JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA ISSN : 2085 – 0328 KONSTRUKSI IDENTITAS SUPORTER SEPAKBOLA DI INDONESIA (Studi kasus pada Kelompok Suporter The Jakmania) Yovita Sabarina Sitepu1 dan Fransiska Desiana Setyaningsih2 Fakultas FISIP Universitas Sumatera Utara ABSTRACT Focus of this research is to describe how the member of Persija FC’s supporter constructing their identities before and after they become the member of The Jakmania. Case study method is used with multi case-single level analysis design. It is found that, in each of three informants’ self, the changing of identities are really happened. One of the changing identities about for example is their social status after they have joined with The Jakmania. In the beginning, before they join with The Jakmania, people did not pay attention to them. It was because their low socio-economic status. Now, after joined The Jakmania, they have their own ingroup that strengthen their individual identity. Keywords: identity’s construction, the jakmania, supporter, football. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 60 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA PENDAHULUAN Manusia dapat dibedakan dari hewan atau binatang karena manusia dapat berpikir. Kemampuan berpikir manusia berkembang pada masa kanak-kanak dan terus dipoles selama bersosialisasi di masa dewasa. Oleh karena bersosialisasi maka manusia disebut mahkluk sosial. Seorang aktor melakukan interaksi dua arah selama proses sosialisasi. Ia tidak hanya menerima informasi, namun juga membangun dan memanfaatkan informasi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam proses interaksi, informasi dalam bentuk simbolsimbol dipertukarkan. Manusia dicitrakan sebagai animal symbolicum, makluk yang mencari makna, mengenali dirinya dalam simbol-simbol. Manusia umumnya lebih menyukai untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan dalam hal latar belakang sosial, pendidikan, kesenangan atau hobi dan lain sebagainya. Kesamaan dalam hal hobi seperti misalnya sepakbola membuat manusia mau berinteraksi dengan lebih dekat dan intens. Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang memiliki banyak penggemar, pria-wanita, tua-muda, kalangan atas maupun bawah. Semua berbaur ketika membela tim kesayangan mereka yang sedang bertanding. Kecintaan yang sama terhadap sebuah tim sepakbola dan interaksi yang terus menerus diantara pendukungnya, akhirnya melahirkan kelompok-kelompok pendukung tim sepakbola (supporter). Beberapa klub suporter yang terkenal antara lain: The Jakmania (suporter Persija Jakarta), The Viking (Bobotoh Persib Bandung), Bonek (Bondo Nekat Persebaya Surabaya), Kampak Medan (suporter PSMS Medan), Aremania (suporter Arema Malang) dan yang lainnya. Selain memiliki julukan masingmasing, suporter-suporter tersebut juga bisa dibedakan melalui warna atribut yang dipergunakan. Misalnya, suporter Persija dengan warna orange, suporter Persib ISSN : 2085 – 0328 dengan warna biru, suporter Persebaya dan PSMS dengan warna hijau dan sebagainya. The Jakmania, salah satu suporter sepakbola berdiri sejak bergulirnya Liga Indonesia LIGINA IV, tepatnya pada tanggal 19 Desember 1997 dan bermarkas di Stadion Menteng pada waktu itu. Kehadiran The Jakmania juga didukung oleh gubernur Jakarta pada saat itu, Sutiyoso. Awalnya anggota The Jakmania hanya sekitar 100 orang namun hingga tahun 2006 anggota The Jakmania sudah mencapai 30.000 orang lebih. The Jakmania menggunakan simbolsimbol verbal dan nonverbal ketika berinteraksi satu sama lain. Simbol-simbol yang digunakan antara lain: warna orange yang menghiasi benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari (tas, gelang, stiker, baju, topi dan sebagainya), jari telunjuk dan jempol yang melambangkan huruf J (The Jakmania atau Jakarta), mars The Jakmania, lagu-lagu dan sebagainya. Meskipun The Jakmania mendukung fair play, namun tindakan fair play diantara suporter jarang terjadi. Banyak pemberitaan melalui media massa yang menyoroti perilaku negatif yang dilakukan The Jakmania. Perkelahian antara The Jakmania dengan suporter Persipura Jayapura pada pertandingan semifinal Copa Indonesia, Januari 2008 lalu menjadi salah satu tindakan yang jauh dari istilah fair play. Saling lempar dan kejar-kejaran antar Kabomania (suporter Persikabo Bogor) dan The Jakmania (suporter Persija Jakarta) terjadi saat Persikabo akan menjamu Persija dalam pertandingan persahabatan di Stadion Cibinong Bogor pada 27 Desember 2008 (www.okezone.com). Bentrokan ini terjadi ketika ribuan Kabomania menghadang kedatangan The Jakmania. Akibat bentrokan ini, ruas Jalan Raya Bogor, Cibinong macet (www.okezone.com). Tawuran antar kedua suporter ini kembali terjadi saat Kabomania hendak berangkat ke stadion Persikabo di Cibinong untuk menyaksikan PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 61 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA pertandingan sepakbola. Kabomania dihadang puluhan The Jakmania sehingga perang batu antar kedua kelompok tersebut tidak dapat dihindari. Seorang Kabomania menyebutkan bahwa bentrokan ini terjadi mungkin diakibatkan dendam akibat tawuran minggu sebelumnya (Pikiran Rakyat Online). Perkelahian antara kelompok pendukung tim sepakbola menjadi momok bagi masyarakat umum, terutama ketika wilayah mereka dilalui para suporter tersebut. Misalnya, ketika rombongan suporter sepakbola yang menggunakan angkutan umum berbondong-bondong menuju tempat pertandingan dan melewati ruas jalan umum, maka warga masyarakat pengguna jalan atau mereka yang berada di sekitar jalan yang dilewati tersebut merasa perlu berhati-hati. Dari data awal yang diperoleh, disebutkan bahwa tidak sedikit anggota The Jakmania yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan mereka sangat membutuhkan hiburan. Di sisi lain, mereka juga memiliki perasaan dinomortigakan dan merasa dipandang sebelah mata oleh masyarakat serta terbiasa mengalami tekanan hidup yang berat dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan mereka sangat sensitif dengan hal-hal yang bisa menyinggung perasaan dan tentu saja menjadikan mereka sangat mudah terpancing emosi. Tidak dipungkiri lagi, kondisi ini juga menjadi salah satu alasan atau pemicu mudahnya terjadi tawuran antar suporter (www.youtube.com/hardline-jakmania). Salah seorang sosiolog seperti yang dikutip berikut ini memberikan pendapat mengenai suporter sepakbola, dimana menurutnya, letusan kerusuhan itu mungkin saja berawal dari saling teriak dan mengejek secara frontal. Lama-lama terbawa arus emosi, individu itu pun makin lama kian berani tindakannya. Mulailah mereka saling gasak lawan termasuk pasukan pengaman. Lemparan benda keras, pukulan tangan kosong dan pakai alat, sulutan api dan terakhir ini ISSN : 2085 – 0328 pakai letusan senjata api. Kalau sudah terjadi peristiwa chaos ini, situasi yang chaotic itu pun menjadi ajang perilaku individu berkepribadian ngawur (Kompas Cyber Media). Dalam buku klasik War without Weapon (1968), tertuang berbagai kasus ”perang zonder senjata” di arena olahraga dunia. Goodhart dan Chataway menulis: ”anak-anak muda pendukung tim sepakbola, sepertinya mencari identitas kelompok dan dirinya. Sepakbola yang sudah menjadi budaya umum, memperlihatkan kaitannya dengan kelas sosial suatu masyarakat, bangsa dan negara. Sport di abad XX mendorong banyak orang untuk berolahraga untuk melarikan diri dari kejenuhan kompleksitas permasalahan, juga melawan rasa keterpencilan dirinya dari pergaulan umum. Bersepakbola atau penggembira, rupanya dianggap cocok dan membanggakan”. Menurut Jay J. Coakley (1986), sepakbola sebagai olahraga yang banyak penggemarnya dapat diamati melalui fokus perhatiannya, yakni : 1. Fokus perhatian mengenai fungsi-fungsi positif sepakbola dalam kehidupan masyarakat 2. Fokus perhatian pada konsekuensi negatif sepakbola, yang menggiring pada kesimpulan bahwa sepakbola adalah candu (football is opiate), karena olahraga ini bisa meredam atau memanipulasi kesadaran-kesadaran orang dari masalah yang dihadapinya. Karena dapat menghilangkan kesadaran orang, sepakbola juga bisa menjadi salah satu faktor pemicu konflik dan disintegrasi. Karena sepakbola, tidak sedikit keributan dan tawuran yang terjadi, baik sesama pemain maupun antarsuporter kesebelasan. Kekecewaan karena kalah dari pertandingan sepakbola kemudian memicu kerusuhan massal dan perkelahian. Fanatisme suporter yang ditambah dengan tindakan anarkis dan brutal telah melahirkan kosakata baru dalam dunia sepakbola, holliganism. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 62 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA 3. Fokus perhatian pada kemungkinan-kemungkinan lain bahwa sepakbola lebih dari sekedar sebuah refleksi masyarakat yang sederhana (football is more than simply reflection of society), yang dengan olahraga itu masyarakat bisa eksis. Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa sepakbola adalah sebuah bagian kehidupan sosial yang diciptakan oleh masyarakat sebagai suatu ekspresi dari kepentingan, sumberdaya dan hubungan yang mereka miliki (www.kompas.com). Penelitian menggunakan teori Interaksionisme Simbolik yang digunakan untuk mengaji sebuah kelompok juga pernah dilakukan oleh mahasiswi jurusan Sosiologi, FISIP Univeristas Sebelas Maret, Ika Megawati Sebayang dalam skripsinya yang berjudul “Identitas dan Citra Diri Kaum Gay di Kota Surakarta.” Penelitian ini merupakan studi interpretatif untuk menggali proses identifikasi dan pemaknaan identitas seksual kaum gay. Peneliti menggunakan teori Interaksionisme Simbolik dan Dramaturgi untuk mengupas hasil penelitian. Dalam studi ini diperoleh tiga informan sebagai sumber data primer, masing-masing: Dani (29 th), Santos (21 th) dan Maman (36 th). Penelitian ini membuktikan bahwa manusia adalah aktor yang dinamis, kreatif dan selalu menjadi individu baru setiap saat. Hal ini karena individu selalu mereproduksi makna baru setiap kali berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Begitu pula dengan makna identitas seksual bagi setiap individu gay yang selalu dinamis berkembang sesuai dengan perkembangan informasi yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sosialnya. Dengan begitu proporsi, seberapa banyak pergaulan seorang gay dengan komunitas gay atau lingkungan heteroseksual, akan memengaruhi bagaimana pemaknaannya terhadap identitas seksualnya dan perilakunya berkenaan dengan identitas tersebut (www.fisip.uns.ac.id). ISSN : 2085 – 0328 Perumusan Masalah Keberadaan suporter sepakbola seperti The Jakmania memang memberikan warna tersendiri dalam setiap pertandingan terutama saat tim kesayangan mereka, Persija Jakarta, bertanding. Dalam keseharian hidupnya anggota The Jakmania ternyata tidak melepaskan atribut keanggotaan kelompoknya tersebut. Atribut-atribut The Jakmania yang mereka kenakan selain menunjukkan kecintaan yang besar dengan kelompok mereka, juga sebagai bentuk komunikasi dengan anggota The Jakmania lainnya. Bagi sebagian besar anggota yang berasal dari kelas sosial bawah, The Jakmania bisa menjadi tempat di mana mereka diakui keberadaannya di masyarakat. Berangkat dari latar belakang ini maka fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana anggota The Jakmania mengonstruksi identitas? Bagaimana perubahan identitas sebelum dan sesudah bergabung ke dalam The Jakmania? Bagaimana kontribusi identitas sebagai anggota The Jakmania dalam mendorong perilaku fanatisme berlebihan? Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahannya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : a. Menggambarkan konstruksi identitas anggota The Jakmania. b. Menemukan perubahan identitas sebelum dan sesudah bergabung ke dalam The Jakmania. c. Mengungkapkan alasan perilaku fanatisme berlebihan terkait dengan keanggotaan kelompok. Kerangka Pemikiran Teori Interaksionisme Simbolik Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian adalah teori Interaksionisme Simbolik. Teori yang dicetuskan George Herbert Mead ini sangat mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol. Mead menyatakan bahwa orang bertindak PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 63 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi yang pada akhirnya membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial. Dengan kata lain, teori ini mendasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Ada tujuh asumsi dalam Teori Interaksionisme Simbolik, yaitu (West & Turner, 2008: 104): 1) Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka. 2) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. 3) Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif. 4) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. 5) Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku. 6) Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. 7) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Ralph LaRossa dan Donald C. Reitzes (1993) kemudian mengatakan bahwa tujuh prinsip-prinsip dasar tersebut memperlihatkan tiga tema besar: Pentingnya makna bagi perilaku manusia. Individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Perlu konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Tujuan dari teori ini adalah untuk menciptakan makna yang sama. Pentingnya mengenai konsep diri. Konsep diri (self concept) adalah seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Karakteristik yang berkaitan dengan ciri-ciri fisik, ISSN : 2085 – 0328 peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan dan keterbatasan sosial, intelektualitas, pada akhirnya akan membentuk konsep diri seseorang. Dua asumsi tambahan menurut LaRossa dan Reitzes, yaitu: individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain; dan konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat memengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menengahi asumsi sebelumnya yang mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Dengan demikian para partisipan dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut, sebab manusia adalah pembuat pilihan. Berdasarkan pemikiran Mead ada tiga konsep penting dalam Teori Interaksi Simbolik yaitu Mind, Self dan Society. Mind Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bahasa adalah sebuah sistem simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Bahasa menurut Mead adalah simbol siginfikan, PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 64 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang. Dalam konsep pikiran, terdapat konsep pemikiran (thought), yang dinyatakan oleh Mead sebagai percakapan di dalam diri sendiri. Salah satu aktivitas penting yang diselesaikan melalui pikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain. Self Mead mendefinisikan self sebagai kemampuan merefleksikan diri sendiri dari perspektif orang lain. Mead meminjam konsep Looking-glass self dari Charles Cooley, yaitu kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Tiga prinsip pengembangan yang dikaitkan dengan cermin diri: (1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; (2) kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; (3) kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini (West & Turner, 2008: 106). Pada konsep mengenai diri, Mead juga mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subyek dan obyek bagi dirinya sendiri. Sebagai subyek, kita bertindak, dan sebagai obyek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subyek atau diri yang bertindak sebagai “I” dan obyek, atau diri yang mengamati adalah “Me”. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. Jadi, Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me. Society Mead mendefinisikan masyarakat (society) sebagai jejaring hubungan sosial ISSN : 2085 – 0328 yang diciptakan manusia. Individuindividu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu (West & Turner, 2008: 107). Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang memengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus (particular others) merujuk pada individuindividu yang signifikan bagi kita. Orangorang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja serta supervisor. Kita melihat particular others untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan dan rasa mengenai diri kita. Identitas dari particular others memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai kita. Seringkali pengharapan dari beberapa particular others mengalami konflik dengan orang lainnya. Konsep mengenai orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan masyarakat kepada kita dan “sikap dari generalized other adalah sikap dari keseluruhan komunitas.” Generalized other memberikan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Generalized other juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. Generalized other dapat membantu dalam menengahi konflik yang muncul oleh kelompok-kelompok orang lain secara khusus yang berkonflik. Identitas Identitas merujuk pada jatidiri seseorang dan seseorang memerlukan identitas agar dapat memberinya sense of belonging yang kemudian dapat menjamin keberadaan dirinya. Identitas dibentuk oleh PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 65 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA proses sosial dan ia merupakan fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Alo Liliweri menyatakan identitas dihasilkan oleh negosiasi melalui media yakni media bahasa (Zuniar, 2007: 27). Dalam situasi tertentu kita mungkin sadar atau tidak bahwa identitas memengaruhi perilaku kita. Kendati kita mungkin tidak sadar bahwa identitas memengaruhi perilaku kita, kita bertindak seolah-olah sebuah identitas yang jelas memandu perilaku kita (R.H. Turner dalam Gudykunts & Yun Kim, 1997: 29). Identitas kita dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar: manusiawi (human), sosial dan personal (J. C. Turner dalam Gudykunst & Yun Kim, 1997). Identitas human kita mencakup pandangan-pandangan mengenai diri kita yang kita yakini kita bagikan dengan manusia lainnya. “Jika kita tidak menyadari kemanusiaan kita dalam orang lain, kita sepatutnya tidak menyadarinya dalam diri kita” (Fuentes dalam Gudykunst & Yun Kim, 1997). Identitas sosial mencakup pandangan mengenai diri kita yang kita asumsikan kita bagikan dengan anggota ingroups kita. Identitas sosial bisa berdasarkan peran yang kita mainkan, seperti murid, profesor, atau orang tua; kategori demografi di mana kita dicirikan menurut kewarganegaraan, etnisitas, gender, atau usia; dan keanggotaan kita dalam organisasi formal dan informal, seperti partai politik, organisasi voluntir, atau klub sosial. Identitas personal mencakup pandangan tentang diri kita yang membedakan kita dari anggota lain ingroups kita – karakteristik yang menggambarkan kita sebagai individu yang unik. Karakteristik kepribadian merupakan bagian dari identitas personal, seperti: rajin, menarik, perduli/penyayang, dan lain sebagainya. Identitas kita yang berbeda memengaruhi perilaku kita dalam situasi yang berbeda (Gudykunst & Yun Kim, 1997: 29-30). ISSN : 2085 – 0328 Pengotakan yang terjadi terhadap identitas, baik human, sosial, maupun personal pada akhirnya akan memberikan sense of identity yang membuat para anggotanya merasa berbeda dan memiliki kelebihan atau keistimewaan dibandingkan dengan anggota kelompok di luar kelompok mereka (outgroups). Perasaan ini pada akhirnya membuat setiap kelompok ingin diakui keberadaannya di tengah masyarakat dan menjadi center of the universe (Khisbiyah, http://psbps.org). METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian Peneliti memilih menggunakan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini guna menggambarkan bagaimana individu mengkonstruksi identitas diri dengan kelompok rujukannya. Konstruktivisme merupakan suatu paradigma yang melihat bagaimana suatu realitas dikonstruksi, sebab paradigma ini beranggapan bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Oleh karena itu, suatu realitas yang diamati tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang. Melalui paradigma konstruktivisme, penelitian ini berusaha merefleksikan suatu realitas sosial sesuai dengan penghayatan subyek-subyek yang terlibat dalam realitas itu sendiri. Realitas tampil sebagai konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan studi kasus untuk mendapatkan konteks dan menjadikan individu sebagai fokus penelitian dengan melihat pengalaman keseharian mereka. Studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Bentuk studi kasus yang dipilih adalah intrinsic case studi, yang dilakukan PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 66 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus tertentu. Dengan kata lain, melalui intrinsic case studi, peneliti ingin mengetahui secara instrinsik mengenai fenomena, keteraturan dan kekhususan suatu kasus, bukan untuk alasan eksternal lainnya. Desain multi-case single level dilakukan terhadap informan penelitian. Multi-case single level sendiri merupakan studi kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan satu masalah. Teknik Pemilihan Informan Penelitian ini menggunakan istilah informan sebagai narasumber untuk membedakan istilah subyek dalam penelitian kuantitatif. Informan dalam penelitian ini adalah anggota aktif The Jakmania dengan pertimbangan: 1. Penelitian mengenai konstruksi identitas bisa dilihat salah satunya dengan interaksi informan dengan sesama anggota The Jakmania. 2. Bila informan bukan sebagai anggota aktif The Jakmania, maka ada kemungkinan dalam kesehariannya ia tidak terlalu memperhatikan penggunaan atribut-atribut The Jakmania. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, sebab wilayah ini mempunyai komposisi penduduk yang heterogen. Selain itu sebagian besar pecinta sepakbola di wilayah ini merupakan anggota The Jakmania (suporter Persija). Penetapan usia informan antara 18-30 tahun dengan pemikiran bahwa usia tersebut merupakan usia di mana informan berada dalam masa produktif (aktif terlibat dalam sebuah organisasi atau kelompok). Sedangkan pemilihan informan dalam pemilihan ini didasarkan pada teknik purposeful random sampling. Hal ini bertujuan agar informan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan (kredibel) berkaitan dengan masalah yang diteliti, walaupun tidak mewakili keseluruhan populasi (representatif). ISSN : 2085 – 0328 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dari para informan dilakukan melalui wawancara. Wawancara sendiri adalah percakapan antara peneliti dan informan yakni seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting mengenai suatu obyek (Berger, 2000:111). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang permasalahan penelitian. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang tidak terstruktur tetapi mengacu pada pedoman wawancara yang telah disiapkan peneliti. Metode wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam. Pada wawancara mendalam, sampel yang digunakan terbatas di mana jika data yang dibutuhkan dirasa sudah mencukupi maka tidak perlu mencari informan yang lain. Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga melakukan observasi lapangan untuk mengumpulkan data. Observasi difokuskan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena riset, yang mencakup interaksi dan percakapan yang terjadi antara subyek yang diteliti. Dengan demikian, selain perilaku nonverbal juga mencakup perilaku verbal dari individu yang diamati. Dalam penelitian ini, peneliti memosisikan diri sebagai partisipan (observer as participant) di mana peneliti adalah orang luar yang netral, yang mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam kelompok dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tersebut sambil melakukan pengamatan. Metode Analisis Data Pada tahap analisis data, peneliti ”membaca” data dengan melakukan proses pengodingan, yang mencakup proses mengatur data, mengorganisasikan data dalam suatu pola kategori. Maleong (2000:103) mendefinisikan analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 67 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Dalam analisis data, peneliti melakukan (1) open coding, (2) axial coding dan (3) selective coding. Open coding merupakan proses pengidentifikasian kategori dan dimensinya. Data-data yang diperoleh kemudian diberi label, dipilah dan dicatat, sehingga data-data tersebut kemudian dapat dijadikan konsep yang pada akhirnya bisa dikelompokkan dalam kategorikategori tertentu. Axial coding merupakan pengorganisasian data melalui pengembangan hubungan (koneksi) diantara kategori dan sub kategori. Selective coding merupakan seleksi kategori yang paling mendasar karena dihubungkan dengan kategori lain untuk menyusun story line, yang kemudian divalidasi. Sehingga dalam selective coding, peneliti menyajikan konseptualisasi cerita, menghubungkan kategori pendukung dengan kategori inti menggunakan paradigma, menghubungkan kategori berdasarkan dimensinya, menvalidasi kategori yang diperoleh dari tahapan sebelumnya dengan menggunakan data, dan melengkapi kategori yang memerlukan perbaikan atau pengembangan. Interpretasi Data Interpretasi data merupakan suatu proses memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensidimensi uraian (Kriyantono, 2007:163). Dalam penelitian ini, interpretasi data dilakukan untuk mencari makna yang lebih luas dan lebih mendalam mengenai konstruksi identitas anggota The Jakmania dan perbedaan identitas diri saat berada di dalam dan di luar kelompok. Tujuan melakukan interpretasi data adalah : 1. Menegakkan keseimbangan hasil penemuan penelitian, menghubungkan hasil penelitian dengan penemuan lain mengenai masalah serupa, dan; ISSN : 2085 – 0328 2. Menghasilkan konsep yang menerangkan mengenai konstruksi identitas anggota The Jakmania dan perbedaan identitas diri saat berada di dalam dan di luar kelompok. Goodness Criteria Lincoln dan Guba (1986) menyebutkan ”kredibilitas” sebagai analogi bagi validitas internal, transferability sebagai analogi bagi validitas eksternal, dependability sebagai analogi untuk reliabilitas dan confirmability sebagai analogi untuk obyektivitas. Hal-hal tersebut dikenal juga sebagai trustworthiness (Patton, 2002:546). Trustworthiness ini diuji melalui credibility subyek, dengan menguji jawaban-jawaban pertanyaan berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan mereka. Kemudian menguji authenticity, yaitu peneliti memberi kesempatan dan memfasilitasi pengungkapan konstruksi personal yang lebih detail. Selanjutnya, peneliti melakukan metode triangulasi yang dilakukan melalui cara pengecekan silang (cross validation) atas data yang diperoleh. Ada tiga cara, yaitu (Sugiyono dalam Priyambodo, 2008: 32-33): 1. Triangulasi sumber. Informasi dan data yang diperoleh dari satu sumber dicek ulang melalui beberapa sumber lain. Dalam penelitian ini misalnya Informan 1 memberikan informasi mengenai masalah tawuran, maka informasi yang sama dicek kembali pada Informan 2 dan 3 untuk memastikan apakah terdapat kesamaan pandangan mengenai hal tersebut. 2. Triangulasi teknik. Uji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Bila ada informasi yang inkonsisten, maka penggalian ulang dengan teknik yang berbeda akan dilakukan terhadap informan yang sama. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 68 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA 3. Triangulasi waktu. Data diuji dengan melakukan penggalian ulang pada waktu yang berbeda. Informasi yang diperoleh pada saat berada di markas (outlet), rumah, mungkin berbeda dengan yang diperoleh ketika berada di ruang publik. Studi kasus, temuan dan laporan para konstruktivis sosial diinformasikan secara eksplisit melalui perhatian pada praksis dan refleksivitas, yaitu memahami bagaimana pengalaman pribadi seseorang dan latar belakangnya mempengaruhi apa yang ia yakini dan bagaimana seseorang bertindak di dunia, termasuk tindakan mencari (Patton, 2002:546). Keterbatasan Penelitian Tujuan penelitian hanyalah untuk mengetahui proses dan menggambarkan terbentuknya identitas pada informan sebelum dan sesudah mereka masuk menjadi anggota The Jakmania. Analisis dalam penelitian ini adalah interpretasi subyektif peneliti sehingga tafsirantafsiran yang ada bersifat terbatas. Sementara itu, penelitian ini juga memungkinkan adanya tafsiran-tafsiran lain. Peneliti tidak mungkin merangkum seluruh interpretasi karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Selain itu, peneliti belum mampu mengikuti seluruh aktivitas informan selama sehari penuh untuk lebih melihat pola interaksi diantara sesama anggota The Jakmania. Temuan dan Diskusi Latar Belakang Informan Dalam penelitian ini dipilih tiga orang informan dengan latar belakang sebagai berikut: Informan 1 merupakan salah satu Koordinator Wilayah (Korwil) The Jakmania untuk wilayah Utan Kayu dan sekitarnya. Sebagai Korwil, anak ketiga dari empat bersaudara (2 laki-laki, 2 perempuan) ini termasuk masih muda (lahir di Jakarta, 19 September 1986). Untuk menunjukkan kebanggaannya ISSN : 2085 – 0328 menjadi anggota The Jakmania, sebuah tato kepala Macan Kemayoran dirajah pada pundak belakang bagian kiri atas, yang dilengkapi dengan tulisan “Persija Sampe Mati”. Tamatan SMU ini juga rela keluar dari pekerjaan sebelumnya untuk mendukung Persija. Informan 1 merupakan orang Betawi asli. Informan 2 pada saat ini duduk di bagian Litbang Jakmania pusat yang bermarkas di Stadion Lebak Bulus. Anak bungsu dari sepuluh bersaudara (6 lakilaki, 4 perempuan) ini pernah kuliah selama 1 tahun sebelum akhirnya keluar karena tidak ada biaya dan terlibat narkoba. Informan sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak laki-laki. Pria berkulit sawo matang dan berusia 30 tahun ini juga bekerja sebagai anggota Dewan Kelurahan Utan Kayu. Pada awal pertemuan ia hanya memperlihatkan sebuah tato di betis kanan bawah sebelah luar yang bergambar kepala Macan Kemayoran dan bertuliskan “The Jakmania Marhaenis”. Pada pertemuan kedua, informan menunjukkan bahwa ternyata ia punya lebih dari satu tato. Ia memiliki 5 buah tato. Tato bertuliskan “212” di pangkal lengan kiri sebelah dalam, gambar labu hallowen di betis kiri sebelah luar, dan gambar wajah anak laki-laki sulungnya di lengan sebelah kiri. Informan 2 merupakan orang Betawi. Informan 3 saat ini masih terdaftar sebagai pelajar STM di daerah Tanjung Priok. Informan juga aktif sebagai anggota The Jakmani, tetapi di satu sisi ia juga menjadi anggota tim sepakbola U17 Persitara (Jakarta Utara). Pria berusia 16 tahun ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (2 laki-laki, 1 perempuan). Informan 3 berasal dari suku Jawa. Konstruksi Identitas Anggota The Jakmania Istilah konstruksi identitas dalam penelitian ini adalah membangun sebuah identitas melalui interaksi individu dengan orang lain di dalam kelompok, yang pada akhirnya membentuk identitas baru bagi PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 69 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA anggota kelompok tersebut, dalam hal ini adalah anggota The Jakmania. Konstruksi identitas bisa terbentuk dari berbagai macam hal. Identitas ada yang melekat atau idiosinkratik (identitas personal) seperti gender, ciri khas fisik, dan sebagainya. Selain identitas yang melekat juga ada identitas sosial yang merupakan hasil negosiasi melalui media bahasa. ISSN : 2085 – 0328 Pernyataan informan 2 diperkuat oleh informan 3 sebagai berikut: “Awalnya ya..kakak, kakak lumayan dia penggemar Persija juga kan, dia sejak tahun 97, dia sama teman-temannya jalan. Ya..sejak tahun 2000 itu gua diajak jalan ke Lebak Bulus. Waktu itu gua masih kecil..masih SD.” Konstruksi Identitas Ketiga informan kemudian memutuskan untuk bergabung dalam kelompok TJm yang dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Faktor-faktor itu berupa hobi terhadap sepakbola, dukungan dari keluarga dan teman, pandangan dari masyarakat sekitar terhadap diri mereka. Keluarga dan teman merupakan particular others yang membantu ketiga informan dalam membentuk pemahaman mengenai diri mereka yang menyukai sepakbola, seperti yang dikatakan oleh Informan 1 mengenai peranan temannya: “...dulu nonton, nonton, dulu nonton yang cuma berdua doang ama kawan, sekarang kawannya juga masih nonton juga, nonton berdua ama kawan, lamalama kan lama-lama ada ngikut kawan lagi kawan lagi banyak, kan..” Dari pernyataan ketiga informan di atas, terlihat bahwa peran dari particular others sangat kuat dalam membentuk pemahaman diri informan terhadap sepakbola. Dan peristiwa yang mereka alami tersebut pada akhirnya membawa mereka bergabung ke dalam kelompok TJm. Sementara itu, lingkungan eksternal (society) berupa media massa tertutama televisi, pandangan dari masyarakat sekitar merupakan generalized others yang memberikan informasi mengenai peranan, aturan dan sikap yang dimiliki bersama oleh TJm. Pada kasus ini misalnya, informan 2 menyatakan bagaimana lingkungan membatasi dirinya untuk dapat mengaktualisasikan diri dan pertanyaanpertanyaan yang menyinggung status sosialnya, yakni: “gue sendiri akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke organisasi suporter karena memang kebutuhan. Dan juga sekaligus tempat aktualisasi diri, karena karang taruna mati..Geng sepeda, gue ga punya sepeda..Gue memutuskan tempat aktualisasi diri gue ya di bola..Gue paling empet kalo kenalan sama cewek, selalu ditanyain 3 hal, nama, rumah dan sekolah di mana. Dan gue ga bisa menjawab soal itu. Nah makanya gue butuh status sosial untuk bisa ngejawab. Kan kita jadi minder gitu kan kalo ditanya....” Sementara itu, informan 2 menceritakan bagaimana peran keluarganya: “Kalo nonton ke stadion sih sama bokap, dari SMP....Kakak gue, abang gue..itu pelatih gue sepakbola.” Informan 3 menyatakan pengaruh media massa terhadap ketertarikannya dengan sepakbola terutama Persija yaitu sebagai berikut: “Udah suka sih...dari layar kaca..dari tv.” Identitas Sebelum Masuk TJm Sebelum bergabung dalam TJm, ketiga informan merupakan penggemar sepakbola dan suka menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion maupun melalui layar kaca. Informan 1 bekerja sebagai pegawai sebuah hotel di Jakarta. Informan 2 dikenal sebagai mantan pemain Persigawa dan juga sebagai mantan pemakai serta pengedar narkoba. Informan 3 dikenal sebagai seorang pelajar. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 70 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA Pada saat berinteraksi dengan particular others dan generalized other, masing-masing informan menggunakan pikiran (mind) misalnya menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu (Betawi, Jawa), dan juga melalui proses pemikiran (thought) misalnya ketika ingin menonton sepakbola dan ikut bergabung ke dalam TJm. Aktivitas pengambilan peran (role taking) tampak pada saat informan 2 menyatakan rasa minder saat ditanya soal nama, rumah dan sekolah di mana. Di sini, informan melihat dirinya dari perspektif seorang perempuan ketika memandang seorang pria yang tidak bersekolah dan status sosialnya tidak jelas. Perasaan minder yang dialami informan 2 juga sesuai dengan tahapan yang ada pada konsep looking glass self, di mana ia melalui tahapan mencoba membayangkan bagaimana dirinya terlihat di mata orang lain (terutama perempuan yang bertanya mengenai kondisi latar belakangnya), membayangkan penilaian mereka mengenai penampilannya, dan kemudian ia merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Untuk kasus pertanyaan mengenai latar belakang dirinya ini, informan merasa tersakiti sehingga muncul rasa minder. Proses pengambilan peran (role taking) juga memungkinkan informan 2 mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain dalam hal ini anggota TJm, seperti yang dinyatakan berikut ini: “...makanya gue bikin outlet itu semangatnya bukan bisnis tapi pemberdayaan. Karena gue pengen semua ngerasain itu. Karena gue tau susahnya sekolah, ampe mau kuliah aja susah banget...” Pernyataan ini juga dikuatkan oleh informan 1 seperti berikut ini: ISSN : 2085 – 0328 “....ini juga lagi konsep juga nih..konsep buat koperasi, mau bikin koperasi (simpan pinjam)..” Setelah ketiga informan bergabung sebagai anggota TJm, mereka saling berinteraksi untuk mengembangkan pikiran (mind) agar dapat menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Simbol yang biasa digunakan berupa simbol verbal dan nonverbal yang kemudian dilanggengkan dan menjadi ciri khas atau identitas bagi setiap anggota TJm. Simbol verbal seperti: sapaan “bro” kepada sesama anggota, lagu-lagu atau yel-yel yang dinyanyikan saat menyaksikan pertandingan. Sedangkan simbol nonverbal seperti: posisi ibu jari dan jari telunjuk yang membentuk huruf “J”, pakaian dan asesoris yang dominan berwarna orange dan selalu bertemakan TJm atau Persija, tato kepala Macan Kemayoran, salaman ala barat, panggilan yang berdasarkan jabatan. Terkait dengan panggilan berdasarkan jabatan, informan 1 mengatakan: “....Iya nih, gara-gara gue Korwil, makanya dipanggil “wil..wil.” Informan 2 menjelaskan arti simbol yang digunakan oleh anggota TJm, sebagai berikut: “Jakarta...J..Orens, orens kan warnanya Jakarta. Simbol-simbol yang mencerminkan warga Jakarta, Betawi pasti dipake. Kayak Macan Kemayoran..Benyamin Sueb yang namanama film-nya dipake jadi nama outlet. Lagu-lagu The Jak banyak berisi sindiran” Pemakaian atribut TJm setiap hari dipertegas oleh informan 3 yang menyatakan: “Hampir setiap hari.....iya...emank karena bangga.” PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 71 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA Menjadi anggota TJm dan interaksi yang dilakukan secara terus menerus di antara sesama anggota akhirnya membentuk konsep diri anggotanya, dan ditambah dengan atribut-atribut yang dikenakan akhirnya memberikan identitas baru bagi anggota-anggota TJm. Konsep diri yang dimiliki oleh ketiga informan dalam penelitian ini hampir sama. Hal ini terlihat dari pengamatan peneliti dan pernyataan yang diberikan oleh sesama anggota TJm, yaitu informan 2. “Gue sih orangnya serius santai aja..Demennya, demen gaul aja...” Konsep diri para anggota TJm juga mendapat pengaruh dari beberapa tokoh (generalized other) yang mereka anggap sebagai orang yang berasal dari, bisa membebaskan dan memperjuangkan rakyat kecil. Munculnya tokoh-tokoh seperti Benyamin Soeb, Che Guevara, Soekarno, bahkan Bob Sadino ini juga dikarenakan kecintaan mereka terhadap pencapaian tokoh-tokoh tersebut. Identitas Sesudah Masuk TJm Para anggota TJm bisa langsung dikenali dari atribut terutama pakaian yang berwarna orange dan salam “J” yang menjadi ciri khas mereka dan selalu dipertukarkan dengan sesama anggota TJm. Tetapi, sebagai anggota TJm, informan juga menyadari bahwa banyak pandangan dari masyarakat bahwa kelompok suporter sepakbola sangat identik dengan kerusuhan dan tindakan anarkis. Menanggapi pandangan masyarakat mengenai TJm yang suka terlibat kerusuhan, ketiga informan tidak sepakat dengan pandangan masyarakat tersebut. Berikut kutipan dari ketiga informan: “...nonton di Tangerang, disambitin masak kita diem bisa ancur, ini kan bukan tembok, nglawan, yang penting kita pulang gak ngacak-ngacak, nahan diri aja kan” (Informan 1). ISSN : 2085 – 0328 “Ya itu menurut orang-orang sih..sebenarnya kalo gak ada yang mulai rusuh..jakmania gak akan mungkin mulai” (Informan 3). Pernyataan kedua informan di atas menunjukkan bahwa tidak pernah memulai tawuran apabila tidak dipancing atau diprovokasi. Mereka juga tidak setuju bila TJm selalu dikaitkan dengan kejadian kerusuhan. Hal ini diperkuat melalui pernyataan Informan 1 bahwa keberadaan TJm malah dapat mengurangi tawuran antar pelajar dan kampung. “Iya, contoh kongkrit itu di Manggarai. Itu Berlan, Tambak sering ribut, tapi sejak ada TJm jadi kurang. Begitu mau bentrok...The Jak (sambil menunjukkan simbol J dengan jari telunjuk dan ibu jari)...selesai. Fanatisme kampung harus runtuh..gitu.” Pernyataan dari informan 1 ini menegaskan bahwa dengan bergabung dalam TJm, fanatisme terhadap daerah, kampung, suku bisa dikurangi karena bernaung dalam satu kelompok yang sama. Dengan demikian mereka memiliki identitas yang sama. Selain itu, untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa TJm juga memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar di mana mereka berada. Kelompok TJm beberapa kali terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungannya. Hal ini dilakukan oleh informan 1 dan 2 yang bisa dilihat dari pernyataan yang mereka berikan sebagai berikut: “...belum lama kan kita ngegali lobang biopori. Selain pertandingan, ni kemaren Kalimantan jalan, kita ni ngedukung tim PON DKI, anak-anak jalan ke Kalimantan sebulan” (Informan 1). “...kemarin kita kerjasama dengan Green Radio nanem bakau. Trus ulang tahun yang ke-11 kemarin kita coba berinteraksi dan berintegrasi dengan PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 72 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA masyarakat, misalkan program kerja bakti kampung. Itu semata-mata bahwa sesungguhnya kita jadi suporter itu hanya 8 jam dari 24 jam, selebihnya kita kembali ke masyarakat” (Informan 2). Berdasarkan pernyataan dari para informan di atas, ternyata anggota TJm berusaha untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pandangan negatif tentang TJm yang sering rusuh dan terlibat tawuran tidak selamanya benar. Pengurus pusat TJm sebenarnya juga memiliki program-program untuk pembinaan anggota. Namun, kadangkala terbentur dengan konsep diri masing-masing anggota seperti yang dinyatakan oleh informan 2 bahwa sebagai suporter mereka harus seperti seniman yang tampil urakan, hidup tidak teratur. Karena menganggap diri seperti seniman maka mereka memandang pribadinya sebagai orang yang santai, supel, suka gaul, berpenampilan urakan. Mereka menyamakan diri dengan seniman karena menciptakan lagu-lagu, yel-yel, dan sebagainya. Dari hasil penelitian, bisa digambarkan bahwa konstruksi identitas terbentuk dari berbagai macam hal. Identitas ada yang melekat atau idiosinkratik (identitas personal) seperti gender, ciri khas fisik, dan sebagainya. Selain identitas yang melekat, juga ada identitas sosial yang merupakan hasil negosiasi melalui media bahasa. Konstruksi identitas anggota TJm juga merupakan hasil negosiasi, di mana hal ini merupakan proses yang bersifat konvergensi untuk mencapai pengertian bersama di antara anggota kelompok. Identitas anggota TJm sendiri akhirnya menjadi hampir seragam karena kelompok tersebut berkomunikasi dengan simbol verbal dan nonverbal yang dimaknai bersama. Selain itu, konsep diri mereka juga hampir sama karena adanya kesamaan tokoh yang menjadi panutan untuk bertindak dan berperilaku. ISSN : 2085 – 0328 Perubahan Identitas Diri Sebelum dan Sesudah Bergabung dengan TJm Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, peneliti menemukan adanya perubahan identitas diri ketiga informan sebelum dan sesudah menjadi anggota The Jakmania. Perubahan identitas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Sebelum bergabung dengan TJm. Berikut ini petikan wawancara dengan informan pada saat ditanyakan mengenai identitas dirinya sebelum bergabung dengan TJm. “Sebelum gabung di The Jak, identitas sosial gue nyaris hanya sebagai orang Betawi (primordial), tapi itu belum memenuhi kebutuhan sosial gue” (Informan 2). “Gue cuma sekolah aja” (Informan 3). b. Sesudah bergabung dengan TJm. Berikut petikan wawancara dengan informan ketika ditanyakan mengenai identitas dirinya sesudah bergabung dengan TJm. “Setelah gabung dengan The Jak gue merasa utuh sebagai orang Jakarta yang multikultural, karena The Jak mampu menginspirasi orang yang bukan Betawi mau cinta Jakarta dengan cara yang beda” (Informan 2). “Iya...supaya menjadi Persija” (Informan 3). pemain Setiap orang membutuhkan identitas untuk diakui keberadaannya dalam masyarakat baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Identitas ada yang melekat dan ada yang dinegosiasikan melalui interaksi dengan individu lain. Setiap manusia adalah makluk yang dinamis dan kreatif oleh karena itu mereka akan selalu menjadi individu baru setiap saat. Hal ini juga disebabkan, karena sebagai individu, manusia selalu mereproduksi makna atau PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 73 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA simbol baru setiap kali ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Begitu juga dengan perubahan identitas yang dialami oleh ketiga informan dalam penelitian ini, sebelum dan sesudah bergabung dalam kelompok TJM. Informan 1 sebelum masuk kelompok TJm, ia tidak masuk keanggotaan manapun dan ia juga belum memiliki tato. Tetapi sejak menjadi anggota TJm, ia kemudian menato tubuhnya untuk menunjukkan identitasnya. Selain itu kini ia memiliki status sebagai kordinator wilayah (korwil) Utan Kayu dan dengan mengenakan pakaian serta atribut TJm setiap hari, identitas Jakmania semakin nyata. Sejak menjadi korwil ia juga memiliki tanggung jawab terhadap anggota TJm Utan Kayu, misalnya ketika terjadi kerusuhan antar suporter ia bertanggungjawab untuk menyelesaikan segala urusan bahkan hingga ke kantor polisi. Demikian juga dengan pemberian sanksi kepada anggota wilayah Utan Kayu yang melanggar aturan. Identitas personal informan 2 sebelumnya adalah orang yang pemberontak, ia tidak suka diatur oleh orang tua maupun orang lain. Pemberontakannya telah tampak ketika ia nekat menato tubuhnya pada saat duduk di SMA. Karena terlibat dengan penggunaan narkoba, ia keluar dari bangku kuliah yang baru setahun ia masuki, selain juga karena tidak ada biaya. Setelah masuk sebagai anggota TJm, informan merasa ia lebih memiliki status sosial di masyarakat, dan ia tidak merasa rendah diri lagi karena tidak bersekolah. Ia juga sudah berhenti menjadi pemakai dan saat ini tidak minum minuman keras dan merokok. Selain bergabung dengan TJm, ia juga bergabung dengan kelompok-kelompok seperti: OI (Orang Indonesia: fans club Iwan Fals), FKMJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta), JOTI (Jaringan Orang Terinfeksi HIV Aids). Karena juga menjabat sebagai litbang TJm pusat dan sebagai anggota sepuh yang masih aktif, pendapat dan ISSN : 2085 – 0328 pandangannya sangat diperhatikan oleh anggota TJm Utan Kayu lainnya. Identitas sosial awal informan 3 dilihat dari etnisitas yang ia miliki adalah orang Jawa. Sebelum bergabung dengan TJm, informan 3 hanya dikenal sebagai pelajar. Namun, setelah bergabung dan mengenakan atribut TJm setiap hari, ia dikenal sebagai seorang anggota TJm dan memiliki keinginan untuk bergabung dengan tim Persiija U21. Identitas ketiga informan juga semakin menguat seiring dengan lamanya waktu mereka bergabung dan intensitas pertemuan dengan sesama anggota. Informan 1 sudah bergabung sejak tahun 2004, informan 2 sejak 1999, dan informan 3 sejak 2002. Informan 1 dan 2 banyak menghabiskan waktu di outlet Utan Kayu yang sekaligus merupakan basecamp TJm Utan Kayu. Sementara informan 3 berkumpul dengan sesama anggota TJm setiap hari Rabu di Kayu Tinggi, Jakarta Timur. Alasan Perilaku Fanatisme Berlebihan Sepakbola tidak jarang menjadi pemicu keributan yang diakibatkan oleh benturan emosi antar suporter, kekecewaan akibat kalah, keputusan wasit, dan sebagainya. Fanatisme suporter dan tindakan brutal yang kerap dilakukan melahirkan sebutan baru bagi suporter fanatik tersebut, seperti Hooligans di Inggris, Ultras di Italia. Di Indonesia sendiri tidak ada satu julukan resmi bagi suporter yang fanatik. Julukan-julukan yang ada khusus untuk suporter dari klubklub sepakbola yang berasal dari daerahdaerah, seperti Bonek (Persebaya), The Viking atau Bobotoh (Persib), The Jakmania (Persija). Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, munculnya fanatisme berlebihan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Solidaritas Solidaritas ketiga informan dalam penelitian ini sangat kuat. Hal ini terlihat dari jawaban-jawaban yang diberikan PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 74 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA terkait dengan solidaritas pada saat terjadi tawuran dan di kehidupan sehari-hari dalam lingkungan TJm. “....Di toko siapa aja boleh naro barang asalkan anggota. Ada nih Jak Bekasi naro barang, yang penting mereka punya anggota (kartu anggota) dan sovenirnya Persija” (Informan 1). “Kita baru tadi siang, ada sekitar 50 orang, ngedatangen Sekolah Tirta Sari Surya. Karena anggota kita ada dipukulin ampe biru...Ini anggota kita, dia punya KTA dan berhak kita lindungi, kita advokasi. Bahkan kalo kehabisan bensin di jalan, asal pake baju Jakmania aja, kita berani negor, ditolong” (Informan 2). “Kalo ada temen sesama The Jak yang butuh bantuan dan pas gue bisa bantu....ya gue bantuin” (Informan 3). b. Pandangan mengenai tawuran. Terkait dengan pandangan informan mengenai tawuran, ketiga informan mengatakan bahwa TJm tidak akan terlibat tawuran jika tidak diprovokasi oleh pihak lain. Biasanya mereka melakukan tawuran untuk mempertahankan harga diri (self esteem) kelompoknya. Pandangan bahwa TJm tidak pernah memulai tawuran tidak berlaku ketika mereka bertemu dengan suporter Persib (The Viking), baik itu bila TJm ke Bandung maupun sebaliknya. Hal ini terjadi karena dendam lama akibat “penghianatan” yang dilakukan The Viking terhadap TJm saat mereka bertandang ke Bandung. c. Penyebab tawuran. Masing-masing informan memiliki pendapat yang berbeda mengenai penyebab tawuran. Informan 1 mengatakan sebagai berikut: “...nonton di Tangerang, disambitin masak kita diem aja bisa ancur, ini kan bukan tembok, nglawan, yang penting kita pulang ga ngacak-ngacak, nahan diri aja kan. Ya kayak gini ae, kalo kita ga ngasih, ISSN : 2085 – 0328 kalo dia jual kita beli, kita kan diem, kita asik, kalo dia usik ya kita ini (sambil mengibaskan tangan).” Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh informan 2: “...Ini sengaja dibikin konflik terus. Ada invisible hand, walopun gue ga bisa membuktikan itu. Kita ga terbiasa berbeda...tingkat pemahaman mengenai perbedaan satu sama lain tida sama, tingkat pengetahuannya berbeda. Sehingga ini yang melahirkan fanatisme.” Sementara itu, informan 3 mengatakan: “Kalo ada yang nyerang pasti kita bales, karena bukan kita yang mulai duluan.” d. Loyalitas Loyalitas diartikan sebagai kepatuhan, kesetiaan (www.pusatbahasa.diknas.go.id). Oleh karena itu, dalam penelitian ini loyalitas dapat diartikan sebagai kepatuhan, kesetiaan anggota TJm terhadap kelompok. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti, ada dua bentuk loyalitas yang tergambar dari ketiga informan. Informan 1 dan 2 memiliki loyalitas yang lebih kuat dibandingkan dengan informan 3. Informan 1 menunjukkan loyalitasnya dengan keluar dari pekerjaan tetapnya hanya demi mengikuti touring. Informan 2 menunjukkan loyalitas terhadap TJm melalui usahanya untuk mencari funding bagi pembinaan dan pemberdayaan anggota TJm Utan Kayu. Baik informan 1 dan 2 menato tubuh mereka dengan lambang Macan Kemayoran. Sementara itu, informan 3 memiliki loyalitas yang tersembunyi (terselubung) karena di satu sisi ia anggota dan sering berkumpul dengan anggota TJm, sementara di sisi lain ia tergabung dengan tim sepakbola Persitara U17. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 75 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA “Gue bikin outlet itu semangatnya bukan bisnis, tapi pemberdayaan. Karena gue pengen semua ngerasain itu...Makanya dalam waktu dekat PR gue adalah menyiapkan funding, ntah itu bank yang mau menyalurkan kredit ke outletoutlet...Iya, ini (sambil menunjuk Informan 1) sampe berhenti kerja dua kali. Dia dikeluarin dari hotel gara-gara tur ke Jawa” (Informan 2). “Iya...gue sekarang di tim U17 Persitara, tapi tujuan gue nantinya untuk masuk ke Persija. Ini sebagai jalur gue untuk masuk ke tim impian gue” (Informan 3). Loyalitas dan solidaritas anggota terhadap kelompok juga terkait dengan lamanya ia bergabung, intensitas pertemuan dengan sesama anggota, dan kontribusi kelompok terhadap kehidupan mereka. Dengan menjabat sebagai Korwil Utan Kayu, informan 1 memiliki status yang lebih dibandingkan bila hanya menjadi anggota. Ia juga menjadi lebih sering berinteraksi dengan pengurus pusat dan anggota-anggota yang ia bawahi. Jabatan dan ikatan yang erat dengan sesama anggota TJm memunculkan solidaritas di antara mereka. Selain itu, informan 1 juga bisa memeroleh pendapatan dari potongan hasil penjualan tiket dan bagi hasil usaha outlet. Jabatan sebagai pengurus litbang pusat juga memberikan arti tersendiri bagi informan 2 karena dengan jabatan tersebut dan lamanya ia bergabung, ia dianggap sebagai sesepuh, panutan, dan selalu dimintai nasehat berkaitan dengan perkembangan TJm Utan Kayu. Ia pun meyakini bahwa bergabung dengan TJm bisa dijadikan media untuk berkreasi dan menghasilkan sesuatu yang berguna, seperti pendapatan. Ini dapat dilihat dari beberapa usaha yang dijalankannya bersama anggota TJm Utan Kayu lainnya, seperti outlet dan cuci kiloan. Informan 3 juga memiliki loyalitas terhadap TJm, namun karena di satu sisi ia ISSN : 2085 – 0328 juga tergabung dalam tim sepakbola Persitara U17, bisa dikatakan bahwa loyalitas tersebut adalah loyalitas terselubung. Dibandingkan informan 1 dan 2, informan 3 lebih sedikit intensitas pertemuannya dengan sesama anggota TJm lainnya. Ia hanya berkumpul seminggu sekali. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian ini, terlihat bahwa ketiga informan memang mempunyai beberapa alasan mengapa mereka berperilaku fanatik secara berlebihan terkait dengan keanggotaan kelompok. Alasan yang dikemukakan oleh para informan berkaitan dengan solidaritas, pandangan, pendapat mengenai tawuran dan loyalitas mereka terhadap kelompok TJm. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sesuatu yang dirasakan mengganggu keberadaan kelompok mereka, maka anggota kelompok akan bertindak. Mengganggu keberadaan kelompok berarti sama saja dengan mengganggu konsep diri dan harga diri para anggota TJm. Wajar saja jika kemudian kelompok itu melakukan perlawanan demi mempertahankan harga diri mereka dan kelompok. Sudah menjadi hal yang lazim ketika suatu kelompok merasa bahwa kelompoknya yang paling istimewa dan memiliki superioritas dibanding kelompok lain. Ketika perasaan superioritas yang ada pada dua atau lebih kelompok bertemu, maka bisa dipastikan akan terjadi gesekan karena tidak ada kelompok yang mau mengalah, karena masing-masing kelompok mempunyai tujuan yang sama yakni mempertahankan rasa superioritas tersebut. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, konstruksi identitas anggota TJm terbentuk akibat interaksi dengan sesama anggota TJm. Identitas tersebut kemudian lebih ditekankan karena faktor kesamaan pandangan dan persepsi dalam PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 76 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA kelompok TJm dan itu diperkuat oleh persepsi yang sama tentang simbol verbal dan nonverbal yang diolah melalui proses pikiran (mind). Dalam pembentukan identitas ini, mereka dipengaruhi juga oleh particular other dan generalized other (society). Ketiga informan dalam penelitian ini mengalami perubahan identitas dalam hal status sosial setelah bergabung dengan kelompok TJm. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan secara individual, yang awalnya mereka tidak dipandang di masyarakat karena status sosial ekonomi, saat ini, setelah bergabung mereka memiliki ingroup yang memperkuat identitas individu mereka. Informan dalam penelitian ini merasa bahwa TJm adalah kelompok yang bisa memberikan sesuatu yang mereka inginkan, dan mereka juga merasa bahwa kelompok TJm ini lebih bila dibandingkan dengan kelompok yang lain. Selain itu loyalitas dan solidaritas terhadap TJm sangat berpengaruh terhadap sikap fanatisme yang berlebihan ini. Saran Peneliti beranggapan bahwa penelitian yang dilakukan belum maksimal, salah satunya karena hasil observasi yang belum memadai. Dalam penelitian ini, informan belum dapat diminta untuk membuat diary report dikarenakan kedekatan personal antara peneliti dan informan belum dibangun secara maksimal. Dikarenakan situasi politik Indonesia yang kurang kondusif (penelitian dilakukan pada saat PEMILU 2009), peneliti tidak dapat melakukan observasi lapangan untuk melihat perilaku anggota TJm ketika berada dalam kelompok dan di dalam stadion. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa agar dapat melakukan observasi yang lebih dalam dan melakukan diary report. ISSN : 2085 – 0328 Gudykunts, William B. & Yun Kim, Young. 1997. Communicating With Strangers, An Approach to Intercultural Communication 3rd Ed. USA: McGraw-Hill. Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Maleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya McQuail, Denis. 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methods. Third Edition. London: Sage Publication. Pawito, 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. Raho, Bernard SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka. Ritzer, Douglas & Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Posmodern. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. West, Richard, & Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Situs http://news.okezone.com/index.php/ReadS tory/2008/12/27/1/177366/suporterpersikabo-dan-jakmania-terlibattawuran. Sabtu, 27 Desember 2008. Suporter Persikabo dan Jakmania DAFTAR PUSTAKA PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 77 JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA ISSN : 2085 – 0328 Terlibat Tawuran. Diunduh: 15 April 2009. http://psbps.org. Yayah Khisbiyah. “Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi Untuk Multikulturalisme: Dukungan Dari Psikologi Sosial.” Diunduh: 12 Mei 2009. Kompas Cyber Media. Rabu, 13 Maret 2002. ”Bobotoh” Persib Dikeroyok The Jakmania. Diunduh: 15 April 2009. www.fisip.uns.ac.id. Ika Megawati Sebayang. “Identitas dan Citra Diri Kaum Gay di Kota Surakarta.” Diunduh: 12 Mei 2009. www.jakmania.org. Situs Resmi The Jakmania. www.Kompas.com. Senin, 5 Juni 2000. “Soccer Tribe ke Medan Perang.” www.youtube.com/hardline-Jakamania. Diunduh Maret 2009. Tesis Priyambodo, Daru. 2008. Adaptasi Organisasi Newsroom dan Proses Produksi Berita dalam Media Online Berbasis Media Cetak (Studi Kasus Tempo Newsroom). Jakarta: Universitas Indonesia. Zuniar, Benny. 2007. Konstruksi Identitas Melalui Media di Kalangan Remaja (Konstruksi Identitas Sunda Melalui Majalah Mangle-Artikel Mangle Remaja). Jakarta. Universitas Indonesia. PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011 78