(POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM) Oleh

advertisement
PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG
(POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM)
Oleh: Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum
Direktorat Hukum Bank Indonesia
I.
Pendahuluan
Fungsi uang telah berkembang
pesat, dari yang semula hanya
sebagai alat tukar, kemudian
berkembang
sehingga
memiliki
fungsi sebagai ukuran umum dalam
menilai sesuatu (common measure
of value), sebagai aset likuid (liquid
asset), bahkan dewasa ini fungsi
uang
telah
berkembang
dan
memiliki fungsi yang lebih kompleks
lagi, yaitu antara lain sebagai
komponen
dalam
rangka
pembentukan
harga
pasar
(framework of the market allocative
system), faktor penyebab dalam
perekonomian (a causative factor in
the
economy),
dan
faktor
pengendali
kegiatan
ekonomi
1
(controller of the economy).
Di Indonesia, lembaga yang memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah serta
mencabut,
menarik,
dan
memusnahkan uang dimaksud dari
2
peredaran adalah Bank Indonesia.
1
Davies, Glyn, ‘A History of Money From Ancient Times
to the Present Day’, 2002.
2
Pasal 20 UUBI.
Berkaitan dengan fungsi uang
tersebut di atas, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam pidato
sambutan dalam rangka peresmian
kawasan Perum Percetakan Uang
Negara (Perum Peruri) di Karawang
pada tanggal 2 Februari 2005
menegaskan “Bagi bangsa kita,
mencetak uang bukan sekedar
melakukan kegiatan usaha di bidang
jasa percetakan belaka. Tetapi,
kegiatan itu juga merupakan bagian
dari upaya negara dalam menjaga
dan mempertahankan ketahanan
nasionalnya. Uang suatu negara
bukanlah sekedar alat pembayaran,
tetapi juga simbol dari suatu negara
yang merdeka dan berdaulat”.
II.
Hukum
positif
penegakan hukum
dan
Aturan hukum yang mengatur
tentang mata uang dan kejahatan
terhadap mata uang di Indonesia
bukanlah merupakan hal yang baru.
Di masa pemerintahan Hindia
Belanda, pernah berlaku Indische
Muntwet3 1912 sebagai Undang-
3
Muntwet adalah istilah dalam bahasa Belanda. Munt
berarti uang dan wet berarti Undang-Undang.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
1
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Undang yang mengatur tentang
mata uang yang tetap diberlakukan
pada masa awal kemerdekaan
Republik
Indonesia
hingga
dinyatakan dicabut pada masa
berlakunya UUDS 1950, yaitu
dengan UU Darurat No. 20 Tahun
1951
tentang
Penghentian
Berlakunya
“Indische
Muntwet
1912” dan Penetapan Peraturan
Baru tentang Mata Uang, yang lebih
dikenal sebagai UU Mata Uang
1951. Selanjutnya, dalam masa
berlakunya UUDS 1950 itu terdapat
3 (tiga) UU yang diberlakukan yang
menambah/mengubah UU Mata
Uang 1951, yaitu: (a). UU No. 27
Tahun 1953 tentang “Penetapan UU
Darurat
tentang
Penghentian
Berlakunya
“Indische
Muntwet
1912” dan Penetapan Peraturan
Baru tentang Mata Uang ( UU No.
20 tahun 1951)” Sebagai UndangUndang; (b). UU Darurat No. 4
Tahun 1958 tentang “Pengubahan
UU Mata Uang Tahun 1953”; dan
(c). UU No. 71 Tahun 1958 tentang
“Penetapan UU Darurat No. 4 Tahun
1958 tentang “Pengubahan UU
Mata Uang Tahun 1953” sebagai
Undang-Undang.
(yang mencabut UU No. 11 Tahun
1953
tentang
Pokok
Bank
Indonesia), maka keempat UU itu
dinyatakan tidak berlaku lagi4.
Sebagai
gantinya,
beberapa
substansi pengaturan tentang mata
uang diatur dalam UU Bank Sentral,
sebagai berikut:
Dalam perkembangannya, sebagai
konsekuensi yuridis atas terjadinya
perubahan politik di dalam negeri,
setelah
diumumkannya
Dekrit
Presiden
5
Juli
1959
yang
menyatakan kembali kepada UUD
1945 dan kemudian dilanjutkan
dengan diberlakukannya UU No. 13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral
(d) Penegasan bahwa uang rupiah
adalah alat pembayaran yang
sah (legal tender) di Indonesia;
(a) Satuan hitung uang, yaitu
bahwa: (i). Satuan hitung uang
Indonesia adalah rupiah; (ii).
Rupiah Indonesia dibagi dalam
100 (seratus) sen;
(b) Kewajiban penggunaan uang
rupiah, dengan
perumusan
bahwa setiap perbuatan yang
mengenai
uang
atau
mempunyai tujuan pembayaran
ataupun tujuan kewajiban yang
harus dipenuhi dengan uang,
jika dilakukan di Indonesia,
dilakukan dalam uang Rupiah
Indonesia, kecuali jika dengan
tegas diadakan ketentuan lain
dengan peraturan perundangundangan;
(c) Diberikannya
hak
tunggal
kepada Bank Indonesia untuk
mengeluarkan uang kertas dan
uang logam;
4
Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 (versi asli): “Macam dan
harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”.
Sedangkan Pasal 54 ayat (2) UU Bank Sentral 1968
menyebutkan: “Dengan pengeluaran Undang-undang
ini, maka Undang-undang tentang Mata Uang Tahun
1951 dengan tambahan dan perubahannya dinyatakan
tidak berlaku”.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
2
Volume 4 Nomor 1, April 2006
(e) Kewenangan Bank Indonesia
untuk menentukan jenis, nilai,
dan ciri-ciri uang yang akan
dikeluarkan;
(f) Pembebasan
uang
yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia
dari bea meterai;
(g) Kewenangan Bank Indonesia
untuk menyatakan uang yang
tidak layak lagi untuk diedarkan
kembali.
Dasar pemikiran dari politik hukum
pengaturan mata uang di dalam UU
Bank Sentral adalah bahwa pada
umumnya di berbagai negara fungsi
dan tugas di bidang pengelolaan
dan pengedaran uang dilakukan
oleh bank sentral yang memiliki hak
khusus untuk menerbitkan uang
kertas dan uang logam (sebagai
otoritas moneter). Pencetakan dan
penerbitan uang oleh suatu negara
tidak dapat semata-mata diterbitkan
begitu saja, melainkan pencetakan
dan penerbitan uang tersebut
sangat terkait dengan kebijakan
moneter suatu negara. Berkenaan
dengan hal tersebut, sesuai dengan
amanat Pasal 23 B UUD 1945 dan
UU Bank Indonesia, Bank Indonesia
memiliki tugas selaku otoritas
moneter, sehingga tugas di bidang
pengedaran uang juga merupakan
tugas Bank Indonesia. Ketentuan
dimaksud, selain diatur dalam UU
Bank Indonesia juga ditegaskan
dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (UU KN)
6 ayat (2) huruf d.
Sementara itu, UU yang memberikan
dasar hukum perumusan delik
kejahatan terhadap mata uang dan
sanksi pidananya diatur dalam
Wetboek van Strafrecht (Stbl.1915
No.732) yang kemudian juga tetap
diberlakukan pada masa setelah
kemerdekaan Republik Indonesia
atas dasar UU No.1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana
Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia
yang
dalam
perkembangannya telah mengalami
beberapa kali perubahan.
Sejak dicabutnya “UU Mata Uang
eks UUDS 1950” itu, maka sejak
tahun 1968 sampai dengan saat ini
Indonesia tidak mempunyai UU yang
khusus mengatur tentang mata
uang.
Saat
ini,
dengan
memperhatikan
perkembangan
masyarakat
dan
mengingat
kebutuhan yang sudah sangat
mendesak, DPR RI telah mulai
memprakarsai penyusunan RUU
tentang Mata Uang dan sudah
menjadi prioritas dalam Prolegnas
2005-2009.
A. Hukum Positif yang mengatur
tentang mata uang dan
kejahatan terhadap mata
uang
Perangkat hukum yang berlaku pada
dewasa ini yang mengatur tentang
aspek-aspek mata uang terdiri dari 2
(dua) UU, yaitu UU No. 23 Tahun
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
3
Volume 4 Nomor 1, April 2006
1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2004 (UUBI) dan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (KUHPi) yang pada dasarnya
merupakan peraturan yang dibuat
pada masa pemerintah kolonial
Belanda 100 tahun yang lalu
(Stbl.1915 No.732).
Pengaturan tentang mata uang
dalam hukum positif yang berlaku
saat ini secara ringkas adalah
sebagai berikut:
1. Pengaturan dalam UUBI, yaitu
pada Pasal-Pasal 2, 3, 19 s.d 23,
serta 65 dan 66, adalah sebagai
berikut:
a. Pasal 2 UUBI mengatur
mengenai: (i). satuan mata
uang RI adalah Rupiah; (ii).
uang rupiah sebagai alat
pembayaran yang sah (legal
tender); (iii). kewajiban untuk
menggunakan uang rupiah
untuk
pembayaran
dan
larangan untuk menolak
uang
rupiah
untuk
pembayaran
bagi
setiap
orang atau badan yang
berada di wilayah NKRI;
serta
(iv).
pengecualian
penggunaan uang rupiah.
b. Pasal 3, larangan pembawaan
uang rupiah dalam jumlah
tertentu ke luar atau masuk
wilayah pabean. Pasal ini oleh
Pasal 77 A UUBI tidak
diamanatkan untuk diatur
dalam UU tersendiri.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
c. Pasal 19, 20, 22 dan 23
UUBI mengatur mengenai
kewenangan
BI
untuk:
(i).
menetapkan
macam,
harga, ciri, bahan, dan
tanggal mulai berlakunya; (ii).
mengeluarkan,
mengedarkan,
mencabut,
menarik, dan memusnahkan
uang; (iii). tidak memberikan
penggantian
atas
uang
yang hilang/musnah; (iv).
memberikan
penggantian
dengan nilai yang sama
terhadap uang yang dicabut
dari peredaran dalam batas
waktu tertentu. Selain itu
Pasal 21 UUBI mengatur
pembebasan uang dari bea
materai.
d. Pasal 65 dan 66 UUBI
merumuskan
bentuk
pelanggaran serta ancaman
pidana
dan
sanksi
administratif,
yaitu:
(i).
pelanggaran dengan sengaja
terhadap
kewajiban
penggunaan uang rupiah
diancam
dengan
pidana
kurungan paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama
3 (tiga) bulan, serta denda
paling
sedikit
Rp
2.000.000,00
(dua
juta
rupiah) dan paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta
rupiah); dan (ii). pelanggaran
karena sengaja menolak uang
rupiah
diancam
dengan
pidana
kurungan
paling
4
Volume 4 Nomor 1, April 2006
singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun,
serta denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
e. Pasal 2 ayat (2) UU No. 24
Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar
yang
mengatur
penggunaan devisa untuk
keperluan transaksi di dalam
negeri, wajib memperhatikan
ketentuan mengenai alat
pembayaran
yang
sah
sebagaimana diatur dalam
UUBI.
2. KUHPi dalam Bab X tentang
pemalsuan mata uang dan uang
kertas pada Pasal-Pasal 244 s.d
252 yang mengatur delik
kejahatan terhadap mata uang
dan ancaman pidana, sebagai
berikut:
a. Pasal
244:
Barangsiapa
meniru atau memalsu mata
uang atau uang kertas
dengan
maksud
untuk
mengedarkan atau menyuruh
edarkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun;
b. Pasal
245:
Sengaja
mengedarkan, menyimpan,
memasukkan, dan menyuruh
mengedarkan uang palsu,
diancam
dengan
pidana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun;
c. Pasal 246: Mengurangi nilai
mata uang dengan maksud
untuk mengeluarkan atau
menyuruh edarkan, diancam
karena
merusak
uang,
diancam
dengan
pidana
penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun;
d. Pasal
247:
Sengaja
mengedarkan mata uang
yang dikurangi nilainya atau
menyimpan
atau
memasukkan dengan maksud
mengedarkan atau menyuruh
edarkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun;
e. Pasal
249
(Pasal
248:
dihapuskan atas dasar Stbl.
1938 No. 593): Sengaja
mengedarkan uang yang
dipalsu
atau
dirusak,
diancam,
kecuali
yang
ditentukan dalam Pasal 245
dan 247, dengan pidana
penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau
denda paling banyak tiga
ratus rupiah.
f. Pasal 250: Membuat atau
mempunyai
persediaan
bahan atau benda untuk
meniru,
memalsu
atau
mengurangkan nilai mata
uang,
diancam
dengan
pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau denda
5
Volume 4 Nomor 1, April 2006
paling banyak
rupiah;
tiga
ratus
g. Pasal 250 bis: Dalam hal
pemidaan karena salah satu
kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini, maka mata
uang palsu, dipalsu atau
dirusak; uang kertas negara
atau bank yang palsu atau
dipalsu; bahan-bahan atau
benda-benda yang menilik
sifatnya digunakan untuk
meniru,
memalsu
atau
mengurangkan nilai mata
uang atau uang kertas,
sepanjang dipakai untuk atau
menjadi
obyek
dalam
melakukan
kejahatan,
dirampas
juga
apabila
barang-barang itu bukan
kepunyaan terpidana;
h. Pasal 251: Dengan sengaja
tanpa
izin
Pemerintah,
menyimpan
atau
memasukkan ke Indonesia
keping-keping atau lembarlembar perak untuk dianggap
sebagai
uang,
diancam
dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak sepuluh
ribu rupiah;
i. Pasal
252:
Dalam
hal
pemidanaan karena salah
satu
kejahatan
yang
diterangkan dalam pasal 244247 itu, dapat dicabut hakhak tersebut pada Pasal 35
No. 1 – 4 yaitu: (i). hak
memegang jabatan pada
umumnya atau jabatan yang
tertentu; (ii). hak memasuki
angkatan bersenjata; (iii). hak
memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan
berdasarkan
aturan-aturan
umum; (iv). hak menjadi
penasihat atau pengurus
menurut hukum, hak menjadi
wali,
wali
pengawas,
pengampu atau pengampu
pengawas atas orang yang
bukan anak sendiri.
Perumusan
delik
yang
mencantumkan syarat “dengan
maksud untuk mengedarkan atau
menyuruh
edarkan”
dapat
melemahkan penuntutan dalam hal
uang
palsu
dimaksud
belum
diedarkan.
Seyogianya
dengan
terpenuhinya unsur meniru atau
memalsu uang, maka delik tersebut
telah memenuhi unsur pemalsuan
uang.
Sedangkan
unsur
mengedarkan seyogianya adalah
merupakan
unsur
yang
memberatkan.
Dalam melihat kasus pemalsuan
uang rupiah, hendaknya tidak
terfokus pada timbulnya kerugian
setelah
uang
palsu
tersebut
diedarkan, akan tetapi haruslah
dilihat pula dari sisi yang lain, yaitu
bahwa
uang
rupiah
adalah
merupakan salah satu simbol
kenegaraan, sehingga tindakan
pemalsuan uang rupiah dapat pula
dianggap
sebagai
kejahatan
terhadap simbol negara. Oleh
karena itu, belum diedarkannya
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
6
Volume 4 Nomor 1, April 2006
uang palsu dimaksud seyogianya
tidak
dijadikan
alasan
yang
meringankan
hukuman
karena
terdakwa belum menikmati hasil
kejahatannya. Seharusnya, yang
dijadikan fokus adalah dengan telah
selesainya perbuatan memalsukan
uang rupiah, maka kejahatan
tersebut telah selesai dilakukan.
Berkaitan dengan hal itu, maka
perbuatan mengedarkan uang palsu
seharusnya adalah delik yang berdiri
sendiri (terpisah dari perbuatan
memalsukan
uang),
sehingga
apabila pelaku pemalsuan uang juga
sekaligus mengedarkan uang palsu
tersebut, maka hukumannya harus
lebih berat.
Melihat dampak dari kejahatan
terhadap mata uang, maka dalam
UU Mata Uang perlu dicantumkan
ancaman
pidana
dan
denda
minimal, supaya tujuan pemidanaan
lebih
efektif
yaitu
untuk
menimbulkan efek jera dapat
dicapai.
B. Penegakan hukum terhadap
kejahatan mata uang
Dari berbagai kasus tindak pidana di
bidang mata uang, hukuman pidana
yang dijatuhkan kepada para pelaku
berdasarkan peraturan perundangundangan yang saat ini berlaku
relatif rendah, padahal patut
dipahami bahwa kejahatan terhadap
mata uang khususnya pemalsuan
uang sebagian besar adalah:
•
Kejahatan yang sifatnya tidak
berdiri sendiri namun merupakan
kejahatan
yang
terorganisir
dengan baik, bahkan sangat
mungkin merupakan kejahatan
yang bersifat transnasional;
•
Pelaku tindak pidana pemalsuan
mata uang pada umumnya para
residivis. Hal ini kemungkinan
disebabkan
hukuman
yang
dijatuhkan terhadap para pelaku
sangat ringan;
•
Pemalsuan terhadap mata uang
memerlukan suatu proses yang
cukup rumit, oleh karena itu
biasanya pelaku tindak pidana
pemalsuan
uang
tersebut
merupakan orang-orang yang
memiliki keahlian khusus.
Oleh
karena
itu,
kejahatan
pemalsuan
mata
uang
perlu
diberikan hukuman yang berat
(setimpal), antara lain dengan
mempertimbangkan
dampaknya
terhadap perekonomian negara.
Hukuman terhadap pemalsu uang
perlu pula dikaitkan dengan jangka
waktu edar suatu emisi uang agar
para pemalsu tersebut setelah
menjalani hukuman tersebut tidak
dapat melakukan pemalsuan lagi
terhadap uang rupiah dengan emisi
yang sama. Selain itu, pidana
penjara saja tidak cukup untuk
menimbulkan efek jera, oleh karena
itu terhadap para pemalsu uang
perlu ditambahkan hukuman lain
yaitu berupa penggantian kerugian
materil yang diakibatkan oleh
kejahatan tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
7
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Perlunya penerapan hukum yang
tegas bagi para pelaku tindak pidana
pemalsuan uang (termasuk para
pengedarnya) juga disampaikan oleh
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono pada acara peresmian
Kawasan Perum Peruri di Karawang.
Secara
tegas
beliau
menginstruksikan kepada kepolisian
dan penegak hukum lainnya untuk
memproses
tindak
pidana
pemalsuan
uang
dan
pengedarannya dengan sungguhsungguh
dengan
menjatuhkan
sanksi yang tegas dan tepat. Hal ini
mengisyaratkan bahwa presiden
memiliki perhatian yang sangat
besar
terhadap
penanganan
kejahatan pemalsuan uang yang
sangat merugikan perekonomian
negara. Selengkapnya dapat dikutip
pernyataan presiden sebagai berikut:
“Oleh karena itulah, merespons
terjadinya kejahatan pembuatan
uang palsu, saya minta kepada pihak
kepolisian dan penegak hukum
lainnya
untuk
memprosesnya
dengan sungguh-sungguh, berikan
sanksi yang tegas dan tepat, karena
sangat,
sangat
merugikan
perekonomian negara kita”.
III.
Paradigma baru
constituendum
dan
ius
A. Perlunya paradigma baru
dalam
menilai
kejahatan
pemalsuan mata uang
Kejahatan pemalsuan mata uang
seharusnya tidak dipandang semata-
mata sebagai suatu kejahatan
pemalsuan sebagaimana pemalsuan
dokumen,
sebab
kejahatan
pemalsuan mata uang merupakan
kejahatan yang berdampak luas,
karena:
•
kekayaan
korban
dan
kemampuannya
untuk
menggunakan uang menjadi
hilang, sebab yang bersangkutan
menjadi pemegang uang palsu
yang
tidak
ada
nilainya
(kejahatan terhadap mata uang
memiliki
akibat
langsung
terhadap
menurunnya
kemampuan ekonomi korban);
•
menurunkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
uang
Rupiah baik domestik maupun
internasional;
•
mengganggu kestabilan ekonomi
nasional.
•
menurunkan wibawa negara
Menurunnya kepercayaan terhadap
rupiah akan menimbulkan biaya
ekonomi yang lebih besar yang
harus ditanggung oleh negara,
karena Bank Indonesia, sesuai
dengan Pasal 7 UUBI, memiliki
tujuan
untuk
mencapai
dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Dalam hal ini Bank Indonesia perlu
melakukan intervensi pasar dalam
rangka memelihara kestabilan nilai
rupiah
dan
hal
tersebut
membutuhkan biaya besar. Selain
itu, Indonesia sebagai negara
berkembang, yang pada saat ini
daya
beli
sebagian
besar
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
8
Volume 4 Nomor 1, April 2006
masyarakatnya
sangat
lemah,
penurunan kemampuan ekonomi
masyarakat
akibat
kejahatan
pemalsuan mata uang akan semakin
memperburuk
kondisi
ekonomi
masyarakat. Dampak ikutannya
adalah
menurunnya kredibilitas
pemerintah di mata masyarakat
karena pemerintah dapat dianggap
tidak
mampu
melindungi
kepentingan masyarakat.
Dengan
demikian,
penurunan
kemampuan ekonomi masyarakat
perlu mendapat perhatian yang
serius, apalagi pada umumnya
korban kejahatan pemalsuan mata
uang adalah masyarakat dengan
kemampuan ekonomi yang rendah,
misalnya pedagang kecil (warung/
asongan).
Apabila
kelompok
masyarakat tersebut mendapat uang
palsu dari pembeli, hal tesebut tidak
hanya
menimbulkan
kerugian
sebesar jumlah uang palsu tersebut,
tetapi
dapat
mengancam
kelangsungan usahanya karena
pedagang
kecil/asongan
pada
umumnya tidak memiliki simpanan
uang yang cukup untuk menutupi
kerugian dimaksud.
Melihat besarnya dampak kejahatan
pemalsuan mata uang terhadap
masyarakat dan perekonomian suatu
negara, maka sudah sewajarnya
setiap negara berusaha semaksimal
mungkin untuk mencegah terjadinya
kejahatan pemalsuan mata uang,
antara lain dengan menerapkan
sanksi yang berat. Pentingnya
penerapan sanksi yang berat untuk
melindungi mata uang dapat
ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Filosofis
Mata uang merupakan salah satu
simbol negara dan mata uang
mempunyai fungsi yang sangat
penting bagi perekonomian suatu
negara, yaitu sebagai: (a). alat tukar;
(b). penyimpan nilai; (c). satuan
hitung; (d). ukuran pembayaran
yang tertunda (menghitung jumlah
pembayaran pinjaman).
2. Aspek Sosiologis
Uang suatu negara haruslah dapat
diterima oleh masyarakat sebagai
alat pembayaran yang sah sehingga
ada
kepercayaan
masyarakat
terhadap uang dimaksud.
3. Aspek Yuridis
Terkait dengan hal ini perlu
diperhatikan
pula
konvensi
internasional
mengenai
pemberantasan uang palsu, yaitu
International Convention for the
Suppression
of
Counterfeiting
Currency and Protocol (Geneva,
1929) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dengan UU No. 6 tahun
1981 tentang Pengesahan Konvensi
Internasional
mengenai
Pemberantasan Uang Palsu beserta
Protokol.
4. Aspek Politis
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas, presiden RI telah meminta
kepada kepolisian dan penegak
hukum lainnya untuk memproses
kejahatan uang palsu dengan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
9
Volume 4 Nomor 1, April 2006
sungguh-sungguh, dengan cara
memberikan sanksi hukum yang
tegas dan tepat. Penyataan presiden
tersebut
menunjukkan
sikap
presiden sebagai kepala negara dan
kepala
pemerintahan
dengan
sungguh-sungguh ingin menjaga
salah satu simbol kenegaraan dan
sekaligus
menjaga
kestabilan
ekonomi
nasional.
Pernyataan
presiden tersebut juga menunjukkan
pandangan
presiden
yang
menganggap
bahwa
kejahatan
pemalsuan uang rupiah sudah
mencapai tahap yang sangat serius.
Permintaan Presiden tersebut sudah
sepatutnya
ditindaklanjuti
dan
didukung oleh seluruh jajaran
pemerintah dan aparat penegak
hukum dalam implementasinya di
lapangan.
5. Aspek security features
Disamping perlunya menerapkan
sanksi yang berat, setiap negara juga
terus berusaha untuk meningkatkan
keamanan terhadap uang dengan
membuat security features yang
canggih
untuk
menghindarkan
adanya kemungkinan pemalsuan
uang. Namun demikian, untuk
menciptakan security features yang
canggih, memerlukan biaya yang
tidak sedikit. Tentang betapa rumit
dan mahalnya pencetakan uang,
termasuk pemilihan bahan dan
pengamanan uang, Presiden Susilo
Bambang
Yudhoyono
mengemukakan dalam kesempatan
pidatonya di Karawang: “Pekerjaan
mencetak uang dan dokumen-
dokumen negara yang memerlukan
tingkat pengamanan yang tinggi
tentulah bukan pekerjaan yang
mudah.
Kemampuan
rancang
bangun yang mempunyai kode-kode
tertentu,
yang
hanya
dapat
diketahui oleh orang-orang tertentu
pada setiap dokumen negara, tentu
memerlukan
keahlian
dan
kecermatan yang tinggi. Teknologi
percetakan yang digunakan tentulah
tidak sederhana, sehingga hasil
cetakan itu tidak mudah ditiru dan
tidak mudah dipalsukan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung
jawab.”
Untuk
menghasilkan
security
features yang sulit untuk ditiru,
dibutuhkan teknologi tinggi dan
penelitian
yang
membutuhkan
banyak biaya. Oleh karena itu, uang
yang menggunakan security features
dimaksud
diharapkan
dapat
digunakan untuk jangka waktu yang
lama (5-7 tahun). Namun demikian,
hal ini tidak berarti bahwa uang
dimaksud
tidak
mungkin
ditiru/dipalsukan.
Orang
yang
memiliki
pengetahuan
yang
memadai dan menguasai teknologi
pencetakan mungkin saja dapat
meniru uang dimaksud. Hal ini,
misalnya, terjadi pada uang rupiah
pecahan Rp 100.000,00 yang
beberapa waktu lalu telah ditiru
walaupun pecahan tersebut memiliki
security
features
dengan
menggunakan
teknologi
yang
sangat tinggi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
10
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas dan mengingat security features
tidak dapat sepenuhnya mencegah
pemalsuan uang rupiah, maka
dibutuhkan peraturan perundangundangan dan komitmen aparat
penegak hukum untuk mendukung
pencegahan
pemalsuan
uang
rupiah. Adanya UU Mata Uang yang
memuat sanksi yang berat dan
aparat penegak hukum yang tegas
serta konsisten dalam menerapkan
peraturan
perundang-undangan
dimaksud akan dapat meningkatkan
efektifitas pencegahan pemalsuan
uang rupiah. Oleh karena itu, pidana
penjara yang dijatuhkan terhadap
terdakwa
pelaku
kejahatan
pemalsuan mata uang sepatutnya
melebihi
masa
berlaku
uang
dimaksud. Hal ini untuk mencegah
pelaku mengulangi perbuatannya
terhadap mata uang yang sama dan
mencegah pelaku untuk mengikuti
dan mempelajari perkembangan
teknologi
pengamanan
dan
pencetakan uang, sehingga dapat
memperkecil kemungkinan pelaku
meniru uang yang baru diedarkan.
B. Ius constituendum: Perlunya
Pengaturan Mata Uang dalam
Undang-Undang
Tersendiri
(UU Mata Uang)
Dengan
memperhatikan
perkembangan pengaturan di dunia
internasional (international best
practice)
tentang
mata
uang
khususnya terkait dengan kemajuan
teknologi
dan
konsep-konsep
pemikiran ekonomi yang makin
berkembang tentang fungsi uang,
dan ketahanan negara, adanya
suatu UU tersendiri yang mengatur
mata uang merupakan kebutuhan.
Sebagai
contoh,
Singapura,
Thailand, Canada. Bahkan di
Australia telah memiliki UU Mata
Uang (Currency Act) dan UndangUndang yang khusus mengatur
mengenai tindak pidana mata uang
yang diatur dalam Crimes Against
Currency Act 1981.
Dengan memperhatikan kebutuhankebutuhannya, maka draft RUU
Mata Uang perlu mengatur materi
pokok sebagai berikut:
a. Penggunaan uang rupiah
Terkait dengan penegakan hukum
atas kewajiban penggunaan uang
rupiah, RUU Mata Uang perlu
mengatur tidak hanya mengenai
sanksi pidana terhadap penolakan
untuk menerima Rupiah tetapi juga
mengenai ancaman pidana terhadap
pelanggaran atas kewajiban untuk
menggunakan Rupiah di wilayah
Republik Indonesia dan larangan
pembawaan uang rupiah dalam
jumlah tertentu ke luar dan masuk
wilayah pabean Indonesia tanpa izin
BI. Pengaturan seperti ini adalah
sebagaimana telah diatur dalam
UUBI.
Mengenai usulan pengaturan bahwa
pengecualian penggunaan uang
Rupiah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, hal ini akan
berdampak terlalu luas. Sesuai Pasal
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
11
Volume 4 Nomor 1, April 2006
7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang dimaksud dengan
Peraturan
Perundang-undangan
meliputi UUD 1945, Undangundang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Peraturan Daerah.
Dengan demikian seolah-olah dapat
diartikan bahwa Perda dapat
mengatur pengecualian penggunaan
uang rupiah didaerahnya masingmasing, sehingga pada gilirannya
penggunaan valuta asing akan
mendominasi transaksi ekonomi di
Indonesia dibanding penggunaan
uang rupiah. Berkenaan dengan hal
tersebut, dalam rangka menghindari
adanya pengaturan yang demikian,
pengaturan mengenai pengecualian
penggunaan uang rupiah perlu
diamanatkan oleh UU Mata Uang
untuk diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia sebagaimana diamanatkan
UU Bank Indonesia saat ini.
Berkenaan dengan hal tersebut,
maka seluruh materi yang diatur
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan
UU No.3 Tahun 2004 (UU BI) beserta
Penjelasannya perlu dicantumkan
kembali dalam RUU Mata Uang
termasuk sanksi pidana dalam Pasal
65 dan Pasal 66 UU BI.
b. Legal tender
Sebagaimana currency act negara
lain, pengertian legal tender untuk
uang
kertas
mungkin
perlu
dibedakan dengan uang logam dari
sisi jumlahnya. uang kertas berlaku
sebagai legal tender dalam jumlah
berapa pun pada setiap transaksi
pembayaran. Sedangkan untuk uang
logam, berlaku sebagai legal tender
untuk jumlah tertentu untuk setiap
pecahan.
Namun
demikian,
pembatasan jumlah uang logam
tidak berlaku bagi setoran nasabah
kepada bank.
Beberapa pertimbangan membatasi
nilai transaksi pembayaran untuk
uang logam sebagai legal tender
dalam jumlah tertentu untuk setiap
pecahan adalah sebagai berikut:
1) Membebani
(risiko
selisih
kurang, handling cost) pihak
yang menerima pembayaran
dalam jumlah besar apabila
pembayaran tersebut dilakukan
dengan uang logam.
2) Fungsi uang logam pada
dasarnya lebih ditujukan untuk
pembayaran dalam jumlah kecil,
misalnya untuk pengembalian.
3) Secara best practice, uang
logam sebagai legal tender
dibatasi dalam jumlah tertentu
antara lain seperti Malaysia,
Thailand, Singapura, Australia,
Inggris, Kanada.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
12
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Namun demikian, terdapat kontra
argumen untuk membatasi nilai
transaksi uang logam sebagai legal
tender dengan alasan sebagai
berikut:
1) Masyarakat
berpenghasilan
sangat rendah yang banyak
menggunakan
uang
logam
(seperti pedagang kecil di pasar
tradisional,
tukang
parkir,
kondektur angkutan umum, dan
lain-lain)
akan
mendapat
kesulitan
untuk
melakukan
pembayaran dalam jumlah besar
dengan menggunakan uang
logam yang mereka miliki.
2) Kedudukan uang logam sebagai
legal tender yang dikeluarkan
oleh BI menjadi sangat terbatas
penggunaannya.
c. Tanda tahun emisi
Tanda tahun emisi merupakan salah
satu ciri uang yang ditetapkan oleh
BI, sedangkan tanda tahun cetak
pada uang bukan merupakan salah
satu ciri minimal yang harus terdapat
pada uang kertas dan uang logam.
Alasan pencantuman tanda tahun
cetak bukan merupakan salah satu
ciri minimal didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut:
1) Dalam satu lembar uang kertas
seyogianya hanya terdapat satu
tanda tahun yaitu tahun emisi
agar
tidak
menimbulkan
kebingungan
di
masyarakat
sebagaimana halnya untuk uang
logam yang hanya memiliki satu
tanda tahun yaitu tahun emisi.
2) Ciri uang secara prinsip tidak
berubah dalam satu tahun emisi
dan hal tersebut sejalan dengan
ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia
Pengeluaran,
Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan
Uang Rupiah.
3) Best practice di negara lain juga
hanya mencantumkan satu tanda
tahun.
d. Laporan
pelaksanaan
kegiatan pengedaran uang
Dalam draft RUU Mata Uang, Bank
Indonesia
diwajibkan
untuk
menyampaikan Laporan Pelaksanaan
Kegiatan Pengedaran Uang yang
tediri dari kegiatan pengeluaran,
pengedaran,
pencabutan
dan
penarikan, serta pemusnahan uang
rupiah dari peredaran. Laporan
dimaksud disampaikan kepada DPR
RI secara terpisah dari laporan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam UU Bank
Indonesia.
Terkait dengan rumusan dimaksud,
dapat
dikemukakan
bahwa
pengaturan mata uang terutama
mengenai pengeluaran, pengedaran
dan pencabutan kembali uang dari
peredaran merupakan bagian dari
kewenangan bank sentral dalam
menjalankan
fungsinya
sebagai
otoritas
moneter
dan
sistem
pembayaran nasional. Disamping itu,
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
13
Volume 4 Nomor 1, April 2006
uang beredar dalam suatu negara
harus
dikelola
dengan
baik
sedemikian rupa sehingga uang
yang beredar tersebut jumlahnya
sesuai
dengan
kebutuhan
perekonomian negara dimaksud.
Untuk itu jumlah uang yang beredar
harus
direncanakan
dengan
perhitungan-perhitungan
yang
benar dan tepat berdasarkan
“program moneter” bank sentral.
Secara statistik moneter, uang
beredar (yang di dalamnya termasuk
uang logam dan uang kertas)
merupakan komponen kewajiban
moneter.
Dengan
demikian,
pelaporan bidang moneter meliputi
pula perkembangan uang kartal
(uang logam dan uang kertas).
Mengacu kepada tugas pokok BI
yang
salah
satunya
adalah
pengedaran uang, maka hal ini
dilaporkan secara komprehensif dan
terintegrasi
dalam satu laporan
kepada DPR RI sebagai bentuk
pertanggung jawaban publik, tidak
dipisah.
Dari segi anggaran, kegiatan
pengedaran
uang
merupakan
anggaran
kebijakan
yang
pelaporannya juga terkait erat
dengan kebijakan moneter. Dengan
demikian,
pelaporan
anggaran
disampaikan oleh BI kepada DPR RI
sebagai
bagian
dari
rencana
kebijakan yang akan ditempuh.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut
di atas, maka laporan pelaksanaan
kegiatan pengeluaran, pengedaran,
pencabutan dan penarikan, serta
pemusnahan uang rupiah dari
peredaran disampaikan kepada DPR
RI tidak dilakukan secara terpisah
dari laporan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia, namun dilaporkan secara
terintegrasi dan tidak terpisahkan
dengan Laporan Tahunan dan
Laporan Triwulanan Bank Indonesia
sesuai dengan UU Bank Indonesia.
e. Unit
khusus
uang palsu
penanganan
Dalam draft RUU Mata Uang, diatur
bahwa Bank Indonesia membentuk
unit khusus (Counterfeit Analysis
Centre) yang berfungsi untuk
menangani permasalahan uang
palsu.
Unit
khusus
tersebut
mempunyai tugas membentuk pusat
data, mengadministrasikan uang
palsu yang ditemukan, menyimpan
contoh uang palsu dan melakukan
pengkajian dan studi tentang uang
palsu.
Terkait dengan usulan dalam draft
RUU Mata Uang tersebut, perlunya
pembentukan unit khusus di Bank
Indonesia yang berfungsi untuk
menangani permasalahan uang
palsu patut untuk dipertimbangkan.
Hal ini sangat diperlukan dalam
rangka menangani kejahatan uang
palsu secara lebih komprehensif dan
terpadu yang membutuhkan pula
adanya suatu pusat data yang
terpercaya
dan
lengkap.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
selama ini data uang palsu diperoleh
dari:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
14
Volume 4 Nomor 1, April 2006
a. laporan perbankan atas temuan
uang palsu di masing-masing
bank;
b. hasil
penangkapan
pelaku
kejahatan uang palsu oleh pihak
POLRI.
Sejauh ini belum ada mekanisme
baku agar data uang palsu yang
diperoleh dari kedua sumber
tersebut dapat terintegrasi dalam
suatu
pusat
data.
Sebagai
pembanding, di European Central
Bank (ECB) telah dibentuk suatu
Counterfeit Analysis Centre (CAC)
yang
kegiatannya
mendokumentasikan
seluruh
temuan
uang
palsu
dan
menganalisis jenis-jenis pemalsuan
dan
modus
operandi
secara
terintegrasi. Dalam operasionalnya
CAC
bekerja
sama
dengan
kepolisian dan aparat
penegak
hukum lainnya.
Dengan adanya unit khusus yang
menangani permasalahan uang
palsu yang akan menjadi pusat data
tersebut
maka
diharapkan
pemberantasan kejahatan mata
uang khususnya pemalsuan uang
diharapkan dapat ditangani secara
lebih terintegrasi dan efektif.
f. Kewajiban bank memberikan
layanan
penukaran
uang
kepada masyarakat
Selama ini, BI sering mendapat
keluhan dari warga masyarakat
mengenai adanya hambatan bagi
masyarakat
untuk
menukarkan
uangnya, baik yang lusuh, rusak,
robek, dsb, melalui bank-bank. Oleh
karena itu, UU Mata Uang perlu
memberikan kewenangan kepada
Bank
Indonesia
untuk
dapat
mewajibkan bank melayani kegiatan
penukaran uang kepada masyarakat,
termasuk
mengenakan
sanksi
kepada bank yang tidak bersedia
memberikan layanan penukaran
uang kepada masyarakat.
g. Ketentuan pelaksanaan RUU
Mata Uang diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia
UU Mata Uang juga perlu mengatur
mengenai ketentuan pelaksanaan
dari UU Mata Uang.
Pasal 6 ayat (2) huruf d UU No.17
Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
menyatakan
bahwa
kekuasaan pengelolaan keuangan
negara yang dipegang oleh Presiden
tidak termasuk kewenangan di
bidang moneter, yang meliputi
antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang. Selain itu UU
Bank Indonesia mengatur bahwa
tugas Bank Indonesia meliputi pula
tugas di bidang sistem pembayaran,
dimana dalam pelaksanaan tugas
dimaksud
selama
ini
telah
dilaksanakan dengan Peraturan Bank
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,
maka aturan pelaksanaan UU Mata
Uang yang terkait dengan tugastugas Bank Indonesia di bidang
pengedaran uang dituangkan dalam
bentuk Peraturan Bank Indonesia.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
15
Volume 4 Nomor 1, April 2006
h. Ketentuan pidana dan sanksi
administratif
Terkait dengan rumusan dalam draft
RUU Mata Uang bahwa ketentuan
pidana dan sanksi administratif perlu
disatukan dalam RUU Mata Uang,
tidak terpisah dan diatur dalam
Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana, serta pengaturan ancaman
pidana yang perlu ditetapkan lebih
berat (meliputi pidana penjara dan
denda dengan batas minimum dan
maksimum),
usulan
ini
patut
didukung. Selama ini pengaturan
sanksi pidana dalam KUHP untuk
pemalsuan uang relatif ringan
(ancaman pidana penjara tanpa
batas minimum dan tidak ada
ancaman pidana denda), sehingga
dalam implementasinya cenderung
tidak bersifat deterrent untuk
mencegah terjadinya pemalsuan
uang.
IV.
Saran
1. Dalam penyusunan kebijakan
dalam rangka menanggulangi
tindak pidana di bidang mata
uang, perlu adanya paradigma
baru dalam menangani perkaraperkara kejahatan pemalsuan
mata uang yang menekankan
bahwa tindak pidana tersebut
bukanlah kejahatan yang sama
dengan pemalsuan terhadap
dokumen
biasa
mengingat
bahwa
pemalsuan
uang
menimbulkan dampak yang
sangat
luas
seperti
dapat
menurunkan
kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah,
mengacaukan
stabilitas
perekonomian, bahkan dapat
mengurangi wibawa negara;
2. Mengingat bahwa tindak pidana
di bidang mata uang bukan
merupakan tindak pidana biasa,
maka untuk menimbulkan efek
jera terhadap pelakunya, UU
Mata Uang perlu memberikan
landasan hukum yang dapat
diimplementasikan oleh aparat
penegak hukum khususnya Jaksa
dan Hakim untuk mengajukan
tuntutan
dan
menghukum
pelakunya secara setimpal. Selain
pidana penjara, kiranya perlu
pula
kepada
para
pelaku
dikenakan hukuman tambahan
berupa penggantian kerugian
materil yang diakibatkan oleh
kejahatan tersebut.
3. Mengingat
pengaturan
mengenai mata uang pada saat
ini tersebar dalam berbagai
ketentuan perundang-undangan
yaitu UUBI, KUHPidana, UU No.
6/1981
yang
mengesahkan
Konvensi Internasional mengenai
Pemberantasan Uang Palsu, UU
Keuangan Negara, dan Inpres
No.
1/1971
tentang
Pembentukan Botasupal, maka
agar pengaturan mengenai mata
uang
lebih
komprehensif,
diperlukan adanya pengaturan
mengenai mata uang dalam
suatu Undang-Undang tersendiri
sebagaimana
diamanatkan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
16
Volume 4 Nomor 1, April 2006
dalam Pasal 23 B UUD 1945,
tanpa mengurangi kewenangan
lembaga/instansi yang terkait
sesuai dengan Undang-Undang
yang
mendasarinya.
Dalam
Undang-Undang Mata Uang
tersebut hendaknya mencakup
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
pula
pengaturan
mengenai
tindak pidana dan sanksi pidana
terhadap mata uang dengan
hukuman pidana penjara serta
adanya hukuman tambahan
berupa penggantian kerugian
materil.
17
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Download