Uji Performance Pengolahan Air Limbah Rumah

advertisement
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Limbah Rumah Sakit
Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang
berasal dari hasil proses seluruh kegiatan rumah sakit yang
meliputi : limbah non medis (limbah domestik cair) yakni buangan
kamar mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian; limbah cair
medis (limbah cair klinis) yakni air limbah yang berasal dari
kegiatan klinis rumah sakit, misalnya air bekas cucian luka,
cucian darah dll; air limbah laboratorium; dan lainnya
Persentase terbesar dari limbah rumah sakit adalah limbah
non medis sedangkan sisanya adalah limbah yang terkontaminasi
oleh infectious agents kultur mikroorganisme, darah, buangan
pasien pengidap penyakit infeksi, dan lain-lain. Perbandingan
persentase antara limbah non medis dan medis adalah 89% : 11
%.
Air limbah rumah sakit yang berasal dari buangan domestik
maupun buangan limbah cair klinis umumnya mengandung
senyawa pencemar organik yang cukup tinggi, dan dapat diolah
dengan proses pengolahan secara biologis, sedangkan untuk air
limbah rumah sakit yang berasal dari laboratorium biasanya
banyak mengandung logam berat dan bila air limbah tersebut
dialirkan kedalam proses pengolahan secara biologis, logam
berat tersebut dapat mengganggu proses pengolahannya. Oleh
karena itu untuk pengolahan air limbah rumah sakit, maka air
limbah yang berasal dari laboratorium dipisahkan dan ditampung,
kemudian diolah secara kimia-fisika, selanjutnya air olahannya
dialirkan bersama-sama dengan air limbah yang lain, dan
selanjutnya diolah dengan proses pengolahan secara biologis.
II.2
Pengolahan Air Limbah Secara Biologis
Pengolahan air buangan secara biologis adalah suatu cara
pengolahan yang diarahkan untuk menurunkan atau menyisihkan
substrat tertentu yang terkandung dalam air buangan dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan
perombakan substrat tersebut.
6
Proses pengolahan air buangan secara biologis dapat
berlangsung dalam tiga lingkungan utama, yaitu :
 Lingkungan aerob , yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut
(DO) di dalam air cukup banyak, sehingga oksigen bukan
merupakan faktor pembatas.
 Lingkungan anoksik, yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut
(DO) di dalam air ada dalam konsentrasi rendah.
 Lingkungan anaerob, merupakan kebalikan dari lingkungan
aerob, yaitu tidak terdapat oksigen terlarut, sehingga oksigen
menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme
aerob.
Berdasarkan pada kondisi pertumbuhan mikroorganisme
yang bertanggung jawab pada proses penguraian yang terjadi,
reaktor dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :
 Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth
reactor), yaitu reaktor dimana mikroorganisme yang berperan
pada proses biologis tumbuh dan berkembang biak dalam
keadaan tersuspensi.
 Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reactor), yaitu
reaktor dimana mikroorganisme yang berperan pada proses
penguraian substrat tumbuh dan berkembang di atas suatu
media dengan membentuk suatu lapisan lendir (lapisan
biofilm) untuk melekatkan diri di atas permukaan media
tersebut.
II.2.1 Proses Pengolahan Biologis Secara
Anaerob
II.2.1.1 Mekanisme Proses Anaerob
Polutan-polutan organik komplek seperti lemak, protein dan
karbohidrat pada kondisi anaerobic akan dihidrolisa oleh enzim
hydrolase yang dihasilkan bakteri pada tahap pertama. Enzim
penghidrolisa seperti lipase, protease dan cellulase. Hasil
hidrolisa polimer-polimer diatas adalah monomer seperti
7
manosakarida, asam amino, peptida dan gliserin. Selanjutnya
monomer-monomer ini akan diuraikan menjadi asam-asam lemak
(lower fatty acids) dan gas hidrogen.
Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat
dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metan.
Lebih jauh lagi, terdapat interaksi sinergis antara bermacammacam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian
limbah. Keseluruhan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut
(Polprasert, 1989) :
Senyawa Organik
 CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S
Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat
ditemukan dalam penguraian anaerobik, bakteri bakteri tetap
merupakan mikroorganisme yang paling dominan bekerja
didalam proses penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri
anaerobik dan fakultatif (seperti : Bacteroides, Bifidobacterium,
Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus) terlibat dalam proses
hidrolisis dan fermentasi senyawa organik. Proses penguraian
senyawa organik secara anaerobik secara garis besar
ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1.
Ada empat grup bakteri yang terlibat dalam transformasi
material komplek menjadi molekul yang sederhana seperti metan
dan karbon dioksida. Kelompok bakteri ini bekerja secara sinergis
(Archer dan Kirsop, 1991; Barnes dan Fitzgerald, 1987; Sahm,
1984; Sterritt dan Lester, 1988; Zeikus, 1980),
1)
Kelompok Bakteri Hidrolitik
Kelompok bakteri anaerobik memecah molekul organik
komplek (protein, cellulose, lignin, lipids) menjadi molekul
monomer yang terlarut seperti asam amino, glukosa, asam
lemak, dan gliserol. Molekul monomer ini dapat langsung
dimanfaatkan oleh kelompok bakteri berikutnya.
Hidrolisis
molekul komplek dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti
sellulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian proses
penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam
penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin
(Polprasert, 1989; Speece, 1983).
8
Gambar 2.1: Kelompok Bakteri Metabolik yang terlibat dalam
penguraian limbah dalam sistem anaerobik.
2)
Kelompok Bakteri Asidogenik Fermentatif
Bakteri asidogenik (pembentuk asam) seperti Clostridium
merubah gula, asam amino, dan asam lemak menjadi asam
organik (seperti asam asetat, propionik, formik, lactik, butirik, atau
suksinik), alkohol dan keton (seperti etanil, metanol, gliserol,
aseton), asetat, CO2 dan H2. Asetat adalah produk utama dalam
fermentasi karbohidrat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi
tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti temperatur, pH,
potensial redok.
3)
Kelompok Bakteri Asetogenik
Bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan
H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei
(McInernay et al., 1981) merubah asam lemak (seperti asam
propionat, asam butirat) dan alkohol menjadi asetat, hidrogen,
9
dan karbon dioksida, yang digunakan oleh bakteri pembentuk
metan (metanogen). Kelompok ini membutuhkan ikatan hidrogen
rendah untuk merubah asam lemak; dan oleh karenanya
diperlukan monitoring hidrogen yang ketat.
Dibawah kondisi tekanan hidrogen (H2) parsial yang relatif
tinggi, pembentukan asetat berkurang dan subtrat dirubah
menjadi asam propionat, asam butirat, dan etanol dari pada
metan. Ada hubungan simbiotik antara bakteri asetonik dan
metanogen. Metanogen membantu menghasilkan ikatan hidrogen
rendah yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik.
Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi
asam asetat oleh bakteri asetogenik dengan reaksi sebagai
berikut :
CH3CH2OH + CO2  CH3COOH + 2H2
Etanol
Asam Asetat
CH3CH2COOH + 2H2O  CH3COOH + CO2 + 3H2
Asam Propionat
Asam asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O  2CH3COOH + 2H2
Asam Butirat
Asam Asetat
Bakteri asetogenik tumbuh jauh lebih cepat dari pada
bakteri metanogenik. Kecepatan pertumbuhan bakteri asetogenik
(mak) mendekati 1 per jam sedangkan bakteri metanogenik 0,04
per jam (Hammer, 1986).
4)
Kelompok Bakteri Metanogen
Penguraian senyawa organik oleh bakteri anaerobik dilingkungan
alam melepas 500 - 800 juta ton metan ke atmosfir tiap tahun dan
ini mewakili 0,5% bahan organik yang dihasilkan oleh proses
fotosintesis (Kirsop, 1984; Sahm, 1984). Bakteri metanogen
terjadi secara alami didalam sedimen yang dalam atau dalam
pencernaan herbivora. Kelompok ini dapat berupa kelompok
bakteri gram positip dan gram negatif dengan variasi yang
banyak dalam bentuk. Mikroorganime metanogen tumbuh secara
10
lambat dalam air limbah dan waktu tumbuh berkisar 3 hari pada
suhu 35oC sampai dengan 50 hari pada suhu 10oC.
Bakteri metanogen dibagi menjadi dua katagori, yaitu :
Bakteri metanogen hidrogenotropik (seperti : chemolitotrof yang
menggunakan hidrogen) merubah hidrogen dan karbon dioksida
menjadi metan.
CO2 + 4H2  CH4 + 2H2O
Metan
Bakteri metanogen yang menggunakan hidrogen
membantu memelihara tekanan parsial yang sangat rendah yang
dibutuhkan untuk proses konversi asam volatil dan alkohol
menjadi asetat (speece, 1983).
Bakteri metanogen Asetotropik, atau biasa disebut sebagai
bakteri asetoklastik atau bakteri penghilang asetat, merubah
asam asetat menjadi metan dan CO2.
CH3COOH  CH4 + CO2
Bakteri asetoklastik tumbuh jauh lebih lambat (waktu
generasi = beberapa hari) dari pada bakteri pembentuk asam
(waktu generasi = beberapa jam). Kelompok ini terdiri dari dua
kelompok, yaitu : Metanosarkina (Smith dan Mah, 1978) dan
Metanotrik (Huser et al., 1982). Selama penguraian termofilik
(58oC) dari limbah lignosellulosik, Metanosarkina adalah bakteri
asetotropik yang ditemukan dalam bioreaktor. Sesudah 4 minggu,
Metanosarkina (mak = 0,3 tiap hari; Ks = 200 mg/l) digantikan
oleh Metanotrik (mak = 0,1 tiap hari; Ks = 30 mg/l).
Kurang lebih sekitar 2/3 metan dihasilkan dari konversi
asetat oleh metanogen asetotropik. Sepertiga sisanya adalah
hasil reduksi karbon dioksida oleh hidrogen (Mackie dan Bryant,
1984). Diagram neraca masa pada penguraian zat organik
komplek menjadi gas metan secara anaerobik ditujukkan seperti
pada Gambar 2.2.
11
Gambar 2.2 : Neraca masa pada proses penguraian
anaerobik (fermentasi metan).
Secara umum klasifikasi bakteri metanogen dapat dilihat
pada Tabel 2.1. (Balch et al, 1979). Metanogen
dikelompokkan menjadi tiga orde yakni:
12

Metanobakteriales misalnya Metanobakterium, Metanobreviater, Metanotermus.

Metanomikrobiales misalnya Metanomikrobium, Metanogenium,
Metanospirilium,
Metanosarkina,
dan
Metanokokoid

Metanokokales misalnya Metanokokkus.
Paling sedikit ada 49 spesies metanogen yang telah
didiskripsi (Vogels et al., 1988). Koster (1988) telah
mengkompilasi beberapa bakteri metanogen yang telah diisolasi
dan masing-masing substratnya, ditunjukkan sperti pada Tabel
2.2.
Proses penguraian senyawa hidrokarbon, lemak dan
protein secara biologis menjadi methan di kondisi proses
anaerobik secara umum ditunjukkan seperti pada Gambar 2.3,
2.4 dan Gambar 2.5.
Tabel 2.1 : Klasifikasi Metanogen
Order
Methanobacteriales
Famili
Methanobacteriaceae
Genus
Methanobacterium
Spesies
M. formicicum
M. bryanti
M. thermoautotrophicum
M. ruminantium
M. arboriphilus
Methanobrevibacter
M. smithii
M. vannielli
Methanococcales
methanomicrobiales
Methanococcaceae
Methanomicrobiaceae
Methanococcus
M. voltae
Methanomicrobium
M. mobile
Methanogenium
M. cariaci
M. marisnigri
M. hungatei
Methanosarcinaceae
Methanospillum
M. barkeri
Methanosarcina
M. mazei
Dari : Balch et al., 1979.
13
Gambar 2.3 :
Proses penguraian senyawa hidrokarbon secara anaerobik
menjadi methan.
14
Gambar 2.4 :
Proses penguraian senyawa lemak secara anaerobik menjadi
metan.
15
Gambar 2.5 : Proses penguraian senyawa protein secara
anaerobik.
16
Tabel 2.2 : Metanogen terisolasi dan Subtratnya
Bakteri
Methanobacterium bryantii
M. formicicum
M. thermoautotrophicum
M. alcaliphilum
Methanobrevibacter arboriphilus
M. ruminantium
M. smithii
Methanococcus vannielii
M. voltae
M. deltae
M. maripaludis
M. jannaschii
M. thermolithoautotrophicus
M. frisius
Methanomicrobium mobile
M. paynteri
Methanospirillum hungatei
Methanoplanus limicola
M. endosymbiosus
Methanogenium cariaci
M. marisnigri
M. tatii
M. olentangyi
M. thermophilicum
M. bourgense
M. aggregans
Methanoccoides methylutens
Methanotrix soehngenii
M. conilii
Methanothermus fervidus
Methanolobus tindarius
Methanosarcina barkeri
Methanosarcina themophila
Subtrat
H2
H2 dan HCOOH
H2
H2
H2
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
H2 dan HCOOH
CH3NH2 dan CH3OH
CH3COOH
CH3COOH
H2
CH3OH, CH3NH2, (CH3)2NH, dan (CH3)3N
CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2,
(CH3)2NH, dan (CH3)3N
CH3OH, CH3COOH, H2, CH3NH2,
(CH3)2NH, dan (CH3)3N
Sumber : Koster (1988).
17
II.2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme
Proses Anaerob
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadapp penguraian
secara anaerobik antara lain yakni temperatur, waktu tinggal
(rentention time), keasaman (pH), komposisi kimia air limbah,
kompetisi antara metanogen dan bakteri racun (toxicants).
a)
Temperatur
Produksi metan dapat dihasilkan pada temperatur antara
o
o
0 C - 97 C. Walaupun bakteri metan psychrophilic tidak dapat
diisolasi, bakteri thermophilik beroperasi secara optimum pada
temperatur 50 - 75oC ditemukan di daerah panas.
Methanothermus fervidus ditemukan ditemukan di Iceland dan
tumbuh pada temperatur 63 - 97oC (Sahm, 1984).
Di dalam instalasi pengolahan limbah pemukiman,
penguraian anaerobik dilakukan dalam kisaran mesophilik
dengan temperatur 25 - 40 oC dengan temperatur optimum
mendekati 35oC . Penguraian thermophilik beroperasi pada
temperatur 50 - 65oC. Penguraian ini memungkinkan untuk
pengolahan limbah dengan beban berat dan juga efektif untuk
mematikan bakteri pathogen. Salah satu kelemahan adalah
sensitivitas yang tinggi terhadap zat toksik (Koster, 1988).
Karena pertumbuhan bakteri metan yang lebih lambat
dibandingkan bakteri acidogenik, maka bakteri metan sangat
sensitif terhadap perubahan kecil temperatur. Karena
penggunaan asam volatil oleh bakteri metan, penurunan
temperatur cenderung menurunkan laju pertumbuhan bakteri
metan. Oleh karena itu penguraian mesophilik harus didisain
untuk beroperasi pada temperatur antara 30 - 35oC untuk fungsi
optimal.
b)
Waktu Tinggal
Waktu tinggal air limbah dalam reaktor anaerob, yang
tergantung pada karakteristik air limbah dan kondisi lingkungan,
harus cukup lama untuk proses metabolisma oleh bakteri
anaerobik dalam reaktor pengurai. Penguraian didasarkan pada
18
bakteri yang tumbuh menempel mempunyai waktu tinggal yang
rendah (1-10 hari) dari pada bakteri yang terdispersi dalam air
(10-60 hari). Waktu tinggal pengurai mesophilik dan termophilik
antara 25 - 35 hari tetapi dapat lebih rendah lagi (Sterritt dan
Lester, 1988).
c)
Keasaman (pH)
Kebanyakan pertumbuhan bakteri metanogenik berada
pada kisaran pH antara 6,7 - 7,4, tetapi optimalnya pada kisaran
pH antara 7,0 - 7,2 dan proses dapat gagal jika pH mendekati
6,0. Bakteri acidogenik menghasilkan asam organik, yang
cenderung menurunkan pH bioreaktor. Pada kondisi normal,
penurunan pH ditahan oleh bikarbonat yang dihasilkan oleh
bakteri metanogen. Dibawah kondisi lingkungan yang berlawanan
kapasitas buffering dari sistem dapat terganggu, dan bahkan
produksi metan dapat terhenti. Asiditas lebih berpengaruh
terhadap metanogen dari pada bakteri acidogenik. Peningkatan
tingkat volatil merupakan indikator awal dari terganggunya
sistem. Monitoring ratio asam volatil total (asam asetat) terhadap
alkali total (kalsium karbonat) disarankan dibawah 0,1 (Sahm,
1984). Salah satu metode untuk memperbaiki keseimbangan pH
adalah meningkatkan alkaliniti dengan menambah bahan kimia
seperti lime (kapur), anhydrous ammonia, sodium hidroksida,
atau sodium bikarbonat.
d)
Komposisi Kimia Air Limbah
Bakteri metanogenik dapat menghasilkan metan dari
karbohidrat, protein, dan lipida, dan juga dari senyawa komplek
aromatik (contoh : ferulik, vanilik, dan asam syringik). Walaupun
demikian beberapa senyawa lignin dan n-parafin sulit terurai oleh
bakteri anaerobik.
Air limbah harus diseimbangkan makanannya (nitrogen,
fosfor, sulfur) untuk memelihara pencernaan anaerobik. Rasio
C:N:P untuk bakteri anaerobik adalah 700:5:1 (Sahmn, 1984).
Beberapa pengamat menilai bahwa ratio C/N yang tepat untuk
produksi gas yang optimal sebaiknya sekitar 25-30 : 1
(Polprasert, 1989). Metanogen menggunakan ammonia dan
19
sulfida sebagai sumber nitrogen dan sulfur. Walaupun sulfida
bebas adalah toksik terhadap metanogen bakteri pada tingkat
150 - 200 mg/l, unsur ini merupakan sumber sulfur utama untuk
bakteri metanogen (Speece, 1983).
e)
Kompetisi Metanogen dengan Bakteri Pemakan Sulfat
Bakteri pereduksi sulfat dan metanogen dapat
memperebutkan donor elektron yang sama, asetat dan H2. Studi
tentang kinetik pertumbuhan dari dua kelompok bakteria ini
menunjukkan bahwa bakteri pemakan sulfat mempunyai afinitas
yang lebih tinggi terhadap asetat (Ks= 9,5 mg/l) dari pada
metanogen (Ks = 32,8 mg/l). Ini berarti bahwa bakteri pemakan
sulfat akan memenangkan kompetisi pada kondisi konsentrasi
asetat yang rendah (Shonheit et al., 1982; Oremland, 1988; Yoda
et al., 1987). Bakteri pemakan sulfat dan metanogen sangat
kompetitif pada rasio COD/SO4 berkisar 1,7 - 2,7. Pada rasio
yang lebih tinggi baik untuk metanogen sedangkan bakteri
pemakan sulfat lebih baik pada rasio yang lebih kecil.
f)
Zat Toksik
Zat toksik kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan
pada proses penguraian limbah dalam proses anaerobik.
Terhambatnya pertumbuhan bakteri metanogen pada umumnya
ditandai dengan penurunan produksi metan dan meningkatnya
konsentrasi asam-asam volatil. berikut ini adalah beberapa zat
toksik yang dapat menghambat pembentukan metan.

Oksigen.
Metanogen adalah bakteri anaerob dan dapat terhambat
pertumbuhannya oleh oksigen dalam kadar trace level
(Oremland, 1988; Roberton dan Wolfe, 1970).

Amonia.
Amonia yang tidak terionisasi cukup toksik atau beracun
untuk bakteri metanogen. Barangkali karena produksi amonia
bebas tergantung pH (amonia bebas terbentuk pada pH
tinggi), sedikit toksisitas yang dapat diamati pada pH netral.
20
Amonia sebagai penghambat terhadap pembentukan
metanogen pada konsentrasi 1500 - 3000 mg/l. Penambahan
amonia
menambah
waktu
tinggal
partikel
padat
(Bhattacharya dan Parkin, 1989).

Hidrokarbon terklorinasi.
Senyawa khlorin alifatis lebih beracun terhadap metanogen
dari pada terhadap mikroorganisma hetrotropik aerobik (Blum
dan Speece, 1992). Kloroform sangat toksik terhadap bakteri
metanogen dan cenderung menghambat secara total, hal ini
dapat diukur dari produksi metan dan akumulasi hidrogen
pada konsentrasi diatas 1 mg/l (Hickey et al., 1987).
Aklimatisasi senyawa ini meningkatkan toleransi metanogen
sampai pada konsentrasi kloroform 15 mg/l Pemulihan
kehidupan bakteri metanogen tergantung pada konsentrasi
biomassa, waktu tinggal partikel padat, dan temperatur (Yang
dan Speece, 1986).

Senyawa Benzen.
Kultur murni dari bakteri metanogen (contoh : Methanothix
concilii, Methanobacterium espanolae, Methanobacterium
bryantii) dapat dihambat pertumbuhannya oleh senyawa
benzen (contoh : benzen, toloene, fenol, pentachlorophenol).
Pentachlorophenol adalah yang paling toksik (beracun) dari
pada seluruh benzen yang diuji (Patel et al., 1991).

Formaldehida.
Proses pembentukan metan (Methanogenesis) terhambat
atau terganggu pada konsentrasi formadehida sebesar 100
mg/l tetapi segera pulih kembali pada konsentrasi yang lebih
rendah (Hickey et al., 1988; Parkin dan Speece, 1982).

Asam Volatil.
Jika pH dijaga tetap netral, asam volatil seperti asam asetat
atau butirik tidak berpengaruh besar (sedikit toksik) terhadap
bakteri metan.

Asam Lemak rantai panjang.
Asam lemak rantai panjang (contoh : caprylic, capric, lauric,
myristic, dan asam oleic) menghambat asetoklastik
21
metanogen (contoh : Methanothrix spp.) dalam mencerna
asetat dalam lumpur limbah (Koster dan Cramer, 1987).

Logam Berat.
Logam berat(contoh : Cu++, Pb++, Cd++, Ni++, Zn++, Cr+6) yang
ditermukan dalam air dan lumpur limbah dari industri dapat
menghambat penguraian limbah anaerobik (Lin, 1992;
Mueller dan Steiner, 1992). Toksisitas meningkat jika afinitas
logam berat pada lumpur limbah (sludge) menurun dan
sebaliknya jika afinitas pada lumpur logam berat tinggi
menjadi sedikit toksik. Toksitas logam menghambat reaksi
berikutnya dengan hidrogen sulfida, yang cenderung untuk
pembentukan pengendapan logam berat yang tidak terlarut.
Beberapa logam seperti nickel, kobalt, dan molybdenum
pada konsentrasi kecil (trace) dapat merangsang bakteri
methanogen (Murray dan Van Den Berg, 1981; Shonheit et
al, 1979; Whiman dan Wolfe, 1980).

Sianida.
Sianida digunakan dalam proses industri seperti pembersihan
logam dan elektroplating. Pemulihan bakteri metanogen
tergantung pada konsentrasi biomassa, waktu tinggal partikel
padat, dan temperatur (Fedorak et al., 1986; Yang dan
Speece, 1985).

Sulfida.
Sulfida adalah salah satu penghalang potensial dalam
penguraian limbah anaerobik (Anderson et al, 1982). Melalui
difusi sel membran lebih cepat untuk hidrogen sulfida yang
tidak terionisasi dibandingkan dibandingkan yang terionisasi,
toksisitas sulfida sangat tergantung pada pH (Koster et al.,
1986). Sulfida sangat toksik untuk bakteri metanogenik jika
konsentrasinya lebih dari 150-200 mg/l. Bakteri pembentuk
asam tidak begitu sensitif terhadap hidrogen sulfida
dibandingkan dengan metanogen.

Tanin.
Tanin adalah senyawa fenolik yang berasal dari anggur,
pisang, apel, kopi, kedelai, dan sereal. Senyawa ini umumnya
toksik terhadap bakteri metanogen.
22

Salinitas.
Salinitas adalah jenis marial toksik lain dalam penguraian air
limbah dalam sistem anaerobik. Karena potasium dapat
menetralkan toksisitas sodium, maka jenis toksisitas ini dapat
dihambat dengan menambah garam potasium dalam air
limbah.

Efek Balik (Feedback Inhibition).
Sistem anaerobik dapat dihambat oleh beberapa hasil antara
(intermediates produced) selama proses. Tingginya
konsentrasi hasil antara ini (seperti : H2, asam lemak volatil)
toksik.
II.2.1.3 Keunngulan dan Kekurangan Proses Anaerob
Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik
adalah sebagai berikut (Lettingan et al, 1980; Sahm, 1984; Sterritt
dan Lester, 1988; Switzenbaum, 1983) :

Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang ada
sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak
membutuhkan oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses
penguraian limbah akan menambah biaya pengoperasian.

Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (320 kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang
dihasilkan bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian besar
energi didapat dari pemecahan substrat yang ditemukan
dalam hasil akhir, yaitu CH4. Dibawah kondisi aerobik 50%
dari karbon organik dirubah menjadi biomassa, sedangkan
dalam proses anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang
dirubah menjadi biomassa. Dengan proses anaerobik satu
metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa, sedangkan
proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa (Speece,
1983; Switzenbaum, 1983).

Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat,
metan. Gas metan mengandung sekitar 90% energi dengan
23

Energi untuk penguraian limbah kecil.

Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan
konsentrasi polutan organik yang tinggi.

Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian
limbah dalam jumlah besar.

Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa
xenobiotik (seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti
trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami
recalcitrant seperti lignin.
Beberapa kelemahan Penguraian anaerobik :
 Lebih Lambat dari proses aerobik
 Sensitif oleh senyawa toksik
 Start up membutuhkan waktu lama
 Konsentrasi substrat primer tinggi
II.2.2 Proses Pengolahan Biologis Secara Aerob
II.2.2.1 Mekanisme Proses Aerob
Di dalam proses pengolahan air limbah organik secara
biologis aerobik, senyawa komplek organik akan terurai oleh
aktifitas mikroorganisme aerob. Mikroorgnisme aerob tersebut
didalam aktifitasnya memerlukan oksigen atau udara untuk
memecah senyawa organik yang komplek menjadi CO2 (karbon
dioksida) dan air serta ammonium, selanjutnya amonium akan
dirubah menjadi nitrat dan H2S akan dioksidasi menjadi sulfat.
Secara sederhana reaksi penguraian senyawa organik secara
aerobik dapat digambarkan sebagai berikut :
24
Reaksi Penguraian Organik :
Oksigen (O2)
Senyawa Polutan organik
Heterotropik
CO2 + H20 + NH4
+ Biomasa
Reaksi Nitrifikasi :
NH4+ + 1,5 O2
NO2- + 0,5 O2
-----> NO2- + 2 H+ + H2O
------> NO3 -
Reaksi Oksidasi Sulfur :
S2 - + ½ O2 + 2 H+ ----- > S0 + H2O
2 S + 3 O2 + 2 H2O ----> 2 H2SO4
Berbeda dengan proses anaerob, beban pengolahan pada
proses aerob lebih rendah, sehingga prosesnya ditempatkan
sesudah proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan
dari proses anaerob yang masih mengandung zat organik dan
nutrisi diubah menjadi sel bakteri baru, hidrogen maupun
karbondioksida oleh sel bakteri dalam kondisi cukup oksigen.
II.2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Proses
Aerob
a)
Temperatur
Temperatur
tidak
hanya
mempengaruhi
aktivitas
metabolisme dari populasi mikroorganisme, tetapi juga
mempengaruhi beberapa faktor seperti kecepatan transfer gas
dan karakteristik pengendapan lumpur. Temperatur optimum
untuk mikroorganisme dalam proses aerob tidak berbeda dengan
proses anaerob.
b)
Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH diatas
25
9,5 dan di bawah 4,0. Secara umum pH optimum bagi
pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5-7,5.
c)
Waktu Tinggal Hidrolis (WTH)
Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) adalah waktu perjalanan
limbah cair di dalam reaktor, atau lamanya proses pengolahan
limbah cair tersebut. Semakin lama waktu tinggal, maka
penyisihan yang terjadi akan semakin besar. Sedangkan waktu
tinggal pada reaktor aerob sangat bervariasi dari 1 jam hingga
berhari-hari.
d)
Nutrien
Disamping kebutuhan karbon dan energi, mikroorganisme
juga membutuhkan nutrien untuk sintesa sel dan pertumbuhan.
Kebutuhan nutrien tersebut dinyatakan dalam bentuk
perbandingan antara karbon dan nitrogen serta phospor yang
merupakan nutrien anorganik utama yang diperlukan
mikroorganisme dalam bentuk BOD : N : P
II.2.3 Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter
II.2.3.1 Reaktor Biofilter Tercelup
Reaktor biofilter lekat tercelup adalah suatu bioreaktor lekat
diam dimana mikroorganisme tumbuh dan berkembang di atas
suatu media, yang dapat terbuat dari plastik atau batu, yang di
dalam operasinya dapat tercelup sebagian atau seluruhnya, atau
hanya dilewati air saja (tidak tercelup sama sekali), dengan
membentuk suatu lapisan lendir untuk melekat di atas permukaan
media tersebut, sehingga menbentuk lapisan biofilm.
Biofilm tumbuh pada hampir semua permukaan di dalam
suatu lingkungan perairan. Sistem
biofilm ini kemudian
dimanfaatkan dalam proses pengolahan air buangan untuk
menurunkan kandungan senyawa organik. Biofilm merupakan
lapisan yang terbentuk dari sel-sel bio solid dan material
26
inorganik dalam bentuk polimetrik matriks yang menempel pada
suatu lapisan penyokong (support media).
Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau
biofilter secara garis besar dapat dilakukan dalam kondisi
aerobik, anaerobik, atau kombinasi anaerobik dan aerobik.
Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut
di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan
dengan tanpa adanya oksigen di dalam reaktor air limbah.
Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan
gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses operasi
biofilter secara anaerobik digunakan untuk air limbah dengan
kandungan zat organik cukup tinggi, dan dari proses ini akan
dihasilkan gas methan. Jika kadar COD limbah kurang dari 4000
mg/l seharusnya limbah tersebut diolah pada kondisi aerob,
sedangkan COD lebih besar dari 4000 mg/l diolah pada kondisi
anaerob.
II.2.3.2 Prinsip Pengolahan Air Limbah Dengan Proses
Biofilter Tercelup
Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau
biofilter secara garis besar dapat diklasifikasikan seperti pada
Gambar 2.6. Proses tersebut dapat dilakukan dalam kondisi
aerobik, anaerobik atau kombinasi anaerobi dan aerobik. Proses
aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di
dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan dengan
tanpa adanya oksigen dalam reaktor air limbah.
Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah
merupakan gabungan proses anaerobi dan proses aerobik.
Proses ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan
nitrogen di dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses
+
nitrifikasi yakni nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH4 --> NO3 ) dan pada kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi
yakni nitrat yang terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO3 -->
N2 ).
27
Gambar 2.6 : Kalsifikasi cara pengolahan airlimbah dengan
proses film mikro-biologis (proses biofilm).
Mekanisme proses metabolisme di dalam sitem biofilm
secara aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada
Gambar 2.7. Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm
yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang
melekat pada medium, lapisan alir limbah dan lapisan udara yang
terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah
misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia, phospor dan
lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang
melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan
dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah
senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme
yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilhan
akan diubah menjadi biomasa. Sulpai oksigen pada lapisan
biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada
sistem RBC yakni dengan cara kontak dengan udara luar, pada
sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara, sedangkan
pada sistem biofilter tercelup dengan menggunakan blower udara
atau pompa sirkulasi.
28
Jika lapiasan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian
luar lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik
sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada
medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi
anaerobik akan terbentuk gas H2S, dan jika konsentrasi oksigen
terlarut cukup besar maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan
diubah menjadi sulfat (SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam
biofilm.
Selain itu pada zona aerobik nitrogen–ammonium akan
diubah menjadi nitrit dan nitrat dan selanjutnya pada zona
anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi
menjadi gas nitrogen. Oleh karena di dalam sistem bioflim terjadi
kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan maka
dengan sistem tersebut maka proses penghilangan senyawa
nitrogen menjadi lebih mudah. Hal ini secara sederhana
ditunjukkan seperti pada Gambar 2.8.
Gambar 2.7 : Mekanisme proses metabolisme di dalam sistem
biofilm.
29
Gambar 2.8 : Mekanisne penghilangan Ammonia di dalam proses
biofilter.
Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau
biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke
dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media
penyangga untuk pengebang-biakan mikroorganisme dengan
atau tanpa aerasi. Untuk proses anaerobik dilakukan tanpa
pemberian udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di
bawah permukaan air. Media biofilter yang digunakan secara
umum dapat berpa bahan material organik atau bahan material
anorganik.
Untuk media biofilter dari bahan organik misalnya dalam
bentuk tali, bentuk jaring, bentuk butiran tak teratur (random
packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan lainlain. Sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu
pecah (split), kerikil, batu marmer, batu tembikar, batu bara
(kokas) dan lainnya.
Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem
biofilter tercelup aerobik, sistem suplai udara dapat dilakukan
dengan berbagai cara, tetapi yang sering digunakan adalah
seperti yang tertera pada Gambar 2.9. Beberapa cara yang
sering digunakan antara lain aerasi samping, aerasi tengah
(pusat), aerasi merata seluruh permukaan, aerasi eksternal,
30
aerasi dengan “air lift pump”, dan aersai dengan sistem mekanik.
Masing-masing cara mempunyai keuntungan dan kekurangan.
Sistem aerasi juga tergantung dari jenis media maupun efisiensi
yang diharapkan. Penyerapan oksigen dapat terjadi disebabkan
terutama karena aliran sirkulasi atau aliran putar kecuali pada
sistem aerasi merata seluruh permukaan media.
Di dalam proses biofilter dengan sistem aerasi
merata, lapisan mikroorganisme yang melekat pada permukaan
media mudah terlepas, sehingga seringkali proses menjadi tidak
stabil. Tetapi di dalam sistem aerasi melalui aliran putar,
kemampuan penyerapan oksigen hampir sama dengan sistem
aerasi dengan menggunakan difuser, oleh karena itu untuk
penambahan jumlah beban yang besar sulit dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut diatas belakangan ini penggunaan
sistem aerasi merata banyak dilakukan karena mempunyai
kemampuan penyerapan oksigen yang besar.
Jika kemampuan penyerapan oksigen besar maka dapat
digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik
(organic loading) yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan
juga media biofilter yang dapat melekatkan mikroorganisme
dalam jumlah yang besar. Biasanya untuk media biofilter dari
bahan
anaorganik,
semakin
kecil
diameternya
luas
permukaannya semakin besar, sehinggan jumlah mikroorganisme
yang dapat dibiakkan juga menjadi besar pula.
Jika sistem aliran dilakukan dari atas ke bawah (down flow)
maka sedikit banyak terjadi efek filtrasi sehingga terjadi proses
peumpukan lumpur organik pada bagian atas media yang dapat
mengakibatkan penyumbatan. Oleh karena itu perlu proses
pencucian secukupnya. Jika terjadi penyumbatan maka dapat
terjadi aliran singkat (Short pass) dan juga terjadi penurunan
jumlah aliran sehingga kapasitas pengolahan dapat menurun
secara drastis.
Pengolahan air limbah dengan proses biofim mempunyai
beberapa keunggulan antara lain :
a)
Pengoperasiannya mudah
Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm,
tanpa dilakukan sirkulasi lumpur, tidak terjadi masalah “bulking”
31
seperti pada proses lumpur aktif (Activated sludge process). Oleh
karena itu pengelolaaanya sangat mudah.
Gambar 2.9 : Beberapa metoda aerasi untuk proses pengolahan
air limbah dengan sistem biofilter tercelup.
b)
Lumpur yang dihasilkan sedikit
Dibandingakan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang
dihasilkan pada proses biofilm relatif lebih kecil. Di dalam proses
lumpur aktif antara 30 – 60 % dari BOD yang dihilangkan
(removal BOD) diubah menjadi lumpur aktif (biomasa) sedangkan
pada proses biofilm hanya sekitar 10-30 %. Hal ini disebabkan
karena pada proses biofilm rantai makanan lebih panjang dan
melibatkan aktifitas mikroorganisme dengan orde yang lebih
tinggi dibandingkan pada proses lumpur aktif.
c) Dapat digunakan untuk pengolahan air limbah dengan
konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi.
Oleh karena di dalam proses pengolahan air limbah
dengan sistem biofilm mikroorganisme atau mikroba melekat
32
pada permukaan medium penyangga maka pengontrolan
terhadap mikroorganisme atau mikroba lebih mudah. Proses
biofilm tersebut cocok digunakan untuk mengolah air limbah
dengan konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi.
d) Tahan terhadap fluktuasi jumlah air limbah maupun
fluktuasi konsentrasi.
Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan
kecil. Jika suhu air limbah turun maka aktifitas mikroorganisme
juga berkurang, tetapi oleh karena di dalam proses biofilm
substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam
lapisan biofilm dan juga lapisan biofilm bertambah tebal maka
pengaruh penurunan suhu (suhu rendah) tidak begitu besar.
II.2.3.3 Media Biofilter
Media biofilter termasuk hal yang penting, karena sebagai
tempat tumbuh dan menempel mikroorganisme, untuk
mendapatkan unsur-unsur kehidupan yang dibutuhkannya,
seperti nutrien dan oksigen. Dua sifat yang paling penting yang
harus ada dari media adalah :
 Luas permukaan dari media, karena semakin luas permukaan
media maka semakin besar jumlah biomassa per-unit volume.
 Persentase ruang kosong, karena semakin besar ruang
kosong maka semakin besar kontak biomassa yang
menempel pada media pendukung dengan substrat yang ada
dalam air buangan
Untuk mendapatkan permukaan media yang luas, media
dapat dimodifikasikan dalam berbagai bentuk seperti
bergelombang, saling silang, dan sarang tawon.
Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batuan, plastik
(polivinil chlorida), pasir, dan partikel karbon aktif.
Untuk media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat
dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya
PVC dan lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar
33
dan volule rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat
melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan
resiko kebuntuan yang sangat kecil. Dengan demikian
memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban
konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup
besar. Salah Satu contoh media biofilter yang banyak digunakan
yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari
bahan PVC.
Kelebihan dalam menggunakan media plastik tersebut
antara lain :
 Mempunyai luas permukaan per m3 volume sebesar 150 –
240 m2/m3
 Volume rongga yang besar dibanding media lainnya.
 Penyumbatan pada media yang terjadi sangat kecil.
Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik
dari berbagai media biofilter dapat dilihat pada Tabel 2.3 :
Tabel 2.3 : Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media
Biofilter.
No
1.
Jenis Media
Trickling filter dengan
batu pecah
2.
Model sarang tawon
(honeycomb modul)
3.
Tipe jaring
4.
RBC
II.3
Luas Permukaan spesifiik
(m2/m3)
100 – 200
150 – 240
50
80 – 150
Peranan Mikroorganisme Dalam Pengolahan Air
Limbah
Mikroorganisme atau mikroba adalah substansi bersel satu
yang membentuk koloni atau kelompok dimana satu sama lain
34
dalam koloni tersebut saling berinteraksi. Dalam pertumbuhannya
memerlukan sumber energi, karbon, dan nutrien.
Mikroorganisme memegang peranan penting dalam proses
yang berlangsung pada pengolahan air buangan secara biologis.
Berdasarkan kebutuhan nutrisinya, mikroorganisme dapat dibagi
menjadi :
1.
Autotroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan CO2
dan HCO3 sebagai sumber karbon tunggal. Sumber nitrogen
berasal dari senyawa anorganik saja, sedangkan kebutuhan
akan phospor dan belerang diperoleh dari phospat anorganik
dan sulfat.
2.
Heterotroph, yaitu mikroorganisme yang mengambil karbon
dari sumber karbon organik saja. Penggunaan bentuk
nitrogen berasal dari senyawa anorganik tetapi kadangkadang juga dari senyawa organik. Sedangkan kebutuhan
akan phospor dan belerang diperoleh dari phospat
anorganik, sulfat, dan belerang organik.
3.
Fakultatif autotroph, yaitu mikroorganisme yang dapat
menggunakan CO2 maupun senyawa organik sebagai
sumber karbon.
Berdasarkan sumber energi yang digunakan untuk melakukan
aktivitasnya, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi :
 Phototroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan cahaya
sebagai sumber energi. Mikroorganisme phototroph dapat
merupakan mikroorganisme heterotroph (misalnya bakteri
sulphur) dan ada juga yang merupakan mikroorganisme
autotroph (alga dan bakteri fotosintesis).
 Chemotroph, yaitu mikroorganisme yang menggunakan reaksi
kimia (reaksi reduksi oksidasi bahan organik) sebagai sumber
energi. Mikroorganisme chemotroph dapat pula termasuk
golongan heterotroph (protozoa, fungi, dan bakteri) atau
termasuk autotroph (bakteri nitrifikasi).
35
Berdasarkan temperatur yang cocok untuk tumbuh dan
berkembang biak dengan baik, mikroorganisme dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu :
 Psychrophilic, merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh
pada suhu berkisar antara (-10)C sampai 30 C. Namun
pertumbuhan yang optimum adalah pada suhu berkisar antara
12 C sampai 18 C.
 Mesophilic, yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
suhu 20C sampai 50C, namun dapat tumbuh optimum pada
suhu 25C sampai 40C.
 Thermophilic merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh
pada suhu 35C sampai 75C, dan tumbuh optimum pada
suhu 55C sampai 65C.
II.4
Penyisihan Zat Pencemar
Perhitungan penyisihan zat pencemar dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(C) in – (C) ef
 (%) =
x 100 %
………………………… (2.1)
(C) in
di mana :
 (%) = Persentase penyisihan
(C) in = Konsentrasi zat pencemar pada influen
(C) ef = Konsentrasi zat pencemar pada efluen
Perhitungan efisiensi penyisihan ini didasarkan atas
perbandingan pengurangan konsentrasi zat pencemar pada titik
influen dan efluen terhadap konsentrasi zat pencemar pada titik
influen.
36
II.5
Kinetika Penyisihan di dalam Reaktor Biofilter Tercelup
Persamaan kinerja biofilter dengan asumsi reaksi mengikuti
reaksi orde satu dan proses penghilangan polutan sangat spesifik
tergantung pada karakteristik air buangan, koloni biomassa,
karakteristik media filter dan kedalaman media filter. Persamaan
dasar yang telah dikembangkan adalah
…………………………………… (2.2)
[ St/So ] = e –kXt
dimana :
St = konsentrasi subtrat setelah waktu kontak t (massa/volume)
So = konsentrasi subtrat influen (massa/volume)
k = konstanta laju reaksi
X = jumlah biomassa
t = waktu tinggal hidrolis atau waktu kontak (hari)
Sumber :Eckenfelder, W, Industrial Water Polution Controll, New York : Mc Graw
Hill, 1970.
Rata-rata konsentrasi biomassa dalam sistem biofilter
sangat sulit diukur, dan karena ketebalan biofilm hanya beberapa
mm, maka jumlah biomassa adalah setara dengan luas
permukaan spesifik dari media filter (X  As). Sebagaimana
dijelaskan diatas bahwa waktu tinggal atau waktu kontak di dalam
biofilter sangat dipengaruhi oleh karakteristik media filter antara
lain volume rongga, bentuk media dan profil saluran yang
terbentuk dalam bed filter serta beban hidrolik, maka waktu
tinggal dalam biofilter dapat dirumuskan sebagai berikut :
n
……………………………………….. (2.3)
t = C. D/QL
dimana :
t
= waktu kontak (hari)
C, n = koefisien percobaan
D
= kedalaman media filter (m)
QL = beban permukaan (m3/m2.hari)
Nilai n tergantung karakteristik aliran yang mengalir pada
media (0,5 – 0,67), untuk air buangan dan penggunaan jenis
media, maka persamaan (2.3) dapat disederhanakan dengan
menggunakan Kasm sehingga :
37
[ St/So ] = e-k.D/QLn
………………………………. (2.4)
dimana : k = total konstanta laju reaksi
n = koefisien percobaan
Persamaan 2.4 dapat disederhanakan menjadi :
- kD
Ln (St/So) =
………………………………. (2.5)
-k =
………………………………. (2.6)
QLn
Ln (St/So)
38
D/QLn
Download