sisi filosofis al-qur`an: beberapa kisah ilustratif

advertisement
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
SISI FILOSOFIS AL-QUR’AN:
BEBERAPA KISAH ILUSTRATIF
Aris Widodo*
Abstrak:Al-Qur’an merupakan buku-petunjuk yang mampu
mengakomodasi berbagai level pemikiran manusia. Dengan gayabahasa yang khas, ia juga bisa ditilik dari berbagai bidang: hukum,
kalam, filsafat, dan tasawuf, terkait dengan kecenderungan sang pentadabbur kitab-suci umat Islam ini. Oleh karena itu, al-Qur’an
sebetulnya juga bisa dijadikan titik-berangkat untuk mata-kuliah
filsafat, karena ia memberikan bahan yang melimpah bagi perenunganperenungan filosofis. Tulisan berikut memberikan ilustrasi bagaimana
al-Qur’an dengan kisah-kisah yang disuguhkannya bisa menggugah
sensitivitas filosofis kita. Sambil merujuk ke enam cabang filsafat,
yaitu logika, epistemologi, kosmologi, metafisika, etika, dan estetika,
tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa al-Qur’an itu dalam aspek
tertentu bisa kita klaim memiliki sisi-filosofis.
Quran is a guide book that is able to accommodate many human
beings’s thought levels. By special language style, it can also be viewed
from various fields like law, theology, philosophy, and tasawuf related
to reviewer’s preference. Therefore, Quran, in fact, can also be a
starting point for philosophical study because it gives various materials
to philosophical contemplations. This paper gives illustration of how
the Quran with its stories in it is able to arouse our philosophical
sensitivities. By referring to six branches of philosophy i.e. logic,
epistemology, cosmology, metaphysic, ethic, and esthetic, this paper
tries to show that the Quran in certain aspect can be claimed by us to
have philosophical side.
Kata kunci: Al-Qur’an, Filosofis, Cabang Filsafat
*. Jurusan Syari’ah STAIN Parepare, Sulawesi Selatan
41
42 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan manifestasi janji Tuhan yang secara implisit
dikemukakan-Nya pada saat memberikan instruksi kepada Adam dan Hawa
untuk “turun” dari taman-syurga. Dalam kesempatan itu, Tuhan menghantar
kepergian Adam dan Hawa dengan sabda-Nya, “Turunlah kalian semua dari
taman-syurga; ketika datang petunjuk kepada kalian, maka siapa saja yang
mengikuti petunjuk-Ku itu, niscaya dia akan terbebas dari perasaan-takut
dan sedih” (QS. al-Baqarah: 38). Ayat ini memberi isyarat bahwa akan datang
petunjuk Tuhan kepada Adam dan Hawa beserta keturunannya yang akan
menjalani karir kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, bisa dipahami jika
kemudian al-Qur’an (QS. al-Baqarah: 2) mengajukan klaim-diri sebagai kitab
petunjuk (hudan).
Dalam memberikan petunjuk kepada manusia, Tuhan menurunkan alQur’an dengan gaya-bahasa yang memungkinkan manusia, dengan berbagai
latar-belakang disiplin dan tingkat intelektualnya, untuk memahami petunjuk
di dalamnya. Tidak mengherankan jika kemudian para sarjana muslim
mendapat bahan-baku yang melimpah untuk kajian di bidangnya masingmasing; para ahli hukum Islam, ahli kalam, ahli filsafat, dan ahli tasawuf merasa
mendapat sumber untuk titik-tolak pengkajiannya, sebagaimana diisyaratkan
oleh ayat “dan apabila kalian berselisih-pendapat mengenai sesuatu hal, maka
kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya” (QS. al-Nisa’: 59). Maka
bermunculanlah beribu-ribu jilid buku di berbagai bidang pengkajian—tafsir
ahkam, tafsir kalam, tafsir falsafi, dan tafsir shufi—yang semuanya bertolak
dari ayat-ayat kitab-suci umat Islam ini. Tulisan berikut juga akan mengambilbagian dalam mengkaji salah satu bidang disiplin, yaitu filsafat, dengan merujuk
ke dalam al-Qur’an sebagai titik tolaknya.
Salah satu metode yang dipakai Tuhan untuk mengajari manusia adalah
dengan menampilkan kisah-kisah, karena itu di dalam al-Qur’an banyak kisah
dari orang-orang masa lalu; bahkan satu surat di dalam al-Qur’an, yaitu surat
ke-28, diberi nama al-Qashash (kisah-kisah), karena dengan kisah-kisah
tersebut manusia bisa bercermin dan mengambil pelajaran (‘ibrah) darinya.
Dalam kaitannya dengan mata-kuliah filsafat, sebetulnya kita juga bisa
menjumput kisah-kisah tersebut sebagai ilustrasi untuk bertolak ke perenunganperenungan filosofis. Satu ilustrasi berikut bisa dijadikan pendahuluan.
Dalam surat al-An’am, ayat 76-79, al-Qur’an menuturkan perjalanan
intelektual-spiritual Ibrahim ketika “mencari” Tuhan. Dikisahkan bahwa pada
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
43
saat Ibrahim melayangkan pandang ke arah langit di waktu malam, didapatinya
kerlip bintang di sana, sehingga bergembiralah Ibrahim karena telah berhasil
menemukan Tuhan, seraya berseru, “Inilah Tuhan-ku.” Namun, ketika bintang
tersebut akhirnya “dikalahkan” oleh rembulan, per-hati-an Ibrahim pun terpikat
oleh sang rembulan, sehingga kembali berseru, “Inilah Tuhan-ku.” Akan tetapi,
ketika rembulan pun menjadi sirna saat muncul sang mentari, maka Ibrahim
pun berketetapan, “Inilah Tuhan-ku, karena Yang Ini lebih besar.” Namun,
sekali lagi, Ibrahim dikecewakan oleh fakta-empiris bahwa mentari pun
dikalahkan oleh sang malam, sehingga akhirnya dia menyatakan perasaannya,
“Sesungguhnya aku tidak suka yang ‘tenggelam’ (al-Afilîn).”
Dengan pernyataannya tersebut, berarti Ibrahim telah mengambil
kesimpulan bahwa Tuhan mestilah bukan satu di antara lingkaran-setan faktaempiris “yang saling dikalahkan” ini: malam dikalahkan oleh munculnya bintang;
bintang dikalahkan oleh rembulan; rembulan dikalahkan oleh matahari; dan
matahari kembali dikalahkan oleh malam. Yang masih “tenggelam” atau
“dikalahkan” oleh yang lain pastilah dikuasai oleh pihak yang “mengalahkan”
tersebut, dan, dengan demikian, tidak layak dipandang sebagai Tu[h]an (:Tuan)
yang sejati. Konsekwensi lanjutan dari pernyataannya itu juga berarti bahwa
Ibrahim tengah bersiap-siap melanjutkan perjalanan mencari Tuhan dengan
meninggalkan alam-fisik menuju alam-metafisik.
Ilustrasi di atas memberi isyarat bahwa meskipun al-Qur’an bukanlah
kitab-filsafat, namun pola penuturan al-Qur’an seringkali menunjukkan bahwa
kitab ini dalam aspek tertentu bersifat filosofis, atau memuat karakteristik
filsafat. Berbicara tentang karakteristik filsafat seringkali tidak mudah,
mengingat istilah filsafat sendiri termasuk sebuah terma yang paling banyak
didefinisikan; masing-masing filosof seakan memiliki hak untuk memberikan
definisinya sendiri, sehingga banyak definisi bermunculan berkaitan dengan
terma ini. Namun, dari sekian banyak definisi yang diberikan, misalnya ada
beberapa istilah yang pasti tidak ketinggalan ketika filsafat didefinisikan, yaitu:
radikal, kritis, komprehensif, sistematis, dan koheren (Tim Penulis Rosda,
1995: 249-250). Dengan demikian, karakteristik filsafat yang penulis maksud
di sini adalah: radikal, kritis, komprehensif, sistematis, dan koheren; dan yang
dimaksud “sisi-filosofis al-Qur’an” dalam hal ini adalah sisi radikal, kritis,
komprehensif, sistematis, dan koheren dari al-Qur’an dalam bertutur mengenai
suatu objek-permasalahan.
44 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
Setelah satu ilustrasi pendahuluan di atas, dalam Pembahasan berikut
penulis akan menyuguhkan lebih lanjut beberapa kisah yang bisa dijadikan
ilustrasi mengenai sisi-filosofis al-Qur’an. Dalam tulisan ini, penulis akan
membagi ilustrasi mengenai sisi filosofis al-Qur’an ke dalam enam cabang
tradisional filsafat, yaitu: logika, epistemologi, kosmologi, metafisika, etika
dan estetika. Namun, sebelum lebih lanjut masuk ke dalam pembahasan
mengenai sisi-filosofis al-Qur’an, ada informasi menarik lainnya dalam alQur’an dalam kaitannya dengan karakteristik filsafat. Bila kita merujuk surat
Ibrahim, ayat 24-26, di situ kita akan mendapati sebuah parabel yang menarik,
“...perumpamaan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik:
akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit; pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya... Dan
perumpamaan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk:
akar-akarnya telah tercerabut dari bumi, sehingga tidak dapat tetap
[tegak] sedikitpun.”
Ayat di atas memberi ilustrasi bagaimana sebuah tatanan “kalimat” yang
baik, yaitu: akarnya menghunjam-kuat ke tanah, sementara cabangnya
menjulang ke langit, dan pohon tersebut menghasilkan buah. Dengan demikian,
meskipun secara eksplisit istilah filsafat tidak disebut dalam al-Qur’an, namun
kita bisa menjumput beberapa unsur yang ada di dalamnya yang berkaitan
dengan filsafat. Karakterikstik radikal dan kritis dari filsafat bisa diisyaratkan
oleh terma “akarnya menghunjam-kuat ke tanah” mengingat istilah radikal,
dari bahasa latin radix, berarti “akar”, di mana akar tersebut secara selektif
menyerap berbagai bahan-makanan di dalam tanah yang berguna bagi “tubuh”nya; karakteristik komprehensif digambarkan oleh frase “cabangnya menjulang
ke langit” yang berarti meliputi berbagai aspek; sistematis dan koheren
digambarkan oleh istilah “memberikan buah,” karena koheren maksudnya
adalah tidak-saling bertentangan, dan pohon yang baik manakala semuanya,
mulai dari akar, batang, cabang, ranting, dan buah, saling bersinergi sebagai
sebuah entitas yang sistematis dan tidak saling menegasikan.
Penulis telah memaparkan beberapa karakteristik filsafat yang dimaksud.
Selanjutnya, bagian berikut akan memberikan gambaran lebih jauh mengenai
sisi-filosofis al-Qur’an dengan merujuk ke enam cabang filsafat: logika,
epistemologi, kosmologi, metafisika, etika, dan estetika.
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
45
PEMBAHASAN
A. Logika dalam al-Qur’an: Dimensi Praktis
Logika merupakan cabang filsafat yang mencoba menggariskan
peraturan-peraturan yang bisa menuntun subjek yang berfikir ke arah pemikiran
yang benar (Titus, 1984: 25). Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Hornby, 1995: 1241), berfikir (to think), didefinisikan, salah satunya,
sebagai “to direct one’s thought to a certain subject” (mengarahkan pikiran
ke suatu pokok-permasalahan tertentu). Jika kita sedang berfikir tentang Tuhan,
misalnya, berarti kita sedang mengarahkan pikiran kita ke pokokpermasalahan tersebut, yaitu Tuhan. Logika, dalam hal ini, memberikan koridor
agar pemikiran kita tentang pokok-permasalahan tersebut tidak mengalami
sesat-fikir (fallacy).
Secara teoretis, al-Qur’an memang tidak membicarakan logika; namun
secara praksis, al-Qur’an telah banyak menerapkan prinsip-prinsip logika
dalam berbagai pokok-permasalahan, misalnya ketika berbicara tentang Tuhan.
Ketika membawa perenungan tentang Tuhan, kitab-suci umat Islam ini tidak
memberikan definisi secara langsung apa itu Tuhan. Yang diberikan al-Qur’an
adalah menggambarkan beberapa karakteristik berkenaan dengan-Nya.
Melanjutkan ilustrasi awal dalam Pendahuluan mengenai pencarian Ibrahim
tentang Tuhan, meskipun di situ tidak secara eksplisit disebutkan karakteristik
Tuhan, namun kita bisa menarik inferensi tentang “Apa” atau “Siapa” yang
layak disebut sebagai Tuhan ketika Ibrahim menyatakan, “Aku tidak suka
yang tenggelam.” Dengan pernyataannya ini, berarti al-Qur’an, melalui
penuturan Ibrahim, memberikan karakteristik tentang Tuhan, bahwa Tuhan
bukanlah “yang tenggelam” atau “yang dikalahkan,” melainkan kebalikannya:
“Yang Maha Kuasa.” Melalui penuturan Ibrahim pula bisa kita nyatakan bahwa
Yang Maha Kuasa, menurut al-Qur’an, bukan salah satu di antara faktaempiris, karena yang bersifat empiris ini masih masuk dalam lingkaran-setan
yang dikuasai oleh yang lain. Selanjutnya, tentu muncul pertanyaan, “Kalau
demikian, siapakah yang dimaksud dengan Yang Maha Kuasa itu?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas, menarik untuk melanjutkan kisah
lain tentang Ibrahim dalam kaitannya dengan karakteristik Tuhan sebagai Yang
Maha Kuasa, yang tertera dalam surat al-Baqarah: 258. Ketika Ibrahim didebat
oleh Namrudz, Raja Babilonia, tentang siapakah Tuhannya, Ibrahim menjawab
bahwa Tuhannya adalah “yang kuasa menghidupkan dan mematikan.”
Kemudian Namrudz menimpali bahwa dia pun memiliki kuasa untuk
46 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
menghidupkan (membiarkan hidup) dan mematikan (menghukum mati),
sehingga Namrudz pun berhak menyandang predikat sebagai Tuhan. Maka,
Ibrahim melanjutkan proposisinya, “Sesungguhnya Tuhan memiliki kuasa
menerbitkan matahari dari timur,” kata Ibrahim, “maka terbitkanlah matahari
itu dari barat.” Dengan kalimat-kritis yang bernada permintaan sekaligus
penyangkalan ini sang Namrudz pun terdiam-seribu-bahasa (buhita). Dengan
demikian, klaim Namrudz mengenai ketuhanannya pun runtuh, karena klaimnya
lebih luas dari pembuktiannya: tidak mampu membuktikan sisi ke-kuasa-annya
terhadap peredaran benda-benda semesta-angkasa.
Ibrahim termasuk Nabi yang sering dikisahkan berdebat tentang
ketuhanan dengan ketajaman logika. Permainan cantik logika kembali
dipraktekkan Ibrahim dengan “menghabisi” patung-patung yang dijadikan
sesembahan kaumnya, dan menyisakan patung yang terbesar. Ketika kaumnya
menuduhnya telah melakukan perbuatan tersebut, maka Ibrahim pun dengan
cerdik mengarahkan telunjuk ke patung yang terbesar dan memposisikannya
sebagai pihak tertuduh. Ketika kaumnya menyatakan bahwa tidak mungkinlah
patung terbesar itu yang melakukan pengrusakan patung-patung lainnya,
Ibrahim pun melontarkan pertanyaan yang menggugat koherensi pola-pikir
dan tindakan kaumnya, “lalu bagaimana kalian menyembah selain Allah
sesuatu yang tidak kuasa memberi manfaat dan mendatangkan
madharat kepada kalian?” (QS. al-Anbiya’: 62-66).
Meskipun Namrudz dan rakyatnya jelas dikalahkan oleh Ibrahim dengan
jalan kekuatan logika, namun dengan “logika kekuatan” yang dimilikinya,
Namrudz tetap memerintahkan agar Ibrahim diberi hukuman, yaitu dilemparkan
ke api-unggun. Pada titik ini, Ibrahim mengeluarkan pertanyaan yang lagi-lagi
mengundang penalaran logis: manakah yang lebih aman, berlindung kepada
“Sesuatu” yang memiliki kuasa berbuat sesuatu, ataukah berlindung kepada
“sesuatu” yang tidak kuasa berbuat sesuatu apa pun? (QS. al-An’am: 81).
Pertanyaan yang sangat logis ini tetap tidak menyentuh kesadaran mereka,
bahkan menyulut mereka untuk berseru, “Bakarlah dia dan bantulah Tuhantuhan kalian...” (QS. al-Anbiya’: 68). Kemudian terbuktilah proposisi
Ibrahim ketika kemudian “Sesuatu” yang diyakininya kuasa berbuat sesuatu
itu turun-tangan dan menyelamatkan Ibrahim dengan Sabda-Nya, “Wahai
api, jadilah engkau dingin, dan keselamatan atas Ibrahim” (QS. alAnbiya’: 69). Dari sini, semakin lengkaplah keyakinan Ibrahim bahwa “Yang
Maha Kuasa” itu bukanlah yang masuk dalam daftar fakta-empiris-terlihat,
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
47
melainkan “Sesuatu” di seberang fisik, “Sesuatu” yang, di kali lain, pernah
dimintanya untuk memperlihatkan kuasa bagaimana menghidupkan yang mati
(QS. al-Baqarah: 260).
Dari berbagai fragmen kehidupan Ibrahim, jelaslah perjalanannya dalam
mencari Tuhan melalui proses penalaran logis: dimulai dari pengamatan terhadap
fakta-empiris, sampai kepada kesimpulan bahwa yang layak menyandang
predikat sebagai “Tuhan” bukanlah salah satu di antara fakta-empiris tersebut,
melainkan “Sesuatu” di seberang fisik yang, meskipun tak-terlihat, memiliki
kuasa terbesar atas fakta-empiris.
B. Al-Qur’an dan Kajian Epistemologi
Epistemologi merupakan “cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki” (Hardono Hadi, 1994: 5). Di antara kajian epistemologi yang
menyibukkan para filosof adalah: apakah sebetulnya pengetahuan itu; apa
yang menjadi sumber pengetahuan; bagaimana validitas berbagai pengetahuan;
bagaimana status-ontologis objek pengetahuan; bagaimana nilai sebuah
pengetahuan; dan apakah terdapat hierarki pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan epistemologi, al-Qur’an banyak menyodorkan
bahan-baku yang bisa menjadi titik-tolak perenungan filosofis. Bahan-baku
yang disodorkan tersebut di antaranya diilustrasikan melalui kisah-kisah
berikut. Mengenai “sumber pengetahuan,” misalnya, al-Qur’an menyodorkan
kisah tentang Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman. Dalam surat an-Naml: 44,
dikisahkan bahwa ketika Ratu Balqis diajak masuk oleh Nabi Sulaiman ke
dalam istananya, maka tiba-tiba sang ratu menyingkapkan kain yang menutupi
betisnya. Hal ini dilakukannya karena dalam pandangannya, lantai-istana
(sharkh) yang sebetulnya terbuat dari kaca (qawarir) tersebut, terlihat seolaholah kolam-air yang besar (lujjah). Jika kita mengajarkan filsafat kepada
mahasiswa Islam, kisah ini bisa kita jadikan ilustrasi mengenai perdebatan
filosofis antara penganut skeptisisme di satu sisi, dan penganut empirisisme di
sisi lain, bahkan juga penganut rasionalisme.
Kisah ini bisa menjadi argumen penguat bagi penganut aliran skeptisisme
bahwa “tidak ada sesuatu pun” (K. Bertens, 1994: 74) mengingat apa yang
kita cerap dengan indera ternyata menipu, sama halnya dengan fenomena
48 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
fatamorgana yang menipu pandangan, seperti disebutkan dalam al-Qur’an,
“seperti fatamorgana di dataran rendah yang disangka oleh orang yang kehausan
sebagai air, namun ketika didatangi tempat tersebut ternyata tidak didapatinya
air tersebut” (QS. an-Nur: 39). Kisah ini juga bisa dijadikan ilustrasi mengenai
hantaman aliran rasionalisme terhadap empirisisme, bahwa seringkali indera
itu menipu, sebagaimana banyak hal lain yang menunjukkan bahwa indera itu
menipu, dan dengan demikian tidak bisa diandalkan sebagai sumber
pengetahuan yang valid. Namun, kisah ini pun bisa dijadikan argumen penguat
bagi penganut aliran empirisisme, dengan argumentasi bahwa: kita bisa
mengenali penipuan indera juga dengan indera; sehingga dengan demikian,
indera tidak selamanya menipu. Dengan satu kisah yang bisa dijadikan
landasan-pijak awal bagi, minimal, ketiga aliran filsafat tersebut, kita selanjutnya
bisa masuk ke perdebatan-filosofis para filosof berkaitan dengan sumber
pengetahuan.
Mengenai hierarki pengetahuan, kita bisa mencomot kisah perjalanan
Musa dalam mencari ilmu. Dalam surat al-Kahfi: 60-82 diceritakan mengenai
kisah Musa yang berguru kepada “hamba Allah” yang diberi ‘ilmu ladunniy.
Di dalam kisah ini, dituturkan bahwa sang hamba Allah, yang sering disebut
sebagai Khidr, melakukan beberapa tindakan “aneh”, yaitu melubangi perahu,
membunuh pemuda, dan menegakkan dinding-rumah yang hampir roboh.
Tindakan aneh tersebut tentu membuat Musa yang mengikutinya mengalami
kebingungan. Kebingungan ini disebabkan oleh karena pengetahuannya yang
masih sangat terbatas. Pada saat Khidr sudah memberikan penjelasan (ta’wîl)
mengenai motif di belakang perilakunya yang aneh tersebut, barulah
kebingungan Musa terobati karena sudah bisa memahaminya. Kisah ini bisa
dijadikan sebagai ilustrasi mengenai pengetahuan yang bersifat hierarkis,
bertingkat-tingkat. Kisah yang berkaitan dengan hierarki pengetahuan bisa
juga diambil dari dialog antara Tuhan dan malaikat berkenaan dengan rencana
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pada saat malaikat merasa
“aneh” dengan akan dijadikannya makhluk yang “merusak dan menumpahkan
darah” sebagai khalifah, Tuhan pun melakukan ujian atas pengetahuan malaikat,
yang kemudian menggiring kepada kesadaran bahwa pengetahuan mereka
sangat terbatas (QS. al-Baqarah: 30-33).
Berkaitan dengan “nilai pengetahuan” muncul perdebatan di kalangan
filosof mengenai masalah apakah sebetulnya pengetahuan itu memiliki nilai.
Secara garis besar, mereka terbelah ke dalam dua kelompok: satu kelompok
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
49
mempercayai value-neutral dari pengetahuan, bahwa pengetahuan itu bebasnilai; dan satu kelompok lainnya mempercayai sisi value-added dari
pengetahuan, bahwa pengetahuan mestilah memiliki muatan-nilai. Untuk
mengantar pembahasan kepada pokok-permasalahan filosofis ini, kita, sekali
lagi, bisa merujuk kepada kisah ratu Balqis di atas, bagaimana pengetahuan
yang keliru (“menganggap lantai istana sebagai kolam-air”) bisa menggiring
kepada perilaku yang keliru pula (“menyingkap kain yang menutupi betisnya”).
Untuk memperkaya ilustrasi ini, kita bisa mengambil kisah lain dalam al-Qur’an,
surat al-Baqarah: 102, yang menceritakan kisah malaikat Harut dan Marut
yang mengajarkan sebuah pengetahuan yang bisa “memisahkan pasangan
hidup: suami-istri”. Dari sini, kita bisa beranjak kepada pembahasan mengenai
permasalahan apakah sebetulnya pengetahuan itu bebas-nilai ataukah
bermuatan nilai.
C. Kajian Kosmologi
Kosmologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakekat alamsemesta: bagaimana asal-usulnya; apa yang menjadi bahan-dasarnya (arche);
bagaimana strukturnya sehingga bisa tertib-teratur (kosmos) seperti sekarang;
apakah bersifat statis ataukah berkembang; apakah akan mengalami
kehancuran; dan apakah akan mengalami penciptaan-ulang sesudah
kehancurannya.
Berkaitan dengan kosmologi ini, al-Qur’an banyak menyodorkan
proposisi-proposisi yang bersifat saintifik. Mengenai masalah bagaimana alam
semesta ini “lahir” misalnya, al-Qur’an memberikan statement, “Tidakkah
orang-orang yang ingkar itu melihat bahwa langit dan bumi itu pada
awalnya satu-padu, kemudian kami pisahkan keduanya” (QS. al-Anbiya’:
30). Ayat ini bisa kita jadikan titik-tolak perenungan filosofis mengenai apakah
sebetulnya alam semesta itu qadim (azali) ataukah hadits (baru), yang sering
diperdebatkan para filosof Muslim itu; juga mengenai apakah alam-semesta
itu diciptakan dari sesuatu bahan, ataukah tidak (creatio ex nihilo). Sedangkan
masalah apakah alam semesta itu bersifat statis ataukah mengembang (expanding) al-Qur’an menyodorkan terma mûsi’ûn/kami meluaskannya (QS.
al-Dzariyat: 47). Apakah terma tersebut bisa dijadikan sandaran argumentasi
bahwa alam-semesta itu mengembang? Di sinilah interpretasi atas ayat ini
menjadi menarik ketika dikaitkan dengan persoalan saintifik-filosofis.
50 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
Kemudian, entah mengembang atau statis, persoalan lainnya adalah apakah
alam-semesta yang “lahir” tersebut juga akan mengalami “kematian”
(:kehancuran)? Al-Qur’an banyak sekali menyinggung persoalan ini dalam
kaitannya dengan akan terjadinya kiamat. Namun, kita bisa membawa ayatayat itu ke “mahkamah” penalaran rasional: apakah bisa dipertanggungjawabkan di hadapan logika-filosofis, ataukah tidak.
D. Bidang Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang bergelut dengan permasalahan
di seberang fisik, dan mencoba untuk merangsak-masuk lebih dalam lagi ke
alam di balik realitas fisik dengan “membicarakan watak-watak yang
sesungguhnya (ultimate) dari benda-benda atau realitas-realitas yang berada
di belakang pengalaman langsung” (Harold H. Titus, dkk., 1984: 25).
Selain kisah kisah pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrahim yang
mengarah ke alam di seberang fisik, kisah mengenai Ratu Balqis dan Nabi
Sulaiman di muka sebetulnya juga bisa kita pakai sebagai titik-berangkat untuk
perenungan metafisis: kalau panca-indera bisa menipu dengan adanya
halusinasi, maka apakah tidak demikian halnya dengan akal kita: apakah kita
tidak tertipu oleh akal kita sendiri, dan menganggap sesuatu itu nyata-ada
padahal sebetulnya tidak nyata-ada? Dari sini kita bisa masuk ke perenunganperenungan, misalnya, yang dilakukan oleh al-Ghazali dan Rene Descartes
mengenai keraguan-metodis.
Dengan pernyataan Rene Descartes “cogito ergo sum”-nya (Aku berfikir
maka aku ada), selanjutnya kita bisa membahas apakah sebetulnya yang nyatanyata ada itu: apakah bersifat materi atau bersifat idea? Dari pintu-pembahasan
ini, kita bisa menyinggung surat al-A’raf: 172 untuk masuk dalam perenungan
Plato tentang Realitas yang Kekal dan alam yang berubah, yang merupakan
sintesa dari dua filosof sebelumnya, Parmenides yang bersikukuh bahwa
semesta sepenuhnya kekal tidak berubah (what is, is) dan Herakleitos yang
meyakini bahwa semesta setiap waktu mengalami perubahan sebagaimana,
you cannot step twice in the same river (setiap kali kita menyeberangi
sungai yang sama, maka airnya tidak sama; segalanya mengalir/panta rhei)
(Bertens, 1994: 43-48).
Jika metafisika dimaknai dengan realitas di balik alam-fisik, maka alQur’an sebetulnya banyak sekali menyinggung persoalan ini, mengingat obyek
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
51
utama yang disodorkan al-Qur’an untuk dipercayai—Tuhan, malaikat,
eskatologi—masuk dalam lingkup ini; bahkan al-Qur’an sendiri pada awalnya
melalui proses metafisis, seperti diisyaratkan Tuhan dalam sabda-Nya, “Dan
sekiranya Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas sehingga
mereka bisa memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya
orang-orang yang ingkar itu akan berkata, ‘Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata,’” (QS. al-An’am: 7). Objek-objek yang disodorkan al-Qur’an
ini, karena bersifat di seberang fisik (meta-fisis) bisa kita jadikan objek
perenungan filosofis, apakah bisa dipertahankan secara rasional ataukah tidak.
E. Kajian Etika
Etika merupakan cabang filsafat yang mendiskusikan apakah hakekat
hidup itu, dan bagaimana menjalani sebuah hidup yang bermakna. Etika
“merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai
manusia (Frans Magnis-Suseno, 1997: 5). Dengan demikian, etika mencoba
merumuskan pola agar kehidupan manusia tidak “seperti binatang-ternak,
atau bahkan lebih parah dari itu” (QS. al-A’raf: 179).
Salah satu persoalan utama dalam etika adalah apa yang sesungguhnya
menggerakkan manusia untuk melakukan aktivitas; apa motivasi dasar mereka,
dan apa yang mereka kejar? Untuk memulai pembahasan filosofis mengenai
persoalan ini, kita bisa menjumput beberapa ilustrasi al-Qur’an mengenai
karakteristik orang munafik dan orang beriman dalam melakukan suatu
aktivitas, misalnya dalam hal melaksanakan shalat: mengapa orang munafik
“berdiri dengan malas” (QS. al-Nisa’: 142) sementara orang beriman
melakukan shalat dengan penuh kekhusu’an (QS. al-Mu’minun: 2). Mengapa
orang dengan karakteristik berbeda menanggapi secara berbeda pula suatu
aktivitas? Dari ilustrasi ini, kita selanjutnya mencoba membahas alternatifalternatif yang diajukan oleh, misalnya, Epikuros, Stoa, Aristoteles, Plato,
Immanuel Kant, dan tokoh-tokoh etika lainnya berkaitan dengan apa yang
mendorong dan dikejar oleh manusia dalam berbagai aktivitasnya, dan
bagaimana yang ideal menurut para tokoh tersebut.
F. Estetika
Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas hakekat keindahan,
dengan merujuk kepada beberapa pembahasan, seperti: apa sebetulnya indah
52 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 41-54
itu; bagian mana dari kita dan objek yang kita cerap yang membuat kita
menyebutnya indah; adakah perbedaan antara perasaan estetis dan perasaan
lainnya (Tim Penulis Rosda, 1995: 5).
Dalam kaitannya dengan estetika, al-Qur’an memberikan beberapa
ilustrasi berupa kisah dan proposisi afirmatif. Kisah yang sangat menarik dalam
al-Qur’an dalam kaitannya dengan nilai estetis adalah tentang Zulaikha beserta
komunitas kaum hawa-nya, dan Yusuf. Seperti diceritakan dalam surat Yusuf:
23-32 bahwa Zulaikha “terperangkap” oleh pesona keindahan yang mewujud
dalam diri Yusuf, sehingga berupaya untuk merayunya agar Zulaikha bisa
merasakan keindahan itu; meskipun kemudian rayuan Zulaikha itu ditolak oleh
Yusuf. Ketika komunitas kaum hawa mendengar isu Zulaikha dan Yusuf
tersebut, mereka pun membuat gosip yang memerahkan telinga Zulaikha,
sehingga memaksa Zulaikha untuk mendesain strategi agar komunitasnya
tersebut tidak mencemoohnya. Caranya adalah memberi mereka pisau untuk
mengiris hidangan, dan kemudian menghadirkan Yusuf di “cat-walk” agar
mereka melihatnya. Maka, tatkala kaum hawa tersebut melihat keindahan
yang terpancar pada diri Yusuf, mereka pun lupa-diri dalam arti harfiahnya:
mereka melukai tangan sendiri tanpa sadar demi melihat Yusuf. Ini adalah
salah satu perasaan yang terserap oleh objek keindahan, dan dari sini kita
bisa bertolak untuk membahas persoalan filosofis apa sebetulnya keindahan
itu, dan di manakah sebetulnya nilai keindahan itu ada.
Filosof Jerman, Immanuel Kant, pernah berujar, “Dua hal memenuhi hati
sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin
bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan-diri berkali-kali
dan tanpa henti: langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku.”
(Tjahjadi, 1997: 5). Entah filosof ini pernah membaca al-Qur’an ataukah tidak,
ayat al-Qur’an berikut menyodorkan fenomena alam sebagai objek keindahan,
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis; tidak akan engkau lihat
ketidakseimbangan dalam ciptaan-Nya—maka ulangilah pandanganmu,
adakah engkau temukan cacat?; kemudian ulangilah pandanganmu sekali lagi,
niscaya tetap tidak akan engkau temukan cacat sampai pandanganmu sendiri
menjadi letih. Dan langit-dunia telah Kami hiasi dengan bintang-bintang...”
(QS. al-Mulk: 3-5). Ayat ini bisa juga kita jadikan sebagai ilustrasi untuk
memulai perenungan tentang keindahan.
Sisi Filosofis Al-Qur’an (Aris Widodo)
53
PENUTUP
Al-Qur’an merupakan kitab-samawi yang mampu mengakomodasi
berbagai level pemikiran manusia. Sebagaimana ia bisa dipahami oleh orang
yang tingkat intelektualitasnya rata-rata, al-Qur’an juga bisa dianalisa oleh
orang dengan tingkat intelektualitas tinggi, tentu dengan hasil ketajaman analisa
yang berbeda. Begitu juga, al-Qur’an bisa ditilik dari sudut hukum, kalam,
filsafat, dan tasawuf, terkait dengan kecenderungan sang pen-tadabbur kitabsuci umat Islam ini. Maka jika kita mengkaitkan al-Qur’an dengan matakuliah filsafat, sebetulnya kitab ini memberikan bahan yang melimpah bagi
perenungan-perenungan filosofis. Tulisan ini memberikan ilustrasi bagaimana
al-Qur’an dengan kisah-kisah yang disuguhkannya bisa menggugah sensitivitas
filosofis kita. Sambil merujuk ke enam cabang filsafat, yaitu logika, epistemologi,
kosmologi, metafisika, etika, dan estetika, tulisan ini berupaya menunjukkan
bahwa al-Qur’an itu dalam aspek tertentu bisa kita klaim memiliki sisi-filosofis.
Dengan demikian, ketika mengampu mata-kuliah filsafat kita bisa “sekali
merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui”: di satu sisi mengajak mahasiswa
men-tadabbur-i al-Qur’an, dan di sisi lain membawa anak-didik ke
perenungan filosofis.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Gallagher, Kenneth T., Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono
Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford
University Press, 1995
Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad
ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Musa, Faydh Allah ibn, Fat% al-Ra%mân li-þâlibi âyâti al-Qur’ân,
Indonesia: Maktaba al-Dahlan (t.t.).
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
Titus, Harold H. dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Tjahjadi, S. P. Lili, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika
dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Download