PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN
SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS
DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
LAW PROTECTION CONCERNING TO NETWORK USER ELECTRONIC
SYSTEM ON MISTAKE BILLING ACCESS WITH DATABASE CONNECTED
TO UNDANG-UNDANG NUMBER 8 / 1999 ABOUT CONSUMER
PROTECTION JUNCTO UNDANG-UNDANG NUMBER 11 / 2008 ABOUT
INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh :
Palma Carlos Branco Da Piedade
316.07.701
Dibawah Bimbingan :
BUDI FITRIADI S., S.H., M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2009
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN
SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS
DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Disetujui Untuk Diajukan Ke Muka Sidang Panitia
Ujian Sidang Komprehensif Program Strata Satu Pada Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
Bandung, Juli 2009
Pembimbing,
Budi Fitriadi S., S.H., M.Hum.
NIP : 4127.33.00.002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H.
NIP : 4127. 7000. 009
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama
NIM
Jenis Penulisan TA
Judul Penelitian TA
:
:
:
:
PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE
316.07.701
SKRIPSI
PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
PENGGUNA
JARINGAN
SISTEM
ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING
ACCESS
DENGAN
DATABASE
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR
8
TAHUN
1999
TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
JUNCTO
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK
Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) ini adalah hasil karya saya sendiri dan
bukan merupakan plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa Tugas Akhir
ini adalah plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Komputer
Indonesia.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dalam
keadaan sadar, sehat walafiat dan tidak ada tekanan dari pihak manapun.
Yang menyatakan,
PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE
NIM : 316.07.701
DENGAN PENUH PERJUANGAN, PENGORBANAN,
TANTANGAN MAUPUN RINTANGAN TELAH AKU
LALUI SEMUA..............DEMI TERSELESAIKANNYA
TUGAS AKHIRKU INI DAN TENTUNYA DENGAN
BERKAT DAN PERTOLONGAN TUHAN YANG MAHA
ESA SEHINGGA AKU DAPAT MELALUI SEMUANYA
INI DENGAN BAIK............MAKA DARI ITU AKU
SANGAT BERSYUKUR ATAS KEBERHASILANKU
INI.................!!!!
SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN UNTUK KEDUA
ORANGTUAKU MAUPUN SAUDARA-SAUDARA
KANDUNGKU YANG SELAMA INI SELALU
MEMBERIKAN DO’A DAN DUKUNGANNYA
KEPADAKU...............SERTA SEMUA TANTE MAUPUN
OM AKU, SEMUA SEPUPUKU DAN SERTA YANG TAK
TERLUPAKAN KEPADA TEMAN-TEMANKU
SEKAMPUS.................TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN
KALIAN SEMUA SELAMA INI
KEPADAKU.............................!!!!
MUDAH-MUDAHAN SKRIPSIKU INI DAPAT
BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA MAUPUN BAGI
SIAPA SAJA YANG KELAK MEMBACA SKRIPSIKU
INI............................................!!!!
BY :
“ PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE ”
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS
KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN
DENGAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR
8
TAHUN
1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN
2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK,
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Pendidikan Program S1 pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis menyadari bahwa mutu Skripsi ini
masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan,
kemampuan serta pengalaman penulis. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa
tanpa adanya dorongan maupun bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat
menyelesaikan Skripsi ini sebagaimana yang diharapkan.
Pada
kesempatan
ini,
dengan
segala
kerendahan
hati,
penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga atas segala bantuan
dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan Skripsi
ini, kepada yang terhormat Bapak Budi Fitriadi Supriadi S.H., M.Hum., Selaku
Pembimbing. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, Msc., Selaku Rektor
Universitas Komputer Indonesia.
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, SE, Ak, Ms., Selaku
Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia.
3. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA., Selaku Pembantu Rektor
II Universitas Komputer Indonesia.
4. Yth. Ibu Dr. Aelina Surya, Selaku Pembantu Rektor III Universitas
Komputer Indonesia.
5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H., Selaku
Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
6. Yth. Ibu Hetty Hassanah S.H., Selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia Seluruh Staff Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia.
7. Yth. Ibu Merry Maulin, S.H., M.Hum., M.Kn Selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia yang telah meluangkan waktu
dan pikirannya dalam membantu penulis demi terselesaikannya skripsi
ini.
8. Yth. Ibu Arinita Sandria S.H., M.Hum., Selaku Dosen Fakultas Hukum.
9. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum
Sekaligus Dosen Wali.
10. Yth. Ibu Rachmani Puspita Dewi, S.H., M.Hum., Selaku Dosen
Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
11. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia.
12. Yth. Bapak Cecep Wawan R. S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia.
13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A. Md., Selaku Staff Administrasi Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia.
Kedua orang tua yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan
bimbingan yang sangat berguna bagi penulis serta semua pengorbanan yang
diberikan baik berupa materil maupun spiritual dan juga yang telah memberikan
perhatian, pengertian dan kasih sayang yang tulus kepada penulis serta
saudara-saudara kandungku : My Brother Apata, All My Sisters Nelinha, Nini,
dan Dahlia thanks for all your support to me.
Serta semua pihak keluarga, dimulai dari Nenekku Tersayang “Balbina,”
Om Fransisco, Tante Luciana, Tante Terizinha, Tante Etelvina, Tante Merita,
Tante Balbina, Tante Elisa, Om Afonso serta semua sepupuku : Kakak Celita,
Kakak Mani, Kakak Nonio, Nadia, Vanesa, Iza, Lenia, Savio, Liliana, Virgorito,
Kakak Nino, Kuka, Momo, Juvi, Mimi, Kika, Diana, Kakak Deny, Kiku, Lele,
Lonika, Nanita, Missy, Idalina, Kakak Bere, Sales, Via, Uchita, serta yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam do’a dan
dukungan demi terselesaikannya Skripsi ini dan seluruh aktifitas akademika
Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia terutama Bapak Murray yang
selalu membersihkan dan mempersiapkan ruangan kelas setiap kami kuliah serta
teman-teman penulis dikampus, Intan, Veri, Ozi, Berli, Melyn, Ariska, Imas, Oca,
Aan, Deti, Novi, Puspita, Lail, Cupi, Jenier, Paula, Nivio, Estanislau, Amenu,
Marga, Erga, Israel, Ali, Farah, Fauzi, Jon, Paskal, Billy, Fandy, Hadi, Angga,
Adit, Dewi, Megi, Nova, Gilang dan Sandy serta teman-teman lainnya yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, juga semua pihak yang telah banyak
membantu sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga segala bentuk
bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas kepada penulis, dibalas
dengan pahala yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari didalam penyusunan Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan Skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga penyusunan Skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi kita semua.
Bandung, Juli 2009
Penulis,
(Palma Carlos Branco Da Piedade)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
ABSTRAK............................................................................................................vii
ABSTRACT.........................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Identifikasi Masalah...................................................................5
C. Maksud dan Tujuan Penelitian..................................................5
D. Kegunaan Penelitian.................................................................6
E. Kerangka Pemikiran..................................................................7
F. Metode Penelitian....................................................................18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
DAN PENYELENGGARA JARINGAN INTERNET
A. Perlindungan Konsumen di Indonesia.....................................21
B. Informasi dan Transaksi Elektronik..........................................41
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA LAYANAN
OPERATOR JARINGAN INTERNET
A. Hak dan Kewajiban Pengguna Internet....................................54
B. Tanggung
Jawab
Penyelenggara
Jaringan
Sistem
Elektronik..................................................................................56
C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Pengguna
Internet.....................................................................................61
BAB IV
ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN
PENGGUNA INTERNET
A. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Internet
dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008
Tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik..................................................................................72
B. Penerapan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen
Terhadap
Pengguna
Jaringan Sistem Elektronik di Indonesia..................................91
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan..................................................................................96
B. Saran.......................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN
SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS
DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oleh :
Palma Carlos Branco Da Piedade
ABSTRAK
Semakin pesatnya perkembangan teknologi pada bisnis penyediaan jasa
pelayanan internet saat ini membuat pelaku usaha berupaya menarik perhatian
pelanggan dengan berbagai bentuk pelayanan yang berbeda-beda. Banyak perusahaan
yang bergerak dalam jasa telekomunikasi memberikan pelayanan dibidang internet untuk
memenuhi kebutuhan pelanggannya. Permasalahannya adalah bila perusahaan yang
memberikan layanan melakukan kesalahan penghitungan tagihan atau billing
pemakaiaan internet, sehingga menyebabkan para pengguna dirugikan atas perbuatan
yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa khususnya masalah perlindungan hukum
apakah yang dapat diberikan terhadap keluhan-keluhan konsumen pengguna jaringan
sistem elektronik dalam kesalahan tagihan (billing) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penerapan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pengguna jaringan sistem
elektronik di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu dititikberatkan pada studi dokumen dalam penelitian
kepustakaan untuk mempelajari data sekunder yang terkumpul berupa bahan-bahan
hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.
Berdasarkan penelitian tersebut penulis sampai pada kesimpulan bahwa
perlindungan hukum terhadap pengguna jasa internet yang dilakukan oleh perusahaan
penyedia operator jaringan sistem internet adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mengenai tindakan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum seperti diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 1365
KUHPerdata, Perusahaan operator penyedia jaringan internet wajib memberikan ganti
kerugian pada konsumen.
LAW PROTECTION CONCERNING TO NETWORK USER
ELECTRONIC SYSTEM ON MISTAKE BILLING ACCESS WITH
DATABASE CONNECTED TO UNDANG-UNDANG NUMBER 8 / 1999 ABOUT
CONSUMER PROTECTION JUNCTO UNDANG-UNDANG NUMBER 11 / 2008
ABOUT INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION
By :
Palma Carlos Branco Da Piedade
ABSTRACT
Increasingly fast of development technology at internet business supplying at the
moment made entrepreneur to serious make effort to draw interest customer with various
type in differents servicing. Many enterprise with move in telecomunication service to give
servicing in internet area for fill necessity it’s customer. The problem is if enterprise which
give mistake service on counting billing internet consumption, until cause rubber user lost
out on act which done by enterprise supplier merit. Especially in law protection problem.
What can give concerning consumer complaint network user electronic system in mistake
billing observed from Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection and
Undang-Undang Number 11 / 2008 about Information and Electronic Transaction,
assembling Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection concerning
network user electronic system in Indonesia.
This research done in a manner descriptively analysed, by using approach
method of juridical normative, is emphasize with document study in research literature to
study carefully data secondary. Which be gathered by appear law matters with be
interrelated by the thorough problem.
Based on the research writer until to the conclusion that lawl protection concernig
to user internet service done by enterprise operator internet supplier network system is
no appropriate with certainty valid. Based on Undang-Undang Number 8 / 1999 about
Consumer Protection, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata and Undang-Undang
Number 11 / 2008 about Information and Electronic Transaction. Concern the act is law
act oppose arranged in article 19 verse (1) Undang-Undang Number 8 / 1999 about
Consumer Protection as well as article 1365 KUHPerdata, enterprise operator internet
supplier network must give financial loss change to consumer.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan
nasional
yang
sedang
dilaksanakan
di
Indonesia
merupakan suatu rangkaian pertumbuhan dan perubahan berencana yang
dilakukan dengan sadar oleh bangsa, negara dan pemerintah Indonesia menuju
modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa. Dengan perkataan lain juga
dapat dipandang sebagai usaha kearah lebih maju dalam berbagai kehidupan.
Salah satunya adalah pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat tumbuh
dan berkembang menjadikan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.1
Pembangunan
ekonomi
yang
telah
ditempuh
dimasa
lalu
telah
menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti namun sekaligus juga
mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan.
Penitikberatan pembangunan masa lalu hanya kepada tercapainya tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menciptakan peningkatan pendapatan
perkapita, penurunan jumlah kemiskinan dan pengangguran, dan perbaikan
kualitas hidup manusia secara rata-rata.
Tujuan pembangunan nasional tersebut tidak dapat terwujud tanpa
didukung
oleh
pertumbuhan
dunia
usaha
yang
mampu
menghasilkan
beranekaragam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak sekaligus mendapat
kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
1
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang
dan konsumen berada pada kondisi yang lemah. Konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha baik melalui promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen. Kondisi ini diperburuk dengan tingkat
kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah.2 Akibat dominasi pelaku
usaha tersebut menimbulkan banyak permasalahan, antara lain konsumen
tertipu dengan promosi dan cara penjualan dari pelaku usaha, sehingga
konsumen terjerat oleh klausula baku yang jelas-jelas merugikan konsumen
sendiri.3
Secara yuridis seorang konsumen yang dirugikan dapat menuntut ganti
kerugian terhadap pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal ini berarti
dalam transaksi perdagangan khususnya yang menyangkut perdagangan barang
dan/atau jasa pihak pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian dapat
dituntut untuk mengganti atau membayar kerugian didasarkan pada adanya
wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum.
Subsektor telekomunikasi merupakan salah satu bidang yang dapat
menawarkan barang dan/atau jasa yang beranekaragam, dan juga sebagai
sarana perhubungan yang turut memegang peranan penting dalam setiap
rangkaian program pembangunan nasional. Salah satu usaha pemerintah untuk
membantu meningkatkan pelayanan perhubungan bagi masyarakat adalah
dengan memberikan jasa telekomunikasi. Jasa telekomunikasi yang sesuai
dengan hal tersebut diatas adalah dengan pengembangan melalui bidang
2
Sudaryat, dkk, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha Diluar
Pengadilan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Laporan Penelitian,
Bandung 2004, hlm. 1.
3
Ibid.
internet yang dalam perkembangannya semakin berkembang dan dibutuhkan
masyarakat. Melihat hal tersebut pemerintah telah memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memanfaatkan jasa telekomunikasi internet dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi sesuai kebutuhan
masing-masing
untuk
mencapai
tujuan
dan
kemajuan
masing-masing
masyarakat, dan juga meningkatkan kelancaran hubungan dalam masyarakat
sebagai
penunjang
pembangunan
nasional
dan
memperluas
jaringan
telekomunikasi.
Seiring dengan berkembangnya dunia telekomunikasi mempengaruhi
pertumbuhan internet yang juga meningkatkan permintaan sarana internet. Oleh
karena itu diharapkan pelaku usaha yang bergerak pada jasa telekomunikasi
dapat memberikan pelayanan secara profesional dan optimal, dimana pelayanan
dalam bentuk apapun yang diberikan pelaku usaha kepada pelangganannya
tersebut tentunya tidak terlepas pada tanggung jawab dari pelaku usaha
tersebut.
Bentuk lain dari perkembangan telekomunikasi, juga terlihat dalam
berbagai pelayanan jasa telekomunikasi yang lebih bervariasi. Persaingan antar
berbagai pelaku usaha dalam merebut pasar yang luas akan semakin ketat,
dengan menawarkan produk-produk yang bernilai tinggi dan menciptakan
inovasi-inovasi dalam menggapai kebutuhan konsumen. Salah satunya seperti
yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler yang bergerak
dibidang penyediaan jasa telekomunikasi. Jasa telekomunikasi merupakan suatu
hal yang sangat berharga dan penting, karena dengan adanya jasa
telekomunikasi tersebut membuat masyarakat dapat berkomunikasi dengan lebih
mudah dan cepat tanpa terbatas ruang dan waktu. Perusahaan-perusahaan
penyelenggara operator seluler bersaing untuk dapat memberikan pelayanan
yang maksimal kepada masyarakat selain itu perusahaan penyelenggara
operator seluler berusaha untuk menciptakan produk-produk yang semakin
beraneka ragam yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu
contoh seperti yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
akan
internet
yaitu
dengan
mengeluarkan layanan internet yang secara khusus melayani kebutuhan internet
konsumen yang penggunaanya dikombinasi dengan penggunaan telepon, dalam
mempermudah masyarakat untuk mengakses internet sesuai dengan kebutuhan
sehingga pada akhirnya dapat membantu dalam proses pembangunan nasional.
Tetapi pada praktiknya masih terdapat beberapa penyimpangan yang
pada akhirnya berdampak merugikan masyarakat sebagai konsumen seperti
dalam salah satu kasus yang terjadi adalah mengenai kasus kesalahan billing,
dimana terjadi pembengkakan dalam tagihan yang disebabkan adanya
perbedaan data pemakaian. Sehingga menyebabkan masih terdapatnya
beberapa ketidakpuasan masyarakat pengguna atau pelanggan internet yang
disediakan oleh perusahaan operator, dan memberikan anggapan adanya
ketidakseimbangan antara peraturan yang ada dengan praktiknya dilapangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut tentang perlindungan konsumen terhadap produk internet
yang dikeluarkan oleh perusahaan penyelenggaraan operator seluler dan
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK
ATAS
KESALAHAN
BILLING
ACCESS
DENGAN
DATABASE
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah maka
penulis mencoba untuk mengidentifikasikan permasalahan hukum yang timbul,
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap keluhankeluhan konsumen pengguna jaringan sistem elektronik dalam
kesalahan billing (tagihan) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
2. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pengguna jaringan sistem
elektronik di Indonesia ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk lebih mengkaji tentang permasalahan yang
ada, adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji perlindungan konsumen pengguna jaringan sistem
elektronik ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk mengkaji efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diterapkan terhadap pengguna jaringan sistem elektronik.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis
maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a)
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
dijadikan
sebagai
bahan
pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum tentang
perlindungan konsumen pada khususnya.
b)
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
pengetahuan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya serta
bermanfaat bagi usaha pengembangan disiplin ilmu hukum.
2. Secara Praktis
a)
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada
masyarakat tentang perlindungan konsumen terhadap hak-hak
yang dimiliki konsumen dalam penggunaan fasilitas internet.
b)
Memberikan pemahaman akan perlindungan konsumen bagi
masyarakat
selaku
konsumen
barang
dan/atau
jasa
juga
memberikan pengertian kepada pelaku usaha untuk menghargai
hak-hak para konsumen dalam setiap transaksi.
c)
Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan tolak ukur
efektivitas pengaturan internet secara nasional oleh pemerintah
sehingga dapat memberikan pertimbangan dalam penyusunan
kebijakan yang berhubungan dengan internet.
E. Kerangka Pemikiran
Tujuan nasional yang tercermin dalam alinea II UUD 1945 menyatakan :
“ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat
Indonesia
kedepan
pintu
gerbang
kemerdekaan
negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Makna dari alinea II UUD 1945 diatas merupakan cerminan dari kebahagiaan
yang dirasakan bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang telah dicapai serta
mengharapkan kemerdekaan itu dapat membawa kebahagiaan yang adil dan
merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :
“ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada....”
Pembukaan alinea keempat ini menjelaskan tentang pancasila yang terdiri dari
lima sila yang menyangkut keseimbangan kepentingan, baik kepentingan
individu, masyarakat dan penguasa. Pancasila secara substansial merupakan
konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa
yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi
yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan,
sosial dan budaya yang memiliki corak partikular.4
Kesejahteraan umum artinya negara menghendaki agar setiap warga
negara, dapat menikmati kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut tidak hanya
dapat dinikmati oleh beberapa orang atau beberapa golongan saja, melainkan
kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.5
Rumusan Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi :
“ 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.”
Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum tentang demokrasi ekonomi yang berpihak
pada rakyat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan sebab perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan oleh sebab itu
cabang-cabang produksi yang terpenting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum, itu berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan
diwilayah Indonesia harus berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan
belaka. Demikian juga dalam penyelenggaraan kerjasama dengan perusahaanperusahaan asing harus tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum sebagai sarana petunjuk keadilan seperti yang diungkap Prof.
Mochtar Kusumaatmadja yang menyebutkan bahwa hukum sebagai alat
4
Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 158.
Ibrahim R., Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1997, hlm. 53.
5
pembaharuan masyarakat perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar hal
tersebut tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.6
Untuk menciptakan hukum yang seadil-adilnya bagi masyarakat maka
perlu adanya sikap perlakuan yang sama untuk masyarakat sehingga hukum
dapat memberikan kebahagian kepada masyarakat. Aliran filsafat yang
mendasarinya adalah aliran Utilitarianism, tokohnya Jhon Lock dengan konsep
bahwa hukum memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada orang
sebanyak-banyaknya (The Greatest Happiness For The Greatest Numbers).
Kebahagiaan yang dimaksud Jhon Lock ini adalah kesejahteraan
ekonomi. Aliran ini menghendaki adanya kebahagiaan yang dapat dirasakan oleh
seluruh rakyat. Sektor ekonomi merupakan faktor yang berperan penting dalam
menciptakan kebahagian dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Perkembangan dalam sektor ekonomi juga dapat mempengaruhi
perkembangan kehidupan masyarakat salah satu cara untuk meningkatkan
perkembangan ekonomi adalah dengan mendirikan perusahaan-perusahaan
yang berteknologi tinggi sehingga dapat mengolah potensi yang terdapat
diwilayah
Indonesia
dengan
sebaik
mungkin
sehingga
dapat
memberi
keuntungan-keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia dan dapat
dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
Arah kebijakan pembangunan hukum yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menyebutkan diantaranya:
“Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi
manusia.” Selain itu disebutkan bahwa poin lain untuk menentukan suksesnya
6
332.
Sri Woelan Aziz, Aspek-Aspek Hukum Ekonomi Pembangunan Di Indonesia, 1995, hlm.
pembangunan hukum dilakukan dengan cara mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang dapat mendukung kegiatan perekonomian dan
menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.7
Hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Ilmu
Hukum, bahwa :
“ Hukum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antara
manusia yang bersama dalam satu kumpulan manusia dan masyarakat,
dan karenanya aturan-aturan itu mengikat mereka karena mereka
sepakat untuk tunduk atau terikat oleh aturan-aturan itu.”8
Dari pengertian hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum sebagai
pedoman bagi masyarakat dalam menjalin hubungannya satu sama lain dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Begitu pula dengan lahirnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen yang merupakan
payung hukum dan sekaligus dijadikan pedoman bagi kalangan konsumen dan
pelaku usaha dalam melaksanakan aktifitas perdagangan yang sehat.
Pembentukan
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa
pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan
perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia
7
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Op.Cit.
8
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni,
Bandung, 2000, hlm. 14.
Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa Indonesia, yaitu
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.9
Selanjutnya dalam konsideran undang-undang tersebut pada huruf d
disebutkan :
“ Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.”
Dari konsideran tersebut menyiratkan bahwa adanya perangkat peraturan
perundang-undangan ini adalah untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha untuk terciptanya perekonomian yang
sehat.
Pengertian konsumen dimuat dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa adanya perlindungan konsumen
tidak terlepas dari adanya suatu hubungan hukum antara konsumen dengan
pelaku usaha yang melakukan transaksi dengan adanya kepastian hukum.
Perlindungan konsumen menjadi penting yang mutlak bagi pihak konsumen,
dimana selama ini kedudukan konsumen berada pada posisi terendah, bahkan
hampir tidak memiliki posisi yang seimbang jika dibandingkan dengan pelaku
usaha.
Selain itu, dalam Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
amandemen ke IV, yang menetapkan :
9
Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
“ Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Adapun amanat yang terkandung dalam pasal tersebut adalah bahwa
pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar bangsa dan digunakan untuk
memajukan bangsa sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan cita-cita
masyarakat yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang merata dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik mempunyai peranan
penting dan strategis dalam kehidupan bernegara dan masyarakat, serta
memperlancar dan meningkatkan hubungan antar negara sehingga perlu
senantiasa
ditingkatkan
kualitas
pelayanannya.
Salah
satu
cara
untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di bidang informasi dan transaksi elektronik
adalah dengan membuat pengaturan yang dapat memberi kejelasan dan
ketegasan dalam penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik.
Pelaksanaan pengaturan informasi dan transaksi elektronik diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. (Selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik) Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan yang
dimaksudkan dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memilliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut juga dalam mewujudkan kemajuan
teknologi bangsa pemerintah juga memperhatikan perkembangan teknologi dari
sektor telekomunikasi dimana pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan
masyarakat akan telekomunikasi yang dilakukan bersama-sama dengan
perusahan-perusahan
penyedia
jaringan
dan
jasa
telekomunikasi
telekomunikasi. Pelaksanaan pengaturan telekomunikasi tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, (Selanjutnya
dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Telekomunikasi). Dalam undangundang tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam
bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem
kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi
kebutuhan
bertelekomunikasi
dengan
menggunakan
jaringan
telekomunikasi. Dalam Undang-Undang Telekomunikasi tersebut ditegaskan
bahwa penyelenggaraan telekomunikasi meliputi penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang bentuk
usahanya
sesuai
menyelenggarakan
dengan
jaringan
peraturan
dan
atau
perundang-undangan
jasa
yang
telekomunikasi.
berlaku
Sedangkan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh perseorangan,
instansi pemerintah dan badan hukum selain penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
Berkaitan
dengan
penjelasan
tersebut,
maka
Undang-Undang
Telekomunikasi pada dasarnya mengatur segala aspek yang berhubungan
dengan
kegiatan
manusia
dalam
bertelekomunikasi
dan
hal-hal
yang
menyangkut dalam bidang yang mendukung agar proses bertelekomunikasi
dapat berjalan dengan baik dan dapat sampai dan dinikmati oleh masyarakat.
Disamping Undang-Undang Telekomunikasi sebagai acuan dasar,
pemerintah juga mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksana yang dapat
mewujudkan pelaksanaan Undang-Undang Telekomunikasi tersebut. Peraturan
pelaksana tersebut antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
Tentang Penyelengaraan Telekomunikasi, Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KM. 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi,
Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
Nomor
KM.
114/PT.102/MPPT-97 Tentang Penyelenggaraan Jasa Internet dan peraturanperaturan lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut, bidang telekomunikasi juga membawa
perkembangan di bidang hukum, sehingga diharapkan hukum dapat menampung
semua perkembangan yang terjadi dan lebih penting lagi hukum dapat berfungsi
sebagai
pengawas
yang
mengawasi
perkembangan
yang
terjadi
agar
perkembangan tersebut tidak melanggar hak-hak orang lain. Hal terpenting
dalam
perkembangan
dunia
internet
merupakan
perkembangan yang terjadi di bidang telekomunikasi.
salah
satu
dampak
Internet adalah sekumpulan jaringan komputer global yang diperoleh
secara bersama-sama dan saling menunjang (cooperatively) dan menggunakan
skema alamat (addressing scheme) yang sama dengan protol TCP atau IP
(Internet Protokol) merupakan protokol paling penting yang menjadi dasar
internet. Internet protokol ini antara lain menentukan bagaimana paket-paket
data ke tujuan yang dikehendaki internet. Pengertian internet yang diuraikan
diatas menggambarkan bahwa internet juga mencakup hal-hal yang sangat luas.
Kebutuhan akses telekomunikasi tersebut dapat dilakukan untuk berbagai
keperluan, antara lain untuk mencari informasi yang secara lengkap tersedia
pada layanan internet mengenai pengetahuan umum, perkembangan dunia
hiburan dalam dan luar negeri, dan lain sebagainya.10
Objek bahasan internet yang sangat luas disatu sisi memberikan
kemudahan bagi masyarkat namun disisi lain dengan perkembangan internet
dapat memberikan dampak yang negatif, antara anak-anak yang dibawah umur
bebas mengakses adegan-adegan atau film-film porno yang belum seharusnya
mereka ketahui. Namun disisi lain hal tersebut, dapat membantu pengguna
internet dalam meningkatkan pembangunaan dan perkembangan perekonomian
pada umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi.
Selain itu globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang
gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi-batas wilayah suatu negara
sehingga dengan mudah dan praktis barang-barang tersebut dapat sampai
10
Budi Agus Riswadi, Hukum dan Internet di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2003.
kepada konsumen. Hal tersebut sangat membantu dan memberikan kemudahan
bagi konsumen, namun disisi lain dapat membuat posisi konsumen menjadi
lemah.
Menurut undang-undang tersebut yang dimaksud dengan perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud
dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Secara lebih jelas Az. Nasution, membagi pengertian konsumen menjadi
3 bagian,11 yaitu :
1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan
atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau
jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa
lain atau untuk diperdagangkan.
3. Konsumen-akhir, adalah setiap orang yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali.
Perlindungan konsumen yang dilakukan sebagai usaha bersama oleh
pemerintah dan para pelaku usaha dilakukan dengan menerapkan 5 asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
11
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2006, hlm. 29.
1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya
dalam
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen
mentaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.12
12
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 31.
F. Metode Penelitian
Untuk menunjang pembahasan masalah dalam penelitian ini maka
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan
dan
menganalisis
ketentuan-ketentuan
yang
berkenaan dengan perlindungan konsumen terhadap pengguna
jaringan sistem elektronik.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
adalah yuridis normatif artinya penelitian menitikberatkan terhadap
data kepustakaan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
terhadap pengguna jaringan sistem elektronik.
3. Tahap Penelitian
Tahap penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yaitu
mengumpulkan data dengan mempelajari beberapa perundangundangan sebagai bahan hukum primer dan buku-buku sebagai bahan
hukum tersier untuk mendapatkan landasan hukum tertulis yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti dan dibahas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan tahapan penelitian, maka pengumpulan data dilakukan
dengan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan
metode analisis normatif kualitatif yaitu mengelompokkan masalah
yang ada dengan mengadakan sistemasi terhadap bahan hukum
tertulis untuk menghasilkan data deskriptif analisis dan tidak
menggunakan rumus statistik atau matematis. Kemudian hasil
penelitian tersebut di analisis untuk ditarik suatu kesimpulan.
6. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipatiukur No.
112 Bandung;
Penulis melakukan penelitian diperpustakaan tersebut karena ada
beberapa buku yang terdapat didalam perpustakaan tersebut yang
dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penulisan skripsi ini.
b. Perpustakaan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dipatiukur;
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian diperpustakaan tersebut
karena
ada
beberapa
buku
yang
penulis
temukan
dalam
mendukung penyusunan skripsi ini;
c. Perpustakaan Pasundan, Bandung;
Penulis melakukan penelitian diperpustakaan tersebut dikarenakan
banyak juga terdapat beberapa buku yang dapat mendukung
penulis dalam penyusunan skripsi ini;
d. Website yaitu : - www.detik.com
- www.telkomnetspeedytara.com
- www.wikipedia.com
Maksud dari penulis mencari bahan skripsi di Internet karena ada
beberapa website yang penulis temukan dimana dapat mendukung
dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
PENYELENGGARA JARINGAN INTERNET
A. Perlindungan Konsumen di Indonesia
Istilah konsumen yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata13 Consumer (dalam bahasa Inggris, Amerika), atau Consument (dalam
bahasa Belanda). Secara sederhana, dalam kehidupan sehari-hari kata
konsumen berarti pihak yang menggunakan barang dan jasa, sebagai lawan kata
dari produsen yang berarti pihak yang menghasilkan barang dan jasa.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Selain dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, istilah konsumen
juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Undang-undang tersebut yang
dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang
lain, batasan pengertian konsumen tersebut memiliki kesamaan dengan
pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
13
A.S. Hornby (Gen. Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English,
“(Opp.To Producer) Person Who Uses Goods”, Oxford 1987, hlm. 183.
Sehingga didalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditemukan istilah
konsumen, namun yang ada hanyalah istilah “Pembeli” meskipun memiliki makna
yang lebih sempit. Istilah pembeli dapatlah dikatakan sepadan dengan istilah
konsumen.14
Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan
presiden Amerika Serikat, Jhon .F. Kenedy dengan mengatakan “Consumers by
defenition includes us all.”15
Sedangkan di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang
berkembang, konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods or
services for personal or family purpose.”16 Definisi ini dapat diterjemahkan bahwa
konsumen diartikan sebagai orang yang memperoleh barang dan jasa untuk
tujuan pribadi atau keluarga.
Melihat beberapa pengertian atau batasan mengenai konsumen, baik
yang tercantum dalam Undang-undang, doktrin maupun pendapat para pakar,
Dapat diketahui bahwa kesemuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda
dan masyarakat-masyarakat memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun
setidaknya dari hasil perbandingan dari rumusan konsumen yang telah
disebutkan, dapat disimpulkan unsur-unsur konsumen yaitu :17
1. Setiap orang, yaitu subyek konsumen yang berstatus sebagai pemakai barang
dan atau jasa termasuk badan usaha yang memiliki makna yang lebih luas
dari badan hukum.
14
15
Lihat Ketentuan-Ketentuan Tentang Jual Beli, Buku 3 Tentang Perikatan.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia : PT. Grasindo, Jakarta, 2006, hlm.
3.
16
17
Ibid., hlm. 4.
Ibid., hlm. 5-10.
2. Pemakai atau pengguna, yaitu menurut penjelasan Pasal 1 angka (2) UndangUndang Perlindungan Konsumen, pemakai adalah konsumen terakhir yang
tidak hanya melalui proses jual beli namun juga setiap pemakai yang dapat
menikmati barang dan atau jasa tersebut.
3. Barang dan atau jasa yaitu sebagai pengganti pengertian secara terminologi
dari produk. Dewasa ini kata “Produk” secara langsung mengacu pada
pengertian barang dan jasa, produk atau barang tersebut setiap benda, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak dapat
dihabiskan yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,atau
dimanfaatkan.
4. Tersedia dalam masyarakat artinya barang dan/atau jasa yang ditawarkan
kepada masyarakat harus tersedia dipasaran.
5. Untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain, memiliki
makna untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan atau jasa
tersebut juga diperuntukan bagi orang lain diluar diri sendiri dan keluarganya,
bahkan
untuk
diperdagangkan,
yaitu
bahwa
dalam
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen hanya menyangkut konsumen
akhir. Sehingga hanya untuk dinikmati, dipergunakan, dipakai dan tidak untuk
menarik keuntungan kembali dari barang dan jasa tersebut dengan uraian
pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian konsumen
memberikan batasan yang jelas dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan memberi batasan kepada hak-hak konsumen yang diperlukan
khususnya dalam praktik dikehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat
(3) juga terdapat pengertian pelaku usaha yang menyebutkan :
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.”
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas memberikan pengertian dan
batasan dari konsumen, sehingga selanjutnya akan dibahas mengenai hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Kedudukan konsumen adalah
sebagai subyek hukum memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat termasuk sebagai konsumen.
Istilah hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen adalah dua
bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya meskipun pada
dasarnya berbicara mengenai hal yang sama yakni kepentingan hukum
konsumen, sehingga hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen
dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang timbul dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Pemahaman
bahwa
perlindungan
konsumen
mempersoalkan
perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk
memperoleh barang dan atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena
penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai
hukum yang mengatur hak dan kewajiban konsumen, prosuden serta cara-cara
mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban.
Menurut AZ, Nasution, yang dimaksud dengan hukum konsumen yaitu
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau
jasa konsumen didalam pergaulan hidup. Sedangkan bagian dari hukum
konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.18
Dengan kata lain, pengertian yang diuraikan oleh AZ. Nasution secara
rinci menyatakan bahwa Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam
hubungan dengan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang
dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan.
Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat bagi mereka yang berkedudukan
seimbang
demikian,
maka
mereka
masing-masing
lebih
mampu
mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum
perlindungan
konsumen
dibutuhkan
apabila
kondisi
pihak-pihak
yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat, itu tidak
seimbang. 19
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
ditujukan dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memiliki segi-segi positif disamping segi negatifnya,20
adapun segi positifnya antara lain :
1. Dengan
adanya
peraturan
perundang-undangan
yang
ada
dapat
ditanggulangi hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
konsumen dan penyedia konsumen.
2. Kedudukan konsumen dan penyedia produk konsumen adalah sama didepan
hukum.
18
19
20
Ibid., hlm. 11.
Janus Sidabalok, Op. Cit., hlm. 46.
AZ. Nasution, Op. Cit., hlm. 37-38.
Sedangkan segi negatifnya antara lain :
1. Pengertian dan istilah yang digunakan didalam peraturan perundangundangan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dan
perlindungan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dan
perlindungan konsumen.
2. Kedudukan hukum yang sama antara konsumen dan penyedia produk
konsumen menjadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen “tidak
seimbang lemah dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar,” dibandingkan
dengan
pengusaha
penyedia
produk
konsumen,
konsumen
amatir
berhadapan dengan pengusaha profesional.
3. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya belum mudah, cepat dan biaya
murah sebagaimana dikehendaki peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Secara skematik hukum perlindungan konsumen di Indonesia mengatur
tentang 4 hal utama dalam hal pertanggung jawaban yaitu :21
1. Contractual Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (Privity of Contract) antara pelaku
usaha dengan konsumen;
Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu
tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha
(barang
atau
jasa),
atas
kerugian
yang
dialami
konsumen
akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang
diberikannya.
21
Budi Fitriadi, Struktur Materi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Diktat Kuliah
Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Unikom, 2009, hlm. 2.
2. Product Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (No Privity of Contract) antara
pelaku usaha (produsen barang) dengan konsumen;
Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban produk,
yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku
usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkan. Menurut Johanes Gunawan, tujuan utama dari dunia hukum
memperkenalkan Product Liability adalah :
1. Memberi perlindungan kepada konsumen (Consumer Protection)
2. Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan
konsumen (a fair apportionment of risk between producers and consumer)
3. Professional Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (Privity of Contract) antara pelaku
usaha (Pemberi Jasa) dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa
tersebut
tidak
terukur
sehingga
merupakan
perjanjian
ikhtiar
(Inspanningsverbintenis);
Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban
profesional yang menggunakan tanggungjawab perdata secara langsung
(Strictliability) dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami
konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan.
4. Criminal Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha (barang atau jasa) dengan negara dalam
memilihara keselamatan dan keamanan masyarakat (Consumer);
Tanggung jawab didasarkan pada Criminal Liability, yaitu tanggung jawab
pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan
masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan, konsumen merupakan salah satu
pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi dan haknya sering diabaikan
oleh para pelaku usaha, dengan demikian maka hak-hak konsumen perlu
dilindungi, sebagai pemakai barang atau jasa maka konsumen memiliki
beberapa hak dan juga kewajiban. Konsumen sebagai pengguna barang atau
jasa maka konsumen memiliki beberapa hak dan juga kewajiban. Konsumen
sebagai pengguna barang atau jasa diharapkan memiliki pengetahuan yang
benar tentang hak-hak dan juga kewajiban-kewajibannya sebagai konsumen.
Adapun hak dalam hukum didefinisikan sebagai suatu kepentingan yang
dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan
untuk dipenuhi. Pada dasarnya hak bersumber dari tiga hal, pertama, hal timbul
dari kodrat manusia sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Kedua, hak yang
lahir dari hukum yaitu hak-hak yang diberikan oleh hukum negara kepada
manusia dalam kedudukannya sebagai warga negara, sedangkan yang ketiga,
hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui
sebuah kontrak atau perjanjian.22
Dari sudut pandang konsumen, selalu menginginkan adanya kepuasan
terhadap produk (barang dan jasa) yang dikonsumsikannya. Sedangkan pelaku
usaha cenderung menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis dari
hubungan itu. Keinginan kedua belah pihak tersebut akan mudah untuk dicapai
22
Janus Sidabalok, Op. Cit., hlm. 35.
apabila keduanya melaksanakan kewajibannya secara benar dan dengan
dilandasi dengan itikad baik.
Namun pada kenyataannya yang muncul seringkali konsumen tidak
memperoleh apa yang diharapkannya secara maksimal akibatnya konsumen
dirugikan. Untuk itu telah banyak ketentuan yang dibuat baik sifatnya nasional
maupun internasional yang dapat dipakai sebagai pedoman guna memberikan
perlindungan bagi kepentingan konsumen.
Perserikatan bangsa-bangsa dan resolusinya Nomor 39/248 Tahun 1985
memberikan rumusan tentang hak-hak konsumen yang dilindungi oleh produsen
atau pengusaha. Adapun hak-hak konsumen yang dimaksud adalah :23
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanan.
2. Promosi
dan
perlindungan
dari
kepentingan
sosial,
ekonomi
konsumen.
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen.
4. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
5. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainnya.
Hal ini sangat relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut
untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan mereka, begitu pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4 telah mengatur hak-hak
konsumen, yang meliputi :
23
Ibid., hlm. 38.
a.
Hak
atas
kenyamanan,
keamanan
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan yang diperjanjikan.
c.
Hak informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d.
Hak atas didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau
jasa yang digunakan.
e.
Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan
dan
upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan juga secara
tidak diskriminatif.
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.
Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selanjutnya, mengenai perlindungan terhadap konsumen, Prof. Hans W.
Micklitz, mengutarakan dua model kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu :
(1)
kebijakan yang
bersifat komplementer
yaitu
kebijakan
yang
mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai
kepada konsumen.
(2)
kebijakan
kompensatoris,
yaitu
kebijakan
yang
berisikan
perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen. Hal ini
didasarkan dalam berbagai kasus, yang dilindungi tidak hanya
memberikan informasi, tetapi juga harus ditindak lanjuti dengan
kebijakan kompensatoris untuk meminimalkan resiko yang harus
ditanggung konsumen.24
Selain itu hal tersebut diatas, terdapat prinsip-prinsip pengaturan dibidang
perlindungan
konsumen.
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menyebutkan lima prinsip pengaturan perlindungan konsumen yang dikaitkan
dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum. Sedangkan
dalam konteks hukum perlindungan konsumen juga terdapat prinsip-prinsip yang
berlaku dalam bidang hukum ini. Prinsip-prinsip yang dimaksud bukan hanya
mengatur perlindungan konsumen, karena juga diterapkan dalam banyak area
hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang
dikenal dalam perjanjian sejarah hukum perlindungan konsumen yang termasuk
pada doktrin atau teori tersebut,25 yaitu :
1. Let The Buyer Beware
Doktrin Let The Beware merupakan asal terjadinya sengketa dibidang
transaksi konsumen. Menurut teori ini, pelaku usaha dan konsumen
adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada
proteksi apapun bagi konsumen. Namum dalam perkembangannya
konsumen tidak mendapatkan akses informasi yang mendalam
24
25
Shidarta, Op. Cit., hlm. 60.
Ibid., hlm. 61-64.
terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya sehingga pada
akhirnya menimbulkan ketimpangan antara konsumen dan pelaku
usaha dan apabila konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha
dapat dengan gampang berdalil dan terkesan tidak bertanggung jawab
terhadap barang dan/atau yang diproduksinya dan membebankannya
kepada kelalaian dari konsumen.
Menurut doktrin ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang
wajib berhati-hati adalah pembeli, adalah kesalahan pembeli atau
konsumen jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang
yang tidak layak.
2. The Due Care Theory
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
berhati-hati dalam mempromosikan produk, baik barang maupun jasa.
Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan,
bila
ditinjau
dari
beban
pembuktian,
penggugat
(konsumen)
merupakan pihak yang merasa dirugikan dan sebagai penggugat ia
harus memberikan bukti-bukti yang mendukung gugatannya kepada
pelaku usaha (tergugat) berdasarkan bukti-bukti tersebut pelaku usaha
(tergugat) dapat membela diri.
Berdasarkan
hukum
pembuktian
Indonesia,
beban
pembuktian
dibebankan kepada sipenggugat, Pasal 1865 KUHPerdata secara
tegas mengatakan barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu
hak atau meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain atau
menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut dalam kenyataannya sulit bagi
konsumen
untuk
menghadirkan
bukti-bukti
untuk
memperkuat
gugatannya. Sebaliknya pelaku usaha dengan berbagai keunggulan
relatif lebih mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan.
3. The Privity Of Contract
Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara
mereka telah terjalin suatu hubungan konraktual pelaku usaha tidak
dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Walaupun
secara yuridis dikatakan bahwa hubungan antara pelaku usaha dan
konsumen berkedudukan sama, tetapi kenyataannya konsumen
adalah pihak yang biasanya didikte menurut kemauan pelaku usaha.
Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat
umum yang diperjanjikan adalah hal-hal yang dianggap prinsipil.
Sedangkan kesalahan-kesalahan kecil tersebut, pelaku usaha dapat
berdalih, dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak diatur dalam
perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengatur
bahwa sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming
van dengenen die zich verbiden);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om
een verbintenis aan te gaan);
3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Disamping itu juga dalam Pasal 1338 juga menyebutkan bahwa :
“Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad yang baik.”
4. Kontrak bukan merupakan syarat
Dalam perkembangannya The Privity Of Contract
tidak dapat
dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku
usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk
menetapkan suatu syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa
barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi
konsumen dibidang jasa.
Selain beberapa teori atau doktrin perlindungan konsumen tersebut
terdapat prinsip tentang tanggung jawab yang merupakan hal yang sangat
penting
dalam
hukum
perlindungan
konsumen,26
karena
dalam
kasus
perlindungan konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa pihak
yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab tersebut dapat
dibebankan kepada pihak yang terkait.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan menjadi sebagai berikut :27
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip
yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata
dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365,1366 dan 1367, prinsip ini
sangat dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
26
27
Ibid., hlm. 72.
Ibid., hlm. 73-80.
dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum, jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya. Secara khusus dalam Pasal 1365
Undang-undang ini terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki unsur
melindungi konsumen, yaitu :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian tersebut.”
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan
melawan hukum memiliki empat unsur yaitu :
a. Adanya perbuatan
b. Adanya kesalahan
c. Adanya kerugian
d. Adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan
Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan
dengan hukum pengertian hukum disini tidak hanya bertentangan
dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam
masyarakat.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah, jadi beban
pembuktian ada pada pihak tergugat. Prinsip tersebut diadopsi
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditegaskan dalam
Pasal 18 (1), (2), (3) serta Pasal 19 (1), (2), Pasal 22 dan 23 UndangUndang Perlindungan Konsumen.
Secara khusus dalam Pasal 18 (1), (2), (3) menyebutkan :
“(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditunjukkan
untuk
diperdagangkan
dilarang
membuat
atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau
perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli;
h. Menyatakan bahwa konsumen kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.”
“(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”
“(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.”
Sedangkan dalam Pasal 19 (1) dan (2) menyebutkan :
“(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.”
“(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah
seseorang yang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas
hukum praduga tak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum jika
diterapkan pada kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup
membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat,
posisi konsumen sebagai pengugat selalu terbuka untuk digugat balik
oleh pelaku usaha jika, jika ia gagal menunjukkan kesalahan dari pihak
pelaku usaha.
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua tersebut diatas. Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.
Contoh : Dari prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan, kehilangan
atau kerusakan pada bagasi kabin yang biasa dibawa dan diawasi oleh
penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang
dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak diminta pertanggung
jawabnya.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentifikasikan dengan prinsip
tanggung jawab absolut, ada yang berpendapat bahwa strict liability
adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai
faktor
yang
menentukan,
namun
ada
pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya.
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh
pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam
perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini biasanya dikombinasikan
dengan prinsip-prinsip tanggung jawab yang lainnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan
secara
sepihak
oleh
pelaku
usaha.
Dalam
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak
boleh
secara
sepihak
menentukan
klausula
yang
merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika
ada
pembatasan
mutlak
harus
berdasarkan
pada
peraturan
perundang-undangan yang jelas.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen,
mengamanatkan
adannya
Badan
Penyelesaian
Sengeketa
Konsumen (BPSK), yaitu suatu badan yang bertugas menyelesaikan sengketa
konsumen diluar pengadilan. Prinsip dalam menyelesaikan sengketa di badan ini
mudah, murah, cepat dan sederhana.
Terdapat tiga cara dalam penyelesaian sengketa konsumen tersebut
diantaranya :28
1. Cara Mediasi
a. Pada sidang pertama, majelis mempersilahkan para pihak untuk melakukan
negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi.
28
Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm. 2.
b. Majelis beupaya membantu para pihak untuk memberikan alternatif
penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelasaian
sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan
BPSK yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis
serta panitera.
d. Apabila
tidak
tercapai
kesepakatan
diantara
para
pihak
dalam
penyelesaian sengketa, maka ketua majelis mengeluarkan surat keputusan
yang menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat
terhadap hasil penyelesaian sengketa.
2. Cara Konsiliasi
a. Pada sidang pertama, majelis mempersilakan para pihak untuk melakukan
negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi.
b. Majelis berupaya mengerahkan para pihak untuk mencari menentukan
alternatif penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak.
c. Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak dalam penyelesaian
sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan
BPSK yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis
serta panitera.
d. Apabila
tidak
tercapai
kesepakatan
diantara
para
pihak
dalam
penyelesaian sengketa, maka ketua majelis mengeluarkan surat keputusan
yang menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat
terhadap hasil penyelesaian sengketa.
3. Cara Arbitrase
a. Pada sidang pertama, majelis akan berusaha untuk mendamaikan para
pihak yang bersengketa.
b. Apabila upaya perdamaian tersebut
berhasil,
maka majelis akan
mengeluarkan putusan perdamaian.
c. Putusan perdamaian bersifat final dan mengikat.
d. Apabila upaya perdamaian tidak berhasil, maka majelis akan melanjutkan
persidangan untuk memutuskan sengketa tersebut.
e. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
B. Informasi dan Transaksi Elektronik
Perkembangan teknologi pada saat ini tidak hanya mencakup masalah
informasi saja, akan tetapi juga mencakup masalah-masalah lain khususnya
masalah ekonomi. Dalam masalah ekonomi perkembangan teknologi sangat
berperan dan menimbulkan persaingan usaha antara perusahaan yang satu
dengan yang lainnya. Salah satunya adalah Inter-Network (internet) yaitu suatu
rangkaian komputer yang berhubungan menerusi beberapa rangkaian dan
berhubungan secara global dengan menggunakan TCP/IP sebagai protokol
pertukaran paket (Packet Switching Communication Protocol).29
Penggunaan internet di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat
meskipun belum begitu banyak digunakan untuk tujuan-tujuan komersial dan
bisnis atau transaksi perdagangan. Hal ini semakin meningkat karena didukung
pula dengan peningkatan penggunaan komputer, telekomunikasi dan multimedia.
29
www.wikipedia.com Diakses Pada Tanggal 26 Maret 2009, Jam 09.30 WIB.
Selanjutnya pengertian informasi dan transaksi elektronik dalam Pasal 1
angka (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyebutkan :
“(1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, elekronik data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki ari atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
(2) Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.”
Disamping itu pula ada pengertian mengenai jaringan sistem elektronik dalam
Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyebutkan :
“(7) Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua sistem
elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.”
Serta dalam Pasal 1 ayat (4), (6), (21), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 38 dan Pasal 39
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang menyebutkan :
“(4) Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
“(6) Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem
elektronik oleh penyelenggaraan negara, orang, badan usaha, dan
/atau masyarakat.”
Pasal 1 ayat (21)
“(21) Orang adalah orang perorangan, baik warga negara Indonesia,
warga negara asing, maupun badan hukum.”
Pasal 3
“Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan
berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehatian-hatian, itikad baik
dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”
Pasal 5 ayat (1)
“(1) Informasi elektronik dan dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah.”
Pasal 38 ayat (1)
“(1)
Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan
sistem
elektronik
dan/atau
menggunakan
teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.”
Pasal 39 ayat (1)
“(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.”
Ada beberapa peraturan yang berhubungan erat dengan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik diantaranya30 :
30
Menuju Kepastian Hukum Dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007, hlm. 12-21.
1. Yuridiksi
Pengaturan teknologi informasi yang diterapkan oleh suatu negara
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatannya baik yang berada di
wilayah negara tersebut maupun di luar negara apabila perbuatan tersebut
memiliki akibat di Indonesia. Butuhnya pengaturan yuridiksi ekstra teritorial
dikarenakan suatu tindakan yang merugikan kepentingan orang atau negara
dapat dilakukan di wilayah negara lain. Oleh karena itu, peraturan mengenai
Cyberlaw harus dapat mencakup perbuatan yang dilakukan diluar wilayah
Indonesia tapi merugikan kepentingan orang atau negara dalam wilayah
Indonesia.
2. Asas dan Tujuan
Ada beberapa asas yang harus diperhatikan dalam pembentukan
peraturan teknologi informasi. Asas pertama adalah kepastian hukum dimana
diperlukannya suatu peraturan tertulis agar peraturannya dapat berlaku secara
seragam tanpa adanya perbedaan dalam penerapan hukumnya. Asas kedua
adalah
asas
manfaat,
dimana
teknologi
informasi
digunakan
untuk
mempermudah kehidupan masyarakat. Kemudian asas yang harus diperhatikan
adalah asas kehati-hatian, mengingat bahwa teknologi ini selain dapat membawa
manfaat yang besar, juga dapat menimbulkan kerugian. Teknologi informasi
harus digunakan sebaik-baiknya dengan itikad yang baik. Asas yang terakhir
adalah asas netral teknologi dimana tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai
teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpan
informasinya secara elektronik, sehingga peraturannya dapat mencakup
perkembangan teknologi.
Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah
teknologi amat memudahkan penggunaannya untuk menyebarkan informasi
secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia
secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai
teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless). Oleh karena itu, salah satu
tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik antara lain
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia. Selain itu, dengan sifat borderless teknologinya, maka terbuka
peluang baru secara ekonomi. Perdagangan dan perekonomian nasional dapat
diperluas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi nasional. Teknologi informasi juga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi secara
optimal agar tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu
diberikan
kesempatan
seluas-luasnya
kepada
setiap
orang
untuk
mengembangkan pemikiran dan kemampuannya dibidang teknologi informasi
secara bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi
informasi dunia.
3. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
Dengan meningkatnya aktifitas elektronik, maka alat pembuktian yang
dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen
elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari
dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat dijadikan bukti yang sah
secara hukum. Untuk memudahkan pelaksanaan penggunaan bukti elektronik
(baik dalam bentuk elektronik atau hasil cetak), maka bukti elektronik dapat
disebut sebagai perluasan alat bukti yang sah, sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Namun bukti elektronik tidak dapat digunakan dalam hal-hal
spesifik, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya
perkawinan dan putusnya perkawinan, surat-surat yang menurut undang-undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang berkaitan dengan transaksi
barang tidak bergerak, dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan
juga
dokumen
lainnya
yang
menurut
peraturan
perundang-undang
mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang.
4. Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik
Penentuan waktu kejadian merupakan salah satu pertimbangan penting
secara hukum. Oleh karena itu, dalam pengaturan teknologi informasi,
penentuan masalah waktu pengiriman dan penerimaan harus diatur secara
khusus agar dapat terciptanya kepastian yang berkaitan dengan waktu kejadian.
Hal ini mengingat bahwa suatu informasi yang dikirim belum tentu lansung
dibaca, dilihat atau didengar oleh penerima.
Suatu informasi elektronik dianggap telah dikirim apabila informasi tersebut telah
dikirim ke alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang
digunakan oleh penerima dimana pesan berada diluar kendali pengirim setelah
informasi memasuki sistem tersebut. Sementara suatu informasi dianggap telah
diterima apabila informasi tersebut telah memasuki sistem elektronik dibawah
kendali atau sistem elektronik yang telah ditunjuk oleh penerima yang dituju.
Namun sudah melakukan perjanjian untuk mempermudah komunikasi mereka.
Jika terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman
ataupun penerimaan informasi elektronik, maka :
a. Waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem
informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim.
b. Waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem
informasi terakhir yang berada dibawah kendali penerima.
5. Transaksi Elektronik
Berdasarkan pada kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka
perdagangan pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi
dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan
jarak. Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup
publik ataupun lingkup privat.
Pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa secara elektronik wajib
menyediakan informasi mengenai syarat-syarat kontrak, produsen dan produk
secara lengkap dan benar. Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Oleh karena
itu kontrak elektronik harus juga mengikat para pihak. Dan seperti halnya kontrak
konvensional, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku
bagi transaksi elektronik yang sifatnya internasional. Selain itu para pihak juga
memiliki kewenangan untuk menentukan forum penyelesaian sengketa, baik
melalui pengadilan atau melalui metode penyelesaian sengketa alternatif. Jika
para pihak tidak melakukan pilihan forum dalam kontrak elektronik internasional,
maka prinsip yang digunakan adalah prinsip yang terkandung dalam hukum
perdata internasional.
Sebelum melakukan transaksi elektronik, maka pihak menyepakati sistem
elektronik yang akan digunakan untuk transaksi. Setelah itu, transaksi elektronik
baru terjadi jika adanya penawaran yang dikirimkan kepada penerima dan
adanya persetujuan untuk menerima penawaran setelah penawaran diterima
secara elektronik. Persetujuan harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan
secara elektronik. Dalam melakukan transaksi elektronik, pihak yang terkait
sering kali mempercayakan pihak ketiga sebagai agen elektronik.
Persoalan informasi dan teknologi informasi tidak terlepas dari masalah
hukum telekomunikasi. Dalam hal ini hukum telekomunikasi merupakan bidang
yang cukup luas dan menyangkut berbagai bidang lainnya diluar telekomunikasi,
namun pembahasan hukum telekomunikasi akan berkaitan dengan bidang
hukum lain, misalnya hukum perjanjian (contohnya perjanjian interkoneksi, kerja
sama penyelenggaraan jasa dan sebagainya), berhubungan dengan ruang
angkasa dan juga hukum perdata internasional.
Kemajuan telekomunikasi bagi pengguna jasa telekomunikasi merupakan
hal yang sangat menguntungkan karena kemajuan telekomunikasi merupakan
kemajuan pula bagi bidang usahanya, sedangkan kemajuan telekomunikasi
tersebut
memerlukan
perhatian
khusus
dari
pemerintah.
Kemajuan
telekomunikasi menyebabkan semakin mudah terjadinya hubungan antara pihakpihak tanpa memandang jarak yang memisahkannya. Hal ini tentunya
memerlukan adanya perangkat yang mengatur agar tidak terjadi penyalagunaan
kemudahan itu.
Kemajuan yang terjadi dibidang telekomuniksi memang tidak boleh hanya
terjadi dibidang teknologi saja melainkan juga harus disertai oleh bidang hukum.
Sehingga dalam Undang-Undang Tentang Telekomunikasi tampak pengaruh
perkembangan teknologi, contohnya didalam Undang-Undang Telekomunikasi
yang baru terdapat tambahan sistem “optik” yang tidak terdapat pada UndangUndang sebelumnya. Begitu pula pada objek telekomunikasi ditambah dengan
kata-kata “Segala informasi dalam bentuk apapun” dalam hal ini tampak bahwa
pembuat
undang-undang
ingin
mengantisipasi
perkembangan
teknologi
informasi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan teknologi
telekomunikasi, diantaranya perkembangan Internet yang sangat mempengaruhi
sektor telekomunikasi antara lain dengan digunakannya internet sebagai protokol
untuk penyampaian komunikasi melalui suara yang dikenal dengan istilah voice
over internet protocol (VOIP) yang oleh beberapa penyelenggara telekomunikasi
digunakan sebagai alternatif hubungan telekomunikasi yang lebih murah.31
Telekomunikasi memungkinkan terjadinya hubungan antara suatu pihak
dengan pihak lain, dan dengan terjadinya hubungan ini, akan terjadi pula
hubungan-hubungan diberbagai bidang kehidupan baik yang terjadi antara
individu antar kelompok dan juga antar negara sehingga dibutuhkan hukum yang
mengatur dan menata setiap hubungan yang terjadi.
Oleh karena itu pengaturan bidang telekomunikasi di Indonesia terdiri dari
Undang-undang peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan yang
dikeluarkan oleh direktur jenderal yang menbidangi telekomunikasi dan peraturan
yang akan dikeluarkan oleh badan regulasi telekomunikasi. Disamping itu
terdapat pedoman teknik yang harus dipatuhi oleh operator telekomunikasi
Indonesia yaitu Fundamental Technical Plan (FTP) yang ditetapkan oleh menteri
perhubungan dan cetak biru kebijakan pemerintah dibidang telekomunikasi.32
Dengan demikian, regulasi telekomunikasi di Indonesia33 terdiri dari :
1. Undang-Undang Telekomunikasi
Peraturan dasar dibidang telekomunikasi adalah Undang-Undang Nomor
36 Tentang Telekomunikasi yang diundangkan pada tanggal 8 September 1999
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi.
31
32
33
Ibid., hlm. 21.
Ibid., hlm. 89.
Ibid., hlm. 90-93.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (selanjutnya
disebut Undang-Undang Telekomunikasi) tersebut merupakan peraturan secara
khusus
dan
komprehensif
yang
berkaitan
dengan
Penyelenggaraan
Telekomunikasi di Indonesia.
Dengan
merupakan
hasil
diterbitkannya
peraturan
Undang-Undang
kembali
Telekomunikasi
penyelenggaraan
adalah
telekomunikasi
di
Indonesia, hal ini diperlukan mengingat perubahan gobal dan perkembangan
teknologi komunikasi yang belangsung cepat mendorong terjadinya perubahan
mendasar
dibidang
Telekomunikasi
telekomunikasi
dibentuk
sebagai
oleh
karena
penyesuaian
itu
Undang-Undang
kembali
terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi. Undang-Undang Telekomunikasi yang baru
berbeda dalam beberapa hal dengan Undang-Undang yang lama yaitu dalam hal
penarifan dan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan UndangUndang Telekomunikasi yang lama penarifan strukturnya diatur oleh pemerintah
yaitu mengenai pasang baru, biaya bulanan dan biaya aktifitas dan lainnya,
sedangkan menurut Undang-Undang Telekomunikasi yang baru, pemerintah
hanya menetapkan susunan dan formula tarif sedangkan besarnya ditetapkan
oleh penyelenggaraan telekomunikasi.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,
merupakan peraturan dasar yang menjadi payung bagi Undang-Undang yang
berkaitan dengan telekomunikasi. Undang-Undang Telekomunikasi menjadi
acuan dasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang mengatur secara
umum pedoman dalam melakukan reformasi yaitu karena dalam UndangUndang Telekomunikasi memiliki lima landasan filosofis34 yakni sebagai berikut :
1. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam
upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar
kegiatan
pemerintahan,
mendukung
terciptanya
tujuan
pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar
bangsa.
3. Bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam
penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
4. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam
penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi memerlukan
penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
5. Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi
sehingga perlu diganti.
Asas
penyelenggaraan
telekomunikasi
menurut
Undang-Undang
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata,
kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Selanjutnya, Undang-Undang Telekomunikasi menyebutkan tujuan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi
34
yakni untuk mendukung kesatuan dan
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hlm. 238.
persatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara
adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan
serta
meningkatkan
hubungan
antar
bangsa.
Tujuan
penyelenggaraan
telekomunikasi ini dapat dicapai antara lain melalui reformasi telekomunikasi
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka
menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki
persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan,
serta membuka kesempatan lebih banyak bagi pengusaha kecil dan menengah
dan dalam Undang-Undang Telekomunikasi disebutkan bahwa telekomunikasi
dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri
Peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang
telekomunikasi terdiri dari peraturan pemerintah dan keputusan menteri yang
membawahi telekomunikasi, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Telekomunikasi untuk
mengatur masalah-masalah teknis dan operasional dalam menyelenggarakan
telekomunikasi.
Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana tersebut diantaranya
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang
Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Sedangkan keputusan
menteri yang telah dikeluarkan antara lain adalah Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM 28 Tahun 2004 Tentang Penetapan Rencana Dasar
Teknis Nasional 2000 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29
Tahun 2004 Tentang Perubahan KM.20 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi. Disamping sebagai peraturan pelaksana, Peraturan pemerintah
Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi juga perlu
diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan jasa telekomunikasi,
sehingga dikeluarkan Keputusan Menteri Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Keputusan Menteri tersebut memberikan
pengertian yang dibutuhkan dalam telekomunikasi, penyelenggaraan jasa
telekomunikasi
termasuk
didalammya
pengaturan
penyelenggaraan
jasa
multimedia yang merupakan bagian dalam pengaturan internet, tata cara
perizinan dari tarif pengaturan tersebut juga digunakan oleh perusahaan
penyelenggara operator seluler.
3. Keputusan Dirjen Postel
Keputusan Dirjen Postel dikeluarkan sebagai petunjuk pelaksana dan
keputusan menteri, sebagai contoh adalah keputusan Dirjen Postel (Kep. Dirjen
Postel) Nomor 05/ Dirjen/ 1995 Tentang Penetapan Standar dan Peralatan
Telekomunikasi, Kep. Dirjen Postel Nomor 17/Dirjen/1995 Tentang Petunjuk
Teknis Penyelenggaraan jasa rekaman telepon dan Kep. Dirjen Postel Nomor 01/
Dirjen/2003
Tentang
Telekomunikasi.
Dirjen
Tata
Cara
postel
Pelabean
bersama-sama
Alat
dan
dengan
atau
komite
Perangkat
regulasi
telekomunikasi menjalankan tugas BRTI sebagai sebagai regulator bidang
telekomunikasi. Semua keputusan BRTI dikeluarkan dalam bentuk keputusan
Dirjen postel.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA LAYANAN
OPERATOR JARINGAN INTERNET
A. Hak dan Kewajiban Pengguna Internet
Dalam
kontrak
berlangganan
antara
pengguna
dan
perusahaan
penyelenggara operator seluler dicantumkan yang menjadi hak dan kewajiban
pengguna internet, yaitu:
Hak-Hak Pelanggan :35
1. Mendapatkan informasi mengenai tarif secara transparan dari perusahaan
penyelenggara operator seluler, sekurang-kurangnya melalui brosur,
leaflet, pengumuman, surat kabar atau media massa lainnya.
2. Mendapatkan informasi mengenai spesifikasi teknis, sifat-sifat dan
karakteristik umum yang disediakan perusahaan penyelenggara operator
seluler.
3. Mendapatkan informasi tentang besarnya tagihan.
4. Mengajukan permintaan perubahan atau mutasi jenis (kecepatan)
layanan dengan mengisi formulir yang tersedia.
5. Menerima restitusi pembayaran tagihan, apabila terbukti ada kesalahan
tagihan yang dilakukan oleh pihak perusahaan penyelenggara operator
seluler.
35
KONTRAK BERLANGGANAN SAMBUNGAN TELEKOMUNIKASI “TELKOM Speedy” Antara
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk DENGAN PELANGGAN Nomor : K.TEL 100/HK810/RE3DO162/2007 PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk DIVISI REGIONAL III JAWA BARAT DAN
BANTEN.
Kewajiban Pelanggan :
1. Membayar biaya pemasangan sambungan berlangganan antara lain :
biaya pasang baru, aktivitasi fasilitas atau fitur, mutasi (sesuai jenis
layanan yang diminta pelanggan), informasi tagihan jasa telekomunikasi
dan biaya lainnya, yang besarnya sesuai dengan aturan yang berlaku.
2. Menyediakan instalasi kabel rumah pelanggan atas biaya pelanggan.
3. Membayar biaya jaringan dan biaya atas pemakaian sambungan tepat
pada waktunya sesuai dengan tagihan perusahaan penyelenggara
operator seluler.
4. Membayar biaya denda atas keterlambatan pembayaran tagihan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
5. Memberikan kesempatan kepada perusahaan penyelenggara operator
seluler untuk memeriksa instalasi kabel rumah pelanggan guna
memastikan sambungan telekomunikasi dapat berfungsi dengan baik.
6. Memilihara instalasi kabel rumah pelanggan agar selalu dalam keadaan
baik.
7. Melaporkan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler jika
sambungan mengalami gangguan atau kerusakan.
8. Melaporkan secara tertulis kepada perusahaan penyelenggara operator
seluler atas setiap pemindah tanganan hak, tanggung jawab dan atau
kewajiban pelanggan kepada pihak lain.
9. Memberitahukan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler
secara tertulis apabila bermaksud berhenti berlangganan sementara atau
meneruskan kontrak ini.
10. Memberitahukan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler
secara tertulis apabila pelanggan menginginkan adanya perpindahan
alamat tagihan.
11. Menjaga keamanan password dan data akses pelanggan lainnya dari
pihak yang tidak bertanggung jawab.
12. Memastikan komputer dan modem dalam keadaan mati apabila tidak
digunakan,
sehingga
dapat
meminimasi
kemungkinan
komputer
pelanggan terinfeksi virus dan menghindari timbulnya usage.
13. Mengontrol data download agar bebas dari virus dengan selalu
melakukan updating anti virus diterminal komputer pelanggan sehingga
data download yang tidak wajar dan tidak terkendali bisa terhindar.
B. Tanggung Jawab Penyelenggara Jaringan Sistem Elektronik
Dalam kedudukan Peusahaan penyelenggara operator seluler sebagai
penyedia jasa internet, perusahaan penyelenggara operator seluler juga
mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam pelaksanaan penyediaan jasa internet
sama halnya dengan jasa internet.
Adapun kewajiban yang menjadi tanggung jawab perusahaan
penyelenggara operator seluler adalah :36
1. Memberikan pelayanan yang baik, jujur dan transparan kepada
pelanggan.
2. Memilihara jaringan akses agar tetap dapat berfungsi dengan
baik.
36
Ibid.
3. Memberikan
informasi
sekurang-kurangnya
mengenai
tarif
mengumumkan
dan
melalui
perubahannya
mass
media
sebelum tanggal berlakunya, tanggal perubahannya atau dalam
bentuk brosur atau buku tarif.
4. Mengirimkan informasi tagihan jasa telekomunikasi ke alamat
tagihan pelanggan.
5. Menyediakan
informasi tagihan
jasa
telekomunikasi
yang
sewaktu-waktu dapat diakses oleh pelanggan.
6. Perusahaan penyelenggara operator seluler tidak menjamin
kualitas
layanan
apabila
pelanggan
menggunakan
satu
sambungan layanan untuk lebih dari empat terminal.
Sementara itu, hak-hak perusahaan penyelenggara operator seluler
Sebagai Penyedia Jasa Internet adalah :
1. Mengadakan perubahan jaringan akses dan atau perubahan
nomor, apabila dilakukan dengan mengharuskan dilakukan
perubahan tersebut dengan didahului pemberitahuan oleh
perusahaan penyelenggara operator seluler sekurang-kurangnya
2x24 jam.
2. Menerima pembayaran secara tepat waktu dari pelanggan
sesuai dengan tagihan.
3. Menolak permintaan ganti nomor yang diajukan pelanggan
apabila secara teknis dan administrasi tidak memungkinkan.
4. Memeriksa instalasi pelanggan dapat berfungsi dengan baik.
5. Mengenakan sanksi kepada pelanggan sesuai dengan aturan
yang berlaku.
Adapun dasar regulasi dan tarif pada internet sebagai berikut :
1. Dasar Regulasi Internet
Kemajuan telekomunikasi tentunya memerlukan perhatian pula dari setiap
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pengguna jasa
telekomunikasi. Kemajuan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena
kemajuan telekomunikasi yang pesat berarti kemajuan pula bagi bidang
uasahanya. Bagi pemerintah kemajuan telekomunikasi memerlukan perhatian
yang lebih khusus pula, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
adalah merampung segala perkembangan yang ada dan yang akan ada dan
menuangkannya dalam Undang-Undang Telekomunikasi.
Sebagai contoh dalam Undang-Undang Tentang Telekomunikasi tampak
pengaruh perkembangan teknologi yaitu terdapat tambahan sistem “Optik” yang
tidak terdapat pada undang-undang sebelumnya, begitu pula dengan objek
telekomunikasi ditambah dengan kata-kata “Segala informasi dalam bentuk
apapun”. Dalam hal ini tampak bahwa regulator ingin mengantisipasi
perkembangan teknologi informasi yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan teknologi telekomunikasi, diantaranya perkembangan
internet yang sangat mempengaruhi sektor telekomunikasi antara lain dengan
menggunakan internet sebagai protocol untuk penyampaian komunikasi melalui
suara yang dikenal dengan istilah Voice Over Internet Protocol (VOIP) yang oleh
beberapa penyelenggara telekomunikasi digunakan sebagai alternatif hubungan
telekomunikasi yang lebih murah.
Fungsi regulator telekomunikasi selama ini dijalankan oleh Departemen
Perhubungan dibawah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang
merupakan bagian dari pemerintah Indonesia, badan tersebut memiliki tanggung
jawab dalam mengatur telekomunikasi dan menuangkannya dalam bentuk
Undang-Undang, peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah tertulis maupun tidak
tertulis baik yang lingkup berlakunya mencakup suatu negara maupun tidak
tertulis secara bilateral maupun secara internasional meliputi beberapa negara.
Berdasarkan hal tersebut, dalam pengaturan, perusahaan operator tetap
memerlukan Undang-Undang Telekomunikasi sebagai dasar hukum dan
dituangkan dalam pengaturan pemerintah sebagai pelaksana dari UndangUndang. Adapun dasar regulasi internet didasarkan pada Undang-Undang
Nomor Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi merupakan Undang-Undang
Pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi.
Sementara itu, perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya
perubahan mendasar atau melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru dan
perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk
hasil penyatuan dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang
perlu mengadakan peraturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Selain hal tersebut penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi
ditingkat nasional merupakan hal yang cukup penting, mengingat meningkatnya
kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi atau
penguasaan teknologi telekomunikasi dan keunggulan kompetitif dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan teknologi telekomunikasi ditingkat internasional yang diikuti
dengan
peningkatan
penggunaannya
sebagai
salah
satu
komoditas
perdagangan yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya
berbagai kesepakatan multilateral.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dibutuhkan peran pemerintah yang
dititikberatkan pada pembinaan dan pengendalian dengan mengikutsertakan
peran masyarakat yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Oleh karena itu hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit, termasuk penyelenggaraan telekomunikasi, merupakan sumber
daya alam terbatas yang dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah kebijakan pembangunan nasional dan
internasional, terutama dibidang teknologi komunikasi, norma hukum bagi
pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi dianggap sudah tidak
sesuai sehingga perlu diganti dan diperbarui dengan Undang-Undang yang
diharapkan
dapat
menampung
segala
hal
yang
dibutuhkan
dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sehingga bidang telekomunikasi dapat dibina
dan diselenggarakan sesuai dengan perkembangan yang terjadi sehingga
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
2. Dasar Pengaturan Tarif
Dalam Undang-Undang Telekomunikasi tarif diatur dalam Pasal 27 dan
Pasal 28, disebutkan susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi
struktur dan jenis tarif yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan struktur dan
jenis tersebut, penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi dapat
menetapkan besaran tarif. Struktur tarif terdiri dari biaya pasang baru, biaya
berlangganan bulanan, biaya penggunaan dan biaya jasa tambahan. Sedangkan
jenis tarif terdiri dari pulsa lokal, tarif pulsa, sambungan langsung jarak jauh
(SLJJ), tarif pulsa sambungan langsung internasional (SLI) dan air time untuk
jasa sambungan telepon bergerak. Undang-Undang Telekomunikasi sebagai
Undang-Undang yang pertama mengatur telekomunikasi belum menjelaskan dan
mengatur tarif jasa multimedia yang merupakan bagian dari internet.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Pengguna Internet
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola
hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula
menyebabkan dunia menjadi tidak tanpa batas (borderless) dan menyebabkan
perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara
signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi
pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi penegakan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana
efektif perbuatan melawan hukum. Kenyataan saat ini hal yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui
sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh
teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan
dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang
lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun. Salah satu kasus yang terjadi
adalah37 mengenai kesalahan billing (penagihan) pada Telkom Speedy, dimana
kasus tersebut berawal pada akhir Tahun 2006 PT. TELKOM melalui Telkom
Speedy sebagai penyedia jasa layanan internet (Internet Service Provider/ ISP),
diduga
melakukan
pelanggaran
terhadap
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen. Telkom Speedy menggunakan koneksi internet dengan perangkat
Asymmetric Digital Subscriber Line (ADSL), yaitu teknologi untuk mentransfer
data digital pada bandwidth yang sangat tinggi pada jalur telepon biasa.
37
www.detik.com Op. Cit., Diakses Pada Tanggal 22 Februari 2009, Jam 11.30 WIB.
Perangkat ADSL Telkom ini diketahui belum mendapat sertifikasi dari ditjen
postel sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan ini merugikan konsumen,
karena tidak adanya jaminan kualitas layanan dan perangkat. Hal ini
menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan sistem tagihan (billing) pada
Telkom Speedy yang merugikan penggunanya. Kekacauan sistem billing Telkom
Speedy mengakibatkan pembengkakan tagihan pengguna, komplikasi masalah
otentikasi, pengguna juga mendapat tagihan terhadap akses tidak sah yang
sebenarnya tidak dilakukannya.
Penghitungan sistem billing Telkom Speedy ini sebenarnya mengacu
pada hitungan dua pihak, yaitu Telkom itu sendiri dan Plasa.com sebagai pihak
kedua, akan tetapi terdapat perbedaan hitungan diantara kedua pihak ini dan
pihak Telkomlah yang melakukan kesalahan, sedangkan Plasa.com melakukan
penghitungan secara benar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kesalahan
penghitungan billing ini terjadi pada pengguna yang memilih paket berlangganan
Speedy berdasarkan sistem volume based, yaitu besar kecilnya tagihan
ditentukan oleh jumlah pemakaian internet perbyte. Terdapat dua jenis paket
dalam sistem volume based ini yaitu paket 500 MB (Megabyte) dan 1000 MB.
Dalam kasus ini banyak pengguna Speedy yang melaporkan bahwa jumlah
tagihan yang harus dibayar kepada Telkom tidak sesuai dengan apa yang telah
mereka gunakan.
Seorang pengguna Telkom Speedy yang bernama Andi, melaporkan
bahwa bulan Desember lalu jumlah pemakaian internet sebesar 1418 MB,
padahal kuota yang dimilikinya hanya sebesar 500 MB. Untuk itu dia diharuskan
membayar tagihan yang tidak seharusnya. Setelah dia memeriksa di Plasa.com,
ternyata terdapat perbedaan angka hitungan pemakaian per-byte antara Telkom
dan Plasa.com. Misalnya pemakaian yang tercatat adalah 600 Kilobyte (0,6
Megabyte), karena sistem penghitungan billing Telkom tidak mampu menampung
jumlah digit tersebut, maka data pemakaian dibulatkan menjadi 1 digit, yaitu 1
Megabyte. Jika setiap 1 MB pengguan dikenakan Rp. 1300 maka pembulatan
yang dilakukan terus-menerus ini tentunya akan membengkakan tagihan akhir.
Sedangkan penghitungan billing pada plasa.com dilakukan secara real time,
tidak ditambah dan tidak dikurangi. Menurut catatan Plasa.com dan sofware
usage meter yang terdapat pada komputer milik Andi, pemakaian internet yang
dilakukan oleh Andi hanya sebesar 472 MB sementara selama ini yang
ditagihkan kepada Andi maupun pengguna lainnya adalah tagihan yang
dibulatkan, hal inilah yang menimbulkan kerancuan. Pada waktu pihak Telkom
pun mengklaim bahwa penghitungan billing yang benar adalah penghitungan
yang dilakukan oleh Telkom dan tidak mengakui penghitungan billing yang
dilakukan menurut pihak Plasa.com dan sofware pencatat pemakaian internet
yang dimiliki oleh setiap pengguna Telkom Speedy pada masing-masing
komputernya.
Selain itu kelemahan billing Telkom Speedy, tidak mempunyai rincian
detail transaksi terpisah untuk layanan Internet. Billing Telkom Speedy digabung
dengan tagihan Jastel lain atau dengan tagihan telepon. Hal ini menyebabkan
kerancuan sering terjadi, pengguna sulit melacak komponen biaya yang
tercantum sehingga khawatir akan adanya manipulasi komponen biaya
tersembunyi.
Hal inilah yang menyebabkan pengguna Telkom Speedy merasa
dirugikan dan tertipu oleh pihak Telkom. Telkom Speedy seharusnya transparan
dalm sistem penagihan billing yang dilakukannya. Pengguna Telkom Speedy
menganggap bahwa Telkom telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tepatnya Pasal 7 butir b yang
menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pihak Telkom
pun belum memberikan klarifikasi atas kejadian tersebut.
PT.
Telekomunikasi
Indonesia
Tbk,
merupakan
perusahaan
penyelenggaraan informasi dan telekomunikasi (Information and Communication)
serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap yang terbesar di
Indonesia.
38
Telkom menyediakan jasa telepon tidak bergerak kabel (Fixed Wire
line), (cellular), data dengan internet dan network dengan interkoneksi baik
secara langsung maupun melalui perusahaan asosiasi.
Keberadaan Telkom sebagai operator terbesar merupakan suatu hal yang
sesuai
dengan
visi
Telkom
untuk
menjadi
perusahaan
informasi
dan
telekomunikasi (Information and Telecommunication) yang terkemuka di
kawasan regional untuk tetap mempertahankan predikat tersebut, Telkom
melakukan berbagai upaya untuk tetap unggul dan memimpin pada seluruh
produk dan layanan dibidang informasi dan telekomunikasi.
Salah satu bidang telekomunikasi yang sedang berkembang dan
dibutuhkan oleh masyarakat yaitu kebutuhan akan sarana informasi yang cepat,
murah dan praktis, salah satunya adalah layanan internet. Seperti yang diketahui
Indonesia membutuhkan sedikitnya 25 juta unit komputer guna meningkatkan
penetrasi internet yang hingga akhir Tahun 2006 diperkirakan mencapai 20 juta
38
www.wikipedia.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2009, Jam 09.30 WIB.
pengguna.39 Melihat hal tersebut sebagai perusahaan terbesar yang bergerak
dalam bidang informasi dan telekomunikasi, Telkom mengeluarkan layanan
Speedy yang diharapkan dapat mengatasi kebutuhan akan bidang internet.
Speedy adalah produk layanan internet (Internet Service) berkecepatan
tinggi dari PT. Telkom, berbasis Asymetric Digital Subsecriber Line (ADSL)40
yang memungkinkan terjadinya komunikasi data, voice dan video secara
bersamaan, pada media jaringan akses kabel tembaga (Line telepon). Speedy
memberikan koneksi ke internet yang lebih cepat dibandingkan menggunakan
layanan Dial Up biasa koneksi Speedy memiliki kecepatan mengunduh (Down
Stream) hingga maksimal 384 kbps dan kecepatan mengunggah (Up Stream)
mencapai maksimal 64 kbps.
Untuk mengakses Speedy pengguna harus mempergunakan modern
ADS (layanan ADSL merupakan penyebab utama perbedaan kecepatan transfer
data antara modern ADSL dengan modern konvensial (yang bekerja pada
frekuensi dibawah 4 KHz). Keuntungan ADSL adalah pengguna internet dapat
tersambung dengan internet dan tetap dapat menggunakan telepon, menerima
dan menelpon, kecepatan yang lebih tinggi dari modem biasa, tidak memerlukan
kabel baru dan memungkinkan menggunakan kabel telepon yang ada
memberikan kemampuan akses internet berkecepatan tinggi dan suara atau fax.
Disisi lain ADSL juga memiliki sisi negatif yang dapat menyebabkan
kerugian bagi penggunanya. Kerugian tersebut antara lain adalah sambungan
ADSL akan bekerja dengan sempurna jika lokasi penggunaan lebih dekat
39
Bisnis Indonesia, 29 November 2007, hlm. 2.
ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line) adalah suatu teknologi modem yang bekerja
pada frekuensi antara 34 KHz sampai 1104 KHz, inilah penyebab utama perbedaan kecepatan
transfer data antara modem ADSL dengan modem konvensional (yang bekerja pada frekuensi
bawah 4 KHz). Keuntungan ADSL adalah memberikan kemampuan akses internet berkecepatan
tinggi dan suara atau fax secara simultan (disisi pelanggan dengan menggunakan splitter untuk
memisahkan saluran telepon dan saluran modem).
40
dengan sentral telepon, sambungan ADSL lebih cepat menerima data daripada
mengirim data melalui internet, kabel tembaga tua dapat menurunkan kualitas
sambungan dan menurunkan kecepatan dan jasa ADSL tidak terdapat di wilayah
yang tidak memiliki kabel telepon.
Koneksi internet dapat dilakukan setiap saat dimana setiap hubungan sifatnya
sementara (Dedicated Conection) koneksi memiliki sifat yang tahan uji (Lighly
Reliability) dan aman (Highly Secure) tidak seperti modem kabel, ADSL
memberikan jaringannya hanya melalui kabel ke internet sehingga tidak semua
jaringan telepon dapat digunakan untuk layanan Speedy, untuk dapat melakukan
koneksi41 ADSL diperlukan kualitas jaringan telepon yang cukup baik serta alat
digital multiplekser sehingga Telkom terdekat dapat melayani jaringan telepon
yang ingin dikoneksikan dengan Speedy untuk melakukan koneksi internet,
modem ADSL melakukan 2 tahap koneksi, yaitu koneksi ADSL dari modem ke
digital multiplekser di sistem operasi terdekat dan koneksi internet ke Broad
Band Remote Acces Server (BBRAS), untuk menyesuaikan nama pengguna dan
password pelanggan.
Dalam hal
keamanan, karena kecepatannya Speedy seringkali
merupakan “Jembatan yang tidak aman” bagi komputer dan menyebabkan
rentan terhadap sensor, serangan maya. Untuk itu pengguna Speedy dan
koneksi internet pada umumnya seharusnya menginstal firewall dan anti virus
yang mampu untuk meminimalisasikan serangan-serangan maya dari virus yang
dapat menghambat proses dalam penggunaan layanan internet Speedy.
41
www.wikipedia.com Op. Cit., Diakses Pada Tanggal 23 Februari 2009, Jam 10.45 WIB.
Undang-Undang Telekomunikasi menyebutkan bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi meliputi :
a). Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
b). Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
c). Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
Adapun internet merupakan penyelenggaraan telekomunikasi yang berhubungan
dengan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, sehingga
pengaturan internet termasuk pengaturan akan internet Telkom Speedy juga
harus
merujuk
kepada
Undang-Undang
Telekomunikasi
sebagai
dasar
pengaturannya.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi diwajibkan untuk : Pertama,
menyediakan fasilitas telekomunikasi yang menjamin adanya kualitas pelayanan
jasa telekomunikasi yang baik. Kedua, penyelenggara jasa telekomunikasi di
tuntut untuk tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada
pengguna jasa telekomunikasi. Ketiga, penyelenggara jasa telekomunikasi
diwajibkan untuk melakukan pencatatan atau perekam pemakaian jasa
telekomunikasi serta wajib menyimpan catatan atau rekaman dimaksud
sekurang-kurangnya selama tiga bulan, sehingga pengguna jasa telekomunikasi
dapat membayar sesuai dengan jasa telekomunikasi yang digunakan.
Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan
untuk keperluan sendiri, pertahanan serta keamanan negara dan penyiaran
penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan jika keperluannya
tidak dapat dipenuhi oleh jaringan dan jasa telekomunikasi, lokasi kegiatannya
belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
serta kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi tersendiri dan terpisah.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus dibatasi untuk tidak melakukan
penyelenggaraan
telekomunikasi
diluar
peruntukkannya,
disambungkan
kejaringan telekomunikasi lainnya dan memungut biaya dalam bentuk apapun
atas pengeoperasiannya.
Penyelenggaraan telekomunikasi diwajibkan untuk memberikan ganti rugi
terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya yang menimbulkan
kerugian langsung kepada pengguna jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Sebaliknya, penyelenggaraan jaringan telekomunikasinya karena ada kegiatan
atau permintaan dari instansi atau departemen atau lembaga atau pihak lain.
Perkembangan teknologi telekomunikasi menuntut dan mempengaruhi
perkembangan dibidang teknologi sehingga tarif jasa multimedia yang semula
belum diatur dalam Undang-Undang Telekomunikasi, kemudian dicantumkan
pada PP Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang
tercantum pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 37. Peraturan pemerintah
tersebut menjelaskan bahwa jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi
yang disalurkan melalui jaringan tetap dan bergerak salah satunya adalah tarif
jasa multimedia yang mencakup internet didalamnya. Sedangkan struktur tarif
penyelenggaraan jasa telekomunikasi tidak mendapat perubahan, sama seperti
struktur tarif yang terdapat pada Undang-Undang Telekomunikasi.
Namun, secara lebih khusus pengaturan tarif penyelenggaraan jasa
telekomunikasi, khususnya jasa multimedia dituangkan dalam Keputusan Menteri
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi yang
tercantum dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Pada Pasal 77 disebutkan
jenis tarif jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan tetap terdiri atas
jenis tarif jasa telepon dasar sambungan lokal, sambungan langsung jarak jauh
(SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI), tarif jasa nilai tambah telepon
dan jenis tarif jasa multimedia. Sedangkan tarif jasa telekomunikasi yang
disalurkan melalui jaringan bergerak terdiri atas tarif air time, tarif jelajah dan tarif
jasa multimedia. Sedangkan struktur tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi
terdiri atas biaya aktifasi, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan dan
biaya fasilitas tambahan. Besaran tarif jasa multimedia ditetapkan oleh
penyelenggara jasa multimedia dan besaran tarifnya tersebut ditetapkan
berdasarkan biaya dengan perhitungan yang transparan, apabila terjadi
perubahan besaran tarif maka terlebih dahulu harus melaporkan rencana
penetapan atau perubahan besar tarif laporan tersebut harus dilengkapi dengan
cara perhitungan dan data pendukung yang digunakan dalam menetapkan
perubahan besar tarif.
Speedy dalam peraturan tarifnya mengacu kepada ketiga peraturan
diatas. Namun dalam pelaksanaannya, Speedy memerlukan peraturan yang
dikeluarkan oleh Telkom yang mengatur Speedy didalam praktiknya dengan para
pelanggan Speedy. Dalam standar pelayanan Speedy dengan ketentuan yang
berlaku, sebagai bagian dari strategi pemasaran kebijakan harga (Pricing) harus
melalui direktorat konsumen yang terlebih dahulu sudah berkoordinasi dengan
product owner (Unit bisnis telkom yang bertanggung jawab atas pengelolaan
produk Speedy) dengan mempertimbangkan Cost of Goods Sold (COGS)
Speedy, tingkat penetrasi yang ditargetkan dan segmen yang dituju. Penetapan
harga harus menghindari terjadinya pemberatan terhadap pelanggan Speedy.
Sedangkan proses pencatatan pemakaian (usage)42 internet, dilakukan
ketika pelanggan log in atau menyalakan modern billing sytsem akan mencatat
user id yang digunakan dan mencatat waktu start session, dan ketika log out,
atau mematikan modem billing system akan mencatat waktu stop session dan
jumlah usage (download and upload) billing system akan mengirimkan data
lengkap session pelanggan ke database. Setelah satu bulan, seluruh pemakaian
pelanggan akan dikumulasikan untuk diproses dan dicatat dalam tagihan yang
harus dibayar oleh pelanggan setiap bulannya.
Billing System (Sistem tagihan)43 Internet Speedy dilakukan dengan cara:
a. Proses Collection dan Cleansing Data Radius
Proses collection merupakan proses pengumpulan jumlah pemakaian
setiap bulannya, sedangkan proses cleansing data radius merupakan
proses penyaringan data yang telah dikumpulkan dari proses
collection dan dipisahkan antara data yang dapat dikenakan biaya
dan yang tidak. Kriteria data yang dapat dikenakan biaya yaitu
volume atau durasi tidak nol, tidak overlap antar session selama lima
menit, dan tidak double session. Setelah proses tersebut, data yang
telah diperoleh dikirim kepada data base telkom untuk dikonversikan.
b. Proses Rating dan Charging
Proses rating dan charging dilakukan dengan perhitungan yaitu
bahwa pemakaian bulanan adalah jumlah kumutatif usage per
session untuk periode satu bulan tagihan dan konversi kesatuan
42
Usage adalah jumlah mybte yang digunakan ketika melakukan akses internet baik itu
download (aktifasi akses internet) untuk memindahkan data atau file atau aplikasi yang ditransfer
oleh mesin setelah pengguna internet melakukan permintaan terhadap data atau file di halaman
website) dan upload (aktifasi pengguna internet ketika melakukan permintaan terhadap suatu
data atau file atau aplikasi di suatu halaman website).
43
www.Wikipedia.com, Op. Cit.
mybte. Kuota pemakaian adalah jumlah pemakaian bulanan yang
diberikan kepada pelanggan sesuai dengan jenis layanan yang
digunakan.
Kelebihan
pakai
(excess
usage)
adalah
jumlah
pemakaian bulanan dikurangi dengan jumlah kuota pemakaian
dengan satuan mybte. Tagihan atas pemakaian bulanan terdiri atas
biaya berlangganan sesuai jenis layanan, biaya kelebihan pakai,
biaya fitur dan data tersebut dicatat didalam tagihan pelanggan dan
jumlah tersebut merupakan biaya pemakaian pelanggan setiap
bulannya.
Proses
pembayaran
mekanisme
tagihan
pembayaran
layanan
yang
sama
Speedy
dengan
menggunakan
mekanisme
pembayaran layanan POTS yaitu pembayaran tagihan telepon yang
dilakukan oleh Telkom, sebelum melakukan pembayaran telkom
menyediakan informasi tagihan dan informasi detail pemakaian
layanan Speedy yang dapat diakses oleh pelanggan melalui layanan
log dan melalui website sehingga mempermudah pelanggan dalam
melakukan pembayaran tagihan Speedy.
BAB IV
ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN
PENGGUNA INTERNET
A. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Internet dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Berdasarkan pada ruang lingkup pembahasan hukum dari UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik, aspek hukum Perlindungan
Konsumen merupakan fokus perhatian yang sangat penting dalam melihat
sejauh mana efektivitas perkembangan dan penerapan teknologi tersebut
ditengah masyarakat, selain itu, bidang telekomunikasi yang sangat luas dan
teknologi yang berkembang dengan sangat pesat sehingga menyebabkan
perhatian terhadap perlindungan konsumen semakin dibutuhkan.
1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah menjadikan
masalah perlindungan konsumen sebagai hal yang penting, artinya kehadiran
undang-undang tersebut tidak saja memberikan posisi tawar yang kuat pada
konsumen untuk menegakkan hak-haknya, baik bagi semua pihak, karena selain
untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Perlindungan tidak dimaksudkan
untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, karena perlindungan
konsumen akan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan
barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Sama halnya dalam bidang telekomunikasi yang semakin berkembang
dan diminati oleh masyarakat, seluruh pelaku usaha dibidang telekomunikasi
berlomba-berlomba
untuk
menawarkan
produk
yang
bersaing
untuk
mendapatkan pelanggan yang lebih banyak. Telkom sebagai salah satu
perusahaan penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia
juga bersaing dengan perusahaan telekomunikasi lain untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam bidang telekomunikasi. Dalam hal ini, dibutuhkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hak-haknya tetapi
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak membunuh pelaku
usaha telekomunikasi, dan bahkan semakin memacu para pelaku usaha untuk
bersaing dengan sehat dengan tetap memperhatikan kepentingan konsumen.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masayarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makluk hidup lainnya
dan tidak untuk diperdagangkan, sedangkan yang dimaksud dengan pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi dan yang
dimaksud dengan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Berdasarkan pada kaitannya dengan internet Telkom Speedy, yang
dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna jasa layanan internet
Telkom
Speedy,
sedangkan
PT.Telkom
sebagai
pelaku
usaha
yang
menyediakan layanan jasa internet dan jasa yang diberikan oleh PT.Telkom
adalah layanan jaringan dan jasa telekomunikasi internet yang dapat dinikmati
oleh masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menguraikan hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang diuraikan dalam Pasal 4 sampai
Pasal 7. Pasal tersebut juga digunakan oleh Telkom untuk dijadikan acuan dalam
menentukan hak dan kewajiban bagi pengguna Speedy, Seperti yang diuraikan
sebelumnya hak pengguna Speedy yang tercantum dalam kontrak berlangganan
sambungan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan
sebenar-benarnya mengenai layanan Speedy seperti yang diatur dalam Pasal 4
bagian (3) yang menyebutkan bahwa konsumen berhak mendaptkan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
dalam hal ini informasi mengenai layanan Speedy termasuk tarif pembayaran.
Kewajiban konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah mengatur agar konsumen dapat memahami dan memenuhi kewajiban
berupa pembayaran sesuai dengan jumlah jasa yang digunakan oleh konsumen.
Namun, Telkom mengembangkan kewajiban konsumen pengguna Speedy tidak
hanya kewajiban dalam pembayaran, tetapi juga kewajiban dalam menjaga dan
memberikan informasi yang dapat mempengaruhi kinerja dari layanan Speedy
tersebut.44 Misalnya dalam memberikan informasi pemindahan hak atau
tanggung jawab kepada pelanggan lain, memberikan informasi apabila
pelanggan ingin berhenti berlangganan, tarif biaya yang jelas dan terperinci,
menjaga komputer agar bebas dari virus dan sebagainya, dimana informasi
tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja layanan Speedy.
44
11.30 WIB.
www.telkomnetspeedytara.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 20 Mei 2009, Jam
Sama halnya dengan hak dan kewajiban bagi konsumen, UndangUndang Perlindungan Konsumen juga mengatur hal-hal yang menjadi hak dan
kewajiban bagi pelaku usaha. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah melakukan
kegiatan usahanya dengan itikad baik, memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur menjamin mutu dari barang dan/atau jasa, memberikan kompensasi
atau ganti rugi, melayani konsumen dengan baik tanpa membedakan atau
diskriminatif, hal tersebut juga berlaku bagi Telkom sebagai pelaku usaha yang
membawahi Speedy, sedangkan dalam pengaturan haknya sebagai pelaku
usaha, tetap mengacu kepada hak pelaku usaha dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, namun Telkom mengembangkan hak tersebut kedalam
hal-hal yang dapat terjadi secara teknis yang perlu dilakukan tanpa mengurangi
dan menghargai hak-hak para pelanggan Speedy.
Hal-hal lain yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
secara umum, misalnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tanggung
jawab pelaku usaha, sanksi dan sebagainya, tetap digunakan oleh Telkom
sebagai acuan dalam pelaksanaannya tetapi dengan berbagai penyesuaian
sehingga sesuai dengan kebutuhan Telkom sebagai penyedia jasa dan jaringan
internet, dengan tetap mengutamakan kepentingan pengguna internet Telkom
Speedy. Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan konsumen
dalam aspek hukum perdata, diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal
1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van
dengenen die zich verbiden);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een
verbintenis aan te gaan);
3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata mengatur syarat-syarat untuk
menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang mengatakan
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat
“Kesepakatan” perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku
usaha dengan konsumen yang cenderung tidak seimbang. Banyak konsumen
ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan
menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap
untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karena itu maka ia bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat
sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1320 KHUPerdata tersebut tidak
dipenuhi
maka
berakibat
batalnya
perikatan
yang
ada
atau
bahkan
mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut.
Pengguna Telkom Speedy yang merasa dirugikan dapat menggugat PT.
Telkom sebagai penyedia jasa layanan internet berdasarkan perbuatan melawan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang isinya :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Dengan membuktikan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata
tersebut, yaitu :
1. Adanya perbuatan
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
3. Adanya kesalahan
4. Adanya kerugian
5. Adanya hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian
Yang dimaksud sebagai perbuatan dalam hal ini adalah baik berbuat
sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif),
misalnya tidak berbuat sesuatu, pada hal mempunyai kewajiban hukum untuk
membuatnya, kewajiban mana yang timbul dari hukum yang berlaku.
Selanjutnya yang dimaksudkan dengan melawan hukum diartikan seluasluasnya meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
Kesalahan merupakan unsur yang paling penting dalam perbuatan
melawan hukum karena dengan terbuktinya kesalahan membuktikan terjadinya
perbuatan melawan hukum. Suatu kesalahan apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya unsur kesengajaan, atau;
2. Adanya unsur kelalaian, dan;
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Kerugian dapat bersifat materiil (harta kekayaan) dan dapat pula bersifat
immateriil. Dengan demikian kerugian harus diambil dalam arti yang luas, tidak
hanya mengenai kekayaan harta benda seseorang, melainkan juga mengenai
kepentingan-kepentingan lain dari seorang manusia, yaitu tubuh, jiwa dan
kehormatan seseorang.
Dalam terjadinya perbuatan melawan hukum harus terdapat hubungan
kausal antara perbuatan dengan kerugian. Ada dua macam teori mengenai
hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu :
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat
dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada.
2. Teori Adequate Veroorzaking
Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dilakukan
sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan
terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.
Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang dapat dilakukan oleh
pengguna Telkom Speedy kepada PT. Telkom yang didasarkan pada Pasal
1365 KUHPerdata, yaitu :
1. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang;
2. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam
keadaan semula;
3. Pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum;
4. larangan dilakukannya perbuatan tertentu;
5. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;
6. Pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki.
Pengguna Telkom Speedy juga dapat menggugat berdasarkan Pasal
1366 KUHPerdata, karena PT. Telkom telah lalai atau kurang berhati-hati dalam
memperdagangkan jasanya sehingga menyebabkan penggunanya mengalami
kerugian. Penyedia jasa layanan internet yang dalam hal ini yaitu PT. Telkom
dapat digugat karena melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata.
Antara pengguna jasa internet Telkom Speedy dengan penyedia jasa
layanan internet yang dilakukan PT. Telkom juga terdapat hubungan hukum yang
didasarkan pada hukum perlindungan konsumen, karena penyediaan jasa
layanan internet yang dilakukan termasuk kategori yang dilakukan termasuk
kategori yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana perumusan pelaku usaha
menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
penguasa jasa layanan internet
termasuk kategori konsumen menurut
perumusan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang dijamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan terhadap pengguna Telkom Speedy menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah sama dengan perlindungan terhadap konsumen
lainnya.
Hak dari pengguna Telkom Speedy sebagai konsumen berdasarkan
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan ynag
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas baang dan/ atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban penyedia jasa layanan internet yang dilakukan PT. Telkom
sebagai pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Penyedia jasa layanan internet juga dilarang memperdagangkan jasa
yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan jasa tersebut. Sebagai contoh yang dirasakan
konsumen pengguna jasa layanan internet Telkom Speedy adalah pelaku usaha
yang dalam hal ini adalah PT. Telkom selalu menggunakan ketentuan layanan
yang berbentuk klausula baku untuk menjawab semua keluhan konsumen.
Dengan
melihat
kenyataan
bahwa
kedudukan
konsumen
pada
prakteknya jauh dibawah pelaku usaha, maka Undang-Undang Perlindungan
merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau
pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat
oleh pelaku usaha. Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
merumuskan klausula baku sebagai :
“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Larangan-larangan mengenai pencantuman klausula baku bagi pelaku
usaha tercantum di dalam Pasal 18 angka (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Selanjutnya pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau
yang pengungkapannya sulit dimengerti, hal ini sesuai yang tercantum dalam
Pasal
18
ayat
(2)
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen.
Sebagai
konsekuensi atas pelanggaran, setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang
dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun perjanjian baku atau klausula baku, dinyatakan batal demi hukum
sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Atas kebatalan demi hukum dari klausula baku sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini. Maka dari itu apabila kasus mengenai klausula baku dimajukan ke
sidang pengadilan, pada sidang pertama hakim harus menyatakan bahwa
perjanjian atau klausula itu batal demi hukum.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jika pengguna jasa Telkom
Speedy dirugikan akibat menggunakan jasa yang diperdagangkan oleh PT.
Telkom, konsumen dapat meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya
tersebut.
Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan yang tercantumm
dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi dan pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
Dengan demikian jika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan
tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka
pelaku usaha tersebut dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) yang merupakan sebuah badan yang bertugas menangani
dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen atau diajukan
ke badan pengadilan ditempat kedudukan konsumen. Berikut ini merupakan
tugas dan wewenang BPSK dalam penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen :
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila pelanggaran ketentuan dalam
undang-udang ini;
5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindugan konsumen;
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindugan konsumen;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesian sengketa konsumen;
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Menurut ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
pihak yang berhak mengajukan sengketa konsumen kepada pelaku usaha diluar
pengadilan adalah konsumen sendiri sebagai pihak yang mengalami kerugian
atau melalui kuasanya. Penyelesaian sengketa yang dimaksudkan tersebut tidak
menutup kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai.
Bentuk penyelesaian sengketa melalui BPSK ini merupakan suatu proses
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sebenarnya mempunyai putusan
yang bersifat final dan mengikat. Tetapi apabila para pihak tidak setuju atas
putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada peadilan umum untuk
diputus.
Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini juga mengatasi keberlakuan
badan peradilan umum. BPSK mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan
kasus pengaduan konsumen yang merugikannya. Kedua pihak wajib untuk
sepakat pada cara penyelesaian diluar pengadilan ini dan di hadapan BPSK.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK adalah untuk mendapatkan
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau jaminan dari
pihak tergugat (pelaku usaha) untuk tidak lagi terjadi kesalahan yang sama atau
tidak akan ada lagi kerugian yang diderita konsumen (Pasal 47 Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen).
Untuk
itu
pengguna
Telkom
Speedy
dapat
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan PT. Telkom melalui BPSK.
Apabila penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak tercapai, maka
pengguna Telkom Speedy dapat mengajukan gugatan perwakilan kelompok
(Class Action)45 kepada peradilan umum berdasarkan dan sesuai hukum acara
yang berlaku bagi proses perkara tersebut (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen). Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) yaitu
suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Adapun unsur-unsur Gugatan Class Action yaitu :46
a. Gugatan secara perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah
gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang
bertujuan
pengadilan
untuk
untuk
memperoleh
menghindari
perlindungan hak
adanya
upaya
yang
diberikan oleh
main
hakim
sendiri
(eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang
mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah penggugat dan tergugat, pihak
disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya
tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.
b. Wakil Kelompok (Class Representative)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Untuk itu menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa
khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke
pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif.
45
46
Emerson Yuntho, S.H., Class Action Sebuah Pengantar, Jakarta : Elsam, 2005, hlm. 4.
Ibid., hlm. 6.
c. Anggota Kelompok (Class Members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita
kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.
Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota
kelompok adalah sebagai penggugat pasif.
d. Adanya Kerugian yang nyata-nyata diderita
Untuk dapat mengajukan class action baik pihak wakil kelompok (Class
Representative) maupun anggota kelompok (Class Members) harus benarbenar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete
injured parties. Pihak-pihak yang tidak mengalami kerugian secara nyata tidak
dapat memiliki kewenangan untuk mengajukan Class Action.
e. Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (Question
of law) antara pihak yang mewakili (Class Representative) dan pihak yang
diwakili (Class Members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya
kesamaan ini. Namum bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan,
hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau
prinsip.
Para pengguna Telkom Speedy dapat mengajukan gugatan class action
kepada PT. Telkom karena pada dasarnya kerugian yang dialami oleh pengguna
Telkom Speedy adalah sama, yaitu disebabkan oleh kesalahan penghitungan
tagihan pemakaian internet. Sehingga para pengguna Telkom
diharuskan membayar tagihan yang tidak seharusnya.
Speedy
Namun pada kenyataannya, sampai saat ini masalah-masalah konsumen
yang diajukan ke pengadilan masih sedikit, hal ini disebabkan oleh ha-hal
sebagai berikut :47
1. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen (kurangnya sosialisasi
Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada masyarakat).
2. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan.
3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-hak sebagai konsumen dilanggar.
4. Posisi konsumen yang berada pada pihak yang lemah dibandingkan dengan
pelaku usaha.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen antara pengguna Telkom
Speedy dengan PT. Telkom, apabila ditetapkan suatu ganti rugi yang harus
dibayar PT. Telkom, maka ganti rugi tersebut haruslah berbentuk ganti rugi
pengembalian uang atas kesalahan penghitungan biaya tagihan pemakaian
internet yang telah ditagih sebelumnya.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Apabila kita berbicara mengenai Undang-Undang Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, harus terlebih dahulu melihat pada ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut yang menyangkut mengenai
pokok-pokok permasalahan yang ada pada kasus yang sedang kita bahas yang
tentunya menyangkut mengenai jaringan elektronik yang sering terjadi saat ini
dan sulit untuk diselesaikan, salah satu contohnya pada kasus mengenai
kesalahan billing yang dialami oleh pengguna internet Speedy yang telah
mengalami kerugian. Dan dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
47
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 301.
pelaku tersebut maka untuk membuktikannya perlu data yang konkrit untuk
memperkuat pembuktian tersebut, sehingga dapat ditelaah melalui Pasal-pasal
yang ada pada Undang-Undang tersebut diantaranya Pasal 1 ayat (4) dan (6),
Pasal 5 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) serta Pasal 39 ayat (1) :
“(4) Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistim
elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Berdasarkan uraian pada pasal ini bahwa segala macam bentuk pembayaran
tagihan Telkom Speedy dapat dilakukan melalui jaringan elektronik yang dapat
dipercaya sehingga apabila terjadi kesalahan pada pembulatan pada sistem
billing (penagihan) dapat diakses langsung melalui komputer.
“(6) Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem
elektronik oleh penyelenggaraan negara, orang, badan usaha, dan
/atau masyarakat.”
Pasal
ini
dianggap
memiliki
relevansi
dalam
kasus
ini
karena
yang
memanfaatkan sistem elektronik dalam melakukan atau mengaudit database
tersebut adalah pihak dari Telkom Speedy yang bertindak sebagai badan usaha.
Pasal 5 ayat (1) :
“(1) Informasi elektronik dan dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah.”
Pasal ini dapat digunakan sebagai dasar bahwa cetakan elektronik dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah karena melihat pada hasil yang berbeda
antara database dengan printout yang menggunakan cetakan elektronik.
Pasal 38 ayat (1) :
“(1)
Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan
sistem
elektronik
dan/atau
menggunakan
teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.”
Pasal ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengguna Telkom Speedy
yang akan mengajukan gugatan terhadap PT. Telkom atas tindakan PT. Telkom
yang telah merugikan pengguna Telkom Speedy.
Dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
“(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Ketentuan diatas menjadi dasar hukum bagi pengguna Telkom Speedy dalam
mengajukan gugatan perdata terhadap PT. Telkom atas tindakannya yang telah
merugikan pengguna Telkom Speedy.
Melihat pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada dengan cara
menelaah pada pasal-pasal tersebut, dapat membantu kita dalam menemukan
proses penyelesaian kasus ini pada proses peradilan berikutnya.
B. Penerapan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan
Konsumen
Terhadap
Pengguna
Jaringan
Sistem
Elektronik di Indonesia
Perkembangan teknologi yang sangat cepat harus diikuti juga dengan
meningkatkan perhatian terhadap perlindungan konsumen sehingga perusahaan
perlu meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pelanggan. Dalam hal ini,
perlindungan terhadap konsumen pengguna jaringan internet Speedy diwujudkan
dengan memberikan perlindungan hukum yang dituangkan dalam formulir
permohonan berlangganan dan kontrak berlangganan yang sesuai dengan
ketentuan pemerintah maupun perkembangan produk jasa telekomunikasi.
Selain itu, PT. Telkom48 sebagai perusahaan penyelenggara operator
penyedia jaringan internet juga harus menuangkan perlindungan terhadap
konsumen dalam pedoman dan standarisasi pengolahan layanan Speedy yang
merupakan pedoman dalam menjalankan Speedy dilapangan dengan mengatur
hubungan antara Telkom dengan pelanggan. Salah satu bagian yang khusus
mengatur hubungan antara Telkom dengan pelanggannya yaitu dengan
dibentuknya customer relationship management yang merupakan interaksi
antara pelanggan dengan keseluruhan petugas layanan Speedy yang dengan
memanfaatkan mekanisme walk-in, phone-in, web-in dan sms-in sehingga
layanan Speedy broad band access dapat terselenggara, termonitor prosesprosesnya secara end-to-end yang meliputi : informasi produk, selling, order
handling, problem handling, fault handling, provisioning dan operation dan
maintenance untuk mengatasi keluhan (complain) yang diberikan pelanggan
48
09.25 WIB.
www.telkomnetspeedytara.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 25 Mei 2009, Jam
terhadap
layanan
Speedy
(problem
handling),
Telkom
mengatasi
dan
menyelesaikannya dengan cara :
1. Customer Complain Handling
Customer Complaint Handling adalah keseluruhan proses interaksi antara
petugas Speedy dengan pelanggan Speedy. Keluhan yang disampaikan kepada
petugas Speedy disampaikan baik melalui media massa, surat atau email
kepada petugas. Petugas akan mengindentifikasikan jenis keluhan dan
kemudian akan melakukan analisis terhadap keluhan tersebut. Apabila petugas
tidak mampu memberikan solusi saat itu juga, maka perlu diadakan site visit
dengan pelanggan.
Customer Complaint Handling yang diterima pada umumnya mengenai
web-content maupun kecepatan layanan, jarak akses maupun tagihan, dan halhal yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Petugas akan melakukan
pengecekan dan perbaikan apabila diperlukan dan unit terkait dengan keluhan
tersebut menyelesaikan dengan sebaiknya sampai pelanggan merasa puas.
Disamping itu tetap melakukan pemantauan terhadap keluhan pelanggan
tersebut.
2. Billing Complaint Handling
Billing Complaint Handling adalah keseluruhan proses interaksi antara
petugas plasa Telkom dengan pelanggan Speedy terkait dengan keluhan billing
pelanggan. Proses billing complaint handling adalah pada awalnya pelanggan
akan melakukan pengajuan klaim tagihan, petugas akan mengidentifikasikan
jenis keluhan. Sementara pelanggan diminta untuk selanjutnya petugas akan
meneruskan pengajuan klaim ke unit yang berwenang dan bertanggung jawab
terhadap keluhan tersebut. Kemudian petugas akan melakukan pengecekan data
tagihan dan mengirimkan hasil pengecekan klaim ke plasa Telkom, klaim
tersebut akan direkomendasikan (diterima atau ditolak), hasil rekomendasi akan
dikirimkan kepada pelanggan dan dilakukan ticketing dan menerima restitusi atau
penjelasan klaim kepada pelanggan.
Telkom dalam dasar pengaturan internet Speedy juga mengatur tentang
Service Level guarantee (SLG) yaitu waktu penyelesaian layanan yang dijamin
oleh Telkom kepada pelanggan. Pengukurannya dilakukan secara berkala setiap
bulan untuk memberikan kepastian kepada pengguna Speedy sehingga dengan
kata lain Telkom dalam praktiknya sudah memperhatikan kepentingan pelanggan
dan sudah menyediakan sarana untuk mengantisipasi kerugian yang dapat
ditanggung
oleh
memperhatikan
para
pelanggan
kepentingan
dan
konsumen
PT.
Telkom
dengan
secara
konsisten
menuangkan
peraturan
mengenai (SLG) yang dalam praktiknya memberikan penjelasan kepada
pelanggan Speedy mengenai jenis kerugian, besarnya ganti rugi dan jangka
waktu kerugian yang dapat ditanggung oleh PT.Telkom.
Untuk penjabaran lebih lanjut dari pengaturan mengenai penyelenggaraan
telekomunikasi, dipandang perlu untuk menyusun peraturan pelaksanaan
dibidang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(selanjutnya disebut dengan PP 52 Tahun 2000) PP 52 Tahun 2000 mengatur
bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dalam menjalankan usahanya
dituntut untuk membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi yang
sesuai dengan dasar teknis ditetapkan oleh Menteri. Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi antar jaringan telekomunikasi
yang
diberikan
atas
dasar
permintaan
dari
penyelenggaraan
jaringan
telekomunikasi
lainnya.
Penyelenggaraan
interkoneksi
dikenakan
biaya
interkoneksi yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi
asal dan besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang
transparan disepakati bersama dan bersifat adil.
Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai peranan penting dan
strategis sehingga perlu senantiasa ditingkatkan kualitas pelayanannya, salah
satu cara untuk meningkatkan kualitas dibidang tersebut adalah dengan
membuat peraturan yang dapat memberikan kejelasan dan ketegasan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Berdasarkan pada Undang-Undang Telekomunikasi, ditegaskan bahwa
penyelenggaraan
telekomunikasi
meliputi
penyelenggaraan
jaringan
telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
dapat diselenggarakan oleh BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha
Swasta dan koperasi yang bentuk usahanya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, menyelenggarakan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi, sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat
dilakukan oleh perseorangan, instansi pemerintah dan badan hukum selain
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggaraan jasa
telekomunikasi.
Dengan demikian, majelis hakim dalam melakukan pertimbangan harus
dengan hati-hati dalam mengambil suatu keputusan serta menggali dan
mencermati kasus yang ditanganinya. Seorang Hakim harus memperhatikan pula
ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman dalam hal ini, hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat karena merupakan landasan bagi seorang Hakim memberikan
suatu keputusan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam memberikan
perlindungan bagi pengguna jaringan sistem internet di Indonesia, telah
memberikan posisi tawar yang kuat pada konsumen untuk menegakkan
hak-haknya, baik bagi semua pihak. Di samping itu, dengan penerapan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya untuk melindungi
konsumen atau tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi
justru sebaliknya, karena perlindungan konsumen akan dapat mendorong
iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang
berkualitas. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi pelanggan
pengguna jaringan internet terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan operator penyedia jaringan internet atas kelalaiannya karena
telah melakukan kesalahan penghitungan tagihan pemakaian yang
mengakibatkan konsumen mengalami kerugian adalah tidak dibenarkan.
Oleh karena itu perusahaan operator penyedia jaringan internet wajib
memberikan
sebagaimana
ganti
diatur
kerugian
didalam
kepada
Pasal
pengguna
19
ayat
(1)
jaringan
internet
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen serta Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Penggunaan jaringan sistem elektronik di Indonesia antara perusahaan
penyedia jaringan internet dengan pengguna (konsumen) didasarkan
kesepakatan
yang
dilakukan
oleh
para
pihak,
dengan
beban
pertanggujawaban secara kontraktual (contractual Liability). Oleh karena
itu, kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak harus mendapat perhatian
sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang
cenderung tidak seimbang. Banyak konsumen ketika melakukan transaksi
berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak sah
apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan. Selanjutnya
untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk
berbuat menurut hukum, dan oleh karena itu maka ia harus bertanggung
jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah
satu syarat sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut tidak dipenuhi maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau
bahkan mengakibatkan tuntutan pengantian kerugian bagi pihak yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut. Disisi lain dalam Pasal 39 ayat (1)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan dasar
hukum bagi pengguna jaringan sistem elektronik untuk mengajukan
gugatan secara perdata terhadap perusahaan penyelenggara operator
seluler karena telah mengalami kerugian. Disamping itu juga dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum terdapatnya
jasa
multimedia
yang
peraturannya
secara
khusus
mengatur
penyelenggaraan jasa multimedia (internet) dan pengaturan yang sudah
mengalami konvergensi dengan bidang jasa telekomunikasi, broadcast dan
jasa telepon serta penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang belum
maksimal masih memungkinkan terjadinya keluhan-keluhan dari pengguna
jaringan sistem elektronik di Indonesia.
B. Saran
1. Perlu dikeluarkannya peraturan tersendiri yang lebih khusus mengatur
mengenai penyelenggaraan jasa multimedia (internet) dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan pengaturan yang sudah mengalami konvergensi dengan bidang jasa
telekomunikasi, dan broadcast. Serta diharapkan peran masyarakat yang
aktif dalam proses pembuatan regulasi, sehingga dapat terjadi proses
demokratisasi melalui teknologi informasi internet dan bagi masyarakat
dapat semakin mengetahui karakteristik di bidang internet secara umum
dan secara khusus, agar masyarakat mengerti akan hak-haknya sehingga
tidak dirugikan dengan perkembangan teknologi di bidang internet.
2. Perusahaan penyelenggara operator seluler yang merupakan salah satu
perusahaan
penyedia
jasa
pelayanan
internet
seharusnya
lebih
transaparan dan mempunyai itikad baik dalam melayani pelangggannya
sesuai dengan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Perusahaan
penyelenggara
operator
seluler
harus
dapat
menjadi
perusahaan dengan pengelolaan yang bersih dari segala cara-cara
pencapaian
keuntungan
perusahaan
yang
merugikan
perusahaan penyelenggara operator seluler itu sendiri.
pelanggan
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
A. S. Hornby (Gen. Ed). Oxford Advance Learned’s Dictionary of Current English.
“ (Opp.To Producer) Person Who Uses Goods.” Oxford 1987.
Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media.
Jakarta. 2006.
Budi Agus Riswadi. Hukum dan Internet di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
2003.
Budi Fitriadi. Struktur Materi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Diktat
Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Unikom. 2009.
Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2003.
Emerson Yuntho. S.H. Class Action Sebuah Pengantar. Jakarta : Elsam. 2005.
Ibrahim R. Prospek BUMN dan Kepentingan Umum. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti. 1997.
Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya.
Bandung. 2006.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta. Pengantar Ilmu Hukum. Buku 1.
Alumni. Bandung. 2000.
Munir Fuady. Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000.
Otje Salman Soemadiningrat. Teori Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2004.
Sri Woelan Aziz. Aspek-Apsek Hukum Ekonomi Pembangunan di Indonesia.
1995.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia : PT. Grasindo. Jakarta.
2006.
Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.
PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
KM.21
Tahun
2001
Tentang
SUMBER LAIN :
Sudaryat. dkk. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha
Diluar Pengadilan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Laporan Penelitian. Bandung. 2004.
Bisnis Indonesia. 29 November 2007.
Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “Telkom Speedy” antara PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk. dengan Pelanggan Nomor : K.TEL
100/HK810/RE3-DO162/2007 PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Divisi
Regional III Jawa Barat dan Banten.
WEBSITE :
www.detik.com
www.telkomnetspeedytara.com
www.wikipedia.com
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Palma Carlos Branco Da Piedade
Tempat dan Tanggal Lahir
: Dili, 07 Maret 1983
Agama
: Katolik
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Jln. Tubagus Ismail Dalam No. 5 Bandung
No. Telepon
: 081572324377
Pendidikan Formal
:
1992 - 1998 = SD Santo Yoseph IV Dili Timor Leste.
1998 - 2000 = SMP Santo Yoseph IV Dili Timor Leste.
2000 - 2002 = SMU Santo Paulo VI Dili Timor Leste.
2005 - Sekarang Universitas Komputer Indonesia.
Download