INVESTASI 9 Edisi Minggu Bisnis Indonesia 21 November 2010 FITA INDAH MAULANI Bisnis Indonesia ndustri telematika di Indonesia, meskipun dikatakan tertinggal dibandingkan dengan negara maju ternyata masih unggul dan telah memasuki tahap selanjutnya. Jika beberapa tahun lalu masih berada pada era 1.0 atau masa membangun konektivitas bagi suara dan data. Sekarang, setelah angka penetrasi mencapai 80%, saatnya era 2.0 berkembang. Masuknya negara ini ke era 2.0 ditandai dengan bermunculannya para pengembang aplikasi. Era Telematika 2.0 adalah mengisi konektivitas dengan aplikasi dan konten sehingga investasi infrastruktur bisa dioptimalkan. Pada era ini, tidak hanya perusahaan multinasional atau perusahaan lokal yang bisa eksis, tetapi usaha kecil dan menengah pun bisa unjuk gigi. Salah satu contoh keberhasilan era ini di Pertumbuhan mobile advertising dunia adalah kehadiran situs ternama paling besar di Indonesia saat ini berbagai yang semula hanya sebatas SMS pemasaran. sebuah aplikasi yang dikembangkan kecilkecilan seperti Facebook. Era ini juga memberikan kesempatan besar bagi tumbuhnya layanan mobile advertising. Perusahaan Teknologi Informasi (TI) raksasa dunia pun menyadari arti penting menggandeng kreator lokal karena prinsip yang digunakan untuk berhasil adalah go global act local yang merupakan kunci sukses di industri ini. Perusahaan atau individu lokal, selama memiliki modal kreativitas juga tidak perlu khawatir dalam bersaing. Heru Nugroho, Praktisi Telematika dan Komisaris Utama Generasi Indonesia Digital (GENiD) mengatakan melihat perkembangan perangkat bergerak saat ini, peluang untuk mengembangkan mobile advertising luar biasa, apalagi kecenderungan masyarakat sekarang menyukai perangkat bergerak seperti ponsel dan komputer jinjing seperti netbook serta tablet PC. ”Untuk membuka usaha ini modal yang diperlukan bervariasi, bergantung pada layanan yang akan ditawarkan, apakah melalui SMS, RBT [ring back tone/nada sambung pribadi], atau games. Kerja sama dengan pihak lain juga diperlukan,” ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini. Dia mencontohkan usaha mobile advertising yang menyasar perangkat ponsel, perlu dilakukan kerja sama dengan operator telekomunikasi. Pola kemitraan tersebut biasanya bagi hasil (revenue share) dengan persentase tergantung pada negosiasi dan potensi volume bisnis melihat konten yang ditawarkan. Belanja modal diperlukan untuk perangkat dan biaya operasional pegawai, jumlahnya bervariasi, rata-rata mulai dari Rp100 juta dengan estimasi kembali modal antara 1 dan 3 tahun tergantung dari kreativitas konten yang ditawarkan apakah bisa diterima pasar dengan cepat atau tidak. Pada kerja sama dengan operator telekomunikasi, biaya promosi biasanya bisa diminimalkan karena promosi biasanya dibantu oleh sang operator, jaringan infrastruktur pun menggunakan milik operator tersebut sehingga modal utama adalah kekuatan konten iklan itu sendiri. ”Namun, ada juga bentuk mobile advertising yang harus diprotes saat ini, yaitu penyebaran SMS broadcast menggunakan nomor ponsel Jaring pembeli lewat ponsel yang menawarkan gratisan kepada nomor telepon acak, hal ini cenderung menjadi spam dan mengganggu. Mobile advertising harus mengetahui minimal karakter dan segmen calon konsumennya,” ujarnya. Kreativitas menyebarkan SMS broadcast gratisan ini memang bermodal sangat minim, tidak pelu memiliki perangkat seperti SMS caster dan nomor khusus empat digit, tetapi menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap industri mobile advertising. Penawaran yang dilakukan juga biasanya mengenai kredit tanpa anggunan dari pihak tidak dikenal. Peluang masih terbuka lebar seperti melakukan promosi produk dengan membuat games gratis bagi pengguna ponsel, padahal permainan tersebut ada nuansa iklan dan promosinya. Produk lainnya adalah RBT gratis. Modal kecil, kreativitas besar Iqbal Farabi, Pemilik PT Benang Komunika Infotama mengatakan pertumbuhan mobile advertising paling besar di Indonesia saat ini masih sebatas SMS pemasaran, padahal bisa dikembangkan ke layanan RBT, musik, video hingga streaming. Usaha kecil menengah berpeluang besar mengembangkan layanan ini, khususnya untuk layanan SMS. ”Biaya SMS dan perangkatnya sangat murah dan bisa diarahkan agar tepat sasaran. Calon pelanggan pun sangat potensial, mengingat biaya mencetak promosi kertas cukup tinggi. SMS caster menjadi alat yang bisa digunakan dan mudah diperoleh,” ujarnya. Modal besar dari sisi aplikasi, tetapi untuk belanja modal tidak perlu mengeluarkan dana besar. Dana Rp300 juta sudah lebih dari cukup. Untuk tingkat pengembalian modal semuanya tergantung dari kreativitas konten yang ditawarkan, rata-rata 1 hingga 3 tahun. Ketua Badan Pengurus Pusat Hipmi Kompartemen Information and Communication Technology (ICT) ini mengingatkan potensi bisnisnya memang sangat menarik, tetapi potensi spam sangat mungkin terjadi. Penting untuk mengetahui target yang sesuai dengan konten yang akan ditawarkan, hal ini bisa bekerja sama dengan operator. Perusahaan mobile media global BuzzCity baru-baru ini mengumumkan Indeks Mobile Advertising Global periode kuartal III/2010. Tercatat, terdapat pertumbuhan global sebesar 17% pada periklanan di situs atau aplikasi mobile. Indeks Mobile Advertising Global mencatat setiap aktivitas periklanan di seluruh Jaringan Iklan BuzzCity, termasuk 2.500 penerbit konten di seluruh dunia. Data tersebut mewakili permintaan para pengiklan untuk iklan mobile internet. Sebanyak 54 pasar masing-masing mendapatkan lalu lintas data per bulan melebihi 10 juta impresi (klik). Angka ini naik dari 44 pasar di kuartal kedua dan 32 pasar di kuartal I yang berhasil meraih lebih dari 10 juta impresi. Tercatat, sedikitnya 14 negara telah mengalami pertumbuhan sebesar dua digit di periklanan mobile selama 3 bulan terakhir. India, Turki, Amerika Serikat, Malaysia, Afrika Selatan dan Meksiko mengalami pertumbuhan dua digit selama tiga kuartal berturut-turut. Sementara itu, Libya, Korea Selatan dan Kenya menunjukkan pertumbuhan tiga digit. Khusus Indonesia, Indeks Mobile Advertising Global periode kuartal III/2010 yang dirilis oleh BuzzCity menunjukkan jumlah iklan banner mobile Indonesia masih paling tinggi. Namun, belanja iklan yang dikeluarkan pengiklan cenderung berfluktuasi. Di pasar iklan mobile, khususnya pada jaringan iklan BuzzCity, terlihat pertumbuhan sebesar 57% selama September 2010. Secara nasional, belanja iklan untuk mobile advertising pada tahun ini mencapai Rp150 milar. Group Head and Vas Marketing Indosat Teguh Prasetya mengakui layanan mobile advertising masih dalam tahap belajar di Indonesia. ”Industri belum matang. Hal ini makin diperberat dengan perilaku dari pemasang iklan yang masih cobacoba di media baru ini,” jelasnya. Diungkapkannya, Indosat secara pertumbuhan memiliki laju yang tinggi, bahkan untuk pendapatan mencapai dua kali lipat dari target awal yang diinginkan. ”Pengakses mobile advertising kami sekitar 8 juta pelanggan. Kalau nominal rupiahnya tidak bisa diungkap,” ujarnya. Teguh optimistis layanan ini akan bisa berbicara banyak beberapa tahun lagi karena secara akses ke target pasar lebih terukur. ([email protected]) BISNIS/ANDRY T. KURNIADY I