( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 ( ) JURNAL HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Diterbitkan oleh: BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2013 ( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 JURNAL HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Penasehat: Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Penanggung Jawab :Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pemimpin Redaksi :Maskun Dewan Redaksi :Abdul Maasba Magassing Aidir Amin Daud Alma Manuputty Hamid Awaluddin Juajir Sumardi Judhariksawan Laode Abd. Gani Laode Muh. Syarif Marcel Hendarapati Muh. Ashri Redaktur Pelaksana :Iin Karita Sakharina Sekretaris Redaktur :Birkah Latif Kadarudin Mitra Bestari :Aktieva Tri Tjitrawati (UNAIR Surabaya) Devy Sondakh (UNSRAT Manado) Hikmahanto Juwana (UI Jakarta) I Made Arsana (UGM Yogyakarta) Desain Grafis & Layout : Ahsan Yunus Distribusi & Pemasaran :Ali Samad Salma Laitupa Riyad Febrian Anwar Alfaris Malaki Alamat Redaksi :Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar. Tel/Fax : +62-411587219 E-mail: [email protected] Website: http://hukuminternasionalfhuh.wordpress.com JURNAL HUKUM INTERNASIONAL Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit tiap bulan Maret, Juli, dan Nopember. ( ii ) DAFTAR ISI Jurnal Hukum Internasional Volume I, Nomor 1 Juli 2013 ISSN: 2338-3577 Hikmahanto Juwana KONVENSI PEKERJA MIGRAN: PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI?................................................................ 1-5 Dede Agus KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA............................... 7-17 Widati Wulandari “PUBLIC EMERGENCY” SEBAGAI ALASAN MENGEYAMPINGKAN KEWAJIBAN NEGARA DI BAWAH ICCPR: REAKSI TERHADAP TERORISME.............................................................................. 19-41 Erni Dwita Silambi PRITA MULYASARI VS RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL................... 43-58 Devyta CULTURAL CLAIMS AND CULTURAL PROPERTY DISPUTES AS A CHALLENGE FOR INTERNATIONAL LAW...................................................... 59-68 Rafika Nur PENGATURAN SELF DETERMINATION DALAM HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KEMERDEKAAN NEGARA KOSOVO)........................ 69-90 Andri G. Wibisana EQUITY AND THE GLOBAL POLICY ON CLIMATE CHANGE: A LAW AND ECONOMIC PERSPECTIVE................................................................... 91-108 Muhammad Luthfiy Lukman ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS EMBARGO PRODUK TUNA SIRIP KUNING................................................................................... 109-119 PERSYARATAN PENULISAN ( iii ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 EDITORIAL Pembaca yang budiman, Segala puji dan ungkapan rasa kesyukuran tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Volume I Nomor 1 Juli 2013, merupakan langkah monumental yang digagas oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk melahirkan suatu jurnal ilmiah yang sekaligus dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ruang ekspresi ilmiah khususnya isu-isu yang berhubungan dengan hukum internasional. Volume I Nomor 1 Juli 2013 menghadirkan beberapa penulis yang memiliki kepakaran di bidang masing-masing. Professor Hikmahanto Juwana dan Dede Agus menulis tentang Konvensi Buruh Migran, khususnya bagaimana posisi Indonesia. Widati Wulandari selanjutnya menguraikan isu hukum kejahatan internasional di area terorisme dan Erni Dwita Silambi menguraikan isu hukum tentang hak pasien untuk mendapatkan informasi. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di bidang hukum internasional. Devyta mengangkat tema sentral mengenai penyelesaian sengketa dan Rafika Nur mengangkat tema tentang pengaturan self determination. Kedua topik yang digagas sangat menarik, apalagi kedua topik tersebut dilengkapi dengan uraian kasus. Andri G. Wibisana dan Muhammad Luthfiy Lukman mendiskusikan hukum ekonomi internasional dengan perspektif yang berbeda. Andri memfokuskan perubahan iklim sebagai objek kajian dalam hubungannya dengan hukum ekonomi. Sementara Muhammad Luthfiy Lukman mengkaji kasus produk Tuna Sirip Kuning dalam hukum ekonomi internasional. Semoga berbagai isu hukum internasional yang tersaji dalam volume pertama ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan hukum internasional. Selamat membaca. Redaksi ( iv ) Konvensi Pekerja Migran KONVENSI PEKERJA MIGRAN: PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI? Hikmahanto Juwana* Universitas Indonesia, Jakarta E-mail: [email protected] Abstract: An immigrant worker is a worker who has different nationality with countries she/he works. Some international treaties have regulated the rights of the workers but it is not specifically. Abstrak: Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran, namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus. I. PENDAHULUAN Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Di Indonesia pekerja migran lebih akrab disebut sebagai ‘Tenaga Kerja Indonesia (TKI)’ dan ‘Tenaga Kerja Wanita (TKW)’. Keberadaan pekerja migran merupakan suatu kenyataan. Ada dua alasan. Pertama sejak manusia mengenal apa yang disebut sebagai negara dimana terdapat kedaulatan. Kedua selama terjadi jurang ekonomi antara satu negara dengan negara lain, serta adanya kekurangan dan kelebihan (supply and demand) tenaga kerja antar negara. Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus. Pada bulan Desember tahun 1990, Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB) berhasil mengadopsi sebuah teks perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para pekerja migran (migrant workers) beserta keluarganya. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (selanjutnya disebut “Konvensi Pekerja Migran”).1 Sejak 1 Juli 2003 Konvensi telah berlaku (enter into force) setelah Guatemala mendopsitkan dokumen ratifikasi yang ke-20. Tulisan ini hendak menggambarkan poin-poin penting dari Konvensi. Disamping itu akan juga dianalisa urgensi bagi Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ini. Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI. Meraih gelar Sarjana Hukum 1987 pada Universitas Indonesia, Magister Hukum (LL.M) 1992 pada Keio University, Jepang, dan Ph.D 1997 pada University of Nottingham, Inggris. * 1 General Assembly Resolution 45/158 tertanggal 18 Desember 1990. ( 1 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 II. PEMBAHASAN 1. Tujuan Konvensi Pekerja migran bukanlah mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan tinggi sehingga mereka ini sangat rentan (vulnerable) untuk dilanggar hak asasi manusia (HAM)nya, bahkan diperlakukan tidak lebih dari budak belian (slaves). Banyak dari pekerja migran yang tidak dapat mempertahankan haknya karena ketidakmampuan berbahasa negara setempat, ketakutan karena status ilegal, bahkan tidak mengetahui sistem hukum ataupun adat istiadat yang berlaku. Pelanggaran atas hak-hak pekerja migran dilakukan semenjak pekerja migran masih di negara asal hingga negara tujuan dan kembali ke negara asalnya. Pihak yang melakukan pelanggaran dapat dilakukan oleh perusahaan ataupun orang-orang yang merekrut, oknum aparat baik di negara asal maupun tujuan, dan para majikan ataupun pemberi kerja. Perlindungan yang minim terhadap para pekerja migran, terasa lebih minim bagi keluarga pekerja migran. Para keluarga yang mengikuti pekerja migran boleh dikatakan tidak mendapatkan perlindungan. Salah satu upaya untuk memberi perlindungan atas hak-hak para pekerja migran dan keluarganya adalah melalui hukum. Pemerintah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan agar hak-hak pekerja migran dan keluarganya dihormati oleh semua pihak, termasuk negara itu sendiri. Bila ada pelanggaran, aparatur negara mempunyai legitimasi untuk menindak para pelaku. Dalam konteks ini penegakan hukum mempunyai peran yang sangat vital. Memang tidak semua negara sama dalam memperhatikan perlindungan bagi pekerja migran dan para keluarganya. Ada negara-negara yang memberi perlindungan seadanya, tetapi ada pula negara-negara yang sangat tinggi memberi perlindungan. Penyebab tidak samanya perlidungan yang diberikan adalah kedaulatan hukum, disamping kondisi antar negara yang berbeda dan, tidak kalah penting, kemauan pemerintah (political will). Kemauan pemerintah penting karena ada pemerintah dari negara tertentu yang tidak terlalu peduli, bahkan cenderung merasa diuntungkan bila perlindungan terhadap pekerja migran dan keluarganya dilakukan sangat minimal. Padahal bila dilihat dari kebutuhan dari para pekerja migran dan keluarganya terlepas dari asal negara, mereka sangat memerlukan perlindungan atas hak-haknya. Perlindungan tidak hanya dibutuhkan di negara tujuan para pekerja migran, tetapi juga di negara asalnya. Disinilah pentingnya hukum yang dapat memberi perlindungan secara lintas batas (crossborder) bagi pekerja migran dan keluarganya. Perlindungan hukum yang bersifat lintas batas dapat dilakukan melalui perjanjian internasional. Perjanjian internasional untuk keperluan ini dapat dilakukan secara bilateral ataupun multilateral. Konvensi Pekerja Migran merupakan bentuk perlindungan hukum berupa perjanjian internasional yang diupayakan secara multilateral. Konsekuensi dari sebuah negara yang telah ikut dalam Konvensi Pekerja Migran adalah kewajiban untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam Konvensi ke dalam hukum ( 2 ) Konvensi Pekerja Migran nasionalnya. Disamping itu, negara harus tunduk dan mengikuti mekanisme yang diatur dalam Konvensi yang menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Dalam keadaan normal mekanisme ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Namun karena negara secara sukarela turut serta dalam Konvensi berarti negara tersebut telah melepaskan sebagian dari kedaulatannya sepanjang yang terkait dengan kewajiban dan mekanisme yang diatur dalam Konvensi. 2. Substansi Konvensi Konvensi Pekerja Migran terdiri dari preambul dan 93 pasal (articles) yang terbagi dalam 9 bagian (parts). Bagian pertama berisi tentang ruang lingkup dan berbagai definisi. Dalam Konvensi ditentukan bahwa ruang lingkup keberlakuan dari Konvensi ini adalah untuk semua pekerja migran dan keluarganya tanpa dilakukan pembedaan, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, latar belakang politik atau pendapat, kewarganegaraan, etnis atau asal kelahiran, usia atau status lainnya. Dalam bagian ini juga ditentukan bahwa Konvensi berlaku untuk keseluruhan proses migrasi dari pekerja migran dan keluarganya yang terdiri dari persiapan untuk migrasi, keberangkatan, transit dan keseluruhan masa tinggal di negara dimana ia bekerja dan juga negara dimana ia kembali ke negara asalnya atau negara ia berdiam (habitual residence). Dalam Konvensi didefinisikan beberapa klasifikasi pekerja, yaitu, migrant worker, frontier worker, seasonal worker, seafarer, worker on offshore installation, project-tied worker, specified employment worker, dan self employed worker. Definisi dari pekerja migran adalah orang yang akan, sedang atau telah malakukan aktifitas yang dibayar (remunerated activity) di negara dimana orang tersebut bukan warga negaranya. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Konvensi dinyatakan tidak berlaku bagi para pekerja tertentu, misalnya mereka yang bekerja untuk organisasi internasional atau mereka yang dikirim oleh negara asalnya untuk menjalankan fungsi tertentu yang diatur dalam hukum internasional umum ataupun perjanjian internasional khusus. Konvensi juga mengatur definisi-definisi lain seperti members of the family, State of origin, State of employment dan State of transit. Terkait dengan istilah migrant workers and members of the family disebutkan bahwa mereka ini bisa legal (documented or in a regular situation) dan ilegal (non-documented or in an irregular situation). Bagian kedua mengatur tentang prinsip non-diskriminasi yang harus diterapkan oleh negara peserta (state parties) bagi perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Bagian ketiga memuat ketentuan tentang HAM bagi para pekerja migran dan keluarganya. Ketentuan ini berisi tentang HAM yang harus didapat bagi para pekerja migran dan keluarganya. Misalnya saja hak para pekerja migran dan keluarganya untuk meninggalkan negara asalnya. Para pekerja juga berhak untuk masuk kembali ke negara asalnya. Hak hidup dari para pekerja migran juga wajib untuk dilindungi berdasarkan hukum. Para pekerja migran juga memiliki kebebasan untuk berpendapat, beragama dan berkeyakinan. Para pekerja migran dan keluarganya bila diperiksa maka pemeriksaan harus ( 3 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian keempat mengatur tentang hak-hak tambahan para pekerja migran dan keluarganya yang berstatus legal (documented or in a regular situation). Bagian kelima memuat ketentuan tentang katagori khusus (particular categories) dari pekerja migran dan keluarganya. Bagian keenam menentukan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara peserta untuk memajukan kondisi-kondisi kuat, adil dan manusiawi yang terkait dengan migrasi internasional dari para pekerja dan keluarganya. Bagian ketujuh mengatur tentang pemantaun dalam penerapan Konvesi di negara-negara peserta. Bagian kedelapan berisi ketentuan umum (general provisions), diantaranya pengakuan negara untuk menentukan kriteria pekerja migran dan keluarganya yang diperbolehkan masuk. Dalam bagian ini juga diatur keberadaan dari Konvensi dikaitkan dengan ketentuan dalam Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional yang diikuti oleh negara peserta. Bagian kesembilan megatur tentang hal-hal yang umum ada dalam suatu perjanjian internasional. Hal-hal ini diantaranya Sekretaris Jenderal PBB sebagai depositary dari Konvensi untuk menerima dokumen ratifikasi atau aksesi, Konvensi baru mengikat negara apabila telah diratifikasi, Konvensi baru berlaku setelah diratifikasi oleh minimal 20 negara. 3. Posisi Indonesia: Tidak Perlu Meratifikasi, Cukup Mengadopsi Pada saat ini Indonesia telah menandatangani Konvensi Pekerja Migran. Menjadi pertanyaan besar, apakah Indonesia perlu segera meratifikasi? Jawaban atas pertanyaan ini perlu mendapat pembahasan yang mendalam. Pertama harus dipahami bahwa Indonesia adalah negara yang masuk dalam katagori State of origin karena memiliki banyak pekerja migran. Pekerja migran asal Indonesia dapat dikelompokkan dalam pekerja migran legal dan ilegal. Sebagai State of origin, bila Indonesia meratifikasi Konvensi berarti Indonesia harus mentransformasikan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Konvensi. Harus diingat bahwa Konvensi tidak hanya mengatur negara yang masuk dalam katagori State of employment, tetapi juga State of origin. Pertanyaannya apakah Indonesia telah dapat menjalankan isi Konvensi? Pertanyaan ini penting mengingat banyak sekali kewajiban yang ada dalam Konvensi yang mungkin tidak dapat dijalankan (unable to be implemented) oleh pemerintah maupun berbagai komponen bangsa. Disini yang menjadi test case bukanlah pemerintah berkeinginan untuk menjalankan atau tidak (uwilling to implement). Pada masa Indonesia yang lebih demokratis sudah tidak ada lagi isu pemerintah berkeinginan atau tidak berkeinginan untuk menjalankan. Isu utama adalah apakah komponen bangsa, terutama pemerintah dapat menjalankan atau tidak. Alasan untuk tidak dapat dijalankan lebih karena apa yang diatur dalam Konvensi merupakan hal-hal yang sangat ideal. Bahkan dapat dikatakan ketentuan-ketentuan yang ada kebanyakan implementable di Negara Maju, tetapi unimplementable di Negara Berkembang. Dari berbagai media massa telah banyak berita-berita yang menyebutkan ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi pekerja migran dan keluarganya. Mulai dari tidak dapat diberantasnya pihak-pihak yang merekrut pekerja migran secara ilegal, bahkan terlibat ( 4 ) Konvensi Pekerja Migran dalam human trafficking hingga ketidak-berhasilan dalam meniadakan praktek-praktek pemerasan atas pekerja migran dan keluarganya sekembali mereka ke Indonesia. Bila berbagai hal ini masih berlangsung dan Indonesia telah meratifikasi maka akan sangat menyulitkan bagi Indonesia. Sulit karena dalam Konvensi diatur mengenai pemantauan penerapan Konvensi. Berdasarkan pasal 73 dan 74 Konvensi, sebuah Komite yang dibentuk berdasarkan Konvensi ini akan melakukan pemantauan melalui Sekretaris Jenderal PBB. Kedua, perlu diperhatikan apakah negara-negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia (State of employment), seperti Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Saudi Arabia dan Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis tidak satupun negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia telah meratifikasi. Ini berarti Konvensi tidak banyak berarti bagi para pekerja migran Indonesia yang memerlukan perlindungan di State of employment. Bila hanya Indonesia saja yang meratifikasi sementara negara-negara tujuan para pekerja migran Indonesia tidak meratifikasi maka Konvensi tidak akan mempunyai arti apapun. Para pekerja migran asal Indonesia akan terus mengalami pelanggaran atas hak-haknya di State of employment. Melihat dua alasan mendasar diatas dapat dijawab pertanyaan yang diajukan bahwa Indonesia belum perlu meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Saat ini yang perlu dilakukan ada dua hal. Pertama mengadopsi berbagai ketentuan yang terdapat dalam Konvensi ke dalam hukum domestik Indonesia. Selanjutnya perlu diupayakan agar penegakan hukum atas ketentuan yang telah diterjemahkan dilakukan secara konsisten dan tegas sehingga dapat melindungi para pekerja migran dan keluarganya yang akan berangkat maupun kembali. Kedua adalah mempersuasi negara-negara tujuan migran Indonesia untuk melakukan ratifikasi atas Konvensi, paling tidak mendapatkan komitmen dengan menandatangani Konvensi ini. III. PENUTUP Penandatanganan Indonesia atas Konvensi Pekerja Migran untuk saat ini harus dianggap cukup. Paling tidak pemerintah mempunyai ikatan moral, bukan ikatan hukum untuk menerapkan kewajiban-kewajiban dalam Konvensi ke dalam hukum nasional. Pemerintah harus terus mengupayakan agar perlindungan terhadap pekerja migran dapat dilakukan. Disamping itu, pemerintah harus mengupayakan agar negara-negara penerima pekerja migran asal Indonesia (State of employment) meratifikasi Konvensi Pekerja Migran sehingga para pekerja mendapat perlindungan. ( 5 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 ( 6 ) Konvensi ILO KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA Dede Agus* Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten E-mail: [email protected] Abstract: The International Labour Organization (ILO) serves as the maker of international labour standards in the forms of conventions and recommendations. The member states of ILO must ratify ILO Conventions and the ILO Conventions are sources of labour law/ employment law in Indonesia. Abstrak: Organisasi Buruh Internasional menetapkan standar buruh internasional dalam bentuk konvensi-konvensi dan rekomendadirekomendasi. Negara-negara anggota ILO harus meratifikasi Konvensi ILOdan Konvensi tersebut merupakan sumber hukum perburuhan di Indonesia. I. PENDAHULUAN Hukum perburuhan/ketenagakerjaan merupakan spesies dari genus hukum umumnya, dimana hukum perburuhan menurut Iman Soepomo memiliki tujuan pokok pelaksanaan keadilan sosial dalam bidang perburuhan dan pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan.1 Begitu pula menurut Senjun H. Manulang, yaitu untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan peraturanperaturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap tenaga kerja.2 Dalam rangka mewujudkan tujuan pokok hukum perburuhan tersebut, maka perlindungannya tidak hanya ditingkat nasional suatu negara, tetapi juga bersifat internasional (sedunia). Hal ini karena hukum perburuhan memiliki nilai-nilai universalitas yang tinggi Penulis adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan S-2 Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. * Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 9. Senjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 2. 1 2 ( 7 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 sehingga perlu kesamaan pengaturan yang bersifat internasional pula, yaitu hukum perburuhan internasional. Berkaitan dengan ini Iman Soepomo mengatakan bahwa berlainan dengan hukum privat internasional yang menerapkan hukum apakah atau hukum manakah yang berlaku bila terjadi hubungan hukum antara warga negara sesuatu negara dengan warga negara dari negara lain, hukum perburuhan internasional menghendaki adanya satu hukum mengenai perburuhan yang sama atau sederajat yang berlaku di tiap negara, sehingga terdapat kesatuan hukum dalam soal perburuhan di seluruh dunia.3 Dalam rangka mewujudkan hukum perburuhan internasional maka didirikan ILO (International Labour Organization) pada tanggal 11 April 1919 berdasarkan Konferensi Perdamaian Versailles. Tujuan berdirinya ILO adalah menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat di seluruh dunia, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan Konstitusi ILO (Deklarasi Philadelphia) yang menyebutkan bahwa : (a) pekerja/buruh bukan barang dagangan; (b) kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; (c) semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, bagi spiritual maupun material dalam suasana kebebasan; (d) wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki status yang sama untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran.4 ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut berupa konvensi (convention) dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar minimum. Konvensi-konvensi ILO merupakan traktat internasional yang perlu diratifikasi oleh seluruh negara anggota ILO, sedangkan Rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat secara hukum, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional, tidak memerlukan ratifikasi.5 Kewajiban anggota terhadap Konvensi ILO ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (5) huruf a dan huruf b Konstitusi ILO, yaitu : (a) The convention will be communicated to all members for ratification; (b) Each of the members undertakes that it will, within the period of one year at most from the closing of the session of the conference, or if it is impossible owing to exceptional circumstances to do so within the period of one year, then at the earlies ion. Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO, dan sampai tahun 2008 telah meratifikasi 18 buah Konvensi ILO. Konvensikonvensi ILO ini kedudukannya dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia adalah sebagai sumber hukum. Hal ini terbukti banyak para pakar hukum perburuhan/ketenagakerjaan dalam literaturnya mencantumkan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya : Pertama, Zainal Asikin dkk menyebutkan bahwa sumber hukum perburuhan meliputi: undang-undang, peraturan lain (peraturan pemerintah, Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 205. Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 143. 5 Ibid, hlm. 147. 3 4 ( 8 ) Konvensi ILO keputusan presiden, peraturan dan keputusan instansi lain), kebiasaan, putusan (P4D/P4P), perjanjian (perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, dan peraturan perusahaan), dan traktat (Konvensi ILO bidang ketenagakerjaan).6 Kedua, Iman Sjahputra Tunggal, menyebutkan bahwa sumber hukum meliputi : peraturan perundang-undangan, adat/kebiasaan, perjanjianperjanjian internasional (konvensi-konvensi ILO, traktat-traktat dan lain-lain), peraturanperaturan (peraturan kerja, tata tertib kerja dan lainnya yang sejenis), perjanjian-perjanjian kerja, dan perjanjian perburuhan.7 Ketiga, Hari Supriyanto, menyebutkan bahwa sumber hukum meliputi: undang-undang, peraturan lain yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang, kebiasaan, putusan P4D/P4P dan putusan peradilan umum, perjanjianperjanjian (perjanjian perburuhan, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan), perjanjian internasional mengenai persoalan perburuhan baik yang bersifat bilateral dan multilateral maupun berbagai Konvensi ILO (International Labour Organization).8 Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka pembahasan dari kedudukan Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia, dapat dirumuskan dengan permasalahan hukum bagaimanakah penerapan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia agar memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap buruh/pekerja dan pengusaha? II. PEMBAHASAN 1. Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Sumber hukum mengandung makna tempat diketemukan, asal mula atau menggali hukumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang dapat digunakan sebagai dasar putusannya.9 Dengan demikian sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan adalah tempat menemukan atau menggali hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Menurut Iman Soepomo sumber hukum perburuhan adalah segala sesuatu di mana kita dapat menemukan ketentuanketentuan atau aturan-aturan mengenai soal-soal perburuhan.10 Begitu pula menurut Zainal Asikin dkk, sumber hukum perburuhan yang dimaksudkan adalah tempat diketemukannya aturan-aturan mengenai masalah perburuhan.11 Para ahli hukum berbeda pendapat dalam membagi sumber hukum, dan Algra dalam Sudikno Mertokusomo membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materil dan formal. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, dan sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari 6 hlm.37. Zainal Asikin et al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006), Iman Sjahputra Tunggal, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009), hlm. 22. Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2004), hlm. 20-22. 9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm.82. 10 Iman Soepomo, Op.cit, hlm.26. 11 Zainal Asikin et.al, Op.cit, hlm. 37. 7 8 ( 9 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum, berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.12 Sumber hukum materil hukum perburuhan/ketenagakerjaan adalah Pancasila13, sedangkan sumber hukum formal hukum perburuhan/ketenagakerjaan para ahli berbeda pendapat tentang jenis-jenis sumber hukum formal perburuhan, namun mereka tetap mencantumkan traktat sebagai sumber hukum perburuhan. Traktat adalah perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih. Traktat yang diadakan antara dua negara disebut traktat bilateral dan traktat yang diadakan antara lebih dari dua negara disebut traktat multilateral. Traktat (treaty) memiliki istilah lain, seperti : konvensi (convention), protocol, perjanjian (agreement), persetujuan (arrangement), procesverbal, statuta (statute), deklarasi (declaration), modus vivendi, pertukaran nota (exchange of notes atau exchange of letter), final act, dan general act. Perbedaan istilah menunjukkan suatu perbedaan dalam prosedur atau formalitasnya.14 Lebih lanjut J.G. Starke mengatakan bahwa Konvensi merupakan istilah yang biasanya dipakai bagi instrumen resmi yang berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrumen-instrumen yang dibuat oleh organorgan lembaga-lembaga internasional, misalnya oleh Konferensi Buruh Internasional (ILC) dan Majelis Oganisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).15 Traktat16 dalam istilah konvensi (convention) bidang ketenagakerjaan yang banyak dijumpai adalah Konvensi-konvensi ILO yang ditetapkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut berupa konvensi (convention) dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar minimum. Konvensi ILO agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negaranegara anggota ILO dan merupakan sumber hukum perburuhan.17 Begitu pula Iman Sjahputra Tunggal, Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi agar mengikat negara anggota.18 Dengan demikian Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi merupakan sumber hukum perburuhan, karena kita dapat menemukan hukumnya dari Konvensi-konvensi ILO tersebut. Sesuai pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 63. Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 26. 14 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.586. 15 Ibid. 16 Suatu traktat mengikat negara-negara nasional peserta traktat berdasarkan pada dua asas, yaitu : (a) Asas pacta sunt servanda, berarti bahwa setiap perjanjian mengikat atau setiap perjanjian harus ditaati oleh mereka yang membuatnya, (b) Asas primat hukum internasional, berarti bahwa hukum internasional lebih tinggi derajatnya dari hukum nasional, yaitu hukum publik internasional. 17 Zainal Asikin et.al, Op.cit, hlm. 37. 18 Iman Sjahputra Tunggal, Op.cit, hlm. 24. 12 13 ( 10 ) Konvensi ILO dapat digunakan sebagai dasar putusannya.19 2. Kekuatan Mengikat Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Di atas telah dikatakan bahwa Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi agar mengikat negara anggota. Sehubungan dengan Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, maka Indonesia merupakan negara Asia pertama dan kelima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO. Indonesia meratifikasi Konvensi ILO dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian meliputi Konvensi ILO yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan selanjutnya dinyatakan berlaku di Indonesia dan Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sendiri, jumlahnya sampai tahun 2008 Indonesia telah meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO. Adapun Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia beserta peraturan perundangundangan nasional yang meratifikasinya adalah sebagai berikut : 1. Konvensi ILO Nomor 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (diratifikasi dengan Undang-udang No. 21 Tahun 2003). 2. Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998). 3. Konvensi ILO Nomor 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (diratifikasi dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1956). 4. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (diratifikasi dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1999). 5. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (diratifikasi dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1999). 6. Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Untuk dibolehkan Bekerja (diratifikasi dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999). 7. Konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (diratifikasi dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2000). 8. Konvensi ILO No.100 tentang Kesamaan Pengupahan (diratifikasi dengan Undangundang No. 80/1957). 9. Konvensi ILO No.144 tentang Konsultasi Tripartit Untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1990). 10.Konvensi ILO Nomor 106 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantorkantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1961). 11.Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa atau Wajib Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 261, 1933). 12.Konvensi ILO No.19 tentang Perlakuan Yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 53, 1929). 19 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 82. ( 11 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 13.Konvensi ILO No. 27 tentang Pemberian Tanda Berat pada Pengepakan Barang-barang Besar yang Diangkut dengan Kapal (diratifikasi dengan Stbl.117, 1933). 14.Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja Wanita pada Segala Macam Tambang (diratifikasi dengan Stbl. 219, 1937). 15.Konvensi ILO Nomor 120 tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1969). 16.Konvensi ILO Nomor 68 tentang Sertifikasi Bagi Juru Masak di Kapal (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1992). 17.Konvensi ILO Nomor 88 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 2002). 18.Konvensi ILO Nomor 185 tentang Perubahan Dokumen Identitas Pelaut (diratifikasi dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2008). Dengan Indonesia meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO, maka akibat hukumnya negara Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ILO tersebut. Khusus Konvensi Dasar ILO, negara-negara anggota ILO (termasuk Indonesia) memiliki kewajiban untuk menghargai, memajukan dan menjalankan prinsipprinsip yang terkandung dalam Konvensi-konvensi ILO yang inti (Konvensi Dasar ILO) tanpa memandang apakah mereka telah meratifikasinya atau belum. Hal ini berdasarkan Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang telah diterima dan disetujui oleh Konferensi Perburuhan Internasional (Internatonal Labour Conference) dalam sidangnya ke-86 bulan Juni 1998. Adapun Konvensi-konvensi ILO inti atau Konvensi Dasar ILO (Core Convention) yang merupakan standar inti perburuhan/ketenagakerjaan adalah:20 Konvensi ILO 29 (Pekerja Paksa dan Perbudakan), Konvensi ILO 87 (Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi), Konvensi ILO 98 (Hak Berorganisasi dan Mengadakan Perundingan Bersama), Konvensi ILO 100 (Persamaan Upah bagi Buruh Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama), Konvensi ILO 111 (Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan), Konvensi ILO 138 (Batas Usia Minimum), Konvensi ILO 105 (Penghapusan Kerja Paksa), Konvensi ILO 182 konvensi tersebut terkandung prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, yang akan menjadi dasar untuk mewujudkan perlindungan bagi buruh. ILO sebagai organ/badan khusus dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi masalah perburuhan/ketenagakerjaan melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari Konstitusi ILO dan Pasal 23 ayat (4) Piagam Hak Asasi PBB dalam bentuk Konvensi-konvensi ILO yang dikenal dengan Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja (1998) yang di dalamnya mencakup : Prinsip kebebasan berserikat dan perlindungan hak melakukan perundingan bersama, Prinsip penghapusan segala bentuk kerja paksa atau wajib kerja, Prinsip penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja, Prinsip larangan “Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-prinsip: Instrumen Baru Untuk Memasyarakatkan Hak-hak Mendasar”, Lampiran III Ikhtisar Standar-standar Dasar Perburuhan, Pedoman Pendidikan Pekerja, Organisasi Perburuhan Internasional, Kantor di Jakarta, 2001. http://www.ilo.org/jakarta. 20 ( 12 ) Konvensi ILO untuk mempekerjakan pekerja anak.21 Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia secara hukum mengikat negara Indonesia, namun belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia). Ratifikasi menurut Sudarsono adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen khususnya pengesahan undang-undang, pejanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.22 Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Iman soepomo bahwa pengesahan (ratifikasi) oleh negaranegara anggota ILO hanyalah bahwa negara itu wajib melaporkan kepada Kantor ILO tentang apa yang diusahakan mengenai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam konvensi itu. Jadi, ratifikasi belum berarti ketentuan-ketentuan dalam konvensi mengikat rakyat negara itu atau mengikat negara itu terhadap rakyatnya. Untuk mengikat, isi konvensi tersebut harus ditetapkan lagi dalam undang-undang nasional.23 Begitu pula menurut Abdul Khakim bahwa Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negaranegara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi, makna ratifikasi di sini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi.24 Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuan-ketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuanketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undangundang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus menyesuaikan atau mengharmonisasikan ketentuan-ketentuannya dengan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO, dan peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia). Kekuatan mengikat Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia dalam hukum internasional terkait dengan doktrin inkorporasi dan doktrin Pada bulan Juni 1998 Konferensi Perburuhan Internasional (Internasional Labour Conference) menyetujui Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang meliputi : (1) kebebasan untuk berserikat dan pengakuan atas hak untuk melakukan perundingan bersama; (2) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; (3) larangan untuk mempekerjakan pekerja anak; (4) penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja. Lihat http://www.ilo.org/jakarta. 22 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.393. 23 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 211. 24 Abdul Khakim, Op.cit, hlm.147. 21 ( 13 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 transformasi. Doktrin inkorporasi menurut Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam Anom Wahyu Asmorojati, menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung mengikat menjadi bagian hukum nasional. Dalam hal suatu negara menandatangani dan meratifikasi suatu traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warganya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu, contohnya Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia.25 Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya transformasi yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan, dengan kata lain traktat tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya transformasi ke dalam hukum nasional.26 Mencermati kedua doktrin hukum internasional tersebut maka dapat dikatakan bahwa berlakunya Konvensi ILO dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia sesuai dengan doktrin transformasi, sebab ketentuan-ketentuan Konvensi ILO tidak dapat secara langsung mengikat terhadap buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu (peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan). Peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan dimaksud di antaranya adalah: Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berisi kebijakan umum di bidang ketenagakerjaan. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan hak asasi manusia di bidang ketenagakerjaan antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan Konvensi Dasar ILO yang menyangkut : Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan 98); Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100 dan 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan 105), dan; Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan 182). Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang Ketenagakerjaan ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada kedelapan prinsip dasar tersebut. Oleh karena itu, undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung prinsip-prinsip dasar ILO yang telah diratifikasi.27 Menurut Adrian Sutedi Konvensi Dasar ILO (Konvensi No.100 dan 111, Konvensi No.138 dan 182, dan Konvensi No.29 dan 105) diakomodasi sepenuhnya ke dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu dalam rangka mengatur pemberian perlindungan kepada setiap pekerja/buruh dan organisasi pengusaha dalam rangka: kesempatan dan perlakuan yang sama, penempatan tenaga kerja, pengupahan, dan hubungan industrial.28 Anom Wahyu Asmorojati, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 No.5, November 2010. hlm.3. 26 Ibid. 27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, TLNRI Nomor 4279 Tahun 2003. 28 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 257. 25 ( 14 ) Konvensi ILO Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Undang-undang ini secara eksplisit memuat tentang Konvensi ILO, yang dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya, yaitu bahwa hak berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Menurut Adrian Sutedi kedua Konvensi Dasar ILO (Konvensi No. 87 dan No. 98) diakomodasi sepenuhnya ke dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur pemberian perlindungan kepada serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka: pembentukan serikat pekerja/buruh, keanggotaan serikat pekerja/buruh, pemberitahuan dan pencatatan serikat pekerja/buruh, hak dan kewajiban, hak berorganisasi, keuangan dan harta kekayaan, penyelesaian perselisihan, pengawasan dan penyidikan, serta pengaturan sanksi.29 Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Pada Peraturan Pemerintah ini, Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai Pengupahan Yang Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya menjadi dasar Konsideran bagian mengingat, dan menurut Iman Soepomo, isi dari Konvensi Nomor 100 tesebut dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang dirumuskan dalam Pasal 3, yaitu bahwa pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.30 Keempat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kedua Undang-undang ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara eksplisit mengakomodir Konvensi Dasar ILO (Core Convention). Jadi di sini yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) adalah Undang-undang Nasional di bidang perburuhan/ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah) yang ketentuan-ketentuannya telah menampung ketentuan-ketentuan Konvensi Dasar ILO (Core Convention). III. PENUTUP Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia merupakan sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Meskipun kedudukannya sebagai sumber hukum, hanya Ibid, hlm. 254. Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 212. 29 30 ( 15 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 mengikat negara Indonesia saja, belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) secara langsung. Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuanketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) yang isinya telah mengandung ketentuanketentuan Konvensi ILO. DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur Asikin, Zainal, et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006. Fauzan, Achmad, Konvensi ILO Yang Berlaku di dan Mengikat Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2005. Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (edisi revisi), Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2007. Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2005. Manulang, Senjun H., Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 2003. Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Supriyanto, Hari, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004. Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Tunggal, Iman Sjahputra, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009. ( 16 ) Konvensi ILO Makalah/Jurnal Asmorojati, Anom Wahyu, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 Nomor 5, November 2010. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Websites ILO Constitution dan Philadelphia Declaration, www.ilo.org/ilolex/english/iloconst.htm. Internatinal Labour Organization Declaration, www.ilo.org/declaration. ( 17 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 ( 18 ) Public Emergency “PUBLIC EMERGENCY” SEBAGAI ALASAN MENGEYAMPINGKAN KEWAJIBAN NEGARA DI BAWAH ICCPR: REAKSI TERHADAP TERORISME Widati Wulandari* Universitas Padjajaran, Bandung E-mail: [email protected] Abstract: In terms of handling terrorism, it is potentially to violate the rights of terrorism suspect. Based on the authority of a state, the state seems to use its authority to limit, reduce, and even ignore the rights of the suspect. Abstrak: Penanganan terorisme berpotensi melanggar hak asasi manusia tersangka terorisme. Atas dasar tersebut, negara-negara dalam praktek menggunakan kewenangan yang ada padanya, membatasi, mengurangi dan mengenyampingkan hak-hak tersangka terorisme. I. PENDAHULUAN Fokus tulisan ini adalah kebijakan penanganan terorisme di Indonesia dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk diadili dihadapan pengadilan yang adil, dari mereka yang diduga terlibat kegiatan terorisme. Permasalahannya ialah reaksi negara atas potensi ancaman terorisme yang muncul dalam kebijakan penanggulanan dan sistem peradilan pidana terhadap tersangka pelaku terorisme akan selalu bersifat khusus, berbeda dibandingkan dengan reaksi negara terhadap kejahatan pada umumnya. Hal yang kerap dijustifikasi dengan merujuk pada kenyataan bahwa kegiatan terorisme kerap bersifat lintas negara dan juga dinyatakan sebagai ancaman global terhadap keamanan-perdamaian internasional.1 Itu pula yang kerap dijadikan alasan bagi negara untuk, dengan menggunakan kewenangan yang ada padanya, membatasi, mengurangi dan mengenyampingkan hak-hak tersangka terorisme. Pada lain pihak, perlakuan khusus demikian juga mungkin disalahgunakan dan memunculkan ketidakadilan. Satu contoh terburuk, sekalipun tidak dapat diterapkan terhadap Indonesia, adalah penangkapan dan penahanan di Guantanamo Bay tanpa batas waktu dan tanpa kepastian untuk dihadapkan ke pengadilan yang bersih, jujur, dan adil (fair trial) yang Penulis adalah pengajar Hukum Pidana, Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Hukum Pidana Internasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Studi pustaka untuk penulisan paper ini dilakukan di Norwegian Centre for Human Rights, The Faculty of Law, Universitetet i Oslo, Norwegia pada Agustus-September 2010 dengan dukungan finansial dan kerjasama NCHR. * 1 hlm. 3-6. Whittaker,D, Terrorism : Understanding the Global Threat, revised edition, (Harlow: Pearson, 2007), ( 19 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 dialami para tersangka pelaku terorisme oleh pemerintah Amerika Serikat.2 Satu bentuk penyalahgunaan kewenangan negara lainnya ialah pengkualifikasian aksi-aksi separatisme serta merta sebagai terorisme,3 dan karena itu memberikan alasan bagi Negara untuk mengenyampingkan hak-hak tersangka. Pertanyaannya di sini ialah apakah ada alasan legitim bagi negara untuk mengenyampingkan hak asasi para tersangka terorisme, khususnya untuk diperiksa dan didengar keterangannya dihadapan pengadilan (yang adil dan jujur)? Dari sudut pandang hak asasi, apakah pernyataan negara dalam keadaan bahaya (public emergency) yang digunakan Negara dalam menghadapi aksi-aksi terror dapat dijadikan landasan untuk mengenyampingkan hak asasi tersangka? Di samping itu, data empirik yang ada juga menunjukkan bahwa penyelidikan, penyidikan termasuk penyergapan tindak pidana terorisme memuat risiko tinggi bagi aparat hukum. Baku tembak dan sikap ‘lebih baik mati daripada tertangkap’ (dan dipaksa membongkar jaringan kegiatan serta nama-nama tersangka lainnya) seringkali tidak memberikan pilihan bagi aparat hukum terkecuali “menembak mati” para tersangka pelaku terorisme.4 Ketiadaan pilihan yang kerap juga dialami tentara di lapangan yang dikirim untuk memadamkan aksi-aksi gerakan separatis, termasuk aksi terror yang kerap lekat muncul bersamaan dengannya. Apapun alasannya, menangguhkan hak tersangka untuk diadili atau memusnahkannya sama sekali dengan “menembak mati” seberapapun itu dapat dibenarkan, menghilangkan hak asasi tersangka untuk diadili (right to fair trial).5 Sekaligus hilang pula kesempatan bagi pengadilan untuk membuat perkara menjadi terang dengan mengungkap kebenaran materiil. Bersamaan dengan itu kepentingan publik untuk mengetahui kebenaran materiil tentang alasan mengapa tersangka terdorong melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya terkesampingkan. Karenanya, hilang pula kesempatan bagi negara untuk menegaskan kepada masyarakat umum, bahwa perbuatan tertentu (in casu aksi-aksi terorisme) tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Namun demikian, tentu tidak dalam semua peristiwa pilihannya seburuk itu. Kerap kali pula tersangka pelaku terorisme berhasil ditangkap, baik sebelum mewujudkan niat jahatnya maupun pasca melakukan aksi teror. Mereka yang beruntung akan – dalam jangka Paralel dengan itu, sekalipun dalam konteks berbeda, adalah kebijakan penahanan tanpa didahului proses pengadilan yang memutuskan salah atau tidaknya terdakwa yang dialami mereka yang dikategorikan terlibat dalam kegiatan pemberontakan G-30-S di pulau Buru (1967-70 sampai dengan akhir 1990’an). 3 Sebagaimana dilakukan RRC dalam rangka menanggulangi tuntutan dan aksi separatisme yang diprakarsai kelompok-kelompok etnis di wilayahnya. Hal serupa juga terjadi pada Rusia yang mengkualifikasikan aksi separatisme di Chechna sebagai aksi teroris. 4 Selama 2010, Kapolri mengumumkan bahwa sebanyak 583 tersangka teroris ditangkap, dan 55 meninggal dunia. Dari 583 tersangka, 388 teroris telah divonis, 56 dalam proses sidang, dan 28 dalam penyidikan. (Jakarta.Kompas.com). Dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi juga menjadi perhatian Asian Human Right Commission yang berbasis di HongKong. Dalam pernyataannya tertanggal 4 Maret 2010 (AHRC-STM-0472010-ID), AHRC meminta perhatian pemerintah akan terjadinya kekerasan terhadap warga sipil dalam suatu operasi anti teroris yang dilakukan di Aceh. Secara khusus disebut bahwa pada 23 Februari lalu, seorang warga sipil terbunuh dan lainnya terluka parah saat polisi menangkap empat orang yang diduga sebagai teroris. 5 Untuk pembahasan umum tentang the right to fair trial sebagai hak asasi, lihat Smith,R, Textbook on International Human Rights, 4th ed, (Oxford: Oxford University Press, 2010). Hlm. 256-274. 2 ( 20 ) Public Emergency waktu yang wajar – dihadapkan pada pengadilan yang diharapkan juga bersih, jujur dan adil. Persoalan yang ada tidak berhenti pada adanya putusan pengadilan yang dirasakan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Relevan untuk dipertanyakan juga di sini ialah apakah lembaga pemasyarakatan akan berhasil membina mereka dengan tujuan suatu saat mengembalikan mereka ke dalam masyarakat. Bagaimana, misalnya, mencegah residivisme atau lebih buruk lagi penyalahgunaan lembaga pemasyarakatan justru sebagai pusat komando atau kendali kegiatan terorisme berikutnya?6 Persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas sekaligus mengisyaratkan keterkaitan dan kompleksitas permasalahan hukum yang muncul dari kegiatan penanggulangan ancaman tindak pidana terorisme. Itu pula sebabnya sekalipun sudah banyak kajian dan tulisan tentang terorisme, hanya sedikit yang berupaya melihat perkaitan dan relevansi satu penelaahan yang cenderung uni-dimensional dengan pendekatan-pendekatan lainnya, misalnya dari perspektif hak asasi atau dari kacamata politik nasional-internasional ataupun dari sudut pandang hukum pidana materiil dan prosesuil. Untuk melengkapi tulisan-tulisan yang ada, dan dalam rangka memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif, di dalam tulisan ini akan digunakan kombinasi perspektif hak asasi manusia, hukum pidana dan kriminologi. Titik tolak pembahasan ialah pertanyaan kapan dan bilamana negara memiliki kewenangan untuk mengenyampingkan sejumlah hak asasi dari tersangka pelaku terorisme. Untuk menjawab pertanyaan ini akan di kaji apakah ancaman nyata aksi terorisme berkaitan dengan kemungkinan pengenyampingan kewajiban negara untuk melindungi dan menghormati hak asasi sebagaimana tercantum dalam ICCPR.7 Satu dan lain karena di dalam ketentuan Pasal 4 ICCPR diatur bahwa hanya dalam situasi “public emergency” Negara diperkenankan mengenyampingkan hak asasi manusia. Itupun hanya terbatas pada hak asasi yang dikualifikasikan sebagai derogable rights.8 Dalam perkaitan itu pula, berangkat dari kajian etiologi kriminal, akan ditelaah selintas persoalan faktor-faktor penyebab munculnya terorisme serta bagaimana hal itu mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyikapi terorisme. Pendekatan inipun meniscayakan penelaahan kebijakan apa saja yang ada dan dikembangkan pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan ancaman tindak pidana terorisme dan seberapa jauh kebijakan demikian menjustifikasi pengenyampingan hak asasi tersangka, terutama untuk diadili dihadapan pengadilan yang bersih, jujur dan adil. Seperti misalnya yang dikatakan dilakukan oleh tersangka tindak pidana terorisme Imam Samudra (bom bali I) dalam mempersiapkan aksi terorisme (bom bali II) dari balik penjara krobokan, Bali. Sekalipun demikian, kemungkinan penjara justru menjadi pusat kendali kegiatan kriminal tidak hanya terbatas pada perencanaan aksi-aksi terorisme. Sindikat perdagangan narkoba nasional dan internasional juga ditenggarai mungkin dan sudah dilakukan oleh para narapidana dari balik jeruji. Baca “Dua Pembuat Situs Teroris Ditangkap “ Bali Post Online, 24 Agustus 2006, dan “Sipir Beni Bakal Jadi Tersangka”, Tempointeraktif, 28 Agustus 2006. 7 International Covenant on Civil and Political Rights 1966 diratifikasi oleh Pemerintah RI tahun 2005. 8 Dalam literatur Hak Asasi Manusia dikenal pengelompokan non-derogable rights dan derogable rights. Non-derogable rights mencakup hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diadili dengan pengadilan yang tidak berlaku surut, hak untuk tidak diperbudak dan kebebasan beragama. Hak-hak tersebut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi atau ditunda pelaksanannya atau dikesampingkan dalam situasi apapun. Sedangkan derogable rights adalah hak-hak asasi lainnya di luar kategori non-derogable rights. Hakhak ini dapat dikesampingkan atau ditunda pelaksanaannya oleh Negara (hanya) dalam keadaan tertentu. 6 ( 21 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 II. PEMBAHASAN 1. Apa Itu Terorisme? Dalam berbagai aksi-aksi kekerasan yang dikategorikan sebagai tindak terorisme, baik yang terjadi di dalam negeri ataupun manca negara, tampak bahwa yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan-kejahatan biasa. Para pelaku (apapun motivasinya) pada dasarnya bersalah melakukan tindak pidana yang umum dikenal seperti pembunuhan atau ancaman pembunuhan, kekerasan serta ancaman kekerasan, penganiayaan, perusakan bahkan perampokan bank ataupun sekadar pencurian. Apa yang sebenarnya membuat tindak pidana biasa demikian dikualifikasikan secara berbeda dan dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dirujuk cara bagaimana kejahatan internasional dirumuskan. Di dalam statuta Mahkamah Pidana Internasional,9 crimes of genocide, war crimes, dan crimes against humanity juga mencakup kejahatan-kejahatan biasa yang dilakukan dalam konteks tertentu. Genocide, misalnya, mencakup pembunuhan atau kekerasan yang dilakukan dengan tujuan tertentu yakni pemusnahan sebagian atau seluruh anggota kelompok tertentu (ras, bangsa, etnis, atau keagamaan). Pada war crimes, maka kejahatan-kejahatan biasa yang sama harus dibuktikan telah dilakukan dalam hal adanya situasi konflik bersenjata (internasional maupun internal) dan merupakan pelanggaran berat hukum humaniter yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Sedangkan untuk dikualifikasikan sebagai crimes against humanity, sejumlah elemen lain harus dibuktikan. Pertama ialah bahwa pelakunya adalah Negara atau organisasi serupa Negara; kedua, bahwa perbuatan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil; dan ketiga, perbuatan-perbuatan itu merupakan bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis. Dengan kata lain, sifat jahat perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana internasional bersifat khusus pula dan tidak dapat dipersamakan dengan sifat jahat pelaku tindak pidana biasa.10 Dikatakan pula bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dianggap the most serious crimes of concern to the international community as a whole.11 Itu pula alasannya tindak pidana tersebut diatur secara khusus sebagai kejahatan internasional di dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Demikian pula halnya dengan terorisme. Kejahatan terorisme pada dasarnya merujuk pada tindak pidana biasa yang dilakukan dalam konteks tertentu dan memunculkan keyakinan bahwa reaksi negara juga harus bersifat khusus. Ini terindikasikan dari instrumen-instrumen internasional yang mengkriminalisasi ragam wujud terorisme sejak 1970’an12, seperti International Criminal Court (ICC) dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Schabas, W, Introduction to the International Criminal Court, 2nd ed, (Cambridge : Cambridge, University Press, 2004), hlm. 36-66. 11 Triffterer, O, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, 2nd ed, (Beck oHG : Verlag C.H.,2008), hlm. 16. 12 Tokyo Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (1963), Hague Convention for The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (1970), Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (1971), Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation (1988), Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973), International Convention Against the Taking of Hostages (1979), Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (1980), Convention for the 9 10 ( 22 ) Public Emergency misalnya pembajakan pesawat udara, penculikan-penyanderaan orang-orang tertentu dan sebagainya. Tindakan-tindakan tersebut dinyatakan dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan (politik) tertentu. Adanya latar belakang motivasi tertentu demikian pula yang mendefinisikan tindakan atau aksi terorisme dan sekaligus membedakannya dari tindak pidana biasa. Secara umum terorisme didefinisikan sebagai “penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap penduduk sipil, untuk mencapai tujuan politik tertentu” atau “tindakan-tindakan mengancam atau mengintimidasi penduduk sipil, yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah”, atau “tindakan menciptakan dan mengeksploitasi ketakutan penduduk sipil melalui kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan perubahan politik.”13 Kiranya jelas bahwa adanya motivasi politik merupakan unsur terpenting yang menjadi konteks atau latarbelakang dilakukannya aksi-aksi teroris. Motivasi ini pada analisis terakhir ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah ataupun hanya sekadar memaksa pemerintah mengubah atau menempuh arah kebijakan politik. Pemahaman demikian sejalan dengan bunyi ketentuan Article 2 Draft Text of The Convention on International Terrorism yang dipersiapkan oleh Counter Terrorism Committee.14 Di dalam rancangan ketentuan tersebut terorisme didefinisikan sebagai tindak pidana yang dilakukan seseorang (any person commits an offence), dengan cara apapun, secara melawan hukum (unlawfully) dan dengan sengaja (intentionally) dan menyebabkan, ‘inter alia’ death or serious bodily injury to any person … when the purpose of the conduct, by its nature or context, is to intimidate a population, or compel a Government or an international organization to do or abstain from doing any act.’ Pendekatan serupa juga kita temukan dalam U.S. Code. Terorisme di dalam U.S. Code tersebut didefinisikan sebagai “premeditated, politically motivated violence perpetrated against non-combatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.”15 Implisit disebutkan bahwa korban utama dari aksi-aksi terorisme (yang berlatarbelakang politis) ialah masyarakat sipil (non-combatants) dan ditujukan, biasanya (artinya tidak serta-merta) untuk mempengaruhi sekelompok orang (tidak harus negara/pemerintah). Tidak disinggung di sini kemungkinan aksi-aksi separatisme yang kerap juga menggunakan terror sebagai cara untuk menekan pemerintah. Sedikit berbeda adalah pemahaman pengertian terorisme di Indonesia. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UndangSuppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988), Protocol for the Suppression of Unlawful Act Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988), Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Identification (1991), European Convention on the Suppression of Terrorism (1977), Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, Intern American Convention Against Terrorism (2002), The Arab Convention for the Suppression of Terrorism (1998), Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999). 13 Goodwin, J, A Theory of Categorical Terrorism, Social Forces, Vol. 84, No. 4 (Jun., 2006), hlm. 2027-2046. 14 Counter Terrorism Committee dibentuk melalui UN SC Resolution 1373 (2001) 15 U.S. Code, title 22, sec 265 f (d). ( 23 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Undang No. 15 Tahun 2003, terorisme dirumuskan sebagai tindakan “…dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Ketentuan terorisme dalam undang-undang di atas juga diperluas terhadap tindakan-tindakan perencanaan dan perbuatan persiapan lainnya yang dilakukan dalam konteks terorisme tersebut. Apa yang penting di sini untuk dicermati ialah tidak dimasukkannya tujuan atau motivasi politik maupun kehendak mempengaruhi kebijakan pemerintah sebagai unsur tindak pidana (element of crime). Di dalam ketentuan Pasal 5 Perpu di atas disebutkan bahwa “Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.” Tampak bahwa pembuat undang-undang dengan tegas hendak memisahkan kejahatan bernuansa politik (subversi, pemberontakan atau separatisme) dari tindak pidana terorisme dengan mengeluarkan unsur motivasi politik yang melatarbelakangi aksi-aksi terorisme dari rumusan delik terorisme. Tampak pula bahwa dikeluarkannya motivasi politik dari rumusan delik terorisme dilatarbelakangi kepentingan pragmatis, yakni agar para pelaku (tersangka, terdakwa atau terpidana) terorisme tetap dapat dimintakan atau diekstradisi ke negara lain dan tidak terhalang larangan umum dalam (hukum) ekstradisi, yakni untuk tidak menyerahkan pelarian tersangka pelaku tindak pidana politik.16 Konsekuensi hukum lainnya ialah bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan adanya unsur niat untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau ideologis tertentu. Hal ini tidak perlu diungkap di dalam persidangan. Sekalipun dari sudut pandang tujuannya pemilahan antara terorisme dengan kejahatan politik dapat dipahami, cara tersebut menurut penulis tidaklah tepat. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia biasanya memiliki tujuan atau latarbelakang politis tertentu atau setidak-tidaknya dilakukan sebagai wujud perlawanan (protes) terhadap kebijakan pemerintah atau untuk memaksa pemerintah untuk melakukan sesuatu. Bahkan juga Djelantik dalam konteks ini secara implisit membedakan terorisme berdasarkan ada-tidaknya motivasi politik. Ia menyatakan bahwa terorisme politik adalah suatu gejala yang merupakan perpanjangan dari politik oposisi yang merupakan suatu produk dari proses deligitimasi yang panjang terhadap tatanan masyarakat atau rezim yang ada.17 Lihat Article 3 Model Treaty on Extradition (Adopted by General Assembly resolution 45/116, subsequently amended by General Assembly resolution 52/88). Lihat pula Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 17 Djelantik, S, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm.4-6. Lihat pula Djelantik, S, Terrorism in Indonesia: The Emergence of West Javanese Terrorist, East-West Centre Working Paper No 22, 2006, tersedia di http://www.eastwestcenter.org/fileadmin/stored/pdfs/IGSCwp022.pdf 16 ( 24 ) Public Emergency Padahal tidak tercantumnya latarbelakang politik sebagai unsur akan menyulitkan kita untuk membedakan kejahatan biasa dengan kejahatan terorisme. Artinya adanya kesengajaan untuk mencapai motivasi politik tertentu harus dianggap unsur yang tidak terpisahkan dalam rumusan delik terorisme. Lebih lanjut motivasi politik dalam terorisme juga harus kita bedakan dari latarbelakang motivasi politik dalam kejahatan-kejahatan politik. Pendekatan demikian sejalan pula dengan pendefinisian terorisme dalam (instrumen-instrumen) hukum internasional. Duffy menyatakan bahwa18: “It is widely recognized that terrorism tends to involve two or more subjective layers. The acts are rarely an end in themselves but a vehicle to achieving particular gains, which are ideological rather than private. Beyond the normal requirement of intent in respect of the conduct (…), the person responsible will usually intend his or her acts to produce broader effects, namely spreading a state of terror and/or compelling a government or organization to take certain steps towards an ultimate goal”. Ia selanjutnya menyatakan: “In criminal law terms, the existence of this double subjective layer (….) appears to indicate that if there is a crime of terrorism, like certain other international offences, it is a dolus specialis crime, i.e. a crime that requires, in addition to the criminal intent corresponding to the underlying criminal act the existence of an ultimate goal or design at which the conduct is aimed”. Dengan kata lain, dalam pandangan Duffy untuk dapat dikatakan adanya tindak pidana terorisme, pengadilan harus membuktikan adanya tindakan dan tujuan atau motif dibaliknya yang mendorong pelaku melakukan tindakan demikian. Dalam konteks ini pula sebenarnya pengadilan tetap bebas menentukan apakah tindak pidana yang dilakukan masuk ke dalam ranah kejahatan politik atau lebih tepat dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme (dengan motivasi politik tertentu). Pengadilan lah yang pada analisis terakhir harus menilai apakah suatu tindakan tertentu akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana biasa atau aksi terorisme. Pengadilan pula yang kemudian diharapkan mampu mengembangkan kriteria pembeda melalui putusan-putusannya. Berkenaan dengan itu satu benang merah tetap dapat ditarik. Bahwa ada sejumlah elemen yang membedakan tindak pidana terorisme dari tindak pidana konvensional. Elemen pembeda terpenting ialah (1) adanya akibat atau kehendak menimbulkan ketakutan di masyarakat (tanpa pandang bulu); (2) melalui kekerasan atau ancaman kekerasan (diwujudkan dalam ragam wujud tindak pidana); serta (3) dilakukan untuk mencapai tujuan politik tertentu (mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berkuasa). Kesimpulan demikian juga muncul bila kita menelaah sejarah perkembangan aksi-aksi terorisme. Dari sudut pandang ini dapat di bedakan beberapa gelombang serta jenis atau motif gerakan terorisme di dunia. Menurut Rapoport, terdapat empat gelombang teror dengan motif yang berbeda, yakni anarchism, national liberation, social revolution, dan religious transcendence.19 Dari sudut pandang ini, jelas bahwa aksi teroris ditujukan pada pemerintah Helen Duffy, The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm.32-33. 19 Rapoport, D, dalam Weinberg, L & Eubank,W, An End to the FourthWave of Terrorism?, Studies in Conflict & Terrorism, Vol 33, Issue 7, 2010, hlm. 594–602. 18 ( 25 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 yang berkuasa, dengan atau tanpa maksud menggulingkan atau menggantikannya. Motivasi politik, dengan demikian, sekalipun ditegaskan di dalam perundang-undangan nasional Indonesia bukan unsur tindak pidana terorisme, tidak dapat dilepaskan dari aksi-aksi teroris. Pilihan caranya mungkin sangat keji, tidak manusiawi dan jelas melawan hukum Negara yang berlaku, namun kerap dengan tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini ialah terror sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik atau ideologis yang dari sudut pandang lain diyakini kebenarannya oleh para pelaku. Persoalan lain yang belum terjawab ialah bagaimana membedakan motivasi politik yang melatarbelakangi terorisme dengan motivasi politik dalam kejahatan-kejahatan politik? Kerapkali Negara menyamakan begitu saja kejahatan politik dengan terorisme. Dan dengan cara itu juga melegitimasi tindakan keras, termasuk pelanggaran-pelanggaran hak asasi, yang dilakukan Negara terhadap para pemberontak. Satu ilustrasi ialah perang kemerdekaan Indonesia (perang revolusi 1945-1949) yang oleh Pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai aksi polisionil. Para pejuang kemerdekaan-pun pada masanya dipersalahkan melakukan aksi teror (untuk mencapai tujuan politik tertentu). Ini dapat kita bandingkan juga dengan perang kemerdekaan yang dicanangkan pemerintah Aceh dalam pengasingan (Gerakan Aceh Merdeka) yang dimaknai pemerintah Indonesia sebagai gerakan pengacau keamanan. Gerakan perlawanan inipun dapat dipersalahkan menggunakan terror terhadap penduduk sipil baik untuk menegaskan perlawanan mereka terhadap pemerintah maupun sekadar untuk meneror penduduk agar tidak membantu TNI. 20 Itu pula yang menyebabkan mudahnya suatu Negara, misalnya Rusia ketika berhadapan dengan perjuangan kelompok separatisme di Chechna atau RRC tatkala berhadapan dengan perjuangan masyarakat minoritas (Uyghur) untuk menentukan nasib sendiri, memperluas definisi terorisme sedemikian sehingga mencakup kelompok-kelompok yang memperjuangkan pemisahan diri dari Negara induk (dengan aksi senjata dan teror). Dalam hal ini berlaku adagium one person’s terrorist is another person’s freedom fighter dan sekaligus menunjukkan kompleksitas gejala terorisme, dan sulitnya mencari solusi hukum paling tepat guna bagi semua aksi terorisme yang mungkin terjadi. Contoh-contoh di atas kiranya jelas menunjukkan ketidakadilan yang muncul bilamana kejahatan politik dipersamakan begitu saja dengan kejahatan terorisme serta potensi pelanggaran hak asasi manusia yang muncul dari kekaburan pendefinisian tindak pidana terorisme. Ditegaskan bahwa:21 “the right to respect for fundamental principles of criminal law, including the non-bis-in-idem principle, the nullum crimen sine lega and nulla poena sine lege principles, the presumption of innocence, and the right not to be convicted of an offence except on the basis of individual penal responsibility (…) demand that any laws that purport to purport to proscribe conduct relating to terrorism be classified and described Diselesaikan dengan kompromi politik (Helsinki accord) dan pemberian otonomi khusus pada Nanggroe Aceh Darussalam. 21 Hal mana ditegaskan oleh “the Inter-American Commission on Human Rights” yang menelaah ragam rumusan delik terorisme yang kabur dan tidak jelas. Untuk ini baca lebih lanjut Steiner, H, Alston, P & Goodman, R, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, Text and Materials, Third Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2007). Hlm 378-379. 20 ( 26 ) Public Emergency in precice and unambiguous language that narrowly defines the punishable offence, and accordingly require a clear definition of the criminalized conduct establishing its elements and the factors that distinguish it from behaviours that are not punishable or involve distinct forms of punishment”. Pentingnya perumusan delik (termasuk ke dalamnya elemen pembeda) dari perbuatan terorisme karena itu terkait, tidak semata-mata dengan tanggungjawab pidana serta ancaman hukuman, namun lebih dari itu juga dengan status dan hak-hak tersangka/ terdakwa pelaku terorisme. Berbeda dengan para tersangka pelaku kejahatan politik, mereka seharusnya tidak dianggap berhak menuntut status sebagai pengungsi atau meminta suaka politik di Negara lain. Hal mana harus tercermin dalam rumusan delik. Lebih jauh lagi, berangkat dari pandangan di atas, seharusnya jelas bahwa ketika kita berbicara tentang terorisme dan kejahatan politik, kita berbicara tentang dua hal yang berbeda. Hal itu tidak begitu saja tuntas dengan mengeluarkan elemen motivasi politik dari perumusan tindak pidana terorisme. Di sini layak pula dipertimbangkan bahwa motivasi politik yang melatarbelakangi keduanya berbeda wujudnya. Di samping itu harus pula dicermati bahwa sifat jahat dari aksi-aksi yang dilakukan dalam tindak pidana politik harus dinilai berbeda dengan sifat jahat dari aksi-aksi teroris. Ini penting pula dalam rangka membedakan kesengajaan yang dilakukan teroris dengan kesengajaan dalam kejahatan-kejahatan politik. Seperti ditegaskan di atas, pelaku atau tersangka pelaku kejahatan politik tidak boleh diekstradisi. Alasannya ialah karena ‘pemberontakan mereka terhadap pemerintah yang sah” dianggap bersumber pada hak-hak politik yang dijamin di dalam ICCPR. Bahkan juga tatkala mereka (sebagai bagian dari gerakan separatis) menggunakan kekerasan, hal itu harus dinilai sebagai aksi yang dilakukan dalam rangka mewujudkan hak untuk menentukan nasib sendiri. Lagipula dalam hal munculnya “internal conflict’, aksi-aksi teror yang dilakukan oleh pemberontak maupun pemerintah akan dinilai dari kacamata hukum humaniter. Dalam hal ini kita akan berbicara tentang ada/tidaknya pelanggaran terhadap hukum perang (war crimes) atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). 2. Apa Penyebab Munculnya Kejahatan Terorisme? Sebab itu pula sangat penting untuk mengetahui sebab-sebab munculnya terorisme. Dari perspektif kriminologi dijelaskan bahwa reaksi (Negara) terhadap pelanggaran hukum harus digantungkan pada sebab-sebab terjadinya pelanggaran hukum (etiologi kriminal). Oleh karena itu, hanya dengan memahami akar permasalahan yang memunculkan fenomena teroris, Negara dapat memberikan reaksi yang tepat guna bagi upaya penanganannya. Dalam berbagai literatur dijelaskan berbagai akar masalah dari terorisme. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya terorisme ialah antara lain: rendahnya kesejahteraan sosial,22 meluasnya kemiskinan,23 pendidikan,24 demografi (struktur Burgoon,B, On Welfare and Terror: Social Welfare Policies and Political-Economic Roots of Terrorism, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 50, No. 2 (Apr., 2006), hlm. 176-203. 23 Gurr, T, R, Economic Factors, dalam Richardson, L, ed, The Roots of Terrorism, (New York: Routledge, 2006), hlm. 85-99. 24 Krueger, A, B, and Maleckova,J, Education, Poverty and Terrorism: Is there a Causal Connection?, Journal of Economic Perspectives, Vol.17, No. 4 (Fall 2003), hlm. 119–144. 22 ( 27 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 dan dinamika populasi sebagai faktor kriminogen), lemahnya rentang kekuasaan negara, kegagalan demokrasi, rendahnya akses terhadap kebijakan politik, serta fundamentalisme.25 Para pakar juga berbeda pendapat tentang seberapa dominan satu faktor dalam kemunculan terorisme. Satu hal yang disepakati ialah bahwa terorisme cenderung muncul tatkala negara dan masyarakat mengalami transisi sosial-politik yang radikal. Perbedaan-perbedaan pendapat diantara para pakar sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan pula bahwa tidak ada satu faktor dapat dianggap dominan. Sebaliknya, dari perspektif kriminologis, dapat kita simpulkan bahwa terorisme yang memiliki akar penyebab yang begitu kompleks harus ditangani Negara secara khusus pula. Khusus di sini dimaknai sebagai berbeda dari upaya pemberantasan kejahatan biasa pada umumnya. Ini menunjukkan pula bahwa kebijakan penal yang keras saja tidak akan memadai untuk menyelesaikan permasalahan terorisme. Hal ini kiranya sejalan pula dengan pandangan yang berlaku dalam masyarakat internasional. 26 Seberapapun pentingnya reaksi-reaksi non-penal yang dapat dikembangkan dalam menghadapi aksi-aksi terorisme, hal itu tidak akan ditelusuri lebih jauh di dalam tulisan ini. 2.1. Reaksi Negara: Terorisme sebagai Ancaman yang Mensyaratkan Penanganan Khusus Seperti sudah disinggung di atas, terorisme berbeda dari tindak pidana biasa. Sebagai kejahatan yang dianggap berbeda (serupa dengan kejahatan internasional), Negara perlu meresponsnya dengan reaksi yang sama khususnya (extra ordinary crimes require extraordinary measures). Reaksi khusus yang muncul berupa kebijakan pemerintah (baik pemerintah RI maupun Negara-negara lain) umumnya ialah pernyataan perang terhadap terorisme (war against terrorism) yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan keras (tough policy) terhadap terorisme maupun tersangka pelaku terorisme dengan sistem peradilan pidana yang dikhususkan pula. Reaksi demikian tampak jelas pasca serangan teroris pada 11 September 2001. Dewan Kemanan PBB (bertindak berdasarkan Chapter VII Piagam PBB) menerbitkan suatu resolusi meminta Negara-negara untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme, termasuk mencegah adanya tempat aman (safe havens) bagi mereka yang mendanai, merencanakan dan membantu aksi terorisme.27 Permintaan demikian ditanggapi oleh berbagai Negara dengan pembuatan berbagai aturan baru yang bersifat khusus. Di Amerika Serikat Presiden Bush menyatakan bahwa Negara berada dalam keadaan perang dengan teroris dan menjanjikan dibuatnya perundang-undangan dalam rangka “fight something far beyond conventional criminality” yang bersifat khusus untuk memerangi kejahatan yang sifatnya jauh Juergensmeyer, M, Religion as a Cause of Terrorism, dalam Richardson, L, op cit. hlm.133-143. Melalui UN Global Counter-Terrorism Strategy Plan of Action dikemukakan bahwa “...member States recognize the need to tackle the conditions conducive to the spread of terrorism which requires addressing issues such as socio-economic marginalisation and lack of good governance. In addition, development assistance can play a role in reducing support for terrorism by preventing the conditions that may give rise to violence in general, and terrorism in particular.” 27 UNSC Res. 1368, 12 Sept. 2001, UN Doc. S/Res/1368 (2001) dan UNSC Res 1373, 28 Sept. 2001, UN Doc/Res/1373 (2001). 25 26 ( 28 ) Public Emergency berbeda dengan kejahatan konvensional.28 Pemerintah Inggris mengeluarkan Anti-terrorism, Crime and Security Act (ATCSA) tahun 2001, sementara Pemerintah Australia mengeluarkan Australia Security Intelligence Organisation Legislation Amendment (Terrorism) Act 2002 (ASIO). Sebagai sandingan, pemerintah Indonesia pasca terjadinya Bom Bali menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya dikukuhkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan diberlakukan secara retroaktif pada peristiwa Peledakan Bom Bali.29 Perpu tersebut memuat ketentuan-ketentuan khusus lainnya seperti jangka waktu penangkapan dan penahanan yang berbeda dari apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.30 Seiring dengan itu, dibentuk pula satu Detasemen Khusus (Densus) 88 yang secara khusus ditugaskan melakukan kegiatan pengintaian, pengumpulan informasi, pengejaran dan penangkapan (penyelidikan dan penyidikan) terhadap aksi-aksi kekerasan yang dicurigai terkait dengan terorisme. 31 Tugas Detasemen demikian berakhir tatkala mereka menyerahkan tersangka (dan berkas) perkara ke tangan kepolisian. Singkat kata, kekhususan penanganan tindak pidana terorisme muncul dalam dibuatnya ketentuan pidana khusus, serta pembentukan Densus 88. Untuk selebihnya tersangka/terdakwa tindak pidana teroris akan diproses mengikuti sistem peradilan pidana yang ada. 2.2. Kewenangan Negara dan Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kebijakan-kebijakan di atas yang dirancang secara khusus untuk menanggulangi ancaman bahaya terorisme tentu saja meningkatkan atau memperluas kewenangan Negara (aparat penegak hukum). Pada saat yang sama, meningkat pula potensi nyata dari Negara untuk mengurangi, membatasi dan mengenyampingkan sejumlah hak asasi manusia. Itu juga berarti bahwa kemungkinan penyalahgunaan kewenangan Negara turut meningkat. Kekuatiran di atas dalam praktik terwujud. Tercatat adanya peningkatan insiden penyalahgunaan kewenangan dalam penanganan tersangka terror di berbagai Negara.32 Bahkan pelanggaran Whittaker, D, J, Op.cit, hlm.193. Legislasi yang dijanjikan muncul dalam wujud Act for Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism (The USA PATRIOT Act). 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 tahun 2002 diberlakukan secara retroaktif terhadap persitiwa peledakan Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 melalui Undang-Undang No 16 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 2 tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. 30 Sebagai perbandingan dalam KUHAP diatur jangka waktu penangkapan adalah maksimal 1 x 24 jam sedangkan dalam UU 15 tahun 2003 penyidik diberi kewenangan untuk melakukannya 7 x 24 Jam. Demikian pula halnya dengan penahanan, KUHAP mengatur jangka waktu penahanan oleh penyidik hanya 20 hari (dengan satu kali perpanjangan. Menurut UU no 15 tahun 2003 penyidik dapat menahan tersangka sampai dengan 6 bulan. 31 Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 32 Foot, R, The United Nations, Counter Terrorism, and Human Rights: Institutional Adaptation and Embedded Ideas, Human Rights Quarterly, No. 29, (2007), hlm. 489-514. 28 ( 29 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 hak asasi juga terjadi berkaitan dengan perwujudan kebijakan war on terror Pemerintah Amerika Serikat pasca 11 September 2001. Kebijakan yang nyata adalah penahanan tanpa batas waktu di kamp militer Guantanmo Bay (Cuba) bagi mereka yang disangka merupakan pelaku terorisme atau terlibat kegiatan Al Qaeda.33 Hal yang sama dilakukan oleh Pemerintah Inggris melalui ATCSA tahun 2001. Dalam undang-undang tersebut diatur penahanan tanpa batas waktu bagi warga Negara asing tersangka pelaku terorisme internasional yang berada di Inggris.34 Sementara, Pemerintah Australia ASIO memungkinkan dilakukannya penangkapan dan penahanan sampai dengan 48 jam yang dapat diperpanjang sampai dengan 168 jam bagi orang yang bahkan tidak merupakan tersangka pelaku (non-suspect) terorisme.35 Kebijakan-kebijakan demikian tentu saja dari kacamata perlindungan hak asasi manusia merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan dan keamanan. 36 Dari berbagai insiden pelanggaran hak asasi, satu hal yang perlu dicermati dan faktual dalam semua kasus di atas termasuk bagi situasi di Indonesia ialah kasus-kasus hilangnya hak tersangka/terdakwa untuk segera dihadapkan pada pengadilan yang bersih dan jujur (the right to fair trial). Ini tidak hanya menyangkut jangka waktu penahanan yang lebih lentur, namun juga berkaitan dengan potensi penghilangan hak hidup. Ini misalnya dapat terjadi ketika dalam pengejaran para tersangka pelaku terorisme, kepolisian memutuskan untuk “menembak mati” mereka. Keputusan yang bisa jadi dilandasi kesengajaan ataupun ketiadaan- pilihan. Dalam hal terjadi kontak senjata, daripada menempuh risiko menangkap tersangka terorisme hidup-hidup dengan mengorbankan nyawa anggota satuan kepolisian atau masyarakat yang disandera, pihak yang berwajib akan memilih menyerang dengan semua kekuatan yang ada dan bila perlu menembak mati tersangka. Potensi pelanggaran hak asasi manusia di atas dapat pula dicermati dengan cara yang berbeda. Di sini pada dasarnya kita akan berbicara tentang perbenturan atau tarik-menarik antar hak (collision between rights). Dalam upaya memberantas ancaman terorisme, Negara seringkali dihadapkan pada pilihan sulit untuk memilih antara melindungi hak asasi masyarakat luas (yang terancam terlanggar akibat aksi-aksi teroris) atau melindungi hak asasi tersangka pelaku terorisme. Mencari jalan tengah atau keseimbangan di antara dua pilihan ini bukan perkara mudah.37 Luban, D, The War on Terrorism and the End of Human Rights, Philosophy and Public Policy Quarterly, Vol. 22 No 3, (Summer 2002), hlm. 9-14. 34 S 23 (1) the ATCSA menyebutkan: “ a suspected international terrorist, upon certification, maybe detained indefinitely if either a ‘point of law’ or a ‘practical consideration’ prevents his removal from the United Kingdom.” 35 Michaelsen, C, Derogating from International Human Rights Obligation in the “War Against Terrorism”? – A British –Australian Perspective, dalam Ranstrop, M & Wilkinson, P, (eds), Terrorism and Human Rights, (New York: Routledge, 2008)., hlm 121-125. 36 Pasal 9 (1) ICCPR mengatur: ‘Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention’. 37 Brems, E, Conflict among Human Rights Norms, dalam Forsythe, D, editor in Chief, Encyclopedia of Human Rights, Volume I, (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm.387-393. 33 ( 30 ) Public Emergency Pada satu sisi, negara bagaimanapun juga berkewajiban melindungi rakyatnya dari ancaman terorisme (termasuk dari tindak pidana lainnya). Di sini hak masyarakat yang harus dilindungi antara lain adalah hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan sebagainya. Dalam rangka perlindungan hak demikian kerap negara – dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya melindungi masyarakat – mengembangkan kebijakan serta reaksi hukum yang keras. Seperti disinggung di atas hal itu mencakup ancaman pidana yang lebih keras maupun hukum acara yang lebih lentur mengatur hak-hak penegak hukum yang sekaligus potensial melanggar hak asasi tersangka (hak untuk hidup dan hak untuk diadili). Namun ketika kita mengatakan bahwa seharusnya Negara memiliki kewajiban hukum melindungi masyarakat dan karenanya berwenang mengenyampingkan sejumlah hak dasar, hal itu saja tidak lantas menjawab persoalan alasan hukum sahih seperti apakah yang tersedia dan dapat membatasi kewenangan Negara berkaitan dengan pengembangan kebijakan penanganan ancaman terorisme di atas. 2.3. Dasar Hukum Negara untuk Membatasi, Mengurangi, Mengeyampingkan Hak Asasi Dua persoalan yang muncul ialah pertama bagaimana kita dapat melegitimasi kebijakan Negara yang nyata mengurangi, membatasi dan mengenyampingkan sejumlah hak asasi, dan kedua, pertanggungjawaban Negara (dan individu) tatkala hak asasi dikurangi, dibatasi dan dikesampingkan. Keduanya harus kita kaitkan dengan kenyataan bahwa hukum internasional (in casu ketentuan Pasal 4 ICCPR) hanya memberikan kepada Negara (peratifikasi) satu alasan untuk mengenyampingkan hak asasi (derogate), yakni dalam hal adanya public emergency. Apakah aksi-aksi terorisme atau ancaman adanya terorisme serta merta memunculkan situasi public emergency demikian? Serta apakah semua hak asasi manusia dapat dikesampingkan bilamana Negara menghadapi adanya public emergency? Persoalan berikutnya ialah apakah ketentuan Pasal 4 ICCPR hanya satu-satunya pembenaran yang tersedia bagi Negara untuk melegitimasi reaksi menghadapi ancaman bahaya yang dimunculkan terorisme? Ketentuan Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyebutkan,“In times of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, color, sex, language, religion or social origin.” Lebih jauh dalam ayat (2) ketentuan di atas ditegaskan bahwa pembatasan tersebut tidak dapat dilakukan terhadap hak-hak yang dikualifikasikan sebagai non-derogable rights: yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak diadili dengan pengadilan yang berlaku surut, serta hak-hak yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Selanjutnya di dalam UN Human Rights Committee General Comment 29, States of Emergency (Article 4) yang merupakan penjelasan umum dari ketentuan Pasal 4 ICCPR ( 31 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 dijelaskan bahwa di samping non-derogable rights, juga dikenal dan wajib diperhatikan larangan lain yang membatasi kewenangan Negara dalam membatasi hak asasi manusia dalam hal adanya public emergency. Larangan itu berkaitan dengan kewajiban Negara untuk menaati premptory norms of International Law seperti misalnya larangan melakukan penyanderaan (hostage taking), menerapkan hukuman kolektif (imposing collective punishments), melakukan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang (arbitrary deprivations of liberty) atau menyimpangi prinsip fundamental yang melandasi peradilan yang bebas, termasuk pemberlakuan asas praduga tak bersalah (deviating from fundamental principles of fair trial, including the presumption of innocence).38 Artinya, negara dalam pengembangan reaksi yang tepat menghadapi public emergeny tetap berkewajiban – secara absolut – untuk melindungi dan menghormati hak-hak tersebut. Selanjutnya perihal apa yang dimaksud dengan public emergency sebagai threat to the life of the nation harus kita temukan dalam dokumen lain. Di dalam Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights,39 dijelaskan bahwa: “A threat to the life of the nation mencakup tindakan atau aksi-aksi yang: (a) affects the whole of the population and either the whole or part of the territory of the State, dan (b) threatens the physical integrity of the population, the political independence or the territorial integrity of the State or the existence or basic functioning of institutions indispensable to ensure and project the rights recognized in the Covenant. Lebih jauh lagi Siracusa Princples di atas menegaskan bahwa internal conflict and unrest that do not constitute a grave and imminent threat to the life of the nation cannot justify derogations under Article 4. Maka di sini penting memiliki kriteria untuk dapat membedakan konflik internal atau gangguan ketertiban yang memunculkan public emergency dengan yang tidak. Untuk itu kita dapat merujuk pada sejumlah case law yang dikembangkan oleh European Court of Human Rights.40 Mahkamah ini menegaskan bahwa public emergency harus memenuhi karakteristik: (1) nyata atau segera; (2) berdampak secara nasional (concern (a state’s) entire population); (3) mengancam kelangsungan hidup masyarakat; dan (4) Krisis atau bahaya harus bersifat eksepsional, sedemikian rupa sehingga upaya normal yang ada untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum tidak memadai.41 Singkat kata, public emergency menandakan adanya situasi yang tidak saja menimbulkan gangguan keamanan ketertiban secara meluas, namun lebih jauh lagi mengancam kelangsungan hidup bangsa dan Negara (atau berjalannya fungsi pemerintahan secara normal). Itu pula sebabnya kemudian Negara diberi hak untuk mengeyampingkan sejumlah hak asasi sebagai extra-ordinary measure. U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.11, 2001. U.N. Doc. E/CN.4/1984/4 40 The Greek Case, European Commission on Human Rights, Yearbook ECHR, Vol. 12, No. 1 (1969) dan Lawless v. Ireland (No.3) (1961) IEHRR 15. 41 Persyaratan ini juga kemudian dikenal sebagai prinsip hukum standar dalam proses penentuan “public emergency” dan dituangkan juga ke dalam the Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the ICCPR dan dalam Paris Minimum Standards of Human Rights Norms in a State of Emergency. 38 39 ( 32 ) Public Emergency Persoalan berikutnya ialah siapakah yang berwenang menyatakan adanya public emergency serta peran masyarakat internasional dalam mengawasi serta memantau tindakantindakan Negara dalam hal terjadinya public emergency. Berbeda dengan pernyataan adanya ancaman terhadap kedamaian dan keamanan (international peace and security) yang ada pada Dewan Keamanan PBB (berdasarkan Chapter VII UN Charter), tentunya adalah pemerintah negara yang bersangkutan yang menentukan ada atau tidaknya ancaman terhadap kelangsungan hidup bernegara dan berbangsa. Persamaannya adalah bahwa masyarakat internasional yang kemudian diharapkan mengawasi bagaimana Dewan Keamanan atau Negara mengembangkan dan mengeksekusi kebijakan-kebijakan sebagai reaksi terhadap munculnya situasi darurat. Itu sekaligus berarti bahwa baik Dewan Keamanan ataupun negara harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan untuk mengenyampingkan sejumlah hak asasi kepada masyarakat internasional sekalipun dengan cara yang berbeda. Disebutkan bahwa42 “once a state demonstrates that an actual or imminent crisis satisfies the criteria for a state of emergency (jus ad tumultum), international law’s focus shifts to the legality of a state’s responsive measure (jus in tumultu).” Berkenaan dengan yang terakhir disebut (jus in tumultu) Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Principles in the ICCPR lebih lanjut menegaskan bahwa: “any measure a state undertakes to restrict or suspend human rights during emergencies must be supported by a valid state ground, a pressing public need, a legitimate aim and proportionality.” Persoalan lain yang lebih penting di sini ialah seberapa jauh aksi-aksi terorisme juga dapat memunculkan ancaman terhadap international peace and security atau sekadar memunculkan public emergency? Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB, misalnya, dengan tegas dalam pelbagai resolusi mengecam aksi-aksi terorisme yang terjadi di banyak negara, meskipun tidak serta merta mengkualifikasikannya sebagai ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional43. Namun bagaimana dengan Negara nasional yang menghadapi aksi-aksi terorisme? 2.4. Apakah terorisme memunculkan public emergency? Berkaitan dengan terorisme, pertanyaannya adalah apakah ancaman yang dimunculkan terorisme dapat dikualifikasikan sebagai a threat to the life of the nation sebagaimana dijelaskan di atas? Untuk menjawab persoalan ini perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa Negara yang hendak melakukan pembatasan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 4 ICCPR harus terlebih dahulu membuat pernyataan resmi (official proclamation) tentang adanya situasi “public emergency which threat to the life of the nation.”44 Pernyataan demikian, dapat kita duga, akan merupakan suatu keputusan politik yang diambil di tataran nasional untuk menanggulangi situasi khusus yang terjadi di dalam negeri. Criddle , E, J & Decent,E, F, Human Rights, Emergencies, and the Rule of Law, versi elektronik tersedia di: http://ssrn.com/abstract=1591970, diakses terakhir pada 14 March 2011. Hlm. 8. 43 Lihat catatan kaki no. 24. 44 HRC General Comment 29 (2001) para 2: a state party derogating from the convention or covenant must issue the proclamation of “public emergency” in good faith. 42 ( 33 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Namun sekalipun merupakan urusan politik dalam negeri, apa yang dilakukan negara kemudian tidak begitu saja menjadi urusan dalam negeri semata. Satu dan lain karena Negara harus segera memberitahukan Negara pihak lainnya (state parties to the ICCPR) melalui Sekjen PBB tentang adanya situasi bahaya umum demikian yang mengharuskan Negara untuk melakukan sejumlah pembatasan hak asasi berikut alasannya. Kewajiban ini sekaligus memungkinkan PBB dan Negara-negara pihak memonitor pelaksanaan kebijakan Negara dalam mengatasi public emergency serta pengenyampingan hak asasi (yang dalam kondisi demikian menjadi perhatian dari semua Negara pihak). Masyarakat internasional dengan cara ini dibebani kewajiban menjaga agar kebijakan dan pelaksanaan kebijakan Negara tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 4 ICCPR. Umumnya kondisi yang mendorong pernyataan adanya ‘public emergency’ bermuara pada adanya perang, konflik internal, bencana alam, dan krisis ekonomi.45 Di samping itu perlu dicermati bahwa pada waktu ICCPR dibuat (1966), terorisme belum muncul sebagai kejahatan yang berdiri sendiri. Namun sudah sejak berdirinya European Court of Human Rights, pemeriksaan kasus-kasus yang terkait dengan pemberlakuan ‘public emergency’ dan keabsahan alasan untuk mengenyampingkan sejumlah hak asasi seluruhnya didasarkan pada aksi-aksi terorisme.46 Itu berarti bahwa peluang untuk mengkategorikan terorisme sebagai ancaman yang memunculkan public emergency memang terbuka lebar. Sebaliknya dari penjelasan mengenai kriteria public emergency tampak bahwa terorisme sebagai suatu ancaman terhadap ketertiban umum maupun Negara (dalam hal ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau memaksanya mengubah suatu kebijakan) tidak serta-merta menimbulkan public emergency. Maka kita harus mencari satu kriteria lain untuk membedakan terorisme yang layak dikatakan memunculkan public emergency dengan yang tidak. Dari uraian di atas, diketahui bahwa ancaman terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara harus bersifat grave and imminent. Dengan kata lain, mencerminkan adanya bahaya yang sifatnya eksepsional yang memaksa Negara bertindak segera. Dalam kondisi demikian upaya-upaya untuk menjaga kemanan dan ketertiban umum yang normal menjadi tidak memadai dan karenanya Negara diperbolehkan untuk membatasi, mengurangi bahkan mengenyampingkan sejumlah hak-hak asasi yang dinyatakan derogable. Terorisme sebagai suatu gejala kemasyarakatan tidak serta merta dapat dikatakan sebagai ancaman yang bersifat grave and imminent. Bahkan sekalipun tetap dapat dikatakan serius, ancaman yang muncul dari gerakan terorisme kerap tidak bersifat serta merta, karena tidak setiap waktu muncul sebagai aksi terror yang bersifat massif. Menurut hemat penulis, bagaimanapun juga, sifat ancaman bahaya yang dimunculkan terorisme di Indonesia berbeda dengan apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 4 ICCPR. Tidak mengherankan pula mengapa kemudian pemerintah Republik Indonesia tidak pernah membuat pernyataan keadaan bahaya tatkala berhadapan dengan ancaman bahaya Oraa, J, Human Rights in States of Emergency in International Law, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hlm.178. 46 Michaelsen, C, Op.cit., hlm. 128-129. 45 ( 34 ) Public Emergency yang muncul dari aksi-aksi terorisme. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tidak mengkualifikasikan terorisme sebagai public emergency. Namun hal ini tidak sekaligus berarti bahwa tindakan-tindakan Indonesia dalam rangka memberantas tindak pidana teroriseme sepenuhnya berada dalam ranah kedaulatan nasional yang tidak dapat ditelaah serta dinilai berdasarkan instrumen-instrumen hak asasi (nasional maupun internasional, khususnya ICCPR). Lebih jauh lagi, sebagai perbandingan, Australia, ketika berhadapan dengan aksi terorisme, seperti juga Indonesia, tidak membuat proclamation adanya public emergency, namun menerbitkan the ASIO Act yang dipandang oleh pemerhati hak asasi sebagai pelanggaran atas kewajiban Australia di bawah ICCPR.47 Berbeda dengan itu David Blunkett sebagai Home Secretary Inggris membuat deklarasi adanya “state of emergency”, dan menyatakan bahwa “the declaration was not a response to any imminent terrorist threat, but rather a ‘legal technicality’, to ensure that certain anti terrorism measures that contravene the ECHR could be implemented.”48 Kritikan utama adalah bahwa Inggris mencoba mengenyampingkan tanggung jawabnya untuk menegakan hak asasi di bawah hukum internasional “in the absence of conditions qualifying as a bona fide state of emergency”.49 Khususnya untuk Indonesia situasi public emergency sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 4 ICCPR lebih tepat disandingkan dengan pernyataan Negara dalam keadaan bahaya atau penetapan situasi Darurat Sipil atau Darurat Militer (Undang-Undang No. 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 52 Prp Tahun 1960. Undang-undang yang dibuat jauh sebelum adanya ICCPR. Ide dasar yang melandasi perundang-undangan ini ialah bahwa bagaimanapun juga dalam situasi darurat atau bahaya, pemerintah seyogianya diberi kewenangan untuk bertindak cepat dan segera, mencakup kewenangan untuk membatasi, mengurangi dan mengenyampingkan sejumlah hak asasi yang dikualifikasikan sebagai derogable rights. Sebagai ilustrasi dari penerapan kewenangan demikian adalah penetapan situasi darurat sipil dan darurat militer di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam serta situasi darurat sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.50 Terlepas dari persoalan kapan dan apakah terorisme dapat dikualifikasikan sebagai ancaman serius dan serta-merta yang mengancam kehidupan bangsa-negara, satu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa instrumen-instrumen hak asasi manusia, termasuk ke dalamnya ICCPR akan tetap berlaku sebagai norma kritik dari tindakan-tindakan konkrit yang ditempuh Indonesia dalam menangani tindak pidana terorisme. Singkat kata, pemberlakuan UU Terorisme di Indonesia setiap saat akan dicermati, diuji dan dinilai oleh para pemerhati hak asasi bertitik tolak dari kewajiban-kewajiban Indonesia sebagai Negara pihak ICCPR. Ibid, hlm. 122 & 134. Ibid, hlm. 129-131. 49 Ibid hlm. 131. 50 Keputusan Presiden RI No 40 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presidfen No 88 tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara dan Keppres No28/2003 tentang Keadaan Darurat Militer di NAD. 47 48 ( 35 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 2.5. Bagaimana membatasi kewenangan Negara dalam memberantas aksi teroris? Seperti sudah disinggung di atas, kebijakan hukum di bidang penanganan terorisme (sebagai kejahatan yang bersifat extraordinary) kerap berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktik, satu pelangggaran yang dilakukan pemerintah Indonesia – ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi – berkenaan dengan pemberlakuan surut ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk mengadili para terdakwa dalam kasus Bom Bali I.51 Di samping itu, sikap tindak Densus 88 yang bergerak di luar koridor KUHAP juga dituding mengakibatkan banyak memunculkan pelanggaran-pelanggaran hak prosesuil tersangka/terdakwa. Kewenangan Negara jelas perlu dibatasi dan pelanggaran hak asasi harus ditindak. Ini sejalan dengan pemahaman Indonesia sebagai Negara hukum yang menegaskan supremasi hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dalam konteks ini pula muncul perkaitan antara konsep Negara Hukum dengan kewajiban Negara untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia.52 Persoalannya di sini ialah menemukan dan menentukan apa yang menjadi hukum yang dapat membatasi kewenangan Negara dan memungkinkan Negara yang sama meminta dan menuntut tanggungjawab pidana dari aparat Negara yang melanggar hak asasi. Terlepas dari persoalan apakah terorisme memunculkan public emergency, ketentuan Pasal 4 ICCPR secara limitatif memberi peluang sekaligus membatasi kewenangan Negara untuk membatasi atau mengenyampingkan hak-hak asasi rakyatnya. Ditegaskan bahwa, dalam situasi apapun, Negara dilarang untuk melakukan pembatasan terhadap hak-hak tertentu yakni, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diadili dengan pengadilan yang adil dan tidak berlaku surut, hak untuk tidak diperbudak, dan hak-hak yang berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama. Singkat kata, meskipun diperlukan kebijakan-kebijakan khusus dan luar biasa (extraordinary measures) dalam upaya menangani ancaman terorisme, bagaimana kebijakan tersebut direalisasikan tetap harus dijaga agar berada dalam koridor perlindungan Hak Asasi Manusia. Terkait dengan hal ini Sekjen PBB Koffi Annan membuat pernyataan pada UN Security Council bahwa:”We should all be clear that there is no trade-off between effective action against terrorism and the protection of human rights. On the contrary, I believe that in the long term we shall find that human rights, along with democracy and social justice, are one of the best prophylactics against terrorism. While we certainly need vigilance to prevent acts of terrorism, and firmness in condemning and punishing them, it will be self-defeating if we sacrifice other key priorities—such as human rights in the process.”53 Pernyataan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Resolusi Dewan Kemanan PBB yang menyebutkan: “States must ensure that any measure taken to combat terrorism comply with all their obligations Putusan MK No. 013/PUU-I/2003. Untuk komentar umum baca a.l. Saldi Isra, “Pembatalan UU Terorisme Bom Bali”, Kompas 26 Juli 2004. 52 Untuk pemahaman lebih lanjut dari ruang lingkup pengertian konsep Negara hukum baca lebih lanjut: Bedner, A, “Suatu pendekatan elementer terhadap Negara hukum” di dalam Safitri,M.A., Marwan, A, Arizona, A (eds), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Epistema Institute & HuMa, Jakarta, 2011, hlm.139-185. 53 Statement of the UN Secretary General to the UN Security Council (18 Jan 2002). 51 ( 36 ) Public Emergency under international law, and should adopt such measures in accordance with international law, in particular international human rights, refugee, and humanitarian law.”54 Mudah untuk mengatakan bahwa tindakan Negara harus berdasarkan hak asasi manusia. Pernyataan demikian, namun begitu, bersifat abstrak dan tidak banyak membantu sebagai panduan dalam pembuatan, implementasi dan penegakan hukum nasional sebagai respons terhadap ancaman terorisme. Bagaimana mengkonkritkannya? Di sini kita dapat merujuk pada fakta bahwa respons hukum pidana terhadap terorisme bagaimanapun juga harus didudukan dalam kerangka proses peradilan pidana (criminal justice process).55 Berkenaan dengan itu, kita dapat merujuk pada sejumlah prinsip-prinsip hukum pidana (General principles of Criminal Law). Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya telah dikembangkan oleh PBB dan dituangkan dalam sejumlah pedoman yang berguna dalam pengembangan sistem atau proses peradilan pidana yang berkeadilan dan peduli pada hak asasi manusia. Pedoman-pedoman demikian meliputi antara lain: 1. The Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (1990); 2. The Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979); 3. The Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-Legal, Arbitrary, and Summary Executions (1989); 4. The Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985); 5. The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1986); 6. The Declaration on the Protection of All Person from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1975); 7. The Standard Minimum Rules for the Treatment of the Prisoners (1957); 8. The Capital Punishment Safeguard (1984); 9. The Basic Rules for the Treatment of Prisoners (1991). Secara umum, instrumen-instrumen di atas sekalipun hanya merupakan soft law, memuat panduan konkrit yang dapat langsung ditransformasikan ke dalam perundang-undangan atau kebijakan nasional. Praktik demikian juga tidak asing bagi Indonesia. Kapolri, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 mengenai Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di samping itu, Kapolri telah pula mengadopsi panduan tentang penggunaan kekuatan dan senjata bagi penegak hukum ke dalam suatu peraturan yang mengikat yakni Peraturan Kapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Di samping itu, Indonesia-pun telah terikat pada sejumlah hard law, kovenankovenan seperti UN Convention against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) 10 December 1984 dan lain-lain.56 Perjanjian-perjanjian UN Security Council Resolution 1456 (20 Jan 2003), para. 6. Bergsmo, M, pakar hukum pidana internasional di University of Oslo, Norwegia. Bandingkan Criddle, E, J & Fox-Decent, E, op.cit. Penulis paper ini menggunakan fiduciary theory of human rights untuk menelaah seberapa jauh Negara dapat mengenyampingkan kewajiban melindungi dan menghormati hak asasi. 56 Indonesia meratifikasi UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment melalui Undang-Undang No 5 Tahun 1998. 54 55 ( 37 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 seperti itu memunculkan kewajiban Negara untuk mentransformasikan kewajiban-kewajiban khusus yang termuat di dalamnya ke dalam hukum nasional. Dengan cara demikian, penggunaan kekerasan (yang tidak sah) oleh aparat penegak hukum bahkan Negara dalam proses penyelidikan/penyidikan pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum baik di tataran nasional maupun internasional. Lebih jauh lagi, dengan menggunakan pedoman-pedoman di atas sebagai acuan dan mentransformasikannya ke dalam hukum nasional, Indonesia berpeluang membangun sistem peradilan pidana yang peduli pada hak asasi. Langkah yang sesungguhnya sudah dimulai dengan pemberlakuan KUHAP tahun 1981 yang di dalam konsideransnya secara tegas merujuk pada ICCPR. Kewajiban demikian semakin tegas tatkala Indonesia meratifikasi ICCPR. III. PENUTUP Hukum pidana bagaimanapun juga adalah ultimum remedium. Namun apabila reaksi penal akan ditempuh, Indonesia harus memastikan bahwa hal itu dilakukan sejalan dengan kewajiban Negara melindungi dan menghormati hak asasi manusia, khususnya dari tersangka/ terdakwa. Kewenangan untuk menempuh upaya penal, termasuk ketika menghadapi ancaman terorisme, sesungguhnya bermuara dari kewajiban Negara untuk melindungi segenap bangsa dengan menjamin ketertiban dan keamanan umum. Bahwa dalam upaya tersebut sejumlah hak warga dibatasi atau dikesampingkan demi kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat yang lebih besar juga harus dipandang lumrah. Hukum Pidana (materiel maupun processuil) adalah wujud konkrit pembatasan hak-hak individu sebagai warga Negara. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana sejatinya harus mewujudkan keseimbangan antara kewajiban Negara melindungi kepentingan umum dengan kewajiban Negara menghormati dan melindungi hak asasi individu (tersangka/terdakwa maupun terpidana). Menjadi persoalan ialah ketika Negara sebagai reaksi yang extra-ordinary terhadap ancaman terorisme, sekalipun tidak serta merta dirumuskan sebagai public emergency sebagaimana dimaksud ICCPR, kemudian membatasi dan mengenyampingkan sejumlah hak asasi. Dalam hal demikian, khususnya ICCPR dan praktik Negara di tataran internasional menegaskan berlakunya pembatasan bahwa yang boleh disimpangi hanyalah derogable rights dan bahwa tindakan itupun tetap akan dinilai dan diuji terhadap instrumen-instrumen hak asasi. Non-derogable rights, khususnya hak untuk dihadapkan dalam waktu yang wajar pada pengadilan yang adil dan jujur, mutlak dihormati. Prinsip serupa mendasari pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan internasional. Implikasinya bahwa Negara - sejauh memungkinkan - wajib membawa tersangka pelaku teroris kehadapan pengadilan yang jujur, adil dan berwibawa. Lagipula pada analisis terakhir adalah pengadilan-lah yang harus mengembangkan putusan-putusan yang dilandasi pertimbanganpertimbangan yang mumpuni (voldoende gemotiveerd) dalam rangka menjawab sejumlah persoalan yang telah diangkat di dalam tulisan ini. ( 38 ) Public Emergency DAFTAR PUSTAKA Buku Djelantik, S, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Duffy, Helen. The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, Cambridge : Cambridge University Press, 2003. Forsythe, D, editor in Chief, Encyclopedia of Human Rights Volume I, Oxford : Oxford University Press, 2009. Oraa, J, Human Rights in States of Emergency in International Law, Oxford : Clarendon Press, 1992. Ranstrop, M & Wilkinson, P, (eds), Terrorism and Human Rights, New York : Routledge, 2008. Richardson, L, ed, The Roots of Terrorism, New York : Routledge, 2006. Safitri, M, et al (eds), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema Institute & HuMa, 2011. Schabas, W, Introduction to the International Criminal Court, 2nd ed, Cambridge : Cambridge University Press, 2004. Smith,R, Textbook on International Human Rights, 4th ed, Oxford : Oxford University Press, 2010. Steiner,H, Alston, P & Goodman, R, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, Text and Materials, Third Edition, Oxford : Oxford University Press, 2007. Triffterer, O, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, 2nd ed, Beck oHG : Verlag C.H. 2008. Whittaker, D, Terrorism : Understanding the Global Threat, revised edition, Harlow: Pearson, 2007 Artikel Anonymus, “Dua Pembuat Situs Teroris Ditangkap “ Bali Post Online, 24 Agustus 2006. _________, “Sipir Beni Bakal Jadi Tersangka”, Tempointeraktif, 28 Agustus 2006. Burgoon, B, “On Welfare and Terror: Social Welfare Policies and Political-Economic Roots of Terrorism,” The Journal of Conflict Resolution, Vol. 50, No. 2, 2006. Criddle, E, J & Decent, E, F, “Human Rights, Emergencies, and the Rule of Law”, versi elektronik tersedia di: http://ssrn.com/abstract=1591970, diakses terakhir pada 14 March 2011. Djelantik, S, “Terrorism in Indonesia: The Emergence of West Javanese Terrorist,” EastWest Centre Working Paper No 22, 2006, tersedia di http://www.eastwestcenter.org/ fileadmin/stored/pdfs/IGSCwp022.pdf. Foot, R, “The United Nations, Counter Terrorism, and Human Rights: Institutional Adaptation and Embedded Ideas,” Human Rights Quarterly, No. 29, 2007. Goodwin, J, “A Theory of Categorical Terrorism,” Social Forces, Vol. 84, No. 4, 2006. ( 39 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Krueger, A, B, and Maleckova,J, “Education, Poverty and Terrorism: Is there a Causal Connection?,” Journal of Economic Perspectives, Vol.17, No.4, 2003. Luban, D, “The War on Terrorism and the End of Human Rights,” Philosophy and Public Policy Quarterly, VoL. 22 No 3, 2002. Rapoport, D,dalam Weinberg, L & Eubank,W, “An End to the FourthWave of Terrorism?,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol 33, Issue 7, 2010. Saldi Isra, “Pembatalan UU Terorisme Bom Bali”, Kompas 26 Juli 2004. Dokumen Hukum Internasional Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation (1971). Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation (1988). Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999). Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Identification (1991). Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (1980). Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973). Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism. European Convention on the Suppression of Terrorism (1977). Hague Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (1970). HRC General Comment 29 (2001) . Intern American Convention against Terrorism (2002). International Convention against the Taking of Hostages (1979). International Covenant on Civil and Political Rights (1966). Model Treaty on Extradition (Adopted by General Assembly resolution 45/116, subsequently amended by General Assembly resolution 52/88). Paris Minimum Standards of Human Rights Norms in a State of Emergency. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation (1988). Protocol for the Suppression of Unlawful Act Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988). Rome Statute of the International Criminal Court (1998). Statement of Asian Human Right Commission (4 Mar 2010) (AHRC-STM-047-2010-ID). Statement of the UN Secretary General to the UN Security Council (18 Jan 2002). The Arab Convention for the Suppression of Terrorism (1998). The Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the ICCPR. Tokyo Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (1963). U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.11, 2001. U.N. Doc. E/CN.4/1984/4 . UN Global Counter-Terrorism Strategy Plan of Action. ( 40 ) Public Emergency UN Security Council Resolution 1368 (2001); UN Doc. S/Res/1368 (2001). UN Security Council Resolution 1373 (2001); UN Doc.S/Res/1373 2001). UN Security Council Resolution 1456 (2003); UN Doc. S/Res/1456 (2003). Nasional Keputusan Presiden RI No 28 Tahun 2003 tentang Keadaan Darurat Militer di NAD. Keputusan Presiden RI No 40 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No 88 tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 tahun 2002 Putusan MK No 013/PUU-I/2003. Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 (20 Juni 2003) untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Undang-Undang No 16 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 2 tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. U.S. Code. Kasus The Greek Case, European Commission on Human Rights, Yearbook ECHR, Vol. 12, No. 1 (1969) Lawless v. Ireland (No.3) (1961) IEHRR 15. ( 41 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 ( 42 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional PRITA MULYASARI VS RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL Erni Dwita Silambi* Universitas Musamus Merauke E-mail: [email protected] Abstract: As mandated by the constitution, freedom of information has actually been recognized either through international instruments and national laws of Indonesia, but in reality it is still only the right to obtain information for the general public in Indonesia violated by certain parties, one example is the case experienced by Prita Mulyasari. Abstrak: Sesuai amanat konstitusi, kebebasan informasi sesungguhnya telah diakui baik melalui instrumen internasional maupun hukum nasional Indonesia, namun pada kenyataannya masih saja hak untuk mendapatkan informasi bagi masyarakat umum di Indonesia dilanggar oleh pihak-pihak tertentu, salah satu contoh kasus yang terjadi adalah yang dialami oleh Prita Mulyasari. I. PENDAHULUAN Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.1 Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia, yang dalam penerapannya berada pada semua ruang lingkup kehidupan, hak persamaan dan hak kebebasan * Dosen Universitas Musamus, Marauke. Sarjana Hukum (SH) 1999 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Magister Hukum (MH) 2012 Program Magister Ilmu Hukum (MH) Pada PPS Universitas Hasanuddin. 1 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah (http://w ww. jimly.com/makalah/ namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 07:30 Wita. ( 43 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Kebebasan atau kemerdekaan hanya ada kalau ada demokrasi yang menjamin dan melindungi hak asasi terutama kebebasan berpendapat, kebebasan menyatakan pikiran, dan kebebasan komunikasi baik secara lisan atau melalui tulisan. Sebagai suatu bentuk kebebasan atau kemerdekaan, dilarang segala bentuk pembatasan yang akan menghambat kebebasan untuk menyampaikan informasi.2 Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Kemerdekaan Berekspresi terutamanya kemerdekaan berpendapat memiliki sejumlah alasan menjadi kenapa salah satu hak yang penting dan menjadi indikator terpenting dalam menentukan seberapa jauh iklim demokrasi di sebuah negara dapat terjaga. Menurut Toby Mendel (2008) bahwa “Terdapat banyak alasan mengapa kebebasan berekspresi adalah hak yang penting, pertama-tama karena ini adalah sebagai dasar dari demokrasi, kedua kebebasan berekspresi berperan dalam pemberantasan korupsi, ketiga kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas, dan keempat kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran”.3 Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia. Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia. Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak-hak kemanusiaan yang Bagir Manan, Pers Bermutu, Makalah (http://www.dewanpers.or.id/page/ opini/makalah/?id=1901). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 08:00 Wita. 3 Anggara, Masih Di Cari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat (http://www.pbhi.or.id/ opini/masih-dicari-hukum-yang-pro-kemerdekaan-berpendapat). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 08:30 Wita. 2 ( 44 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan hak untuk mengemukakan pendapat. Sesuai amanat konstitusi, kebebasan informasi sesungguhnya telah diakui dalam hukum positif tertinggi di negeri ini, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 8 F. Namun tata kelola dari mekanisme keterbukaan informasi publik masih berada dalam ruang yang amat minimalis. Sejalan dengan semangat reformasi dan perkembangan rezim keterbukaan informasi di negara-negara demokratik, kelompok masyarakat sipil di Indonesia mencoba untuk mendorong hadirnya instrumen penopang yang bisa digunakan publik dalam mengakses informasi melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informas Publik (KIP).4 Namun pada kenyataannya masih saja hak untuk mendapatkan informasi bagi masyarakat umum di Indonesia dilanggar oleh pihakpihak tertentu, salah satu contoh kasus yang terjadi adalah yang dialami oleh Prita Mulyasari. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah pengaturan hukum internasional dan nasional hak untuk mendapatkan informasi dan hak mengemukakan pendapat? Bagaimanakah kronologis terjadinya masalah hukum dalam kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional? Dan bagimanakah seharusnya penyelesaian hukum dalam kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional? II. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Hukum Internasional dan Nasional Hak untuk Mendapatkan Informasi dan Hak Mengemukakan Pendapat 1.1. Pengaturan Hukum Internasional Hak atas informasi publik telah diakui lewat berbagai ketentuan di instrumen pokok HAM internasional, sebagai salah satu bagian dari katalog hak asasi yang penting. Secara literal “hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan pemikiran” tercantum dalam Pasal 19 baik di Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maupun di Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Keduanya merupakan pilar utama dari instrumen induk HAM internasional (international bill of human rights), selain Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Namun, elaborasinya sebagai hak asasi yang otonom agak minim.5 Hak atas informasi publik ini selalu dikaitkan dan diintegrasikan dengan hak untuk bebas berekspresi dan menyatakan pendapat yang jauh lebih populer di mata para ahli dan praktisi HAM. Sebenarnya hak atas informasi publik telah dikenal dan diakui sebagai hak asasi secara global lewat Resolusi Majelis Umum PBB pada tahun1946.6 Lalu masuk di dalam Kontras, Panduan Mengenal Hak Atas Informasi Publik Dan Pemolisian (Jakarta: Kontras Dan Yayasan Tifa, 2011). hlm.11. 5 Ibid. hlm.16. 6 Resolusi Majelis Umum PBB 59(1), 14 Desember 1946, A/RES/59(1). Dalam resolusi ini uniknya hak atas informasi ini terkesan dinyatakan sebagai hak yang otonom: “Freedom of information is a fundamental human rights and is the touchstones of all the freedoms to which the United Nations is consecrated” 4 ( 45 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948.7 Dan diakui lagi oleh instrumen HAM internasional yang memiliki kekuatan hukum lebih mengikat, yaitu Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) pada 1966.8 Sayangnya era perang dingin setelah Perang Dunia II berakhir mengembuskan “iklim kecurigaan” antarblok politik di dunia sehingga mereka lebih memperkuat rezim kerahasiaan negara demi pertimbangan keamanan nasional-ketimbang memenuhi hak atas informasi bagi warganya.9 Di era itu pula hak atas informasi publik dicampur dan diinkorporasikan dalam kategori hak atas kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang lebih populer saat itu. Seiring perkembangan teknologi informasi dan gelombang demokratisasi di akhir dekade 1990-an, berbagai gerakan sosial mendesakkan suatu tata pemerintahan yang lebih akuntabel. Hasilnya bermunculan undang-undang di tingkat nasional yang mengatur hak atas akses informasi publik. Selanjutnya, undang-undang itu merevitalisasi pemahaman dan tafsir atas hak ini sebagai hak yang otonom dalam konteks instrumen dan mekanisme HAM internasional atau regional.10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 19 Panduan ini menggunakan perspektif instrumen HAM dalam mengelaborasi kebebasan atau hak atas informasi publik, khususnya Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 19, yang secara literal sebagai berikut: 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan pemikiran apapun, tanpa batasan, baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya (dengan penekanan). 3. Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral umum. Ketentuan Pasal 19 (berisi 3 paragraf) dari ICCPR ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara hak atas informasi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat meski memiliki karakter yang berbeda. Sementara paragraf (3) terakhir mengatur pembatasan-pembatasan Resolusi Majelis Umum PBB 17 (III) A, 10 Desember Resolusi Majelis Umum PBB 00A (XXI), 16 Desember 1966 dan berlaku efektif pada Maret 1976. Telah diratifikasi oleh 167 negara, dan Indonesia telah meratifikasinya lewat UU No. 11 Tahun 2005 9 Ibid. hlm.17. 10 Ibid. Suatu hukum perjanjian (treaty) pertama yang khusus mengatur hak atas akses terhadap informasi publik telah lahir (7 November 2008) di kawasan Eropa (Council of Europe/Dewan Eropa) dengan nama Council of Europe Convention on Access to Official Documents. Instrumen regional ini belum berlaku dan masih menunggu ratifikasi 10 negara. Per Januari 2011 Kovensi ini telah ditandatangani oleh 11 negara dan telah diratifikasi oleh negara (Swedia, Norwegia, dan Hungaria). Beberapa tahun belakangan, signifikansi hak ini berulangkali ditegaskan oleh Badan-Badan Mekanisme HAM internasional dan regional. 7 8 ( 46 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional terhadap hak untuk menyatakan berpendapat dan hak atas informasi.11 Pembatasan hak atas informasi ini kemudian mewarnai dinamika rezim kebebasan informasi publik di dunia, di mana standar dan mekanisme pembatasannya beragam mengikuti watak rezim politik masingmasing. Pembatasan oleh ICCPR Pasal 19 paragraf (3) ini tidak berlaku untuk Pasal 19 paragraf (1) mengingat betapa tipisnya batasan antara hak “untuk memiliki suatu pendapat” dimana ranahnya bersifat privat- dengan hak atas “kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama” [ICCPR Pasal 18 paragraf (1)] juga bersifat privat yang masuk dalam kategori hak “non-derogable”.12 Sementara hak untuk bebas berekspresi dan hak atas informasi lebih bersifat publik dan bisa dibatasi pemenuhannya berdasarkan suatu situasi tertentu; di mana kemudian lebih dikenal dengan istilah hak atas informasi publik. Sementara itu informasi yang bersifat nonpublik atau privat tidak dicakup oleh Pasal 19 ICCPR ini. Bahkan perlindungannya (yang menjadi batasan bagi hak atas informasi publik) secara eksplisit ditegaskan oleh Pasal 17 ICCPR (tentang hak atas privasi). Ketentuan Umum Perspektif Instrumen HAM Untuk memahami apa itu hak atas informasi publik, perlu dimengerti terlebih dahulu ketentuan umum perspektif instrumen HAM: - Pertama, instrumen HAM internasional mengatur bahwa “pemangku hak (rights holder)” adalah individu manusia, sementara “pemangku kewajiban (duty bearer)” adalah negara. - Kedua, negara (state) memiliki kewajiban atau tugas untuk “menghormati” (to respect), “melindungi” (to protect), dan “memenuhinya” (to fulfil) bagi setiap individu di bawah jurisdiksinya: 1. Kewajiban negara untuk menghormati HAM (obligation to respect) mengacu pada tugas negara untuk mendisiplinkan seluruh aparaturnya (semua lembaga negara: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lainnya) untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia (aspek vertikal) dari semua individu yang berada di bawah jurisdiksi kuasanya. 2. Kewajiban negara untuk melindungi HAM (obligation to protect) setiap individu di bawah jurisdiksi kuasanya menyangkut dua hal: upaya negara mencegah (preventif) terjadinya suatu pelanggaran HAM yang dilakukan pihak mana pun (baik aktor negara maupun aktor non-negara). Bila terjadi suatu pelanggaran HAM (yang dilakukan oleh pihak siapa pun) negara harus melakukan mekanisme koreksi. Contohnya dengan melakukan suatu investigasi, penuntutan, dan penghukuman bagi pelakunya dan memulihkan hak-hak si korban (atau keluarganya) yang menderita akibat terjadinya pelanggaran atau kejahatan tersebut. Kewajiban untuk melindungi ini memiliki aspek horizontal karena negara juga wajib mengatur tata relasi antar aktor non-negara. 3. Kewajiban negara untuk memenuhi (obligation to fulfil) menekankan pada upayaupaya positif negara lewat mekanisme legislatif, yudikatif, atau administratif Ibid. hlm.17. Lihat juga Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary”, 2nd revised edition (Oxford: N.P. Engel, Publisher, 2005). hlm.441 12 Ibid. 11 ( 47 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 untuk menjamin implementasi HAM di tingkat yang paling konkrit bisa dinikmati oleh seluruh warga atau individu di bawah jurisdiksi kuasanya. Dari paparan di atas, bisa terlihat bahwa karakter kewajiban negara bisa dibagi dua. Pertama, kewajiban berkarakter “negatif”: hak-hak individu terjamin bila negara tidak melakukan apapun. Misalnya negara cukup tidak berbuat apa-apa maka hak hidup seseorang bisa terjamin. Kedua, kewajiban berkarakter “positif”: hak-hak individu terjamin bila negara harus melakukan sesuatu. Misalnya hak atas pendidikan mensyaratkan negara untuk membangun sekolah, memberikan subsidi, membuat kebijakan pendidikan murah, dan sebagainya.13 Dalam konteks hak atas informasi publik, kewajiban negatif negara adalah dengan tidak melakukan suatu intervensi atau campur tangan terhadap kepemilikan informasi di tangan seseorang. Sebagai contoh aparat kepolisian tidak boleh merampas atau merusak kamera atau video perekam (informasi) yang dimiliki oleh seorang pekerja HAM atau jurnalis saat mereka merekam suatu aksi demonstrasi masyarakat yang rusuh.14 Sementara itu dalam konteks kewajiban positif negara atas hak ini penjelasannya agak memutar. Instrumen HAM (ICCPR Pasal 19) tidak secara definitif mengakui hak seseorang untuk “diberi informasi” (right to be informed) oleh negara.15 Kewajiban positif negara dalam konteks hak atas informasi publik ini harus dimaknai bahwa negara mesti mengambil upayaupaya proaktif seperti mempersiapkan jaminan hukum (peran legislasi), mempersiapkan infrastruktur dan (melatih) personil khusus yang bertanggung jawab terhadap permintaan informasi dari publik, membuat mekanisme administrasi informasi publik yang murah dan cepat, dan membentuk suatu komisi informasi.16 Dalam konteks ICCPR Pasal 19 (2) tentang hak untuk “mencari, menerima, dan menyampaikan” informasi bisa dimaknai bahwa: hak “menyampaikan” informasi artinya negara harus “melindungi” hak atau kebebasan antar-individu untuk berkomunikasi. Hak “menerima” informasi bermakna bahwa negara “tidak boleh mencampuri” arus informasi antar-individu. Hak untuk “mencari” informasi bermakna bahwa negara harus menyediakan akses atas informasi publik yang dipegangnya.17 Hak untuk “menerima” dan “menyampaikan” informasi di sini mencakup kebebasan pers di mana konsumen berhak “menerima” informasi sementara jurnalis berhak “menyampaikan” informasi tanpa diintervensi oleh negara. Untuk yang terakhir ini kemudian dimaknai sebagai “hak atas akses terhadap informasi” mengingat pemenuhan kewajiban negara terjadi hanya bila seseorang meminta informasi publik terlebih dahulu.18 Ibid. Ibid. hlm. 18. Lihat juga Manfred Nowak. Hlm.447. 15 Ibid. 16 Human Rights Committee/Komite HAM (badan otoritatif dari ICCPR), Draft General Comment No. 34, 22 Oktober 2010, UN Doc. CCPR/C/GC/544/CRP.4, para 20 17 Toby Mendel, Freedom of Information as an Internationally Protected Human Rights, 15 Juni 2000, hlm. 3-4. Dapat diakses pada http://www.article19.org/pdfs/publications/foi-as-an-international-rig 18 Kontras, Op.Cit. hlm.18. 13 14 ( 48 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional Hak atas reputasi sebagaimana juga hak atas kemerdekaan berekspresi mendapatkan perlindungan dari hukum internasional. Dalam hukum hak asasi manusia Internasional, negara memang diwajibkan untuk menciptakan instrumen dan/atau mekanisme untuk melindungi hak atas reputasi. Untuk melindungi hak atas reputasi, pada umumnya negara-negara di dunia melakukannya melalui dua instrumen hukum yaitu hukum pidana dan juga hukum perdata. Namun perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi induvidu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yakni hak atas kebebasan berbicara (free speech), berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of the press).19 Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh sampai menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berpendapat seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Oleh karena itu penggunaan instrumen hukum pidana justru dapat membatasi esensi hak itu sendiri, oleh karena itu tak heran apabila Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kemerdekaan Berekspresi setiap tahun selalu menyerukan agar negara-negara yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik untuk menghapuskan ketentuan pencemaran nama baik dalam hukum pidana. Gema penghapusan itupun sudah sedemikian hebatnya sampai-sampai Sidang Umum PBB pada awal 2009 juga menyerukan kepada negara-negara anggota PBB untuk melakukan penghapusan ketentuan pencemaran nama baik dalam hukum pidananya.20 1.2. Pengaturan Hukum Nasional Hukum nasional Indonesia mengatur masalah hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk mengemukakan pendapat di dalam Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU Hasil Ratifikasi Kovenan Hak Sipol mengatur mengenai hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk mengemukakan pendapat. 2. Kronologis Terjadinya Masalah Hukum dalam Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional 2.1. Kronologis kasus Berikut ini akan dipaparkan kronologi lengkap kasus yang menimpa Prita Mulyasari mulai dari awal dia berobat ke Rumah Sakit (RS) Omni International, sampai kemudian digugat secara perdata dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional, yang mengakibatkan Prita Mulyasari sempat di tahan selama 3 (tiga) minggu.21 Anggara, Loc.Cit. Ibid. 21 Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang dibuat Prita. (http://hukum. kompasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita-muly asari-13940.html). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 09:30 WITA. 19 20 ( 49 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 7 Agustus 2008, Pukul 20:30 Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan keluhan panas tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium: Thrombosit 27.000 (normal 200.000), suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan diberi suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah. 8 Agustus 2008 Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000. Mulai mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri mulai membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke 39 derajat. 9 Agustus 2008 Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara. Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik lagi. 10 Agustus 2008 Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan mata kiri. 11 Agustus 2008 Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid. Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia terserang virus yang menular. 15 Agustus 2008 Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak rumah sakit ke customer_care@banksinarmas. com dan ke kerabatnya yang lain dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar ke beberapa milis dan forum online. 30 Agustus 2008 Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca detik.com.22 5 September 2008 RS Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus. 22 September 2008 Pihak RS Omni International mengirimkan email klarifikasi23 ke seluruh costumernya. 8 September 2008 Kuasa Hukum RS Omni Internasional menayangkan iklan berisi bantahan atas isi email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia. 24 September 2008 Gugatan perdata masuk. 22 23 Akan dipaparkan pada sub bahasan berikutnya. Akan dipaparkan pada sub bahasan berikutnya ( 50 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata RS Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Prita divonis membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan banding. 13 Mei 2009 Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga dilaporkan oleh Omni. 2 Juni 2009 Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang. 3 Juni 2009 Megawati Soekarno Putri dan Jusuf Kalla mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI meminta MA membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah menjadi tahanan kota. 4 Juni 2009 Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN Tangerang. 2.2. Isi e-mail Prita ke Surat Pembaca detik.com24 Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international, karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus. Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr. I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. dr. I menanyakan dokter specialis mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. I adalah dr. H. kemudian dr. H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah. Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr. H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr. H terus memberikan instruksi ke suster perawat Prita Mulyasari (Surat Pembaca), RS. Omni Dapatkan Pasien Dari Hasil Lab Fiktif (http:// suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rs-omni-dapatkan-pasien-dari-hasil-lab-fiktif). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 10:00 WITA. 24 ( 51 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal. Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul. Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke-39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. H saja. Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr. H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali. Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr. H saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan. Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri. dr. H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr. H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr. H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan. Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif. Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan ( 52 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr. M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut. Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og. (Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staf Og. yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis. Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og. (Customer Service Coordinator) dan dr. G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benarbenar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan. Tanggapan dr. G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr. H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore. Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas. Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr. G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah. Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya ( 53 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. G dan Og., tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum. Saya bilang ke dr. G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami. Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni. Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik. Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini. Sdr. Og. menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr. B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain. Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan. Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan. Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini. Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr. G, dr. H, dr. M, dan Og. bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr. H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini. Salam, [email protected] ( 54 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional 2.3. Klarifikasi dari pihak RS. Omni Internasional25 Pengumuman & Bantahan26 Kami, Risma Situmorang, Heribertus & Partners, advokat dan konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Omni International Hospital Alam Sutera, dr. Hengky Gosal dan dr. Grace Hilza Yarlen. Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari saudari Prita Mulyasari beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13 Serpong Tangerang (mail from: [email protected]) kepada [email protected], dan telah disebar-luaskan ke berbagai alamat email lainnya, dengan judul ‘penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang’; dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak umum/masyarakat dan pihak ketiga, ‘bantahan kami’ atas surat terbuka tersebut, sebagai berikut: 1. Bahwa isi surat elektronik (e-mail) terbuka tersebut tidak benar serta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi (tidak ada penyimpangan dalam sop dan etik), sehingga isi surat tersebut telah menyesatkan kepada para pembaca khususnya pasien, dokter, relasi Omni International Hospital Alam Sutera, relasi dr. Hengky Gosal dan relasi dr. Grace Hilza Yarlen, serta masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Bahwa tindakan saudari prita mulyasari yang tidak bertanggung-jawab tersebut telah mencemarkan nama baik Omni International Hospital Alam Sutera, relasi dr. Hengky Gosal dan relasi dr. Grace Hilza Yarlen, serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril bagi klien kami. 3. Bahwa atas tuduhan yang tidak bertanggung jawab dan tidak berdasar hukum tersebut, klien kami saat ini akan melakukan upaya hukum terhadap saudari prita mulyasari baik secara hukum pidana maupun secara hukum perdata. Demikian pengumuman dan bantahan ini disampaikan kepada khalayak ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut. Jakarta, 8 September 2008. 3. Penyelesaian Hukum dalam Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Pada sub bahasan ini, penulis akan memaparkan penyelesaian hukum dari 2 (dua) sudut pandang, yakni pertama pemaparan tentang penyelesaian hukum yang terjadi, dan kedua pemaparan penyelesaian hukum menurut yang seharusnya (berdasarkan pandangan subjektif penulis). 3.1. Penyelesaian hukum yang terjadi MA melalui putusan kasasinya nomor 822K/Pid.Sus/2010 menghukum selama enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun seiring permohonan kasasi penuntut umum dikabulkan. Putusan itu dijatuhkan pada 30 Juni 2010. 27 Kemudian Surat keputusan Kompasiana, Bantahan Pihak RS. Omni Internasional (http://hukum. kompasiana.com/2009/06/03/ kronologi-kasus-prita-mulyasari-13940.html). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 10:30 WITA. 26 Ibid. Isi bantahan yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia. 27 Dikutip pada laman website: http://anggara.files.wordpress.com/2011/07/822_k_pid-sus_2010.pdf. 25 ( 55 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Pengadilan Tinggi Banten bernomor 71/PDT/2009/PT Banten yang memenangkan RS Omni Internasional untuk perkara perdata.28 Isi keputusan tersebut memutuskan bahwa Prita selaku tergugat dinyatakan bersalah, dan menghukum Prita dengan membayar ganti rugi material dan immaterial kepada pihak pengugat I, II dan III sebesar Rp. 204 juta. Dengan rincian kerugian material kepada Rumah Sakit Omni sebesar Rp. 164 juta. Kerugian immaterial sebesar Rp, 40 juta yakni, PT Sarana Mediatama Internasional selaku pengugat I, Rp. 20 juta, dokter Hengky Gozal selaku pengugat II, Rp. 10 juta dan dokter Grace Hilza selaku pengugat III, Rp. 10 juta. Keputusan tersebut menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Tangerang 11 Mei 2009 yang memutuskan kasus perdata Prita versus RS Omni dimenangkan rumah sakit dan Prita dihukum membayar kerugian material dan immaterial Rp. 300 juta lebih. Prita dan RS Omni sama-sama menyatakan banding atas keputusan tersebut.29 3.2 Penyelesaian hukum yang seharusnya Menurut pandangan penulis, seharusnya Prita Mulyasari tidak dapat dikenakan hukuman sebagaimana yang telah dipaparkan pada sub bahasan sebelumnya, ini dikarenakan posisi Prita pada kasus tersebut tidak sepenuhnya dalam posisi pelaku, melainkan pada awalnya Prita adalah korban dari ketidaktransparannya informasi yang diberikan oleh pihak RS kepada seorang pasien, ketidaktransparanan inilah yang kemudian menyebabkan Prita kecewa dan megirimkan sebuah email, dengan tujuan agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi baik bagi diri Prita sendiri khususnya, maupun bagi pasien lagi pada umumnya. Oleh karena itu, dalam kasus Prita ini penulis melihat dari sisi lain terhadap sebuah upaya penegakkan hukum, yakni seharusnya Prita dapat saja menuntut pihak RS atas dasar: (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pers; (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang HAM; (4) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; serta (5) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. III. PENUTUP Berdasarkan uraian pada latar belakang hingga pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hak untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang seharusnya didapatkan oleh Prita (dalam posisi sebagai pasien) dari RS. Omni Internasional, diatur dalam Pasal 19 baik di Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maupun di Kovenan Hak-Hak Sipil Diak ses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 11:00 WITA. 28 Tempo. Edisi 03 Desember 2009 29 Ibid. ( 56 ) Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional dan Politik (ICCPR). Keduanya merupakan pilar utama dari instrumen induk HAM internasional (international bill of human rights). Sedangkan hukum nasional Indonesia sendiri mengaturnya di dalam Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatur bahwa : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU Hasil Ratifikasi Kovenan Hak Sipol mengatur mengenai hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk mengemukakan pendapat. 2. Isi email yang dituliskan Prita, yang secara umum mengungkapkan bahwa “jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anakanak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international, karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB”, menjadi boomerang tersendiri bagi Prita, karena atas tulisan email tersebutlah kemudian Prita di perkarakan baik secara perdata maupun pidana oleh Pihak RS. Omni Internasional, namun jika kita cermati dengan seksama kasus yang terjadi, bahwa sebenarnya Pritalah yang lebih dahulu dirugikan oleh pihak RS Omni Internasional. 3. Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya nomor 822K/Pid.Sus/2010 menghukum selama enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun seiring permohonan kasasi penuntut umum dikabulkan. Putusan itu dijatuhkan pada 30 Juni 2010. Kemudian Surat keputusan Pengadilan Tinggi Banten bernomor 71/PDT/2009/ PT Banten yang memenangkan RS Omni Internasional untuk perkara perdata. Isi keputusan tersebut memutuskan bahwa Prita selaku tergugat dinyatakan bersalah, dan menghukum Prita dengan membayar ganti rugi material dan immaterial kepada pihak pengugat I, II dan III sebesar Rp. 204 juta. Namun seharusnya Prita Mulyasari tidak dapat dikenakan hukuman, ini dikarenakan posisi Prita pada kasus tersebut tidak sepenuhnya dalam posisi pelaku, melainkan pada awalnya Prita adalah korban dari ketidaktransparannya informasi yang diberikan oleh pihak RS kepada seorang pasien, ketidaktransparanan inilah yang kemudian menyebabkan Prita kecewa dan megirimkan sebuah email, dengan tujuan agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi baik bagi diri Prita sendiri khususnya, maupun bagi pasien lagi pada umumnya ( 57 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 DAFTAR PUSTAKA Kontras, Panduan Mengenal Hak Atas Informasi Publik dan Pemolisian, Jakarta: Kontras Dan Yayasan Tifa, 2011. Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary”, 2nd revised edition, Oxford: N.P. Engel, Publisher, 2005. Anggara, Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat (http://www.pbhi .or.id/opini/masih-dicari-hukum-yang-pro-kemerdekaan-berpendapat). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 08:30 Wita. Anggara, Putusan Mahkamah Agung Dalam Kasus Prita (http://anggara.files.wordpress. com/2011/07/822_k_pidsus_2010.pdf.) Diak ses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 11:00 Wita. Bagir Manan, Pers Bermutu, Makalah (http://www.dewanpers.or.id/ page/opini/ makalah/?id=1901). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 08:00 Wita. Human Rights Committee/Komite HAM (badan otoritatif dari ICCPR), Draft General Comment No. 34, 22 Oktober 2010, UN Doc. CCPR/C/GC/4/CRP.4, para 20 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah (http://www.jimly.com/ makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 07:30 Wita. Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang dibuat Prita. (http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita-mulyasari-13940. html). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 09:30 Wita. Kompasiana, Bantahan Pihak RS. Omni Internasional (http://hukum.kompasiana. com/2009/06/03/kronologi-kasus-prita -mulyasari-13940.html). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 10:30 Wita. Prita Mulyasari (Surat Pembaca), RS. Omni Dapatkan Pasien Dari Hasil Lab Fiktif (http:// suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rs-omni-dapatkanpasien-dari-hasil-lab-fiktif). Diakses pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Pukul 10:00 Wita. Tempo. Edisi 03 Desember 2009 Toby Mendel, Freedom of Information as an Internationally Protected Human Rights, 15 Juni 2000 ( 58 ) Cultural Claims and Cultural Property Disputes CULTURAL CLAIMS AND CULTURAL PROPERTY DISPUTES AS A CHALLENGE FOR INTERNATIONAL LAW Devyta* Pemerhati Isu-isu Hukum Internasional (Sektor Privat) E-mail: [email protected] Abstract: Cultural property issues have been a global issue since cultural rights has been recognizes as the heritage of one country. Significant value of cultural property causing some looting of cultural property and it’s also leads countries to do any cultural claims and therefore it sometimes caused a cultural property disputes. Abstrak: Isu mengenai benda cagar budaya telah menjadi isu yang global karena hak atas kebudayaan telah dikenal sebagai kekayaan suatu negara. Nilai kebudayaan yang sangat tinggi juga mengakibatkan beberapa benda cagar budaya dicuri oleh pihak lain dan juga membuat negara melakukan klaim terhadap kebudayaan sehingga kadang kala terjadi sengketa atas kebudayaan. I. INTRODUCTION Under conditions of globalization, legal claims to protect, preserve, maintain, and to exploit culture have assumed a new urgency. Cultural diversity has become a matter of state concern and fears of cultural homogenization animate movements to promote a revitalized realm of cultural policy. Municipal governments see cultural amenities, attractions, and social values as important resources to attract labor and capital and engage in cultural planning exercises as they seek to brand urban space. Rural spaces become culturalised as traditions are constructed to establish market distinctions for local goods and traditional knowledge is valorized in international environmental treaties. But if culture is clearly delineated for the purposes of state management and the creation of new intellectual properties, it is also evoked in anti-globalization movements that contest growing forms of corporate hegemony.1 In the last decades, we find some cases concerning cultural claims and cultural property disputes among countries and individual. In some cases, the dispute has occurred because there is no legal ownership of cultural property, which is mostly because the cultural property * Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2011. Rosemary J. Coombe, Legal Claims to Culture in and Against the Market: Neoliberalism and the Global Proliferation of Meaningful Difference, Law Culture and the Humanities, Sage Journals Online, Vol.1 No.1 (2005). 1 ( 59 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 itself was so old, that making it too hard to track back the ownership. For an inanimate object, such as building or statues it usually located in the border between two countries, this situation often disposed these countries to claim the cultural property. While for ideas and practices, the claims usually come from the neighboring country, since they may have share the similar ideas and practices, such as languages and music. Some prominent cases of cultural claims and cultural property disputes are: The Preah Vihear Case, between Thailand and Cambodia2, United States and Frederick Schultz3, and the Elgin Marbles case between Greece and an Britain. These cases were brought to the International Court of Justice and District Court, thus we can see that the role of the law either it’s national or international is very important in such disputes. II. ANALYSIS 1. Cultural Property The United Nations define “cultural property” as movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every people, such as monuments of architecture, art or history, whether religious or secular; archaeological sites; groups of buildings which, as a whole, are of historical or artistic interest; works of art; manuscripts, books and other objects of artistic, historical or archaeological interest; as well as scientific collections and important collections of books or archives.4 Cultural property, therefore, encompasses both remains left by previous human inhabitants (for example, middens, shrines, and battlegrounds) and unique natural environmental features such as canyons and waterfalls. The rapid loss of cultural property in many countries is irreversible and often unnecessary. Cultural property can be divided into several categories and ancillary issues. There is the “real property”, comprised of the land, the bones and ceremonial burial items of the ancestors, and other artifacts recovered in the exploration of past civilizations. Then there is the intellectual property, the ideas and practices, the languages, the music and the writings. The protection of these properties and the way in which indigenous cultures can deal with the people outside their culture who wish to learn about these things, whether for academic reasons or for their own reasons, are dealt with here.5 The Preah Vihear Case is a dispute between Thailand and Cambodia over the ownership of Preah Vihear temple. This temple was located on the border of Thailand and Cambodia. The proceedings of this case were instituted on 6 October 1959 by an application of the Government of Cambodia, and by 15 June 1952, ICJ made its judgment that the temple was situated under the sovereignty of Cambodia. After the judgment of ICJ, the temple’s location was officially listed in Preah Vihear Province of Northern Cambodia. 3 In July 2001, Schultz was indicted by the United States Attorney for the Southern District of New York on one count of conspiring to receive, possess and sell stolen property between 1990 and 1996 in violation of the United States’ National Stolen Property Act.3 The stolen property specified in the indictment was Egyptian antiquities, illegally removed from Egypt after the 1983 enactment of Egypt’s current antiquities law. 4 United Nations Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict 1954, Art.1. 5 http://www.hanksville.org. Visited on September 21st 2011 at 17.00 P.M. 2 ( 60 ) Cultural Claims and Cultural Property Disputes 2. Cultural Claims and Disputes According to Black’s Law Dictionary, the word claim has been defined as a demand for a thing, the ownership of which, or an interest in which, is in the claimant, but the possession of which is wrongfully withheld by another.6 Thus, we can understand cultural claims as a demand for a culture, either it’s idea or property which belong to an entity as the claimant but possesses by another party. Disputes regarding cultural property are a common irritant in international relations. These disputes stir great passions because they touch upon questions of cultural identity, religion, and national history. These passions in turn harden the positions taken by the parties involved, retarding resolution and increasing resentment. Indeed, some such disputes have remained unresolved for decades if not centuries. Because most cultural property disputes are international, they implicate a variety of legal norms and raise complex choice of law questions, such as conflicting evidentiary standards and statutes of limitations. Therefore, traditional legal norms are often incapable of addressing the special problems of cultural property. Even when international law can provide a correct legal answer as to the ownership of a specific object, that answer, by its nature, often cannot take into account the political, moral, and ethical climate into which a dispute was born or in which it continues to exist. Therefore, while legally correct, this answer may be deemed illegitimate by one or more of the parties involved, all but guaranteeing that this conflict will continue to simmer or that future relations between the parties will suffer. Within most countries, illegally gotten cultural property is generally covered by a nation’s stolen property laws. But transport that cultural property across a border, may have violated civil law, criminal law, an import or an export prohibition, or a combination of the above, depending on which country we’re talking about, what the object is, and who owns it. Much also depends on the particulars of the bilateral and multilateral agreements, if any, between the countries in question, which stipulate whether and to what degree one will honor another’s export restrictions.7 As to some cases, for instance the Kanakaria Mosaics8 case between The Republic of Cyprus and international art dealer, Goldberg and Feldman Fine Art, Inc., the statute of limitations for the crime also become another problem to cultural property dispute.9 Obviously, when the dispute is between nations, national pride, politics, and political grandstanding tend to take precedence over law. That’s probably why such disputes have a habit of becoming so emotional, and so unresolvable. As evidenced by the long-running brouhaha over the Elgin Marbles10, which escalated about 20 years ago. Britain holds that the Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (Kellog: West Publishing, 1990), p.205 http://www.slate.com/id/2086136/ Article: Cultural property disputes are reshaping the art world—but how? By Carol Kino. Visited on September 23rd 2011 at 12:39 AM. 8 Kanakaria mosaics, 6th century AD frescoes that were removed from the original church, trafficked to the USA and offered for sale to a museum for the sum of US$20,000,000. These were subsequently recovered by the Orthodox Church following a court case in Indianapolis. 9 Legal Issues Regarding the Elgin Marbles and Other Stolen Antiquities, Order of AHEPA: Program Materials, 2005, p.58 10 Elgin Marbles is the name given by the British government to a collection of Greek antiquities that 6 7 ( 61 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 sculptures, removed from the Parthenon in the early 19th century, were legally purchased by Lord Elgin from the Ottoman Empire, which then controlled Greece. A move that thereby saved them from destruction during Greece’s War of Independence and by modern-day Greek air pollution. Yet Greece counters that the seller was an occupying force, therefore the purchase shouldn’t count. Both nations regard the sculptures as their cultural patrimony. But Greece didn’t exist as an independent nation until 1832 and patrimony laws can’t be applied retroactively. Perhaps that’s why Greece, so far, has attempted to resolve the matter through diplomacy, rather than in court.11 Despite the frequency of cultural property disputes, there is currently no permanent and universally acceptable framework for their resolution. Rather, each dispute is approached on an ad hoc basis. That is why these issue should be a concern of international law. 3. The Role of International Organization in Cultural Property Disputes As in most cases of cultural disputes involve countries, the role of international organization here is very crucial as well as the regional organization since the cultural disputes often occurred between neighboring countries. a. UNESCO The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) is a specialized agency of the United Nations established on 16 November 1945. Its stated purpose is to contribute to peace and security by promoting international collaboration through education, science, and culture in order to further universal respect for justice, the rule of law, and the human rights along with fundamental freedoms proclaimed in the UN Charter. UNESCO has 193 Member States and seven Associate Members. The organization is based in Paris, with over 50 field offices and many specialized institutes and centres throughout the world. Most of the field offices are “cluster” offices covering three or more countries; there are also national and regional offices.12 UNESCO had initiated work on a new multi-lateral convention to require such international cooperation. UNESCO, together with the states member had made some conferences to discuss about cultural property and illicit trade in particular. It also had made some conventions regarding the illicit exportation and trafficking of cultural property as well as promote the restitution of objects to their countries of origin. Many years of research undertaken by UNESCO on the functions and values of cultural expressions and practices have opened the door to new approaches to the understanding, protection and respect of the cultural heritage of humanity. This living heritage, known as intangible, provides each bearer were forcibly removed from the Parthenon in Athens between 1801 and 1812. The Marbles are presently on display in the British Museum in London. The name of the collection was given in honor of their benefactor, Thomas Bruce, the Seventh Earl of Elgin. The collection is comprised of over 247 feet of the original 524 feet of the Parthenon Frieze, 32 metopes and numerous figures from the pediments, as well as several other pieces of marble sculpture and statues removed from other buildings at the Acropolis. 11 Infra note 7 12 http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/who-we-are/history/ Visited on September 23rd 2011 at 12:45 AM. ( 62 ) Cultural Claims and Cultural Property Disputes of such expressions a sense of identity and continuity, insofar as he or she takes ownership of them and constantly recreates them. As a driving force of cultural diversity, living heritage is very fragile. In recent years, it has received international recognition and its safeguarding has become one of the priorities of international cooperation. b. SAFE Saving Antiquities For Everyone (SAFE) is a non-profit organization, dedicated to preserving cultural heritage worldwide. Its mission is to raise public awareness about the irreversible damage that results from looting, smuggling and trading illicit antiquities. It promote respect for the laws and treaties that enable nations to protect their cultural property and preserve humanity’s most precious non-renewable resource: the intact evidence of our undiscovered past.13 By creating educational programs and media campaigns in partnership with academia and the communications, legal and law enforcement communities, SAFE encourages ethical behavior to stop the trade in illicit antiquities from destroying the history that belongs to us all. Its espouse accurate, professional research combined with dynamic outreach and public education. Its value positive, collaborative, innovative projects driven by passionate and determined individuals. With a positive approach, it offer concrete ways to invest in the shared stewardship of the world’s cultural heritage. SAFE envisions a world in which looting and destruction of cultural heritage sites and the marketing and collecting of undocumented artifacts from such sites will be unthinkable. Although it’s not an intergovernmental organization, the existence of this kind of organization is also important to tackle the cultural property issue. The awareness of individual is also very important because it’s the basis of cultural property protection. Besides the international organizations, regional organizations also have an important role in the cultural claims and cultural dispute issues. Regional organizations such as ASEAN, AU, and EU as one community should have a mechanism to settle the cultural property disputes through a peaceful way. 4. International Law Related to The Cultural Property Since the end of the Second World War, several international conventions have been enacted to combat the theft, illicit exportation and trafficking of cultural property as well as promote the restitution of objects to their countries of origin. While the protection of cultural heritage and movable property has witnessed national and international initiatives generating a number of legal provisions and even specific regimes for categories of objects, the number of means available to settle disputes is not particularly high.14 http://www.savingantiquities.org/aboutusmission.php Visited on September 23rd 2011 at 12:50 am. Guido Carducci, The Peaceful Settlement of Disputes and Cultural Property, (International Council of Museums Press Release: 2006), p.8.. 13 14 ( 63 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 a. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (The Hague 1954) and Protocols The Hague Convention was adopted in 1954 in response to the looting of the artistic and cultural patrimony of Europe during and after World War II. From this event, the world learned that the international cul­tural heritage community does not have an adequate organizational structure to provide an emergency response for cultural heritage property damaged in armed conflict or in natural disasters. Thus, we needed to organize the cultural heritage community to raise awareness of the 1954 Hague Convention. States party are required to plan to protect their own cultural heritage during times of peace, to provide training for their armed forces on respect for cultural heritage, and to provide expertise within their own armed forces on cultural heritage preservation.15 The State Parties to this Convention “undertake to prohibit, prevent and, if necessary, put a stop to any form of theft, pillage or misappropriation of, and any act of vandalism directed against, cultural property” in time of war. Moreover, a State that occupies “the whole or part of the territory” of another State Party is obliged to assist the authorities of the occupied country with the protection of its own cultural patrimony. According to an annexed Protocol, each State undertakes to prevent the exportation of cultural property from a territory under its occupation during an armed conflict, and to confiscate and return “cultural property imported into its territory either directly or indirectly from an occupied territory”. As of December 18, 2003, 108 countries have ratified this Convention and 87 have acceded the Protocol, including Iraq in 1968. The United States ratified the Convention on September 25, 2008. b. Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property (UNESCO 1970) The problem of the illicit trade in antiquities—and the strong incentive for pillage of archaeological sites that it creates—was addressed at the international level by the adoption of the 1970 UNESCO Convention. The convention defines cultural property as “property, which on religious or secular grounds, is specifically designated by each state as being of importance for archaeology, prehistory, history, literature, art or science.”16 Among other things, this convention obliges State Parties to prohibit the importation of cultural property stolen from a museum or monument in another participating country17, and allows State Parties whose archaeological or ethnological patrimony is in jeopardy from pillage to ask other State Parties for help in protecting the affected categories of materials, through measures that may include restrictions on imports and exports18. Furthermore, State Parties pledge to oblige antiquities Cultural Heritage & Arts Review, Vol.1 Issue 2, Fall/Winter 2010, The American Society of International Law, p.24 16 Art.1 UNESCO Convention 1970 17 Ibid.,Art.7b 18 Ibid.,Art.9 15 ( 64 ) Cultural Claims and Cultural Property Disputes dealers “to maintain a register recording the origin of each item of cultural property, names and addresses of the supplier, description and price of each item sold”19—a requirement that would obviously serve as a very powerful deterrent to the illicit trade. Thus far 103 countries have joined the Convention. Iraq ratified in 1973, The United States adhered in 198320—the first major art-market country to do so—and simultaneously passed specific implementing legislation: the Convention on Cultural Property Implementation Act. Unfortunately, the U.S. declined to implement Article 10a, on the alleged grounds that regulation of antiquities dealers is best left to state and local governments. Most recently, Britain and Japan joined the Convention in 2002, and Denmark, Sweden and Switzerland in 2003. The Swiss ratification is particularly heartening news, since Switzerland has long been a major center for the trade of art and antiquities illegally exported from other countries. Moreover, in June 2003 the Swiss parliament adopted strong and comprehensive implementing legislation; it includes, for instance, full enactment of Article 10a21. c. Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (UNESCO 1972) The 1972 UNESCO Convention on World Heritage was adopted at the 16th General Conference of UNESCO in November 1970. This convention currently has 167 States Parties and it came into force in 1972.22 This convention aims at the preservation of immovable cultural property, such as buildings and monuments, and of natural sites, such as geological formations and the habitats of endangered species of animals and plants. This Convention has received wide international support, as it does not impose particularly onerous obligations on participating countries. To date, 730 properties from a total of 125 countries have been inscribed on the World Heritage List. Among the 730 sites are 30 cultural landscapes, which were inscribed under the cultural landscapes categories.23 Table 1. Number of properties inscribed on the World Heritage List24 TYPE OF PROPERTY Cultural properties Natural properties Mixed cultural and natural properties TOTAL TOTAL NUMBER 563 144 23 730 Ibid.,Art.10a Molly A. Torsen, Fine Art in Dark Corners: Goals and Realities of International Cultural Property Protection as Switzerland Implements the 1970 UNESCO Convention, in 8 Gonzaga. Journal International Law, Vol. 05. (2004). 21 http://www.savingantiquities.org/heritagetreaties.php Visited on September 25th 2011 at 19.00 P.M. 22 Background paper prepared by Simon Mackenzie, UNODC Consultant, on Meeting of the expert group on protection against trafficking in cultural property, Vienna, 24-26 November 2009 23 Mechtild Russler, Background Document on UNESCO World Heritage Cultural Landscapes, (Paris: UNESCO World Heritage Center), p.1. 24 Ibid.,p.2. 19 20 ( 65 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 d. UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (UNIDROIT 1995) The UNIDROIT Convention aims to harmonize the laws of participating countries regarding claims for the return of stolen or illegally exported cultural property. Perhaps the most important clause in the Convention is the principle that anyone with a stolen item in his/ her possession must in all cases restore it. This rule forces buyers to check that the goods have come onto the market legally; otherwise they will have to be returned.25 More specifically, it allows private individuals to bring claims for the return of stolen cultural property that has ended up in a foreign country; and it aims to clarify the extent to which importing countries are obliged to respect other countries’ export-control laws.26 The UNDIROIT Convention should thus be regarded as complementary to the UNESCO Convention on cultural property. Thus far, only a handful of countries have joined the UNIDROIT Convention. 5. Protection of Cultural Property To avoid cultural property disputes, its protection is indeed important. Government has to make a legislation framework of the mechanisms for management of the cultural property and the institution that will be responsible for this. In all cases, for effective heritage management, local authorities must be involved. There are a number of ways in which this can be achieved, even in cases where devolution of authority is not possible constitutionally. The central heritage regulatory authority can decentralize its function to local branches. Local heritage protection initiatives can be set up. The law can establish a protection system for the community heritage at local level, provide for local control over proposed actions to protected areas, and so on. Giving local authorities more responsibility for the supervision and granting of authorizations is also an option.27 6. Dispute Settlement for Cultural Property Disputes Leaving aside military means that are a prohibited use of force (UN Charter Articles 2 and 33), peaceful means include, inter alia, ordinary litigation, arbitration, mediation, and conciliation.28 Peaceful means are important in cultural property disputes because there are instances in which litigation in a national court may be entirely appropriate in art and cultural property disputes; for example, when a recalcitrant party is involved (as no consent is needed to start litigation), or when a legal precedent is sought which may have a deterrent effect. However, in view of the specific needs in art and cultural property disputes, litigation may not always be the optimal solution. Parties to the dispute may have different legitimate interests, and long-term professional relationships may be involved. If they go to court there is normally an overall winner and loser, Molly A. Torsen, Op.Cit. Lyndel V. Prott, Commentary on UNIDROIT Convention, (1995), p.15 27 Cultural Heritage and The Law, 2008, ICCROM International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property, Rome, p.101. 28 Carducci, Op.Cit.,p.8 25 26 ( 66 ) Cultural Claims and Cultural Property Disputes and the procedure and result are public, which may adversely affect relationships. Further, as legislation in the art and cultural heritage field is not fully harmonized internationally, there is a risk of contradictory outcomes in the courts.29 That is why ADR options such as negotiation, mediation, arbitration and expert determination, may, in some circumstances, be more advantageous in this sector. Provided each party agrees to use ADR (e.g., in an ADR contract clause or submission agreement), these private, out-of-court dispute resolution mechanisms allow them to solve their disputes in a timely, cost-efficient, sustainable and responsible manner with the assistance of one or several qualified independent mediators, arbitrators or experts.30 A mediator can assist parties in settling their dispute through facilitating dialogue and helping identifying their interests but without imposing any decision. An arbitrator renders a final, binding and internationally enforceable decision on the parties’ dispute. An expert makes a determination on a specific matter submitted by the parties, for example on the authenticity of a work. In cases which the ADR measure can’t settle the dispute, then the case should be brought to ICJ to be proceeded by litigation. As mentioned before, compare to ADR, proceeding the dispute in ICJ will take more time and cost. III.CONCLUDING REMARKS As the cultural disputes have assumed a new urgency in the international society, the international law is needed to make a regulation regarding this issue. Although some convention about the cultural property and its protection already exist, there are still some cases of looting and disputes of cultural property between countries or individuals. Therefore, the roles of international and regional organizations are also important to conduct ADR measures to settle the disputes in a peaceful way. In most of cultural property disputes, diplomacy is one of the most effective ways to settle the disputes because it’s often occur between neighboring countries. But as in some cases the ADR has failed to settle the disputes, and then the dispute should be preceded by litigation. http://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2009/04/article_0007.html. Art and Cultural Dispute Resolution. Visited on September 25th 2011 at 9:06 P.M. 30 Alternative Dispute Resolution Practitioners’ Guide, 1998, Center for Democracy and Governance, p.13. 29 ( 67 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 BIBLIOGRAPHY Alternative Dispute Resolution Practitioners’ Guide, Center for Democracy and Governance, 1998. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Kellog, West Publishing, 1990. Carducci, Guido, The Peaceful Settlement of Disputes and Cultural Property, International Council of Museums Press Release, 2006. Coombe, Rosemary J., Legal Claims to Culture in and Against the Market: Neoliberalism and the Global Proliferation of Meaningful Difference, Law Culture and the Humanities, Sage Journals online, Vol.1 No.1, (2005). Cultural Heritage & Arts Review, Vol.1 Issue 2, Fall/Winter (2010), The American Society of International Law. Cultural Heritage and The Law, Rome, ICCROM International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property, 2008. Legal Issues Regarding the Elgin Marbles and Other Stolen Antiquities, Order of AHEPA: Program Materials, 2005. Prott, Lyndel V., Commentary on UNIDROIT Convention, 1995. Russler, Mechtild, Background Document on UNESCO World Heritage Cultural Landscapes, Paris: UNESCO World Heritage Center. Torsen, Molly A., Fine Art in Dark Corners: Goals and Realities of International Cultural Property Protection as Switzerland Implements the 1970 UNESCO Convention, 8 Gonzaga. Journal International Law, Vol. 5 (2004). ( 68 ) Self Determination PENGATURAN SELF DETERMINATION DALAM HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KEMERDEKAAN NEGARA KOSOVO) Rafika Nur* Universitas Ikhsan Gorontalo E-mail: [email protected] Abstract: The right of nations to self-determination, or in short form, the right to self-determination is the specially principle in modern international law (jus cogens), binding, and normatively been regulated in various international legal instruments. Since the early 1990s, the legitimatization of the principle of national self-determination has led to an increase in the number of conflicts within states, as sub-groups seek greater self-determination and even full secession, as was done by Kosovo. Abstrak: Hak negara untuk menentukan nasib sendiri, atau dengan kata lain, hak untuk menentukan nasib sendiri adalah prinsip khusus dalam hukum internasional modern (jus cogens), bersifat mengikat, dan secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional. Sejak awal tahun 1990an, prinsip menentukan nasib sendiri telah menyebabkan peningkatan jumlah konflik di berbagai negara, kelompok yang lebih besar dalam suatu negara cenderung menentuan nasib sendiri dan pada akhirnya mendeklarasikan untuk memerdekakan diri, sebagaimana yang dilakukan oleh Kosovo. I. PENDAHULUAN Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia secara alamiah menginginkan kebebasan untuk dapat melakukan kehendaknya tanpa adanya suatu tekanan atau paksaan dari pihak lain yang dianggap akan menghalangi kebebasan kehendak tersebut. Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, dan pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan. Tuntutan kemerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis banyak terjadi, hal ini membuat kita berpikir untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya, padahal pihak yang meneriakkan kemerdekaan itu merupakan bagian dari suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Pada umumnya pihak-pihak yang menginginkan kemerdekaan tersebut adalah pihak-pihak yang merupakan golongan minoritas atau suatu etnik atau sebagian penduduk di suatu negara yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang berkuasa. Dosen Fakultas Hukum Universitas Ikhsan Gorontalo. Menyelesaikan Sarjana Hukum (SH) 2008 dari Universitas Negeri Manado dan Program Magister Hukum (MH) 2012 pada Program Pascaaarjana Universitas Hasanuddin. * ( 69 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Pada umumnya wilayah yang menginginkan kemerdekaan terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian ataupun keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling sering terdengar adalah pembentukan suatu negara baru dengan cara melakukan pemisahan dari negara asalnya. Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (all states) atau bangsa (peoples) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok.1 Hak untuk menentukan nasib sendiri (atau yang biasa dikenal dengan istilah self determination) adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajibankewajiban menurut hukum internasional. Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (peoples) dalam rangka menuntut (claiming) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (scope) dan penerapan dari hak ini.2 Selain self determination hak untuk menentukan nasib sendiri juga dikenal dengan istilah plebiscite. Plebiscite merupakan salah satu bentuk pengalihan wilayah melalui pilihan penduduknya menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk. Huala Adolf berpendapat bahwa plebisit merupakan peralihan suatu wilayah bukan antar negara berdaulat dengan negara berdaulat lainnya, tetapi peralihan terjadi antara negara berdaulat dengan penduduk di suatu wilayah.3 Martin Dixon berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan plebisit ini sebagai self determination. Masyarakat ataupun rakyat memiliki legitimasi secara Hukum Internasional untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti tercermin dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan individu, dan tidak ada suatu pihak pun yang dibenarkan untuk menghalangi ataupun mengganggu usahausaha dari suatu bangsa untuk memerdekakan diri.4 Atas dasar inilah kemudian pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2008 Parlemen Kosovo secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaannya serta menetapkan Hashim Taci sebagai Perdana Menteri dan Fatmir Sejdiu sebagai Presiden. Kemerdekaan secara sepihak ini, kemudian menimbulkan polemik dan reaksi yang bermacam-macam (pro dan kontra), bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan H. Victor Condé, A Handbook of International Human Rights Terminology (Nebraska: University of Nebraska Press, 1999). hlm.135. 2 Ibid. Lihat juga Andrey Sujatmoko, Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Dalam Perspektif Hukum Internasional, Studi Kasus Terhadap Kemerdekaan Kosovo (http:// sekartrisakti.wordpress.com/2011/05/20/ kemerdekaan-sebagai-hak-untuk-menentukan-nasib-sendiri-rightto-self-determination-dalam-perspektif-hukum-internasional-studi-kasus-terhadap-kemerdekaan-kosovo/). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:00 WITA. 3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). hlm.130-131. 4 Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. 1 ( 70 ) Self Determination negara-negara yang duduk sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, padahal, kesatuan sikap sangat dibutuhkan untuk memutuskan status final dari Kosovo.5 Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah pengaturan Self Determination dalam hukum internasional ? Dan Bagaimanakah proses Self Determination yang dilakukan oleh Negara Kosovo ? II. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Self Determination dalam Hukum Internasional 1.1. Pengaturan self determination Hak menentukan nasib sendiri (self-determiation) telah menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima dan diakui sebagai sutau norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan Jus Cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum internasional yang mengancam invaliditas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak asasi yang harus dihormati.6 Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 90-an, telah memberikan isyarat bagi berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara.7 Hal itu terjadi pada negara bekas Uni Soviet yang kini telah terpecah-pecah menjadi 15 negara dengan personalitas hukum yang baru. Termasuk juga apa yang telah terjadi di bekas negara Republik Demokrasi Sosialis Yugoslavia yang kini telah terpecah menjadi lima negara baru seperti Serbia dan Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Macedonia, belum lagi yang terjadi di bekas negara Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceko dan Republik Slovak. Kejadian-kejadian semacam ini sudah tentu bisa menimbukan preseden yang sangat berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup negara, tetapi juga kemerdekaan (independence), kedaualatan (sovereignty) serta yang terpenting lagi adalah keutuhan wilayah (territorial integrity) suatu negara.8 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional (Bandung: Mandar Maju, 1998). Hlm.100. 7 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Lihat juga Sumaryo Suryokusumo, Praktek Diplomasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001). hlm.64-65. 8 Ibid. 5 6 ( 71 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang prinsip-prinsip hukum internasional tentang kerjasama dan hubungan bersahabat di antara negara-negara sesuai dengan Piagam PBB.9 Menurut Hassan Wirajuda, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara right to dan right of self-determination. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu: 1. Right to self-determination, yang merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi); 2. Right of self-determination, yang merupakan hak yang bersumber dan merupakan konsekuensi dari right to self-determination, yaitu hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (centrally planned economy atau market economy, liberal atau terkontrol) atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau urusan dalam suatu negara.10 Dengan demikian maka, pelaksanaan right to self-determination yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (state), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.11 Sedangkan, pelaksanaan right of self-dertermination dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut misalnya diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) dari negara berupa otonomi daerah dalam berbagai bidang agar penyelenggaraan negara tidak bersifat sentralistik. Contoh lainnya, misalnya, integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara induk (seccession) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral (bilateral agreement), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara Merdeka (Commonwealth of Independent Sates/CIS).12 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Ibid. Lihat juga Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (editor), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat (Jakarta: Komnas HAM, 1999). hlm.126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara right to self-determination dan right of-determination merupakan pemikiran dari Prof. Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”. 11 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. 12 Ibid. 9 10 ( 72 ) Self Determination Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar. Kemerdekaan ke dalam (internal independence) meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar (external independence), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga.13 Negara di samping mempunyai hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya (territorial integrity) dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak bisa diganggugugat (the inviolability of territories of states).14 Oleh sebab itu, hak untuk menentukan nasib sendiri dapat dikatakan sebagai Jus cogens. Jus cogens termanifestasi dalam hukum kebiasaan internasional juga melalui konsensus secara global, dalam arti near universal, yang menghasilkan hukum kebiasaan internasional umum. Dalam pembentukan hukum kebiasaan intetrnasional sebagai jus cogens, opinio juris yang terbentuk disebut opinio juris cogentis, yang berarti keyakinan yang dirasakan negara-negara bahwa bentuk tingkah laku tertentu wajib dilakukan atau dilarang dilakukan terhadap setiap subjek hukum. Proses pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens mencakup dua unsur yang harus terpenuhi, yaitu unsur material (kebiasaan) dan unsur psikologis (opinio juris) sebagai unsur konsensual. Hak untuk menentukan nasib sendiri dianggap perlu mencakup sejumlah kewajiban yang mengikat negara-negara, termasuk kewajiban untuk mendorong dilakukannya tiindakan merealisasikan hak menentukan nasib sendiri baik melalui kerjasama maupun tersendiri, dan menyerahkan kekuasaan berdaulat kepada rakyat yang berhak atas hak ini dan kewajiban untuk menghindari tindakan pemaksaan yang dinilai merintangi rakyat menikmati hak ini. Kewajiban-kewajiban ini telah ditegaskan atau tersirat dalam deklarasi-deklarasi tersebut Ibid. Lihat juga Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition (New York: Appleton Century Croft, 1965). hlm.296-297. 14 Ibid. Lihat juga Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional (Jakarta: Makalah di sampaikan di Universitas Trisakti, 2002). 13 ( 73 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 di atas yang disahkan oleh Majelis Umum, dan memperoleh dukungan dalam praktik pada dekade terakhir ini. Pertama, telah terjadi emansipasi beberapa wilayah koloni atau wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Yang kedua, telah terasa pengaruh Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah yang telah disebut di atas. Dalam deklarasi ini Majelis Umum menyatakan perlunya mempercepat dan mengakhiri dengan cepat tanpa syarat bentuk kolonialisme dan menifestasinya dan menyerukan pengambilan langkah-langkah segera guna menyerahkan semua kekuasaan kepada rakyat di wilayah-wilayah yang belum merdeka. Kewajiban-kewajiban yang dianggap memaksa dalam Piagam PBB terutama diatur dalam Pasal 2 Piagam, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip organisasi. Prinsip-prinsip dalam Pasal 2 juga merupakan kaidah hukum internasional umum, karena telah diakui secara near universal, sehingga prinsip-prinsip ini adalah jus cogens. Selain itu ketentuan lain dalam Piagam yang juga merupakan jus cogens adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (pembukaan, Pasal 1, 55, 56, 62, 68 dan 76). 1. Prinsip persamaan kedaulatan (ayat 1); 2. Prinsip itikad baik (ayat 2); 3. Prinsip penyelesaian perselisihan dengan cara damai (ayat 3); 4. Prinsip tidak mengancam dengan atau menggunakan kekerasan (ayat 4); 5. Prinsip non-intervensi urusan domestik negara lain (ayat 7). Selain itu, hak untuk menentukan nasib sendiri sangat erat kaitannya dengan masalah pengakuan. Di tingkat internasional adalah sudah lazim apabila suatu negara yang terlebih dahulu eksis memberikan pengakuan atas keberadaan negara atau pemerintahan yang lebih muda usianya. Sebagai contoh, pada masa dekolonisasi, negara-negara yang menjadi korban kolonisasi sangat gencar mencari pengakuan akan eksistensinya sebagai sebuah negara yang tidak kalah berdaulatnya daripada negara-negara eks-koloninya. Namun, dalam praktek, pengakuan lebih banyak diberikan karena kalkulasi yang bersifat politis daripada hukum.15 Pada umumnya, para penulis berpendapat bahwa masalah pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Mengenai hal ini, Akehurst berpendapat bahwa pengakuan merupakan salah satu topik yang paling sulit dalam hukum internasional karena merupakan percampuran dari politik, hukum internasional dan hukum nasional. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “Recognition is one of the most difficult topics in internatinonal law. It is a confusing mixture of politics, international and municipal law”.16 Fenwick mendefenisikan pemberian pengakuan pemberontakan gerakan separatis sebagai pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai pengacau, jika mereka tertangkap dan bahwa kaum pemberontak berhak untuk menerima perbekalan Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Lihat juga Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006). hlm.131. 16 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Lihat juga Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law (London: George Allen dan Unwin, 1982). hlm.57. 15 ( 74 ) Self Determination dari negara-negara netral.17 Pengakuan juga dikatakan rumit, karena pada kenyataannya tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum internasional yang mengatur masalah ini, terlebih lagi besarnya pengaruh faktor politik dalam hal pengakuan. Starke memberikan rumusan pengakuan (“recognition”) secara lengkap sebagai berikut: “The free act by which one or more States acknowledge the existence on a definite territory of a human society politically organized, independent of any other existing State, and capable of observing the obligations of international law, and by which they manifest their intention to consider it a member of the international community.”18 Berdasarkan rumusan di atas, maka pengakuan pada intinya merupakan tindakan yang bersifat bebas dari negara untuk mengakui eksistensi negara lain. Masih ada beberapa kesulitan mengenai apa yang dinyatakan sebagai “penentuan nasib sendiri” (self-determination) baik dalam hal artinya maupun yang tercakup dalam istilah tersebut. Beberapa penulis menolak untuk menganggap hak ini sebagai suatu hak yang sifatnya mutlak, mereka menekankan bahwa hak ini harus dianggap ada dalam konteks rakyat atau kelompok yang menuntut pelaksanaan hak tersebut. Tampaknya hak untuk menentukan nasib sendiri berkonotasi kepada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang belum merdeka melalui plebisit (plebiscite) atau metodemetode lainnya untuk memastikan kehendak rakyat. Persoalan lain yang cukup rumit adalah untuk menentukan masyarakat manusia mana yang merupakan “rakyat” yaitu mereka yang memiliki hak menentukan nasib sendiri. Aspekaspek seperti kesamaan wilayah, kesamaan bahasa dan kesamaan tujuan politik mungkin harus dipertimbangkan. Singkatnya, secara wajar haruslah ada suatu unit wilayah yang sama bagi rakyat pada siapa hak tersebut dianggap dapat diberikan. Di luar hal ini, ada persoalan mengenai sejauh manakah hak menentukan nasib sendiri tersebut akan memperbolehkan pemisahan bagian wilayah dari suatu wilayah. Suatu hak pemisahan diri yang tidak memenuhi syarat, yang timbul dari hak menentukan nasib sendiri, dapat menimbulkan kekacauan terhadap sistem-sistem kenegaraan. Penentuan nasib sendiri tidak perlu hanya menyangkut atau secara eksklusif merupakan hak untuk memilih status negara otonom, tetapi juga pilihan untuk berintegrasi dengan negara induk. Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban negara tahun 1933 yang tidak mensyaratkan adanya pengakuan bagi suatu negara baru. Adapun syarat-syarat bagi negara baru adalah adanya wilayah, adanya penduduk, adanya pemerintahan dan kemampuan untuk melakukan hubungan dengan subjek hukum internasional lainnya. Dalam praktek, akhirakhir ini, kebanyakan penulis lebih menerima teori deklaratori yang tercermin dalam Pasal 3 dari Konvensi Montevideo, yaitu dikatakan bahwa eksistensi secara politik dari negara tidak tergantung (independent) dari pengakuan negara lain (the political exsistence of the State is independent of recognition by the other States).19 Bachtiar Hamzah & Sulaiman Hamid. Hukum Internasional II (Medan: USU PRESS). hlm.30. Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Lihat juga J.G. Starke, Introduction to International Law (London: Butterworth, 1989). hlm.151. 19 Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Lihat juga John O’Brien, International Law (London: Cavendis, 2001). hlm.172. 17 18 ( 75 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Dan perlu diketahui bahwa selain itu, juga terdapat konsep self internal determination yang menyangkut aspek yang sedikit lebih luas, hal itu dikarenakan konsep self internal determination tersebut tidak semata-mata menyangkut sebatas pada penentuan nasib sendiri saja, melainkan juga dapat berkembang menjadi konsep yang memberi ruang otonom bagi suatu kelompok di dalam suatu wilayah negara yang dimana hal tersebut merupakan pengakuan filosofis di dalam menterjemahkan aspirasi dan keberadaan suatu kelompok tersebut. Dari konsep itu juga kita dapat mengetahui bahwa secara tidak langsung konsep tersebut membuka jalan bagi suatu kelompok untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri melalui sistemnya sendiri meskipun ia berada di dalam suatu wilayah negara tertentu. Implikasi konsep tersebut terhadap pemenuhan atas hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Implikasi konsep self determination tersebut terhadap pemenuhan atas hak sipil dan politik adalah, pada konsep dari self determination yang dikedepankan adalah hak untuk menetukan nasib sendiri. Dan pada kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik ditegaskan bahwa semua bangsa berhak untuk menentukan status politik mereka, bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya mereka, mereka mengakui dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan tersebut, dan lain sebagainya. Jadi, jika dihubungkan maka kedua hal tersebut yaitu konsep self determination dan hak sipil dan politik tersebut dapat berjalan beriringan. Atau dengan kata lain, antara self determination dan hak sipil dan politik tersebut dapat saling melengkapi, dimana hak menentukan nasib sendiri (self determination) itu dapat dijadikan dasar untuk kebebasan di dalam menentukan hak sipil dan politik. Bagitu juga dengan implikasi konsep self determination tersebut terhadap pemenuhan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah, pada konsep self determination yang dikedepankan adalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Dan pada kovenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ditegaskan bahwa mereka memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, mengakui hak atas pekerja, dan lain sebagainya. Jadi, jika dihubungkan maka kedua hal tersebut, yaitu konsep self determination dan hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut juga dapat berjalan beriringan sebagaimana seperti hakhak yang lain. Atau dengan kata lain, antara self determination dan hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut dapat saling melengkapi dimana hak menentukan nasib sendiri (self determination) itu dapat dijadikan dasar untuk memperolah kebebasan di dalam menentukan hak ekonomi, sosial, dan budaya. 1.2. Nasionalisme tinggi melahirkan self determination Memahami nasionalisme merupakan hal penting untuk membuka gerbang pemahaman tentang interaksi antar aktor dalam dinamika hubungan internasional, karena nasionalisme merupakan salah satu elemen esensial dalam hubungan internasional. Nasionalisme sebagai sebuah sistem keyakinan dan ideologi serta sebagai gerakan politik telah menjadi salah satu proses formatif dalam penciptaan dunia kontemporer serta sebagai unsur penting dalam ( 76 ) Self Determination proses globalisasi.20 Oleh karena itu, diperlukan pemahaman secara mendalam tentang apa itu nasionalisme dan bagaimana peranannya dalam hubungan internasional. Secara sederhana nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu kesadaran aktor dalam suatu negara akan pentingnya semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Menurut Anderson dalam konsep imagined communities nasionalisme dipahami sebagai imajinasi dari sebuah komunitas, nasionalisme merupakan sebuah abstraksi yang tidak dapat dijelaskan secara gamblang, konsep Anderson terhadap nasionalisme berakar dari asumsi bahwa bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak seluruhnya mengenal satu sama lain, namun dalam pikiran mereka terdapat konstruksi bayangan komunitas yang menyatukan mereka sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan ini disebut sebagai nasionalisme. Namun, pengertian nasionalisme sebagai suatu nilai yang dapat membangun rasa cinta tanah air tidak serta-merta disetujui oleh berbagai pihak, mengingat terdapat berbagai konsep dasar mengenai nasionalisme,21 misalnya saja, di negara-negara barat nasionalisme digambarkan sebagai rasa kecintaan akan bangsa sendiri dan cenderung ingin menguasai bangsa lain. Mengutip pernyataan Amitai Etzioni nasionalisme diartikan sebagai refleksi superioritas bangsa sendiri atas bangsa lain dan merupakan ukuran dari xenophobia terhadap bangsa lain.22 Setiap negara di belahan bumi memiliki perspektif yang berbeda bagaimana mengartikan nasionalisme, terutama di belahan dunia timur dan barat memiliki perspektif yang sama sekali berbeda. Perbedaan tersebut diakibatkan sejarah yang berbeda pula sehingga membentuk mindset nasionalisme yang beragam. Perbedaan perspektif tentang nasionalisme mengakibatkan keberagaman yang membedakan bangsa satu dengan bagsa lainnya, yang pada akhirnya pembeda tersebut menjadi sebuah identitas suatu bangsa. Identitas inilah yang membuat interaksi dalam hubungan internasional terus berjalan.23 Perbedaan perspektif tersebut dikualifikasikan menjadi perspektif positif dan perspektif negatif. Dalam perspektif positif nasionalisme diarikan sebagai rasa saling memiliki dan identitas konstruktif yang dibutuhkan suatu bangsa demi menjaga keutuhan bangsa dan tanah airnya, contohnya saja Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku memerlukan rasa nasionalisme yang tinggi untuk menghindari perpecahan diantara suku-suku tersebut, founding fathers Indonesia menginginkan suatu injeksi doktrin sense of self belonging sebagai political reason untuk menjaga keutuhan bangsa, berbeda dengan perspektif positif, perspektif negatif lebih menekankan nasionalisme sebagai perasaan superior dan menuntun ke perpecahan dan hancurnya negara modern karena nasionalisme dapat memicu munculnya paham ethnosentrisme yang cenderung menjadi irasional dan fanatik. Sering kali sikap permusuhan kepada bangsa lain muncul dari nasionalisme yang mendarah daging. Mahrita, The Janus Face Of Nasionalism (http://mahrita-fisip12.web.unair .ac.id/artikel_detail64298Pengantar%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional-The%20Janus%20Face%20of%20Nationalism. html). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:15 WITA. Lihat juga J. Halliday, “Nationalism” in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition (Oxford: Oxford University Press, 1994). hlm.440. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid. 20 ( 77 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Di Jerman misalnya, nasionalisme yang cenderung berlandaskan ikatan “darah” yang emosional memunculkan sikap anti-semit, maka tak heran jika selama Hitler bersama Nazi berkuasa lahir undang-undang yang diskriminatif terhadap orang-orang Yahudi. Blut und Boden (Darah dan Tanah Air) merupakan gagasan yang mewarnai doktrin nasionalisme yang dikampanyekan oleh Nazi.24 Nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari eksistensi negara dan bangsa. Negara merupakan suatu organisasi politik yang memiliki wilayah, penduduk, mendapat pengakuan de facto maupun de jure dari negara lain atas eksistensinya sebagai negara dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan bangsa (nation) merupakan komunitas politik imajiner dalam wilayah dan batas yang jelas yang memiliki rasa kebersamaan dan senasib antar anggotanya.25 Nasionalisme telah membagi konsep terbentuknya negara ke dalam beberapa kategori, pertama adalah nation-state dimana negara terbentuk setelah adanya bangsa, pada awalnya hanya terdapat suatu kumpulan masyrakat yang memiliki kesamaan dalam bahasa, suku dan ras kemudian berkomitmen untuk membentuk suatu pemerintahan yang memiliki legitimasi hukum dan berdaulat, contohnya adalah Jepang, Jepang yang pada awalnya terdiri atas suku Ainu yang homogen pada akhirnya sepakat untuk membentuk suatu negara yang berdaulat dalam pemerintahan yang sah. Selanjutnya adalah state-nation, masyarakat dalam suatu negara sepakat menjadi sebuah bangsa setelah negara tersebut terbentuk, contohnya adalah Amerika Serikat.26 Selanjutnya adalah state without nation yang didefinisikan sebagai negara yang tidak memiliki identitas yang khas yang lahir dari orang-orang yang menduduki negara tersebut. Contohnya adalah Singapura. Sedangkan nation without state adalah sebuah bangsa yang tidak memiliki batas territorial yang jelas dan kekuasaan politik yang tidak stabil, misalnya Palestina.27 Sebagai elemen esensial dalam hubungan internasional, nasionalisme memiliki peran ganda baik dalam mempengaruhi perkembangan interaksi hubungan internasional antar negara maupun hubungannya seiring perkembangan globalisasi dewasa ini. Peran nasionalisme dalam interaksi hubungan internasional seperti dua sisi mata uang yang berbeda, nasionalisme memiliki peran positif maupun negatif yang keduanya dapat memberikan pengaruh terhadap sistem fungsional interaksi hubungan internasional, sebagai peran positif nasionalisme dapat dijadikan sebagai national power yang mempermudah negara untuk mewujudkan national interest.28 Sikap loyal terhadap negara akan memicu masyarakat untuk berkontribusi aktif dalam pembangunan negara, meningkatnya kontribusi masyarakat terhadap negara dapat meningkatkan aktualisasi national power suatu bangsa yang nantinya dapat digunakan pemerintah untuk berinteraksi dengan negara lain demi tercapainya national interest. Mahrita, Loc.Cit. Lihat juga Harun Yahya, Nasionalisme Romantik (Jakarta: Dzikra, 2011). hlm.13. Mahrita, Loc.Cit. Lihat juga Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1992). hlm.42. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Ibid. 24 25 ( 78 ) Self Determination Contohnya adalah kerja keras dan loyalitas kepada negara yang ditunjukan oleh rakyat China yang berhasil membangun negaranya menjadi negara raksasa dunia yang mampu bersaing dengan negara-negara adidaya lainnya seperti Amerika. Namun, nasionalisme juga dapat menjadi boomerang bagi suatu bangsa dikala rasa nasionalisme tersebut sudah terlalu berlebihan dan menimbulkan rasa cinta tanah air yang berlebihan (Chauvanisme). Hal ini akan mengakibatkan rasa superior yang cenderung ingin menguasai bangsa lain karena rasa bangga yang berlebihan dengan bangsanya sendiri dan perasaan berhak untuk menguasai dunia. Contohnya adalah Italia dibawah kekuasaan Benito Mussolini menjadi negara yang fasis dan berhasil menguasai Ethiopia dan Albania.29 Nasionalisme berkembang seiring perkembangan globalisasi, terdapat dua sisi yang saling berkontradiksi, globalisasi dapat memperkuat nasionalisme (nation-building) dan di sisi lain dapat meruntuhkan nasionalisme suatu bangsa (nation-destroying). Pada nationbuilding globalisasi dengan prinsip keterbukaan dan pesatnya perkembangan teknologiinformasi semakin mempermudah suatu negara untuk mengekspos dan mempromosikan kebudayaannya, penyebarluasan budaya akan semakin mudah melalui teknologi yang maju dan dapat diakses di belahan dunia manapun. Namun, di lain pihak globalisasi dapat membawa kehancuran bagi suatu negara, globalisasi dengan segala perkembangannya memicu semakin meningkatnya keinginan masyrakat untuk mendefinisikan identitas mereka di luar kesatuan negara. Masyarakat suatu bangsa akan lebih merasa menjadi masyarakat global daripada menjadi masyarakat negaranya sendiri, paham ini disebut sebagai paham cosmopolitanisme, yang berujung pada hilangnya identitas suatu negara karena tidak ada lagi pelestarian budaya sendiri oleh masyarakatnya. Hal ini merupakan bentuk baru dari penjajahan.30 Jadi dapat dikatakan bahwa nasionalisme sebagai elemen yang tidak dapat dipisahkan dari negara dan bangsa tidak memiliki definisi tunggal, terdapat perbedaan perspektif untuk mendefinisikan nasionalisme bagi setiap negara, nasionalisme merupakan roh dari konsep negara, dari rasa nasionalisme yang terkonstruktif dalam diri setiap masyarakat terbentuklah suatu negara yang berdaulat dengan prinsip self determination. Sebagai elemen penting nasionalisme memiliki dua wajah yang saling berkontradiktif, nasionalisme dapat menjadi sebuah pondasi yang kuat bagi keutuhan bangsa namun, dilain pihak dapat menjadi sebuah boomerang yang memicu pecahnya peperangan antar negara. Pada akhirnya, penggunaan rasa nasionalisme yang bijak dengan masih mengedepankan rasa menghargai antar bangsa, nasionalisme dapat dijadikan sebagai sumber power untuk dijadikan identitas yang kuat dalam melakukan interaksi hubungan internasional.31 1.3. Kedaulatan wilayah dan self determination Salah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan. Cara-cara tradisional 29 30 31 Ibid. Ibid. Ibid. ( 79 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 mendapatkan suatu wilayah, yaitu: Pertama, Occupation/Pendudukan. Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yakni: 1) Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja. Lihat kasus Cooper v Stuart (1889) 14 AC 286; 2) Proses kepemilikan harus dilakukan oleh negara dan bukan sektor swasta atau bahkan individual; 3) Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi “terbuka, terus menerus, efektif dan damai”. Lihat kasus Island Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. Lihat juga Clipperton Islands Case (1931) 2 RIAA 1105 dan Minquiers and Ecrehos Islands Case (1953) ICJ Reports, hlm.47; 4) Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa “A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority”. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi.32 Kedua, Prescription/Preskripsi. Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini, yakni 1) Immemorial Possession, dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi; dan 2) Adverse Possession, kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya di wilayah tersebut. Penguasa baru dalam hal ini harus mendapatkan semacam “pembiaran” atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Lihat di Chamizal Arbitration (1911) 9 RIAA 316. Dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.33 Ketiga, Accretion dan Avulsion. Accretion disebabkan oleh gerakan alam yang terjadi secara bertahap sehingga memunculkan/mengurangi wilayah bagi suatu negara, misalnya proses pengendapan atau erosi akibat gerakan sungai. Sementara itu Avulsion adalah gerakan alam secara mendadak yang merubah landscape suatu negara sehingga sebagain wilayah B. Danang Setianto, Kedaulatan Wilayah (http://www.unika.ac.id/staff/ blog/benny/20). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:45 WITA. 33 Ibid. 32 ( 80 ) Self Determination menjadi hilang/bertambah. Dalam proses accretion, maka garis perbatasan bisa berubah sesuai dengan gerakan alam yang perlahan dan bertahap tadi namun dalam situasi avulsion, maka garis perbatasan suatu negara tidak berubah. Lihat Lousiana v Mississippi (1940) 282 US 458.34 Keempat, Cession. Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yang diikuti dengan pembayaran adalah Lousiana dari Perancis dan Alaska dari Rusia ke Amerika Serikat.35 Kelima, Conquest/Penaklukan. Sebelum negara-negara sepakat untuk mencegah penggunaan kekerasan sebagai kebijakan nasional, perolehan suatu wilayah baru dapat dilakukan dengan jalan melakukan penaklukan terhadap kekuasaan negara lain. 1) Subjugation atau Debellation adalah kondisi dimana angakatan bersenjata suatu negara telah dihancurlebrukan oleh kekuatan pendatang yang kemudian menguasai dan menaklukkan wilayah tersebut; 2) Implied Abandonment adalah kondisi dimana angkatan bersenjata yang kalah dalam peperangan pergi meninggalkan suatu wilayah sehingga memungkin angkatan bersenjata negara lain untuk masuk dan menaklukan wilayah tersebut. Doktrin “Intertemporal Law”, Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.36 Sedangkan prinsip-prinsip modern tentang kedaulatan wilayah, dijelaskan sebagai berikut, yakni: 1) Self-Determination Dalam Status of South-West Africa Case (1950) ICJ Reports, hlm.6, Mahkamah Internasional mengakui bahwa prinsip self determination (menentukan nasib sendiri) sebagai faktor yang penting bagi kemerdekaan Namibia dari Afrika Barat Daya. Hal ini sesuai pula dengan prinsip yang ditetapkan dalam Resolusi Sidang Umum PBB No. 2625. Serupa dengan itu, dalam Western Sahara Case (1975) ICJ Reports, hlm.12 menerapkan lagi prinsip self determination dengan menyatakan bahwa klaim penduduk asli tentang kedaulatan wilayah tidak mengalahkan kedaulatan wilayah yang diklaim oleh negara yang ada di sana; 2) Uti Possidetis, Prinsip ini pertama kali digunakan di negara bekas jajahan Spanyol di wilayah Amerika Latin untuk menyelesaikan kasus perbatasan. Menurut prinsip ini, Batas administrasi yang dibuat oleh negara penjajah digunakan sebagai batas baru antara negaranegara yang baru saja merdeka dari penjajahan. Prinsip ini digunakan dalam kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali) (1986) ICJ Reports, hlm.554. Hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan garis batas yang telah berlaku efektif sejak masa penjajahan. Prinsip ini digunakan lagi dalam Case Concerning Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador v Honduras, Nicaragua intervening) (1992) ICJ Reports, hlm.351. Dalam kasus ini, 34 35 36 Ibid. Ibid. Ibid. ( 81 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 perbatasan yang dibuat oleh penjajah ditransformasikan menjadi garis batas internasional; 3) Perjanjian Perbatasan, perbatasan yang dihasilkan dari sebuah perjanjian internasional dianggap sebagai batas utama dan terpisah dari perjanjian yang menyebutkan hal itu. Prinsip ini diakui oleh Mahkamah Internasional dalam Case Concerning the Territorial Dispute between Libya and Chad (1994) ICJ Reports, hlm.6. Meski perjanjiannya sendiri memiliki batas waktu. Namun, persoalan perbatasan yang ada di dalam perjanjian tersebut dianggap masih terus berlangsung. 1.4. Self determination dan pengakuan terhadap negara baru Ada dua konsepsi mengenai kemerdekaan (freedom, liberty). Isaiah Berlin (Two Concept of Liberty) menyebut dua hal yang berbeda mengenai kemerdekaan. Pertama, Kebebasan negatif. Istilah ini tercermin dalam istilah, “Don’t touch me, leave me alone”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia tidak dihambat secara fisik oleh orang lain. Konsep ini melahirkan terminologi “non-intervensi” dalamkonsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedua, Kebebasan positif. Istilah ini berarti “kebebasan untuk melakukan sesuatu”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia bisa memilih tindakan secara sadar. Konsep ini melahirkan terminologi “ self-determination” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konseptualisasi Berlin mengenai dua bentuk kebebasan tersebut, kemudian diadopsi dalam dua prinsip penting United Nations (PBB) tentang Negara, yakni non-intervention dan self-determination. Konsepsi inilah yang dipegang sebagai tolak ukur kemerdekaan dalam pergaulan antar-bangsa saat ini.37 Dalam suatu naskah perjanjian internasional antara beberapa negara Amerika latin dan Amerika Serikat tahun 1933 di kota Montividio lahirlah apa yang disebut dengan Montividio Convention on the Right and Duties of States. Pasal satu dari perjanjian tersebut berbunyi : “The state as a person of international law should possess the following qualification : 1. A permanent population 2. A defined territory 3. A goverment, and 4. A capacity to enter into relations with other States”.38 Syarat yang keempat adalah merupakan bagian dari suatu kedaulatan, artinya lebih bersifat keluar. Sedangkan tiga syarat sebelumnya merupakan aspek intern, artinya ditujukan ke dalam negara itu sendiri. Hal tersebut berupa suatu kekuasaan untuk mengatur sendiri luas dan struktur kekuasaan, bentuk dan organisasi negara, serta menentukan sendiri sistem pemerintahan dan hukum yang berlaku di dalam negara tanpa bergantung kepada persetujuan dan izin suatu negara lain.39 Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Negara, Otonomi, dan Moralitas Munculnya Hubungan Internasional Modern (http://www.academia.edu/2309717 /Teori_ Politik_Internasional _4_Negara_Otonomi_dan_Moralitas). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 16:00 WITA. 38 Indra Hardian Mulyadi, Syarat Negara, Antara Teori dan Realita (http://indrahardianm.blogspot. com/2009/01/syarat-negara-antara-teori-dan-realita. html). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 16:15 WITA. 39 Ibid. 37 ( 82 ) Self Determination Dengan melihat keharusan mutlak adanya empat elemen konstitutif yang esensial dari negara, maka dapat dikatakan bahwa negara adalah “Suatu organisasi masyarakat yang meliputi satu kelompok atau satu golongan orang-orang yang mendiami suatu daerah tertentu secara tetap dan bersatu di bawah suatu pemerintahan, serta memiliki kekuasaan tinggi, bebas dari kekuasaan negara lain”.40 Selain empat elemen tersebut ada yang memasukan unsur pengakuan sebagai syarat mutlak adanya negara. Hal ini dikarenakan tidak dibedakannya Statehood dan an international person. Yang pertama adalah keberadaan negara, sedangkan yang kedua adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat turut serta dalam hubungan internasional. Empat elemen dalam konvensi Montevidio yang meliputi penduduk, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan adalah syarat-syarat untuk mempunyai status atau kedudukan negara. Karena keempat syarat tersebut terdapat dalam negara itu sendiri maka sifatnya intern. Sedangkan pengakuan adalah syarat untuk ikut serta dalam percaturan internasional dan bukan syarat untuk eksistensi negara, karenanya bersifat ekstern.41 Dalam buku International Law dikatakan bahwa, “…statehood alone does not imply membership of the family of nation …. A state is, and becomes, an international person through recognition only and exclusively”. Pada prinsipnya “pengakuan” dipandang sebagai syarat untuk dapat menjadi an international person, negara sebagai suatu physical fact ditingkatkan menjadi juridical fact. Dengan konsep tersebut adalah menjadi suatu keharusan, bahwa sebuah negara hanya bisa mendapat pengakuan manakala sudah memenuhi syarat Statehood. Akan tetapi pada kenyataannya, sejarah memberikan gambaran lain, bahwa ternyata pernah terjadi ada suatu negara yang belum memenuhi syarat sebagai Statehood kemudian mendapatkan suatu pengakuan.42 Bukti di atas misalnya yang terjadi dengan negara Israel yang pada bulan Mei 1949 sudah diterima menjadi anggota PBB, yang berarti Israel sudah mendapat pengakuan sebagai negara oleh PBB. Pedahal pada waktu itu Israel belum memenuhi syarat Physical condition untuk menjadi negara, sebab belum memiliki daerah yang tegas batas-batasnya karena masih dalam kondisi peperangan dengan bangsa Arab. Batas daerahnya justru masih diperjuangkan melalui peperangan tersebut. Dengan adanya pengakuan tersebut, Israel sudah ditingkatkan menjadi juridical fact meskipun belum memenuhi syarat-syarat yang lengkap dan bulat.43 Dengan bukti tersebut kita bisa melihat bahwa pengakuan sering kali tidak di dasarkan kepada terpenuhinya seluruh syarat materiil dan formal dari suatu negara, akan tetapi lebih karena di dasarkan kepada pertimbangan kepentingan politik belaka. Dengan demikian pengakuan bukanlah merupakan legal construction melainkan suatu political action yang ditentukan oleh kepentingan politik negara yang memberikan pengakuan tersebut. Berdasarkan gambaran tersebut di atas adalah salah jika menganggap bahwa eksistensi negara ditentukan oleh adanya pengakuan terhadap negara tersebut. Karenanya jika elemen konstitutif sudah 40 41 42 43 Ibid. Ibid. Ibid. Ibid. ( 83 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 dimiliki oleh suatu negara, maka sekalipun pengakuan tidak diberikan oleh negara lain, eksistensi negara tersebut tetap merupakan suatu kenyataan yang konkret.44 Pengertian dari kedaulatan dalam perjalan sejarahnya sudah mengalami pergeseran dan pengembangan, sedemikian, sehingga saat sekarang sangat sulit untuk menentukan secara pasti pengertian tersebut. Hanya jika kita mencoba melacaknya, pengertian tersebut dalam sejarah ilmu politik pertama kali dilontarkan oleh Bodin (1530-1596) dalam bukunya Six Lives de la Republique. Dalam teorinya Bodin menyatakan bahwa kedaulatan adalah satu hal yang esensial dalam sebuah negara, dan bahwa pemegang kekuasaan yang sah dalam negara sadalah raja. Kekuasaan raja hanya bisa di batasi oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Pada perkembangan berikutnya, di kalangan ilmuwan politik berkembang beragam teori mengenai kedaulatan. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki kesamaan pandangan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Sebahagian menganut teori kedaulatan Tuhan yang melahirkan negara Teokrasi, yang lain menganut teori kedaulatan negara yang melahirkan paham etatisme yang mendewakan negara dan mengijinkannya untuk memasuki setiap sendi kehidupan hatta bersifat pribadi sekalipun. Yang lain menganut teori kedaulatan rakyat yang melahirkan faham demokrasi. Yang lainnya menganut teori kedaulatan hukum yang tidak menerima kekuasaan seseorang. Mereka menganggap bahwa hukumlah yang memiliki kekuasaan tertinggi, akan tetapi menjadi satu titik lemah ketika kemudian tidak ada kesamaan mengenai apa yang disebut dengan adil.45 Dalam kepustakaan hukum internasional, suatu negara yang berdaulat biasanya ditandai dengan kemampuan untuk mengurus kepentingan dalam negeri dan luar negerinya sendiri dengan tidak bergantung kepada negara lain. Dengan demikian kedaulatan bisa dibagi dua, yakni kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal. Yang pertama adalah satu kemampuan untuk mengatur organisasi negara, pembentukan hukum, susunan peradilan, dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kehendak dan keinsyafan sendiri, tanpa keharusan adanya persetujuan dan ijin negara lain. Kekuasaan ini bersifat mengikat kepada semua penduduk dan segala bentuk asosiasi mereka di wilayah yuridiksi negara bersangkutan.46 Sebagai organisasi teritorial negara dapat memaksakan kekuasaannya terhadap semua organisasi, semua badan dan semua orang yang berada dalam batas-batas wilayah negara. Dengan demikian kedaulatan merupakan suatu kekuasaan tertinggi yang memberikan perintah kepada semua orang dan tidak menerima perintah siapapun. Empat elemen dari syarat-syarat negara tersebut, sebagai Statehood ditambah satu elemen yang menjadikan negara sebagai an international person pada kenyataannya sering kali tidak berjalan sesuai teori. Negara sebagai sebuah organisasi politik masyarakat dipandang sah atau tidak pada kenyataannya sangat bergantung kepada seberapa kuat negara tersebut mampu mempertahankan eksistensi dirinya.47 44 45 46 47 Ibid. Ibid. Ibid. Ibid. ( 84 ) Self Determination Sebagai satu contoh adalah Israel sebuah negara kecil di Timur Tengah, adalah satu prototype negara yang mampu mempertahankan eksistensi dirinya. Sehingga sekalipun pada awalnya negara tersebut tidak memiliki wilayah yang tegas dengan batas teritorial yang pasti toh tetap mendapat pengakuan sebagai sebuah negara. Hal ini terjadi tidak lain dikarenakan begitu kuatnya dominasi gerakan Zionisme Internasional mencengkramkan kuku-kuku kekuatannya di setiap negeri. Bahkan kenyataan sekarang negeri seabsah Palestina akhirnya harus merunduk-runduk, mengemis, untuk bisa diakui sebagai sebuah negara. Memang benar hal ini bukanlah legal construction melainkan political action.48 2. Proses Self Determination yang Dilakukan oleh Negara Kosovo Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2008. Deklarasi kemerdekaan ini merupakan tindakan unilateral karena tidak didukung PBB (dalam hal ini Dewan Keamanan). Deklarasi ini didukung negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa lain, Vietnam, dan beberapa negara lain. Memancing tanggapan Dewan Keamanan sekali lagi pecah dan tidak mampu menyelesaikan masalah status final Kosovo melalui perundingan sebagaimana tersirat dalam Resolusi 1244 (1999) Dewan Keamanan. Kenyataannya, Kosovo sudah menjadi negara merdeka.49 Masalah pengakuan terhadap kemerdekaan Kosovo yang dideklarasikan secara sepihak itu memancing tanggapan berbeda-beda antara para pakar dan politisi. Hingga kini, pemerintah Indonesia sendiri belum memutuskan apakah akan memberi pengakuan. Masalah Kosovo mempunyai sejarah panjang, berdarah, dan amat kompleks. Proses menuju ke deklarasi kemerdekaan unilateral pun penuh kontroversi. Karena itu, masalah pengakuan terhadap Kosovo yang dideklarasikan secara unilateral perlu dilihat lebih cermat dan hati-hati agar persoalan dan implikasinya bagi kepentingan nasional dapat dilihat secara jernih dan tidak dijadikan komoditas politik berdasarkan pengamatan sejenak atau didorong sentimen etnis atau agama. Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90 persen etnis Albania yang Muslim, 5,3 persen etnis Serbia yang Katolik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lain.50 Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi Pemerintah Serbia di Belgrade, menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif. Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri Kosovo Liberation Army (KLA) melawan pasukan Yugoslavia yang dengan kekuatan militer ingin mencegah Kosovo memisahkan diri. Perang tahun 1996-1998 dapat dihentikan dengan kampanye pengeboman NATO secara besar-besaran terhadap sasaran-sasaran Yugoslavia, dengan tujuan sebagaimana dinyatakan juru bicara NATO, “Serbs out, peacekeepers Ibid. Nugroho Wisnumurti, Kosovo Merdeka, Hak Atau Separatisme ? (http:// elshamnewsservice. wordpress.com/2008/02/25/kosovo-merdeka-hak-atau-separatisme-oleh-nugroho-wisnumurti/). Kompas 23 Februari 2008, Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:30 WITA. 50 Ibid. 48 49 ( 85 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 in, refugees back”. Perlu ditekankan, serangan NATO ini amat kontroversial karena merupakan intervensi militer yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB, yang berdasar Piagam PBB berwenang menggunakan kekuatan militer terhadap negara lain. Dengan demikian, intervensi militer NATO dapat dikatakan sebagai “tindakan unilateral kolektif”. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999) pada 10 Juni 1999, yang menempatkan provinsi Kosovo di bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan self-government di Kosovo dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas status Kosovo belum ditentukan.51 Resolusi itu tidak menyebut bentuk penyelesaian final atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan kedaulatan dan integritas teritorial Republik Federal Yugoslavia. Perundingan macet, Status final Kosovo dirintis melalui negosiasi yang dimulai tahun 2006 di bawah pimpinan Utusan Khusus Sekjen PBB Martti Ahtisaari, mantan fasilitator Perundingan Helsinki mengenai Aceh. Negosiasi amat alot karena kedua pihak, Serbia dan Kosovo, bersikukuh pada posisinya, yakni Serbia hanya bisa menerima otonomi luas bagi Provinsi Kopsovo, sedangkan Kosovo hanya bisa menerima kemerdekaan Kosovo. Akhirnya, tanggal 26 Maret 2007, kepada Dewan Keamanan PBB, Ahtisaari melaporkan, perundingan mengalami kemacetan. Namun, dia menyampaikan draf penyelesaian status Kosovo yang mengusulkan agar Kosovo diberi kemerdekaan di bawah supervisi sementara Uni Eropa dengan angkatan perang NATO dan polisi Eropa.52 Usulan ini ditolak Rusia dan China. Karena itu, Dewan Keamanan tidak dapat menyetujui usulan Ahtisaari. Upaya selanjutnya, perundingan langsung antara Serbia dan Kosovo diupayakan dalam waktu 120 hari yang difasilitasi Troika Contact Group (Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa). Hasil perundingan dilaporkan Sekjen kepada Dewan Keamanan pada 19 Desember 2007. AS dan negara-negara Uni Eropa di Dewan Keamanan menyatakan, perundingan telah gagal dan mendesak agar status akhir Kosovo segera diputuskan. Sedangkan Rusia, China, Ghana, Kongo, Panama, dan Afrika Selatan menyarankan agar perundingan diteruskan. Namun, Amerika Serikat, Inggris, dan negaranegara Barat lain menolak. Perkembangan ini berujung pada deklarasi kemerdekaan Kosovo yang didukung Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak antara lain oleh Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa, dan Vietnam. Sedangkan beberapa negara anggota Dewan Keamanan lainnya termasuk negara nonblok belum menegaskan posisinya.53 Tindakan-tindakan represif dalam wujud diskriminasi, sesungguhnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Hal tersebut, misalnya pernah terjadi di Afrika Selatan ketika pemerintahan kulith putih yang berkuasa menerapkan kebijakan diskriminatif berdasarkan atas pembedaan warna kulit (apartheid). Golongan kulit hitam yang menjadi korban dari kebijakan tersebut, kemudian berjuang untuk mendapatkan kesetaraan (equality). Dihubungkan dengan 51 52 53 Ibid. Ibid. Ibid. ( 86 ) Self Determination apa yang terjadi di Kosovo, apabila dasar persoalannya adalah masalah tindakan diskriminasi dari pemerintah Serbia, maka yang harus diperjuangkan adalah masalah kesetaraan (seperti halnya yang terjadi di Afrika Selatan). Hal ini justru sejalan dengan ketentuan atau prinsipprinsip dasar hukum (HAM) internasional, yaitu setiap individu memiliki HAM yang sama tanpa membedakan agama maupun latar belakang etnis yang dimilikinya. Apalagi Serbia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban hukum (legal obligation) yang bersifat wajib (mandatory) untuk melindungi HAM (khususnya terhdap etnis minoritas Muslim Albania) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Piagam PBB. Hal itu misalnya telah dinyatakan dalam bagian Preambul dari Piagam PBB.54 Anggota PBB yang terus menerus mengadakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dapat diusir keanggotaannya oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB. Sanksi ini merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara selalu membangkang dan terus menerus mengabaikan kewajiban internasional. Sanksi mengenai pengusiran ini telah diterapkan dalam tahun 1992 terhdap Yugoslavia (Resolusi 47/1) yang isinya sebagai berikut: “Yugoslavia yang terdiri dari Serbia dan Montenegro tidak dapat meneruskan keanggotaannya di PBB dan harus mengajukan lagi keangotaannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Piagam dan tidak lagi dapat ikut serta dalam persidangan.”55 Tindakan untuk memerdekakan diri Kosovo atas Serbia, di satu sisi, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan atau rasa frustasi dari etnis Muslim Albania atas perlakuan sewenang-wenang pemerintah Serbia. Namun, tindakan tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang melarang pembentukan negara di dalam negara, karena hal itu merupakan preseden yang dapat membahayakan prinsip-prinsip keutuhan wilayah (territorial integrity) dan kemerdekaan politik (political independence) dari negara. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kenyataan yang terjadi di Kosovo sesungguhnya merupakan tindakan separatisme yang jelas-jelas dilarang oleh hukum internasional. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Serbia tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar (justification) bagi etnis Muslim Kosovo untuk memerdekakan diri dari Serbia. Oleh karena itu, secara yuridis pendirian negara Kosovo adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional.56 Kemerdekaan juga tidak dapat ditentukan berdasarkan rekayasa secara ekstern berupa “pemaksaan” oleh pihak-pihak dari luar. Dalam kasus Kosovo terlihat, bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa telah melakukan tindakan “unilateralisme kolektif”57 dengan mendukung kemerdekaan Kosovo. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, khususnya terhadap Pasal Andrey Sujatmoko. Loc.Cit. Ibid. Lihat juga Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional (Jakarta: PT. Tatanusa, 2007). hlm.271. 56 Ibid. 57 Ibid. 54 55 ( 87 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 2 ayat (4) Piagam PBB secara jelas mengatur bahwa negara-negara anggota PBB dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan internasional harus menahan diri (shall refrain) dari mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap keutuhan wilayah (territorial integrity) atau kemerdekaan politik (territorial independence) suatu negara.58 PBB dilecehkan, dengan demikian, deklarasi unilateral kemerdekaan Kosovo merupakan hasil pemaksaan negara-negara Barat tertentu tanpa menghiraukan prinsip dasar hukum internasional. PBB sekali lagi dilecehkan ”unilateralisme kolektif”. Akibat dari proses ini Serbia telah menyatakan tidak akan pernah mengakui kemerdekaan Kosovo dan berjanji akan menggunakan diplomasi untuk menggalang dukungan. Sementara itu, prospek Kosovo menjadi anggota PBB amat kecil karena dibayang-bayangi veto Rusia. Uni Eropa tetap pecah. Di sisi lain, kemerdekaan Kosovo sudah merupakan kenyataan hidup yang tampaknya sulit dibatalkan (irreservible).59 III. PENUTUP Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian permasalahan sebagaimana dimaksud di atas adalah: 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang prinsip-prinsip hukum internasional tentang kerjasama dan hubungan bersahabat di antara negara-negara sesuai dengan Piagam PBB. Dengan demikian maka, pelaksanaan right to self-determination yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (state), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain dapat dimungkinkan. Oleh karena itu kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. 2. Walaupun hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) namun tindakan untuk memerdekakan diri Kosovo atas Serbia, di satu sisi, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan atau rasa frustasi dari etnis Muslim Albania atas perlakuan sewenang-wenang pemerintah Serbia. Namun, tindakan tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang melarang pembentukan negara di dalam negara, karena hal itu merupakan preseden yang dapat membahayakan prinsip-prinsip keutuhan wilayah (territorial integrity) dan kemerdekaan politik (political independence) dari negara. 58 59 Ibid. Nugroho Wisnumurti, Loc.Cit. ( 88 ) Self Determination DAFTAR PUSTAKA Buku Bachtiar Hamzah & Sulaiman Hamid. Hukum Internasional II, Medan: USU PRESS. Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965. H. Victor Condé, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, 1999. Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006. J.G. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworth, 1989. J. Halliday, “Nationalism” in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford: Oxford University Press, 1994. John O’Brien, International Law, London: Cavendis, 2001. Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, London: George Allen dan Unwin, 1982. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992. Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (editor), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999. Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001. ___________________, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, Jakarta: Makalah di sampaikan di Universitas Trisakti, 2002. ___________________, Studi Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT. Tatanusa, 2007. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1998. Harun Yahya, Nasionalisme Romantik, Jakarta: Dzikra, 2011. Websites Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Negara, Otonomi, dan Moralitas Munculnya Hubungan Internasional Modern, (http://www.academia.edu/2309717/Teori_Politik_Internasional_4_ Negara_Otonomi_dan_Moralitas). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 16:00 WITA. Andrey Sujatmoko, Kemerdekaan Sebagai Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Dalam Perspektif Hukum Internasional, Studi Kasus Terhadap Kemerdekaan Kosovo (http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/05/20/kemerdekaan-sebagai-hakuntuk-menentukan-nasib-sendiri-right-to-self-determination-dalam-perspektif-hukuminternasional-studi-kasus-terhadap-kemerdekaan-kosovo/). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:00 WITA. ( 89 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 B. Danang Setianto, Kedaulatan Wilayah (http://www.unika.ac.id/staff/ blog/benny/20). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:45 WITA. Indra Hardian Mulyadi, Syarat Negara, Antara Teori dan Realita (http://indrahardianm. blogspot.com/2009/01/syarat-negara-antara -teori-dan-realita. html). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 16:15 WITA. Mahrita, The Janus Face Of Nasionalism (http://mahrita-fisip12.web .unair.ac.id/artikel_ detail64298Pengantar%20Ilmu%20Hubungan%20InternasionalThe%20Janus%20 Face%20of%20Nationalism.html). Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:15 WITA. Nugroho Wisnumurti, Kosovo Merdeka, Hak Atau Separatisme ? (http://elshamnewsservice. wordpress.com/2008/02/25/kosovo-merdeka-hak-atau-separatisme-oleh-nugrohowisnumurti/). Kompas 23 Februari 2008, Diakses pada hari Rabu, 1 Mei 2013. Pukul 15:30 WITA. ( 90 ) Equity and the Global Policy EQUITY AND THE GLOBAL POLICY ON CLIMATE CHANGE: A LAW AND ECONOMIC PERSPECTIVE Andri G. Wibisana* Universitas Indonesia, Jakarta E-mail: [email protected] Abstract: The opponents of the global commitment to reduce greenhouse gases (GHGs) emissions seem to have shifted their arguments from the one emphasising on the issue of uncertainty to the one focusing on the economic burdens disproportionately placed on the current generation in general, and some developed countries in particular. Abstrak: Negara-negara penentang komitmen global untuk menurun emisi Gas Rumah Kaca nampak meletakkan argumentasi mereka pada beban ekonomi yang tidak proporsional untuk generasi sekarang pada umumnya dan beberapa negara maju khususnya. I. INTRODUCTION For several decades, climate change has been considered one of major threats to humans and the global environment. It has been argued that humans are already experiencing the changing climate, at least in the form of an increase in the average surface temperature of the Earth, referred to as global warming or the greenhouse effect. If climate change continues at an increasing, or even at the same rate, it is very likely to be followed by various severe impacts, ranging from hotter and longer summers, to the melting of the polar ice sheets and the increased sea level. Although such a change might only gradually occur over decades or centuries, which could of course give more time for humans to make adaptations, some authors, such as Alley, have put forward the possibility of non-linear climate change, referred to as the abrupt climate change, in which the climate very rapidly shifts from one equilibrium to another. The impacts of such an abrupt change could be devastating for humans and the environment.1 * The author is lecturer of environmental law at Faculty of Law, Universitas Indonesia. SH from UI (1998), LLM from Utrect University (2002), and Dr. from Maastricht University (2008). R.B. Alley, Abrupt Climate Change, Scientific American, November 2004, pp. 62-69. The Synthesis Report of the Third Assessment Report (TAR) of the IPCC (2001) summarizes several possible impacts of climate change on human health, ecosystem, agriculture, water resource, and market sectors. Those impacts are the consequences of linear climate change, which are likely to occur if no actions are taken by the current generation to curb their GHGs emissions. See: R. Watson and the Core Writing Team (eds.), Climate Change 2001—Synthesis Report: Contribution of Working Groups I, II, and III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), pp. 69-74. In addition to those impacts, the IPCC also predicts various possible impacts that have low probability to occur but are potentially catastrophic. Such impacts are referred to as the “large-scale singularities” or events with 1 ( 91 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Concerns about the impacts of climate change have increased the pressure on policy makers to take immadiate and concrete actions. However, despite such a growing pressure, some countries, led by the USA, still refuse to ratify the Kyoto Protocol, the only global arrangement that is currently available to deal with climate change. There are, at least, three reasons put forward against any binding commitment to abate the current emissions of greenhouse gases (GHGs). First, it is argued that climate change is still full of uncertainties related not only to the science of climate change, but also to some impacts considered to have low probability but high consequences. Due to such uncertainties, various economic studies have concluded that early emissions abatement in general and the Kyoto Protocol in particular are, indeed, economically inefficient. Mendelsohn, for example, argues that at this moment, the optimal solution to deal with climate change is to collect relevant information about climate change and its causes and impacts. According to Mendelsohn’s view, GHGs reduction is, thus, not an optimal solution. In this view, the global policy on climate change should follow the “learn then act” approach: collecting more solid information to resolve uncertainty about climate change, followed by setting up measures that are suitable with the available information.2 Second, the Kyoto Protocol is economically indefensible because it requires costs that are much higher than the benefits it could offer. In this regard, Nordhaus and Boyer, in their widely cited book, conclude that the costs of meeting Kyoto commitments far outweigh the impacts of climate change. The authors estimate that global losses from climate change could be between 1.5 to 1.9% of the Gross World Product (GWP).3 Based on such an estimate, they argue that the optimal climate policy will require a 4.8% reduction below the Business as Usual (BAU) level in 2005, reaching a 10.5% reduction in 2100. The optimal carbon tax is set up at 9.13US$/tC in 2005, which will increase up to 12.71 US$/tC in 2015 and 67US$/tC in 2100.4 The Kyoto Protocol, in contrast, will impose a carbon tax of 34.52US$/tC in 2015, low probability and high consequences. These impacts include the shutdown of the Thermohaline Circulation (THC), which impacts could reduce the average temperature currently experienced by Europe and North Atlantic regions by about 10oC, and the partial or complete collapse of the West Antarctic Ice Sheet (WAIS) and Greenland Ice Sheet (GIS), which impacts could raise the sea level up to 7 meters. See: J.B. Smith, et al. (2001), “Vulnerability to Climate Change and Reasons for Concern: A Synthesis”, in: J.J. McCarthy, et al. (eds.), Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), pp. 946-947. 2 R. Mendelsohn, Perspective Paper 1.1 in B. Lomborg (ed.), Global Crises, Global Solutions, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), pp. 45-48. Similar opinion is also shared by Goklany, who basically argues that although there is a risk that climate change will create irreversible damage to humans and the environment, there is also a risk that emissions reduction will be unnecessary and expensive, and hence, will be irreversible for the economy. Taking into account a “balanced view” for those possible outcomes, Goklany concludes that early emissions reduction is not a wise and optimal solution. According to the author, the most sensible policy is the one that places a higher priority on the reductions of poverty and malnutrition, more real problems faced by the world today, and to improve adaptation efforts in order to reduce vulnerability to climate change impacts. I.M. Goklany, Applying the Precautionary Principle to Global Warming, Policy Study No. 158, Center for the Study of American Business, November 2000, pp. 21-25. 3 W.D. Nordhaus and J. Boyer, Warming the World: Economic Models of Global Warmin,g (Cambridge, Ma: MIT Press, 2000), p. 91. 4 Ibid., pp. 133-137. ( 92 ) Equity and the Global Policy under the possibility of emission trading among Annex I countries.5 Therefore, so Nordhaus and Boyer conclude, the Kyoto Protocol “has no economic or environmental rationale…Nor does it bear any relation to an economically oriented strategy that would balance the costs and benefits of greenhouse-gas reductions”.6 Third, the Kyoto Protocol has also been refused because it disproportionately obliges some countries, i.e. developed countries, to cut their GHGs emissions, while allowing other major polluting countries, i.e. developing countries, to continue their increasing GHGs emissions. This is an argument used by George Bush Jr., to refuse the Kyoto Protocol. Bush, as cited by Blanchard and Perkaus, argues that the Protocol should be rejected because it excludes 80% of the world from the obligation to cut emissions.7 It is for this reason that Bush considers that the Protocol will disadvantage the US economy. As quoted by Henson, Bush argues “I told the world I thought that Kyoto was a lousy deal for America”.8 Frankly speaking, the critiques above could be clustered into two types of arguments, according to the different emphasises of those critiques. While the first critique has rested on the economics of decision making under uncertainty, the last two critiques have particularly focused on the costs and benefits of meeting the Kyoto commitments. Although the importance of the former type of arguments should never be overlooked, this paper will, however, be devoted to analyse the latter type of arguments.9 In particular, this paper attempts to analyse the role of equity principles in shaping the debates over climate change policy. In doing so, this paper will first analyse the relationship between the principle of intergenerational equity and the use of discount rate in the economic appraisal of the impacts of climate change. Afterwards, the principle of intragenerational equity will also be discussed, especially with respect to the cross-regions aggregation of climate change impacts. In this way, this paper attempts to indicate how those two equity principles might come to an argument that is different from the conclusions of some economists mentioned above. Ibid., p. 155. Ibid., p. 177. 7 O. Blanchard and J.F. Perkaus, Does the Bush Administration’s Climate Policy Mean Climate Protection?, Energy Policy, Vol. 32, 2004, p. 1992. 8 R. Henson, The Rough Guide to Climate Change: the Symptoms, the Science, and the Solutions (London: Rough Guides, Ltd, 2006), p. 274. 5 6 There are some economists who have argued that early emissions abatement is justifiable based on the economics of decision making under uncertainty. In justifying the early abatement, economists have focused on the issues of irreversibility, learning, and option value. From these perspectives, the early abatement is considered as a sure price that should be paid in the face of unsure future losses due to climate change. In addition, the early abatement is also justifiable because it is less reversible relative to some impacts of climate change. In this regard, the early abatement is preferred to doing nothing because it leaves more flexible options open for future decisions. See for example: K. Kuntz-Duriseti, Evaluating the Economic Value of the Precautionary Principle: Using Cost Benefit Analysis to Place a Value on Precaution, Environmental Science and Policy, Vol. 7, 2004, pp. 299-300; J.C.M. van den Bergh, Optimal Climate Policy is a Utopia: From Quantitative to Qualitative Cost-Benefit Analysis, Ecological Economics, Vol. 48, 2004, pp. 385-393; and M. Ha-Duong, M.J. Grubb, and J.C. Hourcade, Influence of Socioeconomic Inertia and Uncertainty on Optimal CO2-Emission Abatement, Nature, Vol. 390, November 1997, pp. 270-273. 9 ( 93 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 After discussing the importance of early emissions reduction, a question arises as to who should bear the responsibility to take such an action. This is another hot topic in climate talks, which has motivated some countries to withdraw from the Kyoto Protocol. Hence, this paper will also be directed at discussing the question of why the burdens of emissions reduction should not be distributed equally. In this regard, this paper will present several reasons for differentiating common responsibility in dealing with the climate change issue. After those discussions, this paper will be concluded by presenting some policy recommendations. Such recommendations are of high importance for the discussions about post-Kyoto commitments. II. ANALYSIS 1. Intergenerational Equity and Discount Rate According to the conventional application of cost-benefit analysis (CBA), a project is considered economically justifiable if its net value, namely the aggregate of costs and benefits, is greater than zero. Since these costs and benefits will occur over time, the idea of discounting those costs and benefits is introduced into the cost-benefit calculus. In this case, future outcomes will be valued from the standpoint of present time, in such a way that they will have a present equivalent value, referred to as the Present Value (PV). Consequently, the benefits of a policy, which are projected to occur in the future, will be discounted in order to express its present value, i.e. a value from the perspective of the current generation. In the context of the economic appraisal of climate change, the use of discount rates works by reducing the future impacts of climate change. Hence, it could be argued that a discount rate placed on future impacts will ultimately reduce the severity of those impacts, and accordingly, it will also lessen the importance of taking early actions. The higher the discount rates, the lower the impacts of climate change, and the lower the optimal emissions abatement will be. This could, for example, be seen in Tol’s study. Based on a sensitivity analysis conducted in this study, Tol has found that the choice of discount rate is the most important parameter in the economic appraisal on climate change. The discount rate is set at 10%, the MSC10 is only about 6 US$/tC. When the discount rate is reduced to 5%, the MSC increases to 26 US$/tC, and when it is eventually reduced to 0 (zero), the MSC increases up to 317 US$/tC11. Studies that estimate low MSCs, leading to the low current emissions reduction, typically use a discount rate of 3%. In contrast, the high estimates of MSC have employed lower discount rates combined with longer periods of time. Although there are several reasons to discount the impacts of climate change, the use of discount rates in the economic appraisal of climate change is, however, questionable. The MSC stands for Marginal Social Cost. This is a method to find out how much damage will be created by emitting a ton of carbon or, alternatively, how much damage will be prevented from removing a ton of carbon from the atmosphere. 11 R.S.J. Tol, The Marginal Costs of Greenhouse Gas Emissions, The Energy Journal, Vol. 20, No. 1, (1999), pp. 70-71. 10 ( 94 ) Equity and the Global Policy proponents of discount rate have often argued that the use of the discount rate expresses actual private decisions. The discount rate, thus, reflects individuals’ behaviour when they value events across periods because in reality, people tend to be impatient, as they prefer immediate consumption to future consumption.12 In contrast, however, some authors have opposed the use of discount rate because, so they argue, applying individual decisions to a long-term policy such as climate policy is not always appropriate. Individuals may exhibit a certain level of impatience as they may think that they will not live forever; but this is certainly not the reason for the public policy makers to employ such individual impatience. This is especially true when one considers that, different from individuals’ decisions, the benefits of social policy can be expected to transcend the lives of the decision makers. In this regard, Khanna and Chapman argue that there is no ethical basis to employ a certain degree of impatience in climate policy. According to the authors, public policy should be based on the sustainable interests of immortal society and, hence, should ignore the impatience that stems from the behaviour of mortal individuals.13 Economists have also argued that the use of discount rates is justified on the ground of diminishing marginal utility. In this case, because future generations are expected to be richer than the current generation, the discount rate may serve as an expression of diminishing marginal utility resulting from the increase of wealth over time.14 This argument is also problematic since if the current emissions level is allowed to continuously increase, the probability of catastrophic impacts also increases. Consequently, if there is an increasing probability of irreversible damage, it is questionable that future generations will certainly be richer than the current generation. In this regard, Gollier argues that uncertain future growth should induce the decision makers to select a smaller discount rate. According to the author, if the decision makers are prudent, uncertainty about future outcomes should lead them to care more about the future and, accordingly, take a precautionary measure as a premium In economics, impatience, which places the interests of the current generation above those of future generations, is referred to as the pure time preference. 13 See: N. Khanna and D. Chapman, Time Preference, Abatement Costs, and International Climate Policy: An Appraisal of IPCC 1995, Contemporary Economic Policy, Vol. XIV, April 1996, p. 58. This opinion could also be found in Ramsey’s opinion, a British economist whose formula has been widely used to calculate the social discount rate. Ramsey, as quoted by Chapman, et al., argues that the use of discount rate based on a pure time preference is “a practice which is ethically indefensible and arises merely from the weakness of the imagination”. D. Chapman, V. Suri, and S.G. Hall, Rolling Dice for the Future of the Planet, Contemporary Economic Policy, Vol. XIII, July 1995, p. 6. 14 In Ramsey’s formula, this factor is referred to as the growth discounting, namely a discount rate due to the expected economic growth resulting from the current development. Combining the growth discounting and the pure time preference, the Ramsey’s formula is written as: 12 Social Rate of Time Preference (SRTP) = + g, where: - is the rate of pure time preference (RPTP), - is the absolute value of the elasticity of marginal utility of income, and - g is the growth rate per capita consumption. For information about the introduction of the use of Ramsey’s formula in the economic appraisals of climate change, see: K.J. Arrow, et al., “Intertemporal Equity, Discounting, and Economic Efficiency”, in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge University Press, 1996), pp. 130-132. ( 95 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 to hedge against unpleasant outcomes in the future. In the context of discount rate, such a precautionary measure is manifested in the form of selecting a low discount rate when there is a possibility that the current development will lead to catastrophic damage in the future.15 The use of discount rate has also been supported because it will allow the current generation to undertake development, the benefits of which will also benefit future generations. In this way, the current emissions do not only pass on damage to future generations, but also benefits, such as improved technology, which will enable future generations to better adapt to climate impacts. From this point of view, the transfer of welfare across generations is considered a form of compensation. Against such an opinion, Spash argues that the transfer of basic needs on the one hand and compensation on the other hand are rested on two separate ethical grounds. While basic transfer results from welfare distribution, compensation stems from a moral obligation not to deliberately inflict harm to others and to make reparation once this harm is created.16 In addition, Spash also argues that if every individual has a right to be free from harm imposed by others, compensation is not a license to deliberately inflict harm to others. In this way, if harm cannot be prevented, actual—rather than merely potential—compensation is required.17 The absence of a mechanism to carry out the actual intergenerational compensation, hence, can be used as a reason not to use the discount rate. Finally, there is also an environmental consideration to use the discount rate. According to this opinion, if the use of high discount rates is also used to determine the level of investment, it has the potential to slow down the current development. In this way, natural resources will be less depleted under high discount rates than under low discount rates.18 Hence, the use of discount rates may also offer positive impacts to the environment. According to Broome, such an opinion rightly warns us about the danger to the environment that could result from fast economic growth. However, Broome continues, the danger is not created by a low interest rate, but mainly because there is a tendency to externalise environmental costs. Hence, if the C. Gollier, Discounting an Uncertain Future, Journal of Public Economics, Vol. 85, 2002, pp. 153154. Applying lower a discount rate in the face of uncertainty is also given by Newell and Pizer. In this case, the authors argue that when facing two possible discount rates that are equally likely, the expected value of outcomes is closer to the result of lower discount rate, and not the result from the average of discount rate. This is because in the presence of uncertainty about the discount rate, what is being averaged is not the discount rate itself, but the discount factor. See: R. Newell and W. Pizer, Discounting the Benefits of Climate Change Policies Using Uncertain Rates, Resources, Issue 146, 2002, p. 17. 16 In this regard, Spash makes an analogy with the government payments for the poor to provide support for their minimal standard of living. The author argues that such basic payments are not a reason to exclude the government from the obligation to compensate the poor (the beneficiaries of the basic payments) when they create projects that harm the poor. Similarly, intergenerational basic transfers are not a compensation to repair a deliberately created harm, such as GHG emissions. See: C.L. Spash, Double CO2 and Beyond: Benefits, Costs and Compensation, Ecological Economics, Vol. 10, 1994, p. 32. 17 Ibid., p. 34. It should be noted here that in the mainstream economic theory, efficiency is calculated according to the Kaldor-Hicks criterion. In traditional CBA, economists usually employ the Kaldor-Hicks criterion, also referred to as the Potential Pareto, to compare the costs and benefits. According to this criterion, a proposed project will pass the CBA test so long as it is conceivable that, in principle, the gainers could compensate the losers, regardless of whether such compensation is actually paid. It means that in reality such compensation does not need to take place. See: D.W. Pearce, Economic Values and the Natural World (London: Earthscan, 1993), p. 48. 18 D.W. Pearce and R.K. Turner, Economics of natural Resources and the Environment, 2nd ed. (Baltimore: Jon Hopkins University Press; 1991), p. 224. 15 ( 96 ) Equity and the Global Policy impacts of development to the environment are seriously considered, the solution will be to internalise the externality, and not to increase the discount rate.19 In sum, the use of high discount rates tends to discriminate future generations in two ways. On the one hand, it gives more value on projects that will create short-term benefits at the expense of future costs; and on the other hand, it decreases the urgency of policy that will create benefits for future generations. There are, thus, some good reasons to employ only low or even zero discount rates if there is a possibility that the current decisions will expose future generations to a non-zero probability of catastrophic events. 2. Intragenerational Equity: Valuing Climate Change Impacts across Regions The economic appraisal of climate change will also be controversial when it comes to the estimation of non-marketed impacts. In calculating these impacts across regions, earlier economic studies have usually employed a direct aggregation, in which damage in each region is calculated in US Dollar, which will in turn be converted into a reduction in the Gross World Product (GWP). Take for example a study of Frankhauser, which has attempted to predict the economic impacts of climate change in the EU, USA, former Soviet Union countries, China, OECD, and the World. Sectors that are observed in this study include coastal defence, wetland loss, ecosystem loss, agriculture, forestry, fishery, energy, water, and people’s migration. In terms of the reduction of GDP, China incurs the largest losses, namely as much as 4.7% of their national output. However, if damage is converted into US dollars, EU countries and the USA will experience the largest losses, respectively as much as US$63.6 billion and US$61 billion. The author directly sums up these dollar losses, of which result will also be indicated in the percentage of global output or GWP. Based on such a direct aggregation the total economic losses of the world will be $ 269.5 billions or equal to 1.4% of global output.20 Tol has also tried to aggregate the economic impacts of climate change. In his study, the world is divided into 9 regions, namely OECD America (the USA and Canada), OECDEurope, OECD Pasific (Japan, Australia, and New Zealand), Central and Eastern Europe and former of the USSR, the Middle East, Latin America, South and South East Asia, Centrally Planned Asia, and Africa. Countries expected to gain a 2.5oC warming are those in Central Europe, Eastern Europe and the former of the Soviet Union. These countries will benefit by $7.3 billion, or equal to 0.3% of their GDP. On the other hand, regions that experience the most adverse impacts in terms of GDP losses are Africa and South and South East Asia, respectively as much as 8.7% and 8.6% reduction of their national output. However, in terms of dollar losses, OECD America will suffer the most, namely $74 billion. Hence, when comparing between rich and poor countries (OECD and non-OECD countries), one will find that in terms of national output, non-OECD countries suffer more than OECD countries, 19 102. J. Broome, Counting the Cost of Global Warming (Cambridge: the White Horse Press, 1992), pp. 101- S. Frankhauser, Valuing Climate Change: The Economics of the Greenhouse (London: Earthscan Publication, 1995), p. 55, tables 3.15 and 3.16. 20 ( 97 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 namely 2.7% losses of their GDP compared to losses suffer by OECD countries as much as 1.6% of their GDP; while in terms of absolute losses, OECD countries will suffer higher losses, namely $189.5 billion compared to $126.2 billion losses of non-OECD countries. By directly aggregating those losses, Tol estimates the total losses of climate change as much as $315.7 billion, or around 1.9% of global output.21 Based on several studies, including the studies of Frankhauser and Tol mentioned above, the Second Assessment Report of the IPCC (referred to as the IPCC SAR) concludes that under the climate sensitivity of 2.5oC and best-guess estimates, the impacts of CO2 doubling22 for developed countries will be in the range of 1-1.5% of their GDP; while for developing countries the losses are in the range of 2-9% of their GDP. By directly aggregating these impacts, the IPCC concludes that the global impacts will be in the range of 1.5-2.0% of GWP.23 Such a direct aggregation has, however, been severely criticized for various reasons, which are rooted from the uneven distribution of damage across regions. In this regard, developing countries, such as those located in Asia, are expected to experience the most severe loss from climate change, which could reach as much as 8% of their GDP, although they contribute only a tiny fraction of the current GHGs concentrations. There are good reasons to come to this prediction. First, geographically, developing countries are located in regions that are vulnerable to extreme weather events. Specifically, some developing countries are likely to experience extreme droughts; while others are prone to heavy precipitations. The impacts of these events may take place as the degradation of water supply and quality, the spread of weather-related diseases, or floods. In addition, these events may also damage the economy of developing countries, especially if the economy of those countries depends heavily on agriculture and natural resources. A few degrees of warming could create significant adverse impacts on agriculture and natural resources. It means that countries of which economy relies heavily on agriculture and natural resources will seriously be affected by global warming. Second, some countries, especially in Africa, are already experiencing severe droughts, which bring the people of these countries into serious problems, such as the lack of water supply and hunger. Considering the current environmental quality in those countries, one can hardly imagine that a warmer world will endow those countries with a climate that is more favourable compared to what they have been experiencing now. Thirdly, some developing countries are highly vulnerable the Sea Level Rise (SLR) because they are, wholly or partly, located in low regions (some countries are even small islands countries). A few centimetres increase of sea level may lead developing countries to a significant land R.S.J. Tol, The Damage Costs of Climate Change: Toward More Comprehensive Calculations, Environmental and Resource Economics, Vol. 5, 1995, p. 369, table A1. 22 CO2 doubling is a reference used in the majority of economic studies on the impacts of climate change. This reference is a period in which the concentration level of CO2 is considered to be twice as high as the level of pre-industrial era. 23 D.W. Pearce, et al. The Social Costs of Climate Change: Greenhouse Damage and the Benefits of Control, (1995), in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge University Press, 1996), p. 218. 21 ( 98 ) Equity and the Global Policy loss.24 In addition, the same level of SLR may also inundate some highly populated regions of developing countries, exposing millions of people to the risks of severe floods.25 Fourthly, one could expect that developing countries lack capability to adapt to the impacts of climate change. Accordingly, these countries become more vulnerable to climate change compared to developed countries26. These specific features of poorer countries will not be captured by the direct aggregation, because national output of these countries contributes only a tiny share to the global output. In this case, although the damage will be significant to the GDP of each poor country, it will be only a small fraction of GWP. Hence, as Sen argues, the focus on global output based on such a direct aggregation tends to be in conflict with the issue of justice and fairness across different regions, especially between developed and developing countries27. Eventually, the impact of such an aggregation will be to lower the optimal emissions reduction level. This can be explained as follows. Let us consider Tol’s calculation regarding the impacts of climate change on countries in South and Southeast Asia, which will be around US$53.5 billions or 8.6% of their GDP.28 Based on this estimate, a question arises as to whether the OECD countries should reduce their emissions in order to prevent South and Southeast Asian countries from experiencing those impacts. To answer this question, the damage will be converted into the GDP of OECD countries. In this case, the impacts of US$53.5 billions will be equal to only 0.45% of the GDP of OECD countries. Assuming the economic growth of OECD countries is as much as 2% per year, the impacts of US$53.5 billions for those Asian countries correspond to only 2.7 months of growth in the OECD countries’ economy. Since emissions reduction is costly, the 0.45% GDP loss, which is comparable to 2.7 months delay in OECD economic growth, can hardly recommend a meaningful reduction of GHG emissions in OECD countries.29 Nicholls and Mimura predict that a one-meter SLR will cause 20.7% land loss in Bangladesh, 0.4% in India, 2.1% in Malaysia, and 12.1% in Vietnam, while Indonesia will suffer a 1.9% land loss only by 0.6 meter SLR. Some small islands countries will even lose far greater percentage of their land by a one-meter SLR. See: R.J. Nicholls and N. Mimura, Regional Issues Raised by Sea-Level Rise and Their Policy Implications, in Climate Research, Vol. 11, (1998), pp. 11-14. 25 Nicholls predicts that if no action is taken to curb emissions, the total numbers of people that will be flooded due to the rise of sea level in the 2080s are in the range of 2-50 million people per year. Such a large range of estimate is caused by the different scenarios on development path considered by the authors. A development path that is more environmentally friendly will give rise to the fewer numbers of people that will experience floods in the future. R.J. Nicholls, Coastal Flooding and Wetland Loss in the 21st Century: Changes under the SRES Climate and Socio-Economic Scenarios, in Global Environmental Change, Vol. 14, 2004, p. 79. 26 .Similar reasons have also been given by Grubb. See: M. Grubb, Seeking Fair Weather: Ethics and the International Debate on Climate Change, International Affair, Vol. 71, No. 3, (1995), pp. 471-472. See also: T. Banuri, et al., “Equity and Social Considerations”, in: in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge University Press, 1996), p. 97. 27 A. Sen, Rationality and Freedom (London: Belknap Press, 2002), pp. 544-545. 28 The data is adopted from: D.W. Pearce, et al. (1995), op cit., p. 205. 29 Similar analogy is also given by Azar and Lindgren who convert the deaths of 1 million Ethiopians into the annual growth of global economy. See: C. Azar and K. Lindgren, Catastrophic Events and Stochastic Cost-Benefit Analysis of Climate Change, Climatic Change, Vol. 56, (2003), pp. 246-247. 24 ( 99 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 In addition, the direct aggregation also implicitly assumes a linear utility function. For example, when converting the US$53.5 billions loss suffered by South and Southeast Asian countries into the OECD’s GDP, one is actually making an assumption that the same amount of money will create the same level of utility for the poor and the rich. In reality, the opposite seems to be case. Losing one dollar will reduce the well being of poor people more severely than it reduces the well being of rich people. The most controversial issue of the direct aggregation is related to the difference of the value of statistical life (VOSL) between developed countries and developing countries.30 Although it has been widely accepted by economists that different people may have different VOSLs, the application of different VOLSs between developed and developing countries in the economic appraisal of climate change is disputable. The first reason is that in the case of climate change, the policy makers are confronted with a situation when a decision of one country may affect the life of the people in other countries. Specifically, since developed countries are responsible for around 80% of total atmospheric GHG concentrations to date, a question emerges as to whether the economic appraisal should employ the VOSL of developed countries or developing countries. One possible answer to this question is by the use of the WTA, namely by directly asking people in developing countries as to how much they are willing to accept the compensation for the damage caused by climate change. However, in the absence of actual compensation and the lack of WTA studies in developing countries, this method is rather impractical. As an alternative, the IPCC SAR provides another method to calculate the VOSL of developing countries, namely by using the VOSL of developed countries as a point of reference, from which the VOSL of developing countries will be derived in proportion to their incomes relative to those of developed countries.31 Thus, if a country has income half of the income of a reference-developed country, its VOSL will be approximately half of that of the developed country. Based on this method, the VOSL of developing countries will be much lower than that of developed countries. For example, Frankhauser predicts that for the USA, the additional deaths due to climate change are 6,642 people, almost one-fifth of the increased mortality in China. However, since the author assigns the VOSL of the USA almost fifteen times higher than that of China, the monetised value for mortality in the USA is around $10 billion, more than three times higher than that of China.32 Perhaps, one would argue that the different VOSLs above should not matter a great deal, since they are not intended to mean that the life of an American is worth the life of fifteen Chinese people. However, if the result of the different VOSLs is to reduce the developing countries’ shares to the global damage estimates, such an argument is still objectionable. This leads to the second problem in the use of different VOSLs, namely political acceptability. Theoretically, the VOSL is not an expression for the monetary unit attached to human lives. It is simply a method to reveal how much a person is willing to pay for a reduction of the risk of death (or alternatively, how much one is willing to accept for an increase of such a risk). 31 See: D.W. Pearce, et al, 1995, p. 197. 32 S. Frankhauser (1995), op cit., p. 47. 30 ( 100 ) Equity and the Global Policy In a politically sensitive issue such as climate change, in which developed countries are considered as the primary contributors, the use of different VOSLs will hardly be accepted by the representatives from developing countries. In fact, this issue has created immense resistant from developing countries during the approval process for the “Summary for Policymakers” of the WGIII of the IPCC SAR.33 In sum, direct aggregation and the different VOSLs will result in the low shares of developing countries to the global damage estimates, despite these shares are considerably high to their own GDP and the numbers of people in developing countries exposed to the risks of climate change are much higher than those in developed countries. Of course, one can still argue that economic analysis should only be concerned with the economic calculus, i.e. the benefit-cost ratio, and not with ethical considerations such as the equity issue. In addition, the economic losses potentially suffered by developing countries could be ‘compensated’ by large benefits resulting from GHG emissions in developed countries. However, in the absence of actual compensation, such a potential-Pareto optimality argument may be akin to saying that the potential damage suffered by poor countries is negligible simply because they are poor.34 Under this type of economic appraisal, the low level of emissions abatement, or even doing nothing, could be considered as the economically “optimal” policy, in spite of its potential to make the poor yet poorer. In responding to various oppositions to the direct aggregation of the impacts across regions, some economists have improved their economic appraisals by taking into account the issue of equity more seriously. Such an improvement is proposed either because developing countries are considered to suffer the most from climate change, and hence, they should be given greater weights,35 or because without equity weights, summing up monetary impacts across regions implies a linear utility function, which could be considered inconsistent with the commonly known relationship between utility and income.36 Sterner and Azar are the first authors who have tried to formalize equity weights under the CBA approach. In their study, income is not equally distributed, and hence, the world is hypothetically divided into two types of countries, poor and rich. Each country is allowed to use their own VOSL, which means that the use of different VOSLs within country is not a problem. However, since the climate change issue implies a situation in which developed countries create damage not only to their own people but also to people in other countries, the damage suffered by people in poor countries should be weighted in such a way as to give As quoted by Grubb, Kamal Nath, Indian environment minister during the negotiation for the IPCC SAR, argued: “…we unequivocally reject the theory that the monetary value of people’s live around the world is different because the value imputed should be proportional to the disparate income levels of the potential victims…it is impossible for us to accept that which is not ethically justifiable, technically accurate or politically conducive to the interests of poor people as well as the global common good”. See: M. Grubb, 1995, op cit., p. 471. 34 According to Grubb, this argument means that because poor or developing countries have little wealth, they have little to lose from climate change. See: Ibid., p. 470. 35 D.W. Pearce, et al, 1995, op cit., p. 205. 36 S. Frankhauser, R.S.J. Tol, and D.W. Pearce, The Aggregation of Climate Change Damages: A Welfare Theoretic Approach, Environmental and Resource Economics, Vol. 10, 1997, p. 251. 33 ( 101 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 proximity about welfare losses actually felt in these countries. Specifically, to give a monetary value for a small loss of global welfare due to a small increase of emissions, such a change in welfare is divided by the present value of marginal utility of income in rich countries. The reason for such a calculation is that economic appraisal is undertaken in accordance with the optimal emissions reduction done in rich countries. In this way, the damage in poor countries will be weighted at the level of damage suffered by rich countries, in order to express the same level of utility reduction suffered by poor countries. The value of weight factors is, thus, dependent on the ratio of income between rich and poor countries and the elasticity of marginal utility of income.37 Based on this calculation, the weighted total damage estimate could reach 4.5% of the GWP, which is around three times higher than the estimate without weight factors. When the damage in poor countries is weighted by the inverse of income as indicated above, the marginal social cost of emission ranges from 39 to 590 US$/tC.38 Similar effort to calculate the weighted global damage has also been carried out by Frankhauser, Pearce and Tol. In their joint study, the authors provide three damage estimates according to three types of social welfare functions, namely the utilitarian welfare function, Nash-Bernoulli welfare function, and the Rawlsian welfare function. The total damage is defined as the sum of weighted damage from each country. The weight factors are some power of the ratio between averaged total income and the income of each country.39 According to the authors, if one employs the Nash-Bernoulli welfare function, which is equal to the utilitarian welfare function when the income elasticity of marginal utility is unity,40 the weight factor is the ratio between the averaged total income and the income of each country. In this way, the damage in developed countries is weighted by a factor less than unity, while the damage in developing countries by a factor more than unity. With this assumption, the global damage estimated by Frankhauser will increase from US$ 322 billion (without equity weight) to US$405.2 billion (weighted); while the damage estimated by Tol will increase from US$364.4 billion to US$614.3 billion. Based on those weighted damage estimates, it follows, thus, that the use of equity weights will increase the value of damage suffered by developing countries, which will eventually increase the global damage estimates. 3. Applying a Common-but-Differentiated Responsibility in the Global Climate Policy Combined with a low discount rate, the weighted damage estimates will increase the optimal level of abatement. To illustrate this conclusion, let us take a look at another study See: C. Azar and T. Sterner, Discounting and Distributional Considerations in the Context of Global Warming, Ecological Economics, Vol. 19, (1996), pp. 178-179. More generally, the weights are also dependent on the (in) equality aversion. See mathematical proof of the weighted damage function in Appendix 1. 38 Ibid., p. 181. 39 S. Frankhauser, R.S.J. Tol, and D.W. Pearce, op cit., pp. 257-259. See also Appendix 1. 40 Pearce argues that based on empirical studies, the value of income elasticity of marginal utility is in the range of 0.5-2. Hence, a value of 1 is feasible. Similar opinion is also given by Tol, et al. See: D. Pearce, “The Social Cost of Carbon and Its Policy Implications”, Oxford Review of Economic Policy, Vol. 19, No. 3, 2003, p. 373; also: R.S.J. Tol, et al., “Distributional Aspects of Climate Change Impacts”, Global Environmental Change, Vol. 14, 2004, p. 263. 37 ( 102 ) Equity and the Global Policy of Tol that has compiled various economic appraisals of climate change impacts.41 Based on several criteria to assess the quality of those appraisals, Tol argues that the marginal cost of emissions (MSC) will not be greater than 50US$/tC.42 However, by using zero discount rate due to the pure time preference and employing equity weight to calculate the global damage, there is a good reason to deviate from Tol’s prediction. Based on these assumptions and by focusing only on the peer-reviewed articles studied by Tol, I observe that the MSC will range from 23.5-590US$/tC. It should be noted that 14 our of 15 estimates lie above 100US$/tC. The mean of these estimates is 263US$/tC. These higher estimates of the MSC will obviously support early emissions reduction such as the one proposed by the Kyoto Protocol.43 In short, if equity, either as intergenerational or intragenerational equity, is seriously considered, economic appraisals will generate higher estimates of climate damage, which will, in turn, increase the importance of taking early emissions abatement. In other words, by concluding the importance of taking early actions against climate change, the previous two sections have explained that humans share a “common” responsibility to combat climate change and its adverse impacts. However, the importance of the early emissions abatement does not indicate the question of which countries should bear the responsibility to take such an action. The answer for such a highly contentious question lies in the interpretation on the common but differentiated responsibility principle, as provided for in Article 3 of the 1992 UNFCCC. Unfortunately, despite recognizing the importance of the principle to guide any actions to prevent the so-called “dangerous interference of anthropogenic GHGs concentrations with the climate system”, in which developed countries should play a leading role, the Convention does not explain on which basis such a differentiated responsibility should be implemented. In my opinion, the differentiated responsibility should be based both on equal per capita and historical emissions. Those two factors in calculating the differentiated responsibility will be explained below. The concept of equal per-capita emissions stems from the ground that every person has an equal right to pollute, and hence, to emit the same amount of GHGs. Such an opinion assumes that the atmospheric resource is a common resource, which should be equally allocated to each individual. From this perspective, it follows that the common atmospheric resource is currently still used unwisely and unevenly, because the reseource is considered The author weighs the quality of the literatures based on five criteria, namely whether a study is peerreviewed, whether it is based on independent impact assessment, whether it is based on dynamic climate change scenario, whether it is based on economic scenarios, and whether it estimates the MSC. Each of these criteria has scores from 5 to 0. Furthermore, the author also weighs the age of the literature by 0.1 per year since 1990. Without quality weights, the mean is US$129/tC, with the 90th and 95th percentiles respectively are US$220/tC and US$635/tC. If only peer-reviewed literatures are accounted, the mean and the 90th percentile are US$50/tC and US$245/tC. R.S.J. Tol, “The Marginal Damage Costs of Carbon Dioxide Emissions: An Assessment of the Uncertainties”, Energy Policy, Vol. 33, 2005, p. 2070. 42 Ibid., p. 2073. 43 As mentioned in section 1, Nordhaus and Boyer estimate that the costs of meeting the Kyoto commitments are around 34.52US$/tC, much lower than the damage of climate change that is likely to occur if the current generation fails to significantly reduce their GHGs emissions. 41 ( 103 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 available freely, such that each country can exploit it for each own benefits regardless of the impacts of such unlimited exploitation on other parties. As a result, the current per capita emissions of developed countries are far above the global average of per capita emissions, while those of developing countries are below the global average. The concept of equal percapita emissions accordingly argues that because each person shares equal entitlement of the common atmospheric resource, people in developed countries should significantly reduce their current excessive emissions, while people in developing countries are still allowed to emit more than their current emissions level.44 Furthermore, such equal per capita emissions should be implemented on the basis of historical emissions. The idea behind historical emissions is that countries whose past emissions are more than an equal per capita allocation should have less than their equal per capita allocation of emission rights in the future, and vice versa for countries which have emitted less than their equal per capita entitlement.45 Based on this perspective, the current and future emissions reduction should be allocated according to each country’s contribution to climate change. Linking the current and future responsibility to past GHGs emissions can be justified from several reasons. First, such an unequal responsibility is consistent with the polluter pays principle. In the context of climate change, this principle suggests that bygones are not bygones, so that each country bears a responsibility to reduce GHGs emissions in proportion to its past and current emissions.46 Second, as Neumayer argues, “science is on the side of historical accountability”.47 This is because, as implicitly recognized by Article 2 of the UNFCCC, climate change is a consequence of the increase of anthropogenic GHG concentrations in the atmosphere. Such concentrations are not the result of the emissions of any particular time. Instead, the increased GHG concentrations stem from emissions that have accumulated over a long period of time. Third, differentiating responsibility on the basis of historical emissions could also be defended on the assumption that each person shares an equal opportunity to use atmospheric resource, regardless of when and where this person lives. Nuemayer argues that ignoring historical emissions might mean “to privilege those who lived in the past in the developed countries and to discriminate against those who live in the present or will live in the future developing countries”48. Based on explanation above, the differentiated responsibility could, thus, be interpreted as the allocation of emissions reduction on the basis of historical equal per capita emissions. Since more than 80% of the current concentrations of GHGs have resulted from developed countries,49 it could be argued that developed countries owe a positive historical emission T. Banuri, et al., op cit., p. 106. See also: M. Grubb, op cit., p. 485. E. Neumayer, In defence of historical accountability for greenhouse gas emissions, Ecological Economics, Vol. 33, (2000), p. 106. 46 J. Ikeme, Equity, environmental justice and sustainability: incomplete approaches in climate change politic, Global Environmental Change, Vol. 13, (2003), p. 201. 47 E. Neumayer, op cit., p. 187. 48 Ibid., p. 188. 49 T. Banuri, et al., op cit., p. 94. 44 45 ( 104 ) Equity and the Global Policy debt (HED) to developing countries. Hence, the current emissions reduction allocated to developed countries should be considered as compensation from countries with a positive HED to countries with a negative HED. In practice, the extent of emissions reduction from each country will first depend on the agreement about the long-term target as the objective of the global policy on climate change. Such a target will then be used to derive the total emission reduction as a global commitment. Afterwards, there should be an agreement about a base year from which the historical emissions will be accounted for in order to calculate how much HED of each country. Once the amount of HED is established, there should also be an agreement about how long compensation from countries with a positive HED to those with negative HED will take place. It is from such a series of agreements that the current emissions reduction of each country will finally be defined.50 III. CONCLUDING REMARKS The Kyoto Protocol has been considered economically inefficient. In this paper, I have tried to show that if the Protocol is to be criticized, it is because it fails to set up meaningful commitments about emission reduction. There are at least two factors that have undermined the importance of the Kyoto Protocol. First, commitments provided in the Protocol do not bear on any particular target that is intended to achieve. In my opinion, such a target could be better explained when climate change is truly considered a serious threat to humans and the environment. In this context, inter- and intragenerational equity play a very significant role to increase the value of the impacts of climate change. With such an increase in the estimated damage, the efforts to reduce the current GHGs emissions will also be better appreciated. Second, the Kyoto Protocol also fails to relate the commitment of developed countries to reduce their emissions to the differentiated responsibility. It is unclear, for example, whether the differences in commitments of Annex B countries are assigned due to the differences in historical emissions of those countries. In the context of climate change, the common but differentiated responsibility can be implemented in the form of unequal emission reductions, which are allocated on the basis of equal emissions right and historical emissions. However, in estimating the responsibility of each country, there are several issues that each country should agree upon. First, there should be a long-term target, from which the current global emissions reduction will be derived. Second, there should be a base year which can be used to calculate the level of HED of each country. Finally, there should also be an agreement as to how long countries with a positive HED will compensate other countries with a negative HED. If countries are able to achieve agreements on those issues, we might hope that the postKyoto commitments will lead us to more powerful and meaningful efforts to fight against our common enemy: climate change. A mathematical explanation for calculating the equal per capita emissions with historical responsibility is presented in Appendix 2. 50 ( 105 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 BIBLIOGRAPHY Alley, R.B. Abrupt Climate Change, Scientific American, November 2004: 62-69. Arrow, K.J., et al., “Intertemporal Equity, Discounting, and Economic Efficiency”, in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge University Press, 1996. Azar, C. and K. Lindgren, Catastrophic Events and Stochastic Cost-Benefit Analysis of Climate Change, Climatic Change, Vol. 56, 2003 : 246-247. Azar, C. and T. Sterner, Discounting and Distributional Considerations in the Context of Global Warming, Ecological Economics, Vol. 19, 1996 : 178-179. Banuri, T., et al., “Equity and Social Considerations”, in: in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge University Press, 1996. Blanchard O., and J.F. Perkaus, Does the Bush Administration’s Climate Policy Mean Climate Protection?, Energy Policy, Vol. 32, 2004 : 1992. Broome, J., Counting the Cost of Global Warming, Cambridge: the White Horse Press, 1992. Chapman, D., V. Suri, and S.G. Hall, Rolling Dice for the Future of the Planet, Contemporary Economic Policy, Vol. XIII, July 1995 : 6. Frankhauser, S., Valuing Climate Change: The Economics of the Greenhouse London: Earthscan Publication, 1995. Frankhauser, S., R.S.J. Tol, and D.W. Pearce, The Aggregation of Climate Change Damages: A Welfare Theoretic Approach, Environmental and Resource Economics, Vol. 10, 1997 : 251. Goklany, I.M., Applying the Precautionary Principle to Global Warming, Policy Study No. 158, Center for the Study of American Business, November 2000 : 21-25. Gollier, C., Discounting an Uncertain Future, Journal of Public Economics, Vol. 85, 2002: 153-154. Grubb, M., Seeking Fair Weather: Ethics and the International Debate on Climate Change, International Affair, Vol. 71, No. 3, 1995 : 471-472. Ha-Duong, M., M.J. Grubb, and J.C. Hourcade, Influence of Socioeconomic Inertia and Uncertainty on Optimal CO2-Emission Abatement, Nature, Vol. 390, November 1997: 270-273. Henson, R., The Rough Guide to Climate Change: the Symptoms, the Science, and the Solutions London: Rough Guides, Ltd, 2006. Ikeme, J., Equity, environmental justice and sustainability: incomplete approaches in climate change politic, Global Environmental Change, Vol. 13, 2003 : 201. ( 106 ) Equity and the Global Policy J.C.M. van den Bergh, Optimal Climate Policy is a Utopia: From Quantitative to Qualitative Cost-Benefit Analysis, Ecological Economics, Vol. 48, 2004 : 385-393. Khanna, N. and D. Chapman, Time Preference, Abatement Costs, and International Climate Policy: An Appraisal of IPCC 1995, Contemporary Economic Policy, Vol. XIV, April 1996 : 58. Kuntz-Duriseti, K., Evaluating the Economic Value of the Precautionary Principle: Using Cost Benefit Analysis to Place a Value on Precaution, Environmental Science and Policy, Vol. 7, 2004 : 299-300. Mendelsohn, R., Perspective Paper 1.1 in B. Lomborg (ed.), Global Crises, Global Solutions, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Neumayer, E., In defence of historical accountability for greenhouse gas emissions, Ecological Economics, Vol. 33, 2000 :106. Newell, R. and W. Pizer, Discounting the Benefits of Climate Change Policies Using Uncertain Rates, Resources, Issue 146, 2002 : 17. Nicholls, R.J., Coastal Flooding and Wetland Loss in the 21st Century: Changes under the SRES Climate and Socio-Economic Scenarios, in Global Environmental Change, Vol. 14, 2004 : 79. Nicholls, R.J. and N. Mimura, Regional Issues Raised by Sea-Level Rise and Their Policy Implications, in Climate Research, Vol. 11, 1998 : 11-14. Nordhaus, W.D. and J. Boyer, Warming the World: Economic Models of Global Warming, Cambridge, Ma: MIT Press, 2000. Pearce, D.W., The Social Cost of Carbon and Its Policy Implications, Oxford Review of Economic Policy, Vol. 19, No. 3, 2003 : 373. __________, Economic Values and the Natural World (London: Earthscan,1993 : 48. Pearce D.W. et al. The Social Costs of Climate Change: Greenhouse Damage and the Benefits of Control, (1995), in: J.P. Bruce, H. Lee, and E.F. Haites (eds.), Climate Change 1995—Economic and Social Dimensions of Climate Change: Contribution of Working Group III to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge University Press, 1996. Pearce, D.W. and R.K. Turner, Economics of natural Resources and the Environment, 2nd ed. Baltimore: Jon Hopkins University Press; 1991. Sen, A., Rationality and Freedom, London: Belknap Press, 2002. Smith, J.B. et al. (2001), “Vulnerability to Climate Change and Reasons for Concern: A Synthesis”, in: J.J. McCarthy, et al. (eds.), Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge: Cambridge University Press, 2001. Spash, C. L., Double CO2 and Beyond: Benefits, Costs and Compensation, Ecological Economics, Vol. 10, 1994 : 32. ( 107 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Tol, R.S.J. et al., Distributional Aspects of Climate Change Impacts, Global Environmental Change, Vol. 14, 2004 : 263. Tol, R.S.J., The Marginal Costs of Greenhouse Gas Emissions, The Energy Journal, Vol. 20, No. 1, 1999 : 70-71. ________, The Damage Costs of Climate Change: Toward More Comprehensive Calculations, Environmental and Resource Economics, Vol. 5, 1995 : 369. Watson, R., and the Core Writing Team (eds.), Climate Change 2001—Synthesis Report: Contribution of Working Groups I, II, and III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge: Cambridge University Press, 2001. ( 108 ) Kasus Sirip Kuning ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS EMBARGO PRODUK TUNA SIRIP KUNING Muhammad Luthfiy Lukman* Pemerhati Isu-Isu Hukum Internasional E-mail: [email protected] Abstract: Yellowpin Tuna Case is a case of an embargo from the United States to product of yellowfin tuna from Mexico in February 1991. Mexico brought the case into GATT and asked it to form the panel of GATT in order to exercise legitimation of MMPA owned by the United States. Abstrak: Kasus tuna sirip kuning merupaan kasus embargo yang dikenakan Amerika Serikat atas produk tuna sirip-kuning milik Meksiko yang diimpor ke Amerika Serikat, pada Februari 1991. Meksiko membawa kasus tersebut ke hadapan GATT. Meksiko meminta kepada GATT untuk membentuk sebuah panel guna memeriksa legalitas dari ketentuan MMPA milik Amerika Serikat. I. PENDAHULUAN Dalam dunia perdagangan internasional, negara-negara dianggap sebagai sebuah kesatuan global atau yang biasa dikenal dengan istilah global village. Batas-batas suatu negara tidak lagi menjadi penghalang bagi produk negara lain untuk masuk dan diperdagangkan. Perjanjian-perjanjian dagang pun dibuat dan diratifikasi oleh negara-negara untuk memastikan hubungan dagang yang terjalin berlangsung lancar dan tidak mengakibatkan kerugian. Kondisi demikian membuat batas-batas negara pada taraf tertentu menjadi relatif tidak terlalu penting, berimbas pada berkurangnya kekuatan teori-teori mengenai kedaulatan suatu negara. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai kewenangan penuh suatu negara menjadi berkurang pengertiannya ketika kewenangan yang dimaksud mengakibatkan terganggunya kepentingan ekonomi negara lain. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum ekonomi internasional sebagaimana diutarakan oleh Louis Henken dari Amerika Serikat, yaitu untuk membatasi dan mengatur tindakan-tindakan negara agar tidak sampai merugikan kepentingan negaranegara lain atau kepentingan warga negaranya.1 Tindakan-tindakan yang dimaksud antara lain bisa berupa embargo terhadap produk negara lain. Salah satu contoh kasus yang cukup menarik untuk dikaji berkaitan dengan masalah embargo adalah kasus embargo produk tuna * Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2011. Louis Henken, et al., International Law 3rd ed. (St. Paul: West Publishing Co., 1995) hlm. 1394 dalam Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 3 1 ( 109 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 sirip-kuning Meksiko oleh Amerika Serikat pada tahun 1991. Fenomena terbunuhnya lumba-lumba di wilayah Pasifik Tropis Timur (Eastern Tropical Pacific atau ETP) sudah lama tercatat dalam sejarah, yang kemudian meningkat secara signifikan pada tahun 1950-an ketika nelayan tuna mulai mengeksploitasi hubungan unik antara tuna dan lumba-lumba. Di zona ETP ini, kelompok tuna berenang di bawah lumba-lumba. Nelayan mengambil keuntungan dari hal tersebut dengan mengembangkan metode pemancingan menggunakan pukat cincin (purse seine). Mereka juga memanfaatkan keberadaan lumba-lumba untuk melacak, mengejar dan menangkap tuna. Akibatnya, baik lumba-lumba maupun tuna ikut tertangkap dalam jaring mereka, dan sebagian besar lumbalumba yang tertangkap mati atau terluka dalam proses penangkapan tersebut. Pada awalnya, tingkat kematian lumba-lumba terbilang masih rendah karena nelayan hanya menjaring presentase kecil dari kawanan lumba-lumba. Akan tetapi, dengan berkembangnya teknologi puretic hydraulic power blocks dan kualitas jaring yang lebih kuat dengan berat yang lebih ringan, para nelayan mulai menggunakan jaring berukuran lebih besar. Jaring tersebut mencapai ukuran panjang ¾ mil dengan kedalaman lebih dari 300 kaki2, sehingga para nelayan dapat meningkatkan efisiensi pemancingan mereka dengan menjaring presentase yang lebih besar baik dari kawanan lumba-lumba maupun tuna. Terdapat pula perubahan bersifat mekanis yang meningkatkan efisiensi teknik penangkapan ikan dengan menggunakan purse-seine. Pertama, speed boats mulai diperkenalkan sehingga mengurangi jumlah waktu pengejaran. Kemudian, helikopter dan pesawat bermesin tunggal ikut dimanfaatkan untuk mengurangi waktu pelacakan keberadaan lumba-lumba. Inovasi-inovasi tersebut meningkatkan kapasitas armada nelayan hampir lima kali lipat dalam kurun waktu lima belas tahun. Pada tahun 1965, armada nelayan menangkap 48,673 ton tuna yang meningkat menjadi 189,426 ton pada tahun 19803. Dengan peningkatan efisiensi penangkapan, rasio kematian lumba-lumba juga ikut meningkat. Diperkirakan sebanyak 300,000 ekor lumbalumba terbunuh setiap tahunnya4. Melihat kekhawatiran publik akan tingkat kematian tersebut, pihak Kongres Amerika Serikat meloloskan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut atau Marine Mammal Protection Act (MMPA) pada tahun 1972. Undang-undang ini bertujuan untuk menguragi angka kematian lumba-lumba “mendekati nol” dengan mensyaratkankan nelayan penangkap tuna di Amerika Serikat untuk menyesuaikan teknik penangkapan mereka dengan standar yang telah ditetapkan dalam MMPA. Lebih jauh lagi, undang-undang ini membentuk sebuah sistem perizinan yang merancang batasan maksimal jumlah lumba-lumba yang terbunuh dan membatasi rasio penangkapan untuk spesies yang dianggap terancam punah. Pada tahun 1984, Kongres Amerika Serikat menyertakan ketetapan perbandingan (comparability provision) atau Direct Embargo Provision ke dalam MMPA. Tujuan dari Diakses melalui http://www1.american.edu/TED/TUNA.HTM pada tanggal 9 September 2010 pukul 15.20 WITA 3 Ibid 4 I bid 2 ( 110 ) Kasus Sirip Kuning ketetapan ini adalah untuk mengurangi tingkatan kematian lumba-lumba oleh kapal-kapal asing dengan melarang impor tuna sirip-kuning dari negara-negara yang tidak memiliki program-program regulasi dan rasio mortalitas yang dapat diperbandingkan dengan rasio milik Amerika Serikat. Kongres menunjuk Sekretaris Perdagangan untuk memastikan tingkat rasio tewasnya lumba-lumba dari negara-negara pengimpor tidak lebih dari dua kali jumlah rasio penangkapan oleh armada Amerika Serikat pada tahun 1989 dan 1.25 kali rasio pada tahun 19905. Jika negara-negara tidak memenuhi standar tersebut, Sekretaris Perdagangan diwajibkan untuk menerapkan embargo tuna secara langsung. Untuk memastikan terpenuhinya Direct Embargo Provision MMPA lebih jauh lagi, Kongres menyertakan Ketentuan Negara Penengah atau Intermediary Nation Provision, Pelly Amandemnt, serta Dolphin Protection Consumer Information Acs (DPCIA). Intermediary Nation Provision menyatakan bahwa negara-negara penengah yang mengekspor tuna ke Amerika Serikat yang ditangkap oleh negara lain harus membuktikan kepada Sekretaris Perdagangan bahwa mereka telah melarang masuknya tuna atau produk tuna hasil tangkapan negara-negara yang telah secara langsung diembargo oleh Amerika Serikat. Jika negara penengah tidak memblokir produk-produk tersebut dalam kurun waktu enam puluh hari dari embargo impor dan jika Sekretaris Perdagangan idak menerima bukti akan hal tersebut dalam kurun waktu sembilan puluh hari, maka Sekretaris diwajibakn untuk menerapkan embargo terhadap negara tersebut pada hari ke-91. Pelly Amandment yang berada di bawah MMPA 101(a)(2)(D), menyatakan bahwa setelah pelarangan diterapkan selama enam bulan, Sekretaris Perdagangan wajib untuk melapor kepada Presiden Amerika Serikat. Hal ini memberi Presiden kekuasaan penuh untuk menerapkan sebuah bentuk pelarangan atas segala produk ikan selama periode yang ditentukan oleh Presiden serta berdasarkan sanksi yang dijatuhkan oleh GATT. Undang-undang ketiga, Dolphin Protection Consumer Information Act (DPCIA), menyatakan bahwa baik produsen, importer, eksporter, distributor ataupun pihak penjual produk tuna hanya dapat menyertakan label dolphin-safe jika produk tuna mereka ditangkap dengan tidak membahayakan lumba-lumba. Karena itu, tuna yang ditangkap menggunakan purse-seine di zona ETP tidak bisa diberi label dolphin-safe. Sepanjang periode 1990/1991, pihak Amerika Serikat telah menerapkan embargo terhadap produk tuna asal Meksiko, Venezuela, Ekuador, Panama dan Vanatu.6 Sejak itu, Ekuador dan Panama telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Amerika Serikat, sehingga embargo terhadap kedua negara tersebut ditarik kembali. Akan tetapi, Meksiko menolah pengukuran dolphin-safe dan terus melakukan penangkapan yang mengakibatkan tewasnya lumba-lumba sebanyak kira-kira 50,000 ekor pertahun.7 Menanggapi embargo yang dikenakan Amerika Serikat atas produk tuna sirip-kuning milik Meksiko yang diimpor ke negara tersebut, pada bulan Februari 1991 Meksiko membawa 5 6 7 Ibid Ibid Ibid ( 111 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 kasus tersebut ke hadapan GATT. Meksiko meminta kepada GATT untuk membentuk sebuah panel guna memeriksa legalitas dari ketentuan MMPA milik Amerika Serikat, termasuk di dalamnya Direct and Intermediary Tuna Import Embargo, Pelly Amandment, dan Dolphin Protection Consumer Information. Merujuk pada uraian di atas, terlihat beberapa permasalahan yang sangat menarik untuk diteliti dan dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, pokok permasalahan yang hendak Penulis uraiakan adalah sebagai bagaimana GATT memandang pembatasan impor yang dikenakan suatu negara atas dasar pertimbangan pemeliharaan lingkungan hidup? Dan Bagaimana tindak lanjut dari kesimpulan akhir yang diperoleh oleh Panel GATT terkait dengan tindakan embargo yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap produk tuna sirip-kuning asal Meksiko? II. PEMBAHASAN 1. Posisi Kasus Sebelum menguraikan permasalahan di atas, maka terlebih dahulu diuraikan secara sederhana posisi kasus Tuna Sirip Kuning. Di wilayah Samudera Pasifik Tropis Timur, kelompok tuna sirip-kuning berenang berdampingan dengan kelompok lumba-lumba. Akibatnya, ketika tuna ditangkap menggunakan pukat cincin, lumba-lumba ikut terperangkap dalam jaring tersebut. Lumba-lumba tersebut seringkali tewas kecuali mereka segera kembali dilepaskan. Ketentuan Marine Mammal Protection Act (MMPA) milik Amerika Serikat merancang standar perlindungan lumba-lumba yang berlaku bagi armada penangkap ikan domestik Amerika serta armada milik negara lain yang menangkap tuna sirip-kuning di bagian Samudera Pasifik. Jika sebuah negara yang mengekspor tuna ke Amerika Serikat tidak bisa membuktikan kepada pihak otoritas Amerika Serikat bahwa mereka telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh undang-undang AS, pemerintah AS wajib mengenakan embargo atas seluruh impor tuna sirip-kuning dari negara tersebut. Dalam sengketa ini, Meksiko merupakan negara pengekspor yang dimaksud. Embargo tersebut juga berlaku bagi “negara penengah” yang menangani pendistribusian tuna dari Meksiko ke Amerika Serikat. Seringkali tuna tersebut diproses dan dikalengkan di salah satu dari negara-negara ini. Dalam sengketa ini, “negara penengah” yang dihadapkan pada embargo Amerika Serikat adalah Kosta Rika, Italia, Jepang dan Spanyol, setelah sebelumnya dikenakan pada Perancis, Belanda dan Inggris. Negara-negara lain seperti Kanada, Kolombia, Korea serta anggota-anggota ASEAN, juga terkategorikan sebagai “negara penengah”. Pada tanggal 5 November 1990, Meksiko meminta untuk berunding dengan pihak Amerika Serikat terkait dengan pelarangan impor yang dikenakan atas produk tuna siripkuning mereka.8 Perundingan tersebut diadakan pada tanggal 19 Desember 1990.9 Pada tanggal Laporan Panel mengenai “United States – Restrictions on Imports of Tuna”, 3 September 1991, (DS21/ R-39S/155), paragraf 1.1. 9 Ibid. 8 ( 112 ) Kasus Sirip Kuning 25 Januari, Meksiko meminta kepada negara-negara anggota GATT untuk membentuk Panel berdasarkan Article XXIII:2 untuk mengkaji masalah tersebut setelah periode perundingan selama enam-puluh hari telah berakhir tanpa dicapainya solusi yang memuaskan.10 Komposisi Panel tersebut adalah sebagai berikut11: Ketua : Mr. András Szepesi Anggota: Mr. Rudolf Ramsauer & Mr. Elbio Roselli Panel mengadakan pertemuan dengan pihak yang bersengketa pada tanggal 14 hingga 15 Mei dan 17 Juni 1991.12 Panel menyampaikan kesimpulan akhir yang mereka capai kepada para pihak pada tanggal 16 Agustus 1991.13 2. Kesesuaian Aturan-Aturan GATT dengan Pelarangan Impor Atas Dasar Pertimbangan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Kasus tuna/dolphin antara Amerika Serikat dan Meksiko adalah kasus pertama yang ditangani oleh Panel GATT di mana terjadi perbenturan antara kepentingan perdagangan bebas dan kepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Laporan yang dihasilkan oleh Panel dapat digunakan sebagai media untuk mengkaji kesesuaian aturan-aturan GATT dengan tindakan embargo yang diterapkan atas dasar pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, pembahasan laporan Panel GATT akan dilakukan dengan memisahkan analisisnya ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas mengenai apakah pelarangan impor yang dikenakan Amerika Serikat terhadap produk tuna sirip-kuning Meksiko melanggar GATT, sementara bagian kedua akan mengkaji apakah Pasal Pengecualian GATT dapat membenarkan pelarangan impor tersebut. Pertama-tama, Panel mengkaji apakah undang-undang MMPA milik Amerika Serikat harus dianalisa berdasarkan Article III GATT sebagai sebuah peraturan internal yang diterapkan pada saat terjadinya impor, atau Article XI sebagai sebuah pembatasan impor yang bersifat kualitatif. Pihak Amerika Serikat beranggapan bahwa yang berlaku adalah Article III. Article ini memperbolehkan pengenaan peraturan internal atas sebuah produk yang impor dari negara lain selama peraturan tersebut tidak digunakan sebagai cara untuk melindungi produk domestik dan memperlakukan produk impor setara dengan produk domestik. Amerika Serikat juga membenarkan MMPA berdasarkan Note Ad Article III, yang antara lain berbunyi: “Any internal tax… or any law, regulation or requirement of the kind referred to in (Article III: 1) which applies to an imported product and the like domestic product and is collected or enforced in the case of the imported product at the time of importation, is… subjected to the provisions of Article III.” Menurut Amerika Serikat, embargo impor mereka kenakan atas produk tuna siripkuning Meksiko pada saat terjadinya impor, dan karena itu berada dalam cakupan Article III. 10 11 12 13 Ibid. Ibid, paragraf 1.2. Ibid, paragraf 1.3. Ibid. ( 113 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Amerika Serikat juga beranggapan bahwa MMPA merupakan aturan yang non-diskriminatif karena persyaratan yang terkait dengan produksi tuna yang diimpor adalah setara dengan tuna yang ditangkap oleh armada laut Amerika Serikat. Argumen ini kemudian ditolak oleh Panel. Pada awalnya, perhatian Panel fokus pada apakah ketentuan impor MMPA merupakan ketentuan yang diberlakukan terhadap tuna impor dan domestik. Panel mencatat bahwa Article III merujuk pada pengaplikasian sistem hukum dan peraturan terhadap produk dan peraturan internal menyangkut persyaratan penggabungan, pemrosesan atau penggunaan produk. Article III juga menetapkan aturan prinsip bahwa peraturan terhadap sebuah produk tidak dapat diberlakukan apabila terbukti disusun untuk melindungi produk domestik. Secara sederhana, Panel menyimpulkan bahwa Article III hanya mencakup undang-undang yang mempengaruhi sebuah barang impor dalam bentuk produk.14 Panel kemudian beranggapan bahwa embargo MMPA tidak tercakup dalam ketentuan Article III karena pelarangan impor yang dikenakan Amerika Serikat atas tuna milik Meksiko tidak ada hubungannya dengan karakteristik produk tuna sirip-kuning itu sendiri.15 Panel menyatakan bahwa MMPA hanya mengatur penangkapan domestik tuna sirip-kuning untuk mengurangi jumlah angka terbunuhnya lumba-lumba, dan karena itu tidak bisa dianggap sebagai aturan yang diberlakukan terhadap tuna dalam bentuk produk mengingat aturan tersebut tidak secara langsung mengatur penjualan tuna. Panel kemudian menjabarkan perbedaan besar antara sebuah produk tertentu dan proses produksi dari produk tersebut. Article III mensyaratkan sebuah perbandingan antara produk dari negara pengekspor dan pengimpor, dan bukan antara perbedaan proses produksi negaranegara yang tidak memiliki dampak apa-apa terhadap produknya. Setelah menyimpulkan bahwa Article III tidak dapat digunakan untuk mengkaji legalitas MMPA, Panel hanya menemui sedikit kesulitan untuk menentukan apakah embargo MMPA melanggar Article XI atau tidak. Article XI melarang penerapan kuota, embargo dan pembatasan kuantitatif lainnya atas ekspor dan impor dan memperbolehkan negara anggota GATT untuk mengatur ekspor dan impornya melalui tarif. Pelarangan impor tuna yang ditangkap oleh Meksiko secara terang-terangan melanggar pelarangan umum akan pembatasan impor yang bersifat kuantitatif. Panel mencatat bahwa Amerika Serikat tidak memberikan argumen apapun untuk mendukung kesimpulan hukum yang berbeda terkait dengan Article XI. Bagian dari laporan Panel tersebut secara tegas memegang prinsip bahwa aturan-aturan GATT tidak memberi peluang bagi pasar suatu negara untuk bergantung pada kebijakan lingkungan domestik negara pengekspor. Kendati analisis detail mengenai signifikansi antara perbedaan produk dan proses berada di luar cakupan Article tersebut, pendapat Panel membawa dampak yang cukup signifikan bagi penggunaan green trade barriers. Jeffrey L. Dunoff, Reconciling International Trade With Preservation of The Global Commons: Can We Prosper And Protect?, diakses melalui http://www.worldtradelaw.net/articles/dunoffcommons.pdf, pada 10 Januari 2011 pukul 13.35 WITA 15 Ibid 14 ( 114 ) Kasus Sirip Kuning Negara-negara yang mencari cara untuk melindungi sumber daya alam global telah mengenakan trade barrier terhadap produk yang proses produksinya merusak lingkungan. The London Amendments hingga Montreal Protocol mengharuskan negara-negara anggotanya untuk menentukan kemungkinan pelarangan atau pembatasan perdagangan atas produk yang diproduksi menggunakan zat kimia yang dapat merusak ozon. Secara serupa, negara-negara telah melarang impor ikan dan produk ikan yang proses penangkapannya menggunakan pukat harimau. Analisis Panel mengindikasikan bahwa green trade barriers ini tidak sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh hukum perdagangan internasional. Setelah menyimpulkan bahwa embargo tuna sirip-kuning yang dikenakan Amerika Serikat terhadap Meksiko melanggar Article XI GATT, Panel kemudian mengkaji apakah pengecualian-pengecualian yang terkandung dalam Article XX GATT dapat membenarkan trade barrier tersebut. Article XX GATT berbunyi: “Subject to the requirements that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures… (b) necessary to protect human, animal or plant life or health;… (g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption;… Panel mengakui bahwa tidak satu pun dari klausula-klausula tersebut yang secara tegas dibatasi pada perlindungan kepentingan pemeliharaan lingkungan hidup di dalam wilayah yurisdiksi negara yang bersangkutan; dan bahwa belum ada panel yang sebelumnya dibentuk untuk membahas masalah mengenai apakah klausula-klasusula tersebut dapat digunakan untuk melindungi kehidupan satwa yang berada di luar wilayah yurisdiksi negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, Panel memutuskan untuk mengkaji sejarah penyusunan Article tersebut, tujuan penyusunannya, serta konsekuensi dari penafsiran-penafsiran yang didesak oleh negara-negara yang bersengketa. Article XX (b) berasal dari usulan Amerika Serikat untuk Draft Charter dari International Trade Organization (ITO). Usulan tersebut berbunyi: “Tidak satupun (dalam Draft Charter) dapat digunakan untuk mencegah negara-negara anggota untuk mengadopsi atau memberlakukan undang-undang yang dianggap perlu untuk menjaga dan melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.” Dalam rancangan berikutnya, bagian preambulnya direvisi sehingga isinya seperti sekarang, dan pengecualian (b) berbunyi: “Untuk tujuan melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan, apabila terdapat usaha perlindungan domestik yang serupa dalam kondisi yang sama di negara pengimpor.” Menurut Panel, persyaratan tersebut dirancang untuk mengatasi kekhawatiran bahwa negara pengimpor dan melanggar peraturan kesehatan (sanitary regulations). Akan tetapi, persyaratan tersebut kemudian dibatalkan. Dari sejarah singkat ini, Panel menyimpulkan ( 115 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 bahwa perhatian para penyusun Article XX (b) difokuskan pada penggunaan undang-undang kebersihan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan di dalam wilayah yurisdiksi negara pengimpor. Panel juga menganalisa tujuan dari pengecualian-pengecualian tersebut. Panel mencatat bahwa Article XX memperbolehkan setiap negara anggota untuk merancang sendiri standar kesehatan atau kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan mereka dengan mengacu pada syarat-syarat yang telah lebih dulu dijabarkan dalam bagian preambul, yaitu bahwa setiap undang-undang perdagangan harus bersifat “penting” dan tidak dirancang sebagai usaha untuk menyamarkan upaya pembatasan perdagangan. Peraturan ini mengizinkan negaranegara anggota untuk memanfaatkan undang-undang pembatasan perdagangan yang tidak sesuai dengan GATT demi mencapai tujuan dari kebijakan penolakan publik hingga pada tingkatan di mana pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud tidak dapat lagi dihindari. Panel juga menyimpulkan bahwa embargo yang dikenakan pihak Amerika Serikat atas impor tuna sirip-kuning dari Meksiko tidak bersifat “penting” berdasarkan tujuan Article XX (b). Panel-panel GATT yang sebelumnya terbentuk telah menentukan bahwa sebuah undangundang perdagangangan tidaklah bersifat “penting” apabila masih terdapat sebuah undangundang alternatif yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam GATT. Panel beranggapan bahwa Amerika Serikat tidak menunjukkan bahwa mereka telah memanfaatkan segala pilihan yang ada dan sesuai dengan GATT untuk mencapai tujuan perlindungan lumba-lumba. Secara khusus, Amerika Serikat tidak menunjukkan bahwa mereka telah berupaya untuk merundingkan sebuah perjanjian kerjasama internasional untuk melindungi lumba-lumba. Selain itu, rasio incidental taking lumba-lumba yang diperbolehkan bagi Meksiko untuk periode waktu tertentu masih terhubung dengan rasio armada Amerika Serikat pada periode waktu yang sama. Sistem tersebut membuat pihak otoritas Meksiko tidak dapat mengetahui apakah kebijakan mereka telah sesuai dengan standar perlindungan lumbalumba milik Amerika Serikat, dan karena itu sulit untuk menyesuaikan aktivitas penangkapan tuna sirip-kuning mereka berdasarkan standar yang ditetapkan Amerika Serikat. Panel menyimpulkan bahwa sebuah bentuk pembatasan berdasarkan kondisi yang tidak terprediksi bersifat “tidak penting” terkait dengan tujuan dari Article XX (b). Pihak Amerika Serikat mencoba menjustifikasi kebijakan MMPA mereka berdasarkan pengecualian dalam Article XX (g) GATT. Article tersebut menentukan bahwa sebuah peraturan baru dapat dianggap terkait dengan upaya pelestarian sumber daya alam yang terbatas apabila peraturan tersebut memang semata-mata bertujuan demikian. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pihak Amerika Serikat menghubungkan rasio incidental taking lumba-lumba yang harus dipenuhi oleh pihak Meksiko selama periode waktu tertentu untuk dapat mengekspor tuna ke Amerika Serikat dengan rasio yang dicatat oleh armada penangkapan ikan Amerika Serikat selama periode waktu yang sama. Sebagai akibatnya, pihak otoritas Meksiko tidak dapat mengetahui apakah kebijakan konservasi mereka telah memenuhi standar Amerika Serikat. ( 116 ) Kasus Sirip Kuning Panel beranggapan bahwa sebuah pembatasan perdagangan berdasarkan kondisi-kondisi yang sulit untuk diprediksi tidak dapat dianggap memiliki tujuan utama untuk melindungi spesies lumba-lumba. Panel GATT kemudian mencapai kesimpulan bahwa pelarangan impor yang dikenakan pihak Amerika Serikat terhadap impor produk tuna sirip-kuning Meksiko melanggar Article XI (1) GATT, dan pelanggaran itu tidak dapat dibenarkan dengan beberapa pengecualian yang terdapat dalam Article XX (b) maupun Article XX (g) GATT. Penjabaran mengenai analisis Panel GATT atas tindakan embargo Amerika Serikat terhadap produk tuna sirip-kuning asal Meksiko di atas mengindikasikan bahwa keterkaitan antara hukum ekonomi internasional dan hukum lingkungan internasional dalam GATT terdapat dalam klausula-klausula pengecualian yang termuat dalam Article XX GATT. Article tersebut menguraikan sepeluh bidang spesifik yang dapat digunakan untuk menerapkan pengecualian atas aturan-aturan perdagangan. Pengecualian-pengecualian ini antara lain dalam bidang moralitas publik dalam paragraf (a), perlindungan kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan dalam paragraf (b), harta kekayaan negara dalam paragraf (f), dan pemeliharaan sumber daya alam global yang bersifat terbatas dalam paragraf (g). 3. Tindak Lanjut Kesimpulan Akhir yang Diperoleh oleh Panel GATT Terkait Kasus Embargo Produk Tuna Sirip-Kuning Milik Meksiko oleh Amerika Serikat Setelah menganalisa ketentuan-ketentuan dalam GATT terkait dengan tindakan embargo yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap produk tuna sirip-kuning asal Meksiko, Panel sampai pada kesimpulan akhir sebagai berikut: a. Pelarangan impor atas tuna sirip-kuning tertentu dan produk tuna siripkuning tertentu asal Meksiko dan ketentuan-ketentuan dalam Marine Mammal Protection Act (MMPA) yang dikenakan terhadapnya melanggar Article XI: 1 dan tidak terjustifikasi oleh Article XX (b) atau Article XX (g). b. Pelarangan impor yang dikenakan Amerika Serikat terkait dengan tuna siripkuning tertentu dan produk tuna sirip-kuning tertentu asal “negara-negara penengah” dan ketentuan-ketentuan dalam MMPA yang dikenakan terhadapnya melanggar Article XI: 1 dan tidak terjustifikasi oleh Article XX (b) atau Article XX (g). c. Panel menyarankan agar negara-negara anggota meminta kepada Amerika Serikat untuk menyesuaikan undang-undangnya dengan kewajiban-kewajibannya berdasarkan General Agreement. d. Ketentuan dalam Section 8 dari Fishermen’s Protective Act (The Pelly Amendment) telah sesuai dengan kewajiban-kewajiban Amerika Serikat berdasarkan General Agreement. e. Ketentuan pelabelan produk tuna dari Dolphin Protection Consumer Information Act (DPCIA) terkait dengan tuna yang ditangkap di wilayh Lautan Pasifik Tropis Timur (ETP) telah sesuai dengan kewajiban-kewajiban Amerika Serikat berdasarkan Article I:1 General Agreement. ( 117 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 Kesimpulan akhir yang dicapai Panel di atas menyita cukup banyak perhatian dari pihak Amerika Serikat. Organisasi-organisasi lingkungan dan para anggota Kongres menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai hak suatu negara untuk mengambil langkah secara sepihak guna melindungi lingkungan hidup. Surat yang dilayangkan oleh 63 senator Amerika Serikat kepada Presiden Bush mendesak agar pengadopsian laporan dihentikan dan agar Presiden mengusahakan penandatanganan perjanjian multinasional untuk mencapai tujuan-tujuan dari MMPA. Hingga September 1993, pihak Meksiko tidak mengusahakan pengadopsian hasil laporan Panel GATT. Alasan dibalik keputusan ini tidak diketahui secara pasti, akan tetapi Penulis berpendapat bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan pembentukan NAFTA yang telah memasuki tahap awal negosiasi pada saat kasus tersebut terjadi. Kepentingan jangka panjang yang ingin dicapai Meksiko melalui NAFTA jelas lebih penting dibanding kepentingan untuk memenangkan kasus embargo produk tuna sirip-kuning mereka. Seperti yang telah diketahui, Meksiko adalah salah satu negara perintis NAFTA bersama Amerika Serikat dan Kanada. Besar kemungkinan bahwa perundingan tersebut tidak akan berjalan lancar jika Meksiko berkeras untuk mengadopsi kesimpulan akhir yang dicapai oleh Panel menjadi putusan. Amerika Serikat pada akhirnya bersedia mencabut pemberlakuan embargo atas produk tuna sirip-kuning Meksiko setelah negara tersebut meratifikasi International Dolphin Conservation Program (IDCP) serta bersedia memenuhi kewajiban mereka berdasarkan perjanjian tersebut guna mengurangi angka kematian lumba-lumba dalam proses penangkapan tuna mereka. Akan tetapi, embargo yang mereka kenakan terhadap negara-negara penengah tetap diberlakukan. Hal inilah yang melatar belakangi terjadinya kasus Tuna-Dolphin II antara Amerika Serikat dengan Negara Komunitas Eropa (EC). Negara-negara EC secara resmi memulai proses penyelesaian sengketa yang berujung pada laporan Panel US-EEC Tuna-Dolphin pada tahun 1994. Perhatian negara-negara EC secara khusus terpusat pada embargo tuna yang dikenakan Amerika Serikat terhadap negara-negara penengah, akan tetapi masalah mengenai embargo tuna sirip-kuning yang dipicu oleh MMPA juga kembali dibahas. Tidak satupun dari enam negara-negara penengah yang terlibat dalam kasus tersebut—Australia, Kanada, Jepang, New Zealand, Thailand ataupun Venezuela—yang mendukung posisi Amerika Serikat. Laporan akhir Panel GATT 1994 bersifat kurang lebih sama dengan yang dihasilkan oleh Panel GATT 1991, yaitu bahwa embargo MMPA tidak sesuai dengan aturan-aturan dalam GATT. ( 118 ) Kasus Sirip Kuning III. PENUTUP Bertolak dari uraian permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa hal sebagai simpulan sebagai berikut: 1. a. Kebijakan MMPA Amerika Serikat yang dijadikan dasar penetapan embargo atas tuna sirip-kuning Meksiko bukan merupakan internal regulations seperti yang diklaim pihak Amerika Serikat berdasarkan Article III GATT. b. Embargo yang dikenakan Amerika Serikat atas tuna sirip-kuning asal Meksiko melanggar Article XI GATT mengenai pelarangan penetapan kuota, embargo serta pembatasan perdagangan bersifat kualitatif lainnya. c. Tindakan embargo yang dikenakan pihak Amerika Serikat terhadap Meksiko tidak terbenarkan oleh klausula-klausula Pengecualian Umum yang terdapat dalam Article XX (b) dan (g) GATT. 2. a. Pihak Meksiko tidak mengusahakan pengadopsian kesimpulan akhir Panel GATT oleh Dewan GATT terkait dengan belum selesainya perundingan NAFTA yang sedang diusahakan oleh negara tersebut dengan pihak Amerika Serikat. b.Pihak Amerika Serikat bersedia mencabut embargo terhadap tuna siripkuning Meksiko setelah negara tersebut meratifikasi International Dolphin Conservation Program (IDCP) dan bersedia memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut. c. Pihak Amerika Serikat tidak mencabut embargo yang dikenakan terhadap negara-negara penengah, berujung pada sengketa lanjutan Tuna/Dolphin II antara Amerika Serikat dan Negara Komunitas Eropa (European Community). DAFTAR PUSTAKA Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Jeffrey L. Dunoff, Reconciling International Trade With Preservation of The Global Commons: Can We Prosper And Protect?, diakses melalui http://www.worldtradelaw. net/articles/dunoffcommons.pdf, pada 10 Januari 2011 pukul 13.35 WITA. Laporan Panel mengenai “United States – Restrictions on Imports of Tuna”, 3 September 1991, (DS21/R-39S/155), paragraf 1.1. Louis Henken, et al., International Law 3rd ed. St. Paul: West Publishing Co., 1995. ( 119 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 PERSYARATAN PENULISAN J urnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin memuat naskah yang berupa artikel konseptual dan hasil penelitian, dengan ketentuan penulisan sebagai berikut: Artikel Konseptual Isi dalam kerangka konseptual dituangkan ke dalam sistematika penulisan yang berintikan pembahasan penulis yang berasal dari rumusan pokok permasalahan. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penulisan artikel konseptual adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian pendahuluan; (5) Bagian Inti atau pembahasan; (6) Penutup; (7) Daftar pustaka Artikel Hasil Penelitian Unsur penulisan artikel hasil penelitian adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian Latar Belakang; (5) Metode Penelitian (6) Hasil penelitian dan pembahasan; (6) Kesimpulan, (7) Saran; (8) Daftar pustaka Format Naskah Naskah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Naskah harus memenuhi kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar; b)Naskah yang ditulis baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, harus disertai abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia, maksimal 50 kata; c) Jumlah halaman artikel konseptual 15-30 halaman, artikel penelitian 25-40 halaman, diserahkan dalam bentuk printout dan softcopy; d)Kertas A4, Huruf Times New Roman, ukuran 12; e) Menggunakan spasi ganda; f) Pemuatan tabel dan grafik harus disertai sumber dan penomorannya; g)Tulisan yang diserahkan wajib disertai dengan bahan pustaka yang dibuat alpabetik (kecuali bagi penulis dengan reputasi nasional dan internasional, tulisan dibolehkan untuk tidak disertai bahan pustaka); dengan ketentuan sebagai berikut: i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan], Tempat terbit: Penerbit, dan Tahun). Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [ditebalkan dan dimiringkan], Tempat terbit, :, Penerbit, dan Tahun). Contoh: Shaw, M.N., International Law, 2nd edition, Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986. ii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006) : 35 iii. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual Property, Vol.7, No. 5 (2004) : 668-670. ( 120 ) iv. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website, Tanggal akses) Contoh: Stephen A. Hasen, A. S. and Vanfleet, W. J., Traditional Knowledge and Intellectual Property Rights: A Handbook on Issues and Option for TK Holder in Protecting Their IP and Maintaining Biological Diversity, in http://shr.aaas.org./tek/handbook/handbook/pdf, accessed 12 March 2010 v. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama, Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun). Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010 Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar, 2005. h)Teknik kutipan yang digunakan adalah catatan kaki (footnotes), dengan ketentuan sebagai berikut: i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan], [Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung], dan Halaman). Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994), hlm. 3. ii. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan dan dimiringkan], [Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung], dan Halaman). Contoh: M.N. Shaw, International Law, 2nd edition, (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986, p. 5. iii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman. Contoh: Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006), hlm. 35 iv. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman. Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual Property, Vol.7, No. 5 (2004), pp. 668-670. v. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website, Tanggal akses) Contoh: Lufsiana, Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan, http://Konflik-KewenanganPenegakan-HUKUM-PERIKANAN.aspx.htm, diakses 23 Nopember 2010. vi. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama, Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun). Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010 Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar, 2005. Penyerahan Tulisan a) Tulisan dapat diserahkan langsung di Sekretariat: Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar; atau b) Dikirim via-email ke: [email protected] c) Setiap artikel yang diserahkan, harap mencantumkan alamat jelas serta melampirkan curriculum vitae Penulis (instansi dan e-mail). ( 121 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013 ( )