PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK LAW PROTECTION CONCERNING TO NETWORK USER ELECTRONIC SYSTEM ON MISTAKE BILLING ACCESS WITH DATABASE CONNECTED TO UNDANG-UNDANG NUMBER 8 / 1999 ABOUT CONSUMER PROTECTION JUNCTO UNDANG-UNDANG NUMBER 11 / 2008 ABOUT INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Komputer Indonesia Oleh : Palma Carlos Branco Da Piedade 316.07.701 Dibawah Bimbingan : BUDI FITRIADI S., S.H., M.Hum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG 2009 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Disetujui Untuk Diajukan Ke Muka Sidang Panitia Ujian Sidang Komprehensif Program Strata Satu Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia Bandung, Juli 2009 Pembimbing, Budi Fitriadi S., S.H., M.Hum. NIP : 4127.33.00.002 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H. NIP : 4127. 7000. 009 SURAT PERNYATAAN Yang bertandatangan dibawah ini : Nama NIM Jenis Penulisan TA Judul Penelitian TA : : : : PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE 316.07.701 SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) ini adalah hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa Tugas Akhir ini adalah plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dalam keadaan sadar, sehat walafiat dan tidak ada tekanan dari pihak manapun. Yang menyatakan, PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE NIM : 316.07.701 DENGAN PENUH PERJUANGAN, PENGORBANAN, TANTANGAN MAUPUN RINTANGAN TELAH AKU LALUI SEMUA..............DEMI TERSELESAIKANNYA TUGAS AKHIRKU INI DAN TENTUNYA DENGAN BERKAT DAN PERTOLONGAN TUHAN YANG MAHA ESA SEHINGGA AKU DAPAT MELALUI SEMUANYA INI DENGAN BAIK............MAKA DARI ITU AKU SANGAT BERSYUKUR ATAS KEBERHASILANKU INI.................!!!! SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN UNTUK KEDUA ORANGTUAKU MAUPUN SAUDARA-SAUDARA KANDUNGKU YANG SELAMA INI SELALU MEMBERIKAN DO’A DAN DUKUNGANNYA KEPADAKU...............SERTA SEMUA TANTE MAUPUN OM AKU, SEMUA SEPUPUKU DAN SERTA YANG TAK TERLUPAKAN KEPADA TEMAN-TEMANKU SEKAMPUS.................TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN KALIAN SEMUA SELAMA INI KEPADAKU.............................!!!! MUDAH-MUDAHAN SKRIPSIKU INI DAPAT BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA MAUPUN BAGI SIAPA SAJA YANG KELAK MEMBACA SKRIPSIKU INI............................................!!!! BY : “ PALMA CARLOS BRANCO DA PIEDADE ” KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Program S1 pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis menyadari bahwa mutu Skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, kemampuan serta pengalaman penulis. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya dorongan maupun bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagaimana yang diharapkan. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan Skripsi ini, kepada yang terhormat Bapak Budi Fitriadi Supriadi S.H., M.Hum., Selaku Pembimbing. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, Msc., Selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia. 2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, SE, Ak, Ms., Selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia. 3. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA., Selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia. 4. Yth. Ibu Dr. Aelina Surya, Selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia. 5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H., Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. 6. Yth. Ibu Hetty Hassanah S.H., Selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia Seluruh Staff Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. 7. Yth. Ibu Merry Maulin, S.H., M.Hum., M.Kn Selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membantu penulis demi terselesaikannya skripsi ini. 8. Yth. Ibu Arinita Sandria S.H., M.Hum., Selaku Dosen Fakultas Hukum. 9. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum Sekaligus Dosen Wali. 10. Yth. Ibu Rachmani Puspita Dewi, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. 11. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. 12. Yth. Bapak Cecep Wawan R. S.H., Selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. 13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A. Md., Selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan bimbingan yang sangat berguna bagi penulis serta semua pengorbanan yang diberikan baik berupa materil maupun spiritual dan juga yang telah memberikan perhatian, pengertian dan kasih sayang yang tulus kepada penulis serta saudara-saudara kandungku : My Brother Apata, All My Sisters Nelinha, Nini, dan Dahlia thanks for all your support to me. Serta semua pihak keluarga, dimulai dari Nenekku Tersayang “Balbina,” Om Fransisco, Tante Luciana, Tante Terizinha, Tante Etelvina, Tante Merita, Tante Balbina, Tante Elisa, Om Afonso serta semua sepupuku : Kakak Celita, Kakak Mani, Kakak Nonio, Nadia, Vanesa, Iza, Lenia, Savio, Liliana, Virgorito, Kakak Nino, Kuka, Momo, Juvi, Mimi, Kika, Diana, Kakak Deny, Kiku, Lele, Lonika, Nanita, Missy, Idalina, Kakak Bere, Sales, Via, Uchita, serta yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam do’a dan dukungan demi terselesaikannya Skripsi ini dan seluruh aktifitas akademika Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia terutama Bapak Murray yang selalu membersihkan dan mempersiapkan ruangan kelas setiap kami kuliah serta teman-teman penulis dikampus, Intan, Veri, Ozi, Berli, Melyn, Ariska, Imas, Oca, Aan, Deti, Novi, Puspita, Lail, Cupi, Jenier, Paula, Nivio, Estanislau, Amenu, Marga, Erga, Israel, Ali, Farah, Fauzi, Jon, Paskal, Billy, Fandy, Hadi, Angga, Adit, Dewi, Megi, Nova, Gilang dan Sandy serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, juga semua pihak yang telah banyak membantu sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas kepada penulis, dibalas dengan pahala yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari didalam penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga penyusunan Skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi kita semua. Bandung, Juli 2009 Penulis, (Palma Carlos Branco Da Piedade) DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR.............................................................................................i DAFTAR ISI...........................................................................................................v ABSTRAK............................................................................................................vii ABSTRACT.........................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................1 B. Identifikasi Masalah...................................................................5 C. Maksud dan Tujuan Penelitian..................................................5 D. Kegunaan Penelitian.................................................................6 E. Kerangka Pemikiran..................................................................7 F. Metode Penelitian....................................................................18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYELENGGARA JARINGAN INTERNET A. Perlindungan Konsumen di Indonesia.....................................21 B. Informasi dan Transaksi Elektronik..........................................41 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA LAYANAN OPERATOR JARINGAN INTERNET A. Hak dan Kewajiban Pengguna Internet....................................54 B. Tanggung Jawab Penyelenggara Jaringan Sistem Elektronik..................................................................................56 C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Pengguna Internet.....................................................................................61 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA INTERNET A. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Internet dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik..................................................................................72 B. Penerapan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jaringan Sistem Elektronik di Indonesia..................................91 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan..................................................................................96 B. Saran.......................................................................................98 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Palma Carlos Branco Da Piedade ABSTRAK Semakin pesatnya perkembangan teknologi pada bisnis penyediaan jasa pelayanan internet saat ini membuat pelaku usaha berupaya menarik perhatian pelanggan dengan berbagai bentuk pelayanan yang berbeda-beda. Banyak perusahaan yang bergerak dalam jasa telekomunikasi memberikan pelayanan dibidang internet untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. Permasalahannya adalah bila perusahaan yang memberikan layanan melakukan kesalahan penghitungan tagihan atau billing pemakaiaan internet, sehingga menyebabkan para pengguna dirugikan atas perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa khususnya masalah perlindungan hukum apakah yang dapat diberikan terhadap keluhan-keluhan konsumen pengguna jaringan sistem elektronik dalam kesalahan tagihan (billing) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pengguna jaringan sistem elektronik di Indonesia. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dititikberatkan pada studi dokumen dalam penelitian kepustakaan untuk mempelajari data sekunder yang terkumpul berupa bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan penelitian tersebut penulis sampai pada kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap pengguna jasa internet yang dilakukan oleh perusahaan penyedia operator jaringan sistem internet adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mengenai tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum seperti diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 1365 KUHPerdata, Perusahaan operator penyedia jaringan internet wajib memberikan ganti kerugian pada konsumen. LAW PROTECTION CONCERNING TO NETWORK USER ELECTRONIC SYSTEM ON MISTAKE BILLING ACCESS WITH DATABASE CONNECTED TO UNDANG-UNDANG NUMBER 8 / 1999 ABOUT CONSUMER PROTECTION JUNCTO UNDANG-UNDANG NUMBER 11 / 2008 ABOUT INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION By : Palma Carlos Branco Da Piedade ABSTRACT Increasingly fast of development technology at internet business supplying at the moment made entrepreneur to serious make effort to draw interest customer with various type in differents servicing. Many enterprise with move in telecomunication service to give servicing in internet area for fill necessity it’s customer. The problem is if enterprise which give mistake service on counting billing internet consumption, until cause rubber user lost out on act which done by enterprise supplier merit. Especially in law protection problem. What can give concerning consumer complaint network user electronic system in mistake billing observed from Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection and Undang-Undang Number 11 / 2008 about Information and Electronic Transaction, assembling Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection concerning network user electronic system in Indonesia. This research done in a manner descriptively analysed, by using approach method of juridical normative, is emphasize with document study in research literature to study carefully data secondary. Which be gathered by appear law matters with be interrelated by the thorough problem. Based on the research writer until to the conclusion that lawl protection concernig to user internet service done by enterprise operator internet supplier network system is no appropriate with certainty valid. Based on Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata and Undang-Undang Number 11 / 2008 about Information and Electronic Transaction. Concern the act is law act oppose arranged in article 19 verse (1) Undang-Undang Number 8 / 1999 about Consumer Protection as well as article 1365 KUHPerdata, enterprise operator internet supplier network must give financial loss change to consumer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan di Indonesia merupakan suatu rangkaian pertumbuhan dan perubahan berencana yang dilakukan dengan sadar oleh bangsa, negara dan pemerintah Indonesia menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa. Dengan perkataan lain juga dapat dipandang sebagai usaha kearah lebih maju dalam berbagai kehidupan. Salah satunya adalah pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadikan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.1 Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh dimasa lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan. Penitikberatan pembangunan masa lalu hanya kepada tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menciptakan peningkatan pendapatan perkapita, penurunan jumlah kemiskinan dan pengangguran, dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata. Tujuan pembangunan nasional tersebut tidak dapat terwujud tanpa didukung oleh pertumbuhan dunia usaha yang mampu menghasilkan beranekaragam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak sekaligus mendapat kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009. mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada kondisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha baik melalui promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Kondisi ini diperburuk dengan tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah.2 Akibat dominasi pelaku usaha tersebut menimbulkan banyak permasalahan, antara lain konsumen tertipu dengan promosi dan cara penjualan dari pelaku usaha, sehingga konsumen terjerat oleh klausula baku yang jelas-jelas merugikan konsumen sendiri.3 Secara yuridis seorang konsumen yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian terhadap pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal ini berarti dalam transaksi perdagangan khususnya yang menyangkut perdagangan barang dan/atau jasa pihak pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian dapat dituntut untuk mengganti atau membayar kerugian didasarkan pada adanya wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum. Subsektor telekomunikasi merupakan salah satu bidang yang dapat menawarkan barang dan/atau jasa yang beranekaragam, dan juga sebagai sarana perhubungan yang turut memegang peranan penting dalam setiap rangkaian program pembangunan nasional. Salah satu usaha pemerintah untuk membantu meningkatkan pelayanan perhubungan bagi masyarakat adalah dengan memberikan jasa telekomunikasi. Jasa telekomunikasi yang sesuai dengan hal tersebut diatas adalah dengan pengembangan melalui bidang 2 Sudaryat, dkk, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha Diluar Pengadilan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Laporan Penelitian, Bandung 2004, hlm. 1. 3 Ibid. internet yang dalam perkembangannya semakin berkembang dan dibutuhkan masyarakat. Melihat hal tersebut pemerintah telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan jasa telekomunikasi internet dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi sesuai kebutuhan masing-masing untuk mencapai tujuan dan kemajuan masing-masing masyarakat, dan juga meningkatkan kelancaran hubungan dalam masyarakat sebagai penunjang pembangunan nasional dan memperluas jaringan telekomunikasi. Seiring dengan berkembangnya dunia telekomunikasi mempengaruhi pertumbuhan internet yang juga meningkatkan permintaan sarana internet. Oleh karena itu diharapkan pelaku usaha yang bergerak pada jasa telekomunikasi dapat memberikan pelayanan secara profesional dan optimal, dimana pelayanan dalam bentuk apapun yang diberikan pelaku usaha kepada pelangganannya tersebut tentunya tidak terlepas pada tanggung jawab dari pelaku usaha tersebut. Bentuk lain dari perkembangan telekomunikasi, juga terlihat dalam berbagai pelayanan jasa telekomunikasi yang lebih bervariasi. Persaingan antar berbagai pelaku usaha dalam merebut pasar yang luas akan semakin ketat, dengan menawarkan produk-produk yang bernilai tinggi dan menciptakan inovasi-inovasi dalam menggapai kebutuhan konsumen. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler yang bergerak dibidang penyediaan jasa telekomunikasi. Jasa telekomunikasi merupakan suatu hal yang sangat berharga dan penting, karena dengan adanya jasa telekomunikasi tersebut membuat masyarakat dapat berkomunikasi dengan lebih mudah dan cepat tanpa terbatas ruang dan waktu. Perusahaan-perusahaan penyelenggara operator seluler bersaing untuk dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat selain itu perusahaan penyelenggara operator seluler berusaha untuk menciptakan produk-produk yang semakin beraneka ragam yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan internet yaitu dengan mengeluarkan layanan internet yang secara khusus melayani kebutuhan internet konsumen yang penggunaanya dikombinasi dengan penggunaan telepon, dalam mempermudah masyarakat untuk mengakses internet sesuai dengan kebutuhan sehingga pada akhirnya dapat membantu dalam proses pembangunan nasional. Tetapi pada praktiknya masih terdapat beberapa penyimpangan yang pada akhirnya berdampak merugikan masyarakat sebagai konsumen seperti dalam salah satu kasus yang terjadi adalah mengenai kasus kesalahan billing, dimana terjadi pembengkakan dalam tagihan yang disebabkan adanya perbedaan data pemakaian. Sehingga menyebabkan masih terdapatnya beberapa ketidakpuasan masyarakat pengguna atau pelanggan internet yang disediakan oleh perusahaan operator, dan memberikan anggapan adanya ketidakseimbangan antara peraturan yang ada dengan praktiknya dilapangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang perlindungan konsumen terhadap produk internet yang dikeluarkan oleh perusahaan penyelenggaraan operator seluler dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JARINGAN SISTEM ELEKTRONIK ATAS KESALAHAN BILLING ACCESS DENGAN DATABASE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah maka penulis mencoba untuk mengidentifikasikan permasalahan hukum yang timbul, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap keluhankeluhan konsumen pengguna jaringan sistem elektronik dalam kesalahan billing (tagihan) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 2. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pengguna jaringan sistem elektronik di Indonesia ? C. Maksud dan Tujuan Penelitian Penulisan ini bertujuan untuk lebih mengkaji tentang permasalahan yang ada, adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji perlindungan konsumen pengguna jaringan sistem elektronik ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Untuk mengkaji efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen diterapkan terhadap pengguna jaringan sistem elektronik. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum tentang perlindungan konsumen pada khususnya. b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya serta bermanfaat bagi usaha pengembangan disiplin ilmu hukum. 2. Secara Praktis a) Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang perlindungan konsumen terhadap hak-hak yang dimiliki konsumen dalam penggunaan fasilitas internet. b) Memberikan pemahaman akan perlindungan konsumen bagi masyarakat selaku konsumen barang dan/atau jasa juga memberikan pengertian kepada pelaku usaha untuk menghargai hak-hak para konsumen dalam setiap transaksi. c) Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan tolak ukur efektivitas pengaturan internet secara nasional oleh pemerintah sehingga dapat memberikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan internet. E. Kerangka Pemikiran Tujuan nasional yang tercermin dalam alinea II UUD 1945 menyatakan : “ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Makna dari alinea II UUD 1945 diatas merupakan cerminan dari kebahagiaan yang dirasakan bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang telah dicapai serta mengharapkan kemerdekaan itu dapat membawa kebahagiaan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu : “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada....” Pembukaan alinea keempat ini menjelaskan tentang pancasila yang terdiri dari lima sila yang menyangkut keseimbangan kepentingan, baik kepentingan individu, masyarakat dan penguasa. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular.4 Kesejahteraan umum artinya negara menghendaki agar setiap warga negara, dapat menikmati kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut tidak hanya dapat dinikmati oleh beberapa orang atau beberapa golongan saja, melainkan kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.5 Rumusan Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : “ 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum tentang demokrasi ekonomi yang berpihak pada rakyat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan sebab perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan oleh sebab itu cabang-cabang produksi yang terpenting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, itu berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan diwilayah Indonesia harus berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Demikian juga dalam penyelenggaraan kerjasama dengan perusahaanperusahaan asing harus tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum sebagai sarana petunjuk keadilan seperti yang diungkap Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang menyebutkan bahwa hukum sebagai alat 4 Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 158. Ibrahim R., Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 53. 5 pembaharuan masyarakat perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar hal tersebut tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.6 Untuk menciptakan hukum yang seadil-adilnya bagi masyarakat maka perlu adanya sikap perlakuan yang sama untuk masyarakat sehingga hukum dapat memberikan kebahagian kepada masyarakat. Aliran filsafat yang mendasarinya adalah aliran Utilitarianism, tokohnya Jhon Lock dengan konsep bahwa hukum memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada orang sebanyak-banyaknya (The Greatest Happiness For The Greatest Numbers). Kebahagiaan yang dimaksud Jhon Lock ini adalah kesejahteraan ekonomi. Aliran ini menghendaki adanya kebahagiaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Sektor ekonomi merupakan faktor yang berperan penting dalam menciptakan kebahagian dan kesejahteraan dalam masyarakat. Perkembangan dalam sektor ekonomi juga dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat salah satu cara untuk meningkatkan perkembangan ekonomi adalah dengan mendirikan perusahaan-perusahaan yang berteknologi tinggi sehingga dapat mengolah potensi yang terdapat diwilayah Indonesia dengan sebaik mungkin sehingga dapat memberi keuntungan-keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia dan dapat dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat. Arah kebijakan pembangunan hukum yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menyebutkan diantaranya: “Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia.” Selain itu disebutkan bahwa poin lain untuk menentukan suksesnya 6 332. Sri Woelan Aziz, Aspek-Aspek Hukum Ekonomi Pembangunan Di Indonesia, 1995, hlm. pembangunan hukum dilakukan dengan cara mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat mendukung kegiatan perekonomian dan menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.7 Hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, bahwa : “ Hukum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia yang bersama dalam satu kumpulan manusia dan masyarakat, dan karenanya aturan-aturan itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk tunduk atau terikat oleh aturan-aturan itu.”8 Dari pengertian hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menjalin hubungannya satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Begitu pula dengan lahirnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen yang merupakan payung hukum dan sekaligus dijadikan pedoman bagi kalangan konsumen dan pelaku usaha dalam melaksanakan aktifitas perdagangan yang sehat. Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Op.Cit. 8 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 14. Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.9 Selanjutnya dalam konsideran undang-undang tersebut pada huruf d disebutkan : “ Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.” Dari konsideran tersebut menyiratkan bahwa adanya perangkat peraturan perundang-undangan ini adalah untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha untuk terciptanya perekonomian yang sehat. Pengertian konsumen dimuat dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa adanya perlindungan konsumen tidak terlepas dari adanya suatu hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha yang melakukan transaksi dengan adanya kepastian hukum. Perlindungan konsumen menjadi penting yang mutlak bagi pihak konsumen, dimana selama ini kedudukan konsumen berada pada posisi terendah, bahkan hampir tidak memiliki posisi yang seimbang jika dibandingkan dengan pelaku usaha. Selain itu, dalam Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke IV, yang menetapkan : 9 Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. “ Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Adapun amanat yang terkandung dalam pasal tersebut adalah bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar bangsa dan digunakan untuk memajukan bangsa sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang merata dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik mempunyai peranan penting dan strategis dalam kehidupan bernegara dan masyarakat, serta memperlancar dan meningkatkan hubungan antar negara sehingga perlu senantiasa ditingkatkan kualitas pelayanannya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan di bidang informasi dan transaksi elektronik adalah dengan membuat pengaturan yang dapat memberi kejelasan dan ketegasan dalam penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik. Pelaksanaan pengaturan informasi dan transaksi elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan yang dimaksudkan dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memilliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut juga dalam mewujudkan kemajuan teknologi bangsa pemerintah juga memperhatikan perkembangan teknologi dari sektor telekomunikasi dimana pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi yang dilakukan bersama-sama dengan perusahan-perusahan penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi telekomunikasi. Pelaksanaan pengaturan telekomunikasi tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, (Selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Telekomunikasi). Dalam undangundang tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi. Dalam Undang-Undang Telekomunikasi tersebut ditegaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi meliputi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang bentuk usahanya sesuai menyelenggarakan dengan jaringan peraturan dan atau perundang-undangan jasa yang telekomunikasi. berlaku Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh perseorangan, instansi pemerintah dan badan hukum selain penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka Undang-Undang Telekomunikasi pada dasarnya mengatur segala aspek yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam bertelekomunikasi dan hal-hal yang menyangkut dalam bidang yang mendukung agar proses bertelekomunikasi dapat berjalan dengan baik dan dapat sampai dan dinikmati oleh masyarakat. Disamping Undang-Undang Telekomunikasi sebagai acuan dasar, pemerintah juga mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksana yang dapat mewujudkan pelaksanaan Undang-Undang Telekomunikasi tersebut. Peraturan pelaksana tersebut antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelengaraan Telekomunikasi, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM. 114/PT.102/MPPT-97 Tentang Penyelenggaraan Jasa Internet dan peraturanperaturan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, bidang telekomunikasi juga membawa perkembangan di bidang hukum, sehingga diharapkan hukum dapat menampung semua perkembangan yang terjadi dan lebih penting lagi hukum dapat berfungsi sebagai pengawas yang mengawasi perkembangan yang terjadi agar perkembangan tersebut tidak melanggar hak-hak orang lain. Hal terpenting dalam perkembangan dunia internet merupakan perkembangan yang terjadi di bidang telekomunikasi. salah satu dampak Internet adalah sekumpulan jaringan komputer global yang diperoleh secara bersama-sama dan saling menunjang (cooperatively) dan menggunakan skema alamat (addressing scheme) yang sama dengan protol TCP atau IP (Internet Protokol) merupakan protokol paling penting yang menjadi dasar internet. Internet protokol ini antara lain menentukan bagaimana paket-paket data ke tujuan yang dikehendaki internet. Pengertian internet yang diuraikan diatas menggambarkan bahwa internet juga mencakup hal-hal yang sangat luas. Kebutuhan akses telekomunikasi tersebut dapat dilakukan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk mencari informasi yang secara lengkap tersedia pada layanan internet mengenai pengetahuan umum, perkembangan dunia hiburan dalam dan luar negeri, dan lain sebagainya.10 Objek bahasan internet yang sangat luas disatu sisi memberikan kemudahan bagi masyarkat namun disisi lain dengan perkembangan internet dapat memberikan dampak yang negatif, antara anak-anak yang dibawah umur bebas mengakses adegan-adegan atau film-film porno yang belum seharusnya mereka ketahui. Namun disisi lain hal tersebut, dapat membantu pengguna internet dalam meningkatkan pembangunaan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Selain itu globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi-batas wilayah suatu negara sehingga dengan mudah dan praktis barang-barang tersebut dapat sampai 10 Budi Agus Riswadi, Hukum dan Internet di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2003. kepada konsumen. Hal tersebut sangat membantu dan memberikan kemudahan bagi konsumen, namun disisi lain dapat membuat posisi konsumen menjadi lemah. Menurut undang-undang tersebut yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Secara lebih jelas Az. Nasution, membagi pengertian konsumen menjadi 3 bagian,11 yaitu : 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa lain atau untuk diperdagangkan. 3. Konsumen-akhir, adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Perlindungan konsumen yang dilakukan sebagai usaha bersama oleh pemerintah dan para pelaku usaha dilakukan dengan menerapkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 11 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 29. 1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.12 12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 31. F. Metode Penelitian Untuk menunjang pembahasan masalah dalam penelitian ini maka menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan perlindungan konsumen terhadap pengguna jaringan sistem elektronik. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah yuridis normatif artinya penelitian menitikberatkan terhadap data kepustakaan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen terhadap pengguna jaringan sistem elektronik. 3. Tahap Penelitian Tahap penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan mempelajari beberapa perundangundangan sebagai bahan hukum primer dan buku-buku sebagai bahan hukum tersier untuk mendapatkan landasan hukum tertulis yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti dan dibahas. 4. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan tahapan penelitian, maka pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 5. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode analisis normatif kualitatif yaitu mengelompokkan masalah yang ada dengan mengadakan sistemasi terhadap bahan hukum tertulis untuk menghasilkan data deskriptif analisis dan tidak menggunakan rumus statistik atau matematis. Kemudian hasil penelitian tersebut di analisis untuk ditarik suatu kesimpulan. 6. Lokasi Penelitian a. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipatiukur No. 112 Bandung; Penulis melakukan penelitian diperpustakaan tersebut karena ada beberapa buku yang terdapat didalam perpustakaan tersebut yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penulisan skripsi ini. b. Perpustakaan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dipatiukur; Tujuan penulis dalam melakukan penelitian diperpustakaan tersebut karena ada beberapa buku yang penulis temukan dalam mendukung penyusunan skripsi ini; c. Perpustakaan Pasundan, Bandung; Penulis melakukan penelitian diperpustakaan tersebut dikarenakan banyak juga terdapat beberapa buku yang dapat mendukung penulis dalam penyusunan skripsi ini; d. Website yaitu : - www.detik.com - www.telkomnetspeedytara.com - www.wikipedia.com Maksud dari penulis mencari bahan skripsi di Internet karena ada beberapa website yang penulis temukan dimana dapat mendukung dalam penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYELENGGARA JARINGAN INTERNET A. Perlindungan Konsumen di Indonesia Istilah konsumen yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari kata13 Consumer (dalam bahasa Inggris, Amerika), atau Consument (dalam bahasa Belanda). Secara sederhana, dalam kehidupan sehari-hari kata konsumen berarti pihak yang menggunakan barang dan jasa, sebagai lawan kata dari produsen yang berarti pihak yang menghasilkan barang dan jasa. Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Selain dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, istilah konsumen juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Undang-undang tersebut yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, batasan pengertian konsumen tersebut memiliki kesamaan dengan pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 13 A.S. Hornby (Gen. Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, “(Opp.To Producer) Person Who Uses Goods”, Oxford 1987, hlm. 183. Sehingga didalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditemukan istilah konsumen, namun yang ada hanyalah istilah “Pembeli” meskipun memiliki makna yang lebih sempit. Istilah pembeli dapatlah dikatakan sepadan dengan istilah konsumen.14 Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan presiden Amerika Serikat, Jhon .F. Kenedy dengan mengatakan “Consumers by defenition includes us all.”15 Sedangkan di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods or services for personal or family purpose.”16 Definisi ini dapat diterjemahkan bahwa konsumen diartikan sebagai orang yang memperoleh barang dan jasa untuk tujuan pribadi atau keluarga. Melihat beberapa pengertian atau batasan mengenai konsumen, baik yang tercantum dalam Undang-undang, doktrin maupun pendapat para pakar, Dapat diketahui bahwa kesemuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan masyarakat-masyarakat memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun setidaknya dari hasil perbandingan dari rumusan konsumen yang telah disebutkan, dapat disimpulkan unsur-unsur konsumen yaitu :17 1. Setiap orang, yaitu subyek konsumen yang berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa termasuk badan usaha yang memiliki makna yang lebih luas dari badan hukum. 14 15 Lihat Ketentuan-Ketentuan Tentang Jual Beli, Buku 3 Tentang Perikatan. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia : PT. Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 3. 16 17 Ibid., hlm. 4. Ibid., hlm. 5-10. 2. Pemakai atau pengguna, yaitu menurut penjelasan Pasal 1 angka (2) UndangUndang Perlindungan Konsumen, pemakai adalah konsumen terakhir yang tidak hanya melalui proses jual beli namun juga setiap pemakai yang dapat menikmati barang dan atau jasa tersebut. 3. Barang dan atau jasa yaitu sebagai pengganti pengertian secara terminologi dari produk. Dewasa ini kata “Produk” secara langsung mengacu pada pengertian barang dan jasa, produk atau barang tersebut setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak dapat dihabiskan yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,atau dimanfaatkan. 4. Tersedia dalam masyarakat artinya barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat harus tersedia dipasaran. 5. Untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain, memiliki makna untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan atau jasa tersebut juga diperuntukan bagi orang lain diluar diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk diperdagangkan, yaitu bahwa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen hanya menyangkut konsumen akhir. Sehingga hanya untuk dinikmati, dipergunakan, dipakai dan tidak untuk menarik keuntungan kembali dari barang dan jasa tersebut dengan uraian pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian konsumen memberikan batasan yang jelas dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan memberi batasan kepada hak-hak konsumen yang diperlukan khususnya dalam praktik dikehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (3) juga terdapat pengertian pelaku usaha yang menyebutkan : “Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Dengan demikian berdasarkan uraian di atas memberikan pengertian dan batasan dari konsumen, sehingga selanjutnya akan dibahas mengenai hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Kedudukan konsumen adalah sebagai subyek hukum memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat termasuk sebagai konsumen. Istilah hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya meskipun pada dasarnya berbicara mengenai hal yang sama yakni kepentingan hukum konsumen, sehingga hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur hak dan kewajiban konsumen, prosuden serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban. Menurut AZ, Nasution, yang dimaksud dengan hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen didalam pergaulan hidup. Sedangkan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.18 Dengan kata lain, pengertian yang diuraikan oleh AZ. Nasution secara rinci menyatakan bahwa Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dengan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat, itu tidak seimbang. 19 Dengan diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditujukan dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki segi-segi positif disamping segi negatifnya,20 adapun segi positifnya antara lain : 1. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang ada dapat ditanggulangi hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia konsumen. 2. Kedudukan konsumen dan penyedia produk konsumen adalah sama didepan hukum. 18 19 20 Ibid., hlm. 11. Janus Sidabalok, Op. Cit., hlm. 46. AZ. Nasution, Op. Cit., hlm. 37-38. Sedangkan segi negatifnya antara lain : 1. Pengertian dan istilah yang digunakan didalam peraturan perundangundangan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dan perlindungan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dan perlindungan konsumen. 2. Kedudukan hukum yang sama antara konsumen dan penyedia produk konsumen menjadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen “tidak seimbang lemah dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar,” dibandingkan dengan pengusaha penyedia produk konsumen, konsumen amatir berhadapan dengan pengusaha profesional. 3. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya belum mudah, cepat dan biaya murah sebagaimana dikehendaki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara skematik hukum perlindungan konsumen di Indonesia mengatur tentang 4 hal utama dalam hal pertanggung jawaban yaitu :21 1. Contractual Liability Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (Privity of Contract) antara pelaku usaha dengan konsumen; Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha (barang atau jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. 21 Budi Fitriadi, Struktur Materi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Diktat Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Unikom, 2009, hlm. 2. 2. Product Liability Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (No Privity of Contract) antara pelaku usaha (produsen barang) dengan konsumen; Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban produk, yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan. Menurut Johanes Gunawan, tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan Product Liability adalah : 1. Memberi perlindungan kepada konsumen (Consumer Protection) 2. Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen (a fair apportionment of risk between producers and consumer) 3. Professional Liability Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (Privity of Contract) antara pelaku usaha (Pemberi Jasa) dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (Inspanningsverbintenis); Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional yang menggunakan tanggungjawab perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan. 4. Criminal Liability Dalam hal hubungan pelaku usaha (barang atau jasa) dengan negara dalam memilihara keselamatan dan keamanan masyarakat (Consumer); Tanggung jawab didasarkan pada Criminal Liability, yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan, konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi dan haknya sering diabaikan oleh para pelaku usaha, dengan demikian maka hak-hak konsumen perlu dilindungi, sebagai pemakai barang atau jasa maka konsumen memiliki beberapa hak dan juga kewajiban. Konsumen sebagai pengguna barang atau jasa maka konsumen memiliki beberapa hak dan juga kewajiban. Konsumen sebagai pengguna barang atau jasa diharapkan memiliki pengetahuan yang benar tentang hak-hak dan juga kewajiban-kewajibannya sebagai konsumen. Adapun hak dalam hukum didefinisikan sebagai suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Pada dasarnya hak bersumber dari tiga hal, pertama, hal timbul dari kodrat manusia sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Kedua, hak yang lahir dari hukum yaitu hak-hak yang diberikan oleh hukum negara kepada manusia dalam kedudukannya sebagai warga negara, sedangkan yang ketiga, hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui sebuah kontrak atau perjanjian.22 Dari sudut pandang konsumen, selalu menginginkan adanya kepuasan terhadap produk (barang dan jasa) yang dikonsumsikannya. Sedangkan pelaku usaha cenderung menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis dari hubungan itu. Keinginan kedua belah pihak tersebut akan mudah untuk dicapai 22 Janus Sidabalok, Op. Cit., hlm. 35. apabila keduanya melaksanakan kewajibannya secara benar dan dengan dilandasi dengan itikad baik. Namun pada kenyataannya yang muncul seringkali konsumen tidak memperoleh apa yang diharapkannya secara maksimal akibatnya konsumen dirugikan. Untuk itu telah banyak ketentuan yang dibuat baik sifatnya nasional maupun internasional yang dapat dipakai sebagai pedoman guna memberikan perlindungan bagi kepentingan konsumen. Perserikatan bangsa-bangsa dan resolusinya Nomor 39/248 Tahun 1985 memberikan rumusan tentang hak-hak konsumen yang dilindungi oleh produsen atau pengusaha. Adapun hak-hak konsumen yang dimaksud adalah :23 1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan. 2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial, ekonomi konsumen. 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen. 4. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 5. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya. Hal ini sangat relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka, begitu pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4 telah mengatur hak-hak konsumen, yang meliputi : 23 Ibid., hlm. 38. a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan yang diperjanjikan. c. Hak informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. Hak atas didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan juga secara tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Selanjutnya, mengenai perlindungan terhadap konsumen, Prof. Hans W. Micklitz, mengutarakan dua model kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu : (1) kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen. (2) kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen. Hal ini didasarkan dalam berbagai kasus, yang dilindungi tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga harus ditindak lanjuti dengan kebijakan kompensatoris untuk meminimalkan resiko yang harus ditanggung konsumen.24 Selain itu hal tersebut diatas, terdapat prinsip-prinsip pengaturan dibidang perlindungan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan lima prinsip pengaturan perlindungan konsumen yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum. Sedangkan dalam konteks hukum perlindungan konsumen juga terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Prinsip-prinsip yang dimaksud bukan hanya mengatur perlindungan konsumen, karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjanjian sejarah hukum perlindungan konsumen yang termasuk pada doktrin atau teori tersebut,25 yaitu : 1. Let The Buyer Beware Doktrin Let The Beware merupakan asal terjadinya sengketa dibidang transaksi konsumen. Menurut teori ini, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Namum dalam perkembangannya konsumen tidak mendapatkan akses informasi yang mendalam 24 25 Shidarta, Op. Cit., hlm. 60. Ibid., hlm. 61-64. terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya sehingga pada akhirnya menimbulkan ketimpangan antara konsumen dan pelaku usaha dan apabila konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan gampang berdalil dan terkesan tidak bertanggung jawab terhadap barang dan/atau yang diproduksinya dan membebankannya kepada kelalaian dari konsumen. Menurut doktrin ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli, adalah kesalahan pembeli atau konsumen jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. 2. The Due Care Theory Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam mempromosikan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan, bila ditinjau dari beban pembuktian, penggugat (konsumen) merupakan pihak yang merasa dirugikan dan sebagai penggugat ia harus memberikan bukti-bukti yang mendukung gugatannya kepada pelaku usaha (tergugat) berdasarkan bukti-bukti tersebut pelaku usaha (tergugat) dapat membela diri. Berdasarkan hukum pembuktian Indonesia, beban pembuktian dibebankan kepada sipenggugat, Pasal 1865 KUHPerdata secara tegas mengatakan barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut dalam kenyataannya sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti untuk memperkuat gugatannya. Sebaliknya pelaku usaha dengan berbagai keunggulan relatif lebih mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan. 3. The Privity Of Contract Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan konraktual pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Walaupun secara yuridis dikatakan bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi kenyataannya konsumen adalah pihak yang biasanya didikte menurut kemauan pelaku usaha. Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat umum yang diperjanjikan adalah hal-hal yang dianggap prinsipil. Sedangkan kesalahan-kesalahan kecil tersebut, pelaku usaha dapat berdalih, dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak diatur dalam perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden); 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan); 3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan 4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak). Disamping itu juga dalam Pasal 1338 juga menyebutkan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad yang baik.” 4. Kontrak bukan merupakan syarat Dalam perkembangannya The Privity Of Contract tidak dapat dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan suatu syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen dibidang jasa. Selain beberapa teori atau doktrin perlindungan konsumen tersebut terdapat prinsip tentang tanggung jawab yang merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen,26 karena dalam kasus perlindungan konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa pihak yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab tersebut dapat dibebankan kepada pihak yang terkait. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :27 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365,1366 dan 1367, prinsip ini sangat dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat 26 27 Ibid., hlm. 72. Ibid., hlm. 73-80. dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum, jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Secara khusus dalam Pasal 1365 Undang-undang ini terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki unsur melindungi konsumen, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum memiliki empat unsur yaitu : a. Adanya perbuatan b. Adanya kesalahan c. Adanya kerugian d. Adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum pengertian hukum disini tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada pihak tergugat. Prinsip tersebut diadopsi Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditegaskan dalam Pasal 18 (1), (2), (3) serta Pasal 19 (1), (2), Pasal 22 dan 23 UndangUndang Perlindungan Konsumen. Secara khusus dalam Pasal 18 (1), (2), (3) menyebutkan : “(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli; h. Menyatakan bahwa konsumen kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.” “(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.” “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Sedangkan dalam Pasal 19 (1) dan (2) menyebutkan : “(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” “(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang yang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum jika diterapkan pada kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat, posisi konsumen sebagai pengugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha jika, jika ia gagal menunjukkan kesalahan dari pihak pelaku usaha. 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua tersebut diatas. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh : Dari prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin yang biasa dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak diminta pertanggung jawabnya. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentifikasikan dengan prinsip tanggung jawab absolut, ada yang berpendapat bahwa strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab yang lainnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Selanjutnya berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, mengamanatkan adannya Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK), yaitu suatu badan yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan. Prinsip dalam menyelesaikan sengketa di badan ini mudah, murah, cepat dan sederhana. Terdapat tiga cara dalam penyelesaian sengketa konsumen tersebut diantaranya :28 1. Cara Mediasi a. Pada sidang pertama, majelis mempersilahkan para pihak untuk melakukan negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi. 28 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm. 2. b. Majelis beupaya membantu para pihak untuk memberikan alternatif penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelasaian sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan BPSK yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis serta panitera. d. Apabila tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelesaian sengketa, maka ketua majelis mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat terhadap hasil penyelesaian sengketa. 2. Cara Konsiliasi a. Pada sidang pertama, majelis mempersilakan para pihak untuk melakukan negosiasi dalam mencari solusi atas sengketa yang dihadapi. b. Majelis berupaya mengerahkan para pihak untuk mencari menentukan alternatif penyelesaian sengketa yang dihadapi para pihak. c. Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak dalam penyelesaian sengketa, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam keputusan BPSK yang ditandatangani oleh para pihak, ketua dan anggota majelis serta panitera. d. Apabila tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak dalam penyelesaian sengketa, maka ketua majelis mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa para pihak telah sepakat untuk tidak sepakat terhadap hasil penyelesaian sengketa. 3. Cara Arbitrase a. Pada sidang pertama, majelis akan berusaha untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. b. Apabila upaya perdamaian tersebut berhasil, maka majelis akan mengeluarkan putusan perdamaian. c. Putusan perdamaian bersifat final dan mengikat. d. Apabila upaya perdamaian tidak berhasil, maka majelis akan melanjutkan persidangan untuk memutuskan sengketa tersebut. e. Putusan majelis bersifat final dan mengikat. B. Informasi dan Transaksi Elektronik Perkembangan teknologi pada saat ini tidak hanya mencakup masalah informasi saja, akan tetapi juga mencakup masalah-masalah lain khususnya masalah ekonomi. Dalam masalah ekonomi perkembangan teknologi sangat berperan dan menimbulkan persaingan usaha antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Salah satunya adalah Inter-Network (internet) yaitu suatu rangkaian komputer yang berhubungan menerusi beberapa rangkaian dan berhubungan secara global dengan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (Packet Switching Communication Protocol).29 Penggunaan internet di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat meskipun belum begitu banyak digunakan untuk tujuan-tujuan komersial dan bisnis atau transaksi perdagangan. Hal ini semakin meningkat karena didukung pula dengan peningkatan penggunaan komputer, telekomunikasi dan multimedia. 29 www.wikipedia.com Diakses Pada Tanggal 26 Maret 2009, Jam 09.30 WIB. Selanjutnya pengertian informasi dan transaksi elektronik dalam Pasal 1 angka (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan : “(1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elekronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki ari atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (2) Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.” Disamping itu pula ada pengertian mengenai jaringan sistem elektronik dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan : “(7) Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua sistem elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.” Serta dalam Pasal 1 ayat (4), (6), (21), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan : “(4) Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” “(6) Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggaraan negara, orang, badan usaha, dan /atau masyarakat.” Pasal 1 ayat (21) “(21) Orang adalah orang perorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.” Pasal 3 “Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehatian-hatian, itikad baik dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.” Pasal 5 ayat (1) “(1) Informasi elektronik dan dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.” Pasal 38 ayat (1) “(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.” Pasal 39 ayat (1) “(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.” Ada beberapa peraturan yang berhubungan erat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diantaranya30 : 30 Menuju Kepastian Hukum Dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007, hlm. 12-21. 1. Yuridiksi Pengaturan teknologi informasi yang diterapkan oleh suatu negara berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatannya baik yang berada di wilayah negara tersebut maupun di luar negara apabila perbuatan tersebut memiliki akibat di Indonesia. Butuhnya pengaturan yuridiksi ekstra teritorial dikarenakan suatu tindakan yang merugikan kepentingan orang atau negara dapat dilakukan di wilayah negara lain. Oleh karena itu, peraturan mengenai Cyberlaw harus dapat mencakup perbuatan yang dilakukan diluar wilayah Indonesia tapi merugikan kepentingan orang atau negara dalam wilayah Indonesia. 2. Asas dan Tujuan Ada beberapa asas yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan teknologi informasi. Asas pertama adalah kepastian hukum dimana diperlukannya suatu peraturan tertulis agar peraturannya dapat berlaku secara seragam tanpa adanya perbedaan dalam penerapan hukumnya. Asas kedua adalah asas manfaat, dimana teknologi informasi digunakan untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Kemudian asas yang harus diperhatikan adalah asas kehati-hatian, mengingat bahwa teknologi ini selain dapat membawa manfaat yang besar, juga dapat menimbulkan kerugian. Teknologi informasi harus digunakan sebaik-baiknya dengan itikad yang baik. Asas yang terakhir adalah asas netral teknologi dimana tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpan informasinya secara elektronik, sehingga peraturannya dapat mencakup perkembangan teknologi. Salah satu keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi adalah teknologi amat memudahkan penggunaannya untuk menyebarkan informasi secara global. Akibatnya pengguna juga mendapatkan akses informasi dunia secara mudah. Karena sifat ini, teknologi informasi sering kali disebut sebagai teknologi yang tidak mengenal wilayah (borderless). Oleh karena itu, salah satu tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik antara lain adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Selain itu, dengan sifat borderless teknologinya, maka terbuka peluang baru secara ekonomi. Perdagangan dan perekonomian nasional dapat diperluas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Teknologi informasi juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal agar tercapainya keadilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya dibidang teknologi informasi secara bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia. 3. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik Dengan meningkatnya aktifitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat dijadikan bukti yang sah secara hukum. Untuk memudahkan pelaksanaan penggunaan bukti elektronik (baik dalam bentuk elektronik atau hasil cetak), maka bukti elektronik dapat disebut sebagai perluasan alat bukti yang sah, sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun bukti elektronik tidak dapat digunakan dalam hal-hal spesifik, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya perkawinan, surat-surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak, dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan juga dokumen lainnya yang menurut peraturan perundang-undang mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang. 4. Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik Penentuan waktu kejadian merupakan salah satu pertimbangan penting secara hukum. Oleh karena itu, dalam pengaturan teknologi informasi, penentuan masalah waktu pengiriman dan penerimaan harus diatur secara khusus agar dapat terciptanya kepastian yang berkaitan dengan waktu kejadian. Hal ini mengingat bahwa suatu informasi yang dikirim belum tentu lansung dibaca, dilihat atau didengar oleh penerima. Suatu informasi elektronik dianggap telah dikirim apabila informasi tersebut telah dikirim ke alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang digunakan oleh penerima dimana pesan berada diluar kendali pengirim setelah informasi memasuki sistem tersebut. Sementara suatu informasi dianggap telah diterima apabila informasi tersebut telah memasuki sistem elektronik dibawah kendali atau sistem elektronik yang telah ditunjuk oleh penerima yang dituju. Namun sudah melakukan perjanjian untuk mempermudah komunikasi mereka. Jika terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman ataupun penerimaan informasi elektronik, maka : a. Waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim. b. Waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada dibawah kendali penerima. 5. Transaksi Elektronik Berdasarkan pada kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka perdagangan pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan jarak. Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik ataupun lingkup privat. Pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa secara elektronik wajib menyediakan informasi mengenai syarat-syarat kontrak, produsen dan produk secara lengkap dan benar. Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Oleh karena itu kontrak elektronik harus juga mengikat para pihak. Dan seperti halnya kontrak konvensional, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik yang sifatnya internasional. Selain itu para pihak juga memiliki kewenangan untuk menentukan forum penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau melalui metode penyelesaian sengketa alternatif. Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum dalam kontrak elektronik internasional, maka prinsip yang digunakan adalah prinsip yang terkandung dalam hukum perdata internasional. Sebelum melakukan transaksi elektronik, maka pihak menyepakati sistem elektronik yang akan digunakan untuk transaksi. Setelah itu, transaksi elektronik baru terjadi jika adanya penawaran yang dikirimkan kepada penerima dan adanya persetujuan untuk menerima penawaran setelah penawaran diterima secara elektronik. Persetujuan harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Dalam melakukan transaksi elektronik, pihak yang terkait sering kali mempercayakan pihak ketiga sebagai agen elektronik. Persoalan informasi dan teknologi informasi tidak terlepas dari masalah hukum telekomunikasi. Dalam hal ini hukum telekomunikasi merupakan bidang yang cukup luas dan menyangkut berbagai bidang lainnya diluar telekomunikasi, namun pembahasan hukum telekomunikasi akan berkaitan dengan bidang hukum lain, misalnya hukum perjanjian (contohnya perjanjian interkoneksi, kerja sama penyelenggaraan jasa dan sebagainya), berhubungan dengan ruang angkasa dan juga hukum perdata internasional. Kemajuan telekomunikasi bagi pengguna jasa telekomunikasi merupakan hal yang sangat menguntungkan karena kemajuan telekomunikasi merupakan kemajuan pula bagi bidang usahanya, sedangkan kemajuan telekomunikasi tersebut memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Kemajuan telekomunikasi menyebabkan semakin mudah terjadinya hubungan antara pihakpihak tanpa memandang jarak yang memisahkannya. Hal ini tentunya memerlukan adanya perangkat yang mengatur agar tidak terjadi penyalagunaan kemudahan itu. Kemajuan yang terjadi dibidang telekomuniksi memang tidak boleh hanya terjadi dibidang teknologi saja melainkan juga harus disertai oleh bidang hukum. Sehingga dalam Undang-Undang Tentang Telekomunikasi tampak pengaruh perkembangan teknologi, contohnya didalam Undang-Undang Telekomunikasi yang baru terdapat tambahan sistem “optik” yang tidak terdapat pada UndangUndang sebelumnya. Begitu pula pada objek telekomunikasi ditambah dengan kata-kata “Segala informasi dalam bentuk apapun” dalam hal ini tampak bahwa pembuat undang-undang ingin mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan teknologi telekomunikasi, diantaranya perkembangan Internet yang sangat mempengaruhi sektor telekomunikasi antara lain dengan digunakannya internet sebagai protokol untuk penyampaian komunikasi melalui suara yang dikenal dengan istilah voice over internet protocol (VOIP) yang oleh beberapa penyelenggara telekomunikasi digunakan sebagai alternatif hubungan telekomunikasi yang lebih murah.31 Telekomunikasi memungkinkan terjadinya hubungan antara suatu pihak dengan pihak lain, dan dengan terjadinya hubungan ini, akan terjadi pula hubungan-hubungan diberbagai bidang kehidupan baik yang terjadi antara individu antar kelompok dan juga antar negara sehingga dibutuhkan hukum yang mengatur dan menata setiap hubungan yang terjadi. Oleh karena itu pengaturan bidang telekomunikasi di Indonesia terdiri dari Undang-undang peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan yang dikeluarkan oleh direktur jenderal yang menbidangi telekomunikasi dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh badan regulasi telekomunikasi. Disamping itu terdapat pedoman teknik yang harus dipatuhi oleh operator telekomunikasi Indonesia yaitu Fundamental Technical Plan (FTP) yang ditetapkan oleh menteri perhubungan dan cetak biru kebijakan pemerintah dibidang telekomunikasi.32 Dengan demikian, regulasi telekomunikasi di Indonesia33 terdiri dari : 1. Undang-Undang Telekomunikasi Peraturan dasar dibidang telekomunikasi adalah Undang-Undang Nomor 36 Tentang Telekomunikasi yang diundangkan pada tanggal 8 September 1999 menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi. 31 32 33 Ibid., hlm. 21. Ibid., hlm. 89. Ibid., hlm. 90-93. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (selanjutnya disebut Undang-Undang Telekomunikasi) tersebut merupakan peraturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia. Dengan merupakan hasil diterbitkannya peraturan Undang-Undang kembali Telekomunikasi penyelenggaraan adalah telekomunikasi di Indonesia, hal ini diperlukan mengingat perubahan gobal dan perkembangan teknologi komunikasi yang belangsung cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar dibidang Telekomunikasi telekomunikasi dibentuk sebagai oleh karena penyesuaian itu Undang-Undang kembali terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Undang-Undang Telekomunikasi yang baru berbeda dalam beberapa hal dengan Undang-Undang yang lama yaitu dalam hal penarifan dan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan UndangUndang Telekomunikasi yang lama penarifan strukturnya diatur oleh pemerintah yaitu mengenai pasang baru, biaya bulanan dan biaya aktifitas dan lainnya, sedangkan menurut Undang-Undang Telekomunikasi yang baru, pemerintah hanya menetapkan susunan dan formula tarif sedangkan besarnya ditetapkan oleh penyelenggaraan telekomunikasi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, merupakan peraturan dasar yang menjadi payung bagi Undang-Undang yang berkaitan dengan telekomunikasi. Undang-Undang Telekomunikasi menjadi acuan dasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang mengatur secara umum pedoman dalam melakukan reformasi yaitu karena dalam UndangUndang Telekomunikasi memiliki lima landasan filosofis34 yakni sebagai berikut : 1. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa. 3. Bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi. 4. Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi memerlukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. 5. Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti. Asas penyelenggaraan telekomunikasi menurut Undang-Undang Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. Selanjutnya, Undang-Undang Telekomunikasi menyebutkan tujuan dalam penyelenggaraan telekomunikasi 34 yakni untuk mendukung kesatuan dan Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 238. persatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi ini dapat dicapai antara lain melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka kesempatan lebih banyak bagi pengusaha kecil dan menengah dan dalam Undang-Undang Telekomunikasi disebutkan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. 2. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang telekomunikasi terdiri dari peraturan pemerintah dan keputusan menteri yang membawahi telekomunikasi, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Telekomunikasi untuk mengatur masalah-masalah teknis dan operasional dalam menyelenggarakan telekomunikasi. Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana tersebut diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Sedangkan keputusan menteri yang telah dikeluarkan antara lain adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 28 Tahun 2004 Tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004 Tentang Perubahan KM.20 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Disamping sebagai peraturan pelaksana, Peraturan pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi juga perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan jasa telekomunikasi, sehingga dikeluarkan Keputusan Menteri Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Keputusan Menteri tersebut memberikan pengertian yang dibutuhkan dalam telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi termasuk didalammya pengaturan penyelenggaraan jasa multimedia yang merupakan bagian dalam pengaturan internet, tata cara perizinan dari tarif pengaturan tersebut juga digunakan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler. 3. Keputusan Dirjen Postel Keputusan Dirjen Postel dikeluarkan sebagai petunjuk pelaksana dan keputusan menteri, sebagai contoh adalah keputusan Dirjen Postel (Kep. Dirjen Postel) Nomor 05/ Dirjen/ 1995 Tentang Penetapan Standar dan Peralatan Telekomunikasi, Kep. Dirjen Postel Nomor 17/Dirjen/1995 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan jasa rekaman telepon dan Kep. Dirjen Postel Nomor 01/ Dirjen/2003 Tentang Telekomunikasi. Dirjen Tata Cara postel Pelabean bersama-sama Alat dan dengan atau komite Perangkat regulasi telekomunikasi menjalankan tugas BRTI sebagai sebagai regulator bidang telekomunikasi. Semua keputusan BRTI dikeluarkan dalam bentuk keputusan Dirjen postel. BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA LAYANAN OPERATOR JARINGAN INTERNET A. Hak dan Kewajiban Pengguna Internet Dalam kontrak berlangganan antara pengguna dan perusahaan penyelenggara operator seluler dicantumkan yang menjadi hak dan kewajiban pengguna internet, yaitu: Hak-Hak Pelanggan :35 1. Mendapatkan informasi mengenai tarif secara transparan dari perusahaan penyelenggara operator seluler, sekurang-kurangnya melalui brosur, leaflet, pengumuman, surat kabar atau media massa lainnya. 2. Mendapatkan informasi mengenai spesifikasi teknis, sifat-sifat dan karakteristik umum yang disediakan perusahaan penyelenggara operator seluler. 3. Mendapatkan informasi tentang besarnya tagihan. 4. Mengajukan permintaan perubahan atau mutasi jenis (kecepatan) layanan dengan mengisi formulir yang tersedia. 5. Menerima restitusi pembayaran tagihan, apabila terbukti ada kesalahan tagihan yang dilakukan oleh pihak perusahaan penyelenggara operator seluler. 35 KONTRAK BERLANGGANAN SAMBUNGAN TELEKOMUNIKASI “TELKOM Speedy” Antara PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk DENGAN PELANGGAN Nomor : K.TEL 100/HK810/RE3DO162/2007 PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk DIVISI REGIONAL III JAWA BARAT DAN BANTEN. Kewajiban Pelanggan : 1. Membayar biaya pemasangan sambungan berlangganan antara lain : biaya pasang baru, aktivitasi fasilitas atau fitur, mutasi (sesuai jenis layanan yang diminta pelanggan), informasi tagihan jasa telekomunikasi dan biaya lainnya, yang besarnya sesuai dengan aturan yang berlaku. 2. Menyediakan instalasi kabel rumah pelanggan atas biaya pelanggan. 3. Membayar biaya jaringan dan biaya atas pemakaian sambungan tepat pada waktunya sesuai dengan tagihan perusahaan penyelenggara operator seluler. 4. Membayar biaya denda atas keterlambatan pembayaran tagihan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5. Memberikan kesempatan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler untuk memeriksa instalasi kabel rumah pelanggan guna memastikan sambungan telekomunikasi dapat berfungsi dengan baik. 6. Memilihara instalasi kabel rumah pelanggan agar selalu dalam keadaan baik. 7. Melaporkan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler jika sambungan mengalami gangguan atau kerusakan. 8. Melaporkan secara tertulis kepada perusahaan penyelenggara operator seluler atas setiap pemindah tanganan hak, tanggung jawab dan atau kewajiban pelanggan kepada pihak lain. 9. Memberitahukan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler secara tertulis apabila bermaksud berhenti berlangganan sementara atau meneruskan kontrak ini. 10. Memberitahukan kepada perusahaan penyelenggara operator seluler secara tertulis apabila pelanggan menginginkan adanya perpindahan alamat tagihan. 11. Menjaga keamanan password dan data akses pelanggan lainnya dari pihak yang tidak bertanggung jawab. 12. Memastikan komputer dan modem dalam keadaan mati apabila tidak digunakan, sehingga dapat meminimasi kemungkinan komputer pelanggan terinfeksi virus dan menghindari timbulnya usage. 13. Mengontrol data download agar bebas dari virus dengan selalu melakukan updating anti virus diterminal komputer pelanggan sehingga data download yang tidak wajar dan tidak terkendali bisa terhindar. B. Tanggung Jawab Penyelenggara Jaringan Sistem Elektronik Dalam kedudukan Peusahaan penyelenggara operator seluler sebagai penyedia jasa internet, perusahaan penyelenggara operator seluler juga mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam pelaksanaan penyediaan jasa internet sama halnya dengan jasa internet. Adapun kewajiban yang menjadi tanggung jawab perusahaan penyelenggara operator seluler adalah :36 1. Memberikan pelayanan yang baik, jujur dan transparan kepada pelanggan. 2. Memilihara jaringan akses agar tetap dapat berfungsi dengan baik. 36 Ibid. 3. Memberikan informasi sekurang-kurangnya mengenai tarif mengumumkan dan melalui perubahannya mass media sebelum tanggal berlakunya, tanggal perubahannya atau dalam bentuk brosur atau buku tarif. 4. Mengirimkan informasi tagihan jasa telekomunikasi ke alamat tagihan pelanggan. 5. Menyediakan informasi tagihan jasa telekomunikasi yang sewaktu-waktu dapat diakses oleh pelanggan. 6. Perusahaan penyelenggara operator seluler tidak menjamin kualitas layanan apabila pelanggan menggunakan satu sambungan layanan untuk lebih dari empat terminal. Sementara itu, hak-hak perusahaan penyelenggara operator seluler Sebagai Penyedia Jasa Internet adalah : 1. Mengadakan perubahan jaringan akses dan atau perubahan nomor, apabila dilakukan dengan mengharuskan dilakukan perubahan tersebut dengan didahului pemberitahuan oleh perusahaan penyelenggara operator seluler sekurang-kurangnya 2x24 jam. 2. Menerima pembayaran secara tepat waktu dari pelanggan sesuai dengan tagihan. 3. Menolak permintaan ganti nomor yang diajukan pelanggan apabila secara teknis dan administrasi tidak memungkinkan. 4. Memeriksa instalasi pelanggan dapat berfungsi dengan baik. 5. Mengenakan sanksi kepada pelanggan sesuai dengan aturan yang berlaku. Adapun dasar regulasi dan tarif pada internet sebagai berikut : 1. Dasar Regulasi Internet Kemajuan telekomunikasi tentunya memerlukan perhatian pula dari setiap pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pengguna jasa telekomunikasi. Kemajuan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena kemajuan telekomunikasi yang pesat berarti kemajuan pula bagi bidang uasahanya. Bagi pemerintah kemajuan telekomunikasi memerlukan perhatian yang lebih khusus pula, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah merampung segala perkembangan yang ada dan yang akan ada dan menuangkannya dalam Undang-Undang Telekomunikasi. Sebagai contoh dalam Undang-Undang Tentang Telekomunikasi tampak pengaruh perkembangan teknologi yaitu terdapat tambahan sistem “Optik” yang tidak terdapat pada undang-undang sebelumnya, begitu pula dengan objek telekomunikasi ditambah dengan kata-kata “Segala informasi dalam bentuk apapun”. Dalam hal ini tampak bahwa regulator ingin mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan teknologi telekomunikasi, diantaranya perkembangan internet yang sangat mempengaruhi sektor telekomunikasi antara lain dengan menggunakan internet sebagai protocol untuk penyampaian komunikasi melalui suara yang dikenal dengan istilah Voice Over Internet Protocol (VOIP) yang oleh beberapa penyelenggara telekomunikasi digunakan sebagai alternatif hubungan telekomunikasi yang lebih murah. Fungsi regulator telekomunikasi selama ini dijalankan oleh Departemen Perhubungan dibawah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang merupakan bagian dari pemerintah Indonesia, badan tersebut memiliki tanggung jawab dalam mengatur telekomunikasi dan menuangkannya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah tertulis maupun tidak tertulis baik yang lingkup berlakunya mencakup suatu negara maupun tidak tertulis secara bilateral maupun secara internasional meliputi beberapa negara. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengaturan, perusahaan operator tetap memerlukan Undang-Undang Telekomunikasi sebagai dasar hukum dan dituangkan dalam pengaturan pemerintah sebagai pelaksana dari UndangUndang. Adapun dasar regulasi internet didasarkan pada Undang-Undang Nomor Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi merupakan Undang-Undang Pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi. Sementara itu, perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar atau melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil penyatuan dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan peraturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Selain hal tersebut penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi ditingkat nasional merupakan hal yang cukup penting, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi atau penguasaan teknologi telekomunikasi dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perkembangan teknologi telekomunikasi ditingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Berdasarkan hal-hal tersebut, dibutuhkan peran pemerintah yang dititikberatkan pada pembinaan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Oleh karena itu hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, termasuk penyelenggaraan telekomunikasi, merupakan sumber daya alam terbatas yang dikuasai oleh negara. Dengan tetap berpijak pada arah kebijakan pembangunan nasional dan internasional, terutama dibidang teknologi komunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi dianggap sudah tidak sesuai sehingga perlu diganti dan diperbarui dengan Undang-Undang yang diharapkan dapat menampung segala hal yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan telekomunikasi sehingga bidang telekomunikasi dapat dibina dan diselenggarakan sesuai dengan perkembangan yang terjadi sehingga dikeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. 2. Dasar Pengaturan Tarif Dalam Undang-Undang Telekomunikasi tarif diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28, disebutkan susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi struktur dan jenis tarif yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan struktur dan jenis tersebut, penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan besaran tarif. Struktur tarif terdiri dari biaya pasang baru, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan dan biaya jasa tambahan. Sedangkan jenis tarif terdiri dari pulsa lokal, tarif pulsa, sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), tarif pulsa sambungan langsung internasional (SLI) dan air time untuk jasa sambungan telepon bergerak. Undang-Undang Telekomunikasi sebagai Undang-Undang yang pertama mengatur telekomunikasi belum menjelaskan dan mengatur tarif jasa multimedia yang merupakan bagian dari internet. C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak dan Kewajiban Pengguna Internet Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tidak tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi penegakan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Kenyataan saat ini hal yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun. Salah satu kasus yang terjadi adalah37 mengenai kesalahan billing (penagihan) pada Telkom Speedy, dimana kasus tersebut berawal pada akhir Tahun 2006 PT. TELKOM melalui Telkom Speedy sebagai penyedia jasa layanan internet (Internet Service Provider/ ISP), diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Telkom Speedy menggunakan koneksi internet dengan perangkat Asymmetric Digital Subscriber Line (ADSL), yaitu teknologi untuk mentransfer data digital pada bandwidth yang sangat tinggi pada jalur telepon biasa. 37 www.detik.com Op. Cit., Diakses Pada Tanggal 22 Februari 2009, Jam 11.30 WIB. Perangkat ADSL Telkom ini diketahui belum mendapat sertifikasi dari ditjen postel sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan ini merugikan konsumen, karena tidak adanya jaminan kualitas layanan dan perangkat. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan sistem tagihan (billing) pada Telkom Speedy yang merugikan penggunanya. Kekacauan sistem billing Telkom Speedy mengakibatkan pembengkakan tagihan pengguna, komplikasi masalah otentikasi, pengguna juga mendapat tagihan terhadap akses tidak sah yang sebenarnya tidak dilakukannya. Penghitungan sistem billing Telkom Speedy ini sebenarnya mengacu pada hitungan dua pihak, yaitu Telkom itu sendiri dan Plasa.com sebagai pihak kedua, akan tetapi terdapat perbedaan hitungan diantara kedua pihak ini dan pihak Telkomlah yang melakukan kesalahan, sedangkan Plasa.com melakukan penghitungan secara benar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kesalahan penghitungan billing ini terjadi pada pengguna yang memilih paket berlangganan Speedy berdasarkan sistem volume based, yaitu besar kecilnya tagihan ditentukan oleh jumlah pemakaian internet perbyte. Terdapat dua jenis paket dalam sistem volume based ini yaitu paket 500 MB (Megabyte) dan 1000 MB. Dalam kasus ini banyak pengguna Speedy yang melaporkan bahwa jumlah tagihan yang harus dibayar kepada Telkom tidak sesuai dengan apa yang telah mereka gunakan. Seorang pengguna Telkom Speedy yang bernama Andi, melaporkan bahwa bulan Desember lalu jumlah pemakaian internet sebesar 1418 MB, padahal kuota yang dimilikinya hanya sebesar 500 MB. Untuk itu dia diharuskan membayar tagihan yang tidak seharusnya. Setelah dia memeriksa di Plasa.com, ternyata terdapat perbedaan angka hitungan pemakaian per-byte antara Telkom dan Plasa.com. Misalnya pemakaian yang tercatat adalah 600 Kilobyte (0,6 Megabyte), karena sistem penghitungan billing Telkom tidak mampu menampung jumlah digit tersebut, maka data pemakaian dibulatkan menjadi 1 digit, yaitu 1 Megabyte. Jika setiap 1 MB pengguan dikenakan Rp. 1300 maka pembulatan yang dilakukan terus-menerus ini tentunya akan membengkakan tagihan akhir. Sedangkan penghitungan billing pada plasa.com dilakukan secara real time, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Menurut catatan Plasa.com dan sofware usage meter yang terdapat pada komputer milik Andi, pemakaian internet yang dilakukan oleh Andi hanya sebesar 472 MB sementara selama ini yang ditagihkan kepada Andi maupun pengguna lainnya adalah tagihan yang dibulatkan, hal inilah yang menimbulkan kerancuan. Pada waktu pihak Telkom pun mengklaim bahwa penghitungan billing yang benar adalah penghitungan yang dilakukan oleh Telkom dan tidak mengakui penghitungan billing yang dilakukan menurut pihak Plasa.com dan sofware pencatat pemakaian internet yang dimiliki oleh setiap pengguna Telkom Speedy pada masing-masing komputernya. Selain itu kelemahan billing Telkom Speedy, tidak mempunyai rincian detail transaksi terpisah untuk layanan Internet. Billing Telkom Speedy digabung dengan tagihan Jastel lain atau dengan tagihan telepon. Hal ini menyebabkan kerancuan sering terjadi, pengguna sulit melacak komponen biaya yang tercantum sehingga khawatir akan adanya manipulasi komponen biaya tersembunyi. Hal inilah yang menyebabkan pengguna Telkom Speedy merasa dirugikan dan tertipu oleh pihak Telkom. Telkom Speedy seharusnya transparan dalm sistem penagihan billing yang dilakukannya. Pengguna Telkom Speedy menganggap bahwa Telkom telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tepatnya Pasal 7 butir b yang menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pihak Telkom pun belum memberikan klarifikasi atas kejadian tersebut. PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk, merupakan perusahaan penyelenggaraan informasi dan telekomunikasi (Information and Communication) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap yang terbesar di Indonesia. 38 Telkom menyediakan jasa telepon tidak bergerak kabel (Fixed Wire line), (cellular), data dengan internet dan network dengan interkoneksi baik secara langsung maupun melalui perusahaan asosiasi. Keberadaan Telkom sebagai operator terbesar merupakan suatu hal yang sesuai dengan visi Telkom untuk menjadi perusahaan informasi dan telekomunikasi (Information and Telecommunication) yang terkemuka di kawasan regional untuk tetap mempertahankan predikat tersebut, Telkom melakukan berbagai upaya untuk tetap unggul dan memimpin pada seluruh produk dan layanan dibidang informasi dan telekomunikasi. Salah satu bidang telekomunikasi yang sedang berkembang dan dibutuhkan oleh masyarakat yaitu kebutuhan akan sarana informasi yang cepat, murah dan praktis, salah satunya adalah layanan internet. Seperti yang diketahui Indonesia membutuhkan sedikitnya 25 juta unit komputer guna meningkatkan penetrasi internet yang hingga akhir Tahun 2006 diperkirakan mencapai 20 juta 38 www.wikipedia.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2009, Jam 09.30 WIB. pengguna.39 Melihat hal tersebut sebagai perusahaan terbesar yang bergerak dalam bidang informasi dan telekomunikasi, Telkom mengeluarkan layanan Speedy yang diharapkan dapat mengatasi kebutuhan akan bidang internet. Speedy adalah produk layanan internet (Internet Service) berkecepatan tinggi dari PT. Telkom, berbasis Asymetric Digital Subsecriber Line (ADSL)40 yang memungkinkan terjadinya komunikasi data, voice dan video secara bersamaan, pada media jaringan akses kabel tembaga (Line telepon). Speedy memberikan koneksi ke internet yang lebih cepat dibandingkan menggunakan layanan Dial Up biasa koneksi Speedy memiliki kecepatan mengunduh (Down Stream) hingga maksimal 384 kbps dan kecepatan mengunggah (Up Stream) mencapai maksimal 64 kbps. Untuk mengakses Speedy pengguna harus mempergunakan modern ADS (layanan ADSL merupakan penyebab utama perbedaan kecepatan transfer data antara modern ADSL dengan modern konvensial (yang bekerja pada frekuensi dibawah 4 KHz). Keuntungan ADSL adalah pengguna internet dapat tersambung dengan internet dan tetap dapat menggunakan telepon, menerima dan menelpon, kecepatan yang lebih tinggi dari modem biasa, tidak memerlukan kabel baru dan memungkinkan menggunakan kabel telepon yang ada memberikan kemampuan akses internet berkecepatan tinggi dan suara atau fax. Disisi lain ADSL juga memiliki sisi negatif yang dapat menyebabkan kerugian bagi penggunanya. Kerugian tersebut antara lain adalah sambungan ADSL akan bekerja dengan sempurna jika lokasi penggunaan lebih dekat 39 Bisnis Indonesia, 29 November 2007, hlm. 2. ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line) adalah suatu teknologi modem yang bekerja pada frekuensi antara 34 KHz sampai 1104 KHz, inilah penyebab utama perbedaan kecepatan transfer data antara modem ADSL dengan modem konvensional (yang bekerja pada frekuensi bawah 4 KHz). Keuntungan ADSL adalah memberikan kemampuan akses internet berkecepatan tinggi dan suara atau fax secara simultan (disisi pelanggan dengan menggunakan splitter untuk memisahkan saluran telepon dan saluran modem). 40 dengan sentral telepon, sambungan ADSL lebih cepat menerima data daripada mengirim data melalui internet, kabel tembaga tua dapat menurunkan kualitas sambungan dan menurunkan kecepatan dan jasa ADSL tidak terdapat di wilayah yang tidak memiliki kabel telepon. Koneksi internet dapat dilakukan setiap saat dimana setiap hubungan sifatnya sementara (Dedicated Conection) koneksi memiliki sifat yang tahan uji (Lighly Reliability) dan aman (Highly Secure) tidak seperti modem kabel, ADSL memberikan jaringannya hanya melalui kabel ke internet sehingga tidak semua jaringan telepon dapat digunakan untuk layanan Speedy, untuk dapat melakukan koneksi41 ADSL diperlukan kualitas jaringan telepon yang cukup baik serta alat digital multiplekser sehingga Telkom terdekat dapat melayani jaringan telepon yang ingin dikoneksikan dengan Speedy untuk melakukan koneksi internet, modem ADSL melakukan 2 tahap koneksi, yaitu koneksi ADSL dari modem ke digital multiplekser di sistem operasi terdekat dan koneksi internet ke Broad Band Remote Acces Server (BBRAS), untuk menyesuaikan nama pengguna dan password pelanggan. Dalam hal keamanan, karena kecepatannya Speedy seringkali merupakan “Jembatan yang tidak aman” bagi komputer dan menyebabkan rentan terhadap sensor, serangan maya. Untuk itu pengguna Speedy dan koneksi internet pada umumnya seharusnya menginstal firewall dan anti virus yang mampu untuk meminimalisasikan serangan-serangan maya dari virus yang dapat menghambat proses dalam penggunaan layanan internet Speedy. 41 www.wikipedia.com Op. Cit., Diakses Pada Tanggal 23 Februari 2009, Jam 10.45 WIB. Undang-Undang Telekomunikasi menyebutkan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi meliputi : a). Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi b). Penyelenggaraan jasa telekomunikasi c). Penyelenggaraan telekomunikasi khusus Adapun internet merupakan penyelenggaraan telekomunikasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, sehingga pengaturan internet termasuk pengaturan akan internet Telkom Speedy juga harus merujuk kepada Undang-Undang Telekomunikasi sebagai dasar pengaturannya. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi diwajibkan untuk : Pertama, menyediakan fasilitas telekomunikasi yang menjamin adanya kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik. Kedua, penyelenggara jasa telekomunikasi di tuntut untuk tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa telekomunikasi. Ketiga, penyelenggara jasa telekomunikasi diwajibkan untuk melakukan pencatatan atau perekam pemakaian jasa telekomunikasi serta wajib menyimpan catatan atau rekaman dimaksud sekurang-kurangnya selama tiga bulan, sehingga pengguna jasa telekomunikasi dapat membayar sesuai dengan jasa telekomunikasi yang digunakan. Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan untuk keperluan sendiri, pertahanan serta keamanan negara dan penyiaran penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan jika keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh jaringan dan jasa telekomunikasi, lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi serta kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi tersendiri dan terpisah. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus dibatasi untuk tidak melakukan penyelenggaraan telekomunikasi diluar peruntukkannya, disambungkan kejaringan telekomunikasi lainnya dan memungut biaya dalam bentuk apapun atas pengeoperasiannya. Penyelenggaraan telekomunikasi diwajibkan untuk memberikan ganti rugi terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya yang menimbulkan kerugian langsung kepada pengguna jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Sebaliknya, penyelenggaraan jaringan telekomunikasinya karena ada kegiatan atau permintaan dari instansi atau departemen atau lembaga atau pihak lain. Perkembangan teknologi telekomunikasi menuntut dan mempengaruhi perkembangan dibidang teknologi sehingga tarif jasa multimedia yang semula belum diatur dalam Undang-Undang Telekomunikasi, kemudian dicantumkan pada PP Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang tercantum pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 37. Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan bahwa jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan tetap dan bergerak salah satunya adalah tarif jasa multimedia yang mencakup internet didalamnya. Sedangkan struktur tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi tidak mendapat perubahan, sama seperti struktur tarif yang terdapat pada Undang-Undang Telekomunikasi. Namun, secara lebih khusus pengaturan tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi, khususnya jasa multimedia dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi yang tercantum dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Pada Pasal 77 disebutkan jenis tarif jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan tetap terdiri atas jenis tarif jasa telepon dasar sambungan lokal, sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI), tarif jasa nilai tambah telepon dan jenis tarif jasa multimedia. Sedangkan tarif jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan bergerak terdiri atas tarif air time, tarif jelajah dan tarif jasa multimedia. Sedangkan struktur tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri atas biaya aktifasi, biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan dan biaya fasilitas tambahan. Besaran tarif jasa multimedia ditetapkan oleh penyelenggara jasa multimedia dan besaran tarifnya tersebut ditetapkan berdasarkan biaya dengan perhitungan yang transparan, apabila terjadi perubahan besaran tarif maka terlebih dahulu harus melaporkan rencana penetapan atau perubahan besar tarif laporan tersebut harus dilengkapi dengan cara perhitungan dan data pendukung yang digunakan dalam menetapkan perubahan besar tarif. Speedy dalam peraturan tarifnya mengacu kepada ketiga peraturan diatas. Namun dalam pelaksanaannya, Speedy memerlukan peraturan yang dikeluarkan oleh Telkom yang mengatur Speedy didalam praktiknya dengan para pelanggan Speedy. Dalam standar pelayanan Speedy dengan ketentuan yang berlaku, sebagai bagian dari strategi pemasaran kebijakan harga (Pricing) harus melalui direktorat konsumen yang terlebih dahulu sudah berkoordinasi dengan product owner (Unit bisnis telkom yang bertanggung jawab atas pengelolaan produk Speedy) dengan mempertimbangkan Cost of Goods Sold (COGS) Speedy, tingkat penetrasi yang ditargetkan dan segmen yang dituju. Penetapan harga harus menghindari terjadinya pemberatan terhadap pelanggan Speedy. Sedangkan proses pencatatan pemakaian (usage)42 internet, dilakukan ketika pelanggan log in atau menyalakan modern billing sytsem akan mencatat user id yang digunakan dan mencatat waktu start session, dan ketika log out, atau mematikan modem billing system akan mencatat waktu stop session dan jumlah usage (download and upload) billing system akan mengirimkan data lengkap session pelanggan ke database. Setelah satu bulan, seluruh pemakaian pelanggan akan dikumulasikan untuk diproses dan dicatat dalam tagihan yang harus dibayar oleh pelanggan setiap bulannya. Billing System (Sistem tagihan)43 Internet Speedy dilakukan dengan cara: a. Proses Collection dan Cleansing Data Radius Proses collection merupakan proses pengumpulan jumlah pemakaian setiap bulannya, sedangkan proses cleansing data radius merupakan proses penyaringan data yang telah dikumpulkan dari proses collection dan dipisahkan antara data yang dapat dikenakan biaya dan yang tidak. Kriteria data yang dapat dikenakan biaya yaitu volume atau durasi tidak nol, tidak overlap antar session selama lima menit, dan tidak double session. Setelah proses tersebut, data yang telah diperoleh dikirim kepada data base telkom untuk dikonversikan. b. Proses Rating dan Charging Proses rating dan charging dilakukan dengan perhitungan yaitu bahwa pemakaian bulanan adalah jumlah kumutatif usage per session untuk periode satu bulan tagihan dan konversi kesatuan 42 Usage adalah jumlah mybte yang digunakan ketika melakukan akses internet baik itu download (aktifasi akses internet) untuk memindahkan data atau file atau aplikasi yang ditransfer oleh mesin setelah pengguna internet melakukan permintaan terhadap data atau file di halaman website) dan upload (aktifasi pengguna internet ketika melakukan permintaan terhadap suatu data atau file atau aplikasi di suatu halaman website). 43 www.Wikipedia.com, Op. Cit. mybte. Kuota pemakaian adalah jumlah pemakaian bulanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan jenis layanan yang digunakan. Kelebihan pakai (excess usage) adalah jumlah pemakaian bulanan dikurangi dengan jumlah kuota pemakaian dengan satuan mybte. Tagihan atas pemakaian bulanan terdiri atas biaya berlangganan sesuai jenis layanan, biaya kelebihan pakai, biaya fitur dan data tersebut dicatat didalam tagihan pelanggan dan jumlah tersebut merupakan biaya pemakaian pelanggan setiap bulannya. Proses pembayaran mekanisme tagihan pembayaran layanan yang sama Speedy dengan menggunakan mekanisme pembayaran layanan POTS yaitu pembayaran tagihan telepon yang dilakukan oleh Telkom, sebelum melakukan pembayaran telkom menyediakan informasi tagihan dan informasi detail pemakaian layanan Speedy yang dapat diakses oleh pelanggan melalui layanan log dan melalui website sehingga mempermudah pelanggan dalam melakukan pembayaran tagihan Speedy. BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA INTERNET A. Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Internet dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Berdasarkan pada ruang lingkup pembahasan hukum dari UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik, aspek hukum Perlindungan Konsumen merupakan fokus perhatian yang sangat penting dalam melihat sejauh mana efektivitas perkembangan dan penerapan teknologi tersebut ditengah masyarakat, selain itu, bidang telekomunikasi yang sangat luas dan teknologi yang berkembang dengan sangat pesat sehingga menyebabkan perhatian terhadap perlindungan konsumen semakin dibutuhkan. 1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah menjadikan masalah perlindungan konsumen sebagai hal yang penting, artinya kehadiran undang-undang tersebut tidak saja memberikan posisi tawar yang kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, baik bagi semua pihak, karena selain untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Perlindungan tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, karena perlindungan konsumen akan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sama halnya dalam bidang telekomunikasi yang semakin berkembang dan diminati oleh masyarakat, seluruh pelaku usaha dibidang telekomunikasi berlomba-berlomba untuk menawarkan produk yang bersaing untuk mendapatkan pelanggan yang lebih banyak. Telkom sebagai salah satu perusahaan penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia juga bersaing dengan perusahaan telekomunikasi lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang telekomunikasi. Dalam hal ini, dibutuhkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hak-haknya tetapi Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak membunuh pelaku usaha telekomunikasi, dan bahkan semakin memacu para pelaku usaha untuk bersaing dengan sehat dengan tetap memperhatikan kepentingan konsumen. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masayarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan, sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi dan yang dimaksud dengan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Berdasarkan pada kaitannya dengan internet Telkom Speedy, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna jasa layanan internet Telkom Speedy, sedangkan PT.Telkom sebagai pelaku usaha yang menyediakan layanan jasa internet dan jasa yang diberikan oleh PT.Telkom adalah layanan jaringan dan jasa telekomunikasi internet yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menguraikan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang diuraikan dalam Pasal 4 sampai Pasal 7. Pasal tersebut juga digunakan oleh Telkom untuk dijadikan acuan dalam menentukan hak dan kewajiban bagi pengguna Speedy, Seperti yang diuraikan sebelumnya hak pengguna Speedy yang tercantum dalam kontrak berlangganan sambungan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan sebenar-benarnya mengenai layanan Speedy seperti yang diatur dalam Pasal 4 bagian (3) yang menyebutkan bahwa konsumen berhak mendaptkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam hal ini informasi mengenai layanan Speedy termasuk tarif pembayaran. Kewajiban konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah mengatur agar konsumen dapat memahami dan memenuhi kewajiban berupa pembayaran sesuai dengan jumlah jasa yang digunakan oleh konsumen. Namun, Telkom mengembangkan kewajiban konsumen pengguna Speedy tidak hanya kewajiban dalam pembayaran, tetapi juga kewajiban dalam menjaga dan memberikan informasi yang dapat mempengaruhi kinerja dari layanan Speedy tersebut.44 Misalnya dalam memberikan informasi pemindahan hak atau tanggung jawab kepada pelanggan lain, memberikan informasi apabila pelanggan ingin berhenti berlangganan, tarif biaya yang jelas dan terperinci, menjaga komputer agar bebas dari virus dan sebagainya, dimana informasi tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja layanan Speedy. 44 11.30 WIB. www.telkomnetspeedytara.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 20 Mei 2009, Jam Sama halnya dengan hak dan kewajiban bagi konsumen, UndangUndang Perlindungan Konsumen juga mengatur hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban bagi pelaku usaha. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah melakukan kegiatan usahanya dengan itikad baik, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur menjamin mutu dari barang dan/atau jasa, memberikan kompensasi atau ganti rugi, melayani konsumen dengan baik tanpa membedakan atau diskriminatif, hal tersebut juga berlaku bagi Telkom sebagai pelaku usaha yang membawahi Speedy, sedangkan dalam pengaturan haknya sebagai pelaku usaha, tetap mengacu kepada hak pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun Telkom mengembangkan hak tersebut kedalam hal-hal yang dapat terjadi secara teknis yang perlu dilakukan tanpa mengurangi dan menghargai hak-hak para pelanggan Speedy. Hal-hal lain yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara umum, misalnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha, sanksi dan sebagainya, tetap digunakan oleh Telkom sebagai acuan dalam pelaksanaannya tetapi dengan berbagai penyesuaian sehingga sesuai dengan kebutuhan Telkom sebagai penyedia jasa dan jaringan internet, dengan tetap mengutamakan kepentingan pengguna internet Telkom Speedy. Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden); 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan); 3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan 4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak). Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang mengatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat “Kesepakatan” perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak seimbang. Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karena itu maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1320 KHUPerdata tersebut tidak dipenuhi maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Pengguna Telkom Speedy yang merasa dirugikan dapat menggugat PT. Telkom sebagai penyedia jasa layanan internet berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang isinya : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan membuktikan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, yaitu : 1. Adanya perbuatan 2. Perbuatan tersebut melawan hukum 3. Adanya kesalahan 4. Adanya kerugian 5. Adanya hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian Yang dimaksud sebagai perbuatan dalam hal ini adalah baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, pada hal mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana yang timbul dari hukum yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan melawan hukum diartikan seluasluasnya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku; 2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum; 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; 5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Kesalahan merupakan unsur yang paling penting dalam perbuatan melawan hukum karena dengan terbuktinya kesalahan membuktikan terjadinya perbuatan melawan hukum. Suatu kesalahan apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya unsur kesengajaan, atau; 2. Adanya unsur kelalaian, dan; 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf. Kerugian dapat bersifat materiil (harta kekayaan) dan dapat pula bersifat immateriil. Dengan demikian kerugian harus diambil dalam arti yang luas, tidak hanya mengenai kekayaan harta benda seseorang, melainkan juga mengenai kepentingan-kepentingan lain dari seorang manusia, yaitu tubuh, jiwa dan kehormatan seseorang. Dalam terjadinya perbuatan melawan hukum harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Ada dua macam teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu : 1. Teori Conditio Sine Qua Non Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. 2. Teori Adequate Veroorzaking Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dilakukan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat. Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang dapat dilakukan oleh pengguna Telkom Speedy kepada PT. Telkom yang didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu : 1. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang; 2. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula; 3. Pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum; 4. larangan dilakukannya perbuatan tertentu; 5. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum; 6. Pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki. Pengguna Telkom Speedy juga dapat menggugat berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata, karena PT. Telkom telah lalai atau kurang berhati-hati dalam memperdagangkan jasanya sehingga menyebabkan penggunanya mengalami kerugian. Penyedia jasa layanan internet yang dalam hal ini yaitu PT. Telkom dapat digugat karena melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Antara pengguna jasa internet Telkom Speedy dengan penyedia jasa layanan internet yang dilakukan PT. Telkom juga terdapat hubungan hukum yang didasarkan pada hukum perlindungan konsumen, karena penyediaan jasa layanan internet yang dilakukan termasuk kategori yang dilakukan termasuk kategori yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana perumusan pelaku usaha menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan penguasa jasa layanan internet termasuk kategori konsumen menurut perumusan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang dijamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan terhadap pengguna Telkom Speedy menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sama dengan perlindungan terhadap konsumen lainnya. Hak dari pengguna Telkom Speedy sebagai konsumen berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan ynag dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas baang dan/ atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban penyedia jasa layanan internet yang dilakukan PT. Telkom sebagai pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen adalah sebagai berikut : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Penyedia jasa layanan internet juga dilarang memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan jasa tersebut. Sebagai contoh yang dirasakan konsumen pengguna jasa layanan internet Telkom Speedy adalah pelaku usaha yang dalam hal ini adalah PT. Telkom selalu menggunakan ketentuan layanan yang berbentuk klausula baku untuk menjawab semua keluhan konsumen. Dengan melihat kenyataan bahwa kedudukan konsumen pada prakteknya jauh dibawah pelaku usaha, maka Undang-Undang Perlindungan merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Perlindungan Konsumen merumuskan klausula baku sebagai : “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Larangan-larangan mengenai pencantuman klausula baku bagi pelaku usaha tercantum di dalam Pasal 18 angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selanjutnya pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, hal ini sesuai yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran, setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun perjanjian baku atau klausula baku, dinyatakan batal demi hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Atas kebatalan demi hukum dari klausula baku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Maka dari itu apabila kasus mengenai klausula baku dimajukan ke sidang pengadilan, pada sidang pertama hakim harus menyatakan bahwa perjanjian atau klausula itu batal demi hukum. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jika pengguna jasa Telkom Speedy dirugikan akibat menggunakan jasa yang diperdagangkan oleh PT. Telkom, konsumen dapat meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya tersebut. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan yang tercantumm dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi dan pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Dengan demikian jika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka pelaku usaha tersebut dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang merupakan sebuah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen atau diajukan ke badan pengadilan ditempat kedudukan konsumen. Berikut ini merupakan tugas dan wewenang BPSK dalam penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen : 1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila pelanggaran ketentuan dalam undang-udang ini; 5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindugan konsumen; 6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindugan konsumen; 8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; 9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesian sengketa konsumen; 10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Menurut ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pihak yang berhak mengajukan sengketa konsumen kepada pelaku usaha diluar pengadilan adalah konsumen sendiri sebagai pihak yang mengalami kerugian atau melalui kuasanya. Penyelesaian sengketa yang dimaksudkan tersebut tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai. Bentuk penyelesaian sengketa melalui BPSK ini merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sebenarnya mempunyai putusan yang bersifat final dan mengikat. Tetapi apabila para pihak tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada peadilan umum untuk diputus. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini juga mengatasi keberlakuan badan peradilan umum. BPSK mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan kasus pengaduan konsumen yang merugikannya. Kedua pihak wajib untuk sepakat pada cara penyelesaian diluar pengadilan ini dan di hadapan BPSK. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK adalah untuk mendapatkan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau jaminan dari pihak tergugat (pelaku usaha) untuk tidak lagi terjadi kesalahan yang sama atau tidak akan ada lagi kerugian yang diderita konsumen (Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Untuk itu pengguna Telkom Speedy dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan PT. Telkom melalui BPSK. Apabila penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak tercapai, maka pengguna Telkom Speedy dapat mengajukan gugatan perwakilan kelompok (Class Action)45 kepada peradilan umum berdasarkan dan sesuai hukum acara yang berlaku bagi proses perkara tersebut (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) yaitu suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Adapun unsur-unsur Gugatan Class Action yaitu :46 a. Gugatan secara perdata Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan pengadilan untuk untuk memperoleh menghindari perlindungan hak adanya upaya yang diberikan oleh main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah penggugat dan tergugat, pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. b. Wakil Kelompok (Class Representative) Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk itu menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif. 45 46 Emerson Yuntho, S.H., Class Action Sebuah Pengantar, Jakarta : Elsam, 2005, hlm. 4. Ibid., hlm. 6. c. Anggota Kelompok (Class Members) Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. d. Adanya Kerugian yang nyata-nyata diderita Untuk dapat mengajukan class action baik pihak wakil kelompok (Class Representative) maupun anggota kelompok (Class Members) harus benarbenar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. Pihak-pihak yang tidak mengalami kerugian secara nyata tidak dapat memiliki kewenangan untuk mengajukan Class Action. e. Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (Question of law) antara pihak yang mewakili (Class Representative) dan pihak yang diwakili (Class Members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Namum bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip. Para pengguna Telkom Speedy dapat mengajukan gugatan class action kepada PT. Telkom karena pada dasarnya kerugian yang dialami oleh pengguna Telkom Speedy adalah sama, yaitu disebabkan oleh kesalahan penghitungan tagihan pemakaian internet. Sehingga para pengguna Telkom diharuskan membayar tagihan yang tidak seharusnya. Speedy Namun pada kenyataannya, sampai saat ini masalah-masalah konsumen yang diajukan ke pengadilan masih sedikit, hal ini disebabkan oleh ha-hal sebagai berikut :47 1. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen (kurangnya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada masyarakat). 2. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan. 3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-hak sebagai konsumen dilanggar. 4. Posisi konsumen yang berada pada pihak yang lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Dalam penyelesaian sengketa konsumen antara pengguna Telkom Speedy dengan PT. Telkom, apabila ditetapkan suatu ganti rugi yang harus dibayar PT. Telkom, maka ganti rugi tersebut haruslah berbentuk ganti rugi pengembalian uang atas kesalahan penghitungan biaya tagihan pemakaian internet yang telah ditagih sebelumnya. 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Apabila kita berbicara mengenai Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, harus terlebih dahulu melihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut yang menyangkut mengenai pokok-pokok permasalahan yang ada pada kasus yang sedang kita bahas yang tentunya menyangkut mengenai jaringan elektronik yang sering terjadi saat ini dan sulit untuk diselesaikan, salah satu contohnya pada kasus mengenai kesalahan billing yang dialami oleh pengguna internet Speedy yang telah mengalami kerugian. Dan dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada 47 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 301. pelaku tersebut maka untuk membuktikannya perlu data yang konkrit untuk memperkuat pembuktian tersebut, sehingga dapat ditelaah melalui Pasal-pasal yang ada pada Undang-Undang tersebut diantaranya Pasal 1 ayat (4) dan (6), Pasal 5 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) serta Pasal 39 ayat (1) : “(4) Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistim elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Berdasarkan uraian pada pasal ini bahwa segala macam bentuk pembayaran tagihan Telkom Speedy dapat dilakukan melalui jaringan elektronik yang dapat dipercaya sehingga apabila terjadi kesalahan pada pembulatan pada sistem billing (penagihan) dapat diakses langsung melalui komputer. “(6) Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggaraan negara, orang, badan usaha, dan /atau masyarakat.” Pasal ini dianggap memiliki relevansi dalam kasus ini karena yang memanfaatkan sistem elektronik dalam melakukan atau mengaudit database tersebut adalah pihak dari Telkom Speedy yang bertindak sebagai badan usaha. Pasal 5 ayat (1) : “(1) Informasi elektronik dan dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.” Pasal ini dapat digunakan sebagai dasar bahwa cetakan elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah karena melihat pada hasil yang berbeda antara database dengan printout yang menggunakan cetakan elektronik. Pasal 38 ayat (1) : “(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.” Pasal ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengguna Telkom Speedy yang akan mengajukan gugatan terhadap PT. Telkom atas tindakan PT. Telkom yang telah merugikan pengguna Telkom Speedy. Dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik “(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan diatas menjadi dasar hukum bagi pengguna Telkom Speedy dalam mengajukan gugatan perdata terhadap PT. Telkom atas tindakannya yang telah merugikan pengguna Telkom Speedy. Melihat pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada dengan cara menelaah pada pasal-pasal tersebut, dapat membantu kita dalam menemukan proses penyelesaian kasus ini pada proses peradilan berikutnya. B. Penerapan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jaringan Sistem Elektronik di Indonesia Perkembangan teknologi yang sangat cepat harus diikuti juga dengan meningkatkan perhatian terhadap perlindungan konsumen sehingga perusahaan perlu meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pelanggan. Dalam hal ini, perlindungan terhadap konsumen pengguna jaringan internet Speedy diwujudkan dengan memberikan perlindungan hukum yang dituangkan dalam formulir permohonan berlangganan dan kontrak berlangganan yang sesuai dengan ketentuan pemerintah maupun perkembangan produk jasa telekomunikasi. Selain itu, PT. Telkom48 sebagai perusahaan penyelenggara operator penyedia jaringan internet juga harus menuangkan perlindungan terhadap konsumen dalam pedoman dan standarisasi pengolahan layanan Speedy yang merupakan pedoman dalam menjalankan Speedy dilapangan dengan mengatur hubungan antara Telkom dengan pelanggan. Salah satu bagian yang khusus mengatur hubungan antara Telkom dengan pelanggannya yaitu dengan dibentuknya customer relationship management yang merupakan interaksi antara pelanggan dengan keseluruhan petugas layanan Speedy yang dengan memanfaatkan mekanisme walk-in, phone-in, web-in dan sms-in sehingga layanan Speedy broad band access dapat terselenggara, termonitor prosesprosesnya secara end-to-end yang meliputi : informasi produk, selling, order handling, problem handling, fault handling, provisioning dan operation dan maintenance untuk mengatasi keluhan (complain) yang diberikan pelanggan 48 09.25 WIB. www.telkomnetspeedytara.com Op.Cit., Diakses Pada Tanggal 25 Mei 2009, Jam terhadap layanan Speedy (problem handling), Telkom mengatasi dan menyelesaikannya dengan cara : 1. Customer Complain Handling Customer Complaint Handling adalah keseluruhan proses interaksi antara petugas Speedy dengan pelanggan Speedy. Keluhan yang disampaikan kepada petugas Speedy disampaikan baik melalui media massa, surat atau email kepada petugas. Petugas akan mengindentifikasikan jenis keluhan dan kemudian akan melakukan analisis terhadap keluhan tersebut. Apabila petugas tidak mampu memberikan solusi saat itu juga, maka perlu diadakan site visit dengan pelanggan. Customer Complaint Handling yang diterima pada umumnya mengenai web-content maupun kecepatan layanan, jarak akses maupun tagihan, dan halhal yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Petugas akan melakukan pengecekan dan perbaikan apabila diperlukan dan unit terkait dengan keluhan tersebut menyelesaikan dengan sebaiknya sampai pelanggan merasa puas. Disamping itu tetap melakukan pemantauan terhadap keluhan pelanggan tersebut. 2. Billing Complaint Handling Billing Complaint Handling adalah keseluruhan proses interaksi antara petugas plasa Telkom dengan pelanggan Speedy terkait dengan keluhan billing pelanggan. Proses billing complaint handling adalah pada awalnya pelanggan akan melakukan pengajuan klaim tagihan, petugas akan mengidentifikasikan jenis keluhan. Sementara pelanggan diminta untuk selanjutnya petugas akan meneruskan pengajuan klaim ke unit yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap keluhan tersebut. Kemudian petugas akan melakukan pengecekan data tagihan dan mengirimkan hasil pengecekan klaim ke plasa Telkom, klaim tersebut akan direkomendasikan (diterima atau ditolak), hasil rekomendasi akan dikirimkan kepada pelanggan dan dilakukan ticketing dan menerima restitusi atau penjelasan klaim kepada pelanggan. Telkom dalam dasar pengaturan internet Speedy juga mengatur tentang Service Level guarantee (SLG) yaitu waktu penyelesaian layanan yang dijamin oleh Telkom kepada pelanggan. Pengukurannya dilakukan secara berkala setiap bulan untuk memberikan kepastian kepada pengguna Speedy sehingga dengan kata lain Telkom dalam praktiknya sudah memperhatikan kepentingan pelanggan dan sudah menyediakan sarana untuk mengantisipasi kerugian yang dapat ditanggung oleh memperhatikan para pelanggan kepentingan dan konsumen PT. Telkom dengan secara konsisten menuangkan peraturan mengenai (SLG) yang dalam praktiknya memberikan penjelasan kepada pelanggan Speedy mengenai jenis kerugian, besarnya ganti rugi dan jangka waktu kerugian yang dapat ditanggung oleh PT.Telkom. Untuk penjabaran lebih lanjut dari pengaturan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi, dipandang perlu untuk menyusun peraturan pelaksanaan dibidang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (selanjutnya disebut dengan PP 52 Tahun 2000) PP 52 Tahun 2000 mengatur bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dalam menjalankan usahanya dituntut untuk membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi yang sesuai dengan dasar teknis ditetapkan oleh Menteri. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi antar jaringan telekomunikasi yang diberikan atas dasar permintaan dari penyelenggaraan jaringan telekomunikasi lainnya. Penyelenggaraan interkoneksi dikenakan biaya interkoneksi yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal dan besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan disepakati bersama dan bersifat adil. Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai peranan penting dan strategis sehingga perlu senantiasa ditingkatkan kualitas pelayanannya, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dibidang tersebut adalah dengan membuat peraturan yang dapat memberikan kejelasan dan ketegasan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Berdasarkan pada Undang-Undang Telekomunikasi, ditegaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi meliputi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat diselenggarakan oleh BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Swasta dan koperasi yang bentuk usahanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh perseorangan, instansi pemerintah dan badan hukum selain penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Dengan demikian, majelis hakim dalam melakukan pertimbangan harus dengan hati-hati dalam mengambil suatu keputusan serta menggali dan mencermati kasus yang ditanganinya. Seorang Hakim harus memperhatikan pula ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam hal ini, hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat karena merupakan landasan bagi seorang Hakim memberikan suatu keputusan. BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam memberikan perlindungan bagi pengguna jaringan sistem internet di Indonesia, telah memberikan posisi tawar yang kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, baik bagi semua pihak. Di samping itu, dengan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya untuk melindungi konsumen atau tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, karena perlindungan konsumen akan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi pelanggan pengguna jaringan internet terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan operator penyedia jaringan internet atas kelalaiannya karena telah melakukan kesalahan penghitungan tagihan pemakaian yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian adalah tidak dibenarkan. Oleh karena itu perusahaan operator penyedia jaringan internet wajib memberikan sebagaimana ganti diatur kerugian didalam kepada Pasal pengguna 19 ayat (1) jaringan internet Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta Pasal 1365 KUHPerdata. 2. Penggunaan jaringan sistem elektronik di Indonesia antara perusahaan penyedia jaringan internet dengan pengguna (konsumen) didasarkan kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak, dengan beban pertanggujawaban secara kontraktual (contractual Liability). Oleh karena itu, kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak harus mendapat perhatian sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak seimbang. Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karena itu maka ia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak dipenuhi maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan pengantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Disisi lain dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan dasar hukum bagi pengguna jaringan sistem elektronik untuk mengajukan gugatan secara perdata terhadap perusahaan penyelenggara operator seluler karena telah mengalami kerugian. Disamping itu juga dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum terdapatnya jasa multimedia yang peraturannya secara khusus mengatur penyelenggaraan jasa multimedia (internet) dan pengaturan yang sudah mengalami konvergensi dengan bidang jasa telekomunikasi, broadcast dan jasa telepon serta penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang belum maksimal masih memungkinkan terjadinya keluhan-keluhan dari pengguna jaringan sistem elektronik di Indonesia. B. Saran 1. Perlu dikeluarkannya peraturan tersendiri yang lebih khusus mengatur mengenai penyelenggaraan jasa multimedia (internet) dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pengaturan yang sudah mengalami konvergensi dengan bidang jasa telekomunikasi, dan broadcast. Serta diharapkan peran masyarakat yang aktif dalam proses pembuatan regulasi, sehingga dapat terjadi proses demokratisasi melalui teknologi informasi internet dan bagi masyarakat dapat semakin mengetahui karakteristik di bidang internet secara umum dan secara khusus, agar masyarakat mengerti akan hak-haknya sehingga tidak dirugikan dengan perkembangan teknologi di bidang internet. 2. Perusahaan penyelenggara operator seluler yang merupakan salah satu perusahaan penyedia jasa pelayanan internet seharusnya lebih transaparan dan mempunyai itikad baik dalam melayani pelangggannya sesuai dengan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perusahaan penyelenggara operator seluler harus dapat menjadi perusahaan dengan pengelolaan yang bersih dari segala cara-cara pencapaian keuntungan perusahaan yang merugikan perusahaan penyelenggara operator seluler itu sendiri. pelanggan DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU : A. S. Hornby (Gen. Ed). Oxford Advance Learned’s Dictionary of Current English. “ (Opp.To Producer) Person Who Uses Goods.” Oxford 1987. Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media. Jakarta. 2006. Budi Agus Riswadi. Hukum dan Internet di Indonesia. Yogyakarta : UII Press. 2003. Budi Fitriadi. Struktur Materi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Diktat Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Fakultas Hukum Unikom. 2009. Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003. Emerson Yuntho. S.H. Class Action Sebuah Pengantar. Jakarta : Elsam. 2005. Ibrahim R. Prospek BUMN dan Kepentingan Umum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 1997. Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya. Bandung. 2006. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta. Pengantar Ilmu Hukum. Buku 1. Alumni. Bandung. 2000. Munir Fuady. Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000. Otje Salman Soemadiningrat. Teori Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2004. Sri Woelan Aziz. Aspek-Apsek Hukum Ekonomi Pembangunan di Indonesia. 1995. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia : PT. Grasindo. Jakarta. 2006. Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi KM.21 Tahun 2001 Tentang SUMBER LAIN : Sudaryat. dkk. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha Diluar Pengadilan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Laporan Penelitian. Bandung. 2004. Bisnis Indonesia. 29 November 2007. Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “Telkom Speedy” antara PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. dengan Pelanggan Nomor : K.TEL 100/HK810/RE3-DO162/2007 PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Divisi Regional III Jawa Barat dan Banten. WEBSITE : www.detik.com www.telkomnetspeedytara.com www.wikipedia.com LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Palma Carlos Branco Da Piedade Tempat dan Tanggal Lahir : Dili, 07 Maret 1983 Agama : Katolik Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat : Jln. Tubagus Ismail Dalam No. 5 Bandung No. Telepon : 081572324377 Pendidikan Formal : 1992 - 1998 = SD Santo Yoseph IV Dili Timor Leste. 1998 - 2000 = SMP Santo Yoseph IV Dili Timor Leste. 2000 - 2002 = SMU Santo Paulo VI Dili Timor Leste. 2005 - Sekarang Universitas Komputer Indonesia.