MODEL PENGELOLAAN USAHATANI CABAI (Capsicum annuum) BERKELANJUTAN PADA LAHAN DATARAN TINGGI DISERTASI OLEH WA ODE MULIASTUTY ARSYAD NIM. G3 IP 15 020 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 MODEL PENGELOLAAN USAHATANI CABAI (Capsicum annuum) BERKELANJUTAN PADA LAHAN DATARAN TINGGI DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo OLEH : WA ODE MULIASTUTY ARSYAD NIM. G3 IP 15 020 PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Wa Ode Muliastuty Arsyad NIM : G3 IP 15 020 Program Studi : Ilmu Pertanian Program Pendididkan : Pascasarjana Program : Doktor Universitas : Halu Oleo Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Disertasi yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Disertasi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kendari, Juli 2016 Yang membuat pernyataan, Wa Ode Muliastuty Arsyad ABSTRAK WA ODE MULIASTUTY ARSYAD. Model Pengelolaan Usahatani Cabai (Capsicum annuum) Berkelanjutan pada Lahan Dataran Tinggi. Dibimbing oleh USMAN RIANSE, WEKA WIDAYATI dan LA ODE SANTIAJI BANDE. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui besar erosi, (2) menganalisis pendapatan usahatani dan kontribusi pendapatan menganalisis kontribusi pendapatan usahatani terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani, (3) mengkaji alternatif teknik konservasi tanah dan air (KTA) dan (4) merancang model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan di lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Erosi dianalisis menggunakan persamaan USLE. Pendapatan usahatani menggunakan analisis anggaran arus uang tunai. KHL petani dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga petani, didekati dari kebutuhan fisik minimal ditambah kebutuhan hidup tambahan. Teknik konservasi tanah diuji pada percobaan petak erosi berukuran 3 x 20 meter dan dibuat pada kemiringan lereng 40 %. Penelitian menggunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan sebagai kelompok. Penyusunan model dilakukan dengan pendekatan sistem menggunakan Analytical Hierarchy Process dan Interpretative Structural Modelling. Metode ini dapat memperkuat hasil penelitian eksperimen dengan sistem yang lebih kompleks. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Criterium Decision Plus dan ISM-Firman untuk penyelesaian masalah sistem tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin curam kemiringan lereng maka erosi semakin besar melebihi batas ETol dan kontribusi pendapatan usahatani terhadap KHL petani semakin rendah. Pola tanam cabai monokultur mempunyai erosi yang lebih besar dan kontribusi pendapatan terhadap KHL lebih kecil daripada tumpangsari. Teknik konservasi guludan memotong lereng dengan berbagai penyempurnaan dapat diterapkan pada lahan dataran tinggi karena mampu menurunkan erosi ≤ ETol (34,21 ton/ha/th), menurunkan jumlah Corganik dan unsur hara yang terbawa erosi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan meningkatkan pendapatan usahatani ≥ KHL (Rp. 23.920.000 kk/th), sehingga keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dapat tercapai. Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari terpilih dengan pertimbangan elemen kriteria biaya terjangkau menempati prioritas utama dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian kemudahan pembuatan dan perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di bawah ETol (nilai eigen 0,282 atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai eigen 0,276 atau 27,6%), produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%), dan pengurangan luas lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%). Penerapannya perlu didukung dengan subsistem kelembagaan agar tercipta hubungan sinergis atara elemen terkait kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelayanan pendukung. Kata kunci: cabai, erosi, konservasi tanah dan air, model, usahatani berkelanjutan ABSTRACT WA ODE MULIASTUTY ARSYAD. Management Model of Sustainable Red Pepper (Capsicum annuum) Farming System in Upland. Supervised by USMAN RIANSE, WEKA WIDAYATI and LA ODE SANTIAJI BANDE. The purposes of this study were (1) to gain knowledge about the extension of erosion, (2) to analyze farm income and the contribution of farm income to the farmers need of decent living (NDL), (3) to study alternative technique of soil and water conservation, and (4) to design a model management of sustainable red pepper farming in the highlands of the District Cikajang, Garut regency. Erosion was analyzed by USLE equations. Farm income was analyzed by using cash flow budget analysis. NDL was calculated based on amount of family member in one family farmer, which was approached by minimum physical necessities added by additional life necessities. Soil conservation technique were tested in erosion experimental plots with 3 x 20 meters size made at the 40 % slope. Randomized block design that was used with eight treatments and three replications as a group. Modeling performed with systems approach, using Analytical Hierarchy Process and Interpretative Structural Modelling. This method can reinforce the results of experiments with more complex systems. Simulation models conducted by using the Criterium Decision Plus dan ISM-Firman to resolve the problem of system The research result shows that as the slope is getting steeper, the erosion is getting higher and exceeded the TSL and the contribution of farm income to the farmers NDL is getting lower. Monoculture red pepper cropping patterns have a greater erosion and the contribution of farm income to the farmers NDL is smaller than the intercropping. Conservation technique ridges cut off the slopes with various improvements can be applied to the upland area because it is capable to decrease the erosion less than or equal to the TSL (34.21 ton.ha-1.yr-1), decrease the number of Corganic and nutrient carried by erosion so it can increase crop productivity, and increasing farming income more than or equal to the farmers NDL (Rp. 23,920,000 household-1.yr-1), and therefore the sustainability of the environment and the economy can be accomplished. Conservation farming model the ridges in the direction of the slope + the ridges in every 6.6 meters, intercropping patterns was selected with consideration of the criteria of affordable cost elements occupy top priority with eigen values 0.326 or 32.6%, then ease creation and maintenance (eigen values 0.317 or 31.7%), erosion under TSL (eigen values 0,282 or 28.2%), improved soil fertility (eigen values 0.276 or 27.6%), increased productivity (eigen values 0.267 or 26.7%), and reduction of land area (eigen values 0,225 or 22.5%). Its application should be supported by institutional subsystem in order to create a synergistic relationship between the elements related research activities, counseling, and support services. Keywords: erosion, model, red pepper, soil and water conservation, sustainable farming system KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah di panjatkan ke hadhirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian sampai tersusunnya penulisan disertasi dengan judul : “Model Pengelolaan Usahatani Cabai (Capsicum annuum) Berkelanjutan pada Lahan Dataran Tinggi”. Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terlaksana karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc, serta Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, sebagai anggota komisi pembimbing, yang dengan konsisten telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan disertasi, selama penulis menempuh studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Halu Oleo Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S. atas kemurahan hatinya yang telah memberikan kesempatan kedua kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, sekaligus bersedia menjadi Promotor penulis. Juga terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Weka Widayati, M.S dan Dr. La Ode Santiaji Bande, S.P., M.P atas kesediaannya menjadi ko-promotor penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim penilai dan penguji disertasi, yaitu penguji ekternal Dr. Jamhari, S.P., M.P., dan penguji internal Prof. Dr. Ir. H. La Ode Sabaruddin., M.Si., Dr. Ir. H. R. Marsuki Iswandi, M.Si., Dr. Ir. M. Tufaila Hemon, M.P., Dr. La Ode Afa., S.P., M.Si., dan Dr. Ir. Sitti Leomo, M.Si., yang telah banyak memberikan telaah kritis dan saran yang sangat baik untuk penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada : 1. Rektor Institut Pertanian Bogor, 2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 3. Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan SPs Institut Pertanian Bogor, 4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, 5. Ketua Program Studi Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo 6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, 7. Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 8. Staf Laboratorium Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian IPB, 9. Rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi PSL SPs IPB khususnya angkatan tahun 2010 dan 2011 atas dorongan dan motivasinya, 10. Rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Pertanian UHO angkatan tahun 2015, Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada ayahanda Drs. La Ode Muh. Arsyad Teno (alm) dan ibunda Dra. Hj. Wa Ode Maluhadina Hibi atas doa dan kasih sayangnya yang tidak pernah putus, adik-adik (La Ode Muh. Nurrakhmad, S.T., M.T., Dr. Wa Ode Sukmawati, S.Si., M.Si dan La Ode Muh Fitrah, S.E., M.Si.) atas dukungan semangat dan doanya, suamiku Andi Muhammad Kadhafi, S.Hut., M.Hut., atas dukungan doa, moril dan materi, serta ketiga anak-anakku (Andi Fayza Maharani, Andi Aisha Fahira dan Andi Raisa Putri Almaira) yang selalu menjadi penyemangatku. Semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyempurnaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Semoga segala budi baik, bantuan, perhatian, dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik sistematika, metode maupun pendekatan yang digunakan untuk analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya kritik dan saran sehingga disertasi ini dapat menjadi rujukan yang baik bagi penelitianpenelitian selanjutnya. DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM .......................................................................................... PENGESAHAN................................................................................................ PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................ ABSTRAK........................................................................................................ ABSTRACT ..................................................................................................... KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... BAB I. i ii iii iv v vi viii xi xiii xiv PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 6 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 9 1.5. Kebaruan (Novelty)................................................................... 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 10 2.1. Agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi .......................... 10 2.2. Usahatani Cabai Dataran Tinggi ............................................... 14 2.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan ............................................... 18 2.3.1. Perencanaan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuannya ............................................................... 20 2.3.2. Tindakan-Tindakan Khusus Konservasi Tanah dan Air . 26 2.3.3. Menyiapkan Tanah dalam Keadaan Olah yang Baik...... 31 2.3.4. Menggunakan Sistem Pergiliran Tanaman yang Tersusun Baik ................................................................. 2.3.5. Menyediakan Unsur Hara yang Cukup dan Seimbang ... 32 33 2.4. Pertanian Berkelanjutan ............................................................ 35 2.5. Sistem dan Pendekatan Sistem.................................................. 38 2.5.1. Analytical Hierarchy Process (AHP) .............................. 41 2.5.2. Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural ...................... 42 2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................. 44 Halaman BAB III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN................................................. 49 BAB IV. METODE PENELITIAN.................................................................. 53 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 53 4.2. Bahan dan Alat Penelitian......................................................... 53 4.3. Cakupan Kegiatan Penelitian .................................................... 55 4.4. Rancangan Penelitian ................................................................ 57 4.4.1. Analisis Prediksi Erosi .................................................... 57 4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani ....................................... 62 4.4.3. Analisis Kebutuhan Hidup Layak Petani ........................ 64 4.4.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air 66 4.4.5. Menyusun Model Pengelolaan Usahatani Cabai ............ 74 4.4.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi .......... 75 4.4.5.2. Menyusun Model kelembagaan Usahatani ...... 79 BAB V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ......................... 85 5.1. Keadaan Umum Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.......... 85 5.1.1. Letak Geografis dan Kependudukan............................... 85 5.1.2. Kondisi Iklim dan Curah Hujan ...................................... 87 5.1.3. Topografi......................................................................... 87 5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah ................................................. 87 5.1.5. Penggunaan Lahan .......................................................... 88 5.2. Karakteristik Petani Cabai......................................................... 89 5.2.1. Umur dan Pengalaman Petani Responden ...................... 90 5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden ........................... 91 5.2.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan................................ 92 5.2.4. Budidaya dan Pola Tanam Cabai .................................... 93 BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 102 6.1. Prediksi Erosi pada Lahan Usahatani Cabai ............................. 102 6.1.1. Faktor Erosivitas Hujan .................................................. 102 6.1.2. Faktor Erodibilitas Tanah................................................ 103 6.1.3. Faktor Lereng.................................................................. 105 6.1.4. Faktor Penutupan dan Pengelolaan Tanaman ................. 105 Halaman 6.1.5. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah..................... 106 6.1.6. Erosi yang di Toleransi ................................................... 106 6.1.7. Prediksi Erosi dan Indeks Bahaya Erosi ......................... 107 6.2. Pendapatan Usahatani dan Kontribusi Pendapatan Usahatani Terhadap Kebutuhan Hidup Layak Petani ................................ 109 6.2.1. Pendapatan Usahatani ..................................................... 109 6.2.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani Terhadap Kebutuhan Hidup Layak Petani ........................................................ 114 6.3. Keberlanjutan Usahatani Cabai dataran Tinggi ........................ 116 6.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air .......... 118 6.4.1. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Aliran Permukaan dan Erosi........................................... 120 6.4.2. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor Konservasi Tanah ........................................................... 122 6.4.3. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Kehilangan Unsur Hara .................................................. 125 6.4.4. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Pendapatan Usahatani..................................................... 128 6.5. Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi ............... 131 6.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi ......................... 131 6.5.2. Model Kelembagaan Usahatani Konservasi ................... 137 6.6. Implikasi Kebijakan .................................................................. 145 BAB VII.KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 148 7.1. Kesimpulan ............................................................................... 148 7.2. Saran.......................................................................................... 149 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 151 LAMPIRAN ..................................................................................................... 162 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 190 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Sifat fisik dan kimia beberapa tanah di dataran tinggi Jawa barat .......... 12 2. Pengaruh tanaman penutup tanah dan mulsa organik terhadap tingkat erosi tanah di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut........................... 30 Urutan beberapa sistem pergiliran tanaman menurut besar Pengaruhnya terhadap kerusakan tanah (urutan ke bawah menunjukkan makin besar Ancaman erosi) ............................................ 33 4. Parameter fisik-kimia tanah serta metode analisis yang digunakan........ 58 5. Kuesioner pair wise Comparison............................................................ 76 6. Penilaian pair wise Comparison ............................................................. 76 7. Rata-rata konsistensi acak (R1)............................................................... 79 8. Tujuan penelitian, jenis, metode pengumpulan, sumber dan teknik analisis data ............................................................................................. 83 9. Luas daerah menurut desa di Kecamatan Cikajang tahun 2013.............. 86 10. Penggunaan lahan di Kecamatan Cikajang ............................................. 89 11. Sebaran petani responden menurut umur dan pengalaman di Kecamatan Cikajang ............................................................................... 91 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan Cikajang ............................................................................... 91 Sebaran petani responden berdasarkan luas garapan cabai di Kecamatan Cikajang ............................................................................... 92 3. 12. 13. 14. Prediksi erosi, ETol dan IBE berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang ........................................... 107 15. Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan Cikajang berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ...................... 110 16. Rincian biaya usahatani pada tiga kelas kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang ............................................................................... 112 17. Luas lahan garapan petani saat ini, pendapatan usahatani dan kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ................... 115 18. Rata-rata nilai CP berdasarkan kelas kemiringan lereng ....................... 119 19. Pengaruh tindakan konservasi terhadap aliran permukaan dan erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut............................................... 120 Tabel Halaman 20. Nilai faktor CP pada masing-masing tindakan konservasi tanah dan air............................................................................................................. 122 21. Pengaruh tindakan konservasi terhadap kehilangan unsur hara tanah terbawa erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ........................ 126 22. Pengaruh tindakan konservasi terhadap produksi dan pendapatan usahatani di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut............................... 129 23. Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada AHP model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ..................................................................................... 134 24. Tampilan hasil pairwise setiap varibel.................................................... 135 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ............................................................... 52 2. Peta lokasi penelitian............................................................................... 56 3. Denah rancangan percobaan di lapangan ................................................ 74 4. Pembentukan Hierarki............................................................................. 75 5. Structural Self Interaction Matrics (SSIM) ............................................ 81 6. Reachability Matrics (RM) ..................................................................... 82 7. Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power) dan D (Dependence)....... 82 8. Peta topografi .......................................................................................... 88 9. Persiapan lahan dengan guludan searah lereng ....................................... 96 10. Penggunaan mulsa plastik hitam perak ................................................... 97 11. Grafik penggunaan pupuk berdasarkan kemiringan lereng pada pola tanam tumpangsari dan monokultur tanaman cabai di Kecamatan Cikajang .................................................................................................. 113 12. Grafik hubungan antara erosi, ETol, pendapatan usahatani, dan KHL petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng ................... 117 13. (a) Rata-rata erosi per bulan , (b) nilai faktor CP perbulan..................... 123 14. Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP .......... 124 15. Hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi...... 133 16. Grafik hasil analisis AHP........................................................................ 134 17. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen tujuan .......................................................................................... 138 18. Struktur hirarki sub elemen tujuan............................................................... 19. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen kendala........................................................................................ 140 20. Struktur hirarki sub elemen kendala ............................................................ 21. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen lembaga....................................................................................... 143 22. Struktur hirarki sub elemen lembaga ........................................................... 139 141 144 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Kode struktur tanah ................................................................................. 163 2. Kode permeabilitas profil tanah .............................................................. 163 3. Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) ..................................................... 163 4. Nilai faktor teknik konservasi tanah P dan CP........................................ 164 5. Klasifikasi indeks bahaya erosi (Hammer, 1981) ................................... 165 6. a. Curah hujan Kabupaten Garut tahun 2004 – 2013 .............................. 165 b. Hari hujan Kabupaten Garut tahun 2004 – 2013................................. 165 c. Curah hujan maksimum kabupaten garut tahun 2004 – 2013 ............. 166 7. Hasil perhitungan erosivitas hujan di Kabupaten Garut.......................... 166 8. Karakteristik tanah di daerah penelitian.................................................. 167 9. Hasil perhitungan nilai faktor erodibilitas tanah (K) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ...................................................................... 169 10. Hasil perhitungan prediksi erosi yang ditoleransi (ETol) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ................................................... 171 11. Hasil perhitungan prediksi erosi (A) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ..................................................................................... 173 12. Perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut tahun 2013 ................................................... 175 13. Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak kecil... 176 14. Curah hujan selama penelitian ................................................................ 177 15. Data jumlah erosi, erosi pada petak pembanding dan Nilai CP masing-masing perlakuan........................................................................ 178 16. Data jumlah aliran permukaan masing-masing perlakuan ..................... 179 17. Data kehilangan hara C-organik, N, P, dan K yang terbawa erosi.......... 180 18. Hasil sidik ragam limpasan permukaan dan erosi dari perlakuan teknik konservasi tanah ........................................................................... 181 19. Hasil sidik ragam kehilangan unsur hara tanah dari perlakuan teknik konservasi tanah ...................................................................................... 183 20. Hasil sidik ragam biaya dan pendapatan usahatani dari perlakuan teknik konservasi tanah ........................................................................... 187 21. Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan ...................................... 189 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterbatasan lahan pertanian, khususnya untuk komoditas-komoditas pangan, merupakan tantangan besar dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah konversi lahan pertanian menjadi non pertanian di lahan dataran rendah (Agus dkk., 2006). Selain itu peningkatan jumlah penduduk secara signifikan akan meningkatkan kebutuhan konsumsi komoditas pangan (Pasandaran, 2006). Perubahan pemanfaatan lahan pertanian menjadi non pertanian terjadi dengan massif di Pulau Jawa, sehingga lahan dataran tinggi menjadi pilihan penggunaan lahan untuk pertanian. Lombart (2000) dan Dariah (2007) mengemukakan bahwa sejak akhir abad ke 19 terjadi perkembangan pertanian lahan dataran tinggi khususnya di pulau Jawa dengan peningkatan mencapai lebih dari 350 persen. Pemanfaatan lahan pertanian di dataran tinggi memiliki kompleksitas pengelolaan yang lebih tinggi dan produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan pertanian di dataran rendah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Ciri umum kawasan ini adalah lahan dengan tingkat kemiringan lereng yang tergolong curam dan jenis tanah pada umumnya didominasi oleh tanah andisols. Tanah seperti ini umumnya mempunyai kesuburan tanah tergolong tinggi dan porositas yang baik, sehingga peresapan air ke dalam tanah dapat berjalan dengan baik (Subagyo dkk., 2000; Hardjowigeno, 2003). Akan tetapi, karena tekstur tanahnya didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang sangat mudah diangkut oleh aliran permukaan, maka begitu tanah jenuh dan terjadi aliran permukaan, tanah menjadi sangat mudah tererosi (Sanchez, 1992). Berdasarkan sifat-sifat bawaan lahan dataran tinggi seperti kemiringan lereng dan kepekaan tanah terhadap erosi serta curah hujan yang tinggi, maka peluang terjadinya erosi, terutama pada lahan yang digunakan untuk pertanaman sayuran tergolong tinggi (Hogarth dkk., 2004; Gangcai, 2005; Dariah, 2007). Praktek pengelolaan lahan yang diterapkan petani saat ini menyebabkan multifungsi (eksternalitas positif) usahatani sayuran, khususnya dalam pengendalian erosi dan banjir tidak optimal. Masalah degradasi lahan usaha dan leveling-off produksi sayuran umumnya terkait dengan fragmentasi lahan usaha, yaitu lahan usahatani keluarga yang sempit sehingga terjadi inefisiensi pengelolaan usahatani (Adiyoga dkk., 2000; Soetiarso dan Setiawati, 2010) dan sistem pengelolaan tanah yang tidak berwawasan konservasi fisik maupun kesuburan (Sinukaban, 2007; El Kateb dkk., 2013; Lihawa dkk., 2014). Berbagai hasil penelitian erosi di lahan usahatani sayuran dataran tinggi dengan kemiringan lereng di atas 15 % menunjukkan bahwa besaran erosi yang terjadi berkisar antara 87 – 652 ton/ha/th (Arsanti dan Boehme, 2006; Firmansyah, 2007; Zhou, 2008; Sutrisna dkk., 2010). Bila mengacu pada batas erosi yang ditoleransi sekitar 13,5 ton/ha/th (Thomson, 1957 dalam Arsyad, 2010), maka tingkat erosi yang terjadi pada lahan sayuran ini tergolong membahayakan (Shukle dan Lal, 2005; Sutono, 2008). Data kuantitatif dan karakteristik spasial penggunaan lahan dataran tinggi tersebut menunjukan bahwa kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan dataran tinggi sebagai lahan pertanian tanaman semusim menunjukan kecenderungan rendah ataupun tidak sesuai. Nilai harapan yang rendah tersebut dapat ditingkatkan menjadi berkelanjutan dengan peningkatan upaya dari sisi teknis, tenaga dan biaya oleh petani. Hipotesisnya adalah output pertanian di dataran tinggi akan mendekati output pertanian di dataran rendah, namun menjadi tidak efisien karena biaya, waktu dan tenaga kerja yang lebih banyak. Oleh karena itu, pemilihan komoditas unggulan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat menjadi pilihan bagi keberlanjutan pertanian di lahan dataran tinggi. Salah satu komoditas sayuran yang saat ini menjadi salah satu primadona petani, termasuk pada penggunaan lahan dataran tinggi di Jawa Barat adalah cabai. Cabai merupakan sayuran penting di dunia dan termasuk spesies pertama yang ditemukan telah digunakan manusia di seluruh dunia (Berke, 2005). Cabai dapat dikonsumsi dalam bentuk buah segar, kering atau bentuk olahannya dan memiliki berbagai manfaat. Cabai telah menjadi bagian penting dalam resep masakan, kaya akan vitamin C, A, dan B, kalium,fosfor dan kalsium (Boslan dan Votava, 2000), dan kandungan kimianya merupakan bagian penting dalam obat-obatan, pewarna makanan, dan kosmetika (Taychasinpitak dan Taywiya, 2003; IISR, 2006). Cabai beradaptasi dengan cepat dan diterima oleh bangsa Indonesia sehingga menjadi komoditas sayuran penting, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Konsumsi cabai selama periode tahun 2012 – 2014 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 konsumsi cabai rumah tangga sebesar 1,653 kg/kapita/th, pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebasar 1,660 kg/kapita/th atau naik sebesar 0,43% dan pada tahun 2014 juga mengalami peningkatan sebesar 1,680 kg/kapita/th atau naik 1,20% dibandingkan tahun sebelumnya (Respati dkk., 2014) . Selain untuk konsumsi rumah tangga, kebutuhan cabai untuk industri makanan dan kebutuhan ekspor juga terus meningkat, sementara itu produksi cabai dalam negeri mengalami penurunan. Secara nasional data statistik menunjukkan bahwa penambahan luas pertanaman cabai tidak linear dengan produktivitasnya. Tahun 2012 luas areal pertanaman cabai tercatat sebesar 242.366 ha, dengan rata-rata produktivitas 6,84 ton/ha, dan tahun 2013 luas areal pertanaman cabai meningkat menjadi 249.232 ha namun produktivitasnya menurun menjadi 6,63 ton/ha (BPS, 2014). Angka tersebut relatif rendah dibandingkan dengan potensi produktivitas cabai secara nasional yang mencapai 12 – 15 ton/ha (Soetiarso dan Setiawati, 2010). Kabupaten Garut yang menjadi salah satu kabupaten sentra produksi cabai di Jawa Barat mengalami penurunan produksi dari 56.195 ton dengan produktivitas 10,91 ton/ha pada tahun 2011, menjadi 54.624 ton dengan produktivitas 10,52 ton/ha pada tahun 2012 (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Faktor penyebab produksi cabai yang rendah tersebut antara lain produktivitas lahan yang rendah akibat erosi (Sumarni dkk., 2006), penguasaan teknologi budidaya cabai dan teknologi konservasi tanah yang rendah (Berke dkk., 2005; sinukkaban, 2007), dan serangan organisme pengganggu tanaman (Gunaeni dan Wulandari, 2010). Peningkatan permintaan komoditas cabai dihadapkan dengan permasalahan ketersediaan lahan, baik dari sisi luas lahan maupun dari sisi karakteristik lahannya tidak mendukung untuk peningkatan produktivitas tanaman cabai. Dalam jangka panjang, situasi ini akan semakin menekan produksi cabai dalam negeri sehingga impor cabai menjadi tinggi, peningkatan harga cabai dan keberadaan petani cabai lokal semakin terjepit. Peningkatan produktivitas cabai selain dengan penggunaan varietas unggul dan pengendalian hama penyakit, perlu didukung teknik budidaya dan teknik konservasi tanah yang tepat untuk mencapai hasil yang optimal (Sumarni dkk., 2006; Sinukaban, 2007; Suwandi, 2009). Oleh karena itu, perlu adanya rancangan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi secara berkelanjutan melalui pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani, sekaligus mengurangi erosi tanah melalui pemilihan dan penerapan teknologi konservasi spesifik lokasi secara partisipatif, sesuai dengan kondisi lingkungan setempat (Vos, 1994). Lingkungan yang dimaksud meliputi kondisi biofisik lahan (tanah, iklim, air dan organisme pengganggu tanaman) dan sosial ekonomi. Rancangan model pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi ini penting mengingat permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya lahan secara lestari sangat kompleks, bersifat multidisiplin dan multisektor, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial oleh satu sektor saja, melainkan dengan pendekatan sistem atau system approach (Eriyatno, 2003). Sistem produksi cabai mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara sub sistem hulu, usahatani, hilir, dan sub sistem pendukung. Demikan pula keberlanjutan sistem produksi cabai dipengaruhi oleh keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial, baik pada kondisi saat ini maupun masa yang akan datang. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Garut menjadi salah satu sentra produksi sayuran di Jawa Barat. Sebagian besar sayuran yang dibudidayakan oleh petani adalah sayuran dataran tinggi yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi dan merupakan sumber pendapatan utama petani. Salah satu sayuran yang teridentifikasi sebagai komoditas unggulan adalah cabai (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2013). Pada tahun 2011 produksi cabai sebesar 56.195 ton dengan luas areal tanam 5.149 ha. Pada tahun 2012 terjadi penurunan menjadi sebesar 54.624, walaupun luas areal tanamnya meningkat menjadi 5.191 ha (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Kecamatan Cikajang yang merupakan sentra produksi cabai di Kabupaten Garut juga mengalami penurunan produksi pada tahun 2011 sebesar 10.280 ton dengan produktivitas sebesar 14,77 ton/ha menjadi 9.396 ton dengan produktivitas 13,46 ton/ha (BPS Kabupaten Garut, 2013). Produktivitas tanaman cabai yang rendah diduga disebabkan oleh ketidaksesuaian agroteknologi dengan karakteristik lahan dan kebutuhan tanaman sehingga mempercepat proses erosi dan meningkatkan kehilangan lapisan atas tanah (topsoil) yang umumnya lebih subur dan pada gilirannya menurunkan produktivitas lahan (Sutapraja dan Asandhi,1998; Erfandi dkk., 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Suganda dkk., (1997) yang melaporkan bahwa kehilangan hara sangat tinggi akibat erosi sebesar 65,1 ton/ha pada pertanaman sayuran di lahan dataran tinggi Cipanas dengan guludan searah lereng yaitu 241 kg N /ha, 80 kg P2O5 /ha, 18 kg K2O /ha. Data erosi khusus pada lahan usahatani cabai dataran tinggi belum tersedia, namun indikasi terjadinya erosi pada lahan sayuran dataran tinggi dapat dilihat pada kandungan sedimen tanah yang tinggi dalam air sungai yang senantiasa keruh sepanjang tahun, seperti di Sungai Serayu, Citanduy, Citarum, dan lain-lain (Kurnia dkk., 2004; Dariah, 2007). Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa permasalahan utama usahatani cabai di dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut adalah : 1) Kerusakan tanah akibat erosi yang semakin meningkat, 2) produktivitas lahan yang semakin menurun, sehingga produksi tanaman juga semakin menurun, dan 3) usahatani yang semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Dengan memperhatikan berbagai permasalahan tersebut, maka pertanyaan utama penelitian adalah “Bagaimana Menentukan Model pengelolaan usahatani cabai yang berkelanjutan pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut ?”. Secara spesifik pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Berapa besar erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai dataran tinggi saat ini, 2. Berapa besar pendapatan petani cabai saat ini dan bagaimana kontribusinya terhadap kebutuhan hidup layak petani ? 3. Bagaimana teknik konservasi tanah dan air yang tepat untuk menekan laju erosi pada lahan dataran tinggi agar produksi cabai meningkat ? 4. Bagaimana menentukan model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi secara berkelanjutan di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Tujuan utama tersebut diharapkan dapat diwujudkan dengan mengkonstruksikan beberapa tujuan antara sebagai berikut : 1. Melakukan prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai 2. Menganalisis pendapatan usahatani dan menganalisis kontribusi pendapatan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi terhadap kebutuhan hidup layak petani. 3. Mengkaji alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan produksi tanaman cabai. 4. Menentukan model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi pemecahan masalah pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman cabai dan pendapatan petani. 1.5. Kebaruan (Novelty) Kebaruan atau Novelty penelitian ini adalah : 1. Membangun model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan dataran tinggi dengan mengintegrasikan tiga pilar atau dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) sesuai dengan konsep sistem pertanian konservasi (SPK) yang merupakan aplikasi paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan. Diharapkan dengan pengintegrasian ketiga aspek tersebut, maka akan dapat dirumuskan suatu model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan dataran tinggi yang dapat mengendalikan erosi hingga batas erosi yang dapat ditoleransi sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman cabai dan memberikan pendapatan petani yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak. 2. Menghasilkan nilai fakor pengelolaan tanaman dan nilai faktor pengelolaan tanah/konservasi tanah (nilai faktor CP) untuk tanaman cabai (Capsicum annuum) dengan berbagai teknik konservasi. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroekosistem Lahan Kering Dataran Tinggi Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Agroekosistem lahan kering terbagi kedalam beberapa kategori yaitu berdasarkan iklim dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Menurut Notohadiprawiro (1989), agroekosistem lahan kering berdasarkan iklim dibedakan menjadi (1) lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2000 mm/tahun dan (2) lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah 2000 mm/th. Berdasarkan ketinggian tempat agroekosistem lahan kering dibedakan menjadi (1) Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl dan (2) Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 – 700 meter dpl (Manuwoto, 1991). Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan (Abdurachman dan Sutono, 2002). Dari luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15-30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Puslittanak, 2001). Secara umum, lahan kering dataran tinggi di daerah tropika basah didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Andisol dan Entisol yang biasa dijumpai pada ketinggian di atas 1000 meter dpl serta Inceptisol pada ketinggian 700-1000 meter dpl. Sifat-sifat fisik tanah umumnya baik, yaitu struktur tanah remah/gembur (friable) sampai lepas (loose) dengan kedalaman tanah (solum) dalam, drainase baik dan porositas tinggi (Sanchez, 1992). Kesuburan tanah pada lahan kering dataran tinggi lebih baik dari pada jenis tanah mineral lainnya dan tergolong tinggi (Tabel 1). Hal tersebut karena tanahnya terbentuk dari bahan volkan dengan bahan organik dan kandungan fosfor tinggi, dan secara umum kapasitas tukar kation (KTK) tanah andisol biasanya tinggi ditandai dengan nilai Corganik yang tinggi (Kurnia dkk., 2000). Tabel 1. Sifat fisik dan kimia beberapa tanah di dataran tinggi Jawa Barat Sifat-sifat Tanah Hydric Dystrandeps Segunung Jabar Sifat Fisik Berat isi (g/cm3) 0,85 Porositas (%Vol) Pasir (%) 44,00 Debu (%) 37,00 Liat (%) 19,00 Sifat Kimia C-Organik (%) 5,72 N Total (%) 0,68 P2O5 (me/100g) 242,00 KTK (me/100g) Sumber : Kurnia dkk. (2000) Curah hujan Ultic Hapludands Batulawang Jabar Typic Melanudands Pengalengan Jabar 0,80 62,10 23,00 48,00 29,00 0,70 68,50 27,00 54,00 19,00 4,20 0,40 173,00 - 8,20 0,50 - dengan intensitas yang tinggi yang berkisar antara 2.000 – 4.000 mm/th pada lahan kering dataran tinggi (Balitklimat, 2003) ditambah dengan kemiringan lereng > 15% merupakan penyebab utama tingginya erosi dan penurunan produktivitas tanah pada daerah tersebut terlebih lagi pada umumnya budidaya tanaman yang dilakukan pada lahan berlereng sangat intensif tanpa melakukan pencegahan erosi (Hidayat dan Mulyani, 2002). Hasil penelitian Medina dkk. (2000) di beberapa daerah dataran tinggi di Indonesia menunjukkan jumlah tanah yang hilang atau erosi dari kegiatan budidaya tanaman kentang mencapai 828 ton/ha/th, sedangkan untuk kegiatan budidaya tanaman wortel sebesar 138 ton/ha/th. Hasil penelitian Arsanti dan Boehme (2006), di daerah sentra produksi sayuran Pengalengan (Jawa Barat), Kejajar Wonosobo (Jawa Tengah) dan Berastagi (Sumatera Utara) menunjukkan besaran erosi yaitu 347 - 652 ton/ha/th. Bila mengacu pada batas erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss) yang maksimal hanya sekitar 13,5 ton/ha/th (Thomson dalam Arsyad, 2010), maka tingkat erosi yang terjadi pada lahan sayuran ini sudah tergolong sangat tinggi atau membahayakan. Aktivitas budidaya tanaman semusim yang sangat intensif di lahan kering dataran tinggi tanpa adanya tindakan konservasi tanah berpengaruh tidak baik terhadap lahan pertanian, yaitu menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat terkikisnya tanah lapisan atas dan terjadinya pemadatan permukaan tanah yang dapat meningkatkan volume aliran permukaan akibat menurunnya laju infiltrasi (Erfandi dkk., 2002). Hasil penelitian Sutrisna dan Surdianto (2007), ada indikasi penurunan kesuburan tanah akibat erosi di lahan dataran tinggi Lembang, yaitu N sebesar 6,8% dari 3,98 menjadi 3,71%; P2O5 16,3 % dari 43 mg/100 g menjadi 36 mg/100 g; dan K2O 28,6% dari 35 me/100 g menjadi 25 me/100 g. KEPAS (1988) mengidentifikasi permasalahan di daerah lahan kering sebagai berikut: (1) Upaya pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa lampau terlalu dipusatkan pada padi sawah, sedangkan lahan kering (termasuk DAS bagian hulu) kurang mendapatkan perhatian sehingga tidak memperoleh keuntungan dari program-program pembangunan yang disponsori pemerintah. Satu-satunya program khusus untuk lahan kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Namun, program ini pun dihadapkan pada berbagai kesulitan yang antara lain disebabkan oleh relatif kurangnya perhatian, sehingga kondisi infrastruktur yang ada jauh lebih buruk daripada di daerah dataran rendah. (2) Di daerah lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan cukup tinggi, lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang berlangsung lama telah menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan mengurangi atau menghilangkan lapisan olah tanah. (3) Modal dan motivasi penduduk terbatas akibat rendahnya pendapatan dan produktivitas lahan. Selain itu, tipe penguasaan lahan berhubungan erat dengan sistem usahatani dan konservasi tanah di daerah lahan kering. Pemilikan lahan yang relatif sempit serta sistem sewa dan sakap ikut memberikan dampak negatif terhadap sistem usahatani berwawasan lingkungan. (4) Kegiatan penyuluhan dihadapkan pada kendala sosial budaya dan prasarana/sarana perhubungan sehingga penyuluhan relatif kurang. Keterampilan petani umumnya hanya bersifat kebiasaan yang diwariskan dan berorientasi subsisten, sedangkan program penyuluhan yang ada seperti penghijauan, perkebunan, dan kehutanan hanya berkaitan dengan aspek tertentu dan kurang menekankan pada partisipasi petani. 2.2. Usahatani Cabai (Capsicum annuum) Dataran Tinggi Sayuran dataran tinggi mempunyai peran strategis dan memperoleh prioritas pengembangan dalam pembangunan pertanian nasional terutama tanaman cabai, yang merupakan komoditas sayuran unggulan nasional. Permintaan cabai cenderung meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan berkembangnya industri makanan yang membutuhkan bahan baku cabai (BPPT, 2010). Secara umum dataran tinggi mempunyai iklim yang memenuhi persyaratan optimum untuk pengembangan berbagai komoditas sayuran termasuk cabai. Curah hujan yang diperlukan oleh tanaman cabai merah adalah 1500 – 2500 mm/th, suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 24 – 28 0C, dan pH optimum 6,0 – 6,5. Tanah yang paling sesuai untuk tanaman cabai merah adalah tanah yang berstruktur granuler/remah, dan bertekstur halus tidak terlalu liat, tidak terlalu poros serta kaya bahan organik (Puslittanak, 2003). Pada dasarnya cabai adaptif dengan kondisi agroklimat lahan dataran tinggi, namun dihadapkan pada kendala pembatas yaitu: lahan yang umumnya berlereng (> 15%), rendahnya produktivitas tanah akibat erosi (Erfandi dkk., 2002), penguasaan teknologi budidaya cabai yang rendah, penerapan teknologi konservasi tanah yang masih kurang, dan serangan organisme pengganggu tanaman (Semangun, 2000). Umumnya budidaya tanaman cabai dataran tinggi dilakukan secara intensif pada lahan berlereng (> 15%) dengan tanah yang didominasi oleh Andisol (Balai Penelitian Tanah, 2004), tanah seperti ini umumnya mempunyai porositas tinggi (Kurnia dkk., 2004), sehingga peresapan air ke dalam tanah dapat berjalan dengan baik. Namun demikian, karena tekstur tanahnya didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang sangat mudah diangkut oleh aliran permukaan, maka begitu tanah jenuh dan terjadi aliran permukaan, tanah menjadi sangat mudah tererosi (Agus dkk., 2006). Oleh karena itu, bila teknologi konservasi tanah yang diterapkan tidak cukup memadai, usahatani cabai menjadi sangat beresiko tinggi dipandang dari segi bahaya erosi, terutama pada kondisi curah hujan tinggi. Petani pada umumnya berusahatani cabai dengan membuat guludan atau bedengan (raised bed) selebar 70 - 120 cm, dan tinggi 20 – 30 cm serta panjang bervariasi mengikuti arah lereng. Guludan yang dibuat panjang searah lereng bertujuan untuk menciptakan kondisi aerasi atau drainase dan kelembaban tanah tetap baik. Menurut Juarsah dkk. (2002) kondisi aerasi tanah yang jelek dapat membahayakan pertumbuhan tanaman sayuran. Namun parit atau saluran diantara guludan searah lereng akan mempercepat aliran permukaan dan menyebabkan tanahnya makin mudah tererosi. Kondisi ini akan mempercepat hilangnya tanah lapisan atas yang subur, sehingga akibat usahatani sayuran yang terus menerus pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan atau degradasi lahan (Kurnia dkk., 2004). Faktor lain yang diduga menjadi pembatas dalam peningkatan produktivitas cabai adalah kegagalan hasil yang disebabkan oleh penyakit tanaman sehingga menimbulkan kerugian mencapai 75% (Kusandriani dan Permadi, 1996). Tanaman cabai cukup rentan terhadap penyakit sejak dari bentuk benih sampai tanaman tersebut menghasilkan buah. Serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan tanaman mengalami kerusakan parah dan berakibat gagal panen. Beberapa hama utama cabai antara lain : kutu daun persik (Myzus persicae Sulz.), thrips (Thrips parivispinus Karny), tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks), hama lalat buah (Bactrocera dorsalis Hendel), dan hama ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera Hubner), sedangkan penyakit tanaman cabai antara lain : Antraknosa, busuk Phytophthora, layu Fusarium, bercak daun cercosfora, layu bakteri, virus kuning – bulai, dan penyakit mosaic (Vos dan Duriat, 1994; Semangun, 2000; Pernezny dkk., 2003). Dari beberapa hama dan penyakit tanaman cabai di atas, antraknosa merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia (Suryaningsih dkk., 1996). Pada umumnya penyakit antraknos dikendalikan dengan fungisida. Petani di Brebes dan Tegal sering menggunakan lebih dari 1 jenis fungisida pada dosis yang sangat tinggi dengan interval waktu penyemprotan 2 – 3 kali sehari (Gunawan, 2005). Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana telah menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan organisme bukan sasaran. Beberapa alternatif pengendalian hama dan penyakit tanaman cabai yang lebih murah dan ramah lingkungan antara lain : 1) penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat mengurangi masuknya kutu daun dan hama thrips dari luar pertanaman cabai (Vivrina dan Roka, 2000), 2) penggunaan mulsa jerami di musim kemarau akan meningkatkan populasi predator di dalam tanah yang pada akhirnya akan memangsa hama thrips yang akan berpupa di dalam tanah, 3) pengaturan pola tanam, misalnya tumpangsari, pola tumpang gilir dengan bawang merah, tanaman bawang dapat bersifat sebagai pengusir hama kutu daun dan menekan serangan hama thrips pada tanaman cabai muda, 4) secara biologis dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami. Penggunaan musuh alami yang menyerang hama ulat buah, antara lain parasitoid telur Trichogramma nana, parasitoid larva Diadegma argenteopilosa, dan cendawan Metharrhizium (Bosland dan Lindsey, 1991; Berke dkk., 2005). 2.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Permasalahan utama yang sering di hadapi dalam mengelola sumberdaya lahan/tanah bagi pembangunan berkelanjutan dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya lahan/tanah tersebut secara terencana dan efisien sesuai dengan kemampuannya sehingga lahan/tanah dapat digunakan secara berkesinambungan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kerusakan lingkungan yang disertai dengan kemunduran produktivitas lahan untuk usaha-usaha pertanian sering merupakan masalah yang serius karena dapat mengakibatkan kerugian pada petani serta menghambat usaha peningkatan produksi pertanian. Di Indonesia kerusakan tanah terutama disebabkan oleh hilangnya lapisan-lapisan atas tanah (topsoil) oleh kekuatan aliran permukaan air hujan. Kerusakan ini juga menyebabkan akibat-akibat lanjutan seperti banjir di musim hujan, pendangkalan saluran irigasi, dan kekeringan di musim kemarau. Bertambahnya jumlah penduduk dan sempitnya pemilikan lahan untuk kegiatan-kegiatan pertanian serta para petani yang relatif masih lemah ekonominya, berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi bahan pangan, dan merupakan salah satu masalah nasional yang kita hadapi dewasa ini. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas dapat dilakukan antara lain melalui perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas lahan, serta rehabilitasi lahan-lahan kritis dan yang tidak produktif yang kemudian juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah. Erosi merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan tanah. Tanah-tanah yang gundul dalam waktu singkat akan menjadi rusak dan tandus apabila tidak diteras, atau tidak ditanami dengan tanaman pelindung untuk pencegahan erosi, dan tidak diusahakan pergiliran tanaman yang tepat dengan memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah. Kesemuanya ini terjadi sebagai akibat dari penggunaan lahan yang tidak terencana, dan sistem pengelolaan lahan yang kurang baik, yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Permasalahan utama di berbagai lahan usahatani adalah pangkal pada faktor-faktor pembatas yaitu berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia setempat dan pertambahan penduduk yang cukup tinggi, serta kemunduran kualitas sumberdaya lahan sebagai akibat dari erosi yang berkelanjutan. Oleh sebab itu lahan sebagai salah satu faktor fisik lingkungan perlu dikelola dengan baik dan perlu ditempatkan sebagai bagian dari pengelolaan kualitas lingkungan untuk dapat melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan (Rustiadi, 2001). Menurut Sitorus (2004) pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar mempunyai dua tujuan yaitu : 1. Tujuan fisik : adalah tujuan yang dinyatakan atau diukur dalam satuansatuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain, yang dapat dinyatakan dalam satuan-satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh. 2. Tujuan ekonomis : dinyatakan atau diukur dalam terminologiterminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum Pada umumnya kedua tujuan di atas compatible artinya kedua tujuan itu sejalan atau dicapai secara bersama-sama. Akan tetapi bisa juga kedua tujuan tersebut tidak sejalan (incompatible), misalnya produksi beras tinggi, tetapi harga beras rendah sehingga tujuan ekonomis tidak tercapai meskipun tujuan fisik dapat tercapai. Sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur yaitu : 1) perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, 2) tindakan-tindakan konservasi tanah dan air, 3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, 4) menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan 5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman. Kelima unsur ini dalam sistem pengelolaan lahan/tanah harus dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling mengisi. 2.3.1. Perencanaan Penggunaan Lahan Sesuai dengan Kemampuannya Rencana penggunaan lahan haruslah disesuaikan atau tergantung dari kemampuan sumberaya lahan itu sendiri untuk dapat diusahakan bagi suatu penggunaan tertentu. Oleh karena itu terlebih dahulu haruslah diketahui potensi sumberdaya lahan itu sendiri untuk mendukung suatu kegiatan usahatani tertentu serta tindakan-tindakan yang diperlukan agar lahan tersebut dapat memberikan hasil yang baik secara berkesinambungan. Kemampuan sumberdaya lahan untuk dapat diusahakan tergantung dari banyak faktor, diantaranya yang penting adalah sifat-sifat lahan itu sendiri yang meliputi : (1) keadaan lereng atau topografi daerah, (2) kedalaman efektif tanah, (3) tekstur tanah, (4) tingkat kesuburan tanah, (5) permeabilitas tanah, (6) keadaan drainase. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponenkomponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. (Arsyad, 2010) Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang sering digunakan adalah sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebel dan Montgomery (1973). Menurut sistem ini lahan digolongkan ke dalam tiga kategori utama yaitu kelas, sub-kelas dan satuan kemampuan atau pengelolaan. Kelas Pengelompokkan di dalam kelas di dasarkan atas intensitas faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai unutk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput, hutan dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas I yang dipergunakan untuk penanaman tanaman pertanian memerlukan tindakan pengelolaan untuk memelihara produktivitas, berupa pemeliharaan kesuburan dan struktur tanah. Tindakan tersebut dapat berupa pemupukan dan pengapuran, penggunaan tanaman penutup tanah dan pupuk hijau, penggunaan sisa-sisa tanaman dan pupuk kandang, dan pergiliran tanaman. Di dalam peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas I biasanya diberi warna hijau. Tanah-tanah dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan pencegahan erosi, pengendalian air lebih atau metode pengolahan jika dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah. Hambatan pada kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam. Di dalam peta kelas kemempuan lahan, lahan kelas II biasanya diberi warna kuning. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Jika diusahakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian umumnya, pada tanah yang basah, berpemeabilitas rendah tetapi hampir datar di dalam kelas III memerlukan drainase dan pengelolaan tanah yang dapat memelihara atau memperbaiki struktur dan keadaan olah tanah. Untuk mencegah pelumpuran dan pemadatan dan memperbaiki permeabilitas umumnya diperlukan penambahan bahan organik dan tidak mengolah tanah sewaktu tanah masih basah. Pada tanah berlereng tindakan-tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi , seperti guludan bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pergiliran tanaman atau pembuatan teras atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Dalam peta kemampuan lahan, lahan kelas III biasanya diberi warna merah. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari lahan kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi tanah yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, di samping tindakan yang yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah dalam kelas IV dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas IV diberi warna biru. Tanah-tanah dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanah-tanah dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, sering banjir atau berbatu-batu atau iklim kurang sesuai atau kombinasi hambatan tersebut. Pada peta kelas kemampuan, lahan kelas V biasanya diberi warna hijau tua. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanahtanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika dipergunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Peta kelas kemampuan, lahan kelas VI biasanya diberi warna oranye. Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas VII diberi warna coklat. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat untuk hutan lindung tempat rekreasi atau cagar alam. Pada peta kelas kemampuan, lahan kelas VIII diberi warna putih. Sub Kelas Pengelompokkan dalam sub kelas berdasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan. Jadi sub kelas adalah pengelompokan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifatsifat tanah, relief, hidrologi dan iklim.Terdapat beberapa jenis hambatan atau ancaman yang dikenal pada subkelas yaitu : Sub kelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah. Sub kelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir yang merusak tanaman. Sub kelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar, adanya batuan di permukaan lahan, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan. Sub kelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperature dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan Satuan Kemampuan (Capability Unit) Satuan kemampuan memberikan informasi yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan daripada sub kelas. Satuan kemampuan adalah pengelompokkan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaian bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan tanggapan yang sama terhadap pengelolaan yang diberikan. Dengan demikian maka lahan di dalam suatu satuan kemampuan harus cukup seragam dalam (a) produksi tanaman pertanian atau rumput di bawah pengelolaan yang sama, (b) kebutuhan akan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama dibawah vegetasi penutup yang sama, (c) mempunyai produktivitas potensial yang setara. Hasil dari evaluasi kemampuan lahan inilah yang kemudian akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rencana penggunaan lahan tersebut sampai pada sistem pengelolaannya (Sitorus,2004). Oleh sebab itu penggunaan lahan haruslah berdasarkan atas kemampuan lahan itu dan penggunaannya haruslah menuruti persyaratan yang diperlukan agar lahan tersebut terus berproduksi serta tidak mengalami kerusakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. 2.3.2. Tindakan-Tindakan Khusus Konservasi Tanah dan Air Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usahatani tanaman semusim seperti tanaman pangan dan hortikultura (Abdurachman dan Sutono, 2002; Kurnia dkk., 2005). Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46 – 351 ton/ha/th (Sukmana, 1995). Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10 – 13,50 ton/ha/th, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Arsyad, 2010). Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan teknis (Agus dkk. 2006). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah dkk., 2004; Santoso dkk., 2004) dan lebih cepat diadopsi petani. Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Hasil penelitian Erfandi dkk. (2002) pada tanah Andic Eutrudepts di Campaka Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa dengan bedengan dengan panjang 5 meter searah lereng yang dipotong teras gulud dan bedengan yang dibuat searah kontur mampu mengurangi jumlah aliran permukaan dan erosi sangat nyata. Dibandingkan dengan bedengan searah lereng, besarnya erosi di daerah tersebut berkurang berturut-turut 50-70% pada bedengan searah lereng dan 90-95% pada bedengan searah kontur. Selain itu sifat-sifat fisik tanah pada kedua bedengan tersebut membaik, yaitu berat isi tanah pada bedengan panjang 5 meter searah lereng dan bedengan searah kontur lebih rendah dibandingkan berat isi tanah pada bedengan lainnya. Demikian juga pori aerasi dan pori air tersedia pada kedua macam bedengan tersebut lebih baik. Penerapan teknik konservasi secara vegetatif pada lahan sayuran juga cukup efektif mengurangi erosi. Hasil penelitian Soleh dan Arifin (2003) di Sundoro, Lumajang Jawa Timur menunjukkan bahwa aplikasi strip rumput dengan jarak antar strip 10 m dan bedengan tetap searah lereng dapat menurunkan erosi sekitar 28% (dari 26 ton/ha menjadi 12 ton/ha). Penerapan strip rumput yang disertai dengan perubahan arah bedengan dapat menurunkan erosi sampai < 10 ton/ha. Penanaman tanaman penutup tanah dan penutupan permukaan tanah dengan sisa-sisa tanaman merupakan teknik konservasi secara vegetatif/kultur teknis yang mudah dilaksanakan. Adanya tanaman penutup tanah dan mulsa organik dapat menahan percikan air hujan dan aliran air di permukaan tanah sehingga pengikisan lapisan atas tanah dapat ditekan (Nelson dkk., 1991, Anwarudinsyah dkk., 1993). Di samping itu juga dapat memelihara struktur tanah, meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi pencucian hara, dan menekan pertumbuhan gulma (Sarief, 1985), sehingga akan menambah kemampuan tanah dalam mendukung tanaman yang ada di atasnya. Untuk tanaman penutup tanah harus dipilih jenis-jenis tanaman yang mudah diperbanyak (sebaiknya dengan biji), mempunyai sistem perakaran yang tidak memberikan persaingan berat dengan tanaman pokok, dapat tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, tahan pemangkasan, dan mampu mengikat N bebas. Menurut Anwarudinsyah dkk. (1993) penanaman tomat di antara barisan tanaman lorong atau tanaman penutup tanah Felmingia congesta meningkatkan hasil tomat hingga 20%, dan hasil pangkasan tanaman penutup tanah tersebut yang dikembalikan ke tanah sebagai mulsa, cukup efektif untuk menekan laju erosi. Hasil penelitian Sumarni dkk. (2006) di dataran tinggi Samarang Kabupaten Garut menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah dapat ditekan baik dengan pemberian mulsa organik ataupun dengan penanaman tanaman penutup tanah. Pemakaian mulsa jerami dan mulsa sisa-sisa tanaman sama efektifnya dalam menekan erosi. Tingkat erosi tanah dengan pemberian mulsa organik tersebut dapat ditekan sebesar 34,82%. Begitu pula penggunaan tanaman kacang jogo, kacang tanah, dan ubi jalar sebagai tanaman penutup tanah dapat menekan tingkat erosi tanah, berturut-turut sebesar 22,41%, 39,65%, dan 41,38% (Tabel 2) Tabel 2. Pengaruh tanaman penutup tanah dan mulsa organik terhadap tingkat erosi tanah di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut . Erosi Tanah (kg/m 2) Perlakuan Konservasi Tanah Mulsa Organik - Tanpa mulsa - Jerami - Sisa tanaman Tanaman Penutup Tanah - Tanpa tanaman penutup tanah - Kacang jogo - Kacang tanah - Ubi jalar Sumber : Sumarni dkk. (2006) 0,56a 0,37b 0,36b 0,58a 0,45b 0,35c 0,34c Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne, 1982; Suwardjo dkk., 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman dkk., 2004). Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown dkk., 1991; Wagger dan Denton, 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. 2.3.3. Menyiapkan Tanah dalam Keadaan Olah yang Baik Paling tidak dikenal tiga fungsi pengolahan tanah, yaitu (1) untuk menggemburkan tanah, (2) memberantas tanaman pengganggu, sehingga persaingan antara tanaman utama dan tanaman pengganggu terhadap kebutuhan unsur hara dan air dapat dikurangi, dan (3) memasukkan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah. Ditinjau dari saatnya dilakukan, dikenal dua macam pengolahan tanah, yaitu (1) pengolahan tanah sebagai persiapan untuk penanaman, misalnya pencangkulan dan pembajakan, dan (2) pengolahan tanah setelah tanaman tumbuh, biasanya pengolahannya lebih ringan dan tidak sedalam seperti yang dilakukan pada no (1) di atas. Pengolahan tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan air tanah pada saat mengolah. Atterberg telah memberikan batasan-batasan dalam kandungan air tanah yang umumnya disebut angka-angka atau konstanta Atterberg, yang dapat digunakan untuk menentukan batas waktu pengolahan tanah yang terbaik. Bila tanah diolah pada keadaan basah, maka akan mudah terjadi pemadatan, dan struktur tanah akan rusak. Sebaliknya bila tanah diolah dalam keadaan kering, akan terjadi penghancuran agregat-agregat tanah. Oleh karena itu pengolahan tanah pada keadaan kering maupun basah dapat mengakibatkan kerusakan pada struktur tanah. Keadaan olah yang baik dinyatakan sebagai suatu keadaan dimana terbentuk struktur remah. Dalam keadaan seperti ini akan terjadi perbaikan-perbaikan dalam hal peredaran atau sirkulasi udara dalam tanah. Keadaan olah yang baik dapat dicapai apabila tanah diolah dalam keadaan lembab. 2.3.4. Menggunakan Sistem Pergiliran Tanaman yang Tersusun Baik Pergiliran tanaman adalah sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada satu bidang tanah. Pergiliran dapat berupa padi-palawija, padi-tanaman penutup tanah/pupuk hijau atau palawija-tanaman penutup tanah/pupuk hijau. Pada tanah-tanah berlereng pergiliran yang efektif untuk pencegahan erosi adalah menurut pola tanaman bahan makanan-tanaman penutup tanah. Pergiliran tanaman memberikan keuntungan antara lain : (1) pemberantasan hama dan penyakit; menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan siklus hidup hama dan penyakit atau mengurangi sumber makanan dan tempat hidup hama dan penyakit, (2) pemberantasan gulma; penanaman satu jenis tanaman tertentu terus menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis-jenis gulma tertentu, (3) mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah; jika sisa atau potongan tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah; jika tanaman tersebut adalah leguminosa akan menambah kandungan nnitrogen tanah dan akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorbsi unsur dari kedalaman dan preferensi yang berlainan. Sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, selain dari mempertahankan kesuburan tanah, menghindari kerusakan tanah dan mempertinggi produksi per satuan luas, per musim, per tahun.Pengaruh sistem pergiliran tanaman dalam mengurangi atau mencegah erosi dan dalam meningkatkan produksi tanaman masih sangat terbatas diketahui karena masih kurangnya penelitian dilakukan. Sebagai gambaran diberikan contoh urutan berbagai sistem pergiliran tanaman terhadap kerusakan oleh erosi yang dihasilkan oleh Universitas Purdue seperti tertera pada Tabel 3. Tabel ini menunjukkan bahwa makin lama tanah digunakan untuk penanaman tanaman yang ditanam berjarak dan dalam barisan (row crops) makin besar kemungkinan terjadinya erosi. Tabel 3. Urutan beberapa sistem pergiliran tanaman menurut besar pengaruhnya terhadap kerusakan tanah (urutan ke bawah menunjukkan makin besar ancaman erosi) Nomor Urut Sistem Pergiliran Tanaman 1 G–M–M–M 2 R–G–M–M 3 R–G–M 4 R–R–G–M–M 5 R–R–G–M 6 R – R – G – M – R – G (SC) 7 R – G (SC) 8 R–R–R–G–M 9 R – R – G (SC) 10 R–R–R–R-R Keterangan : G = Tanaman biji-bijian kecil (jenis-jenis gandum : Wheat, Oats, Rye) M = Rumput untuk ternak R = Tanaman yang ditanam dalam barisan seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan singkong (SC) = Tanaman penutup tanah 2.3.5. Menyediakan Unsur Hara yang Cukup dan Seimbang Bagi Pertumbuhan Tanaman Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah. Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso dkk. (2005) menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan, 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik. 2.4. Pertanian Berkelanjutan Pertanian berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan/implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Dalam The Bruntland Commission Report Tahun 1987 yang berjudul “Our Common Future” dijelaskan batasan atau pengertian tentang pembangunan berkelanjutan, sebagai berikut : “Sustainable Development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of futuregenerations to meet their own needs”, artinya : Pembangunan Berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan penduduk generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Mitchell dkk., 2010). Dari batasan/definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian, yaitu : (1) memenuhi kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan penduduk di masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan (ekosistem), dan (3) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu : tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial (sosial objective). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang konservatif dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, genetik tanaman dan hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani dan menekan dampaknya terhadap lingkungan, maka sistem usahatani konvensional perlu diubah menjadi sistem usahatani konservasi untuk mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang memiliki ciri pemanfaatan sumberdaya efisien dan efektif serta pengendalian degradasi lahan terutama akibat erosi dan teknik budidaya yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman. Secara umum dalam sistem produksi pertanian yang berkelanjutan harus terjadi transformasi pertanian dari subsisten menjadi pertanian produktif yang tangguh, sehingga sistem pertanian tersebut dapat mengurangi kemiskinan dengan memberikan pendapatan yang cukup dan pada waktu yang sama juga mengkoservasi sumberdaya lahan secara efektif (Khisa, 2002). Konsep keberlanjutan di bidang pertanian mengandung pengertian bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang dan lintas generasi. Dengan demikian sustainability merupakan suatu konsep yang dinamis dan pertanian berkelanjutan mencakup keberhasilan pengelolaan sumberdaya untuk pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah sekaligus memelihara atau meningkatkan kualitas lingkungan dan konservasi sumberdaya alam (Harwood dan Kassam, 2003). Berdasarkan definisi dan tujuannya, maka indikator keberlanjutan suatu sistem pertanian harus mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya terutama aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Namun yang terpenting dalam menentukan indikator keberlanjutan bukan pengelompokan aspek-aspek tersebut, melainkan variabel dan kriteria setiap aspek yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan sistem tersebut. Menurut Sinukaban (2007) ada tiga ciri utama suatu sistem pertanian berkelanjutan yaitu : 1) pendapatan petani atau produksi usahatani harus cukup tinggi sehingga petani bergairah meneruskan usahanya, jika pendapatannya tidak mencukupi cepat atau lambat petani akan mengganti usahanya; 2) erosi dalam sistem usahatani tersebut harus lebih kecil dari Etol agar produktivitas yang tinggi dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara terus menerus, jika erosi > Etol maka produktivitas akan menurun dan cepat atau lambat tidak memberikan hasil yang optimal; dan 3) teknologi pertanian atau sistem produksi yang dianjurkan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani terus menerus dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal secara substansial, jika teknologi yang dianjurkan tidak dapat diterapkan oleh petani, maka petani akan mengganti dengan teknologi yang mampu diterapkannya. Agar ciri diatas terwujud, maka dalam sistem pertanian berkelanjutan itu harus diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang menempatkan setiap bidang tanah itu dalam penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu di dalam sistem pertanian berkelanjutan akan diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. 2.5. Sistem dan Pendekatan Sistem Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya lahan secara lestari ternyata sangat beragam dan rumit. Dengan demikian upaya pemecahannya memerlukan suatu pendekatan sistemik yang bersifat komprehensif, sibernetik, dan efektif (Gao dkk., 2003). Suatu sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Lebih lanjut Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut (Muhammadi dkk., 2001). Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yng bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem (system thinking) dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama, dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao dkk., 2003). Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernetik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, di mana suatu aktivitas mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient, akan lebih baik apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien. Pendekatan sistem (system approach) adalah suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks oleh karena itu pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh (Eriyatno, 2003). Lebih lanjut menurut Marimin (2004) pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan. 2.5.1. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Karena menggunakan input persepsi manusia, AHP dapat digunakan untuk mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hierarki Di samping bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan oleh ahli-ahli yang representatif berkaitan dengan alternatif-alternatif yang akan disusun prioritasnya (Bougeois, 2005). Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu model pengambilan keputusan yang sering digunakan. Sebagai contoh, Bayazit and Karpak (2005) menggunakan AHP dalam menyeleksi pemasok (supplier) untuk pasar modern. Pemilihan berbagai alat transportasi dengan menggunakan AHP dilakukan oleh Teknomo (1999). Alphonce (1997) juga menggunakan AHP di bidang petanian untuk memilih jenis tanaman yang cocok dikembangkan di daerah berkembang. Menurut Bourgeois (2005) AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif/pilihan yang ada dan pilihan-pilihan tersebut bersifat kompleks atau multi kriteria. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi. Secara garis besar, ada tiga tahapan AHP dalam penyusunan prioritas, yaitu : 1) Dekomposisi dari masalah; 2) Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi; dan 3) Sintesis dari prioritas. 2.5.2. Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling) atau disingkat ISM. Menurut Eriyatno (2003), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis dan kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik pemodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. ISM merupakan salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur termasuk pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya: ‘lebih penting dari’ atau ‘sebaiknya dipelajari sebelumnya’) dan kategori ide (misalnya: ‘termasuk dalam kategori yang sama dengan’). ISM menghasilkan elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktorfaktor penilaian, dll. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual). Langkah-langkah penyelesaian ISM: (1) Mengidentifikasi elemen, (2) Hubungan konseptual, (3) Matrik interaksi tunggal terstruktur, (4) Matrik Reachability, (5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM, (6) Matriks Canonical: pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matrik ini, (7) Diagraph: sebuah grafik dari elemenelemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki, dan (8) Interpretive Structural Model: memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual, sehingga memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Penyelesaian bisa secara manual atau menggunakan program ISMTMI (Kustanto, 1999). Teknik ISM memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: (1) Sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala utama, (4) Perubahan yang dimungkinkan, (5) Tujuan dari program, (6) Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. 2.6. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini yang dilakukan oleh beberapa peneliti, hasilnya diuraikan berikut ini. Pfister dkk. (2005) melakukan penelitian tentang “Dynamic modelling of resource management for farming systems”. Penelitian ini dilakukan di dataran tinggi Nikaragua. Enam skenario yang dipilih untuk analisis dibagi menjadi dua kelompok yaitu : usahatani minimum (minimum farm) dan usahatani monokultur. Simulasi menunjukkan bahwa faktor kunci dari sistem yang diteliti adalah jenis tanaman, ketersediaan tenaga kerja, dan pemupukan. Hasil simulasi minimum farm antara lain : a) petani membutuhkan hampir dua kali lipat lahan usahatani untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga petani, b) tenaga kerja keluarga belum dapat memenuhi kebutuhan minimum mereka tanpa mempekerjakan tenaga kerja luar, dan c) dengan meningkatkan input pupuk, petani bisa meningkatkan produksi mereka. Hasil simulasi usahatani monokultur antara lain : a) jagung menghasilkan banyak kalori per hektar per tahun, dan kacangkacangan menghasilkan protein dan nilai tambah tertinggi. b) produksi kacang-kacangan sangat dibatasi oleh kekurangan tenaga kerja selama menabur benih. Wibowo (2008) melakukan penelitian tentang “Model Pengelolaan Usahatani Dataran Tinggi Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan”. Penelitian dilaksanakan di kawasan agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian keberlanjutan USDT dengan analisis rap-fish menunjukkan bahwa kondisi pengelolaan USDT di kawasan agropolitan Pacet belum berkelanjutan, karena indeks keberlanjutannya baru mencapai 49,29%. Hasil analisis tingkat penerapan teknologi Asta USDT oleh petani telah mencapai 72% atau termasuk kategori baik. Usaha budidaya wortel, bawang daun, caisim dan lobak termasuk dalam kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal), sedangkan brokoli termasuk dalam kelas keseuaian lahan S2 (cukup sesuai). Analisis komoditas unggulan dengan metode CPI menghasilkan wortel dan bawang daun merupakan komoditas unggulan di kawasan agropolitan Pacet, selanjutnya berdasarkan Metode Perbandingan Eksponensial diperoleh tepung wortel merupakan usaha agroindustri yang paling prospektif pada komoditas wortel dan bawang daun bumbu dapur untuk komoditas bawang daun. Berdasarkan hasil analisis erosi menggunakan menggunakan metode USLE diperoleh laju erosi rata 222,045 ton/ha/th yang bila diasumsikan berat volume tanah 1,2 gr/cm3, maka ratarata tanah tererosi setebal 18, 5 mm/th. Bila dibandingkan dengan laju erosi yang masih dapat dibiarkan yaitu 30 ton/ha/th atau 2,5 mm/th, maka indeks bahaya erosinya sebesar 7,4 yang termasuk kategori tinggi. Hasil analisis persepsi dan partisipasi menggunakan analisis skala Likert menunjukkan pendapat masyarakat terhadap pengelolaan USDT berkelanjutan termasuk kategori setuju dengan nilai rata-rata 3,67, sedangkan masyarakat tani di kawasan agropolitasn Pacet termasuk kurang berpartisipasi aktif dengan nilai rata-rata 2,29. Analisis pengambilan keputusan pengelolaan USDT berkelanjutan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh alternatif pengelolaan USDT berkelanjutan adalah program pembangunan pertanian terpadu dan agrowisata. Rancangan model yang dihasilkan merupakan model dinamik pengelolaan usahatani sayuran dataran tinggi yang baik, karena sesuai dengan kondisi aktualnya, valid dan sensitive, hal ini berdasarkan nilai Absolutes Mean Error (AME) sebesar 0,137%. Menurut Wibowo (2008) , implementasi model pengelolaan USDT berkelanjutan dikawasan agropolitan memerlukan kesungguhan pemerintah kabupaten dengan kebijakan komprehensif melalui pola pemecahan masalah, peningkatan kinerja, percepatan adopsi teknologi dan kemitraan mencakup semua subsistem agribisnis dengan program utama pengembangan pertanian terpadu. Widiriani (2009) melakukan penelitian “Model Ecofarming untuk Mewujudkan Sistem Usahatani Berkelanjutan di Lahan Dataran Tinggi yang Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat”. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani lahan dataran tinggi di Kecamatan Lembang dan Dongko termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan, ditunjukkan dengan nilai indeks keberlanjutan rata-rata untuk lima dimensi < 50 (pada skala 1 – 100). Untuk Kecamatan Lembang berturut-turut nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, Sosial, Kelembagaan, dan Teknologi, yaitu sebesar : 35,47; 38,14; 56,42; 34,49; dan 17,30, sedangkan untuk Kecamatan Dongko sebesar : 24,16; 47,13; 63,78; 64,78; dan 41,55. Variabel pengungkit dan variabel dominan yang digunakan untuk meningkatkan status keberlanjutan usahatani di kedua wilayah penelitian adalah : pengaturan proporsi tanaman semusim terhadap tanaman tahunan, pemanfaatan sumber bahan organik lokal (jumlah ternak), jumlah bahan organik tanah, produktivitas lahan, harga produk pertanian, harga faktor produksi, laju erosi aktual, laju infiltrasi, laju aliran permukaan, pertumbuhan rumah tangga pertanian (RTP), dan intervensi pemerintah. Menurut Widiariani (2009) keinginan pemerintah mengembalikan seluruh fungsi lahan dataran tinggi sebagai untuk kawasan lindung sangat sulit direalisasikan, karena bagi petani bertani adalah cara hidup sehingga cenderung untuk menolak jika harus dipindahkan ke tempat lain. Oleh karena itu diperlukan model ecofarming sebagai model pengelolaan kawasan yang dapat menjalankan fungsi lindung dan fungsi budidaya secara bersamaan sebagai bentuk penyelesaian yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Penerapan model ecofarming akan menjamin keberlanjutan fungsi lindung dan fungsi budidaya yang terukur dari manfaat ekonomi berupa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, manfaat sosial dalam bentuk stabilitas sosial masyarakat serta manfaat ekologi berupa kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. BAB III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN Permasalahan utama pada usahatani cabai pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut adalah kerusakan/degradasi lahan akibat erosi yang terus menerus terjadi pada lahan usahatani. Degradasi lahan yang terjadi menyebabkan penurunan kesuburan tanah, dan penurunan produktivitas lahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan petani karena produksi tanaman cabai yang menurun. Masalah degradasi lahan juga terkait dengan fragmentasi lahan usahatani, dimana penguasan lahan yang sempit sehingga terjadi inefisiensi pengelolaan usahatani dan praktek pengelolaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Permasalahan usahatani cabai pada dataran tinggi dapat diatasi dengan membangun model usahatani cabai berkelanjutan yang salah satu indikator pengukurannya adalah pendapatan petani dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Model ini diharapkan juga dapat mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (ETol) melalui penerapan agroteknologi spesifik lokasi, sehingga dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Indikator tersebut sesuai dengan konsep sistem pertanian konservasi (SPK) yang merupakan aplikasi paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tiga pilar atau dimensi keberlanjutan (Sinukaban, 2007). Sistem pertanian konservasi merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus. Sistem pertanian konservasi dicirikan oleh : 1) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan kemampuannya secara terus menerus, 2) komoditas yang diusahakan sesuai dengan kondisi biofisik daerah,diterima petani dan laku di pasar, 3) erosi minimal sehingga produktivitas lahan dapat terpelihara secara berkesinambungan, dan 4) produksi pertanian dan pendapatan cukup tinggi (Sinukaban 2007). Langkah-langkah yang harus dilakukan di dalam perencanaan SPK adalah, meliputi : (a) inventarisasi keadaan biofisik daerah, (b) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, dan (c) inventarisasi pengaruh luar (Sinukaban 2007). Inventarisasi keadaan biofisik wilayah, seperti iklim, sifat-sifat tanah topografi, dan penggunaan lahan. Data ini akan diperlukan untuk menganalisis prediksi erosi dan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), menentukan agroteknologi yang diperlukan, serta teknik konservasi yang sesuai. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti : jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pengetahuan teknologi budidaya dan pasca panen, pendapatan usahatani, serta persepsi tentang erosi dan partisipasi dalam tindakan konservasi tanah. Inventarisasi pengaruh luar, seperti pasar/pemasaran hasil, perangkat penyuluhan, lembaga keuangan pedesaan, dan organisasi yang berkaitan dengan petani. Secara komprehensif pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi berkelanjutan memiliki beberapa dimensi terkait yang terdiri dari aspek ekologis, aspek ekonomi, aspek social dan kelembagaan. Oleh karena itu, pembangunan model untuk keberlanjutan produksi cabai sebaiknya terstruktur melalui pengintegrasian berbagai dimensi tersebut. Aspek ekologi didekati dengan daya dukung lahan dalam hal ini dilakukan analisis prediksi erosi di lahan usahatani cabai, sehingga dapat ditentukan alternatif teknik konservasi tanah dan air yang efektif dan efisien untuk menekan laju erosi di lahan dataran tinggi agar produktivitas cabai meningkat. Aspek ekonomi didekati dengan penentuan besarnya pendapatan petani cabai dan seberapa besar kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap kebutuhan hidup layak petani yang terdiri atas kebutuhan fisik minimal dan kebutuhan hidup tambahan (pendidikan dan sosial, kesehatan dan rekreasi, asuransi dan tabungan). Parameter ini menjadi acuan untuk mengukur tingkat kemampuan petani mengelola lahannya secara lebih baik. Aspek sosial dan kelembagaan didekati dengan persepsi dan partisipasi petani terhadap usaha-usaha konservasi tanah termasuk lembaga atau organisasi yang mendukung keberlanjutan usahatani. Dengan pengintegrasian berbagai aspek tersebut, diharapkan dapat dirumuskan suatu model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada dataran tinggi yang dapat mengendalikan erosi hingga batas erosi yang dapat ditoleransi sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman cabai dan memberikan pendapatan petani yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak. Kerangka pemikiran model usahatani cabai dataran tinggi berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1. USAHATANI CABAI PADA LAHAN DATARAN TINGGI Permasalahan Utama - Usahatani subsisten - Erosi tinggi - Produktivitas rendah Karakteristik biofisik : Iklim, Tanah, Topografi, Penggunaan lahan Faktor Ekologi Pendugaan Erosi Karakteristik sosial ekonomi dan kelembagaan Karakteristik petani, Persepsi dan partisipasi petani, Perangkat kelembagaan Faktor Ekonomi Petak percobaan erosi Analisis Pendapatan Analisis KHL Faktor Sosial dan Kelembagaan Indikator : AHP ISM Indikator : Pendapatan ≥ KHL Erosi ≤ ETol Model pengelolaan usahatani cabai berkelanjutan pada lahan dataran tinggi Perbaikan pengelolaan usahatani - Erosi minimal << ETol - Produktivitas meningkat - Pendapatan usahatani tinggi - Kebutuhan Hidup Layak Terpenuhi - Agroteknologi acceptable dan replicable Gambar 1. Kerangka pikir penelitian BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Penentuan areal penelitian ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu : (a) Lokasi penelitian ini dipilih untuk mewakili kondisi lahan dataran tinggi yang ada di Jawa Barat, dimana lokasi penelitian berada pada ketinggian 1.200 – 1.300 meter diatas permukaan laut, (b) Kabupaten Garut merupakan sentra produksi sayuran khususnya tanaman cabai terbesar di Jawa Barat, dan Kecamatan Cikajang adalah salah satu sentra produksi tanaman cabai di Kabupaten Garut (c) Kondisi lahan di lokasi penelitian telah mengalami degradasi akibat erosi yang indikasinya dapat dilihat pada kandungan sedimen tanah yang tinggi dalam air sungai yang senantiasa keruh sepanjang tahun. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian di lapangan selama ± 10 bulan, mulai dari bulan Januari 2013 sampai bulan Oktober 2013. 4.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Peta yaitu : Peta semi detil (skala 1 : 50 000) yang terdiri dari peta administrasi wilayah Kabupaten Garut, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah. 2. Bahan yang diperlukan untuk percobaan lapangan yaitu : bibit cabai dan bibit kubis, pupuk (Kandang, Urea, Sp-36, KCl), pestisida, ajir, tali, drum, terpal, ember, pipa paralon), 3. Bahan-bahan untuk analisis sifat kimia tanah di laboratorium yaitu Natrium pirofosfat dan amilalkohol (untuk analisis tekstur), H2SO4, NaOH, HCl, Selenium, H3BO3, dan Indikator Conway (penetapan N total dengan Kjeldahl method), HCl (penetapan P dan K dengan ekstrak HCl 25%) dan K2Cr2O7, H2SO4, FeSO4, indikator ferroin, KMnO4, dan natrium oksalat (penetapan C-organik dengan Walkley-Black). 4. Bahan-bahan untuk survei lapangan yaitu kuesioner untuk wawancara sosial ekonomi masyarakat. Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1. Peralatan yang digunakan di lapangan yaitu : meteran, bor tanah (untuk mengambil samper tanah), infiltrometer (untuk mengukur infiltrasi), ombrometer (untuk mengukur curah hujan), kamera digital, cangkul, dan pisau. 2. Peralatan yang digunakan di laboratorium yaitu : ayakan kering dan basah (untuk penetapan stabilitas agregat); gelas piala, milk shaker, hydrometer, tabung sedimentasi, termometer, dan bak air pengatur suhu (untuk analisis tekstur); oven (untuk penetapan BD, kadar air, dan jumlah sedimen), timbangan elektrik, Atomic Absorption Spectrophotometry atau AAS (untuk penetapan sifat kimia tanah). 3. Seperangkat personal komputer (PC) dan Software yang digunakan untuk analisis data adalah, MS. Excel, SPSS ver. 16, Criterium Decision Plus ver. 3.0, dan Interpretative Structural Modelling-Firman 4.3. Cakupan Kegiatan Penelitian Pengambilan data primer dilakukan pada tingkat usahatani cabai (Capsicum annuum). Petani responden merupakan petani cabai yang berada pada sentra produksi cabai di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut, yang berstatus petani pemilik, pengelola atau penggarap lahan usahatani cabai dan berusahatani cabai sebagai sumber pendapatan utama pada musim tanam 2013/2014. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan data base Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013) bahwa Kecamatan Cikajang merupakan sentra produksi cabai terbesar di Kabupaten Garut. Jumlah petani cabai di Kecamatan Cikajang (N) adalah 218 petani. Petani responden di Kecamatan Cikajang dipilih secara acak (random sampling). Jumlah respoden pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (Sevila dkk., 1993) : .…..…………….………………………...….... (1) di mana : ni = Jumlah sampel/responden satuan kecamatan homogen i Ni = Jumlah populasi (jumlah petani pada satuan kecamatan homogen i) E = Galat yang diterima (10%) Dengan demikian jumlah petani responden (n) adalah 69 petani yang tersebar di 12 (duabelas) desa. Setelah itu petani responden di stratified berdasarkan kemiringan lereng dan pola tanam. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. Untuk mencapai output yang diharapkan, secara garis besar kegiatan penelitian mencakup empat kegiatan pokok, yaitu : (1) analisis prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai, (2) analisis pendapatan usahatani cabai dan analisis kontribusi pendapatan usaha tani cabai terhadap kebutuhan hidup layak petani, (3) penentuan alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan produksi tanaman cabai dan (4) penyusunan model pengelolaan usahatani sayuran dataran tinggi berkelanjutan. 4.4. Rancangan Penelitian 4.4.1. Analisis Prediksi Erosi 4.4.1.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan untuk prediksi erosi adalah curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan, curah hujan maksimum 24 jam bulanan, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik tanah, permeabilitas tanah, penggunaan lahan, panjang lereng, kemiringan lereng, pengelolaan lahan, kedalaman efektif tanah, laju pembentukan tanah dan masa pakai tanah. Data iklim bersumber dari stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi penelitian sedangkan data tanah diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan dan hasil analisis laboratorium tanah. 4.4.1.2. Metode Pengumpulan Data Pengambilan contoh tanah komposit untuk analisis laboratorium dilakukan pada setiap unit lahan petani responden. Contoh tanah dikumpulkan dari 5 (lima) titik pengambilan menggunakan bor tanah sedalam lapisan olah atau topsoil tanah sekitar 0 - 20 cm, kemudian sampelsampel tanah individu tersebut di campur secara merata dan diambil sekitar 1 kg untuk dianalisis di laboratorium tanah. Dengan demikian jumlah keseluruhan sampel tanah adalah 69 sampel. Parameter fisik dan kimia tanah serta metode analisis tanah yang digunakan selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter fisik-kimia tanah serta metode analisis yang digunakan Parameter Fisik Kimia Tanah C organik (%) N total (%) P2O5 (ppm) K2O (cmol+ /kg) Tekstur (3 fraksi) Metode Analisis Walkley and Black Kjeldhal Bray dengan spektrofotometer Bray dengan flamefotometer Pipet (gravimetri) 4.4.1.3. Teknik Analisis Data Analisis prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani dapat menggunakan pendekatan persamaan prediksi kehilangan tanah secara komprehensif atau the Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE merupakan model kotak hitam untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah, yang memungkinkan menduga rata-rata laju erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau sedang dipergunakan. Prediksi erosi (A) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Wischmeier dan Smith,1978 dalam Arsyad, 2010): A = R * K * LS * C * P…………...……………….(2) di mana : A = Rata-rata jumlah tanah tererosi setiap tahun (ton/ha/th) R = Indeks daya erosi oleh hujan (erosivitas hujan) K = Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) LS = Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) C = Faktor tanaman (vegetasi) P = Faktor usaha-usaha pencegahan erosi/tindakan erosi Indeks Erosivitas Hujan. Indeks erosivitas hujan (R) didekati dengan Indeks Erosivitas Hujan Wischmeier (EI30), di mana R adalah jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi kinetik hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (EI30) tahunan. Besarnya nilai EI30 dapat dihitung dengan persamaan Lenvain (Asdak, 2002) sebagai berikut: ………...…...(3) di mana: EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan rata-rata RAIN = curah hujan rata-rata bulanan (cm) DAYS = jumlah hari hujan rata-rata bulanan (hari) MAXP = curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm) Faktor Erodibilitas Tanah. Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan (K) dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energy kinetik hujan. Pada penelitian ini nilai K diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Arsyad, 2010) : ……(4) di mana : M = persentase pasir sangat halus dan debu (diameter 0,1 – 0,05 mm dan 0,05 – 0,02 mm) x (100 – persentase liat) b = kode tipe struktur tanah (Lampiran 1) c = kelas permeabilitas tanah (Lampiran 2) a = persentase bahan organik tanah Faktor Panjang Lereng dan Kemiringan Lahan. Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Dalam prediksi erosi menggunakan persamaan USLE komponen panjang dan kemiringan lereng diintegrasikan menjadi faktor LS dan dihitung dengan rumus, sebagai berikut: …...…………...…..(5) di mana: LS = faktor lereng L = panjang lereng (m) S = kemiringan lereng (%) Rumus diatas diperoleh dari percobaan dengan menggunakan plot erosi pada lereng 3 – 18%. Untuk lahan berlereng terjal digunakan rumus berikut ini (Foster dan Wischmeier, 1973 dalam Arsyad, 2010) : …….....(6) di mana: m = 0,5 untuk lereng 5% atau lebih 0,4 untuk lereng 3,5 – 4,9 % 0,3 untuk lereng 3,5 % C = 34,71 α = sudut lereng l = panjang lereng Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor Konservasi tanah. Faktor pengelolaan tanaman (C) menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, serasah, kondisi permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang (erosi). Faktor konservasi tanah (P) adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, di mana faktor-faktor penyebab erosi lain diasumsikan tidak berubah. Faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi tanah menggunakan tabel nilai C dan P hasil-hasil penelitian terdahulu oleh lembaga penelitian tanah sejak tahun 1970 dan NWMCP tahun 1998 dan atau hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti dan lembaga penelitian lainnya (Lampiran 3 dan 4). Pemilihan Tindakan Konservasi. Pemilihan tindakan konservasi ditentukan dengan cara mencari alternatif pengelolaan lahan yang tingkat erosinya (A) dibawah batas erosi yang ditoleransikan (Etol). Tindakan konservasi dihitung berdasarkan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation), sebagai berikut (Arsyad, 2010): ……………………....……………….(7) Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) dihitung berdasarkan persamaan Wood and Dent (1983) dalam Arsyad (2010) dengan persamaan: ......…….……….......………..…(8) di mana : Etol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/th) DE = kedalaman tanah ekivalen (mm) (kedalaman efektif tanah x faktor kedalaman tanah) Dmin = kedalaman minimum tanah untuk tanaman pertanian semusim = 30 cm (Wood and Dent, 1983 dalam arsyad, 2010) MPT = masa pakai tanah untuk pemakaian terus menerus dan intensif selama 250 tahun. (Sinukaban, 2007) LPT = laju pembentukan tanah sebesar 1,0 mm/th (Arsyad, 2010) Besarnya nilai prediksi erosi berdasarkan metode USLE dinyatakan dalam ton/ha/th, sedangkan nilai ETol dinyatakan dalam mm/th. Menurut Arsyad (2010), untuk mengkonversikan besaran tersebut yaitu sebagai berikut : ETol (mm/th) x Berat Volume (gr/cm3) x 10 = ton/ha/th atau ton/ha/th = mm/th BV x 10 .………............…...………………..(9) 4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani 4.4.2.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan untuk analisis pendapatan usahatani cabai di lahan dataran tinggi adalah data primer, yaitu: luas pengusahaan lahan, curahan tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja, upah tenaga kerja, penggunaan saprodi (bibit/benih, pupuk, pestisida, alsintan), biaya transportasi produksi, produktivitas, harga jual komoditas. Data tersebut bersumber dari responden petani. 4.4.2.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data terdiri dari survei dan pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara. Petani responden di Kecamatan Cikajang dipilih secara acak (random sampling). Jumlah respoden pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (Sevila dkk., 1993) seperti pada persamaan 1. Jumlah petani cabai di Kecamatan Cikajang (N) adalah 218 petani, sehingga jumlah petani yang di wawancara adalah 69 petani. 4.4.2.3. Teknik Analisis Data Analisis usahatani menggunakan input komponen penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani (cash flow analysis) (Soekartawi, 2006) sebagai berikut : TR = YiPyi = Σ (Y1Py1 + Y2Py2 + …. + YnPyn)...……..…………(10) di mana: TR = total penerimaan usahatani Yi = produksi yang diperoleh dalam usahatani ke-i Pyi = harga produksi usahatani ke-i Biaya usahatani merupakan nilai semua keluaran (output) yang digunakan dalam usahatani (proses produksi), mencakup biaya tetap dan biaya tidak tetap dengan persamaan : TC = FC + VC..…………...………...…………………...………..(11) VC = XiPxi = Σ (X1Px1 + X2 Px2 + ........... .Xn Pxn)……………...(12) di mana : TC = total biaya usahatani FC = biaya variabel tetap berupa biaya-biaya penyusutan modal petani VC = biaya variabel tidak tetap Xi = input usahatani ke-i Pxi = harga input usahatani ke-i Pendapatan usahatani (π) merupakan selisih antara total penerimaan usahatani (TR) dengan total biaya usahatani (TC). Analisis kelayakan finansial usahatani berdasarkan nilai BCR (benefit cost ratio) tanpa discount factor (Soekartawi, 2006) BCR = Pendapatan / Biaya Produksi ................................................... (13) BCR > 1, usahatani efisien dan menguntungkan BCR < 1, usahatani tidak efisien dan tidak menguntungkan 4.4.3. Analisis Kebutuhan Hidup Layak Petani 4.4.3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan untuk analisis kebutuhan hidup layak petani adalah data primer, yaitu: jumlah pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun setara beras, harga beras, dan jumlah anggota rumah tangga. Data-data tersebut bersumber dari responden petani. 4.4.3.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data terdiri dari survei dan pengamatan langsung ke lapangan (direct observation) serta wawancara (interview). Jumlah petani responden yang diwawancara adalah 69 petani. 4.4.3.3. Teknik Analisis Data Keluarga tani dinyatakan hidup layak jika telah memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) meliputi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) ditentukan berdasarkan kebutuhan kecukupan pangan (beras) per keluarga dan harga beras yang berlaku di lokasi penelitian. Menurut Sajogyo (1997), nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah pedesaan berkisar 240–320 kg/org/th, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar 360-480 kg/org/th. Standar kebutuhan fisik minimum (KFM) ditetapkan dengan pendekatan sebagai berikut : KFM = KRT x 100% x n x Rp ...................................................(14) di mana : KFM = kebutuhan fisik minimum KRT = kebutuhan rumah tangga setara beras n = jumlah anggota keluarga Rp = harga beras Menurut Sinukaban (2003), KHL adalah KFM ditambah dengan kebutuhan hidup tambahan (KHT) berupa kebutuhan untuk menabung, rekreasi ataupun kebutuhan untuk kegiatan sosial yang masing-masing sebesar 50% dari KFM. Oleh karena itu besarnya KHL adalah 2,5 kali (250%) KFM. Besarnya kebutuhan hidup tambahan (KHT) dan kebutuhan hidup layak (KHL) ditetapkan dengan persamaan : KHT = KPS + KKR + Ktab = 150% KFM ...............................(15) KHL = KFM + KHT = KRT x 250% x n x Rp .........................(16) di mana : KFM = standar kebutuhan fisik minimum (rupiah) KRT = standar kebutuhan rumah tangga setara beras (rupiah) n = jumlah anggota keluarga (jiwa) KHT = standar kebutuhan hidup tambahan (rupiah) KHL = standar kebutuhan hidup layak (rupiah) KPS = standar kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial (rupiah) KKR = standar kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi (rupiah) Ktab = standarkebutuhan untuk tabungan dan asuransi (rupiah) Kebutuhan luas lahan minimal (Lm) adalah luas lahan garapan minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan usahatani, sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi KHL. Oleh karena itu kebutuhan luas lahan minimal (Lm) dirumuskan sebagai perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan pendapatan bersih usahatani (Pb), dituliskan dengan persamaan (Tim IPB 2004) : Luas Lm = KHL / Pendapatan ………………...……………..…(17) 4.4.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah dan Air 4.4.4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer yaitu : 1) sifat fisika dan kimia tanah sebelum perlakuan; 2) sifat kimia (C-organik, Ntotal, P dan K-tersedia) setelah perlakuan (seminggu menjelang panen); 3) aliran permukaan dan erosi; 4) konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen dan tanah, 5) jumlah hara terbawa erosi; 6) produktivitas cabai; 7) Curah hujan selama percobaan. Adapun sumber datanya dari petak percobaan di lapangan. 4.4.4.2. Metode Pengumpulan Data Satuan percobaan berupa petakan 20 m x 3 m (panjang petak searah lereng) sehingga luasnya 60 m2. Pembatas petakan percobaan menggunakan plastik terpal yang dibenamkan ke dalam tanah sedalam ± 20 cm dan tinggi ± 40 cm. Aliran permukaan dan erosi dari petak erosi ditampung dengan penampung berupa bak A berukuran 3 m x 0,5 m x 0,5 m. Pada sisi bak A yang menghadap keluar dibuat lubang pembuangan dengan diameter 6 cm sebanyak 7 buah dengan posisi horizontal dan sama tinggi dari dasar bak. Satu lubang di bagian tengah dihubungkan dengan pipa paralon ke dalam bak B penampung luapan air dari bak A. Jarak dari dasar bak A ke bibir bawah lubang adalah 0.45 m (Lampiran 13). Dengan demikian, kapasitas bak A adalah 3 m x 0,5 m x 0.45 m = 0,675 m3 (675 L). Bak B yang digunakan berukuran 500 L (0,5 m3). Di atas bak A diletakkan kain kasa yang berfungsi untuk menampung erosi tanah yang terbawa bersama dengan aliran permukaan. Bagian atas bak A dan bak B ditutup untuk mencegah masuknya air hujan. Contoh tanah komposit untuk penetapan sifat fisik dan kimia tanah sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan diambil pada kedalaman 0 – 20 cm sebanyak 1 kg pada masing-masing petak percobaan. Curah hujan selama percobaan dicatat dengan alat penakar hujan otomatis (ombrometer) yang ditempatkan di dekat petak percobaan. Penanaman Cabai Setelah tanah diolah sempurna dibuat bedengan dengan ukuran lebar 100 cm, tinggi bedengan 40 cm, panjang guludan 20 m, dan jarak antar bedengan 80 cm. Penanaman cabai menggunakan jarak tanam 40 cm x 50 cm. Pemupukan diaplikasikan pada setiap petak percobaan dengan takaran 21 kg Urea, 18 kg ZA, 1,2 kg SP-36, 1,2 kg KCl dan 120 kg pupuk kandang. Bibit yang digunakan adalah varietas Hot Beauty. Penanaman dilakukan setelah pemberian pupuk kandang dan sekaligus pemberian pupuk buatan (Urea dan KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis penuh) dengan cara tugal. Pemasangan ajir dilakukan pada saat tanaman berumur 7 hst. Penyiangan pertama dan pemupukan susulan (600 g kompos + 300 g NPK) dilakukan 14 hari setelah tanaman tumbuh dilakukan setiap minggu dengan minimal 8 kali selama masa pemeliharaan tanaman. Pengendalian hama pada tanaman cabai di petak percobaan menggunakan insektisida dari golongan I.G.R., yaitu Fipronil (2 ml/l) dan Diafentiuron (2 ml/l). Insektisida tersebut digunakan secara bergantian untuk mengendalikan hama kutu daun pesik, thrips, dan ulat grayak. Pengendalian penyakit pada tanaman cabai dilakukan dengan penyemprotan fungisida Klorotalonil (2 g/l) dan Difenoconazole (0,5 ml/l). Fungisida tersebut digunakan secara bergantian untuk mengendalikan penyakit antraknosa (busuk buah dan penyakit bercak daun. Pemberian insektisida dan fungisida setiap dua kali seminggu. Penanaman Kubis Penanaman bibit kubis (Varietas Master Grand) diantara tanaman utama (tanaman cabai) mengikuti jarak tanam tanaman cabai yaitu 40 cm x 50 cm. Kubis ditanam di antara dua tanaman cabai dalam barisan dan lubang tanam kubis dibuat tidak sejajar dengan lubang tanam cabai, dengan tujuan agar pertumbuhan kubis tidak terganggu/terhalang oleh tanaman cabai yang lebih tinggi. Takaran pupuk buatan yang diaplikasikan pada setiap petak percobaan adalah 20 kg Urea, 15 kg ZA, 2 kg SP-36, 2 kg KCl per hektar, dan 100 kg pupuk kandang. Pemberian pupuk buatan (Urea dan KCl masing-masing setengah dosis dan SP-36 dosis penuh) dilakukan saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST) dengan cara tugal. Penyiangan pertama dan pemupukan susulan (setengah dosis Urea dan KCl) dilakukan 6 MST. Penyiangan kedua pada umur 45 HST. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan insektisida dan fungisida dengan penyemprotan dua kali seminggu mengikuti dosis dan jadwal penyemprotan tanaman utama (cabai). Pengukuran Aliran Permukaan Pengamatan jumlah aliran permukaan pada petak berukuran 20 x 3 meter (60 m2) dilakukan setiap hari hujan dengan mengukur tinggi muka air dalam bak penampung. Pengukuran Erosi Pengukuran erosi pada petak erosi seluas 60 m2 diukur setiap hari hujan yang meliputi : 1. Pengukuran bobot kering tanah yang tertampung pada kain kasa Tanah yang tertampung pada kain kasa ditimbang seluruhnya, sehingga diperoleh bobot basah tanah (BBt). Tanah yang tertampung tersebut, kemudian diambil sebanyak ± 100 g sebagai sampel tanah (BBs), selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 ºC selama 24 jam atau sampai bobot tanah konstan, dan ditimbang bobot keringnya (BKs). Bobot kering tanah yang tertampung pada kain kasa (BKe) dihitung dengan persamaan : BKt .…………….……………………..………(18) di mana : BKt = bobot kering total tanah yang tersaring kain kasa (g) BKs = bobot kering mutlak tanah sampel (g) BBs = bobot basah tanah sampel (g) BBt = bobot basah total tanah yang tersaring kain kasa (g.60 m-2) 2. Pengukuran bobot kering sedimen yang terlarut di dalam air pada bak A Pengukuran bobot kering sedimen pada bak A dilakukan dengan mengambil sampel air dari bak A sebanyak ± 500 ml (0,0005 m3) dengan terlebih dahulu mengaduk air di dalam bak A sampai merata, kemudian segera dimasukkan ke dalam botol berukuran ± 500 ml (0.0005 m3). Sampel air di dalam botol tersebut didiamkan selama 24 jam sampai muatan sedimen di dalamnya mengendap. Endapan sedimen kemudian dipisahkan dari air dengan cara menyaring air dengan kertas saring yang sudah diketahui bobotnya, dikeringkan di dalam oven selama 24 jam pada suhu 105 ºC, ditimbang bobot sedimennya. Bobot kering sedimen pada bak A (BKA) dihitung dengan persamaan : BKA = (BKAf – BKf) x ……………………………(19) di mana : BKA = bobot kering sedimen bak A (g) BKAf = bobot kering sedimen pada kertas saring (g) BKf = bobot kering kertas saring (g) VA = volume air yang tertampung pada bak A (m3) 0.0005 m3 = volume sampel air 3. Pengukuran bobot kering sedimen pada bak B Pengukuran bobot kering sedimen pada bak B dilakukan dengan cara sama seperti pengukuran sedimen pada bak A. Kemudian bobot kering sedimen pada bak B (BKB) dihitung dengan persamaan : BKB = {(BKBf – BKf) x …………………………..(20) di mana : BKB = bobot kering sedimen bak B (g) BKBf = bobot kering sedimen pada kertas saring (g) BKf = bobot kering kertas saring (g) VB = volume air yang tertampung pada bak B (m3) 0.0005 m3 = volume sampel air 7 = jumlah lubang pada bak A yang berfungsi untuk = menampung luapan air dari bak A ke bak B Selanjutnya diukur total erosi tanah per petak erosi 60 m2 pada setiap kejadian hujan (ETot1) dengan persamaan : ETotal1= BKt + BKA + BKB…………………………………………(21) di mana : ETotal1 = total erosi tanah pada luasan petak erosi 60 m2 pada setiap = kejadian hujan (kg/60 m2/HH). BKt = bobot kering total tanah yang tersaring kain kasa (g) BKA = bobot kering sedimen bak A (g). BKB = bobot kering sedimen bak B (g). Total erosi tanah pada luasan petak erosi 60 m2 pada setiap kejadian hujan (ETotal1) ditotalkan selama percobaan (Januari 2013 – April 2013) dan diperoleh ETotal2 (kg/60 m2). Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah total erosi dengan luasan satu hektar (kg/ha) dengan persamaan sebagai berikut : E = {ETotal2 x (10000 m2/ 60 m2 )} …………………..……………..(22) di mana : E = Erosi total (ton/ha) ETotal2 = Total erosi tanah (kg/60 m2) Pengukuran konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen dan tanah Konsentrasi hara terlarut di dalam sedimen dan tanah diukur dengan mengambil sedimen menggunakan botol plastik pada bak A dan bak B setiap kejadian hujan. Selanjutnya dari sampel sedimen tersebut dilakukan analisis kandungan C-organik (Metode Walkley & Black), N-total (Metode Kjeldhal), P2O5 (Metode Bray dengan spektrofotometer) dan K2O (Metode Bray dengan flamefotometer). Perhitungan kehilangan hara yang terbawa erosi Jumlah C-organik, N, P, dan K yang terbawa erosi pada setiap perlakuan dihitung dengan rumus: X = Y x E....................................................(23) di mana : X = Jumlah N, P, K dan C-organik terbawa erosi (kg/petak) Y = Kadar N, P, K dan C-organik di dalam sedimen (N = %; P = mg P2O5 /100 g; K = mg K2O /100 g dan C-organik = %) E = Jumlah total tanah tererosi (kg/petak) Nilai Faktor CP (Pengelolaan Tanaman dan Pengelolaan Tanah) Nilai faktor CP dihitung dengan membandingkan jumlah tanah tererosi pada perlakuan dengan petak pembanding, atau dengan rumus sebagai berikut: …....(24) Perhitungan Produksi Tanaman Produksi tanaman dihitung pada saat panen. Tanaman cabai dan kubis dibersihkan terlebih dahulu lalu di timbang. 4.4.4.3. Rancangan Percobaan Pengujian teknik konservasi tanah dan air dilakukan pada kemiringan lereng 40%. Penelitian ini didesain menggunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan sebagai kelompok. Kedelapan perlakuan adalah sebagai berikut : TK1 = Cabai monokultur + guludan searah lereng TK2 = Cabai monokultur + guludan searah lereng + pembuatan teras = gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter TK3 = Cabai monokultur + guludan memotong lereng TK4 = Cabai monokultur + guludan memotong lereng miring 20° TK5 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng TK6 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng + = pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter TK7 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng TK8 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng = miring 20° Dengan demikian jumlah keseluruhan satuan percobaan adalah 8 x 3 = 24 satuan percobaan, dan untuk menghitung nilai faktor CP dibuat petak pembanding secara terpisah sebanyak 3 ulangan sehingga total satuan percobaan erosi yang dibuat adalah 27 satuan percobaan. Satuan percobaan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. Denah rancangan percobaan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 3. Model aditif linier yang digunakan adalah: Yijk = µ + τi + βj + εij ……………………………....…………......(25) di mana : i = 1, 2, 3, ∙∙∙, p (p = perlakuan) j = 1, 2, 3, ∙∙∙, k (k = kelompok) Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j µ = Nilai tengah umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j ∈ij = Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j TK1 TK8 TK5 TK7 TK2 TK3 TK6 TK4 CP1 TK5 TK6 TK1 TK3 TK8 TK7 TK4 TK2 CP2 TK6 TK8 TK3 TK1 TK4 TK5 TK7 TK2 CP3 Gambar 3. Denah rancangan percobaan di lapangan Hipotesis yang diuji dalam rancangan acak kelompok lengkap dirumuskan sebagai berikut: H0 : τ1 = τ2 = τ3 =…... = τp = 0 : (tidak ada respon diantara perlakuan yang dicobakan) H1 : τ1 ≠ τ2 ≠ τ3 ≠ … ≠ τp ≠ 0 : (ada perbedaan respon diantara perlakuan yang dicobakan) Metode analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh antara perlakuan digunakan analisis sidik ragam (anova) pada taraf 5 %. Apabila hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur) atau uji Tukey. 4.4.5. Menyusun Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi Berkelanjutan Pendekatan sistem digunakan untuk menganalisis suatu kumpulan beberapa subsistem usahatani dan setiap subsistem usahatani terdiri atas beberapa komponen yang saling menerangkan interaksi dan ketergantungan untuk membangun sebuah sistem usahatani cabai pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Salah satu alat analisis yang digunakan adalah berupa decision making model (model pembuatan keputusan) yang memungkinkan untuk membuat keputusan untuk masalah yang bersifat kompleks. 4.4.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi Cabai Dataran Tinggi dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Karena menggunakan input persepsi manusia, AHP dapat digunakan untuk mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pemilihan responden untuk pemilihan model usahatani konservasi (AHP) menggunakan metode purposive sampling berdasarkan bidang keahlian, yaitu: 1) tanah, 2) hidrologi dan klimatologi, 3) sosial ekonomi pertanian, 4) kebijakan pertanian, 5) aparat pemerintahan dan 6) petani. Masing-masing bidang keahlian dipilih 1 orang, sehingga keseluruhan jumlah responden sebanyak 6 orang. Untuk membuat AHP terdapat empat prosedur yang harus dilakukan yaitu pembentukan hierarki, pair – wise comparison, pengecekan konsistensi, dan evaluasi. Hierarki dibentuk untuk menyederhanakan suatu masalah yang rumit menjadi lebih terstruktur. Sebuah hierarki menunjukkan pengaruh tujuan dari level atas sampai level paling bawah. Pembentukan hierarki dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Pembentukan Hierarki Pair – Wise Comparison merupakan perbandingan berpasangan yang digunakan untuk mempertimbangkan kriteria – kriteria keputusan dengan memperhitungkan hubungan antara kriteria dengan sub kriteria itu sendiri. Pengisian Pair – Wise Comparison ini dilakukan oleh para pakar (expert) melalui pembuatan kuesioner. Kuesioner untuk Pair – Wise Comparison dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Kuesioner Pair – Wise Comparison Kriteria Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Penilaian Kriteria 1 Pair – Wise Kriteria 2 Comparison Kriteria 3 dilakukan dengan menggunakan skala berdasarkan tingkat kepentingannya. Penilaian ini dapat dilihat pada tabel 6. Hasil pengisian Pair – Wise Comparison kemudian diolah untuk menentukan bobot pada setiap kriteria dalam menentukan alternatif keputusan. Pengolahan ini menggunakan tiga langkah yaitu menentukan geometric mean, melakukan proses normalisasi, dan menentukan bobot nilai. Tabel 6. Penilaian Pair – Wise Comparison Nilai numerik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1/(1/9) Penilaian preferensi verbal Preferensi mutlak Preferensi sangat kuat sampai mutlak Preferensi sangat kuat Preferensi kuat sampai sangat kuat Preferensi kuat Preferensi menengah sampai kuat Preferensi menengah Preferensi sama sampai menengah Preferensi sama Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9 Menentukan rata-rata geometrik dilakukan jika terdapat multi partisipan maka nilai perbandingan sebelumnya (jawaban dari masingmasing partisipan) harus dirata-ratakan terlebih dahulu. Untuk itu, Saaty menyarankan untuk menggunakan Metode Geometric Mean. . Dalam menentukan geometric mean, formulasi yang digunakan adalah : ……………………………….…………………(26) di mana: MG = Geometric Mean ; Xi = Atribut ke – i ; n = Jumlah atribut Geometric Mean merupakan teori yang menyatakan bahwa jika terdapat n partisipan yang telah melakukan perbandingan berpasangan terhadap suatu topik yang sama, maka akan terdapat n jawaban/nilai numerik untuk setiap pasangan. Untuk mendapatkan satu nilai dari semua nilai tersebut, masing-masing nilai harus dikalikan satu sama lain kemudian hasil perkaliannya dipangkatkan dengan 1/n. Proses normalisasi dilakukan dengan membuat proporsi geometric mean. Formulasi yang digunakan dalam proses normalisasi adalah : …………...……………………………………....(27) di mana: Pi = Proporsi atribut ke – i; MGi = Geometric mean atribut ke-I; n = Jumlah atribut Bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria ditentukan dengan formulasi sebagai berikut: …………..………………………………………..………(28) di mana : Pi = Proporsi atribut ke-i Vi = Bobot nilai atribut ke-i Wi = Bobot kriteria ke-i Setelah bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria diperoleh, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pengecekan konsistensi. Pengecekan konsistensi dilakukan untuk mengetahui apakah perbandingan berpasangan yang sudah dibuat masih berada di dalam batas kontrol penerimaan atau tidak. Apabila berada di luar batas maka dapat diartikan terjadi ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan menyebabkan hubungan pada matriks berpasangan menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Penyimpangan ini dinyatakan dengan Consistency Index (CI) yang diformulasikan sebagai berikut: ………………………………...……………..(29) di mana: λmax= eigen value maksimum; n = Ukuran matriks. Untuk mengetahui konsistensi penilaian yang dilakukan oleh pengambil keputusan, maka perlu dilakukan perhitungan Consistency Ratio (CR) yang diformulasikan sebagai berikut: ……………………………………………………….(30) di mana: CI = Consistency Index; RI = Ratio Index Nilai Ratio Index dapat dilihat pada tabel 7. Batasan diterima tidaknya konsistensi suatu matriks apabila nilai Consistency Ratio- nya lebih kecil dari 10%. Jika CR < 0.1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Jika CR > 0.1 maka maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten. Sehingga jika tidak konsisten, maka pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan pada unsur kriteria maupun alternatif harus diulang. Tabel 7. Rata-rata konsistensi acak (R1) Ukuran matriks Konsistensi acak 1 0 2 0 3 0,58 4 0,9 5 6 7 8 1,12 1,24 1,32 1,41 9 1,45 10 1,49 Untuk memudahkan dalam perhitungan menggunakan program Criterium Decision Plus. 4.4.5.2. Meyusun Model Kelembagaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi Menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM) Pemilihan responden untuk merancang model kelembagaan (ISM) menggunakan metode purposive sampling berdasarkan instansi/lembaga pemerintah, yaitu: Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 3) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, 4) Balai Penyuluh Pertanian (BPP), dan 5) Pemerintah daerah setempat (Camat Cikajang). 6) Perguruan tinggi, 7) Lembaga Pasar, 8) Lembaga Keuangan. Masing-masing instansi/lembaga dipilih 1 orang, sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 8 orang. Secara garis besar pengembangan model ISM meliputi 3 langkah: 1) Menentukan elemen penting yang harus dikaji sesuai dengan visi dan misi, 2) Menguraikan elemen-elemen terpilih menjadi sub elemen yang lebih rinci, dan 3) Melakukan pengolahan matrik dan dilanjutkan dengan pengelompokan sub elemen berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependence (D). Matriks perbandingan berpasangan Matriks perbandingan berpasangan ini menggunakan simbol-simbol sebagai berikut (Gambar 5): V , jika eij = 1 dan eji = 0 A , jika eij = 0 dan eji = 1 X , jika eij = 1 dan eji = 1 O , jika eij = 0 dan eji = 0 Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani. Kemudian dibandingkan baris ke kolom untuk hubungan antar faktor kunci dalam bentuk huruf (V, A, X, O). Gambar 5. Structural Self Interaction Matrics (SSIM) Reachability Matrix (RM) Setelah Structural Self Interaction Matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) dengan ketentuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) (Gambar 6). Klasifikasi Sub elemen Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent). Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X. Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage). Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X. Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent). Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X. Ket: Driver power = DP ; Rangking = R Dependence = D ; Level/hierarki = L Gambar 6. Reachability Matrix (RM) Gambar 7 menunjukkan Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power) dan D (Dependence). Adapun penyelesaian model menggunakan program ISM-Firman. Gambar 7. Sektor keterkaitan antara DP (Driver Power) dan D (Dependence) Jenis data, metode pengumpulan data, sumber data, dan teknik analisis data untuk masing-masing tujuan penelitian tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Tujuan penelitian, jenis, metode pengumpulan, sumber dan teknik analisis data N o Tujuan Penelitian (1) (2) 1 Melakukan prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani cabai 2 Menganalisis pendapatan usahatani, serta menganalisis kontribusi pendapatan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi Kabupaten Garut terhadap kebutuhan hidup layak petani Kegiatan Penelitian (3) Prediksi Erosi Jenis Data (4) Primer Curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rata-rata bulanan, curah hujan maksimum 24 jam bulanan, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik tanah, permeabilitas tanah, penggunaan lahan, panjang lereng, kemiringan lereng, pengelolaan lahan, kedalaman efektif tanah, laju pembentukan tanah dan masa pakai tanah. Analisis pendapatan Primer usahatani Luas pengusahaan lahan, Curahan tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja, upah tenaga kerja, penggunaan saprodi (bibit/benih, pupuk, pestisida, alsintan), Produksi, produktivitas, harga jual komoditas, keuntungan usahatani Analisis KHL Jumlah pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun setara beras, harga beras, jumlah anggota rumah tangga Metode Pengumpulan Data (5) Sumber Data Teknik Analisis Data (6) (7) Pengamatan dan Pengukuran Stasiun metereologi dan Lapangan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978) Wawancara Responden (petani) Analisis Pendapatan usahatani Wawancara Responden (petani) Analisis KHL pengeluaran tahun-1 setara beras (1) (2) 3 Mengkaji alternatif teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan produksi tanaman cabai (3) Percobaan petak erosi, ukuran 3 m x 20 m, dibuat pada kemiringan lereng 40%, Rancangan Lingkungan = RAK, dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan sebagai kelompok Jumlah satuan percobaan = 24, untuk menghitung nilai faktor CP dibuat petak pembanding secara terpisah sebanyak 3 ulangan total satuan percobaan erosi = 27 Menyusun model Pemilihan model pengelolaan usahatani usahatani konservasi cabai pada lahan dataran tinggi Primer Data sifat fisik-kimia tanah, kapasitas infiltrasi, aliran permukaan dan erosi, konsentrasi sedimen tersuspensi, jumlah C-organik, N, P, K di dalam sedimen, curah hujan, produktivitas tanaman 4 Data penelitian 3 Menyusun model kelembagaan usahatani (4) (5) Pengamatan dan Pengukuran (6) Lapangan (7) • Anova Sumber penelitian 3 Responden stakeholders Analisis sistem AHP Kebutuhan stakeholders Metode penelitian 3 Wawancara Kebutuhan stakeholders Wawancara Responden (stakeholders) Analisis sistem ISM • Uji BNJ BAB V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut 5.1.1. Letak Geografis dan Kependudukan Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut terletak diantara 6°57’34” - 7°44’57” LS dan 107°24’3” - 108°24’34” BT dengan luas wilayah sekitar 3.065,19 Km2 (BPS Kabupaten Garut, 2013). Secara umum sebagian besar wilayah Kabuaten Garut merupakan daerah dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit dan berupa pegunungan yang memiliki iklim tropis dengan curah hujan tinggi serta hari hujan yang banyak. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar luas wilayahnya dipergunakan sebagai lahan pertanian dan peternakan. Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan dengan potensi sumberdaya yang berbeda-beda. Kecamatan Cikajang merupakan kecamatan yang terletak di Garut bagian selatan. Kecamatan Cikajang terletak sekitar 26 km dari Ibu Kota Kabupaten Garut. Kecamatan Cikajang sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisurupan Kecamatan dan Cigedug, sebelah timur berbatasan dengan Banjarwangi, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cihurip dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan. Luas wilayah Kecamatan Cikajang sekitar 12.139,35 ha, terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, 37 Dusun, 111 Rukun Warga (RW) dan 496 Rukun Tetangga (RT) (BPS Kabupaten Garut, 2013). Jumlah penduduk Kecamatan Cikajang pada tahun 2013 sebanyak 82.658 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 20.529 kepala keluarga, dengan anggota rumah tangga antara 3 sampai 4 orang. Dengan luas wilayah sekitar 120,39 Km2 Kecamatan Cikajang memiliki kepadatan rata-rata sebanyak 613 jiwa/Km2 dengan sebaran yang tidak merata pada setiap desa. Jumlah desa di Kecamatan Cikajang sebanyak 12 (duabelas) desa, dimana luas setiap desa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Luas daerah menurut desa di Kecamatan Cikajang tahun 2013 Luas Daerah (ha) 1 Cipangramatan 1.756,00 2 Mekarjaya 790,95 3 Girijaya 281,10 4 Giriawas 1.495,01 5 Cibodas 206,80 6 Cikajang 100,10 7 Padasuka 110,23 8 Mekarsari 210,00 9 Simpang 2.036,00 10 Cikandang 1.199,21 11 Margamulya 1.809,96 12 Karamatwangi 2.144,00 Jumlah 12.139,35 Sumber : BPS Kabupaten Garut, 2013 No Desa % Luas Desa Terhadap Kecamatan 14,47 6,52 2,32 12,32 1,70 0,82 0,91 1,73 16,77 9,88 14,91 17,66 100,00 Sebagian besar penduduk Kecamatan Cikajang bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian di Kecamatan Cikajang mampu menyerap tenaga kerja hingga 9.559 jiwa atau 37,78% dari jumlah penduduk. Sektor pertanian di Kecamatan Cikajang meliputi bertani, berkebun dan beternak. Selain dari sektor pertanian, mata pencaharian penduduk Kecamatan Cikajang yaitu pedagang sebesar 26,11%, penjual jasa 5.90%, PNS/ TNI/ Polri 2,84%, dan buruh sebesar 27,37% (BPS Kabupaten Garut, 2013). 5.1.2. Kondisi Iklim dan Curah Hujan Kecamatan Cikajang terletak pada ketinggian 1.200 – 1.300 meter dari permukaan air laut dengan suhu udara 15 – 20 °C. Kecamatan Cikajang beriklim tropis basah (humid tropical climate), dimana iklim dan cuaca dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattem), topografi regional (bergunung) dan curah hujan, dimana jumlah curah hujan rata-rata sebesar 2.035 mm/th dan jumlah hari hujan rata-rata 175 hari. Tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim C (agak basah), dimana setiap tahunnya terdapat 8 bulan basah dan 4 bulan kering. Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Kecamatan Cikajang sesuai untuk pengembangan budidaya tanaman sayuran. 5.1.3. Topografi Topografi wilayah Kecamatan Cikajang berupa dataran tinggi dengan kemiringan lahan datar ( 0 – 8 %) seluas 1.858,68 ha, lahan bergelombang (8 – 15 %) seluas 2.184,39 ha, lahan curam (15 – 25 %) seluas 3.162,46 ha, dan lahan agak curam (25 – 45 %) seluas 3.676,21 ha dan lahan sangat curam ( > 45 %) seluas 1.257,61 (BPS Kabupaten Garut, 2013). Peta Topografi tertera pada Gambar 8. 5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah Kondisi geologis Kecamatan Cikajang terdiri atas tanah sedimen hasil letusan Gunung Papandayan dan Gunung Guntur dengan bahan induk batuan tuf dan batuan yang mengandung kwarsa. Jenis tanah di Kecamatan Cikajang terdiri asosiasi andosol mencakup areal seluas 9.851,2 ha (81,15 %), latosol coklat seluas 1.947,5 ha (16,04 %), dan regosol coklat seluas 340,65 ha (2,8 %). Tanah bertekstur halus tersebar pada hampir seluruh wilayah Kecamatan Cikajang yang mencakup areal seluas 8.423,72 ha (69,39 %) dan tanah bertekstur sedang mencakup areal seluas 3.715,63 (30,61 %). Gambar 8. Peta topografi Kecamatan Cikajang 5.1.5. Penggunaan Lahan Pemanfaatan lahan di Kecamatan Cikajang sebagian besar berupa perkebunan dan hutan. Luas lahan perkebunan seluas 4.261 ha atau 34,10% dan pemanfaatan hutan seluas 3.218 ha atau 25,75%. Perkebunan sebagian besar dikelola oleh perorangan atau kepemilikan pribadi sedangkan hutan merupakan tanah milik pemerintah UPTD Kehutanan yang dikelola bersama masyarakat setempat. Data penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Cikajang dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Penggunaan lahan di Kecamatan Cikajang No Penggunaan Lahan 1 Perkampungan 2 Industri 3 Persawahan 4 Pertanian semusim 5 Kebun campuran 6 Perkebunan 7 Padang, semak 8 Hutan 9 Perairan darat 10 Lain-lain Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Garut, 2013 5.2. Luas (ha) 893,00 2,25 218,00 1.701,00 851,00 4.195,00 16,10 3.148,00 56,00 1.059,00 12.139,35 Persentase (%) 7,36 0,02 1,80 14,01 7,01 34,56 0,13 25,93 0,46 8,72 100,00 Karakteristik Petani Cabai Kecamatan Cikajang merupakan salah satu daerah sentra produksi tanaman cabai terbesar di Kabupaten Garut (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut , 2013). Jumlah petani cabai di Kecamatan Cikajang (N) adalah 218 petani. Petani responden di Kecamatan Cikajang dipilih secara acak (random sampling). Jumlah respoden pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin (persamaan 1). Dengan demikian jumlah petani responden (n) adalah 69 petani yang tersebar di 12 (duabelas) desa. Usahatani yang dilakukan responden menggunakan sistem monokultur dan tumpang sari dengan tanaman sayuran lainnya seperti kubis, caisin, bawang daun dan tomat. Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi usia dan pengalaman petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap, budidaya dan pola tanam. 5.2.1. Umur dan Pengalaman Petani Responden Secara umum petani cabai masih tergolong pada kelompok umur produktif yaitu kisaran 20-50 tahun (sekitar 87,32 persen). Hal ini disebabkan dalam usahatani cabai dibutuhkan keterampilan dan tenaga fisik yang cukup kuat terutama pada kegiatan pemeliharaan. Tanaman cabai memiliki karakteristik budidaya yang lebih rumit dan umur yang lebih lama dibandingkan tanaman sayuran lain. Curahan waktu kerja dan frekuensi pekerjaan untuk tanaman cabai relatif lebih tinggi, mulai dari pengolahan lahan, penyemaian, pemupukan awal, pemasangan mulsa, penanaman, penyulaman, penyiangan, penyemprotan, penugalan, pengecoran, sampai pemanenan. Tahapan budidaya yang sedemikian banyak, menuntut petani untuk memiliki tenaga dan kondisi fisik yang kuat. Dalam satu periode panen, tanaman cabai paling tidak membutuhkan tiga kali penyiangan, delapan belas kali pengecoran, dan dua puluh empat kali penyemprotan. Oleh karena itu, kondisi dan kekuatan fisik menjadi hal penting yang harus diperhatikan petani, sehingga usahatani cabai ini lebih banyak dikelola oleh petani yang relatif muda. Sebaran petani responden berdasarkan umur dan pengalaman dapat dilihat pada Tabel 11. Menurut Nainggolan (2001) dalam Iryanti (2005) bahwa umur seseorang dapat mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Semakin muda umur petani diduga akan mempengaruhi kemampuan dan kemauan dalam mengadopsi inovasi. Para petani tersebut melakukan kegiatan usahatani sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga tingkat adopsi mereka terhadap inovasi dan sistem yang baru tinggi. Ditinjau dari pengalaman usahatani cabai, diketahui bahwa umumnya responden telah berpengalaman membudidayakan cabai diatas 5 tahun ( 85,51% responden). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani sudah cukup terampil dalam kegiatan usahatani cabai sesuai kondisi daerah penelitian. Adapun petani lainnya (14,49 % responden) tergolong petani baru yang mencoba mencari keuntungan dalam budidaya cabai. Dibandingkan jenis sayuran yang lain, cabai memberikan tantangan tersendiri bagi petani baru karena harganya yang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya. Tabel 11. Sebaran petani responden menurut umur dan pengalaman di Kecamatan Cikajang No Karakteristik Responden 1 Berdasarkan umur a. 21 – 30 b. 31 – 40 c. 41 – 50 d. 51 – 60 e. 61 – 70 2 Berdasarkan pengalaman tanam cabai a. 0 – 5 tahun b. 6 – 10 tahun c. 11 – 20 tahun Sumber : Data Primer (2014) Jumlah (Orang) Persentase (%) 20 22 16 8 3 28,99 31,88 23,19 11,59 5,80 10 22 37 14,49 31,88 52,62 5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden Inovasi dan teknologi baru yang berkembang dalam usahatani dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal dalam memperoleh dan mengaplikasikannya. Baik dari sisi produksi, pemasaran, pengolahan, maupun keuangan. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang beragam mulai dari jenjang SD, SMP SMA dan D1. Sebaran tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 12. Namun, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap kegiatan usahatani. Pengetahuan usahatani yang petani miliki berasal dari pengalaman bertani dan pengetahuan turun-temurun. Tabel 12. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan Cikajang Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) SD 27 SMP 19 SMA 10 D1 3 Jumlah 69 Sumber : Data Primer (2014) Persentase (%) 39,13 27,54 28,99 4,35 100,00 5.2.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan Luas lahan garapan cabai di daerah penelitian masih tergolong sempit, karena mayoritas petani melakukan usahatani cabai diatas luasan lahan 0,05 – 0,2 hektar (Tabel 13). Tabel 13. Sebaran petani responden berdasarkan luas garapan cabai di Kecamatan Cikajang Luas Lahan (ha) Jumlah (orang) 0,05 – 0,2 44 0,21 – 0,35 15 0,36 – 0,5 10 Jumlah 69 Sumber : Data Primer (2014) Persentase (%) 63,77 21,74 14,49 100,00 Pada umumnya petani menggarap lahan hanya satu persil. Hal ini disebabkan kepemilikan dan pengelolaan lahan yang sempit, artinya petani hanya mengelola lahan budidaya dalam satu hamparan. Petani yang memiliki persil lebih dari satu umumnya petani yang memiliki status lahan ganda yaitu lahan milik dan lahan non milik seperti sewa, sehingga mampu mengelola lahan pada dua lokasi yang berbeda. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki status tunggal dalam pengelolaan usahatani yaitu lahan milik atau lahan non milik bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Sebagian besar petani di Kecamatan Cikajang memiliki lahan sendiri untuk menjalankan kegiatan usahatani cabai merah. Namun ada sebagian kecil petani yang menyewa lahan untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Petani yang tidak memiliki lahan sehingga harus menyewa lahan untuk menjalankan usahataninya. Petani yang menjadi responden di Kecamatan cikajang rata-rata memiliki lahan sendiri, sehingga tidak memerlukan biaya usahatani tambahan untuk menyewa lahan. Hernanto (1996) menyatakan bahwa pengaruh status kepemilikan lahan terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain : a) Petani bebas mengelola lahan pertaniannya. b) Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. c) Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya. d) Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya. e) Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang dimilikinya. 5.2.4. Budidaya dan Pola Tanam Cabai Petani umumnya membudidayakan tanaman cabai pada triwulan pertama tahun 2013 (bulan Januari - Maret) agar petani dapat memanen cabai menjelang hingga setelah lebaran. Pemanenan-pemanenan akhir umumnya triwulan ketiga hingga masuk ke triwulan keempat tahun 2013 (bulan September-Oktober). Pada kondisi menjelang lebaran, petani memprediksi harga cabai akan meningkat. Sebagian besar petani menanam cabai dengan periode tanam 6 – 7 bulan sejak penyemaian benih. Namun, beberapa petani ada yang membiarkan tanaman hingga berumur 9-10 bulan dengan alasan memanfaatkan pembungaan kedua yang apabila tanaman dalam kondisi baik, mampu memberikan hasil paling tidak 50 persen dari hasil pembungaan pertama (Wawancara petani, 2013). Pada saat musim hujan, tidak banyak petani yang bersedia menanam cabai. Hal ini disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi menyebabkan tanaman mudah busuk dan rontok. Di samping itu, tanaman juga mudah terserang hama penyakit seperti antraknosa (patek), thrips, dan layu bakteri. Akan tetapi, kondisi cuaca di Kabupaten Garut yang beberapa tahun terakhir kurang dapat diprediksi, menyebabkan petani kesulitan untuk menentukan waktu tanam cabai yang paling tepat, dan juga dalam pemeliharaan tanaman. Bahkan sebagian petani mengalami gagal panen akibat turunnya hujan yang sulit diprediksi (Wawancara petani, 2013). Di samping prediksi cuaca, penentuan waktu tanam umumnya disesuaikan dengan waktu panen pertama dan panen raya. Rata-rata waktu panen pertama yang dibutuhkan tanaman cabai di lokasi penelitian adalah 100 hari untuk lahan yang tidak jauh dari pemukiman penduduk dan 110-120 hari untuk lahan di sekitar gunung. Panen raya biasanya terjadi pada panen ke-5 sampai panen ke-10 dengan jeda antar panen 4 hari sekali. Sebagian besar petani menginginkan panen raya terjadi menjelang ramadhan dan lebaran dikarenakan pada saat tersebut harga cabai naik, sehingga penyesuaian waktu tanam menjadi penting bagi petani (Wawancara petani, 2013). Secara umum, tahapan budidaya cabai di daerah penelitian terdiri dari persiapan lahan, penyemaian, pengolahan lahan, pemupukan dasar, pemasangan mulsa, penanaman, penyiangan, penyemprotan, pengecoran, dan pemanenan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan budidaya masingmasing petani berbeda. Namun, pada umumnya tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Penyemaian Tahapan paling awal dalam kegiatan usahatani cabai adalah penyemaian. Penyemaian merupakan kegiatan penebaran benih dalam bentuk biji untuk dijadikan bibit cabai yang siap tanam dan dipindahkan ke lahan budidaya. Penyemaian umumnya dilakukan di polybag dimana setiap polybag berisi 1-2 benih cabai. Selain polybag, beberapa petani menyemaikan benih cabai di tray pembenihan. Untuk mempercepat proses penyemaian dan menghindarkan calon bibit cabai dari serangan hama penyakit, areal semai biasanya ditutup dengan tudung (telungkup) yang terbuat dari plastik atau kain kasa pada malam hari, sedangkan pada siang hari dibiarkan terbuka agar calon bibit mendapatkan sinar matahari yang cukup. Umumnya lama waktu penyemaian adalah 25-30 hari sebelum bibit siap dipindahkan ke lahan budidaya. Jenis benih yang secara umum dipakai petani adalah Hot Beauty, Lembang 1, Tanjung 1, dan Tanjung 2 (BPTP, 2010). Persiapan lahan Tahapan ini dilakukan untuk mempersiapkan lahan budidaya bagi tanaman baru. Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan bekas tanaman lama dan pembuatan bedengan. Lama pengolahan lahan tergantung luas sempitnya lahan yang akan dijadikan areal budidaya. Biasanya petani di daerah penelitian menyiapkan lahan sambil menunggu benih tumbuh dan siap dipindah ke lahan. Oleh karena itu, mengetahui umur bibit yang siap dipindah ke lahan menjadi penting, agar persiapan lahan budidaya tidak terlambat atau terlalu cepat. Pada umumnya bedengan atau guludan di daerah penelitian dibuat searah lereng, terutama lahan-lahan di sekitar gunung. Gambar 9. Persiapan lahan dengan guludan searah lereng Pemupukan dasar Kegiatan mengolah tanah budidaya dengan pupuk dasar agar tanah budidaya menjadi subur dan siap untuk ditanami tanaman budidaya. Pupuk yang digunakan pada pemupukan dasar terdiri dari pupuk kandang dan pupuk kimia. Pupuk kandang yang umum dipakai didaerah penelitian adalah pupuk kandang kambing dan ayam. Sementara pupuk kimia yang biasa dipakai untuk pemupukan dasar adalah Urea, KCl, Sp-36/TSP dan NPK Phoska. Pemupukan dasar dilakukan beberapa hari sebelum bibit siap dipindah ke lahan budidaya.Tujuannya agar pupuk dasar terdekomposisi dengan sempurna dan tidak banyak terbuang akibat penguapan (BPTP, 2010). . Pemasangan mulsa plastik Tahapan ini dilakukan setelah pemupukan dasar. Meskipun tidak semua petani menerapkan mulsa plastik hitam perak, tetapi sebagian petani yang mempunyai modal menggunakannya karena dianggap hasil produksi lebih baik. Mulsa plastik memiliki dua sisi warna yang berbeda. Dalam penerapannya, warna hitam menghadap ke bawah, sementara disisi atas berwarna perak. Tujuannya adalah warna hitam atau gelap akan menghambat proses penguapan pupuk atau obat-obatan yang diaplikasikan ke tanah, juga menghambat sinar matahari menembus ke tanah sehingga tanah tetap lembab. Sedangkan sisi atas berwarna perak dan anti air agar ketika terjadi hujan, tanah areal budidaya tidak tergenang air. Mulsa plastik yang telah terpasang selanjutnya akan dilubangi sesuai dengan jarak tanam sebagai lubang tanam untuk masing-masing bibit cabai (BPTP, 2010). Gambar 10. Penggunaan mulsa plastik hitam perak Penanaman Tahapan ini dilakukan pada saat bibit telah siap dipindah ke lubang tanam yaitu sekitar 25-30 hari setelah persemaian. Penanaman dilakukan pada pagi hari dari jam enam hingga jam sepuluh atau sore diatas jam tiga. Hal ini dilakukan agar bibit yang dipindah dari polybag tanaman atau tray tidak mudah layu akibat sengatan matahari yang terlalu panas pada siang hari. Setelah penanaman, bibit yang sudah ditanam di lubang tanam akan disiram sehingga kegiatan ini tidak dilakukan pada siang hari ketika intensitas sinar matahari terlalu banyak. Penyiraman dilakukan agar bibit tidak gagal atau mati ketika dipindah ke lahan budidaya. Penyiangan Kegiatan ini biasanya dilakukan petani 3x selama periode tanam hingga panen terakhir pada petani yang menerapkan mulsa plastik. Penerapan mulsa cukup membantu petani mengurangi pertumbuhan gulma di sekitar areal budidaya tanaman, sehingga dapat menghemat tenaga kerja untuk penyiangan. Petani hanya membersihkan gulma yang tumbuh di parit-parit antar bedengan, karena paritparit tidak tertutup mulsa. Sedangkan petani yang tidak menerapkan mulsa plastik, penyiangan umumnya dilakukan 6-12x selama periode tanam. Hal ini dikarenakan petani harus membersihkan gulma yang cepat tumbuh tidak hanya di parit-parit antara bedengan tetapi juga gulma yang tumbuh di areal budidaya tanaman cabai. Jika tidak dibersihkan, maka keberadaan gulma akan mengganggu pertumbuhan tanaman cabai (BPTP, 2010). Pengecoran Tahapan ini merupakan pemupukan lanjutan yang diberikan agar tanaman budidaya terpenuhi kebutuhan nutrisinya. Pengecoran dilakukan dengan pemberian pupuk kimia dan zat pengatur tumbuhan (ZPT). Pupuk kimia yang biasa dipakai untuk pengecoran adalah NPK mutiara dan pupuk hayati, sedangkan ZPT yang umum dipakai adalah Gandasil B dan D, serta Supergro B dan D. Ratarata petani melakukan pengecoran sebanyak 12x selama satu periode tanam mulai dari tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST) sampai panen pertama umur 100 HST. Meskipun beberapa petani ada yang melakukan pengecoran hanya 6x, namun ada juga petani lain yang melakukan pengecoran hingga 16x (BPTP, 2010). Penyemprotan Penyemprotan merupakan kegiatan pemeliharaan dengan frekuensi paling banyak. Dalam satu periode tanam, petani rata-rata melakukan penyemprotan hingga 24x yaitu sejak tanaman berumur 10-14 HST hingga panen terakhir 6-7 bulan setelah tanam (BST). Banyak sedikitnya penyemprotan disesuaikan dengan keinginan petani untuk memerpanjang atau tidak umur budidaya. Semakin lama petani membiarkan tanaman budidaya sampai pada pembungaan kedua, maka penyemprotan akan dilakukan selama periode tersebut. Alasan penyemprotan sering dilakukan petani adalah untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman. Penyemprotan dilakukan dengan melarutkan obat-obatan baik padatan maupun cair ke dalam air. Obat-obatan ini terdiri dari insektisida dan fungisida. Beberapa fungisida yang berupa padatan biasanya diaplikasikan langsung ke dalam tanah melalui proses penugalan. Jenis hama penyakit yang sering dihadapi petani adalah patek (antraknosa), layu bakteri/ layu fusarium, daun menguning dan keriting (thrips), busuk pada tanaman (busuk batang, akar, daun, dan buah), serta rontok (rontok daun, bunga, dan buah). Dari jenis hama penyakit ini yang paling sulit diatasi menurut petani adalah patek. Banyak petani yang mengaku gagal panen jika tanaman budidaya sudah terserang patek, karena penyakit ini sangat cepat menular ke tanaman lain yang masih sehat. Petani juga mengakui belum ada obatobatan yang secara efektif menanggulangi hama patek. Sementara hama penyakit yang lain masih mampu diatas oleh petani dengan cara pengobatan maupun pencegahan (BPTP, 2010). Panen Panen dibedakan menjadi dua jenis yaitu panen biasa dan panen raya. Panen biasa terjadi pada saat panen cabai belum maksimal. Pembungaan cabai yang tidak serentak menyebabkan tingkat kematangan buah dalam satu pohon berbedabeda waktunya. Oleh karena itu, pemanenan cabai dilakukan berkali-kali. Namun pada waktu umur produktif tertentu, satu pohon cabai dapat menghasilkan buah maksimal sehingga hasil yang dapat dipanen jauh lebih banyak dari panen biasa yang disebut oleh petani sebagai panen raya. Masing-masing petani berbeda frekuensi panennya baik panen biasa maupun panen raya. Terdapat petani yang melakukan pemanenan hanya 12 kali kemudian tanaman di bongkar, tetapi ada juga petani yang membiarkan tanaman hingga dapat dipanen sampai 30 kali. Pada umumnya petani yang melakukan pemanenan 12-15 kali, panen raya terjadi pada panen ke-5 hingga ke-10, sedangkan sisanya merupakan panen biasa. Panen raya dicirikan dengan jumlah hasil panen yang jauh lebih banyak dibandingkan panen biasa. Tanaman cabai sudah dapat dipanen mulai umur 100 hari dan seterusnya dengan jarak antar panen di daerah penelitian umumnya 4-5 hari. Tanaman cabai di Kecamatan Cikajang ditanam secara monokultur dan tumpang sari. Pola tanam monokultur dilakukan oleh petani yang mengusahakan cabai dengan alasan ingin mendapatkan hasil yang optimal. Tanaman cabai dapat ditumpang sarikan dengan tanaman seperti kubis, caisin, bawang daun dan tomat. Sebanyak 65,42 % petani responden di Kecamatan Cikajang membudidayakan cabai merahnya secara monokultur dan sisanya sebanyak 34,58 % petani responden menanam cabai secara tumpangsari. Pada umumnya petani yang menggunakan pola tanam tumpangsari termotivasi karena efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penerimaan setinggi-tingginya. Petani cenderung menggunakan pola tanam tumpang sari dengan menanam cabai dan kubis dalam satu musim tanam, kemudian tanaman sayuran lain seperti caisin, bawang daun dan tomat dapat ditanam sebagai substitusi tanaman kubis. Hal tersebut dapat dilakukan karena tanaman cabai memiliki umur produktif selama 6 – 7 bulan dengan umur siap panen selama 3 bulan sedang umur produktif tanaman tumpangsarinya (kubis, caisin, bawang daun dan tomat) hanya berkisar 3 bulan saja (Wawancara petani, 2013). BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Prediksi Erosi pada Lahan Usahatani Cabai Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metoda untuk memperkirakan laju erosi yang terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu (Arsyad, 2010). Jika laju erosi yang akan terjadi dapat di prediksi dan laju erosi yang ditoleransi (ETol) sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan tindakan pengelolaan tanaman dan konservasi tanah yang yang tepat agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan secara produktif dan lestari (Suripin, 2002). Laju erosi yang terjadi diprediksi dengan menggunakan metode USLE. Pengukuran erosi dilakukan pada skala usahatani berdasarkan kondisi fisik lahan. Pada setiap lahan usahatani dianalisis besarnya faktor-faktor penentu erosi untuk selanjutnya dilakukan prediksi erosi. 6.1.1. Faktor Erosivitas Hujan Erosivitas hujan (R) adalah kemampuan hujan dengan energi kinetiknya untuk menimbulkan erosi pada suatu bidang lahan dalam waktu tertentu (EI30) (Asdak, 2007), dengan demikian erosivitas hujan (R) diperoleh dari pendekatan Energi Kinetis (EI30) yang diterima pada lahan usahatani cabai. Komponen erosivitas hujan terdiri dari curah hujan, hari hujan dan curah hujan maksimum selama 24 jam didapat dari stasiun curah hujan BMKG Kabupaten Garut selama 10 tahun dari tahun 2003 – 2012 seperti yang terdapat pada Lampiran 6.a – 6.c. Erosivitas hujan ditentukan oleh intensitas hujan, diameter butir hujan, distribusi hujan, dan kecepatan jatuh butir-butir hujan. Menurut Arsyad (2010) dari keempat sifat-sifat hujan tersebut, yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas hujan yang menunjukkan banyaknya curah hujan persatuan waktu. Berdasarkan data BMKG Kabupaten Garut pada Lampiran 6.a, jumlah curah hujan rata-rata di daerah penelitian tergolong tinggi yaitu sebesar 2.034,73 mm/th, dengan intensitas hujan rata-rata sebesar 75,17 mm/jam. Hasil perhitungan erosivitas hujan (Lampiran 7) diperoleh nilai erosivitas hujan tahunan (EI30) sebesar 1.516,46. Nilai erosivitas hujan bulanan berkisar antara 40,23 – 321,85 di mana erosivitas hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juli sedangkan erosivitas hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari. Besarnya erosivitas hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke permukaaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkannya (Wei dkk., 2009). 6.1.2. Faktor Erodibilitas Tanah Pada penelitian ini penentuan besarnya faktor erodibilitas tanah berdasarkan hasil analisis tanah sebanyak 69 sampel tanah dari lahan petani di Kecamatan Cikajang. Adapun hasil analisis faktor erodibilitas tanah dapat dilihat pada Lampiran 9. Data tersebut menunjukkan bahwa besaran nilai K bervariasi antara 0,171 – 0,274, dengan rata-rata nilai erodibilitas tanah adalah 0,222. Nilai erodibilitas ini termasuk dalam kategori sedang (0,21 – 0,32) berdasarkan klasifikasi nilai erodibilitas Dangler dan El-Swaify 1976 (Arsyad, 2010). Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan (O’Geen dkk., 2007; Wang dkk., 2013). Semakin besar nilai K, maka semakin peka suatu tanah terhadap erosi. Meskipun besarnya resistensi tersebut akan tergantung pada kemiringan lereng, besarnya erodibilitas tanah juga ditentukan oleh karakteristik tanah antara lain tekstur tanah, kandungan organik, stabilitas agregat tanah, dan permeabilitas tanah (Asdak, 2007; Arsyad 2010). Tekstur tanah sangat berperan terhadap besar kecilnya erodibilitas tanah. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah (Lampiran 8), tekstur tanah di Kecamatan Cikajang didominasi oleh tanah dengan partikel agregat halus (lempung liat, liat berpasir dan liat berdebu). Pada tanah dengan unsur dominan liat ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong kuat, liat juga memiliki kemampuan memantapkan agregat tanah sehingga tidak mudah tererosi (Soepardi, 1983; Hardjowigeno, 2003). Bahan organik tanah mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan agregat tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka semakin tinggi pula erodibilitasnya. Kandungan bahan organik tanah diukur berdasarkan kandungan karbon (C) tanah. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah (Lampiran 8), rata-rata besarnya C - organik tanah di Kecamatan Cikajang adalah 4,10 %, di mana nilai ini termasuk dalam kategori sedang (3 – 5%) (Arsyad, 2010). Struktur tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah. Berdasarkan hasil pengamatan struktur tanah di Kecamatan Cikajang mempunyai struktur tanah remah atau granuler (Lampiran 8) di mana struktur tanah granuler ini memiliki keporosan tanah yang tinggi sehingga akan meningkatkan laju infiltrasi tanah (Hardjowigeno, 2003). Permeabilitas memberikan pengaruh pada kemampuan tanah dalam meloloskan air, tanah dengan permeabilitas tinggi menaikkan laju infiltrasi. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis tanah (Lampiran 8), permeabilitas tanah rata-rata adalah 6,70 cm/jam di mana menurut Arsyad (2010) nilai ini tergolong dalam kelas sedang (6,3 – 12,7 cm/jam). 6.1.3. Faktor Lereng Faktor lereng L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran di Kecamatan Cikajang mempunyai kisaran panjang lereng antara 4,3 m – 15,8 m dan kemiringan lereng antara 8,5 % - 43,2% . Panjang lereng berperan terhadap besarnya erosi yang terjadi, semakin panjang lereng maka semakin besar volume aliran permukaan yang terjadi. Kemiringan lereng memberikan pengaruh besar terhadap erosi yang terjadi, karena sangat mempengaruhi kecepatan limpasan permukaan (Arsyad, 2010). Makin tinggi kemiringan lereng, maka kesempatan air untuk masuk kedalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya erosi. 6.1.4. Faktor Penutupan dan Pengelolaan Tanaman Faktor penutupan dan pengelolaan tanaman (C) dalam USLE adalah Rasio antara besarnya erosi dari tanah yang ditanami dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Faktor C ini mengukur pengaruh bersama jenis tanaman dan pengelolaannya. Pada umumnya (65,42 %) petani responden di Kecamatan Cikajang menanam tanaman cabai dengan sistem monokultur sepanjang tahun, sisanya (34,58 %) menanam tanaman cabai dengan sistem tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya. Berdasarkan tabel angka C yang diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor (Lampiran 3) diperoleh nilai C tanaman cabai monokultur adalah 0,9 dan nilai C tanaman cabai tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya adalah 0, 495. 6.1.5. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah Pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terhadap besarnya erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan tanaman (C). Faktor P adalah nisbah antara tanah yang tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi (Asdak, 2007). Beberapa nilai P telah dapat ditentukan berdasarkan penelitian tanah-tanah di Jawa seperti tersebut pada Lampiran 4. Tabel tersebut menunjukkan beberapa nilai P menurut kemiringan lereng dan bentuk usaha konservasi tanah yang diterapkan (Abdurachman dkk., 1984 dalam Asdak, 2007). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapang menunjukkan, hanya sekitar 12% petani cabai di dataran tinggi Kecamatan Cikajang yang mengelola lahannya mengikuti kaidah konservasi dengan membuat teras guludan memotong lereng dan penggunaan mulsa. Sekitar 88% lainnya mengelola lahan dengan sistem guludan dan arahnya mengikuti lereng. Berdasarkan tabel angka P yang diperoleh dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah Bogor (Lampiran 4), nilai P yang digunakan adalah nilai P untuk teras gulud dengan konstruksi sedang (P = 0,15) dan nilai P untuk teras gulud tradisional (P = 0,4). 6.1.6. Erosi yang di Toleransi Berdasarkan pedoman penetapan nilai Erosi yang di Toleransi (ETol) oleh Wood and Dent (1983) dalam Arsyad (2010), ETol dihitung pada tanah dengan kedalaman efektif sebesar 1.080,5 mm dan faktor kedalaman untuk sub order tanah andosol atau andept sebesar 1,0 (Hammer, 1981 dalam Arsyad, 2010). Dengan demikian kedalaman ekivalen tanah sebesar 1.080,5 mm. Kedalaman tanah minimum untuk tanaman pertanian semusim adalah 300 mm. Jika rata-rata laju pembentukan tanah sebesar 1,0 mm/th, bobot isi tanah rata-rata sebesar 0,83 gr/cm3, dan umur guna lahan selama 250 tahun, maka erosi yang dapat ditoleransikan di lokasi penelitian sebesar 34,21 ton/ha/th. 6.1.7. Prediksi Erosi dan Indeks Bahaya Erosi Setelah nilai dari faktor – faktor penentu erosi diketahui, kemudian dapat dilakukan analisis prediksi erosi (A), Erosi yang di Toleransi (ETol) dan Indeks Bahaya Erosi (IBE) seperti yang tertera pada Lampiran 10. Hasil perhitungan prediksi erosi dengan menggunakan metode USLE dapat dilihat pada Tabel 14. Jumlah erosi yang terjadi di lahan usahatani cabai merah termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan nilai Indeks Bahaya Erosi lebih dari 10 (IBE > 10). Tabel 14. Prediksi erosi, ETol dan IBE berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang. Pola Tanam Monokultur A ETol IBE Tumpangsari A ETol IBE Rata-rata A ETol IBE (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th ) Kemiringan lereng (%) 10 20 40 210,74 264,80 327,91 35,63 35,50 33,51 18,40 27,03 48,89 121,76 149,26 226,46 35,16 32,56 29,66 17,02 26,66 33,94 113,11 140,64 188,59 35,40 34,03 31,59 17,71* 26,85* 41,42* Rata-rata 267,82 34,88 31,44* 165,83 32,46 25,87* Sumber : Data primer (2014) Ket : * Sangat Tinggi, A = Erosi, ETol = Erosi yang ditoleransi, IBE = Indeks Bahaya Erosi Erosi yang sangat tinggi tersebut disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi di daerah penelitian yaitu sebesar 75,17 mm/jam. Menurut Printz (1999) dalam Hardiyatmo (2006) untuk intensitas hujan sekitar 30 – 60 mm/jam hanya sekitar 10% dari hujan yang menimbulkan erosi, tetapi untuk intensitas hujan yang lebih besar dari 60 mm/jam kemungkinan besar akan menimbulkan erosi. Sifat hujan yang sangat penting mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan, karena merupakan penyebab utama penghancuran agregat-agregat tanah (Asdak, 2007; Li dkk., 2009; Arsyad, 2010). Goro (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa intensitas hujan 60 mm/jam menghasilkan energi kinetik 27,45 joule/m2/mm dan setiap penambahan intensitas 10 mm/jam bertambah pula energi kinetiknya. Erosi yang sangat tinggi juga dipengaruhi oleh lahan usahatani terletak pada areal yang landai sampai curam, dimana 35,03% lahan petani berada pada kemiringan landai (10%), 35,13% lahan petani berada pada kemiringan agak curam (20%) dan 29,84% lahan petani berada pada kemiringan curam (40%). Tabel 14 menunjukkan bahwa kenaikan lereng sebesar dua kali lebih curam, maka erosi menjadi 1,25 – 1,5 kali lebih banyak. Dengan demikian semakin curam kemiringan lereng maka semakin besar erosi yang terjadi, jauh melebihi batas ETol. Kondisi kemiringan lereng yang curam tanpa tindakan KTA akan memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan, sehingga akan memperbesar energi angkut air. Selain itu semakin miring lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak (Hogarth dkk., 2004; Armand dkk., 2009; Arsyad, 2010). Efektivitas penutupan tanah dan pengelolaan tanaman yang rendah juga menjadi penyebab erosi. Berdasarkan Tabel 14, pola tanam monokultur memberikan nilai erosi lebih besar dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari dengan nilai erosi aktual jauh di atas ETol. Perbedaan erosi antar pola tanam tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai C masing-masing pola tanam, di mana nilai faktor C tanaman cabai monokultur adalah 0,9 dan nilai faktor C tumpangsari tanaman sayuran adalah 0,495. Disamping itu tidak efektifnya usaha konservasi tanah dan air, dimana sekitar 88% petani mengelola lahan dengan guludan searah lereng sehingga memberikan nilai faktor pengelolaan tanah (P) yang tinggi yaitu sebesar 0,4. Menurut Asdak (2007) faktor CP menunjukkan keseluruhan pengaruh vegetasi, serasah, kondisi permukaan tanah, pengelolaan tanaman dan pengelolaan lahan terhadap besarnya erosi. Semakin besar nilai Faktor CP maka semakin besar pula erosi yang terjadi (Zhang dkk., 2004). 6.2. Pendapatan Usahatani, Kontribusi Pendapatan Usahatani Terhadap Kebutuhan Hidup Layak Petani dan Keberlanjutan Usahatani 6.2.1. Pendapatan Usahatani Cabai Pendapatan usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilan kegiatan usahatani. Pendapatan usahatani juga memberikan gambaran mengenai keuntungan dan tingkat kelayakan dari kegiatan usahatani. Pendapatan usahatani cabai yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan usahatani tersebut. Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan Cikajang dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa usahatani cabai, baik yang diusahakan dengan pola tanam tumpangsari maupun monokultur pada semua kelas kemiringan lereng memberikan nilai BC rasio lebih dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pendapatan usahatani lebih besar dari biaya yang dikeluarkan atau memperoleh keuntungan sehingga layak untuk diusahakan. Tabel 15. Pendapatan dan kelayakan usahatani cabai di Kecamatan Cikajang berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng. Uraian Produksi Cabai (Kg) Produksi Kubis (Kg) Harga Cabai (Rp/kg) Harga Kubis (Rp/kg) Penerimaan Cabai Penerimaan Kubis Total Penerimaan Biaya Usahatani Pendapatan (Rp/ha/th) B/C Lereng 10 % Lereng 20 % Lereng 40 % Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur 4.531 4.612 3.825 3.884 3 093 3 103 1.918 0 1.514 0 1 269 0 ----------------------------------------------------------16.000------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1.500-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Rp/ha/th--------------------------------------------------------72.496.000 73.792.000 61.200.000 62.144.000 49.488 .000 49.648.000 2.877.000 0 2.421.000 0 1.903.550 0 75.373.000 73.792. 000 63.621.000 62.144.000 51.391.500 49.648.000 18 234.507 18.555.779 18.773.085 19.295.022 19.064.516 19.738.368 57.138 .493 55. 236.221 44.847.915 42.848.978 32.326.984 29.909.632 3,13 2,98 2,39 2,22 1,70 1,52 Sumber : Data primer (2014) Jika dilihat berdasarkan pola tanam, maka pola tanam tumpangsari lebih menguntungkan atau lebih layak diusahakan dibandingkan monokultur, di mana nilai BC rasio pola tanam tumpangsari selalu lebih besar daripada monokultur pada semua kelas kemiringan lereng. Perbedaan pendapatan dan nilai BC rasio antar pola tanam dan kemiringan lereng terutama disebabkan oleh perbedaan tingkat produktivitas, nilai penerimaan dan biaya usahatani. Dengan demikian tingkat produktivitas maupun nilai penerimaan yang tinggi belum tentu mencerminkan tingkat pendapatan atau nilai BC rasio yang tinggi apabila biaya yang dikeluarkan juga tinggi (Soekartawi, 2006). Produksi tanaman cabai yang sedikit lebih rendah pada pola tanam tumpang sari dibandingkan produksi tanaman pola monokultur di semua kelas kemiringan lereng (Tabel 15) diduga akibat adanya persaingan hara dengan tanaman tumpangsarinya (kubis) sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman utamanya (cabai). Namun dengan hasil produksi dari tanaman tumpangsari (kubis) maka total penerimaan usahatani lebih besar pada pola tanam tumpang sari daripada monokultur. Hal ini sejalan dengan penelitian Suwandi dkk. (2003) yang menyatakan bahwa sistem tumpangsari cabai dan tomat di dataran tinggi yang terkelola dengan baik selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman juga Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) melalui tambahan hasil tanaman tumpangsarinya. Produksi cabai pada lahan usahatani di Kecamatan Cikajang relatif rendah dibandingkan dengan potensi produktivitas cabai rata-rata Kabupaten Garut yang mencapai 10.520 kg/ha (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2013). Hal ini disebabkan oleh penurunan produktivitas lahan akibat erosi yang sangat tinggi pada lahan usahatani cabai (Tabel 14) sehingga penerimaan usahatani semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng. Erosi menyebabkan terkikisnya lapisan tanah atas yang banyak mengandung unsur hara sehingga menyebabkan produksi yang diperoleh seringkali di bawah potensi yang ada, dan produktivitas lahan semakin menurun (Suganda dkk., 1997; Suwandi, 2009). Hal ini juga berhubungan dengan penggunaan sarana produksi yang tinggi terutama penggunaan pupuk yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng (Gambar 11), sehingga semakin tinggi kemiringan lereng maka biaya sarana produksi semakin besar. Menurut Suganda dkk. (1997) dan Sumarni dkk. (2006) semakin curam lereng maka kehilangan hara terutama unsur N, P, K dalam tanah semakin besar akibat adanya erosi. Jika dilihat berdasarkan kemiringan lereng (Tabel 15), walaupun nilai BC rasio masih diatas 1, tetapi ada kecenderungan penurunan nilai BC rasio seiring dengan peningkatan kemiringan lereng, baik pada pola tanam tumpangsari maupun pada monokultur. Hal ini diakibatkan semakin curam lereng, maka semakin berkurang penerimaan usahatani dan semakin besar biaya usahatani yang harus dikeluarkan. Biaya usaha tani cabai menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar pola tanam pada setiap kemiringan lereng, terutama biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi yang harus dikeluarkan. Biaya usahatani secara lebih rinci disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Rincian biaya usahatani pada tiga kelas kemiringan lereng di Kecamatan Cikajang. Komponen Biaya Lereng 8 – 15 % Lereng 15 – 25 % Lereng 25 – 45 % Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Monokultur -----------------------------------------------------Rp ha-1th-1-------------------------------------------------------1. Biaya Tenaga Kerja - Pengolahan tanah - Pengapuran - Pemupukan 1 - Pemupukan 2 - Pembibitan - Penanaman - Penyulaman - Pemasangan Ajir - Pemupukan 3 - Penyeprotan - Penyiangan - Pemanenan JUMLAH (1) 2. Biaya Sarana Produksi - Benih - Pupuk - NPK (Phonska) - NPK (Mutiara) - Urea - ZA - KCl - SP 36 - Pupuk Kandang - ZPT Cair - ZPT Padat - Obat-obatan - Obat cair - Obat padat - Ajir - Tali - Polibag JUMLAH (2) Jumlah Biaya Usahatani 1.813.271 1.837.108 1.852.405 1.867.108 1.866.285 1.927.108 400.748 412.312 421.315 433.817 430.565 439.317 598.744 605.484 593.511 621.984 607.561 629.484 405.901 416.917 431.371 458.817 448.561 468.317 294.176 312.258 313.743 332.558 324.193 345.058 860.189 882.576 885.756 891.076 896.006 897.576 296.633 311.033 310.200 339.533 336.425 339.033 207.967 222.527 210.534 229.027 228.084 238.527 425.744 445.377 421.311 447.817 431.141 449.317 589.522 612.035 600.089 623.410 615.338 626.976 195.932 213.068 206.499 221.558 212.149 234.058 5.046.365 4.923.522 5.092.173 4.952.173 5.110.297 5.093.231 11.135.192 11.194.207 11.338.907 11.418.878 11.506.605 11.688.002 ---------------------------------------------------- Rp ha-1th-1----------------------------------------------532.667 506.933 562.667 524.400 571.333 531.067 423.324 612.600 171.493 162.440 166.684 212.791 1.800.000 246.533 387.833 436.556 646.333 173.733 166.367 171.243 217.453 1.936.389 242.593 380.093 429.853 635.200 172.100 165.220 169.716 215.956 1.904.167 251.822 398.222 446.667 680.000 176.067 170.400 175.778 222.111 2.076.667 255.555 405.555 433.956 643.700 174.457 165.960 169.957 216.264 1.906.667 259.600 413.500 455.911 693.500 177.583 171.900 177.500 223.850 2.122.500 261.778 417.778 808.611 444.833 960.556 59.950 109.000 7.099.315 18.234.507 850.000 432.870 1.017.593 65.083 118.333 7.361.572 18.555.779 888.333 460.889 1.003.333 62.700 114.000 7 434 178 18 773 085 995.833 472.222 1.088.889 66.000 120.000 7.876.144 19.295.022 931.389 484.500 1.005.278 64.350 117.000 7.557.911 19.064. 516 1.036.111 491.111 1.098.611 67.833 123.333 8.050.366 19.738.368 Sumber : Data primer (2014) Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar biaya usahatani adalah untuk membiayai tenaga kerja, dimana pengeluaran biaya tenaga kerja terbesar dipergunakan untuk upah panen, disusul biaya pengolahan tanah, penanaman, pemupukan 1 (pupuk kandang), penyemprotan, pemupukan 2 dan 3, pengapuran, penyulaman, pembibitan, penyiangan dan pemasangan ajir. Pengeluaran biaya tenaga kerja berbeda antara pola tanam monokultur dan pola tanam tumpangsari, dimana petani yang mengusahakan tanaman cabai dengan pola tanam monokultur lebih banyak membutuhkan tenaga kerja sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja lebih besar. Gambar 11. Grafik penggunaan pupuk berdasarkan kemiringan lereng pada pola tanam tumpangsari dan monokultur tanaman cabai di Kecamatan Cikajang. Pengeluaran biaya sarana produksi terbesar adalah untuk pembelian pupuk, yaitu pupuk kandang, NPK mutiara, NPK Phonska, ZPT padat, ZPT cair, SP 36, Urea, KCL, dan ZA. Selanjutnya berturut-turut untuk pembelian pupuk, plastik hitam perak, ajir, obat - obatan, benih, polibag dan tali. Besarnya pengeluaran untuk pembiayaan sarana produksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar pola tanam di setiap kemiringan lereng yang berbeda. Petani yang mengusahakan tanaman cabai dengan pola tanam monokultur lebih banyak mengeluarkan biaya sarana produksi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari. Menurut Sumaryanto (2005) tujuan dari mengatur pola tanam adalah untuk mengoptimalkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal dan manajemen yang dimiliki petani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. 6.2.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani Cabai Terhadap Kebutuhan Hidup Layak Petani Kebutuhan hidup layak adalah kebutuhan untuk hidup sehat minimal dari suatu keluarga petani dalam bentuk nilai nominal yang setara dengan total nilai kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan tabungan untuk jaminan hari tua sepasang kepala keluarganya. Oleh karena itu nilai KHL lebih besar dari nilai ambang kecukupan pangan (beras). Batasan mengenai KHL tersebut dapat dipastikan sebagai standar kebutuhan hidup yang lebih tinggi daripada sekedar cukup pangan, sandang dan perumahan sederhana yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup subsisten (Tim IPB, 2004). Menurut Sinukaban (2007), jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal setara beras 800 kg/kapita/th yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik minimal (KFM) 320 kg, kebutuhan kesehatan dan rekreasi 160 kg, kebutuhan pendidikan 160 kg, dan kebutuhan sosial, asuransi, dan lain-lain 160 kg. KHL petani ditentukan oleh harga beras rata-rata per kilogram dan jumlah anggota rumah tangga per kepala keluarga. Dengan harga beras rata-rata adalah Rp. 6.500 /kg dan jumlah anggota rumah tangga petani responden rata-rata 4,6 org/kk, maka KHL petani cabai di Kecamatan Cikajang rata-rata sebesar Rp. 23.920.000,- /kk/th Jumlah pendapatan usahatani cabai berdasarkan kemiringan lereng dan pola tanam, serta luas penguasaan lahan saat ini dapat digunakan untuk menghitung kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap KHL petani (Tabel 17). Tabel 17. Luas lahan garapan petani saat ini, pendapatan usahatani dan kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng. Pola Tanam Monokultur Tumpangsari Rata-rata Luas lahan (ha) Pendapatan (Rp/kk/th) Kontribusi (%) Luas lahan (ha) Pendapatan (Rp/kk/th) Kontribusi (%) Luas Lahan (ha) Pendapatan (Rp/kk/th) Kontribusi (%) Kemiringan lereng (%) 10 20 40 0,35 0,25 0,20 19.332.677 10.712.245 5.981.926 28,29 11,20 5,00 0,37 0,28 0,22 21.141.247 12.557.416 7.111.936 30,50 14,70 6,54 0,36 0,27 0,21 20.236.962 11.634.831 6.546.931 30,50 12,95 5,77 Rata-rata 0,27 12.008.949 14,83 0,29 13.603.533 17,98 Sumber : Data primer (2014) Tabel 17 menunjukkan semakin curam kemiringan lereng, maka kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL petani semakin rendah. Hal ini disebabkan luas lahan garapan petani yang semakin sempit dan pendapatan usahatani yang semakin berkurang seiring dengan kemiringan lereng yang semakin curam. Kontribusi pendapatan usahatani cabai pada kemiringan lereng 10%, 20% dan 40% berturut-turut adalah 30,50%; 12,95%; dan 5,77%. Menurut Adiyoga dkk. (2000) luas usahatani sayuran dataran tinggi di tingkat petani umumnya rata-rata hanya 0,2 – 0,3 ha. Selain disebabkan oleh kepemilikan atau lahan garapan yang sempit, kontribusi pendapatan usahatani yang kecil juga karena biaya usahatani cabai baik yang ditanam monokultur maupun tumpangsari relatif mahal, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Berdasarkan pola tanam, kontribusi pola tanam tumpangsari lebih tinggi daripada kontribusi pola tanam monokultur, dimana kontribusi pola tanam tumpangsari adalah 17,98% dan kontribusi pola tanam monokultur adalah 14,83%. Perbedaan kontribusi tersebut disebabkan pendapatan usahatani lebih tinggi karena ada tambahan hasil produksi dari tanaman tumpangsari (kubis). Kontribusi usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL baik pada pola tanam tumpangsari maupun monokultur di kemiringan lereng 20 % dan 40 % masih lebih rendah dari yang dilaporkan Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan, 2005), bahwa sumbangan pendapatan usahatani sayuran terhadap pendapatan rumah tangga petani mencapai 25 – 35 %. 6.3. Keberlanjutan Usahatani Cabai Dataran Tinggi Indikator keberlanjutan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi di Kecamatan Cikajang ditentukan berdasarkan nilai prediksi erosi dan pendapatan usahatani. Suatu usahatani dikatakan berlanjut apabila erosi yang terjadi pada suatu lahan usahatani lebih kecil atau sama dengan nilai ETol dan pendapatan usahatani lebih besar atau sama dengan nilai KHL petani (Sinukaban, 2007). Berdasarkan hasil prediksi erosi, hasil analisis usahatani dan hasil analisis KHL petani dibuat suatu hubungan yang menjelaskan keberlanjutan usahatani cabai dataran tinggi (Gambar 12). Gambar 12 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani pada pertanaman cabai monokultur dan tumpangsari di tiga kelas kemiringan lereng lebih kecil dari nilai KHL. Hal ini mengindikasikan usahatani cabai dataran tinggi di Kecamatan Cikajang belum menunjukkan indikator keberlanjutan ekonomi. Dalam rangka tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan, pendapatan petani yang cukup tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya. Dalam dimensi ekonomi, kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui produktivitas yang tinggi baik dari usahatani maupun di luar usahatani. Produktivitas dan pendapatan petani yang tinggi untuk dapat memenuhi KHL dapat diperoleh melalui pemilihan usahatani, komoditas dan agroteknologi yang tepat. Dengan demikian petani mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat melakukan kegiatan investasi termasuk teknologi untuk meningkatkan produktivitas/kualitas lahan (Adnyana, 1999; Khisa, 2002). Gambar 12. Grafik hubungan antara erosi, ETol, pendapatan usahatani, dan KHL petani berdasarkan pola tanam dan kemiringan lereng. Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa besar erosi di lahan usahatani jauh melebihi batas ETol, sehingga usahatani cabai daratan tinggi di Kecamatan Cikajang belum menunjukkan indikator keberlanjutan lingkungan. Erosi merupakan penyebab utama kerusakan/degradasi tanah. Dampak langsung erosi terhadap lingkungan dapat berupa kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, dan kemerosotan produktivitas tanah. Dengan demikian erosi merupakan faktor negatif pertama yang menentukan produktivitas dan profitability dalam konsep keberlanjutan (Minami, 1997). Hal ini didukung oleh Belcher dkk. (2004) yang mengemukakan bahwa karakteristik biofisik agro-ekosistem yang mencakup karakteristik tanah dan iklim merupakan critical determinant dari performa ekonomi dan keberlanjutan sistem produksi. Oleh karena itu konsekuensinya menurut Wolf dan Snyder (2003) keberlanjutan hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan. Derpsch dan Moriya (1998) menambahkan bahwa jika tanah yang hilang lebih besar daripada laju erosi yang dapat ditoleransikan, maka sistem pertanian berkelanjutan tidak mungkin dicapai. Oleh karena, itu diperlukan penyempurnaan teknik pengelolaan usahatani berupa teknik konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai. Konservasi tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan pada setiap usaha pertanian, sehingga level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan (Stocking, 1994; Wolf dan Snyder, 2003). 6.4. Penentuan Alternatif Teknik Konservasi Tanah Dan Air Untuk menjaga agar kerusakan tanah tidak terjadi dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan, maka nilai erosi harus ditekan menjadi sama atau lebih kecil dari nilai ETol, dengan mencari dan menerapkan tanaman/pola tanam (C) dan tindakan konservasi tanah (P) yang sesuai. Caranya adalah dengan membandingkan nilai ETol dengan erosi yang terjadi pada lahan tersebut tanpa tindakan konservasi, disebut erosi potensial. Rata-rata nilai CP berdasarkan kemiringan lereng tertera pada Tabel 18. Berdasarkan Tabel 18, Erosi potensial rata-rata pada kemiringan lereng 10, 20 dan 40 % berturut-turut sebesar 598,641 ton/ha/th; 835,158 ton/ha/th; dan 1.326,437 ton/ha/th. Jika nilai erosi yang ditoleransi rata-rata pada kemiringan lereng 10 % sebesar 35,42 ton/ha/th, kemiringan lereng 20 % sebesar 33,20 ton/ha/th, dan kemiringan lereng 40 % sebesar 33,07 ton/ha/th, maka nilai CP rata-rata yang digunakan untuk menekan erosi menjadi sama atau lebih kecil dari ETol pada kemiringan lereng 10, 20 dan 40 % berturut-turut sebesar 0,06; 0,04; dan 0,03. Dengan demikian alternatif tindakan konservasi yang direkomendasikan adalah guludan tanaman memotong lereng (nilai CP = 0,03 – 0,28) (Asmaranto dan Juwono, 2007). Tabel 18. Rata-rata nilai CP berdasarkan kelas kemiringan lereng Kemiringan Lereng RKLS (%) ton/ha/th 10 598.641 20 835.158 40 1.326.437 Sumber : Data primer (2014) ETol ton/ha/th 35,42 33,20 33,07 Nilai CP 0,06 0,04 0,03 Berdasarkan nilai faktor CP tersebut, maka dibuat suatu percobaan lapangan teknologi KTA yang lebih difokuskan pada penerapan guludan dengan penyempurnaan dari beberapa segi. Pada kenyataan di lapangan, budidaya tanaman cabai dataran tinggi dilakukan dalam guludan-guludan searah lereng. Oleh sebab itu perlu dicari ukuran dan bentuk guludan yang sesuai dengan agroekosistem dataran tinggi tanpa mengabaikan kebiasaan petani, namun dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi sampai batas yang ditoleransi, meningkatkan produksi tanaman dan pendapatan usahatani, serta dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) oleh petani setempat. 6.4.1. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Aliran Permukaan dan Erosi Pengukuran aliran permukaan dan erosi dilakukan selama periode musim tanam. Data hasil pengukuran aliran permukaan dan erosi pada setiap perlakukan disajikan pada Tabel Lampiran 15 dan 16. Analisis ragam masing-masing disajikan pada Tabel Lampiran 18. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tindakan konservasi tanah berpengaruh nyata terhadap aliran permukaan dan erosi tanah (Psig < 0,05). Rata-rata volume aliran permukaan dan kehilangan tanah akibat erosi dengan hasil uji hasil uji BNJ atau uji Tukey disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Pengaruh tindakan konservasi terhadap aliran permukaan dan erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Aliran Permukaan mm % CH TK1 (Kontrol) 253,35f 87,58 e TK2 195,89 67,72 TK3 92,74b 32,06 c TK4 130,76 45,21 TK5 203,57e 70,38 d TK6 143,56 49,63 TK7 60,21a 20,82 TK8 95,11b 32,88 Sumber : Data Primer (2014) Perlakuan Erosi 109,08f 28,74d 10,66b 18,43c 89,26e 19,29c 5,22a 11,46b Erosi (ton/ha) Jum PE 80,34 98,42 90,64 19,82 89,78 103,86 97,62 % PE 73,65 90,23 83,10 18,17 82,31 95,21 89,49 * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut BNJ * CH (curah hujan) = 289,26 mm (Lampiran 14) * % CH = persentase aliran permukaan terhadap curah hujan * Jum PE = Jumlah penurunan erosi terhadap kontrol * % PE = persentase penurunan erosi terhadap kontrol Berdasarkan hasil uji BNJ, perlakuan TK7 nyata paling efektif menurunkan aliran permukaan sebesar 60,21 mm dan erosi sebesar 5,22 ton/ha di bawah nilai ETol (34,21 ton/ha/th) dibandingkan kontrol (TK1), disusul kemudian perlakuan TK3 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 92,74 mm dan erosi sebesar 10,66 ton/ha/th, perlakuan TK8 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 95,11 mm dan erosi sebesar 11,46 ton/ha, perlakuan TK4 dan mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 130,76 mm dan erosi sebesar 18,43 ton/ha, perlakuan TK6 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 143,56 mm dan erosi sebesar 19,29 ton/ha, perlakuan TK2 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 195,89 mm dan erosi sebesar 26,74 ton/ha, dan terakhir perlakuan TK5 mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 203,57 mm dan erosi sebesar 89,26 ton/ha. Pengaruh perlakuan teknik konservasi tanah terhadap erosi dapat dilihat dari nilai persentase penurunan erosi terhadap perlakuan kontrol. Persentase penurunan erosi paling besar adalah pada perlakuan cabai tumpangsari + guludan memotong lereng (TK7). Hal ini selaras dengan penelitian Wezel dkk. (2002) dan Subekti (2004) bahwa sistem guludan horizontal sebagaimana kaidah teras, sangat efektif mengurangi laju erosi dan efektifitas guludan akan semakin meningkat apabila jarak guludan semakin dekat. Guludan memotong lereng sangat efektif dalam memperlambat aliran permukaan dan menahan serta menampungnya agar lebih banyak air yang meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi sehingga aliran permukaan dan erosi menjadi kecil (Zhang dkk., 2004; Shukle dan Lal, 2005; Asmaranto dan Juwono, 2007; Mawardi, 2013). Aliran permukaan dan erosi yang rendah pada lahan tanaman cabai tumpangsari dengan kubis selain disebabkan oleh guludan memotong lereng, juga disebabkan oleh jarak tanaman cabai dengan tanaman tumpangsarinya (kubis) yang rapat dan tersebar merata menutupi permukaan tanah. Hal ini sangat efektif mengurangi daya perusak hujan sehingga mengurangi butiran tanah yang terbawa aliran permukaan. Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa hanya 20,82 % dari jumlah curah hujan yang menjadi aliran permukaan pada guludan memotong lereng pola tanam cabai tumpangsari. Peranan penutupan tajuk dalam menurunkan persentase hujan yang mengalir sebagai aliran, selain karena adanya reduksi energi kinetik hujan juga karena lebih banyak curah hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman (Abas dkk. 2003; Auerswald dkk., 2006; Sumarni, 2006; ; Zhou dkk. 2008). 6.4.2. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Faktor Konservasi (Faktor CP) Perhitungan nilai faktor CP didasarkan pada erosi yang diperoleh pada setiap petak perlakuan (kombinasi dari faktor pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah) dan erosi yang diperoleh pada petak yang identik tanpa pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah atau petak pembanding, yang mana nilai faktor CP merupakan nisbah antara erosi pada petak perlakuan dengan erosi pada petak pembanding. Rata-rata erosi pada petak pembanding adalah sebesar 130,47 ton/ha. Nilai faktor CP perbulan selama musim tanam dapat dilihat pada Tabel Lampiran 15, sedangkan rata-rata nilai faktor CP pada berbagai perlakuan teknik konservasi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai faktor CP pada masing-masing tindakan konservasi tanah dan air Perlakuan Nilai CP TK1 (Kontrol) 0,84 TK2 0,22 TK3 0,08 TK4 0,14 Sumber : Data primer (2014) Perlakuan TK5 TK6 TK7 TK8 Nilai CP 0,68 0,15 0,04 0,09 Berdasarkan Tabel 20, perlakuan TK7 memberikan nilai CP yang lebih kecil disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6, TK2, TK5 dan TK1. Nilai faktor CP yang Rendah pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong lereng) disebabkan erosi yang juga rendah pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rata-rata nilai faktor CP dan erosi perbulan dapat dilihat pada Gambar 13. (a) (b) Gambar 13. (a) Rata-rata erosi perbulan (b) Nilai faktor CP per bulan. Gambar 13 menunjukkan bahwa pada bulan ke 1, 2, 3 dan 4 berturut nilai faktor CP mengalami penurunan, yang berarti peran dalam pengendalian erosi justru sebaliknya yaitu mengalami peningkatan atau jumlah tanah tererosi semakin kecil. Nilai CP berturut-turut menurun tipis, dengan mencermati tahapan dalam proses terjadinya erosi, bahwa perlakuan pola tanam dan guludan menjalankan fungsi konservasinya baik pada tahap pengangkutan ketika hujan berlangsung maupun pada tahap pelepasan agregat ketika terjadi aliran permukaan. Selain itu vegetasi melalui pertumbuhan akar dan tajuk tanaman turut berperan dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Gambar 14. Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP. Hubungan antara penutupan kanopi tanaman dan nilai faktor CP untuk perlakuan TK3 dan TK7 ditunjukkan pada Gambar 14. Berdasarkan pengamatan terhadap luas penutupan kanopi tanaman pada Gambar 14, nampak bahwa bahwa pada bulan 1 (umur tanaman 0 – 30 hari) tanaman cabai baik monokultur maupun tumpangsari masih berada pada fase awal pertumbuhan. Nilai faktor CP relatif lebih tinggi pada awal penanaman, dimana penutupan tajuk tanaman masih sangat rendah sehingga erosi yang terjadi tinggi. Pada bulan 2 dan 3 (umur tanaman 60 hari dan 90 hari) nilai faktor CP kemudian menurun sejalan dengan peningkatan penutupan tajuk tanaman, sehingga erosi juga menjadi menurun.Vegetasi memberikan pengaruh baik melalui fungsi proteksi permukaan tanah, energi hujan dan aliran permukaan, serta kegiatan perakaran dan aktivitas biologi yang lain sehingga menyebabkan penurunan nilai CP (Suripin, 2002; Mawardi, 2013). Ini artinya bahwa peran sinergi antara guludan dan tanaman cabai baik yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari dalam mengendalikan erosi nilainya sebagian ditentukan oleh peran vegetasi. 6.4.3. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terhadap Kehilangan Unsur Hara Peristiwa erosi tidak hanya mengakibatkan hilangnya lapisan olah tanah namun juga dapat mengurangi kesuburan tanah akibat terangkutnya hara tanaman baik dalam aliran permukaan maupun dalam tanah tererosi. Lapisan tanah bagian atas umumnya lebih subur (kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan dengan lapisan bawah. Tanah yang subur atau produktivitasnya tinggi yaitu tanah yang dapat menyediakan unsur hara yang sesuai bagi kebutuhan tanaman tertentu sehingga produktivitasnya tinggi. Unsur hara dalam tanah dapat berkurang karena terangkut pada waktu panen, pencucian, dan terangkutnya pada waktu proses erosi. Oleh karena itu diperlukan teknik konservasi tanah yang dapat menekan jumlah erosi dan dapat menurunkan jumlah C-organik serta unsur hara yang terbawa erosi. Pengukuran jumlah C-organik dan hara N,P dan K yang terbawa erosi dilakukan selama periode musim tanam. Adapun data hasil pengukuran jumlah C-organik dan hara N,P dan K yang terbawa erosi pada setiap perlakukan konservasi tanah disajikan pada Tabel Lampiran 17 dan analisis ragam masingmasing perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 19. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P, K dari dalam tanah (Psig < 0,05). Rata-rata kehilangan C-organik dan hara N, P, K tanah dengan hasil uji lanjut BNJ disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Pengaruh tindakan konservasi terhadap kehilangan C-Organik dan hara N, P, K tanah terbawa erosi di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Perlakuan C - Organik TK1 (Kontrol) 2.677,72e TK2 1.622,68c TK3 360,55a TK4 969,97b TK5 1.974,15d TK6 1.083,72b TK7 224,58a TK8 464,08a Sumber : Data primer (2014) Unsur Hara (kg/ha) N - Total P2O5 f 342,54 31,31f de 229,85 14,85e 80,32ab 5,68b 156,51cd 8,03c e 253,77 15,60e 175,57cd 12,00d a 44,11 3,51a 125,38bc 7,66c K2O 54,19e 25,64c 11,09ab 16,63ab 34,40d 18,43bc 9,34a 14,53ab *Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % m enurut BNJ Berdasarkan hasil uji BNJ pada Tabel 21, perlakuan TK7 nyata paling efektif menurunkan jumlah C-organik dan hara N,P,K yang hilang terbawa erosi dibandingkan kontrol (TK1), disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6, TK2, TK5 dan TK1. Hal ini disebabkan oleh jumlah C-organik dan hara N, P dan K yang hilang tergantung dari jumlah aliran permukaan dan tanah yang tererosi, dimana jumlah aliran permukaan dan erosi perlakuan TK7 nyata lebih kecil, disusul kemudian perlakuan TK3, TK8, TK4, TK6, TK2, TK5 dan TK1. Apabila erosi berjalan terus-menerus pada permukaan tanah, maka dengan sendirinya akan terangkut partikel liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang kaya akan unsur hara yang diperlukan tanaman (Wolf dan Snyder, 2003; El Kateb dkk., 2013). Oleh karena itu jumlah unsur hara yang hilang oleh erosi tergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam tanah yang tererosi (Utami, 2001; Chen dkk., 2013). Dalam peristiwa erosi, partikel-partikel halus tanah seperti liat terangkut terlebih dahulu dan partikel-partikel kasar lebih banyak mengendap, sehingga kandungan liat sedimen lebih tinggi dari kandungan tanah semula. Sementara itu, bahan organik dan unsur hara tanah umumnya terikat pada partikel bahan halus (liat), akibatnya bahan organik dan hara yang terkandung dalam tanah tererosi menjadi lebih besar (Fen Li, 2005; Auerswarld dkk., 2006). Jumlah C-organik terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah N, P dan K, disebabkan tanah yang terangkut oleh erosi adalah tanah lapisan atas/topsoil yang paling banyak mengandung karbon tanah dalam bentuk C-organik. Kehilangan bahan organik akibat erosi merupakan masalah yang serius karena mempercepat kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini karena penurunan bahan organik tanah berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, meningkatnya kepadatan, erodibilitas tanah dan pencucian serta menurunnya infiltrasi dan status hara tanah. Jumlah unsur N yang terbawa erosi pada semua perlakuan lebih besar dibandingkan dengan jumlah unsur P dan K (Tabel 21) disebabkan oleh unsur N di dalam tanah merupakan unsur hara yang berasal dari bahan organik tanah. Peningkatan jumlah unsur N di dalam tanah karena adanya peningkatan kandungan bahan organik tanah dan pemberian pupuk N serta melalui air hujan. Namun bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam tanah, selain unsur hara lainnya dengan perbandingan 100 :10:1:1: sangat sedikit (C : N : P : S : unsur mikro) (Hardjowigeno, 2003). Dengan demikian jumlah Corganik yang besar akibat terbawa erosi diikuti oleh jumlah N yang juga cukup besar. Sutono (2008) juga menyatakan bahwa kehilangan hara didominasi N khususnya nitrat karena hara ini memiliki mobilitas yang tinggi. Kehilangan hara kalium yang cukup besar dibandingkan dengan hara fosfor disebabkan kalium merupakan unsur yang sangat mudah hilang dan terbawa dalam aliran permukaan dan erosi. Menurut Tan (1996) ion K+ sangat sulit mengendap, sehingga ketika tidak dimanfaatkan oleh tanaman ion K+ akan cepat tercuci dari tanah. Unsur N dan K mempunyai sifat yang relatif mobile dibanding unsur P. Kehilangan hara fosfor yang relatif sedikit, karena walaupun merupakan anion tetapi umumnya P terikat kuat dalam partikel tanah (Hartono, 2008). Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatanai cabai pada lahan dataran tinggi dapa mempercepat degradasi lahan akibat erosi dan penurunan kandungan bahan organik tanah serta kehilangan hara tanah (Arsyad 2010), namun dengan konservasi tanah menggunakan tanaman penutup tanah dan teras gulud, erosi dan kehilangan bahan organik serta unsur hara dapat dikendalikan, karena kehilangan unsur hara berhubungan langsung dengan jumlah erosi serta merupakan fungsi dari konsentrasi C-organik dan unsur hara tersebut di dalam sedimen (Sinukaban 2007; Arsyad 2010). 6.4.4. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terhadap Pendapatan Usahatani Produksi tanaman dalam satuan luas tertentu ditentukan oleh kondisi pertumbuhan tanaman tersebut. Perbedaan perlakuan teknik konservasi tanah pada pertanaman cabai monokultur dan tumpangsari menyebabkan perbedaan pertumbuhan dan hasil produksi tanaman. Hal tersebut disebabkan dengan teknik konservasi tanah, jumlah tanah yang tererosi dan jumlah hara yang hilang berkurang cukup signifikan (Tabel 19 dan 21). Hasil analisis ragam biaya dan pendapatan usahatani masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 20. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap biaya dan pendapatan usahatani (Psig < 0,05). Ratarata biaya dan pendapatan usahatani dengan hasil uji lanjut BNJ disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Pengaruh tindakan konservasi terhadap produksi dan pendapatan usahatani di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Perlakuan TK1 (kontrol) TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Produksi (kg/ha) Cabai 4.320,7 8.645,0 9.365,0 9.066,3 4.126,7 8.548,0 9.206,3 8.947,3 Kubis 5.210,7 5.847,6 6.273,3 6.076,0 Penerimaan (Rp/ha) 69.130.667 138.320.000 149.840.000 145.061.333 73.842.667 145.539.500 156.711.312 152.271.333 Biaya (Rp/ha) Pendapatan (Rp/ha) B/C 19.078.641a 20.278.214ab 27.132.987de 25.445.341c 19.766.187ab 20.655.076b 27.318.668e 25.752.187cd 50.052.026a 118.041.786b 122.707.013bc 119.615.992b 54.076.480a 124.773.313bc 129.392.666c 126.519.146bc 2,62 5,82 4,52 4,70 2,74 6,01 4,74 4,91 Sumber : Data primer (2014) *Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut BNJ Tabel 22 menunjukkan bahwa perlakuan TK3 (cabai monokultur + guludan memotong lereng) memberikan hasil produksi cabai yang lebih tinggi yaitu 9.365 ton/ha. Selanjutnya perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong lereng) memberikan hasil produksi cabai sebesar 9.206 ton/ha dan kubis sebesar 6.273 ton/ha kubis. Meskipun hasil produksi cabai pada perlakuan TK7 lebih rendah dibandingkan perlakuan TK3, namun karena ada hasil produksi dari tanaman tumpangsarinya (kubis) menyebabkan penerimaan usahatani pada perlakuan TK7 lebih besar. Dengan hasil tersebut menepis anggapan bahwa teknik konservasi tanah dapat menurunkan hasil tanaman sayur-sayuran, sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dkk. (2004) bahwa penerapan teknik konservasi tanah berdampak pada pengurangan luas bidang olah yang selanjutnya berdampak pada pengurangan populasi dan produksi tanaman. Hal ini tidak terbukti karena guludan juga ditanami oleh cabai baik monokultur maupun tumpangsari sehingga tidak mengurangi hasil panen (produktivitas tanaman). Perlakuan teknik konservasi tanah guludan memotong lereng bukan hanya dapat menekan jumlah aliran permukaan dan erosi namun juga akan menurunkan input produksi terutama penggunaan pupuk, karena tanah dan hara yang terbawa aliran permukaan dari lahan pertanaman dapat dihambat, sehingga produktivitas tanah dapat dipertahankan dan tanaman dapat berproduksi dengan baik Selanjutnya hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa semua perlakuan teknik konservasi tanah layak secara ekonomi karena mempunyai nilai BC ratio lebih besar dari 1 yang berarti jumlah pendapatan usahatani lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan Tabel 22 perlakuan teknik konservasi tanah berpengaruh nyata terhadap biaya dan pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani nyata paling besar terdapat pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong lereng) yaitu sebesar Rp. 129.392.666,- /ha, dibandingkan kontrol (TK1). Pendapatan usahatani yang tinggi pada perlakuan TK7 disebabkan oleh tingginya penerimaan akibat hasil produksi dari tanaman cabai dan tanaman tumpangsarinya (kubis). Namun jika dilihat dari nilai BC rasionya, perlakuan TK6 (cabai tumpangsari + guludan searah lereng + teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 m) mempunyai nilai BC rasio 6,01. Nilai BC rasio tersebut lebih besar dari pada perlakuan TK7. Hal ini disebabkan oleh perbedaan biaya usahatani diantara perlakuan. Menurut Soekartawi (2006) pendapatan usahatani selain dipengaruhi oleh produksi tanaman juga dipengaruhi oleh biaya usahatani antara lain biaya benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Tabel 22 menunjukkan bahwa biaya usahatani nyata paling besar terdapat pada perlakuan TK7 (cabai tumpangsari + guludan memotong lereng) yaitu sebesar Rp. 27.318.668,-/ha dan berbeda nyata dengan biaya usahatani perlakuan TK1, TK2, TK5 dan TK6. Dalam penelitian ini meskipun ada penurunan penggunaan input pupuk pada masing-masing perlakuan konservasi tanah, namun pembuatan guludan pengendali erosi, dimana pembuatan guludan memotong lereng diasumsikan membutuhkan tambahan tenaga kerja 80 HOK/ha (BPTP, 2010) mengakibatkan adaya penambahan biaya usahatani. Hal ini sejalan dengan penelitian Aris dkk. (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap pendapatan usahatani wortel dataran tinggi Kota Batu Malang adalah biaya tenaga kerja. 6.5. Model Pengelolaan Usahatani Cabai Dataran Tinggi Berkelanjutan 6.5.1. Pemilihan Model Usahatani Konservasi Tanaman Cabai Dataran Tinggi Berdasarkan hasil analisis kelayakan teknis (erosi) dan analisis kelayakan ekonomi dari setiap perlakuan teknik konservasi tanah dan air yang berpengaruh pada sistem usahatani cabai dataran tinggi, diperoleh 6 (enam) alternatif model usahatani cabai dataran tinggi, antara lain : 1. Model TK2: Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam monokultur 2. Model TK3: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng pola tanam monokultur 3. Model TK4: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng miring 20° pola tanam monokultur 4. Model TK6: Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari 5. Model TK7: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng pola tanam tumpangsari 6. Model TK8: Model usahatani konservasi guludan memotong lereng miring 20° pola tanam tumpangsari Perumusan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi menggunakan AHP dengan alasan : 1. Komponen yang membangun model sangat kompleks, sehingga tidak bisa memaksakan untuk berpikir secara linier dalam merumuskan model tersebut, karena elemen-elemen dalam suatu sistem usahatani saling ketergantungan, 2. Merumuskan model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi harus mampu memilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mampu mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkatan (berhierarki), 3. Ada prioritas, yaitu berdasarkan tujuan agar responden (pakar) konsisten menetapkan berbagai prioritas dalam memilih suatu model, 4. Ada beberapa alternatif dalam memilih model, sehingga harus mampu menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif, 5. Tidak boleh memaksakan konsensus dalam memilih model, tetapi harus mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda. Pemilihan melibatkan pakar yang memiliki keahlian berkaitan dengan usahatani konservasi, antara lain: budidaya pertanian, pengelolaan sumberdaya lahan, tanah, agroklimat, dan sosial ekonomi pertanian. Petani sebagai pelaku utama dalam usahatani juga dilibatkan dalam pemilihan model. Elemen kriteria pemilihan model adalah (1) erosi di bawah erosi yang ditoleransi, (2) biaya terjangkau, (3) produktivitas meningkat, (4) pengurangan luas lahan, (5) kemudahan pembuatan dan perawatan, dan (6) kesuburan tanah meningkat. Secara sederhana hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15. Hierarki model pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada Tabel 23, menunjukkan bahwa nilai setiap elemen berada pada kisaran < 0,1 yang berarti penilaian elemenelemen dalam AHP oleh responden konsisten (Marimin, 2004). Kekonsistenan penilaian elemen oleh responden pakar ini penting untuk menghilangkan subyektifitas dalam memilih kriteria yang melibatkan persepsi yang berbeda-beda dari setiap pakar. Tabel 23. Hasil analisis Consistensi Ratio (CR) pada AHP model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut No Elemen 1 Fokus 2 Kriteria Variabel Pengelolaan UT tanaman cabai dataran tinggi Erosi di bawah ETol Biaya Terjangkau Produktivitas meningkat Pengurangan luas lahan Kemudahan pembuatan dan perawatan Kesuburan tanah meningkat Nilai Faktor 0,094 0,069 0,033 0,092 0,067 0,084 0,092 Sumber : Data Primer (2014) Hasil analisis pairwise setiap variabel dapat dilihat pada Tabel 24 dan Grafik hasil analisis AHP dapat dilihat pada Gambar 16. Dari hasil analisis AHP pengelolaan usahatani cabai di lahan dataran tinggi (Gambar 14) model TK6 menempati prioritas tertinggi dengan nilai eigen 0,268 atau 26,8%, diikuti dengan Model TK2 dengan nilai eigen 0,203 atau 20,3% ; Model TK7 dengan nilai eigen 0,185 atau 18,5%; Model TK3 dengan nilai eigen 0,155 atau 15,5% ; Model TK8 dengan nilai eigen 0,099 atau 9,9% dan terakhir adalah Model TK4 dengan nilai eigen 0,090 atau 9,0%. Gambar 16. Grafik hasil analisis AHP Hasil analisis AHP pada Tabel 24, dengan mempertimbangkan keenam elemen kriteria pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi, para pakar dan petani responden sepakat bahwa terpilihnya model TK6 (Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari) dengan elemen kriteria biaya terjangkau menempati prioritas utama dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian kemudahan pembuatan dan perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di bawah ETol (nilai eigen 0,282 atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai eigen 0,276 atau 27,6%), produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%), dan pengurangan luas lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%). Tabel 24. Tampilan hasil pairwise setiap variabel Lowest Level Erosi dibawah ETol Biaya terjangkau Produktivitas meningkat Pengurangan luas lahan Kemudahan pembuatan dan perawatan Kesuburan tanah meningkat Results Model TK2 0,194 0,250 0,205 0,152 0,215 0,191 0,203 Model TK3 0,174 0,144 0,161 0,149 0,157 0,172 0,155 Model TK4 0,102 0,075 0,089 0,092 0,092 0,081 0,090 Model TK6 0,282 0,326 0,267 0,225 0,317 0,276 0,268 Model TK7 0,234 0,169 0,174 0,148 0,131 0,182 0,185 Model TK8 0,126 0,088 0,096 0,077 0,090 0,081 0,099 Sumber : Data Primer (2014) Dari keenam model teknik konservasi yang diperkenalkan, model TK6 (Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari) merupakan teknik konservasi dengan biaya yang paling murah. Berdasarkan hasil analisis pengaruh perlakuan teknik konservasi tanah terhadap biaya usahatani pada Tabel 22, biaya usahatani model TK6 nyata lebih kecil dibandingkan biaya usahatani model TK3, model TK7, Model TK4 dan model TK8. Dengan demikian meskipun penerimaan usahatani model TK6 masih dibawah atau lebih kecil daripada model TK3, model TK7, Model TK4 dan model TK8, tetapi karena biaya produksi usahatani yang rendah pada model TK6 menyebabkan nilai BC rasio nya lebih tinggi dibandingkan dengan model yang lain. Hasil penelitian menunjukkan walaupun pengurangan erosi model TK6 tidak seefektif model lainnya, namun biaya yang dikeluarkan (terutama biaya tenaga kerja) untuk pembuatan model TK6 merupakan alternatif yang bersifat lebih ekonomis. Terpilihnya model TK6 juga didasari oleh pertimbangan kemudahan pembuatan dan perawatan. Berdasarkan hasil wawancara persepsi petani terhadap adopsi teknologi konservasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemudahan teknologi tersebut untuk diterapkan dan tidak bertentangan dengan sosial budaya masyarakat setempat. Teknologi konservasi model TK6 merupakan penyempurnaan yang tidak terlalu ekstrim dari model pengelolaan yang sudah di lakukan oleh petani selama ini. Pemilihan model TK6 karena lebih mudah dalam pengelolaan tanaman seperti penyiangan dan pembumbunan, disamping itu pengolahan tanah memakai cangkul lebih mudah, terutama pada lereng-lereng yang curam, sehingga membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan model konservasi guludan memotong lereng. Pemilihan model TK6 juga berdasarkan pertimbangan pencegahan hama penyakit tanaman terutama pada musim hujan, dimana dengan kondisi curah hujan yang tinggi, guludan searah lereng dengan guludan memotong lereng yang diberi jarak atau tidak terlalu rapat mencegah tergenangnya air hujan diantara guludan, sehingga tanaman tidak mudah terserang penyakit busuk daun dan layu bakteri. 6.5.2. Kelembagaan Model Usahatani Konservasi Tanaman Cabai Dataran Tinggi Kelembagaan merupakan suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Untuk memperoleh elemen kunci kelembagaan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi dilakukan kajian mengenai keterkaitan antar elemen. Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kelembagaan ini adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi. Dari 9 elemen yang dikembangkan oleh Saxena (1994), berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dipilih 3 elemen yang berpengaruh secara dominan, yaitu : 1) Tujuan penerapan model, 2) Kendala utama penerapan model, dan 3) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan penerapan model. 1. Elemen Tujuan Penerapan Model Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di lapangan, elemen tujuan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi diuraikan lagi menjadi 7 sub elemen tujuan, yaitu: 1) peningkatan produktivitas tanaman, 2) peningkatan peluang kerja dan usaha, 3) penurunan laju erosi dan sedimentasi, 4) peningkatan pendapatan usahatani, 5) pelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan, 6) peningkatan partisipasi petani dalam upaya konservasi tanah dan air, dan 7) peningkatan pendapatan daerah. Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan dapat dilihat pada Lampiran 21. Hubungan kontekstual antar sub elemen dapat digambarkan dalam plot kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub elemen tujuan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17. Berdasarkan diagram pada Gambar 17, hanya ada 2 kelompok, yaitu sektor II atau dependent yaitu sub elemen tujuan 1, 2, 4 dan 7, serta sektor IV atau independent yang terdiri dari sub elemen tujuan 3, 5 dan 6. Hal ini berarti dalam pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi yang menjadi pendorong utama (driver power) atau sebagai variabel bebas adalah penurunan laju erosi dan sedimentasi, pelestarian lingkungan dan peningkatan partisipasi petani dalam upaya konservasi tanah dan air. Independent Autonomous Linkage Dependent Gambar 17. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen tujuan Kelompok selanjutnya yaitu sub elemen tujuan yang masuk dalam sektor II atau dependent, yang artinya bahwa sub elemen tujuan tersebut tidak bebas sangat tergantung pada sub elemen lainnya. Kelompok dependent terbagi ke dalam 3 level, yaitu sub elemen tujuan 1 dan 4 pada level yang sama, dan sub elemen tujuan 2 dan 7 pada dua level yang berbeda. Sehingga dari diagram di atas bisa disusun diagram yang disebut digraph, yang menunjukkan stuktur hirarki sub elemen tujuan seperti pada Gambar 18. Level 1 7 Level 2 2 4 Level 3 Level 4 3 1 5 6 Gambar 18. Struktur hirarki sub elemen tujuan Gambar 18 menunjukkan bahwa dari tujuh sub elemen tujuan ada empat tingkat hierarki dimana sub elemen tujuan 3, 5, dan 6 (penurunan laju erosi dan sedimentasi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan partisipasi petani dalam upaya konservasi tanah dan air ), berada pada level 4 merupakan elemen kunci keberhasilan penerapan model usahatani cabai pada lahan dataran tinggi. Sub elemen tujuan 1 dan 4 (peningkatan produktivitas tanaman dan peningkatan pendapatan usahatani) berada pada level 3. Sub elemen tujuan 2 (peningkatan peluang kerja dan usaha) dan sub elemen tujuan 7 (peningkatan pendapatan daerah) masing-masing berada pada level 2 dan 1, merupakan peubah bebas yang memiliki kekuatan penggerak kecil dan sangat tergantung pada sub elemen tujuan lainnya. 2. Elemen Kendala Utama Penerapan Model Hasil identifikasi elemen kendala penerapan model usahatani cabai dataran tinggi diperoleh 5 sub elemen kendala, yaitu: (1) tingkat pendidikan petani rendah, (2) kepemilikan lahan sempit, (3) kemampuan modal petani terbatas, (4) harga hasil usahatani fluktuatif dan (5) informasi teknologi kurang/terbatas. Hubungan kontekstual antar subelemen dapat digambarkan dalam plot kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub elemen kendala penerapan model usahatani cabai dataran tinggi seperti diperlihatkan pada Gambar 19. Linkage Independent 3,5 4 Autonomous 2 1 Dependent Gambar 19. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen kendala Gambar 19 memperlihatkan sebaran kelima sub elemen sesuai dengan ordinatnya dan masuk ke dalam tiga kelompok yaitu sektor I atau autonomous, sektor II atau dependent dan sektor IV atau independent. Sub elemen kendala yang termasuk independent adalah sub elemen 3 dan 5 (kemampuan modal petani terbatas dan informasi teknologi kurang/terbatas). Hal ini berarti bahwa ke dua sub elemen kendala tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar atau sebagai variabel bebas dalam penerapan model usahatani cabai dataran tinggi. Sub elemen kendala 1 dan 2 (tingkat pendidikan petani rendah dan kepemilikan lahan sempit) termasuk ke dalam dependent. Artinya bahwa sub elemen kendala tersebut tidak bebas sangat tergantung pada sub elemen lainnya. Tingkat pendidikan petani rendah dan kepemilikan lahan sempit dapat diatasi dengan tindakan dari sub elemen kendala lainnya. Sub elemen kendala harga hasil usahatani fluktuatif termasuk ke dalam autonomous, artinya bahwa sub elemen kendala tersebut tidak berkaitan dengan sistem kelembagaan usahatani meskipun mempunyai hubungan yang sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga tidak dapat dikendalikan oleh kelembagaan usahatani tetapi harus ada kelembagaan khusus yang menangani masalah tersebut. Kekuatan pasar tidak hanya ditentukan oleh kondisi di daerah setempat tetapi sangat tergantung pada kondisi pasar di daerah lain. Berdasarkan kekuatan penggerak dapat digambarkan diagram struktur hirarki yang disebut digraph dari elemen kendala, seperti diperlihatkan pada Gambar 20. Level 1 1 4 2 Level 2 Level 3 4 1 3 5 Gambar 20. Struktur hirarki sub elemen kendala Gambar 20 menunjukkan bahwa dari lima sub elemen kendala ada tiga tingkat hierarki dimana sub elemen kendala 3 dan 5, yaitu kemampuan modal petani terbatas dan informasi teknologi rendah/terbatas berada pada level 3 yang merupakan elemen kunci keberhasilan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi. Sub elemen kendala 2, yaitu kepemilikan lahan sempit berada pada level 2 merupakan peubah tidak bebas yang tergantung pada sub elemen kendala 1 dan 4, yaitu tingkat pendidikan petani rendah dan harga hasil usahatani fluktuatif. 3. Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksanaan Penerapan Model Hasil identifikasi elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan penerapan model usahatani cabai pada lahan dataran tinggi diperoleh 8 sub elemen lembaga, yaitu : 1) Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 3) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, 4) Balai Penyuluh Pertanian (BPP), 5) Pemerintah daerah setempat (Camat Cikajang). 6) Perguruan tinggi, 7) Lembaga Pasar, 8) Lembaga Keuangan. Hubungan kontekstual antar sub elemen dapat digambarkan dalam plot kekuatan penggerak dan ketergantungan masing-masing sub elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan penerapan model usahatani cabai pada lahan dataran tinggi seperti diperlihatkan pada Gambar 21. Berdasarkan diagram pada Gambar 21, diketahui bahwa lembaga yang berperan dalam pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi sebagian besar berada pada Sektor III atau Linkages (pengait) dari sistem ini. Sub elemen lembaga dari 1 sampai 6 berada pada posisi ini, yang berarti tindakan dari lembaga-lembaga ini akan mendukung keberhasilan dari pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi, sedangkan jika tidak dilakukan tindakan dari lembaga ini, maka pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi tidak dapat berjalan dengan baik. Independent 7,8 Linkage 5 3 Autonomous 2 4 1 6 Dependent Gambar 21. Diagram hasil analisa driving power dan dependency power sub elemen lembaga Sub elemen lembaga 7 dan 8 (lembaga pasar dan lembaga keuangan) berada pada Sektor IV atau Independent, yang berarti variabel ini mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar. Berdasarkan kekuatan penggerak dapat digambarkan diagram struktural yang disebut digraph dari elemen lembaga, seperti diperlihatkan pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukkan bahwa dari delapan sub elemen lembaga ada empat tingkat hierarki dimana sub elemen kendala 7 dan 8, yaitu lembaga pasar dan lembaga keuangan berada pada level 4 yang merupakan elemen kunci keberhasilan penerapan model usahatani cabai dataran tinggi. Sub elemen lembaga 5, yaitu Pemerintah daerah setempat (Camat Cikajang) berada pada level 3, selanjutnya sub elemen lembaga 2 dan 4 yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) berada pada level 2, dan terakhir sub elemen lembaga 3, 1 dan 6, yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan Perguruan Tinggi berada pada level 1. Level 1 sampai level 3 merupakan peubah linkages (pengait) yang dapat mendukung sub elemen lembaga 7 dan 8. Level 1 Level 2 3 1 4 2 5 Level 3 Level 4 6 7 8 Gambar 22. Struktur hirarki sub elemen lembaga Berdasarkan elemen kunci pada elemen tujuan, kendala, dan lembaga dapat dikembangkan interaksi langsung antara kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelayanan pendukung. Kegiatan penelitian oleh elemen lembaga balai penelitian pertanian dan perguruan tinggi dilakukan untuk mencapai elemen kunci tujuan, yaitu mengendalikan laju erosi dan sedimentasi yang akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Kegiatan penyuluhan oleh elemen lembaga balai penyuluh pertanian dilakukan untuk mengatasi elemen kendala tingkat pendidikan rendah dan informasi teknologi rendah/terbatas. Pelayanan pendukung seperti elemen lembaga pasar dan lembaga keuangan untuk mengatasi kendala kemampuan modal petani terbatas dan harga hasil usahatani yang fluktuatif. 6.6. Implikasi Kebijakan Penerapan model pengelolaan usahatani cabai pada lahan dataran tinggi pada dasarnya adalah suatu kegiatan usaha pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan mengendalikan laju erosi. Hal ini dimaksudkan agar produktivitas dan kualitas tanah tetap terjaga, sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Model teknologi konservasi yang dihasilkan adalah bersifat pencegahan dan perbaikan bukan perubahan. Pencegahan agar erosi tanah tidak terus berlangsung dalam jumlah besar dan perbaikan kesuburan tanah akibat terjadi penurunan kualitas tanah. Rancangan model teknologi yang dihasilkan secara teknis mampu mengendalikan erosi dan secara finansial menguntungkan. Disamping itu model yang diintroduksi tidak bertentangan dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat dan sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah setempat serta memperhatikan aspirasi dan kemampuan petani. Komponen yang terlibat dalam pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi adalah sebuah sistem yang utuh dan menyeluruh. Dalam prosesnya, harus ada sebuah mekanisme komunikasi yang intensif mengarah pada sebuah misi bersama, pengelolaan secara terpadu. Model komunikasinya berlangsung dalam sebuah mekanisme yang dialogis dan partisipatif diantara pemangku kepentingan (stakeholders). Pada pelaksanaannya di lapangan, lembaga yang terkait langsung dalam penerapan model pengelolaan usahatani cabai dataran tinggi adalah: 1. Balai penelitian/pengkajian yang berperan menyiapkan materi penyuluhan dan teknologi serta advokasi kelembagaan terkait. 2. Penyuluh pertanian (Dinas Pertanian dan atau Badan Penyuluh Pertanian Kabupaten dan Kecamatan) yang berperan dalam menyampaikan informasi teknologi, manajemen usaha, finansial, dan pengembangan jaringan usaha. Penyampaian informasi teknologi bisa berupa penyuluhan masal, konsultasi di laboratorium lapang, maupun kunjungan lapang. 3. Dinas Pertanian berperan menyiapkan informasi pasar dan permodalan usahatani, memperkuat kelembagaan usahatani, advokasi dan pengembangan jaringan usaha. 4. Asosiasi komoditas, berperan dalam menyediakan informasi pasar dan konsultasi pengembangan jaringan usaha. 5. Lembaga keuangan di desa, yang berperan menyediakan bantuan modal usahatani. Kerjasama antara petani dengan lembga-lembaga di atas dapat terwujud jika petani terkoordinasi dalam kelompok tani, oleh karena itu kelembagaan kelompok tani harus aktif. Kelembagaan usahatani konservasi akan sangat menunjang tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi. Namun kemampuan yang dimiliki petani terbatas terutama modal, sehingga pemerintah perlu membuat suatu kebijakan. Alternatif kebijakan yang dibuat antara lain kebijakan pembayaran jasa lingkungan bagi masyarakat yang ada di luar tempat kejadian atau pemberian insentif untuk usaha-usaha tindakan konservasi yang dilakukan oleh petani. Insentif kepada petani yang menerapkan konservasi akan memberikan dampak cukup besar terhadap nilai pendapatan usahatani. Bentuk insentif dapat dilakukan dengan mensubsidi modal kepada petani yang mengerjakan usahatani konservasi, terutama untuk pembuatan teras gulud. Pembuatan teras gulud memerlukan biaya tinggi, yaitu Rp 2.500.000 – 5. 000.000 per hektar. Sistem pemberian modal dengan cara bergulir (revolving) melalui kelompok tani, dikembalikan setelah tanaman berproduksi dengan cara dicicil sesuai dengan kesepakatan di dalam kelompok tani. Menurunkan standar atau membebaskan pajak tanah bagi petani yang mengerjakan usahatani konservasi juga dapat dijadikan bentuk insentif/subsidi pemerintah. Namun hingga saat ini pajak tanah bagi lahan usahatani masih tergolong rendah, masih terjangkau oleh petani sehingga subsidi yang diberikan akan sangat kecil. Bentuk subsidi seperti ini mungkin akan berlaku untuk masa yang akan datang. Bentuk insentif lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah pemberian kredit usahatani dengan bunga pinjaman rendah dan sistem pembayaran dicicil setiap musim panen. Penyaluran pinjaman dapat dilakukan melalui lembaga keuangan mikro (LKM) di desa dan sekaligus juga untuk mengembangkan LKM yang sudah ada di desa. BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Erosi yang terjadi di lahan usahatani cabai lebih besar dari batas erosi yang ditoleransi (34,21 ton/ha/th) dan termasuk dalam kategori sangat tinggi (nilai IBE > 10). Rata-rata erosi pada kemiringan 10% sebesar 113,11 ton/ha/th, kemiringan 20% sebesar 140,64 ton.ha-1.th-1dan kemiringan 40% sebesar 188,55 ton/ha/th. Pola tanam monokultur memberikan nilai erosi lebih besar yaitu 267,82 ton/ha/th dibandingkan dengan pola tanam tumpang sari yaitu 165,83 ton/ha/th. 2. Pendapatan usahatani cabai eksisting pada lahan dataran tinggi Kecamatan Cikajang lebih rendah dari KHL petani (Rp. 23.920.000,- kk/th). Kontribusi pendapatan usahatani cabai pada kemiringan lereng 10%, 20% dan 40% berturut-turut adalah 30,50%; 12,95%; dan 5,77%. Berdasarkan pola tanam, kontribusi pola tanam tumpangsari lebih tinggi daripada kontribusi pola tanam monokultur, dimana kontribusi pola tanam tumpangsari adalah 17,98% dan kontribusi pola tanam monokultur adalah 14,83% 3. Teknik konservasi guludan memotong lereng dengan berbagai penyempurnaan dapat diterapkan pada lahan dataran tinggi karena mampu menurunkan erosi ≤ ETol (34,21 ton/ha/th), menurunkan jumlah C-organik dan unsur hara yang terbawa erosi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan meningkatkan pendapatan usahatani ≥ KHL (Rp. 23.920.000 kk/th), sehingga keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dapat tercapai. 4. Nilai faktor pengelolaan tanaman dan faktor konservasi (nilai faktor CP) Cabai monokultur + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter adalah 0,22; Cabai monokultur + guludan memotong lereng adalah 0,08; Cabai monokultur + guludan memotong lereng miring 20° adalah 0,14; Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter adalah 0,15; Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng adalah 0,04 dan Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng miring 20° adalah 0,09 5. Model usahatani konservasi guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari terpilih dengan pertimbangan elemen kriteria biaya terjangkau menempati prioritas utama dengan nilai eigen 0,326 atau 32,6%, kemudian kemudahan pembuatan dan perawatan (nilai eigen 0,317 atau 31,7%), erosi di bawah ETol (nilai eigen 0,282 atau 28,2%), kesuburan tanah meningkat (nilai eigen 0,276 atau 27,6%), produktivitas meningkat (nilai eigen 0,267 atau 26,7%), dan pengurangan luas lahan (nilai eigen 0,225 atau 22,5%). Penerapannya perlu didukung dengan subsistem kelembagaan agar tercipta hubungan sinergis antara elemen terkait kegiatan penelitian, penyuluhan, dan pelayanan pendukung. 7.2. Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa dengan pertimbangan biaya terjangkau dan kemudahan dalam pembuatan dan perawatan, maka penerapan teknik konservasi tanah dan air yang efektif pada tanah andisol dataran tinggi Kecamatan Cikajang adalah guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng setiap jarak 6,60 meter pola tanam tumpangsari (Model TK6). 2. Secara teknis dan ekonomi teknik konservasi guludan memotong lereng pola tanam tumpangsari (Model TK7) lebih baik diterapkan, oleh karena itu diharapkan agar lembaga keuangan dan lembaga penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam memberikan kemudahan kredit usahatani dan menyampaikan informasi teknologi maka kendala keterbatasan modal petani dan keterbatasan informasi teknologi dapat diatasi. DAFTAR PUSTAKA Abas, A., Soelaeman, Y., dan Abdurachman, A., 2004. Keragaan Dampak Penerapan Sistem Usahatani Konservasi terhadap Tingkat Produktivitas Lahan Perbukitan Yogyakarta. J. Litbang Pertanian, 22:49-56. Abdurachman, A. dan Sutono, S., 2002. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlereng. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering : Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 103-145. Adiyoga, W., Ameriana, M., Suherman, R., Soetiarso, T.A., Udhiarto, B.K., dan Sulastrini, I., 2000. Sistem Produksi Beberapa Jenis Sayuran di Indonesia. J. Hort. 9(2):258–265. Adnyana, M.O.,1999. Farming Systems Research In Indonesia : Lesson Learn And Future Direction. Dalam Goto J, Mayrowani H, editor. Learning from the Farming Systems Research Experiences in Indonesia. Proceeding of CASER-JIRCAS International Workshop; Bogor, 3-4 March 1999. Japan: JIRCAS. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. hal 19-36. Agus, F., Irawan, Nurida, N.L., Dariah, A., dan Husen, E., 2006. Konversi Lahan Pertanian Sebagai Suatu Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan dan Kualitas Lingkungan. Prosiding Seminar Multifungsi dan RevitalisasiPertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. pp. 101–121. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2013. Profil Kawasan Cabai di Kabupaten Garut. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura. Garut. Anwarudinsyah, M.J., Sukarna dan Satsijati, 1993. Pengaruh Tanaman Lorong dan Mulsa Pangkasnya Terhadap Produksi Tomat Dan Bawang Merah dalam Lorong. J. Hortikultura, 3(1): 7 – 12. Aris, S., Hanani, N., dan Muhaimin, A.W., 2013. Pengaruh Tingkat Penerapan Usahatani Konservasi Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Wortel di Kecamatan Bumiaji Kota Batu. J. Agrise, 13(3) : 221 – 231. Armand, R., Bockstaller, C., Auzet, A.V., dan Van Dijk, P., 2009. Runoff Generation Related to Intra Field Soil Surface Characteristics Variability: Application to Conservation Tillage Context. Soil Tillage Res. 102:27–37. Arsanti, I.W., dan Boehme, M., 2006. Sistem Usahatani Tanaman Sayuran di Indonesia: Apresiasi Multifungsi Pertanian, Ekonomi dan Eksternalitas Lingkungan. Seminar Multifungsi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Lido, 26 – 27 Juni 2006. Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Asmaranto, R., dan Juwono, 2007. Analisis Laju Erosi dan Arahan Konservasi di DAS Pikatan Mojokerto Berbasis Sistem Informasi Geografis. J. Teknik, 14(1):5–17. Auerswald, K., Gerl, G., dan Kainz, M., 2006. Influence of Cropping System on Harvest Erosion under Potato. Soil and Tillage Research, 89:22–34. [BALITKLIMAT] Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian skala 1:1 000 000 . Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [BALITTANAH] Balai Penelitian Tanah, 2004. Laporan Akhir. Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-Ekologi skala 1:50.000 di Kabupaten Temanggung. Provinsi Jawa Tengah. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. [BALITBANGTAN] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian. Jakarta. Bayazit, O. dan Karpak, B,. 2005. An AHP Application in Vendor Selection. Departement of Business Administration, College of Business. Washington. Belcher, K.W., Boehm, M.M., dan Fulton, M.E., 2004. Agroecosystem sustainability : A system simulation model approach. J Agric System, 79(5):225-245. Berke, T.G., Black, L.L., Green, S.K., Morris, R.A., Talaker, N.S., dan Wang, J.F., 2005. Suggested Cultural Practices For Sweet Pepper. Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) Publication, 9:9–49. Bosland, P.W., dan Votava, E. J., 2000. Peppers: Vegetables And Spice Capsicums. Cabi Publishing. New York. Bosland, P.W., dan Lindsey, D.L., 1991. A Seeding Screen For Phytophthora Root Rot Of Pepper, Capsicum Annuum. J.Plant Disease, 75: 1048-1050. Bourgeois, R., 2005. Analytical Hierarchy Process: an Overview, UNCAPSAUNESCAP. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Kabupaten Garut 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Indonesia 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPTP] Badan Pengkajian Teknologi Pertanian, 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai (Capsicum Annuum L.). Badan Penelitian dan Pengembagan Pertanian. Jakarta. Brown, R.E., Havlin, J.L., Lyons, D.J., Fenster, C.R., dan Peterson, G.A., 1991. Long-Term Tillage And Nitrogen Effects On Wheat Production In A Wheat Fallow Rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. Chechland, P. B., 1981. Systems Thinking. Systems Practices. Wiley Chichester. Chen, L., Liu, D.F., Song, L.X., Cui, Y.J., dan Zhang, G., 2013. Characteristis of Nutrient Loss by Runoff in Sloping Arable Land of Yellow-Brown under Different Rainfall Intensities. J. Environmental Science, 34(6):2151–2158. Dariah, A., Haryati, U., dan Budhyastoro, T., 2004. Teknologi Konservasi Mekanik. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 109-132. Dariah, A., 2007. Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia, 29(1):7–10. Derpsch, R. dan Moriya, K., 1998. Implications Of No-Tillage Versus Soil Preparation On Sustainability Of Agricultural Production. Dalam Blume HP, Eger H, Fleischhauer E, Hebel A, Reij C, Steiner KG, editor. Towards Sustainable Land Use. Advances in Geoecology, 31:1197-1186. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2013. Produksi Sayuran Tahun 2008 – 2012 Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/924 [29 Agustus 2013]. El Kateb, H., Zhang, H., Zhang, P., dan Mosandl, R., 2013. Soil Erosion and Surface Runoff on Different Vegetation Covers and Slope Gradients: A Field Experiment in Southern Shaanxi China. J. Catena, 105(6):1–10. Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Erfandi, D., Kurnia, U., dan Sopandi, O., 2002. Pengendalian Erosi Dan Perubahan Sifat Fisik Tanah Pada Lahan Sayuran Berlereng. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk, Cisarua 3031 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Buku II. Hal 277-286. [FAO] Food and Agriculture Organization, 2000. Selected Indicators of Food and Agriculture Development in Asia Pacific Region, 1989 – 1999, FAO Regional Office For Asian and The Pacific, Bangkok, Thailand. Fen Li, Z., 2005. Effects of Accelerated Soil Erosion on Soil Nutrient Loss After Deforestation on the Loess Plateau. Pedospkere, 15(6): 707-715. Firmansyah, 2007. Prediksi Erosi Tanah Podsolik Merah Kuning Berdasarkan Metode USLE di Berbagai Sistem Usahatani: Studi Kasus di Kabupaten Barito Utara dan Gunung Mas. J. Pengkajian dan Pengembang Teknologi Pertanian, 10:2–29. Gangcai, L., Zhang, J., Tian, G., dan Wei, C., 2005. The Effects of Land Uses on Purplish Soil Erosion in Hilly Area of Sichuan Province, China. Journal of Mountain Science, 2(1):68–75. Gao, F., Li, M., dan Nakamori, Y., 2003. Critical System Thinking as a Way to Manage Knowledge. Sis. Res. 20: 3-19. Goro, G.L., 2008. Kajian Pengaruh Intensitas Hujan pada Jenis Tanah Regosol Kelabu untuk Kemiringan Lereng yang Berbeda. Wahana Teknik Sipil, 13(2):86–98. Gunaeni, N., dan Wulandari, A.W., 2010. Cara Pengendalian Non Kimiawi Terhadap Serangga Vektor Kutu Daun dan Intensitas Serangan Penyakit Virus Mosaik pada Tanaman Cabai. J. Hort., 20(4):68–76. Gunawan, O.S., 2005. Uji Efektivitas Biopestisida sebagai Pengendali Biologi terhadap Penyakit Antraknos pada Cabai. J. Hort., 15(4):297-302. Hardiyatmo, H.C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hartono, A., 2008. The Effect of Calcium Silicate on The Phosphorus Sorption Characteristic of Andisols Lembang West Java. J. Tanah Lingk., 10(1) :14 – 19. Hartrisari, 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Harwood, R. R dan Kassam, A. H., 2003. Research Towards Integrated Natural Resources Management. Interim Science Council. Centre Directors Committee on Integrated Natural Resources Management. FAO. Rome. Hidayat dan Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 1-34. Hogarth, W.L., Parlange, J.Y., Rose, C.W., Sander, G.C., Stenhuis, T.S., dan Barry, A., 2004. Soil Erosion Due to Rainfall Impact with Inflow : An Analytical Solution with Spatial and Temporal Effect. J. Hidrology, 295(14):140–148. [IISR] India Institute og Spices Research., 2006. Chilli peppers Database Varities. http://www.iisr.org/spices/chilli.php (1 Maret 2012). Juarsah, I., Haryati, U., dan Kurnia, U., 2002. Pengaruh Bedengan Dan Tanaman Penguat Teras Terhadap Erosi Dan Produktivitas Tanah Pada Lahan Sayuran. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua-Bogor, 30-31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Buku II. Hal 207-219. [KEPAS] Kelompok Peneliti Agroekosistem, 1988. Pendekatan Agroekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering. Hasil Penelitian di Empat Zone Agroekosistem Jawa Timur. Bogor: KEPAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian dan The Ford Foundation. Khisa, K.S.. 2002. Farming practices and sustainable development in the Chittagong Hill Tracts. dalam: Khan NA, Alam MK, Khisa SK, editor. Farming Practices and Sustainable Development in the Chittagong Hill Tracts. Banglades: CHT Devlopment Board Government of the People’s Republic of Bangladesh. Hal. 49-60. Kurnia, U., Sulaeman, Y., dan Muti, A., 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Tinggi. Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. Kurnia, U., Suganda, H., Erfandi, D., dan Kusnadi, H., 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Kurnia, U., Sudirman, dan Kusnadi, H., 2005. Teknologi Rehabilitasi Dan Reklamasi Lahan. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif Dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hal. 147-182. Larson , W.E., dan Osborne, G.J., 1982. Tillage Accomplishments And Potential. In Predicting Tillage Effects On Soil Physical Properties And Processes. ASA Special Publ. No. 44. Lihawa, F.,Partuti, I.M., dan Nurfaika, 2014. Sebaran Aspek Keruangan Tipe Longsoran di Daerah Aliran Sungai Alo Provinsi Gorontalo. J. Manusia dan Lingkungan, 21(3):277-285. Li, Y.X., Tullberg, J.N., Freebairn, D.M., dan Li, H.W., 2009. Functional Relationship between Soil Water Infiltration and Wheeling Rainfall Energy. Soil Tillage Res., 104:156–163. Lombart, D., 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan – kerajaan Konsentris. Penerbit. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Manuwoto., 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan Daerah. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991. Marimin, 2004. Teori dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Cetakan pertama. Jakarta. Grasindo. PT. Gramedia. Mawardi, 2013. Analisis Faktor Konservasi Kombinasi Teras Nikolas dan Tanaman Kacang Tanah (Faktor CP untuk Teras Nikolas + Kacang Tanah). Wahana Teknik Sipil, 18(2):30–40. Medina, S.M., Narioka, H., Garcia, J.N.M., dan Mastur, 2000. Soil Conservation and farming Systems on Slope Land in Indonesia and the Philippines. J.Jpn. Soc. Soil Phys., 84:57-64. Minami, K., 1997. How To Achieve Sustainable Agriculture. Dalam: Approriate Use of Inputs for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity Organization. Hal. 86-108. Mitchell, B., Setiawan, B., dan Rahmi, D.H., 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Muhammadi, E., Aminullah, dan Soesilo, B., 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press. Munasinghe, M., 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. Washington, D.C. USA : The World Bank. Nelson, W.A., Kahn, B.A., dan Roberts, B.W., 1991. Screening Cover Crops For Use In Conservation Tillage System For Vegetables Following Spring Plowing. Hort.Sci., 26 : 860-862. Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian Lahan Kering Di Indonesia : Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija. USAID. Bogor. Nurmi, 2009. Keefektifan Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif dalam Menekan Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Pertanaman Kakao. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Nursjamsi, D., Sutriadi, M.T., dan Kurnia, U., 2002. Penelitian Teknologi Pemupukan P dan K Lahan Kering Berdasarkan Uji Tanah. Draft Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kesuburan Tanah dan Iklim. Bogor: Balai Penelitian Tanah-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agoklimat. O’Geen, A.T., Elkins, R., dan Lewis, D., 2007. Erodibility of Agricultural Soils. University of California Division of Agriculture and Natural Resources, Publication 8195. http://anrcatalog.ucdavis.edu. Pasandaran, E., 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 25(4):123–129. Pernezny, E. K., Roberts, P. D., Murphy, J. F. dan Goldberg, 2003. Compendium of Pepper Diseases. APS Press, St. Paul. N. P., Pfister, F., Bader, H.P., Scheidegger, R., dan Baccini, P., 2005. Dynamic Modelling Of Resource Management For Farming Systems. Agricultural Systems, 86 : 1–28. Pranadji, T., 2006. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan untuk Pengelolaan Agrosistem Lahan Kering. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prasetyo, B.H., dan Suriadikarta, D.A., 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengolahan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering diIndonesia. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 25(2):39– 46. [PUSLITTANAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal 37. [PUSLITTANAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003. Penilaian Lahan untuk Tanaman Cabai. Bogor. Rachman, H. P. S., Suhartini, S. H., dan Hardono, G. S., 2004. Prospek Ketahanan Pangan Nasional (Analisis Dari Aspek Kemandirian Pangan). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Respati, E., Hasanah, L., Wahyuningsih, S., Sehusman, Manurung, M., Supriyati, Y., dan Rinawati, 2014. Konsumsi Pangan Indonesia. Buletin Konsumsi Pangan, 4(3):17–22. Rustiadi, 2001. Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan FaktorFaktor Penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saaty, T.L., 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Komplek. Ir.Liana Setiono [Penerjemah]. Terjemahan dari: Decision Making for Leader, The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. 1986. University of Pitsburgh. 322 Mervis Hall. Pitsburgh. Sajogjo, 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP. IPB. Bogor. Sanchez, P.A., l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan. Penerjemah : J.T. Jayadinata. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. Santoso, D., Purnomo, J., Wigena, I.G.P., dan Tuherkih, E., 2004. Teknologi Konservasi Vegetatif. Olah tanah konservasi. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 77- 108. Santoso, D., dan Sofyan, A., 2005. Pengelolaan Hara Tanaman Pada Lahan Kering. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif Dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal. 73-100. Sarief, S., 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Saxena, J.J.P., 1992. Haerarchy and Classification of Program Plan Elements Using ISM. J. Practice, Vol 5(6) 651-670. Semangun, H., 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sevila, C.G., Ochave, J.A., Punsalam, T.G., Regala, B.P., dan Uriarte, G.G., 1993. Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Shukle, M.K., dan Lal, R., 2005. Erosional Effect on Soil Physical Properties in an on-Farm Study on Alfisols in West Central Ohio. J. Soil Sci. Am., 170(6): 445–456. Sitorus, S.R.P., 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito. Bandung. Sinukaban, N., 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi. Dalam: Sinukaban N., Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Direktorat Jenderal RLPS. Departemen Kehutanan. Jakarta. pp. 226–241. Soekartawi, 2006. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Soepardi, G., 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soetiarso, T.A., dan Setiawati, W., 2010. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem Tanam Dua Varietas Cabai di Dataran Tinggi. J. Hort., 20(3): 84–98. Soleh, M., dan Arifin, Z., 2003. Usahatani Berbasis Tanaman Kentang di Lahan Berlereng Dataran Tinggi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Sterman, J.D., 2000. System Dynamics : System Thinking and Modeling for a Complex World. Boston : Irwin/McGraw-Hill. Stocking, M., 1994. Soil Erosion And Conservation : A Place For Soil Science Dalam: Syers JK, Rimmer DL, editor. Soil Science and Sustainable Land Management in The Tropic. Cab. International and British Society of Soil Science. Hal. 28-40. Subagyo, H., Suharta, N., dan Siswanto, A.B., 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Subekti, 2004. Efektivitas Guludan dalam Mengendalikan Erosi Lahan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Suganda, H., Djunaedi, M.S., Santoso, D., dan Sukmana, S., 1997. Pengaruh Cara Pengendalian Erosi Terhadap Aliran Permukaan, Tanah Tererosi Dan Produksi Sayuran Pada Andisols. J. Tanah dan Iklim, 15(2):38-50. Sukmana, S., 1995. Teknik Konservasi Tanah Dalam Penanggulangan Degradasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan Dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah Dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah Dan Agroklimat, Bogor. Hal. 23-42. Sumarni, N., Hidayat, A., dan Sumiati, E., 2006. Pengaruh Tanaman Penutup Tanah dan Mulsa Organik terhadap Produksi Cabai dan Erosi Tanah. J. Hort., 16(3):197–201. Suripin, 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta. Suryaningsih, E.R., Sutarya, dan Duriat, A.S., 1996. Penyakit Tanaman Cabai Dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. Hal. 64-83. Sutapraja, H. dan Asandhi., 1998. Pengaruh Arah Guludan, Mulsa Dan Tumpangsari Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kentang Serta Erosi Di Dataran Tinggi Batur. J. Hortikultura, 8(1): 106-113. Sutono, S., 2008. Kerugian Petani Akibat Erosi. Warta Sumberdaya Lahan, 3(4):1–5. Sutrisna, N. dan Surdianto, Y., 2007. Pengaruh Bahan Organik dan Interval sertaVolume Pemberian Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kentang di Lahan Dataran Tinggi Lembang. J. Hort, 17:224-236. Sutrisna, N., Sitorus, S.R.P., Pramudya, B., dan Harianto, 2010. Alternatif Model Usahatani Konservasi Tanaman Sayuran di Hulu Sub DAS Cikapundung. J. Hort., 20(3):223–240. Suwandi, R., Rosliani, N., Sumarni, dan Setiawati, W., 2003. Interaksi Tanaman pada Sistem Tumpangsari Tomat dan Cabai di Dataran Tinggi. J. Hort., 13(4):244-250. Suwandi, 2009. Menakar Kebutuhan Hara Tanaman dalam Pengembangan Inovasi Budidaya Sayuran Berkelanjutan. J. Pengembangan Inovasi Pertanian, 2(2):131–147. Suwardjo, H., Abdurachman, A., dan Abujamin, S., 1989. The Use Of Crop Residue Mulch To Minimize Tillage Frequency. Pemberitaan Penelitian Tanah Dan Pupuk,8: 31-37. Tan, K. H., 1996. The Andosols in Indonesia. Soil Sci., 99(6) : 375-378. Taychasinpitak, T., dan Taywiya, P., 2003. Specific Combining Ability of Ornamental Pepper (Capsicum annuum L.). J. Kasetsart, 37:123-128. [TIM IPB] Tim Institut Pertanian Bogor, 2004. Analisis Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan Terpadu Cianjur Selatan. Laporan akhir. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Utami, U.B.L., 2001. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah Terhadap Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara dan Penghasilan pada Usahatani Kentang dan Kubis. J. Manusia dan Lingkungan, 3(2):98–107. Vivrina, C.S., dan Roka,M., 2000. Comparison of Plastic Mulch and Bareground Production And Economics of Short Day Onions In A Semitropical Environment. Hort. Technology, 10(2) : 326-330. Vos, J.G.M., 1994. Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada Cabai (Capsicum Spp.) di Dataran Rendah. Terjemahan. Penerjemah : Lilies, Ch. dan E. van de Fliert. Wageningen Agricultural University. Wageningen. Vos , J. G. M., dan Duriat, A. S., 1994. Hot Pepper (Capsicum Sp.) Production In Java, Indonesia: Toward Integrated Crop Management. Crop Protect, 14:205-213. Wagger, M.G., dan Denton, H.P., 1991. Consequences Of Continuous And Alternating Tillage Regimes On Residue Cover And Grain Yield In CornSoybean Rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, And SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. 344 p. Wang, B., Zheng, F., Römkens, M.J.M., dan Darboux, F., 2013. Soil Erodibility For Water Erosion: A Perspective And Chinese Experiences. J. Geomorphology, 187 : 1–10 Wei, W., Chen, L., dan Fu, B., 2009. Effects Of Rainfall Change On Water Erosion Processes In Terrestrial Ecosystems: A Review. Physical Geography, 33(3): 307-318. Wezel, A., Steinmüller, N. J., Friederichsen, R., 2002. Slope Position Effects On Soil Fertility And Crop Productivity And Implications For Soil Conservation In Upland Northwest Vietnam. Agriculture, Ecosystems & Environment, 91(1–3):113-126. Wibowo, S., 2008. Model Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widiriani, R., 2009. Model Ecofarming untuk Mewujudkan Sistem Usahatani Berkelanjutan di Lahan Dataran Tinggi yang Telah di Manfaatkan Oleh Masyarakat (Kasus Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek). Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wolf, B., dan Snyder, G.H., 2003. Sustainable Soils. The Place of Organic Matter in Sustainability Soils and Their Productivity. London: Food Product Press. Zhang, J., Frielinghaus, M., Tian, G., dan Lobb, D.A., 2004. Ridges and Contour Tillage Effect on Soil Erosion from Hillslope in The Sichuan Basin China. J. Soil and Water Conservation, 90:123–134. Zhou, P., Luukkanen, O., Tokola, T., dan Nieminen, J., 2008. Effect of Vegetation Cover on Soil Erosion in a Mountainous Watershed. J. Catena, 75(4): 319– 325. Lampiran 1. Kode struktur tanah No 1 2 3 4 Kode Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Granuler sangat halus (< 1 mm) Granuler halus (1 – 2 mm) Granuler sedang sampai kasar (> 2 – 10 mm) Berbentuk blok, blocky plat, masif Kode 1 2 3 4 Lampiran 2. Kode permeabilitas profil tanah No Kode Permeabilitas 1 2 3 4 5 6 Sangat lambat Lambat Lambat sampai sedang Sedang Sedang sampai cepat cepat Kecepatan (cm/jam) < 0,5 0,5 – 2,0 2,0 – 6,3 >6,3 – 12,7 >12,7 – 25,4 >25,4 Kode 6 5 4 3 2 1 Lampiran 3. Nilai faktor C (Pengelolaan tanaman) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Pengelolaan Tanaman Rumput (Brachiaria sp.) Kacang jogo Gandum Ubi kayu Kedelai Serai wangi Padi lahan kering Ubi kayu + kedelai Tanaman jagung Tanaman cabe, jahe Tanaman kentang ditanam searah lereng Tanaman kentang ditanam searah kontur Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami (6 ton/ha/th) Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Pola tanam berurutan Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa tanaman Kebun campuran : - Kerapatan tinggi - Kerapatan sedang - Kerapatan rendah Tumpang sari tanaman sayuran Hutan alam : - Serasah banyak - Serasah kurang Tanah terbuka tanpa tanaman Sawah Tegalan yang tidak dispesifikasikan Ubi kayu kacang tanah Padi + sorghum Padi + kedelai Sumber : Abdurachman dkk., (1984) dalam Asdak (2002) Nilai Faktor C 0,290 0,161 0,242 0,363 0,399 0,434 0,560 0,181 0,637 0,900 1,000 0,350 0,079 0,347 0,398 0,357 0,100 0,200 0,500 0,495 0,001 0,005 1,000 0,010 0,700 0,195 0,345 0,417 Lampiran 4. Nilai faktor teknik konservasi tanah P dan CP dalam persamaan USLE Lampiran 5. Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi (Hammer, 1981) Nilai Indeks Bahaya Erosi < 1,0 1,01 – 4,0 4,01 – 10,0 > 10,01 Sumber : Arsyad (2010) Harkat Ringan Sedang Tinggi Sangat Tinggi Lampiran 6.a. Curah hujan Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012 Tahun Bulan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei 2003 341 188 372 215 157 2004 397 220 168 258 117 2005 295 269 273 303 143 2006 423 126 148 414 2007 503 250 154 2008 280 234 237 2009 296 202 2010 294 2011 2012 Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah 62 20 96 151 163 116 129 2690 122,3 117 6 100 52 94 147 2328,3 169 110 44 181 146 125 145 2781 232 40 23 23 33 12 193 194 2094 409 265 117 11 55 19 242 148 168 2886 230 80 10 25 61 113 253 152 163 2352 219 323 254 68 100 15 24 272 113 187 2658 170 157 231 120 157 200 170 151 102 132 192 2670 289 238 192 416 244 77 48 89 25 97 197 143 2390 567 206 201 323 125 56 56 92 25 158 137 146 2425 Jumlah 3685 2103 2121 3122 1737 878,3 710 651 822 1497 1407 1614 Rata-rata 368,5 210,3 212,1 312,2 173,7 87,83 71 65,1 82,2 149,7 140,7 161,4 2034,73 Okt Nov Des Jumlah 13 12 Lampiran 6.b. Hari hujan Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012 Tahun Bulan (hari) Jan Feb Mar Apr Mei Jun 2003 9 21 22 7 8 3 2004 20 24 28 12 14 5 8 1 12 8 24 26 182 2005 27 22 18 22 7 18 11 1 13 20 11 15 185 2006 28 22 12 24 21 4 4 0 0 2 11 28 156 2007 12 23 23 26 16 16 2 0 2 11 18 29 178 2008 16 25 28 25 0 2 0 0 5 24 27 22 174 2009 26 24 26 22 16 11 2 0 5 18 19 23 192 2010 31 23 23 21 28 24 14 8 27 26 24 18 267 2011 14 22 19 22 19 3 2 0 0 13 21 11 146 25 134 2012 12 21 11 13 8 Jul Agt 0 2 Sep 1 0 9 0 1 13 28 27 Jumlah 195 227 210 194 137 88 43 11 74 148 195 224 Rata-rata 19,5 22,7 21 19,4 13,7 8,8 4,3 1,1 7,4 14,8 19,5 22,4 132 174,6 Lampiran 6.c. Curah hujan maksimum Kabupaten Garut tahun 2003 – 2012 Tahun Bulan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt 2003 63 91 37 98 56 2004 85 58 78 65 33 2005 40 70 19 48 2006 81 77 87 2007 98 54 2008 90 76 2009 42 2010 Sep Okt Nov Des Jumlah 48 0 56 43 69 20 48 629 67 24 3 24 45 33 18 533 76 59 30 37 72 62 13 22 548 73 74 29 19 4 0 21 13 40 518 95 55 59 58 10 7 11 42 33 47 569 43 73 60 6 0 9 13 60 57 29 516 61 40 122 97 46 23 4 19 57 21 41 573 33 54 55 79 54 37 19 11 16 74 28 50 510 2011 67 78 77 40 28 35 20 4 0 40 39 18 446 2012 56 90 22 115 97 28 0 1 3 17 32 28 489 Jumlah 655 709 553 768 634 413 145 136 201 487 289 341 Rata-rata 65,5 70,9 55,3 76,8 63,4 41,3 14,5 13,6 20,1 48,7 28,9 34,1 Lampiran 7. Hasil perhitungan erosivitas hujan di Kabupaten Garut No Bulan RAIN (cm) RAIN^1,21 DAYS DAYS^-0,47 MAXP (cm) MAXP^0,53 6,119 *(4)*(6)*(8) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 36,85 78,46 19,5 0,25 6,55 2,71 321,85 1 Januari 2 Februari 21,03 39,87 22,7 0,23 7,09 2,82 158,79 3 Maret 21,20 40,28 21,0 0,24 5,53 2,48 145,88 4 April 31,22 64,31 19,4 0,25 7,68 2,95 287,69 5 Mei 17,37 31,63 13,7 0,29 6,34 2,66 150,55 6 Juni 8,78 13,86 8,80 0,36 4,13 2,12 64,69 7 Juli 7,10 10,72 4,30 0,50 1,45 1,22 40,23 8 Agustus 6,51 9,65 1,10 0,96 1,36 1,18 66,44 9 September 8,22 12,79 7,40 0,39 2,01 1,45 44,24 10 Oktober 14,97 26,43 14,8 0,28 4,87 2,31 105,45 11 November 14,07 24,52 19,5 0,25 2,89 1,75 65,17 12 Desember 16,14 28,94 22,4 0,23 2,41 1,59 65,48 Jumlah EI30 1516,46 Lampiran 8. Karakteristik tanah di daerah penelitian DESA Giriawas Margamulya Mekarsari Padasuka Simpang Cikandang Cikajang PETANI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Tekstur (%) Pasir Halus Pasir Debu 8,7 21,43 46,17 8,58 21,08 46,76 8,5 21,85 46,15 9,2 21,35 45,25 2,38 25,90 32,88 3,78 26,54 30,90 4,24 22,35 32,17 3,55 25,83 31,12 2,42 29,76 31,40 2,8 29,56 30,84 3,4 24,60 32,00 2,7 28,14 31,46 4,2 21,60 32,00 1,24 26,26 33,26 1,55 31,48 31,47 3,4 29,78 30,42 4,1 23,40 32,30 2,27 25,73 32,53 3,54 26,66 31,36 3,98 22,86 32,16 3,45 25,40 32,15 2,11 21,50 34,69 6,55 24,69 47,21 9,7 20,43 45,17 8,58 21,08 46,76 6,5 25,00 47,00 5,11 25,22 30,19 3,8 27,13 31,09 3,22 26,30 32,28 4,11 21,10 32,99 3,3 21,65 33,70 3,96 25,78 31,30 2,15 28,17 32,53 3,76 22,65 32,65 2,05 27,28 32,62 Liat 23,70 23,58 23,50 24,20 38,84 38,78 41,24 39,50 36,42 36,80 40,00 37,70 42,20 39,24 35,50 36,40 40,20 39,47 38,44 41,00 39,00 41,70 21,55 24,70 23,58 21,50 39,48 37,98 38,20 41,80 41,35 38,96 37,15 40,94 38,05 Sifat Fisik Tanah Kedalaman Tanah Permeabilitas mm cm/jam 1250 6,80 970 8,20 900 10,40 930 9,30 790 5,10 810 3,20 810 2,96 780 4,20 690 4,90 710 6,00 650 5,40 720 4,20 750 3,81 920 2,76 910 3,65 1120 5,88 1150 5,43 950 4,79 920 4,32 880 3,55 850 2,78 870 6,21 800 7,12 820 8,45 820 10,76 870 9,23 1180 5,44 1120 4,08 980 4,57 990 3,64 850 2,80 820 3,65 800 5,36 790 4,99 810 5,61 Bulk Density g/cm3 0,7 0,85 0,83 0,72 0,69 0,81 0,65 0,86 0,91 0,87 0,74 0,69 0,77 0,82 0,92 0,9 0,83 0,76 0,88 0,65 0,86 0,81 0,65 0,86 0,91 0,87 0,74 0,69 0,77 0,83 0,72 0,69 0,81 0,65 0,86 Porositas % 66,34 66,92 68,82 64,23 63,24 63,74 64,31 68,43 69,21 70,34 75,33 58,56 55,98 59,21 60,94 63,65 65,21 62,34 60,54 71,98 68,43 59,32 61,43 64,78 70,22 76,43 65,88 55,87 59,76 62,81 65,39 66,03 70,81 62,37 75,06 C- Organik % 4,61 4,62 4,50 4,47 3,66 3,68 3,56 3,52 3,54 3,66 3,48 3,35 3,34 3,46 3,72 3,85 3,79 3,70 3,80 3,60 3,72 3,62 4,60 4,48 4,58 4,64 3,67 3,83 3,86 3,71 3,72 3,85 3,79 3,81 3,64 Sifat Kimia Tanah N-Total P 2O5 % mg/100g 0,68 245 0,7 175 0,45 189 0,52 203 0,41 243 0,72 228 0,58 216 0,47 193 0,4 184 0,55 190 0,52 181 0,64 194 0,61 223 0,71 215 0,75 238 0,45 241 0,43 218 0,57 192 0,62 185 0,69 195 0,63 180 0,55 187 0,72 200 0,44 228 0,49 231 0,51 185 0,57 199 0,65 231 0,6 179 0,73 184 0,75 195 0,49 231 0,58 240 0,66 226 0,62 237 K2O mg/100g 30 45 51 34 32 53 44 48 52 35 43 37 42 50 40 36 61 34 47 50 52 66 71 58 70 65 59 45 48 62 71 37 45 51 64 Lampiran 8. Lanjutan DESA Cibodas Girijaya Mekarjaya Cipangramatan Karamatwangi PETANI 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 Tekstur (%) Pasir Halus Pasir Debu 4,72 21,13 32,43 3,54 24,10 31,86 3,71 24,59 32,00 7,15 23,79 46,91 8,7 21,43 46,17 10,58 19,08 44,76 8,5 21,85 46,15 5,2 20,35 49,25 4,35 21,65 32,65 2,96 25,78 32,30 2,15 28,17 32,53 4,86 22,65 31,55 2,05 27,28 32,62 10,4 18,36 45,84 10,5 18,07 45,93 8,2 22,59 46,01 9,6 20,32 45,48 8,55 21,89 46,01 8,77 20,72 46,74 6,55 24,69 47,21 9,7 20,43 45,17 9,58 20,08 45,76 8,5 21,85 46,15 9,2 21,35 45,25 8,9 20,73 46,47 11,2 17,56 45,04 8,6 20,95 46,85 8,88 21,78 45,46 8,55 22,00 45,90 10,72 19,11 44,45 8,23 22,56 45,98 7,2 23,49 47,11 7 24,22 46,78 9,4 20,34 45,86 Liat 41,72 40,50 39,70 22,15 23,70 25,58 23,50 25,20 41,35 38,96 37,15 40,94 38,05 25,40 25,50 23,20 24,60 23,55 23,77 21,55 24,70 24,58 23,50 24,20 23,90 26,20 23,60 23,88 23,55 25,72 23,23 22,20 22,00 24,40 Sifat Fisik Tanah Kedalaman Tanah Permeabilitas mm cm/jam 690 3,56 690 5,81 710 4,22 690 7,36 700 6,93 650 10,76 710 11,32 730 9,85 690 5,31 700 3,09 720 2,88 750 5,65 770 4,33 650 9,31 690 10,75 700 11,52 760 10,13 630 8,76 600 7,61 650 6,90 710 7,65 700 8,40 650 9,43 670 10,24 630 11,43 620 9,62 750 8,54 770 7,33 800 9,05 690 11,46 740 8,52 790 7,45 720 8,28 800 9,44 Bulk Density g/cm3 0,69 0,77 0,82 0,92 0,9 0,83 0,76 0,88 0,65 0,86 0,81 0,65 0,86 0,91 0,86 0,81 0,65 0,86 0,91 0,87 0,74 0,69 0,77 0,83 0,72 0,7 0,85 0,83 0,72 0,69 0,81 0,81 0,65 0,86 Porositas % 70,55 65,82 61,56 59,77 70,53 65,33 63,21 55,62 62,34 60,54 71,98 68,43 59,32 61,43 64,78 70,22 76,43 68,43 69,21 70,34 75,33 58,56 55,98 62,81 65,39 66,03 70,81 62,37 75,06 63,24 63,74 64,31 68,43 59,77 C- Organik % 3,80 3,44 3,70 4,62 4,54 4,42 4,58 4,32 3,67 3,83 3,86 3,71 3,65 4,53 4,65 4,51 4,48 4,57 4,60 4,66 4,45 4,53 4,50 4,48 4,63 4,45 4,69 4,50 4,47 4,36 4,48 4,63 4,54 4,58 Sifat Kimia Tanah N-Total P 2O5 % mg/100g 0,75 185 0,45 182 0,43 193 0,57 196 0,62 213 0,69 240 0,63 234 0,55 192 0,72 185 0,44 231 0,49 179 0,41 184 0,72 228 0,58 216 0,47 193 0,4 194 0,55 223 0,52 215 0,64 195 0,61 231 0,51 240 0,57 187 0,65 200 0,6 228 0,73 231 0,55 193 0,52 184 0,64 233 0,61 205 0,71 197 0,75 184 0,45 179 0,43 192 0,57 217 K2O mg/100g 34 29 43 56 62 50 49 37 25 31 48 55 63 70 58 45 38 41 27 31 34 42 56 64 70 61 37 42 50 40 36 61 34 47 Lampiran 9. Hasil perhitungan nilai faktor erodibilitas tanah (K) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Desa 2 Giriawas Margamulya Mekarsari Padasuka Simpang Cikandang Cikajang Petani 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 % Bahan Organik a 4 4,61 4,62 4,50 4,47 3,66 3,68 3,56 3,52 3,54 3,66 3,48 3,35 3,34 3,46 3,72 3,85 3,79 3,70 3,80 3,60 3,72 3,62 4,60 4,48 4,58 4,64 3,67 3,83 3,86 3,71 3,72 3,85 3,79 3,81 3,64 12 - a % % M 5 7,39 7,38 7,50 7,53 8,34 8,32 8,44 8,48 8,46 8,34 8,52 8,65 8,66 8,54 8,28 8,15 8,21 8,30 8,20 8,40 8,28 8,38 7,40 7,52 7,42 7,36 8,33 8,17 8,14 8,29 8,28 8,15 8,21 8,19 8,36 Pasir Halus+debu 6 54,87 55,34 54,65 54,45 35,26 34,68 36,41 34,67 33,82 33,64 35,40 34,16 36,20 34,50 33,02 33,82 36,40 34,80 34,90 36,14 35,60 36,80 53,76 54,87 55,34 53,50 35,30 34,89 35,50 37,10 37,00 35,26 34,68 36,41 34,67 (100 liat) 7 76,30 76,42 76,50 75,80 61,16 61,22 58,76 60,50 63,58 63,20 60,00 62,30 57,80 60,76 64,50 63,60 59,80 60,53 61,56 59,00 61,00 58,30 78,45 75,30 76,42 78,50 60,52 62,02 61,80 58,20 58,65 61,04 62,85 59,06 61,95 (6) x ( 7) 8 4186,58 4229,08 4180,73 4127,31 2156,50 2123,11 2139,45 2097,54 2150,28 2126,05 2124,00 2128,17 2092,36 2096,22 2129,79 2150,95 2176,72 2106,44 2148,44 2132,26 2171,60 2145,44 4217,47 4131,71 4229,08 4199,75 2136,36 2163,88 2193,90 2159,22 2170,05 2152,27 2179,64 2150,37 2147,81 M1,14 9 13456,12 13611,96 13434,66 13239,16 6316,47 6205,10 6259,57 6119,96 6295,69 6214,89 6208,06 6221,95 6102,75 6115,59 6227,36 6297,95 6384,03 6149,60 6289,58 6235,59 6366,91 6279,55 13569,36 13255,26 13611,96 13504,38 6249,25 6341,11 6441,50 6325,55 6361,73 6302,35 6393,79 6296,02 6287,45 0,00021 x (9) x (5) 10 20,88 21,10 21,16 20,94 11,06 10,84 11,09 10,90 11,18 10,88 11,11 11,30 11,10 10,97 10,83 10,78 11,01 10,72 10,83 11,00 11,07 11,05 21,09 20,93 21,21 20,87 10,93 10,88 11,01 11,01 11,06 10,79 11,02 10,83 11,04 Kode struktur b 11 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 b-2 3,25 X (12) Kelas permeabilitas c-3 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 c 14 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 15 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2,5 x (15) (10) + (13) + (16) 1,292 x (17) K 16 0 0 0 0 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 0 0 0 0 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 17 20,88 21,10 21,16 20,94 13,56 13,34 13,59 13,40 13,68 13,38 13,61 13,80 13,60 13,47 13,33 13,28 13,51 13,22 13,33 13,50 13,57 13,55 21,09 20,93 21,21 20,87 13,43 13,38 13,51 13,51 13,56 13,29 13,52 13,33 13,54 18 26,98 27,26 27,34 27,05 17,52 17,24 17,56 17,31 17,68 17,29 17,58 17,83 17,57 17,40 17,22 17,16 17,45 17,08 17,22 17,44 17,53 17,51 27,24 27,05 27,40 26,97 17,35 17,29 17,46 17,46 17,52 17,17 17,47 17,22 17,49 (18)/100 19 0,270 0,273 0,273 0,270 0,175 0,172 0,176 0,173 0,177 0,173 0,176 0,178 0,176 0,174 0,172 0,172 0,175 0,171 0,172 0,174 0,175 0,175 0,272 0,270 0,274 0,270 0,174 0,173 0,175 0,175 0,175 0,172 0,175 0,172 0,175 Lampiran 9. Lanjutan Desa 2 Cibodas Girijaya Mekarjaya Cipangramatan Karamatwangi Petani 3 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 % Bahan Organik a 4 3,80 3,44 3,70 4,62 4,54 4,42 4,58 4,32 3,67 3,83 3,86 3,71 3,65 4,53 4,65 4,51 4,48 4,57 4,60 4,66 4,45 4,53 4,50 4,48 4,63 4,45 4,69 4,50 4,47 4,36 4,48 4,63 4,54 4,58 12 a 5 8,20 8,56 8,30 7,38 7,46 7,58 7,42 7,68 8,33 8,17 8,14 8,29 8,35 7,47 7,35 7,49 7,52 7,43 7,40 7,34 7,55 7,47 7,50 7,52 7,37 7,55 7,31 7,50 7,53 7,64 7,52 7,37 7,46 7,42 % % Pasir Halus+debu 6 37,15 35,40 35,71 54,06 54,87 55,34 54,65 54,45 37,00 35,26 34,68 36,41 34,67 56,24 56,43 54,21 55,08 54,56 55,51 53,76 54,87 55,34 54,65 54,45 55,37 56,24 55,45 54,34 54,45 55,17 54,21 54,31 53,78 55,26 (100 liat) 7 58,28 59,50 60,30 77,85 76,30 74,42 76,50 74,80 58,65 61,04 62,85 59,06 61,95 74,60 74,50 76,80 75,40 76,45 76,23 78,45 75,30 75,42 76,50 75,80 76,10 73,80 76,40 76,12 76,45 74,28 76,77 77,80 78,00 75,60 M (6) x ( 7) 8 2165,10 2106,30 2153,31 4208,57 4186,58 4118,40 4180,73 4072,86 2170,05 2152,27 2179,64 2150,37 2147,81 4195,50 4204,04 4163,33 4153,03 4171,11 4231,53 4217,47 4131,71 4173,74 4180,73 4127,31 4213,66 4150,51 4236,38 4136,36 4162,70 4098,03 4161,70 4225,32 4194,84 4177,66 M 1,14 9 6345,20 6149,12 6305,83 13536,72 13456,12 13206,59 13434,66 13040,23 6361,73 6302,35 6393,79 6296,02 6287,45 13488,82 13520,09 13370,95 13333,26 13399,45 13620,93 13569,36 13255,26 13409,09 13434,66 13239,16 13555,37 13324,04 13638,74 13272,26 13368,66 13132,14 13365,00 13598,15 13486,39 13423,42 0,00021 Kode struktur (9) x (5) 10 10,93 11,05 10,99 20,98 21,08 21,02 20,93 21,03 11,13 10,81 10,93 10,96 11,03 21,16 20,87 21,03 21,06 20,91 21,17 20,92 21,02 21,03 21,16 20,91 20,98 21,13 20,94 20,90 21,14 21,07 21,11 21,05 21,13 20,92 b 11 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 b-2 3,25 x (12) Kelas permeabilitas c-3 2,5 x (15) 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 c 14 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 15 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 2,5 2,5 2,5 0 0 0 0 0 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 (10) + (13) +(16) 1,292 x (17) K 17 13,43 13,55 13,49 20,98 21,08 21,02 20,93 21,03 13,63 13,31 13,43 13,46 13,53 21,16 20,87 21,03 21,06 20,91 21,17 20,92 21,02 21,03 21,16 20,91 20,98 21,13 20,94 20,90 21,14 21,07 21,11 21,05 21,13 20,92 18 17,35 17,51 17,43 27,11 27,24 27,16 27,05 27,17 17,61 17,20 17,35 17,39 17,47 27,34 26,96 27,17 27,20 27,01 27,35 27,02 27,15 27,18 27,34 27,01 27,11 27,29 27,05 27,01 27,31 27,22 27,27 27,19 27,30 27,02 (18)/100 19 0,173 0,175 0,174 0,271 0,272 0,272 0,270 0,272 0,176 0,172 0,174 0,174 0,175 0,273 0,270 0,272 0,272 0,270 0,273 0,270 0,272 0,272 0,273 0,270 0,271 0,273 0,271 0,270 0,273 0,272 0,273 0,272 0,273 0,270 Lampiran 10. Hasil perhitungan Erosi yang di Toleransi (ETol) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Desa Giriawas Margamulya Mekarsari Padasuka Simpang Cikandang Cikajang Petani 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kedalaman efektif tanah (mm) 1050 1221 1045 943 1060 1121 1099 993 1098 1167 1265 1132 990 1132 954 1020 1050 978 1087 921 1134 1030 1143 987 1256 990 1080 1020 1167 1082 1205 934 1156 1043 1100 Kedalaman tanah minimum cabe (mm) 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 Nilai faktor kedalaman tanah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Umur guna tanah (th) 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 Laju pembentukan tanah (mm/th) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kedalaman eqivalen De - Dmin (De - Dmin) /UGT Etol (mm/th) 1050 1221 1045 943 1060 1121 1099 993 1098 1167 1265 1132 990 1132 954 1020 1050 978 1087 921 1134 1030 1143 987 1256 990 1080 1020 1167 1082 1205 934 1156 1043 1100 750 921 745 643 760 821 799 693 798 867 965 832 690 832 654 720 750 678 787 621 834 730 843 687 956 690 780 720 867 782 905 634 856 743 800 3,00 3,68 2,98 2,57 3,04 3,28 3,20 2,77 3,19 3,47 3,86 3,33 2,76 3,33 2,62 2,88 3,00 2,71 3,15 2,48 3,34 2,92 3,37 2,75 3,82 2,76 3,12 2,88 3,47 3,13 3,62 2,54 3,42 2,97 3,20 4,00 4,68 3,98 3,57 4,04 4,28 4,20 3,77 4,19 4,47 4,86 4,33 3,76 4,33 3,62 3,88 4,00 3,71 4,15 3,48 4,34 3,92 4,37 3,75 4,82 3,76 4,12 3,88 4,47 4,13 4,62 3,54 4,42 3,97 4,20 Berat Volume Tanah (gr/cm3) 0,68 0,75 0,72 0,78 0,96 0,89 0,97 0,95 0,99 0,82 0,81 0,96 0,83 0,91 0,96 0,83 1,00 0,89 0,97 0,95 1,00 0,99 0,78 0,75 0,71 0,73 1,00 0,99 0,82 0,91 0,94 0,87 1,00 0,91 0,82 Etol (ton/ha/th) 27,20 35,13 28,66 27,86 38,78 38,13 40,70 35,83 41,50 36,64 39,37 41,55 31,21 39,38 34,71 32,20 40,00 33,04 40,24 33,10 43,36 38,81 34,10 28,11 34,25 27,45 41,20 38,41 36,64 37,56 43,43 30,76 44,24 36,15 34,44 Lampiran 10. Lanjutan Desa Cibodas Girijaya Girijaya Mekarjaya Cipangramatan Petani Kedalaman efektif tanah (mm) Kedalaman tanah minimum cabe (mm) Nilai faktor kedalaman tanah 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 1125 1201 1190 972 1030 1143 1109 954 990 1080 1020 1205 1080 1042 934 1255 1143 1121 1055 993 1098 987 1277 1132 990 1177 954 1020 1050 994 1086 1067 1254 1176 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Umur guna tanah (th) 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 Laju pembentukan tanah (mm/th) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kedalaman eqivalen 1125 1201 1190 972 1030 1143 1109 954 990 1080 1020 1205 1080 1042 934 1255 1143 1121 1055 993 1098 987 1277 1132 990 1177 954 1020 1050 994 1086 1067 1254 1176 De - Dmin 825 901 890 672 730 843 809 654 690 780 720 905 780 742 634 955 843 821 755 693 798 687 977 832 690 877 654 720 750 694 786 767 954 876 (De - Dmin) /UGT Etol (mm/th) 3,30 3,60 3,56 2,69 2,92 3,37 3,24 2,62 2,76 3,12 2,88 3,62 3,12 2,97 2,54 3,82 3,37 3,28 3,02 2,77 3,19 2,75 3,91 3,33 2,76 3,51 2,62 2,88 3,00 2,78 3,14 3,07 3,82 3,50 4,30 4,60 4,56 3,69 3,92 4,37 4,24 3,62 3,76 4,12 3,88 4,62 4,12 3,97 3,54 4,82 4,37 4,28 4,02 3,77 4,19 3,75 4,91 4,33 3,76 4,51 3,62 3,88 4,00 3,78 4,14 4,07 4,82 4,50 Berat Volume Tanah (gr/cm3) 0,87 0,89 0,97 0,68 0,75 0,70 0,68 0,75 0,95 0,86 0,95 1,00 0,91 0,70 0,68 0,75 0,72 0,68 0,75 0,70 0,68 0,75 0,72 0,78 0,75 0,71 0,78 0,75 0,71 0,73 0,78 0,75 0,71 0,73 Etol (ton/ha/th) 37,41 40,98 44,23 25,08 29,40 30,60 28,80 27,12 35,72 35,43 36,86 46,20 37,49 27,78 24,04 36,15 31,48 29,13 30,15 26,40 28,51 28,11 35,34 33,76 28,20 32,01 28,20 29,10 28,40 27,56 32,32 30,51 34,19 32,88 Lampiran 11. Hasil perhitungan prediksi erosi (A) di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut. Desa Giriawas Margamulya Mekarsari Padasuka Simpang Cikandang Cikajang Petani R K LS Nilai C Nilai P Erosi (ton/ha/th) ETol (ton/ha/th) IBE Harkat IBE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 0,27 0,27 0,27 0,27 0,18 0,17 0,18 0,17 0,18 0,17 0,18 0,18 0,18 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,18 0,18 0,27 0,27 0,27 0,27 0,17 0,17 0,17 0,17 0,18 0,17 0,17 0,17 0,17 1,99 1,80 1,77 1,87 5,28 3,03 3,44 3,18 2,94 2,84 2,81 2,20 2,22 1,28 2,02 1,30 2,17 2,12 2,26 1,56 1,98 1,86 3,93 3,78 3,68 2,53 2,85 1,78 2,06 2,05 2,41 2,40 2,63 2,39 2,65 0,495 0,495 0,900 0,495 0,900 0,900 0,900 0,900 0,495 0,495 0,900 0,900 0,495 0,495 0,495 0,900 0,900 0,900 0,900 0,900 0,495 0,900 0,495 0,495 0,495 0,900 0,900 0,900 0,900 0,495 0,900 0,900 0,900 0,495 0,900 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 160,98 146,92 264,55 151,96 189,27 284,68 329,99 300,63 155,94 147,50 270,11 80,45 117,16 66,96 104,39 121,32 206,42 197,41 212,74 148,53 104,00 177,36 120,41 306,60 302,59 372,69 269,87 63,15 196,20 107,28 230,28 224,91 94,16 123,57 253,15 27,20 35,13 28,66 27,86 38,78 38,13 40,70 35,83 41,50 36,64 39,37 41,55 31,21 39,38 34,71 32,20 40,00 33,04 40,24 33,10 43,36 38,81 34,10 28,11 34,25 27,45 41,20 38,41 36,64 37,56 43,43 30,76 44,24 36,15 34,44 29,89 21,12 25,64 27,55 36,15 20,74 22,52 23,30 18,98 20,33 19,06 14,34 18,96 8,59 15,19 10,46 14,34 16,60 14,69 12,47 12,11 12,70 47,56 55,09 44,62 37,72 18,20 12,18 14,88 14,42 14,73 20,31 15,77 17,27 20,42 ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST T ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST Lampiran 11. Lanjutan Desa Cibodas Girijaya Mekarjaya Cipangramatan Petani R K LS Nilai C Nilai P Erosi (ton/ha/th) ETOL (ton/ha/th) IBE HARKAT 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 1516,46 0,17 0,18 0,17 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,18 0,17 0,17 0,17 0,17 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 2,25 1,62 1,46 2,71 1,89 2,39 2,14 1,92 1,54 1,92 2,17 1,33 1,70 3,54 3,68 3,85 4,07 2,93 2,47 2,29 2,67 2,67 1,72 1,99 1,84 1,94 3,11 3,08 2,23 2,29 1,61 1,95 1,73 2,44 0,90 0,90 0,50 0,50 0,50 0,90 0,50 0,90 0,50 0,90 0,90 0,90 0,50 0,50 0,50 0,90 0,90 0,50 0,50 0,90 0,90 0,90 0,50 0,90 0,90 0,50 0,90 0,90 0,90 0,90 0,90 0,50 0,50 0,90 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,15 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,15 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 212,61 155,09 76,35 220,72 154,79 354,68 173,91 285,52 81,26 180,39 205,15 125,91 89,05 290,91 111,79 214,21 603,88 88,98 202,72 337,61 396,43 396,28 141,21 293,00 271,55 158,69 458,84 170,41 332,19 340,45 239,70 159,49 141,65 360,08 37,41 40,98 44,23 25,08 29,40 30,60 28,80 27,12 35,72 35,43 36,86 46,20 37,49 27,78 24,04 36,15 31,48 29,13 30,15 26,40 28,51 28,11 35,34 33,76 28,20 32,01 28,20 29,10 28,40 27,56 32,32 30,51 34,19 32,88 15,79 10,51 8,72 44,45 26,59 32,19 30,49 29,24 11,49 14,14 15,46 7,57 12,00 52,90 62,62 43,89 53,29 41,14 33,96 35,52 38,63 39,16 20,18 24,11 26,75 25,04 45,19 43,38 32,49 34,31 20,60 26,40 20,92 30,42 ST ST T ST ST ST ST ST ST ST ST T ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST Lampiran 12. Perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut tahun 2014 Perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut (Sinukaban, 2007) : 1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan equivalen beras satu rumah tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras 2. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = kebutuhan pendidikan dan sosial + kesehatan dan rekreasi + tabungan dan asuransi 3. Kebutuhan untuk pendidikan dan sosial = 50% KFM Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM Kebutuhan untuk tabungan dan asuransi = 50% KFM Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen beras satu rumah tangga x 250% x jumlah anggota keluarga x harga beras Di lokasi penelitian, setiap rumah tangga rata-rata terdiri dari 4,6 org.kk-1, dengan harga beras Rp. 6.500,- /kg. Maka besarnya nilai KFM = 320 kg/org/th x 100% x 4,6 x Rp. 6,500 /kg = Rp. 9.568.000,- kk.th-1 Dan besarnya nilai KHL = 320 kg/org/th x 250% x 4,6 x Rp. 6,500/kg = Rp. 23.920.000,- /kk/th. Perhitungan kebutuhan luas lahan minimal (Lm) dirumuskan sebagai perbandingan antara standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan pendapatan usahatani (Pb) Kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL dirumuskan sebagai perbandingan luas Garapan saat ini dan luas lahan minimal (Lm) di kali 100%. Sebagai contoh jika diketahui pendapatan petani dari usahatani cabai tumpangsari sebesar Rp. 22.380.742,-, maka luas lahan minimum adalah Rp. 23.920.000,-/Rp. 22.380.742,- = 1,07 ha. Jika diketahu luas garapan petani saat ini adalah 0,37 ha, maka kontribusi pendapatan usahatani cabai terhadap pemenuhan KHL adalah 0,37/1,07 x 100% = 34,62 %. Lampiran 13. Perlakuan teknik konservasi tanah dalam percobaan erosi petak Kecil Perlakuan TK1 dan TK5 3m Perlakuan TK2 dan TK6 80 cm 80 cm 6,60 m Guludan 20 m 6,60 m Bak penampung aliran permukaan dan erosi 6,60 m 0,5 m Perlakuan TK3 dan TK7 Perlakuan TK4 dan TK8 Arah lereng Kontur Keterangan : TK1 = Cabai monokultur + guludan searah lereng TK2 = Cabai monokultur + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud memotong lereng = setiap jarak 6,60 meter TK3 = Cabai monokultur + guludan memotong lereng TK4 = Cabai monokultur + guludan memotong lereng miring 20° TK5 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng TK6 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan searah lereng + pembuatan teras gulud = memotong lereng setiap jarak 6,60 meter TK7 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng TK8 = Cabai tumpangsari dengan kubis + guludan memotong lereng miring 20° Lampiran 14. Curah hujan selama penelitian Tanggal Curah Hujan (mm) Jan Ʃ CH Ʃ HH Maret April Mei Juni Juli Agt 1 38,96 2,47 4,93 4,76 1,35 5,65 2,57 0,00 2 18,67 10,67 1,34 3,44 8,50 0,00 9,12 0,00 3 23,76 12,21 2,46 2,45 5,89 6,34 0,00 0,00 4 27,54 12,45 0,00 0,00 1,23 6,40 0,00 0,00 5 0,00 2,34 3,85 67,71 0,00 3,78 2,65 0,00 6 14,65 0,00 9,55 4,65 0,00 13,01 1,60 0,00 7 36,78 0,00 5,76 34,51 4,56 0,00 3,50 0,00 8 35,60 2,36 0,00 0,00 3,87 6,43 5,77 17,25 9 0,00 0,00 0,00 23,88 2,41 17,89 0,00 5,20 10 0,00 0,00 4,54 1,34 9,43 0,00 8,60 6,71 11 12,64 0,00 1,67 0,00 0,00 1,05 1,34 0,00 12 10,34 0,00 1,85 4,65 0,00 16,23 0,00 0,00 13 8,76 0,00 15,32 12,40 0,00 0,00 1,10 2,32 14 0,00 0,00 4,56 6,79 16,23 0,00 15,83 0,00 15 0,00 12,34 0,00 3,52 0,00 24,33 1,30 0,00 16 6,45 4,22 1,24 6,70 2,45 17,90 3,28 0,00 17 12,65 2,65 0,34 18,92 8,92 12,88 0,00 11,78 18 0,00 35,65 0,00 51,80 5,72 0,00 6,10 6,99 19 0,00 14,86 22,43 6,77 0,00 2,94 0,00 0,00 20 40,87 0,00 14,04 14,25 0,00 3,56 1,20 0,00 21 5,77 0,00 4,53 0,00 0,00 4,33 0,97 0,00 22 23,56 6,86 5,99 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23 0,00 3,54 7,34 0,00 0,00 2,98 3,43 25,43 24 0,00 0,00 0,00 64,22 0,00 1,22 0,00 0,00 25 0,00 7,47 2,58 21,80 1,34 0,00 2,40 0,00 26 56,88 5,77 3,55 0,00 0,00 0,23 1,20 6,15 27 10,23 0,00 6,72 15,43 15,63 1,44 14,90 2,11 28 8,52 0,00 0,00 0,00 0,00 6,78 1,98 0,00 29 13,48 2,31 72,35 2,01 4,90 3,85 0,00 30 0,00 0,59 19,60 0,00 1,59 1,77 0,00 31 25,64 0,63 1,22 95,09 85,16 23 10 431,75 20 Rerata harian 21,59 Intensitas hujan (Van Breen) mm.jam-1 104,42 Feb 0,00 135,86 127,49 461,94 15 23 22 9,06 5,54 21,20 5,97 7,36 4,13 8,52 64,12 45,25 103,08 47,82 55,65 35,97 61,54 Rata-rata CH selama 4 bulan = 289,26 mm 89,54 15 161,86 22 Lampiran 15. Data jumlah erosi, erosi pada petak pembanding dan Nilai CP masing-masing perlakuan Perlakuan TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Ulangan Erosi (ton/ha) Nilai CP Jan Feb Mar Apr Jum Jan Feb Mar Apr Rataan 1 30,59 28,92 25,89 23,58 108,98 0,88 0,94 0,79 0,73 0,83 2 31,52 28,47 26,42 23,95 110,36 0,86 0,86 0,90 0,74 0,84 3 31,17 28,89 24,94 22,91 107,90 0,96 0,89 0,76 0,73 0,83 Rataan 31,09 28,76 25,75 23,48 109,08 0,90 0,90 0,82 0,73 0,84 1 10,61 7,47 5,24 3,96 27,28 0,30 0,24 0,16 0,12 0,21 2 11,22 7,74 6,17 3,92 29,04 0,31 0,23 0,21 0,12 0,22 3 10,95 7,91 6,66 4,39 29,91 0,34 0,24 0,20 0,14 0,23 Rataan 10,92 7,71 6,02 4,09 28,74 0,32 0,24 0,19 0,13 0,22 1 4,11 3,17 2,39 1,86 11,54 0,12 0,10 0,07 0,06 0,09 2 3,98 2,97 1,84 1,69 10,47 0,11 0,09 0,06 0,05 0,08 3 4,24 2,83 1,80 1,10 9,98 0,13 0,09 0,05 0,03 0,08 Rataan 4,11 2,99 2,01 1,55 10,66 0,12 0,09 0,06 0,05 0,08 1 7,48 5,45 3,11 2,47 18,51 0,21 0,18 0,10 0,08 0,14 2 7,55 5,58 3,35 2,09 18,56 0,21 0,17 0,11 0,06 0,14 3 7,81 5,89 2,95 1,59 18,24 0,24 0,18 0,09 0,05 0,14 Rataan 7,61 5,64 3,14 2,05 18,43 0,22 0,18 0,10 0,06 0,14 1 25,04 23,89 21,59 18,91 89,42 0,72 0,77 0,66 0,59 0,68 2 25,76 24,04 21,57 18,46 89,83 0,71 0,73 0,74 0,57 0,68 3 25,24 23,56 21,59 18,17 88,54 0,77 0,73 0,66 0,58 0,68 Rataan 25,35 23,83 21,58 18,51 89,26 0,73 0,74 0,69 0,58 0,68 1 7,91 5,13 3,94 1,93 18,90 0,23 0,17 0,12 0,06 0,14 2 8,09 5,32 3,83 1,55 18,78 0,22 0,16 0,13 0,05 0,14 3 7,91 6,46 3,66 2,18 20,20 0,24 0,20 0,11 0,07 0,16 Rataan 7,97 5,63 3,81 1,88 19,29 0,23 0,18 0,12 0,06 0,15 1 2,51 1,29 0,83 0,41 5,04 0,07 0,04 0,03 0,01 0,04 2 2,72 1,31 0,54 0,31 4,87 0,07 0,04 0,02 0,01 0,04 3 3,57 1,01 0,79 0,39 5,75 0,11 0,03 0,02 0,01 0,04 Rataan 2,93 1,20 0,72 0,37 5,22 0,09 0,04 0,02 0,01 0,04 1 5,31 2,87 1,87 1,10 11,15 0,15 0,09 0,06 0,03 0,08 2 5,55 3,36 1,66 1,22 11,78 0,15 0,10 0,06 0,04 0,09 3 5,17 3,47 1,83 0,98 11,45 0,16 0,11 0,06 0,03 0,09 Rataan 5,34 3,23 1,79 1,10 11,46 0,15 0,10 0,06 0,03 0,09 Erosi pada petak pembanding (ton/ha) Ulangan 1 Jan 34,93 Feb 30,86 Mar 32,58 Apr 32,28 Jumlah 130,65 2 36,51 33,02 29,23 32,53 131,29 3 32,63 32,44 32,85 31,54 129,46 34,69 32,11 31,55 32,12 130,47 Rataan Lampiran 16. Data jumlah aliran permukaan masing-masing perlakuan Perlakuan TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Aliran permukaan (m3/ha) Ulangan Aliran Permukaan Jan Feb Mar Apr Jumlah (mm) 1 623,4 656,7 621,6 563,2 2464,90 246,49 2 650,9 636,3 616,7 627,8 2531,70 253,17 3 646,7 655,9 684,7 616,5 2603,80 260,38 Rataan 640,3 649,6 641,0 602,5 2533,47 253,35 1 500,0 478,6 489,4 508,2 1976,20 197,62 2 458,6 489,5 546,8 461,6 1956,50 195,65 3 457,6 516,5 466,3 503,7 1944,10 194,41 Rataan 472,1 494,9 500,8 491,2 1958,9 195,89 1 214,5 201,1 252,6 254,4 922,60 92,26 2 259,1 218,4 202,3 231,6 911,40 91,14 3 268,6 213,5 222,1 244,1 948,30 94,83 Rataan 247,4 211,0 225,7 243,4 927,4 92,74 1 317,5 317,8 325,7 348,8 1309,80 130,98 2 302,0 323 337,9 333,4 1296,30 129,63 3 322,5 335,7 315,7 342,8 1316,70 131,67 Rataan 314,0 325,5 326,4 341,7 1307,60 130,76 1 501,6 495,1 503,4 523,2 2023,30 202,33 2 530,4 472,9 503,1 538,3 2044,70 204,47 3 509,4 497,9 515,4 516,4 2039,10 203,91 Rataan 513,8 488,6 507,3 525,9 2035,70 203,57 1 356,3 327,1 357,8 377,6 1418,80 141,88 2 363,9 372,8 383,8 361,8 1482,30 148,23 3 346,3 338,2 366,5 354,8 1405,80 140,58 Rataan 355,5 346,0 369,4 364,7 1435,63 143,56 1 146,3 151,6 163,2 146,4 607,50 60,75 2 138,4 142,2 141,5 152,3 574,40 57,44 3 152,9 154,3 161,8 155,4 624,40 62,44 Rataan 145,9 149,4 155,5 151,4 602,10 60,21 1 222,3 252,9 232,7 243 950,90 95,09 2 225,1 234,8 226,2 238,6 924,70 92,47 3 246,7 238,2 253,4 239,3 977,60 97,76 Rataan 231,4 241,9 237,4 240,3 951,07 95,11 Lampiran 17. Data kehilangan hara C-Organik, N, P, dan K yang terbawa erosi Perlakuan Ulangan 1 TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 C-Organik dan Hara yang Terbawa Erosi (kg/ha) C-organik N Total K2O P2O5 2944,25 336,32 50,54 31,76 2 2583,73 385,43 58,67 30,23 3 2505,19 305,88 53,46 31,93 Rataan 2677,72 342,54 54,19 31,31 1 1956,77 253,22 25,88 15,31 2 2039,24 2978,75 21,38 14,76 3 1926,45 209,34 29,66 14,73 Rataan 1974,15 253,77 25,64 14,93 1 1076,09 98,65 13,72 7,33 2 1048,36 75,31 18,56 7,45 3 1126,71 66,99 11,32 8,21 Rataan 1083,72 80,32 14,53 7,66 1 1579,67 157,84 16,65 12,56 2 1843,56 128,41 17,32 11,54 3 1444,81 183,28 15,91 11,89 Rataan 1622,68 156,51 16,63 12,00 1 999,85 211,01 34,45 15,22 2 886,34 237,65 37,55 14,78 3 1023,71 240,90 31,19 14,54 Rataan 969,97 229,85 34,40 14,85 1 557,93 185,95 18,95 8,56 2 447,32 170,00 18,74 7,32 3 356,99 170,77 17,60 7,21 Rataan 464,08 175,57 18,43 7,70 1 227,56 46,51 9,36 3,32 2 223,76 40,58 9,11 3,76 3 222,41 45,23 9,56 3,44 Rataan 224,58 44,11 9,34 3,51 1 423,69 126,78 9,64 5,90 2 393,2 128,54 11,40 5,37 3 264,75 120,81 12,22 5,76 Rataan 360,55 125,38 11,09 5,68 Lampiran 18. Hasil sidik ragam erosi dan aliran permukaan dari perlakuan teknik konservasi tanah 1. Sidik ragam erosi Variabel tak bebas: Erosi Jumlah Derajat Kuadrat Bebas (JK) (db) Corrected Model 33022,467(a) 9 Intercept 32009,050 1 Perlakuan 33021,945 7 Kelompok ,522 2 Error 10,185 14 Total 65041,702 24 Corrected Total 33032,652 23 a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = ,999) Sumber Keragaman Kuadrat Tengah (KT) 3669,163 32009,050 4717,421 ,261 ,728 F Sig. 5043,346 43997,146 6484,199 ,358 ,000 ,000 ,000 ,705 Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: Erosi Pengaruh teknik konservasi terhadap erosi TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Rataan umum 109,080 28,743 10,663 18,437 89,263 19,293 5,220 11,460 Std. Error ,492 ,492 ,492 ,492 ,492 ,492 ,492 ,492 selang kepercayaan95% Batas bawah Batas atas 108,024 110,136 27,687 29,800 9,607 11,720 17,380 19,493 88,207 90,320 18,237 20,350 4,164 6,276 10,404 12,516 Uji Tukey/HSD Pengaruh teknik Subset N konservasi terhadap 1 2 3 4 erosi TK7 3 5,2200 TK3 3 10,6633 TK8 3 11,4600 TK4 3 18,4367 TK6 3 19,2933 TK2 3 28,7433 TK5 3 TK1 3 Sig. 1,000 ,935 ,909 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,728. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. 5 6 89,2633 1,000 109,0800 1,000 Lampiran 18. Lanjutan 2. Sidik ragam aliran permukaan Variabel tak bebas: Aliran permukaan Jumlah Derajat Kuadrat Bebas (JK) (db) Corrected Model 91058,290(a) 9 Intercept 517904,764 1 Perlakuan 91035,034 7 Blok 23,256 2 Error 150,714 14 Total 609113,769 24 Corrected Total 91209,005 23 a R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,997) Sumber Keragaman Kuadrat Tengah (KT) 10117,588 517904,764 13005,005 11,628 10,765 F Sig. 939,833 48108,684 1208,048 1,080 ,000 ,000 ,000 ,366 Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: Aliran permukaan Pengaruh teknik konservasi terhadap aliran permukaan Rataan umum TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 253,347 195,893 92,743 130,760 203,570 143,563 60,210 95,107 Selang kepercayaan 95% Std. Error 1,894 1,894 1,894 1,894 1,894 1,894 1,894 1,894 Batas bawah 249,284 191,830 88,680 126,697 199,507 139,500 56,147 91,044 Batas atas 257,410 199,956 96,806 134,823 207,633 147,626 64,273 99,170 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik N konservasi terhadap 1 2 aliran permukaan TK7 3 60,2100 TK3 3 92,7433 TK8 3 95,1067 TK4 3 TK6 3 TK2 3 TK5 3 TK1 3 Sig. 1,000 ,983 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 10,765. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Subset 3 4 5 6 130,7600 143,5633 195,8933 203,5700 1,000 1,000 ,154 253,3467 1,000 Lampiran 19. Hasil sidik ragam kehilangan C-Organik dan unsur hara tanah dari perlakuan teknik konservasi tanah 1. Hasil Analisis Sidik Ragam C-Organik Variabel tak bebas: C-Organik tanah Derajat Bebas (db) Corrected Model 15711436,019(a) 9 Intercept 32976189,745 1 Perlakuan 15658781,894 7 Blok 52654,125 2 Error 194701,908 14 Total 48882327,672 24 Corrected Total 15906137,928 23 a R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,980) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) 1745715,113 32976189,745 2236968,842 26327,062 13907,279 F Sig. 125,525 2371,146 160,849 1,893 ,000 ,000 ,000 ,187 Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: C-Organik tanah Pengaruh teknik konservasi terhadap kehilangan COrganik TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Rataan umum 2677,723 1622,680 360,547 969,967 1974,153 1083,720 224,577 464,080 Selang kepercayaan 95% Std. Error 68,086 68,086 68,086 68,086 68,086 68,086 68,086 68,086 Batas bawah Batas atas 2531,692 1476,649 214,516 823,936 1828,122 937,689 78,546 318,049 2823,754 1768,711 506,578 1115,998 2120,184 1229,751 370,608 610,111 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik N konservasi terhadap 1 2 kehilangan C-Organik TK7 3 224,5767 TK3 3 360,5467 TK8 3 464,0800 TK4 3 969,9667 TK6 3 1083,7200 TK2 3 TK5 3 TK1 3 Sig. ,275 ,925 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 13907,279. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Subset 3 4 5 1622,6800 1974,1533 1,000 1,000 2677,7233 1,000 Lampiran 19. Lanjutan 2. Hasil Analisis Sidik Ragam N-Total Dependent Variable: N-Total Derajat Bebas (db) Corrected Model 199471,740(a) 9 Intercept 743476,801 1 Perlakuan 198536,855 7 Blok 934,885 2 Error 9083,632 14 Total 952032,173 24 Corrected Total 208555,372 23 a R Squared = ,956 (Adjusted R Squared = ,928) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) 22163,527 743476,801 28362,408 467,442 648,831 F Sig. 34,159 1145,872 43,713 ,720 ,000 ,000 ,000 ,504 Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: N-Total Pengaruh teknik konservasi terhadap kehilangan N-Total TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Rataan umum 342,543 229,853 80,317 156,510 253,770 175,573 44,107 125,377 Confidence Interval 95% Std. Error Lower Bound 14,706 14,706 14,706 14,706 14,706 14,706 14,706 14,706 311,001 198,311 48,775 124,968 222,228 144,031 12,565 93,835 Upper Bound 374,085 261,395 111,859 188,052 285,312 207,115 75,649 156,919 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik konservasi terhadap 1 2 kehilangan N-Total N TK7 3 44,1067 TK3 3 80,3167 80,3167 TK8 3 125,3767 TK4 3 TK6 3 TK2 3 TK5 3 TK1 3 Sig. ,664 ,423 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 648,831. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Subset 3 4 125,3767 156,5100 175,5733 ,306 5 156,5100 175,5733 229,8533 ,050 6 229,8533 253,7700 ,934 342,5433 1,000 Lampiran 19. Lanjutan 3. Hasil Analisis Sidik Ragam P2O5 Variabel tak bebas: P2O5 Derajat Bebas (db) Corrected Model 1619,261(a) 9 Intercept 3647,707 1 Perlakuan 1618,912 7 Blok ,349 2 Error 6,113 14 Total 5273,081 24 Corrected Total 1625,374 23 a R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,994) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) 179,918 3647,707 231,273 ,174 ,437 F Sig. 412,032 8353,653 529,641 ,400 ,000 ,000 ,000 ,678 Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: P2O5 Pengaruh teknik konservasi terhadap kehilangan P2O5 TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Selang kepercayaan 95% Rataan umum Std. Error 31,307 14,847 5,677 8,030 15,600 11,997 3,507 7,663 Batas bawah ,382 ,382 ,382 ,382 ,382 ,382 ,382 ,382 30,488 14,028 4,858 7,212 14,782 11,178 2,688 6,845 Batas atas 32,125 15,665 6,495 8,848 16,418 12,815 4,325 8,482 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik konservasi terhadap N 1 2 kehilangan P2O5 TK7 3 3,5067 TK3 3 5,6767 TK8 3 TK4 3 TK6 3 TK2 3 TK5 3 TK1 3 Sig. 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,437. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Subset 3 4 5 6 7,6633 8,0300 11,9967 14,8467 15,6000 ,996 1,000 ,845 31,3067 1,000 Lampiran 19. Lanjutan 4. Hasil Analisis Sidik Ragam K2O Dependent Variable: K2O Derajat Bebas (db) Corrected Model 4728,162(a) 9 Intercept 12730,523 1 Perlakuan 4714,472 7 Blok 13,690 2 Error 108,324 14 Total 17567,009 24 Corrected Total 4836,486 23 a R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,963) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) 525,351 12730,523 673,496 6,845 7,737 F Sig. 67,898 1645,321 87,044 ,885 ,000 ,000 ,000 ,435 Perkiraan Rata-rata Marjinal Dependent Variable: K2O Pengaruh teknik konservasi terhadap kehilangan K2O TK1 TK2 TK3 TK4 TK5 TK6 TK7 TK8 Rataan umum 54,193 25,640 11,087 16,627 34,397 18,430 9,343 14,533 Std. Error 1,606 1,606 1,606 1,606 1,606 1,606 1,606 1,606 selang kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas 50,749 22,196 7,642 13,182 30,952 14,986 5,899 11,089 57,638 29,084 14,531 20,071 37,841 21,874 12,788 17,978 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik Subset konservasi terhadap N 1 2 3 kehilangan K2O TK7 3 9,3433 TK3 3 11,0867 11,0867 TK8 3 14,5333 14,5333 TK4 3 16,6267 16,6267 TK6 3 18,4300 18,4300 TK2 3 25,6400 TK5 3 TK1 3 Sig. ,088 ,084 ,092 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 7,737. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. 4 5 34,3967 1,000 54,1933 1,000 Lampiran 20. Hasil sidik ragam biaya dan pendapatan usahatani dari perlakuan teknik konservasi tanah 1. Hasil Analisis Sidik Ragam Biaya Usahatani Variabel tak bebas: Biaya usahatani Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Corrected Model Intercept Perlakuan Blok Error 261797728427787,340 12909188280036436,000 261670510370562,400 127218057225,078 3684709800962,250 Derajat Bebas (db) 9 1 7 2 14 Total 13174670718265192,000 24 265482438228749,600 23 Corrected Total a Kuadrat Tengah (KT) F 29088636491976,370 12909188280036436,000 37381501481508,914 63609028612,539 263193557211,589 Sig. 110,522 49048,269 142,030 ,242 ,000 ,000 ,000 ,789 a. R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,977) Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: Biaya usahatani Pengaruh teknik konservasi Rataan umum terhadap biaya usahatani TK1 19078641,000 TK2 20278213,667 TK3 27132987,000 TK4 25445341,000 TK5 19766187,000 TK6 20766187,000 TK7 27318667,667 TK8 25752187,000 Std. Error 296194,507 296194,507 296194,507 296194,507 296194,507 296194,507 296194,507 296194,507 Selang kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas 18443366,965 19713915,035 19642939,632 20913487,701 26497712,965 27768261,035 24810066,965 26080615,035 19130912,965 20401461,035 20130912,965 21401461,035 26683393,632 27953941,701 25116912,965 26387461,035 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik konservasi terhadap biaya usahatani TK1 Subset N 1 2 3 4 5 3 19078641,0000 TK5 3 19766187,0000 19766187,0000 TK2 3 20278213,6667 20278213,6667 TK6 3 20766187,0000 TK4 3 25445341,0000 TK8 3 25752187,0000 25752187,0000 TK3 3 TK7 3 Sig. 27132987,0000 27132987,0000 27318667,6667 ,155 ,317 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 263193557211,589. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05. ,994 ,075 1,000 Lampiran 20. Lanjutan 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Pendapatan Usahatani Variabel tak bebas: Pendapatan usahatani Corrected Model Intercept Perlakuan Blok Error 23268492169697456,000 267872461880403520,000 23266338707839548,000 2153461857891,710 149735461334962,280 Derajat Bebas (db) 9 1 7 2 14 Total 291290689511436290,000 24 23418227631032420,000 23 Sumber Keragaman Corrected Total Jumlah Kuadrat (JK) a Kuadrat Tengah (KT) F Sig. 2585388018855273,000 241,729 267872461880403520,000 25045,600 3323762672548507,000 310,766 1076730928945,855 ,101 10695390095354,450 ,000 ,000 ,000 ,905 a. R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,989) Perkiraan Rata-rata Marjinal Variabel tak bebas: Pendapatan usahatani Pengaruh teknik konservasi terhadap Rataan umum pendapatan usahatani TK1 50052025,667 TK2 118041786,333 TK3 122707013,000 TK4 119615992,333 TK5 54076479,667 TK6 124773313,000 TK7 129392665,667 TK8 126519146,333 Selang kepercayaan 95% Std. Error 1888155,193 1888155,193 1888155,193 1888155,193 1888155,193 1888155,193 1888155,193 1888155,193 Batas bawah Batas atas 46002335,545 113992096,211 118657322,878 115566302,211 50026789,545 120723622,878 125342975,545 122469456,211 54101715,789 122091476,455 126756703,122 123665682,455 58126169,789 128823003,122 133442355,789 130568836,455 Uji Tukey/ HSD Pengaruh teknik konservasi terhadap pendapatan usahatani TK1 Subset N 1 2 3 3 50052025,6667 TK5 3 54076479,6667 TK2 3 118041786,3333 TK4 3 119615992,3333 TK3 3 122707013,0000 122707013,0000 TK6 3 124773313,0000 124773313,0000 TK8 3 126519146,3333 126519146,3333 TK7 3 Sig. 129392665,6667 ,792 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 10695390095354,450. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,05. ,092 ,269 Lampiran 21. Hasil analisis ISM terhadap sub elemen tujuan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) No Variabel 7 6 5 4 3 2 1 Peningkatan produktivitas tanaman V A A O A V 2 Peningkatan peluang kerja dan usaha V A A A A 3 Penurunan laju erosi dan sedimentasi V X X V 4 Peningkatan pendapatan usahatani V A A 5 Pelestarian SD lahan dan lingkungan V X 6 Peningkatan partisipasi petani dalam upaya KTA V 7 Peningkatan pendapatan daerah 1 Reachibility Matrix No Variabel 1 2 3 4 5 6 7 1 0 0 0 0 Driver Rank Power 2 1 Peningkatan produktivitas tanaman 1 1 3 2 Peningkatan peluang kerja dan usaha 0 1 0 0 0 0 1 2 3 3 Penurunan laju erosi dan sedimentasi 1 1 1 1 1 1 1 7 1 4 Peningkatan pendapatan usahatani 0 1 0 1 0 0 1 3 2 5 Pelestarian SD lahan dan lingkungan 1 1 1 1 1 1 1 7 1 6 Peningkatan partisipasi petani dalam upaya KTA 1 1 1 1 1 1 1 7 1 7 Peningkatan pendapatan daerah 0 0 0 0 0 0 1 1 4 Dependent 5 6 3 4 3 3 7 Rank 3 2 5 4 5 5 1 Canonical Matrix untuk menentukan level melalui iterasi. Iterasi 1 Variables Reachibility Antecedent 1 1, 2, 7 1, 3, 5, 6 2 2, 7 1, 2, 3, 4, 5, 6 3 2,3,4,5,6,7 3,5,6 4 2, 4, 7 3, 4, 5, 6 5 2,3,4,5,6,7 3,5,6 6 2,3,4,5,6,7 3,5,6 7 7 1, 2, 3, 4, 5, 6, Intersection 1 2 Level 2 3,5,6 4 3 3,5,6 7 I Iterasi 2 Variables Reachibility Antecedent 1 1, 2 1, 3, 5, 6 2 2 1, 2, 3, 4, 5, 6 3 2,3,4,5,6 3,5,6 4 2, 4 3, 4, 5, 6 5 2,3,4,5,6 3,5,6 6 2,3,4,5,6 3,5,6 Intersection 1 2 Level 2 II 3,5,6 4 3 3,5,6 3,5,6 Iterasi 3 Variables Reachibility Antecedent 1 1 1, 3, 5, 6 3 3,4,5,6 3,5,6 4 4 3, 4, 5, 6 5 3,4,5,6 3,5,6 6 3,4,5,6 3,5,6 Intersection 1 Level III 3,5,6 4 3 III 3,5,6 3,5,6 Iterasi 4 Variables Reachibility Antecedent 3 3,4,5,6 3,5,6 Intersection 3,5,6 5 3,4,5,6 3,5,6 3 6 3,4,5,6 3,5,6 Level IV 3,5,6 IV 3,5,6 IV RIWAYAT HIDUP Wa Ode Muliastuty Arsyad (penulis) dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1978 di Kota Raha, Sulawesi Tenggara, merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak La Ode Muhammad Arsyad Teno (Alm.) dan Ibu Hj. Wa Ode Maluhadina Hibi. Penulis menikah pada tahun 2004 dengan Andi Muhammad Kadhafi, S.Hut. M.Hut dan dikaruniai 3 (tiga) orang putri bernama Andi Fayza Maharani, Andi Aisha Fahira, dan Andi Raisa Putri Almaira. Penulis menempuh pendidikan SD sampai SMA di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1996 penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Magister S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, dan lulus tahun 2003. Tahun 2010 penulis melanjutkan studi Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan sponsor BPPS DIKTI. Pada awal Tahun 2016 penulis pindah sebagai mahasiswa transfer pada Program Studi Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo. Penulis bekerja sebagai Dosen di Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo sejak tahun 2000 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh antara lain : Hidrologi, Konservasi Tanah dan Air, Irigasi dan Drainase, Pengelolaan Daerah aliran Sungai. Beberapa artikel yang merupakan bagian dari disertasi ini terlah terbit pada jurnal nasional dan internasional yaitu : 1) Artikel yang berjudul “Teknik Pengelolaan Usahatani Tanaman Cabai (Capsicum annuum) Berkelanjutan di Dataran Tinggi Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut” telah terbit di Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 23, No. 1 (2016): 66-75, p-ISSN:0854-5510; eISSN:2460-5727; 2) Artikel yang berjudul “An Analysis of Soil Erosion, Value of Crop Management and Conservation Practice Factor of Red Pepper Crop Under Different Ridge Types” telah diterbitkan oleh Jurnal of Environment and Earth Science Vol. 5 No.20 (2015), ISSN 2224-3216 (Paper), ISSN 2225-0948 (Online).