Bimafika, 2011, 3, 216 -224 IDENTIFIKASI EKSPRESI PROTEIN RESEPTOR ORGAN OTAK IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) PADA INFEKSI VIBRIOSIS Inem Ode Staff Pengajar Fakultas kelautan dan Perikanan Universitas Darussalam Ambon Diterima 1-12-2010; Terbit 31-06-2011 ABSTRACT Vibrio spp. is pathogen bacteria which causes vibriosis disease that often attack the grouper. Brain is one of the often infected organ. It is caused by the presence of spesific tissue or cellular receptor for pathogen colonization. The aim of the research was to know the expression of receptor protein of the brain organ of the Humpback Grouper (Cromileptes altivelis) at the vibriosis infection and to know the specification of the brain organ at molecular level of Humpback Grouper brain that can be used for development of construc primer mRNA receptor that infected by vibriosis. The research used exploration and descriptive methods by isolating receptor protein of Humpback Grouper brain and analizing the spesific protein expresion by hemaglutinin test SDS-PAGE, dot blotting and western blotting. The conclusion of the research is the brain organ of Humpback Grouper has receptor protein that able to recognize the bacteria adhesion protein of vibrio alginolyticus (47,98 kDa), vibrio harveyi (51,16 kDa), vibrio parahemolyticus (19,35 kDa), and vibrio anguilarum (57,08 kDa) that is expected is virulence factor in the infection mechanism. The adhesion protein that is known by receptor protein of brain organ is the immunogenic adhesion protein that showed by the presence of positive reaction between immunogenic adhesion protein and antibody (Ig) anti grouper. Keywords: C.altivelis, receptor protein, brain, vibriosis. Pendahuluan Vibrio spp. adalah bakteri patogen penyebab penyakit vibriosis yang sering meyerang ikan jenis kerapu. Infeksi bakteri patogen Vibrio diduga sebagai penyebab rendahnya laju sintasan (Survival Rate, SR) pada pembanihan ikan kerapu tikus, yaitu berkisar antara 1,2 – 2,9% (Koesharyani dkk., 2000). Proses yang menyebabkan terjadinya infeksi bakteri diawali dengan perlekatan, kolonisasi, kemudian invasi. Perlekatan bakteri terhadap permukaan sel membutuhkan dua faktor yaitu reseptor dan adhesin. Otak merupakan salah satu organ yang sering terinfeksi bakteri. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen, dan juga didukung oleh syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrien maupun lingkungan bagi pertumbuhan patogen (Irianto, 2005). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan menunjukkan bahwa organ otak ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dapat mengekpresikan protein reseptor pada infeksi vibriosis (V. alginolyticus, V. anguilarum, V. parahaemolyticus dan V. harveyi). Saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk menemukan jenis protein spesifik yang bersifat general yang * Korespondensi : email: dapat mengenali antigen termasuk Vibriosis ataupun virus khususnya pada ikan kerapu tikus (C. altivelis). Mengingat kerapu tikus (C. altivelis) merupakan ikan ekonomis penting baik sebagai ikan hias dan ikan konsumsi dalam negeri, juga sebagai komoditas ekspor andalan ikan hidup, maka produksi benih kerapu tikus (C. altivelis) yang bebas penyakit merupakan salah satu kunci keberhasilannya, dengan mengetahui ekspresi protein reseptor ikan kerapu tikus (C. altivelis) dan tingkat spesifitasnya pada infeksi vibriosis, dapat dijadikan acuan untuk bahan konstruk primer bagi pengembangan vaksin peptida dalam mengatasi penyakit Vibriosis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ekspresi protein reseptor organ otak ikan kerapu tikus (C. altivelis) pada infeksi Vibriosis dan juga Mengetahui spesifikasi molekuler organ otak ikan kerapu tikus (C. altivelis) yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan bahan konstruks primer mRNA reseptor yang terinfeksi Vibriosis. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memperoleh bahan peptida untuk pembuatan vaksin dalam rangka menghasilkan benih ikan kerapu tikus (C. altivelis) yang unggul. I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 pemeliharaan pada akuarium selama 1 bulan. Ikan kerapu yang pergerakannya lincah dan tidak terjadi perubahan morfologi (tidak terjadi pendarahan pada bagian tubuh, mata normal dan tidak menonjol, sisik dan sirip utuh) yang akan digunakan sebagai sampel pada penelitian. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sentral, laboratorium Ilmu-Ilmu Perairan dan Bioteknologi Kelautan Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Waktu penelitian dilaksanakan mulai September 2008 – Juli 2009. Kultur Bakteri Vibrio Dalam penelitian ini, bakteri yang digunakan adalah Vibrio alginolyticus, vibrio harveyi, Vibrio anguilarum, dan Vibrio parahaemolyticus. Isolasi Vibrio menggunakan media TCG yang dapat memperkaya pertumbuhan Vibrio . Media agar dibuat dalam botol volume 250 ml secara miring sebanyak 100 botol, setiap botol berisi 50 ml agar. Vibrio yang dipilih ditanam pada media o TCBS yang dieramkan 24 C selama 24 jam. Hasil biakan diambil dengan cara kerokan yang sebelumnya dituangkan PBS steril pH 7,4 secukupnya. Suspensi bakteri dimasukkan dalam botol yang berisi 1000 ml larutan Brain Heart infusion Broth (BHI), kemudian digoyang kuat selama 30 menit pada penangas air suhu o 37 C. kemudian suspensi bakteri sebanyak 10 ml dimasukkan dalam setiap botol yang mengandung media TCG. Selanjutnya dilakukan o pengeraman suhu 37 C selama 2 x 24 jam. Isolasi Crude Protein Bakteri Vibrio. Isolasi protein bakteri dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Kultur bakteri pada media BHI yang telah di inkubasi selama 24 jam (suhu kamar), kemudian di sentrifuse pada kecepatan 4000 rpm (10 menit) sehingga didapat pellet / whole cell. Kemudian pellet yang telah didapat digerus/homogenisasi dengan tujuan untuk menghancurkan dinding sel bakteri, setelah itu di tambahkan larutan NOG 0,05%. Kemudian dimasukkan kedalam eppendof dan disentrifuse dengan kecepatan 11000 rpm o selama 20 menit (suhu 4 C). Kemudian protein akan berada pada bagian atas eppendof dan whole cell (pellet) berada pada bagian bawah. Protein diambil dan simpan pada suhu (-20oC). Metode Uji Hemaglutinasi ( HA ) Sel darah merah (Eritrosit) ikan kerapu tikus diambil dengan jarum spuit pada bagian caudal aorta, disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit. Kemudian dibuat pengenceran 50 μl eritrosit ditambahkan PBS sampai volume 10 ml lalu dihomogenkan dan selanjutnya siap digunakan uji HA. Pengenceran sampel dibuat konsentrasi ½ pada microplan V tiap sumur volumenya 50 μl. Setiap sumur ditambahkan darah merah (eritrosit) ikan konsentrasi 0,5% volume sama. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksploratif dan deskriptif berdasarkan kajian molekuler. Persiapan Wadah Pemeliharaan Wadah pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium berkapasitas 60 liter (ukuran 75x35x35 cm) sebanyak 6 buah, dan akuarium berkapasitas 18 liter (ukuran 30x30x30cm) sebanyak 4 buah (digunakan untuk hewan uji yang terinfeksi). Sebelum akuarium tersebut digunakan, terlebih dahulu akuarium disterillkan dengan KCl lalu dikeringkan dan dibiarkan selama 24 jam, setelah itu direndam dengan air tawar dan dibiarkan selama 2 hari. Kemudian air tawar dibuang dan diisi air laut yang bersalinitas 30-33 ppt, setelah air laut terisi, disterilkan dengan menggunakan kaporit (CaCOl2) 100 mg/L dan dibiarkan selama 3 hari, dengan aerasi terpasang yang fungsinya untuk menguapkan sisa-sisa kaporit. Setelah 3 hari air laut dinetralisir dengan menggunakan natrium thiosulfat (Na2S2O3) dengan konsentrasi 100 ppt. Untuk menjaga oksigen dan kestabilan suhu akuarium dilengkapi dengan aerasi dan hitter, dengan sistem resirkulasi tertutup. Aklimatisasi Ikan Kerapu Tikus Penelitian ini menggunakan Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang sehat (tidak terinfeksi) berdasarkan ciri-ciri morfologi yang didatangkan dari BBAP Situbondo sebanyak 50 ekor dengan ukuran 9-15 cm, yang ditempatkan pada enam akuarium dan dipisahkan berdasarkan ukuran ikan. Sebelum benih ikan dimasukkan dalam akuarium, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi, Pakan yang digunakan berupa ikan rucah segar. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali per hari, yaitu pada jam 08.00 pagi dan jam 16.00 sore. Pemberian pakan dilakukan secara adlibitum, yaitu memberikan makan sekenang-kenyangnya. Untuk memastikan ikan kerapu yang akan digunakan merupakan ikan sehat, dilakukan 217 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 bakteri (V.algino, V.anguilarum, dan V.parahaemolyticus). tiap sumuran 50 μl (1:10 dalam PBS skim 5%), kemudian diikubasi overnight pada suhu ruang. Kemudian dibloking dengan PBS skim 5 % selama 1 jam. Kemudian dicuci dengan PBS tween 0,05 % (3 x 5 menit). Menambahkan antibodi primer (1:50 dalam PBS skim 5 %) tiap sumuran 50 μl. Kemudian diinkubasi overnight pada suhu ruang. Kemudian cuci dengan PBS tween 0,05 % (3 x 5 menit), dan ditambahkan antibodi sekunder (1:50 dalam PBS skim 3%) tiap sumuran 50 μl. Kemudian menambahkan substrat chromogen NBT tiap sumuran 50 μl (buat alquot). Kemudian inkubasi selama 3 jam pada suhu ruang. Stop reaksi dengan aquadest, 50 μl tiap sumuran dan amati hasil. Kemudian digoyang dengan menggunakan rotator plate selama satu menit. Selanjutnya diletakkan pada suhu kamar selam 1 jam. Besarnya titer ditentukan dengan pengamatan adanya aglutinasi darah merah pada pengenceran yang terendah. Sampel yang diuji adalah crude protein bakteri. Jenis darah merah yang digunakan adalah eritrosit ikan kerapu tikus C. altivelis. Paparan bakteri Vibrio Ke ikan kerapu. Stok bakteri diencerkan hingga kepadatan 5 mencapai 10 CFU/ml kemudian dituang pada air pemeliharaan ikan, setelah bakteri tercampur ikan kerapu tikus dimasukkan pada aquarium sebanyak 3 ekor. dan dipelihara selama 2 minggu, setelah itu ikan yang terinfeksi diambil organ otak untuk diisolasi protein reseptornya dan isolasi antibodi. Isolasi antibodi dilakukan dengan menganestesi ikan dengan minyak cengkeh, darah diambil dari caudal aorta dengan spuit kemudian dimasukkan dalam eppendorf yang berisi EDTA. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 rpm selama 15 menit, 0 4 C. Supernatan/serum yang diperoleh disimpan o dalam -40 C. Isolasi Protein Reseptor organ otak ikan kerapu. Isolasi protein reseptor dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : organ yang telah diisolasi ditimbang beratnya, kemudian organ dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali lalu digerus sampai halus diusahakan jangan terlalu lama (digerus dalam mortal yang sudah didinginkan) yang diletakkan diatas balok es. Kemudian ditambahkan buffer ekstrak ke dalam mortal dan diratakan (banyaknya buffer ekstrak yang di masukkan tergantung berat organ yang ada). setelah homogen, dituang kedalam eppendof dan di sentrifuse dengan kecepatan 11000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Pellet / whole cell yang mengendap di dasar tabung dibuang. Kemudian supernatan diambil dan dimasukkan kedalam 2 tabung eppendof, sebanyak 20 μl untuk SDS-PAGE dan sisanya diukur konsentasi proteinnya dengan metode Bradford (Nano drop). Identifikasi protein reseptor organ ikan kerapu yang spesifik terhadap protein vibrio spesifik dengan teknik Dot Blotting. Kertas nitrosellulosa direndam dalam PBS selama 30 menit, kemudian nitrosellulosa dipasang dalam Chamber dot blot, kemudian organ dimasukkan ke dalam sumuran. Tiap sumuran 50 μl (1:10 dalam PBS skim 5%). Kemudian diinkubasi selama 1 jam pada sehu ruang. Tambahkan antigen dari crude protein Identifikasi protein reseptor organ ikan kerapu yang spesifik terhadap protein vibrio spesifik dengan teknik Western Blott Western Blot dilakukan dengan menggunakan Metode Towbin, satu gel dipindahkan pada kertas nitrosellulosa menggunakan alat semi dry setelah sampel tersebut dilakukan SDS-page. Kemudian dilakukan pengecatan dengan pewarna ponco 2% yang mengandung TSA sampai 3%, untuk mengetahui apakah protein sampel telah pindah pada kertas nitrosellulosa dan diberi tanda untuk menentukan bobot molekul. Kertas nitrosellulosa dipotong sesuai dengan lajur sumuran. Selanjutnya, di blok dengan TBE yang mengandung albumin 3% dalam TBE pH 7,4 ditambah BSA 1% digoyang selama 2 jam. Selanjutnya, ditambah antibodi sekunder yaitu anti grouper IgM kosentrasi 1/1000 dalam TBE pH 7,4 dan BSA 1%, dan dilindungi terhadap sinar. Digoyang selama 2 jam, kemudian dilakukan pencucian 2 kali selama 5 menit menggunakan TBE pH 7,4 tween 20 0,05%. Sebagai bahan warna digunakan tablet β Cip yang dilarutkan pada H2O 10 ml. Larutan ini dituangkan pada kertas nitrosellulosa dan dilakukan pengamatan terjadinya warna merah. Jika reaksi, cukup dibilas dengan H2O, selanjutnya dikeringkan dengan kertas saring. Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamid Gel Elektrophoresis (SDS-Page) Sampel crude protein bakteri dan crude protein organ otak terinfeksi bakteri vibrio dengan reducing sample buffer (RSB) dan dipanaskan pada air mendidih 100º C selama 5 menit lalu diinjeksikan pada sumur gel 12,5% kemudian di running pada kondisi voltase 218 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 konstan 120 V selama 90 menit. Selanjutnya gel diambil dari plate dan direndam dalam larutan staining dan destaining dan dishaker selama 30 menit. Sebagai bahan pewarna digunakan coomassie brilliant blue. Selanjutnya dilakukan pengamatan pita protein yang terbentuk. Elektroelusi Pita protein hasil elektrophoresis dipotong sesuai dengan berat molekul yang teridentifikasi. Potongan pita protein selanjutnya dimasukan ke dalam kantong selofan yang telah diisi dengan running buffer, selanjutnya dielusi pada alat elektro elufer vertikal untuk mengangkat protein yang terdapat di dalam gel, pada tegangan 110 volt selama 2 jam. Kantong selofan yang telah berisi larutan selanjutnya dilakukan dialisa untuk memisahkan protein dari bahan-bahan non protein. Dialisa Membran selofan direbus selama 5 menit, dimasukkan ke dalam cawan petri berisi aquadest, diikat bagian bawah membran selofan menggunakan benang. Kemudian diambil supernatan sampel menggunakan micropipet SL 1000 dan blue tip sebanyak 500 μl, kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf dan ditambahkan PBS sebanyak 500 μl ke dalam eppendorf, sampel dimasukkan ke dalam membran selofan menggunakan micropipet SL 1000 dan blue tip. Kemudian bagian atas membran selofan diikat dengan benang. Agar membran dapat mengapung diikat pelampung dari steroform tipis. Kemudian dimasukkan buffer phospat sebanyak 1 liter ke dalam becker glass, sampel siap dimasukkan ke dalam becker glass dan ditutup bagian atas menggunakan aluminium voil, kemudian dimasukkan magnet stike ke dalam becker glass. becker glass diletakkan di atas stirer dan dilakukan stirer selama 12 jam. Kemudian stirer dimatikan dan becker glass diangkat. Kemudian dibuka aluminium voil, angkat sampel dialisa menggunakan pinset dan diletakkan dalam cawan petri. sampel dipindahkan dari dalam membran selofan ke dalam eppendorf menggunakan micropipet SL 1000 dan blue tip Hasil Dan Pembahasan Hasil Kultur Bakteri Vibrio spp. Hasil kultur bakteri vibrio alginolyticus, vibrio harveyi, vibrio parahemoliticus dan vibrio anguilarum Koloni bakteri vibrio pada media TCBSA adalah menyebar, tepi tajam, permukaan halus, berwarna kuning. Morfologi bakteri vibrio yang tampak adalah bentuk batang bengkok, gram negatif. Hasil Uji Hemaglutinasi (Ha) Crude Protein Vibrio spp. Perlekatan bakteri pada sel inang diperankan protein adhesin yang identik dengan protein hemaglutinin. Protein hemaglutinin merupakan salah satu kelompok protein adhesin yang berperan dalam perlekatan saat mekanisme infeksi bakteri. Untuk mengetahui hemaglutinin Vibrio spp. terhadap eritrosit ikan kerapu dilakukan uji hemaglutinasi (Ha). Reaksi hemaglutinasi dapat dibaca setelah kontrol eritrosit mengendap. Reaksi dikatakan positif apabila terjadi aglutinat (penggumpalan) di dasar tabung dan negatif apabila terjadi endapan di dasar tabung seperti pada kontrol eritrosit. Uji hemaglutinasi crude protein vibrio terhadap eritrosit ikan kerapu tikus, tertera pada Gambar 1. Pengujian hemaglutinasi crude protein Vibrio spp. dengan eritrosit ikan kerapu tikus diperoleh hasil bahwa pada vibrio alginolitycus hemaglutinasi positif pada titer pengenceran ¼,, vibrio harveyi pada titer pengenceran 1/8, vibrio parahemolitycus pada titer pengencean ¼ dan vibrio anguilarum hemaglutinasi positif terjadi pada semua titer pengenceran. Keterangan : A. Crude protein V. alginolyticus dengan titer aglutinasi positif sampai pengencaran ¼. B. Crude protein V. harveyi dengan titer aglutinasi positif sampai pengencaran 1/8. C. Crude protein V. parahaemolyticus dengan titer aglutinasi positif sampai pengencaran ¼. D. Crude protein V. anguilarum dengan titer aglutinasi positif sampai pengencaran 1/1024. Analisis Data Analisa pita protein hasil elektroforesis dan uji respon reseptor dengan western bloting melalui penghitungan jarak protein (Rf) menggunakan regresi untuk menentukan bobot molekul organ otak. Dan Ekspresi reseptor dengan dot blot yang dianalisa menggunakan program coral draw graphic suite X4. Gambar 1. Uji hemaglutinasi (Ha) crude protein vibrio dengan eritrosit ikan kerapu. Hal ini berarti bahwa crude protein Vibrio spp. merupakan antigen yang mempunyai kesesuaian untuk berikatan dengan reseptor pada eritrosit 219 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 ikan kerapu tikus, yang menunjukkan adanya epitop yang diikat oleh reseptor. Hasil uji hemaglutinasi crude protein Vibrio spp. tertera pada Tabel 1. organ otak normal dan organ otak yang terinfeksi bakteri vibrio tertera pada Gambar 3. Identifikasi Crude Protein Bakteri Vibrio Isolasi bakteri Vibrio bertujuan untuk mendapatkan crude protein bakteri vibrio. Crude protein adalah antigen dari bakteri yang berfungsi sebagai faktor penting dalam proses infeksi bakteri pada hospes. Identifikasi protein bakteri dilakukan dengan metode SDS PAGE Elektroforesis dengan menggunakan poliakrilamid 12.5% dan pewarnaan marker protein dengan PRO-STAIN. Gambaran pita protein yang muncul dan bobot molekulnya (BM) dihitung dengan regresi-korelasi yang dibandingkan dengan marker. Profil pita protein crude protein bakteri vibrio spp. tertera pada Gambar 2 Gambar 3. Profil pita protein organ otak ikan kerapu tikus yang normal dan terinfeksi vibrio. Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE, diperoleh ekspresi protein pada organ otak normal terpapar 13 pita protein, pada organ otak terinfeksi vibrio alginolyticus terpapar 21 pita protein, pada organ otak terinfeksi vibrio harveyi 14 pita protein, pada organ otak terinfeksi vibrio anguilarum dan vibrio parahemolyticus terpapar masing-masing 14 pita protein. Hasil Uji Reaksi Silang (Cross Reaction) Protein Reseptor Organ Otak Ikan Kerapu Tikus, Crude Protein Vibrio dan Antibodi (IgM) Ikan Terinfeksi Vibrio dengan Teknik Dot Blot Uji Reaksi Silang (Cross Reaction) Protein Reseptor Organ Otak Ikan Kerapu Tikus, Crude Protein Vibrio dan Antibodi (IgM) Ikan Terinfeksi Vibrio dengan Teknik Dot Blot bertujuan untuk mengetahui apakah antibodi dapat mengenali antigen dengan perantara protein reseptor. Hasil dot blot tertera pada Gambar 4. Crude v.alginolyticus Gambar 2. Profil pita crude protein bakteri vibrio Ig algi Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE diperoleh ekspresi pita protein pada vibrio alginolitycus terpapar pada 14 pita protein, vibrio harveyi 16 pita protein, vibrio parahaemolitycus 19 pita protein dan vibrio anguillarum 15 pita protein. Ig har Ig. para Crude v.harveyi Ig. ang Ig algi Ig. har Ig. Ig ang para otak Crude vparahemolyticus Ig algi Identifikasi Protein Reseptor Organ Otak Ikan Kerapu Tikus Normal dan Organ OtakTerinfeksi Bakteri Vibrio. Protein reseptor organ otak ikan kerapu tikus (C. altivelis) didapatkan dengan melakukan isolasi organ otak dengan Buffer Ekstrak, bobot molekul diperoleh dengan melakukan elektroforesis SDS-PAGE menggunakan marker TM protein PRO-STAIN . Gambaran pola bobot molekul protein reseptor yang terekspresi pada Ig har Ig. para Crude v.anguilarum Ig. ang Ig algi Ig. har Ig. Ig ang para otak Gambar 4. Hasil Uji Reaksi Silang (Cross Reaction) Protein Reseptor Organ Otak Ikan Kerapu Tikus, Crude Protein dan Antibodi (IgM) Ikan Terinfeksi Vibrio dengan Teknik Dot Blot. Berdasarkan hasil uji reaksi silang pada 16 sampel menunjukan bahwa terjadi reaksi positif 220 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 antara protein reseptor, protein bakteri dan antibodi (IgM) ikan terinfeksi vibrio yang ditunjukkan dengan adanya titik (dot) warna biru keunguan pada membran Nitrosellulosa (NC). Hal ini berarti bahwa antibodi mampu mengenali antigen melalui protein reseptor. Semakin gelap warna pada membran NC semakin kuat pengenalan antara antigen dan antibodi. Hasil visualisasi warna pada membran NC dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan kombinasi Corel Graphics Suite X4 dan ImageJ Program NIH USA. Hasil kuantifikasi tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Kuantifikasi Uji Reaksi Silang (Cross Reaction). Crude v.alginolyticus Ig algi Ig har Ig. para Uji Hemaglutinasi Protein Adhesin Protein adhesin hasil dialisa selanjutnya dilakukan pengujian tingkat virulensinya dengan menggunakan uji hemaglutinasi (HA). Hasil uji protein adhesin ke empat bakteri tertera pada Gambar 5. 1/2 1/4 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512 1/1024 K(-) 101,50 A 47,98 114,16 B 65,92 51,16 Crude v.harveyi Ig. ang Ig algi Ig. har Ig. 36,49 Ig ang 85,45 77,58 para otak 88,9 64,9 54,9 37,2 80,5 82,7 62,3 97,12 C 64 52,72 Crude v.parahemolyticus Ig algi Ig har Ig. para Crude v.anguilarum Ig. ang Ig algi Ig. har Ig. 35,83 19,13 Ig ang para 70,44 otak 54,1 66,8 93,9 40 58,4 82,3 35,2 51,7 57,22 D Berdasarkan tabel 4 hasil kuantifikasi uji cross reaction terlihat bahwa antigen vibrio dikenali oleh ke empat antibodi (IgM). Pada antigen vibrio alginolyticus nilai kuantifikasi tertinggi pada IgM vibrio alginolyticus yaitu 88,9 %. Pada antigen vibrio harveyi nilai kuantifikasi tertinggi pada antibodi (IgM) vibrio harveyi yaitu 82,7 %. Antigen vibrio parahemolyticus nilai kuantifikasi tertinggi pada antibodi (IgM) vibrio parahemolyticus yaitu 93,9 %. Dan antigen vibrio anguilarum nilai kuantifikasi tertinggi pada antibodi (IgM) vibrio harveyi yaitu 51,7 %. Identifikasi Protein Adhesin Bakteri Vibrio Berdasarkan hasil SDS-Page crude protein bakteri vibrio dilakukan identifikasi pita mayor berdasarkan ketebalan pita, kejelasan pita dan non dimernya pita protein untuk memperoleh pita protein spesifik yang diduga merupakan protein adhesin bakteri dan bersifat imunogenik. Pada V.alginolyticus terdapat dua pita protein spesifik yaitu 101,50 dan 47,98 kDa dari 14 pita protein yang terekspresi. Pada V.harveyi memiliki empat pita protein yaitu 114.16; 65.92; 51.16; 36.49 kDa dari 16 pita protein. Pada V. parahaemolitycus memiliki enam pita protein yaitu 85.45, 77.58, 70.44, 52.72, 35.83 dan 19.13 kDa dari 15 pita protein. Dan Pada V. anguilarum terdapat lima pita protein yaitu 97.12, 57.22, 40.22, 32.26 dan 20.76 kDa dari 19 pita protein. 40,22 32,26 20,76 Keterangan : (A). Pita protein adhesin v.alginolyticus, (B). Pita protein adhesin v.harveyi, (C). Pita protein adhesin v.parahemolyticus, (D). Pita protein adhesin v.anguilarum. Gambar 5. Pita protein Berdasarkan uji hemaglutinasi, pada vibrio alginolitycus protein adhesin yang paling virulen adalah 47,98 kDa hemaglutinasi positif pada titer pengenceran 1/32. pada vibrio harveyi protein adhesion yang paling virulen adalah 51,16 kDa hemaglutinasi positif pada titer pengenceran 1/8. Pada vibrio parahemolitycus protein adhesin yang paling virulen adalah 19,13 kDa hemaglutinasi positif pada titer pengenceran 1/64. Pada vibrio anguilarum protein adhesin yang paling virulen adalah 57,22 kDa hemaglutinasi positif pada titer pengenceran 1/256. Hasil Uji Respon Spesifik Protein Reseptor Organ Otak yang mengenali Protein Adhesin Imunogenik Bakteri Vibrio Dengan westrn Blott 221 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 Identifikasi ekspresi protein reseptor dengan western blotting dapat dilihat pada Gambar 6. proses endositosis yang berlanjut dengan proses inflamasi dan infeksi pada sel epitel (Brooks, 1996). Berdasarkan hasil SDS Page organ otak normal dan organ otak yang terinfeksi bakteri vibrio terlihat bahwa pada organ otak normal terekspresi 13 pita protein, pada organ otak terinfeksi vibrio alginolyticus terekspresi 21 pita protein dan pada organ otak terinfeksi vibrio harveyi, vibrio anguilarum, vibrio parahemolyticus masing-masing terekspresi 14 pita protein. Terjadi perubahan ekspresi protein reseptor pada organ otak terinfeksi bakteri vibrio hal ini diduga bahwa setelah infeksi, terjadi perubahan fungsi proteomik seperti perubahan regulasi gen pada tingkat mRNA, respon seluler dan molekuler, dan terjadi regulasi protein. Lodish, (2001) menjelaskan bahwa spesifitas protein yang terkspresi tergantung pula pada besarnya energi dalam bentuk ATP yang terbentuk saat proses translasi, di dalam proses terbentuk koding protein yang akan mengekspresikan asam amino. Ekspresi protein juga terbentuk melalui adanya suatu reaksi karena adanya autoinducer didalam sel. Autoinducer tersebut teraktivasi karena signal transducer didalam sel yang melibatkan protein unfolding, karena adanya paparan ligand seperti bakteri mengakibatkan protein menjadi folding, sehingga pada proses tersebut dapat mempengaruhi fungsi protein yang terekspresi. Hasil uji hemaglutinasi terhadap pita protein adhesin pada ke empat bakteri diketahui bahwa pada vibrio alginolitycus pita protein adhesin yang paling virulen adalah 47,98 kDa, pada vibrio harveyi 51,16 kDa, pada vibrio parahemolitycus 19,13 kDa dan Pada vibrio anguilarum adalah 57,22 kDa. Ke empat pita protein adhesin ini diduga merupakan protein immunogenik dengan adanya aglutinasi positif pada titer pengenceran 1/8 – 1/512. Murdjani (2002) telah mendapatkan karakter protein paling virulen dari isolat extra cellular product (ECP) vibrio alginoliticus dengan bobot molekul 46,03 kDa. Maftuch, (2006) mendapatkan Outer Membran Protein (Omp) 42,95 kDa yang merupakan protein adesin pada sel epitel usus ikan kerapu tikus. Penelitian yang dilakukan oleh Qin et al,.(2007) mendapatkan flagellin dan OMP yang merupakan antigen immunogenik utama pada V harveyi yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Hasilnya bahwa, flagellin dengan berat molekul 52 kDa bereaksi kuat. Sedangkan OMP dengan berat molekul 52 kDa juga menunjukkan hal yang sama. Gambar 6. Hasil Uji Respon Spesifik Protein Reseptor Organ Otak Dengan westrn Blott. Dari hasil pengujian dengan tehnik western blotting diperoleh molekul protein yang tertransfer pada membran NC yaitu pada vibrio alginolyticus (47,98 kDa), vibrio harveyi (51,16 kDa), vibrio parahemolitycus (19,35 kDa) dan pada vibrio anguilarum (57,08 kDa). Hal ini berarti bahwa protein reseptor organ otak mampu mengenali protein adhesin bakteri vibrio. Molekul adhesin yang dikenali ini merupakan protein adhesin imunogenik. Berdasarkan uji hemaglutinasi antara crude protein vibrio dengan eritrosit ikan kerapu tikus menunjukan hasil hemaglutinasi positif, Hal ini berarti bahwa crude protein Vibrio merupakan protein hemaglutinin yang identik dengan protein adhesin yang mempunyai kesesuaian untuk berikatan dengan reseptor pada eritrosit ikan kerapu tikus. Hemaglutinasi menunjukkan adanya epitop yang diikat oleh reseptor.Titer aglutinasi tertinggi ditemukan pada crude protein vibrio anguilarum, hal ini berarti bahwa crude protein vibrio anguilarum merupakan molekul adhesin spesifik yang berikatan kuat dengan eritrosit ikan kerapu sehingga mampu menunjukan titer haemaglutinasi tertinggi. Proses infeksi akan menyebabkan perubahan ekspresi protein reseptor pada organ ikan. Organ otak ikan kerapu tikus yang normal mempunyai molekul reseptor yang diperankan oleh protein dari superfamili immunoglobulin, cadherin, integrin dan selectin, yang melekat ke crude protein ekstraseluler. Protein pada matriks ekstraseluler sel host dapat berinteraksi secara langsung (binding) dengan molekul adhesin bakteri. Adesi bakteri diperankan oleh protein adhesin yang diketahui sebagai integrin berada pada permukaan membran dan sitosol, yang selanjutnya mengadakan kontak dengan protein reseptor dari inang untuk proses seluler lebih lanjut yang melibatkan mekanisme signal tranduksi. Dalam mekanisme bakteri ini akan melakukan penetrasi ke dalam sel melalui 222 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 sel otak akan akan mengenali protein adhesin bakteri vibrio untuk proses perlekatan. Dari hasil pengujian dengan tehnik western blotting diketahui bahwa protein reseptor organ otak ikan kerapu tikus mampu mengenali protein adhesin imunogenik vibrio alginolyticus (47,98 kDa), vibrio harveyi (51,16 kDa), vibrio parahemolitycus (19,35 kDa) dan vibrio anguilarum (57,08 kDa). Hal ini berarti bahwa protein reseptor pada organ otak memberikan respon terhadap keberadaan antigen, hal ini dimungkinkan karena organ otak mempunyai reseptor scavenger, reseptor Ig FC, TLR dan secretory immunoglobulin yang mampu mencegah masuknya protein asing ke dalam membran sel. Kodama et al., 1985, mengemukakan bahwa protein hemolysin dan enzim proteolitik memegang peranan penting dalam patogenitas vibrio anguillarum. Crosa et al (1977) mengemukakan tingginya tingkat virulensi strain vibrio anguillarum karena strain mempunyai plasmid yang digunakan bakteri sebagai bahan metabolisme bakteri. Vibrio anguillarum yang mempunyai plasmid, mampu hidup dan berkembang karena dapat mengambil zat besi meskipun konsentrasinya rendah dan berkompetisi dengan trasferin serta laktoferin inang Untuk meningkatkan pengambilan zat besi bakteri Vibrio anguillarum yang memiliki plasmid membentuk membran protein luar dan siderophore. Siderophore dilepas keluar sel dan berfungsi sebagai pengikat ion fe sehingga menjadi Fe-sidephore. Sedangkan membran yang letaknya diluar dinding sel berfungsi sebagai reseptor terhadap kompleks Fesiderophore (Crosa et al., 1980). Strain V. parahaemolyticus merupakan penyebab penyakit gastroenteritis. Bakteri V. parahaemolyticus ini menghasilkan beta hemolisis pada agar darah yang disebut Kanagawa–phenomenon (KP) yang berhubungan dengan produksi TDH (thermostable direct hemolysin). TDH ini akan menghasilkan toksin yang mengubah keseimbangan ion sel tubuh. Keberadaan gen THD digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi patogenitas bakteri V. parahaemolyticus (Boyd et al., 2008). Berdasarkan hasil dot blot menunjukkan adanya reaksi pengenalan antibodi dengan antigen melalui protein reseptor organ otak. Hal ini berarti bahwa organ otak memiliki karakteristik molekular sebagai organ reseptor spesifik yang menjadi portal entry bagi bakteri vibrio untuk melakukan proses infeksi (Perlekatan, kolonisasi dan penyerangan sel host). Proses infeksi oleh bakteri diawali dengan perlekatan (adhesi/attachment), selanjutnya bakteri masuk ke dalam sel inang, dan melakukan invasi dengan penyebaran lokal atau sistemik dalam tubuh inang, kemudian bakteri akan melakukan multiplikasi yang ditandai dengan kerusakan tubuh inang yang disebabkan faktor virulensi, selanjutnya bakteri akan melakukan kolonisasi yang ditandai dengan penyebaran bakteri secara sistemik dan produksi toksin. Pada pemaparan bakteri vibrio pada ikan kerapu, organ otak dapat terinfeksi oleh bakteri melalui saluran pernafasan atas kemudian melalui peredaran darah ke epitel olfactorius dan selanjutnya ke organ otak. Protein reseptor pada Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Organ otak ikan kerapu tikus yang terinfeksi bakteri vibrio mengekspresikan protein reseptor yang mampu mengenali protein adhesin vibrio alginolyticus (47,98 kDa), vibrio harveyi (51,16 kDa), vibrio parahemolyticus (19,35 kDa), dan vibrio anguilarum (57,08 kDa). 2. Protein adhesin yang dikenali oleh protein reseptor organ otak merupakan protein adhesin imunogenik yang diduga sebagai faktor virulensi dalam mekanisme infeksi yang ditunjukan oleh adanya reaksi positif antara protein adhesin imunogenik dengan antibodi (Ig) anti grouper. Dari hasil penelitian dapat disarankan bahwa protein adhesin imunogenik vibrio alginolyticus (47,98 kDa), vibrio harveyi (51,16 kDa), vibrio parahemolyticus (19,35 kDa), dan vibrio anguilarum (57,08 kDa) yang dikenali oleh protein reseptor organ otak dapat digunakan sebagai bahan konstruk primer bagi pengembangan vaksin peptida dalam mengatasi penyakit vibriosis. DAFTAR PUSTAKA Boyd, E. F., A.L Cohen, L. M Naughton, D. W Ussery, T. T.Binnewies, O C Stine, and M. A Parent. 2008. Molecular analysis of the emergence of pandemic Vibrio parahaemolyticus. BMC Microbiology. 8:110 Brooks, G. F., J.S., Butel, and S.A. Morse., 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemahan : Eddy, M., Kuntaman, Eddy 223 I. Ode / Bimafika, 2011, 3, 216 -224 Bagus, W, Ni Made, M., Setio., Lidawati. A. Salemba Medika. Jakarta. 528 hal Crosa .J.H., M.H. Schiewe, and M.H. S. Falkow, 1977. Evidence for plasmid Contribution to The virulence of the fish pathogen Vibrio anguillarum. J Infect. Immmunol., 18(3): 509-513 ______ J.H.., L.L Hodges, and M.H Schiewe, 1980. Curing of plasmid is correlated with an attenuation of virulence in the marine fish pathogen vibrio anguillarum. J Infect. Immmunol., 27(3): 897-902 Irianto, A., 2005. Patologi ikan teleostei.Gaja mada University Press. Yogyakarta. Kodama, H., M. Moustafa, S. Ishigura, T. Mikami, H. Izawa. 1984. Extracellular virulence factors of fish Vibrio: relationships between toxic material, haemolysins and proteolytic enzyme. Am J Vet Res 45:2203–2207 Koesharyani, I., Mahardika, K., dan Yuasa, K. 2004. Infeksi Viral Nervous Necrosia pada Benih Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 10 (2) : 77-81. Lodish, Berk, Matsudaira, Kaiser, Krieger, Scott, Zifursky and Darnell. 2001. Molecular Cell Biology. Fifth Edition. Maftuch, 2006. Karakterisasi protein hemaglutinin dan protein adhesion Omp Vibrio alginolitycus. Program Doktor Ilmu Kedokteran. Universitas Brawijaya. Malang. Murdjani, M., 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang. Nurmawaty, T., 2008. Perubahan jumlah sel neuron dan microglia pada kultur neuron yang dipapar dengan Lipopolysacharida (LPS) dan alfa pinen. Thesis program studi Biomedik. Kekhususan farmakologi. Universitas Brawijaya. Malang. Price, S.A and Wilson, L. Mc., 1982. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Second edition. EGC. Wang, X.H. and Leung K.Y., 2000. Biochemical characterization of different types of adherence of Vibrio species to fish epithelial cells. Department of Biological Science, Faculty of Science, National University of Singapore. 224