BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Matematika

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dibutuhkan manusia
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Ketika
berbelanja,
perlu memilih dan
menghitung jumlah benda yang akan dibeli dan harga yang harus dibayar. Pembelajaran
matematika untuk anak usia dini sangatlah dibutuhkan untuk mempersiapkan anak
melanjutkan ke pendidikan dasar.
Matematika juga merupakan keterampilan yang penting dan merupakan salah satu
kunci untuk mencapai sukses dalam berbagai tugas, serta penting di dalam masyarakat
yang semakin banyak menggunakan teknologi canggih (Mulandari, 2005). Hal ini senada
dengan yang dikemukakan oleh National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM
(dalam Varol dan Farran, 2006) menyebutkan bahwa siapa saja yang memahami dan dapat
mengerjakan matematika akan berpeluang secara signifikan lebih tinggi untuk membangun
masa depannya.
Dean (2000) menyebutkan bahwa pada tingkat yang tinggi, matematika digunakan
sebagai alat penting dalam memahami beberapa bidang seperti ekonomi, geografi, tehnik
dan lain-lain. Sembiring (2008) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran
matematika di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan
logika siswa, serta menjadi satu metode
untuk
mengembangkan pola penalaran siswa
secara
sistematis. Kemampuan intelektual yang tinggi sangat diperlukan dalam belajar matematika,
hal ini dikarenakan dalam matematika mencakup proses berpikir yang cukup kompleks
(Woolfolk, 2007). Oleh karena itu sangatlah penting membuat matematika yang diajarkan itu
relevan dengan permasalahan sehari-hari yang dihadapi siswa, sehingga dengan
kemampuan penalaran dan logika berpikirnya tersebut dapat digunakan siswa dalam
memecahkan permasalahan sehari-harinya (Zamroni dalam Sembiring, 2008).
Sukses dalam matematika akan mendatangkan banyak manfaat, salah satunya
ditunjukkan oleh hasil penelitian Nurdin (2006) tentang pengaruh variabel-variabel kognitif
terhadap hasil belajar matematika siswa kelas XI IPA pada SMA Negeri 3 Makasar. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa matematika dapat berperan sebagai sarana penalaran
siswa, dengan mempelajari matematika diharapkan dapat memecahkan persoalan yang
dihadapi, baik persoalan yang berkaitan dengan mata pelajaran matematika itu sendiri
maupun dalam persoalan hidup sehari-hari. Kesuksesan dalam bidang matematika juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Yenilmez, Nuray dan Ozlem (2008)
menyebutkan bahwa siswa yang sukses di kelas matematika, selain akan mengalami
kesuksesan dalam hal akademis umum, terutama yang berkaitan dengan penggunaan
angka, dalam pencapaian penampilan matematika juga akan membawa kebanggaan
tersendiri.
Sebagian besar siswa di Indonesia, pada kenyataannya belum
dapat mencapai
kemampuan matematika tersebut dengan baik. Pada jenjang sekolah dasar, matematika
merupakan salah satu pelajaran yang paling ditakuti selain itu sebagian besar siswa. Selain
itu matematika juga masih menjadi momok yang menakutkan terlebih dalam Ujian Nasional
(UN).
Senada dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, bahwa
pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang banyak diulang oleh siswa, selain
bahasa Indonesia dan Biologi (Kus, 2011). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
kecemasan tertinggi dialami siswa pada saat siswa belajar matematika dibandingkan
dengan belajar pelajaran yang lain (Hudojo dalam Nurhanurawati & Sutiarso, 2009).
Dari data hasil asesmen skala internasional yang dilakukan PISA (Programme for
International Student Assessment) menunjukkan bahwa prestasi matematika siswa di
Indonesia cukup rendah. Berdasarkan data PISA, Indonesia selalu berada pada peringkat
10 besar terbawah. Tahun 2003, Indonesia di peringkat ke 38 dari 40 negara; tahun 2006,
Indonesia di peringkat ke 50 dari 57 negara; tahun 2009, Indonesia di peringkat ke 61 dari
65 negara. Data terbaru PISA 2012, Indonesia di peringkat 64 dari 65 negara, sebelum
Peru.
Data dari UNESCO, juga menyebutkan tentang mutu pendidikan Indonesia berada di
peringkat 34 dari 38 negara (Fathani, 2010). Demikian juga dari hasil survei Pusat Statistik
Internasional untuk Pendidikan (National Center for Education in Statistics, 2003) terhadap
pembelajaran matematika, Indonesia berada di peringkat ke 39 dari 41 negara setelah
Thailand dan Uruguay (Wimbarti, 2012).
Analisa terhadap UN 2011 yang dilakukan oleh Jardiknas menunjukkan bahwa
matematika jika dibandingkan dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris merupakan
pelajaran tersulit. Sebanyak 1.780 siswa tidak lulus bahasa Indonesia dan 152 siswa tidak
lulus Bahasa Inggris. Sementara sebanyak 2.391 siswa tidak lulus pelajaran matematika,
dan merupakan jumlah terbesar dengan prosentase sebesar 51,44% Lian & Gress, 2011).
Berdasarkan observasi dan wawancara awal penulis dengan lima Kepala Sekolah
Dasar di Salatiga pada tanggal 3 Maret – 12 Maret 2014, diperoleh informasi bahwa
matematika merupakan pelajaran yang banyak ditakuti siswa. Sedangkan dalam wawancara
dengan petugas dari Bagian Pendidikan Dasar di Dinas Pendidikan Kota Salatiga diperoleh
data tahun ajaran 2012/2013 ada beberapa SD mendapatkan nilai ujian matematika yang
rendah. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan penulis, dari pelaksanaan UASBN SD
di Salatiga tahun ajaran 2012/2013 diketahui bahwa mata pelajaran matematika umumnya
masih menempati posisi paling rendah pada nilai yang dicapai siswa jika dibandingkan
dengan mata pelajaran lain yang diujikan dalam Ujian Nasional.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa rata-rata nilai ulangan matematika lebih
rendah dibandingkan dengan nilai pelajaran yang lain. Kesulitan yang dialami oleh sebagian
besar siswa
adalah
dalam
melakukan
operasi perhitungan
dalam
pengurangan,
penjumlahan, pembagian dan perkalian. Keberhasilan anak dalam menguasai matematika
ditentukan dari beberapa faktor yang sifatnya kompleks dan berkaitan satu sama lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Pimta, Tayruakham, dan Nuangchalerm (2009) mengkaji
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan matematika pada siswa yaitu: sikap
yang dimiliki siswa terhadap matematika (attitude towards Mathematics), perilaku mengajar
dari guru (teachers‘ teaching behavior), harga diri yang dimiliki siswa (self-esteem), efikasi
diri siswa, dan motivasi siswa.
Henson dan Eller (1999) menyatakan tentang hal-hal yang berfokus pada aspekaspek dalam pembelajaran kognitif, yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan matematika siswa yaitu: (1) Keterampilan konseptual, (2) meningkatkan
transfer keterampilan dalam pembelajaran dan skema, (3) peningkatan dalam motivasi
siswa, (4) penanaman kepercayaan diri siswa, (5) tantangan bagi siswa (challenging), (6)
mengidentifikasi gaya belajar dan (7) pengembangan dalam “keterampilan berpikir yang
baik”. Berkaitan dengan proses-proses kognitif ini, proses berpikir anak akan menjadi
terorganisasi ke sistem proses-proses mental yang lebih besar yang memudahkan mereka
berpikir lebih logis daripada sebelumnya (Ormrod, 2008). Salah satu kemampuan yang
berkembang pada tahap ini adalah kemampuan konservasi, yaitu kemampuan untuk
memahami bahwa substansi dari suatu obyek tetap sama meskipun terjadi transformasi
dalam penampilan luarnya. Kemampuan berpikir logis ditandai dengan kemampuan anak
menyelesaikan tugas-tugas konservasi.
Pengenalan konsep dan berpikir abstrak yang telah diajarkan di sekolah dasar
berkaitan erat dengan pelajaran matematika. Reedal (2010), mengemukakan bahwa disiplin
matematika merupakan aplikasi dari teori perkembangan kognitif Piaget. Konsep dalam
matematika mendasarkan pada jalinan antara satu dengan yang lain dan teori Piaget
mempertimbangkan langkah-langkah tersebut ketika proses tersebut terjadi. Dalam teorinya,
Piaget mengemukakan tentang empat tahap perkembangan kognitif dan setiap anak akan
mengalami peningkatan pada beberapa titik dalam kehidupannya (Reedal, 2010; Ojose,
2008; Schunk, 2008; Hetherington & Parke, 1993), tahap-tahap ini adalah tahap
sensorimotor yang berlangsung pada usia nol sampai dengan 24 bulan; tahap
praoperasional berlangsung pada rentang usia dua hingga tujuh tahun; tahap operasional
kongkrit berlangsung pada rentang usia tujuh hingga dua belas tahun dan tahap operasional
formal yang berlangsung berlangsung pada usia diatas dua belas tahun (Reedal, 2010;
Ojose, 2008; Schunk, 2008; Hetherington & Parke, 1993). Berdasarkan pendapat diatas,
maka dapat dikatakan bahwa siswa kelas dua SD berada pada dalam tahapan operasional
kongkrit.
Pemikiran pada tahap operasional kongkrit (concrete operational thought) terdiri dari
operasi-operasi dan tindakan-tindakan mental dimana anak melakukan secara mental apa
yang telah dilakukan sebelumnya secara fisik Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002),
Operasi-operasi kongkrit ini meliputi juga kegiatan-kegiatan mental yang bertentangan
terhadap objek-objek yang nyata dan kongkrit. Operasi-operasi kongkrit ini memungkinkan
anak mampu mengkoordinasikan beberapa ciri-ciri sehingga bukan berfokus pada suatu
properti tunggal suatu objek. Reedal (2010) juga menyimpulkan, bahwa anak yang berada
dalam tahap perlembangan kognitif operasional kongkrit mampu berpikir secara logis dan
mulai dapat mengklasifikasikan yang didasarkan pada beberapa ciri dan karakteristik
dibandingkan semata-mata memfokuskan pada representasi visual. Mengembangkan
kemampuan
berpikir
logis
seperti
berpikir
spasial,
pemahaman
sebab
akibat,
pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, serta konservasi merupakan karakteristik
yang dimiliki anak yang berada pada tahap operasional konkrit. Anak-anak pada masa ini
sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan di semua aspek kehidupannya baik
secara fisik, psikososial, maupun kognitif. Perkembangan secara fisik pada anak,
ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yang meliputi penambahan
tinggi badan dan berat badan maupun dalam aktivitas motorik. Dalam perkembangan
psikososial, anak-anak pada usia ini mereka mampu mengembangkan kepekaan terhadap
kemampuan dari berbagai sumber dan mengembangkan kepekaan mereka terhadap
kemampuan, kekuatan, dan kelemahan mereka dan mampu menerima umpan balik dari
berbagai sumber. Sedangkan dalam perkembangan kognitif, ditandai dengan kemampuan
untuk berpikir logis yang mulai berkembang (Kaplan, 1998; Santrock, 2007; Papalia, Olds,
& Feldman, 2007). Kemampuan-kemampuan diatas sesuai dengan
KTSP matematika
(Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) untuk kelas dua SD yang meliputi kemampuan
memahami dan mengenal bilangan sampai 500; pengoperasian hitung aritmatika dasar
yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian; serta kemampuan
dalam menggunaan alat bantu ukur meliputi satuan jam, panjang, dan berat; serta geometri
(BNSP, 2007b).
Dasar dari kemampuan berpikir logis dalam memecahkan permasalahan adalah
berupa pentingnya pemahaman anak terhadap konsep matematika. Prestasi belajar pada
siswa berkaitan dengan proses belajar individu dan proses belajar berkaitan kognisi, kognisi
merupakan fungsi mental yang meliputi pikiran, simbol, penalaran dan pemecahan masalah.
Salah satu tugas yang penting
untuk penyelesaian masalah dalam matematika adalah
kemampuan konservasi. Ormrod (2008) menyebutkan bahwa kemampuan konservasi
merupakan kemampuan dalam menerapkan prinsip bahwa satu kuantitas suatu benda akan
tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah. Piaget (dalam Purwantini,
2013) menempatkan kemampuan konservasi sebagai kemampuan yang paling penting bagi
perkembangan kognitif anak, dimana apabila anak telah mampu melakukan konservasi
maka anak telah memenuhi persyaratan mutlak bagi segala aktivitas intelektual terutama
untuk berpikir kuantitas dan matematis. Sehingga dapat dikatakan, bahwa salah satu
kemampuan mutlak yang harus dimiliki anak sebagai syarat kesiapan untuk mampu berpikir
logis adalah kemampuan konservasi.
Prinsip-prinsip dalam konservasi ini sangat berguna dalam menyederhanakan
matematika, dan juga dalam kemampuan memprediksi dan memahami dunia. Piaget (dalam
Christian, Schleser, dan Varn, 2008) menyatakan bahwa salah satu kemampuan dasar
dalam keberhasilan matematika adalah kemampuan konservasi. Konservasi ini menjadi hal
yang penting untuk anak karena akan membuat dunia dapat diprediksi dan dapat lebih
mudah dipahami (Speltini dan Ure, 2002). Piaget (dalam Christian, Schleser, dan Varn,
2008) juga menyebutkan bahwa konservasi merupakan dasar dalam keberhasilan
matematika, karena beberapa bahasan matematika membutuhkan kemampuan konservasi
sebagai prasyarat dalam memahami dan memecahkan masalah matematika (Steinberg,
Belsky, dan Meyer (t.t) serta Needham dan Castle, 2007)
Faktor dari luar yang memengaruhi kemampuan belajar siswa salah satunya adalah
peran orangtua. Azwar (2012) mengemukakan, jika ada stimulasi dari lingkungan maka
potensi dan performansi individu akan semakin berkembang. Pendapat ini menunjukkan
bahwa kemampuan matematika akan dapat berkembang karena pengaruh lingkungan.
Lingkungan keluarga menjadi salah satu faktor eksternal yang dianggap turut berpengaruh
pada kemampuan akademik siswa. Keluarga merupakan lembaga pertama dalam
kehidupan anak, dimana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial, dan di
dalamnya seorang anak berada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang
dilakukan oleh keluarga akan mempengaruhi anak, dan begitu juga sebaliknya. Dasar
pembentukan tingkah laku, kepribadian, moral, dan pendidikan bagi anak dilakukan dalam
keluarga. Pengalaman interaksi yang ada
akan menentukan pola tingkah laku anak
terhadap orang lain dalam masyarakat (Soesilo dalam Kartono, 1985). Dengan demikian,
berbagai macam kondisi yang ada dalam keluarga, bagaimana kemudian keluarga dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, bagaimana orangtua terlibat dalam proses
perkembangan anak, tentunya akan turut mempengaruhi proses perkembangan anak.
Eamon (2005) menyebutkan ketika orangtua terlibat dalam kehidupan sekolah anak,
dengan memberikan dukungan secara emosi (misalnya berdiskusi tentang permasalahan
sekolah, memberikan bantuan ketika anak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
tugas, ataupun menghubungi pihak sekolah sehubungan dengan permasalahan akademis),
memberikan stimulus kognitif dengan pengalaman atau material maka anak akan memiliki
sikap yang positif dalam belajar, menjadi orang yang lebih baik, lulus dengan predikat baik
dan selanjutnya mampu mendapatkan pekerjaan ataupun meneruskan kembali sekolahnya.
Sukadji (1986) mengemukakan dari beberapa hasil penelitian minat orangtua terhadap
anak, harapan orangtua bagi kehidupan anak dimasa mendatang serta macam kehidupan
yang dijalani oleh orangtua itu sendiri merupakan faktor penting yang memengaruhi
keberhasilan belajar anak.
Peran keluarga dalam menerapkan pendidikan dan belajar dalam diri anak
menduduki tempat yang terpenting. Keluarga memiliki hubungan secara fisik maupun
emosional yang sangat dekat dengan anak. Mengingat hal tersebut maka banyak faktor
yang mempengaruhi belajar anak mengarah pada sistem pendidikan dengan latar belakang
keluarga. Latar belakang keluarga dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya tingkat
pendidikan orangtua, status sosial, pola asuh yang diterapkan, fasilitas yang diberikan pada
anak dalam belajar. Fasilitas tersebut dapat berupa bimbingan dalam belajar maupun
peralatan yang diberikan pada anak untuk belajar. Hal ini dikarenakan stimulus lingkungan
dapat diberikan secara optimal dan program sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dapat
mengakomodasi kebutuhan kognitif anak (Rahayu, 2004). Umumnya anak yang tinggal di
perkotaan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik karena fasilitas dan kebutuhan lebih
mudah diperoleh.
Hoover-Dempsey & Sandler, 2005 membedakan bentuk-bentuk keterlibatan
orangtua dalam pendidikan menjadi empat yaitu : a). Dorongan orangtua, yaitu berupa
dorongan afektif yang diberikan orangtua secara nyata terhadap aktifitas siswa terkait
dengan pendidikan dan pembelajaran matematika;
b). Modeling orangtua, orangtua
memberikan contoh dalam penyelesaian tugas-tugas
sikap
orangtua
terhadap
matematika; c). Penguatan orangtua, yaitu berupa pengawasan atau pemantauan yang
dilakukan orangtua dalam kegiatan pembelajaran matematika anak di rumah maupun dalam
kontrol sosial; dan d). Pengajaran orangtua, berupa komunikasi dan interaksi sosial antara
anak dan orangtua selama aktivitas-aktivitas keterlibatan sebagai bagian dari strategi
pembelajaran, proses dan hasil.
Pezdek (2002) menyebutkan bahwa bimbingan yang diberikan oleh orangtua dalam
mengerjakan pekerjaan rumah anak akan membantu meningkatkan prestasi belajar
matematika anak. Baker (1998) menemukan bahwa bebrapa penyebab anak berprestasi
rendah yaitu orangtua, lingkungan, sekolah dan individu itu sendiri. Orangtua yang terlibat
dalam proses pendidikan akan menunjang kegiatan belajar anak di sekolah, seperti
komunikasi. Komunikasi yang dilakukan orangtua terhadap permasalahan anak di sekolah
akan membuatnya merasa diperhatikan.
Cao, Bishop, dan Forgasz (2006) dalam kajiannya pun memaparkan bahwa dalam
proses pembelajaran matematika anak, dorongan yang diberikan orangtua menjadi sangat
penting. Studi tentang pengaruh orangtua pada siswa belajar matematika juga mencoba
untuk mengungkapkan jenis keterlibatan orang tua yang mempengaruhi hasil belajar siswa
(Cao, 2006). Dalam fokus khusus pada belajar matematika, literatur meta-analisis tentang
keterlibatan orang tua justru menunjukkan hubungan negatif antara keterlibatan orang tua
dan prestasi matematika (Pattal, Cooper, & Civey Robinson, 2008).
Barton, Drake, Perez, Louis, dan George (2004) menunjukkan keterlibatan orangtua
sebagai suatu konstruk dinamis, dimana secara interaktif orangtua terlibat dalam
pengalaman-pengalaman yang banyak dan berbagai sumber daya untuk menegaskan
interaksi antara orangtua dengan sekolah dan diantara personel sekolah. Barton dkk (2004),
juga menambahkan bahwa keterlibatan orangtua di sekolah dipahami secara luas dalam
terminologi “apa yang mereka lakukan” dan bagaimana hal tersebut sesuai atau tidak sesuai
dengan kebutuhan anak atau tujuan dari sekolah.
Berdasarkan uraian dan hasil studi pendahuluan di atas, Penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terkait dengan hubungan antara kemampuan konservasi dan
keterlibatan orangtua dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:
Apakah
ada
hubungan antara
kemampuan konservasi dan
dengan kemampuan matematika anak kelas 2 SD ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik :
keterlibatan orangtua
a. Hubungan antara kemampuan konservasi dengan kemampuan matematika anak
kelas 2 SD.
b. Hubungan antara keterlibatan orangtua dengan kemampuan matematika anak kelas
2 SD
2. Manfaat Penelitian
2.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan khasanah ilmu pengetahuan. Terutama terkait dengan kajian
tentang kemampuan konservasi, serta kajian tentang keterlibatan orangtua dan kajian
tentang kemampuan matematika siswa.
2.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, berikut manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini:
a. Bagi Orangtua, diharapkan mampu memahami dan mampu meningkatkan
keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak
b. Untuk sekolah, penelitian ini dapat memberikan masukan tentang alternatif untuk
meningkatkan kemampuan secara optimal.
c. Untuk peneliti lain yang berminat, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber
referensi dalam hal kemampuan konservasi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian-penelitian tentang prestasi matematika telah banyak dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian tentang konservasi diantaranya dilakukan oleh
Christian, Schleser, dan Varn (2008) yang meneliti tentang kelancaran matematika yang
mencakup keakuratan dan kecepatan dalam mengerjakan matematika pada anak dalam
tahap praoperasional dan operasional konkrit yang duduk di kelas satu dan dua sekolah
dasar pada anak dengan kesulitan belajar matematika. Mereka menemukan bahwa terdapat
hubungan antara kelancaran matematika dengan kemampuan kognitif dan hubungan
tersebut mempengaruhi performa matematika. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu
(2004) tentang prestasi belajar matematika ditinjau dari kemampuan konservasi dan jenis
kelamin pada siswa kelas 1 di enam sekolah dasar di Boyolali menemukan bahwa
kemampuan konservasi berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika. Semakin
tinggi kemampuan konservasi siswa, semakin tinggi prestasi matematikanya. Penelitian
tentang matematika juga dilakukan oleh Baran, Erdogan, dan Cakmak (2011), penelitian ini
menguji secara empirik kreativitas anak dan kemampuan matematika.
Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah pertama, penelitian
Christian, Schleser, dan Varn (2008) meneliti tentang kelancaran dalam mengerjakan
matematika pada anak pada tahap pra-operasional dan operasional konkrit, sedangkan
penelitian ini meneliti tentang kemampuan matematika pada siswa dengan kemampuan
konservasi. Kedua, penelitian Rahayu (2004) meneliti tentang kemampuan konservasi dan
kaitannya dengan prestasi matematika dan jenis kelamin siswa kelas 1 SD di Boyolali,
penelitian ini menggunakan dua variabel bebas yaitu kemampuan konservasi dan jenis
kelamin, perbedaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel menggunakan
variabel bebas kemampuan konservasi dan keterlibatan orangtua. Ketiga, penelitian Baran
(2011) menggunakan variabel bebas yang berupa kreativitas, sedangkan dalam penelitian
ini menggunakan variabel bebas berupa kemampuan konservasi dan keterlibatan orangtua.
Download