60 B A B II LANDASAN / KAJIAN TEORITIK Pembahasan pada Bab ini diuraikan mengenai landasan/kajian teoritik yang didiskripsikan mengenai teori-teori hukum, asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin, yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu maupun pandangan-pandangan para sarjana yang dipergunakan sebagai kajian maupun pembenaran teoritik terhadap permasalahan yang akan diteliti. Pertanyaan mengenai apakah teori itu, adalah pertanyaan yang wilayah jangkauannya sangat rumit dan filosofis, namun demikian istilah teori juga merupakan istilah yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang abstrak teoritis, yang pada tataran tertentu menimbulkan keragaman tafsir untuk menjelaskan fenomena atau keadaan tertentu. Dalam landasan/kajian teoritik juga diuraikan tentang kerangka konseptual yang menjelaskan tentang konseptual yang dapat berarti konsepsi atau pengertian yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yaitu tentang maksud atau makna dari hukum pajak bumi dan bangunan, subjek pajak bumi dan bangunan, serta objek pajak bumi dan bangunan sebagaimana diuraikan selanjutnya. 2.1. Kajian Teoritik Teori berasal dari kata “theoria” yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis. 1 Teori menurut Burhan Ashofa adalah serangkaian asumsi, konsep, difinisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan 1 H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung, h. 21 61 antar konsep.2 Dalam bentuknya yang paling sederhana teori merupakan hubungan antar dua variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya. 3 Sedangkan teori menurut Fred N. Kerlinger yang diterjemahkan dalam bukunya Asas-asas Penelitian Behaviora oleh Landung R. Simatupang menyatakan teori adalah seperangkat konstruksi (konsep) batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubunganhubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu. 4 Menurut Malcolm Waters, teori mempunyai beberapa difinisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik, suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekolompok fakta atau fenomena…..suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.5 Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kreteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum. 6 Dalam kaitannya dengan penulisan disertasi ini, maka teori yang dimaksud adalah teori hukum.7 Dalam Black‟s Law Dictionary disebutkan dengan “Theory of law, yaitu the legal premise or set of principles on which a case rests.”8 Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah “Leer” yang berarti ajaran pokok, yaitu pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan 2 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 126-127 4 Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, (diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang), Gajah Mada University Press, 1996, Yogyakarta, h. 14-15 5 Malcolm Waters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publication, h. 2 6 H.R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005, Op. Cit, h. 23 7 Teori hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti : mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, apa hubungannya dengan individu dan dengan masyarakat?, apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan itu?, bagaimanakah hukum yang adil itu?, Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 260 8 Bryan A. Gamer (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing Co., Min), h.1517 3 62 mengenai suatu perintiswa atau kejadian, atau dapat pula berarti asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.9 Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah : “Seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan”. 10 Selanjutnya dikatakan bahwa, “definisi tersebut memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam arti proses yaitu kegiatan tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri”. 11 Pendapat dari Khudzaifah Dimyati dalam hubungannya dengan teori hukum, mengatakan “Teori hukum pada dasarnya termasuk ke dalam penalaran untuk naik sampai ke bahwa, penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafat. Disamping itu juga mengejar terus sampai kepada persoalan-persoalan yang bersifat hakiki dari hukum itu.” 12 Berdasarkan pendapat diatas, maka kerangka teoritik digunakan untuk penelitian teoritik dibidang hukum bertujuan untuk memperoleh penalaran dan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafat terhadap permasalahan-permasalahan sebagai topik hukum melalui teori-teori sebagaimana teori negara hukum, teori kepastian hukum, teori perundang-undangan, teori harmonisasi hukum, teori keadilan, dan teori kewenangan. Selain teori-teori tersebut, pembedahan juga dilakukan terhadap kerangka konseptual yang terdiri dari tanah adat, hukum Pajak Bumi dan Bangunan, Subjek Pajak Bumi dan Bangunan, dan Objek Pajak Bumi dan 9 Marjane Termorshuisen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209 J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 159 11 Ibid, h. 160 12 Khudzaifah Dimyiati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 30 10 63 Bangunan, serta wajib pajak bumi dan bangunan. Pemikiran-pemikiran tersebut dilengkapi pula dengan pengkajian terhadap produk hukum seperti diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta berbagai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota se-Bali dibidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta peraturan pelaksanaan lainnya yang terkait. Kerangka teoritik dibidang hukum dan kajian terhadap produk hukum berdasarkan atas teori-teori hukum yang mendukung penelitian ini seperti uraian selanjutnya. 2.1.1. Teori Negara Hukum Teori negara hukum sebagai relefansi pembahasan penulisan desertasi ini yakni asas legalitas (kepastian hukum), dan perlindungan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat khususnya hak-hak suatu Desa Pakraman di Bali, serta keadilan dan lebih mengakomodasi kekhususan kesatuan masyarakat hukum adat didalam memberi landasan dan pengakuan kedudukan untuk memanfaatkan hak-hak masyarakat hukum adat itu sendiri. Teori negara hukum digunakan untuk menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintah (supremasi hukum). 13 Indonesia sebagai negara hukum dilandasi falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 merupakan bentuk dari perlindungan dan kepastian hukum bagi warga negara. Sehubungan dengan negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila, tentang hal ini Padmo Wahjono menegaskan bahwa : 13 Bagir Manan, 1994, Dasar-dasar Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, Universitas Pedjadjaran, Bandung, h. 18 64 “Penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat diketahui dari pendapat beberapa pakar yang mengatakan negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) berdasarkan Pancasila. Dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbergip). Disesuaikan dengan keadaan Indonesia, artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita”. 14 Pendapat Padmo Wahjono tentang Indonesia negara hukum Pancasila menghendaki budaya Indonesia dipakai tolok ukur dalam menentukan kewajiban wajib pajak kepada negara dengan kegotong royongan dalam memenuhi kewajiban oleh setiap wajib pajak. Dalam kaitan ini, untuk mengetahui ciri-ciri suatu negara sebagai negara hukum sebagaimana pendapat Wirjono Prodjodikoro, yakni : a. Semua alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dan pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum yang berlaku. b. Semua penduduk dalam berhubungan kemasyarakatan harus tunduk pada hukum yang berlaku. 15 Memperhatikan hukum yang berlaku dan semua harus tunduk pada hukum dalam suatu negara hukum dapat terlihat dari unsur/elemen yang mendukungnya, berikut A.Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapatnya Van Wijk dan Konijnenbelt, lebih lanjut mengemukakan beberapa unsur/elemen didalam suatu negara hukum, yakni : a. pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur), dengan bagian-bagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas tentang perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum ; b. perlindungan hak-hak asasi ; c. perlindungan hak-hak asasi dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan atau desentralisasi dan tentang pengawasan dan kontrol ; d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan. 16 14 15 Padmo Wahjono, 1982, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.7 Wirjono Prodjodokoro, 1982, Azas Ilmu Negara dan Ilmu Politik, Penerbit Eresco, Jakarta, h. 37 65 Unsur-unsur pada pendapat diatas dijumpai juga dalam ciri-ciri minimal negara berdasarkan atas hukum yang dikemukakan oleh F.J. Stahl maupun Sri Soemantri. Menurut F.J Stahl, adapun ciri-ciri negara hukum adalah : a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; b. Untuk melindungi hak-hak asasi tersebut, maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan teori trias politika; c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang (wetmatig bestuur); d. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. 17 Selanjutnya menurut Sri Soemantri, mengemukakan ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam suatu negara hukum, yakni : 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). 3. Adanya pembagian kekuasaan negara. 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechttelijke control). 18 Uraian diatas menunjukkan unsur pertama dalam negara hukum adalah mengharuskan adanya pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur). Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang atau undang-undang dasar. Unsur kedua mengharuskan adanya jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara dicantumkan dalam undang-undang dasar, unsur ketiga mengharuskan adanya pembagian kekuasaan negara. Unsur ini adalah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran John Locke tahun 1690 yang membagi kekuasaan kepada (i) Kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power), (ii) 16 A.Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahanan Negara, Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 311 17 18 Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co, Jakarta, h. 151 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 29-30 66 Kekuasaan melaksanakan undang-undang (executive power), (federative power). 19 (iii) Kekuasaan federatif Dilanjutkan oleh Montesquie tahun 1748 yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan negara kepada tiga elemen, yakni Ia puissance legislative (kekuasaan pembentuk undang-undang), Ia puissance executive (pelaksana undang-undang), dan Ia Puissance de juger (pelaksana kekuasaan kehakiman). 20 Sedangkan unsur keempat mengaharuskan adanya sarana perlindungan kepada rakyat melalui lembaga peradilan yang netral. Konsep negara hukum pada hakekatnya mengandung asas legalitas, asas pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang semuanya itu ditujukan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenangwenang atau penyalahgunaan kekuasaan. 21 Secara teoritis, konsep negara hukum dibedakan atas negara hukum formal dan negara hukum material. Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau negara kemakmuran. 22 Muchsan dalam kaitan ini menunjukkan beberapa bukti dari negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, yakni : 1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah keadilan sosial, ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari para warganya; 2. Dalam alinia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia, salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. 23 19 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad, Bandung, h. 2 20 Kuncoro Purbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung, h. 23 21 S.W. Couwenberg, 1981, Modern Constitutioneel Recht en Emancipatie van den Mens, Deel I, van Grocum, Assen, h. 41 22 E. Utrecht, Op. Cit, h. 21-22 23 Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 70 67 Pengertian negara kesejahteraan tersebut lebih lanjut Abdoel Gani dengan mengikuti pemikirannya P. Den Haan berpendapat “corak negara hukum Indonesia tidak hanya merupakan negara hukum yang demokratis, tetapi juga merupakan negara hukum kesejahteraan yang demokratis.” 24 Gagasan negara hukum dipopulerkan oleh A.V. Dicey dalam bukunya “Intruduction to the study of the law of the constitution” menurutnya unsur-unsur dari the rule of law, adalah : 1. Supremasi hukum, (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada kesewenangwenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; 2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan (due frosess of law). Perumusan negara hukum yang dikemukakan oleh A.V. Dicey tersebut, kemudian ditinjau ulang oleh “International Commition of Jurist” pada konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 menegaskan ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan menyatakan pendapat; 5. Kebebasan berserikat, berorganisasi, dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan. 25 Menurut Jimly Assidiqie prinsip negara hukum mengandung pengertian (i) pengakuan prinsip supremasi hukum dan konstitusi, (ii) dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan 24 h. 64 25 Abdul Mukhti, 1985, Konsep Negara Hukum dan Pembangunan, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya, Fatkurrahman, et.al, 2004, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 6 68 kekuasaan menurut sistem konstitusional, (iii) adanya jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia, dan (iv) adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. 26 Makin kompleksnya permasalahan negara, dan makin tingginya tuntutan masyarakat, bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik dibidang sosial maupun dibidang ekonomi, bergeser ke arah gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat yang berlandaskan “welfare state” atau “negara hukum material” dengan ciri-ciri yang berbeda dengan yang dirumuskan oleh F.J Stahl dan A.V. Dicey dalam konsep negara hukum klasik (formal). Sehingga perlu ditetapkan standar baru tentang syarat-syarat pemerintahan demokratis yang menekankan di samping hak-hak politik bagi rakyat, harus diakui pula adanya hak-hak ekonomi, sosial budaya, sehingga perlu ditetapkan standar dasar baru di bawah rule of law yang dinamis. 27 Istilah the rule of law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari A.V. Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the study of the law of the constitutional.” 28 Sebagaimana demokrasi the rule of law juga merupakan konsep yang dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Indonesia adalah negara hukum dalam perkembangannya tercantum dalam penjelasan UUD NRI Tahun 1945 (sebelum perubahan), yaitu negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat) dan perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang menetapkan prinsip negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (perubahan ketiga) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum sebagai instrument pemerintahan tidak saja harus pasti (kepastian hukum) dan dibuat secara demokratis, tapi juga harus menjamin keadilan dan 26 Jimly Assiddiqie, 2008, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Garfika, Jakarta, h. 57 Anwar. C, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan Pasca Perubahan UUD 1945, Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, In-Trans, Malang, h. 17 28 Wairocana I Gusti Ngurah, 2005, Op Cit, h.123 27 69 kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat, hal ini sesuai dengan konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia yang dituangkan dalam pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah : a. Pasal 18 B ayat (2) (perubahan kedua), yakni : “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang”. b. Pasal 23 A (perubahan ketiga) : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-undang” c. Pasal 24 ayat (1) (Perubahan ketiga) : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” d. Pasal 28 D ayat (1) (perubahan kedua) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Terkait dengan negara hukum Indonesia yang tertuang dalam UUD NRI 1945 tersebut, pendekatan alternatif negara hukum oleh Adriaan Bedner dibagi menjadi 3 (tiga) katagori,yaitu : Katagori pertama : elemen prosedural, yang meliputi : (1) hukum sebagai instrument pemerintah; (2) tindakan negara tunduk pada hukum; (3) legalitas formal; dan (4) demokrasi. Katagori kedua : elemen substantif yang meliputi : (1) prinsip moral dan keadilan; (2) hak asasi individual; (3) hak asasi sosial; dan (4) hak kelompok dan budaya. Katagori ketiga : elemen konstitusional, yang mencakup mekanisme pengawasan dan lembaga pelaksana. 29 29 Adriaan Bedner, 2011, Suatu Pendekatan Elementer Terhadap Negara Hukum, Epistema Institut dan Huma, Jakarta, h. 151-170 70 Pendekatan alternatif negara hukum terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut, secara teoritik bahwa kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu kelompok atau kolektivitas mendapat tempat pada teori negara hukum, sebagaimana dikemukakan Adriaan Bedner bahwa sebagai suatu kelompok, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki hak kolektif dan budaya yang harus mendapat perlindungan. Perlindungan merupakan jaminan suatu kepastian hukum dalam memenuhi kewajibannya. Secara etimologis, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, perbuatan melindungi, artinya mewajibkan pemerintah mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah adat yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bukan negara dengan menegakkan hukum yang berlaku. Jadi perlindungan dianggap ada, jika ada proses penegakkan hukum oleh pemerintah (struktur hukum) terhadap adanya klaim pelanggaran dari masyarakat hukum adat. 30 Bagi Roscoe Pound hukum tidak boleh dibiarkan menerawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelem dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlalu eksklusif, sebaliknya hukum itu diibaratkan sebagai dunia nyata yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Roscoe Pound berteori bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, sebagai berikut : 1. Kepentingan umum (public interest) : a. Kepentingan negara sebagai badan hukum; b. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. 2. Kepentingan masyarakat (social interest) : a. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; b. Perlindungan lembaga-lembaga sosial; 30 I Made Suwitra, Op. Cit, h. 61 71 c. Pencegahan kemerosotan akhlak; d. Pencegahan pelanggaran hak; e. Kesejahteraan sosial. 3. Kepentingan pribadi (privat interest) : a. Kepentingan individu; b. Kepentingan keluarga; c. Kepentingan hak milik. 31 Teori yang dikemukakan Roscoe Pound, digunakan untuk membahas pembentukan hukum khususnya berkait dengan pembentukan undang-undang apakah telah memenuhi kepentingankepentingan umum, masyarakat, dan pribadi yang dipersyaratkan. Mochtar Kusumaatmadja, hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku disuatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. 32 Perlindungan atas kepentingan masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan hukum, yang pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat adat bertujuan dalam rangka adanya suatu kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas, sebagaimana tujuan hukum itu sendiri dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum harus seimbang, demikian halnya dengan undang-undang perpajakan (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995), bagi masyarakat hukum adat itu sendiri harus ada suatu kepastian hukum. 31 Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 128 32 Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumni, Bandung, h. 10 72 2.1.2. Teori Kepastian Hukum Kepastian dalam pemahaman memiliki arti suatu ketentuan, atau ketetapan, sedangkan jika kata kepastian itu digabung dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Secara normatif suatu kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis tidak menimbulkan benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan yang lainnya. Kekaburan norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan hukum, dapat terjadi multi tafsir terhadap sesuatu dalam suatu aturan. Pengertian kepastian hukum tersebut sejalan dengan pendapat dari E. Fernando M. Manulang mengemukakan pengertian kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang sewenangwenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab pada negara untuk menjalankannya dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan negara. 33 Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungsn yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 34 Untuk adanya suatu kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan pengaturan secara jelas diatur dengan undang-undang pemerintahan daerah. 33 34 E. Fernando M. Manulang, Loc. Cit. Loc. Cit. 73 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Bagian Kedua tentang Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada Pasal 58, menyebutkan : “Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dalam menyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas” : a. Kepastian Hukum; b. Tertib Penyelenggaraan Negara; c. Kepentingan Umum; d. Keterbukaan; e. Proposionalitas; f. Profesionalitas; g. Akuntabel; h. Efisiensi; i. Efektivitas; dan j. Keadilan. Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, salah satunya yang penting adalah mengenai kepastian hukum. Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pada Pasal 58 huruf a, disebutkan : “Yang dimaksud dengan “Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara”. Asas dalam negara hukum dalam perundangan tersebut yaitu kepastian hukum dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu pertama, kepastian hukum dari penyelenggaraan negara, berdasarkan asas legalitas, kepatutan dan keadilan. kedua, kepastian hukum dalam suatu aturan (kepastian norma) agar tidak menimbulkan kabur (tidak jelas) atau konflik norma. Kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni : 74 1. dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum. 2. dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. 35 Hukum di negara berkembang ada dua pengertian tentang kepastian hukum menurut Gustav Radburch yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau dari hukum. Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang berguna. Sedangkan kepastian dalam atau dari hukum tercapai apabila hukum itu sebanyakbanyaknya hukum undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang saling bertentangan (Undang-undang berdasarkan pada sistem logis dan pasti). Undang-undang tersebut dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijheid) dan undang-undang tersebut tidak ada istilah-istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. 36 Selain itu disebutkan, bahwa kepastian mempunyai arti bahwa dalam hal kongkrit kedua pihak berselisih dapat menentukan kedudukan mereka. Dalam pengertian ini bermakna keamanan hukum yakni mengandung perlindungan bagi kedua belah pihak yang berselisih terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang. Sedangkan kepastian oleh karena hukum dimaksudkan, bahwa hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu dengan pihak yang lain. 37 Tugas hukum menjamin kepastian hukum dalam hubungan-hubungan yang kedapatan dalam pergaulan kemasyarakatan. Pembatasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan peraturan perundang-undangan atau penyelenggara pemerintahan berdasarkan peraturan perundang35 Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 9 E. Utrecht, 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan keenam, PT.Penerbit Balai Buku Ichtiar, Jakarta, h. 26 37 Ibid, h. 25 36 75 undangan sebagai rujukannya, merupakan makna dari kepastian hukum sebagaimana pengertian tersebut diatas. Dalam pendapat lain, Soedikno Mertokusumo menyatakan kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, selebihnya dikatakan bahwa perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 38 Pendapat dari Indroharto, bahwa kepastian hukum mengharuskan hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati. Disini ditekankan bahwa kepastian hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. Kepastian norma hukum ini harus diciptakan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan asas legalitas, kepatutan, dan keadilan.39 Kepastian hukum dalam perundang-undangan mengandung pengertian dalam hal substansi hukum dan dalam norma hukum agar perundang-undangan yang dibuat berkeadilan dan bermanfaat. Dikemukakan beberapa pandangan ahli tentang pengertian norma hukum atau kaedah hukum sebagai berikut : 1. Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola atau standar yang perlu diikuti, kemudian dijelaskan bahwa fungsi norma hukum adalah : a. b. c. d. e. 38 memerintah (Gebeiten); melarang (Verbeiten); menguasakan (Ermachtigen); membolehkan (Erlauben); dan menyimpang dari ketentuan (Derogoereen). 40 E. Fernando M Manulang, Op. Cit, h. 92 Indroharto, 1984, Rangkuman Asas-asas Umum Tata Usaha Negara, Jakarta, h. 212-213 40 A Hamid S. Attamimi, 1990, Disertasi : Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Iniversitas Indonesia, Jakarta, h. 302 39 76 Norma hukum pada hakekatnya juga merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan Eropa Kontinental, mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundangan atau wet in materiele zin, Gezets in materiellen Sinne, mengandung tiga unsur pokok, yaitu : Pertama, norma hukum (rechtsnormen). Kedua,berlaku keluar (naar buiten werken), dan Ketiga, bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruinme zin). Sifat-sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa : perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), pembebasan (vrijstelling). 41 2. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa ”kaedah hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi atau dalam arti sempit kaedah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan kongkrit. Diuraikan lebih lanjut, dilihat dari fungsi maka kaedah hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia. sedangkan tujuan kadah hukum tidak lain adalah ketertiban masyarakat. 42 3. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, dalam kaitan dengan norma hukum menjelaskan, ada beberapa katagori norma hukum dengan melihat pada berbagai bentuk dan sifat : a. Norma hukum umum dan norma hukum individu, kalau dilihat dari alamat yang dituju (addressat); b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit, kalau dilihat dari hal yang diatur; c. Norma hukum yang einmahlig dan norma hukum yang dauerhafting, dilihat dari segi daya berlakunya; 41 Ibid, h. 314 Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum (sebuah Pengantar), Liberty, Edisi Kedua (Cetakan Kedua), Yogyakarta, h. 11 42 77 d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan, dilihat dari wujudnya. 43 Pemahaman tentang asas hukum dan norma hukum atau kaidah hukum, dapat dijelaskan bahwa asas hukum bukanlah merupakan aturan yang bersifat konkrit sebagimana halnya norma atau kaedah hukum, yang menjadi isi dari setiap undang-undang, tetapi asas hukum harus memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkrit dalam pembuatan undang-undang. Dalam bentuk lain, sebagaimana dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, jika asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat abstrak, maka kaedah hukum dalam arti sempit merupakan nilai yang bersifat yang lebih konkrit dari pada asas hukum. Kemudian juga ditambahkan bahwa asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal. Misalnya, adagium bahwa “Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang” (Een ieder wordt geacht de wet te kennen). 44 Penulis sependapat dengan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa pada dasarnya apa yang disebut dengan asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut adalah merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis yang berkeadilan. Pandangan para ahli di atas, dalam membentuk undang-undang suatu aturan harus jelas dalam norma atau norma hukum berdasarkan atas kepastian hukum, berpedoman pada asas legalitas, kepatutan, dan keadilan, serta ditekankan agar setiap aturan hukum tidak bermasalah baik dalam konteks norma kabur ataupun konflik norma. Terkait dengan kepastian hukum, dalam hal ini undang-undang perpajakan hendaknya memberikan perlindungan kepada wajib pajak dari kekuasaan yang sewenang-wenang, untuk itu 43 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Kanisius, Yogyakarta, h. 11-18 44 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 11 78 teori kepastian hukum dipergunakan apabila suatu peraturan dibuat dan diundangkan serta diatur secara jelas dan logis, mengandung pengertian, sebagai berikut : a. Adanya aturan hukum yang konsisten dan dapat diterapkan, yang ditetapkan oleh negara; b. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut; c. Sebagian besar rakyat pada dasarnya konform (mengikuti) pada aturan tersebut; d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut. 45 Uraian diatas, memberikan kejelasan tentang pemahaman kepastian hukum yang mengharuskan adanya pemerintahan menurut undang-undang, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang artinya suatu ketentuan yang dipergunakan harus pasti dan dibuat secara demokratis, yang menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat, serta memberikan perlindungan kepada rakyat melalui peradilan yang bebas dan tidak memihak, sehingga pemerintah bertindak tidak sewenang-wenang selalu berdasarkan atas peraturan yang mengaturnya. Van Apeldorn mengemukakan dua pengertian tentang kepastian hukum, seperti berikut : 1. kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalahmasalah kongkrit. Dengan dapat ditentukan masalah-masalah kongkrit, pihak-pihak yang berperkara sudah dapat mengetahui sejak awal ketentuan-ketentuan apakah yang akan dipergunakan dalam sengketa tersebut. 2. kepastian hukum berarti perlindungan hukum, dalam hal ini pihak yang bersengketa dapat dihindari dari kesewenang-wenangan penghakiman. 46 45 I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance dalam Legislasi Daerah, Orasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 21 46 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penetian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 59-60 79 Kepastian hukum, dalam hal ini undang-undang perpajakan merupakan perwujudan dari penyelenggaraan negara dalam menghimpun dana dari rakyatnya melalui peraturan perundangundanagn dengan berdasarkan atas asas legalitas, kepatutan dan keadilan. Sedangkan perwujudan dari peran serta masyarakat sebagai wajib pajak yang secara langsung melaksanakan kewajiban perpajakan, dapat diberikan perlindungan dan pembinaan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan serta tidak mendapatkan tindakan yang sewenang-wenang. Kepastian dalam undangundang perpajakan dapat memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta keterbukaan administrasi perpajakan dan kepatuhan wajib pajak. Mustafa Bachsan memberikan pendapat tentang kepastian hukum terkait dengan pemberlakuan undang-undang perpajakan, ada tiga arti kepastian hukum yakni : 1. Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu yang abstrak; 2. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara; 3. Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (elgenrichting) dari pihak manapun, juga tidak dari pihak pemerintah. 47 Kepastian hukum yang dikehendaki disini adalah ketentuan perpajakan yang mengatur adanya subjek dan objek pajak serta segala tindakan baik wajib pajak maupun fiskus didasarkan konsistensi penerapan aturan perpajakan, misalnya fiskus akan taat asas self assessment yakni menganggap benar Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama belum dibuktikan adanya ketidak benaran SPPT tersebut. 47 I Wayan Suandi, 2003, Penggunaan Wewenang Paksaan Pemerintah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Propinsi Bali, Disertasi Universitas Airlanggar, Surabaya, h. 130 80 Selanjutnya Soedikno Mertokusumo memberi kreteria bahwa “salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum.” 48 Hal ini mengandung arti tujuan hukum memang harus menjadi kepastian hukum, dimana ketentuan-ketentuan yang menjadi materi peraturan perpajakan harus menjadi aturan hukum terhadap wajib pajak dan petugas pajak. Berikutnya pengertian kepastian hukum dari Indroharto adalah “konsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati.” 49 Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, karena kewajiban perpajakan merupakan kewajiban kenegaraan, maka jaminan kepastian hukum dalam memenuhi kewajiban perpajakan tidak boleh dilaksanakan secara sewenang-wenang, mengingat negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, yaitu menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tentram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat dan masyarakat hukum adat. 2.1.3. Teori Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) disahkan oleh parlemen (legislatif) ditandatangani oleh kepala negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. 50 Dalam perundang-undangan terdapat istilah hirarki yang oleh Maria Farida Indriati Soeprapto diterjemahkan dengan tata atau susunan secara berjenjang, dan berlapis-lapis di mana peraturan yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi. Menurut Hans Kelsen 48 tentang hirarkhi yang menyatakan bahwa, norma-norma hukum itu E. Fernando M. Manulang, Op. Cit, h.92 Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, h. 212-213 50 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, h. 456 49 81 berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi dalam tata susunan. Ini berarti suatu norma yang lebih rendah berlaku yang bersumber pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar. 51 Kerangka teoritik tentang hierarki peraturan perundang-undangan berikut kekuatan hukum mengikat merujuk pada teori hierarkhi norma-norma dari Hans Kelsen, yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Hukum mengatur pembentukannya sendiri, yakni suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain dan menentukan isi dari norma hukum yang lain itu. 2. Suatu norma adalah valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma yang lain, dan norma yang lain ini menjadi alasan validitas dari norma yang pertama. 3. Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma yang lain dapat diungkap sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam kiasan mengenai ruang. 4. Norma yang menentukan pembuatan norma yang lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibuat ini adalah norma yang lebih rendah. 5. Tata hukum bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu hierarki norma-norma dari tingkatan yang berbeda. 6. Kesatuan norma-norma ini disusun oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus ini diakhiri oleh norma yang lebih tinggi yang merupakan norma dasar, yang menjadi alasan utama validitas dari keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. 52 Berdasarkan teori mengenai hierarki norma-norma dari Hans Kelsen, diperoleh pemahaman mengenai makna hierarki norma hukum, bahwa suatu norma hukum memperoleh validitas apabila pembentukannya ditentukan oleh norma hukum yang lebih tinggi, dan 51 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (Russel, New York, P.113), dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan : dasar-dasar dan pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h.25, juga bandingkan pada alih bahasa Soemardi, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, h. 126 52 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Translated by : Anders Wedberg (Russel & Russel, New York), h. 123-124 82 pembentukan norma hukum tersebut meliputi cara pembentukan dan isi norma hukum. Dengan demikian, ketika dibuat suatu norma hukum bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, pada dasarnya norma hukum yang lebih rendah itu melaksanakan norma hukum yang lebih tinggi. Menurut A. Hamid S Attamimi dalam pembentukan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum yakni “Pancasila, Negara berdasarkan atas hukum, dan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi”. Pancasila berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini disebabkan, bahwa Pancasila adalah menjadi cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis. 53 Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu materi muatan perundang-undangan yang baik yakni berisi kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani. Pembentukan peraturan perundang undangan diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memuat peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya : 1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum; 2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; 53 A. Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 308 83 3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang-undangan itu, bersifat peraturan tertulis. Pemaknaan dari peraturan tertulis ini bukan dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja, jika dipahami demikian, maka awig-awig (peraturan desa pakraman) yang ditulis memenuhi sebagai unsur ini. istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “wettelijke regeling”. Menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan dalam cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan produk legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan eksekutif yang bersifat mengatur.54 Selanjutnya dikatakan bahwa, membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Jadi teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian dari ilmu pengetahuan perundangundangan. 55 Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja, menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang, pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya dan bersifat kognitif. 56 Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur dan melaksanakannya sesuai dengan konstitusi dan kewenangan yang ada dalam negara hukum, pada hakekat dari negara 54 A. Hamid S. Attamimi dalam H.Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15 55 Ibid, h. 14 56 Ibid, h. 15 84 hukum memiliki empat elemen hukum, yakni : (a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi keberadaan manusia, (c) pembagian kekuasaan, dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah. Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundangundangan hingga memenuhi syarat baik. 57 Secara yuridis elemen tersebut menjiwai : a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya; b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum positip yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat; c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positip yang mendasarinya; d. bahwa setiap perundang-undangan memberikan kesempatan untuk dilakukan yudisial revieu oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu. Peraturan perundang-undangan yang dibuat secara tertulis memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepastian norma hukum adalah keabsahan norma hukum supaya norma hukum bersangkutan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara teoritik, pada dasarnya ada 3 (tiga) aspek yang mesti dipenuhi supaya norma hukum itu absah, yakni filosofi, sosiologis, dan yuridis, yang masing-masing berkaitan dengan nilai-nilai dasar hukum yakni, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, selain itu ada yang menambahkan dengan landasan politis. 57 A. Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 311 85 Landasan keabsahan norma hukum peraturan perundang-undangan dari filosofi, sosiologis, dan yuridis mendapatkan perhatian bahasan dari para sarjana Indonesia, dan dapat dirangkum, sebagai berikut : a. Landasan Filosofi, mencerminkan nilai-nilai filosofi atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), diperlukan sebagai sarana untuk menjamin keadilan. b. Landasan Sosiologis, mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian, diperlukan sebagai sarana untuk menjamin kemanfaatan. c. Landasan Yuridis, konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi, diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum. Norma hukum tersebut, menjadikan bagian dari pembentuk undang-undang didalam pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai landasan atau dasar pikiran. Dalam dasar atau landasan pembentukan itu (filosofi, sosiologis dan yuridis), untuk menjadi dasar sebagai bagian dari kebangsaan diperlukan landasan idiologis, artinya bahwa pembuat undang-undang untuk tetap menjadikan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesiayakni bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia. Peraturan yang baik selain norma hukum juga diperlukan substansi hukum (materi) yang akan menjadikan bagian penting suatu peraturan perundang-undangan, dimana hirarkhi perundang-undangan agar tidak bertentangan satu dengan yang lainnya (keharmonisan peraturan). Beberapa ajaran dalam konsep dan hirarkhi norma hukum yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Achmad Ali menyatakan tentang ajaran Hans Kelsen terdiri dari tiga konsep, yaitu : 86 a. Ajaran Hukum Murni (Pure theory of law) yang menyatakan ilmu hukum bebas dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologi, politik dan sebagainya. Kelsen menolak masalah keadilan di jadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum, baginya keadilan adalah masalah idiologi yang ideal yang irasional, jadi Kelsen ingin menerima hukum apa adanya yaitu peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. b. Ajaran tentang Groundnorm, yakni merupakan induk yang melahirkan peraturan perundang-undangan dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, groundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum yang memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. c. Ajaran tentang Stufentheori, teori stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa “norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkhis dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada dasar atau groundnorm atau besik norm atau fundamental norm yang tidak dapat ditelusuri lagi pada siapa pembentuknya dan dari mana asalnya.” 58 Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti antara lain : (1) Teori tentang Reine Rechchtslehre; (2) Teori tentang Grundnorm; dan (3) Teori tentang Stuffenbau des Rechts. 59 Dalam penulisan desertasi ini adalah teori tentang hierarki norma hukum (Stufenbau Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm). Selanjutnya disebutkan Grundnorm voraussetzt, das heibt : “wie es dem subjektiven Sinn des Verfassunggebenden Willensaktes, den Vorschriften des Verfassunggebers, entspricht.” 60 oleh Max Knight diterjemahkan menjadi : “The basic norm that one ought to behave as the constitution prescribes, that is one ought to behave in accordance with the subjective meaning of the constitution-creating act of will-according to the prescriptions of the authority creating the constitution.”61 (Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan konstitusi). 58 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta, h. 284-285 59 Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 71 60 Hans Kelsen, 1960, Reine Rechtslehre, ( Zweite : vollstandig neu bearbeitete und erweiterte Auflage ), h. 205 61 Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, (Transleted by Max Knight), Los Angeles : University of California Press, h. 202 87 Grundnorm adalah seseorang seharusnya bertindak (menaati) sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi, artinya orang seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif dari tindakan/kehendak/kemauan yang membentuk konstitusi. A.Hamid S Attamimi, grundnorm disebutnya sebagai norma tertinggi, mengatakan bahwa : “Suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, kemudian norma ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan diperkirakan (presupposed, voorondersteld) atau ditetapkan terlebih dahulu (vorausgesetzt) keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat sendiri. Kelsen menamakan norma yang tertinggi ini adalah Grundnorm.” 62 Menurut B.Arief Sidharta dalam makalah Grundnorm-nya Hans Kelsen menyatakan bahwa : “Norma dasar (grundnorm) merupakan landasan keberlakuan tertinggi dari sebuah tatanan hukum namun dia sendiri bukanlah suatu kaidah hukum karena ia tidak memiliki posivitas. Norma dasar (grundnorm) itu bukan kaidah hukum positif, yakni kaidah yang ditetapkan oleh orang yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kaidah hukum norma dasar (grundnorm) bukanlah kaidah yang ditetapkan oleh orang/manusia secara eksplisit ataupun secara diam-diam. Lebih dari itu, terhadap ketidak patuhan terhadap norma dasar (grundnorm) tidak terdapat sanksi atau tidak ada sanksinya seperti yang terjadi pada kaidah hukum. Gundnorm adalah kaidah yang diandalkan dalam pemikiran manusia dan bukan kaidah yang dikehendaki. Grundnorm itu adalah sebuah kaidah hipotetikal atau sebuah fiksi sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kelsen sendiri. “ 63 Grundnorm dalam pengertian Hans Kelsen merupakan norma yang paling tinggi yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya, atau dari mana asalnya. Keberlakuannya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara presupposed yaitu diandaikan keberadaannya lebih dahulu oleh akal budi manusia. Dalam hubungannya dengan itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa : “Semua hukum yang berada dalam kawasan rezim grundnorm harus bisa mengait kepadanya. Oleh karena itu, ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturanperaturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ibarat mesin yang 62 63 A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 358 B.Arief Sidharta, Grundnorm-nya Hans Kelsen, Makalah, tidak dipublikasikan, tt, h. 2 88 menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberi pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu harus dilaksanakan. Ia lebih merupakan dalil dari pada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi tata hukum manakala yang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.” 64 Berkaitan dengan masalah penelitian yang menganalisis tentang kepastian hukum dan kedudukan hukum tanah adat di Bali yang terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan, tidak akan terlepas dari sudut pandang substansi dari undang-undang yang terbentuk dengan undang-undang yang membentuknya yakni dari tata susunan adalah tidak boleh suatu undangundang bertentangan dengan perundangan di atasnya yaitu UUD NRI Tahun 1945. Dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang didasari atas suatu nilai-nilai dasar seperti kepastian hukum, keadilan dan kegunaan, serta kesahan berlakunya berdasarkan atas keberlakuan secara filosofi, yaitu kebijakan yang dibuat berdasarkan nilai suatu pandangan hidup suatu bangsa. Sedangkan keberlakuan secara sosiologis bahwa peraturan perundang-undangan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat karena memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk nilai kepastian hukum yang secara yuridis merupakan landasan hukum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Hirarki peraturan perundang-undangan dalam pembentukan perundang-undangan di Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum, yang oleh A. Hamid S Attamimi disebutkan “Pancasila, negara berdasarkan atas hukum, dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.” 65 Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hal ini disebabkan bahwa Pancasila menjadi 64 65 Satjipto Rahardjo, Op. Cit, h. 274-275 A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 308-311 89 cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu terbentuknya materi muatan perundang-undangan yang baik yakni yang berisi kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani. Sebagai negara hukum pada hakekatnya memiliki empat elemen hukum, yakni : “(a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (c) pembagian kekuasaan dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah.” 66 Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik. Secara yuridis elemen tersebut menjiwai : a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya; b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat; c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positif yang mendasarinya; d. bahwa setiap perundang-undangan memberi kesempatan untuk dilakukan yudisial revieu oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu. Pendapat para sarjana tersebut mengenai teori perundang-undangan berlandaskan filosofi, sosiologis, yuridis dan idiologis yang temuat dalam suatu norma hukum, dimana norma hukum yang lebih rendah berpedoman pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga nantinya dapat terjadi harmonisasi hukum dalam peraturan tersebut. 66 A.Hamid S Attamimi, Op. Cit, h. 311 90 2.1.4. Teori Harmonisasi Hukum Harmonisasi hukum secara filsafati dapat diartikan sebagai kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata “harmonia” yang artinya “terlibat secara serasi dan sesuai.” Dalam perspektif psikhologi diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan. 67 Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada tahun 1902, penggagasnya adalah Rudolf Stammler (1856-1938). Perkembangan harmonisasi hukum dalam ilmu hukum digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf Stammler “a just law aims at harmonizing individual purposes with that of society.” 68 Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas, dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu dengan individu, individu dengan negara atau pemerintah, sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya seperti : LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas 67 Hasan Sadzilly, dkk, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, h. 1262 Kusni Goesniadhie S, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, A3 Nasa Media, Malang, h. 2 68 91 hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.69 Kusnu Goesniadhie. S, berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundangundangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. 70 Wicipto Setiadi, pengharmonisan adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). 71 Juniarso Ridwan, merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasanpembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum. 72 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofi, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis. Pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai aspek apakah 69 LM. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam : Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum), Kansius, Yogyakarta, h. 88 70 Kusni Goesniadhie. S, 2010, Loc. Cit, h. 2-3 71 Wicipto Setiadi, 2004, Proses Pengharmonisan sebagai Upaya untuk Memperbaiki Kualitas Perundangundangan, (jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 tanggal 2 Juni 2004), h. 48 72 Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, h.219-220 92 telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturanperundang-undangan yang lain, hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat…..dan seterusnya. 73 Beberapa pendapat para ahli tersebut diatas tentang harmonisasi hukum, yang menjadi teori harmonisasi hukum untuk menghindari disharmoni hukum, maka tampak unsur-unsur yang membangun atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum seperti adanya : a. penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum. b. dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, kesebandingan kegunaan dan keadilan. c. kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum. d. keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keserasian, dan kecocokan peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal. 74 Disharmonis hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya. Dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya disharmonisasi biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman perilaku. Jika terjadi disharmoni antara norma-norma hukum, penyelesaiannya adalah dengan penerapan asas-asas hukum atau kembali pada asas hukumnya. Menurut Sidharta, dapat terjadi beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya disharmonisan dalam sistem hukum dan instrumen penyelesaiannya, yaitu : 1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan yakni peraturan yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan hierarki peraturan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaian adalah asas hukum lex superior derogat lege inferiori, yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. 2. Terjadi inkonsisitensi secara vertikal dari segi waktu yakni beberapa peraturan yang secara hirarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain. 73 Ibid, h. 223 I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas dan Upaya Hukumnya bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Disertasi Program Doktor Universitas Brawijaya, Malang), h.192 74 93 Instrumen penyelesainnya adalah asas hukum lex posteoreri derogat lege priori, yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. 3. Terjadinya inkonsisitensi secara horizontal dari segi substansi peraturan, yakni beberapa peraturan yang secara hirarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substasi peraturan lainnya. Instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialist derogate lege generalis, yang artinya adalah peraturan yang lebih khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih umum. 4. Terjadinya inkonsistensi secara horizontal dari substansi dalam suatu peraturan yang sama. Instrumen penyelesainnya adalah asas hukum lex posteoreri derogat lege priori, yang artinya adalah pasal yang mengatur lebih belakangan akan mengesampingkan pasal yang sebelumnya. 5. Terjadinya inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya antara undang-undang dan putusan hakim, instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habitur, yang artinya putusan hakim yang harus dianggap benar sekalipun bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya. Antara undang-undang yang bersifat memaksa dan kebiasaan (instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex dura sed tamen scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat), atau antara undang-undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan, instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan memberi kekuatan berlaku normatif. 75 Secara umum dalam instrumen penyelesaian disharmonisasi hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman dimasa lalu memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu, yang akhirnya diperoleh sekedar petunjuk yang kabur. 76 Hubungan antara teori perundang-undangan dengan teori harmonisasi hukum sebagai kerangka teoritik dalam disertasi ini, untuk dapat memberi analisis bahwa kebijakan suatu 75 Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonersia), Kementrian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, h. 62-64 76 Ibid, h. 65 94 kepastian hukum pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali, mengandung nilai-nilai dasar hukum dan untuk mengetahuinya hanya dapat dilihat dalam sahnya berlaku kebijakan tersebut. Artinya bahwa nilai keadilan dilihat dalam keberlakuan secara filosofi, sebab dalam keberlakuan secara filosofi dapat diketahui kebijakan tersebut berdasarkan isinya dipandang bernilai sesuai dengan pandangan hidup atau falsafah bangsa. Kemudian nilai kegunaan atau kemanfaatan dapat dilihat dalam keberlakuan secara sosiologis, sebab dalam keberlakuan secara sosiologis dapat diketahui kebijakan tersebut diterima dan diakui oleh masyarakat, karena memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan nilai kepastian dapat dilihat dalam keberlakuan normatif atau berlaku secara yuridis. Sebab keberlakuan secara yuridis, dapat diketahui kebijakan tersebut mempunyai landasan hukum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan dibuat oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu. Kepastian hukum terhadap kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Pasal 77 Ayat (3) yang disebutkan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan pada huruf d menyebutkan salah satunya adalah tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan cukup jelas, akan tetapi objek pajak itu akan berkaitan dengan Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota se- Bali yang mengatur pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana norma penetapan Pajak Bumi dan Bangunan belum menunjukkan suatu kejelasan terhadap pengenaan pajak, dimana Bali mempunyai kekhususan terhadap tanah adat tidak saja bersifat yuridis, akan tetapi mempunai sifat riligius magis yang dipercaya oleh masyarakat hukum adat di Bali, sehingga tanah adat 95 yang dikuasai oleh desa pakraman diakui sebagai bagian dari kekayaan desa adat, belum diatur secara jelas penetapannya maka masih terdapat disharmonis norma. Begitu pula halnya dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pengaturan tentang tanah desa adat belum secara jelas disebutkan sebagai objek yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan. Dengan keberadaan undang-undang ini, perlu mendapatkan solusi pemecahan berdasar teori harmonisasi hukum, untuk menghilangkan norma yang keberadaanya disharmonisasi hukum yang terjadi selama ini menjadi harmoni. Disharmonisasi hukum dapat menimbulkan persepsi atau intepretasi masing-masing daerah untuk pengaturan pajak bumi dan bangunan melalui produk hukum di daerah yang dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat hukum adat. 2.1.5. Teori Keadilan Keadilan mempunyai arti yang umum, tergantung dengan pemberlakuan bagaimana dan dimana keadilan tersebut. Menurut pendapat Achmad Ali bahwa tujuan hukum dititik beratkan pada segi “keadilan”. 77 Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbrukch (Filosof Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah “keadilan”, di samping kemanfaatan, dan kepastian. 78 Secara umum uraian tidak adil ditujukan kepada seseorang yang telah mengambil haknya lebih dari sebenarnya atau kepada orang yang telah melanggar hukum, begitu sebaliknya jika seorang tidak mengambil hak orang lain dan tidak melanggar hukum disebut orang yang adil. Jhon Rawls dengan konsep keadilan sebagai fairnesss, dalam satu aspeknya menunnjuk kepada nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak). Sedangkan disisi 77 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis Sosiologis, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, h. 72 78 Ibid, h. 83 96 lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). 79 Persoalan keadilan merupakan masalah yang telah ada sejak zaman Yunani kuno dan Romawi, keadilan dianggap salah satu dari kebijakan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota dari suatu masyarakat dalam hubungan satu dengan yang lainnya. Pada zaman ini dipelopori oleh filosuf Plato dimana dalam tulisan dibukunya berjudul republic mengemukakan ada empat kebijakan pokok yaitu : kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline), dan keadilan (justice). Filosof lainnya ada yang mengatakan bahwa keadilan bukan berada dalam tingkatan yang sejajar dengan kejujuran, kesetiaan, atau kedermawanan melainkan sebuah kebajikan yang mencakup seluruhnya (all-embraching virtue). Dalam pengertian keadilan mendekati pengertian kebenarankebaikan (righteousness). 80 Pandangan filosuf di atas, ruang lingkup keberadaan keadilan ada pada pengertian kebenaran dan kebaikan untuk ketertiban dalam masyarakat. Filosuf Stanly mengemukakan pandangan bahwa keadilan mendekati kebenaran dan kebaikan, yang berarti merupakan suatu hal yang ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum, sebab dalam hukumpun bicara tentang tujuan yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum, antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan pemerintah dan diantara negara-negara yang berdaulat. Dengan memandang keadilan adalah suatu yang akan dicapai, melahirkan konsep keadilan sebagai hasil atau keputusan yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan sepatutnya asas-asas dan perlengkapan hukum. Keadilan dalam pengertian ini disebut keadilan prosedural (procedural 79 John Ralws, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Pres of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts 80 Stanley I. Benn, 1979, Justice dalam Paul Edwards, ed, dalam The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta, h. 9 97 justice) dan konsep ini akhirnya dikenal dengan lambang dewi keadilan, pedang, timbangan, dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tidak memihak dan tidak memandang orang. 81 Menurut The Liang Gie, konsep keadilan dewasa ini adalah keadilan sebagai suatu nilai (value). Nilai dari sisi keadilan menurut Richard Bender adalah : A value is an experience which provides a recognized integrated, coherent need sanstifantion, or which contributes to such satisfaction. Worthwhile living, then is the achievement of an increasing amount of value experience. (suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian tersatupadukan, atau yang menyumbang pada pemuasan demikian itu. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat adalah pencapaian sebuah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah). 82 Princip keadilan ini merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat dalam hidup dan karenanya mengikat semua orang baik masyarakat maupun penguasa. Bahwa keadilan dapat dipandang dari nilai merupakan keadilan yang tergolong sebagai nilai sosial, dimana pada suatu segi menyangkut aneka perserikatan manusia dalam suatu kelompok apapun (keluarga, masyarakat adat, bangsa, atau persekutuan internasional). Keadilan dalam hukum merupakan sesuatu yang didambakan dalam negara hukum, keadilan menjadi sangat mahal manakala berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam hubungan bernegara. Pemerintah dalam arti luas akan melaksanakan kebijakan negara mulai dari membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan hingga mengawasi dari produk hukum tersebut. Istilah keadilan dalam kehidupan bernegara dinyatakan dalam dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila, dimana pada sila kedua menyatakan “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” dan pada sila kelima menyatakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kata adil dan 81 82 Ibid, h. 12 Ibid. h. 14 98 keadilan sekilas mengandung makna sama, yakni setiap warga negara diberlakukan secara adil dan menghargai antar manusia. makna keadilan secara khusus dan terinci tidak didapatkan dengan jelas, hanya berupa pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum saja. Jadi faktor keadilan dalam kehidupan bernegara hukum merupakan sesuatu yang sangat penting yakni dengan mewujudkan keadilan di segala bidang, maka tujuan bernegara yakni kesejahteraan dapat terwujud jika keadilan itu dapat ditegakkan. Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil tercipta setiap manusia menjalankan pekerjaan yang menurutnya paling cocok baginya, hal ini sesuai dengan konsep keadilan moral yang berasal dari keharmonisan. Keadilan ini bisa tercipta, jika penguasa dapat membagikan fungsi masing-masing orang yang berdasarkan asas keserasian tanpa adanya campur tangan satu dengan yang lainnya, sehingga mencegah pertentangan dan menciptakan keserasian, menurutnya intisari keadilan adalah tidak adanya pertentangan dan terselenggaranya keserasian. 83 Pendapat dari Sudikno Mertokusumo tentang keadilan, seperti berikut : “hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma menurut pandang subjektif (untuk kepentingan kelompoknya) melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.” 84 Esensi dari perlakuan terhadap kedua belah pihak (antara wajib pajak dan fiskus) dalam konteks hukum pajak mengharuskan keadilan itu bisa terwujud dalam penilaian menjunjung tinggi kepentingan bersama melalui rechtsidee, mensejahterakan rakyat, dan mencerdaskan 83 Putu Gede Arya Sumerta Yasa, 2012, Pengaturan Dana Bagi Hasil Yang Berkeadilan Dalam Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Untuk Kepentingan Rakyat Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang, h. 31 84 Suharningsih, 2009, Tanah Terlantar Asas dan Pembaruan Konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 43 99 kehidupan bangsa. Dengan nilai-nilai keadilan yang harus tercermin dalam peraturan perundangundangan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, seperti berikut : “Keadilan distributif dan keadilan commulatif. Keadilan distributif yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan keadilan commulatif memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan adalah keadilan yang tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.” 85 Maksud dari Aristoteles tersebut, bahwa adil artinya memberikan kepada orang lain (setiap orang) apa yang menjadi haknya, maka adil dalam kaitannya dalam pengaturan dan tata cara pemungutan pajak disesuaikan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tepat, sehingga dapat mempertahankan kepastian hukum guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitannya dengan tata cara pemungutan pajak, dipergunakan teori keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Ulpianus dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki, seperti berikut : “Justitia est perpetua et constants volunta Jus suum cuique tribuendi,” yang diterjemahkan secara bebas, keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya. 86 Maksudnya kepada wajib pajak diberikan perlindungan hukum sebesar hak-hak yang diberikan hukum, yakni wajib pajak diberi hak untuk setuju/tidak setuju dalam proses pemeriksaan pajak, hak untuk mengajukan keberatan sampai pada hak dalam upaya hukum peninjauan penetapan dalam pengaturan pajak. Selaras dengan kutipan di atas, bila pelaksanaan pemungutan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan atau peraturan pelaksanaannya akan menimbulkan ketidak adilan bagi masyarakat adat sebagai wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan ketidak pastian hukum 85 86 L.J. Van Apeldorn, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 59 100 antara masyarakat hukum adat dengan pejabat yang berwenang. Memang harus diakui pajak mempunyai peran penting dan trategis dalam penerimaan negara. Sebagaimana fungsi pajak itu sendiri menurut Subiyakto Indra Kusuma, menyebutkan sebagai berikut : a. Fungsi Budgeter, pemungutan pajak didasarkan dengan tujuan memenuhi apa yang diperlukan anggaran penerimaan negara. b. Fungsi Mengatur, pemungutan pajak didasarkan dengan memperhatikan keadaan sosial ekonomi dalam masyarakat. Sekarang ini fungsi pajak adalah mengatur, fungsi budgeter ditempat yang kedua. Fungsi mengatur yang ada pada fiskus biasanya diselenggarakan dengan : a) Cara-cara umum, yaitu dengan mengadakan perubahan tarif yang bersifat umum. b) Cara-cara memberi pengecualian-pengemuliaan, keringanan-keringanan, pemberatan-pemberatan yang khusus ditujukan kepada sesuatu tertentu : 1. Pencegahan penggunaan minuman keras dengan cara menaikkan cukai setinggi-tingginya. 2. Keringanan diberikan misalnya dengan memperbolehkan potongan dari keuntungan fiscal dari penanaman yaitu guna memberi dorongan kepada penanam-penanam modal. 3. Pengecualian dapat diberikan, misalnya dengan cara pengecualian jumlahjumlah uang yang diberikan sebagai derma kepada badan sosial, gereja, mesjid, dari pengenaan pajak. 87 Mewujudkan keadilan dalam pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap objek pajak sebagai pengecualian yang tidak dikenai pungutan pajak, sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c tidak secara jelas pengaturannya terhadap tanah (adat) desa yang dapat berpotensi kekaburan khususnya tanah-tanah adat yang dikuasai oleh desa pakraman di Bali. Peraturan perundang-undangan bidang pajak harus memberikan jaminan hukum (kepastian hukum) yang perlu untuk menjamin keadilan untuk negara maupun untuk masyarakat. 87 Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-dasar Perpajakan, Usaha Nasional, Surabaya, h. 33-34 101 Perwujudan keadilan sebagai landasan ideal sistem perpajakan, guru besar ilmu perpajakan H. Mohammad Zain menyebutkan : Dua prinsip utama yang merupakan prinsip yang fundamental agar tercapai sasaran perpajakan tersebut adalah prinsip keadilan (equity) dan….kepastian hukum (certainty) yang mengacu kepada the four canons of taxation dari Adam Smith (1776) yaitu : (1) Equity, menyangkut keadilan pendistribusian pajak dari berbagai-bagai kalangan. (2) Certainty, tidak terdapat kesewenangan dan ketidakpastian berkenaan dengan utang pajak. (3) Convenience, menyangkut cara pembayaran pajak. (4) Economy, biaya pemungutan yang kecil dibandingkan secara proposional dengan peningkatan penerimaan dan menghindari efek distorsi perilaku wajib pajak. 88 Pandangan tersebut diatas menekankan tentang pentingnya masalah kepastian hukum, keadilan, efisiensi dan ketepatan waktu dalam pemungutan pajak. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum yang pada dasarnya ingin mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum. Hukum pajak pada dasarnya bertujuan membuat adanya keadilan soal pemungutan. Asas keadilan harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangan maupun dalam praktek sehari-hari. Atas dasar itu syarat mutlak bagi pembuat undang-undang, juga bagi aparatur pemerintah yang melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan perubahan yang adil pula. Istilah adil dalam pemahaman masyarakat umum, adalah : 1. 2. 3. 88 adil mengandung arti menurut hukum; dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya; seorang baru dikatakan adil apabila seseorang mengambil tidak lebih dari bagian yang semestinya diambilnya. Mochamad Zain, 2007, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, h. 24 102 Pemikiran ini, sesuai fungsi regulasi dalam perpajakan yang menjadi pegangan dasar untuk melakukan deskrepsi dan analisis yaitu fungsi mengatur (regulasi). Berdasarkan fungsi tersebut Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memutus peraturan bidang perpajakan bisa melakukan pengaturan secara cermat, sehingga peraturan perundang-undangan bidang perpajakan menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Dalam pengaturan/regulasi perpajakan, masyarakat dalam kedudukannya sebagai masyarakat hukum adat diberikan perlindungan hukum sebagai satu kesatuan masyarakat yang diakui dan dihormati beserta hakhak tradisionalnya (termasuk tanah adat) yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Fungsi pengaturan yang menekankan pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, tidak terlepas dari kewenangan yang ada di dalam pembuatan peraturan perundangundangan baik pemerintah dan legislatif (DPR) untuk membuat peraturan yang baik, adil dan tepat. Berdasarkan uraian diatas, bahwa keadilan dapat dipandang dari nilai. Keadilan tergolong sebagai nilai sosial yang pada suatu segi menyangkut aneka perserikatan manusia dalam suatu kelompok apapun (keluarga, masyarakat hukum adat, bangsa, atau persekutuan internasional). Terkait dengan penelitian tentang pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali, akan menjadi sangat penting teori keadilan dipergunakan untuk mengukur apakah pengaturan pajak dalam peraturan perundangan perpajakan telah mencerminkan nilai sosial yang ada dalam masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) yang ada di Bali. Nilai sosial masyarakat hukum adat di Bali adalah kebersamaan, kegotong royongan yang dijiwai dengan filosofi Tri Hita Karana yang merupakan keseimbangan lahir dan bathin ditengah-tengah pergaulan di masyarakat hukum adat. 103 2.1.6. Teori Kewenangan Konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. 89 Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat menimbulkan akibat-akibat hukum. 90 Menimbulkan akibat hukum yang dimaksudkan disini adalah dengan pemberlakuan undang-undang perpajakan maka wajib pajak berkewajiban untuk memenuhinya dan bisa setuju atau tidak setuju atas penetapan pajak yang sesuai dengan peraturan perpajakan. Lain halnya dengan yang dikemukakan oleh Philipus M Hadjon, bahwa membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara utama, yaitu a) atribusi; b) delegasi; dan kadang-kadang juga mandat. 91 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas tampak bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundangundangan, dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Kata penyerahan, ini berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). Suatu delegasi harus memenuhi syaratsyarat tertentu, antara lain : 89 Philipus M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid), Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari, h. 90 90 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68 91 Philipus M Hadjon, Op. Cit, h 91 104 a. Delegasi harus difinitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. 92 Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha negara yang memberi mandat. 93 Dari pengertian tersebut maka tampak bahwa tanggung jawab tidak berpindah kepada mandataris, dengan kata lain tanggung jawab tetap berada ditangan pemberi mandate, hal ini dapat dilihat dari kata atas nama (a/n), dengan demikian semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Pendapat Indroharto tersebut diatas, lebih tertuju kepada fiskus sebagai yang melaksanakan undang-undang perpajakan, sedangkan Philipus M Hadjon dengan mulai awal adanya wewenang Direktorat Jenderal Pajak yaitu atribusi sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 23 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun dari atribusi ini juga akan didelegasikan kepada Kementrian Keuangan Republik Indonesia, selanjutnya sampai ke Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian keabsahan atas kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diimplementasikan untuk kepastian hukum dan keadilan. 92 93 Indroharto, Op. Cit, h. 94 Philipus M Hadjon, Op. Cit, h. 95 105 Pendapat yang dikemukakan oleh F.A.W. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa cara memperoleh wewenang pada hakekatnya melalui cara atribusi dan delegasi, sebagai dapat disimak dari pendapatnya : “….hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atribusi) kepada organ lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan wewenang apapun, sebab yang ada hanyalah hubungan internal, seperti Menteri dengan pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ Kementrian. Pegawai memutuskan secara teknis, sedangkan Menteri secara yuridis.” 94 Pendapat dari H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt mengemukakan cara memperoleh wewenang pemerintahan diklasifikasikan atas 3 (tiga) cara melalui : a. Atributie : Toekening van een bestuursbevevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgan, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintahan. b. Delegatie : Overdracht van een bevoegheid van het een bestuursorgan aan een ander, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. c. Mandat : Een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names huwes uitoefenen door een ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. 95 Berdasarkan berbagai pandangan diatas, maka dapat disimak bahwa atribusi adalah pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi. Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang kepada organ administrasi negara. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini suatu badan (organ) yang telah 94 95 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 105-106 Ibid, h. 104-105 106 memiliki wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atributif) menyerahkan kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto, penerima wewenang atas dasar delegasi (delegetaris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegans) kepada organ atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) lainnya. 96 Pelimpahan wewenang ini disebut sub delegasi, yang tata cara terjadi dan akibatnya berlaku sama seperti delegasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan mandat ialah pemberian kuasa (biasanya disertai dengan perintah) dari badan/pejabat TUN kepada badan/pejabat TUN lainnya yang melaksanakan suatu wewenang atas nama dan tanggung jawab pemberi kuasa (madans). Berbeda dengan atribusi dan delegasi, pada mandat tidak terjadi pemberian atau pelimpahan suatu wewenang baru sehingga tidak terjadi suatu perubahan pada wewenang yang telah ada. Cara memperoleh wewenang dan tanggung jawab seperti tersebut, secara jelas dan sederhana dikemukakan oleh para ahli, karena menurut hemat penulis dalam praktek administrasi negara tiga cara perolehan kewenangan itu yang sering terjadi. Sehubungan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perpajakan (termasuk juga pemungutan pajak daerah sebagai bagian perbuatan pemerintah daerah), menurut Prajudi Atmosudirdjo ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu : a. Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan; b. Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan; c. Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas; 96 Indroharto, Op. Cit, h. 66 107 d. Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau keputusan administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa dasar atau dasar suatu ketentuan undang-undang (tertulis). Dalam arti luas, bila sesuatu dijalankan dengan dalih „keadaan darurat‟ maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian. Bila mana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat di pengadilan; e. Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat, moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi, perbuatan tidak senonoh, sikap kasar kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan; f. Efisiensi, wajib dikejar seoptimal mungkin, kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya; g. Teknik dan Teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 97 Asas legalitas (legalitiets beginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Dikatakan, bahwa pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal ungkapan „no taxation without reprecentation‟ (tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen), di Amerika ada ungkapan „taxation without reprecentation is robbery‟ (pajak tanpa persetujuan parlemen adalah perampokan), hal mana berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undangundang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. 98 Pemerintah Daerah mengawali pelaksanaan otonomi daerah di bidang perpajakan dilakukan dengan menetapkan produk hukum daerah yang bersifat umum, baik berupa peraturan daerah maupun keputusan-keputusan dalam rangka menjabarkan peraturan daerah tersebut. Keberadaan produk hukum itu sangat penting bagi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maupun berhubungan dengan masyarakatnya. Ada beberapa faktor yang 97 98 Prajudi Atmosudirdjo, 1984, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78-80 Ridwan HR, Op. Cit, h. 67 108 menyebabkan makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan, yakni karena alasan sebagai berikut : a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi) mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidah mudah diidentifikasikan dan mudah diketemukan kembali. c. Struktur dan sistematikan peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperikasa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya. d. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat 99 direncanakan. Selanjutnya dalam hal pemerintah daerah menjalankan wewenang mengaturnya melalui penetapan berbagai produk hukum, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni : a. Memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige); b. Tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatan asas hierarki peraturan perundangundangan; c. Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarat; d. Ditetapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum. 100 Untuk tugas dan wewenang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di dalam pembentukan Peraturan Daerah, dasar hukum keberadaan legislasi daerah diatur secara jelas di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu : 1. Paragraf 3 tentang tugas, wewenang, kewajiban, dan hak kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2), kepala daerah berwenang : 99 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, IND-HILL.CO, Jakrta, h. 7-8 Sjachran Basah, 1986, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h. 4 100 109 a. mengajukan rancangan Peraturan Daerah; b. menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD; c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat; e. melaksanakan wewenang lain sesusi dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 2. BAB IX tentang Perda dan Perkada, Bagian kesatu tentang Perda Paragraf 1 tentang Umum dalam Pasal 236 disebutkan : Ayat (2) : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Ayat (3) : Peraturan Daerah sebagaimana ayat (1) memuat materi muatan : a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 3.Pasal 237 ayat (1) disebutkan : asas pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Pasal 246 ayat (1) disebutkan : Untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). 5. Paragraf 8 tentang evaluasi rancangan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dalam Pasal 325 Ayat (1) : Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota, paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi. Undang Undang Pemerintahan Daerah tersebut, menjelaskan tentang kewenangan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota didalam penyusunan produk-produk hukum daerah dengan tetap memperhatikan pedoman mengenai bentuk produk hukum daerah yang dibuat. 110 Mengenai bentuk peraturan kepala daerah di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Provinsi, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 48 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota. Keputusan tata naskah dinas dilingkungan pemerintah Provinsi dibagi atas dua jenis, yaitu : 1. Naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk produk-produk hukum, terdiri atas Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota), Keputusan bersama Kepala Daerah (gubernur, Bupati/Walikota), dan Instruksi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). 2. Naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk surat yang terdiri atas 27 jenis. Ketentuan Kepmendagri-Otda tersebut di atas, maka bentuk naskah dinas yang dapat dikeluarkan oleh kepala daerah ada dua bentuk, yaitu naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk produk-produk hukum dan naskah dinas yang dirumuskan dalam susunan dan bentuk surat. Walaupun secara tegas ditentukan dasar kewenangan Kepala Daerah membentuk peraturan dan keputusan, secara teoritik untuk sahnya suatu keputusan harus memenuhi beberapa syarat seperti apa yang disampaikan oleh Philipus M Hadjon dalam bukunya yang berjudul “Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling)” menarik inti dasar dari sahnya suatu keputusan yaitu : 1. Kewenangan (bevoegdheid) organ administrasi negara; 2. Rechtmatigheid keputusan pemerintah; 3. Tidak ada kekurangan dalam wilsvorming (pembentuk kehendak) organ administrasi negara; 4. Doelmatigheid dari pada keputusan pemerintah; 5. Prosedur pembuatan keputusan; 6. Penuangan keputusan dalam bentuk yang tepat. 101 101 Philipus M Hadjon, 1993, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (Bestuursandeling), Djumali, Surabaya, h. 11 111 Sementara itu pajak yang menjadi substansi produk hukum Pemerintah Daerah diwajibkan memperhatikan hubungan timbal balik negara dengan anggota masyarakat. Pajak itu pada hakekatnya dibayar sebagai imbalan jasa yang diperoleh pemilik harta berupa perlindungan atas segala kepentingan umum, dengan wajib mengadakan perjanjian perlindungan wajib antara negara dengan warganya. Menurut Jane Jack Rousseau, teori perjanjian dalam pemungutan pajak disebut juga teori timbal balik mengenai perjanjian ilmiah antara negara dengan pembayar pajak, dimana pajak merupakan pembayaran dimuka yang dilakukan oleh seseorang terhadap perlindungan kelompok manusia. 102 ini berarti bahwa perjanjian itu berbentuk akad jual beli. Sedangkan Montesquau dan Thomas Hubbes mengatakan, bahwa perjanjian ini berbentuk jaminan keamanan, dengan demikian pajak adalah bagian harta yang wajib diserahkan oleh pemilik kekayaan untuk melindungi kekayaan hartanya. 103 Dasar berlakunya dan legalitas suatu ketetapan terletak pada peraturan, sedangkan dasar berlakunya dan legalitas peraturan terletak pada undang-undang, dasar berlakunya dan legalitas undang-undang terletak pada Undang-undang Dasar dan akhirnya dasar berlakunya dan legalitas Undang-undang Dasar terletak pada kaidah dasar yang berada pada puncak piramid. 2.2. Kerangka Konseptual Konseptual atau konsepsi/pengertian” 104 conceptual berasal dari kata sifat yang berarti “dengan Di dalam konseptual terkandung kata konsep yang dapat berarti konsepsi atau pengertian yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu, yaitu tentang maksud atau makna dari sesuatu. Sehingga dengan kerangka konseptual dapat dijelaskan tentang sesuatu dari 102 103 104 Ali Chaidir, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, h. 98 Ibid John M. Echols dan Hassan Shandily, 2005, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, h. 135 112 pokok-pokok pengertian yang hendak dijelaskan dalam disertasi ini. Selain pengertian tersebut, konsep juga berasal dari kata “concept” yang berarti “rancangan, draf, wawasan, atau naskah” 105 ,maka konseptual juga berarti tindakan untuk membuat rancangan, draf atau tulisan yang bertujuan untuk memberikan pandangan dan wawasan terhadap topik atau isu hukum yang hendak diteliti. Dari pendapat tersebut, maka konsep merupakan sebuah gagasan atau pengetahuan yang bertujuan untuk member informasi mengenai sesuatu dalam hukum dan dapat dijadikan alat dalam membangun teori hukum, mengembangkan teori hukum, atau sebagai doktrin hukum. Konsep menurut Satjipto Raharjo dengan mengutip Kaplan, mengatakan, bahwa : “Konsep adalah suatu pengetahuan. Pengetahuan ini bertujuan untuk yang demikian itu harus mempunyai basis empiris. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.” 106 Disamping itu, Soetandyo juga mengatakan, bahwa : “Konsep berasal dari kata latin “conceptus” yang berarti buah gagasan berhubungan dengan benda atau gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimijinasikan didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai apa yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan, mungkin sebagai doktrin dan mungkin pula sebagai teori grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang ditegaskan apakah hukum itu konsep doctrina/normative ataukah konsep yang diangkat dari realitas non doctrina/empiris itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.” 107 2.2.1. Tanah Adat di Bali Tanah adat di Bali dalam hubungannya dengan masyarakat hukum adat (di Bali disebut Desa Pakraman), dimana tanah adat yang dikuasai demikian erat dan bersifat religio magis. Pada prinsipnya masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menguasai tanah dimaksud, 105 Marjane Termorshuizen, 2002, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209 Satjipto Raharjo, 2006, Op Cit, 312-313 107 Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum-paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, h. 179 106 113 memanfaatkan tanah itu memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) atas tanah ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikingsrecht” yang kemudian diterjemahkan menjadi hak ulayat atau hak pertuanan, di Bali dikenal dengan istilah hak prabumian.108 Hak ini menjadi hak penguasaan dan memanfaatkan tanah adat sebagai “druwe atau due desa” yang dipergunakan dan dinikmati sebagai pemenuhan kewajiban warga desa adat (krama desa adat) terhadap kahyangan desa serta kewajiban dalam pergaulan sosial Desa Pakraman. Tanah adat di Bali merupakan bagian dari kekayaan Desa Pakraman meliputi tanah drue desa adat (tanah adat) ada beberapa jenis tanah druwe desa atau tanah desa, yaitu : 1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian maupun usaha lainnya; 2. Tanah Laba Pura, yaitu tanah yang dulunya milik desa atau dikuasai oleh desa yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura; 3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lasimnya ukuran luas tertentu dan hampir sama setiap keluarga; 4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa disertai hak untuk menikmati hasilnya.109 Jenis-jenis tanah adat tersebut dengan penyebutan sesuai dengan hasil dari perolehan di masing-masing Desa pakraman, hal ini berbeda-beda penyebutan terhadap tanah adat. Pada umumnya tanah drue desa adat adalah sebagaimana hal tersebut diatas. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), tanah adat diartikan pada tanah-tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman 108 h.248 109 Surojo Wignyodiputro, 1979, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Edisi Ketiga, Alumni Bandung, Suasthawa Dharmayuda I Made, 2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 136 114 Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (2), bahwa : Tanah Ulayat adalah bidang tanah diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Munculnya istilah tanah adat tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum yang pernah ada, artinya dengan berlakunya dua sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia dan selanjutnya menjadi dasar bagi hukum pertanahan sebelum berlakunya UUPA, yaitu hukum adat dan hukum Barat. 110 Sehingga ada dua macam tanah yaitu Tanah Adat yang biasa disebut Tanah Indonesia dan Tanah Barat yang biasa disebut Tanah Eropa. Tanah dengan hak Barat atau lazim disebut dengan tanah-tanah Eropa, hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah. Tanahtanah Eropa ini tunduk pada hukum Eropa atau hukum Barat, sedangkan tanah Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok dan lain diatur dengan hukum adat. Tanah adat yang dirumuskan sebagai tanah-tanah milik masyarakat hukum adat yang diatasnya berlaku aturan-aturan hukum adat sebagaimana dinyatakan oleh Vareline Jaqueline Leonoere Kriekhoff. 111 Saat berlakunya hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) ditemukan adanya 5 (lima) perangkat hukum yaitu Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria Barat, Hukum Agraria Administratif, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria Antar Golongan. 112 Hukum Agraria adat dirumuskan sebagai keseluruhan dari kaedah hukum agraria yang bersumber dari hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia. Hukum Agraria ini terdapat hukum adat tentang tanah dan air (bersifat intern), yang 110 K. Watjik Saleh, 1979, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 8 Vareline Jaqueline Leonoere Kriekhoff, 1991, Kedudukan Tanah Dati sebagai tanah adat Maluku Tengah, suatu kajian dengan memanfaatan pendekatan Antropogi hukum, Disertasi, Universitas Indonesia, h. 24 112 I Made Suwitra, 2010, Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali (Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional), Logoz Publishing, Bandung, h.68 111 115 memberi pengaturan bagi sebagian terbesar tanah dalam Negara. Diberlakukannya bagi tanahtanah yang tunduk pada hukum adat seperti tanah (hak) ulayat, tanah milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat. 113 Apabila hak atas tanah berada pada sekelompok orang dan diatur pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok, maka hak bersama tersebut dikenal dengan hak ulayat, jadi tanah ulayat sama dengan tanah adat. 114 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 5, disebutkan bahwa : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama ”. Tanah dari masyarakat hukum adat disebut sebagai hak ulayat yang diakui sepanjang masih ada, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, hal ini tertuang dalam Pasal 3 UUPA yaitu : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi . Begitu eratnya hubungan tanah adat dengan masyarakat hukum adat dan dengan negara dalam peraturan perundang-undangan khususnya mengenai hak masyarakat hukum adat yang dikenal dengan hak ulayat. Hak masyarakat hukum adat terhadap tanah adatnya, sebagai bagaian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tunduk dan taat kepada peraturan-peraturan dibidang pertanahan termasuk didalamnya peraturan tentang pajak bumi dan bangunan. Untuk 113 114 Urip Santoso, 2006, Hukum Agraria, Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Prenada Media, Jakarta, h.8 I Made Suwitra, Op.Cit, h. 68 116 memahami secara jelas pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali sebagaimana uraian dibawah ini. 2.2.2. Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya. Dasar pengenaan pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Penentuan NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar perwilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Keuangan. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang cukup besar dalam hal cakupan masyarakat yang terkena pajak, karena paling banyak melibatkan masyarakat yang terkena pajak. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang secara nyata memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, dan/atau memiliki, menguasai atas bangunan. Pembayaran pajak bumi dan bangunan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan, yang diterbitkan setiap tahun dan harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut. SPPT Pajak Bumi dan Bangunan menerangkan tentang letak objek pajak, nama dan alamat wajib pajak, objek pajak, luas meter persegi, kelas, NJOP per meter persegi, dan total NJOP yang harus dibayarkan. Sedangkan pembayaran pajak bumi dan bangunan telah ditentukan tanggal jatuh tempo dan tempat pembayaran pajak serta tanggal penetapan pajak. Dibalik SPPT juga dicantumkan „perhatian‟ untuk wajib pajak, agar memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak beserta sanksi yang dapat dikenakan. Proses pengenaan pajak kepada masyarakat tersebut, merupakan pengertian hukum pajak dalam arti luas dan arti sempit. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. 117 Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang mengatur hubungan antara pejabat pajak dengan wajib pajak yang memuat sanksi hukum.115 Pandangan dari R. Santoso Brotodihardjo, bahwa hukum pajak, yang disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubunganhubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak). hukum bertujuan untuk 116 Sebagaimana diketahui bahwa mewujudkan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum, bukan hanya dalam bentuk kaidah tertulis, tetapi harus tercermin dalam pelaksanaannya. Demikian pula halnya terhadap hukum pajak yang diadakan oleh negara sebagai hukum positif yang mengandung pula tujuan berupa keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum. Tujuan hukum pajak tidak hanya sekedar tertulis atau sebagai kaidah hukum tertulis dalam Undang-undang pajak, harus kelihatan dalam penerapannya sehingga hukum pajak betulbetul merupakan hukum fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan menampakkan tujuan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak. Disamping pengertian hukum pajak tersebut diatas, Rochmat Soemitro mengemukakan hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Lain perkataan, hukum pajak menerangkan : 1. Siapa-siapa wajib pajak (subjek pajak); 2. Kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah; 3. Hak-hak pemerintah; 115 116 M. Dafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak, Edisi Revisi, h. 1 R. Santoso Brotodihardjo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Reflika Aditama, Bandung, h. 1 118 4. Objek-objek apa yang dikenakan pajak; 5. Cara penagihan; 6. Cara pengajuan keberatan dan sebagainya. 117 Dalam negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum. Dalam memahami mengapa seseorang 117 24-25 Rochmat Soemitro, 1979, Dasar-dasar Hukum dan Pajak Pendapatan 1944, PT. Eresco, Bandung, h. 119 harus membayar pajak sebagaimana uraian tersebut diatas, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun mencerdaskan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial” Negara dalam hal ini memerlukan dana untuk kepentingan rakyat, dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak terlebih dahulu harus disetujui oleh rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 A UUD NRI Tahun 1945 (dalam amandemen ketiga) tersurat : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undang-undang, ini berarti pemungutan pajak telah mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut berasaskan yuridis. Dengan asas ini berarti pemerintah telah memberi jaminan hukum yang tegas (kepastian hukum) akan hak negara dalam memungut pajak. Hukum pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia sejak jaman kolonial tertuang dalam : 1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 13), 2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 ( Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene 120 Verordiningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168) ; 3. Ordonansi Verponding Indonesia 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959; 4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermorgens Balasting 1932, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925; 5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97), sebagaimana terakhir diubah dengan Algemeene Verordening Oologsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47) ; 6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961; 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diundangkan pada tanggal 27 Desember 1985, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 dan diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Perubahan undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1995. 121 Walaupun undang-undang pajak masih diberlakukan, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 23 A UUD NRI Tahun 1945. Peninjauan kembali undang-undang pajak adalah searah dengan tujuan reformasi agar hukum pajak tidak hanya memihak kepada pejabat pajak, tetapi juga terhadap wajib pajak selaku pembayar pajak. Sebenarnya tujuan reformasi dibidang pajak adalah meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau melunasi yang terutang agar pembiayaan pemerintahan dan pembangunan tetap berlangsung secara berkelanjutan. Dalam mewujudkan bentuk undang-undang pajak sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945 dalam kedudukannya baik sebagai pengganti maupun sebagai mengubah akan memberikan suatu kepastian hukum. Adapun undang-undang pajak bumi dan bangunan dalam kedudukan sebagai pengganti adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang-undang ini termasuk pula Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengaturan pajak bumi dan bangunan merupakan pajak bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dan/atau dikuasai, dan/atau memberi manfaat kepadanya. Tidak semua tanah (bumi) dan bangunan dikenakan pajak bumi dan bangunan, ada beberapa objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan, yaitu sebagai berikut : a. Tanah atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk melayani kepentingan umum dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan misalnya : tempat ibadah, sarana kesehatan pemerintah, pendidikan dan kebudayaan nasional serta tanah kuburan. b. Tanah atau bangunan yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik serta badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. c. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, dan taman nasional. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau kemanfaatan 122 tanah dan/atau bangunan. Ketentuan tentang pajak bumi dan bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. d. Menguasai objek baik atas bumi atau atas bangunan atau salah satu diantaranya. Klasifikasi dan besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan kecuali bagi daerah yang perkembangan nilai jualnya cukup besar, maka ditetapkan setahun sekalai. 118 Penetapan pengaturan pajak bumi dan bangunan ditentukan terlebih dahulu terhadap objek pajak dan subjek pajak, yang nantinya menjadi wijib pajak terhadap pajak bumi dan bangunan. Untuk mengetahui subjek pajak bumi dan bangunan, diuraikan seperti dibawah ini. 2.2.3. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yang memiliki subjek hukum selaku pendukung kewajiban dan hak. Dalam hukum pajak, bukan subjek pajak sebagai pendukung kewajiban dan hak melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak dengan wajib pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum, melainkan hanya wajib pajak sebagai subjek hukum. Mengingat, subjek pajak tidak memenuhi syarat-syarat, baik syaratsyarat subjektif atau syarat-syarat objektif untuk dikenai pajak, sehingga bukan subjek hukum. Sebaliknya, wajib pajak pada awalnya berasal dari subjek pajak yang dikenakan pajak karena memenuhi syarat-syarat subjektif dan objektif yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada keterkaitan antara subjek pajak dengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan secara hukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek hukum. 119 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 adalah “orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.” 118 119 Adrian Sutedi, 2013, Hukum Pajak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 117-118 M. Djafar Saidi, 2011, Pembaruan Hukum Pajak (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 41 123 Memahami orang atau badan dalam pengertian subjek pajak bumi dan bangunan, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu. Menurut M. Djafar Saidi, mengemukakan pada hakekatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan dalam kedudukannya sebagai pribadi. Sementara itu badan, sebagai wajib pajak dapat berupa badan yang tidak berstatus badan hukum, atau badan yang berstatus badan hukum, baik yang tunduk kepada hukum privat maupun tunduk pada hukum publik.120 Pengertian badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak, menurut undang-undang pajak bumi dan bangunan. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Untuk menentukan subjek pajak dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pertama kali ditentukan objek pajak yaitu bumi dan bangunannya, selanjutnya baru kemudian ditentukan/dicari siapa yang menjadi subjek pajak. Menurut Y. Sri Pudyatmoko Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya berpangkal pada objek yang dikenakan pajak, dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari subjeknya. Jadi dalam hal ini pertama-tama dicari objeknya yang selain dari pada benda dapat pula berupa 120 Ibid, h.42 124 keadaan, peristiwa atau perbuatan, yakni yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan. 121 2.2.4. Objek Pajak Bumi dan Bangunan Objek pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang cukup besar dalam hal cakupan masyarakat yang terkena pajak. Karena paling banyak melibatkan masyarakat yang terkena pajak, maka oleh negara pajak ini didesain atau dirancang sekecil mungkin. Objek pajak adalah bumi, yaitu permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di dalamnya, misalnya sawah, ladang, kebun, tambang dan sebagainya. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah/atau perairan di wilayah Republik Indonesia. 122 Sasaran pengenaan pajak terhadap objek pajak (tatbestand), dapat diartikan sebagai keadaan, peristiwa dan perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang memenuhi syarat bagi dikenakannya pajak, yakni : 1. Keadaan, pajak dapat dikenakan terhadap suatu keadaan tertentu yang menurut undang-undang memang harus dikenakan pajak. Dalam pajak bumi dan bangunan seseorang yang dalam keadaan memiliki bumi dan/atau bangunan pada suatu awal tahun tertentu dapat dikenakan pajak bila ternyata bumi dan/atau bangunan tersebut telah memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. 2. Peristiwa, juga dapat menjadi objek pajak, seperti kematian. Peristiwa kematian sendiri dibidang hukum dapat dikatakan merupakan peristiwa perdata, karena dengan adanya kematian maka status orang tersebut sebagai subjek hukum perdata menjadi hapus. Dengan adanya peristiwa kematian, maka akan terbuka adanya warisan, yakni peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada yang berhak menerimanya (ahli waris). 121 122 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak (Edisi Terbaru), Penerbit Andi, Yogyakarta, h.12 Adrian Sutedi, 2013, Hukum Pajak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.116-117 125 3. Perbuatan yang terjadi di dalam masyarakat juga dapat menjadi objek pajak apabila telah memenuhi syarat. Sebagai contoh perbuatan seseorang yang mengikat perjanjian pinjam-meminjam uang senilai lima juta rupiah, dimana perjanjian itu dibuat secara tertulis. Oleh karena ada perbuatan perjanjian yang dituangkan dalam dokumen perjanjian yang memuat nilai mata uang sejumlah itu , maka dikenakan pajak Bea Meterai. 123 Ketentuan mengenai objek pajak sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, adalah : “Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.” Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Penjelasan pasal 1 ayat (2) Undang-undang pajak bumi dan bangunan, menguraikan lebih lanjut bahwa yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal dermaga, taman mewah, kilang minyak dan pipa minyak, jalan TOL dan fasilitas lainnya yang memberi manfaat. Wajib pajak bagi pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan karena secara nyata : a. Mempunyai hak atas bumi (tanah); dan/atau b. Memperoleh manfaat atas bumi (tanah); dan/atau c. Memiliki bangunan; dan/atau d. Menguasai bangunan; dan/atau e. Memperoleh manfaat bangunan. 124 123 124 Ibid, h. 25 M. Djafar Saidi, Op. Cit, h. 54 126 Objek pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang belum diketahui siapa subjek pajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabat pajak untuk menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak bertujuan agar objek pajak itu dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan. Pengenaan pajak bumi dan bangunan diatur oleh Menteri Keuangan dengan mengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terhutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor seperti letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan dan lain-lain. Sedangkan dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor seperti bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain. Dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang pajak bumi dan bangunan disebutkan bahwa “Obyek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah obyek pajak yang : a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Uraian tersebut menunjukkan ketentuan yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan dengan tata cara pengenaan pajak yang ditinjau dari teoritis dan konseptual hukum pajak, subjek pajak dan objek pajak bumi dan bangunan, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat, sehingga penerima pajak akan meningkat pula. Pengaturan pajak 127 bumi dan bangunan yang bertujuan untuk dapat memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan serta memberikan suatu kedudukan yang jelas terhadap tanah adat di Bali.