Content of Jurnal (11) - Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

advertisement
CHOLERA
Asih Rahayu
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak :
Cholera adalah penyakit infeksi saluran usus yang bersifat akut dan disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae,
suatu bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang pada awal isolasi terlihat sebagai bentuk koma
sehingga Robert Koch sempat memberi nama bakteri tersebut sebagai Komabacillus. Vibrio cholerae tidak
bersifat invasif , melainkan tetap tinggal pada permukaan sel epithel usus halus, berkembang biak dan
mengeluarkan exotoxin berupa enteroxin yang disebut choleragen. Penularan cholera umumnya melalui
makanan atau minuman yang tercemar. Feces penderita merupakan sumber infeksi utama. Cholera dapat
menyebar dengan cepat di tempat - tempat yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran/sewage
dan sumber air yang tidak memadai. Selain Serogrup O 1 yang terdiri dari biotype el tor dan biotype cholerae
saat ini telah ditemukan serogrup O139 yang secara fisiologis maupun biokimiawi mirip dengan Serogrup O 1
biotype el tor. Manifestasi klinis yang khas pada cholera adalah terjadinya diare yang mirip air cucian beras
(rice water stools).
Kata kunci : Cholera, Vibrio cholerae, choleragen, rice water stools
CHOLERA
Asih Rahayu
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract:
Cholera is an acute disease in the intestinal tract caused by Vibrio cholerae bacteria, a short, gram negative
rods bacteria that initially appears in a coma shape and thus Robert Koch called it Komabacillus. Vibrio
Cholerae is not invasive, but it stay at the epithelial cell surface of the small intestine, multiplying and
producing exotoxin in a form of enteroxin, called choleragen. Cholera's infection is commonly through the
contaminated food and water. Feces of the patient is its main source of infection. Cholera can spread fastly in
places with unproper sewages and water sources. Besides the O 1 Serogroup that contain biotype el tor dan
biotype cholerae, the new serogrup O139 has found recently. The serogroup O139 is similar to the serogroup
O1 biotype el tor, in physiologically and biochemically. The specific clinical manifestasion of cholerae is the
diarrhea symptoms that looks like a rice water stools.
Keyword: Cholera, Vibrio cholerae, Choleragen, Rice water stools
PENDAHULUAN :
Cholera adalah penyakit infeksi
saluran usus yang bersifat akut dan
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae.
Bakteri ini masuk kedalam tubuh host secara
per oral umumnya melalui makanan atau
minuman yang tercemar.
Cholera dapat
menular sebagai
penyakit yang bersifat epidemik. Meskipun
sudah banyak penelitian berskala besar
dilakukan, namun penyakit ini tetap menjadi
suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Dalam
situasi adanya wabah / epidemi, feces
penderita merupakan
sumber infeksi.
Cholera dapat menyebar dengan cepat di
tempat - tempat yang tidak mempunyai
penanganan pembuangan kotoran/sewage dan
sumber air yang tidak memadai.
Pada tahun 2010 ini dunia dikejutkan
dengan adanya wabah cholera yang terjadi di
Haiti semenjak bulan oktober 2010. Sampai
30 nopember 2010 angka resmi korban jiwa
akibat Cholera di Haiti mencapai 1.721
orang. Ini merupakan musibah kedua bagi
Haiti setelah terjadinya musibah gempa bumi
12 Januari 2010. Wabah ini berpusat di
wilayah Lower Artibonite, di utara ibu kota
Port-au-Prince. Di kota ini, 750 orang tewas
akibat cholera, sedangkan di ibu kota Haiti,
Port-au-Prince,
sebanyak
162
orang
meninggal akibat kolera. Kasus itu juga
dilaporkan di daerah Dataran Tinggi Tengah
(Central Plateau). Rumah sakit setempat
penuh dengan penderita diare akut, dengan
para korban meninggal disebabkan dehidrasi
cepat, yang terkadang hanya dalam tempo
beberapa jam, namun WHO dan PBB belum
mengkonfirmasikan bahwa cholera sebagai
penyebab kematian-kematian itu, sementara
mereka menunggu hasil-hasil akhir uji
laboratorium atas sampel-sampel yang
diambil dari korban yang tewas dan sakit.
Sebelumnya, Dirjen Departemen Kesehatan
Haiti, Dr. Gabriel Thimote dan Menteri
1
Kesehatan Alex Larsen mengatakan, uji
pendahuluan mengindikasikan cholera. Di
Hinche , bagian tengah Haiti, pengunjuk rasa
melemparkan batu ke arah tentara Nepal
yang telah jadi sasaran desas-desus yang
beredar luas bahwa mereka membawa bakteri
penyebab cholera ke Haiti. Misionaris PBB
di Haiti, yang membantu negara miskin
Karibia itu melakukan pembangunan kembali
setelah gempa yang memporakporandakan
negeri tersebut pada 12 Januari, telah
membantah desas-desus bahwa kakus yang
berada di dekat sungai di kamp pasukan
pemelihara perdamaian PBB dari Nepal
adalah penyebab wabah kolera. Pusat
Pencegahan dan Pemantauan Penyakit AS
(CDC) telah menyatakan pemeriksaan DNA
memperlihatkan rangkaian cholera di Haiti
berkaitan erat dengan rangkaian dari Asia
Selatan,tetapi CDC belum menunjuk kepada
sumber tersebut atau mengaitkannya secara
langsung dengan tentara Nepal, yang
dikatakan PBB telah diperiksa negatif
mengenai penyakit itu. 6,7,8,9
ETIOLOGI :
Cholera pada manusia disebabkan
oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini
merupakan salah satu spesies dari genus
Vibrio yang merupakan famili Vibrionaceae.
Genus Vibrio terdiri lebih dari 30 spesies
yang biasanya ditemukan pada lingkungan
perairan. Vibrio yang pathogen terhadap
manusia adalah Vibrio cholerae, Vibrio
parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus.
Hampir semua genus Vibrio menghasilkan
enzim Oxydase dan memberikan hasil uji
Indol yang positif. Genus Vibrio terdiri dari
non-halophilic yang tidak memerlukan garam
dalam pertumbuhannya, diantaranya adalah
Vibrio cholerae dan halophilic yang
memerlukan garam dalam pertumbuhannya ,
diantaranya adalah Vibrio parahaemolyticus
dan Vibrio vulnificus.3
Vibrio cholerae merupakan bakteri
Gram negatif berbentuk batang pendek
dengan ukuran sekitar 0,5 µm x 1,5-3 µm.
Bakteri ini tampak berbentuk seperti tanda
koma pada awal isolasi, oleh karena itu
Robert Koch sempat memberi nama bakteri
tersebut sebagai Komabacillus.5
Pada biakan tua, bakteri ini akan
tampak berbentuk batang lurus mirip dengan
bakteri enterik Gram negatif . Vibrio cholera
bersifat motil, aktif bergerak dengan
menggunakan flagella tunggal yang terletak
di salah satu ujungnya.1,5,11
Vibrio cholerae merupakan bakteri
fakultatif anaerob yang mempunyai suhu
optimum pertumbuhan sekitar 18°C - 37°C.
Sistim metabolismenya adalah respiratif
maupun fermentatif. Bakteri ini tumbuh baik
pada media sederhana yang mengandung
sumber karbohidrat , bahan- bahan anorganik
nitrogen, sulfur, phosphor dan berbagai
macam mineral. Tingkat keasaman /pH
optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0
tetapi bakteri ini toleran pada pH alkalis
sampai 9,0 . Olleh karena itu pH alkalis ini
dijadikan dasar untuk membuat media isolasi
Vibrio cholerae. Pada tingkat keasaman /pH
acid ≤6,0 bakteri ini akan mati. Sebagai
media seletif untuk bakteri ini adalah
TTGA/Tellurite Taurocholate Gelatin Agar
atau TCBS/Thiosulfate Citrate Bile Sucrose
Agar.
Vibrio
cholerae
umumnya
memfermentasi sucrosa dan manosa tetapi
tidak memfermentasi arabinosa. 1,5
Antigen penting untuk serologic
typing terhadap Vibrio cholerae adalah
antigen O atau Somatic antigen. Hingga saat
ini tercatat lebih dari 130 serogrup O.
Serogrup O1 terdiri dari biotype el tor dan
cholerae yang menyebabkan classic epidemic
cholerae. Biotype el tor berbeda dengan
biotype
cholera/classic
karena
kemampuannya menghasilkan hemolisin dan
kepekaannya terhadap polymixin B, el tor
menghasilkan hemolisin dan resisten
terhadap
polymixin
B
sedanghan
cholerae/classic
tidak
menghasilkan
hemolisin serta sensitif terhadap polymixin
B. Kedua biotype tersebut secara serologis
terdiri dari serotype Ogawa, Inaba dan
Hikojima. Serogrup non O1 menyebabkan
diare yang lebih ringan pada manusia. Semua
strain Vibrio cholerae mempunyai antigen
H/flagellar yang sama. 1,3,5
Antigen O dari Vibrio cholerae
merupakan
bagian
dari
LPS/lipopolysacharide , yaitu komponen dari
dinding selnya.
EPIDEMIOLOGI:
Biotype el tor maupun biotype
cholerae keduanya dapat menyebabkan
wabah pada manusia. Semenjak tahun 1817
telah tercatat 7 pandemi dan sampai pandemi
ke 7 dimana sudah ditemukan pengobatan
yang cukup efektif, masih saja menimbulkan
2
tingkat kematian yang tinggi. Pada tahun
1947 di Mesir terjadi epidemi yang
menewaskan 22.000 diantara 33.000
penderitanya. Di Amerika Serikat terjadi
kematian 150.000 orang akibat cholera pada
pandemi ke dua pada tahun 1832-1849,
selanjutnya pada pandemi tahun 1866 terjadi
kematian 50.000 orang. Pada pandemi ke
lima dan ke enam tercatat disebabkan oleh
biotype cholerae sedangkan pada pandemi ke
tujuh tercatat disebabkan oleh biotype el tor.
Sejak 1982 di Bangladesh terjadi peningkatan
hasil isolasi dari biotype cholerae. 5
Pada
tahun
1973
biotype
cholerae/classic tercatat di Bangladesh dan
menyebar ke Indonesia, Timur Jauh dan
Afrika . Pada tahun 1991 mencapai Amerika
Selatan
yaitu Peru yang merupakan
terjadinya
epidemi pertama pada abad
duapuluh . Sampai dengan Desember 1993
terjadi epidemi di seluruh wilayah Amerika
latin kecuali Uruguay dengan jumlah
kematian 7000 dari 820.000 kasus. Semenjak
1993 kasus penyakit ini di Barat menurun
dan saat ini kasus ini kebanyakan terjadi di
Afrika dan Asia.3
Infeksi cholera umumnya ditularkan
melalui kontaminasi bakteri Vibrio cholerae
pada air atau makanan misalnya makanan
yang tidak dimasak atau buah – buahan.
Sebagai sumber kontaminasi bakteri ini
adalah feces dari penderita atau feces dari
carrier, selain itu kontaminasi dapat terjadi
secara alamiah melalui sumber air mengingat
bahwa bakteri ini adalah bakteri yang
mempunyai habitat di perairan. Cholera
secara karakteristik merupakan penyakit pada
masyarakat yang bermasalah dengan standar
kesehatan lingkungan yang tidak memadai,
pemakaian sumber air bersama misalnya
tandon air, sungai atau dengan kata lain
fasilitas mandi, cuci dan kakus bersama.
Pada tahun 1992 terjadi kasus
cholera di
Madras , India dan pada
pertengahan Januari 1993 isolat yang serupa
ditemukan di Bangladesh dan secara cepat
meluas ke arah utara mengikuti arah aliran
sungai serta menimbulkan pandemi baru.
Pada tahun 2002 diperkirakan terjadi 30.000
kasus di Dhaka, Bangladesh. Strain baru ini
ternyata tidak mengaglutinasi semua antisera
dalam serogrup O dan hanya dapat diuji
dengan serogrup baru yaitu O139 Bengal,
tetapi secara fisiologis maupun biokimiawi
lebih menyerupai Vibrio cholerae O1 el tor.
Strain Vibrio cholerae O139 ini dapat
ditemukan bersama-sama dengan amoeba,
copepoda dan zooplankton yang mungkin
bertindak sebagai reservoir bakteri ini.3
PATOGENESA
DAN MANIFESTASI
KLINIS :
Faktor penentu patogenitas dari
Vibrio cholerae adalah kemampuannya
memproduksi enterotoxin dan kemampuan
motilitasnya. Enterotoxin yang dihasilkan
merupakan exotoxin yang disebut sebagai
Cholera Toxin /CT atau Choleragen. 1,3,5,10,11
Menurut Greenwood, faktor penentu
patogenitas
Vibrio
cholerae
selain
kemampuan membentuk toksin adalah
adanya ekspresi dari “toxin-co-regulated
pili”.3
Choleragen adalah toxin protein
oligometrik. Toxin ini tersusun dari 1 Sub
Unit A dengan BM 27.200 D yang terdiri dari
2 fragmen A1 dan A2 yang terikat bersama
oleh ikatan disulfide serta 5 Sub Unit B
dengan BM masing – masing 11.200D. 3,10
Untuk dapat menimbulkan cholera,
sedikitnya harus ada minimal 108 – 1010
bakteri Vibrio cholerae yang menginfeksi,
hal ini berbeda dengan salmonellosis atau
shigellosis yang dosis infektifnya 102 -105.
1,10
Bakteri penyebab cholera ini bukan
bakteri yang infeksinya bersifat invasif.
Vibrio cholerae tidak mencapai peredaran
darah
sehingga
tidak
menimbulkan
bakteriemia melainkan tetap tinggal pada
permukaan sel epithel usus halus,
berkembang biak dan mengeluarkan toxin
choleragen, enzim mucinase serta endotoxin.
Bila sel epithel usus halus terpapar
choleragen maka Sub Unit B akan melekat
pada gangliosit GM1 pada membrane sel
epithel usus halus, perlekatan ini dibantu oleh
adanya hemaglutinin, lipopolisakharida serta
pili. Selanjutnya Sub Unit A akan melewati
membrane sel epithel usus halus dengan cara
menghidolisis ikatan disulfide sehingga Sub
Unit A1 terpisah dengan Sub Unit A2. Sub
Unit A1 mempunyai aktifitas transferase
ribose-ADP dan merangsang pemindahan
ribose-ADP dari NAD ke protein pengikat
GTP yang mengendalikan aktifitas adenilat
siklase. Ribosilasi ADP dari protein pengikat
GTP akan menghambat reaksi penghentian
GTP dan menyebabkan berhentinya kenaikan
dalam aktifitas adenilat siklase, akibatnya
3
terjadi kenaikan cAMP intraseluler ,
menimbulkan sekresi cairan isotonis dari sel
epithel usus ke dalam lumen usus halus.10
Choleragen tidak memblokade atau
mencegah reabsorbsi natrium dan air oleh
usus halus atau colon, tetapi pada kasus
cholera yang akut sekresi air dan ion dari sel
mukosa usus halus melebihi kemampuan
colon mengasorbsi yang hilang.
Masa inkubasi cholera variatif mulai
dari beberapa jam hingga 5 hari, umumnya 23
hari. Diperkirakan selama hasil
pemeriksaan feces masih positif, maka
penderita tersebut masih berpotensi sebagai
sumber penularan dan akan berlangsung
hingga beberapa hari setelah dinyatakan
sembuh, bahkan status sebagai carrier
berlangsung
hingga
beberapa
bulan
2
kemudian.
Secara klinis yang pertamakali
dirasakan oleh penderita adalah rasa penuh di
abdomen , hilangnya nafsu makan , telapak
tangan serta kaki terasa dingin. Berikutnya
secara tiba – tiba mual, muntah dan diare
hebat. Feces yang cair yang mula – mula
berwarna coklat kemudian berubah menjadi
pucat berisi sedikit lendir yang secara klasik
diistilahkan sebagai “rice water stools” / air
cucian beras. Diare ini dapat mencapai 24
liter per hari. 1,2,3,5,10,11
DIAGNOSA LABORATORIS :
Diagnosa
ditegakkan
dengan
mengisolasi Vibrio cholerae dari serogrup O1
atau O139 dari feces penderita. Bila fasilitas
laboratorium tidak tersedia, medium transport
misalnya Cary-Blair dapat digunakan untuk
membawa atau menyimpan specimen yang
berupa rectal swab/ apus dubur penderita.3
Diagnosa klinis presumptif secara
cepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis memakai dark-field microscope
untuk melihat gerakan dari bakteri yang khas
seperti bintang jatuh /”shooting stars” .Untuk
keperluan epidemiologis diagnosa presumptif
dibuat berdasarkan adanya kenaikan titer
antitoksin dan antibody spesifik yang
bermakna. Di daerah non-endemis, bakteri
yang diisolasi dari kasus yang dicurigai
sebaiknya
dikonfirmasikan
dengan
pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan
serologis yang tepat serta dilakukan uji
kemampuannya
untuk
menghasilkan
choleragen. Pada saat terjadi wabah, sekali
telah dilakukan konfirmasi laboratorium dan
uji sensitivitas antibiotika, maka terhadap
semua kasus yang lain tidak perlu lagi
dilakukan uji laboratorium. 3
Mula – mula specimen yang berupa
feces penderita diinokulasi pada APW /
Alkaline Pepton Water, pada media ini
nantinya Vibrio cholerae akan tumbuh secara
cepat dan terakumulasi di bagian permukaan
media setelah diinkubasi selama 3-6 jam.
Selanjutnya inokulum diinokulasi pada media
TCBS, pada medium ini Vibrio cholerae
akan tumbuh sebagai koloni yang berwarna
kuning
dan
memfermentasi
sucrose.
Selanjutnya dilakukan uji oxydase dan
aglutinasi.1,3,5
PENGOBATAN :
Pada dasarnya ada 3 macam cara
pengobatan terhadap penderita Cholera yaitu
terapi rehidrasi yang agresif, pemberian
antibiotika yang tepat serta pengobatan untuk
komplikasi bila ada.
Rehidrasi dapat dilakukan per oral
maupun intra vena tergantung kebutuhan dan
hal ini ditujukan untuk memperbaiki
kekurangan cairan dan elektrolit pada
penderita. Untuk memperbaiki dehidrasi,
acidosis dan hipokalemia pada penderita
dengan dehidrasi ringan hingga sedang cukup
diberikan larutan rehidrasi secara per
oral/oralit yang mengandung glukosa 20g/l
atau sukrosa 40g/l atau air tajin 50g/l, NaCl
3½ g/l, KCl 1½ g/l, dan trisodium sitrat
dihidrat 2.9 g/l atau NaHCO3 2½g/l. Oralit
formula baru yang disahkan WHO Expert
Committee pada Juni 2002 mengandung
glukosa 75mmol/l, NaCl 75 mmol/l, KCL 20
mmol/l, trisodium sitrat dihidrat 10mmol/l
dengan total osmolaritas 245mOsm/l. Cairan
ini diberikan lebih dari 4-6 jam agar jumlah
cairan yang diberikan dapat mengganti cairan
yang diperkirakan hilang yaitu 5% dari Berat
Badan untuk dehidrasi ringan dan 7% Berat
Badan untuk dehidrasi sedang. Pada
penderita dengan kehilangan cairan yang
berlangsung terus dapat diberikan cairan
rehidrasi per oral selama lebih dari 4 jam
sebanyak 1½ kali dari volume cairan diare
yang hilang.2
Penderita yang mengalami shock
sebaiknya diberikan rehidrasi cepat secara
intravena dengan larutan multielektrolit
seimbang yang mengandung kira-kira
130mEq/l Na+, 25-48 mEq/l bikarbonat,
4
asetat atau ion laktat, dan 10-15mEq/l K+.
Larutan yang bermanfaat antara lain Ringer’s
lactate. Larutan pengobatan diare dari WHO
yang terdiri dari 4g NaCl, 1g KCl, 6½g
Natrium Asetat dan 8g glukosa/l, atau larutan
Dacca yang terdiri dari 5g NaCl, 4g NaHCO3
, dan 1g KCl/l dapat dibuat di tempat pada
keadaan darurat.2
Antibiotika yang tepat dapat
memperpendek lamanya diare, mengurangi
volume larutan rehidrasi dan memperpendek
ekskresi bakteri melalui feces. Antibiotika
Tetrasiklin 500 mg 4 x per hari pada usia
dewasa atau 12,5 mg /kg Berat Badan 4x per
hari selama 3 hari . Dengan adanya strain
yang resisten maka perlu informasi tentang
sensitivitas dari strain local terhadap
beberapa antibitiotika terlebih dahulu.
Sebagai obat alternatif dapat diberikan
Trimethoprim
320mg
dan
1600
sulfamethoxazol 2 x per hari untuk dewasa
atau Trimethoprim 8mg/kg Berat Badan dan
40mg/kg Berat Badan sehari dibagi dalam 2
dosis untuk anak anak selama 3 hari. Selain
itu dapat dipakai Furazolidon, erytromisin
atau siprofloksasin.2
PENCEGAHAN:
Secara primer pencegahan terhadap
cholera adalah dengan cara perbaikan
hygiene pribadi dan masyarakat yang
ditunjang
dengan
penyediaan
sistim
pembuangan kotoran / feces yang memenuhi
syarat serta penyediaan air bersih yang
memadai. Penderita harus secepatnya
mendapatkan pengobatan dan benda – benda
yang tercemar muntahan atau tinja penderita
harus didisinfeksi.
Pemberian imunisasi aktif dengan
vaksin mati whole cell per enteral kurang
bermanfaat untuk penanggulangan wabah
ataupun kontak, karena vaksin ini hanya
memberikan perlindungan parsial sekitar
50% dalam jangka waktu yang pendek
sekitar 3-6 bulan di daerah endemis tinggi
dan tidak memberikan perlindungan terhadap
infeksi asimptomatik, oleh karena itu
pemberian
imunisasi
ini
tidak
direkomendasikan. Dua macam vaksin oral
yaitu CVD103-HgR atau SSV1 sedang
dipertimbangkan untuk digunakan dalam
upaya pemberantasan cholera sebagai upaya
tambahan terutama dalam situasi darurat
seperti pada bencana alam di kalangan
pengungsi. Uji lapangan berskala besar telah
dilakukan di Mozambique pada tahun 20032004. 2,3
DAFTAR PUSTAKA
1. Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi 20. EGC. hal 256258
2. Chin J.2006. Manual Pemberantasan
Penyakit
Menular.
Edisi
17.
Infomedika. hal 118-129.
3. Greenwood D et al. 2007. Medical
Microbiology. 17thEd. Churchill
Livingstone. hal 309-312.
4. Harian Analisa. 2010. Angka Resmi
Korban Jiwa Kolera di Haiti Naik,
Capai 1.721 Orang. 2 /12/ 2010.
5. Joklik WK et al. 1996. Zinsser
Microbiology. 20th Ed. Appleton &
Lange. hal 566-570.
6. KOMPAS.com. 2010. Tentara PBB
Penyebar Kolera di Haiti ?.
16/11/2010.
7. Liputan6.com. 2010. Protes Wabah
Kolera Menyebar ke Port-au-Prince.
20/11/2010.
8. Liputan6.com.2010. Wabah Kolera
Serang Anak – anak.28/11/2010.
9. MEDIA INDONESIA.Com. 2010.
Korban Tewas Akibat Kolera di Haiti
1.721 orang. 30/11/2010.
10. Shulman ST dkk. 1994. Dasar
Biologis & Klinis Penyakit Infeksi.
Edisi 4. Gadjah Mada University
Press. hal 17,27,299, 307-311.
11. Tortora
GJ et al. 20o9.
Microbiology.10thEd.
Pearson
International Edition. 716-717.
5
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEJADIAN
KECACINGAN YANG DISEBABKAN OLEH SOIL-TRANSMITTED HELMINTH
DI INDONESIA
Bagus Uda Palgunadi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Soil –Transmitted Helminth adalah nematoda usus yang di dalam penularannya atau siklus
hidupnya melalui tanah. Nematoda usus yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah cacing
gelang Ascaris lumbricoides, cacing cambuk Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta Cacing
tambang (Necator americanus dan Ancylostoma dudenale). Penyakit kecacingan umumnya masih kurang
mendapat perhatian dari masyarakat maupun tenaga kesehatan sebab dipandang tidak menimbulkan wabah
maupun kematian. Kejadian penyakit kecacingan khususnya yang disebabkan oleh Soil-Transmitted Heminth
di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi lingkungan , sosio-ekonomi , perilaku, usia serta tingkat
pendidikan penderita merupakan factor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi Soil-Transmitted
Helminth.
Kata Kunci :Kecacingan, Soil-Transmitted Helminth, Nematoda usus, Ascaris lumbricoides, Cacing
tambang, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis
FACTORS THAT AFFECT HELMINTHIASIS CASE CAUSED BY
SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS IN INDONESIA
Bagus Uda Palgunadi
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract :
Soil-transmitted helminth is a intestinal nematodes that its infection or its lifecycle is through the soil.
Intestinal nematodes that classified as the soil-transmitted helminth is roundworm Ascaris lumbricoides,
whipeworm Trichuris trichiura, Stronglyloides stercoralis also hookworm Necator americanus and
Ancylostoma duodenale. Helminthiasis is usually ignored by the society or medics, because it doesn't cause a
serious epidemic or deaths. In Indonesia, helminthiasis cases caused by Soil-Transmitted Helminths is still
high. These infection cases is affected by some factors such as environmental condition, social-economic,
daily habits, age and educational level.
Keywords: Helminthiasis, Soil- Transmitted Helminth, Ascaris lumricoides, Hookworm, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis.
PENDAHULUAN:
Penyakit kecacingan masih sering
dijumpai di seluruh wilayah Indonesia.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing
ini tergolong penyakit yang kurang mendapat
perhatian, sebab masih sering dianggap
sebagai penyakit yang tidak menimbulkan
wabah maupun
kematian. Walaupun
demikian, penyakit kecacingan sebenarnya
cukup membuat penderitanya mengalami
kerugian, sebab secara perlahan adanya
infestasi cacing di dalam tubuh penderita
akan menyebabkan gangguan pada kesehatan
mulai yang ringan, sedang sampai berat yang
ditunjukkan sebagai manifestasi klinis
diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa
tidak enak di perut, gatal – gatal, alergi,
anemia, kekurangan gizi , pneumonitis,
syndrome Loeffler dan lain – lain.
Terjadinya penyakit kecacingan
seringkali dihubungkan dengan kondisi
lingkungan penderita , sosio-ekonomi
penderita serta tingkat pendidikan penderita.
Salah satu penyakit kecacingan yang
masih banyak terjadi pada penduduk di
Indonesia adalah yang disebabkan golongan
Soil-Transmitted Helminth yaitu golongan
nematode usus yang dalam penularannya
atau dalam siklus hidupnya melalui media
tanah. Dalam hal ini berarti bahwa proses
pematangan parasit dari bentuk non infektif
menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah.
Menurut Faust , Soil-Transmitted helminth
adalah nematoda usus yang perkembangan
embrionya pada tanah. (Faust EC et al,1976)
Cacing yang tergolong dalam SoilTransmitted Helminth adalah Ascaris
lumbricoides,
Trichuris
trichiura,
6
Strongyloides stercoralis serta cacing
tambang yaitu Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Di Indonesia infeksi
oleh Soil-Transmitted Helminth ini paling
banyak
disebabkan
oleh
Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura , Necator
americanus.
Masalah penyakit kecacingan di
Indonesia sangat erat kaitannya dengan iklim
dan kebersihan diri perorangan, rumah
maupun
lingkungan
sekitarnya
serta
kepadatan penduduk yang tinggi. Pada saat
musim hujan, udara yang lembab, rumah
yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi
kesehatan yang rendah merupakan faktor
penyebab tingginya kejadian penyakit
kecacingan.
Cara yang paling tepat untuk
menanggulangi dan memberantas parasit
adalah dengan cara memutus lingkaran hidup
cacing, pengobatan masal secara periodik,
perbaikan kesehatan lingkungan, penyuluhan
kesehatan masyarakat dan menghindarkan
pencemaran tanah oleh feces penderita.
ETIOLOGI
Penyakit kecacingan pada usus
manusia sering disebut sebagai cacing usus,
sebagian besar penularan cacing usus ini
terjadi melalui tanah. Oleh karena itu
digolongkan dalam kelompok cacing yang
ditularkan melalui tanah atau SoilTransmitted Helminths. Yang termasuk
dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth
adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis
dan
Cacing
tambang
(Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus)
Ascaris lumbricoides:
Di Indonesia cacing ini dikenal
sebagai cacing gelang. Predileksi cacing
dewasanya terdapat di dalam lumen usus
halus manusia, tetapi kadang-kadang
dijumpai mengembara ke bagian usus
lainnya. Penularan dapat terjadi melalui
beberapa cara , yaitu masuknya telur infektif
melalui makanan dan minuman yang
tercemar dan melalui tangan yang kotor atau
terhirup bersama debu udara yang tercemar
telur infektifnya.
Bila telur infektif yang berukuran 75
x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka
di bagian atas dari usus halus, dinding telur
akan pecah dan larva akan keluar dari telur.
Kemudian larva akan menembus dinding
usus halus, mamasuki vena porta dan
bersama aliran darah menuju jantung kanan
untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di
dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti
kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus
dinding kapiler menuju alveoli. Dari alveoli
larva menuju bronchi, trachea, larynx,
pharynx kemudian dibatukkan dan tertelan
masuk ke oesophagus, selanjutnya turun ke
lambung dan akhirnya menjadi dewasa di
usus halus. Cacing dewasa betina berukuran
22 – 35 cm dan lebih besar dibandingkan
cacing jantan yang berukuran
10 –
31cm.(Neva A and Brown HW, 1994 ;
Markell EK et al, 1992 ; Soedarto, 2008)
Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus :
Cacing ini dikenal dengan nama
cacing tambang. Predileksi cacing dewasanya
di mucosa usus halus, terutama di mucosa
duodenum dan jejenum manusia. Kedua
species cacing ini melekatkan diri pada
membrane mucosa usus halus dengan
menggunakan gigi kitin atau gigi pemotong
dan menghisap darah dari luka gigitannya.
(Neva A and Brown HW.1994 ; Markell EK
et al, 1992)
Manusia merupakan hospes satusatunya bagi kedua cacing ini. Telur kedua
species cacing ini sulit dibedakan satu
dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit
dalam hal ukurannya, yaitu Necator
americanus berukuran 64 x 36 mikron,
sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran
56 x 36 mikron. Telur ini keluar bersama
feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas
menjadi
larva
rabditiform.
Setelah
mengalami pergantian kulit 2 kali, larva
rabditiform berubah menjadi larva filariform
dengan ukuran 500 – 700 mikron, larva
filariform ini adalah larva infektif untuk
manusia. Larva infektif masuk ke dalam
hospes melalui folikel rambut, pori-pori atau
melalui kulit yang utuh. Kemudian larva
masuk ke dalam saluran limfe atau vena
kecil, masuk kealiran darah menuju jantung
dan paru, menembus kapiler masuk ke
alveoli. Selanjutnya larva mengadakan
migrasi ke bronchi, trachea, larynx, pharynx
dan akhirnya tertelan masuk oesophagus. Di
oesophagus terjadi pergantian kulit yang
ketiga kalinya dan mulai terbentuk rongga
mulut sementara yang memungkinkan larva
ini mengambil makanan. Dari oesophagus
larva mencapai usus halus dan berganti kulit
untuk yang keempat kalinya, kemudian
7
tumbuh menjadi cacing dewasa yang
berukuran panjang 9-13mm untuk betina dan
5-11mm untuk jantan dengan bursa
copulatrix di ujung posteriornya . (Neva A,
1994 ; Markell EK, 1992 ; Soedarto, 2008).
Trichuris trichiura:
Cacing ini disebut juga sebagai
cacing cambuk yang mempunyai ciri-ciri
berupa, bagian anterior seperti cambuk dan
agak meruncing, 3/5 bagian tubuhnya dilalui
oesophagus yang sempit. Bagian posterior
lebih tebal, 2/5 bagian dari tubuhnya berisi
usus dan organ reproduksi. Cacing jantang
berukuran 30 – 45 mm, sedangkan cacing
betina berukuran 35 – 50 mm. bagian
posterior cacing jantan berbentuk melingkar
dengan satu spikulum dan sarung yang
retraktil, sedangkan bagian posterior cacing
betina berbemtuk bulat dan tumpul.
Predileksi cacing ini pada mucosa cecum
manusia. ( Neva A and Brown HW, 1994)
Telurnya berukuran 50 x 23 mikron
dan berbentuk seperti tempayan dengan 2
kutub yang jernih dan menonjol serta kulit
luarnya
berwarna
kekuning-kuningan.
Manusia tertular karena tertelannya telur
infektif dari cacing ini. Di dalam usus,
dinding telur akan pecah dan larva cacing
keluar menuju bagian proksimal dari usus
halus, kemudian larva menembus vili-vili
usus halus dan menetap selama 3-10 hari.
Selanjutnya larva turun ke bawah menuju
cecum dan menjadi dewasa di sana. ( Neva A
and Brown HW, 1994 : Markell EK et al,
1992 ; Soedarto, 2008)
Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga dengan cacing
benang. Predileksi cacing dewasanya pada
mucosa usus halus terutama duodenum dan
jejunum manusia. Cacing dewasa betina
mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak
berwarna dan berbentuk seperti benang halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan
oesophagus yang panjang.
Telur cacing ini berukuran 54 x 32
mikron, berbentuk lonjong mirip cacing
tambang, mempunyai dinding tipis dan
transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa
usus, kemudian menetas menjadi larva
rabditiform yang mempunyai ukuran 200 –
250 mikron. Kemudian larva rabditiform
menembus sel epithel dan masuk ke dalam
lumen usus. Terdapat 3 kemungkinan yang
dapat terjadi selanjutnya yaitu :
Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi
yaitu larva rabditiform dalam usus halus
berubah menjadi larva filariform. Larva
filariform ini kemudian menembus mukosa
usus masuk ke dalam peredaran darah vena
menuju jantung kanan sampai ke paru-paru,
menembus kapiler menuju alveoli, kemudian
migrasi ke bronchi, larynx, pharynx dan
tertelan masuk oesophagus menuju usus
halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan
kedua, yaitu larva rabditiform keluar bersama
feses penderita. Di tanah, larva rabditiform
setelah 2-3 hari berubah menjadi larva
filariform yang merupakan larva infektif.
Manusia tertular akibat masuknya larva
infektif melalui kulit, masuk ke dalam
peredaran vena menuju jantung kanan sampai
ke paru-paru, kemudian menembus kapiler
menuju alveoli, dan mengalami migrasi ke
bronchus, larynx, pharynx , tertelan masuk
oesophagus menuju usus halus dan menjadi
dewasa. Kemungkinan ke tiga yaitu larva
rabditiform keluar bersama feses penderita,
ditanah berubah menjadi larva filariform
kemudian berubah menjadi cacing dewasa
jantan dan betina yang hidup bebas. Setelah
kopulasi, cacing betina yang hidup bebas
menghasilkan telur yang kemudian menetas
menjadi larva rabditiform dan selanjutnya
menjadi larva filariform yang infektif.
Kemudian larva filariform akan menembus
kulit hospes dan sesudah melalui tahap
migrasi paru larva akan menjadi dewasa
dalam usus halus. ( Neva A and Brown HW,
1994 ; Markell et al, 1992; Soedarto, 2008).
EPIDEMIOLOGI
Infeksi oleh nematode usus biasanya
berkaitan dengan jeleknya hygiene. Infeksi
ini selalu ada terutama di daerah tropis dan
subtropis. Serangan cacing dalam jumlah
sedikit biasanya asimptomatis tetapi infeksi
yang berat dapat menimbulkan masalah yang
serius terutama pada anak – anak yang
biasanya
diikuti
oleh
terhambatnya
perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ;
Brooks GF,2006)
Ascariasis
merupakan
penyakit
endemic di daerah tropis dan subtropis tetapi
secara sporadis dapat terjadi di seluruh dunia.
Penduduk pedesaan dengan kondisi sanitasi
yang buruk mempunyai resiko yang tinggi
terhadap infeksi cacing ini. Orang dewasa
biasa terinfeksi karena makan sayur mentah
yang terkontaminasi oleh telur cacing ini baik
8
dari feces penderita maupun dari tanah yang
tercemar feces penderita, sedangkan pada
anak – anak biasa terinfeksi dengan jalan
tangan ke mulut ( hand to mouth) atau karena
kebiasaan mengulum benda – benda atau
mainan yang terkontaminasi telur cacing ini.
Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan
feces yang memenuhi syarat menurunkan
tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik
WK,1992)
Menurut WHO (1985) yang dikutip
oleh Onggowaluyo, infeksi parasit yang
penting di dunia ada sepuluh yaitu
Ascarislumbricoides,
hookworm,
Plasmodium, Trichuris trichiura, Amoeba,
Filaria, Schistosoma sp., Giardia lamblia,
Trypanosoma sp dan Leishmania sp. Dgn
jumlah
penderita
cacing
tambang
700.000.000, schistosomiasis 180.000.000,
semua parasit usus 1.800.000.000 serta
malaria 25.000.000. (Onggowaluyo JS, 2001)
Di Indonesia angka nasional
prevalensi kecacingan pada tahun 1987
sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit
kecacingan di Indonesia pada tahun 2002
sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar
33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%,
sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang
secara berturutan pada tahun 2002 – 2006
sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%.
( Depkes RI, 2006)
Kejadian infeksi kecacingan pada
anak berhubungan negatif signifikan dengan
perilaku sehat, dengan demikian berarti
bahwa pengertian berperilaku hidup sehat
akan menurunkan insidensi kecacingan pada
anak.(Aria G, 2004)
Ascaris lumbricoides merupakan
parasit yang penting baik di daerah iklim
dingin maupun iklim panas, tetapi cacing ini
lebih umum ditemukan di daerah beriklim
panas dengan kelembaban yang tinggi dan
paling banyak ditemukan di tempat-tempat
dengan sanitasi yang jelek. Ascariasis
ditemukan pada semua umur, tetapi lebih
sering ditemukan pada anak-anak usia 5
samapi 10 tahun. Di Indonesia kejadian
ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai
80 %. (Onggowaluyo JS, 2001)
Insiden kecacingan akibat cacing
tambang cukup tinggi di Indonesia, kasus
penyakit ini banyak ditemukan di daerah
pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah
perkebunan yang kontak langsung dengan
tanah. Penyebaran infeksi cacing tambang ini
berhubungan erat dengan kebiasaan Buang
Air Besar di tanah. Kondisi tanah yang
gembur , berpasir dan temperature sekitar 23
- 32°C merupakan tempat yang paling sesuai
untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo
JS, 2001)
Daerah penyebaran dari Trichuris
trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides,
sehingga kedua cacing ini sering di temukan
bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia,
Frekuensinya tinggi, terutama didaearahdaerah pedesaan, antara 30% - 90%.
Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor
terpenting dalam penyebaran trichuriasis
adalah kontaminasi tanah oleh feses
penderita, yang akan berkembang dengan
baik pada tanah liat, lembab dan teduh.
(Onggowaluyo JS, 2001)
PATOGENESA DAN MANIFESTASI
KLINIS
Gejala klinik pada ascariasis dapat
ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun
larva, cacing dewasa tinggal diantara lipatan
mukosa usus halus dan dapat menimbulkan
iritasi sehingga dapat menimbulkan rasa tidak
enak di perut, mual serta sakit perut yang
tidak nyata. Kadang-kadang cacing dewasa
terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan
dimuntahkan, sehingga keluar melalui mulut
atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba
eustachii. Dinding usus dapat ditembus oleh
cacing dewasa sehingga menyebabkan
peritonitis. Cacing dalam jumlah yang
banyak akan menyebabkan sumbatan pada
lumen usus serta toxin yang dihasilkannya
akan menimbulkan manifestasi keracunan
misalnya, oedema muka, uticaria dan nafsu
makan menurun. Migrasi larva ke paru dapat
menimbulkan eosinofili dan alergi berupa
urticaria, gejala infiltrasi paru, sembab pada
bibir serta sindroma Lofflers. Larva yang
migrasi ke organ lain dapat menimbulkan
endophthalmitis, meningitis dan encephalitis.
Pada anak-anak sering kali terlihat gejala
perut buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan
berwarna merah serta kurus akibat defisiensi
gizi dan anemia. (Joklik WK, 1992 ;
Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A
and Brown HW, 1994)
Gejala infeksi cacing tambang dapat
disebabkan oleh larva maupun cacing
dewasa. Pada saat larva menembus kulit
terbentuk maculopapula dan erithema yang
sering disertai rasa gatal (ground itch).
9
Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan
bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa
yang melekat dan melukai mukosa usus akan
menimbulkan perasaan tidak enak di perut,
mual dan diare. Seekor cacing dewasa
mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga
dapat menimbulkan anemia progresif,
hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi.
Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak
adanya anemi, pada infeksi berat,
haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %,
sesak nafas, lemah dan pusing kepala.
Kelemahan jantung dapat terjadi karena
perubahan pada jantung yang berupa
hypertropi, bising katub serta nadi cepat.
Infeksi pada anak dapat
Menimbulkan keterbelakangan fisik dan
mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih
berat dari pada infeksi oleh Necator
americanus. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra
D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown
HW, 1994)
Strongylidiasis ringan biasanya tidak
menimbulkan gejala, pada infeksi sedang
cacing dewasa betina yang bersarang dalam
mukosa duodenum menyebabkan perasaan
terbakar,
menusuk-nusuk
di
daerah
epigastrium, disertai rasa mual , muntah,
diare bergantian dengan konstipasi. Pada
infeksi berat dan kronis mengakibatkan berat
badan turun, anemi, disentri menahun serta
demam ringan yang disebabkan infeksi
bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian
dapat terjadi akibat bersarangnya cacing
betina di hampir seluruh epithel usus,
meliputi daerah lambung sampai ke daerah
colon bagian distal yang disertai infeksi
sekunder bakteri. (Natadisastra D dan Agoes
R, 2009)
Autoinfeksi mungkin merupakan
mekanisme dari terjadinya infeksi jangka
panjang yang menetap dan bertahun-tahun.
Parasit dan hospesnyan berada dalam status
keseimbangan
sehingga
tidak terjadi
kerusakan yang berarti. Jika oleh karena
sesuatu hal, keseimbangan ini terganggu dan
keadaan imunitas penderita menurun, maka
infeksinya akan meluas dan meningkatkan
produksi larva dan larvanya dapat ditemukan
pada setiap jaringan tubuh. Keadaan ini
disebut dengan sindroma hiperinfeksi.
(Gracia, 1977)
Trichuriasis paling sering menyerang
anak usia 1 – 5 tahun, infeksi ringan biasanya
tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing
tersebar ke seluruh colon dan rectum kadangkadang terlihat pada mucosa rectum yang
prolaps. Infeksi kronis dan sangat berat
menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb
rendah sekali dapat mencapai 3 gr%, karena
seekor cacing setiap hari menghisap darah
0,005 cc, diare dengan feses sedikit dan
mengandung sedikit darah, sakit perut, mual,
muntah serta berat badan menurun, kadangkadang disertai prolapsus recti. (Joklik WK,
1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ;
Neva A and Brown HW, 1994)
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI :
Sampai saat ini kejadian penyakit
kecacingan akibat infeksi nematode usus
golongan Soil-Transmitted helminth masih
cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena
berbagai faktor yang menunjang.
Perilaku Buang Air Besar tidak pada
jamban menyebabkan terjadinya pencemaran
tanah oleh telur cacing cacing tambang
sehingga meningkatkan resiko terinfeksi
terutama pada orang atau anak – anak yang
tidak memakai alas kaki. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada
lingkungan rumah dengan tanah halaman
terkontaminasi
telur
cacing tambang
memiliki resiko terinfeksi larva cacing
tambang sebesar 13,0 kali lebih besar
dibanding anak yang tinggal pada lingkungan
rumah tanpa kontaminasi telur cacing
tambang. (Sumanto D,2010)
Menurut penelitian yang pernah
dilakukan oleh penulis didapatkan taksiran
tingkat prevalensi infeksi cacing usus yang
ditularkan melalui tanah di LPA Lakarsantri
Surabaya sebesar 83,3%. Tingginya angka
infeksi ini menunjukkan bahwa terdapat
factor-faktor yang sangat menunjang, salah
satunya adalah pencemaran tanah oleh telu
atau larva cacing golongan soil-transmitted
helminth. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa
taksiran
tingkat
prevalensi
pencemaran tanah adalah sebesar 93,3%. Hali
ini menunjukkan refleksi dari perilaku buang
air besar disembarang tempat yang ternyata
sesuai dengan pengamatan dan hasil
wawancara dilapangan bahwa dari 90
responden yang merupakan pemukim di
LPA, 100% melakukan buang air besar
dihalaman tempat tinggalnya atau lahan LPA.
(Palgunadi BU, 1998)
10
Anak yang tinggal dalam keluarga
yang memiliki kebiasaan defekasi di kebun
dan tempat lain halaman rumah, beresiko
terinfeksi cacing tambang 4,3 kali lebih besar
disbanding anak yang tinggal dengan
keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di
jamban. (Sumanto D, 2010)
Sanitasi rumah merupakan faktor
resiko kejadian infeksi cacing tambang, anak
yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi
yang buruk beresiko sebesar 3,5 kali lebih
besar
terinfeksi
cacing
tambang
dibandingkan dengan anak yang tinggal
dalam rumah dengan sanitasi yang baik.
(Sumanto D, 2010)
Hasil penelitian terhadap pemukim di
LPA menunjukkan terjadi infeksi cacing
tambang sebesar 70%. Tingginya angka
tersebut kemungkinan disebabkan oleh
prilaku seringkali tidak memakai alas kaki.
Hal ini terbukti dari hasil pengamatan dan
wawancara di lapangan terhadap 90
responden, 76,7% mempunyai prilaku
seringkali tidak memakai alas kaki.
(Palgunadi BU, 1998)
Anak yang mempunyai kebiasaan
tidak memakai alas kaki beresiko terinfeksi
cacing tambang 3,29 kali lebih besar
dibanding anak yang mempunyai kebiasan
memakai alas kaki dalam aktifitasnya seharihari.(Sumanto D, 2010)
Anak yang mepunyai kebiasaan
bermain dalam waktu yang lama di tanah,
beresiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali
lebih besar disbanding anak yang hanya
sebentar bermain di tanah dalam sehari.
(Sumanto D, 2010)
Penelitian yang dilakukan terhadap
pemukim di LPA Lakarsantri Surabaya
menunjukkan taksiran tingkat prevalensi
ascariasis dan trichuriasis masing-masing
sebesar 33,3% dan 8,8% relative lebih rendah
dibandingkan dengan infeksi cacing tambang
sebesar 70 %, hal ini disebabkan karena dari
90 responden pemukim LPA sebanyak 64,4%
mempunyai kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan dan 86,7%
tidak menyukai makan sayur mentah.
(Palgunadi BU, 1998)
Faktor iklim misalnya temperatur,
kelembaban,
curah
hujan,
mungkin
merupakan faktor penting prevalensi infeksi
Soil-Transmitted Helminth di Bali. Tingkat
pendidikan yang rendah, hygiene pribadi dan
lingkungan yang buruk , sosio ekonomi yang
rendah dan perilaku juga merupakan faktor
lain yang berpengaruh. (Wijana DP and
Sitisna P, 2000)
Di Negara kaya dan maju banyak
penyakit parasit yang dapat diberantas,
sebaliknya pada Negara miskin dan
terbelakang
memperlihatkan
prevalensi
parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo
JS,2001)
KESIMPULAN
Dari kajian diatas, faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing
Soil-Transmitted Helminth di Indonesia
adalah :
1. Faktor iklim : Indonesia merupakan
daerah beriklim tropis dengan
kelembaban yang tinggi serta suhu
yang menunjang perkembangan
biakan larva maupun telur cacing.
2. Tingkat pendidikan : Penduduk
Indonesia sebagian besar masih
tinggal di desa-desa dengan tingkat
pendidikan yang rendah, sehingga
pengertian terhadap kebersian pribadi
dan
kesehatan
pribadi
serta
lingkungan
sangatlah
rendah,
misalnya kebiasaan buang besar di
sembarang tempat (ditanah), tidak
menggunakan alas kaki dalam
kegiatan sehari-hari di luar rumah
dan sering sekali tidak mencuci
tangan sebelum makan.
3. Sosio-ekonomi : sebagian besar
masyarakat
Indonesia,
berpenghasilan rendah, hal ini
menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk menyediakan
sanitasi
perorangan
maupun
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Aria G, 2004. Hubungan Perilaku Sehat dan
Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing
yang Ditularkan Melalui Tanah di Nagari
Kumanis
Kabupaten
Sawahlunto
Sijunjung.UGM.
Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi
Kedoktran. Edisi 20. EGC. Hal. 670-678.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil
Kesehatan Indonesia.
11
Elmi, dkk. 2004. Status Gizi dan Infestasi
Cacing Usus pada Anak Sekolah Dasar.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Sumatera Utara.
Kasus
Kontrol
di
Desa
Rejosari,
Karangawen, Demak. Tesis.Program Studi
Magister Epidemiologi Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro.
Faust Ec et al.1976. Craig and Faust Clinical
Parasitology.9thedition. Philadelphia.Lea &
Febiger.
Widjana DP and Sutisna P. 2000. Prevalence
Of Soil-Transmtted Helminth Infection In
The Rural Pupulation Of Bali, Indonesia.
Southeast Asian J Trop Med Public Health
vol. 31 No. 3 September 2000.
Garcia LS and Bruckner DA. 1997.
Diagnostic Medical Parasitology. 3rd edition.
ASM Press.
Ginting SA. 2003. Hubungan Antara Status
Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan
Pada anak Sekolah Dasar di Desa Suka
Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo
Sumatera Utara. USU Digital Library.
Greenwood D et al. 2007. Medical
Microbiology. 17th edition. Churchill
Livingstone. pp. 634-636.
Joklik WK et al. 1992. Zinsser Microbiology.
20th edition. Appleton and Lange. pp. 11861202.
Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi.
7th edition. W.B. Saunders Company. pp.
261-286.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit
Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubung
yang Diserang. EGC. Hal. 69-86.
Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical
Parasitology. 6 th edition. Prentice-Hall
Intenational Inc. pp. 113-151.
Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi Medik I
(Helmintologi)
:
Pendekatan
Aspek
Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC.
Hal. 11-31.
Palgunadi BU. 1998. Pencemaran Tanah
Oleh
Telur
Cacing
Usus
Dalam
Hubungannya dengan Kejadian Infeksi
Cacing Usus. Tesis. Program Pasca Sarjana
Unuversitas Airlangga.
Soedarto.
2008.
Parasitologi
Klinik.
Airlangga University Press. Hal. 71-96.
Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi
Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi
12
PATOGENESIS INFEKSI VIRUS DENGUE
oleh
Evisina Hanafiati Frans
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Email:[email protected]
ABSTRAK
Demam Dengue adalah penyakit disebabkan virus yang ditularkan oleh nyamuk.Penyakit ini
menjadi endemik dan berpotensi menyebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dengue virus sebagai
penyebab infeksi virus dengue memiliki variasi tampilan klinis mulai dari demam ringan (demam dengue)
hingga manifestasi perdarahan yang fatal, hingga sindroma shock dengue (DSS). Pemahaman mengenai
patogenesis virus dihalangi oleh terbatasnya model in vitro dan in vivo. Terdapat beberapa teori yang
didukung oleh data epidemiologik dan laboratoris, namun teori tersebut tidaklah bersifat eksklusif.
Kata kunci: Dengue, patogenesis, infeksi heterolog sekunder, antibodi perangkat tambahan tergantung,
virulensi virus, mediator
PATHOGENESIS OF DENGUE VIRUS INFECTION
by
Evisina Hanafiati Frans
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Email: [email protected]
ABSTRACT
Dengue is the most widespread mosquito-borne human viral disease. The disease is now an endemic
and make potentially outbreaks in all around the world, included in Indonesia. Dengue viruses cause Dengue
infection, which ranges from mild febrile illness (Dengue Fever, DF) to fatal hemorrhagic manifestation
(Dengue Hemorrhagic Fever, DHF), leading to shock syndrome (Dengue Shock Syndrome, DSS). The
understanding of dengue virus pathogenesis has been hamppered by the lack of in vitro and in vivo models of
disease.There are several theories that are supported by epidemiological and laboratory evidence, but are not
mutually exclusive. Secondary heterologous infection theory, antibody dependent enhancement theory, virus
virulence theory and mediator theory are frequently cited to explain the basis of DHF/DSS.
Keywords: Dengue, pathogenesis, Secondary heterologous infection, antibody dependent enhancement, virus
virulence, mediator
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara endemi
Dengue dengan kasus tertinggi di Asia
Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan
57% dari kasus Dengue dan hampir 80%
kematian dengue dalam daerah Asia
Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558
kematian dalam wilayah regional). Di
Indonesia
infeksi virus Dengue selalu
dijumpai sepanjang tahun di beberapa kota
besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya,
Medan dan Bandung. Perbedaan pola klinis
kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap
tahun. Perubahan musim secara global, pola
perilaku hidup bersih dan dinamika populasi
masyarakat
(adanya
perang
dunia,
perkembangan kota yang pesat setelah perang
dan dan mudahnya transportasi) berpengaruh
terhadap kejadian penyakit infeksi virus
Dengue.
World
Health
Organization
memperkirakan terjadi 50 juta kasus infeksi
Dengue di seluruh dunia setiap tahun. Di
Indonesia kasus pertama dengan pemeriksaan
serologis dibuktikan pada tahun 1969 di
Surabaya. Angka kematian karena infeksi
virus Dengue menurun secara drastis dari
41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari 3%
ditahun 1991, namun Sindroma Syok Dengue
masih merupakan kegawatan yang sulit
diatasi. Morbiditas dan mortalitas karena
DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara
lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi
serotipe virus dengue dan keadaan
meteorologis.
Infeksi virus dengue pada manusia
mengakibatkan spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi mulai dari tanpa gejala
13
(asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah
dengue (DBD), dan dengue shock syndrome.
Terdapat berbagai teori yang terkait
dengan patofisiologi infeksi virus Dengue
seperti hipotesis (ADE), teori virulensi virus
yang mendasarkan pola perbedaan serotipe
virus dengue Den-1, Den-2, Den-3, dan Den4. Teori antigen-antibodi, yang mendasarkan
kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi
penurunan aktifitas sistem komplemen yang
ditandai dengan penurunan dari kadar
C3,C4,dan C5.Teori mediator,
dimana
makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan
melepaskan
mediator-mediator
seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lainlain. Diperkirakan
berbagai mediator
tersebut bertanggung jawab atas terjadinya
syok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Teori Th1/Th2 pada
infeksi memperkirakan adanya faktor genetik
merupakan perkembangan teori yang
menarik.
Tetapi berbagai teori tersebut masih
belum
mampu
menjelaskan
imunopatogenesis infeksi virus Dengue
ataupun membedakan dengan jelas kelompok
klinis mana yang akan terjadi pada penderita,
Demam Dengue, atau Demam Berdarah
Dengue atau bahkan yang lebih fatal yaitu
Sindroma Syok Dengue. Ini disebabkan
kurangnya model invitro dan invivo penyakit
infeksi virus dengue.
ETIOLOGI: VIRUS DENGUE
Virus Dengue termasuk dalam
kelompok B arthropode-borne
virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan
genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di
Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4
serotipe yang berbeda namun memiliki
hubungan genetik satu dengan yang lain,
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan
serotipe yang paling banyak sebagai
penyebab. Nimmanitya (1975) di Thailand
melaporkan bahwa serotipe DEN-2 yang
dominan.sedangkan di Indonesia paling
banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir
ini ada kecenderungan didominasi oleh virus
DEN-2.
Penelitian
epidemiologik
yang
dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007
menemukan bahwa virus Den-2 adalah
serotipe yang dominan di Surabaya. Studi
epidemiologi (Yamanaka et al) tahun 2009
dan 2010 pada penderita Demam Dengue
(DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
ditemukan virus D1 genotype IV yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat
Infeksi dengan salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotipe
yang lain. Disamping itu urutan infeksi
serotipe merupakan suatu faktor risiko karena
lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1
yang disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan,
sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan
untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh
DEN-2 adalah 2%.
Virus
Dengue
seperti
famili
Flavivirus lainnya memiliki satu untaian
genom RNA (single-stranded positive-sense
genome) disusun didalam satu unit protein
yang dikelilingi diding icosahedral yang
tertutup oleh selubung lemak.Genome virus
Dengue terdiri dari 11-kb + RNA yang
berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C)
Membran (M) Envelope (E) protein dan 7
protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B,
NS3, NS4, NS4B, dan NS5).
Di dalam tubuh manusia, virus
bekembangbiak
dalam
sistem
retikuloendothelial dengan target utama
adalah APC (Antigen Presenting Cells)
dimana pada umumnya berupa monosit atau
makrofag jaringan seperti sel Kupfer di
sinusoid hepar.
VEKTOR
PENULARAN
VIRUS
DENGUE
Virus-virus Dengue ditularkan oleh
nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya, yaitu
Aedes aegypti, Aedes albopticus, Aedes
scuttelaris, Aedes polynesiensis dan Aedes
niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan
Aedes albopticus merupakan vektor utama.
Keempat virus telah ditemukan dari Aedes
aegypti yang terinfeksi. Spesies ini dapat
berperan sebagai tempat penyimpanan dan
replikasi virus.
PATOFISIOLOGI DEMAM DENGUE
Perbedaan klinis antara Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue
disebabkan oleh mekanisme patofisiologi
yang berbeda. Adanya renjatan pada Demam
Berdarah Dengue disebabkan karena
14
kebocoran plasma (plasma leakage) yang
diduga karena proses imunologi. Hal ini tidak
didapati pada Demam Dengue.
Virus Dengue yang masuk kedalam
tubuh akan beredar dalam sirkulasi darah dan
akan ditangkap oleh makrofag (Antigen
Presenting Cell). Viremia akan terjadi sejak 2
hari sebelum timbul gejala hingga setelah
lima hari terjadinya demam.
Antigen yang menempel pada
makrofag akan mengaktifasi sel T- Helper
dan menarik makrofag lainnya untuk
menangkap lebih banyak virus. Sedangkan
sel T-Helper akan mengaktifasi sel TSitotoksik yang akan melisis makrofag. Telah
dikenali tiga jenis antibodi yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen.
Proses ini akan diikuti dengan
dilepaskannya
mediator-mediator
yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti
demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan gejala
lainnya. Juga bisa terjadi aggregasi trombosit
yang menyebabkan trombositopenia ringan.
Demam
tinggi
(hiperthermia)
merupakan manifestasi klinik yang utama
pada penderita infeksi virus dengue sebagai
respon fisiologis terhadap mediator yang
muncul.
Sel penjamu yang muncul dan
beredar
dalam
sirkulasi
merangsang
terjadinya panas. Faktor panas yang
dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang
memicu panas seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan
sebaliknya sitokon yang meredam panas
adalah TGF-β, dan IL-10.
Beredarnya virus di dalam plasma
bisa merupakan partikel virus yang bebas
atau berada dalam sel platelet, limfosit,
monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit.
Banyaknya partikel virus yang merupakan
kompleks imun yang terkait dengan sel ini
menyebabkan viremia pada infeksi virus
Dengue sukar dibersihkan.
Antibodi yang dihasilkan pada
infeksi virus dengue merupakan non
netralisasi antibodi yang dipelajari dari hasil
studi menggunakan stok kulit virus C6/C36,
viro sel nyamuk dan preparat virus yang asli.
Respon innate immune terhadap
infeksi virus Dengue meliputi dua komponen
yang berperan penting di periode sebelum
gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan platelet.
Antibodi alami IgM dibuat oleh CD5 + B sel,
bersifat tidak spesifik dan memiliki struktur
molekul mutimerix. Molekul hexamer IgM
berjumlah lebih sedikit dibandingkan
molekul pentameric IgM namun hexamer
IgM lebih efisien dalam mengaktivasi
komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi
di lebih dari 50% “Complex Circulating
Imun”. Kompleks imun IgM tersebut selalu
ditemukan di dalam dinding darah dibawah
kulit atau di bercak merah kulit penderita
dengue. Oleh karenanya dalam penentuan
virus dengue level IgM merupakan hal yang
spesifik.
PATOFOSIOLOGI DBD
Pada DBD dan DSS peningkatan
akut permeabilitas vaskuler merupakan
patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah
ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler,
sehingga
menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma
menurun lebih dari 20% meliputi efusi
pleura,
hemokonsentrasi
dan
hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler
yang nyata tidak terjadi.
Terdapat
tiga
faktor
yang
menyebabakan perubahan hemostasis pada
DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler,
trombositopenia dan kelainan koagulasi.
Hampir semua penderita dengue mengalami
peningkatan
fragilitas
vaskuler
dan
trombositopeni, serta koagulogram yang
abnormal.
Infeksi virus dengue mengakibatkan
muncul respon imun humoral dan seluler,
antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin,
anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul
pada infeksi primer, dan pada infeksi
sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat
ditemukan antibodi dalam darah, meningkat
pada minggu pertama hingga minggu ketiga
dan menghilang setelah 60-90 hari.pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat pada
hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi
sekunder kadar IgG meningkat pada hari
kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari kelima sakit, sedangkan pada
infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan
lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi
netralisasi mengenali protein E dan
monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M
15
dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi
aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen
sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi
lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus
dan penderita sembuh dengan memiliki
kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua
kalinya dengan virus dengue serotipe yang
berbeda, maka virus dengue tersebut akan
berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh makrofag atau monosit.
Makrofag ini akan menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility
Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida
MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1
dan TH-2) dengan perantaraan T Cell
Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap
infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan
mengeluarkan substansi imunomodulator
yaitu INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating
Factor (CSF). IFNγ akan merangsang
makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan
TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek
pada sel endotel, membentuk prostaglandin,
dan merangsang ekspresi intercelluler
adhasion molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF)
akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh
ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang
oleh CSF akan beradhesi dengan sel
endothel dan mengeluarkan lisosim yang
mambuat dinding endothel lisis dan endothel
terbuka.
Neutrophil
juga
membawa
superoksid yang akan mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus
GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis
dan mengakibatkan terjadi gangguaan
vaskuler.
Antigen yang bermuatan MHC I
akan diekspresikan di permukaan virus
sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang
bersifat sitolitik sehingga menhancurkan
semua sel yang mengandung virus dan
akhirnya disekresikan IFNγ dan TNFα.
PATOGENESIS
Virus Dengue yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti
sel kupfer di sinusoid hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Dalam peredaran
darah virus akan difagosit oleh monosit.
Setelah genom
virus masuk ke
dalam sel maka dengan bantuan organelorganel sel genom virus akan memulai
membentuk
komponen-komponen
strukturalnya.setelah berkembang biak di
dalam sitoplasma sel maka virus akan
dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti dengan uji serologis
pada infeksi virus dengue sulit dilakukan
karena semua flavivirus memiliki epitope
pada selubung protein yang menghasilkan
“cross reaction” atau reaksi silang.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN
menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross
protektif” terhadap serotipe virus yang lain.
Virion dari virus DEN ekstraseluler
terdiri dari protein C (capsid), M (membran)
dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri
dari protein pre-membran atau preM.Glikoprotein E merupakan epitope penting
karena: mampu membangkitkan antibodi
spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai
aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses
absorbsi pada permukaan sel, (reseptor
binding), mempunyai fungsi fisiologis antara
lain untuk fusi membran dan perakitan virion.
Secara in vitro antibodi terhadap
virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:
netralisasi virus, sitolisis komplemen,
Antibodi
Dependent
Cell-mediated
Cytotoxicity
(ADCC)
dan
Antibodi
Dependent Enhancement.
Secara invivo antibodi terhadap virus
DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe
spesifik yang dapat mencegah infeksi
infeksi virus.
b. Antibodi non netralising memiliki
peran cross-reaktif dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan
dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofidiologis dalam DBD
dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis
antibody dependent enhancement (ADE).
Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa
apabila seseorang mendapatkan infeksi
primer dengan satu jenis virus, maka akan
terdapat kekebalan terhadap infeksi virus
jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue
antibodi yang terbentuk dapat menetralisir
virus yang sama (homologous). Namun jika
16
orang tersebut mendapat infeksi sekunder
dengan jenis virus yang lain, maka virus
tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi
infeksi
berat.
Hal
ini
disebabkan
terbentuknya kompleks yang infeksius antara
antibodi heterologous yang telah dihasilkan
dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks
virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama
pada sel akan menimbulkan peningkatan
infeksi virus DEN. Kompleks
antibodi
meliputi sel makrofag yang beredar dan
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan
internalisasi sehingga makrofag akan mudah
terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1,
IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating
Factor”
Selanjutnya dengan peranan TNFα
akan terjadi kebocoran dinding pembuluh
darah, merembesnya plasma ke jaringan
tubuh karena endothel yang rusak, hal ini
dapat berakhir dengan syok.
Proses
ini juga
menyertakan
komplemen yang bersifat vasoaktif dan
prokoagulan
sehingga
menimbulkan
kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat
mengakibatkan syok hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia
dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan
riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka
dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non
Neutralizing Antibodies” sehingga sudah
terjadi proses “Enhancing” yang akan
memacu makrofag sehingga mengeluarkan
IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel
endotel pembuluh darah dan sistem
hemostatik yang akan mengakibatkan
kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3
hal yang berkontribusi terhadap terjadinya
DBD dan DSS yaitu antibodies enhance
infection, T-cells enhance infection, serta
limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan
bahwa jika terdapat antibodi spesifik
terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi yang terdapat
dalam tubuh tidak dapat menetralisir
penyakit, maka justru dapat menimbulkan
penyakit yang berat.
Disamping kedua teori tersebut,
masih ada teori-teori lain yang berusaha
menjelaskan patofisiolog DBD, diantarnya
adalah teori virus yang mendasarkan pada
perbedaan keempat serotipe virus Dengue
yang ditemukan berbeda antara satu daerah
dengan yang lainnya. Sedangkan teori
antigen-antibodi
mendasarkan
pada
kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas
sistem komplemen yang ditandai dengan
penurunan C3, C4, dan C5. teori juga
didukung dengan adanya pengaruh kompleks
imun pada penderita DBD terhadap aktifitas
komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001
membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS
umumnya disebabkan oleh disregulasi respon
imunologik.
Monosit/makrofag
yang
terinfeksi virus Dengue akan mensekresi
monokin yang berperan dalam patogenesis
dan gambaran klinis DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk
2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell
yang terinfeksi virus dengue dapat
mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2,
HLA-DR, CD11b dan CD83.Dendritic Cell
yang terinfeksi virus dengue ini sanggup
memproduksi TNF-α dan IFN-γ namun tidak
mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer dkk,
2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat
menekan proliferasi sel T.
Pada infeksi fase akut terjadi
penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+,
dan CD8+. Demikian pula juga didapati
penurunan respon prroliferatif dari sel-sel
mononuklear. Di dalam plasma pasien
DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi
IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α
berhubungan dengan manifestasi perdarahan
sedangkan IL-10 berhubungan dengan
penurunan trombosit. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah
dan fungsi limfosit T, sedangkan sitokin
proinflamasi TNF-α berperan penting dalam
keparahan dan patogenesis DBD/DSS, dan
meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi
limfosit T dan trombosit.
Lei HY dkk, 2001 menyatakan
bahwa
infeksi
virus
dengue
akan
mempengaruhi sistem imun tubuh berupa
perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari
sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel
endothel
dan
hepatosit
yang akan
menyebabkan terjadinya apoptosis dan
disfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian pula
sistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikut
teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat dari
reaksi silang otoantibodi anti-trombosit,
karena overproduksi IL-6 yang berperan
17
besar dalam terbentuknya antibodi antitrombosit dan anti-sel endotel, serta
meningkatnya level dari tPA dan defisiensi
koagulasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kebocoran
plasma
pada
DBD/DSS
merupakan akibat dari proses kompleks yang
melibatkan aktivasi komplemen, induksi
kemokin dan kematian sel apoptosis. Dugaan
bahwa IL-8 berperan penting dalam
kebocoran plasma dibuktikan secara invitro
oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer
monosit manusia yang diinfeksi oleh virus
DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan
aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari
Bethel dkk (1998) terhadap anak di vietnam
dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi
penurunan level IL-6 dan soluble intercelluler
molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini
berarti ada kehilangan protein dalam sirkulasi
karena kebocoran plasma.
MEKANISME KEBOCORAN PLASMA
Kebocoran plasma disebabkan oleh
injury pada endotel akibat dari peran sitokin,
kemokin komplemen, mediator inflamasi
atapun karena infeksi virus dengue secara
langsung.
PERAN SITOKIN DAN KOMPLEMEN
Sitokin adalah protein terlarut yang
dihasilkan oleh sel-sel hematopoetik dan non
hematopoetik dalam keadaan inflamasi
ataupun infeksi. Sitokin berfungsi dalam
proses imun, misalnya IL-1, IL-2, IL-6, IL-8,
TNFα dan IFNγ.IL-1, IL-6 dan TNFα adalah
pirogen endogen yang akan merangsang
demam di hipotalamus dan juga berfungsi
sebagai vasoaktif sitokin yang meningkatkan
permeabilitas endotel pembuluh darah.
Endotel juga akan menekspresikan ICAM 1,
VCAM 1 dan P-Selectin, molekul adhesive
yang
menyebabkan
ekstravasasi
sel
inflamasi. Pemaparan endotel dengan TNFα
dapat menyebabkan apoptosis.
TNFα dan IL-1 menstimulasi radang
dengan mengaktivasi berbagai sel radang.
TNFα, IL-1 dan IL-6 dapat menstimulus
hepatosit menghasilkan acute phase protein.
IL-1 mempengaruhi permeabilitas pembuluh
darah kapiler dan menginduksi endothel
untuk memproduksi dan mensekresi IL-6 dan
TNFα (King 2000).
Ikatan virus dengue dengan antibodi
heterolog akan mengaktifasi komplemen
jalur klasik yang berakhir dengan
dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang
disebut anafilatoksin. Anafilatoksin dan
melepaskan histamin, serotonin dan Platelet
Activating Factor (PAF). Histmin, serotonin
dan
PAF
merangsang
peningkatan
permebilitas pembuluh darah, agregasi
trombosit. Sel mast juga mensintesa asam
arakidonat
menjadi
prostaglandin,
prostasiklin, leukotrien dan tromboksan yang
berperan dalam patogenesis DBD yang lebih
parah.
Pada infeksi virus dengue, endotel
sebagai sel pelapis bagian dalam pembuluh
darah dapat langsung terinfeksi oleh virus
dengue. Respon yang terjadi adalah dengan
disekresikannya sitokin antara lain IL-8 dan
TNFά. Pemaparan endotel dengan TNFά
dapat menyebabkan apoptosis.
Inflammatory cytokines, mediator
inflamasi, anafilatoksin dan kemokin
menyebabkan endothel berkontraksi dan
menyebabkan
timbulnya
celah
pada
pembuluh darah yang berakibat plasma
keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitial. Dengan adanya apoptosis endotel
dan vasodilatasi maka plasma leakage
semakin menghebat.
Trombositopenia pada DD dan DBD
melibatkan dua mekanisme utama, yaitu
penurunan produksi dan peningkatan
destruksi
perifer
atau
peningkatan
penggunaan.
Penurunan
produksi
dikarenakan supresi sumsum tulang. Pada
DBD yang lebih penting adalah mekanisme
yang menyebabkan peningkatan destruksi
dan peningkatan penggunaan.
Supresi sumsum tulang pada DBD
mungkin mengenai tiga faktor utama, yang
pertama cedera langsung pada sel progenitor
hematopoetik. Kedua, infeksi sel stromal dan
ketiga perubahan regulator dalam sumsum
tulang. Supresi yang lebih berat telah diamati
pada DSS, diikuti DBD dan DB.
Nakoa dkk menunjukkan bahwa
virus dengue tipe 4 dapat bereplikasi dalam
sel mononuklear sumsum tulang. Replikasi
tersebut dapat menyebabkan inhibisi
proliferasi dari BFU-E (Burst-forming unit
erythroid) dan CFU-GM (Colony forming
unit granulosit-makrofag). Murgur dkk 1997
menunjukkan secara invitro bahwa virus
DEN-3 dapat menginfeksi cord blood
mononuclear cell dan hal ini dapat
18
mensupresi pertumbuhan sel progenitor pada
kultur.
Infeksi virus dengue juga bisa
mengenai sel stromal sumsum tulang
sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel
progenitor homopoietik awal pada kultur.
Selama infeksi dilepaskan sitokin diantaranya
macrophage inflammatory protein-1α (MIP1a), IL6 dan IL-8. Berbagai sitokin tersebut
dapat
menghambat
pertumbuhan
sel
progenitor hemopotetik awal. Juga terjadi
penurunan Stem Cell Factor (SCF) yang
menyebabkan penurunan sel progenitor
hemopoetik pada kultur.
Infeksi
virus
dengue
akan
menginduksi MIP-1α dan MIP-1β. Proses ini
terjadi pada myelomono cell line, pada
peripheral blood mononuclear cells dan
supresi sumsum tulang.
Sitokin
yang
mensupresi
haemopoesis dilepaskan ke dalam aliran
darah pada fase awal demam dengue, yaitu
tumor necroting factor (TNF-α), interleukins
(IL-2, IL-6, IL-8) dan interferon (INF-α dan
INF-γ). Parahnya kondisi klinis penderita
infeksi virus dengue dan periode terjadinya
supresi sumsum tulang tergantung dari kadar
sitokin tersebut.
Penurunan produksi di sumsum
tulang atau perusakan di sistem monositmakrofag yang berlebihan akan berakhir
dengan jumlah trombosit yang rendah.
Konsekuansinya adalah terjadi pesmbesaran
hati dan limpa
Teori mutakhir tentang patogenesis
DBD adalah teori Mimikri Molekuler yang
menunjukkan adanya peran auto-antibodi
pada infeksi virus dengue. Wiwanitkit
mengamati bahwa nonstructural-1 protein
(NS1) dari virus dengue yang merangsng
antibodi memiliki epitop yang sama dengan
fibrinogen dan integrin/protein adhesin pada
trombosit. Kedua jenis protein tersebut
memiliki hubungan filogenetik dengan NS-1.
Reaksi silang yang terjadi antara
antibodi
dengan
sel
endotel
akan
menginduksi kerusakan yang berat. Aktivasi
sel endotel inflamasi terjadi melalui faktor
transkripsi
NF-Kb-regulated
pathway.
Sitokin dan kemokin yang diproduksi yaitu
IL-6, IL-8 dan MCP-1.Kemudian terjadi
peningkatan
ekspresi
ICAM-1
dan
kemampuan PBMC menempel pada endotel.
Dan selanjutnya sel endotel akan mengalami
apoptosis yang ditandai dengan terpaparnya
fosfatidylserine pada permukaan sel dan
fragmentasi DNA. Hal ini diamati oleh
Lin.dkk (2002).
Pada
kasus
Dengue
Shock
Syndrome, ditengarai ada mediator inflamasi
yang berperan dalam kebocoran plasma.
Inilah yang menjadi dasar teori Mediator
dalam patogensis DBD. Diketahui beberapa
sitokin yang beredar pada aliran darah
penderita DBD yaitu TNFα, IL-1, 1L-6, IFN
γ, IFNα, IL-2, IL-10, IL-12, IL-13, IL-18,
dan beberapa mediator yang berfungsi
sebagai kemokin antara lain IL-8, MCP-1
(Monocyte Chemoattractant Proteins-1),
MIP-1α (Macrophage Inflammatory Protein1α), MIP-1β, RANTES (Regulated Upon
Activation Normal T cell Express Sequence
) dan PF-4 (Platelet Factor-4)
Keberadaan IL-8 yang tinggi dalam
darah tepi, cairan ascites dan efusi pleura
menjawab masalah kebocoran plasma dan
perdarahan pada syok karena DBD.
KESIMPULAN
Patogenesis
Demam
Berdarah
Dengue belum dapat sepenuhnya dimengerti,
dikarenakan model penelitian in vitro dan in
vivo tidak banyak tersedia untuk meneliti
perkembangan dari Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue ataupun bahkan
Dengue Shock Syndrome. Manifestasi yang
berat pada Demam Berdarah Dengue dapat
dijelaskan oleh teori ADE. Bagaimanapun
juga tidak semua kasus DBD bisa dijelaskan
oleh teori ADE. Perkembangan beberapa
tahun terakhir yang melibatkan peran
molekuler semakin mengarah kepada
keterlibatan faktor virus dalam patogenesis
DBD dan DSS. Begitu pula, tidak semua
kasus DBD dapat dijelaskan hanya dengan
teori virulensi virus saja. Antibodi Dependent
Enhancement, virulensi virus dan teori-teori
yang lain memiliki peran dalam tingkat
keparahan infeksi virus dengue. Sehingga
dapat dikatakan bahwa patogenesis DHF
memiliki landasan yang multi faktorial.
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto, Soegeng. 2010. Patogenesa
Infeksi Virus Dengue Recent Update.
Applied Management of Dengue Viral
Infection in Children. 6 November 2010.
halaman 11-45.
19
Chaudry S, Swaminathan S, Khanna N.Viral
Genetics as a Basis of Dengue Pathogenesis.
Setiawan MW, Samsi TW, Wulur H,
Sugianto D, Pool TN. Dengue haemorrhagic
fever: ultrasound as an aid to predict the
severity of the disease. Pediatric Radiology
[serial on the internet].1997 Jan 15 [cited
1997
June
2].Available
from:http://www.springerlink.com
Wang WK, Chao DY. High Levels of Plasma
Dengue Viral Load during Defervescence in
Patients with Dengue Hemorrhagic Fever:
Implications
for
Pathogenesis.Virology
(serial on the internet).2002 July 31 (cited
2003
Jan
31).
Available
from:
www.sciencedirect.com/science?_ob=article
Juffrie M, Van Der Meer GM, Hack CE,
Hasnoot K, Sutaryo, Veerman AJP, Thijs LG
et al. Inflammatory Mediators in Dengue
Virus Infection in Children:Interleukin-8 and
Its
Relationship
to
Neutrophil
Degranulation.Infection and Immunity (serial
on the internet).1999 Nov 3 (cited 2000
Feb),p.702-707.Available
from:
iai.asm.org/cgi/reprint/68/2/702
SimmonsCP, Chau TNB, Thuy TT, Tuan
MN, Hoang DM, Thien NT et al.Maternal
Antibody and Viral Factors in The
Pathogenesis of Dengue Virus in Infants.
(cited
2007
August
1).Available
from:www.exa.unne.edu.ar/bioquimica/immu
noclinica/documentos/maternal_antibody.pdf
20
PROTOZOA DAN BAKTERI YANG DITEMUKAN PADA TUBUH LALAT DI
PASAR SURABAYA
Kartika Ishartadiati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dan bakteri banyak ditemui di daerah tropis termasuk
Indonesia. Lalat dapat berperan sebagai vektor mekanik dari protozoa dan bakteri.
Pada penelitian ini, lalat ditangkap dengan menggunakan botol penangkap lalat yang diletakkan di Pasar
Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, dan Pasar Manukan Kulon. Lalat
yang tertangkap dimatikan dengan cara pendinginan (suhu ± -20ºC, selama 15 menit). Setelah itu, lalat
dimasukkan ke dalam larutan garam fisiologis dan dikocok selama 5 menit, kemudian dilakukan pemeriksaan
parasitologi dan mikrobiologi pada air cucian lalat.
Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia ditemukan pada tubuh lalat yang ditangkap di Pasar Manukan
Kulon, sedangkan Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae ditemukan pada tubuh lalat yang ditangkap di
kelima pasar tersebut di atas.
Kata kunci: lalat, protozoa, bakteri
PROTOZOA AND BACTERIA IN BODY DISCOVERED IN THE MARKET
FLIES SURABAYA
Kartika Ishartadiati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Infectious diseases caused by protozoa and bacteria are often found in tropical region, including Indonesia.
Flies can act as mechanical vectors of protozoa and bacteria.
In this study, flies were collected from following traditional markets: Genteng Baru, Pegirian, Pucang Anom,
Bendul Merisi and Manukan Kulon. All of the captured flies were killed by deep freezing at ± -20ºC for 15
minutes. Later, they were immersed in normal saline and shaken for 5 minutes. The washed fly bodies were
then filtered out and the fluid was then examined for protozoa and bacteria.
Entamoeba histolytica and Giardia lamblia were isolated fom the body of flies which were collected at
Manukan Kulon, whereas Salmonella, Shigella and Vibrio cholerae have been found in all above mentioned
markets.
Keywords: fly, protozoa, bacteria
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri dan protozoa banyak ditemui di
daerah tropis termasuk Indonesia. Protozoa
usus seperti Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, dan Balantidium coli dapat
menyebabkan diare, demikian pula dengan
bakteri Salmonella, Shigella, dan Vibrio
cholerae (Setiawan, 2006), bahkan tidak
jarang pula protozoa dan bakteri tersebut
menyebabkan kematian (WHO, 1997; Haque
& Petri, 2006).
Protozoa
dan
bakteri
dapat
dipindahkan secara mekanis oleh lalat
(Strickland, 1988). Probosis dan keenam kaki
lalat dilengkapi dengan rambut-rambut halus
serta kakinya mengeluarkan cairan yang
lengket membuat lalat mudah membawa
patogen (Graczyk et al., 2005).
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui apakah lalat di pasar Surabaya
berpotensi sebagai vektor mekanik dari
Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Balantidium coli, Salmonella, Shigella, dan
Vibrio cholerae.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini berjenis observasional,
karena tidak memerlukan perlakuan terhadap
obyek penelitian. Berdasarkan waktunya
penelitian ini bersifat cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi
lalat di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian,
Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi,
21
dan Pasar Manukan Kulon. Besar sampel
adalah lalat yang masuk perangkap dalam
waktu 2 jam. Penelitian dilakukan pada bulan
Mei 2009.
Persiapan untuk penangkapan lalat,
yaitu menyediakan botol plastik berukuran
1,5 liter yang telah dipotong pada sekitar 1/3
bagian atasnya, kemudian potongan botol
bagian atas diletakkan terbalik pada botol
tersebut sehingga berbentuk seperti corong
(Prendergast et al., 2006). Ke dalam botol
tersebut dimasukkan terasi yang sudah
dikukus sebagai umpan bagi lalat. Setelah
persiapan selesai, botol tersebut diletakkan di
pasar yang sudah ditentukan selama 2 jam
(pada masing-masing pasar ditempatkan 3
buah botol). Penentuan waktu 2 jam
berdasarkan dari penelitian pendahuluan,
yang dalam waktu 2 jam lalat telah cukup
banyak masuk ke dalam botol penangkap
lalat. Selanjutnya, botol yang sudah berisi
lalat tersebut dimasukkan ke dalam freezer (±
-20ºC) selama 15 menit agar lalat pingsan.
Dari penelitian pendahuluan, didapatkan
bahwa lalat telah pingsan dalam waktu 15
menit. Setelah lalat pingsan, jumlah lalat
yang ada dalam masing-masing botol
dihitung.
Lalat pada masing-masing botol
dimasukkan ke dalam Erlemeyer yang berisi
100 ml larutan garam faali, kemudian
dikocok selama 5 menit agar protozoa dan
bakteri yang menempel pada seluruh tubuh
lalat dapat lepas. Setelah itu lalat disaring,
kemudian air cucian lalat diambil 30 ml
untuk pemeriksaan parasitologi (protozoa)
dan 70 ml untuk pemeriksaan mikrobiologi
(bakteri).
 Pemeriksaan parasitologi
Suspensi cucian lalat dipusingkan
dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit.
Supernatan dibuang, sedimen dicampur
dengan Modified Sheather’s Solution
(merupakan campuran dari 454 g gula pasir,
355 ml air, dan 6 ml formaldehida) yang
mempunyai berat jenis 1,27 (Dryden, et al.,
2005), dan dipusingkan lagi dengan
kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Setelah
itu, bagian atas permukaan supernatan
diambil dengan ose siku dan diletakkan di
atas gelas benda, ditetesi lugol, ditutup
dengan gelas penutup, kemudian diperiksa
menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 400x dan 1000x.

Pemeriksaan mikrobiologi
Air cucian lalat ditanam pada media
enrichment (Alkaline Pepton Water),
kemudian ditanam pada agar SalmonellaShigella (SS) untuk mengidentifikasi bakteri
Salmonella dan Shigella. Untuk mengetahui
adanya bakteri Vibrio cholerae, air cucian
lalat ditanam pada kaldu Selenit yang
merupakan media enrichment, kemudian
ditanam pada agar Thiosulfat Citrat Bile salt
Sucrosa (TCBS). Koloni warna kuning yang
tumbuh pada agar TCBS ditanam pada agar
Nutrien, selanjutnya dilakukan pewarnaan
Gram.
HASIL PENELITIAN
Hasil dari pemeriksaan parasitologi
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Protozoa yang ditemukan pada lalat
di Pasar Genteng Baru, Pasar
Pegirian,
Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi,
Pasar Manukan Kulon bulan Mei 2009
E.
G.
B.
Pasar
histolytica
lamblia
coli
Genteng Baru
Pegirian
Pucang Anom
Bendul Merisi
Manukan Kulon +
+
Hasil dari pemeriksaan mikrobiologi
disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Bakteri yang ditemukan pada lalat di
Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar
Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, Pasar
Manukan Kulon bulan Mei 2009
V.
Pasar
Shigella Salmonella
cholerae
Genteng Baru
+
+
+
Pegirian
+
+
+
Pucang Anom
+
+
+
Bendul Merisi
+
+
+
Manukan Kulon +
+
+
DISKUSI
Pengambilan sampel lalat pada
kelima pasar dilakukan sekitar pukul 10.0012.00, sebab lalat biasanya keluar pada siang
hari, suka suasana terang dan hangat
(Williams et al., 1985). Jumlah lalat yang
tertangkap di masing-masing pasar adalah
sebagai berikut: Pasar Genteng Baru 117
lalat, Pasar Pegirian 93 lalat, Pasar Pucang
22
Anom 57 lalat, Pasar Bendul Merisi 186 lalat,
Pasar Manukan Kulon 239 lalat.
Lalat telah diidentifikasi sebagai
vektor dari parasit protozoa (Doiz et al.,
2000). Pada penelitian ini Entamoeba
histolytica dan Giardia lamblia ditemukan
pada lalat yang dikoleksi dari Pasar Manukan
Kulon, sedangkan Balantidium coli tidak
ditemukan pada lalat yang dikoleksi dari
kelima pasar (Genteng Baru, Pegirian,
Pucang Anom, Bendul Merisi, Manukan
Kulon) (tabel 1). Hal ini karena di sekitar
daerah pengambilan sampel lalat tidak ada
peternakan babi. Menurut Strickland (1988),
prevalensi tertinggi dari balantidiasis adalah
daerah
yang
penduduknya
banyak
memelihara babi. Selain itu, di Indonesia
Balantidium coli memang jarang ditemukan
pada manusia (Rasad & Gandahusada, 2000).
Di luar Kota Surabaya ada beberapa
peternakan babi, tetapi kemampuan terbang
lalat yang rata-rata hanya sekitar 1,5 km dari
tempat perindukannya (Santi, 2001), tidak
dapat menjangkau tempat tersebut .
Penelitian ini menggunakan tehnik
pemusingan untuk dapat menemukan kista
protozoa lebih banyak. Dengan pemusingan,
kotoran akan mengendap, tetapi kista akan
mengapung di permukaan. Dari penelitian
yang dilakukan Dryden dkk., menunjukkan
bahwa dengan tehnik pemusingan akan lebih
banyak menemukan kista daripada tehnik
pengapungan yang pasif. Larutan yang
digunakan pada penelitian ini adalah
Modified
Sheather’s
Solution
yang
mempunyai berat jenis 1,27 (Dryden et al.,
2005). Larutan ini dipilih karena pada
penelitian yang lain dikatakan bahwa larutan
yang terbaik untuk pemeriksaan laboratorium
rutin adalah larutan yang mempunyai berat
jenis 1,22-1,35 (O’Grady & Slocombe,
1980). Selain itu, Modified Sheather’s
Solution dipilih pada penelitian ini karena
mudah membuatnya dan relatif murah.
Lalat rumah dikenal sebagai faktor
terpenting dalam penyebaran berbagai
penyakit infeksi seperti kolera, shigellosis,
dan salmonellosis (Olsen et al., 2001). Hal
tersebut oleh karena lalat mempunyai
hubungan yang erat dengan bahan-bahan
yang membusuk, sampah, dan tinja. Olsen
(1998) mencatat ada 47 spesies lalat yang
membawa Escherichia coli, 17 dari spesies
lalat tersebut ditemukan juga membawa
Salmonella atau Shigella. Pada sebuah
penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa
lalat rumah membawa Salmonella dari rumah
potong hewan ke pasar-pasar dan pemukiman
terdekat (Greenberg et al., 1963). Pada
penelitian ini bakteri Shigella, Salmonella,
dan Vibrio cholerae ditemukan pada lalatlalat yang dikoleksi di Pasar Genteng Baru,
Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar
Bendul Merisi, dan Pasar Manukan Kulon.
Bakteri Salmonella dan Shigella
hanya terdapat dalam jumlah relatif sedikit
dalam tinja (sekitar 200 bakteri per gram
tinja) dibandingkan dengan bakteri enterik
lain yang merupakan flora normal usus dan
dapat mencapai 109 bakteri per gram tinja,
oleh karena itu pada penelitian ini digunakan
media enrichment yaitu kaldu Selenit yang
akan menghambat pertumbuhan bakteri
enterik lain dan mendorong pertumbuhan
Salmonella dan Shigella, sehingga kedua
bakteri ini lebih mudah ditemukan.
Selanjutnya setelah diinkubasi pada suhu
35ºC selama 8 jam, bakteri yang tumbuh di
kaldu Selenit ditanam pada lempeng agar
Salmonella-Shigella (SS). Medium SS ini
bersifat selektif karena memiliki kadar garam
empedu yang tinggi. Dari antara kumankuman enterik, Salmonella dan Shigella
memiliki daya tahan yang kuat terhadap
garam empedu, sehingga dapat tumbuh di
agar SS, sementara kuman-kuman enterik
lain akan terhambat pertumbuhannya
(Koneman et al., 1992). Pada agar SS
tampak koloni Salmonella terdapat bintik
hitam,
hal
ini
karena
Salmonella
menghasilkan H2S, sedangkan Shigella tidak
menghasilkan H2S.
Untuk
menumbuhkan
Vibrio
Cholerae pada penelitian ini digunakan
Alkaline Peptone Water (pH 8,4) yang
merupakan
media
enrichment
untuk
mendeteksi adanya Vibrio cholerae dalam
jumlah kecil, karena pada pH ini bakteri lain
sulit tumbuh. Segera setelah diinkubasi
selama 5 jam ditanam di media selektif
(TCBS) untuk mencegah tumbuhnya bakteri
lain pada APW (Baron et al., 1994). Pada
agar TCBS, Vibrio cholerae koloninya
berwarna kuning karena bakteri ini memecah
sukrosa menghasilkan asam, tetapi Vibrio
alginolyticus koloninya juga berwarna
kuning pada agar TCBS. Oleh sebab itu,
koloni kuning pada agar TCBS ditanam pada
kaldu Nutrien, karena pada kaldu Nutrien
23
hanya Vibrio cholerae dan Vibrio mimicus
yang dapat tumbuh, sedangkan spesies Vibrio
lainnya tidak dapat tumbuh (Koneman et al.,
1992). Selanjutnya, dilakukan pengecatan
Gram pada bakteri yang tumbuh di kaldu
Nutrien. Dengan pengecatan Gram, Vibrio
cholerae tampak berwarna merah (Gram
negatif) dan berbentuk batang bila dilihat
dengan mikroskop cahaya pembesaran
1000x.
Koneman EW, Allen SD, Janda WM,
Schreckenberger PC, Winn WC,
1992. Color Atlas and Textbook of
Diagnostic Microbiology, 4th Ed.,
Philadelphia:
J.B.
Lippincott
Company.
O’Grady MR, Slocombe JOD, 1980. An
investigation of variables in a fecal
flotation technique. Can. J. Comp.
Med. 44: 148-154.
PENUTUP
Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa lalat di pasar
Surabaya berpotensi sebagai vektor mekanik
dari Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae.
Olsen AR, 1998. Regulatory action criteria
for filth and other extraneous
materials. III. Review of flies and
foodborne enteric disease. Reg.
Toxicol. Pharmacol. 28: 199-211.
Daftar Pustaka
Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM, 1994.
Bailey and Scott’s Diagnostic
Microbiology, 9th Ed., St. Louis:
Mosby-Year Book, Inc.
Olsen AR, Gecan JS, Ziobro GC, Bryce JR,
2001. Regulatory action criteria for
filth
and
other
extraneous
materials:
V.
Strategy
for
evaluating
hazardous
and
nonhazardous filth. Regul. Toxicol.
Pharmacol. 33: 363-392.
Doiz OA, Clavel S, Morales S, Varea M,
Castillo FJ, Rubio C, Gomez-Luz,
2000. House fly (Musca domestica)
as a transport vector of Giardia
lamblia. Folia Parasitol. 47: 330331.
Dryden MW, Payne PA, Ridley R, Smith V,
2005. Comparison of Common
Fecal Flotation Techniques for the
Recovery of Parasite Eggs and
Oocysts. Veterinary Therapeutics
6(1): 15-28.
Graczyk TK, Knight R, Tamang L, 2005.
Mechanical
Transmission
of
Human Protozoa Parasites by
Insects.
Clinical
Microbiology
Reviews 18(1): 128-132.
Greenberg B, Varela G, Bornstein A,
Hernandez A, 1963. Salmonellae
from
flies
in
a
Mexican
slaughterhouse. Am. J. Hyg. 77: 177183.
Haque R & Petri WA Jr, 2006. Diagnosis of
amebiasis in Bangladesh. Arch.
Med. Res. 37: 273-276.
Prendergast LTBF, Rosales MAL, Evans ES,
Hogsette JA, 2006. Filth Flies.
Significance,
Surveillance
and
Control in Contingency Operations.
Washington: Armed Forces Pest
Management Board.
Rasad
R & Gandahusada S, 2000.
Balantidium coli. Dalam buku
(Gandahusada S, Ilahude, Pribadi W,
editor). Parasitologi Kedokteran,
Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
hlm. 125-128.
Santi DN, 2001. Manajemen Pengendalian
Lalat. USU digital library.
Setiawan B, 2006. Diare Akut Karena
Infeksi. Dalam buku (Aru WS,
Bambang S, Idris A, Marcellus SK,
Siti S, editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,
hlm. 1794-1798.
24
Strickland GT, 1988. Hunter’s Tropical
Medicine, 7th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company.
WHO,
1997.
World
Health
Organization/Pan American Health
Organization/ UNESCO report of a
consultation
of
experts
on
amoebiasis. Wkly. Epidemiol. Rec.
72: 97-99.
Williams RE, Hall RD, Broce AB, Scholl PJ,
1985. Livestock Entomology. New
York:
A
Wiley
Interscience
Publication. John Wiley and Sons.
25
EFIKASI DAN TORELANSI CEFIXIME PADA PENGOBATAN DEMAM TIFOID
ANAK
Lusiani Tjandra
Bagian Farmasi Kedokteran
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Cefixime is 3rd generation cephalosporin antibiotic oral, cefixime has broadspectrum activity against
gram positif and gram negative microorganism in clauding enterobacteriacea. Cefixime has well an efication
and tolerance to cure thypoid fever for children. To get optimal result, dose and time for treatment needed
evaluation. Even though on pediatric department FKUI-RSCM Jakarta until right now not yet found about
MDRST. Cefixime can use as alternative drug for thypoid fever treatment especially if chloramphenicol can
not be given (example amount of leucocyte <2000/µl, hypersensitive with chloramphenicol, or the resisstent
of Salmonella thypii with chloramphenicol).
Keywords : Cefixime, thypoid fever.
TORELANSI CEFIXIME EFFICACY AND TYPHOID FEVER ON CHILDREN
Lusiani Tjandra
Medical Pharmacist
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral, mempunyai aktivitas anti
mikroba terhadap kuman gram positif maupun negatif termasuk enterobacteriacea. Cefixime mempunyai
efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan demam tifoid anak. Untuk mendapatkan hasil yang optimal,
dosis dan lama pengobatan perlu dievaluasi lebih lanjut. Meskipun dibagian IKA FKUI-RSCM Jakarta
sampai saat ini belum dijumpai MDRST, cefixime dapat dipergunakan sebagai obat alternatif pengobatan
demam tifoid khususnya apabila chloramphenicol tidak dapat diberikan (misalnya jumlah leukosit <2000/ul,
adanya hipersensitif terhadap chloramphenicol, atau Salmonella tyhpii resisten terhadap chloramphenicol).
Kata kunci : Cefixim, Demam tifoid.
PENDAHULUAN
Infeksi salmonella atau salmonellosis
merupakan penyakit endemis yang banyak
dijumpai pada anak, khususnya di negara
beriklim tropis. Di antara Salmonellosis,
demam tifoid merupakan satu-satunya infeksi
salmonella typhii sistemik sebagai akibat dari
bakterimia yang terjadi. Secara klinis
manifestasi demam tifoid pada anak tidak
seberat dewasa, namun demikian pada
demam tifoid yang mengalami komplikasi
mortalitas
meningkat
sekitar
1-5%.
Rendahnya resistensi tubuh pada anak dan
keadaan bakteri khususnya jumlah bakteri
yang masuk, virulensi, maupun resistensi
bakteri terhadap antibiotik yang diberikan
menyebabkan demam tifoid kadangkala
menjadi berat.
Chloramphenicol sampai saat ini
masih merupakan obat pilihan lini pertama
(first drug of choice) untuk pengobatan
demam tifoid pada anak. Disamping
chlorampenicol,
antibiotik
lain
yang
dipergunakan untuk mengobati demam tifoid
pada anak adalah cotrimoksazol dan
ceftriaxone. Sementara itu dalam 5 tahun
terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid
berat pada anak bahkan fatal yang
disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda
terhadap salmonella typhi (Multiple drug
resistance Salmonella typhi = MDRST)
(Hadinegoro,1998; Memon 1998). Walaupun
sampai saat ini belum ada laporan resistensi
salmonella typhi pada demam tifoid anak di
Indonesia, termasuk rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, strategi
pengobatan MDRST perlu dibuat untuk
mengantisipasi bila suatu saat kita
menjumpainya.
Cefixime
adalah
antibiotik
sefalosporin generasi ketiga yang stabil
terhadap enzim β-Lactamase yang diproduksi
oleh organisme seperti strain Streptococcus,
Haemophillus
influenzae,
Neisseria
gonorrhoeae
dan
mayoritas
Enterobakteriaceae. Antibiotik ini bersifat
26
bakterisidae dengan spectrum luas terhadap
bakterim gram positif ( Streptococcus sp,
Streptococcus pneumonia ), dan gram
negative ( E. coli, Proteus sp, Haemophillus
influenzae). Aktivitas cefixime menurun
terhadap
Staphylococcus
aureus,
Enterococci, Listeria monocytogenes, dan
Pseudomonas spp. Insiden bakteri yang
resisten cefixime dilaporkan sangat rendah.
Dalam hal ini, telah dilakukan
penelitian uji klinis non komperatif
pengobatan cefixime terhadap demam tifoid
anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia –
Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta
sejak mei 1999 – januari 2000. Subyek
berumur antara 3 – 15 tahun, dengan
diagnose klinik demam tifoid tanpa
komplikasi.
Secara
umum,
cefixime
mempunyai efikasi yang baik dan dapat
ditoleransi oleh semua pasien, dengan efek
samping ringan. Untuk mendapatkan hasil
yang optimal diperlukan evaluasi lebih lanjut
mengenai dosis dan lama pengobatan. Dalam
tinjauan pustaka ini, akan dijelaskan efikasi
dan toleransi cefixime pada pengobatan
demam tifoid anak.
CEFIXIME
1. FARMAKOLOGI CEFIXIME
1.1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia
Cefixime berupa serbuk putih atau
hampir
berwarna
putih,
agak
higroskopik, sulit larut dalam air, sedikit
larut dalam alkohol dehidrasi, praktis
tidak larut dalam etil asetat, mudah larut
dalam metil alkohol (Dinkes Jabar,
2006).
Cefixime bersifat bakterisid dan
berspektrum
luas
terhadap
mikroorganisme gram positif dan gram
negatif, seperti sefalosporin oral yang
lain, cefixime mempunyai aktivitas yang
poten terhadap mikroorganisme gram
positif seperti Streptococcus sp.,
Streptococcus pneumoniae, dan gram
negatif seperti Branhamella catarrhalis,
Escherichia
coli,
Proteus
sp.,
Haemophilus influenza ( Dexa, 2009).
Rumus kimia dari cefixime : C16H15N5O7S2,3H20 ( Dinkes Jabar, 2006)
1.2. Farmasi Umum
Dosis harian yang lazim untuk pediatrik
adalah 1,5-3 mg (potensi)/kgBB
diberikan per oral dua kali sehari. Dosis
sebaiknya disesuaikan dengan keadaan
perderita. Untuk infeksi yang berat,
dosis dapat ditingkatkan sampai 6
mg/kgBB diberikan dua kali sehari.
Pada anak-anak yang menderita otitis
media sebaiknya diobati dengan
suspensi. Dari penelitian klinis, otitis
yang diobati dengan sediaan suspensi
cefixime didapat kadar puncak dalam
plasma lebih besar dari tablet bila
diberikan dengan dosis yang sama.
Sehingga untuk pengobatan otitis media
sebaiknya sediaan suspensi jangan
diganti.
Penderita dengan gangguan fungsi ginjal
memerlukan
penyesuaian
dosis
tergantung pada berat ringannya
gangguan, yang direkomendasikan
adalah 75% dari dosis standar (yaitu 300
mg sehari) bila klirens kreatinin antara
21 dan 60 ml/menit atau untuk penderita
dengan hemodialisis ginjal, dan 50%
dari dosis standart (yaitu 200 mg sehari)
bila klirens kreatinin kurang dari 20
ml/menit atau penderita yang menjalani
dialisis terus-menerus (opname).
27
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet
200 mg dan 400 mg, serta suspensi oral
100 mg/5 ml.
Cefixime hanya diberikan dalam bentuk
sediaan oral ( Sulistia, 2008).
1.3. Farmakologi Umum
1.3.1 Khasiat
In vitro, obat ini stabil terhadap
berbagai jenis beta laktamase dan
mempunyai spektrum antibakteri
menyerupai spektrum sefotaksim.
1.3.2 Indikasi
Cefixime
diindikasikan
untuk
pengobatan infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme
yang rentan antara lain:
1. Infeksi saluran kemih tanpa
komplikasi yang disebabkan
oleh Escherichia coli dan
Proteus mirabilis.
2. Otitis media disebabkan oleh
Haemophilus influenzae (strain
β-laktamase
positif)
dan
Streptococcus pyogenes.
3. Faringitis dan tonsilitis yang
disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes.
4. Bronkitis akut dan bronkitis
kronik dengan eksaserbasi akut
yang
disebabkan
oleh
Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (strain
beta-laktamase
positif
dan
negative)( Dexa, 2009).
5. Infeksi saluran pernapasan pada
anak (Santoso, 1995). Infeksi
saluran pernapasan bawah non
Tuberculosa ( Trihadi, 1995).
1.3.3 Kontraindikasi
Penderita dengan riwayat shock atau
hipersensitif akibat beberapa bahan
dari sediaan ini.
2. FARMAKODINAMIKA CEFIXIME
Mekanisme
kerjanya
yaitu
menghambat sintesis dinding sel. Cefixime
memiliki afinitas tinggi terhadap “penicillinbinding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c)
dan 3, dengan tempat aktivitas yang
bervariasi tergantung jenis organismenya.
Cefixime stabil terhadap β-laktamase yang
dihasilkan oleh beberapa organisme, dan
mempunyai aktivitas yang baik terhadap
organisme penghasil β-laktamase.
3. FARMAKOKINETIK CEFIXIME
3,1. Absorbsi
Absorbsi cefixime melalui oral berjalan
lambat
dan
tidak
lengkap.
Bioavailabilitas absolute sekitar 4050%. Dalam bentuk suspensi obat ini
diserap lebih baik dari bentuk tablet.
Kadar tinggi terdapat pada empedu dan
urine.
3.2. Distribusi (penetrasi ke dalam
jaringan)
Penetrasi ke dalam sputum, tonsil,
jaringan maxillary sinus mucosal,
otorrhea, cairan empedu dan jaringan
kandung empedu adalah baik.
3.3. Metabolisme
Tidak ditemukan adanya metabolit yang
aktif sebagai antibakteri di dalam serum
atau urin.
3.4. Eliminasi
Cefixime
terutama
diekskresikan
melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin
(sampai 12 jam) setelah pemberian oral
50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang
dewasa sehat dalam keadaan puasa
kurang lebih 20-25% dari dosis yang
diberikan. Kadar puncak urin masingmasing 42,9; 62,2 dan 82,7 μg/ml
dicapai dalam 4-6 jam setelah
pemberian. Jumlah ekskresi urin (sampai
12 jam) setelah pemberian oral 1,5; 3,0;
atau 6,0 mg (potensi)/kgBB pada
penderita pediatrik dengan fungsi ginjal
yang normal kurang lebih 13-20% (
Sulistia, 2008).
3.5. Konsentrasi dalam serum
Pemberian per oral dosis tunggal 50, 100
atau 200 mg (potensi) cefixime pada
orang dewasa sehat dalam keadaan
puasa, kadar puncak serum dicapai
setelah 4 jam pemberian yaitu masingmasing 0,69; 1,13; dan 1,95 μg/ml.
Waktu paruh serum adalah 2,3-2,5 jam.
Pemberian per oral dosis tunggal 1,5;
3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kg cefixime
pada penderita pediatrik dengan fungsi
28
ginjal normal, kadar puncak serum
dicapai setelah 3-4 jam pemberian yaitu
masing-masing 1,14; 2,01; dan 3,97
μg/ml.
3.6. Waktu paruh
Waktu paruh serum adalah 3,2-3,7 jam.
3.7. Ikatan protein
Ikatan protein dari cefixime yaitu 65%
3.8. Bioavailability
Bioavailabilitas absolute sekitar 40-50%
( Sulistia, 2008).
4. TOKSISITAS
4.1. Efek Samping dan Toksisitas
4.1.1 Shock
Perhatian yang cukup sebaiknya
dilakukan karena gejala-gejala shock
kadang-kadang bisa terjadi. Jika
beberapa tanda atau gejala seperti
perasaan tidak enak, rasa tidak enak
pada rongga mulut, stridor, dizziness,
defekasi yang tidak normal, tinnitus
atau diaphoresis; maka pemakaian
sediaan ini harus dihentikan.
4.1.2. Hipersensitivitas
Jika
tanda-tanda
reaksi
hipersensitivitas
seperti
rash,
urtikaria, eritema, pruritus atau
demam maka pemakaian sediaan ini
harus dihentikan dan sebaiknya
dilakukan penanganan lain yang
lebih tepat.
4.1.3 Hematologik
Granulositopenia atau eosinophilia
jarang
terjadi.
Kadang-kadang
thrombocytopenia dapat terjadi.
Pemakaian sediaan ini sebaiknya
dihentikan bila ditemukan adanya
kelainan-kelainan
ini.Dilaporkan
bahwa terjadi anemia hemolitik pada
penggunaan
preparat
cefixime
lainnya.
4.1.4. Hepatik
Jarang terjadi peningkatan GOT,
GPT atau alkaline phosphatase.
4.1.5. Renal
Pemantauan fungsi ginjal secara
periodik dianjurkan karena gangguan
fungsi ginjal seperti insufisiensi
ginjal kadang-kadang dapat terjadi.
Bila ditemukan adanya kelainankelainan ini, hentikan pemakaian
obat ini dan lakukan penanganan lain
yang lebih tepat.
4.1.6. Saluran Cerna
Kadang-kadang terjadi kolitis seperti
kolitis pseudomembranosa, yang
ditunjukkan dengan adanya darah di
dalam tinja. Nyeri lambung atau
diare terus menerus memerlukan
penanganan yang tepat, jarang terjadi
muntah, diare, nyeri lambung, rasa
tidak enak dalam lambung, heartburn
atau anoreksia, nausea, rasa penuh
dalam lambung atau konstipasi.
4.1.7. Pernafasan
Kadang-kadang terjadi pneumonia
interstitial atau sindroma PIE, yang
ditunjukkan dengan adanya gejalagejala demam, batuk, dyspnea, foto
rontgen thorax yang tidak normal
dan eosinophilia, ini sebaiknya
hentikan pengobatan dengan obat ini
dan lakukan penanganan lain yang
tepat seperti pemberian hormon
adrenokortikal.
4.1.8. Perubahan flora bakterial
Jarang terjadi stomatitis atau
kandidiasis.
4.1.9. Defisiensi vitamin
Jarang terjadi defisiensi vitamin K
(seperti hipoprotrombinemia atau
kecenderungan pendarahan) atau
defisiensi grup vitamin B (seperti
glositis, stomatitis, anoreksia atau
neuritis).
4.1.10. Lain-lain
 Jarang terjadi sakit kepala atau
dizziness.
 Pada penelitian terhadap anak
tikus
yang
diberi
1.000
mg/kgBB.hari
secara
oral,
dilaporkan adanya penurunan
spermatogenesis.
4.2. Gejala Toksisitas dan Penanggulangan
4.2.1. Gejala Toksisitas
Hipersensitivitas neuromuskular dan
kompulsif
4.2.2. Cara penanggulangan toksisitas :
Hemodialisis mungkin membantu
4.2.3. Peringatan dan perhatian:
 Perhatian umum
29









Hati-hati
terhadap
reaksi
hipersensitif, karena reaksireaksi seperti shock dapat
terjadi.
Sediaan ini sebaiknya jangan
diberikan kepada penderitapenderita yang masih dapat
diobati dengan antibiotika lain,
jika perlu dapat diberikan
dengan hati-hati. Penderita
dengan riwayat hipersensitif
terhadap bahan-bahan dalam
sediaan
ini
atau
dengan
antibiotika cefixime lainnya.
Cefixime
harus
diberikan
dengan
hati-hati
kepada
penderita, antara lain sebagai
berikut:
Penderita
dengan
riwayat
hipersensitif terhadap penisilin.
Penderita
dengan
riwayat
personal atau familial terhadap
berbagai bentuk alergi seperti
asma bronkial, rash, urtikaria.
Penderita dengan gangguan
fungsi ginjal berat.
Penderita dengan nutrisi oral
rendah, penderita yang sedang
mendapatkan nutrisi parenteral,
penderita lanjut usia atau
penderita yang dalam keadaan
lemah.
Observasi
perlu
dilakukan dengan hati-hati pada
penderita ini karena dapat terjadi
defisiensi vitamin K.
Penggunaan selama kehamilan
keamanan pemakaian cefixime
selama masa kehamilan belum
terbukti. Sebaiknya sediaan ini
hanya
diberikan
kepada
penderita yang sedang hamil
atau wanita yang hendak hamil,
bila keuntungan terapetik lebih
besar dibanding risiko yang
terjadi.
Penggunaan
pada
wanita
menyusui
masih
belum
diketahui
apakah
cefixime
diekskresikan melalui air susu
ibu. Sebaiknya tidak menyusui
untuk sementara waktu selama
pengobatan dengan obat ini.
Penggunaan pada bayi baru lahir
atau bayi prematur, Keamanan
dan keefektifan penggunaan
cefixime pada anak-anak dengan
usia kurang dari 6 bulan belum
dibuktikan (termasuk bayi baru
lahir dan bayi premature) (
Dexa, 2009).
5. PENELITIAN YANG
PERNAH
DILAKUKAN
5.1. Clinical Trial
Telah dilaporkan di Pakistan,
Mesir, Meksiko, Vietnam, dan Thailand
sejak tahun 1988, MDRST terdapat pada
50-75%
kasus demam tifoid anak.
Resistensi
obat
ganda
terhadap
Salmonella typhi adalah adanya galur
atau strain Salmonella typhi yang telah
resisten terhadap dua atau lebih
antibiotik yang dipergunakan untuk
pengobatan demam tifoid secara
konvensional,
yaitu
ampicillin,
chloramphenicol, dan kotrimoksazol.
Pemberian antibiotik yang berlebihan
(over-use), pemakaian antibiotik yang
salah (mis-use), atau pemakaian
antibiotik yang tidak tepat (inappropiate)
merupakan
penyebab
terjadinya
MDRST
disamping
kemungkinan
adanya faktor plasmid mediated. Dalam
menghadapi kasus resistensi terhadap
Salmonella typhi dengan mortalitas yang
cenderung lebih tinggi daripada nonMDRST, maka akan diperlukan
antibiotik yang lebih poten seperti
golongan sefalosporin injeksi atau
aztreonam. Pada kasus dewasa kasus
MDRST telah berhasil diobati kuinolon,
namun sampai sekarang FDA tidak
merekomendasikan pemakaian kuinolon
pada anak mengingat efek samping
atropati
pada
tulang
rawan
(
Hadinegoro).
Telah dilakukan penelitian uji
klinis non komparatif pengobatan
cefixime terhadap demam tifoid anak di
bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI
RSCM Jakarta, sejak Mei 1999- Januari
2000. Subyek berumur antara 3-15 tahun
dengan diagnosis klinis demam tifoid
tanpa komplikasi. Diantara 25 pasien
yang ikut dalam penelitian, terdapat 11
laki-laki dan 14 perempuan, 16 (64%)
pasien termasuk kelompok 5-9 tahun
dan 8 (32%) pasien berumur >10 tahun.
18 anak menderita demam dirumah
selama 7 hari atau lebih. Selain demam,
30
mual, muntah, perasaan tidak enak
diperut, delirium dan hepatomegali
merupakan gejala yang terbanyak
ditemukan. Lebih dari separuh jumlah
kasus penderita demam antara 37,538,5oC dan 7 anak lainnya mengalami
demam lebih dari 39oC. Peningkatan
LED dan SGOT/SGPT terdapat pada
hampir semua kasus. Semua pasien
mendapat pengobatan cefixime 10-15
mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis selama 10
hari. Penurunan suhu terjadi setelah 6
hari pengobatan. Cure rate, yang
menggambarkan
efikasi
cefixime
terdapat pada 21 (84%) kasus dan gagal
4 (16%) kasus. Penilaian hasil
pengobatan hari ke 5 pada 21 kasus
menunjukkan 11 pasien tumbuh
sempurna, 10 pasien lainnya keadaan
klinis baik namun masih demam dan
suhu turun pada hari berikutnya.
Kegagalan bakteriologist dijumpai pada
satu kasus, termasuk dalam kelompok
gagal
secara
klinis.
Secara
bakteriologist, 3 pasien resisten terhadap
salah satu dari ketiga antibiotik
konvensional. Satu orang pasien resisten
chloramfenikol dan 2 orang resisten
ampicillin. 21 (84%) diantara 25 pasien
tetap sensitif terhadap ketiga antibiotik
konvensional. Dalam penelitian ini tidak
terdapat satu kasus pun dengan MDRST.
Secara umum cefixime mempunyai
efikasi yang baik dan dapat ditoleransi
oleh semua pasien dengan efek samping
ringan. Untuk mendapatkan hasil yang
optimal diperlukan evaluasi lebih lanjut
mengenai dosis dan lama pengobatan
(Ringo, 1996).
5.2. Hasil Penelitian
Dari 31 kasus demam tifoid, 6
orang di antaranya dikeluarkan dari
penelitian oleh karena baik biakan
maupun
uji
serologis
terhadap
Salmonella typhi negatif. Jadi hanya 25
pasien yang akan dilaporkan, terdiri dari
11 laki-laki dan 14 perempuan, 16
(64%) pasien kelompok umur 5-9 tahun
dan 8 (32%) pasien >10 tahun (Tabel 1).
Delapan belas anak telah
mengalami demam di rumah selama 7
hari atau lebih. Selain demam, mual,
muntah, perasaan tidak enak di perut,
delirium dan hepatomegali merupakan
gejala yang terbanyak ditemukan. Lebih
dari separuh jumlah kasus menderita
demam antara 37,5-38,5oC dan 7 anak
lainnya mengalami demam lebih dari
39oC.
Peningkatan
LED
dan
SGOT/SGPT terdapat pada hampir
semua kasus (Hadinegoro, 2001).
(Tabel 2)
Tabel 1. Lama Demam dan Pola Suhu Saat Masuk Rumah Sakit 12
Kelompok Umur
Lama Demam (hari)
Suhu Saat Masuk (º C )
(tahun)
<7
>7
38,0 - 38,5
38,5 – 39.0
>39,0
<5
0
1
1
0
0
5–9
4
11
10
2
4
≥10
3
6
3
2
3
Jumlah
7
18
14
4
7
31
Tabel 2. Manifestasi klinis 12
Gejala klinis
n
Demam
25
Menggigil
15
Nyeri perut
18
Mual
20
Muntah
21
Diare
12
Obstipasi
13
Mengigau
20
Kesadaran menurun
10
Lidah tifoid
15
Nyeri epigastrium X
15
Nyeri epigastrium
17
Hepatomegali
19
Splenomegali
6
* tiap pasien dapat mempunyai lebih dari satu gejala
6. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, penderita anak
hanya dikelompokkan berdasarkan suhu
tubuh, tidak dijelaskan tentang kondisi pasien
serta berat badan pasien. Kondisi pasien dan
berat badan pasien juga menentukan terapi.
Beberapa kritik yang perlu disampaikan :
1. Apakah
penderita
anak
itu
mempunyai berat badan yang ideal,
malnutrisi, atau obesitas.
2. Pada demam thypoid seringkali
disertai dengan keluhan yang lain.
3. Terapi yang diberikan, apakah terapi
causatif atau causatif simptomatis.
4. Bagaimana kondisi psikologis anak
pada saat perawatan.
Dalam penelitian didapatkan 4 orang gagal
dalam pengobatan cefixime pada demam
thypoid anak. Kegagalan ini dapat
disebabkan oleh :
1. Resistensi antibiotik
2. Penentuan dosis yang tidak tepat
3. Jumlah pemberian obat dalam sehari
yang tidak tepat
4. Adanya relaps
5. Penyakit lain yang menyertai.
Berdasarkan penelitian pengobatan
pada demam thypoid anak, tidak hanya
cefixime
yang
menjadi
satu-satunya
antibiotik
yang
dipergunakan,
tetapi
chloramphenicol masih digunakan sebagai
obat lini pertama untuk pengobatan demam
thypoid
pada
anak.
Disamping
chloramphenicol, ada antibiotik lain yang
dapat digunakan, yaitu cotrimoxazol dan
ceftriaxone. Tetapi dalam 5 tahun terakhir
telah dilaporkan kasus demam thypoid berat
pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh
adanya resistensi obat ganda terhadap
Salmonella thypii (MDRST).
7. KESIMPULAN
Sebagai
kesimpulan,
cefixime
mempunyai efikasi dan toleransi yang baik
untuk pengobatan demam tifoid anak. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal, dosis dan
lama pengobatan perlu dievaluasi lebih
lanjut.
32
Sulistia G, Gunawan. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
multidrug- resistant typhoid fever with oral
Jakarta. 2008 :678-686.
cefixime vs.intravenous ceftriaxone. Pediatr
Infect Dis J 1994; 13: 990-4.
Santosa G, M.S Makmuri. Efektivitas dan Keamanan
Cefixime pada Pengobatan Infeksi Saluran
Dinkes Jabar, 2006, Daftar informasi obat. Website
Pernafasan pada Anak. Cermin Dunia
resmi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Kedokteran No 101. Surabaya, 1995: 37-39.
DAFTAR PUSTAKA
Dexa Medica, 2009, Prescription Products. PT DexaTrihadi D, Rahadja HA. Evaluasi Klinik Pengobatan
Medica. Palembang – Indonesia
Cefixime Oral pada Infeksi Saluran
Pernafasan Bawah Non Tuberkulosis. Cermin
Hadinegoro SR. Kuinolon pada anak suatu dilema.
Dunia Kedokteran No 101. Semarang, 1995:
Dalam: Alan RT, Hadinegoro SR, Oswari
44-47.
H.penyunting naskah lengkap pendidikan
kedokteran berkelanjutan Bagian ilmu
kesehatan Anak XL. Balai Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta. 1997: 133-40.
Hadinegoro SR. Masalah Multiple drug resistance
pada demam tifoid anak. Dipresentasikan
pada simposium New Treatment of Typhoid
fever in children. Jakarta, 26 Agustus 1998
Hadinegoro SRS, Tumbelake AR, Satari HI.
Pengobatan cefixime pada demam tifoid anak.
Sari Pediatri, Vol 2, No 4, Maret 2001 : 182187
Memon IA, Billoo AG, Memon HI. Cefixime: An oral
option for the treatment of multidrugresistance enteric fever in children. South
Med J 1998; 90: 1204-7.
Matsumoto K. Pharmacokinetics/ pharmacodinamics
and in-vitro antimicrobial activity of cefixime
for Salmonella Typhi. Third Asia Pacific
Symposium on Thyphoid Fever and Other
Salmonelosis. Bali, 11 Desember 1997.
Ringo-Ringo PH. Pola resistensi antibiotik pada
penderita demam tifoid anak di bagian ilmu
kesehatan anak FKUI.RSCM Jakarta Tahun
1990-1994. Tesis program Studi ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta 1996.
33
EKSPRESI NFκB PADA MAKROFAG MENCIT BALB/c JANTAN AKIBAT
PEMBERIAN EKSTRAK ALLIUM SATIVUM LINN
Titiek Sunaryati
Departemen Patologi Anatomi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Common dingin adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan
bagaimana
ekstrak
bawang
putih
dapat
meningkatkan
kekebalan
tubuh.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan putih jantan BALB / c strain mencit, 10
minggu dengan berat badan dari 25-35 gram. Kelompok 1 menerima plasebo (CMC Na) selama 14 hari.
Kelompok 2 menerima ekstrak 10 mg / kg BW bawang putih selama 14 hari, dan kelompok 3 menerima
20mg/kg BB ekstrak bawang putih selama 14 hari. Setelah 14 hari mencit dikorbankan kemudian usus telah
dihapus dan diproses di blok parafin, kemudian diwarnai dengan imunohistokimia.
Ada tiga variabel seperti jumlah makrofag yang ekspresi NFκB, jumlah sel yang memproduksi γ
interferon, dan jumlah limfosit yang memproduksi interleukin 2. Data dianalisis dengan analisis varians
Brown Forsythe, perbedaan yang nyata lebih lanjut dianalisis dengan menggunakan Games Howell pada
tingkat signifikan 0,05. Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok yang menerima plasebo,
10mg/kgBw ekstrak bawang putih, dan bawang putih 20mg/kgBw ekstrak di setiap variabel.
Ekstrak bawang putih dapat meningkatkan kekebalan tubuh melalui peningkatan jumlah makrofag yang
menyatakan NFκB.
Kata kunci: umum dingin, ekstrak bawang putih, NFκB.
NFκB EXPRESSION IN MACROPHAGES MICE BALB/c MALES DUE
EXTRACTS OF ALLIUM SATIVUM LINN GIVING
Titiek Sunaryati
Department of Pathology
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Common cold is an infectious disease that is caused by viruses. The purpose of this study is to explain
how garlic extract can increase body immunity.
This was experimental study using white male BALB/c strain mice, 10 weeks old with bodyweight of 2535 grams. Group 1 received placebo (CMC Na) for 14 days. Group 2 received 10mg/kg BW garlic extract for
14 days, and group 3 received 20mg/kg BW garlic extract for 14 days. After 14 days mice were sacrified then
intestines were removed and processed in the paraffin block, then were stained with immunohistochemistry.
There were three variables such as the amount of macrophage that expres NFκB, the amount of cell that
produce interferon γ, and the amount of lymphocyte that produce interleukin 2. Data were analyzed by
analysis of variance Brown Forsythe, any significant different was further analyzed by using Games Howell
in the significant level of 0.05. There were significant difference between groups those received placebo,
10mg/kgBw garlic extract, and 20mg/kgBw garlic extract in each variables.
Garlic extract can increase body immunity via increase in the amount of macrophage that express NFκB.
Keywords: common cold, garlic extract, NFκB.
PENDAHULUAN
Common cold merupakan penyakit virus
yang paling sering ditemukan pada manusia.
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) selalu menempati urutan
pertama penyebab kematian pada kelompok
bayi dan balita. Survei mortalitas yang
dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005
menempatkan ISPA sebagai penyebab
kematian bayi terbesar di Indonesia dengan
persentase 22,30% dari seluruh kematian
balita (Steven, 2009). Bawang putih tidak
hanya mencegah common cold, tetapi juga
dapat memperpendek gejala dan derajat
keparahannya (Marta,et al, 2007).
Pada umumnya terapi common cold yang
digunakan ialah antihistamin, dekongestan,
antipiretik, dan ekspektoran. Antibiotik
digunakan bila terjadi infeksi sekunder
(Boies, 1994). Teknik lain yang perlu
34
diberikan ialah dengan meningkatkan
imunitas
tubuh
menggunakan
obat
immunomodulator, salah satunya ialah
bawang putih (Allium sativum Linn.)
(Marta,et al, 2007). Bawang putih adalah
tanaman yang kaya senyawa organosulfur,
bahan ini dapat meningkatkan imunitas tubuh
(Eikai, 2001). Namun sampai sejauh ini
mekanisme meningkatnya imunitas tubuh
akibat pemberian ekstrak bawang putih
belum dapat dijelaskan.
Bawang putih setelah diekstraksi akan
menghasilkan zat yang bersifat stabil yaitu Sallylcysteine. Zat ini akan berikatan dengan
reseptor yang ada di permukaan sel
makrofag. Kompleks ini akan mengambil
molekul yang berisi tumor necrosis factor
receptor associated death domain (TRADD)
yang akan berinteraksi dengan SerineThreonine kinase ribosome inhibiting protein
(RIP) dan tumor necrosis factor receptor
associated factor 2 (TRAF2). Keduanya
mengaktifkan transforming growth factor
beta activated kinase 1 (TAK1). TAK1 yang
aktif berperan terhadap fosforilasi inhibitor
kinase
κappa
beta
(IKκB).
IKκB
menyebabkan degradasi inhibitor κappa beta
(IκB).
Hambatan
pada
IκB
akan
mengaktifkan nuclear factor κappa beta
(NFκB) sehingga terjadilah translokasi NFκB
aktif ke inti sel (George, 2002). Di inti NFκB
menstimuli
proses
transkripsi
yang
menghasilkan interferon γ (IFNγ) (Neil,
1997). IFNγ akan merangsang aktifitas
sitotoksik limfosit (CTL) dan sel natural
killer (sel NK). IFNγ selanjutnya merangsang
aktifitas sel NK untuk membunuh virus atau
sel yang terinfeksi virus dan membuat
blokade reseptor pada sel tetangga sehingga
sel tetangga kebal terhadap infeksi virus
(Anthony, 2003).
BAHAN DAN CARA KERJA
A.Sampel penelitian
27 ekor mencit jantan
yang dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1
sampai kelompok 3 masing-masing sebanyak
9 ekor mencit. Mencit pada kelompok 1 (K)
diberi placebo selama 14 hari. Mencit pada
kelompok 2 (P1) diberi ekstrak bawang putih
10mg/kgBB dengan dosis 1x/hari selama 14
hari, kelompok 3 (P2) diberi ekstrak bawang
putih 20mg/kgBB dengan dosis 1x/hari
selama 14 hari.
B.Pemeriksaan imunohistokimia
Pemeriksaan
jumlah
makrofag
pengekspresi NFκB pada usus halus ketiga
kelompok mencit dilakukan dengan teknik
imunohistokimia. Setiap satu sampel diamati
dan dihitung jumlah
makrofag yang
mengekspresikan NFκB (sitoplasmanya
berwarna coklat) dengan menggunakan
mikroskop cahaya pembesaran 400x; diamati
pada sepuluh lapangan pandang dan dihitung
jumlah makrofag yang memberikan reaksi
positif
dan
negatif
terhadap
antibodimonoklonal NFκB.
ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN
Hasil perhitungan jumlah makrofag yang
mengekspresikan NFκB pada usus halus
ketiga kelompok mencit dihitung persentase,
dan dilihat pada tabel1.
Tabel 1 Hasil analisis jumlah makrofag pengekspresi NFκB
BrownJumlah Makrofag Pengekspresi NFB()
Kelompok
n
Forsythe
SD
Min
Maks
x
Kontrol(K)
9
4,44a
1,42
3
7
Bawang
Putih
9
43,22b
3,31
40
48
F=1663,32
10mg/kgBB(P1)
p=0,000*
Bawang
Putih
c
9
76,89
2,89
74
82
20mg/kgBB(P2)
Keterangan : * signifikan pada =0,05
a,b,c
superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antar
kelompok (berdasarkan Games-Howell test)
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa
nilai rerata±SD kelompok kontrol (K)
4,44±1,42 dengan nilai minimum 3 dan
maksimum 7; nilai rerata±SD kelompok
perlakuan yang diberi bawang putih
10mg/kgBB (P1) ialah 43,22±3,31 dengan
35
nilai minimum 40 dan maksimum 48; nilai
rerata±SD kelompok perlakuan yang diberi
bawang putih 20mg/kgBB (P2) ialah
76,89±2,89 dengan nilai minimum 74 dan
maksimum 82.
Dari hasil analisis statistika dengan
menggunakan uji Brown-Forsythe didapatkan
Gambar 1
nilai p=0,000(p<0,05) artinya ada perbedaan
jumlah makrofag pengekspresi NFκB. Uji
Games-Howell untuk beda antar kelompok
didapatkan ada perbedaan yang bermakna
antara K dan P1; K dan P2; P1 dan P2.
Mukosa usus halus dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi
monoklonal NFκB pada kelompok yang mendapat bawang putih 20mg/kgBB.
Tampak makrofag yang positif dengan sitoplasma berwarna coklat (tanda panah).
(Perbesaran 400x)
Gambar 2 Pengambilan jaringan usus halus mencit
36
DISKUSI
Common cold adalah self-limiting
disease dan sistem imun host adalah hal
yang sangat menentukan pada penyakit
ini. Respon imun humoral mulai
menghasilkan antibodi spesifik dalam
beberapa hari untuk mencegah virus
menginfeksi sel. Leukosit tersebut juga
membunuh
virus
melalui
proses
fagositosis dan membunuh sel yang
terinfeksi untuk mencegah replikasi virus.
Pada pasien dengan imunitas tubuh yang
baik dapat sembuh sendiri dalam tujuh
hari (Eccles, 2005).
Pada umumnya terapi common cold
yang digunakan ialah antihistamin,
dekongestan, antipiretik, dan ekspektoran.
Antibiotik digunakan bila terjadi infeksi
sekunder (Boies, 1994). Teknik lain yang
perlu
diberikan
ialah
dengan
meningkatkan
imunitas
tubuh
menggunakan obat immunomodulator,
salah satunya ialah bawang putih (Allium
sativum Linn.) (Marta,et al, 2007).
Ekstraksi bawang putih menghasilkan
zat yang bersifat anti oksidan yang tidak
stabil yaitu allicin dan juga zat yang stabil
yaitu
S-allylcysteine
dan
Sallylmercaptocysteine. Kedua komponen
ini merupakan senyawa organosulfur
(Borek, 2001). S-allylcysteine adalah
immunomodulator yang efisien melalui
stimuli aktivitas makrofag dan produksi
sitokin oleh makrofag (Kang, 2001).
Untuk membuktikan pengaruh bawang
putih sebagai immunomodulator, maka
dilakukan penelitian dengan menggunakan
hewan coba yaitu mencit BALB/c jantan.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok 1 (K) tidak diberi ekstrak
bawang putih. Kelompok 2 (P1) diberi
ekstrak bawang putih dengan dosis
10mg/kgBB (Yudha, 2003). Kelompok 3
(P2) diberi ekstrak bawang putih dengan
dosis 20mg/kgBB. Mencit pada ketiga
kelompok dikorbankan pada hari ke 14
untuk dilakukan pengamatan persentase
jumlah makrofag pengekpresi NFκB.
Penelitian ini menggunakan metode
imunohistokimia indirect untuk deteksi
adanya NFκB pada mukosa usus halus
mencit. Pada metode indirect ini antibodi
sekunder yang dilabel enzim akan
berikatan dengan antibodi primer yang
telah berikatan dengan antigen. Untuk
menandai adanya suatu reaksi enzimatik di
dalam jaringan maka digunakan indicator
warna
(chromogen)
DAB
(3,3
diaminobenzidine) yang akan memberikan
warna coklat di antara sitoplasma sel
normal yang terwarnai sesuai counter stain
haematoxylin, dihitung dalam persen dan
dibandingkan antar kelompok (Sudiana,
2008).
Hasil pewarnaan imunohistokimia pada
penelitian ini menunjukkan data jumlah
makrofag pengekspresi NFB masingmasing kelompok berdistribusi normal
(p>0,05) (Analisis dengan KolmogorovSmirnov satu sampel) , tetapi data tersebut
memiliki nilai variansi yang tidak
homogen antar kelompok (Levene test
p<0,05). Untuk itu analisis komparasi
antar kelompok dilakukan dengan uji
Brown-Forsythe. Uji beda antar kelompok
menggunakan Games-Howell.
Berdasar hasil analisis data diatas
didapat bahwa pemberian ekstrak bawang
putih dapat meningkatkan
jumlah
makrofag pengekspresi NFB jaringan
usus halus mencit. Hal ini disebabkan
karena kandungan organosulfur dalam
bawang putih yaitu S-allylcysteine (Kang,
2001).
S-allylcysteine merupakan protein asing
yang dapat menstimuli makrofag. Sallylcysteine berikatan dengan reseptor
pada permukaan sel makrofag. Kompleks
ini akan mengambil molekul yang berisi
tumor necrosis factor receptor associated
death domain (TRADD) yang akan
berinteraksi dengan Serine-Threonine
kinase ribosome inhibiting protein (RIP)
dan tumor necrosis factor receptor
associated factor 2 (TRAF2). Keduanya
akan mengaktifkan transforming growth
factor beta activated kinase 1 (TAK1).
TAK1 yang aktif berperan terhadap
fosforilasi inhibitor kinase κappa beta
(IKκB). IKκB menyebabkan degradasi
inhibitor κappa beta (IκB). Hambatan
pada IκB akan mengaktifkan nuclear
factor κappa beta (NFκB) sehingga
terjadilah translokasi NFκB aktif ke inti
sel (George, 2002). Di inti NFκB
menstimuli proses transkripsi yang
menghasilkan interferon gamma (IFNγ)
dan interleukin 12 (IL-12) (Neil, 1997).
Berdasarkan
penelitian
ini
dapat
37
dibuktikan bahwa bawang putih dapat
menstimuli
makrofag
untuk
mengekspresikan NFκB sehingga terjadi
proses transkripsi dan menghasilkan IFNγ
dan IL-12.
IFN-γ yang dihasilkan sel makrofag
dapat meningkatkan aktivitas sel NK
untuk membunuh sel yang mengandung
virus dan membuat blokade reseptor pada
sel tetangga sehingga sel tetangga kebal
terhadap infeksi virus (Anthony, 2003).
Pemberian ekstrak umbi bawang putih
pada mencit BALB/c jantan selama 14
hari dapat meningkatkan imunitas alami
tubuh melalui peningkatan jumlah
makrofag pengekspresi NFκB.
PENUTUP
Pemberian ekstrak umbi bawang putih
pada mencit BALB/c jantan dapat
meningkatkan imunitas tubuh melalui
peningkatan
jumlah
makrofag
pengekspresi NFκB.
Daftar Pustaka
Abbas A.K, Andrew H.L, 1994. Cellular
and Molecular Immunology. 2nd
edition,
USA: W.B. Saunders
Company, 18, 53, 55, 262, 208-9,
251-2, 328.
Anthony R.F,Wayne M.Y, 2003. Natural
Killer Cells and Viral Infections.
Current Opinion in Immunology
15: 45-51.
Boies, Adams, Higler, 1994. Buku Ajar
Penyakit
THT
(Boies
Fundamentals of Otolaryngology).
1st edition, Jakarta:EGC, 206-208.
Borek C, 2001. Antioxidant Health Effect
of Aged Garlic Extract. Journal of
Nutrition American Society for
Nutritional Sciences 131: 1010s1015s.
Diah K, 2004. Bersahabat Dengan Hewan
Coba.
Cetakan
I,
Yogyakarta:Gadjah
Mada
University Press, 5-8, 25-37, 6669, 82-112.
Eccles R, 2005. Understanding The
Symptoms of The Common Cold
and Influenza. Lancet Infect
Diseases 5:718-25.
Eikai
K,
Naoto
U,
2001.Immunomodulatory Effects
of Aged Garlic Extract. Journal of
Nutrition 131: 1075-1079.
Eko B,2002. Biostatistika. Cetakan I,
Jakarta:EGC, 226-232.
Federer, 1955. Experimental Design,
Theory and Application. 2nd
edition, New York Macmillan.
George S, 2002. NFκB-Dependent
Signaling Pathways. Experimental
Hematology 30: 285-296.
Hildebert W, 1999. Immunomodulatory
Agents from Plants. Medical :274277.
Hirao
Y,
1987.
Activation
of
Immunoresponder Cells by The
Protein Fraction from Aged Garlic
Extract. Phytotherapy 1:161-164.
John D.B, Harry C.C, 1984. Manual of
Histological Techniques. New
York:Churcill livingstone Inc, 1225,195-202.
Kang
N.S,
Moon
E.Y,
2001.
Immunomodulating Effect of
Garlic Component, Allicin, on
Murine Peritoneal Macrophages.
Nutrition Research 21: 617-626.
Liang H.O, Purwanto A, 1991. Uji
Toksisitas dan Aktivitas Biologi
Ekstrak Bawang Putih. Cermin
Dunia Kedokteran 73, 28.
Luna L.G, 1968. Manual of Histologic
Staining Methods of The Armed
Forces Institute of Pathology.
3rdedition,USA:Mc.Graw
Hill
Book Company,1-32.
Marta CM, Nieves C, Mar V, 2007.
Biological Properties of Onions
and Garlic. Food Science and
Technology 18: 609-625.
Marcel V, 2009. Moral Principles for
Allocating
Scarce
Medical
Resources in an Influenza
Pandemic. Bioethical Inquiry
6:159-169.
Neil P,1997. Achieving Transcriptional
Specificity
with
NFκB.
Int.J.Biochem. Cell Biology 29:
1433-1448.
Schoenborn J.R, Wilson C.B, 2007.
Regulation of Interferon Gamma
During Innate and Adaptive
Immune Responses, Immunol
96:41-101.
38
Schroeder K, Hertzog PJ, Ravasi T, 2004.
Interferon Gamma: an Overview
of Signals, Mechanisms and
Functions, J Leukoc.Biol 75: 16389.
Steel R.G.D., Torrie J.H, 1984. Principles
and Procedures of Statistics.
Singapore: McGraw Hill Book
Co., Inc., 172-177.
Steven E,MD, 2009.Common Cold.
http://www.medicineNet.com/
Sudiana IK, 2008. Patobiologi Molekuler
Kanker. Jakarta: Salemba Medika, 61-88.
Sudiana IK, 2005. Teknologi Ilmu
Jaringan dan Imunohistokimia.
Jakarta: Sagung Seto, 1-46.
Tzou-C.H, 2009. Diallyl Disulphide, but
not Diallyl Sulphide, Increases
Leucocyte
Function-Associated
Antigen-1 Expression and Cellular
Adhesion in Monocytes. Food
Chemistry 1-14.
Yudha, JS, 2003. The Role of Garlic
(Allium
Sativum)
Antioxidant
as
Hepatoprotektor.
Jurnal
Universitas
Airlangga. 4(1):24-31.
39
URETRITIS GONORE
Ernawati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Uretritis gonore merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae
dimana manusia merupakan satu-satunya penjamu ( host ) dengan manifestasi berupa keradangan pada
saluran kencing bagian depan ( uretra ).
Gejala klinis pada laki-laki diawali dengan gejala ringan yang bila tidak diobati akan menimbulkan
komplikasi lokal seperti epididymitis, seminal vaskulitis dan prostatitis, sedangkan pada wanita gejala
lebih ringan atau kadang tanpa gejala sehingga wanita sering menjadi carrier atau sumber penularan
yang tersembunyi.
Diagnosa ditegakkan dari pemeriksaan klinis dan bakteriologis, terapi dengan antibiotika golongan
cephalosporin, quinolone, spectinomycin atau kanamycin dan yang penting adalah edukasi terhadap
penderita serta pasangannya.
GONORRHEA URETHRITIS
Ernawati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Gonorrhea urethritis is an infectious disease caused by the bacteria Neisseria gonorrhoeae in which
humans are the only hosts (hosts) with manifestations of urinary tract inflammation in the front (the
urethra).
Clinical symptoms in men begins with mild symptoms that if untreated will cause local complications
such as epididymitis, prostatitis and seminal vasculitis, whereas in women more mild symptoms or
sometimes no symptoms so that women often become a carrier or a hidden source of infection.
Diagnosis of clinical and bacteriological examination, treatment with the cephalosporin class of
antibiotics, quinolone, spectinomycin or kanamycin and what is important is education of patients and
their partners.
PENDAHULUAN
Uretritis gonore adalah suatu
penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh kuman neisseria gonorrhoeae.
Penaganannya yang sulit menyebabkan
penyakit ini tidak terbatas hanya pada
suatu negara, tetapi sudah menjadi
masalah dunia terutama pada negara
berkembang atau sedang berkembang
seperti Asia Selatan dan Tenggara, Sub
Sahara Afrika dan Amerika Latin. WHO
memperkirakan bahwa tidak kurang dari
25 juta kasus baru ditemukan setiap tahun
di seluruh dunia. Di Amerika Serikat
diperkirakan dijumpai 600.000 kasus baru
setiap tahunnya.
Hal ini disebabkan banyak faktor
penunjang yang dapat mempermudah
dalam hal penyebarannya menyangkut :
kemajuan sarana transportasi, pengaruh
geografi, pengaruh lingkungan, kurangnya
fasilitas pengobatan, kesalahan diagnosis,
perubahan pola hidup, dan tak kalah
penting ialah penyalahgunaan obat.
Kesemuanya ini dapat terjadi terutama
karena
latar
belakang
kurangnya
pengetahuan mengenai seluk beluk dari
infeksi menular seksual.
Infeksi gonore dapat juga didapat
dari setiap kontak seksual, pharyngeal dan
anal gonorrheae tidak biasa. Gejala
pharyngeal gonorrheae biasanya berupa
nyeri tenggorokan, anal gonorrheae dapat
dirasakan lebih nyeri disertai sekret yang
bernanah.
Angka tertinggi pada wanita dari
semua ras adalah kelompok usia 15
sampai 19 tahun. Prevalensi gonore
selama kehamilan bervariasi, tetapi dapat
mencapai 7% dan mencerminkan status
resiko populasi. Faktor resiko antara lain
adalah lajang, remaja, kemiskinan, terbukti
menyalahgunakan
obat,
prostitusi,
penyakit menular seksual lain dan tidak
adanya perawatan prenatal.
40
Dengan bertambah banyaknya
ragam antibiotik yang berhasil disintesis
akhir-akhir ini memperkuat dugaan
sebelumnya bahwa uretritis gonore akan
dapat
terberantas
secara
tuntas.
Kenyataannya hal seperti ini tidak
seluruhnya benar. Tidak jarang penderita
uretritis gonore tidak kunjung sembuh
meskipun telah minum sendiri antibiotik
yang mahal sekalipun. Penderita lain
dengan sakit yang sama berobat ke dokter,
kemudian sembuh.
Berdasarkan pengalaman tersebut,
setiap kali sakit setelah hubungan seksual,
pasien selalu minum obat yang sama tanpa
memeriksakan diri ke dokter lebih dahulu.
Kasus seperti ini sering terjadi dalam
praktek sehari-hari
KLASIFIKASI
Famili Neisseriaceae meliputi
spesies Neisseria dan Moxarella catarralis
seperti acinetobacter dan kingella serta
spesies moxarella lainnya. Neisseria
adalah cocci gram negatif yang biasanya
berpasangan. Neisseria gonorrhoeae (
gonococci ) dan Neisseria meningitidis (
meningococci ) adalah patogen pada
manusia
dan
biasanya
ditemukan
bergabung
atau
di
dalam
sel
polimorfonuklear. Beberapa neisseriae
berhabitat di saluran pernafasan manusia,
jarang menimbulkan penyakit dan terjadi
ekstraselular.
Gonococci dan meningococci
saling berhubungan erat, dengan 70%
DNA homolog, dan dapat dibedakan
melalui beberapa tes laboratorium dengan
cirri-ciri spesifik: meningococci memiliki
kapsul polisakarida sedangkan gonococci
tidak, dan meningococci jarang memiliki
plasmid dimana kebanyakan gonococci
memilikinya. Yang paling penting, kedua
spesies tersebut dapat dibedakan dengan
presentasi klinis dari penyakit yang
disebabkannya : meningococci biasanya
ditemukan pada saluran pernafasan atas
dan menyebabkan meningitis, sementara
gonococci menyebabkan infeksi alat
kelamin. Spektrum klinis dari penyakit
disebabkan oleh kelebihan gonococci dan
meningococci.
EPIDEMIOLOGI
Gonore terdapat dimana-mana di
seluruh dunia dan merupakan penyakit
kelamin yang terbanyak dewasa ini. Tidak
ada imunitas bawaan maupun setelah
menderita penyakit. Juga tidak ada
perbedaan mengenai kekebalan antara
berbagai suku bangsa atau jenis kelamin
atau umur.
Diperkirakan setiap tahun tidak
kurang dari 25 juta kasus baru ditemukan
di dunia. Beberapa strain kuman gonokok
yang resisten terhadap penisilin, quinolone
dan antibiotik lainnya telah ditemukan
beberapa tahun yang lalu dan membawa
persoalan dalam pengobatan, telah tersebar
di beberapa negara.
ETIOLOGI
Morfologi
Neiserria gonorrhoeae merupakan
kuman kokus gram negatif, berukuran 0,6
sampai 1,5 μm, berbentuk diplokokus
seperti biji kopi dengan sisi yang datar
berhadap-hadapan. Kuman ini tidak motil
dan tidak membentuk spora. Neisseria
gonorrheae dapat dibiakkan dalam media
Thayer Martin dengan suhu optimal 3537ºC, pH 6,5-7,5, dengan kadar C02 5%.
Gonococci hanya memfermentasi
glukosa dan berbeda secara antigen dari
Neisseriae lain. Gonococci biasanya
menghasilkan koloni yang lebih kecil
dibandingkan
Neisseriae
lainnya.
Gonococci yang membutuhkan arginin,
hipoxantin dan urasil ( auksotipe Arg¯,
Hyx+, Ura+ ) cenderung tumbuh dengan
sangat lambat pada kultur primernya.
Gonococci
diisolasi
dari
specimen klinis atau dipertahankan oleh
subkultur nonselektif yang memiliki ciri
koloni kecil yang mengandung bakteri
yang berpili. Pada subkultur nonselektif,
koloni yang lebih besar yang mengandung
gonococci nonpili juga terbentuk Varian
yang pekat dan transparan pada kedua
bentuk koloni ( besar dan kecil ) juga
terbentuk, koloni yang pekat berhubungan
dengan keberadaan protein yang berada di
permukaan, yang disebut Opa.
Kellog membedakan Neisseria gonorrhoea
berdasarkan pertumbuhan koloninya pada
media agar, yaitu :
- T1 bentuk koloninya kecil,
cembung dan lebih terang
41
-
T2 bentuk koloninya kecil, lebih
gelap, tapi lebih terang
T3 bentuk koloninya besar, datar
dan lebih gelap
T4 sama dengan T3 tetapi lebih
terang
Koloni yang kecil karena mempunyai pili
diberi tanda p+, sedangkan koloni besar
diberi tanda p¯. Makin kecil N.gonorrheae
makin tinggi virulensinya, karena sel
bakteri
ini
memiliki
pili
yang
memudahkan
perlekatannya
dengan
dinding sel selaput lendir.
Gambar kuman Neiserria gonorrhoeae
Mikrobiologi
Dengan mikroskop elektron, dinding N.
gonorrheae
terlihat
mempunyai
komponen-komponen permukaan yang
diduga berperan pada patogenesis
virulensinya.
Komponen permukaan tersebut mulai dari
lapisan dalam ke luar dengan susunan
sebagai berikut :
1. Membran sitoplasma
Membran
ini
menghasilkan
beberapa enzim seperti suksinat
dehidrogenase,
laktat
dehidrogenase,
NADH
dehidrogenase dan ATP ase.
2. Lapisan peptidoglikan
Lapisan ini mengandung beberapa
jenis asam amino seperti pada
kuman gram negatif lainnya.
Lapisan
ini
mengandung
“penicilline binding component”
yang merupakan sasaran antibiotik
penisilin dalam proses kematian
kuman. Terjadi hambatan sintesis
dinding sel, sehingga kuman akan
mati.
3. Membran luar ( dinding sel )
Membran ini terdiri atas beberapa
komponen,
yang
terpenting
adalah:
a. Lapisan polosakarida
Lapisan ini memegang
peranan dalam virulensi
dan patogenesis kuman N.
gonorrhea
b. Pili
Pili merupakan bagian
dinding sel gonokokus
yang menyerupai rambut,
berbentuk batang dan
terdiri dari subunit protein
sekitar 1.800 dalton. Pili
ini dihubungkan dengan
patogenisitas kuman yang
sangat berperan dalam
perlekatan ( adhesi ) pada
sel
mukosa
dan
penyebaran kuman dalam
inang
c. Protein
# Porin protein (
por )
Dengan teknik elektroforesis dapat
ditemukan protein pada lapisan
dinding sel gonokokus dengan
berat sekitar 34-36 kilo Dalton
yang dikenal dengan porin protein
( Por ).
Fungsi dari Por ini adalah sebagai
penghubung anion spesifik ke
dalam lapisan yang banyak
42
mengandung
lemak
pada
membran luar.
# Opacity protein ( Opa )
Protein ini banyak ditemukan pada
daerah perlekatan sel yang
mempunyai
kemampuan
menyesuaikan perubahan panas
sel, membantu perlekatan antar sel
dalam koloni atau dengan sel
epitel. Protein ini berukuran antara
24-28 K Dalton
# Reduction Modifiable Protein (
RMP )
Semua
neisseria
patogen
mempunyai protein RMP dengan
berat molekul 30-31 K Dalton.
Protein ini memegang peran
penting karena dapat memblokade
antibodi yang ada dalam serum.
# H.8 protein
Peranan protein ini sampai
sekarang belum diketahui dengan
pasti
d. Lipo Oligosakarida (LOS)
Semua
glukosa
mengekspresikan
LOS
pada permukaan selnya.
Komponen ini berperan
dalam menginvasi sel
epitel,
dengan
cara
memproduksi endotoksin
yang
menyebabkan
kematian sel mukosa.
e. Ig A1 protease
Komponen ini berperan
dalam
inaktifasi
pertahanan imun mukosa.
Hilangnya Ig A1 protease
akan
menyebabkan
hilangnya
kemampuan
gonokokus untuk tumbuh
dalam sel epitel.
Genetik dan Heterogenitas Antigen
Gonococci telah mengembangkan
mekanisme perpindahan yang dimulai dari
satu bentuk antigen ( pilin, Opa atau
lipopolisakarida ) ke bentuk antigen yang
lain dari molekul yang sama. Perpindahan
tersebut membutuhkan satu tempat untuk
setiap 10²- 10³ gonococci, sebuah
perubahan yang sangat cepat bagi bakteri.
Karena
pilin,
Opa
dan
lipopolisakarida adalah antigen yang
terdapat pada permukaan gonococci,
mereka berperan penting dalam respon
kekebalan terhadap infeksi. Molekulmolekul yang cepat berpindah dari satu
bentuk antigen ke bentuk yang lain
membantu gonococci untuk mampu
menghindar dari sistem kekebalan inang.
PATOGENESIS
Gonococci
menampakkan
beberapa tipe morfologi dari koloninya,
tetapi hanya bakteri berpili yang tampak
virulen. Gonococci yang berbentuk koloni
yang pekat ( opaque ) saja yang diisolasi
dari manusia dengan gejala uretritis dan
dari kultur uterine cervical pada siklus
pertengahan. Gonococci yang koloninya
berbentuk transparan diisolasi dari
manusia dari infeksi uretral yang tidak
bergejala, dari menstruasi dan dari bentuk
invasif
dari
gonorrhea,
termasuk
salpingitis dan infeksi diseminasi.
Pada wanita, tipe koloni terbentuk
dari sebuah strain gonococcus yang
berubah selama siklus menstruasi.
Gonococci yang diisolasi dari pasien
membentuk koloni-koloni yang pekat atau
transparan, tetapi mereka umumnya
memiliki 1-3 Opa protein pada saat
tumbuh di kultur primer yang sedang diuji.
Gonococci dengan koloni transparan dan
tanpa Opa protein hampir tidak pernah
ditemukan secara klinis tetapi dapat
dispesifikasi
melalui penelitian
di
laboratorium.
Gonococci menyerang membran
selaput lendir dari saluran genitourinaria,
mata,
rectum
dan
tenggorokan,
menghasilkan nanah yang akut yang
mengarah ke invaginasi jaringan, hal yang
diikuti dengan inflamasi kronis dan
fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi
peradangan uretra ( uretritis ), nanah
berwarna kuning dan kental, disertai rasa
sakit ketika kencing.
GAMBARAN KLINIS
Pada laki-laki
Sekali kontak dengan wanita yang
terinfeksi, 25% akan terkena uretritis
gonore dan 85% berupa uretritis yang
akut. Setelah masa tunas yang berlangsung
antara 2-10 hari, penderita mengeluh nyeri
dan panas pada waktu kencing yang
kemudian diikuti keluarnya nanah kental
berwarna kuning kehijauan.
Pada keadaan ini umumnya
penderita tetap merasa sehat, hanya
43
kadang-kadang dapat diikuti gejala
konstitusi ringan. Sebanyak 10% pada
laki-laki dapat memberikan gejala yang
sangat ringan atau tanpa gejala klinis sama
sekali pada saat diagnosis, tetapi hal ini
sebenarnya
merupakan
stadium
presimtomatik dari gonore, oleh karena
waktu inkubasi pada laki-laki bisa lebih
panjang ( 1-47 hari dengan rata-rata 8,3
hari ) dari laporan sebelumnya.
Bila keadaan ini tidak segera
diobati, maka dalam beberapa hari sampai
beberapa
minggu
maka
sering
menimbulkan komplikasi lokal berupa
epididymitis, seminal vesiculitis dan
prostatitis, yang didahului oleh gejala
klinis yang lebih berat yaitu sakit waktu
kencing, frekuensi kencing meningkat, dan
keluarnya tetes darah pada akhir kencing.
Pada wanita
Pada wanita gejala uretritis ringan
atau bahkan tidak ada, karena uretra pada
wanita selain pendek, juga kontak pertama
pada cervix sehingga gejala yang
menonjol berupa cervicitis dengan keluhan
berupa keputihan. Karena gejala keputihan
biasanya ringan, seringkali disamarkan
dengan penyebab keputihan fisiologis lain,
sehingga tidak merangsang penderita
untuk berobat.
Dengan
demikian
wanita
seringkali menjadi carrier dan akan
menjadi
sumber
penularan
yang
tersembunyi. Pada kasus-kasus yang
simtomatis dengan keluhan keputihan
harus dibedakan dengan penyebab
keputihan yang lain seperti trichomoniasis,
vaginosis, candidiasis maupun uretritis
non gonore yang lain.
Pada wanita, infeksi primer tejadi
di endocerviks dan menyebar kearah uretra
dan vagina, meningkatkan sekresi cairan
yang mukopurulen. Ini dapat berkembang
ke tuba uterine, menyebabkan salpingitis,
fibrosis dan obliterasi tuba. Ketidak
suburan ( infertilitas ) terjadi pada 20%
wanita
dengan
salpingitis
karena
gonococci.
Pada bayi
Ophtalmia
neonatorum yang
disebabkan oleh gonococci, yaitu suatu
infeksi mata pada bayi yang baru lahir
yang didapat selama bayi berada dalam
saluran
lahir
yang
terinfeksi.
Conjungtivitis inisial dengan cepat dapat
terjadi dan bila tidak diobati dapat
menimbulkan kebutaan.
Untuk
mencegah
ophtalmia
neonatorum ini, pemberian tetracycline
atau erythromycin ke dalam kantung
conjungtiva dari bayi yang baru lahir
banyak dilakukan.
DIAGNOSA
Bila fasilitas pengobatan, tenaga
medis dan laboratorium tersedia, maka
untuk diagnosa uretritis tidak cukup hanya
dengan pemeriksaan klinis, tetapi harus
diikuti pemeriksaan bakteriologis.
Di sini pemeriksaan bakteriologis
meliputi pemeriksaan dengan hapusan dan
biakan untuk identifikasi dan tes kepekaan
antibiotik. Dengan cara pengecatan gram
dari hapusan ini nilainya cukup tinggi
karena kemungkinan kuman gonokok
ditemukan cukup tinggi.
Pada wanita selain pemeriksaan
dengan gram, harus diikuti dengan biakan
oleh karena dengan hanya kemungkinan
ditemukan kuman gonokok lebih kecil di
samping kemungkinan keliru dengan flora
lain dari vagina.
Beberapa
macam
pemeriksaan
laboratorium untuk deteksi Neisseria
gonorrheae ;
1. Pemeriksaan langsung dengan
pewarnaan gram
Tampak kuman kokus berpasangpasangan terletak di dalam dan di
luar
sel
darah
putih
(
polimorfonuklear ). Pemeriksaan
ini berguna terutama pada kasus
gonore yang bersifat simtomatis.
2. Pembiakan dengan pembenihan
Thayer Martin
Akan tampak koloni berwarna
putih keabuan, mengkilap dan
cembung. Pembiakan dengan
media kultur ini sangat perlu
terutama pada kasus-kasus yang
bersifat asimtomatis.
3. Enzyme immunoassay
Merupakan cara deteksi antigen
gonokokus dari sekret genital,
namun sensitivitasnya masih lebih
rendah dari metode kultur.
4. Polimerase Chain Reaction (PCR)
Identifikasi gonokokus dengan
PCR saat ini telah banyak
44
digunakan di beberapa negara
maju, dengan banyak sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi, bahkan
dapat digunakan dari sampel
urine.
UJI LABORATORIUM DIAGNOSTIK
A. Spesimen
Nanah dan sekresi diambil dari uretra,
cervix, rectum, conjunctiva, tenggorokan,
atau cairan sinovial untuk dibuat kultur
dan hapusan. Kultur darah diperlukan pada
penyakit sistemik, tetapi sistem kultur
spesial
sangat
membantu,
karena
gonococci sensitif terhadap polyaetanol
sulfonate pada media kultur darah standar.
B. Smear
Smear dari uretra atau eksudat dari
endocervix yang diberi pewarnaan gram
akan menampakkan banyak diplokokus di
dalam sel nanahnya.
Kultur dari eksudat uretral pria tidak
diperlukan lagi bila hasil pewarnaannya
positif, namun kultur harus dilakukan bila
eksudat uretralnya berasal dari wanita.
C. Kultur
Sesaat setelah pengumpulan nanah atau
selaput lendir, dipindahkan ke dalam
media selektif yang telah diperkaya dan
diinkubasi
pada
atmosfir
yang
mengandung 5% CO2 pada suhu 37ºC.
D. Serologi
Serum
dan
cairan
genital
yang
mengandung antibody IgG dan IgA
bekerja melawan pili gonococci, membran
protein paling luar dan LPS. Beberapa
IgM dari serum manusia bersifat
bakterisidal terhadap gonococci pada
percobaan in vitro.
PENYULIT
Penyulit uretritis bisa terjadi
apabila tidak secepatnya mendapat
pengobatan atau telah mendapatkan yang
kurang adekuat. Penyulit yang terjadi
dapat bersifat lokal, ekstra genital dan
disseminated.
- Penyulit lokal :
# Pada laki-laki :
tysonitis,
cystitis,
vesiculitis,
parauretritis,
cowperitis,
deferenitis,
littritis,
epidydimitis, infertile.
prostatitis,
# Pada wanita
: skenitis,
bartholinitis, cystitis, salpingitis,
proctitis,
PID,
infertilitas.
- Penyulit ekstra genital : orofaringitis.
konjungtivitis
- Penyulit disseminated : arthritis,
myocarditis, endocarditis, pericarditis,
meningitis.
PENGOBATAN
Pada dasarnya pengobatan uretritis
baru
diberikan
setelah
diagnosa
ditegakkan. Fasilitas untuk menegakkan
diagnosis penyebab uretritis secara pasti
pada suatu daerah kadang-kadang belum
tersedia, sehingga diagnosis dengan
mengandalkan tanda-tanda klinis atau
dengan pendekatan sindrom masih
dipandang sangat efektif.
Obat-obat yang digunakan sebagai terapi
uretritis tergantung beberapa faktor :
- Pola resistensi menurut area
geografi maupun sub populasi
- Obat-obatan yang tersedia
- Efektivitas yang dikaitkan dengan
harga obat
- Bila
kemungkinan
ada
concomitant
Terapi uretritis gonore tanpa komplikasi :
- Golongan Cephalosporin
:
Cefixime 400 mg per oral
Ceftriaxone 250 mg im
- Golongan Quinolone
Ofloxacin 400 mg per oral
:
Ciprofloxacin 500 mg per oral
- Spectinomycin
: 2 gram
im
- Kanamycin
: 2 gram
im
Semua diberikan dalam dosis tunggal
Untuk Ciprofloxacin CDC menganjurkan
untuk tidak diberikan pada area geografi
tertentu karena sudah resisten seperti
Inggris, Wales, Kanada sedangkan Asia,
Kepulauan Pasifik, California dilaporkan
masih peka dan sensitif.
Terapi uretritis gonore dengan komplikasi
:
- Ciprofloxacin : 500 mg po per hari
selama 5 hari
45
- Ofloxacin
hari selama 5 hari
- Ceftriaxone
hari selama 3 hari
- Spectinomycin
hari selama 3 hari
- Kanamycin
hari selama 3 hari
: 400 mg po per
: 250 mg im per
: 2 gram im per
: 2 gram im per
EDUKASI
Penjelasan pada pasien dengan
baik dan benar sangat berpengaruh pada
keberhasilan pengobatan dan pencegahan
karena gonore dapat menular kembali dan
dapat terjadi komplikasi apabila tidak
diobati secara tuntas.
Tidak ada cara pencegahan terbaik
kecuali menghindari kontak seksual
dengan
pasangan
yang
beresiko.
Penggunaan kondom masih dianggap yang
terbaik. Pendidikan moral, agama dan seks
perlu diperhatikan
KESIMPULAN
Uretritis gonore ( gonorrheae )
merupakan penyakit hubungan seksual
yang disebabkan oleh kuman Neiserria
gonorrheae yang menyerang uretra pada
laki-laki dan endocervix pada wanita,
paling sering ditemukan dan mempunyai
insiden yang cukup tinggi.
WHO memperkirakan bahwa
tidak kurang dari 25 juta kasus baru
ditemukan setiap tahun di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat diperkirakan dijumpai
600.000 kasus baru setiap tahunnya.
Neiserria gonorrheae merupakan
kuman kokus gram negatif, berukuran 0,61,5 μm, berbentuk diplokokus seperti biji
kopi dengan sisi yang datar berhadaphadapan. Kuman ini tidak motil dan tidak
membentuk spora.
Masa tunas gonore sangat singkat,
pada waktu masa tunas sulit untuk
ditentukan karena pada umumnya bersifat
asimtomatis. Umumnya penyulit akan
timbul jika uretritis tidak cepat diobati
atau mendapat pengobatan yang kurang
adekuat. Di samping penyulit, uretritis
gonore pada umumnya bersifat lokal
sehingga penjalarannya sangat erat dengan
susunan anatomi dan faal alat kelamin.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala
klinis
dan
pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis pada laki-laki
jauh lebih mudah daripada wanita, baik
secara klinis maupun laboratorium, karena
pada wanita seringkali asimtomatis.
Pada dasarnya pengobatan uretritis
baru
diberikan
setelah
diagnosis
ditegakkan. Antibiotik canggih dan mahal
tanpa didasari diagnosis, dosis dan cara
pemakaian yang tepat tidak akan
menjamin kesembuhan dan bahkan dapat
memberi dampak berbahaya dalam
penggunaannya,
misalnya
resistensi
kuman penyebab.
Pengobatan yang benar meliputi :
pemilihan obat yang tepat serta dosis yang
adekuat untuk menghindari resistensi
kuman. Melakukan tindak lanjut secara
teratur sampai penyakitnya dinyatakan
sembuh. Sebelum penyakitnya benarbenar sembuh dianjurkan untuk tidak
melakukan hubungan seksual. Pasangan
seksual harus diperiksa dan diobati agar
tidak terjadi fenomena ping pong.
DAFTAR PUSTAKA
Garry F . ( 2006 ). Obstetri
Williams Edisi 21, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 12 : 1668-1671.
Jawetz, Melnick, & Adelberg’s (
2001 ). Mikrobiologi Kedokteran
Edisi Pertama, Penerbit Salemba
Medika Jakarta, 21 : 419-431.
Kayser ( 2005 ) Medical
Microbiology, 4 : 274-276.
Martodihardjo Sunarko ( 2008 )
Uretritis Gonore dan Non Gonore
Diagnosis dan Pelaksanaan 1: 1-7.
Murtiastutik Dwi ( 2008 ). Buku
Ajar Infeksi Menular , Cetakan 1,
Airlangga University Press Surabaya,
12 : 109-114.
Staf Pengajar FK UI ( 1994 ).
Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran
Edisi Revisi, Penerbit Binarupa
Aksara Jakarta, 20 : 143-153.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL (
1997 ). Microbiology An Introduction
Sixth Edition, 26 : 697-701.
WHO ( 1999 ) Laboratory
Diagnosis of Sexually Transmitted
Diseases, 1:1-21.
46
SINDROM GUILLAIN BARRE (GBS)
Inawati
Departemen Patologi Anatomi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan kerusakan
mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar
beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa
di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera
dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.
GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)
Inawati
Department of Anatomical Pathology
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Guillain-Barre syndrome is an autoimmune disease that causes inflammation and damage to myelin
(fatty material, composed of fat and protein that forms a protective sheath around some type of
peripheral nerve fibers). Symptoms of this disease early is the weakness and numbness in the legs that
quickly spread causing paralysis. This disease needs immediate handling properly, because with rapid
and appropriate treatment, most complete recovery.
Definisi Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Gullain-Barre adalah penyakit
yang biasanya terjadi satu atau dua
minggu setelah infeksi virus ringan seperti
sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau
setelah vaksinasi atau prosedur bedah.
GBS adalah gangguan yang jarang di
tubuh anda, sistem kekebalan tubuh
menyerang saraf Anda. Untungnya, GBS
relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi
1 atau 2 orang per 100.000.
Kelemahan dan mati rasa di kaki Anda
biasanya merupakan gejala pertama..
Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar,
akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh
Anda.
Deskripsi Sindrom Guillain-Barre
Otot-otot wajah mungkin lumpuh juga,
sehingga sulit untuk menelan normal. Pada
kasus yang berat, kelumpuhan otot
pernafasan membutuhkan ventilasi buatan
( respirator). Dengan perawatan medis
yang intensif dan dukungan, mayoritas
pasien sembuh,sepenuhnya.
Namun
sekitar 10 sampai 20 persen sisanya
dengan beberapa sisa kelemahan.
Penyakit adalah akibat dari peradangan
dan kerusakan mielin (material lemak,
terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar
beberapa jenis serat saraf) yang mirip
dengan yang terlihat pada multiple
sclerosis.
Perbedaan
utama,
bagaimanapun, adalah bahwa multiple
sclerosis menyerang sistem saraf pusat,
sedangkan pada sindrom Guillain-Barre ,
itu adalah saraf perifer yang terpengaruh.
Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil
dari reaksi kekebalan yang abnormal
terhadap mielin sistem saraf perifer.
Perbedaan lain adalah bahwa sindrom
Guillain-Barre tidak terulang kecuali
dalam kasus yang jarang terjadi.
Faktor Resiko
GBS
dapat
mempengaruhi
semua
kelompok usia, tetapi Anda berada di
risiko yang lebih besar jika:


Anda seorang dewasa muda
Anda seorang dewasa yang lebih
tua
47
Guillain-Barre mungkin dipicu oleh:
 Paling sering, infeksi dengan
campylobacter, jenis bakteri yang
sering ditemukan dalam makanan
matang, khususnya unggas
 Operasi
 Virus Epstein-Barr
 Penyakit Hodgkin
 Mononucleosis
 HIV, virus penyebab AIDS
 Jarang, rabies atau imunisasi
influenza
Komplikasi
Komplikasi dari sindrom Guillan-Barre
dapat termasuk:


.Kesulitan bernapas. Sebuah
komplikasi berpotensi mematikan
sindrom Guillain-Barre adalah
kelemahan atau kelumpuhan bisa
menyebar
ke
otot
yang
mengontrol pernapasan anda..
Anda mungkin butuh bantuan
sementara dari mesin untuk
bernapas ketika Anda sedang
dirawat di rumah sakit untuk
perawatan.
Sisa mati rasa atau sensasi
lainnya. Kebanyakan penderita
sindrom Guillain-Barre sembuh
sepenuhnya atau hanya kecil,
kelemahan residu atau sensasi
abnormal, seperti mati rasa atau
kesemutan. Namun, pemulihan
sepenuhnya mungkin lambat,
sering mengambil tahun atau
lebih.
Kurang dari 1 dalam 10 orang dengan
pengalaman
sindrom
Guillain-Barre
komplikasi jangka panjang, seperti:



Komplikasi
serius,
masalah
permanen dengan sensasi dan
koordinasi, termasuk beberapa
kasus kecacatan parah
Sebuah
kambuhnya
sindrom
Guillain-Barre
Jarang, kematian, dari komplikasi
seperti
sindrom
gangguan
pernapasan dan serangan jantung
Tingkat keparahan, gejala awal sindrom
Guillain-Barre
secara
signifikan
meningkatkan risiko komplikasi jangka
panjang yang serius.
Tes dan diagnosis
GBS bisa sulit untuk mendiagnosis dalam
tahap awal. Tanda-tanda dan gejala yang
mirip dengan gangguan neurologis lainnya
dan mungkin berbeda dari orang ke orang.
Kedua tanda yang harus hadir untuk
mendiagnosa GBS adalah:


Progresif kelemahan di kedua
lengan dan kedua kaki.
Kehilangan refleks .
Bila kedua tanda hadir, diagnosis GBS
mungkin lebih sering jika:






Gejala dikembangkan selama hari
sampai beberapa minggu.
Gejala-gejala
mempengaruhi
kedua sisi tubuh Anda secara
merata.
Mati rasa dan kesemutan.
Otot-otot pada setiap sisi wajah
Anda dipengaruhi.
Anda mulai pulih 2 sampai 4
minggu setelah gejala telah stabil.
Anda tidak memiliki demam saat
gejala pertama dimulai.
Langkah pertama dalam mendiagnosis
sindrom Guillain-Barre adalah dokter
mengambil riwayat medis berhati-hati
untuk memahami kumpulan tanda dan
gejala yang di alami.
Sebuah tekan tulang belakang (tusuk
lumbal) dan tes fungsi saraf umumnya
digunakan untuk mengkonfirmasikan
diagnosis sindrom Guillain-Barre :
1. Spinal tap (tusuk
=(lumbar puncture)
lumbalis)
Prosedur ini melibatkan menarik
sejumlah kecil cairan dari kanal
tulang belakang di daerah (lumbar.
Cairan cerebrospinal kemudian
diuji
untuk
jenis
tertentu
perubahan yang biasanya terjadi
pada orang yang memiliki
48
sindrom Guillain-Barre. Jika Anda
memiliki GBS, tes ini dapat
menunjukkan peningkatan jumlah
protein dalam cairan tulang
belakang tanpa tanda infeksi lain.
2. Tes fungsi saraf
Dua jenis tes fungsi saraf - elektromiografi
dan kecepatan konduksi saraf:
 Elektromiografi membaca aktivitas
listrik dalam otot Anda untuk
menentukan apakah kelemahan Anda
disebabkan oleh kerusakan otot atau
kerusakan saraf.
 Studi konduksi saraf menilai
bagaimana saraf dan otot menanggapi
rangsangan listrik kecil. Jika Anda
memiliki GBS, hasilnya mungkin
menunjukkan melambatnya fungsi
saraf, yang biasanya menunjukkan
bahwa kerusakan pada (meliputi
selubung mielin dari saraf perifer telah
terjadi.
Pengobatan
Perlakuan utama GBS adalah mencegah
dan mengelola komplikasi (seperti
masalah pernapasan atau infeksi) dan
memberikan perawatan suportif sampai
gejala mulai membaik. Ini mungkin
termasuk:





Mengurangi masalah pernapasan
Anda, kadang-kadang melalui
penggunaan mesin pernapasan
(ventilator).
Monitoring tekanan darah dan
denyut jantung. Menyediakan
cukup gizi jika pasien memiliki
masalah mengunyah dan menelan.
Mengelola kandung kemih dan
masalah usus.
Menggunakan terapi fisik untuk
membantu
mempertahankan
kekuatan otot dan fleksibilitas.
Mencegah
dan
mengobati
komplikasi seperti radang paruparu , gumpalan darah di kaki,
atau infeksi saluran kemih .
Pengobatan lain dari sindrom GuillainBarre (GBS) tergantung pada seberapa
parah gejala Anda. Pada kasus lebih parah
GBS diperlakukan dengan immunotherapy
, yang mencakup pertukaran plasma atau
immunoglobulin
intravena (IVIG) .
Perawatan diberikan di rumah sakit. Hal
ini dimulai segera setelah pasien
didiagnosa dengan GBS yang semakin
buruk. Intervensi dini dengan salah satu
perawatan ini tampaknya efektif dan dapat
mengurangi waktu pemulihan. Kedua
tindakan pengobatan sama baik , dan
tidak ada manfaat untuk menggabungkan
perawatan ini. Pemantauan yang hati-hati
sangat penting selama tahap awal GBS
karena
masalah
pernapasan
dan
komplikasi yang mengancam jiwa lainnya
dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah
gejala mulai pertama.


Masuk ke rumah sakit atau unit
perawatan
intensif
sering
dibutuhkan ketika kelemahan otot
berlangsung cepat. Kelemahan
otot
dengan
cepat
dapat
mempengaruhi otot-otot yang
mengendalikan
pernapasan.
Dalam kasus tersebut, sementara
menggunakan ventilator mekanis
mungkin
diperlukan
untuk
membantu Anda bernapas sampai
Anda bisa bernapas sendiri lagi.
Pemantauan pasien rawat jalan
mungkin cukup hati-hati dalam
kasus-kasus di mana kelemahan
otot yang signifikan belum
nampak.
Pasien mungkin perlu dirawat di rumah
sakit jika:
 Tidak dapat bergerak sendiri.
 Ada kelumpuhan .
 Memiliki masalah pernapasan.
 Memiliki masalah tekanan darah
atau tidak normal , sangat cepat,
atau detak jantung yang sangat
lambat.
Pemulihan
Pemulihan memerlukan waktu 3-6 bulan,
kadang-kadang lebih lama-dalam beberapa
49
kasus, sampai 18 bulan. Orang-orang yang
memiliki kelemahan otot yang parah
mungkin harus tinggal di sebuah rumah
sakit rehabilitasi untuk menerima terapi
fisik berkesinambungan dan terapi
pekerjaan agar fungsi motorik kembali
normal.. Bagi mereka yang tinggal di
rumah, perangkat yang membantu
melakukan kegiatan sehari-hari tertentu
dapat digunakan sampai fungsi motorik
dan kekuatan otot kembali.
Terapi fisik dan latihan yang teratur
diperlukan selama periode pemulihan
untuk memperkuat otot-otot melemah..
Meskipun pemulihan bisa lambat,
kebanyakan orang yang telah GBS
akhirnya sembuh.




Banyak orang memiliki efek
jangka panjang kecil, seperti mati
rasa pada jari-jari kaki dan jari.
Dalam kebanyakan kasus, masalah
ini tidak akan secara signifikan
mengganggu.
Sekitar
20%
dari
orang
mempunyai masalah permanen
yang
cenderung
lebih
menonaktifkan, seperti kelemahan
atau masalah keseimbangan..
Masalah-masalah ini mungkin
akan mengganggu kegiatan seharihari.
Sekitar 3% hingga 8% dari orang
yang menderita GBS meninggal
karena
komplikasi
penyakit,
seperti kegagalan pernafasan,
infeksi (sering pneumonia ), atau
serangan jantung .
Sampai dengan 67% dari orang
yang mendapatkan GBS memiliki
beberapa
masalah
dengan
kelelahan (fatique) .
Kekambuhan
Kambuh atau episode berulang dari GBS
terjadi di sekitar 5% sampai 10% kasus,
dan mereka mungkin sangat serius.Jika
terjadi kekambuhan, pengobatan agresif
dengan
pertukaran
plasma
atau
imunoglobulin IV bisa mengurangi
keparahan serangan dan mencegah lebih
lanjut kambuh.
Daftar Pustaka
http://www.guillainbarresyndrome.net/
http://en.wikipedia.org/wiki/GuillainBarré_syndrome
http://en.wikipedia.org/wiki/GuillainBarré_syndrome
http://www.mayoclinic.com/health/guillai
n-barre-syndrome/DS00413
http://www.mayoclinic.com/health/guillai
n-barre-syndrome/DS00413
GBS/CIDP Foundation International GBS
/ CIDP Foundation International
Guillain–Barré Syndrome Support Group
(UK
and
Ireland)
Guillain-Barré
Syndrome Support Group (Inggris dan
Irlandia)
Information from GBS Association of
New South Wales (AU) Informasi dari
GBS Asosiasi New South Wales (AU)
http://www.healthscout.com/ency/68/653/
main.html
Guillain-Barre syndrome (GBS). GuillainBarre Syndrome (GBS). The Merck
Manuals: The Merck Manual for
Healthcare Professionals. The Merck
Manual:
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch22
3/ch223c.html?qt=guillain-barre&alt=sh .
http://www.webmd.com/brain/tc/guillainbarre-syndrome-topic-overview
Guillain-Barre syndrome. Guillain-Barre
Syndrome.
National
Institute
of
Neurological Disorders and Stroke. Institut
Nasional Gangguan Neurologis dan
Stroke.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/de
tail_gbs.htm?css=print.
Vriesendorp
FJ.
Vriesendorp
FJ.
Treatment and prognosis of Guillain-Barre
syndrome
in
adults.
http://www.uptodate.com/home/index.htm
l.
http://www.uptodate.com/home/index.htm
l.
50
POTRET SWOT APOTEK RUMAH SAKIT DI LUAR SURABAYA
Minarni Wartiningsih
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kepuasan layanan perlu adanya analisis terhadap
keadaan Apotek saat ini dalam suatu analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau
kelemahan, Opportunities atau peluang, dan Threat atau ancaman) agar pihak manajemen Rumah Sakit
dapat menyusun strategi selanjutnya untuk memenangkan persaingan pasar dimasa yang akan datang.
Sebelum melakukan analisis SWOT Apotik atau bagian Apotek Rumah Sakit Di daerah luar
Surabaya perlu adanya gambaran kondisi perubahan dan perkembangan terakhir. Oleh karenanya
disampaikan pula beberapa informasi terkini selama kurun waktu Januari – Desember 2007. Dengan
demikian akan didapatkan gambaran yang lebih holistik terhadap situasi dan kondisi di bagian Apotek
Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya. Dengan demikian diharapkan dapat menyusun analisis SWOT
yang lebih akurat dan bermanfaat bagi perencanaan strategi Aotek di tahun 2007.
Berdasarkan Analisis SWOT didapatkan hasil dari faktor kekuatan bahwa Rumah Sakit tersebut
harus melakukan perbaikan program komputer yang lebih terintegrasi agar memudahkan pelayanan
administrasi penjualan obat dengan demikian pengendalian terhadap persediaan apotik menjadi lebih
baik. Yang kedua melakukan peningkatan fasilitas’ layanan antar’ terhadap pelanggan khusus daerah
Surabaya. Dari faktor kelemahan harus dilakukan upaya untuk meningkatkan pelatihan kemampuan
berkomunikasi dengan kastemer dan melakukan pengajuan peningkatan kesejahteraan karyawan apotik
serta melakukan komunnikasi secara teratur untuk mennjaga hubungan baik dengan competitor.
Berikutnya dari faktor peluang yang harus dilakukan adalah merencanakan strategi promosi yang
tepat, mengadakan layanan order deliver dan menciptakan sistem pengendalian obat, mencegah
stagnasi dan kadaluwarsa. Yang terakhir evaluasi dari faktor Ancaman yaitu melatif staf apotik untuk
menjadi tenaga marketing di apotik dan melakukan koordinasi dengan tim marketing RS agar turut
memasarkan keunggulan apotik.
Dari hasil analisis SWOT diharapkan dapat menentukan strategi yang tepat untuk melakukan
perbaikan layanan di bbagian apotek Rumah Sakit. Sehingga pengembangan yang diharapkan dapat
dicapai secara terarah dan tepat sasaran.
Keywords: strategi pengembangan Analisis (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan,
Opportunities atau peluang, dan Threat atau ancaman).
HOSPITAL PHARMACY SWOT PORTRAIT OUTSIDE SURABAYA
Minarni Wartiningsih
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
To improve the quality, quantity and service satisfaction is necessary to analyze the current state of
pharmacy in a SWOT analysis (Strength or strength, or weakness Weakness, Opportunities or
opportunities, and Threat or threat) for the management of the Hospital to develop further strategies to
win the competition market in the future.
Before conducting a SWOT analysis or the Pharmacies Pharmacies Hospital In areas outside Surabaya
need a picture of the changing conditions and recent developments. Therefore also some updated
information submitted during the period January to December 2007. Thus we will get a more holistic
picture of the situation and condition at the Hospital Pharmacy In areas outside of Surabaya. It is
expected to prepare a SWOT analysis is more accurate and useful for strategic planning Aotek in 2007.
Based on the SWOT Analysis found that the result of factors such force that the hospital must make
improvements in a more integrated computer programs to facilitate drug sales administrative services
thereby controlling pharmacy inventory better. The second to increase the facilities' delivery services'
to customers' specific area of Surabaya. From the weakness factor should be an effort to improve the
training of the ability to communicate with the customer and doing the filing improving employee
welfare and conduct komunnikasi pharmacies regularly to mennjaga good relations with competitors.
Next of opportunity factor which must be done is to plan appropriate promotional strategy, entered an
order delivering services and creating a system of drug control, prevent stagnation and expiry. The last
evaluation of the threat factor is melatif pharmacy staff to be a marketing force in the pharmacy and to
coordinate with marketing team to contribute to market advantage Hospital pharmacy.
From the SWOT analysis is expected to determine appropriate strategies to improve service in bbagian
Hospital pharmacy. So the development that is expected to be achieved in a focused and well targeted.
51
Keywords: development strategy analysis (Strength or strength, or weakness Weakness, Opportunities
or opportunities, and Threat or threat).
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Departemen Kesehatan
RI tentang standar pelayanan rumah sakit,
pelayanan apotek rumah sakit adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Obat
dapat
meningkatkan
derajat
kesehatan. Disamping itu biaya obat
sangat mahal karena hampir 35 % alokasi
dana yang ada untuk memenuhi kebutuhan
obat. Oleh karena itu obat yang ada di
rumah sakit harus dikelola secara efisien
dan efektif agar memberi manfaat yang
sebesar-besarnya bagi pasien dan pihak
manajemen rumah sakit.
Mengingat posisi dan fungsinya
yang penting maka pelayanan apotek
rumah sakit diharapkan berubah menjadi
lebih baik, lebih efektif dan efisien dari
segala segi. Apotek apotek RS. Di daerah
luar Surabaya sebagai bagian yang
berperan dalam pengelolaan obat mulai
dari seleksi, pengadaan, distribusi dan
penggunaan tentu berupaya untuk
memperbaiki diri dari tiap periodenya
untuk mencapai layanan berkualitas prima
(excellent service quality) maka dari perlu
adanya pembenahan internal maupun
eksternal secara terus-menerus baik segi
fisik maupun non fisik.
untuk
meningkatkan
kualitas, kuantitas dan kepuasan layanan
tidak hanya untuk konsumen tetapi juga
pengguna layanan keapotekan lain seperti
pihak manajemen rumah sakit maka perlu
adanya analisis terhadap keadaan Apotek
saat ini dalam suatu analisis SWOT
(Strength atau kekuatan, Weakness atau
kelemahan, Opportunities atau peluang,
dan Threat atau ancaman) agar pihak
manajemen Rumah Sakit dapat menyusun
strategi selanjutnya untuk memenangkan
persaingan pasar dimasa yang akan
datang.
Sebelum
melakukan
analisis
SWOT Apotik atau bagian Apotek Rumah
Sakit Di daerah luar Surabaya perlu
adanya gambaran kondisi perubahan dan
perkembangan akhir – akhir ini. Oleh
karenanya disampaikan pula beberapa
informasi terkini selama kurun waktu
Januari – Desember 2007, yaitu :
a. Kinerja Apotek Tahun 2007
b. Pengadaan dan pelayanan obat tahun
2007
Berdasarkan informasi diatas akan
didapatkan gambaran yang lebih holistik
terhadap situasi dan kondisi di bagian
Apotek Rumah Sakit Di daerah luar
Surabaya. Dengan demikian diharapkan
dapat menyusun analisis SWOT yang
lebih akurat dan bermanfaat bagi
perencanaan strategi Apotek di tahun
2007.
52
BAB II
Situasi Dan Kondisi Bagian Apotek Tentang Deskripsi Kinerja, Kegiatan Dan
Pelaksanaan Program Kerja Apotek
A. Kinerja Apotek Tahun 2007
PERBANDINGAN INVENTORI, LABA,PENJUALAN
,PEMBELIAN DAN DISCOUNT FARMASI
RS DELTA SURYA SIDOARJO TAHUN 2007
RUPIAH
2.500.000.000
PENJUALAN
2.000.000.000
PEMBELIAN
LABA BRUTO
1.500.000.000
1.000.000.000
INVENT APOTIK
500.000.000
DISCOUNT
AP
R
M
EI
JU
NI
JU
AG LI
U
ST
SE
PT
JA
N
FE
B
M
AR
0
BLN
Grafik 2.1. Perbandingan Inventori, Laba, Penjualan, Pembelian dan Discount Apotek
RS. Di daerah luar Surabaya Tahun 2007
B. Pengadaan dan pelayanan obat tahun 2007
Tabel 2.4. Pengadaan obat yang ada di Apotek selama tahun 2007
Jumlah Item Obat pada Master Data Obat
Jumlah Item Obat yg tersedia di Apotek
Golongan Obat
Golongan Obat
Obat
Non
Obat
Non
No Bulan
Obat
Obat
TOTAL
TOTAL
Obat
Generik
Obat
Generik
Non
Non
Generik
Diluar
Generik
Diluar
Generik
Generik
Formularium
Formularium
1
Januari
106
616
1730
2452
72
369
581
1022
2
Februari
106
616
1730
2452
70
374
577
1021
3
Maret
106
616
1730
2452
70
373
570
1013
4
April
106
616
1733
2455
70
382
585
1037
5
Mei
115
1017
1448
2580
75
686
356
1117
6
Juni
130
1101
1493
2724
87
798
297
1182
7
Juli
130
1101
1497
2728
85
785
295
1165
8
Agustus
130
1101
1518
2749
85
800
307
1192
9
September 129
1062
1292
2483
84
796
312
1192
10 Oktober
130
1062
1301
2493
84
766
301
1151
11 November 130
1063
1315
2508
83
790
318
1191
12 Desember 130
1063
1323
2516
85
786
316
1187
53
Jumlah item obat yang tersedia di Apotek RS. Di daerah luar Surabaya
selama tahun 2007 berbeda dengan item obat yang terdapat pada master
data obat RS. Di daerah luar Surabaya. Secara fisik, item obat yang
tersedia di rumah sakit per Desember 2007 adalah 1187 item atau sekitar
47,17 % dari master data obat yang hanya sekitar 2516 item. Master obat
menunjukkan riwayat bahwa apotik RS Di daerah luar Surabaya pernah
menjual item obat tersebut .Namun tidak setiap item obat pada master
tersebut perlu disediakan stoknya. Karena tidak semua item obat pada
master memiliki turn over yang memerlukan safety stock (stok dalam
jumlah aman, untuk mencegah stock out) .Dengan demikian budget
pembelanjaan obat dapat lebih efisien.
Tabel 2.6. Jumlah Penulisan Resep di Tiap Unit Layanan Medik Selama tahun 2007
Rawat Jalan
Golongan Obat
Obat
Non
Obat
Obat
Generik
Non
Generik
Diluar
Generik
Formularium
1
Januari
768
2640
6383
2
Februari
837
3681
7673
3
Maret
815
2417
6902
4
April
783
1968
7461
5
Mei
1266
4951
3937
6
Juni
979
6491
3048
7
Juli
796
5459
2274
8
Agustus
890
6612
2807
9
September 1387
7455
2996
10 Oktober
971
6042
2521
11 November 1183
6905
2787
12 Desember 1166
7498
3259
TOTAL
11841
62119
52048
No Bulan
UGD
Golongan Obat
Obat
Non
Obat
TOTAL ALKES Obat
Generik
Non
Generik
Diluar
Generik
Formularium
9791
216
256
1637
243
12191
239
262
1374
221
10134
207
395
2045
237
10212
229
298
2689
245
10154
178
388
2185
175
10518
259
279
1671
115
8529
367
386
1579
413
10309
410
429
1575
471
11838
539
370
987
337
9534
420
214
830
282
10875
619
276
923
281
11923
614
260
1118
373
126008 4297
3813
18613
3393
Rawat Inap
Golongan Obat
Obat
Non
Obat
TOTAL ALKES Obat
Generik
Non
Generik
Diluar
Generik
Formularium
2136
278
262
7892
5933
1857
360
305
10284
8955
2677
285
234
8370
7366
3232
342
208
7938
7512
2748
266
217
11033
3405
2065
388
384
13641
2356
2378
228
317
11051
2071
2475
141
266
10774
1897
1694
114
300
9530
2023
1326
81
332
8560
1810
1480
131
287
10197
2138
1751
135
334
11434
2652
25819
2749
3446
120704 48118
TOTAL ALKES
14087
19544
15970
15658
14655
16381
13439
12937
11853
10702
12622
14420
172268
54
8069
360
8226
8423
7128
10037
8723
9463
8693
7173
9060
10301
95656
Selama tahun 2007 Apotek RS. Di
daerah luar Surabaya menerima 426.797
buah Resep (lihat tabel 4) yang terdiri dari
resep pasien rawat jalan, UGD dan rawat
inap. Resep pasien rawat inap menduduki
proporsi terbesar dari keseluruhan resep
yaitu 267.924 buah atau sekitar 62,78%
kemudian pasien rawat jalan sejumlah
130.305 atau 30,53% dan pasien UGD
sejumlah 28.568 atau 6,69%. Hal ini tentu
berkaitan dengan fungsi masing-masing
layanan dimana pasien UGD hanya
bersifat crisis center sehingga bila kondisi
pasien membaik dirujuk ke unit rawat inap
atau diperbolehkan keluar rumah sakit
(KRS). Sistem manajemen obat satu pintu
yaitu resep yang diterima pasien langsung
ditebus di Apotek rumah sakit dapat
No
Bulan
1
Januari
2
Februari
3
Maret
4
April
5
Mei
6
Juni
7
Juli
8
Agustus
9
September
10 Oktober
11 November
12 Desember
TOTAL
menekan jumlah resep yang keluar dari
rumah sakit, selain itu untuk kedepannya
perlu diuji coba sistem paperless
prescription
untuk
mencegah
penyalahgunaan resep dan meningkatkan
penerimaan resep.
Proporsi terbesar obat-obat yang
diresepkan di semua unit adalah obat non
generik/paten dengan prosentase 45,05 –
65,15 % dari total resep yang ditulis
selama tahun 2007, hal ini menunjukkan
kesadaran untuk mematuhi formularium
rumah sakit bertambah besar yang
tentunya diharapkan lebih digalakkan dan
efisien lagi di tahun 2007 agar manajerial
obat di RS. Di daerah luar Surabaya bisa
lebih efisien dan tepat sasaran.
Tabel 2.7. Perbandingan Jumlah Resep yang diterima Apotek Vs Resep yang
berhasil dilayani Apotek Selama Tahun 2007
Total R/ yg diterima Apotek
Total R/ yg dilayani oleh Apotek
R/
R/
Obat
Non
Obat
Non
TOTAL ALKES
Obat
Generik
Obat
Generik
Obat
Non
Diluar
Obat
Non
Diluar
Generik Generik Formularium
Generik Generik Formularium
1286
12169
12559
26014
8563
1286
12169
12434
1404
15339
16849
33592
959
1404
15339
16737
1444
12832
14505
28781
8718
1444
12832
14385
1289
12595
15218
29102
8994
1289
12595
15092
1871
18169
7517
27557
7572
1871
18169
7387
1642
21803
5519
28964
10684
1642
21803
5404
1499
18089
4758
24346
9318
1499
18089
4664
1585
18961
5175
25721
10014
1585
18961
5053
2057
17972
5356
25385
9346
2057
17972
5241
1517
15432
4613
21562
7674
1517
15432
4510
1746
18025
5206
24977
9810
1746
18025
5117
1760
20050
6284
28094
11050
1760
20050
6209
19100
201436 103559
324095 102702 19100
201436 102233
Jumlah resep yang diterima
(termasuk Alkes) oleh Apotek RS. Di
daerah luar Surabaya selama kurun waktu
Januari – Desember 2007 adalah 426.797
buah dengan jumlah resep yang berhasil
dilayani adalah 425.471 buah atau 99,69%
dari total resep yang diterima Apotek.
Terdapat 1.326 buah resep yang tidak
dapat terlayani atau sekitar 4 resep per hari
mulai Januari – Desember 2007 yang
semuanya berasal dari penulisan resep
obat non generik diluar formularium. Hal
ini lebih baik daripada pelayanan resep
tahun 2006 yang “hanya” mampu
melayani sekitar 99,30 % dari total resep
yang diterima Apotek.
Beberapa faktor penyebab obat dalam
resep tersebut tidak dapat terlayani adalah
:
1. Untuk pasien instansi atau asuransi,
khusus obat-obat food supplement,
multivitamin, immune modulator, susu,
kosmetik atau obat-obat khusus lain ada
55
TOTAL ALKES
25889
33480
28661
28976
27427
28849
24252
25599
25270
21459
24888
28019
322769
8563
959
8718
8994
7572
10684
9318
10014
9346
7674
9810
11050
102702
yang tidak ditanggung oleh pihak instansi
atau asuransi sehingga pasien cenderung
membeli diluar dengan copy resep.
2. Beberapa obat tidak tersedia di Apotek
khususnya obat diluar formularium
sehingga bila ada permintaan akan obat
tersebut pasien harus menunggu obat
tersebut dibelikan (UP) di Apotek lain atau
diorderkan ke PBF.
3. Secara keseluruhan harga obat di RS. Di
daerah luar Surabaya yang lebih mahal
dibanding Apotek lain membuat beberapa
pasien lebih memilih membeli obat diluar
RS. Di daerah luar Surabaya.
4. Respond time yang cukup lama sekitar 1
jam membuat pasien tidak sabar dan lebih
memilih membeli obat diluar rumah sakit.
Tabel 2. 8. Jumlah Resep yang dilayani oleh Apotek selama Tahun 2005 s/d 2007
R/ yang dilayani oleh Apotek
Obat
Non
Generik
No Tahun
Obat Generik
Obat Non Generik
diluar Formularium
1
2005
20668
139120
101787
2
2006
17783
142770
225497
3
2007
19100
201436
102233
Secara keseluruhan, penerimaan resep
tahun 2007 hingga bulan desember
menurun dibanding tahun 2006 yaitu
sekitar 63.281 resep atau ada penurunan
sejumlah 173 resep tiap harinya dibanding
periode yang sama tahun 2006, tetapi
kepatuhan terhadap formularium rumah
sakit yang ditunjukkan dengan peresepan
obat generik dan non generik/paten yang
sesuai formularium lebih baik daripada
tahun-tahun sebelumnya. Faktor-faktor
penyebab turunnya pelayanan resep tentu
banyak berkaitan dengan pengelolaan
pasien di ruangan dan epidemiologi serta
terapi yang diterima pasien. Tetapi bila
dilihat dari segi pemasukan Apotek, tentu
tahun 2007 menunjukkan penjualan dan
laba bruto yang lebih baik sehingga bisa
dibilang pada tahun 2007 kinerja Apotek
lebih efektif dari tahun sebelumnya.
II. Analisis SWOT Kondisi & Situasi Apotek
Tabel 3.1 Faktor Kekuatan Apotik RS Di luar Surabaya
N FAKTOR KEKUATAN (strength)
O
1. Peran Apotek yang sangat vital bagi rumah sakit
2. Satu-satunya pusat layanan apotek di rumah sakit
3. Mempunyai aset obat yang cukup
4. Staf Apotek masih bisa dikembangkan lebih lanjut
5. Sistem manajemen resep yang sudah satu pintu
6. Apotek buka 24 jam
7. Pelayanan resep pasien instansi/asuransi
8. Sistem manajemen yang sudah terkomputerisasi
9. Ada dukungan fasilitas seperti listrik, air dan
prasarana lain
TOTAL
BOBOT
RATING
SKOR
0.15
0.15
0.10
0.15
0.10
0.15
0.05
0.10
0.05
5
3
4
4
3
2
2
3
2
0.75
0.45
0.40
0.60
0.30
0.30
0.10
0.30
0.10
1
Tabel III.2 Faktor Kelemahan Apotik RS Di luar Surabaya
N FAKTOR KELEMAHAN (weakness)
BOBOT
O
1. Bangunan Apotek kurang representatif sehingga 0.05
mengurangi efektifitas kerja
2. Tidak adanya gudang dan ruang administrasi yang 0.05
layak
3. Manajemen administrasi belum rapi dan terorganisir 0.15
khususnya untuk akreditasi
3.30
RATING
SKOR
-1
-0.05
-2
-0.10
-3
-0.45
56
TOTAL
261575
386050
322769
4.
SDM belum dikembangkan secara optimal dan
terbatas dalam penguasaan teknologi informasi
5. Pelayanan resep (respond time) yang lama
6. SIM Komputer RS yang belum maksimal khususnya
pasien asuransi/instansi
7. Keterbatasan personil membuat pelayanan dan
adminstrasi manajemen terhambat karena tugas yang
overlapping
8. Pengawasan pada kinerja Apotek masih kurang
9
Tidak adanya MOU
TOTAL
Tabel 3.3 Faktor Peluang Apotik RS Di luar Surabaya
NO
FAKTOR PELUANG (opportunity)
0.15
-2
-0.30
0.15
0.15
-2
-5
-0.30
-0.75
0.15
-2
-0.30
0.10
0.05
1
-2
-2
-0.20
-0.10
-2.55
BOBOT
RATING
SKOR
1.
Sistem komputerisasi yang bisa dibenahi untuk 0.20
meraih hasil yang maksimal
3
0.60
2.
Penerapan complaint board untuk costumer
satisfaction
Penerapan layanan apotek klinik pada customer
rawat inap dan rawat jalan
Hubungan baik dengan pihak PBF maupun Dokter
penulis resep
Masih banyak perusahaan yang bisa menjadi
rekanan (customer)) RS
Semakin banyaknya perumahan baru
0.20
2
0.40
0.10
3
0.30
0.15
3
0.45
0.15
5
0.75
0.20
3
0.60
3.
4.
5
6
TOTAL
Tabel 3.4 Faktor Ancaman Apotik RS Di luar Surabaya
NO
FAKTOR ANCAMAN (threat)
1.
Harga obat yang mahal sehingga pasien memilih
membeli diluar
2.
Seringnya terjadi misunderstanding dengan
bagian lain khususnya marketing terkait pasien
asuransi/instansi berpotensi menurunkan kinerja
3.
Apotek & rumah sakit di sekitar Surabaya mulai
berbenah diri
4.
Permintaan obat diluar formularium berpotensi
memperlambat kinerja Apotek
5.
Kesadaran karyawan yang rendah untuk mencapai
costumer satisfaction
6.
Turunnya motivasi kerja personil karena rutinitas
pekerjaan dan rendahnya tingkat kesejahteraan
TOTAL
1
3.10
BOBOT
0.25
RATING
-3
SKOR
-0.75
0.15
-2
-0.30
0.20
-2
-0.40
0.15
-2
-0.30
0.10
-2
-0.20
0.15
-3
-0.45
1
-2.40
Keterangan Skor Pembobotan :
Skor 1
: sangat tidak penting
Skor 2
: tidak penting
Skor 3
: cukup penting
Skor 4
: penting
Skor 5
: sangat penting
57
Tabel 3.5 Keterangan angka Rating
Strength (kekuatan)
1 = kurang kuat
2 = agak kuat
3 = kuat
4 = sangat kuat
Opportunities (Peluang)
1 = sedikit peluang
2 = agak berpeluang
3 = berpeluang
4 = sangat berpeluang
Weakness (kelemahan)
-1 = sedikit lemah
-2 = agak lemah
-3 = lemah
-4 = sangat lemah
Threats (Ancaman)
-1 = sedikit terancam
-2 = agak terancam
-3 = terancam
-4 = sangat terancam
Tabel 3.6 Internal Factor Analysis Summary (IFAS)
Faktor factor Strategis
Bobot
Rating
Skor IFAS
Kekuatan
0.15
5
0.75
0.15
3
0.45
0.10
4
0.4
0.15
4
0.60
0.10
3
0.30
0.15
2
0.30
0.05
2
0.10
0.10
3
0.30
0.05
2
0.10
Total skor kekuatan
3.30
Kelemahan
0.05
-1
-0.05
0.05
-2
-0.10
0.15
-2
-0.30
0.15
-3
-0.45
0.15
-2
-0.30
0.15
-5
-0.75
0.15
-2
-0.30
0.10
-2
-0.20
0.05
-2
-0.10
Total skor kelemahan
-2.55
Total skor IFAS
5.8
Tabel 3.7 Eksternal Factor Analysis Summary (EFAS)
Faktor factor Strategis
Bobot
Rating
Skor EFAS
Peluang
0.20
3
0.60
0.20
2
0.40
0.10
3
0.30
0.15
3
0.45
0.15
5
0.75
0.20
3
0.60
3.10
Total skor peluang
Ancaman
0.20
-3
-0.75
0.20
-2
-0.40
0.10
-2
-0.20
0.20
-2
-0.40
0.15
-2
-0.30
0.15
-3
-0.45
-2.50
Total skor ancaman
Komentar
Peran vital apotik sebagai
satu-satunya pusat layanan
apotek dengan staf SDM yang
berkompeten
serta
kelengkapan obat menjadi
kekuatan untuk meningkatkan
pelayanan keapotekan
SIM RS yang belum optimal,
sistem administrasi belum
rapi dan kurangnya personil
apotik merupakan kelemahan
yang harus segera diperbaiki
Komentar
Masih adanya perusahaan dan
perumahan baru disekitar
daerah RS yang dapat
menjadi rekanan sebagai
calon customer
Mahalnya harga obat dan
menurunnya
motivasi
karyawan menjadi factor
ancaman bagi kelangsungan
hidup perusahaan
58
Berdasar hasil analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity & Threat) maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Opportunities
5
4
D
3
Turn Arround/
Konvensional
Weakness
4
Agresif
2
I
-2,55 I
5
A
3,10
3
I
1
2 II 1
I
C
Defenc
e
3,30
1
1
2 -2,50
3
4
5
2
3
4
Strengths
5
I
V
B
Competitif
Threats
Gambar 3.1 Posisi apotik RS Di daerah luar Surabaya Dalam Diagram SWOT
Tabel 3.8 Luas Matrik dan Prioritas Strategi Apotik RS Di Luar Surabaya tahun 2007
Kuadran
Posisi titik
Luas matrik
ranking
Prioritas
strategi
I
A (3.30 : 3.10)
10.25
1
Agresif
II
D(3.10 : -2.55)
7.91
3
Konvensional
III
C (-2.55 : -2.50) 6.38
4
Defensive
IV
B( 3.30 : -2.50) 8.25
2
Competitive
Tabel 3.9 Ranking Region SWOT Apotik RS Di luar Surabaya
Ranking
Strategi
kwadran
region
I
Agresif
1
SO
II
competitif
4
ST
III
Konvensional
2
WO
IV
Defensive
3
WT
Table 3.10 Data evaluasi faktor internal
No
Faktor Strategis
Luas matrik
10.25
8.25
7.91
6.38
Skor
1
Faktor Kekuatan (Strengths)
3.30
2
Faktor Kelemahan (Weakness)
-2.55
Total
0.75
59
Table 3.11 Data evaluasi faktor eksternal
No
Faktor Strategis
Skor
1
Faktor Peluang (Opportunities)
3.10
2
Faktor Ancaman (Threats)
-2.50
Total
0.60
Kekuatan Internal Bisnis
Tinggi
3
4
2
1
Tinggi
1
0
2
Sedang
3
3
4
Lemah
2
2,55
1
Tinggi
-1
-2
Rendah
0 0,60 1
Sedang
2
3
1
GROWTH
Konsentrasi melalui
integrasi vertikal
2
GROWTH
Konsentrasi melalui
integrasi horisontal
3
RETRENCHMENT
Turn around
3
2
-3
Kekuatan Eksternal Bisnis
4
4
0,75
-4
1
4
STABILITY
Hati-hati
2,50
7
GROWTH
Diversifikasi
Konsentrik
5
GROWTH
Konsentrasi melalui
Integrasi horizontal
STABILITY
Tidak ada perubahan
profit strategi
6
RETRENCHMENT
Captive compeny atau
Divestment
8
GROWTH
Diversifikasi
Konglomerat
9
RETRENCHMENT
Bangkrut atau Likuidasi
Gambar 3.2 Matriks Internal-Eksternal Apotik RS Di Luar Surabaya
Pada gambar 3.2 diatas menunjukkan bahwa Apotek Rumah Sakit Di daerah luar
Surabaya berada pada area pertumbuhan (Growth) area stabil (stability).
Tabel 2.12 CrossTabulasi IFAS dan EFAS RS Di Luar Surabaya
IFAS
KEKUATAN
KELEMAHAN
EFAS
SO STRATEGIS
WO STRATEGIS
PELUANG
Merencanakan strategi promosi Memperbaiki program komputer
yang tepat
yang lebih terintegrasi
Mengadakan
layanan
order Memperbaiki administrasi apotik
delivery
Menciptakan pasar baru yang
Menciptakan sistem pengendalian belum terjamah kompetitor
obat mencegah stagnasi dan Menciptakan
sistem
untuk
kadaluwarsa
menghemat biaya yang tidak perlu
ANCAMAN
ST STRATEGIS
Melatif staf apotik untuk menjadi
tenaga marketing di apotik
Melakukan koordinasi dengan tim
marketing
RS
agar
turut
memasarkan keunggulan apotik
WT SRATEGIS
Meningkatkan
kemampuan
berkomunikasi dengan kastemer
Meningkatkan
kesejahteraan
karyawan apotik
Menjaga hubungan baik dengan
competitor
60
III.Kesimpulan
Evaluasi dari faktor kekuatan
1. Melakukan perbaikan program
komputer yang lebih terintegrasi
agar memudahkan pelayanan
administrasi
penjualan
obat.
Dengan demikian pengendalian
terhadap
persediaan
apotik
menjadi lebih baik
2. Meningkatkan fasilitas layanan
antar terhadap pelanggan khusus
daerah Surabaya
Evaluasi dari faktor kelemahan
1. Meningkatkan
pelatihan
kemampuan
berkomunikasi
dengan kastemer
2. Melakukan pengajuan terhadap
peningkatan
kesejahteraan
karyawan apotik
3. Melakukan komunnikasi secara
teratur untuk mennjaga hubungan
baik dengan competitor
Evaluasi dari faktor peluang
1. Merencanakan strategi promosi
yang tepat
2. Mengadakan
layanan
order
delivery
3. Menciptakan sistem pengendalian
obat mencegah stagnasi dan
kadaluwarsa
Evaluasi dari faktor Ancaman
1. Melatif staf apotik untuk menjadi
tenaga marketing di apotik
2. Melakukan koordinasi dengan tim
marketing
RS
agar
turut
memasarkan keunggulan apotik
III. Penutup
DemikianAnalisis SWOT yang
dibuat berdasarkan kondisi kinerja Apotek
RS Di daerah luar Surabaya pada tahun
2007.
Ballon, R.I I., 1992 Business LogisticsManagement. 3rd ed. New
Jersey,
Prentice-Hall
International, Inc.
Perlin, J.B. (2006) In Patient Pharmacy
Services.
[Internet]
<http://intqhc.
oxfordjournals.org/egi/content
/full/15/suppl_1/1/149 [Diakes
tanggal 5 Juni 2008]
Rochmah.
T.N. & Wulandari, R.D.
(2002)
Teknik
Penulisan
Ilmiah. Surabaya, Program
Studi
Administrasi
dan
Kebijakan Kesehatan - PPS
Universitas Airlangga.
Sbarguna. B.S. (2005) Logistik Rumah
Sakit dan Teknik Efisiensi.
Cetakan
II.
Jakarta,
Harvarindo.
Siregar, C.J.P.
&
Amalia,
L.
(2004) Farmasi Rumah Sakit :
Teori dan Penerapan Analisis
SWOT, Cetakan I, Jakarta,
EGC.
Seto, S. (2001) Manajemen Bagian
Farmasi untuk Pengelola
Farmasi
Rumah
Sakit,
Pedagang Besar Farmasi,
Industri Farmasi, Cetakan I,
Surabaya,
Airlangga
University Press.
Seto. S., Yunita & Triana, L. (2004)
Manajemen Farmasi. Cetakan
II.
Surabaya,
Airlangga
University Press.
Sugiyarso,
G. & Winarni, F.
(2005)
Manajemen
Keuangan
:
Pemahaman
Laporan
Keuangan,
Pengelolaan Aktiva. Kewajiban, dan
Modal, serta Pengukuran Kinerja
Perusahaan. Cetakan II. Yogyakarta,
Penerbit Media Pressindo.
DAFTAR PUSTAKA
AS FAN, 1990 Pedoman Pengelolaan
dan
Pelayanan
Farmasi
Rumah Sakit yang Baik.
Surabaya, IFRS - RSDS.
61
OPTIMASI FREKUENSI PAPARAN GELOMBANG ULTRASONIK
UNTUK MEMBUNUH BAKTERI E. COLI
Mas Mansyur, Asih Rahayu, E Devi Dwi Rianti
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Pengendalian mikroorganisme khususnya bakteri E. Coli dapat dilakukan dengan fisika dan kimia.
Dalam fisika penelitian adalah pemanasan, pendinginan, radiasi (ultraviolet, x - ray, sinar gamma),
bakteriologist filter. Dalam kimia penelitian adalah dengan menggunakan klorin. Menggunakan
gelombang ultrasonik adalah sebagai metode alternatif yang memiliki manfaat di lingkungan, dapat
membunuh bakteri dengan mekanik dan kavitasi, dan karakter desinfektan.
Tujuan dari penelitian ini adalah dengan menggunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif
untuk mengurangi jumlah bakteri E. Coli, dengan fokus dalam menemukan gelombang frekuensi
ultrasonik optimal yang dapat menyebabkan maksimum tingkat kematian bakteri E. Coli.
Hasil penelitian yang saya lakukan di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya adalah gelombang ultrasonik dihasilkan oleh generator berfungsi utama
dengan daya 0,42 watt. Opsional frekuensi yang dapat membunuh bakteri E. Coli adalah 1,05 MHz
yang dapat membunuh bakteri di 40,00%. Frekuensi gelombang ultrasonik mempunyai hubungan yang
signifikan dengan persen kematian bakteri E. Coli, dengan koefisien korelasi 0,9253.
Kata Kunci: Mikroorganisme, frekuensi Opsional, metode alternatif, persen kematian
OPTIMIZATION OF WAVE EXPOSURE FREQUENCY ultrasonic
E. TO KILL BACTERIA COLI
Mas Mansyur, Asih Rahayu, E Devi Dwi Rianti
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Controlling microorganism specially E. Coli bacteria can done by physics and chemistry . In
physics research is heating, cooling, radiation (ultraviolet, x – ray, gamma ray), filter bakteriologist. In
chemistry research is by using chlorine. Using ultrasonic wave is as alternative metode that has benefit
in environment, can kill bacteria with mechanic and cavitation, and disinfectant character.
The purpose of this research is to use ultrasonic wave as an alternative methods for reducing quantity
of E. Coli bacteria , by focussing in finding an optimal frequency ultrasonic wave which can cause the
maximum of death level E. Coli bacteria.
The result of that research which I do in a part of Microbiology Faculty of Medicine Wijaya
Kusuma University Surabaya is the ultrasonic wave produced by fungtion generator with power is 0.42
watt. Optional frecuency that can kill E. Coli bacteria is 1.05 MHz that can kill the bacteria in 40.00
%. Frecuency ultrasonic wave have significant correlation with percent of death E. Coli bacteria, with
correlation coefficient 0.9253.
Key Word : Microorganism, Optional frecuency, alternative methods, percent of death
PENDAHULUAN
Air minum dapat berperan dalam
penyebaran bakteri pathogen antara lain
yaitu tipus, cholera, dan dysentri. Pada
hakekatnya air minum dari PAM, dan air
minum dalam kemasan melalui perlakuan
desinfeksi dengan cara kimia, fisika, atau
cara mekanis. Cara kimiawi yaitu
menggunakan bahan kimia antara lain
senyawa khlor, Br2, ozon, H2, O2phenol,
KMnO4, ClO2, CuSO4, dan ZnSO4.
Keunggulan menggunakan CuSO4 dan
ZnSO4 yaitu dapat mengendapkan
detergen dan menghambat pertumbuhan
algae. Untuk khlorinasi, pada umumnya
dengan menggunakan kaporit, karena
mudah, murah dan gampang didapat.
Air minum yang berasal dari PDAM
dan air minum yang diproses dengan ozon
dan ultra violet, penyulingan, serta
diproses dengan membrane penyaring
tidak
sama
hasilnya.
Perlakuan
pengendapan mampu dengan baik
mengatasi endapan, perlakuan ozon dan
ultra violet mampu menekan kuman dan
virus, perlakuan destilasi mampu menekan
beberapa komponen dengan baik kecuali
kandungan klorida, klorin dan bau.
Gelombang
ultrasonik
adalah
gelombang akustik yang berfrekuensi
lebih besar dari 20 KHz. Selama
62
perjalanannya
di
dalam
medium,
gelombang
ultrasonik
mengalami
ortenuasi karena adanya peristiwaperistiwa pemantulan, hamburan dan
absorpsi sehingga intensitasnya berkurang.
Disamping sifat-sifat ini ada sifat-sifat
karakteristik, seperti dapat menimbulkan
kalor, gaya-gaya ultrasonik steady,
kavitasi dan stress mekanik yang besar.
Bakteri adalah organisme yang terdiri
dari satu sel yang dibentuk oleh bahan inti,
sitoplasma dan dinding luar yang terdiri
dari lapisan lendir, dinding sel, memberi
perlindungan, untuk mengatur masuknya
bahan kimia dan memegang peranan
penting dalam pembelahan sel.
Bila bakteri berada di dalam medan
ultrasonik maka bakteri akan menderita
stress mekanik yang besar, dan dindingnya
mengalami peregangan yang besar dan
bila melampaui batas elastisitasnya maka
dinding tersebut pecah dan bakteripun
mati.
Keuntungan penggunaan gelombang
ultrasonik untuk membunuh bakteri
adalah :
1. Ramah lingkungan
2. Dapat membunuh bakteri secara
mekanik dan kavitasi
yang
ditimbulkan oleh gelombang
ultarasonik.
3. Bersifat
desinfektan
karena
gelombang ultrasonik di dalam
air dapat
membentuk H2O2.
Bakteri E. Coli digunakan sebagai
obyek penelitian karena :
1. Digunakan sebagai indikator
pencemaran air oleh kotoran
manusia atau
Hewan (Fardiaz, S, 1992).
2. Merupakan bakteri pathogen yang
dapat menimbulkan penyakit
pada
Manusia (Pelezar,M, 1988).
3. Merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan jika terjadi
pencemaran
Air (Fardiaz,S, 1992)
Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Berapa
frekuensi
optimum
gelombang ultrasonik yang dapat
digunakan untuk membunuh
bakteri E. Coli terbesar ?
2. Berapa besar persen kematian
bakteri E. Coli ?
Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Mendayagunakan
gelombang
ultrasonik
sebagai
metode
alternatif
untuk menurunkan
jumlah bakteri E. Coli pada proses
pengolahan air bersih.
b. Tujuan khusus
1. Menemukan frekuensi optimum
gelombang ultrasonik untuk membunuh
bakteri E.
Coli.
2..Koefisien korelasi antara frekuensi
paparan gelombang ultrasonik dengan
persen
kematian bakteri E. Coli.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bakteri E. Coli, Nutrient Agar
Broth, aquadestilasi, EMB agar, alkohol
70 %, kantong plastik, kapas. Sedangkan
alat yang digunakan adalah signal
generator, osiloskop, transduser ultrasonic,
incubator, laminar flow with U V lamp,
autoclave, cawan petri, tabung reaksi,
gelas beker, O S E, Quebec colony counter
dan lup, pembakar bunsen.
Variabel penelitian
Melalui penelitian ini peneliti
mendayagunakan gelombang ultrasonik
sebagai
metode
alternatif
untuk
membunuh bakteri E. Coli. Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
-. Variabel bebas : frekuensi paparan
gelombang ultrasonik.
- Variabel terikat : persen kematian
bakteri E. Coli
Proses Kerja
Proses penelitian ini diawali
dengan
mendesain
pembangkit
gelombang ultrasonik dan pembuatan
kultur
E.
Coli.
Pembangkit
gelombang
ultrasonik
disebut
transduser
ultrasonik,
karena
63
pembangkit ini mengubah energi
listrik menjadi energi akustik.
Transduser elektromagnetik dipilih
karena dapat digunakan untuk
membangkitkan
gelombang
Signal
Generator
ultrasonik baik di zat padat maupun
fluida disamping itu transduser jenis
ini banyak dijual di pasaran. Gambar
di bawah ini adalah diagram blok
pembangkit gelombang ultrasonik.
Penguat
Transduser
Osiloskop
Sampel
Gambar 3.1 Diagram Blok Pembangkit Ultrasonik
Tabel 3.1 Uraian masing-masing blok beserta fungsinya
Nama Blok
Signal Generator
Fungsi
Pembangkit isyarat listrik dengan daya rendah
dan frekuensi bervariasi
Penguat
Penguat getaran listrik yang berasal dari signal
generator serta meningkatkan daya listrik
sehingga diperoleh getaran dengan daya tinggi
Osilosko
Pengukur frekuensi dan tegangan listrik yang
dikeluarkan oleh penguat
Transduser
Pembangkit gelombang ultrasonik mengubah
isyarat listrik menjadi suara
Sampel
Bagian dari populasi, yaitu sejumlah E. Coli
yang berada di dalam aquades yang akan
dipapari dengan gelombang ultrasonik
Prosedur Pengambilan Data
- Prosedur Penyediaan Bakteri E. Coli
Penyiapan kultur bakteri E. Coli
dilakukan dengan cara :
-. Bakteri E. Coli dibiakkan dalam
medium EMB
- Dari EMB dipindahkan dalam NA
slant
- Disimpan di dalam lemari es dengan
suhu 0O sampai 10OC
- Prosedur Pengumpulan Data
Pada
penelitian
ini
cara
pengumpulan data untuk menentukan
frekuensi optimum dan dosis paparan
gelombang ultrasonik untuk membunuh
bakteri E. Coli dilakukan dengan cara :
1. Merangkai peralatan seperti tampak
pada gambar di atas.
2. Memasukkan 1 ml suspensi bakteri E.
Coli dari gelas ukur kedalan 5 buah cawan
petri
yang berisi nutrien agar broth
kemudian dipapari dengan gelombang
ultrasonik dengan
frekuensi 0.80 MHz, 0,85 MHz, ......
1,20 MHz
3.. Menghitung koloni bakteri E. Coli
sebelum dan sesudah dipapari gelombang
ultrasonik.
64
4. Membandingkan persen kematian
kematian bakteri E. Coli akibat pemaparan
gelombang
ultrasonik dengan frekuensi yang
berbeda.
5..Membuat grafik hubungan antara
frekuensi paparan gelombang ultrasonik
dengan persen
kematian bakteri E. Coli kemudian
menentukan frekuensi optimumnya.
6. Mencari koefisien korelasi antara
frekuensi paparan gelombang ultrasonik
dengan persen
kematian bakteri E. Coli.
Metode Analisis Data
Dari data hasil penelitian
diperoleh pasangan data antara frekuensi,
waktu dan dosis paparan gelombang
ultrasonik (sebagai variabel bebas) dengan
persen kematian bakteri E. Coli (sebagai
variabel terikat). Untuk mengetahui
hubungan dimana variabel-variabel di atas
digunakan analisis korelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk
menemukan
frekuensi
optimum paparan gelombang ultrasonik
untuk membunuh bakteri E. Coli
dilakukan percobaan dengan data sebagai
berikut :
a. Frekuensi
:
0,75
MHz, 0,80 MHz, ..........
1,20 MHz
b. Daya
:
0,42
watt
(daya
alamiah
fungtion generator)
c. Waktu
: 2 menit
d. Volume suspensi bakteri
E. Coli : 20 ml
.
Adapun
hasil
pengamatannya
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
1. Hasil
Tabel Hasil pengamatan frekuensi
paparan gelombang ultrasonik
terhadap
persen kematian bakteri E. Coli
Jumlah E. Coli Kontrol
Jumlah E. Coli Terpapar
No
Frek
(MHz)
I
II
III
X1
I
II
III
X2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,75
0,80
0,85
0,90
0,95
1,00
1,05
1,10
1,15
1,20
116
111
112
119
108
101
114
108
119
106
107
117
108
125
107
117
104
113
114
105
113
120
110
119
115
124
112
115
112
119
112
116
110
121
110
114
110
112
115
110
94
91
83
89
79
80
64
79
67
75
90
100
91
100
80
93
75
66
72
69
104
94
81
84
87
83
59
65
80
72
96
95
85
91
82
85
66
70
73
72
% kematian =
%
Kematian
14,29
18,10
22,72
24,79
25,45
25,54
40,00
37,50
36,52
34,54
X1  X 2
 100%
X1
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel
di atas menunjukkan hubungan antara
persen kematian bakteri E. Coli dengan
frekuensi paparan gelombang ultrasonik
dengan variabel terkendali daya, volume
dan waktu. Untuk memperjelas hubungan
antara kedua variabel diatas dinyatakan
dengan grafik yang digambar dengan
menggunakan program Excell, seperti
tampak pada gambar di bawah ini
65
GRAFIK HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI PAPARAN GELOMBANG UTRA
SONIK DENGAN PERSEN KEMATIAN BAKTERI E. COLI
PERSEN KEMATIAN (%)
50
40
30
20
10
0
0.75
Gambar 4.1.
0.8
0.85
0.9
0.95
1
1.05
FREKUENSI (MHz)
1.1
1.15
1.2
Grafik hubungan antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik
dengan persen kematian bakteri E. Coli.
2. Pembahasan
Dari grafik diatas tampak bahwa
frekuensi optimum paparan gelombang
ultrasonik adalah 1,05 MHz, dengan
persen kematian sebesar 40%. Pada
frekuensi kurang dari 1,05 MHz, proses
kematian bakteri E. Coli relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan frekuensi di
atas 1,05 MHz. Hal ini disebabkan karena
ukuran bakteri E. Coli yang mikroskopik
cenderung disekitar panjang gelombang
yang sesuai dengan frekuensi diatas
frekuensi
optimumnya.
Frekuensi
optimum ini akan digunakan sebagai dasar
untuk percobaan selanjutnya. Disamping
itu terdapat hubungan yang signifikan
antara frekuensi paparan gelombang
ultrasonik dengan persen kematian bakteri
E. Coli , hal ini ditunjukkan dengan
koefisien korelasi ( r) sebesar 0,9253.
Kematian bakteri E. Coli ini tidak
besar karena percobaan dilakukan dengan
menggunakan fungtion generator yang
berdaya maksimum alat tersebut besarnya
0,42 watt. Daya sebesar ini relatif kecil
untuk dapat membunuh bakteri E. Coli.
Agar persen kematian bakteri E. Coli
menjadi lebih besar maka diupayakan alat
penguat daya.
Frekuensi optimal yang diperoleh
dari percobaan terkait dengan ukuran
koloni bakteri yang besarnya sekitar 1 mm
(Pelezar, M, 1988). Bila kelajuan
gelombang ultrasonik di dalam air sebesar
1350 m/s (Wiantari. S, 1993); secara
teoritis seharusnya frekuensi paparan
gelombang
ultrasonik
1,35
MHz.
Transduser gelombang ultrasonik dengan
orde sebesar 1,35 MHz sampai saat ini
belum dijumpai di Toko elektronik dan
peralatan laboratorium, maka perlu
diupayakan untuk mendapatan tranduser
yang sesuai dari tempat lain, seperti di
pasar
loak,
atau
laboratorium
instrumentasi di universitas lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang bertujuan
untuk menentukan frekuensi optimal dan
dosis paparan gelombang ultrasonik untuk
jumlah bakteri E. Coli, yang dilakukan di
bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Frekuensi optimal yang terkait
dengan
persen
kematian
tertinggi adalah 1,05 MHz,
dengan persen kematian sebesar
40%. Kondisi tersebut dicapai
pada
paparan
gelombang
ultrasonik dengan daya 0,42
watt, volume 20 ml dan waktu
paparan 2 menit.
2. Terdapat hubungan signifikan
antara
frekuensi paparan
gelombang
ultrasonik
dan
persen kematian bakteri E. Coli
dengan
koefisien
korelasi
sebesar 0,9253.
66
Saran
Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa upaya untuk mendayagunakan
gelombang ultrasonik sebagai metode
desinfeksi
terhadap
mikroorganisme
khususnya bakteri E. Coli memiliki
prospek yang baik untuk dikembangkan
sebagai metode alternatif. Selain relatif
tidak beresiko menimbulkan pencemaran
lingkungan, metode ini mempunyai
efektivitas yang cukup baik.
Di bawah ini adalah Kendala utama
penerapan metode ini dan saran untuk
memperbaikinya
1. Terbatasnya respon frekuensi
transduser, sehingga perlu
diupayakan
untuk
mendapatkan jenis transduser
dengan
spesifikasi
yang
diinginkan agar upaya optimasi
frekuensi paparan gelombang
ultrasonik memiliki hasil yang
lebih baik, ditinjau dari aspek
fisis maupun ekonomis.
2. Pada
percobaan
yang
peneliti
lakukan
suspensi
bakteri E. Coli
diencerkan
dengan
menggunakan aquades, media
ini bukan tempat tumbuh
bakteri yang ideal. Hal ini
dimaksudkan agar bakteri
tidak tumbuh terlampau cepat
atau cepat mati. Namun kami
pernah
gagal
berkali-kali
dalam menumbuhkan bakteri
E. Coli baik sebagai kontrol
maupun
yang telah diberi
perlakuan,
meskipun pada
percobaan
pendahuluan
berhasil menumbuhkan bakteri
E. Coli. Oleh karena itu perlu
diupayakan media tempat
tumbuh bakteri E. Coli yang
menyebabkan tidak tumbuh
terlalu cepat atau cepat mati.
3. Dengan
ditemukannya
frekuensi
optimum
ini
diharapkan dapat digunakan
sebagai
dasar untuk menentukan dosis
paparan gelombang ultrasonik,
sebagai metode alternatif untuk
desinfeksi air bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Eugene, 1985. Biophysical
Science,
Prinsice
Hal
Inc,
Engelwwood Cliffa, New Jersey.
Brooks, Geo F, et al, 2001, Medical
Microbiology Twenty Second
Edition, McGraw-Hill Inc.
Amsyari, Fuad, 2007. Penyakit yang
ditularkan melalui air, Seminar
Air Sehat, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya.
Cameron, Skfronik, 1988. Medical
Physics, A. Wileg Inter Sciences,
New York.
Croknell, AP, 1980. Ultrasonic, Wykeham
Publication LTD, London.
Cromer, Alan, 1994. Physics For Life
Sciences, Mc Graw Hill Inc.
Publication, New York.
Fardiaz, Srikandi, 1992. Polusi Air dan
Udara,
Penerbit
Kanisius
Yogyakarta.
Gabriel J.F, 1993. Fisika Kedokteran,
Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Garsadi, Ruswandi, 2007. Percepatan
Pelayanan Air Sehat, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya.
Gobermen, GI, 1988. Ultrasonic Theory
and Applicaton, The English
University Press, London.
Hariaji, Imam, 1990. Pemanfaatan
Gelombang Ultrasonik Untuk
Mengusir Lalat Rumah, Skripsi,
FMIPA Universitas Airlangga,
Surabaya.
Mansyur. Mas, 2006. Pengukuran Cepat
Rambat Gelombang Ultrasonik
Dengan Metode Beda Fase, Jurnal
LPPM
Universitas
Wijaya
Kusuma Surabaya.
Mansyur. Mas, dkk, 2007. Optimasi
Frekuensi dan Dosis Paparan
67
Gelombang Ultrasonik Untuk
Membunuh
Jentik
Nyamuk,
Seminar DP2M Dikti Depdiknas,
Jakarta.
Martiana. R, Esty, 2007. Kualitas Air
(Penilaian
dan
Monitoring).
Seminar Air Sehat, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya.
Maskunah, 1988. Pengaruh Gelomang
Ultrasonik Terhadap Suspensi
Bakteri,
Kolokium,
FMIPA
Universitas Airlangga Surabaya.
Nasir. Moh, 1988. Metode Penelitian,
Penerbit Ghalia, Jakarta
Pelezar, Michael. J, 1988. Dasar-Dasar
Mikrobiologi, Diterjemahkan oleh
ratna Sti H, Penerbit UI Press,
Jakarta
Pitojo,
Purwanto. E, 2002. Deteksi
Pencemaran Air Minum, Penerbit
Aneka Ilmu Ungaran.
Sehat,
Fakultas
Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.
Suriawiria, Unus, 2005. Air Dalam
Kehidupan dan Lingkungan Yang
Sehat, Penerbit PT. Alumni,
Bandung.
Suriawiria, Unus, 2003. Mikrobiologi Air,
Penerbit PT. Alumni, Bandung.
Tortora, Gerarrd. J, 2007. Microbiology,
Pearson Education Inc, San
Francisco.
Wiantari, Sugiani, 1993. Pemanfaatan
Gelombang Ultrasonik Untuk
Membunuh Larva Aedes Aegypti,
Skripsi,
FMIPA
Universitas
Airlangga, Surabaya.
Widodo, Asnar, 1990. Pembersihan
Kotoran Pada Benda Dengan
Menggunakan
Gelombang
Ultrasonik, Kolokium, FMIPA
Universitas Airlangga, Surabaya.
Prijo, T. Anggono, 1989. Studi Tentang
Cepat
Rambat
Gelombang
Ultrasonik
dan
Metode
Pengukurannya,
Kolokium,
FMIPA Universitas Airlangga
Surabaya.
Saruji,
Didik,
2006.
Kesehatan
Lingkungan,
Media
Ilmu,
Sidoarjo.
Saruji ,didik, 2008, Rancangan Penelitian,
Disajikan Dalam Penyegaran
Aplikasi metodologi Penelitian
dan Statistik Fakultas Kedokteran
UWKS.
Spiegel, RM, 1996. Statistika, Penerbit,
Erlangga, Jakarta.
Sujono,
Edy S. 2007. Teknologi
Pengolahan Air, Seminar Air
68
ANALISIS TENTANG HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN
DENGAN PENYEBAB TERJADINYA PENYAKIT KULIT DI KECAMATAN
ASEMROWO SURABAYA
E. Devi Dwi Rianti, Bagus Uda Palgunadi, Mas Mansyur
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Proventy menyebabkan banyak orang untuk hidup di bawah jembatan, di pinggir sungai dan pinggir
jalan menimbulkan pencemaran aktivitas orang-orang untuk lingkungan mereka, hal ini disebabkan
oleh kurangnya tanah atau wilayah untuk pembuangan limbah cair dan padat, belum lagi feses. Jadi,
mereka membuang limbah mereka ke sungai terdekat atau drainase kota di sekitar rumah mereka.
Polusi sungai adalah suatu realitas yang disebabkan oleh berbagai kegiatan orang di riversides dan
dilakukan secara sadar atau tidak. Penulis ingin melihat bagaimana kondisi wilayah padat penduduk di
sebelah barat Surabaya dengan melakukan suatu higienes dan sanitasi lingkungan di kabupaten
Asenrowo. Penulis ingin mengamati kemungkinan kerusakan lingkungan yang berbahaya dan penyakit
kulit yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Pengambilan sampel dilakukan dengan memberikan
kuesioner kepada orang-orang yang tinggal di Asemrowo ramdomly. Kuesioner yang menyebar ke
lima kecamatan dipilih oleh lotre, penulis memilih salah satu rukun tetangga (RT) untuk pengambilan
sampel. Selain kuesioner, penulis juga tak berguna mengambil sampel air yang diambil dari beberapa
daerah dengan karakteristik yang berbeda seperti pasar tradisional, perumahan padat penduduk, rumah
sehat, dan perumahan dekat kawasan industri. Dari hasil observasi dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner adalah ada hubungan yang signifikan antara orang yang tinggal di kabupaten Asemrowo,
Genting kabupaten, Kalianak kecamatan dengan penyakit kulit, dengan koefisien korelasi (r) adalah
0,7380
Kata kunci: Higienes, sanitasi lingkungan, penyakit kulit
ANALYSIS OF HYGIENE AND ENVIRONMENTAL SANITATION
MAY CAUSE SKIN DISEASES WITH SUB IN SURABAYA ASEMROWO
E. Devi Dwi Rianti, Bagus Uda Palgunadi, Mas Mansyur
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Proventy causes many people to live under bridges, on the riverside and roadsides those people’s
activities cause pollution to their surroundings, this is caused by lack of land or area for dumping liquid
and solid wastes, not to mention the feses. So they dump their wastes to the nearest river or the city
drainage around their houses. The river pollution is a reality that is caused by many activities of people
on the riversides and done consciously or not. The writer want to observe the condition of densely
populated area in the west of Surabaya by doing an higienes and environmental sanitation at Asenrowo
district. The writer want to observe possible harmful environmental damages and skin diseases caused
by human activities. The sampling is done by giving questionnaires to people who live in Asemrowo
ramdomly. The questionnaires are spread to five district chosen by lottery, the writer chose one
neighborhood association (RT) for sampling. Besides the questionnaires, the writer also dud water
sample taking taken from some areas with different characteristics such as the traditional market,
densely populated housing, healthy houses, and housing near industrial area. From the result
observation done by spreading questionnaires is there is a significant correlation between the people
who live in Asemrowo district, Genting district, kalianak district with the skins diseases, with
correlation coefficient (r) is 0,7380
Key words : Higienes, environmental sanitation, skins diseases
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Menurut
Laporan
Eksekutif
Lingkungan Hidup Hasil Pondes ( Batam
Pos, 2005) pertumbuhan penduduk yang
sangat cepat dan luas di suatu daerah
relatif tidak mengalami perubahan yang
berarti, tetapi tidak mengalami rasa makin
sempitnya ruang gerak bagi masyarakat .
Yang banyak dirasakan di daerah – daerah
perkotaan , misalnya kota Surabaya yang
padat penduduknya.
Beberapa kawasan di wilayah kota
Surabaya
sering
kali
dijadikan
pemukiman
penduduk,
walaupun
sebenarnya kurang layak untuk dijadikan
69
sebagai tempat tinggal. Selain kurang
memenuhi syarat kesehatan sering kali
kawasan tersebut juga berbahaya bagi
keselamatan jiwa seseorang. Karena itu
sudah selayaknya kawasan tersebut tidak
digunakan sebagai daerah pemukiman
penduduk.
Kualitas sumberdaya alam juga
akan menjadi masalah yang sangat
penting, tetapi akibat dari timbulnya
kepadatan
penduduk
menyebabkan
terciptanya kawasan kumuh. Arti kumuh
menurut Sulistyawati (2007) adalah rumah
seadanya, dengan tata ruang bangunan
semrawut dan penampilan jorok, populasi
bangunan padat dengan hunian yang
tinggi, penggunaan bahan bangunan bekas.
Sehingga dengan adanya kawasan kumuh
tersebut terciptanya ketidak pedulian atas
kelestarian fungsi lingkungan hidup yang
dampak negatif terhadap lingkungan
berupa pencemaran. Hal ini disebabkan
karena
sebagian
dari
masyarakat
beranggapan bahwa sumberdaya alam
akan tersedia selamanya dalam jumlah
yang tidak terbatas dan secara gratis,
dimana sumber daya alam dianggap
anugerah Tuhan Yang Maha Esa ,
anggapan tersebut akan menimbulkan
adanya masalah yang mendasar seperti
kemiskinan.
Kemiskinan
mengakibatkan
banyaknya masyarakat bertempat tinggal
di kolong-kolong jembatan, bantaran kali,
pinggir – pinggir jalan (Sontak Manik
K.E, 2003). Dari aktivitas mereka maka
akan menimbulkan pencemaran disekitar
tempat tinggalnya, yang merupakan akibat
tidak adanya lahan untuk menempatkan
sarana pembuangan sampah cair dan
sampah padat (dari dapur) serta tinja,
maka dibuanglah ke sungai terdekat atau
di saluran-saluran kota yang ada disekitar
tempat tinggalnya. Bahkan ada yang hanya
dibuang ke sembarang tempat. Akibat dari
buangan sampah dan limbah cair ke badan
sungai atau tanah, maka akan sangat
mengganggu keberadaan sungai atau
tanah. Dimana air sungai yang seharusnya
dapat menjadi cadangan air bersih,
terganggu kualitasnya akibat dari sampah
– sampah dan limbah cair masyarakat
yang bertempat tinggal disekitar sungai.
Jika dibiarkan demikian, air sungai yang
memiliki kemampuan memperbaiki diri
sendiri menjadi tidak mampu lagi, karena
banyaknya limbah yang telah terbuang ke
sungai. Pembuangan limbah ke sungai,
mengakibatkan pencemaran sungai.
Pencemaran
sungai
adalah
peristiwa nyata yang terjadi akibat
banyaknya aktivitas masyarakat di
bantaran sungai, yang sadar maupun tidak
telah membuang limbah ke dalam sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor
35 Tahun 1991 Tentang Sungai, dimana
pengertian sungai adalah tempat – tempat
dan
wadah-wadah
serta
jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai
muara dengan dibatasi kanan dan kirinya
serta sepanjang pengalirannya oleh garis
sempadan. Garis sempadan sungai adalah
garis batas luar pengamanan sungai. Garis
sempadan ini dalam bentuk bertanggul
dengan ketentuan batas lebar sekurangkurangnya 5 (lima) meter yang terletak
disebelah luar sepanjang kaki tanggul.
Telah tertulis dalam Peraturan Pemerintah
dari pengertian dari sungai, bahwa sungai
bukan tempat pembuangan limbah.
Dengan terbatasnya lahan yang
tersedia di Surabaya yang tidak seimbang
dengan pertambahan penduduk maka
terciptalah pemukiman kumuh, yang
merupakan pemukiman yang tidak layak
huni bagi masyarakat di Surabaya. Dan
akan menimbulkan terciptanya perbedaan
corak, bentuk atau keadaan pemukiman
antara
satu
masyarakat
dengan
masyarakat lainnya di Surabaya. Namun
demikian,
betapapun
bervariasinya
pemukiman itu, maka kesemuanya harus
memenuhi syarat – syarat kesehatan,
sehingga para penghuninya tidak sampai
menderita suatu penyakit. Kondisi
perumahan di wilayah pemukiman
Surabaya terdiri dari beberapa macam
keadaan yang berupa rumah sehat dan
sederhana bagi penghuninya.
Menurut Wicaksono
(2009)
bahwa rumah adalah sebuah tempat tujuan
akhir dari manusia, dan menjadi tempat
berlindung dari cuaca dan kondisi
lingkungan sekitar, menyatukan sebuah
keluarga, meningkatkan tumbuh kembang
kehidupan setiap manusia, dan menjadi
bagian dari gaya hidup manusia. Dan
kreteria rumah menurut Winslow dalam
buku “Menciptakan Rumah Sehat”
70
(Wicaksono A, 2009) diantaranya: dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis, dapat
memenuhi psikologis, dapat terhindar dari
kecelakaan dan dapat terhindar dari
penularan penyakit.
Sanitasi menurut Azwar (1996)
adalah suatu usaha kesehatan masyarakat
yang menitik beratkan pada pengawasan
berbagai
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
Dimana sanitasi lebih mengutamakan
usaha pencegahan terhadap berbagai
faktor lingkungan, sehingga munculnya
penyakit dapat dihindari. Menurut
Suriawiria (2008), sanitasi lingkungan
adalah tingginya jumlah penyakit yang
berjangkit tiap tahun pada masyarakat
yang menandakan masih banyaknya
pencemaran air yang dipergunakan sehari
– hari. Higienis adalah usaha kesehatan
masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan
kesehatan manusia (Azwar, 1996).
Kondisi lingkungan
dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Banyak aspek kesejahteraan manusia
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dan
banyak penyakit dapat timbul karena
didukung, dan dirangsang oleh faktor –
faktor lingkungan. Dalam Undang –
Undang Republik Indonesia Nomer 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bab I
Pasal 1 sebagai berikut: “ Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial
ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut tentang
kesehatan, maka tidak banyak manusia
yang benar – benar sehat. Akan tetapi
bukan berarti semua manusia selalu
menderita penyakit. Arti penyakit sendiri
adalah; merupakan perubahan yang
mengganggu kondisi tubuh sebagai respon
dari faktor lingkungan yang mungkin
berupa nutrisi, kimia, biologi atau
psikologi ( Rick
, 2005). Menurut
Chandra (2007), penyakit adalah riwayat
alami perjalanan penyakit atau sering
disebut natural history of disease yang
riwayat alami perjalanan penyakit pada
manusia yang terdiri atas,terjadinya
gangguan keseimbangan antara penyakit,
manusia, dan lingkungan. Kondisi
lingkungan
lebih
menguntungkan
penyakit dan merugikan manusia. Menurut
Chandra (2007),
mengatakan bahwa
proses perjalanan suatu penyakit terjadi
dimulai
sejak
adanya
gangguan
keseimbangan antara penyakit, manusia,
dan lingkungan sehingga dapat terjadinya
suatu kesakitan. Selain penyakit, adapula
yang disebut dengan wabah, istilah
tersebut adalah suatu kejadian tersebarnya
penyakit pada daerah yang luas dan pada
banyak orang. Dan istilah penyakit
endemik adalah penyakit yang pada
umumnya terjadi pada laju yang konstan
namun cukup tinggi pada suatu populasi
(Wakipedia, 2008). Oleh karenanya
penting kiranya memahami proses
terjadinya suatu penyakit, agar dapat
melakukan pencegahan penyakit dan
mencari
alternatif
terbaik
dalam
pengendalian atau pemberantasan suatu
penyakit.
Berdasarkan kondisi wilayah
kecamatan Asemrowo yang memiliki
karakteristik berbeda, karena memiliki
daerah seperti : pasar, pemukiman
penduduk, jalan raya, kawasan industri,
serta
sungai. Sehingga akibat dari
karakteristik lingkungan yang berbeda di
kecamatan Asemrowo maka terciptanya
kawasan kumuh, sanitasi dan higienis
yang tidak memenuhi syarat, akibat dari
higienis dan sanitasi lingkungan yang
tidak baik tersebut dapat menimbulkan
diare dan penyakit kulit .
Kecamatan Asemrowo merupakan
salah satu wilayah kota Surabaya bagian
barat. Dimana kecamatan Asemrowo
memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di
wilayah Surabaya Barat (Data BPS, 2007).
Wilayah kecamatan Asemrowo yang
memiliki lima kelurahan yaitu; kelurahan
Tambak Langon, kelurahan Greges,
kelurahan Asemrowo, kelurahan Genting,
kelurahan Kalianak. kecamatan Asemrowo
yang tinggi tingkat kemiskinan, karena
didukung dengan keadaan wilayah
kecamatan tersebut. Dengan luas wilayah
seluruhnya kurang lebih 13,06 km2 dengan
lima kelurahan. Batas wilayah dari
kecamatan Asemrowo yaitu; sebelah utara
: Selat Madura, sebelah Timur: kecamatan
Sawahan, sebelah selatan : kecamatan
Tandes
dan
kecamatan
Benowo.
kecamatan Asemrowo adalah salah satu
dari kecamatan yang merupakan pusat
71
perekonomian. Sehingga tidak heran jika
banyak
pemukiman,
mulai
dari
pemukiman yang padat penduduk atau
kumuh hingga pemukiman
sehat .
Keadaan lingkungan inilah yang dapat
mempengaruhi
lingkungan
hidup
masyarakat di kecamatan Asemrowo.
Keadaan lingkungan dengan karakteristik
berbeda. Dengan karakteristik berbeda,
yang telah membuang limbah domestik
maupun industri ke aliran sungai sehingga
menimbulkan
berbagai
jenis
mikroorganisme tinggal disana, yang dapat
menimbulkan penyakit (Suriawiria, 2008).
Adanya penyakit yang salah satunya
dipengaruhi oleh lingkungan, yang harus
diterima masyarakat Asemrowo. Diantara
penyakit
yang
dipengaruh
oleh
lingkungan, yang berada di kecamatan
Asemrowo yaitu penyakit diare dan
penyakit kulit.
Penyakit kulit dijadikan obyek penelitian
karena :
1. penyakit infeksi kulit banyak
ditemukan
dikalangan
penduduk didaerah beriklim
panas,
lembab,
keadaan
perorangan
yang
kurang
higeine dan lingkungan yang
buruk, pekerja – pekerja yang
berhubungan dengan kotoran
(misalkan
sampah
dan
selokan), pekerja – pekerja
yang berhubungan dengan
minyak – minyak pelumas,
umumnya penderita banyak
ditemukan pada anak – anak
dari pada orang dewasa.
(Soepadmo, 1986).
2. Masyrakat
beranggapan
bahwa penyakit kulit bukan
penyakit yang membahayakan
sehingga
tidak
perlu
penanganan dengan segera.
3. Jika orang terkena penyakit
kulit, penderita lebih memilih
diobati sendiri dengan obatobat yang dijual bebas
dibandingkan dengan berobat
ke dokter.
Perumusan Masakah
Dari latar belakang di atas maka
dapat dirumuskan permasalahannya :
Apakah higien dan sanitasi lingkungan
menyebabkan penyakit kulit di kecamatan
Asemrowo Surabaya?
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui kondisi lingkungan
secara umum di kecamatan
Asemrowo Surabaya.
b. Tujuan khusus
Mengetahui hubungan antara
higiene dan sanitasi lingkungan
dengan timbulnya penyakit kulit
di
kecamatan
Asemrowo
Surabaya.
Hipotesis Penelitian
Ho : Higiene dan sanitasi lingkungan
tidak berpengaruh terhadap penyakit
kulit di
kecamatan Asemrowo Surabaya.
H1 : Higiene dan sanitasi lingkungan
berpengaruh terhadap penyakit kulit
di
kecamatan Asemrowo Surabaya.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Kecamatan Asenrowo Surabaya
terdiri dari 5 kelurahan yaitu kelurahan
Tambak Langon, Greges, Asenrowo,
Genting
dan
Kalianak.
Penelitian
dilakukan bulan April 2010 di kelurahan
Asemrowo, Genting dan Kalianak
Surabaya.
Prosedur Penelitian
Penelitian
diarahkan
untuk
memecahkan
permasalahan
dengan
melakukan prosedur sebagai beriku;
1. Menentukan
pembagian
sampel
atau
daerah
pengambilan sampel yang
diambil secara random,
2. Menyebarkan kuesioner,
3. Mentabulasi
hasil
dari
kuesioner,.
4. Mengolah hasil kuesioner,
5. Menganalisis hasil kuesioner.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan atau
himpunan obyek dengan ciri yang sama,
sedangkan sampel adalah himpunan
bagian dari populasi. Dalam pengambilan
data digunakan teknik random sampling
dimana pengambilan unit sampel dapat
72
menggunakan pertolongan undian atau
angka random (Santoso.G, 2007). Dan
dalam pengambilan sampel dari wilayah
yang memenuhi dengan kriteria penelitian
dari lima kelurahan, dilakukan pengundian
sehingga diperoleh tiga kelurahan .
Populasi
: Penduduk di kecamatan
Asemrowo Surabaya yang berada di
kelurahan
Tambak Langon, Greges,
Asenrowo, Genting dan
Kalianak
Surabaya.
Sampel
: 25 kepala keluarga RT 3
RW 7 kelurahan Asemrowo, 15
kepala keluarga
RT 13 RW 4 kelurahan
Genting, 15 kepala keluarga RT3
RW 1 kelurahan
Kalianak Surabaya.
Teknik Analisis Data
Data mentah yang berupa
kuesioner yang telah diisi di
kelompokkan menjadi variabel
bebas (x) dan variabel terikat (y),
kemudian
untuk menentukan
hubungan kedua variabel
tersebut
dicari dengan menghitung
koefisien korelasinya (r).
-
-
Variabel bebas (x)
:
pengetahuan tentang higiene dan
sanitasi lingkungan.
Variabel terikat (y)
:
pengetahuan tentang penyebab
timbulnya penyakit kulit.
Koefisien korelasinya dapat ditentukan dengan rumus :
Σ xy - ∑x∑y
n
__________________________
r =
√[∑x2 – (∑x)2 / n] [∑y2- (∑y)2 / n]
HASIL PENELITIAN
Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan ke responden dapat ditabulasikan sebagai
berikut :
No. Res
Pendidikan
x
y
No. Res
Pendidikan
x
y
1
SLTA
75
26
30
SLTA
77
28
2
SLTA
83
30
31
SLTA
71
25
3
SLTA
80
29
32
SLTA
76
27
4
SLTA
81
28
33
SLTA
84
30
5
SD
78
28
34
SD
67
22
6
SLTA
77
26
35
SD
71
25
7
SLTA
69
25
36
SLTA
66
20
8
SLTA
70
25
37
S1
79
29
9
SLTA
74
25
38
SLTA
83
29
10
SLTA
77
28
39
SLTA
79
29
11
SLTA
68
23
40
SD
69
23
12
SLTP
58
20
41
SD
71
24
13
SLTP
69
23
42
SD
68
20
14
SLTP
69
24
43
S1
70
25
73
15
SLTP
65
24
44
SLTA
79
28
16
SLTA
56
24
45
SLTA
74
26
17
SLTA
80
30
46
SD
73
23
18
SLTA
84
30
47
SLTP
68
21
19
SLTA
83
27
48
SLTA
73
24
20
SLTA
73
25
49
S1
78
26
21
SLTA
76
28
50
S1
78
28
22
SD
73
25
51
S1
83
29
23
SLTP
76
27
52
S1
76
26
24
SD
77
29
53
SD
81
28
25
SD
68
23
54
SD
73
24
26
SLTA
74
26
55
SLTA
76
25
27
SD
79
29
28
SD
74
26
29
SD
63
22
Berdasarkan pehitungan dari
tabulasi data yang telah kami peroleh,
kemudian dianalisis dengan menggunakan
program excel, diperoleh koefisien
korelasi r = 0,7380, ini menunjukan
bahwa ada hubungan antara variabel bebas
dan variabel terikat.
PEMBAHASAN
Dari hasil penyebaran kuesioner
yang telah kami lakukan, responden
memiliki latar belakang pendidikan yang
bervariasi , yaitu
SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas) 50,9 %, SLTP
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 10,9
%, SD (Sekolah Dasar) 27,5 % dan S1
(Strata Satu) ada 10,9 %.
a..Penilaian
masyarakat
terhadap
rumah sehat
Responden
menilai
rumah
adalah salah satu kebutuhan pokok
manusia di samping sandang dan pangan.
Dimana rumah juga merupakan tempat
tinggal, tempat bermukim,
yang
dilengkapi dengan segala apa yang
diperlukan untuk kebutuhan hidup, sebagai
tempat berlindung yang aman. Dari hasil
kuesioner yang telah kami sebarkan maka
responden yang memahami fungsi
ventilasi dengan memperhatikan ventilasi
di setiap ruangan 34,5 %, dan pemahaman
akan jumlah anggota keluarga yang dapat
tinggal dalam satu kamar tidur diisi
dengan 2 anggota keluarga sebesar 41,8
%.
b..Penilaian masyarakat akan fasilitas
air bersih yang digunakan
Fasilitas
air
bersih
yang
digunakan oleh responden untuk masak,
minum, mandi dan cuci adalah berasal dari
air PDAM sebesar 100 %. Ini berarti
bahwa masyrakat kecamatan
Asemrowo telah mampu membeli air
bersih yang berasal dari PDAM.
c. Penilaian masyarakat tentang higiene
dan sanitasi lingkungan
Dari kuesioner yang telah kami
sebarkan, responden didalam menjawab
pertanyaan atas proses penyimpanan alat
dapur setelah digunakan lalu disimpan
dalam rak piring sebesar 60 %. Dan
didalam penyajian makan sebelum
dimakan yang diletakkan di lemari makan
sebesar 30, 9 %, diletakkan di meja makan
52,7 %, diletakkan di dapur tanpa tutup
saji 3,6 %, dan diletakkan di panci sebesar
12,7 %.
Higiene yang harus dilakukan
oleh perseorangan maupun masyarakat
dengan tujuan mencegah timbulnya
74
penyakit diare dan kulit, responden yang
telah menjawab pertanyaan meliputi:
1. Dalam masyarakat kebiasaan
untuk melakukan cuci tangan
terlebih dahulu, dilakukan jika
sesudah dan sebelum makan
sebanyak 74,5 %.
2. Dalam satu hari mandi berkali
– kali jika berkeringat 3,6 %,
3 kali dalam satu hari sebesar
41,8 %, 2 kali dalam satu hari
54,2 %.
3. Kebiasaan yang dilakukan
masyarakat untuk berganti
pakaian dalam satu, dilakukan
setiap berkeringat sebesar 7,3
%, 3 kali sekali sebesar 18,2
%, 2 kali sekali sebesar 58,2
%.
Penilaian hasil masyarakat
terhadap sanitasi, diperoleh
dari hasil responden dengan
menjawab pertanyaan:
1. Proses
yang
dilakukan
masyarakat, dalam mencuci
alat
dapur
dengan
menggunakan sabun cuci dan
dibilas dengan air sebesar 49,1
%.
2. Di daerah masyarakat tinggal
pernah adanya genangan air
dan kotoran. Keadaan tersebut
sering terjadi sebesar 14,5 %,
kadang – kadang terjadi
genangan sebesar 50,9 % .
3. Wilayah tempat tinggal yang
saat ini di tempati oleh
responden dominan dengan
pusat kegiatan, yang meliputi
pabrik 1,8 %, pasar 16,4 %,
jalan raya atau jalan dekat rel
kereta api sebesar 40 %, dan
pemukiman atau perumahan
padat sebesar 41,8 %.
4. Sarana pembuangan sampah
yang ada di daerah tempat
tinggal responden, berupa bak
sampah 81,8 %, di buang pada
saluran air sebesar 18,2 %.
5. Sarana
sanitasi
yang
digunakan masyarakat berupa
WC sebesar 96,4 %.
6. Letak WC dan kamar mandi
yang
digunakan
oleh
masyarakat berada di dalam
rumah 96,4 %, dan di luar
rumah 3,6 %.
d..Penilaian Masyarakat Terhadap
Penyebab Timbulnya Penyakit
Penilaian masyarakat terhadap
keadaan
lingkungan
yang
dapat
menimbulkan penyakit. Dari hasil
responden diperoleh bahwa:
1. Responden jika mengalami
sakit, maka akan berobat ke
puskesmas sebesar 60 %.
2. Penyakit yang sering diderita
masyarakat adalah; diare 76,4
%, penyakit infeksi kullit
sebesar 23,6 %.
3. Penyakit kulit yang sering
dialami responden
adalah,
koreng sebesar 65,5 %, bisul
25,5 %.
4. Faktor
kebersihan
dan
lingkungan merupan faktor
penyebab terjadinya penyakit
kulit, responden yang setuju
sebesar 54,5 %.
5. Faktor penyakit kulit yang
timbul saat ini akibat dari
penyakit
kulit
yang
sebelumnya,
responden
menjawab tidak berpendapat
sebesar 56,4 %. Ini berarti
masyarakat tidak mengerti
terhadap proses terjadinya
penyebarab penyakit kulit.
Dari analisis data diperoleh
koefisien korelasi r = 0,7380, Ini berarti
bahwa ada hubungan yang signifikan
antara higiene dan sanitasi lingkungan
dengan penyebab timbulnya penyakit kulit
di kecamatan Asemrowo Surabaya.
Koefisien korelasi bernilai positif, ini
berarti bahwa variabel bebas sebanding
dengan variabel terikat. Ini berarti bahwa
jika kondisi lingkungan sesuai dengan
prinsip-prinsip
rumah
sehat
maka
kemungkinan terjadinya kulit sangat kecil.
KESIMPULAN DAN SARAN
a..Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang kami
lakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Ada hubungan yang signifikan
antara
higien
dan
sanitasi
lingkungan dengan penyebab
timbulnya penyakit kulit di
kecamatan Asemrowo Surabaya.
75
2. Bila
higien
dan
sanitasi
lingkungan sesuai dengan prinsipprinsip kesehatan lingkungan
maka kemungkinan terjadinya
penyakit kulit relatif kecil .
b..S a r a n
Saran yang berupa konsep untuk
penataan
lingkungan di kecamatan
Asemrowo agar lebih baik dan
mengurangi timbulnya penyakit kulit di
kecamatan Asemrowo Surabaya,
yaitu :
1..Perlunya
penyuluhan
atau
pendidikan secara periodik tentang
perilaku hidup
sehat kepada masyarakat kecamatan
Asemrowo agar terhindar dari berbagai
macam
penyakit khususnya penyakit kulit.
2..Mencegah
secara
persuasive
masyarakat yang mendirikan rumah
dibantaran sungai
sesuai dengan peraturan pemerintah
RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang fungsi
sungai.
3..Hendaknya
pemerintah
menempatkan mereka di rumah susun
yang dibangun oleh
pemerintah, bagi mereka telanjur
membangun rumah disekitar bantaran
suangai
khususnya rumah kumuh.
Anies,
http://
dikunjungi
2006. Manajemen Berbasis
Lingkungan, Penerbit Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Azwar, 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan
Lingkungan, Penerbit Mutiara
Sumber Widya, Jakarta.
Asdak, 2004. Hidrologi Dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, Gajah
Mada
University
Press,
Yogyakarta.
Budiono, 2006. Metodologi Penelitian
Kesehatan,
Penerbit
Buku
Kedokteran,Jakarta.
Brooks,
Geo.F, 2005. Mikrobiologi
Kedokteran, Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
Chandara, Budiman, 2007. Pengantar
Kesehatan Lingkungan, Penerbit
Buku Kedoteran, Jakarta.
Darmono, 2001. Lingkungan Hidup Dan
Pencemaran, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Fardiaz, Srikandi, 1992. Populasi Air dan
Udara,
Penerbit
Kanisius,
Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
http://
kmpk.forumpustakamas.or.id- dikunjungi 26 Juni 2009
,11: 57 AM
Anonim,
http://
air.bappenas.go.iddikunjungi 27 Juni 2009 ,12:50 PM
Anonim,
http://
www.jasatirta1.go.id/berita- dikunjungi 16
Juni 2009,1:47 PM
Anonim,
piogama.ugm.ac.id/2009/0220 Juli 2009, 9:35 AM
Anonim,
id:wikipedia.org/wiki/wabah11 Maret 2009, 12:16 PM
http://
dikunjungi
Anonim,
http://
inspeksisanitasi.blogspot.com/2009/05dikunjungi 21 Juli 2009, 3:16 PM
Ginting,
Perdana,
2007.
Sistim
Pengelolaan Lingkungan dan
Limbah Industri, Penerbit Yrama
Widya, Bandung.
Hadi, Anwar, 2007. Prinsip Pengelolaan
Pengambilan Sampel Lingkungan,
Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Harahap, Marwali, 1990. Penyakit Kulit,
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Juli S.S, 2007. Kesehatan Lingkungan,
Penerbit Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
76
Julia S.S, 1999. Epidemiologi Lingkungan,
Penerbit Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Kodoatie, Robert J, 2005. Pengantar
Manajemen Infrastruktur, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Katalog BPS : 1403.3578, 2006/2007.
Surabaya Dalam Angka.
Suriawiria, Unus, 2008. Air Dalam
kehidupan Dan Lingkungan Yang
Sehat, Penerbit P.T. Alumni,
Bandung
Wesli,
2008. Drainase Perkotaan,
Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Wheler,
1989. Mikrobiologi Dasar,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Nazir, Moh, 1983. Metode Penelitian,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Oswari.
E, 2003. Penyakit dan
Penanggulangannya,
Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Ricky. M, 2005. Kesehatan Lingkungan,
Penerbit Graha Ilmu, Jakarta.
Sontak, Manik, K .E, 2003. Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Soepadmo.G, 1986. Simposium Penyakit
Infeksi
Kulit,
Penyelenggara
Perkumpulan
Ahli
DermatoVenereologi Indonesia, Jakarta
Sarudji,
Didik,
2006.
Wawasan
Lingkungan, Penerbit Media Ilmu,
Sidoarjo Jawa Timur.
Sarudji,
Didik,
2006.
Kesehatan
Lingkungan, Penerbit Media Ilmu,
Sidoarjo Jawa Timur.
Santoso, Gempur, 2007. Metodologi
Penelitian,
Penerbit
Prestasi
Pustaka, Jakarta.
Sumitrat, 2005. Epidomiologi Lingkungan,
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Saleh,2009. Kuliah Rekayasa Lingkungan,
Banjarmasin Press, Kalimantan
Selatan
Suriawiria, Unus, 2008. Mikrobiologi Air,
Penerbit P.T. Alumni, Bandung
77
Download