NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KEBERSIHAN DENGAN KECEMASAN PADA DEMAM BERDARAH Oleh: Novy Refliani Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006 HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP KEBERSIHAN DENGAN KECEMASAN PADA DEMAM BERDARAH Novy Refliani Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara sikap terhadap kebersihan dengan kecemasan pada demam berdarah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah. Semakin tinggi sikap, dalam arti makin positif terhadap kebersihan, maka semakin rendah kecemasan pada demam berdarah. Sebaliknya semakin rendah sikap dalam arti makin negatif terhadap kebersihan, maka semakin tinggi kecemasan pada demam berdarah. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Yogyakarta khususnya yang tinggal di Kelurahan Catur Tunggal Dusun Santren tepatnya di RW.001 dan RW.003 Kecamatan Depok Kabupaten Sleman dan berusia 20 tahun keatas. Adapun skala yang digunakan adalah skala sikap terhadap kebersihan, yang memiliki 28 aitem, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Allport (Mar’at, 1981). Untuk skala kecemasan pada demam berdarah mengacu pada aspek yang diungkap oleh Rosenhan dan Seligman (Kuswardani, I., 2000) dengan jumlah aitem 46 butir. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini secara statistik dengan bantuan fasilitas program SPSS versi 11.00 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah. Korelasi product moment dari Spearman menunjukkan P = 0,188 (p<0,05) yang artinya tidak ada hubungan negatif antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah. Jadi hipotesis ditolak. Kata Kunci : Sikap terhadap kebersihan, kecemasan pada demam berdarah PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah (DB) masuk ke Indonesia sejak 36 tahun yang lalu, dan semenjak itupun penyakit ini menjadi langganan Negara Indonesia tiap tahunnya (www.dinkes-dki.com, 30/07/2005). Setiap tahunnya penyakit ini selalu berkembang dan hampir setiap kejadiannya memakan jumlah korban yang cukup banyak, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Dapat dijelaskan bahwa penyakit demam berdarah menurut Judarwanto (2004) adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi virus dengue pada manusia. Penyebaran virus ini kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Korban dari penyakit ini bervariasi, mulai dari yang terkena demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit hingga korban meninggal dunia. Di Indonesia angka kesakitan demam berdarah cenderung meningkat dan semakin menyebar luas. Pada tahun 1968 baru berjangkit di Surabaya dan Jakarta tapi 20 tahun kemudian telah menjangkiti 201 kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia. Peningkatan angka kesakitan terjadi secara periodik yaitu tiap lima tahun. Ledakan terakhir yang insidennya cukup tinggi yaitu pada tahun 1988. Jumlah penderita yang dirawat di rumah sakit pada tahun tersebut 47.573 orang, 3,2% diantaranya meninggal dunia (Smet, B. 1994). Tiga puluh propinsi yang ada di Indonesia, D. I. Yogyakarta termasuk daerah yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah, selain Yogyakarta juga ada 11 propinsi lainnya yang juga ditetapkan sebagai KLB DB. Sejak November 2003 hingga Februari 2004, 140 pasien demam berdarah dirawat di RS Sardjito Yogyakarta, empat di antaranya meninggal dunia (Silalahi, L. 2004). Sementara itu secara umum jumlah penderita DB di RS Sardjito menurut Kabag Humas dan Pemasaran RS Sardjito Drs. Trisno Heru Nugroho MKes, dari bulan Januari sampai 28 Februari 2005 jumlah penderita di rumah sakit itu sebanyak 28 orang (www.pikiran-rakyat.com, 24/08/2005). Gejala penyakit ini hampir sama dengan semua infeksi akut pada awal penyakitnya. Gejala menderita DBD diawali oleh panas tinggi selama 2-7 hari, muncul bintik-bintik merah pada kulit. Kadang terjadi pendarahan di hidung (mimisan), muntah/berak darah dan terasa nyeri di ulu hati (www.kedaulatan rakyatonline.com, 24/08/2005). Gejala khas seperti perdarahan kulit atau tanda perdarahan lainnya kadang terjadi hanya di akhir periode penyakit. Keterlambatan penanganan yang sering terjadi adalah kurang mengenali sejak dini gejala yang harus diwaspadai dan memahami kegawatan DBD. Bagi masyarakat awam, yang paling penting adalah dapat mengetahui atau mendeteksi kapan seorang penderita demam berdarah dengue mulai mengalami keluarnya plasma (cairan) darah, dari dalam pembuluh darah. Keluarnya plasma darah ini apabila ada biasanya terjadi pada hari sakit ke III sampai dengan ke VI. Biasanya didahului oleh penurunan panas badan penderita, yang sering kali terjadi secara mendadak (Judarwanto, W. 2005). Kejadian ini tentu menakutkan bagi masyarakat. Suatu hal ataupun keadaan yang membuat seseorang merasa jiwanya terancam tentu membuat perasaan tegang dan menjadi cemas. Orang yang mengalami kecemasan akan merasakan suatu kekhawatiran yang samar, kerisauan yang mengganggu kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi penyesuaian terhadap lingkungannya (Suharsono, B. 1989). Masyarakat dikecam kecemasan karena penyakit ini dapat memakan korban jiwa. Kecemasan orang tua pun bertambah, bila anaknya mengalami panas badan apapun penyebabnya. Pikiran pertama yang menghantui adalah apakah anak saya menderita DBD? (Judarwanto, W. 2005). Bila ada perasaan bahwa kehidupan ini terancam oleh sesuatu, walaupun sesuatu itu tidak jelas maka akan menjadi cemas. Kecemasan yang muncul bila ada kekhawatiran kehilangan orang yang dicintai, apalagi telah terjalin ikatan emosional yang kuat dengan orang itu (Kartono, K. 2002). Kecemasan ini ditambah pula dengan adanya berita-berita tentang demam berdarah di televisi, sehingga menimbulkan pikiran yang mencemaskan bagi individu. Sebagaimana yang penulis ketahui dari penduduk sekitar tempat akan dilakukannya penelitian yaitu Dusun Santren, Karang Asem RW.002 Kabupaten Sleman Yogyakarta, adanya kekhawatiran dengan adanya penyakit demam berdarah dikarenakan ada beberapa dari tetangga mereka yang pernah terjangkit penyakit ini. Mereka mengaku takut karena penyakit ini bisa menyebabkan kematian apalagi korban yang sering terjangkit adalah anak-anak, tentu saja para orang tua tidak mau anak mereka terjangkit penyakit mematikan tersebut. Tetapi bagi mereka yang merasakan gejala awal demam berdarah seperti demam, tidak langsung berobat ke rumah sakit atau puskesmas terdekat karena mereka merasa masih bisa mengobatinya dengan obat biasa yang dijual di pasaran dan tidak langsung merasa risau akan terkena penyakit demam berdarah kecuali di lingkungan dekat tempat tinggal mereka sudah ada yang terjangkit maka mereka akan langsung was-was bila merasakan gejala-gejala awal itu. Keadaan yang menekan atau kecemasan terhadap demam berdarah pada diri individu bisa jadi tergantung dari keadaan lingkungannya. Untuk mencapai lingkungan yang mendukung ada faktor yang mempengaruhi. Faktor yang muncul dikarenakan keinginan mengurangi kecemasan. Adanya stimulus tentang wabah demam berdarah akan terwujud kesadaran untuk menghindari atau menanggulangi hal yang membahayakan tersebut. Bagi orang yang merasa rentan terhadap penyakit demam berdarah tentu saja berusaha mencari cara untuk bisa terbebas dari ancaman penyakit tersebut. Bukan hanya mereka yang belum terjangkit, bagi yang sudah pernah terjangkit demam berdarah kemudian sembuh justru juga mempunyai keinginan yang tinggi untuk tidak menderita penyakit yang sama lagi karena mereka sudah merasakan penderitaan dari penyakit tersebut. Penanggulangan dapat dimulai dari kemauan diri sendiri dengan melakukan upaya pembasmian jentik yaitu melalui membersihkan tempat penyimpanan air, membersihkan bak mandi, mengganti air di vas kembang, serta lain sebagainya secara rutin (www.kedaulatanrakyatonline.com.24/08/2005). Kebersihan memegang peranan penting dalam pencegahan demam berdarah maka kecenderungan lupa setelah wabah demam berdarah mereda harus dihapus diganti dengan waspada, menghindari wabah dan kesadaran yang konsisten untuk mencegah munculnya kembali wabah demam berdarah, “Gaya hidup bersih terhadap lingkungan mutlak jadi jalan keluar, jangan setelah wabah mereda, langsung dilupakan begitu saja” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Farid Anfasa Moeloek. Sikap masyarakat yang harus mulai memperhatikan aspek-aspek positif, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan di seputar rumah. Apalagi kemunculan penyakit DB bukanlah fenomena baru, siklus, gejala dan metode pencegahannya relatif sudah diketahui masyarakat, tinggal bagaimana masyarakat bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Redaksi Pikiran Rakyat. 2004). Bila orang melakukan perilaku nyata, mereka akan dipengaruhi oleh sikap mereka dan oleh situasi. Sikap menjadi semakin kuat dengan semakin lamanya orang menganut sikap itu. Tesser telah melakukan serangkaian penelitian yang menemukan bahwa pemikiran tentang objek sikap cenderung membuat sikap semakin ekstrim (Sears, D, O., dkk. 1999). Dalam kejadian demam berdarah ini, yang menjadi objek dalam sikap yang dianut masyarakat ialah kejadian demam berdarah, bila pemikiran masyarakat tentang demam berdarah tidaklah terlalu menakutkan maka sikap yang diambil juga tidak terlalu kuat, begitu pula sebaliknya bila masyarakat menganggap demam berdarah ini adalah sesuatu yang penting untuk diperhatikan agar tidak terjangkit pada diri mereka, saudara ataupun orang disekitar maka sikap yang diambil untuk menghindari kuat. Sikap tidak peduli terhadap kebersihan lingkungan dan kurang memerhatikan aspek kesehatan, akan menciptakan kondisi yang lebih "nyaman" bagi kehidupan nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak dan menebarkan ancaman kepada manusia. Karena kurang peduli maka ada kecenderungan membiarkan bak-bak mandi menjadi sarang jentik-jentik nyamuk. Karena biasa hidup jorok, kaleng-kaleng bekas dan wadah-wadah yang bisa dijadikan "kubangan" tempat menetaskan telur-telur nyamuk dibiarkan berserakan di halaman rumah. Karena nafsu serakah, cenderung merusak keseimbangan ekosistem, sehingga harmoni kehidupan terganggu dan predator alam bagi nyamuk kian berkurang (Muhtar, 2004). Uraian diatas menjelaskan bahwa salah satu faktor munculnya kecemasan pada demam berdarah adalah sikap individu sendiri yang tidak menjaga kebersihan sehingga dirinya merasa terancam bisa terkena penyakit ini melalui virus dengue yang disebarkan nyamuk aedes aegypti yang bersarang di genangan air, tumpukan barang-barang yang tidak terpakai bahkan di pakaian-pakaian yang tergantung di kamar tidur. Demi kenyamanan masyarakat sendiri seharusnya masyarakat sadar bahwa pentingnya kebersihan. Untuk menuju gaya hidup bersih harus ada sikap yang mendukung terhadap kebersihan itu sendiri. Adanya sikap yang positif terhadap kebersihan membuat individu merasa aman dan bebas dari penyakit dan tidak merasa terlalu khawatir dengan ancaman demam berdarah. Sikap terhadap kebersihan sangat berperan mengendalikan perasaan cemas individu dalam menghadapi wabah demam berdarah. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara sikap terhadap kebersihan dengan kecemasan pada demam berdarah?. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap kebersihan dengan kecemasan pada demam berdarah. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis : Dari penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah teoritis khususnya dalam bidang psikologi abnormal dan psikologi kesehatan. 2. Manfaat Praktis : Bila penelitian ini terbukti maka hasil daripada penelitian ini bisa dimanfaatkan bagi seluruh masyarakat sebagai suatu pemberitahuan bahwa pentingnya menjaga sikap yang positif terhadap kebersihan demi kesehatan fisik maupun mental. KECEMASAN PADA DEMAM BERDARAH Priest (1987) mengatakan bahwa kecemasan atau rasa cemas merupakan sesuatu yang sering di alami dari waktu ke waktu. Dapat diuraikan dengan katakata, sebagai penggambaran perasaan atau emosi. Kecemasan dapat timbul pada banyak hal yang berbeda dan pada macam-macam situasi. Definisi dari kecemasan itu sendiri adalah takut akan kelemahan. Kecemasan adalah perasaan yang dialami, ketika berfikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Dua hal utama yang perlu diketahui adalah bahwa kecemasan dapat menutupi luas arahnya pengalaman. Hal ini dapat menjadi kesempurnaan yang umum, seperti mulai kapan kecemasan dapat menjadi kuat. Johnston (1971) mengatakan kecemasan merupakan reaksi terhadap adanya ancaman dan hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan akibat kekecewaan, rasa tidak puas, tidak aman, dan sikap bermusuhan dengan orang lain. Senada dengan itu, Hurlock (1973) mengatakan bahwa kecemasan dapat datang dari perasaan tidak mampu menghadapi tantangan lingkungan, tidak adanya kepastian apa yang akan dihadapi dan adanya rasa kurang percaya pada diri sendiri. Prawirohusodo (Lestariningsih, 1990) berpendapat bahwa kecemasan merupakan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan, bersifat menggelisahkan, menegangkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang diketahui oleh individu. Berbeda dengan Chaplin (2002) kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Judarwanto (2004) mengartikan demam berdarah adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia. Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue atau demam berdarah dengue. Soedarto (1992) mendefinisikan demam berdarah merupakan penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak-anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, disertai dengan pendarahan dan dapat menimbulkan shock yang dapat mengakibatkan kematian penderita. Penyebabnya adalah virus dengue dan penularannya terjadi melalui gigitan nyamuk . Demam berdarah merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk yang dikenal dengan sebutan Aedes Aegypti serta Aedes Albopictus betina yang umumnya menyerang pada musim panas dan musim hujan (http://www.infeksi.com.29/07/2005). Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengartikan penyakit demam berdarah (DB) sebagai penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus, menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan perdarahan, dapat menimbulkan kematian, penyebab penyakit adalah virus yang mengganggu pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan- perdarahan (Dinas Kesehatan Jakarta, 2004). Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kecemasan pada demam berdarah adalah suatu bentuk perasaan tidak menyenangkan yang menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan, gugup, takut dan perasaaan tidak menyenangkan lainnya, yang belum tentu terjadi dikarenakan penyakit demam berdarah. Rosenhan dan Seligman (Kuswardani,I. 2000) mengatakan bahwa kecemasan mempunyai empat elemen untuk merespon yaitu : a. Kognitif, yaitu respon terhadap kecemasan dalam pikiran manusia, misalnya ketidakmampuan berkonsentrasi/membuat keputusan, sulit tidur. b. Somatik, yaitu reaksi tubuh terhadap bahaya, misalnya tangan dan kaki dingin, diare, sering buang air kecil, berdebar-debar, mulut kering, pingsan, tekanan darah tinggi, otot tegang, sakit pencernaan c. Emosi, yaitu reaksi perasaan manusia yang mengakibatkan individu secara terus menerus kuatir, merasa takut terhadap bahaya yang mengancam d. Perilaku, yaitu reaksi dalam bentuk perilaku manusia terhadap ancaman dengan menghindar/menyerang, misalnya gelisah, cemas, gugup dan menggigit bibir. Dikatakan oleh Gunarsa (Kuswardani,I. 2000) bahwa kecemasan dapat dilihat dari perubahan ekspresi muka: tiba-tiba muka menjadi merah, membesarnya pupil mata, gerakan-gerakan otot muka, perubahan gerak-gerik tubuh seperti kakunya otot-otot, kegelisahan, interfensi gerakan yang tiba-tiba, aktivitas yang berlebih-lebihan, mengunyah benda-benda atau bagian dari tubuhnya, menggigit jari dan macam-macam tingkah laku kompulsi. Menurut Hurlock (1973) tanda-tanda kecemasan muncul dalam bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan. Biasanya perasaan-perasaan ini disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi masalah. Reaksi tubuh terhadap kecemasan menurut Priest (1987) adalah munculnya debaran-debaran atau berpacunya jantung secara cepat, gemetaran, adanya ketegangan yakni merasakan syaraf dibelakang leher sangat kencang, tegang pada syaraf kulit kepala sehingga merasa pusing, dan merasa tidak nyaman,gelisah atau sulit tidur, berkeringat, serta tanda-tanda fisik yang lain seperti gatal-gatal pada tangan dan kaki juga selalu ingin buang air kecil tak seperti biasanya. Berdasarkan semua aspek-aspek kecemasan yang tertulis di atas, peneliti lebih memilih aspek-aspek yang diungkapkan oleh Rosenhan dan Seligman, karena Rosenhan dan Seligman sudah membagi aspek-aspek tersebut kedalam beberapa bagian sehingga akan mudah untuk mengetahui bagian-bagian yang saling berbeda antara berbagai aspek-aspek kecemasan tersebut. SIKAP TERHADAP KEBERSIHAN Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Puluhan definisi dan pengertian itu pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu diantara tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone (1928; salah seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap), Rensis Likert (1932;juga seorang pionir di bidang pengukuran sikap), dan Charles Osgood. Menurut mereka, sikap adalah suatu bentuk evolusi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972). Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (Edwards, 1957). Kelompok pemikiran yang ke dua diwakili oleh para ahli seperti Chave (1928), Bogardus (1931), LaPierre (1934), Mead (1934), dan Gordon Allport (1935;tokoh terkenal di bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian) yang konsepsi mereka mengenai sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan caracara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. La Pierre (1934 dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Kelompok pemikiran yang ke-tiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasikomponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman (1964), misalnya, mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2003). Walgito (1980) mengatakan sikap adalah keadaan dalam diri manusia yang menggerakkan untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-perasaan tertentu didalam menanggapi obyek dan terbentuk atas dasar pengalamanpengalaman. Berbeda dengan Ahmadi (1979), dia menyatakan bahwa sikap adalah suatu hal yang menentukan sikap sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang maupun perbuatan yang akan datang. Sedangkan Mar’at (1981) mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan, kesediaan untuk bertindak dan bukan sebagai pelaksana motif tertentu. Berbagai pengertian sikap yang diuraikan di atas, peneliti mengambil pengertian sikap yang diutarakan oleh para ahli kelompok pemikir kerangka ke tiga yaitu Secord dan Backman, ini dikarenakan definisi mereka mencakup berbagai macam aspek-aspek yang terkandung dalam sikap, sehingga segala hal tentang sikap telah terangkum dalam pengertian sikap ini. Berdasarkan uraian di atas itu maka penulis menyimpulkan bahwa sikap terhadap kebersihan ialah wujud pemikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling berinteraksi sehingga muncul penilaian terhadap kebersihan. Tiga komponen sikap yang diungkapkan oleh Allport (Mar’at, 1981) adalah: a. Komponen Kognisi: Yaitu komponen yang berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapanharapan individu tentang obyek/kelompok obyek tertentu. b. Komponen Afeksi: Yaitu komponen yang menyangkut kehidupan emosional seseorang. Misalnya ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu. c. Komponen Konasi Yaitu komponen yang merupakan kecenderungan seseorang bertingkah laku. Misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap seseorang terhadap objek tertentu tergantung dari wujud pemikiran subjek, perasaan-perasaan subjek serta kecenderungan untuk berbuat sesuatu terhadap objek sikap itu sehingga munculnya penilaian seperti suka atau tidak suka HIPOTESIS Ada hubungan negatif antara sikap terhadap kebersihan dengan kecemasan pada demam berdarah. Semakin tinggi sikap, dalam arti positif terhadap kebersihan, maka semakin rendah kecemasan pada demam berdarah dan semakin rendah sikap, dalam arti negatif terhadap kebersihan maka semakin tinggi kecemasan pada demam berdarah. METODE PENELITIAN Variabel-variabel penelitian yang digunakan adalah: 1. Variabel Independen : Sikap Terhadap Kebersihan 2. Variabel Dependen : Kecemasan Pada Demam Berdarah DEFINISI OPERASIONAL 1. Sikap Terhadap kebersihan adalah: Sejauhmana seseorang memiliki persetujuan ataupun tidak setuju terhadap kebersihan berdasarkan pemikiran, perasaan dan perilaku yang dilakukan oleh individu. 2. Kecemasan pada demam berdarah adalah : Sejauhmana seseorang memiliki persetujuan ataupun tidak, dalam bentuk kekhawatiran, kegelisahan dan bentuk rasa tidak menyenangkan lainnya akibat dari adanya penyakit demam berdarah yang memiliki akibat yang buruk bagi keselamatan jiwanya. SUBJEK PENELITIAN Subjek yang menjadi sasaran penelitian adalah masyarakat yang berdomisili di Dusun Santren khususnya di RW.001 dan RW.003 Kelurahan Catur Tunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Propinsi D.I.Yogyakarta. Dengan karakteristik umur diatas 20 tahun dan belum pernah menderita demam berdarah. METODE PENGUMPULAN DATA Ada dua data yang diperoleh pada penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui metode angket/skala yang disusun sendiri oleh peneliti, sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan variabel- variabel yang diteliti. Adapun skala yang digunakan sebagai berikut: 1. skala sikap terhadap kebersihan yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Allport (Mar’at, 1981) yaitu aspek kognisi, afeksi dan konasi. 2. skala kecemasan pada demam berdarah yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rosenhan dan Seligman (Kuswardani,I. 2000) yaitu aspek kognitif, somatik, emosi dan perilaku. VALIDITAS DAN RELIABILITAS Prosedur metode penelitian yang menggunakan alat ukur pada umumnya akan melakukan uji validitas dan reliabilitas sebelum pengambilan data penelitian, dengan maksud agar alat ukur tersebut akurat serta dapat dipercaya (Azwar, 1997). Validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar,1997). Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan reliabilitas menurut Azwar (1997) menunjukkan sejauhmana suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang sama selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. METODE ANALISA DATA Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dianalisa secara statistik. Teknik statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah adalah dengan “Korelasi Product Moment”. Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer pada program SPSS edisi 11.0 for windows. HASIL PENELITIAN Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan linearitas. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 11.00 for windows. 1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji kenormalan data penelitian. Apakah distribusinya normal atau tidak. Tabel 1 Hasil Uji Normalitas Variabel Sikap terhadap kebersihan Kecemasan pada demam berdarah Skor KS-Z 0.596 P 0.870 Keterangan Normal 1.104 0.104 Normal Hasil uji normalitas pada variabel sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah menunjukkan bahwa distribusi kedua variabel ini normal. Normal dan tidak normalnya distribusi dilihat dari p > 0.05. Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi variabel sikap terhadap kebersihan dan variabel kecemasan pada demam berdarah adalah normal. 2. Uji Linearitas Uji Linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah yang dikenai prosedur analisis korelasi menunjukkan hubungan yang linear. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linear antara variabel sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah dengan nilai F sebesar 1.100 dan taraf signifikansi 0.312 (p < 0.05), dari nilai p yang ditunjukkan diketahui hubungan kedua variabel ini tidak linear. 3. Uji Hipotesis Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi product moment Spearman. Alasan digunakannya teknik korelasi ini karena hubungan antara kedua variabel dalam penelitian ini tidak linear. Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan diperoleh nilai korelasi antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah sebesar -0.144 dengan taraf signifikansi 0.188 (p < 0.005). jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan negatif antara sikap terhadap kebersihan dengan kecemasan pada demam berdarah. Dengan demikian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini tidak diterima atau ditolak. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak adanya korelasi yang negatif antara sikap terhadap kebersihan dan kecemasan pada demam berdarah. Hal ini menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap kebersihan tidak berhubungan dengan tingkat kecemasan pada demam berdarah oleh masyarakat. Tidak adanya korelasi antara kedua variabel ini menurut penulis dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Bisa saja subjek tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menderita sakit demam berdarah dan bagaimana pula rasanya memiliki kerabat yang terjangkit demam berdarah dan juga bisa dikarenakan subjek tidak mengetahui informasi-informasi mengenai demam berdarah sehingga menganggap demam berdarah bukanlah suatu penyakit yang sangat menakutkan dan juga adanya keyakinan pada diri mereka bahwa mereka tidak akan terkena penyakit ini. Dengan kata lain subjek belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang demam berdarah. Kecemasan terhadap demam berdarah ini muncul dikarenakan oleh sesuatu yang sifatnya objektif atau nyata, misalnya seseorang pernah melihat korban demam berdarah sehingga dia mengetahui bagaimana kesusahan yang dirasakan oleh penderita dengan kata lain ada sesuatu yang dilihat dengan mata kepala sendiri oleh subjek atau berdasarkan pengalaman subjek sendiri sehingga subjek akan berusaha menghindari kesakitan tersebut. Dari rasa cemas inilah seseorang akan melakukan hal-hal untuk menghindari objek penyebab rasa cemas itu. Centi (1993) mengatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan tentang objek kecemasan, maka kecemasan semakin dapat berkurang. Hal ini dikarenakan tahu apakah hal yang dicemaskannya itu sebenarnya layak untuk dicemaskan atau tidak. Sebaliknya individu yang tidak tahu akan objek kecemasannya akan mempunyai kecemasan yang berlebihan disebabkan ketidaktahuannya. Penyebab kecemasan yang berlebihan ini adalah kecenderungan individu untuk menghayalkan sesuatu yang terburuk berkaitan dengan objek kecemasannya. Seseorang yang mengetahui banyak mengenai demam berdarah akan memiliki kecemasan yang rendah pada penyakit ini, karena berdasarkan pengetahuan yang dimiliki seseorang akan berupaya mengembangkan atau menciptakan sesuatu untuk mencegah terkena penyakit demam berdarah dan tidak sekedar membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi pada dirinya bila terjangkit demam berdarah. Penyebab kecemasan yang lain juga dapat muncul dari persepsi individu. Persepsi menurut Mahmud (1990) adalah menafsirkan stimulus yang telah ada dalam otak. Meskipun alat untuk menerima stimulus serupa pada setiap individu, tetapi interpretasinya berbeda. Apa yang di persepsi pada suatu waktu tertentu akan tergantung bukan saja pada stimulusnya sendiri tetapi juga pengalamanpengalaman sensoris yang terdahulu, perasaan, prasangka-prasangka, keinginan, sikap dan tujuan. Bila seseorang mempunyai persepsi yang tidak menakutkan mengenai demam berdarah meskipun wabah demam berdarah sedang terjadi maka individu tersebut tidak akan merasa cemas begitu pula sebaliknya. Perilaku sehat (Health Behavior) juga turut mempengaruhi kecemasan pada demam berdarah, Kasl dan Cobb (1966; Niven, N. 2000) mengatakan bahwa perilaku sehat dilakukan oleh individu dengan tujuan untuk mencegah penyakit atau mendeteksinya. Seseorang yang tidak melakukan hal-hal yang bertujuan mencegah penyakit, maka orang tersebut akan memiliki perasaan khawatir dan was-was akan terkena penyakit yang ditakutinya. Penghindaran pada penyakit demam berdarah yang belum dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan perasaan cemas yang tinggi. Berbagai kemungkinan diatas tidak menutup kemungkinan juga adanya kesalahan pada saat penelitian berlangsung. Saat penyebaran angket peneliti tidak mendampingi subjek dalam pengisian angket sehingga bila ada hal-hal yang subjek tidak mengerti, tidak dapat ditanyakan langsung kepada peneliti sehingga akan adanya kemungkinan subjek mengisi aitem-aitem pernyataan yang tidak dimengerti secara sembarangan.