B A B II LANDASAN / KAJIAN TEORITIK Pembahasan pada Bab ini

advertisement
60
B A B II
LANDASAN / KAJIAN TEORITIK
Pembahasan pada Bab ini diuraikan mengenai landasan/kajian teoritik yang
didiskripsikan mengenai teori-teori hukum, asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin,
yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu maupun pandangan-pandangan para sarjana yang
dipergunakan sebagai kajian maupun pembenaran teoritik terhadap permasalahan yang akan
diteliti. Pertanyaan mengenai apakah teori itu, adalah pertanyaan yang wilayah jangkauannya
sangat rumit dan filosofis, namun demikian istilah teori juga merupakan istilah yang selalu
dikaitkan dengan sesuatu yang abstrak teoritis, yang pada tataran tertentu menimbulkan
keragaman tafsir untuk menjelaskan fenomena atau keadaan tertentu. Dalam landasan/kajian
teoritik juga diuraikan tentang kerangka konseptual yang menjelaskan tentang konseptual yang
dapat berarti konsepsi atau pengertian yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yaitu tentang
maksud atau makna dari hukum pajak bumi dan bangunan, subjek pajak bumi dan bangunan,
serta objek pajak bumi dan bangunan sebagaimana diuraikan selanjutnya.
2.1. Kajian Teoritik
Teori berasal dari kata “theoria” yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya
berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang
disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk
menunjukkan
bangunan
berfikir
yang
tersusun
sistematis,
logis
(rasional),
empiris
(kenyataannya), juga simbolis. 1
Teori menurut Burhan Ashofa adalah serangkaian asumsi, konsep, difinisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan
1
H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung, h. 21
61
antar konsep.2 Dalam bentuknya yang paling sederhana teori merupakan hubungan antar dua
variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya. 3 Sedangkan teori menurut Fred N. Kerlinger
yang diterjemahkan dalam bukunya Asas-asas Penelitian Behaviora oleh Landung R.
Simatupang
menyatakan teori adalah seperangkat konstruksi (konsep) batasan dan proposisi
yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubunganhubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu. 4
Menurut Malcolm Waters, teori mempunyai beberapa difinisi yang salah satunya lebih
tepat sebagai suatu disiplin akademik, suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang
dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekolompok fakta atau fenomena…..suatu
pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu
yang diketahui atau diamati.5
Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang
berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kreteria tertentu, meski
mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum. 6
Dalam kaitannya dengan penulisan disertasi ini, maka teori yang dimaksud adalah teori
hukum.7 Dalam Black‟s Law Dictionary disebutkan dengan “Theory of law, yaitu the legal
premise or set of principles on which a case rests.”8 Dalam bahasa Belanda dikenal dengan
istilah “Leer” yang berarti ajaran pokok, yaitu pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan
2
Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 126-127
4
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, (diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang), Gajah
Mada University Press, 1996, Yogyakarta, h. 14-15
5
Malcolm Waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publication, h. 2
6
H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005, Op. Cit, h. 23
7
Teori hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti : mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan
mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, apa
hubungannya dengan individu dan dengan masyarakat?, apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum?,
apakah keadilan itu?, bagaimanakah hukum yang adil itu?, Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 260
8
Bryan A. Gamer (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing Co., Min), h.1517
3
62
mengenai suatu perintiswa atau kejadian, atau dapat pula berarti asas dan hukum umum yang
menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.9
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah :
“Seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan
hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan”.
10
Selanjutnya dikatakan bahwa, “definisi tersebut memiliki makna ganda, yaitu
dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil
kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam arti proses yaitu kegiatan tentang hukum atau pada
kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri”. 11
Pendapat dari Khudzaifah Dimyati dalam hubungannya dengan teori hukum, mengatakan
“Teori hukum pada dasarnya termasuk ke dalam penalaran untuk naik sampai ke
bahwa,
penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafat. Disamping itu juga mengejar terus sampai
kepada persoalan-persoalan yang bersifat hakiki dari hukum itu.”
12
Berdasarkan pendapat diatas, maka kerangka teoritik digunakan untuk penelitian teoritik
dibidang hukum bertujuan untuk memperoleh penalaran dan penjelasan-penjelasan yang lebih
bersifat filsafat terhadap permasalahan-permasalahan sebagai topik hukum melalui teori-teori
sebagaimana teori negara hukum,
teori kepastian hukum, teori perundang-undangan, teori
harmonisasi hukum, teori keadilan, dan teori kewenangan. Selain teori-teori tersebut,
pembedahan juga dilakukan terhadap kerangka konseptual yang terdiri dari tanah adat, hukum
Pajak Bumi dan Bangunan, Subjek Pajak Bumi dan Bangunan, dan Objek Pajak Bumi dan
9
Marjane Termorshuisen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209
J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 159
11
Ibid, h. 160
12
Khudzaifah Dimyiati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 30
10
63
Bangunan, serta wajib pajak bumi dan bangunan. Pemikiran-pemikiran tersebut dilengkapi pula
dengan pengkajian terhadap produk hukum seperti diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah serta berbagai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota se-Bali dibidang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, serta peraturan pelaksanaan lainnya yang terkait. Kerangka teoritik dibidang
hukum dan kajian terhadap produk hukum berdasarkan atas teori-teori hukum yang mendukung
penelitian ini seperti uraian selanjutnya.
2.1.1. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum sebagai relefansi pembahasan penulisan desertasi ini yakni asas
legalitas (kepastian hukum), dan perlindungan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat
khususnya hak-hak suatu Desa Pakraman di Bali, serta keadilan dan lebih mengakomodasi
kekhususan kesatuan masyarakat hukum adat didalam memberi landasan dan pengakuan
kedudukan untuk memanfaatkan hak-hak masyarakat hukum adat itu sendiri.
Teori negara
hukum digunakan untuk menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menempatkan
hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintah (supremasi
hukum).
13
Indonesia sebagai negara hukum dilandasi falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945 merupakan bentuk dari perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara. Sehubungan
dengan negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila, tentang hal ini Padmo
Wahjono menegaskan bahwa :
13
Bagir Manan, 1994, Dasar-dasar Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945,
Universitas Pedjadjaran, Bandung, h. 18
64
“Penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat diketahui dari pendapat
beberapa pakar yang mengatakan negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtstaat) berdasarkan Pancasila. Dengan anggapan bahwa pola yang diambil
tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbergip).
Disesuaikan dengan keadaan Indonesia, artinya digunakan dengan ukuran
pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita”. 14
Pendapat Padmo Wahjono tentang Indonesia negara hukum Pancasila menghendaki
budaya Indonesia dipakai tolok ukur dalam menentukan kewajiban wajib pajak kepada negara
dengan kegotong royongan dalam memenuhi kewajiban oleh setiap wajib pajak. Dalam kaitan
ini, untuk mengetahui ciri-ciri suatu negara sebagai negara hukum
sebagaimana pendapat
Wirjono Prodjodikoro, yakni :
a. Semua alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dan pemerintah dalam
tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan
tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum yang berlaku.
b. Semua penduduk dalam berhubungan kemasyarakatan harus tunduk pada hukum
yang berlaku. 15
Memperhatikan hukum yang berlaku dan semua harus tunduk pada hukum dalam suatu
negara hukum dapat terlihat dari unsur/elemen yang mendukungnya,
berikut A.Hamid S.
Attamimi yang mengutip pendapatnya Van Wijk dan Konijnenbelt, lebih lanjut mengemukakan
beberapa unsur/elemen didalam suatu negara hukum, yakni :
a. pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur), dengan bagian-bagiannya tentang
kewenangan yang dinyatakan dengan tegas tentang perlakuan yang sama dan tentang
kepastian hukum ;
b. perlindungan hak-hak asasi ;
c. perlindungan hak-hak asasi dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan
atau desentralisasi dan tentang pengawasan dan kontrol ;
d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan. 16
14
15
Padmo Wahjono, 1982, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.7
Wirjono Prodjodokoro, 1982, Azas Ilmu Negara dan Ilmu Politik, Penerbit Eresco, Jakarta, h. 37
65
Unsur-unsur pada
pendapat diatas dijumpai juga dalam ciri-ciri minimal negara
berdasarkan atas hukum yang dikemukakan oleh F.J. Stahl maupun Sri Soemantri. Menurut F.J
Stahl, adapun ciri-ciri negara hukum adalah :
a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;
b. Untuk melindungi hak-hak asasi tersebut, maka penyelenggaraan negara harus
berdasarkan teori trias politika;
c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang (wetmatig
bestuur);
d. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, pemerintah masih
melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang),
maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. 17
Selanjutnya menurut Sri Soemantri, mengemukakan ada 4 (empat) hal yang dapat
dijumpai dalam suatu negara hukum, yakni :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasar
atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3. Adanya pembagian kekuasaan negara.
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechttelijke control). 18
Uraian diatas menunjukkan unsur pertama dalam negara hukum adalah mengharuskan
adanya pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur). Setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang atau undang-undang dasar. Unsur kedua
mengharuskan adanya jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara dicantumkan dalam
undang-undang dasar, unsur ketiga mengharuskan adanya pembagian kekuasaan negara.
Unsur ini adalah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran John Locke tahun 1690 yang
membagi kekuasaan kepada (i) Kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power), (ii)
16
A.Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahanan Negara, Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 311
17
18
Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co, Jakarta, h. 151
Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 29-30
66
Kekuasaan melaksanakan undang-undang (executive power),
(federative power).
19
(iii)
Kekuasaan federatif
Dilanjutkan oleh Montesquie tahun 1748 yang mengemukakan konsep
pemisahan kekuasaan negara kepada tiga elemen, yakni Ia puissance legislative (kekuasaan
pembentuk undang-undang), Ia puissance executive (pelaksana undang-undang), dan Ia
Puissance de juger (pelaksana kekuasaan kehakiman).
20
Sedangkan unsur keempat
mengaharuskan adanya sarana perlindungan kepada rakyat melalui lembaga peradilan yang
netral.
Konsep negara hukum pada hakekatnya mengandung asas legalitas, asas pemisahan
(pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang semuanya itu
ditujukan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenangwenang atau penyalahgunaan kekuasaan. 21 Secara teoritis, konsep negara hukum dibedakan atas
negara hukum formal dan negara hukum material. Negara hukum yang dianut negara Indonesia
tidaklah dalam artian formal, namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan
dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau negara kemakmuran. 22
Muchsan dalam kaitan ini menunjukkan beberapa bukti dari negara Indonesia sebagai
negara kesejahteraan, yakni :
1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah
keadilan sosial, ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari
para warganya;
2. Dalam alinia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pembentukan
negara Indonesia, salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. 23
19
E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Unpad, Bandung, h. 2
20
Kuncoro Purbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, h. 23
21
S.W. Couwenberg, 1981, Modern Constitutioneel Recht en Emancipatie van den Mens, Deel I, van
Grocum, Assen, h. 41
22
E. Utrecht, Op. Cit, h. 21-22
23
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 70
67
Pengertian negara kesejahteraan tersebut lebih lanjut Abdoel Gani dengan mengikuti
pemikirannya P. Den Haan berpendapat “corak negara hukum Indonesia tidak hanya merupakan
negara hukum yang demokratis, tetapi juga merupakan negara hukum kesejahteraan yang
demokratis.” 24
Gagasan negara hukum dipopulerkan oleh A.V. Dicey dalam bukunya “Intruduction to
the study of the law of the constitution” menurutnya unsur-unsur dari the rule of law, adalah :
1. Supremasi hukum, (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada
kesewenangwenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar
hukum;
2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat
biasa maupun bagi pejabat; dan
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan
pengadilan (due frosess of law).
Perumusan negara hukum yang dikemukakan oleh A.V. Dicey tersebut, kemudian
ditinjau ulang oleh “International Commition of Jurist” pada konfrensinya di Bangkok pada
tahun 1965 menegaskan ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi
harus pula menentukan cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat, berorganisasi, dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan. 25
Menurut Jimly Assidiqie prinsip negara hukum mengandung pengertian (i) pengakuan
prinsip supremasi hukum dan konstitusi, (ii) dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan
24
h. 64
25
Abdul Mukhti, 1985, Konsep Negara Hukum dan Pembangunan, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya,
Fatkurrahman, et.al, 2004, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Citra Aditya
Bhakti, Bandung, h. 6
68
kekuasaan menurut sistem konstitusional, (iii) adanya jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia,
dan (iv) adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. 26
Makin kompleksnya permasalahan negara, dan makin tingginya tuntutan masyarakat,
bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik dibidang sosial
maupun dibidang ekonomi, bergeser ke arah gagasan baru bahwa pemerintah harus
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat yang berlandaskan “welfare state” atau “negara
hukum material” dengan ciri-ciri yang berbeda dengan yang dirumuskan oleh F.J Stahl dan A.V.
Dicey dalam konsep negara hukum klasik (formal). Sehingga perlu ditetapkan standar baru
tentang syarat-syarat pemerintahan demokratis yang menekankan di samping hak-hak politik
bagi rakyat, harus diakui pula adanya hak-hak ekonomi, sosial budaya, sehingga perlu ditetapkan
standar dasar baru di bawah rule of law yang dinamis.
27
Istilah the rule of law mulai popular
dengan terbitnya sebuah buku dari A.V. Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the
study of the law of the constitutional.”
28
Sebagaimana demokrasi the rule of law
juga
merupakan konsep yang dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Indonesia adalah negara hukum dalam perkembangannya tercantum dalam penjelasan
UUD NRI Tahun 1945 (sebelum perubahan), yaitu negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat) dan perubahan ketiga UUD
NRI Tahun 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang menetapkan prinsip negara
hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (perubahan ketiga) yaitu Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hukum sebagai instrument pemerintahan tidak saja harus pasti
(kepastian hukum) dan dibuat secara demokratis, tapi juga harus menjamin keadilan dan
26
Jimly Assiddiqie, 2008, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Garfika, Jakarta, h. 57
Anwar. C, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan Pasca Perubahan UUD 1945,
Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, In-Trans, Malang, h. 17
28
Wairocana I Gusti Ngurah, 2005, Op Cit, h.123
27
69
kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat, hal ini sesuai dengan konsepsi negara hukum yang
dianut Indonesia yang dituangkan dalam pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah :
a. Pasal 18 B ayat (2) (perubahan kedua), yakni : “ Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur
dalam undang-undang”.
b. Pasal 23 A (perubahan ketiga) : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
kepentingan negara diatur dengan undang-undang”
c. Pasal 24 ayat (1) (Perubahan ketiga) : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”
d. Pasal 28 D ayat (1) (perubahan kedua) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
Terkait dengan negara hukum Indonesia yang tertuang dalam UUD NRI 1945 tersebut,
pendekatan alternatif negara hukum oleh Adriaan Bedner dibagi menjadi 3 (tiga) katagori,yaitu :
Katagori pertama : elemen prosedural, yang meliputi : (1) hukum sebagai instrument
pemerintah; (2) tindakan negara tunduk pada hukum; (3) legalitas formal; dan (4) demokrasi.
Katagori kedua : elemen substantif yang meliputi : (1) prinsip moral dan keadilan; (2) hak asasi
individual; (3) hak asasi sosial; dan (4) hak kelompok dan budaya. Katagori ketiga : elemen
konstitusional, yang mencakup mekanisme pengawasan dan lembaga pelaksana. 29
29
Adriaan Bedner, 2011, Suatu Pendekatan Elementer Terhadap Negara Hukum, Epistema Institut dan
Huma, Jakarta, h. 151-170
70
Pendekatan alternatif negara hukum terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut, secara
teoritik bahwa kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu kelompok atau kolektivitas
mendapat tempat pada teori negara hukum, sebagaimana dikemukakan Adriaan Bedner bahwa
sebagai suatu kelompok, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki hak kolektif dan budaya
yang harus mendapat perlindungan. Perlindungan merupakan jaminan suatu kepastian hukum
dalam memenuhi kewajibannya. Secara etimologis, perlindungan diartikan sebagai tempat
berlindung, perbuatan melindungi, artinya mewajibkan pemerintah mencegah dan menindak
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah adat yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang bukan negara dengan menegakkan hukum yang berlaku. Jadi
perlindungan dianggap ada, jika ada proses penegakkan hukum oleh pemerintah (struktur
hukum) terhadap adanya klaim pelanggaran dari masyarakat hukum adat. 30
Bagi Roscoe Pound hukum tidak boleh dibiarkan menerawang dalam konsep-konsep
logis-analitis ataupun tenggelem dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlalu eksklusif,
sebaliknya hukum itu diibaratkan sebagai dunia nyata yaitu dunia sosial yang penuh sesak
dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Roscoe Pound berteori
bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu
membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum,
sebagai berikut :
1. Kepentingan umum (public interest) :
a. Kepentingan negara sebagai badan hukum;
b. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan masyarakat (social interest) :
a. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b. Perlindungan lembaga-lembaga sosial;
30
I Made Suwitra, Op. Cit, h. 61
71
c. Pencegahan kemerosotan akhlak;
d. Pencegahan pelanggaran hak;
e. Kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan pribadi (privat interest) :
a. Kepentingan individu;
b. Kepentingan keluarga;
c. Kepentingan hak milik. 31
Teori yang dikemukakan Roscoe Pound, digunakan untuk membahas pembentukan hukum
khususnya berkait dengan pembentukan undang-undang apakah telah memenuhi kepentingankepentingan umum, masyarakat, dan pribadi yang dipersyaratkan.
Mochtar Kusumaatmadja, hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values)
yang berlaku disuatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai
pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
32
Perlindungan atas kepentingan masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan hukum,
yang pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat adat bertujuan dalam rangka
adanya suatu kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas, sebagaimana tujuan hukum itu
sendiri dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum harus seimbang,
demikian halnya dengan undang-undang perpajakan (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995), bagi masyarakat hukum adat itu sendiri harus ada suatu kepastian hukum.
31
Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 128
32
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumni, Bandung,
h. 10
72
2.1.2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian dalam pemahaman memiliki arti suatu ketentuan, atau ketetapan, sedangkan
jika kata kepastian itu digabung dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, yang memiliki
arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara. Secara normatif suatu kepastian hukum adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis tidak menimbulkan
benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan yang lainnya. Kekaburan norma
yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan hukum, dapat terjadi multi tafsir terhadap sesuatu
dalam suatu aturan.
Pengertian kepastian hukum tersebut sejalan dengan pendapat dari E. Fernando M.
Manulang mengemukakan pengertian kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya
memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang sewenangwenang, sehingga hukum memberikan
tanggungjawab pada negara untuk menjalankannya
dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan negara.
33
Soedikno
Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungsn yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu.
34
Untuk adanya suatu kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan pengaturan secara jelas diatur dengan undang-undang
pemerintahan daerah.
33
34
E. Fernando M. Manulang, Loc. Cit.
Loc. Cit.
73
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab VII
tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Bagian Kedua tentang Asas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, pada Pasal 58, menyebutkan :
“Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dalam
menyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas” :
a. Kepastian Hukum;
b. Tertib Penyelenggaraan Negara;
c. Kepentingan Umum;
d. Keterbukaan;
e. Proposionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabel;
h. Efisiensi;
i. Efektivitas; dan
j. Keadilan.
Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, salah satunya yang penting adalah
mengenai kepastian hukum. Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pada
Pasal 58 huruf a, disebutkan :
“Yang dimaksud dengan “Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggara negara”.
Asas dalam negara hukum dalam perundangan tersebut yaitu kepastian hukum dapat
dipahami dari dua pengertian, yaitu pertama, kepastian hukum dari penyelenggaraan negara,
berdasarkan asas legalitas, kepatutan dan keadilan. kedua, kepastian hukum dalam suatu aturan
(kepastian norma) agar tidak menimbulkan kabur (tidak jelas) atau konflik norma.
Kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) dimaknai oleh Sudargo
Gautama dari dua sisi, yakni :
74
1. dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya
dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.
2. dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan
perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan
bertindak negara. 35
Hukum di negara berkembang ada dua pengertian tentang kepastian hukum menurut
Gustav Radburch yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau dari hukum.
Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum. Hukum yang berhasil
menjamin banyak kepastian dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang
berguna. Sedangkan kepastian dalam atau dari hukum tercapai apabila hukum itu sebanyakbanyaknya hukum undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang
saling bertentangan (Undang-undang berdasarkan pada sistem logis dan pasti). Undang-undang
tersebut dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijheid) dan undang-undang tersebut
tidak ada istilah-istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
36
Selain itu
disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti bahwa dalam hal kongkrit kedua pihak berselisih
dapat menentukan kedudukan mereka. Dalam pengertian ini bermakna keamanan hukum yakni
mengandung perlindungan bagi kedua belah pihak yang berselisih terhadap tindakan hakim yang
sewenang-wenang. Sedangkan kepastian oleh karena hukum dimaksudkan, bahwa hukum
menjamin kepastian pada pihak yang satu dengan pihak yang lain.
37
Tugas hukum menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan yang kedapatan dalam pergaulan kemasyarakatan.
Pembatasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan peraturan
perundang-undangan atau penyelenggara pemerintahan berdasarkan peraturan perundang35
Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 9
E. Utrecht, 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan keenam, PT.Penerbit Balai Buku Ichtiar,
Jakarta, h. 26
37
Ibid, h. 25
36
75
undangan sebagai rujukannya, merupakan makna dari kepastian hukum sebagaimana pengertian
tersebut diatas. Dalam pendapat lain, Soedikno Mertokusumo menyatakan kepastian hukum
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, selebihnya dikatakan
bahwa
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 38
Pendapat dari Indroharto, bahwa kepastian hukum mengharuskan hukum objektif yang
berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati. Disini ditekankan bahwa kepastian
hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. Kepastian norma hukum ini harus diciptakan
oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan asas legalitas, kepatutan,
dan keadilan.39 Kepastian hukum dalam perundang-undangan mengandung pengertian dalam hal
substansi hukum dan dalam norma hukum agar perundang-undangan yang dibuat berkeadilan
dan bermanfaat.
Dikemukakan beberapa pandangan ahli tentang pengertian norma hukum atau kaedah
hukum sebagai berikut :
1. Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola atau standar yang perlu
diikuti, kemudian dijelaskan bahwa fungsi norma hukum adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
38
memerintah (Gebeiten);
melarang (Verbeiten);
menguasakan (Ermachtigen);
membolehkan (Erlauben); dan
menyimpang dari ketentuan (Derogoereen). 40
E. Fernando M Manulang, Op. Cit, h. 92
Indroharto, 1984, Rangkuman Asas-asas Umum Tata Usaha Negara, Jakarta, h. 212-213
40
A Hamid S. Attamimi, 1990, Disertasi : Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Iniversitas Indonesia, Jakarta, h. 302
39
76
Norma hukum pada hakekatnya juga merupakan unsur pokok dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam kepustakaan Eropa Kontinental, mengenai apa yang
dimaksud dengan peraturan perundangan atau wet in materiele zin, Gezets in
materiellen Sinne, mengandung tiga unsur pokok, yaitu : Pertama, norma hukum
(rechtsnormen). Kedua,berlaku keluar (naar buiten werken), dan Ketiga, bersifat
umum dalam arti luas (algemeenheid in ruinme zin). Sifat-sifat norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan dapat berupa : perintah (gebod), larangan (verbod),
pengizinan (toestemming), pembebasan (vrijstelling). 41
2. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa ”kaedah hukum lazimnya diartikan sebagai
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berprilaku,
bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terlindungi atau dalam arti sempit kaedah hukum adalah nilai yang terdapat dalam
peraturan kongkrit. Diuraikan lebih lanjut, dilihat dari fungsi maka kaedah hukum
pada hakekatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok
manusia. sedangkan tujuan kadah hukum tidak lain adalah ketertiban masyarakat. 42
3. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, dalam kaitan dengan norma hukum
menjelaskan, ada beberapa katagori norma hukum dengan melihat pada berbagai
bentuk dan sifat :
a. Norma hukum umum dan norma hukum individu, kalau dilihat dari alamat yang
dituju (addressat);
b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit, kalau dilihat dari hal yang
diatur;
c. Norma hukum yang einmahlig dan norma hukum yang dauerhafting, dilihat dari
segi daya berlakunya;
41
Ibid, h. 314
Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum (sebuah Pengantar), Liberty, Edisi Kedua (Cetakan
Kedua), Yogyakarta, h. 11
42
77
d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan, dilihat dari wujudnya. 43
Pemahaman tentang asas hukum dan norma hukum atau kaidah hukum, dapat dijelaskan
bahwa asas hukum bukanlah merupakan aturan yang bersifat konkrit sebagimana halnya norma
atau kaedah hukum, yang menjadi isi dari setiap undang-undang, tetapi asas hukum harus
memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkrit dalam pembuatan
undang-undang. Dalam bentuk lain, sebagaimana dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, jika
asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat abstrak, maka kaedah hukum dalam arti
sempit merupakan nilai yang bersifat yang lebih konkrit dari pada asas hukum. Kemudian juga
ditambahkan bahwa asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau
pasal-pasal. Misalnya, adagium bahwa “Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang” (Een
ieder wordt geacht de wet te kennen). 44
Penulis sependapat dengan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa pada
dasarnya apa yang disebut dengan asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam
peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut adalah merupakan sesuatu yang mengandung
nilai-nilai etis yang berkeadilan. Pandangan para ahli di atas, dalam membentuk undang-undang
suatu aturan harus jelas dalam norma atau norma hukum berdasarkan atas kepastian hukum,
berpedoman pada asas legalitas, kepatutan, dan keadilan, serta ditekankan agar setiap aturan
hukum tidak bermasalah baik dalam konteks norma kabur ataupun konflik norma.
Terkait dengan kepastian hukum, dalam hal ini undang-undang perpajakan hendaknya
memberikan perlindungan kepada wajib pajak dari kekuasaan yang sewenang-wenang, untuk itu
43
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya),
Kanisius, Yogyakarta, h. 11-18
44
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 11
78
teori kepastian hukum dipergunakan apabila suatu peraturan dibuat dan diundangkan serta diatur
secara jelas dan logis, mengandung pengertian, sebagai berikut :
a. Adanya aturan hukum yang konsisten dan dapat diterapkan, yang ditetapkan oleh
negara;
b. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan
berpegang pada aturan hukum tersebut;
c. Sebagian besar rakyat pada dasarnya konform (mengikuti) pada aturan tersebut;
d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum
tersebut. 45
Uraian diatas, memberikan kejelasan tentang pemahaman kepastian hukum yang
mengharuskan adanya pemerintahan menurut undang-undang, setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan kepada undang-undang artinya suatu ketentuan yang dipergunakan harus pasti dan
dibuat secara demokratis, yang menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat,
serta memberikan perlindungan kepada rakyat melalui peradilan yang bebas dan tidak memihak,
sehingga pemerintah bertindak tidak sewenang-wenang selalu berdasarkan atas peraturan yang
mengaturnya. Van Apeldorn mengemukakan dua pengertian tentang kepastian hukum, seperti
berikut :
1. kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalahmasalah kongkrit. Dengan dapat ditentukan masalah-masalah kongkrit, pihak-pihak yang
berperkara sudah dapat mengetahui sejak awal ketentuan-ketentuan apakah yang akan
dipergunakan dalam sengketa tersebut.
2. kepastian hukum berarti perlindungan hukum, dalam hal ini pihak yang bersengketa
dapat dihindari dari kesewenang-wenangan penghakiman. 46
45
I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance dalam Legislasi Daerah, Orasi Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 21
46
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penetian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 59-60
79
Kepastian hukum, dalam hal ini undang-undang perpajakan merupakan perwujudan dari
penyelenggaraan negara dalam menghimpun dana dari rakyatnya melalui peraturan perundangundanagn dengan berdasarkan atas asas legalitas, kepatutan dan keadilan. Sedangkan perwujudan
dari peran serta masyarakat sebagai wajib pajak yang secara langsung melaksanakan kewajiban
perpajakan, dapat diberikan perlindungan dan pembinaan dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakan serta tidak mendapatkan tindakan yang sewenang-wenang. Kepastian dalam undangundang perpajakan dapat memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak,
meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta keterbukaan administrasi perpajakan dan
kepatuhan wajib pajak.
Mustafa Bachsan memberikan pendapat tentang kepastian hukum terkait dengan
pemberlakuan undang-undang perpajakan, ada tiga arti kepastian hukum yakni :
1. Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu
yang abstrak;
2. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara;
3. Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (elgenrichting) dari
pihak manapun, juga tidak dari pihak pemerintah. 47
Kepastian hukum yang dikehendaki disini adalah ketentuan perpajakan yang mengatur
adanya subjek dan objek pajak serta segala tindakan baik wajib pajak maupun fiskus didasarkan
konsistensi penerapan aturan perpajakan, misalnya fiskus akan taat asas self assessment yakni
menganggap benar Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) selama belum dibuktikan adanya ketidak benaran SPPT tersebut.
47
I Wayan Suandi, 2003, Penggunaan Wewenang Paksaan Pemerintah dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan di Propinsi Bali, Disertasi Universitas Airlanggar, Surabaya, h. 130
80
Selanjutnya Soedikno Mertokusumo memberi kreteria bahwa “salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum.”
48
Hal ini mengandung arti tujuan
hukum memang harus menjadi kepastian hukum, dimana ketentuan-ketentuan yang menjadi
materi peraturan perpajakan harus menjadi aturan hukum terhadap wajib pajak dan petugas
pajak. Berikutnya pengertian kepastian hukum dari Indroharto
adalah “konsep yang
mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan
ditaati.” 49
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, karena kewajiban perpajakan merupakan kewajiban
kenegaraan, maka jaminan kepastian hukum dalam memenuhi kewajiban perpajakan tidak boleh
dilaksanakan secara sewenang-wenang, mengingat negara Republik Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, yaitu menjamin perwujudan tata
kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tentram dan tertib, serta menjamin
kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat dan masyarakat hukum adat.
2.1.3. Teori Perundang-Undangan
Istilah perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) disahkan oleh parlemen
(legislatif) ditandatangani oleh kepala negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang
mengikat. 50 Dalam perundang-undangan terdapat istilah hirarki yang oleh Maria Farida Indriati
Soeprapto diterjemahkan dengan tata atau susunan secara berjenjang, dan berlapis-lapis di mana
peraturan yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi.
Menurut Hans Kelsen
48
tentang hirarkhi yang menyatakan bahwa, norma-norma hukum itu
E. Fernando M. Manulang, Op. Cit, h.92
Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, h. 212-213
50
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, h. 456
49
81
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi dalam tata susunan. Ini berarti suatu
norma yang lebih rendah berlaku yang bersumber pada norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar. 51
Kerangka teoritik tentang hierarki peraturan perundang-undangan berikut kekuatan
hukum mengikat merujuk pada teori hierarkhi norma-norma dari Hans Kelsen, yang dapat dirinci
sebagai berikut :
1. Hukum mengatur pembentukannya sendiri, yakni suatu norma hukum menentukan
cara untuk membuat norma hukum yang lain dan menentukan isi dari norma hukum
yang lain itu.
2. Suatu norma adalah valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma
yang lain, dan norma yang lain ini menjadi alasan validitas dari norma yang pertama.
3. Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma yang lain dapat diungkap
sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam kiasan mengenai ruang.
4. Norma yang menentukan pembuatan norma yang lain adalah norma yang lebih tinggi,
sedangkan norma yang dibuat ini adalah norma yang lebih rendah.
5. Tata hukum bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang
berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu hierarki norma-norma dari tingkatan
yang berbeda.
6. Kesatuan norma-norma ini disusun oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih
rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan
oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus ini diakhiri oleh norma yang
lebih tinggi yang merupakan norma dasar, yang menjadi alasan utama validitas dari
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. 52
Berdasarkan teori mengenai hierarki norma-norma dari Hans Kelsen, diperoleh
pemahaman mengenai makna hierarki norma hukum, bahwa suatu norma hukum memperoleh
validitas apabila pembentukannya ditentukan oleh norma hukum yang lebih tinggi, dan
51
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (Russel, New York, P.113), dalam Maria Farida
Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan : dasar-dasar dan pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta,
h.25, juga bandingkan pada alih bahasa Soemardi, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, h. 126
52
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Translated by : Anders Wedberg (Russel & Russel,
New York), h. 123-124
82
pembentukan norma hukum tersebut meliputi cara pembentukan dan isi norma hukum. Dengan
demikian, ketika dibuat suatu norma hukum bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi,
pada dasarnya norma hukum yang lebih rendah itu melaksanakan norma hukum yang lebih
tinggi.
Menurut A. Hamid S Attamimi dalam pembentukan perundang-undangan di Negara
Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum yakni “Pancasila, Negara
berdasarkan atas hukum, dan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi”. Pancasila
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini disebabkan, bahwa Pancasila adalah menjadi cita
hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.
53
Sebagai cita
hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi
berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah
yang mengarahkan atau memandu materi muatan perundang-undangan yang baik yakni berisi
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang madani.
Pembentukan peraturan perundang undangan diatur dalam Undang Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memuat peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan
sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya :
1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;
2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang;
53
A. Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 308
83
3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang-undangan itu, bersifat
peraturan tertulis. Pemaknaan dari peraturan tertulis ini bukan dimaksudkan sekedar bentuknya
yang dituliskan saja, jika dipahami demikian, maka awig-awig (peraturan desa pakraman) yang
ditulis memenuhi sebagai unsur ini. istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan
terjemahan dari istilah Belanda “wettelijke regeling”. Menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan
perundang-undangan dalam cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan
produk legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh badan eksekutif yang bersifat mengatur.54
Selanjutnya dikatakan bahwa,
membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya
teori perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan
bersifat kognitif, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada
melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Jadi teori perundang-undangan dan
ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian dari ilmu pengetahuan perundangundangan.
55
Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja, menguraikan teori perundang-undangan
berorientasi pada usaha menjelaskan pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman
tentang undang-undang, pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan
perundang-undangan, dan sebagainya dan bersifat kognitif. 56
Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur dan melaksanakannya sesuai
dengan konstitusi dan kewenangan yang ada dalam negara hukum, pada hakekat dari negara
54
A. Hamid S. Attamimi dalam H.Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan
Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15
55
Ibid, h. 14
56
Ibid, h. 15
84
hukum memiliki empat elemen hukum, yakni : (a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan
terhadap hak-hak asasi keberadaan manusia, (c) pembagian kekuasaan, dan (d) pengawasan
yustisia terhadap pemerintah. Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundangundangan hingga memenuhi syarat baik. 57 Secara yuridis elemen tersebut menjiwai :
a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang
lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya;
b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar hukum positip yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga
negara dan masyarakat;
c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positip yang
mendasarinya;
d. bahwa setiap perundang-undangan memberikan kesempatan untuk dilakukan yudisial
revieu oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk
itu.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat secara tertulis memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepastian
norma hukum adalah keabsahan norma hukum supaya norma hukum bersangkutan mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Secara teoritik, pada dasarnya ada 3 (tiga) aspek yang mesti dipenuhi
supaya norma hukum itu absah, yakni filosofi, sosiologis, dan yuridis, yang masing-masing
berkaitan dengan nilai-nilai dasar hukum yakni, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,
selain itu ada yang menambahkan dengan landasan politis.
57
A. Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 311
85
Landasan keabsahan norma hukum peraturan perundang-undangan dari
filosofi,
sosiologis, dan yuridis mendapatkan perhatian bahasan dari para sarjana Indonesia, dan dapat
dirangkum, sebagai berikut :
a. Landasan Filosofi, mencerminkan nilai-nilai filosofi atau nilai yang terdapat dalam
cita hukum (rechtsidee), diperlukan sebagai sarana untuk menjamin keadilan.
b. Landasan Sosiologis, mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang
memerlukan penyelesaian, diperlukan sebagai sarana untuk menjamin kemanfaatan.
c. Landasan Yuridis, konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan
dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya
kontradiksi antar ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi,
diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Norma hukum tersebut, menjadikan bagian dari pembentuk undang-undang didalam
pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai landasan atau dasar pikiran. Dalam dasar atau
landasan pembentukan itu (filosofi, sosiologis dan yuridis), untuk menjadi dasar sebagai bagian
dari kebangsaan diperlukan landasan idiologis, artinya bahwa pembuat undang-undang untuk
tetap menjadikan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesiayakni bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia.
Peraturan yang baik selain norma hukum juga diperlukan substansi hukum (materi) yang
akan menjadikan bagian penting suatu peraturan perundang-undangan, dimana hirarkhi
perundang-undangan agar tidak bertentangan satu dengan yang lainnya (keharmonisan
peraturan). Beberapa ajaran dalam konsep dan hirarkhi norma hukum yang dikemukakan oleh
para sarjana seperti Achmad Ali menyatakan tentang ajaran Hans Kelsen terdiri dari tiga konsep,
yaitu :
86
a. Ajaran Hukum Murni (Pure theory of law) yang menyatakan ilmu hukum bebas dari
anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologi, politik dan sebagainya.
Kelsen menolak masalah keadilan di jadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum,
baginya keadilan adalah masalah idiologi yang ideal yang irasional, jadi Kelsen ingin
menerima hukum apa adanya yaitu peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.
b. Ajaran tentang Groundnorm, yakni merupakan induk yang melahirkan peraturan
perundang-undangan dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, groundnorm ibarat
bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum yang memiliki fungsi sebagai
dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
c. Ajaran tentang Stufentheori, teori stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
menyatakan bahwa “norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
susunan hierarkhis dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada dasar atau groundnorm atau besik norm
atau fundamental norm yang tidak dapat ditelusuri lagi pada siapa pembentuknya dan
dari mana asalnya.” 58
Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti antara lain : (1) Teori
tentang Reine Rechchtslehre; (2) Teori tentang Grundnorm; dan (3) Teori tentang Stuffenbau des
Rechts.
59
Dalam penulisan desertasi ini adalah teori tentang hierarki norma hukum (Stufenbau
Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm). Selanjutnya disebutkan Grundnorm
voraussetzt, das heibt : “wie es dem subjektiven Sinn des Verfassunggebenden Willensaktes, den
Vorschriften des Verfassunggebers, entspricht.” 60 oleh Max Knight diterjemahkan menjadi :
“The basic norm that one ought to behave as the constitution prescribes, that is one
ought to behave in accordance with the subjective meaning of the constitution-creating
act of will-according to the prescriptions of the authority creating the constitution.”61
(Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi
adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan
pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan
konstitusi).
58
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama,
Jakarta, h. 284-285
59
Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 71
60
Hans Kelsen, 1960, Reine Rechtslehre, ( Zweite : vollstandig neu bearbeitete und erweiterte Auflage ),
h. 205
61
Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, (Transleted by Max Knight), Los Angeles : University of
California Press, h. 202
87
Grundnorm adalah seseorang seharusnya bertindak (menaati) sebagaimana yang
ditetapkan dalam konstitusi, artinya orang seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif
dari tindakan/kehendak/kemauan yang membentuk konstitusi. A.Hamid S Attamimi, grundnorm
disebutnya sebagai norma tertinggi, mengatakan bahwa :
“Suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, kemudian norma ini dibentuk oleh
norma yang lebih tinggi lagi dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma
tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan diperkirakan
(presupposed, voorondersteld) atau ditetapkan terlebih dahulu (vorausgesetzt)
keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat sendiri. Kelsen menamakan norma yang
tertinggi ini adalah Grundnorm.” 62
Menurut B.Arief Sidharta dalam makalah Grundnorm-nya Hans Kelsen menyatakan bahwa :
“Norma dasar (grundnorm) merupakan landasan keberlakuan tertinggi dari sebuah
tatanan hukum namun dia sendiri bukanlah suatu kaidah hukum karena ia tidak memiliki
posivitas. Norma dasar (grundnorm) itu bukan kaidah hukum positif, yakni kaidah yang
ditetapkan oleh orang yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kaidah hukum
norma dasar (grundnorm) bukanlah kaidah yang ditetapkan oleh orang/manusia secara
eksplisit ataupun secara diam-diam. Lebih dari itu, terhadap ketidak patuhan terhadap
norma dasar (grundnorm) tidak terdapat sanksi atau tidak ada sanksinya seperti yang
terjadi pada kaidah hukum. Gundnorm adalah kaidah yang diandalkan dalam pemikiran
manusia dan bukan kaidah yang dikehendaki. Grundnorm itu adalah sebuah kaidah
hipotetikal atau sebuah fiksi sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kelsen sendiri. “ 63
Grundnorm dalam pengertian Hans Kelsen merupakan norma yang paling tinggi yang
tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya, atau dari mana asalnya. Keberlakuannya tidak
berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara
presupposed yaitu diandaikan keberadaannya lebih dahulu oleh akal budi manusia. Dalam
hubungannya dengan itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :
“Semua hukum yang berada dalam kawasan rezim grundnorm harus bisa mengait
kepadanya. Oleh karena itu, ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturanperaturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ibarat mesin yang
62
63
A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 358
B.Arief Sidharta, Grundnorm-nya Hans Kelsen, Makalah, tidak dipublikasikan, tt, h. 2
88
menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu
harus dipatuhi dan dia pula yang memberi pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu
harus dilaksanakan. Ia lebih merupakan dalil dari pada peraturan biasa. Dalil itu akan
tetap menjadi tata hukum manakala yang mempercayai, mengakui dan mematuhinya.
Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka
keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.” 64
Berkaitan dengan masalah penelitian yang menganalisis tentang kepastian hukum dan
kedudukan hukum tanah adat di Bali yang terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan,
tidak akan terlepas dari sudut pandang substansi dari undang-undang yang terbentuk dengan
undang-undang yang membentuknya yakni dari tata susunan adalah tidak boleh suatu undangundang bertentangan dengan perundangan di atasnya yaitu UUD NRI Tahun 1945. Dibuatnya
suatu peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang didasari atas
suatu nilai-nilai dasar seperti kepastian hukum, keadilan dan kegunaan, serta kesahan berlakunya
berdasarkan atas keberlakuan secara filosofi, yaitu kebijakan yang dibuat berdasarkan nilai suatu
pandangan hidup suatu bangsa. Sedangkan keberlakuan secara sosiologis bahwa peraturan
perundang-undangan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat karena memberi manfaat
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk nilai kepastian hukum yang secara yuridis
merupakan landasan hukum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan dibuat
oleh lembaga yang berwenang. Hirarki peraturan perundang-undangan dalam pembentukan
perundang-undangan di Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum, yang
oleh A. Hamid S Attamimi
disebutkan “Pancasila, negara berdasarkan atas hukum, dan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.” 65
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam
pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hal ini disebabkan bahwa Pancasila menjadi
64
65
Satjipto Rahardjo, Op. Cit, h. 274-275
A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 308-311
89
cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar yang tertulis maupun tidak tertulis.
Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan
konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun
di daerah yang mengarahkan atau memandu terbentuknya materi muatan perundang-undangan
yang baik yakni yang berisi kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi terwujudnya
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.
Sebagai negara hukum pada hakekatnya memiliki empat elemen hukum, yakni : “(a)
pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (c) pembagian
kekuasaan dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah.”
66
Keempat elemen tersebut
berfungsi untuk mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik. Secara yuridis
elemen tersebut menjiwai :
a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang
lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya;
b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga
negara dan masyarakat;
c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positif yang
mendasarinya;
d. bahwa setiap perundang-undangan memberi kesempatan untuk dilakukan yudisial
revieu oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk
itu.
Pendapat para sarjana tersebut mengenai teori perundang-undangan berlandaskan filosofi,
sosiologis, yuridis dan idiologis yang temuat dalam suatu norma hukum, dimana norma hukum
yang lebih rendah berpedoman pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga nantinya dapat
terjadi harmonisasi hukum dalam peraturan tersebut.
66
A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 311
90
2.1.4. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum secara filsafati dapat diartikan sebagai kerjasama antara berbagai
faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.
Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata “harmonia” yang artinya “terlibat
secara serasi dan sesuai.” Dalam perspektif psikhologi diartikan sebagai keseimbangan dan
kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi
hal-hal ketegangan yang berlebihan.
67
Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di
Jerman pada tahun 1902, penggagasnya adalah Rudolf Stammler (1856-1938). Perkembangan
harmonisasi hukum dalam ilmu hukum digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia
hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang
dapat mengakibatkan disharmoni.
Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi
hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan
individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf Stammler “a just law aims
at harmonizing individual purposes with that of society.” 68
Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas, dikembangkan oleh
para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek
kepentingan hukum antara individu dengan individu, individu dengan negara atau pemerintah,
sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan
konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya seperti :
LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan
perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas
67
Hasan Sadzilly, dkk, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, h. 1262
Kusni Goesniadhie S, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, A3
Nasa Media, Malang, h. 2
68
91
hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralism hukum.69
Kusnu Goesniadhie. S, berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses
yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan
dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundangundangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. 70
Wicipto Setiadi, pengharmonisan adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,
memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang
lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara
sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). 71
Juniarso Ridwan, merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasanpembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan
hukum-hukum. 72
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memberikan pengertian
harmonisasi hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum
tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofi, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.
Pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai aspek apakah
69
LM. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, (Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap, FH UI, dalam : Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum), Kansius, Yogyakarta, h. 88
70
Kusni Goesniadhie. S, 2010, Loc. Cit, h. 2-3
71
Wicipto Setiadi, 2004, Proses Pengharmonisan sebagai Upaya untuk Memperbaiki Kualitas Perundangundangan, (jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 tanggal 2 Juni 2004), h. 48
72
Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung,
h.219-220
92
telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturanperundang-undangan yang
lain, hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat…..dan seterusnya. 73
Beberapa pendapat para ahli tersebut diatas tentang harmonisasi hukum, yang menjadi
teori harmonisasi hukum untuk menghindari disharmoni hukum, maka tampak unsur-unsur yang
membangun atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum seperti adanya :
a. penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan
hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum.
b. dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, kesebandingan
kegunaan dan keadilan.
c. kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.
d. keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keserasian, dan kecocokan peraturan
perundang-undangan secara vertikal dan horizontal. 74
Disharmonis hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum
dengan norma hukum lainnya. Dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya disharmonisasi biasanya
terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang
jelas untuk dijadikan pedoman perilaku. Jika terjadi disharmoni antara norma-norma hukum,
penyelesaiannya adalah dengan penerapan asas-asas hukum atau kembali pada asas hukumnya.
Menurut Sidharta, dapat terjadi beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya
disharmonisan dalam sistem hukum dan instrumen penyelesaiannya, yaitu :
1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan yakni peraturan
yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan hierarki peraturan yang lebih
tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang. Instrumen
penyelesaian adalah asas hukum lex superior derogat lege inferiori, yang artinya
adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan mengesampingkan peraturan
yang lebih rendah.
2. Terjadi inkonsisitensi secara vertikal dari segi waktu yakni beberapa peraturan yang
secara hirarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain.
73
Ibid, h. 223
I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas dan Upaya Hukumnya bagi Penuntut
Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Disertasi Program Doktor Universitas Brawijaya, Malang),
h.192
74
93
Instrumen penyelesainnya adalah asas hukum lex posteoreri derogat lege priori, yang
artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan
yang sebelumnya.
3. Terjadinya inkonsisitensi secara horizontal dari segi substansi peraturan, yakni
beberapa peraturan yang secara hirarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu
lebih umum dibandingkan substasi peraturan lainnya. Instrumen penyelesaiannya
adalah asas hukum lex specialist derogate lege generalis, yang artinya adalah
peraturan yang lebih khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih
umum.
4. Terjadinya inkonsistensi secara horizontal dari substansi dalam suatu peraturan yang
sama. Instrumen penyelesainnya adalah asas hukum lex posteoreri derogat lege
priori, yang artinya adalah pasal yang mengatur lebih belakangan akan
mengesampingkan pasal yang sebelumnya.
5. Terjadinya inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya antara
undang-undang dan putusan hakim, instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum
res judicate pro veritate habitur, yang artinya putusan hakim yang harus dianggap
benar sekalipun bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain
yang mengoreksinya. Antara undang-undang yang bersifat memaksa dan kebiasaan
(instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex dura sed tamen scripta, yang
artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat), atau antara undang-undang yang
bersifat mengatur dan kebiasaan, instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum die
normatie ven kraft des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan
memberi kekuatan berlaku normatif. 75
Secara umum dalam instrumen penyelesaian disharmonisasi hukum dikenal pula metode
penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Menurut Burght dan
Winkeman dimasa lalu memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan
metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu, yang akhirnya diperoleh
sekedar petunjuk yang kabur. 76
Hubungan antara teori perundang-undangan dengan teori harmonisasi hukum sebagai
kerangka teoritik dalam disertasi ini, untuk dapat memberi analisis bahwa kebijakan suatu
75
Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Menuju
Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonersia), Kementrian Bappenas,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal
Resources Management Project II, h. 62-64
76
Ibid, h. 65
94
kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali, mengandung
nilai-nilai dasar hukum dan untuk mengetahuinya hanya dapat dilihat dalam sahnya berlaku
kebijakan tersebut. Artinya bahwa nilai keadilan dilihat dalam keberlakuan secara filosofi, sebab
dalam keberlakuan secara filosofi dapat diketahui kebijakan tersebut berdasarkan isinya
dipandang bernilai sesuai dengan pandangan hidup atau falsafah bangsa. Kemudian nilai
kegunaan atau kemanfaatan dapat dilihat dalam keberlakuan secara sosiologis, sebab dalam
keberlakuan secara sosiologis dapat diketahui kebijakan tersebut diterima dan diakui oleh
masyarakat, karena memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan nilai kepastian dapat dilihat
dalam keberlakuan normatif atau berlaku secara yuridis. Sebab keberlakuan secara yuridis, dapat
diketahui kebijakan tersebut mempunyai landasan hukum sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan dan dibuat oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.
Kepastian hukum terhadap kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan yang
diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pada Pasal 77 Ayat (3) yang disebutkan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan pajak
bumi dan bangunan pada huruf d menyebutkan salah satunya adalah tanah pengembalaan yang
dikuasai oleh desa, dan dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan cukup jelas, akan
tetapi objek pajak itu akan berkaitan dengan Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota se- Bali yang
mengatur pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana norma penetapan Pajak Bumi
dan Bangunan belum menunjukkan suatu kejelasan terhadap pengenaan pajak, dimana Bali
mempunyai kekhususan terhadap tanah adat tidak saja bersifat yuridis, akan tetapi mempunai
sifat riligius magis yang dipercaya oleh masyarakat hukum adat di Bali, sehingga tanah adat
95
yang dikuasai oleh desa pakraman diakui sebagai bagian dari kekayaan desa adat, belum diatur
secara jelas penetapannya maka masih terdapat disharmonis norma.
Begitu pula halnya dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pengaturan
tentang tanah desa adat belum secara jelas disebutkan sebagai objek yang tidak dikenakan pajak
bumi dan bangunan. Dengan keberadaan undang-undang ini, perlu mendapatkan solusi
pemecahan berdasar teori harmonisasi hukum, untuk menghilangkan norma yang keberadaanya
disharmonisasi hukum yang terjadi selama ini menjadi harmoni. Disharmonisasi hukum dapat
menimbulkan persepsi atau intepretasi masing-masing daerah untuk pengaturan pajak bumi dan
bangunan melalui produk hukum di daerah yang dapat menimbulkan ketidakadilan dalam
masyarakat hukum adat.
2.1.5. Teori Keadilan
Keadilan mempunyai arti yang umum, tergantung dengan pemberlakuan bagaimana dan
dimana keadilan tersebut. Menurut pendapat Achmad Ali bahwa tujuan hukum dititik beratkan
pada segi “keadilan”.
77
Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbrukch
(Filosof Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah “keadilan”, di
samping kemanfaatan, dan kepastian.
78
Secara umum uraian tidak adil ditujukan kepada
seseorang yang telah mengambil haknya lebih dari sebenarnya atau kepada orang yang telah
melanggar hukum, begitu sebaliknya jika seorang tidak mengambil hak orang lain dan tidak
melanggar hukum disebut orang yang adil. Jhon Rawls dengan konsep keadilan sebagai
fairnesss, dalam satu aspeknya menunnjuk kepada nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak). Sedangkan disisi
77
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis Sosiologis, PT. Toko Gunung Agung Tbk,
Jakarta, h. 72
78
Ibid, h. 83
96
lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur
manfaat). 79
Persoalan keadilan merupakan masalah yang telah ada sejak zaman Yunani kuno dan
Romawi, keadilan dianggap salah satu dari kebijakan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini
keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota dari suatu masyarakat dalam
hubungan satu dengan yang lainnya. Pada zaman ini dipelopori oleh filosuf Plato dimana dalam
tulisan dibukunya berjudul republic mengemukakan ada empat kebijakan pokok yaitu : kearifan
(wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline), dan keadilan (justice). Filosof
lainnya ada yang mengatakan bahwa keadilan bukan berada dalam tingkatan yang sejajar dengan
kejujuran, kesetiaan, atau kedermawanan melainkan sebuah kebajikan yang mencakup
seluruhnya (all-embraching virtue). Dalam pengertian keadilan mendekati pengertian kebenarankebaikan (righteousness). 80
Pandangan filosuf di atas, ruang lingkup keberadaan keadilan ada pada pengertian
kebenaran dan kebaikan untuk ketertiban dalam masyarakat. Filosuf Stanly mengemukakan
pandangan bahwa keadilan mendekati kebenaran dan kebaikan, yang berarti merupakan suatu hal
yang ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum, sebab dalam hukumpun bicara
tentang tujuan yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum, antara perorangan dengan
perorangan, perorangan dengan pemerintah dan diantara negara-negara yang berdaulat. Dengan
memandang keadilan adalah suatu yang akan dicapai, melahirkan konsep keadilan sebagai hasil
atau keputusan yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan sepatutnya asas-asas dan
perlengkapan hukum. Keadilan dalam pengertian ini disebut keadilan prosedural (procedural
79
John Ralws, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Pres of Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts
80
Stanley I. Benn, 1979, Justice dalam Paul Edwards, ed, dalam The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan,
Penerbit Super, Yogyakarta, h. 9
97
justice) dan konsep ini akhirnya dikenal dengan lambang dewi keadilan, pedang, timbangan, dan
penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tidak memihak dan tidak memandang
orang. 81
Menurut The Liang Gie, konsep keadilan dewasa ini adalah keadilan sebagai suatu nilai
(value). Nilai dari sisi keadilan menurut Richard Bender adalah :
A value is an experience which provides a recognized integrated, coherent need
sanstifantion, or which contributes to such satisfaction. Worthwhile living, then is the
achievement of an increasing amount of value experience. (suatu nilai adalah sebuah
pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian
tersatupadukan, atau yang menyumbang pada pemuasan demikian itu. Dengan demikian
kehidupan yang bermanfaat adalah pencapaian sebuah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah). 82
Princip keadilan ini merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat dalam hidup
dan karenanya mengikat semua orang baik masyarakat maupun penguasa. Bahwa keadilan dapat
dipandang dari nilai merupakan keadilan yang tergolong sebagai nilai sosial, dimana pada suatu
segi menyangkut aneka perserikatan manusia dalam suatu kelompok apapun (keluarga,
masyarakat adat, bangsa, atau persekutuan internasional).
Keadilan dalam hukum merupakan sesuatu yang didambakan dalam negara hukum,
keadilan menjadi sangat mahal manakala berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam hubungan
bernegara. Pemerintah dalam arti luas akan melaksanakan kebijakan negara mulai dari membuat
peraturan perundang-undangan, melaksanakan hingga mengawasi dari produk hukum tersebut.
Istilah keadilan dalam kehidupan bernegara dinyatakan dalam dasar negara Republik Indonesia
yaitu Pancasila, dimana pada sila kedua menyatakan “Kemanusiaan yang adil dan beradab,”
dan pada sila kelima menyatakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kata adil dan
81
82
Ibid, h. 12
Ibid. h. 14
98
keadilan sekilas mengandung makna sama, yakni setiap warga negara diberlakukan secara adil
dan menghargai antar manusia. makna keadilan secara khusus dan terinci tidak didapatkan
dengan jelas, hanya berupa pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum saja. Jadi faktor keadilan
dalam kehidupan bernegara hukum merupakan sesuatu yang sangat penting yakni dengan
mewujudkan keadilan di segala bidang, maka tujuan bernegara yakni kesejahteraan dapat
terwujud jika keadilan itu dapat ditegakkan.
Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang
membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil tercipta setiap manusia
menjalankan pekerjaan yang menurutnya paling cocok baginya, hal ini sesuai dengan konsep
keadilan moral yang berasal dari keharmonisan. Keadilan ini bisa tercipta, jika penguasa dapat
membagikan fungsi masing-masing orang yang berdasarkan asas keserasian tanpa adanya
campur tangan satu dengan yang lainnya, sehingga mencegah pertentangan dan menciptakan
keserasian, menurutnya intisari keadilan adalah tidak adanya pertentangan dan terselenggaranya
keserasian. 83
Pendapat dari Sudikno Mertokusumo tentang keadilan, seperti berikut :
“hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan
mengkajinya dengan suatu norma menurut pandang subjektif (untuk kepentingan
kelompoknya) melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat
yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.” 84
Esensi dari perlakuan terhadap kedua belah pihak (antara wajib pajak dan fiskus) dalam
konteks hukum pajak mengharuskan keadilan itu bisa terwujud dalam penilaian menjunjung
tinggi kepentingan bersama melalui rechtsidee, mensejahterakan rakyat, dan mencerdaskan
83
Putu Gede Arya Sumerta Yasa, 2012, Pengaturan Dana Bagi Hasil Yang Berkeadilan Dalam Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah Untuk Kepentingan Rakyat Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, h. 31
84
Suharningsih, 2009, Tanah Terlantar Asas dan Pembaruan Konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, h. 43
99
kehidupan bangsa. Dengan nilai-nilai keadilan yang harus tercermin dalam peraturan perundangundangan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, seperti berikut : “Keadilan
distributif dan keadilan commulatif. Keadilan distributif yaitu keadilan yang memberikan kepada
tiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan keadilan commulatif
memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan
adalah keadilan yang
tidak mengingat jasa-jasa
perseorangan.” 85
Maksud dari Aristoteles tersebut, bahwa adil artinya memberikan kepada orang lain
(setiap orang) apa yang menjadi haknya, maka adil dalam kaitannya dalam pengaturan dan tata
cara pemungutan pajak disesuaikan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tepat, sehingga dapat mempertahankan
kepastian hukum guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitannya dengan tata cara
pemungutan pajak, dipergunakan teori keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Ulpianus dalam
bukunya Peter Mahmud Marzuki, seperti berikut : “Justitia est perpetua et constants volunta Jus
suum cuique tribuendi,” yang diterjemahkan secara bebas, keadilan adalah suatu keinginan yang
terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
86
Maksudnya kepada wajib pajak diberikan perlindungan hukum sebesar hak-hak yang diberikan
hukum, yakni wajib pajak diberi hak untuk setuju/tidak setuju dalam proses pemeriksaan pajak,
hak untuk mengajukan keberatan sampai pada hak dalam upaya hukum peninjauan penetapan
dalam pengaturan pajak.
Selaras dengan kutipan di atas, bila pelaksanaan pemungutan pajak tidak sesuai dengan
Undang-undang perpajakan atau peraturan pelaksanaannya akan menimbulkan ketidak adilan
bagi masyarakat adat sebagai wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan ketidak pastian hukum
85
86
L.J. Van Apeldorn, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 59
100
antara masyarakat hukum adat dengan pejabat yang berwenang. Memang harus diakui pajak
mempunyai peran penting dan trategis dalam penerimaan negara. Sebagaimana fungsi pajak itu
sendiri menurut Subiyakto Indra Kusuma, menyebutkan sebagai berikut :
a. Fungsi Budgeter, pemungutan pajak didasarkan dengan tujuan memenuhi apa yang
diperlukan anggaran penerimaan negara.
b. Fungsi Mengatur, pemungutan pajak didasarkan dengan memperhatikan keadaan
sosial ekonomi dalam masyarakat.
Sekarang ini fungsi pajak adalah mengatur, fungsi budgeter ditempat yang kedua.
Fungsi mengatur yang ada pada fiskus biasanya diselenggarakan dengan :
a) Cara-cara umum, yaitu dengan mengadakan perubahan tarif yang bersifat umum.
b) Cara-cara
memberi
pengecualian-pengemuliaan,
keringanan-keringanan,
pemberatan-pemberatan yang khusus ditujukan kepada sesuatu tertentu :
1. Pencegahan penggunaan minuman keras dengan cara menaikkan cukai
setinggi-tingginya.
2. Keringanan diberikan misalnya dengan memperbolehkan potongan dari
keuntungan fiscal dari penanaman yaitu guna memberi dorongan kepada
penanam-penanam modal.
3. Pengecualian dapat diberikan, misalnya dengan cara pengecualian jumlahjumlah uang yang diberikan sebagai derma kepada badan sosial, gereja,
mesjid, dari pengenaan pajak. 87
Mewujudkan keadilan dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap objek pajak
sebagai pengecualian yang tidak dikenai pungutan pajak, sesuai dengan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c tidak secara jelas pengaturannya terhadap
tanah (adat) desa yang dapat berpotensi kekaburan khususnya tanah-tanah adat yang dikuasai
oleh desa pakraman di Bali. Peraturan perundang-undangan bidang pajak harus memberikan
jaminan hukum (kepastian hukum) yang perlu untuk menjamin keadilan untuk negara maupun
untuk masyarakat.
87
Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-dasar Perpajakan, Usaha Nasional, Surabaya, h. 33-34
101
Perwujudan keadilan sebagai landasan ideal sistem perpajakan, guru besar ilmu
perpajakan H. Mohammad Zain menyebutkan :
Dua prinsip utama yang merupakan prinsip yang fundamental agar tercapai sasaran
perpajakan tersebut adalah prinsip keadilan (equity) dan….kepastian hukum (certainty)
yang mengacu kepada the four canons of taxation dari Adam Smith (1776) yaitu :
(1) Equity, menyangkut keadilan pendistribusian pajak dari berbagai-bagai kalangan.
(2) Certainty, tidak terdapat kesewenangan dan ketidakpastian berkenaan dengan utang
pajak.
(3) Convenience, menyangkut cara pembayaran pajak.
(4) Economy, biaya pemungutan yang kecil dibandingkan secara proposional dengan
peningkatan penerimaan dan menghindari efek distorsi perilaku wajib pajak. 88
Pandangan tersebut diatas menekankan tentang pentingnya masalah kepastian hukum,
keadilan, efisiensi dan ketepatan waktu dalam pemungutan pajak. Hal ini sesuai dengan tujuan
hukum yang pada dasarnya ingin mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang sejarah
filsafat hukum. Tujuan hukum tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum.
Hukum pajak pada dasarnya bertujuan membuat adanya keadilan soal pemungutan. Asas
keadilan harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangan
maupun dalam praktek sehari-hari. Atas dasar itu syarat mutlak bagi pembuat undang-undang,
juga bagi aparatur pemerintah yang melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan
perubahan yang adil pula. Istilah adil dalam pemahaman masyarakat umum, adalah :
1.
2.
3.
88
adil mengandung arti menurut hukum;
dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya;
seorang baru dikatakan adil apabila seseorang mengambil tidak lebih dari bagian
yang semestinya diambilnya.
Mochamad Zain, 2007, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, h. 24
102
Pemikiran ini, sesuai fungsi regulasi dalam perpajakan yang menjadi pegangan dasar
untuk melakukan deskrepsi dan analisis yaitu fungsi mengatur (regulasi). Berdasarkan fungsi
tersebut Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memutus peraturan bidang
perpajakan bisa melakukan pengaturan secara cermat, sehingga peraturan perundang-undangan
bidang perpajakan menciptakan kepastian hukum dan keadilan.
Dalam pengaturan/regulasi
perpajakan, masyarakat dalam kedudukannya sebagai masyarakat hukum adat diberikan
perlindungan hukum sebagai satu kesatuan masyarakat yang diakui dan dihormati beserta hakhak tradisionalnya (termasuk tanah adat) yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Fungsi pengaturan yang menekankan pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum, tidak terlepas dari kewenangan yang ada di dalam pembuatan peraturan perundangundangan baik pemerintah dan legislatif (DPR) untuk membuat peraturan yang baik, adil dan
tepat.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa keadilan dapat dipandang dari nilai. Keadilan tergolong
sebagai nilai sosial yang pada suatu segi menyangkut aneka perserikatan manusia dalam suatu
kelompok apapun (keluarga, masyarakat hukum adat, bangsa, atau persekutuan internasional).
Terkait dengan penelitian tentang pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di
Bali, akan menjadi sangat penting teori keadilan dipergunakan untuk mengukur apakah
pengaturan pajak dalam peraturan perundangan perpajakan telah mencerminkan nilai sosial yang
ada dalam masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) yang ada di Bali. Nilai sosial masyarakat
hukum adat di Bali adalah kebersamaan, kegotong royongan yang dijiwai dengan filosofi Tri
Hita Karana yang merupakan keseimbangan lahir dan bathin ditengah-tengah pergaulan di
masyarakat hukum adat.
103
2.1.6. Teori Kewenangan
Konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dari hukum tata negara
dan hukum administrasi.
89
Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat menimbulkan akibat-akibat
hukum.
90
Menimbulkan akibat hukum yang dimaksudkan disini adalah dengan pemberlakuan
undang-undang perpajakan maka wajib pajak berkewajiban untuk memenuhinya dan bisa setuju
atau tidak setuju atas penetapan pajak yang sesuai dengan peraturan perpajakan.
Lain halnya dengan yang dikemukakan oleh Philipus M Hadjon, bahwa membagi cara
memperoleh wewenang atas dua cara utama, yaitu a) atribusi; b) delegasi; dan kadang-kadang
juga mandat.
91
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga
sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Dari pengertian tersebut
jelas tampak bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah
kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundangundangan, dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumya
kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak
lain tersebut.
Kata penyerahan, ini berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi
(delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). Suatu delegasi harus memenuhi syaratsyarat tertentu, antara lain :
89
Philipus M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid), Pro Justitia, Tahun
XVI Nomor 1 Januari, h. 90
90
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68
91
Philipus M Hadjon, Op. Cit, h 91
104
a. Delegasi harus difinitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk
meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk)
tentang penggunaan wewenang tersebut. 92
Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat
tata usaha negara yang memberi mandat.
93
Dari pengertian tersebut maka tampak bahwa
tanggung jawab tidak berpindah kepada mandataris, dengan kata lain tanggung jawab tetap
berada ditangan pemberi mandate, hal ini dapat dilihat dari kata atas nama (a/n), dengan
demikian semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh
mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.
Pendapat Indroharto tersebut diatas, lebih tertuju kepada fiskus sebagai yang
melaksanakan undang-undang perpajakan, sedangkan Philipus M Hadjon dengan mulai awal
adanya wewenang Direktorat Jenderal Pajak yaitu atribusi sebagaimana dikehendaki oleh Pasal
23 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun dari atribusi ini
juga akan didelegasikan kepada Kementrian Keuangan Republik Indonesia, selanjutnya sampai
ke Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian keabsahan atas kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diimplementasikan untuk kepastian hukum dan
keadilan.
92
93
Indroharto, Op. Cit, h. 94
Philipus M Hadjon, Op. Cit, h. 95
105
Pendapat yang dikemukakan oleh F.A.W. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa cara
memperoleh wewenang pada hakekatnya melalui cara atribusi dan delegasi, sebagai dapat
disimak dari pendapatnya :
“….hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi.
Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi
menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh
wewenang secara atribusi) kepada organ lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului
oleh atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan wewenang apapun, sebab yang ada
hanyalah hubungan internal, seperti Menteri dengan pegawai untuk mengambil keputusan
tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab
tetap berada pada organ Kementrian. Pegawai memutuskan secara teknis, sedangkan
Menteri secara yuridis.” 94
Pendapat dari
H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt mengemukakan cara
memperoleh wewenang pemerintahan diklasifikasikan atas 3 (tiga) cara melalui :
a. Atributie : Toekening van een bestuursbevevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgan, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
Undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie : Overdracht van een bevoegheid van het een bestuursorgan aan een
ander, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat : Een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names huwes uitoefenen door een
ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. 95
Berdasarkan berbagai pandangan diatas, maka dapat disimak bahwa atribusi adalah
pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi. Pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang kepada organ administrasi negara.
Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah
atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini suatu badan (organ) yang telah
94
95
Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 105-106
Ibid, h. 104-105
106
memiliki wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang
atributif) menyerahkan kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas
dasar kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri.
Menurut Indroharto, penerima wewenang atas dasar delegasi (delegetaris) dapat pula
mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegans) kepada
organ atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) lainnya.
96
Pelimpahan wewenang ini disebut sub
delegasi, yang tata cara terjadi dan akibatnya berlaku sama seperti delegasi. Selanjutnya yang
dimaksud dengan mandat ialah pemberian kuasa (biasanya disertai dengan perintah) dari
badan/pejabat TUN kepada badan/pejabat TUN lainnya yang melaksanakan suatu wewenang
atas nama dan tanggung jawab pemberi kuasa (madans). Berbeda dengan atribusi dan delegasi,
pada mandat tidak terjadi pemberian atau pelimpahan suatu wewenang baru sehingga tidak
terjadi suatu perubahan pada wewenang yang telah ada.
Cara memperoleh wewenang dan tanggung jawab seperti tersebut, secara jelas dan
sederhana dikemukakan oleh para ahli, karena menurut hemat penulis dalam praktek administrasi
negara tiga cara perolehan kewenangan itu yang sering terjadi. Sehubungan dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perpajakan (termasuk juga pemungutan pajak
daerah sebagai bagian perbuatan pemerintah daerah), menurut Prajudi Atmosudirdjo ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan atau direncanakan;
b. Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh
oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat atau lingkungan yang
bersangkutan;
c. Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas;
96
Indroharto, Op. Cit, h. 66
107
d. Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau
keputusan administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa dasar atau dasar
suatu ketentuan undang-undang (tertulis). Dalam arti luas, bila sesuatu dijalankan
dengan dalih „keadaan darurat‟ maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian.
Bila mana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat di
pengadilan;
e. Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat, moral
dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi, perbuatan tidak senonoh,
sikap kasar kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya
wajib dihindarkan;
f. Efisiensi, wajib dikejar seoptimal mungkin, kehematan biaya dan produktivitas wajib
diusahakan setinggi-tingginya;
g. Teknik dan Teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan
atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 97
Asas legalitas (legalitiets beginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum,
terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Dikatakan, bahwa pada mulanya
asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal ungkapan „no
taxation without reprecentation‟ (tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen), di Amerika ada
ungkapan „taxation without reprecentation is robbery‟ (pajak tanpa persetujuan parlemen adalah
perampokan), hal mana berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undangundang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. 98
Pemerintah Daerah mengawali pelaksanaan otonomi daerah di bidang perpajakan
dilakukan dengan menetapkan produk hukum daerah yang bersifat umum, baik berupa peraturan
daerah maupun keputusan-keputusan dalam rangka menjabarkan peraturan daerah tersebut.
Keberadaan produk hukum itu sangat penting bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan maupun berhubungan dengan masyarakatnya. Ada beberapa faktor yang
97
98
Prajudi Atmosudirdjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78-80
Ridwan HR, Op. Cit, h. 67
108
menyebabkan makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan, yakni karena alasan
sebagai berikut :
a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali
(diidentifikasi) mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah
hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas.
b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata
karena kaidah-kaidah mudah diidentifikasikan dan mudah diketemukan kembali.
c. Struktur dan sistematikan peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga
memungkinkan untuk diperikasa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun
materi muatannya.
d. Pembentukan dan
pengembangan peraturan perundang-undangan dapat
99
direncanakan.
Selanjutnya dalam hal pemerintah daerah menjalankan wewenang mengaturnya melalui
penetapan berbagai produk hukum, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu
diperhatikan, yakni :
a. Memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige);
b. Tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatan asas hierarki peraturan perundangundangan;
c. Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarat;
d. Ditetapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau
merealisasi kesejahteraan umum. 100
Untuk tugas dan wewenang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) di dalam pembentukan Peraturan Daerah, dasar hukum keberadaan legislasi daerah
diatur secara jelas di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu :
1. Paragraf 3 tentang tugas, wewenang, kewajiban, dan hak kepala daerah dan wakil
kepala daerah dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2), kepala daerah berwenang :
99
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, IND-HILL.CO, Jakrta, h. 7-8
Sjachran Basah, 1986, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, h. 4
100
109
a. mengajukan rancangan Peraturan Daerah;
b. menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapatkan persetujuan bersama
DPRD;
c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan
oleh Daerah dan/atau masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesusi dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. BAB IX tentang Perda dan Perkada, Bagian kesatu tentang Perda Paragraf 1 tentang
Umum dalam Pasal 236 disebutkan :
Ayat (2) : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Ayat (3) : Peraturan Daerah sebagaimana ayat (1) memuat materi muatan :
a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
3.Pasal 237 ayat (1) disebutkan :
asas pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Pasal 246 ayat (1) disebutkan :
Untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
5. Paragraf 8 tentang evaluasi rancangan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, dalam Pasal 325 Ayat (1) :
Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang
telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota, paling lama 3 (tiga)
hari disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi.
Undang Undang Pemerintahan Daerah tersebut, menjelaskan tentang kewenangan kepala
daerah baik gubernur, bupati/walikota didalam penyusunan produk-produk hukum daerah
dengan tetap memperhatikan pedoman mengenai bentuk produk hukum daerah yang dibuat.
110
Mengenai bentuk peraturan kepala daerah di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas dilingkungan
Pemerintah Provinsi, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 48
Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Keputusan tata naskah dinas dilingkungan pemerintah Provinsi dibagi atas dua jenis, yaitu :
1. Naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk produk-produk hukum,
terdiri atas Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota), Keputusan bersama Kepala Daerah (gubernur, Bupati/Walikota),
dan Instruksi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).
2. Naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk surat yang terdiri atas 27
jenis.
Ketentuan Kepmendagri-Otda tersebut di atas, maka bentuk naskah dinas yang dapat
dikeluarkan oleh kepala daerah ada dua bentuk, yaitu naskah dinas yang dirumuskan dalam
susunan dan bentuk produk-produk hukum dan naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan
dan bentuk surat. Walaupun secara tegas ditentukan dasar kewenangan Kepala Daerah
membentuk peraturan dan keputusan, secara teoritik untuk sahnya suatu keputusan harus
memenuhi beberapa syarat seperti apa yang disampaikan oleh Philipus M Hadjon dalam bukunya
yang
berjudul
“Pengertian-pengertian
Dasar
Tentang
Tindak
Pemerintahan
(Bestuurshandeling)” menarik inti dasar dari sahnya suatu keputusan yaitu :
1. Kewenangan (bevoegdheid) organ administrasi negara;
2. Rechtmatigheid keputusan pemerintah;
3. Tidak ada kekurangan dalam wilsvorming (pembentuk kehendak) organ administrasi
negara;
4. Doelmatigheid dari pada keputusan pemerintah;
5. Prosedur pembuatan keputusan;
6. Penuangan keputusan dalam bentuk yang tepat. 101
101
Philipus M Hadjon, 1993, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan
(Bestuursandeling), Djumali, Surabaya, h. 11
111
Sementara itu pajak yang menjadi substansi produk hukum Pemerintah Daerah
diwajibkan memperhatikan hubungan timbal balik negara dengan anggota masyarakat. Pajak itu
pada hakekatnya dibayar sebagai imbalan jasa yang diperoleh pemilik harta berupa perlindungan
atas segala kepentingan umum, dengan wajib mengadakan perjanjian perlindungan wajib antara
negara dengan warganya.
Menurut Jane Jack Rousseau,
teori perjanjian dalam pemungutan pajak disebut juga
teori timbal balik mengenai perjanjian ilmiah antara negara dengan pembayar pajak, dimana
pajak merupakan pembayaran dimuka yang dilakukan oleh seseorang terhadap perlindungan
kelompok manusia.
102
ini berarti bahwa perjanjian itu berbentuk akad jual beli. Sedangkan
Montesquau dan Thomas Hubbes
mengatakan, bahwa perjanjian ini berbentuk jaminan
keamanan, dengan demikian pajak adalah bagian harta yang wajib diserahkan oleh pemilik
kekayaan untuk melindungi kekayaan hartanya. 103
Dasar berlakunya dan legalitas suatu ketetapan terletak pada peraturan, sedangkan dasar
berlakunya dan legalitas peraturan terletak pada undang-undang, dasar berlakunya dan legalitas
undang-undang terletak pada Undang-undang Dasar dan akhirnya dasar berlakunya dan legalitas
Undang-undang Dasar terletak pada kaidah dasar yang berada pada puncak piramid.
2.2. Kerangka Konseptual
Konseptual
atau
konsepsi/pengertian”
104
conceptual
berasal
dari
kata
sifat
yang
berarti
“dengan
Di dalam konseptual terkandung kata konsep yang dapat berarti
konsepsi atau pengertian yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu, yaitu tentang maksud atau
makna dari sesuatu. Sehingga dengan kerangka konseptual dapat dijelaskan tentang sesuatu dari
102
103
104
Ali Chaidir, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, h. 98
Ibid
John M. Echols dan Hassan Shandily, 2005, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, h. 135
112
pokok-pokok pengertian yang hendak dijelaskan dalam disertasi ini. Selain pengertian tersebut,
konsep juga berasal dari kata “concept” yang berarti “rancangan, draf, wawasan, atau
naskah”
105
,maka konseptual juga berarti tindakan untuk membuat rancangan, draf atau tulisan
yang bertujuan untuk memberikan pandangan dan wawasan terhadap topik atau isu hukum yang
hendak diteliti. Dari pendapat tersebut, maka konsep merupakan sebuah gagasan atau
pengetahuan yang bertujuan untuk member informasi mengenai sesuatu dalam hukum dan dapat
dijadikan alat dalam membangun teori hukum, mengembangkan teori hukum, atau sebagai
doktrin hukum.
Konsep menurut Satjipto Raharjo dengan mengutip Kaplan, mengatakan, bahwa :
“Konsep adalah suatu pengetahuan. Pengetahuan ini bertujuan untuk yang demikian itu
harus mempunyai basis empiris. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum
disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk
membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam
hukum.” 106
Disamping itu, Soetandyo juga mengatakan, bahwa :
“Konsep berasal dari kata latin “conceptus” yang berarti buah gagasan berhubungan
dengan benda atau gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan
gambaran yang diimijinasikan didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep
hukum. Dari konsep dasar mengenai apa yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori
hukum dikembangkan, mungkin sebagai doktrin dan mungkin pula sebagai teori
grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang ditegaskan apakah hukum itu
konsep doctrina/normative ataukah konsep yang diangkat dari realitas non
doctrina/empiris itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.” 107
2.2.1. Tanah Adat di Bali
Tanah adat di Bali dalam hubungannya dengan masyarakat hukum adat (di Bali disebut
Desa Pakraman), dimana tanah adat yang dikuasai demikian erat dan bersifat religio magis. Pada
prinsipnya masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menguasai tanah dimaksud,
105
Marjane Termorshuizen, 2002, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209
Satjipto Raharjo, 2006, Op Cit, 312-313
107
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum-paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
dan Huma, Jakarta, h. 179
106
113
memanfaatkan tanah itu memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga
berburu binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) atas
tanah ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikingsrecht” yang kemudian diterjemahkan
menjadi hak ulayat atau hak pertuanan, di Bali dikenal dengan istilah hak prabumian.108 Hak ini
menjadi hak penguasaan dan memanfaatkan tanah adat sebagai “druwe atau due desa” yang
dipergunakan dan dinikmati sebagai pemenuhan kewajiban warga desa adat (krama desa adat)
terhadap kahyangan desa serta kewajiban dalam pergaulan sosial Desa Pakraman.
Tanah adat di Bali merupakan bagian dari kekayaan Desa Pakraman meliputi tanah drue
desa adat (tanah adat) ada beberapa jenis tanah druwe desa atau tanah desa, yaitu :
1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha
pembelian maupun usaha lainnya;
2. Tanah Laba Pura, yaitu tanah yang dulunya milik desa atau dikuasai oleh desa yang
khusus dipergunakan untuk keperluan pura;
3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan
kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lasimnya ukuran luas
tertentu dan hampir sama setiap keluarga;
4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa
yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa disertai hak untuk
menikmati hasilnya.109
Jenis-jenis tanah adat tersebut dengan penyebutan sesuai dengan hasil dari perolehan di
masing-masing Desa pakraman, hal ini berbeda-beda penyebutan terhadap tanah adat. Pada
umumnya tanah drue desa adat adalah sebagaimana hal tersebut diatas.
Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), tanah adat
diartikan pada tanah-tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
108
h.248
109
Surojo Wignyodiputro, 1979, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Edisi Ketiga, Alumni Bandung,
Suasthawa Dharmayuda I Made, 2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada
Sastra, Denpasar, h. 136
114
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 ayat
(2), bahwa : Tanah Ulayat adalah bidang tanah diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.
Munculnya istilah tanah adat tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum yang pernah ada,
artinya dengan berlakunya dua sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia dan selanjutnya
menjadi dasar bagi hukum pertanahan sebelum berlakunya UUPA, yaitu hukum adat dan hukum
Barat.
110
Sehingga ada dua macam tanah yaitu Tanah Adat yang biasa disebut Tanah Indonesia
dan Tanah Barat yang biasa disebut Tanah Eropa. Tanah dengan hak Barat atau lazim disebut
dengan tanah-tanah Eropa, hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah. Tanahtanah Eropa ini tunduk pada hukum Eropa atau hukum Barat, sedangkan tanah Indonesia seperti
tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok dan lain diatur dengan
hukum adat. Tanah adat yang dirumuskan sebagai tanah-tanah milik masyarakat hukum adat
yang diatasnya berlaku aturan-aturan hukum adat sebagaimana dinyatakan oleh Vareline
Jaqueline Leonoere Kriekhoff.
111
Saat berlakunya hukum Agraria di Hindia Belanda
(Indonesia) ditemukan adanya 5 (lima) perangkat hukum yaitu Hukum Agraria Adat, Hukum
Agraria Barat, Hukum Agraria Administratif, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria Antar
Golongan. 112
Hukum Agraria adat dirumuskan sebagai keseluruhan dari kaedah hukum agraria yang
bersumber dari hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas
tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah
Indonesia. Hukum Agraria ini terdapat hukum adat tentang tanah dan air (bersifat intern), yang
110
K. Watjik Saleh, 1979, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 8
Vareline Jaqueline Leonoere Kriekhoff, 1991, Kedudukan Tanah Dati sebagai tanah adat Maluku
Tengah, suatu kajian dengan memanfaatan pendekatan Antropogi hukum, Disertasi, Universitas Indonesia, h. 24
112
I Made Suwitra, 2010, Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali (Dalam
Perspektif Hukum Agraria Nasional), Logoz Publishing, Bandung, h.68
111
115
memberi pengaturan bagi sebagian terbesar tanah dalam Negara. Diberlakukannya bagi tanahtanah yang tunduk pada hukum adat seperti tanah (hak) ulayat, tanah milik perseorangan yang
tunduk pada hukum adat.
113
Apabila hak atas tanah berada pada sekelompok orang dan diatur
pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok, maka hak bersama tersebut dikenal dengan hak
ulayat, jadi tanah ulayat sama dengan tanah adat. 114
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) dalam Pasal 5, disebutkan bahwa :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasrkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama ”.
Tanah dari masyarakat hukum adat disebut sebagai hak ulayat yang diakui sepanjang
masih ada, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, hal ini tertuang dalam Pasal
3 UUPA yaitu :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi .
Begitu eratnya hubungan tanah adat dengan masyarakat hukum adat dan dengan negara
dalam peraturan perundang-undangan khususnya mengenai hak masyarakat hukum adat yang
dikenal dengan hak ulayat. Hak masyarakat hukum adat terhadap tanah adatnya, sebagai bagaian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tunduk dan taat kepada peraturan-peraturan
dibidang pertanahan termasuk didalamnya peraturan tentang pajak bumi dan bangunan. Untuk
113
114
Urip Santoso, 2006, Hukum Agraria, Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Prenada Media, Jakarta, h.8
I Made Suwitra, Op.Cit, h. 68
116
memahami secara jelas pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali
sebagaimana uraian dibawah ini.
2.2.2. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena
adanya keuntungan dan/atau mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
daripadanya. Dasar pengenaan pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP). Penentuan NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar perwilayah dan ditetapkan
setiap tahun oleh Menteri Keuangan. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang cukup
besar dalam hal cakupan masyarakat yang terkena pajak, karena paling banyak melibatkan
masyarakat yang terkena pajak. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
atau badan yang secara nyata memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, dan/atau
memiliki, menguasai atas bangunan. Pembayaran pajak bumi dan bangunan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan, yang diterbitkan setiap
tahun dan harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut.
SPPT Pajak Bumi dan Bangunan menerangkan tentang letak objek pajak, nama dan
alamat wajib pajak, objek pajak, luas meter persegi, kelas, NJOP per meter persegi, dan total
NJOP yang harus dibayarkan. Sedangkan pembayaran pajak bumi dan bangunan telah ditentukan
tanggal jatuh tempo dan tempat pembayaran pajak serta tanggal penetapan pajak. Dibalik SPPT
juga dicantumkan „perhatian‟ untuk wajib pajak, agar memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak beserta sanksi yang dapat dikenakan. Proses
pengenaan pajak kepada masyarakat tersebut, merupakan pengertian hukum pajak dalam arti
luas dan arti sempit. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak.
117
Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang mengatur
hubungan antara pejabat pajak dengan wajib pajak yang memuat sanksi hukum.115
Pandangan dari R. Santoso Brotodihardjo, bahwa hukum pajak, yang disebut hukum
fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan
melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubunganhubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
hukum bertujuan untuk
116
Sebagaimana diketahui bahwa
mewujudkan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum, bukan
hanya dalam bentuk kaidah tertulis, tetapi harus tercermin dalam pelaksanaannya. Demikian pula
halnya terhadap hukum pajak yang diadakan oleh negara sebagai hukum positif yang
mengandung pula tujuan berupa keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum.
Tujuan hukum pajak tidak hanya sekedar tertulis atau sebagai kaidah hukum tertulis
dalam Undang-undang pajak, harus kelihatan dalam penerapannya sehingga hukum pajak betulbetul merupakan hukum fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan
menampakkan tujuan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak.
Disamping pengertian hukum pajak tersebut diatas, Rochmat Soemitro mengemukakan
hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.
Lain perkataan, hukum pajak
menerangkan :
1. Siapa-siapa wajib pajak (subjek pajak);
2. Kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah;
3. Hak-hak pemerintah;
115
116
M. Dafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak, Edisi Revisi, h. 1
R. Santoso Brotodihardjo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Reflika Aditama, Bandung, h. 1
118
4. Objek-objek apa yang dikenakan pajak;
5. Cara penagihan;
6. Cara pengajuan keberatan dan sebagainya. 117
Dalam negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian
besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu bagi
mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari
kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang
bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu
dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Bumi dan
bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya,
dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, menimbulkan beban pajak berganda bagi
masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang
sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum. Dalam memahami mengapa seseorang
117
24-25
Rochmat Soemitro, 1979, Dasar-dasar Hukum dan Pajak Pendapatan 1944, PT. Eresco, Bandung, h.
119
harus membayar pajak sebagaimana uraian tersebut diatas, maka perlu dipahami terlebih dahulu
tentang pengertian pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahan, negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, dalam
bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun mencerdaskan kehidupannya. Hal ini
sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea
keempat yang berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”
Negara dalam hal ini memerlukan dana untuk kepentingan rakyat, dana yang akan
dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan
pajak. Pemungutan pajak terlebih dahulu harus disetujui oleh rakyat, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 23 A UUD NRI Tahun 1945 (dalam amandemen ketiga) tersurat : “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undang-undang, ini berarti pemungutan
pajak telah mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), yang biasa disebut berasaskan yuridis. Dengan asas ini berarti pemerintah telah
memberi jaminan hukum yang tegas (kepastian hukum) akan hak negara dalam memungut pajak.
Hukum pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia sejak jaman kolonial tertuang
dalam :
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908,
Staatsblad Tahun 1908 Nomor 13),
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 ( Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923,
Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene
120
Verordiningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931
Nomor 168) ;
3. Ordonansi Verponding Indonesia 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad
Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959;
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermorgens Balasting 1932,
Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan
1925;
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941
Nomor 97), sebagaimana terakhir diubah
dengan Algemeene Verordening
Oologsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47) ;
6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah,
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961;
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi.
Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan
Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diundangkan pada tanggal 27
Desember 1985, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 dan diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Perubahan undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 1
Januari 1995.
121
Walaupun undang-undang pajak masih diberlakukan, tetapi tidak tertutup kemungkinan
akan ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 23 A
UUD NRI Tahun 1945. Peninjauan kembali undang-undang pajak adalah searah dengan tujuan
reformasi agar hukum pajak tidak hanya memihak kepada pejabat pajak, tetapi juga terhadap
wajib pajak selaku pembayar pajak. Sebenarnya tujuan reformasi dibidang pajak adalah
meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau
melunasi yang terutang agar pembiayaan pemerintahan dan pembangunan tetap berlangsung
secara berkelanjutan. Dalam mewujudkan bentuk undang-undang pajak sesuai amanat UUD
NRI Tahun 1945 dalam kedudukannya baik sebagai pengganti maupun sebagai mengubah akan
memberikan suatu kepastian hukum. Adapun undang-undang pajak bumi dan bangunan dalam
kedudukan sebagai pengganti adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000. Undang-undang ini termasuk pula Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pengaturan pajak bumi dan bangunan merupakan pajak bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dan/atau dikuasai, dan/atau memberi manfaat kepadanya. Tidak semua tanah (bumi)
dan bangunan dikenakan pajak bumi dan bangunan, ada beberapa objek pajak yang dikecualikan
dari pengenaan pajak bumi dan bangunan, yaitu sebagai berikut :
a. Tanah atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk melayani kepentingan umum
dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan misalnya : tempat ibadah,
sarana kesehatan pemerintah, pendidikan dan kebudayaan nasional serta tanah kuburan.
b. Tanah atau bangunan yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik serta badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
c. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, dan taman nasional. Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau kemanfaatan
122
tanah dan/atau bangunan. Ketentuan tentang pajak bumi dan bangunan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985.
d. Menguasai objek baik atas bumi atau atas bangunan atau salah satu diantaranya.
Klasifikasi dan besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri
Keuangan kecuali bagi daerah yang perkembangan nilai jualnya cukup besar, maka
ditetapkan setahun sekalai. 118
Penetapan pengaturan pajak bumi dan bangunan ditentukan terlebih dahulu terhadap
objek pajak dan subjek pajak, yang nantinya menjadi wijib pajak terhadap pajak bumi dan
bangunan. Untuk mengetahui subjek pajak bumi dan bangunan, diuraikan seperti dibawah ini.
2.2.3. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yang memiliki subjek hukum selaku
pendukung kewajiban dan hak. Dalam hukum pajak, bukan subjek pajak sebagai pendukung
kewajiban dan hak melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak dengan wajib
pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum, melainkan hanya wajib
pajak sebagai subjek hukum. Mengingat, subjek pajak tidak memenuhi syarat-syarat, baik syaratsyarat subjektif atau syarat-syarat objektif untuk dikenai pajak, sehingga bukan subjek hukum.
Sebaliknya, wajib pajak pada awalnya berasal dari subjek pajak yang dikenakan pajak karena
memenuhi syarat-syarat subjektif dan objektif yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada
keterkaitan antara subjek pajak dengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan secara
hukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek hukum.
119
Subjek Pajak Bumi dan
Bangunan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 adalah “orang
atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat
atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”
118
119
Adrian Sutedi, 2013, Hukum Pajak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 117-118
M. Djafar Saidi, 2011, Pembaruan Hukum Pajak (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 41
123
Memahami orang atau badan dalam pengertian subjek pajak bumi dan bangunan,
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu.
Menurut
M. Djafar Saidi, mengemukakan pada hakekatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks
perorangan dalam kedudukannya sebagai pribadi. Sementara itu badan, sebagai wajib pajak
dapat berupa badan yang tidak berstatus badan hukum, atau badan yang berstatus badan hukum,
baik yang tunduk kepada hukum privat maupun tunduk pada hukum publik.120 Pengertian badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan lainnya, badan usaha milik negara,
atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak, menurut
undang-undang pajak bumi dan bangunan. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas
diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai
wajib pajak. Untuk menentukan subjek pajak dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan
pertama kali ditentukan objek pajak yaitu bumi dan bangunannya, selanjutnya baru kemudian
ditentukan/dicari siapa yang menjadi subjek pajak.
Menurut Y. Sri Pudyatmoko Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal
pada objek yang dikenakan pajak, dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari subjeknya. Jadi
dalam hal ini pertama-tama dicari objeknya yang selain dari pada benda dapat pula berupa
120
Ibid, h.42
124
keadaan, peristiwa atau perbuatan, yakni yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar,
kemudian baru dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan. 121
2.2.4. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan
bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang cukup besar dalam hal cakupan masyarakat
yang terkena pajak. Karena paling banyak melibatkan masyarakat yang terkena pajak, maka oleh
negara pajak ini didesain atau dirancang sekecil mungkin.
Objek pajak adalah bumi, yaitu permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada di dalamnya, misalnya sawah, ladang, kebun, tambang dan sebagainya.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada
tanah/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
122
Sasaran pengenaan pajak terhadap objek
pajak (tatbestand), dapat diartikan sebagai keadaan, peristiwa dan perbuatan yang menurut
ketentuan undang-undang memenuhi syarat bagi dikenakannya pajak, yakni :
1. Keadaan, pajak dapat dikenakan terhadap suatu keadaan tertentu yang menurut
undang-undang memang harus dikenakan pajak. Dalam pajak bumi dan bangunan
seseorang yang dalam keadaan memiliki bumi dan/atau bangunan pada suatu awal
tahun tertentu dapat dikenakan pajak bila ternyata bumi dan/atau bangunan tersebut
telah memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
2. Peristiwa, juga dapat menjadi objek pajak, seperti kematian. Peristiwa kematian
sendiri dibidang hukum dapat dikatakan merupakan peristiwa perdata, karena dengan
adanya kematian maka status orang tersebut sebagai subjek hukum perdata menjadi
hapus. Dengan adanya peristiwa kematian, maka akan terbuka adanya warisan, yakni
peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada yang berhak
menerimanya (ahli waris).
121
122
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak (Edisi Terbaru), Penerbit Andi, Yogyakarta, h.12
Adrian Sutedi, 2013, Hukum Pajak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.116-117
125
3. Perbuatan yang terjadi di dalam masyarakat juga dapat menjadi objek pajak apabila
telah memenuhi syarat. Sebagai contoh perbuatan seseorang yang mengikat perjanjian
pinjam-meminjam uang senilai lima juta rupiah, dimana perjanjian itu dibuat secara
tertulis. Oleh karena ada perbuatan perjanjian yang dituangkan dalam dokumen
perjanjian yang memuat nilai mata uang sejumlah itu , maka dikenakan pajak Bea
Meterai. 123
Ketentuan mengenai objek pajak sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985, adalah : “Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.”
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, sedangkan
bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Penjelasan pasal 1 ayat (2) Undang-undang pajak bumi dan bangunan,
menguraikan lebih lanjut bahwa yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah kolam
renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal dermaga, taman mewah, kilang minyak
dan pipa minyak, jalan TOL dan fasilitas lainnya yang memberi manfaat.
Wajib pajak bagi pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi
atau badan yang dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan karena secara
nyata :
a. Mempunyai hak atas bumi (tanah); dan/atau
b. Memperoleh manfaat atas bumi (tanah); dan/atau
c. Memiliki bangunan; dan/atau
d. Menguasai bangunan; dan/atau
e. Memperoleh manfaat bangunan. 124
123
124
Ibid, h. 25
M. Djafar Saidi, Op. Cit, h. 54
126
Objek pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang belum
diketahui siapa subjek pajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenang menetapkan
subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabat pajak untuk menetapkan subjek pajak
sebagai wajib pajak bertujuan agar objek pajak itu dikenakan pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan. Pengenaan pajak bumi dan bangunan diatur oleh Menteri Keuangan
dengan mengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai
pedoman, serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terhutang. Dalam menentukan
klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor seperti letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi
lingkungan dan lain-lain. Sedangkan dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan
faktor-faktor seperti bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang pajak bumi dan bangunan disebutkan bahwa
“Obyek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah obyek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan.
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,taman nasional, tanah
pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
hak.
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
Uraian tersebut menunjukkan ketentuan yang mengatur tentang Pajak Bumi dan
Bangunan dengan tata cara pengenaan pajak yang ditinjau dari teoritis dan konseptual hukum
pajak, subjek pajak dan objek pajak bumi dan bangunan, diharapkan kesadaran perpajakan dari
masyarakat akan meningkat, sehingga penerima pajak akan meningkat pula. Pengaturan pajak
127
bumi dan bangunan yang bertujuan untuk dapat memberikan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan serta memberikan suatu kedudukan yang jelas terhadap tanah adat di Bali.
Download