4150,51
4236,38
4136,36
4162,70
4098,03
4161,70
4225,32
4194,84
4177,66
M
1,14
9
6345,20
6149,12
6305,83
13536,72
13456,12
13206,59
13434,66
13040,23
6361,73
6302,35
6393,79
6296,02
6287,45
13488,82
13520,09
13370,95
13333,26
13399,45
13620,93
13569,36
13255,26
13409,09
13434,66
13239,16
13555,37
13324,04
13638,74
13272,26
13368,66
13132,14
13365,00
13598,15
13486,39
13423,42
0,00021
Kode
struktur
(9) x (5)
10
10,93
11,05
10,99
20,98
21,08
21,02
20,93
21,03
11,13
10,81
10,93
10,96
11,03
21,16
20,87
21,03
21,06
20,91
21,17
20,92
21,02
21,03
21,16
20,91
20,98
21,13
20,94
20,90
21,14
21,07
21,11
21,05
21,13
20,92
b
11
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
b-2
3,25 x
(12)
Kelas
permeabilitas
c-3
2,5 x
(15)
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c
14
4
4
4
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
15
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16
2,5
2,5
2,5
0
0
0
0
0
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(10)
+
(13)
+(16)
1,292
x
(17)
K
17
13,43
13,55
13,49
20,98
21,08
21,02
20,93
21,03
13,63
13,31
13,43
13,46
13,53
21,16
20,87
21,03
21,06
20,91
21,17
20,92
21,02
21,03
21,16
20,91
20,98
21,13
20,94
20,90
21,14
21,07
21,11
21,05
21,13
20,92
18
17,35
17,51
17,43
27,11
27,24
27,16
27,05
27,17
17,61
17,20
17,35
17,39
17,47
27,34
26,96
27,17
27,20
27,01
27,35
27,02
27,15
27,18
27,34
27,01
27,11
27,29
27,05
27,01
27,31
27,22
27,27
27,19
27,30
27,02
(18)/100
19
0,173
0,175
0,174
0,271
0,272
0,272
0,270
0,272
0,176
0,172
0,174
0,174
0,175
0,273
0,270
0,272
0,272
0,270
0,273
0,270
0,272
0,272
0,273
0,270
0,271
0,273
0,271
0,270
0,273
0,272
0,273
0,272
0,273
0,270
Lampiran 10. Hasil perhitungan Erosi yang di Toleransi (ETol) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Desa
Giriawas
Margamulya
Mekarsari
Padasuka
Simpang
Cikandang
Cikajang
Petani
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Kedalaman
efektif
tanah
(mm)
1050
1221
1045
943
1060
1121
1099
993
1098
1167
1265
1132
990
1132
954
1020
1050
978
1087
921
1134
1030
1143
987
1256
990
1080
1020
1167
1082
1205
934
1156
1043
1100
Kedalaman
tanah
minimum cabe
(mm)
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
Nilai faktor
kedalaman
tanah
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Umur
guna
tanah
(th)
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
Laju
pembentukan
tanah
(mm/th)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Kedalaman
eqivalen
De - Dmin
(De - Dmin) /UGT
Etol
(mm/th)
1050
1221
1045
943
1060
1121
1099
993
1098
1167
1265
1132
990
1132
954
1020
1050
978
1087
921
1134
1030
1143
987
1256
990
1080
1020
1167
1082
1205
934
1156
1043
1100
750
921
745
643
760
821
799
693
798
867
965
832
690
832
654
720
750
678
787
621
834
730
843
687
956
690
780
720
867
782
905
634
856
743
800
3,00
3,68
2,98
2,57
3,04
3,28
3,20
2,77
3,19
3,47
3,86
3,33
2,76
3,33
2,62
2,88
3,00
2,71
3,15
2,48
3,34
2,92
3,37
2,75
3,82
2,76
3,12
2,88
3,47
3,13
3,62
2,54
3,42
2,97
3,20
4,00
4,68
3,98
3,57
4,04
4,28
4,20
3,77
4,19
4,47
4,86
4,33
3,76
4,33
3,62
3,88
4,00
3,71
4,15
3,48
4,34
3,92
4,37
3,75
4,82
3,76
4,12
3,88
4,47
4,13
4,62
3,54
4,42
3,97
4,20
Berat
Volume
Tanah
(gr/cm3)
0,68
0,75
0,72
0,78
0,96
0,89
0,97
0,95
0,99
0,82
0,81
0,96
0,83
0,91
0,96
0,83
1,00
0,89
0,97
0,95
1,00
0,99
0,78
0,75
0,71
0,73
1,00
0,99
0,82
0,91
0,94
0,87
1,00
0,91
0,82
Etol
(ton/ha/th)
27,20
35,13
28,66
27,86
38,78
38,13
40,70
35,83
41,50
36,64
39,37
41,55
31,21
39,38
34,71
32,20
40,00
33,04
40,24
33,10
43,36
38,81
34,10
28,11
34,25
27,45
41,20
38,41
36,64
37,56
43,43
30,76
44,24
36,15
34,44
Lampiran 10. Lanjutan
Desa
Cibodas
Girijaya
Girijaya
Mekarjaya
Cipangramatan
Petani
Kedalaman
efektif
tanah
(mm)
Kedalaman
tanah
minimum cabe
(mm)
Nilai faktor
kedalaman
tanah
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
1125
1201
1190
972
1030
1143
1109
954
990
1080
1020
1205
1080
1042
934
1255
1143
1121
1055
993
1098
987
1277
1132
990
1177
954
1020
1050
994
1086
1067
1254
1176
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
300
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Umur
guna
tanah
(th)
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
250
Laju
pembentukan
tanah
(mm/th)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Kedalaman
eqivalen
1125
1201
1190
972
1030
1143
1109
954
990
1080
1020
1205
1080
1042
934
1255
1143
1121
1055
993
1098
987
1277
1132
990
1177
954
1020
1050
994
1086
1067
1254
1176
De - Dmin
825
901
890
672
730
843
809
654
690
780
720
905
780
742
634
955
843
821
755
693
798
687
977
832
690
877
654
720
750
694
786
767
954
876
(De - Dmin) /UGT
Etol
(mm/th)
3,30
3,60
3,56
2,69
2,92
3,37
3,24
2,62
2,76
3,12
2,88
3,62
3,12
2,97
2,54
3,82
3,37
3,28
3,02
2,77
3,19
2,75
3,91
3,33
2,76
3,51
2,62
2,88
3,00
2,78
3,14
3,07
3,82
3,50
4,30
4,60
4,56
3,69
3,92
4,37
4,24
3,62
3,76
4,12
3,88
4,62
4,12
3,97
3,54
4,82
4,37
4,28
4,02
3,77
4,19
3,75
4,91
4,33
3,76
4,51
3,62
3,88
4,00
3,78
4,14
4,07
4,82
4,50
Berat
Volume
Tanah
(gr/cm3)
0,87
0,89
0,97
0,68
0,75
0,70
0,68
0,75
0,95
0,86
0,95
1,00
0,91
0,70
0,68
0,75
0,72
0,68
0,75
0,70
0,68
0,75
0,72
0,78
0,75
0,71
0,78
0,75
0,71
0,73
0,78
0,75
0,71
0,73
Etol
(ton/ha/th)
37,41
40,98
44,23
25,08
29,40
30,60
28,80
27,12
35,72
35,43
36,86
46,20
37,49
27,78
24,04
36,15
31,48
29,13
30,15
26,40
28,51
28,11
35,34
33,76
28,20
32,01
28,20
29,10
28,40
27,56
32,32
30,51
34,19
32,88
Lampiran 11. Hasil perhitungan prediksi erosi (A) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Desa
Giriawas
Margamulya
Mekarsari
Padasuka
Simpang
Cikandang
Cikajang
Petani
R
K
LS
Nilai
C
Nilai
P
Erosi
(ton/ha/th)
ETol
(ton/ha/th)
IBE
Harkat
IBE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
0,27
0,27
0,27
0,27
0,18
0,17
0,18
0,17
0,18
0,17
0,18
0,18
0,18
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,18
0,18
0,27
0,27
0,27
0,27
0,17
0,17
0,17
0,17
0,18
0,17
0,17
0,17
0,17
1,99
1,80
1,77
1,87
5,28
3,03
3,44
3,18
2,94
2,84
2,81
2,20
2,22
1,28
2,02
1,30
2,17
2,12
2,26
1,56
1,98
1,86
3,93
3,78
3,68
2,53
2,85
1,78
2,06
2,05
2,41
2,40
2,63
2,39
2,65
0,495
0,495
0,900
0,495
0,900
0,900
0,900
0,900
0,495
0,495
0,900
0,900
0,495
0,495
0,495
0,900
0,900
0,900
0,900
0,900
0,495
0,900
0,495
0,495
0,495
0,900
0,900
0,900
0,900
0,495
0,900
0,900
0,900
0,495
0,900
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
160,98
146,92
264,55
151,96
189,27
284,68
329,99
300,63
155,94
147,50
270,11
80,45
117,16
66,96
104,39
121,32
206,42
197,41
212,74
148,53
104,00
177,36
120,41
306,60
302,59
372,69
269,87
63,15
196,20
107,28
230,28
224,91
94,16
123,57
253,15
27,20
35,13
28,66
27,86
38,78
38,13
40,70
35,83
41,50
36,64
39,37
41,55
31,21
39,38
34,71
32,20
40,00
33,04
40,24
33,10
43,36
38,81
34,10
28,11
34,25
27,45
41,20
38,41
36,64
37,56
43,43
30,76
44,24
36,15
34,44
29,89
21,12
25,64
27,55
36,15
20,74
22,52
23,30
18,98
20,33
19,06
14,34
18,96
8,59
15,19
10,46
14,34
16,60
14,69
12,47
12,11
12,70
47,56
55,09
44,62
37,72
18,20
12,18
14,88
14,42
14,73
20,31
15,77
17,27
20,42
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
T
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
Lampiran 11. Lanjutan
Desa
Cibodas
Girijaya
Mekarjaya
Cipangramatan
Petani
R
K
LS
Nilai
C
Nilai
P
Erosi
(ton/ha/th)
ETOL
(ton/ha/th)
IBE
HARKAT
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
1516,46
0,17
0,18
0,17
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,18
0,17
0,17
0,17
0,17
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
0,27
2,25
1,62
1,46
2,71
1,89
2,39
2,14
1,92
1,54
1,92
2,17
1,33
1,70
3,54
3,68
3,85
4,07
2,93
2,47
2,29
2,67
2,67
1,72
1,99
1,84
1,94
3,11
3,08
2,23
2,29
1,61
1,95
1,73
2,44
0,90
0,90
0,50
0,50
0,50
0,90
0,50
0,90
0,50
0,90
0,90
0,90
0,50
0,50
0,50
0,90
0,90
0,50
0,50
0,90
0,90
0,90
0,50
0,90
0,90
0,50
0,90
0,90
0,90
0,90
0,90
0,50
0,50
0,90
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,15
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,15
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
0,40
212,61
155,09
76,35
220,72
154,79
354,68
173,91
285,52
81,26
180,39
205,15
125,91
89,05
290,91
111,79
214,21
603,88
88,98
202,72
337,61
396,43
396,28
141,21
293,00
271,55
158,69
458,84
170,41
332,19
340,45
239,70
159,49
141,65
360,08
37,41
40,98
44,23
25,08
29,40
30,60
28,80
27,12
35,72
35,43
36,86
46,20
37,49
27,78
24,04
36,15
31,48
29,13
30,15
26,40
28,51
28,11
35,34
33,76
28,20
32,01
28,20
29,10
28,40
27,56
32,32
30,51
34,19
32,88
15,79
10,51
8,72
44,45
26,59
32,19
30,49
29,24
11,49
14,14
15,46
7,57
12,00
52,90
62,62
43,89
53,29
41,14
33,96
35,52
38,63
39,16
20,18
24,11
26,75
25,04
45,19
43,38
32,49
34,31
20,60
26,40
20,92
30,42
ST
ST
T
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
T
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
ST
Lampiran 12. Perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak di Kecamatan Cikajang
Kabupaten Garut tahun 2014
Perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak
dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut (Sinukaban, 2007) :
1.
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan equivalen beras satu rumah
tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras
2.
Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = kebutuhan pendidikan dan sosial +
kesehatan dan rekreasi + tabungan dan asuransi
3.

Kebutuhan untuk pendidikan dan sosial = 50% KFM

Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM

Kebutuhan untuk tabungan dan asuransi = 50% KFM
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen
beras satu rumah tangga x 250% x jumlah anggota keluarga x harga beras
Di lokasi penelitian, setiap rumah tangga rata-rata terdiri dari 4,6 org.kk-1,
dengan harga beras Rp. 6.500,- /kg.
Maka besarnya nilai KFM = 320 kg/org/th x 100% x 4,6 x Rp. 6,500 /kg
= Rp. 9.568.000,- kk.th-1
Dan besarnya nilai KHL = 320 kg/org/th x 250% x 4,6 x Rp. 6,500/kg
= Rp. 23.920.000,- /kk/th.
Perhitungan kebutuhan luas lahan minimal (Lm) dirumuskan sebagai
perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan pendapatan
usahatani (Pb)
Kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL
dirumuskan sebagai perbandingan luas Garapan saat ini dan luas lahan minimal
(Lm) di kali 100%.
Sebagai contoh jika diketahui pendapatan petani dari usahatani cabai
tumpangsari sebesar Rp. 22.380.742,-, maka luas lahan minimum adalah Rp.
23.920.000,-/Rp. 22.380.742,- = 1,07 ha. Jika diketahu luas garapan petani saat
ini adalah 0,37 ha, maka kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap
pemenuhan KHL adalah 0,37/1,07 x 100% = 34,62 %.
Lampiran 13. Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak
Kecil
Perlakuan TK1 dan TK5
3m
Perlakuan TK2 dan TK6
80 cm
80 cm
6,60 m
Guludan
20 m
6,60 m
Bak penampung aliran
permukaan dan erosi 6,60 m
0,5 m
Perlakuan TK3 dan TK7
Perlakuan TK4 dan TK8
Arah lereng
Kontur
Keterangan :
TK1
= Cabai monokultur + guludan searah lereng
TK2
= Cabai monokultur + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng
= setiap jarak 6,60 meter
TK3
= Cabai monokultur + guludan memotong lereng
TK4
= Cabai monokultur + guludan memotong lereng miring 20°
TK5
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng
TK6
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud
= memotong lereng setiap jarak 6,60 meter
TK7
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng
TK8
= Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng miring 20°
Lampiran 14. Curah hujan selama penelitian
Tanggal
Curah Hujan (mm)
Jan
Ʃ CH
Ʃ HH
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agt
1
38,96
2,47
4,93
4,76
1,35
5,65
2,57
0,00
2
18,67
10,67
1,34
3,44
8,50
0,00
9,12
0,00
3
23,76
12,21
2,46
2,45
5,89
6,34
0,00
0,00
4
27,54
12,45
0,00
0,00
1,23
6,40
0,00
0,00
5
0,00
2,34
3,85
67,71
0,00
3,78
2,65
0,00
6
14,65
0,00
9,55
4,65
0,00
13,01
1,60
0,00
7
36,78
0,00
5,76
34,51
4,56
0,00
3,50
0,00
8
35,60
2,36
0,00
0,00
3,87
6,43
5,77
17,25
9
0,00
0,00
0,00
23,88
2,41
17,89
0,00
5,20
10
0,00
0,00
4,54
1,34
9,43
0,00
8,60
6,71
11
12,64
0,00
1,67
0,00
0,00
1,05
1,34
0,00
12
10,34
0,00
1,85
4,65
0,00
16,23
0,00
0,00
13
8,76
0,00
15,32
12,40
0,00
0,00
1,10
2,32
14
0,00
0,00
4,56
6,79
16,23
0,00
15,83
0,00
15
0,00
12,34
0,00
3,52
0,00
24,33
1,30
0,00
16
6,45
4,22
1,24
6,70
2,45
17,90
3,28
0,00
17
12,65
2,65
0,34
18,92
8,92
12,88
0,00
11,78
18
0,00
35,65
0,00
51,80
5,72
0,00
6,10
6,99
19
0,00
14,86
22,43
6,77
0,00
2,94
0,00
0,00
20
40,87
0,00
14,04
14,25
0,00
3,56
1,20
0,00
21
5,77
0,00
4,53
0,00
0,00
4,33
0,97
0,00
22
23,56
6,86
5,99
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
23
0,00
3,54
7,34
0,00
0,00
2,98
3,43
25,43
24
0,00
0,00
0,00
64,22
0,00
1,22
0,00
0,00
25
0,00
7,47
2,58
21,80
1,34
0,00
2,40
0,00
26
56,88
5,77
3,55
0,00
0,00
0,23
1,20
6,15
27
10,23
0,00
6,72
15,43
15,63
1,44
14,90
2,11
28
8,52
0,00
0,00
0,00
0,00
6,78
1,98
0,00
29
13,48
2,31
72,35
2,01
4,90
3,85
0,00
30
0,00
0,59
19,60
0,00
1,59
1,77
0,00
31
25,64
0,63
1,22
95,09
85,16
23
10
431,75
20
Rerata harian
21,59
Intensitas hujan
(Van Breen)
mm.jam-1
104,42

Feb
0,00
135,86
127,49
461,94
15
23
22
9,06
5,54
21,20
5,97
7,36
4,13
8,52
64,12
45,25
103,08
47,82
55,65
35,97
61,54
Rata-rata CH selama 4 bulan = 289,26 mm
89,54
15
161,86
22
Lampiran 15. Data jumlah erosi, erosi pada petak pembanding dan Nilai CP
masing-masing perlakuan
Perlakuan
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Ulangan
Erosi (ton/ha)
Nilai CP
Jan
Feb
Mar
Apr
Jum
Jan
Feb
Mar
Apr
Rataan
1
30,59
28,92
25,89
23,58
108,98
0,88
0,94
0,79
0,73
0,83
2
31,52
28,47
26,42
23,95
110,36
0,86
0,86
0,90
0,74
0,84
3
31,17
28,89
24,94
22,91
107,90
0,96
0,89
0,76
0,73
0,83
Rataan
31,09
28,76
25,75
23,48
109,08
0,90
0,90
0,82
0,73
0,84
1
10,61
7,47
5,24
3,96
27,28
0,30
0,24
0,16
0,12
0,21
2
11,22
7,74
6,17
3,92
29,04
0,31
0,23
0,21
0,12
0,22
3
10,95
7,91
6,66
4,39
29,91
0,34
0,24
0,20
0,14
0,23
Rataan
10,92
7,71
6,02
4,09
28,74
0,32
0,24
0,19
0,13
0,22
1
4,11
3,17
2,39
1,86
11,54
0,12
0,10
0,07
0,06
0,09
2
3,98
2,97
1,84
1,69
10,47
0,11
0,09
0,06
0,05
0,08
3
4,24
2,83
1,80
1,10
9,98
0,13
0,09
0,05
0,03
0,08
Rataan
4,11
2,99
2,01
1,55
10,66
0,12
0,09
0,06
0,05
0,08
1
7,48
5,45
3,11
2,47
18,51
0,21
0,18
0,10
0,08
0,14
2
7,55
5,58
3,35
2,09
18,56
0,21
0,17
0,11
0,06
0,14
3
7,81
5,89
2,95
1,59
18,24
0,24
0,18
0,09
0,05
0,14
Rataan
7,61
5,64
3,14
2,05
18,43
0,22
0,18
0,10
0,06
0,14
1
25,04
23,89
21,59
18,91
89,42
0,72
0,77
0,66
0,59
0,68
2
25,76
24,04
21,57
18,46
89,83
0,71
0,73
0,74
0,57
0,68
3
25,24
23,56
21,59
18,17
88,54
0,77
0,73
0,66
0,58
0,68
Rataan
25,35
23,83
21,58
18,51
89,26
0,73
0,74
0,69
0,58
0,68
1
7,91
5,13
3,94
1,93
18,90
0,23
0,17
0,12
0,06
0,14
2
8,09
5,32
3,83
1,55
18,78
0,22
0,16
0,13
0,05
0,14
3
7,91
6,46
3,66
2,18
20,20
0,24
0,20
0,11
0,07
0,16
Rataan
7,97
5,63
3,81
1,88
19,29
0,23
0,18
0,12
0,06
0,15
1
2,51
1,29
0,83
0,41
5,04
0,07
0,04
0,03
0,01
0,04
2
2,72
1,31
0,54
0,31
4,87
0,07
0,04
0,02
0,01
0,04
3
3,57
1,01
0,79
0,39
5,75
0,11
0,03
0,02
0,01
0,04
Rataan
2,93
1,20
0,72
0,37
5,22
0,09
0,04
0,02
0,01
0,04
1
5,31
2,87
1,87
1,10
11,15
0,15
0,09
0,06
0,03
0,08
2
5,55
3,36
1,66
1,22
11,78
0,15
0,10
0,06
0,04
0,09
3
5,17
3,47
1,83
0,98
11,45
0,16
0,11
0,06
0,03
0,09
Rataan
5,34
3,23
1,79
1,10
11,46
0,15
0,10
0,06
0,03
0,09
Erosi pada petak pembanding (ton/ha)
Ulangan
1
Jan
34,93
Feb
30,86
Mar
32,58
Apr
32,28
Jumlah
130,65
2
36,51
33,02
29,23
32,53
131,29
3
32,63
32,44
32,85
31,54
129,46
34,69
32,11
31,55
32,12
130,47
Rataan
Lampiran 16. Data jumlah aliran permukaan masing-masing perlakuan
Perlakuan
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Aliran permukaan (m3/ha)
Ulangan
Aliran Permukaan
Jan
Feb
Mar
Apr
Jumlah
(mm)
1
623,4
656,7
621,6
563,2
2464,90
246,49
2
650,9
636,3
616,7
627,8
2531,70
253,17
3
646,7
655,9
684,7
616,5
2603,80
260,38
Rataan
640,3
649,6
641,0
602,5
2533,47
253,35
1
500,0
478,6
489,4
508,2
1976,20
197,62
2
458,6
489,5
546,8
461,6
1956,50
195,65
3
457,6
516,5
466,3
503,7
1944,10
194,41
Rataan
472,1
494,9
500,8
491,2
1958,9
195,89
1
214,5
201,1
252,6
254,4
922,60
92,26
2
259,1
218,4
202,3
231,6
911,40
91,14
3
268,6
213,5
222,1
244,1
948,30
94,83
Rataan
247,4
211,0
225,7
243,4
927,4
92,74
1
317,5
317,8
325,7
348,8
1309,80
130,98
2
302,0
323
337,9
333,4
1296,30
129,63
3
322,5
335,7
315,7
342,8
1316,70
131,67
Rataan
314,0
325,5
326,4
341,7
1307,60
130,76
1
501,6
495,1
503,4
523,2
2023,30
202,33
2
530,4
472,9
503,1
538,3
2044,70
204,47
3
509,4
497,9
515,4
516,4
2039,10
203,91
Rataan
513,8
488,6
507,3
525,9
2035,70
203,57
1
356,3
327,1
357,8
377,6
1418,80
141,88
2
363,9
372,8
383,8
361,8
1482,30
148,23
3
346,3
338,2
366,5
354,8
1405,80
140,58
Rataan
355,5
346,0
369,4
364,7
1435,63
143,56
1
146,3
151,6
163,2
146,4
607,50
60,75
2
138,4
142,2
141,5
152,3
574,40
57,44
3
152,9
154,3
161,8
155,4
624,40
62,44
Rataan
145,9
149,4
155,5
151,4
602,10
60,21
1
222,3
252,9
232,7
243
950,90
95,09
2
225,1
234,8
226,2
238,6
924,70
92,47
3
246,7
238,2
253,4
239,3
977,60
97,76
Rataan
231,4
241,9
237,4
240,3
951,07
95,11
Lampiran 17. Data kehilangan hara C-Organik, N, P, dan K yang terbawa erosi
Perlakuan
Ulangan
1
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
C-Organik dan Hara yang Terbawa Erosi
(kg/ha)
C-organik
N Total
K2O
P2O5
2944,25
336,32
50,54
31,76
2
2583,73
385,43
58,67
30,23
3
2505,19
305,88
53,46
31,93
Rataan
2677,72
342,54
54,19
31,31
1
1956,77
253,22
25,88
15,31
2
2039,24
2978,75
21,38
14,76
3
1926,45
209,34
29,66
14,73
Rataan
1974,15
253,77
25,64
14,93
1
1076,09
98,65
13,72
7,33
2
1048,36
75,31
18,56
7,45
3
1126,71
66,99
11,32
8,21
Rataan
1083,72
80,32
14,53
7,66
1
1579,67
157,84
16,65
12,56
2
1843,56
128,41
17,32
11,54
3
1444,81
183,28
15,91
11,89
Rataan
1622,68
156,51
16,63
12,00
1
999,85
211,01
34,45
15,22
2
886,34
237,65
37,55
14,78
3
1023,71
240,90
31,19
14,54
Rataan
969,97
229,85
34,40
14,85
1
557,93
185,95
18,95
8,56
2
447,32
170,00
18,74
7,32
3
356,99
170,77
17,60
7,21
Rataan
464,08
175,57
18,43
7,70
1
227,56
46,51
9,36
3,32
2
223,76
40,58
9,11
3,76
3
222,41
45,23
9,56
3,44
Rataan
224,58
44,11
9,34
3,51
1
423,69
126,78
9,64
5,90
2
393,2
128,54
11,40
5,37
3
264,75
120,81
12,22
5,76
Rataan
360,55
125,38
11,09
5,68
Lampiran 18. Hasil sidik ragam erosi dan aliran permukaan dari perlakuan
teknik konservasi tanah
1.
Sidik ragam erosi
Variabel tak bebas: Erosi
Jumlah
Derajat
Kuadrat
Bebas
(JK)
(db)
Corrected Model
33022,467(a)
9
Intercept
32009,050
1
Perlakuan
33021,945
7
Kelompok
,522
2
Error
10,185
14
Total
65041,702
24
Corrected Total
33032,652
23
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999)
Sumber
Keragaman
Kuadrat
Tengah
(KT)
3669,163
32009,050
4717,421
,261
,728
F
Sig.
5043,346
43997,146
6484,199
,358
,000
,000
,000
,705
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: Erosi
Pengaruh teknik konservasi
terhadap erosi
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Rataan umum
109,080
28,743
10,663
18,437
89,263
19,293
5,220
11,460
Std.
Error
,492
,492
,492
,492
,492
,492
,492
,492
selang kepercayaan95%
Batas bawah
Batas atas
108,024
110,136
27,687
29,800
9,607
11,720
17,380
19,493
88,207
90,320
18,237
20,350
4,164
6,276
10,404
12,516
Uji Tukey/HSD
Pengaruh teknik
Subset
N
konservasi terhadap
1
2
3
4
erosi
TK7
3
5,2200
TK3
3
10,6633
TK8
3
11,4600
TK4
3
18,4367
TK6
3
19,2933
TK2
3
28,7433
TK5
3
TK1
3
Sig.
1,000
,935
,909
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,728.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
5
6
89,2633
1,000
109,0800
1,000
Lampiran 18. Lanjutan
2.
Sidik ragam aliran permukaan
Variabel tak bebas: Aliran permukaan
Jumlah
Derajat
Kuadrat
Bebas
(JK)
(db)
Corrected Model
91058,290(a)
9
Intercept
517904,764
1
Perlakuan
91035,034
7
Blok
23,256
2
Error
150,714
14
Total
609113,769
24
Corrected Total
91209,005
23
a R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,997)
Sumber
Keragaman
Kuadrat
Tengah
(KT)
10117,588
517904,764
13005,005
11,628
10,765
F
Sig.
939,833
48108,684
1208,048
1,080
,000
,000
,000
,366
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: Aliran permukaan
Pengaruh teknik konservasi terhadap
aliran permukaan
Rataan
umum
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
253,347
195,893
92,743
130,760
203,570
143,563
60,210
95,107
Selang kepercayaan 95%
Std.
Error
1,894
1,894
1,894
1,894
1,894
1,894
1,894
1,894
Batas bawah
249,284
191,830
88,680
126,697
199,507
139,500
56,147
91,044
Batas atas
257,410
199,956
96,806
134,823
207,633
147,626
64,273
99,170
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
N
konservasi terhadap
1
2
aliran permukaan
TK7
3
60,2100
TK3
3
92,7433
TK8
3
95,1067
TK4
3
TK6
3
TK2
3
TK5
3
TK1
3
Sig.
1,000
,983
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 10,765.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Subset
3
4
5
6
130,7600
143,5633
195,8933
203,5700
1,000
1,000
,154
253,3467
1,000
Lampiran 19. Hasil sidik ragam kehilangan C-Organik dan unsur hara tanah dari
perlakuan teknik konservasi tanah
1.
Hasil Analisis Sidik Ragam C-Organik
Variabel tak bebas: C-Organik tanah
Derajat
Bebas
(db)
Corrected Model
15711436,019(a)
9
Intercept
32976189,745
1
Perlakuan
15658781,894
7
Blok
52654,125
2
Error
194701,908
14
Total
48882327,672
24
Corrected Total
15906137,928
23
a R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,980)
Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
1745715,113
32976189,745
2236968,842
26327,062
13907,279
F
Sig.
125,525
2371,146
160,849
1,893
,000
,000
,000
,187
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: C-Organik tanah
Pengaruh teknik konservasi
terhadap kehilangan COrganik
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Rataan
umum
2677,723
1622,680
360,547
969,967
1974,153
1083,720
224,577
464,080
Selang kepercayaan 95%
Std. Error
68,086
68,086
68,086
68,086
68,086
68,086
68,086
68,086
Batas bawah
Batas atas
2531,692
1476,649
214,516
823,936
1828,122
937,689
78,546
318,049
2823,754
1768,711
506,578
1115,998
2120,184
1229,751
370,608
610,111
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
N
konservasi terhadap
1
2
kehilangan C-Organik
TK7
3
224,5767
TK3
3
360,5467
TK8
3
464,0800
TK4
3
969,9667
TK6
3
1083,7200
TK2
3
TK5
3
TK1
3
Sig.
,275
,925
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 13907,279.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Subset
3
4
5
1622,6800
1974,1533
1,000
1,000
2677,7233
1,000
Lampiran 19. Lanjutan
2. Hasil Analisis Sidik Ragam N-Total
Dependent Variable: N-Total
Derajat
Bebas
(db)
Corrected Model
199471,740(a)
9
Intercept
743476,801
1
Perlakuan
198536,855
7
Blok
934,885
2
Error
9083,632
14
Total
952032,173
24
Corrected Total
208555,372
23
a R Squared = ,956 (Adjusted R Squared = ,928)
Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
22163,527
743476,801
28362,408
467,442
648,831
F
Sig.
34,159
1145,872
43,713
,720
,000
,000
,000
,504
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: N-Total
Pengaruh teknik konservasi
terhadap kehilangan N-Total
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Rataan
umum
342,543
229,853
80,317
156,510
253,770
175,573
44,107
125,377
Confidence Interval 95%
Std. Error
Lower Bound
14,706
14,706
14,706
14,706
14,706
14,706
14,706
14,706
311,001
198,311
48,775
124,968
222,228
144,031
12,565
93,835
Upper Bound
374,085
261,395
111,859
188,052
285,312
207,115
75,649
156,919
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
konservasi terhadap
1
2
kehilangan N-Total
N
TK7
3
44,1067
TK3
3
80,3167
80,3167
TK8
3
125,3767
TK4
3
TK6
3
TK2
3
TK5
3
TK1
3
Sig.
,664
,423
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 648,831.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Subset
3
4
125,3767
156,5100
175,5733
,306
5
156,5100
175,5733
229,8533
,050
6
229,8533
253,7700
,934
342,5433
1,000
Lampiran 19. Lanjutan
3.
Hasil Analisis Sidik Ragam P2O5
Variabel tak bebas: P2O5
Derajat
Bebas
(db)
Corrected Model
1619,261(a)
9
Intercept
3647,707
1
Perlakuan
1618,912
7
Blok
,349
2
Error
6,113
14
Total
5273,081
24
Corrected Total
1625,374
23
a R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,994)
Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
179,918
3647,707
231,273
,174
,437
F
Sig.
412,032
8353,653
529,641
,400
,000
,000
,000
,678
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: P2O5
Pengaruh teknik
konservasi terhadap
kehilangan P2O5
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Selang kepercayaan 95%
Rataan umum
Std. Error
31,307
14,847
5,677
8,030
15,600
11,997
3,507
7,663
Batas bawah
,382
,382
,382
,382
,382
,382
,382
,382
30,488
14,028
4,858
7,212
14,782
11,178
2,688
6,845
Batas atas
32,125
15,665
6,495
8,848
16,418
12,815
4,325
8,482
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
konservasi terhadap
N
1
2
kehilangan P2O5
TK7
3
3,5067
TK3
3
5,6767
TK8
3
TK4
3
TK6
3
TK2
3
TK5
3
TK1
3
Sig.
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,437.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
Subset
3
4
5
6
7,6633
8,0300
11,9967
14,8467
15,6000
,996
1,000
,845
31,3067
1,000
Lampiran 19. Lanjutan
4.
Hasil Analisis Sidik Ragam K2O
Dependent Variable: K2O
Derajat
Bebas
(db)
Corrected Model
4728,162(a)
9
Intercept
12730,523
1
Perlakuan
4714,472
7
Blok
13,690
2
Error
108,324
14
Total
17567,009
24
Corrected Total
4836,486
23
a R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,963)
Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
525,351
12730,523
673,496
6,845
7,737
F
Sig.
67,898
1645,321
87,044
,885
,000
,000
,000
,435
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Dependent Variable: K2O
Pengaruh teknik konservasi
terhadap kehilangan K2O
TK1
TK2
TK3
TK4
TK5
TK6
TK7
TK8
Rataan
umum
54,193
25,640
11,087
16,627
34,397
18,430
9,343
14,533
Std. Error
1,606
1,606
1,606
1,606
1,606
1,606
1,606
1,606
selang kepercayaan 95%
Batas bawah
Batas atas
50,749
22,196
7,642
13,182
30,952
14,986
5,899
11,089
57,638
29,084
14,531
20,071
37,841
21,874
12,788
17,978
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
Subset
konservasi terhadap
N
1
2
3
kehilangan K2O
TK7
3
9,3433
TK3
3
11,0867
11,0867
TK8
3
14,5333
14,5333
TK4
3
16,6267
16,6267
TK6
3
18,4300
18,4300
TK2
3
25,6400
TK5
3
TK1
3
Sig.
,088
,084
,092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 7,737.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Alpha = ,05.
4
5
34,3967
1,000
54,1933
1,000
Lampiran 20. Hasil sidik ragam biaya dan pendapatan usahatani dari perlakuan
teknik konservasi tanah
1.
Hasil Analisis Sidik Ragam Biaya Usahatani
Variabel tak bebas: Biaya usahatani
Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
(JK)
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Blok
Error
261797728427787,340
12909188280036436,000
261670510370562,400
127218057225,078
3684709800962,250
Derajat
Bebas
(db)
9
1
7
2
14
Total
13174670718265192,000
24
265482438228749,600
23
Corrected Total
a
Kuadrat Tengah
(KT)
F
29088636491976,370
12909188280036436,000
37381501481508,914
63609028612,539
263193557211,589
Sig.
110,522
49048,269
142,030
,242
,000
,000
,000
,789
a. R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,977)
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: Biaya usahatani
Pengaruh teknik konservasi
Rataan umum
terhadap biaya usahatani
TK1
19078641,000
TK2
20278213,667
TK3
27132987,000
TK4
25445341,000
TK5
19766187,000
TK6
20766187,000
TK7
27318667,667
TK8
25752187,000
Std. Error
296194,507
296194,507
296194,507
296194,507
296194,507
296194,507
296194,507
296194,507
Selang kepercayaan 95%
Batas bawah
Batas atas
18443366,965
19713915,035
19642939,632
20913487,701
26497712,965
27768261,035
24810066,965
26080615,035
19130912,965
20401461,035
20130912,965
21401461,035
26683393,632
27953941,701
25116912,965
26387461,035
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik
konservasi terhadap
biaya usahatani
TK1
Subset
N
1
2
3
4
5
3
19078641,0000
TK5
3
19766187,0000 19766187,0000
TK2
3
20278213,6667 20278213,6667
TK6
3
20766187,0000
TK4
3
25445341,0000
TK8
3
25752187,0000 25752187,0000
TK3
3
TK7
3
Sig.
27132987,0000 27132987,0000
27318667,6667
,155
,317
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 263193557211,589.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = ,05.
,994
,075
1,000
Lampiran 20. Lanjutan
2.
Hasil Analisis Sidik Ragam Pendapatan Usahatani
Variabel tak bebas: Pendapatan usahatani
Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Blok
Error
23268492169697456,000
267872461880403520,000
23266338707839548,000
2153461857891,710
149735461334962,280
Derajat
Bebas
(db)
9
1
7
2
14
Total
291290689511436290,000
24
23418227631032420,000
23
Sumber
Keragaman
Corrected Total
Jumlah Kuadrat
(JK)
a
Kuadrat Tengah
(KT)
F
Sig.
2585388018855273,000
241,729
267872461880403520,000 25045,600
3323762672548507,000
310,766
1076730928945,855
,101
10695390095354,450
,000
,000
,000
,905
a. R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,989)
Perkiraan Rata-rata Marjinal
Variabel tak bebas: Pendapatan usahatani
Pengaruh teknik
konservasi terhadap
Rataan umum
pendapatan usahatani
TK1
50052025,667
TK2
118041786,333
TK3
122707013,000
TK4
119615992,333
TK5
54076479,667
TK6
124773313,000
TK7
129392665,667
TK8
126519146,333
Selang kepercayaan 95%
Std. Error
1888155,193
1888155,193
1888155,193
1888155,193
1888155,193
1888155,193
1888155,193
1888155,193
Batas bawah
Batas atas
46002335,545
113992096,211
118657322,878
115566302,211
50026789,545
120723622,878
125342975,545
122469456,211
54101715,789
122091476,455
126756703,122
123665682,455
58126169,789
128823003,122
133442355,789
130568836,455
Uji Tukey/ HSD
Pengaruh teknik konservasi
terhadap pendapatan
usahatani
TK1
Subset
N
1
2
3
3 50052025,6667
TK5
3 54076479,6667
TK2
3
118041786,3333
TK4
3
119615992,3333
TK3
3
122707013,0000
122707013,0000
TK6
3
124773313,0000
124773313,0000
TK8
3
126519146,3333
126519146,3333
TK7
3
Sig.
129392665,6667
,792
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 10695390095354,450.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = ,05.
,092
,269
Lampiran 21. Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan
Structural Self Interaction Matrix (SSIM)
No
Variabel
7
6
5
4
3
2
1
Peningkatan produktivitas tanaman
V
A
A
O
A
V
2
Peningkatan peluang kerja dan usaha
V
A
A
A
A
3
Penurunan laju erosi dan sedimentasi
V
X
X
V
4
Peningkatan pendapatan usahatani
V
A
A
5
Pelestarian SD lahan dan lingkungan
V
X
6
Peningkatan partisipasi petani dalam upaya KTA
V
7
Peningkatan pendapatan daerah
1
Reachibility Matrix
No
Variabel
1
2 3 4 5 6
7
1 0 0
0 0
Driver Rank
Power
2
1
Peningkatan produktivitas tanaman
1
1
3
2
Peningkatan peluang kerja dan usaha
0 1 0 0 0 0 1
2
3
3
Penurunan laju erosi dan sedimentasi
1 1 1 1 1 1 1
7
1
4
Peningkatan pendapatan usahatani
0 1 0 1 0 0 1
3
2
5
Pelestarian SD lahan dan lingkungan
1 1 1 1 1 1 1
7
1
6
Peningkatan partisipasi petani dalam upaya KTA
1 1 1 1 1 1 1
7
1
7
Peningkatan pendapatan daerah
0 0 0 0 0 0 1
1
4
Dependent
5 6 3 4 3 3 7
Rank
3 2 5 4 5 5 1
Canonical Matrix untuk menentukan level melalui iterasi.
Iterasi 1
Variables
Reachibility
Antecedent
1
1, 2, 7
1, 3, 5, 6
2
2, 7
1, 2, 3, 4, 5, 6
3
2,3,4,5,6,7
3,5,6
4
2, 4, 7
3, 4, 5, 6
5
2,3,4,5,6,7
3,5,6
6
2,3,4,5,6,7
3,5,6
7
7
1, 2, 3, 4, 5, 6,
Intersection
1
2
Level
2
3,5,6
4
3
3,5,6
7
I
Iterasi 2
Variables
Reachibility
Antecedent
1
1, 2
1, 3, 5, 6
2
2
1, 2, 3, 4, 5, 6
3
2,3,4,5,6
3,5,6
4
2, 4
3, 4, 5, 6
5
2,3,4,5,6
3,5,6
6
2,3,4,5,6
3,5,6
Intersection
1
2
Level
2
II
3,5,6
4
3
3,5,6
3,5,6
Iterasi 3
Variables
Reachibility
Antecedent
1
1
1, 3, 5, 6
3
3,4,5,6
3,5,6
4
4
3, 4, 5, 6
5
3,4,5,6
3,5,6
6
3,4,5,6
3,5,6
Intersection
1
Level
III
3,5,6
4
3
III
3,5,6
3,5,6
Iterasi 4
Variables
Reachibility
Antecedent
3
3,4,5,6
3,5,6
Intersection
3,5,6
5
3,4,5,6
3,5,6
3
6
3,4,5,6
3,5,6
Level
IV
3,5,6
IV
3,5,6
IV
RIWAYAT HIDUP
Wa Ode Muliastuty Arsyad (penulis) dilahirkan pada tanggal 28 Oktober
1978 di Kota Raha, Sulawesi Tenggara, merupakan anak pertama dari empat
bersaudara pasangan Bapak La Ode Muhammad Arsyad Teno (Alm.) dan Ibu Hj.
Wa Ode Maluhadina Hibi. Penulis menikah pada tahun 2004 dengan Andi
Muhammad Kadhafi, S.Hut. M.Hut dan dikaruniai 3 (tiga) orang putri bernama
Andi Fayza Maharani, Andi Aisha Fahira, dan Andi Raisa Putri Almaira.
Penulis menempuh pendidikan SD sampai SMA di Kota Kendari Sulawesi
Tenggara. Pada tahun 1996 penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan
Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan
lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan studi Magister S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, dan lulus tahun 2003. Tahun 2010
penulis melanjutkan studi Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan sponsor BPPS DIKTI.
Pada awal Tahun 2016 penulis pindah sebagai mahasiswa transfer pada Program
Studi Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Penulis bekerja sebagai Dosen di Jurusan Agroteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Halu Oleo sejak tahun 2000 hingga sekarang. Mata kuliah
yang diasuh antara lain : Hidrologi, Konservasi Tanah dan Air, Irigasi dan
Drainase, Pengelolaan Daerah aliran Sungai.
Beberapa artikel yang merupakan bagian dari disertasi ini terlah terbit pada
jurnal nasional dan internasional yaitu : 1) Artikel yang berjudul “Teknik
Pengelolaan Usahatani Tanaman Cabai (Capsicum annuum) Berkelanjutan di
Dataran Tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut” telah terbit di Jurnal
Manusia dan Lingkungan, Vol. 23, No. 1 (2016): 66-75, p-ISSN:0854-5510; eISSN:2460-5727; 2) Artikel yang berjudul “An Analysis of Soil Erosion, Value of
Crop Management and Conservation Practice Factor of Red Pepper Crop Under
Different Ridge Types” telah diterbitkan oleh Jurnal of Environment and Earth
Science Vol. 5 No.20 (2015), ISSN 2224-3216 (Paper), ISSN 2225-0948
(Online).
Download