1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kekayaan alam Indonesia

advertisement
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Kekayaan alam Indonesia begitu melimpah ruah, mulai dari sumber daya
alam sampai dengan sumber daya mineral semua ada di bumi alam Indonesia yang
merupakan kekayaan Negara Indonesia. Pengertian harta kekayaan Negara
sebagaimana dijelaskan di UUD 45 Pasal 33 ayat 3 adalah “ bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertiannya adalah
dalam arti luas. Pengertian umum harta kekayaan Negara dalam kerangka hukum
perdata Indonesia adalah.
1. Benda tidak bergerak (real property) berupa tanah dan bangunan yang melekat
di atasnya serta hak-hak yang terkait dan juga potensi kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
2. Benda bergerak (personal property) berupa benda berwujud dan benda tidak
berwujud.
Salah satu sumber daya mineral yang melimpah di Negara Indonesia adalah
panas bumi (geothermal). Geothermal adalah energi panas bumi yang tersimpan
dalam batuan di bawah permukaan bumi merupakan salah satu kekayaan sumber
daya mineral yang belum banyak dimanfaatkan dibandingkan dengan sumber daya
alam lainnya dan seringkali keberadaannya tidak disadari oleh
karena secara
struktur dan fisik tidak bisa dilihat secara langsung. Namun bila dilakukan kajian
mengenai potensi energi yang terkandung di dalamnya, maka geothermal
1
2
merupakan salah satu sumber energi yang powerfull yang ada di Indonesia. Selain
merupakan sumber daya alam yang ekonomis dan ramah lingkungan, geothermal
merupakan salah satu alternatif penghasil energi listrik yang besar dan yang paling
rasional untuk dioptimalkan di Indonesia.
Meningkatnya kebutuhan energi dunia dan meningkatnya kesadaran akan
akan kebersihan dan keselamatan lingkungan, maka geothermal merupakan pilihan
yang tepat dan mempunyai masa depan yang cerah. Amerika Serikat telah
mencanangkan program EGS (enhanced geothermal system) yaitu program untuk
menjadikan geothermal sebagai salah satu primadona pembangkit listrik pada 2050
mendatang. Bahkan Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat
berpotensi memanfaatkan panas bumi sebagai pembangkit listrik untuk diekspor ke
negara lain bilamana optimalisasi pemanfaatan panas bumi dilakukan, mengingat
banyaknya sumber geothermal yang siap dieksploitasi di Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi.
Menurut keterangan seorang peneliti senior pada institusi di Jerman,
Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia, yaitu berpotensi
menghasilkan energi listrik berasal dari panas bumi paling sedikit 27 Gigawatt atau
sekitar 40 persen dari cadangan energi panas bumi dunia bila memanfaatkan dengan
maksimal. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal sehubungan pemerintah
masih banyak membahas potensi sumberdaya lainnya. Indonesia baru memiliki 18
PLTGU yang beroperasi dengan memberikan kontribusi sekitar 1.050 MW atau
sekitar 30 persen dari program rencana pemerintah pengadaan listrik 10.000 MW.
Selain itu, pemerintah juga membahas PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir)
3
yang justru akan menjadi issue yang lebih kontroversial disbanding PLTP
(Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi).
Dilihat dari potensi aset sumber daya alam panas bumi, maka sumberdaya
alam panas bumi (geothermal) adalah salah satu asset yang mempunyai nilai
ekonomis yang relatif tinggi, ironisnya aset yang dimiliki pemerintah ini belum
terindikasi nilai ekonomisnya dan menjadi persoalan yang perlu diperhatikan cara
dan metoda penilaiannya, agar nilai sumber daya alam di dalam neraca keuangan
negara dapat tercatat nilai yang sebenarnya (nilai wajar). Di sisi lain sejumlah
ekonom Indonesia telah berulangkali mengusulkan agar pemerintah membuat
neraca keuangan negara yang di dalamnya menyajikan nilai aset kekayaan alam
Indonesia secara benar. Ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan
mengetahui seberapa besar potensi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
Indonesia. Oleh karena itu sangat diperlukan revaluasi aset karena pencatatan aset
negara saat ini masih berdasarkan nilai perolehan dan bukan nilai sesungguhnya.
Namun demikian permasalahan belum selesai dengan melakukan penilaian
terhadap aset tersebut secara benar, kenyataannya masih berpotensi menimbulkan
persoalan baru sehubungan peraturan perpajakan di Indonesia yang dianggap
memberatkan kalangan pengusaha/investor, karena aset yang direvaluasi pada
umumnya nilainya akan meningkat, sehingga selisih antara nilai hasil revaluasi
dengan nilai perolehan/harga perolehan akan dikenakan pajak final sebesar 10
(sepuluh) persen. Di lain pihak arah kebijakan pemerintah sebagai regulator sudah
mengharuskan penyajian laporan keuangan menggunakan cara revaluasi yaitu nilai
aset yang berbasis kepada International Financial reporting Standard (IFRS).
4
International Financial Reporting Standard (IFRS) yaitu standar pelaporan
keuangan internasional mulai diterapkan tahun 2012 di Indonesia dan diharapkan
dengan diberlakukan aturan tersebut perbedaan persepsi antara PSAK dan IFRS
sudah tidak ada lagi karena basis nilai aset yang dicatatkan dalam neraca adalah
nilai wajar yang ekuivalen dengan nilai pasar. Tahapan penerapan IFRS sudah
dimulai yaitu tahap adopsi tahun 2008-2011, selanjutnya adalah tahap persiapan
akhir penyelesaian infrastruktur, dan tahap implementasi adalah pada tahun 2012.
Proyek PLTP yang dibangun adalah PLTP Gunung Tampomas yang terletak
di Kabupaten Sumedang dan Subang Provinsi Jawa Barat yang diperkirakan
memiliki potensi sekitar 50 - 75 MW. berdasarkan data dari PT Jasa Sarana biaya
yang dikeluarkan untuk pembangunan proyek adalah Rp892.382.215.500,-.
Berdasarkan standar Bank Dunia dengan kapasitas di atas 30 MW adalah US$
1350-2200 per kwh sehingga biaya investasi untuk kapasitas PLTP 50 MW sebesar
= 50.000 kilowatt x US$ 1350-2200 per kwh = US$ 67,500,000 – 110,000,000 atau
nilai terendah sebesar Rp573.750.000.000,- (lima ratus tujuh puluh tiga milyar
tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan nilai tertinggi sebesar Rp935.000.000.000,(sembilan ratus tiga puluh lima milyar rupiah).
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nomor 540/kep./604-Admrek/2009 untuk
Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) PLTP tersebut sudah diberikan
kepada
konsorsium 3 (tiga) perusahaan yaitu PT Wijaya Karya (Persero), Tbk. (PT WIKA),
PT Jasa Sarana, dan PT Resources Jaya Teknik Managemen Indonesia berturutturut dengan jumlah saham sebesar 55 persen, 40 persen, dan 5 persen. PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk. merupakan perusahan publik, sedangkan PT Jasa Sarana
adalah perusahaan Pemerintah Daerah, sehingga ke 2 (dua) perusahaan tersebut
5
dalam kegiatan investasinya diperlukan opini pihak independen dalam menilai
kegiatan investasinya, terutama untuk perusahaan publik yang melakukan transaksi
material.
Transaksi material dalam peraturan Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
IX.E.2 adalah setiap pembelian, penjualan atau penyertaan saham, dan pembelian,
penjualan, pengalihan, tukar menukar aktiva atau segmen usaha, yang nilainya
cukup material yaitu sama atau lebih besar dari 20 persen dari ekuitasnya wajib
menunjuk pihak independen untuk melaksanakan penilaian dan memberikan
pendapat tentang kelayakan nilai transaksi tersebut. Adapun pihak independen yang
dimaksud adalah penilai publik yang mendapatkan ijin sebagai Penilai publik dari
Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Penilaian yang dilakukan atas aset sumber daya alam panas bumi Gunung
Tampomas merupakan penilaian atas hak penambangan (hak ekonomi) oleh suatu
entitas yang bergerak di bidang industri pertambangan. Dengan demikian
pemerintah dapat mengetahui nilai ekonomis kekayaan sumber daya alam
geothermal yang sebenarnya, sehingga dapat memasukkan ke dalam daftar
kekayaan riil pemerintah dan dapat menarik minat kerjasama pembiayaan juga
meningkatkan daya saing. Di samping itu, bila nilai wajar dari aset tersebut lebih
besar dari nilai perolehan, maka potensi pendapatan pajak bagi pemerintah akan
meningkat pula, sedangkan dari sisi masyarakat sekitar meningkatkan taraf hidup
dengan dibukanya kesempatan bekerja dan pendidikan khusus di bidang migas
untuk ditempatkan di PLTP, sehingga diharapkan masyarakat dapat menyadari
betapa penting menjaga, mengamankan, dan menyelamatkan harta kekayaan negara
demi kelangsungan menjaga kebutuhan masyarakat akan energi listrik.
1.2 Keaslian Penelitian
Secara umum penelitian mengenai penentuan nilai ekonomis sumber daya
alam panas bumi (geothermal) di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian untuk
6
menentukan nilai ekonomis atas Hak Investasi Pengembangan Wilayah Kerja
Pertambangan Panas Bumi Gunung Tampomas masih terbatas dilakukan oleh
penilai publik. Namun demikian terdapat beberapa penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penilaian sumber daya alam diantaranya sebagai berikut.
1.
Kaneva (2001) melakukan analisis terhadap model penilaian dengan
menggunakan option models atas aset sumber energi listrik pascaliberisasi di
Negara Inggris. Tujuan dari analisis adalah memberikan gambaran mengenai
model penilaian yang sesuai berdasarkan dinamika energi listrik.
2. Hall dan Nicholls (2007) melakukan penelitian terhadap hasil penilaian proyek
tambang batubara di Australia yang dihasilkan dari analisis metoda Discounted
Cash Flow (DCF) dibandingkan dengan Real Option Valuation (ROV).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara kontekstual penggunaan analisis
dan hasilnya berkaitan dengan perpajakan, royalty, dan kebijakan subsidi
investasi.
3. Hamilton dan Sell (2009) melakukan penelitian atas properti dengan kegunaan
khusus (special use property) dan properti dengan tujuan tertentu (special
purpose property). Permasalahan utama dalam menilai properti tersebut adalah
kurangnya ketersediaan data yang cukup, kurangnya penjualan dan informasi
spesifik untuk membuat penyesuain dan membuat kesimpulan yang logis. Oleh
karena itu penilaian dengan pendekatan pendapatan merupakan penilaian yang
paling mewakili. Untuk properti yang dapat menghasilkan pendapatan yang
dapat diprediksi, menurut pengadilan negeri dapat menggunakan pendekatan
pendapatan, dengan metoda termasuk dalam mengestimasi pendapatan bersih
dan jumlah tahun yang diharapkan dari properti tersebut yaitu berdasarkan
7
analisis discounted cash flow. Nilai kini dari pendapatan dihitung dengan
menggunakan tingkat diskonto tertentu yang merupakan tingkat pendapatan
bersih investasi dari pemilik properti.
4. Garvin dan Cheah (2004) melakukan penelitian dalam pengambilan keputusan
investasi infrastruktur publik dengan tujuan Build Operate Transfer (BOT).
Mengevaluasi isu-isu dan variabel-variabel yang terkait dengan kelangsungan
ekonomi proyek infrastruktur publik dengan studi kasus proyek jalan tol di
USA. Teknik yang digunakan bagaimana mencari discount rate yang paling
realistis untuk investasi dalam penilaian baik dengan traditional valuation
method maupun real option valuation model. Penggunaan metoda discounted
cash flow merupakan metoda yang paling umum dipilih dalam menilai proyek
yang tidak terdapat dalam pasar aktif seperti proyek infrastruktur. Metoda DCF
ini digunakan untuk mendapatkan net present value dari proyek infrastruktur
yang sedang berjalan. Discount rate harus benar-benar menggambarkan risiko
dari aset yang dinilai karena merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
ekonomi dari aset ketika diterapkan metode penilaian tradisional. Biasanya
estimasi menggunakan Weighted Average Cost of Capital (WACC) dalam
penentuan biaya modal dan Capital Asset Pricing Modal (CAPM) dalam
penentuan biaya ekuitas.
WACC = Re x (E/V) + Rd (D/V) (l-i) ……………………………..……(1.1)
Re = Rr + βe (Rm – Rr) ………………………………………………….. (1.2)
Adapun kelemahan metoda DFC ini adalah tidak dapat mengakomodasi adanya
perubahan tingkat risiko karena perubahan informasi dan kemajuan dalam
pembangunan. Penggunaan option valuation model dikembangkan untuk
8
mengurangi batasan-batasan pada traditional valuation method. Real Option
Models digunakan untuk penilaian terhadap investasi infrastruktur yang terkait
dengan opsi penundaan atau investasi bertahap. Terdapat 2 (dua) katagori model
yaitu continuous-time models dan discrete model.
5. Duvall dan Black (2000) melakukan penelitian mengenai metoda penilaian
properti yang tidak memiliki pembanding. Untuk properti yang tidak memiliki
pembanding di pasar terbuka dapat menggunakan pendekatan pendapatan atau
pendekatan biaya dalam mendapatakan nilai wajar. Dalam jurnal ini disebutkan,
jika dalam pengadilan telah diputuskan bahwa suatu properti dikategorikan
sebagai “special use property” maka diambil suatu pertimbangan metoda
penilian berdasarkan kompensasi yang layak. Pengadilan memutuskan terdapat
3 (tiga) metoda yang dapat digunakan yaitu Pendekatan biaya, pendekatan
pendapatan dan pendekatan data pasar yang dimodifikasi. Pendekatan biaya
biasanya digunakan untuk properti dengan pelayanan khusus dan tidak dapat
menghasilkan pendapatan seperti gereja, dan sekolah-sekolah umum. Di mana
nilai di peroleh dari nilai penggantian baru dikurangi penyusutan. Pendekatan
pendapatan digunakan untuk menilai properti khusus yang dapat menghasilkan
pendapatan, di mana properti tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang
stabil dan secara langsung menghasilkan ke properti yang dinilai bukan karena
keahlian dari pemilik. Nilai diperoleh dari nilai sekarang dari arus pendapatan
yang di peroleh. Pendekatan data pasar yang dimodifikasi dilakukan dengan
memperluas pengertian dari properti pembanding seperti dari lokasi lain atau
properti yang berbeda dalam penggunaan tetapi diklasifikasikan juga sebagai
properti khusus. Penilaian properti khusus menggunakan pendekatan pasar yang
9
dimodifikasi dalam jurnal ini kemungkinan akan dapat menghasilkan nilai yang
bias karena properti yang dibandingkan memiliki karakter dan penggunaan yang
berbeda dan kemungkinan penilai dari kedua properti akan sulit untuk
melakukan penyesuaian karena perbedaan penggunaan dari kedua properti
tersebut.
6. Michaletz, V.B, A.I. Artemenkov dan I.L. Artemenkov (2007) melakukan
penelitian mengenai metoda penilaian aset yang tidak likuid menggunakan
pendekatan pendapatan. Dalam jurnal ini dijelaskan bagaimana meneliti dasar
dibalik “Nilai Pasar” dalam menilai aset tidak likuid yang dapat menghasilkan
pendapatan (merupakan aset yang tidak mempunyai data pembanding). Adapun
properti yang dicontohkan dalam penelitian ini adalah aset tidak berwujud,
saham dari perusahaan privat, dan properti khusus yang menghasilkan
pendapatan. Metoda yang digunakan untuk melakukan penilaian adalah dengan
Discounted Cash Flow (DCF).
7. Accetta (1998) menyatakan pengkajian kepantasan analisis discounted cash flow
(DFC)
terdapat
beberapa
alat
yang
dapat
digunakan
penilai
untuk
mengembangkan dan menganalisis cash flow. Dalam review DFC dibutuhkan
asumsi-asumsi berdasarkan data dan ekpektasi pasar yaitu dibutuhkan melihat
pola dan kemungkinan penyimpangan. Penilai diharapkan bergantung pada
aktivitas pasar, ekspektasi pasar dan pengalaman. Terdapat 6 (enam) katagori
pengujian yaitu umum yang merupakan identifikasi variable input dan
memeriksa hasil atau indikasi nilai; potensi pendapatan kotor, tingkat
kekosongan, turnover dan collection loss biaya operasional pendapatan
operasional bersih; serta tingkat pertumbuhan dan hubungan antarasumsi. Dari
10
artikel tersebut perlu dikaji lebih lanjut tentang tingkat diskonto yang akan
digunakan karena tingkat diskonto merupakan pencerminan penghargaan dari
investasi dan tingkat risiko yang melekat.
Secara umum, penelitian-penelitian di atas masih bersifat umum, yaitu
penelitian penilaian untuk properti khusus berdasarkan pendekatan pendapatan
dengan metoda aliran kas terdiskon. Di samping memang penelitian tentang PLTP
belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diusulkan untuk meneliti
PLTP dengan mengacu pada penelitian Goldberg (2009), dengan menggunakan
pendekatan pendapatan, namun tidak hanya menggunakan metoda aliran kas yang
terdiskon (discounted cash flow) atau yield capitalization, tetapi dengan metoda
tradisional (direct capitalization). Di mana untuk tingkat kapitalisasi akan
menggunakan weighted average cost of capital dengan cost of equity menggunakan
bottom-up beta, sehingga dapat meminimalisir tingkat risiko dari PLTP yang diteliti.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan penelitian
Menghitung nilai ekonomis sumber daya alam panas bumi (geothermal) di
Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Gunung Tampomas berdasarkan Standar
Penilaian Indonesia (SPI) dengan tujuan pelaporan keuangan sesuai International
Financial Reporting Standard (IFRS). Penilaian ini dapat dianggap mencerminkan
nilai kekayaan sebenarnya, sehingga hasil penilaian dapat digunakan secaralebih
luas.
11
1.3.2
Manfaat penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. sebagai informasi bagi Pemerintah mengenai nilai ekonomi sumberdaya alam
yang dimiliki yang mencerminkan nilai sebenarnya (nilai wajar), sehingga dapat
dimasukkan dalam daftar kekayaan negara (neraca keuangan) dan manajemen
pengelolaan aset yang dimiliki atau dikuasai pemerintah;
2. sebagai sumber informasi bagi praktisi dan akademisi dan peneliti lainnya.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri atas 4 (empat) bab dengan sistematika : Bab I
Pengantar, berisi uraian pendahuluan tentang penelitian yang terdiri atas latar
belakang, tujuan dan faedah penelitian, serta sistematika penulisan; Bab II Tinjauan
Pustakan dan Alat Analisis, bab ini berisikan uraian mengenai tinjauan pustaka yang
berkaitan dengan judul penelitian, landasan teori, dan rencana penelitian yang
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian serta alat analisis yang digunakan; Bab
III Analisis data, bab ini berisikan uraian tentang alat yang digunakan untuk
melakukan penelitian, jalannya penelitian, pembahasan data berupa analisis data
dari penelitian yang dilakukan; Bab IV Kesimpulan, Keterbatasan, dan Saran, bab
ini berisi kesimpulan hasil analisis yang didapatkan dari hasil penelitian yang
dianggap penting sebagai jawaban atas tujuan penelitian, keterbatasan berupa
kendala dan kesulitan dalam penelitian, serta saran yang disampaikan sebagai
sumbangan pemikiran.
Download