RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE (Studi Deskriptif Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik) Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1) di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Oleh : AMIR FADLI NASUTION 090904094 DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 1 RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE (Studi Deskriptif Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik) ABSTRAK Penelitian ini berjudul Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana elite Muhammadiyah Sumatera Utara dalam menerima dan memandang fenomena relasi politik yang terjalin antara Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Fenomena dijalinnya relasi politik antara PAN dan PDS merupakan suatu dinamika politik yang unik, menarik, sekaligus cukup kontroversial yang pernah terjadi di sepanjang usia Indonesia. Bagaimana tidak, PAN selama ini dikenal sebagai partai yang berbasis massa Islam dengan konstituen utama dari kalangan warga Muhammadiyah. SementaraPDS merupakan partai yang kental dengan nuansa Kristen. PDS secara resmi dinyatakan tidak lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung. Karena itu, agar bisa tetap memenuhi ambisi politiknya, PDS kemudian menjalin relasi politik dengan bergabung ke dalam barisan PAN. Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu. Tentu saja bergabungnya kedua partai ini menjadi satu fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebab fenomena ini akan berdampak pada konstituen masing-masing partai, termasuk kepada warga Muhammadiyah yang dalam sejarahnya selalu diidentikkan dengan partai berlambang matahari ini. Persepsi para elite Muhammadiyah dalam berhubungan dengan PAN sebagai suatu partai politik yang mereka “bidani” kelahirannya tentu penting untuk dikaji dalam mendalami studi komunikasi politik. Sebab wibawa dan peran elite disini amat besar dan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi politik PAN dalam meraih dukungan masyarakat yang sebesar-besarnya. Yakni dalam membangun citra dan elektabilitas yang baik di kalangan warga Muhammadiyah sebagai konstituen utama PAN. Terutama pasca terjalinnya relasi politik antara PAN dan PDS ini. Dengan demikian peneliti akan menganalisis pendapat dan sikap para elite tersebut berdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomena tersebut.Yang antara lain yakni pro kontra, akseptabilitas, elektabilitas, citra, loyalitas, komunikasi politik, dan dakwah Muhammadiyah. Kata Kunci :Elite, Muhammadiyah, Persepsi, relasi, PAN, dan PDS I. PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan 12 partai nasional untuk mengikuti pemilihan umum 2014. Salah satu di antaranya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah menargetkan perolehan suara pada Pemilihan Umum 2014 di angka 10 persen. Strategi dan langkah politik pun mulai disusun dan dijalankan PAN untuk mencapai target tersebut. Antara lain dengan menerima bergabungnya beberapa partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi pemilu 2014 oleh KPU. Salah satu dari partai politik tersebut ialah Partai Damai Sejahtera (PDS). Partai Damai Sejahtera secara resmi dinyatakan tidak 1 lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung. Maka dari itu, untuk tetap bisa menyalurkan aspirasi politiknya, partai ini kemudian bergabung dengan PAN. Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu. Langkah politik yang diambil PAN dan PDS ini rupanya telah menarik perhatian banyak media untuk memberitakannya. Tak kurang berbagai media besar Indonesia seperti seperti Republika, Tempo, Okezone, Tribun, dan lain-lain ramai memberitakannya kepada publik. Sebagai suatu bentuk berita politik yang memiliki arti penting bagi masyarakat, khususnya konstituen masing-masing partai. Bergabungnya PDS kedalam PAN ini, tentu mengundang perhatian berbagai kalangan masyarakat. Termasuk kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah. Hal ini didasari perbedaan identitas yang dimiliki kedua partai tersebut. PAN selama ini merupakan sebuah partai nasionalis moral yang cukup besar di Indonesia, dengan basis konstituen pemilih mayoritas dari kalangan muslim Muhammadyah. Bahkan PAN kerapkali dianggap masyarakat sebagai Partai Islam. Sementara di sisi lain, PDS adalah partai dengan mayoritas pemilih kalangan krisitiani yang meski berideologi Pancasila, namun selama ini identik sebagai Partai Kristen di mata masyarakat. Sejak pertama kali dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Amien Rais ini segera mendapat banyak sambutan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan warga Muhammadiyah. Bahkan lebih dari sekedar dukungan moral, berdirinya PAN dalam pentas perpolitikan nasional seketika menarik banyak anggota Muhammadiyah untuk turut serta bergabung. Hingga sulit untuk menghindari penilaian akan adanya penghimpitan atau malah pengindetikan yang kelewat jauh antara Muhammadiyah dan PAN. Seolah PAN menjadi semacam “Partai (-nya warga) Muhammadiyah”. Muhammadiyah sendiri cukup taktis dengan tetap berpijak pada Khittah Ujung Pandang 1971 yang menjaga jarak yang sama dengan organisasi politik manapun, sehingga tidak mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas dari kontaminasi politik yang keras dalam proses politik nasional. Secara de jure, tidak adanya hubungan organisasional antara Muhammadiyah dan PAN memang telah diperkuat melalui Sidang Pleno PP Muhammadiyah tanggal 22 Agustus dan 27 September 1998 yang memutuskan bahwa; pertama, antara keduanya tidak ada hubungan organisasional. Kedua, sesuai dengan ART Pasal 15, pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan yang akan merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik, diharuskan mengajukan izin kepada pimpinan pusat. Dan ketiga, dilarang menggunkan gedung dan fasilitas persyarikatan untuk kegiatan partai politik mana pun. Akan tetapi, secara de facto, sulit untuk menyembunyikan fakta bahwa mayoritas elit pimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun di berbagai wilayah, daerah, cabang, organisasi-organisasi otonom, dan pimpinan amal-amal usaha, ikut terjun menjadi pengurus PAN. Bertolak dari anatomi kepengurusan tersebut, tentu dapat diperkirakan telah terjalin komunikasi politik di antara keduanya. Komunikasi yang berisi pesan-pesan politik antar dua lembaga tersebut, meski atas nama elit personal yang berusaha untuk membuka wawasan berpikir serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik, yang dalam hal ini yakni warga Muhammadiyah yang menjadi basis pendukung utama partai reformasi ini. Keberadaan, posisi, dan sikap elite Muhammadiyah terhadap janji politik menjadi penting dalam hal ini untuk membentuk opini publik (warga Muhammadiyah) dan citra yang positif bagi PAN. Bahkan elite Muhammadiyah sebagai tokoh sentral dan panutan dapat menggiring warga Muhammadiyah agar mendukung PAN sebagai konstituennya. Sebab elite sebagaimana yang diungkapkan Keller, adalah sekelompok kecil orang dalam 2 masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting. Mereka menempati posisi di dalam masyarakat yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan kepentingannya. Tapi jika melihat fenomena yang terjadi, dimana PDS telah merapat dengan PAN, tentu hal ini akan membangun persepsi pribadi di kalangan elite Muhammadiyah dalam menanggapinya. Baik persepsi positif yang bersifat mendukung ataupun sebaliknya persepsi negatif yang bersifat menolak realitas politik ini. Dan melalui kemampuan membentuk opini publik yang dimiliki para elite ini, tentu persepsi pribadi mereka menjadi penting artinya serta memberi pengaruh yang besar terhadap PAN. Yakni dalam proses membangun dukungan warga Muhammadiyah terhadap partai berlogo matahari ini. Sebab jika persepsi elite cenderung positif yang mendukung, maka opini publik yang dibentuknya kepada warga Muhammadiyah juga akan cenderung positif dalam meningkatkan elektabilitas PAN. Dan sebaliknya, kemungkinan opini publik warga Muhammadiyah justru akan dibangun untuk cenderung menjatuhkan elektabilitas PAN jika persepsi elitenya menolak fenomena ini. Seperti halnya di daerah lain, Partai Amanat Nasional juga tentu mengharapkan warga Muhammadiyah Sumatera Utara akan menjadi konstituennya. Muhammadiyah Sumatera Utara dengan jumlah anggota resmi (yang mendapat kartu anggota) mencapai 17.910 orang, merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sumatera Utara yang sangat majemuk. Jumlah ini belum lagi termasuk warga Muhammadiyah Sumatera Utara seluruhnya yang tidak menjadi pengurus organisasi secara resmi. Dan dengan jumlah cabang yang mencapai 129 dan 604 ranting kepengurusan, Muhammadiyah Sumatera Utara menjadi sebuah kekuatan sosial yang harus diperhitungkan turut andilnya dalam gerak kehidupan masyarakat. Jumlah ini tentu diperhitungkan pula oleh elit PAN Sumatera Utara dalam proses meraih suara mereka dalam pemilu. Persoalan ini menarik untuk diteliti lebih jauh secara akademis, khususnya pada konteks relasi dalam komunikasi politik. Terlebih kajian-kajian mengenai Muhammadiyah yang ada selama ini lebih banyak menggambarkan persoalan politik yang dihadapi oleh Muhammadiyah secara pribadi pada saat tertentu. Namun, untuk penelitian dalam konteks komunikasi politik yang langsung dan khusus dikaitkan antara elite Muhammadiyah dengan satu partai politik tertentu- dalam hal ini PAN- belum ada, setidaknya dalam lingkup Sumatera Utara. Karena itulah studi ini penting diteliti agar fenomena relasi elit yang terjalin antara Muhammadiyah dan PAN dapat dijelaskan melalui persepsi poitik elite tersebut, khususnya dalam memandang strategi politik yang dijalankan PAN dengan menerima bergabungnya PDS. Sehingga masyarakat Sumatera Utara, khususnya warga Muhammadiyah dan simpatisan PAN dapat mengetahui pergerakan organisasi tempat bernaungnya secara utuh demi pembentukan dan peneguhan sikap, pandangan, dan perilaku politik yang sesuai idealisme pikiran dan hati nurani. 1.2 Fokus Masalah Bagaimana persepsi elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap fenomena relasi politik yang dijalin Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera pada tahun 2013 ini dalam konteks komunikasi politik? II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Politik Komunikasi Politik menurut Dahlan (dalam Cangara, 2009:32-35) ialah satu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Maka jika bertolak dari konsep komunikasi dan konsep politik, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan 3 sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang bermuatan politik. Isi pesan yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini kemudian juga turut memberi andil besar dalam menentukan arah dari beragam tujuan komunikasi politik itu sendiri. Mulai dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan lawan politik. 2.2 Persepsi Persepsi menurut Desiderato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan persepsi dengan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi dan memori (Dalam Rakhmat, 2005:51). Sedangkan menurut Dedy Mulyana, Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku (Mulyana, 2005:167). 2.3 Fenomenologi Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179). Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. 2.4 Interaksionisme Simbolik Interaksionisme simbolik merupakan pendekatan sosiologi komunikasi yang mengkhususkan pengamatannya berdasarkan makna di balik simbol-simbol interaksi yang nampak di permukaan. Pendekatan ini berawal dari pemikiran George Herbert Mead (1972), yang mengamati interaksi sosial dari penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial. Akar pemikiran interaksionisme simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Teori interaksionisme simbolik membahas konsep mengenai diri yang tumbuh berdasarkan negosiasi makna dengan orang lain. Dengan demikian, interaksionisme simbolik dapat didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. 2.5 Elite Istilah elite berasal dari bahasa latin yaitu “eligere” atau dalam bahasa inggrisnya “elite”, yang berarti memilih. Dalam pemakaian biasa, kata tersebut berarti “bagian yang 4 menjadi pilihan” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki posisi sosial yang lebih tinggi. Secara sederhana, elite dapat diartikan sebagai anggota masyarakat yang paling berbakat, misalnya elite pendidikan, elite agama, dan elite organisasi, dan elite politik. Menurut Harold Lasswell, elite adalah segolongan kecil yang memperoleh sebagian besar dari nilai apa saja, elite itu menunjuk pada mereka yang berpengaruh. Sementara menurut Mills, elite merupakan mereka yang menduduki posisi atas dalam organisasi ekonomi, militer, dan politik, yang membentuk kurang lebih elite kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya menetukan struktur dasar dan arah masyarakat (Syarifuddin, 2004 : 19-21). III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, yakni metode yang menggambarkan keadaan subjek penelitian pada saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2008: ). 3.2 Objek Penelitian Objek penelitian perlu ditetapkan dalam rancangan penelitian. Keputusan tentang penetuan sampel, besarnya dan strategi sampling itu, pada dasarnya bergantung pada penetapan objek penelitian. Setiap objek penelitian memberikan kesempatan bagi pengumpulan data secara tersendiri, fokus yang tersendiri, yang mungkin tingkatannya berbeda sehingga penarikan kesimpulannya membawa perbedaan pula (Moleong 2001 : 166). Dan objek penelitian dalam penelitian ini ialah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). 3.3 Subjek Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis sampel purposive sampling, yakni pemilihan sampel yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian. Yang mana kriteria terpenting ialah subjek memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu menjelaskan keadaan sebenarnya tentang objek penelitian. Merujuk pada hal tersebut, penelitian ini menggunakan teknik sampling snowball (bola salju). Maka dari pertimbangan tersebut, adapun yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah golongan elite Muhammadiyah Sumatera Utara baik yang termasuk ke dalam jajaran pengurus inti organisasi maupun tidak. Golongan ini mempunyai peranan yang besar dalam pergerakan dan kemajuan organisasi. Mereka juga dipandang sebagai tokoh yang memiliki kharisma dan wibawa untuk dapat mengarahkan anggotanya pada suatu tujuan tertentu. 3.4 Kerangka Analisis Dalam penelitian ini, konsep analisis yang digunakan ialah pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuaram pada kesimpulan-kesimpulan umum. Peneliti kemudian membangun konsep alur analisis induktif yang lebih spesifik dalam penelitian ini. Yang menunjukkan cara peneliti dalam menganalisis persepsi para elite 5 Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap fenomena relasi politik PAN dan PDS ini, dengan urutan sebagai berikut : 1. Fenomena dalam Konten Media 2. Pemetaan Aspek-Aspek Terkait Fenomena Yang terdiri dari: Pro kontra pendapat elite Muhammadiyah Hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan PAN Loyalitas politik warga Muhammadiyah Elektabilitas dan Citra PAN Proses Dakwah Muhammadiyah 3. Pengumpulan dan Identifikasi Persepsi 4. Kategorisasi 5. Penentuan Poin-Poin Penting dari Persepsi 6. Pengembangan dan Pendalaman 7. Penarikan Kesimpulan 3.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peniliti dalam penelitian ini adalah : 1. Studi Lapangan (Field Research) Yakni dengan menggunakan metode wawancara bertahap kepada narasumber yang menjadi subjek penelitian. 2. Studi Kepustakaan (Library Research) Dengan menggunakan dokumen sebagai sumber data untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Beberapa bahan dokumenter yang dijadikan sumber data oleh peneliti antara lain buku, surat, dokumen resmi, kliping, otobiografi, foto, data softcopy, dan data yang bersumber dari internet. 3.6 Teknik Analisis Data Dalam menjalankan proses analisis data dalam penelitian kualitatif ini digunakan model interaktif yang diajukan oleh Huberman dan Miles (1992). Model interaktif ini terdiri dari empat hal utama, yakni pengumpulan data, reduki data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Keeempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Penelitian Secara keseluruhan penelitian ini berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Yakni mulai dari tanggal 3 Agustus hingga 2 September 2013. Sementara dalam proses wawancara dengan tiap-tiap narasumber, dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda sesuai kesepakatan antara narasumber dengan peneliti. Terdapat lima narasumber yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, mereka antara lain Hasyimsyah, Dalail Ahmad, Mario Kasduri, Shohibul Anshor Siregar, dan Sarwo Edi yang masing-masingnya diwawancarai peneliti di tempat yang berbeda. 4.2 Analisis Hasil dan Pembahasan Keberadaan fakta historis akan peran Muhammadiyah dalam melahirkan Partai Amanat Nasional (PAN) tidak dapat dipungkiri menjadi landasan terjalinnya ikatan emosional di antara kedua organisasi ini. Peran ijtihad politik yang dilakukan Amien Rais 6 sebagai Ketua PP Muhammadiyah yang didukung pula oleh para ulama, cendikiawan, serta warga Muhammadiyah telah memberi dampak nyata bagi kemajuan bangsa dan Negara. Dan ijtihad politiknya ini pula yang kemudian melahirkan PAN pasca reformasi. Wibawa dan pengaruh besar yang dimiliki Amien Rais di Muhammadiyah memberi kontribusi besar dalam menarik banyak kader Muhammadiyah untuk turut terlibat dalam kepengurusan PAN di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dan tidak hanya sebagai pengurus, banyak pula ulama dan kaum cendikiawan Muhammadiyah sebagai kalangan elite yang secara nyata menunjukkan dukungannya pada keberadaan PAN. Baik melalui nasehat-nasehat politik yang diberikan maupun dukungan resmi organisasi melalui Sidang Tanwir Muhammadiyah Juli tahun 1998 di Semarang, maupun Sidang Pleno PP Muhammadiyah pada 22 Agustus di Jakarta. Fakta historis inilah yang menjadi dasar dalam jalinan hubungan emosional dan komunikasi politik antara keduanya, meski secara organisatoris keduanya tidak memiliki hubungan. Dan kebenaran fakta historis ini secara umum dapat diterima oleh seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Namun, meskipun seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara sepakat dalam hal kebenaran dan keberadaan fakta historis yang ada, ternyata mereka berbeda pendapat dalam menerima hubungan komunikasi politik antara keduanya. Dimana di satu pihak yang diwakili oleh Prof Hasyimsyah, Shohibul Anshor, dan Sarwo Edi (pihak pro) menyatakan menerima hal itu sebagai suatu kewajaran dan kensicayaan berdasarkan fakta historis yang ada. Pihak ini mengambil sikap pro terhadap hal ini, bahkan mendukung dan dalam beberapa aspek juga turut terlibat dalam proses komunikasi politik yang dijalin kedua belah pihak. Sementara di pihak lain yang diwakili oleh Dalail Ahmad dan Mario Kasduri (pihak kontra), memiliki pendapat yang berseberangan dengan menyatakan tidak menerima keberadaan komunikasi politik yang berlangsung antara keduanya. Perbedaan pendapat para elite dalam menrima hubungan komunikasi politik antara Muhammadiyah dan PAN ini, lebih jauh juga berlanjut pada sikap dan pandangan mereka dalam menanggapi fenomena relasi politik yang dijalin antara Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Masing-masing elite memiliki sikap dan pandangannya sendiri yang ditunjukkannya dalam bentuk persepsi yang mereka utarakan. Dan persepsi mereka ini dapat kita bagi dalam dua pihak yang berseberangan, yakni pihak yang pro dan yang kontra. Dimana pihak elite yang pro diwakili oleh Prof Hasyimsyah, Shohibul Anshor, dan Sarwo Edi. Sedangkan yang kontra diwakili oleh Dalail Ahmad dan Mario Kasduri. Dan berdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomena tersebut seperti akseptabilitas, citra, elektabilitas, loyalitas konstituen, serta proses dakwah Muhammadiyah, persepsi para elite tersebutdapat kita bagi dalam 6 kategori dan akan dijelaskan sebagai berikut, yakni : 1. Penerimaan Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Fenomena Relasi Politik Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera. Berdasarkan pengetahuan para elite akan dasar ideologi, azas, dan sifat yang dianut oleh Partai Amanat Nasional, keseluruhan mereka membenarkan langkah dan strategi politik yang diambil dalam menerima bergabungnya Partai Damai Sejahtera. Ideologi nasionalis dengan sifat terbuka yang inklusif PAN memang memungkinkan mereka untuk melakukan hal yang demikian, sebab para elite tahu bahwa hal itu tidaklah melanggar AD/ART PAN. Namun, meskipun memiliki kesamaan pendapat dalam melihat kebenaran fenomena itu, para elite di sisi lain berbeda pendapat dalam menentukan apakah fenomena itu hal yang baik atau bukan. Yang berdampak pada perbedaan penerimaan dan pandangan pribadi mereka terhadap fenomena itu dari aspek luasnya. Sebagian kalangan elite, memandang baik fenomena politik ini dilihat dari segi strategi untuk mendulang sebanyak-banyaknya suara yang kemungkinan bakal diraih PAN. Dengan menempatkan kader-kader PAN yang berasal dari PDS di daerah 7 pemilihan yang dihuni mayoritas umat Kristen yang selama ini tidak bisa dikuasai PAN. Sementara kalangan lain menilai negatif fenomena ini. Kalangan ini mengkritisi dan mempertanyakan kebijakan PAN terkait fenomena yang lebih dekat dengan kalangan nonmuslim ketimbang kalangan muslim yang sama dalam aqidah dan syahadat. 2. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Hubungan Komunikasi Politik Muhammadiyah dan PAN Secara keseluruhan, para elite Muhammadiyah Sumatera Utara dapat dikatakan bersamaan dalam pandangan bahwa pemberitaan fenomena ini tidak akan mengganggu hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan PAN. Perbedaan lebih terdapat dalam dampak yang mungkin diberikan fenomena ini kepada jalannya proses komunikasi tersebut. Yang mana sebagian elite memperkirakan fenomena ini akan memberi keuntungan pada komunikasi politik keduanya. Yakni dari kesempatan yang ada untuk membesarkan PAN. Kalangan lain menilai dampak dari fenomena ini terlalu dini untuk diprediksi sekarang. Perlu terlebih dahulu melihat arah dan perkembangan politik dari fenomena ini untuk menentukan dampaknya. Realitas pihak mana yang akan mendominasi dan menguasai PAN nantinya yang kan menentukan dampaknya terhadap hubungan komunikasi politik Muhammadiyah dan PAN itu. Bahkan terdapat pula kalangan yang cenderung apatis dan mengambil jarak dalam masalah ini. Dengan mendasarkannya pada ketiadaan hubungan organisatoris antara Muhammadiyah dan PAN. 3. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Loyalitas Politik Warga Muhammadiyah Mayoritas elite yang menjadi narasumber penelitian ini yakin bahwa warga Muhammadiyah akan dapat menerima keberadaan fenomena ini, dengan syarat mereka perlu memahami permasalahan secara menyeluruh dalam konteks yang luas. Untuk penting kiranya adanya proses pemahaman yang diberikan kepada mereka tentang hal ini. Baik oleh elite Muhammadiyah maupun elite PAN itu sendiri. Agar mereka tetap loyal menjadi konstituen PAN. Meskipun dalam konteks Sumatera Utara belum begitu terlihat perubahan yang signifikan yang diakibatkan fenomena ini. Namun, ada juga kalangan elite yang memberikan prediksi negatif terhadap hal ini. Yang mendasarkan pendapatnya pada kemungkinan kekecewaan yang mungkin dialami warga Muhammadiyah akibat fenomena ini. 4. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Elektabilitas dan Citra PAN Jika dipandang dari perspektif strategi berpolitik, sebagian besar elite Muhammadiyah Sumut menilai bahwa fenomena relasi PAN dan PDS ini menguntungkan dalam upaya meningkatkan elektabilitas dan citra PAN di mata masyrakat. Elite Muhammadiyah menilai, pasca fenomena ini PAN akan dipandang sebagai partai politik inklusif yang menerima kemajemukan sebagai ciri Indonesia. Citranya diperkirakan akan meningkat sebagai partai nasionalis yang terbuka. Selain itu, kebijakan penempatan daerah pemilihan kader yang mengajukan diri sebagai calon legislatif faktor agama dinilai cukup efektif dalam menjaring suara bagi PAN. Terutama di daerah mayoritas Kristen yang selama ini sulit dikuasai PAN. 5. Perkiraan Dampak Pemberitaan Fenomena Relasi PAN dan PDS Terhadap Aktifitas Dakwah Muhammadiyah Terhadap dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah, para elite secara umum kurang meyakinkan dalam menyatakan pandangannya terhadap kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini. Mereka terkesan sangat hati-hati dalam memberi pandangannya. Sebab bagi mereka dakwah amar ma’ruf nahi munkar adalah satu hal yang 8 harus dilihat dalam konteks yang luas, dan prosesnya tergantung dari kader-kader yang menjalankannya. Maka dalam pandangan elite, nilai ketaqwaan dan keimanan kader harus kuat untuk dapat membawa misi Muhammadiyah dalam perjuangan politik mereka. Agar tidak terbawa oleh arus politik yang cenderung negatif. 6. Komunikasi Antar Elite Muhammadiyah dan PAN Sumatera Utara Seputar Fenomena Relasi PAN dan PDS Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memiliki pengalaman yang berbeda terkait pembicaraan dan diskusi yang mereka lakukan dalam membahas fenomena ini. Namun dapat dikatakan bahwa sebagian besar elite mengaku tidak pernah membicarakan atau berdiskusi khusus tentang hal ini dengan kader PAN. Hanya sebagian kecil kalangan elite yang pernah melakukannya, itupun dalam situasi informal. Meskipun begitu, sebagian besar elite tetap mendukung dan tidak melihat kealpaan berdiskusi ini sebagai suatu kesalahan PAN. Mereka tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dengan alasan independensi politik. Hanya sebagian kecil elite yang menganggap kealpaan ini sebagai suatu kesalahan yang melanggar etika kesopanan. V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian menurut indikator persepsi dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, maka peneliti mendapatkan kesimpulan dari hasi wawancara mendalam dengan para elite Muhammadiyah Sumatera Utara. Kesimpulannya adalah sebagai berikut : 1. Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara memiliki pandangan dan sikap yang beragam dalam menanggapi fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS pada tahun 2013 ini. Sebagian elite berpandangan positif (pro) dan cenderung mendukung fenomena ini. Sementara di sisi lain, terdapat pula elite yang memandang negatif dan cenderung menolak (kontra) fenomena ini. 2. Para elite Muhammadiyah Sumatera Utara berbeda pendapat dalam menentukan apakah fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS adalah hal yang baik atau tidak. Perbedan pendapat ini berdampak pada perbedaan penerimaan (akseptabilitas) pribadi mereka terhadap fenomena itu dari aspek luasnya. 3. Berdasarkan pengetahuan para elite akan dasar ideologi, azas, dan sifat yang dianut oleh Partai Amanat Nasional, seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara membenarkan langkah dan strategi politik yang diambil PAN dalam menerima bergabungnya PDS. 4. Dari hasil penelitian, seluruh elite Muhammadiyah Sumatera Utara mengakui keberadaan dan kebenaran fakta historis yang melandasi berdirinya Partai Amanat Nasional. 5.2 Saran Di akhir hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang ingin disampaikan penulis demi kesempurnaan penelitian dan perbaikan kekurangan-kekurangan yang mungkin dilihat peneliti dalam permasalahan ini. Saran tersebut yakni : 1. Pasca terjadinya fenomena relasi politik PAN dan PDS ini, ke depannya pihak PAN perlu untuk membicarakan atau mendiskusikan permasalahan ini dengan para elite Muhammadiyah secara menyeluruh agar komunikasi politik yang terjalin antara keduanya tetap harmonis dan saling mendukung satu sama lain. 9 2. Para kader PAN dan elite Muhammadiyah perlu bersama-sama turun ke akar rumput Muhammadiyah untuk tetap menjaga silaturahmi dengan warga Muhammadiyah. 3. Sebagai partai induk PAN perlu untuk tetap menjaga dominasinya di rumah sendiri. Terutama kader asli PAN, mereka perlu untuk senantiasa mengontrol situasi internal partai agar pihak PDS atau pihak lain yang bukan kader asli PAN tidak lantas mengambil alih kekuasaan kendali di partai ini. DAFTAR REFERENSI Ardial. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Indeks. Asnawi, & Sutipyo, R. (1999). PAN Titian Amien Rais Menuju Istana. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. (2008). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya . Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cangara, Hafied. (2009). Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: CV Rajawali. Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: PT. Erlangga. Jarry, D & Jarry J. (1991). Collin Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins Publishers. John W. Creswell. (1998). Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing Among Five Traditions. London: SAGE Publications. Jurdi, Syarifuddin. (2004). Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Jurdi, Syarifuddin. (2005). Negara Muhammadiyah: Mendekap Politik Dengan Perhitungan. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Keller, Suzanne. (1995). Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rajawali Press. Maksum, Ali. (2011). Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Michels, Robert. (1984). Partai Politik : Kecenderungan Oligarki Dalam Birokrasi. Jakarta: CV Rajawali. Moleong, Lexy, J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mufid, Muhammad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mulyana, D, & Solatun. (2007). Metode Penelitian Komunikasi : Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nashir, Haedar. (2006). Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang: UMM Press. Nashir, Haedar. (2000). Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Nimmo, Dan. (2005). Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nimmo, Dan. (2001). Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Praja, S. Juhaya. (2003). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana Prenada Media Group 10 1