5 II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Limbah Rumah Sakit Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi : limbah non medis (limbah domestik cair) yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian; limbah cair medis (limbah cair klinis) yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit, misalnya air bekas cucian luka, cucian darah dll; air limbah laboratorium; dan lainnya Persentase terbesar dari limbah rumah sakit adalah limbah non medis sedangkan sisanya adalah limbah yang terkontaminasi oleh infectious agents kultur mikroorganisme, darah, buangan pasien pengidap penyakit infeksi, dan lain-lain. Perbandingan persentase antara limbah non medis dan medis adalah 89% : 11 %. Air limbah rumah sakit yang berasal dari buangan domestik maupun buangan limbah cair klinis umumnya mengandung senyawa pencemar organik yang cukup tinggi, dan dapat diolah dengan proses pengolahan secara biologis, sedangkan untuk air limbah rumah sakit yang berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat dan bila air limbah tersebut dialirkan kedalam proses pengolahan secara biologis, logam berat tersebut dapat mengganggu proses pengolahannya. Oleh karena itu untuk pengolahan air limbah rumah sakit, maka air limbah yang berasal dari laboratorium dipisahkan dan ditampung, kemudian diolah secara kimia-fisika, selanjutnya air olahannya dialirkan bersama-sama dengan air limbah yang lain, dan selanjutnya diolah dengan proses pengolahan secara biologis. II.2 Pengolahan Air Limbah Secara Biologis Pengolahan air buangan secara biologis adalah suatu cara pengolahan yang diarahkan untuk menurunkan atau menyisihkan substrat tertentu yang terkandung dalam air buangan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan perombakan substrat tersebut. 6 Proses pengolahan air buangan secara biologis dapat berlangsung dalam tiga lingkungan utama, yaitu : Lingkungan aerob , yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut (DO) di dalam air cukup banyak, sehingga oksigen bukan merupakan faktor pembatas. Lingkungan anoksik, yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut (DO) di dalam air ada dalam konsentrasi rendah. Lingkungan anaerob, merupakan kebalikan dari lingkungan aerob, yaitu tidak terdapat oksigen terlarut, sehingga oksigen menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme aerob. Berdasarkan pada kondisi pertumbuhan mikroorganisme yang bertanggung jawab pada proses penguraian yang terjadi, reaktor dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reactor), yaitu reaktor dimana mikroorganisme yang berperan pada proses biologis tumbuh dan berkembang biak dalam keadaan tersuspensi. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reactor), yaitu reaktor dimana mikroorganisme yang berperan pada proses penguraian substrat tumbuh dan berkembang di atas suatu media dengan membentuk suatu lapisan lendir (lapisan biofilm) untuk melekatkan diri di atas permukaan media tersebut. II.2.1 Proses Pengolahan Biologis Secara Anaerob II.2.1.1 Mekanisme Proses Anaerob Polutan-polutan organik komplek seperti lemak, protein dan karbohidrat pada kondisi anaerobic akan dihidrolisa oleh enzim hydrolase yang dihasilkan bakteri pada tahap pertama. Enzim penghidrolisa seperti lipase, protease dan cellulase. Hasil hidrolisa polimer-polimer diatas adalah monomer seperti 7 manosakarida, asam amino, peptida dan gliserin. Selanjutnya monomer-monomer ini akan diuraikan menjadi asam-asam lemak (lower fatty acids) dan gas hidrogen. Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metan. Lebih jauh lagi, terdapat interaksi sinergis antara bermacammacam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah. Keseluruhan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut (Polprasert, 1989) : Senyawa Organik CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat ditemukan dalam penguraian anaerobik, bakteri bakteri tetap merupakan mikroorganisme yang paling dominan bekerja didalam proses penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik dan fakultatif (seperti : Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus) terlibat dalam proses hidrolisis dan fermentasi senyawa organik. Proses penguraian senyawa organik secara anaerobik secara garis besar ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1. Ada empat grup bakteri yang terlibat dalam transformasi material komplek menjadi molekul yang sederhana seperti metan dan karbon dioksida. Kelompok bakteri ini bekerja secara sinergis (Archer dan Kirsop, 1991; Barnes dan Fitzgerald, 1987; Sahm, 1984; Sterritt dan Lester, 1988; Zeikus, 1980), 1) Kelompok Bakteri Hidrolitik Kelompok bakteri anaerobik memecah molekul organik komplek (protein, cellulose, lignin, lipids) menjadi molekul monomer yang terlarut seperti asam amino, glukosa, asam lemak, dan gliserol. Molekul monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok bakteri berikutnya. Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin (Polprasert, 1989; Speece, 1983). 8 Gambar 2.1: Kelompok Bakteri Metabolik yang terlibat dalam penguraian limbah dalam sistem anaerobik. 2) Kelompok Bakteri Asidogenik Fermentatif Bakteri asidogenik (pembentuk asam) seperti Clostridium merubah gula, asam amino, dan asam lemak menjadi asam organik (seperti asam asetat, propionik, formik, lactik, butirik, atau suksinik), alkohol dan keton (seperti etanil, metanol, gliserol, aseton), asetat, CO2 dan H2. Asetat adalah produk utama dalam fermentasi karbohidrat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti temperatur, pH, potensial redok. 3) Kelompok Bakteri Asetogenik Bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei (McInernay et al., 1981) merubah asam lemak (seperti asam propionat, asam butirat) dan alkohol menjadi asetat, hidrogen, 9 dan karbon dioksida, yang digunakan oleh bakteri pembentuk metan (metanogen). Kelompok ini membutuhkan ikatan hidrogen rendah untuk merubah asam lemak; dan oleh karenanya diperlukan monitoring hidrogen yang ketat. Dibawah kondisi tekanan hidrogen (H2) parsial yang relatif tinggi, pembentukan asetat berkurang dan subtrat dirubah menjadi asam propionat, asam butirat, dan etanol dari pada metan. Ada hubungan simbiotik antara bakteri asetonik dan metanogen. Metanogen membantu menghasilkan ikatan hidrogen rendah yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik. Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik dengan reaksi sebagai berikut : CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + 2H2 Etanol Asam Asetat CH3CH2COOH + 2H2O CH3COOH + CO2 + 3H2 Asam Propionat Asam asetat CH3CH2CH2COOH + 2H2O 2CH3COOH + 2H2 Asam Butirat Asam Asetat Bakteri asetogenik tumbuh jauh lebih cepat dari pada bakteri metanogenik. Kecepatan pertumbuhan bakteri asetogenik (mak) mendekati 1 per jam sedangkan bakteri metanogenik 0,04 per jam (Hammer, 1986). 4) Kelompok Bakteri Metanogen Penguraian senyawa organik oleh bakteri anaerobik dilingkungan alam melepas 500 - 800 juta ton metan ke atmosfir tiap tahun dan ini mewakili 0,5% bahan organik yang dihasilkan oleh proses fotosintesis (Kirsop, 1984; Sahm, 1984). Bakteri metanogen terjadi secara alami didalam sedimen yang dalam atau dalam pencernaan herbivora. Kelompok ini dapat berupa kelompok bakteri gram positip dan gram negatif dengan variasi yang banyak dalam bentuk. Mikroorganime metanogen tumbuh secara 10 lambat dalam air limbah dan waktu tumbuh berkisar 3 hari pada suhu 35oC sampai dengan 50 hari pada suhu 10oC. Bakteri metanogen dibagi menjadi dua katagori, yaitu : Bakteri metanogen hidrogenotropik (seperti : chemolitotrof yang menggunakan hidrogen) merubah hidrogen dan karbon dioksida menjadi metan. CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O Metan Bakteri metanogen yang menggunakan hidrogen membantu memelihara tekanan parsial yang sangat rendah yang dibutuhkan untuk proses konversi asam volatil dan alkohol menjadi asetat (speece, 1983). Bakteri metanogen Asetotropik, atau biasa disebut sebagai bakteri asetoklastik atau bakteri penghilang asetat, merubah asam asetat menjadi metan dan CO2. CH3COOH CH4 + CO2 Bakteri asetoklastik tumbuh jauh lebih lambat (waktu generasi = beberapa hari) dari pada bakteri pembentuk asam (waktu generasi = beberapa jam). Kelompok ini terdiri dari dua kelompok, yaitu : Metanosarkina (Smith dan Mah, 1978) dan Metanotrik (Huser et al., 1982). Selama penguraian termofilik (58oC) dari limbah lignosellulosik, Metanosarkina adalah bakteri asetotropik yang ditemukan dalam bioreaktor. Sesudah 4 minggu, Metanosarkina (mak = 0,3 tiap hari; Ks = 200 mg/l) digantikan oleh Metanotrik (mak = 0,1 tiap hari; Ks = 30 mg/l). Kurang lebih sekitar 2/3 metan dihasilkan dari konversi asetat oleh metanogen asetotropik. Sepertiga sisanya adalah hasil reduksi karbon dioksida oleh hidrogen (Mackie dan Bryant, 1984). Diagram neraca masa pada penguraian zat organik komplek menjadi gas metan secara anaerobik ditujukkan seperti pada Gambar 2.2. 11 Gambar 2.2 : Neraca masa pada proses penguraian anaerobik (fermentasi metan). Secara umum klasifikasi bakteri metanogen dapat dilihat pada Tabel 2.1. (Balch et al, 1979). Metanogen dikelompokkan menjadi tiga orde yakni: 12 Metanobakteriales misalnya Metanobakterium, Metanobreviater, Metanotermus. Metanomikrobiales misalnya Metanomikrobium, Metanogenium, Metanospirilium, Metanosarkina, dan Metanokokoid Metanokokales misalnya Metanokokkus. Paling sedikit ada 49 spesies metanogen yang telah didiskripsi (Vogels et al., 1988). Koster (1988) telah mengkompilasi beberapa bakteri metanogen yang telah diisolasi dan masing-masing substratnya, ditunjukkan sperti pada Tabel 2.2. Proses penguraian senyawa hidrokarbon, lemak dan protein secara biologis menjadi methan di kondisi proses anaerobik secara umum ditunjukkan seperti pada Gambar 2.3, 2.4 dan Gambar 2.5. Tabel 2.1 : Klasifikasi Metanogen Order Methanobacteriales Famili Methanobacteriaceae Genus Methanobacterium Spesies M. formicicum M. bryanti M. thermoautotrophicum M. ruminantium M. arboriphilus Methanobrevibacter M. smithii M. vannielli Methanococcales methanomicrobiales Methanococcaceae Methanomicrobiaceae Methanococcus M. voltae Methanomicrobium M. mobile Methanogenium M. cariaci M. marisnigri M. hungatei Methanosarcinaceae Methanospillum M. barkeri Methanosarcina M. mazei Dari : Balch et al., 1979. 13 Gambar 2.3 : Proses penguraian senyawa hidrokarbon secara anaerobik menjadi methan. 14 Gambar 2.4 : Proses penguraian senyawa lemak secara anaerobik menjadi metan. 15 Gambar 2.5 : Proses penguraian senyawa protein secara anaerobik. 16 Tabel 2.2 : Metanogen terisolasi dan Subtratnya Bakteri Methanobacterium bryantii M. formicicum M. thermoautotrophicum M. alcaliphilum Methanobrevibacter arboriphilus M. ruminantium M. smithii Methanococcus vannielii M. voltae M. deltae M. maripaludis M. jannaschii M. thermolithoautotrophicus M. frisius Methanomicrobium mobile M. paynteri Methanospirillum hungatei Methanoplanus limicola M. endosymbiosus Methanogenium cariaci M. marisnigri M. tatii M. olentangyi M. thermophilicum M. bourgense M. aggregans Methanoccoides methylutens Methanotrix soehngenii M. conilii Methanothermus fervidus Methanolobus tindarius Methanosarcina barkeri Methanosarcina themophila Subtrat H2 H2 dan HCOOH H2 H2 H2 H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH H2 dan HCOOH CH3NH2 dan CH3OH CH3COOH CH3COOH H2 CH3OH, CH3NH2, (CH3)2NH, dan (CH3)3N CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2, (CH3)2NH, dan (CH3)3N CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2, (CH3)2NH, dan (CH3)3N Sumber : Koster (1988). 17 II.2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Proses Anaerob Beberapa faktor yang berpengaruh terhadapp penguraian secara anaerobik antara lain yakni temperatur, waktu tinggal (rentention time), keasaman (pH), komposisi kimia air limbah, kompetisi antara metanogen dan bakteri racun (toxicants). a) Temperatur Produksi metan dapat dihasilkan pada temperatur antara o o 0 C - 97 C. Walaupun bakteri metan psychrophilic tidak dapat diisolasi, bakteri thermophilik beroperasi secara optimum pada temperatur 50 - 75oC ditemukan di daerah panas. Methanothermus fervidus ditemukan ditemukan di Iceland dan tumbuh pada temperatur 63 - 97oC (Sahm, 1984). Di dalam instalasi pengolahan limbah pemukiman, penguraian anaerobik dilakukan dalam kisaran mesophilik dengan temperatur 25 - 40 oC dengan temperatur optimum mendekati 35oC . Penguraian thermophilik beroperasi pada temperatur 50 - 65oC. Penguraian ini memungkinkan untuk pengolahan limbah dengan beban berat dan juga efektif untuk mematikan bakteri pathogen. Salah satu kelemahan adalah sensitivitas yang tinggi terhadap zat toksik (Koster, 1988). Karena pertumbuhan bakteri metan yang lebih lambat dibandingkan bakteri acidogenik, maka bakteri metan sangat sensitif terhadap perubahan kecil temperatur. Karena penggunaan asam volatil oleh bakteri metan, penurunan temperatur cenderung menurunkan laju pertumbuhan bakteri metan. Oleh karena itu penguraian mesophilik harus didisain untuk beroperasi pada temperatur antara 30 - 35oC untuk fungsi optimal. b) Waktu Tinggal Waktu tinggal air limbah dalam reaktor anaerob, yang tergantung pada karakteristik air limbah dan kondisi lingkungan, harus cukup lama untuk proses metabolisma oleh bakteri anaerobik dalam reaktor pengurai. Penguraian didasarkan pada 18 bakteri yang tumbuh menempel mempunyai waktu tinggal yang rendah (1-10 hari) dari pada bakteri yang terdispersi dalam air (10-60 hari). Waktu tinggal pengurai mesophilik dan termophilik antara 25 - 35 hari tetapi dapat lebih rendah lagi (Sterritt dan Lester, 1988). c) Keasaman (pH) Kebanyakan pertumbuhan bakteri metanogenik berada pada kisaran pH antara 6,7 - 7,4, tetapi optimalnya pada kisaran pH antara 7,0 - 7,2 dan proses dapat gagal jika pH mendekati 6,0. Bakteri acidogenik menghasilkan asam organik, yang cenderung menurunkan pH bioreaktor. Pada kondisi normal, penurunan pH ditahan oleh bikarbonat yang dihasilkan oleh bakteri metanogen. Dibawah kondisi lingkungan yang berlawanan kapasitas buffering dari sistem dapat terganggu, dan bahkan produksi metan dapat terhenti. Asiditas lebih berpengaruh terhadap metanogen dari pada bakteri acidogenik. Peningkatan tingkat volatil merupakan indikator awal dari terganggunya sistem. Monitoring ratio asam volatil total (asam asetat) terhadap alkali total (kalsium karbonat) disarankan dibawah 0,1 (Sahm, 1984). Salah satu metode untuk memperbaiki keseimbangan pH adalah meningkatkan alkaliniti dengan menambah bahan kimia seperti lime (kapur), anhydrous ammonia, sodium hidroksida, atau sodium bikarbonat. d) Komposisi Kimia Air Limbah Bakteri metanogenik dapat menghasilkan metan dari karbohidrat, protein, dan lipida, dan juga dari senyawa komplek aromatik (contoh : ferulik, vanilik, dan asam syringik). Walaupun demikian beberapa senyawa lignin dan n-parafin sulit terurai oleh bakteri anaerobik. Air limbah harus diseimbangkan makanannya (nitrogen, fosfor, sulfur) untuk memelihara pencernaan anaerobik. Rasio C:N:P untuk bakteri anaerobik adalah 700:5:1 (Sahmn, 1984). Beberapa pengamat menilai bahwa ratio C/N yang tepat untuk produksi gas yang optimal sebaiknya sekitar 25-30 : 1 (Polprasert, 1989). Metanogen menggunakan ammonia dan 19 sulfida sebagai sumber nitrogen dan sulfur. Walaupun sulfida bebas adalah toksik terhadap metanogen bakteri pada tingkat 150 - 200 mg/l, unsur ini merupakan sumber sulfur utama untuk bakteri metanogen (Speece, 1983). e) Kompetisi Metanogen dengan Bakteri Pemakan Sulfat Bakteri pereduksi sulfat dan metanogen dapat memperebutkan donor elektron yang sama, asetat dan H2. Studi tentang kinetik pertumbuhan dari dua kelompok bakteria ini menunjukkan bahwa bakteri pemakan sulfat mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap asetat (Ks= 9,5 mg/l) dari pada metanogen (Ks = 32,8 mg/l). Ini berarti bahwa bakteri pemakan sulfat akan memenangkan kompetisi pada kondisi konsentrasi asetat yang rendah (Shonheit et al., 1982; Oremland, 1988; Yoda et al., 1987). Bakteri pemakan sulfat dan metanogen sangat kompetitif pada rasio COD/SO4 berkisar 1,7 - 2,7. Pada rasio yang lebih tinggi baik untuk metanogen sedangkan bakteri pemakan sulfat lebih baik pada rasio yang lebih kecil. f) Zat Toksik Zat toksik kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan pada proses penguraian limbah dalam proses anaerobik. Terhambatnya pertumbuhan bakteri metanogen pada umumnya ditandai dengan penurunan produksi metan dan meningkatnya konsentrasi asam-asam volatil. berikut ini adalah beberapa zat toksik yang dapat menghambat pembentukan metan. Oksigen. Metanogen adalah bakteri anaerob dan dapat terhambat pertumbuhannya oleh oksigen dalam kadar trace level (Oremland, 1988; Roberton dan Wolfe, 1970). Amonia. Amonia yang tidak terionisasi cukup toksik atau beracun untuk bakteri metanogen. Barangkali karena produksi amonia bebas tergantung pH (amonia bebas terbentuk pada pH tinggi), sedikit toksisitas yang dapat diamati pada pH netral. 20 Amonia sebagai penghambat terhadap pembentukan metanogen pada konsentrasi 1500 - 3000 mg/l. Penambahan amonia menambah waktu tinggal partikel padat (Bhattacharya dan Parkin, 1989). Hidrokarbon terklorinasi. Senyawa khlorin alifatis lebih beracun terhadap metanogen dari pada terhadap mikroorganisma hetrotropik aerobik (Blum dan Speece, 1992). Kloroform sangat toksik terhadap bakteri metanogen dan cenderung menghambat secara total, hal ini dapat diukur dari produksi metan dan akumulasi hidrogen pada konsentrasi diatas 1 mg/l (Hickey et al., 1987). Aklimatisasi senyawa ini meningkatkan toleransi metanogen sampai pada konsentrasi kloroform 15 mg/l Pemulihan kehidupan bakteri metanogen tergantung pada konsentrasi biomassa, waktu tinggal partikel padat, dan temperatur (Yang dan Speece, 1986). Senyawa Benzen. Kultur murni dari bakteri metanogen (contoh : Methanothix concilii, Methanobacterium espanolae, Methanobacterium bryantii) dapat dihambat pertumbuhannya oleh senyawa benzen (contoh : benzen, toloene, fenol, pentachlorophenol). Pentachlorophenol adalah yang paling toksik (beracun) dari pada seluruh benzen yang diuji (Patel et al., 1991). Formaldehida. Proses pembentukan metan (Methanogenesis) terhambat atau terganggu pada konsentrasi formadehida sebesar 100 mg/l tetapi segera pulih kembali pada konsentrasi yang lebih rendah (Hickey et al., 1988; Parkin dan Speece, 1982). Asam Volatil. Jika pH dijaga tetap netral, asam volatil seperti asam asetat atau butirik tidak berpengaruh besar (sedikit toksik) terhadap bakteri metan. Asam Lemak rantai panjang. Asam lemak rantai panjang (contoh : caprylic, capric, lauric, myristic, dan asam oleic) menghambat asetoklastik 21 metanogen (contoh : Methanothrix spp.) dalam mencerna asetat dalam lumpur limbah (Koster dan Cramer, 1987). Logam Berat. Logam berat(contoh : Cu++, Pb++, Cd++, Ni++, Zn++, Cr+6) yang ditermukan dalam air dan lumpur limbah dari industri dapat menghambat penguraian limbah anaerobik (Lin, 1992; Mueller dan Steiner, 1992). Toksisitas meningkat jika afinitas logam berat pada lumpur limbah (sludge) menurun dan sebaliknya jika afinitas pada lumpur logam berat tinggi menjadi sedikit toksik. Toksitas logam menghambat reaksi berikutnya dengan hidrogen sulfida, yang cenderung untuk pembentukan pengendapan logam berat yang tidak terlarut. Beberapa logam seperti nickel, kobalt, dan molybdenum pada konsentrasi kecil (trace) dapat merangsang bakteri methanogen (Murray dan Van Den Berg, 1981; Shonheit et al, 1979; Whiman dan Wolfe, 1980). Sianida. Sianida digunakan dalam proses industri seperti pembersihan logam dan elektroplating. Pemulihan bakteri metanogen tergantung pada konsentrasi biomassa, waktu tinggal partikel padat, dan temperatur (Fedorak et al., 1986; Yang dan Speece, 1985). Sulfida. Sulfida adalah salah satu penghalang potensial dalam penguraian limbah anaerobik (Anderson et al, 1982). Melalui difusi sel membran lebih cepat untuk hidrogen sulfida yang tidak terionisasi dibandingkan dibandingkan yang terionisasi, toksisitas sulfida sangat tergantung pada pH (Koster et al., 1986). Sulfida sangat toksik untuk bakteri metanogenik jika konsentrasinya lebih dari 150-200 mg/l. Bakteri pembentuk asam tidak begitu sensitif terhadap hidrogen sulfida dibandingkan dengan metanogen. Tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang berasal dari anggur, pisang, apel, kopi, kedelai, dan sereal. Senyawa ini umumnya toksik terhadap bakteri metanogen. 22 Salinitas. Salinitas adalah jenis marial toksik lain dalam penguraian air limbah dalam sistem anaerobik. Karena potasium dapat menetralkan toksisitas sodium, maka jenis toksisitas ini dapat dihambat dengan menambah garam potasium dalam air limbah. Efek Balik (Feedback Inhibition). Sistem anaerobik dapat dihambat oleh beberapa hasil antara (intermediates produced) selama proses. Tingginya konsentrasi hasil antara ini (seperti : H2, asam lemak volatil) toksik. II.2.1.3 Keunngulan dan Kekurangan Proses Anaerob Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik adalah sebagai berikut (Lettingan et al, 1980; Sahm, 1984; Sterritt dan Lester, 1988; Switzenbaum, 1983) : Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang ada sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses penguraian limbah akan menambah biaya pengoperasian. Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (320 kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang dihasilkan bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian besar energi didapat dari pemecahan substrat yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu CH4. Dibawah kondisi aerobik 50% dari karbon organik dirubah menjadi biomassa, sedangkan dalam proses anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang dirubah menjadi biomassa. Dengan proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa, sedangkan proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa (Speece, 1983; Switzenbaum, 1983). Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan. Gas metan mengandung sekitar 90% energi dengan 23 Energi untuk penguraian limbah kecil. Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi polutan organik yang tinggi. Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian limbah dalam jumlah besar. Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik (seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami recalcitrant seperti lignin. Beberapa kelemahan Penguraian anaerobik : Lebih Lambat dari proses aerobik Sensitif oleh senyawa toksik Start up membutuhkan waktu lama Konsentrasi substrat primer tinggi II.2.2 Proses Pengolahan Biologis Secara Aerob II.2.2.1 Mekanisme Proses Aerob Di dalam proses pengolahan air limbah organik secara biologis aerobik, senyawa komplek organik akan terurai oleh aktifitas mikroorganisme aerob. Mikroorgnisme aerob tersebut didalam aktifitasnya memerlukan oksigen atau udara untuk memecah senyawa organik yang komplek menjadi CO2 (karbon dioksida) dan air serta ammonium, selanjutnya amonium akan dirubah menjadi nitrat dan H2S akan dioksidasi menjadi sulfat. Secara sederhana reaksi penguraian senyawa organik secara aerobik dapat digambarkan sebagai berikut : 24 Reaksi Penguraian Organik : Oksigen (O2) Senyawa Polutan organik Heterotropik CO2 + H20 + NH4 + Biomasa Reaksi Nitrifikasi : NH4+ + 1,5 O2 NO2- + 0,5 O2 -----> NO2- + 2 H+ + H2O ------> NO3 - Reaksi Oksidasi Sulfur : S2 - + ½ O2 + 2 H+ ----- > S0 + H2O 2 S + 3 O2 + 2 H2O ----> 2 H2SO4 Berbeda dengan proses anaerob, beban pengolahan pada proses aerob lebih rendah, sehingga prosesnya ditempatkan sesudah proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan dari proses anaerob yang masih mengandung zat organik dan nutrisi diubah menjadi sel bakteri baru, hidrogen maupun karbondioksida oleh sel bakteri dalam kondisi cukup oksigen. II.2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Proses Aerob a) Temperatur Temperatur tidak hanya mempengaruhi aktivitas metabolisme dari populasi mikroorganisme, tetapi juga mempengaruhi beberapa faktor seperti kecepatan transfer gas dan karakteristik pengendapan lumpur. Temperatur optimum untuk mikroorganisme dalam proses aerob tidak berbeda dengan proses anaerob. b) Keasaman (pH) Nilai pH merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH diatas 25 9,5 dan di bawah 4,0. Secara umum pH optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5-7,5. c) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) adalah waktu perjalanan limbah cair di dalam reaktor, atau lamanya proses pengolahan limbah cair tersebut. Semakin lama waktu tinggal, maka penyisihan yang terjadi akan semakin besar. Sedangkan waktu tinggal pada reaktor aerob sangat bervariasi dari 1 jam hingga berhari-hari. d) Nutrien Disamping kebutuhan karbon dan energi, mikroorganisme juga membutuhkan nutrien untuk sintesa sel dan pertumbuhan. Kebutuhan nutrien tersebut dinyatakan dalam bentuk perbandingan antara karbon dan nitrogen serta phospor yang merupakan nutrien anorganik utama yang diperlukan mikroorganisme dalam bentuk BOD : N : P II.2.3 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter II.2.3.1 Reaktor Biofilter Tercelup Reaktor biofilter lekat tercelup adalah suatu bioreaktor lekat diam dimana mikroorganisme tumbuh dan berkembang di atas suatu media, yang dapat terbuat dari plastik atau batu, yang di dalam operasinya dapat tercelup sebagian atau seluruhnya, atau hanya dilewati air saja (tidak tercelup sama sekali), dengan membentuk suatu lapisan lendir untuk melekat di atas permukaan media tersebut, sehingga menbentuk lapisan biofilm. Biofilm tumbuh pada hampir semua permukaan di dalam suatu lingkungan perairan. Sistem biofilm ini kemudian dimanfaatkan dalam proses pengolahan air buangan untuk menurunkan kandungan senyawa organik. Biofilm merupakan lapisan yang terbentuk dari sel-sel bio solid dan material 26 inorganik dalam bentuk polimetrik matriks yang menempel pada suatu lapisan penyokong (support media). Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau biofilter secara garis besar dapat dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik, atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen di dalam reaktor air limbah. Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses operasi biofilter secara anaerobik digunakan untuk air limbah dengan kandungan zat organik cukup tinggi, dan dari proses ini akan dihasilkan gas methan. Jika kadar COD limbah kurang dari 4000 mg/l seharusnya limbah tersebut diolah pada kondisi aerob, sedangkan COD lebih besar dari 4000 mg/l diolah pada kondisi anaerob. II.2.3.2 Prinsip Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter Tercelup Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau biofilter secara garis besar dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar 2.6. Proses tersebut dapat dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik atau kombinasi anaerobi dan aerobik. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen dalam reaktor air limbah. Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan gabungan proses anaerobi dan proses aerobik. Proses ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan nitrogen di dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses + nitrifikasi yakni nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH4 --> NO3 ) dan pada kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi yakni nitrat yang terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO3 --> N2 ). 27 Gambar 2.6 : Kalsifikasi cara pengolahan airlimbah dengan proses film mikro-biologis (proses biofilm). Mekanisme proses metabolisme di dalam sitem biofilm secara aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada Gambar 2.7. Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan alir limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia, phospor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilhan akan diubah menjadi biomasa. Sulpai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni dengan cara kontak dengan udara luar, pada sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem biofilter tercelup dengan menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi. 28 Jika lapiasan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian luar lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S, dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilm. Selain itu pada zona aerobik nitrogen–ammonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Oleh karena di dalam sistem bioflim terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan maka dengan sistem tersebut maka proses penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah. Hal ini secara sederhana ditunjukkan seperti pada Gambar 2.8. Gambar 2.7 : Mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm. 29 Gambar 2.8 : Mekanisne penghilangan Ammonia di dalam proses biofilter. Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengebang-biakan mikroorganisme dengan atau tanpa aerasi. Untuk proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di bawah permukaan air. Media biofilter yang digunakan secara umum dapat berpa bahan material organik atau bahan material anorganik. Untuk media biofilter dari bahan organik misalnya dalam bentuk tali, bentuk jaring, bentuk butiran tak teratur (random packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan lainlain. Sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu pecah (split), kerikil, batu marmer, batu tembikar, batu bara (kokas) dan lainnya. Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter tercelup aerobik, sistem suplai udara dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi yang sering digunakan adalah seperti yang tertera pada Gambar 2.9. Beberapa cara yang sering digunakan antara lain aerasi samping, aerasi tengah (pusat), aerasi merata seluruh permukaan, aerasi eksternal, 30 aerasi dengan “air lift pump”, dan aersai dengan sistem mekanik. Masing-masing cara mempunyai keuntungan dan kekurangan. Sistem aerasi juga tergantung dari jenis media maupun efisiensi yang diharapkan. Penyerapan oksigen dapat terjadi disebabkan terutama karena aliran sirkulasi atau aliran putar kecuali pada sistem aerasi merata seluruh permukaan media. Di dalam proses biofilter dengan sistem aerasi merata, lapisan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media mudah terlepas, sehingga seringkali proses menjadi tidak stabil. Tetapi di dalam sistem aerasi melalui aliran putar, kemampuan penyerapan oksigen hampir sama dengan sistem aerasi dengan menggunakan difuser, oleh karena itu untuk penambahan jumlah beban yang besar sulit dilakukan. Berdasarkan hal tersebut diatas belakangan ini penggunaan sistem aerasi merata banyak dilakukan karena mempunyai kemampuan penyerapan oksigen yang besar. Jika kemampuan penyerapan oksigen besar maka dapat digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik (organic loading) yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan juga media biofilter yang dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar. Biasanya untuk media biofilter dari bahan anaorganik, semakin kecil diameternya luas permukaannya semakin besar, sehinggan jumlah mikroorganisme yang dapat dibiakkan juga menjadi besar pula. Jika sistem aliran dilakukan dari atas ke bawah (down flow) maka sedikit banyak terjadi efek filtrasi sehingga terjadi proses peumpukan lumpur organik pada bagian atas media yang dapat mengakibatkan penyumbatan. Oleh karena itu perlu proses pencucian secukupnya. Jika terjadi penyumbatan maka dapat terjadi aliran singkat (Short pass) dan juga terjadi penurunan jumlah aliran sehingga kapasitas pengolahan dapat menurun secara drastis. Pengolahan air limbah dengan proses biofim mempunyai beberapa keunggulan antara lain : a) Pengoperasiannya mudah Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm, tanpa dilakukan sirkulasi lumpur, tidak terjadi masalah “bulking” 31 seperti pada proses lumpur aktif (Activated sludge process). Oleh karena itu pengelolaaanya sangat mudah. Gambar 2.9 : Beberapa metoda aerasi untuk proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilter tercelup. b) Lumpur yang dihasilkan sedikit Dibandingakan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang dihasilkan pada proses biofilm relatif lebih kecil. Di dalam proses lumpur aktif antara 30 – 60 % dari BOD yang dihilangkan (removal BOD) diubah menjadi lumpur aktif (biomasa) sedangkan pada proses biofilm hanya sekitar 10-30 %. Hal ini disebabkan karena pada proses biofilm rantai makanan lebih panjang dan melibatkan aktifitas mikroorganisme dengan orde yang lebih tinggi dibandingkan pada proses lumpur aktif. c) Dapat digunakan untuk pengolahan air limbah dengan konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi. Oleh karena di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm mikroorganisme atau mikroba melekat 32 pada permukaan medium penyangga maka pengontrolan terhadap mikroorganisme atau mikroba lebih mudah. Proses biofilm tersebut cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi. d) Tahan terhadap fluktuasi jumlah air limbah maupun fluktuasi konsentrasi. Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan kecil. Jika suhu air limbah turun maka aktifitas mikroorganisme juga berkurang, tetapi oleh karena di dalam proses biofilm substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam lapisan biofilm dan juga lapisan biofilm bertambah tebal maka pengaruh penurunan suhu (suhu rendah) tidak begitu besar. II.2.3.3 Media Biofilter Media biofilter termasuk hal yang penting, karena sebagai tempat tumbuh dan menempel mikroorganisme, untuk mendapatkan unsur-unsur kehidupan yang dibutuhkannya, seperti nutrien dan oksigen. Dua sifat yang paling penting yang harus ada dari media adalah : Luas permukaan dari media, karena semakin luas permukaan media maka semakin besar jumlah biomassa per-unit volume. Persentase ruang kosong, karena semakin besar ruang kosong maka semakin besar kontak biomassa yang menempel pada media pendukung dengan substrat yang ada dalam air buangan Untuk mendapatkan permukaan media yang luas, media dapat dimodifikasikan dalam berbagai bentuk seperti bergelombang, saling silang, dan sarang tawon. Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batuan, plastik (polivinil chlorida), pasir, dan partikel karbon aktif. Untuk media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar 33 dan volule rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan resiko kebuntuan yang sangat kecil. Dengan demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah Satu contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan PVC. Kelebihan dalam menggunakan media plastik tersebut antara lain : Mempunyai luas permukaan per m3 volume sebesar 150 – 240 m2/m3 Volume rongga yang besar dibanding media lainnya. Penyumbatan pada media yang terjadi sangat kecil. Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik dari berbagai media biofilter dapat dilihat pada Tabel 2.3 : Tabel 2.3 : Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter. No 1. Jenis Media Trickling filter dengan batu pecah 2. Model sarang tawon (honeycomb modul) 3. Tipe jaring 4. RBC II.3 Luas Permukaan spesifiik (m2/m3) 100 – 200 150 – 240 50 80 – 150 Peranan Mikroorganisme Dalam Pengolahan Air Limbah Mikroorganisme atau mikroba adalah substansi bersel satu yang membentuk koloni atau kelompok dimana satu sama lain 34 dalam koloni tersebut saling berinteraksi. Dalam pertumbuhannya memerlukan sumber energi, karbon, dan nutrien. Mikroorganisme memegang peranan penting dalam proses yang berlangsung pada pengolahan air buangan secara biologis. Berdasarkan kebutuhan nutrisinya, mikroorganisme dapat dibagi menjadi : 1. Autotroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan CO2 dan HCO3 sebagai sumber karbon tunggal. Sumber nitrogen berasal dari senyawa anorganik saja, sedangkan kebutuhan akan phospor dan belerang diperoleh dari phospat anorganik dan sulfat. 2. Heterotroph, yaitu mikroorganisme yang mengambil karbon dari sumber karbon organik saja. Penggunaan bentuk nitrogen berasal dari senyawa anorganik tetapi kadangkadang juga dari senyawa organik. Sedangkan kebutuhan akan phospor dan belerang diperoleh dari phospat anorganik, sulfat, dan belerang organik. 3. Fakultatif autotroph, yaitu mikroorganisme yang dapat menggunakan CO2 maupun senyawa organik sebagai sumber karbon. Berdasarkan sumber energi yang digunakan untuk melakukan aktivitasnya, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi : Phototroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan cahaya sebagai sumber energi. Mikroorganisme phototroph dapat merupakan mikroorganisme heterotroph (misalnya bakteri sulphur) dan ada juga yang merupakan mikroorganisme autotroph (alga dan bakteri fotosintesis). Chemotroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan reaksi kimia (reaksi reduksi oksidasi bahan organik) sebagai sumber energi. Mikroorganisme chemotroph dapat pula termasuk golongan heterotroph (protozoa, fungi, dan bakteri) atau termasuk autotroph (bakteri nitrifikasi). 35 Berdasarkan temperatur yang cocok untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : Psychrophilic, merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh pada suhu berkisar antara (-10)C sampai 30 C. Namun pertumbuhan yang optimum adalah pada suhu berkisar antara 12 C sampai 18 C. Mesophilic, yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada suhu 20C sampai 50C, namun dapat tumbuh optimum pada suhu 25C sampai 40C. Thermophilic merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh pada suhu 35C sampai 75C, dan tumbuh optimum pada suhu 55C sampai 65C. II.4 Penyisihan Zat Pencemar Perhitungan penyisihan zat pencemar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (C) in – (C) ef (%) = x 100 % ………………………… (2.1) (C) in di mana : (%) = Persentase penyisihan (C) in = Konsentrasi zat pencemar pada influen (C) ef = Konsentrasi zat pencemar pada efluen Perhitungan efisiensi penyisihan ini didasarkan atas perbandingan pengurangan konsentrasi zat pencemar pada titik influen dan efluen terhadap konsentrasi zat pencemar pada titik influen. 36 II.5 Kinetika Penyisihan di dalam Reaktor Biofilter Tercelup Persamaan kinerja biofilter dengan asumsi reaksi mengikuti reaksi orde satu dan proses penghilangan polutan sangat spesifik tergantung pada karakteristik air buangan, koloni biomassa, karakteristik media filter dan kedalaman media filter. Persamaan dasar yang telah dikembangkan adalah …………………………………… (2.2) [ St/So ] = e –kXt dimana : St = konsentrasi subtrat setelah waktu kontak t (massa/volume) So = konsentrasi subtrat influen (massa/volume) k = konstanta laju reaksi X = jumlah biomassa t = waktu tinggal hidrolis atau waktu kontak (hari) Sumber :Eckenfelder, W, Industrial Water Polution Controll, New York : Mc Graw Hill, 1970. Rata-rata konsentrasi biomassa dalam sistem biofilter sangat sulit diukur, dan karena ketebalan biofilm hanya beberapa mm, maka jumlah biomassa adalah setara dengan luas permukaan spesifik dari media filter (X As). Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa waktu tinggal atau waktu kontak di dalam biofilter sangat dipengaruhi oleh karakteristik media filter antara lain volume rongga, bentuk media dan profil saluran yang terbentuk dalam bed filter serta beban hidrolik, maka waktu tinggal dalam biofilter dapat dirumuskan sebagai berikut : n ……………………………………….. (2.3) t = C. D/QL dimana : t = waktu kontak (hari) C, n = koefisien percobaan D = kedalaman media filter (m) QL = beban permukaan (m3/m2.hari) Nilai n tergantung karakteristik aliran yang mengalir pada media (0,5 – 0,67), untuk air buangan dan penggunaan jenis media, maka persamaan (2.3) dapat disederhanakan dengan menggunakan Kasm sehingga : 37 [ St/So ] = e-k.D/QLn ………………………………. (2.4) dimana : k = total konstanta laju reaksi n = koefisien percobaan Persamaan 2.4 dapat disederhanakan menjadi : - kD Ln (St/So) = ………………………………. (2.5) -k = ………………………………. (2.6) QLn Ln (St/So) 38 D/QLn