CHOLERA Asih Rahayu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak : Cholera adalah penyakit infeksi saluran usus yang bersifat akut dan disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, suatu bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang pada awal isolasi terlihat sebagai bentuk koma sehingga Robert Koch sempat memberi nama bakteri tersebut sebagai Komabacillus. Vibrio cholerae tidak bersifat invasif , melainkan tetap tinggal pada permukaan sel epithel usus halus, berkembang biak dan mengeluarkan exotoxin berupa enteroxin yang disebut choleragen. Penularan cholera umumnya melalui makanan atau minuman yang tercemar. Feces penderita merupakan sumber infeksi utama. Cholera dapat menyebar dengan cepat di tempat - tempat yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran/sewage dan sumber air yang tidak memadai. Selain Serogrup O 1 yang terdiri dari biotype el tor dan biotype cholerae saat ini telah ditemukan serogrup O139 yang secara fisiologis maupun biokimiawi mirip dengan Serogrup O 1 biotype el tor. Manifestasi klinis yang khas pada cholera adalah terjadinya diare yang mirip air cucian beras (rice water stools). Kata kunci : Cholera, Vibrio cholerae, choleragen, rice water stools CHOLERA Asih Rahayu Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract: Cholera is an acute disease in the intestinal tract caused by Vibrio cholerae bacteria, a short, gram negative rods bacteria that initially appears in a coma shape and thus Robert Koch called it Komabacillus. Vibrio Cholerae is not invasive, but it stay at the epithelial cell surface of the small intestine, multiplying and producing exotoxin in a form of enteroxin, called choleragen. Cholera's infection is commonly through the contaminated food and water. Feces of the patient is its main source of infection. Cholera can spread fastly in places with unproper sewages and water sources. Besides the O 1 Serogroup that contain biotype el tor dan biotype cholerae, the new serogrup O139 has found recently. The serogroup O139 is similar to the serogroup O1 biotype el tor, in physiologically and biochemically. The specific clinical manifestasion of cholerae is the diarrhea symptoms that looks like a rice water stools. Keyword: Cholera, Vibrio cholerae, Choleragen, Rice water stools PENDAHULUAN : Cholera adalah penyakit infeksi saluran usus yang bersifat akut dan disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini masuk kedalam tubuh host secara per oral umumnya melalui makanan atau minuman yang tercemar. Cholera dapat menular sebagai penyakit yang bersifat epidemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Dalam situasi adanya wabah / epidemi, feces penderita merupakan sumber infeksi. Cholera dapat menyebar dengan cepat di tempat - tempat yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran/sewage dan sumber air yang tidak memadai. Pada tahun 2010 ini dunia dikejutkan dengan adanya wabah cholera yang terjadi di Haiti semenjak bulan oktober 2010. Sampai 30 nopember 2010 angka resmi korban jiwa akibat Cholera di Haiti mencapai 1.721 orang. Ini merupakan musibah kedua bagi Haiti setelah terjadinya musibah gempa bumi 12 Januari 2010. Wabah ini berpusat di wilayah Lower Artibonite, di utara ibu kota Port-au-Prince. Di kota ini, 750 orang tewas akibat cholera, sedangkan di ibu kota Haiti, Port-au-Prince, sebanyak 162 orang meninggal akibat kolera. Kasus itu juga dilaporkan di daerah Dataran Tinggi Tengah (Central Plateau). Rumah sakit setempat penuh dengan penderita diare akut, dengan para korban meninggal disebabkan dehidrasi cepat, yang terkadang hanya dalam tempo beberapa jam, namun WHO dan PBB belum mengkonfirmasikan bahwa cholera sebagai penyebab kematian-kematian itu, sementara mereka menunggu hasil-hasil akhir uji laboratorium atas sampel-sampel yang diambil dari korban yang tewas dan sakit. Sebelumnya, Dirjen Departemen Kesehatan Haiti, Dr. Gabriel Thimote dan Menteri 1 Kesehatan Alex Larsen mengatakan, uji pendahuluan mengindikasikan cholera. Di Hinche , bagian tengah Haiti, pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah tentara Nepal yang telah jadi sasaran desas-desus yang beredar luas bahwa mereka membawa bakteri penyebab cholera ke Haiti. Misionaris PBB di Haiti, yang membantu negara miskin Karibia itu melakukan pembangunan kembali setelah gempa yang memporakporandakan negeri tersebut pada 12 Januari, telah membantah desas-desus bahwa kakus yang berada di dekat sungai di kamp pasukan pemelihara perdamaian PBB dari Nepal adalah penyebab wabah kolera. Pusat Pencegahan dan Pemantauan Penyakit AS (CDC) telah menyatakan pemeriksaan DNA memperlihatkan rangkaian cholera di Haiti berkaitan erat dengan rangkaian dari Asia Selatan,tetapi CDC belum menunjuk kepada sumber tersebut atau mengaitkannya secara langsung dengan tentara Nepal, yang dikatakan PBB telah diperiksa negatif mengenai penyakit itu. 6,7,8,9 ETIOLOGI : Cholera pada manusia disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini merupakan salah satu spesies dari genus Vibrio yang merupakan famili Vibrionaceae. Genus Vibrio terdiri lebih dari 30 spesies yang biasanya ditemukan pada lingkungan perairan. Vibrio yang pathogen terhadap manusia adalah Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus. Hampir semua genus Vibrio menghasilkan enzim Oxydase dan memberikan hasil uji Indol yang positif. Genus Vibrio terdiri dari non-halophilic yang tidak memerlukan garam dalam pertumbuhannya, diantaranya adalah Vibrio cholerae dan halophilic yang memerlukan garam dalam pertumbuhannya , diantaranya adalah Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus.3 Vibrio cholerae merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dengan ukuran sekitar 0,5 µm x 1,5-3 µm. Bakteri ini tampak berbentuk seperti tanda koma pada awal isolasi, oleh karena itu Robert Koch sempat memberi nama bakteri tersebut sebagai Komabacillus.5 Pada biakan tua, bakteri ini akan tampak berbentuk batang lurus mirip dengan bakteri enterik Gram negatif . Vibrio cholera bersifat motil, aktif bergerak dengan menggunakan flagella tunggal yang terletak di salah satu ujungnya.1,5,11 Vibrio cholerae merupakan bakteri fakultatif anaerob yang mempunyai suhu optimum pertumbuhan sekitar 18°C - 37°C. Sistim metabolismenya adalah respiratif maupun fermentatif. Bakteri ini tumbuh baik pada media sederhana yang mengandung sumber karbohidrat , bahan- bahan anorganik nitrogen, sulfur, phosphor dan berbagai macam mineral. Tingkat keasaman /pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0 tetapi bakteri ini toleran pada pH alkalis sampai 9,0 . Olleh karena itu pH alkalis ini dijadikan dasar untuk membuat media isolasi Vibrio cholerae. Pada tingkat keasaman /pH acid ≤6,0 bakteri ini akan mati. Sebagai media seletif untuk bakteri ini adalah TTGA/Tellurite Taurocholate Gelatin Agar atau TCBS/Thiosulfate Citrate Bile Sucrose Agar. Vibrio cholerae umumnya memfermentasi sucrosa dan manosa tetapi tidak memfermentasi arabinosa. 1,5 Antigen penting untuk serologic typing terhadap Vibrio cholerae adalah antigen O atau Somatic antigen. Hingga saat ini tercatat lebih dari 130 serogrup O. Serogrup O1 terdiri dari biotype el tor dan cholerae yang menyebabkan classic epidemic cholerae. Biotype el tor berbeda dengan biotype cholera/classic karena kemampuannya menghasilkan hemolisin dan kepekaannya terhadap polymixin B, el tor menghasilkan hemolisin dan resisten terhadap polymixin B sedanghan cholerae/classic tidak menghasilkan hemolisin serta sensitif terhadap polymixin B. Kedua biotype tersebut secara serologis terdiri dari serotype Ogawa, Inaba dan Hikojima. Serogrup non O1 menyebabkan diare yang lebih ringan pada manusia. Semua strain Vibrio cholerae mempunyai antigen H/flagellar yang sama. 1,3,5 Antigen O dari Vibrio cholerae merupakan bagian dari LPS/lipopolysacharide , yaitu komponen dari dinding selnya. EPIDEMIOLOGI: Biotype el tor maupun biotype cholerae keduanya dapat menyebabkan wabah pada manusia. Semenjak tahun 1817 telah tercatat 7 pandemi dan sampai pandemi ke 7 dimana sudah ditemukan pengobatan yang cukup efektif, masih saja menimbulkan 2 tingkat kematian yang tinggi. Pada tahun 1947 di Mesir terjadi epidemi yang menewaskan 22.000 diantara 33.000 penderitanya. Di Amerika Serikat terjadi kematian 150.000 orang akibat cholera pada pandemi ke dua pada tahun 1832-1849, selanjutnya pada pandemi tahun 1866 terjadi kematian 50.000 orang. Pada pandemi ke lima dan ke enam tercatat disebabkan oleh biotype cholerae sedangkan pada pandemi ke tujuh tercatat disebabkan oleh biotype el tor. Sejak 1982 di Bangladesh terjadi peningkatan hasil isolasi dari biotype cholerae. 5 Pada tahun 1973 biotype cholerae/classic tercatat di Bangladesh dan menyebar ke Indonesia, Timur Jauh dan Afrika . Pada tahun 1991 mencapai Amerika Selatan yaitu Peru yang merupakan terjadinya epidemi pertama pada abad duapuluh . Sampai dengan Desember 1993 terjadi epidemi di seluruh wilayah Amerika latin kecuali Uruguay dengan jumlah kematian 7000 dari 820.000 kasus. Semenjak 1993 kasus penyakit ini di Barat menurun dan saat ini kasus ini kebanyakan terjadi di Afrika dan Asia.3 Infeksi cholera umumnya ditularkan melalui kontaminasi bakteri Vibrio cholerae pada air atau makanan misalnya makanan yang tidak dimasak atau buah – buahan. Sebagai sumber kontaminasi bakteri ini adalah feces dari penderita atau feces dari carrier, selain itu kontaminasi dapat terjadi secara alamiah melalui sumber air mengingat bahwa bakteri ini adalah bakteri yang mempunyai habitat di perairan. Cholera secara karakteristik merupakan penyakit pada masyarakat yang bermasalah dengan standar kesehatan lingkungan yang tidak memadai, pemakaian sumber air bersama misalnya tandon air, sungai atau dengan kata lain fasilitas mandi, cuci dan kakus bersama. Pada tahun 1992 terjadi kasus cholera di Madras , India dan pada pertengahan Januari 1993 isolat yang serupa ditemukan di Bangladesh dan secara cepat meluas ke arah utara mengikuti arah aliran sungai serta menimbulkan pandemi baru. Pada tahun 2002 diperkirakan terjadi 30.000 kasus di Dhaka, Bangladesh. Strain baru ini ternyata tidak mengaglutinasi semua antisera dalam serogrup O dan hanya dapat diuji dengan serogrup baru yaitu O139 Bengal, tetapi secara fisiologis maupun biokimiawi lebih menyerupai Vibrio cholerae O1 el tor. Strain Vibrio cholerae O139 ini dapat ditemukan bersama-sama dengan amoeba, copepoda dan zooplankton yang mungkin bertindak sebagai reservoir bakteri ini.3 PATOGENESA DAN MANIFESTASI KLINIS : Faktor penentu patogenitas dari Vibrio cholerae adalah kemampuannya memproduksi enterotoxin dan kemampuan motilitasnya. Enterotoxin yang dihasilkan merupakan exotoxin yang disebut sebagai Cholera Toxin /CT atau Choleragen. 1,3,5,10,11 Menurut Greenwood, faktor penentu patogenitas Vibrio cholerae selain kemampuan membentuk toksin adalah adanya ekspresi dari “toxin-co-regulated pili”.3 Choleragen adalah toxin protein oligometrik. Toxin ini tersusun dari 1 Sub Unit A dengan BM 27.200 D yang terdiri dari 2 fragmen A1 dan A2 yang terikat bersama oleh ikatan disulfide serta 5 Sub Unit B dengan BM masing – masing 11.200D. 3,10 Untuk dapat menimbulkan cholera, sedikitnya harus ada minimal 108 – 1010 bakteri Vibrio cholerae yang menginfeksi, hal ini berbeda dengan salmonellosis atau shigellosis yang dosis infektifnya 102 -105. 1,10 Bakteri penyebab cholera ini bukan bakteri yang infeksinya bersifat invasif. Vibrio cholerae tidak mencapai peredaran darah sehingga tidak menimbulkan bakteriemia melainkan tetap tinggal pada permukaan sel epithel usus halus, berkembang biak dan mengeluarkan toxin choleragen, enzim mucinase serta endotoxin. Bila sel epithel usus halus terpapar choleragen maka Sub Unit B akan melekat pada gangliosit GM1 pada membrane sel epithel usus halus, perlekatan ini dibantu oleh adanya hemaglutinin, lipopolisakharida serta pili. Selanjutnya Sub Unit A akan melewati membrane sel epithel usus halus dengan cara menghidolisis ikatan disulfide sehingga Sub Unit A1 terpisah dengan Sub Unit A2. Sub Unit A1 mempunyai aktifitas transferase ribose-ADP dan merangsang pemindahan ribose-ADP dari NAD ke protein pengikat GTP yang mengendalikan aktifitas adenilat siklase. Ribosilasi ADP dari protein pengikat GTP akan menghambat reaksi penghentian GTP dan menyebabkan berhentinya kenaikan dalam aktifitas adenilat siklase, akibatnya 3 terjadi kenaikan cAMP intraseluler , menimbulkan sekresi cairan isotonis dari sel epithel usus ke dalam lumen usus halus.10 Choleragen tidak memblokade atau mencegah reabsorbsi natrium dan air oleh usus halus atau colon, tetapi pada kasus cholera yang akut sekresi air dan ion dari sel mukosa usus halus melebihi kemampuan colon mengasorbsi yang hilang. Masa inkubasi cholera variatif mulai dari beberapa jam hingga 5 hari, umumnya 23 hari. Diperkirakan selama hasil pemeriksaan feces masih positif, maka penderita tersebut masih berpotensi sebagai sumber penularan dan akan berlangsung hingga beberapa hari setelah dinyatakan sembuh, bahkan status sebagai carrier berlangsung hingga beberapa bulan 2 kemudian. Secara klinis yang pertamakali dirasakan oleh penderita adalah rasa penuh di abdomen , hilangnya nafsu makan , telapak tangan serta kaki terasa dingin. Berikutnya secara tiba – tiba mual, muntah dan diare hebat. Feces yang cair yang mula – mula berwarna coklat kemudian berubah menjadi pucat berisi sedikit lendir yang secara klasik diistilahkan sebagai “rice water stools” / air cucian beras. Diare ini dapat mencapai 24 liter per hari. 1,2,3,5,10,11 DIAGNOSA LABORATORIS : Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi Vibrio cholerae dari serogrup O1 atau O139 dari feces penderita. Bila fasilitas laboratorium tidak tersedia, medium transport misalnya Cary-Blair dapat digunakan untuk membawa atau menyimpan specimen yang berupa rectal swab/ apus dubur penderita.3 Diagnosa klinis presumptif secara cepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis memakai dark-field microscope untuk melihat gerakan dari bakteri yang khas seperti bintang jatuh /”shooting stars” .Untuk keperluan epidemiologis diagnosa presumptif dibuat berdasarkan adanya kenaikan titer antitoksin dan antibody spesifik yang bermakna. Di daerah non-endemis, bakteri yang diisolasi dari kasus yang dicurigai sebaiknya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis yang tepat serta dilakukan uji kemampuannya untuk menghasilkan choleragen. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan konfirmasi laboratorium dan uji sensitivitas antibiotika, maka terhadap semua kasus yang lain tidak perlu lagi dilakukan uji laboratorium. 3 Mula – mula specimen yang berupa feces penderita diinokulasi pada APW / Alkaline Pepton Water, pada media ini nantinya Vibrio cholerae akan tumbuh secara cepat dan terakumulasi di bagian permukaan media setelah diinkubasi selama 3-6 jam. Selanjutnya inokulum diinokulasi pada media TCBS, pada medium ini Vibrio cholerae akan tumbuh sebagai koloni yang berwarna kuning dan memfermentasi sucrose. Selanjutnya dilakukan uji oxydase dan aglutinasi.1,3,5 PENGOBATAN : Pada dasarnya ada 3 macam cara pengobatan terhadap penderita Cholera yaitu terapi rehidrasi yang agresif, pemberian antibiotika yang tepat serta pengobatan untuk komplikasi bila ada. Rehidrasi dapat dilakukan per oral maupun intra vena tergantung kebutuhan dan hal ini ditujukan untuk memperbaiki kekurangan cairan dan elektrolit pada penderita. Untuk memperbaiki dehidrasi, acidosis dan hipokalemia pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang cukup diberikan larutan rehidrasi secara per oral/oralit yang mengandung glukosa 20g/l atau sukrosa 40g/l atau air tajin 50g/l, NaCl 3½ g/l, KCl 1½ g/l, dan trisodium sitrat dihidrat 2.9 g/l atau NaHCO3 2½g/l. Oralit formula baru yang disahkan WHO Expert Committee pada Juni 2002 mengandung glukosa 75mmol/l, NaCl 75 mmol/l, KCL 20 mmol/l, trisodium sitrat dihidrat 10mmol/l dengan total osmolaritas 245mOsm/l. Cairan ini diberikan lebih dari 4-6 jam agar jumlah cairan yang diberikan dapat mengganti cairan yang diperkirakan hilang yaitu 5% dari Berat Badan untuk dehidrasi ringan dan 7% Berat Badan untuk dehidrasi sedang. Pada penderita dengan kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat diberikan cairan rehidrasi per oral selama lebih dari 4 jam sebanyak 1½ kali dari volume cairan diare yang hilang.2 Penderita yang mengalami shock sebaiknya diberikan rehidrasi cepat secara intravena dengan larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130mEq/l Na+, 25-48 mEq/l bikarbonat, 4 asetat atau ion laktat, dan 10-15mEq/l K+. Larutan yang bermanfaat antara lain Ringer’s lactate. Larutan pengobatan diare dari WHO yang terdiri dari 4g NaCl, 1g KCl, 6½g Natrium Asetat dan 8g glukosa/l, atau larutan Dacca yang terdiri dari 5g NaCl, 4g NaHCO3 , dan 1g KCl/l dapat dibuat di tempat pada keadaan darurat.2 Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume larutan rehidrasi dan memperpendek ekskresi bakteri melalui feces. Antibiotika Tetrasiklin 500 mg 4 x per hari pada usia dewasa atau 12,5 mg /kg Berat Badan 4x per hari selama 3 hari . Dengan adanya strain yang resisten maka perlu informasi tentang sensitivitas dari strain local terhadap beberapa antibitiotika terlebih dahulu. Sebagai obat alternatif dapat diberikan Trimethoprim 320mg dan 1600 sulfamethoxazol 2 x per hari untuk dewasa atau Trimethoprim 8mg/kg Berat Badan dan 40mg/kg Berat Badan sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak anak selama 3 hari. Selain itu dapat dipakai Furazolidon, erytromisin atau siprofloksasin.2 PENCEGAHAN: Secara primer pencegahan terhadap cholera adalah dengan cara perbaikan hygiene pribadi dan masyarakat yang ditunjang dengan penyediaan sistim pembuangan kotoran / feces yang memenuhi syarat serta penyediaan air bersih yang memadai. Penderita harus secepatnya mendapatkan pengobatan dan benda – benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus didisinfeksi. Pemberian imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell per enteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah ataupun kontak, karena vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial sekitar 50% dalam jangka waktu yang pendek sekitar 3-6 bulan di daerah endemis tinggi dan tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian imunisasi ini tidak direkomendasikan. Dua macam vaksin oral yaitu CVD103-HgR atau SSV1 sedang dipertimbangkan untuk digunakan dalam upaya pemberantasan cholera sebagai upaya tambahan terutama dalam situasi darurat seperti pada bencana alam di kalangan pengungsi. Uji lapangan berskala besar telah dilakukan di Mozambique pada tahun 20032004. 2,3 DAFTAR PUSTAKA 1. Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC. hal 256258 2. Chin J.2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Infomedika. hal 118-129. 3. Greenwood D et al. 2007. Medical Microbiology. 17thEd. Churchill Livingstone. hal 309-312. 4. Harian Analisa. 2010. Angka Resmi Korban Jiwa Kolera di Haiti Naik, Capai 1.721 Orang. 2 /12/ 2010. 5. Joklik WK et al. 1996. Zinsser Microbiology. 20th Ed. Appleton & Lange. hal 566-570. 6. KOMPAS.com. 2010. Tentara PBB Penyebar Kolera di Haiti ?. 16/11/2010. 7. Liputan6.com. 2010. Protes Wabah Kolera Menyebar ke Port-au-Prince. 20/11/2010. 8. Liputan6.com.2010. Wabah Kolera Serang Anak – anak.28/11/2010. 9. MEDIA INDONESIA.Com. 2010. Korban Tewas Akibat Kolera di Haiti 1.721 orang. 30/11/2010. 10. Shulman ST dkk. 1994. Dasar Biologis & Klinis Penyakit Infeksi. Edisi 4. Gadjah Mada University Press. hal 17,27,299, 307-311. 11. Tortora GJ et al. 20o9. Microbiology.10thEd. Pearson International Edition. 716-717. 5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEJADIAN KECACINGAN YANG DISEBABKAN OLEH SOIL-TRANSMITTED HELMINTH DI INDONESIA Bagus Uda Palgunadi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak: Soil –Transmitted Helminth adalah nematoda usus yang di dalam penularannya atau siklus hidupnya melalui tanah. Nematoda usus yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah cacing gelang Ascaris lumbricoides, cacing cambuk Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma dudenale). Penyakit kecacingan umumnya masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tenaga kesehatan sebab dipandang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Kejadian penyakit kecacingan khususnya yang disebabkan oleh Soil-Transmitted Heminth di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi lingkungan , sosio-ekonomi , perilaku, usia serta tingkat pendidikan penderita merupakan factor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminth. Kata Kunci :Kecacingan, Soil-Transmitted Helminth, Nematoda usus, Ascaris lumbricoides, Cacing tambang, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis FACTORS THAT AFFECT HELMINTHIASIS CASE CAUSED BY SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS IN INDONESIA Bagus Uda Palgunadi Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract : Soil-transmitted helminth is a intestinal nematodes that its infection or its lifecycle is through the soil. Intestinal nematodes that classified as the soil-transmitted helminth is roundworm Ascaris lumbricoides, whipeworm Trichuris trichiura, Stronglyloides stercoralis also hookworm Necator americanus and Ancylostoma duodenale. Helminthiasis is usually ignored by the society or medics, because it doesn't cause a serious epidemic or deaths. In Indonesia, helminthiasis cases caused by Soil-Transmitted Helminths is still high. These infection cases is affected by some factors such as environmental condition, social-economic, daily habits, age and educational level. Keywords: Helminthiasis, Soil- Transmitted Helminth, Ascaris lumricoides, Hookworm, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis. PENDAHULUAN: Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang mendapat perhatian, sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Walaupun demikian, penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai berat yang ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa tidak enak di perut, gatal – gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi , pneumonitis, syndrome Loeffler dan lain – lain. Terjadinya penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kondisi lingkungan penderita , sosio-ekonomi penderita serta tingkat pendidikan penderita. Salah satu penyakit kecacingan yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth yaitu golongan nematode usus yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Menurut Faust , Soil-Transmitted helminth adalah nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah. (Faust EC et al,1976) Cacing yang tergolong dalam SoilTransmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, 6 Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Di Indonesia infeksi oleh Soil-Transmitted Helminth ini paling banyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura , Necator americanus. Masalah penyakit kecacingan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan iklim dan kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi. Pada saat musim hujan, udara yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi kesehatan yang rendah merupakan faktor penyebab tingginya kejadian penyakit kecacingan. Cara yang paling tepat untuk menanggulangi dan memberantas parasit adalah dengan cara memutus lingkaran hidup cacing, pengobatan masal secara periodik, perbaikan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat dan menghindarkan pencemaran tanah oleh feces penderita. ETIOLOGI Penyakit kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus, sebagian besar penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau SoilTransmitted Helminths. Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) Ascaris lumbricoides: Di Indonesia cacing ini dikenal sebagai cacing gelang. Predileksi cacing dewasanya terdapat di dalam lumen usus halus manusia, tetapi kadang-kadang dijumpai mengembara ke bagian usus lainnya. Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara , yaitu masuknya telur infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar dan melalui tangan yang kotor atau terhirup bersama debu udara yang tercemar telur infektifnya. Bila telur infektif yang berukuran 75 x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka di bagian atas dari usus halus, dinding telur akan pecah dan larva akan keluar dari telur. Kemudian larva akan menembus dinding usus halus, mamasuki vena porta dan bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus dinding kapiler menuju alveoli. Dari alveoli larva menuju bronchi, trachea, larynx, pharynx kemudian dibatukkan dan tertelan masuk ke oesophagus, selanjutnya turun ke lambung dan akhirnya menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina berukuran 22 – 35 cm dan lebih besar dibandingkan cacing jantan yang berukuran 10 – 31cm.(Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell EK et al, 1992 ; Soedarto, 2008) Ancylostoma duodenale dan Necator americanus : Cacing ini dikenal dengan nama cacing tambang. Predileksi cacing dewasanya di mucosa usus halus, terutama di mucosa duodenum dan jejenum manusia. Kedua species cacing ini melekatkan diri pada membrane mucosa usus halus dengan menggunakan gigi kitin atau gigi pemotong dan menghisap darah dari luka gigitannya. (Neva A and Brown HW.1994 ; Markell EK et al, 1992) Manusia merupakan hospes satusatunya bagi kedua cacing ini. Telur kedua species cacing ini sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 mikron, sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 mikron. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform dengan ukuran 500 – 700 mikron, larva filariform ini adalah larva infektif untuk manusia. Larva infektif masuk ke dalam hospes melalui folikel rambut, pori-pori atau melalui kulit yang utuh. Kemudian larva masuk ke dalam saluran limfe atau vena kecil, masuk kealiran darah menuju jantung dan paru, menembus kapiler masuk ke alveoli. Selanjutnya larva mengadakan migrasi ke bronchi, trachea, larynx, pharynx dan akhirnya tertelan masuk oesophagus. Di oesophagus terjadi pergantian kulit yang ketiga kalinya dan mulai terbentuk rongga mulut sementara yang memungkinkan larva ini mengambil makanan. Dari oesophagus larva mencapai usus halus dan berganti kulit untuk yang keempat kalinya, kemudian 7 tumbuh menjadi cacing dewasa yang berukuran panjang 9-13mm untuk betina dan 5-11mm untuk jantan dengan bursa copulatrix di ujung posteriornya . (Neva A, 1994 ; Markell EK, 1992 ; Soedarto, 2008). Trichuris trichiura: Cacing ini disebut juga sebagai cacing cambuk yang mempunyai ciri-ciri berupa, bagian anterior seperti cambuk dan agak meruncing, 3/5 bagian tubuhnya dilalui oesophagus yang sempit. Bagian posterior lebih tebal, 2/5 bagian dari tubuhnya berisi usus dan organ reproduksi. Cacing jantang berukuran 30 – 45 mm, sedangkan cacing betina berukuran 35 – 50 mm. bagian posterior cacing jantan berbentuk melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil, sedangkan bagian posterior cacing betina berbemtuk bulat dan tumpul. Predileksi cacing ini pada mucosa cecum manusia. ( Neva A and Brown HW, 1994) Telurnya berukuran 50 x 23 mikron dan berbentuk seperti tempayan dengan 2 kutub yang jernih dan menonjol serta kulit luarnya berwarna kekuning-kuningan. Manusia tertular karena tertelannya telur infektif dari cacing ini. Di dalam usus, dinding telur akan pecah dan larva cacing keluar menuju bagian proksimal dari usus halus, kemudian larva menembus vili-vili usus halus dan menetap selama 3-10 hari. Selanjutnya larva turun ke bawah menuju cecum dan menjadi dewasa di sana. ( Neva A and Brown HW, 1994 : Markell EK et al, 1992 ; Soedarto, 2008) Strongyloides stercoralis Cacing ini disebut juga dengan cacing benang. Predileksi cacing dewasanya pada mucosa usus halus terutama duodenum dan jejunum manusia. Cacing dewasa betina mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus yang panjang. Telur cacing ini berukuran 54 x 32 mikron, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang mempunyai ukuran 200 – 250 mikron. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan masuk ke dalam lumen usus. Terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya yaitu : Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi yaitu larva rabditiform dalam usus halus berubah menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus mukosa usus masuk ke dalam peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, menembus kapiler menuju alveoli, kemudian migrasi ke bronchi, larynx, pharynx dan tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan kedua, yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita. Di tanah, larva rabditiform setelah 2-3 hari berubah menjadi larva filariform yang merupakan larva infektif. Manusia tertular akibat masuknya larva infektif melalui kulit, masuk ke dalam peredaran vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, kemudian menembus kapiler menuju alveoli, dan mengalami migrasi ke bronchus, larynx, pharynx , tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan ke tiga yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita, ditanah berubah menjadi larva filariform kemudian berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina yang hidup bebas. Setelah kopulasi, cacing betina yang hidup bebas menghasilkan telur yang kemudian menetas menjadi larva rabditiform dan selanjutnya menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian larva filariform akan menembus kulit hospes dan sesudah melalui tahap migrasi paru larva akan menjadi dewasa dalam usus halus. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell et al, 1992; Soedarto, 2008). EPIDEMIOLOGI Infeksi oleh nematode usus biasanya berkaitan dengan jeleknya hygiene. Infeksi ini selalu ada terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam jumlah sedikit biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat menimbulkan masalah yang serius terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti oleh terhambatnya perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006) Ascariasis merupakan penyakit endemic di daerah tropis dan subtropis tetapi secara sporadis dapat terjadi di seluruh dunia. Penduduk pedesaan dengan kondisi sanitasi yang buruk mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi cacing ini. Orang dewasa biasa terinfeksi karena makan sayur mentah yang terkontaminasi oleh telur cacing ini baik 8 dari feces penderita maupun dari tanah yang tercemar feces penderita, sedangkan pada anak – anak biasa terinfeksi dengan jalan tangan ke mulut ( hand to mouth) atau karena kebiasaan mengulum benda – benda atau mainan yang terkontaminasi telur cacing ini. Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan feces yang memenuhi syarat menurunkan tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik WK,1992) Menurut WHO (1985) yang dikutip oleh Onggowaluyo, infeksi parasit yang penting di dunia ada sepuluh yaitu Ascarislumbricoides, hookworm, Plasmodium, Trichuris trichiura, Amoeba, Filaria, Schistosoma sp., Giardia lamblia, Trypanosoma sp dan Leishmania sp. Dgn jumlah penderita cacing tambang 700.000.000, schistosomiasis 180.000.000, semua parasit usus 1.800.000.000 serta malaria 25.000.000. (Onggowaluyo JS, 2001) Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%, sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang secara berturutan pada tahun 2002 – 2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%. ( Depkes RI, 2006) Kejadian infeksi kecacingan pada anak berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat, dengan demikian berarti bahwa pengertian berperilaku hidup sehat akan menurunkan insidensi kecacingan pada anak.(Aria G, 2004) Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang penting baik di daerah iklim dingin maupun iklim panas, tetapi cacing ini lebih umum ditemukan di daerah beriklim panas dengan kelembaban yang tinggi dan paling banyak ditemukan di tempat-tempat dengan sanitasi yang jelek. Ascariasis ditemukan pada semua umur, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5 samapi 10 tahun. Di Indonesia kejadian ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai 80 %. (Onggowaluyo JS, 2001) Insiden kecacingan akibat cacing tambang cukup tinggi di Indonesia, kasus penyakit ini banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi cacing tambang ini berhubungan erat dengan kebiasaan Buang Air Besar di tanah. Kondisi tanah yang gembur , berpasir dan temperature sekitar 23 - 32°C merupakan tempat yang paling sesuai untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo JS, 2001) Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama didaearahdaerah pedesaan, antara 30% - 90%. Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh. (Onggowaluyo JS, 2001) PATOGENESA DAN MANIFESTASI KLINIS Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larva, cacing dewasa tinggal diantara lipatan mukosa usus halus dan dapat menimbulkan iritasi sehingga dapat menimbulkan rasa tidak enak di perut, mual serta sakit perut yang tidak nyata. Kadang-kadang cacing dewasa terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan dimuntahkan, sehingga keluar melalui mulut atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba eustachii. Dinding usus dapat ditembus oleh cacing dewasa sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sumbatan pada lumen usus serta toxin yang dihasilkannya akan menimbulkan manifestasi keracunan misalnya, oedema muka, uticaria dan nafsu makan menurun. Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan eosinofili dan alergi berupa urticaria, gejala infiltrasi paru, sembab pada bibir serta sindroma Lofflers. Larva yang migrasi ke organ lain dapat menimbulkan endophthalmitis, meningitis dan encephalitis. Pada anak-anak sering kali terlihat gejala perut buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan berwarna merah serta kurus akibat defisiensi gizi dan anemia. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). 9 Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat Menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh Necator americanus. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) Strongylidiasis ringan biasanya tidak menimbulkan gejala, pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang dalam mukosa duodenum menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium, disertai rasa mual , muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Pada infeksi berat dan kronis mengakibatkan berat badan turun, anemi, disentri menahun serta demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian dapat terjadi akibat bersarangnya cacing betina di hampir seluruh epithel usus, meliputi daerah lambung sampai ke daerah colon bagian distal yang disertai infeksi sekunder bakteri. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009) Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme dari terjadinya infeksi jangka panjang yang menetap dan bertahun-tahun. Parasit dan hospesnyan berada dalam status keseimbangan sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti. Jika oleh karena sesuatu hal, keseimbangan ini terganggu dan keadaan imunitas penderita menurun, maka infeksinya akan meluas dan meningkatkan produksi larva dan larvanya dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh. Keadaan ini disebut dengan sindroma hiperinfeksi. (Gracia, 1977) Trichuriasis paling sering menyerang anak usia 1 – 5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadangkadang terlihat pada mucosa rectum yang prolaps. Infeksi kronis dan sangat berat menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat mencapai 3 gr%, karena seekor cacing setiap hari menghisap darah 0,005 cc, diare dengan feses sedikit dan mengandung sedikit darah, sakit perut, mual, muntah serta berat badan menurun, kadangkadang disertai prolapsus recti. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI : Sampai saat ini kejadian penyakit kecacingan akibat infeksi nematode usus golongan Soil-Transmitted helminth masih cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang menunjang. Perilaku Buang Air Besar tidak pada jamban menyebabkan terjadinya pencemaran tanah oleh telur cacing cacing tambang sehingga meningkatkan resiko terinfeksi terutama pada orang atau anak – anak yang tidak memakai alas kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada lingkungan rumah dengan tanah halaman terkontaminasi telur cacing tambang memiliki resiko terinfeksi larva cacing tambang sebesar 13,0 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal pada lingkungan rumah tanpa kontaminasi telur cacing tambang. (Sumanto D,2010) Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis didapatkan taksiran tingkat prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di LPA Lakarsantri Surabaya sebesar 83,3%. Tingginya angka infeksi ini menunjukkan bahwa terdapat factor-faktor yang sangat menunjang, salah satunya adalah pencemaran tanah oleh telu atau larva cacing golongan soil-transmitted helminth. Dari hasil penelitian diketahui bahwa taksiran tingkat prevalensi pencemaran tanah adalah sebesar 93,3%. Hali ini menunjukkan refleksi dari perilaku buang air besar disembarang tempat yang ternyata sesuai dengan pengamatan dan hasil wawancara dilapangan bahwa dari 90 responden yang merupakan pemukim di LPA, 100% melakukan buang air besar dihalaman tempat tinggalnya atau lahan LPA. (Palgunadi BU, 1998) 10 Anak yang tinggal dalam keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di kebun dan tempat lain halaman rumah, beresiko terinfeksi cacing tambang 4,3 kali lebih besar disbanding anak yang tinggal dengan keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di jamban. (Sumanto D, 2010) Sanitasi rumah merupakan faktor resiko kejadian infeksi cacing tambang, anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang buruk beresiko sebesar 3,5 kali lebih besar terinfeksi cacing tambang dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang baik. (Sumanto D, 2010) Hasil penelitian terhadap pemukim di LPA menunjukkan terjadi infeksi cacing tambang sebesar 70%. Tingginya angka tersebut kemungkinan disebabkan oleh prilaku seringkali tidak memakai alas kaki. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan dan wawancara di lapangan terhadap 90 responden, 76,7% mempunyai prilaku seringkali tidak memakai alas kaki. (Palgunadi BU, 1998) Anak yang mempunyai kebiasaan tidak memakai alas kaki beresiko terinfeksi cacing tambang 3,29 kali lebih besar dibanding anak yang mempunyai kebiasan memakai alas kaki dalam aktifitasnya seharihari.(Sumanto D, 2010) Anak yang mepunyai kebiasaan bermain dalam waktu yang lama di tanah, beresiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali lebih besar disbanding anak yang hanya sebentar bermain di tanah dalam sehari. (Sumanto D, 2010) Penelitian yang dilakukan terhadap pemukim di LPA Lakarsantri Surabaya menunjukkan taksiran tingkat prevalensi ascariasis dan trichuriasis masing-masing sebesar 33,3% dan 8,8% relative lebih rendah dibandingkan dengan infeksi cacing tambang sebesar 70 %, hal ini disebabkan karena dari 90 responden pemukim LPA sebanyak 64,4% mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan 86,7% tidak menyukai makan sayur mentah. (Palgunadi BU, 1998) Faktor iklim misalnya temperatur, kelembaban, curah hujan, mungkin merupakan faktor penting prevalensi infeksi Soil-Transmitted Helminth di Bali. Tingkat pendidikan yang rendah, hygiene pribadi dan lingkungan yang buruk , sosio ekonomi yang rendah dan perilaku juga merupakan faktor lain yang berpengaruh. (Wijana DP and Sitisna P, 2000) Di Negara kaya dan maju banyak penyakit parasit yang dapat diberantas, sebaliknya pada Negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo JS,2001) KESIMPULAN Dari kajian diatas, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing Soil-Transmitted Helminth di Indonesia adalah : 1. Faktor iklim : Indonesia merupakan daerah beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi serta suhu yang menunjang perkembangan biakan larva maupun telur cacing. 2. Tingkat pendidikan : Penduduk Indonesia sebagian besar masih tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian pribadi dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (ditanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan. 3. Sosio-ekonomi : sebagian besar masyarakat Indonesia, berpenghasilan rendah, hal ini menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Aria G, 2004. Hubungan Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah di Nagari Kumanis Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.UGM. Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi Kedoktran. Edisi 20. EGC. Hal. 670-678. Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia. 11 Elmi, dkk. 2004. Status Gizi dan Infestasi Cacing Usus pada Anak Sekolah Dasar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Sumatera Utara. Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Tesis.Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Faust Ec et al.1976. Craig and Faust Clinical Parasitology.9thedition. Philadelphia.Lea & Febiger. Widjana DP and Sutisna P. 2000. Prevalence Of Soil-Transmtted Helminth Infection In The Rural Pupulation Of Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health vol. 31 No. 3 September 2000. Garcia LS and Bruckner DA. 1997. Diagnostic Medical Parasitology. 3rd edition. ASM Press. Ginting SA. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan Pada anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Sumatera Utara. USU Digital Library. Greenwood D et al. 2007. Medical Microbiology. 17th edition. Churchill Livingstone. pp. 634-636. Joklik WK et al. 1992. Zinsser Microbiology. 20th edition. Appleton and Lange. pp. 11861202. Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders Company. pp. 261-286. Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubung yang Diserang. EGC. Hal. 69-86. Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th edition. Prentice-Hall Intenational Inc. pp. 113-151. Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC. Hal. 11-31. Palgunadi BU. 1998. Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Usus Dalam Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Cacing Usus. Tesis. Program Pasca Sarjana Unuversitas Airlangga. Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Hal. 71-96. Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi 12 PATOGENESIS INFEKSI VIRUS DENGUE oleh Evisina Hanafiati Frans Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Email:[email protected] ABSTRAK Demam Dengue adalah penyakit disebabkan virus yang ditularkan oleh nyamuk.Penyakit ini menjadi endemik dan berpotensi menyebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dengue virus sebagai penyebab infeksi virus dengue memiliki variasi tampilan klinis mulai dari demam ringan (demam dengue) hingga manifestasi perdarahan yang fatal, hingga sindroma shock dengue (DSS). Pemahaman mengenai patogenesis virus dihalangi oleh terbatasnya model in vitro dan in vivo. Terdapat beberapa teori yang didukung oleh data epidemiologik dan laboratoris, namun teori tersebut tidaklah bersifat eksklusif. Kata kunci: Dengue, patogenesis, infeksi heterolog sekunder, antibodi perangkat tambahan tergantung, virulensi virus, mediator PATHOGENESIS OF DENGUE VIRUS INFECTION by Evisina Hanafiati Frans Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Email: [email protected] ABSTRACT Dengue is the most widespread mosquito-borne human viral disease. The disease is now an endemic and make potentially outbreaks in all around the world, included in Indonesia. Dengue viruses cause Dengue infection, which ranges from mild febrile illness (Dengue Fever, DF) to fatal hemorrhagic manifestation (Dengue Hemorrhagic Fever, DHF), leading to shock syndrome (Dengue Shock Syndrome, DSS). The understanding of dengue virus pathogenesis has been hamppered by the lack of in vitro and in vivo models of disease.There are several theories that are supported by epidemiological and laboratory evidence, but are not mutually exclusive. Secondary heterologous infection theory, antibody dependent enhancement theory, virus virulence theory and mediator theory are frequently cited to explain the basis of DHF/DSS. Keywords: Dengue, pathogenesis, Secondary heterologous infection, antibody dependent enhancement, virus virulence, mediator PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian dalam wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Perbedaan pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap tahun. Perubahan musim secara global, pola perilaku hidup bersih dan dinamika populasi masyarakat (adanya perang dunia, perkembangan kota yang pesat setelah perang dan dan mudahnya transportasi) berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi virus Dengue. World Health Organization memperkirakan terjadi 50 juta kasus infeksi Dengue di seluruh dunia setiap tahun. Di Indonesia kasus pertama dengan pemeriksaan serologis dibuktikan pada tahun 1969 di Surabaya. Angka kematian karena infeksi virus Dengue menurun secara drastis dari 41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari 3% ditahun 1991, namun Sindroma Syok Dengue masih merupakan kegawatan yang sulit diatasi. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan keadaan meteorologis. Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari tanpa gejala 13 (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD), dan dengue shock syndrome. Terdapat berbagai teori yang terkait dengan patofisiologi infeksi virus Dengue seperti hipotesis (ADE), teori virulensi virus yang mendasarkan pola perbedaan serotipe virus dengue Den-1, Den-2, Den-3, dan Den4. Teori antigen-antibodi, yang mendasarkan kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3,C4,dan C5.Teori mediator, dimana makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepaskan mediator-mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lainlain. Diperkirakan berbagai mediator tersebut bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Teori Th1/Th2 pada infeksi memperkirakan adanya faktor genetik merupakan perkembangan teori yang menarik. Tetapi berbagai teori tersebut masih belum mampu menjelaskan imunopatogenesis infeksi virus Dengue ataupun membedakan dengan jelas kelompok klinis mana yang akan terjadi pada penderita, Demam Dengue, atau Demam Berdarah Dengue atau bahkan yang lebih fatal yaitu Sindroma Syok Dengue. Ini disebabkan kurangnya model invitro dan invivo penyakit infeksi virus dengue. ETIOLOGI: VIRUS DENGUE Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Nimmanitya (1975) di Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2 yang dominan.sedangkan di Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2. Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007 menemukan bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di Surabaya. Studi epidemiologi (Yamanaka et al) tahun 2009 dan 2010 pada penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2%. Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian genom RNA (single-stranded positive-sense genome) disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi diding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak.Genome virus Dengue terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran (M) Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B, dan NS5). Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di sinusoid hepar. VEKTOR PENULARAN VIRUS DENGUE Virus-virus Dengue ditularkan oleh nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya, yaitu Aedes aegypti, Aedes albopticus, Aedes scuttelaris, Aedes polynesiensis dan Aedes niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan vektor utama. Keempat virus telah ditemukan dari Aedes aegypti yang terinfeksi. Spesies ini dapat berperan sebagai tempat penyimpanan dan replikasi virus. PATOFISIOLOGI DEMAM DENGUE Perbedaan klinis antara Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda. Adanya renjatan pada Demam Berdarah Dengue disebabkan karena 14 kebocoran plasma (plasma leakage) yang diduga karena proses imunologi. Hal ini tidak didapati pada Demam Dengue. Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi darah dan akan ditangkap oleh makrofag (Antigen Presenting Cell). Viremia akan terjadi sejak 2 hari sebelum timbul gejala hingga setelah lima hari terjadinya demam. Antigen yang menempel pada makrofag akan mengaktifasi sel T- Helper dan menarik makrofag lainnya untuk menangkap lebih banyak virus. Sedangkan sel T-Helper akan mengaktifasi sel TSitotoksik yang akan melisis makrofag. Telah dikenali tiga jenis antibodi yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses ini akan diikuti dengan dilepaskannya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan gejala lainnya. Juga bisa terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia ringan. Demam tinggi (hiperthermia) merupakan manifestasi klinik yang utama pada penderita infeksi virus dengue sebagai respon fisiologis terhadap mediator yang muncul. Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang terjadinya panas. Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang memicu panas seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam panas adalah TGF-β, dan IL-10. Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang bebas atau berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit. Banyaknya partikel virus yang merupakan kompleks imun yang terkait dengan sel ini menyebabkan viremia pada infeksi virus Dengue sukar dibersihkan. Antibodi yang dihasilkan pada infeksi virus dengue merupakan non netralisasi antibodi yang dipelajari dari hasil studi menggunakan stok kulit virus C6/C36, viro sel nyamuk dan preparat virus yang asli. Respon innate immune terhadap infeksi virus Dengue meliputi dua komponen yang berperan penting di periode sebelum gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan platelet. Antibodi alami IgM dibuat oleh CD5 + B sel, bersifat tidak spesifik dan memiliki struktur molekul mutimerix. Molekul hexamer IgM berjumlah lebih sedikit dibandingkan molekul pentameric IgM namun hexamer IgM lebih efisien dalam mengaktivasi komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi di lebih dari 50% “Complex Circulating Imun”. Kompleks imun IgM tersebut selalu ditemukan di dalam dinding darah dibawah kulit atau di bercak merah kulit penderita dengue. Oleh karenanya dalam penentuan virus dengue level IgM merupakan hal yang spesifik. PATOFOSIOLOGI DBD Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal. Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat. Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini. Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M 15 dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama. Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion molecule 1 (ICAM 1). Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFNγ dan TNFα. PATOGENESIS Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit. Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organelorganel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen strukturalnya.setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel. Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross protektif” terhadap serotipe virus yang lain. Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau preM.Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement. Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu: a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi virus. b. Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS Perubahan patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus yang sama (homologous). Namun jika 16 orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda. Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating Factor” Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok. Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” sehingga sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh kompleks imun pada penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun. Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS. Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83.Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-γ namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer dkk, 2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T. Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalam keparahan dan patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan trombosit. Lei HY dkk, 2001 menyatakan bahwa infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan disfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikut teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan 17 besar dalam terbentuknya antibodi antitrombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan akibat dari proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran plasma dibuktikan secara invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer monosit manusia yang diinfeksi oleh virus DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk (1998) terhadap anak di vietnam dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran plasma. MEKANISME KEBOCORAN PLASMA Kebocoran plasma disebabkan oleh injury pada endotel akibat dari peran sitokin, kemokin komplemen, mediator inflamasi atapun karena infeksi virus dengue secara langsung. PERAN SITOKIN DAN KOMPLEMEN Sitokin adalah protein terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel hematopoetik dan non hematopoetik dalam keadaan inflamasi ataupun infeksi. Sitokin berfungsi dalam proses imun, misalnya IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, TNFα dan IFNγ.IL-1, IL-6 dan TNFα adalah pirogen endogen yang akan merangsang demam di hipotalamus dan juga berfungsi sebagai vasoaktif sitokin yang meningkatkan permeabilitas endotel pembuluh darah. Endotel juga akan menekspresikan ICAM 1, VCAM 1 dan P-Selectin, molekul adhesive yang menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi. Pemaparan endotel dengan TNFα dapat menyebabkan apoptosis. TNFα dan IL-1 menstimulasi radang dengan mengaktivasi berbagai sel radang. TNFα, IL-1 dan IL-6 dapat menstimulus hepatosit menghasilkan acute phase protein. IL-1 mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah kapiler dan menginduksi endothel untuk memproduksi dan mensekresi IL-6 dan TNFα (King 2000). Ikatan virus dengue dengan antibodi heterolog akan mengaktifasi komplemen jalur klasik yang berakhir dengan dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang disebut anafilatoksin. Anafilatoksin dan melepaskan histamin, serotonin dan Platelet Activating Factor (PAF). Histmin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan permebilitas pembuluh darah, agregasi trombosit. Sel mast juga mensintesa asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, leukotrien dan tromboksan yang berperan dalam patogenesis DBD yang lebih parah. Pada infeksi virus dengue, endotel sebagai sel pelapis bagian dalam pembuluh darah dapat langsung terinfeksi oleh virus dengue. Respon yang terjadi adalah dengan disekresikannya sitokin antara lain IL-8 dan TNFά. Pemaparan endotel dengan TNFά dapat menyebabkan apoptosis. Inflammatory cytokines, mediator inflamasi, anafilatoksin dan kemokin menyebabkan endothel berkontraksi dan menyebabkan timbulnya celah pada pembuluh darah yang berakibat plasma keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Dengan adanya apoptosis endotel dan vasodilatasi maka plasma leakage semakin menghebat. Trombositopenia pada DD dan DBD melibatkan dua mekanisme utama, yaitu penurunan produksi dan peningkatan destruksi perifer atau peningkatan penggunaan. Penurunan produksi dikarenakan supresi sumsum tulang. Pada DBD yang lebih penting adalah mekanisme yang menyebabkan peningkatan destruksi dan peningkatan penggunaan. Supresi sumsum tulang pada DBD mungkin mengenai tiga faktor utama, yang pertama cedera langsung pada sel progenitor hematopoetik. Kedua, infeksi sel stromal dan ketiga perubahan regulator dalam sumsum tulang. Supresi yang lebih berat telah diamati pada DSS, diikuti DBD dan DB. Nakoa dkk menunjukkan bahwa virus dengue tipe 4 dapat bereplikasi dalam sel mononuklear sumsum tulang. Replikasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi proliferasi dari BFU-E (Burst-forming unit erythroid) dan CFU-GM (Colony forming unit granulosit-makrofag). Murgur dkk 1997 menunjukkan secara invitro bahwa virus DEN-3 dapat menginfeksi cord blood mononuclear cell dan hal ini dapat 18 mensupresi pertumbuhan sel progenitor pada kultur. Infeksi virus dengue juga bisa mengenai sel stromal sumsum tulang sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel progenitor homopoietik awal pada kultur. Selama infeksi dilepaskan sitokin diantaranya macrophage inflammatory protein-1α (MIP1a), IL6 dan IL-8. Berbagai sitokin tersebut dapat menghambat pertumbuhan sel progenitor hemopotetik awal. Juga terjadi penurunan Stem Cell Factor (SCF) yang menyebabkan penurunan sel progenitor hemopoetik pada kultur. Infeksi virus dengue akan menginduksi MIP-1α dan MIP-1β. Proses ini terjadi pada myelomono cell line, pada peripheral blood mononuclear cells dan supresi sumsum tulang. Sitokin yang mensupresi haemopoesis dilepaskan ke dalam aliran darah pada fase awal demam dengue, yaitu tumor necroting factor (TNF-α), interleukins (IL-2, IL-6, IL-8) dan interferon (INF-α dan INF-γ). Parahnya kondisi klinis penderita infeksi virus dengue dan periode terjadinya supresi sumsum tulang tergantung dari kadar sitokin tersebut. Penurunan produksi di sumsum tulang atau perusakan di sistem monositmakrofag yang berlebihan akan berakhir dengan jumlah trombosit yang rendah. Konsekuansinya adalah terjadi pesmbesaran hati dan limpa Teori mutakhir tentang patogenesis DBD adalah teori Mimikri Molekuler yang menunjukkan adanya peran auto-antibodi pada infeksi virus dengue. Wiwanitkit mengamati bahwa nonstructural-1 protein (NS1) dari virus dengue yang merangsng antibodi memiliki epitop yang sama dengan fibrinogen dan integrin/protein adhesin pada trombosit. Kedua jenis protein tersebut memiliki hubungan filogenetik dengan NS-1. Reaksi silang yang terjadi antara antibodi dengan sel endotel akan menginduksi kerusakan yang berat. Aktivasi sel endotel inflamasi terjadi melalui faktor transkripsi NF-Kb-regulated pathway. Sitokin dan kemokin yang diproduksi yaitu IL-6, IL-8 dan MCP-1.Kemudian terjadi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan kemampuan PBMC menempel pada endotel. Dan selanjutnya sel endotel akan mengalami apoptosis yang ditandai dengan terpaparnya fosfatidylserine pada permukaan sel dan fragmentasi DNA. Hal ini diamati oleh Lin.dkk (2002). Pada kasus Dengue Shock Syndrome, ditengarai ada mediator inflamasi yang berperan dalam kebocoran plasma. Inilah yang menjadi dasar teori Mediator dalam patogensis DBD. Diketahui beberapa sitokin yang beredar pada aliran darah penderita DBD yaitu TNFα, IL-1, 1L-6, IFN γ, IFNα, IL-2, IL-10, IL-12, IL-13, IL-18, dan beberapa mediator yang berfungsi sebagai kemokin antara lain IL-8, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Proteins-1), MIP-1α (Macrophage Inflammatory Protein1α), MIP-1β, RANTES (Regulated Upon Activation Normal T cell Express Sequence ) dan PF-4 (Platelet Factor-4) Keberadaan IL-8 yang tinggi dalam darah tepi, cairan ascites dan efusi pleura menjawab masalah kebocoran plasma dan perdarahan pada syok karena DBD. KESIMPULAN Patogenesis Demam Berdarah Dengue belum dapat sepenuhnya dimengerti, dikarenakan model penelitian in vitro dan in vivo tidak banyak tersedia untuk meneliti perkembangan dari Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue ataupun bahkan Dengue Shock Syndrome. Manifestasi yang berat pada Demam Berdarah Dengue dapat dijelaskan oleh teori ADE. Bagaimanapun juga tidak semua kasus DBD bisa dijelaskan oleh teori ADE. Perkembangan beberapa tahun terakhir yang melibatkan peran molekuler semakin mengarah kepada keterlibatan faktor virus dalam patogenesis DBD dan DSS. Begitu pula, tidak semua kasus DBD dapat dijelaskan hanya dengan teori virulensi virus saja. Antibodi Dependent Enhancement, virulensi virus dan teori-teori yang lain memiliki peran dalam tingkat keparahan infeksi virus dengue. Sehingga dapat dikatakan bahwa patogenesis DHF memiliki landasan yang multi faktorial. DAFTAR PUSTAKA Soegijanto, Soegeng. 2010. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. 6 November 2010. halaman 11-45. 19 Chaudry S, Swaminathan S, Khanna N.Viral Genetics as a Basis of Dengue Pathogenesis. Setiawan MW, Samsi TW, Wulur H, Sugianto D, Pool TN. Dengue haemorrhagic fever: ultrasound as an aid to predict the severity of the disease. Pediatric Radiology [serial on the internet].1997 Jan 15 [cited 1997 June 2].Available from:http://www.springerlink.com Wang WK, Chao DY. High Levels of Plasma Dengue Viral Load during Defervescence in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever: Implications for Pathogenesis.Virology (serial on the internet).2002 July 31 (cited 2003 Jan 31). Available from: www.sciencedirect.com/science?_ob=article Juffrie M, Van Der Meer GM, Hack CE, Hasnoot K, Sutaryo, Veerman AJP, Thijs LG et al. Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection in Children:Interleukin-8 and Its Relationship to Neutrophil Degranulation.Infection and Immunity (serial on the internet).1999 Nov 3 (cited 2000 Feb),p.702-707.Available from: iai.asm.org/cgi/reprint/68/2/702 SimmonsCP, Chau TNB, Thuy TT, Tuan MN, Hoang DM, Thien NT et al.Maternal Antibody and Viral Factors in The Pathogenesis of Dengue Virus in Infants. (cited 2007 August 1).Available from:www.exa.unne.edu.ar/bioquimica/immu noclinica/documentos/maternal_antibody.pdf 20 PROTOZOA DAN BAKTERI YANG DITEMUKAN PADA TUBUH LALAT DI PASAR SURABAYA Kartika Ishartadiati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dan bakteri banyak ditemui di daerah tropis termasuk Indonesia. Lalat dapat berperan sebagai vektor mekanik dari protozoa dan bakteri. Pada penelitian ini, lalat ditangkap dengan menggunakan botol penangkap lalat yang diletakkan di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, dan Pasar Manukan Kulon. Lalat yang tertangkap dimatikan dengan cara pendinginan (suhu ± -20ºC, selama 15 menit). Setelah itu, lalat dimasukkan ke dalam larutan garam fisiologis dan dikocok selama 5 menit, kemudian dilakukan pemeriksaan parasitologi dan mikrobiologi pada air cucian lalat. Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia ditemukan pada tubuh lalat yang ditangkap di Pasar Manukan Kulon, sedangkan Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae ditemukan pada tubuh lalat yang ditangkap di kelima pasar tersebut di atas. Kata kunci: lalat, protozoa, bakteri PROTOZOA AND BACTERIA IN BODY DISCOVERED IN THE MARKET FLIES SURABAYA Kartika Ishartadiati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Infectious diseases caused by protozoa and bacteria are often found in tropical region, including Indonesia. Flies can act as mechanical vectors of protozoa and bacteria. In this study, flies were collected from following traditional markets: Genteng Baru, Pegirian, Pucang Anom, Bendul Merisi and Manukan Kulon. All of the captured flies were killed by deep freezing at ± -20ºC for 15 minutes. Later, they were immersed in normal saline and shaken for 5 minutes. The washed fly bodies were then filtered out and the fluid was then examined for protozoa and bacteria. Entamoeba histolytica and Giardia lamblia were isolated fom the body of flies which were collected at Manukan Kulon, whereas Salmonella, Shigella and Vibrio cholerae have been found in all above mentioned markets. Keywords: fly, protozoa, bacteria PENDAHULUAN Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa banyak ditemui di daerah tropis termasuk Indonesia. Protozoa usus seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Balantidium coli dapat menyebabkan diare, demikian pula dengan bakteri Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae (Setiawan, 2006), bahkan tidak jarang pula protozoa dan bakteri tersebut menyebabkan kematian (WHO, 1997; Haque & Petri, 2006). Protozoa dan bakteri dapat dipindahkan secara mekanis oleh lalat (Strickland, 1988). Probosis dan keenam kaki lalat dilengkapi dengan rambut-rambut halus serta kakinya mengeluarkan cairan yang lengket membuat lalat mudah membawa patogen (Graczyk et al., 2005). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah lalat di pasar Surabaya berpotensi sebagai vektor mekanik dari Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini berjenis observasional, karena tidak memerlukan perlakuan terhadap obyek penelitian. Berdasarkan waktunya penelitian ini bersifat cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah populasi lalat di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, 21 dan Pasar Manukan Kulon. Besar sampel adalah lalat yang masuk perangkap dalam waktu 2 jam. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2009. Persiapan untuk penangkapan lalat, yaitu menyediakan botol plastik berukuran 1,5 liter yang telah dipotong pada sekitar 1/3 bagian atasnya, kemudian potongan botol bagian atas diletakkan terbalik pada botol tersebut sehingga berbentuk seperti corong (Prendergast et al., 2006). Ke dalam botol tersebut dimasukkan terasi yang sudah dikukus sebagai umpan bagi lalat. Setelah persiapan selesai, botol tersebut diletakkan di pasar yang sudah ditentukan selama 2 jam (pada masing-masing pasar ditempatkan 3 buah botol). Penentuan waktu 2 jam berdasarkan dari penelitian pendahuluan, yang dalam waktu 2 jam lalat telah cukup banyak masuk ke dalam botol penangkap lalat. Selanjutnya, botol yang sudah berisi lalat tersebut dimasukkan ke dalam freezer (± -20ºC) selama 15 menit agar lalat pingsan. Dari penelitian pendahuluan, didapatkan bahwa lalat telah pingsan dalam waktu 15 menit. Setelah lalat pingsan, jumlah lalat yang ada dalam masing-masing botol dihitung. Lalat pada masing-masing botol dimasukkan ke dalam Erlemeyer yang berisi 100 ml larutan garam faali, kemudian dikocok selama 5 menit agar protozoa dan bakteri yang menempel pada seluruh tubuh lalat dapat lepas. Setelah itu lalat disaring, kemudian air cucian lalat diambil 30 ml untuk pemeriksaan parasitologi (protozoa) dan 70 ml untuk pemeriksaan mikrobiologi (bakteri). Pemeriksaan parasitologi Suspensi cucian lalat dipusingkan dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang, sedimen dicampur dengan Modified Sheather’s Solution (merupakan campuran dari 454 g gula pasir, 355 ml air, dan 6 ml formaldehida) yang mempunyai berat jenis 1,27 (Dryden, et al., 2005), dan dipusingkan lagi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Setelah itu, bagian atas permukaan supernatan diambil dengan ose siku dan diletakkan di atas gelas benda, ditetesi lugol, ditutup dengan gelas penutup, kemudian diperiksa menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400x dan 1000x. Pemeriksaan mikrobiologi Air cucian lalat ditanam pada media enrichment (Alkaline Pepton Water), kemudian ditanam pada agar SalmonellaShigella (SS) untuk mengidentifikasi bakteri Salmonella dan Shigella. Untuk mengetahui adanya bakteri Vibrio cholerae, air cucian lalat ditanam pada kaldu Selenit yang merupakan media enrichment, kemudian ditanam pada agar Thiosulfat Citrat Bile salt Sucrosa (TCBS). Koloni warna kuning yang tumbuh pada agar TCBS ditanam pada agar Nutrien, selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram. HASIL PENELITIAN Hasil dari pemeriksaan parasitologi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Protozoa yang ditemukan pada lalat di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, Pasar Manukan Kulon bulan Mei 2009 E. G. B. Pasar histolytica lamblia coli Genteng Baru Pegirian Pucang Anom Bendul Merisi Manukan Kulon + + Hasil dari pemeriksaan mikrobiologi disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Bakteri yang ditemukan pada lalat di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, Pasar Manukan Kulon bulan Mei 2009 V. Pasar Shigella Salmonella cholerae Genteng Baru + + + Pegirian + + + Pucang Anom + + + Bendul Merisi + + + Manukan Kulon + + + DISKUSI Pengambilan sampel lalat pada kelima pasar dilakukan sekitar pukul 10.0012.00, sebab lalat biasanya keluar pada siang hari, suka suasana terang dan hangat (Williams et al., 1985). Jumlah lalat yang tertangkap di masing-masing pasar adalah sebagai berikut: Pasar Genteng Baru 117 lalat, Pasar Pegirian 93 lalat, Pasar Pucang 22 Anom 57 lalat, Pasar Bendul Merisi 186 lalat, Pasar Manukan Kulon 239 lalat. Lalat telah diidentifikasi sebagai vektor dari parasit protozoa (Doiz et al., 2000). Pada penelitian ini Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia ditemukan pada lalat yang dikoleksi dari Pasar Manukan Kulon, sedangkan Balantidium coli tidak ditemukan pada lalat yang dikoleksi dari kelima pasar (Genteng Baru, Pegirian, Pucang Anom, Bendul Merisi, Manukan Kulon) (tabel 1). Hal ini karena di sekitar daerah pengambilan sampel lalat tidak ada peternakan babi. Menurut Strickland (1988), prevalensi tertinggi dari balantidiasis adalah daerah yang penduduknya banyak memelihara babi. Selain itu, di Indonesia Balantidium coli memang jarang ditemukan pada manusia (Rasad & Gandahusada, 2000). Di luar Kota Surabaya ada beberapa peternakan babi, tetapi kemampuan terbang lalat yang rata-rata hanya sekitar 1,5 km dari tempat perindukannya (Santi, 2001), tidak dapat menjangkau tempat tersebut . Penelitian ini menggunakan tehnik pemusingan untuk dapat menemukan kista protozoa lebih banyak. Dengan pemusingan, kotoran akan mengendap, tetapi kista akan mengapung di permukaan. Dari penelitian yang dilakukan Dryden dkk., menunjukkan bahwa dengan tehnik pemusingan akan lebih banyak menemukan kista daripada tehnik pengapungan yang pasif. Larutan yang digunakan pada penelitian ini adalah Modified Sheather’s Solution yang mempunyai berat jenis 1,27 (Dryden et al., 2005). Larutan ini dipilih karena pada penelitian yang lain dikatakan bahwa larutan yang terbaik untuk pemeriksaan laboratorium rutin adalah larutan yang mempunyai berat jenis 1,22-1,35 (O’Grady & Slocombe, 1980). Selain itu, Modified Sheather’s Solution dipilih pada penelitian ini karena mudah membuatnya dan relatif murah. Lalat rumah dikenal sebagai faktor terpenting dalam penyebaran berbagai penyakit infeksi seperti kolera, shigellosis, dan salmonellosis (Olsen et al., 2001). Hal tersebut oleh karena lalat mempunyai hubungan yang erat dengan bahan-bahan yang membusuk, sampah, dan tinja. Olsen (1998) mencatat ada 47 spesies lalat yang membawa Escherichia coli, 17 dari spesies lalat tersebut ditemukan juga membawa Salmonella atau Shigella. Pada sebuah penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa lalat rumah membawa Salmonella dari rumah potong hewan ke pasar-pasar dan pemukiman terdekat (Greenberg et al., 1963). Pada penelitian ini bakteri Shigella, Salmonella, dan Vibrio cholerae ditemukan pada lalatlalat yang dikoleksi di Pasar Genteng Baru, Pasar Pegirian, Pasar Pucang Anom, Pasar Bendul Merisi, dan Pasar Manukan Kulon. Bakteri Salmonella dan Shigella hanya terdapat dalam jumlah relatif sedikit dalam tinja (sekitar 200 bakteri per gram tinja) dibandingkan dengan bakteri enterik lain yang merupakan flora normal usus dan dapat mencapai 109 bakteri per gram tinja, oleh karena itu pada penelitian ini digunakan media enrichment yaitu kaldu Selenit yang akan menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain dan mendorong pertumbuhan Salmonella dan Shigella, sehingga kedua bakteri ini lebih mudah ditemukan. Selanjutnya setelah diinkubasi pada suhu 35ºC selama 8 jam, bakteri yang tumbuh di kaldu Selenit ditanam pada lempeng agar Salmonella-Shigella (SS). Medium SS ini bersifat selektif karena memiliki kadar garam empedu yang tinggi. Dari antara kumankuman enterik, Salmonella dan Shigella memiliki daya tahan yang kuat terhadap garam empedu, sehingga dapat tumbuh di agar SS, sementara kuman-kuman enterik lain akan terhambat pertumbuhannya (Koneman et al., 1992). Pada agar SS tampak koloni Salmonella terdapat bintik hitam, hal ini karena Salmonella menghasilkan H2S, sedangkan Shigella tidak menghasilkan H2S. Untuk menumbuhkan Vibrio Cholerae pada penelitian ini digunakan Alkaline Peptone Water (pH 8,4) yang merupakan media enrichment untuk mendeteksi adanya Vibrio cholerae dalam jumlah kecil, karena pada pH ini bakteri lain sulit tumbuh. Segera setelah diinkubasi selama 5 jam ditanam di media selektif (TCBS) untuk mencegah tumbuhnya bakteri lain pada APW (Baron et al., 1994). Pada agar TCBS, Vibrio cholerae koloninya berwarna kuning karena bakteri ini memecah sukrosa menghasilkan asam, tetapi Vibrio alginolyticus koloninya juga berwarna kuning pada agar TCBS. Oleh sebab itu, koloni kuning pada agar TCBS ditanam pada kaldu Nutrien, karena pada kaldu Nutrien 23 hanya Vibrio cholerae dan Vibrio mimicus yang dapat tumbuh, sedangkan spesies Vibrio lainnya tidak dapat tumbuh (Koneman et al., 1992). Selanjutnya, dilakukan pengecatan Gram pada bakteri yang tumbuh di kaldu Nutrien. Dengan pengecatan Gram, Vibrio cholerae tampak berwarna merah (Gram negatif) dan berbentuk batang bila dilihat dengan mikroskop cahaya pembesaran 1000x. Koneman EW, Allen SD, Janda WM, Schreckenberger PC, Winn WC, 1992. Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, 4th Ed., Philadelphia: J.B. Lippincott Company. O’Grady MR, Slocombe JOD, 1980. An investigation of variables in a fecal flotation technique. Can. J. Comp. Med. 44: 148-154. PENUTUP Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lalat di pasar Surabaya berpotensi sebagai vektor mekanik dari Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholerae. Olsen AR, 1998. Regulatory action criteria for filth and other extraneous materials. III. Review of flies and foodborne enteric disease. Reg. Toxicol. Pharmacol. 28: 199-211. Daftar Pustaka Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM, 1994. Bailey and Scott’s Diagnostic Microbiology, 9th Ed., St. Louis: Mosby-Year Book, Inc. Olsen AR, Gecan JS, Ziobro GC, Bryce JR, 2001. Regulatory action criteria for filth and other extraneous materials: V. Strategy for evaluating hazardous and nonhazardous filth. Regul. Toxicol. Pharmacol. 33: 363-392. Doiz OA, Clavel S, Morales S, Varea M, Castillo FJ, Rubio C, Gomez-Luz, 2000. House fly (Musca domestica) as a transport vector of Giardia lamblia. Folia Parasitol. 47: 330331. Dryden MW, Payne PA, Ridley R, Smith V, 2005. Comparison of Common Fecal Flotation Techniques for the Recovery of Parasite Eggs and Oocysts. Veterinary Therapeutics 6(1): 15-28. Graczyk TK, Knight R, Tamang L, 2005. Mechanical Transmission of Human Protozoa Parasites by Insects. Clinical Microbiology Reviews 18(1): 128-132. Greenberg B, Varela G, Bornstein A, Hernandez A, 1963. Salmonellae from flies in a Mexican slaughterhouse. Am. J. Hyg. 77: 177183. Haque R & Petri WA Jr, 2006. Diagnosis of amebiasis in Bangladesh. Arch. Med. Res. 37: 273-276. Prendergast LTBF, Rosales MAL, Evans ES, Hogsette JA, 2006. Filth Flies. Significance, Surveillance and Control in Contingency Operations. Washington: Armed Forces Pest Management Board. Rasad R & Gandahusada S, 2000. Balantidium coli. Dalam buku (Gandahusada S, Ilahude, Pribadi W, editor). Parasitologi Kedokteran, Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hlm. 125-128. Santi DN, 2001. Manajemen Pengendalian Lalat. USU digital library. Setiawan B, 2006. Diare Akut Karena Infeksi. Dalam buku (Aru WS, Bambang S, Idris A, Marcellus SK, Siti S, editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm. 1794-1798. 24 Strickland GT, 1988. Hunter’s Tropical Medicine, 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. WHO, 1997. World Health Organization/Pan American Health Organization/ UNESCO report of a consultation of experts on amoebiasis. Wkly. Epidemiol. Rec. 72: 97-99. Williams RE, Hall RD, Broce AB, Scholl PJ, 1985. Livestock Entomology. New York: A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons. 25 EFIKASI DAN TORELANSI CEFIXIME PADA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK Lusiani Tjandra Bagian Farmasi Kedokteran Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Cefixime is 3rd generation cephalosporin antibiotic oral, cefixime has broadspectrum activity against gram positif and gram negative microorganism in clauding enterobacteriacea. Cefixime has well an efication and tolerance to cure thypoid fever for children. To get optimal result, dose and time for treatment needed evaluation. Even though on pediatric department FKUI-RSCM Jakarta until right now not yet found about MDRST. Cefixime can use as alternative drug for thypoid fever treatment especially if chloramphenicol can not be given (example amount of leucocyte <2000/µl, hypersensitive with chloramphenicol, or the resisstent of Salmonella thypii with chloramphenicol). Keywords : Cefixime, thypoid fever. TORELANSI CEFIXIME EFFICACY AND TYPHOID FEVER ON CHILDREN Lusiani Tjandra Medical Pharmacist Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral, mempunyai aktivitas anti mikroba terhadap kuman gram positif maupun negatif termasuk enterobacteriacea. Cefixime mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan demam tifoid anak. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, dosis dan lama pengobatan perlu dievaluasi lebih lanjut. Meskipun dibagian IKA FKUI-RSCM Jakarta sampai saat ini belum dijumpai MDRST, cefixime dapat dipergunakan sebagai obat alternatif pengobatan demam tifoid khususnya apabila chloramphenicol tidak dapat diberikan (misalnya jumlah leukosit <2000/ul, adanya hipersensitif terhadap chloramphenicol, atau Salmonella tyhpii resisten terhadap chloramphenicol). Kata kunci : Cefixim, Demam tifoid. PENDAHULUAN Infeksi salmonella atau salmonellosis merupakan penyakit endemis yang banyak dijumpai pada anak, khususnya di negara beriklim tropis. Di antara Salmonellosis, demam tifoid merupakan satu-satunya infeksi salmonella typhii sistemik sebagai akibat dari bakterimia yang terjadi. Secara klinis manifestasi demam tifoid pada anak tidak seberat dewasa, namun demikian pada demam tifoid yang mengalami komplikasi mortalitas meningkat sekitar 1-5%. Rendahnya resistensi tubuh pada anak dan keadaan bakteri khususnya jumlah bakteri yang masuk, virulensi, maupun resistensi bakteri terhadap antibiotik yang diberikan menyebabkan demam tifoid kadangkala menjadi berat. Chloramphenicol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan lini pertama (first drug of choice) untuk pengobatan demam tifoid pada anak. Disamping chlorampenicol, antibiotik lain yang dipergunakan untuk mengobati demam tifoid pada anak adalah cotrimoksazol dan ceftriaxone. Sementara itu dalam 5 tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap salmonella typhi (Multiple drug resistance Salmonella typhi = MDRST) (Hadinegoro,1998; Memon 1998). Walaupun sampai saat ini belum ada laporan resistensi salmonella typhi pada demam tifoid anak di Indonesia, termasuk rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, strategi pengobatan MDRST perlu dibuat untuk mengantisipasi bila suatu saat kita menjumpainya. Cefixime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil terhadap enzim β-Lactamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain Streptococcus, Haemophillus influenzae, Neisseria gonorrhoeae dan mayoritas Enterobakteriaceae. Antibiotik ini bersifat 26 bakterisidae dengan spectrum luas terhadap bakterim gram positif ( Streptococcus sp, Streptococcus pneumonia ), dan gram negative ( E. coli, Proteus sp, Haemophillus influenzae). Aktivitas cefixime menurun terhadap Staphylococcus aureus, Enterococci, Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas spp. Insiden bakteri yang resisten cefixime dilaporkan sangat rendah. Dalam hal ini, telah dilakukan penelitian uji klinis non komperatif pengobatan cefixime terhadap demam tifoid anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta sejak mei 1999 – januari 2000. Subyek berumur antara 3 – 15 tahun, dengan diagnose klinik demam tifoid tanpa komplikasi. Secara umum, cefixime mempunyai efikasi yang baik dan dapat ditoleransi oleh semua pasien, dengan efek samping ringan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai dosis dan lama pengobatan. Dalam tinjauan pustaka ini, akan dijelaskan efikasi dan toleransi cefixime pada pengobatan demam tifoid anak. CEFIXIME 1. FARMAKOLOGI CEFIXIME 1.1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Cefixime berupa serbuk putih atau hampir berwarna putih, agak higroskopik, sulit larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dehidrasi, praktis tidak larut dalam etil asetat, mudah larut dalam metil alkohol (Dinkes Jabar, 2006). Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif, seperti sefalosporin oral yang lain, cefixime mempunyai aktivitas yang poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti Streptococcus sp., Streptococcus pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrhalis, Escherichia coli, Proteus sp., Haemophilus influenza ( Dexa, 2009). Rumus kimia dari cefixime : C16H15N5O7S2,3H20 ( Dinkes Jabar, 2006) 1.2. Farmasi Umum Dosis harian yang lazim untuk pediatrik adalah 1,5-3 mg (potensi)/kgBB diberikan per oral dua kali sehari. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keadaan perderita. Untuk infeksi yang berat, dosis dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB diberikan dua kali sehari. Pada anak-anak yang menderita otitis media sebaiknya diobati dengan suspensi. Dari penelitian klinis, otitis yang diobati dengan sediaan suspensi cefixime didapat kadar puncak dalam plasma lebih besar dari tablet bila diberikan dengan dosis yang sama. Sehingga untuk pengobatan otitis media sebaiknya sediaan suspensi jangan diganti. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian dosis tergantung pada berat ringannya gangguan, yang direkomendasikan adalah 75% dari dosis standar (yaitu 300 mg sehari) bila klirens kreatinin antara 21 dan 60 ml/menit atau untuk penderita dengan hemodialisis ginjal, dan 50% dari dosis standart (yaitu 200 mg sehari) bila klirens kreatinin kurang dari 20 ml/menit atau penderita yang menjalani dialisis terus-menerus (opname). 27 Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 200 mg dan 400 mg, serta suspensi oral 100 mg/5 ml. Cefixime hanya diberikan dalam bentuk sediaan oral ( Sulistia, 2008). 1.3. Farmakologi Umum 1.3.1 Khasiat In vitro, obat ini stabil terhadap berbagai jenis beta laktamase dan mempunyai spektrum antibakteri menyerupai spektrum sefotaksim. 1.3.2 Indikasi Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan antara lain: 1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis. 2. Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain β-laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes. 3. Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. 4. Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase positif dan negative)( Dexa, 2009). 5. Infeksi saluran pernapasan pada anak (Santoso, 1995). Infeksi saluran pernapasan bawah non Tuberculosa ( Trihadi, 1995). 1.3.3 Kontraindikasi Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitif akibat beberapa bahan dari sediaan ini. 2. FARMAKODINAMIKA CEFIXIME Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime memiliki afinitas tinggi terhadap “penicillinbinding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya. Cefixime stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil β-laktamase. 3. FARMAKOKINETIK CEFIXIME 3,1. Absorbsi Absorbsi cefixime melalui oral berjalan lambat dan tidak lengkap. Bioavailabilitas absolute sekitar 4050%. Dalam bentuk suspensi obat ini diserap lebih baik dari bentuk tablet. Kadar tinggi terdapat pada empedu dan urine. 3.2. Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan) Penetrasi ke dalam sputum, tonsil, jaringan maxillary sinus mucosal, otorrhea, cairan empedu dan jaringan kandung empedu adalah baik. 3.3. Metabolisme Tidak ditemukan adanya metabolit yang aktif sebagai antibakteri di dalam serum atau urin. 3.4. Eliminasi Cefixime terutama diekskresikan melalui ginjal. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 50,100 atau 200 mg (potensi) pada orang dewasa sehat dalam keadaan puasa kurang lebih 20-25% dari dosis yang diberikan. Kadar puncak urin masingmasing 42,9; 62,2 dan 82,7 μg/ml dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian. Jumlah ekskresi urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kgBB pada penderita pediatrik dengan fungsi ginjal yang normal kurang lebih 13-20% ( Sulistia, 2008). 3.5. Konsentrasi dalam serum Pemberian per oral dosis tunggal 50, 100 atau 200 mg (potensi) cefixime pada orang dewasa sehat dalam keadaan puasa, kadar puncak serum dicapai setelah 4 jam pemberian yaitu masingmasing 0,69; 1,13; dan 1,95 μg/ml. Waktu paruh serum adalah 2,3-2,5 jam. Pemberian per oral dosis tunggal 1,5; 3,0; atau 6,0 mg (potensi)/kg cefixime pada penderita pediatrik dengan fungsi 28 ginjal normal, kadar puncak serum dicapai setelah 3-4 jam pemberian yaitu masing-masing 1,14; 2,01; dan 3,97 μg/ml. 3.6. Waktu paruh Waktu paruh serum adalah 3,2-3,7 jam. 3.7. Ikatan protein Ikatan protein dari cefixime yaitu 65% 3.8. Bioavailability Bioavailabilitas absolute sekitar 40-50% ( Sulistia, 2008). 4. TOKSISITAS 4.1. Efek Samping dan Toksisitas 4.1.1 Shock Perhatian yang cukup sebaiknya dilakukan karena gejala-gejala shock kadang-kadang bisa terjadi. Jika beberapa tanda atau gejala seperti perasaan tidak enak, rasa tidak enak pada rongga mulut, stridor, dizziness, defekasi yang tidak normal, tinnitus atau diaphoresis; maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan. 4.1.2. Hipersensitivitas Jika tanda-tanda reaksi hipersensitivitas seperti rash, urtikaria, eritema, pruritus atau demam maka pemakaian sediaan ini harus dihentikan dan sebaiknya dilakukan penanganan lain yang lebih tepat. 4.1.3 Hematologik Granulositopenia atau eosinophilia jarang terjadi. Kadang-kadang thrombocytopenia dapat terjadi. Pemakaian sediaan ini sebaiknya dihentikan bila ditemukan adanya kelainan-kelainan ini.Dilaporkan bahwa terjadi anemia hemolitik pada penggunaan preparat cefixime lainnya. 4.1.4. Hepatik Jarang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase. 4.1.5. Renal Pemantauan fungsi ginjal secara periodik dianjurkan karena gangguan fungsi ginjal seperti insufisiensi ginjal kadang-kadang dapat terjadi. Bila ditemukan adanya kelainankelainan ini, hentikan pemakaian obat ini dan lakukan penanganan lain yang lebih tepat. 4.1.6. Saluran Cerna Kadang-kadang terjadi kolitis seperti kolitis pseudomembranosa, yang ditunjukkan dengan adanya darah di dalam tinja. Nyeri lambung atau diare terus menerus memerlukan penanganan yang tepat, jarang terjadi muntah, diare, nyeri lambung, rasa tidak enak dalam lambung, heartburn atau anoreksia, nausea, rasa penuh dalam lambung atau konstipasi. 4.1.7. Pernafasan Kadang-kadang terjadi pneumonia interstitial atau sindroma PIE, yang ditunjukkan dengan adanya gejalagejala demam, batuk, dyspnea, foto rontgen thorax yang tidak normal dan eosinophilia, ini sebaiknya hentikan pengobatan dengan obat ini dan lakukan penanganan lain yang tepat seperti pemberian hormon adrenokortikal. 4.1.8. Perubahan flora bakterial Jarang terjadi stomatitis atau kandidiasis. 4.1.9. Defisiensi vitamin Jarang terjadi defisiensi vitamin K (seperti hipoprotrombinemia atau kecenderungan pendarahan) atau defisiensi grup vitamin B (seperti glositis, stomatitis, anoreksia atau neuritis). 4.1.10. Lain-lain Jarang terjadi sakit kepala atau dizziness. Pada penelitian terhadap anak tikus yang diberi 1.000 mg/kgBB.hari secara oral, dilaporkan adanya penurunan spermatogenesis. 4.2. Gejala Toksisitas dan Penanggulangan 4.2.1. Gejala Toksisitas Hipersensitivitas neuromuskular dan kompulsif 4.2.2. Cara penanggulangan toksisitas : Hemodialisis mungkin membantu 4.2.3. Peringatan dan perhatian: Perhatian umum 29 Hati-hati terhadap reaksi hipersensitif, karena reaksireaksi seperti shock dapat terjadi. Sediaan ini sebaiknya jangan diberikan kepada penderitapenderita yang masih dapat diobati dengan antibiotika lain, jika perlu dapat diberikan dengan hati-hati. Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap bahan-bahan dalam sediaan ini atau dengan antibiotika cefixime lainnya. Cefixime harus diberikan dengan hati-hati kepada penderita, antara lain sebagai berikut: Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap penisilin. Penderita dengan riwayat personal atau familial terhadap berbagai bentuk alergi seperti asma bronkial, rash, urtikaria. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal berat. Penderita dengan nutrisi oral rendah, penderita yang sedang mendapatkan nutrisi parenteral, penderita lanjut usia atau penderita yang dalam keadaan lemah. Observasi perlu dilakukan dengan hati-hati pada penderita ini karena dapat terjadi defisiensi vitamin K. Penggunaan selama kehamilan keamanan pemakaian cefixime selama masa kehamilan belum terbukti. Sebaiknya sediaan ini hanya diberikan kepada penderita yang sedang hamil atau wanita yang hendak hamil, bila keuntungan terapetik lebih besar dibanding risiko yang terjadi. Penggunaan pada wanita menyusui masih belum diketahui apakah cefixime diekskresikan melalui air susu ibu. Sebaiknya tidak menyusui untuk sementara waktu selama pengobatan dengan obat ini. Penggunaan pada bayi baru lahir atau bayi prematur, Keamanan dan keefektifan penggunaan cefixime pada anak-anak dengan usia kurang dari 6 bulan belum dibuktikan (termasuk bayi baru lahir dan bayi premature) ( Dexa, 2009). 5. PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN 5.1. Clinical Trial Telah dilaporkan di Pakistan, Mesir, Meksiko, Vietnam, dan Thailand sejak tahun 1988, MDRST terdapat pada 50-75% kasus demam tifoid anak. Resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi adalah adanya galur atau strain Salmonella typhi yang telah resisten terhadap dua atau lebih antibiotik yang dipergunakan untuk pengobatan demam tifoid secara konvensional, yaitu ampicillin, chloramphenicol, dan kotrimoksazol. Pemberian antibiotik yang berlebihan (over-use), pemakaian antibiotik yang salah (mis-use), atau pemakaian antibiotik yang tidak tepat (inappropiate) merupakan penyebab terjadinya MDRST disamping kemungkinan adanya faktor plasmid mediated. Dalam menghadapi kasus resistensi terhadap Salmonella typhi dengan mortalitas yang cenderung lebih tinggi daripada nonMDRST, maka akan diperlukan antibiotik yang lebih poten seperti golongan sefalosporin injeksi atau aztreonam. Pada kasus dewasa kasus MDRST telah berhasil diobati kuinolon, namun sampai sekarang FDA tidak merekomendasikan pemakaian kuinolon pada anak mengingat efek samping atropati pada tulang rawan ( Hadinegoro). Telah dilakukan penelitian uji klinis non komparatif pengobatan cefixime terhadap demam tifoid anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI RSCM Jakarta, sejak Mei 1999- Januari 2000. Subyek berumur antara 3-15 tahun dengan diagnosis klinis demam tifoid tanpa komplikasi. Diantara 25 pasien yang ikut dalam penelitian, terdapat 11 laki-laki dan 14 perempuan, 16 (64%) pasien termasuk kelompok 5-9 tahun dan 8 (32%) pasien berumur >10 tahun. 18 anak menderita demam dirumah selama 7 hari atau lebih. Selain demam, 30 mual, muntah, perasaan tidak enak diperut, delirium dan hepatomegali merupakan gejala yang terbanyak ditemukan. Lebih dari separuh jumlah kasus penderita demam antara 37,538,5oC dan 7 anak lainnya mengalami demam lebih dari 39oC. Peningkatan LED dan SGOT/SGPT terdapat pada hampir semua kasus. Semua pasien mendapat pengobatan cefixime 10-15 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis selama 10 hari. Penurunan suhu terjadi setelah 6 hari pengobatan. Cure rate, yang menggambarkan efikasi cefixime terdapat pada 21 (84%) kasus dan gagal 4 (16%) kasus. Penilaian hasil pengobatan hari ke 5 pada 21 kasus menunjukkan 11 pasien tumbuh sempurna, 10 pasien lainnya keadaan klinis baik namun masih demam dan suhu turun pada hari berikutnya. Kegagalan bakteriologist dijumpai pada satu kasus, termasuk dalam kelompok gagal secara klinis. Secara bakteriologist, 3 pasien resisten terhadap salah satu dari ketiga antibiotik konvensional. Satu orang pasien resisten chloramfenikol dan 2 orang resisten ampicillin. 21 (84%) diantara 25 pasien tetap sensitif terhadap ketiga antibiotik konvensional. Dalam penelitian ini tidak terdapat satu kasus pun dengan MDRST. Secara umum cefixime mempunyai efikasi yang baik dan dapat ditoleransi oleh semua pasien dengan efek samping ringan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai dosis dan lama pengobatan (Ringo, 1996). 5.2. Hasil Penelitian Dari 31 kasus demam tifoid, 6 orang di antaranya dikeluarkan dari penelitian oleh karena baik biakan maupun uji serologis terhadap Salmonella typhi negatif. Jadi hanya 25 pasien yang akan dilaporkan, terdiri dari 11 laki-laki dan 14 perempuan, 16 (64%) pasien kelompok umur 5-9 tahun dan 8 (32%) pasien >10 tahun (Tabel 1). Delapan belas anak telah mengalami demam di rumah selama 7 hari atau lebih. Selain demam, mual, muntah, perasaan tidak enak di perut, delirium dan hepatomegali merupakan gejala yang terbanyak ditemukan. Lebih dari separuh jumlah kasus menderita demam antara 37,5-38,5oC dan 7 anak lainnya mengalami demam lebih dari 39oC. Peningkatan LED dan SGOT/SGPT terdapat pada hampir semua kasus (Hadinegoro, 2001). (Tabel 2) Tabel 1. Lama Demam dan Pola Suhu Saat Masuk Rumah Sakit 12 Kelompok Umur Lama Demam (hari) Suhu Saat Masuk (º C ) (tahun) <7 >7 38,0 - 38,5 38,5 – 39.0 >39,0 <5 0 1 1 0 0 5–9 4 11 10 2 4 ≥10 3 6 3 2 3 Jumlah 7 18 14 4 7 31 Tabel 2. Manifestasi klinis 12 Gejala klinis n Demam 25 Menggigil 15 Nyeri perut 18 Mual 20 Muntah 21 Diare 12 Obstipasi 13 Mengigau 20 Kesadaran menurun 10 Lidah tifoid 15 Nyeri epigastrium X 15 Nyeri epigastrium 17 Hepatomegali 19 Splenomegali 6 * tiap pasien dapat mempunyai lebih dari satu gejala 6. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, penderita anak hanya dikelompokkan berdasarkan suhu tubuh, tidak dijelaskan tentang kondisi pasien serta berat badan pasien. Kondisi pasien dan berat badan pasien juga menentukan terapi. Beberapa kritik yang perlu disampaikan : 1. Apakah penderita anak itu mempunyai berat badan yang ideal, malnutrisi, atau obesitas. 2. Pada demam thypoid seringkali disertai dengan keluhan yang lain. 3. Terapi yang diberikan, apakah terapi causatif atau causatif simptomatis. 4. Bagaimana kondisi psikologis anak pada saat perawatan. Dalam penelitian didapatkan 4 orang gagal dalam pengobatan cefixime pada demam thypoid anak. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh : 1. Resistensi antibiotik 2. Penentuan dosis yang tidak tepat 3. Jumlah pemberian obat dalam sehari yang tidak tepat 4. Adanya relaps 5. Penyakit lain yang menyertai. Berdasarkan penelitian pengobatan pada demam thypoid anak, tidak hanya cefixime yang menjadi satu-satunya antibiotik yang dipergunakan, tetapi chloramphenicol masih digunakan sebagai obat lini pertama untuk pengobatan demam thypoid pada anak. Disamping chloramphenicol, ada antibiotik lain yang dapat digunakan, yaitu cotrimoxazol dan ceftriaxone. Tetapi dalam 5 tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam thypoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella thypii (MDRST). 7. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, cefixime mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan demam tifoid anak. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, dosis dan lama pengobatan perlu dievaluasi lebih lanjut. 32 Sulistia G, Gunawan. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. multidrug- resistant typhoid fever with oral Jakarta. 2008 :678-686. cefixime vs.intravenous ceftriaxone. Pediatr Infect Dis J 1994; 13: 990-4. Santosa G, M.S Makmuri. Efektivitas dan Keamanan Cefixime pada Pengobatan Infeksi Saluran Dinkes Jabar, 2006, Daftar informasi obat. Website Pernafasan pada Anak. Cermin Dunia resmi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Kedokteran No 101. Surabaya, 1995: 37-39. DAFTAR PUSTAKA Dexa Medica, 2009, Prescription Products. PT DexaTrihadi D, Rahadja HA. Evaluasi Klinik Pengobatan Medica. Palembang – Indonesia Cefixime Oral pada Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Non Tuberkulosis. Cermin Hadinegoro SR. Kuinolon pada anak suatu dilema. Dunia Kedokteran No 101. Semarang, 1995: Dalam: Alan RT, Hadinegoro SR, Oswari 44-47. H.penyunting naskah lengkap pendidikan kedokteran berkelanjutan Bagian ilmu kesehatan Anak XL. Balai Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 1997: 133-40. Hadinegoro SR. Masalah Multiple drug resistance pada demam tifoid anak. Dipresentasikan pada simposium New Treatment of Typhoid fever in children. Jakarta, 26 Agustus 1998 Hadinegoro SRS, Tumbelake AR, Satari HI. Pengobatan cefixime pada demam tifoid anak. Sari Pediatri, Vol 2, No 4, Maret 2001 : 182187 Memon IA, Billoo AG, Memon HI. Cefixime: An oral option for the treatment of multidrugresistance enteric fever in children. South Med J 1998; 90: 1204-7. Matsumoto K. Pharmacokinetics/ pharmacodinamics and in-vitro antimicrobial activity of cefixime for Salmonella Typhi. Third Asia Pacific Symposium on Thyphoid Fever and Other Salmonelosis. Bali, 11 Desember 1997. Ringo-Ringo PH. Pola resistensi antibiotik pada penderita demam tifoid anak di bagian ilmu kesehatan anak FKUI.RSCM Jakarta Tahun 1990-1994. Tesis program Studi ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta 1996. 33 EKSPRESI NFκB PADA MAKROFAG MENCIT BALB/c JANTAN AKIBAT PEMBERIAN EKSTRAK ALLIUM SATIVUM LINN Titiek Sunaryati Departemen Patologi Anatomi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Common dingin adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana ekstrak bawang putih dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan putih jantan BALB / c strain mencit, 10 minggu dengan berat badan dari 25-35 gram. Kelompok 1 menerima plasebo (CMC Na) selama 14 hari. Kelompok 2 menerima ekstrak 10 mg / kg BW bawang putih selama 14 hari, dan kelompok 3 menerima 20mg/kg BB ekstrak bawang putih selama 14 hari. Setelah 14 hari mencit dikorbankan kemudian usus telah dihapus dan diproses di blok parafin, kemudian diwarnai dengan imunohistokimia. Ada tiga variabel seperti jumlah makrofag yang ekspresi NFκB, jumlah sel yang memproduksi γ interferon, dan jumlah limfosit yang memproduksi interleukin 2. Data dianalisis dengan analisis varians Brown Forsythe, perbedaan yang nyata lebih lanjut dianalisis dengan menggunakan Games Howell pada tingkat signifikan 0,05. Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok yang menerima plasebo, 10mg/kgBw ekstrak bawang putih, dan bawang putih 20mg/kgBw ekstrak di setiap variabel. Ekstrak bawang putih dapat meningkatkan kekebalan tubuh melalui peningkatan jumlah makrofag yang menyatakan NFκB. Kata kunci: umum dingin, ekstrak bawang putih, NFκB. NFκB EXPRESSION IN MACROPHAGES MICE BALB/c MALES DUE EXTRACTS OF ALLIUM SATIVUM LINN GIVING Titiek Sunaryati Department of Pathology Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Common cold is an infectious disease that is caused by viruses. The purpose of this study is to explain how garlic extract can increase body immunity. This was experimental study using white male BALB/c strain mice, 10 weeks old with bodyweight of 2535 grams. Group 1 received placebo (CMC Na) for 14 days. Group 2 received 10mg/kg BW garlic extract for 14 days, and group 3 received 20mg/kg BW garlic extract for 14 days. After 14 days mice were sacrified then intestines were removed and processed in the paraffin block, then were stained with immunohistochemistry. There were three variables such as the amount of macrophage that expres NFκB, the amount of cell that produce interferon γ, and the amount of lymphocyte that produce interleukin 2. Data were analyzed by analysis of variance Brown Forsythe, any significant different was further analyzed by using Games Howell in the significant level of 0.05. There were significant difference between groups those received placebo, 10mg/kgBw garlic extract, and 20mg/kgBw garlic extract in each variables. Garlic extract can increase body immunity via increase in the amount of macrophage that express NFκB. Keywords: common cold, garlic extract, NFκB. PENDAHULUAN Common cold merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Steven, 2009). Bawang putih tidak hanya mencegah common cold, tetapi juga dapat memperpendek gejala dan derajat keparahannya (Marta,et al, 2007). Pada umumnya terapi common cold yang digunakan ialah antihistamin, dekongestan, antipiretik, dan ekspektoran. Antibiotik digunakan bila terjadi infeksi sekunder (Boies, 1994). Teknik lain yang perlu 34 diberikan ialah dengan meningkatkan imunitas tubuh menggunakan obat immunomodulator, salah satunya ialah bawang putih (Allium sativum Linn.) (Marta,et al, 2007). Bawang putih adalah tanaman yang kaya senyawa organosulfur, bahan ini dapat meningkatkan imunitas tubuh (Eikai, 2001). Namun sampai sejauh ini mekanisme meningkatnya imunitas tubuh akibat pemberian ekstrak bawang putih belum dapat dijelaskan. Bawang putih setelah diekstraksi akan menghasilkan zat yang bersifat stabil yaitu Sallylcysteine. Zat ini akan berikatan dengan reseptor yang ada di permukaan sel makrofag. Kompleks ini akan mengambil molekul yang berisi tumor necrosis factor receptor associated death domain (TRADD) yang akan berinteraksi dengan SerineThreonine kinase ribosome inhibiting protein (RIP) dan tumor necrosis factor receptor associated factor 2 (TRAF2). Keduanya mengaktifkan transforming growth factor beta activated kinase 1 (TAK1). TAK1 yang aktif berperan terhadap fosforilasi inhibitor kinase κappa beta (IKκB). IKκB menyebabkan degradasi inhibitor κappa beta (IκB). Hambatan pada IκB akan mengaktifkan nuclear factor κappa beta (NFκB) sehingga terjadilah translokasi NFκB aktif ke inti sel (George, 2002). Di inti NFκB menstimuli proses transkripsi yang menghasilkan interferon γ (IFNγ) (Neil, 1997). IFNγ akan merangsang aktifitas sitotoksik limfosit (CTL) dan sel natural killer (sel NK). IFNγ selanjutnya merangsang aktifitas sel NK untuk membunuh virus atau sel yang terinfeksi virus dan membuat blokade reseptor pada sel tetangga sehingga sel tetangga kebal terhadap infeksi virus (Anthony, 2003). BAHAN DAN CARA KERJA A.Sampel penelitian 27 ekor mencit jantan yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1 sampai kelompok 3 masing-masing sebanyak 9 ekor mencit. Mencit pada kelompok 1 (K) diberi placebo selama 14 hari. Mencit pada kelompok 2 (P1) diberi ekstrak bawang putih 10mg/kgBB dengan dosis 1x/hari selama 14 hari, kelompok 3 (P2) diberi ekstrak bawang putih 20mg/kgBB dengan dosis 1x/hari selama 14 hari. B.Pemeriksaan imunohistokimia Pemeriksaan jumlah makrofag pengekspresi NFκB pada usus halus ketiga kelompok mencit dilakukan dengan teknik imunohistokimia. Setiap satu sampel diamati dan dihitung jumlah makrofag yang mengekspresikan NFκB (sitoplasmanya berwarna coklat) dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x; diamati pada sepuluh lapangan pandang dan dihitung jumlah makrofag yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap antibodimonoklonal NFκB. ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN Hasil perhitungan jumlah makrofag yang mengekspresikan NFκB pada usus halus ketiga kelompok mencit dihitung persentase, dan dilihat pada tabel1. Tabel 1 Hasil analisis jumlah makrofag pengekspresi NFκB BrownJumlah Makrofag Pengekspresi NFB() Kelompok n Forsythe SD Min Maks x Kontrol(K) 9 4,44a 1,42 3 7 Bawang Putih 9 43,22b 3,31 40 48 F=1663,32 10mg/kgBB(P1) p=0,000* Bawang Putih c 9 76,89 2,89 74 82 20mg/kgBB(P2) Keterangan : * signifikan pada =0,05 a,b,c superscript yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antar kelompok (berdasarkan Games-Howell test) Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rerata±SD kelompok kontrol (K) 4,44±1,42 dengan nilai minimum 3 dan maksimum 7; nilai rerata±SD kelompok perlakuan yang diberi bawang putih 10mg/kgBB (P1) ialah 43,22±3,31 dengan 35 nilai minimum 40 dan maksimum 48; nilai rerata±SD kelompok perlakuan yang diberi bawang putih 20mg/kgBB (P2) ialah 76,89±2,89 dengan nilai minimum 74 dan maksimum 82. Dari hasil analisis statistika dengan menggunakan uji Brown-Forsythe didapatkan Gambar 1 nilai p=0,000(p<0,05) artinya ada perbedaan jumlah makrofag pengekspresi NFκB. Uji Games-Howell untuk beda antar kelompok didapatkan ada perbedaan yang bermakna antara K dan P1; K dan P2; P1 dan P2. Mukosa usus halus dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal NFκB pada kelompok yang mendapat bawang putih 20mg/kgBB. Tampak makrofag yang positif dengan sitoplasma berwarna coklat (tanda panah). (Perbesaran 400x) Gambar 2 Pengambilan jaringan usus halus mencit 36 DISKUSI Common cold adalah self-limiting disease dan sistem imun host adalah hal yang sangat menentukan pada penyakit ini. Respon imun humoral mulai menghasilkan antibodi spesifik dalam beberapa hari untuk mencegah virus menginfeksi sel. Leukosit tersebut juga membunuh virus melalui proses fagositosis dan membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah replikasi virus. Pada pasien dengan imunitas tubuh yang baik dapat sembuh sendiri dalam tujuh hari (Eccles, 2005). Pada umumnya terapi common cold yang digunakan ialah antihistamin, dekongestan, antipiretik, dan ekspektoran. Antibiotik digunakan bila terjadi infeksi sekunder (Boies, 1994). Teknik lain yang perlu diberikan ialah dengan meningkatkan imunitas tubuh menggunakan obat immunomodulator, salah satunya ialah bawang putih (Allium sativum Linn.) (Marta,et al, 2007). Ekstraksi bawang putih menghasilkan zat yang bersifat anti oksidan yang tidak stabil yaitu allicin dan juga zat yang stabil yaitu S-allylcysteine dan Sallylmercaptocysteine. Kedua komponen ini merupakan senyawa organosulfur (Borek, 2001). S-allylcysteine adalah immunomodulator yang efisien melalui stimuli aktivitas makrofag dan produksi sitokin oleh makrofag (Kang, 2001). Untuk membuktikan pengaruh bawang putih sebagai immunomodulator, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan hewan coba yaitu mencit BALB/c jantan. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 (K) tidak diberi ekstrak bawang putih. Kelompok 2 (P1) diberi ekstrak bawang putih dengan dosis 10mg/kgBB (Yudha, 2003). Kelompok 3 (P2) diberi ekstrak bawang putih dengan dosis 20mg/kgBB. Mencit pada ketiga kelompok dikorbankan pada hari ke 14 untuk dilakukan pengamatan persentase jumlah makrofag pengekpresi NFκB. Penelitian ini menggunakan metode imunohistokimia indirect untuk deteksi adanya NFκB pada mukosa usus halus mencit. Pada metode indirect ini antibodi sekunder yang dilabel enzim akan berikatan dengan antibodi primer yang telah berikatan dengan antigen. Untuk menandai adanya suatu reaksi enzimatik di dalam jaringan maka digunakan indicator warna (chromogen) DAB (3,3 diaminobenzidine) yang akan memberikan warna coklat di antara sitoplasma sel normal yang terwarnai sesuai counter stain haematoxylin, dihitung dalam persen dan dibandingkan antar kelompok (Sudiana, 2008). Hasil pewarnaan imunohistokimia pada penelitian ini menunjukkan data jumlah makrofag pengekspresi NFB masingmasing kelompok berdistribusi normal (p>0,05) (Analisis dengan KolmogorovSmirnov satu sampel) , tetapi data tersebut memiliki nilai variansi yang tidak homogen antar kelompok (Levene test p<0,05). Untuk itu analisis komparasi antar kelompok dilakukan dengan uji Brown-Forsythe. Uji beda antar kelompok menggunakan Games-Howell. Berdasar hasil analisis data diatas didapat bahwa pemberian ekstrak bawang putih dapat meningkatkan jumlah makrofag pengekspresi NFB jaringan usus halus mencit. Hal ini disebabkan karena kandungan organosulfur dalam bawang putih yaitu S-allylcysteine (Kang, 2001). S-allylcysteine merupakan protein asing yang dapat menstimuli makrofag. Sallylcysteine berikatan dengan reseptor pada permukaan sel makrofag. Kompleks ini akan mengambil molekul yang berisi tumor necrosis factor receptor associated death domain (TRADD) yang akan berinteraksi dengan Serine-Threonine kinase ribosome inhibiting protein (RIP) dan tumor necrosis factor receptor associated factor 2 (TRAF2). Keduanya akan mengaktifkan transforming growth factor beta activated kinase 1 (TAK1). TAK1 yang aktif berperan terhadap fosforilasi inhibitor kinase κappa beta (IKκB). IKκB menyebabkan degradasi inhibitor κappa beta (IκB). Hambatan pada IκB akan mengaktifkan nuclear factor κappa beta (NFκB) sehingga terjadilah translokasi NFκB aktif ke inti sel (George, 2002). Di inti NFκB menstimuli proses transkripsi yang menghasilkan interferon gamma (IFNγ) dan interleukin 12 (IL-12) (Neil, 1997). Berdasarkan penelitian ini dapat 37 dibuktikan bahwa bawang putih dapat menstimuli makrofag untuk mengekspresikan NFκB sehingga terjadi proses transkripsi dan menghasilkan IFNγ dan IL-12. IFN-γ yang dihasilkan sel makrofag dapat meningkatkan aktivitas sel NK untuk membunuh sel yang mengandung virus dan membuat blokade reseptor pada sel tetangga sehingga sel tetangga kebal terhadap infeksi virus (Anthony, 2003). Pemberian ekstrak umbi bawang putih pada mencit BALB/c jantan selama 14 hari dapat meningkatkan imunitas alami tubuh melalui peningkatan jumlah makrofag pengekspresi NFκB. PENUTUP Pemberian ekstrak umbi bawang putih pada mencit BALB/c jantan dapat meningkatkan imunitas tubuh melalui peningkatan jumlah makrofag pengekspresi NFκB. Daftar Pustaka Abbas A.K, Andrew H.L, 1994. Cellular and Molecular Immunology. 2nd edition, USA: W.B. Saunders Company, 18, 53, 55, 262, 208-9, 251-2, 328. Anthony R.F,Wayne M.Y, 2003. Natural Killer Cells and Viral Infections. Current Opinion in Immunology 15: 45-51. Boies, Adams, Higler, 1994. Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology). 1st edition, Jakarta:EGC, 206-208. Borek C, 2001. Antioxidant Health Effect of Aged Garlic Extract. Journal of Nutrition American Society for Nutritional Sciences 131: 1010s1015s. Diah K, 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Cetakan I, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 5-8, 25-37, 6669, 82-112. Eccles R, 2005. Understanding The Symptoms of The Common Cold and Influenza. Lancet Infect Diseases 5:718-25. Eikai K, Naoto U, 2001.Immunomodulatory Effects of Aged Garlic Extract. Journal of Nutrition 131: 1075-1079. Eko B,2002. Biostatistika. Cetakan I, Jakarta:EGC, 226-232. Federer, 1955. Experimental Design, Theory and Application. 2nd edition, New York Macmillan. George S, 2002. NFκB-Dependent Signaling Pathways. Experimental Hematology 30: 285-296. Hildebert W, 1999. Immunomodulatory Agents from Plants. Medical :274277. Hirao Y, 1987. Activation of Immunoresponder Cells by The Protein Fraction from Aged Garlic Extract. Phytotherapy 1:161-164. John D.B, Harry C.C, 1984. Manual of Histological Techniques. New York:Churcill livingstone Inc, 1225,195-202. Kang N.S, Moon E.Y, 2001. Immunomodulating Effect of Garlic Component, Allicin, on Murine Peritoneal Macrophages. Nutrition Research 21: 617-626. Liang H.O, Purwanto A, 1991. Uji Toksisitas dan Aktivitas Biologi Ekstrak Bawang Putih. Cermin Dunia Kedokteran 73, 28. Luna L.G, 1968. Manual of Histologic Staining Methods of The Armed Forces Institute of Pathology. 3rdedition,USA:Mc.Graw Hill Book Company,1-32. Marta CM, Nieves C, Mar V, 2007. Biological Properties of Onions and Garlic. Food Science and Technology 18: 609-625. Marcel V, 2009. Moral Principles for Allocating Scarce Medical Resources in an Influenza Pandemic. Bioethical Inquiry 6:159-169. Neil P,1997. Achieving Transcriptional Specificity with NFκB. Int.J.Biochem. Cell Biology 29: 1433-1448. Schoenborn J.R, Wilson C.B, 2007. Regulation of Interferon Gamma During Innate and Adaptive Immune Responses, Immunol 96:41-101. 38 Schroeder K, Hertzog PJ, Ravasi T, 2004. Interferon Gamma: an Overview of Signals, Mechanisms and Functions, J Leukoc.Biol 75: 16389. Steel R.G.D., Torrie J.H, 1984. Principles and Procedures of Statistics. Singapore: McGraw Hill Book Co., Inc., 172-177. Steven E,MD, 2009.Common Cold. http://www.medicineNet.com/ Sudiana IK, 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Salemba Medika, 61-88. Sudiana IK, 2005. Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta: Sagung Seto, 1-46. Tzou-C.H, 2009. Diallyl Disulphide, but not Diallyl Sulphide, Increases Leucocyte Function-Associated Antigen-1 Expression and Cellular Adhesion in Monocytes. Food Chemistry 1-14. Yudha, JS, 2003. The Role of Garlic (Allium Sativum) Antioxidant as Hepatoprotektor. Jurnal Universitas Airlangga. 4(1):24-31. 39 URETRITIS GONORE Ernawati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Uretritis gonore merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae dimana manusia merupakan satu-satunya penjamu ( host ) dengan manifestasi berupa keradangan pada saluran kencing bagian depan ( uretra ). Gejala klinis pada laki-laki diawali dengan gejala ringan yang bila tidak diobati akan menimbulkan komplikasi lokal seperti epididymitis, seminal vaskulitis dan prostatitis, sedangkan pada wanita gejala lebih ringan atau kadang tanpa gejala sehingga wanita sering menjadi carrier atau sumber penularan yang tersembunyi. Diagnosa ditegakkan dari pemeriksaan klinis dan bakteriologis, terapi dengan antibiotika golongan cephalosporin, quinolone, spectinomycin atau kanamycin dan yang penting adalah edukasi terhadap penderita serta pasangannya. GONORRHEA URETHRITIS Ernawati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Gonorrhea urethritis is an infectious disease caused by the bacteria Neisseria gonorrhoeae in which humans are the only hosts (hosts) with manifestations of urinary tract inflammation in the front (the urethra). Clinical symptoms in men begins with mild symptoms that if untreated will cause local complications such as epididymitis, prostatitis and seminal vasculitis, whereas in women more mild symptoms or sometimes no symptoms so that women often become a carrier or a hidden source of infection. Diagnosis of clinical and bacteriological examination, treatment with the cephalosporin class of antibiotics, quinolone, spectinomycin or kanamycin and what is important is education of patients and their partners. PENDAHULUAN Uretritis gonore adalah suatu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae. Penaganannya yang sulit menyebabkan penyakit ini tidak terbatas hanya pada suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah dunia terutama pada negara berkembang atau sedang berkembang seperti Asia Selatan dan Tenggara, Sub Sahara Afrika dan Amerika Latin. WHO memperkirakan bahwa tidak kurang dari 25 juta kasus baru ditemukan setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan dijumpai 600.000 kasus baru setiap tahunnya. Hal ini disebabkan banyak faktor penunjang yang dapat mempermudah dalam hal penyebarannya menyangkut : kemajuan sarana transportasi, pengaruh geografi, pengaruh lingkungan, kurangnya fasilitas pengobatan, kesalahan diagnosis, perubahan pola hidup, dan tak kalah penting ialah penyalahgunaan obat. Kesemuanya ini dapat terjadi terutama karena latar belakang kurangnya pengetahuan mengenai seluk beluk dari infeksi menular seksual. Infeksi gonore dapat juga didapat dari setiap kontak seksual, pharyngeal dan anal gonorrheae tidak biasa. Gejala pharyngeal gonorrheae biasanya berupa nyeri tenggorokan, anal gonorrheae dapat dirasakan lebih nyeri disertai sekret yang bernanah. Angka tertinggi pada wanita dari semua ras adalah kelompok usia 15 sampai 19 tahun. Prevalensi gonore selama kehamilan bervariasi, tetapi dapat mencapai 7% dan mencerminkan status resiko populasi. Faktor resiko antara lain adalah lajang, remaja, kemiskinan, terbukti menyalahgunakan obat, prostitusi, penyakit menular seksual lain dan tidak adanya perawatan prenatal. 40 Dengan bertambah banyaknya ragam antibiotik yang berhasil disintesis akhir-akhir ini memperkuat dugaan sebelumnya bahwa uretritis gonore akan dapat terberantas secara tuntas. Kenyataannya hal seperti ini tidak seluruhnya benar. Tidak jarang penderita uretritis gonore tidak kunjung sembuh meskipun telah minum sendiri antibiotik yang mahal sekalipun. Penderita lain dengan sakit yang sama berobat ke dokter, kemudian sembuh. Berdasarkan pengalaman tersebut, setiap kali sakit setelah hubungan seksual, pasien selalu minum obat yang sama tanpa memeriksakan diri ke dokter lebih dahulu. Kasus seperti ini sering terjadi dalam praktek sehari-hari KLASIFIKASI Famili Neisseriaceae meliputi spesies Neisseria dan Moxarella catarralis seperti acinetobacter dan kingella serta spesies moxarella lainnya. Neisseria adalah cocci gram negatif yang biasanya berpasangan. Neisseria gonorrhoeae ( gonococci ) dan Neisseria meningitidis ( meningococci ) adalah patogen pada manusia dan biasanya ditemukan bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear. Beberapa neisseriae berhabitat di saluran pernafasan manusia, jarang menimbulkan penyakit dan terjadi ekstraselular. Gonococci dan meningococci saling berhubungan erat, dengan 70% DNA homolog, dan dapat dibedakan melalui beberapa tes laboratorium dengan cirri-ciri spesifik: meningococci memiliki kapsul polisakarida sedangkan gonococci tidak, dan meningococci jarang memiliki plasmid dimana kebanyakan gonococci memilikinya. Yang paling penting, kedua spesies tersebut dapat dibedakan dengan presentasi klinis dari penyakit yang disebabkannya : meningococci biasanya ditemukan pada saluran pernafasan atas dan menyebabkan meningitis, sementara gonococci menyebabkan infeksi alat kelamin. Spektrum klinis dari penyakit disebabkan oleh kelebihan gonococci dan meningococci. EPIDEMIOLOGI Gonore terdapat dimana-mana di seluruh dunia dan merupakan penyakit kelamin yang terbanyak dewasa ini. Tidak ada imunitas bawaan maupun setelah menderita penyakit. Juga tidak ada perbedaan mengenai kekebalan antara berbagai suku bangsa atau jenis kelamin atau umur. Diperkirakan setiap tahun tidak kurang dari 25 juta kasus baru ditemukan di dunia. Beberapa strain kuman gonokok yang resisten terhadap penisilin, quinolone dan antibiotik lainnya telah ditemukan beberapa tahun yang lalu dan membawa persoalan dalam pengobatan, telah tersebar di beberapa negara. ETIOLOGI Morfologi Neiserria gonorrhoeae merupakan kuman kokus gram negatif, berukuran 0,6 sampai 1,5 μm, berbentuk diplokokus seperti biji kopi dengan sisi yang datar berhadap-hadapan. Kuman ini tidak motil dan tidak membentuk spora. Neisseria gonorrheae dapat dibiakkan dalam media Thayer Martin dengan suhu optimal 3537ºC, pH 6,5-7,5, dengan kadar C02 5%. Gonococci hanya memfermentasi glukosa dan berbeda secara antigen dari Neisseriae lain. Gonococci biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan Neisseriae lainnya. Gonococci yang membutuhkan arginin, hipoxantin dan urasil ( auksotipe Arg¯, Hyx+, Ura+ ) cenderung tumbuh dengan sangat lambat pada kultur primernya. Gonococci diisolasi dari specimen klinis atau dipertahankan oleh subkultur nonselektif yang memiliki ciri koloni kecil yang mengandung bakteri yang berpili. Pada subkultur nonselektif, koloni yang lebih besar yang mengandung gonococci nonpili juga terbentuk Varian yang pekat dan transparan pada kedua bentuk koloni ( besar dan kecil ) juga terbentuk, koloni yang pekat berhubungan dengan keberadaan protein yang berada di permukaan, yang disebut Opa. Kellog membedakan Neisseria gonorrhoea berdasarkan pertumbuhan koloninya pada media agar, yaitu : - T1 bentuk koloninya kecil, cembung dan lebih terang 41 - T2 bentuk koloninya kecil, lebih gelap, tapi lebih terang T3 bentuk koloninya besar, datar dan lebih gelap T4 sama dengan T3 tetapi lebih terang Koloni yang kecil karena mempunyai pili diberi tanda p+, sedangkan koloni besar diberi tanda p¯. Makin kecil N.gonorrheae makin tinggi virulensinya, karena sel bakteri ini memiliki pili yang memudahkan perlekatannya dengan dinding sel selaput lendir. Gambar kuman Neiserria gonorrhoeae Mikrobiologi Dengan mikroskop elektron, dinding N. gonorrheae terlihat mempunyai komponen-komponen permukaan yang diduga berperan pada patogenesis virulensinya. Komponen permukaan tersebut mulai dari lapisan dalam ke luar dengan susunan sebagai berikut : 1. Membran sitoplasma Membran ini menghasilkan beberapa enzim seperti suksinat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, NADH dehidrogenase dan ATP ase. 2. Lapisan peptidoglikan Lapisan ini mengandung beberapa jenis asam amino seperti pada kuman gram negatif lainnya. Lapisan ini mengandung “penicilline binding component” yang merupakan sasaran antibiotik penisilin dalam proses kematian kuman. Terjadi hambatan sintesis dinding sel, sehingga kuman akan mati. 3. Membran luar ( dinding sel ) Membran ini terdiri atas beberapa komponen, yang terpenting adalah: a. Lapisan polosakarida Lapisan ini memegang peranan dalam virulensi dan patogenesis kuman N. gonorrhea b. Pili Pili merupakan bagian dinding sel gonokokus yang menyerupai rambut, berbentuk batang dan terdiri dari subunit protein sekitar 1.800 dalton. Pili ini dihubungkan dengan patogenisitas kuman yang sangat berperan dalam perlekatan ( adhesi ) pada sel mukosa dan penyebaran kuman dalam inang c. Protein # Porin protein ( por ) Dengan teknik elektroforesis dapat ditemukan protein pada lapisan dinding sel gonokokus dengan berat sekitar 34-36 kilo Dalton yang dikenal dengan porin protein ( Por ). Fungsi dari Por ini adalah sebagai penghubung anion spesifik ke dalam lapisan yang banyak 42 mengandung lemak pada membran luar. # Opacity protein ( Opa ) Protein ini banyak ditemukan pada daerah perlekatan sel yang mempunyai kemampuan menyesuaikan perubahan panas sel, membantu perlekatan antar sel dalam koloni atau dengan sel epitel. Protein ini berukuran antara 24-28 K Dalton # Reduction Modifiable Protein ( RMP ) Semua neisseria patogen mempunyai protein RMP dengan berat molekul 30-31 K Dalton. Protein ini memegang peran penting karena dapat memblokade antibodi yang ada dalam serum. # H.8 protein Peranan protein ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti d. Lipo Oligosakarida (LOS) Semua glukosa mengekspresikan LOS pada permukaan selnya. Komponen ini berperan dalam menginvasi sel epitel, dengan cara memproduksi endotoksin yang menyebabkan kematian sel mukosa. e. Ig A1 protease Komponen ini berperan dalam inaktifasi pertahanan imun mukosa. Hilangnya Ig A1 protease akan menyebabkan hilangnya kemampuan gonokokus untuk tumbuh dalam sel epitel. Genetik dan Heterogenitas Antigen Gonococci telah mengembangkan mekanisme perpindahan yang dimulai dari satu bentuk antigen ( pilin, Opa atau lipopolisakarida ) ke bentuk antigen yang lain dari molekul yang sama. Perpindahan tersebut membutuhkan satu tempat untuk setiap 10²- 10³ gonococci, sebuah perubahan yang sangat cepat bagi bakteri. Karena pilin, Opa dan lipopolisakarida adalah antigen yang terdapat pada permukaan gonococci, mereka berperan penting dalam respon kekebalan terhadap infeksi. Molekulmolekul yang cepat berpindah dari satu bentuk antigen ke bentuk yang lain membantu gonococci untuk mampu menghindar dari sistem kekebalan inang. PATOGENESIS Gonococci menampakkan beberapa tipe morfologi dari koloninya, tetapi hanya bakteri berpili yang tampak virulen. Gonococci yang berbentuk koloni yang pekat ( opaque ) saja yang diisolasi dari manusia dengan gejala uretritis dan dari kultur uterine cervical pada siklus pertengahan. Gonococci yang koloninya berbentuk transparan diisolasi dari manusia dari infeksi uretral yang tidak bergejala, dari menstruasi dan dari bentuk invasif dari gonorrhea, termasuk salpingitis dan infeksi diseminasi. Pada wanita, tipe koloni terbentuk dari sebuah strain gonococcus yang berubah selama siklus menstruasi. Gonococci yang diisolasi dari pasien membentuk koloni-koloni yang pekat atau transparan, tetapi mereka umumnya memiliki 1-3 Opa protein pada saat tumbuh di kultur primer yang sedang diuji. Gonococci dengan koloni transparan dan tanpa Opa protein hampir tidak pernah ditemukan secara klinis tetapi dapat dispesifikasi melalui penelitian di laboratorium. Gonococci menyerang membran selaput lendir dari saluran genitourinaria, mata, rectum dan tenggorokan, menghasilkan nanah yang akut yang mengarah ke invaginasi jaringan, hal yang diikuti dengan inflamasi kronis dan fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi peradangan uretra ( uretritis ), nanah berwarna kuning dan kental, disertai rasa sakit ketika kencing. GAMBARAN KLINIS Pada laki-laki Sekali kontak dengan wanita yang terinfeksi, 25% akan terkena uretritis gonore dan 85% berupa uretritis yang akut. Setelah masa tunas yang berlangsung antara 2-10 hari, penderita mengeluh nyeri dan panas pada waktu kencing yang kemudian diikuti keluarnya nanah kental berwarna kuning kehijauan. Pada keadaan ini umumnya penderita tetap merasa sehat, hanya 43 kadang-kadang dapat diikuti gejala konstitusi ringan. Sebanyak 10% pada laki-laki dapat memberikan gejala yang sangat ringan atau tanpa gejala klinis sama sekali pada saat diagnosis, tetapi hal ini sebenarnya merupakan stadium presimtomatik dari gonore, oleh karena waktu inkubasi pada laki-laki bisa lebih panjang ( 1-47 hari dengan rata-rata 8,3 hari ) dari laporan sebelumnya. Bila keadaan ini tidak segera diobati, maka dalam beberapa hari sampai beberapa minggu maka sering menimbulkan komplikasi lokal berupa epididymitis, seminal vesiculitis dan prostatitis, yang didahului oleh gejala klinis yang lebih berat yaitu sakit waktu kencing, frekuensi kencing meningkat, dan keluarnya tetes darah pada akhir kencing. Pada wanita Pada wanita gejala uretritis ringan atau bahkan tidak ada, karena uretra pada wanita selain pendek, juga kontak pertama pada cervix sehingga gejala yang menonjol berupa cervicitis dengan keluhan berupa keputihan. Karena gejala keputihan biasanya ringan, seringkali disamarkan dengan penyebab keputihan fisiologis lain, sehingga tidak merangsang penderita untuk berobat. Dengan demikian wanita seringkali menjadi carrier dan akan menjadi sumber penularan yang tersembunyi. Pada kasus-kasus yang simtomatis dengan keluhan keputihan harus dibedakan dengan penyebab keputihan yang lain seperti trichomoniasis, vaginosis, candidiasis maupun uretritis non gonore yang lain. Pada wanita, infeksi primer tejadi di endocerviks dan menyebar kearah uretra dan vagina, meningkatkan sekresi cairan yang mukopurulen. Ini dapat berkembang ke tuba uterine, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba. Ketidak suburan ( infertilitas ) terjadi pada 20% wanita dengan salpingitis karena gonococci. Pada bayi Ophtalmia neonatorum yang disebabkan oleh gonococci, yaitu suatu infeksi mata pada bayi yang baru lahir yang didapat selama bayi berada dalam saluran lahir yang terinfeksi. Conjungtivitis inisial dengan cepat dapat terjadi dan bila tidak diobati dapat menimbulkan kebutaan. Untuk mencegah ophtalmia neonatorum ini, pemberian tetracycline atau erythromycin ke dalam kantung conjungtiva dari bayi yang baru lahir banyak dilakukan. DIAGNOSA Bila fasilitas pengobatan, tenaga medis dan laboratorium tersedia, maka untuk diagnosa uretritis tidak cukup hanya dengan pemeriksaan klinis, tetapi harus diikuti pemeriksaan bakteriologis. Di sini pemeriksaan bakteriologis meliputi pemeriksaan dengan hapusan dan biakan untuk identifikasi dan tes kepekaan antibiotik. Dengan cara pengecatan gram dari hapusan ini nilainya cukup tinggi karena kemungkinan kuman gonokok ditemukan cukup tinggi. Pada wanita selain pemeriksaan dengan gram, harus diikuti dengan biakan oleh karena dengan hanya kemungkinan ditemukan kuman gonokok lebih kecil di samping kemungkinan keliru dengan flora lain dari vagina. Beberapa macam pemeriksaan laboratorium untuk deteksi Neisseria gonorrheae ; 1. Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan gram Tampak kuman kokus berpasangpasangan terletak di dalam dan di luar sel darah putih ( polimorfonuklear ). Pemeriksaan ini berguna terutama pada kasus gonore yang bersifat simtomatis. 2. Pembiakan dengan pembenihan Thayer Martin Akan tampak koloni berwarna putih keabuan, mengkilap dan cembung. Pembiakan dengan media kultur ini sangat perlu terutama pada kasus-kasus yang bersifat asimtomatis. 3. Enzyme immunoassay Merupakan cara deteksi antigen gonokokus dari sekret genital, namun sensitivitasnya masih lebih rendah dari metode kultur. 4. Polimerase Chain Reaction (PCR) Identifikasi gonokokus dengan PCR saat ini telah banyak 44 digunakan di beberapa negara maju, dengan banyak sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, bahkan dapat digunakan dari sampel urine. UJI LABORATORIUM DIAGNOSTIK A. Spesimen Nanah dan sekresi diambil dari uretra, cervix, rectum, conjunctiva, tenggorokan, atau cairan sinovial untuk dibuat kultur dan hapusan. Kultur darah diperlukan pada penyakit sistemik, tetapi sistem kultur spesial sangat membantu, karena gonococci sensitif terhadap polyaetanol sulfonate pada media kultur darah standar. B. Smear Smear dari uretra atau eksudat dari endocervix yang diberi pewarnaan gram akan menampakkan banyak diplokokus di dalam sel nanahnya. Kultur dari eksudat uretral pria tidak diperlukan lagi bila hasil pewarnaannya positif, namun kultur harus dilakukan bila eksudat uretralnya berasal dari wanita. C. Kultur Sesaat setelah pengumpulan nanah atau selaput lendir, dipindahkan ke dalam media selektif yang telah diperkaya dan diinkubasi pada atmosfir yang mengandung 5% CO2 pada suhu 37ºC. D. Serologi Serum dan cairan genital yang mengandung antibody IgG dan IgA bekerja melawan pili gonococci, membran protein paling luar dan LPS. Beberapa IgM dari serum manusia bersifat bakterisidal terhadap gonococci pada percobaan in vitro. PENYULIT Penyulit uretritis bisa terjadi apabila tidak secepatnya mendapat pengobatan atau telah mendapatkan yang kurang adekuat. Penyulit yang terjadi dapat bersifat lokal, ekstra genital dan disseminated. - Penyulit lokal : # Pada laki-laki : tysonitis, cystitis, vesiculitis, parauretritis, cowperitis, deferenitis, littritis, epidydimitis, infertile. prostatitis, # Pada wanita : skenitis, bartholinitis, cystitis, salpingitis, proctitis, PID, infertilitas. - Penyulit ekstra genital : orofaringitis. konjungtivitis - Penyulit disseminated : arthritis, myocarditis, endocarditis, pericarditis, meningitis. PENGOBATAN Pada dasarnya pengobatan uretritis baru diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Fasilitas untuk menegakkan diagnosis penyebab uretritis secara pasti pada suatu daerah kadang-kadang belum tersedia, sehingga diagnosis dengan mengandalkan tanda-tanda klinis atau dengan pendekatan sindrom masih dipandang sangat efektif. Obat-obat yang digunakan sebagai terapi uretritis tergantung beberapa faktor : - Pola resistensi menurut area geografi maupun sub populasi - Obat-obatan yang tersedia - Efektivitas yang dikaitkan dengan harga obat - Bila kemungkinan ada concomitant Terapi uretritis gonore tanpa komplikasi : - Golongan Cephalosporin : Cefixime 400 mg per oral Ceftriaxone 250 mg im - Golongan Quinolone Ofloxacin 400 mg per oral : Ciprofloxacin 500 mg per oral - Spectinomycin : 2 gram im - Kanamycin : 2 gram im Semua diberikan dalam dosis tunggal Untuk Ciprofloxacin CDC menganjurkan untuk tidak diberikan pada area geografi tertentu karena sudah resisten seperti Inggris, Wales, Kanada sedangkan Asia, Kepulauan Pasifik, California dilaporkan masih peka dan sensitif. Terapi uretritis gonore dengan komplikasi : - Ciprofloxacin : 500 mg po per hari selama 5 hari 45 - Ofloxacin hari selama 5 hari - Ceftriaxone hari selama 3 hari - Spectinomycin hari selama 3 hari - Kanamycin hari selama 3 hari : 400 mg po per : 250 mg im per : 2 gram im per : 2 gram im per EDUKASI Penjelasan pada pasien dengan baik dan benar sangat berpengaruh pada keberhasilan pengobatan dan pencegahan karena gonore dapat menular kembali dan dapat terjadi komplikasi apabila tidak diobati secara tuntas. Tidak ada cara pencegahan terbaik kecuali menghindari kontak seksual dengan pasangan yang beresiko. Penggunaan kondom masih dianggap yang terbaik. Pendidikan moral, agama dan seks perlu diperhatikan KESIMPULAN Uretritis gonore ( gonorrheae ) merupakan penyakit hubungan seksual yang disebabkan oleh kuman Neiserria gonorrheae yang menyerang uretra pada laki-laki dan endocervix pada wanita, paling sering ditemukan dan mempunyai insiden yang cukup tinggi. WHO memperkirakan bahwa tidak kurang dari 25 juta kasus baru ditemukan setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan dijumpai 600.000 kasus baru setiap tahunnya. Neiserria gonorrheae merupakan kuman kokus gram negatif, berukuran 0,61,5 μm, berbentuk diplokokus seperti biji kopi dengan sisi yang datar berhadaphadapan. Kuman ini tidak motil dan tidak membentuk spora. Masa tunas gonore sangat singkat, pada waktu masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya bersifat asimtomatis. Umumnya penyulit akan timbul jika uretritis tidak cepat diobati atau mendapat pengobatan yang kurang adekuat. Di samping penyulit, uretritis gonore pada umumnya bersifat lokal sehingga penjalarannya sangat erat dengan susunan anatomi dan faal alat kelamin. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pada laki-laki jauh lebih mudah daripada wanita, baik secara klinis maupun laboratorium, karena pada wanita seringkali asimtomatis. Pada dasarnya pengobatan uretritis baru diberikan setelah diagnosis ditegakkan. Antibiotik canggih dan mahal tanpa didasari diagnosis, dosis dan cara pemakaian yang tepat tidak akan menjamin kesembuhan dan bahkan dapat memberi dampak berbahaya dalam penggunaannya, misalnya resistensi kuman penyebab. Pengobatan yang benar meliputi : pemilihan obat yang tepat serta dosis yang adekuat untuk menghindari resistensi kuman. Melakukan tindak lanjut secara teratur sampai penyakitnya dinyatakan sembuh. Sebelum penyakitnya benarbenar sembuh dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual. Pasangan seksual harus diperiksa dan diobati agar tidak terjadi fenomena ping pong. DAFTAR PUSTAKA Garry F . ( 2006 ). Obstetri Williams Edisi 21, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 12 : 1668-1671. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s ( 2001 ). Mikrobiologi Kedokteran Edisi Pertama, Penerbit Salemba Medika Jakarta, 21 : 419-431. Kayser ( 2005 ) Medical Microbiology, 4 : 274-276. Martodihardjo Sunarko ( 2008 ) Uretritis Gonore dan Non Gonore Diagnosis dan Pelaksanaan 1: 1-7. Murtiastutik Dwi ( 2008 ). Buku Ajar Infeksi Menular , Cetakan 1, Airlangga University Press Surabaya, 12 : 109-114. Staf Pengajar FK UI ( 1994 ). Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi, Penerbit Binarupa Aksara Jakarta, 20 : 143-153. Tortora GJ, Funke BR, Case CL ( 1997 ). Microbiology An Introduction Sixth Edition, 26 : 697-701. WHO ( 1999 ) Laboratory Diagnosis of Sexually Transmitted Diseases, 1:1-21. 46 SINDROM GUILLAIN BARRE (GBS) Inawati Departemen Patologi Anatomi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna. GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) Inawati Department of Anatomical Pathology Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Guillain-Barre syndrome is an autoimmune disease that causes inflammation and damage to myelin (fatty material, composed of fat and protein that forms a protective sheath around some type of peripheral nerve fibers). Symptoms of this disease early is the weakness and numbness in the legs that quickly spread causing paralysis. This disease needs immediate handling properly, because with rapid and appropriate treatment, most complete recovery. Definisi Sindrom Guillain-Barre Sindrom Gullain-Barre adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. GBS adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki Anda biasanya merupakan gejala pertama.. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh Anda. Deskripsi Sindrom Guillain-Barre Otot-otot wajah mungkin lumpuh juga, sehingga sulit untuk menelan normal. Pada kasus yang berat, kelumpuhan otot pernafasan membutuhkan ventilasi buatan ( respirator). Dengan perawatan medis yang intensif dan dukungan, mayoritas pasien sembuh,sepenuhnya. Namun sekitar 10 sampai 20 persen sisanya dengan beberapa sisa kelemahan. Penyakit adalah akibat dari peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf) yang mirip dengan yang terlihat pada multiple sclerosis. Perbedaan utama, bagaimanapun, adalah bahwa multiple sclerosis menyerang sistem saraf pusat, sedangkan pada sindrom Guillain-Barre , itu adalah saraf perifer yang terpengaruh. Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf perifer. Perbedaan lain adalah bahwa sindrom Guillain-Barre tidak terulang kecuali dalam kasus yang jarang terjadi. Faktor Resiko GBS dapat mempengaruhi semua kelompok usia, tetapi Anda berada di risiko yang lebih besar jika: Anda seorang dewasa muda Anda seorang dewasa yang lebih tua 47 Guillain-Barre mungkin dipicu oleh: Paling sering, infeksi dengan campylobacter, jenis bakteri yang sering ditemukan dalam makanan matang, khususnya unggas Operasi Virus Epstein-Barr Penyakit Hodgkin Mononucleosis HIV, virus penyebab AIDS Jarang, rabies atau imunisasi influenza Komplikasi Komplikasi dari sindrom Guillan-Barre dapat termasuk: .Kesulitan bernapas. Sebuah komplikasi berpotensi mematikan sindrom Guillain-Barre adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot yang mengontrol pernapasan anda.. Anda mungkin butuh bantuan sementara dari mesin untuk bernapas ketika Anda sedang dirawat di rumah sakit untuk perawatan. Sisa mati rasa atau sensasi lainnya. Kebanyakan penderita sindrom Guillain-Barre sembuh sepenuhnya atau hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi abnormal, seperti mati rasa atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya mungkin lambat, sering mengambil tahun atau lebih. Kurang dari 1 dalam 10 orang dengan pengalaman sindrom Guillain-Barre komplikasi jangka panjang, seperti: Komplikasi serius, masalah permanen dengan sensasi dan koordinasi, termasuk beberapa kasus kecacatan parah Sebuah kambuhnya sindrom Guillain-Barre Jarang, kematian, dari komplikasi seperti sindrom gangguan pernapasan dan serangan jantung Tingkat keparahan, gejala awal sindrom Guillain-Barre secara signifikan meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang yang serius. Tes dan diagnosis GBS bisa sulit untuk mendiagnosis dalam tahap awal. Tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan gangguan neurologis lainnya dan mungkin berbeda dari orang ke orang. Kedua tanda yang harus hadir untuk mendiagnosa GBS adalah: Progresif kelemahan di kedua lengan dan kedua kaki. Kehilangan refleks . Bila kedua tanda hadir, diagnosis GBS mungkin lebih sering jika: Gejala dikembangkan selama hari sampai beberapa minggu. Gejala-gejala mempengaruhi kedua sisi tubuh Anda secara merata. Mati rasa dan kesemutan. Otot-otot pada setiap sisi wajah Anda dipengaruhi. Anda mulai pulih 2 sampai 4 minggu setelah gejala telah stabil. Anda tidak memiliki demam saat gejala pertama dimulai. Langkah pertama dalam mendiagnosis sindrom Guillain-Barre adalah dokter mengambil riwayat medis berhati-hati untuk memahami kumpulan tanda dan gejala yang di alami. Sebuah tekan tulang belakang (tusuk lumbal) dan tes fungsi saraf umumnya digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Guillain-Barre : 1. Spinal tap (tusuk =(lumbar puncture) lumbalis) Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang memiliki 48 sindrom Guillain-Barre. Jika Anda memiliki GBS, tes ini dapat menunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakang tanpa tanda infeksi lain. 2. Tes fungsi saraf Dua jenis tes fungsi saraf - elektromiografi dan kecepatan konduksi saraf: Elektromiografi membaca aktivitas listrik dalam otot Anda untuk menentukan apakah kelemahan Anda disebabkan oleh kerusakan otot atau kerusakan saraf. Studi konduksi saraf menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi rangsangan listrik kecil. Jika Anda memiliki GBS, hasilnya mungkin menunjukkan melambatnya fungsi saraf, yang biasanya menunjukkan bahwa kerusakan pada (meliputi selubung mielin dari saraf perifer telah terjadi. Pengobatan Perlakuan utama GBS adalah mencegah dan mengelola komplikasi (seperti masalah pernapasan atau infeksi) dan memberikan perawatan suportif sampai gejala mulai membaik. Ini mungkin termasuk: Mengurangi masalah pernapasan Anda, kadang-kadang melalui penggunaan mesin pernapasan (ventilator). Monitoring tekanan darah dan denyut jantung. Menyediakan cukup gizi jika pasien memiliki masalah mengunyah dan menelan. Mengelola kandung kemih dan masalah usus. Menggunakan terapi fisik untuk membantu mempertahankan kekuatan otot dan fleksibilitas. Mencegah dan mengobati komplikasi seperti radang paruparu , gumpalan darah di kaki, atau infeksi saluran kemih . Pengobatan lain dari sindrom GuillainBarre (GBS) tergantung pada seberapa parah gejala Anda. Pada kasus lebih parah GBS diperlakukan dengan immunotherapy , yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena (IVIG) . Perawatan diberikan di rumah sakit. Hal ini dimulai segera setelah pasien didiagnosa dengan GBS yang semakin buruk. Intervensi dini dengan salah satu perawatan ini tampaknya efektif dan dapat mengurangi waktu pemulihan. Kedua tindakan pengobatan sama baik , dan tidak ada manfaat untuk menggabungkan perawatan ini. Pemantauan yang hati-hati sangat penting selama tahap awal GBS karena masalah pernapasan dan komplikasi yang mengancam jiwa lainnya dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah gejala mulai pertama. Masuk ke rumah sakit atau unit perawatan intensif sering dibutuhkan ketika kelemahan otot berlangsung cepat. Kelemahan otot dengan cepat dapat mempengaruhi otot-otot yang mengendalikan pernapasan. Dalam kasus tersebut, sementara menggunakan ventilator mekanis mungkin diperlukan untuk membantu Anda bernapas sampai Anda bisa bernapas sendiri lagi. Pemantauan pasien rawat jalan mungkin cukup hati-hati dalam kasus-kasus di mana kelemahan otot yang signifikan belum nampak. Pasien mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika: Tidak dapat bergerak sendiri. Ada kelumpuhan . Memiliki masalah pernapasan. Memiliki masalah tekanan darah atau tidak normal , sangat cepat, atau detak jantung yang sangat lambat. Pemulihan Pemulihan memerlukan waktu 3-6 bulan, kadang-kadang lebih lama-dalam beberapa 49 kasus, sampai 18 bulan. Orang-orang yang memiliki kelemahan otot yang parah mungkin harus tinggal di sebuah rumah sakit rehabilitasi untuk menerima terapi fisik berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi motorik kembali normal.. Bagi mereka yang tinggal di rumah, perangkat yang membantu melakukan kegiatan sehari-hari tertentu dapat digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan otot kembali. Terapi fisik dan latihan yang teratur diperlukan selama periode pemulihan untuk memperkuat otot-otot melemah.. Meskipun pemulihan bisa lambat, kebanyakan orang yang telah GBS akhirnya sembuh. Banyak orang memiliki efek jangka panjang kecil, seperti mati rasa pada jari-jari kaki dan jari. Dalam kebanyakan kasus, masalah ini tidak akan secara signifikan mengganggu. Sekitar 20% dari orang mempunyai masalah permanen yang cenderung lebih menonaktifkan, seperti kelemahan atau masalah keseimbangan.. Masalah-masalah ini mungkin akan mengganggu kegiatan seharihari. Sekitar 3% hingga 8% dari orang yang menderita GBS meninggal karena komplikasi penyakit, seperti kegagalan pernafasan, infeksi (sering pneumonia ), atau serangan jantung . Sampai dengan 67% dari orang yang mendapatkan GBS memiliki beberapa masalah dengan kelelahan (fatique) . Kekambuhan Kambuh atau episode berulang dari GBS terjadi di sekitar 5% sampai 10% kasus, dan mereka mungkin sangat serius.Jika terjadi kekambuhan, pengobatan agresif dengan pertukaran plasma atau imunoglobulin IV bisa mengurangi keparahan serangan dan mencegah lebih lanjut kambuh. Daftar Pustaka http://www.guillainbarresyndrome.net/ http://en.wikipedia.org/wiki/GuillainBarré_syndrome http://en.wikipedia.org/wiki/GuillainBarré_syndrome http://www.mayoclinic.com/health/guillai n-barre-syndrome/DS00413 http://www.mayoclinic.com/health/guillai n-barre-syndrome/DS00413 GBS/CIDP Foundation International GBS / CIDP Foundation International Guillain–Barré Syndrome Support Group (UK and Ireland) Guillain-Barré Syndrome Support Group (Inggris dan Irlandia) Information from GBS Association of New South Wales (AU) Informasi dari GBS Asosiasi New South Wales (AU) http://www.healthscout.com/ency/68/653/ main.html Guillain-Barre syndrome (GBS). GuillainBarre Syndrome (GBS). The Merck Manuals: The Merck Manual for Healthcare Professionals. The Merck Manual: http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch22 3/ch223c.html?qt=guillain-barre&alt=sh . http://www.webmd.com/brain/tc/guillainbarre-syndrome-topic-overview Guillain-Barre syndrome. Guillain-Barre Syndrome. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Institut Nasional Gangguan Neurologis dan Stroke. http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/de tail_gbs.htm?css=print. Vriesendorp FJ. Vriesendorp FJ. Treatment and prognosis of Guillain-Barre syndrome in adults. http://www.uptodate.com/home/index.htm l. http://www.uptodate.com/home/index.htm l. 50 POTRET SWOT APOTEK RUMAH SAKIT DI LUAR SURABAYA Minarni Wartiningsih Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kepuasan layanan perlu adanya analisis terhadap keadaan Apotek saat ini dalam suatu analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunities atau peluang, dan Threat atau ancaman) agar pihak manajemen Rumah Sakit dapat menyusun strategi selanjutnya untuk memenangkan persaingan pasar dimasa yang akan datang. Sebelum melakukan analisis SWOT Apotik atau bagian Apotek Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya perlu adanya gambaran kondisi perubahan dan perkembangan terakhir. Oleh karenanya disampaikan pula beberapa informasi terkini selama kurun waktu Januari – Desember 2007. Dengan demikian akan didapatkan gambaran yang lebih holistik terhadap situasi dan kondisi di bagian Apotek Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya. Dengan demikian diharapkan dapat menyusun analisis SWOT yang lebih akurat dan bermanfaat bagi perencanaan strategi Aotek di tahun 2007. Berdasarkan Analisis SWOT didapatkan hasil dari faktor kekuatan bahwa Rumah Sakit tersebut harus melakukan perbaikan program komputer yang lebih terintegrasi agar memudahkan pelayanan administrasi penjualan obat dengan demikian pengendalian terhadap persediaan apotik menjadi lebih baik. Yang kedua melakukan peningkatan fasilitas’ layanan antar’ terhadap pelanggan khusus daerah Surabaya. Dari faktor kelemahan harus dilakukan upaya untuk meningkatkan pelatihan kemampuan berkomunikasi dengan kastemer dan melakukan pengajuan peningkatan kesejahteraan karyawan apotik serta melakukan komunnikasi secara teratur untuk mennjaga hubungan baik dengan competitor. Berikutnya dari faktor peluang yang harus dilakukan adalah merencanakan strategi promosi yang tepat, mengadakan layanan order deliver dan menciptakan sistem pengendalian obat, mencegah stagnasi dan kadaluwarsa. Yang terakhir evaluasi dari faktor Ancaman yaitu melatif staf apotik untuk menjadi tenaga marketing di apotik dan melakukan koordinasi dengan tim marketing RS agar turut memasarkan keunggulan apotik. Dari hasil analisis SWOT diharapkan dapat menentukan strategi yang tepat untuk melakukan perbaikan layanan di bbagian apotek Rumah Sakit. Sehingga pengembangan yang diharapkan dapat dicapai secara terarah dan tepat sasaran. Keywords: strategi pengembangan Analisis (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunities atau peluang, dan Threat atau ancaman). HOSPITAL PHARMACY SWOT PORTRAIT OUTSIDE SURABAYA Minarni Wartiningsih Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT To improve the quality, quantity and service satisfaction is necessary to analyze the current state of pharmacy in a SWOT analysis (Strength or strength, or weakness Weakness, Opportunities or opportunities, and Threat or threat) for the management of the Hospital to develop further strategies to win the competition market in the future. Before conducting a SWOT analysis or the Pharmacies Pharmacies Hospital In areas outside Surabaya need a picture of the changing conditions and recent developments. Therefore also some updated information submitted during the period January to December 2007. Thus we will get a more holistic picture of the situation and condition at the Hospital Pharmacy In areas outside of Surabaya. It is expected to prepare a SWOT analysis is more accurate and useful for strategic planning Aotek in 2007. Based on the SWOT Analysis found that the result of factors such force that the hospital must make improvements in a more integrated computer programs to facilitate drug sales administrative services thereby controlling pharmacy inventory better. The second to increase the facilities' delivery services' to customers' specific area of Surabaya. From the weakness factor should be an effort to improve the training of the ability to communicate with the customer and doing the filing improving employee welfare and conduct komunnikasi pharmacies regularly to mennjaga good relations with competitors. Next of opportunity factor which must be done is to plan appropriate promotional strategy, entered an order delivering services and creating a system of drug control, prevent stagnation and expiry. The last evaluation of the threat factor is melatif pharmacy staff to be a marketing force in the pharmacy and to coordinate with marketing team to contribute to market advantage Hospital pharmacy. From the SWOT analysis is expected to determine appropriate strategies to improve service in bbagian Hospital pharmacy. So the development that is expected to be achieved in a focused and well targeted. 51 Keywords: development strategy analysis (Strength or strength, or weakness Weakness, Opportunities or opportunities, and Threat or threat). BAB I PENDAHULUAN Menurut Departemen Kesehatan RI tentang standar pelayanan rumah sakit, pelayanan apotek rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Obat dapat meningkatkan derajat kesehatan. Disamping itu biaya obat sangat mahal karena hampir 35 % alokasi dana yang ada untuk memenuhi kebutuhan obat. Oleh karena itu obat yang ada di rumah sakit harus dikelola secara efisien dan efektif agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan pihak manajemen rumah sakit. Mengingat posisi dan fungsinya yang penting maka pelayanan apotek rumah sakit diharapkan berubah menjadi lebih baik, lebih efektif dan efisien dari segala segi. Apotek apotek RS. Di daerah luar Surabaya sebagai bagian yang berperan dalam pengelolaan obat mulai dari seleksi, pengadaan, distribusi dan penggunaan tentu berupaya untuk memperbaiki diri dari tiap periodenya untuk mencapai layanan berkualitas prima (excellent service quality) maka dari perlu adanya pembenahan internal maupun eksternal secara terus-menerus baik segi fisik maupun non fisik. untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kepuasan layanan tidak hanya untuk konsumen tetapi juga pengguna layanan keapotekan lain seperti pihak manajemen rumah sakit maka perlu adanya analisis terhadap keadaan Apotek saat ini dalam suatu analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunities atau peluang, dan Threat atau ancaman) agar pihak manajemen Rumah Sakit dapat menyusun strategi selanjutnya untuk memenangkan persaingan pasar dimasa yang akan datang. Sebelum melakukan analisis SWOT Apotik atau bagian Apotek Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya perlu adanya gambaran kondisi perubahan dan perkembangan akhir – akhir ini. Oleh karenanya disampaikan pula beberapa informasi terkini selama kurun waktu Januari – Desember 2007, yaitu : a. Kinerja Apotek Tahun 2007 b. Pengadaan dan pelayanan obat tahun 2007 Berdasarkan informasi diatas akan didapatkan gambaran yang lebih holistik terhadap situasi dan kondisi di bagian Apotek Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya. Dengan demikian diharapkan dapat menyusun analisis SWOT yang lebih akurat dan bermanfaat bagi perencanaan strategi Apotek di tahun 2007. 52 BAB II Situasi Dan Kondisi Bagian Apotek Tentang Deskripsi Kinerja, Kegiatan Dan Pelaksanaan Program Kerja Apotek A. Kinerja Apotek Tahun 2007 PERBANDINGAN INVENTORI, LABA,PENJUALAN ,PEMBELIAN DAN DISCOUNT FARMASI RS DELTA SURYA SIDOARJO TAHUN 2007 RUPIAH 2.500.000.000 PENJUALAN 2.000.000.000 PEMBELIAN LABA BRUTO 1.500.000.000 1.000.000.000 INVENT APOTIK 500.000.000 DISCOUNT AP R M EI JU NI JU AG LI U ST SE PT JA N FE B M AR 0 BLN Grafik 2.1. Perbandingan Inventori, Laba, Penjualan, Pembelian dan Discount Apotek RS. Di daerah luar Surabaya Tahun 2007 B. Pengadaan dan pelayanan obat tahun 2007 Tabel 2.4. Pengadaan obat yang ada di Apotek selama tahun 2007 Jumlah Item Obat pada Master Data Obat Jumlah Item Obat yg tersedia di Apotek Golongan Obat Golongan Obat Obat Non Obat Non No Bulan Obat Obat TOTAL TOTAL Obat Generik Obat Generik Non Non Generik Diluar Generik Diluar Generik Generik Formularium Formularium 1 Januari 106 616 1730 2452 72 369 581 1022 2 Februari 106 616 1730 2452 70 374 577 1021 3 Maret 106 616 1730 2452 70 373 570 1013 4 April 106 616 1733 2455 70 382 585 1037 5 Mei 115 1017 1448 2580 75 686 356 1117 6 Juni 130 1101 1493 2724 87 798 297 1182 7 Juli 130 1101 1497 2728 85 785 295 1165 8 Agustus 130 1101 1518 2749 85 800 307 1192 9 September 129 1062 1292 2483 84 796 312 1192 10 Oktober 130 1062 1301 2493 84 766 301 1151 11 November 130 1063 1315 2508 83 790 318 1191 12 Desember 130 1063 1323 2516 85 786 316 1187 53 Jumlah item obat yang tersedia di Apotek RS. Di daerah luar Surabaya selama tahun 2007 berbeda dengan item obat yang terdapat pada master data obat RS. Di daerah luar Surabaya. Secara fisik, item obat yang tersedia di rumah sakit per Desember 2007 adalah 1187 item atau sekitar 47,17 % dari master data obat yang hanya sekitar 2516 item. Master obat menunjukkan riwayat bahwa apotik RS Di daerah luar Surabaya pernah menjual item obat tersebut .Namun tidak setiap item obat pada master tersebut perlu disediakan stoknya. Karena tidak semua item obat pada master memiliki turn over yang memerlukan safety stock (stok dalam jumlah aman, untuk mencegah stock out) .Dengan demikian budget pembelanjaan obat dapat lebih efisien. Tabel 2.6. Jumlah Penulisan Resep di Tiap Unit Layanan Medik Selama tahun 2007 Rawat Jalan Golongan Obat Obat Non Obat Obat Generik Non Generik Diluar Generik Formularium 1 Januari 768 2640 6383 2 Februari 837 3681 7673 3 Maret 815 2417 6902 4 April 783 1968 7461 5 Mei 1266 4951 3937 6 Juni 979 6491 3048 7 Juli 796 5459 2274 8 Agustus 890 6612 2807 9 September 1387 7455 2996 10 Oktober 971 6042 2521 11 November 1183 6905 2787 12 Desember 1166 7498 3259 TOTAL 11841 62119 52048 No Bulan UGD Golongan Obat Obat Non Obat TOTAL ALKES Obat Generik Non Generik Diluar Generik Formularium 9791 216 256 1637 243 12191 239 262 1374 221 10134 207 395 2045 237 10212 229 298 2689 245 10154 178 388 2185 175 10518 259 279 1671 115 8529 367 386 1579 413 10309 410 429 1575 471 11838 539 370 987 337 9534 420 214 830 282 10875 619 276 923 281 11923 614 260 1118 373 126008 4297 3813 18613 3393 Rawat Inap Golongan Obat Obat Non Obat TOTAL ALKES Obat Generik Non Generik Diluar Generik Formularium 2136 278 262 7892 5933 1857 360 305 10284 8955 2677 285 234 8370 7366 3232 342 208 7938 7512 2748 266 217 11033 3405 2065 388 384 13641 2356 2378 228 317 11051 2071 2475 141 266 10774 1897 1694 114 300 9530 2023 1326 81 332 8560 1810 1480 131 287 10197 2138 1751 135 334 11434 2652 25819 2749 3446 120704 48118 TOTAL ALKES 14087 19544 15970 15658 14655 16381 13439 12937 11853 10702 12622 14420 172268 54 8069 360 8226 8423 7128 10037 8723 9463 8693 7173 9060 10301 95656 Selama tahun 2007 Apotek RS. Di daerah luar Surabaya menerima 426.797 buah Resep (lihat tabel 4) yang terdiri dari resep pasien rawat jalan, UGD dan rawat inap. Resep pasien rawat inap menduduki proporsi terbesar dari keseluruhan resep yaitu 267.924 buah atau sekitar 62,78% kemudian pasien rawat jalan sejumlah 130.305 atau 30,53% dan pasien UGD sejumlah 28.568 atau 6,69%. Hal ini tentu berkaitan dengan fungsi masing-masing layanan dimana pasien UGD hanya bersifat crisis center sehingga bila kondisi pasien membaik dirujuk ke unit rawat inap atau diperbolehkan keluar rumah sakit (KRS). Sistem manajemen obat satu pintu yaitu resep yang diterima pasien langsung ditebus di Apotek rumah sakit dapat No Bulan 1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember TOTAL menekan jumlah resep yang keluar dari rumah sakit, selain itu untuk kedepannya perlu diuji coba sistem paperless prescription untuk mencegah penyalahgunaan resep dan meningkatkan penerimaan resep. Proporsi terbesar obat-obat yang diresepkan di semua unit adalah obat non generik/paten dengan prosentase 45,05 – 65,15 % dari total resep yang ditulis selama tahun 2007, hal ini menunjukkan kesadaran untuk mematuhi formularium rumah sakit bertambah besar yang tentunya diharapkan lebih digalakkan dan efisien lagi di tahun 2007 agar manajerial obat di RS. Di daerah luar Surabaya bisa lebih efisien dan tepat sasaran. Tabel 2.7. Perbandingan Jumlah Resep yang diterima Apotek Vs Resep yang berhasil dilayani Apotek Selama Tahun 2007 Total R/ yg diterima Apotek Total R/ yg dilayani oleh Apotek R/ R/ Obat Non Obat Non TOTAL ALKES Obat Generik Obat Generik Obat Non Diluar Obat Non Diluar Generik Generik Formularium Generik Generik Formularium 1286 12169 12559 26014 8563 1286 12169 12434 1404 15339 16849 33592 959 1404 15339 16737 1444 12832 14505 28781 8718 1444 12832 14385 1289 12595 15218 29102 8994 1289 12595 15092 1871 18169 7517 27557 7572 1871 18169 7387 1642 21803 5519 28964 10684 1642 21803 5404 1499 18089 4758 24346 9318 1499 18089 4664 1585 18961 5175 25721 10014 1585 18961 5053 2057 17972 5356 25385 9346 2057 17972 5241 1517 15432 4613 21562 7674 1517 15432 4510 1746 18025 5206 24977 9810 1746 18025 5117 1760 20050 6284 28094 11050 1760 20050 6209 19100 201436 103559 324095 102702 19100 201436 102233 Jumlah resep yang diterima (termasuk Alkes) oleh Apotek RS. Di daerah luar Surabaya selama kurun waktu Januari – Desember 2007 adalah 426.797 buah dengan jumlah resep yang berhasil dilayani adalah 425.471 buah atau 99,69% dari total resep yang diterima Apotek. Terdapat 1.326 buah resep yang tidak dapat terlayani atau sekitar 4 resep per hari mulai Januari – Desember 2007 yang semuanya berasal dari penulisan resep obat non generik diluar formularium. Hal ini lebih baik daripada pelayanan resep tahun 2006 yang “hanya” mampu melayani sekitar 99,30 % dari total resep yang diterima Apotek. Beberapa faktor penyebab obat dalam resep tersebut tidak dapat terlayani adalah : 1. Untuk pasien instansi atau asuransi, khusus obat-obat food supplement, multivitamin, immune modulator, susu, kosmetik atau obat-obat khusus lain ada 55 TOTAL ALKES 25889 33480 28661 28976 27427 28849 24252 25599 25270 21459 24888 28019 322769 8563 959 8718 8994 7572 10684 9318 10014 9346 7674 9810 11050 102702 yang tidak ditanggung oleh pihak instansi atau asuransi sehingga pasien cenderung membeli diluar dengan copy resep. 2. Beberapa obat tidak tersedia di Apotek khususnya obat diluar formularium sehingga bila ada permintaan akan obat tersebut pasien harus menunggu obat tersebut dibelikan (UP) di Apotek lain atau diorderkan ke PBF. 3. Secara keseluruhan harga obat di RS. Di daerah luar Surabaya yang lebih mahal dibanding Apotek lain membuat beberapa pasien lebih memilih membeli obat diluar RS. Di daerah luar Surabaya. 4. Respond time yang cukup lama sekitar 1 jam membuat pasien tidak sabar dan lebih memilih membeli obat diluar rumah sakit. Tabel 2. 8. Jumlah Resep yang dilayani oleh Apotek selama Tahun 2005 s/d 2007 R/ yang dilayani oleh Apotek Obat Non Generik No Tahun Obat Generik Obat Non Generik diluar Formularium 1 2005 20668 139120 101787 2 2006 17783 142770 225497 3 2007 19100 201436 102233 Secara keseluruhan, penerimaan resep tahun 2007 hingga bulan desember menurun dibanding tahun 2006 yaitu sekitar 63.281 resep atau ada penurunan sejumlah 173 resep tiap harinya dibanding periode yang sama tahun 2006, tetapi kepatuhan terhadap formularium rumah sakit yang ditunjukkan dengan peresepan obat generik dan non generik/paten yang sesuai formularium lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Faktor-faktor penyebab turunnya pelayanan resep tentu banyak berkaitan dengan pengelolaan pasien di ruangan dan epidemiologi serta terapi yang diterima pasien. Tetapi bila dilihat dari segi pemasukan Apotek, tentu tahun 2007 menunjukkan penjualan dan laba bruto yang lebih baik sehingga bisa dibilang pada tahun 2007 kinerja Apotek lebih efektif dari tahun sebelumnya. II. Analisis SWOT Kondisi & Situasi Apotek Tabel 3.1 Faktor Kekuatan Apotik RS Di luar Surabaya N FAKTOR KEKUATAN (strength) O 1. Peran Apotek yang sangat vital bagi rumah sakit 2. Satu-satunya pusat layanan apotek di rumah sakit 3. Mempunyai aset obat yang cukup 4. Staf Apotek masih bisa dikembangkan lebih lanjut 5. Sistem manajemen resep yang sudah satu pintu 6. Apotek buka 24 jam 7. Pelayanan resep pasien instansi/asuransi 8. Sistem manajemen yang sudah terkomputerisasi 9. Ada dukungan fasilitas seperti listrik, air dan prasarana lain TOTAL BOBOT RATING SKOR 0.15 0.15 0.10 0.15 0.10 0.15 0.05 0.10 0.05 5 3 4 4 3 2 2 3 2 0.75 0.45 0.40 0.60 0.30 0.30 0.10 0.30 0.10 1 Tabel III.2 Faktor Kelemahan Apotik RS Di luar Surabaya N FAKTOR KELEMAHAN (weakness) BOBOT O 1. Bangunan Apotek kurang representatif sehingga 0.05 mengurangi efektifitas kerja 2. Tidak adanya gudang dan ruang administrasi yang 0.05 layak 3. Manajemen administrasi belum rapi dan terorganisir 0.15 khususnya untuk akreditasi 3.30 RATING SKOR -1 -0.05 -2 -0.10 -3 -0.45 56 TOTAL 261575 386050 322769 4. SDM belum dikembangkan secara optimal dan terbatas dalam penguasaan teknologi informasi 5. Pelayanan resep (respond time) yang lama 6. SIM Komputer RS yang belum maksimal khususnya pasien asuransi/instansi 7. Keterbatasan personil membuat pelayanan dan adminstrasi manajemen terhambat karena tugas yang overlapping 8. Pengawasan pada kinerja Apotek masih kurang 9 Tidak adanya MOU TOTAL Tabel 3.3 Faktor Peluang Apotik RS Di luar Surabaya NO FAKTOR PELUANG (opportunity) 0.15 -2 -0.30 0.15 0.15 -2 -5 -0.30 -0.75 0.15 -2 -0.30 0.10 0.05 1 -2 -2 -0.20 -0.10 -2.55 BOBOT RATING SKOR 1. Sistem komputerisasi yang bisa dibenahi untuk 0.20 meraih hasil yang maksimal 3 0.60 2. Penerapan complaint board untuk costumer satisfaction Penerapan layanan apotek klinik pada customer rawat inap dan rawat jalan Hubungan baik dengan pihak PBF maupun Dokter penulis resep Masih banyak perusahaan yang bisa menjadi rekanan (customer)) RS Semakin banyaknya perumahan baru 0.20 2 0.40 0.10 3 0.30 0.15 3 0.45 0.15 5 0.75 0.20 3 0.60 3. 4. 5 6 TOTAL Tabel 3.4 Faktor Ancaman Apotik RS Di luar Surabaya NO FAKTOR ANCAMAN (threat) 1. Harga obat yang mahal sehingga pasien memilih membeli diluar 2. Seringnya terjadi misunderstanding dengan bagian lain khususnya marketing terkait pasien asuransi/instansi berpotensi menurunkan kinerja 3. Apotek & rumah sakit di sekitar Surabaya mulai berbenah diri 4. Permintaan obat diluar formularium berpotensi memperlambat kinerja Apotek 5. Kesadaran karyawan yang rendah untuk mencapai costumer satisfaction 6. Turunnya motivasi kerja personil karena rutinitas pekerjaan dan rendahnya tingkat kesejahteraan TOTAL 1 3.10 BOBOT 0.25 RATING -3 SKOR -0.75 0.15 -2 -0.30 0.20 -2 -0.40 0.15 -2 -0.30 0.10 -2 -0.20 0.15 -3 -0.45 1 -2.40 Keterangan Skor Pembobotan : Skor 1 : sangat tidak penting Skor 2 : tidak penting Skor 3 : cukup penting Skor 4 : penting Skor 5 : sangat penting 57 Tabel 3.5 Keterangan angka Rating Strength (kekuatan) 1 = kurang kuat 2 = agak kuat 3 = kuat 4 = sangat kuat Opportunities (Peluang) 1 = sedikit peluang 2 = agak berpeluang 3 = berpeluang 4 = sangat berpeluang Weakness (kelemahan) -1 = sedikit lemah -2 = agak lemah -3 = lemah -4 = sangat lemah Threats (Ancaman) -1 = sedikit terancam -2 = agak terancam -3 = terancam -4 = sangat terancam Tabel 3.6 Internal Factor Analysis Summary (IFAS) Faktor factor Strategis Bobot Rating Skor IFAS Kekuatan 0.15 5 0.75 0.15 3 0.45 0.10 4 0.4 0.15 4 0.60 0.10 3 0.30 0.15 2 0.30 0.05 2 0.10 0.10 3 0.30 0.05 2 0.10 Total skor kekuatan 3.30 Kelemahan 0.05 -1 -0.05 0.05 -2 -0.10 0.15 -2 -0.30 0.15 -3 -0.45 0.15 -2 -0.30 0.15 -5 -0.75 0.15 -2 -0.30 0.10 -2 -0.20 0.05 -2 -0.10 Total skor kelemahan -2.55 Total skor IFAS 5.8 Tabel 3.7 Eksternal Factor Analysis Summary (EFAS) Faktor factor Strategis Bobot Rating Skor EFAS Peluang 0.20 3 0.60 0.20 2 0.40 0.10 3 0.30 0.15 3 0.45 0.15 5 0.75 0.20 3 0.60 3.10 Total skor peluang Ancaman 0.20 -3 -0.75 0.20 -2 -0.40 0.10 -2 -0.20 0.20 -2 -0.40 0.15 -2 -0.30 0.15 -3 -0.45 -2.50 Total skor ancaman Komentar Peran vital apotik sebagai satu-satunya pusat layanan apotek dengan staf SDM yang berkompeten serta kelengkapan obat menjadi kekuatan untuk meningkatkan pelayanan keapotekan SIM RS yang belum optimal, sistem administrasi belum rapi dan kurangnya personil apotik merupakan kelemahan yang harus segera diperbaiki Komentar Masih adanya perusahaan dan perumahan baru disekitar daerah RS yang dapat menjadi rekanan sebagai calon customer Mahalnya harga obat dan menurunnya motivasi karyawan menjadi factor ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan 58 Berdasar hasil analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity & Threat) maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Opportunities 5 4 D 3 Turn Arround/ Konvensional Weakness 4 Agresif 2 I -2,55 I 5 A 3,10 3 I 1 2 II 1 I C Defenc e 3,30 1 1 2 -2,50 3 4 5 2 3 4 Strengths 5 I V B Competitif Threats Gambar 3.1 Posisi apotik RS Di daerah luar Surabaya Dalam Diagram SWOT Tabel 3.8 Luas Matrik dan Prioritas Strategi Apotik RS Di Luar Surabaya tahun 2007 Kuadran Posisi titik Luas matrik ranking Prioritas strategi I A (3.30 : 3.10) 10.25 1 Agresif II D(3.10 : -2.55) 7.91 3 Konvensional III C (-2.55 : -2.50) 6.38 4 Defensive IV B( 3.30 : -2.50) 8.25 2 Competitive Tabel 3.9 Ranking Region SWOT Apotik RS Di luar Surabaya Ranking Strategi kwadran region I Agresif 1 SO II competitif 4 ST III Konvensional 2 WO IV Defensive 3 WT Table 3.10 Data evaluasi faktor internal No Faktor Strategis Luas matrik 10.25 8.25 7.91 6.38 Skor 1 Faktor Kekuatan (Strengths) 3.30 2 Faktor Kelemahan (Weakness) -2.55 Total 0.75 59 Table 3.11 Data evaluasi faktor eksternal No Faktor Strategis Skor 1 Faktor Peluang (Opportunities) 3.10 2 Faktor Ancaman (Threats) -2.50 Total 0.60 Kekuatan Internal Bisnis Tinggi 3 4 2 1 Tinggi 1 0 2 Sedang 3 3 4 Lemah 2 2,55 1 Tinggi -1 -2 Rendah 0 0,60 1 Sedang 2 3 1 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi vertikal 2 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horisontal 3 RETRENCHMENT Turn around 3 2 -3 Kekuatan Eksternal Bisnis 4 4 0,75 -4 1 4 STABILITY Hati-hati 2,50 7 GROWTH Diversifikasi Konsentrik 5 GROWTH Konsentrasi melalui Integrasi horizontal STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi 6 RETRENCHMENT Captive compeny atau Divestment 8 GROWTH Diversifikasi Konglomerat 9 RETRENCHMENT Bangkrut atau Likuidasi Gambar 3.2 Matriks Internal-Eksternal Apotik RS Di Luar Surabaya Pada gambar 3.2 diatas menunjukkan bahwa Apotek Rumah Sakit Di daerah luar Surabaya berada pada area pertumbuhan (Growth) area stabil (stability). Tabel 2.12 CrossTabulasi IFAS dan EFAS RS Di Luar Surabaya IFAS KEKUATAN KELEMAHAN EFAS SO STRATEGIS WO STRATEGIS PELUANG Merencanakan strategi promosi Memperbaiki program komputer yang tepat yang lebih terintegrasi Mengadakan layanan order Memperbaiki administrasi apotik delivery Menciptakan pasar baru yang Menciptakan sistem pengendalian belum terjamah kompetitor obat mencegah stagnasi dan Menciptakan sistem untuk kadaluwarsa menghemat biaya yang tidak perlu ANCAMAN ST STRATEGIS Melatif staf apotik untuk menjadi tenaga marketing di apotik Melakukan koordinasi dengan tim marketing RS agar turut memasarkan keunggulan apotik WT SRATEGIS Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan kastemer Meningkatkan kesejahteraan karyawan apotik Menjaga hubungan baik dengan competitor 60 III.Kesimpulan Evaluasi dari faktor kekuatan 1. Melakukan perbaikan program komputer yang lebih terintegrasi agar memudahkan pelayanan administrasi penjualan obat. Dengan demikian pengendalian terhadap persediaan apotik menjadi lebih baik 2. Meningkatkan fasilitas layanan antar terhadap pelanggan khusus daerah Surabaya Evaluasi dari faktor kelemahan 1. Meningkatkan pelatihan kemampuan berkomunikasi dengan kastemer 2. Melakukan pengajuan terhadap peningkatan kesejahteraan karyawan apotik 3. Melakukan komunnikasi secara teratur untuk mennjaga hubungan baik dengan competitor Evaluasi dari faktor peluang 1. Merencanakan strategi promosi yang tepat 2. Mengadakan layanan order delivery 3. Menciptakan sistem pengendalian obat mencegah stagnasi dan kadaluwarsa Evaluasi dari faktor Ancaman 1. Melatif staf apotik untuk menjadi tenaga marketing di apotik 2. Melakukan koordinasi dengan tim marketing RS agar turut memasarkan keunggulan apotik III. Penutup DemikianAnalisis SWOT yang dibuat berdasarkan kondisi kinerja Apotek RS Di daerah luar Surabaya pada tahun 2007. Ballon, R.I I., 1992 Business LogisticsManagement. 3rd ed. New Jersey, Prentice-Hall International, Inc. Perlin, J.B. (2006) In Patient Pharmacy Services. [Internet] <http://intqhc. oxfordjournals.org/egi/content /full/15/suppl_1/1/149 [Diakes tanggal 5 Juni 2008] Rochmah. T.N. & Wulandari, R.D. (2002) Teknik Penulisan Ilmiah. Surabaya, Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan - PPS Universitas Airlangga. Sbarguna. B.S. (2005) Logistik Rumah Sakit dan Teknik Efisiensi. Cetakan II. Jakarta, Harvarindo. Siregar, C.J.P. & Amalia, L. (2004) Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan Analisis SWOT, Cetakan I, Jakarta, EGC. Seto, S. (2001) Manajemen Bagian Farmasi untuk Pengelola Farmasi Rumah Sakit, Pedagang Besar Farmasi, Industri Farmasi, Cetakan I, Surabaya, Airlangga University Press. Seto. S., Yunita & Triana, L. (2004) Manajemen Farmasi. Cetakan II. Surabaya, Airlangga University Press. Sugiyarso, G. & Winarni, F. (2005) Manajemen Keuangan : Pemahaman Laporan Keuangan, Pengelolaan Aktiva. Kewajiban, dan Modal, serta Pengukuran Kinerja Perusahaan. Cetakan II. Yogyakarta, Penerbit Media Pressindo. DAFTAR PUSTAKA AS FAN, 1990 Pedoman Pengelolaan dan Pelayanan Farmasi Rumah Sakit yang Baik. Surabaya, IFRS - RSDS. 61 OPTIMASI FREKUENSI PAPARAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MEMBUNUH BAKTERI E. COLI Mas Mansyur, Asih Rahayu, E Devi Dwi Rianti Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Pengendalian mikroorganisme khususnya bakteri E. Coli dapat dilakukan dengan fisika dan kimia. Dalam fisika penelitian adalah pemanasan, pendinginan, radiasi (ultraviolet, x - ray, sinar gamma), bakteriologist filter. Dalam kimia penelitian adalah dengan menggunakan klorin. Menggunakan gelombang ultrasonik adalah sebagai metode alternatif yang memiliki manfaat di lingkungan, dapat membunuh bakteri dengan mekanik dan kavitasi, dan karakter desinfektan. Tujuan dari penelitian ini adalah dengan menggunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif untuk mengurangi jumlah bakteri E. Coli, dengan fokus dalam menemukan gelombang frekuensi ultrasonik optimal yang dapat menyebabkan maksimum tingkat kematian bakteri E. Coli. Hasil penelitian yang saya lakukan di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya adalah gelombang ultrasonik dihasilkan oleh generator berfungsi utama dengan daya 0,42 watt. Opsional frekuensi yang dapat membunuh bakteri E. Coli adalah 1,05 MHz yang dapat membunuh bakteri di 40,00%. Frekuensi gelombang ultrasonik mempunyai hubungan yang signifikan dengan persen kematian bakteri E. Coli, dengan koefisien korelasi 0,9253. Kata Kunci: Mikroorganisme, frekuensi Opsional, metode alternatif, persen kematian OPTIMIZATION OF WAVE EXPOSURE FREQUENCY ultrasonic E. TO KILL BACTERIA COLI Mas Mansyur, Asih Rahayu, E Devi Dwi Rianti Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Controlling microorganism specially E. Coli bacteria can done by physics and chemistry . In physics research is heating, cooling, radiation (ultraviolet, x – ray, gamma ray), filter bakteriologist. In chemistry research is by using chlorine. Using ultrasonic wave is as alternative metode that has benefit in environment, can kill bacteria with mechanic and cavitation, and disinfectant character. The purpose of this research is to use ultrasonic wave as an alternative methods for reducing quantity of E. Coli bacteria , by focussing in finding an optimal frequency ultrasonic wave which can cause the maximum of death level E. Coli bacteria. The result of that research which I do in a part of Microbiology Faculty of Medicine Wijaya Kusuma University Surabaya is the ultrasonic wave produced by fungtion generator with power is 0.42 watt. Optional frecuency that can kill E. Coli bacteria is 1.05 MHz that can kill the bacteria in 40.00 %. Frecuency ultrasonic wave have significant correlation with percent of death E. Coli bacteria, with correlation coefficient 0.9253. Key Word : Microorganism, Optional frecuency, alternative methods, percent of death PENDAHULUAN Air minum dapat berperan dalam penyebaran bakteri pathogen antara lain yaitu tipus, cholera, dan dysentri. Pada hakekatnya air minum dari PAM, dan air minum dalam kemasan melalui perlakuan desinfeksi dengan cara kimia, fisika, atau cara mekanis. Cara kimiawi yaitu menggunakan bahan kimia antara lain senyawa khlor, Br2, ozon, H2, O2phenol, KMnO4, ClO2, CuSO4, dan ZnSO4. Keunggulan menggunakan CuSO4 dan ZnSO4 yaitu dapat mengendapkan detergen dan menghambat pertumbuhan algae. Untuk khlorinasi, pada umumnya dengan menggunakan kaporit, karena mudah, murah dan gampang didapat. Air minum yang berasal dari PDAM dan air minum yang diproses dengan ozon dan ultra violet, penyulingan, serta diproses dengan membrane penyaring tidak sama hasilnya. Perlakuan pengendapan mampu dengan baik mengatasi endapan, perlakuan ozon dan ultra violet mampu menekan kuman dan virus, perlakuan destilasi mampu menekan beberapa komponen dengan baik kecuali kandungan klorida, klorin dan bau. Gelombang ultrasonik adalah gelombang akustik yang berfrekuensi lebih besar dari 20 KHz. Selama 62 perjalanannya di dalam medium, gelombang ultrasonik mengalami ortenuasi karena adanya peristiwaperistiwa pemantulan, hamburan dan absorpsi sehingga intensitasnya berkurang. Disamping sifat-sifat ini ada sifat-sifat karakteristik, seperti dapat menimbulkan kalor, gaya-gaya ultrasonik steady, kavitasi dan stress mekanik yang besar. Bakteri adalah organisme yang terdiri dari satu sel yang dibentuk oleh bahan inti, sitoplasma dan dinding luar yang terdiri dari lapisan lendir, dinding sel, memberi perlindungan, untuk mengatur masuknya bahan kimia dan memegang peranan penting dalam pembelahan sel. Bila bakteri berada di dalam medan ultrasonik maka bakteri akan menderita stress mekanik yang besar, dan dindingnya mengalami peregangan yang besar dan bila melampaui batas elastisitasnya maka dinding tersebut pecah dan bakteripun mati. Keuntungan penggunaan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri adalah : 1. Ramah lingkungan 2. Dapat membunuh bakteri secara mekanik dan kavitasi yang ditimbulkan oleh gelombang ultarasonik. 3. Bersifat desinfektan karena gelombang ultrasonik di dalam air dapat membentuk H2O2. Bakteri E. Coli digunakan sebagai obyek penelitian karena : 1. Digunakan sebagai indikator pencemaran air oleh kotoran manusia atau Hewan (Fardiaz, S, 1992). 2. Merupakan bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit pada Manusia (Pelezar,M, 1988). 3. Merupakan bakteri yang paling sering ditemukan jika terjadi pencemaran Air (Fardiaz,S, 1992) Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Berapa frekuensi optimum gelombang ultrasonik yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri E. Coli terbesar ? 2. Berapa besar persen kematian bakteri E. Coli ? Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif untuk menurunkan jumlah bakteri E. Coli pada proses pengolahan air bersih. b. Tujuan khusus 1. Menemukan frekuensi optimum gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri E. Coli. 2..Koefisien korelasi antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri E. Coli, Nutrient Agar Broth, aquadestilasi, EMB agar, alkohol 70 %, kantong plastik, kapas. Sedangkan alat yang digunakan adalah signal generator, osiloskop, transduser ultrasonic, incubator, laminar flow with U V lamp, autoclave, cawan petri, tabung reaksi, gelas beker, O S E, Quebec colony counter dan lup, pembakar bunsen. Variabel penelitian Melalui penelitian ini peneliti mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai metode alternatif untuk membunuh bakteri E. Coli. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -. Variabel bebas : frekuensi paparan gelombang ultrasonik. - Variabel terikat : persen kematian bakteri E. Coli Proses Kerja Proses penelitian ini diawali dengan mendesain pembangkit gelombang ultrasonik dan pembuatan kultur E. Coli. Pembangkit gelombang ultrasonik disebut transduser ultrasonik, karena 63 pembangkit ini mengubah energi listrik menjadi energi akustik. Transduser elektromagnetik dipilih karena dapat digunakan untuk membangkitkan gelombang Signal Generator ultrasonik baik di zat padat maupun fluida disamping itu transduser jenis ini banyak dijual di pasaran. Gambar di bawah ini adalah diagram blok pembangkit gelombang ultrasonik. Penguat Transduser Osiloskop Sampel Gambar 3.1 Diagram Blok Pembangkit Ultrasonik Tabel 3.1 Uraian masing-masing blok beserta fungsinya Nama Blok Signal Generator Fungsi Pembangkit isyarat listrik dengan daya rendah dan frekuensi bervariasi Penguat Penguat getaran listrik yang berasal dari signal generator serta meningkatkan daya listrik sehingga diperoleh getaran dengan daya tinggi Osilosko Pengukur frekuensi dan tegangan listrik yang dikeluarkan oleh penguat Transduser Pembangkit gelombang ultrasonik mengubah isyarat listrik menjadi suara Sampel Bagian dari populasi, yaitu sejumlah E. Coli yang berada di dalam aquades yang akan dipapari dengan gelombang ultrasonik Prosedur Pengambilan Data - Prosedur Penyediaan Bakteri E. Coli Penyiapan kultur bakteri E. Coli dilakukan dengan cara : -. Bakteri E. Coli dibiakkan dalam medium EMB - Dari EMB dipindahkan dalam NA slant - Disimpan di dalam lemari es dengan suhu 0O sampai 10OC - Prosedur Pengumpulan Data Pada penelitian ini cara pengumpulan data untuk menentukan frekuensi optimum dan dosis paparan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri E. Coli dilakukan dengan cara : 1. Merangkai peralatan seperti tampak pada gambar di atas. 2. Memasukkan 1 ml suspensi bakteri E. Coli dari gelas ukur kedalan 5 buah cawan petri yang berisi nutrien agar broth kemudian dipapari dengan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 0.80 MHz, 0,85 MHz, ...... 1,20 MHz 3.. Menghitung koloni bakteri E. Coli sebelum dan sesudah dipapari gelombang ultrasonik. 64 4. Membandingkan persen kematian kematian bakteri E. Coli akibat pemaparan gelombang ultrasonik dengan frekuensi yang berbeda. 5..Membuat grafik hubungan antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli kemudian menentukan frekuensi optimumnya. 6. Mencari koefisien korelasi antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. Metode Analisis Data Dari data hasil penelitian diperoleh pasangan data antara frekuensi, waktu dan dosis paparan gelombang ultrasonik (sebagai variabel bebas) dengan persen kematian bakteri E. Coli (sebagai variabel terikat). Untuk mengetahui hubungan dimana variabel-variabel di atas digunakan analisis korelasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menemukan frekuensi optimum paparan gelombang ultrasonik untuk membunuh bakteri E. Coli dilakukan percobaan dengan data sebagai berikut : a. Frekuensi : 0,75 MHz, 0,80 MHz, .......... 1,20 MHz b. Daya : 0,42 watt (daya alamiah fungtion generator) c. Waktu : 2 menit d. Volume suspensi bakteri E. Coli : 20 ml . Adapun hasil pengamatannya ditunjukkan pada tabel di bawah ini. 1. Hasil Tabel Hasil pengamatan frekuensi paparan gelombang ultrasonik terhadap persen kematian bakteri E. Coli Jumlah E. Coli Kontrol Jumlah E. Coli Terpapar No Frek (MHz) I II III X1 I II III X2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,75 0,80 0,85 0,90 0,95 1,00 1,05 1,10 1,15 1,20 116 111 112 119 108 101 114 108 119 106 107 117 108 125 107 117 104 113 114 105 113 120 110 119 115 124 112 115 112 119 112 116 110 121 110 114 110 112 115 110 94 91 83 89 79 80 64 79 67 75 90 100 91 100 80 93 75 66 72 69 104 94 81 84 87 83 59 65 80 72 96 95 85 91 82 85 66 70 73 72 % kematian = % Kematian 14,29 18,10 22,72 24,79 25,45 25,54 40,00 37,50 36,52 34,54 X1 X 2 100% X1 Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel di atas menunjukkan hubungan antara persen kematian bakteri E. Coli dengan frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan variabel terkendali daya, volume dan waktu. Untuk memperjelas hubungan antara kedua variabel diatas dinyatakan dengan grafik yang digambar dengan menggunakan program Excell, seperti tampak pada gambar di bawah ini 65 GRAFIK HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI PAPARAN GELOMBANG UTRA SONIK DENGAN PERSEN KEMATIAN BAKTERI E. COLI PERSEN KEMATIAN (%) 50 40 30 20 10 0 0.75 Gambar 4.1. 0.8 0.85 0.9 0.95 1 1.05 FREKUENSI (MHz) 1.1 1.15 1.2 Grafik hubungan antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli. 2. Pembahasan Dari grafik diatas tampak bahwa frekuensi optimum paparan gelombang ultrasonik adalah 1,05 MHz, dengan persen kematian sebesar 40%. Pada frekuensi kurang dari 1,05 MHz, proses kematian bakteri E. Coli relatif lebih sedikit dibandingkan dengan frekuensi di atas 1,05 MHz. Hal ini disebabkan karena ukuran bakteri E. Coli yang mikroskopik cenderung disekitar panjang gelombang yang sesuai dengan frekuensi diatas frekuensi optimumnya. Frekuensi optimum ini akan digunakan sebagai dasar untuk percobaan selanjutnya. Disamping itu terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dengan persen kematian bakteri E. Coli , hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi ( r) sebesar 0,9253. Kematian bakteri E. Coli ini tidak besar karena percobaan dilakukan dengan menggunakan fungtion generator yang berdaya maksimum alat tersebut besarnya 0,42 watt. Daya sebesar ini relatif kecil untuk dapat membunuh bakteri E. Coli. Agar persen kematian bakteri E. Coli menjadi lebih besar maka diupayakan alat penguat daya. Frekuensi optimal yang diperoleh dari percobaan terkait dengan ukuran koloni bakteri yang besarnya sekitar 1 mm (Pelezar, M, 1988). Bila kelajuan gelombang ultrasonik di dalam air sebesar 1350 m/s (Wiantari. S, 1993); secara teoritis seharusnya frekuensi paparan gelombang ultrasonik 1,35 MHz. Transduser gelombang ultrasonik dengan orde sebesar 1,35 MHz sampai saat ini belum dijumpai di Toko elektronik dan peralatan laboratorium, maka perlu diupayakan untuk mendapatan tranduser yang sesuai dari tempat lain, seperti di pasar loak, atau laboratorium instrumentasi di universitas lain. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang bertujuan untuk menentukan frekuensi optimal dan dosis paparan gelombang ultrasonik untuk jumlah bakteri E. Coli, yang dilakukan di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Frekuensi optimal yang terkait dengan persen kematian tertinggi adalah 1,05 MHz, dengan persen kematian sebesar 40%. Kondisi tersebut dicapai pada paparan gelombang ultrasonik dengan daya 0,42 watt, volume 20 ml dan waktu paparan 2 menit. 2. Terdapat hubungan signifikan antara frekuensi paparan gelombang ultrasonik dan persen kematian bakteri E. Coli dengan koefisien korelasi sebesar 0,9253. 66 Saran Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk mendayagunakan gelombang ultrasonik sebagai metode desinfeksi terhadap mikroorganisme khususnya bakteri E. Coli memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai metode alternatif. Selain relatif tidak beresiko menimbulkan pencemaran lingkungan, metode ini mempunyai efektivitas yang cukup baik. Di bawah ini adalah Kendala utama penerapan metode ini dan saran untuk memperbaikinya 1. Terbatasnya respon frekuensi transduser, sehingga perlu diupayakan untuk mendapatkan jenis transduser dengan spesifikasi yang diinginkan agar upaya optimasi frekuensi paparan gelombang ultrasonik memiliki hasil yang lebih baik, ditinjau dari aspek fisis maupun ekonomis. 2. Pada percobaan yang peneliti lakukan suspensi bakteri E. Coli diencerkan dengan menggunakan aquades, media ini bukan tempat tumbuh bakteri yang ideal. Hal ini dimaksudkan agar bakteri tidak tumbuh terlampau cepat atau cepat mati. Namun kami pernah gagal berkali-kali dalam menumbuhkan bakteri E. Coli baik sebagai kontrol maupun yang telah diberi perlakuan, meskipun pada percobaan pendahuluan berhasil menumbuhkan bakteri E. Coli. Oleh karena itu perlu diupayakan media tempat tumbuh bakteri E. Coli yang menyebabkan tidak tumbuh terlalu cepat atau cepat mati. 3. Dengan ditemukannya frekuensi optimum ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan dosis paparan gelombang ultrasonik, sebagai metode alternatif untuk desinfeksi air bersih. DAFTAR PUSTAKA Ackerman, Eugene, 1985. Biophysical Science, Prinsice Hal Inc, Engelwwood Cliffa, New Jersey. Brooks, Geo F, et al, 2001, Medical Microbiology Twenty Second Edition, McGraw-Hill Inc. Amsyari, Fuad, 2007. Penyakit yang ditularkan melalui air, Seminar Air Sehat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Cameron, Skfronik, 1988. Medical Physics, A. Wileg Inter Sciences, New York. Croknell, AP, 1980. Ultrasonic, Wykeham Publication LTD, London. Cromer, Alan, 1994. Physics For Life Sciences, Mc Graw Hill Inc. Publication, New York. Fardiaz, Srikandi, 1992. Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius Yogyakarta. Gabriel J.F, 1993. Fisika Kedokteran, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Garsadi, Ruswandi, 2007. Percepatan Pelayanan Air Sehat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Gobermen, GI, 1988. Ultrasonic Theory and Applicaton, The English University Press, London. Hariaji, Imam, 1990. Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik Untuk Mengusir Lalat Rumah, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Mansyur. Mas, 2006. Pengukuran Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik Dengan Metode Beda Fase, Jurnal LPPM Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Mansyur. Mas, dkk, 2007. Optimasi Frekuensi dan Dosis Paparan 67 Gelombang Ultrasonik Untuk Membunuh Jentik Nyamuk, Seminar DP2M Dikti Depdiknas, Jakarta. Martiana. R, Esty, 2007. Kualitas Air (Penilaian dan Monitoring). Seminar Air Sehat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Maskunah, 1988. Pengaruh Gelomang Ultrasonik Terhadap Suspensi Bakteri, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. Nasir. Moh, 1988. Metode Penelitian, Penerbit Ghalia, Jakarta Pelezar, Michael. J, 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Diterjemahkan oleh ratna Sti H, Penerbit UI Press, Jakarta Pitojo, Purwanto. E, 2002. Deteksi Pencemaran Air Minum, Penerbit Aneka Ilmu Ungaran. Sehat, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Suriawiria, Unus, 2005. Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan Yang Sehat, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Suriawiria, Unus, 2003. Mikrobiologi Air, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Tortora, Gerarrd. J, 2007. Microbiology, Pearson Education Inc, San Francisco. Wiantari, Sugiani, 1993. Pemanfaatan Gelombang Ultrasonik Untuk Membunuh Larva Aedes Aegypti, Skripsi, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Widodo, Asnar, 1990. Pembersihan Kotoran Pada Benda Dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya. Prijo, T. Anggono, 1989. Studi Tentang Cepat Rambat Gelombang Ultrasonik dan Metode Pengukurannya, Kolokium, FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. Saruji, Didik, 2006. Kesehatan Lingkungan, Media Ilmu, Sidoarjo. Saruji ,didik, 2008, Rancangan Penelitian, Disajikan Dalam Penyegaran Aplikasi metodologi Penelitian dan Statistik Fakultas Kedokteran UWKS. Spiegel, RM, 1996. Statistika, Penerbit, Erlangga, Jakarta. Sujono, Edy S. 2007. Teknologi Pengolahan Air, Seminar Air 68 ANALISIS TENTANG HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN PENYEBAB TERJADINYA PENYAKIT KULIT DI KECAMATAN ASEMROWO SURABAYA E. Devi Dwi Rianti, Bagus Uda Palgunadi, Mas Mansyur Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Proventy menyebabkan banyak orang untuk hidup di bawah jembatan, di pinggir sungai dan pinggir jalan menimbulkan pencemaran aktivitas orang-orang untuk lingkungan mereka, hal ini disebabkan oleh kurangnya tanah atau wilayah untuk pembuangan limbah cair dan padat, belum lagi feses. Jadi, mereka membuang limbah mereka ke sungai terdekat atau drainase kota di sekitar rumah mereka. Polusi sungai adalah suatu realitas yang disebabkan oleh berbagai kegiatan orang di riversides dan dilakukan secara sadar atau tidak. Penulis ingin melihat bagaimana kondisi wilayah padat penduduk di sebelah barat Surabaya dengan melakukan suatu higienes dan sanitasi lingkungan di kabupaten Asenrowo. Penulis ingin mengamati kemungkinan kerusakan lingkungan yang berbahaya dan penyakit kulit yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Pengambilan sampel dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada orang-orang yang tinggal di Asemrowo ramdomly. Kuesioner yang menyebar ke lima kecamatan dipilih oleh lotre, penulis memilih salah satu rukun tetangga (RT) untuk pengambilan sampel. Selain kuesioner, penulis juga tak berguna mengambil sampel air yang diambil dari beberapa daerah dengan karakteristik yang berbeda seperti pasar tradisional, perumahan padat penduduk, rumah sehat, dan perumahan dekat kawasan industri. Dari hasil observasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner adalah ada hubungan yang signifikan antara orang yang tinggal di kabupaten Asemrowo, Genting kabupaten, Kalianak kecamatan dengan penyakit kulit, dengan koefisien korelasi (r) adalah 0,7380 Kata kunci: Higienes, sanitasi lingkungan, penyakit kulit ANALYSIS OF HYGIENE AND ENVIRONMENTAL SANITATION MAY CAUSE SKIN DISEASES WITH SUB IN SURABAYA ASEMROWO E. Devi Dwi Rianti, Bagus Uda Palgunadi, Mas Mansyur Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Proventy causes many people to live under bridges, on the riverside and roadsides those people’s activities cause pollution to their surroundings, this is caused by lack of land or area for dumping liquid and solid wastes, not to mention the feses. So they dump their wastes to the nearest river or the city drainage around their houses. The river pollution is a reality that is caused by many activities of people on the riversides and done consciously or not. The writer want to observe the condition of densely populated area in the west of Surabaya by doing an higienes and environmental sanitation at Asenrowo district. The writer want to observe possible harmful environmental damages and skin diseases caused by human activities. The sampling is done by giving questionnaires to people who live in Asemrowo ramdomly. The questionnaires are spread to five district chosen by lottery, the writer chose one neighborhood association (RT) for sampling. Besides the questionnaires, the writer also dud water sample taking taken from some areas with different characteristics such as the traditional market, densely populated housing, healthy houses, and housing near industrial area. From the result observation done by spreading questionnaires is there is a significant correlation between the people who live in Asemrowo district, Genting district, kalianak district with the skins diseases, with correlation coefficient (r) is 0,7380 Key words : Higienes, environmental sanitation, skins diseases PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Menurut Laporan Eksekutif Lingkungan Hidup Hasil Pondes ( Batam Pos, 2005) pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan luas di suatu daerah relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, tetapi tidak mengalami rasa makin sempitnya ruang gerak bagi masyarakat . Yang banyak dirasakan di daerah – daerah perkotaan , misalnya kota Surabaya yang padat penduduknya. Beberapa kawasan di wilayah kota Surabaya sering kali dijadikan pemukiman penduduk, walaupun sebenarnya kurang layak untuk dijadikan 69 sebagai tempat tinggal. Selain kurang memenuhi syarat kesehatan sering kali kawasan tersebut juga berbahaya bagi keselamatan jiwa seseorang. Karena itu sudah selayaknya kawasan tersebut tidak digunakan sebagai daerah pemukiman penduduk. Kualitas sumberdaya alam juga akan menjadi masalah yang sangat penting, tetapi akibat dari timbulnya kepadatan penduduk menyebabkan terciptanya kawasan kumuh. Arti kumuh menurut Sulistyawati (2007) adalah rumah seadanya, dengan tata ruang bangunan semrawut dan penampilan jorok, populasi bangunan padat dengan hunian yang tinggi, penggunaan bahan bangunan bekas. Sehingga dengan adanya kawasan kumuh tersebut terciptanya ketidak pedulian atas kelestarian fungsi lingkungan hidup yang dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran. Hal ini disebabkan karena sebagian dari masyarakat beranggapan bahwa sumberdaya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas dan secara gratis, dimana sumber daya alam dianggap anugerah Tuhan Yang Maha Esa , anggapan tersebut akan menimbulkan adanya masalah yang mendasar seperti kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan banyaknya masyarakat bertempat tinggal di kolong-kolong jembatan, bantaran kali, pinggir – pinggir jalan (Sontak Manik K.E, 2003). Dari aktivitas mereka maka akan menimbulkan pencemaran disekitar tempat tinggalnya, yang merupakan akibat tidak adanya lahan untuk menempatkan sarana pembuangan sampah cair dan sampah padat (dari dapur) serta tinja, maka dibuanglah ke sungai terdekat atau di saluran-saluran kota yang ada disekitar tempat tinggalnya. Bahkan ada yang hanya dibuang ke sembarang tempat. Akibat dari buangan sampah dan limbah cair ke badan sungai atau tanah, maka akan sangat mengganggu keberadaan sungai atau tanah. Dimana air sungai yang seharusnya dapat menjadi cadangan air bersih, terganggu kualitasnya akibat dari sampah – sampah dan limbah cair masyarakat yang bertempat tinggal disekitar sungai. Jika dibiarkan demikian, air sungai yang memiliki kemampuan memperbaiki diri sendiri menjadi tidak mampu lagi, karena banyaknya limbah yang telah terbuang ke sungai. Pembuangan limbah ke sungai, mengakibatkan pencemaran sungai. Pencemaran sungai adalah peristiwa nyata yang terjadi akibat banyaknya aktivitas masyarakat di bantaran sungai, yang sadar maupun tidak telah membuang limbah ke dalam sungai. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai, dimana pengertian sungai adalah tempat – tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. Garis sempadan ini dalam bentuk bertanggul dengan ketentuan batas lebar sekurangkurangnya 5 (lima) meter yang terletak disebelah luar sepanjang kaki tanggul. Telah tertulis dalam Peraturan Pemerintah dari pengertian dari sungai, bahwa sungai bukan tempat pembuangan limbah. Dengan terbatasnya lahan yang tersedia di Surabaya yang tidak seimbang dengan pertambahan penduduk maka terciptalah pemukiman kumuh, yang merupakan pemukiman yang tidak layak huni bagi masyarakat di Surabaya. Dan akan menimbulkan terciptanya perbedaan corak, bentuk atau keadaan pemukiman antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya di Surabaya. Namun demikian, betapapun bervariasinya pemukiman itu, maka kesemuanya harus memenuhi syarat – syarat kesehatan, sehingga para penghuninya tidak sampai menderita suatu penyakit. Kondisi perumahan di wilayah pemukiman Surabaya terdiri dari beberapa macam keadaan yang berupa rumah sehat dan sederhana bagi penghuninya. Menurut Wicaksono (2009) bahwa rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia, dan menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Dan kreteria rumah menurut Winslow dalam buku “Menciptakan Rumah Sehat” 70 (Wicaksono A, 2009) diantaranya: dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, dapat memenuhi psikologis, dapat terhindar dari kecelakaan dan dapat terhindar dari penularan penyakit. Sanitasi menurut Azwar (1996) adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Dimana sanitasi lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan, sehingga munculnya penyakit dapat dihindari. Menurut Suriawiria (2008), sanitasi lingkungan adalah tingginya jumlah penyakit yang berjangkit tiap tahun pada masyarakat yang menandakan masih banyaknya pencemaran air yang dipergunakan sehari – hari. Higienis adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan kesehatan manusia (Azwar, 1996). Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dan banyak penyakit dapat timbul karena didukung, dan dirangsang oleh faktor – faktor lingkungan. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Bab I Pasal 1 sebagai berikut: “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut tentang kesehatan, maka tidak banyak manusia yang benar – benar sehat. Akan tetapi bukan berarti semua manusia selalu menderita penyakit. Arti penyakit sendiri adalah; merupakan perubahan yang mengganggu kondisi tubuh sebagai respon dari faktor lingkungan yang mungkin berupa nutrisi, kimia, biologi atau psikologi ( Rick , 2005). Menurut Chandra (2007), penyakit adalah riwayat alami perjalanan penyakit atau sering disebut natural history of disease yang riwayat alami perjalanan penyakit pada manusia yang terdiri atas,terjadinya gangguan keseimbangan antara penyakit, manusia, dan lingkungan. Kondisi lingkungan lebih menguntungkan penyakit dan merugikan manusia. Menurut Chandra (2007), mengatakan bahwa proses perjalanan suatu penyakit terjadi dimulai sejak adanya gangguan keseimbangan antara penyakit, manusia, dan lingkungan sehingga dapat terjadinya suatu kesakitan. Selain penyakit, adapula yang disebut dengan wabah, istilah tersebut adalah suatu kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang. Dan istilah penyakit endemik adalah penyakit yang pada umumnya terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi (Wakipedia, 2008). Oleh karenanya penting kiranya memahami proses terjadinya suatu penyakit, agar dapat melakukan pencegahan penyakit dan mencari alternatif terbaik dalam pengendalian atau pemberantasan suatu penyakit. Berdasarkan kondisi wilayah kecamatan Asemrowo yang memiliki karakteristik berbeda, karena memiliki daerah seperti : pasar, pemukiman penduduk, jalan raya, kawasan industri, serta sungai. Sehingga akibat dari karakteristik lingkungan yang berbeda di kecamatan Asemrowo maka terciptanya kawasan kumuh, sanitasi dan higienis yang tidak memenuhi syarat, akibat dari higienis dan sanitasi lingkungan yang tidak baik tersebut dapat menimbulkan diare dan penyakit kulit . Kecamatan Asemrowo merupakan salah satu wilayah kota Surabaya bagian barat. Dimana kecamatan Asemrowo memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di wilayah Surabaya Barat (Data BPS, 2007). Wilayah kecamatan Asemrowo yang memiliki lima kelurahan yaitu; kelurahan Tambak Langon, kelurahan Greges, kelurahan Asemrowo, kelurahan Genting, kelurahan Kalianak. kecamatan Asemrowo yang tinggi tingkat kemiskinan, karena didukung dengan keadaan wilayah kecamatan tersebut. Dengan luas wilayah seluruhnya kurang lebih 13,06 km2 dengan lima kelurahan. Batas wilayah dari kecamatan Asemrowo yaitu; sebelah utara : Selat Madura, sebelah Timur: kecamatan Sawahan, sebelah selatan : kecamatan Tandes dan kecamatan Benowo. kecamatan Asemrowo adalah salah satu dari kecamatan yang merupakan pusat 71 perekonomian. Sehingga tidak heran jika banyak pemukiman, mulai dari pemukiman yang padat penduduk atau kumuh hingga pemukiman sehat . Keadaan lingkungan inilah yang dapat mempengaruhi lingkungan hidup masyarakat di kecamatan Asemrowo. Keadaan lingkungan dengan karakteristik berbeda. Dengan karakteristik berbeda, yang telah membuang limbah domestik maupun industri ke aliran sungai sehingga menimbulkan berbagai jenis mikroorganisme tinggal disana, yang dapat menimbulkan penyakit (Suriawiria, 2008). Adanya penyakit yang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan, yang harus diterima masyarakat Asemrowo. Diantara penyakit yang dipengaruh oleh lingkungan, yang berada di kecamatan Asemrowo yaitu penyakit diare dan penyakit kulit. Penyakit kulit dijadikan obyek penelitian karena : 1. penyakit infeksi kulit banyak ditemukan dikalangan penduduk didaerah beriklim panas, lembab, keadaan perorangan yang kurang higeine dan lingkungan yang buruk, pekerja – pekerja yang berhubungan dengan kotoran (misalkan sampah dan selokan), pekerja – pekerja yang berhubungan dengan minyak – minyak pelumas, umumnya penderita banyak ditemukan pada anak – anak dari pada orang dewasa. (Soepadmo, 1986). 2. Masyrakat beranggapan bahwa penyakit kulit bukan penyakit yang membahayakan sehingga tidak perlu penanganan dengan segera. 3. Jika orang terkena penyakit kulit, penderita lebih memilih diobati sendiri dengan obatobat yang dijual bebas dibandingkan dengan berobat ke dokter. Perumusan Masakah Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya : Apakah higien dan sanitasi lingkungan menyebabkan penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya? Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Mengetahui kondisi lingkungan secara umum di kecamatan Asemrowo Surabaya. b. Tujuan khusus Mengetahui hubungan antara higiene dan sanitasi lingkungan dengan timbulnya penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya. Hipotesis Penelitian Ho : Higiene dan sanitasi lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya. H1 : Higiene dan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Kecamatan Asenrowo Surabaya terdiri dari 5 kelurahan yaitu kelurahan Tambak Langon, Greges, Asenrowo, Genting dan Kalianak. Penelitian dilakukan bulan April 2010 di kelurahan Asemrowo, Genting dan Kalianak Surabaya. Prosedur Penelitian Penelitian diarahkan untuk memecahkan permasalahan dengan melakukan prosedur sebagai beriku; 1. Menentukan pembagian sampel atau daerah pengambilan sampel yang diambil secara random, 2. Menyebarkan kuesioner, 3. Mentabulasi hasil dari kuesioner,. 4. Mengolah hasil kuesioner, 5. Menganalisis hasil kuesioner. Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama, sedangkan sampel adalah himpunan bagian dari populasi. Dalam pengambilan data digunakan teknik random sampling dimana pengambilan unit sampel dapat 72 menggunakan pertolongan undian atau angka random (Santoso.G, 2007). Dan dalam pengambilan sampel dari wilayah yang memenuhi dengan kriteria penelitian dari lima kelurahan, dilakukan pengundian sehingga diperoleh tiga kelurahan . Populasi : Penduduk di kecamatan Asemrowo Surabaya yang berada di kelurahan Tambak Langon, Greges, Asenrowo, Genting dan Kalianak Surabaya. Sampel : 25 kepala keluarga RT 3 RW 7 kelurahan Asemrowo, 15 kepala keluarga RT 13 RW 4 kelurahan Genting, 15 kepala keluarga RT3 RW 1 kelurahan Kalianak Surabaya. Teknik Analisis Data Data mentah yang berupa kuesioner yang telah diisi di kelompokkan menjadi variabel bebas (x) dan variabel terikat (y), kemudian untuk menentukan hubungan kedua variabel tersebut dicari dengan menghitung koefisien korelasinya (r). - - Variabel bebas (x) : pengetahuan tentang higiene dan sanitasi lingkungan. Variabel terikat (y) : pengetahuan tentang penyebab timbulnya penyakit kulit. Koefisien korelasinya dapat ditentukan dengan rumus : Σ xy - ∑x∑y n __________________________ r = √[∑x2 – (∑x)2 / n] [∑y2- (∑y)2 / n] HASIL PENELITIAN Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan ke responden dapat ditabulasikan sebagai berikut : No. Res Pendidikan x y No. Res Pendidikan x y 1 SLTA 75 26 30 SLTA 77 28 2 SLTA 83 30 31 SLTA 71 25 3 SLTA 80 29 32 SLTA 76 27 4 SLTA 81 28 33 SLTA 84 30 5 SD 78 28 34 SD 67 22 6 SLTA 77 26 35 SD 71 25 7 SLTA 69 25 36 SLTA 66 20 8 SLTA 70 25 37 S1 79 29 9 SLTA 74 25 38 SLTA 83 29 10 SLTA 77 28 39 SLTA 79 29 11 SLTA 68 23 40 SD 69 23 12 SLTP 58 20 41 SD 71 24 13 SLTP 69 23 42 SD 68 20 14 SLTP 69 24 43 S1 70 25 73 15 SLTP 65 24 44 SLTA 79 28 16 SLTA 56 24 45 SLTA 74 26 17 SLTA 80 30 46 SD 73 23 18 SLTA 84 30 47 SLTP 68 21 19 SLTA 83 27 48 SLTA 73 24 20 SLTA 73 25 49 S1 78 26 21 SLTA 76 28 50 S1 78 28 22 SD 73 25 51 S1 83 29 23 SLTP 76 27 52 S1 76 26 24 SD 77 29 53 SD 81 28 25 SD 68 23 54 SD 73 24 26 SLTA 74 26 55 SLTA 76 25 27 SD 79 29 28 SD 74 26 29 SD 63 22 Berdasarkan pehitungan dari tabulasi data yang telah kami peroleh, kemudian dianalisis dengan menggunakan program excel, diperoleh koefisien korelasi r = 0,7380, ini menunjukan bahwa ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. PEMBAHASAN Dari hasil penyebaran kuesioner yang telah kami lakukan, responden memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi , yaitu SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) 50,9 %, SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) 10,9 %, SD (Sekolah Dasar) 27,5 % dan S1 (Strata Satu) ada 10,9 %. a..Penilaian masyarakat terhadap rumah sehat Responden menilai rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping sandang dan pangan. Dimana rumah juga merupakan tempat tinggal, tempat bermukim, yang dilengkapi dengan segala apa yang diperlukan untuk kebutuhan hidup, sebagai tempat berlindung yang aman. Dari hasil kuesioner yang telah kami sebarkan maka responden yang memahami fungsi ventilasi dengan memperhatikan ventilasi di setiap ruangan 34,5 %, dan pemahaman akan jumlah anggota keluarga yang dapat tinggal dalam satu kamar tidur diisi dengan 2 anggota keluarga sebesar 41,8 %. b..Penilaian masyarakat akan fasilitas air bersih yang digunakan Fasilitas air bersih yang digunakan oleh responden untuk masak, minum, mandi dan cuci adalah berasal dari air PDAM sebesar 100 %. Ini berarti bahwa masyrakat kecamatan Asemrowo telah mampu membeli air bersih yang berasal dari PDAM. c. Penilaian masyarakat tentang higiene dan sanitasi lingkungan Dari kuesioner yang telah kami sebarkan, responden didalam menjawab pertanyaan atas proses penyimpanan alat dapur setelah digunakan lalu disimpan dalam rak piring sebesar 60 %. Dan didalam penyajian makan sebelum dimakan yang diletakkan di lemari makan sebesar 30, 9 %, diletakkan di meja makan 52,7 %, diletakkan di dapur tanpa tutup saji 3,6 %, dan diletakkan di panci sebesar 12,7 %. Higiene yang harus dilakukan oleh perseorangan maupun masyarakat dengan tujuan mencegah timbulnya 74 penyakit diare dan kulit, responden yang telah menjawab pertanyaan meliputi: 1. Dalam masyarakat kebiasaan untuk melakukan cuci tangan terlebih dahulu, dilakukan jika sesudah dan sebelum makan sebanyak 74,5 %. 2. Dalam satu hari mandi berkali – kali jika berkeringat 3,6 %, 3 kali dalam satu hari sebesar 41,8 %, 2 kali dalam satu hari 54,2 %. 3. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat untuk berganti pakaian dalam satu, dilakukan setiap berkeringat sebesar 7,3 %, 3 kali sekali sebesar 18,2 %, 2 kali sekali sebesar 58,2 %. Penilaian hasil masyarakat terhadap sanitasi, diperoleh dari hasil responden dengan menjawab pertanyaan: 1. Proses yang dilakukan masyarakat, dalam mencuci alat dapur dengan menggunakan sabun cuci dan dibilas dengan air sebesar 49,1 %. 2. Di daerah masyarakat tinggal pernah adanya genangan air dan kotoran. Keadaan tersebut sering terjadi sebesar 14,5 %, kadang – kadang terjadi genangan sebesar 50,9 % . 3. Wilayah tempat tinggal yang saat ini di tempati oleh responden dominan dengan pusat kegiatan, yang meliputi pabrik 1,8 %, pasar 16,4 %, jalan raya atau jalan dekat rel kereta api sebesar 40 %, dan pemukiman atau perumahan padat sebesar 41,8 %. 4. Sarana pembuangan sampah yang ada di daerah tempat tinggal responden, berupa bak sampah 81,8 %, di buang pada saluran air sebesar 18,2 %. 5. Sarana sanitasi yang digunakan masyarakat berupa WC sebesar 96,4 %. 6. Letak WC dan kamar mandi yang digunakan oleh masyarakat berada di dalam rumah 96,4 %, dan di luar rumah 3,6 %. d..Penilaian Masyarakat Terhadap Penyebab Timbulnya Penyakit Penilaian masyarakat terhadap keadaan lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit. Dari hasil responden diperoleh bahwa: 1. Responden jika mengalami sakit, maka akan berobat ke puskesmas sebesar 60 %. 2. Penyakit yang sering diderita masyarakat adalah; diare 76,4 %, penyakit infeksi kullit sebesar 23,6 %. 3. Penyakit kulit yang sering dialami responden adalah, koreng sebesar 65,5 %, bisul 25,5 %. 4. Faktor kebersihan dan lingkungan merupan faktor penyebab terjadinya penyakit kulit, responden yang setuju sebesar 54,5 %. 5. Faktor penyakit kulit yang timbul saat ini akibat dari penyakit kulit yang sebelumnya, responden menjawab tidak berpendapat sebesar 56,4 %. Ini berarti masyarakat tidak mengerti terhadap proses terjadinya penyebarab penyakit kulit. Dari analisis data diperoleh koefisien korelasi r = 0,7380, Ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara higiene dan sanitasi lingkungan dengan penyebab timbulnya penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya. Koefisien korelasi bernilai positif, ini berarti bahwa variabel bebas sebanding dengan variabel terikat. Ini berarti bahwa jika kondisi lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip rumah sehat maka kemungkinan terjadinya kulit sangat kecil. KESIMPULAN DAN SARAN a..Kesimpulan Dari hasil penelitian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Ada hubungan yang signifikan antara higien dan sanitasi lingkungan dengan penyebab timbulnya penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya. 75 2. Bila higien dan sanitasi lingkungan sesuai dengan prinsipprinsip kesehatan lingkungan maka kemungkinan terjadinya penyakit kulit relatif kecil . b..S a r a n Saran yang berupa konsep untuk penataan lingkungan di kecamatan Asemrowo agar lebih baik dan mengurangi timbulnya penyakit kulit di kecamatan Asemrowo Surabaya, yaitu : 1..Perlunya penyuluhan atau pendidikan secara periodik tentang perilaku hidup sehat kepada masyarakat kecamatan Asemrowo agar terhindar dari berbagai macam penyakit khususnya penyakit kulit. 2..Mencegah secara persuasive masyarakat yang mendirikan rumah dibantaran sungai sesuai dengan peraturan pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991 tentang fungsi sungai. 3..Hendaknya pemerintah menempatkan mereka di rumah susun yang dibangun oleh pemerintah, bagi mereka telanjur membangun rumah disekitar bantaran suangai khususnya rumah kumuh. Anies, http:// dikunjungi 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta. Azwar, 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Penerbit Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Asdak, 2004. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Budiono, 2006. Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran,Jakarta. Brooks, Geo.F, 2005. Mikrobiologi Kedokteran, Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Chandara, Budiman, 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Buku Kedoteran, Jakarta. Darmono, 2001. Lingkungan Hidup Dan Pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Fardiaz, Srikandi, 1992. Populasi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Anonim, http:// kmpk.forumpustakamas.or.id- dikunjungi 26 Juni 2009 ,11: 57 AM Anonim, http:// air.bappenas.go.iddikunjungi 27 Juni 2009 ,12:50 PM Anonim, http:// www.jasatirta1.go.id/berita- dikunjungi 16 Juni 2009,1:47 PM Anonim, piogama.ugm.ac.id/2009/0220 Juli 2009, 9:35 AM Anonim, id:wikipedia.org/wiki/wabah11 Maret 2009, 12:16 PM http:// dikunjungi Anonim, http:// inspeksisanitasi.blogspot.com/2009/05dikunjungi 21 Juli 2009, 3:16 PM Ginting, Perdana, 2007. Sistim Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri, Penerbit Yrama Widya, Bandung. Hadi, Anwar, 2007. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Harahap, Marwali, 1990. Penyakit Kulit, Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Juli S.S, 2007. Kesehatan Lingkungan, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 76 Julia S.S, 1999. Epidemiologi Lingkungan, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kodoatie, Robert J, 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Katalog BPS : 1403.3578, 2006/2007. Surabaya Dalam Angka. Suriawiria, Unus, 2008. Air Dalam kehidupan Dan Lingkungan Yang Sehat, Penerbit P.T. Alumni, Bandung Wesli, 2008. Drainase Perkotaan, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. Wheler, 1989. Mikrobiologi Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta. Nazir, Moh, 1983. Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Oswari. E, 2003. Penyakit dan Penanggulangannya, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Ricky. M, 2005. Kesehatan Lingkungan, Penerbit Graha Ilmu, Jakarta. Sontak, Manik, K .E, 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Djambatan, Jakarta. Soepadmo.G, 1986. Simposium Penyakit Infeksi Kulit, Penyelenggara Perkumpulan Ahli DermatoVenereologi Indonesia, Jakarta Sarudji, Didik, 2006. Wawasan Lingkungan, Penerbit Media Ilmu, Sidoarjo Jawa Timur. Sarudji, Didik, 2006. Kesehatan Lingkungan, Penerbit Media Ilmu, Sidoarjo Jawa Timur. Santoso, Gempur, 2007. Metodologi Penelitian, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta. Sumitrat, 2005. Epidomiologi Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Saleh,2009. Kuliah Rekayasa Lingkungan, Banjarmasin Press, Kalimantan Selatan Suriawiria, Unus, 2008. Mikrobiologi Air, Penerbit P.T. Alumni, Bandung 77