BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu ingin menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui usahausahanya dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan untuk membawa rakyat pada peningkatan kesejahteraan yang lebih baik, dan hal ini bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Jika dilihat dari sisi ekonomi, salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yaitu melalui pendapatan perkapita suatu negara. Jika pendapatan perkapita meningkat maka kesejahteraan masyarakat ini dapat dikatakan meningkat pula. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan menimbulkan perdagangan (Cahyadi, 2014). Perdagangan dapat dilihat dari dua sisi yaitu penjual dan pembeli. Pada kegiatan perdagangan akan terjadi pertukaran barang dan jasa yang dilakukan oleh suatu penduduk di negara tertentu yang disebut dengan perdagangan dalam negeri. Hingga pada akhirnya perdagangan dalam negeri berkembang menjadi perdagangan luar negeri atau biasa dikenal dengan perdagangan internasional. Perdagangan internasional dapat diartikan menjadi transaksi dagang antara pelaku ekonomi suatu negara dengan pelaku ekonomi dari negara lain. Perdagangan internasional dibagi menjadi dua, yaitu ekspor dan impor. Menurut Hariyani dan Serfianto (2010), majunya suatu negara tidak terlepas dari hubungan perdagangan suatu negara dengan negara lain, dilihat dari kegiatan ekspor baik berupa barang maupun jasa yang dihasilkan. Jika berdasarkan jenis komoditi yang di ekspor, maka ekspor di bagi menjadi dua, yaitu ekspor migas dan ekspor non-migas. Pada ekspor migas peranannya terus menurun selama beberapa tahun belakangan dibandingkan pada tahun 1973-1983 hal ini dapat dilihat dari total ekspor migas pada tahun 2011 sebesar US$ 41.477.035.636. Sebaliknya ekspor non-migas Indonesia pada tahun 2011 sebesar US$ 162.019.584.424, ini menunjukkan bahwa ekspor non-migas peranannya terus meningkat selama beberapa tahun terakhir (http://kemenperin.go.id). Ekspor non-migas terdiri dari sektor pertanian, industri, serta pertambangan dan lainnya. Perkembangan perekonomian di Indonesia hingga saat ini masih ditunjang oleh sektor pertanian (Juanda, 2012). Keadaan ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat keunggulan komparatif dan kompetitif perekonomian Indonesia lebih banyak terdapat pada kegiatan produksi yang berbasis sumber daya alam dibandingkan dengan kegiatan produksi yang berbasis teknologi maupun modal (Perdana, 2010). Hortikultura sebagai salah satu sub sektor pertanian, memiliki peran yang cukup penting dalam pembangunan pertanian Indonesia. Hortikultura dibidang buah-buahan khususnya pisang merupakan salah satu bentuk pertanian yang sudah lama dibudidayakan dalam bentuk perkebunan di Indonesia. Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara tropis yang memasok pisang segar, kering, ekstrak pisang atau olahan produk dari pisang ke Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Arab, Australia, Belanda, Amerika Serikat, Perancis dan beberapa negara lainnya. Pada umumnya di Indonesia pisang hanya ditanam dalam skala rumah tangga atau kebun yang sangat kecil. Industri pengolahan buah pisang juga kebanyakan hanya berskala rumah tangga saja. Namun, Tanah dan iklim Indonesia sangat mendukung penanaman pisang, karena itu secara teknis pendirian perkebunan pisang sangat potensial. Selain itu tenaga kerja di Indonesia yang relatif murah merupakan nilai tambah dalam mengembangkan ekspor komoditas pisang (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura: 2005). Manurut BPS (Biro Pusat Statistik) (2003), Pisang merupakan salah satu komoditas buah unggulan Indonesia. Dibandingkan dengan buah-buah yang lain, luas panen dan produksi buah pisang selalu menempati posisi pertama. Pada tahun 2002 produksinya mencapai 1.084.000 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6,5 triliun. Disamping untuk konsumsi segar, beberapa jenis pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri kripik, ekstrak, sale dan tepung pisang. Pisang ini sendiri banyak mengandung vitamin dan mineral esensial yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Bahkan di beberapa daerah di Papua pisang merupakan subsitusi makanan pokok, seperti di beberapa negara di Afrika. Menurut Satyantari (1999) berdasarkan informasi dari FAO (Food and Agriculture Organization), pisang termasuk komoditas dibidang hortikultura yang penting dan sudah ada sejak lama menjadi mata perdagangan yang memiliki reputasi internasional. Pisang selain mudah didapat karena musim panennya berlangsung sepanjang tahun juga sangat digemari oleh masyarakat dunia tanpa pandang usia, jabatan dan jenis kelamin. Disamping itu pisang termasuk juga sebagai bahan pangan penting yang keempat di negara berkembang seperti negara-negara di Afrika. Indonesia sebenarnya mempunyai potensi besar untuk meningkatkan produk dan ekspor pisang, dimana iklim, tanah dan tenaga kerja yang memungkinkan produksi dilakukan sepanjang tahun. Kegiatan ekspor suatu komoditi tidak terlepas dari masalah nilai tukar (exchange rate). Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan perbandingan nilai mata uang rupiah dengan dollar Amerika Serikat. Perdagangan internasional yang dilakukan antara negara satu dengan negara lainnya, dimana setiap negara memiliki mata uang yang berbeda-beda mengharuskan suatu negara untuk memiliki perbandingan nilai mata uang yang biasa disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 1997). Alasan digunakan kurs dollar Amerika Serikat dan konversinya terhadap rupiah karena menurut Saunders dan Schumacher (2002) dollar Amerika Serikat merupakan mata uang internasional. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat juga memainkan peranan penting dalam perdagangan Internasional, karena kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat memungkinkan untuk membandingkan harga semua barang dan jasa yang dihasilkan dari kedua negara (Trivena, 2013). Pada sistem kurs mengambang (floating exchange rate) yang dianut Indonesia, adanya depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan berdampak pada ekspor maupun impor. Jika terjadi depresiasi terhadap rupiah, yaitu nilai rupiah menurun dan menyebabkan kurs dollar Amerika Serikat meningkat maka ekspor akan meningkat sedangkan impor menurun. Sebaliknya jika terjadi apresiasi terhadap rupiah dimana kurs dollar Amerika Serikat nilainya menurun maka ekspor juga akan mengalami penurunan sedangkan impor meningkat. Jadi, kurs memiliki hubungan yang positif terhadap ekspor (Sukirno, 2006). Dengan kata lain jika nilai dollar Amerika Serikat menguat terhadap rupiah, maka eksportir, dalam hal ini eksportir komoditas pisang Indonesia akan memperoleh keuntungan lebih dikarenakan kemampuan dollar untuk membeli pisang dan produk-produk olahan dari pisang yang dihasilkan Indonesia dengan nilai tukar rupiah lebih besar dan demikian sebaliknya jika nilai dollar Amerika Serikat melemah terhadap rupiah, maka eksportir, dalam hal ini eksportir komoditas pisang Indonesia akan mengalami penurunan dikarenakan kemampuan dollar untuk membeli pisang dan produk-produk olahan dari pisang yang dihasilkan Indonesia semakin melemah. Tabel 1.2 Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Periode 1989-2013 Kurs Tahun Dollar AS (Rp/USD) 1989 1.795 1990 1.901 1991 1.992 1992 2.062 1993 2.110 1994 2.200 1995 2.308 1996 2.383 1997 2.988 1998 10.327 1999 8.015 2000 8.513 2001 10.266 Pertumbuhan (%) 0,06 0,05 0,04 0,02 0,04 0,05 0,03 0,25 2,46 -0,22 0,06 0,21 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kurs Dollar AS (Rp/USD) 8.761 8.077 8.790 9.212 9.141 9.164 9.694 10.305 9.038 8.808 9.388 10.230 Rata-rata Pertumbuhan Pertumbuhan (%) -0,15 -0,08 0,09 0,05 -0,01 0,00 0,06 0,06 -0,12 -0,03 0,07 0,09 0,13 Sumber: Statistik Ekonomi dan keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia 2014 (data diolah). Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa terjadinya krisis moneter di Indonesia pada tahun 1998 menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mengalami depresiasi mencapai Rp.10.327. Pada tahun berikutnya kurs kembali stabil, yaitu USD 1 setara dengan Rp.8.015. Namun pada tahun 2000 – 2004 perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menjadi fluktuatif, hal ini di karenakan keamanan di Indonesia terganggu dengan adanya serangan teroris di kota-kota besar. Selama tahun 2005-2007 keadaan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat perlahan berjalan cukup stabil, dikarenakan keadaan Indonesia diberbagai bidang diantaranya bidang perekonomian, keamanan, dan keadaan politik cukup terkendali. Tahun 2009 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah menjadi Rp.10.305 ini adalah titik tertinggi sepanjang tahun 1989-2013. Hal ini terjadi karena adanya krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 yang menyebabkan rupiah terdepresiasi dan masih berdampak pada tahun berikutnya. Selain nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, naik-turunya inflasi juga diduga berpengaruh terhadap ekspor di Indonesia. Inflasi mempunyai pengaruh terhadap aktivitas perdagangan internasional suatu negara. Negara yang mengalami inflasi tinggi akan menyebabkan pengusaha tidak bergairah untuk melakukan produksi. Ongkos-ongkos produksi naik, di lain pihak pendapatan masyarakat secara rill terus menurun. Penurunan permintaan luar negeri akan barang ekspor akan menyebabkan penurunan penerimaan devisa bagi negara. Inflasi dapat didefinisikan juga sebagai suatu kecendrungan kenaikan harga–harga barang dan jasa secara terus-menerus berlaku dalam suatu perekonomian. Menurut Saputra (2013), Inflasi mempengaruhi alokasi faktor produksi dan produk nasional serta distribusi pendapatan, ibarat dua sisi mata uang inflasi dapat berdampak positif dan negatif. Sisi positif dari inflasi adalah dapat menjadi stimulator pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga yang tidak dengan segera diikuti oleh kenaikan upah pekerja, akan berakibat pada meningkatnya gairah produksi dan pertumbuhan kesempatan kerja baru. Sisi negatif dari inflasi ialah cenderung akan meningkatkan harga barang secara umum, dan apabila kenaikan terjadi secara berlebihan akan menurunkan gairah produksi dan konsumsi serta beresiko memicu terjadi hiper inflasi dan berkurangnya volume ekspor suatu negara (Alfian, 2012). Tabel 1.3 Tingkat Inflasi Indonesia Periode 1989-2013 Tahun Inflasi (%) Pertumbuhan (%) 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 5,97 9,53 9,52 6,08 9,07 9,42 8,64 6,47 11,05 77,83 7,01 9,62 12,55 3,56 -0,01 -3,44 2,99 0,35 -0,78 -2,17 4,58 66,78 -70,82 2,61 2,93 Tahun Inflasi (%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 10,03 5,06 6,40 17,11 6,40 6,59 11,06 2,78 6,96 3,98 4,30 8,38 Rata-rata Pertumbuhan Sumber: Statistik Ekonomi dan keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia 2014 (data diolah). Pertumbuhan (%) -2,52 -4,97 1,34 10,71 -10,71 0,19 4,47 -8,28 4,18 -2,98 0,32 4,08 0,10 Berdasarkan Tabel 1.3 dapat diuraikan bahwa tingkat inflasi di Indonesia selama 25 tahun terakhir cukup fluktuatif. Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada 1998 yaitu sebesar 77,83 persen, dikarenakan kondisi moneter yang sangat buruk dan krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1999, tingkat inflasi Indonesia dapat dikendalikan sebesar 7,01 persen. Pada tahun 2005 tingkat inflasi di Indonesia naik menjadi 17.11 persen. Hingga pada tahun 2013 inflasi di Indonesia sebesar 8,38 persen dimana ini mengalami kenaikan sebesar 4,08 persen dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2012 dengan tingkat inflasi sebesar 4,30 persen. Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain tingkat inflasinya mencapai sekitar 3 sampai 5 persen per tahun dalam periode 2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8,5 persen per tahun dalam periode yang sama. Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. (http://www.indonesiainvestments.com). Penawaran terhadap ekspor dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah produksi. Rosihan dan Nesia (2008) mengungkapkan trend ekspor perkebunan yang terus meningkat memberikan gambaran bahwa produk perkebunan telah mampu bersaing di pasar internasional sehingga mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam devisa perdagangan. Adrian (2010) menyatakan bahwa variabel produksi juga memperlihatkan pengaruh terhadap ekspor komoditas pertanian. Tinggi rendahnya tingkat hasil produksi dari hasil pertanian ditentukan oleh tingkat penggunaan faktor produksi. Usaha untuk memenuhi kebutuhan buah pisang di dalam maupun diluar negeri maka jumlah produksi adalah salah satu faktor yang sangat diperhatikan oleh pemerintah. Walaupun produksi pisang di Indonesia cukup besar, namun kontribusi Indonesia terhadap perdagangan pisang di dunia masih kecil. Kecilnya volume ekspor ini disebabkan karena Indonesia hanya memproduksi jenis pisang ekspor (cavendish) yang sangat kecil. Sedangkan produksi pisang Indonesia sebagian besar terdiri dari berbagai jenis pisang lokal, bukan jenis pisang cavendish yang pada umumnya diekspor (Satyantari, 1999). Tabel 1.4 Perkembangan Produksi Nasional Buah Pisang Indonesia Periode 1989-2013 Tahun Produksi (Ribuan ton) Pertumbuhan (%) 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 1.192,00 1.411,00 1.972,00 2.651,00 2.844,00 3.087,00 3.805,00 5.023,00 3.157,00 3.374,00 3.277,00 3.747,00 2.367,00 0,18 0,40 0,34 0,07 0,09 0,23 0,32 -0,37 0,07 -0,03 0,14 -0,37 Tahun Produksi (Ribuan ton) Pertumbuhan (%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1.084,00 2.177,00 1.974,00 5.178,00 5.038,00 2.954,00 2.705,00 2.374,00 1.755,00 2.133,00 2.189,00 6.279,00 -0,54 1,01 -0,09 1,62 -0,03 -0,41 -0,08 -0,12 -0,26 0,22 0,03 1,87 0,18 Rata-rata Pertumbuhan Sumber: Badan Pusat Satistik, 2014 (Data diolah) Perkembangan produksi nasional buah pisang dilihat pada Tabel 1.4 dari tahun 1989-2013 terus mengalami kenaikan walaupun beberapa tahun menunjukkan adanya sedikit penurunan. Pada tahun 1997 di tengah krisis moneter yang terjadi di Indonesia produksi buah pisang turun sebesar 0,37 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan produksi buah pisang terus menerus terjadi pada tahun 2006-2010. Keadaan produksi nasional buah pisang terakhir pada tahun 2013 sebesar 6.279.000 ton dimana keadaan ini mengalami kenaikan sebesar 1,87 persen dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2012 yang dapat memproduksi sebesar 2.189.000 ton. Tingkat produksi terus berkembang dipengaruhi oleh meningkatnya luas lahan yang akan di panen. Keberadaan luas lahan sangat penting dalam menunjang kegiatan produksi hasil pertanian (Nindia, 2008). Semakin luas areal lahan yang ditanami buah pisang maka akan semakin luas lahan buah pisang yang akan dipanen. Tabel 1.5 Perkembangan Luas Panen Perkebunan Buah Pisang Indonesia Periode 1989-2013 Luas Panen Pertumbuhan Luas Panen Tahun (Ha) (%) (Ha) 1989 57.843 2002 74.951 1990 65.454 0,13 2003 97.690 1991 72.065 0,10 2004 99.434 1992 106.505 0,48 2005 101.165 1993 110.721 0,04 2006 102.264 1994 113.641 0,03 2007 103.143 1995 106.844 -0,06 2008 109.091 1996 139.219 0,30 2009 107.160 1997 89.915 -0,35 2010 101.276 1998 96.537 0,07 2011 104.156 1999 99.560 0,03 2012 103.158 2000 78.539 -0,21 2013 108.385 Rata-rata Pertumbuhan 2001 77.023 -0,02 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (Data diolah) Tahun Pertumbuhan (%) -0,03 0,30 0,02 0,02 0,01 0,01 0,06 -0,02 -0,05 0,03 -0,01 0,05 0,04 Berdasarkan Tabel 1.5 ditinjau dari aspek luas areal lahan yang dipanen, sektor perkebunan pisang mengalami pertumbuhan dan masa panen yang tidak konsisten dari tahun ke tahun. Terbukti pada tahun 1989-2013 perkebunan pisang mengalami masa panen yang tidak menentu. Pada tahun 1993 luas panen perkebunan pisang sebesar 110.721 ha kemudian pada tahun 2005 luas panen perkebunan pisang mengalami peningkatan menjadi 101.165 ha. Pada tahun 2010 luas panen perkebunan pisang kembali mengalami penurunan sebesar 0,05 persen dari tahun sebelumnya. Luas panen kembali meningkat pada tahun 2011 sebesar 104.156 ha, dan pada tahun 2013 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa luas panen perkebunan pisang di Indonesia kembali mengalami peningkatan menjadi 108.385 ha. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka penelitian ini ingin melihat pergerakan volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013 serta pengaruh variabel bebas yang meliputi (1) kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat; (2) inflasi; (3) produksi, dan (4) luas panen terhadap variabel terikat volume ekspor komoditas pisang Indonesia pada periode tahun 1989-2013. Sehingga penulis memutuskan untuk mengangkat judul penelitian yaitu “Volume Ekspor Komoditas Pisang Indonesia Periode 1989-2013 Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1) Bagaimanakah perkembangan volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013? 2) Apakah kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan luas panen secara simultan berpengaruh terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013? 3) Bagaimanakah pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan luas panen secara parsial terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013? 4) Variabel manakah diantara kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan luas panen yang berpengaruh dominan terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui perkembangan volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013. 2) Untuk mengetahui pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan luas panen secara simultan terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013. 3) Untuk mengetahui pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan luas panen secara parsial terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia 1989-2013. 4) Untuk mengetahui variable yang berpengaruh dominan terhadap volume ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013. 1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan masukan bagi perkembangan ekspor selanjutnya. 2) Bagi perkembangan ilmu sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya khasanah hasil penelitian mengenai ekspor komoditas pisang Indonesia. 1.5 Sistematika penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) Bab yaitu : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, kegunaan penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan teoritis yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yang digunakan sebagai pedoman dalam pemecahan masalah dalam laporan ini. Dalam bab ini juga disajikan hipotesis atau dugaan sementara atas pokok permasalahan yang diangkat sesuai dengan landasan teori yang ada BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini diawali dengan menguraikan gambaran umum wilayah, potensi, dan pergerakan ekspor komoditas pisang Indonesia, disertai pembahasan hasil perhitungan statistik yang meliputi analisis regresi linier berganda, uji asumsi klasik, uji F, uji t dan standardized coefficients beta. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Merupakan penutup yang terdiri atas keseimpulan yang telah diperoleh dari hasil penelitian dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan atas kesimpulan yang dilakukan.