BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Anak

advertisement
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Anak Kesulitan Belajar Matematika
a. Pengertian Anak Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan sebutan yang diperuntukkan bagi anak
maupun orang dewasa yang mengalami kesulitan ataupun hambatan dalam
belajarnya. Sedangkan seseorang yang mengalami kesulitan pada mata
pelajaran tertentu biasanya kelompok mata pelajaran yang serumpun
termasuk dalam kesulitan belajar spesifik.
Hammill (1981) dalam Subini (2011: 14) mengemukakan bahwa:
Kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang nyata
dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca,
menulis, menalar, dan/atau berhitung. Gangguan tersebut berupa
gangguan intrinsik yang diduga karena adanya disfungsi sistem
saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan
gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan
emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya
atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan
eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan
belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi
kesulitan belajar yang sudah ada.
Sedangkan menurut ACCALD (Association Committee for
Children and Adult Learning Disabilities) dalam Subini (2011:14)
menyatakan bahwa:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga
bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu
perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan
bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar
memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan
memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka tidak memiliki
gangguan sistem sensoris.
Definisi kesulitan belajar yang lebih dikenal dengan Public Law
(PL) yang dikutip oleh Hallahan, Kauffman , dan Lioyd (1985) dalam
Abdurrahman (2003: 5) mengatakan bahwa:
9
Kesulitan belajar spesifik adalah suatu gangguan dalam satu atau
lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut
mungkin
menampakkan
diri
dalam
bentuk
kesulitan
mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja,
atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti
gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia
perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang
yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal
dari adanya hambatan dalam pengelihatan, pendengara, atau
motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional,
atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan menurut Irham dan Wiyani (2013:2 54), “Kesulitan
belajar merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa
tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain
pada umumnya yang disebabkan faktor-faktor tertentu sehingga ia terlambat
atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar dengan baik sesuai dengan
yang diharapkan”.
Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam
dua
kelompok,
(1)
kesulitan
belajar
yang
berhubungan
dengan
perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan
belajar akademik (akademic learning disabilities). Kesulitan belajar
akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi
akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalankegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca,
menulis, dan atau matematika.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
anak kesulitan belajar adalah anak yang mengalami hambatan dalam dalam
belajar, yang ditandai dengan hasil belajar yang rendah pada pelajaranpelajaran tertentu. Hambatan tersebut mungkin disadari atau tidak disadari
oleh yang bersangkutan, tidak hanya anak yang memiliki kemampuan
dibawah rata-rata saja yang bisa mengalaminya, tetapi anak yang memiliki
kemampuan diatas rata-rata juga bisa mengalaminya.
10
b. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Subini (2011, 15-40) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan kesulitan belajar pada anak, yaitu faktor internal (daya ingat
rendah, terganggunya alat-alat indera, usia anak, kecerdasan,jenis kelamin,
kebiasaan
belajar/rutinitas,
tingkat
kecerdasan/inteligensi,
minat,
emosi/perasaan, motivasi/cita-cita, sikap dan perilaku, konsentrasi belajar,
kemampuan unjuk hasil belajar, rasa percaya diri, kematangan atau
kesiapan, serta kelelahan) dan faktor eksternal (faktor keluarga (cara
mendidik anak, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan
ekonomi keluarga, pengertian orangtua, latar belakang kebudayaan), faktor
sekolah (guru, metode mengajar, instrumen/fasilitas, kurikulum sekolah,
relasi guru dengan anak, relasi antaranak, disiplin sekolah, pelajaran dan
waktu, standar pelajaran, kebijakan penilaian, keadaan gedung, tugas
rumah), faktor masyarakat (kegiatan anak dalam masyarakat, teman bergaul,
bentuk kehidupan dalam masyarakat)).
Selain itu, Irham dan Wiyani (2013) juga mengemukakan bahwa
faktor-faktor penyebab kesulitan belajar pada siswa dapat dikelompokkan
menjadi faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal yang dapat menyebabkan kesulitan belajar bagi
siswa antara lain, kemampuan intelektual, perasaan dan
kepercayaan diri, motivasi, kematangan untuk belajar, usia jenis
kelamin, kebiasaan belajar, kemampuan mengingat,
serta
kemampuan mengindera seperti melilhat, mendengarkan,
membau dan merasakan.
2. Faktor eksternal, yang dapat menyebabkan kesulitan belajar
bagi siswa dapat berupa guru, kualitas pembelajaran, instrumen
dan fasilitas pembelajaran (hardware dan software), serta
lingkungan sosial dan alam.
11
c. Anak Berkesulitan Belajar Matematika
1) Pengertian Anak Berkesulitan Belajar Matematika
Anak yang mengalami gangguan dalam menyelesaikan
masalah matematika disebut diskalkulia. Lerner (1988) dalam
Abdurahman (2003:224) mengemukakan istilah diskalkulia memiliki
konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan
sistem saraf pusat. Selain itu Subini (2011:65) menyatakan bahwa
Dyscalculia learning adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa
simbol utuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang
berkaitan dengan jumlah atau kuantitas.
Sedangkan Sudha (2014: 913) mengemukakan bahwa,
“Dyscalculia is difficulty in learning or comprehendending arithmetic
such as difficulty in understanding numbers, learning how to
manipulate numbers, and learning math’s facts”, maksud dari
pernyataan tersebut adalah diskalkulia merupakan kesulitan dalam
belajar atau memahami aritmatika seperti kesulitan dalam memahami
angka, belajar bagaimana untuk memanipulasi angka, dan belajar fakta
matematika.
Kesulitan belajar matematika atau diskalkulia menurut
Suharmini (2005) dalam Ayuningtyas (2016: 2), adalah kesulitan
belajar matematika yang dialami oleh peserta didik yang menunjukkan
prestasi yang rendah namun tidak bodoh, memiliki intelegensi normal
sehingga peserta didik harus segera mendapat penanganan supaya
potensi yang dimiliki dapat berkembang lebih optimal
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa
anak kesulitan belajar matematika adalah anak yang mengalami
gangguan
dalam
menyelesaikan
masalah
matematika,
dalam
menyelesaikan masalah matematika mereka membutuhkan metode
khusus dan waktu lebih.
12
2) Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika
Lerner (1981) dalam Abdurahman (2003: 224) mengemukakan
bahwa, “Karakteristik anak kesulitan belajar matematika yaitu (1)
adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi
visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal
dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan
dalam bahasa dan membaca, dan (8) sekor performance IQ jauh lebih
rendah daripada sekor Verbal IQ”.
Anak-anak kesulitan belajar matematika memiliki ciri-ciri
diantaranya, sulit melakukan hitungan matematis, sulit melakukan
proses-proses matematis dan kemampuan berbahasa yang kurang
(Ayuningtyas,2016).
Suparno
(2006:
56)
mengemukakan
bahwa,
“beberapa
karakteristik yang terkait dengan kesulitan belajar matematika atau
diskalkulia adalah (1) kesulitan proses informasi, (2) kelemahan
kemampuan membaca dan berbahasa, (3) kecemasan dalam berhitung
seperti sulit membedakan tanda-tanda dan sulit mengoperasikan
hitungan”.
Dijelaskan pula dalam DSM IV untuk mendiagnosis apakah
anak mengalami kesulitan belajar spesifik dalam matematika, ada 3
kriteria pokok yaitu: (1) intelegensi normal atau tinggi, umur,
kemampuan matematika dibandingkan dengan standar tes tidak sesuai
tigkatannya, (2) mengalami gangguan dalam melakasanakan tugastugas matematika sesuai dengan umur dan tingkat kelasnya, sehingga
prestasi di bidang matematika menjadi rendah, dan (3) kesulitan belajar
di bidang matematika ini disebabkan karena kondisi sensory deficit
secara medis karena gangguan neurology (Suharmini, 2005)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak
kesulitan belajar mengalami kesulitan dalam hal perhitungan,
pendengaran dan pengelihatan (tidak mampu mengasosiasikan tertulis
dengan simbol-simbol visual), keterampilan berhitung, dan bahasa.
13
2. Tinjauan Prestasi Belajar Matematika
a. Pengertian Belajar
Suprihatiningrum (2013:15) mengatakan bahwa, belajar merupakan
suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh
perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman
(latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan.
Hilgard (1984) dalam Suprihatiningrum (2013:13) mengatakan
bahwa:
Learning is the process by which an activity originates or is
changed through responding to a situation, provide the changes
can not be attributed to growth or the temporary state or the
organism as in fatique or under drugs.
Selain itu, Winkel (2007) dalam Suprihatiningrum (2013:15)
mengatakan bahwa :
Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan
dan nilai-sikap.
Hamalik (2003) dalam Susanto (2013:3) menjelaskan bahwa:
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh perilaku melalui
pengalaman
(learning
is
defined
as
the
modificator
or
strengthening of behavior through experiencing). Menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kejadian, dan
bukan merupakan suatu hasil atau tujuan.
Selanjutnya Susanto (2013:4) mengatakan bahwa “Belajar adalah
suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan
sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru
sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang
relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak”.
14
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
belajar merupakan proses perubahan perilaku yang berasal dari pengalaman
dan latihan yang terus-menerus yang berlangsung seumur hidup.
b. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil dari penguasaan materi oleh siswa
yang diperoleh dari proses pengukuran. Menurut Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional (2001:895), “Prestasi belajar adalah penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru”.
Sedangkan menurut Sukmadinata (2006: 102) berpendapat bahwa
“Prestasi belajar atau achievement merupakan realisasi dari kecakapankecakapan potensial yang dimiliki seseorang”.
Femi (2011: 73) berpendapat bahwa “Prestasi belajar adalah
puncak hasil belajar yang dapat mencerminkan hasil keberhasilan belajar
siswa terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan”.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lanawati (1999) dalam
Hawadi (2006: 168) berpendapat bahwa “Prestasi belajar adalah hasil
penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai
dengan tujuan istruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang
diharapkan dari siswa”. Sedangkan Suprihatin (2014:18) mengemukakan
bahwa, “Prestasi belajar yaitu suatu hasil yang telah dicapai siswa terhadap
sejumlah materi tertentu dalam rangka untuk memperoleh suatu perbuatan,
baik perubahan segi pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh siswa dalam proses
belajar mengajar yang ditunjukkan dengan angka nilai tes yang diberikan
oleh guru.
15
c. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Lie (2008:68) mengemukakan bahwa,“Ada dua faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar anak, yaitu kemampuan intelektual dan
kepribadian anak. Kedua aspek ini bisa dideteksi oleh ahli yang
berkompeten seperti misalnya psikolog”.
Syah (2006) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan atau kondisi
jasmani dan rohani siswa.
2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan di
sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor
masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar.
a) Faktor keluarga
Cara orangtua mendidik dan membimbing memegang
peranan penting terhadap kesuksesan belajar anaknya. Agar anak
dapat belajar dengan baik, perlu diciptakan suasanan rumah yang
tentram, disertai keadaan ekonomi keluarga yang memadai dan
perhatian cukup.
b) Faktor sekolah
Sekolah sebagai tempat pendidikan formal merupakan tempat
pembinaan anak dalam mewujudkan prestasi belajar yang optimal.
Karena didasari oleh adanya tenaga professional dalam menangani
masalah pendidikan anak.
c) Faktor masyarakat
Masyarakat tempat mengaktualisasi diri pengalaman belajar
yang diperoleh akan turut berpengaruh dalam mempengaruhi minat
anak. Anak akan belajar dengan baik jika memiliki rasa keinginan
karena adanya tuntutan kompetitif positif dari lingkungan.
3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya
belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa
untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
16
Pendekatan belajar sangat berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses
pembelajaran siswa, karena strategi yang digunakan siswa dapat
menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.
Menurut Hamdani (2011: 139) faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor dari
dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern).
1) Faktor Internal
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari siswa. Faktor ini
antara lain sebagai berikut:
a) Kecerdasan (intelegensi)
Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya.
Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi
yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat
perkembangan sebaya.
b) Faktor jasmaniah atau faktor fisiologis
Kondisi jasmaniah atau fisiologis pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang.
c) Sikap
Siswa harus mempunyai sikap yang positif (menerima)
kepada sesama siswa atau kepada gurunya. Sikap positif ini akan
menggerakannya untuk belajar. adapun siswa yang sikapnya negatif
(menolak) kepada sesama siswa atau gurunya tidak akan mempunyai
kemauan untuk belajar.
d) Minat
Minat
menurut
para
ahli
psikologi
adalah
suatu
kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu
secara terus menerus. Minat ini erat kaitannya dengan perasaan,
terutama perasaan senang. Apabila seseorang mempunyai minat yang
lebih tinggi terhadap sesuatu, akan terus berusaha untuk melakukan
sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai.
17
e) Bakat
Tumbuhnya
keahlian
tertentu
pada
seseorang
sangat
ditentukan oleh bakat yang dimilikinya. Bakat mempengaruhi tinggi
rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses
belajar, terutama belajar keterampilan, bakat memegang peranan
penting dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik.
f) Motivasi
Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal
tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk
melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah
bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian
pula, dalam kegiatan belajar menagajar seorang anak didik akan
berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri atas dua macam, yaitu lingkungan sosial
dan lingkungan nonsosial. Lingkungan membentuk kepribadian anak
karena dalam pergaulan sehari-hari, seorang anak akan selalu
menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya.
Apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya
yang rajin belajar, kemungkinan besar hal tersebut akan membawa
pengaruh pada dirinya sehingga ia akan turut belajar sebagaimana
semestinya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor penentu prestasi belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal,
yang termasuk faktor internal adalah faktor psikologis, faktor jasmani,
faktor kelelahan, faktor kecerdasan, faktor sikap, faktor minat, faktor bakat,
dan faktor motivasi sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan
di sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah, faktor faktor
masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar.
18
d. Pengertian Matematika
Kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau
mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedang dalam
bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang
kesemuannya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas,2001:7) dalam
Susanto (2013).
Sedangkan menurut Susanto (2013:185), “Matematika merupakan
salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah seharihari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Suwarsono (2005:10) mengemukakan bahwa, “Matematika adalah
ilmu yang memiliki sifat khas yaitu; objek bersifat abstrak, menggunakan
lambang-lambang yang tidak banyak digunakan dalam kehidupan seharihari, dan proses berpikir yang dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat”.
Selain itu Sutrisna (2005) mengatakan bahwa, “Matematika
merupakan ilmu yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
menghitung dan mengukur dengan menggunakan rumus matematika dan
turunannya (melalui materi pengukuran dan geometri, aljabar, serta
trigonometri). Suatu gagasan bisa dituangkan dalam bahasa matematika
melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan
matematika, diagram, grafik atau tabel”.
Sedangkan menurut Johnson dan Myklebust dalam Abdurrahman
(2012: 201) mengemukakan bahwa, “Matematika adalah bahasa simbolis
yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan
kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk
memudahkan berpikir.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah ilmu yang yang mempelajari jumlah-jumlah yang
diketahui melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan
dengan angka-angka atau simbol-simbol.
19
e. Pembelajaran Matematika
Susanto (2013:186) berpendapat bahwa pembelajaran matematika
adalah :
Suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk
mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat
meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai
upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi
matematika.
Fatimah (2009:8) berpendapat bahwa pembelajaran matematika
adalah:
Membentuk logika berfikir, bukan sekedar pandai berhitung.
Berhitung dapat dilakukan dengan alat bantu, seperti kalkulator dan
komputer, namun menyelesaikan masalah perlu logika berfikir dan
analisis. Oleh karena itu, anak-anak dalam belajar matematika
harus memiliki pemahaman yang benar dan lengkap sesuai dengan
tahapan, melalui cara yang menyenangkan dan menjalankan prinsip
pembelajaran matematika.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika adalah suatu rangkaian proses perbuatan guru dan
siswa atau suatu dasar hubungan timbal balik yang berlangsung saat proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika.
f. Tujuan Pembelajaran Matematika
Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar
adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Secara
khusus tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagaimana yang
disajikan oleh Depdiknas dalam Susanto (2013:190) yaitu:
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep,
dan mengaplikasikan konsep atau alogaritme.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
20
4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
5) Memililki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
Sedangkan menurut Fatimah (2009:15) tujuan pembelajaran
matematika secara umum dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Anak pandai menyelesaikan permasalahan (menjadi problem solver). Hal
ini dapat dicapai apabila dalam pembelajaran menerapkan prinsip
pembelajaran matematika dua arah. Anak-anak akan dapat menguasai
konsep matematika dengan baik.
2) Anak pandai dalam berhitung. Anak mampu melakukan perhitungan
dengan benar dan tepat (cepat bukan tujuan utama).
Tujuan pembelajaran secara khusus seperti yang disampaikan oleh
Sutrisna (2005: ) adalah sebagai berikut:
1) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, seperti
melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan
kesamaan, perbedaan, konsistensi, dan inkonsistensi.
2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa
ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
4) Mengembangkan
kemampuan
menyampaikan
informasi
atau
mengkomunikasikan gagasan, antara lain melalui pembicaraan lisan,
catatan, grafik, peta dan diagram dalam menjelaskan masalah.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan
untuk memahamkan konsep matematika, membangun penalaran dalam
belajar matematika dan memecahkan masalah matematis, tanpa membebani
anak dengan hal-hal yang mematahkan kesenangan anak terhadap
matematika.
21
g. Materi Pelajaran Matematika Anak Kesulian Belajar
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menetapkan standar kompetensi untuk kelas IV Sekolah Dasar bagi Anak
Kesulitan Belajar sebagai berikut:
1) Memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam
pemecahan masalah.
2) Memahami dan menggunakan faktor dan kelipatan dalam pemecahan
masalah.
3) Menggunakan pengukuran sudut, panjang, dan berat dalam pemecahan
masalah.
4) Menggunakan konsep keliling dan luas bangun datar sederhana dalam
pemecahan masalah.
5) Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat.
6) Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah.
7) Menggunakan lambang bilangan romawi.
8) Memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun
datar.
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang digunakan
dalam penelitian
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Memahami dan
1.3 Melakukan operasi perkalian
menggunakan sifat-sifat
operasi hitung bilangan
dalam pemecahan
masalah
3. Tinjauan tentang Metode Kooperatif melalui Inklusi Model Kluster
a. Pengertian Metode Kooperatif
Slavin dalam Suprihatiningrum (2013:191) mengemukakan bahwa,
“Pembelajaran kooperatif atau cooperatif learning mengacu pada metode
pembelajaran, yang mana siswa bekerja dalam kelompok kecil saling
membantu dalam belajar. Anggota-anggota kelompok bertanggung jawab
22
atas ketuntasan tugas-tugas kelompok dan untuk mempelajari materi itu
sendiri. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri
dari empat siswa dengan kemampuan berbeda-beda”.
Selain itu Nur dan Wikandari dalam Suprihatiningrum (2013:191)
menyatakan bahawa:
Khas pembelajaran kooperatif, siswa ditempatkan pada kelompokkelompok kooperatif dan tinggal bersama sebagai satu kelompok
untuk beberapa minggu atau bulan. Mereka biasanya dilatih
keterampilan-keterampilan khusus untuk membantu mereka
bekerja sana dengan baik, sebagai misal menjadi pendengar yang
baik, memberikan penjelasan dengan baik, mengajukan pertanyaan
dengan benar, dan sebagainya.
Sugiyanto (2009:37) mengemukakan bahwa, “Pembelajaran
kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa metode
kooperatif adalah metode pembelajaran yang membagi siswa dalam
kelompok-kelompok kecil untuk memaksimalkan pembelajaran dengan
belajar bersama siswa lain dalam satu kelompok yang untuk selanjutnya
skor setiap kelompok ditentukan dari skor setiap siswa di kelompok
tersebut.
b. Kelebihan Metode Kooperatif
Suprihatiningrum (2013:201) mengemukakan bahwa, kelebihan
strategi belajar kooperatif adalah:
a) Peserta
didik
lebih
memperoleh
kesempatan
dalam
hal
meningkatkan hubungan kerja sama antar-teman
b) Peserta didik lebih memperoleh kesempatan untuk mengembangkan
aktivitas,
kreativitas,
kemandirian,
sikap
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
kritis,
sikap
dan
23
c) Guru tidak perlu mengajarkan seluruh pengetahuan kepada peserta
didik, cukup konsep-konsep pokok karena dengan belajar secara
kooperatif peserta didik dapat melengkapi sendiri.
Sedangkan menurut Slavin dalam Suprihatiningrum (2013:201)
mengemukakan penerapan pembelajaran kooperatif diantaranya:
a) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung
tinggi norma-norma kelompok.
b) Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk bersamasama berhasil.
c) Aktif berperan sebagi tutor sebaya untuk lebih meningkatkan
keberhasilan kelompok.
d) Interaksi antarsiswa seiring dengan peningkatan kemampuan
mereka dalam berpendapat.
e) Interaksi antar-siswa juga membantu meningkatkan perkembangan
kognitif yang nonkonservatif menjadi konservatif.
Selain
itu
Sugiyanto
(2009:43)
mengemukakan
bahwa
keuntungan menggunakan pembelajaran kooperatif yaitu:
a) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.
b) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap,
keterampilan, informai, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
c) Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
d) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan
komitmen.
e) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.
f) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa
dewasa.
g) Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara
hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan.
h) Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.
i) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari
berbagai perspektif.
24
j) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang
dirasakan lebih baik.
k) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan
kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial,
agama, dan orientasi tugas.
c. Langkah-langkah Metode Kooperatif
Ibrahim dkk dalam Suprihatiningrum (2013:192) mengemukakan
bahwa, langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan
pembelajaran kooperatif adalah:
Fase
Tingkah laku guru
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi Guru menyampaikan semua tujuan
siswa
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi
siswa
Fase-2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan
Fase-3
Mengorganisasikan siswa ke dalam Guru menjelaskan kepada siswa
kelompok-kelompok belajar
bagaimana
caranya
membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi
secara efisien
Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan Guru
membimbing
kelompokbelajar
kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka
Fase-5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing
kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
Fase-6
Memberikan penghargaan
Guru
mencari
cara-cara
untuk
menghargai, baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok
25
d. Jenis-Jenis Metode Kooperatif
Ada beberapa metode pembelajaran kooperatif diantaranya, 1)
metode STAD, 2) metode Jigsaw, 3) metode GI (group investigation), 4)
metode Struktural (Sugiyanto,2009: 41-48).
Berikut
ini
merupakan
perbandingan
empat
pendekatan
pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Sugiyanto (2009:63)
STAD
Pengetahuan
akademis
faktual
JIGSAW
Pengetahuan
konseptual faktual
dan akademis
Tujuan Sosial
Kerja kelompok
dan kerja sama
Kerja
kelompok
dan kerja sama
Struktur Tim
Tim-tim belajar
heterogen
beranggota 4-5
orang
Kelompok belajar
beranggota lima
sampai
enam
orang, mungkin
homogen
Pemilihan
Topik
Pembelajaran
Tugas Utama
Biasanya guru
Tim-tim
belajar
heterogen
beranggota
4-5
orang;
menggunakan imtim asal dan tim-tim
ahli
Biasanya guru
Guru dan /atau
siswa
Biasanya guru
Siswa mungkin
menggunakan
worksheet dan
saling
membantu
dalam
menguasai
materi belajar
Siswa menyelidiki
berbagai
materi
dikelompok
ahli;
membantu anggotaanggota
di
kelompok
asal
untuk mempelajari
berbagai materi
Siswa
menyelesaikan
penyelidikan yang
kompleks
Siswa
mengerjakan
tugas
yang
diberikan sosial
dan kognitif
Tujuan Kognitif
GI
Pengetahuan
Konseptual
Akademis
dan
Keterampilan
Menyelidiki
Kerja
sama
dalam kelompok
STRUKTURAL
Pengetahuan
akademis faktual
Keterampilan
kelompok
dan
sosial
Bervariasipasangan,
trio,
kelompok
beranggotakan 46 orang
e. Metode Student Team-Achievement Divisions (STAD)
Metode
“kompetisi”
yang
dikembangkan
antarkelompok.
Siswa
oleh
Slavin
dikelompokkan
ini
secara
melibatkan
beragam
berdasarkan kemampuan, etnis, gender, dan ras. Untuk selanjutnya
mempelajari materi ajar secara bersama-sama, kemudian mereka diuji
secara individual melalui kuis-kuis. Perolehan nilai kuis setiap anggota
menentukan skor yang diperoleh oleh kelompok mereka. Metode ini dapat
diterapkan untuk beragam materi pelajaran (Huda, 2013: 116).
26
Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar
kelompok siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks.
Siswa dalam satu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota
4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen. Anggota tim menggunakan
lembar kegiatan untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian
saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui
tutorial, kuis, satu sama lain, dan atau melakukan diskusi. Secara individual
akan diberikan kuis untuk mengetahui skor perkembangan siswa pada
materi yang diajarkan (Shoimin,2014).
Slavin (2011: 144) dalam metode pembelajaran STAD, siswa
ditempatkan ke tim-tim belajar yang beranggotakan empat orang yang
bercampur tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku bangsa. Guru
menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka untuk
memastikan semua anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Akhirnya, semua siswa mengikuti ujian kecil sendiri-sendiri tentang bahan
tersebut dan pada saat itu mereka tidak boleh membantu satu sama lain.
STAD terdiri atas siklus pengajaran biasa, studi koperasi dalam tim
gabungan kemampuan, dan ujian kecil, dengan penghargaan atau imbalan
lain yang diberikan kepada tim yang anggotanya berkinerja sangat baik.
Slavin dalam Hamdayama (2014: 116) menjelaskan bahwa, STAD
terdiri atas lima komponen untama, yaitu presentasi kelas, kerja kelompok
(tim), kuis, skor kemajuan individual, rekognisi (penghargaan) kelompok.
Langkah-langkah metode pembelajaran STAD menurut Hamdani (2011:93):
1) Membentuk kelompok yang anggotanya empat orang secara heterogen
(campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku dan lain-lain).
2) Guru menyajikan pelajaran.
3) Guru memberi tugas kepada setiap kelompok untuk dikerjakan oleh
anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota
lainnya, sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4) Guru memberi kuis atau pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat
menjawab kuis, tidak boleh saling membantu.
27
5) Memberi evaluasi.
6) Penutup.
Beberapa kelebihan dari metode STAD menurut Hamdayama
(2014: 118), diantaranya sebagai berikut :
2) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi
norma-norma kelompok.
3) Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil
bersama.
4) Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan
keberhasilan kelompok.
5) Meningkatkan kecakapan individu.
6) Meningkatkan kecakapan kelompok.
7) Tidak bersifat kompetitif.
8) Tidak memiliki rasa dendam.
f. Pengertian Model Pembelajaran
Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus
dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan
aktivitas belajar mengajar (Trianto,2009: 22)
Arends (1997) dalam Trianto (2009: 22) mengemukakan bahwa:
The term teaching model refers to a particular approach to
instruction that includes its goals, syntax, enviroment, and
management system. Istilah model pengajaran mengarah pada suatu
pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya,
lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.
Sedangkan Adi (2004) dalam Suprihatiningrum (2013:142)
mengemukakan
bahwa
“Model
pembelajaran
merupakan
kerangka
konseptual yang menggambarkan prosedur dalam mengorganisasikan
pengalaman pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model
28
pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan
dan melaksanakan kegiatan pembelajaran”.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Samatowa (2006) dalam
Suprihatiningrum (2013:142) menurutnya “Model pembelajaran dapat
dikatakan
sebagai
suatu
deskripsi
dari
lingkungan
belajar
yang
menggambarkan perancanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit
pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran,
buku-buku kerja program multimedia, dan bantuan melalui program
komputer”.
Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar.
g. Pendidikan Inklusi Model Kluster
Sistem pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang ada
di sekolah reguler yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa reguler
dan siswa ABK dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas yang masingmasing mendapatkan pelayanan sesuai dengan potensi dan keterbatasannya
(Yusuf & Choiri,2009: 68).
Ormrod (2008: 227) mengemukakan bahwa, “Inklusi merupakan
praktik mendidik semua siswa, termasuk siswa yang mengalami hambatan
yang parah dan majemuk, di sekolah-sekolah umum yang biasanya
dimasuki anak-anak normal.
National Association of State Boards of Education (1992) dalam
Slavin (2011: 231) mengemukakan bahwa, “Pendidikan inklusi berarti siswa
yang menghadiri sekolah di tempat kediaman mereka bersama teman seusia
dan sekelas mereka. Itu mengharuskan agar jumlah siswa yang dipisahkan
untuk memperoleh layanan khusus relatif sama untuk semua sekolah dalam
distrik tertentu. . . . siswa yang disertakan tersebut tidak diasingkan ke kelas
khusus atau ruangan di samping sekolah”.
29
Individuals with Disabililties Education Act (IDEA) memberikan
hak memperoleh pendidikan sejak lahir hingga usia 21 tahun untuk orangorang yang mengalami hambatan kognisi, dan emosi, atau fisik. IDEA
menjamin beberapa hak bagi siswa yang mengalami hambatan sebagai
berikut: 1) bebas memperoleh pendidikan yang sesuai, 2) menjalani evaluasi
yang fair dan tidak diskriminatif, 3) memperoleh pendidikan dalam suasana
yang tidak mengekang, 4) memperhatikan kekhususan setiap individu
program pendidikan, dan 5) menghargai hak asasi individu.
Pendidikan inklusi memiliki dua model (Ekeh, 2013) dalam Hadi
(2011:52), yaitu (1) model inklusi penuh (full inclusion), dalam model ini
menyertakan ABK untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas
reguler; (2) model inklusi parsial (partial inclusion), model ini
mengikutsertakan ABK dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di
kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan
guru pendamping khusus. Dalam pendidikan inklusi, ABK disediakan
berbagai
alternatif layanan
yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk
layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1) Kelas Reguler
Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain sepanjang hari
di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2) Kelas Reguler dengan Cluster
Dalam kelas ini, ABK belajar bersama-sama anak lain di kelas
reguler dalam kelompok khusus.
3) Kelas Reguler dengan Pull Out
Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain di kelas reguler
namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas tersebut ke
ruang sumber untuk belajar bersama guru pembimbing khusus
(GPK).
30
4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
Dalam kelas ini, ABK belajar bersama anak lain kelas reguler
dalam kelompok khusus. Dalam waktu-waktu tertentu mereka
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan
GPK.
5) Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
Dalam kelas ini, ABK belajar di kelas khusus di sekolah reguler
namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersamasama dengan anak lain di kelas reguler.
6) Kelas Khusus Penuh
Dalam kelas ini, ABK belajar di dalam kelas khusus pada
sekolah reguler ( Hadi, 2014).
Sedangkan menurut Dikdasmen (2007) dalam Nuraeni (2014: 398),
model pendidikan yang dilaksanakan dalam setting pendidikan inklusif
diantaranya:
1) Kelas Inklusif Penuh (Full Inclusion)
Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk
menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.
2) Kelas Inklusif Parsial (Partial Inclusion) atau Pull Out
Model ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus
dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler
dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan
guru pendamping khusus.
3) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
Anak berkebutuhan khusus bersama anak lain (normal) di kelas
reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
31
4) Kelas Khusus dengan berbagai Pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
5) Kelas Khusus Penuh
Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah
reguler.
Inklusi
penuh
berarti
siswa
yang
tidak
mempunyai
ketidakmampuan atau beresiko memperoleh semua pengajaran mereka
dalam lingkungan pendidikan umum, layanan dukungan datang kepada
siswa. Sedangkan inklusi sebagian berarti siswa memperoleh kebanyakan
pengajaran mereka dalam lingkungan pendidikan umum, tetapi siswa
mungkin saja dicopot ke lingkungan pengajaran lain jika lingkungan seperti
itu dianggap sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa (Slavin, 2011:
232).
Gunarhadi (2014: 19) mengemukakan bahwa ”Dalam pendidikan
inklusif, kluster dibentuk untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus
dalam proses pembelajaran adaptif, baik akademik maupun psikologis.
Proses
pembelajaran
adaptif
memberikan
layanan
kepada
anak
berkebutuhan khusus berdasarkan kebutuhan anak yang memang berbeda
dengan anak-anak lainnya. Dengan demikian, pendidikan inklusi model
kluster adalah pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan semua anak
dengan memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dalam kelompok.
Pendidikan inklusi model kluster dibentuk dengan memperhatikan
pentingnya rasa sosial dan beban psikologis yang muncul. Pembentukan
kluster dilakukan secara fleksibel sehingga memungkinkan dilakukannya
pembelajaran terdiferensiasi. Menurut Gregory & Chapman (2007) dalam
Gunarhadi (2014: 20) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang
mendasar dalam pembentukan kluster antara lain, 1) pengetahuan tentang
mata pelajaran, 2) kemampuan kinerja, 3) minat dan pembidangan, 4) tutor
32
sebaya, 5) pembelajaran kooperatif, dan 6) keberagaman anggota. Proses
pembentukan kluster merupakan proses pemindahan atau penarikan
sejumlah anak berkebutuhan khusus dari kelompok besar dalam kelas
inklusif penuh di sekolah reguler ke ruang terpisah untuk belajar dalam
kelompok kecil yang kemudian disebut kluster. Adapun langkah-langkah
pembentukan kluster sebagai berikut:
1. melakukan kegiatan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus yang
ada di kelas inklusif untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan layanan
khusus yang diperlukan.
2. Menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut pada ruang
belajar yang telah dipersiapkan.
3. Melakukan asesmen akademik dan nonakademik untuk menentukan
kekuatan
atau
kelemahan
dalam
mendapatkan
layanan
sesuai
kebutuhannya.
4. Menentukan program layanan, baik akademik maupun nonakademik
dalam bentuk kelas kecil dan individual bagi yang memerlukannya.
5. Melakukan layanan, baik akademik maupun sosial psikologis, melalui
pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik individual maupun
kelompok mereka.
6. Melakukan evaluasi pembelajaran akademik sesuai dengan hambatan
yang dialami anak ketika berada di kelas reguler.
7. Mengembalikan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam kelas reguler
dalam rangka pembauran dengan semua teman dalam kegiatan-kegiatan
kebersamaan.
Pendidikan inklusi melalui model kluster jika diterapkan dengan
baik maka akan berdampak positif terhadap anak berkebutuhan khusus
terutama pada bidang akademik. Menurut Soodak dkk (2006) dalam Omrod
(2008: 202) mengemukakan bahwa, Keuntungan dalam pendidikan inklusi
adalah :
1) Siswa memiliki gambaran diri yang lebih positif
2) Siswa memiliki keterampilan sosial yang lebih baik
33
3) Siswa lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang
normal
4) Siswa memiliki perilaku yang lebih sesuai di kelas
Siswa memiliki prestasi akademik yang setara (dan kadangkala lebih
tinggi) dengan prestasi yang dicapai bila ditempatkan dalam kelas
khusus.
Selain itu, menurut Gunarhadi (2014: 26) kelebihan-kelebihan pada
pendidikan inklusif model kluster antara lain sebagai berikut:
1) Dari sisi akademik, pengelolaan pembelajaran anak-anak berkebutuhan
khusus di kelas kecil lebih efektif dibandingkan mengelola kelas besar.
2) Pemahaman guru terhadap karakterisitik anak berkebutuhan khusus
lebih mendalam sehingga cara-cara melakukan intervensi lebih fokus
pada kebutuhan masing-masing.
3) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran lebih spesifik berdasarkan
kemampuan dasar anak secara individu.
4) Perhatian guru terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus bisa
diberikan langsung terhadap perilaku belajar yang diharapkan.
5) Kesulitan –kesulitan yang muncul selama proses pembelajaran dapat
langsung terdeteksi sehingga bantuan belajar langsung bisa diberikan.
Dengan demikian, anak dapat mengahayati proses belajar yang
bermakna.
6) Proses pengembangan diri anak dapat dilakukan dengan pendekatan
yang humanistis untuk menggali potensi yang dapat meningkatkan
motivasi dan rasa percaya diri mereka.
7) Kepentingan anak dari sisi sosial tetap terpelihara saat anak-anak
berkebutuhan khusus melakukan kegiatan bersama anak lain di kelas
besarnya di lingkungan sekolah.
B. Kerangka Berfikir
Kondisi anak berkesulitan belajar matematika yang memiliki
hambatan dalam memahami konsep, prinsip dalam menyelesaikan masalah-
34
masalah matematika, sering kali membuat mereka kehilangan motivasi untuk
belajar matematika, karena dari awal sudah menganggap bahwa matematika itu
susah. Sehingga prestasi belajarnya buruk.
Perlu adanya strategi dalam menyajikan pembelajaran matematika,
yakni dengan menggunakan metode kooperatif tipe Student Team Achievement
Divisions (STAD) melalui inklusi model kluster. Dalam pembelajaran dengan
metode ini, anak akan menjadi lebih bersemangat dalam belajar karena peran
teman sebaya juga berpengaruh terhadap motivasi belajar anak. Anak menjadi
lebih termotivasi untuk menunjukkan kemampuannya. Setting inklusi model
kluster menambah motivasi anak, karena disini peniliti akan memfokuskan
pengajarannya pada kelompok anak-anak berkesulitan belajar matematika.
Melalui metode ini, proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan
mengesankan. Motivasi belajar anak pun semakin meningkat dan anak menjadi
bersemangat untuk mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasi belajar
anak pun meningkat.
Pembelajaran Matematika materi Perkalian anak
berkesulitan belajar kelas IV di SD Negeri Gondang 7 Sragen
Pembelajaran belum menerapkan Metode Kooperatif tipe
Student Team Achievement Divisions (STAD) melalui inklusi
model kluster
Prestasi belajar Matematika kelas IV anak berkesulitan
belajar kelas IV di SD Negeri Gondang 7 Sragen materi
Perkalian masih rendah
Pembelajaran menggunakan Metode Kooperatif tipe Student
Team Achievement Divisions (STAD) Melalui inklusi model
kluster
Prestasi belajar Matematika kelas IV anak berkesulitan belajar kelas IV
di SD Negeri Gondang 7 Sragen materi Perkalian meningkat
Gambar. 2.4 Kerangka Berpikir
35
C. Hipotesis
Purwanto dan Sulistyastuti (2007: 137) mengemukakan bahwa
“Hipotesis merupakan pernyataan sementara masalah penelitian yang
kebenarannya belum tentu benar sehingga harus diuji secara empiris”.
Sugiyono (2011: 64) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan
masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”.
Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah yang sedang diteliti
dan disampaikan dalam kalimat pernyataan. Berdasarkan kerangka pemikiran
diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan metode
Kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) berpengaruh
terhadap peningkatkan prestasi belajar matematika materi perkalian anak
berkesulitan belajar matematika melalui inklusi model kluster di SD Negeri
Gondang 7 Sragen Tahun Ajaran 2015/2016.
Download