KONSTRUKSI IDENTITAS SUPORTER SEPAKBOLA DI INDONESIA

advertisement
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
ISSN : 2085 – 0328
KONSTRUKSI IDENTITAS SUPORTER SEPAKBOLA
DI INDONESIA
(Studi kasus pada Kelompok Suporter The Jakmania)
Yovita Sabarina Sitepu1 dan Fransiska Desiana Setyaningsih2
Fakultas FISIP Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Focus of this research is to describe how the member of Persija FC’s supporter
constructing their identities before and after they become the member of The Jakmania.
Case study method is used with multi case-single level analysis design. It is found that,
in each of three informants’ self, the changing of identities are really happened. One of
the changing identities about for example is their social status after they have joined
with The Jakmania. In the beginning, before they join with The Jakmania, people did
not pay attention to them. It was because their low socio-economic status. Now, after
joined The Jakmania, they have their own ingroup that strengthen their individual
identity.
Keywords: identity’s construction, the jakmania, supporter, football.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
60
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
PENDAHULUAN
Manusia dapat dibedakan dari hewan
atau binatang karena manusia dapat
berpikir. Kemampuan berpikir manusia
berkembang pada masa kanak-kanak dan
terus dipoles selama bersosialisasi di masa
dewasa. Oleh karena bersosialisasi maka
manusia disebut mahkluk sosial. Seorang
aktor melakukan interaksi dua arah selama
proses sosialisasi. Ia tidak hanya menerima
informasi, namun juga membangun dan
memanfaatkan informasi untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Dalam proses
interaksi, informasi dalam bentuk simbolsimbol dipertukarkan. Manusia dicitrakan
sebagai animal symbolicum, makluk yang
mencari makna, mengenali dirinya dalam
simbol-simbol.
Manusia umumnya lebih menyukai
untuk berinteraksi dengan orang yang
memiliki kesamaan dengan dirinya.
Kesamaan dalam hal latar belakang sosial,
pendidikan, kesenangan atau hobi dan lain
sebagainya. Kesamaan dalam hal hobi
seperti misalnya sepakbola membuat
manusia mau berinteraksi dengan lebih
dekat dan intens. Sepakbola merupakan
salah satu cabang olahraga yang memiliki
banyak penggemar, pria-wanita, tua-muda,
kalangan atas maupun bawah. Semua
berbaur ketika membela tim kesayangan
mereka yang sedang bertanding. Kecintaan
yang sama terhadap sebuah tim sepakbola
dan interaksi yang terus menerus diantara
pendukungnya,
akhirnya
melahirkan
kelompok-kelompok
pendukung
tim
sepakbola (supporter).
Beberapa klub suporter yang
terkenal antara lain: The Jakmania
(suporter Persija Jakarta), The Viking
(Bobotoh Persib Bandung), Bonek (Bondo
Nekat Persebaya Surabaya), Kampak
Medan (suporter PSMS Medan), Aremania
(suporter Arema Malang) dan yang
lainnya. Selain memiliki julukan masingmasing, suporter-suporter tersebut juga
bisa dibedakan melalui warna atribut yang
dipergunakan. Misalnya, suporter Persija
dengan warna orange, suporter Persib
ISSN : 2085 – 0328
dengan warna biru, suporter Persebaya dan
PSMS dengan warna hijau dan sebagainya.
The Jakmania, salah satu suporter
sepakbola berdiri sejak bergulirnya Liga
Indonesia LIGINA IV, tepatnya pada
tanggal 19 Desember 1997 dan bermarkas
di Stadion Menteng pada waktu itu.
Kehadiran The Jakmania juga didukung
oleh gubernur Jakarta pada saat itu,
Sutiyoso. Awalnya anggota The Jakmania
hanya sekitar 100 orang namun hingga
tahun 2006 anggota The Jakmania sudah
mencapai 30.000 orang lebih.
The Jakmania menggunakan simbolsimbol verbal dan nonverbal ketika
berinteraksi satu sama lain. Simbol-simbol
yang digunakan antara lain: warna orange
yang menghiasi benda-benda yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari
(tas, gelang, stiker, baju, topi dan
sebagainya), jari telunjuk dan jempol yang
melambangkan huruf J (The Jakmania atau
Jakarta), mars The Jakmania, lagu-lagu
dan sebagainya.
Meskipun The Jakmania mendukung
fair play, namun tindakan fair play
diantara suporter jarang terjadi. Banyak
pemberitaan melalui media massa yang
menyoroti perilaku negatif yang dilakukan
The Jakmania. Perkelahian antara The
Jakmania dengan suporter Persipura
Jayapura pada pertandingan semifinal
Copa Indonesia, Januari 2008 lalu menjadi
salah satu tindakan yang jauh dari istilah
fair play. Saling lempar dan kejar-kejaran
antar Kabomania (suporter Persikabo
Bogor) dan The Jakmania (suporter Persija
Jakarta) terjadi saat Persikabo akan
menjamu Persija dalam pertandingan
persahabatan di Stadion Cibinong Bogor
pada
27
Desember
2008
(www.okezone.com).
Bentrokan ini terjadi ketika ribuan
Kabomania menghadang kedatangan The
Jakmania. Akibat bentrokan ini, ruas Jalan
Raya
Bogor,
Cibinong
macet
(www.okezone.com). Tawuran antar kedua
suporter ini kembali terjadi saat
Kabomania hendak berangkat ke stadion
Persikabo di Cibinong untuk menyaksikan
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
61
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
pertandingan
sepakbola.
Kabomania
dihadang puluhan The Jakmania sehingga
perang batu antar kedua kelompok tersebut
tidak dapat dihindari. Seorang Kabomania
menyebutkan bahwa bentrokan ini terjadi
mungkin diakibatkan dendam akibat
tawuran minggu sebelumnya (Pikiran
Rakyat Online).
Perkelahian
antara
kelompok
pendukung tim sepakbola menjadi momok
bagi masyarakat umum, terutama ketika
wilayah mereka dilalui para suporter
tersebut. Misalnya, ketika rombongan
suporter sepakbola yang menggunakan
angkutan umum berbondong-bondong
menuju tempat pertandingan dan melewati
ruas jalan umum, maka warga masyarakat
pengguna jalan atau mereka yang berada di
sekitar jalan yang dilewati tersebut merasa
perlu berhati-hati.
Dari data awal yang diperoleh,
disebutkan bahwa tidak sedikit anggota
The Jakmania yang berasal dari kalangan
menengah ke bawah dan mereka sangat
membutuhkan hiburan. Di sisi lain, mereka
juga memiliki perasaan dinomortigakan
dan merasa dipandang sebelah mata oleh
masyarakat serta terbiasa mengalami
tekanan hidup yang berat dalam kehidupan
sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan
mereka sangat sensitif dengan hal-hal yang
bisa menyinggung perasaan dan tentu saja
menjadikan mereka sangat mudah
terpancing emosi. Tidak dipungkiri lagi,
kondisi ini juga menjadi salah satu alasan
atau pemicu mudahnya terjadi tawuran
antar
suporter
(www.youtube.com/hardline-jakmania).
Salah seorang sosiolog seperti yang
dikutip berikut ini memberikan pendapat
mengenai suporter sepakbola, dimana
menurutnya, letusan kerusuhan itu
mungkin saja berawal dari saling teriak
dan mengejek secara frontal. Lama-lama
terbawa arus emosi, individu itu pun
makin lama kian berani tindakannya.
Mulailah mereka saling gasak lawan
termasuk pasukan pengaman. Lemparan
benda keras, pukulan tangan kosong dan
pakai alat, sulutan api dan terakhir ini
ISSN : 2085 – 0328
pakai letusan senjata api. Kalau sudah
terjadi peristiwa chaos ini, situasi yang
chaotic itu pun menjadi ajang perilaku
individu berkepribadian ngawur (Kompas
Cyber Media).
Dalam buku klasik War without
Weapon (1968), tertuang berbagai kasus
”perang zonder senjata” di arena olahraga
dunia. Goodhart dan Chataway menulis:
”anak-anak
muda
pendukung
tim
sepakbola, sepertinya mencari identitas
kelompok dan dirinya. Sepakbola yang
sudah
menjadi
budaya
umum,
memperlihatkan kaitannya dengan kelas
sosial suatu masyarakat, bangsa dan
negara. Sport di abad XX mendorong
banyak orang untuk berolahraga untuk
melarikan diri dari kejenuhan kompleksitas
permasalahan,
juga
melawan
rasa
keterpencilan dirinya dari pergaulan
umum. Bersepakbola atau penggembira,
rupanya
dianggap
cocok
dan
membanggakan”.
Menurut Jay J. Coakley (1986),
sepakbola sebagai olahraga yang banyak
penggemarnya dapat diamati melalui fokus
perhatiannya, yakni :
1.
Fokus perhatian mengenai
fungsi-fungsi positif sepakbola dalam
kehidupan masyarakat
2.
Fokus
perhatian
pada
konsekuensi negatif sepakbola, yang
menggiring pada kesimpulan bahwa
sepakbola adalah candu (football is
opiate), karena olahraga ini bisa meredam
atau memanipulasi kesadaran-kesadaran
orang dari masalah yang dihadapinya.
Karena dapat menghilangkan kesadaran
orang, sepakbola juga bisa menjadi salah
satu
faktor
pemicu
konflik
dan
disintegrasi. Karena sepakbola, tidak
sedikit keributan dan tawuran yang terjadi,
baik sesama pemain maupun antarsuporter
kesebelasan. Kekecewaan karena kalah
dari pertandingan sepakbola kemudian
memicu
kerusuhan
massal
dan
perkelahian. Fanatisme suporter yang
ditambah dengan tindakan anarkis dan
brutal telah melahirkan kosakata baru
dalam dunia sepakbola, holliganism.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
62
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
3.
Fokus
perhatian
pada
kemungkinan-kemungkinan lain bahwa
sepakbola lebih dari sekedar sebuah
refleksi masyarakat yang sederhana
(football is more than simply reflection of
society), yang dengan olahraga itu
masyarakat bisa eksis. Hal ini membawa
pada kesimpulan bahwa sepakbola adalah
sebuah bagian kehidupan sosial yang
diciptakan oleh masyarakat sebagai suatu
ekspresi dari kepentingan, sumberdaya dan
hubungan
yang
mereka
miliki
(www.kompas.com).
Penelitian
menggunakan
teori
Interaksionisme Simbolik yang digunakan
untuk mengaji sebuah kelompok juga
pernah dilakukan oleh mahasiswi jurusan
Sosiologi, FISIP Univeristas Sebelas
Maret, Ika Megawati Sebayang dalam
skripsinya yang berjudul “Identitas dan
Citra Diri Kaum Gay di Kota Surakarta.”
Penelitian ini merupakan studi interpretatif
untuk menggali proses identifikasi dan
pemaknaan identitas seksual kaum gay.
Peneliti
menggunakan
teori
Interaksionisme Simbolik dan Dramaturgi
untuk mengupas hasil penelitian. Dalam
studi ini diperoleh tiga informan sebagai
sumber data primer, masing-masing: Dani
(29 th), Santos (21 th) dan Maman (36 th).
Penelitian ini membuktikan bahwa
manusia adalah aktor yang dinamis, kreatif
dan selalu menjadi individu baru setiap
saat. Hal ini karena individu selalu
mereproduksi makna baru setiap kali
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Begitu pula dengan makna identitas
seksual bagi setiap individu gay yang
selalu dinamis berkembang sesuai dengan
perkembangan informasi yang diperoleh
dari
interaksi
dengan
lingkungan
sosialnya. Dengan begitu proporsi,
seberapa banyak pergaulan seorang gay
dengan komunitas gay atau lingkungan
heteroseksual,
akan
memengaruhi
bagaimana
pemaknaannya
terhadap
identitas seksualnya dan perilakunya
berkenaan dengan identitas tersebut
(www.fisip.uns.ac.id).
ISSN : 2085 – 0328
Perumusan Masalah
Keberadaan suporter sepakbola
seperti
The
Jakmania
memang
memberikan warna tersendiri dalam setiap
pertandingan terutama saat tim kesayangan
mereka, Persija Jakarta, bertanding. Dalam
keseharian
hidupnya
anggota
The
Jakmania ternyata tidak melepaskan atribut
keanggotaan
kelompoknya
tersebut.
Atribut-atribut The Jakmania yang mereka
kenakan selain menunjukkan kecintaan
yang besar dengan kelompok mereka, juga
sebagai bentuk komunikasi dengan
anggota The Jakmania lainnya. Bagi
sebagian besar anggota yang berasal dari
kelas sosial bawah, The Jakmania bisa
menjadi tempat di mana mereka diakui
keberadaannya di masyarakat.
Berangkat dari latar belakang ini
maka fokus permasalahan dalam penelitian
ini adalah: Bagaimana anggota The
Jakmania
mengonstruksi
identitas?
Bagaimana perubahan identitas sebelum
dan sesudah bergabung ke dalam The
Jakmania? Bagaimana kontribusi identitas
sebagai anggota The Jakmania dalam
mendorong perilaku fanatisme berlebihan?
Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan
rumusan
permasalahannya, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk :
a. Menggambarkan konstruksi identitas
anggota The Jakmania.
b. Menemukan perubahan identitas
sebelum dan sesudah bergabung ke
dalam The Jakmania.
c. Mengungkapkan
alasan
perilaku
fanatisme berlebihan terkait dengan
keanggotaan kelompok.
Kerangka Pemikiran
Teori Interaksionisme Simbolik
Teori yang digunakan untuk
menjawab permasalahan penelitian adalah
teori Interaksionisme Simbolik. Teori yang
dicetuskan George Herbert Mead ini
sangat mengagumi kemampuan manusia
untuk menggunakan simbol. Mead
menyatakan bahwa orang bertindak
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
63
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
berdasarkan makna simbolik yang muncul
di dalam sebuah situasi tertentu. Teori ini
menekankan pada hubungan antara simbol
dan interaksi yang pada akhirnya
membentuk sebuah jembatan antara teori
yang berfokus pada individu-individu dan
teori yang berfokus pada kekuatan sosial.
Dengan kata lain, teori ini mendasarkan
pada ide-ide mengenai diri dan
hubungannya dengan masyarakat.
Ada tujuh asumsi dalam Teori
Interaksionisme Simbolik, yaitu (West &
Turner, 2008: 104):
1) Manusia bertindak terhadap orang lain
berdasarkan makna yang diberikan
orang lain kepada mereka.
2) Makna diciptakan dalam interaksi
antar manusia.
3) Makna dimodifikasi melalui sebuah
proses interpretif.
4) Individu-individu
mengembangkan
konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain.
5) Konsep diri memberikan sebuah motif
penting untuk berperilaku.
6) Orang
dan
kelompok-kelompok
dipengaruhi oleh proses budaya dan
sosial.
7) Struktur sosial dihasilkan melalui
interaksi sosial.
Ralph LaRossa dan Donald C.
Reitzes (1993) kemudian mengatakan
bahwa tujuh prinsip-prinsip dasar tersebut
memperlihatkan tiga tema besar:
 Pentingnya makna bagi perilaku
manusia.
Individu membentuk makna melalui
proses komunikasi karena makna tidak
bersifat intrinsik terhadap apapun.
Perlu konstruksi interpretif di antara
orang-orang
untuk
menciptakan
makna. Tujuan dari teori ini adalah
untuk menciptakan makna yang sama.
 Pentingnya mengenai konsep diri.
Konsep diri (self concept) adalah
seperangkat persepsi yang relatif stabil
yang dipercaya orang mengenai
dirinya sendiri. Karakteristik yang
berkaitan dengan ciri-ciri fisik,
ISSN : 2085 – 0328
peranan, talenta, keadaan emosi, nilai,
keterampilan dan keterbatasan sosial,
intelektualitas, pada akhirnya akan
membentuk konsep diri seseorang.
Dua asumsi tambahan menurut
LaRossa dan Reitzes, yaitu: individu
mengembangkan konsep diri melalui
interaksi dengan orang lain; dan konsep
diri memberikan motif yang penting untuk
perilaku.
 Hubungan antara individu dengan
masyarakat.
Asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah:
 Orang dan kelompok dipengaruhi
oleh proses sosial dan budaya.
Asumsi ini mengakui bahwa
norma-norma sosial membatasi
perilaku individu. Selain itu,
budaya secara kuat memengaruhi
perilaku dan sikap yang kita
anggap penting dalam konsep diri.
 Struktur sosial dihasilkan melalui
interaksi sosial.
Asumsi ini menengahi asumsi
sebelumnya
yang
mempertanyakan
pandangan bahwa struktur sosial tidak
berubah serta mengakui bahwa individu
dapat memodifikasi situasi sosial. Dengan
demikian para partisipan dalam interaksi
memodifikasi struktur dan tidak secara
penuh dibatasi oleh hal tersebut, sebab
manusia adalah pembuat pilihan.
Berdasarkan pemikiran Mead ada
tiga konsep penting dalam Teori Interaksi
Simbolik yaitu Mind, Self dan Society.
Mind
Mead mendefinisikan pikiran (mind)
sebagai kemampuan untuk menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama, dan Mead percaya bahwa
manusia harus mengembangkan pikiran
melalui interaksi dengan orang lain.
Bahasa adalah sebuah sistem simbol verbal
dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola
untuk mengekspresikan pemikiran dan
perasaan dan dimiliki bersama. Bahasa
menurut Mead adalah simbol siginfikan,
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
64
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
atau simbol-simbol yang memunculkan
makna yang sama bagi banyak orang.
Dalam konsep pikiran, terdapat
konsep
pemikiran (thought),
yang
dinyatakan oleh Mead sebagai percakapan
di dalam diri sendiri. Salah satu aktivitas
penting yang diselesaikan melalui pikiran
adalah pengambilan peran (role taking),
atau kemampuan untuk secara simbolik
menempatkan dirinya sendiri dalam diri
khayalan dari orang lain. Mead
menyatakan bahwa pengambilan peran
adalah sebuah tindakan simbolis yang
dapat membantu menjelaskan perasaan
kita
mengenai
diri
dan
juga
memungkinkan
kita
untuk
mengembangkan
kapasitas
untuk
berempati dengan orang lain.
Self
Mead mendefinisikan self sebagai
kemampuan merefleksikan diri sendiri dari
perspektif orang lain. Mead meminjam
konsep Looking-glass self dari Charles
Cooley, yaitu kemampuan kita untuk
melihat diri kita sendiri dalam pantulan
dari pandangan orang lain. Tiga prinsip
pengembangan yang dikaitkan dengan
cermin diri: (1) kita membayangkan
bagaimana kita terlihat di mata orang lain;
(2) kita membayangkan penilaian mereka
mengenai penampilan kita; (3) kita merasa
tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan
pribadi ini (West & Turner, 2008: 106).
Pada konsep mengenai diri, Mead
juga mengamati bahwa melalui bahasa
orang mempunyai kemampuan untuk
menjadi subyek dan obyek bagi dirinya
sendiri. Sebagai subyek, kita bertindak,
dan sebagai obyek kita mengamati diri kita
sendiri bertindak. Mead menyebut subyek
atau diri yang bertindak sebagai “I” dan
obyek, atau diri yang mengamati adalah
“Me”. I bersifat spontan, impulsif, dan
kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan
peka secara sosial. Jadi, Mead melihat diri
sebagai
sebuah
proses
yang
mengintegrasikan antara I dan Me.
Society
Mead mendefinisikan masyarakat
(society) sebagai jejaring hubungan sosial
ISSN : 2085 – 0328
yang diciptakan manusia. Individuindividu terlibat di dalam masyarakat
melalui perilaku yang mereka pilih secara
aktif
dan
sukarela.
Masyarakat
menggambarkan keterhubungan beberapa
perangkat perilaku yang terus disesuaikan
oleh individu-individu (West & Turner,
2008: 107). Mead berbicara mengenai
dua bagian penting masyarakat yang
memengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran
Mead mengenai orang lain secara khusus
(particular others) merujuk pada individuindividu yang signifikan bagi kita. Orangorang ini biasanya adalah anggota
keluarga, teman, dan kolega di tempat
kerja serta supervisor. Kita melihat
particular others untuk mendapatkan rasa
penerimaan sosial dan dan rasa mengenai
diri kita. Identitas dari particular others
memengaruhi perasaan akan penerimaan
sosial kita dan rasa mengenai kita.
Seringkali pengharapan dari beberapa
particular others mengalami konflik
dengan orang lainnya.
Konsep mengenai orang lain secara
umum (generalized other) merujuk pada
cara pandang dari sebuah kelompok sosial
atau budaya sebagai suatu keseluruhan.
Hal ini diberikan masyarakat kepada kita
dan “sikap dari generalized other adalah
sikap dari keseluruhan komunitas.”
Generalized other memberikan informasi
mengenai peranan, aturan, dan sikap yang
dimiliki
bersama
oleh
komunitas.
Generalized other juga memberikan kita
perasaan mengenai bagaimana orang lain
bereaksi kepada kita dan harapan sosial
secara umum. Perasaan ini berpengaruh
dalam mengembangkan kesadaran sosial.
Generalized other dapat membantu dalam
menengahi konflik yang muncul oleh
kelompok-kelompok orang lain secara
khusus yang berkonflik.
Identitas
Identitas merujuk pada jatidiri
seseorang dan seseorang memerlukan
identitas agar dapat memberinya sense of
belonging yang kemudian dapat menjamin
keberadaan dirinya. Identitas dibentuk oleh
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
65
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
proses sosial dan ia merupakan fenomena
yang timbul dari dialektika antara individu
dan masyarakat. Alo Liliweri menyatakan
identitas dihasilkan oleh negosiasi melalui
media yakni media bahasa (Zuniar, 2007:
27).
Dalam situasi tertentu kita mungkin
sadar atau tidak bahwa identitas
memengaruhi perilaku kita. Kendati kita
mungkin tidak sadar bahwa identitas
memengaruhi perilaku kita, kita bertindak
seolah-olah sebuah identitas yang jelas
memandu perilaku kita (R.H. Turner
dalam Gudykunts & Yun Kim, 1997: 29).
Identitas kita dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori besar: manusiawi
(human), sosial dan personal (J. C. Turner
dalam Gudykunst & Yun Kim, 1997).
Identitas
human
kita
mencakup
pandangan-pandangan mengenai diri kita
yang kita yakini kita bagikan dengan
manusia lainnya. “Jika kita tidak
menyadari kemanusiaan kita dalam orang
lain, kita sepatutnya tidak menyadarinya
dalam diri kita” (Fuentes dalam Gudykunst
& Yun Kim, 1997).
Identitas sosial mencakup pandangan
mengenai diri kita yang kita asumsikan
kita bagikan dengan anggota ingroups kita.
Identitas sosial bisa berdasarkan peran
yang kita mainkan, seperti murid, profesor,
atau orang tua; kategori demografi di mana
kita dicirikan menurut kewarganegaraan,
etnisitas, gender, atau usia; dan
keanggotaan kita dalam organisasi formal
dan informal, seperti partai politik,
organisasi voluntir, atau klub sosial.
Identitas
personal
mencakup
pandangan tentang diri kita yang
membedakan kita dari anggota lain
ingroups kita – karakteristik yang
menggambarkan kita sebagai individu
yang unik. Karakteristik kepribadian
merupakan bagian dari identitas personal,
seperti: rajin, menarik, perduli/penyayang,
dan lain sebagainya. Identitas kita yang
berbeda memengaruhi perilaku kita dalam
situasi yang berbeda (Gudykunst & Yun
Kim, 1997: 29-30).
ISSN : 2085 – 0328
Pengotakan yang terjadi terhadap
identitas, baik human, sosial, maupun
personal pada akhirnya akan memberikan
sense of identity yang membuat para
anggotanya merasa berbeda dan memiliki
kelebihan atau keistimewaan dibandingkan
dengan anggota kelompok di luar
kelompok mereka (outgroups). Perasaan
ini pada akhirnya membuat setiap
kelompok ingin diakui keberadaannya di
tengah masyarakat dan menjadi center of
the universe (Khisbiyah, http://psbps.org).
METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Peneliti memilih menggunakan
paradigma
konstruktivisme
dalam
penelitian ini guna menggambarkan
bagaimana
individu
mengkonstruksi
identitas
diri
dengan
kelompok
rujukannya. Konstruktivisme merupakan
suatu paradigma yang melihat bagaimana
suatu
realitas
dikonstruksi,
sebab
paradigma ini beranggapan bahwa tidak
ada kebenaran tunggal.
Oleh karena itu, suatu realitas yang
diamati tidak bisa digeneralisasikan
kepada semua orang. Melalui paradigma
konstruktivisme, penelitian ini berusaha
merefleksikan suatu realitas sosial sesuai
dengan penghayatan subyek-subyek yang
terlibat dalam realitas itu sendiri. Realitas
tampil
sebagai
konstruksi
mental,
berdasarkan pengalaman sosial, bersifat
lokal dan spesifik dan tergantung pada
orang yang melakukannya.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi
kasus untuk mendapatkan konteks dan
menjadikan individu sebagai fokus
penelitian dengan melihat pengalaman
keseharian mereka. Studi kasus merupakan
suatu pendekatan untuk mempelajari,
menerangkan atau menginterpretasi suatu
kasus (case) dalam konteksnya secara
natural tanpa adanya intervensi dari pihak
luar.
Bentuk studi kasus yang dipilih
adalah intrinsic case studi, yang dilakukan
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
66
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
untuk memahami secara lebih baik tentang
suatu kasus tertentu. Dengan kata lain,
melalui intrinsic case studi, peneliti ingin
mengetahui secara instrinsik mengenai
fenomena, keteraturan dan kekhususan
suatu kasus, bukan untuk alasan eksternal
lainnya. Desain multi-case single level
dilakukan terhadap informan penelitian.
Multi-case single level sendiri merupakan
studi kasus yang menyoroti perilaku
kehidupan dari kelompok individu dengan
satu masalah.
Teknik Pemilihan Informan
Penelitian ini menggunakan istilah
informan sebagai narasumber untuk
membedakan istilah subyek dalam
penelitian kuantitatif. Informan dalam
penelitian ini adalah anggota aktif The
Jakmania dengan pertimbangan:
1.
Penelitian
mengenai
konstruksi identitas bisa dilihat salah
satunya dengan interaksi informan dengan
sesama anggota The Jakmania.
2.
Bila
informan
bukan
sebagai anggota aktif The Jakmania, maka
ada kemungkinan dalam kesehariannya ia
tidak terlalu memperhatikan penggunaan
atribut-atribut The Jakmania.
Lokasi penelitian dilakukan di
wilayah Jakarta dan sekitarnya, sebab
wilayah ini mempunyai komposisi
penduduk yang heterogen. Selain itu
sebagian besar pecinta sepakbola di
wilayah ini merupakan anggota The
Jakmania (suporter Persija). Penetapan
usia informan antara 18-30 tahun dengan
pemikiran bahwa usia tersebut merupakan
usia di mana informan berada dalam masa
produktif (aktif terlibat dalam sebuah
organisasi atau kelompok).
Sedangkan pemilihan informan
dalam pemilihan ini didasarkan pada
teknik purposeful random sampling. Hal
ini bertujuan agar informan dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan
(kredibel) berkaitan dengan masalah yang
diteliti,
walaupun
tidak
mewakili
keseluruhan populasi (representatif).
ISSN : 2085 – 0328
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
dari
para
informan dilakukan melalui wawancara.
Wawancara sendiri adalah percakapan
antara peneliti dan informan yakni
seseorang yang diasumsikan mempunyai
informasi penting mengenai suatu obyek
(Berger, 2000:111). Wawancara dilakukan
untuk menggali informasi lebih dalam
tentang
permasalahan
penelitian.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar
pertanyaan terbuka yang tidak terstruktur
tetapi mengacu pada pedoman wawancara
yang telah disiapkan peneliti.
Metode wawancara mendalam (indepth
interview)
digunakan
untuk
mendapatkan data yang lebih mendalam.
Pada wawancara mendalam, sampel yang
digunakan terbatas di mana jika data yang
dibutuhkan dirasa sudah mencukupi maka
tidak perlu mencari informan yang lain.
Selain
menggunakan
metode
wawancara, peneliti juga melakukan
observasi lapangan untuk mengumpulkan
data.
Observasi
difokuskan
untuk
mendeskripsikan
dan
menjelaskan
fenomena riset, yang mencakup interaksi
dan percakapan yang terjadi antara subyek
yang diteliti. Dengan demikian, selain
perilaku nonverbal juga mencakup
perilaku verbal dari individu yang diamati.
Dalam penelitian ini, peneliti memosisikan
diri sebagai partisipan (observer as
participant) di mana peneliti adalah orang
luar yang netral, yang mempunyai
kesempatan untuk bergabung dalam
kelompok dan berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok tersebut sambil
melakukan pengamatan.
Metode Analisis Data
Pada tahap analisis data, peneliti
”membaca” data dengan melakukan proses
pengodingan, yang mencakup proses
mengatur data, mengorganisasikan data
dalam suatu pola kategori. Maleong
(2000:103) mendefinisikan analisis data
sebagai proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
67
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema.
Dalam analisis data, peneliti
melakukan (1) open coding, (2) axial
coding dan (3) selective coding. Open
coding
merupakan
proses
pengidentifikasian
kategori
dan
dimensinya. Data-data yang diperoleh
kemudian diberi label, dipilah dan dicatat,
sehingga data-data tersebut kemudian
dapat dijadikan konsep yang pada akhirnya
bisa dikelompokkan dalam kategorikategori tertentu. Axial coding merupakan
pengorganisasian
data
melalui
pengembangan
hubungan
(koneksi)
diantara kategori dan sub kategori.
Selective coding merupakan seleksi
kategori yang paling mendasar karena
dihubungkan dengan kategori lain untuk
menyusun story line, yang kemudian
divalidasi. Sehingga dalam selective
coding,
peneliti
menyajikan
konseptualisasi cerita, menghubungkan
kategori pendukung dengan kategori inti
menggunakan paradigma, menghubungkan
kategori
berdasarkan
dimensinya,
menvalidasi kategori yang diperoleh dari
tahapan sebelumnya dengan menggunakan
data, dan melengkapi kategori yang
memerlukan
perbaikan
atau
pengembangan.
Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan suatu
proses memberikan arti yang signifikan
terhadap analisis, menjelaskan pola uraian
dan mencari hubungan di antara dimensidimensi uraian (Kriyantono, 2007:163).
Dalam penelitian ini, interpretasi data
dilakukan untuk mencari makna yang lebih
luas dan lebih mendalam mengenai
konstruksi identitas anggota The Jakmania
dan perbedaan identitas diri saat berada di
dalam dan di luar kelompok. Tujuan
melakukan interpretasi data adalah :
1.
Menegakkan keseimbangan
hasil
penemuan
penelitian,
menghubungkan hasil penelitian dengan
penemuan lain mengenai masalah serupa,
dan;
ISSN : 2085 – 0328
2.
Menghasilkan konsep yang
menerangkan
mengenai
konstruksi
identitas anggota The Jakmania dan
perbedaan identitas diri saat berada di
dalam dan di luar kelompok.
Goodness Criteria
Lincoln
dan
Guba
(1986)
menyebutkan
”kredibilitas”
sebagai
analogi
bagi
validitas
internal,
transferability sebagai analogi bagi
validitas eksternal, dependability sebagai
analogi
untuk
reliabilitas
dan
confirmability sebagai analogi untuk
obyektivitas. Hal-hal tersebut dikenal juga
sebagai
trustworthiness
(Patton,
2002:546).
Trustworthiness ini diuji melalui
credibility subyek, dengan menguji
jawaban-jawaban pertanyaan berkaitan
dengan pengalaman dan pengetahuan
mereka. Kemudian menguji authenticity,
yaitu peneliti memberi kesempatan dan
memfasilitasi pengungkapan konstruksi
personal yang lebih detail.
Selanjutnya, peneliti melakukan
metode triangulasi yang dilakukan melalui
cara pengecekan silang (cross validation)
atas data yang diperoleh. Ada tiga cara,
yaitu (Sugiyono dalam Priyambodo, 2008:
32-33):
1. Triangulasi sumber. Informasi dan
data yang diperoleh dari satu sumber
dicek ulang melalui beberapa sumber
lain. Dalam penelitian ini misalnya
Informan 1 memberikan informasi
mengenai masalah tawuran, maka
informasi yang sama dicek kembali
pada Informan 2 dan 3 untuk
memastikan
apakah
terdapat
kesamaan pandangan mengenai hal
tersebut.
2. Triangulasi teknik. Uji kredibilitas
data dilakukan dengan cara mengecek
data kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda. Bila ada
informasi yang inkonsisten, maka
penggalian ulang dengan teknik yang
berbeda akan dilakukan terhadap
informan yang sama.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
68
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
3.
Triangulasi waktu. Data diuji dengan
melakukan penggalian ulang pada
waktu yang berbeda. Informasi yang
diperoleh pada saat berada di markas
(outlet), rumah, mungkin berbeda
dengan yang diperoleh ketika berada
di ruang publik.
Studi kasus, temuan dan laporan para
konstruktivis sosial diinformasikan secara
eksplisit melalui perhatian pada praksis
dan refleksivitas, yaitu memahami
bagaimana pengalaman pribadi seseorang
dan latar belakangnya mempengaruhi apa
yang ia yakini dan bagaimana seseorang
bertindak di dunia, termasuk tindakan
mencari (Patton, 2002:546).
Keterbatasan Penelitian
Tujuan penelitian hanyalah untuk
mengetahui proses dan menggambarkan
terbentuknya identitas pada informan
sebelum dan sesudah mereka masuk
menjadi anggota The Jakmania. Analisis
dalam penelitian ini adalah interpretasi
subyektif peneliti sehingga tafsirantafsiran yang ada bersifat terbatas.
Sementara itu, penelitian ini juga
memungkinkan adanya tafsiran-tafsiran
lain.
Peneliti tidak mungkin merangkum
seluruh interpretasi karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Selain itu, peneliti
belum mampu mengikuti seluruh aktivitas
informan selama sehari penuh untuk lebih
melihat pola interaksi diantara sesama
anggota The Jakmania.
Temuan dan Diskusi
Latar Belakang Informan
Dalam penelitian ini dipilih tiga
orang informan dengan latar belakang
sebagai berikut:
Informan 1 merupakan salah satu
Koordinator Wilayah (Korwil) The
Jakmania untuk wilayah Utan Kayu dan
sekitarnya. Sebagai Korwil, anak ketiga
dari empat bersaudara (2 laki-laki, 2
perempuan) ini termasuk masih muda
(lahir di Jakarta, 19 September 1986).
Untuk
menunjukkan
kebanggaannya
ISSN : 2085 – 0328
menjadi anggota The Jakmania, sebuah
tato kepala Macan Kemayoran dirajah
pada pundak belakang bagian kiri atas,
yang dilengkapi dengan tulisan “Persija
Sampe Mati”. Tamatan SMU ini juga rela
keluar dari pekerjaan sebelumnya untuk
mendukung
Persija.
Informan
1
merupakan orang Betawi asli.
Informan 2 pada saat ini duduk di
bagian Litbang Jakmania pusat yang
bermarkas di Stadion Lebak Bulus. Anak
bungsu dari sepuluh bersaudara (6 lakilaki, 4 perempuan) ini pernah kuliah
selama 1 tahun sebelum akhirnya keluar
karena tidak ada biaya dan terlibat
narkoba. Informan sudah berkeluarga dan
memiliki dua orang anak laki-laki. Pria
berkulit sawo matang dan berusia 30 tahun
ini juga bekerja sebagai anggota Dewan
Kelurahan Utan Kayu. Pada awal
pertemuan ia hanya memperlihatkan
sebuah tato di betis kanan bawah sebelah
luar yang bergambar kepala Macan
Kemayoran dan bertuliskan “The Jakmania
Marhaenis”. Pada pertemuan kedua,
informan menunjukkan bahwa ternyata ia
punya lebih dari satu tato. Ia memiliki 5
buah tato. Tato bertuliskan “212” di
pangkal lengan kiri sebelah dalam, gambar
labu hallowen di betis kiri sebelah luar,
dan gambar wajah anak laki-laki
sulungnya di lengan sebelah kiri. Informan
2 merupakan orang Betawi.
Informan 3 saat ini masih terdaftar
sebagai pelajar STM di daerah Tanjung
Priok. Informan juga aktif sebagai anggota
The Jakmani, tetapi di satu sisi ia juga
menjadi anggota tim sepakbola U17
Persitara (Jakarta Utara). Pria berusia 16
tahun ini merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara (2 laki-laki, 1 perempuan).
Informan 3 berasal dari suku Jawa.
Konstruksi Identitas Anggota The
Jakmania
Istilah konstruksi identitas dalam
penelitian ini adalah membangun sebuah
identitas melalui interaksi individu dengan
orang lain di dalam kelompok, yang pada
akhirnya membentuk identitas baru bagi
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
69
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
anggota kelompok tersebut, dalam hal ini
adalah anggota The Jakmania.
Konstruksi identitas bisa terbentuk
dari berbagai macam hal. Identitas ada
yang melekat atau idiosinkratik (identitas
personal) seperti gender, ciri khas fisik,
dan sebagainya. Selain identitas yang
melekat juga ada identitas sosial yang
merupakan hasil negosiasi melalui media
bahasa.
ISSN : 2085 – 0328
Pernyataan informan 2 diperkuat
oleh informan 3 sebagai berikut:
“Awalnya ya..kakak, kakak lumayan
dia penggemar Persija juga kan, dia sejak
tahun 97, dia sama teman-temannya jalan.
Ya..sejak tahun 2000 itu gua diajak jalan
ke Lebak Bulus. Waktu itu gua masih
kecil..masih SD.”
Konstruksi Identitas
Ketiga
informan
kemudian
memutuskan untuk bergabung dalam
kelompok TJm yang dilatarbelakangi oleh
banyak faktor. Faktor-faktor itu berupa
hobi terhadap sepakbola, dukungan dari
keluarga dan teman, pandangan dari
masyarakat sekitar terhadap diri mereka.
Keluarga dan teman merupakan
particular others yang membantu ketiga
informan dalam membentuk pemahaman
mengenai diri mereka yang menyukai
sepakbola, seperti yang dikatakan oleh
Informan 1 mengenai peranan temannya:
“...dulu nonton, nonton, dulu nonton
yang cuma berdua doang ama kawan,
sekarang kawannya juga masih nonton
juga, nonton berdua ama kawan, lamalama kan lama-lama ada ngikut kawan lagi
kawan lagi banyak, kan..”
Dari pernyataan ketiga informan di
atas, terlihat bahwa peran dari particular
others sangat kuat dalam membentuk
pemahaman diri informan terhadap
sepakbola. Dan peristiwa yang mereka
alami tersebut pada akhirnya membawa
mereka bergabung ke dalam kelompok
TJm.
Sementara itu, lingkungan eksternal
(society) berupa media massa tertutama
televisi, pandangan dari masyarakat sekitar
merupakan generalized others yang
memberikan informasi mengenai peranan,
aturan dan sikap yang dimiliki bersama
oleh TJm. Pada kasus ini misalnya,
informan 2 menyatakan bagaimana
lingkungan membatasi dirinya untuk dapat
mengaktualisasikan diri dan pertanyaanpertanyaan yang menyinggung status
sosialnya, yakni:
“gue sendiri akhirnya memutuskan
untuk ikut masuk ke organisasi suporter
karena memang kebutuhan. Dan juga
sekaligus tempat aktualisasi diri, karena
karang taruna mati..Geng sepeda, gue ga
punya sepeda..Gue memutuskan tempat
aktualisasi diri gue ya di bola..Gue paling
empet kalo kenalan sama cewek, selalu
ditanyain 3 hal, nama, rumah dan sekolah
di mana. Dan gue ga bisa menjawab soal
itu. Nah makanya gue butuh status sosial
untuk bisa ngejawab. Kan kita jadi minder
gitu kan kalo ditanya....”
Sementara
itu,
informan
2
menceritakan
bagaimana
peran
keluarganya:
“Kalo nonton ke stadion sih sama
bokap, dari SMP....Kakak gue, abang
gue..itu pelatih gue sepakbola.”
Informan 3 menyatakan pengaruh
media massa terhadap ketertarikannya
dengan sepakbola terutama Persija yaitu
sebagai berikut:
“Udah suka sih...dari layar kaca..dari
tv.”
Identitas Sebelum Masuk TJm
Sebelum bergabung dalam TJm,
ketiga informan merupakan penggemar
sepakbola
dan
suka
menyaksikan
pertandingan sepakbola di stadion maupun
melalui layar kaca. Informan 1 bekerja
sebagai pegawai sebuah hotel di Jakarta.
Informan 2 dikenal sebagai mantan pemain
Persigawa dan juga sebagai mantan
pemakai serta pengedar narkoba. Informan
3 dikenal sebagai seorang pelajar.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
70
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
Pada saat berinteraksi dengan
particular others dan generalized other,
masing-masing informan menggunakan
pikiran (mind) misalnya menggunakan
bahasa Indonesia, bahasa ibu (Betawi,
Jawa), dan juga melalui proses pemikiran
(thought) misalnya ketika ingin menonton
sepakbola dan ikut bergabung ke dalam
TJm. Aktivitas pengambilan peran (role
taking) tampak pada saat informan 2
menyatakan rasa minder saat ditanya soal
nama, rumah dan sekolah di mana. Di sini,
informan melihat dirinya dari perspektif
seorang perempuan ketika memandang
seorang pria yang tidak bersekolah dan
status sosialnya tidak jelas.
Perasaan minder yang dialami
informan 2 juga sesuai dengan tahapan
yang ada pada konsep looking glass self,
di mana ia melalui tahapan mencoba
membayangkan bagaimana dirinya terlihat
di mata orang lain (terutama perempuan
yang bertanya mengenai kondisi latar
belakangnya), membayangkan penilaian
mereka mengenai penampilannya, dan
kemudian ia merasa tersakiti atau bangga
berdasarkan perasaan pribadi ini. Untuk
kasus pertanyaan mengenai latar belakang
dirinya ini, informan merasa tersakiti
sehingga muncul rasa minder.
Proses pengambilan peran (role
taking) juga memungkinkan informan 2
mengembangkan
kapasitas
untuk
berempati dengan orang lain dalam hal ini
anggota TJm, seperti yang dinyatakan
berikut ini:
“...makanya gue bikin outlet itu
semangatnya
bukan
bisnis
tapi
pemberdayaan. Karena gue pengen semua
ngerasain itu. Karena gue tau susahnya
sekolah, ampe mau kuliah aja susah
banget...”
Pernyataan ini juga dikuatkan oleh
informan 1 seperti berikut ini:
ISSN : 2085 – 0328
“....ini juga lagi konsep juga
nih..konsep buat koperasi, mau bikin
koperasi (simpan pinjam)..”
Setelah ketiga informan bergabung
sebagai anggota TJm, mereka saling
berinteraksi
untuk
mengembangkan
pikiran (mind) agar dapat menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama. Simbol yang biasa digunakan
berupa simbol verbal dan nonverbal yang
kemudian dilanggengkan dan menjadi ciri
khas atau identitas bagi setiap anggota
TJm.
Simbol verbal seperti: sapaan “bro”
kepada sesama anggota, lagu-lagu atau
yel-yel
yang
dinyanyikan
saat
menyaksikan pertandingan. Sedangkan
simbol nonverbal seperti: posisi ibu jari
dan jari telunjuk yang membentuk huruf
“J”, pakaian dan asesoris yang dominan
berwarna orange dan selalu bertemakan
TJm atau Persija, tato kepala Macan
Kemayoran, salaman ala barat, panggilan
yang berdasarkan jabatan. Terkait dengan
panggilan berdasarkan jabatan, informan 1
mengatakan:
“....Iya nih, gara-gara gue Korwil,
makanya dipanggil “wil..wil.”
Informan 2 menjelaskan arti simbol
yang digunakan oleh anggota TJm, sebagai
berikut:
“Jakarta...J..Orens,
orens
kan
warnanya Jakarta. Simbol-simbol yang
mencerminkan warga Jakarta, Betawi pasti
dipake.
Kayak
Macan
Kemayoran..Benyamin Sueb yang namanama film-nya dipake jadi nama outlet.
Lagu-lagu The Jak banyak berisi sindiran”
Pemakaian atribut TJm setiap hari
dipertegas oleh informan 3 yang
menyatakan:
“Hampir setiap hari.....iya...emank
karena bangga.”
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
71
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
Menjadi anggota TJm dan interaksi
yang dilakukan secara terus menerus di
antara
sesama
anggota
akhirnya
membentuk konsep diri anggotanya, dan
ditambah dengan atribut-atribut yang
dikenakan akhirnya memberikan identitas
baru bagi anggota-anggota TJm.
Konsep diri yang dimiliki oleh
ketiga informan dalam penelitian ini
hampir sama. Hal ini terlihat dari
pengamatan peneliti dan pernyataan yang
diberikan oleh sesama anggota TJm, yaitu
informan 2.
“Gue sih orangnya serius santai
aja..Demennya, demen gaul aja...”
Konsep diri para anggota TJm juga
mendapat pengaruh dari beberapa tokoh
(generalized other) yang mereka anggap
sebagai orang yang berasal dari, bisa
membebaskan
dan memperjuangkan
rakyat kecil. Munculnya tokoh-tokoh
seperti Benyamin Soeb, Che Guevara,
Soekarno, bahkan Bob Sadino ini juga
dikarenakan kecintaan mereka terhadap
pencapaian tokoh-tokoh tersebut.
Identitas Sesudah Masuk TJm
Para anggota TJm bisa langsung
dikenali dari atribut terutama pakaian yang
berwarna orange dan salam “J” yang
menjadi ciri khas mereka dan selalu
dipertukarkan dengan sesama anggota
TJm. Tetapi, sebagai anggota TJm,
informan juga menyadari bahwa banyak
pandangan dari masyarakat bahwa
kelompok suporter sepakbola sangat
identik dengan kerusuhan dan tindakan
anarkis.
Menanggapi pandangan masyarakat
mengenai TJm yang suka terlibat
kerusuhan, ketiga informan tidak sepakat
dengan pandangan masyarakat tersebut.
Berikut kutipan dari ketiga informan:
“...nonton di Tangerang, disambitin
masak kita diem bisa ancur, ini kan bukan
tembok, nglawan, yang penting kita pulang
gak ngacak-ngacak, nahan diri aja kan”
(Informan 1).
ISSN : 2085 – 0328
“Ya itu menurut orang-orang
sih..sebenarnya kalo gak ada yang mulai
rusuh..jakmania gak akan mungkin mulai”
(Informan 3).
Pernyataan kedua informan di atas
menunjukkan bahwa tidak pernah memulai
tawuran apabila tidak dipancing atau
diprovokasi. Mereka juga tidak setuju bila
TJm selalu dikaitkan dengan kejadian
kerusuhan. Hal ini diperkuat melalui
pernyataan Informan 1 bahwa keberadaan
TJm malah dapat mengurangi tawuran
antar pelajar dan kampung.
“Iya, contoh kongkrit itu di
Manggarai. Itu Berlan, Tambak sering
ribut, tapi sejak ada TJm jadi kurang.
Begitu mau bentrok...The Jak (sambil
menunjukkan simbol J dengan jari telunjuk
dan ibu jari)...selesai. Fanatisme kampung
harus runtuh..gitu.”
Pernyataan dari informan 1 ini
menegaskan bahwa dengan bergabung
dalam TJm, fanatisme terhadap daerah,
kampung, suku bisa dikurangi karena
bernaung dalam satu kelompok yang sama.
Dengan demikian mereka memiliki
identitas yang sama.
Selain itu, untuk membuktikan
kepada masyarakat bahwa TJm juga
memiliki kepedulian terhadap masyarakat
dan lingkungan sekitar di mana mereka
berada. Kelompok TJm beberapa kali
terlibat dalam kegiatan sosial di
lingkungannya. Hal ini dilakukan oleh
informan 1 dan 2 yang bisa dilihat dari
pernyataan yang mereka berikan sebagai
berikut:
“...belum lama kan kita ngegali
lobang biopori. Selain pertandingan, ni
kemaren Kalimantan jalan, kita ni
ngedukung tim PON DKI, anak-anak jalan
ke Kalimantan sebulan” (Informan 1).
“...kemarin kita kerjasama dengan
Green Radio nanem bakau. Trus ulang
tahun yang ke-11 kemarin kita coba
berinteraksi dan berintegrasi dengan
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
72
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
masyarakat, misalkan program kerja bakti
kampung.
Itu
semata-mata
bahwa
sesungguhnya kita jadi suporter itu hanya
8 jam dari 24 jam, selebihnya kita kembali
ke masyarakat” (Informan 2).
Berdasarkan pernyataan dari para
informan di atas, ternyata anggota TJm
berusaha untuk membuktikan kepada
masyarakat bahwa pandangan negatif
tentang TJm yang sering rusuh dan terlibat
tawuran tidak selamanya benar. Pengurus
pusat TJm sebenarnya juga memiliki
program-program
untuk
pembinaan
anggota. Namun, kadangkala terbentur
dengan konsep diri masing-masing
anggota seperti yang dinyatakan oleh
informan 2 bahwa sebagai suporter mereka
harus seperti seniman yang tampil urakan,
hidup tidak teratur. Karena menganggap
diri seperti seniman maka mereka
memandang pribadinya sebagai orang
yang
santai,
supel,
suka
gaul,
berpenampilan
urakan.
Mereka
menyamakan diri dengan seniman karena
menciptakan lagu-lagu, yel-yel, dan
sebagainya.
Dari
hasil
penelitian,
bisa
digambarkan bahwa konstruksi identitas
terbentuk dari berbagai macam hal.
Identitas ada yang melekat atau
idiosinkratik (identitas personal) seperti
gender, ciri khas fisik, dan sebagainya.
Selain identitas yang melekat, juga ada
identitas sosial yang merupakan hasil
negosiasi
melalui
media
bahasa.
Konstruksi identitas anggota TJm juga
merupakan hasil negosiasi, di mana hal ini
merupakan
proses
yang
bersifat
konvergensi untuk mencapai pengertian
bersama di antara anggota kelompok.
Identitas anggota TJm sendiri
akhirnya menjadi hampir seragam karena
kelompok tersebut berkomunikasi dengan
simbol verbal dan nonverbal yang
dimaknai bersama. Selain itu, konsep diri
mereka juga hampir sama karena adanya
kesamaan tokoh yang menjadi panutan
untuk bertindak dan berperilaku.
ISSN : 2085 – 0328
Perubahan Identitas Diri Sebelum
dan Sesudah Bergabung dengan
TJm
Berdasarkan hasil wawancara dan
pengamatan, peneliti menemukan adanya
perubahan identitas diri ketiga informan
sebelum dan sesudah menjadi anggota The
Jakmania. Perubahan identitas tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sebelum bergabung dengan TJm.
Berikut ini petikan wawancara
dengan informan pada saat ditanyakan
mengenai identitas dirinya sebelum
bergabung dengan TJm.
“Sebelum gabung di The Jak,
identitas sosial gue nyaris hanya sebagai
orang Betawi (primordial), tapi itu belum
memenuhi
kebutuhan
sosial
gue”
(Informan 2).
“Gue cuma sekolah aja” (Informan 3).
b.
Sesudah bergabung dengan TJm.
Berikut petikan wawancara dengan
informan ketika ditanyakan mengenai
identitas dirinya sesudah bergabung
dengan TJm.
“Setelah gabung dengan The Jak gue
merasa utuh sebagai orang Jakarta yang
multikultural, karena The Jak mampu
menginspirasi orang yang bukan Betawi
mau cinta Jakarta dengan cara yang beda”
(Informan 2).
“Iya...supaya
menjadi
Persija” (Informan 3).
pemain
Setiap orang membutuhkan identitas
untuk diakui keberadaannya dalam
masyarakat baik sebagai makhluk individu
maupun sosial. Identitas ada yang melekat
dan ada yang dinegosiasikan melalui
interaksi dengan individu lain. Setiap
manusia adalah makluk yang dinamis dan
kreatif oleh karena itu mereka akan selalu
menjadi individu baru setiap saat. Hal ini
juga disebabkan, karena sebagai individu,
manusia selalu mereproduksi makna atau
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
73
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
simbol baru setiap kali ia berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya. Begitu juga
dengan perubahan identitas yang dialami
oleh ketiga informan dalam penelitian ini,
sebelum dan sesudah bergabung dalam
kelompok TJM.
Informan
1
sebelum
masuk
kelompok TJm, ia tidak masuk
keanggotaan manapun dan ia juga belum
memiliki tato. Tetapi sejak menjadi
anggota TJm, ia kemudian menato
tubuhnya untuk menunjukkan identitasnya.
Selain itu kini ia memiliki status sebagai
kordinator wilayah (korwil) Utan Kayu
dan dengan mengenakan pakaian serta
atribut TJm setiap hari, identitas Jakmania
semakin nyata. Sejak menjadi korwil ia
juga memiliki tanggung jawab terhadap
anggota TJm Utan Kayu, misalnya ketika
terjadi kerusuhan antar suporter ia
bertanggungjawab untuk menyelesaikan
segala urusan bahkan hingga ke kantor
polisi. Demikian juga dengan pemberian
sanksi kepada anggota wilayah Utan Kayu
yang melanggar aturan.
Identitas personal informan 2
sebelumnya
adalah
orang
yang
pemberontak, ia tidak suka diatur oleh
orang
tua
maupun
orang
lain.
Pemberontakannya telah tampak ketika ia
nekat menato tubuhnya pada saat duduk di
SMA. Karena terlibat dengan penggunaan
narkoba, ia keluar dari bangku kuliah yang
baru setahun ia masuki, selain juga karena
tidak ada biaya. Setelah masuk sebagai
anggota TJm, informan merasa ia lebih
memiliki status sosial di masyarakat, dan
ia tidak merasa rendah diri lagi karena
tidak bersekolah. Ia juga sudah berhenti
menjadi pemakai dan saat ini tidak minum
minuman keras dan merokok. Selain
bergabung dengan TJm, ia juga bergabung
dengan kelompok-kelompok seperti: OI
(Orang Indonesia: fans club Iwan Fals),
FKMJ (Forum Komunikasi Mahasiswa
Jakarta), JOTI (Jaringan Orang Terinfeksi
HIV Aids). Karena juga menjabat sebagai
litbang TJm pusat dan sebagai anggota
sepuh yang masih aktif, pendapat dan
ISSN : 2085 – 0328
pandangannya sangat diperhatikan oleh
anggota TJm Utan Kayu lainnya.
Identitas sosial awal informan 3
dilihat dari etnisitas yang ia miliki adalah
orang Jawa. Sebelum bergabung dengan
TJm, informan 3 hanya dikenal sebagai
pelajar. Namun, setelah bergabung dan
mengenakan atribut TJm setiap hari, ia
dikenal sebagai seorang anggota TJm dan
memiliki keinginan untuk bergabung
dengan tim Persiija U21.
Identitas ketiga informan juga
semakin menguat seiring dengan lamanya
waktu mereka bergabung dan intensitas
pertemuan dengan sesama anggota.
Informan 1 sudah bergabung sejak tahun
2004, informan 2 sejak 1999, dan
informan 3 sejak 2002. Informan 1 dan 2
banyak menghabiskan waktu di outlet
Utan Kayu yang sekaligus merupakan
basecamp TJm Utan Kayu. Sementara
informan 3 berkumpul dengan sesama
anggota TJm setiap hari Rabu di Kayu
Tinggi, Jakarta Timur.
Alasan Perilaku Fanatisme Berlebihan
Sepakbola tidak jarang menjadi
pemicu keributan yang diakibatkan oleh
benturan emosi antar suporter, kekecewaan
akibat kalah, keputusan wasit, dan
sebagainya. Fanatisme suporter dan
tindakan brutal yang kerap dilakukan
melahirkan sebutan baru bagi suporter
fanatik tersebut, seperti Hooligans di
Inggris, Ultras di Italia. Di Indonesia
sendiri tidak ada satu julukan resmi bagi
suporter yang fanatik. Julukan-julukan
yang ada khusus untuk suporter dari klubklub sepakbola yang berasal dari daerahdaerah, seperti Bonek (Persebaya), The
Viking atau Bobotoh (Persib), The
Jakmania (Persija).
Dari hasil wawancara dan observasi
yang dilakukan, munculnya fanatisme
berlebihan dapat disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu:
a. Solidaritas
Solidaritas ketiga informan dalam
penelitian ini sangat kuat. Hal ini terlihat
dari jawaban-jawaban yang diberikan
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
74
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
terkait dengan solidaritas pada saat terjadi
tawuran dan di kehidupan sehari-hari
dalam lingkungan TJm.
“....Di toko siapa aja boleh naro
barang asalkan anggota. Ada nih Jak
Bekasi naro barang, yang penting mereka
punya anggota (kartu anggota) dan
sovenirnya Persija” (Informan 1).
“Kita baru tadi siang, ada sekitar 50
orang, ngedatangen Sekolah Tirta Sari
Surya. Karena anggota kita ada dipukulin
ampe biru...Ini anggota kita, dia punya
KTA dan berhak kita lindungi, kita
advokasi. Bahkan kalo kehabisan bensin di
jalan, asal pake baju Jakmania aja, kita
berani negor, ditolong” (Informan 2).
“Kalo ada temen sesama The Jak
yang butuh bantuan dan pas gue bisa
bantu....ya gue bantuin” (Informan 3).
b. Pandangan mengenai tawuran.
Terkait dengan pandangan informan
mengenai tawuran, ketiga informan
mengatakan bahwa TJm tidak akan terlibat
tawuran jika tidak diprovokasi oleh pihak
lain. Biasanya mereka melakukan tawuran
untuk mempertahankan harga diri (self
esteem) kelompoknya. Pandangan bahwa
TJm tidak pernah memulai tawuran tidak
berlaku ketika mereka bertemu dengan
suporter Persib (The Viking), baik itu bila
TJm ke Bandung maupun sebaliknya. Hal
ini terjadi karena dendam lama akibat
“penghianatan” yang dilakukan The
Viking terhadap TJm saat mereka
bertandang ke Bandung.
c. Penyebab tawuran.
Masing-masing informan memiliki
pendapat
yang
berbeda
mengenai
penyebab
tawuran.
Informan
1
mengatakan sebagai berikut:
“...nonton di Tangerang, disambitin
masak kita diem aja bisa ancur, ini kan
bukan tembok, nglawan, yang penting kita
pulang ga ngacak-ngacak, nahan diri aja
kan. Ya kayak gini ae, kalo kita ga ngasih,
ISSN : 2085 – 0328
kalo dia jual kita beli, kita kan diem, kita
asik, kalo dia usik ya kita ini (sambil
mengibaskan tangan).”
Pendapat yang berbeda dikemukakan
oleh informan 2:
“...Ini sengaja dibikin konflik terus.
Ada invisible hand, walopun gue ga bisa
membuktikan itu. Kita ga terbiasa
berbeda...tingkat pemahaman mengenai
perbedaan satu sama lain tida sama,
tingkat pengetahuannya berbeda. Sehingga
ini yang melahirkan fanatisme.”
Sementara
itu,
informan
3
mengatakan:
“Kalo ada yang nyerang pasti kita
bales, karena bukan kita yang mulai
duluan.”
d. Loyalitas
Loyalitas
diartikan
sebagai
kepatuhan,
kesetiaan
(www.pusatbahasa.diknas.go.id).
Oleh
karena itu, dalam penelitian ini loyalitas
dapat diartikan sebagai kepatuhan,
kesetiaan
anggota
TJm
terhadap
kelompok. Berdasarkan hasil wawancara
dan pengamatan yang dilakukan peneliti,
ada dua bentuk loyalitas yang tergambar
dari ketiga informan. Informan 1 dan 2
memiliki loyalitas yang lebih kuat
dibandingkan
dengan
informan
3.
Informan 1 menunjukkan loyalitasnya
dengan keluar dari pekerjaan tetapnya
hanya demi mengikuti touring. Informan 2
menunjukkan loyalitas terhadap TJm
melalui usahanya untuk mencari funding
bagi pembinaan dan pemberdayaan
anggota TJm Utan Kayu.
Baik informan 1 dan 2 menato tubuh
mereka
dengan
lambang
Macan
Kemayoran. Sementara itu, informan 3
memiliki loyalitas yang tersembunyi
(terselubung) karena di satu sisi ia anggota
dan sering berkumpul dengan anggota
TJm, sementara di sisi lain ia tergabung
dengan tim sepakbola Persitara U17.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
75
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
“Gue bikin outlet itu semangatnya
bukan bisnis, tapi pemberdayaan. Karena
gue pengen semua ngerasain itu...Makanya
dalam waktu dekat PR gue adalah
menyiapkan funding, ntah itu bank yang
mau menyalurkan kredit ke outletoutlet...Iya,
ini
(sambil
menunjuk
Informan 1) sampe berhenti kerja dua kali.
Dia dikeluarin dari hotel gara-gara tur ke
Jawa” (Informan 2).
“Iya...gue sekarang di tim U17
Persitara, tapi tujuan gue nantinya untuk
masuk ke Persija. Ini sebagai jalur gue
untuk masuk ke tim impian gue”
(Informan 3).
Loyalitas dan solidaritas anggota
terhadap kelompok juga terkait dengan
lamanya
ia
bergabung,
intensitas
pertemuan dengan sesama anggota, dan
kontribusi kelompok terhadap kehidupan
mereka. Dengan menjabat sebagai Korwil
Utan Kayu, informan 1 memiliki status
yang lebih dibandingkan bila hanya
menjadi anggota. Ia juga menjadi lebih
sering berinteraksi dengan pengurus pusat
dan anggota-anggota yang ia bawahi.
Jabatan dan ikatan yang erat dengan
sesama anggota TJm memunculkan
solidaritas di antara mereka. Selain itu,
informan 1 juga bisa memeroleh
pendapatan dari potongan hasil penjualan
tiket dan bagi hasil usaha outlet.
Jabatan sebagai pengurus litbang
pusat juga memberikan arti tersendiri bagi
informan 2 karena dengan jabatan tersebut
dan lamanya ia bergabung, ia dianggap
sebagai sesepuh, panutan, dan selalu
dimintai nasehat berkaitan dengan
perkembangan TJm Utan Kayu. Ia pun
meyakini bahwa bergabung dengan TJm
bisa dijadikan media untuk berkreasi dan
menghasilkan sesuatu yang berguna,
seperti pendapatan. Ini dapat dilihat dari
beberapa usaha yang dijalankannya
bersama anggota TJm Utan Kayu lainnya,
seperti outlet dan cuci kiloan.
Informan 3 juga memiliki loyalitas
terhadap TJm, namun karena di satu sisi ia
ISSN : 2085 – 0328
juga tergabung dalam tim sepakbola
Persitara U17, bisa dikatakan bahwa
loyalitas
tersebut
adalah
loyalitas
terselubung. Dibandingkan informan 1 dan
2, informan 3 lebih sedikit intensitas
pertemuannya dengan sesama anggota
TJm lainnya. Ia hanya berkumpul
seminggu sekali.
Berdasarkan
data-data
yang
diperoleh dari penelitian ini, terlihat bahwa
ketiga informan memang mempunyai
beberapa
alasan
mengapa
mereka
berperilaku fanatik secara berlebihan
terkait dengan keanggotaan kelompok.
Alasan yang dikemukakan oleh para
informan berkaitan dengan solidaritas,
pandangan, pendapat mengenai tawuran
dan loyalitas mereka terhadap kelompok
TJm. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika ada sesuatu yang dirasakan
mengganggu
keberadaan
kelompok
mereka, maka anggota kelompok akan
bertindak.
Mengganggu
keberadaan
kelompok berarti sama saja dengan
mengganggu konsep diri dan harga diri
para anggota TJm. Wajar saja jika
kemudian kelompok itu melakukan
perlawanan demi mempertahankan harga
diri mereka dan kelompok.
Sudah menjadi hal yang lazim ketika
suatu
kelompok
merasa
bahwa
kelompoknya yang paling istimewa dan
memiliki superioritas dibanding kelompok
lain. Ketika perasaan superioritas yang ada
pada dua atau lebih kelompok bertemu,
maka bisa dipastikan akan terjadi gesekan
karena tidak ada kelompok yang mau
mengalah,
karena
masing-masing
kelompok mempunyai tujuan yang sama
yakni mempertahankan rasa superioritas
tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, konstruksi identitas anggota
TJm terbentuk akibat interaksi dengan
sesama anggota TJm. Identitas tersebut
kemudian lebih ditekankan karena faktor
kesamaan pandangan dan persepsi dalam
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
76
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
kelompok TJm dan itu diperkuat oleh
persepsi yang sama tentang simbol verbal
dan nonverbal yang diolah melalui proses
pikiran (mind). Dalam pembentukan
identitas ini, mereka dipengaruhi juga oleh
particular other dan generalized other
(society).
Ketiga informan dalam penelitian ini
mengalami perubahan identitas dalam hal
status sosial setelah bergabung dengan
kelompok TJm. Hal ini berpengaruh
terhadap kehidupan secara individual,
yang awalnya mereka tidak dipandang di
masyarakat karena status sosial ekonomi,
saat ini, setelah bergabung mereka
memiliki ingroup yang memperkuat
identitas individu mereka.
Informan dalam penelitian ini
merasa bahwa TJm adalah kelompok yang
bisa memberikan sesuatu yang mereka
inginkan, dan mereka juga merasa bahwa
kelompok TJm ini lebih bila dibandingkan
dengan kelompok yang lain. Selain itu
loyalitas dan solidaritas terhadap TJm
sangat berpengaruh terhadap sikap
fanatisme yang berlebihan ini.
Saran
Peneliti
beranggapan
bahwa
penelitian
yang
dilakukan
belum
maksimal, salah satunya karena hasil
observasi yang belum memadai. Dalam
penelitian ini, informan belum dapat
diminta untuk membuat diary report
dikarenakan kedekatan personal antara
peneliti dan informan belum dibangun
secara maksimal. Dikarenakan situasi
politik Indonesia yang kurang kondusif
(penelitian dilakukan pada saat PEMILU
2009), peneliti tidak dapat melakukan
observasi lapangan untuk melihat perilaku
anggota TJm ketika berada dalam
kelompok dan di dalam stadion.
Oleh
karena
itu,
peneliti
menyarankan kepada mereka yang tertarik
untuk melakukan penelitian serupa agar
dapat melakukan observasi yang lebih
dalam dan melakukan diary report.
ISSN : 2085 – 0328
Gudykunts, William B. & Yun Kim,
Young. 1997. Communicating With
Strangers,
An
Approach
to
Intercultural Communication 3rd Ed.
USA: McGraw-Hill.
Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik
Praktis Riset Komunikasi, Disertai
Contoh Praktis Riset Media, Public
Relations, Advertising, Komunikasi
Organisasi, Komunikasi Pemasaran.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Maleong, Lexy J. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya
McQuail, Denis. 2002. McQuail’s Reader
in Mass Communication Theory.
London: Sage Publication.
Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative
Research & Evaluation Methods.
Third Edition. London: Sage
Publication.
Pawito, 2008. Penelitian Komunikasi
Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Raho, Bernard SVD. 2007. Teori Sosiologi
Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Ritzer, Douglas & Goodman, Douglas J.
2008. Teori Sosiologi, Dari Teori
Sosiologi
Klasik
Sampai
Perkembangan
Mutakhir
Teori
Sosial Posmodern. Penerjemah:
Nurhadi.
Yogyakarta:
Kreasi
Wacana.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial (Pemikiran Norman
K. Denzin & Egon Guba, dan
Penerapannya). Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
West, Richard, & Turner, Lynn H. 2008.
Pengantar
Teori
Komunikasi,
Analisis dan Aplikasi. Jakarta:
Salemba Humanika.
Situs
http://news.okezone.com/index.php/ReadS
tory/2008/12/27/1/177366/suporterpersikabo-dan-jakmania-terlibattawuran. Sabtu, 27 Desember 2008.
Suporter Persikabo dan Jakmania
DAFTAR PUSTAKA
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
77
JURNAL ILMU SOSIAL-FAKULTAS ISIPOL UMA
ISSN : 2085 – 0328
Terlibat Tawuran. Diunduh: 15 April
2009.
http://psbps.org.
Yayah
Khisbiyah.
“Menepis Prasangka, Memupuk
Toleransi Untuk Multikulturalisme:
Dukungan Dari Psikologi Sosial.”
Diunduh: 12 Mei 2009.
Kompas Cyber Media. Rabu, 13 Maret
2002. ”Bobotoh” Persib Dikeroyok
The Jakmania. Diunduh: 15 April
2009.
www.fisip.uns.ac.id.
Ika
Megawati
Sebayang. “Identitas dan Citra Diri
Kaum Gay di Kota Surakarta.”
Diunduh: 12 Mei 2009.
www.jakmania.org. Situs Resmi The
Jakmania.
www.Kompas.com. Senin, 5 Juni 2000.
“Soccer Tribe ke Medan Perang.”
www.youtube.com/hardline-Jakamania.
Diunduh Maret 2009.
Tesis
Priyambodo, Daru. 2008. Adaptasi
Organisasi Newsroom dan Proses
Produksi Berita dalam Media Online
Berbasis Media Cetak (Studi Kasus
Tempo
Newsroom).
Jakarta:
Universitas Indonesia.
Zuniar, Benny. 2007. Konstruksi Identitas
Melalui Media di Kalangan Remaja
(Konstruksi Identitas Sunda Melalui
Majalah Mangle-Artikel Mangle
Remaja).
Jakarta.
Universitas
Indonesia.
PERSPEKTIF/ VOLUME 4/ NOMOR 1/ APRIL 2011
78
Download