DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb) AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN DIDID DIAPARI (P 062020031) SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb) AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sejenis di Perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2009 DIDID DIAPARI NRP P062020031 ABSTRACT DIDID DIAPARI. The Impact of Lead (Pb) Pollution as Result of Acid Deposition on Local Male Sheep Production. Supervised by: H.M.H. BINTORO, JAJAT JACHJA AND KHAIRIL ANWAR NOTODIPUTRO. Since the year of 2000, UNEP (United Nations of Environmental Programe) identifies that the ever increasing Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4) and Nitrous Oxide (N2O) have caused global warming. In addition, carbon dioxide (CO2) and nitrous oxide (N2O) along with sulphure oxide (SOx) and hidrogen sulfide (H2S) gasses have caused acid deposition. In turns, this deposition can stretch out endlessly heavy metal like lead and is accumulated in roughages which makes it harmful for animal production. In the other case the meat supply is still insufficient in Indonesia. Therefore, to fulfill the supply several efforts should be carried out. One of them is by increasing sheep production which is based on the reason that goat is prolific and high litter size. Howefer this effort cannot be achieved due to the presence of acid deposition and condition which bind heavy metals such as lead. These two substances will result in the decreasing daily gain of sheep because of the Pb accumulation in liver, kidney, as well as flesh. Accordingly, this research is aimed at: a. finding out whether acid rain has taken place in Bogor Regency area and subsequently finding out the Pb content in soil and roughage in this region. b. predicting corelation Pb content between rain and soil, as well as between soil and roughage in the Bogor regency area. c. studying the acid impact and Pb in the sheep ration toward sheep daily gain and toward the Pb content in liver, kidney and flesh. The result showed that in Bogor regency area acid deposition on had taken place the dry season but not in the wet season. The Pb content both in the air and in the soil had not yet been affected by acid rain. Pb content from the soil did not affect the content in the roughage. The dry and organic matter digestibility of the acid ration is lower than that of the non-acid ration. The dry and organic matter digestibility of the Pb-ration is lower than that of the non-Pb-ration. Similarly, the VFA production of acid ration was lower than that of the non-Acid ration. On the contrary, the N-NH3 production of acid ration was higher than that of the no-acid ration. The Pb ration has higher N-NH3 production than that of the non-Pb ration. Acid ration decreased daily gain, but ration of high Pb-content did not affect the daily gain. Acid ration did not increase Pb content in the kidney but not in the liver and flesh. However, high Pb content in the ration will increase the Pb content of liver and kidney but not in the flesh. Keywords:Acid rain, Pb, daily gain, liver, kidney, flesh. RINGKASAN DIDID DIAPARI. Dampak Pencemaran Timbal (Pb) akibat Hujan Asam terhadap Produksi Ternak Domba Lokal Jantan. Dibimbing oleh: H.M.H. BINTORO, JAJAT JACHJA dan KHAIRIL ANWAR NOTODIPUTRO. Meningkatnya produksi gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) sebagai sumber gas-gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global. Disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan nitrous oksida (N2O) merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersamasama dengan gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S). Air hujan yang asam akan mudah melarutkan logam-logam berat termasuk Pb. Bila kandungan Pb di air hujan tinggi karena Pb terlarut dalam air hujan yang asam, maka memungkinkan tanah akan tercemar Pb dan memungkinkan hijauan makanan ternak juga banyak mengandung Pb. Bila hijauan makanan ternak terkonsentrasi Pb dalam jumlah yang tinggi, maka akan mengganggu proses metabolisme ternak dan menurunkan produksi ternak disamping juga akan meningkatkan kadar Pb dalam organ tubuh ternak, termasuk dagingnya. Penelitian tentang keberadaan hujan asam dan pencemaran Pb di Kabupaten Bogor dilakukan mulai pada pertengahan bulan Maret 2006 sampai akhir bulan Mei 2007. Tempat penelitian keberadaan hujan asam dan pencemaran Pb di Kabupaten Bogor diwakili Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Mega Mendung dan Kecamatan Cisarua. Pengambilan contoh air hujan dilakukan sebanyak tiga kali setiap kecamatan untuk dianalisis pH dan Pb. Untuk mengetahui pencemarannya dilakukan pengambilan contoh tanah permukaan dan kedalaman 20 - 30 cm serta Hijauan Makanan Ternak (HMT). Contoh-contoh tersebut diambil dari masing-masing kecamatan sebanyak tiga contoh untuk dianalisis kandungan Pb-nya. Pengukuran pH contoh air hujan dilakukan in-situ atau di tempat kejadian hujan dengan menggunakan pH-meter. Analisis Pb dilakukan dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spechtrophotometer) di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dilakukan uji Z. Penelitian berlanjut dengan menggunakan hewan percobaan yang dimulai awal bulan Juni 2007 hingga berakhir pada akhir bulan November 2007. Penelitian dengan hewan percobaan dilakukan secara in-vitro dan in-vivo. Teknik in-vitro merupakan upaya penelitian skala laboratorium, sedang teknik invivo menggunakan 12 ekor domba lokal jantan dengan bobot badan berkisar antara 13,9 – 16,5 kg/ekor. Mengingat kisaran bobot badan yang lebar, maka domba dikelompokkan menjadi 3 kelompok sebagai ulangan dan diberi perlakuan faktor asam dengan dua level, yaitu kontrol dan pH 4,1 dan faktor Pb dengan dua level, yaitu kontrol dan Pb 200 ppm, sehingga ada empat perlakuan, yaitu: perlakuan 1 (ransum tanpa cairan asam dan Pb) perlakuan 2 (ransum ditambah cairan asam dengan pH 4,1 dan tanpa Pb0, perlakuan 3 (ransum tanpa cairan asam dan ditambahkan Pb 200 ppm), perlakuan 4 (ransum dengan cairan asam pH 4,1 dan ditambah Pb 200 ppm). Rancangan penelitian in-vivo menggunakan Rancangan Kelompok berpola faktorial 2 x 2 dengan 3 kelompok sebagai ulangan. Penelitian in-vitro menggunakan Rancangan Acak Lengkap berpola faktorial 2 x 2 dengan 3 ulangan. Peubah penelitian in-vitro diantara- nya: kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO), produksi VFA (Volatile Fatty Acid) serta produksi N-NH3 (nitrogen amoniak). Peubah penelitian in-vivo diantaranya: konsumsi bahan segar dan bahan kering, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, rasio efisiensi protein dan kandungan Pb pada feses, darah, hati, ginjal dan daging domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bogor belum terjadi hujan asam pada musim hujan dengan rataan pH 6,05 + 0,40; akan tetapi pada musim kemarau sudah terjadi hujan asam dengan rataan pH 5,09 + 0,44. Tidak ada hubungan keasaman air hujan dan keasaman tanah dan air hujan yang asam tidak melarutkan Pb. Keasaman air hujan tidak melarutkan Pb tanah dan tidak ada hubungan antara Pb air hujan dan Pb tanah, juga antara Pb tanah dengan Pb hijauan makanan ternak Kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan berasam lebih rendah daripada pakan tanpa asam, Begitu pula kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan bertimbal lebih rendah daripada pakan tak bertimbal. Nilai rataan kecernaan bahan kering pakan berasam 66,08% dan pakan bertimbal 66,86%, sedang kecernaan bahan organik pakan berasam 66,59% dan pakan bertimbal 67,81%. Produksi VFA pakan berasam lebih rendah daripada pakan tanpa asam, dengan rataan nilai VFA pakan berasam 53,50 mM dan pakan tak berasam 85,33 mM.. Sebaliknya produksi N-NH3 pakan berasam lebih tinggi daripada pakan tanpa asam dan pakan bertimbal lebih tinggi dari pakan tanpa Pb, dengan rataan nilai N-NH3 untuk pakan berasam sebesar 7,16 mM dan pakan bertimbal 7,54 mM. Konsumsi bahan segar dan bahan kering semua ransum perlakuan relatif sama, akan tetapi pertambahan bobot badan domba jantan yang diberi ransum berasam lebih rendah daripada domba yang diberi ransum tanpa asam. Rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,060 kg/ekor/hari, sedang yang tanpa asam sebesar 0,097 kg/ekor/hari. Domba yang diberi ransum bertimbal pertambahan bobot badannya tidak berbeda dengan ransum tanpa timbal. Mengingat pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam lebih rendah daripada ransum tanpa asam, sedang konsumsi bahan kering relatif sama, maka efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein dari domba yang diberi ransum berasam lebih rendah daripada ransum tanpa asam. Perlakuan penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein. Penambahan Pb dalam ransum domba tidak banyak diserap dalam saluran pencernaannya, karena kandungan Pb dalam feses jauh lebih tinggi daripada pemberian Pb dalam ransumnya. Pemberian Pb dalam ransum hanya terakumulasi dalam darah, hati dan ginjal, sedang ransum yang berasam hanya akan mengakumulasi Pb dalam ginjal saja, tanpa terakumulasi dalam darah, hati, daging dan feses. Dengan demikian pencemaran air asam dan Pb tidak membahayakan kehidupan ternak domba dan tidak menyebabkan pengaruh pada manusia yang mengkonsumsi daging domba khususnya dan secara umum daging ruminansia. Kata-kata kunci: Hujan asam, Pb, pertambahan bobot badan, hati, ginjal, daging. @ Hak Cipta milik IPB Tahun 2009 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan satu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb) AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN DIDID DIAPARI DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PRAKATA Puji syukur kehadirat Illahi rabbi karena berkat nikmat, rahmat dan karuniaNYA penelitian ini bisa diselesaikan walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama. Yang mendasari pemilihan topik dalam penelitian ini adalah bahwa pemanasan global sudah terjadi yang disebabkan adanya gas-gas karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas sumber pembentuk pemanasan global tersebut sebagian dapat menyebabkan hujan asam. Disisi lain keasaman air akan mudah mengikat logam berat yang berbahaya bagi kehidupan termasuk ternak, sehingga perlu diteliti dampaknya terhadap ternak yang pada akhirnya dikhawatirkan berdampak pada manusia yang mengkonsumsi ternak. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, MAgr.; Dr. Ir. H. Jajat Jachja, MAgr. dan Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS. berturut-turut selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan usulan penelitian dan disertasi ini. Penulis menghaturkan banyak terimakasih atas arahan, bimbingan dan nasihat almarhum Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Sri Saeni, MS yang tak sempat menyaksikan dan memantau hasil penelitian ini, semoga amalan dan ibadah almarhum diterima oleh Allah SWT, mendapatkan tempat yang lapang di alam kuburnya dan mendapatkan raudatul jannah di akhirat nanti. Amin. Penulis juga mengkhaturkan banyak terimakasih atas nasihat dan upaya Prof.Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, MAgr. dalam membesarkan hati penulis yang sempat lemah semangat untuk dapat menyelesaikan pendidikan program doktor. Begitu pula ucapan terimakasih dan mohon maaf kepada Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Pascsarjana IPB yang sempat penulis ganggu untuk urusan keringanan biaya SPP. Tak lupa juga ucapan terimakasih penulis kepada Dr. Ir. H. Jajat Jachja, MAgr. yang tidak menganggap penulis sebagai bimbingannya, akan tetapi sebagai teman yang membukakan pintu dengan kehadiran dan gangguan penulis baik di kantor maupun di rumah. Ucapan terimakasih juga penulis khaturkan kepada Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah membukakan hati penulis bahwa pendidikan program doktor bukan hanya sekedar menguji kemampuan intelegensia saja akan tetapi juga penerpaan mental bagi penulis, termasuk juga penulis salut dan bangga kepada Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS. yang telah menertibkan dan menjaga nama baik program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang dahulu dikenal dengan program studi yang relatif gampang untuk meraih titel, juga tak lupa kepada Dr. Drh. Akhmad Arif Amin atas segala bantuannya dan kemudahannya, mudahmudahan kita bisa menjaga nama baik program studi PSL. Penulis juga mengkhaturkan terimakasih kepada Bapak Dekan Fakultas Peternakan IPB yang waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Soedarmadi, MSc. yang telah memperkenankan penulis melanjutkan kuliah program Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Ucapan terimakasih Kepada Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB yang telah memfasilitasi penulis dan membantu segala sesuatunya sehubungan dengan kuliah program Doktor penulis termasuk dalam pengadaan domba. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, MAgr. Dan Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA sebagai penguji luar sidang komisi pada ujian tertutup, Berikut kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. dan Dr. Sri Listyarini, Med. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan perbaikan disertasi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada: 1. Dosen-dosen penulis (Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkassi, Dr. Ir. Kartiarso, MSc. dan Bapak Ir. Kukuh Budi Satoto, MS), senior penulis (Dr. Ir. Komang G. Wiryawan) serta teman penulis (Ir. Lilis Khotidjah, MS) di Bagian Nutrisi Ternak Daging dan kerja yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian serta terimakasih atas bantuan moril dan materiilnya selama ini. 2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi pakan Fakultas peternakan beserta jajarannya yang telah memfasilitasi penulis dalam penelitian dan sidang komisi. 3. Bapak Harjadinata dan Bapak misbah serta Heri yang banyak membantu penulis meneliti di kandang. 4. Adik angkat penulis (Sahwi) dan anak penulis Rani yang banyak membantu penelitian ini baik di Kandang maupun selama penulis ujian dalam rangka penyelesaian program doktor. 5. Bapak-bapak pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang telah memperkenankan penulis kuliah program S3 di program Pascasarjana di IPB, juga kepada bapak-bapak pengelola DAMANDIRI yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelesaian dan perbanyakan disertasi. 6. Bapak dan Ibu pengelola Media Peternakan yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memperbaiki dan mengedit makalah penulis untuk diterbitkan. 7. Bapak dan Ibu yang turut mendoakan keberhasilan penulis yang juga tak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu dalam prakata ini Terakhir ucapan terimakasih dan salam hangat penulis sampaikan kepada istri tercinta Susiati, SH. yang telah memberikan perhatian siang dan malam, memberikan dorongan moril dan motivasi yang sangat berharga sehingga semangat terus membara, termasuk juga bantuan materiel. Tak lupa kepada anak-anak penulis Fiqria Khoirunnisa, Wildan Nur Rahman dan Nadia Firdausa atas bantuan morilnya dan mudah-mudahan bisa menjadi anak yang beramal baik, patuh taat dan beriman kepada Allah SWT, menjadi sholekha–sholekha dan sholeh, menjadi anak-anak yang cerdas-cerdas berguna terutama bagi agama, nusa dan bangsa. Amin Bogor, Januari 2009 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumenep – Madura pada tanggal 17 juni 1962, sebagai putra kedua dari tujuh orang bersaudara dan dari pasangan ayahanda Bapak H. Roebyanto Almarhum dan ibunda Hj. Rafiatul Adadiyah Almarhumah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Kalianget Timur II di Kalianget – Sumenep tahun 1973, SMP Negeri Sumenep tahun 1976 dan SMA Negeri Sumenep tahun 1980. Penulis lulus sarjana peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1984 dan menjadi Technical Servisor di PT Ayam Manggis (perusahaan pembibitan ayam) pada tahun 1985 – 1986. Pada tahun 1987 menjadi Manager Produksi di PT Ayam Manggis Grand Parent Stock dan pada tahun 1988- 1991 menjadi Manager Produksi di PT.Sinar Puspita Jaya (perusahaan peternakan ayam breeding dan komersial). Pada tahun 1991 diangkat menjadi staf pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor sampai sekarang. Penulis menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Ternak pada tahun 1996. Sampai sekarang penulis masih mengajar di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Fakultas Pertanian Terpadu Universitas Al-Zaytun Indonesia. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ………………………………………………......... xvi ………………………………………….......... xviii ……………………………………….......... xx DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7. …………………………………………......... Latar Belakang …………………………………........... Tujuan Penelitian ………………………………........... Kerangka Pemikiran ………………………..…............ Perumusan Masalah ………………………..…............ Hipotesis ……………………………………................ Manfaat Penelitian ……………………………............ Novelty (Kebaruan) ………………………..…............. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 1 1 7 7 8 12 13 13 …………………………………......... 14 Logam Berat dan Pencemarannya …………................ Logam Berat bagi Tanaman …………………..…........... Logam Berat bagi Hewan dan Ternak ………..…........... Timbal (Pb) bagi Ternak .....................………..…........... Timbal (Pb) bagi Manusia ....................………..….......... 14 16 17 20 23 III. METODE PENELITIAN ……………………………............. 26 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ………………............. 3.2. Bahan dan Alat …………………………………........ 3.3. Rancangan Penelitian …….............…………............. 26 28 28 3.3.1. Tahap Pertama: Pengamatan pH Air Hujan dan Contoh Air .............................................. 3.3.2. Tahap Kedua: Analisis Timbal (Pb) ..……… 3.3.3. Tahap Ketiga: Penelitian In-vitro ..………… 3.3.3.1. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ............ 3.3.3.2. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) Total ……… 3.3.3.3. Produksi N-NH3 (N-Amoniak) ...............…......... 3.3.4. Tahap Keempat: Penelitian in-vivo ………… 3.3.4.1. Konsumsi Pakan Bahan Segar dan Bahan Kering ... 3.3.4.2. Pertambahan Bobot Badan ........................................... 3.3.4.3. Efisiensi Pakan ............................................................. 3.3.4.4. Rasio Efisiensi Protein ................................................. 29 30 33 34 35 35 37 40 41 41 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……..…….................................. 42 4.1. Pengamatan pH ......................................................... ...... 4.1.1. Pengamatan pH Air Hujan .................................. 4.1.2. Pengamatan pH Tanah ........................................ 4.1.3. Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah ............... 44 46 52 54 4.2. Analisis Pb ....................................................................... 4.2.1. Kandungan Pb Air Hujan ..................................... 4.2.1.1. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Hujan ...................................................... 4.2.1.2. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Mmusim Kemarau .................................................. 4.2.2. Kandungan Pb Tanah ........................................... 4.2.2.1 Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Hujan ........................................... 4.2.2.2 Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Kemarau ......................................... 4.2.3. Kandungan Pb Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan Hubungannya dengan pH dan Pb Tanah Permukaan ........................................................... 4.3. Penelitian In-vitro ............................................................. 56 58 4.3.1. Kecernaan Bahan Kering (KcBk) dan Bahan Organik (KcBO) ................................................... 4.3.2. Produksi Volatile Fatty Acid (VFA ) ................... 4.3.3. Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3) .................. 4.4. Penelitian In-vivo ............................................................. 4.4.1. Konsumsi Bahan Segar dan Bahan Kering pada Domba Pemeliharaan ......................................... 4.4.2. Pertambahan Bobot Badan Domba Pemeliharaan 4.4.3. Efisiensi Pakan Domba ............................................ 4.4.4. Rasio Efisiensi Protein ......................................... 4.4.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses, Darah, Hati, Ginjal dan Daging. ....................................... 4.4.5.1. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses Domba ............. 4.4.5.2. Kandungan Timbal (Pb) dalam Darah Domba ......... 4.4.5.3. Kandungan Timbal (Pb) dalam Hati Domba ............. 4.4.5.4. Kandungan Timbal (Pb) dalam Ginjal Domba ............. 4.4.5.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Daging Domba ......... 60 61 60 63 65 66 70 70 75 77 79 79 82 85 87 88 88 88 89 92 93 IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………….................... 5.1. Kesimpulan ...................................................................... 5.2. Saran ............................................................................ 95 95 95 VI. DAFTAR PUSTAKA ……………………………....……...... 97 VII.LAMPIRAN ………………………………………... 102 DAFTAR TABEL No Judul Halaman 1. Kandungan Logam dan Pembuangan Limbah dalam Penggunaan Energi Batu Bara dan Minyak di Eropa Tahun 1979 .............................................................................. 15 2. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak 21 ................... 3. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Berdasarkan Bahan Kering 37 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Berdasarkan Bahan Kering 38 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor ...... 44 6. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm di Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor, Satu Kecamatan di Depok dan Bekasi ...... 50 7. Kandungan Pb Contoh Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) ........... 57 8. Kandungan Pb Contoh Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) ...... 60 9. Kecernaan Bahan Kering (%) 68 10. Kecernaan Bahan Organik (%) ..................................................... ...................... 11. Produksi VFA Ransum Penelitian (mM) 70 ...................................... 76 .................................. 75 13. Konsumsi Rumput dan Konsentrat Bahan Segar (Kg/ekor/hari) ..... 77 14. Konsumsi Rumput dan Konsentrat Bahan Kering (Kg/ekor/hari) ... 78 15. Pertambahan Bobot Badan Domba (Kg/ekor/hari) ....................... 80 16. Efisiensi Pakan Domba (%) ............................................................ 82 17. Rasio Efisiensi Protein (%) ............................................................... 84 18. Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm) .................................. 86 19. Konsentrasi Pb dalam Darah Domba (ppm) ................................. 89 12. Produksi N-NH3 Ransum Penelitian (mM) 20. Konsentrasi Pb dalam Hati Domba (ppm) ................................ 91 21. Konsentrasi Pb dalam Ginjal Domba (ppm) ............................ 92 22. Konsentrasi Pb dalam Daging Domba (ppm) .......................... 94 DAFTAR GAMBAR No Judul Halaman 1. Konsentrasi Gas Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Nitrous Oksida (N2O) dari Pra Industri sampai Tahun 2000 …………... 2 2. Kerangka Pemikiran 9 …………………………………………… 3. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Tanah ................................. 31 4. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Hijauan Makanan Ternak, Feses, Darah, Hati, Ginjal dan Daging Domba ....................................... 32 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Hujan pada Dataran Rendah .............................................................................. 47 6. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Kemarau pada Dataran Rendah ............................................................................ 47 7. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Hujan pada Dataran Tinggi .............................................................................. 48 8. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Kemarau pada Dataran Tinggi ............................................................................................. 49 9.Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor ...................................................................... 49 10. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor ................. 51 11. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor ................ 52 12. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan Dataran Rendahdi Kabupaten Bogor .............................................. 53 13. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan Dataran Tinggidi Kabupaten Bogor ............................................... 53 14. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada Musim Hujan ................................................................................ 55 15. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada Musim Kemarau ............................................................................ 55 16. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Hujan di Kabupaten Bogor ..................................................................... 58 17..Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor ....................................................................... 59 18..Hubungan Pb Air Hujan Musim Hujan dan Tanah Permukaan di Beberapa Kecamaatan di Kabupaten Bogor .............................. 61 19. Hubungan Pb Tanah Permukaan dan kedalaman 20 -30 cm di Beberapa di Kabupaten Bogor .................................................. 62 20. Hubungan pH Air Hujan Musim Hujan dan Pb Tanah Permukaan di Beberapa di Kabupaten Bogor ................................ 64 21. Hubungan pH Air Hujan Musim Kemarau dan Pb Tanah Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor ............. 68 .................... 94 22. Hubungan Pb Tanah dan Hijauan Makanan Ternak DAFTAR LAMPIRAN No Judul Halaman 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2003 (mm) ............ 102 2. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2004 (mm) ............ 102 3. Anova Kecernaan Bahan Kering Konsentrat (%) ................................ 103 4. Anova Kecernaan Bahan Organik Konsentrat (%) .............................. 103 5. Anova Volatile Fatty Acid (VFA) Konsentrat (mM) ........................... 103 6. Anova N-Amoniak Konsentrat (mM) 104 ................................................... 7. Anova Konsumsi Bahan Segar (Kg/ekor/hari) .................................... 8. Anova Konsumsi Bahan Kering Ransum (Kg/ekor/hari) 9. Anova Pertambahan Bobot Badan (Gram/ekor/hari) .................... 104 104 .......................... 105 10. Anova Efisiensi Pakan ......................................................................... 11. Anova Rasio Efisiensi Pakan 105 ............................................................... 105 12. Anova Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm) ............................... 106 13. Anova Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm) .............................. 106 14. Anova Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm) ................................. 106 15. Anova Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm) ............................. 107 16. Anova Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm) ......................... 107 ............................................……………… 108 17. Peta Kabupaten Bogor I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sudah dirasakan oleh kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia sebagai akibat banyaknya penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih-guna lahan yang menyebabkan banyaknya produksi gas: karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah kaca (GRK) yang meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfir bumi makin a meningkat (Murdiyarso, 2003 ). Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebelum pra industri relatif konstan, yaitu berkisar 280 ppmv, tetapi pada sekitar tahun 2000 konsentrasinya sebesar 360 ppmv (Gambar 1). Kenaikannya hampir 28,6% bila dibandingkan dengan era pra industri (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo, 2002). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sekitar tahun 1900 konsentrasi gas nitrous oksida (N2O) relatif konstan sekitar 290 ppmv, akan tetapi pada tahun 2000 dengan bertambah pesatnya industri, konsentrasi gas N2O meningkat menjadi 310 ppmv atau meningkat 6,9% bila dibandingkan dengan tahun 1900 (Gambar 1) Lebih lanjut a Murdiyarso (2003 ) menyatakan bahwa bila pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, maka diperkirakan 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra industri yang akibatnya suhu rata-rata bumi akan meningkat o o sebanyak 4,5 C dari kondisi sekarang. Dengan suhu sekarang misalkan 35 C, maka o o peningkatan 4,5 C menjadi 39,5 C akan berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa, seperti: menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, serta menyebarnya hama dan penyakit tanaman. Untuk itu dilakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992. Pada konferensi tersebut para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol Kyoto tahun 1997 merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012, tetapi Amerika Serikat Serikat yang merupakan negara penyumbang gas emisi rumak kaca terbesar dunia(36,1%) b (Murdiyarso, 2003 ). yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto tersebut Indonesia mera- tifikasi Clean Development Mechanism = CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih = MPB sebagai implementasi dari Protokol Kyoto tersebut. Gambar 1. Konsentrasi Gas Karbon Dioksida (CO2), Metan (CH4) dan Nitrous Oksida (N2O) dari Industri sampai Tahun 2000 Sumber : Kantor Meteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero Sucofindo (2002) Gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) sebagai sumber gas-gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global tersebut sangatlah sulit dikurangi mengingat negara Amerika Serikat yang menyumbangkan 36,1% keberadaan gas-gas tersebut di atmosfir menolak meratifikasi Protokol Kyoto dan disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan nitrous oksida (N2O) merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersamasama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S). Hujan asam terbentuk karena adanya asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat, dan asam karbonat. Asam-asam tersebut terbentuk dari gas-gas N2O, SOx, CO2, dan H2S yang berikatan dengan air. Proses pembentukan hujan sebenarnya sama dengan proses penyulingan air yang berawal dari pemanasan air, sehingga air menguap membentuk uap air dan dengan kondensasi karena adanya pendinginan, maka uap air jatuh membentuk air suling, yaitu air murni yang mempunyai pH mendekati netral (pH = 7). Hal ini sama dengan proses hujan, sehingga harusnya pH air hujan mendekati pH netral juga, akan tetapi karena di atmosfir terdapat gas sulfur oksida seperti misalnya sulfur trioksida (SO3) yang bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat seperti reaksi berikut: SO3 + H2O H2SO4 Asam sulfat yang terbentuk bersama-sama dengan air dalam bentuk hujan mempengaruhi pH air hujan, karena asam sulfat akan terurai seperti reaksi berikut: H2SO4 H+ + HSO4- Terbentuknya H+ akan menyebabkan pH hujan lebih rendah dari 7,0 (penyebab suasana asam), maka dalam kondisi normal hujan yang jatuh ke permukaan bumi mempunyai kurang dari pH 7,0. Hujan asam terjadi bila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 (Saeni, 1995), dan hal ini bisa terjadi bila terdapat gasgas lain yang menyebabkan pembentukan asam-asam dan bila konsentrasi gas-gas pembentuk asam lebih tinggi dari normal. Gas-gas lain yang menyebabkan terbentuk asam adalah gas NOx (berupa gas nitrogen monoksida = NO dan nitrogen dioksida = NO2), gas SOx (berupa sulfur dioksida = SO2 dan sulfur trioksida = SO3) dan gas hidrogen sulfida (H2S). Gas-gas NO, NO2, SO2, SO3, dan gas H2S dihasilkan dari: 1) Tingkah laku manusia (antropogenik) yang membakar bahan bakar fosil (seperti batu-bara, minyak dan gas bumi) sebagai akibat dari meningkatnya perkembangan industri dan transportasi, juga akibat dari pembakaran hutan yang menyebabkan tanaman mati dan tidak dapat lagi memanfaatkan gas CO2 2) Letusan gunung berapi. Nitrogen monoksida berikatan dengan uap air membentuk asam nitrit (HNO2) dan gas nitrogen dioksida bereaksi dengan uap air membentuk asam nitrat (HNO3). Begitu pula gas sulfur dioksida bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfit (H2SO3) dan gas sulfur trioksida bila berikatan dengan uap air membentuk asam sulfat (H2SO4). Baik asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat dan hidrogen sulfida akan menurunkan pH air hujan. Hujan asam terjadi baik secara kering (dry deposition), maupun secara basah (wet deposition). Dry deposition merupakan hujan asam yang terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam tertiup angin, badai dan jatuh ke bumi kemudian bereaksi dengan air hujan. Wet deposition terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam bereaksi dengan uap air membentuk hujan asam, hanya terjadinya di atmosfir. Penurunan pH air hujan akan memungkinkan terjadinya kondisi asam dalam tanah dan terjadinya pencemaran logam berat. Menurut Darmono (1995) tanah yang bersifat asam akan menaikkan daya larut logam, termasuk logam berat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam-asam mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg). Logam-logam berat yang larut seperti misalnya As, Pb, Cd dan Hg (Saeni, 1989) memungkinkan diserap oleh tanaman. Hal ini diperkuat dengan penelitian Harahap (2004) yang menyatakan bahwa kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh lebih tinggi di Perkebunan Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara dari pada kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik disebabkan karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik lebih rendah daripada di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh pada pH tanah yang lebih rendah menunjukkan bahwa penurunan pH tanah akan meningkatkan kandungan timbal tanah yang larut atau timbal yang mudah diserap tanaman dan timbal tanah yang larut dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kandungan timbal pada tanaman. Madyiwa et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan Pb dalam pot tanaman rumput star grass akan menyebabkan penambahan kandungan Pb di tanaman dan menurunkan produksi rumput star grass pada waktu panen. Kejadian tersebut tak terkecuali akan terjadi pada hijauan makanan ternak. Dengan tingginya kandungan Pb tanah yang larut akibat tanah yang masam akan meningkatkan kandungan timbal pada hijauan makanan ternak dan akan menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan memungkinkan meningkatnya kandungan timbal dalam urat daging ternak dan penurunan produksi daging ternak. Disisi lain permintaan akan daging di Indonesia semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (2000) Jumlah populasi penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,5% per tahun. Dengan meningkatnya penduduk Indonesia, permintaan daging di Indonesia semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya import daging sebesar 70.626 ton pada tahun 2006 dari penyediaan daging sebanyak 1.457.560 ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Import daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25.949 ton atau lebih dari sepertiga import daging Indonesia, disisi lain, produksi dan konsumsi daging sapi merupakan urutan kedua di Indonesia setelah daging ayam (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Hal ini terjadi karena jumlah perusahaan peternakan ayam di Indonesia relatif lebih banyak dibanding dengan jumlah perusahaan peternakan sapi. Disamping itu harga daging ayam relatif lebih murah dibanding harga daging sapi, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah. Untuk mengurangi kekurangan daging sapi (daging ternak ruminansia) tersebut sekaligus membantu mengurangi kekurangan konsumsi protein hewani, maka alternatif lain dari ternak ruminansia adalah daging domba yang perlu diupayakan melalui skala usaha indutri, karena masih sedikitnya jumlah pengusaha industri peternakan domba di Indonesia. Disamping itu domba bersifat prolific (beranak banyak), karena dalam 1 tahun bisa beranak dua kali, dan sekali melahirkan (litter size) bisa lebih dari satu ekor. Hal ini ditunjukkan dari hasil data penelitian Romjali et al. (1996) bahwa litter size domba lokal sumatera sebesar 1,54 + 0,65. Berbeda dengan sapi yang hanya beranak satu ekor per sekali kelahiran (litter size = 1) dan hanya bisa beranak dua kali dalam 3 tahun. Produksi peternakan secara umum, tak terkecuali termasuk peternakan domba, sangat tergantung pada faktor dalam dan faktor luar ternak itu sendiri. Faktor dalam yang dimaksudkan adalah faktor genetika ternak atau faktor pengembangannya dalam bentuk pemuliaan ternak (breeding), sedang faktor luar yang dimaksudkan adalah faktor yang mempengaruhi ternak dari luar ternak yang disebut dengan lingkungan (environment), baik berupa cara pemberian pakan (feeding), manajemen atau pemeliharaan ternak maupun lingkungan alamnya. Upaya peningkatan produksi ternak melalui breeding membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang relatif mahal, sebaliknya upaya peningkatan produksi ternak melalui feeding, maupun manajemen pemeliharaan ternak tidak terlalu mahal dan relatif murah. Masalah lingkungan alam (environment) merupakan masalah yang sulit diantisipasi terutama adanya fenomena alam. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pemanasan global sudah terjadi karena tingginya konsentrasi gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) dan sebagian gas tersebut bersama-sama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S) akan membentuk hujan asam yang memungkinkan pH tanah menjadi asam. Keasaman tanah yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya kandungan Pb di tanaman yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan penurunan produksi daging ternak. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 terjadi banyak sekali ikan yang mati karena adanya pencemaran logam berat di Teluk Jakarta khususnya pencemaran merkuri (Hg). Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada hewan lain seperti ternak domba, karena adanya masalah seperti hujan asam (acid deposition), peningkatan jumlah industri dan jumlah kendaraan bermotor serta pembakaran hutan. Hal lain yang menurunkan pH air hujan disamping dihasilkannya gas-gas pembentuk asam adalah peningkatan yang tidak normal (peningkatan secara drastis) gas-gas pembentuk asam. Disamping hujan asam pencemaran logam berat juga disebabkan oleh berkembangnya industri dan kendaraan bermotor. Laporan dari Kantor Statistik Kabupaten Bogor (1989) bahwa pada tahun 1988 jumlah mobil angkutan penumpang umum di Kabupaten Bogor yang dimiliki oleh swasta sebanyak 91 buah, dan perusahaan industri sebanyak 425 buah, sedang laporan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2007) pada tahun 2006 jumlah mobil angkutan penumpang berjumlah 1.762 buah dan jumlah industri menjadi 31.349 buah. Peningkatan jumlah mobil angkutan penumpang sebanyak lebih kurang 18 kali lipatnya dan peningkatan jumlah industri sebanyak lebih kurang 73 kali lipatnya memungkinkan di Kabupaten Bogor terjadi hujan asam dan menyebabkan pencemaran logam berat sepertii As, Pb, Cd dan Hg. Untuk itu penelitian tentang pencemaran logam berat khususnya timbal (Pb) terhadap produksi ternak domba perlu diteliti. 1.2. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui terjadinya hujan asam di Kabupaten Bogor dan untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) di tanah-tanah Kabupaten Bogor dan dalam hijauan makanan ternak yang biasa dipergunakan oleh peternak di Kabupaten Bogor. b. Untuk mengkaji korelasi kandungan timbal (Pb) antara Pb dalam air hujan dan tanah; tanah dan hijauan makanan ternak. c. Untuk mengkaji dampak timbal (Pb) dalam ransum ternak domba lokal jantan terhadap produksinya dan mengkaji akumulasi timbal (Pb) di feses, darah, hati, ginjal dan daging domba lokal jantan. 1.3. Kerangka Pemikiran Perubahan iklim dunia juga menentukan terhadap perubahan cuaca setempat. Perubahan iklim dan cuaca sangat tergantung pada kondisi setempat seperti: peningkatan transportasi, perkembangan industri, kemajuan pertanian, pembakaran hutan atau penebangan pepohonan. Peningkatan transportasi, perkembangan industri, kemajuan pertanian, pembakaran hutan atau penebangan pepohonan yang banyak akan meningkatkan akumulasi gas-gas di udara seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida (H2S). Peningkatan gas-gas seperti (CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O) akan menyebabkan efek rumah kaca dan mengakibatkan pemanasan global. Gas karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida (H2S) bila berikatan dengan uap air akan membentuk asam dan menyebabkan hujan asam. Hujan asam yang ditandai dengan rendahnya pH akan mudah melarutkan logam-logam berat, termasuk logam-logam berat di tanah. Baik logam berat asal air hujan maupun logam berat asal tanah yang sama-sama mudah larut memungkinkan diserap tanaman tidak terkecuali tanaman makanan ternak yang pada akhirnya bila dikonsumsi oleh ternak akan meengganggu metabolisme dan menurunkan produksi ternak. Produksi ternak dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar ternak. Faktor dalam ternak berupa genetika ternak atau dalam pengembangan genetika ternaknya diistilahkan dengan pemuliaan ternak (breeding), melalui perbaikan genetika bangsa-bangsa ternak dengan cara inseminasi buatan (IB), transfer embrio, kloning atau mutasi gen. Faktor luar ternak diistilahkan dengan lingkungan (environment) bisa berupa feeding atau pemberian pakan pada ternak, manajemen atau cara pemeliharan ternak dan lingkungan alam ternak atau lingkungan tempat ternak dipelihara. Lingkungan alam yang banyak mempengaruhi produksi ternak diantaranya: banyaknya industri dan transportasi di sekitar tempat ternak dipelihara, pengaruh iklim setempat baik suhu dan kelembaban, disamping kondisi hujan asam yang diperkirakan banyak berpengaruh pada produksi ternak. Produksi ternak khususnya produksi daging domba ditunjukkan oleh pertambahan bobot badan domba, atau semakin tinggi pertambahan bobot badan domba akan semakin tinggi pula produksi daging domba. Pertambahan bobot badan domba dipengaruhi oleh proses metabolisme di dalam saluran pencernaan dan dalam tubuh. Proses tersebut dipengaruhi oleh konsumsinya. Selanjutnya konsumsi ternak dipengaruhi oleh cara pemberian pakannya, baik pemberian bahan makanan tambahan (feed additif), pemberian zat perangsang tumbuh (growth promotor) yang berupa hormon, enzim dan antibiotik serta manipulasi pakan. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh iklim atau cuaca, pencemaran pakan termasuk pula adanya hujan asam. Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ternak disajikan dalam Gambar 2. 1.4. Perumusan Masalah Fenomena-fenomena alam sudah mulai banyak terjadi, diantaranya: a. Pada tahun 1980-an, Bogor merupakan kota sejuk yang hampir tiap hari hujan dan masih terlihat sebagian minyak sayur yang ada dalam botol membeku. Pada kenyataannya saat sekarang ini di Bogor sudah relatif panas dan kejadian hujanpun tidak tiap hari. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pemanasan global sudah terjadi akibat efek rumah kaca yang ditandai dengan. Peningkatan produksi gas-gas: karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O), seperti yang terlihat pada Gambar 1. Gas rumah kaca tersebut meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga terjadi Global Warming atau pemanasan global seperti yang dinyatakan oleh a Murdiyarso (2003 ). b. Awal bulan Mei 2004 di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati akibat fenomena alam yang salah satunya disebabkan karena pencemaran logam berat, yaitu logam merkuri (Hg). Hal ini dimungkinkan mengingat hasil penelitian Rahman (2006) yang menyatakan bahwa udang dan rajungan/kepiting yang ada di perairan Pantai Batakan dan Pantai Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan mempunyai kandungan logam berat berupa timbal (Pb) yang tinggi, yaitu berkisar 66,995 – 96,250 ppm untuk udang dan berkisar 75,630 – 90,515 ppm untuk rajungan/kepiting. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dari batas ambang yang ditentukan oleh FAO yaitu harus kurang dari 2 ppm. Tingginya kandungan Pb di udang dan rajungan/kepiting disebabkan karena tingginya pencemaran Pb baik di udara maupun di laut yang terkontaminasi air hujan yang asam yang mudah mengikat logam berat termasuk Pb. c. Hasil penelitian Harahap (2004) yang menyatakan bahwa keasaman akan mengikat lebih banyak timbal. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara daripada kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh yang ada di Perkebunan Teh Sidamanik karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik mempunyai pH lebih rendah daripada pH tanah di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Dari hasil penelitian tersebut bisa saja terjadi pada logam berat lain termasuk air raksa yang ada di Teluk Jakarta. Mengingat sifat dari air raksa yang sangat berbahaya dan langsung dapat menyebabkan kematian pada makhluk hidup termasuk ikan, maka di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati pada tahun 2004. Teluk Jakarta banyak menampung limbah dari beberapa industri, termasuk limbah perairan yang tercemar limbah industri, sehingga kejadian keracunan air raksa di Teluk Jakarta bisa terjadi. d. Pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992, para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997 yang merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012. Seharusnya pada tahun 2008 pemanasan global tidak terjadi, akan tetapi pemanasan global sudah terjadi yang salah satu penyebabnya adalah Amerika Serikat penyumbang sebanyak 36,1% gas emisi rumak kaca terbesar dunia menolak b meratifikasi Protokol Kyoto tersebut (Murdiyarso. 2003 ) dan dari data laporan pada tahun 2000 konsentrasi gas CO2 meningkat menjadi 360 ppmv atau meningkat 28,6 % dari tahun 1900 dan konsentrasi gas nitrogen oksida meningkat mencapai 6,9% dari pra industri, seperti terlihat pada Gambar 1 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo, 2002). Dari keempat contoh kasus tersebut adalah suatu hal yang mungkin apabila kasus dampak perubahan iklim khususnya hujan asam (acid deposition) dan pencemaran logam berat akan dan sudah terjadi terutama di Kabupaten Bogor, karena wilayah industri lebih banyak terdapat di Kabupaten Bogor daripada di Kota Bogor. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Ciawi pada tanggal 11 agustus 2005, tepatnya pada lebih kurang pukul 1600 waktu Indonesia bagian barat, air hujan yang ditampung mempunyai pH sebesar 4,4 dan sebagai perbandingan pada tanggal yang sama, tepatnya pada lebih kurang pukul 1700 waktu Indonesia bagian barat, di Kota Depok dilakukan penampungan air hujan dan mempunyai pH sebesar 4,5. Dengan demikian dari data tersebut memungkinkan Kabupaten Bogor dan Kota Depok sudah terjadi hujan asam. Menurut Darmono (1995) kondisi asam mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg). Mengingat Kabupaten Bogor memungkinkan terjadi hujan asam dan menurut Darmono (1995) kondisi asam akan mengikat logam-logam berat, seperti halnya yang dinyatakan oleh Saeni (1995), maka Kabupaten Bogor memungkinkan terjadinya pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat di tanah dan air tanah akan berakumulasi di hijauan makanan ternak. Timbal yang terakumulasi dalam hijauan makanan ternak memungkinkan akan terakumulasi di tubuh ternak yang pada akhirnya juga akan terakumulasi di tubuh manusia, sehingga permasalahannya: a. Apakah hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau?. b. Apakah Air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau mengikat timbal (Pb)?. c. Apakah keasaman air hujan mempengaruhi keasaman tanah dan memungkinkan terjadi pencemaran timbal (Pb) di tanah. d. Apakah kandungan timbal (Pb) di tanah mempengaruhi kandungan timbal (Pb) di hijauan makanan ternak di Kabupaten Bogor. e. Apakah pencemaran timbal (Pb) di hijauan makanan ternak, akan mempengaruhi kandungan timbal (Pb) di feses, darah, hati, ginjal dan daging ternak domba. f. Apakah pencemaran timbal (Pb) mempengaruhi produksi ternak domba, khususnya terhadap pertambahan bobot badan ternak domba?. 1.5. Hipotesis a. Hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. b. Air hujan yang asam akan meningkatkan kandungan timbal (Pb) air hujan. c. Keasaman air hujan akan menyebabkan keasaman tanah dan menyebabkan pencemaran timbal (Pb) dalam tanah. d. Tanah yang mengandung timbal (Pb) lebih banyak akan terakumulasi dalam hijauan makanan ternak. e. Ransum ternak yang tinggi kandungan timbalnya tidak akan meningkatkan kandungan timbal (Pb) dalam feses, tetapi akan terakumulasi pada darah, hati, ginjal dan daging ternak domba lokal jantan. f. Kandungan timbal (Pb) dalam ransum ternak yang tinggi akan menurunkan produksi ternak khususnya mengurangi pertambahan bobot badan ternak domba lokal jantan. 1.6. Manfaat Penelitian a. Sebagai informasi awal pengaruh pencemaran logam berat terhadap metabolisme dan pertambahan bobot badan domba, sehingga penelitian lanjutan dapat dilaksanakan tentang upaya meminimalkan dampak pencemaran logam berat terhadap pertambahan bobot badan dan mengurangi akumulasi logam berat dalam tubuh ternak. b. Untuk mengantisipasi terjadinya pencemaran logam berat dalam rangka upaya peningkatan produksi ternak khususnya, dan umumnya untuk pengembangan peternakan. c. Sebagai informasi tentang pencemaran logam berat sehubungan dengan kesehatan penduduk di Bogor khususnya dan umumnya untuk kehidupan manusia. d. Sebagai masukan bagi instansi-instansi terkait termasuk dalam hal ini bagi Dinas Pertanian, sub Dinas Peternakan dan Perikanan Laut di Bogor dan secara umum Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan. 1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian tentang hujan asam termasuk juga penelitian tentang pencemaran timbal (Pb) terhadap tanaman sudah dilakukan, akan tetapi penelitian pencemaran timbal sebagai akibat dari adanya hujan asam dan kaitannya dengan pencemaran timbal dalam ransum ternak, dan akumulasinya dalam tubuh ternak serta bagaimana pencemaran timbal mempengaruhi proses metabolisme dan pertambahan bobot badan ternak domba belum dilakukan. Untuk itu penelitian tentang pencemaran timbal dalam ransum ternak terhadap produksi ternak domba perlu untuk diteliti. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Logam Berat dan Pencemarannya Logam berasal dari bumi yang bisa berupa bahan organik dan bahan anorganik Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam tubuh mahluk hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia merugikan bahkan beracun. Logam yang dimaksud umumnya digolongkan pada logam berat. Menurut Saeni (1989) bahwa yang dimaksud dengan logam berat adalah unsur yang mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang biasanya terletak di bagian kanan bawah sistem periodik diantaranya: ferum (Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium (Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), air raksa (Hg), mangan (Mn) dan arsen (As). Pencemaran logam-logam berat diawali dari proses pertambangan yang kemudian dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Pertambangan logam dilakukan, karena pada dasarnya logam sangat diperlukan dalam proses produksi dari suatu pabrik, baik pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan sampai pabrik alat-alat listrik. Limbah proses produksi dari beberapa pabrik tersebut menyebabkan pencemaran logam berat baik pencemaran di air, udara, dan tanah. Pencemaran di air, lebih banyak berdampak pada hewan-hewan air, sedang ternak dan manusia tercemar logam berat dari air melalui air yang diminum. Udara yang tercemar dengan logam berat akan terakumulasi dalam tanaman baik melalui udara maupun dari tanah yang terlarut logam berat yang kemudian terserap oleh tanaman. Ternak dan manusia tercemar logam berat disamping dari air yang diminum juga dari tanaman tercemar yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia serta dari udara melalui pernafasannya. Dari sekian banyak logam berat, seperti yang diutarakan oleh Saeni (1989) seperti: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As, empat logam berat diantaranya bersifat merugikan dan beracun baik bagi ternak maupun bagi manusia diantaranya: As, Cd, Pb dan Hg, sehingga Pacyna (1987) dalam Darmono (1995) meneliti kandungan keempat logam berat tersebut dalam pembuangan limbah sehubungan dengan penggunaan energi batubara dan minyak bumi di Eropa tahun 1979 seperti tercantum dalam Tabel 1. Menurut Saeni (1997), Pb merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah Hg, karena racun Hg bersifat akut, sedang Pb bersifat akumulatif, akan tetapi limbah pembuangan Pb paling banyak jika dibandingkan Hg yang paling sedikit diantara logam berat. Hal ini terlihat dari Tabel 1. merkuri merupakan limbah pembuangan penggunaan energi batubara dan minyak bumi yang paling rendah, yaitu sebesar 221 ton/tahun dibandingkan dengan As = 678 ton/tahun, Cd = 256 ton/tahun dan Pb = 2.835 ton/tahun, sehingga Hg relatif kurang menjadi pusat perhatian bagi manusia daripada Pb, mengingat kandungan Hg dari pencemaran yang relatif rendah. Dengan demikian timbal menjadi pusat perhatian manusia tidak hanya karena bahayanya, akan tetapi juga karena pencemarannya paling tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan Logam dari Pembuangan Limbah dalam Penggunaan Energi Batu Bara dan Minyak di Eropa Tahun 1979 Sumber As Cd Pb Hg A. Pembakaran batu bara: 1. Energi listrik 2. Pabrik 3. Rumah tangga dan komersial ----------------------- (Ton/Tahun) ----------------205 64 733 86 240 77 870 16 5 73 135 B. Pembakaran minyak 1. Energi listrik 79 37 450 SR 2. Industri dan Rumah tangga serta 138 73 709 SR komersial ____________________________________________________________________ Jumlah 678 256 2.835 221 _________________________________________________________________________________ Keterangan: SR = sangat rendah, tanda – berarti tak terdeteksi Sumber: Pacyna (1987) dalam Darmono (1995) Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat dan timbal klorofosfat (Faust and Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki kandungan Pb kurang lebih 200 ppm. Timbal (Pb) mempunyai titik lebur yang rendah, sehingga mudah digunakan dan membutuhkan biaya yang relatif sedikit bagi industri. Dengan demikian akan memungkinkan mudahnya terjadi pencemaran di udara dan tanah. Sumber utama pencemaran udara adalah asap kendaraan bermotor. Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh pencemaran udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60 – 70 % dari jumlah zat pencemar. Lebih jauh Saeni (1995) menyatakan bahwa partikel Pb yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor berukuran antara 0,08 – 1,00 µg dengan masa tinggal di udara selama 4 – 40 hari. Masa tinggal yang lama menyebabkan partikel Pb dapat disebarkan angin hingga mencapai 100 – 1000 km dari sumbernya. Hal tersebut yang menyebabkan pencemaran timbal di udara mudah tersebar. Sebagai illustrasi, kandungan timbal di udara di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) berkisar 0,5-1,5 µg/m3 sebelum pemerintah menghapuskan bensin bertimbal pada tanggal 1 Juli 2001. Setelah tanggal 1 Juli 2001 harusnya kandungan timbal ini menurun, akan tetapi di udara daerah Serpong justru kandungan timbalnya tambah meningkat yaitu mencapai 1,73,5 µg/m3 (Anonim, 2005). Illustrasi lain tentang pencemaran Pb dinyatakan Surtipanti dan Suwirna (1987) bahwa pencemaran Pb dalam buangan limbah industri di Jabotabek ternyata telah melebihi batas maksimal yang diizinkan untuk limbah. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Pb tidak sangat tergantung pada bahan bakar minyak, akan tetapi karena sifat dari Pb yang mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah menguap ke udara yang menimbulkan pencemaran ditambah dengan mudahnya Pb digunakan dan murah dalam mengoperasikannya di dalam industri. Sumber pencemaran Pb di dalam tanah dapat berasal dari asap kendaraan bermotor, penambangan dan industri serta cat tembok yang larut bersama air hujan (Burau, 1982). 2.2. Logam Berat bagi Tanaman Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat tersasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya ada yang dibutuhkan sebagai unsur mikro (Fe, Mn dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui fungsinya dalam metabolisme tumbuhan (Pb, Cd dan Ti). Lebih lanjut Smith (1981) menyatakan bahwa semua logam berat berpotensi mencemari tumbuhan dan gejala akibat pencemaran logam berat, yakni: klorosis dan nekrosis pada ujung dan sisi daun serta busuk daun yang lebih awal, akan tetapi menurut Kuperman dan Carreiro (1997) kontaminasi logam berat dalam tanah akan merugikan dan mempengaruhi aktivitas dan jumlah mikroorganisme, sehingga mempengaruhi proses penguraian dan perputaran zat makanan bagi tumbuhan. Kozlowski et al. (1991) menyatakan bahwa pencemaran udara terhadap tanaman dapat mempengaruhi: pertumbuhan, yaitu dengan mengurangi pertumbuhan kambium, akar dan bagian reproduktif, termasuk pertumbuhan akar dan pertumbuhan daun. begitu pula yang dinyatakan oleh Akinola dan Adedeji (2007) bahwa baik tanah maupun rumput Benggala (Panicum maximum Jacq.) sepanjang jalur ekpress Lagos-Ibadan, Nigeria tercemar logam berat. 2.3. Logam Berat bagi Hewan dan Ternak Contoh-contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak, maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As. dari keempat logam berat tersebut yang paling tinggi kandungannya dalam buangan limbah penggunaan energi batubara dan minyak bumi adalah Pb (Tabel 1). Timbal merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah Hg (Saeni, 1997), sehingga perlu mengamati tentang Pb. Timbal (Pb) yang sering disebut dengan timah hitam merupakan salah satu mineral yang tergolong pada mineral nonesensial bagi ternak, karena tak dibutuhkan bagi ternak dan keberadaannya dalam ransum bila kebanyakan dapat menyebabkan keracunan. Berdasarkan hasil penelitian pencemaran Pb dan logam berat lainnya pada beberapa hewan diillustrasikan sebagai berikut: a) Hasil penyebaran Cd, Fe, dan Pb pada jaringan ikan paus muda atau anak ikan paus yang dipelihara di pantai South East Gulf California (Mexico) diperoleh data bahwa deposit Pb terjadi di hati sebesar 0,9 µg/g. Deposit logam berat lain seperti kadmium (Cd) pada ikan paus muda terjadi di ginjal sebesar 5,7 µg/g, sedang untuk mineral besi (Fe) terdeposit di daging sebesar 1.009 µg/g (Inzunza dan Osuna, 2002). b) Disisi lain, penelitian yang dilakukan di Cina Selatan, tepatnya di Pearl River Estuary, yang dilakukan terhadap ikan, kepiting, udang dan kerang-kerangan, ternyata penimbunan Pb pada ikan sebesar 0,94 – 30,7 mg/kg bobot badan. Konsentrasi Pb paling tinggi pada ikan dibandingkan pada kepiting, udang dan kerang-kerangan (Ip, et al., 2005). Lebih lanjut Rahman (2006) meneliti kandungan Pb dan Cd pada beberapa jenis krustasea di Pantai Batakan dan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ternyata udang dan rajungan yang ada di perairan Pantai Batakan dan Takisung telah terkontaminasi Pb dan Cd diatas batas ambang yang telah ditentukan oleh FAO. Batas ambang yang ditentukan oleh FAO, yaitu sebesar kurang dari 2 ppm untuk kandungan Pb dan kurang dari 1 ppm untuk kandungan Cd. Kandungan Pb dan Cd pada udang berkisar 66,995 – 96,250 ppm dan 8,00 – 13,25 ppm, sedang pada rajungan berkisar 75,630 – 90,515 ppm dan 8,520 – 11,375 ppm. c) Burung-burung merpati yang berasal dari daerah pedesaan, perkotaan, dan daerah industri di korea telah diteliti konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan ginjalnya. Konsentrasi tulang dan ginjal burung merpati yang berasal dari daerah pedesaan hampir seimbang dengan yang berasal dari daerah industri. Konsentrasi Pb dan Cd yang paling tinggi pada tulang dan ginjal, berasal dari burung merpati asal daerah perkotaan daripada daerah pedesaan dan industri. Konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan ginjal burung merpati tidak menunjukkan penurunan dengan menurunnya tingkat pencemaran Pb dan Cd di atmosfir, yang menunjukkan bahwa sistem pencernaan lebih penting daripada sistem pernafasan pada pencemaran Pb dan Cd (Nam dan Lee, 2005). d) Lebih lanjut penelitian pada keong yang diberi makan logam berat dan mineral esensial, pada jaringan lunaknya terdeposit Zn dan Cu sedang Pb tak terdeposit, walaupun pada pakannya sudah diberikan Pb sebanyak 0,4 – 12700 µg/kg pakan. Dengan demikian keong tak mendeposit logam berat dalam jumlah yang relatif banyak di kerangnya (Laskowski dan Hopkin, 1996). e) Pada penelitian tikus yang diberi air minum tercemar Pb sebanyak 1.000 ppm tidak menyebabkan perubahan tingkah laku, akan tetapi terjadi perubahan aktivitas lokomosi atau aktivitas gerak (Ma, et al., 1999). Proses pematangan seksual tikus betina yang sedang bunting dan yang sedang menyusui, ternyata lebih lambat waktu pubertasnya dengan pemberian Pbasetat 1 ml/hari atau dengan kandungan Pb 12 mg/ml air selama 30 hari. Pengaruh pencemaran Pb lebih sensitif pada tikus yang bunting daripada tikus yang sedang menyusui (Dearth, et al., 2002). f) Penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dalam air yang terdapat juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) akan memperlihatkan degenerasi lemak pada hatinya (Alivia dan Djawad, 2000). Lebih lanjut Ghalib et al. (2002) meneliti penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dapat menyebabkan kerusakan insang dan mengurangi konsumsi oksigen.. g) Marçal et al. (2005) menyatakan bahwa tanah-tanah di Brazil tepatnya di São Paulo State ditemukan campuran mineral logam berat yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak sapi. Lebih lanjut Lee et al. (1996) meneliti tentang konsentrasi Cd dalam ginjal dan hati domba Romney yang digembalakan pada padang penggembalaan yang rendah konsentrasi kadmiumnya (0,18 µg/g bahan kering) dan yang tinggi konsentrasi kadmiumnya (0,52 µg/g bahan kering) dengan umur domba yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya tinggi akan meningkatkan konsentrasi Cd ginjal dan hati dibandingkan di padang penggembalaan yang konsenterasi Cd-nya rendah. Sapi yang umur 6 bulan lebih tinggi kandungan Cd dalam ginjal dan hati dibandingkan dengan sapi umur 28 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa domba Romney akan menyerap Cd lebih banyak pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd tinggi daripada pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya rendah dan domba Romney muda lebih tinggi penyerapan Cd-nya daripada yang lebih tua. h) Disisi lain penelitian Nicholson et al. (1999) yang meneliti kandungan beberapa logam berat, seperti: Zn, Co, Ni, Pb, Cd, As, Cr dan Hg pada beberapa pakan ternak dan feses/kotoran ternak di negara Inggris. Hasilnya menunjukkan bahwa Pb pakan sapi pedaging berkisar 2,84 – 4,43 ppm berdasarkan bahan kering, dan Pb kotoran paling tinggi sebesar 18,00 ppm. Mengingat kandungan Pb di feses relatif lebih tinggi dari Pb pakan, maka berarti bahwa Pb pakan tak diserap oleh saluran pencernaan dan dikeluarkan melalui kotoran dalam jumlah yang relatif lebih besar daripada kandungan Pb pakan. Dalam dunia peternakan, logam diistilahkan dengan mineral yang juga diperlukan, bahkan sangat menentukan terhadap produksi ternak. Pada umumnya produksi ternak akan tinggi bila kecukupan zat organik seperti protein, karbohidrat dan lemak juga tercukupi, akan tetapi tidak jarang terlihat bahwa secara visual produksi ternak masih tidak normal walaupun bahan organik cukup banyak dikonsumsi. Dalam hal seperti ini biasanya praduga diarahkan pada defisiensi atau kelebihan atau ketidakseimbangan mineral dalam bahan makanan, sehingga logamlogam atau mineral-mineral tertentu menjadi esensial bagi ternak. Dengan demikian, maka logam-logam bagi ternak dikelompokkan menjadi logam esensial dan logam nonesensial. Logam esensial adalah kelompok logam yang diperlukan dalam proses fisiologis ternak dan merupakan unsur nutrisi yang bila kekurangan dapat menyebabkan kelainan fisiologis ternak yang disebut dengan defisiensi mineral. Logam nonesensial merupakan kelompok logam yang tidak berguna atau belum diketahui kegunaannya dalam tubuh ternak, sedang logam esensial merupakan kelompok logam yang berguna bagi tubuh ternak. Kelompok mineral nonesensial menurut Parakkasi (1999) merupakan kelompok mineral yang beracun seperti: As, Cd, Pb dan Hg. Anggorodi (1979) mengelompokkan logam esensial dalam mineral makro yang terdiri atas: kalsium (Ca), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), fosfor (P), klor (Cl) dan sulfur (S) dan mineral mikro yang terdiri atas kobalt (Co), tembaga (Cu), Iodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum (Mo), selenium (Se) dan seng (Zn). Hendler et al. (1990) mengelompokkan mineral makro merupakan kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari sedang kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum dalam jumlah kurang dari 100 mg/hari yang diistilahkan dengan trace element atau unsur renik. 2.4. Timbal (Pb) bagi Ternak Timbal merupakan unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai lambang Pb dengan nomor atom 82. Lambangnya diambil dari bahasa latin, yaitu Plumbum. Ciri-ciri Pb diantaranya: memiliki tampilan bluish white, massa atom 207,2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11,34 g/cm3, densitas cair pada titik lebur 10,66 g/cm3, titik lebur 327,46 oC, titik didih 1.749 oC, kalor peleburan 4,77 kJ/mol, kalor penguapan 179,5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 oC sebesar 26,65 J/mol.K (Wikipedia Indonesia, 2006). Dalam pertambangan, Pb berbentuk sulfida logam (PbS), yang sering disebut galena. Senyawa galena banyak ditemukan dalam pertambangan-pertambangan di seluruh dunia. Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan Pb yaitu dapat menyebabkan keracunan, yang kebanyakan disebabkan oleh pencemaran udara, terutama di kota-kota besar (Darmono, 1995). Pb terdapat dalam dua bentuk, yaitu anorganik dan organik. Dalam bentuk anorganik, Pb bisa digunakan untuk industri: baterai, cat, percetakan, gelas, polivinil, plastik, pelapis kabel dan mainan anak-anak. Dalam bentuk organik Pb digunakan dalam industri perminyakan, berupa Lead Alkyl Compound, seperti Tetra Methyl Lead (TML) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, 1999). Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang. Lebih lanjut Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm, batas ambang tinggi sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 200 ppm. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak Jenis Ternak Toksik dalam Pakan (mg) Babi 1.000 Pedet 200 – 400 Domba ` 200 – 400 Sumber: Darmono (1995) Timbal (Pb) menurut Lu (1995) dapat diserap dari usus dengan sistem transport aktif. Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul melalui membran berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut merupakan ion. Pada saat terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi pengikatan dan membutuhkan energi metabolisme. Pengikatan tersebut dapat dihambat oleh racun yang mengganggu metabolisme sel. Laju ekskresi Pb oleh tubuh sangat rendah (Rahde, 1991). Timbal terutama diekskresikan melalui urine, yaitu mencapai 75% dari ekskresi harian, 16% diekskresikan lewat saluran gastrointestinal dan 8 % diekskresikan melalui rambut, kuku, keringat (Rahde, 1991). Toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat yang bentuk dan tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai jenis faktor. Faktor yang nyata adalah dosis dan lamanya pemberian, sedang faktor yang kurang nyata, yaitu: spesies dan strain, jenis kelamin, umur, status gizi dan hormonal (Lu, 1995). Saeni (1989), menyatakan bahwa terdapat tiga mekanisme penting pada kerja toksikan: 1). Pengaruhnya terhadap enzim yang terlibat dalam aktifitas organ. 2). Penggabungan langsung zat kimia dengan zat-zat penyusun sel. 3). Kerja sekunder sebagai konsekuensi keberadaannya dalam sistem tersebut. Mekanisme proteksi sementara terhadap toksisitas logam mungkin disebabkan karena tersedianya kapasitas pengikatan logam yang lebih banyak pada organisme tertentu seperti: protein, polisakarida dan asam amino (Darmono, 1995). Menurut Lu (1995) mekanisme toksikan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia berbagai molekul sasaran yang berupa protein, koenzim, lipid dan asam-asam nukleat, sedangkan karbohidrat sangat jarang terpengaruhi oleh toksikan Studi mengenai pengurangan kadar Pb pada cangkang kepiting dengan perlakuan kondisi asam dan basa telah diteliti oleh Kim (2004). Kim (2004) menyatakan bahwa pengurangan kadar Pb pada perlakuan penambahan asam khlorida (HCl) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan alkali. Perlakuan alkali yang dimaksud menggunakan kalium hidroksida (KOH) dan natrium hidroksida (NaOH). Pengurangan kadar Pb yang rendah pada kondisi asam berkaitan dengan ketersediaan Pb dalam cangkang kepiting yang berada dalam bentuk terlarut. Disisi lain tingginya kadar Pb dalam cangkang kepiting dikarenakan pada kondisi alkali, Pb terdapat dalam bentuk endapan, sehingga mudah diekresikan ke luar tubuh. Hal tersebut seiring dengan pendapat Nur et al. (1989) yang menyatakan bahwa pada pH 7 atau lebih protein umumnya bermuatan negatif, sehingga penambahan ion logam positif akan menetralkan muatan ini. Pengendapan dengan logam berat sangat efektif pada pH netral atau sedikit alkali. Larutan tidak boleh sangat alkalis oleh karena akan terjadi resiko pengendapan hidroksi logam. Endapan sering kali larut dalam larutan ion logam berat berlebihan oleh karena ion berlebihan akan mengakibatkan/memberikan muatan positif yang stabil pada partikel-partikel. Penelitian lain sehubungan dengan penggunaan asam anorganik terhadap konsumsi pakan dan kecernaan zat makanan dari domba betina periode pertumbuhan telah dilakukan oleh Wolf et al. (1994). Wolf et al. (1994) menambahkan asam khlorida (HCl) sebanyak 2 – 10% pada ransum yang mengandung kertas koran. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan asam khlorida (HCl) sebesar 2% pada ransum yang mengandung kertas koran akan meningkatkan konsumsi bahan kering dan kecernaan zat makanan. Penambahan HCl lebih besar dari itu akan mengakibatkan penurunan kecernaan zat makanan. Penggunaan HCl pada konsentrasi yang sama akan meningkatkan konsumsi bahan kering lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan asam sulfat (H2SO4). Penelitian lain yang mempelajari interaksi antara logam, protein dan derajat keasaman dilakukan oleh Tripathi et al. (2001). Perlakuan penambahan asam khlorida (HCl) dan suplementasi cuprum (Cu) dan iodium (I) dapat meningkatkan konsumsi protein kasar dan energi metabolis dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan asam khlorida dan suplementasi cuprum dan iodium. 2.5. Timbal (Pb) bagi Manusia Timbal (Pb) tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam cairan saluran pencernaan. Timah yang diserap dalam saluran pencernaan, terutama disimpan dalam hati dan ginjal. Bila konsumsi Pb meningkat, maka akan terakumulasi dalam hati, ginjal, tulang dan rambut (Dinius et al., 1973) dalam Parakkasi (1999). Pada manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai pernyataan Saeni (1997) yang menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh, karena rambut banyak mengandung protein struktural yang tersusun dari asam-asam amino sistein yang mengandung gugus sulfhidril (-SH) dan sistein dengan ikatan disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat logam berat yang masuk kedalam tubuh dan terikat di dalam rambut. Mengingat senyawa sulfida mudah terikat dengan logam berat, maka bila Pb masuk ke dalam tubuh, maka akan terikat oleh senyawa sulfida dalam rambut (Huyser, 1984 dalam Saeni, 1997). Akumulasi Pb tidak hanya di rambut akan tetapi lebih awal akan terakumulasi di darah seperti hasil penelitian yang dinyatakan oleh Aminah (2006) yang meneliti kadar Pb karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan BBTKL & PPM yang mengambil sampling di lapangan mempunyai kadar Pb dalam darah yang lebih tinggi daripada karyawan yang tidak melakukan sampling di lapangan. Begitu pula Ardyanto (2005) yang mendeteksi pencemaran Pb dalam darah masyarakat yang banyak menghirup Pb. Timbal (Pb) pada senyawa anorganiknya dalam sistem hematopoetik menghambat reaksi enzimatik terakhir dalam sintesis heme, sehigga terjadi anemia. Hewan ruminansia mengabsorpsi mineral Pb dalam jumlah yang relatif rendah dibandingkan dengan hewan nonruminansia. Absorpsi mineral melalui paruparu mencapai 30 – 40 % dari mineral yang dihirup (Pilliang, 2002). Mineral Pb pada anak-anak sapi dan domba terdapat dalam jumlah relatif konstan yaitu sekitar 0,1 – 0,13 ppm. Jika kandungan Pb lebih besar dari 0,04 ppm dalam feses berarti bahwa banyak Pb yang masuk dalam tubuh. Hampir sama dengan ternak, pada manusia absorpsi Pb terutama melalui saluran cerna dan saluran nafas. Absorpsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10% sedangkan pada anak kira-kira 40%. Menuurut Klaassen (1980), tidak banyak yang diketahui tentang absorpsi Pb melalui saluran cerna. Ada dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan absorpsi Pb. Selain itu kekurangan Fe dilaporkan dapat meningkatkan absorpsi Pb melalui saluran cerna. Keracunan mineral timah hitam dapat menyebabkan perubahan susunan syaraf pusat, gangguan saluran pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah merah. Tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam menurut Pilliang (2002), yaitu: terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare, gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan keguguran. Baik pada manusia maupun pada ternak, Pb bersifat akumulatif dalam tubuh dan dapat merusak seluruh sistem organ dalam tubuh. Pada anak-anak, keracunan Pb dapat menyebabkan kemunduran mental yang bersifat permanen (Linder, 1992). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Pb yang terkandung dalam makanan orang dewasa rata-rata terserap 5 – 10% oleh tubuh, sedang pada bayi dan anak-anak hingga 40% atau lebih dan dapat ditekan dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P), sehingga konsumsi kalsium (Ca) yang tinggi akan menekan pengambilan Pb tubuh. Badan dunia WHO (1984) telah menetapkan batas maksimum serapan Pb oleh manusia dewasa sebesar 400 – 450 µg /hari. III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Bogor mulai dari pertengahan bulan Maret 2006 sampai akhir November 2007. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2004) terdapat 35 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor (Lampiran 17). Kecamatan yang terpilih untuk diamati sebanyak 8 kecamatan, yaitu 4 kecamatan yang berdekatan dengan Kota Bogor dan memiliki topografi yang rendah dan 4 kecamatan yang memiliki topografi tinggi (menggunakan warna berbeda pada lampiran 17). Kecamatan yang memiliki topografi rendah diantaranya: untuk sebelah barat Kota Bogor adalah Kecamatan Dramaga, sebelah timur Kecamatan Citeureup, sebelah utara Kecamatan Bojong Gede dan sebelah selatan Kecamatan Ciomas, sedang 4 kecamatan lainnya yang memiliki topografi tinggi diwakili Kecamatan Ciawi, Kecamatan Jasinga, Kecamatan Megamendung. dan Kecamatan Cisarua. Tahapan penelitian yang dilaksanakan, yaitu: tahap pertama berupa pengamatan pH air hujan dan tanah; tahap kedua analisis kandungan timbal (Pb) dari air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak yang biasa dikonsumsi oleh ternak; tahap ketiga berupa percobaan In-vitro; dan tahap keempat berupa percobaan Invivo. Pada penelitian tahap pertama, yaitu pengamatan pH air hujan dan tanah tidak hanya dipilih dari delapan kecamatan terpilih tersebut, akan tetapi juga dipilih dua kecamatan lain sebagai pembanding data penelitian tahap pertama. Dengan demikian data penentuan pH air hujan dan tanah diamati pula pH air hujan dan tanah dari salah satu kecamatan di Kota Bekasi dan satu kecamatan di Kota Depok yang dipilih secara acak dan disesuaikan dengan kemudahan memperoleh hujan dan lokasi padang penggembalaan yang terdapat banyak domba pemeliharan peternak. Pada penelitian tahap kedua, yaitu pengamatan analisis kandungan Pb air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak hanya dipilih dari 8 kecamatan terpilih. Mengingat Kota Bogor disebut sebagai kota hujan yang mempunyai curah hujan yang relatif tinggi dan waktu musim hujan yang bervariasi, termasuk pula Kabupaten Bogor, maka waktu penelitian penentuan pH air hujan tidak berdasarkan pada musim hujan atau musim kemarau, akan tetapi didasarkan pada data klimatologi Jawa Barat tahun 2003 dan 2004 yang diambil dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (Lampiran 1 dan 2). Musim kemarau diwakili pada bulan Juni, Juli dan Agustus, karena pada bulan-bulan tersebut baik pada tahun 2003 maupun pada tahun 2004 mempunyai curah hujan dibawah 150 mm/bulan (Lampiran 1 dan 2). Dengan demikian penelitian tahap pertama pengamatan pH air hujan dan tanah pada saat musim kemarau dilakukan pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2006. Pengambilan contohcontoh air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak untuk analisis kandungan Pb pada saat musim kemarau dilakukan pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2006, akan tetapi pelaksanaan analisisnya di Laboratorium dilakukan pada bulan-bulan tersebut dan dilanjutkan sampai dengan akhir bulan Desember 2006. Pengamatan pH air hujan dan tanah pada saat musim hujan dilakukan pada selain bulan Juni Juli dan Agustus 2006, atau dimulai dari bulan Maret sampai bulan Desember 2006. Penelitian tahap kedua, yaitu tentang analisis kandungan Pb dari air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak pada saat musim hujan dilakukan pada bulan yang sama dengan penelitian tahap pertama dan dilanjutkan sampai akhir bulan Mei 2007. Pengamatan pH air hujan dan tanah dilakukan di lokasi, tempat air hujan diperoleh sesuai dengan kecamatannya, begitu pula contoh hijauan makanan ternak untuk penelitian tahap kedua diperoleh dari kecamatan sesuai dengan kecamatan terpilih. Penelitian tahap kedua yaitu analisis timbal (Pb) dari contoh air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak serta tahap ketiga yaitu Percobaan In-vitro dilakukan di Laboratorium, yaitu di Bagian Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor di kampus IPB Dramaga. Pelaksanaan tahap kedua dan ketiga ini dilakukan setelah pengamatan pH air hujan dan tanah, sehingga total waktu yang diperlukan untuk penelitian tahap pertama, kedua dan ketiga kurang lebih dalam waktu 15 bulan. Penelitian tahap keempat, yaitu Percobaan in-vivo dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor di kampus IPB Dramaga. Penelitian tahap keempat (percobaan in-vivo) dilakukan setelah penelitian tahap ketiga (percobaan invitro) selesai dan dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni 2007 sampai pertengahan bulan September 2007 dan dilanjutkan dengan analisis kandungan Pb untuk feses, darah, hati, ginjal dan daging. Perlakuan pakan menggunakan ransum yang ditambahkan cairan asam dengan pH = 4,1 (merupakan pH terrendah selama pengamatan air hujan) sebagai faktor A dan penambahan Pb dalam ransum sebanyak 200 ppm, sebagai faktor B. Dosis 200 ppm diambil dari dosis toksik untuk ternak domba (Darmono, 1995) dan berdasarkan Underwood dan Suttle (1999) yang mencantumkan angka 200 ppm sebagai batas ambang toksik untuk ternak unggas. Masing-masing perlakuan dibuat dua level, yaitu untuk perlakuan penambahan cairan asam adalah level normal (tanpa pemberian cairan asam) dan level penambahan 10% cairan asam, sedang untuk perlakuan penambahan Pb, yaitu tanpa pemberian Pb dan penambahan Pb 200 ppm, sehingga ada empat perlakuan. Domba yang digunakan 12 ekor, sehingga masing-msaing perlakuan mendapatkan tiga ulangan. Waktu penelitian pada tahap empat selama 10 hari pertama untuk adaptasi, dilanjutkan dengan 9 minggu pengamatan pertambahan bobot badan dan kurang lebih 8 minggu untuk analisis Pb dari feses, darah, hati dan ginjal serta daging domba lokal jantan.sehingga total waktu yang diperlukan untuk percobaan in-vivo diperlukan kurang lebih 6 bulan. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: air hujan, tanah, hijauan makanan ternak, HgCl2 jenuh, pepsin 0,2%, kertas saring Whatman No. 41, NaOH 0,5 N, HCl 0,5 N, CO2, Na2CO3, H2SO4 (15% dan 0,005 N), indikator phenoftalin (C20H14O4), domba berikut feses, darah, hati, ginjal dan daging domba serta kandang dan perlengkapannya seperti: bak minum, bak makan, sapu lidi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: pH meter portable, The pHep FAMILY merk Hanna, AAS (Atomic Absorption Spechtrophotometer), cawan conway, tabung fermentor, mesin sentrifuse, mesin stirrer, shakerbath, timbangan digital, tabung destilasi, erlenmeyer, mesin vacum, pipet (1 ml, 5 ml dan 25 ml), timbangan duduk dan timbangan gantung kapasitas 50 kg, serta spuit 5 ml. 3.3. Rancangan Penelitian Mengingat penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap, yaitu tahap pertama pengamatan pH dari air hujan dan tanah; tahap kedua analisis timbal (Pb) dari air hujan, tanah dan tanaman makanan ternak; tahap ketiga percobaan in-vitro; dan tahap keempat adalah percobaan in-vivo, maka rancangan penelitiannya disesuaikan berdasarkan tahap-tahap penelitian tersebut. Metode percobaan untuk masing- masing tahap penelitian diuraikan sebagai berikut: 3.3.1. Tahap Pertama: Pengamatan pH Air Hujan dan Contoh Tanah Pengamatan pH air hujan dan contoh tanah dilakukan di Kabupaten Bogor, tepatnya di 8 kecamatan. Setiap kecamatan sudah dilakukan pengamatan pH contoh air hujan dan contoh tanah dengan masing-masing 3 ulangan contoh. Pengambilan contoh air hujan dilakukan sesuai dengan terjadinya hujan di kecamatan terpilih tanpa memperhatikan lokasi desa dan hari hujannya, sesuai dengan turunnya hujan. Setiap kejadian turun hujan dilakukan dua kali pengambilan (douplo) contoh air hujan dengan tidak lebih dari 15 menit setelah hujan. Segera setelah 15 menit hujan berlangsung, contoh air hujan diukur pH-nya menggunakan pH-meter portable, yaitu The pHep FAMILY merk Hanna. Setelah pengukuran pH, contoh air hujan diberi asam nitrat (HNO3) sebanya 2 – 4 tetes dan dikocok kemudian disimpan untuk dianalisis kandungan Pb-nya. Pemberian asam nitrat dimaksudkan untuk menstabilkan kandungan timbal (Pb) dalam contoh air hujan. Pengambilan contoh air hujan dan tanah dilakukan pada dua musim, yaitu pada musim hujan mulai bulan Maret 2006 dan pada musim kemarau yaitu pada sekitar bulan Juni sampai bulan Agustus 2006. Dari hasil pengamatan terdapat data pH air hujan Kabupaten Bogor sebanyak 48 data dan 12 data pH air hujan dari kota lain serta pH tanah Kabupaten Bogor 48 data ditambah 12 data pH tanah dari kota lain.. Pengambilan air hujan dilakukan dengan menadah langsung segera setelah hujan berlangsung dan menghentikan pada saat 15 menit hujan berlangsung. Tadah air hujan ditempatkan tidak mendekati permukaan tanah untuk menghindari terjadinya pencemaran tanah. Pengamatan pH air hujan dan contoh tanah dilakukan secara in-situ (langsung di tempat pengambilan contoh air hujan dan contoh tanah). Penentuan contoh tanah dari masing-masing kecamatan diambil dari lokasi yang terdapat banyak peternakan dombanya, desa yang ditunjuk sebagai tempat pengambilan tanah disesuaikan dengan desa tempat terjadinya hujan yang ada di kecamatan tersebut. Contoh tanah diambil di permukaan tanah dan pada kedalaman lebih dari 20 cm. Analisis pH menggunakan pH-meter portable, yaitu The pHep FAMILY merk Hanna. Analisis percobaan yang digunakan dalam pengamatan pH air hujan dan contoh tanah menggunakan uji Z seperti yang diuraikan dalam Steel dan Torrie (1995) dan sebagian menggunakan analisis deskriptif. 3.3.2. Tahap Kedua: Analisis Timbal (Pb) Analisis timbal (Pb) dilakukan pada contoh air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak (rumput yang biasa dikonsumsi oleh ternak) serta contoh darah, hati dan ginjal serta daging domba percobaan. Analisis timbal (Pb) untuk contoh air hujan dan tanah, serta contoh darah, hati, ginjal dan daging domba menggunakan AAS.. Analisis timbal (Pb) pada contoh air hujan dilakukan dengan cara menguapkan contoh air hujan pada suhu 100oC hingga contoh air hujan pekat dan tersisa lebih kurang 10 ml, kemudian dibaca menggunakan AAS. Hasil absorbansinya setelah dikonversi ke satuan konsentrasi (ppm) dikalikan dengan nilai pemekatan. Analisis timbal (Pb) tanah menggunakan contoh tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 – 30 cm dari permukaan tanah. Pengambilan dua contoh tanah tersebut bertujuan untuk mengetahui total kandungan Pb baik yang berasal dari tanah yang bukan dari pencemaran (kedalaman 20 – 30 cm) maupun yang berasal dari pencemaran (tanah permukaan). Timbal (Pb) dari pencemaran, disamping berbentuk organik seperti Tetra Methyl Lead (TML) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) ada yang berbentuk anorganik (berbentuk garam), seperti Pb-sulfat, Pb-karbonat dan Pb-nitrat serta Pbsulfida. Timbal (Pb) yang berbentuk garam tersebut mudah terurai, sedangkan Pb yang dari tanah berbentuk organik kompleks biasanya sulit terurai. Dengan demikian bisa dipilah Pb dari tanah dan Pb dari pencemaran. Dalam analisis timbal (Pb) contoh tanah permukaan dan contoh tanah kedalaman 20 – 30 cm, sebelum dilakukan pengabuan basah (wet ashing), terlebih dahulu contoh tanah-tanah tersebut dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu 60oC hingga mencapai kering udara (selama 24 jam), kemudian dilanjutkan dengan pengeringan dengan oven pada suhu 105oC hingga kering sampai beratnya tidak berubah (stabil). Selanjutnya con- toh tanah yang kering dilakukan pengabuan basah (wet ashing) dengan mengguna- kan prosedur Balai Penelitian Tanah (2005) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Hasil akhir dari pengabuan basah tersebut berupa cairan 10 ml yang telah dikocok, kemudian dibaca menggunakan AAS dan hasil asbsorbansinya setelah dikonversi dalam satuan ppm dikalikan dengan 10. 1 g contoh tanah + 5 ml asam nitrat (HNO3) + 1 ml asam perchlorat (HClO4) Didiamkan 1 malam (tanpa pemanasan) 100oC selama 1 jam 30 menit Besoknya dipanaskan Dipanaskan 130oC selama 1 jam Dipanaskan 150oC selama 2 jam 30 menit (hingga uap kuning hilang bila belum ditambah waktunya) Setelah uap kuning hilang Dipanaskan Dipanaskan 170oC selama 1 jam 200oC selama 1 jam (terbentuk uap putih) Endapan putih (sisa larutan jernih) Kemudian didinginkan dan diencerkan menjadi 10 ml lalu dikocok Gambar 3. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Tanah (Balai Penelitian Tanah, 2005) 1 g contoh hijauan makanan ternak/feses/hati/ginjal/daging domba + 7 ml asam nitrat (HNO3) sampai contoh tenggelam Dipanaskan pada suhu rendah (80oC) selama 4 jam hingga kuning Didiamkan 1 malam tanpa pemanasan (lemak akan mengeras) Besoknya + 2 ml Asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 120oC selama 1 jam Ditambahkan/diteteskan 0,1 – 0,6 ml atau 4 – 6 tetes larutan (campuran 2 bagian asam perchlorat + 1 bagian asam nitrat) dan dipanaskan selama 10 – 15 menit Ditambahkan aquades 2 ml + 0,6 ml asam chlorida (HCl) dan dipanaskan 120oC selama 15 menit Kemudian didinginkan dan diencerkan menjadi 50 ml lalu dikocok Gambar 4. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Hijauan Makanan Ternak Feses, darah, hati, ginjal dan daging domba (Reitz et al, 1960) Analisis timbal (Pb) untuk hijauan makanan ternak sama prosedurnya dengan analisis timbal untuk feses, hati, ginjal dan daging domba dengan menggunakan AAS yang sebelumnya dilakukan prosedur pengabuan basah (wet ashing) dengan metode Reitz et al (1960), seperti tercantum pada Gambar 4. Hasil akhir dari pengabuan basah tersebut berupa cairan 50 ml, kemudian diambil sekitar 10 ml, sedang sisanya disimpan untuk pembacaan ulang bilamana diperlukan. Contoh larutan yang 10 ml tersebut kemudian dibaca menggunakan AAS dan hasil asbsorbansinya setelah dikonversi dalam satuan ppm dikalikan dengan 50. Analisi timbal (Pb) untuk contoh darah dilakukan dengan cara mensentrifusekan darah pada kecepatan 5.000 rpm selama 15 menit. Setelah terpisah plasmanya dibaca dengan AAS dan ditentukan kandungan timbalnya. Untuk analisis Pb dari contoh feses, darah, hati, ginjal dan daging domba dalam percobaan in-vivo, menggunakan AAS. Contoh darah diambil sehari sebelum domba dipotong dan contoh feses diambil selama 3 hari terakhir pemeliharaan domba, yaitu pada hari ke-64, 65 dan 66 pemeliharaan, sedang contoh hati, ginjal dan daging diambil segera setelah domba dipotong. Analisis yang digunakan dalam pengamatan Pb dari tanah dan hijauan makanan ternak menggunakan Analisis Deskriptif, sedang analisis yang digunakan untuk pengamatan timbal (Pb) dari contoh feses, darah, hati, ginjal dan daging domba menggunakan Rancangan Kelompok dengan perlakuan berpola Faktorial 2 x 2. Faktor pertama adalah faktor penambahan cairan asam dengan dua level (tanpa penambahan cairan asam dan ditambahkan cairan asam dengan pH 4,1). Faktor kedua adalah perlakuan pemberian Pb dengan dua level (tanpa penambahan Pb dan penambahan Pb 200 ppm). Perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 ulangan sebagai kelompok. Rancangan yang dimaksud berdasarkan Steel and Torrrie (1995). Analisis Varian digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Untuk melihat korelasi kandungan Pb dari air hujan dan tanah, kandungan Pb dari tanah dan hijauan makanan ternak menggunakan korelasi linier seperti yang diuraikan dalam Steel dan Torrie (1995). 3.3.3. Tahap ketiga: Penelitian In-vitro Penelitian in-vitro merupakan penelitian skala laboratorium. Dalam penelitian in-vitro, rumen domba diasumsikan sebagai shakerbath, untuk menguji kemampuan metabolisme dan kecernaan dari hijauan makanan ternak yang biasa digunakan oleh ternak domba. Peubah yang diukur dalam penelitian in-vitro diantaranya: a. Kecernaan meliputi: KcBK (kecernaan bahan kering) dan KcBO (kecernaan bahan organik). b. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) total dan c. Produksi N-NH3 (nitrogen amoniak). Prosedur penelitian in-vitro diawali dengan mengambil cairan rumen dari domba jantan lokal tanpa perlakuan. Cairan rumen yang diambil sebanyak + 250 ml, kemudian dikocok dan dipisahkan dalam 24 tabung fermentor dengan masingmasing tabung fermentor berisi 8 ml cairan rumen. Tabung fermentor dibagi menjadi empat kelompok, yaitu satu kelompok untuk pencemaran logam berat yang tinggi, satu kelompok untuk pH yang rendah (terjadi hujan asam), satu kelompok yang tingkat pencemaran logam beratnya rendah (tidak tercemar logam berat) dan satu kelompok yang pH-nya tinggi (tak terjadi hujan asam). Masing-masing kelompok dilakukan tiga ulangan (triplo), sehingga terdapat 12 tabung fermentor. Mengingat peubah yang akan dilakukan terdapat dua proses yaitu satu proses untuk analisis KcBK dan KcBO, satu proses lagi untuk analisis Produksi VFA dan Produksi N-NH3, maka tabung fermentor yang disiapkan sebanyak 12 x 2 = 24 tabung fermentor. Dalam satu tabung fermentor dimasukkan contoh pakan perlakuan sebanyak 1 g dan 8 ml cairan rumen ditambah dengan 12 ml larutan penyangga McDougall. Larutan McDougall berfungsi seperti air liur pada domba in-vivo. Pemisahan cairan rumen dalam masing-masing tabung fermentor diikuti pemberian gas CO2. Semua tabung fermentor ditempatkan dalam Shakerbath yang berisi air hangat pada suhu 39 – 400C untuk proses fermentasi. Selama fermentasi tabung fermentor dikocok setiap 3 jam dengan gas CO2. Fermentasi dilakukan selama 48 Jam. Setelah fermentasi masing-masing fermentor diberi 0,2 ml HgCl2 untuk membunuh bakteri yang ada dalam tabung sehingga proses fermentasi tidak berlangsung. Perlu pula dilakukan pengukuran pH pada masing-masing fermentor untuk mengetahui kesesuaian kondisi pH dengan pH untuk pertumbuhan bakteri. 3.3.3.1. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Uji kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro menggunakan metode modifikasi Tilley dan Terry (1963). Sebanyak 1 g contoh ransum domba dimasukkan dalam tabung fermentor yang sudah berisi campuran 8 ml cairan rumen domba jantan lokal dengan 12 ml larutan penyangga McDougall kemudian dialiri gas CO2 dan diinkubasikan selama 24 jam dalam penangas air bergoyang (Shakerbath) Gallenskap BKS 300 – 010F dalam kondisi anaerob. Setelah 24 jam mikroba dibunuh dengan 0,2 ml larutan HgCl2 jenuh, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit, untuk memisahkan padatan dan supernatannya. Kedalam padatan ditambahkan 20 ml larutan pepsin 2 % dalam suasana asam, kemudian kembali diinkubasi 24 jam secara aerob lalu disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 dengan bantuan pompa vakum. Bahan kering dianalisis dengan menguapkan air di dalam oven bersuhu 105oC selama 24 jam dan bahan organik diperoleh dengan mengurangkan kadar abu dari bahan kering. Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa bahan dengan prosedur yang sama. Kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik ditentukan dengan rumus: BK asal – (BK residu – BK residu blanko) KcBK (%) = ------------------------------------------------------ x 100% BK asal BO asal – (BO residu – BO residu blanko) KcBO (%) = ------------------------------------------------------ x 100% BO asal Keterangan: BK = Bahan kering, BO = Bahan organik. 3.3.3.2. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) Total Penentuan VFA (kadar lemak atsiri) dilakukan dengan cara penyulingan uap (General Laboratory Procedure, 1966). Sebanyak 5 ml supernatan produk fermentasi in-vitro dimasukkan dalam tabung khusus, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15 % lalu ditutup. Tabung dihubungkan dengan labu pendingin dan labu yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N. Proses destilasi dengan cara mengalirkan air yang diuapkan hingga berakhir sampai destilat yang ditampung mencapai volume + 300 ml. Selanjutnya ditambahkan 1 – 2 tetes indikator fenoftalein dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna. Kadar FVA dihitung dengan rumus sebagai berikut: VFA total = (B – S) x N-HCl x 1000/5 mM Keterangan : B = Volume titran blanko S = Volume titran sample N = Normalitas Larutan HCl. 3.3.3.3. Produksi N-NH3 (N-Amoniak) Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedures, 1966). Sebanyak 1 ml supernatan hasil sentrifuse produk fermentasi in-vitro diletakkan di sebelah kiri sekat cawan Conway dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh juga ditempatkan di sebelah kanannya. Pada cawan kecil di bagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom kresol hijau sebanyak 1 ml. Cawan Conway ditutup rapat dengan tutup vaselin lalu digoyanggoyang supaya supernatan bercampur dengan Na2CO3. Sesudah dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar, ammonia yang terikat asam borat dititrasi dengan H2SO4 0,005 N, sampai titik awal perubahan warna dari biru menjadi kemerah-merahan. Produksi N-NH3 dihitung dengan rumus sebagai berikut: N-NH3 = (ml H2SO4 x N-H2SO4 x 1000) mM Keterangan: N-NH3 = Nitrogen dalam amonia. N H2SO4 = Normalitas larutan H2SO4. Hasil analisis KcBK, KcBO, Produksi VFA total dan Produksi N-NH3 menggunakan Rancangan acak lengkap dengan perlakuan berpola faktorial 2 x 2 dan 3 ulangan perlakuan (Steel and Torrrie, 1995), dengan persamaan sebagai berikut: Yij = μ + αi + βj + α βij + εij Yij = Parameter yang diukur μ = Nilai tengah αI = Pengaruh perlakuan pemberian air asam βj = Pengaruh perlakuan pemberian Pb αβij = Pengaruh interaksi pemberian air asam dan Pb εij = Galat pemberiaan air asam ke-i dan pemberian Pb ke-j. Dengan asumsi data bebas dan menyebar normal, maka bila terdapat perbedaan tidak dilakukan uji karena masing-masing faktor perlakuan hanya ada dua level (Steel and Torrie, 1995). Rancangan acak lengkap dengan perlakuan berpola faktorial 2 x 2 yang di maksud adalah Faktor pertama adalah faktor penambahan cairan asam dengan dua level (tanpa penambahan cairan asam dan ditambahkan cairan asam dengan pH 4,1). Faktor kedua adalah perlakuan pemberian Pb dengan dua level (tanpa penambahan Pb dan penambahan Pb 200 ppm). Perlakuan diulang tiga kali. Cairan rumen diperoleh dari cairan rumen domba yang dipotong oleh pedagang sate kambing di salah satu warung sate kambing yang terletak di desa Cibanteng, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengambilan cairan rumen dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 5.00 dengan menggunakan thermos yang sebelumnya diberi air panas yang mendekati mendidih, dengan tujuan agar suhu di dalam ruangan thermos mendekati 390C. Pada hari yang sama dilanjutkan dengan prosedur penelitian invitro. 3.3.4. Tahap keempat: Penelitian in-vivo Penelitian in-vivo menggunakan domba lokal jantan sebanyak 12 ekor dengan bobot badannya berkisar antara 13,9 – 16,5 kg. Mengingat bobotnya tidak seragam, maka domba dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu: kelompok besar, sedang dan kecil, dengan masing-masing kelompok besar berbobot 15,7 - 16,5 kg; kelompok sedang berbobot 14,8 – 15,6 kg dan kelompok kecil berbobot 13,9 – 14,7 kg. Masing-masing kelompok berjumlah 4 ekor. Domba yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari satu tempat yaitu dari UP3J (Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol) Fakultas Peternakan IPB. Tabel 3. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Berdasarkan Bahan Kering Bahan Pakan Rumput lapang Komposisi (%) 60,00 Dedak halus 8,00 Pollard 1,00 Onggok 8,05 Bungkil kelapa 2,55 Bungkil kelapa sawit 7,00 Bungkil kedelai 13,00 CaCO3 0,10 Urea 0,30 Jumlah 100,00 Pakan yang diberikan berupa ransum dengan bahan pakan terdiri atas Rumput lapang, Dedak halus, pollard, Onggok, Bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, bungkil kedelai, CaCO3 dan urea, dengan komposisi seperti pada Tabel 3 dan kandungan zat makanannya tercantum pada Tabel 4. Faktor pertama adalah faktor pemberian cairan asam dengan 2 level yaitu tanpa pemberian asam dan pemberian cairan asam dengan pH 4,1. Faktor kedua adalah faktor pemberian Pb dengan 2 level, yaitu tanpa pemberian Pb dan pemberian Pb toksik sebanyak 200 ppm, dengan 3 kelompok ternak sebagai ulangan. Masingmasing kelompok dipilih secara acak dan mendapatkan empat perlakuan sebagai berikut: Perlakuan 1 (P1): Ransum tanpa cairan asam dan Pb (sebagai kontrol) Perlakuan 2 (P2): Ransum + Air asam dengan pH 4,1 dan tanpa Pb. Perlakuan 3 (P3): Ransum tanpa cairan asam + Pb 200 ppm Perlakuan 4 (P4): Ransum + cairan asam dengan pH 4,1 + Pb 200 ppm Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Berdasarkan Bahan Kering Zat Makanan Rumput Lapang* Konsentrat* Ransum** ------------------------ % ----------------------Bahan Kering 25,50 89,56 51,12 Abu 12,72 6,69 10,31 Protein 13,84 15,24 14,40 Serat Kasar 46,87 23,37 37,47 3,08 3,13 3,10 23,49 51,57 34,72 Kalsium (Ca) 0.54 0,64 0,58 Phosphor (P) 0,38 0,56 0,45 Lemak Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen Sumber:*Hasil Analisis Proksimat dari Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, INTP, Fapet-IPB ** Perhitungan dari 60% Rumput Lapang dan 40% konsentrat Pemberian cairan asam dengan pH = 4,1 (sesuai dengan hasil pengamatan pH air hujan terrendah), dengan cara dicampurkan pada konsentratnya sebanyak 10% dari ransum. Begitu pula dengan Pb yang diberikan berupa Pb-Asetat yang dicampur sebanyak 200 ppm dari ransum kedalam konsentrat. Pemilihan Pb-asetat sebagai pencemar Pb dalam penelitian didasarkan pada penelitian Tahiri, et al. (2000) yang melaporkan bahwa penggunaan Pb-asetat menghasilkan penyerapan Pb yang tinggi serta keseimbangan Pb yang lebih positif pada tikus percobaan. Air yang mengandung pH 4,1 dibuat dari aquadestilata yang mempunyai pH 6,5 dicampurkan H2SO4 pekat yang mempunyai pH 2,0 hingga mencapai pH 4,1; begitu pula dengan penambahan Pb-asetat dalam ransum sebanyak 200 ppm dilakukan dengan contoh perhitungan sebagai berikut: Pb-asetat yang berumus molekul (CH3COO)2 Pb 3 H20 mempunyai bobot molekul 379, dengan bobot atom Pb sebesar 207. Kandungan Pb dalam Pb-asetat adalah (207/379) x 100% = 54,6174%. Kandungan Pb 200 ppm, berarti bahwa setiap 10 kg ransum yang akan dibuat ditambahkan Pb sebanyak 2.000 mg Pb.. Dengan perbandingan rumput lapang dan konsentrat sebesar 60 : 40, maka konsentrasi Pb dalam 4 kg konsentrat juga sebesar 2 000 mg Pb atau sebanyak 2 g Pb dalam 4 kg konsentrat. Dengan demikian konsentrasi Pb-asetat dalam 4 kg konsentrat sebesar 2 g X 100/54,6174 = 3,6618 g, atau dengan kata lain dibutuhkan 3,6618 g Pb-asetat untuk dapat membuat 200 ppm Pb dalam 4 kg konsentrat atau dibutuhkan 3,6618 g Pb-asetat untuk dapat membuat 200 ppm Pb dalam 10 kg ransum. Peubah yang akan diamati diantaranya: Konsumsi pakan berdasarkan bahan segar dan konsumsi pakan berdasarkan bahan kering, pertambahan bobot badan, dan analisis kandungan Pb dari feses, darah, hati, ginjal dan daging domba pengamatan. Hasil analisis menggunakan Rancangan Kelompok dengan perlakuan berpola Faktorial 2 x 2 (Steel and Torrrie, 1995), dengan persamaan sebagai berikut: Yij = μ + δi + αj+ βk + α βjk + εijk Yij = Parameter yang diukur μ = Nilai tengah δI = Pengaruh kelompok ke i αj = Pengaruh perlakuan pemberian cairan asam βk = Pengaruh perlakuan pemberian Pb αβjk = Pengaruh interaksi pemberian cairan asam dan Pb εijk = Galat pemberiaan cairan asam ke-i dan pemberian Pb ke-j. Dengan asumsi data bebas dan menyebar normal, maka bila terdapat perbedaan tidak dilakukan uji karena masing-masing faktor perlakuan hanya ada dua level (Steel and Torrie, 1995). Analisis untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang digunakan terhadap peubah menggunakan Analisis Varian. Setelah domba dipelihara selama 10 hari untuk masa adaptasi, kemudian dipelihara lagi selama 9 minggu untuk mengamati pertambahan bobot badannya. Pengambilan darah dilakukan 1 hari sebelum dipotong. Setelah dipotong segera diambil hati, ginjal dan dagingnya. Pengambilan darah diambil 1 hari sebelum dipotong sebanyak kurang lebih 3 cc setiap ekor domba dan diambil melalui vena yugularis di sekitar leher domba. Pengambilan hati dilakukan dari seluruh hati domba pengamatan, begitu pula ginjal diambil sepasang dan daging diambil sebagian kira-kira 200 gram dari bagian dada (bagian yang tak banyak terdapat pergerakan daging). Selama pemeliharaan, ternak domba diberi perlakuan yang sama seperti: A. Dimandikan terlebih dahulu (dicuci dan dikeringkan) B. Pemberian obat cacing C. Pemberian minum secara adlibitum (sepuasnya domba minum) D. Pemberian pakan yang terbatas (Restrected Feeding). E. Penimbangan konsumsi ransum. F. Penimbangan bobot badan tiap minggu. Dengan demikian peubah yang akan diamati diantaranya: a. Konsumsi pakan bahan segar dan bahan kering. b. Pertambahan bobot badan c. Efisiensi pakan d. Ratio efisiensi protein. e. Kandungan timbal (Pb) pada feses, darah, hati ginjal dan daging. 3.3.4.1. Konsumsi Pakan Bahan Segar dan Bahan Kering Mengingat pemberian pakan dilakukan dengan cara restrected feeding atau dengan pemberian pakan yang dibatasi, maka jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan data yang ada dalam Tabel National Research Council (1991) yang didasarkan pada bobot badan dombanya. Dari data yang tercantum dalam National Research Council (1991) tersebut 40%-nya konsentrat dan sisanya 60%- nya diberikan dalam bentuk rumput lapang alam. Data yang diperoleh dari National Research Council (1991) berdasarkan data bahan kering, sehingga pemberian dalam bentuk segarnya perlu dilakukan analisis persentase bahan kering untuk masingmasing bahan pakan dengan menggunakan oven pada suhu 105oC sampai berat keringnya stabil. Pemberian konsumsi segarnya untuk masing-masing bahan pakan dilakukan dengan cara data yang ada dalam National Research Council (1991) dikali 100 dan dibagi dengan data hasil analisis oven. 3.3.4.2. Pertambahan Bobot Badan Penimbangan bobot badan dilakukan seminggu sekali yaitu pada pagi hari pukul 7.30 atau sebelum pemberian pakan. Pertambahan bobot badan diperoleh dari selisih bobot badan minggu itu dengan bobot badan satu minggu sebelumnya. Penimbangan bobot badan menggunakan timbangan gantumg manual. 3.3.4.3. Efisiensi Pakan Efisiensi pakan diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot badannya dibagi dengan konsumsi pakan kering. Dalam menghitung persentase efisiensi pakan dengan cara efisiensi pakan dikali 100%. Pertambahan Bobot Badan (%) Efisiensi Pakan = --------------------------------------------- X 100 % Konsumsi Pakan dalam bahan kering 3.3.4.4. Rasio Efisiensi Protein Rasio efisiensi protein diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot badan dibagi dengan konsumsi protein kemudian dikali dengan 100%. Konsumsi protein diperoleh dengan jalan persentase kandungan protein (dari hasil analisis proksimat) dikalikan dengan konsumsi keringnya. Pertambahan Bobot Badan Rasio Efisiensi Protein = ---------------------------------- X 100 % Konsumsi Protein IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengingat penelitian ini dibagi dalam empat tahapan, yaitu: tahap pertama pengamatan pH yang terdiri atas: pH air hujan dan pH tanah; tahap kedua analisis timbal (Pb) yang terdiri atas kandungan Pb air hujan, Pb tanah dan Pb hijauan makanan ternak; tahap ketiga penelitian in-vitro; dan terakhir tahap keempat penelitian in-vivo, maka pembahasannyapun dirinci sesuai dengan tahapan penelitiannya. 4.1. Pengamatan pH Derajat keasaman yang diamati adalah pH air hujan dan pH tanah baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Delapan kecamatan yang dimaksud diantaranya: Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Megamendung. dan Cisarua. Disamping delapan kecamatan tersebut juga diambil satu kecamatan di Kota Depok serta satu kecamatan di Kota Bekasi. Delapan Kecamatan yang mewakili Kabupaten Bogor dibagi menjadi empat kecamatan yang berdekatan dengan Kota Bogor dengan topografi yang rendah dan empat kecamatan yang mempunyai topografi tinggi. Empat kecamatan yang berdekatan dengan Kota Bogor dengan topografi yang rendah diantaranya: untuk sebelah barat Kota Bogor adalah Kecamatan Dramaga, sebelah timur Kecamatan Citeureup, sebelah utara Kecamatan Bojong Gede dan sebelah selatan Kecamatan Ciomas. Keempat kecamatan tersebut terletak pada posisi yang berbeda berdasarkan arah mata angin. Empat kecamatan lainnya yang mempunyai topografi tinggi diwakili Kecamatan Ciawi, Jasinga, Megamendung. dan Kecamatan Cisarua. 4.1.1. Pengamatan pH Air Hujan Semua pH air hujan musim hujan di Kabupaten Bogor mempunyai pH diatas 5,6; terkecuali Kecamatan Ciomas (pH = 5,38). Bila dibandingkan antara dua kecamatan yang mencolok perbedaanh pH air hujan musim hujannya, seolah-olah ada sedikit berbeda antara Kecamatan Citeureup dengan pH = 7,03 (mendekati netral) dan Kecamatan Ciomas (hujan asam). Setelah diamati, ternyata contoh air hujan yang ditampung pada Kecamatan Ciomas mempunyai jarak hari pengamatan relatif lama dibandingkan dengan tujuh kecamatan lainnya. Jarak hari pangamatan di Kecamatan Ciomas, antara yang pertama ke kedua dan antara kedua ke ketiga melebihi dari 10 hari. Pada contoh pengamatan air hujan pada musim hujan tahun berikutnya di kecamatan Ciomas mempunyai rataan pH 6,21 dengan jarak pengamatan 5 dan 8 hari hujan (Tabel 5). Begitu pula untuk data pH air hujan di musim kemarau menunjukkan hampir semua kecamatan mempunyai pH dibawah 5,6 (Tabel 5); kecuali Kecamatan Mega Mendung (pH = 6). Hal yang sama terjadi pada Kecamatan Mega Mendung yang mempunyai jarak hari pengamatan relatif rebih cepat dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi pada musim hujan, apabila jarak hari hujan relatif lebih lama, akan mendapatkan pH air hujan relatif lebih rendah. Hal ini terjadi mengingat semakin lama tidak hujan semakin banyak bahan dasar prekursor hujan asam terakumulasi di udara. Begitu pula sebaliknya, walaupun terjadi pada musim kemarau apabila jarak hujan yang teramati relatif lebih cepat akan menunjukkan pH air hujan relatif tinggi atau mendekati ke netral. Dengan kata lain pada musim hujan volume air hujan sangat banyak, sehingga konsentrasi asam menjadi rendah atau mendekati pH netral. Sebaliknya pada musim kemarau volume air sangat sedikit, sehingga konsentrasi asam menjadi tinggi dan menyebabkan pH air hujan menjadi rendah. Sebenarnya bahan prekursor pembentuk asam baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau terkonsentrasi relatif sama, karena jumlah industri dan transportasi sumber pencemar asam relatif sama dan yang membedakan adalah jumlah air hujannya saja. Peningkatan jumlah industri sebanyak 425 buah dan jumlah transportasi 91 buah pada tahun 1988 di Kabupaten Bogor (Kantor Statistik Kabupaten Bogor, 1989) hingga menjadi 31.349 buah industri dan 1.762 buah transportasi pada tahun 2007 di kabupaten yang sama (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2007) mempercepat terjadinya hujan asam Data rataan pH air hujan di Kabupaten Bogor pada musim hujan menunjukkan angka sebesar 6,05. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa besarnya pH berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6. Dengan demikian pada musim hujan di Kabupaten Bogor belum terjadi hujan asam (nilai P = 0,0029). Menurut Saeni (1989) bahwa air hujan akan menjadi hujan asam kalau mempunyai pH lebih rendah dari 5,6; sehingga pada musim hujan tidak ada peluang atau peluangnya sangat kecil untuk mendapatkan pH air hujan lebih rendah dari 5,6. Data pH air hujan di Kabupaten Bogor pada musim kemarau menunjukkan angka 5,09. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa besarnya pH ini berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6. Dengan demikian pada musim kemarau sudah terjadi hujan asam di Kabupaten Bogor (nilai P = 0,0013), sehingga peluang untuk mendapatkan pH air hujan lebih tinggi dari 5,6 sangat kecil pada musim kemarau di Kabupaten Bogor. Tabel 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor dan 1 Kecamatan di Depok dan Bekasi Musim Hujan Musim Kemarau Rataan Kecamatan ------------------------------------------------------------------------------------pH+ Sd pH+Sd pH+Sd Dramaga Citeureup Bojong Gede Ciomas Ciawi Jasinga Megamendung Cisarua 6,02+0,34 7,03+0,32 5,76+0,55 5,38+0,59 6,55+0,35 6,00+0,52 6,06+0,20 5,62+0,34 4,85+0,19 5,37+0,56 4,68+0,30 4,17+0,26 4,95+0,54 5,45+0,20 6,00+0,83 5,22+0,68 5,44+0,29 6,20+0,60 5,23+0,50 4,78+0,46 5,75+0,51 5,70+0,39 6,02+0,51 5,48+0,56 Rataan Kab.Bogor Bekasi Depok 6,05+0,40 7,52+0,20 6,93+0,23 5,09+0.44 5,57+0,42 5,98+020 4,40+0,20 6,75+0,20 5,67+0,21 Rataan Bekasi & Depok 7,20+0,21 5,19+0,20 6,20+0,21 Berdasarkan data rataan pH air hujan pada musim hujan dan kemarau sebesar 5,57. dan tidak berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6 (nilai P = 0,4013),. Dengan demikian pada sepanjang tahun di Kabupaten Bogor terjadi hujan asam pada musim kemarau dan tidak terjadi hujan asam pada musim hujan, dan secara rataan antara musim kemarau dan hujan sudah terjadi hujan asam walaupun peluang terjadinya hujan asam pada sepanjang tahun relatif rendah terutama pada musim hujan. Hal ini dimungkinkan mengingat musim hujan yang panjang sampai hampir 9 bulan dalam 1 tahun dengan pH air hujan musim hujan 6,05 dan musim kemarau hanya 3 bulan dalam 1 tahun, dengan rataan pH air hujan musim kemarau 5,09. Dengan kata lain di Kabupaten Bogor sudah terjadi hujan asam apabila sudah terjadi musim kemarau panjang, seperti terjadi beberapa tahun sebelumnya. Secara umum rataan pH air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau yang terjadi di Kabupaten Bogor relatif lebih rendah daripada di luar kabupaten Bogor yang dalam hal ini hanya dibandingkan dengan Depok dan Bekasi. Hal ini dimungkinkan karena baik Depok maupun Bekasi merupakan daerah yang berdekatan dengan daerah industri, termasuk pabrik semen sedang Kabupaten Bogor merupakan daerah yang dilalui transportasi lebih dominan dibandingkan dengan daerah industri. Secara umum daerah yang berdekatan dengan pabrik semen akan banyak mengandung kalsium (Ca) yang menyebabkan pH air hujan meningkat. Kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor yang dekat dengan daerah industri hanya Kecamatan Citeureup, sedang kecamatan lainnya seperti: Kecamatan Dramaga, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Mega Mendung dan Cisarua merupakan daerah yang relatif jauh dari industri. Itulah sebabkan pH air hujan pada musim hujan di Kecamatan Citeureup relatif tinggi yaitu 7,03 atau mendekati netral. Berbeda dengan kecamatan-kecamatan seperti: Ciawi, Mega Medung dan Cisarua merupakan daerah yang lebih banyak dilalui trransportasi. Banyaknya trasportasi yang melalui Kecamatan-kecamatan yang ada dalam Kabupaten Bogor, disebabkan karena Kabupaten Bogor dari segi letak geografisnya merupakan kota penghubung antara kota Jakarta dan Bandung juga antara Jakarta dan Sukabumi. Banyaknya transportasi memungkinkan Kabupaten Bogor cenderung mempunyai hujan yang cenderung lebih asam daripada kota atau Kabupaten yang mempunyai banyak industri. Hal ini bisa dijelaskan karena penentuan rendahnya pH air hujan tidak hanya ditentukan dari banyaknya industri yang ada, akan tetapi ditentukan oleh banyaknya sumber pembentuk gas-gas asam (seperti SOX dan NOX serta hidrogen sulfida). Sumber pembentuk gas-gas asam relatif lebih sedikit pada industri apalagi industri yang menggunakan batubara dibandingkan dengan transportasi. Rendahnya gas-gas asam hasil polusi pembakaran industri, disebabkan karena gas-gas yang dihasilkan oleh industri tidak hanya gas karbon monoksida (CO), akan tetapi logamlogam kation sepertri As, Cd, Pb dan Hg (ion pembentuk basa) lebih banyak dihasilkan daripada hasil pembakaran transportasi yang lebih dominan pada produksi gas CO, sedang As, Cd, Pb, dan Hg relatif sedikit. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan industri (pabrik dan industri energi listrik yang menggunakan batubara) menghasilkan As, Cd, Pb dan Hg yang lebih banyak daripada kelompok industri yang menggunakan bahan bakar minyak (Darmono, 1995). Dengan kata lain banyaknya industri tidak lebih dominan dalam penentuan hujan asam dibandingkan dengan banyaknya transportasi, sehingga Kota Depok dan Bekasi mempunyai keasaman yang relatif tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bogor. Seperti halnya Kecamatan Citeureup yang mempunyai pH air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau relatif lebih tinggi daripada kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor. Derajat keasaman (pH) air hujan pada musim hujan di dataran rendah (Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede dan Ciomas) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, kecuali Kecamatan Ciomas, karena mempunyai pH diatas 5,6. Rendahnya pH air hujan di Kecamatan Ciomas karena jarak hujan pada waktu pengambilan contoh air hujan lebih lama, sehingga prekursor pembentuk hujan asam terkonsentrasi lebih tinggi yang menyebabkan rendahnya pH. Kecamatan Citeureup mempunyai pH air hujan musim hujan relatif lebih tinggi daripada kecamatan lainnya, karena Kecamatan Citeureup berdekatan dengan pabrik semen yang mempunyai cemaran kalsium (Ca) lebih tinggi. Sifat dari kalsium yang bersifat basa memungkinkan pH air hujan lebih tinggi. Dengan demikian perbedaan topografi di dataran rendah tidak mempenga- ruhi keasaman air hujan baik pada musim hujan maupun musim kemarau, akan tetapi perbedaan musim yang mempengaruhi keasaman air hujan. Bila diperhatikan kecenderungan tingginya diagram batang antara pH air hujan musim hujan di dataran rendah (Gambar 5) dan pH air hujan musim kemarau di dataran rendah (Gambar 6), seolah-olah ada kemiripan, karena diawali dengan pH rendah di Kecamatan Dramaga, menaik di Kecamatan Citeureup, kemudian menurun di Kecamatan Bojong Gede dan Ciomas. Sebenarnya pH air hujan pada musim hujan dan musim kemarau di Kecamatan Dramaga dan Bojong Gede relatif sama, yang berbeda adalah tingginya pH air hujan di Kecamatan Citeureup dan lebih rendahnya pH air hujan di Kecamatan Ciomas. Hal yang berbeda dengan pH air hujan pada musim hujan di kecamatan dataran tinggi (Kecamatan Ciawi, Jasinga, Mega Mendung dan Cisarua). Perbedaan Ketinggian tempat menyebabkan pH air hujan musim hujan menjadi lebih rendah (Gambar 7). pH Air Hujan Musim Hujan di Dataran Rendah 8 7 7.03 6.02 5.77 6 5.38 pH 5 4 3 pH Air M.Hujan 2 1 0 Dramaga Citeureup Bojong Gede Kecamatan Ciomas Gambar 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Hujan di Dataran Rendah pH Air Hujan Musim Kemarau di Dataran Rendah 6 5 5.37 4.85 4.68 4.17 pH 4 3 pH Air M.Kemarau 2 1 0 Dramaga Citeureup Bojong Gede Kecamatan Ciomas Gambar 6. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Kemarau di Dataran Rendah. 7 pH Air Hujan Musim Hujan di Dataran Tinggi 6.55 6.5 6.06 pH 6 6 5.62 5.5 5 Ciawi Jasinga M.Mendung Cisarua Kecamatan Gambar 7. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Hujan di Dataran Tinggi. Urut-urutan topografi dimulai dari daerah kecamatan yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, yaitu Kecamatan Ciawi lebih rendah dari Kecamatan Jasinga, dan Kecamatan Jasinga lebih rendah dari Kecamatan Mega Mendung serta yang paling tinggi adalah Kecamatan Cisarua. Berdasarkan gambar tersebut terlihat semakin tinggi daerah kecamatan semakin rendah pH air hujan pada musim hujan. Hal ini terjadi karena prekursor pembentuk asam pada daerah yang lebih tinggi akan lebih ditahan penyebarannya karena terbentur dengan kondisi gunung yang menghalanginya, sehingga konsentrasi prekursor hujan asam akan lebih banyak dan menyebabkan pH air hujan menjadi lebih rendah. Hal yang berbeda bila terjadi pada musim kemarau. Pada musim hujan jarak waktu hari hujan ke hujan berikutnya relatif lebih cepat sehingga penyebaran prekursor hujan asam terhalang gunung dan lebih cepat terlarut keasaman air hujan, akan tetapi pada musim kemarau jarak waktu hari hujan lebih lama, sehingga prekursor hujan asam masih sempat menyebar dan menghindari gunung dan menyebabkan konsentrasinya lebih sedikit yang membuat pH-nya lebih tinggi. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 8 yang memperlihatkan pH air hujan pada musim kemarau tidak semakin menurun dengan semakin tingginya tempat. Kecamatan Jasinga dan Mega Mendung pH-nya lebih tinggi dari Kecamatan Ciawi, padahal Kecamatan Jasinga dan Mega Mendung lebih tinggi dari Kecamatan Ciawi, begitu pula Kecamatan Mega Mendung pH-nya lebih tinggi dari Kecamatan Jasinga, padahal Kecamatan Mega Mendung lebih tinggi dari Kecamatan Jasinga. Dengan demikian pada musim kemarau di dataran tinggi pH air hujan tidak dipengaruhi oleh perbedaan topografi. 7 pH Air Hujan Musim Kemarau di Dataran Tinggi 6 6 5.45 5.22 4.95 pH 5 4 3 2 1 0 Ciawi Jasinga M.Mendung Kecamatan Cisarua Gambar 8. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Kemarau Di Dataran Tinggi 7 pH Air Hujan Musim Kemarau 6 pH 5 5.45 5.37 4.85 4.95 4.68 6 5.22 4.17 4 3 2 pH Air M.Kemarau 1 0 i e a ng as ga up aw ed ag i e m du r G sin o C m n u i a a e g e C t J M Dr Ci jon ga Bo e Kecamatan M a ru sa i C Gambar 9. Derajat Keasaman (pH) air hujan pada musim Kemarau di Kabupaten Bogor Hal tersebut lebih diperjelas pada Gambar 9, bahwa pH air hujan musim kemarau mempunyai pH yang lebih rendah dari 5,6 dan terlihat hampir sama tinggi diagram batangnya, kecuali untuk kecamatan Mega Mendung dengan pH lebih dari 5,6 dengan alasan seperti diutarakan sebelumnya. Dengan kata lain pada waktu musim kemarau pH air hujan menjadi asam dan tidak dipengaruhi oleh adanya perbedaan posisi dan topografi kecamatan. 4. 1.2. Pengamatan pH Tanah Untuk mengetahui dampak pH air hujan pada pH tanah, maka contoh tanah diambil disamping dari tanah permukaan juga tanah kedalaman 20 - 30 cm. Tanah kedalaman 20 – 30 cm diasumsikan tidak dipengaruhi oleh pencemaran udara dan kondisi di luar permukaan tanah, sedangkan tanah permukaan mewakili tanah yang dipengaruhi air hujan. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor tidak terlalu mencolok perbedaannya. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan berkisar antara 5,66 – 6,37 pada musim hujan dan 5,40 – 6,53 pada musim kemarau dengan rataan pH tanah permukaan pada musim hujan adalah 5,93 dan pada musim kemarau adalah 5,71 (Tabel 6). Tabel 6. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm di Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor, 1 Kecamatan di Depok dan Bekasi Musim Hujan Musim Kemarau Rataan Kecamatan -----------------------------------------------------------------------------------Permukaan Dramaga Citeureup Bojong Gede Ciomas Ciawi Jasinga 5,84+0,28 6,00+0,18 6.16+0,35 5,88+0,22 5,74+0,38 5,82+0,31 Megamendung 5,66+0,45 Cisarua 6,37+0,58 20 Cm 6,08+0,33 5,89+0,23 5,67+0,50 5,81+0,15 5,80+0,25 5,59+0,45 6,00+0,36 6,21+0,53 Rataan Kab.Bogor 5,93+0,34 5,88+0.35 5,69+0,27 6,01+0,13 6,18+0,26 5,77+0,34 5,46+0,20 5,50+0,85 5,40+0,34 6,53+0,13 5,06+0,54 5,67+0,25 Rataan 5,37+0,40 5,26+0,16 5,12+0,47 & Depok 20 Cm 6,06+0,35 5,91+0,29 6,00+0,20 6,06+0,17 5,84+0,40 6,00+0,19 5,90+0,47 5,90+0,47 Permukaan 5,77+0,28 6,01+0,16 6,17+0,31 5,83+0,28 5,60+0,29 5,66+0,58 5,53+0,40 6,45+0,36 20 Cm 6,07+0,34 5,90+0,26 5,84+0,35 5,94+0,16 5,82+0,33 5,80+0,31 5,95+0,42 6,06+0,50 5,71+0,32 6,00+0,32 5,82+0,33 5,94+0,34 Bekasi Depok Bekasi 5,22+0,16 5,29+0,15 Permukaan 4,88+046 5,36+0,47 5,33+0,14 5,20+0,13 4,97+0,50 5,52+0,36 5,28+0,15 5,25+0,14 5,27+0,14 5,25+0,44 5,27+0,15 Hal yang menarik dari pH tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 - 30 cm di Depok dan Bekasi (Tabel 6) adalah bahwa rataan pH tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 cm dibawah standar asam yang ditentukan oleh Saeni (1989) sebesar 5,6. Di sisi lain rataan pH air hujan pada musim hujan dan musim kemarau di Depok dan Bekasi lebih tinggi dari rataan pH air hujan Kabupaten Bogor (Tabel 5). Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan kedalaman 20 cm yang relatif tinggi di Kabupaten Bogor dibandingkan dengan Depok dan Bekasi, karena Kabupaten Bogor mempunyai curah hujan yang relatif lebih tinggi dan dikenal sebagai kota hujan dibandingkan dengan Depok dan Bekasi. 6.6 pH Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm 6.37 Musim Hujan 6.21 6.4 6.2 6 pH 6.16 6.08 6 6 5.89 5.84 5.88 5.81 5.8 5.67 5.8 5.82 5.74 5.59 5.66 5.6 5.4 a ru Ci sa .M Ja en du si n ng ga i Ci aw as Ci om Bj .G ed e p ur eu pH Tanah 20cm Kecamatan M pH Tanah P Ci te Dr am ag a 5.2 Gambar 10. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 – 30 cm pada Musim Hujan di Kabupaten Bogor. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan kedalaman 20 - 30 cm pada musim hujan dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor diperlihatkan pada Gambar 10. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan pH tanah kedalaman 20 - 30 cm pada musim kemarau dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor terlihat pada Gambar 11. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau tidak mempengaruhi pH tanah Kedalaman 20 cm pada musim hujan dan musim kemarau. Hal itu terjadi karena secara umum rendahnya pH tanah permukaan tidak diikuti dengan rendahnya pH tanah kedalaman 20 cm, sebaliknya tingginya pH tanah permukaan tidak diikuti dengan tingginya pH tanah kedalaman 20 cm (Gambar 10 dan 11). 7 pH Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm pada Musim Kemarau 5.91 6.06 6 6.18 6.06 6 5.77 6.01 5.46 5 5.69 pH 6 5.84 5.5 5.9 6.53 5.9 5.4 4 3 pH Permukaan 2 pH Kedalaman 20cm 1 0 D ag ram a C it e u ure p jo Bo n ed gG e C a io m s C ia wi Kecamatan a n g sa r u a ing u s d a Ci J en M ga Me Gambar 11. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor Derajat keasaman (pH) tanah permukaan di masing-masing kecamatan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau terlihat terkadang lebih tinggi, tetapi terkadang lebih rendah dari pH tanah kedalaman 20 - 30 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah permukaan tidak mempengaruhi pH tanah kedalaman 20 - 30 cm, karena pH air hujan yang jatuh ke bumi tidak mempengaruhi pH tanah permukaan. Keasaman pH tanah permukaan sangat tergantung dari jenis tanah dan kondisi mineral yang ada dalam tanah tersebut. Secara umum pH tanah permukaan pada musim hujan hampir sama dengan pH tanah kedalaman 20 cm (Gambar 10). Begitu pula pH tanah permukaan pada musim kemarau hampir sama dengan pH tanah kedalaman 20 cm (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah permukaan hampir sama pH tanah kedalaman 20 cm dan tidak saling mempengaruhi. Hal yang mempengaruhi pH tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 - 30 cm adalah jenis tanah pada tanah kecamatan yang berbeda.. 7 6 pH Tanah Permukaan Dataran Rendah 6.16 6 5.88 5.84 pH 5 4 3 pH Tanah P 2 1 0 Dramaga Citeureup Bj. Gede Kecamatan Ciomas Gambar 12. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan Dataran Rendah di Kabupaten Bogor. 7 6 pH Tanah Permukaan Dataran Tinggi 5.74 5.82 5.66 6.37 pH 5 4 3 2 pH Tanah P 1 0 Ciawi Jasinga M. Mendung Cisarua Kecamatan Gambar 13. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan Dataran Tinggi di Kabupaten Bogor Berdasarkan lokasi sesama dataran rendah di Kabupaten Bogor yang dipilih berdasarkan perbedaan posisi (letak arah mata angin) kecamatan, maka pH tanah permukaan di beberapa kecamatan dataran rendah tidak menunjukkan perbedaan antara Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede dan Kecamatan Ciomas, seperti yang terlihat pada Gambar 12. Begitu pula bila pH tanah permukaan yang dibandingkan antara sesama kecamatan yang mempunyai topografi tinggi di Kabupaten Bogor, juga tidak menunjukkan perbedaan pH (Gambar 13). Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dari Kecamatan Ciawi, Jasinga, Megamendung dan Kecamatan Cisarua relatif sama berkisar antara 5,66 sampai 6,37 (Gambar 13). 4.1.3. Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah Derajat keasaman (pH) air hujan pada musim hujan perbedaannya relatif mencolok, seperti di Kecamatan Citereup mendekati netral (pH = 7,03) dan di Kecamatan Ciomas pH-nya asam dengan pH = 5,38 (Tabel 5). Peningkatan pH air hujan pada musim hujan mendekati ke netral seperti pH Kecamatan Citeureup dan penurunan pH air hujan pada musim hujan menjadi hujan asam seperti di Kecamatan Ciomas tidak menunjukkan perubahan pH tanah permukaan baik di Kecamatan Citeureup maupun di Kecamatan Ciomas (Gambar 14). Derajat keasaman (pH) tanah permukaan relatif datar, sedang pH air hujan relatif fluktuatif (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa pH air hujan yang mendekati netral atau asam tidak mengubah pH tanah permukaan, karena pH tanah di Kecamatan Citeureup 6,00 atau tidak netral dan pH tanah permukaan di Kecamatan Ciomas tidak berubah menjadi asam, mengingat pH tanah permukaan Kecamatan Ciomas 5,88. Secara keseluruhan pH air hujan musim kemarau lebih rendah dari 5,6 sebagai standard pH hujan asam, kecuali Kecamatan Mega Mendung yang mempunyai pH 6,00, akan tetapi pH tanah permukaan musim kemarau hampir semua mempunyai pH diatas 5,6; kecuali Kecamatan Ciawi, Jasinga dan Mega Mendung seperti terlihat pada Gambar 15. Derajat keasaman (pH) air hujan musim kemarau yang bersifat asam tidak diikuti dengan pH tanah permukaan musim kemarau yang harusnya juga bersifat asam, akan tetapi justru kebanyakan bersifat basa. Hal ini menunjukkan bahwa pH air hujan musim kemarau tidak mempengaruhi pH tanah permukaan musim kemarau. Dengan demikian pH air hujan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau tidak mempengaruhi pH tanah permukaan pada musim hujan dan kemarau, sehingga tidak ada korelasi antara pH air hujan dan pH tanah permukaan. 8 7 Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan Musim Hujan 6 pH 5 4 3 2 1 0 m Dr a aga C re u it eu pH Air Hujan p d Ge Bj . e m Cio pH Tanah P as Cia wi i ng J as a en M.M du n g Cis ar u a Kecamatan Gambar 14. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada Musim Hujan Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah Permukaan Musim Kemarau 7 6 5.69 pH 5 4.85 6.01 5.37 6.18 5.77 4.68 6 5.5 5.46 4.95 5.45 6.53 5.4 5.22 4.17 4 3 2 pH Air Kemarau pH Tanah P Kemarau 1 0 iw i e om as up ga C d inga dung isarua e a r s e i m u a G a e J C n C Dr C it Me ong j a o B Kecamatan M eg Gambar 15. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada Musim Kemarau 4.2. Analisis Pb Analisis Pb dilakukan pada air hujan, tanah dan Hijauan Makanan Ternak (HMT). Contoh air hujan yang diambil dilakukan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau, sedang analisis Pb untuk contoh tanah dan contoh HMT tidak dilakukan pada musim hujan atau pada musim kemarau, mengingat hasil analisis uji coba terhadap contoh tanah pada waktu musim hujan dan contoh tanah pada waktu musim kemarau tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini dimungkinkan mengingat pH air hujan tidak mempengaruhi pH tanah permukaan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau (Gambar 14 dan 15). Dengan demikian contoh HMT juga tidak diambil berdasarkan musim akan tetapi diambil berdasarkan waktu akan menganalisis Pb HMT, karena contoh HMT harus dalam kondisi segar dan contoh air hujan, tanah maupun HMT diambil dari delapan kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu: Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Mega Mendung. dan Cisarua. 4.2.1. Kandungan Pb Air Hujan Data kandungan Pb air hujan musim hujan dan musim kemarau beserta rataannya disajikan pada Tabel 7. Kandungan Pb air hujan pada musim hujan berkisar antara 0,02 – 0,16 ppm dengan rataannya sebesar 0,07 ppm. Kandungan Pb air hujan di musim kemarau berkisar 0,01 – 0,05 ppm dengan rataannya sebesar 0,03 ppm. Rataan kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau di Kabupaten Bogor sebesar 0,05 ppm. Kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun musim kemarau di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor secara umum relatif rendah (kurang dari 0,2 ppm). Kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau tidak dipengaruhi oleh perbedaan posisi kecamatan dan topografi, sekaligus juga tidak dipengaruhi oleh keasaman dari air hujan. Mengingat air hujan yang relatif asam seperti pH air hujan musim hujan di Kecamatan Ciomas sebesar 5,38 (Tabel 5) tidak ditunjukkan dengan kandungan Pb air hujan yang tinggi, akan tetapi relatif rendah yaitu sebesar 0,03 ppm (Tabel 7) Sebaliknya pH air hujan yang netral seperti pH air hujan musim hujan di Kecamatan Citeureup sebesar 7,03 (Tabel 5) tidak menunjukkan kandungan Pb air hujan di Kecamatan tersebut pada musim hujan menjadi lebih rendah, karena hanya 0,04 ppm (Tabel 7). Begitu pula pH air hujan yang asam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, rataan pH air hujan musim kemarau sebesar 5,09 (hujan asam) tidak menunjukkan kandungan Pb air hujan musim kemarau (Tabel 7) menjadi lebih besar (rataannya 0,03 ppm) dari kandungan Pb air hujan di musim hujan (rataannya 0,07 ppm). Secara sepintas kandungan Pb air hujan musim hujan dan musim kemarau relatif sedikit, karena kurang dari 0,2 ppm, akan tetapi rataan kandungan Pb air hujan musim hujan lebih dari dua kali lipat dari kandungan Pb air hujan musim kemarau. Hal tersebut dimungkinkan karena Pb yang ada di udara pada saat musim hujan sempat bereaksi dengan air hujan tanpa lebih banyak Pb udara menyebar ke beberapa daerah. Berbeda dengan pada musim kemarau, konsentrasi Pb udara pada musim kemarau akan lebih sedikit dibandingkan musim hujan, karena sifat Pb yang ringan di udara, yang menurut Saeni (1995), bahwa Pb dapat disebarkan angin mencapai 100 – 1.000 km dari sumbernya, dengan masa tinggal 4 – 40 hari di udara. Mengingat sifat Pb tersebut, maka pada saat musim kemarau konsentrasi Pb udara menjadi lebih sedikit, karena sempat menyebar hingga 1.000 km dari sumbernya, dan menyebabkan kandungan Pb air hujan musim kemarau kurang dari separuh kandungan Pb air hujan musim hujan. Tabel 7. Kandungan Pb Contoh Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) Kecamatan Musim Hujan Musim Kemarau Rataan Dramaga 0,16 + 0,02 0,04 + 0,01 0,10 + 0,01 Citeureup 0,04 + 0,02 0,05 + 0,02 0,05 + 0,02 Bojong Gede 0,03 + 0,01 0,01 + 0,003 0,02 + 0,02 Ciomas 0,03 + 0,01 0,02 + 0,01 0,03 + 0,01 Ciawi 0,04 + 0,01 0,04 + 0,02 0,04 + 0,01 Jasinga 0,15 + 0,07 0,03 + 0,01 0,09 + 0,04 Megamendung 0,02 + 0,01 0,01 + 0,003 0,02 + 0,02 Cisarua 0,06 + 0,03 0,04 + 0,01 0,05 + 0,02 Rataan 0,07 + 0,02 0, 03 + 0,01 0,05 + 0,02 ____________________________________________________________________ Kandungan Pb air hujan musim hujan di Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Jasinga hampir empat kalinya daripada kandungan Pb di kecamatan lainnya (Tabel 7). Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan letaknya, kedua kecamatan tersebut terletak pada daerah kaki bukit yang mempunyai pepohonan yang lebih rindang, dibandingkan dengan Kecamatan Ciomas, Ciawi, Mega Mendung dan Cisarua yang terletak di kaki gunung dan didominasi perumahan penduduk dan tanaman teh. Daerah yang didominasi perumahan penduduk dan tanaman teh kandungan Pb udara akan lebih sedikit, karena Pb tersebar dibawa angin dibandingkan dengan daerah yang berada di kaki bukit dengan pepohonan yang rindang. Begitu pula Kecamatan Citeureup dan Bojong Gede yang relatif jauh dari gunung dan bukit, sehingga sebaran Pb lebih luas dan menyebabkan konsentrasi Pb udara pada kedua kecamatan tersebut menjadi rendah dan mengakibatkan kandungan Pb air hujannyapun menjadi rendah. 4.2.1.1. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Hujan Kisaran pH air hujan musim hujan di beberapa kecamatan berkisar 5,38 – 7,03, dan kandungan Pb hampir semua kecamatan berkisar 0,02 – 0,06; terkecuali kandungan Pb di Kecamatan Dramaga sebesar 0,16 dan Kecamatan Jasinga sebesar 0,15, sehingga selain Kecamatan Dramaga dan Jasinga titik hubungan antara pH dan Pb terdapat pada areal yang berdekatan sedang Kecamatan Dramaga dan Jasinga berada pada areal tersendiri dan berada di atas (Gambar 16). Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Hujan 0.18 D 0.16 J 0.14 Pb (ppm) 0.12 0.1 0.08 Cs 0.06 Ct 0.04 B Cm 0.02 Cw M 0 5 5.5 6 6.5 7 7.5 pH Keterangan: D = Kecamatan Dramaga B = Kecamatan Bojong Gede J = Kecamatan Jasinga M = Kecamatan Mega Mendung Ct = Kecamatan Citeureup. Cm = Kecamatan Ciomas Cw = Kecamatan Ciawi Cs = Kecamatan Cisarua Gambar 16. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Hujan di Kabupaten Bogor Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH dari 5,38 ke 7,03 tidak diikuti dengan penurunan konsentrasi Pb dalam air hujan musim hujan dan tidak dapat dilihat korelasi regresinya karena ada dua titik yang jauh berada diatas kelompoknya, sehingga pH air hujan musim hujan tidak mempengaruhi konsentrasi Pb air hujan musim hujan di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor. 4.2.1.2. Hubungan pH dan Pb air Hujan Musim Kemarau Hubungan pH dan Pb air hujan musim kemarau pada beberapa kecamatan terletak pada kisaran areal yang relatif sama dengan kisaran pH 4,17 – 6,00 dan konsentrasi Pb berkisar 0,01 – 0,05 (Gambar 17). Peningkatan pH tidak mengakibatkan perubahan yang nyata terhadap konsentrasi Pb, seperti pada Kecamatan Mega Mendung yang mempunyai pH paling tinggi, akan tetapi kandungan Pb-nya lebih rendah. 0.15 Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Kemarau Pb (ppm) 0.1 Ct 0.05 D Cw Cs J B Cm M 0 4 4.5 5 5.5 6 6.5 pH Keterangan: D = Kecamatan Dramaga B = Kecamatan Bojong Gede J = Kecamatan Jasinga M = Kecamatan Mega Mendung Ct = Kecamatan Citeureup. Cm = Kecamatan Ciomas Cw = Kecamatan Ciawi Cs = Kecamatan Cisarua Gambar 17. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor Begitu pula di Kecamatan Ciomas yang mempunyai pH paling rendah, akan tetapi kandungan Pb-nya tidak paling tinggi, termasuk Pb yang paling tinggi di Kecamatan Citeureup mempunyai pH yang tidak paling rendah. Dengan kata lain penurunan pH tidak mengikat Pb. Hal ini menunjukkan bahwa pH dan konsentrasi Pb dalam air hujan pada musim kemarau tidak berhubungan dan sekaligus menunjukkan bahwa perubahan pH terhadap konsentrasi Pb dalam air hujan musim kemarau pada satu kecamatan tidak mempengaruhi perubahan pH dan konsentrasi Pb air hujan pada musim kemarau di kecamatan lainnya. Dengan demikian penurunan pH tidak menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb air hujan, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. 4.2.2. Kandungan Pb Tanah Timbal (Pb) tanah permukaan dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor berkisar antara 105,07 – 179,64 ppm. Kandungan Pb tanah permukaan di Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Ciomas yang lebih tinggi dari kecamatan lainnya (Tabel 8). Tingginya kandungan Pb tanah permukaan di Kecamatan Dramaga disebabkan tingginya Pb air hujan pada musim hujan (Tabel 7) yakni sebesar 0,16 ppm. Begitu pula dengan tingginya Pb tanah di Kecamatan Ciomas seolah-olah karena rendahnya pH air hujan pada musim hujan di Kecamatan yang sama (Tabel 5). Tabel 8. Kandungan Pb Contoh Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) Kecamatan Tanah Permukaan Kedalaman 20 - 30 Cm Dramaga 179,64 + 15,57 221,43 + 39,01 Citeureup 107,96 + 12,78 195,65 + 5,69 Bojong Gede 107,02 + 10,37 145,30 + 11,03 Ciomas 158,87 + 16,07 178,08 + 22,78 Jasinga 111,07 + 9,40 139,10 + 7,34 Ciawi 117,45 + 12,96 171,95 + 7,87 Megamendung 119,89 + 14,10 211,95 + 11,00 Cisarua 105,87 + 17,24 153,83 + 26,37 ____________________________________________________________________ 177,16 + 16,39 Rataan 125,98 + 13,56 Kandungan Pb tanah pada kedalaman 20 – 30 cm sangat bervariasi pada masing-masing kecamatan, yaitu berkisar 139,10 – 221,43 ppm, dan berbeda dengan kandungan Pb tanah permukaan yang relatif sama dan berpolanya mengikuti pengaruh pH dan kandungan Pb air hujan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 - 30 cm tidak dipenga- ruhi oleh keadaan pH air hujan maupun kandungan Pb tanah permukaan. Nilai kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm mempunyai simpangan baku yang sangat besar, yang menunjukkan bahwa nilai kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm sangat tergantung dari sampel tanah yang diambil. Contoh tanah diambil dari 3 desa yang berbeda untuk setiap kecamatan yang sama. Untuk menentukan kandungan Pb tanah dari 1 kecamatan diambil dari 3 desa yang berbeda dalam 1 kecamatan. Perbedaan tanah di masing-masing desa dalam 1 kecamatan menyebabkan simpangan baku kandungan Pb tanah 1 kecamatan menjadi lebih besar. Kandungan Pb tanah permukaan lebih rendah dari kandungan Pb tanah kedalaman 20 - 30 cm (Tabel 8). Hal tersebut terjadi karena mineral pada tanah permukaan memungkinkan dimanfaatkan oleh tumbuhan diatasnya dan mineral yang terdapat pada tanah permukaan lebih banyak terkikis oleh aliran air hujan sehingga kandungan Pb tanah permukaan akan lebih rendah dari kadungan Pb tanah Pb (ppm ) kedalaman 20 – 30 cm. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Dr am Hubungan Pb Air Hujan dan Tanah Permukaan a up e re i as ed u m G e aw . t i j o i i C B C C ag Kecam atan si n Ja ga M .M e u nd ng sa Ci ru a Pb Air Hujan Pb Tanah P Gambar 18. Hubungan Pb Air Hujan Musim Hujan dan Tanah Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor. Kandungan Pb tanah permukaan cenderung lebih tinggi bila kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm tinggi, seperti di Kecamatan Dramaga yang mempunyai kandungan tanah permukaan tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya, yakni sebesar 179,64 ppm dengan kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm juga tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Gambar 19). Begitu pula di Kecamatan Cisarua yang mempunyai kandungan Pb tanah permukaan yang paling rendah diantara kecamatan lainnya mempunyai kandungan tanah pada kedalaman 20 – 30 cm yang rendah, walaupun pada kasus di Kecamatan Ciomas terlihat bahwa kandungan Pb tanah permukaan relatif tinggi dan tidak terpaut jauh dengan kandungan Pb tanah pada kedalaman 20 - 30 cm. 250 Pb Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm 221.43 P b (p p m ) 200 179.64 211.95 195.65 145.3 150 178.08 171.95 158.87 153.83 139.1 117.45 111.07 119.89 105.87 107.96 107.02 100 50 Permukaan 20 cm 0 m Dra a ga p ed re u u j .G e t B i C e C io ma s Cia wi Kecamatan i J as n ga M .M u e nd ng ar Cis ua Gambar 19. Hubungan Pb Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm di Beberapa Kecamaatan di Kabupaten Bogor Penelitian timbal pada tanah permukaan dan kedalaman 20 - 30 cm dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian Harahap (2004). Kalau dalam penelitian ini contoh tanah diambil dari kedalaman 20 - 30 cm dari atas permukaan tanah, sedang dalam penelitian Harahap (2004) diambil dari kedalaman 5 – 20 cm dan dihasilkan bahwa kandungan timbal tertinggi terdapat pada kedalaman 0 – 5 cm, sedang dalam penelitian ini kandungan timbal tertinggi didapat dari kedalaman 20 - 30 cm. Hal ini terjadi karena kebanyakan akar tanaman hijauan makanan ternak jarang terdapat pada kedalaman lebih dari 20 cm. Pada kedalaman 0 – 20 cm memungkinkan timbal yang terkandung di dalamnya diserap tanaman makanan ternak, sehingga kandungan timbal tertinggi akan lebih banyak pada kedalaman 20 - 30 cm. Bila dilihat dari kandungan Pb air hujan musim kemarau di Kecamatan Dramaga yang relatif sama dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor (Tabel 7) menunjukkan bahwa kandungan Pb air hujan musim kemarau tidak berdampak terhadap besarnya kandungan Pb tanah permukaan di Kecamatan Dramaga. Begitu pula hal yang sama untuk musim hujan di Kecamatan Dramaga dibandingkan dengan dampak Pb air hujan musim kemarau, walaupun lama hujan pada musim hujan relatif lama yaitu selama 9 bulan per tahun dibandingkan dengan lamanya musim kemarau yang hanya 3 bulan dalam setahun. Mengingat kandungan Pb air hujan relatif sama, dan disisi lain kandungan Pb tanah permukaan bervariasi, maka kandungan Pb tanah permukaan yang tinggi atau rendah tidak dipengaruhi kandungan Pb air hujan karena kandungan Pb air hujan yang rendah (kurang dari 0,2 ppm). Dengan kata lain kondisi air hujan yang asam atau mendekati netral tidak banyak mempengaruhi kandungan Pb tanah permukaan, termasuk juga tinggi atau rendahnya kandungan Pb air hujan, baik pada musim hujan maupun kemarau tidak mempengaruhi kandungan Pb tanah permukaan. Secara umum kandungan Pb tanah permukaan jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb air hujan. 4.2.2.1. Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Hujan Hubungan pH dan Pb tanah permukaan untuk beberapa kecamatan berkelompok pada areal konsentrasi Pb antara lebih dari 100 ppm hingga kurang dari 125 ppm dengan pH berkisar 5,5 – 6,5; kecuali untuk Kecamatan Dramaga dan Ciomas berkisar pada pH yang relatif sama dan konsentrasi Pb yang lebih besar dari kecamatan-kecamatan lainnya. Tingginya konsentrasi Pb tanah permukaan untuk daerah Kecamatan Dramaga karena konsentrasi Pb air hujan musim hujan yang sekitar 4 kali (0,16ppm) lebih banyak dari kecamatan lainnya (Tabel 7) dan tingginya konsentrasi Pb tanah permukaan Kecamatan Ciomas diduga karena pH air hujan pada musim hujan di Kecamatan Ciomas yang relatif rendah dan bersifat asam, yaitu mempunyai pH = 5,38 dibandingkan dengan kecamatan lain yang sifatnya basa (Tabel 5). Bertambah tingginya pH akan menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan, atau penurunan pH mengarah ke asam akan meningkatkan konsentrasi Pb tanah permukaan, walaupun keeratan hubungan pH dan Pb antar kecamatan sangat rendah yang ditunjukkan dengan adanya nilai hubungan pH dan Pb di Kecamatan Dramaga dan Ciomas yang yang lebih tinggi kandungan Pb-nya atau tidak mengelompok pada titik-titik dari kecamatan yang lainnya. Jadi secara umum walaupun pH air hujan musim hujan yang tinggi atau rendah tidak menyebabkan tinggi rendahnya konsentrasi Pb tanah permukaan, akan tetapi peningkatan pH tanah permukaan akan menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan itu sendiri dan sebaliknya penurunan pH tanah permukaan menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb pada tanah permukaan itu sendiri. Hal yang sama terjadi pada Gambar 21 yang juga menggambarkan kecenderungan rendahnya kandungan Pb dengan peningkatan pH. Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan pada Musim Hujan 200 D 175 Cm Pb(ppm) 150 125 M Cw Ct J B Cs 100 75 50 5.5 6 6.5 pH Keterangan: D = Kecamatan Dramaga B = Kecamatan Bojong Gede J = Kecamatan Jasinga M = Kecamatan Mega Mendung Ct = Kecamatan Citeureup. Cm = Kecamatan Ciomas Cw = Kecamatan Ciawi Cs = Kecamatan Cisarua Gambar 20. Hubungan pH Air Hujan Musim Hujan dan Pb Tanah Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor. 4.2.2.2. Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Kemarau Hubungan pH dan Pb tanah permukaan untuk beberapa kecamatan berkelompok pada areal konsentrasi Pb antara lebih dari 100 ppm hingga kurang dari 125 ppm atau tepatnya berkisar antara 105,87 – 119,89 ppm (Tabel 8) dengan pH berkisar 5,0 – 7,0 atau tepatnya 5,40 – 6,37 (Tabel 6), kecuali untuk Kecamatan Dramaga dan Ciomas berkisar pada pH yang relatif sama dan konsentrasi Pb yang lebih besar dari kecamatan-kecamatan lainnya (Gambar 21). Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Kemarau 200 D 175 Cm Pb (ppm) 150 125 M Cw 100 B Ct J Cs 75 50 5 5.5 6 6.5 7 pH Keterangan: D = Kecamatan Dramaga B = Kecamatan Bojong Gede J = Kecamatan Jasinga M = Kecamatan Mega Mendung Ct = Kecamatan Citeureup. Cm = Kecamatan Ciomas Cw = Kecamatan Ciawi Cs = Kecamatan Cisarua Gambar 21. Hubungan pH Air Hujan Musim Kemarau dan Pb Tanah Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor. Bertambah tingginya pH tanah permukaan cenderung akan menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan. Sebaliknya penurunan pH tanah permukaan mengarah ke asam akan meningkatkan konsentrasi Pb tanah permukaan. Kecamatan Mega Mendung mempunyai pH air hujan yang paling rendah dengan konsentrasi Pb tanah permukaan relatif lebih tinggi mendekati 125 ppm. Sebaliknya di Kecamatan Cisarua mempunyai pH air hujan paling tinggi dan konsentrasi Pb-nya relatif lebih rendah mendekati 100 ppm, walaupun hubungan pH air hujan dan kandungan Pb tanah permukaan sangat rendah, akan tetapi peningkatan pH tanah permukaan akan menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan itu sendiri dan sebaliknya penurunan pH tanah permukaan menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb pada tanah permukaan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Gambar 20 yang menunjukkan kecenderungan peningkatan konsentrasi Pb dengan rendahnya pH (Gambar 21). 4.2.3. Kandungan Pb Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan Hubungannya dengan pH dan Pb Tanah Permukaan Kandungan Pb dari contoh hijauan makanan ternak yang diambil dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor berkisar antara 17,97 – 30,59 ppm. Bila dibandingkan dengan kandungan Pb tanah permukaan, maka Pb tanah permukaan jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb hijauan makanan ternak (Gambar 22). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Akinola dan Adedeji (2007) yang meneliti kandungan Pb di tanah lebih besar dari kandungan Pb pada tanaman rumput benggala (Panicum maximum Jacq.) dan tingginya kandungan Pb tanah tersebut disebabkan karena semua mineral berasal dari tanah sebagai kerak bumi (Darmono, 1995). 200 Hubungan Pb HMT dan Tanah 179.64 180 Pb HMT 158.87 160 Pb Tanah Pb (ppm) 140 117.45 107.96 107.02 120 111.07 119.89 105.87 100 80 60 40 20 20.45 28.03 30.59 24.43 17.97 25.79 24.76 25.44 ru a is a C en du ng ga M .M i Kecamatan Ja si n ia w C as io m C Bj .G ed e p it e ur eu C D ra m ag a 0 Gambar 22. Hubungan Pb Tanah dan Hijauan Makanan Ternak Kandungan Pb tanah yang tinggi tidak disertai dengan kandungan Pb hijauan makanan ternak, atau dengan kata lain Pb dalam tanah hanya sedikit dapat diserap oleh tanaman dalam kondisi Pb kompleks. Hal yang berbeda dengan hasil penelitian Madyiwa et al. (2002) yang menyatakan bahwa penambahan Pb dalam pot tanaman akan meningkatkan kandungan Pb dalam Rumput Star grass. Kejadian penambahan Pb menyebabkan peningkatan kandungan Pb Rumput Star grass bisa terjadi karena Pb yang ditambahkan berupa Pb mudah larut bukan Pb kompleks seperti Pb yang ada di dalam kerak bumi, sehingga dalam dunia terbuka walaupun kandungan Pb dalam tanah tinggi tidak akan begitu saja diserap oleh tanaman, terkecuali Pb yang ada dalam tanah merupakan Pb yang mudah larut. Pada pH air hujan yang hanya 4,1 tidak akan menyebabkan Pb dalam tanah mudah larut kecuali dalam pH sangat rendah seperti asam sulfat pekat (H2SO4) yang mempunyai pH = 2,0 akan bisa melarutkan Pb kompleks di tanah menjadi Pb yang mudah larut. Kandungan Pb tanah permukaan di Kabupaten Bogor masih lebih rendah dari 250 ppm, bahkan tidak melebihi 200 ppm seperti kandungan ransum yang diberikan pada domba lokal jantan penelitian. Menurut Akinola dan Adedeji (2007), tanah yang mengandung Pb kurang dari 250 ppm tidak tercemar Pb dan tidak mempengaruhi rumput benggala (Panicum maximum Jacq.). Hal lain yang menyebabkan kandungan Pb tanah yang tinggi tidak disertai dengan kandungan Pb hijauan makanan ternak yang tinggi karena Pb dalam tanah terdapat dalam kondisi Pb kompleks yang tidak larut, sehingga tidak mudah diserap oleh hijauan makanan ternak. Apabila Pb tanah dalam kondisi mudah larut, maka akan mudah pula diserap oleh tanaman (Saeni, 1995). Keasaman air hujan tidak menyebabkan pH tanah yang rendah (Gambar 18) dan tidak menyebabkan Pb tanah mudah larut, sehingga dalam kondisi hujan asampun tidak akan menyebabkan Pb dalam tanah terserap lebih banyak oleh hijauan makanan ternak, yang menyebabkan kandungan Pb dalam hijauan makanan ternak menjadi tetap rendah.. 4.3. Penelitian In-vitro 4.3.1. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Bahan Organik (KcBO). Kecernaan bahan kering hasil penelitian in-vitro dari contoh pakan perlakuan kontrol = P1 (pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb) sebesar 78,14%; pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) sebesar 69,72%; pakan yang ditambahkan Pb (P3) sebesar 71,28%; dan pakan yang ditambahkan cairan asam dan Pb (P4) sebesar 62,43% (Tabel 9). Rataan Kecernaan bahan kering pakan yang dilakukan secara in-vitro dari perlakuan satu (P1) sampai perlakuan empat (P4) tersebut mempunyai rataan berkisar antara 62,43 – 78,14%. Kecernaan tersebut relatif lebih baik daripada hasil penelitian Jayanegara et al. (2006), yang menggunakan ransum 50% rumput gajah dan sisanya konsentrat berupa jagung 2,4%, bungkil kedelai 7%, bungkil kelapa 18%, onggok 15,2%, tepung ikan 15%, bungkil kelapa sawit 4,80%, minyak kelapa 0,5%, molases 1% dan urea 0,50% dengan rataan kecernaan bahan keringnya sebesar 33,8%. Tingginya kecernaan bahan kering dalam penelitian ini, karena ransum perlakuan tidak menggunakan hijauan berupa rumput gajah seperti penelitian Jayanegara et al. (2006), akan tetapi hanya menggunakan konsentrat penuh berupa Dedak halus 20%, pollard 2,5%, Onggok 20,13%, Bungkil kelapa 6,38%, bungkil kelapa sawit 17,5%, bungkil kedelai 32,5%, CaCO3 0,25% dan urea 0,75% untuk ransum kontrol atau ransum yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) . Dalam penelitian in-vivo, konsentrat yang digunakan sebanyak 40% ransum, sehingga jika kecernaan bahan kering ransum P1 sebesar 78,14% dikali 0,4 menghasilkan 31, 26% kecernaan bahan keringnya. Nilai tersebut relatif sama bila dibandingkan kecernaan bahan kering penelitian Jayanegara et al. (2006). Hal ini terjadi karena pakan dalam penelitian ini tidak menggunakan hijauan, sehingga pemberian hijauan akan mengurangi kecernaan bahan kering, mengingat hijauan mengandung serat kasar yang tinggi. Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering (%) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 78,14 + 6,14 P3 71,28 + 6,14 Rataan pakan tanpa asam a 74,71 + 3,07 P2 69,72 + 6,14 P4 62,43 + 6,14 Rataan pakan berasam b 66,08 + 3,07 pH = 4,1 a Rataan pakan 73,93 + 3,07 tanpa Pb b 66,86 + 3,07 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor pemberi an Pb dalam pakan terhadap kecernaan bahan kering (Lampiran 3). Mengingat tidak ada interaksi antar kedua faktor tersebut, maka rataan kecernaan bahan kering hanya dibandingkan pada pakan yang tidak diberikan cairan asam yang besarnya 74,71% dan pakan yang diberi cairan asam yang besarnya 66,08%; dan rataan kecernaan bahan kering pakan yang tidak ditambahkan Pb sebesar 73,93% dengan pakan yang diberikan campuran Pb sebesar 66,86% (Tabel 9). Penambahan cairan asam dengan pH 4,1 sangat nyata mempengaruhi kecernaan bahan kering pakan (P < 0,01) (Lampiran 3). Kecernaan bahan kering pakan yang ditambahkan cairan asam akan sangat berkurang daripada pakan yang tidak diberi cairan asam. Hal ini dapat terjadi karena pemberian cairan asam akan menurunkan keasaman dalam cairan rumen, yang menyebabkan kondisi lingkungan dalam cairan rumen tidak optimal untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen. Kondisi lingkungan dalam cairan rumen yang tidak optimal juga akan menurunkan aktivitas mikroorganisme rumen yang akhirnya berdampak pada berkurangnya kecernaan bahan kering. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian in-vivo yang menunjukkan bahwa ransum yang ditambahkan cairan asam mempunyai rataan pertambahan bobot badan sebesar 0,060 kg/ekor/hari lebih kecil dibandingkan dengan ransum tanpa cairan asam dengan rataan pertambahan bobot badan sebesar 0,097 kg/ekor/hari (Tabel 15). Begitu pula rataan efisiensi pakan dan rataan rasio efisiensi protein ransum yang ditambahkan cairan asam berturut-turut sebesar 9,21% (Tabel 16) dan 75,07% (Tabel 17) lebih kecil daripada ransum tanpa cairan asam dengan rataan efisiensi pakan sebesar 13,14% (Tabel 16) dan rataan rasio efisiensi protein sebesar 119,82% (Tabel 17). Besarnya pertambahan bobot badan dan tingginya efisiensi pakan serta tingginya rasio efisiensi protein dari ransum tanpa cairan asam, karena kecernaan bahan kering dari ransum tanpa cairan asam lebih tinggi dari ransum berasam, sehingga menyebabkan banyak zat makanan yang teralokasi untuk pertambahan bobot badan yang menyebabkan efisiensi pakan tinggi dan akhirnya rasio efisiensi proteinpun menjadi tinggi. Hal yang sama terjadi pada pakan yang ditambahkan Pb, penambahan Pb dalam pakan nyata mempengaruhi kecernaan bahan kering (P < 0,05) (Lampiran 3). Rataan kecernaan bahan kering pakan bertimbal sebesar 66,86% lebih kecil daripada rataan kecernaan bahan kering pakan tanpa Pb yaitu sebesar 73,93% (Tabel 9). Hal ini terjadi karena Pb akan mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Timbal (Pb) akan diikat oleh enzim yang mengandung sulfhidril dan menyebabkan tidak berfungsinya enzim tersebut dan akhirnya menurunkan kecernaan bahan kering. Tabel 10. Kecernaan Bahan Organik (%) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 78,77 + 5,20 P3 72,46 + 5,20 Rataan pakan tanpa asam a 75,62 + 2,60 P2 70,02 + 5,20 P4 63,15 + 5,20 Rataan pakan berasam b 66,59 + 2,60 pH = 4,1 a Rataan pakan 74,40 + 2,60 tanpa Pb b 67,81 + 2,60 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Rataan kecernaan bahan organik dari perlakuan kontrol (P1) sampai perlakuan 4 (P4) dalam penelitian ini berkisar antara 63,15 – 78,77% (Tabel 10). Kecernaan bahan organik dalam penelitian ini mempunyai nilai yang lebih tinggi dari penelitian Jayanegara et al. (2006). Kecernaan bahan organik untuk pakan kontrol atau pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebesar 78,77%. Kecernaan bahan organik pakan kontrol lebih besar dibandingkan dengan kecernaan bahan organik penelitian Jayanegara et al. (2006) yang hanya 35,5%. Pembahasan kecernaan bahan organik seperti halnya pembahasan kecernaan bahan kering, yaitu ransum berhijauan tinggi mengandung serat kasar yang tinggi, dan tingginya serat kasar di dalam ransum mengurangi kecernaan bahan kering dan bahan organiknya. Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor pemberian Pb dalam pakan terhadap kecernaan bahan organik (Lampiran 4). Hal yang sama dengan kecernaan bahan kering pakan, mengingat tidak ada interaksi antar kedua faktor tersebut, maka rataan kecernaan bahan organik untuk perlakuan kontrol atau perlakuan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) tidak bisa dibandingkan dengan rataan kecernaan bahan organik dari pakan yang hanya diberikan cairan asam saja (P2), dan pakan yang hanya diberikan Pb saja (P3) serta pakan yang diberikan cairan asam dan Pb (P4). Oleh karenanya rataan kecernaan bahan organik hanya dibandingkan pada pakan tanpa asam yang besarnya 75,62% dan pakan berasam yang besarnya 66,59%; juga membandingkan rataan kecernaan bahan organik pakan tanpa Pb sebesar 74,40% dengan pakan bertimbal sebesar 67,81% (Tabel 10). Perlakuan pemberian cairan asam sangat nyata menurunkan kecernaan bahan organik (P < 0,01), dan faktor pemberian Pb dalam pakan nyata menurunkan kecernaan bahan organik (P < 0,05) (Lampiran 4). Alasan yang sama dengan kecernaan bahan kering, maka kecernaan bahan organik juga akan lebih kecil apabila dalam pakannya ditambahkan cairan asam. Hal ini terjadi karena pakan berasam menyebabkan rendahnya pH cairan rumen sampel. Derajat keasaman (pH) cairan rumen sampel yang lebih rendah menyebabkan kondisi lingkungan cairan rumen tidak optimal meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen. Derajat keasaman (pH) cairan rumen sampel yang lebih rendah juga menyebabkan rendahnya aktivitas mikroorganisme rumen. Dengan rendahnya pertumbuhan mikroorganisme rumen dan rendahnya aktivitas mikroorganisme rumen akan menurunkan kecernaan bahan organik seiring dengan rendahnya kecernaan bahan kering. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian in-vivo yang menunjukkan bahwa ransum berasam mempunyai rataan pertambahan bobot badan lebih kecil dibandingkan dengan ransum tanpa asam (Tabel 15). Begitu pula rataan efisiensi pakan dan rataan rasio efisiensi protein ransum berasam berturut-turut sebesar 9,21% (Tabel 16) dan 75,07% (Tabel 17) lebih kecil daripada ransum tidak berasam dengan rataan efisiensi pakan sebesar 13,14% (Tabel 16) dan rataan rasio efisiensi protein sebesar 119,82% (Tabel 17). Besarnya pertambahan bobot badan dan tingginya efisiensi pakan serta tingginya rasio efisiensi protein dari ransum tidak berasam, karena kecernaan bahan organik dari pakan tidak berasam lebih tinggi dari pakan berasam, sehingga menyebabkan banyak zat makanan yang teralokasi untuk pertambahan bobot badan yang menyebabkan efisiensi pakan tinggi dan akhirnya rasio efisiensi proteinpun menjadi tinggi. Penambahan Pb dalam pakan menurunkan kecernaan bahan organik. Pakan bertimbal mempunyai rataan kecernaan bahan organik sebesar 67,81% dan pakan tidak bertimbal mempunyai kecernaan bahan organik sebesar 74,40% (Tabel 10). Hal ini terjadi karena ransum yang ditambahkan Pb akan mengganggu aktivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme mengingat Pb dapat diikat oleh enzim yang menyebabkan enzim tidak banyak mencerna zat makanan, sehingga kecernaan bahan organiknya juga kecil. Rataan kecernaan bahan kering pakan tidak berasam sebesar 74,71%. Rataan kecernaan bahan kering pakan tidak berasam lebih kecil daripada kecernaan bahan organik dari pakan yang sama yaitu sebesar 75,62%. Begitu pula rataan kecernaan bahan kering dari pakan tidak bertimbal sebesar 73,93%. Rataan kecernaan bahan kering dari pakan tidak bertimbal lebih kecil daripada rataan kecernaan bahan organik dari pakan yang sama, yaitu sebesar 74,40%. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang mengandung Pb relatif lebih banyak akan memperkecil kecernaan bahan keringnya dibandingkan dengan kecernaan bahan organiknya. 4.3.2. Produksi Volatile Fatty Acid (VFA ) Volatile Fatty Acid (VFA ) merupakan hasil utama proses fermentasi bahan organik didalam rumen disamping amonia. VFA ini merupakan hasil fermentasi yang diperlukan oleh hewan ruminansia sebagai sumber energi. Produksi VFA dari pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebesar 83,33 mM dan pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) sebesar 56,00 mM dan pakan yang ditambahkan Pb (P3) sebesar 87,33 mM serta pakan yang ditambahkan cairan asam dan Pb (P4) sebesar 51,00 mM (Tabel 11). Produksi VFA pakan mempunyai kisaran 51,00 – 87,33 mM. Produksi VFA pakan dalam penelitian ini relatif rendah dibandingkan dengan standar yang ditentukan oleh Sutardi et al. (1983), yang menyatakan bahwa kadar VFA antara 80 – 160 mM baru akan mencukupi kebutuhan sintesis protein mikroba yang optimal. Pada penelitian ini pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) dengan produksi VFA sebesar 83,33 mM dan pakan yang hanya ditambahkan Pb (P3) dengan produksi VFA 87,33 mM mencukupi kebutuhan sintesis protein mikroba VFA sesuai dengan standar yang ditentukan oleh Sutardi et al. (1983). Hanya pakan yang ditambahkan cairan asam saja (baik P2 dan P4) yang produksi VFA-nya tidak mencukupi kebutuhan sintesis protein mikroba. Itulah sebabnya pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam mempunyai rataan sebesar 0,060 kg/ekor/hari lebih rendah dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum tanpa asam, yaitu sebesar 0,097 kg/ekor/hari (Tabel 15). Tabel 11. Produksi VFA Ransum Penelitian (mM) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 83,33 + 26,89 P3 87,33 + 26,89 Rataan pakan tanpa asam a 85,33 + 13,44 P2 pH = 4,1 56,00 + 26,89 Rataan pakan 69,67 + 13,44 tanpa Pb P4 51,00 + 26,89 69,17 + 13,44 Rataan pakan berasam b 53,50 + 13,44 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dalam pakan dengan faktor pemberian Pb dalam pakan terhadap Produksi VFA (Lampiran 5). Produksi VFA dari pakan tidak berasam sebesar 85,33 mM sedangkan dengan produksi VFA pakan berasam sebesar 53,50 mM. Demikian juga pembahasan dilanjutkan dengan perbedaan produksi VFA dari pakan tidak bertimbal sebesar 69,67 mM, sedangkan produksi VFA dari pakan bertimbal sebesar 69,17 mM. Pakan yang ditambahkan cairan asam sangat nyata mempengaruhi produksi VFA cairan rumen (Lampiran 5). Pakan berasam akan menurunkan produksi VFA pakan tidak berasam dengan prduksi VFA berturut-turut adalah 53,50 mM dan 85,33 mM.. Dengan kata lain cairan rumen yang ditambahkan asam menyebabkan rendahnya pH cairan rumen dan menyebabkan produksi VFA dibawah standar konsentrasi VFA cairan rumen yang ditentukan oleh Sutardi et al. (1983), sehingga berdampak pada pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang terganggu dan sintesis protein mikroba menjadi lebih rendah. Mengingat ternak ruminansia lebih mengandalkan pertumbuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan bobot badannya, maka pertumbuhan bobot badan ternak domba akan menurun, sesuai dengan hasil penelitian in-vivo (Tabel 15). Rataan pertambahan bobot badan domba yang ransumnya berasam sebesar 0,060 kg/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan domba yang ransumnya berasam lebih rendah dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang ransumnya tanpa asam yaitu sebesar 0,097 kg/ekor/hari. Penambahan Pb dalam pakan tidak mempengaruhi produksi VFA (Lamiran 3.). Penambahan Pb dalam pakan menghasilkan rataan produksi VFA sebesar 69,17 mM yang relatif sama dengan rataan produksi VFA dari pakan tanpa Pb yaitu sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Penambahan Pb sebanyak 200 ppm tidak menyebabkan perubahan terhadap produksi VFA cairan rumen kontrol. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian in-vivo tentang pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum bertimbal dengan rataan sebesar 0,070 kg/ekor/hari tidak berbeda dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum tanpa Pb yaitu sebesar 0,086 kg/ekor/hari (Tabel 15). Begitu pula efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein domba yang diberi Pb sebanyak 200 ppm dengan rataannya berturut-turut sebesar 9,7 % (Tabel 16) dan 88,23 % (Tabel 17) tidak berbeda nyata dengan efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein domba yang ransumnya tanpa Pb, yaitu berturut-turut sebesar 12,65 % (Tabel 16) dan 106,66 % (Tabel 17). Penambahan Pb sebanyak 200 ppm dalam pakan tidak mempengaruhi produksi VFA yang berarti sintesis protein mikroba tidak berubah dengan panambahan Pb. Mengingat pertambahan bobot badan domba sangat tergantung pada pertumbuhan dan aktivitas serta sintesis protein mikroba, maka penambahan Pb tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, sekaligus juga tidak mempengaruhi efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein. 4.3.3. Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3) Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3) mencerminkan hasil fermentasi di dalam rumen yang digunakan untuk mendukung perrtumbuhan mikroba rumen. Menurut Sutardi et al. (1983), konsentrasi N-NH3 untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen sebesar 4 - 12 mM dengan konsentrasi optimum 8 mM., sedang menurut Satter dan Slyter (1974), kisaran konsentrasi N-NH3 yang cukup untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 3,57 – 15 mM. Produksi N-NH3 dari pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebagai pakan kontrol yaitu sebesar 5,94 mM, pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) dengan rataannya sebesar 6,50 mM dan pakan yang ditambahkan Pb (P3) dengan rataannya sebesar 7,26 mM serta pakan yang ditambahkan cairan asam dan Pb (P4) dengan rataannya sebesar 7,82 mM (tabel 12). Produksi N-NH3 hasil fermentasi pakan sesuai dengan kisaran konsentrasi yang ditentukan baik oleh Sutardi et al. (1983) maupun oleh Satter dan Slyter (1974). Itulah sebabnya domba penelitian tidak menunjukkan gangguan fermentasi selama penelitian walaupun sudah ditambahkan perlakuan timbal (Pb) yang tinggi yaitu 200 ppm dan diberikan perlakuan asam yang rendah, yaitu dengan pH 4,1. Tabel 12. Produksi N-NH3 Ransum Penelitian (mM) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 5,94 + 0,93 pH = 4,1 P2 6,50 +0,93 a Rataan pakan 6,22 + 0,47 tanpa Pb P3 7,26 + 0,93 Rataan pakan tanpa asam a 6,60 + 0,47 P4 7,82 + 0,93 Rataan pakan berasam b 7,16 + 0,47 b 7,54 + 0,47 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dalam ransum dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap produksi N-NH3 (Lampiran 6). Pakan yang ditambahkan cairan asam sangat nyata mempengaruhi produksi N-NH3 (P < 0,01) (Lampiran 6). Pakan tanpa asam, lebih rendah produksi N-NH3-nya dibandingkan dengan pakan berasam. Seharusnya pemberian asam akan mempengaruhi pH cairan rumen menjadi lebih rendah, sehingga akan menurunkan pH cairan rumen dan menyebabkan produksi N-NH3-nya menjadi lebih rendah, akan tetapi yang terjadi justru penambahan cairan asam meningkatkan produksi NNH3 dan penambahan Pb juga meningkatkan produksi N-NH3. Meningkatnya produksi N-NH3 tersebut menandakan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan mikroorganisme. Peningkatan pertumbuhan mikroorganisme akan meningkatkan pertambahan bobot badan domba pemeliharaan, karena pertambahan bobot badan domba sangat mengandalkan dari protein mikroorganisme. Pertambahan bobot badan dari ransum berasam paling rendah dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya (Tabel 15). Disisi lain hasil in-vitro menunjukkan bahwa penambahan cairan asam meningkatkan produksi N-NH3 yang seharusnya akan meningkatkan pertambahanbobot badan. Hal tersebut terjadi mungkin disebabkan cairan rumen yang diambil sebagai contoh mempunyai pH yang relatif lebih tinggi dari pH normal rumen, sehingga penambahan cairan asam menjadi menurun pada kondisi yang cukup optimal terhadap pertumbuhan mikroorganisme rumen contoh cairan rumen, yang menyebabkan produksi N-NH3 lebih tinggi. Pakan yang ditambahkan Pb sangat mempengaruhi produksi N-NH3 (P < 0,01) (Lampiran 6). Rataan produksi N-NH3 pakan bertimbal yaitu sebesar 7,54 mM. Rataan produksi N-NH3 pakan bertimbal lebih banyak daripada Rataan produksi N-NH3 pakan tanpa Pb dengan rataan sebesar 6,22 mM. Perlakuan pakan bertimbal menghasilkan produksi N-NH3 yang relatif sama banyaknya dengan pakan berasam. Hal tersebut berarti bahwa keberadaan Pb dalam pakan tidak mempengaruhi keasaman dari cairan rumen contoh yang diambil, sehingga produksi N-NH3-nya masih mendekati stadard optimun konsentrasi N-NH3 untuk mendukung sintesis protein mikroba. Dengan kata lain penambahan Pb dalam cairan rumen tidak mempengaruhi keasaman cairan rumen sampel. 4.4. Penelitian In-vivo 4.4.1. Konsumsi Bahan Segar dan Bahan Kering pada Domba Pemeliharaan Rataan konsumsi ransum segar untuk semua domba yang dipelihara berkisar 2,087 – 2,191 kg/ekor/hari, dengan konsumsi ransum segar yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) 2,087 kg/ekor/hari, konsumsi ransum segar domba yang diberi ransum berasam (P2) sebanyak 2,191 kg/ekor/hari, dan konsumsi segar domba berransum Pb (P3) sebanyak 2,088 kg/ekor/hari serta konsumsi segar domba yang diberi ransum dicampur cairan asam dan Pb (P4) sebanyak 2,100 kg/ekor/hari. Dengan Bobot badan pada akhir pemeliharaan berkisar antara 18 – 23,7 kg/ekor, maka persentase konsumsi segar terhadap bobot badan berkisar antara 9,24 - 11,6%. Rataan konsumsi rumput segar semua perlakuan sebanyak 1,743 kg/ekor/hari dan konsumsi konsentrat segar sebanyak 0,374 kg/ekor/hari, sehingga imbangan konsumsi konsentrat segar terhadap ransum sebanyak 17,67%, atau imbangan konsumsi rumput segar terhadap ransum sebesar 82,33%. Tabel 13. Konsumsi Rumput dan Konsentrat dalam Bahan Segar (Kg/ekor/hari) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 P3 R 1,757 1,755 K 0,333 0,333 Tanpa Asam ---------------------------------------Ransum 2,087 + 0,14 2,088 + 0,14 Rataan pakan tanpa asam 2,088 + 0,07 P2 P4 pH = 4,1 R 1,757 1,689 K 0,333 0,411 ---------------------------------------Ransum 2,191 + 0,14 2,100 + 0,14 Rataan pakan berasam 2,146 + 0,07 Rataan pakan tanpa Pb 2,139 + 0,07 2,094 + 0,07 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. R = Rumput K = Konsentrat Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap konsumsi bahan segar ransum penelitian (P > 0,05), juga tidak ada pengaruh kelompok terhadap konsumsi bahan segar ransum penelitian (P > 0,05) (Lampiran 7). Hal ini berarti bahwa pemberian air asam dengan pH 4,1 yang dicampur dengan Pb 200 ppm tidak ada bedanya terhadap konsumsi segar ransum yang hanya ditambahkan air asam saja dengan pH 4,1 atau ransum yang hanya ditambahkan Pb 200 ppm saja. Begitu pula kelompok ternak domba berbobot badan besar, sedang dan kecil mempunyai konsumsi ransum segar yang sama dengan penambahan cairan asam dan Pb. Konsumsi ransum segar pada domba yang ransumnya berasam (pH 4,1) tidak menunjukkan perbedaan dengan konsumsi ransum segar domba yang diberi ransum tanpa asam (P > 0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun ransum berasam rasanya masam dan bila ransum tersebut tidak diberikan dalam waktu 6 – 7 hari setelah pemberian cairan asam, maka ransum tersebut akan berjamur, akan tetapi apabila diberikan dalam waktu kurang dari 4 hari setelah penambahan cairan asam, ternyata tidak ada pengaruh terhadap palatabilitas atau kesukaan domba pada ransum berasam tersebut. Konsumsi ransum segar pada domba yang ransumnya ditambahkan Pb sebanyak 200 ppm tidak menunjukkan perbedaan dengan konsumsi ransum segar domba yang diberi ransum tanpa tambahan Pb (P > 0,05). Hal yang sama dengan penambahan cairan asam, penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi palatabilitas atau kesukaan domba terhadap konsumsi segar ransum. Tabel 14. Konsumsi Rumput dan Konsentrat dalam Bahan Kering (Kg/ekor/hari) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 P3 R 0,448 0,447 K 0,288 0,289 Tanpa Asam ---------------------------------------Ransum 0,736 + 0,001 0,736 + 0,001 P2 P4 pH = 4,1 R 0,451 0,431 K 0,289 0,289 ---------------------------------------Ransum 0,740 + 0,001 0,720 + 0,001 Rataan pakan 0,738 + 0,0004 0,728 + 0,0004 tanpa Pb Rataan pakan tanpa asam 0,736 + 0,0004 Rataan pakan berasam 0,730 + 0,0004 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. R = Rumput K = Konsentrat Rataan konsumsi kering ransum untuk semua domba yang dipelihara berkisar 0,720 – 0,740 kg/ekor/hari Tabel 14). Konsumsi bahan kering ransum domba yang berransum kontrol (P1) sebanyak 0,736 kg/ekor/hari, yang diberikan ransum berasam (P2) sebanyak 0,740 kg/ekor/hari, dan yang diberi ransum bertimbal (P3) sebanyak 0,736 kg/ekor/hari, serta yang diberikan ransum berasam dan bertimbal (P4) sebanyak 0,720 kg/ekor/hari (Tabel 14). Bobot badan domba pada akhir pemeliharaan berkisar antara 18 – 23,7 kg/ekor, sehingga bila dihitung persentase konsumsi kering terhadap bobot badan berkisar antara 3,12 – 4,00%. Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap konsumsi bahan kering ransum (P > 0,05), juga tidak ada pengaruh kelompok besar, sedang dan kecil terhadap konsumsi bahan kering ransum (P > 0,05) (Lampiran 8). Hal ini berarti bahwa pemberian cairan asam dengan pH 4,1 yang dicampur dengan Pb 200 ppm tidak ada bedanya terhadap konsumsi kering ransum yang hanya ditambahkan cairan asam saja atau ransum yang ditambahkan Pb saja, begitu pula kelompok ternak domba berbobot badan besar, sedang dan kecil mempunyai konsumsi kering ransum yang sama dengan penambahan air asam dan Pb. Domba yang diberi ransum berasam atau tanpa asam, konsumsi bahan kering tidak berbeda (P > 0,05), demikian pula yang ditambahkan Pb dan yang tidak ditambahkan Pb dalam ransumnya (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan cairan asam dan Pb ke dalam konsentrat tidak mempengaruhi palatabilitas ransum yang ditunjukkan tidak ada perbedaan konsumsi bahan kering ransum. 4.4.2. Pertambahan Bobot Badan Domba Pemeliharaan Pertambahan bobot badan masing-masing domba berkisar 0,044 – 0,124 Kg/ekor/hari, dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum tanpa cairan asam dan Pb (P1) sebesar 0,100 kg/ekor/hari, yang diberi ransum berasam (P2) sebesar 0,072 kg/ekor/hari, dan yang diberi ransum bertimbal (P3) sebesar 0,093kg/ekor/hari serta yang diberi ransum berasam dan bertimbal (P4) sebesar 0,047 kg/ekor/hari (Tabel 15). Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan domba pemelihara- an (P > 0,05), akan tetapi kelompok domba yang besar, sedang dan kecil dipengaruhi oleh penambahan air asam dan Pb dalam ransumnya (P < 0,05) (Lampiran 9). Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara rataan pertambahan bobot badan domba yang tidak diberi cairan asam dan Pb (P1) dengan yang diberi ransum berasam (P2) dan dengan yang diberi ransum bertimbal (P3) serta dengan yang diberi ransum berasam dan bertimbal (P4). Tabel 15. Pertambahan Bobot Badan Domba (Kg/ekor/hari) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 0,100 + 0,020 P3 0,093 + 0,020 Rataan pakan tanpa asam a 0,097 + 0,00003 P2 pH = 4,1 0,072 + 0,027 Rataan pakan 0,086 + 0,00003 tanpa Pb P4 Rataan pakan berasam b 0,047 + 0,006 0,060 + 0,00003 0,070 + 0,00003 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Perlakuan pemberian cairan asam dalam ransum domba sangat mempengaruhi pertambahan bobot badan domba (P < 0,01). Rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,060 kg/ekor/hari jauh lebih kecil daripada yang diberi ransum tidak berasam yaitu sebesar 0,097 kg./ekor/hari (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam akan menyebabkan kondisi dalam rumen lebih asam dari kondisi normal dan menyebabkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme menjadi terganggu. Terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen menyebabkan ketersediaan asam amino asal mikroorganisme untuk pembentukan protein khususnya untuk pertumbuhan ternak akan berkurang, sehingga pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam lebih rendah. Terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme juga menyebabkan kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih rendah daripada ransum tanpa asam, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian in-vitro. Dalam penelitian in-vitro kecernaan bahan kering pakan berasam sebesar 66,08% dan pakan tanpa asam sebesar 74,71% (Tabel 9), serta kecernaan bahan organik pakan berasam sebesar 66,59% dan pakan tanpa asam sebesar 75,62% (Tabel 10). Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih rendah pada ransum berasam akan menyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan domba. Disamping itu terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen akibat ransum berasam menurunkan produksi Volatile Fatty Acid (VFA). Pakan berasam mempunyai produksi VFA sebesar 53,50 mM dan pakan tanpa asam sebesar 85,33 mM (Tabel 11). Mengingat VFA sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia termasuk domba, maka kurangnya produksi VFA akan mengurangi ketersediaan energi bagi domba dan menyebabkan pertambahan bobot badan juga berkurang. Disamping itu ransum yang berasam akan mengikat logam termasuk mineral kalsium (Ca) dan phosphor (P), karena kedua mineral tersebut merupakan mineral yang dibutuhkan oleh ternak untuk pertumbuhan, sehingga bila Ca dan P terikat oleh asam maka pertumbuhannya akan berkurang. Ransum bertimbal tidak nyata mempengaruhi pertambahan bobot badan (P > 0,05) (Lampiran 9). Hal ini disebabkan karena ransum bertimbal tidak mempengaruhi keasaman rumen dan tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen, sehingga tidak berdampak pada pertambahan bobot badan domba. Disamping itu ransum bertimbal tidak mempengaruhi produksi VFA sebagai sumber energi ternak domba seperti hasil penelitian in-vitro. Pada penelitian in-vitro ransum bertimbal menghasilkan produksi VFA sebanyak 69,17 mM sama banyaknya dengan ransum tanpa timbal sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Dengan produksi VFA yang sama antara ransum bertimbal dan ransum tanpa timbal menyebabkan pertambahan bobot badannya juga relatif sama. Hal yang berbeda dengan penelitian Levine et al. (1976) yang meneliti terdapat banyak ternak yang mati di daerah yang berdekatan dengan tumpukan kertas berlogam berat, yang dicirikan dengan tingginya kadar Pb dalam darah, susu dan bulu. Perbedaan tersebut dapat terjadi bila ternak ruminansia tidak tercukupi kebutuhan nutrisinya yang menyebabkan Pb yang ada dalam pakan bisa diserap oleh saluran pencernaan. Mengingat kebutuhan nutrisi yang kurang memungkinkan populasi mikroorganisme rumen tidak banyak dan menyebabkan sedikitnya enzim yang diproduksi untuk mengikat Pb tersebut. Apalagi sepanjang hidupnya ternak tersebut mengkonsumsi ransum bertimbal, karena sifat timbal yang akumulatif, sehingga ternak yang tidak mencukupi kebutuhan nutrisinya dan mengkonsumsi Pb akan menyebabkan kematian ternak dengan akumulasi Pb dalam organ ternak. 4.4.3. Efisiensi Pakan Domba Efisiensi pakan menggambarkan kemampuan ternak untuk mengubah pakan yang dikonsumsi menjadi daging atau menjadi pertumbuhan ternak. Efisiensi pakan domba selama pemeliharaan diperlihatkan pada Tabel 16. Tabel tersebut diperoleh dari perhitungan pertambahan bobot badan yang terdapat pada Tabel 15 dibagi dengan konsumsi bahan kering ransum yang diperoleh dari penjumlahan konsumsi rumput kering dengan konsentrat kering pada Tabel 14. Efisiensi pakan masingmasing domba penelitian berkisar antara 5,68 – 16,16%, dengan rataan efisiensi pakan domba yang diberi ransum kontrol (P1) sebesar 13,49 %, ransum berasam (P2) sebesar 11,80%, ransum bertimbal (P3) sebesar 12,78% dan ransum berasam dan bertimbal (P4) sebesar 6,62%. Tabel 16. Efisiensi Pakan Domba (%) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 13,49 + 0,0002 P3 12,78 + 0,0002 Rataan pakan tanpa asam a 13,14 + 0,00008 P2 pH = 4,1 11,80 + 0,0002 Rataan pakan 12,65 + 0,00008 tanpa Pb P4 6,62 + 0,0002 9,70 + 0,00008 Rataan pakan berasam b 9,21 + 0,00008 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap efisiensi pakan pada domba pemeliharaan (P > 0,05), dan tidak ada pengaruh kelompok domba yang bobot badannya besar, sedang dan kecil terhadap efisiensi pakan (Lampiran 10). Dengan demikian tidak ada perbedaan rataan efisiensi pakan akibat perlakuan kontrol (P1) sebesar 13,49 %, akibat ransum berasam (P2) sebesar 11,80%, dan akibat ransum bertimbal (P3) sebesar 12,78% serta akibat ransum berasam dan bertimbal (P4) sebesar 6,62%. (Tabel 16). Perlakuan pemberian cairan asam dalam ransum domba sangat mempengaruhi efisiensi pakan (P < 0,01) (Lampiran 10). Efisiensi pakan pada domba yang diberi ransum berasam sebesar 9,21%. Efisiensi pakan pada domba yang diberi ransum berasam jauh lebih rendah dari domba yang diberi ransum tanpa asam sebesar 13,14%. Penurunan efisiensi pakan pada domba yang diberi ransum berasam disebabkan karena pemberian cairan asam akan menyebabkan turunnya keasaman cairan rumen yang menyebabkan terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen. Mengingat mikroorganisme rumen merupakan mikroba yang mencerna zat makanan khususnya serat kasar yang banyak dikonsumsi oleh ruminansia termasuk domba, sehingga kemampuan mikroorganisme untuk mencerna makanan menjadi terganggu dan mengakibatkan ketersediaan zat makanan untuk ternak dombanya menjadi sedikit, yang akhirnya akan mengurangi pertambahan bobot badan. Penurunan pertambahan bobot badan dengan konsumsi yang sama menurunkan nilai efisiensi pakan. Hal yang berbeda dengan penambahan Pb dalam ransum. bahwa ransum yang ditambahkan timbal tidak nyata mempengaruhi efisiensi pakan (P > 0,05) (Lampiran 10). Hal ini disebabkan karena ransum bertimbal tidak mempengaruhi keasaman rumen, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen yang tidak terganggu akan menyebabkan pertambahan bobot badan domba tidak terpengaruh. Pertambahan bobot badan yang tidak berubah dengan pemberian ransum bertimbal dengan konsumsi bahan kering yang sama akan menyebabkan efisiensi pakan juga tidak berubah. Disamping itu ransum bertimbal tidak mempengaruhi produksi VFA sebagai sumber energi ternak domba seperti hasil penelitian in-vitro. Pada penelitian in-vitro pakan bertimbal menghasilkan produksi VFA sebanyak 69,17 mM sama banyaknya dengan pakan tanpa timbal sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Dengan produksi VFA yang sama antara ransum bertimbal dan ransum tanpa timbal menyebabkan pertambahan bobot badannya juga relatif sama, yang akhirnya dengan konsumsi bahan kering ransum yang sama akan menyebabkan efisiensi pakannya juga sama. 4.4.4. Rasio Efisiensi Protein Rasio efisiensi protein merupakan peubah yang ditujukan untuk melihat banyaknya protein yang dikonsumsi dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan. Rasio efisiensi protein diperoleh dengan jalan membagi pertambahan bobot badan dengan konsumsi proteinnya dikalikan 100%. Nilai rasio efisiensi protein terrendah sebesar 59,92% yang menunjukkan bahwa hanya kurang lebih setengah dari protein ransum dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot badan. Nilai-nilai rasio efisiensi protein yang lebih dari 100% ada pada domba yang diberi ransum tidak berasam dan tidak bertimbal (P1) dan ransum yang bertimbal (P2), sedang ransum berasam (P1) dan ransum yang berasam dan bertimbal (P4) mempunyai nilai rasio efisiensi protein dibawah 100%. Tabel 17. Rasio Efisiensi Protein (%) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 123,10 + 62,96 P3 116,53 + 62,96 Rataan pakan tanpa asam a 119,82 + 31,48 P2 pH = 4,1 90,22+ 62,96 Rataan pakan 106,66 + 31,48 tanpa Pb P4 59,92 + 62,96 88,23 + 31,48 Rataan pakan berasam b 75,07 + 31,48 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Tidak ada interaksi antara pemberian cairan asam dan penambahan Pb dalam mempengaruhi nilai rasio efisiensi protein (P > 0,05) dan tidak ada pengaruh kelompok domba yang mempunyai bobot badan besar, sedang dan kecil terhadap nilai rasio efisiensi protein (P > 0,05) (Lampiran 11).. Dengan demikian rataan rasio efisiensi protein dari ransum yang tanpa asam dan timbal (P1) tidak berbeda dengan ransum berasam (P2) dan tidak berbeda dengan ransum bertimbal (P3) serta tidak berbeda dengan ransum berasam dan bertimbal (P4). Ransum yang ditambahkan asam sangat nyata menurunkan nilai rasio efisiensi protein (P < 0,01), sedang penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi rasio efisiensi protein (P > 0,05) (Lampiran 11). Ransum tanpa asam mempunyai nilai rasio efisiensi protein lebih besar daripada nilai rasio efisiensi protein ransum berasam masing-masing sebesar 119,82% dan 75,07%. Hal ini berarti bahwa protein ransum yang dikonsumsi oleh domba yang mendapat ransum tanpa asam, semuanya dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot badan, bahkan melebihi dari protein yang dikonsumsi (lebih dari 100%). Sebaliknya domba yang mengkonsumsi ransum berasam hanya kurang lebih tiga perempat dari protein ransum dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot badan.. Sebenarnya kelebihan protein dari pertambahan bobot badan domba yang mendapatkan ransum tanpa asam berasal dari tubuh mikroorganisme yang disebut Microbial Protein, sehingga ransum tanpa asam menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme lebih pesat dan menjadi bahan protein untuk ternak domba. Penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi rasio efisiensi protein (P > 0,05) (Lampiran 11).. Rasio efisiensi protein ransum bertimbal sebesar 88,23% dan ransum tanpa Pb sebesar 106,66% (Tabel 17). Ratio efiseinsi protein ransum tanpa Pb masih menunjukkan nilai diatas 100% yang menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tidak tertanggu dan bahkan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme menyumbangkan protein melebihi pertambahan bobot badannya. Pada domba yang diberi ransum bertimbal tidak semua protein dikonversi untuk pertambahan bobot badan, akan tetapi secara statistik sama dengan rasio efisiensi protein domba yang mengkonsumsi ransum tanpa timbal. 4.4.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses, Darah, Hati, Ginjal dan Daging. 4.4.5.1. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses Domba Kandungan Pb dari masing-masing domba sangat bervariasi dari 42,60 – 551,65 ppm. Rataan kandungan Pb feses domba yang mendapat perlakuan ransum tanpa Pb sebesar 48,76 ppm, Domba-domba tersebut dalam ransumnya tidak sedikitpun ditambahkan Pb, akan tetapi dalam fesesnya mengandung Pb. Hal ini disebabkan karena domba-domba tersebut mengkonsumsi rumput lapang (Hijauan Makanan Ternak) dengankandungan Pb-nya berkisar 17,97 – 30,59 ppm (Gambar 22). Bila dilihat dari kandungan Pb rumput lapang dan kandungan Pb feses, jumlah kandungan Pb dalam feses lebih kurang dua kali kandungan Pb rumput lapang atau dua kali konsumsinya. Hal yang sama ditunjukkan pada domba-domba yang ditambahkan Pb dalam ransumnya. Penambahan Pb dalam ransum sebanyak 200 ppm mengakibatkan kandungan Pb dalam feses sebanyak 525,21 ppm. Kandungan Pb dalam feses domba-domba yang ditambahkan Pb dalam ransumnya juga sekitar dua kali banyaknya konsumsinya. Hal yang sama seperti yang diteliti oleh Nicholson et al. (1999) yang meneliti kandungan Pb dalam feses sapi pedaging lebih tinggi daripada kandungan Pb dalam pakannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pb pada ternak ruminansia tidak diserap oleh saluran pencernaan, bahkan terjadi akumulasi Pb di feses akibat konsumsi Pb dalam pakan. Dengan demikian penambahan Pb dalam ransum menyebabkan terakumulasinya Pb dalam feses, sehingga kandungan Pb dalam feses domba yang ransumnya ditambahkan Pb jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb dalam ransumnya. Tabel 18. Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 54,91 + 14,04 pH = 4,1 P2 42,60 + 0,06 a Rataan pakan 48,76 + 43,44 tanpa Pb P3 498,77 + 21,72 Rataan pakan tanpa asam 276,84 + 43,44 P4 551,65 + 21,72 Rataan pakan berasam 297,13 + 43,44 b 525,21 + 43,44 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Dengan kata lain, walaupun Pb-asetat yang ditambahkan dalam ransum merupakan Pb yang mudah diserap oleh saluran pencernaan akan tetapi pada penelitian ini Pb-asetat tidak mudah diserap oleh saluran pencernaan domba. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tahiri et al. (2000) yang memberikan Pb dalam ransum tikus dan menyebabkan Pb ransum banyak yang diserap oleh saluran pencernaan yang ditunjukkan tingginya kandungan Pb dalam darah. Hal ini dapat terjadi karena domba termasuk kelompok ternak ruminansia (polygastric) yang berbeda dengan ternak monogastric, seperti tikus. Ternak ruminansia di dalam rumennya banyak terdapat mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang banyak menghasilkan enzim, yang memungkinkan enzim-enzim produksi mikroorganisme dapat mengikat Pb, sehingga Pb yang ada dalam saluran pencernaan domba tidak lagi berbentuk Pb-asetat yang mudah diserap, akan tetapi berbentuk Pb-enzim yang sulit dicerna, terkecuali ada enzim lain yang dapat mencerna Pb-enzim. Itulah sebabnya Pb dalam saluran pencernaan domba tidak mudah diserap, karena dalam bentuk Pb kompleks dan menyebabkan kandungan Pb dalam feses menjadi lebih banyak daripada kandungan Pb dalam ransum. Hal tersebut diperkuat dengan sangat rendahnya kandungan Pb dalam darah yang kurang dari 1 ppm (Tabel 19). Pb dalam darah yang rendah menunjukkan bahwa Pb dalam saluran pencernaan tidak diserap dan tidak masuk dalam darah. Dengan demikian Pb yang dikonsumsi tidak diserap atau sangat sedikit diserap tubuh domba, yang menyebabkan terakumulasi dalam rumen dan selanjutnya dikeluarkan melalui feses juga secara akumulatif. Tidak ada interaksi antara faktor penambahan asam dan faktor penambahan Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam feses (P > 0,05), juga tidak ada pengaruh perlakuan penambahan asam dan Pb terhadap kelompok domba yang besar, sedang dan kecil terhadap kandungan Pb dalam feses domba (P > 0,05) (Lampiran 12). Domba yang diberi ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam feses dari domba yang ransumnya tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran 12). Kandungan Pb feses domba yang diberi ransum berasam sebesar 297,13 ppm secara statistik tidak berbeda dengan yang diberi ransum tanpa asam sebesar 276,84 ppm. Ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam feses, karena domba yang diberi ransum berasam kandungan Pb dalam feses sama banyaknya dengan domba yang diberi ransum tanpa asam. Hal ini karena keasaman dalam ransum tidak mengikat Pb ransum dan menyebabkan Pb feses kandungannya relatif sama dengan ransum tanpa asam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan cairan asam dalam ransum tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam feses, yang berarti bahwa keasaman tidak mengikat Pb dalam ransum dan tidak mempengaruhi proses penyerapan Pb dalam saluran pencernaan. Domba yang diberi ransum bertimbal sangat nyata mempengaruhi kandungan Pb dalam feses dari domba yang ransumnya tidak bertimbal (P < 0,01) (Lampiran 12). Domba yang diberi ransum bertimbal terdapat kandungan Pb dalam feses sebanyak 525,21 ppm jauh lebih banyak dari kandungan Pb feses domba yang ransumnya tidak bertimbal, yaitu sebanyak 48,76 ppm. Hal yang sama dengan penjelasan sebelumnya, bahwa ransum yang ditambahkan timbal menyebabkan timbal yang ada dalam saluran pencernaan terikat oleh enzim, sehingga berbentuk kompleks dan tidak diserap oleh saluran pencernaan dan menyebabkan tingginya timbal di dalam feses. 4.4.5.2. Kandungan Timbal (Pb) dalam Darah Domba Kandungan Pb dalam darah masing-masing domba penelitian relatif sedikit, yaitu berkisar 0,17 – 0,51 ppm. Rataan kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum berasam 0,34 ppm dan ransum tanpa asam 0,28 ppm, sedang rataan kandungan Pb dalam domba yang diberi ransum bertimbal sebesar 0,44 ppm dan ransum tanpa Pb sebesar 0,18 ppm (Tabel 19). Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam darah domba (P > 0,05), begitu pula ternak domba kelompok besar kandungan Pb dalam darahnya sama banyaknya dengan kandungan Pb dalam darah ternak-ternak domba kelompok sedang dan kecil apabila ransumnya ditambahkan cairan asam dan dicampur dengan Pb (Lampiran 13). Dengan demikian tidak ada perbedaan kandungan Pb dalam darah domba yang diberi perlakuan ransum kontrol (P1), dengan yang diberi perlakuan ransum P2, dan dengan yang diberi perlakuan ransum P3 serta yang diberi perlakuan ransum P4. Pemberian cairan asam dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan kandungan Pb dalam darah dengan ransum yang tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran 13). Kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,34 ppm secara stsatistik tidak berbeda dengan kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum tanpa asam, yaitu sebanyak 0,28 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cairan asam dalam ransum tidak mengikat Pb dan tidak mempengaruhi penyerapan Pb oleh saluran pencernaan, tidak seperti kondisi di Laboratorium yang menurut Saeni (1995) dan Darmono (1995) bahwa cairan asam akan mengikat Pb seperti halnya asam akan mengikat logam berat, seperti Pb, As, Cd dan Hg. Tabel 19. Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 0,18 + 0,01 P3 0,37 + 0,01 Rataan pakan tanpa asam 0,28 + 0,005 P2 0,17 + 0,01 P4 0,51 + 0,01 Rataan pakan berasam 0,34 + 0,005 pH = 4,1 a Rataan pakan 0,18 + 0,005 tanpa Pb b 0,44 + 0,005 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Penambahan Pb dalam ransum nyata mempengaruhi kandungan Pb dalam darah (P < 0,05) (Lampiran 13),. Kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum tanpa Pb sebesar 0,18 ppm. Hal tersebut lebih rendah daripada kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal, yaitu sebanyak 0,44 ppm. Hal ini bukan berarti bahwa Pb diserap oleh saluran pencernaan domba, karena kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal hanya kurang dari 1 ppm, dibandingkan dengan konsumsinya yang lebih dari 200 ppm. Besarnya kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal dibandingkan dengan darah domba yang diberi ransum tanpa timbal, disebabkan karena ada sebagian kecil Pb dalam saluran pencernaan domba yang tidak sempat diikat oleh enzim, sehingga masih dalam kondisi Pb-asetat yang masih memungkinkan dapat diserap oleh saluran pencernaan domba. 4.4.5.3. Kandungan Timbal (Pb) dalam Hati Domba Kandungan Pb dalam hati masing-masing domba penelitian relatif sedikit, yaitu berkisar 2,31 – 4,63 ppm. Rataan kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum tanpa asam sebesar 3,13 ppm dan ransum berasam sebesar 3,65 ppm, sedang rataan kandungan Pb darah ransum bertimbal sebesar 4,29 ppm, dar ransum tanpa Pb sebanyak 2,49 ppm (Tabel 20). Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam hati domba (P > 0,05), begitu pula ternak domba kelompok besar kandungan Pb dalam darahnya sama banyaknya dengan kandungan Pb dalam darah ternak-ternak domba kelompok sedang dan kecil apabila ransumnya ditambahkan cairan asam dan dicampur dengan Pb (Lampiran 14). Dengan demikian tidak ada perbedaan kandungan Pb dalam hati domba yang diberi perlakuan ransum kontrol (P1), dengan yang diberi perlakuan ransum P2, dan dengan yang diberi perlakuan ransum P3 serta yang diberi perlakuan ransum P4. Pemberian cairan asam dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan kandungan Pb dalam hati dengan ransum yang tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran 14). Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum berasam secara stsatistik tidak berbeda nyata dengan kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum tanpa asam. Penambahan Pb dalam ransum sangat nyata mempengaruhi perbedaan kandungan Pb dalam hati dengan ransum yang tidak bertimbal (P < 0,01) (Lampiran 14). Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum bertimbal sebesar 4,29 ppm secara stsatistik berbeda dengan kandungan Pb dalam hati domba yang ransum yang tidak bertimbal, yaitu sebanyak 2,49 ppm. Ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb di hati, akan tetapi perlakuan pemberian Pb sebanyak 200 ppm mempengaruhi kandungan Pb di hati domba (P < 0,01) hingga hampir dua kali lipat lebih besar, walaupun kandungan Pb dalam hati relatif rendah yang hanya 4,29 ppm dibandingkan dengan konsumsinya sebanyak 200 ppm. Hal yang sama diteliti oleh Lee et al. (1996) yang meneliti hati domba Romney yang digembalakan di padang penggembalaan yang tinggi konsentrasi kadmiumnya akan meningkatkan kandungan Cd dalam hati Domba Romney tersebut, sebaliknya domba Romney yang digembalakan di padang penggembalaan yang konsentrasi kadmiumnya rendah akan menurunkan kandungan Cd dalam hati domba tersebut. Rendahnya kandungan Pb di hati domba yang diberi ransum bertimbal menunjukkan bahwa tidak semua Pb yang dikonsumsi terakumulasi dalam jaringan hati, atau hanya sebagian kecil saja Pb yang dikonsumsi terakumulasi dalam hati, akan tetapi karena sifatnya akumulatif, maka bila dalam jangka waktu yang lama akan membahayakan kondisi tubuh domba pemeliharaan. Terutama bila kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Tabel 20. Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 2,31 + 0,35 P3 3,94 + 0,35 Rataan pakan tanpa asam 3,13 + 0,18 P2 2,66 + 0,35 P4 4,63 + 0,35 Rataan pakan berasam 3,65 + 0,18 pH = 4,1 a Rataan pakan 2,49 + 0,18 tanpa Pb b 4,29 + 0,18 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum berasam sebesar 3,65 ppm dan yang diberi ransum bertimbal sebanyak 4,29 ppm (Tabel 20). Hal tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan Pb darah yang kurang dari 1 ppm. Hal ini bukan berarti bahwa setelah Pb diserap oleh darah, akan ada tambahan Pb lagi yang tersimpan dalam hati, akan tetapi deposit Pb dalam hati lebih tinggi daripada deposit Pb dalam darah. 4.4.5.4. Kandungan Timbal (Pb) dalam Ginjal Domba Kandungan Pb dalam ginjal masing-masing domba penelitian relatif sedikit, yaitu berkisar 1,86 – 4,24 ppm. Rataan kandungan Pb dalam ginjal domba yang diberi ransum kontrol atau tanpa asam dan timbal (P1) sebesar 1,86 ppm, dari ransum berasam (P2) sebesar 2,48 ppm, dari ransum bertimbal (P3) sebanyak 3,05 ppm dan dari ransum berasam dan bertimbal (P4) sebanyak 4,24 ppm Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor penambahan Pb dalam ransum ternak domba terhadap kandungan Pb ginjal domba (P > 0,05), juga kandungan Pb ginjal domba kelompok besar sama banyaknya dengan domba kelompok sedang dan kecil (P > 0,05) bila kelompok ternak domba- domba tersebut diberi perlakuaan cairan asam dan Pb dalam ransumnya (Lampiran 15). Dengan demikian tidak ada perbedaan antara kandungan Pb ginjal domba yang diberi ransum kontrol (P1) dengan yang diberi ransum berasam (P2), dan dengan ransum bertimbal (P3) serta dengan ransum berasam dan bertimbal (P4). Pemberian asam dalam ransum domba meningkatkan kandungan Pb ginjal (P < 0,05), dan pemberian Pb dalam ransum domba sangat meningkatkan kandungan Pb ginjal (P < 0,01) Domba yang diberi ransum berasam mengandung Pb dalam ginjalnya sebanyak 3,36 ppm. Hal tersebut lebih besar daripada kandungan Pb dalam ginjal domba yang diberi ransum tanpa asam, yaitu sebesar 2,46 ppm. Begitu pula domba yang diberi ransum bertimbal mempunyai kandungan Pb dalam ginjal sebanyak 3,65 ppm. Hal tersebut juga lebih banyak daripada kandungan Pb dalam ginjal domba yang diberi ransum tanpa Pb sebesar 2,17 ppm. Hal ini sesuai dengan penelitain Lee et al. (1996) yang meneliti domba Romney yang digembalakan pada padang penggembalaan dengan konsentrasi kadmium (Cd) tinggi akan meningkatkan kandungan Cd dalam ginjal domba tersebut. Tabel 21. Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 1,86 + 0,08 P3 3,05 + 0,08 Rataan pakan tanpa asam a 2,46 + 0,04 P2 2,48 + 0,08 P4 4,24 + 0,08 Rataan pakan berasam b 3,36 + 0,04 pH = 4,1 a Rataan pakan 2,17 + 0,04 tanpa Pb b 3,65 + 0,04 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon Penambahan Pb sangat nyata mempengaruhi kandungan Pb ginjal (P < 0,01), sedang pemberian cairan asam nyata mempengaruhi kandungan Pb ginjal (P < 0,05) (Lampiran 15). Hal ini berarti bahwa pemberian Pb dalam ransum domba lebih besar dampaknya terhadap kandungan Pb ginjal daripada perlakuan pemberian asam dalam ransum domba. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh asam lebih kecil terhadap penimbunan/deposit Pb di ginjal dibandingkan dengan pengaruh pemberian Pb, yang berarti bahwa secara biokimia daya ikat Pb oleh asam dalam ginjal masih relatif lemah, tidak seperti daya ikat asam secara kimia yang bisa mengikat logam berat seperti diutarakan oleh Darmono (1995) dan Saeni (1995). Mengingat interaksi pengaruh asam dan Pb dalam ransum domba tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam ginjal (Lampiran 13), maka pemberian asam dan Pb yang dilakukan bersamaan secara statistik juga tidak akan lebih meningkatkan kandungan Pb dalam ginjal domba bila dibandingkan dengan pemberian asam saja atau Pb saja. Mengingat kandungan Pb dalam ginjal tidak berbeda dengan kandungan Pb dalam hati, maka deposit Pb dalam hati hampir sama dengan deposit Pb dalam ginjal. 4.4.5.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Daging Domba Kandungan Pb dalam daging masing-masing domba relatif sedikit, yaitu berkisar 1,27 – 1,36 ppm. Rataan kandungan Pb dalam daging domba yang diberi ransum tanpa asam tidak berbeda dengan yang diberi ransum berasam. Begitu pula rataan kandungan Pb dalam daging domba yang diberi ransum tanpa Pb tidak berbeda dengan yang diberi ransum bertimbal. Tidak ada interaksi faktor asam dan faktor Pb terhadap kandungan Pb dalam daging domba (P > 0,05), juga kandungan Pb dalam daging domba kelompok besar, sedang dan kecil tidak berbeda nyata bila kelompok ternak domba-domba tersebut diberi perlakuaan cairan asam dan Pb dalam ransumnya (P > 0,05) (lampiran 16). Pemberian asam, maupun pemberian Pb dalam ransum domba tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam daging domba (P > 0,05) (Lampiran 16). Hal tersebut menunjukkan bahwa pencemaran Pb ataupun pengaruh hujan asam tidak mempengaruhi kandungan Pb daging domba. Itulah sebabnya tidak pernah terjadi kematian domba secara tiba-tiba karena pencemaran logam berat seperti halnya terjadi pada kasus kematian ikan di perairan. Mengingat pencemaran air asam dan Pb tidak berpengaruh terhadap kandungan Pb daging, maka dampak adanya hujan asam dan pencemaran Pb juga tidak akan mempengaruhi kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging domba dan daging sapi, karena baik sapi maupun domba sama-sama merupakan ternak ruminansia atau ternak polygastric. Bila dibandingkan kandungan Pb dalam hati dan ginjal serta daging domba, maka secara umum deposit Pb dalam hati dan ginjal relatif lebih besar dibandingkan deposit Pb dalam daging. Tabel 22. Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm) Perlakuan Pb Perlakuan ---------------------------------------------Asam Tanpa Pb Pb 200ppm _________________________________________________________________________________ P1 Tanpa Asam 1,36 + 0,009 P3 1,27 + 0,009 Rataan pakan tanpa asam 1,32 + 0,004 P2 pH = 4,1 1,36 + 0,009 Rataan pakan 1,36 + 0,004 tanpa Pb P4 1,30 + 0,009 1,29 + 0,004 Rataan pakan berasam 1,33 + 0,004 (Rataan pakan bertimbal) Keterangan: P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb, P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm. Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan res V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Di Kabupaten Bogor telah terjadi hujan asam pada musim kemarau, sedang pada musim hujan belum terjadi hujan asam, akan tetapi sepanjang tahun di Kabupaten Bogor cenderung terjadi hujan asam bila terjadi kemarau panjang.. Pencemaran Pb di udara tidak banyak dilarutkan oleh keasaman air hujan dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan letak kecamatan berdasarkan arah mata angin serta perbedaan topografi. Kandungan Pb air hujan tidak mempengaruhi kandungan Pb tanah permukaan serta secara umum kandungan Pb tanah permukaan jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb air hujan. Kandungan Pb tanah tidak mempengaruhi kandungan Pb hijauan makanan ternak. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum berasam lebih rendah dari ransum tanpa asam atau ransum kontrol, dan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum bertimbal lebih rendah daripada ransum tidak bertimbal. Volatile Fatty Acid (VFA) ransum berasam lebih rendah daripada ransum tidak berasam atau ransum kontrol, dan VFA ransum bertimbal tidak berbeda dengan ransum tanpa Pb. Hal yang berbeda dengan produksi N-NH3 ransum yang berasam lebih tinggi daripada ransum kontrol atau ransum tidak berasam, dan produksi N-NH3 ransum bertimbal juga lebih tinggi daripada ransum tanpa Pb.. Pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam lebih rendah daripada ransum tidak berasam, sehingga efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein juga lebih rendah. Pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum bertimbal sama dengan ransum tanpa Pb, sehingga efisiensi pakan dan rasio efiseinsi protein juga sama dengan ransum tidak berasam dan tanpa Pb. Pemberian timbal dalam ransum hanya terakumulasi dalam darah, hati dan ginjal serta yang paling banyak di feses domba, tetapi tidak terakumulasi dalam daging domba, sedang ransum berasam hanya akan mengakumulasikan Pb dalam ginjal saja, sedang di darah, hati dan daging apalagi feses tidak terpengaruh. Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor penambahan Pb terhadap peubah penelitian in-vitro seperti: kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, produksi VFA dan porduksi N-NH3. Demikian pula tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor penambahan Pb terhadap peubah penelitian in-vivo, seperti: pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, rasio efisiensi protein, kandungan Pb dalam feses, darah, hati, ginjal dan daging domba. Pencemaran Pb ransum tidak dipengaruhi oleh keasaman pada pH = 4,1 bagi ternak domba lokal jantan. Dengan demikian, walaupun kemungkinan hujan asam dan pencemaran Pb akan tejadi, karena kecenderungan bertambah banyaknya transportasi dan industri, akan tetapi tidak menyebabkan kemungkinan ternak domba mati, dan tidak juga menyebabkan pengaruh terhadap manusia yang mengkonsumsi daging domba. 5.2. Saran Pemerintah daerah perlu berupaya untuk mencegah dan menghindari terjadinya hujan asam dengan cara: a. Menggalakkan program penghijauan kembali agar dapat mengurangi keberadaan gas karbon dioksida (CO2). b. Perlu menentukan areal khusus kawasan industri dan membatasi perusahaan industri yang tidak memperhatikan keamanan dan kebersihan lingkungan. c. Perlu penataan Ruang Terbuka Hijau. d. Penelitian yang sama perlu dilakukan pada ternak monogatrik khususnya unggas dengan pemberian konsentrasi Pb dan cairan asam yang lebih banyak dan lebih banyak tingkatan dosisnya. VI. DAFTAR PUSTAKA Akinola, M.O. and O.A. Adedeji. 2007. Assessment of lead concentration in Panicum maximum growing along The Lagos-Ibadan Expressway, Nigeria. African Journal of Science and Technology (AJST) Science and Engineering. 8 (.2): 97 – 102. Alifia, F. Dan M.I. Djawad. 2000. Kondisi histologi insang dan organ dalam juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) yang tercemar logam timbal (Pb). Sci. Tech. 1 (2): 51 – 58. Aminah, N. 2006. Perbandingan kadar Pb, Hb, fungsi hati, fungsi ginjal pada karyawan BBTKL & PPM Surabaya bagian sampling dan non sampling. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (2): 111 – 120. Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta. Ardyanto, D. 2005. Deteksi pencemaran timah hitam (Pb) dalam darah masyarakat yang terpajan timbal (Pb). Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1): 67 – 76 Badan Meteorologi dan Geofisika. 2004. Data Klimatologi Jawa Barat Tahun 2003. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Bogor Badan Meteorologi dan Geofisika. 2005. Data Klimatologi Jawa Barat Tahun 2004. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Bogor Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2004. Kabupaten Bogor dalam Angka 2004. Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka 2007. Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia 2000. Biro Pusat Statistik . Jakarta. Burau, R.G. 1982. Lead. In A.L. Page (Ed.). Methode of Soils Analysis. The University of Wisconsin. Madison. Pp. 347-365 Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan 2007. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Faust, S.D. and O.M. Aly. 1981. Chemistry of Natural Water. Ann Arbor Science Publisher Inc. New York. Ghalib, M.; M.I. Djawad dan L. Fachruddin. 2002. Pengaruh logam timbal (Pb) terhadap konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskall). Sci & Tech. 3 (3): 10 – 18. General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison. Inzunza, J.R. and F.P. Osuna. 2002. Distribution of Cd, Cu, Fe, Mn, Pb and Zn in selected tissues of juvenile whales stranded in the SE Gulf of Califonia (Mexico). Environment International. 28 (4): 325 – 329. Ip, C.C.M., X.D. Li, G. Zhang, C.S.C. Wong and W.L. Zhang. 2005. Heavy metaland Pb isotopic composition of aquatic organisms in the Pearl River Estuary, South China. Environmental Pollution. 138 (3): 494 – 504. Harahap, H. 2004. Pengaruh Pencemaran Timbal dari Kendaraan Bermotor dan Tanah terhadap Tanaman dan Mutu Teh. Disertasi Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hendler, S.S., J. Graedon, A. Mercandetti, R. Nagourney, and D.U. Waters. 1990. The Doctors’ Vitamin and Mineral Encyclopedia. Simon and Schuster. New York. Jayanegara, A., A.S. Tjakradidjaja dan T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in-vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi kromium anorganik dan organik. Media Peternakan. 29 (2): 54 – 62. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero SUCOFINDO. 2002. Terjemahan dari buku asli The Impact of Climate Change. Words and Publications, Oxford-England. Kantor Statistik Kabupaten Bogor. 1989. Kabupaten Bogor dalam Angka 1989. Cabang Perwakilan BPS Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Bogor. Kim, D.S. 2004. Pb2+ removel from aqueous solution using crab shell treated by acid and alkali. J. Biosource Tech. 94: 345 - 348 Klaassen, C.D. 1980. Heavy metals and heavy-metals antagonist dalam Gilman, A.G., Goodman, L.S., A. Gilman (Eds.). Microbial Control of Therapeutics, 6th edition. MacMillan Publishing Co. New York. 1615-1637. Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta. 1999. Dampak Pemakaian Bensin Kozlowski, T. T., P.J. Kramer, and S. G. Pallardy. 1991. The Physiological Ecology of Woody Plants. Academic Press Inc. London. Kuperman, R.G. and M.M. Carreiro. 1997. Soil heavy metal concentrations, microbial biomass and enzyme activities in a contaminated grassland ecosystem. Soil Biology and Biochemestry 29 (2): 179 – 190. Kusnoputranto, H. 2006. Penghapusan Bensin Bertimbal sebagai suatu Keharusan. http://www.kpbb.org/makalah_ind/Pengaruh%20Penghapusan%20Bensin%2 0Bertimbal%20Terhadap%20Kendaraan%20Bermotor.pdf. [5Desember 2006} Laskowski, R. and S.P. Hopkin. 1996. Accumulation of Zn, Cu, Pb and Cd in the garden snail (Helix aspersa): Implication for predators. Environmental Pollution. 31 (3): 289 – 297. Lee, J., J.R. Rounce, A.D. Mackay and N.D. Grace. 1996. Accumulation of cadmium with time in Romney sheep grazing ryegrass-white clover pasture: effect of cadmium from pasture and soil intake. Aust. J. Agric. Res. (47): 877 – 894. Levine, R.J.; R,M. Moore, G.D. McLaren, W.F. Barthel and P.J. Landrigan. 1976. Occupational lead poisioning, animal deaths, and environmental contamination at a scrap smelter. Am. J. Public Health. Vol. 66. No. 6. : 548 - 552 Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan. Parakkasi, A. Penerbit Univeristas Indonesia (UI-Press). Jakarta Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar (Asas, Organ, Sasaran dan Penilaian Resiko). Terjemahan: Nugroho, E. UI-Press. Jakarta. Madyiwa, S., M. Chimbari, J. Nyamangara, and C. Bangira. 2002. PhytoExtraction Capacity of Cynodon nlemfuensis (Star Grasss) at Artificially Elevated Concentrations of Pb and Cd in Sandy Soil under Greenhouse Condition. 3rd WaterNet/Warfsa Symposium “Water Demand Management for Sustainable Development”. 30 – 31 October. Dar es Salaam. Marçal, W.S.; P.E. Pardo; M.R.L. Nascimento and M.S. Fortes. 2005. Inorganic lead concentration in mineral salt commercial mixtures for beef cattle in Sǎo Paulo State, Brazil. Arq. Inst. Biol. 72 (3): 339 -341 a Murdiyarso, D. 2003 . Protokol Kyoto, Implementasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. b Murdiyarso, D. 2003 . CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Nam, D.H., dan D.P. Lee. 2005. Monitoring for Pb and Cd pollution using feral pigeons in rural, urban and industrial environments of Korea. Science of the Total Environment. August Ed: 1 – 8. National Research Council. 1991. Nutrient Requirement of Sheep. Sixth Revised Edition 1985. National Academy Press. Washington D.C. Nicholson, F.A.. B.J. Chambers, J.R. Williams and R.J. Unwin. 1999. Heavy metal contents of livestock fedds and animal manures in England and Wales. Bioresources Technology (70): 23 – 31. Nur, M.A., Herastuti, S.R. dan Hendra, A. 1989. Petunjuk Teknik Laboratorium untuk Bidang Biologi dan Kimia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurjaya,; E. Zihan dan M.S. Saeni. 2006. Pengaruh amelioran terhadap kadar Pb tanah, serapannya serta hasil tanaman Bawang Merah pada Inceptisol. Jrnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 8 (2): 110 - 119 Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Pilliang, W.G. 2002. Nutrisi Mineral. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahde, A.F. 1994. Lead Inorganik. IPCS INCHEM. Hlm 1 – 24. Rahman, A. 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Bioscientiae 3 (2): 93 – 101. Reitz, L.L., W.H. Smith and M.P. Plumlee. 1960. A Simple, Wet Oxidation Procedure for Biological Materials. Animal Science Department, Purdue University. West Lafayette, Ind. Analytical Chemestry 32: 1723 Romjali, E., S.E. Sinulingga, A.D. Pitonoo dan R. Gatenbey. 1996. Pubertas pada domba betina lokal Sumatera Utara dan hasil persilangannya dengan Virgin Island (ST. Croix) dan Garut. Prosiding Seminar ISPS Cabang Bogor. Bogor. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Bahan Pengajaran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saeni, M.S. 1995. The correlation between the concentration of heavy metals (Pb, Cu and Hg) in the environment and in human hair. Buletin Kimia 9: 63 – 70. Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan. Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Satter, L.D. dan L.L. Slyter. 1974. Effect of Ammonia Concentration on Rumen Microbial Protein Production in in-vitro. Brit. J. Nutr. 32 : 199. Smith, J. 1981. Air Pollution and Forest Ecosystem. Springer Verlag. New York. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Gramedia. Jakarta. Suatu Surtipanti , S. dan Suwirna. 1987. Kandungan logam berat dalam air dan Lumpur sungai Cisadane dan Angke. Hal 213-217. Dalam Hasil Penelitian 19811987. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Batan. Jakarta. Sutardi, T., N.A. Sigit dan T. Toharmat 1983. Standarisasi Mutu Protein dan Makanan Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh Mikroba Rumen. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tahiri, M., P. Pellerin, J.C. Tressol, T. Doco, D. Pepin, Y. Rayssiguier dan C. Coudray. 2000. The rhamnogalacturonan-II dimer decreases intestinal absorption and tissue accumulation of lead in rats. J. Nutr. 130: 249 – 253. Tilley, J.R. and R.A. Terry. 1963. A Two State Technique to In Vitro Digestion of Forage Crops. J. Brgss. Sc. (18): 104-111. Underwood, E.J. dan F.F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Edition. CABI Publishing. UK. WHO. 1984. Guidelines for drinking water quality, health criteria and other supporting information. WHO. New York. Wikipedia Indonesia. 2006. Timbal. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, 11 Oktober 2006. http://id.wikipedia.org/wiki/Timbal. [24 November 2006]. Wolf, B.W., E.C. Titgemeyer, L.L. Berger dan G.C. Fahey. 1994. Effect of chemically Treated, Recycled Newsprint on Feed Intake and Nutrient Digestibility by Growing Lambs. J. Anim. Sci. (72): 2508 -2517 Lampiran 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor tahun 2003 (mm) Nama Keca BULAN Stasiun matan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dam Cianten Leuwiliang 137 Cihideung Perk. Jasinga Ciriung 75 293 Ciampea 126 455 248 339 271 42 Jasinga 258 451 293 255 336 250 Cibinong 212 325 127 193 87 73 167 454 394 379 217 324 PTPXI Cikasungka Cigudeg 286 319 181 40 - 40 98 318 139 10 136 104 302 154 256 28 108 186 159 195 332 4 - 164 291 203 250 23 87 161 350 247 199 Rumpin Rumpin 327 398 168 223 237 - 15 109 - - 323 174 Kolam Ciomas Ciomas 189 624 442 623 553 212 24 184 286 786 380 358 STA Gadog Ciawi 161 483 211 429 100 84 16 290 361 512 210 623 Pondok Gedeh Cijeruk 119 357 313 432 300 118 9 168 375 208 230 546 Gunung Mas Cisarua 153 530 146 550 337 239 113 90 - 123 146 434 288 537 515 301 264 162 6 22 149 497 244 247 96 597 658 298 71 69 6 36 126 347 208 200 Perk. Kahuripan Ciseeng 146 371 404 268 227 51 27 87 89 196 236 190 STA Citeko Citeko 137 582 245 263 166 21 0.6 207 247 290 264 372 Situ Kemang Kemang 96 796 615 292 100 36 40 139 170 157 243 266 Darmaga Darmaga 212 556 471 309 270 552 326 398 Rata-rata per bulan adalah 172 358 323 235 317 Inlitro Cibinong Citeureup Bojong Gede Bojong Gede 489 501 180 233 25 91 117 17 122 196 360 Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor (2004) Lampiran 2. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor tahun 2004 (mm) Nama Keca BULAN Stasiun matan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dam Cianten Leuwiliang 284 291 Cihideung Ciampea 357 257 135 365 306 59 93 28 362 108 - 320 Perk. Jasinga Jasinga 376 235 216 462 258 142 223 22 161 220 238 302 PTPXI Cikasungka Cigudeg 761 306 233 393 154 51 179 20 366 174 369 318 Kolam Ciomas Ciomas 278 338 251 718 453 24 164 132 490 255 523 482 STA Gadog Ciawi 571 473 315 282 404 92 124 26 205 240 480 311 Pondok Gedeh Cijeruk 288 424 274 505 285 56 67 - 164 281 344 538 Gunung Mas Cisarua 344 553 232 361 303 53 87 9 205 90 212 413 Inlitro Cibinong Citeureup 321 285 252 269 320 30 135 29 53 215 291 549 Bojong Gede Bojong Gede 143 304 17 466 126 122 75 8 91 173 290 - Perk. Kahuripan Ciseeng 269 243 168 424 141 79 160 61 173 115 285 - STA Citeko Citeko 290 511 269 355 242 40 72 8 155 135 188 466 Situ Kemang Kemang 270 222 138 408 139 64 172 90 289 368 634 - Darmaga Darmaga 404 327 432 640 374 169 209 166 277 401 432 359 335 217 428 258 76 139 50 Rata-rata per bulan adalah 352 206 102 343 Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor (2005) 106 - 174 - 143 392 232 120 198 349 402 Lampiran 3. Anova Kecernaan Bahan Kering Konsentrat (%) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 3 1 1 1 8 11 374,2607 150,5208 223,6033 0,1365 147,4658 521,7265 7,59 4,07 11,26 5,32 124,754 15,5208 223,6023 0,1365 18,4332 6,77 8,17 12,13 0,01 F0,05 Keterangan Nyata Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 4. Anova Kecernaan Bahan Organik Konsentrat (%) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 3 1 1 1 8 11 375,4763 130,3502 244,8937 0,2324 124,8412 500,3175 7,59 4,07 11,26 5,32 125,159 8,02 130,3502 8,35 244,8937 15,69 0,2324 0,01 15,6052 F0,05 Keterangan Sangat Nyata Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = derajat bebas; Σ Kuadrat = jumlah kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 5. Anova Volatile Fatty Acid (VFA) Konsentrat (mM) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 3 1 1 1 8 11 12406,33 3,00 12160,33 243,00 645,3333 13051,67 7,59 4,07 11,26 5,32 4135,44 51,27 3,00 0,04 12160,33 150,75 243,00 3,01 80,6667 F0,05 Keterangan Sangat Nyata Tidak Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 6. Anova N-Amoniak (N-NH3) Konsentrat (mM) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit Perlakuan 3 615,2663 Pb 1 522,6144 Asam 1 92,6519 PbxAsam 1 0,00001 Galat 8 22,3486 Total 11 637,6149 Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat F0,01 F0,05 205,089 73,41 7,59 4,07 522,6144 187,08 11,26 5,32 92,6519 33,17 0,00001 0,00001 2,7936 Keterangan Sangat Nyata Sangat Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 7. Anova Konsumsi Bahan Segar (Kg/ekor/hari) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,5160 1,0861 0,4302 0,2258 0,4302 2,4945 4,0966 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 0,2580 0,3620 0,4302 0,2258 0,4302 0,4158 0,62 0,87 1,03 0,54 1,03 F0,05 Keterangan Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 8. Anova Konsumsi Bahan Kering Ransum (Kg/ekor/hari) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,0017 0,0007 0,0003 0,0001 0,0003 0,0134 0,0158 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 0,0008 0,0002 0,0003 0,0001 0,0003 0,0022 0,38 0,11 0,14 0,05 0,15 F0,05 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 9. Anova Pertambahan Bobot Badan (Kg/ekor/hari) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,0022 0,0050 0,0007 0,0040 0,0002 0,0011 8286,00 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 0,0011 0,0017 0,0007 0,0040 0,0002 0,0002 6,27 9,47 4,17 22,86 1,38 F0,05 Keterangan Nyata Nyata Tidak Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 10. Anova Efisiensi Pakan Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,0046 0,0088 0,0012 0,0071 0,0005 0,0027 0,0161 0,0023 0,0029 0,0012 0,0071 0,0005 0,0005 F0,01 F0,05 5,04 10,92 5,14 6,46 9,78 4,76 2,56 13,75 5,99 15,69 1,00 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Cenderung Nyata Tidak Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 11. Anova Rasio Efisiensi Protein Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3786,61 3 7447,31 1 1019,57 1 6006,54 1 421,03 6 2266,59 11 13500,52 1893,31 2482,44 1019,57 6006,54 421,03 377,77 5,01 6,57 2,70 15,90 1,11 F0,01 F0,05 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Cenderung Nyata Tidak Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 12. Anova Kandungan Pb dalam Feses Domba(ppm) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 4581,30 3 685459,8 1 681037,6 1 1234,85 1 3187,30 6 7093,38 11 697134,46 2290,65 228486,59 681037,63 1234,85 3187,30 1182,23 F0,01 F0,05 1,94 10,92 5,14 193,27 9,78 4,76 576,06 13,75 5,99 1,04 2,70 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Sangat Nyata Sangat Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = derajat bebas; Σ Kuadrat = jumlah kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 13. Anova Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 4581,30 0,2469 0,2160 0,0140 0,0169 0,1945 0,5278 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 2290,65 0,0823 0,2160 0,0140 0,0169 0,0324 1,94 2,54 6,66 0,43 0,52 F0,05 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Tidak Nyata Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 14. Anova Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,8480 11,4282 10,0833 1,2288 0,0833 6,3406 18,6167 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 0,4240 3,8094 10,0833 1,2288 0,0833 1,0568 0,40 3,60 9,54 1,16 0,11 F0,05 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Cenderung Sangat Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 15. Anova Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 0,8480 3 9,2486 1 6,5416 1 2,4661 1 0,2408 6 1,5117 11 11,4222 0,4240 3,0829 6,5416 2,4661 0,2408 0,2519 F0,01 F0,05 0,40 10,92 5,14 12,24 9,78 4,76 25,96 13,75 5,99 9,79 0,96 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Sangat Nyata Sangat Nyata Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah Lampiran 16. Anova Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm) Sumber db Σ Kuadrat K. Tengah Fhit F0,01 Kelompok Perlakuan Pb Asam PbxAsam Galat Total 2 3 1 1 1 6 11 0,0467 0,0198 0,0184 0,0010 0,0004 0,1662 0,2327 10,92 5,14 9,78 4,76 13,75 5,99 0,0233 0,0066 0,0184 0,0010 0,0004 0,0277 0,48 0,24 0,66 0,04 0,01 F0,05 F0,10 Keterangan 3,46 3,29 3,78 Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Keterangan: db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah