n TA. 2015 5 Proposall Penelitian SIST TEM KO OMUNIK KASI DA ALAM P PEMANF FAATAN N BIBIT T PADI TO OLERAN N RENDA AMAN SEBAGA S AI ADAP PTASI K KELUAR RGA T TANI TE ERHADA AP PER RUBAHA AN IKLIIM T Tim Peneliiti: RITA A NUR SUH HAETI PU USAT SOSIIAL EKONO OMI DAN KEBIJAKAN K N PERTANIAN BA ADAN PENELITIAN DAN D PENGE EMBANGAN PERTAN NIAN KEMENT TERIAN PE ERTANIAN 2014 Bab I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang rakyatnya mengkonsumsi beras paling tinggi di dunia (Suswono, 2013). Menurut Wirjawan (2012), kebutuhan beras per kapita Indonesia adalah 139 kg/tahun, lebih dari negara-negara yang rakyat mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok, misalnya Jepang: 60 kg/tahun, China: 70 kg/tahun,Thailand:79 kg/tahun. Selain merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95 persen rakyat Indonesia, padi juga telah menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Puslitbang Tanaman Pangan, 2013). Produksi padi dapat berasal dari lahan sawah irigasi (irrigated lowland), lahan kering (upland, rainfed), dan lahan basah (wetland). Lahan basah terdiri dari rawa pasang surut (tidal swamp), rawa lebak (lowland swamp) dan lahan tergenang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut di atas, produksi beras dalam negeri dituntut untuk terus-menerus meningkat. Namun untuk dapat meningkatkan produksi banyak menghadapi tantangan, antara lain: (1) alih fungsi lahan-lahan subur yang memiliki produktivitas tinggi; (2) kehilangan saat panen dan pascapanen yang belum dapat diatasi secara baik dan benar dan (3) dampak negatif perubahan iklim. Alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) menjadi lahan non-pertanian (bangunan, jalan, keperluan industri, dsb.) tidak dapat dihindari karena land rent ratio dari sektor pertanian lebih kecil dari pada sektor industri dan jasa. Padahal sebagian besar alih fungsi lahan terjadi di lahan subur yaitu di Pulau Jawa, sehingga memperburuk pertumbuhan produksi beras. Selain itu, kehilangan atau susut selama pengolahan padi menjadi beras juga memberikan kontribusi dalam menghambat laju pertumbuhan produksi beras. Perubahan iklim ini lebih sering menimbulkan dampak negatif (Mishra & Prakash, 2013) seperti bencana banjir terutama pada wilayah-wilayah pesisir dan rawan tergenang, misalnya rawa lebak atau rawa pasang surut, atau lahan yang terkena banjir. Perubahan iklim banyak memicu badai sehingga kemungkinan terjadi banjir atau genangan semakin tinggi. Dengan adanya kejadian banjir, petani bisa mengalami kerugian bahkan terancam puso karena tidak mampu menyediakan modal pengganti biaya usahatani. Makarim dkk., (2011) menyebutkan bahwa daerah rawan banjir di Indonesia semakin meluas dengan frekuensi kejadian yang lebih sering menyebabkan kerusakan pertanaman (puso) atau penurunan hasil. Selanjutnya Makarim dkk., (2011) juga menyatakan bahwa daerah rawan banjir di Indonesia akibat perubahan iklim global semakin meluas dan dengan frekuensi kejadian yang lebih sering. Daerah-daerah tersebut umumnya memiliki pertanaman padi yang cukup luas, karena sejak lama daerah ini cukup air dan datar sehingga digolongkan ke sangat sesuai dalam sistem klasifikasi kesesuaian lahan untuk padi sawah. Makarim dkk., (2009) menyebutkan bahwa area rawan banjir di Indonesia diperkirakan seluas 13,3 juta ha, terdiri atas 4,2 juta ha genangan dangkal, 6,1 juta ha genangan sedang dan 3 juta ha genangan dalam. 1.2. Dasar Pertimbangan dan Hasil Penelitian yang Telah Dicapai Kerugian petani padi akibat dampak perubahan iklim dapat dikurangi dengan mengganti varietas padi yang ditanam dengan varietas tahan genangan (submergence tolerant), biasa disebut Bibit Sub-1. Varietas padi ini dapat bertahan terendam air (banjir)sampai 14 hari (Adnyana dkk., 2009). Kenyataan ini didukung oleh Peñalba dan Elazegui (2013) yang menyimpulkan bahwa petani di Laos yang lahannya rentan terhadap banjir dan tanah longsor memerlukan varietas padi toleran rendaman. Rata-rata kehilangan hasil akibat bencana banjir di Jawa Barat adalah 1.005 kg/ha, sedangkan kehilangan hasil akibat kekeringan adalah 273 kg/ha (Adnyana dkk., 2009). Di Sumatera Selatan, kerugian tersebut mencapai 570 kg/ha jika terendam kurang dari tujuh hari, sedangkan jika terendam lebih dari tujuh hari maka kehilangan hasil dapat mencapai 1.606 kg/ha. Penggunaan varietas toleran rendaman diharapkan dapat mengurangi kerugianpetani. Namun ketersediaan bibit padi toleran rendaman (PTR) dan kemauan serta kesadaran petani untuk menggunakannya masih banyak dipertanyakan. Misalnya, di Sulawesi Tengah petani di lahan rawa masih tetap menggunakan varietas padi lahan sawah irigasi yang produktivitasnya rendah (1,27 ton/ha). Padahal jika menggunakan bibit PTR, potensi produktivitasnya lebih tinggi yaitu 7,5-10,17 ton/ha (Basrum dkk., 2012). Jika lahan rawan genangan dan banjir seluas 13,2 juta ha diusahakan dengan padi toleran rendaman, maka potensi produksi yang akan diperoleh adalah 99,75 – 135,26 juta ton gabah kering panen (GKP)/musim. Konversi GKP menjadi gabah kering giling (GKG) adalah 86,02 persen, sehingga akan diperoleh GKG sebesar 85,81 -116,35 juta ton/musim. Angka konversi GKG menjadi beras adalah 62,74 persen, sehingga jumlah GKG tersebut di atas setara dengan 53,84-73,00 juta ton beras. Jika kebutuhan beras Indonesia sekitar 35 juta ton/tahun (Puslitbang Tanaman Pangan, 2013) maka potensi produksi ini dapat memenuhi kebutuhan beras Indonesia lebih dari setahun. Perlu diingat bahwa angka tersebut baru dalam jangka waktu satu musim. Jika Indeks Pertanaman (IP) dapat ditingkatkan, potensi produksi bisa lebih tinggi. Dalam usahatani padi sawah, kegiatan pra-panen terutama pengolahan lahan sampai penanaman bibit padi mengambil proporsi biaya yang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa secara nasional biaya usahatani dengan imputasi (sewa lahan dan tenaga kerja keluarga dihitung sebagai pengeluaran), besarannya dapat mencapai lebih dari Rp 10 juta/ha, dan jika tidak diperhitungkan biayanya mencapai sekitar 50 persen. Proporsi biaya untuk bibit dan pengolahan lahan sampai siap tanam adalah sepertiganya atau sekitar 30-35%, baik dengan imputasi atau pun tanpa imputasi (BPS, 2008). Jika bibit padi yang dipakai bukan yang tahan genangan maka jika terjadi genangan/banjir, petani harus menyediakan ulang biaya Bibit, pupuk dan pestisida dan pengolahan lahan sampai siap tanam. Jika tidak diganti maka dapat dipastikan petani akan mengalami puso. Pada periode tahun 2007 sampai dengan 2009, Pulitbang Tanaman Pangan bekerja sama dengan International Rice Research Institute (IRRI) dan dukungan Pemerintah Jepang telah menyebarkan varietas padi toleran rendaman kepada para petani di berbagai wilayah rawan banjir dan daerah rawa/pasang surut Indonesia, seperti Pantai Utara Jawa, rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan rawa lebak di Sumatera Bagian Selatan. Varietas padi toleran rendaman tersebut adalah Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 5. Penyebaran varietas toleran rendaman ini sudah mencapai seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya sangat rendah (Basrum dkk., 2012). Menurut Ikhwani (komunikasi pribadi, 2013), preferensi petani terhadap varietas baru toleran rendaman memang rendah karena petani lebih menyukai varietas yang lama (Ciherang), selain itu beras dari padi toleran rendaman kurang laku dijual di pasaran atau jika laku pun harganya lebih rendah. Sayaka dkk., (2006) menyatakan bahwa sistem penyediaan bibit tradisional (tidak melalui sistem formal) masih banyak dilakukan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Tatlonghari et al., (2012) bahwa keputusan adopsi varietas padi baru sangat dipengaruhi oleh keluarga/kerabat dan teman sesama petani. Selain itu, Tatlonghari et al., (2012) juga meneliti jaringan sosial berbasis gender untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan gender mempengaruhi keefektivan modal sosial melalui jaringan sosialnya. Selanjutnya, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa informasi peluang pria dan wanita bervariasi dalam hal paparan dan kontrol informasi. Perbedaan ini terutama dipengaruhi oleh setting sosial dan budaya dalam sistem pertanian padi dan masyarakat. Perbedaan gender harus diperhitungkan saat menyelidiki faktor-faktor penentu jaringan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan sosial berbeda berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, laki-laki yang telah berusia lanjut cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar, sedangkan perempuan dari keluarga petani kaya cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar. Diduga, kerja diseminasi masih belum optimal, terutama dalam mengajak petani sebagai sasaran pembangunan paham dan mau menerapkan hasil-hasil penelitian, termasuk berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan varietas padi toleran rendaman. Kerja diseminasi ini tentunya tidak akan terlepas dari mekanisme komunikasi dari tingkat pusat/nasional, regional/daerah sampai ke tingkat rumahtangga. Unsur komunikasi terdiri dari Sumber, Pesan, Saluran dan Penerima (Berlo, 1960). Sumber harus kredibel (dapat dipercaya) dan menarik. Sumber dapat terdiri dari penyuluh, pedagang saprotan, peneliti dan petani maju yang telah menggunakan varietas padi toleran rendaman (PTR). Pesan memiliki usnsur karakteristik seperti: menarik, lengkap, mudah dipahami dan sederhana. Di dalam penelitian ini yang menjadi inovasi adalah teknologi bibit PTR yang akan mendukung terjadinya peningkatan pendapatan yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga tani. Saluran komunikasi ada dua yaitu langsung (interpersonal) dan bermedia (cetak, elektronik). Penerima tentunya tidak dapat diabaikan, karena berbagai karakteristiknya tentu menentukan proses difusi inovasi yang terjadi. Karakteristik petani antara lain:(1) jenis kelamin; (2) kebutuhan riil: jumlah anggota keluarga; (3) keinovatifan: innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan kolot; (4) tingkat pendidikan, (5) pengalaman berusahatani, (6) keikutsertaan dalam pendidikan dan latihan usahatani; (6) norma-norma sosial: status sosial; (7) karakteristik sosek: pekerjaan; (8) luas penguasaan lahan; (9) status penguasaan lahan; (10) peubah personal (umur, jenkel, dll); (11) perilaku komunikasi (kekosmopolitan) dan (12) kepemilikan media komunikasi. Selain itu, terdapat berbagai faktor eksternal yang harus dipertimbangkan karena memepengaruhi proses difusi inovasi yaitu antara lain: (1) kebijakan; (2) budaya serta (3) sarana dan prasarana. Proses difusi inovasi terdiri dari lima jenjang (DeVito, 2011) yaitu: 1. Pengetahuan; (2) Persuasi; (3) Pengambilan keputusan; (4) Implementasi dan (5) Konfirmasi. Selain itu, dalam penyediaan bibit padi di tingkat petani, sering terjadi pertukaran bibit, dan peran perempuan dalam hal ini cukup signifikan (Tatlonghari et al., 2012). Jika petani sudah menerapkan dengan baik berbagai teknologi yang diintroduksikan, diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan sekaligus akan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Untuk itu, diperlukan penelitian tentang intervensi mekanisme komunikasi dan peran anggota keluarga dalam pemanfaatan bibit PTR, dikaitkan dengan dimensi sosial ekonomi keluarga petani sebagai adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Mencermati dan terkait dengan situasi dan kondisi di atas, perumusan masalah yang ada dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian? 2. Seperti apa sistem komunikasi (sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian? 3. Berapa besar pengaruh sistem komunikasi terhadap kondisi keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan PTR? 4. Bagaimana adaptasi keluarga petani padi, dan sejauh mana pengaruh proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR terhadap adaptasi keluarga tani tersebut; dan 5. Sejauhmana pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan mereka? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis kondisi keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (2) Menganalisis mekanisme komunikasi (sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (3) Menganalisis pengaruh mekanisme komunikasi terhadap kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; (4) Mengidentifikasi adaptasi keluarga petani padi dan menganalisis pengaruh kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; dan (5) Menganalisis pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan mereka. 1.4. Keluaran Penelitian Keluaran penelitian ini adalah: (1) Informasi kondisi keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (2) Informasi mekanisme komunikasi (sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (3) Informasi pengaruh mekanisme komunikasi terhadap kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; (4) Informasi adaptasi keluarga petani padi dan menganalisis pengaruh kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; dan (5) Informasi pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan mereka. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan yang Dirancang Penelitian diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mekanisme komunikasi (delivery system) tentang pemanfaatan bibit PTR termasuk kesadaran petani dan keluarganya tentang perubahan iklim dan daya adaptasinya. Mekanisme komunikasi itu sendiri akan dilihat mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten sampai ke tingkat rumahtangga khususnya dalam pemanfaatan bibit PTR serta adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim tersebut. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan komunikasi diseminasi dan difusi inovasi tentang pemanfaatan bibit PTR dan adaptasi keluarga tani terhadap perubahan iklim. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya peningkatan produksi padi khususnya produksi padi dari wilayah rawan genangan serta untuk pengembangan teori komunikasi dalam difusi inovasinya. Bab II. 2.1. TINJAIAUAN PUSTAKA Kerangka Teoritis Komunikasi Berlo (1960) memusatkan perhatian pada proses komunikasi. Berlo menyatakan bahwa pemaknaan ada pada manusia bukan kata kata. Dengan kata lain pemaknaan dari sebuah pesan ada pada gerak tubuh para komunikan bukan pada pesan itu sendiri. Konsep sumber dan penerima diperluas. Berlo adalah yang pertama yang menempatkan pancaindera sebagai bagian dari komunikasi. Dalam model komunikasi Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri dari empat Proses Utama yaitu Source, Message, Channel, dan Receiver (SMCR) lalu ditambah tiga Proses Sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan. Source (Sumber): Sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau dalam komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya melibatkan individu, namun dalam hal ini sumberjuga melibatkan banyak individu. Misalnya, dalam organisasi, partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga sering dikatakan sebagai source, sender, atau encoder. Menurut Berlo, source dan receiver dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: keterampilan berkomunikasi, tindakan yang diambil, luasnya pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan lingkungan sekitar. Message (Pesan): pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan disampaikan oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif, edukatif, persuasif, dan juga bisa bersifat propaganda. Pesan dapat disampaikan melalui dua cara, yaitu secara verbal dan nonverbal yang bisa disampaikan melalui tatap muka atau melalui sebuah media komunikasi. Pesan bisa juga dikatakan sebagai message, content, atau information. Pesan yang diutarakan dikembangkan sesuai dengan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Kemudian channel yang akan digunakan berhubungan langsung dengan panca indera, yaitu dengan melihat, mendengar, menyentuh, mencium bau-bauan, dan mencicipi. Channel (saluran komunikasi): Sebuah saluran komunikasi terdiri atas tiga bagian. Lisan, Tertulis, dan Elektronik. Media disini adalah sebuah alat untuk mengirimkan pesan tersebut. Misal secara personal (komunikasi interpersonal), maka media komunikasi yang digunakan adalah panca indra atau bisa memakai media telepon, telegram, handphone, yang bersifat pribadi. Sedangkan komunikasi yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan media cetak (koran, surat kabar, majalah, dll.), dan media elektornik(TV, Radio). Untuk Internet, termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat massa, karena internet mencakup segalanya. Receiver (Penerima Pesan): Penerima adalah orang yang mendapatkan pesan dari komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting dalam menjalankan sebuah proses komunikasi, karena, penerima menjadi sasaran dari komunikasi tersebut. Penerima dapat juga disebut sebagai publik, khalayak, masyarakat, dll.Receiver meliputi aspek keterampilan dalam berkomunikasi, sikap,pengetahuan,system social, kebudayaan. Elemen tambahan yang terdiri dari: (1) Feedback (Umpan Balik): adalah suatu respon yang diberikan oleh penerima. Penerima disini bukan dimaksudkan kepada penerima sasaran (khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu sendiri; (2) Effect: Sebuah komunikasi dapat menyebabkan efek tertentu. Efek komunikasi adalah sebuah respon pada diri sendiri yang bisa dirasakan ketika kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah menerima pesan. Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan, perasaan, dan perilaku (kognitif, afektif, dan konatif); dan (3) Lingkungan: adalah sebuah situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi. DeVito (2011) menjelaskan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial-psikologis, dan temporan. (a) Lingkungan merupakan tempat terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata; (b) Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat didalam komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka berkomunikasi. Termasuk didalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau;(c) Dimensi temporal (waktu) merupakan waktu pada saat komunikasi berlangsung. Secara grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada Gambar 1: Gambar 1. Universal K Komunikasi A Antarmanussia Menurutt DeVito elanjutnya DeVito mengatakan b bahwa tuju uan manusia berkomu unikasi adallah untuk Se penemu uan diri, berhubungan,, baik deng gan keluarga a, tetangga a, maupun teman kanttor, untuk meyakin nkan, dan untuk berma ain. Komunikkasi tersebu ut dilakukan n secara lang gsung maup pn melalui media. 005) meng gemukakan bahwa dalam komun nikasi diken nal adanya berbagai Litttlejohn (20 komunikkasi yaitu komunikasi intrapriba adi, komunikasi antarrpribadi, ko omunikasi kkelompok, komunikkasi organiisasi dan komunikasi massa. (a a) Komunikasi intrap pribadi (intr trapersonal commun nication) ad dalah komun nikasi yang terjadi dala am diri sese eorang. Kom munikasi inttra pribadi meneka ankan bagaimana jalannya proses pengolahan n informasi yang dialam mi seseoran ng melalui sistem syaraf dan n inderanya a; (b) kom munikasi anttar pribadi (interperso onal comm munication) adalah komunikasi antar pero orangan da an bersifat pribadi baik yang terjjadi secara langsung (face to o face) maup pun melalui media (missalnya telep pon, surat); (c) komunikkasi kelomp pok (group commun nication) m memfokuskan n pembaha asannya pada interakksi diantara a orang-ora ang dalam kelompo ok kecil; (d) komunika asi organisasi (organiza ation comm munication) mengarah pada pola dan ben ntuk komun nikasi yang terjadi dalam kontekks dan jarin ngan organiisasi; (e) kkomunikasi massa (mass com mmunication) adalah ko omunikasi melalui m med dia massa yyang dituju ukan pada sejumlah khalayak yang besar. Laswell dalam Saleh (2006) menyatakan tentang fungsi komunikasi, yaitu untuk pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada didalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respon terhadap lingkungan tersebut; dan pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep pengamatan terhadap lingkungan merupakan pengumpulan dan distribusi informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat. melakukan Komunikasi sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Adapun fungsi komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke genderasi berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nailai, norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengertian Kesadaran Kesadaran adalah kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tahu atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali (dari pingsannya), siuman, bangun (dari tidur) ingat, tahu dan mengerti, misalnya, rakyat telah sadar akan politik. Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik dimana ia dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Refleksi merupakan bentuk dari penggungkapan kesadaran, dimana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif yang terdiri dari dua hal hakiki; diferensiasi dan integrasi. Meskipun secara kronologis perkembangan kesadaran manusia berlangsung pada tiga tahap; sensansi (pengindraan), perrseptual (pemahaman), dan konseptual (pengertian). Secara epistemology dasar dari segala pengetahuan manusia tahap perseptual. Sensasi tidak begitu saja disimpan di dalam ingatan manusia, dan manusia tidak mengalami sensasi murni yang terisolasi. Sejauh yang dapat diketahui pengalaman indrawi seorang bayi merupakan kekacauan yang tidak terdiferensiasikan. Kesadaran yang terdiskriminasi pada tingkatan persep. Persepsi merupakan sekelompok sensasi yang secara otomatis tersimpan dan diintegrasikan oleh otak dari suatu organisme yang hidup. Dalam bentuk persep inilah, manusia memahami fakta dan memahami realitas. Persep buka sensasi, merupakan yang tersajikan yang tertentu (the given) yang jelas pada dirinya sendiri (the self evidence). Pengetahuan tentang sensasi sebagai bagian komponen dari persepsi tidak langsung diperoleh manusia jauh kemudian, merupakan penemuan ilmiah, penemuan konseptual. Berdasarkan uraian diatas maka kesadaran petani dalam memahami perubahan iklim dan ketersediaan bibit PTR untuk memperbaiki pola usahatani yang dilakukannya, indikator dalam variabel kesadaran petani adalah kesadaran petani yang dibagi kepada dua hal yaitu (a) kesadaran diferensiasi dan (b) kesadaran integrasi. Pengertian preferensi Preferensi atau selera adalah sebuah konsep, yang digunakan pada ilmu sosial, khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat sebagai sumber dari motivasi. Di ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan pemilihan tujuan/goal. Banyak faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang yang dapat berasal dari lingkungan (stimulus) dan yang berasal dari individunya sendiri. Diantara faktor tersebut adalah adanya ketersedian informasi yang dimiliki dan motivasi seseorang untuk pencapaian suatu keinginan. Berdasarkan uraian di atas, maka preferensi petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah preferensi petani (sebagai sumber motivasi yang meliputi) dalam menentukan jenis Bibit yang digunakan dalam usahatani padi: (1) ketersediaan informasi, (2) keinginan berhasil, (3) pencapaian tujuan. Difusi inovasi Teori difusi inovasi dikemukakan Rogers (1995) dalam Littlejohn (2009) menyatakan bahwa inovasi disebarkan melalui jalur tertentu sepanjang waktu dan dalam suatu sistem sosial tertentu. Setiap manusia memiliki tingkat keinginan yang berbeda untuk mengadopsi inovasi. Hasil pengamatan Rogers menunjukkan bahwa porsi penduduk yang mengadopsi suatu inovasi mendekati distribusi normal dari waktu ke waktu. Jika distribusi normal ini dibagi sesuai dengan segmennya, didapatkan lima kategori keinovatifan seseorang yang diurutkan berdasarkan kecepatan pengadopsian suatu inovasi, yaitu; 1. Inovator: Adalah kelompokorang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orangorang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Jika kita kaitkan dengan perubahan iklim dan pemakaian Bibit toleran rendaman untuk mengatasi kondisi pertanian yang mengalami gangguan iklim, maka dapat dikatakan bahwa Inovator adalah seorang atau sekelompok orang yang berani untuk mencoba menanam padi dengan Bibit toleran rendaman. Kemudian Inovator akan memberikan informasi lebih baik dan mudah menjelaskan kepada pengguna Bibit toleran rendaman lainnya. Dalam hal ini ada berbagi pengalaman dalam bertani; 2. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru. Jika dikaitkan dengan pengaruh iklim dan penggunaan Bibittolerandan rendaman maka dapat dikatakan bahwa Pengguna awal dalam bibit PTR ini merupakan kelompok yang selalu mencari informasi tentang pola tanam ataupun informasi lain yang berhubungan dengan iklim dan Bibit toleran rendaman; 3. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan bibit PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas awal merupakan kelompok yang selalu membuat kompromi dengan kelompok lainnya untuk memutuskan dalam mengadopsi pola penggunaan bibit atau pola menghadapi perubahan iklim; 4. Mayoritas akhir: Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan bibit PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas akhir ini adalah kelompok yang akan melakukan adopsi dalam pola penggunaan bibit PTR, jika secara ekonomi mereka diuntungkan maka mereka akan melakukan penggunaan bibit PTR sebagai sebuah solusi untuk penggunaan bibit yang dapat mengatasi usahatani tidak gagal, dan 5. Kolot atau laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal-hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman. Dapat dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang sangat tradisional dan terlalu hati-hati. Para petani akan mengalami banyak hal dalam menerima informasi tentang perubahan iklim dan informasi inovasi Bibitpadi toleran rendaman yang merupakan salah satu Bibit yang dapat membantu dan mengatasi petani padi dalam usahatani. Lebih lanjut Rogers dalam Littlejohn (2009) mengemukan tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi yaitu; (1) Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika petani mulai melihat, dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik; (2) Pengadopsian: Dalam tahap ini petani mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh petani ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya; (3) Pengembangan Jaringan Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh petani. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadarkan petani mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa. Proses difusi inovasi mengarahkan petani untuk melakukan adopsi yang benar dan tepat. Rogers dalam Littlejohn (2009) dan Rogers (2003) menjelaskan fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi melakukan proses adopsi informasi sebagai berikut: 1. Tahap pengetahuan: Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui mediaelektronik, media cetak, maupun komunikasiinterpersonal di antara masyarakat; 2. Tahap persuasi: Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut; 3. Tahap pengambilan keputusan: Dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian. 4. Tahap implementasi: Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut, dan 5. Tahap konfirmasi: Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi. Keluarga Tani Berbagai definisi keluarga disampaikan para ahli, antara lain, keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Selain itu keluarga juga berarti kaum yaitu sanak saudara serta kaum kerabat.Definisi lainnya keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah,perkawinan,atau adopsi serta tinggal bersama. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dari berbagai segi. Pertama, dari segi orang melangsungkan perkawinan yang sah serta di karuniai anak.Kedua,lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak namun tidak pernah menikah.Ketiga dari segi hubungan jauh antaranggota keluarga, namun masih memilki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak dari orang lain. Beberapa pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat, bahkan hubungan tersebut bisa di sebut dengan hubungan lahir batin.Adanya hubungan ikatan darah menunjukkan kuatnya hubungan yang dimaksud. Hubungan antara keluarga tidak saja berlangsung selama mereka masih hidup tetapi setelah mereka meninggal dunia pun masingmasing individu. Individu masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Salah satu fungsi keluarga adalah adalah fungsi ekonomis, keluarga berusaha untuk memenuhi segala keperluan anggota keluarganya. Keluarga Tani adalah keluarga yang penghasilannya dominan berasal dari sektor pertanian. Perilaku ekonomi komunitas petani, secara implisit dan eksplisit mengidentifikasi hubungan antara dimensi ekonomi dan konteks sosial budaya suatu sistem berada. Beckerdalam Priyanti (2007) mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku rumahtangga dan merupakan dasar dari Ekonomi Rumahtangga Baru (New Household Economics). Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Formulasi ini menyatakan bahwa terdapat dua proses dalam perilaku rumahtangga, yakni proses produksi yang digambarkan oleh fungsi produksi dan proses konsumsi untuk memilih barang dan waktu santai yang dikonsumsi. Formulasi Becker tersebut tidak memasukkan variabel waktu santai, sehingga Gronaudalam Priyanti (2007) mengembangkan model ekonomi rumahtangga dengan membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga. Dengan asumsi bahwa perilaku rumahtangga untuk melaksanakan kegiatan rumahtangga dan waktu santai bereaksi sama terhadap perubahan lingkungan, Gronau berpendapat bahwa tidak adanya variabel waktu santai dalam formulasi Becker disebabkan oleh kesulitan dalam membedakan antara pekerjaan rumahtangga dan waktu santai. Singh dan Janakrim dalam Priyanti (2007) mengembangkan formulasi tersebut dengan model bahwa rumahtangga adalah pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi dalam hubungannya dengan alokasi waktu. Dari uraian di atas, maka sistem ekonomi rumahtangga petani yaitu yang terkait dengan: (1) produksi, (2) alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, (3) penggunaan input dan biaya produksi, (4) penerimaan dan pendapatan, (5) serta pengeluaran. Produksi sistem integrasi produksi padi dalam satu tahun. Penggunaan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk usaha padicurahan untuk usahatani milik orang lain, dan usaha di luar pertanian. Biaya sarana produksi terdiri atas biaya sarana penggunaan input produksi dan tenaga kerja. Penerimaan usaha merupakan jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dari masingmasing volume usahatani yang dihasilkan dengan harga output. Selisih antara masing-masing penerimaan usaha dan biaya sarana produksi merupakan pendapatan petani untuk usahataninya. Penerimaan dari usaha buruh tani maupun buruh non-pertanian, disamping penerimaan petani dari usaha luar pertanian dan usaha tetap lainnya juga merupakan pendapatan total rumahtangga petani. Struktur pengeluaran rumahtangga petani terdiri atas alokasi pengeluaran rutin yang harus dibayar untuk konsumsi pangan dan non-pangan, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebagai investasi sumberdaya, investasi produksi, tabungan dan cicilan kredit untuk usahatani. Bertrand dalam Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa proses-proses dalam sistem sosial mencakup:(a) komunikasi (communication); dalam sistem sosial komunikasi berfungsi sebagai suatu yang penting untuk menyampaikan informasi, mengutarakan sikap, perasaan atau kebutuhan, (b) memelihara tapal batas (boundary maintenance); semua sistem sosial mempunyai cara-cara tertentu untuk melindungi atau mempertahankan identitasnya, (c) penjalinan sistem (systemic linkage); suatu proses menjalin ikatan antara suatu sistem dengan sistem lainnya, (d) sosialisasi (socialization);suatu proses penyebaran warisan-warisan sosial dan budaya oleh seseorang dari masyarakatnya, (e) pengawasan sosial (social control), sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku, (f) pelembagaan (institutionalization);merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat, (g) perubahan sosial (social change); sebagai suatu perubahan didalam pola interaksi sosial yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas, jika dihubungkan dengan perubahan iklim dan ketersediaan bibit padi yang akan di pakai oleh petani padi di lokasi penelitian maka ada indikator penelitian yang mencakup variabel sistem sosial petani adalah:(1) Pola komunikasi antarpetani, (2) kelembagaan petani, (3) penjalinan sistem (systemic linkage), (4) budaya petani, dan (5) pengawasan sosial. Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Usahatani Padi Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata, contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim terbatas hingga regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh wilayah Bumi. Dalam penggunaannya saat ini, khususnya pada kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada perubahan iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan global atau pemanasan global antropogenik. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai. Perubahan iklim global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim sehingga daerah sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran rendah sangat rentan terhadap semakin besarnya peluang terjadinya banjir. Bencana banjir tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem budidaya tanaman padi. Telah diakui bahwa revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produksi padi nasional meskipun disadari berbagai kekurangannya, antara lain: (1) terfokusnya pada pengembangan lahan sawah irigasi, (2) input produksi tinggi dengan tingkat efisiensi rendah, (3) aspek lingkungan dan kestabilan produktivitas jangka panjang kurang terperhatikan. Oleh karena itu perhatian yanglebih besar perlu diberikan pada pengembangan varietas untuk lingkungan suboptimal, sepertilahan kering, sawah tadah hujan, dan lahan rawa/pasang surut (Claassen and Shaw, 1970; Suardi dan Ridwan, 2004; Suprihatno dan Darajat, 2008). Perubahan iklim global seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan kebanjiran secara ekstrim (Mirza,2003).Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi agroklimatologi untuk produksi pangan termasuk padi (Wassman and Doberman, 2007). Menurut Kementerian Pertanian, luas areal tanaman padi di wilayah sentra produksi yang terkena banjir pada musim hujan tahun 2007 hingga bulan Januari 2008, mencapai 157.651hektar, sedang yang terkena puso mencapai 59.211hektar. Selama Januari-Agustus 2008, luas areal pertanaman padi secara nasional yang mengalami kekeringan mencapai 183.582 hektar dan sekitar 16.475 hektar tanaman padi gagal panen atau puso. Sebagai pembanding cekaman kekeringan di Jawa dan Bali dalam 20 tahun terakhir menurunkan produksi padi sebesar 6.5-11 persen (Naylor et al. 2007). Toleransi padi terhadap rendaman bervariasi antarvarietas dan sifat tersebut diwariskan secara genetik (Mackill et al. 1993). Sejumlah varietas padi menunjukkan toleransi yang baik terhadap rendaman penuh sampai dengan 14 hari. (Xu dan Mackill, 1996) telah berhasil memetakan Quantitative Trait Loci (QTL) mayor penyandi toleransi terhadap rendaman, disebut sebagai Sub1, pada chromosome 9 yang berasal dari varietas toleran FR 13A. Lokus tersebut mampu menjelaskan 70% variasi fenotipik toleransi terhadap rendaman . Terdapat tiga gen yang mengandung ethylene response factor (ERF) pad a lokus Sub1 tersebut ya itu Sub 1A, B dan C (Xu et al., 2006). Dari ketiga gen tersebut, gen Sub1A merupakan penentu utama toleransi yang mampu terinduksi dengan kuat sebagai respon terhadap rendaman pada varietas-varietas yang toleran. Varietas-varietas yang membawa gen toleran Sub1 mampu bertahan hidup pada kondisi terendam penuh sampai dengan 14 hari. Jika perubahan iklim tidak diantisipasi atau dilakukan persiapan khusus untuk menghadapinya, diperkirakan hal ini bukan saja akan berakibat buruk bagi sistem pertanian melainkan juga bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bahkan bukan tidak mungkin perubahan iklim ini akan membawa akibat lebih luas, antara lain melemahkan kinerja sektor pertanian dan penurunan daya saing produk pertanian. Jika hal ini terjadi, akan dapat menjadi hambatan besar bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan (Sejati, dkk., 2011). Sumaryanto dkk., (2012) menyatakan bahwa dari seluruh petani produsen pangan (padi, jagung, kedele, tebu) Indonesia, 76 persen diantaranya hanya menguasai lahan garapan usahatani kurang dari 1 hektar. Dengan kondisi seperti itu, diduga kuat bahwa sebagian besar petani rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam. Oleh karena itu jika tidak ada kebijakan dan strategi yang tepat untuk memperkuat kapasitas adaptasi petani pangan maka bukan hanya nasib petani yang dipertaruhkan, tetapi ketahanan pangan nasional juga terancam keberlanjutannya karena aktor utama penghasil pangan adalah petani. Selanjutnya Sumaryanto dkk., (2012) juga menyatakan bahwa peningkatan kapasitas adaptasi petani pangan tidak dapat dilakukan oleh petani sendiri. Peran Pemerintah sangat diperlukan, baik dalam konteks penguatan kapasitas adaptasi petani melalui inovasi teknologi dan pengembangan kemampuan manajerialnya maupun petani dalam penyediaan infrastruktur, kebijakan harga, dan perbaikan kelembagaan pendukungnya, Mengingat cakupannya luas, multidimensi, bersifat lintas sektor, serta aspek teknisnya berkenaan langsung dengan kehidupan keseharian beragam petani yang jumlahnya sangat besar maka kebijakan, program, dan strateginya harus bersifat komprehensif dan secara cermat memperhitungkan simpulsimpul kritis yang sifatnya spesifik lokal. Data dan informasi seperti itu hanya dapat diperoleh melalui penelitian empiris. Adaptasi Petani Menurut Sejati dkk., (2011), bentuk-bentuk adaptasi antisipatif dan responsif terhadap perubahan iklim yang telah dilakukan masyarakat petani baik secara kelompok maupun secara individu di Provinsi DIY dan Jawa Barat adalah: (a) melakukan perubahan pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi iklim; (b) mengubah saat awal tanam, menyesuaikan dengan kecukupan curah hujan dan hari hujan; (c) mengubah sistem tanam, misalnya padi sawah menjadi gogo rancah (d) mengubah sistem pengairan dari penggenangan secara terus menerus menjadi pengairan berselang, atau bahkan hanya dengan sistem siram; (e) menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik yang disesuaikan dengan kondisi iklim; (f) mengubah pilihan komoditas disesuaikan dengan kondisi iklim; (g) mengubah pilihan varietas yang ditanam disesuaikan dengan kondisi iklim; dan (h) pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur irigasi. Selanjutnya teknologi adaptif yang diterapkan meliputi: (a) pembuatan dam, sumur renteng, sumur slang, dan sumur pompa; (b) perencanaan pola tanam disesuaikan dengan kondisi iklim (curah hujan tinggi menanam padi dan cuaca kering dengan palawija); (c) pemakaian Bibit varietas umur pendek saat gadu (Varietas Situgonggo dan Godogan); (d) pemupukan secara lengkap dan berimbang, disesuaikan dengan kondisi iklim, di mana dosis pupuk urea dikurangi dan pupuk organik ditambah; dan (e) meningkatkan pengetahuan petani tentang perubahan iklim dan dampak perubahan iklim termasuk eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman, melalui SLPHT, SLPTT, SLI. Keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bantul dalam menghadapi bencana kebanjiran adalah sangat efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kebanjiran lebih besar dari satu, sedangkan keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Indramayu dalam menghadapi bencana kekeringan yang melanda persawahan mereka adalah tidak efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kekeringan lebih kecil dari satu. Kondisi ini terjadi kemungkinan besar karena bauran antara strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani tidak tepat dan intensitas bencana kekeringan yang terjadi tergolong cukup tinggi. Lebih lanjut Sejati dkk., (2011) juga menyatakan bahwa kapabilitas kelompok tani dalam menghadapi dampak perubahan iklim masih relatif lemah. Hal ini dapat dipahami mengingat kelompok tani dibentuk tidak dalam rangka mengatasi perubahan iklim, melainkan lebih spesifik pada upaya peningkatan produksi bahan pangan (padi) di tingkat usahatani pedesaan. Hampir tidak ada kaitan langsung antara isu pembentukan kelompok tani di satu sisi, dengan isu (dampak) perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, dapatlah dipahami ketika dalam merespon perubahan iklim (yang menganggu misi ketahanan pangan nasional) kelompok tani terkesan tidak siap dan dalam kondisi serba canggung. Dari penelitian Sumaryantodkk., (2012) diperoleh sejumlah temuan mengenai tingkat keragaman kapasitas adaptasi petani pangan terhadap perubahan iklim, antara lain sebagai berikut: (1) Sumber-sumber keragaman ternyata tidak hanya mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi agroekosistem, tetapi mencakup pula aspek sosial kelembagaan; (2) Kapasitas adaptasi petani akan lebih mudah ditingkatkan jika kemampuan finansial petani ditingkatkan. Peningkatan kapasitas adaptasi akan lebih mudah dilakukan di kalangan petani yang berusia lebih muda. Selanjutnya, dalam rangka akselerasi maka sebagian petani yang memiliki kemampuan manajerial berusahatani yang lebih tinggi sangat potensial diperankan sebagai penghelanya. Peningkatan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim pada kelompok petani kecil mempunyai prospek yang baik; (3) Peran pemerintah sangat diperlukan, terutama dalam pengembangan infrastruktur fisik dan pengembangan kelembagaan serta pengembangan teknologi adaptif. Pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara konsisten, komperehensif, dan sistematis. Dalam konteks itu, upaya akselerasi peningkatan kapasitas adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim perlu dilakukan dan (4) kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kapasitas adaptasi adalah melalui pengembangan infrastruktur, kelembagaan, dan pengembangan teknologi adaptif. Simultan dengan kebijakan tersebut, peningkatan kemampuan finansial petani kecil melalui bantuan permodalan mempunyai prospek keberhasilan yang baik. BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan (Kerangka Pemikiran) Dalam proses komunikasi, pemerintah dan aparatnya, petani maju serta pihak swasta yang terkait dapat berperan sebagai sumber atau komunikator. Sumber ini terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari nasional sampai tingkat desa. Inovasi yang dalam hal ini bibit PTR, perubahan iklim dan ketahanan pangan dapat dianggap sebagai pesan. Pesan yang utama yang perlu disampaikan adalah pemanfaatan varietas padi toleran rendaman yang memeiliki potensi besar Pesan ini pun dapat disampaikan dalam berbagai tingkatan pula. Media yang digunakan untuk menyampaikan ini bisa secara interpersonal atau pun bermedia. Keluarga tani sebagai penerima pesan dapat digolongkan keinovasiannya menjadi lima jenis yaitu, innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan kolot. Proses difusi inovasi akan melalui lima tahapan juga yaitu: pengetahuan, persuasi, pengambilan keputusan, implementasi dan konfirmasi. Dalam penelitian ini yang akan dilihat sampai pada tahap pengambilan keputusan saja. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2. Karakteristik sumber informasi (S) (X1): - Penyuluh - Pedagang - Peneliti - Petani PTR (X5): - Kebijakan - Budaya - Sarana/prasarana Difusi Inovasi PTR, Karakteristik pesan (M) (X2) : - Menarik - Lengkap Mudah dipahami - Pendapatan Ketersediaan media (C /X3): - Langsung - Bermedia Karakteristik individu (X4): - Pengalaman berusahatani - Kebutuhan riil: jumlah anggota keluarga - Keinovatifan: innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan kolot. - Tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, keikutsertaan dalam dik/latihan - Norma-norma sosial: status sosial - Karakteristik sosek: pekerjaan - luas penguasaan lahan - status penguasaan lahan - peubah personal (umur, jenkel, dll) - perilaku komunikasi (kekosmopolitan) - kepemilikan media komunikasi Kesejahteraa n (Y3) Daya adaptasi (Y2): - Kesesuaian pola pemanfaatan BTR - Kestabilan produktivitas padi 3.3. Bahan dan metode pelaksanaan kegiatan Dalam penelitian ini, peneliti merupakan bagian utama dari metodologi, mulai dari persiapan, pengumpulan data lapang, sampai dengan analisis. Bahan yang digunakan hanyalah berupa alat-alat tulis serta media audio visual lain termasuk komputer, untuk merekam dan mendokumentasikan hasil wawancara. BAB IV. ANALISIS RISIKO Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami beberapa hambatan yang menjadi risiko. Beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa cara penanganan risikonya disampaikan pada Tabel 1. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait. Tabel 1. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Jenis Risiko Kegiatan penelitian tidak optimal Penyebab Anggaran belum tersedia pada waktu direncanakan ke lapangan. Peneliti yang merangkap di beberapa kegiatan penelitian. Kelebihan beban kerja di bagian entry data dan pengolahan data Dampak Jadwal survey lapang menjadi mundur. Peneliti terbagi waktu dan konsentrasinya sehingga kurang fokus dengan kegiatan penelitian ini Target pengolahan data tidak sesuai jadual sehingga mempengaruhi penyelesaian laporan penelitian Penanganan Ketersediaan anggaran pada waktu merencanakan ke lapangan Pendistribusian tenaga peneliti dengan baik, sehingga tidak terjadi kelebihan beban pada beberapa peneliti saja Merekrut tenaga pengolah data BAB V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN 5.1. Tenaga yang Terlibat Dalam Penelitian 5.2. Jangka waktu kegiatan Tabel 2. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Jenis Kegiatan Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survai dan pretest kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DES DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M. O., K. Makarim, A. Hairmansis, Supartopo, R.N. Suhaeti and S. Djojopoespito. 2009. Developing Submergence Tolerant Rice Varieties: Implementation plans to disseminate submergence tolerant rice varieties and associated new production practices to Southeast Asia. Final Report Collaborative Research of among FAO-IRRI–JAPAN No. DPPC2007-22. Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Struktur Ongkos Petani Padi 2008. BPS. Jakarta. Basrum, Saidah dan H. Subagio. 2012. Introduksi Varietas Unggul Baru dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Berbasis Rawa di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.http://avira-int.ask.com/web?q= penyebaran+varietas+Inpara&searchSearch&qsrc=0&o=APN10269&l=dis&locale=en_ID& gct=hp. Diaksses 15Januari 2013. Berlo, D. K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. Holt, Rinehart and Winston. Inc. New York. Claassen and Shaw, 1970. Effect of Water Stress at Different Development on Rice. Agron. J. 62: p 652-655. DeVito, A.Joseph. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Kharisma, Banten. IPCC. 2007, http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2231463-pengertianperubahan-iklim-global/#ixzz2I1W8oVed. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2013. Littlejohn, J. 2009. Teori Komunikasi, Theories of Human Communication, Edisi 9 Terjemahan, Penerbit Salemba Humanika. Jagakarsa.Jakarta. Makarim, A.K., E. Suhartatik, G.R. Pratiwi dan Ikhwani. 2009. Perakitan Teknologi Produksi Padi pada Lahan Rawa dan Rawan Rendaman (>15 hari) untuk Produktivitas Minimal 7 ton/ha. Laporan Akhir ROPP DIPA 2009.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Subang. Makarim, A.K., E. Suhartatik, dan Ikhwani. 2011. Pemupukan NPK Optimum Padi Rawa Toleran Rendaman dengan Produktivitas > 7 ton/ha di Lahan Lebak dan Sawah Rawan Banjir. Laporan Akhir ROPP DIPA 2011. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Subang. Mirza, M.M.O. 2003. "Climate change and extreme wheater events can developing countries adopt?" Climate Policy 3: 233-248. Misra, Rashi and A. Prakash. 2013. Climate Change and Sustainable Agriculture: An Indian Perspective. Dr. Ram Manohar Lohia National Law University, Lucknow, India. Diunduh dari http://www.kadinst.hku.hk/sdconf10/ Papers_PDF/p293.pdf; pada tanggal 20 November 2013. Naylor R, D. Battisti, D.J. Vimonts, W.P. Falcon and M.B. Burke. 2007. assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS 19(104): 7752-7757. Peñalba, L. M. and D. D. Elazegui. 2013. Improving Adaptive Capacity of Small-Scale Rice Farmers: Comparative Analysis of Lao Pdr and the Philippines. World Applied Sciences Journal 24 (9): 1211-1220, 2013. ISSN 1818-4952. © IDOSI Publications, 2013. DOI: 10.5829/idosi.wasj.2013.24.09.13274. University of the Philippines Los Baños, Philippines. Diunduh dari http://www.idosi.org/wasj/wasj24(9)13/14.pdf, pada tanggal 21 November 2013. Priyanti, A. 2007. Model Ekonomi Rumah Tangga Petani Pada Sistem Integrasi TanamanTernak; Konsepsi dan Studi Empiris, Jurnal WARZOA Vol.17 No.2/2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan IPB. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan). 2013.Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020. Repositori. Diunduh dari http://www. puslittan. bogor. net /index.php?bawaan=download/download_ detail&&id=35., Diakses 4 Desember 2013. Ranjabar,J. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor. Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovation. Free Press. New York. Saleh, A. 2006. Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluh. Disertasi. IPB Saragih. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan, Sustainable Livelihood Framework. Modul Indonesia. Sayaka, B., I.K. Kariyasa, Waluyo, Y. Marisa dan T. Nurasa. 2006. Analisis Sistem PerBibitan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor Sejati, W.K., T. Pranadji, B. Irawan, Saptana, S. Wahyuni, A. Purwoto, C. Muslim. 2011. Peningkatan Kapabilitas Kelompok Tani dalam Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Laporan Akhir Penelitian Program Insentif Riset Terapan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Suardi dan Ridwan, 2004. Persilangan Padi Tipe Baru dengan Padi Liar. BP3TP (29): h 8-9. Suhartatik (2010), Varietas Padi Toleran Rendaman (≥ 14 hari), Efisien pupuk dan Produksi Tinggi ≥ 8t/ha)Hasil laporan penelitian, Badan penelitian dan pengembangan pertanian Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan balai besar penelitian tanaman padi; Subang- Jawa Barat. Sumaryanto, Sugiarto dan M. Suryadi. 2012. Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan terhadap Perubahan Iklim untuk Mendukung Keberlanjutan Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Penelitian T.A. 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Suprihatno, B. dan A.A. Darajat, 2008. Kemajuan dan Ketersediaan Varietas Unggul Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. h 302323. Suswono, 2013. Konsumsi beras masyarakat Indonesia tertinggi di dunia. http://www.antaranews.com/berita/398839/konsumsi-beras-masyarakat-indonesiatertinggi-di-dunia. Diakses 8 Desember 2013. Frankenberger, T.R. (Tango International Inc.). 2002. Household Livelihood Security Assessment: A Toolkit for Practitioners. Prepared for CARE USA. PHLS Unit. Tucson, Arizona, USA. Tatlonghari, G., T. Paris, V Pede, I. Siliphouthone, and R N. Suhaeti. 2012. Seed and Information Exchange through Social Networks: The Case of Rice Farmers of Indonesia and Lao PDR. Sociology Mind, 2, 169-176. doi: 10.4236/sm.2012.22022. Wassman, R. and A. Doberman. 2007 "Climate change adaptation through rice production in region with high proverty levels; SAT eJournal 4(1): 1-24. Wirjawan, G. 2012. Konsumsi Beras per Kapita Indonesia paling tinggi. http://eprad.blogspot.com/2012/10/indonesia-konsumsi-beras-paling-tinggi.html. Diakses 8 Desember 2013.