BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu ingin menciptakan
kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui usahausahanya dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan
untuk membawa rakyat pada peningkatan kesejahteraan yang lebih baik, dan hal
ini bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Jika dilihat dari sisi
ekonomi, salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yaitu
melalui pendapatan perkapita suatu negara. Jika pendapatan perkapita meningkat
maka
kesejahteraan
masyarakat
ini
dapat
dikatakan
meningkat
pula.
Meningkatnya pendapatan masyarakat akan menimbulkan perdagangan (Cahyadi,
2014).
Perdagangan dapat dilihat dari dua sisi yaitu penjual dan pembeli. Pada
kegiatan perdagangan akan terjadi pertukaran barang dan jasa yang dilakukan oleh
suatu penduduk di negara tertentu yang disebut dengan perdagangan dalam
negeri. Hingga pada akhirnya perdagangan dalam negeri berkembang menjadi
perdagangan luar negeri atau biasa dikenal dengan perdagangan internasional.
Perdagangan internasional dapat diartikan menjadi transaksi dagang antara pelaku
ekonomi suatu negara dengan pelaku ekonomi dari negara lain. Perdagangan
internasional dibagi menjadi dua, yaitu ekspor dan impor. Menurut Hariyani dan
Serfianto (2010), majunya suatu negara tidak terlepas dari hubungan perdagangan
suatu negara dengan negara lain, dilihat dari kegiatan ekspor baik berupa barang
maupun jasa yang dihasilkan. Jika berdasarkan jenis komoditi yang di ekspor,
maka ekspor di bagi menjadi dua, yaitu ekspor migas dan ekspor non-migas. Pada
ekspor migas peranannya terus menurun selama beberapa tahun belakangan
dibandingkan pada tahun 1973-1983 hal ini dapat dilihat dari total ekspor migas
pada tahun 2011 sebesar US$ 41.477.035.636. Sebaliknya ekspor non-migas
Indonesia pada tahun 2011 sebesar US$ 162.019.584.424, ini menunjukkan bahwa
ekspor non-migas peranannya terus meningkat selama beberapa tahun terakhir
(http://kemenperin.go.id). Ekspor non-migas terdiri dari sektor pertanian, industri,
serta pertambangan dan lainnya. Perkembangan perekonomian di Indonesia
hingga saat ini masih ditunjang oleh sektor pertanian (Juanda, 2012). Keadaan ini
merupakan sesuatu yang wajar mengingat keunggulan komparatif dan kompetitif
perekonomian Indonesia lebih banyak terdapat pada kegiatan produksi yang
berbasis sumber daya alam dibandingkan dengan kegiatan produksi yang berbasis
teknologi maupun modal (Perdana, 2010).
Hortikultura sebagai salah satu sub sektor pertanian, memiliki peran yang
cukup penting dalam pembangunan pertanian Indonesia. Hortikultura dibidang
buah-buahan khususnya pisang merupakan salah satu bentuk pertanian yang
sudah lama dibudidayakan dalam bentuk perkebunan di Indonesia. Pisang adalah
tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara
(termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar),
Amerika Selatan dan Tengah. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara tropis
yang memasok pisang segar, kering, ekstrak pisang atau olahan produk dari
pisang ke Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Arab, Australia, Belanda, Amerika
Serikat, Perancis dan beberapa negara lainnya. Pada umumnya di Indonesia
pisang hanya ditanam dalam skala rumah tangga atau kebun yang sangat kecil.
Industri pengolahan buah pisang juga kebanyakan hanya berskala rumah tangga
saja. Namun, Tanah dan iklim Indonesia sangat mendukung penanaman pisang,
karena itu secara teknis pendirian perkebunan pisang sangat potensial. Selain itu
tenaga kerja di Indonesia yang relatif murah merupakan nilai tambah dalam
mengembangkan ekspor komoditas pisang (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Hortikultura: 2005).
Manurut BPS (Biro Pusat Statistik) (2003), Pisang merupakan salah satu
komoditas buah unggulan Indonesia. Dibandingkan dengan buah-buah yang lain,
luas panen dan produksi buah pisang selalu menempati posisi pertama. Pada tahun
2002 produksinya mencapai 1.084.000 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6,5
triliun. Disamping untuk konsumsi segar, beberapa jenis pisang di Indonesia juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri kripik,
ekstrak, sale dan tepung pisang. Pisang ini sendiri banyak mengandung vitamin
dan mineral esensial yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Bahkan di beberapa
daerah di Papua pisang merupakan subsitusi makanan pokok, seperti di beberapa
negara di Afrika.
Menurut Satyantari (1999) berdasarkan informasi dari FAO (Food and
Agriculture Organization), pisang termasuk komoditas dibidang hortikultura yang
penting dan sudah ada sejak lama menjadi mata perdagangan yang memiliki
reputasi internasional. Pisang selain mudah didapat karena musim panennya
berlangsung sepanjang tahun juga sangat digemari oleh masyarakat dunia tanpa
pandang usia, jabatan dan jenis kelamin. Disamping itu pisang termasuk juga
sebagai bahan pangan penting yang keempat di negara berkembang seperti
negara-negara di Afrika. Indonesia sebenarnya mempunyai potensi besar untuk
meningkatkan produk dan ekspor pisang, dimana iklim, tanah dan tenaga kerja
yang memungkinkan produksi dilakukan sepanjang tahun.
Kegiatan ekspor suatu komoditi tidak terlepas dari masalah nilai tukar
(exchange rate). Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan
perbandingan nilai mata uang rupiah dengan dollar Amerika Serikat. Perdagangan
internasional yang dilakukan antara negara satu dengan negara lainnya, dimana
setiap negara memiliki mata uang yang berbeda-beda mengharuskan suatu negara
untuk memiliki perbandingan nilai mata uang yang biasa disebut kurs valuta asing
atau kurs (Salvatore, 1997). Alasan digunakan kurs dollar Amerika Serikat dan
konversinya terhadap rupiah karena menurut Saunders dan Schumacher (2002)
dollar Amerika Serikat merupakan mata uang internasional. Kurs rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat juga memainkan peranan penting dalam perdagangan
Internasional, karena kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat memungkinkan
untuk membandingkan harga semua barang dan jasa yang dihasilkan dari kedua
negara (Trivena, 2013).
Pada sistem kurs mengambang (floating exchange rate) yang dianut
Indonesia, adanya depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan berdampak pada
ekspor maupun impor. Jika terjadi depresiasi terhadap rupiah, yaitu nilai rupiah
menurun dan menyebabkan kurs dollar Amerika Serikat meningkat maka ekspor
akan meningkat sedangkan impor menurun. Sebaliknya jika terjadi apresiasi
terhadap rupiah dimana kurs dollar Amerika Serikat nilainya menurun maka
ekspor juga akan mengalami penurunan sedangkan impor meningkat. Jadi, kurs
memiliki hubungan yang positif terhadap ekspor (Sukirno, 2006). Dengan kata
lain jika nilai dollar Amerika Serikat menguat terhadap rupiah, maka eksportir,
dalam hal ini eksportir komoditas pisang Indonesia akan memperoleh keuntungan
lebih dikarenakan kemampuan dollar untuk membeli pisang dan produk-produk
olahan dari pisang yang dihasilkan Indonesia dengan nilai tukar rupiah lebih besar
dan demikian sebaliknya jika nilai dollar Amerika Serikat melemah terhadap
rupiah, maka eksportir, dalam hal ini eksportir komoditas pisang Indonesia akan
mengalami penurunan dikarenakan kemampuan dollar untuk membeli pisang dan
produk-produk olahan dari pisang yang dihasilkan Indonesia semakin melemah.
Tabel 1.2 Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Periode
1989-2013
Kurs
Tahun Dollar AS
(Rp/USD)
1989
1.795
1990
1.901
1991
1.992
1992
2.062
1993
2.110
1994
2.200
1995
2.308
1996
2.383
1997
2.988
1998
10.327
1999
8.015
2000
8.513
2001
10.266
Pertumbuhan
(%)
0,06
0,05
0,04
0,02
0,04
0,05
0,03
0,25
2,46
-0,22
0,06
0,21
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kurs
Dollar AS
(Rp/USD)
8.761
8.077
8.790
9.212
9.141
9.164
9.694
10.305
9.038
8.808
9.388
10.230
Rata-rata Pertumbuhan
Pertumbuhan
(%)
-0,15
-0,08
0,09
0,05
-0,01
0,00
0,06
0,06
-0,12
-0,03
0,07
0,09
0,13
Sumber: Statistik Ekonomi dan keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia 2014 (data diolah).
Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa terjadinya krisis moneter di Indonesia pada
tahun 1998 menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
mengalami depresiasi mencapai Rp.10.327. Pada tahun berikutnya kurs kembali
stabil, yaitu USD 1 setara dengan Rp.8.015. Namun pada tahun 2000 – 2004
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menjadi
fluktuatif, hal ini di karenakan keamanan di Indonesia terganggu dengan adanya
serangan teroris di kota-kota besar. Selama tahun 2005-2007 keadaan nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat perlahan berjalan cukup stabil,
dikarenakan
keadaan
Indonesia
diberbagai
bidang
diantaranya
bidang
perekonomian, keamanan, dan keadaan politik cukup terkendali. Tahun 2009 nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah menjadi Rp.10.305 ini
adalah titik tertinggi sepanjang tahun 1989-2013. Hal ini terjadi karena adanya
krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 yang menyebabkan
rupiah terdepresiasi dan masih berdampak pada tahun berikutnya.
Selain nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, naik-turunya inflasi
juga diduga berpengaruh terhadap ekspor di Indonesia. Inflasi mempunyai
pengaruh terhadap aktivitas perdagangan internasional suatu negara. Negara yang
mengalami inflasi tinggi akan menyebabkan pengusaha tidak bergairah untuk
melakukan produksi. Ongkos-ongkos produksi naik, di lain pihak pendapatan
masyarakat secara rill terus menurun. Penurunan permintaan luar negeri akan
barang ekspor akan menyebabkan penurunan penerimaan devisa bagi negara.
Inflasi dapat didefinisikan juga sebagai suatu kecendrungan kenaikan harga–harga
barang dan jasa secara terus-menerus berlaku dalam suatu perekonomian.
Menurut Saputra (2013), Inflasi mempengaruhi alokasi faktor produksi dan
produk nasional serta distribusi pendapatan, ibarat dua sisi mata uang inflasi dapat
berdampak positif dan negatif. Sisi positif dari inflasi adalah dapat menjadi
stimulator pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga yang tidak dengan segera
diikuti oleh kenaikan upah pekerja, akan berakibat pada meningkatnya gairah
produksi dan pertumbuhan kesempatan kerja baru. Sisi negatif dari inflasi ialah
cenderung akan meningkatkan harga barang secara umum, dan apabila kenaikan
terjadi secara berlebihan akan menurunkan gairah produksi dan konsumsi serta
beresiko memicu terjadi hiper inflasi dan berkurangnya volume ekspor suatu
negara (Alfian, 2012).
Tabel 1.3 Tingkat Inflasi Indonesia Periode 1989-2013
Tahun
Inflasi (%)
Pertumbuhan
(%)
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
5,97
9,53
9,52
6,08
9,07
9,42
8,64
6,47
11,05
77,83
7,01
9,62
12,55
3,56
-0,01
-3,44
2,99
0,35
-0,78
-2,17
4,58
66,78
-70,82
2,61
2,93
Tahun
Inflasi (%)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
10,03
5,06
6,40
17,11
6,40
6,59
11,06
2,78
6,96
3,98
4,30
8,38
Rata-rata Pertumbuhan
Sumber: Statistik Ekonomi dan keuangan Indonesia (SEKI) Bank
Indonesia 2014 (data diolah).
Pertumbuhan
(%)
-2,52
-4,97
1,34
10,71
-10,71
0,19
4,47
-8,28
4,18
-2,98
0,32
4,08
0,10
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat diuraikan bahwa tingkat inflasi di Indonesia
selama 25 tahun terakhir cukup fluktuatif. Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada
1998 yaitu sebesar 77,83 persen, dikarenakan kondisi moneter yang sangat buruk
dan krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1999, tingkat inflasi Indonesia
dapat dikendalikan sebesar 7,01 persen. Pada tahun 2005 tingkat inflasi di
Indonesia naik menjadi 17.11 persen. Hingga pada tahun 2013 inflasi di Indonesia
sebesar 8,38 persen dimana ini mengalami kenaikan sebesar 4,08 persen dari
tahun sebelumnya yaitu tahun 2012 dengan tingkat inflasi sebesar 4,30 persen.
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding
negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain
tingkat inflasinya mencapai sekitar 3 sampai 5 persen per tahun dalam periode
2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8,5 persen per
tahun dalam periode yang sama. Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan
dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. (http://www.indonesiainvestments.com).
Penawaran terhadap ekspor dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya
adalah produksi. Rosihan dan Nesia (2008) mengungkapkan trend ekspor
perkebunan yang terus meningkat memberikan gambaran bahwa produk
perkebunan telah mampu bersaing di pasar internasional sehingga mampu
memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam devisa perdagangan. Adrian
(2010) menyatakan bahwa variabel produksi juga memperlihatkan pengaruh
terhadap ekspor komoditas pertanian. Tinggi rendahnya tingkat hasil produksi dari
hasil pertanian ditentukan oleh tingkat penggunaan faktor produksi.
Usaha untuk memenuhi kebutuhan buah pisang di dalam maupun diluar negeri
maka jumlah produksi adalah salah satu faktor yang sangat diperhatikan oleh
pemerintah. Walaupun produksi pisang di Indonesia cukup besar, namun
kontribusi Indonesia terhadap perdagangan pisang di dunia masih kecil. Kecilnya
volume ekspor ini disebabkan karena Indonesia hanya memproduksi jenis pisang
ekspor (cavendish) yang sangat kecil. Sedangkan produksi pisang Indonesia
sebagian besar terdiri dari berbagai jenis pisang lokal, bukan jenis pisang
cavendish yang pada umumnya diekspor (Satyantari, 1999).
Tabel 1.4 Perkembangan Produksi Nasional Buah Pisang Indonesia Periode
1989-2013
Tahun
Produksi
(Ribuan ton)
Pertumbuhan
(%)
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
1.192,00
1.411,00
1.972,00
2.651,00
2.844,00
3.087,00
3.805,00
5.023,00
3.157,00
3.374,00
3.277,00
3.747,00
2.367,00
0,18
0,40
0,34
0,07
0,09
0,23
0,32
-0,37
0,07
-0,03
0,14
-0,37
Tahun
Produksi
(Ribuan ton)
Pertumbuhan
(%)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1.084,00
2.177,00
1.974,00
5.178,00
5.038,00
2.954,00
2.705,00
2.374,00
1.755,00
2.133,00
2.189,00
6.279,00
-0,54
1,01
-0,09
1,62
-0,03
-0,41
-0,08
-0,12
-0,26
0,22
0,03
1,87
0,18
Rata-rata Pertumbuhan
Sumber: Badan Pusat Satistik, 2014 (Data diolah)
Perkembangan produksi nasional buah pisang dilihat pada Tabel 1.4 dari
tahun 1989-2013 terus mengalami kenaikan walaupun beberapa tahun
menunjukkan adanya sedikit penurunan. Pada tahun 1997 di tengah krisis moneter
yang terjadi di Indonesia produksi buah pisang turun sebesar 0,37 persen dari
tahun sebelumnya. Penurunan produksi buah pisang terus menerus terjadi pada
tahun 2006-2010. Keadaan produksi nasional buah pisang terakhir pada tahun
2013 sebesar 6.279.000 ton dimana keadaan ini mengalami kenaikan sebesar 1,87
persen dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2012 yang dapat memproduksi sebesar
2.189.000 ton.
Tingkat produksi terus berkembang dipengaruhi oleh meningkatnya luas lahan
yang akan di panen. Keberadaan luas lahan sangat penting dalam menunjang
kegiatan produksi hasil pertanian (Nindia, 2008). Semakin luas areal lahan yang
ditanami buah pisang maka akan semakin luas lahan buah pisang yang akan
dipanen.
Tabel 1.5 Perkembangan Luas Panen Perkebunan Buah Pisang Indonesia
Periode 1989-2013
Luas Panen Pertumbuhan
Luas Panen
Tahun
(Ha)
(%)
(Ha)
1989
57.843
2002
74.951
1990
65.454
0,13
2003
97.690
1991
72.065
0,10
2004
99.434
1992
106.505
0,48
2005
101.165
1993
110.721
0,04
2006
102.264
1994
113.641
0,03
2007
103.143
1995
106.844
-0,06
2008
109.091
1996
139.219
0,30
2009
107.160
1997
89.915
-0,35
2010
101.276
1998
96.537
0,07
2011
104.156
1999
99.560
0,03
2012
103.158
2000
78.539
-0,21
2013
108.385
Rata-rata Pertumbuhan
2001
77.023
-0,02
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (Data diolah)
Tahun
Pertumbuhan
(%)
-0,03
0,30
0,02
0,02
0,01
0,01
0,06
-0,02
-0,05
0,03
-0,01
0,05
0,04
Berdasarkan Tabel 1.5 ditinjau dari aspek luas areal lahan yang dipanen,
sektor perkebunan pisang mengalami pertumbuhan dan masa panen yang tidak
konsisten dari tahun ke tahun. Terbukti pada tahun 1989-2013 perkebunan pisang
mengalami masa panen yang tidak menentu. Pada tahun 1993 luas panen
perkebunan pisang sebesar 110.721 ha kemudian pada tahun 2005 luas panen
perkebunan pisang mengalami peningkatan menjadi 101.165 ha. Pada tahun 2010
luas panen perkebunan pisang kembali mengalami penurunan sebesar 0,05 persen
dari tahun sebelumnya. Luas panen kembali meningkat pada tahun 2011 sebesar
104.156 ha, dan pada tahun 2013 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan bahwa luas panen perkebunan pisang di Indonesia kembali
mengalami peningkatan menjadi 108.385 ha.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka
penelitian ini ingin melihat pergerakan volume ekspor komoditas pisang
Indonesia periode 1989-2013 serta pengaruh variabel bebas yang meliputi (1) kurs
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat; (2) inflasi; (3) produksi, dan (4) luas
panen terhadap variabel terikat volume ekspor komoditas pisang Indonesia pada
periode tahun 1989-2013. Sehingga penulis memutuskan untuk mengangkat judul
penelitian yaitu “Volume Ekspor Komoditas Pisang Indonesia Periode 1989-2013
Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perkembangan volume ekspor komoditas pisang Indonesia
periode 1989-2013?
2) Apakah kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi, produksi dan
luas panen secara simultan berpengaruh terhadap volume ekspor komoditas
pisang Indonesia periode 1989-2013?
3) Bagaimanakah pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, inflasi,
produksi dan luas panen secara parsial terhadap volume ekspor komoditas
pisang Indonesia periode 1989-2013?
4) Variabel manakah diantara kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat,
inflasi, produksi dan luas panen yang berpengaruh dominan terhadap volume
ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui perkembangan volume ekspor komoditas pisang Indonesia
periode 1989-2013.
2) Untuk mengetahui pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat,
inflasi, produksi dan luas panen secara simultan terhadap volume ekspor
komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013.
3) Untuk mengetahui pengaruh kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat,
inflasi, produksi dan luas panen secara parsial terhadap volume ekspor
komoditas pisang Indonesia 1989-2013.
4) Untuk mengetahui variable yang berpengaruh dominan terhadap volume
ekspor komoditas pisang Indonesia periode 1989-2013.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan dapat dijadikan
sebagai bahan informasi dan masukan bagi perkembangan ekspor
selanjutnya.
2) Bagi perkembangan ilmu sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya
khasanah hasil penelitian mengenai ekspor komoditas pisang Indonesia.
1.5 Sistematika penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) Bab yaitu :
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan, kegunaan penelitian, dan sistematika penyajian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan teoritis yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas
yang digunakan sebagai pedoman dalam pemecahan masalah dalam
laporan ini. Dalam bab ini juga disajikan hipotesis atau dugaan
sementara atas pokok permasalahan yang diangkat sesuai dengan
landasan teori yang ada
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi desain penelitian, lokasi penelitian, objek
penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan
sumber data, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini diawali dengan menguraikan gambaran umum wilayah, potensi,
dan
pergerakan ekspor komoditas pisang Indonesia, disertai
pembahasan hasil perhitungan statistik yang meliputi analisis regresi
linier berganda, uji asumsi klasik, uji F, uji t dan standardized
coefficients beta.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Merupakan penutup yang terdiri atas keseimpulan yang telah diperoleh
dari hasil penelitian dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan
atas kesimpulan yang dilakukan.
Download