Ketidak-panggahan dalam Arsitektur Kajian - Repository

advertisement
 Disertasi
Ketidak-panggahan dalam Arsitektur
Kajian tentang Arsitektur Kramat Buyut Trusmi
REVIANTO BUDI SANTOSA
3213301004
DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch.
Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT
PROGRAM DOKTOR
BIDANG KEAHLIAN ARSITEKTUR
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2016
i LEMBAR PENGESAHAN
Disertasi disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor (Dr)
di
Institut Teknologi Sepuluh November
oleh
REVIANTO BUDI SANTOSA
NRP. 321 3301 004
Tanggal Ujian
Periode Wisuda
: 1 Februari 2017
: 115
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch.
NIP 19480312197703 1 001
.........................
(Pembimbing I)
Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT
NIP 19620608 198701 2 001
.........................
(Pembimbing II)
Ir. Purwanita Setijanti, M.Sc. Ph.D
NIP 19590427 198503 2 001
.........................
(Penguji)
Prof. Dr. Ir. Sekartedjo, M.Sc.
NIP 19500402 197901 1 001
.........................
(Penguji)
Dr. Ir. Yuswadi Saliya, M.Arch.
NIP 2007 0183
.........................
(Penguji)
a.n. Direktur Program Pascasarjana,
Asisten Direktur
Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng .
NIP. 19611021 198603 1 001
ii KATA PENGANTAR
Arsitektur Nusantara adalah wilayah kajian yang terbentang luas. Sementara banyak
pengkaji menggunakan pendekatan sejarah untuk mendalami arsitektur di berbagai wilayah
Nusantara, saya mencoba untuk mengkajinya dengan mengembangkan teori arsitektur. Di satu
sisi, dalam wacana teori arus utama (manistream) arsitektur dipandang sebagai produk yang
purna dan dicipta untuk abadi. Di sisi lain, banyak praktik berarsitektur di Nusantara yang justru
memosisikan arsitektur sebagai proses dengan menekankan pada aspek kesementaraan. Kajian
ini berupaya menjembatani kesenjangan antara keduanya dengan menelaah arsitektur Kramat
Buyut Trusmi di Kabupaten Cirebon yang memiliki tradisi untuk memperbarui bangunan secara
terus menerus.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch.
selaku pembimbing utama yang memberikan tantangan kepada penulis untuk merambah wilayah
ini dengan membuka wawasan baru. Ucap terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Murni
Rahmawati, MT selaku pembimbing kedua dengan cermat, teliti dan sabar membimbing penulis
untuk menyusun kajian yang dpat dipertanggungjawabakan secara ilmiah. Kepada para penguji,
Prof. Dr. Ir. Sekartedjo, M.Sc., Ir. Purwanita Setijanti, M.Sc. Ph.D dan Dr. Ir. Yuswadi Saliya,
M.Arch., penulis menyampaikan terima kasih untuk masukan-masukan kritis yang disampaikan
dalam evaluasi maupun konsultasi yang berperan penting dalam mengarahkan dan meningkatkan
kualitas kajian. Dengan setulus hati penulis menyampaikan terimakasih kepada para pembimbing
atas semua kritik, saran, wawasan dan masukan dari para pembimbing dan penguji sambil tetap
bertanggung jawab atas semua kekurangan dalam kajian ini.
Disertasi ini dapat disusun dan studi dapat ditempuh atas dukungan berbagai pihak.
Untuk itu penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Dekan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan UII, Ketua Program Studi Arsitektur UII atas dukungan penuh untuk
dapat menempuh studi.
2. Rektor Institut Teknologi Sepuluh November ( ITS), Direktur Program Pasca Sarjana
ITS, Ketua Jurusan Arsitektur dan Ketua Program Studi Pascasarjana, para dosen di
Jurusan Arsitektur ITS atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjalani
studi pada Program Doktor dan memberi masukan ilmu pengetahuan secara rutin
pada perkuliahan dan seminar rutin dalam masa studi di ITS.
3. Sekretariat program Studi Pasca Sarjana Arsitektur, Laboratorium Komputer dan
Perpustakanan Jurusan Arsitektur ITS yang telah memberi pelayanan selama masa
studi.
iii 4. Rekan-rekan peserta S3 Program Studi Pasca Sarjana Arsitektur ITS yang selalu
bersama-sama dalam suka dan duka dalam menempuh studi saling memberi masukan
serta kritikan dan motivasi sehingga sampai penyelesaian naskah disertasi.
5. Seluruh teman-teman dosen Program Studi Arsitektur FTSP UII yang selalu memberi
kesempatan dan motivasi, khususnya kepada adinda Dr. Yulianto P. Prihatmaji yang
memotivasi dan mendampingi selama observasi lapangan.
6. Warga Desa Trusmi Kulon dan Trusmi Wetan, para pengelola Kramat khusunya Kiai
Tony dan Kunci Harto yang memberi kesempatan pada penulis untuk terlibat dalam
berbagai peristiwa di Kramat.
7. Kiai Warlan sekeluarga yang setulus hati menerima penulis dan tim sebagai keluarga
dan memberikan sangat banyak wawasan dan kesempatan untuk mendalami
masyarakat dan lingkungan Trusmi.
Bagi penulis, studi ini adalah upaya dan kesibukan bersama yang melibatkan seluruh
keluarga besar. Tanpa dukungan mereka sulit membayangkan untuk dapat menempuh dan
menyelesaikan studi ini. Setulus hati ucap terima kasih saya sampaikan, semoga keberhasilan ini
dapat menginspirasi semua. Ayahnda Zamharir Sangidhu, Ibunda Sumarni Zain yang senantiasa
berdoa. Kesabaran, dukungan dan keceriaan Ita Dian Novita istri tercinta, ananda Safitri “Cinta”
Alia Dzikrina dan Ali “Boboiboy” Ardhya Maulana telah menghidupkan hari-hari indah selama
studi. Dengan sabar dan asyik adinda Nur Asriyah dan Rahmat Taufiq Syamsuri, serta
keponakan Afifah Nurul Falih mendampingi penulis dan keluarga selama studi.
Kesempatan studi dan mengkaji adalah suatu kenikmatan. “Maka nikmat Tuhanmu
yang mana lagikah yang kamu dustakan”. Syukur dan puji kami persembahkan, kepada Allah
semata sembari mohonkan setitik berkah dan hikmah dari samudera ilmu-Mu ya Rabb.
Surabaya. 1 Februari 2017
Penulis
Revianto Budi Santosa
iv DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan
ii
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
v
Daftar Gambar
vii
Abstrak
ix
BAB I: PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang: Mengidealisasikan Keabadian dan Merengkuh Kesementaraan
2
1.2.
Tradisi Arsitektur Tak-Permanen di Nusantara
6
1.3.
Mengkaji Arsitektur Tak-Permanen di Trusmi
11
1.4.
Arsitektur dan Sifat Tak-Panggah: Beberapa Definisi Operasional
14
1.5.
Teori Arsitektur di Antara Kepanggahan dan Ketak-panggahan
15
1.6.
Permasalahan
28
1.7.
Tujuan dan Manfaat
33
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
35
2.1
Teori Tentang Sistem Arsitektur dan Aspek Ke[Tidak]Panggahan
35
2.2
Ketidak-Panggahan dalam Kajian Arsitektur Nusantara
53
2.3
Landasan Teori: Klassen dan Norberg-Schulz
57
BAB III: METODA KAJIAN
79
3.1
Karakteristik Objek: Ketidak-panggahan dalam Arsitektur Kramat Buyut Trusmi
80
3.2
Karakteristik Teori: Klassen dan Norberg-Schulz
81
3.3
Strategi Penelitian Kualitatif
82
3.4
Pendekatan: Fenomenologi dan Hermeneutika
84
3.5
Metoda Kajian
87
3.6
Kerangka Kajian
90
3.7
Kerangka Penulisan
93
v BAB IV: MEMBANGUN ARSITEKTUR, TEMPAT DAN RELASI DI KRAMAT BUYUT
TRUSMI
95
4.1.
Pengantar
95
4.2.
Ingatan Kolektif yang Terpenggal
96
4.3.
Membangun Tempat, Menjalin Relasi
98
4.4.
Pelaku, Hubungan Sosial Dan Aktivitas Mereka
107
4.5.
Tektonika: Bentuk, Konstruksi Dan Ornamentasi Bangunan
110
4.6.
Buka Sirap
123
4.7.
Memayu
137
4.8.
Pemugaran dan Pengembangan Bangunan Tak-Berkala
149
4.9.
Beberapa Temuan
162
BAB V: MENAFSIR MAKNA MENJADI KONSEP-KONSEP DASAR
165
5.1.
Konsep Tempat
166
5.2.
Konsep Waktu
173
5.3.
Konsep Material
179
5.4.
Konsep Konstruksi
186
BAB VI: MENGEMBANGKAN TEORI ARSITEKTUR DENGAN
KETIDAK-PANGGAHAN
194
6.1
Relasi dalam Berarsitektur dengan Ketidakpanggahan
196
6.2
Relasi dalam Berarsitektur dengan Ketidakpanggahan
202
6.3
Diskusi Komparasi Teori: Ketidak-panggahan di antara yang terurai dan yang tak stabil
212
BAB VII: SIMPULAN DAN SARAN
223
6.4
Ketak-panggahan untuk Hadirkan Asal Muasal
223
6.5
Process dan PresenceArsitektur yang Hidup
226
6.6
Saran untuk Kajian Berikutnya
229
REFERENSI
229
vi DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Lukisan “The Architect’s Dream”
3
Gambar 1.2.
Bagian utama World’s Columbian Expo di Chicago
5
Gambar 1.3.
Pagelaran Kraton Surakarta pada awal abad ke-20
8
Gambar 1.4.
Menara pembakaran jenazah Puri Klungkung
9
Gambar 1.5.
Bale Malang di Desa Gamel
10
Gambar 1.6.
Pemasangan atap alang-alang di Trusmi
12
Gambar 1.7.
“Plug in City”, Peter Cook
25
Gambar 1.8.
Model “City in the Air” yang diajukan Arata Isozaki
28
Gambar 1.9.
Atap Masjid Kramat Buyut Trusmi seusai Buka Sirap
33
Gambar 2.1.
Rumah Batak Toba dengan elemen tangga dan vegetasi
56
Gambar 3.1.
Wawancara dengan Sep Tony
90
Gambar 3.2.
Kerangka Kajian
92
Gambar 4.1.
Kompleks Kramat Buyut Trusmi
99
Gambar 4.2.
Kelompok bangunan di sekitar gapura timur
101
Gambar 4.3.
Kelompok bangunan di sekitar Kabuyutan
101
Gambar 4.4.
Kelompok bangunan di sekitar Gapura barat
102
Gambar 4.5.
Kenduri di Paseban usai Buka Sirap
104
Gambar 4.6.
Pola pengembangan permukiman Trusmi
106
Gambar 4.7.
Gapura timur
112
Gambar 4.8.
Bentuk bangunan dan struktur saka guru Witana
113
Gambar 4.9.
Bangunan Kabuyutan dan Pendopo
115
Gambar 4.10.
Bale Pasalinan dan Batu Pendadaran
117
Gambar 4.11.
Ruang dalam bangunan utama Masjid
118
Gambar 4.12.
Masjid dan serambi yang beratap sirap dan Pawadonan
yang beratap alang-alang
119
Gambar 4.13.
Paseban, Bale Kiai dan Bale Kunci
121
Gambar 4.14.
Struktur utama Paseban
121
Gambar 4.15.
Bale Kiai dengan atap terbuka saat Memayu
122
vii Gambar 4.16.
Sirap dalam berbagai ukuran
124
Gambar 4.17.
Menyucikan sirap dan komponen konstruksi di
Balong Pakulahan di samping Witana
125
Gambar 4.18.
Para pengobeng dan tukang menunggu Buka Sirap dimulai
125
Gambar 4.19.
Melepas bubungan Kabuyutan dan meletakkannya di atas
kabel baja yang ditopang perancah kayu
Gambar 4.20.
127
Para pengobeng berebut menyentuh dan membawa keluar
bubungan jurai yang telah diturunkan
128
Gambar 4.21.
Memasang sirap baru di sisi selatan atap Kabuyutan
129
Gambar 4.22.
Penurunan mustaka Masjid yang disunggi Lebe`
130
Gambar 4.23.
Menurunkan sirap dan bubungan jurai sisi timur Masjid
131
Gambar 4.24.
Mengganti atap sisi timur Witana
131
Gambar 4.25.
Kiai Warlan menyeleksi sirap baru untuk Kabuyutan
133
Gambar 4.26.
Memasang kembali bubungan atap Kabuyutan
135
Gambar 4.27.
Modin menyerukan adhan di puncak Masjid
136
Gambar 4.28.
Bagian ritualistik Parade Ider-ideran
140
Gambar 4.29.
Menurunkan welit dengan rangken dari Bale Kunci
143
Gambar 4.30.
Pelepasan welit tanpa rangken dari Bale Keprinci
144
Gambar 4.31.
Membuat bubungan welit
145
Gambar 4.32.
Pemasangan welit pada rangken di Jinem
146
Gambar 4.33.
Pemasangan rangken di Jinem Wetan
146
Gambar 4.34.
Dugaan pengembangan awal Kramat Buyut Trusmi
154
Gambar 4.35.
Peta Permukiman dan Kramat Buyut Trusmi tahun 1926
156
Gambar 4.36.
Angka tahun yang tertera pada berbagai bangunan
158
Gambar 4.37.
Angka tahun di konsol gapura dalam makam
159
Gambar 4.38.
Gapura dalam Makam yang diubah penutup atapnya
menjadi sirap
163
Gambar 6.1.
Ragam simpul dalam tradisi Jepang
215
Gambar 6.2.
Altar bambu dengan hiasan dedaunan
217
viii KETIDAK-PANGGAHAN DALAM ARSITEKTUR
Kajian Tentang Arsitektur Kramat Buyut Trusmi
Nama Mahasiswa
NRP
Pembimbing I
Pembimbing II
: Revianto B. Santosa
: 3213301004
: Prof.Dr.Ir. Josef Prijotomo, MArch
: Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT
ABSTRAK
Dalam teori arsitektur yang berkembang, terutama di Eropa dan Amerika, arsitektur
diasumsikan sebagai produk yang final dan permanen sehingga diupayakan untuk berada
sebagaimana kondisi pada akhir penciptaan. Pada kenyataannya arsitektur berubah baik karena
faktor-faktor alami atau karena faktor-faktor keterlibatan manusia. Di Nusantara banyak praktik
berarsitektur yang bukan hanya menerima adanya perubahan tapi bahkan merayakannya
sehingga menciptakan arsitektur yang memang tidak abadi, yang disiapkan untuk diubah, yang
terus menerus diperbaiki atau bahkan yang ditujukan untuk dihancurkan.
Kesenjangan yang besar antara praktik yang menegaskan ketidak-panggahan dan teori
yang didasari atas prinsip kepanggahan tersebut menjadi fokus kajian ini melalui pengembangan
teori dasar arsitektur yang menekankan pada arsitektur sebagai proses dan observasi terhadap
tradisi arsitektur yang menekankan pada ketidak-panggahan. Teori yang terpilih adalah teori
Klassen (1990) tentang “The Process of Architecture” dan teori Norberg-Schulz (2000) tentang
“The Presence of Architecture”. Objek yang dikaji adalah Kramat Buyut Trusmi di Cirebon
yang memiliki tradisi pembangunan berulang dengan material tak-panggah dalam skala besar,
melibatkan masyarakat dalam jumlah yang banyak serta berakar pada budaya setempat dalam
jangka waktu yang lama. Dengan menggunakan metoda fenomenologi-hermeneutika
sebagaimana kedua teori yang dikembangkan tersebut, kajian ini diharapkan mampu untuk
menyajikan gambaran serba cakup tentang objek yang dikaji dan mengembangkan masingmasing komponen teori maupun keseluruhannya.
Pengamatan secara fenomenologis dilakukan terhadap tradisi Memayu (mengganti atap
alang-alang) yang diselenggarakan tiap tahun, Buka Sirap (mengganti atap sirap kayu jati) yang
diselenggarakan tiap empat tahun, serta pembangunan tak berkala di Kramat Buyut Trusmi. Dari
pendalaman terhadap tradisi tersebut dengan pendekatan hermeneutika didapatkan sejumlah
konsep kunci yang melandasi praktik berarsitektur dengan ketidak-panggahan yang menonjol di
Trusmi. Konsep tentang tempat yang menjadi asal muasal sekaligus bertransformasi menjadikan
pembangunan berkala penting untuk menghidupkan kembali momen awal, sedangkan
pembangunan tak berkala ditujukan untuk mentransformasikan kompleks ini. Konsep tentang
ix waktu yang bersifat sinkronis dan diakronis yang untuk memahami alam dan kehidupan sosialbudaya di Trusmi menjadi landasan konstruksi temporal pelaksanaan pembangunan. Konsep
tentang material memberikan gambaran tentang sifat-sifat masing-masing material dan
kesesuaiannya untuk tiap bagian bangunan. Konsep tentang konstruksi dipahami sebagai upaya
memperbaiki, mengembangkan tapi juga mengembalikan keseluruhan kompleks ke peristiwa
asalnya.
Rumusan konseptual tersebut menjadi masukan untuk mengembangkan kedua teori
arsitektur tersebut. Secara keseluruhan kajian ini mengembangkan teori Heidegger tentang
kediaman Empat Serangkai yang dirujuk oleh Klassen dan Norberg-Schulz. Kediaman yang
didasari pada relasi antara bumi, langit, manusia dan tuhan ini selalu dihidupkan dan
diintensifkan dalam tradisi membangun tersebut sehingga menjadi praktik yang bermakna.
Berdasar konsep-konsep tersebut, masing-masing komponen teori dikembangkan
dengan menekankan pada ketidak-pangahan sebagai berikut: 1) “Mewujudkan arsitektur”
sebagai proses berulang yang melebur batas antara pembuatan dan penggunaan arsitektur, serta
antara pembuat dan pengguna arsitektur; 2) “Memanfaatkan arsitektur” yang meliputi manfaat
fisik, sosial dan spritual termasuk di dalamnya pembangunan sebagai strategi pemanfaatan; serta
3) “Menghayati arsitektur” yang meliputi penghayatan fisik, intelektual dan spiritual yang
diperoleh melalui praktik menciptakan dan memanfaatkan arsitektur serta menjembatani kedua
praktik tersebut.
Kata kunci: teori arsitektur Klassen dan Norberg-Schulz, Kramat Buyut Trusmi, Memayu,
arsitektur tak-panggah, material yang mudah lapuk, pembaruan bangunan berkala.
x IMPERMANENCE IN ARCHITECTURE
Study on the Architecture of Buyut Trusmi Shrine
Name
ID number
Promotor
Co-Promotor
: Revianto B. Santosa
: 3213301004
: Prof.Dr.Ir. Josef Prijotomo, MArch
: Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT
ABSTRACT
Architectural theories, especially those in Western Europe and North America, are
developed with the assumption that architecture is a final and permanent object. All effort after
its cosntruction is to keep the architecture in a pristine state. In reality, architecture change due to
natural factors and human factors. In Indonesia many practices related with architecture which
accept and even celebrate changes. People create architecture which are ephemeral, ready to
change, perpetually renewed or intended for its annihilation.
The main focus of this research is to fill the gap between practices celebrating the
ephemerality of architecture and theories emphasizing on the permanence of architecture. To
overcome the gap, an in-depth observation on Buyut Trusmi Shrine in Cirebon is carried out.
This place has a tradion to renew its building periodically using perishable materials in a large
scale, involving thousands of participants, and deeply rooted in the local custom for centuries.
The result of this observation is employed to develop Klassen’s (1990) theory on “The Process
of Architecture” and Norberg-Schulz (2000) theory on “The Presence of Architecture”; both see
architecture as a process rather than a final product.
Applying phenomenology and hermeneutics methods as in both theories above, this
research is carried out to provide a comprehensive view before focusing on the renewal of some
buildings in this place. This phenomenological observation focus on the Memayu (thatch roof
renewal), Buka Sirap (shingle roof renewal) and non-periodic construction in Kramat Buyut
Trusmi. Hermeneutic interpretation is performed to discover the underlying cultural concepts of
building remewal tradition employing perishable materials. These concepts are: 1) Place,
emphasizing on its role as the site of origin and its transformation, 2) Time, intertwining
diachronic and synchronic views, 3) Materials, related with its nature and its appropriate use, and
4) Construction as an effort to renew and return to origin.
Overall, these concepts are relevant with Heidegger’s notion of Fourfold Dwelling
relating a meaningful existence of a place with earth, sky, divine and mortals. These patterns of
relations is enlivened and preserved in building renewal practice tradition in Trusmi.
Based on these concepts of the development of the two theories above are formulated as
a new trilogy, namely: 1) “Creating architecture” as repetitive process and involving a large
number of people blurring the boundary between making and using and between makers and
xi users, 2) “Taking benefit of architecture” including physical, social and spiritual benefits, which
includes the process of construction itself, and 3) “Comprehension of architecture” including
physical, intellectual and spiritual comprehension bridging the experience in making and using
architecture.
Keywords: architectural theories of Klassen and Norberg-Schulz; Buyut Trusmi Shrine;
impermanence architecture; perishable materials; periodic building renewal.
xii BAB 1
PENDAHULUAN
Arsitektur, atau dalam bahasa yang lebih sederhana disebut sebagai
bangunan, dibuat dengan melibatkan upaya dan sumberdaya yang besar dan jangka
waktu yang relatif lama dibandingkan dengan benda-benda lain buatan manusia.
Bebatuan, misalnya, diangkut dari sungai atau lereng gunung, untuk kemudian
dipecah sehingga dapat ditumpuk menjadi landasan yang kokoh. Tanah liat dicetak,
untuk kemudian dibakar sehingga menjadi batu bata yang siap dirangkai menjadi
pembatas. Pepohonan ditebang, untuk kemudian kayunya dipotong dan diketam
sehingga menjadi komponen-komponen beraturan yang disusun sebagai rangka.
Dengan upaya yang luar biasa tersebut, bangunan yang dihasilkan
diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Terlebih jika
bangunan yang dibuat memang ditujukan untuk menjadi bangunan monumental, yang
menyandang makna mendalam—yang diharapkan dapat diwariskan ke generasi
berikutnya—lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan praktik semata. Meskipun
manusia adalah makhluk yang fana yang hidup di dunia yang serba sementara,
mereka mengharapkan bangunan ciptaan mereka dapat lestari lebih lama dari
keberadaan mereka di dunia, atau secara ideal adalah abadi. Teori-teori Arsitektur
pun dirumuskan untuk membangun argumen tentang status ontologis arsitektur
sebagai yang ciptaan abadi, cara-cara untuk mencapai keabadian, hingga kemanfaatan
dari keabadian bangunan.
Perhatian utama kajian ini adalah kesenjangan antara teori arsitektur dan
praktik arsitektur. Teori arsitektur, khususnya yang dikembangkan di Eropa dan
Amerika, didasari pada asumsi bahwa arsitektur ideal adalah objek yang dicipta
secara paripurna sehingga dapat bertahan selamanya. Sementara, berbagai praktik
13 berarsitektur,
khususnya
di
Nusantara,
bukan
hanya
menerima
sifat
ketidakpermanenan arsitektur tapi menjadikan sifat tersebut sebagai bagian inheren
dari realitas arsitektur.
Kajian ini berupaya menjembatani kesenjangan tersebut dengan mendalami
praktik berarsitektur yang khas di suatu tempat yang telah berlangsung dalam waktu
yang sangat lama. Praktik ini bukan hanya melibatkan sifat ketidakpermanenan tapi
bahkan menjadikannya sebagai ungkapan yang menonjol baik dalam wujud fisik
bangunan dan lingkungan di tempat tersebut.
Tempat yang menjadi lokus bagi kajian ini adalah Kramat Buyut Trusmi,
salah satu kompleks peziarahan yang sangat populer dikunjungi masyarakat di
Kabupaten Cirebon. Kramat atau tempat peziarahan ini diyakini sudah ada sejak lebih
dari 400 tahun yang lalu. Di tempat ini dilakukan praktik memperbarui atap bangunan
yang terbuat dari bahan-bahan yang relatif tak awet yakni alang-alang dan kayu jati
secara berkala yang melibatkan khalayak pendukung yang luas.
Kajian komprehensif tentang tempat, bangunan dan arsitektur di Kramat
Buyut Trusmi diharapkan dapat dipergunakan mengembangkan teori arsitektur
tertentu sehingga dapat menjadi lebih inklusif. Untuk dapat memosisikan
ketidakpermanenan dalam arsitektur, teori arsitektur yang dipilih adalah yang
memaparkan arsitektur dari berbagai aspeknya secara keseluruhan. Dalam paparan
komprehensif ini sifat tak permanen dapat dipahami peran dan relevansinya dalam
kaitannya dengan totalitas arsitektur tersebut.
1.1.
Latar Belakang: Mengidealisasikan Keabadian dan Merengkuh
Kesementaraan
Lukisan karya Thomas Cole dari tahun 1840 yang bertajuk “The Architect’s
Dream” yang saat ini menjadi koleksi The Toledo Museum of Arts terpajang di
halaman depan dan membuka wacana sejarah arsitektur dalam buku Kostof (1985:2)
A History of Architecture: Setting and Ritual. Dalam lukisan tersebut ditampilkan
seorang laki-laki, yakni sang arsitek, yang setengah berbaring di atas kolom pualam
14 raksasa. Di depan sosok arsitek ini tergelar panorama dengan kuil Yunani berlanggam
Ionia, kuil Romawi yang berdenah lingkaran serupa dengan Kuil Vesta di tengah kota
Roma dan akuaduk Romawi berkonstruksi busur berjajar kokoh terbentang di
belakang monumen bundar tersebut. Bangunan dengan atap datar ditopang kolomkolom masif berkepala papirus menyerupai Kuil Ramses di Luxor menyembul di
depan Piramida agung, monumen kubur firaun Mesir, yang menjadi latar belakang
keseluruhan komposisi akbar ini. Di latar depan sosok gereja berlanggam Abad
Pertengahan membayangi dalam wujud siluet menara-menara runcing berseling kaca
diafan dengan pohon-pohon cemara di kri kanannya.
Mimpi seorang arsitek yang digambarkan dalam lukisan Cole ini adalah
mimpi tentang bangunan-bangunan monumental yang menjadi jejak abadi peradabanperadaban terkemuka di dunia. Semua monumen yang membayangi arsitek hingga ke
alam mimpi itu terbuat dari batu yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan,
bertahan melintas jaman dan tangguh lebih dari seribu tahun. Karena keabadian itu
semua monumen bisa digelar di latar yang sama dalam mimpi sang arsitek, seolah
selang waktu sekitar 3.500 tahun antara gereja Gothik dan Piramida Mesir tak lagi
penting.
Gambar 1.1. Lukisan “The Architect’s Dream” karya Thomas Cole koleksi The
Toledo Museum of Arts (foto: commons.wikimedia.com)
15 Tampaknya Cole ingin mengungkapkan bahwa mimpi ini bukan sembarang
khayalan lepas kendali tapi didasarkan pada rujukan tekstual yang sahih. Buku-buku
tebal dan besar yang menjadi alas tidur Sang Arsitek menyiratkan pesan bahwa
mimpi itu hadir dalam imaji sang arsitek setelah dia mendalami referensi tersebut.
Referensi tersebut mungkin merupakan risalah teori dan sejarah arsitektur atau
mungkin buku panduan merancang monumen sebagaimana lazim dijumpai di
kalangan Akademia Eropa di abak ke-18 dan ke-19 yang menyampaikan doktrin pada
sang arsitek tentang arsitektur unggulan yang kokoh dan kekal tersebut.
Gambaran ideal tentang keabadian arsitektur ini memicu para arsitek
khususnya di dunia Barat untuk membuat bangunan yang seolah-olah akan bertahan
seribu tahun. Keawetan atau keabadian diidealkan meskipun lapuk dan lekang adalah
realitas tak terbantahkan dalam keberadaan setiap bangunan.
Obsesi tentang gambaran monumen yang abadi meskipun menggunakan
bahan yang tak awet mengemuka ketika pada pertengahan abad ke-19 tak lama
setelah lukisan Cole diproduksi. Saat itu, Amerika Serikat memutuskan untuk
menyelenggarakan pameran akbar dengan judul World’s Columbian Expostion.
Ekspo ini diselenggarakan di tepi Danau Michigan di Chicago untuk merayakan 400
tahun kehadiran Christopher Colombus di Benua Harapan.Tiga arsitek terkemuka di
negri ini, Burnham, Roots dan Olmsted, merancang masterplan Ekspo kelas dunia ini
(Scott, 1971: 47). Dengan pameran ini, Chicago mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan diri sebagai kota kelas dunia sebagaimana laiknya kota-kota utama di
Eropa. Panitia penyelenggara Ekspo ini menetapkan untuk membuat suatu kompleks
dengan ungkapan monumentalitas, keagungan dan keabadian dengan langgam
arsitektur yang telah dikembangkan di Eropa. Ketika Eropa dalam Ekspo serupa di
Paris dan London sekitar setengah abad sebelumnya ingin menampilkan perubahan,
Amerika justru ingin menonjolkan keabadian pada bangunan-bangunan di dalam
Pameran Akbar tersebut.
16 Gambar 1.2. Bagian utama World’s Columbian Expo di Chicago tahun 1893
(foto: colombus.iit.edu)
Bangunan-bangunan sangat besar dengan langgam Neo-Klasikpun didirikan
di Chicago untuk menegaskan akar perdaban Klasik Yunani-Romawi di negri
Amerika. Suatu kompleks dengan langgam yang ditumbuhkembangkan di Eropa
dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya. Gedung Pameran untuk
Manufacture and Liberal Arts misalnya adalah bangunan terbesar yang pernah
didirikan di dunia saat itu dengan luasan tiga kali lipat Basilika Santo Petrus di
Vatikan. Dibuat dengan keteraturan geometris yang ketat, semua bangunan di arena
Ekspo ini memiliki corniche atau pelipit atas dengan ketinggian yang sama dengan
penampilan serupa pualam berwarna putih lembut yang agung melampaui semua
yang pernah didirikan oleh para kaisar Romawi (Junyk, 2013).
Hamparan kompleks impian dengan ungkapan monumental yang mampu
mewujudkan keabadian yang tergelar di sini pada kenyataannya dibangun dengan
serat jute atau goni bercampur semen yang diplester untuk mengefisienkan biaya dan
17 waktu pembangunan. Bangunan-bangunan pualam semu yang agung itu dalam jangka
waktu yang tak lama akan lapuk dan lekang. Impian keabadian akan segera berakhir
seusai Ekspo. Kompleks yang teramat luas ini, tak dapat dipungkiri, setahap demi
setahap, akan menjadi hamparan puing. Kenyataan bahwa bangunan yang memesona
dan menjanjikan keabadian itu ternyata hanyalah konstruksi yang bersifat sementara
sangatlah mencekam. Charles McKim, salah satu arsitek penting dalam Ekspo
tersebut bahkan mengusulkan untuk memusnahkan keseluruhan kompleks ini dalam
waktu sekejap dengan menggunakan dinamit. Sebagaimana kehadirannya yang tibatiba, kepergian bangunan-bangunan dengan arsitektur akbar ini haruslah serta merta
(Larson 2003 dikutip dalam Junyk, 2013: 7).
Arsitektur monumental didirikan untuk melembagakan dan mewariskan
makna yang mendalam, dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian,
bangunan monumental selayaknya memiliki dimensi keabadian untuk mampu tak
berubah berabad-abad. Baik Piramid Khufu di Giza, maupun Candi Borobudur di
Magelang dibangun dengan menumpuk batu sebagai ungkapan upaya manusia untuk
menciptakan bangunan yang menyandang makna mendalam. Monumen-monumen
tersebut diyakini mampu bertahan melinasi waktu yang sangat panjang, jauh
melampaui masa hidup mereka yang mendirikannya.
1.2.
Tradisi Arsitektur Tak-Permanen di Nusantara
Banyak catatan menunjukkan sisi lain dari arsitekur yang langgeng tersebut.
Mendirikan dan memindahkan bangunan dengan cepat tampaknya menjadi bagian
dari tradisi yang berkembang di Asia Tenggara sejak lama. Anthony Reid (1992: 73)
mencatat ketakjuban sejumlah pengamat Eropa pada abad ke-17 menyaksikan dua
puluh rumah di Makassar dipindah penghuninya, tiga ratus rumah dibangun di
Ayutthaya dalam waktu dua hari dan satu kawasan di Banten bahkan dibangun
kembali dalam waktu tiga atau empat jam.
Suatu peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun 1746 memberikan
gambaran yang penting tentang pentingnya bangunan-bangunan yang tak permanen
18 dalam khasanah arsitektur Jawa, bahkan untuk sebuah istana. Saat itu, Sunan
Pakubuwana II sedang membangun ibu kota Mataram yang baru di Desa Sala,
menggantikan Kartasura yang telah porak poranda karena peperangan. Babad Giyanti
gubahan Ngabehi Yasadipura yang diterjemahkan dan dikaji oleh Ricklefs (1971)
mengisahkan secara rinci kepindahan ini.
Sebagaimana lazimnya perarakan seorang raja dalam tradisi Jawa, kirab atau
parade kepindahan ke Sala yang disemarakkan dengan kereta, gajah, kuda dan bunyibunyian. Hal yang istimewa dalam parade ini adalah benda yang dibawa.
sekarang dikisahkan, tata cara perjalanan, keberangkatan Baginda
Raja, terdepan bibit beringin kurung penanda ibukota, yang dibawa
dari Kartasura.
Berikutnya menyusul Bangsal Pangrawit, diusung utuh diapit
pasukan, gajah diapit pawangnya (Ricklefs, 1971: 101)
Kalaulah Kraton digagaskan sebagai pengejawantahan semesta, maka di
dalam parade tersebut beberapa keping semesta—pars pro toto—yang berupa pohon
beringin dan bangsal, dipindahkan dari kedudukannya yang lama yang tak lagi
mampu membawa kejayaan untuk dikukuhkan kembali di tempat baru. Kraton yang
biasanya dipandang sebagai pusat yang statis dan mapan, di saat krisis harus bergerak
dan berpindah untuk menginisiasi konstelasi baru yang akan memulihkan tatanan
yang menghantarkan pada kemuliaan.
Raja dan warga bergerak bersama dengan Bangsal yang dipanggul
dan diarak menuju ke tanah harapan di Sala. Sesampainya di calon
istana baru,
Bangsal Pangrawit dipasang, di Tarub Pagelaran yang sudah
dirakit, segenap pasukan menghadap dengan tertib (Ricklefs, 1971:
102)
Bangsal yang diusung ternyata diletakkan ke dalam struktur baru yang sudah
dibangun di Sala, yakni Tarub Pagelaran. Yasadipura menggunakan istilah ingetrap
atau dipasang untuk Bangsal Pengrawit mengingat pavilyun ini diusung utuh dan
rinakit atau dirakit untuk Pagelaran mengingat bangunan ini adalah Tarub atau
19 bangunan semi-permanen atau bahkan sejumlah bagiannya memang tak-permanen.
Tak seperti bangunan istana di pelbagai bangsa khususnya Eropa yang memiliki
ungkapan monumental paling menonjol di bagian depannya, kraton Jawa justru
memiliki bangunan terdepan yang walaupun sangat besar tapi sangat bersahaja
dengan naungan anyaman dedaunan yang tak terlalu rapat.
Hampir dua ratus tahun setelah Tarub Pagelaran dirakit, bangunan di bagian
muka Istana ini tak banyak berubah. Mengenang kunjungannya pada dasawarsa
pertama abad ke-20, Zimmerman (2003: 122) menulis tentang kondisi Pagelaran
Kraton Surakarta yang menurutnya tak layak karena berupa bangunan seadanya yang
beratap daun palem saja, “I remembered that the Pagelaran was not raised above
ground level and was furnished only with a sort of thatched roof (atap) which
admitted both the sunshine and the rain and seemed shabby.”
Gambar 1.3. Pagelaran Kraton Surakarta pada awal abad ke-20 yang masih beratap
dedaunan meski sudah bertiang pasangan bata saat perayaan Garebeg
(foto koleksi Koniklijk Instituut Tropen Museum)
20 Banyak daerah di Nusantara hingga sekarang yang masih memiliki tradisi
yang hidup dengan bangunan yang tak permanen. Bangunan ini memiliki sifat tak
permanen lantaran bisa dipindahkan, bisa diganti dan dirakit secara parsial atau
terbuat dari bahan yang memang mudah lapuk. Keberadaan bangunan ini bisa bersifat
sesaat, khususnya bangunan-bangunan tak permanen yang didirikan untuk keperluan
upacara. Beberapa wilayah bahkan memiliki tradisi untuk melebur bangunan secara
dramatis dan seremonial seperti menara tinggi yang dibakar habis pada saat upacara
Palebon atau Ngaben seorang ningrat tinggi di Bali. Untuk upacara Ngaben di Puri
Klungkung yang diselenggarakan pada bulan Mei 2014, misalnya, dibangun menara
menjulang yang terbuat dari kayu, bambu dan ijuk bersusun sebelas. Diperlukan
waktu lebih dari lima bulan dengan ratusan pekerja dan pengrajin untuk mewujudkan
bangunan ini. Dalam waktu yang singkat bangunan tinggi itupun lebur menjadi abu
saat perabuan jenazah dilaksanakan.
Gambar 1.4. Menara pembakaran jenazah atau bade untuk meperabukan istri Raja
Klungkung yang sedang dibangun di depan Puri Klungkung
(foto oleh penulis, 2014).
21 Selain itu, ada juga yang keberadaan bangunannya bertahan dalam jangka
waktu yang lama namun komponen-komponen penyusunnya senantiasa diperbarui.
Tratag Pagelaran di Kraton Yogyakarta dan Surakarta tersebut, misalnya, yang
memiliki atap dari anyaman daun namun dapat mempertahan keberadaannya selama
lebih dari satu setengah abad.
Di antara wilayah yang banyak memiliki tradisi pembangunan ulang secara
terus menerus adalah Cirebon. Sejumlah desa di Cirebon memiliki bangunan yang
terbuat dari bahan-bahan yang mudah lapuk seperti kayu, bambu dan ilalang yang
memerlukan penggantian terus menerus. Bangunan-bangunan di Kramat Seh
Magelung, Bale Gede Bangbangan dan Bale Malang di Desa Gamel memiliki atap
ilalang yang diganti secara seremonial. Sementara, Makam Ki Gede Kaliwulu dan
beratap sirap yang juga diganti secara berkala dengan upacara tertentu.
Gambar 1.5. Bale Malang di Desa Gamel yang terletak di depan makam Ki Gede
Gamel beberapa hari setelah penggantian atap ilalang dalam upacara tahunan
(foto oleh penulis, 2014).
22 1.3.
Mengkaji Tradisi Arsitektur Tak-Permanen di Trusmi
Kramat Buyut Trusmi adalah kompleks peziarahan di antara sekitar 300-an
tempat peziarahan di wilayah Kabupaten Cirebon. Dalam hal luasan lahan dan jumlah
peziarah, kompleks yang terletak sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Cirebon ini
adalah yang terbesar setelah Astana Gunung Jati yang dibangun di Bukit Sembung
tempat Sunan Gunung Jati, satu-satunya dari Wali Sanga di Jawa Barat, serta Sultan
dan kerabat terdekat Kasultanan Kasepuhan dan Kasultanan Kanoman Cirebon
dimakamkan (Muhaimin, 1996: 17). Peziarahan di Kramat ini berfokus pada makam
Ki Buyut Trusmi yang terletak di bangunan makam atau sering disebut masyarakat
setempat sebagai Kabuyutan yang terletak di dalam bangunan besar di sudut timur
laut.
Masyarakat setempat meyakini Ki Buyut Trusmi sebagai cikal bakal Desa
Trusmi dan bahkan sebagian besar juga percaya kalau tokoh ini adalah putra Prabu
Siliwangi dari Kerajaan Pra-Islam Pajajaran sekaligus pendiri dan cikal bakal Kota
Cirebon dan Kasultanan Cirebon. Mereka juga meyakini bahwa Kramat ini semula
adalah kediaman Ki Buyut sekaligus tempatnya untyuk memimpin masyarakat dan
mengajarkan agama sehingga di tempat ini didapati juga balai pertemuan dan masjid.
Selain mengunjungi tempat ini untuk berziarah yang berpuncak pada saat
perayaan Maulud Nabi, masyarakat luas membangun afiliasi dengan Kramat ini
secara khas yakni dengan memperbarui secara berkala atap pada bangunan-bangunan
di kompleks ini. Lebih dari 20 bangunan dengan berbagai ukuran diperbarui secara
berkala. Penggantian tersebut dilakukan dalam upacara besar yang melibatkan
puluhan ribu orang yang bekerja dan berkontribusi sukarela. Penduduk setempat
yakin bahwa tradisi ini sudah dijalani sejak pembangunan Kramat ini hingga
sekarang.
23 Figur 1.4. Pemasangan atap alang-alang di Trusmi
Di Kramat Trusmi bangunan memiliki dua jenis bahan penutup atap.
Sebagian menggunakan penutup atap sirap kayu jati (Tectona grandis), sebagian
yang lain menggunakan penutup atap rumput alang-alang (Imperata cylindrica).
Bangunan beratap alang-alang diganti penutup atapnya setiap 2 tahun sekali, yang
dilaksanakan secara bertahap setiap tahun. Bangunan beratap sirap diganti setiap 8
tahun sekali dengan pelaksanaan bertahap setiap empat tahun sekali.
Dalam kajiannya tentang prinsip pelestarian cagar budaya Kramat Buyut
Trusmi, Kwanda (2012: 153-158) menyimpulkan bahwa berbeda dengan metoda
pelestarian konvensional yang menekankan pada keaslian bendawi (tangible
authenticity), pelestarian dengan pembaruan meterial seperti di Trusmi menekankan
pada keaslian tak bendawi (intangible authenticity) yang ada di benak masyarakat dan
dijaga oleh para pemuka dan pengelola Kramat. Hal ini dilakukan dengan motivasi:
melestarikan nilai spiritual Kramat, menjaga ketokohan Ki Buyut Trusmi dan
melestarikan nilai-nilai sosial dalam bergotong royong.
24 Dengan demikian, praktik berarsitektur yang berupa pembangunan berulang
secara berkala di Kramat Buyut Trusmi ini menyandang:
a) nilai teknikal untuk menangani material khusus tersebut,
b) nilai spiritual dan simbolis dalam kaitannya dengan peran Kramat
sebagai tempat peziarahan dan situs cikal bakal, dan
c) nilai sosial dalam kaitannya dengan gotong-royong secara rutin dalam
skala besar.
Praktik yang berlangsung secara meluas dan nilai yang serba cakup
(komprehensif) ini menjadikan entitas fisik arsitektur Kramat Buyut Trusmi dan
praktik yang inheren di dalamnya relevan untuk dikaji dalam upaya mengembangkan
teori arsitektur agar menjadi lebih inklusif.
Kramat Buyut Trusmi jelas bukan bangunan yang lazim dibangun dan
dijumpai sehari-hari di lingkungan Desa Trusmi atau di wilayah Cirebon. Kompleks
ini dan beberapa bangunan lain yang menyertainya penting untuk dikaji sebagai
bangunan asal muasal atau cikal bakal.
Pemahaman dan spekulasi tentang bangunan asal muasal menduduki peran
yang penting dalam pengembangan teori arsitektur (Rykwert, 1981 dan Forty, 2006).
Dalam kajian arsitektur terdapat paradoks antara cara pandang yang bersifat
evolusionis yang memandang bahwa arsitektur yang paling mutakhir adalah yang
paling baik dan cara pandang yang menekankan pada bangunan asal muasal sebagai
yang paling otentik dan hakiki sehingga menjadi rujukan yang paling penting untuk
perkembangan arsitektur. Le Corbusier (1925) misalnya mendudukkan teknologi
sebagai hal yang terpenting yang mengarahkan kemajuan arsitektur tapi sambil
mengajukan bahwa pada bangunan asal muasal yang bersahaja di Perancis kita dapat
menemukan prinsip-prinsip yang hakiki dalam berarsitektur. Dalam bukunya tentang
pentingnya model asali, Rykwert (1981: 2) mengkaji secara luas arti penting
bangunan asal muasal yang menginspirasi perkembangan arsitektur karena diyakini
memiliki prinsip-prinsip yang hakiki. Forty (2006: 3-14) meninjau ulang kajian
tentang arsitektur primitif yang menjadi rujukan tersebut dan menegaskan bahwa
25 gagasan tentang bangunan primitif tetaplah membayangi dan menantang untuk
ditafsirkan hingga saat ini. Dalam kajian budaya Nusantara, Rassers (1982: 217-250)
mengajukan rumusan tentang rumah asali di Jawa yang mengungkapkan prinsipprisnip budaya dan pengorganisasian sosial dalam masyarakat Jawa.
Bangunan primitif dispekulasikan, ditelaah dan dijadikan bagian penting dari
argumen tentang prinsip-prinsip arsitektur dengan banyak cara. Vitruvius di abad
pertama mengkajinya sebagai figur ideal yang asali yang dirumuskan secara
spekulatif verbal seperti yang dilakukan. Laugier di abad ke-18 mengkajinya secara
spekulatif dengan gambaran visual. Sementara, Semper di abad ke-19 mengkaji
bangunan secara nyata seperti yang dilakukan terhadap gubug dari Karibia meskipun
hanya dijumpai dalam pameran.
Kramat Buyut Trusmi yang dibangun beratus tahun silam dan dilestarikan
dengan cara yang khas memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengkajinya
sebagai bangunan asal muasal; bukan hanya sebagai sosok fisik yang dibangun di
masa silam yang jauh tapi juga sebagai praktik membangun yang tetap hidup hingga
sekarang. Arsitektur sebagai benda serta arsitektur sebagai proses dapat dikaji secara
saling melengkapi di Trusmi untuk mengembangkan teori arsitektur secara lebih
komprehensif.
1.4.
Sifat Tak-Panggah dalam Arsitektur: Beberapa Definisi Operasional
Dalam kajian ini, untuk menyebutkan sifat permanen yang sekaligus berarti
tak dapat dipindah dan tak bertahan lama dipergunakan istilah “panggah” yang
berasal dari Bahasa Jawa. Dalam Bahasa Jawa, “panggah” bermakna: 1. kukuh
sêntosa; 2. ora owah gingsir (Poerwadarminto, 1939). Lebih lanjut, Robson dan
Wibisono (2002) dalam Javanese-English Dictionary mengartikan “panggah”
sebagai: 1. to stand firm; 2. remaining as before, enduring, still going strong. Sebagai
konsekuensinya, untuk lawan kata “panggah” yang bermakna tidak tetap
(impermanent), dapat dipindahkan (portable), dapat disesuaikan (adaptable) dan
ephemeral (sementara) dipergunakan istilah “tak-panggah”. Sifat ini diungkapkan
26 sebagai kata benda abstrak dengan istilah “kepanggahan” dan “ketidakpanggahan”
sebagai lawannya.
1.5.
Teori Arsitektur di Antara Kepanggahan dan Ketidak-panggahan
Kepanggahan dan ketidak-panggahan adalah dua sisi arsitektur yang
senantiasa ada. Dalam khasanah Teori Arsitektur, kepanggahan mendapatkan posisi
yang dominan sebagai bagian esensial dari arsitektur. Sementara, ketidak-panggahan
dipandang sebagai hal yang marjinal atau primitif yang akan dikembangkan lebih
lanjut secara evolutif sehingga menjadi kepanggahan. Untuk itu diperlukan kajian
teoretik yang bersifat serba cakup tentang kepanggahan agar dapat mengajukan kajian
kritis dengan mengangkat posisi ketidak-panggahan.
1.5.1.
Kepanggahan: Tempat dan Tapak
Salah satu dari jabaran tentang kepanggahan adalah menetap berada di suatu
tempat (place). Tempat menjadi pangkal tolak kemapanan yang memungkinkan suatu
obyek dalam hal ini arsitektur berkedudukan di dunia nyata dalam jangka waktu yang
lama. Tempat adalah pernyataan lokasi yang berkelindan dengan ruang (space).
Ahli geografi, Tuan (1977: 5), menegaskan karakteristik tempat yang
berbeda dengan ruang meskipun keduanya berlandaskan pada pengalaman
(experience). Perbedaan mendasar antara keduanya adalah ruang bersifat lebih
abstrak sehingga dipahami sebagai relasi sedangkan tempat bersifat lebih nyata
sehingga dipahami sebagai benda. Meskipun menekankan pada perbedaan antara
keduanya, dia menyatakan bahwa tempat dan ruang saling menggantungkan
keberadaannya yang menjadikan keduanya selalu ada berdampingan.
Secara antropomorfis, Tuan (1977: 6) membedakan ruang dan tempat
dengan menyatakan bahwa ruang menekankan pada pergerakan (movement)
sedangkan tempat tempat menekankan pada perhentian (pause). Pada perhentian
itulah ruang ditransformasikan menjadi tempat. Cresswell (2008) memahami saat
memiliki dimensi perhentian dan memiliki karakteristik sebagai tempat, suatu lokasi
dapat dimuati dengan makna. Salah satu ciri pemuatan makna adalah kita dapat
27 menamainya, “naming is one of the ways space can be given meaning and become
place” (h. 9).
Norberg-Schulz (1980, 1985) mengembangkan pendekatan fenomenologis
untuk memahami lebih jauh hakekat berhenti untuk menyatakan suatu tempat dan
berikutnya membentuk kediaman (dwelling) secara bermakna. Norberg-Schulz
(1991) menyatakan bahwa dia bertumpu pada Edmund Husserl yang memahami
perwujudan bendawi (the thing) dalam kaitannya dengan kesadaran manusia dan
Martin Heidegger (2001) yang menginvestigasi lebih lanjut perwujudan tersebut
sebagai keberadaan di dunia (being in the word).
Setelah manusia berhenti pada suatu tempat dan mewujudkan kemapanannya
dia perlu untuk menghayati makna tempat tersebut secara mendalam yang menjadi
landasan baginya untuk mengembangkan keberadaannya tersebut. Norberg-Schulz
(1980) memahami “jiwa” yang membentuk karakter suatu tempat sepanjang masa ini
sebagai genius loci. Arsitekur, dalam kaitannya dengan genius loci adalah
“architecture means to visualize the genius loci, and the task of the architect is to
create meaningful places, whereby he helps man to dwell” (Norberg-Schulz, 1980: 5).
Sejalan dengan penyataan tersebut, ahli geografi, Relph (1976: 3)
menegaskan bahwa lebih dari sekedar di mana sesuatu berada, suatu tempat adalah
lokasi plus segala sesuatu yang ada pada lokasi tersebut yang saling berkait sehingga
membentuk suatu fenomena yang bermakna (meaningful phenomenon). Penghayatan
oleh manusia (human experience), bagi Relph (1976) adalah syarat asasi dalam
pembentukan nilai penting suatu tempat bagi seseorang. Intensitas penghayatan inilah
yang menentukan perasaan di dalam (“insideness”) terhadap tempat tersebut.
Unwin (1997: 15) menegaskan bahwa, “Place is to architecture, it may be said, as meaning is to language” (penekanan sebagaimana aslinya), karena meyakini
bahwa “pengidentifikasikan tempat” (identification of place) adalah tujuan yang
paling fundamental dalam penciptaan arsitektur. Meski tanpa mengutip NorbergSchulz, Unwin juga mengajukan gambaran tentang manusia pertama yang berkelana
dan berhenti untuk membentuk tempat yang bermakna. Namun demikian dia
28 merelatifkan perhentian tersebut dengan mengatakan bahwa berhenti itu dapat untuk
semalam atau selamanya. Tapak (site), sebagai salah satu wujud dari tempat dan ruang, tidak pernah
sepenuhnya terisolasi, dapat dipahami secara terpisah dan dikembangkan tanpa
memberi pengaruh pada sekitarnya. Burns dan Kahn, (2005: x-xii) dalam mengkaji
“bagaimana
tapak
dilibatkan
dan
dikonsepkan
melalui
perancangan”
mengidentifikasikan tiga area pengaruh. Pertama adalah area kontrol yang ada di
dalam batas-batas legal suatu tapak. Area ini adalah tapak yang biasanya ditangani
dalam perancangan. Yang kedua adalah area pengaruh yang secara langsung yang
secara langsung memengaruhi dan dipengaruhi oleh rancangan. Yang ketiga adalah
area efek, yang terdampak secara luas oleh rancangan tersebut.
Tapak adalah konstruksi antara yang bersifat sementara yang terbentuk
ketika
suatu
lokasi
diinetervensi
oleh
manusia
dan
dieksploitasi
untuk
kepentingannya melalui perancangan. Untuk dapat dirancang dan dibangun, tempat
yang bersifat elusif karena menyandang kompleksitas makna dan hubungan harus
disederhanakan, disingkirkan beberapa aspeknya sehingga memungkinkan untuk
dimuati dengan program baru dan dibangkitkan narasi baru atasnya. Dalam
penyederhanaan itulah suatu tempat berubah menjadi tapak. Beaumegard (2005: 55)
merumuskan bahwa dalam pembangunan, skenario yang paling mungkin adalah
“suatu tempat diubah menjadi tapak untuk kemudian diubah lagi menjadi tempat”
ketika pembangunan usai dan tapak kembali menjalin hubungan yang kompleks
secara internal maupun eksternal.
Arsitek terkemuka, Holl (2000) mendudukkan tapak dalam posisi yang
sangat penting dalam perancangan arsitektur melampaui karakteristik fisisnya karena
baginya Arsitektur dan tapak haruslah memiliki hubungan yang dapat dihayati, suatu
kaitan metafisis, suatu kaitan puitis” “Architecture and site should have an
experiential connection, a metaphysical link, a poetic link” (Holl, 2000: 10).
Menurutnya, bangunan dan tapak saling bergantung sejak awal mula arsitektur.
Berbeda dengan musik, patung atau lukisan, bagi Holl arsitektur adalah seni yang
29 tidak bergerak (non-mobile) sehingga penghayatan terhadap arsitektur bergantung
pada penghayatan tempat kedudukannya. Lebih dari sekedar salah satu unsur
penciptaan, tapak adalah landasan fisis dan metafisis bagi penciptaan arsitektur.
1.5.2.
Kepanggahan dan Perwujudan Bendawi
Perwujudan bendawi arsitektur yang terdiri atas susunan komponen
bangunan mendapatkan status ontologisnya dalam kajian tentang tektonika. Dalam
kajian tektonika, material memiliki landasan keberadaannya secara estetis, fungsional
maupun filosofis.
Dalam disertasinya tentang teori tektonika, Rizutto (2010: 1) menyajikan
pembagian kajian tektonika dalam teori arsitektur Barat ke dalam tiga masa, yakni: 1)
Classical Tectonics yang diturunkan dari filsafat klasik, 2) Rational Tectonic yang
bertumpu pada filsafat sains, serta 3) Poetic Tectonics yang dikembangkan oleh
gerakan Kontra Pencerahan dan Romantik Jerman.
Dalam wacana arsitektur di masa tersebut, keyakinan dan nilai-nilai
tradisional yang melandasi arsitektur klasik dipertanyakan secara mendasar.
Arsitektur tidak semestinya didasarkan pada selera dan kecenderungan pribadi serta
polesan beberapa pernak-pernik dari masa silam tapi harus memiliki dasarnya yang
pasti dan rasional. Untuk menjawab “upaya pencarian kepastian” ini diperlukan
argumen rasional yang dirumuskan secara sederhana dan mengandung keniscayaan
tak terbantahkan.
Di abad ke-18, Laugier (2004: 333-339) seorang biarawan dari Ordo
Benedictine melalui tulisannya “Essai sur l’Architecture” berupaya menjawab hal ini.
Dia berargumen bahwa arsitektur, sebagaimana dalam pelbagai cabang seni,
semestinya dikembangkan berdasarkan prinsip dasar yang dijumpai di alam yang
terbentuk melalui proses yang secara jelas mengindikasikan aturan-aturannya.
Dengan kedekatannya kepada alam dengan pemahaman alamiahnya yang tak
tercemari oleh hal-hal lain, manusia, dalam pandangan Laugier, membangun pondok
asal-muasal (primitive hut) sebagai bentuk arsitektural yang paling alami yang
mewujudkan relasi universal antara bentuk dan kebutuhan. Gambaran pondok asal
30 yang bersifat “paradigmatik” yang diajukan Laugier sangat menekankan pada
arsitektur yang berdiri kokoh pada tempat kedudukannya, bahkan secara harfiah,
lantaran empat pokok pohon tersebut masih bertaut dengan akar yang tetap terhunjam
pada tempat tumbuhnya.
Sementara Laugier mengajukan gagasan yang bersifat monogenetis yang
meyakini bahwa asal muasal arsitektur—dan dengan demikian asal mula peradaban
peradaban—adalah tunggal, beberapa teorisi Era Pencerahan yang lain mengajukan
gagasan poligenetis atau asal muasal yang jamak. Pertama kali diterbitkan tahun
1797, esai Milizia (2004: 459-466) merumuskan bahwa arsitektur bermula dari tiga
karakteristik utama. Karakteristik pertama terwujud dalam arsitektur Mesir yang
didominasi oleh tumpukan batu dan memiliki sosok kolosal. Menurutnya
karakteristik ini berasal dari rongga bawah tanah dan gua yang merupakan hunian
pertama manusia. Karakteristik kedua berkembang dalam arsitektur Jepang dan Cina
yang menggunakan material yang ringan dengan wujud arsitektur tenda. Milizia
meyakini bahwa arsitektur ini berasal dari masa manusia hidup sebagai penggembala
pengembara yang membangun dan memindahkan hunian mereka dari padang rumput
yang satu ke padang rumput yang lain. Kota Cina dengan atap genting yang
melengkung di matanya lebih mirip kubu perkemahan sementara ketimbang kota
yang mapan. Sementara, karakteristik yang ketiga berupa bangunan kayu yang
menurutnya adalah model universal bagi arsitektur di dunia kecuali di Mesir, Cina
dan Jepang. Bangunan kayu terbukti dapat dikembangkan lebih lanjut dengan baik
sebagaimana yang dilakukan oleh orang Yunani yang menerjemahkan pondok kayu
menjadi arsitektur batu yang diunggulkan. Dengan membandingkan ketiganya, secara
tegas dia katakan bahwa pondok kayu adalah yang paling utama lantaran memiliki
kesatuan dan keragaman “Of these three models presented by nature to art, without
doubt the finest is that of the hut, where art finds unity and variety” (2004).
Poetic Tectonic berkembang di Jerman sebagai reaksi terhadap para teorisi
Era Pencerahan, di antaranya oleh Gottfried Semper (1803-79). Para ahli yang
mengembangkan teori bangunan asal muasal—baik yang bersifat monogenetis
31 maupun poligenetis—sebagai rujukan rasional bagi penciptaan arsitektur mengajukan
spekulasi tentang bangunan pertama tersebut dan memerikan karakteristiknya tanpa
menampilkan bukti fisis yang nyata. Berbeda dengan para teorisi tersebut, Semper
tidak mengajukan model bangunan sebagai rujukan namun berupa komponenkomponen asasi bangunan yang dibentuk dengan teknik-teknik tertentu yang
dikembangkan berdasarkan upaya manusia untuk mewujudkan tempat kediamannya
yang terdiri atas: perapian yang dibentuk melalui pencetakan, lantai yang dibentuk
melalui penumpukan, dinding dan selubung melalui anyaman serta atap melalui
perangkaian rangka. Gagasan tentang komponen ini dirumuskannya melalui kajian
terhadap bangunan nyata yang berupa gubug Karibia yang dianggapnya sebagai salah
satu dari kemungkinan asal muasal yang beragam.
Frampton (2002) menegaskan arti penting teori yang diajukan Semper
tentang mencetak, menumpuk, merangkai dan menganyam, sebagai teori arsitektur
yang bersifat aktif lantaran berbasis tindakan sebagai dasar pembentukan bangunan
dan komponen-komponennya. Dia bahkan mengajukan teori ini sebagai pengganti
triad Vitruvius yang berfokus pada kualitas arsitektur sebagai obyek purna.
1.5.3.
Kepanggahan dan Rasionalitas Bentuk
Lantaran arsitektur memiliki berbagai bentuk dengan ragam yang nyaris tak
berbatas, penciptaan bentuk arsitektural memerlukan suatu pedoman yang
memungkinkan arsitek mendapatkan arahan di tengah ketidakpastian. Pedoman ini
diperlukan agar arsitek terhindar dari alternatif-alternatif bentuk yang tak memiliki
dasar pemikiran yang sahih dan hanya berdasar selera pribadi semata. Bentuk rujukan
ini bersifat esensial, rasional dan abadi.
Madrazo (1995) mengkaji berbagai teori tentang bentuk arsitektural yang
menjadi pedoman rasional dan bersifat paradigmatik ini. Dalam teori-teori tersebut
bentuk yang asasi ini disebut sebagai idea, tipe dan struktur. Idea berkembang hingga
masa Renaissans, tipe banyak dirujuk pada Era Pencerahan, sedangkan struktur
menjadi terminologi penting sejak Era Modern di abad ke-20.
32 Idea bentuk berkembang dari masa Yunani Kuna hingga Renaisans dengan
berbagai pendekatan. Plato meyakini bahwa segala hal ihwal yang dapat kita lihat dan
kita rasakan berpangkal pada bentuk asali yang ada di dunia ideal yang menyandang
nilai metafisis, estetis, logis dan etis. Semua bentuk yang lain hanyalah bayangan tak
sempurna dari bentuk asali yang ada di dunia ideal. Aristoteles, di sisi lain, meyakini
bahwa idea tersebut inheren ada di dunia benda yang harus digali oleh para pencipta.
Bentuk dasar dikonstruksikan berbasis generalisasi dari hasil observasi terhadap
realitas bendawi.
Bagi para teorisi Renaisans, idea tidak berada di “dunia lain” tetapi melekat
dalam akal budi para seniman pencipta. Konsekuensi dari hal tersebut adalah prinsip
bentuk sebagai kesatuan antara aspek struktural atau fungsional, aspek sculptural atau
ornamental serta aspek geometris atau perseptual yang semula terintegrasi pada masa
Yunani kehilangan keseimbangannya pada masa Renaisans (Madrazo, 1995: 374).
Wacana bentuk pada Masa Pencerahan didominasi oleh Laugier dan
Quatremere-de-Quincy. Bagi Laugier (2004), bentuk paradigmatik tidaklah bersifat
statis dan tak bisa berubah seperti yang dipahami ara teorisi Klasik dan Renaisans.
Baginya, bentuk berasal dari prinsip kerja alam dan arsitek semestinya mengimitasi
prinsip kerja tersebut guna mendapatkan arsitektur yang baik. Bentuk gubug asal
yang dia ajukan sebagai model esensial memiliki nilai penting bukan pada
perwujudan bentuk fisis itu sendiri namun pada kemampuan bentuk tersebut dalam
memanfaatkan dan menanggapi alam. Cabane atau gubug yang digambarkan Laugier
sebagai hasil karya naluriah manusia dalam menanggapi alam memiliki beberapa
prinsip penting. Pertama, bahwa bentuk fisis dapat mewujud sebagai yang
konseptual. Kedua, bangunan yang paling bersahaja adalah yang paling mendekati
yang ideal. Ketiga, proses kreatif dilakukan melalui imitasi prinsip kerja ketimbang
imitasi bentuk.
Quatremère-de-Quincy (1998) yang menulis di akhir abad ke-18 adalah
teorisi yang pertama kali mengajukan tipe atau type sebagai hal yang utama dalam
wacana tentang bentuk. Quatremère memandang penting gubug Laugier sebagai hasil
33 karya akal budi manusia yang berupa bentuk abstrak yang diturunkan dari bentuk
sensibel atau dapat dicerap secara inderawi.
Tipe berkembang secara evolutif dari gua yang menginspirasi arsitektur
Mesir, tenda yang menjadi rujukan arsitektur Cina, dan gubug yang menjadi model
arsietktur Yunani. Bias Eropa sangat kentara ketika dia mengajukan arsitektur Yunani
sebagai yang paling unggul lantaran gubug yang menjadi rujukannya bersifat
panggah dan dapat diimitasi dengan berbagai cara. Berbeda dengan Laugier yang
menganggap gubug asal yang dirujuknya bersifat primitif sehingga mencerminkan
naluri asali manusia, Quatremère mengajukan gubugnya sebagai ungkapan
kecanggihan pada tataran tertentu.
1.5.4.
Ketidak-panggahan: Filosofi
Dalam kaitannya dengan tempat, Relasi dinamis antara kepanggahan dan
ketidak-panggahan dalam tataran filosofis digagaskan oleh Gilles Deleuze (dan Felix
Guattari dalam beberapa tulisan) dalam konsep “flow” (aliran) dan “territory”
(wilayah) dalam pola pemikiran yang merimpang (rhizomatic) sebagaimana diulas
oleh West-Pavlov (2009) dan Ballantyne (2007). Berbeda dari kebanyakan pemikiran
yang mengasumsikan ketertataan sebagai basis keberadaan, Deleuze meyakini bahwa
semesta yang senantiasa berubah, tersusun dan kemudian terurai secara terus menerus
adalah flow yang merupakan kondisi asali pada semua hal ihwal. Dalam suatu
keadaan dan kebutuhan tertentu, flow tersebut diarahkan dan ditata sehingga menuju
suatu kemapanan dalam suatu proses pewilayahan (territorialization) yang kadang
membentuk suatu wilayah atau territory. Untuk menegaskan sifat dinamis dan
kesementaraan tatanan Deleuze cenderung menggunakan istilah “territorialization”
ketimbang “territory”.
Deleuze mengaitkan pemahaman bahwa territory dan tatanan adalah suatu
keadaan sementara dalam flow yang terus menerus terjadi dengan keberadaan
manusia sebagai pengelana (nomadic state). Hal ini juga sangat relevan dengan cara
pandang manusia maritim sebagaimana di Nusantara yang memandang kehidupan di
34 samudera yang senantiasa bergerak adalah yang asali sedangkan pelabuhan yang
mapan adalah persinggahan sementara.
Dalam ranah geografi, cara pandang dunia yang dinamis ini berkembang di
Asia Tenggara yang didominasi oleh kepulauan Nusantara namun sudah sangat
terkikis oleh Indianisasi yang mengusung kosmologi berbasis benua dengan gunung
yang mapan dan kolonialisasi yang merasionalkan muka bumi sehingga bisa diukur
dan dikapitalisasi. Widodo (2009) menegaskan karakter “fluid” dari peradaban
berbasis akuatik di Asia Tenggara dan sebelum kedatangan peradaban India dan
Islam. Ahli geografi, Savage (2010) menelaah transformasi karena proses Indianisasi
yang terjadi di Asia Tenggara ini sebagai suatu perubahan “from aspatial
communities to cosmic kingdoms”. Sementara, dengan mengangkat kasus yang terjadi
di Thailand, Winichakul (1994) mengamati bahwa kesadaran keruangan dan
kewilayahan yang mapan terjadi berbarengan dengan pengaruh ekonomi Barat,
penemuan teknik pemetaan dan kolonialisme.
1.5.5.
Ketidak-panggahan: Utopia berbasis Teknologi
Teknologi memungkinkan manusia untuk membuat perubahan dengan
mudah. Percepatan teknolgi di era industri menjadikan manusia memiliki gambaran
baru tentang kecepatan perubahan yang dijadikan sebagai landasan untuk
mengembangkan utopia yang ingin dicapai.
Perang Dunia I adalah peragaan teknologi pertama kali dalam skala besar.
Pesawat tempur dan aneka persenjataan bermesin dilibatkan dalam konflik global ini
sehingga memicu cara pandang baru dalam berbagai cabang ilmu.
Antonio Sant’Elia, seorang arsitek Italia yang aktif sejak sebelum PD I,
mengembangkan gagasan tentang arsitektur masa depan yang dipicu oleh teknologi
yang memungkinkan perubahan cepat. Dia memamerkan sketsa-sketsa yang
dijudulinya sebagai Kota Masa Depan (Citta Nuova). Arsitektur baru yang
digambarkannya berupa bangunan-bangunan berbentuk kurva yang lugas tanpa rinci
dan ornamen. Kelugasan ini bukan hal baru mengingat beberapa tahun sebelumnya
Otto Wagner dan Adol Loos sudah mengajukan ciri ini.
35 Hal terpenting yang diajukan Sant’Elia adalah kecepatan perubahan yang
sangat cepat yang dipicu oleh akselerasi teknologi. Pernyataan radikal ini
dituangkannya dalam tulisan provokatif yang berjudul The Futurist Manifesto
(Sant’Elia, 2007, huruf besar sebagaimana aslinya). Dalam tulisan ini dengan lantang
dia mencanangkan bahwa:
From an architecture conceived in this way no formal or linear habit
can grow, since the fundamental characteristics of Futurist
architecture will be its impermanence and transience. THINGS WILL
ENDURE LESS THAN US. EVERY GENERATION MUST BUILD ITS
OWN CITY. This constant renewal of the architectonic environment
will contribute to the victory of Futurism which has already been
affirmed by WORDS-IN-FREEDOM, PLASTIC DYNAMISM, MUSIC
WITHOUT QUADRATURE, AND THE ART OF NOISES, and for
which we fight without respite against traditionalist cowardice.
Arsitektur dan bahkan kota haruslah diperbarui terus menerus karena setiap
saat dunia berubah. Setiap generasi akan membangun kotanya sendiri yang juga akan
diperbarui bagi generasi berikutnya. Di akhir tulisannya dia mempermaklumkan
dengan tegas tentang ketidak-panggahan dan kesementaraan, “the fundamental
characteristics of Futurist architecture will be its impermanence and transience.”
Ketidak-panggahan bukan lagi sifat yang dihidari dengan pemilihan bahan yang
seksama dan perwatan bangunan sebaik-baiknya; tapi menjadi hal yang dituju dengan
asumsi bahwa perbaikan terus menerus dengan tumpuan teknologi akan
memungkinkan hal itu terjadi.
Futuris Manifesto mengubah cara pandang bahwa yang dituju bukanlah yang
abadi melainkan yang sementara. Meskipun Sant’Elia tidak menghasilkan rancangan
untuk memberikan gambaran lebih lanjut tentang cara pandangnya yang radikal
tersebut, manifesto dan sketsanya tetap menginspirasi para teorisi yang memimpikan
masa depan berbasis teknologi tinggi dengan perubahan yang pesat.
Ungkapan yang lebih konkret tentang masa depan yang tak-panggah ini
berasal dari kalangan Architectural Association di London. Di masa pasca Perang
Dunia II sekelompok arsitek menghidupkan kembali gagasan Futurism tersebut
36 meskipun dengan karakteristik yang non-heroik. Kelompok Archigram yang
beranggotakan antara lain Peter Cook, Warren Chalk, Ron Herron dan Michael Webb
memproduksi rancangan-rancangan eksploratif dan hipotetikal yang mengandalkan
pada komponen-komponen ringan, mudah dibongkar pasang, berbasis infrastruktur
untuk menghasilkan rancangan moduler yang mudah berubah dan bergerak sehingga
memungkinkan adaptasi yang tinggi.
Cook (1970) mengeksplorasi potensi bangunan dengan teknologi prefabrikasi yang telah menghasilkan konstruksi dengan bentang sangat lebar di abad ke19 menjadi komponen-komponen bangunan yang terus menerus berubah baik
susunan maupun lokasinya.
Pameran Archigram bertajuk Living Cities di tahun 1963 memberikan
gambaran bagaimana arsitektur yang sering dianggap garda depan ini memahami kota
sebagai sistem pengorganisasian ruang dalam skala besar sekaligus mesin penopang
kehidupan yang senantiasa berubah (Sadler, 2005).
“Plug in City”, Peter Cook 1964
(Sadler, 2005)
37 Di antara karya Archigram yang paling populer di pertengahan tahun 1960an tersebut adalah Plug in City, Walking City dan Instant City. Plug in City berupa
struktur rangka yang sangat besar tanpa bangunan hanya tersusun atas sel-sel standar
yang ditancapkan pada struktur tersebut. Walking City yang berupa robot raksasa
yang berisi ruang hidup di dalam tubuhnya yang dapat berpindah untuk mencari
sumber daya baru. Instant City yang berupa tenda yang dipindahkan dengan balon
untuk dijatuhkan secara instan di tempat baru.
Pendahulu Archigram yang banyak mengembangkan gagasan tentang
struktur yang ringan dan adaptif adalah Richard Buckminster Fuller yang mulai
berkarya pada tahun 1927. Fuller memiliki perhatian yang mendalam pada isu-isu
lingkungan. Dia mengajukan pertanyaan, “Apakah engkau tahu berapa berat
rumahmu?” untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menakar sumber daya
material yang dipergunakan dalam bangunan. Bagi Fuller, teknologi maju adalah
sarana untuk membuat bangunan yang seringan mungkin dan seadaptif mungkin.
Perkembangan arsitektur dan teknologi memunculkan pembandingan antara
arsitektur modern yang tampak mudah berubah dan arsitektur kuna yang dirancang
seolah akan bertahan melintas zaman. Ahli teori arsitektur, Ford (1997) mengajukan
pertanyan mendasar, “Apakah arsitektur Modern tak seawet arsitektur tradisional; dan
kalau memang benar seperti itu, apakah hal tersebut diakibatkan oleh ideologi,
praktik atau keduanya?” Ford menyoroti bahwa setiap komponen Menara Eiffel,
sebagai contoh bangunan modern, paling tidak pernah diganti satu kali. Akan tetapi,
dia juga mencermati bahwa karya-karya arsitektur masa Renaissans (abad ke-15 dan
ke-16 Eropa) sebenarnya mengalami penggantian sebagian besar komponennya pada
saat konservasi di abad ke-19.
Komponen bangunan memiliki masa pakai yang beragam sehingga baik
bangunan kuna maupun bangunan modern sebenarnya mengalami penggantian dan
pembaruan yang sama. Namun demikian, dalam kajiannya, Ford berargumen bahwa
dalam pandangan dunia Barat, arsitektur identik dengan kepanggahan dan stabilitas,
sedangkan kepanggahan diidentikkan dengan massa dan kepejalan. Dengan cara
38 pandang itu maka arsitek dan masyarakat luas tidak dapat menerima kenyataan bahwa
bangunan akan usang sebagaimana usangnya mobil dan mesin-mesin lain bikinan
manusia.
1.5.6.
Ketidak-panggahan: Teknologi dan Sosial
Bangkit dari kehancuran setelah Perang Dunia II, Jepang ingin membangun
landasan filosofisnya sendiri dalam pengembangan rancangan. Sekelompok arsitek
muda pada tahun 1960 mengajukan gagasan yang berjudul Metabolism: The
Proposals for New Urbanism yang disajikan pada World Design Conference di
Tokyo. Mereka menganggap bahwa kota akan tumbuh dan bertransformasi dalam
suatu proses evolutif sebagaimana yang dialami oleh makhluk hidup (Lin, 2010).
Didasarkan pada filsafat Zen-Buddhism yang menganggap bahwa segala sesuatu pada
hakekatnya berjiwa, para tokoh gerakan Metabolisme menggagaskan bahwa kota
sebagai benda terbesar buatan manusia sejatinya adalah suatu proses yang
berlangsung terus menerus.
Kemajuan ekonomi dan percepatan teknologi yang dialami oleh Jepang pada
saat itu menjadikan gambaran masa depan berbasis teknologi ini menjadi populer.
Bangunan tumbuh seperti pohon dengan reranting dan cecabang yang menjangkau
langit atau permukaan lautan adalah gambaran populer tentang wujud visual gagasan
arsitektural dan urbanisme dari kalangan Metabolisme ini. Krisis kualitas hidup di
lingkungan perkotaan pada masa itu memicu gagasan utopian tentang kota yang
tumbuh dengan metafora organisme yang memiliki bagian-bagian utama yang relatif
tetap dan bagian-bagian yang tumbuh, bertambah dan berubah.
39 Model “City in the Air” yang diajukan Arata Isozaki dalam
gerakan Metabolisme pada tahun 1961 (Lin, 2010)
Arsitektur yang menekankan pada pertumbuhan adan adaptasi dalam
konteks yang lebih realistis dikembangkan oleh John Habraken dan kelompok Open
Building. Pertama kali memublikasikan gagasannya pada tahun 1961, Habraken
berfokus pada pemenuhan kebutuhan perumahan massal yang mampu beradaptasi
terhadap kebutuhan warga. Dalam pemikiran Habraken, masa depan penuh dengan
ketidakpastian sehingga kemampuan perancang untuk dapat memastikan dan
memenuhi kebutuhan di masa mendatang sangatlah terbatas. Untuk itu arsitektur
dalam arti yang luas—dari kota sampai interior ruangan—perlu untuk dirancang
sehingga memungkinkan terjadinya adaptasi secara berjenjang di masa mendatang.
Habraken (1998) memandang perkara ini dari sisi teknologi yang memungkinkan
pertumbuhan tersebut dapat dilaksanakan, tapi lebih penting lagi adalah dari sisi
sosial. Mengelola pertumbuhan adalah mengelola kewenangan kontrol perubahan
pada tiap level, yang terdiri atas struktur yang tetap dan infill yang berubah. Level
urban, level kelompok rumah, rumah, interior berturut-turut menunjukkan derajat
kewenangan yang makin mendekati ke arah pengguna terakhir (end user).
40 1.6.
Permasalahan
Dari kajian komparasi teori arsitektur di atas dapat disimpulkan bahwa teori
arsitektur didominasi oleh pemahaman tentang arsitektur sebagai produk yang
panggah dan paripurna. Seusai dibangun, arsitektur memiliki wujud yang paling
sempurna sehingga masa berikutnya adalah upaya untuk memanfaatkan dan
mengawetkannya. Seiring dengan percepatan teknologi di era industri modern,
berkembang wacana teoretik tentang arsitektur yang beradaptasi secara radikal,
seiring dengan perkembangan kebutuhan dan kemajuan teknologi. Namun demikian,
ketak-panggahan yang didasarkan pada material yang mudah lapuk (perishable
materials) pada masyarakat non-industrial belum mendapat perhatian yang memadai.
Kramat Buyut Trusmi memiliki komponen-komponen tak-panggah dengan
material yang mudah lapuk adalah realita empiri yang sangat berbeda dengan
pelbagai idealisasi teoretis tersebut. Kompleks ini melibatkan intervensi terus
menerus dari berbagai pemangku kepentingan untuk memperbaruinya. Lingkungan
dengan karaktersitik fisik dan sosial yang khas ini adalah lokus yang relevan untuk
didalami sebagai salah satu praktik berarsitektur yang melibatkan aspek ketidakpanggahan secara intensif.
1.6.1.
Pemilihan Teori
Sifat ketidak-panggahan berkaitan erat dengan aspek material arsitektur,
sehingga dalam trilogi Vitruvius sifat ini dapat diasosiasikan dengan kekuatan atau
kekokohan yang diistilahkan sebagai Firmitas. Namun demikian, aspek material yang
berorientasi praktikal ini hanyalah salah satu sisi dari teori tentang arsitektur sebagai
suatu keutuhan dengan sejumlah aspek yang saling berkait sehingga membentuk
suatu sistem. Komponen dan keseluruhan ini disebut Vibaek (2014: 14) sebagai
“sistem” dalam teori arsitektur (system in architectural theory). Setiap teori arsitektur
memiliki bias yang berkaitan dengan konteks budaya, masa dan paradigma yang
melandasinya. Dalam lingkup teori arsitektur Barat saja, Vibaek (2014: 16)
menjumpai keragaman yang sangat tinggi dalam komponen-komponen sistem ini.
41 Di tengah varian komponen-komponen sistem dalam berbagai teori
arsitektur, Kruft (1994: 14) dalam kajiannya tentang sejarah perkembangan teori
arsitektur menengarai adanya kecenderungan perumusan teori tentang arsitektur
sebagai suatu keseluruhan yang utuh (integrated whole) dengan komponen yang
terdiri atas aspek estetis, aspek sosial dan aspek praktikal. Kajian ini berupaya
mengembangkan teori arsitektur yang telah ada yang meliputi aspek estetis, sosial
dan praktikal dengan melibatkan aspek ketidak-panggahan sehingga menjadi teori
yang lebih inklusif.
Dari masa teori arsitektur di masa klasik sebagaimana dirumuskan oleh
Vitruvius hingga teori arsitektur di masa modern seperti yang daijukan oleh John
Ruskin dan Le Corbusier, arsitektur diperlakukan sebagai suatu wujud final dari
proses penciptaan. Sebagai suatu karya paripurna, arsitektur diidealisasikan untuk
bertahan dalam kondisi sebagaimana saat usai diciptakan, tak ada yang perlu
ditambahkan, diubah atau dikurangkan dari mahakarya ini. Dengan cara pandang
tersebut, setiap keterlibatan yang berdampak pada perubahan fisik terhadap aristektur
dianggap sebagai suatu kekurangan atau kelemahan terhadap produk asal dan upaya
mempertahankan wujud asali di masa berikutnya.
Sementara, ketidak-panggahan dalam arsitektur khususnya yang melibatkan
komponen-komponen dengan bahan tak awet memerlukan keterlibatan terus menerus
dari para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk melakukan perbaikan dan
penggantian komponen-komponen tersebut. Untuk membangun teori arsitektur yang
melibatkan ketidak-panggahan diperlukan landasan teori yang menekankan pada
arsitektur sebagai suatu proses yang terjadi secara berkesinambungan yang dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan meliputi aspek ketidak-panggahan.
Berdasar pertimbangan tersebut di atas dalam kajian ini, seleksi teori
arsitektur yang akan dikembangkan melalui kajian tentang Kramat Buyut Trusmi
adalah yang memenuhi kriteria:
a) Memiliki perhatian mendalam terhadap perwujudan material arsitektur,
42 b) Memiliki komponen teori arsitektur yang berkaitan dengan aspek
estetika, sosial dan praktikal, dan
c) Menekankan pada proses berkesinambungan ketimbang produk final
sehingga adaptif terhadap perubahan setelah penciptaan.
Di antara teori arsitektur yang berbasis proses adalah teori “The Process of
Architecture” yang dirumuskan oleh Klassen (1990) dan teori “The Presence of
Architecture” yang dirumuskan oleh Norberg-Schulz (2000). Kedua kajian ini
berlandaskan pada paradigma fenomenologi yang berfokus pada realitas bendawi
lingkungan dan diri manusia, to the things themselves, untuk dapat merumuskan
kebenaran. Mengingat ketidak-panggahan pada dasarnya pertama-tama melekat pada
sifat bendawi arsitektur maka teori-teori ini memiliki dasar yang relevan untuk
dikembangkan dalam kajian ini.
Teori proses yang diajukan oleh Klassen (1990) mengkritisi dan
mengembangkan teori arsitektur yang bertumpu pada penafsiran karya seni. Dia
berargumen bahwa pembuatan karya arsitektur tak sepenuhnya aktif dan penikmatan
arsitektur tak sepenuhnya pasif. Kedua belah pihak dapat bertukar peran dan
membangun arsitektur melalui aktivitas fisik dan mental. Dalam cara pandang
prosesual ini, keterlibatan manusia dalam arsitektur sebagai aktivitas mental terjadi
secara berkesinambungan. Pembuat juga berperan sebagai pengguna yang sudah
mulai menggunakan saat arsitektur masih dalam proses pembuatan, sementara
pengguna yang secara mental memiliki juga kapasitas untuk membuat arsitektur juga
berperan untuk terlibat dalam proses menggunakan secara mental saat dia mengalami
arsitektur. Pertukaran ini memiliki kesejajaran dengan pembaca yang sejatinya juga
menulis dalam benaknya sembari dia menikmati bacaan, sebaliknya pengarang
membayangkan dirinya sebagai pembaca saat menulis.
Masing-masing dari kedua teori tersebut berisfat komprehensif sehingga
sebagai suatu sistem arsitektur. Teori Klassen (1990) tentang The Process of
Architecture terdiri atas making (membuat), experiencing (mengalami) dan
understanding (memahami) arsitektur. Sementara, teori Norberg-Schulz (2000)
43 tentang The Presence of Architecture berunsur use (penggunaan), comprehension
(pemahaman) dan implementation (penerapan) arsitektur.
Trilogi teori sistem arsitektur Kruft (1994: 14) yang terdiri atas aspek:
praktikal, sosial dan estetis dapat dipergunakan sebagai kerangka pembandingan teori
Klassen (1990) dan Norberg-Schulz (2000). Aspek praktikal yang berorientasi pada
tindakan untuk merealisasikan arsitektur secara nyata dapat disejajarkan dengan
aspek “membuat” dari Klassen dan “penerapan” dari Norberg-Schulz. Kedua aspek
ini meliputi tindakan untuk mewujudkan suatu gagasan yang abstrak menjadi realitas
bendawi yang bermakn. Aspek sosial yang berfokus pada interaksi antara arsitektur
dan manusia di sekitarnya berkesesuaian dengan “mengalami” dari Klassen dan
“penggunaan” dari Norberg-Schulz. Aspek “estetika” sebagaimana dirumuskan Kruft
memiliki dimensi keindahan dan intelektual yang berkaitan dengan “memahami” dari
Klassen yang memosisikan keindahan sebagai suatu jenis tindakan memahami yang
sublim, dan “pemahaman” dari Norberg-Schulz.
Tabel 1.1. Komparasi Komponen- komponen Teori Sistem Arsitektur
Kruft (1994)
Practical
Social
Aesthetic
Klassen (1990)
Making
Experiencing
Understanding
Norberg-Schulz (2000)
Implementation
Use
Comprehension
1.6.2. Rumusan Masalah
Bagaimana memahami peran ketidak-panggahan dalam arsitektur dalam
lingkungan binaaan dan praktik berarsitektur di Kramat Buyut Trusmi, Cirebon untuk
mengembangkan pemahaman teoretik tentang totalitas arsitektur melalui peluasan
Teori The Process of Architecture (Klassen, 1992) dan Teori The Presence of
Architecture (Norberg-Schulz, 2000).
Pertanyaan tersebut dapat dijabarkan ke dalam:
44 a) Peran ketidak-panggahan dalam aspek praktikal arsitektur (membuat atau
penerapan arsitektur).
b) Peran ketidak-panggahan dalam aspek sosial arsitektur (mengalami atau
penggunaan arsitektur).
c) Peran ketidak-panggahan dalam aspek estetika (memahami atau
pemahaman arsitektur).
Gambar 1.9. Atap Masjid Kramat Buyut Trusmi seusai Buka Sirap dengan
sirap baru di sisi selatan dan sirap lama di sisi barat.
1.7.
Tujuan dan Manfaat
1.7.1.
Tujuan:
Hasil penelitian ini ditujukan untuk membangun pemahaman tentang
arsitektur dan praktik berarsitektur di Kramat Buyut Trusmi secara komprehensif
dengan
menekankan
pada
aspek
ketak-panggahan
sebagai
masukan
bagi
pengembangan teori arsitektur.
1.7.2.
Manfaat:
a) Manfaat yang bersifat teoretik yang didapatkan dari kajian ini adalah:
45 − Mengembangkan Teori Sistem Arsitektur yang lebih komprehensif
dengan melibatkan aspek ketak-panggahan, dan
− Mengembangkan kerangka teoretik yang lebih komprehensif dan
relevan untuk mengkaji praktik berarsitektur di Nusantara.
b) Manfaat yang bersifat praktikal yang didapatkan dari kajian ini adalah:
− Mengembangkan kajian pemanfatan material tak-panggah,
− Mengembangkan kajian pembangunan dengan basis komunal, dan
− Mengembangkan kajian tentang daur ulang komponen bangunan
46 BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Disertasi ini disusun sebagai upaya pengembangan teori arsitektur dengan
menggali dan menafsirkan praktik berarsitektur di salah satu wilayah Nusantara untuk
dapat mengajukan kritik dan pengembangan terhadap teori-teori arsitektur
mainstream khususnya yang berkembang di Eropa. Untuk itu, Bab Kajian Pustaka ini
terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berisi telaah tentang teori-teori arsitektur
khususnya yang berkembang di Eropa. Fokus kajian teori arsitektur ini adalah
pemahaman tentang kepanggahan dan implikasinya pada ketidak-panggahan di dalam
teori tentang totalitas arsitektur. Bagian kedua berisi tentang kajian arsitektur
Nusantara khususnya yang melibatkan aspek ketidak-panggahan.
2.1
Teori tentang Sistem Arsitektur dan Aspek Ke[tidak]Panggahan
Dalam ilmu arsitektur, kepanggahan memiliki dimensi yang luas dan
beragam. Terminologi ini dipergunakan untuk merujuk pada berbagai hal,
antara lain:
a) Kepanggahan yang bersifat ideal yang berupa gagasan abstrak yang
bersifat asali dan tak berubah. Berada di ranah akal budi, kepanggahan
ideal ini terungkap bukan dalam bentuk wujud bendawi tapi berupa
paparan verbal dan kadang visual. Rumusan yang paling menonjol dari
kepanggahan ideal ini adalah yang diajukan Plato sebagai bentukbentuk geometri primer yang menjadi rujukan sempurna bagi semua
ciptaan manusia yang tak sempurna.
b) Kepanggahan yang bersifat sosial yang berupa keyakinan bersama
sekelompok masyarakat tentang keberadaan suatu obyek serta prinsip
47 dan nilai yang dikandungnya sehingga dapat bertahan dan terwariskan
melintas generasi. Keyakinan bersama ini terwujud dalam monumen
dan bangunan lainnya yang diyakini memiliki kestabilan wujud dan
makna sehingga dapat menjadi tonggak bagi perjalanan sejarah
manusia yang sarat dengan perubahan. Hal ini menonjol pada teori
Rossi (1984) tentang permanence yang didasarkan pada pemahaman
bersama dalam pembentukan lingkungan perkotaan.
c) Kepanggahan yang bersifat lokasional yang berupa keberadaan suatu
bangunan pada tempat tertentu dari awal pembangunannya dan
diharapkan menetap secara abadi di tempat tersebut. Kemenetapan ini
ini bersifat asasi sehingga menjadi aspek yang esensial untuk
memahami keberadaan suatu bangunan sebagaimana secara filosofis
dirumuskan oleh Heidegger (Sharr, 2007) dan secara fenomenologis
oleh Norberg-Schulz (Shirazi, 2014)
d) Kepanggahan yang bersifat bendawi yakni kemampuan suatu obyek
fisik ciptaan manusia yang dalam hal ini berupa bangunan untuk
bertahan dari perubahan bentuk, kualitas dan keletakan dalam jangka
waktu yang lama. Ketahanan fisik yang menjamin keberadaan suatu
bangunan ini menjadi dasar bagi pengembangan program dan peran
yang diharapkan dari suatu bangunan di dalam masyarakat. Hal ini
dirumuskan secara teoretis oleh Ruskin (1849).
Kajian ini berfokus pada kepanggahan bendawi sebagaimana disebut di
atas. Dalam kepanggahan bendawi ini penting untuk memahami relasi antara
suatu obyek bangunan dengan komponen-komponen penyusunnya serta relasi
antara suatu bangunan bangunan dan tempat kedudukannya dalam jangka
waktu tertentu.
Risalah tentang arsitektur seringkali disusun sebagai teori preskriptif
yang memberikan panduan untuk memahami dan membuat bangunan
berdasarkan paradigma dan nilai-nilai tertentu. Dalam kajiannya tentang
48 sejarah teori arsitektur, Kruft (1994: 12-14) menekankan tentang pentingnya
konteks kesejarahan untuk memahami berbagai teori arsitektur sebagai suatu
sistem pemikiran tentang arsitektur yang disusun secara tertulis.
2.1.1. Masa Klasik Dan Renaisans
a) Vitruvius dan Ragam Kepanggahan
Teori Arsitektur diperlukan adalah fenomena yang kompleks melibatkan
sangat banyak dimensi kehidupan. Diperlukan penyederhanaan untuk dapat
memahami totalitas atau keseluruhan aspek dalam arsitektur. Keinginan untuk
dapat menjelaskan arsitektur secara sederhana namun rasional itulah yang
menjadikan rumusan ringkas dalam risalah tentang arsitektur yang ditulis Marcus
Pollio Vitruvius sekitar dua ribu tahun yang lalu, yang berjudul de Architectura
atau sering disebut sebagai Sepuluh Buku (lebih tepatnya gulungan) tentang
Arsitektur, memiliki posisi yang sangat penting dalam khasanah dan wacana teori
arsitektur. Vitruvius mempersembahkan Risalahnya untuk Kaisar Octavianus
Augustus pada suatu masa ketika Kekaisaran Romawi sedang melakukan
pembangunan besar-besaran baik di kota Roma maupun di wilayah-wilayah
jajahannya.
Dalam risalahnya (Buku I, Bagian 3.1) Vitruvius membagi bangunan
dalam kategori bangunan privat yang berupa hunian dan bangunan publik yang
dimanfaatkan bersama-sama. Bangunan publik dibagi lebih lanjut menjadi
bangunan pertahanan (seperti benteng dan kanal), bangunan keagamaan yang
berupa kuil–kuil pemujaan, serta bangunan utilitarian yakni tempat perkumpulan,
melabuhan, kapal, pemandian, pasar dsb.
Pada butir berikutnya (Buku I, Bagian 3.2), Vitruvius menegaskan bahwa
semua bangunan tersebut semestinya dibangun dengan merujuk pada kekokohan
(firmitas), kegunaan (utilitas) dan keindahan (venustas), “Haec autem ita fieri
debent, ut habeatur ration firmitatis, utilitatis, venustatis.”
Vitruvius menjelaskan lebih lanjut tentang kekokohan atau firmitas bahwa
perkara tersebut dapat terwujud jika pondasi dibangun di atas tanah yang solid
49 dan bahan bangunan dipilih dengan seksama. Dalam penjabaran ini dia
membedakan dua jenis kepanggahan. Yang pertama adalah kepanggahan berupa
stabilitas bangunan pada tempat kedudukannya yang dicapai melalui pembuatan
pondasi yang baik di atas tanah yang terpilih. Yang kedua adalah kepanggahan
berupa keawetan bangunan dan komponen-komponen penyusunnya yang
diadapatkan melalui pemilihan bahan bangunan yang tepat. Implikasi dari
keduanya adalah bangunan diharapkan akan panggah berada pada suatu tempat
tanpa mengalami kerusakan yang berarti.
Vitruvius
mengungkapkan kekokohan sebagai suatu kesempurnaan
seperti, “dinding yang tanpa cela dibangun untuk bertahan selamanya” atau
“kesempurnaan yang dapat bertahan dalam keabadian”. Namun demikian, dia
juga menengarai ada kepanggahan yang bersifat absolut dan yang bersifat relatif
berkaitan dengan realitas bendawi komponen bangunan yang memerlukan
perawatan dan penggantian.
Kepanggahan absolut diungkapkannya dalam paparan tentang benteng
yang harus memiliki ketangguhan yang langgeng (lasting endurance), yang
bahan bangunannya tak rusak oleh pelapukan, perjalanan waktu dan cuaca.
Meskipun terkubur di dalam tanah atau terendam di dalam air, benteng tersebut
tetap kuat dan berfungsi selamanya (keeps sound and useful forever) (Buku I,
Bagian 5.3). Dengan metoda penyusunan yang tepat, suatu benteng akan cukup
kuat untuk bertahan selamanya tanpa kerusakan (strong enough to last forever
without a flaw) (Buku I, Bagian 5.8).
Selain pada dinding dan pondasi, Vitruvius merumuskan kepanggahan
yang bersifat relatif yang dicontohkannya pada genting, rangka atap dan usuk.
Namun demikian, perlakuan terhadap komponen-komponen tersebut tidak diulas
secara mendalam karena dianggap dapat diganti dengan mudah seberapapun
kerusakan yang dialaminya (Buku VI, Bagian 8.8).
Trilogi Vitruvius yang paling terkenal dan banyak diulas selama berabadabad tentang rujukan dasar arsitektur yakni kekokohan, kegunaan dan keindahan,
50 tidaklah mendapat kedudukan yang setara dalam risalahnya. Dalam urutan
penyebutan, Vitruvius mendudukkan kekokohan dalam posisi pertama sebelum
dua aspek lainnya. Dia membahas aspek ini secara mendalam pada Buku II
segera setelah pembahasan tentang asas dan prinsip berarsitektur pada Buku I.
Bahasan tentang kekokohan ini dianggap berlaku secara universal untuk kesemua
tipe fungsi bangunan. Aspek keindahan sangat mencolok dipergunakan sebagai
asas untuk pembuatan bangunan keagamaan yang dipaparkan secara rinci pada
Buku III dan IV. Sedangkan bahasan tentang bangunan publik yang
dikategorikannya sebagai utilitarian didominasi oleh telaah mengenai aspek
kegunaan seperti kapasitas bangunan dan kualitas akustik sebagaimana
termaktub dalam Buku V. Keseimbangan antara ketiga aspek asasi arsitektur
tersebut hanya dijumpai pada Buku VI yang mengulas tentang rumah yang
meliputi kenyamanan klimatologis dan berbagai ragam fungsi pada bangunan
hunian, keteraturan komposisi hingga pondasi.
Dari kerangka risalah Vitruvius tersebut dapat dipahami bahwa aspek
kekokohan sangat penting untuk dicermati bagi semua jenis bangunan,
sedangkan kedua aspek lainnya hanya dipentingkan pada tipe-tipe bangunan
tertentu saja.
Risalah Vitruvius yang ditemukan dan diterbitkan kembali di Italia pada
abad
ke-15
memicu
banyak
pengkaji
dan
arsitek
untuk
mengulas,
mengembangkan dan menafsirkan tulisan tersebut, seperti Antonio Filarete,
Francesco di Giorgio, Sebastiano Serlio, Andrea Palladio, Giacomo Vignola, and
Vincenzo Scamozzi. Di antara karya-karya baru tersebut, risalah Leon Battista
Alberti adalah yang paling komprehensif (Kruft, 1994: 20).
b) Alberti dan Kesempurnaan Ciptaan Masa Renaisans
Leon Batista Alberti yang menulis pada tahun 1443-52 mengikuti jejak
Vitruvius untuk menstrukturkan risalahnya menjadi sepuluh bagian yang masingmasing bagian dijabarkan lagi ke dalam beberapa bab (Rykwert, 1988 dan
51 Mallgrave, 2006). Dia menyebut aspek tiga-serangkai Vitruvius tersebut sebagai
properti atau sifat-sifat dasar suatu obyek dengan urutan yang berbeda sebagai
berikut: “be accommodated to their respective Purposes, stout and strong for
Duration, and pleasant and delightful to the Sight” (Bagian VI Bab 1).
Alberti lebih dikenal sebagai seorang intelektual ketimbang seorang
praktisi pembangunan. Dengan demikian, dapatlah dipahami jika dia
mendudukkan aspek tujuan atau “purposes” yang bersifat rasional sebagai
landasan pertama sebelum menyebut yang berikutnya. Mempersembahkan
risalahnya kepada Paus Nicolas V, Alberti menulis dengan tujuan untuk
menafsirkan dan menjabarkan gagasan-gagasan Vitruvius secara lebih sistematis
dan ilmiah. Tiga-serangkai Alberti bukan hanya menjadi suatu pernyataan tapi
juga menjadi kerangka untuk menstrukturkan bagian-bagian bukunya.
Pembahasan tentang perkara “stout and strong for Duration” atau “kokoh,
kuat dan bertahan lama” menduduki tiga bagian pertama dari risalah Alberti
setelah dia membahas tentang dasar-dasar desain. Bagian I berkenaan dengan
lokasi dan tempat kedudukan dan bagian-bagian utama fisik bangunan yakni
landasan, dinding dan kolom. Bagian II pemilihan bahan–bahan membahas
bangunan yang kuat dan awet, sedangkan Bagian III berkenaan dengan teknikteknik pemasangan dan penyambungan material dan komponen bangunan.
Dalam penstrukturan ini terlihat paradigma Alberti yang mengaitkan antara
kedudukan bangunan pada tapak dan lingkungan fisis di sekitarnya adalah
landasan bagi kepanggahan suatu bangunan untk kemudian dikembangkan
menjadi susunan material dan komponen yang membentuk bangunan yang
bertahan lama.
Alberti berpedoman pada ketiga asas Vitruvius dengan prioritasnya sendiri.
Dia menegaskan secara eksplisit bahwa asas kenikmatan pandangan adalah yang
paling luhur dan yang terpenting (the noblest and most necessary of all) untuk
diwujudkan dalam bangunan. Hal ini sesuai dengan judul risalahnya De re
Aedificatoria, atau Tentang Seni Bangunan.
52 Secara keseluruhan fokus utama tulisan Alberti adalah kenikmatan pandang
yang memiliki dimensi etis, estetis dan moral. Baginya bangunan publik yang
nikmat dipandang dan direncanakan dengan baik dapat memberikan kepuasan
cita rasa visual, memberikan kebanggaan dan kehormatan bagi masyarakat.
Bangunan keagamaan bahkan diharapkan dapat mendorong perilaku kesalehan
dan menghayati kuasa Tuhan.
Bangunan yang nikmat dipandang dapat dicapai dengan menerapkan
prinsip keindahan dan ornamen. Di antara keduanya, keindahanlah yang utama.
Alberti mendefinisikan beauty atau keindahan “reasoned harmony of all the
parts within a body, so that nothing may be added, taken away, or altered, but
for the worse”.
Definisi ini dengan tegas menyatakan bahwa arsitektur adalah obyek yang
sempurna pada saat usai dibangun. Sang arsitek yang memiliki cita rasa yang
baik dan kecakapan untuk membangun keselarasan yang rasional akan mampu
untuk menciptakan bangunan yang indah dengan pertimbangan yang seksama.
Kesempurnaan tersebut bersifat final sehingga tak ada yang bisa ditambahkan
atau dikurangkan sesudahnya.
Keindahan sempurna ini berimplikasi secara langsung pada idealisasi
kepanggahan lantaran suatu bangunan didirikan dengan keyakinan bahwa
bangunan tersebut tidak akan berubah selamanya. Setiap bentuk pengubahan baik
yang berupa penambahan maupun pengurangan hanya akan menurunkan kualitas
bangunan.
2.1.2. Masa pencerahan dan Modern
Era Pencerahan menjadikan Eropa di abad ke-17 dan ke-18 semarak
dengan upaya para filsuf dan ilmuwan untuk merumuskan prinsip yang mendasar
bagi semua hal ihwal. Mengkaji Era Pencerahan sebagai basis intelektual budaya
Modern, Dupré (2004) menggambarkan bahwa meskipun secara estetis Era ini
tidak banyak menghasilkan karya seni unggulan, namun penuh dengan gagasan
dan pemikiran yang gemilang yang menjadi landasan yang kokoh bagi
53 perkembangan Era Modern. Upaya-upaya perumusan dasar pemikiran ini marak
setelah René Descartes (1596–1650) menyerukan agar manusia mengerahkan
kemampuan nalarnya untuk merumuskan satu hal yang pasti dan tak
terbantahkan yang akan menjadi landasan bagi semua penilaian dan tindakan.
Immanuel Kant (1724–1804) menegaskan lebih lanjut peran tunggal akal yang
mandiri yang merdeka dari kungkungan petunjuk orang lain akan mampu
menemukan kebenaran. Dari sisi keilmuan, Isaac Newton (1642–1727)
memberikan gambaran ideal bahwa prinsip kebenaran yang mendasar tersebut
dapat dirumuskan secara sistematis dan sederhana yang menginspirasi wilayahwilayah keilmuan lain untuk menemukan rumusan yang setara (Grayling, 2008).
Newton tidak hanya mengubah gambaran tentang dunia tapi keseluruhan cara
pandang terhadap realita (Dupré, 2004: xii).
Dalam wacana arsitektur di masa tersebut, keyakinan dan nilai-nilai
tradisional yang melandasi Arsitektur Klasik berbasis peradaban Romawi dan
Yunani dipertanyakan secara mendasar. Arsitektur tidak semestinya didasarkan
pada selera dan kecenderungan pribadi serta polesan berbagai ragam hias dari
masa silam tapi harus memiliki dasarnya yang pasti dan rasional. Untuk
menjawab “upaya pencarian kepastian” ini diperlukan argumen rasional yang
dirumuskan secara sederhana dan mengandung keniscayaan tak terbantahkan.
Upaya untuk merumuskan teori yang mampu menjadi landasan obyektif
bagi penciptaan arsitektur dan arah bagi perkembangan mendatang makin
mengemuka di tengah gencarnya Revolusi Industri pada abad ke-19. Mallgrave
(2006) menengarai pada masa tersebut terdapat tiga kecenderungan yakni
merumuskan langgam yang tepat untuk zaman yang bergerak cepat,
mempertimbangkan peran material dan teknologi baru dalam perkembangan
arsitektur, serta memberi peluang bagi munculnya identitas nasional dalam
arsitektur.
Sebagaimana semua konsepsi mendasar yang diwarisi dari masa silam,
konsep tentang arsitektur yang panggah sehingga kokoh dan abadi tidak dapat
54 diterima begitu saja. Konsep ini harus diuji kembali dengan argumentasi rasional
yang solid untuk dapat diterima sebagai prinsip pemandu perkembangan
arsitektur berikutnya. Para teorisi khususnya di pertengahan abad ke-19 yang
berhadapan dengan kecepatan kemajuan teknologi yang tak pernah ada
sebelumnya memaknai kembali hakekat membuat bangunan sehingga langgeng,
menyusun konstruksi sehingga kokoh dan mengaitkan upaya-upaya tersebut
dengan
tuntutan
kebutuhan
esensial
manusia.
Gagasan-gagasan
yang
dikembangkan pada masa ini menjadi landasan yang penting bagi pengembangan
pemikiran modern dalam arsitektur di abad berikutnya.
a) Laugier dan Struktur Pondok Asal di Era Pencerahan
Marc-Antoine Laugier (1713-1769) adalah seorang biarawan dari Ordo
Benedictine yang melalui tulisannya “Essai sur l’Architecture” (2004) berupaya
untuk merumuskan dasar-dasar arsitektur secara rasional. Mengkritisi cara
pandang di Eropa yang mengandalkan keterkaitan dengan arsitektur di masa
silam sebagai legitimasi bagi penciptaan karya arsitektur, Bapa Laugier
berargumen bahwa arsitektur sebagaimana dalam pelbagai cabang seni,
semestinya dikembangkan berdasarkan prinsip asasi yang dijumpai di alam.
Prinsip ini terbentuk melalui proses yang secara jelas mengindikasikan aturanaturannya. “Simple nature” ini bisa dilacak melalui kajian terhadap kondisi asali
manusia saat berada dalam tataran primitif yang hanya mengandalkan naluri
alamiahnya semata tanpa bantuan ataupun panduan dari orang lain.
Dengan kedekatannya kepada alam dengan pemahaman alamiahnya yang
tak tercemari oleh hal-hal lain, manusia, dalam pandangan Laugier membangun
pondok asal-muasal (primitive hut) sebagai bentuk arsitektural yang paling alami.
Pondok ini mewujudkan relasi universal antara bentuk dan kebutuhan. Laugier
menggambarkan pondok ini sebagai empat pokok pohon dengan batang dan akar
kokoh yang tertanam dalam konfigurasi segi empat. Bagian atas pohon-pohon
tersebut dihubungkan dengan empat batang yang berperan sebagai gelagar.
Batang melintang ini menopang cabang dan ranting di atasnya yang tersusun
55 serupa atap pelana. Tiang (post), gelagar (beam) dan segitiga atap (pediment)
yang tersusun seperti inilah yang merupakan komponen dan komposisi pokok
dan asali suatu arsitektur yang akan menjadi rujukan bagi semua ciptaan
berikutnya. Dia menegaskan bahwa dengan mendekatkan model sederhana yang
pada dasarnya merupakan model konstruksi ini kesalahan kesalahan mendasar
dapat dihindarkan dan kesempurnaan sejati dapat dicapai. Dengan demikian,
arsitektur dipandang baik bukan karena menerapkan perhitungan geometri yang
diwarisi dari tradisi lama yang menjamin keselarasan namun karena memiliki
kejelasan konstruksi dan sistem struktur.
Gambaran pondok asal yang bersifat “paradigmatik” yang diajukan Laugier
sangat menekankan pada arsitektur yang berdiri kokoh pada tempat
kedudukannya. Secara harfiah wujud ini ditampilkan pada ilustrasi halaman
pembuka risalahnya lantaran empat pokok pohon tersebut masih bertaut dengan
akar yang tetap terhunjam pada tempat tumbuhnya. Pokok pohon dengan bagian
bawah yang berupa akar yang telah tumbuh terhunjam secara alami dalam masa
yang lama dan bagian atas yang dipangkas sesuai dengan kebutuhan manusia ini
adalah titik kritis perjumpaan dan keterpaduan antara “nature” dan “culture”.
Bangunan asal ini menjadi ungkapan bahwa “culture” yang dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia menjadi sahih karena langsung terhubung dengan
akar-akar prinsip alaminya.
Dalam risalahnya, Laugier memosisikan konstruksi bukan sekedar sebagai
sarana pragmatis untuk dapat mewujudkan bentuk tertentu dan mengakomodasi
kebutuhan tertentu tapi menjadi ungkapan yang paling mendasar dan hakiki yang
menjadi landasan untuk penciptaan arsitektur.
b) Ruskin dan Landasan Moral bagi Arsitektur yang Abadi
Di antara teorisi yang paling menonjol pertengahan abad ke-19 adalah John
Ruskin (1819-1900) di Inggris, Eugene Emmanuel Viollet-le-Duc (1814-1879) di
Perancis dan Gottfried Semper (1803-1879) di Jerman. Ketiganya memiliki
kesamaan dalam menolak Arsitektur Klasik sebagai rujukan tertinggi bagi
56 penciptaan arsitektur. Ketiganya juga meyakini arsitektur haruslah kembali
kepada sifat-sifat bendawinya, karena hanya dengan pemahaman mendalam
tentang sifat-sifat tersebut arsitektur yang baik akan dapat ditemukan.
John Ruskin berupaya untuk merumuskan teori arsitektur yang sahih tanpa
harus menyatakan secara eksplisit tentang penemuan arsitektur baru di zaman
yang sedang berubah ini. Dalam buku pertamanya, The Seven Lamps of
Architecture (1849), Ruskin menegaskan pentingnya landasan moral bagi
penciptaan arsitektur yang ditujukan untuk perbaikan sosial. Dengan sepenuhnya
mengabaikan Vitruvius dan para teorisi Renaisans, dia mengundang para patron,
arsitek dan pekerja bangunan untuk bersama-sama menciptakan arsitektur
unggulan yang dilandasi oleh “kejujuran” yang akan menghasilkan keindahan.
Risalahnya disusun dalam format kerangka evaluasi yang dibaginya ke
dalam tujuh “lamps” atau “pelita” yang akan mencerahkan arsitektur. Yang
pertama adalah “pengorbanan” (sacrifice) yang mengajak semua pihak untuk
mengkontribusikan dana yang memadai, kecermatan perancangan, material
pilihan dan keterampilan pengerjaan guna mewujudkan suatu karya arsitektur
yang terbaik. Kriteria “kebenaran” (truth) berkenaan dengan kejujuran bahan
bangunan dan komposisi struktural. Suatu karya arsitektur semestinya
menampilkan bahan bangunan apa adanya sehingga tak menyerupai bahan
bangunan lain. Begitu pula prinsip dalam komposisi struktural. Suatu bangunan
semestinya
mengungkapkan
bagaimana
proses
pembentukan
dan
cara
konstruksinya sehingga tak rancu dengan cara konstruksi yang lain. Kriteria
“kekuatan” (power) diartikan sebagai kemampuan bangunan untuk tampil secara
mengesankan pada pengamatnya. Ruskin membagi kesan tersebut menjadi
“agung” yang menunjukkan skala yang besar, ekspresi yang lugas, dan bias
cahaya yang dramatik, serta “indah” yang menampilkan keanggunan, kerumitan
dan kehalusan. “Keindahan” (beauty) adalah kriteria yang dikaitkan dengan
ketepatan penggunaan ornamen agar dapat meningkatkan kualitas penampilan
bangunan dan bukan sebaliknya.
57 Adapun kriteria yang kelima adalah “kehidupan” (life) yang dia kaitkan
dengan motif, keragaman dan komposisi yang dinamis yang mengesankan
kehidupan. “Kenangan” (memory) adalah kriteria keenam yang dikaitkannya
dengan nilai puitis dan inspirasional suatu bangunan dari masa silam, baik yang
berada di lingkungan perkotaan maupun di perdesaan. Hal ini mendorong untuk
dilakukan pelestarian pada bangunan-bangunan yang menyandang kriteria
tersebut. Kriteria yang terakhir adalah “kepatuhan” (obedience) yang
menekankan pada evolusi kultural yang menjadi titik tengah antara kebekuan
rujukan pada arsitektur masa silam dan kebebasan mengumbar kreativitas bentuk
tanpa arah.
Dalam kaitannya dengan konsepsi tentang kepanggahan, kriteria pertama
Ruskin adalah landasan terpenting. Karena semua pihak telah melakukan
“pengorbanan” untuk dapat menghasilkan karya arsitektur terbaik, maka produk
dari pengorbanan tersebut adalah sesuatu yang sempurna.
Ruskin memandang arsitektur sebagai suatu proses transformatif. Dalam
proses ini manusia mencipta dengan mengubah bahan bangunan sehingga
terwujud suatu bangunan yang baik dan paripurna. Untuk itu dia mengawali
risalahnya dengan Sacrifice atau pengorbanan yang mendorong kita untuk
sepenuh hati merelakan material terpilih dan mengkontribusikan upaya terbaik
dalam penciptaan arsitektur. Kesungguhan dalam “menginvestasikan” keduanya
akan menjadi dasar bagi kualitas arsitektur yang dihasilkan. Berbeda dengan
Alberti yang mengangkat figur arsitek sebagai yang memiliki kecerdasan utama
sehingga menghasilkan produk rancangan yang paripurna, Ruskin meyakini
bahwa kontribusi berbagai pihaklah yang menghasilkan arsitektur yang baik.
Kebenaran adalah pelita yang kedua yang akan tercapai jika kita
membentuk arsitektur tersebut secara jujur baik dari segi karakteristik
materialnya maupun teknik pembuatannya. Batu haruslah tetap tampil sebagai
batu, ukiran haruslah dibuat dengan tangan dan bukan dengan mesin yang
menghasilkan produk menyerupai kriya tangan manusia. Sekeping terakota yang
58 dibuat dengan kecermatan tangan lebih bernilai dari sebungkah pualam yang
dipotong dengan mesin, begitu Ruskin (1849: 57) memberikan contoh tentang
keterkaitan antara nilai material dan nilai kekriyaan. Sifat alami bahan dan jejak
cara pembuatan semestinya tidaklah lenyap jika arsitektur telah rampung
dibentuk.
Sekali suatu arsitektur yang baik telah terbentuk maka bangunan tersebut
menjadi obyek yang sempurna dan rampung dicipta. Di akhir penciptaan, ketika
ketujuh nilai luhur telah terpenuhi, arsitektur menjadi bagian dari keabadian.
Bahkan jika pada kenyataannya bangunan dalam jangka waktu yang lama
menjadi
lapuk
dan
lekang
kita
tak
boleh
memperbaikinya
apalagi
mengembalikannya kepada kondisi semula. “We have no right whatever to touch
them. They are not ours. They belong partly to those who built them, and partly
to all the generations of mankind who are to follow us” (Ruskin, 1849: 186).
Realitas bangunan yang melapuk tak menyurutkan nilainya sebagai karya
arsitektur yang pernah dicipta dengan landasan yang baik.
Dengan cara pandang tersebut, Ruskin tidak menafikan realita bahwa
seiring dengan perjalanan waktu, suatu bangunan akan mengalami kerusakan
alami. Cara terbaik untuk menanggulangi dari kerusakan tersebut bukan dengan
melakukan perbaikan pada bangunan tapi mengantisipasinya dengan kembali
pada kriteria pertama, bahwa bangunan yang dibuat dengan material, teknik dan
kecakapan
yang
sempurna
akan
tahan
menghadapi
kerusakan
alami.
Kepanggahan menjadi sifat yang niscaya pada bangunan yang diwujudkan
dengan pengorbanan dan kejujuran sepenuhnya.
c) Viollet-le-Duc dan Kebenaran Metoda Konstruksi
Menulis di ambang awal Era Modern di Perancis pada saat yang hampir
bersamaan dengan Semper, Eugene-Emmanuel Viollet-le-Duc (1814–79)
membangun teori yang memberikan dukungan bagi arsitektur untuk dapat
menemukan bentuk yang baru seusai dengan perkembangan jaman untuk
menandingi kubu Ecolé des Beaux-Arts yang berkutat dengan komposisi bentuk
59 yang didasarkan pada rujukan kesejarahan. Hearn (2003:13) mengajukan ViolletLe-Duc sebagai “bapak sejati arsitektur modern” karena dia adalah teorisi
arsitektur yang paling sistematis dan komprehensif setelah Alberti. Sebagaimana
Laugier, dia berusaha untuk merumuskan prinsip arsitektur yang abadi dan
universal. Prinsip ini haruslah tak terikat pada kecenderungan dan situasi sesaat
ataupun pada rujukan kesejarahan yang terikat dalam konteks ruang dan waktu
tertentu.
Viollet-le-Duc mengajukan teori bahwa penciptaan arsitektur dipengaruhi
oleh dua prinsip, yakni yang bersifat konstan dan yang bersifat variabel. Di
antara prinsip yang konstan adalah sifat-sifat alami material, sedangkan di antara
prinsip variabel adalah faktor sejarah dan sosial. Dengan penekanan pada yang
konstan, dia merumuskan lebih lanjut bahwa membangun, bagi seorang arsitek,
adalah menggunakan material sesuai dengan sifat-sifat alaminya yang hakiki
guna memenuhi tujuan pembangunan dengan cara yang paling sederhana dan
paling kuat. Pada dasarnya, membangun adalah “memberikan kepanggahan pada
suatu strukur yang dibangun” (to give the built structure an aspect of
permanence) (Viollet-le-Duc, Dictionnaire, dikutip oleh Kruft, 1994: 283).
Prinsip-prinsip logis tentang material dan struktur ini diyakini Viollet-leDuc sebagai bersifat abadi, bahkan dapat melampaui realitas fisis empiris obyek
yang dibangun. Sebelum banyak menulis tentang arsitektur, dia lebih dikenal
sebagai ahli pemugaran bangunan bersejarah. Dengan cara pandang ini, dia
mengembangkan pemahaman yang berbeda tentang restorasi bangunan
bersejarah. Viollet-le-Duc merumuskan bahwa restorasi pada dasarnya bukanlah
mengembalikan suatu bangunan kepada kondisi asli yang pernah ada pada suatu
masa tertentu tetapi mengembalikan bangunan kepada prinsip struktural yang
paling logis yang diyakininya memiliki kebenaran absolut sehingga bahkan dapat
dipergunakan untuk “mengoreksi” bangunan dari masa silam.
60 Dalam risalahnya yang paling komprehensif, Entretiens sur l’architecture
yang ditulis menjelang akhir abad ke-19, Viollet-le-Duc (1987) menekankan hal
tersebut sebagai “kebenaran” (true) yang harus dicapai dalam arsitektur:
In architecture there are two necessary ways of being true. It must be
true according to the program and true according to the methods of
construction. To be true according to the program is to fulfil exactly
and simply the conditions imposed by needs; to be true according to
the methods of construction is to employ the materials according to
the qualities and properties . . . purely artistic questions of symmetry
and apparent form are only secondary conditions in the presence of
our dominant principles (Viollet-le-Duc, 1987: 446).
Bagi Viollet-le-Duc, prinsip-prinsip tersebut bukan hanya alat bantu untuk
mengarahkan
rancangan,
tapi
adalah
“kebenaran”
yang
wajib
untuk
diungkapkan. Bangunan secara bendawi mungkin akan rusak dan lapuk, tapi
“kebenaran” pada bangunan yang dirancang dengan baik akan tetap abadi.
Bentuk arsitektur Gothik misalnya yang langsing, menjulang dan terawang,
dalam pemahaman Viollet le-Duc tercipta karena pemahaman yang benar
terhadap sifat-sifat fisis batu dan prinsip strukturnya yang rasional.
Dalam terminologi Vitruvius, Viollet le-Duc hanya berkonsentrasi pada
aspek firmitas dan utilitas, sedangkan venustas yang tak terkait dengan kedua
prinsip yang pertama hanyalah “secondary condition” yang tak mendapat
penekanan yang setara. Dengan cara pandang ini, bangunan yang dirancang
dengan struktur yang rasional tidak serta merta menjadi indah. Akan tetapi, tidak
ada bangunan yang indah yang tak memiliki struktur yang dirancang secara
rasional (Hearn, 2003). Ornamen dan elemen dekoratif lainnya hanya akan
mendapat tempat dalam arsitektur sejauh mampu mengungkapkan prinsip-prinsip
strukturnya secara estetis.
Rumusan tentang kedua “kebenaran” ini memberikan dorongan bagi
arsitektur untuk berkembang secara progresif dengan mengambil rujukan yang
sesuai dengan jamannya. Kebutuhan manusia sebagai hal yang penting untuk
dipenuhi oleh arsitektur secara efisien berkembang secara dinamis. Begitu pula
61 material baru yang dihasilkan oleh industri modern mendapat tempat yang layak
dalam arsitektur sejauh kita dapat memahami sifat-sifat fisis asasi material
tersebut sehingga dapat menerapkannya ke dalam struktur yang paling logis guna
mendapatkan wujud baru arsitektur.
Penekanan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia menjadikan Viollet
le-Duc lebih mementingkan pada penciptaan ruang melalui perancangan struktur
yang rasional dan jujur, ketimbang pada penciptaan bentuk yang estetis. Dia
memberikan contoh tentang perancangan auditorium untuk 3.000 orang.
Kebutuhan bangunan auditorium itu dipenuhinya dengan merancang bangunan
berkubah berangka baja dengan struktur polihedron serupa kubah geodesik yang
tampak jelas dari ruang di bawahnya. Bangun polihedron diperhitungkannya
sebagai bentuk struktural yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan
tersebut haruslah tampil secara ekspresif pada ruang dalam.
Dengan demikian Viollet-le-Duc menekankan bahwa bangunan yang dapat
memenuhi tuntutan fungsi dengan struktur yang rasional dan ekspresif telah
memenuhi kedua kebenaran yang mendasar dalam arsitektur. Dengan pemenuhan
ini maka keberadaan fisik bangunan layak untuk diabadikan sehingga ketika
entitas fisik bangunan tersebut mengalami kerusakan maka dapat dilakukan
perbaikan mengingat rujukan logisnya sudah terbentuk sejak bangunan
diciptakan.
d) Semper dan Kebutuhan Hakiki Berarsitektur
Gottfried Semper, sebagaimana Laugier, menyandarkan teori arsitekturnya
pada awal mula penciptaan bangunan. Berbeda dengan Laugier yang
merumuskan suatu prototipe arsitektur yang dianggap sahih untuk memberikan
penjleasan tentang susunan dasar elemen-elemen bangunan, Semper meyakini
bahwa asal muasal arsitektur bersifat jamak sehingga dapat memiliki wujud yang
beragam. Gagasan Semper tentang kejujuran material yang bersifat rasional juga
berkesesuaian dengan gagasan yang berkembang pada pertengahan abad ke-19
yang menjadi landasan bagi rasionalisme struktural arsitektur modern.
62 Hal yang paling asali bagi Semper dalam penciptaan arsitektur bukanlah
perumusan prototipe arsitektur yang akan menjadi rujukan melainkan
pemahaman terhadap teknik-teknik primordial yang membentuk arsitektur yang
didasari oleh kebutuhan asasi manusia. Dengan memosisikan arsitektur sebagai
seni terapan yang menggabungkan antara tuntutan pragmatis dan simbolis,
Semper (1989) merumuskan teknik-teknik tersebut dalam risalahnya yang
tentang elemen-elemen asasi arsitektur.
Semper mengajukan empat teknik asali dalam penciptaan arsitektur. Yang
pertama dan paling mendasar adalah membentuk tanah liat dengan teknik
keramik sehingga menjadi tungku. Dalam pengamatan Semper terhadap sejumlah
bangunan awal, tungku perapian adalah landasan fundamental tentang
keberadaan manusia yang mapan. Manusia yang berhimpun di seputaran api
adalah cikal bakal terbentuknya tatanan sosial. Dalam menjaga keajegan api
dalam tungku tersebut manusia membentuk elemen-elemen bangunan lainnya
dengan tiga teknik yang paling mendasar. Semper menggambarkan tentang asal
muasal bangunan sebagai tindakan komunal:
Around the hearth the first groups assembled; around it the first
alliances formed; around it the first rude religious concepts were put
into the customs of a cult. Throughout all phases of society the hearth
formed that sacred focus around which the whole took order and
shape. It is the first and most important, the moral element of
architecture. Around it were grouped the three other elements; the
roof, the enclosure and the mound, the protecting negations or
defenders of the hearth’s flame against the three hostile elements of
nature (Semper, 1989: 102).
Setelah merumuskan teknik membentuk secara plastis untuk membuat
tungku, Semper (1989: 102-3)merumuskan lebih lanjut ketiga teknik yang lain.
Dengan teknik tumpukan atau pasangan (masonry) manusia menyusun batu
sehingga menjadi landasan atau sub-struktur yang akan membentuk pelindungan
di bawah. Dengan teknik ketukangan (carpentry) dia mencipta atap yang bersifat
tektonis yang melindungi dari atas. Pelindungan dari samping dan pembagian
63 ruang terbentuk melalui teknik menganyam sehingga menghasilkan pelingkup
(enclosure).
Keempat teknik yang mengasilkan keempat ragam elemen asasi tersebut
menjadi pembentuk utama arsitektur. Berpangkal pada upaya bersama untuk
membangun perlindungan bagi api agar dapat tetap menyala abadi arsitektur
terbentuk melalui teknik-teknik tersebut.
Meskipun pembentukan elemen dengan teknik keramik adalah tindakan
yang paling asasi dalam arsitektur, yang paling menyita perhatian Semper adalah
seni menganyam serupa tekstil sehingga membentuk pelingkup. Semper (2004)
menekankan pada pembahasan tentang pembuatan selubung (cladding) dan
pelapisan (incrustation) yang seringkali terlewatkan dalam pembahasan
arsitektur yang berfokus pada aspek struktural di masa itu. Berawal dari teknikteknik pelapisan rangka yang memberi bentuk dan wujud pada bangunan,
Semper menelaah secara mendalam tentang prinsip-prinsip menganyam.
Dalam kajian tentang teknik menganyam tersebut, Semper menjumpai
bahwa teknik ini mengandung hal yang paling fundamental bagi manusia dalam
menciptakan karya-karyanya. Simpul (knot) adalah teknik yang paling asasi yang
mengandung “energi” dasar penyatuan unit-unit yang semula terpisah menjadi
suatu kesatuan. Bukan hanya secara pragmatis, penyatuan ini juga memiliki
muatan kosmis sebagai asal mula tindakan manusia. Ditegaskannya bahwa, “The
knot is perhaps the oldest technical symbol and, as I have shown, the expression
for the earliest cosmogonic ideas that arose among nations” (Semper, dikutip
dalam Hvattum, 2009: 68).
Membahas arti penting simpul sebagaimana digagaskan Semper, Hale
(2009)
mengungkapkan
bahwa
berbagai
mitos
penciptaan
dan
ritual
menunjukkan universalitas teknik membuat simpul ini sebagai perwujudan
“menjadi” (becoming) yang mengungkapkan tatanan yang muncul dalam ruang
dan waktu tertentu. Membuat simpul adalah tindakan fundamental dalam
membentuk elemen serupa tekstil yang unik tapi sekaligus berulang-ulang secara
64 bermakna. Simpul adalah upaya manusia untuk menyatukan sehingga menjadi
tindakan yang produktif dan bermakna.
Dalam memahami arti penting teori Semper tentang pembuatan simpul ini,
Hale (2009) mengajukan beberapa hal penting. Perjumpaan antara material dan
bentuk dalam proses “menjadi” sebagaimana terwujud dalam pembuatan simpul
adalah “tectonic event” yang memberikan gambaran di satu sisi tentang proses
penciptaanya, di sisi lain tentang proyeksi ketika bangunan akan berinteraksi
dengan penggunanya. Dalam kaitannya dengan kajian tentang kepanggahan ini,
Hale (2009) menegaskan tentang pentingnya dimensi temporal dalam proses
penciptaan unit-unit dasar yang membentuk arsitektur yang dapat terjadi secara
berulang.
2.2
Ketidak-panggahan dalam Kajian Arsitektur Nusantara
Minat untuk memahami arsitektur di Nusantara secara lintas wilayah
berkembang dengan baik belakangan ini, terutama setelah kajian komprehensif
yang dilakukan oleh Waterson tentang “Living House” (1990) yang didasari pada
teori Levi-Strauss tentang “masyarakat [berbasis] rumah” atau societe à maison
dan kajian Domenig (1980) yang berfokus pada tektonika atap bangunan
tradisional Nusantara. Kedua kajian ini memiliki kesamaan dalam upaya mereka
untuk merumuskan fitur-fitur arsitektural lintas etnis di Indonesia meskipun yang
pertama menggunakan pendekatan antropologis sedangkan yang kedua
menggubakan pendekatan tektonis.
Dengan mengkomparasikan bangunan-bangunan dengan ujung atap
menjorok (protruding gable atau kraggiebel), Domenig (1980) membangun
teorinya tentang asal muasal dan evolusi arsitektur di Nusantara. Dia mengajukan
hipotesis bahwa arsitektur di wilayah ini pada mulanya adalah gubug yang
terbuat dari susunan kayu berbentuk kerucut. Dengan penambahan sepasang
tiang, yang kemudian berkembang menjadi empat untuk menandai pusatnya yang
sakral serta batang mendatar pada puncak bangunan yang kemudian berkembang
65 menjadi bubungan yang menjorok, sosok dasar cikal bakal arsitektur itu pun
berkembang dengan keragaman yang luar biasa banyaknya. Argumen-argumen
tektonisnya memberikan pemikiran yang lebih masuk akal ketimbang sekedar
berspekulasi bahwa para leluhur membuat atap menjorok dengan merujuk pada
bentuk kapal sebagaimana dilakukan banyak peneliti sebelumnya.
Meskipun tak secara langsung merujuk pada kajian Domenig (1980),
Prijotomo (2006) dalam karya utamanya (Re)Konstruksi Arsitektur Jawa
merumuskan kembali sejumlah hal mendasar dalam arsitektur Jawa yang
memiliki keterkaitan dengan teorinya tentang keterkaitan antara komponen
bangunan melalui kajian tekstual. Dia menelaah 18 naskah yang kemudian dapat
dirunut berasal dari dua korpus saja, yaitu Kawruh Griya dengan 13 resensi serta
Kawruh Kalang yang mempunyai 5 resensi. Dia menemukan bahwa beberapa
naskah tersebut disebutkan bahwa rumah berbentuk tajug atau beratap serupa
piramida adalah asal dari semua bentuk atap lainnya. Dalam telaahnya Prijotomo
membangun teori bahwa konstruksi bawah (tiang dan balok) dan konstruksi atas
(atap) pada dasarnya berkembang secara terpisah. Bidang yang terbentuk atas
susunan gelagar (blandar dan pengeret) dibentuk sebagai pertemuan antara
keduanya.
Dalam
pertemuan
inilah
bentuk
bangunan
(dhapur
griya)
dikembangkan menjadi berbagai ragam dengan penciri utamanya pada bentuk
atap sedangkan keempat saka guru atau tiang utama berkembang membentuk
ruang-ruang di bawah atap.
Kajian lintas wilayah yang tampil berikutnya adalah yang disusun oleh
Schefold, Nas, Domenig, Wessing (2008; 2 vol.) Kajian tentang hubungan antara
kontinuitas dan perubahan diakronis dalam berbagai arsitektur di Nusantara
(khsusunya di Indonesia Barat) dengan mengasumikan Indonesia sebagai “field
of anthopologigal studies”. Jarzombek (2013) menyusun kajian tentang First
Societies di berbagai penjuru dunia. Kajian tentang arsitektur masyarakat agraris
pra-modern di antaranya yang terdapat di Indonesia dengan penekanan pada
66 aspek “global” dengan kerangka lintas sejarah dan satuan keruangan. Dia
mengelompokkan kepulauan Nusantara berdasar sebaran hortikultura di
kepulauan Asia-Pasifik.
Dalam kaitannya dengan kajian tentang ketidak-panggahan ini yang paling
relevan adalah buku Domenig (2014). Setelah penerbitan tulisan utamanya lebih
dari 30 tahun berselang (Domenig, 1980) tentang “arsitektur atap”, Domenig
(2014) memublikasikan Religion and Architecture in Pre-Modern Indonesia
yang banyak terkait dengan anasir yang tak panggah dan praktik yang terkait
dengan anasir tersebut. Sebagaimana judulnya, Domenig (2014) meyakini bahwa
sebagian besar penduduk di kepulauan Nusantara semula memiliki keyakinan
dan praktik-praktik terkait keyakinan tersebut banyak memengaruhi cara mereka
berarsitektur dan membentuk ruang. Meskipun sebagian besar praktik tersebut
telah terhapus dengan datangnya agama-agama universal baru khususnya agama
monoteistis seperti Kristen dan Islam serta maraknya modernisme, jejak cara
lama berarsitektur tersebut masih dapat dilacak melalui kajian terhadap catatan
etnografis, artefak dan sisa-sisa praktik yang masih terlestarikan.
Domenig (2014) menggarisbawahi sejumlah hal penting yang terkait
dengan ketidak-panggahan yang dipahaminya berkaitan dengan upaya manusia
membangun pertalian dengan leluhur secara intensif dalam ruang hidup mereka.
Dalam kepercayaan awal ini, pemujaan leluhur pada dasarnya dilakukan dengan
menghadirkan arwah mereka yang tinggal di langit di kediaman para pemujanya
di muka bumi. Fitur fisis yang pertama dibahasnya dalam kaitannya dengan
penghadiran leluhur itu adalah altar pemujaan di ruang terbuka yang berhias
dedaunan dan elemen vegetal lainnya. Bersama dengan sesaji yang diletakkan di
atas altar, keindahan hiasan dari tumbuhan segar tersebut dipercaya untuk
memikat leluhur agar turun ke bumi. Tajuk tetumbuhan segar yang menghiasi
altar tersebut dikaitkan Domenig (2014) lebih lanjut dengan pembentukan atap
bangunan-bangunan pemujaan yang secara simbolis merupakan penerjemahan
dari altar di ruang terbuka tersebut. Pada altar yang terletak di platform tinggi
67 dibuatlah “tangga arwah” (spirit ladder) agar leluhur yang mengunjungi altar
turun menjejak bumi kediaman mereka. Sesudah menapak bumi, para leluhur
diantarkan melalui “jalur arwah” (spirit pathway) yang dibentuk dengan penanda
yang panggah dan tak panggah.
Rumah yang dibentuk sebagai transformasi dari altar pengundang arwah
yang terbuka berhias dedaunan dibuat dengan ujung-ujung atap yang menonjol
serta penutup bidang segitiga atap yang memiliki bentuk ragam hias serupa
tumbuhan. Ritus-ritus terkait pemasangan elemen-elemen tersebut memperkuat
pemahaman tentang fungsi keagamaan bagian ornamental ini. Lebih lanjut,
Domenig (2014) menengarai tentang atap rumah-rumah di Nusantara yang
menjulang tinggi atau menjorok jauh sebagai bagian bangunan yang relatif tak
stabil. Dia mengajukan argumen bahwa usuk yang berjajar diagonal membentuk
atap yang menjulang dan bubungan yang membentuk atap menjorok itu adalah
jalur perlintasan arwah leluhur.
Gambar 2.1. Rumah Batak Toba dengan elemen tangga dan vegetasi yang kuat
(Domenig, 1980: 146)
68 Kajian Domenig (2014) membahas rumah dari berbagai suku di Nusantara
tapi sangat sedikit membicarakan Jawa yang merupakan kelompok etnis terbesar
di kepulauan ini. Sementara, kajian Rassers (1982) tentang budaya Jawa yang
dipublikasikan pada awal abad keduapuluh menunjukkan fenomena yang serupa.
Dengan memelopori paradigme strukturalis yang memosisikan elemen-elemen
budaya secara diametral, Rassers (1982) menekankan tentang peran kobongan
atau krobongan sebagai elemen esensial dalam rumah Jawa yang dipahaminya
terdiri atas dua bagian utama dengan sifat-sifat yang saling bertentangan yakni
pendopo dan omah mburi. Krobongan yang ada di dalam jantung omah mburi
pada dasarnya adalah “kuil kesukuan” (tribal temple) yang diwujudkan untuk
menyambut kehadiran Sri, dewi kesuburan dan leluhur orang Jawa. Secara
simbolis, krobongan merupakan manifestasi dari kayon atau pohon hayat. Saat
upacara pernikahan ketika krobongan menjadi fokus ritual sebagai pelaminan,
tempat ini dihiasi dengan kembar mayang yang dibuat dari dedaunan segar (h.
246). Omah mburi adalah wilayah perempuan sehingga upacara pernikahan yang
diselenggarakan oleh pihak mempelai perempuan difokuskan pada krobongan.
Berbeda dengan pernikahan, khitanan yang merupakan upacara yang
diperuntukkan, dilaksanakan dan dihadiri oleh laki-laki harus menggunakan
tempat selain krobongan yang ada di ranah perempuan. Untuk itu dibuatlah
bangunan di luar yang juga disebut krobongan yang biasanya didirikan di dekat
pendopo. Kadang bangunan luar ini disebut tratag (bangunan temporer), tarub
(bangunan dihias rumbai daun kelapa) atau kebon alas (kebun hutan). Rassers
berargumen bahwa bangunan tak-panggah yang dihias dengan dedaunan ini
merupakan perwujudan dari rumah leluhur laki-laki orang Jawa sebagai pasangan
dari krobongan di omah mburi.
Kajian Rassers (1982) tentang arsitektur Jawa dan Domenig (2014) tentang
arsitektur berbagai suku di luar Jawa saling menguatkan pemahaman tentang
69 relasi antara ritus penghadiran leluhur, bangunan temporer berhias dedaunan dan
rumah kediaman yang melandasi pembentukan lingkungan binaan di Nusantara.
2.3
Landasan Teori: Klassen dan Norberg-Schulz
2.3.1.
Landasan Teori: Teori Klassen tentang The Process of Architecture
Winand Klassen adalah seorang agamawan dan ilmuwan arsitektur dari
Jerman yang mengajar di University of the Phillippines dalam waktu yang lama. Hal
ini memengaruhi cara pandangnya terhadap arsitektur yang dipahami sebagai suatu
ciptaan utama—sebagaimana penciptaan manusia dalam tradisi Alkitabiah—yang
kemudian terlibat dalam kehidupan.
Arsitektur pertama-tama dipahami sebagai suatu objek yang dibuat. Dalam
pembuatannya, arsitektur terwujud sebagai bentuk (form) dalam suatu proses yang
terjalin dengan arsitektur sebagai benda fisik. Bentuk memiliki riwayatnya sendiri
untuk terwujud secara aktif menjadi nyata melalui perwujudan bendawi arsitektur
dalam proses perancangan. Di satu sisi seorang perancang mencipta bentuk, di sisi
lain dia menjadikan bentuk yang telah ada atau bahkan asali sebelum dia mulai
merancang menjadi nyata. Penciptaan bentuk dapat dipahami sebagai letting-be
process atau menjadikan bentuk.
Dalam pembuatan arsitektur sebagai perwujudan bentuk dengan menyusun
material ada dua hal yang berperan sebagai modifying factors, yakni, teknik dan
fungsi. Keduanya perlu untuk dipertimbangkan dalam penciptaan bentuk arsitektur
menjadi nyata. Arsitektur, dengan demikian telah difungsikan dalam benak
perancangnya sejak dalam proses penciptaannya dan dalam riwayat hidup bentuk
yang melandasinya.
Setelah arsitektur terwujud, pengguna akan melibatkan diri di dalamnya
untuk mengalami (experiencing) arsitektur tersebut. Mengalami tidaklah sepenuhnya
pasif sebagaimana membuat juga tak selamanya aktif. Sepanjang proses mengalami
tersebut, pengguna melalui persepsi dan pengalamannya menjalin hubungan dan
berusaha mengungkapkan bentuk bangunan. Setiap bangunan menjalin pengalaman
70 pragmatis, namun bangunan tertentu membangkitkan pengalaman estetis (aesthetic
experience).
Proses membuat arsitektur dan mengalami arsitektur dihubungkan oleh
proses memahami arsitektur (understanding architecture). Apakah arsitektur
mengungkapkan kebenaran ataukah arsitektur mengungkapkan keindahan adalah dua
pertanyaan utama yang menantang dalam proses memahami arsitektur ini. Dalam
tataran yang lebih mendasar, memahami arsitektur ini terkait dengan matra internal
untuk memahami diri sendiri dan matra eksternal untuk memahami alam semesta.
Proses membuat, mengalami dan memahami arsitektur dengan demikian
dilakukan secara simultan oleh pembuat dan penggunanya.
a)
The Making of Architecture
Membuat adalah suatu tindakan untuk menjadikan sesuatu ada, seniman
menorehkan cat atau Tuhan bersabda mencipta. Bangunan atau ruang itu sendiri
memiliki kehendak untuk mengada menjadi arsitektur, sehingga pembuat menjadikan
nyata sesuatu yang telah memiliki hakekat keberadaan sebelum dia bertindak. Dalam
pandangan Louis I. kahn dan Frank L. Wright yang hakiki ini adalah ruang (space)
yang memiliki kehendak untuk mengada dan berupa kehampaan yang bermakna.
Heidegger (2001) mengembangkan pemahaman filosofis terhadap sisi
bendawi arsitektur, sebagai bangunan yang dihasilkan dari kegiatan membangun.
Dengan argumen bahwa “mengada” (being) pada hakekatnya bersifat “keruangan”
(spatial), Heidegger menekankan pentingnya manusia “berkediaman” (dwell) untuk
mewujudkan keberadaannya di muka bumi. Berkediaman memiliki dua sisi:
“memelihara” (cultivate) dan “membangun” (build). Memelihara berarti melestarikan
dan menjaga suatu tempat yang diyakini mampu menjadi landasan manusia mengada.
Memelihara dalam hal ini bisa dilakukan tanpa membuat apapun. Di sisi lain,
membangun adalah mengkonstruksikan sesuatu secara bendawi. Penekanan terlalu
dominan pada mengkonstruksikan acapkali menjadikan makna berkediaman menjadi
kabur (Klassen, 1990: 21).
71 Membangun berkatian erat dengan berkediaman (to dwell) dan mengada (to
exist). Membangun pada dasarnya adalah berkediaman (building is really dwelling),
sedangkan berkediaman adalah cara manusia mapan di muka bumi. Berkediaman
adalah cara manusia menyatakan keberadaannya dalam kaitannya dengan relasi “lipat
empat” yakni: bumi atau lingkungan sekitarnya, langit atau jagad raya, manusia atau
sesama dan Yang Ilahi. Membuat arsitektur, dengan demikian, memiliki dua proses
yang berbeda yakni membuat objek fisis dan menjadikan sesuatu yang hakiki
terwujud nyata yaitu keberadaan dengan relasi “lipat empat” tersebut. Bangunan
dalam artian umum adalah produk fisis, yang akan menjadi arsitektur jika
menyandang proses mengada dari yang hakiki.
Dalam pembuatannya, arsitektur diwujudkan sebagai konstruksi melalui
“techne” dan “poiesis”. Dalam bahasa Yunani, techne dipahami sebagai keterampilan
atau kerajinan meskipun lebih tinggi dari sekedar keterampilan untuk pekerjaan kasar,
bahkan kadang dianggap sebagai cabang pengetahuan praktis. Teknik ini diwariskan
dan dikembangkan secara turun temurun sehingga memiliki prinsip-prinsip baku.
Aristoteles mendefinisikan sebagai “kapasitas untuk membuat atau melakukan
sesuatu dengan pemahaman seacara tepat terhadap prinsip-prinsip terkait”.
Techne yang menekankan pada teknik memproduksi dibedakan dengan
“poiesis” yang bermakna mewujudkan. Klassen (1990: 22) mengungkapkan bahwa
keduanya berkaitan dengan menjadikan sesuatu ada, meskipun techne lebih
menkankan pada proses fisis sedangkan poiesis pada proses imajinatif.
Konstruksi memiliki akar kata yang berarti menebarkan tapi sekaligus
menyusun. Gambaran paling mudahnya adalah menyusun bata yang diawali dengan
menebarkan bata menjadi suatu deretan dan kemudian menyusunnya dengan sebaran
bata yang lain sehingga membentuk tumpukan, sebagaimana diyakini oleh arsitek
Mies van de Rohe bahwa menyusun bata adalah tindakan yang paling esensial dalam
mencipta arsitektur sebagai konstruksi atau baukunst.
Istilah “arsitek” dipahami Klassen (1990: 22-23) berasal dari dua akar kata
kata yakni “arkhein” yang bermakna memimpin dan mengatur dan “tekne” yang
72 menyusun, menjalin atau menganyam. Dengan demikian, arsitek berperan penting
untuk menggagaskan dan mewujudkan gagasan tersebut dengan mengkoordinasikan
para pekerja dan pengrajin lainnya.
Arsitek, sebagaimana lazimnya dalam praktik sekarang, menuangkan
gagasannya ke dalam gambar alih-alih berada terus menerus di tempat konstruksi
untuk memberi perintah dan mengarahkan para pekerja agar membuat sesuai dengan
gagasannya. Gambar menjadi medium antara gagasan—menjadikan yang abstrak di
benak arsitek menjadi nyata di atas kertas—dan arahan di lapangan yang bukan hanya
menunjukkan wujud jadi tapi juga mengungkapkan spesifikasi material, proses
membangun dan sumber daya yang semestinya diperlukan. Dengan cara ini prinsip
“firmitas” Vitruvius yang didasarkan pada pemilihan bahan bangunan dan metoda
konstruksi sehingga bangunan dapat stabil (tidak roboh) dan awet (tidak lapuklekang) dapat terwujud.
Bahan bangunan harganya mahal; menyusunnya sehingga menjadi bangunan
juga tidaklah murah. Tak seperti pelukis yang dapat membeli sendiri bahan dan alat
lukisnya untuk kemudian langsung berkarya, seorang arsitek memerlukan pihak
pengguna yang memintanya untuk berkarya. Pengguna atau calon pengguna ini
memiliki kebutuhan dan keinginan yang diharapkan dapat terpenuhi melalui
bangunan yang dibuat oleh arsitek yang kadang sulit untuk diungkapkan sehingga
menjadi tugas arsitek untuk menggalinya agar pengguna terpuaskan. Harapan
pengguna ini di satu sisi berkaitan dengan aspek-aspek kenyamanan fisis untuk
berada dan beraktivitas di dalam suatu bangunan. Di sisi lain, harapan ini
berhubungan dengan citarasa estetika dan nilai-nilai luhur.
Dengan pemosisian seperti itu, Klassen (1990: 24) memandang bahwa
utilitas atau nilai guna sebagaimana diajukan oleh Vitruvius bersifat dwi-muka
(Janus faced) yang menghubungkan antara firmitas yang bersifat material dan
venustas yang bersifat non-material. Dengan demikan, urutan penyebutan oleh
Vitruvius dengan meletakkan utilitas setelah firmitas dan sebelum venustas dapat
dipahami, Karena sentralitas guna inilah, arsitektur mengalami periode kejayaan
73 aspek utilitas yang sering disebut sebagai Fungsionalisme. Dalam kerangka ini nilai
penting slogan “form follows function” dapat dipahami.
Dalam berkarya seorang arsitek kadang menjalin keseimbangan antara
firmitas, utilitas dan venustas. Namun demikian, tak jarang pula dia memrioritaskan
pemecahan masalah dari salah satu aspek tersebut sehingga lebih dominan ketimbang
dua aspek yang lain.
Meskipun karya seni seperti lukisan dan patung dibuat dengan penekanan
pada aspek estetika, sejarah membuktikan bahwa hampir semua karya seni ketika
dicipta menyandang nilai guna sebagaimana utilitas dalam arsitektur yang cukup
penting. Karya seni untuk mengabadikan keagungan kuasa (sebagaimana di Mesir
kuna), mengenang kejayaan seorang penakluk (sebagaimana di Romawi kuna) atau
mendominasi lingkungan perkotaan (sebagaimana Eropa di masa Barok) adalah di
antara contoh nilai guna dalam karya seni tersebut.
Dengan memahami membuat arsitektur sebagai tindakan berganda, Klassen
(1990: 26-27) memahami bentuk sebagai hasil dari membuat arsitektur juga dari dua
aspek. Bentuk arsitektural yang bersifat bendawi dan teraga secara inderawi adalah
aspek yang dapat dialami (experienced aspect) dari realitas arsitektural. Akan tetapi,
bentuk juga memiliki aspek sebagai pengungkap makna yang merupakan kandungan
(content) arsitektur.
Terkait dengan pemahaman venustas sebagai kandungan utama arsitektur,
Klassen menekankan pada pilihan terminologi venustas untuk keindahan yang
bersifat luhur dan berkaitan dengan kedewaan ketimbang pulchrotido yang berarti
kemolekan rupa semata. Keindahan arsitektural bersifat superfisial sekaligus
mendalam lantaran keindahan ini serta merta dapat dilihat dan dinikmati dengan
indera tapi juga mengungkapkan keluhuran dan kebenaran yang hanya dapat dihayati
dengan rasa dan akal budi. Kalimat St. Agustinus dari Abad Pertengahan, “Keindahan
adalah pancaran Kebenaran” menjadi landasan spiritual bagi cara pandang ini.
Klassen
(1990:
28)
menengarai
bahwa
Vitruvius
tak
pernah
mengeksplisitkan hubungan antara tiga serangkai sehingga dia menafsirkan venustas
74 disebut Vitruvius dalam urutan terakhir lantaran aspek ini didudukkan sebagai puncak
kualitas arsitektur. Dengan argumen tersebut, Klassen memosisikan venustas
sebagaimana terungkap dalam bentuk atau form sebagai bentuk yang merupakan
tataran tertinggi arsitektur, sedangkan firmitas dan utilitas dikelompokkan sebagai
modifiers of form yang berada dalam tataran yang lebih rendah.
Dengan merujuk pada karya klasik Rapoport (1969), Klassen (1990: 28-29)
berargumen bahwa kedua sisi bentuk yang diajukannya berkesesuaian dengan teori
Rapoport tentang modifying factor. Aspek sosio-kultural yang mendudukkan bentuk
sebagai perangkat simbolik adalah primary modifying factors, sedangkan aspek fisis
seperti iklim, material, teknologi konstruksi dan metoda membangun adalah
secondary modifying factors.
Dalam memahami lebih lanjut tentang hubungan antara bentuk, fungsi dan
teknik, Klassen (1990: 30-1) merujuk pada skema tiga dimensi yang dikembangkan
oleh Charles Jencks dengan ketiga aspek arsitektur tersebut sebagai sumbu x, y dan z.
Ternyata di antara arsitek terkemuka yang dibahas Jencks tak ada yang menduduki
posisi seimbang dalam ketiganya. Jørn Utzon, Mies van de Rohe dan Phillip Johnson
misalnya unggul dalam bentuk tapi memiliki skor sangat rendah dalam fungsi dan
teknik. Sementara Pierre Nervi dan Buckminster Fuller sebaliknya memiliki skor
yang luar biasa untuk aspek teknik tapi sangat rendah untuk bentuk dan fungsi.
Kelihatan dari skema ini bahwa para arsitek tersebut tidak berusaha untuk
menyeimbangkan ketiga aspek utama arsitektur tapi cenderung untuk menekankan
salah satu di antara ketiganya.
Bentuk arsitektural di Era Modern banyak dikaitkan dengan makna. Klassen
(1990: 32-34) mengungkapkan bahwa manusia modern merasa teralienasi dari
sesamanya, dari dunia dan dari Tuhannya sehingga berusaha untuk mencari makna, di
antaranya melalui arsitektur. Eropa sejak masa Renaisans di abad ke-15 dan 16
membangun dunia yang berpusat pada manusia. Manusia berhasil menggeser citra
Ilahi dan menggantinya dengan citranya sendiri. Namun demikian, lama kelamaan
manusia yang mengagungkan dirinya sendiri dengan kekuatan akal budinya tersebut
75 menyadari banyak kekurangan dalam dirinya dan kesalahan yang dilakukannya.
Ketika gambaran dirinya runtuh dan tak lagi bermakna untuk diungkapkan dalam
arsitektur, manusia berupaya mencari hal lain yang hakiki.
Sebagian manusia modern meyakini bahwa “ketiadaan” (nothing) adalah
nilai mulia yang layak menggantikan keberadaan dirinya. Ketiadaan bukanlah
kehampaan yang negatif melainkan suatu kekosongan yang luhur yang bahkan
diyakini dapat dikaitkan dengan Tuhan dan manusia. Bermula dari Nietsche yang
telah mempermaklumkan “kematian tuhan”, filsafat tentang ketiadaan dikembangkan
oleh Heidegger yang dilanjutkan kemudian oleh Gadamer dan Derrida. Secara
evolutif Derrida mengungkapkan bahwa arsitektur berawal dari sistem yang berpusat
pada Tuhan yang kemudian beralih menjadi berpusat pada manusia. Pada akhirnya,
arsitektur menjadi sistem yang merujuk pada dirinya sendiri tanpa menyandang
makna selain yang berpangkal pada dirinya sendiri.
Dengan merujuk pada perkembangan awal arsitektur di Eropa, Klassen
(1990: 37-38) mengajukan argumen bahwa membuat arsitektur pada awalnya adalah
mencipta ruang dalam dengan tujuan ritualistik. Jejak mula manusia melukisi
permukaan dalam dinding gua Altamira dengan gambar-gambar yang berkaitan
dengan ritual, misalnya, adalah wujud nyata dari tindakan ini. Manusia menegaskan
ruang dalam sebagai dunia yang terpisah dari lingkungan sekitarnya dengan
membangun gerbang masuk ke dalam suatu bangunan sebagaimana masuk ke dalam
suatu kota.
Kota berisi banyak bangunan biasa dan bangunan yang memiliki nilai
arsitektur. Merujuk pada Frampton, Klassen (1990: 39) membendakan antara
bangunan biasa dan bangunan istimewa. Bangunan biasa lazimnya tak terlalu
permanen, mudah digantikan dan acapkali tak ditujukan untuk melambangkan
aspirasi atau nilai-nilai luhur. Bangunan seperti ini adalah hasil “kerja’ (labour) yang
berbeda dengan arsitektur yang merupakan bangunan istimewa sebagai hasil “karya”
(work). Sebagai bangunan yang dipentingkan, arsitektur lebih permanen dan di masa
silam biasanya lebih besar. Arsitektur juga ditujukan untuk mengekspresikan nilai
76 luhur dan tujuan mulia suatu masyarakat. Namun demikian, Klassen menyatakan
bahwa perbedaan antara bangunan biasa sebagai hasil kerja dan arsitektur sebagai
hasil karya ini lebih baik dipandang sebagai ujung-ujung ekstrem suatu spektrum
dengan sebagian besar bangunan di berbagai kisaran ranah abu-abunya ketimbang
pembedaan dikotomis yang tegas. Di abad pertengahan, antara sosok katedral yang
menjulang dengan rumah-rumah sederhana yang mirip satu sama lain dengan mudah
dapat dibedakan. Akan tetapi di masa kini, suatu toko kecil di Wina dapat dirancang
arsitek sekaliber Hans Hollein sedangkan pencakar langit yang mendominasi kota tak
ada hubungannya dengan nilai luhur Keilahian tapi menunjukkan akumulasi
kekayaaan semata.
Menanggapi spektrum pembedaan tersebut, Klassen mengajukan argumen
penting bahwa ada bangunan yang berbeda dari bangunan lain tetapi tidak terlalu
menonjol. Namun demikian, bangunan ini memiliki kualitas tertentu yang
menjadikannya berbeda dari bangunan kebanyakan. Kualitas ini tak mudah
diungkapkan, sehingga secara filosofis Klassen (1990: 39) menyatakan bahwa
bangunan ini “. . . has more form and meaning than the ordinary building because it
has more being”. Ekses bentuk dan makna ini memungkinkan bangunan untuk
berkomunikasi. Objek bersahaja menjadi penanda. Saat itu bangunan tersebut layak
disebut sebagai arsitektur.
Lebih dari sekedar ekses bentuk, bangunan tertentu memiliki keunggulan
nilai estetika yang memancarkan keindahan sehingga berbeda secara mencolok dari
bangunan lainnya. Dengan kualitas yang seperti ini maka bangunan tersebut dapat
dipahami sebagai “Arsitektur” dalam arti yang sempit.
Bangunan yang tidak memiliki bentuk yang menonjol, dalam argumen
Klassen (h. 40) berikutnya, tetap dapat dikualifikasikan sebagai arsitektur dengan
nilai keindahan yang berbeda. Dalam aspek teknik misalnya, suatu bangunan dapat
dibuat dengan pilihan material yang unggul, pembuatan komponen bangunan yang
seksama, penyambungan dengan kecermatan tinggi. Hal yang sama juga dapat
dijumpai dalam aspek fungsional. Bangunan biasa ini
77 “Science is thought, but architecture is made”, Klassen (1990: 45)
mengulang beberapa kali pernyataan ini. Dia menegaskan bahwa arsitektur adalah
objek yang dibuat sambil menyatakan bahwa dalam membuat arsitektur, pemikiran
tetap menduduki posisi yang penting.
Klassen (1990: 53) mengakhiri bahasannya tentang membuat arsitektur
dengan mengajukan sebuah paradoks. Dalam membuat arsitektur kita sepenuhnya
berurusan dengan hal-hal nyata yang bersifat fisis dan bendawi. Namun demikan, hal
yang ingin dicapai dari membuat arsitektur adalah makna, gagasan, estetika dan hal
lainnya yang bersifat meta-fisis yakni yang melampaui realitas fisis. Paradoks inilah
yang menjadikan kajian tentang membuat arsitektur akan selalu berkaitan dengan
pertimbangan filosofis.
Klassen (1990: 55) memahami bahwa bangunan adalah objek fisik yang ada
di antara objek-objek yang lain dalam lingkungan. Karena kita tak dapat mengisolasi
bangunan dari lingkungan sekitarnya, maka untuk dapat memahami suatu bangunan
sebagai objek khusus kita perlu memperlakukan bangunan tersebut sebagai sosok
(figure) dan lingkungan sekitarnya sebagai latar (ground). Dengan cara ini arsitektur
sebagai suatu entitas menjadi keutuhan Gestalt (Gestalt whole). Gestalt adalah kajian
psikologi untuk memahami kemampuan manusia dalam menerima dan membangun
persepsi terhadap suatu entitas dalam dunia yang tampaknya tidak beraturan. Kajian
ini menekankan pada suatu entitas secara holistik ketimbang semata sebagai jumlah
dari unsur-unsur penyusunnya.
Mengutip Perez-Gomez, Klassen menegaskan bahwa “the sphere of
perception is the ultimate origin of essential meanings” (1990: 62). Dengan
membangun persepsi yang komprehensif maka objek-objek yang didalami akan
mengungkapkan makna yang ada dalam dirinya ke dalam kesadaran pengkajinya.
Kemampuan mempersepsikan tersebut perlu dilatih melalui beberapa tahapan
“bracketing”. Yang pertama adalah tahapan eidietic yang mereduksi keberadaan diri
pengamat. Yang kedua adalah tahapan fenomenologis yang membebaskan objek dari
pra-konsepsi dan kesadaran pengamat.
78 Klassen merumuskan lebih lanjut bahwa mempersepsikan adalah tahapan
pertama mengalami keberadaan suatu objek. Dalam pandangan Merleau-Ponty,
persepsi sepenuhnya dibangun melalui kehadiran tubuh yang mengindera
lingkungannya. Tubuh menjadi agen bagi pengalaman dan pemahaman terhadap
lingkungannya.
Melalui persepsi ini dibangun imajinasi dalam diri pengamat. Objek estetis,
misalnya, pertama-tama dia hadir untuk dapat dipersepsikan oleh tubuh pengamatnya.
Imajinasi adalah internalisasi persepsi ke dalam diri pengamat. Merleau-Ponty
menggambarkan relasi ini dengan menekankan bahwa objek itu sendiri dibuat dengan
mengantisipasi [tubuh] pengamat yang akan melibatkan diri dengan objek yang
diamati.
Tahap ketiga atau yang terakhir dari mengalami adalah merefleksikan.
Refleksi, di satu sisi bersifat kritis, mengambil jarak dengan yang diamati sehingga
mampu untuk memberikan penilaian. Di sisi lain bersifat simpatis dengan melibatkan
diri secara penuh dengan objek tersebut.
Dalam refleksi kritis, pengamat mengakui keberadaan pembuat objek
sehingga dia perlu untuk mengambil jarak untuk dapat memahaminya. Untuk itu dia
berimajinasi sebagai pembuat yang aktif menciptakan objek tersebut. Dengan cara
pandang ini Klassen menilai bahwa mengalami tidak sepenuhnya bersifat pasif
lantaran melibatkan sisi pembuatan walaupun dalam tataran imajinatif (1990: 80).
b)
Experiencing Architecture
Sebagaimana
gubahan
musik
yang
hanya
menjadi
nyata
ketika
diperdengarkan, maka arsitektur hanya menjadi nyata jika dialami. “When
experienced, architecture is realized” (h. 52). Karena mengalami menjadikan
arsitektur menjadi nyata maka mengalami bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bersifat
pasif dengan hanya menerima objek yang telah ada. Dalam proses mengalami
arsitektur, pengguna bertindak selaku pembuat dengan mengambil peran secara
kreatif yang semula disandang pembuat saat menciptakan arsitektur. Keduanya
beralih peran (h. 54).
79 Mengalami
diawali
dan
didasarkan
pada
persepsi.
Untuk
dapat
mempersepsikan suatu objek dengan baik, pengamat perlu untuk mampu
membedakan objek tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Bangunan atau arsitektur
yang memiliki totalitas Gestalt dipandang sebagai sosok dengan lingkungan
sekitarnya sebagai latar. Totalitas Gestalt ini terbentuk di antaranya melalui hukum
integrasi, kedekatan (proximity), kesetaraan (equality), kesinambungan (continuity)
dan kesederhanaan (simplicity).
Setelah objek arsitektural dapat dipersepsikan sebagai entitas figuratif maka
persepsi dapat mulai dibangun. Mempersepsikan ruang dengan kompleksitas riwayat
ruang tersebut disebut Klassen sebagai “educated guess”. Pengamat melibatkan diri
dengan objek tersebut untuk dapat mempersepsikannya secara fenomenologis.
Heidegger menekankan pentingnya melampaui kesadaran individu dan menggali
riwayat obek tersebut melampaui keberadaannya saat ini sehingga dapat memahami
sejarah keberadaan objek tersebut sebagai proses mengada di dunia (being in the
world). Marleau-Ponty, di sisi lain menekankan pentingnya raga sang pengamat
dengan segenap sosok dan inderanya untuk dapat menjadi “agent of perception”.
Dengan membangun sphere of perception secara baik kita dapat memahami makna
yang hakiki atau essential meaning (Perez-Gomez, 1983).
Mempersepsi dikembangkan menjadi mengalami. Klassen menekankan
bahwa saat membuat arsitektur, sang pembuat sebenarnya sudah melakukan tindakan
mempersepsikan dan mengalami tersebut sebagai suatu proses mental. Berdasar
proses tersebut dia membuat dan menyempurnakan ciptaannya terus menerus
sehingga dia terpuaskan (1990: 63).
Ketika mengalami arsitektur, subjek secara langsung menjalin kontak ragawi
dengan objeknya, yang dapat dibagi menjadi dua kategori yang saling berkaitan yakni
menggunakannya
(using)
yang
menghasilkan
pengalaman
praktikal
atau
memuliakannya (consecrating) yang menghasilkan pengalaman estetis.
Keterlibatan
dalam
mengalami
memiliki
ragam
jarak
yang
akan
menghasilkan refleksi yang berbeda. Refleksi kritikal (critical reflection) terbantuk
80 ketika pengguna mengambil jarak dan memberikan penilaian terhadap objek yang dia
geluti. Sementara, refleksi simpatik (sympathetic reflection) adalah hasil interaksi
yang intim antara subjek dan objek sehingga sang subjek “berserah diri” ketimbang
menghakimi objek tersebut (1990: 80).
c)
Understanding Architecture
Memahami arsitektur menjadi perkara yang penting ketika arsitektur
diyakini memiliki kebenaran yang hakiki di balik keberadaan bendawinya.
Memahami adalah proses untuk mengungkap kebenaran (process to discover the
truth). Pengungkapan kebenaran faktual yang kasat mata yang didasarkan pada
aktivitas fisik (phronesis) didampingi dengan pengungkapan kebenaran yang tak
kasat mata yang didasarkan pada aktivitas mental (sophia).
Dengan
pendekatan
hermenutika
fenomenologis,
Klassen
(1990)
menyatakan bahwa kebenaran yang dikandung dalam arsitektur bukanlah kebenaran
filosofis yang didasarkan pada korespondensi antara pemikiran dan realita ataupun
berupa sistem gagasan yang koheren. Berdasar argumen Gadamer (1980) dia
mengajukan bahwa kebenaran yang disandang arsitektur bukanlah gagasan abstrak
yang terpisah dari realita arsitektur itu sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian
terpenting dari memahami arsitektur adalah “proper understanding of the truth”
(Klassen, 1990: 93) melalui proses “aletheia” atau membiarkan tabir kebenaran
tersingkap. Kebenaran sudah ada dalam objek itu sendiri yang akan terungkap
melalui interaksi yang baik dengan subjek.
Alih-alih kebenaran yang bersifat filosofis, kebenaran dalam arsitektur
sebagaimana diyakini Klassen (1994 94) lebih dekat pada kebenaran sebagaimana
terkandung dalam karya seni. Dalam karya seni, kebenaran dapat dialami
(experienceable truth). Hal ini berkaitan dengan konsepsi tentang pengalaman total
terhadap keberadaan dunia sebagaimana digagaskan oleh Heidegger (2001) dalam
konsep Dasein-nya. Meskipun berakar pada totalitas pengalaman, kebenaran yang
dapat dipahami dalam arsitektur memiliki dua sisi, yakni sophia yang berupa
81 pengetahuan teoretis (theoretical knowledge) dan phronesis atau kebenaran praktis
(practical truth).
Untuk
dapat
menyingkap
kebenaran
dalam
arsitektur,
Klassen
mengembangkan gagasan-gagasan Gadamer, antara lain tentang seni sebagai
permainan (art as play), peleburan cakrawala (fusion of horizons) dan bahasa sebagai
mengada (language as being).
Pemahaman, dalam konsep seni sebagai permainan, didasarkan pada
interaksi antara subjek dan objek. Objek bukanlah entitas mandiri yang berhadapan
dengan subjek untuk menerangkan keberadaannya sendiri. Objek ada dalam relasi
timbal balik dengan subjek sebagaimana suatu permainan. Sebagai suatu permainan,
karya seni memiliki aturannya sendiri yang tak sepenuhnya berada di bawah kendali
pemainnya. Ketika arsitek Louis I. Kahn mengajukan pertanyaan hakiki tentang apa
yang dikehendaki oleh ruang untuk mengada (what a space want to be) atau apa yang
dikehendaki bata untuk mengada (what bricks want to be) maka sang arsitek
melepaskan sebagian kewenangan kreatifnya untuk membiarkan sang ruang atau sang
bata
mendefiniskan
tujuan
keberadaan
dirinya.
Permainan
mencapai
kesempurnaannya jika dapat mewujud menjadi suatu seni sehingga mampu melebur
subjek yang telah menjadi pemain ke dalam permainan itu sendiri (Klassen, 1990: 9597).
Dalam moda pemahaman ini, prasangka (prejudice) tidaklah dipandang
sebagai hal yang negatif. Prasangka adalah dugaan awal yang perlu untuk diajukan
ketika seseorang akan terlibat dalam suatu pemahaman. Dugaan ini akan divalidasi
sepanjang proses pemahaman sehingga dapat menyingkap kebenaran. Dengan
memosisikan bahwa tak ada pemahaman yang sepenuhnya didasarkan pada kenaifan,
ketika mengajukan prasangka, maka kita sedang membangun suatu cakrawala
pandang (horizon) yang dari cakrawala itu kita akan mengembangkan pemahaman.
Horison ini menyandang bias kesejarahan subjek yang penting diakui ketika
melakukan upaya pemahaman. Prasangka yang diajukan dengan baik memungkinkan
objek membentuk horisonnya sendiri yang berjarak dari horison sang pengamat.
82 Melalui permainan penafsiran yang intensif, kedua horison ini akan melebur. Pada
saat itulah puncak pemahaman dapat dicapai (1990: 107-109).
Dengan memosisikan bahwa kebenaran itu berbasis pada pengalaman
(experienceable truth) ketimbang berbasis permenungan (reflective truth), Klassen
(1990: 109-116) mendudukkan bahasa dalam posisi sentral untuk membangun
pemahaman. Berbeda dengan peran bahasa sebagai instrumen dalam sistem simbol,
dalam moda pemahaman ini bahasa berperan secara ontologis untuk mengada.
Bahasa bukanlah alat representasi melainkan ungkapan keberadaan agar dapat
dipahami, “Being that can be understood is language” (1990: 114).
Klassen (1990:115) berargumen bahwa dalam bahasa inilah titik temu antara
pendekatan hermeneutika sebagaimana diajukan oleh Gadamer dan fenomenologi
sebagaimana diajukan oleh Norberg-Schulz dan Perez-Gomes terbentuk. Dengan
memosisikan bahasa sebagai landasan membangun pemahaman, maka proses
memahami bermula dari kata, untuk kemudian terlibat dalam realita yang ditujukan
untuk membangun kandungan dan makna.
Mengingat peran sentral bahasa dalam pemahaman teks, maka dalam
pemahaman arsitektur mestinya didasrkan juga pada “bahasa arsitektur” (language of
architecture) (1990: 118). Alih-alih bersifat metaforikal ataupun representasional,
bahasa dalam hal ini adalah realitas itu sendiri. Klassen tidak membahas lebih jauh
tentang bahasa arsitektur yang dipahaminya berbeda dengan yang diungkapkan dalam
pendekatan linguistik dan semiotika.
Klassen mengakhiri diskusinya tentang memahami arsitektur dengan
mempertentangkan antara Regionalisme Kritis sebagaimana diajukan oleh Kenneth
Frampton dan Postmodern Kitsch sebagaimana dikembangkan oleh Robert Venturi.
Regionalisme Kritis mengajukan pemahaman baru yang otentik yang menyandang
universalitas sekaligus lokalitas. Sementara, Postmodern Kitsch menoleransi kepurapuraan. Dengan mengutip Dimitri Porphyrios, dia berargumen bahwa kitsch membuat
simulasi untuk menutupi ketiadaan, sedangkan seni mengimitasi untuk membangun
83 jarak dengan yang ada. Pemahaman yang baik haruslah mampu mebedakan antara
keduanya.
d)
Proses Arsitektur dan Ketidak-panggahan
Cara pandang Klassen yang bertolak dari paradigma penciptaan karya seni,
seperti lukisan dan komposisi musik, sekaligus mengkritisi cara pandang tersebut.
Pencipta adalah pihak yang berbeda dengan penikmat karya seni. Pencipta aktif
membuat dan menggubah karya, sementara penikmat mengalami atau menghayati
karya seni tersebut secara pasif. Dengan mengembangkan teori Proses Arsitektur,
Klassen berargumen bahwa dalam keterlibatan manusia dengan arsitektur meliputi
aktivitas mental dan aktivitas fisik. Aktivitas fisik dipahaminya sama dengan
pemahaman konvensional yang mendudukkan arsitek sebagai pelaku aktif dan
pengguna sebagai pelaku pasif. Dalam aktivitas mental, pembuat dan pengguna
berbaur dan bertukar peran.
Membuat arsitektur tak sepenuhnya bersifat aktif lantaran pembuat atau
arsitek hanya mengungkapkan bentuk yang sudah ada dalam khasanah kultural
sebelumnya. Sebaliknya, dalam mengalami arsitektur pengguna mencipta dalam
benaknya.
Untuk dapat memahami penciptaan berulang seperti di Trusmi, pendekatan
prosesual ini potensial untuk diterapkan dengan membuka kemungkinan baru yakni:
•
Proses pembuatan berulang bukan hanya terjadi sebagai aktivitas
mental tapi juga merupakan aktivitas fisik
•
Pembuat dan pengguna dalam proses ini tidak selalu pihak yang
berbeda. Pembuat dapat berperan sebagai pengguna dan sebaliknya
baik secara fisik maupun secara mental.
2.3.2.
Landasan Teori: Teori The Presence of Architecture Norberg-Schulz
Norberg-Schulz (1963, 1980) mulai mengembangkan teorinya tentang
arsitektur dengan latar belakang situasi Eropa pasca Perang Dunia II. Pembangunan
84 masif dan agresif di banyak kota untuk memenuhi kebutuhan hunian dipenuhi dengan
sistem produksi industrial yang memungkinkan pembuatan bangunan-bangunan
terstandardisasi secara cepat. Meskipun telah memenuhi kriteria produk yang
dirumuskan dengan baik, bangunan yang dihasilkan tak memberikan kepuasan
sebagaimana dimiliki bangunan masa silam yang menurutnya lebih bermakna.
Untuk mendapatkan jawaban tentang “berkediaman yang bermakna”,
Norberg-Schulz banyak merujuk pada cara pandang Heidegger (2001) tentang realitas
bendawi atau “the thing” yang bermakna yang dibedakannya dari “the object” yang
berupa wujud fisik semata. Menggali makna adalah perkara yang rumit dalam realtas
non-verbal seperti arsitektur. Norberg-Schulz membangun teorinya tentang kediaman
bermakna (meaningful dwelling) dengan berlandaskan pada prinsip bahwa: 1)
keberadaan manusia itu pada dasarnya bersifat keruangan (spatial existence), dan 2)
ruang yang mewujudkan eksistensi tersebut bukanlah entitas yang abstrak
sebagaimana dipahami para ilmuwan tetapi bersifat nyata dan khas pada suatu
bentang lansekap tertentu (Norberg-Schulz, 1980, 1985, 2000).
Setiap tempat yang nyata dan diyakini bermakna oleh penggunanya, dalam
paradigma Norberg-Schulz, memiliki karakteristik yang asasi atau ruh yang
disebutnya sebagai genius loci. Peran terpenting arsitektur adalah membuat genius
loci tersebut menjadi nyata sehingga hadir dalam eksistensi suatu tempat (NorbergSchulz, 1980).
Dalam kaitannya dengan tempat keberadaannya, arsitektur sebagai
perwujudan dari genius loci memiliki karakteristik berganda. Di satu sisi, arsitektur
mengungkapkan ciri-ciri tempat tersebut yang merupakan jalinan antara karakteristik
bentang
alami
dan
lingkungan
buatan
manusia.
Di
sisi
lain,
arsitektur
mengungkapkan karakteristik umum sebagai objek yang berdiri di muka bumi dan di
bawah naungan langit (Norberg-Schulz, 1980).
Realitas konkret ini memiliki empat cara untuk mengungkapkan tempat
kedudukan eksistensial yang disebutnya sebagai modes of dwelling yang meliputi
(Norberg-Schulz, 1985):
85 a) kediaman alami atau natural dwelling yang berupa bentang alam yang
ditransformasikan menjadi permukiman,
b) kediaman kolektif atau collective dwelling yang terwujud dalam ruang
urban,
c) kediaman publik atau public dwelling yang diwujudkan dalam bangunan
publik dan kelembagaan, dan
d) kediaman pribadi atau private dwelling yang berupa rumah tinggal.
Dalam kajiannya tentang berbagai ragam paradigma fenomenologi dalam
mengkaji arsitektur, Shirazi (2014) menyebut Norberg-Schulz sebagai pelopor
“phenomenology from without” yang menekankan pada keberadaan suatu objek
arsitektural pada suatu lingkungan tertentu sehingga kadang disebut juga sebagai
fenomenologi yang berbasis tempat. Norberg-Schulz berargumen bahwa karakter
arsitektural berkembang dari pemahaman secara dinamis dan terus menerus antara
upaya manusia untuk berkediaman (to dwell) dan tempat yang dipilihnya untuk
berkediaman sehingga membentuk muka bumi yang dihuni (inhabited landscape).
Dia menyebut lingkungan kediaman ini sebagai ranah kehidupan world of life yang
terbentuk dari relasi antara ranah alam atau world of nature dan ranah manusia atau
world of men.
Kehadiran arsitektur untuk membentuk tempat yang bermakna ini memiliki
tiga aspek, yakni guna (use), pemahaman (comprehension) dan penerapan
(implementation). Guna adalah tidakan fundamental yang dilakukan untuk
menyatakan keberadaan seseorang di suatu tempat yang meliputi, antara lain,
kedatangan (arrival), perjumpaan (encounter), berespakat (agreeing). Kesemua guna
tersebut bersama-sama mewujudkan tindakan berkediaman (to dwell). Pemahaman
bersifat kualitatif dan menyeluruh sehingga mampu memaparkan karakteristik umum
tempat yang bermakna dan karakteristik khusus tempat tersebut. Penerapan adalah
proses mentransformasikan lansekap yang dipahami menjadi lansekap yang dihuni
melalui penerapan pemahaman menyeluruh tersebut.
86 a)
Guna
Guna merupakan upaya manusia membangun tempat sebagi kediaman
secara bermakna dalam berbagai skala dan moda. Suatu tempat memiliki karakteristik
kualitatif yang utuh yang mebedakannya dengan bentang alam di sekitarnya. Tempat
ini dibangun untuk merealisasikan guna yang fundamental. Dengan rasa memiliki
suatu tempat, seseorang mengembangkan identitas diri dan tempat tersebut yang
dpahami Norberg-Schulz terdiri atas karakteristik tempat dan karakteristik komunitas
(2000: 33).
Dengan hadir di suatu ruang yang memiliki kualitas sebagai tempat,
seseorang mengawali menyatakan “kehadirannya” di tempat tersebut. Kehadiran
berkembang menjadi “perjumpaan” yang akan membawanya menuju “pertemuan”
(meeting) dengan banyak pihak. Dalam pertemuan ini dikembangkanlah berbagai
kemungkinan untuk berkediaman yang mungkin akan diikuti dengan “kesepakatan”
antar pihak tersebut.
Kediaman yang kemudian terbentuk dan mampu bertahan dari waktu ke
waktu karena memiliki struktur mendasar (fundamental structure). Struktur
fundamental ini didasarkan pada memori, orientasi dan identifikasi (Norberg-Schulz,
2000: 42-46). Memori berperan dalam membantu pengguna mengenali lingkungan
berdasarkan pada khasanah karakter suatu tempat yang dimiliki oleh penggunanya.
Orientasi memberi arah bagi pengguna untuk bergerak dan mengembangkan
ruangnya secara horisontal, sedangkan Identifikasi menjadikan tempat memiliki
wujudnya yang konkret secara vertikal.
Ketiga komponen struktur fundamental tersebut terwujud nyata dalam
aspek-aspek keberadaan yang berupa sosok (figure), bentuk (form) dan ruang (space).
Memori membentuk karakter terhimpun sehingga tempat kediaman dapat dikenali
sebagai suatu sosok. Orientasi yang bersifat ekspansif terwujud dalam suatu ruang;
sedangkan identifikasi terbangun sebagai bentuk.
Agar suatu tempat dapat dikenali dan dipahami dengan baik haruslah
memiliki identitas yang didasarkan pada permanensi. Norberg-Schulz (h. 54)
87 merumuskan bahwa permanensi yang dimaksud bukanlah keawetan dan ketangguhan
suatu benda melainkan praktik membangun tertentu yang dilakukan secara terus
menerus pada suatu tempat.
b)
Pemahaman
Dalam paparan teoretiknya, Norberg-Schulz (2000) menggunakan istilah
“comprehension” dan “understanding” secara bergantian untuk mengungkapkan
gagasan tentang pemahaman. Hal yang fundamental dalam memahami arsitektur
adalah kemampuan untuk mengungkapkan arsitektur sebagai suatu keseluruhan yang
bersifat kualitatif (qualitative whole) yang tak tereduksi sebagaimana dalam abstraksi
rasional. Keseluruhan ini menyandang sifat berganda. Di satu sisi entitas ini memiliki
karakteristik universal sebagaimana dimiliki oleh keseluruhan yang setara di
manapun juga. Di sisi lain, entitas ini memiliki karakteristik yang khas khususnya
yang berkaitan dengan tempat yang akan membedakannya dari entitas lain dan dari
lingkungan sekitarnya. Secara filosofis dia mengaitkan sifat berganda ini dengan
transedentalisme Plato dan imanensi Aristoteles sehingga setiap rumah memiliki sifat
asasi “ke-rumah-an” yang universal sekaligus manifestasinya secara konkret sebagai
suatu rumah yang berbeda secara kualitatif dari rumah yang lain. Dalam pandangan
Heidegger, hal ini dikembangkan menjadi prinsip “being” yang universal dan
“manifestation of being” yang partikular.
Dalam merumuskan nilai universal dalam tiap kediaman yang bermakna,
Norberg-Schulz merujuk pada paradigma Heidegger tentang “kediaman Empat
Serangkai” (the fourfold dwelling, quadrature atau das geviert). Dalam paradigma ini
suatu kediaman menyandang relasi antara bumi—langit dan antara makhluk—yang
ilahi (heaven—earth dan mortals—divine) (Mitchell, 2015). Nilai-nilai ini mewujud
secara partikular dalam tiap kediaman yang ada di tempat yang berbeda. Langit
tropika dengan busur lintasan matahari yang terentang dari ufuk barat dan timur,
misalnya, menjalin hubungan dengan cara yang berbeda dengan bentang alam gurun
dengan cakrawala yang terentang dan dengan lembah hijau yang curam.
88 Antara karakteristik yang bersifat partikular dan universal terdapat relasi
pencerminan (mirroring). Dari relasi tersebut terbantuklah citra dunia (images of the
world) yang bersifat partikular tapi menyandang nilai universal.
c)
Penerapan
Penerapan atau implementasi didefinisikan Norberg-Schulz (2000: 91-92)
sebagai “building the world of life based on understanding of place” atau “translating
the landscape that has been understood into architecture”. Dalam definisi ini
pemahaman terhadap karakteristik lingkungan yang dijumpai berperan sangat penting
untuk mengembangkan pemahaman yang akan diimplementasikan dalam lingkungan
tersebut.
Norberg-Schulz memberikan gambaran tentang beragam langgam yang
berbasis pada cara pandang yang berkembang pada suatu masa tertentu, khususnya di
Eropa yang memberikan karakteristik khas pada implementasi ini. Rasionalime di
masa Renaisans yang mengidealkan kesempurnaan dalam kesederhanaan bentuk
mengembangkan wujud yang berbeda dengan cara pandang absolutisme masa Barok
yang mementingkan totalitas ketimbang elemen-elemen penyusunnya.
2.3.3.
Ringkasan Teori
Secara ringkas kedua teori tersebut dapat disndingkan komponen-
komponennya sebagaimana berikut:
89 Tabel 2.1. Ringkasan Landasan Teori
MAKING
ARCHITECTURE
• Proses yang bersifat
“let it be”
• Terdiri atas “aktivitas
fisik” dan “aktivitas
mental”
• “Aktivitas Mental”
bersifat kontinyu dan
dapat diperankan
oleh pengguna
EXPERIENCING
ARCHITECTURE
• Melengkapi proses
membuat karena
pembuatan arsitektur
baru lengkap setelah
dialami
• Terdiri atas persepsimengalami-refleksi
• Refleksi dapat
bersifat kritis atau
simpatik
UNDERSTANDING
ARCHITECTURE
• Proses mengungkap
kebenaran dalam
arsitektur
• Meliputi kebenaran
ilmiah (sophia) dan
kebenaran praktikal
(phronesis)
IMPLEMENTATION
The Presence
world of
of Architecture • Membentuk
life=world of
(Norbergnature+world of men
Schulz, 2000)
• Merealisasikan
USE
• Terdiri atas
“tindakan
primordial” dan
“momen
penggunaan”
• Tindakan primordial
(tiba, berjumpa,
bersepakat dsb.)
melandasi
pembentukan tempat
berkediaman dalam
jangka panjang
COMPREHENSION
• Memahami tindak
berkediaman
sehingga kediaman
menjadi understood
landscape.
• Memahami
arsitektur/kediaman
sebagai “qualitative
whole”
• Membentuk
pemahaman terhadap
arsitektur sebagai
“Empat Serangkai”
The Process of
Architecture
(Klassen,
1990)
“Empat Serangkai”
menjadi nyata dalam
struktur formal,
yakni: tipologi,
topologi dan
morfologi
90 BAB 3
METODA KAJIAN
Ketidak-panggahan yang terwujud dan dikembangkan di lingkungan Kramat
Buyut Trusmi telah berjalan dalam jangka waktu yang lama, melibatkan warga dan
masyarakat secara luas, serta terjalin dalam berbagai aspek kehidupan di tempat
tersebut. Lingkungan binaan dan praktik berarsitektur di Kramat Trusmi terkait dalam
suatu jalinan dalam
Kajian tentang ketidakpanggahan dalam arsitektur ini disusun sebagai suatu
bentuk pengembangan teori melalui pendalaman terhadap suatu tempat dan praktik
yang diselenggarakan di dalamnya. Berdasar kerangka kajian tersebut maka
penyusunan metoda kajian didasarkan pada karakteristik teori yang dikembangkan
serta karakteristik tempat dan praktik yang menjadi fokus kajian.
Penelitian ini mengangkat tempat dan praktik berarsitektur di Kramat Buyut
Trusmi sebagai suatu kasus untuk dikaji secara komprehensif. Sebagai kajian
terhadap suatu keutuhan dalam lingkup tertentu, penelitian ini cenderung berkarakter
kualitatif. Creswell (2007) mendefinisikan karakteristik penelitian kualitatif sebagai
“the investigator explores a bounded system (a case) or multiple bounded systems
(cases) over time, through detailed, in-depth data collection involving multiple
sources of information.” Keunikan Kramat Buyut Trusmi dibandingkan dengan
lingkungan sekitarnya menjadikan tempat ini bisa diperlakukan sebagai suatu
“bounded system” untuk dilakukan investigasi secara mendalam. Lebih lanjut,
Creswell memaparkan bahwa suatu penelitian studi kasus dapat ditujukan untuk
mendalami objek tersebut secara khusus atau mengaitkan dengan teori yang sudah
ada.
91 Dalam hal ini, penelitian tentang Kramat Trusmi ini ditujukan untuk
mengembangkan teori. Untuk itu, peneliti melakukan pendalaman teori sebagai latar
pengetahuan sebelum melibatkan diri dengan obeservasi di lapangan. Metoda
penelitian lebih lanjut dirumuskan melalui pendalaman karakteristik objek yang
dikaji dan karakteristik teori yang dikembangkan.
3.1
Karakteristik Objek: Ketidak-panggahan dalam Arsitektur Kramat
Buyut Trusmi
Kramat Buyut Trusmi sendiri adalah suatu lingkungan binaan dengan
karakteristik fisik dan praktik yang khas. Secara fisik, Kramat ini terdiri atas lebih
dari 20 bangunan beratap sirap dan alang-alang yang didirikan berdempetan satu
sama lain. Keseluruhan kompleks ini dikelilingi oleh pagar pasangan bata setinggi
mata yang memisahkan secara visual dengan lingkungan sekitarnya meskipun secara
spasial tetap terhubung karena kedua gerbangnya tak pernah tutup sepanjang tahun.
Kompleks yang terletak di tengah Desa Trusmi ini diyakini masyarakat setempat
sebagai situs cikal bakal permukiman mereka yang telah dikembangkan lebih dari
400 tahun yang lalu dan tempat mengebumikan tokoh pendiri Desa tersebut.
Sepanjang tahun peziarah dari berbagai penjuru hingga sejauh lebih dari 100
kilometer datang ke tempat ini untuk berbagai kepentingan. Prosesi rutin mengganti
atap sirap dan alang-alang di Kramat Buyut Trusmi yang menjadi fokus utama kajian
ini diselenggarakan secara ritualisti yang melibatkan ribuan partisipan. Masyarakat
setempat memahami tradisi ini telah berlangsung sejak awal Desa mereka berdiri.
Dengan sifat ritualistik, partisipasi ekstensif dan penyelenggaraan yang telah
berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama, tradisi penggantian atap tersebut
tidak dapat dipandang sebagai langkah teknis untuk memperbaiki atap semata namun
memiliki muatan simbolis dan kultural yang sangat kuat. Untuk memahami tempat,
arsitektur dan tradisi yang menyertainya ini diperlukan strategi yang bersifat kualitatif
dan komprehensif menyangkut berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
92 3.2
Karakteristik Teori: Klassen dan Norberg-Schulz
Norberg-Schulz menulis serangkaian kajian teori arsitektur yang berkaitan
satu sama lain walaupun tidak merupakan suatu serial tapi didasari oleh paradigma
yang sama. Tulisan-tulisan tersebut memiliki latar pendekatan fenomenologi yang
sangat kuat yang menjembatani berbagai tema kajian yang didalaminya. Di antara
tema kajian yang paling menonjol dalam karya-karya Norberg-Schulz adalah:
a) Ruang Eksistensial. Kajian bertema Ruang Eksistensial ini menekankan
pada pemahaman bahwa “being” pada dasarnya bersifat spasial yang
dijabarkannya sebagai “develop the idea that architectural space may be
understood as a concretization of environmental schemata or images,
which form a necessary part of man’s general orientation or ‘being in
the world” (Norberg-Schulz, 1971). Tema ini terutama dikembangkan
dalam bukunya Existence, Space and Architecture (1971) yang menandai
pergeseran paradigmanya dari strukturalisme dan semiotika menjadi
fenomenologi.
b) Fenomenologi Tempat. Dalam bukunya Genius Loci: Towards the
Phenomenology of Architecture (1981) Norberg-Schulz menekankan
keberadaan eksistensial tersebut dikembangkan dalam relasi intensif
antara manusia dan lingkungan yang dibentuknya. Dalam relasi ini suatu
tempat akan memiliki jiwa yang bertahan dalam jangka panjang yang
terungkap dalam lingkungan binaan yang secara gradual terbentuk. Jiwa
tempat yang aktif inilah yang disebutnya sebagai Genius Loci.
c) Konsep tentang Kediaman. Mapan secara bermakna pada suatu tempat
disebut Heidegger (1951) sebagai dwelling atau berkediaman. NorbergSchulz mengembangkan secara komprehensif tema berkediaman ini
dalam berbagai level dan berbagai konteks.
93 Buku terakhir Norberg-Schulz (2000) Architecture: Presence, Language and
Style dapat dipandang sebagai upayanya untuk merangkaikan berbagai teori, konsep
dan gagasannya yang berlatar filsafat fenomenologi tersebut. Dalam buku ini dia
menekankan keberadaan arsitektur sebagai qualitative whole atau keutuhan kualitatif
yang bermakna sebagai world of life atau lingkungan berkehidupan yang
dikembangkan dari penggabungan antara world of nature antara lingkungan alam dan
world of man atau lingkungan buatan manusia.
Klassen
(1990)
menjuduli
bukunya
dengan
pendekatan
yang
dikembangkannya, Architecture and Philosophy: Phenomenology, Hermeneutics and
Deconstruction. Klassen tidak banyak menulis yang bersifat normatif tentang objek
arsitekur itu sendiri, dan lebih menekuni pada proses mempersepsikan, memikirkan
dan merfleksikan. Dia menyebut rangkaian ini sebagai “The Process of Atchitecture”
mengawali rangkaian ini dengan “membuat arsitektur” dan mengakhiri dengan
“memahami arsitektur”, di antara keduanya terdapat “mengalami arsitektur” yang
disebutnya sebagai bermuka ganda menjambatani antara membuat dan memahami.
Untuk mempersepsikan dan menginternalisasikan persepsi tersebut, Klassen
banyak merujuk pada prosedur fenomenologi. Lebih lanjut, dia mengembangkan
pendekatan hermeneutika, khususnya yang didasarkan pada teori-teori Hans Georg
Gadamer, sebagai prosedur untuk menafsirkan fenomena. Sedangkan untuk
mengkritisi penafsiran tersebut Klassen mengembangkan pendekatan dekonstruksi.
3.3
Strategi Penelitian Kualitatif
Ketidak-panggahan dalam arsitektur Kramat Buyut Trusmi bersifat multi
dimensional dengan interaksi antar-dimensi yang sangat intensif. Peristiwa
penggantian dan pemindahan komponen bangunan tidak dapat sepenuhnya dipahami
dengan dimensi teknis, ritual maupun sosial. Masing-masing dimensi dapat didalami
namun memerlukan penjelasan dari dimensi yang lain untuk dapat membangun
pemahaman komprehensif.
94 Groat dan Wang (2013) menyarankan kajian dengan dimensi yang kompleks
dan keterkaitan dengan tempat asal yang tinggi untuk menggunakan strategi
penelitian kualitatif. Strategi ini memungkinkan berbagai dimensi tersebut dapat
dipahami kesalingterkaitannya guna menafsirkan gagasan-gagasan mendasar dalam
lingkungan yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti berperan sebagai
instrumen sentral dengan interaksi yang tinggi antara peneliti dan hal yang diteliti.
Lebih lanjut di antara karakteristik penelitian kualitatif sebagaimana
dirumuskan oleh Groat dan Wang (2013) yang relevan dengan kajian arsitektur
Kramat Buyut Trusmi adalah sebagai berikut:
a)
Penekanan pada setting alami.
Penelitian kualitatif menekankan pada hal yang bersifat khas yang berkaitan
erat dengan lingungan aslinya. Sebagai lingkungan cikal bakal, Kramat Buyut Trusmi
bukan hanya berkaitan dengan desa dan permukiman di sekitarnya tapi bahkan
menjadi asal muasal tempat tersebut. Sepanjang riwayatnya, Kramat ini juga selalu
diposisikan sebagai “jantung” spiritual kehidupan warga dengan terus menerus
menyelenggarakan ziarah, ritual, perawatan dan pembangunan kompleks ini.
b)
Berfokus pada penafsiran dan makna
Informasi yang beragam dan komprehensif memerlukan strategi penafsiran
sebagai upaya untuk membangun makna dari hal yang dikaji. Investigasi
komprehensif dan mendalam untuk menghimpun berbagai informasi serta
pengembangan skill penafsiran untuk mengaitkan satu informasi dengan informasi
yang lain adalah kunci untuk dapat mengungkapkan makna dari fenomena setempat
yang diamati. Di antara bermacam ragam informasi yang saling berkait di Trusmi
adalah tentang lingkungan fisik dalam berbagai level (desa, kompleks, bangunan dan
bagian bangunan); lingkungan sosial dengan dinamikan serta berbagai peran dan
afiliasi warga; serta prosesi ritual dengan tatacara serta pelaksanaan pembangunan
dengan pengelolaan material dan teknik untuk merangkaikannya.
c)
Berfokus pada cara responden memaknai lingkungannya
95 Kramat Buyut Trusmi dan Desa Trusmi memiliki kekhasan fenomena tapi
sekaligus keragaman cara warga setempat memaknainya. Warga dan pemuka desa
memiliki keragaman yang kaya dan bahkan kadang bertentangan satu sama lain untuk
penamaan suatu bangunan, pemaparan alur kesejarahan atau penjelasan tentang rinci
dan lambang pada suatu komponen upacara, serta berbagai fitur tradisi lainnya.
Strategi Kualitatif ini menekankan pada upaya untuk menghimpun beragam informasi
tersebut sebagai landasan untuk membangun makna melalui penafsiran yang inklusif.
d)
Penggunaan beragam taktik
Dengan jenis informasi yang beragam, penelitian kualitatif memerlukan
taktik yang beragam juga untuk menghimpun informasi, menyajikannya dan
menafsirkannya. Pencatatan dan pemotretan peristiwa pembangunan dan ritual di
Kramat Trusmi sangat membantu untuk membangun pemaparan mendalam tentang
makna membangun dan mendaur ulangkan komponen bangunan. Untuk memahami
relasi antar tokoh, peristiwa di masa silam dan gagasan-gagasan kultural diperlukan
perbincangan mendalam dengan berbagai kalangan di Desa Trusmi. Melibatkan diri
dalam kehidupan keseharian dan peristiwa ritualistik memberi gambaran tentang arti
penting peristiwa tersebut dalam kehidupan masyarakat.
3.4
Pendekatan Fenomenologi dan Hermeneutika
Di antara ketujuh strategi penelitian yang diajukan oleh Groat dan Wang
(2013), strategi penelitian kualitatif adalah yang paling luas dengan keragaman
tertinggi. Penelitian kualitatif dapat dilaksanakan dengan beberpa alternatif
pendekatan. Namun demikian, pendekatan fenomenologi memiliki landasan filosofis
yang paling sahih (Wang dan Groat, 2013). Fenomenologi meliputi kisaran yang luas
dengan pemahaman secara beragam. Shirazi (2010) memaparkan bahwa status dan
definisi yang beragam tersebut meliputi antara lain: Edmund Husserl memahaminya
sebagai “kembali ke hakikat benda”, Martin Heidegger memahaminya sebagai
“metoda” atau “cara pandang”, Maurice Merleau-Ponty memahaminya sebagai
96 “hakikat persepsi”, sedangkan Dermott Moran memandangnya sebagai “praktik
ketimbang sistem”.
Lebih lanjut, Seamon (2000) memilah fenomenologi dalam kajian arsitektur
menjadi tiga kecenderungan alur, yakni:
a) Hermeneutical,
dalam
alur
hermeneutika
pengkaji
melibatkan
pengalaman dan menjalinnya dengan pengetahuan lainnya yang terkait
dengan pengalaman tersebut sebagai upaya untuk membangun penafsiran
yang komprehensif.
b) First person, dalam alur ini pengkaji mengerahkan sepenuhnya
kemampuan inderawinya untuk membangun pemahaman. Tubuh
menjadi instrumen utama untuk membangun pengetahuan. Pengetahuan
yang telah dimiliki pengkaji sebelumnya dibatasi untuk terlibat dalam
pemaknaan pengalaman ini.
c) Existensial, serupa dengan alur kedua dengan fokus pada “the specific
experiences of specific individuals or groups in actual situations or
places”. Paparan individual didiskusikan secara mendalam dengan pihak
lain sehingga terbentuk pemahaman bersama.
Berdasar karakteristik teori yang akan dikembangkan dan kasus yang dikaji
maka alur fenomenologi hermeneutika adalah yang paling relevan. Kekuatan alur ini
adalah dalam kemampuannya mengintegrasikan antara pengalaman dan penafsiran
sehingga dapat menjadi sarana pembentukan dan pengembangan teori. Secara
eksplisit Seamon (2000) menyebut Norberg-Schulz memiliki kecenderungan dalam
alur ini, sementara Klassen (1990) dengan tegas menyatakan bahwa dia
menggabungkan antara fenomenologi dan hermeneutika.
Filsuf Paul Ricoeur memelopori pengembangan keterkaitan antara
fenomenologi dan hermeneutika pada paruh pertama abad ke-20 (Davidson dan
Valée, 2016). Pengaitan ini pertama-tama ditujukan untuk mengkritisi fenomenologi
berbasis pengalaman ego murni yang terlepas dari semua konteks sebagaimana
diajukan oleh Edmund Husserl.
97 Ricoeur (1971) lebih lanjut mengembangkan model pemahaman “tindakan
bermakna yang diperlakukan sebagai teks” (meaningful action considered as text).
Untuk itu dia mengajukan sejumlah kriteria agar suatu tindakan dapat ditafsirkan
sebagaimana suatu teks, antara lain: kemapanan tindakan, otonomi tindakan dan
relevansi tindakan.
Dalam mengembangkan kajian kualitatif tentang arsitektur, Seamon (2017)
mengajukan
pembandingan
sekaligus
pengaitan
antara
fenomenologi
dan
hermeneutika dalam hal tujuan, tema dan metoda. Dalam kajian arsitektur,
fenomenologi
bertujuan
mengembangkan
pengetahuan
tentang
pengalaman
(experience) manusia terhadap suatu lingkungan binaan secara akurat dan
komprehensif;
sedangkan
hermeneutika
bertujuan
untuk
mengembangkan
pengetahuan tentang pemaknaan (meaning) manusia terhadap suatu lingkungan
binaan secara akurat dan komprehensif. Dalam ranah fenomenologi, lingkungan
binaan diperlakukan sebagai tempat sehingga dipahami dengan mengalami dan
melibatkan diri dalam kehidupan di tempat tersebut. Dalam ranah hermeneutika,
lingkungan binaan diibaratkan sebagai suatu teks yang membentuk dan
menyampaikan makna yang dipahami dengan penafsiran intensif dari berbagai sudut
pandang. Kedua pendekatan ini saling melengkapi karena menurutnya “experience
and meaning often overlap and intermingle experientially and interpretively”
(Seamon, 2017, 138).
Strategi untuk menggabungkan fenomenologi dan hermeneutika, di
antaranya diajukan oleh Bourdieu (1990) dalam kajiannya tentang rumah Kabyle di
kalangan Suku Berber di Aljazair. Dalam kajian tersebut, dia mengibaratkan rumah
sebagai sebuah buku yang berisi konstruksi dan pemahaman kultural suku tersebut.
Buku yang bersifat non-verbal ini “dibaca” dan “dipelajari” dengan pengalaman
ragawi penghuninya. Ketika seseorang memasuki ruang dalam rumah maka dia
memosisikan seisi rumah tersebut berdasar tubuhnya (kiri-kanan, muka-belakang)
serta alam semesta (matahari terbit-matahari terbenam). Pemahaman yang bersifat
subjektif mendapatkan objektifikasinya dalam pengalaman ruang, dan sebaliknya.
98 Lebih dari sebatas “membaca” melalui pemanfaatan ruang sebagaimana
digambarkan oleh Bourdieu, warga Trusmi juga “menulis” secara terus menerus.
Warga Trusmi, dalam lingkup yang luas, bukan hanya terlibat dalam pemanfaatan
ruang dan bangunan tapi juga pembuatan keduanya. Dengan membuat bangunan
berkali-kali dalam jangka waktu yang lama, mereka “menuliskan ulang”
pembelajaran tersebut. Di satu sisi “penulisan ulang” ini semakin menegaskan pesan
yang diungkapkan, akan tetapi juga membuka peluang bagi “modifikasi” dalam
berbagi levelnya.
Lebih lanjut Seamon (2017) memaparkan bahwa fenomenologi dan
hermeneutika memiliki keserupaan tematis, yakni memiliki empati yang tinggi
terhadap hal yang dikaji tetapi juga berupaya untuk menyajikan, memaparkan dan
memahami untuk kalangan yang luas. Secara metodologis, validitas kedua metoda
kajian tersebut didasarkan pada:
•
Keserbacakupan (comprehensiveness) dengan melibatkan pengalaamn
dan bukti yang luas dalam berbagai aspek
•
Kedalaman pemaknaan (semantic depth) yang mampu menjelaskan hal
yang dikaji dalam jangka waktu yang lama dan lingkup yang luas.
•
Keterlibatan (inclusivity) dengan kajian yang memiliki lingkup yang
semestinya sehingga tema kajian dapat dipahami dengan baik,
•
Struktur arsitektonis (architectonic structure) dengan makna atau
pengalaman dapat dikaitkan dengan lingkup yang lebih luas dari
fenomena asalnya.
3.5
Metoda Kajian
Sebagai bagian dari strategi penelitian kualitatif, fenomenologi memiliki
karakteristik sebagaimana penelitian kualitatif lainnya yang menekankan pada
keterlibatan mendalam antara peneliti dan yang diteliti. Strategi ini sesuai untuk
penelitian yang bersifat eksploratif, dengan menekankan pada objek sebagai suatu
keutuhan kualitatif yang perlu dipahami secara menyeluruh. Terlebih dalam
99 pendekatan fenomenologi yang menekankan pada peleburan jarak antara pengamat
dan yang diamati sehingga peneliti memiliki kesadaran dan pemahaman sebagaimana
pihak yang diteliti.
Dalam upaya mereduksi jarak ini, bias yang dimiliki peneliti perlu untuk
diakui. Cirebon yang ada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki
karakter budaya yang khas. Peneliti yang sejak lahir tinggal di Yogyakarta memiliki
latar belakang kultur Jawa yang kuat. Perbincangan peneliti dengan generasi tua
terjalin dengan mudah dengan Bahasa Jawa halus yang biasanya mereka juga fasih.
Dengan generasi yang lebih muda perbincangan lebih mudah dilakukan dengan
Bahasa Indonesia mengingat mereka lebih terekspos dengan budaya dan bahasa
Sunda populer di Indramayu dan sekitarnya. Untuk itu, perlu senantiasa dilakukan
klarifikasi agar makna dapat dikonfirmasi.
Groat dan Wang (2013) lebih lanjut memaparkan sejumlah karakteristik
penting penelitian kualitatif ini yang antara lain dipahami sebagi berikut. Pertama,
diperlukan pendalaman seting alami secara komprehensif, dalam hal ini keterkaitan
antara objek (warga dan arsitektur) dengan lingkungan sekitarnya harus senantiasa
terjaga dalam hubungan yang sealami mungkin. Kedua, penelitian hendaknya
berfokus pada penafsiran makna, peneliti diharapkan menjalin keterlibatan yang
mendalam sehingga mampu memahami tindakan dan simbol-simbol kultural yang
terbentuk dan menafsirkannya menjadi suatu sistem makna. Ketiga, penelitian
berfokus pada cara responden memahami situasi, dengan berupaya sejauh mungkin
memahami kesadaran masyarakat setempat. Berikutnya, agar dapat membangun
pemahaman secara multi-dimensional diperlukan penggunaan taktik beragam baik
dalam menghimpun maupun mengolah informasi. Penekanan pada logika induktif
penting untuk dikembangkan mengingat dalam cara pandang holistik dan kompleks
ini logika kausalitas dan sekuensial kurang relevan.
Dalam menjalankan kajian ini peneliti berupaya untuk melakukan
pendalaman secara komprehensif. Observasi terhadap bangunan secara fisik yang
dilengkapi dengan perekaman fotografis, sketsa, pengukuran dan pencatatan
100 dilakukan untuk mendapatkan gambaran entitas fisik objek yang dikaji. Observasi
terhadap aktivitas dilakuan dengan mengamati prosesi Memayu pada tahun 2014 dan
2015, serta Buka Sirap pada tahun 2015. Kunjungan terakhir ke Trusmi dilakukan
pada bulan Mei 2016 pada saat tidak berlangsung upacara.
Peneliti juga melakukan wawancara terbuka dengan berbagai kalangan,
khususnya para pengelola Kramat. Perbincangan dengan Sep, kunci, kiai dan kemit
serta para pemilik Bale Gede dilakukan untuk memahami peristiwa, makna, riwayat
dan keterlibatan mereka dengan Kramat dan bangunan-bangunan terkait. Secara
khusus dilakukan wawancara mendalam dengan Kiai Warlan, Sep Tony dan Abdul
Khamid, seorang tukang muda. Kiai Warlan adalah mantan kiai di Kramat yang
mengundurkan diri pada tahun 2010. Pengetahuannya yang mendalam tentang
sejarah, tradisi dan situasi di Kramat dari masa ke masa adalah informasi yang
berharga. Terlebih Kiai Warlan juga memiliki kemampuan bertukang sehingga sangat
memahami teknik membangun sekaligus memiliki kapasitas spiritual untuk menjalani
ritual. Sep Tony adalah pemimpin baru di Kramat yang mulai berdinas pada tahun
2012. Dia memiliki kecenderungan untuk melakukan penafsiran simbolik kultural
ketimbang pemaknaan yang bersifat praktikal. Abdul Khamid memiliki pengalaman
terlibat lebih dari sepuluh kali Memayu dan beberapa kali Buka Sirap. Sehari-hari dia
bekerja sebagai tukang meubel sehingga memiliki kecakapan teknis yang tinggi.
Untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang kehidupan di
Trusmi, penulis tinggal di rumah Kiai Warlan bersama-sama dengan puluhan
peziarah lainnya yang memadatinya. Di dalam rumah ini terdapat Bale Gede yang
paling lengkap yang juga diziarahi oleh berbagai kalangan. Memayu untuk Omah
Gede ini biasa dilakukan sepekan setelah Memayu di Kramat,
Pertama kali datang menjelang Buka Sirap di tahun 2014, peneliti dan tim
diterima sebagai peziarah sehingga dipersilakan untuk berdhikir dan berdoa di
Bangsal di depan Makam Ki Buyut bersama peziarah lain yang datang bersamaan.
Pada hari berikutnya peneliti sudah terlibat dalam Buka Sirap sebagai pengobeng
yang turut mengerjakan hal-hal yang sangat sederhana dan menikmati makanan di
101 sana. Partisipasi sederhana dalam dua prosesi itu memungkinkan penulis untuk
mendapat gambaran yang lebih dekat tentang pelaksanaan upacara pembaruan
bangunan dan nilai penting yang disandangnya.
Gambar 3.1. Wawancara dengan Sep Tony
Informasi dari berbagai wawancara dicatat dalam buku catatan lapangan
untuk kemudian direkonstruksi ke dalam narasi. Informasi yang berupa foto dan
pengukuran dituangkan dalam bentuk gambar untuk disusun menjadi peta-peta
tematis tentang material, pembanganan, aktivitas dan sebagainya.
3.6
Kerangka Kajian
Keseluruhan Kajian ini disusun dalam kerangka sebagaimana berikut.
Setelah landasan kajian yang berupa perumusan isue, masalah dan metoda disusun
maka dilakukan pengamatan fenomenologis di Kramat Buyut Trusmi. Hasil amatan
ini disajikan dalam thick description atau paparan mendalam guna mendapatkan
gambaran tentang arsitektur dengan ketidak-panggahan dan konteksnya secara
komprehensif. Kerangka paparan ini dikembangkan tiga tema dasar yakni
102 a) Konteks Kramat Buyut Trusmi yang terdiri atas konteks spasial (lokasi
dan relasi), temporal (ingatan kolektif dan riwayat) dan sosial (para
pelaku dan masyarakat)
b) Objek yang terdiri atas ruang, bangunan dan tektonika
c) Tindakan membangun yang melibatkan ketidak-panggahan yakni
Memayu, Buka Sirap dan Pemugaran
Hasil observasi fenomenologis yang berupa paparan mendalam ini dianalisis
dengan
pendekatan
hermeneutika
untuk
menafsirkan
konsep-konsep
yang
mendasarinya. Arsitektur yang melibatkan ketak-panggahan di Trusmi dipahami
sebagai suatu proses pengelolaan material menjadi suatu konstruksi dalam suatu
pemahaman terhadap tempat dan waktu yang khas. Untuk itu, konsep dasar yang
dirumuskan diawali dengan pemahaman tentang tempat dan waktu guna memahami
landasan pemikiran yang esensial, yang kemudian diikuti dengan konsep tentang
sifat-sifat material dan relasinya dengan arsitektur. Setelah material ditransformasikan
menjadi komponen bangunan dimulailah proses konstruksi yang konsep dasarnya
dikaji pada bagian terakhir dari penafsiran ini.
Konsep-konsep
tersebut
diabstraksikan
sehingga
menjadi
rumusan
pengembangan teori yang divalidasi dengan beberapa teori terkait. Secara
keseluruhan, kajian disimpulkan sebagai pemaknaan terhadap suatu tradisi yang
senantiasa menghidupkan momen asalinya sehingga komponen-komponen sistem
arsitektur dalam teori Norberg-Schulz (2000) dan Klassen (1990) dapat selalu
berhubungan dan terkait baik dalam tataran aktivitas mental maupun aktivitas fisik.
103 104 3.7
Kerangka Penulisan
Proses dan hasil kajian di atas maka disusun dalam kerangka sebagimana
berikut:
Bab 1 Pendahuluan, berisi isu-isu yang terkait dengan fokus penelitian ini
yakni teori-teori arsitektur yang didasari pada pemahaman tentang arsitektur sebagai
objek yang panggah dan praktik berarsitektur di Nusantara yang memiliki karakter
ketidak-panggahan yang kuat. Kesenjangan ini menjadi landasan pemilihan objek
untuk dikaji, pemilihan teori untuk dikembangkan, serta perumusan masalah
penelitian.
Bab 2 Kajian Pustaka, berisi ulasan tentang teori sistem arsitektur dan
relasinya dengan kepanggahan untuk memetakan kedudukan kajian ini. Bagian ini
diikuti dengan perumusan landasan teori yang akan dikembangkan lebih lanjut dalam
penelitian.
Bab 3 Metoda Penelitian, berisi perumusan strategi dan pendekatan untuk
menyusun metoda penelitian yang didasarkan pada karakteristik hal yang dikaji dan
karakteristik teori yang akan dikembangkan. Berdasar kedua karakteristik tersebut
direncanakanlah penelitian dengan strategi kualitatif dan pendekatan fenomenologi
hermeneutika.
Bab 4 berisi paparan fenomenologis tentang Kramat Buyut Trusmi dan
praktik berarsitektur di tempat itu sebagai fenomena yang dikaji untuk
mengembangkan teori arsitektur. Kramat Buyut Trusmi dipandang sebagai fenomena
khas dari masa awal pembentukan permukiman di tempat ini sehingga menyandang
nilai-nilai dasar yang penting dan terlestarikan dalam bentuk fenomena fisik dan
sosial tersebut.
Bab 5 berisi pemaknaan hermeneutika yang diungkapkan ke dalam
perumusan konsep-konsep dasar yang diturunkan dari kajian mendalam terhadap
fenomena yang terdiri atas konsep tentang tempat, waktu, meterial dan konstruksi.
Tempat dan waktu adalah pemaknaan atas eksistensi asasi Kramat Trusmi; sedangkan
105 material dan konstruksi adalah perwujudan bendawi yang melandasi ketidakpanggahan. Bagian ini difokuskan pada upaya membangun konsistensi dan koherensi
internal dari unit-unit fenomena yang ada untuk membangun landasan konseptual
Kramat Buyut Trusmi secara komprehensif.
Bab 6 berisi abstraksi teoretik dari konsep yang sudah disusun pada bab
sebelumnya guna mengembangkan teori Norberg-Schulz tentang the Presence of
Architecture dan Klassen tentang the Process of Architecture dengan muatan aspek
ketak-panggahan sebagaiman dijumpai di Kramat Buyut Trusmi.
Bab 7 berisi penyimpulan dari keseluruhan kajian secara ringkas dan
sistematis guna menegaskan bahwa pertanyaan penelitian telah dijawab dengan baik,
serta perumusan saran-saran untuk kajian berikutnya.
106 BAB 4
MEMBANGUN ARSITEKTUR, TEMPAT DAN RELASI
DI KRAMAT BUYUT TRUSMI
4.1.
Pengantar
Arsitektur di lingkungan Kramat Buyut Trusmi menjalin hubungan yang
sangat intim dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan yang berafiliasi
dengannya. Meskipun tidak dipergunakan untuk menyelenggarakan kegiatan
keseharian, Kramat ini tidak pernah sepi dari pengunjung yang datang dari desa itu
atau dari tempat yang lebih jauh. Peziarah datang setiap hari terlebih di malam Jumat.
Pada saat hari perayaan jumlah itu menjadi puluhan kali lipat.
Bangunan-bangunan di lingkungan Kramat ini senantiasa diperbarui dalam
prosesi Memayu yang dilaksanakan setiap tahun dan Buka Sirap yang dilaksanakan
setiap empat tahun. Ribuan orang terlibat dalam berbagai perannya di hari-hari
prosesi tersebut. Berbeda dari kebanyakan arsitektur yang dibuat oleh kalangan yang
terbatas dan dipergunakan oleh kalangan yang lebih luas, arsitektur di Kramat Buyut
Trusmi boleh dikata dibuat dan dipergunakan oleh seluruh warga. Dengan menanak
nasi, memotong kayu, dan menimba air atau sekedar memindahkan welit yang telah
usang dan memotong sayur, seseorang telah berkontribusi dalam membuat arsitektur.
Secara konseptual dia bukan hanya “user” tetapi juga “maker”.
Untuk memahami arsitektur yang kompleks ini diperlukan observasi yang
serba cakup guna membangun paparan naratif yang mendalam. Dengan paparan
tersebut arti penting arsitektur dan upaya untuk membinanya dapat dipahami dengan
lebih substansial. Suatu paparan mendalam memungkinkan pengamat untuk
mengenali intensi di balik tindakan atau fenomen yang kelihatannya serupa.
Memperbaiki bangunan karena memenuhi kebutuhan teknis semata dan memperbarui
bangunan dengan tujuan simbolis mungkin melibatkan material dan kecakapan yang
107 sama. Suatu paparan mendalam dengan mengaitkan antara fenomena dan konteksnya
memungkinkan pengkaji untuk membedakan keduanya.
Paparan ini adalah hasil observasi dalam momen yang berkaitan dengan
Buka Sirap dan Memayu di tahun 2014 dan 2015. Bab ini diawali dengan penyajian
tentang latar sejarah, kultural dan geografis untuk memberikan konteks keberadaan
Kramat Buyut Trusmi. Berikutnya, adalah paparan tentang lingkungan binaan Kramat
tersebut beserta pelaku dan aktivitas mereka. Bagian-bagian ini membentuk setting
pemaparan berikutnya.
Bagian utama yang disajikan terakhir adalah paparan yang lebih rinci
tentang tektonika bangunan-bangunan di Kramat Buyut Trusmi. Bagian ini diikuti
dengan penyajian tentang prosesi Buka Sirap dan Memayu sebagai perwujudan
pembangunan kembali secara berkala yang merupakan inti dari kajian ini.
Pengembangan bangunan secara non-periodik memberikan gambaran tentang proses
diakronik yang terjadi di Kramat Buyut Trusmi.
4.2.
Ingatan Kolektif yang Terpenggal
Sebagai kawasan pesisir di perairan dengan jalur niaga yang ramai, Cirebon
menjalin interaksi yang intensif dengan berbagai peradaban yang melintasi Laut Jawa
dan Selat Malaka. Seiring dengan perkembangan yang terjadi di Nusantara kawasan
pesisir utara ini mengalami berbagai perubahan karena interkasi tersebut. Perubahan
secara meluas dan mendasar dalam kehidupan di Nusantara terjadi dengan
pengembangan Islam di Pulau Jawa khususnya sejak paruh terakhir abad ke-15.
Sejarawan Ricklefs (2001) berargumen bahwa kehadiran Islam adalah momentum
yang mendasari perkembangan era modern di Indonesia.
Periode awal pembentukan kekuasaan Islam di Jawa ini sangat penting,
namun juga sangat kabur lantaran kelangkaan sumber-sumber tertulis dari masa
tersebut. Di antara kisah-kisah itu adalah tokoh pewarta Islam yang pertama di
belahan barat pulau Jawa ini adalah putra dari Raja Hindu Pajajaran yang bergelar
108 Siliwangi dengan seorang wanita Muslimah keturunan Champa yang berada di
Vietnam sekarang.
Dalam bayang-bayang narasi samar inilah tokoh pendiri kota bandar Cirebon
dan Trusmi muncul. Kisah tentang tokoh yang diyakini sangat penting dalam
meletakkan landasan pengembangan masyararakat Muslim dan pembentukan kuasa
mandiri di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah ini dipaparkan dengan berbagai
ragam alur dan tumpang tindih antara satu tokoh dan tokoh lainnya. Dalam banyak
versi tokoh ini disebut sebagai Pangeran Walangsungsang. Sang Pangeran adalah
putra Prabu Siliwangi sekaligus pemuka pertama yang memeluk Islam.
Di Trusmi, Walangsungsang dikisahkan mendirikan kota Cirebon—sehingga
bergelar Mbah Kuwu Cirebon—kemudian menyerahkan kota tersebut kepada
adiknya yang dikenal sebagai Sunan Gunungjati untuk bertahta di sana dan
menurunkan dinasti para Sultan Cirebon.
Naskah yang disusun oleh Ki Ahmad, Sep Kramat Trusmi yang meninggal
pada tahun 2012, mengajukan pemahaman bahwa Pangeran Walangsungsang,
Pangeran Cakrabuwana, Mbah Kuwu Cirebon dan Ki Buyut Trusmi adalah orang
yang sama yang mendirikan kota Cirebon sekaligus Kabuyutan Trusmi; dan tokoh
cikal bakal ini dimakamkan di Kramat Buyut Trusmi.
Dengan penggabungan ketiga tokoh dalam satu figur dan meyakini
keberadaan jasadnya di Kramat ini, orang Trusmi memiliki klaim atas senioritas
leluhur mereka terhadap semua masyarakat Muslim pasca Pajajaran. Akan tetapi
dikisahkan kemudian bahwa Ki Buyut Trusmi yang menikahi putri Ki Gede Alangalang tidak memiliki keturunan. Murid-muridnyalah yang melanjutkan upaya
penyebarluasan Islam dan pembentukan masyarakat Muslim. Murid yang paling
utama disebut sebagai Ki Gede Trusmi yang lalu mendirikan Omah Gede yang
menjadi kediamannya, beberapa puluh meter di sebelah barat kompleks Kramat
Buyut Trusmi.
Hubungan Trusmi dengan Kraton Cirebon terjalin dengan kompleks antara
klaim senioritas Trusmi dan hegemoni Kraton Cirebon. Di satu sisi, orang-orang
109 Trusmi meyakini supremasi dan senioritas Desa mereka dan cikal bakalnya
ketimbang Kraton Cirebon. Kramat Trusmi terletak di bagian yang lebih hulu
ketimbang Kramat Gunungjati. Di sisi lain, Trusmi hanyalah desa kecil yang
merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Cirebon.
4.3.
Membangun Tempat, Menjalin Relasi
Orang-orang Trusmi meyakini bahwa desa mereka sebelumnya adalah
hamparan tanah yang ditumbuhi alang-alang dengan pemukim pertama yang disebut
sebagai Ki Gede Alang-alang. Setelah Ki Gede menyerahkan kekuasaannya kepada
Pangeran Walangsungsang maka tempat ini kemudian dikembangkan sebagai
permukiman yang ramai. Di tengah desa ini terdapat Sungai Glagah yang mengalir ke
utara menuju Laut Jawa. Saat ini debit air sungai ini sangat kecil karena sedimentasi
dalam jangka waktu yang sangat lama. Kemungkinan di masa silam Sungai Glagah
memegang peran transportasi yang penting. Salah satu benda yang dipusakakan di
Desa Trusmi adalah minatur perahu dengan panjang sekitar 1,2 meter yang saat ini
disimpan di Bale Gede Bangbangan. Beberapa orang mengenang benda ini sebagai
kendaraan Ki Buyut Trusmi kalau bepergian yang mestinya melalui sungai tersebut.
Dengan berkedudukan tepat di samping sungai, relasi hulu dan hilir menjadi
sangat terasa di sini. Lokasi Trusmi menjadi penanda sejarah tentang hubungan antara
Kerajaan Pra-Islam Pajajaran yang terletak di pedalaman dengan Kerajaan Islam
Cirebon yang terletak di pesisir. Ki Buyut Trusmi yang diyakini sebagai seorang
pangeran Pajajaran dan pendiri kota Cirebon mendapatkan kedudukan geografis di
bentang alam yang khas tersebut.
Terdapat dua gerbang menghadap ke selatan mengapit kompleks Kramat
Buyut Trusmi. Gerbang timur mengantarkan kita ke ruang terbuka yang cukup luas
yang biasa disebut sebagai alun-alun. Gerbang barat berupa gerbang bentar atau split
gate yang berbentuk seperti candi yang terbelah. Terbuat dari pasangan bata yang
bercat merah, gerbang ini tampak jauh lebih kuna dari pada gerbang timur.
110 Gambar 4.1. Kompleks Kramat Buyut Trusmi
111 Dalam kaitannya dengan peziarahan dan upacara saat ini, gerbang barat ini
memiliki peran yang lebih penting ketimbang gerbang timur. Para peziarah sebagian
besar masuk ke kompleks Kramat melalui gerbang ini lantaran tempat untuk melapor
kepada pengelola Kramat berada di dekat gerbang ini. Saat penyelenggaraan prosesi
menjelang Memayu, misalnya, gerbang barat juga memainkan peran penting
mengingat semua peserta prosesi yang bersifat ritual diberangkatan dan kembali ke
Kramat melalui gerbang ini.
Berbagai kalangan yang diwawancarai di Trusmi semua menyebutkan
bahwa semasa hidupnya, tokoh cikal bakal ini berkediaman di kompleks yang
kemudian menjadi makamnya setelah wafatnya.
Alun-alun ini berupa ruang terbuka dengan pepohonan besar di tepiannya
dan lapangan volley di sisi barat. Sebuah sungai kecil yang memisahkan lapangan
dengan kompleks makam Trusmi. Dengan melintasi jembatan kecil kita dapat
mencapai gapura Kramat Buyut Trusmi yang menghadap ke timur.
Dari pintu gerbang bentar barat kita melintasi jalan setapak sekitar seratus
meter sehingga mencapai gerbang bentar kedua yang terletak tepat di sudut barat
daya komplek Kramat. Undak-undakan pada sisi bawah gapura ini menjadi
penghalang bagi kendaraan untuk melintasinya. Gerbang yang serupa terletak di
sudut barat laut kompleks. Di antara kedua gerbang ini terletak gapura Kramat yang
menghadap ke barat.
Kedua gapura itu beratap limasan bersusun dua dengan bubungan pendek
yang ditopang oleh delapan tiang. Sepasang daun pintu berukir terpasang di bawah
ambang gapura ini. Batur dengan beberapa undak-undakan yang terbuat dari
pasangan bata membentuk bagian bawah gapura ini. Belakangan ini permukaan
undak-undakan tersebut dilapis dengan ubin mosaik dengan pertimbangan praktis
agar tidak licin diinjak dan mudah dibersihkan.
112 Gambar 4.2. Kelompok bangunan di sekitar Gapura Timur (A): Balong Pakulahan (B),
Witana (C), Masjid (D), Pawadonan (E) dan Gerbang pertama menuju Makam (F)
Gambar 4.3. Kelompok bangunan di sekitar Kabuyutan (A): Gerbang pertama (B),
Jinem Wetan (C), Jinem Kulon (D), Pendopo (E), Bale Pasalinan (F), Batu
Pendadaran (G), Gerbang kedua (H), dan Bangsal Peziarahan (I)
113 Gambar 4.4. Kelompok bangunan di sekitar Gapura barat (A): Paseban (B), Bale Kiai (C),
Bale Kunci (D), Bale Keprinci (E), Jinem Wadon (F), Sumur Kejayan (G) dan Masjid (H)
Di balik kedua gapura ini terentang dinding masif setinggi dua meter yang
menghalangi pandangan menerus ke dalam kompleks Kramat. Dinding penyekat ini
biasa disebut di Trusmi sebagai kuta hijab. Kuta berasal dari bahasa Jawa yang
berarti kota atau lingkungan perkotaan yang dibatasi oleh benteng sedangkan hijab
dari bahasa Arab yang berarti penyekat atau penutup pandangan yang sering
dipergunakan untuk menyebut kain pembatas ruang atau penutup aurat. Kuta hijab ini
memang berperan menghalangi pergerakan lurus adan pandangan yang menerus dari
luar ke dalam kompleks. Kesemua komponen tersebut menegaskan pemisahan antara
ruang dalam kompleks Kramat Buyut Trusmi dengan ruang luar di sekitarnya.
Semua orang yang memasuki kedua gerbang ini dipersilakan untuk
melepaskan alas kaki sebagaimana tulisan yang tertera pada kuta hijab tersebut. Hal
ini mengungkapkan pemahaman bahwa lingkungan di Kramat Buyut Trusmi bersifat
suci, berbeda dengan lingkungan yang ada di sekelilingnya. Di balik gapura timur
terdapat kolam penyucian yang disebut sebagai Balong Pakulahan, sedangkan di balik
114 gapura barat terdapat Sumur Keramat. Kedua elemen air—kolam dan sumur—ini
menegaskan lebih lanjut tentang prinsip area suci di dalam kompleks.
Di dalam kompleks tersebut terdapat tak kurang dari sepuluh bangunan
dengan berbagai ukuran. Namun demikian, dengan pagar keliling yang masif kita
hanya bisa melihat atap bangunan tersebut yang tampak menonjol di balik pagar.
Dengan segera dari luar kompleks dapat ditengarai bahwa sebagian bangunan
tersebut beratap alang-alang, sedangkan yang lain beratap sirap kayu. Kontras antara
tembok pagar yang dicat merah secara berkala dengan atap-atap yang bewarna kuning
keabu-abuan menjadi ciri utama kompleks ini dilihat dari area di sekitarnya di
sekitarnya.
Gapura barat dan timur Kramat Buyut Trusmi dihubungkan oleh serangkaian
ruang terbuka dengan bentuk tak beraturan dengan susunan memanjang sehingga
membentuk seperti jalur jalan setapak di sela-sela bangunan. Makam dan bangunan
untuk para penjaga makam terletak di sisi utara jalur ini sedangkan masjid dan
beberapa bangunan lainnya terletak di sisi selatan jalur tersebut. Dengan jalur yang
membagi dua kompleks ini, makam dan masjid menjadi pusat berganda.
Konfigurasi ganda dengan jalur menerus ini sangat berbeda dengan makam
keramat di Jawa pada umumnya termasuk makam Sunan Gunungjati yang terletak
dekat Kramat Buyut Trusmi. Makam-makam tersebut memiliki jalur sirkulasi yang
klimatis, yakni, berawal di gapura depan dengan jalur pejalan kaki yang berupa jalan
setapak atau undak-undakan mendaki di belakangnya. Masjid berada di dekat pintu
masuk atau di salah satu sisi jalur tersebut. Setelah melalui sejumlah halaman dan
gapura akhirnya seseorang mencapai akhir jalur letak makam junjungan yang
dimuliakan sebagai klimaks bagi perjalanan peziarahan.
Dari gapura barat kita mencapai Paseban, yang berupa bangsal besar tak
berdinding. Di tempat ini para pengelola Makam menerima tetamu yang akan
berziarah di kompleks Kramat Buyut Trusmi. Keberadaan Paseban ini menunjukkan
bahwa untuk kepentingan peziarahan gapura baratlah yang diutamakan.
115 Bangsal Paseban ini menjadi titik perjumpaan dan pertukaran. Seseorang
yang akan berziarah atau tirakat akan menghadap pengelola Kramat di sini untuk
mohon ijin melakukan kegiatan spiritualnya. Seorang Kemit atau staf yang melayani
peziarah akan mendampinginya berikutnya. Saat upacara, seperti Muludan, Memayu
dan Buka Sirap, para donatur datang ke tempat ini menyampaikan sumbangan
mereka. Sebagai gantinya, di tempat ini mereka akan mendapat makanan atau benda
lain yang dianggap memiliki berkah seperti abu bekas kemenyan, kapur tohor bekas
makan sirih atau air dari sumur keramat.
Bangunan di sekitar Paseban menunjang perjumpaan tersebut. Di sisi timur
Paseban terdapat Bale Kiai dan Bale Kunci tempat para pengelola Kramat berdinas
sekaligus tempat untuk menyimpan bahan makanan dan makanan sumbangan. Di sisi
utara terdapat dapur untuk mengolah hasil sumbangan yang berikutnya makanan
tersebut akan didistribusikan kembali kepada warga dan peziarah. Di sisi selatan
terdapat pendopo kecil untuk mementaskan sumbangan yang berupa kesenian yang
ritualistik yang disaksikan dari Paseban.
Gambar 4.5. Kenduri di Paseban usai Buka Sirap
116 Di selatan Paseban terdapat Masjid Kramat Buyut Trusmi. Bangunan utama
Masjid ini berdenah persegi dengan atap piramidal bersusun tiga sebagaimana
lazimnya masjid-masjid di Jawa. Serambi yang dinaungi dua atap limasan terletak di
sisi timur dengan ruang yang tertutup dinding. Di utara Masjid terdapat Sumber air
yang disebut Sumur Kejayaan yang diyakini memiliki nilai keberkahan tertentu.
Sumur air ini dianggap berpasangan dengan Balong Pekulahan di timur sehingga
banyak pengunjung yang mandi di kedua tempat tersebut.
Ruangan-ruangan untuk wanita tedapat di sisi selatan dan barat Masjid.
Ruang beratap alang-alang yang menempel di sisi selatan masjid dipergunakan bagi
permpuan untuk melaksanakn ibadah shalat. Sementara, bangunan terpisah
berdinding rapat di barat Masjid berfungsi sebagai tempat untuk perempuan bertirakat
sehingga disebut Jinem Wadon.
Berjalan lebih lanjut ke arah timur kita akan menjumpai gapura menghadap
ke selatan dengan pohon Kapianjing (Cynometra cauliflora) di depannya. Nama pohon
ini diasosiasikan dengan seruan untuk “manjing” atau masuk ke dalam makam
melalui gapura ini. Di kiri kanan gapura terdapat wadah air besar yang terbuat dari
tanah liat yang dapat dipahami sebagai isyarat untuk menyucikan diri sebelum
memasuki tempat di belakangnya.
Di belakang gapura ini terdapat halaman depan makam yang dikelilingi oleh
sejumlah banguna. Di kiri dan kanan halaman terdapat sepasang bangunan yakni
Jinem Wetan dan Jinem Kulon. Kedua bangunan ini berfungsi utama untuk tirakat. Di
sisi utara halaman terdapat gapura dalam menuju makam dengan pendopo di
depannya.
Tepat di barat gapura ini terdapat bangunan kecil yang tertutup yakni Bale
Pasalinan tempat para pengelola Kramat berganti busana putih sebelum
melaksanakan tugas. Secara keseluruhan dari gapura barat seseorang dapat
menghayati tahapan tahapan penyucian sebelum mencapai makam.
Di samping Pasalinan terdapat 17 batu bulat dengan berbagai ukuran yang
disusun melingkar berurutan dari yang paling kecil hingga yang terbesar yang berada
117 di tengah. Beberapa peziarah berjalan berkeliling dan mengangkat batu-batu tersebut
satu persatu. Masyarakat setempat menyebutnya Batu Pendadaran.
Gapura di sisi utara halaman depan tersebut menuju ke halaman dalam
makam. Di tengah halaman ini terdapat bangunan utama tempat Ki Buyut Trusmi dan
para pengikut pertamanya dimakamkan. Bangunan berdenah persegi panjang ini
tertutup rapat dengan pintu yang sangat rendah. Hanya Sep, keempat Kiai dan
keempat Kunci yang boleh memasukinya.
Di antara Kabuyutan dan gapura terdapat pendopo besar yang menaungi
peziarah yang sedang berdoa di depan pintu makam. Pendopo dalam yang kadang
disebut Pasujudan ini dibangun pada dasawarsa 1950-an sehingga hampir
berbarengan dengan gapura depan makam yang berukir angka tahun 1958.
Kompleks Kramat Buyut Trusmi ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat
peziarahan tetapi juga menjadi tempat cikal bakal pertumbuhan kawasan
(Adimuryanto, 2001). Masyarakat meyakini bahwa dari Kramat tumbuh permukiman
Blok Jero sebagai area hunian pertama di lingkungan ini. Dari Blok Jero berkembang
menjadi empat Blok lain yakni: Blok Bangbangan, Blok Sibunder, Blok Klentikan
dan Blok Kebonasem. Pola ini sangat mirip dengan pola mancapat pada masyarakat
Jawa kuna dengan pusat yang dikelilingi oleh empat pusat sekunder.
Gambar 4.6. Pola pengembangan permukiman Trusmi
118 4.4.
Pelaku, Hubungan Sosial dan Aktivitas Mereka
Pelaku dari berbagai kalangan beraktivitas dan mengambil bagian dalam
berbagai peristiwa yang terselenggara di Kramat Buyut Trusmi. Mereka hadir dan
memosisikan diri di dalam ruang, berinteraksi dan menjalin hubungan sosial, serta
membangun makna dan pemahaman di Kramat. Para pelaku di lingkungan ini
memiliki intensitas dan kedekatan yang beragam yang secara lebih rinci dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a) Para pengelola Kramat Buyut Trusmi. Mereka sehari-hari berkedudukan
di tempat ini, memiliki kewenangan penuh terhadap lingkungan fisik
serta menyelenggarakan kegiatan di Kramat baik yang bersifat ritualistik
maupun keseharian.
b) Warga Trusmi. Mereka berperan sebagai pendukung utama dalam
penyelenggaraan ritual, keseharian dan pembangunan di Kramat. Warga
tersebut mengkontribusikan dana, material, tenaga dan pemikiran mereka
untuk terselenggaranya berbagai aktivitas maupun terlestarikannya
lingkungan fisik Kramat. Pada saat salah satu dari para pengelola Kramat
meninggal atau mengundurkan diri warga tersebut memiliki hak untuk
memilih dan dipilih yang akan mengubah statusnya dari warga menjadi
pengelola.
c) Peziarah dan pelaku tirakat adalah orang luar yang mengambil bagian
dalam aktivitas di Kramat Buyut Trusmi dalam waktu yang singkat.
Mereke sepenuhnya terikat pada aturan dan tak memiliki kewenangan
untuk mengatur. Dengan memberikan kontribusi yang besar, seorang
peziarah dapat berubah menjadi warga yang turut mengembangkan
kegiatan dan lingkungan di Kramat meskipun tetap dalam posisi sub
ordinat.
Dalam kaitannya dengan pembentukan dan penggunaan ruang, masingmasing pelaku tersebut memiliki peran yang berbeda. Para pengelola memiliki
119 kewenangan untuk mengatur aktivitas dan mengarahkan pembentukan ruang. Para
pengunjung menjadi pendukung langsung kebijakan pengelola dan memberi masukan
terhadap aktivitas dan ruang namun tak memiliki kewenangan kendali langsung. Para
peziarah mendapatkan kemanfaatan fungsional dan spiritual dari pengelolaan tapi
hanya beraktivitas dan berperan dalam waktu yang singkat.
4.4.1.
Pengelola Kramat
Pengelolaan Kramat Buyut Trusmi dipimpin oleh seorang Sep. Secara
teoretik siapapun warga Trusmi bisa menjadi Sep karena pemangku jabatan ini dipilih
dari dan oleh kalangan laki-laki dewasa yang turun temurun berkediaman di desa ini.
Dalam memimpin Kramat, Sep dibantu oleh empat Kiai dan empat Kunci yang juga
dipilih oleh masyarakat setempat.
Selain itu terdapat empat Kaum yang mengelola Masjid. Kaum dipimpin
oleh seorang Lebe yang dibantu oleh Ketib, Modin dan Merbot sebagaimana
dijumpai di banyak masjid tradisional. Ketib bertugas menyampaikan khutbah, modin
memimpin doa sedangkan merbot mempersiapkan sarana dan prasarana.
Mengingat banyaknya kegiatan peziarahan yang perlu dilayani, masingmasing Kunci dibantu oleh sekelompok Kemit yang terdiri atas dua belas orang
sehingga secara keseluruhan terdapat empat puluh delapan orang Kemit. Para Kemit
ini bertugas secara bergiliran untuk melayani peziarah. Setiap empat hari sekali satu
kelompok kemit menunaikan tugasnya.
Dengan demikian secara total terdapat enam puluh satu orang yang
mengelola Kramat. Akan tetapi orang Trusmi lebih suka menghitungnya dengan
menganggap setiap kelompok Kemit sebagai satu orang sehingga didapat jumlah
pengelola Kramat sebanyak tujuh belas orang. Bilangan 17 ini berkesesuaian dengan
jumlah raka’at shalat dalam sehari semalam.
Dalam kaitannya dengan pembangunan fisik kesembilan orang—Sep
beserta para Kiai dan Kunci—memiliki kewenangan khusus atas bangunan Makam
atau Kabuyutan. Hanya mereka yang boleh memasuki bangunan yang dikeramatkan
tersebut, mebersihkan, memperbaiki dan mengubahnya. Ketika seorang donatur
120 menyumbangkan keramik untuk lantai Kabuyutan maka keramik tersebut harus
dipasang oleh sembilan sesepuh Kramat ini. Begitu pula saat pelaksanaan prosesi
penggantian sirap setiap empat tahun sekali.
Sembilan orang ini, karenanya, perlu untuk memiliki kapasitas spiritual yang
tinggi tapi juga kecakapan ketukangan yang memadai. Saat ini, tidak banyak orang
yang dapat memenuhi idealita tersebut sehingga terjadi kesenjangan teknis dalam
beberapa hal. Di antara kesenjangan yang beberapa kali terjadi adalah dalam
penyiapan bahan dan alat, serta pengelolaan para tukang.
4.4.2.
Warga Desa Trusmi
Warga Trusmi memiliki hubungan yang khusus dengan Kramat Buyut
Trusmi. Ki Buyut wafat tanpa meninggalkan keturunan sehingga tidak ada kelompok
elit yang merupakan trah yang dapat mengklaim memiliki hak-hak khusus atas
Kramat. Semua warga dengan demikian memiliki hubungan yang sama dekatnya
dengan Kramat dan cikal bakal Desa ini. Hal ini adalah salah satu faktor penting
untuk memahami tingginya partisipasi warga dalam penyelenggaraan Kramat.
Desa Trusmi terbagi menjadi lima blok yang didasarkan pada asal-usul
kesejarahan. Blok ini juga berperan sebagai satuan untuk mengelompokkan warga
saat upacara seperti Buka Sirap. Blok tersebut meliputi: Blok Jero sebagai inti yang
dikelilingi oleh Blok Bangbangan, Blok Sibunder, Blok Klentikan dan Blok
Kebonasem. Bererapa desa tetangga yang warganya turut berpartisipasi mendapat
status sebagai blok juga seperti Blok Gamel, Blok Talitengah, Blok Sibendo dan Blok
Wotgali.
Dalam kaitannya dengan pembangunan fisik, warga Desa Trusmi menjadi
penyumbang utama. Koran setempat mengutip bahwa biaya yang dikeluarkan saat
Buka Sirap tahun 2014 mencapai 2,4 milyar rupiah yang semua didapatkan dari
kontribusi warga baik dalam bentuk tunai, tenaga maupun barang seperti kayu jati
dan binatang ternak yang seringkali melebihi kebutuhan (Pikiran Rakyat, 8/9/2014).
Para pengelola Kramat bangga bahwa semua ini bisa didapatkan tanpa harus meminta
sumbangan kepada para donatur.
121 Warga selaku donatur meyakini bahwa dengan menyumbangkan barang,
uang dan tenaga yang mereka miliki mereka akan mendapatkan berkah. Kadang
transmisi berkah tersebut didapat warga dalam bentuk konkret seperti alang-alang dan
sirap bekas atau minyak dan gabah yang telah dikemas oleh pengelola Kramat tapi
kadang dalam bentuk abstrak seperti kesempatan untuk menyentuh sirap dan welit
saat dilepaskan dari bangunan-bangunan di Kramat. Dalam pertukaran yang terjadi
terus menerus inilah ikatan sosial-spiritual antara warga dengan Kramat dilestarikan.
4.4.3.
Pelaku Ziarah Dan Tirakat
Pelaku yang memiliki hubungan yang paling longgar adalah peziarah yang
melakukan kunjungan dengan motivasi spiritual ke Kramat Buyut Trusmi. Secara
umum peziarah dibangi menjadi dua kelompok yakni peziarah dalam waktu yang
singkat atau disebut wong ziarah dan peziarah yang bermalam di situ hingga
beberapa hari atau biasa disebut sebagai wong tirakat. Wong tirakat menginap dan
melakukan latihan spiritual dalam jangka waktu tertentu di Kramat. Wong tirakat
laki-laki berkediaman di Jinem Kulon dan Jinem Wetan yang terletak di depan
Makam Ki Buyut Trusmi sedangkan wong tirakat perempuan di Jinem Wadon yang
ada di barat Masjid.
Jika setelah ziarah dan tirakat seseorang mendapat apa yang dia cita-citakan
maka seringkali orang tersebut menyumbang dalam jumlah yang besar kadang dalam
bentuk komponen bangunan. Beberapa pembangunan di Kramat Buyut Trusmi terjadi
atas inisiatif dan dukungan dana dari donatur. Penambahan AC di Masjid yang baru
saja dilakukan atau penggantian lantai Kabuyutan dengan keramik adalah contoh
pengembangan pada bangunan-bangunan penting di Kramat yang terjadi atas
prakarsa donatur.
4.5.
Tektonika: Bentuk, Konstruksi dan Ornamentasi Bangunan
Bangunan-bangunan di kompleks Kramat Buyut Trusmi semua memiliki
atap dengan empat sisi miring kecuali bangunan yang menaungi sumur dan salah satu
cungkup yang dianggap minor yang beratap pelana. Bangunan-bangunan tersebut
122 memiliki puncak yang bermacam-macam. Bangunan utama masjid berpuncak lancip
serupa piramida yang di Jawa biasa disebut tajug. Bangunan Makam, Pendopo di
depan Makam, Witana, serambi Masjid dan Bale Pasalinan memiliki bubungan yang
relatif pendek. Tipe bangunan ini di Jawa lazim disebut sebagai joglo. Beberapa
bangunan yang lain memiliki bubungan yang panjang yang di Jawa lazim disebut
sebagai limasan. Bangunan ini adalah semua gapura, Paseban, Pendopo dan Jinem
Lanang maupun Wadon. Namun demikian di Trusmi dan di Cirebon pada umumnya
semua bentuk bangunan tersebut disebut sebagai limasan tanpa memiliki sub-varian
yang membedakan secara lebih rinci antar bentuk bangunan yang ada di situ. Dalam
pemaparan ini semua bangunan tersebut juga disebut sebagai limasan kecuali
bangunan beratap lancip yang disebut sebagai atap tajug mengingat bentuk,
konstruksi dan perlakuan terhadap bangunan ini di Trusmi cukup berbeda.
4.5.1.
Gapura
Bangunan-bangunan gapura yang dinaungi oleh atap yakni gapura timur dan
gapura barat serta dua gapura menuju ke makam. Kesemua gapura ini memiliki atap
limasan dengan dua susun atap dengan alas berukuran sekitar 3,0 x 1,5 meter. Bukaan
masing-masing gapura ini ditutup dengan sepasang daun pintu yang dihias dengan
ukiran yang rumit dengan berbagai ragam hias di sisi yang menghadap ke luar.
Ambang atas pintu pintu ini juga diukir dengan pola yang repetitif.
Di atas balok ambang bukaan pintu terdapat tiga susun balok yang ditumpuk
dengan posisi melebar ke atas ke semua arah sehingga berbentuk seperti piramida
berundak yang tersusun terbalik. Balok-balok yang tersusun menyerupai tumpang
sari ini diukir di sisi yang menghadap ke luar dan ke bawah dengan ragam hias yang
bahkan lebih rumit ketimbang balok ambang.
Atap bagian bawah pada kedua gapura menuju makam tersebut ditopang
oleh empat balok juga. Pertemuan sudut keempat balok penyangga teritis atap bagian
bawah tersebut dihubungkan dengan teknik takikan (cathokan). Masing-masing balok
panjang yang membujur timur-barat ditopang oleh sepasang konsol yang berupa
balok miring yang bertumpu pada tiang. Balok-balok pendek dengan kedudukan
123 serupa yang membujur utara selatan ditumpu oleh pilar dinding pagar yang terbuat
dari pasangan bata.
Gambar 4.7. Gapura Timur
Gapura timur memiliki konstruksi yang serupa dengan gapura makam
namun balok-balok penyangga tepian atap bawah ditumpu oleh empat saka.
Kedelapan saka tersebut berdiri di atas umpak yang berbentuk piramida terpancung.
4.5.2.
Witana: Bangunan Asal-Muasal
Struktur yang dianggap sebagai cikal bakal dari semua bangunan di
kompleks Kramat Buyut Trusmi adalah Witana. Nama bangunan ini diyakini bersal
dari kata “wiwitane ana” atau “ada sejak semula”. Bangsal tak berdinding berdenah
persegi berukuran sekitar 3,5 x 3,5 meter ini memiliki atap bagian atas dengan
bubungan yang sangat pendek yang membujur ke timur-barat.
124 Atap atas ini ditopang oleh empat saka guru berpenampang persegi
berukuran sekitar 10 x 10 cm. Keempat saka ini dihubungkan dengan empat blandar
pada sisi atas dan empat sunduk di bawahnya. Di atas masing-masing blandar
ditumpang dua balok kecil. Balok yang ada di sisi luar ditakik untuk menempatkan
usuk atap bagian atas maupun atap bagian bawah. Hanya balok blandar yang
memiliki ujung menjorok (gimbal) sedangkan balok-balok di atasnya terhubung
dengan pertemuan sudut.
Ornamentasi bangunan ini relatif sederhana terbatas pada bangun-bangun
geometris. Balok yang berada di sisi dalam diukir dengan profil berundak. Ujung atas
saka guru tersebut dihias dengan ganja atau kepala kolom yang berbentuk bintang
bersegi delapan yang terpancung dengan posisi melebar ke atas. Bagian pertemuan
antara saka dan ganja ini membentuk “leher” yang sangat kecil. Ujung bawah saka ini
berdiri di atas umpak batu. Sisi bawah balok blandar dan sunduk diukir dengan motif
segitiga sangat lancip di kedua ujung tiap balok.
Gambar 4.8. Bentuk bangunan dan struktur saka guru Witana
4.5.3.
Kabuyutan
Struktur terbesar di Kramat Buyut Trusmi adalah bangunan yang menaungi
makam atau cungkup Ki Buyut Trusmi dan orang-orang terdekatnya yang biasa
disebut Kabuyutan. Cungkup yang berupa bnagunan berdinding rapat ini berdenah
persegi panjang dengan pintu kecil menghadap ke selatan dan bubungan yang
membujur ke utara-selatan atau tegak lurus terhadap bubungan Bangsal Witana.
125 Bubungan cungkup, sebagai komponen yang terpasang paling tinggi pada
bangunan yang paling dikeramatkan ini dibuat sangat khusus. Bubungan sepanjang
1,4 meter dan lebar 1,0 meter ini terbuat dari kayu jati gelondongan utuh yang
dibentuk sedemikian rupa sehingga seperti terbuat dari dua papan yang dihubungkan
siku-siku. Seorang tukang muda yang ikut dalam penggantian terakhir bubungan ini
pada tahun 1998 mengisahkan bahwa bubungan lama yang diganti, menurut cerita
yang didengarnya dari orang-orang tua setempat, berumur lebih dari 90 tahun.
Di dalam cungkup ini disemayamkan Ki Buyut Trusmi dan kesembilan
pengikut pertamanya. Nisan Ki Buyut Trusmi terletak di tengah ruang yang dikeliling
empat saka guru sedangkan nisan para pengikutnya berjajar di sisi selatan atau di
arah “kaki” makam utama. Sesuai dengan letak geografis dan ajaran Islam maka
kesemua makam ini membujur dengan kepala di arah utara. Sisi utara ruang ini
dibiarkan kosong. Teritis kecil ditambahkan di sisi barat bangunan ini. Teritis ini
menaungi nisan yang saat ini bercat merah jambu yang dikatakan sebagai nisan istri
Ki Buyut Trusmi yang berada di luar dinding makam tapi masih satu atap. Keempat
saka guru cungkup ini memiliki ganja di ujung atasnya dan dihubungkan dengan
blandar dan sunduk.
Cungkup ini dilingkupi dengan dinding pasangan bata setinggi 1,5 meter
dengan bukaan hanya pada pintu yang menghadap ke selatan. Pintu ini sangat rendah,
dengan bukaan setinggi 1,2 meter, sehingga sangat menunjang kesan tertutup
bangunan ini. Sebagai bangunan yang paling dikeramatkan, hanya Sep, keempat Kiai
dan keempat Kunci yang boleh memasukinya. Informasi lebih rinci tentang ruang
dalam bangunan ini didapat melalui wawancara.
126 Gambar 4.9. Bangunan Kabuyutan (kiri) dan Pendopo (kanan)
Saat upacara penggantian sirap tahun 2014, dua lembar anyaman bambu
(gedheg) berukuran sekitar 1 x 2 meter yang dibingkai dengan bambu belah
dimasukkan ke dalam bangunan cungkup melalui sela-sela usuk di atap saat semua
sirap diturunkan. Ki Warlan memaparkan bahwa gedheg tersebut dipergunakan untuk
membuat naungan dalam yang melingkupi nisan Ki Buyut Trusmi. “Atap” gedheg di
bawah atap sirap ini diganti dengan yang baru saat yang lama telah lapuk atau kadang
ditambahkan menumpuk begitu saja. Penggantian atau penambahan atap gedheg itu
dilakukan saat Buka Sirap mengingat hanya pada saat itu komponen yang cukup
besar ini dapat dimasukkan.
Atap susun kedua ditumpu oleh delapan saka yang terletak di sudut dan sisi
atap dan berjarak sekitar 0,5 meter dari dinding keliling. Tepian bawah atap ini
langsung bertumpu pada dinding keliling, sedangkan tepian atasnya ditopang blandar
pada saka guru. Saka-saka tepi ini dihubungkan dengan balok-balok blandar dan
sunduk.
Di antara bangunan cungkup dan gapura dalam terdapat bangsal terbuka
beratap cukup landai dengan penutup dari sirap kayu. Bangunan berdenah persegi
127 panjang dengan bubungan ke arah utara-selatan yang acapkali disebut sebagai
Pendopo, Peziarahan atau Pasujudan ini adalah tempat para peziarah berdhikir dan
memanjatkan doa dengan menghadap ke arah pintu cungkup di sebelah utara.
Pasujudan ini adalah bangunan yang relatif baru lantaran dibuat pada tahun 1970-an
dengan memanfaatkan kayu sawo yang sangat besar yang tumbuh di samping
cungkup.
Di sisi selatan gapura dalam terdapat bangunan persegi panjang yang
menempel langsung pada sisi selatan gapura. Atap bagian atas bangunan serupa
pendopo kecil yang kadang disebut sebagai Pasekaran ini ditopang saka guru yang
diikat oleh blandar dan sunduk, sedangkan atap bagian bawah ditopang oleh pilar
pasangan bata di keempat sudutnya. Dua kolom kayu berbentuk silinder dijumpai di
bagian tengah sisi barat dan selatan bangunan ini. Ternyata kolom-kolom ini semula
adalah saka guru masjid yang dipindahkan saat masjid tersebut diperbesar sehingga
saka yang lama tak diperlukan lagi.
Tepat di barat pendopo ini terdapat bangunan sangat kecil namun memegang
peran penting dan memiliki artikulasi yang unik. Bangunan ini adalah Bale Pasalinan
yang dipergunakan oleh para pengelola Kramat untuk berganti busana saat mereka
akan mulai bertugas baik dalam rutinitas keseharian maupun saat upacara besar. Di
bangunan ini juga disimpan beberapa benda yang diyakini memiliki kekuatan
supranatural seperti bebebrapa tombak, bekas mustaka Masjid dan kuda lumping
yang terbuat dari kulit.
Meskipun sangat kecil bangunan ini memiliki artikulasi yangsarat dengan
detail. Daun dan ambang pintu ini sarat dengan ornamentasi ukir di seluruh
permukaan luarnya. Pintu yang sekarang terpasang ini didapat dari bekas pintu
Kabuyutan yang diganti pada tahun 2010. Dinding Pasalinan yang relatif rendah ini
dibagi dua. Bagian bawah terbuat dari pasangan bata sedangkan bagian atas terbuat
dari anyaman bambu tutul yang artistik.
128 Gambar 4.10. Bale Pasalinan dan Batu Pendadaran
4.5.4.
Masjid
Masjid adalah bangunan yang terbesar di Kramat Buyut Trusmi. Beberapa
sumber tertulis menyebutnya sebagai Masjid Sang Aji Rasa (Adimuryanto, 2001)
mungkin untuk menunjukkan kedekatannya dengan Masjid Sang Cipta Rasa di
Kraton Kasepuhan, Cirebon. Ruang Utama Masjid berdenah persegi dengan atap
piramida bersusun tiga yang ditutup dengan sirap. Meskipun atap masjid ini bersusun
tiga namun tiang penopangnya hanya empat yang terletak di sudut atap susun kedua.
Atap teratas Masjid ini yang berhias mustaka tanah liat ditopang oleh balok-balok
yang terentang di antara keempat tiang tersebut. Atap terbawah dipikul oleh dinding
keliling.
Semula bangunan Masjid ini lebih kecil dan jauh lebih rendah. Hal ini
tampak dari pintu-pintu tuanya yang terletak di sisi utara dan selatan ruang shalat
yang memiliki ketingian sekitar 1,5 meter. Bekas ketinggian dinding lama kurang
129 lebih setinggi lapisan batu paras pada dinding ruang dalam Masjid. Akan tetapi jejak
ini sekarang sudah sepenuhnya terhapus ketika keseluruhan permukaan dinding ini
dilapisi dengan keramik pada awal tahun 2015.
Pada dinding sisi barat terdapat dua ceruk yang dipergunakan untuk mihrab
dan mimbar yang diapit oleh dua jendela tinggi karena dibuat setelah bangunan
Masjid ditinggikan.
Gambar 4.11. Bangunan dan Ruang Dalam Masjid
130 Tepat di bagian timur Masjid ini terdapat dua struktur sang identik yang
membentuk serambi. Struktur tengah serambi ini serupa dengan Witana namun
bagian tepinya ditopang oleh dinding pemikul. Tak seperti lazimnya masjid Jawa
yang memiliki serambi terbuka tanpa dinding, serambi Masjid Trusmi ini dibatasi
oleh dinding rapat dengan beberapa jendela dari panil kayu. Dinding dan kedelapan
saka serambi ini adalah yang tertinggi di Kramat Buyut Trusmi. Dalam amatan yang
lebih cermat didapati bahwa tiang-tiang tersebut adalah sambungan. Penampang yang
lebih lebar pada bagian bawah kolom terbentuk karena lapisan papan yang
dipergunakan untuk menyambung bagian atas dan bagian bawah kolom.
Gambar 4.12. Masjid dan serambi yang beratap sirap dan Pawadonan
yang beratap alang-alang
Di selatan ruang shalat utama terdapat ruang shalat perempuan atau
Pawadonan. Bangunan yang juga tertutup ini dibongkar dan dibangun ulang saat
perluasan Masjid di pertengahan tahun 1960an.
Ruang shalat dan serambi Masjid memiliki penutup atap sirap sedangkan
Pawadonan menggunakan penutup atap welit. Hal ini dilakukan mungkin karena
Pawadonan ini sebelumnya juga dipergunakan sebagai tempat tirakat perempuan
131 sehingga menyandang peran sebagai Jinem Wadon. Dengan demikan dapat dipahami
bahwa bangunan ini dibuat dengan bahan sebagaimana Jinem Wetan dan Kulon.
Pada tahun 1990 fungsi tirakat ini diwadahi di Jinem Wadon yang dibangun
secara khusus di sebelah barat Masjid. Bangunan tirakat ini serupa dengan Jinem dan
Pawadonan dengan atap welit dan dinding pasangan bata.
4.5.5.
Paseban
Bangunan beratap welit dengan dimensi terbesar adalah Paseban yang
terletak tepat di utara gapura barat. Bagian tengah bangunan ini ditopang oleh empat
saka guru dengan dimensi 18 x 18 cm. Di atas saka guru terdapat balok-balok blandar
yang besar berujuran sekitar 12 x 18 cm untuk mengikat keempat tiang tersebut
dengan sistem konstruksi cathokan sehingga memiliki sisa balok di ujung (gimbal).
Di bawah blandar terdapat sunduk atau balok-balok pengikat dengan purus di tiaptiap ujungnya. Di atas blandar terdapat susunan tiga lapis balok yang sarat dengan
ornamern memahkotai ruang dalam bagian tengah ini. Ukiran tersebut sangat kontras
bidang atap yang terbuat dari alang-alang tepat di atas susun balok ini. Sesanten atau
balok pendek penghubung antara blandar dan sunduk berukuran besar berukir rumit
dengan ganja di ujung atasnya.
Kesemua elemen konstruksi Paseban tersebut membentuk ruang dalam yang
termegah di seluruh kompleks Kramat Buyut Trusmi. Beberapa bidang kayu berukir
tokoh wayang yang digantungkan pada langit-langit menambah kesan bahwa ruang
ini memang diistimewakan. Dari luar, semua artikulasi canggih tersebut sama sekali
tak kelihatan mengingat atap dan teritis yang relatif rendah.
132 Gambar 4.13. Paseban, Bale Kiai dan Bale Kunci (dari kiri ke kanan)
Gambar 4.14. Struktur utama Paseban
Tepat di timur Paseban terdapat dua bangunan serupa Bangunan yang
menempel pada paseban adalah Bale Malang atau Bale Kiai tempat para Kiai berjaga
dan beristirahat sehari-hari. Bale Kunci, tempat para Juru Kunci berjaga terletak
133 persis di sebelah timur Bale Kiai. Semua sisi bangunan tersebut tertutup oleh
anyaman bambu kecuali sisi yang menghadap ke barat.
Gambar 4.15. Bale Kiai dengan atap terbuka saat Memayu
Secara tektonika kedua bale yang hampir sama ini memiliki keunikan.
Struktur utama dengan empat tiang pada bale ini sama dengan yang dijumpai di
Witana dan di bangunan lain, Akan tetapi bagian bawah kolom ini diikat oleh balok
di keempat sisinya dengan konstruksi serupa sunduk dengan purus di ujungnya. Di
atas balok-balok ini sejumlah papan disusun rapat sehingga membentuk amben atau
balai-balai setinggi 50 sentimeter. Di seluruh Kramat hanya kedua bangunan ini yang
memiliki konstruksi dan elemen seperti ini. Namun demikian, bukan berarti
konstruksi sunduk-amben ini jarang dijumpai atau bahkan tidak dikenal di Trusmi.
Pada rumah kuna yang dipusakakan seperti di Omah Gede dan beberapa Bale Gede
konstruksi seperti ini selalu dijumpai terutama untuk bagian bangunan yang berada di
depan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bangunan ini memiliki karakter domestik
yang kuat.
134 4.6.
Buka Sirap
4.6.1.
Persiapan Buka Sirap
Pada malam Senin tanggal 4 September tahun 2014 yang bertepatan dengan
malam 1 Muharram 1435 H terjadi peristiwa penting di Trusmi. Malam itu bangunan
Witana menyandang ulang peran sebagai tempat asal-muasal. Kiai Tonny selaku Sep
menyampaikan maksud acara ini yakni mengumumkan jadwal penyelenggaraan
upacara Buka Sirap untuk tahun 1435 yang kebetulan jatuh pada tahun Alip yang
merupakan tahun pertama dari siklus windu delapan tahunan. Witana dengan
demikian menyandang peran untuk “wiwitan” bagi rangkaian aktivitas terkait
penggantian atap sirap kayu untuk sejumlah bangunan di Kramat Buyut Trusmi. Buka
Sirap tahun 2014 ini adalah yang pertama kali dijalani Kiai Tonny selaku Sep
menggantikan Kiai Ahmad yang meninggal pada tahun 2012.
Acara utama melepas dan mengganti sirap dijadwalkan untuk dilaksanakan
mulai hari Senin 8 September 2014 dan diakhiri pada hari Senin berikutnya tanggal
15 September 2014. Pada bulan Agustus mereka sudah mulai bekerja membuat sirap.
Kayu jati untuk membuat sirap tersebut didapatkan dari tiga sumber, yakni: kayu jati
yang ditanam sendiri oleh pengelola Kramat baik di sekitar makam atau di tanah
wakaf lain yang berjarak sekitar 1 kilometer dari makam; kayu jati sumbangan dari
warga; serta kayu jati yang dibeli oleh pengelola. Pembelian ini bisa dilakukan
dengan dukungan dana sumbangan tunai dari warga atau kadang dengan menjual
sumbangan non-tunai seperti binatang ternak yang berupa kerbau, sapi dan kambing,
yang berlebih dari acara Buka Sirap empat tahun sebelumnya. Untuk tahun 1435
tersebut volume kayu yang diperlukan diperhitungkan mencapai sekitar 27 m3.
135 Gambar 4.16. Sirap dalam berbagai ukuran
Sirap-sirap baru yang akan dipasang sudah ditumpuk di Witana. Bilah-bilah
kayu dengan berbagai ukuran ini sudah dimandikan di Balong Pakulahan yang
terletak tepat di timur bangsal kecil ini. Karena bangunan-bangunan di Kramat Buyut
Trusmi dianggap suci maka komponen-komponen bangunan yang akan dipasang pun
harus disucikan terlebih dahulu. Kolam berbentuk persegi ini dibuat dengan undakundakan di sisi barat sehingga memudahkan orang yang memasukkan komponen
bangunan yang disimpan sementara di Witana, menyucikannya di air kolam dan
terakhir mengangkatnya untuk disimpan di Witana atau langsung dipasang.
136 Gambar 4.17. Menyucikan sirap dan komponen konstruksi di Balong Pakulahan
di samping Witana
Gambar 4.18. Para pengobeng dan tukang menunggu Buka Sirap dimulai
4.6.2.
Pelaksanaan Buka Sirap
Senin pagi pukul 06.00 tanggal 8 September 2014 banyak orang sudah
bersiaga di kompleks Kramat Buyut Trusmi. Para tukang membaur dengan para
137 pengobeng laki-laki duduk sejak matahari terbit siap untuk melakukan prosesi Buka
Sirap. Mereka duduk atau berjongkok dengan pandangan terfokus pada bangunan
Kabuyutan yang akan dikerjakan pertama kali mengawali prosesi ini.
Sep, para kiai dan para kunci bergantian masuk ke Bale Pasalinan yang
terdapat tepat di barat gapura barat menuju makam. Di bangunan mungil itu mereka
mengganti pakaian biasa dengan baju, kain panjang dan ikat kepala yang semua
bewarna putih polos. Menjelang pukul 07.00 kesembilan pengelola Kramat inipun
siap untuk menaiki atap melalui tangga yang disandarkan di sisi timur bangunan
makam.
Kiai Tonny selaku Sep adalah orang yang naik pertama kali diikuti oleh para
kiai dan kunci. Hanya sembilan orang ini yang boleh menaiki atap, memperbaiki
bangunan dan mengganti komponen bangunan makam. Hal yang pertama kali mereka
lakukan di atas atap adalah membersihkan atap dengan sapu lidi, melepas keping kaca
yang ada di bagian atap yang akan diganti serta memasang beberapa batang reng di
atap bagian atas sebagai pijakan untuk menuju ke puncak atap.
Mereka bersembilan kemudian segera menuju ke bubungan untuk kemudian
mengangkatnya. Bubungan yang terbuat dari kayu utuh ini sangat berat mungkin
sekitar 100 kg sehingga diperlukan kesembilan orang ini untuk melepaskan bersamasama. Saat pengelola atap mulai naik tangga, para pengobeng dan tukang segera
berdiri menandakan kesiagaan mereka untuk berkarya juga.
Pada saat bubungan mulai dilepaskan, beberapa tukang menaiki kedua
perancah tinggi yang didirikan di kiri dan kanan makam. Mereka menuju ke jajaran
balok yang berfungsi sebagai lantai yang terletak pada ketinggian yang hampir sama
dengan bubungan. Empat orang naik di tiap perancah untuk memegang dan
mengendalikan kabel baja tempat bubungan akan digantungkan. Dengan tali plastik
yang liat ujung-ujung bubungan tersebut diikat pada kabel baja yang terletak di
bawah komponen bangunan yang paling dimuliakan ini. Para tukang menarik dan
mengulur kabel-kabel tersebut agar bubungan tepat berada di atas balok bubungan
dengan jarak ke atas sekitar 0,5 meter. Selama prosesi Buka Sirap berlangsung
138 bubungan ini akan tetap mengambang di atas bangunan. Seorang tukang bercerita
bahwa di masa lalu sebelum menggunakan kabel baja, bubungan itu ditopang oleh
balok-balok kayu yang dipasang bersilangan yang bertumpu pada rangka atap.
Gambar 4.19. Melepas bubungan Kabuyutan dan meletakkannya di atas kabel baja
yang ditopang perancah kayu
Setelah bubungan diletakkan di atas kabel, kesembilan orang ini mulai
melepas papan-papan bubungan jurai. Bubungan pada jurai di sudut tenggara adalah
yang pertama kali dilepas. Dimulai dari bubungan jurai yang terpasang di atap bagian
atas lalu diikuti dengan yang terpasang di atap bagian bawah. Ketika papan-papan
yang sudah terlepas ini diturunkan, para pengobeng dan tukang berebut untuk
membawanya ke luar halaman dalam makam. Keriuhan terjadi karena semua orang
ingin mengambil bagian dalam pemindahan papan ini, paling tidak menyentuhnya
sebagai upaya untuk menunjukkan keterlibatan dalam proses ini. Bersentuhan dengan
papan-papan panjang dan berbagai komponen bangunan lainnya adalah syarat
minimal untuk mengubah status mereka dari penonton menjadi pengobeng atau
bahkan tukang. Papan-papan itu kemudian dikeluarkan melalui pintu gapura untuk
kemudian diletakkan di halaman luar makam. Sebagian besar ditaruh di dekat Jinem
Kulon. Papan-papan bubungan jurai Kabuyutan tersebut lebih panjang ketimbang
139 komponen serupa pada bangunan-bangunan lain. Dengan pemotongan pada bagian
ujung yang biasanya lebih cepat keropos dan pengamplasan ulang permukaanya yang
berkerak, papan-papn ini ssiap dimanfaatkan kembali.
Gambar 4.20 pengobeng berebut menyentuh dan membawa keluar bubungan jurai
yang telah diturunkan
Semua bubungan jurai dilepas kecuali yang terletak di sudut barat laut
karena memang bagian tersebut tidak berhubungan dengan penggantian sirap saat ini.
Pada tahun 1435 ini hanya bidang atap di sisi timur dan selatan yang akan diganti
penutupnya. Kemudian, berangsur-angsur keping-keping sirap penutup atap dilepas
dan diturunkan. Beberapa di antara keping sirap tersebut selain digantungkan pada
pengaitnya juga diperkuat dengan paku sehingga memerlukan waktu yang agak lama
untuk melepasnya. Tiap kali setumpuk sirap diturunkan, orang-orang yang berjaga di
bawah berebut untuk menerima dan kemudian secara beranting membawanya ke
halaman luar makam.
Prosesi ini berlangsung sepanjang siang hingga pukul 15.00 dengan dua kali
waktu rehat untuk makan siang dan shalat dhuhur. Di akhir hari sebagian besar sirap
makam dan semua bubungan jurai sudah selesai diturunkan. Di sekitar Jinem Wetan
dan Jinem Kulon, bilah-bilah sirap ini ditumpuk dan diseleksi kelayakannya untuk
dipasang kembali di bangunan lain.
140 Gambar 4.21. Memasang sirap baru di sisi selatan atap Kabuyutan
Pada hari Selasa pukul 07.00 dimulai penggantian atap untuk bangunan
Masjid. Keempat pengelola Masjid yakni Lebe beserta tiga stafnya, yakni, Kaum,
Modin dan Merbot—kesemuanya berpakaian serba putih juga—menaiki atap Masjid
melalui tangga yang dipasang di sisi utara tepat di atas pintu yang khusus
dipergunakan oleh para Kiai. Beberapa orang ikut naik membantu para pengelola
Masjid.
Mereka memanjat atap Masjid yang bersusun tiga. Setelah mencapai
puncaknya, mereka melepas mustaka atau hiasan puncak atap yang tebuat dari
tembikar berbentuk seperti piramida dengan alas persegi dan hiasan ujung berbentuk
seperti mahkota. Setelah dilepas, mustaka itupun diturunkan dengan menyungginya
di atas kepala Lebe selaku pempinan tertinggi pengelola Masjid. Empat orang lain
memegang semua sudut alas mustaka ini. Karena bagian tengah mustaka ini berongga
maka kepala Lebe ini masuk ke dalam ceruk itu sehingga sulit untuk memandang
sekeliling. Dengan menyunggi mustaka Lebe turun meniti tangga.
Sesampainya di bawah, mustaka itu diletakkan pada batur pembatas pohon
belimbing di utara Masjid. Setelah diperiksa dan dibersihkan, mustaka tersebut dicat
141 ulang dengan warna merah tua. Hiasan puncak atap ini disemayamkan di dalam
Masjid sesudah kering catnya.
Gambar 4.22. Penurunan mustaka Masjid yang disunggi Lebe
Bubungan jurai dan sirap Masjid kemudian dilepas dan diturunkan
sebagaimana yang dilakukan pada atap Kabuyutan. Dimulai dari atap ruang shalat
dan dilanjutkan kemudian dengan atap Witana dan Bale Pasalinan. Setelah dilepas,
komponen-komponen tersebut juga dibawa ke halaman depan Makam.
Pada hari ketiga Buka Sirap yang selalu jatuh pada hari Rabu dilakukan
penggantian atap pada atap semua gapura. Bangunan-bangunan kecil ini memang
sebelumnya tidak beratap sirap sehingga mendapat perlakuan yang berbeda. Hampir
semua sirap untuk gapura-gapura ini adalah sirap bekas yang masih layak dan sudah
dibersihkan sehingga tampak seolah-olah baru.
Bangunan di depan Kabuyutan yang sering dipergunakan untuk para
peziarah bertafakur dan berdoa mendapat perlakuan yang berbeda pula. Bangsal yang
dianggap baru dan tambahan ini hanya diganti bubungan jurainya, sedangkan atap
sirap di keempat sisinya tak diganti. Penggantian komponen bangunan ini dipandang
sebagai perbaikan teknis sehingga dilakukan sejauh memang ada kerusakan dan
142 tersedia komponen pengganti bekas dari bangunan lain. Dalam Buka Sirap kali ini
bubungan jurai pengganti didapat dari bekas bubungan jurai Kabuyutan.
Gambar 4.23. Menurunkan sirap dan bubungan jurai sisi timur Masjid
Gambar 4.24. Mengganti atap sisi timur Witana
143 Bangunan terbesar yang mulai dikerjakan pada hari Rabu adalah serambi
Masjid. Bangunan yang dinaungi oleh dua atap berjajar ini memerlukan penanganan
teknis yang cermat karena banyaknya lekuk liku dan sambungan atap.
Sementara, bubungan dan sirap bekas yang telah ditumpuk di halaman depan
tersebut diperiksa kondisinya. Setelah diseleksi dapat disisihkan komponen yang
sudah tak layak untuk dipakai lagi karena sudah terlalu banyak bagian yang keropos
atau lapuk. Beberapa orang mengambil sirap-sirap bekas ini untuk dibawa pulang
karena nilai berkahnya.
Banyak komponen memerlukan perbaikan dan penyesuaian untuk dapat
dipakai kembali. Hampir semua sirap dan bubungan jurai dari Kabuyutan masih bisa
dipakai kembali mengingat setiap kali Buka Sirap semua komponen yang dipasang di
bangunan ini haruslah komponen baru kecuali bubungan yang dibuat secara khusus
dari kayu gelondongan yang hanya digantungkan untuk kemudian dipasang kembali.
Keping-keping
sirap
yang
masih
baik
memerlukan
pengamplasan
pada
permukaannya untuk menghilangkan jamur dan lumut yang dengan cepat tumbuh.
Bubungan atas dan bubungan jurai yang masih dapat dipergunakan memerlukan
penyesuaian ukuran dengan bangunan baru tempat komponen tersebut akan dipasang.
Pemendekan ini perlu dilakukan karena ukuran Kabuyutan yang lebih besar dari pada
bangunan lain sehingga memiliki bubungan jurai yang lebih panjang juga. Selain itu,
pemendekan juga dilakukan karena alasan kualitas komponen bangunan lantaran
ujung-ujung bubungan biasanya adalah bagian yang paling mudah lapuk sehingga
perlu dipangkas.
144 Gambar 4.25. Kiai Warlan menyeleksi sirap baru untuk Kabuyutan
Pada hari keempat atau hari Kamis semua pekerjaan perbaikan dan
penggantian atap tersebut dilanjutkan. Bubungan jurai yang baru sebelum buka sirap
dimulai disediakan dalam bentuk papan-papan sepanjang tiga meter yang belum
disesuaikan ukurannya dengan komponen bangunan yang akan diganti. Sesudah
pembongkaran baru diketahui bubungan jurai mana saja yang memerlukan
penggantian komponen baru. Ujung bubungan jurai yang tersambung dengan
bubungan jurai di bawah atau di atasnya memerlukan ketelitian dalam
pemotongannya mengingat kemiringan masing-masing atap berbeda. Banyak
pekerjaan penyesuaian dilakukan pada hari itu.
Semua aktivitas teknis pembaruan bangunan pada Buka Sirap dihentikan
pada hari Jumat. Jeda ini ditujukan untuk menghormati hari yang dikhususkan untuk
melaksanakan ibadah Shalat Jumat.
Keesokan harinya pada hari Sabtu aktivitas Buka Sirap difokuskan untuk
merapikan dan menyempurnakan konstruksi. Pemasangan bubungan jurai dengan
lapisan ijuk di bawahnya, misalnya memerlukan kecermatan khusus agar tampil rapi
dan tidak bocor. Pada hari Sabtu sore kesemua pekerjaan pengakhiran inipun usai
145 kecuali bubungan utama Kabuyutan dan mustaka Masjid yang masih harus menunggu
saat yang tepat secara ritual untuk dapat dipasang kembali ke tempat semula.
4.6.3.
Akhir Buka Sirap
Hari Ahad adalah hari persiapan kenduri syukuran usainya Buka Sirap.
Semua pengobeng sibuk untuk mengelola penyiapan makanan yang akan
didistribusikan pada saat kenduri. Pada malam hari kembali dilaksanakan tahlilan di
depan Kabuyutan dan Shalawat Brai, kali ini satu kelompok saja, dipentaskan di
halaman depan makam.
Keesokan harinya sebelum jam 06.00 kenduri besar untuk mensyukuri
usainya Buka Sirap telah siap. Hidangan berkat untuk para tokoh masyarakat
dipersiapkan di dua tempat. Para pengelola Kramat dan tokoh-tokoh formal seperti
Kuwu Trusmi Wetan dan Kulon serta Muspika Weru dipersilakan untuk duduk di
Paseban sedangkan para tokoh informal duduk di Witana.
Sekitar pukul 05.55 Sep beserta keempat Kiai dan keempat Kunci kembali
naik ke atas bangunan Kabuyutan untuk mulai melakukan prosesi konstruksi
sekaligus ritual untuk menandai pengakhiran Buka Sirap. Beberapa tukang memanjat
perancah tinggi yang ada di kiri dan kanan bangunan tersebut. Tukang-tukang
tersebut melonggarkan kabel baja yang dipergunakan untuk mengangkat bubungan
Makam. Para pengelola Kramat bersiaga di atas atap untuk mengepaskan posisi
bubungan tersebut pada tempat kedudukannya.
146 Gambar 4.26. Memasang kembali bubungan dan membersihkan atap Kabuyutan
Setelah bubungan terpasang dilakukan penanganan teknis terakhir. Dengan
mesin pengamplas beberapa pengelola kramat menghaluskan kembali permukaan
bubungan serta menghilangkan kerak, lumut dan jamur yang menempel di
permukaannya. Satu-satunya komponen lama yang dipasang ulang di Kabuyutan
inipun tampil seperti baru.
Prosesi ritual dilakukan kemudian. Setelah seluruh permukaan atap
dibersihkan dengan sapu lidi, tiga untai melati dengan aksen mawar merah di
ujungnya disangkutkan di atas bubungan menjadi penanda usainya Buka Sirap.
Terakhir, dua orang Kunci memercikkan air sambil berjalan berkeliling di atas atap
bagian bawah sehingga seluruh permukaan atap mendapat percikan air tersebut.
Pada saat yang bersamaan dengan pengakhiran Buka Sirap di Kabuyutan
dilakukan hal yang sama di Masjid Kramat Buyut Trusmi. Lebe bersama ketiga
stafnya dan dua orang tukang naik ke atap Masjid. Kali ini Lebe kembail menyunggi
mustaka Masjid di atas kepalanya. Sesampainya di puncak atap, mustaka inipun
dipasang kembali menghiasi puncak masjid.
147 Setelah pekerjaan teknis usai dilakukan, ritual pengakhiran dimulai. Setelah
untaian melati dipasang untuk menghiasi puncak bangunan Masjid ini, Modin segera
memegang mikrofon dengan berdiri di atap Masjid. Pukul 06.33 hari Senin adhan
diserukan dari puncak Masjid Kramat Buyut Trusmi bukan untuk menyerukan waktu
shalat tapi untuk mempermaklumkan usainya pembaruan kembali bangunan Masjid
melalui prosesi Buka Sirap.
Gambar 4.27. Modin menyerukan adhan di puncak Masjid seusai pemasangan mustaka
Distribusi berkat yang paling banyak dilakukan di depan Masjid. Para
pengobeng yang telah duduk menunggu di halaman masjid mendapat giliran pertama
untuk mendapatkan berkat yang diwadahi dalam ponthang. Ribuan orang yang telah
menunggu di Alun-alun dengan tertib mengantre di depan gapura timur untuk
kemudian menerima berkat di depan masjid. Sebelum pukul 10.00 perhelatan besar
delapan hari ini usai.
Karena tahun 1435 jatuh pada tahun Alip, maka dilakukan juga Buka Sirap
untuk mengganti atap bangunan Mande Cungkup Trusmi yang terletak di Astana atau
Kompleks Makam Sunan Gunungjati di Bukit Sembung sekitar 4 kilometer dari
Trusmi. Prosesi ini mulai dilaksanakan pada hari Ahad sore sepekan setelah Buka
Sirap di Kramat Buyut Trusmi. Bersama-sama, orang-orang Trusmi membawa sirap
ke Astana tersebut. Di malam harinya diselenggarakan pertunjukan wayang kulit di
148 halaman dekat Mande Trusmi untuk memeriahkan prosesi ini. Senin pagi tanggal 22
September 2014 dimulailah penggantian sirap untuk bangunan yang menandai
pertalian antara warga Trusmi dan dinasti Gunungjati.
4.7.
Memayu
4.7.1.
Persiapan Memayu
Memayu atau penggantian atap welit pada bangunan-bangunan di Kramat
Buyut Trusmi hanya memakan waktu satu hari. Namun demikian, hubungan antara
aspek teknis, ritual dan sosial dalam Memayu tidak kalah kompleks dibandingkan
dengan Buka Sirap yang memakan waktu hingga delapan hari.
Saya menyaksikan dan terlibat dalam Memayu yang diselenggarakan pada
tanggal 17 November 2014 dan 28 September 2015. Kedua upacara tersebut ternyata
jatuh pada tahun Hijriyah yang sama yakni 1436 Ehe. Sebagaimana Buka Sirap, saat
pelaksanaan Memayu juga diumumkan pada malam tanggal 1 Muharram dalam
majelis yang diselenggarakan di Witana.
Pertimbangan dalam menentukan saat penyelenggaraan Memayu memang
kompleks. Prosesi ini selalu dijadwalkan pada hari Senin. Berdasar perhitungan
tradisional (hisab ‘urfi) mereka didapatkan ancar-ancar tanggal pelaksanaan upacara
ini dalam kalender Hijriyah. Memayu dipandang berkaitan erat dengan ritus pertanian
untuk mengawali masa tanam padi yang dilakukan pada awal musim penghujan.
Selain tarikh Hijriyah dan perhitungan awal musim hujan, jadwal Memayu juga perlu
untuk mempertimbangkan kemampuan masyarakat. Kedua upacara ini dapat
terselenggara dengan dukungan sumbangan yang besar dari masyarakat. Jika jarak
antara Memayu dan Buka Sirap terlalu dekat maka dikhawatirkan akan menjadi
beban yang terlalu berat bagi masyarakat.
Persiapan teknis untuk memayu yang paling penting adalah pengadaan welit
atau alang-alang (Imperata cylindrica) yang dirangkai pada bilah bambu sepanjang
sekitar 1,5 meter. Alang-alang ini tidak tumbuh di Trusmi sehingga harus dipesan di
kawasan pesisir tepatnya di Desa Singaraja Kabupaten Indramayu. Paling tidak tiga
149 bulan sebelum pelaksanaan Memayu, welit tersebut harus sudah dipesan. Sekitar
seminggu sebelum Memayu, welit tersebut mulai didatangkan. Semula welit itu
ditumpuk di ruang terbuka atau di Jinem Wetan dan Kulon, tapi mulai tahun 2015
welit tersebut disimpan di bangunan permanen berdinding bata yang didirikan di sisi
timur Alun-alun Trusmi. Bangunan ini juga dimanfaatkan untuk menyimpan sirap,
kayu jati dan alat-alat pertukangan yang dipergunakan dalam Buka Sirap.
Bahan lain yang diperlukan adalah bambu dan anyaman belarak atau daun
kelapa kering. Bambu diperlukan untuk dibuat sebagai tali pengikat dan bilah
penjepit. Anyaman belarak dipasang di tepi teritis bangunan untuk merapikan pinggir
atap tersebut. Kedua bahan ini bisa didapatkan di beberapa desa di Kecamatan Weru.
Pada hari Ahad, sehari sebelum pelaksanaan Memayu, diselenggarakan
pawai besar yang disebut sebagai ider-ideran. Arak-arakan ini berangkat dari Kramat
Buyut Trusmi menuju Jalan Syeh Datu Kafi—Jalan Raya Cirebon-Bandung—Jalan
Panembahan Ratu dan kembali ke Kramat. Para peziarah khususnya yang dari luar
kota justru datang paling banyak pada saat Ider-ideran ketimbang saat pelaksanan
Memayu di keesokan harinya.
Sekumpulan benda yang didistribusikan kepada peziarah saat Memayu yang
diyakini memiliki nilai berkah ini adalah lidi, minyak goreng, abu dan beberapa bulir
benih padi atau gabah. Secara khusus, abu tersebut didapatkan dari sisa-sisa
pembakaran kemenyan yang dilakukan setiap hari di Kabuyutan. Kiai Tonny
menfasirkan secara filosofis makna benda-benda tersebut. Lidi yang lurus dimaknai
sebagai tauhid atau pengakuan keesaan Allah. Minyak yang bersifat licin dikaitkan
dengan harapan akan kemudahan segala urusan, sedangkan gabah adalah ungkapan
harapan akan kesejahteraan. Abu adalah pengingat bahwa kita semua akan kembali
sebagai abu.
Kiai Warlan, tokoh yang lebih senior, memiliki pemahaman tentang bendabenda yang dibagikan tersebut yang sangat terkait dengan asal-muasal Memayu
sebagai ritus pertanian. Gabah jelas adalah benih padi yang akan disemai di awal
musim tanam. Abu, menurutnya, adalah pupuk untuk menyuburkan lahan. Lidi biasa
150 ditancapkan di sudut-sudut sawah untuk menolak hama. Minyak dihubungkan dengan
tenaga kerja manusia yang mengolah sawah mengingat usai bekerja sering pegalpegal maka dipergunakanlah minyak untuk mengurut. Di menjelaskan lebih lanjut
bahwa arti penting Memayu bagi masyarakat petani di Trusmi adalah untuk
mengumpulkan sanak-kerabat dan tetangga untuk bersiap menyambut musim tanam
padi.
Sebelum pukul 05.00 para peserta arak-arakan sudah bersiaga, penontonpun
sudah ramai memadati sepanjang jalan yang akan dilewati oleh arak-arakan ini. Para
pengelola Kramat pagi itu sudah siap dengan memakai baju putih dengan ikat kepala
dan sarung batik yang seragam. Satu kelompok yang terdiri atas dua belas Kemit
menyandang tombak, tiga kelompok lainnya membawa ujung tanaman bambu
sepanjang sekitar tiga meter yang masih lengkap dengan daun-daunnya.
Batang bambu melengkung yang dibawa para kemit ini masih segar
sehingga dapat menimbulkan gambaran tentang makna Trusmi sebagai Terus Semi.
Seorang tokoh setempat menjelaskan bahwa bambu tersebut lebih penting ketimbang
tombak sehingga semestinya semua Kemit tersebut membawa bambu. Akan tetapi,
para Kemit yang hari itu bertugas piket di Kramat tidak punya kesempatan untuk
mencari bambu, maka mereka membawa tombak yang memang sudah tersedia di
Kramat.
Pukul 06.00, dengan sambutan pendek dari Camat Plered, parade Ider-ideran
ini pun diberangkatkan. Lebih dari lima ratus partisipan mengambil bagian dalam
arak-arakan, sedangkan ribuan lainnya menonton di pinggir jalan.
Secara umum, peserta Ider-ideran terdiri atas tiga kategori. Pertama adalah
peserta arak-arakan yang bersifat ritualistik dengan keterkaitan kuat dengan
simbolisme dan aktivitas di Kramat. Kedua, peserta arak-arakan yang menunjang
ritual khususnya yang bertugas untuk membuka jalan dan mengamankan upacara.
Ketiga, partisipan yang memeragakan kebolehan, kecakapan dan kemampuan mereka
untuk dipertontonkan sepanjang kalan.
151 Arak-arakan yang bersifat ritualistik semua diberangkatkan dari Kramat
Buyut Trusmi. Setelah berhimpun dan menata barisan depan Paseban atau di
belakang Kuta Hijab gapura barat parade ini berangkat dengan dua orang kemit
berjalan paling depan membawa ukup atau tungku tanah liat besar untuk membakar
kemenyan yang senantiasa mengepul sepanjang jalan. Tiga belas pengelola Kramat
menyusul di belakangnya bersama Muspika dan Kuwu yang diikuti oleh empat puluh
enam Kemit yang menyandang bambu dan lembing. Sekelompok orang yang
berpakaian merah jambu berjalan berikutnya dengan jarak agak renggang. Masingmasing memikul sebatang bambu dengan empat welit diikatkan di ujung-ujungnya.
Gambar 4.28. Bagian ritualistik Parade Ider-ideran (menurut arah jarum jam: Para
pengelola Kramat; para Kemit menyandang bambu melengkung (atas), para pembawa
welit (tengah) dan para pembawa pikulan hasil bumi yang dijarah saat berangkat
dalam Ider-ideran
Kiai Warlan meyakini bahwa asal-muasal Ider-ideran ini adalah mengarak
welit yang akan dipasang pada saat Memayu keesokan harinya. Dengan
152 mempertontonkan welit sepanjang jalan, masyarakat sekitar akan tahu bahwa upacara
penggantian welit segera akan dilaksanakan, sehingga mereka menyiapkan diri untuk
berpartisipasi. Bagi peziarah yang datang dari tempat yang jauh, sekarang Ider-ideran
telah berubah menjadi upacara utama yang wajib mereka hadiri sedangkan Memayu
menjadi seperti antiklimaks dalam prosesi ini sehingga mereka tak lagi merasa perlu
mengikuitinya.
Setelah barisan pembawa welit menyusul para remaja laki-laki dan
perempuan yang berhias rupawan dengan membawa tombak pendek menyajikan tari
Babakan Yaso yang dipahami sebagai tari perjuangan setempat. Paling belakang dari
arak-arakan ritual ini adalah sejumlah laki-laki yang membawa pikulan dengan nyiru
yang ditumpangkan di atas bakul menggantung di kedua ujungnya. Pikulan ini sarat
dengan simbol-simbol agraris. Beberapa jenis dedaunan dan bebungaan diikatkan
pada tali pikulan tersebut sedangkan nyiru diisi dengan gabah dan buah-buahan.
Begitu para pemikul ini melangkah mengikuti prosesi, orang-orang segera berebut
untuk mendapatkan segenggam gabah, sebatang ranting atau setangkai daun yang
diyakini membawa berkah. Dalam jarak 20 meter dari tempat keberangkatan, pikulan
ini sebenarnya sudah nyaris kosong.
Peserta yang paling banyak adalah mereka yang ingin menampilkan
kebolehan tertentu dalam arti yang sangat luas. Dengan menunjukkan ketrampilan,
keberanian, kecantikan atau bahkan kekonyolan mereka berpartisipasi dalam prosesi
ini.
Sekitar pukul 07.30 barisan terdepan Ider-ideran sudah kembali ke Kramat.
Mereka langsung membubarkan diri. Beberapa orang meminta bambu panjang yang
dibawa para Kemit untuk dibawa pulang. Sarapan di atas piring seng dihidangkan
merata bagi semua mengakhiri parade ini.
4.7.2.
Pelaksanaan Memayu
Keseluruhan aktivitas untuk membongkar atap welit, mempersiapkan bahan
dan memasang atap baru dalam Memayu selesai dalam setengah hari. Senin pukul
153 05.30
orang-orang
Trusmi
sudah
bergegas
menuju
Kramat.
Para
lelaki
mempersiapkan welit dan bambu, para perempuan menuju dapur di sudut barat laut
Kramat untuk mulai memasak. Pada Memayu 2015, karena bangunan gudang di
timur Alun-alun sudah difungsikan, semua orang pertama kali menuju ke sana untuk
mengambil alat dan bahan yang diperlukan. Pada saat itu welit pada sisi selatan dan
timur diganti sedangkan pada tahun 2014 dilakukan penggantian welit terhadap atap
di sisi utara dan barat.
Prosesi Memayu lebih sederhana ketimbang Buka Sirap. Memayu terdiri
atas dua aktivitas utama yang berjalan simultan yakni penurunan welit lama dan
pemasangan welit baru. Penurunan welit dimulai pertama-tama di kluster bangunan
Paseban, Bale Kiai dan Bale Kunci. Sebelum penurunan welit di kluster ini usai, welit
di Jinem Kulon dan Jinem Wetan di depan Kabuyutan mulai diturunkan. Setelah
keduanya hampir usai welit di Bale Keprinci, Pawadonan Masjid dan Jinem Wadon
diturunkan.
Prosesi untuk menurunkan welit dimulai dengan menurunkan welit yang
menutup jurai oleh sekelompok orang yang memanjat atap di dekat sudut yang
dibongkar pertama kali. Tali-tali bambu pengikat bambu panjang yang menjadi
rangka welit diretas dengan parang dan rangkaian alang-alang yang melilit pada
bambu itupun ditarik oleh merek yang berada di atas atap.
Setelah semua bubungan jurai terlepas maka dimulailah untuk melepas atap
welit. Pelepasan ini dilakukan dengan cara mencopot rangken atau bidang rangka
bambu berbentuk segitiga atau trapesium tempat welit diikat.
154 4.29. Menurunkan welit dengan rangken dari Bale Kunci
Setelah dilepas, rangken segera ditegakkan di tanah. Para pengobeng dengan
sigap melepaskan welit-welit yang melekat pada rangken tersebut dengan meretas
tali-tali bambu yang mengikat batang-batang bambu perangkai alang-alang dengan
rangken.
Tiga bangunan yang ada di sudut barat daya yakni Pawadonan Masjid, Jinem
Wadon dan Bale Keprinci memiliki konstruksi yang berbeda. Pada ketiga bangunan
ini welit dipasang langsung pada reng menempel di usuk tanpa menggunakan
rangken. Untuk melepasnya, cukup dilakukan dengan meretas tali pengikat welit pada
reng. Kiai Warlan menerangkan tentang alasan ketiga bangunan ini memiliki
konstruksi yang berbeda lantaran ketiganya dianggap sebagai bangunan baru.
155 Gambar 4.30. Pelepasan welit tanpa rangken dari Bale Keprinci
Sementara welit yang telah usang dilepas dari bangunan, welit baru
dipersiapkan. Pertama kali yang ditangani adalah batang-batang bambu yang masih
bewarna hijau yang dijajarkan di tanah lapang Alun-alun Trusmi. Bambu tersebut
dipotong dalam tiga ukuran panjang. Batang dengan panjang sekitar 4 meter dibelah
menjadi delapan bilah untuk dipergunakan sebagai bilah penjepit bagian bubungan
jurai. Beberapa batang dengan panjang 4 meter dibiarkan utuh untuk membantu
merakit welit untuk bubungan tersebut. Batang dengan panjang 1 meter dan 40
sentimeter dibelah halus menjadi setebal kurang dari 0,5 sentimeter. Belahan halus ini
dipergunakan untuk tali pengikat welit.
Alang-alang dibeli dari Desa Singaraja di Kabupaten Indramayu dalam
bentuk welit. Alang-alang ditata rapat pada bilah bambu selebar 2 sentimeter dengan
panjang sekitar 150 sentimeter. Pangkal alang-alang ditekuk pada bilah bambu
tersebut dengan menyisakan daun yang menjuntai sepanjang 60 sentimeter. Tekukan
ini diperkuat dengan penjepit sepasang bilah bambu yang lebih kecil selebar kurang
dari 1 sentimeter. Kedua bilah ini diikat kencang dengan tali yang berjarak sekitar 5
sentimeter.
156 Untuk membuat bubungan, dua deret welit yang disusun rangkap dua
digabung dengan mengikat batang bambu yang menjadi rangka utama welit tersebut.
Masing-masing deretan welit dijepit oleh dua pasang bilah bambu sepanjang empat
meter tersebut. Dengan demikian, untuk membentuk satu bubungan diperlukan dua
belas welit dan delapan bilah bambu. Semua ikatan tersebut mempergunakan tali
bambu pendek.
Gambar 4.31. Membuat bubungan welit
Welit untuk penutup atap, baik yang dpasang pada rangken maupun yang
dipasang pada batang reng dipersiapkan dengan cara yang sama. Pada welit tersebut
dipasang tali-tali bambu dengan jarak sekitar 10 sentimeter yang kemudian
dipergunakan untuk mengikat welit pada rangkanya. Pemasangan welit pada rangken
dilakukan di dekat bangunan yang akan diganti atapnya.
157 Gambar 4.32. Pemasangan welit pada rangken di Jinem
Gambar 4.33. Pemasangan rangken di Jinem Wetan
Segera setelah rangken diturunkan dari atap, welit lama dilepas untuk
kemudian dilakukan pemasangan welit baru. Pemasangan welit dilakukan dari sisi
bawah rangken berurutan ke atas dengan jarak sekitar 10 sentimeter. Welit ini diikat
158 pada rangken dengan tali bambu yang sudah dipasang sebelumnya sehingga
membentuk tumpukan 4 sampai 5 lapis. Sesudah seluruh permukaannya tertutup
welit, rangken tersebut dinaikkan ke atas rangka atap yang diperkuat dengan
mengikatkannya pada usuk dan gelagar. Pada bangunan-bangunan yang tidak
menggunakan rangken, welit-welit tersebut diikatkan dengan cara yang sama pada
reng yang tertata di atas usuk.
Sebagian dari welit lama ini dibawa pulang oleh para pengobeng untuk
berbagai keperluan. Kiai Tonny menyebut manfaat welit ini antara lain untuk
kesuburan lahan, menyembuhkan penyakit serta menolak bala dan guna-guna. Hal ini
dapat dilakukan dengan menerapkannya secara langsung maupun membakar alangalang tersebut lebih dahulu baru abunya dipergunakan untuk berbagai keperluan
tersebut.
Setelah semua rangken dan welit terpasang, dilakukan pemasangan welit
untuk bubungan dan bubungan jurai. Saat pemasangan, di bawah bubungan tersebut
diganjal dengan alang-alang yang diikat seperti bundelan yang berjajar rapat di bawah
bubungan. Bubungan, rangken dan bundelan tersebut dipasang dengan tali bambu
yang panjang.
Untuk merapikan tepian atap, setelah semua rangken dan bubungan
terpasang dilakukan pemasangan anyaman belarak atau daun kelapa kering. Dua
anyaman belarak selebar 30 sentimeter disatukan dengan dijepit oleh sepasan bilah
bambu di tiap tepinya. Anyaman belarak yang telah dijepit ini dipasang di atap bagian
paling bawah. Selain untuk merapikan, pemasangan belarak ini juga ditujukan untuk
merapatkan atap mengingat pada bagian tersebut welit yang terpasang hanya satu dan
dua lapis saja. Pada bangunan yang tidak menggunakan rangken, belarak tersebut
justru dipasang pertama sebelum welit untuk menjadi patokan bagi pemasangan welit
pada reng.
Pada saat adhan dhuhur berkumandang, prosesi pembaruan atap welit inipun
usai. Semua pengobeng makan bersama dengan menikmati makan siang yang telah
159 tersaji di atas ancak atau anyaman bambu berbentuk persegi untuk mewadahi nasi dan
kelengkapannya untuk empat orang.
Memayu tampaknya memang ritual yang sangat egaliter sebagaimana
kelihatan pada saat makan bersama tersebut. Sepanjang prosesi, para pengelola
Kramat sangat sedikit mengambil bagian kecuali mengatur lalu lintas logistik. Sejak
sehari
sebelum
Ider-ideran
masyarakat
telah
ramai
mengantarkan
bahan
mentah,makanan, kudapan dan buah-buahan atau apa saja yang diperkirakan menjadi
kebutuhan logistik Memayu. Sepulangnya dari mengantarkan sumbangan, mereka
akan mendapatkan ketupat yang terbuat dari beras dan lepet yang terbuat dari beras
ketan dari Kramat yang disampaikan oleh para Kemit.
Satu-satunya bangunan beratap welit yang tidak diganti atapnya di Kramat
Buyut Trusmi adalah bangunan dapur yang terletak di utara Paseban. Pada hari itu
dapur tersebut masih dipergunakan untuk memasak hidangan untuk menunjang
pelaksanaan Memayu. Karena hal tersebut, penggantian welit bangunan ini ditunda
beberapa hari sesudahnya.
Memayu atau penggantian atap alang-alang dilakukan di beberapa tempat di
sekitar Kramat Buyut Trusmi dengan berbagai relasi. Memayu dilaksanakan di Omah
Gede Trusmi, Bale Gede Bangbangan dan Bale Gede Kiai Warlan dengan cara yang
sama namun dengan skala yang lebih kecil. Dua Bale Gede yang lain sudah tidak
beratap alang-alang sehingga tidak dilakukan penggantian atap.
Masyarakat sekitar juga berkontribusi dengan cara yang sama. Sumbangan
makanan, bahan mentah dan uang tunai berdatangan. Tak jarang ada donatur yang
menyumbang pentas wayang untuk memeriahkan acara pada malam sebelum
pelaksanaan Memayu di tempat-tempat tersebut.
Jadwal pelaksanaan Memayu berkaitan dengan klaim senioritas yang
disepakati. Omah Gede yang diyakini dibangun oleh Ki Gede Trusmi, murid paling
senior Ki Buyut Trusmi, mendapat jadwal pertama. Hari Kamis segera setelah
Memayu di Kramat dilakukan upacara yang sama di Omah Gede. Memayu di kedua
160 Bale Gede lainnya dilaksanakan hari Senin sepekan setelah Memayu di Kramat Buyut
Trusmi.
4.8.
Pemugaran dan Pengembangan Bangunan Tak-Berkala
Saat saya mengunjungi Trusmi untuk mengamati dan berpartisipasi dalam
Memayu tahun 2015 terjadi perubahan yang cukup kentara. Sebuah outdoor unit
perangkat pengkondisian udara (air-conditioner) tampak menonjol pada dinding barat
masjid. Perangkat ini terhubung dengan indoor unit yang terpasang di atas jendela di
samping mihrab. Permukaan dalam dinding Masjid dilapisi dengan keramik
berukuran 60 x 60 sentimeter dengan warna coklat muda sedangkan bagian atasnya
berpelisir ukiran kayu selebar sekitar 15 sentimeter yang menerus di keempat sisi
ruang shalat tersebut. Kayu ini berukir kaligrafi berlanggam thuluth dengan
pengerjaan yang baik yang menorehkan 99 nama Allah atu al-asma al-husna. Kiai
Tonny menerangkan bahwa dirinya juga tak banyak menentukan perubahan ini
karena penambahan AC, keramik dan ukiran kayu tersebut dilakukan atas prakarsa
seorang donatur. Seorang kemit yang saya tanyai perihal penambahan sejumlah
komponen baru di Masjid menyebutnya sebagai “paketan”. Istilah ini dimaksudkan
untuk menyebut bantuan dari pihak luar yang berwujud barang sekaligus
pemasangannya sehingga tidak melibatkan para pengelola Kramat maupun
masyarakat setempat.
Sep Tonny menambahkan ada juga pembaruan yang dilakukan atas
inisiatifnya. Dia menunjukkan lantai berundak pada gapura barat dan gapura timur
kompleks Kramat Buyut Trusmi. Di gapura timur latai berudak itu ditinggikan
levelnya dari lantai semula untuk menanggulangi luapan air dari luar saat hujan deras.
Konsekuensinya keseluruhan struktur gapura harus dinaikkan. Lantai itu juga dilapis
dengan mosaik yang memiliki barik atau tekstur permukaan agak kasar sehingga
lebih aman untuk diinjak saat hujan. Gapura barat hanya dipasangi mosaik saja tanpa
perubahan ketinggian muka lantai.
161 Selain pembaruan atap secara berkala sebagaimana dilakukan dalam prosesi
Memayu dan Buka Sirap, di Trusmi dilakukan juga pemugaran tak-berkala seperti
pembaruan di Masjid dan gapura tersebut. Kwanda (2013) menyebut kedua aktivitas
tersebut sebagai periodic renewal dan non-periodic renewal. Keduanya memiliki
tujuan yang berbeda (Kwanda, 2013: 122) yakni: Periodic renewal dilaksanakan
berdasarkan pertimbangan kosmis untuk memperbarui keselarasan dengan alam
semesta dan memohon berkah kepada Yang Mahakuasa. Non-periodic renewal
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis yang karena prakarsa internal sebagai
upaya perbaikan fisik ataupun prakarsa eksternal karena ketersediaan material dari
donatur.
Dengan amatan yang lebih seksama dan investigasi yang lebih mendalam,
dijumpai pertimbangan-pertimbangan yang lebih kompleks dalam melakukan
pemugaran baik yang berupa perbaikan, pembaruan, pengembangan dan pembuatan
bangunan atau bagian-bagian bangunan di Kramat Buyut Trusmi. Pemugaran ini
dapat dilakukan bersamaan dengan momen Buka Sirap atau Memayu atau dilakukan
secara mandiri.
Sebagai suatu proses yang bersifat non-periodik, tiap pemugaran tersebut
bersifat unik dan dapat diposisikan dalam konteks waktu tertentu. Dalam beberapa
hal, pemugaran non-periodik ini dapat dipahami dalam kerangka diakronik yang
mendudukkan masing-masing peristiwa dalam runtun waktu tertentu.
4.8.1.
Perkembangan Awal
Catatan sejarah Trusmi sangat minim karena bagi mereka akurasi
dokumentasi suatu peristiwa dengan tujuan membangun relasi yang relatif mapan
dengan peristiwa lain yang sejaman tampaknya tak dipandang penting. Siapa
pengikut Ki Buyut Trusmi yang menjadi pemimpin pada beberapa generasi
sepeninggal Sang Pendiri tak pernah digambarkan dengan jelas. Jika sang tokoh cikal
bakal ini dipercaya meninggal di awal abad ke-16, warga setempat tak memiliki
162 catatan ataupun ingatan komunal tentang siapa yang memimpin Kramat dan Desa
Trusmi selama empat abad berikutnya.
Sejarah tokoh yang bersifat terfragmentasi ini jelas berdampak juga pada
pengisahan sejarah arsitektur. Beberapa tokoh meyakini bahwa yang tinggal di Omah
Gede adalah Ki Gede Trusmi, pengganti pertama Ki Buyut Trusmi. Akan tetapi,
ketika saya konfirmasikan hal ini kepada penjaga Omah Gede dia menjawab bahwa
mungkin Ki Gede Trusmi adalah orang yang berbeda dengan Ki Buyut Trusmi tapi
mungkin juga keduanya adalah orang yang sama. Dengan demikian apakah Omah
Gede adalah kediaman pemuka Trusmi setelah kediaman Ki Buyut Trusmi berubah
menjadi Kramat ataukah rumah kuna ini adalah kediaman ketika kompleks Kramat
Buyut Trusmi masih berperan sebagai pusat lingkungan Trusmi dan belum menjadi
kubur tempat peziarahan mungkin juga tak akan dapat dijelaskan secara lebih konkret
dan akurat.
Meskipun terdapat variasi yang sangat besar tentang sejarah Kramat Buyut
Trusmi, tetapi semua narasumber setempat bersepakat bahwa kompleks ini semula
adalah kediaman Ki Buyut Trusmi yang kemudian berubah menjadi makam dan
tempat peziarahan sepeninggal tokoh ini. Berangsur-angsur kegiatan peziarahan ini
mendominasi aktivitas d kompleks Kabuyutan. Dengan demikian, beberapa tahapan
umum pengembangan dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a) Tahap I ketika kompleks Kabuyutan ini dipergunakan sepenuhnya
sebagai kediaman Ki Buyut Trusmi sebagai cikal bakal sekaligus
pemuka masyarakat Trusmi. Sangat mungkin pada tahap ini Kabuyutan
memiliki beberapa kelengkapan sebagaimana pusat pemerintahan di
Jawa
b) Tahap II ketika kompleks Kabuyutan menyandang peran ganda
sepeninggal Ki Buyut Trusmi yakni menjadi tempat pemakaman Ki
Buyut sekaligus sebagai tempat kediaman pemukan masyarakat Trusmi
yang menggantikan Ki Buyut
163 c) Tahap III ketika kompleks Kabuyutan menjadi Kramat atau situs yang
dimuliakan yang sepenuhnya berfungsi sebagai tempat peziarahan dan
peribadatan. Tak ada lagi fungsi sebagai kediaman maupun pemerintahan
di sini.
Elemen-elemen yang diyakini oleh masyarakat setempat telah ada di masa
hidup Ki Buyut Trusmi adalah:
a) Witana yang disebut sebagai bangunan yang pertama kali dibuat.
Masyarakat setempat memercayai bangunan ini semula berfungsi sebagai
tempat Ki Buyut menerima tamu atau memimpin pertemuan. Mengingat
statusnya sebagai bangunan asal mula maka cukup beralasan kalau
bentuk, dimensi dan lokasi bangunan ini tidak berubah meskipun semua
komponennya pernah diganti beberapa kali.
b) Kediaman
Ki
Buyut
Trusmi
yang
kemudan
menjadi
tempat
penguburannya. Mengingat kedudukan kuburan bersifat permanen maka
sangat mungkin lokasi bangunan ini tidak pernah berubah meskipun
bentuk dan dimensi bangunan mengalami perubahan.
c) Masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Mengingat masjid lazim
dijumpai di berbagai pusat pemerintahan maka dapat dipahami jika
Masjid di Kramat Buyut Trusmi telah ada sejak awal. Bangunan ini
mungkin jauh lebih kecil ketimbang Masjid yang ada sekarang yang baru
diperluas terakhir pada pertengahan tahun 1960-an. Dimungkinkan juga
bangunan masjid ini pernah bergeser untuk menyesuaikan dengan
perkembangan bangunan lain.
Ketiga bangunan itu masih menunjukkan jejak sebagai bangunan yang ada
sejak semula sehingg ketiganya dibangun dengan atap sirap sementara bangunanbangunan lain menggunakan atap alang-alang.
Lebih lanjut, Adimuryanto (2001) yang mendapat keterangan dari almarhum
Kiai Ahmad menerangkan bahwa semula Alun-alun Trusmi berada di selatan Witana.
164 Jika keterangan ini dapat dibenarkan maka susunan bangunan-bangunan inti pada
kompleks ini dapat dipahami menyerupai susunan pusat pemerintahan di Jawa.
Ketika bangunan kediaman Ki Buyut Trusmi berubah menjadi makam, maka
didirikanlah bangunan lain yang berfungsi sebagai kediaman pemuka kawasan
Trusmi dan tempat dia memimpin masyarakat. Di antara bangunan yang ada yang
paling menyerupai tempat kediaman adalah kluster yang terdiri atas Paseban, Bale
Kiai dan Bale Kunci. Kluster ini memiliki elemen dan susunan yang menyerupai
Omah Gede dan Bale Gede yang memang dibangun sebagai kediaman seorang
pemuka. Omah Gede dan Bale Gede terdiri atas dua bagian yang memiliki bentuk
serupa namun pelingkup yang berbeda. Di depan terdapat Bale yang terbuka dan
Omah di belakang yang tertutup. Paseban di depan berupa bangunan terbuka tak
berdinding sedangkan Bale Kunci dan Bale Kiai memiliki pelingkup yang rapat. Di
utara kluster ketiga bangunan tersebut namun dibatasi dengan pagar pasangan bata
terdapat bangunan dapur yang cukup besar. Keberadaan dapur ini memperkuat
dugaan bahwa bagian ini semula memang dibuat sebagai lingkungan domestik atau
tempat kediaman.
Namun demikian terdapat perbedaan orientasi dan konstruksi yang
membedakan kluster bangunan ini dengan Omah Gede. Sebagaimana kebanyakan
rumah Jawa, Omah Gede dan Bale Gede memiliki orientasi ke arah selatan sedangkan
kluster Paseban di Kramat berorientasi ke barat. Bangunan terbuka di Bale Gede dan
Omah Gede memiliki konstruksi pengikat kolom di bawah sehingga membentuk
amben di antara keempat kolom tersebut sedangkan di Kramat justru bangunan
tertutup yang terletak di belakang yang memiliki konstruksi seperti itu.
165 KLUSTER AWAL
KLUSTER
PENGEMB
ANGAN
Gambar 4.34. Dugaan pengembangan awal Kramat Buyut Trusmi
Secara fisik, kluster kediaman ini dapat dibedakan dengan jelas dengan tiga
bangunan awal karena semua bangunan di atap ini beratap alang-alang sehingga
berbeda dengan pendahulunya yang beratap sirap kayu. Meskipun dari luar tampak
lebih bersahaja dibandingkan bangunan beratap sirap, namun dari dalam bangunanbangunan ini menunjukkan kecanggihan tertentu. Bangunan Paseban memiliki
bentang struktur utama yang paling lebar di antara bangunan-bangunan di seluruh
kompleks. Di atas blandar panjang yang menghubungkan saka gurunya terdapat
tumpukan balok seperti tumpang sari di Jawa. Konstruksi ini memiliki artikulasi yang
kuat dengan ornamen ukiran yang rumit pada ganja dan susunan balok-balok tersebut.
Kluster ini berada di bagian barat sedangkan kluster tiga bangunan awal
berada di timur. Ruang terbuka yang membujur timur-barat dengan gapura di kedua
ujungnya di Kramat Buyut Trusmi tampaknya adalah jalur utama yang
menghubungkan kedu kluster yang dibangun pada tahapan yang berbeda ini.
Kemungkinan jalur akses dari arah barat yang memiliki serangkaian gerbang
166 berbentuk candi bentar juga terbentuk pada tahap yang sama dengan kluster baru
tersebut.
Lama-kelamaan peran politis pusat kawasan Trusmi ini menyurut sedangkan
peran spiritualnya sebagai tempat peziarahan berkembang sehingga keseluruhan
kompleks ini menjadi Kramat yang menyandang peran sebagai pusat spiritual
sebagaimana yang dijumpai saat ini. Pemuka Trusmi tampaknya tak lagi berkediaman
di kompleks Kramat. Kemungkinan berada di Omah Gede yang hingga sekarang
masih menyandang status sebagai bangunan terpenting di Trusmi di luar Kramat.
4.8.2.
Perkembangan Lanjut (1926 hingga sekarang)
Perkembangan lebih lanjut di akhir masa kolonial hingga saat ini
menunjukkan
dinamika
yang
penting.
Peta
Kramat
Buyut
Trusmi
yang
dipublikasikan bertarikh 5 April 1926 (Muhaimin, 2006). Dalam peta yang berjudul
Pekoeboeran en Pekarangan Roemah Djimat Ki Gedeng Trusmi tersebut Kramat
Buyut Trusmi beserta lingkungan sekitarnya berada di bawah kewenangan Kraton
Kasepuhan Cirebon. Dalam keterangan peta tersebut dijelaskan bahwa batas tanah
merujuk pada patok yang ditetapkan pada tahun 1898. Trusmi sebagai entitas politik
telah sangat tereduksi sehingga kehadiran entitas ini dalam peta tersebut tinggal
diwakili oleh bangunan balai desa kecil di sudut barat daya. Reputasi kawasan ini
bertahan karena keberadaan “Roemah Djimat” atau Kramat.
Kramat Buyut Trusmi, dalam peta tersebut, diposisikan di tengah dengan
dikelilingi oleh pemakaman di sisi selatan, utara, dan timur termasuk yang sekarang
menjadi tanah lapang yang biasa disebut sebagai Alun-alun Trusmi. Sisi barat
digambarkan sebagai permukiman padat yang sekarang dikenal sebagai Blok Jero
dengan bangunan pusaka Omah Gede di tengahnya.
167 Gambar 4.35. Peta Permukiman dan Kramat Buyut Trusmi tahun 1926
(dalam Muhaimin 2006)
Elemen bangunan dan ruang terbuka serta susunannya serupa dengan yang
dapat kita jumpai di Kramat saat ini. Bagian timur didominasi oleh bangunan Makam
dan Witana yang terletak segaris dengan dua gapura berurutan di antara kedua
168 bangunan utama tersebut. Bangunan terbesar di sisi barat adalah Masjid dengan
kluster Paseban di sebelah utaranya.
Penggambaran kawasan sebagai “Permoekiman en Pekarangan” serta
Kramat sebagai kompleks makam dan kompleks penunjangnya menunjukkan
karakter berganda dari Kramat Buyut Trusmi dan lingungan sekitarnya. Dalam peta
tersebut baik Kramat maupun kawasan Trusmi terdiri atas dua bagian yang berupa
lingkungan pemakaman di timur dan lingkungan hunian di barat.
Beberapa objek yang memiliki nilai kesakralan diberikan keterangan secara
khusus yakni Batu Pendadaran, Balong Pakulahan dan Sumur Jimat yang terletak di
antara Sungai Glagah dan dinding Kramat. Semua objek ini terletak di sisi timur yang
memang memiliki karakter sakral.
Dengan membandingkan antara rinci peta tersebut dengan kondisi sekarang
kita dapat memiliki gambaran bahwa pola ruang dan bangunan di Kramat Buyut
Trusmi sudah cukup mapan. Namun demikian, hal ini tidak berarti perubahan pada
bangunan telah usai. Tak lama setelah tarikh peta tersebut dimulailah sejumlah
pembangunan di Kramat yang penting. Masyarakat Trusmi tampaknya menyadari
momen-momen perubahan ini sehingga mereka menorehkan angka tahun di banyak
bagian bangunan untuk menunjukkan saat terjadinya perubahan. Semua bangunan
tersebut ditengarai dengan tarikh Masehi, beberapa diantaranya dilengkapi juga
dengan tarikh Hijriyah.
Secara kronologis bangunan-bangunan yang memiliki tanda tersebut adalah:
•
Gapura Dalam Makam (1931)
•
Gapura Luar Makam (1957)
•
Gapura Timur (1958)
•
Gapura Barat (1958 dan 1965)
•
Pintu ke Ruang Utama Masjid (1969)
•
Pintu ke Ruang Samping Masjid dari serambi (1989)
169 Gambar 4.36. Angka tahun yang tertera pada berbagai bangunan
Dapat ditengarai di situ bahwa penandaan pembangunan dijumpai pada dua
kelompok bangunan yakni bangunan gapura dan bangunan masjid. Semua gapura di
Kramat Buyut Trusmi kecuali gapura menuju ke dapur ditandai dengan angka tahun
akan tetapi tidak dijelaskan apa yang dilakukan terhadap gapura-gapura tersebut di
tahun-tahun yang tercantum kecuali gapura barat yang menghadap ke Paseban dan
gapura timur (lawang wetan). Pada plakat kayu yang terpasang di ambang atas pintu
barat terbaca tulisan: “Pintu sebelah barat dipasang sirap pada tanggal 10-7-1958
Kamis 22 Rajaagung Wawo”. Sedangkan pada posisi yang sama di pintu timur
terbaca “Bangunan lawang wetan 18-5-1958 27 Sebtupaing Sawal Wawo”. Pada
gapura barat jelas terbaca bahwa yang dilakukan pada saat itu adalah pemasangan
sirap. Kiai Warlan memberikan penjelasan bahwa semula gapura-gapura tersebut
beratap welit namun pada akhir daswarsa 1950-an semua diganti neratap sirap.
170 Karena kedekatan waktunya maka sangat mungkin bahwa gapura timur Kramat dan
gapura luar Makam menjalani proses yang sama.
Gambar 4.37. Angka tahun di konsol gapura dalam makam
Pada tahun 1965 gapura barat diganti dengan bangunan baru yang sarat
dengan ukiran simbolis; sedangkan bangunan pintu barat yang lama dipindahkan ke
timur untuk menggantikan gapura timur yang lebih sederhana dan telah lapuk. Saat
penggantian pintu barat ini juga terjadi pada tahun Wawu, dengan demikian tepat satu
windu setelah penggantian welit menjadi sirap di pintu ini. Mengingat Buka Sirap
hanya dilaksanakan pada tahun Alip dan Dal maka pembaruan pintu pada tahun 1958
dan 1965 adalah pekerjaan khusus yang tidak dikaitkan dengan prosesi Buka Sirap.
Dengan demikian terdapat dua jenis peristiwa yang terjadi pada bangunan
gapura ini. Yang pertama adalah pembaruan parsial. Bukan hanya penggantian atap
welit yang dilakukan secara berkala saat Memayu, pada tahun 1958 atap gapura ini
diperbarui dengan material yang berbeda dari atap welit menjadi atap sirap sehingga
perlu ditandai dengan plakat tersebut. Peristiwa kedua adalah pembangunan baru
secara keseluruhan gapura barat yang diikuti dengan pemindahan gapura lama ke
timur. Inskripsi untuk memeringati pembangunan baru gapura barat ini adalah yang
171 memuat informasi terlengkap bukan hanya tarikh Hijriyah dan Masehi secara rinci
tapi juga memuat keseluruhan nama ketiga belas pengelola makam dan bahkan para
tukang yang mengerjakan gapura tersebut. Namun demikian tidak ada penjelasan
tentang tindakan yang dilakukan pada gapura ini.
Tidak terdapat informasi yang memadai tentang apa yang terjadi pada tahun
1931 dan 1957. Mengingat kedekatan tahun 1957 dengan tahun 1958 saat gapura
barat diganti menjadi beratap sirap maka kemungkinan gapura luar Kabuyutan
menjalani proses yang sama.
Jika tahun-tahun yang tercantum pada gapura tersebut diurutkan, maka tahun
yang paling tua ditemui di gapura dalam menuju Makam Kabuyutan (1931) yang
diikuti dengan gapura luar (1957) dan yang terakhir gapura barat (1958 dan 1965).
Jalur rangkaian gapura tersebut adalah jalur utama menuju ke Kabuyutan yang dilalui
oleh seorang peziarah. Dapat dipahami bahwa transformasi ini adalah wujud
monumentalisasi jalur prosesi peziarahan yang menekankan status Kabuyutan Trusmi
sebagai Kramat atau Roemah Djimat tersebut.
Dalam proses monumentalisasi ini artikulasi simbolis pada gapura barat
yang diukir dengan lambang-lambang yang menerjemahkan narasi asal muasal
Trusmi dan tokoh cikal bakalnya dapat dipahami sebagai upaya komprehensif untuk
klaim supremasi dan senioritas Trusmi terhadap Kramat lain yang bertebaran di
seluruh Cirebon khususnya terhadap Astana Gunungjati.
Pembaruan besar-besaran yang kedua adalah yang terjadi pada pertengahan
dasawarsa 1960an terhadap bangunan Masjid. Kiai Warlan mengingat bahwa
pembaruan Masjid yang memerlukan dana sangat besar itu dimungkinkan karena
sumbangan dari para juragan batik di Trusmi.
Kiai Warlan menyebutkan bahwa gagasan besarnya datang dari almarhum
Kiai Ahmad. Masjid yang ada pada saat itu memiliki luasan lantai yang relatif kecil
dan atap yang rendah. Kiai Ahmad ingin meninggikan dan memperluas Masjid
tersebut. Empat kolom utama Masjid yang semula berpenampang silinder dengan
ketinggian kurang dari 3 meter diganti dengan kolom persegi setinggi sekitar 4 meter.
172 Kolom-kolom serambi yang berpenampang persegi disambung dengan balok persegi
dan kemudian diperkuat dengan papan kayu yang membungkus sambungan hingga
lantai di keempat sisinya. Beberapa tiang silindris tersebut kemudian dipindahkan ke
pendopo di depan gapura dalam Kabuyutan.
Setelah tahun 1969, Masjid tersebut tak lagi mengalami pembangunan besar.
Beberapa perubahan kecil namun dapat memberikan gambaran tentang pemahaman
terhadap material dan pembangunan terjadi sesudahnya. Pada pertengahan dasawarsa
1970-an pohon belimbing di utara Masjid roboh tang mengakibatkan kerusakan atap
Masjid yang cukup parah. Mustaka Masjid yang terbuat dari gerabah pecah.
Pengelola Kramat mengganti hiasan puncak tersebut dengan mustaka yang terbuat
dari logam, setelah menyimpan mustaka lama di Bale Pasalinan. Pada saat arakarakan jelang Memayu, mustaka yang pecah tersebut diarak dan terjadi peristiwa gaib
yang menyebabkan kematian seorang penonton di dekat mustaka yang sedang diarak
tersebut. Peristiwa ini dipahami sebagai isyarat bahwa semestinya mustaka Masjid
tetap terbuat dari tanah liat, bukan logam.
Secara tradisional mustaka gerabah haruslah dibeli di Desa Panjunan karena
desa ini di zaman awal berdirinya Cirebon adalah tempat pembuatan gerabah
khususnya yang berupa wadah air atau “jun” sehingga disebut Panjunan. Akan tetapi,
pada saat ini tak ada lagi pembuat gerabah di desa tersebut. Untuk memenuhi syarat
tradisi, seorang pembuat gerabah dari Desa Jamblang dipesan untuk membuat
mustaka. Sesudahnya, dia didatangkan ke Panjunan untuk melakukan transaksi
penjualan mustaka tersebut. Dari peristiwa ini dapat dipahami bahwa lokasi geografis
asal material atau komponen bangunan dalam hal tertentu menentukan kecocokan
komponen yang akan dipasang tersebut.
Pada tahun 2010 terjadi penggantian komponen yang penting di Masjid.
Pintu utara yang langsung menuju ke shaf terdepan, yang biasa disebut Pintu Kiai
karena memang dikhususkan untuk para Kiai memasuki Masjid memerlukan
penggantian karena telah usang. Pintu lama yang masih relatif bagus kemudian
dipasang di Jinem Wadon yang terletak di barat Masjid. Beberapa waktu kemudian
173 terjadi gunjingan di antara warga yang merasa bahwa komponen Masjid yang telah
usan tak semestinya dipasang di luar Masjid. Akhirnya dengan desakan warga, pintu
tersebut dipindahkan dari Jinem Wadon untuk mengganti pintu yang menghubungkan
ruang shalat Masjid dan ruang shalat perempuan di sisi selatan Masjid. Meskipun
pemindahan sirap bekas dari Masjid ke bangunan lain setiap saat terjadi, namun
komponen tertentu yang dianggap penting tak semestinya dipindahkan keluar Masjid
sebagaimana diungkapkan dalam peristiwa ini.
4.9.
Beberapa Temuan
Dari paparan di atas dapat dipahami beberapa pola pembuatan lingkungan
binaan atau arsitektur dalam arti yang luas dengan melibatkan kepanggahan dan
ketidak-panggahan. Dalam perkembangan dan pembangunan kembali secara berkala
di Kramat Buyut Trusmi bangunan-bangunan diperbarui dengan material baru
maupun material pindahan dari bangunan lain dengan tetap mempertahankan
bentuknya. Dalam hal ini bentuk menjadi bersifat panggah sedangkan material
bersifat tak panggah. Beberapa prinsip penting tentang ketidak-panggahan material
dapat didalami lebih lanjut, antara lain:
a)
Kebaruan material sebagai ungkapan keunggulan bangunan
Kebaruan Bangunan Makam Ki Buyut yang selalu menggunakan material
baru menunjukkan kesakralannya justru dengan ketidak-panggahan bendawinya.
Kebaruan tidak dipandang bernilai rendah karena bangunan tersebut dipandang
memiliki bentuk dan kedudukan yang asali. Kabuyutan dalam hal ini didudukkan
dalam posisi tertinggi karena dianggap mampu menarik kontributor untuk
memberikan material baru tapi juga sekaligus mampu selalu memberikan material
“layak pakai” untuk diterapkan pada bangunan lain di Kramat.
b)
Kebaruan bangunan dipandang sebagai kekurangan
Hal ini berbeda dengan bangunan Bale Keprinci, Jinem Wadon dan
Pawadonan yang dipandang sebagai bangunan baru sehingga belum semestinya
diperbarui dengan teknik sebagaimana pada bangunan yang lama. Welit di ketiga
174 bangunan tersebut tetap dipasang tanpa rangken untuk membedakan dengan
bangunan yang sudah mapan. Hal yang sama terjadi pada Pendopo Makam dan
Penutup Sumur Jimat yang tidak selalu diperbarui lantaran dipandang sebagai
bangunan tambahan.
Gambar 4.38. Gapura dalam Makam yang diubah penutup atapnya dari welit menjadi sirap
c)
Pengubahan material untuk peningkatan status
Keempat gapura di Kramat yang semula beratap welit diubah menjadi
beratap sirap. Pengubahan ini memerlukan pentahbisan khusus sebagaimana terbaca
dalam plakat yang terpampang pada bangunan-bangunan tersebut. Tampaknya
penggantian ini juga diperhitungkan berdasar pola waktu tertentu mengingat tahuntahun yang tercantum adalah tahun Wawu yang merupakan tahun antara dua Buka
Sirap di tahun Dal dan Alip.
d)
Ketidak-panggahan dan nilai spiritual
Ketika suatu komponen bangunan dilepaskan dari bangunan asalnya yang
bersifat sakral maka komponen tersebut dapat mempertahankan nilai kesakralannya
atau kehilangan. Komponen yang unik dan dapat diidentifikasikan dengan mudah
sebagai bagian dari bangunan asal dipandang memiliki nilai yang tinggi seperti bekas
175 mustaka Masjid yang disimpan di Bale Pasalinan dan bekas nisan kayu Ki Buyut
yang dikubur di samping Kabuyutan.
e)
Ketidak-panggahan dan nilai sosial
Upaya pembangunan kembali secara terus menerus adalah suatu praktik
sosial yang melibatkan banyak orang. Saat peristiwa tersebut berlangsung nilai-nilai
sosial sebagaimana terwujud dalam praktik direproduksi. Buka Sirap lebih
menekankan pada nilai sosial yang bersifat hirarkis dengan tatacara yang cermat yang
dikaitkan dengan kelompok yang memiliki hak-hak khusus dalam pembangunan
sementara yang lain menjadi pendukung. Memayu lebih berorientasi pada nilai yang
egaliter sehingga pada dasarnya setiap orang dapat beraprtisipasi secara setara. Jika
Memayu dan Buka Sirap dipahami sebagai ritual maka keduanya adalah ritual yang
menekankan pada kebersamaan dengan memosisikan setiap orang sebagai pelaku.
Tidak ada penonton dalam ritual ini karena setiap orang berupaya untuk menjadi
partisipan. Semua orang adalah pembuat bangunan sekaligus pengguna bangunan.
f)
Ketidak-panggahan sebagai pelestarian pertukaran
Dalam jejaring komunal dengan nilai spiritual yang kuat seperti di Trusmi,
Kramat dipandang sebagai mata air berkah yang bisa didapatkan oleh mereka yang
bersungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Kesungguhan itu dibuktikan dengan
kontribusi harta, benda dan tenaga yang dipersembahkan di setiap kesempatan tapi
memiliki skala yang luar biasa pada saat prosesi besar seperti Memayu dan Buka
Sirap. Event tersebut senantiasa diperlukan agar sekerap mungkin dan sebanyak
mungkin orang dapat berkontribusi. Pemilihan material dan teknik tak panggah
adalah untuk melestarikan kesempatan meperbarui tersebut, yang berarti kesempatan
untuk mendapat berkah melalui pertukaran.
176 BAB 5
MENAFSIR MAKNA MENJADI
KONSEP-KONSEP DASAR
Cara orang-orang Trusmi berarsitektur yang khas di Kramat Buyut Trusmi,
suatu tempat yang mereka anggap sentral dalam berkehidupan, telah disajikan pada
Bab 4. Pemaparan mendalam ini meliputi wujud bangunan, susunan ruang, teknik
membangun, peran dan hubungan antar pelaku pembangunan serta tata cara
melakukan ritual. Lebih dari sekedar penyajian fakta empiris pada tempat dan
peristiwa tertentu, paparan mendalam ini memungkinkan pemahaman lebih lanjut
tentang hal-hal mendasar yang melandasi fenomena praktik arsitektur di Kramat
Trusmi.
Untuk dapat menafsirkan paparan fenomena tersebut menjadi suatu konsep
yang terstruktur dan asasi diperlukan serangkaian proses iteratif yang digambarkan
oleh Geertz (1982: 17) sebagai berikut:
Suatu lingkaran hermeneutika terbentuk oleh relasi dialektik antara
bagian dan keseluruhan. Bagian-bagian tersusun membentuk
keseluruhan, sedangkan keseluruhan memberi makna bagi tiap bagian.
Ada dua hal yang harus dipertemukan untuk menafsir suatu budaya
dalam lingkaran hermenutika ini: paparan tentang suatu wujud
simbolis (gerak ritual atau patung pemujaan) sebagai ekspresi yang
terdefiniskan; dan kontekstualisasi wujud tersebut ke dalam suatu
struktur makna yang terbentuk oleh jejaring wujud-wujud simbolis
tersebut yang sekaligus menjadi sesumber penafsiran makna.
Untuk dapat menafsirkan suatu keseluruhan dengan baik, pertama-tama kita
perlu untuk mengenali komponen-komponen dari totalitas tersebut dan kemudian
177 menggabungkannya sehingga menjadi keutuhan yang bermakna. Langkah ini terjadi
terus menerus. Dalam konfirmasi ini triangulasi terjadi.
Luaran dari proses dialektis ini adalah sejumlah konsep yang meliputi:
tempat, waktu, material dan membangun.
5.1. Konsep Tempat
Berbatas tembok pasangan bata yang dicat merah setinggi dua meter,
kompleks Kramat Buyut Trusmi terlihat sebagai tempat khusus yang dibedakan dari
lingkungan di sekitarnya. Gapura dengan bukaan rendah yang mengharuskan kita
membungkuk, gentong air di kiri kanan pintu gapura tersebut yang mempersilahkan
kita bersuci, serta dinding penyekat kuta hijab di balik pintu yang menghalangi
pandangan kita, secara bersama-sama mengungkapkan pesan tentang penghormatan,
penyucian dan pengendalian diri ketika kita memasukkan salah satu dari kedua
gapura menuju ke Kramat.
5.1.1.
Tempat Cikal Bakal
Pertama-tama Kompleks Kramat Buyut Trusmi diyakini sebagai bangunan
cikal bakal di wilayah tersebut. Salah satu versi menyebutkan bahwa Ki Gede Alangalang sebelumnya bertapa di tempat ini ketika masih berupa padang ilalang, tetapi Ki
Buyut Trusmilah yang menjadikan tempat ini sebagai kediaman. Sejarah atau lebih
tepat memori tentang Trusmi sangat terfragmentasi. Berhenti pada generasi pertama
tanpa ada narasi kronologis yang menuturkan perkembangan berikutnya mengingat
Ki Buyut tidak meninggalkan keturunan dan pemuka penggantinya juga sangat
sedikit diceritakan.
Dalam konteks sejarah yang terpenggal ini, kompleks Kramat Buyut Trusmi
menyandang peran penting untuk mempersatukan masyarakat yang sekarang
berkediaman di sekitar Kramat maupun yang ada di luar kota; serta menjalin
hubungan antara masyarakat sekarang dengan asal muasal mereka di masa silam yang
jauh. Tak ada silsilah, kekerabatan maupun riwayat suksesi kepemimpinan yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Tak seperti bangunan bersejarah yang
178 mengandalkan nilai pentingnya dengan mengaitkan diri terhadap narasi kronologis.
Di Trusmi, Kompleks Kramat adalah sejarah itu sendiri. Orang berafiliasi dengan
Kramat Buyut Trusmi pertama-tama bukan karena keturunan tapi karena kedekatan
atau afinitas mereka dengan Kramat.
Kedekatan seseorang dengan Kramat Buyut Trusmi dapat terjalin melalui
beberapa cara. Kedekatan yang paling jelas bersifat geografis dengan tempat
kediaman seseorang yang berjarak cukup dekat dengan Kramat. Seseorang yang
tinggal di Blok Jero dalam hal ini adalah yang dianggap paling dekat. Mereka yang
berkediaman di bagian lain dari Desa Trusmi yakni Blok Bangbangan, Klentikan,
Kebon Asem dan Sibunder berada pada lingkaran berikutnya. Sementara, di lingkaran
berikutnya adalah mereka yang tinggal di luar Trusmi, yakni di desa-desa sekitar
yang diyakini memiliki hubungan dengan awal Desa Trusmi, seperti Desa Gamel,
Wotgali dan Talitengah.
Peran Kramat Buyut Trusmi sebagai cikal bakal permukiman di sekitarnya
terungkap dengan jelas pada keberadaan lima rumah kuna yang berafiliasi dengan
Kramat. Bangunan yang paling utama dari kelima rumah itu adalah Omah Gede yang
terletak Blok Jero, beberapa puluh meter di barat kompleks Kramat. Rumah ini
diyakini sebagai rumah pertama yang dibangun di luar Kramat untuk murid Ki Buyut
yang paling menonjol. Beberapa orang menyebutnya sebagai Ki Gede Trusmi.
Keempat rumah yang lain disebut sebagai Bale Gede yang berada di berbagai
penjuru. Bangunan-bangunan tersebut saat ini dimiliki oleh Pak Baskar, Pak Sukandi,
Pak Kadima dan Kiai Warlan. Nama-nama pemiliki tersebut dipergunakan untuk
menyebut bangunan-bangunan kuna ini lantaran masyarakat dan pemiliknya tak lagi
mengetahui siapa nama pembangunnya.
Selain karena tempat kediaman, kedekatan juga terbentuk karena intensitas
hubungan seseorang dengan Kramat Buyut Trusmi. Sep adalah orang yang secara
formal menduduki posisi tertinggi dalam hal kedekatan karena intensitas hubungan
ini. Mengingat jabatan ini tidak didasarkan pada garis keturunan atau kemampuan
spiritual tertentu tetapi berdasarkan pilihan warga, Sep menduduki jabatan sebagai
179 konsekuensi dari kedekatannya dengan masyarakat yang secara geografis tinggal di
sekitar Kramat. Sesudah terpilih, seorang Sep baru kemudian memiliki intensitas
hubungan yang sangat tinggi dengan Kramat. Sesudah Sep adalah posisi yang
diduduki oleh para Kiai, Kunci, Kemit dan Kaum. Kecuali jabatan Kemit yang
didasarkan pada penunjukan, semua jabatan tersebut didasarkan pada pilihan oleh
warga sehingga memiliki relasi sosial-spasial sebagaimana jabatan Sep. Masingmasing dari mereka memiliki peran khusus yang bersifat internal sedangkan Sep
mewakili semua pengelola Kramat sekaligus menjalin hubungan ke luar.
Para peziarah memiliki intensitas hubungan yang kuat namun bersifat sesaat.
Saat masuk ke kompleks Kramat Buyut Trusmi, orang yang akan berziarah atau
tirakat melepas alas kaki di pintu sebagai tata krama memasuki Kramat yang
dimuliakan. Kemudian merekan menyucikan tubuh dengan mandi di Balong
Pekulahan dan Sumur Jimat. Dua gerbang menuju makam diapit dengan gentong air
yang disediakan bagi mereka yang akan menyucikan diri lebih lanjut. Kemudian
mereka berdhikir dan berdoa di depan makam dengan mengorientasikan tubuh
mereka yang telah disucikan ke arah pintu kecil berukir dengan kemenyan yang
senantiasa menyala di sampingnya. Serangkaian tatacara ini menegaskan bahwa
afinitas dengan Kramat dibangun melalui serangkaian praktik yang memosisikan
tubuh di dalam ruang yang ketika dilaksanakan secara terus menerus membangun
kesakralan Kramat itu sendiri. Dalam pola pertukaran ini peziarah meyakini mereka
beroleh berkah sedangkan Kramat meningkat “ke-kramat-an”nya.
Orang tirakat mengawali praktik tirakat mereka sebagaimana peziarah yang
kemudian dilanjutkan dengan menginap selama beberapa hari di kompleks Kramat.
Dengan demikian tirakat dapat dipahami sebagai ziarah yang lebih intensif. Bagi
mereka terdapat serangkaian tata laku yang tidak dijalani oleh para peziarah. Yang
paling menonjol dari tata laku ini adalah mereka diharuskan tinggal di Jinem—yang
terletak di depan makam untuk laki-laki dan di belakang masjid untuk perempuan—
serta menjalankan puasa selama bertirakat. Papan dan praktik mendapatkan
penegasannya lebih lanjut di sini. Pemisahan jender lebih ditekankan dalam tirakat
180 ketimbang pembedaan jarak dengan Makam. Seorang tokoh setempat mengisahkan
bahwa semula kedua bangunan yang ada di depan Makam itu dipergunakan sebagai
Jinem Laki-laki dan Jinem Perempuan. Karena jumlah orang tirakat yang meningkat
maka kedua bangunan ini kemudian dipergunakan semua untuk Jinem Laki-laki dan
perempuan melakukan tirakat di dekat Masjid.
Selama menjalani tirakat, makanan untuk berbuka disiapkan oleh Kemit.
Sebagai kelaziman orang yang bertirakat memberikan uang, makanan dan bahan
makanan kepada Kemit saat mereka datang dan meminta izin untuk tirakat. Pola
hubungan ini dapat dipahami sebagai intensifikasi pertukaran antara kedua belah
pihak tersebut.
Salah satu Kemit yang saya jumpai berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta.
Dia mengawali kedekatannya dengan Kramat ketika melakukan peziarahan yang
kemudian diikuti dengan tirakat secara berkala. Dengan peningkatan intensitas
hubungan ini, lama kelamaan dia ditunjuk untuk menjadi salah satu Kemit di Kramat
Buyut Trusmi. Affinitas spasial dalam hal ini diikuti dengan affinitas sosial.
Proses membangun berkala, memegang peran yang krusial dalam
membentuk kedekatan dengan penekanan yang berbeda antara Memayu dan Buka
Sirap. Memayu adalah peristiwa kewargaan. Seluruh partisipan baik yang berasal dari
Desa Trusmi maupun dari desa-desa sekitarnya terlibat dengan cara dan intensitas
yang sama. Para pengelola Kramat tak terlibat secara langsung dalam teknis
penggantian atap alang-alang tersebut.
Sementara, Buka Sirap menekankan pada hirarki yang berbeda membentuk
relasi yang berbeda dengan cara dan intensitas dalam membangun. Para tukang yang
memiliki keunggulan skill menyiapkan komponen konstruksi namun tidak mendapat
kesempatan untuk memasangnya; sedangkan para pemuka Kramat memiliki
keterbatasan skill namun menyandang status yang tinggi yang memungkinkan
mereka secara absah menaiki bangunan dan mengganti atap sirap khususnya di
bangunan Makam.
181 Setiap penyelenggaraan Buka Sirap, para tukang memperbarui relasi. Peta
hubungan mereka dengan Kramat dikukuhkan kembali dalam partisipasi panjang
selama mempersiapkan sirap secara bergiliran selama dua bulan sebelum pelaksanaan
Buka Sirap. Selama sepekan ritual Buka Sirap, mereka mengelola semua komponen
bangunan dan menyucikannya sebelum dipasang. Saat kenduri sebagai klimaks ritual
mereka mendapatkan berkat besar yang berbeda dengan pengobeng pada umumnya.
Pada penyelenggaraan Buka Sirap 2014 terjadi peristiwa tak terduga. Ratusan
pemuda dari Blok Jero yang merupakan lingkungan permukiman inti desa Trusmi
mengklaim bahwa mereka adalah tukang dan bukan pengobeng meskipun tidak turut
mempersiapkan sirap dan hanya aktif saat ritual saja. Kejutan ini dapat teratasi karena
persediaan berkat besar cukup banyak untuk dibagikan kepada mereka. Kedekatan
keruangan, dalam peristiwa ini diyakini para pemuda dapat meningkatkan kedekatan
sosial mereka dengan Kramat sehingga memobilisasi status dari pengobeng menjadi
tukang.
Dalam kaitaan dengan Memayu dan Buka Sirap, peran Kramat Buyut
Trusmi sebagai situs cikal bakal ini bersifat paradoksal. Di satu sisi, kompleks ini
haruslah bersifat panggah dari segi lokasi dengan bertahan di tempat yang sama sejak
mula
berdirinya.
Lantaran
kepanggahan
tersebut,
Kramat
Trusmi
dapat
mempertahankan statusnya sebagai tempat asal muasal. Di sisi lain, Kramat Trusmi
dapat bertahan untuk membangun relasi yang bermakna dengan masyarakat dengan
terus menerus dibangun ulang secara berkala. Ketidak-panggahan material ini
mengintensifkan hubungan antara Kramat dan masyarakat sehingga afiliasi mereka
dengan Kramat dapat dilestarikan.
Kepanggahan papan sekaligus ketidak-panggahan material ini terlihat paling
kentara pada bangunan Witana. Sebagai tempat asal muasal yang dipahami sebagai
“wiwitane ana” atau yang pertama kali ada, Witana tak berubah tempat, bentuk dan
ukurannya. Bangsal kecil ini tidak mewadahi kegiatan yang mengharuskan jumlah
orang tertentu harus diakomodasi sehingga dia tidak memerlukan perubahan dimensi
sebagaimana
Masjid.
Fungsi
terpentingnya
182 adalah
sebagai
tempat
untuk
mengumumkan jadwal Memayu dan Buka Sirap setiap awal tahun penanggalan
Hijriyah yang mempertegas karakteristiknya sebagai tempat untuk mengawali hal
yang penting. Namun demikian, secara bendawi Witana menunjukkan ketidakpanggahan yang mencolok. Tiang-tiang tepi penyangga bangunan ini menggunakan
bekas tiang utama atau saka guru dari bangunan lain. Hal ini terlihat pada bekas
lubang purus untuk sunduk yang biasanya hanya dijumpai pada saka guru. Secara
teknis relatif mudah untuk menutup lubang tersebut dengan potongan kayu, tapi
ternyata lubang-lubang tersebut dibiarkan saja. Mempertontonkan ketidak-panggahan
komponen bangunan yang dipindahkan ke Witana menunjukkan kompleksitas
karakter bangunan ini yang menegaskan kepanggahan papan sekaligus ketidakpanggahan material.
5.1.2.
Tempat yang Bertransformasi
Kramat Buyut Trusmi dibangun pertama-tama sebagai pusat suatu
lingkungan permukiman yang kemudian berkembang membentuk satelit-satelitnya
yang berupa permukiman di Desa Trusmi. Riwayat ini menunjukkan bahwa
kompleks ini menjalin relasi keruangan yang ekstensif dengan lingkungan sekitarnya.
Secara umum keseluruhan kompleks ini berdenah segi empat yang tak
sempurna dengan beberapa distorsi. Kondisi ini menengarai bahwa sepanjang waktu
pembentukannya ada sejumlah kekuatan penting yang memengaruhi bangun
dasarnya. Bentuk segi empat dikaitkan dengan mata angin yang bermatra semesta.
Lintasan matahari seturut sumbu timur barat tergabung dengan arah darat dan laut
yang membentuk sumbu utara selatan menjadi orientasi utama Kramat Buyut Trusmi.
Laut adalah arah bawah sebagaimana aliran sungai yang tepat berada di depan gapura
timur Kramat. Sebagian masyarakat setempat meyakini bahwa semula di desa mereka
mengalir sungai besar yang terhubung ke laut. Menurut mereka pernah ditemukan
beberapa fragmen kayu lambung kapal yang besar di Trusmi. Selain dimaknai
sebagai arah bandar, utara juga arah Kraton Kasepuhan Cirebon dan Makam Gunung
183 Jati. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah selatan dipandang sebagai arah hulu
tempat desa Trusmi berada.
Pemaknaan ini penting mengingat orang Trusmi memercayai bahwa hal ini
menunjukkan senioritas dibandingkan dengan Cirebon dan Dinasti Gunung Jati.
Setelah Trusmi menjadi makam, arah utara-selatan mendapatkan makna baru dalam
lingkup yang lebih sempit. Sesuai dengan tradisi Islam, jenazah dikubur dengan
kepala di utara dan kaki di selatan. Untuk menghormati mereka yang dikuburkan,
bangunan makam dan kompleks inti makam dibangun dengan pintu dari arah selatan
yang berarti dari arah kaki jenazah. Orientasi ini terlihat jelas pada pintu bangunan
makam dan gerbang di depannya.
Arah timur diasosiasikan dengan matahari terbit yang menjadi lambang
kekuatan kosmis. Bangunan Witana yang dipahami sebagai tempat persidangan
ketika Kramat Trusmi berperan sebagai pusat kekuasaan terletak di sisi timur.
Meskipun bangunan ini tidak menghadap ke timur, keberadaan kolam suci atau
balong pakulahan di sisi ini memberikan gambaran urutan penyucian dari timur
menuju tempat yang dimuliakan.
Arah barat memiliki makna berlipat tiga di Trusmi. Di satu sisi, barat adalah
arah matahari terbenam sehingga diasosiasikan dengan arah istirahat dan privat. Bale
Kiai dan Kunci tempat para pengelola makam beristirahat terletak di arah ini. Dalam
kaitannya dengan tradisi Islam, arah barat dipahami sebagai arah kiblat yang
menghubungkan masjid di manapun dengan Ka’abah sebagai pusat spiritual
universal. Mengingat masjid adalah bangunan terbesar di kompleks ini, arah barat
atau arah kiblat hadir cukup menonjol sebagai sumbu utama bangunan peribadatan
yang memanjang ini. Arah barat juga terkait dengan Omah Gede yang dipercaya
sebagai rumah pertama yang dibangun di luar kompleks Kramat. Hal ini
menunjukkan arah pertama ekspansi permukiman ke sisi ini. Dengan arti penting arah
barat ini maka dapat dipahami mengapa gapura barat memiliki artikulasi estetik dan
ungkapan simbolis yang paling kompleks.
184 Arah barat-timur memegang peran penting dalam pembentukan kompleks
Kramat Buyut Trusmi dan aktivitas yang berkembang di dalamnya. Jalur sirkulasi di
sela bangunan dan dinding yang terbentang dari gapura timur dan barat berperan
sebagai “tulang punggung” yang merangkaikan ruang dan ritual di kompleks ini.
Pemindahan dan penyucian material, pembagian berkat setelah ritual dan ritus
penyucian diri para peziarah, semua mengambil tempat sepanjang jalur ini. Hampir
semua bangunan dan halaman berpagar pasangan bata di kompleks ini memiliki akses
ke jalur ini yang menunjukkan sentralitasnya dalam merangkai ruang dan halaman
yang membentuk konfigurasi ruang Kramat.
Gapura Timur tampaknya semula memegang peran yang lebih penting
lantaran berhubungan langsung dengan ruang terbuka yang disebut sebagai Alun-alun
Trusmi serta sungai yang kemungkinan pernah memiliki peran transportasi yang
menghubungkan Trusmi dengan kawasan di sekitarnya dan bahkan ke Laut Jawa.
Setelah kompleks ini bertransformasi dari tempat publik menjadi tempat peziarahan
Gapura Barat menjadi lebih dipentingkan. Seorang seniman setempat yang serba bisa
yang dikenal sebagai Dalang Kamima mengukir daun pintu dan ambang Gapura
Barat selama dua tahun dan pintu lama dipindah ke timur.
5.2.
Konsep Waktu
Sebatang jurai terpasang membujur ke tenggara pada bangunan Makam di
Kramat Buyut Trusmi. Di salah satu sisinya ditorehkan angka 26-7-2010 yang
menunjukkan saat pemasangan batang kayu tersebut pada saat penyelenggaraan Buka
Sirap terakhir yang dipimpin oleh Kiai Ahmad sebelum Sep ini wafat pada tahun
berikutnya. Di atas balok jurai itu terpasang keping-keping sirap kayu yang selalu
diganti dengan sirap baru setiap delapan tahun dan bubungan jurai yang diganti setiap
empat tahun.
Waktu dipahami di Trusmi dalam jalinan sejumlah konstruksi yang
kompleks. Tanggal 26 Juli 2010 yang tertera pada batang itu hanya terjadi sekali dan
tak pernah terulang selamanya, sepanjang masa. Suatu ketika dalam gerak waktu
185 yang progresif secara absolut peristiwa penggantian komponen struktur tersebut
terjadi. Sementara itu, Buka Sirap berulang-ulang terjadi. Tindakan yang sama dalam
melepas sirap dan bubungan jurai untuk menggantinya dengan komponen baru terus
menerus dilaksanakan, tanpa ada kisah sejak kapan tradisi ini dimulai dan tanpa ada
rencana kapan akan diakhiri.
Di masa kini, ketika semua kalender dan jam telah disinkronisasikan secara
global, waktu acapkali dipahami sesuatu yang abstrak, asali, netral, progresif dan
universal sehingga dipahami sebagai bergerak maju bersama di manapun juga.
Namun demikan, alam mengungkapkan dimensi waktu dengan caranya yang
berulang. Dari pagi di suatu hari ke pagi di hari berikutnya terasa memiliki sifat
berulang yang kentara ketimbang sebagai bergerak maju yang menjadikan pagi di
hari Rabu sama sekali berbeda dengan pagi di hari Kamis. Begitu pula perbedaan dan
perulangan antara musim penghujan tahun ini dan musim hujan tahun berikutnya.
Sementara ruang yang abstrak dan universal mendapat alternatifnya dengan
memandang suatu kedudukan sebagai tempat yang konkret dan bersifat lokal, waktu
tidak memiliki cara pandang alternatif yang setara. Keragaman pemahaman tentang
waktu baru terasa ketika kita mengaitkannya dengan peristiwa dan benda. Untuk
dapat menyatakan suatu peristiwa telah, sedang, bersamaan atau berulang terjadi kita
perlu mendudukkan peristiwa tersebut dalam pemahaman tentang waktu yang tak lagi
netral. Begitu pula dalam kaitannya dengan suatu benda atau objek. Untuk
menyatakannya telah selesai dibuat, sedang dipergunakan atau sedang diperbaiki,
diperlukan kerangka waktu yang lebih konkret yang bukan sekedar menyebut tanggal
dan jam.
Pemahaman tentang waktu adalah hal yang sangat mendasar untuk dapat
memahami fenomena arsitektural yang terjadi di Trusmi khususnya yang berkaitan
dengan ketidak-panggahan. Secara umum, ketidak-panggahan adalah fungsi waktu
yang diterapkan pada arsitektur. Tahapan berikutnya adalah menggunakan bangunan
sempurna tersebut sembari berupaya mempertahan agar bangunan tetap dalam
kondisi sebagaimana di akhir pembuatannya hingga masa-masa berikutnya. Di
186 Kramat Buyut Trusmi membuat bangunan adalah penggabungan antara peristiwa
berulang dan tak berulang yang terjadi dalam kerangka waktu yang berbeda.
5.2.1.
Waktu Alam
Saat penyelengaraan Buka Sirap usai, bangunan-bangunan beratap sirap di
Kramat Buyut Trusmi tampil unik. Dua sisi beratap sirap baru yang berwarna kuning
muda sedangkan dua sisi yang lain berwarna hitam kehijauan karena lumut dan kerak
yang melapisi permukaannya. Jejak lintasan waktu tersaji begitu kentara pada
bangunan-bangunan ini.
Kedua bidang atap ini ditutup oleh sirap dengan usia yang berselang empat
tahun. Sejak Buka Sirap tak lagi diselenggarakan secara menyeluruh dalam siklus
delapan tahunan maka penampilan seperti akan kerap dijumpai di Trusmi. Ketika
keseluruhan atap sirap diganti secara bersamaan maka tak ada perbedaan karakter
permukaan antara sirap baru dan lama. Di tahun Alip semua sirap diganti dan
berangasur angsur sirap-sirap tersebut akan berubah warna menjadi kian tua secara
bersama-sama. Penggantian serentak tiap windu ini masih dipraktikkan di Mande
Trusmi di Astana Gunung Jati.
Bangunan beratap welit tak begitu tampak perbedaannya antara sisi yang
baru dan yang telah berumur setahun. Selain siklusnya lebih pendek, permukaan welit
juga tak mengundang lumut dan kerak untuk meninggalkan jejak.
Perubahan karakter permukaan karena pengaruh cuaca dan organisme yang
menyertainya memang tak terhindarkan. Arsitektur dalam banyak tradisi sering
berusaha untuk menghapus jejak ini dengan berupaya mempertahankan agar
bangunan tetap tampil baru dan cemerlang, tanpa cela dan lapuk-lekang.
Orang-orang Trusmi menikmati kedua kondisi ini. Ketika atap masih baru
maka mereka terpuaskan akan hasil kerja besar yang usai mereka selenggarakan.
Ketika jejak cuaca telah membekas lama maka mereka merasa bahwa karya mereka
telah memberi kemanfaatan bagi lingkungan dan penggunanya.
187 Welit yang dan sirap yang telah tak terpakai lagi bisa dibawa pulang oleh
para pengobeng. Kiai Tony membanggakan tentang khasiat welit bekas itu. Abu hasil
pembakarannya bisa dipergunakan untuk mengatasi berbagai penyakit dan gangguan
makhluk gaib. “Semua terpental,” dia menegaskan. Welit bekas dipandang memiliki
daya tertentu karena telah menjadi bagian dari lingkungan yang disucikan ini dalam
jangka waktu tertentu. Dalam jangka waktu tersebut, welit seolah “menyerap”
pengaruh positif yang ada di lingkungan tersebut yang tetap melekat bahkan saat
bidang atap alang-alang ini tak lagi menjadi bagian dari bangunan-bangunan Kramat.
Berbeda dengan sirap bekas yang dibawa pulang oleh para pengobeng sebagai sarana
mendapatkan berkah dengan disimpan, welit adalah “pusaka habis pakai” karena
dipergunakan dengan menaburkan atau mengoleskan abunya.
5.2.2.
Waktu Relasional
Pemahaman terhadap waktu memegang peran sentral dalam kehidupan dan
aktivitas di Kramat Buyut Trusmi. Sebagai suatu Kramat, momen terpenting yang
menghidupkan aktivitas di kompleks ini adalah ritual dengan berbagai variasinya,
dari yang bersifat individual hingga yang massal. Kalender ritual yang mengatur
dinamika kehidupan di Kramat ini didasarkan pada pemahaman tentang waktu
bersifat kompleks dan tumpang tindih dari berbagai konstruksi waktu.
Tiap malam 1 Muharram atau 1 Sura yang menandai awal tahun Hijriyah
atau yang juga disebut sebagai tahun Jawa dilakukan pengumuman saat
penyelenggaraan Memayu dan kadang juga Buka Sirap. Sementara ritual-ritual yang
lain cukup definitif jadwalnya Memayu dan Buka Sirap tidak pernah ajeg baik dalam
kalender Hijriyah maupun Masehi. Kedua upacara besar ini melibatkan perhitungan
yang kompleks dengan banyak variabel sehingga penentuannya hanya bisa dilakukan
dengan otoritas Sep setelah mempertimbangkan kalender, pergantian musim dan
bahkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat.
Ketika saya bertanya tentang bagaimana para pemuka Kramat Trusmi
menentukan tanggal penyelenggaraan Memayu dan Buka Sirap pada tahun tertentu,
188 Ki Warlan tidak memberikan jawaban yang jelas namun berusaha menerangkan suatu
kerangka waktu dengan membuat matriks di atas kertas. Yang dia lakukan adalah
menerangkan sistem perhitungan tradisional untuk menentukan penanggalan Hijriyah
yang berbasis pergerakan bulan tanpa harus melakukan observasi terhadap
kemunculan bulan pada waktu tertentu karena perhitungan kompleks ini diyakini
berulang terus menerus. “Kalender di sini dinamai Abogé, karena diawali pada tahun
Alip yang jatuh pada hari Rabu Wagé. Kalau selain di Trusmi mereka menggunakan
Asapon yang diawali dari tahun Alip yang jatuh pada hari Selasa Pon”. Dari matriks
rumit ini dapat diperhitungkan kapan tanggal 1 Sura atau Muharram tiba dan tanggaltanggal hari raya Islam lainnya. Pertanyaan saya tetap tak terjawab. Baik mengacu
pada kalender Masehi atau Tahun Umum maupun Hijriyah, Memayu dan Buka Sirap
tidak memiliki tanggal yang tetap. Tiap tahun berubah. Bahkan pada tahun 1435 H
terjadi dua kali Memayu.
Ki Warlan akhirnya hanya memberikan gambaran tentang pertimbangan
penetapan jadwal kedua peristiwa ritualistik tersebut. Memayu pada dasarnya adalah
ritus menyongsong musim tanam yang diselenggarakan menjelang awal musim
penghujan yang sekaligus juga saat mulai melakukan penanaman padi. Upacara ini,
menurutnya, semula diselenggarakan untuk menghimpun kerabat dan warga agar siap
menjalani kerja bersama menanam padi. Jika Memayu dilaksanakan terlalu awal atau
jauh sebelum hujan datang, masyarakat akan mempertanyakan kemampuan otoritas
Kramat untuk memprediksikan saat turunnya hujan. Jika hujan mendahului Memayu
maka kepercayaan masyarakat terhadap Sep akan lebih rendah lagi.
Sementara pergiliran musim berkaitan dengan peredaran matahari,
penetapan jadwal Memayu juga perlu mempertimbangkan kalender Hijriyah yang
didasarkan pada peredaran bulan. Upacara tahunan terbesar yang diselenggarakan di
Kramat Buyut Trusmi adalah Muludan atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad.
Di berbagai tempat, termasuk di Kraton Kasepuhan Cirebon, Muludan dirayakan
pada tanggal 12 Rabi’ulawal yang juga disebut sebagai bulan Maulud yang
merupakan bulan ketiga. Khusus di Trusmi kelahiran Nabi dirayakan pada tanggal 20
189 Maulud. Mengingat Muludan adalah kenduri terbesar yang melibatkan masyarakat
yang sangat luas dengan kontribusi tenaga, dana dan sumber daya lainnya maka
jadwal Memayu biasanya dilaksanakan agak jauh sebelum atau setelah Muludan.
Pada tahun Alip dan Dal saat penyelenggaraan Buka Sirap, penentuan jadwal
Memayu juga mempertimbangkan jarak saat upacara tersebut dari Buka Sirap agar
beban sosial dan ekonomi masayarakat dapat didistribusikan dengan lebih merata.
Dengan demikian, penetapan jadwal Memayu melibatkan perhitungan perhitungan
musim atau di Jawa biasa disebut pranata mangsa, kalender Hijriyah dan dinamika
masyarakat.
Jadwal pelaksanaan Buka Sirap tampaknya lebih fleksibel. Upacara empat
tahunan ini, menurut Ki Warlan semula dikaitkan dengan Hari Raya Idul Adha
supaya daging hewan kurban dapat dimanfaatkan untuk kenduri dalam rangka Buka
Sirap.
Pelaksanaan Buka Sirap dan Memayu juga terkait dengan siklus mingguan.
Memayu dilaksanakan pada hari Senin dengan Ider-ideran sehari sebelumnya.
Memayu di Omah Gede diselenggarakan pada hari Kamis atau tiga hari setelah acara
serupa di Kramat sedangkan di Bale-bale Gede tujuh hari setelah Memayu Kramat.
Buka Sirap dimulai pada hari Senin dan diakhiri dengan kenduri pada hari Senin
berikutnya.
Banyak Kramat dan tempat yang menyandang nilai-nilai spiritual. Masingmasing tempat memiliki kalender upacaranya. Karakteristik dari kalender upacara di
Cirebon
adalah
kemampuan
adaptif
masing-masing
tempat
untuk
saling
menyesuaikan jadwal. Di antara upacara yang paling banyak diselenggarakan adalah
peringatan Maulud Nabi Muhammad yang lazim disebut Muludan. Meskipun semua
mengakui tradisi bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awal atau
bulan ketiga dalam penanggalan Hijriyah yang juga disebut sebagai bulan Maulud
atau Mulud dalam logat setempat, namun beberapa tempat di Cirebon memiliki
jadwal dan durasi yang berbeda.
190 Muludan Cirebon dimulai dari Keraton Kanoman yang menyelenggarakan
pada tanggal 1-8 Mulud yang berbarengan dengan Keraton Kasepuhan yang
melaksanakannya pada tanggal 1-12 Mulud. Astana Gunung Jati melaksanakan
peringatan pada tanggal 12 Mulud saja sebagaimana Desa Tuk pada tanggal 19
Mulud dan Desa Gegesik pada tanggal 21 Mulud. Kramat Buyut Trusmi
menyelenggarakan upacara peringatan Muludan ini yang paling akhir tapi sekaligus
paling lama yakni tanggal 12-25 Mulud. Muludan Trusmi adalah yang paling ramai
dukunjungi masyarakat, kedua setelah Keraton Kasepuhan. Pedagang dan hiburan
berjajar sepanjang jalan di desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Weru Lor dan
Kaliwulu.
5.3.
Konsep Material
Sambil memantau pelaksanaan Memayu tahun 2015, Kiai Tony berbincang
dengan saya tentang pentingnya bangunan di Kramat Buyut Trusmi untuk tetap
beratap ilalang dan sirap. Menurutnya, bangunan tak selayaknya beratap genteng dari
gerabah seperti lazimnya bangunan saat ini karena gerabah berasal dari tanah liat.
Meletakkan tanah di atas bangunan akan menjadikan rumah seperti kuburan. Bahkan
untuk bangunan Kramat yang jelas merupakan naungan bagi makam Ki Buyut
Trusmi pun tak selayaknya beratapkan tanah.
Material yang tersedia di alam seperti batu dan tanah, atau yang
dibudidayakan seperti ijuk, kayu dan alang-alang menjalani suatu proses sehingga
dapat menjadi bagian dari suatu bangunan di Kramat Buyut Trusmi. Namun
demikian, membentuk bangunan bukanlah satu-satunya tujuan dari keberadaan suatu
material. Berbeda dengan Louis I. Kahn yang dapat mengajukan pertanyaan hakiki
terhadap bata tentang apa yang “dikehendaki” untuk diwujudkan oleh sang bata. Di
Trusmi material dibentuk, diproses dan dipasang hanyalah satu dari sejumlah
keniscayaan perjalanan yang mungkin dijalani oleh sang material tersebut.
191 Bagian ini menjalin konsepsi tentang material melalui pemahaman tentang
asal-muasal material, proses yang dialami oleh material serta relasi sosial yang
terbentuk selama pemrosesan material tersebut.
5.3.1.
Material sebagai Penanda Tempat Kediaman
Alih-alih genteng tanah liat, sirap kayu atau alang-alanglah yang pantas
untuk menjadi penutup atap agar bangunan tak jadi seperti kuburan. Lebih dari
sekedar sarana pemenuhan kebutuhan akan lindungan dan naungan, penerapan
material yang tepat—ketimbang jenis material itu sendiri—akan menentukan apakah
tempat yang diciptakan menjadi hunian atau kuburan.
Material, dalam cara pandang ini, diklasifikasikan menjadi material
kebumian seperti tanah liat dan batu alam, serta material organik yang berasal dari
tumbuhan seperti rumput alang-alang dan pohon jati. Tanah dapat ditumpuk, dibentuk
dan dipadatkan; sedangkan batu lazim dipotong dan disusun.
Sebagaimana di tempat asalnya, bumi adalah yang dipijak sehingga
sepantasnya berada di bawah. Dengan ditinggikan dan dipadatkan, tanah dibentuk
menjadi batur atau ladasan berdirinya bangunan. Masjid yang memiliki batur dengan
ketinggian sekitar 45 sentimeter adalah bangunan dengan batur tertinggi di Kramat
Buyut Trusmi. Bangunan-bangunan lain termasuk Makam dan Witana hanya
memiliki batur berketinggian sekitar 20 sentimeter. Hanya Masjid yang memiliki
batur persegi, sedangkan bangunan lain berbatur persegi panjang. Dengan batur ini
ruang bangunan yang tak berdinding didefinisikan. Paseban, Bale Keprinci dan
Bangsal Peziarahan menegaskan batasnya dengan peninggian lantai ini. Jinem
Lanang dan Witana memperkuat peninggian lantai dengan pagar jeruji kayu. Masjid,
Jinem Wadon dan Makam Ki Buyut memiliki dinding bata di seputaran lantainya.
Di atas batur diletakkan umpak sebagai landasan yang akan mempertemukan
tiang dan batur. Hampir semua tiang di Kramat Buyut Trusmi terbuat dari batu
dengan bentuk piramida terpancung yang kadang ditambah dengan bentuk balok di
192 bawahnya. Selain itu, hanya beberapa umpak Jinem yang tampaknya terbuat dari
pasangan bata merah berpenampang persegi.
Tanah dicetak menjadi batu bata yang ditumpuk untuk membentuk tembok
pembatas ruang dalam maupun ruang luar atau halaman. Sekeliling Kramat dibatasi
oleh pagar tembok tebal setinggi dua meter yang bercat merah tua sehingga menjadi
sosok yang sangat kentara di lingkungan tersebut. Tiga pasang gapura bentar yang
mengantarkan pengunjung masuk dari jalan besar dan dari kampung menuju gapura
barat juga sosok yang sangat jelas terbuat dari pasangan bata.
Material kebumian dipahami sebagai pembentuk lingkungan yang panggah.
Jajaran 17 Batu Pendadaran di depan Jinem menegaskan tentang kepanggahan
kedudukan batu andesit bulat tersebut meskipun tanpa dilepa sehingga diperlukan
upaya keras untuk memindahkannya.
Bumi digali untuk menghadirkan air sehingga membentuk sumur dan kolam.
Air adalah elemen primordial yang penting untuk membentuk kehidupan dan
menyucikan diri. Sumur Jimat di utara Masjid dan Balong Pakulahan di timur Witana
adalah wujud paling nyata bagi upaya ini. Keduanya adalah sumber air yang
dikisahkan tak pernah kering bahkan di saat kemarau terpanjang. Sumur Jimat tak
tampak berbeda dibandingkan dengan sumur biasa, hanya di atasnya didirikan
bangunan beratap pelana untuk menaunginya. Balong Pakulahan memiliki sosok
yang istimewa, kolam dengan mata air didasarnya ini berbentuk persegi dengan
undak-undakan di sisi barat yang dibuat dengan memahat tanah dan memperkuat
hasil pahatan itu dengan pasangan bata. Undak-undakan ini berperan penting saat
penyucian komponen bangunan yang akan dipasang saat Buka Sirap. Para pengobeng
berjajar di tiap trap undakan itu untuk secara beranting membawa sirap, papan dan
balok dari tempat penyimpanan ke kolam dan dari kolam ke bangunan yang dituju.
Dengan menjadi bagian proses penyucian komponen bangunan, air di
Balong Pakulahan meresap ke dalam batang dan bilah kayu tersebut. Material bumi
menyatu ke dalam material organik di seluruh bangunan.
193 Banyak peziarah melakukan ritual dengan mandi di kedua sumber air ini.
Dengan basah kuyup mereka berlarian dari satu sumber ke sumber yang lain. Jalur
setapak di utara Masjid menjadi lintasan utama ritual ini.
Setelah diambil dari dalam tanah, air ditampung dalam wadah yang terbuat
dari tanah liat. Karena posisinya yang tak pernah berpindah, wadah-wadah air itu
menjadi bagian dari tempat kedudukannya. Sepasang wadah air dipasang mengapit
keempat gerbang di Kramat Buyut Trusmi: gapura barat, gapura timur dan kedua
gerbang menuju Makam dari arah Masjid. Memasuki lingkungan Kramat adalah
menyucikan diri sehingga sepasang bejana ini mengingatkan akan upaya meraih
kesucian ini. Seorang peziarah yang memasuki Makam harus melintasi tiga gerbang
yang diapit bejana air ini.
Tiga bejana yang terbuat dari tanah liat terdapat di sisi utara Masjid. Satu
gentong berpancuran atau padasan diletakkan di sisi timur pintu kecil di sudut barat
laut Masjid. Wadah air ini disebut sebagai Padasan Kiai lantaran khusus
dipergunakan oleh keempat Kiai jika akan menunaikan ibadah shalat untuk kemudian
memasuki masjid melalui pintu di sampingnya. Dua bejana lainnya disebut sebagai
wadah Banyu Kejayan dan Banyu Panglepasan yang diyakini punya khasiat tertentu.
Material organik yang berupa penutup atap dihadirkan ke dalam bangunan
secara ritualistik dan diperbarui secara berkala. Sejak pemasangan awalnya,
kehadirannya telah ditetapkan bersifat sementara sehingga dipersiapkan untuk suatu
saat nanti akan diganti. Sirap dan welit dipergunakan juga untuk menandai bangunan
utama dan bangunan pendukung. Makam, Witana, Masjid dan Pasalinan adalah
empat serangkai bangunan utama yang ditengarai dengan atap sirap kayu jati. Di
antara keempatnya, Makam memiliki hirarki tertinggi lantaran sirap untuk bangunan
ini semua harus diganti baru saat Buka Sirap, sedangkan ketiga bangunan lainnya
menggunakan komponen campuran antara sirap baru dan sirap bekas dari Makam
yang telah dibersihkan dan diperbaiki.
Bubungan jurai bangunan Makam juga harus senantiasa diganti saat
pembaruan atap berkala ini. Dimensi komponen ini adalah yang paling panjang di
194 antara bubungan jurai yang lain sehingga memudahkan saat harus dipotong ujungnya
yang biasanya lebih mudah lapuk untuk kemudian dipasang pada bangunan lain.
Gerbang memiliki perlakuan khusus. Bangunan ini semula beratap welit
namun belakangan diganti dengan atap sirap. Saat ritual Buka Sirap, dua sisi atap di
keempat gerbang ini juga diganti tapi menunggu setelah keempat bangunan utama
dibongkar atap lamanya. Hampir semua sirap dan bubungan jurai untuk gerbang
adalah komponen bekas yang didapat dari Makam yang telah diseleksi dan
diperbaiki.
Bangsal Peziarahan dan bangunan penutup sumur memiliki kedudukan yang
paling rendah di antara bangunan beratap sirap. Karena kedua bangunan yang
berukuran cukup besar ini dianggap sebagai bangunan tambahan, keduanya tidak
mengikuti siklus pembaruan empat tahunan tapi menyesuaikan dengan kondisi
kerusakan yang dialami. Cadangan sirap bekas yang disimpan cukup memadai jika
sewaktu-waktu dipergunakan untuk memperbaiki kedua bangunan tersebut.
Atap welit yang dipergunakan untuk menutup atap bangunan-bangunan
penunjang diganti pada saat Memayu. Semua welit dan anyaman belarak diganti, tak
ada yang dipertahankan. Mengingat waktu penggantian welit hanya setengah hari,
maka urutan pembongkaran dan pemasangan atap alang-alang ini tidak begitu
kentara. Atap Paseban lazimnya dibongkar pertama kali dan diselesaikan terakhir
kali. Bukan hanya karena bangunan tempat kedudukan Sep ini memiliki hirarki
tertinggi di antara bangunan beratap alang-alang, tapi juga karena bangunan ini
memiliki dimensi yang terbesar sehingga memerlukan penanganan yang jauh lebih
lama ketimbang bangunan lainnya.
Bale Keprinci dan Jinem Wadon diperlakukan dengan teknis yang berbeda
lantaran keduanya dianggap sebagai bangunan baru. Welit di kedua bangunan ini
dipasang lembar demi lembar langsung pada usuk dan reng sehingga tidak
mempergunakan rangken atau rangka bambu sebagaimana pada bangunan welit
lainnya.
195 Mustaka Masjid adalah pengecualian. Hiasan puncak ini adalah satu-satunya
komponen bangunan berbahan tanah liat yang dipasang di atas bangunan. Pucuk atap
Masjid. Masjid Kramat Buyut Trusmi yang beratap tajug bersusun tiga memiliki
hiasan puncak berupa mustaka yang terbuat dari tanah liat bakar. Mustaka ini terdiri
atas dua bagian yang bisa dilepas dengan mudah. Bagian bawah berbentuk piramida
terpancung dengan hiasan relief timbul berbentuk bunga di keempat sisinya. Hiasan
berbentuk serupa daun berpilin yang sedang tumbuh mencuat dari keempat sudut
elemen ini. Bagian atas berbentuk seperti permata dengan penampang persegi yang
mengecil di bawah dan di atas. Dengan puncak berbentuk serupa kuncup bunga,
bagian atas ini juga dihias dengan bentuk daun berpilin yang tumbuh di tiap sudutnya.
Secara teknis, bentuknya yang rumit dengan delapan sulur mencuat dan
ragam hias floral lainnya memang lebih mudah dibentuk dengan tanah liat yang
plastis tersebut. Di kawasan Cirebon, bangunan-bangunan kuna yang beratap lancip
atau tajug memang lazim menggunakan mustaka tanah liat, baik pada bangunan
keagamaan seperti pada berbagai masjid dan langgar seperti Masjid Pajalagrahan,
Langgar Ageng Kanoman dan Langgar Alit Kasepuhan, ataupun bangunan nonkeagamaan seperti pada Mande Pandawa Lima di Kraton Kasepuhan dan Bale
Manguntur di Kraton Kanoman (Nugroho, 2012). Mustaka tersebut lebih dipandang
sebagai hiasan puncak (finial) yang bersifat dekoratif yang menghias ketimbang
sebagai bagian dari atap yang menaungi.
5.3.2.
Asal Muasal Material sebagai Jejaring Sumber
Dalam kunjungan terakhir saya ke Trusmi tanggal 4 Mei 2016 yang lalu,
seorang kemit menceritakan tentang upaya dia untuk menanam beberapa pokok
pohon jati di pemakaman sebelah utara tembok Kramat. Dia berharap agar hal ini
dapat terjadi terus-menerus sehingga ketersediaan cadangan kayu untuk Buka Sirap
dapat dipenuhi. Selain di lingkungan Kramat Buyut Trusmi ada beberapa petak lain
yang juga ditanami pohon jati untuk memasok kebutuhan Kramat. Abdul Hamid,
seorang tukang muda yang sudah belasan tahun terlibat dalam pembangunan di
Kramat mengantarkan saya ke sebuah tempat di tengah desa yang disebutnya sebagai
196 hutan wakaf. Di sudut hutan ini terdapat masjid dan sumur tua yang dikenal warga
sebagai Sumur Wasiat. Menurutnya, dari cerita yang didapat dari ayahnya, dulu ada
hutan wakaf yang lebih luas yang juga ditanami jati untuk kepentingan Kramat. Akan
tetapi, karena perselisihan kepemilikan tanah antar ahli waris akhirnya tanah yang
semula telah diwakafkan secara lisan ini dibagi-bagi antar ahli waris.
Pada dasarnya, jati dipahami sebagai pohon yang tumbuh di Kramat, atau di
hutan wakaf yang secara konseptual merupakan perluasan dari Kramat. Jati yang
merupakan pohon tahunan menjadi bagian dari lansekap kramat dalam waktu yang
relatif lama sebelum ditebang dan diproses menjadi komponen bangunan. Hingga
saat ini kalau kita melihat lingkungan Kramat Buyut Trusmi, maka yang
mendominasi panorama adalah tegakan-tegakan jati tersebut. Atap welit dan sirap
menyembul di sela-sela pokok jati dan di balik tembok merah bata pelingkup
kompleks Makam. Meskipun sekarang sedikit sekali kebutuhan kayu jati yang dapat
dipenuhi oleh lingkungan Kramat dan hutan wakafnya, tapi pemandangan yang
terbentuk dari jalinan antara bangunan beratap sirap dan pepohonan jati di sekitarnya
membangkitkan gambaran bahwa jati pada dasarnya berasal dari tempat tersebut.
Alang-alang tak terlalu sulit dijumpai di Desa Trusmi dan sekitarnya. Akan
tetapi, Memayu memerlukan jumlah alang-alang yang jauh lebih besar ketimbang
yang tersedia di Desa tersebut. Biasanya alang-alang ini didapatkan dari Desa
Singaraja yang terletak di kabupaten Indramayu yang sangat dekat dengan pesisir
Laut Jawa.
Keterkaitan material dan sumbernya dapat bersifat historis. Pada tahun 1970an, sebatang dahan menjatuhi mustaka di puncak Masjid yang terbuat dari tembikar
yang mengakibatkan kerusakannya. Para pengelola Masjid dan Makam memutuskan
untuk menggantinya dengan mustaka yang terbuat dari tembaga yang saat itu mulai
populer, dengan pertimbangan bahwa material baru ini lebih awet sehingga mampu
bertahan lebih lama ketimbang mustaka yang terbuat dari gerabah. Mustaka lama
yang rusak disimpan di Bale Pasalinan di sisi pintu menuju ke Makam. Dalam pawai
Ider-ideran menjelang Memayu berikutnya, mustaka lama ini diikutkan untuk diarak
197 keliling kampung. Suatu insiden terjadi ketika ada seorang anak kecil berada di dekat
itu yang pingsan dan kemudian meninggal tak lama kemudian. Para pengelola
Kramat menafsirkan hal ini sebagai isyarat agar puncak Masjid kembali dihiasi
dengan mustaka dari tanah liat dan bukan tembaga.
Berdasar adat setempat, mustaka baru haruslah dibeli di Kampung Panjunan.
Berasal dari kata jun atau ajun yang berarti wadah air dari tembikar, Panjunan adalah
tempat pembuat jun sejak sebelum Kraton Cirebon berdiri, sehingga memiliki otoritas
historis sebagai tempat asal muasal pembuatan benda-benda dari tanah liat bakar ini.
Permasalahan dalam penggantian mustaka dari Panjunan ini mengemuka lantaran
sekarang tak ada lagi pembuat gerabah di Panjunan. Para pemuka Trusmi
bermusyawarah untuk mengatasi masalah ini. Akhirnya disepakati kompromi adat
bahwa mustaka tersebut dipesan di Desa Jamblang yang saat ini masih memiliki
pengrajin gerabah, akan tetapi tempat pembelian mustaka tersebut haruslah tetap
dilakukan di Panjunan.
Jejaring sumber material ini seperti memetakan relasi antara Trusmi dengan
lingkungan pendukungnya. Jati di bukit dan alang-alang di pesisir adalah dua sumber
yang secara terus menerus dihidupkan jalinannya dalam keterkaitan spasial.
Sementara, Panjunan, desa sangat tua penghasil gerabah membentuk jalinan temporal
dengan masa silam kawasan Cirebon.
5.4.
Konsep Konstruksi
Pada Buka Sirap tahun 2014, dilakukan eksperimentasi dalam menyiapkan
sirap-sirap tersebut. Pengait yang berupa dua pasak kecil yang menancap pada sisi
dalam sirap diganti bahannya. Biasanya batang kecil ini terbuat dari kayu, tapi saat itu
diganti dengan bambu. Pasak bambu ternyata memiliki keuntungan pada keliatan
bahannya dan lebih mudah pembuatannya. Akan tetapi material baru ini memilik
kekurangan dari segi kembang susut bahannya yang relatif lebih besar ketimbang
kayu. Penggantian bahan ini jelas didasrkan pada cara pandang yang menekankan
198 pada tujuan teknis untuk membuat konstruksi bangunan yang lebih kuat dan
mengefisienkan tenaga kerja.
Sementara sirap dipersiapkan secara teknis, tradisi penggantian sirap itu
sendiri lebih menekankan pada konstruksi yang bersifat simbolis. Ketika bilah-bilah
sirap disucikan sebelum dipasang pada bangunan Makam terjadi proses transformatif
dari suatu komponen yang semula dibuat dengan tujuan teknis yang berkaitan dengan
kekuatan dan keawetan menjadi elemen yang menekankan pada kesucian.
Sirap yang pernah menjadi bagian dari konstruksi bangunan Makam
meyerap energi positif dari doa-doa yang dipanjatkan para Kemit dan peziarah,
mengendapkan berkah dari Allah yang dikaruniakan melalui kebaikan leluhur yang
dimakamkan di situ. Ketika konstruksi atap dibongkar, sirap pun dipilah menjadi tiga
kategori, yakni sirap siap dipasang pada bangunan baru, sirap yang memerlukan
penyesuaian dimensi dan bentuk untuk dipasang pada bangunan baru atau sirap yang
akan disimpan sebagai benda yang menyandang berkah.
Konstruksi (sebagai kata benda) dapat dipahami sebagai penggabungan
sejumlah komponen fisik menjadi suatu kesatuan yang relatif stabil. Dalam suatu
konstruksi cara dan pola penggabungan tertentu diterapkan untuk mencapai tujuan
dari keutuhan tersebut. Suatu konstruksi dapat memiliki tujuan-tujuan yang bersifat:
a) teknis yang berkaitan dengan kestabilan, kekokohan dan keawetan, b) simbolis
untuk mengungkapkan makna tertentu atau mewakili gagasan tertentu, dan c) teknis
maupun simbolis. Bagian ini akan mendalami berbagai tujuan dari konstruksi yang
terbentuk di Kramat Buyut Trusmi beserta perwujudan fisiknya untuk memahami
konsep-konsep yang melandasinya.
‘
5.4.1.
Konstruksi sebagai Susunan Praktikal
Dengan dukungan dana dari para pengusaha batik di Trusmi, pada
pertengahan tahun 1960-an tak lama setelah Peristiwa Kerusuhan G30S 1965, Ki
Ahmad selaku Sep pada saat itu memutuskan untuk memperbesar bangunan Masjid
199 di Kramat Buyut Trusmi. Respon mendukung dan menentang dari berbagai pihak
bermunculan termasuk dari kalangan pengelola Kramat sendiri.
Di antara perdebatan yang muncul saat itu adalah apakah Masjid ini akan
diperluas saja, atau diperluas dan ditinggikan. Kedua pilihan ini memiliki implikasi
konstruksi yang berbeda. Ki Ahmad ternyata sangat mendukung pilihan kedua yang
membuat Masjid ini bukan hanya menampung jamaah yang lebih banyak tapi juga
tampil lebih menonjol di lingkungan tersebut. Dengan peninggian ini, puncak masjid
menjadi titik yang paling tinggi di seluruh Desa.
Bangunan serambi yang menempel pada sisi timur bangunan utama Masjid
juga turut ditinggikan. Tiang-tiang masjid yang semula berbentuk silinder dengan
ketinggian sekitar tiga meter diganti menjadi tiang persegi dengan ketinggian hampir
dua kali lipat.
Para pembangun saat itu mempertimbangkan untuk memanfaatkan struktur
serambi sebanyak mungkin. Secara umum atap bangunan ini tak berubah tapi keenam
tiang persegi yang menopang atap tersebut harus ditinggikan. Guna memanfaatkan
komponen struktur utama tersebut, tiang-tiang kayu jati ini disambung masingmasing dengan balok sepanjang satu meter. Sambungan ini kemudian ditutup dengan
papan kayu di keempat sisinya. Terbukti sambungan ini masih kokoh hingga
sekarang.
Pengembangan konstruksi dengan tujuan efisiensi dan perkuatan seperti ini
juga dijumpa dalam skala yang lebih rinci pada bebagai bangunan lainnya. Bangunan
Paseban dan Jinem Lanang yang merupakan bangunan beratap welit yang paling
besar di Kramat Buyut Trusmi semula memiliki usuk yang terbuat dari bambu.
Belakangan, usuk-usuk bambu ini diganti dengan balok-balok kayu sehingga menjadi
lebih kokoh. Dengan pertimbangan untuk menguatkan konstruksi rangka atap maka
beberapa tahun yang lalu kerapatan usuk kayu ini ditambah.
Konstruksi rangka kayu dipandang sebagai elemen yang relatif panggah
sehingga diupayakan untuk tetap kokoh dan stabil dalam jangka waktu yang lebih
lama. Jika sebagian dari rangka ini telah lapuk, terutama jika pelapukan terjadi pada
200 ujung-ujungnya maka dilakukan pemotongan pada bagian tersebut sehingga sisanya
masih dapat dipergunakan untuk bangunan lain. Tiang-tiang silinder yang semula
menyangga atap bangunan utama di Masjid kemudian dipindahkan untuk
memperkuat berbagai bangunan lain setelah disesuaikan ukurannya.
Penggunaan komponen struktur dari bangunan lain yang telah disesuaikan
ukurannya tidak dipandang mengurangi derajat bangunan tersebut. Witana yang
diyakini sebagai bangunan asal muasal menggunakan tiang kayu di keempat sudutnya
yang berasal dari bangunan Makam. Lubang-lubang bekas purus pada bagian atas
tiang tersebut dengan jelas menunjukkan cirinya sebagai komponen bekas. Karena
ukuran Witana yang relatif kecil maka komponen bangunan lain yang lebih besar
dengan mudah dapat dimanfaatkan di sini.
5.4.2.
Konstruksi sebagai Simbol
Simbol yang terungkap dalam konstruksi di Kramat Buyut Trusmi memiliki
dua karakteristik. Karakteristik yang pertama adalah simbol-simbol yang bersifat
filosofis untuk mengungkapkan nilai-nilai luhur kepada khalayak. Karakteristik yang
kedua berkaitan dengan status sosial suatu kelompok yang berafiliasi dengan
konstruksi tersebut.
Keseluruhan proses dan komponen dalam pembaruan atap sirap dan welit di
Kramat Buyut Trusmi bersifat ritualistik, sehingga masing-masing komponennya
menyandang nilai simbolis sebagai objek sakral. Simbol ini tidaklah bersifat
representasional dengan melekat hanya pada salah satu aspek komponen tersebut,
seperti letak, bentuk dan warna, tapi bersifat menyatu dengan objeknya.
Ketika dipasang di Makam, suatu keping sirap misalnya, menjadi bagian dari
bangunan yang dimuliakan dalam jangka waktu tertentu. Keterkaitannya dengan
Makam tidaklah abadi karena dalam jangka waktu delapan tahun berikutnya keping
tersebut akan dilepas untuk menjadi bagian dari bangunan lain atau disingkirkan
karena tak layak lagi untuk dimanfaatkan. Masyarakat tampaknya jauh lebih antusias
untuk turut melepas komponen tersebut ketimbang menyimpan bekas sirap yang
201 dengan mudah dapat diminta ke para pangelola Kramat. Berebut mereka menyentuh
komponen-komponen konstruksi saat dilepas dan dibawa keluar secara beranting dari
halaman makam. Bagitu pula saat membawa masuk secara beranting pula komponen
sesudah disucikan di Balong Pakulahan untuk dipasang.
Momen membangun dan mengurai bangunan adalah momen terpenting
dalam persinggungan antara kahalayak dengan komponen bangunan. Berebut
melepas komponen tersebut bukan berarti merayakan pelapukan tapi merayakan
klimaks “pengabdian” suatu komponen kanstruksi dalam menaungi bangunan yang
diyakini menyandang berkah. Mengambil bagian aktif dari momen-momen ini
walaupun sekedar menyentuhnya menjadikan mereka partisipan yang membuat ulang
bangunan-bangunan tersebut.
Bubungan bangunan Makam yang digantungkan dan mustaka Masjid yang
diturunkan adalah bagian dari penekanan status simbolis komponen-komponen
spesial tersebut. Keduanya menyandang peran untuk mewakili keseluruhan bangunan
dan proses pembangunan ulangnya. Melepas dan memasangnya kembali menjadi
ungkapan awal dan akhir proses pembaruan konstruksi ini.
Saat bergabung ke dalam suatu entitas bangunan, beberapa komponen pada
bangunan tertentu dianggap memiliki keterkaitan yang kuat sehingga tak sepantasnya
komponen tersebut dipasang ulang pada bangunan yang lain. Bekas pintu Kiai yang
terletak di sudut barat laut Masjid yang dipasang di Jinem Wadon dianggap tak
pantas oleh masyarakat sehingga kemudian dipindahkan ke ruang pawestren atau
tempat shalat putri. Sementara, bekas pintu bangunan Makam yang dipergunakan
untuk menggantikan pintu Bale Pasalinan dianggap baik. Begitu pula bekas bubungan
Makam yang istimewa yang dipindahkan ke Bangsal Peziarahan di depannya.
Peran simbolis yang kedua berkaitan dengan identitas individu atau
kelompok dan status yang ingin didapatkannya. Peninggian atap dan bangunan
Masjid yang selesai pada tahun 1968, misalnya, yang disponsori oleh para pengusaha
batik membentuk dinding yang tinggi di antara ruang shalat dan serambi yang
memungkinkan pemasangan pintu penghubung yang juga tinggi. Pintu tinggi yang
202 menjadi akses utama ke ruang shalat dari serambi ini diukir dengan ragam hias
berbentuk bunga dengan kaligrafi bertuliskan Allah dan Muhammad. Di bawah
ragam hias bunga ini terdapat hiasan berbentuk sayap garuda (lar) yang serupa
dengan lambang Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dengan memodifikasi
sedikit pada bagian ekornya. Para donatur pembangunan ini tampaknya ingin
meninggalkan jejak kontribusi mereka pada Kramat.
Ukiran tiang-tiang masjid dan di gapura barat Kramat mengingatkan kita
pada ragam hias yang dijumpai pada batik khas Cirebon yang banyak diproduksi di
Trusmi. Motif harimau dan naga sangat populer dalam beberapa motif batik tersebut
dijumpai pada komponen-komponen konstruksi ini.
5.4.3.
Konstruksi sebagai Sarana Pertukaran
Dengan mengambil bagian dalam pengembangan, pembangunan ulang dan
perbaikan pada bangunan-bangunan di Kramat Buyut Trusmi seseorag mengambil
bagian dalam proses pertukaran. Mereka menyumbangkan kecakapan, tenaga, waktu,
material dan dana dalam proses-proses tersebut dan sebagai gantinya akan
mendapatkan berkah. Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Yang Maha
Kuasa dan mengalir kepada manusia di antaranya melalui orang-orang yang dicintai
dan dekat dengan-Nya. Ki Buyut Trusmi yang diyakini masyarakat sebagai wali dan
pewarta Islam yang paling awal adalah orang yang dekat dengan Allah dan dengan
demikian dapat menjadi sarana menyalurkan berkah tersebut.
Membangun dan mendukung pembangunan dengan mengkontribusikan
berbagai ragam sumber tersebut diyakini menjadi sarana untuk mendapatkan berkah
sebagai gantinya. Para tukang dan semua pengobeng yang terlibat dalam Buka Sirap
dan Memayu jelas mengharapkan berkah tersebut setelah menyumbangkan
ketrampilan dan tenaga mereka. Penyelenggaraan kedua ritual ini secara terus
menerus menjamin kesinambungan pertukaran dan dengan demikian perolehan
berkah ini.
203 Para donatur yang memiliki kemampuan finansial yang besar ingin berperan
lebih besar dan berharap berkah yang lebih pula. Mereka dapat berperan mendukung
atau bekerja sama dalam pengembangan fisik Kramat yang diprakarsai oleh
pengelolanya, seperti pada pengembangan Masjid yang dilakukan Kiai Ahmad
setengah abad silam.
Untuk pembangunan yang lebih sederhana, sejumlah donatur ini berinisiatif
untuk melakukan rehabilitasi yang sepenuhnya mereka kerjakan. Masyarakat Trusmi
menyebut bantuan ini sebagai “paketan” karena rancangan, bahan dan tenaga semua
dalam satu “paket” yang ditangani oleh donatur dengan nyaris tanpa keterlibatan
pengelola. Paketan terakhir yang disumbangkan pada tahun 2015 adalah perbaikan
Masjid yang meliputi pemasangan ubin keramik berukuran 30 x 30 sentimeter pada
seluruh dinding dalam ruang shalat, pemasangan hiasan tepi pada dinding keramik
tersebut berupa kaligrafi yang terbuat dari kayu serta pemasangan sepasang AC di
kiri-kanan mihrab masjid ini. Kesemua komponen tersebut dapat dipasang dan
dibongkar lagi dengan mudah sehingga dapat ditambahkan pada bangunan tersebut
tanpa banyak mengubah konstruksi dasarnya.
Semula lantai bangunan Makam terbuat dari pasangan bata. Pada tahun 1950
seorang donatur menyumbang tegel abu-abu untuk dipasang. Sekitar empat puluh
tahun berikutnya atas prakarsa donatur juga lantai tegel ini diganti dengan keramik.
Namun demikian, berbeda dengan pemasangan keramik di Masjid, pemasangan ubin
di makam ini tak dapat dilakukan dengan sistem paketan karena hanya para Kiai,
Kunci dan Sep yang boleh memasukinya. Para pengelola Kramat ini menjadi tukang
yang memasang ubin tersebut.
Ubin menjadi pilihan utama para donatur mengingat mudahnya pelaksanaan
dan dapat dikenali dengan mudah. Dengan demikian, ubin tampaknya menjadi
komponen tak panggah yang baru yang berupa material industrial.
204 5.5.
Rangkuman Konsep
Secara konseptual Kramat Buyut Trusmi pertama-tama dipahami sebagai
tempat asal-muasal yang menjadi landasan eksistensial keberadaan masyarakat dan
Desa Trusmi. Asal-muasal ini berkembang menjadi sesumber bagi perkembangan
permukiman di sekitarnya, dan bagi kesejahteraan masyarakat dalam lingkup yang
luas. Tempat ini juga mengalami transformasi dari kediaman menjadi peziarahan
tanpa meninggalkan sejumlah sifat-sifat dasarnya sebagai kediaman.
Dalam kaitannya dengan pembaruan bangunan, konsepsi waktu yang
terbentuk
menjalin
antara
pemahaman
diakronis
dan
sinkronis
dengan
mempertimbangkan alam, sistem kalender, simbolisme dan sosial. Perubahan
material secara alami direspon melalui tindakan membangun ulang yang
diperhitungkan berdasarkan perhitungan waktu yang kompleks tersebut.
Material yang dipergunakan dalam berbagai proses pembangunan di Kramat
Buyut Trusmi diterapkan dengan mempertimbangkan asal-usul material dan
karakteristik bangunan yang diperbarui. Jejaring material mengungkapkan hubungan
natural-kultural dengan sumber-sumber material. Penerapan material pada bangunan
mempertimbangkan sifat-sifat dasar dari bangunan sebagai kediaman dan sifat-sifat
alami material.
Konstruksi atau proses membangun pada tataran fisik diperlakukan sebagai
suatu susunan praktikal untuk kepentingan fungsional. Pada tataran simbolik,
konstruksi mengungkapkan nilai-nilai kepantasan untuk tiap komponen bangunan.
Pada tataran spiritual, membangun adalah sarana mempertukarkan potensi menjadi
berkah sehingga konstruksi menjadi “alat” konversi dalam pertukaran tersebut.
205 BAB 6
MENGEMBANGKAN TEORI ARSITEKTUR
DENGAN KETIDAK-PANGGAHAN
Beberapa kali Klassen (1990: 45) menegaskan bahwa “... architecture is made”.
Dengan pernyataan ini dia menggarisbawahi sifat bendawi arsitektur. Namun
demikian, dia juga menjabarkan bahwa untuk merealisasikan yang karya bendawi
tersebut setidaknya pembuatnya perlu untuk memiliki gagasan tentang bentuk dan
gambaran keterlibatan manusia nanti setelah arsitektur terwujud. Khasanah bentuk
arsitektur
bersifat akumulatif,
sedangkan
keterlibatan
manusia yang
akan
menggunakan bersifat antisipatif. Sepanjang proses pembuatan arsitektur, sang
pembuat menjalani proses mental mengembangkan khasanah bentuk yang telah dia
himpun sambil menggambarkan bagaimana pengguna akan mengalami bangunannya.
Tanpa memisahkan gambaran tentang pengguna dan pembuat, Norberg-Schulz
(2000) meyakini bahwa guna adalah yang pertama kali dirumuskan. Guna yang
digagaskannya berupa tindakan fundamental dan menyeluruh yang tak terfragmentasi
sebagaimana unit-unit fungsi yang diprogramkan dalam arsitektur modern. Guna
yang paling asasi adalah ketika manusia—baik secara individu maupun kelompok—
tiba di suatu tempat yang dipahaminya memiliki makna yang mendalam sehingga dia
memutuskan untuk berkediaman di tempat tersebut. Arsitektur dibangun untuk
mewujudkan
pemahaman
tentang
tempat
tersebut
sehingga
dia
dapat
mentransformasikannya sebagai tempat berkediaman.
Kajian tentang Kramat Buyut Trusmi pada bab-bab sebelumnya memberikan
gambaran serba cakup tentang fenomena berkediaman secara kolektif dan publik,
serta fenomena membangun tempat berkediaman tersebut secara berulang yang
206 melibatkan komponen-komponen tak panggah dalam bangunan-bangunan yang
dibuat. Kedua fenomena ini dilandasi dengan pemahaman tentang tempat sebagai
pijakan eksistensial yang perlu untuk dihadirakan, tentang waktu sebagai jalinan
berbagai kerangka yang memberi makna pada kesementaraan, tentang material
sebagai sesumber membangun yang perlu untuk dijaga keterkaitannya, serta tentang
konstruksi sebagai strategi dalam membangun tempat berkediaman yang memberi
makna bagi perulangan membangun dan pembaruan bangunan.
Ketidakpanggahan yang melandasi praktik berarsitektur dan lingkungan yang
dibentuk dalam praktik tersebut meniliki karakter relasional yang kuat. Pembangunan
terus menerus bukan hanya menjadikan bangunan senantiasa diperbarui, tapi
hubungan sosial, fisis dan spiritual juga selalu diperbarui agar pembuatan berulang ini
bermakna. Untuk itu, bab ini diawali dengan pembahasan tentang pelbagai relasi yang
berkembang dalam praktik berarsitektur di Kramat.
Dalam upaya untuk menjawab permasalahan kajian tentang pengembangan
teori sistem arsitektur dengan menekankan pada ketidakpanggahan, maka bab ini
membahas ketiga komponen sistem sebagaimana dikerangkakan oleh Kruft (1994)
dan dijabarkan oleh Klassen (1990) dan Norberg-Schulz (2000), yakni, aspek
praktikal dalam tindakan membangun dan bangunan, aspek sosial dalam keterlibatan
manusia di dalam bangunan, serta aspek estetis yang berupa kontemplasi atas nilai
luhur yang melandasi kedua aspek yang lain.
Dengan menekankan pada ketidakpanggahan, maka fenomena berarasitektur di
Kramat Buyut Trusmi dapat diabstraksikan sebagai sistem arsitektur yang terdiri atas:
mewujudkan arsitektur sebagai pengembangan aspek teknis, memanfaatkan arsitektur
sebagai
pengembangan
aspek
sosial
dan
menghayati
arsitektur
sebagai
pengembangan aspek estetis. Penjabaran tentang ketiga aspek ini menjadi bagian
utama dari bab ini.
207 Guna mempertajam kontribusi teoretik yang diajukan, bab ini diakhiri dengan
diskusi pembandingan dengan teori-teori lain yang sejenis. Dengan diskusi ini
diharapkan pengembangan teori yang diajukan dapat diidentifikasikan ranah dan nilai
pentingya secara lebih baik.
6.1.
Relasi dalam Berarsitektur dengan Ketidakpanggahan
6.1.1.
Relasi Fisik
Ketidakpanggahan pertama-tama adalah sifat yang melekat pada aspek fisik
suatu benda. Dengan daya tahan yang relatif terbatas, suatu benda dipandang
memiliki sifat ini secara kentara. Penurunan kualitas fisik yang berupa penampilan,
kekuatan dan kewetan suatu bahan atau komponen bangunan adalah indikator
ketidakpanggahan yang paling mudah dikenali.
Dalam kaitannya dengan arsitektur, penurunan kualitas fisik ini menjadikan
suatu komponen bangunan perlu untuk ditangani secara khusus dengan diperbaiki,
diperkuat atau bahkan harus diganti. Penanganan yang relatif kerap terhadap
komponen tak-panggah ini mengintensifkan relasi fisik relasi antara material dengan
sumbernya serta relasi antara komponen bangunan dengan bangunan secara
keseluruhan.
Arsitektur atau dalam wujud bendawi yang paling konkretnya berupa bangunan
dibuat manusia untuk dipergunakan sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Dibandingkan dengan benda-benda lain buatan manusia seperti pakaian, alat-alat
pertukangan dan perabot rumah tangga, bangunan berkuran lebih besar dan tersusun
atas lebih banyak komponen. Manusia mengubah sesumber yang tersedia di alam
untuk memenuhi kebutuhan dan harapannya. Secara teknis dengan perangkatperangkat pertukangan, pokok kayu pada tegakan pohon dapat ditebang sebagai
gelondongan, kemudian dipotong dengan bangun prismatis sebagai balok, lalu
diketam rapih sebagai papan yang rata. Pemahaman tentang karakteristik material,
208 teknik membangun dan nilai simbolis bangunan yang diwujudkan akan menentukan
apakah sebatang balok kayu akan menjadi tiang penyangga, gelagar yang
mengubungkan tiang, atau sunduk yang mengencangkan rangka pada bangunan
tertentu.
Setiap material yang membentuk komponen bangunan yang dirangkai memiliki
asal-muasal yang menjadi bagian dari pemahaman terhadap bahan bangunan,
komponen konstruksi dan bangunan yang akan diwujudkan. Asal-muasal ini ada yang
bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Alang-alang, secara umum, adalah
tanaman gulma bagi petani dicabut sebagai bagian untuk mempersiapkan lahan
pertanian sekaligus memenuhi kebutuhan bahan bangunan. Dengan melakukan
Memayu secara berkala peningkatan kualitas fisik atap dilakukan dalam tindakan
yang sama dengan peningkatan kualitas lahan pertanian. Kayu jati berasal dari
tanaman budi daya. Pembaruan atap dengan sirap kayu jati mengintensifkan
hubungan antara bangunan dan hutan-hutan jati budi daya yang dimiliki oleh Kramat
sebagai bagian dari sistem lingkungan. Relasi sesumber material alang-alang dan
kayu jati ini menghadirkan kembali momen asali pembukaan padang ilalang untuk
pertanian dan permukiman Desa Trusmi serta pengembangan budi daya kayu jati
pada tahapan berikutnya.
Kedua material ini sekarang lebih banyak didapatkan dari pembelian. Relasi
asasi tersebut di atas dihidupkan melalui tindakan-tindakan simbolis yang terkait
dengan pemanfaatan alang-alang dan kayu. Alang-alang yang liar didomestikasi agar
menjadi bagian dari lingkungan perdesaan dengan diarak keliling desa, yang saat ini
menjadi prosesi yang lebih banyak diikuti warga ketimbang penggantian atap alangalang itu sendiri. Komponen-komponen konstruksi kayu jati yang bersifat hasil budi
daya setempat, diintegrasikan dengan unsur kesetempatan yang lain yakni air di
Balong Pakulahan dengan cara dimandikan terlebih dahulu di kolam yang disucikan
tersebut sebelum dipasang pada bangunan.
209 Mustaka masjid yang terbuat dari tanah liat memiliki hubungan kesejarahan
yang khusus. Pada awalnya, mustaka ini dibuat di Desa Panjunan yang semula adalah
tempat pengrajin gerabah sebagaimana dikenali dari toponimnya. Karena penggantian
komponen esensial ini setara dengan pembangunan di masa awalnya maka
penggantian mustaka ini harus dijalankan dengan tetap menjaga hubungan dengan
Desa Panjunan.
Relasi fisik yang penting berikutnya adalah relasi antara bangunan dan
komponen bangunan. Setelah material diproses menjadi komponen bangunan, maka
kompenen tersebut disusun menjadi bangunan. Di Kramat Buyut Trusmi komponen
konstruksi bangunan secara umum dibagi menjadi komponen baru yang dipersiapkan
untuk dipasang pada bangunan, serta komponen bekas yang dipasang pada suatu
bangunan setelah sebelumnya menjadi bagian dari bangunan lain, sering kali
dilakukan dengan memodifikasi komponen tersebut untuk menghilangkan bagian
yang lapuk dan usang.
Ketiga bangunan utama yang beratap sirap memiliki pola hubungan yang
berbeda dangan komponen bangunan penyusunnya. Bangunan Makam atau
Kabuyutan memiliki kedudukan tertinggi yang diwujudkan dengan kebaruan
komponen bangunannya. Sirap dan semua komponen konstruksi yang dipasang di
Kabuyutan adalah baru sehingga bangunan ini memiliki relasi yang paling langsung
dengan sesumber material.
Sebagai bangunan peribadatan, Masjid ini memiliki hubungan khusus dengan
para donatur. Banyak amal atau nadhar dalam bentuk pemugaran bangunan di
kompleks Kramat ini dilaksanakan pada bangunan Masjid. Penambahan elemen
dekoratif, komponen konstruksi hingga perluasan bangunan dilakukan pada bangunan
ini. Pemasangan penyejuk ruangan (AC), keramik pelapis dinding dan dekorasi
ukiran kaligrafi adalah penambahan yang terakhir terjadi pada tahun 2015.
210 Witana memiliki pola hubungan fisik antara komponen bangunan dan tapaknya
yang
khas.
Bangunan
yang
diyakini
sebagai
tinggalan
tertua
Pangeran
Walangsungsang yang ada sejak mula berdirinya kompleks ini justru paling banyak
menggunakan komponen bekas yang pernah dipasang pada bangunan lain. Semua
tiang tepinya memiliki lubang untuk sunduk tapi tak ada balok sunduknya yang jelas
menunjukkan bahwa tiang-tiang ini pernah menjadi bagian dari bangunan lain.
Beberapa usuknya memiliki lubang berderet karena semula adalah bagian dari rangka
pagar. Bubungan jurai Witana yang relatif pendek sering kali diganti dengan bekas
bubungan jurai Kabuyutan. Tampaknya yang paling asli dari Witana adalah
kedudukannya di dekat Balong Pakulahan dan dimensinya yang sangat kecil yang
mengisyaratkan ketika entitas sosial Trusmi masih sangat terbatas.
Ketidakpanggahan melestarikan dan menghidupkan relasi-relasi fisik tersebut.
Memperbarui atap secara berkala dengan bahan-bahan bangunan yang tak panggah
dan teknik membangun yang memudahkan penggantian tersebut menjadikan relasi
dengan berbagai sesumber material senantiasa terjalin. Ritual yang menyucikan dan
melibatkan komponen-komponen tak-panggah pada bangunan-bangunan di Kramat
Buyut Trusmi menjadikan relasi dengan sesumber tersebut senantiasa memiliki
makna yang lebih mendalam dari pada persyaratan teknis semata.
6.1.2.
Relasi Sosial
Ketidakpanggahan material memerlukan penanganan bangunan yang relatif
kerap. Perbaikan dan penggantian komponen bangunan di kompleks Kramat Buyut
Trusmi agar tetap dapat bertahan ini dilaksanakan secara ekstensif dengan melibatkan
khalayak yang sangat luas. Pekerjaan bersama ini diselenggarakan dalam relasi sosial
tertentu dan setelah dilaksanakan berulang dalam jangka panjang menjadi pembentuk
relasi sosial berikutnya. Hubungan timbal balik antara penanganan fisik dan relasi
sosial terjadi sangat intensif yang melekat pada praktik berarsitektur di Kramat.
211 Relasi sosial di Kramat Buyut Trusmi sangat khas serta berkaitan erat dengan
keberadaan bangunan dan lingkungan binaan di tempat tersebut. Relasi ini
membentuk dan dibentuk oleh arsitektur di tempat tersebut.
Saat seorang pengelola Kramat Buyut Trusmi harus diganti, maka
diselenggarakanlah “pemilihan umum” yang melibatkan seluruh laki-laki dewasa
warga Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Lebih dari sekedar tempat atau
fasilitas, Kramat ini adalah suatu lembaga sosial. Hampir semua Kramat yang
berpangkal pada ketokohan seorang wali memberikan kewenangan khusus kepada
mereka yang diyakini sebagai keturunan sang wali atau keturunan mereka yang
memiliki kedekatan langsung dengan wali tersebut. Di Trusmi tak ada seorangpun
yang dapat mengklaim diri sebagai keturunan Ki Buyut Trusmi atau keturunan
murid-murid terdekatnya yang dimakamkan bersama-sama di Kabuyutan. Berdasar
pemungutan suara yang didahului dengan pendaftaran calon layaknya pemilihan
kepala daerah seorang pengelola Kramat dipilih.
Pola hubungan yang tidak mengandalkan ikatan primordial ini tampak sangat
“modern” meskipun menyandang bias gender. Secara teoretis setiap warga memiliki
kesempatan yang sama, bahkan karir sebagai kiai atau kunci tak serta merta
melempangkan jalan menjadi seorang Sep, sebagaimana Sep Tonny yang belum
pernah menjabat sebagai kiai atau kunci sebelumnya. Kedekatan sosio-spiritual
dengan Kramat biasanya dianggap masyarakat sebagai hal yang paling dihargai.
Setelah terpilih menjadi pengelola Kramat, para tokoh masyarakat ini
menyandang kedudukan khusus yang terungkap dalam keseharian mereka di tempat
peziarahan tersebut. Secara visual kedudukan ini dapat dikenali dari pakaian yang
mereka kenakan saat berdinas di Kramat. Seorang Kiai, Kunci atau Kemit
mengenakan pakaian yang khas yang dengan mudah akan dikenali oleh siapapun
yang berziarah ke tempat tersebut. Mereka berperan sebagai pengelola kunjungan,
pengelola tempat dan pengelola sumbangan yang setiap hari akan disirkulasikan.
Sebagai pengelola kunjungan mereka mengarahkan peziarah dengan keperluan
212 tertentu untuk melakukan tindakan tertentu di salah satu bagian Kramat. Mereka juga
mengkoordinasikan pemanfaatan dan perawatan tempat tersebut. Para pengelola ini
menerima sumbangan dalam berbagai bentuknya setiap hari, tapi sekaligus juga
mendistribusikannya kepada khalayak dan peziarah.
Dalam kaitannya dengan pembentukan bangunan dan lingkungan binaan di
Kramat Buyut Trusmi, pembaruan atap saat Memayu dan Buka Sirap adalah saat
untuk menegaskan dan menghidupkan pola-pola hubungan sosial ini dalam prosesi
yang dilaksanakan secara berkala. Dalam Memayu, relasi yang bersifat egaliter
sangat kentara sehingga setiap partisipan terlibat dalam penyiapan, penurunan dan
pemasangan welit. Setiap warga berperan sebagai anggota dari “keluarga besar Ki
Buyut Trusmi” yang bersama sama memperbaiki rumah leluhur mereka. Memayu
melestarikan dan dilestarikan dalam pola solidaritas horisontal ini.
Dalam Buka Sirap, relasi sosial yang bersifat hierarkis mengemuka.
Kecakapan,
pengalaman
dan
kemampuan
masing-masing
kelompok
dalam
masyarakat menentukan jenis, intensitas dan derajat partisipasi dalam upacara yang
memiliki dimensi teknis dan ritual ini. Para pengelola Kramat dengan kapasitas
spiritual mereka, para tukang dengan kecakapan teknis mereka, para pengobeng
dengan kesungguhan mereka, para donatur dengan kemampuan finansial mereka,
berkontribusi dengan pola dan cara yang berbeda dalam penyelenggaraan Buka Sirap.
6.1.3.
Relasi Spiritual
Kramat Buyut Trusmi dapat dipahami sebagai simpul spiritual, tempat banyak
orang dengan berbagai minat, kepentingan dan harapan datang untuk mendapatkan
kebaikan dan keberkahan. Memayu dan Buka Sirap yang melibatkan komponenkomponen tak panggah tersebut adalah peristiwa penting untuk mengintensifkan
simpul spiritual yang mempertemukan kalangan yang sangat luas dengan keberkahan
sebagai motivasi utama mereka.
213 Spiritualitas ini adalah salah satu ungkapan Islam populer yang dihayati oleh
masyarakat luas tanpa selalu mendapatkan legitimasi tekstual. Di Kramat Buyut
Trusmi, beberap Sep adalah tokoh thariqah atau olah spiritual dari ordo Qadiriyah wa
Naqshabandiyah bahkan ada yang menjadi mursyid atau guru yang memiliki
legitimasi membimbing dan silsilah spiritualnya menerus hingga Nabi Muhammad.
Akan tetapi keterkaitan dengan thariqah ini bukanlah suatu hal yang diutamakan
untuk menunjang reputasi kramat Trusmi sebagai tempat peziarahan.
Ki Buyut Trusmi penting untuk didekati dan menjadi tumpuan harapan karena
dia adalah seorang wali atau kekasih Allah. Dalam keyakinan populer ini,
pemahaman terhadap sistematika teologis tentang status makhluk dan Khalik
bukanlah hal yang paling utama. Ketentraman yang dirasakan ketika berada di dekat
Kramat memegang peran yang lebih penting dalam memotivasi tindakan mereka
untuk mengakrabi dan melibatkan diri dengan lingkungan Kramat.
“Medan spiritual” dibentuk dalam berbagai pertukaran. Seorang peziarah
meluangkan waktu dan biaya; seorang tukang menyumbangkan kecakapan dan
keterampilannya; seorang donatur menyumbangkan beras, kayu atau pertunjukan
hiburan saat perayaan di Kramat. Semua hal ini dilakukan untuk melibatkan diri
dalam “medan spiritual” dan mendapatkan berkah sebagai gantinya. Berkah yang
dapat berupa ketenangan hati, kedamaian hidup hingga kesuksesan bisnis dan ujian
sekolah.
Dalam peziarahan sehari-hari, perayaan ritualistik mapun prosesi pembaruan
bangunan, relasi spiritual ini bersifat sentral. Manusia, arwah dan tempat terjalin
dalam relasi yang berujung pada perolehan berkah ini.
6.2.
Teori Sistem Arsitektur dengan Ketidakpanggahan
Sistem arsitektur sebagai suatu totalitas dengan komponen-komponen yang
saling berkait dirumuskan dengan ragam yang sangat banyak dalam berbagai teori
(Vibaek, 2014). Di antara sistem arsitektur yang berkembang adalah teori Proses
214 Arsitektur yang diajukan Klassen (1990) dan teori Kehadiran Arsitektur yang
diajukan Norberg-Schulz (2000). Kajian tentang ketidakpanggahan yang menonjol
dalam praktik di Kramat Buyut Trusmi menjadi hal penting dalam mengembangkan
kedua teori tersebut sebagai berikut.
6.2.1.
Mewujudkan Arsitektur
Mewujudkan arsitektur dipahami sebagai upaya mentransformasikan suatu
tempat secara konkret dan bendawi sehingga memiliki karakter figuratif yang dapat
dicerap secara inderawi dan dibedakan dari lingkungan sekitarnya. Dalam
membangun secara berulang dengan melibatkan ketidakpanggahan, karakter
prosesual dalam mewujudkan arsitektur menjadi sangat menonjol. Kenduri besar
yang menandai akhir Buka Sirap, misalnya, di satu sisi menyatakan bahwa proses
mewujudkan arsitektur yang diperbarui telah usai. Namun demikian, di sisi lain
berarti penanda bahwa proses melapuk dan melekang dimulai.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tempat yang sekarang disebut sebagai
Kramat Buyut Trusmi, upaya mewujudkan ini terjadi pada momen pembangunan
awal ketika Ki Buyut Trusmi yang dalam salah satu versi adalah Pangeran
Walangsungsang dengan berbagai pertimbangan mengambil keputusan untuk
menetap di tempat ini. Keputusan menetap ini kemudian direalisasikan dalam wujud
lingkungan binaan tempat kediaman Ki Buyut yang kemudian berkembang menjadi
Desa Trusmi yang didasarkan pada pemahaman terhadap tempat berkediaman yang
bermakna sekaligus pemahaman terhadap lingkungan setempat.
Momen asali ketika Ki Buyut membina suatu tempat yang bermakna sehingga
menjadi tempat berkediaman nyata ini dipahami bersifat asasi dalam pembentukan
dan pengembangan Kramat beserta Bale Gede dan lingkungan fisik di sekitarnya.
Momen ini menjadi tumpuan keberadaan lingkungan Desa Trusmi yang senantias
hidup dan berkembang hingga menjadi permukiman padat saat ini. Warga tak lagi
membangun dengan atap alang-alang sebagaimana Bale Gede di dekat mereka. Akan
215 tetapi, rumah-rumah kuna beratap welit dan praktik memperbaruinya adalah pemberi
makna bagi keberadaan mereka saat ini.
Agar keberadaan Kramat dan lingkungannya tersebut berkelanjutan, momen
asali ini dihidupkan dalam pembaruan bangunan di Kramat Buyut Trusmi.
Penyelenggaraan Memayu dan Buka Sirap tidak dijadwalkan dalam sistem
penanggalan tertentu melainkan selalu diputuskan di awal tahun dengan melibatkan
berbagai pertimbangan, termasuk situasi temporer yang berkembang saat itu. Dengan
selalu menjaga sifat situasional ini, warga Trusmi menghindari prosesi pembaruan
bangunan mereka sebagai tradisi yang hanya mengandalkan pada perulangan berkala.
Lebih dari sekedar mengulang peristiwa yang terjadi setahun atau empat tahun
sebelumnya, tindakan memperbarui bangunan adalah upaya menghidupkan momen
awal untuk Mewujudkan Arsitektur sebagaimana dilakukan para tokoh cikal bakal
tempat ini.
Berkediaman, dengan demikian, bukan tindakan sekali jadi membangun
permukiman lalu menghuninya semata. Upaya berkediaman harus senantiasa
dihidupkan melalui tindakan Mewujudkan Arsitektur agar semangat dan makna awal
dapat terjaga. Penghidupan kembali ini dimungkinkan dengan keterlibatan aspek
ketidak-panggahan dalam arsitektur Kramat Buyut Trusmi. Komponen penutup atap
yang tak panggah memainkan peran yang instrumental dalam tindakan ini. Penutup
atap diganti atau dipindahkan sehingga bangunan mendapatkan keberadaannya yang
baru.
Ketidak-panggahan tidak dipahami sebagai kelemahan atau kekurangan dalam
berarsitektur di Kramat Buyut Trusmi. Aspek ini diterima dan bahkan dirayakan
karena dengan ketidak-panggahan tersebut momen asali Mewujudkan Arsitektur
dapat terus menerus dihadirkan.
Secara sosial, proses mewujudkan arsitektur secara berulang dengan melibatkan
warga secara ekstensif ini melebur batas antara pembuat dan pengguna bangunan.
216 Aktivitas fisik dan aktivitas mental antara kedua kelompok ini saling bertumpang
tindih. Pemisahan kedua aktivitas inis sebagaimana diajukan Klassen (1990) tidaklah
relevan lagi. Pengelola Kramat mewujudkan arsitektur sebagai bangunan spiritual
melalui teknik membangun praktikal, sedangkan warga membangun konstruksi fisik
dengan mostivasi spiritual.
6.2.2.
Memanfaatkan Arsitektur
Sebagaimana gubahan musikal yang menjadi nyata ketika diperdengarkan,
arsitektur atau tempat berkediaman barulah nyata ketika telah melibatkan manusia
yang menggunakannya (Klassen, 1990). Kehadiran manusia bersifat esensial karena
tanpanya suatu kediaman tak akan terbentuk. Dalam kerangka Empat Serangkai
Heidegger (2001a) yang banyak dirujuk Norberg-Schulz (2000), manusia adalah
unsur asasi dari tempat berkediaman yang membangun sekaligus menjadikannya
bermakna. Manusia disebut Heidegger sebagai the mortals karena kefanaan dan
kesementaraan mereka dalam hidup dan dalam melibatkankan diri dengan arsitektur.
Memanfaatkan dalam hal ini dipahami sebagai kehadiran manusia di dalam
kediaman tersebut untuk mendapatkan kebaikan. Dalam kaitannya dengan
ketidakpanggahan dan pembaruan bangunan, kemanfaatan ini meliputi kebaikan fisik
yang didapat usai pembangunan, kemanfaatan sosial dalam bermasyarakat melalui
praktik
membangun
serta
kemanfaatan
spiritual
yang
didapat
dengan
mengintensifkan hubungan dengan Kramat.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara cara pandang Norberg-Schulz (2000)
dan Klassen (1990) tentang kehadiran manusia tersebut. Klassen membedakan
dengan tegas antara pembuat dan pengguna bangunan meskipun keduanya dalam
derajat tertentu dapat bertukar peran, khususnya dalam aktivitas mental. Sehingga
pembuat berperan sebagai pengguna dan sebaliknya. Sementara, Norberg-Schulz
tidak membedakan perbedaan peran antara keduanya.
217 Di Kramat Trusmi peleburan antara keduanya terjadi melalui pembangunan
berkala yang melibatkan publik dalam skala yang luas. Setiap orang yang hadir saat
Buka Sirap dan Memayu berupaya untuk mengambil bagian seberapapun kecilnya
sehingga dapat melibatkan dirinya sebagai pembuat bangunan. Pembauran ini
memberikan dampak yang mendalam pada pembauran antara aktivitas membuat dan
menggunakan arsitektur, serta refleksi pemahaman yang terjadi dalam praktik
berarsitektur di tempat tersebut.
Para pengelola Kramat tampil sebagai pembangun utama dalam prosesi Buka
Sirap. Pada saat itu, para Kiai dan Kunci yang memiliki kewenangan khusus untuk
naik ke atas atap Makam tampil sebagai pembuat bangunan yang didukung oleh para
tukang dan khalayak pengobeng. Lebe yang menurunkan dan menaikkan mustaka
dari puncak Masjid juga memiliki peran serupa untuk berperan sebagai pembangun
utama pada prosesi tersebut.
Pada saat Memayu, warga bekerja dengan sigap secara otonom untuk
menurunkan welit, menyiapkan dan merangkai welit, serta memasangnya untuk
memperbarui atap alang-alang. Para pengelola Kramat nyaris tidak terlibat dalam
prosesi yang hanya berlangsung setengah hari ini. Mereka lebih banyak menyibukkan
diri
mengelola
logistik
kontribusi
warga
serta
menyiapkan
minyak
dan
kelengkapannya untuk dibawa pulang para pemburu berkah. Sepanjang prosesi ini
mereka memerankan diri sebagai pemilik bangunan yang memungkinkan
pembangunan terjadi tanpa terlibat langsung menanganinya, atau bahkan menjadi
pengguna karena mendapatkan manfaat dari proses dan hasil pembangunan ini.
Ketika pengguna adalah pembuat maka pertanyaan tentang tujuan pembuatan
menjadi penting untuk diajukan. Membuat bangunan tampaknya bukan lagi terbatas
pada tindakan pihak pembuat agar dapat dipergunakan oleh pihak lain yang akan
menggunakannya seusai tindakan membuat dinyatakan purna. Keterlibatan ekstensif,
lebih dari 500 orang yang saat Buka Sirap memosisikan diri sebagai tukang dan 5000
orang yang berperan sebagai pengobeng, menunjukkan keinginan yang luar biasa
218 untuk dapat mengambil bagian dalam ritus pembangunan ini. Mereka membangun
untuk mendapatkan kemanfaatan, dalam hal ini untuk meraih berkah, sehingga
pembangunan dapat dipahami sebagai salah satu bentuk dari pemanfaatan. Relasi
yang mempertukarkan kontribusi tenaga, waktu luang dan kecakapan menjadi berkah
bukan hanya mengundang orang untuk berpartisipasi tapi bahkan telah melebur batas
pembuat dan pengguna, serta antara membuat dan menggunakan.
Bangunan dibuat terus menerus dengan memperbarui bagian tak-panggahnya,
dengan demikian, dapat dipahami lantaran pembuatan adalah salah satu bentuk
penggunaan. Pertukaran peran dan pelaku terjadi secara mendasar dan menyeluruh
bukan hanya dalam ranah aktivitas mental tapi juga dalam aktivitas fisik.
Paradigma pertukaran peran ini juga menjangkau ke pembangunan pada
bagian-bagian yang lebih panggah. Pada tahun 2015 ketika dilakukan pemasangan
keramik dan ukiran kaligrafi di Masjid, beberapa pengelola Kramat menyebut
pembangunan itu sebagai “paketan” yang berarti dibuat sepenuhnya atas prakarsa
donatur tanpa melibatkan mereka. Donatur yang sebelumnya adalah warga peziarah
mendudukkan dirinya dengan dukungan kemampuan finansialnya untuk menjadi
pembuat.
Dalam ranah memanfaatkan lingkungan binaan Kramat Buyut Trusmi dapat
diidentifikasikan sejumlah pola pemanfaatan, yakni: kemanfaatan fungsional,
kemanfaatan sosial, serta kemanfaatan spiritual.
Kemanfaatan fungsional berkenaan dengan penyelenggaran aktivitas di
kompleks Kramat Buyut Trusmi. Pembagian peran antara para kaum (lebe, ketib,
modin dan merbot) yang mengelola Masjid serta kunci, kiai dan kemit yang
mengelola Makam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam
pemanfaatan secara fungsional bangunan Makam dan Masjid. Secara keruangan
perbedaan ini lebih samar mengingat aktivitas dan pelaku yang terkait dengan
peziarahan dapat melibatkan ruang Masjid. Sebelum disediakan tempat khusus, para
219 perempuan bertirakat menjalani ritus mereka di pawestren atau ruang shalat khusus
permpuan. Kiai yang uniknya di Trusmi lebih banyak berurusan dengan peziarahan
ketimbang dengan urusan keagamaan memiliki pintu khusus dan tempat wudhu
khusus di sudut barat laut Masjid yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam
aktivitas ibadah sehari-hari.
Kemanfaatan sosial berkaitan dengan intensifikasi hubungan antar warga dan
kerabat Kramat sekaligus pemahaman terhadap struktur sosial yang berkembang.
Buka Sirap menegaskan pola-pola hubungan yang bersifat hirarkis dengan
pembedaan peran yang tegas antara pengelola Kramat, tukang dan pengobeng.
Sementara, Memayu mengembangkan solidaritas horisontal yang egaliter tanpa
pembedaan status dan peran yang kentara. Pelestarian tradisi membangun ini dengan
demikan memungkinkan warga untuk mewariskan pola hubungan sosial bergand
atersebut dari generasi ke generasi secara luas.
Kemanfaatan spiritual berkaitan dengan peran Kramat sebagai sarana untuk
mendapatkan berkah. Dalam peziarahan dan tirakat yang dilakukan sehari-hari di
Kramat masyarakat datang untuk mendapatkan berkah dengan meluangkan waktu di
tempat tersebut. Saat Memayu dan Buka Sirap masyarakat memiliki kesempatan
untuk
mengkontribusikan
berbagai
potensi
yang
mereka
miliki
sehingga
mengintensifkan afiliasi sosial mereka dengan Kramat sekaligus mengaktifkan
jejaring berkah yang dikembangkan melalui proses pertukaran ini.
Kramat menjadi semacam “mesin” pertukaran atau “dapur pengolahan”
sesumber yang dimiliki masyarakat agar mereka dapat menuai berkah. Bangunan
menyandang peran berganda sebagai lokasi pertukaran dalam mengakomodasi
aktivitas sekaligus menjadi objek pertukaran dalam pembangunan berulang.
Masyarakat mendapat spiritual benefit atau kemanfaatan spiritual yang berupa
berkah, sedangkan Kramat—dengan partisipasi ekstensif masyarakat—mendapat
kemanfaatan berupa peningkatan reputasi.
220 6.2.3.
Menghayati Arsitektur
Keping-keping sirap di Kramat Buyut Trusmi berukuran relatif kecil sehingga
seorang dewasa dapat dengan mudah mengangkat 10 keping sekaligus. Akan tetapi,
saat Buka Sirap, untuk memindahkan sekeping sirap Kabuyutan yang telah dilepas ke
tempat penyortirannya di depan Jinem yang berjarak kurang dari 10 meter diperlukan
puluhan lelaki dewasa yang berdiri rapat dan secara beranting memindahkan keping
sirap tersebut.
Memegang sirap secara langsung dan memindahkannya dari tangan seseorang
ke orang yang lain sangat berbeda dengan memandang sirap yang terpasang di atap
Kabuyutan dari kejauhan. Dengan sirap berada di tangan, orang dapat mengetahui
sifat-sifat fisik keseluruhan keping sirap tersebut yang biasanya hanya terlihat ujung
lancipnya saja, menaksir timbangan sirap yang relatif ringan lantaran terbuat dari
kayu jati yang relatif muda, menguji kekokohan pasak kecil tempat menggantungya
pada reng, meraba barik permukaan atasnya yang berkerak karena cuaca dan
membandingkannya dengan sisi bawahnya yang terlidungi. Mereka yang
berpengalaman berpartispasi dalam beberapa kali Buka Sirap, selama memindahkan
keping ini, dapat dengan mudah menduga apakah sirap tersebut masih layak untuk
dipakai pada bangunan lain atau perlu untuk segera disingkirkan.
Sambil memindahkan sirap mereka berbincang dengan orang di kiri dan
kanannya yang melakukan tindakan serupa. Beberapa hari dengan berganti ganti
posisi para pengobeng dan tukang terlibat dalam aktivitas membangun ini. Mereka
menyaksikan para Kiai dan Kunci yang bermandi peluh sepanjang hari di atas atap
Kabuyutan sambil membantu para pengelola Kramat tersebut untuk menaikkan dan
menurunkan komponen-komponen bangunan. Seseorang memahami kedudukannya
dalam diferensiasi dan hirarki sosial masyarakat serta tindakan yang pantas baginya
melalui praktik membangun ini. Kramat adalah tujuan peziarahan. Setiap kunjungan
ke tempat ini pada dasarnya adalah berziarah dan setiap pengguna ruang adalah
mereka yang berziarah atau yang melayani peziarah. Kategori sosial seperti lelaki,
221 perempuan, tukang, pengobeng, wong ziarah, wong tirakat, diproduksi dan
direproduksi dalam praktik keseharian, ritual dan prosesi membangun di Kramat
Trusmi.
Dengan memahami bahwa tiap kunjungan ke Kramat pada hakekatnya adalah
peziarahan dan tiap tindakan di tempat tersebut adalah bagian dari prosesi peziarahan,
berbagai aktivitas di tempat ini dapat dipahami kesejajaran dan kesalinghubungannya.
Mendekatkan diri pada arwah Ki Buyut Trusmi dan para kekasih Allah yang
dimakamkan di tempat ini—yang pada tahap berikutnya akan mendekatkan mereka
kepada Allah—adalah alasan utama peziarahan dalam berbagai bentuknya di Kramat
Buyut Trusmi. Bagi para peziarah, berdoa yang dilakukan secara verbal saja terlalu
abstrak untuk dapat membantu mereka merasakan kedekatan dan kehadiran para
arwah tersebut dalam kehidupan. Bermalam berhari-hari dalam tirakat, menanak nasi
ketika Muludan, mengikat welit ke rangken di saat Memayu adalah berbagai wujud
dari upaya mengkonkretkan dan mengintensifkan rasa kedekatan tersebut.
Dengan melibatkan raga mereka dalam berbagai praktik yang diselenggarakan
di Kramat mereka menjalin kedekatan spiritual. Sebaliknya kedekatan spiritual ini
memotivasi mereka untuk melibatkan lebih lanjut keberadaan ragawi mereka dalam
bentuk-bentuk peziarahan yang lebih intensif. Para Kemit semula adalah peziarah
biasa yang kemudian membulatkan tekad untuk mengabdikan diri mereka.
Dalam kaitannya dengan tempat, ruang dan bangunan, para peziarah tersebut
membangun pemahaman tentang Kramat Buyut Trusmi melalui praktik peziarahan
mereka dalam arti yang luas. Simbolisasi kesakralan, segregasi keruangan, hingga
teknik-teknik ketukangan dipahami melalui berbagai praktik tersebut.
Menghayati Arsitektur, dalam kajian ini, dimaknai sebagai tindakan memahami
arsitektur melalui keterlibatan ragawi yang bermotivasi spritual. Meskipun memiliki
dimensi spiritual yang sangat kuat, pemahaman ini tidak didapatkan melalui
permenungan, pengasahan nurani dan olah rohani semata. Menghayati Arsitektur
222 yang dimaksudkan di sini adalah pemahaman yang didapatkan melalui tindakan
langsung di dalam suatu lingkungan binaan dan keberadaan raganya pada tempat
tersebut. Cukup mudah dipahami bahwa bertafakur di Jinem atau di bangunan lain di
sekitar Makam dan Masjid adalah suatu tindakan spiritual. Akan tetapi di Trusmi,
menggergaji kayu dan mengamplasnya adalah olah spiritual juga yang menjadi
bagian dari Menghayati Arsitektur.
Kramat Buyut Trusmi dan lingkungan sekitarnya dapat dikatakan sebagai
tempat yang memiliki nilai spiritual yang tinggi. Akan tetapi, Kramat ini sama sekali
bukanlah tempat yang senyap, terlebih pada saat penyelenggaraan upacara dan
peringatan tertentu seperti Mamayu, Buka Sirap dan puncak keramaiannya adalah
pada akhir peringatan Maulud Nabi. Keramaian orang menjajakan dagangan dan
hingar-bingar berbagai tontonan dan hiburan mendominasi jalan dan ruang terbuka
utama di Desa Trusmi Wetan dan Kulon. Kesibukan “duniawi” seperti itu
sebagaimana aktivitas teknis ketukangan memiliki dimensi spiritual ketika secara
keruangan dan temporal berkaitan dengan Kramat sehingga merupakan bentukbentuk Penghayatan Arsitektur.
Secara leksikografis, kata “hayat” yang merupakan kata dasar dari
“menghayati” bermakna “hidup” atau “kehidupan”, serta “mengalami” atau
“merasakan” sesuatu di dalam batin (KBBI Daring, 2016). Dengan demikian
“menghayati” dalam konteks ini dapat ditafsirkan sebagai menginternalisasikan
pengalaman dalam kehidupan yang bersifat lahiriah menjadi pemahaman yang
bersifat batiniah. Menghayati Arsitektur melampaui batas phronesis yang merupakan
pemahaman intelektual dan techne yang merupakan pemahaman teknikal karena
melibatkan dimensi spiritual yang justru dicapai dengan keterlibatan ragawi. Praktik
jasmaniah menjadi sarana untuk mencapai pengalaman rohaniah. Dan sebaliknya,
pengalaman rohaniah memotivasi untuk melakukan tindakan jasmaniah.
223 6.3.
Diskusi Komparasi Teori: Ketidak-panggahan di antara yang terurai
dan yang tak stabil
Diskusi yang bersifat komparasi teori dilakukan dengan tujuan untuk
menguji sejauh mana teori yang diajukan dalam kajian ini memberikan kontribusi
bagi
pengembangan
keilmuan
arsitektur.
Hal
ini
dilakukan
dengan
mengkomparasikan teori tersebut dengan teori lain yang memiliki keserupaan
sehingga dapat mempertajam teori yang diajukan.
6.4.1.
Pemilihan Teori
Kebaruan teori yang dirumuskan di atas dilakukan melalu pembandingan
dengan teori sejenis yang telah dikembangkan sebelumnya. Teori tersebut dipilih
berdasarkan:
a) Keterkaitan geografis: Teori yang dipilih memiliki latar belakang
wilayah geografis kepulauan dengan basis masyarakat agraris sehingga
memiliki tingkat keakraban dengan lingkungan alam dan material
organik sebagaimana yang dijumpai di Trusmi.
b) Keterkaitan tematis: Teori yang dipilih menekankan pada peran material
tak-panggah yang berasal dari bahan organik sebagaimana sirap dan
alang-alang yang dipergunakan di Trusmi.
c) Keterkaitan tipe bangunan dan tindakan: Teori yang dipilih berfokus
pada kajian bangunan yang berkaitan dengan pemujaan yang melakukan
pembangunan ulang sebagai tindakan ritualistik.
Berdasarkan kriteria tersebut dipilih teori yang diajukan oleh Nitschke
(1979) tentang pembentukan dan penguraian simpul sebagai asal muasal arsitektur di
Jepang yang juga merupakan negara kepulauan di Asia Timur dengan hubungan yang
erat dengan Asia Tenggara (Kumar, 2009). Simpul dipahami sebagai sistem tanda
pertama yang dikembangkan dari bahan tak-panggah. Simpul berperan di antaranya
untuk menandai wilayah, membentuk bangunan dan membentuk simbol kepercayaan.
224 Dengan demikian tempat dan bangunan yang terbentuk memiliki hubungan yang erat
dengan ritual di tempat tersebut.
Teori kedua diajukan oleh Domenig (2014) sebagai bagian dari disiplin ilmu
“Antropologi Keruangan” yang dikembangkannya dengan Indonesia sebagai wilayah
kajiannya. Sebagaimana teori Nitschke (1979) yang meyakini bahwa penciptaan
arsitektur pada dasarnya adalah tindakan ritualistik, Domenig mengembangkan teori
evolusi arsitekturnya dengan menekankan pada struktur yang dibangun untuk
kepentingan ritual sebagai asal-muasal arsitektur.
6.4.2.
Teori 1: Shime (simpul) sebagai Asal-Muasal Arsitektur
Nitschke (1979) mengembangkan suatu kajian yang komprehensif yang
meliputi berbagai aspek kebudayaan Jepang untuk mengajukan teori bahwa asal
muasal penciptaan kediaman manusia adalah pembuatan simpul (shime) dari material
organik yang tak-panggah. Tindakan merangkai yang menghimpun sejumlah
komponen ke dalam suatu kesatuan pertama kali diwujudkan dalam bentuk simpul.
Simpul ini diyakini berkembang berikutnya sebagai bangunan, sistem tanda, dan
bahkan sistem kepercayaan.
Dia mengajukan hipostesis tentang proses evolusi dalam pembuatan simpul
ini sebagai berikut: Manusia Asia Timur di awal peradaban berupaya untuk membuat
penanda atas wilayah yang dikuasainya. Pada tahap awal evolusinya, penanda
wilayah ini dibuat menggunakan teknik yang paling sederhana dengan bahan yang
paling mudah dibentuk yakni membuat ikatan dan simpul dari rumput, ilalang atau
semak. Tindakan awal ini diyakini sebagai sistem penanda visual yang pertama
diciptakan manusia, sehingga dari penanda ini berkembang sistem-sistem yang lebih
kompleks seperti aksara dan simbol-simbol keagamaan.
Dengan membuat tanda ini manusia mentransformasikan sepetak lahan dari
khaos yang terjadi karena ketiadaan kuasa atanya menjadi kosmos yang tertata. Kuasa
atas wilayah yang tertata itu kemudian dipersonifikasikan menjadi dewa yakni
Musubi atau dewa pengikat yang dipuja di tempat tersebut.
225 Lantaran penanda awal tersebut terbuat dari material yang tak-panggah maka
secara berkala penanda kedudukan tersebut harus diperbarui untuk melestarikan
klaim atas wilayah, kuasa dan status kedewataan. Pembaruan penanda secara berkala
ini kemudian berkembang menjadi mitos penciptaan dunia dan upacara yang terkait
dengannya. Dengan demikian terdapat pertalian erat antara Kuni-Umi atau penciptaan
dunia dan Matsuri atau pembaruan dunia. Keduanya dipahami dalam konteks spasial
dan temporal. Konteks spasial dalam kaitannya dengan pendefinisian ruang dan
orientasi ruang; sedangkan temporal dalam kaitannya dengan transformasi anatara
khaos menjadi kosmos.
Pembaruan simpul ini meliputi beberapa tipe proses:
a) dengan menguraikan untuk kemudian mengikatnya kembali,
b) dengan menambahkan material baru pada simpul lama,
c) dengan memusnahkan yang lama dan membuat yang sama sekali baru,
dan
d) dengan menyingkirkan yang lama dan membuat yang sama sekali baru.
Dalam kaitannya dengan dewa yang dipuja pada suatu bangunan tak-panggah
terdapat beberapa pola upacara pembaruan:
a) Kuil Kediaman. Dewa berkedudukan pada bangunan yang semula
terbuat dari bahan tak-panggah, sehingga untuk memperbarui dewa
tersebut harus dipindahkan kedudukannya pada bangunan lain yang
setara. Hal ini dapat dijumpai pada pembaruan Kuil Ise di Nara yang
diselenggarakan dalam waktu 8 tahun pada tiap interval 20 tahun.
b) Kuil Temporer. Dewa berkedudukan di tempat lain, biasanya di bukit
atau di laut. Dewa tersebut diundang untuk hadir sementara dalam suatu
upacara. Suatu struktur dibuat sebagai kedudukan sementara mereka
selama
upacara
berlangsung.
dimusnahkan.
226 Seusai
upacara
struktur
tersebut
c) Gabungan. Dewa berkedudukan di kuil. Saat kuil tersebut diperbarui
dibuatkan struktur temporer untuk kedudukan dewa tersebut. Seusai
pembaruan kuil, struktur temporer tersebut dihancurkan.
d)
e)
Gambar 6.1. Ragam simpul dalam tradisi Jepang (Nitschke, 1979)
Lebih lanjut dalam membangun argumen tentang proses evolusi bangunan
dan ritus pembaruan bangunan, Nistchke mengajukan tentang empat tahap
pengembangan bangunan suci yang terkait dengan relasi antara bumi dan langit.
a) Tahap Pertama adalah Kekacauan. Bumi dan Langit tak terbedakan
bercampur aduk menjadi satu.
b) Tahap Kedua adalah Tatanan dengan Langit di atas Bumi. Kuil dibangun
dengan pola kediaman manusia. Atap dengan penanda puncak yang
menjangkau langit berdiri di atas struktur panggung berpilar kokoh yang
memijak bumi.
227 c) Tahap Ketiga adalah Perpisahan. Bumi menuju ke bumi dan Langit
menuju ke langit. Jagad raya dipahami berdasarkan pemahaman manusia
atas wilayah yang mereka kuasai ketimbang sebaliknya. Shime menjadi
bagian dari bumi.
d) Tahap Keempat adalah adalah Langit. Melalui tindakan simbolik atau
tepatnya melalui tindakan membuat bangunan. Pada saat festival langit
kembali hadir mengakrabi “Bumi”
6.4.3.
Teori 2: Tektonika dengan Prinsip Parastatic Complementing
Dalam mengkaji asal muasal arsitektur di Indonesia, Domenig (2014)
membangun argumen bahwa arsitektur berpangkal pada aktivitas dan pemahaman
ritualistik. Para pemukim awal membuka lahan dengan membabat pepohonan dan
belukar. Dalam banyak tradisi, sebelum dibuka lahan tersebut sudah dihuni atau
dikuasai oleh makhluk halus. Para pembuka hutan mengupayakan agar tercapai
“kesepakatan” dengan makhluk tak kasat mata tersebut sehingga setelah hutan
tersebut dibuka menjadi kediaman para pamukim kemudian menyelenggarakan
upacara untuk mengundang kembali arwah yang semula tinggal di situ. Ritual
membuka lahan adalah esensial dalam penciptaan ruang.
Wujud yang lebih konkret dari tempat pemujaan ini berupa altar dengan
berbagai bentuknya. Altar ini dapat berupa panggung atau tonggak yang dihias
dengan aneka rupa dedaunan dan tetumbuhan segar. Hiasan ini ditujukan untuk
mengundang arwah agar singgah yang dapat diperkuat secara dinamis dengan bau,
warna dan gerak. Ragam altar dengan penguat hiasan yang lebih statis diwujudkan
dalam bentuk atap mencuat, tangga menjulang kelangit atau tonggak yang dibalik.
228 Gambar 6.2. Altar yang terbuat dari bambu dengan hiasan dedaunan yang terpisah
(kiri) atau menyatu (kanan) (Domenig, 2014)
Altar dan hiasannya yang diletakkan di tempat terbuka dapat dikaitkan
dengan rumah. Orang membuat rumah yang memiliki jalur untuk mengaitkan dengan
altar dan bentuk-bentuk yang menyerupai altar tersebut agar arwah yang turun
berkenan untuk singgah lebih lama di rumah mereka. Jalur dan gerbang untuk
menyambut kedatangan arwah dijumpai di beberapa daerah di Indonesia Timur. Atap
menjulang dibuat sebagai pengganti tangga ke langit untuk memudahkan kunjungan
arwah. Banyak sekali daerah yang memiliki beragam hiasan bubungan sebagai
transformasi dari elemen tetumbuhan sebagai penghias altar agar arwah tertarik untuk
berkunjung. Atap dengan bubungan yang menjoraok jauh atau menjulang tinggi
memainkan peran yang sama dengan atap berhias tersebut.
229 Dari relasi antara altar yang panggah dan tetumbuhan yang tak-panggah ini
berkembanglah arsitektur dengan berbagai ragam wujudnya. Dalam teori Domenig
(2014) dualitas ini bertahan dalam bentuk susunan tektonika yang dipahaminya
sebagai suatu keseluruhan sistem struktur yang harmonis ketimbang sebagai
sambungan-sambungan individual.
Sistem struktur ini memiliki prinsip yang diistilahkannya sebagai parastatic
complementing (Domenig, 2014). Dalam prinsip parastatic complementing ini, suatu
susunan tektonika terdiri atas sistem berganda yang berbeda yang acapkali terdiri atas
bagian yang kokoh dan yang tidak kokoh. Bagian tak kokoh ini dapat terbentuk
karena proporsi atap yang menjulang atau menjorok sehingga tak stabil, atap yang
berupa lembaran tanpa rangka penunjang yang memadai, hiasan ujung atap yang
dapat dibongkar pasang, hiasan ujung atap yang menggambarkan dedaunan penghias
altar, dan penggunaan bahan tak-panggah pada bagian tertentu.
Domenig (2014) meyakini bahwa tektonika berganda berkaitan dengan
prinsip
“perjenjangan-pertentangan”
(hierarchical
opposition)
yang
dapat
dipergunakan untuk memahami tatanan sosial sampai susunan tektonika. Dia
berargumen lebih lanjut bahwa dalam kaitannya dengan susunan fisik dapat
dipergunakan metafora pohon yang terdiri atas bagian yang batang pohon yang stabil
dan kokoh serta cecabang dan dedaunannya yang ringan, tak stabil dan tumbuh.
6.4.4.
Diskusi Komparasi Teori
Kedua teori yang disajikan di atas memiliki keserupaan dalam lingkup.
Lingkup temporal keduanya berpangkal dari masa ketika manusia pertama kali
menyatakan keberadaan secara spasial melalui penandaan ruang. Pembukaan lahan
dan membangun tanda dengan bahan tak-panggah yang berasal dari tetumbuhan
adalah tindakan yang diyakini menjadi asal muasal penciptaan arsitektur. Struktur
mula ini berkembang secara evolutif ke dalam berbagai wujud berikutnya dengan
tetap menyandang karakteristik dasarnya sebagai bangunan yang memiliki komponen
tak-panggah baik secara metaforis maupun riil.
230 Lingkup spasial kedua teori ini juga meliputi kawasan yang luas. Nitschke
(1979) mengkaji keseluruhan kepulauan Jepang, sedangkan Domenig (2014)
merangkum kepulauan Nusantara. Konsekuensi dari keluasan ruang dan waktu ini
menjadikan kedua teori tersebut dirumuskan secara general dan lintas wilayah.
Shirazi (2014) menyebut pendekatan ini sebagai “latitudinal phenomenology” yang
memungkinkan pengkaji mengembangkan amatan tentang satu tema fenomenologis
pada banyak bangunan dengan melintasi ruang dan waktu ketimbang menekuni satu
bangunan secara mendalam. Keuntungan dari pendekatan ini adalah kemampuannya
untuk membangun generalisasi pada satu tema namun kehilangan kedalaman pada
suatu bangunan.
Kajian tentang Kramat Buyut Trusmi mengambil pendekatan yang disebut
Shirazi (2014) sebagai “longitudinal phenomenology”. Pendekatan ini menekankan
pada keterlibatan pengkaji secara ragawi yang intensif pada suatu tempat atau
bangunan. Generalisasi dilakukan melalui pengembangan wacana teoretik ketimbang
melalui pengkajian banyak bangunan secara parsial.
Dengan cakupan periode yang panjang, berawal dari masa awal yang
dikonstruksikan secara hipotetis, kedua teori ini memahami benda dan praktik yang
ada sekarang seperti Kuil Ise, Perayaan Gion Matsuri, Tongkonan Toraja dan
Sanggah Bali dalam mata rantai evolusi. Runtun perubahan yang linear ini
memberikan pemahaman akan keutuhan suatu entitas kultural dalam jangka yang
sangat panjang seolah tak terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh dari luar dirinya.
Domenig (2014) bahkan memandang negatif kehadiran agama-agama besar dunia di
Indonesia dan pengaruh kultural yang menyertainya. Di samping populasinya yang
sangat besar, Jawa yang menjadi ajang pertemuan peradaban dan agama besar secara
terus menerus nyari sepenuhnya absen dari kajian Domenig. Untuk konteks
kepulauan besar seperti Indonesia yang dilintasi pelayaran dunia, terbentuknya isolasi
seperti itu terasa tidak realistis.
Kajian tentang ketidak-panggahan dalam arsitektur di Kramat Buyut Trusmi
melibatkan sepenuhnya berbagai faktor. Kehadiran ajaran Islam dan ritual yang
231 menyertainya, keterlibatan para pengusaha batik setempat dan dinamikanya, serta
merebaknya wisata ziarah dalam dasawarsa terakhir ini adalah bagian yang tak
terpisahkan dari Desa Trusmi dan Kramat yang menjadi jantung kehiupan
spiritualnya. Arsitektur berinteraksi dengan berbagai aspek realita tersebut,
menanggapi dan memengaruhi faktor-faktor tersebut.
Dengan lingkup yang luas, kedua teori tersebut tak mendalami keterlibatan
pelaku dalam tindakan membangun dan memanfaatkan objek yang dibangun tersebut.
Para pendeta, peziarah dan khalayak partisipan ritual mungkin memiliki perhatian,
minat dan pengetahuan yang berbeda. Keragaman keterlibatan dan pelakunya ini
dipahami secara rinci pada kajian ini sehingga teori yang diajukan lebih mendekati
realita sosio-spiritual yang berkembang.
Shime atau simpul yang diyakini merupakan tindakan mula membuat
bangunan terungkap secara terbatas di Kramat Buyut Trusmi. Penerapan teknik
simpul ini tampak jelas saat merangkaikan alang-alang menjadi welit menerapkan
teknik simpul, begitu pula saat menjalin welit pada rangken dan memasang rangken
pada rangka atap.
Selebihnya, kompleks Kramat Trusmi menerapkan prinsip yang sangat
berbeda. Sirap dipasang dengan kait yang tidak melibatkan proses mengikat dan
menguraikan ikatan. Rangka bangunan juga disusun dengan prinsip yang sangat
berbeda. Komponen balok dengan purus berlubang yang khas di Jawa dijumpai di
semua bangunan di tempat ini.
Kait dan purus-lubang jelas bukan simpul meskipun memiliki karakteristik
yang mudah dilepas-pasang juga. Bangunan-bangunan beratap sirap di Trusmi
memiliki hirarki yang lebih tinggi ketimbang yang beratap welit. Ada kemungkinan
pengembangan hipotesa baru bahwa masyarakat Trusmi memandang bahwa sirap
adalah perkembangan lebih lanjut dari alang-alang yang dipasang dengan teknik
simpul, sehingga memperkuat pendopot bahwa simpul memang lebih tua ketimbang
teknik-teknik yang lain untuk membuat bangunan.
232 Dalam kaitannya dengan kedudukan objek sakral selama proses
pembangunan ulang, di Trusmi tidak dijumpai adanya objek suci yang harus
dipindahkan saat bangunan diperbarui. Hal ini terjadi kerena pembaruan bangunan
bersifat parsial sehingga tidak ada saat ketika bangunan itu musnah sama sekali.
Kesakralan hanya diungkapkan sebatas penyucian komponen bangunan dan
kekhususan orang-orang yang mengerjakan pemasangannya.
Secara substansi metafora pohon yang memiliki dualitas yang bertentangan
sebagaimana teori parastatic complementing yang diajukan Domenig (2014) ini dapat
dipergunakan untuk memahami tektonika di Kramat Buyut Trusmi. Teori tersebut
dapat diterapkan untuk menjelaskan bagian landasan yang panggah dan atap yang
tak-panggah dan senantiasa diperbarui.
Pembaruan atap dengan demikian dapat dipahami sebagai peremajaan pohon
itu sebagaiman penggantian tetumbuhan segar yang menghiasi altar asali yang
dibahas di awal kajian Domenig tersebut. Pembaruan dalam hal ini dipahami bersifat
alami sebagaimana daun yang gugur dan kemudian bersemi sementara pokok pohon
tetap tegak berdiri.
Dalam prosesi Memayu di Trusmi terdapat relasi yang lebih intensif lagi
antara membuka lahan dan mengganti atap. Membuka lahan di tempat tersebut
dikisahkan sebagai mengubah padang alang-alang menjadi permukiman sedangkan
Memayu adalah memasang atap alang-alang yang baru. Dengan demikian tindakan
membabat alang-alang sebagai upaya manusia untuk membentuk keteraturan atas
alam liar diikuti langsung dengan pengendalian elemen liar tersebut menjadi bagian
bangunan yang sepenuhnya tertata dalam jalinan welit dan susunan atap.
Sirap kayu jati memiliki sifat yang berbeda. Pohon jati di Jawa bukanlah
tanaman endemik yang tumbuh liar tapi dibudidayakan oleh manusia. Sehingga sirap
jati adalah buah dari keteraturan yang telah dibentuk manusia sejak penanamannya.
Penggunaan jati secara berulang dengan demikian melestarikan keteraturan yang
telah dikembangkan sebelumnya. Secara lebih khusus, relasi Trusmi dengan Gunung
Jati yang kompleks menegaskan keterikatan mereka dengan Sunan yang menyandang
233 nama Jati ini yang diungkapkan secara simbolis melalui penggantian sirap jati di
Mande Trusmi di kompleks Astana Gunung Jati tiap windu.
234 BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
Keterlibatan aspek ketidak-panggahan dalam bentuk pembangunan berulang
di Kramat Buyut Trusmi memiliki landasan dan pengaruh yang fundamental. Lebih
dari sekedar perbaikan teknis, pembangunan berulang ini menghadirkan momen awal
keberadaan lingkungan ini sehingga arti pentingnya dapat dihayati kembali. Alih-alih
menuturkan legenda, warga Desa Trusmi dan ribuan lainnya yang mengafiliasikan
diri dengan tempat ini melakukan tindakan nyata dengan memperbarui bangunan
untuk menghidupkan momen awal Desa Trismi.
Secara teoretik, tradisi pembangunan berulang dengan material tak-panggah
memiliki pengaruh yang mendalam. Pada tataran landasan filosofis, tradisi ini
memberikan gambaran yang lebih intensif yang mewujudkan pemikiran Heidegger
tentang Kediaman Empat Serangkai yang merupakan landasan keruangan keberadaan
manusia (Mitchell, 2015), bukan hanya lingkungan fisik dan penggunaannya,
7.1
Ketak-panggahan untuk Hadirkan Asal Muasal
Penghulu Masjid Agung Kraton Kasepuhan Cirebon mengisahkan saat saya
mengunjungi Masjid tersebut bulan Mei 2016, “Seusai membangun Masjid Agung
Demak para Wali Sanga ke Cirebon untuk membangun Masjid Agung Cirebon.
Sekali lagi Sunan Kalijaga membuat saka tatal untuk Masjid ini”. Saka tatal adalah
tiang yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu (tatal) yang dengan karamah Sunan
Kalijaga dan izin Allah dijadikan tiang kayu yang kokoh menopang kedua bangunan
terbesar dan teringgi pada zamannya tersebut. Tatal yang berupa material limbah takpanggah yang biasanya tercerai-berai itu dengan ajaib dihimpun dan diwujudkan
235 menjadi elemen konstruksi yang tegar menopang atap Masjid dan panggah beratus
tahun.
Masjid Demak dan Masjid Cirebon memiliki kisah ajaib yang dituturkan
turun-temurun tentang seorang wali yang mengubah limbah tak-panggah menjadi
komponen konstruksi yang panggah. Kapasitas spiritual dan kecakapan teknis yang
menyatu pada diri seorang pemuka agama seperti Sunan Kalijaga memungkinkan
transformasi tersebut yang diikuti dengan penciptaan bangunan monumental yang
mengesankan.
Legenda ini menegaskan bahwa awal penciptaan adalah momen yang sangat
penting dan bermakna sebagai landasan keberadaan suatu tempat, dalam hal ini kota
Demak dan kota Cirebon, lebih dari sekedar bangunan Masjid. Tempat Dan
monumen, keduanya adalah entitas yang konkret yang saling mencerminkan. Kota
Cirebon dapat dipahami sebagai ekstensi dari Masjid Agung sedangkan Masjid
Agung adalah kondensasi dari Kota. Keduanya saling menandai. Bukan dalam relasi
yang absatrak seperti dalam semiotika tapi dalam relasi yang nyata.
Kramat Buyut Trusmi memiliki relasi yang serupa dengan Desa Trusmi.
Pusat memperluas dirinya sehingga menjadi teritori yang lebih besar. Pola ini
ditandai dengan Kramat dan rumah-rumah kuna yang menjadi satelitnya.
Alih-alih mewariskan legenda sebagaimana kedua masjid agung tersebut,
Kramat Buyut Trusmi memiliki tradisi “ajaib” yang dilaksanakan dengan bersungguh
sungguh secara turun-temurun untuk melestarikan arti penting momen awal
penciptaan tersebut sebagai landasan yang bermakna bagi keberadaan Desa mereka.
Dalam Memayu dan Buka Sirap mereka memperbarui secara terus menerus Masjid,
Makam dan bangunan-bangunan lain di Kramat Buyut Trusmi. Lebih dari sekedar
narasi verbal, kedua prosesi ini menjadikan momen penciptaan selalu hadir dalah
kehidupan dengan semua warga dapat mengambil bagian.
Tampaknya lebih dari sekedar kebetulan bahwa Masjid Demak dan Masjid
Cirebon dibangun oleh Sembilan Wali, sedangkan Makam Ki Buyut Trusmi dipugar
terus menerus oleh sembilan orang pengelolan Kramat yakni Sep, empat Kunci dan
236 empat Kiai. Dengan berpakaian serba putih, kesembilan orang itu selama delapan hari
berada di atas atap Makam untuk memugar selama prosesi Buka Sirap seolah
mementaskan kembali kisah tentang para Wali yang membangun monumen.
Dengan memperlakukan sebagian komponen bangunan sebagai bagian takpanggah, orang-orang Trusmi menjadikan ketidak-panggahan sebagai hal yang
esensial dari Kramat Buyut Trusmi yang memiliki berbagai tujuan:
a) Secara teknis dengan pembangunan berulang bertujuan agar mereka
mendapatkan kualitas bangunan yang lebih baik. Bagian yang bocor
diperbaiki, bagian yang lapuk dan lekang diperbaiki atau jika tak lagi
layak diganti.
b) Secara sosial prosesi pembangunan berulang ini bertujuan untuk
menegaskan kembali peran masing-masing anggota masyarakat serta
memperbarui semangat kebersamaan dan afiliasi mereka dengan Kramat.
c) Secara spiritual tindakan ini bertujuan untuk mewujudkan langkah nyata
bagi mereka untuk memanjatkan doa melalui kerja agar meraih berkah
yang diharapkan senantiasa.
Praktik berkesinambungan ini dapat dipahami sebagai ungkapan dari konsep
mendasar tentang tempat, waktu, material dan membangun. Kramat Buyut Trusmi
dipahami sebagai tempat cikal bakal yang menjadi jejak awal keberadaan Desa
Trusmi yang selalu dihidupkan dalam ritus membangun ulang. Penggunaan
komponen tak-panggah memungkinkan pembangunan ini terus menerus dilakukan
sehingga masyarakat dapat memperbarui keterlibatan dan pemahaman mereka
tentang tempat yang bermakna mendalam ini.
Waktu di Kramat Buyut Trusmi dipahami sebagai alur jamak yang berkaitan
secara kompleks. Pelapukan alami, siklus agrikultur, kalender keagamaan dengan
landasan konsepsi waktu yang berbeda terjalin dalam penentuan jadwal Memayu dan
Buka Sirap. Kedua prosesi ini merangkum aspek ritual, kultural dan natural menjadi
momen “kelahiran kembali” bangunan-bangunan di Kramat dalam pembaruan
tersebut.
237 Material menduduki posisi sentral dalam praktik membangun ulang ini.
Jejaring material dan proses penyiapannya mewujudkan relasi Empat Serangkai
secara nyata. Jenis material berkaitan status kompleks Kramat sebagai hunian parexcellence sehingga tak sepantasnya diperlakukan sebagai kuburan. Tumpukan,
rangka dan anyaman merupakan basis bagi pembentukan bangunan yang menjadikan
konsep Semper (1989) secara nyata. Sedangkan distribusi material ke dalam
bangunan mempertegas hirarki dan relasi antar bangunan. Sedangkan
Konstruksi yang merupakan proses merangkai komponen bangunan menjadi
sarana membangun pemahaman konsep filosofis, sosial dan teknis melalui
pengalaman praktikal. Pelaksanaan konstruksi secara massal, repetitif dan ritualistik
menjadikan prosesi Memayu, Buka Sirap dan pengembangan bangunan memiliki arti
penting dalam melestarikan, menegosiasikan dan menginovasikan tradisi.
7.2
Process dan PresenceArsitektur yang Hidup
Rumusan ontologis dwelling atau tempat berkediaman sebagaimana diajukan
dengan radikal oleh Heidegger menginspirasi banyak teorisi dan arsitek, antara lain
Juhanni Pallasmaa, Peter Zumthor, Dalibor Vesely, Stephen Holl dan Kenneth
Frampton (Sharr, 2009), untuk mengembangkan teori dan karya yang bertujuan untuk
mewujudkan berkediaman yang bermakna dan akrab dengan kehidupan manusia.
Norberg-Schulz (2000) dan Klassen (1990) adalah di antara teorisi yang
mengembangkan filosofi tersebut menjadi teori arsitektur yang komprehensif atau
menjadi “system architecture” dalam istilah Vibaek (2014).
Gagasan dan teori tersebut sebagian besar bertumpu pada arsitektur sebagai
hasil suatu proses ketimbang sebagai produk yang secara terus menerus diciptakan
sebagaimana di Kramat Buyut Trusmi. Kajian terhadap arsitektur dan praktik yang
menjadi bagian inheren dari arsitektur di Trusmi mengembangkan wacana dan teori
yang lebih inklusif dengan melibatkan aspek-aspek ketidak-panggahan.
Komponen-komponen sistem arsitektur didefinisikan berdasar teori The
Presence of Architecture dari Norberg-Schulz (2000) dan The Process of Architecture
238 Klassen (1990) yang dikembangkan dengan melibatkan ketidak-panggahan dalam
arsitektur, yang terdiri atas:
a) Mewujudkan
arsitektur
dipahami
sebagai
upaya
merealisasikan
pemahaman terhadap arsitektur secara fisik menjadi tempat berkediaman
yang nyata dan sebaliknya praktik mewujudkan arsitektur menjadi sarana
untuk mengintensifkan pemahaman tersebut.
b) Memanfaatkan arsitektur dipahami sebagai tindakan untuk mendapatkan
kebaikan dari arsitektur dan praktik yang terkait dengannya termasuk
peraktik mewujudkan itu sendiri. Dengan memosisikan membangun
sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan, maka ketidakpanggahan
menjadi hal yang diperlukan agar bangunan dapat diwujudkan secara
berulang terus menerus.
c) Menghayati
arsitektur
didefiniskan
sebagai
cara
untuk
menginternalisasikan pengalaman sehingga menjadi pemahaman verbal,
spasial, spiritual dan terutama praktikal yang diterapkan dalam
penciptaan arsitektur. Menghayati arsitektur melalui penanganan
komponen tak-panggah menjadikan praktik membangun sebagai sarana
pembelajaran
kultural
yang
sangat
penting
untuk
dapat
menginternalisasikan nilai-nilai yang mendasarinya.
Ketidak-panggahan dalam arsitektur khususnya yang terwujud melalui
pembangunan berulang dengan material tak-panggah di Kramat Buyut Trusmi
memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a) Pembaruan bangunan yang berulang secara berkala dalam skala yang
besar yang menjadikan arsitektur sebagai wujud ciptaan baru sekaligus
ciptaan lama. Dalam hal ini dualitas antara memperbarui bangunan dan
kembali ke momen asali menjadi titik temu yang mendasar. Masyarakat
memperlakukan bangunan sebagai sarana untuk mempertalikan kembali
keberadaan mereka dangan momen asal-muasal tapi juga sekaligus
mengantisipasi perkembangan di masa mendatang.
239 b) Partisipasi masyarakat yang ekstensif menjadikan peleburan batas antara
pembuat dan pengguna bangunan, antara tindakan mencipta dan
memanfaatkan bangunan, serta antara daya cipta dan daya guna.
Membangun tak lagi dipahami sebagai proses mempersiapkan konstruksi
untuk dimanfaatkan kemudian, tetapi juga sebagai bentuk pemanfaatan.
c) Motivasi spiritual dalam penciptaan dan pemanfaatan menjadikan
keseluruhan proses tersebut dapat diintegrasikan sebagai upaya
mendapatkan berkah dengan mengkontribusikan potensi yang dimiliki.
Motivasi tersebut terungkap dalam proses membangun dengan pola
keterlibatan masyarakat yang beragam dengan masyarakat berperan
sebagai pendukung seperti pada saat Buka Sirap; masyarakat berperan
sebagai pelaku utama seperti pada saat Memayu; dan bahkan masyarakat
sebagai inisiator seperti pada sejumlah pemugaran. Dari kesemua ragam
relasi tersebut bangunan dan proses membangun menjadi sarana
pertukaran antara potensi yang dimiliki masyarakat dengan berkah yang
bisa mereka peroleh.
7.3
Saran untuk Kajian Berikutnya
Kramat Buyut Trusmi dan lingkungan sekitarnya masih relatif sedikit dikaji
sementara kajian ini memiliki banyak keterbatasan yang dapat dikembangkan dalam
kajian-kajian berikutnya. Keterbatasan dan saran pengembangan tersebut antara lain
adalah:
a) Lingkup Objek. Kajian ini berfokus pada Kramat Buyut Trusmi.
Bangunan-bangunan terkait yakni omah gede dan bele gede hanya
sekilas disinggung dalam kaitannya dengan perkembangan awal di Desa
Trusmi. Kelima bangunan “satelit” tersebut diyakini penduduk setempat
sebagai hunian cikal bakal di masing-masing bagian Desa Trusmi.
Dengan usia lebih dari 400 tahun, bangunan-bangunan tersebut dapat
dispekulasikan sebagai salah satu dari rumah tertua di Jawa yang
240 berpotensi untuk menjadi jembatan evolusi rumah Jawa dari masa praIslam sebagaimana tergambarkan di relief-relief candi dan bangunan
tradisional Jawa yang lazim kita jumpai sekarang ini.
b) Lingkup Ranah Ilmu Arsitektur. Kajian ini menekankan pada
pengembangan teori-teori dasar arsitektur. Kramat Buyut Trusmi sebagai
fenomena yang kompleks dan khas potensial untuk mengembangkan
berbagai ranah keilmuan arsitektur, antara lain: ranah sosial-ekonomi
untuk memahami relasi antara Kramat dan pengusaha-pengusaha batik di
Trusmi; ranah perilaku untuk memahami pola-pola perilaku yang
melandasi ritus dan peziarahan di Kramat ini; ranah tipologi untuk
memahami ragam bentuk bangunan di masa awal yang akan
dikembangkan lebih lanjut menjadi tipe-tipe bangunan tradisional
sebagaimana kita pahami sekarang ini; dan ranah teknologi bangunan
untuk memhami kekuatan dan keandalan material dan komponen
bangunan tak panggah tersebut.
c) Lingkup Metoda Kajian. Kajian ini menggunakan metoda fenomenologi
dan hermeneutika yang mengikis batas antara subjek dan objek kajian.
Metoda lain yang potensial untuk dikembangkan berdasar karakeristik
fifik
tempat
ini
antara
lain;
metoda
historis-arkeologis
untuk
merekonstruksi masa silam tempat ini; metoda perencanaan partisipatif
dengan melakukan eksperimentasi sosial dengan masyarakat setempat
guna merumuskan konsep pelestarian dan pengembangan Kramat Buyut
Trusmi; serta metoda research for desgn dengan melakukan eksplorasi
rancangan yang berbasis pada ke tak-panggahan dalam konteks arsitektur
kontemporer.
241 Halaman ini dibiarkan kosong
242 REFERENSI
Ballantyne, Andrew (2007) Deleuze and Guattari for Architects. Routledge: London.
Bourdieu, Pierre (1990) The Logic of Practice, Stanford, CA: Stanford University
Press. Braham, William W. et. al. eds. (2007) Rethinking Technology: A Reader In
Architectural Theory. Routldedge: London.
Cairns, Stephen (2006) “Notes for an alternative history of the primitive hut” dalam
Jo Odgers, Flora Samuel dan Adam Sharr (eds.) Primitive: Original Matters
in Architecture. Routledge: Oxon.
Creswell, John W. (2007) Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches. London: SAGE Publication.
Domenig, Gaudens (1980) Tektonik im Primitiven Dachbau. ETH Austellungkatalog
Götterstitz.
Domenig, Gaudens (2014) Religion and Architecture in Premodern Indonesia.
Leiden: KITLV.
Frampton, Kenneth (1995) Studies in Tectonic Culture: The Poetics of Construction
in Nineteenth and Twentieth Century Architecture. Cambridge, MA: MIT
Press.
Frampton, Kenneth (2002) “Rappel a l’ordre: the case for the tectonic” dalam Alan
Read (ed.) Architecturally Speaking Practices of Art, Architecture and the
Everyday. London: Routledge. h. 177-197.
243 Gillespie, Susan (2007) "When is a House?" dalam R. Beck (ed.) The Durable
House: House Society Models in Archaeology, Center for Archaeological
Investigations Occasional Paper No. 35. Carbondale, IL h. 25-50.
Habraken, N.J. (1998) The Structure of the Ordinary: Form and control in the Built
Environment. Boston: MIT Press.
Hale, Jonathan (2006) “Gottfried Semper’s primitive hut Duration, construction and
self-creation”, dalam Jo Odgers, Flora Samuel dan Adam Sharr (eds.)
Primitive: Original Matters in Architecture. New York: Routledge.
Hale, Jonathan (2012) “Architecture, Technology and the Body: From the Prehuman
to the Posthuman” dalam Greig Crysler, Stephen Cairns dan Hilde Heynen. The
SAGE Handbook of Architectural Theory. London: SAGE Publications Ltd, h.
513-533.
Hale, Jonathan (2013) "Critical Phenomenology: Architecture and Embodiment."
Architecture & Ideas, Vol. XII, h. 18-37.
Heidegger, Martin (2001a) “Building Dwelling Thinking” dalam Heidegger, M.
Poetry, Language, Thought, New York, Harper and Row, h. 141-160.
Heidegger, Martin (2001b) “The Thing” dalam Heidegger, M. Poetry, Language,
Thought, New York, Harper and Row, h. 161-184.
Heidegger, Martin (2001c) “Poetically Man Dwells” dalam Heidegger, M. Poetry,
Language, Thought, New York, Harper and Row, h. 209-241.
Holl, Steven (1989) Anchoring, New York, Princeton Architectural Press.
Holl, Steven (1994a) “Questions of Perception, Phenomenology of Architecture”
dalam Holl, S., Pallasmaa, J. & Perez-Gomez, A. (1994) Questions of
Perception, Phenomenology of Architecture, Tokyo, A + U Publ. Co, h. 40-42.
244 Holl, Steven (1994b) “Phenomenal Zones” dalam Holl, S., Pallasmaa, J. & PerezGomez, A. (1994) Questions of Perception, Phenomenology of Architecture,
Tokyo, A + U Publ. Co, h. 44-120.
Holl, Steven (1994c) Archetypal Experiments of Architecture, dalam Holl, S.,
Pallasmaa, J. & Perez-Gomez, A. (1994) Questions of Perception,
Phenomenology of Architecture, Tokyo, A + U Publ. Co, h. 122-134.
Hvattum, Mari (2004) Gottfried Semper and the Problem of Historicism. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hvattum, Mari (2006) “Origins redefined: A tale of pigs and primitive huts” , dalam
Jo Odgers, Flora Samuel dan Adam Sharr (eds.) Primitive: Original Matters
in Architecture. New York: Routledge.
Ingold, Tim (2013) Making: Anthropology, archaeology, art and architecture. Oxon,
NY: Routledge.
Jumsai, Sumet (dengan kontribusi Richard Buckminster Fuller) (1988) Naga:
Cultural Origins in Siam and the West Pacific. Singapura: Oxford University
Press
Junyk, Ihor (2013) “‘Not Months But Moments’: Ephemerality, Monumentality and
the Pavilion in Ruins”. Open Arts Journal. issue 2, h. 1-15.
Klassen,
Winand
(1992)
Architecture
and
Philosophy:
Phenomenology,
Hermeneutics, Deconstruction. Cebu, Universty of San Carlos Press.
Kruft, Hanno-Walter (1994) A History of Architectural Theory: from Vitruvius to the
present. London: Princeton Architectural Press.
Kumar, Ann (2009) Globalizing the Prehistory of Japan: Language, genes and
civilization. Oxon: Routledge.
Kwanda, Timoticin (2012) “The Tradition of Architectural Conservation and the
Intangible Authenticity: The Case of Ki Buyut Trusmi Complex in Cirebon,
245 Indonesia”. Desertasi tidak dipublikasikan pada National University of
Singapore.
Laugier, Marc A. (2004 [1753]) “Essai on Architecture”, dalam Liane Lefaivre dan
Alexander Tzonis (ed.) The Emergence of Modern Architecture: A
documentary history from 1000-1810. London: Routledge. h. 333-339.
Leach, Neil (2001) “The Dark Side of the Domus” dalam Andrew Ballantyne (ed.),
What is Architecture?, London: Routledge.
Lin, Zhongjie (2010) Kenzo Tange and the Metabolist Movement: Urban Utopias of
Modern Japan. London: Routledge.
Milizia, Fransesco (2004 [1797]) “Dictionary of the Fine Arts of Design”, dalam
Liane Lefaivre dan Alexander Tzonis (ed.) The Emergence of Modern
Architecture: A documentary history from 1000-1810. London: Routledge. h.
459-466.
Mitchell, Andrew J. (2015) The Fourfold: Reading the Late Heidegger. Evanston:
Northwestern University Press.
Moran, Demot (2000) Introduction to Phenomenology, London, New York,
Routledge.
Nistchke, Gunter (1979) “Shime: Binding/Unbinding”. Architectural Design 44, h.
747-791.
Norberg-Schultz, Christian (1963) Intentions in Architecture, Oslo, Allen & Unwin
LTD.
Norberg-Schulz, Christian (1971) Existence, Space and Architecture, London, Studio
Vista London.
Norberg-Schulz, Christian (1979) “Kahn, Heidegger and the Language of
Architecture. Oppositions, vol. 18, h. 29-47.
246 Norberg-Schulz, Christian (1980) Genius Loci, Towards a phenomenology of
architecture, New York, Rizzoli.
Norberg-Schulz, Christian (1985) The Concept of Dwelling, on the way to figurative
architecture, New York, Rizzoli.
Norberg-Schulz, Christian (2000) Architecture: Presence, Language, Place, Milan,
Skira.
Otero-Pailos, J. (2012) “Architectural Phenomenology and the Rise of the
Postmodern” dalam Greig Crysler, Stephen Cairns dan Hilde Heynen. The
SAGE Handbook of Architectural Theory. London: SAGE Publications Ltd, h.
136-151.
Pallasmaa, Juhanni (1994) “An Architecture of the Seven Senses”. In: Holl, S.,
Pallasmaa, J. & Perez-Gomez, A. (1994) Questions of Perception,
Phenomenology of Architecture, Tokyo, A + U Publ. Co, h. 33-49.
Pallasmaa, Juhanni (1996) The Eyes Of The Skin, Architecture and the Senses,
London, Academy Editions.
Perez-Gomez, Alberto (1983) Architecture and the crisis of modern science,
Cambridge, The MIT Press.
Poerwadarminta, W.J.S. (1939) Baoesastra Djawa.Batavia: J. B. Wolters' Uitgevers.
Reid, Anthony (1992) Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450:1680, Jilid 1: Tanah
di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricoeur, Paul (1971) “The Model of the Text: Meaningful Action Considered as
Text”. Social Research, vol 38, h. 529-555.
Riegl, Alois, (1982) “The Modern Cult of Monuments: Its Character and Its Origin”,
Oppositions 25, h. 21-56.
247 Robertson, Scott (2012) “Significant Pavilions: The Traditional Javanese House as a
Symbolic Terrain”. Desertasi tidak dipublikasikan pada University of New
South Wales.
Robson, Stuart dan Singgih Wibisono (2002) Javanese-English Dictionary.
Hongkong: Periplus.
Sadler, Simon (2005) Archigram: Architecture without Architecture, MIT Press
Seamon, David (2017) “A Phenomenological and Hermeneutic Reading of Rem
Koolhaas’ Seattle Central Library: Buildings as lifeworlds and architectural
texts” dalam Ruth Dalton dan Christoph Hölscher (ed.) Take One Building:
Interdisciplinary Research Perspectives of the Seattle Central Library. Oxon:
Routledge, h 132-167.
Seamon, David (2000) “A Way of Seeing People and Place: Phenomenology in
Environment-Behavior Research,” dalam S. Wapner, J. Demick, T.
Yamamoto,
dan
H.
Minami
(ed.),
Theoretical
Perspectives
in
Environment‐Behavior Research. New York: Plenum, h. 157–178.
Semper, Gottfried (1989 [1851]), “The Four elements of Architecture: A contribution
to the study of architecture” dalam Gottfried Semper (diterjemahkan dan
disunting oleh Harry Francis Mallgrave dan Wolfgang Herrmann) The Four
Elements of Architecture and Other Writings, Cambridge: Cambridge
University Press, h. 74-129.
Semper, Gottfried (2004 [1863]), Style in the Technical or Tectonic Arts: or,
Practical Aesthetics (diterjemahkan oleh Harry Francis Mallgrave dan
Michael Robinson) Los Angeles: Getty Research Institute.
Shirazi, Muhammad R. (2009) “Architectural Theory and Practice, and the Question
of Phenomenology (The Contribution of Tadao Ando to the Phenomenological
Discourse)”. Disertasi tidak dipublikasikan pada Universitas Cottbus, Berlin.
248 Shirazi, Muhammad R. (2014) Towards an Articulated Phenomenological
Interpretation of Architecture: Phenomenal Phenomenology. Oxon: Routledge.
Vibaek, Kasper S. (2014) Architectural System Structures: Integrating design
complexity in industrialized construction. London: Routledge.
Vitruvius, Marcus P. (1914) The Ten Books on Architecture (diterjemahkan oleh
Morris Hicky Morgan). London: Oxford University Press.
Waterson, Roxana (1990) Living House: The Anthropology of Architecture in
Southeast Asia. Singapura: Oxford University Press.
West-Pavlov, Russell (2009) Space in Theory: Kristeva, Foucault, Deleuze.
Amsterdam: Rodopi.
Winichakul, Thongchai (1997) Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation.
Manoa: University of Hawaii.
249 
Download