Nyonya - LeutikaPrio

advertisement
Nyonya
Sebuah meja bundar terlihat memikat sebab ada tiga orang
nyonya duduk di situ. Mungkin berjudi, arisan, atau bergosip.
Seorang di antaranya berkepala logam dengan gelang-gelang
duapuluh empat karat di pergelangan tangannya. Tiap kali
tumitnya bergerak, maka suara ‘ketak-ketok’ akan segera
terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Nyonya berkepala
logam ini senang sekali mengeluarkan uang dari mata dan
mulutnya, sebab kulitnya terbuat dari Louis Vuitton.
Sementara itu, nyonya di sebelahnya mengenakan topeng
emas dengan kulit terbuat dari lulur dan minyak zaitun. Celana
dalamnya mengeluarkan bunyi satu juta ketika ia bergeser dari
tempat duduknya. Mulutnya mengeluarkan pabrik kerupuk
kulit rasa keju, sebab ia tidak terlalu suka makanan Indonesia.
Murahan, katanya. Di dalam tubuh nyonya ini ada sebuah
lemari brankas dengan kode yang tidak bisa disebutkan.
Rahasia, katanya.
Di sudut lingkaran yang lain, menarilah mata seorang
nyonya sirkus yang rambutnya terbuat dari salon. Badannya
seperti toko parfum dengan sengatan lebah. Nyonya yang ini
suka sekali meliuk ke kiri dan ke kanan untuk membaui pisang
panggang yang semahal apa pun bisa diucapkannya.
Aku menunggu acara ini sejak lama. Sejak mereka datang
dengan mengeluarkan bunyi koin dari kepala dan hati mereka.
Suara
1
Sejak mereka sering sekali berteriak padaku sambil meminta
ini dan itu untuk dilahap mulut-mulut megah. Beberapa detik
kemudian, Nyonya kepala logam mengangkat tangannya
sambil jentik jarinya menyulapkan beberapa koin emas di
hadapan mukaku. Aku datang mengeluarkan ikan kembung ke
hidungnya yang seperti celengan. “Mau pesan apa, Nyonya?”
tanyaku masih bau ikan kembung sepertinya. Yang ditanya
malah menutup hidung, sambil membisikkan pesanannya
padaku. “Nyonya sirkus sebelahku ini, kelaminnya terbuat dari
mesin ATM, lho!”
Aku masih diam dan belum mengerti apa yang
dikatakannya. Nyonya kepala logam itu kemudian berbisik
lagi, “Mulutmu kok bau ikan kembung, ya?”
Oh, pesan ikan kembung goreng. Lalu pesanan selanjutnya,
kutanya nyonya yang rambutnya terbuat dari salon. “Kalau
Nyonya, mau pesan apa?” geligiku mengeluarkan belatung.
Nyonya berambut salon menjawab, “Orang sebelahku ini
hanya punya celana dalam berbunyi satu juta, tapi tidak punya
kelamin.”
Kembali aku tidak bisa mendengar nyonya itu bicara. Lalu
kutanya lagi apa pesanannya, dia menjawab “Gigimu itu, kok
banyak belatungnya?”
Oh, pesan nasi tutug. “Kalau Nyonya yang satunya, pesan
apa?” tanyaku pada nyonya bertopeng emas. Dia kemudian
melirik dua orang yang duduk di kedua sampingnya lalu
berbisik di telingaku “Nyonya berkepala logam itu, kelaminnya
terbuat dari celengan sebesar rumahmu.”
Apa? Di sini tidak jual jamu.
Yang barusan berbisik kemudian tersenyum sambil
berkata kalau lidahku seperti daging basi. Lantas, dalam
hitungan detik, ketiga nyonya itu kemudian menjambak
2
Zukhrufah D.A.
rambutku sambil berteriak “Mulutmu bau ikan kembung,
gigimu banyak belatungnya, lidahmu daging basi. Kami mau
muntah, tahuuuuuuu!!!!!!”
Oh, pesan bakso tahu.
Aku pergi membawa pesanan : ikan kembung, nasi tutug,
dan bakso tahu. Mendetik, aku menghitung maju sang koki
memasak. Satu, nyonya logam mengeluarkan bensin dari
mulutnya. Dua, nyonya bertopeng mengambil bensin dengan
kepalanya. Tiga, nyonya rambut salon menyalakan suluh di
atas kepalanya. Empat, lalu meniupkan api ke kepala nyonya
bertopeng. Lima, kebakaran di meja bundar. Enam, kebakaran
di meja bundar. Tujuh, kuambil seember air. Delapan, lalu
kuguyurkan ke atas kepala mereka. Sembilan, mukaku kena
tampar. Sepuluh, pesanan sudah siap.
Kuantarkan semua pesanan ke meja bundar sambil
sesekali menguping bunyi mata uang yang diputar. Cling, satu
ditambah satu. Cling, cling. Dua. Cling, sekoin emas masuk
ke dalam pakaianku. Nyonya kepala logam marah-marah,
mengeluarkan koin lebih banyak dari mulutnya. Sementara
itu, nyonya berambut salon mengeluarkan lembaran uang dari
kelaminnya, lalu disuapkannya uang itu ke mulutku. Terakhir,
nyonya bertopeng membakarku dengan sisa api yang masih
ada di kepalanya, serta membuka celana dalam berbunyi satu
jutanya dan menaruhnya di atas kepalaku.
Aku berniat nangis darah, tapi yang keluar dari mataku
adalah uang logam dan kepingan emas. Melihat hal itu,
ketiga nyonya di meja bundar berhenti membakarku. Mereka
memberiku semua hidangan yang kusajikan sambil berkata
“Makanlah. Supaya mulutmu tidak bau ikan kembung. Juga
biar gigimu tidak ada belatungnya.”
Suara
3
Aku menurut, takut kalau suatu saat mulutku bau
bangkai ikan kembung, gigiku penuh belatung, serta lidahku
serupa daging basi. Mereka tersenyum. Menarik perutku agar
lahap. Nyonya bertopeng menyuruhku duduk di meja bundar.
Memakai celana dalam satu jutanya, memakan lembaran uang
dari kelamin nyonya berambut salon, dan menelan logamlogam nyonya kepala logam. Aku kekenyangan, tertidur. Lalu
mendengar opera sabun.
Nyonya logam menggosok logam-logamnya dengan
sabun cair sambil memperlihatkan gambar suaminya sedang
menggamit pinggulku. Nyonya berambut salon mengelap
mesin ATM-nya dengan sabun bubuk seraya mempertontonkan
saku kekasihnya pindah ke dalam bajuku. Nyonya bertopeng
membersihkan topengnya dengan sabun batangan sambil takut
kalau kelak gambarku muncul bersamaan dengan gambar
suaminya. Sabun cair membusa, menjadi-jadi. Menutup
kerongkongan seluruh peserta meja bundar. Nyonya berambut
salon tidak ingin kalah sehingga terus menggosok mesin ATMnya dengan sabun bubuk. Sementara itu, sabun batangan
masih remeh sehingga mau tak mau, ia meminta busa dari
nyonya kepala logam. Busa semakin banyak, menggunung,
tumpah ruah menutupi seluruh ruangan. Semua orang panik
dan keluar. Tetapi aku masih di dalam, tertimbun busa mereka.
Bersambung.
Aku terbangun, makanan sudah habis. Sisa sedikit,
sepotong tahu. “Mau?” Tanya nyonya bertopeng emas
kepadaku. Aku menggeleng sambil mengeluarkan koin emas
dari lubang telingaku. Nyonya kepala logam tak mau kalah
sehingga mulutnya komat-kamit mengeluarkan koin logam
yang lebih besar.
4
Zukhrufah D.A.
Download