sist to tem ko oleran t omunik n renda tani te kasi da aman s erhada

advertisement
n TA. 2015
5
Proposall Penelitian
SIST
TEM KO
OMUNIK
KASI DA
ALAM P
PEMANF
FAATAN
N BIBIT
T PADI
TO
OLERAN
N RENDA
AMAN SEBAGA
S
AI ADAP
PTASI K
KELUAR
RGA
T
TANI TE
ERHADA
AP PER
RUBAHA
AN IKLIIM
T
Tim Peneliiti:
RITA
A NUR SUH
HAETI
PU
USAT SOSIIAL EKONO
OMI DAN KEBIJAKAN
K
N PERTANIAN
BA
ADAN PENELITIAN DAN
D
PENGE
EMBANGAN PERTAN
NIAN
KEMENT
TERIAN PE
ERTANIAN
2014
Bab I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang rakyatnya mengkonsumsi beras paling tinggi di dunia
(Suswono, 2013). Menurut Wirjawan (2012), kebutuhan beras per kapita Indonesia adalah 139
kg/tahun, lebih dari negara-negara yang rakyat mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan
pokok, misalnya Jepang: 60 kg/tahun, China: 70 kg/tahun,Thailand:79 kg/tahun. Selain
merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95 persen rakyat Indonesia, padi juga telah
menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Puslitbang
Tanaman Pangan, 2013).
Produksi padi dapat berasal dari lahan sawah irigasi (irrigated
lowland), lahan kering (upland, rainfed), dan lahan basah (wetland). Lahan basah terdiri dari
rawa pasang surut (tidal swamp), rawa lebak (lowland swamp) dan lahan tergenang lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut di atas, produksi beras dalam negeri dituntut untuk
terus-menerus meningkat.
Namun untuk dapat meningkatkan produksi banyak menghadapi
tantangan, antara lain: (1) alih fungsi lahan-lahan subur yang memiliki produktivitas tinggi; (2)
kehilangan saat panen dan pascapanen yang belum dapat diatasi secara baik dan benar dan (3)
dampak negatif perubahan iklim.
Alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) menjadi lahan non-pertanian (bangunan,
jalan, keperluan industri, dsb.) tidak dapat dihindari karena land rent ratio dari sektor pertanian
lebih kecil dari pada sektor industri dan jasa. Padahal sebagian besar alih fungsi lahan terjadi di
lahan subur yaitu di Pulau Jawa, sehingga memperburuk pertumbuhan produksi beras. Selain
itu, kehilangan atau susut selama pengolahan padi menjadi beras juga memberikan kontribusi
dalam menghambat laju pertumbuhan produksi beras.
Perubahan iklim ini lebih sering menimbulkan dampak negatif (Mishra & Prakash, 2013)
seperti bencana banjir terutama pada wilayah-wilayah pesisir dan rawan tergenang, misalnya
rawa lebak atau rawa pasang surut, atau lahan yang terkena banjir. Perubahan iklim banyak
memicu badai sehingga kemungkinan terjadi banjir atau genangan semakin tinggi. Dengan
adanya kejadian banjir, petani bisa mengalami kerugian bahkan terancam puso karena tidak
mampu menyediakan modal pengganti biaya usahatani. Makarim dkk., (2011) menyebutkan
bahwa daerah rawan banjir di Indonesia semakin meluas dengan frekuensi kejadian yang lebih
sering menyebabkan kerusakan pertanaman (puso) atau penurunan hasil. Selanjutnya Makarim
dkk., (2011) juga menyatakan bahwa daerah rawan banjir di Indonesia akibat perubahan iklim
global semakin meluas dan dengan frekuensi kejadian yang lebih sering. Daerah-daerah
tersebut umumnya memiliki pertanaman padi yang cukup luas, karena sejak lama daerah ini
cukup air dan datar sehingga digolongkan ke sangat sesuai dalam sistem klasifikasi kesesuaian
lahan untuk padi sawah.
Makarim dkk., (2009) menyebutkan bahwa area rawan banjir di
Indonesia diperkirakan seluas 13,3 juta ha, terdiri atas 4,2 juta ha genangan dangkal, 6,1 juta
ha genangan sedang dan 3 juta ha genangan dalam.
1.2.
Dasar Pertimbangan dan Hasil Penelitian yang Telah Dicapai
Kerugian petani padi akibat dampak perubahan iklim dapat dikurangi dengan mengganti
varietas padi yang ditanam dengan varietas tahan genangan (submergence tolerant), biasa
disebut Bibit Sub-1.
Varietas padi ini dapat bertahan terendam air (banjir)sampai 14 hari
(Adnyana dkk., 2009). Kenyataan ini didukung oleh Peñalba dan Elazegui (2013) yang
menyimpulkan bahwa petani di Laos yang lahannya rentan terhadap banjir dan tanah longsor
memerlukan varietas padi toleran rendaman.
Rata-rata kehilangan hasil akibat bencana banjir di Jawa Barat adalah 1.005 kg/ha,
sedangkan kehilangan hasil akibat kekeringan adalah 273 kg/ha (Adnyana dkk., 2009). Di
Sumatera Selatan, kerugian tersebut mencapai 570 kg/ha jika terendam kurang dari tujuh hari,
sedangkan jika terendam lebih dari tujuh hari maka kehilangan hasil dapat mencapai 1.606
kg/ha. Penggunaan varietas toleran rendaman diharapkan dapat mengurangi kerugianpetani.
Namun ketersediaan bibit padi toleran rendaman (PTR) dan kemauan serta kesadaran petani
untuk menggunakannya masih banyak dipertanyakan. Misalnya, di Sulawesi Tengah petani di
lahan rawa masih tetap menggunakan varietas padi lahan sawah irigasi yang produktivitasnya
rendah (1,27 ton/ha).
Padahal jika menggunakan bibit PTR, potensi produktivitasnya lebih
tinggi yaitu 7,5-10,17 ton/ha (Basrum dkk., 2012).
Jika lahan rawan genangan dan banjir seluas 13,2 juta ha diusahakan dengan padi toleran
rendaman, maka potensi produksi yang akan diperoleh adalah 99,75 – 135,26 juta ton gabah
kering panen (GKP)/musim.
Konversi GKP menjadi gabah kering giling (GKG) adalah 86,02
persen, sehingga akan diperoleh GKG sebesar 85,81 -116,35 juta ton/musim. Angka konversi
GKG menjadi beras adalah 62,74 persen, sehingga jumlah GKG tersebut di atas setara dengan
53,84-73,00 juta ton beras.
Jika kebutuhan beras Indonesia sekitar 35 juta ton/tahun
(Puslitbang Tanaman Pangan, 2013) maka potensi produksi ini dapat memenuhi kebutuhan
beras Indonesia lebih dari setahun. Perlu diingat bahwa angka tersebut baru dalam jangka
waktu satu musim. Jika Indeks Pertanaman (IP) dapat ditingkatkan, potensi produksi bisa lebih
tinggi.
Dalam usahatani padi sawah, kegiatan pra-panen terutama pengolahan lahan sampai
penanaman bibit padi mengambil proporsi biaya yang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan bahwa secara nasional biaya usahatani dengan imputasi (sewa lahan dan tenaga
kerja keluarga dihitung sebagai pengeluaran), besarannya dapat mencapai lebih dari Rp 10
juta/ha, dan jika tidak diperhitungkan biayanya mencapai sekitar 50 persen. Proporsi biaya
untuk bibit dan pengolahan lahan sampai siap tanam adalah sepertiganya atau sekitar 30-35%,
baik dengan imputasi atau pun tanpa imputasi (BPS, 2008). Jika bibit padi yang dipakai bukan
yang tahan genangan maka jika terjadi genangan/banjir, petani harus menyediakan ulang biaya
Bibit, pupuk dan pestisida dan pengolahan lahan sampai siap tanam. Jika tidak diganti maka
dapat dipastikan petani akan mengalami puso.
Pada periode tahun 2007 sampai dengan 2009, Pulitbang Tanaman Pangan bekerja sama
dengan International Rice Research Institute (IRRI) dan dukungan Pemerintah Jepang telah
menyebarkan varietas padi toleran rendaman kepada para petani di berbagai wilayah rawan
banjir dan daerah rawa/pasang surut Indonesia, seperti Pantai Utara Jawa, rawa pasang surut
di Kalimantan Selatan dan rawa lebak di Sumatera Bagian Selatan. Varietas padi toleran
rendaman tersebut adalah Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 5. Penyebaran varietas toleran
rendaman ini sudah mencapai seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya
sangat rendah
(Basrum dkk., 2012). Menurut Ikhwani (komunikasi pribadi, 2013), preferensi petani terhadap
varietas baru toleran rendaman memang rendah karena petani lebih menyukai varietas yang
lama (Ciherang), selain itu beras dari padi toleran rendaman kurang laku dijual di pasaran atau
jika laku pun harganya lebih rendah.
Sayaka dkk., (2006) menyatakan bahwa sistem penyediaan bibit tradisional (tidak melalui
sistem formal) masih banyak dilakukan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Tatlonghari et
al.,
(2012)
bahwa
keputusan
adopsi
varietas
padi
baru
sangat
dipengaruhi
oleh
keluarga/kerabat dan teman sesama petani. Selain itu, Tatlonghari et al., (2012) juga meneliti
jaringan
sosial
berbasis
gender
untuk
melihat
bagaimana
ketidaksetaraan
gender
mempengaruhi keefektivan modal sosial melalui jaringan sosialnya. Selanjutnya, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa informasi peluang pria dan wanita bervariasi dalam hal
paparan dan kontrol informasi. Perbedaan ini terutama dipengaruhi oleh setting sosial dan
budaya dalam sistem pertanian padi dan masyarakat. Perbedaan gender harus diperhitungkan
saat menyelidiki faktor-faktor penentu jaringan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi
jaringan sosial berbeda berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, laki-laki yang telah berusia lanjut
cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar, sedangkan perempuan dari keluarga
petani kaya cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar.
Diduga, kerja diseminasi masih belum optimal, terutama dalam mengajak petani sebagai
sasaran pembangunan paham dan mau menerapkan hasil-hasil penelitian, termasuk berbagai
hasil penelitian yang berkaitan dengan varietas padi toleran rendaman. Kerja diseminasi ini
tentunya tidak akan terlepas dari mekanisme komunikasi dari tingkat pusat/nasional,
regional/daerah sampai ke tingkat rumahtangga.
Unsur komunikasi terdiri dari Sumber, Pesan, Saluran dan Penerima (Berlo, 1960).
Sumber harus kredibel (dapat dipercaya) dan menarik. Sumber dapat terdiri dari penyuluh,
pedagang saprotan, peneliti dan petani maju yang telah menggunakan varietas padi toleran
rendaman (PTR). Pesan memiliki usnsur karakteristik seperti: menarik, lengkap, mudah
dipahami dan sederhana. Di dalam penelitian ini yang menjadi inovasi adalah teknologi bibit
PTR yang akan mendukung terjadinya peningkatan pendapatan yang pada gilirannya akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga tani. Saluran komunikasi
ada dua yaitu langsung (interpersonal) dan bermedia (cetak, elektronik). Penerima tentunya
tidak dapat diabaikan, karena berbagai karakteristiknya tentu menentukan proses difusi inovasi
yang terjadi.
Karakteristik petani antara lain:(1) jenis kelamin; (2) kebutuhan riil: jumlah
anggota keluarga; (3) keinovatifan: innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir
dan kolot; (4)
tingkat pendidikan, (5) pengalaman berusahatani, (6) keikutsertaan dalam
pendidikan dan latihan usahatani; (6) norma-norma sosial: status sosial; (7) karakteristik sosek:
pekerjaan; (8) luas penguasaan lahan; (9) status penguasaan lahan; (10) peubah personal
(umur, jenkel, dll); (11) perilaku komunikasi (kekosmopolitan) dan (12) kepemilikan media
komunikasi. Selain itu, terdapat berbagai faktor eksternal yang harus dipertimbangkan karena
memepengaruhi proses difusi inovasi yaitu antara lain: (1) kebijakan; (2) budaya serta (3)
sarana dan prasarana.
Proses difusi inovasi terdiri dari lima jenjang (DeVito, 2011) yaitu: 1. Pengetahuan; (2)
Persuasi; (3) Pengambilan keputusan; (4) Implementasi dan (5) Konfirmasi. Selain itu, dalam
penyediaan bibit padi di tingkat petani, sering terjadi pertukaran bibit, dan peran perempuan
dalam hal ini cukup signifikan (Tatlonghari et al., 2012). Jika petani sudah menerapkan dengan
baik berbagai teknologi yang diintroduksikan, diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan
sekaligus akan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Untuk itu, diperlukan penelitian
tentang intervensi mekanisme komunikasi dan peran anggota keluarga dalam pemanfaatan
bibit PTR, dikaitkan dengan dimensi sosial ekonomi keluarga petani sebagai adaptasi petani
terhadap perubahan iklim.
Mencermati dan terkait dengan situasi dan kondisi di atas, perumusan masalah yang ada
dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi
penelitian?
2. Seperti apa sistem komunikasi (sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada
proses difusi inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian?
3. Berapa besar pengaruh sistem komunikasi terhadap kondisi keluarga tani pada proses difusi
inovasi pemanfaatan PTR?
4. Bagaimana adaptasi keluarga petani padi, dan sejauh mana pengaruh proses difusi inovasi
pemanfaatan bibit PTR terhadap adaptasi keluarga tani tersebut; dan
5. Sejauhmana pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan
mereka?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis kondisi keluarga tani pada proses difusi
inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (2) Menganalisis mekanisme komunikasi
(sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan
bibit PTR di lokasi penelitian; (3) Menganalisis pengaruh mekanisme komunikasi terhadap
kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; (4) Mengidentifikasi adaptasi keluarga petani
padi dan menganalisis pengaruh kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; dan (5)
Menganalisis pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan
mereka.
1.4.
Keluaran Penelitian
Keluaran penelitian ini adalah: (1) Informasi kondisi keluarga tani pada proses difusi
inovasi pemanfaatan bibit PTR di lokasi penelitian; (2) Informasi mekanisme komunikasi
(sumber, pesan, saluran dan penerima) keluarga tani pada proses difusi inovasi pemanfaatan
bibit PTR di lokasi penelitian; (3) Informasi pengaruh mekanisme komunikasi terhadap kondisi
keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; (4) Informasi adaptasi keluarga petani padi dan
menganalisis pengaruh kondisi keluarga tani pada pemanfaatan bibit PTR; dan (5) Informasi
pengaruh daya adaptasi keluarga tani tersebut terhadap tingkat kesejahteraan mereka.
1.5.
Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan yang Dirancang
Penelitian diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mekanisme komunikasi (delivery
system) tentang pemanfaatan bibit PTR termasuk kesadaran petani dan keluarganya tentang
perubahan iklim dan daya adaptasinya. Mekanisme komunikasi itu sendiri akan dilihat mulai
dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten sampai ke tingkat rumahtangga khususnya dalam
pemanfaatan bibit PTR serta adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim tersebut. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan komunikasi diseminasi dan difusi inovasi tentang pemanfaatan bibit PTR
dan adaptasi keluarga tani terhadap perubahan iklim. Selain itu, hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya peningkatan produksi padi khususnya
produksi padi dari wilayah rawan genangan serta untuk pengembangan teori komunikasi dalam
difusi inovasinya.
Bab II.
2.1.
TINJAIAUAN PUSTAKA
Kerangka Teoritis
Komunikasi
Berlo (1960) memusatkan perhatian pada proses komunikasi. Berlo menyatakan bahwa
pemaknaan ada pada manusia bukan kata kata. Dengan kata lain pemaknaan dari sebuah
pesan ada pada gerak tubuh para komunikan bukan pada pesan itu sendiri. Konsep sumber
dan penerima diperluas. Berlo adalah yang pertama yang menempatkan pancaindera sebagai
bagian dari komunikasi. Dalam model komunikasi Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri
dari empat Proses Utama yaitu Source, Message, Channel, dan Receiver (SMCR) lalu ditambah
tiga Proses Sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan.
Source (Sumber): Sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau dalam
komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya melibatkan
individu, namun dalam hal ini sumberjuga melibatkan banyak individu. Misalnya, dalam
organisasi, partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga sering dikatakan sebagai source,
sender, atau encoder. Menurut Berlo, source dan receiver dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: keterampilan berkomunikasi, tindakan yang diambil, luasnya pengetahuan, sistem
sosial, dan kebudayaan lingkungan sekitar.
Message (Pesan): pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan disampaikan
oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif, edukatif, persuasif, dan
juga bisa bersifat propaganda. Pesan dapat disampaikan melalui dua cara, yaitu secara verbal
dan nonverbal yang bisa disampaikan melalui tatap muka atau melalui sebuah media
komunikasi. Pesan bisa juga dikatakan sebagai message, content, atau information. Pesan yang
diutarakan dikembangkan sesuai dengan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Kemudian
channel yang akan digunakan berhubungan langsung dengan panca indera, yaitu dengan
melihat, mendengar, menyentuh, mencium bau-bauan, dan mencicipi.
Channel (saluran komunikasi): Sebuah saluran komunikasi terdiri atas tiga bagian. Lisan,
Tertulis, dan Elektronik. Media disini adalah sebuah alat untuk mengirimkan pesan tersebut.
Misal secara personal (komunikasi interpersonal), maka media komunikasi yang digunakan
adalah panca indra atau bisa memakai media telepon, telegram, handphone, yang bersifat
pribadi. Sedangkan komunikasi yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan
media cetak (koran, surat kabar, majalah, dll.), dan media elektornik(TV, Radio). Untuk
Internet, termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat massa,
karena internet mencakup segalanya.
Receiver (Penerima Pesan): Penerima adalah orang yang mendapatkan pesan dari
komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting dalam menjalankan sebuah
proses komunikasi, karena, penerima menjadi sasaran dari komunikasi tersebut. Penerima
dapat juga disebut sebagai publik, khalayak, masyarakat, dll.Receiver meliputi aspek
keterampilan dalam berkomunikasi, sikap,pengetahuan,system social, kebudayaan.
Elemen tambahan yang terdiri dari: (1) Feedback (Umpan Balik): adalah suatu respon
yang diberikan oleh penerima. Penerima disini bukan dimaksudkan kepada penerima sasaran
(khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu sendiri; (2) Effect: Sebuah komunikasi
dapat menyebabkan efek tertentu. Efek komunikasi adalah sebuah respon pada diri sendiri
yang bisa dirasakan ketika kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah
menerima pesan. Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan,
perasaan, dan perilaku (kognitif, afektif, dan konatif); dan (3) Lingkungan: adalah sebuah
situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi.
DeVito (2011) menjelaskan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang
atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi
dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga
dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial-psikologis, dan temporan. (a) Lingkungan
merupakan tempat terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata;
(b) Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat didalam
komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka berkomunikasi.
Termasuk didalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau
informalitas, serius atau senda gurau;(c) Dimensi temporal (waktu) merupakan waktu pada
saat komunikasi berlangsung. Secara grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada
Gambar 1:
Gambar 1. Universal K
Komunikasi A
Antarmanussia Menurutt DeVito
elanjutnya DeVito mengatakan b
bahwa tuju
uan manusia berkomu
unikasi adallah untuk
Se
penemu
uan diri, berhubungan,, baik deng
gan keluarga
a, tetangga
a, maupun teman kanttor, untuk
meyakin
nkan, dan untuk berma
ain. Komunikkasi tersebu
ut dilakukan
n secara lang
gsung maup
pn melalui
media.
005) meng
gemukakan bahwa dalam komun
nikasi diken
nal adanya berbagai
Litttlejohn (20
komunikkasi yaitu komunikasi intrapriba
adi, komunikasi antarrpribadi, ko
omunikasi kkelompok,
komunikkasi organiisasi dan komunikasi massa. (a
a) Komunikasi intrap
pribadi (intr
trapersonal
commun
nication) ad
dalah komun
nikasi yang terjadi dala
am diri sese
eorang. Kom
munikasi inttra pribadi
meneka
ankan bagaimana jalannya proses pengolahan
n informasi yang dialam
mi seseoran
ng melalui
sistem syaraf dan
n inderanya
a; (b) kom
munikasi anttar pribadi (interperso
onal comm
munication)
adalah komunikasi antar pero
orangan da
an bersifat pribadi baik yang terjjadi secara langsung
(face to
o face) maup
pun melalui media (missalnya telep
pon, surat); (c) komunikkasi kelomp
pok (group
commun
nication) m
memfokuskan
n pembaha
asannya
pada interakksi diantara
a orang-ora
ang dalam
kelompo
ok kecil; (d) komunika
asi organisasi (organiza
ation comm
munication) mengarah pada pola
dan ben
ntuk komun
nikasi yang terjadi dalam kontekks dan jarin
ngan organiisasi; (e) kkomunikasi
massa (mass com
mmunication) adalah ko
omunikasi melalui
m
med
dia massa yyang dituju
ukan pada
sejumlah khalayak yang besar.
Laswell dalam Saleh (2006) menyatakan tentang fungsi komunikasi, yaitu untuk
pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada didalam masyarakat
agar masyarakat dapat memberi respon terhadap lingkungan tersebut; dan pemindahan
warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep pengamatan terhadap
lingkungan merupakan pengumpulan dan distribusi informasi mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar
masyarakat.
melakukan
Komunikasi sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti
interpretasi
terhadap
informasi
mengenai
lingkungan,
dan
selanjutnya
memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Adapun fungsi
komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke genderasi berikutnya
berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nailai, norma-norma sosial dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Pengertian Kesadaran
Kesadaran adalah kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tahu atau ingat
(kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali (dari
pingsannya), siuman, bangun (dari tidur) ingat, tahu dan mengerti, misalnya, rakyat telah sadar
akan politik. Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan
Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik dimana ia dapat
menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Refleksi merupakan bentuk dari
penggungkapan kesadaran, dimana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan
kondisi tertentu dalam lingkungan.
Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan
keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif yang terdiri dari dua hal hakiki; diferensiasi
dan integrasi. Meskipun secara kronologis perkembangan kesadaran manusia berlangsung pada
tiga tahap; sensansi (pengindraan), perrseptual (pemahaman), dan konseptual (pengertian).
Secara epistemology dasar dari segala pengetahuan manusia tahap perseptual. Sensasi tidak
begitu saja disimpan di dalam ingatan manusia, dan manusia tidak mengalami sensasi murni
yang terisolasi. Sejauh yang dapat diketahui pengalaman indrawi seorang bayi merupakan
kekacauan yang tidak terdiferensiasikan. Kesadaran yang terdiskriminasi pada tingkatan persep.
Persepsi merupakan sekelompok sensasi yang secara otomatis tersimpan dan diintegrasikan
oleh otak dari suatu organisme yang hidup. Dalam bentuk persep inilah, manusia memahami
fakta dan memahami realitas. Persep buka sensasi, merupakan yang tersajikan yang tertentu
(the given) yang jelas pada dirinya sendiri (the self evidence). Pengetahuan tentang sensasi
sebagai bagian komponen dari persepsi tidak langsung diperoleh manusia jauh kemudian,
merupakan penemuan ilmiah, penemuan konseptual.
Berdasarkan uraian diatas maka
kesadaran petani dalam memahami perubahan iklim dan ketersediaan bibit PTR untuk
memperbaiki pola usahatani yang dilakukannya, indikator dalam variabel kesadaran petani
adalah kesadaran petani yang dibagi kepada dua hal yaitu (a) kesadaran diferensiasi dan (b)
kesadaran integrasi.
Pengertian preferensi
Preferensi atau selera adalah sebuah konsep, yang digunakan pada ilmu sosial,
khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif
dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan,
gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat sebagai sumber dari
motivasi. Di ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan pemilihan tujuan/goal. Banyak
faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang yang dapat berasal dari lingkungan (stimulus)
dan yang berasal dari individunya sendiri. Diantara faktor tersebut adalah adanya ketersedian
informasi yang dimiliki dan motivasi seseorang untuk pencapaian suatu keinginan. Berdasarkan
uraian di atas, maka preferensi petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah preferensi
petani (sebagai sumber motivasi yang meliputi) dalam menentukan jenis Bibit yang digunakan
dalam usahatani padi: (1) ketersediaan informasi, (2) keinginan berhasil, (3) pencapaian
tujuan.
Difusi inovasi
Teori difusi inovasi dikemukakan Rogers (1995) dalam Littlejohn (2009)
menyatakan
bahwa inovasi disebarkan melalui jalur tertentu sepanjang waktu dan dalam suatu sistem sosial
tertentu. Setiap manusia memiliki tingkat keinginan yang berbeda untuk mengadopsi inovasi.
Hasil pengamatan Rogers menunjukkan bahwa porsi penduduk yang mengadopsi suatu inovasi
mendekati distribusi normal dari waktu ke waktu. Jika distribusi normal ini dibagi sesuai dengan
segmennya, didapatkan lima kategori keinovatifan seseorang yang diurutkan berdasarkan
kecepatan pengadopsian suatu inovasi, yaitu;
1. Inovator: Adalah kelompokorang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru.
Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orangorang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak
geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di
perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Jika kita kaitkan dengan perubahan iklim
dan pemakaian Bibit toleran rendaman untuk mengatasi kondisi pertanian yang mengalami
gangguan iklim, maka dapat dikatakan bahwa Inovator adalah seorang atau sekelompok
orang yang berani untuk mencoba menanam padi dengan Bibit toleran rendaman. Kemudian
Inovator akan memberikan informasi lebih baik dan mudah menjelaskan kepada pengguna
Bibit toleran rendaman lainnya. Dalam hal ini ada berbagi pengalaman dalam bertani;
2. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter
seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari
informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh
kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru. Jika
dikaitkan dengan pengaruh iklim dan penggunaan Bibittolerandan rendaman maka dapat
dikatakan bahwa Pengguna awal dalam bibit PTR ini merupakan kelompok yang selalu
mencari informasi tentang pola tanam ataupun informasi lain yang berhubungan dengan
iklim dan Bibit toleran rendaman;
3. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi
kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan
berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi,
bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi
penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas
bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. Jika dikaitkan dengan
perubahan iklim dan penggunaan bibit PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas awal
merupakan kelompok yang selalu membuat kompromi dengan kelompok lainnya untuk
memutuskan dalam mengadopsi pola penggunaan bibit atau pola menghadapi perubahan
iklim;
4. Mayoritas akhir: Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi.
Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi
sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa
memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk
mengadopsi inovasi. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan bibit PTR, maka
dapat dikatakan bahwa mayoritas akhir ini adalah kelompok yang akan melakukan adopsi
dalam pola penggunaan bibit PTR, jika secara ekonomi mereka diuntungkan maka mereka
akan melakukan penggunaan bibit PTR sebagai sebuah solusi untuk penggunaan bibit yang
dapat mengatasi usahatani tidak gagal, dan
5. Kolot atau laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi.
Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal-hal baru. Kelompok ini
biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan
mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru
sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman. Dapat
dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang sangat tradisional dan terlalu hati-hati.
Para petani akan mengalami banyak hal dalam menerima informasi tentang perubahan
iklim dan informasi inovasi Bibitpadi toleran rendaman yang merupakan salah satu Bibit yang
dapat membantu dan mengatasi petani padi dalam usahatani. Lebih lanjut Rogers dalam
Littlejohn (2009) mengemukan tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi yaitu; (1)
Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika petani mulai melihat, dan
mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal
biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga
mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti
dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya
jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat
mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi
interpersonal dan kedekatan secara fisik; (2) Pengadopsian: Dalam tahap ini petani mulai
menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh petani
ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan
yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga
dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan
untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah
mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka
mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi
faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi
pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di
hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut
serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan
nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang
dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya; (3)
Pengembangan Jaringan Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan
menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi
bisa secara luas diadopsi oleh petani. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian
dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset
menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi
melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa
lebih cepat menyadarkan petani mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran
komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi
inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.
Proses difusi inovasi mengarahkan petani untuk melakukan adopsi yang benar dan tepat.
Rogers dalam Littlejohn (2009) dan Rogers (2003) menjelaskan fungsi komunikasi dalam proses
difusi inovasi melakukan proses adopsi informasi sebagai berikut:
1. Tahap pengetahuan: Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi
baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai
saluran komunikasi yang ada, bisa melalui mediaelektronik, media cetak, maupun
komunikasiinterpersonal di antara masyarakat;
2. Tahap persuasi: Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon
pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi
inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia
mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut;
3. Tahap pengambilan keputusan: Dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir
apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Namun bukan berarti
setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat
perubahan dalam pengadopsian.
4. Tahap implementasi: Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh
tentang inovasi tersebut, dan
5. Tahap konfirmasi: Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari
pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak,
seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup
kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi
menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.
Keluarga Tani
Berbagai definisi keluarga disampaikan para ahli, antara lain, keluarga bisa berarti ibu,
bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Selain itu
keluarga juga berarti kaum yaitu sanak saudara serta kaum kerabat.Definisi lainnya keluarga
adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan
darah,perkawinan,atau adopsi serta tinggal bersama.
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari
peristiwa perkawinan. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dari berbagai segi.
Pertama,
dari
segi
orang
melangsungkan
perkawinan
yang
sah
serta
di
karuniai
anak.Kedua,lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak namun
tidak pernah menikah.Ketiga dari segi hubungan jauh antaranggota keluarga, namun masih
memilki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak dari orang lain.
Beberapa pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam
keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat,
bahkan hubungan
tersebut bisa di sebut dengan hubungan lahir batin.Adanya hubungan ikatan darah
menunjukkan kuatnya hubungan yang dimaksud. Hubungan antara keluarga tidak saja
berlangsung selama mereka masih hidup tetapi setelah mereka meninggal dunia pun masingmasing individu. Individu masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Salah satu fungsi keluarga adalah adalah fungsi ekonomis, keluarga berusaha untuk
memenuhi segala keperluan anggota keluarganya.
Keluarga Tani adalah keluarga yang
penghasilannya dominan berasal dari sektor pertanian. Perilaku ekonomi komunitas petani,
secara implisit dan eksplisit mengidentifikasi hubungan antara dimensi ekonomi dan konteks
sosial budaya suatu sistem berada. Beckerdalam Priyanti (2007) mengembangkan teori yang
mempelajari tentang perilaku rumahtangga dan merupakan dasar dari Ekonomi Rumahtangga
Baru (New Household Economics). Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan
dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungan alokasi waktu dan pendapatan
rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Formulasi ini menyatakan bahwa terdapat dua
proses dalam perilaku rumahtangga, yakni proses produksi yang digambarkan oleh fungsi
produksi dan proses konsumsi untuk memilih barang dan waktu santai yang dikonsumsi.
Formulasi Becker tersebut tidak memasukkan variabel waktu santai, sehingga Gronaudalam
Priyanti (2007) mengembangkan model ekonomi rumahtangga dengan membedakan secara
eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga.
Dengan asumsi bahwa perilaku rumahtangga untuk melaksanakan kegiatan rumahtangga
dan waktu santai bereaksi sama terhadap perubahan lingkungan, Gronau berpendapat bahwa
tidak adanya variabel waktu santai dalam formulasi Becker disebabkan oleh kesulitan dalam
membedakan antara pekerjaan rumahtangga dan waktu santai. Singh dan Janakrim dalam
Priyanti (2007) mengembangkan formulasi tersebut dengan model bahwa rumahtangga adalah
pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi dalam hubungannya dengan
alokasi waktu.
Dari uraian di atas, maka sistem ekonomi rumahtangga petani yaitu yang terkait dengan:
(1) produksi, (2) alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, (3) penggunaan input dan biaya
produksi, (4) penerimaan dan pendapatan, (5) serta pengeluaran. Produksi sistem integrasi
produksi padi dalam satu tahun. Penggunaan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk usaha
padicurahan untuk usahatani milik orang lain, dan usaha di luar pertanian. Biaya sarana
produksi terdiri atas biaya sarana penggunaan input produksi dan tenaga kerja. Penerimaan
usaha merupakan jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dari masingmasing volume
usahatani yang dihasilkan dengan harga output. Selisih antara masing-masing penerimaan
usaha dan biaya sarana produksi merupakan pendapatan petani untuk usahataninya.
Penerimaan dari usaha buruh tani maupun buruh non-pertanian, disamping penerimaan petani
dari usaha luar pertanian dan usaha tetap lainnya juga merupakan pendapatan total
rumahtangga petani. Struktur pengeluaran rumahtangga petani terdiri atas alokasi pengeluaran
rutin yang harus dibayar untuk konsumsi pangan dan non-pangan, pengeluaran pendidikan dan
kesehatan sebagai investasi sumberdaya, investasi produksi, tabungan dan cicilan kredit untuk
usahatani.
Bertrand dalam Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa proses-proses dalam sistem
sosial mencakup:(a) komunikasi (communication); dalam sistem sosial komunikasi berfungsi
sebagai suatu yang penting untuk menyampaikan informasi, mengutarakan sikap, perasaan
atau kebutuhan, (b) memelihara tapal batas (boundary maintenance); semua sistem sosial
mempunyai cara-cara tertentu untuk melindungi atau mempertahankan identitasnya, (c)
penjalinan sistem (systemic linkage); suatu proses menjalin ikatan antara suatu sistem dengan
sistem lainnya, (d) sosialisasi (socialization);suatu proses penyebaran warisan-warisan sosial
dan budaya oleh seseorang dari masyarakatnya, (e) pengawasan sosial (social control), sebagai
suatu
proses
pembatasan
atau
pengekangan
tingkah
laku,
(f)
pelembagaan
(institutionalization);merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi
hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat, (g) perubahan sosial (social change); sebagai
suatu perubahan didalam pola interaksi sosial yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas, jika
dihubungkan dengan perubahan iklim dan ketersediaan bibit padi yang akan di pakai oleh
petani padi di lokasi penelitian maka ada indikator penelitian yang mencakup variabel sistem
sosial petani adalah:(1) Pola komunikasi antarpetani, (2) kelembagaan petani, (3) penjalinan
sistem (systemic linkage), (4) budaya petani, dan (5) pengawasan sosial.
Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Usahatani Padi
Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara
statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga
berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata,
contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim
terbatas hingga regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh wilayah Bumi. Dalam
penggunaannya saat ini, khususnya pada kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada
perubahan iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim
antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan global atau pemanasan global
antropogenik.
Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun
intensitas kejadian cuaca ekstrim. IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat
menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti
peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan
pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran
populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai
ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di
daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.
Perubahan iklim global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim sehingga daerah
sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran rendah sangat rentan
terhadap semakin besarnya peluang terjadinya banjir. Bencana banjir tersebut sangat
berpengaruh terhadap sistem budidaya tanaman padi.
Telah diakui bahwa revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produksi padi nasional
meskipun disadari berbagai kekurangannya, antara lain: (1) terfokusnya pada pengembangan
lahan sawah irigasi, (2) input produksi tinggi dengan tingkat efisiensi rendah, (3) aspek
lingkungan dan kestabilan produktivitas jangka panjang kurang terperhatikan. Oleh karena itu
perhatian yanglebih besar perlu diberikan pada pengembangan varietas untuk lingkungan suboptimal, sepertilahan kering, sawah tadah hujan, dan lahan rawa/pasang surut (Claassen and
Shaw, 1970; Suardi dan Ridwan, 2004; Suprihatno dan Darajat, 2008).
Perubahan iklim global seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian
permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan
kebanjiran secara ekstrim (Mirza,2003).Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap
kondisi agroklimatologi untuk produksi pangan termasuk padi (Wassman and Doberman, 2007).
Menurut Kementerian Pertanian, luas areal tanaman padi di wilayah sentra produksi yang
terkena banjir pada musim hujan tahun 2007 hingga bulan Januari 2008, mencapai
157.651hektar, sedang yang terkena puso mencapai
59.211hektar. Selama Januari-Agustus
2008, luas areal pertanaman padi secara nasional yang mengalami kekeringan mencapai
183.582 hektar dan sekitar 16.475 hektar tanaman padi gagal panen atau puso. Sebagai
pembanding cekaman kekeringan di Jawa dan Bali dalam 20 tahun terakhir menurunkan
produksi padi sebesar 6.5-11 persen (Naylor et al. 2007).
Toleransi padi terhadap rendaman bervariasi antarvarietas dan sifat tersebut diwariskan
secara genetik (Mackill et al. 1993). Sejumlah varietas padi menunjukkan toleransi yang baik
terhadap rendaman penuh sampai dengan 14 hari. (Xu dan Mackill, 1996) telah berhasil
memetakan Quantitative Trait Loci (QTL) mayor penyandi toleransi terhadap rendaman, disebut
sebagai Sub1, pada chromosome 9 yang berasal dari varietas toleran FR 13A. Lokus tersebut
mampu menjelaskan 70% variasi fenotipik toleransi terhadap rendaman . Terdapat tiga gen
yang mengandung ethylene response factor (ERF) pad a lokus Sub1 tersebut ya itu Sub 1A, B
dan C (Xu et al., 2006). Dari ketiga gen tersebut, gen Sub1A merupakan penentu utama
toleransi yang mampu terinduksi dengan kuat sebagai respon terhadap rendaman pada
varietas-varietas yang toleran. Varietas-varietas yang membawa gen toleran Sub1 mampu
bertahan hidup pada kondisi terendam penuh sampai dengan 14 hari.
Jika perubahan iklim tidak diantisipasi atau dilakukan persiapan khusus untuk
menghadapinya, diperkirakan hal ini bukan saja akan berakibat buruk bagi sistem pertanian
melainkan juga bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bahkan bukan tidak mungkin perubahan
iklim ini akan membawa akibat lebih luas, antara lain melemahkan kinerja sektor pertanian dan
penurunan daya saing produk pertanian. Jika hal ini terjadi, akan dapat menjadi hambatan
besar bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan (Sejati, dkk.,
2011).
Sumaryanto dkk., (2012) menyatakan bahwa dari seluruh petani produsen pangan (padi,
jagung, kedele, tebu) Indonesia, 76 persen diantaranya hanya menguasai lahan garapan
usahatani kurang dari 1 hektar. Dengan kondisi seperti itu, diduga kuat bahwa sebagian besar
petani rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam. Oleh karena itu jika tidak ada kebijakan
dan strategi yang tepat untuk memperkuat kapasitas adaptasi petani pangan maka bukan
hanya nasib petani yang dipertaruhkan, tetapi ketahanan pangan nasional juga terancam
keberlanjutannya karena aktor utama penghasil pangan adalah petani.
Selanjutnya Sumaryanto dkk., (2012) juga menyatakan bahwa peningkatan kapasitas
adaptasi petani pangan tidak dapat dilakukan oleh petani sendiri. Peran Pemerintah sangat
diperlukan, baik dalam konteks penguatan kapasitas adaptasi petani melalui inovasi teknologi
dan pengembangan kemampuan manajerialnya maupun petani dalam penyediaan infrastruktur,
kebijakan harga, dan perbaikan kelembagaan pendukungnya, Mengingat cakupannya luas,
multidimensi, bersifat lintas sektor, serta
aspek teknisnya berkenaan langsung dengan
kehidupan keseharian beragam petani yang jumlahnya sangat besar maka kebijakan, program,
dan strateginya harus bersifat komprehensif dan secara cermat memperhitungkan simpulsimpul kritis yang sifatnya spesifik lokal. Data dan informasi seperti itu hanya dapat diperoleh
melalui penelitian empiris.
Adaptasi Petani
Menurut Sejati dkk., (2011), bentuk-bentuk adaptasi antisipatif dan responsif terhadap
perubahan iklim yang telah dilakukan masyarakat petani baik secara kelompok maupun secara
individu di Provinsi DIY dan Jawa Barat adalah: (a) melakukan perubahan pola tanam yang
disesuaikan dengan kondisi iklim; (b) mengubah saat awal tanam, menyesuaikan dengan
kecukupan curah hujan dan hari hujan; (c) mengubah sistem tanam, misalnya padi sawah
menjadi gogo rancah (d) mengubah sistem pengairan dari penggenangan secara terus menerus
menjadi pengairan berselang, atau bahkan hanya dengan sistem siram; (e) menggunakan
pupuk kimia dan pupuk organik yang disesuaikan dengan kondisi iklim; (f) mengubah pilihan
komoditas disesuaikan dengan kondisi iklim; (g) mengubah pilihan varietas yang ditanam
disesuaikan dengan kondisi iklim; dan (h) pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur irigasi.
Selanjutnya teknologi adaptif yang diterapkan meliputi: (a) pembuatan dam, sumur renteng,
sumur slang, dan sumur pompa; (b) perencanaan pola tanam disesuaikan dengan kondisi iklim
(curah hujan tinggi menanam padi dan cuaca kering dengan palawija); (c) pemakaian Bibit
varietas umur pendek saat gadu (Varietas Situgonggo dan Godogan); (d) pemupukan secara
lengkap dan berimbang, disesuaikan dengan kondisi iklim, di mana dosis pupuk urea dikurangi
dan pupuk organik ditambah; dan (e) meningkatkan pengetahuan petani tentang perubahan
iklim dan dampak perubahan iklim termasuk eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman,
melalui
SLPHT, SLPTT, SLI. Keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bantul dalam menghadapi bencana kebanjiran adalah
sangat efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kebanjiran lebih besar dari satu,
sedangkan keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di Kabupaten Gunung
Kidul dan Kabupaten Indramayu dalam menghadapi bencana kekeringan yang melanda
persawahan mereka adalah tidak efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kekeringan
lebih kecil dari satu. Kondisi ini terjadi kemungkinan besar karena bauran antara strategi
adaptasi yang ditempuh kelompok tani tidak tepat dan intensitas bencana kekeringan yang
terjadi tergolong cukup tinggi.
Lebih lanjut Sejati dkk., (2011) juga menyatakan bahwa kapabilitas kelompok tani dalam
menghadapi dampak perubahan iklim masih relatif lemah. Hal ini dapat dipahami mengingat
kelompok tani dibentuk tidak dalam rangka mengatasi perubahan iklim, melainkan lebih spesifik
pada upaya peningkatan produksi bahan pangan (padi) di tingkat usahatani pedesaan. Hampir
tidak ada kaitan langsung antara isu pembentukan kelompok tani di satu sisi, dengan isu
(dampak) perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, dapatlah
dipahami ketika dalam merespon perubahan iklim (yang menganggu misi ketahanan pangan
nasional) kelompok tani terkesan tidak siap dan dalam kondisi serba canggung.
Dari penelitian Sumaryantodkk., (2012) diperoleh sejumlah temuan mengenai tingkat
keragaman kapasitas adaptasi petani pangan terhadap perubahan iklim, antara lain sebagai
berikut: (1) Sumber-sumber keragaman ternyata tidak hanya mencakup faktor-faktor yang
berhubungan dengan kondisi agroekosistem, tetapi mencakup pula aspek sosial kelembagaan;
(2) Kapasitas adaptasi petani akan lebih mudah ditingkatkan jika kemampuan finansial petani
ditingkatkan. Peningkatan kapasitas adaptasi akan lebih mudah dilakukan di kalangan petani
yang berusia lebih muda. Selanjutnya, dalam rangka akselerasi maka sebagian petani yang
memiliki kemampuan manajerial berusahatani yang lebih tinggi sangat potensial diperankan
sebagai penghelanya. Peningkatan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim pada
kelompok petani kecil mempunyai prospek yang baik; (3) Peran pemerintah sangat diperlukan,
terutama dalam pengembangan infrastruktur fisik dan pengembangan kelembagaan serta
pengembangan teknologi adaptif.
Pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi terhadap
perubahan iklim perlu dilakukan secara konsisten, komperehensif, dan sistematis. Dalam
konteks itu, upaya akselerasi peningkatan kapasitas adaptasi petani dalam menghadapi
perubahan iklim perlu dilakukan dan (4) kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kapasitas
adaptasi adalah melalui pengembangan infrastruktur, kelembagaan, dan pengembangan
teknologi adaptif. Simultan dengan kebijakan tersebut, peningkatan kemampuan finansial
petani kecil melalui bantuan permodalan mempunyai prospek keberhasilan yang baik.
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)
Dalam proses komunikasi, pemerintah dan aparatnya, petani maju serta pihak swasta
yang terkait dapat berperan sebagai sumber atau komunikator. Sumber ini terdiri dari berbagai
tingkatan mulai dari nasional sampai tingkat desa.
Inovasi yang dalam hal ini bibit PTR,
perubahan iklim dan ketahanan pangan dapat dianggap sebagai pesan. Pesan yang utama
yang perlu disampaikan adalah pemanfaatan varietas padi toleran rendaman yang memeiliki
potensi besar
Pesan ini pun dapat disampaikan dalam berbagai tingkatan pula. Media yang
digunakan untuk menyampaikan ini bisa secara interpersonal atau pun bermedia.
Keluarga tani sebagai penerima pesan dapat digolongkan keinovasiannya menjadi lima
jenis yaitu, innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan kolot. Proses difusi
inovasi akan melalui lima tahapan juga yaitu: pengetahuan, persuasi, pengambilan keputusan,
implementasi dan konfirmasi.
Dalam penelitian ini yang akan dilihat sampai pada tahap
pengambilan keputusan saja. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Karakteristik sumber
informasi (S) (X1):
- Penyuluh
- Pedagang
- Peneliti
- Petani PTR
(X5):
- Kebijakan
- Budaya
- Sarana/prasarana
Difusi Inovasi PTR,
Karakteristik pesan
(M) (X2) :
- Menarik
- Lengkap
Mudah dipahami
- Pendapatan
Ketersediaan media
(C /X3): - Langsung
- Bermedia
Karakteristik individu
(X4):
- Pengalaman berusahatani
- Kebutuhan riil: jumlah
anggota keluarga
- Keinovatifan: innovator,
pengguna awal, mayoritas
awal, mayoritas akhir dan
kolot.
- Tingkat pendidikan,
pengalaman berusahatani,
keikutsertaan dalam
dik/latihan
- Norma-norma sosial: status
sosial
- Karakteristik sosek:
pekerjaan
- luas penguasaan lahan
- status penguasaan lahan
- peubah personal (umur,
jenkel, dll)
- perilaku komunikasi
(kekosmopolitan)
- kepemilikan media
komunikasi
Kesejahteraa
n (Y3)
Daya adaptasi (Y2):
- Kesesuaian pola
pemanfaatan BTR
- Kestabilan produktivitas
padi
3.3. Bahan dan metode pelaksanaan kegiatan
Dalam penelitian ini, peneliti merupakan bagian utama dari metodologi, mulai dari
persiapan, pengumpulan data lapang, sampai dengan analisis. Bahan yang digunakan hanyalah
berupa alat-alat tulis serta media audio visual lain termasuk komputer, untuk merekam dan
mendokumentasikan hasil wawancara.
BAB IV.
ANALISIS RISIKO
Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami beberapa hambatan
yang menjadi risiko. Beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa
cara penanganan risikonya disampaikan pada Tabel 1. Upaya penanganan terhadap risiko ini
diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan
komunikasi yang intensif dengan
pihak-pihak terkait.
Tabel 1. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan
Jenis Risiko
Kegiatan
penelitian tidak
optimal
Penyebab
Anggaran belum
tersedia pada waktu
direncanakan ke
lapangan.
Peneliti yang
merangkap di
beberapa kegiatan
penelitian.
Kelebihan beban kerja
di bagian entry data
dan pengolahan data
Dampak
Jadwal survey lapang
menjadi mundur.
Peneliti terbagi waktu
dan konsentrasinya
sehingga kurang
fokus dengan
kegiatan penelitian ini
Target pengolahan
data tidak sesuai
jadual sehingga
mempengaruhi
penyelesaian laporan
penelitian
Penanganan
Ketersediaan anggaran
pada waktu
merencanakan ke
lapangan
Pendistribusian tenaga
peneliti dengan baik,
sehingga tidak terjadi
kelebihan beban pada
beberapa peneliti saja
Merekrut tenaga pengolah
data
BAB V.
TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Tenaga yang Terlibat Dalam Penelitian
5.2. Jangka waktu kegiatan
Tabel 2. Jadual Pelaksanaan Kegiatan
Jenis Kegiatan
Pembuatan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Studi literatur
Penyusunan kuesioner
Pra survai dan pretest kuesioner
Survai utama
Pengolahan dan analisis data
Penulisan laporan kemajuan
Penulisan draft laporan akhir
Seminar hasil penelitian
Perbaikan laporan akhir
Penggandaan laporan akhir
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DES
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M. O., K. Makarim, A. Hairmansis, Supartopo, R.N. Suhaeti and S. Djojopoespito.
2009.
Developing Submergence Tolerant Rice Varieties: Implementation plans to
disseminate submergence tolerant rice varieties and associated new production practices
to Southeast Asia. Final Report Collaborative Research of among FAO-IRRI–JAPAN No.
DPPC2007-22. Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Struktur Ongkos Petani Padi 2008. BPS. Jakarta.
Basrum, Saidah dan H. Subagio. 2012. Introduksi Varietas Unggul Baru dalam Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Berbasis Rawa di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.http://avira-int.ask.com/web?q=
penyebaran+varietas+Inpara&searchSearch&qsrc=0&o=APN10269&l=dis&locale=en_ID&
gct=hp. Diaksses 15Januari 2013.
Berlo, D. K. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice.
Holt, Rinehart and Winston. Inc. New York.
Claassen and Shaw, 1970. Effect of Water Stress at Different Development on Rice. Agron. J.
62: p 652-655.
DeVito, A.Joseph. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Kharisma, Banten.
IPCC.
2007,
http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2231463-pengertianperubahan-iklim-global/#ixzz2I1W8oVed. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2013.
Littlejohn, J. 2009. Teori Komunikasi, Theories of Human Communication, Edisi 9 Terjemahan,
Penerbit Salemba Humanika. Jagakarsa.Jakarta.
Makarim, A.K., E. Suhartatik, G.R. Pratiwi dan Ikhwani. 2009. Perakitan Teknologi Produksi
Padi pada Lahan Rawa dan Rawan Rendaman (>15 hari) untuk Produktivitas Minimal 7
ton/ha. Laporan Akhir ROPP DIPA 2009.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Subang.
Makarim, A.K., E. Suhartatik, dan Ikhwani. 2011. Pemupukan NPK Optimum Padi Rawa Toleran
Rendaman dengan Produktivitas > 7 ton/ha di Lahan Lebak dan Sawah Rawan Banjir.
Laporan Akhir ROPP DIPA 2011. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Subang.
Mirza, M.M.O. 2003. "Climate change and extreme wheater events can developing countries
adopt?" Climate Policy 3: 233-248.
Misra, Rashi and A. Prakash. 2013. Climate Change and Sustainable Agriculture: An Indian
Perspective. Dr. Ram Manohar Lohia National Law University, Lucknow, India. Diunduh
dari http://www.kadinst.hku.hk/sdconf10/ Papers_PDF/p293.pdf; pada tanggal 20
November 2013.
Naylor R, D. Battisti, D.J. Vimonts, W.P. Falcon and M.B. Burke. 2007. assessing risks of climate
variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS 19(104): 7752-7757.
Peñalba, L. M. and D. D. Elazegui. 2013. Improving Adaptive Capacity of Small-Scale Rice
Farmers: Comparative Analysis of Lao Pdr and the Philippines. World Applied Sciences
Journal 24 (9): 1211-1220, 2013. ISSN 1818-4952. © IDOSI Publications, 2013. DOI:
10.5829/idosi.wasj.2013.24.09.13274. University of the Philippines Los Baños, Philippines.
Diunduh dari http://www.idosi.org/wasj/wasj24(9)13/14.pdf, pada tanggal 21 November
2013.
Priyanti, A. 2007. Model Ekonomi Rumah Tangga Petani Pada Sistem Integrasi TanamanTernak; Konsepsi dan Studi Empiris, Jurnal WARZOA Vol.17 No.2/2007. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan IPB. Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan). 2013.Peningkatan
Produksi Padi Menuju 2020. Repositori. Diunduh dari http://www. puslittan. bogor. net
/index.php?bawaan=download/download_ detail&&id=35., Diakses 4 Desember 2013.
Ranjabar,J. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovation. Free Press. New York.
Saleh, A. 2006. Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok
Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluh. Disertasi. IPB
Saragih. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan, Sustainable Livelihood Framework. Modul
Indonesia.
Sayaka, B., I.K. Kariyasa, Waluyo, Y. Marisa dan T. Nurasa. 2006. Analisis Sistem PerBibitan
Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Bogor
Sejati, W.K., T. Pranadji, B. Irawan, Saptana, S. Wahyuni, A. Purwoto, C. Muslim. 2011.
Peningkatan Kapabilitas Kelompok Tani dalam Adaptasi terhadap Perubahan Iklim.
Laporan Akhir Penelitian Program Insentif Riset Terapan. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Suardi dan Ridwan, 2004. Persilangan Padi Tipe Baru dengan Padi Liar. BP3TP (29): h 8-9.
Suhartatik (2010), Varietas Padi Toleran Rendaman (≥ 14 hari), Efisien pupuk dan Produksi
Tinggi ≥ 8t/ha)Hasil laporan penelitian, Badan penelitian dan pengembangan pertanian
Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan balai besar penelitian tanaman
padi; Subang- Jawa Barat.
Sumaryanto, Sugiarto dan M. Suryadi. 2012. Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan
terhadap Perubahan Iklim untuk Mendukung Keberlanjutan Ketahanan Pangan. Laporan
Akhir Penelitian T.A. 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Suprihatno, B. dan A.A. Darajat, 2008. Kemajuan dan Ketersediaan Varietas Unggul Padi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. h 302323.
Suswono,
2013.
Konsumsi
beras
masyarakat
Indonesia
tertinggi
di
dunia.
http://www.antaranews.com/berita/398839/konsumsi-beras-masyarakat-indonesiatertinggi-di-dunia. Diakses 8 Desember 2013.
Frankenberger, T.R. (Tango International Inc.). 2002. Household Livelihood Security
Assessment: A Toolkit for Practitioners. Prepared for CARE USA. PHLS Unit. Tucson,
Arizona, USA.
Tatlonghari, G., T. Paris, V Pede, I. Siliphouthone, and R N. Suhaeti. 2012. Seed and
Information Exchange through Social Networks: The Case of Rice Farmers of Indonesia
and Lao PDR. Sociology Mind, 2, 169-176. doi: 10.4236/sm.2012.22022.
Wassman, R. and A. Doberman. 2007 "Climate change adaptation through rice production in
region with high proverty levels; SAT eJournal 4(1): 1-24.
Wirjawan,
G.
2012.
Konsumsi
Beras
per
Kapita
Indonesia
paling
tinggi.
http://eprad.blogspot.com/2012/10/indonesia-konsumsi-beras-paling-tinggi.html. Diakses
8 Desember 2013.
Download