Arisan di Dunia Maya: Sebuah Asa Bilangan usianya memang

advertisement
Arisan di Dunia Maya: Sebuah Asa
Bilangan usianya memang sudah
tak lagi dapat dikatakan belia. Didirikan
lebih dari enam dekade yang lalu,
Universitas Islam Indonesia (UII) yang
semula bernama Sekolah Tinggi Islam
(STI), selalu setia mengawal perjalanan
panjang republik ini. Dengan cita-cita
yang
sederhana,
pendirian
UII
dilatarbelakangi oleh sinkronisasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, keseimbangan
hidup duniawi dan ukhrawi. Sehingga mahasiswa UII diharapkan mampu bertindak
sesuai misinya, berilmu amaliah dan beramal ilmiah.
...di Sekolah Tinggi Islam itu akan bertemu AGAMA dengan ILMU dalam
suasana kerjasama untuk membimbing masyarakat ke dalam kesejahteraan.
(Moh. Hatta)
Dengan kata lain, UII tidak hanya mengedepankan persoalan intelektual
mahasiswanya. Namun dimensi spiritualitas juga tidak ditinggalkan begitu saja. Selaras
dengan tujuannya, salah seorang mahasiswa STI bernama Lafran Pane membentuk suatu
organisasi yang bisa berguna bagi masyarakat, bangsa, dan agama. Organisasi tersebut
dikenal dengan sebutan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sebuah organisasi
mahasiswa yang bertujuan semula untuk mempertahankan negara Republik Indonesia,
mempertinggi derajat dan martabat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan
mengembangkan ajaran Islam di muka bumi. Albert Einstein, seorang ilmuwan keturunan
Yahudi, pun pernah mengatakan "ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh".
Sehingga, keduanya tak bisa dipisahkan. Namun jauh masa sebelum itu, kurang lebih 14
abad yang silam, Al-Qu'r'an menegaskan:
...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang
yang
diberi
ilmu
pengetahuan
beberapa
derajat...
(QS Al Mujaadilah: 11)
Akan tetapi, melihat fenomena zaman sekarang, rasanya hal yang demikian sudah
menjadi barang langka (mudah-mudahan saya keliru). Ibaratnya, mutiara di tengah
butiran pasir. Budaya sekuler semakin menjadi. Agama seringkali hanya ditempatkan di
tempat-tempat ibadah saja. Tak heran jika seorang Haji pun gemar menikmati uang hasil
korupsi. Dan di sisi yang lain, semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin gencar ia
menafikan Tuhan, semakin dekat dengan atheisme. Kembali, bila dikontekskan dengan
budaya yang dicerminkan oleh UII, apakah UII sudah mengimplementasikan cita-cita
luhur para pendirinya? Ataukah ciri-ciri islami yang selama ini ditampilkan oleh UII saat
ini hanya sebatas polesan karena menyandang nama besar Islam? Mari kita renungkan
bersama. Merujuk pada tujuan pendirian UII, seharusnya hal ini menjadi core value bagi
UII itu sendiri. Karakteristik dan menjadi ciri khas UII yang memang sudah sejak semula
adanya. Harus diakui, UII sebagai perguruan tinggi perintis dalam memadukan ilmu
pengetahun dan agama, kini telah mempunyai penerus dengan mengangkat tema yang
serupa. Boleh anggap ini sebagai rivalitas atau sebagai kebangkitan dalam dunia
pendidikan tinggi.
Rencana strategis UII untuk mencapai research university ataupun world class
university perlu ditunjang sarana dan prasarana yang memadai. Tapi faktor utama dalam
pencapaiannya adalah mahasiswa itu sendiri. Ironisnya, research university hanya
menjadi sebuah retorika kosong jika minat baca mahasiswa itu rendah. Tidak kritis dalam
analitis. Serta tidak kreatif-inovatif. Tak ada yang perlu disalahkan karena memang sudah
tuntutan zaman yang serba cepat. Sehingga janganlah heran jika di bangku perkuliahan
mahasiswa mengejar nilai yang berujung pada indeks prestasi. Bisa termasuk juga saya.
Terlebih status "mahasiswa buangan", khususnya jenjang strata satu, yang melekat.
Saya memang tidak bisa mengatakan secara pasti, namun bila diadakan
pendataan, saya pikir mayoritas mahasiswa di UII merupakan orang-orang yang gagal
dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri atau kampus favorit. Saya sering berkelakar -
entah canda, entah sebuah apologi- dengan teman bahwa kita sudah sekolah di luar
negeri. Swasta maksudnya. Akan tetapi, dinomorduakan bukan berarti harus berkecil hati
dan pesimis. Seperti yang diutarakan di atas, UII mempunyai core value khas yang belum
tentu dimiliki oleh perguruan tinggi lainnya. Artinya, dengan kualitas input yang taruhlah- standar, maka pemaksimalan dapat dilakukan semaksimal mungkin pada bagian
proses. Logika sederhananya, dengan input yang berbeda, diharapkan menghasilkan
output yang hampir menyamai ataupun menyamai. Lebih unggul akan jauh lebih baik.
Memandang dinamika kampus UII, tak bisa dilepaskan dari dinamika
kemahasiswaannya. Dinamika kemahasiswaan yang meliputi aktivitas belajar-mengajar
dan berorganisasi apapun bentuknya akan membentuk karakter mahasiswa tersebut.
Sebuah soft skill yang tidak bisa didapatkan di bangku kuliah secara formal. Tak pernah
merasakan pedas, kecuali memakan cabai. Dengan analogi tersebut mahasiswa akan jadi
lebih paham akan sesuatu bila dilakukan. Bahasa yang sering digunakan motivator adalah
learning by doing. Pada titik akhir, mahasiswa akan menyelesaikan studinya dan
bertransformasi menjadi alumni.
Alumni sebagai garda terdepan
Tidaklah salah jika saya mengatakan
alumni sebagai garda terdepan. Karena baik
buruknya
citra
yang
didapat
UII
bisa
dicerminkan dari kiprah alumninya. Secara tidak
langsung pun para alumni menjadi tenaga
pemasar
UII.
Namun,
tidak
juga
benar
sepenuhnya jika terlalu bertumpu harap pada
mereka, mengingat alumni hanyalah "produk"
akhir dari sebuah proses panjang. Sebut saja
Mahfud MD dan Busyro Muqoddas. Keduanya
merupakan alumni yang sudah berkancah di level nasional sebagai ketua Mahkamah
Konstitusi dan ketua KPK. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap almamaternya,
terlebih fakultas dimana beliau menimba ilmu. Ini akan menjadi sebuah legitimasi
tersendiri dari masyarakat. Namun apa yang terjadi jika saya menyebut Hasan Tiro, salah
seorang tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM)?
Itulah pentingnya pencitraan. Dalam bahasa pemasaran biasa dikenal dengan
brand image. Sedang dalam akuntansi bisa dikaitkan dengan goodwill. Dari sisi
pencatatan akuntansinya, goodwill (nama baik) ditempatkan sebagai aset. Sehingga,
memiliki nama baik atau reputasi baik mencerminkan aset yang tinggi. Terkait dengan
tindak-tanduk alumni tadi, sudah barang tentu pencitraan -baik positif maupun negatifyang dilihat oleh masyarakat akan membentuk suatu persepsi, dan persepsi akan
membangun sebuah kepercayaan. Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Mungkin
kita pernah mendengar cerita jatuhnya perusahaan raksasa Enron dalam semalam di fase
awal abad 21. Perusahaan energi ini memanipulasi laporan keuangannya dibantu oleh
akuntan publik Arthur Andersen. Sudah terbukti, pencitraan yang negatif dan
ketidakpercayaan masyarakat bisa menghancurkan bisnis yang dibangun bertahun-tahun
hanya dalam tempo yang begitu singkat.
Berapa banyak alumni UII yang sukses seperti kedua tokoh di atas? Sejauh mana
kiprah alumni dalam dunia kerja? Berapa persen alumni yang berhasil di dunia usaha?
Pertanyaan ini setidaknya menjadi refleksi bahwa pengelolaan alumni oleh institusi yang
bersangkutan harus diseriusi. Diakui atau tidak, alumni juga berkontribusi besar pada
perkembangan almamaternya. Selain akan menjaring mahasiswa baru, alumni bisa
memberi masukan tentang "kurikulum" yang dibutuhkan di lapangan. Karena teori sering
bertolak belakang dengan prakteknya. Okelah, UII sudah bisa bekerja sama dengan
universitas-universitas di dalam dan luar negeri. Menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) di mana-mana. Harus diapresiasi juga. Tetapi, berapa banyak
perusahaan yang secara khusus membutuhkan tenaga-tenaga terampil dari UII? Tugas
pokok UII memang untuk menghasilkan lulusan yang bermutu sesuai dengan tujuannya.
Karena mutu lulusan juga menjadi salah satu poin penting dalam proses akreditasi.
Sekarang, tugas UII tidak lagi hanya "mencetak" lulusan yang berkualitas. Akan tetapi,
memantau perkembangan lulusannya. Seperti cara orang tua mendidik anaknya di masa
dewasa.
Merangkul alumni di era teknologi informasi
Mahasiswa yang telah lulus akan
tersebar luas di seluruh belahan bumi
nusantara., bahkan luar negeri sekalipun.
Bermacam alasan yang menyertainya. Ada
karena alasan karir, namun ada pula dengan
alasan pulang kampung dan melanjutkan
studi. Kebutuhan wadah para lulusan tadi
kini sudah difasilitasi dengan adanya Ikatan
Keluarga Alumni UII (IKA UII). Sebuah forum untuk alumni yang rindu dengan
kehidupan kampus ataupun alumni yang ingin "pulang kampus".Tempat ngumpulnya
alumni kira-kira begitu. Jaringan alumni yang terpisah jarak dan waktu terkadang
menjadi kendala ketika dibutuhkan untuk sekedar ngumpul bareng ataupun kongkowkongkow. Kesibukan masing-masing pribadi juga sudah pasti akan menghambat. Upaya
merangkul para alumni itupun menjadi sulit (sengaja saya tidak menggunakan kata
"menjaring" karena terkesan menjadi objek pasif, sehingga saya lebih memilih kata
"merangkul" karena ada kedudukan yang seimbang). Di zaman modern seperti ini, hal
tersebut sudah tidak menjadi persoalan yang besar sebab sudah berkembangnya teknologi
informasi yang ada.
J.B. Wahyudi mendefinisikan teknologi informasi (TI) sebagai teknologi
elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi,
serta percepatan arus informasi ini tidak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.
Berkat TI, informasi yang dinyatakan di sembarang tempat pada detik itu juga dapat
dipantau di tempat lain meskipun tempat itu berada di belahan bumi yang lain, bahkan di
ruang angkasa (J.B. Wahyudi, 1992). Berkembang pesatnya situs jejaring sosial seperti
twitter dan facebook sebagai produk TI memang lebih memudahkan kita dalam
"bertemu" dengan seseorang. Jejaring sosial seperti itu mendekatkan yang jauh,
ironisnya seringkali menjauhkan yang dekat.
TI dapat dimanfaatkan sebagai media baru para alumni untuk mempererat
silaturahmi (perlu diketahui, saat ini UII sudah memanfaatkan hal tersebut untuk
mengumpulkan para lulusannya, hanya saja belum maksimal pengelolaannya). Meskipun
suasana silaturahmi yang dibangun terasa lebih kental pada alumni yang seangkatan atau
sefakultas. Hal ini wajar karena secara psikologis mereka mempunyai jalan cerita yang
hampir serupa sehingga akan membangkitkan memori masa lalu. Tapi, untuk
permasalahan yang lebih kompleks dan urgent, para alumni yang lain dapat dilibatkan
sebagai problem solver, setidaknya memberi saran. Inilah pentingnya pertemuan. Bukan
sekedar cerita, canda, ataupun ngobrol semata. Akan tetapi memberi informasi-informasi
terkait keadaan lapangan atau saran untuk kemajuan almamater seperti yang telah
diutarakan di atas melalui dunia maya tentu saja, entah itu jejaring sosial, blog, atau
bahkan grup diskusi. Kalau perlu diadakan semacam arisan lewat internet beberapa bulan
sekali.
Sumber Referensi:





Supardi et al (ed.). 1997. Setengah Abad UII: Sejarah Perkembangan Universitas
Islam Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Wahyudi, J. B. 1992. Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
http://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen/
http://www.alumni-uii.co.cc/
http://ikatanalumniuii.multiply.com/
Download