Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie (Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie Dalam Komunikasi Antar Budaya) Johnvic Chandra 090904101 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie yakni sebuah Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui kisah hidup sosok legendaris Tjong A Fie, khususnya bagaimana cara beliau dalam melakukan hubungan-hubungan antarbudaya melalui komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Gaya Komunikasi, Teori Komunikasi Antar Budaya, Teori Identitas Sosial karya Henry Tajfel dan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Data penelitian dibagi menjadi dua yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Pak Fon Prawira, beliau adalah cucu kandung Tjong A Fie, sekaligus ketua yayasan Tjong A Fie Mansion yang terletak di Jalan Kesawan, Medan, Sumatera Utara. Data sekunder dihimpun melalui berbagai literatur, seperti buku, DVD film dokumenter hingga penjelasan dari seorang tour guide. Hasil penelitian berupa kumpulan cerita-cerita penting kisah perjalanan sosok Tjong A Fie dengan mengambil fokus utama pada komunikasinya, gaya komunikasi dan proses komunikasi verbal serta nonverbal lebih dikemukakan. Dari hasil penelitian, beliau diketahui memiliki ciri-ciri gaya komunikasi konteks-rendah, dimana cara berbicara beliau yang tegas dan langsung, juga sifatnya yang selalu menyikapi secara terbuka seluruh materi pembicaraan yang dibawa oleh lawan bicaranya. Kata kunci: Gaya Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Biografi, Tjong A Fie. 1 PENDAHULUAN Konteks Masalah Teramat banyak hal yang dapat menjadi faktor dalam keberhasilan melakukan komunikasi antarbudaya. Selain harus memiliki sikap penuh kesadaran dalam melakukannya, pembentukan identitas diri juga turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi antarbudaya. Identitas diri dapat dipengaruhi - salah satunya - oleh cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Cara kita berbicara, termasuk kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan, dan intonasi suara kita menampilkan siapa diri kita di mata orang lain. Semua hal ini disebut gaya komunikasi. Salah satu analisis mendalam mengenai gaya komunikasi dikemukakan oleh Edward T Hall, dimana dia membagi gaya komunikasi ke dalam dua konteks, yaitu gaya komunikasi konteks-tinggi dan gaya komunikasi konteks-rendah. Berbicara soal keefektifan dalam komunikasi antarbudaya, dimana hasil akhirnya bisa dilihat - salah satunya - dengan tercapainya kerukunan antar individu-individu yang berbeda budaya, maka ada seorang tokoh yang sangat harum namanya di masyarakat Kota Medan. Beliau merupakan salah satu dari sekian banyak sosok yang berperan besar menciptakan keharmonisan di tengah kemajemukan masyarakat Kota Medan pada zaman dulu, dan hingga saat ini pengaruh keberadaannya masih dapat dirasakan. Sosok yang dianggap berperan besar itu bernama Tjong A Fie, dilahirkan pada tahun 1860 di Sungkow, Guangdong, Tiongkok. Tjong A Fie kecil tumbuh berkembang dalam keluarga yang sederhana. Melihat kisah sukses beliau, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang belum pernah diteliti sebelumnya yakni mengurai kisah sukses sosok Tjong A Fie terkait dengan keefektifan komunikasi antarbudaya serta melihat bagaimana gaya komunikasi yang dilakukannya pada masa itu. Fokus Masalah Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka fokus masalah adalah sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya komunikasi Tjong A Fie dalam aktivitas komunikasi antar budaya?” Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui komunikasi verbal dan nonverbal Tjong A Fie dalam melakukan komunikasi antarbudaya. 2. Untuk mengetahui gaya komunikasi Tjong A Fie (konteks-tinggi dan konteks-rendah) dikaitkan dengan komunikasi antarbudaya. KAJIAN PUSTAKA Perspektif/Paradigma Penelitian biografi termasuk ke dalam perspektif konstruktivis, dimana tujuan penelitian biografi sesungguhnya adalah mencari dan mengungkapkan kenyataan atau realitas yang ada secara mendalam. Hal ini disebabkan teori yang menjadi dasar dari metode biografi adalah etnografi, fenomenologi, analisis narasi, interaksionime simbolik, teori diskursus dan analisis konvensional. 2 Uraian Teoritis 1. Komunikasi Antar Budaya Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa (Liliweri, 2003:11) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama. 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. 4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara. (Liliweri, 2003:36) 2. Gaya Komunikasi Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula (Mulyana, 2004:102). 3. Teori Identitas Sosial Teori identitas sosial dipopulerkan oleh seorang tokoh yang bernama Henri Tajfel. Dikatakan ada cara-cara atau usaha yang dilakukan oleh manusia dalam mencari atau memperoleh identitas tertentu. Mulai dari melakukan tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan kepentingan kelompok budaya individu tersebut maupun kepentingan persona. Pada awalnya teori identitas sosial digunakan untuk menjelaskan hubungan antar kelompok, tetapi belakangan, seorang ahli bernama Ralph Tyler (1996) mengembangkan teori ini untuk menjelaskan hubungan individu dengan suatu kelompok. Teori ini menjelaskan bahwa individu menggunakan kelompok sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota kelompok dan untuk membangun status diri. 3 4. Teori Komunikasi Verbal dan Non-verbal Komunikasi verbal adalah proses penyampaian pesan atau stimulus antar komunikator ke komunikan yang menggunakan kata-kata (words), baik lisan maupun tulisan. Bentuk yang paling umum dari komunikasi verbal adalah bahasa. Bentuk lain yang berupa tulisan hanya sekedar cara untuk merekam bahasa yang diucapkan, dengan membuat tanda-tanda pada kertas maupun pada media tulis lainnya (Mulyana, 2000:113). Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non berarti tidak, Verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis biografi. Teknik analisis biografi adalah metode menganalisis sejarah hidup seseorang. Objek kajiannya adalah orang tersebut dan seluruh pengalaman hidupnya, mulai dari kelahirannya, menjadi dewasa, sampai dengan masa tuanya, bahkan sampai orang tersebut meninggal dunia (Bungin, 2007:233). Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah semua hal yang melekat dan terdapat dalam cerita pengalaman sosok Tjong A Fie, dengan berfokus pada gaya komunikasi beliau. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer Data primer merupakan sumber data penelitan yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Bentuk dari data primer yaitu wawancara mendalam dengan narasumber yang sudah ditentukan sebelumnya. Selain wawancara mendalam, observasi lapangan dan studi dokumentasi juga termasuk ke dalam data primer. 2. Data Sekunder Data sekunder didapat dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Buku karangan Queeny Chang yang berjudul Memoirs of a Nonya yang diterbitkan tahun 2000 di Singapura berisi banyak sejarah dan cerita-cerita mengenai sosok Tjong A Fie yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Buku ini dijadikan salah satu sumber data sekunder bagi penulis. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setalah selesai pengumpulan dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah 4 melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, hingga diperoleh data yang dianggap kredibel. Data itu kemudian dianalisis dengan teori-teori yang sudah ditentukan sebelumnya untuk memaparkan dan mengetahui hal-hal apa saja yang penting dan layak dipelajari. Hasil dan Pembahasan Data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak semuanya perlu dibahas. Berikut data hasil penelitian direduksi berdasarkan teknik biografi berupa tujuh objek-objek sejarah penting dan jati diri seseorang yang perlu dibahas lebih lanjut (Bungin, 2007). a. Identitas Diri, Keturunan, dan Keluarga. Sejarah sepakat untuk menulis bahwa Tjong Fung Nam, atau yang dikenal dengan nama Tjong A Fie, berasal dari negeri China. Tepatnya di kampung Sung-kow, daerah Mei Xian, Provinsi Kwang Tung di pedalaman China. Tjong A Fie lahir ke dunia pada tahun 1860, dan merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara sebuah keluarga Hakka, dengan ayah bernama Tjong Lian Xiang dan ibu yang bermarga Li. b. Perkembangan Hidup Semasa Kecil dan Orang-orang yang Mempengaruhinya. Hidup di sebuah keluarga yang serba kekurangan, tidak menghambatnya untuk tumbuh menjadi sosok yang cerdas. Walaupun hanya mendapat pendidikan seadanya, namun Tjong A Fie tetap mampu menguasai berbagai kiat-kiat dagang yang diturunkan dari ayahnya, yang merupakan seorang pedagang tulen. Tinggal dengan sebuah keluarga besar berjumlah 9 (sembilan) orang, membuat Tjong A Fie harus saling berbagi dan belajar mengasihi sejak dini. Sejak kecil Tjong A Fie memang memiliki cita-cita yang tinggi. Sadar kehidupannya tidak akan berkembang di Kwang Tung, dia pun ingin agar bisa merantau seperti abangnya, Tjong Yong Hian. Dengan hanya berbekal seadanya, Tjong A Fie yang saat itu berumur 18 tahun, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dengan menambatkan sampannya di tepi sungai dalam perjalanan ke Swatow, dimana dari daerah itu, dia menumpang sebuah junk, menuju Tanah Deli, Sumatera Utara, Indonesia. c. Sejarah Pendidikan dan Masa Pertumbuhannya Menjadi Dewasa. Usia Tjong A Fie masih 18 tahun saat pertama menginjakkan kakinya di Tanah Deli, namun dia telah berkembang menjadi seorang anak muda China yang tangguh dan tidak kenal takut demi mengejar cita-citanya di tanah harapannya. Dia tidak pernah mengenyam bangku pendidikan layaknya anak-anak kaya di China, kehidupannya lebih banyak dihabiskan bersama keluarganya sampai akhirnya dia menerima kenyataan harus hidup mandiri dan memulai segala hal dari nol. Satu-satunya keahlian yang dimilikinya saat itu hanya berdagang. Maka hanya dengan berdaganglah, 5 Tjong A Fie beradaptasi di tampat tinggal barunya. Seorang pemilik toko kelontong, Tjong Sui Fo akhirnya memperkerjakannya. Karena sejak muda sudah lihai dalam berdagang, tidak butuh waktu yang lama bagi Tjong A Fie untuk sukses dalam bidang ini. Usaha Tjong Sui Fo pun mengalami banyak kemajuan sejak kedatangannya. Nama Tjong A Fie pun semakin dikenal tatkala dia menunjukkan kemampuannya dalam menjalin relasi. Dia mudah bergaul dan berteman dengan orang-orang dari berbagai bangsa yang beraneka ragam. Mulai dari kalangan Melayu yang kebanyakan adalah para tengku dari kerabat kaum bangsawan tanah Deli, orang-orang Arab, orangorang India dan juga orang-orang Belanda. Dia pun belajar Bahasa Melayu yang dianggapnya sangat penting. Hampir setiap hari, dia mulai berbahasa Melayu demi tujuan agar cepat akrab dengan masyarakat sekitar. d. Sejarah Pekerjaan dan Reputasi. Berbekal kedekatannya dengan pemegang wilayah Tanah Deli, yakni Kesultanan Deli, dia pun dengan mudah melakukan manuver memperluas wilayah perkebunannya yang sudah dia rintis. Kemampuan dia melakukan lobi sangat mendukung dia dalam hal ini. Tak kurang dari perkebunan teh, tembakau, kelapa, karet dan kopi dimiliki oleh Tjong A Fie. Dia memiliki banyak pegawai yang tidak hanya berasal dari negeri China, namun juga masyarakat pribumi. Masyarakat sekitar pun sangat menghormatinya. Semasa hidupnya, banyak kegiatan sosial yang dilakukan oleh Tjong A Fie demi membantu kehidupan masyarakat sekitarnya. Dia seringkali memberi santunan kepada fakir miskin dan anak-anak yang kurang mampu. Selain itu, pembangunan tempat-tempat ibadah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh Tjong A Fie. Tidak hanya mesjid, tetapi gereja, kuil hindu dan kelenteng juga sudah dibangun Tjong A Fie di berbagai tempat. Dia seakan ingin membuktikan bahwa dirinya sangat menjunjung tinggi multikulturalisme yang ada di Kota Medan saat itu, dengan tidak membedabedakan suku, agama, ras dan bangsa. Ini juga membuktikan Tjong A Fie memiliki sisi religius yang kental. Masyarakat tentu sangat dimudahkan dalam hal ini. Mereka dengan mudah membangun kehidupan taat beragama dengan bantuan bangunan-bangunan suci itu. Hingga sekarang, keberadaan rumah ibadah ini masih berdiri tegak dan bisa dijumpai oleh siapa saja. e. Ideologi Agama dan Masyarakat yang Mempengaruhinya. Tjong A Fie lahir dari sebuah keluarga penganut agama Kong Hu Chu. Dan diketahui hingga akhir hayatnya, beliau tidak pernah mengganti agamanya dan tetap setia mengikuti ajaran agama yang diturunkan dari keluarganya ini. Lain halnya jika berbicara mengenai budaya. Meskipun Tjong A Fie berdarah China tulen dengan asal usul budaya China yang kental dari kedua orang tuanya, itu tidak membuatnya serta merta membawa dan menerapkan budaya dirinya ke Tanah Deli. Dia menyadari bahwa budaya China dengan tradisi-tradisinya harus dilebur dengan budaya asli Indonesia agar kehadirannya sebagai seorang perantau bisa diterima dengan baik oleh masyarakat asli. Itulah yang menjadi dasar pemikirannya ketika dia memilih menikahi Lim Koei Yap, gadis asal Binjai, yang kental dengan 6 budaya China Peranakan, sebuah budaya hasil akulturasi antara budaya China dengan budaya asli Indonesia. f. Ajaran-ajaran Moral yang Diperjuangkan. Sikap arif, rendah hati, dan kedermawanan yang dimiliki Tjong A Fie membuat dirinya dengan cepat diterima oleh masyarakat sekitar saat itu. Kesultanan Deli dan pemerintah Belanda pun turut merasakan pengaruh besarnya. Royalitas Tjong A Fie yang ditunjukkan kepada pihak kesultanan dengan membangun suatu hubungan baik yang bertahan lama membuktikan bahwa dia memang menjadikan hubungan relasi sebagai fondasi suksesnya. Tanpa hubungan relasi yang kuat dengan pihak kesultanan, mustahil melihat dan mendengar kisah sukses Tjong A Fie saat ini. Salah satu faktor pendukung yang membangun hubungan relasi itu datang dari kemampuan komunikasi Tjong A Fie yang di atas rata-rata. g. Harapan-harapannya untuk Masyarakat yang Akan Datang. Setumpuk cerita sukses Tjong A Fie akhirnya menemui ujungnya ketika ajal menjemputnya di tahun 1921. Tepatnya di tanggal 4 Februari 1921, ketika umurnya masih 61 tahun. Penyakit apopleksia atau pecah pembuluh darah di bagian otak menjadi penyebab utama kematiannya. Namun, sebelum meninggal, dia menulis banyak surat wasiat melalui notaris Dirk Johan Facquin den Grave, warga keturunan Belanda. Salah satu surat wasiatnya membuat dia dipuji masyarakat, karena selain surat-surat wasiat yang lain menjelaskan tentang pembagian harta dan kewajiban keluarganya, surat wasiat ini lebih ke sisi kemanusiaan. Surat wasiat yang diberi nomor 67 ini sekaligus mengungkapkan harapan-harapannya kelak, diantaranya untuk menjaga budaya dan kerukunan beragama yang telah dibangunnya, memajukan pendidikan anak-anak Tjong A Fie, memberikan tunjangan-tunjangan pendidikan kepada generasi muda yang berkelakuan baik tanpa membedakan agama, suku ataupun golongan, memberikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan tanpa membedakan golongan atau bangsa. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tjong A Fie merupakan seorang komunikator bergaya komunikasi konteks-rendah dan bergaya bicara linier. Hal ini dibuktikan dengan cara komunikasinya yang lugas dan to-the-point dalam menyikapi materi pembicaraannya. 2. Tjong A Fie berbicara apa adanya, alami, tegas, dan menyikapi materi pembicaraanya secara langsung. Dia tidak bertele-tele menanggapi sebuah masalah. Dia pengambil keputusan yang cepat dan dia menunjukkan komitmen penuh terhadap apapun yang telah menjadi keputusannya. Dia berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial dengan semua kalangan masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan golongan. 3. Gaya personal sosok Tjong A Fie dilihat dari cara dia berbicara yang lembut, tidak meledak-ledak, menyampaikan kata-katanya dengan nada 7 4. 5. 6. 7. suara rendah dan mimik muka yang meyakinkan hampir di setiap kali dia berbicara, baik untuk urusan bisnis maupun di pemerintahan. Komunikasi antar budaya yang dijalankan olehnya tidak menemui banyak hambatan. Selain diterima dengan baik oleh masyarakat asli Tanah Deli, dia juga dikenal memiliki hubungan khusus dengan Sultan Deli semasa hidupnya. Bukan hanya itu, dia juga dipercaya oleh pemerintah Belanda untuk duduk sebagai bagian dari pemerintah. Kemampuan komunikasi verbal Tjong A Fie disukai banyak orang. Dalam berkomunikasi, ia juga menunjukkan jiwa kepemimpinannya, sehingga banyak buruh-buruh China saat itu mendukung dia menjabat sebagai salah satu pemimpin. Dia pun diangkat oleh Belanda sebagai Liutenant China pada tahun 1886. Kemudian menjadi Kapitein China pada tahun 1898. Di tahun 1911, dia menggantikan abangnya sebagai Mayor China. Komunikasi nonverbal-nya pun sering digunakan ketika dia hendak menyampaikan sesuatu yang penting. Namun komunikasi nonverbal-nya bukan sesuatu yang penting baginya, karena hanya dia gunakan sebagai alat pendukung dan pelengkap komunikasi verbal-nya. Identitas diri Tjong A Fie mengalami perubahan pesat setelah menikah dengan Lim Koei Yap, jika dibandingkan dengan awal-awal kedatangan beliau. Dengan sadar, dia bergabung dengan komunitas masyarakat kota Medan yang memiliki beragam budaya. Dia menunjukkan perhatian dan sumbangsih kepada masyarakat kota Medan, tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan golongan. Beragam bangunan yang dibangunnya kala itu menjadi saksi bisu bagaimana pengaruh yang ditunjukkan sosok Tjong A Fie di masyarakat ketika itu. Saran 1. Diharapkan setiap pelaku komunikasi aktif untuk menggunakan gaya personal yang sesuai dan mudah diterima oleh semua orang. Hal ini dimaksudkan agar interaksi sosial yang dijalin dapat berkembang dan bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selain itu, budaya juga hal wajib yang musti diperhatikan. Komunikasi yang terjadi di antara dua budaya yang berbeda harus mengerti dan memahami hal-hal apa saja yang harus diucapkan dan hal-hal apa saja yang tidak boleh diucapkan, yang mungkin akan menyinggung budaya lainnya. 2. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenang jasa para pahlawanpahlawannya. Hendaknya semua orang, khususnya masyarakat kota Medan, tidak melupakan sejarah, dimana masih terdapat banyak pahlawan-pahlawan bangsa yang layak dikenang jasa-jasanya. Salah satunya Tjong A Fie. Jaga dan rawat-lah semua peninggalan-peninggalan beliau yang ada, yang kelak akan menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya. Sejarah Tjong A Fie diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi kita, generasi muda, untuk terus bekerja dan berusaha dalam menggapai citacita serta tetap memiliki sifat rendah hati. 8 DAFTAR REFERENSI Chang, Queeny. 2000. Memoirs of a Nonya. Singapura : Singapura Post. Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. . 2004. Komunikasi PT. Remaja Rosdakarya. Efektif. Bandung : Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Prenada Media Group. 9