pertanian pada ekosistem lahan sawah

advertisement
PERTANIAN PADA EKOSISTEM
LAHAN SAWAH
Diah Setyorini, Sri Rochayati, dan Irsal Las
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional harus berjalan selaras dengan
peningkatan laju penduduk 1,36 persen per tahun. Untuk itu pemerintah c.q. kementerian
Pertanian telah mencanangkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).
Program ini nititikberatkan pada upaya pemberdayaan untuk peningkatan produksi beras
secara nasional, rata-rata minimal 5 persen per tahun. Diperkirakan sekitar 95 persen
produksi beras nasional dipasok dari lahan sawah dan hanya sekitar 5 persen berasal dari
lahan kering, sehingga posisi lahan sawah masih tetap sangat strategis dalam memenuhi
kebutuhan beras nasional di masa yang akan datang. Oleh karena itu potensi, daya dukung
dan produktivitas lahan sawah harus terus dilestarikan dan dikembangkan .
Dalam konteks pertanian, lahan merupakan faktor produksi utama yang juga unik serta
dapat digantikan dengan faktor produksi lain, kecuali dalam skala yang sangat eksklusif.
Secara filosofis lahan, teruatama lahan sawah memiliki peran dan fungsi sentral bagi
masyarakat Indonesia yang bercorak agraris, karena disamping memiliki nilai ekonomis,
lahan juga memiliki nilai sosial, dan budaya, bahkan religius.
Secara fisik, lahan sawah merupakan suatu ekosistem lahan yang relatif stabil dan
mempunyai keberkelanjutan (sustainability) sangat tinggi (Kyuma, 2004). Hal ini dicirikan
dengan penyediaan dan peredaran hara yang lebih efisien, rendahnya perkolasi, erosi,dan
pencucian hara karena adanya lapisan tapak bajak (plow pan), terjadinya penambahan
hara secara alami dari air irigasi, dan lain-lain. Namun karena pengelolaan lahan yang
kurang tepat dan over exploitation, lahan sawah sering mengalami penurunan kesuburan
atau produktivitas dan sering disebut dengan tanah sakit atau lelah (soil fatigue). Selain itu,
lahan sawah juga sering mengalami degradasi akibat pencemaran, baik yang disebabkan
limbah agrokimia, maupun industri, dan domestik (perubahan/perkotaan).
Produktivitas lahan sawah dapat menurun sebagai akibat dari: (1) pengurasan dan defisit
hara karena yang terbawa panen lebih banyak dari hara yang diberikan melalui pemupukan
atau penambahan dari air irigasi; (2) kelebihan pemberian hara tertentu dan kekurangan
hara lainnya karena pemupukan yang tidak berimbang, dan (3) penurunan kadar bahan
organik tanah. Degradasi tersebut tidak saja mengancam kuantitas (produktivitas) hasil
padi, tetapi juga kualitasnya (Agus dan Setyorini, 2007).
Menurunnya produktivitas tanah sawah, terutama di Pulau Jawa memerlukan upaya
pemulihan secara tepat dan cepat. Tanah sakit diartikan sebagai menurunnya kemampuan
tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman secara berkelanjutan. Penurunan
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
(degradasi) produktivitas tanah sawah dicirikan antara lain oleh menurunnya kandungan
bahan organik tanah dan rendahnya ketersediaan unsur hara makro P dan K. Hasil
penelitian Badan Litbang Pertanian (2006) menunjukkan bahwa sekitar 65 persen dari
7,9 juta ha lahan sawah di Indonesia memiliki kandungan bahan organik rendah sampai
sangat rendah (C-organik <2 persen). Untuk mencapai tingkat produksi yang sama, tanah
tersebut memerlukan input lebih tinggi dibanding dengan tanah-tanah yang kandungan
bahan organiknya >3 persen. Sedangkan dari luasan lahan sawah tersebut, sekitar 17
persen mempunyai kadar total P tanah yang rendah dan sekitar 12 persen berkadar total
K rendah.
Gejala umum yang terlihat adalah menurunnya kadar bahan organik tanah sawah akibat
oleh peningkatan penggunaan pupuk kimia anorganik/sintetik tanpa diikuti penggunaan
pupuk organik (pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos) yang memadai. Ini berakibat
hilangnya berbagai fungsi penting bahan organik dalam memelihara produktivitas tanah
yang berujung pada kerusakan fisik, kimia dan biologi tanah. Untuk itu, langkah-langkah
strategis dalam pemulihan produktivitas lahan sawah untuk menjamin kemandirian
pangan secara berkelanjutan perlu segera dilakukan.
Potensi Luas dan Fungsi Lahan Sawah
a. Potensi luas lahan sawah
Luas lahan sawah di Indonesia mencapai 7,75 juta ha, 3,32 juta ha di antaranya
(42,8persen) terdapat di Pulau Jawa, sisanya menyebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara dan Bali (Tabel 1). Usaha untuk menambah luas lahan sawah sebenarnya
terus dilakukan, menurut Ditjen PLA tahun 2005 Kemtan mencetak sawah baru sekitar
8.000 ha, 2007 sekitar 18.000 ha, dan 2008 ditargetkan 44.000 ha. Departemen Pekerjaan
Umum sendiri mencetak sawah sekitar 30.000 ha. Usaha pencetakan sawah baru seolah
tidak nyata dalam meningkatkan luas sawah di Indonesia, karena laju konversi lahan
sawah yang sangat tinggi. Dari berbagai bentuk penggunaan lahan pertanian, lahan sawah
merupakan penggunaan lahan yang banyak mengalami konversi, terutama di sekitar pusat
pembangunan perkotaan dan permukiman. Pada umumnya konversi lahan sawah bersifat
tidak dapat balik (irreversible) karena berubah menjadi lahan perumahan, perkotaan, dan
kawasan industri. Kecenderungan ini dapat membawa kemerosotan terhadap kualitas
lingkungan (Agus, 2006) serta mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan (Agus dan
Irawan, 2006).
28
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Tabel 1. Luas Sawah dan Penyebarannya di Indonesia Menurut Jenis Pengairan
(tahun 2002)
Pulau
Irigasi
teknis
Irigasi semi
Irigasi
teknis
sederhana
Tadah
hujan
Pasang
surut
Lainnya
Total
.................................................... ha ....................................................
Sumatera
Kalimantan
321.234
257.771
455.235
550.940 288.661 230.621 2.104.462
24.938
33.297
189.326
339.705 323.556
Sulawesi
262.144
121.402
234.933
279.295
2.179
884
900.837
NT+Bali
84.249
171.835
93.385
70.673
19
1.004
421.165
Luar Jawa
692.565
584.305
972.879
8,9
7,5
12,6
16,0
7,9
1.516.252
402.747
615.172
777.029
776
19,6
5,2
7,9
10,0
0,0
% Luar Jawa
Jawa
% Jawa
Total
Indonesia
2.208.817
97.603 1.008.425
1.240.613 614.415 330.112 4.434.889
4,3
57,2
3.464 3.315.440
0,0
42,8
987.052 1.588.051 2.017.642 615.191 333.576 7.750.329
Sumber : Badan Pusat Statistik (2002) dalam Ritung dan Hidayat (2008)
Selain melalui usaha peningkatan produktivitas lahan, usaha peningkatan produksi
petanian juga dapat ditempuh dengan melakukan perluasan areal pertanian lahan sawah.
Luas sumber daya lahan yang berpotensi untuk perluasan lahan sawah mencapai 8,2 juta
ha, sebagian diantaranya adalah berupa lahan rawa (Tabel 2).
Meskipun potensi lahan untuk perluasan lahan sawah cukup banyak, namun dalam
pembukaan/pencetakan lahan sawah baru tetap terkendala antara lain oleh rendahnya
tingkat kesuburan tanah, lemahnya infrastruktur, aspek kepemilikan dan status lahan serta
kondisi sosial masyarakat setempat yang tidak biasa bertani, serta kurangnya pendampingan
oleh aparat/instansi terkait.
Tabel 2. Luas lahan yang Sesuai dan Tersedia untuk Perluasan Sawah
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Indonesia
Potensi perluasan lahan sawah
Rawa
Non rawa
Total
..................... ha .....................
354.854
606.193
960.847
0
14.393
14.393
0
48.922
48.922
730.160
665.779
1.395.939
0
422.972
422.972
1.893.366
3.539.334
5.432.700
2.978.380
5.297.593
8.275.773
Sumber : Badan Litbang Pertanian, 2007
29
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
b. Fungsi lahan sawah
Lahan sawah mempunyai fungsi yang beragam (multifungsi). Multifungsi pertanian
merupakan suatu konsep yang menjabarkan berbagai fungsi eksternal pertanian selain
fungsi utamanya sebagai penghasil pangan dan serat atau barang yang tampak nyata dan
dapat dipasarkan (Husen, 2006). Secara umum Agus et al., (2004) menjabarkan lahan
sawah mempunyai fungsi-fungsi internal dan eksternal sebagai berikut :
1. Ketahanan pangan
Beras merupakan komoditas pangan strategis masyarakat Indonesia. Luas panen,
produksi serta produktivitas padi sawah semakin meningkat dari tahun 2006 hingga
2010 dengan laju peningkatan produksi sekitar 5 persen per tahun (Tabel 3). Lahan
sawah menyumbang beras sekitar 80 persen total kebutuhan beras nasional. Dari total
produksi tersebut, sekitar 60 persen dihasilkan dari lahan sawah di Pulau Jawa (Ditjentan,
2010). Data diatas menggambarkan bahwa keberadaan lahan sawah sangat penting dalam
pemenuhan pangan nasional. Ancaman terhadap kelestarian lahan sawah di Jawa secara
langsung juga mengancam ketahanan pangan nasional.
Semua dekade terakhir, terdapat kecenderungan peningkatan konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian. Dari tahun 1981 sampai 1999 terjadi konversi lahan sawah
di Jawa seluas 1 juta ha dan 0,62 juta ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode yang sama
dilakukan pencetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta ha di luar
pulau Jawa, kenyataannya pencetakan lahan sawah tanpa diikuti pengontrolan konversi,
tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Konversi lahan juga menyebabkan hilangnya berbagai multifungsi pertanian lainnya,
terutama fungsi lingkungan (Agus et al., 2004).
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Gabah Selama Lima Tahun Terakhir
2006
2007
2008
Luas Panen
Produktivitas
Produksi
ha
%
Ku/ha
%
Ton
%
11.786.430
46,20
54.454.937
12.147.637
3,06
47,05
1,84 57.157.435
4,96
12.327.425
1,48
48,94
4,00 60.325.925
5,54
2009
12.883.576
4,51
49,49
1,13 64.398.890
6,75
13.118.120
Rata-rata
1,82
2,72
50,30
1,64 65.989.670
2,5
2,47
4,93
Tahun
2010*)
Sumber : Ditjentan, 2010. *) ARAM III BPS, masih posisi embargo
30
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
2. Penyedia unsur hara tanaman
Salah satu sifat intrinsik lingkungan lahan sawah adalah kemampuannya untuk
memasok unsur-unsur hara seperti basa-basa (K, Ca, dan Mg), dan silika (Si) yang terlarut
dalam air irigasi. Jumlah unsur yang dibawa melalui air irigasi untuk Ca dan Mg seringkali
melebihi jumlah yang dibutuhkan tanaman, dan untuk K dan Si, memenuhi sebagian
besar kebutuhan tanaman. Lahan sawah juga mampu memasok unsur nitrogen melalui
dekomposisi bahan organik tanah dan fiksasi melalui proses biologi tanah (seperti melalui
simbiosis ganggang biru (Anabaena) dengan bakteri Azotobacter. Jumlah N yang dapat
dijerap melalui fiksasi bisa mencapai 30-40 kg ha-1 musim-1 tanam. Jumlah ini mampu
mendukung produksi padi sebanyak 1,5 - 2 t ha-1.
Penggenangan juga meningkatkan pH tanah dan ketersediaan unsur hara seperti P
sebagai akibat dari proses reduksi dari senyawa besi-fosfat dan kelarutan besi atau aluminium
fosfat. Kemampuan lahan sawah dalam memasok unsur-unsur hara tersebut jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan lahan kering, karena penggenangan tanah menyebabkan
pH tanah bergerak menuju keseimbangan pH netral.
3. Memelihara Sumber Daya Air
Lahan persawahan yang datar atau berteras, dapat menyimpan air dalam bentuk air
genangan dalam volume yang cukup besar. Kelebihan air irigasi dan air hujan sebagian besar
akan melimpas masuk ke dalam tanah mengisi cadangan air tanah dan sisanya mengalir ke
sungai dan waduk. Daya tampung lahan sawah berteras sangat bervariasi tergantung sifat
dan karakteristik tanahnya. Air ini dapat kembali dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.
4. Mengurangi Risiko Banjir
Di daerah Hilir kemampuan lahan dalam suatu DAS menahan air merupakan indik
ator fungsi mitigasi banjir. Lahan pertanian dapat menahan sebagian air hujan di dalam
tanaman atau tajuk pohon, di permukaan tanah (air genangan), dan di dalam pori tanah.
Kemampuan menahan air lahan sawah setara dengan sistem pertanian berbasis pohonpohonan meskipun lebih rendah daripada hutan. Petakan sawah berfungsi sebagai kolamkolam penampung air selama dan sesaat sesudah hujan sehingga mengurangi jumlah
pasokan air ke sungai. Kemampuan menahan air system pertanian berbasis tanaman
semusim (tegalan) jauh lebih rendah daripada sawah, tetapi sistem ini masih jauh lebih
baik dibandingkan dengan areal permukiman dan industri. Oleh karena itu, konversi lahan
pertanian ke areal permukiman dan industri akan meningkatkan frekuensi dan intensitas
banjir di daerah hilir.
5. Memperbaiki Iklim Lokal
Pelepasan gas rumah kaca dari berbagai pabrik/industri dan kendaraan bermotor
menimbulkan udara panas dan tidak nyaman. Penguapan air baik dari genangan air
sawah maupun dari tajuk tanaman menurunkan suhu udara. Fotosintesis tanaman selain
31
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
menyerap panas juga menghasilkan oksigen yang memberikan efek segar bagi lingkungan
di sekitarnya. Pada saat yang bersamaan, tanaman mampu membersihkan bahan-bahan
pencemar di udara seperti SO2 dan NO2.
6. Menjadi Habitat Flora dan Fauna
Ekosistem pertanian lahan sawah menyediakan beraneka ragam jenis makanan dan
habitat bagi makhluk lain seperti serangga, burung, mikro dan makro flora lahan basah.
Konservasi sumber daya hayati ini sangat penting untuk berlangsungnya berbagai proses
biokimia dan keseimbangan alami dalam ekosistem lahan sawah .
7. Memelihara Nilai Sosial-Budaya dan Daya Tarik Pedesaan
Panorama lahan sawah yang indah serta nilai budaya masyarakat pedesaan yang spesifik
mempunyai daya tarik bagi masyarakat perkotaan. Nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi
masyarakat pedesaan melekat pada sistem pertanian yang dilakukannya. Pembelajaran
alam terhadap ekosistem lahan sawah oleh pelajar tingkat dasar hingga menengah serta
masyarakat perkotaan dapat meningkatkan kepekaan, penghargaan, dan kepedulian untuk
memelihara lingkungan.
8. Menyediakan Lapangan Kerja
Sektor pertanian mempekerjakan sekitar 46 persen angkatan kerja Indonesia atau lebih
dari dua kali lipat penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan dan industri. Namun
dengan semakin berkembangnya sector industri, dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan
tenaga kerja di sektor pertanian khussusnya lahan sawah. Tantangan ke depan adalah
bagaimana membuat pertanian menjadi suatu bidang usaha yang menarik bagi generasi
muda. Pemberian imbalan/penghargaan bagi petani yang telah menyediakan berbagai jasa
(multifungsi) pertanian perlu dipikirkan atau ditingkatkan untuk memperkecil kendala
yang banyak dijumpai dalam usaha tani.
Karakteristik Kesuburan Tanah Sawah
Hara makro
Lahan sawah mempunyai tingkat kesuburan tanah yang relatif lebih tinggi dibandingkan
lahan kering. Pada agroekosistem lahan sawah, tanah kahat N lebih banyak ditemui dari
pada kahat P, K dan unsur lainnya karena perilaku N yang sangat mudah hilang dari
dalam tanah sawah.
Sebagian besar N tanah berupa N organik baik yang terdapat dalam bahan organik
tanah maupun fiksasi N oleh mikroba tanah dan hanya sebagian kecil (2-5 persen) berupa
+
N anorganik yaitu dalam bentuk NH4 dan NO3 serta sedikit NO2 . Pada tanah sawah/
tergenang N merupakan hara yang tidak stabil karena adanya proses mineralisasi bahan
organik (amonifikasi nitrifikasi dan denitrifikasi) oleh mikroba tanah tertentu, volatilisasi,
32
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
dan perkolasi (Prasetyo et al., 2004). Kadar N pada tanah yang disawahkan pada umumnya
lebih tinggi dibandingkan tanah kering karena adanya akumulasi bahan organik yang lebih
tinggi pada tanah sawah (Kyuma, 2004).
Kadar N dalam tanah pada umumnya rendah, sehingga harus selalu ditambahkan
dalam bentuk pupuk atau sumber lainnya pada setiap awal tanam. Pada umumnya respon
tanaman padi terhadap pemberian pupuk N cukup tinggi. Dengan demikian petani
cenderung menggunakan N secara berlebihan. Di beberapa wilayah penggunaan pupuk
Urea mencapai 148 persen dari yang direkomendasikan dan sebaliknya penggunaan pupuk
P dan K relatif lebih rendah dan menurun sehingga sering tidak seimbang dengan N.
Ketersediaan P pada tanah sawah/tergenang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi
aerob/kering, hal ini disebabkan pada kondisi anaerob terjadi pelarutan Fe (besi feri
menjadi fero) sehingga P terlepas. Survei kesuburan tanah sawah yang dilakukan di 21
provinsi menunjukkan bahwa dari 7,5 juta ha lahan sawah intensifikasi, sekitar 3 juta ha
mempunyai status hara P tinggi (dengan konsentrasi P2O5 terekstrak HCl 25 persen > 40
mg/100 g); 3,24 juta ha mempunyai status hara P sedang (konsentrasi P2O5 antara 2040 mg/100 g); dan hanya 1,3 juta ha mempunyai status hara P rendah (P2O5 terekstrak
HCl 25 persen < 20 mg/100 g) (Sofyan et al., 2000). Status hara P tanah yang tinggi
diakibatkan oleh akumulasi pemupukan P pada periode sebelumnya.
Kadar K di dalam tanah dipengaruhi oleh bahan induk tanah, pada tanah sawah
umumnya kandungan K berkisar sedang-tinggi. K dalam tanah mempunyai sifat yang
(mudah bergerak (mobile) sehingga mudah hilang melalui proses pencucian atau terbawa
arus pergerakan air. Karena itu efisiensi pupuk K biasanya rendah. Hasil survei kesuburan
tanah sawah menunjukkan bahwa sebaran status K tanah cenderung sama dengan status P
tanah. Dari luas total lahan sawah 7,5 juta ha, sekitar 3,8 juta ha (51 persen) lahan sawah
intensifikasi mempunyai status hara K tinggi (K2O terekstrak HCl 25 persen >20 mg/100g);
2,8 juta ha (37 persen) mempunyai status K sedang (konsentrasi K2O 10-20 mg/100g),
dan hanya 0,88 juta ha (12 persen) mempunyai status K rendah (konsentrasi K2O<10
m/100g) (Sofyan et al., 2000). Kondisi ini terjadi akibat akumulasi dari pemupukan yang
intensif dalam kurun 20-30 tahun terakhir.
Hara mikro
Hara mikro Cu, Zn, Mn, B, dan Fe diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat
sedikit. Oleh karena itu pemupukan hara mikro harus sangat hati-hati karena pemberian
yang berlebihan dapat meracuni tanaman dan menghambat pertumbuhan.
Penggenangan tanah sawah terus menerus dapat mengakibatkan menurunnya
ketersediaan hara mikro, terutama hara Zn dan Cu. Penggunaan pupuk N dan P dengan
dosis tinggi tanpa pengembalian sisa panen pada lahan sawah intensifikasi secara terus
menerus juga akan mempercepat menurunnya ketersediaan hara Zn dan Cu serta hara
makro lainnya seperti S, Ca, dan Mg. Terjadinya kekahatan Zn dan Cu di lahan sawah
33
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
sangat spesifik lokasi tergantung dari kandungannya dalam bahan induk, pH tanah, drainase,
kadar bahan organik serta keadaan redoks tanah. Oleh karena itu gejala kekahatan yang
terjadi belum tentu disebabkan rendahnya kandungan unsur-unsur mikro tersebut dalam
tanah sehingga pemecahannya tidak harus dengan menambah unsur tersebut. Teknologi
pemupukan Zn yang paling baik adalah dengan mencelupkan bibit padi ke dalam larutan
0,05 persen ZnSO4 selama 5 menit (Al-Jabri et al., 1990).
Sejalan dengan semakin intensifnya pengelolaan lahan dibarengi dengan pemupukan
dosis tinggi, ketersediaan unsur mikro di dalam tanah semakin menurun. Kandungan
beberapa unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn di beberapa lahan sawah intensifikasi di Jalur
Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, dalam jangka panjang dikhawatirkan akan
mengalami kekahatan unsur mikro. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya pengembalian
jerami sisa panen harus digalakkan.
C-organik tanah
Kandungan bahan organik tanah (C-organik) merupakan salah satu indikator
kesuburan tanah. Tanah yang mengalami kemerosotan kandungan C-organik menandakan
tanah tersebut mengalami penurunan kualitas kesuburan tanah atau degradasi kesuburan.
Bahan organik penting sebagai sumber energi jasad renik yang berperan dalam penyediaan
hara tanaman. Bahan organik menentukan kapasitas tukar kation tanah, walaupun sifat ini
tergantung pH (pH dependent). Tanah miskin bahan organik dan didominasi mineral liat
1:1, mempunyai kapasitas tukar kation yang rendah, sehingga efisiensi pemupukan akan
berkurang karena sebagian besar hara mudah hilang dari lingkungan perakaran. Bahan
organik juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah sehingga tanah mudah diolah
dan dilumpurkan. Mengingat pentingnya peranan bahan organik terhadap kesuburan
fisik, kimia dan biologi tanah, maka pemberian atau daur-ulang bahan organik merupakan
bagian penting dari pelestarian kesuburan tanah
Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana serta pengangkutan jerami sisa panen
keluar lahan, sebagian besar lahan sawah terindikasi berkadar bahan organik rendah
(C-organik <2 persen). Hasil kajian yang dilakukan Kasno et al., (2000) menunjukkan
bahwa dari 1.577 contoh tanah sawah di Sumatera Barat dan Selatan, Kalimantan Selatan
mencapai angka di atas 2 persen, karena tergolong tanah gambut. Sedangkan tanah sawah
di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok rata-rata berkadar C-organik di bawah 2 persen
(Kasno et al., 2003).
Survei serupa untuk mengidentifikasi kadar bahan organik tanah di lahan sawah
intensifikasi di Jawa (diambil dari 2827 titik) yang dilaksanakan pada tahun 2007 oleh
Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pengelolaan Lahan menunjukkan bahwa kadar
C-organik tanah berkisar antara 0.56 persen-3.52 persen. Status C-organik tanah sawah
dominan rendah (59 persen berkadar C-organik <2 persen), sekitar 40 persen memiliki
C-organik 2-3 persen dan hanya 1 persen berkadar C-organik > 3,5 persen. Kadar bahan
34
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
organik tanah ini berkorelasi tinggi dengan kadar N-total tanah. Menurunnya kadar
C-organik tanah ini disebabkan : (1) di daerah tropis tingkat pelapukan bahan organik
sangat intensif akibat curah hujan dan suhu tinggi, (2) pengelolaan lahan kurang tepat,
(3) intensitas tanam yang tinggi serta (4) penggunaan sisa jerami ke luar sawah untuk
penggunaan industri.
Terdapat korelasi positif antara kadar bahan organik dan produktivitas tanaman padi
sawah, di mana makin rendah kadar bahan organik makin rendah produktivitas lahan.
Bahan organik berperan sebagai penyangga biologi sehingga tanah dapat menyediakan hara
dalam jumlah berimbang untuk tanaman. Tanah miskin bahan organik akan berkurang
kemampuannya menyangga pupuk, sehingga efisiensi pupuk anorganik berkurang karena
sebagian besar pupuk akan hilang dari lingkungan perakaran).
Produksi Lahan Sawah
Dalam periode 1980-2005 sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada
peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53 persen dan
periode 2000-2005 tumbuh 1,22 persen. Pada periode yang sama luas panen tumbuh 1,78
persen dan pada periode 2005 minus 0,17persen. Peningkatan padi menunjukkan titik
jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984. Data BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa
peningkatan luas panen padi selama periode 1997-2009 hanya sekitar 2persen, namun
dalam periode ini telah terjadi peningkatkan produksi padi nasional yakni dari 49,34 juta
ton pada tahun 1997 menjasi 54,40 juta ton pada tahun 2009. Menurut data Ditjentan
(2010) produktivitas lahan sawah yang dari tahun 2006 hingga 2010 meningkat rata-rata
4,93 persen.
Gambar 1. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia Tahun 1971-2010
35
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Perkembangan produktivitas padi sawah di Indonesia diindikasikan oleh adanya
berbagai program dari pemerintah. Diawali oleh program Bimas pada Pelita I dan II tahun
70-an kemudian dilanjutkan melalui program Opsus, Insus, Supra Insus, Panca Usaha
Tani, Gema Palagung, dan selanjutnya SL-PTT, telah terjadi peningkatan produktivitas
padi yang cukup nyata yaitu dari sekitar 2 ton menjadi rata-rata 5 ton/ha (Gambar
1). Teknologi yang diterapkan terutama mengacu pada perbaikan benih padi, irigasi,
pemupukan dan pemberantasan hama penyakit.
Produktivitas padi sawah di Jawa pada umumnya lebih tinggi dibandingkan di luar
Jawa, terutama di lahan sawah intensifikasi. Produktivitas tanah-tanah tersebut sulit untuk
ditingkatkan lagi bila hanya mengandalkan pupuk anorganik, karena sebagian besar
tanahnya telah jenuh hara P dan K (atau berstatus hara P dan K tinggi) sehingga kurang
atau tidak respons terhadap pemupukan P dan K. Pada kondisi lahan sawah yang telah
jenuh P dan K, aplikasi pupuk organik dan atau pupuk hayati bakteri pelarut P atau K
sangat tepat digunakan untuk menambang hara agar menjadi tersedia karena hara yang
diperlukan hanya untuk mempertahankan agar kadar P di dalam tanah tidak merosot bila
ditanami padi terus menerus. Sebaliknya, pupuk diperlukan pada lahan sawah berstatus
hara rendah.
Meskipun lahan sawah masih menjadi andalan sebagai penghasil pangan, namun
peranan lahan kering sebenarnya tidak boleh diabaikan. Lahan kering mampu menghasilkan
bahan pangan yang cukup banyak dan bervariasi, tidak hanya berupa padi gogo saja, tetapi
juga dapat menghasilkan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Lahan kering tersedia
cukup luas, dan memiliki potensi untuk menghasilkan padi gogo >5 ton/ha (Adimihardja
et al., 2007). Pada agroekosistem lahan kering ini pupuk mempunyai peranan yang sangat
penting untuk mencapai tingkat produksi tanaman yang optimum karena sebagian besar
lahan kering yang ada merupakan lahan marginal dengan kesuburan tanah yang rendah.
Lahan Sawah Terdegradasi
Degradasi Kesuburan Tanah (soil degradation) adalah suatu proses kemunduran
atau kerusakan tanah secara fisika, kimia dan biologi yang menyebabkan penurunan
produktivitas dan daya sangga lahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau
penyebab lain. Degradasi kesuburan tanah sawah terutama dicirikan oleh menurunnya
kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, dan berubahnya lapisan bidang olah menjadi
lebih dangkal serta penurunan dinamika dan populasi biota tanah. Salah satu cara untuk
menetapkan penurunan atau degradasi tanah sawah digunakan parameter kandungan hara
P, K, C-organik tanah.
a. Ketidakseimbangan Hara
Program revolusi hijau menghantarkan petani mengenal berbagai padi varietas unggul
baru berumur pendek dengan produktivitas tinggi dan responsif terhadap pupuk anorganik
36
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
(pupuk buatan) yang menempatkan pupuk anorganik sebagai faktor produksi penting
dalam peningkatan produksi padi di Indonesia.
Ketimpangan penggunaan pupuk anorganik seperti pupuk Urea (N) saja atau N dan
SP-36 (P) secara terus menerus dengan dosis tinggi, mempercepat terjadinya pengurasan
unsur hara tanah lainnya seperti unsur hara makro (K, S, Ca dan Mg) dan unsur mikro (Zn
dan Cu). Keberlanjutan produktivitas lahan sawah antara lain ditentukan oleh neraca hara.
Jika neraca input dan output ini seimbang maka sistem pertanian akan stabil (berkelanjutan),
tetapi jika output lebih besar dari input maka degradasi tanah akan terjadi.
Unsur hara di dalam tanah dapat mengalami penurunan melalui beberapa proses yaitu
: (1) terangkut bersama panen, (2) hilang melalui pencucian, penguapan (untuk N), (3)
terikat pada mineral liat tanah (untuk K dan amonium/NH4+), terikat oleh Al, Fe, Ca
(untuk P) dan (4) tererosi. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian hara di dalam tanah
tidak cukup hanya menggantikan unsur hara yang hilang bersama panen saja, tetapi juga
perlu diperhitungkan kehilangan hara melalui berbagai proses lain.
Salah satu sumber hara utama bagi tanaman adalah : (1) hara dalam tanah, (2) sisa
tanaman/bahan organik, (3) air irigasi, (4) pupuk. Pemberian pupuk merupakan alternatif
terakhir untuk mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman sesudah memperhitungkan hara
yang tersedia di dalam tanah, tambahan hara dari berbagai sumber (irigasi, fiksasi dan
sebagainya), serta kehilangan hara karena erosi, pencucian, fiksasi dan seterusnya.
b. Kadar Bahan Organik Tanah
Sebelum revolusi hijau dimulai, sumber utama hara untuk padi sawah adalah
pupuk kandang dan bahan organik lainnya, termasuk jerami padi, namun lambat laun
penggunaan pupuk organik ini menjadi relatif berkurang. Jerami padi yang semula
dikembalikan ke sawah sebagai bahan organik in situ, menjadi berkurang penggunaannya
karena mempunyai nilai ekonomis lain sebagai bahan baku kertas, media jamur merang
dan pakan ternak. Selain itu, meningkatnya intensitas tanam dari satu kali menjadi dua
atau tiga kali setahun menyebabkan waktu antar musim tanam semakin pendek sehingga
pelapukan jerami tidak sempurna dan mempersulit pengolahan tanah, imobilisasi nitrogen,
dan defisiensi nitrogen.
Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana serta pengangkutan jerami sisa panen
keluar lahan, sebagian besar lahan sawah terindikasi berkadar bahan organik sangat rendah
(C-organik <2 persen). Hasil kajian yang dilakukan Kasno et al., (2000) menunjukkan
bahwa dari 1.577 contoh tanah sawah yang dianalisis, 65 persen tanah sawah berkadar
C-organik < 2 persen, dan hanya 35 persen yang berkadar C-organik > 2 persen, inipun
terjadi pada lahan sawah yang bergambut.
37
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
c. Lapisan Tapak Bajak
Seiring dengan meningkatnya intensitas tanam di lahan sawah intensifikasi, waktu
yang tersedia untuk pengolahan tanah juga semakin sempit sehingga praktik petani dalam
mengolah tanahnya juga ikut berubah. Di lahan sawah intensifikasi di jalur Pantura
ditengarai telah terjadi pendangkalan lapisan/solum tanah atau lapisan tapak bajak dangkal
sehingga produktivitas tanaman menurun. Keberadaan lapisan kedap ini sangat bermanfaat
untuk efisiensi penggunaan air lahan sawah. Tanah yang mempunyai lapisan kedap dalam
(>20 cm) berpeluang memberikan produktivitas tanaman yang tinggi karena perakaran
tanaman dapat berkembang lebih sempurna.
Perubahan sifat fisik tanah akibat pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan
(puddling) memberikan konsekuensi penting dalam menyusun strategi pengelolaan tanah
dan air di lahan sawah. Pelumpuran sebagai suatu cara pengolahan tanah yang spesifik
untuk lahan sawah tidak saja memberikan pengaruh positif menekan laju perkolasi karena
lapisan tapak bajak yang terbentuk, tetapi juga harus diperhatikan pengaruh negatifnya.
Pengaruh negatif ini dapat dikurangi melalui pemberian bahan organik.
Sebaran Luas Lahan Sawah Terdegradasi
Perhitungan terhadap lahan sawah di 8 provinsi yang mengalami degradasi secara
kimia (kadar hara P dan K, C-organik) dan jenis tanah menunjukkan bahwa luasan lahan
sawah yang termasuk pada kelas lahan terdegradasi sedang seluas 2,3 juta ha (50 persen),
penyebaran terluas terdapat di Jatim, Jateng dan Sulsel. Sedangkan yang termasuk lahan
terdegradasi berat sekitar 1,8 juta ha (38 persen), terluas di Provinsi Jatim, Jateng, dan
Jabar. Lahan yang terdegradasi rendah dan tidak terdegradasi mencakup luasan kecil,
masing-masing hanya 8 persen dan 4 persen (Badan Litbang Pertanian, 2010).
Selain parameter di atas, ada beberapa kriteria lain yang dapat digunakan dalam
penilaian lahan sawah terdegradasi yaitu lahan sawah yang mengalami intrusi air laut,
tercemar limbah, atau terkena banjir atau genangan permanen. Namun demikian parameter
ini sulit digambarkan secara spasial sebarannya.
Tabel 4. Penyebaran Lahan Sawah Terdegradasi di 8 Provinsi
Provinsi
Banten
Terdegradasi
Berat
184.741
Terdegradasi
Sedang
Terdegradasi
Ringan
Tidak
Terdegradasi
42.402
7.828
3.534
Jumlah
238.504
Jabar
289.834
283.995
251.280
114.119
939.228
Jateng
472.815
504.216
40.852
34.038
1.051.922
Jatim
472.743
655.458
8.084
7.110
1.143.394
8.998
23.313
36.753
-
69.064
DI. Yakarta
38
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Tabel 4. Penyebaran Lahan Sawah Terdegradasi di 8 Provinsi (lanjutan)
Provinsi
Terdegradasi
Berat
Terdegradasi
Sedang
Terdegradasi
Ringan
Tidak
Terdegradasi
Jumlah
Sulsel
117.184
433.922
9.350
21.034
581.490
Sumsel
117.807
310.927
1.720
-
430.454
Sumbar
114.562
78.192
12.731
30.216
235.701
Jumlah
1.778.683
2.332.425
368.598
210.051
4.689.757
38
50
8
4
100
Persentase (%)
Pelestarian Lahan Sawah
Upaya pelestarian lahan sawah dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu secara legal atau
hukum serta non legal atau ditinjau dari sisi teknologi. Dari sisi hukum, upaya pelestarian
lahan sawah dimunculkan dalam bentuk perundangan pelestarian lahan dengan tujuan
mencegah terjadinya konversi lahan sawah. Dari aspek teknologi, upaya pelestaian lahan
sawah dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas lahan sawah yang telah atau
sedang dalam tahap mengalami penurunan atau degradasi.
Pesatnya pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk, menyebabkan
terjadinya alih guna (konversi) lahan sawah secara cepat. Dari berbagai bentuk penggunaan
lahan pertanian, lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang banyak mengalami
konversi, terutama di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman. Pada
umumnya konversi lahan sawah bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena berubah
menjadi lahan perumahan, perkotaan, dan kawasan industri. Kecenderungan ini dapat
membawa kemerosotan terhadap kualitas lingkungan (Agus, 2006) serta mengancam
ketahanan dan kedaulatan pangan Agus dan Irawan (2006).
Konversi lahan pertanian ke non pertanian terutama di Jawa merupakan
permasalahan yang memprihatinkan. Selama periode 1979-1999, konversi lahan sawah
di Indonesia mencapai 1.627.514 ha atau 81.376 ha/tahun. Khusus untuk konversi lahan
sawah mencapai 1.002.005 ha (61,57 persen) atau 50.100 ha/tahun terjadi di Jawa,
sedangkan di luar Jawa mencapai sekitar 625.459 ha (38,43 persen) atau 31.273 ha/tahun
(Pasaribu, 2009). Dalam kajiannya Agus dan Irawan (2006) menunjukkan bahwa antara
tahun 1981 dan 1999, sekitar 1.6 juta ha atau rata-rata 90.417 ha/tahun lahan sawah
seluruh Indonesia mengalami konversi (Tabel 5). Antara tahun 1999 dan 2003, tingkat
konversi meningkat tajam menjadi 187.720 ha/tahun. Luas lahan sawah pada tahun 2006
adalah 7.8 juta ha dan tahun 1999 adalah 8.6 juta ha. Dengan demikian net pengurangan
luas lahan sawah adalah negatif 0.8 juta ha dalam waktu 7 tahun tersebut atau rata-rata
111.000 ha per tahun. Dengan asumsi indeks panen 1,5 dan hasil padi 5 t/ha, maka dengan
pengurangan sawah seluas 111.000 tersebut akan mengurangi produksi gabah nasional
39
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
sebanyak 832.500 t atau setara dengan 500.000 t beras (asumsi rendeman 60 persen).
Konversi ini jelas merupakan salah satu penyebab meningkatnya ketergantungan terhadap
beras impor. Jika tingkat konversi tidak dapat dikendalikan, dalam jangka panjang hal ini
berpotensi menyebabkan krisis pangan nasional.
Tabel 5. Konversi, Penambahan dan Neraca Lahan Sawah antara Tahun 1981 dan 1999
dan antara Tahun 1999 dengan Tahun 2002
Periode 1981-1999
Pulau/wilayah
Konversi/pengurangan
Penambahan
Neraca
Jawa (ha)
1.002.055
518.224
-483.831
Luar Jawa (ha)
625.459
2.702.939
+2.077.480
Indonesia (ha)
1.627.514
3.221.163
+1.593.649
Indonesia (ha yr-1)
90.417
178.954
+88.536
Periode 1999-2002 (diolah dari Sutomo, 2004)
Jawa (ha)
167.150
18.024
-107.482
Luar Jawa (ha)
396.009
121.278
-274.732
Indonesia (ha)
563.159
139.302
-423.857
Indonesia (ha yr-1)
187.720
46.434
-141.286
Catatan: Pada tahun 1981, 1999, dan 2002 luas lahan sawah berturut-turut adalah 7.059.000, 8.652.649, dan
8.228.782 ha (BPS, 2003). Tahun 2006 lahan sawah tercatat seluas 7,8 juta ha (BPS, 2007).
Selama ini berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih
fungsi lahan pertanian, utamanya sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian,
implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang
memadai dari pemangku kepentingan. Setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang
menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian konversi lahan sulit terlaksana yaitu:
(1) kendala koordinasi kebijakan; (2) kendala pelaksanaan kebijakan; dan (3) kendala
konsistensi perencanaan (Pasaribu, 2009). Upaya strategis dalam pengendalian alih fungsi
lahan pertanian dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif perlu ditopang oleh
suatu peraturan perundang-undangan yang: (1) menjamin tersedianya lahan pertanian
yang cukup; (2) mampu mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
non pertanian secara tidak terkendali; dan (3) menjamin akses masyarakat petani terhadap
lahan pertanian yang tersedia.
Berbagai permasalahan di atas apabila tidak diupayakan pemecahannya akan dapat
merusak sistem perencanaan pengelolaan lahan nasional, terutama dalam kaitannya dengan
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Untuk itu, perlu diberikan dukungan hukum
yang kuat agar permasalahan tersebut dapat dikendalikan dan tidak menimbulkan dampak
negatif lainnya dikemudian hari.
40
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Teknologi Mengatasi Degradasi Kesuburan Tanah Sawah
Untuk mengatasi degradasi kimia dan menjaga kesuburan tanah sawah diperlukan
teknologi antara lain perbaikan dosis pupuk sesuai konsep pemupukan berimbang,
pengelolaan bahan organik, penggunaan pupuk organik, pengelolaan tanah secara fisik
dan biologi.
a. Pemupukan Berimbang
Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status
semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah untuk meningkatkan produksi dan
mutu hasil pertanian, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran
lingkungan. Pemupukan berimbang tidak harus merupakan pemupukan dengan
menggunakan semua jenis pupuk. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke
dalam tanah untuk mencapai status semua hara dalam tanah dan lingkungan tumbuh yang
optimum bagi pertumbuhan dan hasil tanaman.
Sebagai contoh, untuk mencapai hasil gabah padi sebanyak 4 ton/ha, maka diperlukan
N sebanyak 90 kg, P 13 kg, K 108 kg , Ca 11 kg, Mg 10 kg, dan S 4 kg. Hara dengan
jumlah tersebut tersimpan di dalam batang, daun, gabah padi. Ketika gabah padi yang
yang berjumlah 4 ton tersebut diangkut ke luar ladang, maka akan terangkut pula hara
tersebut. Dengan demikian, apabila jerami padi dikembalikan sebagai pupuk organik
maka sebagian besar hara yang terkandung di dalam jerami (sekitar 30 kg N, 2 kg P, 93 kg
K, 10 kg Ca, 6 kg Mg, dan 1 kg S) akan dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman yang
berikutnya.
Hara mikro diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit namun sangat
berpengaruh terhadap produksi dan kualitas hasil. Penggenangan terus menerus dan
pemupukan N dan P dosis tinggi dapat menurunkan ketersediaan hara mikro, terutama
hara Zn dan Cu serta unsur hara makro lainnya seperti S, Ca, dan Mg.
b. Pupuk Organik
Pupuk organik terdiri dari limbah/hasil pertanian, sisa tanaman, sisa hasil pertanian,
pupuk kandang dan pupuk hijau, limbah pasar dan perkotaan. Saat ini pupuk organik
juga dibuat dari limbah industri pertanian, industri minuman dan makanan, serta industri
kimia (Jacobs, 1990; Kachino, 1990 dan Li, 1990). Sumber bahan baku pupuk organik
di lahan sawah yang sangat potensial adalah jerami. Melalui rekayasa pengomposan yang
sederhana, bahan ini bisa diubah menjadi sumber hara tanaman dan sumber energy dan
makanan bagi mikroba di dalam tanah. Kegiatan yang dilakukan oleh mikroba ini secara
langsung dan tidak langsung akan meningkatkan efisiensi pemupukan. Penggalakan
penggunaan pupuk organik telah dikenal di beberapa daerah melalui program Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT), System of Rice Intensification (SRI), dan tanam bulir sebatang
(TBS)
41
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Peranan bahan organik terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar,
tetapi karena kandungan haranya rendah, maka harus dipadukan dengan pupuk anorganik.
Penggunaan pupuk N, P dan K ditambah dengan jerami padi dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah 10-15 persen dan mempertahankan kadar bahan organik tanah,
mengurangi penciutan kadar K, Mg, serta Si tanah serta dapat mempertahankan KTK
tanah sawah.
Pemulihan kesuburan tanah sawah melalui penggunaan pupuk organik diharapkan
dapat berperan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisika
tanah yang dapat terjadi adalah : (a) mengurangi laju perkolasi, dan (b) meringankan
pengolahan tanah. Sedangkan secara kimia pupuk organik dapat menyediakan sejumlah
kecil hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn dan
Fe, (b) mencegah kahat unsur mikro pada tanah sawah yang diusahakan secara intensif
dengan pemupukan yang kurang seimbang; (c) meningkatkan Kapasitas Tukar Kation
(KTK) tanah, (d) membentuk senyawa kompleks dengan ion logam seperti Al, Fe dan
Mn sehingga logam-logam ini tidak meracuni. Perbaikan sifat biologi tanah adalah sebagai
sumber energi dan makanan bagi mikro dan meso fauna tanah sehingga aktivitas organisme
tanah meningkat dalam membantu ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentukan pori
mikro dan makro tanah lebih baik.
c. Pupuk Hayati
Mikroba tanah bersama bahan organik tanah merupakan komponen penting dalam
tanah dan berperan sebagai penyangga biologi tanah yang menjaga penyediaan hara dalam
jumlah berimbang bagi tanaman. Mikroba penting di lahan sawah antara lain adalah
mikroba penambat N dari udara, mikroba pelarut P dan mikroba yang dapat mengubah
elemen S menjadi sulfat sehingga tersedia bagi tanaman. Mikroba perombak (decomposer)
perlu ditambahkan untuk mempercepat waktu dekomposisi jerami sehingga dapat
dikembalikan ke lahan dengan segera.
Penelitian di bidang mikrobiologi tanah telah menghasilkan inokulan-inokulan
unggulan dari mikroba-mikroba tersebut dan telah dikemas sebagai pupuk hayati.
Inokulan mikroba pelarut P yang telah dihasilkan yang terdiri dari Psedomonas spp, dapat
meningkatkan ketersediaan/kelarutan P pada tanah sawah sehingga berpotensi untuk
meningkatkan hasil gabah, demikian pula mikroba pemacu tumbuh, penambat N hidup
bebas pada tanaman padi (Balai Penelitian Tanah, 2008).
d. Rekomendasi Pemupukan untuk Pemulihan Kesuburan Tanah Sawah
Sesuai dengan intensitas degradasi lahan sawah yang terjadi di lahan sawah intensifikasi
di Jawa, maka dibuat 4 kelompok rekomendasi sesuai dengan kriteria lahan terdegradasi
yang ada (Tabel 6).
42
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Tabel 6. Rekomendasi Teknologi Pemupukan Berdasarkan Tingkat Degradasi Kesuburan
Tanah
Anjuran*
1. Pupuk SP-36
2. Pupuk KCl
3. Pupuk organik
Ringan
50-75 kg SP-36/ha
0-50 kg KCl/ha
2 t/ha/2musim
4. Pupuk hayati
5. Dekomposer
Pengolahan tanah
200g/ha (2liter/ha)
5-6kg/ha
Rotary
Tingkat degradasi
Sedang
75-100kg SP-36/ha
50-100 kg KCl/ha
2 t/ha/musim
(terus menerus)
200g/ha (2liter/ha)
5-6kg/ha
Bajak sampai
20cm+Rotary
Berat
75-100kg SP-36/ha
50-100 kg KCl/ha
3 t/ha/musim (terus
menerus)
200g/ha (2liter/ha)
5-6kg/ha
Bajak sampai
20cm+Rotary
Catatan:
* sesuai dengan kriteria diatas
Respons peningkatan produktivitas padi akibat pemberian pupuk organik yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik akan terlihat secara perlahan dan bertahap.
Diperkirakan produktivitas meningkat 10-25 persen selama 10 tahun, tergantung pada
dosis pemberian, varietas, jenis dan tingkat pengelolaan tanah.
Pemberian pupuk organik terus menerus setiap musim dapat mengefisienkan pupuk
anorganik sehingga dosisnya semakin rendah. Selain itu, dosis pupuk organik juga
semakin menurun karena kesuburan tanah sudah semakin meningkat dicirikan dengan
meningkatnya populasi, aktivitas dan keragaman mikroba dalam tanah. Penggunaan
pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik seperti SP-36 dan KCl. Pemberian
kompos jerami dapat mengefisienkan pupuk SP-36 sekitar 30 persen dan pupuk KCl 40
persen.
Tabel 7. Penghematan Pupuk Anorganik yang Diperoleh Akibat Penerapan Teknologi
Pemulihan Lahan
Kebutuhan pupuk
(Konvensional)
Kebutuhan pupuk
(Teknologi)
Penghematan pupuk
(ribu ton)
SP-36
KCl
SP-36
KCl
SP-36
KCl
Jawa Timur
68.375
23.611
39.990
14.167
28.385
9.444
Jawa Tengah
61.693
23.641
36.246
14.184
25.447
9.456
DIY
2.754
450
1.030
270
1.724
180
Jawa Barat
42.219
14.492
21.592
8.695
20.628
5.797
Banten
16.171
9.237
10.297
5.542
5.874
3.695
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
30.719
12.820
24.425
5.859
5.728
5.890
16.707
7.683
13.664
3.516
3.437
3.534
14.011
5.137
10.761
2.344
2.291
2.356
Provinsi
43
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Penutup
Lahan merupakan faktor produksi utama dan unik karena tidak dapat digantikan
fungsinya dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian
merupakan keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan
dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Di sisi lain, secara filosofis
lahan memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris,
karena disamping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai ekologis, sosial dan
bahkan religius.
Pesatnya pembangunan infrastruktur dan pertambahan jumlah penduduk,
menyebabkan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan sawah menjadi pemukiman dan
peruntukkan lain secara cepat. Pada umumnya konversi lahan sawah bersifat tidak dapat
balik (irreversible) karena berubah menjadi lahan perumahan, perkotaan, dan kawasan
industri. Kecenderungan ini dapat membawa kemerosotan terhadap kualitas lingkungan
serta mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan. Upaya untuk mempertahankan lahan
sawah yang ada harus terus dilakukan baik melalui jalur hukum maupun non-hukum
atau teknologi. Penerbitan Undang-Undang Pelestarian Lahan Sawah diharapkan dalam
meminimalkan laju konversi lahan sawah.
Dari sisi penerapan teknologi, pengelolaan tanah dan tanaman yang kurang tepat dan
cenderung over exploitation dapat menurunkan kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah
atau dengan kata lain mengalami degradasi lahan. Hasil indentifikasi pada lahan sawah
di 8 provinsi yang mengalami degradasi secara kimia (kadar hara P dan K, C-organik)
dan jenis tanah menunjukkan bahwa luasan lahan sawah yang termasuk pada kelas lahan
terdegradasi sedang seluas 2,3 juta ha (50 persen), penyebaran terluas terdapat di Jatim,
Jateng dan Sulsel. Sedangkan yang termasuk lahan terdegradasi berat sekitar 1,8 juta ha
(38 persen), terluas di Provinsi Jatim, Jateng, dan Jabar. Untuk lahan yang terdegradasi
rendah dan tidak terdegradasi mencakup luasan kecil, masing-masing hanya 8 persen dan
4 persen.
Pemulihan kesuburan lahan sawah yang mengalami degradasi ini dapat dilakukan
dengan memperbaiki rekomendasi pupuk sesuai konsep pemupukan berimbang,
memberikan bahan organik yang dibuat secara in-situ yang berasal dari sisa panen
atau kotoran hewan. Pemberian pupuk hayati seperti bakteri pelarut fosfat dan kalium
diharapkan dapat menambang unsur hara yang selama ini tidak tersedia bagi tanaman.
Kombinasi ketiganya dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Penghematan pupuk
dapat menghemat devisa negara.
Daftar Pustaka
Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/ OT.140/4/2007 tentang
Rekomendasi Pemupukan N, P dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi (Revisi
44
PERTANIAN PADA EKOSISTEM LAHAN SAWAH
Kepmentan No.01/Kpts/SR.130/1/2006). Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
---------. 2010. Policy Brief : Pemulihan Kesuburan Tanah pada Lahan Sawah Berkelanjutan.
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Agus, F., A. Mulyani. 2006. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice
self sufficiency. Proceedings International Rice Conference, 12-14 Sept. Denpasar,
Bali. Indonesian Institute of Rice Research, Sukamandi.
----------, Irawan, H. Suganda, Wahyunto, A. Setiyanto, and M. Kundarto. 2006.
Environmental multifunctionality of Indonesian agriculture. Paddy Water
Environment 4:181-188.
----------, D. Setyorini, A. Dariah. 2009. Pelestarian Lahan Sawah. Balai Penelitian
Tanah. Bogor.
Kasno, A. Nurjaya, dan D. Setyorini. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia.
Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Universitas Andalas, Padang.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press and Trans Pacific Press. 280
p.
Pasaribu, B. 2009. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan lahan Berkelanjutan.
Bappenas.
Prasetyo, B.H. S. Adiningsih, K. Subagtono, dan Simanungkalit. 2004. Mineralogi, Kimia,
Fisika dan Biologi Tanah Sawah. Buku : Tanah Sawah. 35-100.
Setyorini, D., L. R. Widowati. S. Rochayati. 2003. Uji Tanah sebagai Dasar Penyusunan
Rekomendasi Pemupukan. Sumber Daya Tanah. Seri Monograf No. 2. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
------------, A. Dariah dan E. Husen. 2008. Policy Brief : Manfaat, Prospektif, Arah
dan Strategi Pengembangan Pupuk Indonesia untuk Mendukung Produktivitas
Lahan Sawah. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian.
------------, D.A. Suriadikarta, Nurjaya. 2008. Rekomendasi Pemupukan Padi Di Lahan
Sawah Bukaan Baru. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Sofyan, A., M. Sediyarso, Nurjaya, dan J. Suryono. 2000. Laporan akhir penelitian status
hara P dan K lahan sawah sebagai dasar penggunaan pupuk yang efisien pada tanaman
pangan. Bag. Proyek Sumber daya Lahan dan Agroklimat. Puslittanak, Bogor.
-------------, D. Nursyamsi, and I. Amien. 2002. Development of Soil Testing in Indonesia.
Workshop Proceedings, 21-24 January 2002. SMCRSP Technical Bulletin 2003-01.
45
Download