BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebudayaan 2.1.1 Definisi Kebudayaan Kata kebudayaan menurut kamus besar bahasa Indonesia, berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Pendapat lain mengatakan bahwa, kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Menurut Koentjaraningrat (2004), yang mengutip pendapat Tylor (1871), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat serta kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Beberapa indikator dari aspek budaya antara lain: 1. Norma Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berperilaku dan bertindak. Kondisi daerah sangat berpengaruh terhadap keteguhan untuk memelihara norma dan nilai. Suatu daerah yang tidak banyak mendapatkan sentuhan pola hidup modern yang dapat merubah pola dan pandangan hidup masyarakat senantiasa terpelihara dengan baik. Sebaiknya daerah yang banyak menerima perubahan yang dibawa oleh pendatang dapat menyebabkan perubahan norma dalam masyarakat ( Yosefina dkk, 2003). 2. Keyakinan Keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu yang menggambarkann evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang merasa efektif terhadap sesuatu objek dan gagasan. Sebagai makhluk sosial manusia secara umum dan ibu hamil khususnya akan menggapai dan memberikan pandangan tentang tenaga penolong persalinan berdasarkan keyakinan yang dimilikinya. Keyakinan tentang kehamilan dan persalinan dimiliki oleh masyarakat sangat menentukan perilaku masyarakat terhadap kehamilan dan persalinan tersebut (Notoatmodjo, 2003). Menurut Sumaryanto (2003), faktor non medis terbukti merupakan faktor dominan yang memberikan kontribusi terhadap kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas. Apalagi saat ini belum semua masyarakat siap melaksanakan perubahan perilaku, pengaruh sosial budaya dan masih kurang informasi serta kemampuan menerima dan menyerap informasi. Indonesia terdapat pluralisme sistem pengobatan dengan berbagai cara penyembuhan yang berbeda-beda hadir berdampingan termasuk humoral medicine. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku atau kelompok masyarakat tersebut akan mempunyai norma, perilaku dan adat istiadat yang berbeda-beda termasuk dalam mencari penyembuhan yang terkait dengan perilaku budaya, Bendel (2003). Kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor, 1897:19). Kebudayaan juga terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan bendabenda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan ahli kebudayaan itu sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalam praktek, sedangkan arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah suatu yang berharga atau baik (Bakker, 1984). Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Koentjaraningrat (2005) juga mengatakan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk yaitu perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat, erubahan yang pengaruhnya kecil dan besar dan perubahan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan. 2.1.2 Budaya Terkait Kelahiran Dalam Masyarakat Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah, jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Penelitian tindakan/praktek (membasahi Iskandar yang vagina dkk membawa dengan (1996) menunjukkan, resiko infeksi minyak kelapa seperti untuk beberapa "ngolesi" memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan). Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula dengan memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan, atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996). 2.1.3 Hubungan Antara Kebudayaan dan Kesehatan Sebelum Ibu Melahirkan (Masa Kehamilan) Didalam masyarakat sederhana kebiasaan hidup dan adat istiadat dibentuk untuk mempertahankan hidup diri sendiri dan kelangsungan hidup suku mereka. Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan bayi yang bertujuan supaya reproduksi berhasil ibu dan bayi selamat. Dari sudut pandang modern tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa yang kenyataannya malah merugikan. Contoh pada kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada beberapa masyarakat merupakan contoh yang baik kebiasaan yang bertujuan melindungi bayi. Tetapi bila air susu ibu sedikit atau pada ibu-ibu lanjut usia, tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha menyusukan bayinya dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana yang dibutuhkan bayi (biasanya demikian) bayi dapat mengalami malnutrisi dan mudah terserang infeksi, (Manuaba, 2007). Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 menunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktekpraktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Menurut Notoatmodjo (2005), pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Pada umumnya, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejalagejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan. Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga kesehatan janin dan menjaga pertumbuhan. Memahami perawatan kehamilan adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia masih banyak ibuibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, hal alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memerikasakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah diusia muda yang masih banyak dijumpai didaerah pedesaan. Disamping itu dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku yang menyebabkan istri mengalami kehamilan berturut turut dalam jangka waktu yang relative pendek, menyebabkan ibu mengalami resiko tinggi fakta saat melahirkan. 2.1.4 Hubungan Antara Kebudayaan Dan Kesehatan Ketika Pasca Persalinan Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996). 2.2. Penolong Persalinan Yang dimaksud dengan tenaga penolong persalinan adalah orangorang yang biasa memeriksa wanita hamil, memberikan pertolongan selama persalinan dan nifas. Tenaga yang dapat memberikan pertolongan selama persalinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan (mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis, dokter umum, bidan dan perawat bidan) dan bukan tenaga kesehatan yaitu dukun bayi, baik terlatih maupun tidak terlatih (Prawirihardjo, 2009). Keuntungan persalinan yang ditoong oleh tenaga kesehatan adalah bila mendadak terjadi resiko tinggi atau mengalami keadaan gawat darurat maka penanganan atau pertolongan pertama serta rujukan dapat segera dilakukan. Namun, menurut (Manuaba, 2006) keterbatasan dari penolong persalinan ini adalah pelayanan hanya terbatas pada pelayanan medis, tanpa terjangkau oleh faktor budaya sehingga rasa aman secara psikologis kurang terpenuhi. Kadang-kadang pelayanan tidak terjangkau dari segi keberadaan dan jarak. Umumnya imbalan jasa berupa uang sehingga menyulitkan masyarakat miskin. Supartini (2004), diharapkan setiap ibu hamil memanfaatkan petugas kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat dalam pertolongan persalinan. Dengan memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, ibu akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prinsip bebas kuman dan prosedur standar pelayanan. Jika ditemui adanya komplikasi dalam persalinan, ibu akan mendapatkan pertolongan yang tepat. Selain penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, adapula penolong persalinan yang dilakukan secara tradisional yakni oleh dukun bayi. Ada beberapa istilah dukun bayi di beberapa daerah di Indonesia, misalnya “bidan kampung” oleh masyarakat suku Banjar, yang sebenarnya juga dipakai di Malaysia untuk menyebut dukun bayi (Alesich, 2008:67). Dukun bayi juga dikenal dengan istilah paraji di Jawa Barat, atau dukun beranak di DKI Jakarta. Sedangkan dukun beranak/bayi di Bali dikenal dengan istilah balian manak, yang pada umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh laki-laki yang berusia di atas 50 tahun, karena berdasarkan kepercayaan umat Hindu, mereka telah mendapat wahyu atau petunjuk gaib (Swasono, 1998). Dukun bayi merupakan seorang anggota masyarakat, pada umumnya seorang wanita yang dapat kepercayaan dan memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional, serta memperoleh keterampilan tersebut secara turun temurun belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui petugas kesehatan (Manalu, 2007). Menurut Syafrudin & Hamidah (2009), dukun bayi merupakan orang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan, perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap ketrampilan dukun bayi berkaitan dengan sistem nilai budaya masyarakat. Manuaba (2002) mengatakan, dukun bayi mendapat pelatihan atau keterampilannya dengan cara membantu dukun yang lebih tua dan selanjutnya mendapat pengetahuan dengan apa yang didapatnya dari latihan/praktek. Dengan pengetahuan yang bersifat turun-temurun seorang dukun menolong persalinan, seringkali tanpa memperhatikan keamanan, kebersihan dan mekanisme sebagaimana mestinya. Hasil studi yang dilakukan Balitbang Kes (2006) menyatakan bahwa kemampuan tenaga non profesional/dukun bersalin masih kurang, khususnya yang berkaitan dengan tanda-tanda bahaya, resiko kehamilan dan persalinan serta rujukannya. Menurut Suprapto, dkk (2003), kurangnya pengetahuan dukun bayi dalam mengenal komplikasi yang mungkin timbul dalam persalinan dan penanganan komplikasi yang tidak tepat akan meningkatkan resiko kematian pada ibu bersalin. Pengetahuan tentang fisiologi dan patologi dalam kehamilan dan persalinan serta nifas sangat terbatas sehingga bila timbul komplikasi, dan tidak mampu mengatasinya dan bahkan tidak menyadari arti dan akibatnya (Prawirohardjo, 2009). Biarpun demikian dukun dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang cukup besar, menghadapi persalinan bukan hanya memberikan pertolongan teknis melainkan juga memberikan emosional sikurity kepada wanita yang sedang bersalin dan keluarganya, karena dukun bayi dengan doa-doanya dianggap dapat membantu melancarkan jalannnya persalinan dan pertolongan dilakukan di rumah yang akan bersalin (Manuaba, 2002). Manalu (2007) mengatakan dukun bayi merupakan seorang anggota masyarakat, pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut secara turun temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui petugas kesehatan. Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan dukun beranak berkaitan pula dengan sistem nilai budaya masyarakat sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh masyarakat potensi sumber daya manusia. Hasil penelitian Zalbawi (2006) menemukan bahwa alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan karena pelayanan yang diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang ada, mereka sudah dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan pembayaran biaya persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang. 2.2.1. Pertimbangan Ibu Bersalin Dalam Mengambil Keputusan Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan pengambilan keputusan dalam memanfaatkan pelayanan tersebut. Menurut Robbins yang dikutip oleh Juliwanto (2009), faktor-faktor personal sangat menentukan apa yang diputuskan, termasuk dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut diantaranya kognisi, motif dan sikap. Kognisi artinya kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki. Sikap merupakan faktor penentu lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan terbagi dalam 3 faktor yaitu: 1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), adalah pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lain sebagainya. 2. Faktor-faktor pemungkin (Enabling factors), adalah faktorfaktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. 3. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing factors), adalah faktorfaktor ini meliputi sikap dan perilaku tenaga kesehatan, sikap dan perilaku dukun bayi, dan reference. 2.2.1.1 Faktor-faktor Predisposisi (Prediposing factors) Ada sejumlah faktor predisposisi yang memengaruhi ibu bersalin dalam memilih penolong persalinan, yakni: pendidikan, pengetahuan, sikap, ekonomi keluarga, dan kepercayaan. Pendidikan yang rendah sangat memengaruhi upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan sebagai aspek yang merupakan penekanan upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan yang dialami masih lebih besar dibanding dengan pengobatan pada tenaga kesehatan (Depkes RI, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi daya intelektual seseorang dalam memutuskan suatu hal, termasuk penentuan penolong persalinan. Pendidikan yang kurang menyebabkan daya intelektualnya masih terbatas sehingga perilakunya masih dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya sedangkan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki pandangan lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah untuk menerima ide atau cara kehidupan baru. Pengetahuan sebagai faktor predisposisi seseorang memilih penolong persalinan, dalam hal ini adalah segala sesuatu yang diketahui ibu tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan, proses persalinan yang aman, tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan, pantangan-pantangan saat hamil dan pasca bersalin, penyulit-penyulit persalinan, penolong persalinan yang tepat, serta pengetahuan ibu tentang keterampilan orang yang menolong proses persalinannya. Hasil penelitian Juliwanto (2008) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan pemilihan tenaga penolong persalinan. ibu yang memilih penolong persalinan oleh dukun bayi yaitu 63,6% terdapat pada ibu yang berpengetahuan kurang, dibandingkan ibu dengan pengetahuan baik yaitu 14,8%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin baik pengetahuan, maka semakin kecil kemungkinan ibu memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sikap adalah reaksi atau repon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2003). Sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: (a) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, (b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, (c) kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Kepercayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran (Jujun, 2005). Kepercayaan sering diperoleh secara turun-temurun dari orang tua, kakek atau nenek, seseorang dalam menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2007). Kepercayaan masyarakat terhadap ketrampilan dukun bayi berkaitan dengan sistem budaya masyarakat dan diperlakukan sebagai tokoh masyarakat sehingga dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat setempat yang memiliki potensi dalam memberikan pelayanan kesehatan (Syafrudin, Hamidah, 2009). Hasil penelitian oleh Abbas dan Kristiani (2006) bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa tenaga medis (paramedis) cenderung belum berpengalaman, karena rata-rata usia mereka sangat muda sehingga masyarakat kurang percaya terhadap tindakan persalinan yang dilakukan oleh bidan. Faktor pendapatan dalam penelitian Bangsu (2001), bahwa biaya persalinan yang murah menjadi alasan mereka memilih dukun bayi dalam membantu persalinan karena pendapatan keluarga yang rendah. Meskipun mereka memeriksakan kehamilan pada bidan, namun pada saat persalinan, dukun bayi tetap menjadi pilihan karena tarif yang relatif murah. Sejalan dengan hal di atas, hasil penelitian Abbas dan Kristiani (2006) menemukan bahwa pemanfaatan bidan cenderung pada ibu dengan pendapatan yang tinggi, sedangkan masyarakat dengan pendapatan rendah justru memilih dukun bayi, karena mereka mempunyai persepsi bahwa pertolongan persalinan pada bidan mahal dan beberapa masyarakat yang menyatakan kurang percaya terhadap pelayanan kesehatan bidan di desa, karena bidan masih terlalu muda dan belum menikah sehingga belum mempunyai pengalaman terutama menolong ibu melahirkan. Salah satu faktor predisiposisi ibu memilih penolong persalinan adalah paritas yaitu banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seseorang (Manuaba, 2001). Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut pandang kematian maternal, dan paritas tinggi (>4) mempunyai angka kematian maternal tinggi. Risiko pada paritas pertama dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi dan dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi sering terjadi perdarahan saat melahirkan jutru diusia yang rawan ini masyarakat lebih memilih bersalin dengan dukun bayi karena adanya pengalaman sebelumnya (Sarwono, 2006). 2.2.1.2 Faktor-faktor Pendukung (Enabling factors) Beberapa faktor pendukung yang memengaruhi ibu bersalin dalam memilih penolong persalinan, yakni: sarana dan prasarana kesehatan, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan sarana prasarana dukun bayi. Fasilitas kesehatan atau sarana dan prasarana kesehatan dibangun sebagai tempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di masyarakat seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Polindes, Posyandu, dan obatobatan. Sebaliknya, bangunan sarana dan prasarana ini ditempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat untuk mempermudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2007), bahwa dengan adanya fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat menimbulkan keinginan untik menggunakan sarana kesehatan dalam menolong persalinan jika sarana tersebut dapat dijangkau. Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian Amirudin (2006) bahwa keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan pemilihan tenaga penolong persalinan yaitu 55,6% responden terjangkau aksesnya menuju sarana kesehatan terdekat (bidan). Sedangkan 44,4% akses menuju sarana kesehatan terdekat tidak terjangkau. Sebagian besar responden yang terjangkau aksesnya menuju sarana kesehatan memilih bidan untuk menolong persalinan. Sebagian besar responden yang tidak terjangkau aksesnya memilih dukun bayi untuk menolong persalinannya. Responden yang memilih pertolongan persalinan oleh dukun bayi umumnya merupakan masyarakat yang jarak rumahnya menuju tempat dukun bayi lebih dekat sedangkan responden yang memilih pertolongan persalinan oleh bidan membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mendapatkan pelayanan karena jaraknya yang lebih jauh. Ketersediaan dan kemudahan menjangkau tempat pelayanan, akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi merupakan salah satu pertimbangan keluarga dalam pengambilan keputusan mencari tempat pelayanan kesehatan. 2.2.1.3 Faktor Pendorong (reinforcing factors) Ada tiga faktor pendorong yang memengaruhi ibu dalam pemilihan penolong persalinan, yakni sikap dan perilaku tenaga kesehatan, sikap dan perilaku dukun bayi, dan reference. Sikap dan perilaku petugas kesehatan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dengan sikap petugas kesehatan yang ramah besar kemungkinan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan akan lebih banyak tetapi apabila tidak ramah masyarakat akan beralih mendapatkan pelayanan yang lain. Dengan demikian, pelayanan kesehatan diharapkan dapat mencerminkan sikap dan perilaku profesional sesuai kode etik yang ada karena hasilnya sangat menentukan sekali terhadap kunjungan pasien sehingga masyarakat dapat menerima pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang akuntabel yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberi dukungan, asuhan dan nasihat selama masa hamil, bersalin dan nifas. Dapat memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberi asuhan kepada bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan askes bantuan medis atau banyuan lainnya yang sesuai serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan (IBI, 2001). Dukun bayi dengan pelayanan yang diberikan berdasarkan budaya yang dianut oleh masyarakat dapat menimbulkan keyakinan penuh untuk memanfaatkan dukun bayi dalam pelayanan kesehatan mereka, bahkan segala sesuatu yang disampaikan masyarakat akan dilakukan oleh mereka seperti halnya tentang pantangan-pantangan saat hamil maupun saat persalinan, dengan demikian masyarakat di sekitar mereka memanfaatkan dukun bayi sebagai penolong persalinan mereka (Mamon, 2009). 2.3 Kerangka Teoritis Adat Istiadat Persepsi Jarak Pemilihan Penolong Persalinan Akses Terhadap Info Kesehatan Dukungan Suami Pendidikan Sosial Ekonomi Pekerjaan