1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kekerasan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang terjadi di berbagai
belahan dunia. Hal tersebut menimbulkan dampak fisik dan psikologis terhadap
perempuan. Data menunjukkan bahwa sekitar 70% perempuan di dunia pernah
mengalami kekerasan dalam hidupnya (UN Women, n.d.). Lebih lanjut, data yang
dirilis oleh World Health Organization (WHO) (2013) menunjukkan bahwa saat ini
sekitar satu per tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik.
Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang menunjukkan
kekerasan fisik dan psikologis ialah tradisi Female Genital Mutilation. Female
Genital Mutilation (FGM) merupakan sebuah praktik yang dilakukan untuk
menghilangkan sebagian atau keseluruhan bagian dari alat kelamin perempuan
dengan tujuan non-medis. Praktik FGM ini merupakan prosesi yang masih sangat
lazim dilakukan, terutama di wilayah Afrika (IRIN, 2005). Secara umum, praktik
FGM di Afrika merupakan sebuah prosesi yang dilakukan kepada perempuan usia
dini hingga remaja. Prosesi ini dipercaya sebagai simbol bahwa mereka telah
beranjak dewasa, serta menjadi simbol dalam menjaga kehormatan sebagai seorang
perempuan. Selain itu, prosesi tersebut mereka lakukan sebagai bentuk penerimaan
mereka di dalam masyarakat (rite of passage).
Melihat kondisi di benua Afrika, praktik FGM seringkali dilakukan dengan
dorongan dari orang terdekat mereka. Perempuan yang menjalani prosesi tersebut
tidak memiliki pilihan lain dalam masyarakat maupun komunitas keluarga kecil
1
2
mereka1. Bentuk pemaksaan kehendak dan kekerasan fisik yang dialami terhadap
perempuan tersebut menjadi perhatian yang utama dalam usaha eliminasi praktik
FGM di Afrika.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada awal tahun 1970-an telah melihat
isu kekerasan terhadap perempuan sebagai prioritas yang harus mendapat perhatian
komunitas internasional. Salah satu bentuk perhatian PBB ialah dengan
mennghasilkan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
against Women (CEDAW) melalui resolusi A/RES/34/180 yang merupakan salah
satu usaha untuk mengeliminasi tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan. CEDAW hingga sekarang menjadi salah satu instrumen hukum
internasional yang sering digunakan negara maupun organisasi regional lain di
dunia dalam membuat sebuah kebijakan yang mengatur mengenai usaha
pengeliminasian tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan
(Amnesty International, 2005)
Mengacu pada perhatian yang timbul pada saat pembentukan CEDAW dan
belum terakomodirnya hak perempuan dalam sebuah konsensus regional, di tahun
2003 negara-negara Afrika melalui African Union (AU) merumuskan sebuah
instrumen hukum regional dalam bentuk protokol yang bernama Protocol to the
African Charter on Human and Peoples’ Rights on the Rights of Women in Africa.
Protokol tersebut, yang kemudian dikenal dengan Protokol Maputo, menjadi
tonggak bersejarah dalam usaha untuk mengeliminasi tindakan kekerasan dan
Martha Nussbaum dalam esainya ‘Double Moral Standards?’ (1996), menjelaskan bahwa isu
hukum dan etis yang muncul dalam tindakan FGM berasal dari penggunaan paksaan fisik yang
dilakukan oleh ibu kepada anak-anak perempuannya, dan seringkali mereka tidak memiliki pilihan
lain selain melaksanakan ‘ritual’ tersebut.
1
3
diskriminasi terhadap kaum perempuan di Afrika. Protokol Maputo secara
komprehensif mengangkat semua isu yang berkaitan dengan hak-hak perempuan.
Protokol Maputo disambut baik oleh negara-negara di Afrika. Lebih lanjut, setelah
pemberlakuan Protokol Maputo oleh AU, banyak negara-negara di Afrika
menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan dalam upaya mengeliminasi praktik
FGM di negara masing-masing. Indikator keberhasilan negara tersebut dapat dilihat
dari menurunnya tingkat prevalensi FGM di beberapa negara di Afrika.
Tabel 1.1. Statistik tingkat prevalensi FGM pra- dan paska-Protokol Maputo
Pra-Protokol
Maputo2
17%
Paska-Protokol
Maputo3
2%
Burkina Faso
77%
72%
 5%
Rep. Afrika Tengah
36%
26%
 10%
Pantai Gading
46%
36%
 10%
Ethiopia
80%
58%
 22%
Gambia
80%
73%
 7%
Ghana
30%
4%
 26%
Guinea-Bissau
50%
45%
 5%
Kenya
32%
27%
 5%
Mali
94%
85%
 9%
Niger
20%
2%
 18%
Nigeria
40%
30%
 10%
Somalia
98%
99%
 1%
Tanzania
18%
14%
 4%
Togo
50%
2%
 48%
Uganda
5%
1%
 4%
Negara
Benin
Perubahan
 15%
Data diolah dari berbagai sumber seperti UNICEF (2013), WHO (2000)
2
Pra-Protokol Maputo ialah waktu ketika belum adanya Protokol Maputo, yaitu sebelum 11 Juli
2003
3
Paska-Protokol Maputo ialah waktu ketika Protokol Maputo sudah dihasilkan, dan berjalan
sebagai instrumen hukum di Afrika, yaitu sesudah 11 Juli 2003 hingga sekarang
4
Mayoritas
negara-negara
di
benua
Afrika
telah
memperlihatkan
perkembangan yang cukup menjanjikan dalam upayanya untuk mengeliminasi
praktik FGM di negara tersebut semenjak diterimanya Protokol Maputo sebagai
instrumen hukum yang mempromosikan hak-hak perempuan di benua Afrika,
termasuk eliminasi praktik-praktik yang menyakiti perempuan seperti FGM.
Namun hal yang sangat berbeda terlihat di Somalia. Somalia sebagai
anggota dari African Union memang ikut merumuskan Protokol Maputo di tahun
2003, yang pada saat itu masih memiliki tingkat prevalensi FGM di level 98%
(UNICEF, 2003). Namun hingga sekarang justru prevalensi FGM di Somalia tidak
mengalami perubahan. Somalia kemudian menandatangani Protokol Maputo di
tahun 2006. Di tahun yang sama, United Nations Children's Fund (UNICEF)
merilis laporan prevalensi FGM di Somalia pada level 98%. Tiga tahun setelahnya,
The African Network for the Prevention and Protection against Child Abuse and
Neglect (ANPPCAN) bersama dengan United Nations Population Fund (UNFPA)
mengadakan survei prevalensi FGM di daerah Somaliland yang justru
memperlihatkan semakin signifikannya praktik FGM. Tingkat prevalensi FGM
yang tercatat di Somaliland ialah mencapai level 99% (ANPPCAN, 2009)4 dan
justru memiliki tren yang meningkat. Tren yang ditunjukkan di Somalia pasca
penandatanganan Protokol Maputo memperlihatkan bahwa ternyata sebuah
instrumen hukum internasional yang mengikat tidak berpengaruh terhadap upaya
untuk menghapus praktik FGM di dalam negaranya. Hal ini sangatlah bertolak
“Draft Report on FGM Baseline Assessment in Somaliland”. 2009. Diakses di
http://www.mbali.info/doc527.htm
4
5
belakang dengan tren di negara-negara lain di Afrika, yang justru menunjukkan
perkembangan yang progresif setelah penandatanganan Protokol Maputo
1.2.
Rumusan Masalah
Tren yang ditunjukkan di Somalia melalui tingkat prevalensi FGM tersebut
menunjukkan kegagalan sebuah instrumen hukum internasional berbentuk
Protokol, dalam hal ini Protokol Maputo, diimplementasikan dalam upaya
penghapusan praktik FGM di negara tersebut. Fenomena ini menjadi hal yang
menarik untuk diteliti, karena sebelumnya Somalia telah menunjukkan komitmen
dalam upaya eliminasi praktik FGM yang ditandai dengan penandatanganan
Protokol Maputo pada tahun 2006. Namun, paska dilakukannya penandatanganan
Protokol Maputo, Somalia tidak menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih
baik dalam upaya eliminasi praktik FGM di negara tersebut, Kenyataan yang terjadi
justru prevalensi FGM menunjukkan tren yang meningkat. Penulis kemudian
mengambil kesimpulan bahwa Protokol Maputo sebagai instrumen hukum
internasional di benua Afrika gagal diimplementasikan di Somalia, yang
ditunjukkan melalui prevalensi tersebut. Mengacu pada hal tersebut, penulis ingin
melihat dan mengeksplorasi apa yang membuat Protokol Maputo gagal
diimplementasikan di Somalia sebagai upaya eliminasi praktik FGM di negara
tersebut.
1.3.
Tujuan Penelitian
Penulis tertarik untuk mengambil penelitian ini dengan melihat fenomena
yang terjadi di Somalia paska penandatanganan Protokol Maputo. Penelitian ini
6
bertujuan untuk menggambarkan apa penyebab upaya implementasi Protokol
Maputo gagal dilakukan di Somalia sebagai upaya eliminasi praktik FGM. Selain
itu, dengan menggunakan perspektif Feminis Radikal penulis ingin mengeksplorasi
mengenai apa yang menyebabkan Protokol Maputo sebagai instrumen hukum
internasional benua Afrika gagal diiimplementasikan di negara tersebut.
1.4.
Manfaat Penelitian
Selain diharapkan dapat menjelaskan fenomena praktik FGM yang terjadi
di Somalia, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1.
Memberikan gambaran mengenai praktik FGM di Somalia,
2.
Memberikan gambaran mengenai kegagalan Somalia dalam upaya
implementasi Protokol Maputo dan penyebabnya,
3.
Menjadi bahan referensi bagi penulis maupun pengkaji dalam bidang
Hubungan Internasional, khususnya yang berkonsentrasi pada paham
Feminisme dan Feminisme Radikal.
1.5.
Kajian Pustaka
Sebuah tulisan mengenai FGM ditulis oleh Sharmon Lynette Monagan dari
Nova Southeastern University dengan judul ‘Patriarchy: Perpetuating the Practice
of Female Genital Mutilation’ (2010). Dalam tulisan ini Monagan membahas
praktik FGM melalui perspektif sosial budaya, dimana gagasan yang dibangun
ialah bahwa praktik FGM merupakan akibat dari sistem patriarki yang ada di
masyarakat tradisional tertentu. FGM yang notabene memang ditujukan kepada
7
perempuan, menjadi sebuah hal yang harus dilakukan dan kaum perempuan
tersebut tidak memiliki pilihan lain selain melakukan prosesi tersebut.
Dalam masyarakat patriarki, seringkali perempuan tidak terwakili
kepentingannya dalam berbagai bidang termasuk (namun tidak terbatas pada)
ekonomi, sains, politik, dan pendidikan. Hal ini terkait dengan identitas dan peran
dari masing-masing gender baik laki-laki maupun perempuan. Lebih lanjut, kondisi
yang terjadi didasari dengan kenyataan bahwa masyarakat sudah membentuk sistem
peran di masing-masing gender. Laki-laki menjadi pihak yang superior dan
mengatur aspek-aspek penting dalam kehidupan, sedangkan perempuan menjadi
pihak yang mengikuti perintah dan anjuran laki-laki.
Monagan (2010) membangun gagasan dimana dengan adanya patriarki,
praktik FGM tersebut dapat menjadi prosesi yang ‘abadi’ di masyarakat dan hidup
kaum perempuan. Gagasan tersebut muncul dengan dasar pemikiran bahwa
walaupun kaum laki-laki tidak ikut dalam prosesi FGM, namun merekalah yang
membuat dan menentukan sebuah standar perempuan yang layak untuk dijadikan
istri ialah perempuan yang sudah melakukan FGM. Hal itulah yang membuat
praktik FGM menjadi wajib untuk dilakukan.
Gagasan Monagan (2010) mengenai patriarki yang mengabadikan praktik
FGM di masyarakat akan membantu penulis untuk melihat apakah kondisi yang
sama juga terjadi pada kaum perempuan di Somalia. Lebih lanjut, penulis akan
melihat bagaimana pengabadian tersebut menjadi hal yang mengakar, sehingga
upaya untuk menurunkan tingkat prevalensi FGM di negara dengan menggunakan
Protokol Maputo tersebut gagal untuk dilakukan di Somalia.
8
Tulisan lain yang membantu penulis untuk melihat implementasi produk
hukum internasional ialah tulisan dari David Nelken yang berjudul Human
Trafficking and Legal Culture (2009). Melalui perspektif hukum internasional,
Nelken menyatakan bahwa ada hubungan antara budaya hukum di dalam suatu
negara terhadap implementasi protokol dan bagaimana pola ‘law in action’ yang
terjadi di beberapa negara.
Nelken mendiskusikan instrumen Protokol Palermo sebagai sebuah
instrumen hukum internasional dalam usaha untuk mencegah, menekan dan
menghukum tindakan perdagangan manusia. Nelken menjelaskan bahwa dalam
usaha-usaha untuk membasmi praktik perdagangan manusia, beberapa negara
ternyata menghadapi kondisi yang berbeda satu sama lain, yang ternyata
memberikan hasil yang berbeda terhadap satu sama lain.
Di negara-negara yang sangat progresif dalam penegakan hukum seperti
(namun tidak terbatas pada) Norwegia, Swedia, Finlandia, Protokol Palermo sudah
cukup berhasil untuk digunakan sebagai sebuah panduan dalam mengeliminasi
praktik perdagangan manusia. Namun untuk negara yang penegakan hukumnya
masih buruk, serta diperparah dengan kondisi ekonomi yang lemah seperti
Moldova, Protokol Palermo tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai panduan
secara penuh dan tidak berhasil dalam mengeliminasi praktik perdagangan
manusia. Hal ini dikarenakan Protokol Palermo tidak memberikan solusi
bagaimana menyelesaikan masalah kemiskinan dari korban-korban perdagangan
manusia. Merekapun pada akhirnya terpaksa kembali menjajakan dan
memperdagangkan dirinya, karena terjebak dalam kondisi kemiskinan. Hal tersebut
9
membuat Protokol Palermo tidak berhasil dalam memerangi perdagangan manusia
di negara tersebut.
Dalam hal dukungan terhadap korban perdagangan manusia, beberapa
negara juga memperlihatkan kondisi yang variatif sesuai dengan budaya hukum di
masing-masing negara. Salah satu contohnya ialah Italia, dimana banyak
pengacara-pengacara ahli dalam hal perdagangan manusia dan Protokol Palermo,
namun ternyata banyak korban yang memilih diam dan tidak mendapatkan
dukungan penuh dari lembaga hukum maupun pemerintah setempat dikarenakan
kultur agama Katolik yang sangat kental di negara tersebut. Hal ini membuat
mereka harus ‘memaafkan’ segala hal yang telah terjadi pada diri mereka sewaktu
‘diperdagangkan’ dulu.
Gagasan Nelken tersebut akan membantu penulis untuk melihat bagaimana
penerapan sebuah instrumen internasional ke dalam suatu negara ternyata
dipengaruhi juga oleh budaya hukum di negara tersebut. Dalam hal ini, penulis akan
melihat bagaimana Protokol Maputo diterapkan di Somalia, dan bagaimana kultur
lokal Somalia akan bereaksi terhadap Protokol tersebut. Melalui gagasan dari
Nelken, penulis juga akan melihat bagaimana budaya masyarakat lokal Somalia
sehingga instrumen internasional seperti Protokol Maputo tidak mampu untuk
menghapus praktik FGM di dalam negaranya.
1.6.
Kerangka Teori
Untuk melihat bagaimana ketidakberhasilan Protokol Maputo dalam
mengurangi tingkat prevalensi FGM di Somalia, penulis menggunakan teori
Feminisme Radikal. Feminisme Radikal ialah sebuah teori yang berfokus pada
10
nilai-nilai yang diciptakan oleh kaum laki-laki untuk memperkuat supremasi
kaumnya dalam kehidupan pribadi dan sosial di masyarakat (Willis, 1984 dalam
Willis, 1992). Inti dari teori tersebut, patriarki, dapat membantu untuk melihat
bagaimana fenomena opresi terhadap perempuan oleh laki-laki masuk ke dalam
ranah paling personal di dalam sistem masyarakat. Dalam melihat fenomena praktik
FGM di Somalia, gagasan perempuan ideal yang dibentuk laki-laki ialah
perempuan yang telah melakukan FGM. Nilai ideal yang dibentuk tersebut,
merupakan sebuah bentuk opresi terhadap perempuan karena apabila mereka tidak
melakukan praktik FGM, mereka akan dilihat sebagai perempuan yang terbuang
dan tidak dianggap dalam sistem masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, itulah
mengapa penulis menggunakan teori Feminisme Radikal untuk menganalisis
ketidakberhasilan Protokol Maputo dalam usaha menurunkan tingkat prevalensi
FGM di Somalia.
1.6.1. Feminisme Radikal
Feminisme Radikal merupakan salah satu cabang Feminisme yang mulai
populer pada akhir tahun 1960-an. Ellen Willis (1992) dalam esainya Radical
Feminism and Feminist Radicalism, menjelaskan bahwa Feminisme Radikal ialah
sebuah konsep yang berfokus pada nilai-nilai yang diciptakan oleh kaum laki-laki
untuk memperkuat supremasi kaumnya dalam kehidupan pribadi dan sosial di
masyarakat. Nilai-nilai yang dibuat oleh kaum laki-laki ini sering sekali mengopresi
peran perempuan yang membuat mereka hanya menjadi sub-ordinasi di dalam
tatanan kehidupan sehari-hari. Willis kemudian menjelaskan bahwa tujuan utama
Feminisme Radikal ialah untuk membebaskan kaum perempuan dari ‘nilai-nilai
11
laki-laki’ yang membebani mereka, dan membuat sebuah kultur alternatif yang
didasari oleh ‘nilai-nilai perempuan’ (Willis, 1984 dalam Willis, 1992).
Nilai patriarki yang menjadi fokus dari Feminis Radikal itu sendiri
merupakan gagasan dimana laki-laki lebih mendominasi dari pada perempuan,
dimana dominasi tersebut menjadi sebuah bentuk opresi terhadap perempuan.
Steans (1995) menjelaskan bahwa opresi yang dialami kaum perempuan merupakan
akar dari opresi dalam seluruh sistem masyarakat. Patriarki, yang memiliki arti ‘the
rule of the fathers’, merupakan sistem yang memastikan eksistensi dominasi lakilaki terhadap perempuan. Feminis radikal juga meyakini bahwa patriarki-lah yang
menjadi akar dalam konstruksi gender di masyarakat. Pembedaan gender satu sama
lain dinyatakan sebagai sebuah hal yang natural, menjadi struktur yang terikat
dalam segala aspek dalam kehidupan termasuk dalam hal seksualitas dan hubungan
seksual (Steans, 1995, hlm. 20). Walby (1990) mendefinisikan patriarki sebagai
sebuah sistem struktur dan praktik sosial di masyarakat, dimana kaum laki-laki
yang mendominasi, dan mereka yang mengopresi dan mengeksploitasi perempuan.
Lebih lanjut, penggunaan terma ‘struktur’ disini menjadi penting, karena hal
tersebut memperlihatkan sebuah penolakan secara biologis antar gender dan
gagasan bahwa setiap individu (men) berada dalam posisi yang dominan, sementara
individu lain (women) menjadi subordinat dan kaum yang harus diatur (Walby,
1990, hlm. 20).
Valerie Bryson (2003) kemudian mengidentifikasi Feminisme Radikal
sebagai sebuah gagasan teoritis yang tersendiri. Feminisme Radikal melihat bahwa
opresi terhadap perempuan menjadi bentuk dominasi yang sangat fundamental dan
universal. Tujuan Feminisme Radikal itu sendiri ialah untuk memahami opresi yang
12
terjadi terhadap kaum perempuan sekaligus mengakhiri opresi tersebut. Lebih
lanjut, Feminisme Radikal berusaha untuk menganalisis dan juga bersikeras bahwa
posisi kekuasaan kaum laki-laki tidak terbatas hanya pada ranah politik publik
maupun pekerjaan, namun juga masuk ke dalam kehidupan pribadi masing-masing.
Konsep kekuasaan secara tradisional dapat diperluas hingga ke ranah personal
seperti keluarga dan seksualitas, dimana hal-hal tersebut merupakan elemen yang
paling penting dalam dominasi laki-laki terhadap perempuan (Bryson, 2003, hlm.
163).
Lebih lanjut, sebuah istilah dapat mengidentifikasikan bagaimana
Feminisme Radikal juga masuk sebagai ranah personal yaitu ‘The Personal is
Political’. Istilah tersebut muncul dalam esai yang dibuat oleh Carol Hanisch.
Hanisch (1969) mempertanyakan apakah gerakan feminis tersebut hanyalah
sebagai bahan diskusi umum semata yang hanya membahas ranah publik atau
merupakan sebuah perjuangan kaum perempuan dalam berbagai lapisan. Hanisch
(1969) melihat bahwa kebanyakan pergerakan perempuan yang dilakukan pada saat
itu hanyalah mengenai hal-hal yang sederhana seperti pembayaran upah yang layak
dan setara antara laki-laki dan perempuan ataupun hak kesetaraan lain. Namun,
berbagai hal juga harus diangkat dan menjadi pembahasan. Misalnya, seorang
perempuan seharusnya tidak hanya menjadi budak seks di ranjang laki-laki namun
mereka juga harus diberikan peran yang strategis dan tidak melulu harus menuruti
perintah kaum laki-laki yang terkadang tindakannya juga penuh dengan
kebohongan. Perempuan merupakan kaum yang ‘rapi’, mereka bekerja, pintar,
mampu mengambil taktik tertentu. Hal ini membuat perempuan juga berhak atas
13
apa yang laki-laki miliki. Kaum perempuan seharusnya tidak lagi teropresi, baik
dalam ranah publik, maupun dalam ranah pribadi.
Lebih lanjut, Shulamith Firestone (1970) berusaha menggambarkan
pemikiran feminis radikal melalui kacamata biologis seorang perempuan.
Perempuan seringkali dianggap sebagai kaum yang lemah di masyarakat. Hal
tersebut didasari pada anggapan bahwa perempuan yang memiliki traits biologis
seperti dapat mengandung kehamilan, proses kelahiran yang menyakitkan,
mengalami menstruasi dan menopause, serta ‘sakit-sakit perempuan’ lain membuat
perempuan menjadi pihak yang bergantung pada peran laki-laki. Perempuan
dianggap lemah karena mereka menjadi perempuan, yang membawa karakter
feminin. Dengan karakter feminin yang dibawa, perempuan secara seks (jenis
kelamin) ter-assign dengan peran gender feminin.
Simone de Beauvoir (1949) menjelaskan mengenai bagaimana perempuan
pada hakikat esensialnya merupakan seks dan gender kelas dua. Melalui bukunya
The Second Sex, Beauvoir menjelaskan bahwa laki-laki merupakan gender utama
yang ada di masyarakat. Dengan kemampuan mereka untuk berpikir rasional,
secara esensi laki-laki lebih superior secara gender daripada yang lain. Perempuan
dianggap menjadi The Others, The Second Sex. Lebih lanjut, dengan kondisi
perempuan menjadi The Second Sex maka perempuan dianggap lebih lemah
daripada pria secara peran gender mereka. Beauvoir juga menjelaskan bahwa The
Second Sex dari persepsi masyarakat yang terbentuk sejak lama dengan melihat
peran pria yang lebih superior baik secara budaya maupun sosial semenjak dahulu.
Dengan menganggap perempuan sebagai The Second Sex, maka laki-laki memiliki
kemampuan untuk mengopresi dan mengambil kendali atas perempuan. Hal inilah
14
yang sebenarnya juga dapat digunakan untuk menggambarkan patriarki yang
berlangsung di masyarakat, sesuai dengan peran laki-laki yang lebih superior
karena gender maskulin mereka.
Untuk melihat eksistensi patriarki di dalam negara, Bryson (2003)
kemudian membahas bagaimana posisi perempuan di ranah pemerintahan dan
politik dari sebuah negara. Feminis Radikal menganalisis bahwa dalam suatu
negara, tatanan kekuasaan pemerintahan merupakan sebuah bentuk ketidaksetaraan
peran antara perempuan dan laki-laki dan bukan sebagai perangkat netral yang
dapat digunakan perempuan untuk menghilangkan opresi terhadap diri mereka. Hal
tersebut sebenarnya memperjelas fakta bahwa struktur dan institusi negara
merupakan sebuah hal yang dikonstruksi dan dibentuk oleh kaum laki-laki untuk
melindungi
kepentingan dan posisi
mereka.
Itulah sebabnya mengapa
ketidakterwakilan yang dialami oleh kaum perempuan merupakan sebuah hal yang
sangat sulit untuk dihilangkan. Karena negara secara alamiah merupakan sebuah
institusi yang patriarkal, pengaruh patriarki tersebut tidak serta merta dapat hilang
dengan memasukkan lebih banyak lagi perempuan dalam posisi-posisi penting di
pemerintahan.
Mengutip Bryson (2003), walaupun pada akhirnya perempuan masuk ke
dalam pemerintahan dan menduduki posisi penting, keputusan yang diambil tidak
bisa hanya melihat salah satu individu saja namun harus berdasarkan sebuah
struktur hubungan kekuasaan (power-relations) di dalam masyarakat yang notabene
merupakan masyarakat patriarki. Dari perspektif tersebut, tuntutan kaum
Feminispun kemungkinan besar akan diabaikan oleh negara dan peraturan
perundangan yang dihasilkan akan tidak menyelesaikan masalah perempuan secara
15
nyata. Pada akhirnya kaum Feminis harus menyadari sebuah kenyataan bahwa
apabila kaum perempuan ingin mendapatkan kekuasaan, mereka harus
melakukannya sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh laki-laki yang membuat
mereka harus beradaptasi dengan aturan dan norma laki-laki. Ironis, karena mereka
seharusnya menghancurkan norma tersebut dan bukan ikut terjerembab dalam
permainan laki-laki (Bryson, 2003, hlm. 196).
Meski posisi patriarki yang kuat di ranah negara, hal ini setidaknya dapat
memberikan gambaran kepada kaum Feminis bagaimana kondisi, posisi, dan
tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan hak-hak kaum perempuan dan
menghilangkan opresi yang mereka alami. Kaum perempuan dapat melihat
bagaimana batasan-batasan yang ada dalam praktik politik dan pembuatan legislasi
di dalam negara. Sebagai contoh, dalam membuat undang-undang kekerasan
terhadap perempuan, hak untuk meninggalkan pasangan tidak serta-merta menjadi
sebuah simbol perlindungan terhadap perempuan apabila penegak hukumnya
condong kepada patriarki yang membuat mereka menjadi seorang sexist. Apabila
undang-undang tersebut didasari dan dikeluarkan dalam konteks perjuangan kaum
perempuan; dimana kekerasan terhadap mereka secara eksplisit dapat ditunjukkan,
akuntabilitas penegak dan penengakan hukum dapat ditingkatkan, dan
menyediakan safe houses bagi para korban, serta meningkatkan kemampuan dan
pendidikan kaum perempuan secara signifikan, baru bisa kita katakan bahwa
undang-undang tersebut mengakomodir kaum perempuan dengan baik (Bryson,
2003).
Lebih lanjut, Steans (2013) memberikan pandangan alternatif mengenai
patriarki di dalam negara. Steans (2013) menjelaskan bahwa terdapat sebuah
16
justifikasi mengapa perempuan terekslusi dalam kehidupan publik dan politik.
Perempuan, menurut Steans, menjadi kaum yang ‘patuh’ dan ‘dikontrol’ oleh kaum
laki-laki karena perempuan dianggap sebagai kaum yang tidak rasional dan disetir
oleh emosi mereka. Karena hal tersebut, perempuan dianggap tidak mampu lepas
dalam pengaruhnya terhadap emosi yang dimiliki dan tidak mampu membuat
sebuah keputusan yang ‘otonom’. Hal inilah yang membuat perempuan juga
dianggap tidak mampu untuk melihat apa kepentingan atau keinginan yang mereka
ingin capai, sehingga perlu digarisbawahi bahwa perempuanlah menjadi kaum yang
membutuhkan proteksi tersendiri (Steans, 2013).
Melalui kerangka teori tersebut, penulis kemudian mengambil argumen
awal mengenai mengapa Protokol Maputo gagal diimplementasikan di Somalia.
Penulis berargumen bahwa fenomena tersebut terjadi karena eksistensi patriarki di
dalam negara dan pemerintahan Somalia serta mengakarnya patriarki dalam tatanan
masyarakat dan budaya Somalia mengakibatkan tidak adanya kebijakan yang
mengakomodir usaha untuk menghapus praktik FGM dan kaum perempuan secara
umum dan membuat segala upaya untuk menghapuskan praktik FGM di negara
tersebut menjadi sangat sulit. Selain itu Protokol Maputo yang ditandatangani
Somalia tidak mampu diupayakan untuk diimplementasikan di Somalia melaui
produk-produk kebijakan di negara tersebut. Hal tersebut didasarkan kepada
keadaan bahwa dengan mengakarnya patriarki di dalam tatanan pemerintahan dan
masyarakat Somalia menjadikan setiap kebijakan yang diambil hanya mengacu
pada pemenuhan kepentingan kaum laki-laki semata, dan tidak mengindahkan
maupun menyentuh kepentingan perempuan Somalia secara umum.
17
1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Untuk melihat bagaimana fenomena Praktek FGM di Somalia, penulis
menggunakan metode kualitatif sebagai pendekatan penelitiannya. Penelitian
kualitatif, menurut Parkinson dan Drislane (2011), merupakan sebuah penelitian
yang menggunakan metode seperti pengamatan partisipan ataupun studi kasus
tertentu yang menghasilkan sebuah narasi deskriptif yang menggambarkan sebuah
kondisi tertentu yang diamati. Selain itu, terdapat pula definisi dari Nkwi,
Nyamongo, dan Ryan (2001) yang menjelaskan bahwa penelitian kualitatif ialah
penelitian yang tidak mengindikasikan dan menghasilkan nilai ordinal (hitungan).
Penulis menggunakan pendekatan descriptive research dalam melakukan
analisisnya. Menurut Hesse-Biber dan Leavy (2011) Descriptive research atau
penelitian deskriptif akan melihat bagaimana menjelaskan sebuah fenomena yang
terjadi dengan melihat dan mendeskripsikan secara mendalam apa saja aspek-aspek
yang terkandung objek yang diteliti. Penelitian deskriptif akan memberikan
jawaban dari pertanyaan ‘apa’ dalam sebuah fenomena sosial (Hesse Biber dan
Leavy, 2011)
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, karena esensinya
pendekatan kualitatif-deskriptif mampu membantu penulis untuk melihat kondisi,
pengalaman, dan realitas mengenai fenomena yang terjadi serta mengeksplor dan
mendeskripsikannya secara mendalam dengan menggunakan perspektif tertentu.
Dengan penelitian kualitatif-deskriptif, penulis melihat bagaimana fenomena
praktik FGM di Somalia, kondisi tatanan masyarakat dan pemerintah Somalia,
penerapan Protokol Maputo dan respon masyarakat mengenai Protokol Maputo,
18
yang akan mampu menjelaskan mengapa Protokol Maputo tidak berhasil
menurunkan tingkat prevalensi FGM di negara tersebut.
1.7.2. Sumber Data
Sumber data sekunder menjadi basis pengumpulan data dalam penelitian
ini. Hox dan Boeije (2005) mendefinisikan data sekunder sebagai data yang diambil
dari sumber yang telah ada sebelumnya, dan digunakan kembali untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang berbeda. Data-data yang sebelumnya telah digali, baik
untuk penelitian, statistik resmi, maupun hal lain yang telah diarsipkan dapat
menjadi data sekunder. Data-data primer yang sebelumnya telah diarsipkan atau
didapatkan seperti wawancara, dapat juga menjadi data sekunder. Studi-studi
pustaka, produk perundang-undangan negara, rilis laporan resmi, dan data survei
menjadi fokus data sekunder dalam menganalisis ketidakberhasilan Protokol
Maputo dalam menurunkan tingkat prevalensi FGM di Somalia.
1.7.3. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari empat bab. Adapun pembagian secara rinci dari
penelitian ini ialah sebagai berikut:
Bab Pertama
Pada bab pertama penulis memberikan latar belakang mengenai penelitian
ini dan memberikan gambaran mengapa penulis tertarik untuk meneliti fenomena
yang dibahas. Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan tujuan dan manfaat dari
penelitian ini. Penulis juga memberikan kajian pustaka yang digunakan sebagai
pembanding dan dasar penelitian. Penulis mengeksaminasi beberapa riset yang
telah dilakukan, dan melihat research gap yang penulis gunakan dalam membahas
19
penelitian ini. Dalam bab ini pula, penulis memberikan kerangka konseptual yang
menjadi dasar dan pendekatan penulis untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi
fenomena ketidakberhasilan Protokol Maputo dalam upaya untuk menurunkan
tingkat prevalensi FGM di Somalia.
Bab Kedua
Dalam bab ini, penulis memberikan gambaran mengenai praktik FGM
secara historis dan praktiknya di Benua Afrika. Dalam bab ini pula, penulis juga
membahas mengenai munculnya Protokol Maputo sebagai instrumen hukum
internasional di benua Afrika sebagai respon atas praktik FGM di benua tersebut.
Penulis juga memperlihatkan best practices dalam upaya implementasinya di benua
Afrika, serta kegagalan upaya implementasi Protokol di Somalia.
Bab Ketiga
Bab ketiga merupakan pembahasan dari penelitian ini. Pada bab ini penulis
mengeksplorasi
apa
yang
menyebabkan
Protokol
Maputo
tidak
dapat
diimplementasikan di Somalia dengan menggunakan perspektif Feminisme
Radikal. Penulis memfokuskan pembahasan mengenai eksistensi Patriarki dalam
tingkatan keluarga dan masyarakat serta negara secara lebih luas. Penulis juga
memberikan gambaran bagaimana institusi patriarki yang berada di ranah-ranah
tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain.
Bab Keempat
Pada bab terakhir diberikan kesimpulan mengenai penelitian ini dan
diharapkan juga memberikan gambaran akhir mengenai kegagalan upaya
implementasi Protokol Maputo dalam menurunkan tingkat prevalensi FGM di
Somalia melalui perspektif Feminis Radikal. Adapun pada bab ini berisi saran-saran
20
yang relevan untuk stakeholders terkait dalam pengentasan praktik FGM di
Somalia.
Download