Narasumber - fisip unipas

advertisement
Minggu, 21 Agustus 2016 | Admin | 346 kali
Berpolitik Santun Menurut Konsep Hindu dalam Jagra Winungu Pro 1 RRI
Narasumber: Dr. Gede Sandiasa, S.Sos, M.Si
Om Suasti astu Om Ano Badrah bhadrah karatawo yantu wiswatah (semoga pikiran yang baik datang dari
segala penjuru) pemirsa RRI yang budiman di manapun berada pada pagi hari yang baik ini, semoga
berbahagia. Sebelum lanjut alangkah baiknya kita sampaikan paribahasa berikut ini: “Dalam setiap
keindahan selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran selalu ada telinga yang
mendengar. Dalam setiap kasih selalu ada hati yang menerima”. Semoga kata mutiara
mengantarkan pada pengertian yang dalam dari pemirsa, terhadap apa yang akan kami sampaikan dalam
jagra winungu yang mengambil tema Berpolitik Santun menurut konsep Hindu”, senantiasa kami
ingin mengingatkan pada halayak bahwa sebentar lagi tahun 2017 Kabupaten Tercinta ini akan
mengadakan pesta politik, untuk memilih pemimpin Buleleng yang bijaksan di masa lima tahun ke depan.
Pemirsa bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sesuatu yang rumit, yang harus dipersiapkan
oleh insan-insan yang baik, berbudi dan memiliki kualitas diri yang baik. Di televise, di media masa, sosial
media kita selalu disuguhkan oleh sesuatu kejadian, yang sering merenggut jiwa, meresahkan hati dan
rasa kemanusiaan serta melukai rasa keadilan. mereka mempertontonkan kekuatan yang bisa
menakut-nakuti banyak orang, atau membuat pemirsa menjadi belas kasihan meskipun mereka
menampilkan adegan-adegan yang palsu, semu dan berupaya untuk mempengaruhi dan memainkan
pikiran dan perasaan kita. Propaganda dari kelompok yang kuat pada kelompok yang lainnya yang
tentunya lebih lemah, kemudian disisi lain sanjungan dan pujaan ditujukan kepada orang yang merasa
berjasa pada bangsa dan Negara ataupun rakyat, meskipun kebenarannya mereka hanyalah
menampilkan sisi luarnya saja, padahal dibalik itu penuh kebohongan, kemunafikan, penuh siasat, melukai
hati dan perasaan, bagi setiap orang yang merasa terkalahkan.
Keinginan untuk memperbaiki keadaan bangsa dan Negara melalui kebijakan-kebijakan para pemimpin
bangsa ini yang dipilih atas nama rakyat melalui demokrasi. Demokrasi diberi pemaknaan
“pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”. Demokrasi berakar pada ajaran tentang hak
untuk menentukan nasib diri sendiri. sistem politik demokrasi memiliki unsur-unsur pokok, yaitu Negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan alokasi sumberdaya dan dana. Oleh karena itu
para pemimpin hendaklah dipilih berdasarkan kualitas yang melekat pada diri mereka. Pemimpin yang
memiliki pemahaman yang kuat tentang ilmu pemerintahan yang diterapkan dalam konsep kekinian,
bukanlah seorang pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan berdasarkan hegemoni pemimpin yang
menang karena pencitraan. Akan tetapi pemimpin yang mampu menjamin kebebasan demokrasi, mampu
membina kerjasama yang harmonis, bisa memberikan perlindangan hidup bagi setiap warga Negara,
mampu menyusun perencanaan dan struktur pemerintahan yang baik, memiliki kualitas moral
“artacita” (cita-cita yang luhur); silavan (bertabiat mulia); sampriya (suka membahagiakan
orang lain); prajnya (memiliki kecerdasan akal dan pikiran); dakya (kreatif); dan vagmi (berpengetahuan
luas). Sebagaimana mana digambarkan dalam “politik komunikasi Hindu” dalam artha
sastra.
Kita tidak butuh pemimpin yang dalam setiap tindakan politiknya menghadirkan kekerasan, sebab hal ini
bertentangan dengan ahimsa paramo dharmah (tanpa kekerasan adalah dharma yang tertinggi); namun
kadang yang sering kita terima dalam perhelatan politik adalah terciptanya benih-benih konplik,
rasa was-was, ekploitasi terhadap sentiment-sentimen primordial (etnis, agama, daerahisme,
mayoritas, minoritas), menyerang pihak lawan dengan kampanye hitam (black campaign),
menggunakan bahasa kasar, fitnah, propokasi yang dapat mengagitasi dan memecah belah
umat. Dalam keyakinan kita hal ini bertentangan dengan konsep catur paramita, yaitu maître
lemah-lembut; karuna (welas asih); mudita (senyum riang gembira penuh persahabatan), dan
upeksa (mengalah terhadap orang lain demi sebuah kebajikan). Dalam Hindu pula kita memiliki
srada, yaitu karma pala dan menerapkan prinsip tatwa masi. Bahwa setiap perbuatan yang kita
lakukan, baik maupun buruk semua ada pahalanya. Lalu kemudian tatwamasi adalah kaidah
persaudaraan universal sangat egaliter karena senantiasa mengandaikan orang lain
sebagaimana dirinya sendiri. Implikasi logis politis dari prinsip ini adalah mengajarkan pada kita
untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap orang lain, karena pada akhirnya semua manusia
memiliki posisi yang sama.
Hakekat politik dalam pemilu adalah bagaimana menempatkan orang dengan tepat, sesuai dengan
kemampuan, baktinya, pengabdiannya terhadap bangsa dan Negara ini. Hindu mengenal catur warna,
yaitu kekuasaan agama dan spiritual kita sebut dengan Brahmana, pemerintahan kita namakan Kesatria,
kemampuan dibidang ekonomi dan perdagangan disebut dengan Wesya dan tenaga kerja dan kaum
buruh dapat digolongkan sebagai sudra. Reintepretasi kasta menjadi catur warna, bukan sesuatu yang
tiba-tiba. Hal ini adalah tidak menunjukkan bahwa kedudukan kaum brahmana dan kesatria, menjadi kaum
elit yang lebih tinggi dari wesya dan sudra. Akan tetapi ini adalah merupakan pembagian peran sosial
(swadharma), yang senyatanya semua penting dan memiliki peran yang besar dalam kehidupan
masyarakat. Bahwa sebenarnya pemilihan seorang pemimpin untuk menempati peran sosial ini adalah
pengejewantahan dari konsep catur warna ini. Pemimpin atau para kesatria tidak memiliki kekuasaan dan
kewenangan tanpa di dukung oleh kaum sudra (sebagai rakyat kebanyakan), Negara yang dipimpinnya
tidak memiliki kemajuan tanpa kaum wesya, sebagai pelaksana ekonomi Negara, demikian halnya
seorang pemimpin tidak akan bijaksana bila tidak didampingi oleh kaum brahmana, yang memiliki tugas
dalam upaya mendidik dan mengembangkan kemampuan moral spiritual bangsa. Rakyat juga apabila
tidak dipimpin oleh seorang negarawan yang mampu menemukan dan mengantarkan visi yang diinginkan
sebagian besar orang demi mengupayakan kesejahteraan bersama (moksartham jagadhita ya ca iti
dharma). Maka akan terjadi kekacauan, pemaksaan kehendak, ekploitasi kaum lemah, pengingkaran
terhadap janji-janji politik, kekacauan ekonomi, kejahatan dimana-mana terjadi, di masyarakat, lembaga
pemerintahan, peradilan hukum, lembaga legislasi, di bidang perdagangan maupun dalam lembaga
agama sekalipun. Semua itu melanggara beberapa prinsip penting antara lain: tan memandung (tidak
mencuri); tan ujar ahala (tidak berkata bohong) dan satya wacana (menepati janji-janji); Pemilihan
pemimpin melalui media politik adalah untuk menemukan dan menetapkan seorang pemimpin yang
mampu menciptakan kesejahteraan dan ketertiban masyarakat hal disebutkan sebagai loka samgraha.
Menciptakan Negara yang demokratis “mahate janarajyaya” atau pemimpin yang dipilih
oleh rakyat “ twam viso vrnatam rajyaya”. Oleh karena itu pemimpin politik harus dibyacita
(terbuka pada rakyat); tan satresna (tidak mementingkan diri pribadi atau golongannya); masih sastra
buana (penyayang pada semua rakyat); sumantri (selalu memiliki motivasi pengabdian pada Negara).
Anjuran berlaku adil dalam bernegara juga ditemukan pada Agama Hindu. Mamituhwa ri hananing
karmaphla (percaya hukum karmapala). Konsep karmaphala ini secara tegas tidak membenarkan segala
tindak ketidakadilan pemimpin, sebab perilaku tidak adil pada orang lain justru akan berimbas petaka bagi
diri sendiri. Sebaliknya Hindu justru menekankan trihita karana yang didalamnya terdapat ajaran untuk
menjaga keharmonisan antar sesama manusia. Prahyangan (unsur kejiwaan) satyam (kebenaran);
palemahan (unsur badan/wadah), diletakkan kebahagiaan; dan pawongan (prana) energy kekuatan
menampilkan kebijaksanaan yang ketiganya diarahkan pada jagadhita. Dalam Dharmasastra VII:24 juga
disebutkan bahwa jika suatu negara tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakatnya, maka negara
akan kacau balau. Dalam Hindu, rakyat mayoritas (waisya dan sudra) menentukan perjalanan
pemerintahan negara yang dilaksanakan kalangan ksatria. Pengejawantahan peran yang dirumuskan
dalam Catur Warna dapat mencegah kemungkinan theokrasi otoritarian atau pemuatan kekuasaan politik
dan agama, serta ekonomi di tangan seorang penguasa.
Statement akhir; peristiwa politik adalah untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, maka
harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, dibenarkan oleh hukum Negara sebagai kewajiban Negara
taat hukum maupun perintah agama dalam melaksanakan dharmaning Negara. “satya eva
jayate” ma tvad rastram adhibhrasat” ma antah sthur no aratayah” hanya
kebenaranlah yang menang, buatlah bangsamu kuat, hendaknya jangan ada musuh diantara kita. Terima
kasih
Disampaikan dalam jagra winungu Pro 1 RRI Singaraja, tanggal 22 Agustus 2016 Pukul 05.00-06.00 wita
Download