Determinan Ibu Memilih Dukun Bayi Tidak Terlatih sebagai

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebudayaan
2.1.1 Definisi Kebudayaan
Kata kebudayaan menurut kamus besar bahasa Indonesia, berasal
dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal, kemudian
menjadi
kata
budhi
(tunggal)
atau
budhaya
(majemuk),
sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Pendapat
lain mengatakan bahwa, kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi
adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan
daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia. Dari segi
arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas
manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Menurut Koentjaraningrat (2004), yang mengutip pendapat Tylor
(1871), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat serta kemampuan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Beberapa indikator
dari aspek budaya antara lain:
1. Norma
Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat
peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak harus
dilakukan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana
manusia seharusnya berperilaku dan bertindak. Kondisi daerah
sangat berpengaruh terhadap keteguhan untuk memelihara
norma dan nilai. Suatu daerah yang tidak banyak mendapatkan
sentuhan pola hidup modern yang dapat merubah pola dan
pandangan hidup masyarakat senantiasa terpelihara dengan baik.
Sebaiknya daerah yang banyak menerima perubahan yang
dibawa oleh pendatang dapat menyebabkan perubahan norma
dalam masyarakat ( Yosefina dkk, 2003).
2. Keyakinan
Keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu yang
menggambarkann
evaluasi,
perasaan
dan
kecenderungan
seseorang yang merasa efektif terhadap sesuatu objek dan
gagasan. Sebagai makhluk sosial manusia secara umum dan ibu
hamil khususnya akan menggapai dan memberikan pandangan
tentang tenaga penolong persalinan berdasarkan keyakinan yang
dimilikinya. Keyakinan tentang kehamilan dan persalinan dimiliki
oleh
masyarakat
sangat
menentukan
perilaku masyarakat
terhadap kehamilan dan persalinan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Sumaryanto (2003), faktor non medis terbukti merupakan
faktor dominan yang memberikan kontribusi terhadap kematian ibu karena
hamil, melahirkan dan nifas. Apalagi saat ini belum semua masyarakat siap
melaksanakan perubahan perilaku, pengaruh sosial budaya dan masih
kurang informasi serta kemampuan menerima dan menyerap informasi.
Indonesia terdapat pluralisme sistem pengobatan dengan berbagai
cara penyembuhan yang berbeda-beda hadir berdampingan termasuk
humoral medicine. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai
suku atau kelompok masyarakat tersebut akan mempunyai norma, perilaku
dan
adat
istiadat
yang
berbeda-beda
termasuk
dalam
mencari
penyembuhan yang terkait dengan perilaku budaya, Bendel (2003).
Kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung pengertian
luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan),
dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor,
1897:19). Kebudayaan juga terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku,
pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh
simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan bendabenda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau
paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan
ahli kebudayaan itu sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat
umum meskipun dalam praktek, sedangkan arti kebudayaan menurut
pendapat umum ialah suatu yang berharga atau baik (Bakker, 1984).
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan
mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang
dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya. Perubahan sosial dan
budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia terhadap
sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni
sistem
religi
dan
upacara
keagamaan,
sistem
dan
organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Koentjaraningrat
(2005) juga mengatakan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat
dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk yaitu perubahan yang terjadi
secara lambat dan cepat, erubahan yang pengaruhnya kecil dan besar dan
perubahan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan.
2.1.2 Budaya Terkait Kelahiran Dalam Masyarakat
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis
bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum
berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Masih tingginya angka
kematian ibu di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya
masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita
dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai,
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
petugas kesehatan yang masih rendah, jauhnya lokasi tempat pelayanan
kesehatan dari rumah-rumah penduduk, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat,
perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan,
dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun
karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih
senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah
pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk
menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Penelitian
tindakan/praktek
(membasahi
Iskandar
yang
vagina
dkk
membawa
dengan
(1996)
menunjukkan,
resiko
infeksi
minyak
kelapa
seperti
untuk
beberapa
"ngolesi"
memperlancar
persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus
untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk
dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam
yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan). Selain pada
masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga
pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya
berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan
tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI,
ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi.
Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun
beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya
mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi
semula
dengan
memasukkan
ramuan-ramuan
seperti
daun-daunan
kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan
yang keluar karena proses persalinan, atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
2.1.3 Hubungan Antara Kebudayaan dan Kesehatan Sebelum Ibu
Melahirkan (Masa Kehamilan)
Didalam masyarakat sederhana kebiasaan hidup dan adat istiadat
dibentuk untuk mempertahankan hidup diri sendiri dan kelangsungan hidup
suku mereka. Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran,
pemberian makanan bayi yang bertujuan supaya reproduksi berhasil ibu
dan bayi selamat. Dari sudut pandang modern tidak semua kebiasaan itu
baik. Ada beberapa yang kenyataannya malah merugikan. Contoh pada
kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada beberapa masyarakat
merupakan contoh yang baik kebiasaan yang bertujuan melindungi bayi.
Tetapi bila air susu ibu sedikit atau pada ibu-ibu lanjut usia, tradisi budaya
ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha menyusukan
bayinya dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana yang
dibutuhkan bayi (biasanya demikian) bayi dapat mengalami malnutrisi dan
mudah terserang infeksi, (Manuaba, 2007).
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di
rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 menunjukkan
bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian
yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktekpraktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu.
Menurut Notoatmodjo (2005), pemilihan dukun beranak sebagai
penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan
antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat
membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta
merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya
keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah
banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional
tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil
dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil
persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis penyebab
klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan
eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak
ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam
proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena
penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor
keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Pada umumnya, keputusan terhadap perawatan medis apa yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau
keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat
keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejalagejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang
seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat
yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang
diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana
jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak
tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada
anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya
yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan
keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari
pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap
pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan
takdir yang tak dapat dihindarkan. Perawatan kehamilan merupakan salah
satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga kesehatan janin dan menjaga pertumbuhan. Memahami perawatan
kehamilan adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si
ibu sendiri.
Fakta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia masih banyak ibuibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, hal alamiah dan
kodrati. Mereka merasa tidak perlu memerikasakan dirinya secara rutin ke
bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu yang kurang menyadari
pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya
faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini
baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya
sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan
kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan
dipengaruhi juga oleh faktor nikah diusia muda yang masih banyak dijumpai
didaerah pedesaan. Disamping itu dengan masih adanya preferensi
terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan berturut turut dalam jangka waktu
yang relative pendek, menyebabkan ibu mengalami resiko tinggi fakta saat
melahirkan.
2.1.4 Hubungan Antara Kebudayaan Dan Kesehatan Ketika Pasca
Persalinan
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih
diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun
anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik
misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang
karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional,
ada
praktek-praktek
yang
dilakukan
oleh
dukun
beranak
untuk
mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut
yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud
untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses
persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar
et al., 1996).
2.2. Penolong Persalinan
Yang dimaksud dengan tenaga penolong persalinan adalah orangorang yang biasa memeriksa wanita hamil, memberikan pertolongan selama
persalinan dan nifas. Tenaga yang dapat memberikan pertolongan selama
persalinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan (mereka
yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis, dokter umum,
bidan dan perawat bidan) dan bukan tenaga kesehatan yaitu dukun bayi,
baik terlatih maupun tidak terlatih (Prawirihardjo, 2009).
Keuntungan persalinan yang ditoong oleh tenaga kesehatan adalah
bila mendadak terjadi resiko tinggi atau mengalami keadaan gawat darurat
maka penanganan atau pertolongan pertama serta rujukan dapat segera
dilakukan. Namun, menurut (Manuaba, 2006) keterbatasan dari penolong
persalinan ini adalah pelayanan hanya terbatas pada pelayanan medis,
tanpa terjangkau oleh faktor budaya sehingga rasa aman secara psikologis
kurang terpenuhi. Kadang-kadang pelayanan tidak terjangkau dari segi
keberadaan dan jarak. Umumnya imbalan jasa berupa uang sehingga
menyulitkan masyarakat miskin.
Supartini (2004), diharapkan setiap ibu hamil memanfaatkan
petugas kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat dalam pertolongan
persalinan.
Dengan
memilih
tenaga
kesehatan
sebagai
penolong
persalinan, ibu akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prinsip
bebas kuman dan prosedur standar pelayanan. Jika ditemui adanya
komplikasi dalam persalinan, ibu akan mendapatkan pertolongan yang
tepat.
Selain penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, adapula
penolong persalinan yang dilakukan secara tradisional yakni oleh dukun
bayi. Ada beberapa istilah dukun bayi di beberapa daerah di Indonesia,
misalnya “bidan kampung” oleh masyarakat suku Banjar, yang sebenarnya
juga dipakai di Malaysia untuk menyebut dukun bayi (Alesich, 2008:67).
Dukun bayi juga dikenal dengan istilah paraji di Jawa Barat, atau dukun
beranak di DKI Jakarta. Sedangkan dukun beranak/bayi di Bali dikenal
dengan istilah balian manak, yang pada umumnya pekerjaan ini dilakukan
oleh laki-laki yang berusia di atas 50 tahun, karena berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, mereka telah mendapat wahyu atau petunjuk gaib
(Swasono, 1998).
Dukun bayi merupakan seorang anggota masyarakat, pada
umumnya
seorang
wanita
yang
dapat
kepercayaan
dan
memiliki
keterampilan menolong persalinan secara tradisional, serta memperoleh
keterampilan tersebut secara turun temurun belajar secara praktis atau cara
lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui
petugas kesehatan (Manalu, 2007). Menurut Syafrudin & Hamidah (2009),
dukun bayi merupakan orang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh
masyarakat untuk menolong persalinan, perawatan ibu dan anak sesuai
kebutuhan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap ketrampilan
dukun bayi berkaitan dengan sistem nilai budaya masyarakat.
Manuaba (2002) mengatakan, dukun bayi mendapat pelatihan atau
keterampilannya dengan cara membantu dukun yang lebih tua dan
selanjutnya mendapat pengetahuan dengan apa yang didapatnya dari
latihan/praktek. Dengan pengetahuan yang bersifat turun-temurun seorang
dukun menolong persalinan, seringkali tanpa memperhatikan keamanan,
kebersihan dan mekanisme sebagaimana mestinya.
Hasil studi yang dilakukan Balitbang Kes (2006) menyatakan bahwa
kemampuan
tenaga
non
profesional/dukun
bersalin
masih
kurang,
khususnya yang berkaitan dengan tanda-tanda bahaya, resiko kehamilan
dan persalinan serta rujukannya. Menurut Suprapto, dkk (2003), kurangnya
pengetahuan dukun bayi dalam mengenal komplikasi yang mungkin timbul
dalam persalinan dan penanganan komplikasi yang tidak tepat akan
meningkatkan resiko kematian pada ibu bersalin.
Pengetahuan tentang fisiologi dan patologi dalam kehamilan dan
persalinan serta nifas sangat terbatas sehingga bila timbul komplikasi, dan
tidak mampu mengatasinya dan bahkan tidak menyadari arti dan akibatnya
(Prawirohardjo,
2009).
Biarpun
demikian
dukun
dalam
masyarakat
mempunyai pengaruh yang cukup besar, menghadapi persalinan bukan
hanya memberikan pertolongan teknis melainkan juga memberikan
emosional sikurity kepada wanita yang sedang bersalin dan keluarganya,
karena dukun bayi dengan doa-doanya dianggap dapat membantu
melancarkan jalannnya persalinan dan pertolongan dilakukan di rumah yang
akan bersalin (Manuaba, 2002).
Manalu (2007) mengatakan dukun bayi merupakan seorang anggota
masyarakat, pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan
serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional dan
memperoleh keterampilan tersebut secara turun temurun, belajar secara
praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan
tersebut serta melalui petugas kesehatan.
Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan
dukun beranak berkaitan pula dengan sistem nilai budaya masyarakat
sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh
masyarakat potensi sumber daya manusia. Hasil penelitian Zalbawi (2006)
menemukan bahwa alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan karena
pelayanan yang diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang
ada, mereka sudah dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan
pembayaran biaya persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang.
2.2.1. Pertimbangan Ibu Bersalin Dalam Mengambil Keputusan
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
erat
kaitannya
dengan
pengambilan keputusan dalam memanfaatkan pelayanan tersebut. Menurut
Robbins yang dikutip oleh Juliwanto (2009), faktor-faktor personal sangat
menentukan apa yang diputuskan, termasuk dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Faktor tersebut diantaranya kognisi, motif dan sikap. Kognisi
artinya kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki. Sikap merupakan
faktor penentu lainnya dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), faktor yang
memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan terbagi dalam 3 faktor
yaitu:
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), adalah
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan
lain sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (Enabling factors), adalah faktorfaktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
3. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing factors), adalah faktorfaktor ini meliputi sikap dan perilaku tenaga kesehatan, sikap
dan perilaku dukun bayi, dan reference.
2.2.1.1 Faktor-faktor Predisposisi (Prediposing factors)
Ada sejumlah faktor predisposisi yang memengaruhi ibu bersalin
dalam memilih penolong persalinan, yakni: pendidikan, pengetahuan, sikap,
ekonomi keluarga, dan kepercayaan.
Pendidikan yang rendah sangat memengaruhi upaya memelihara
dan meningkatkan kesehatan sebagai aspek yang merupakan penekanan
upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan yang dialami
masih lebih besar dibanding dengan pengobatan pada tenaga kesehatan
(Depkes RI, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi daya intelektual
seseorang dalam memutuskan suatu hal, termasuk penentuan penolong
persalinan. Pendidikan yang kurang menyebabkan daya intelektualnya
masih terbatas sehingga perilakunya masih dipengaruhi oleh keadaan
sekitarnya sedangkan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi
memiliki pandangan lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah untuk
menerima ide atau cara kehidupan baru.
Pengetahuan
sebagai
faktor
predisposisi
seseorang
memilih
penolong persalinan, dalam hal ini adalah segala sesuatu yang diketahui ibu
tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan, proses persalinan yang aman,
tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan, pantangan-pantangan saat
hamil dan pasca bersalin, penyulit-penyulit persalinan, penolong persalinan
yang tepat, serta pengetahuan ibu tentang keterampilan orang yang
menolong proses persalinannya.
Hasil penelitian Juliwanto (2008) menyatakan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan pemilihan tenaga
penolong persalinan. ibu yang memilih penolong persalinan oleh dukun bayi
yaitu 63,6% terdapat pada ibu yang berpengetahuan kurang, dibandingkan
ibu dengan pengetahuan baik yaitu 14,8%. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa semakin baik pengetahuan, maka semakin kecil kemungkinan ibu
memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan.
Sikap adalah reaksi atau repon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,
2003). Sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: (a) kepercayaan
(keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, (b) Kehidupan emosional
atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, (c) kecenderungan untuk
bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude).
Kepercayaan
merupakan
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
pengakuan atau keyakinan akan kebenaran (Jujun, 2005). Kepercayaan
sering diperoleh secara turun-temurun dari orang tua, kakek atau nenek,
seseorang dalam menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2007). Kepercayaan
masyarakat terhadap ketrampilan dukun bayi berkaitan dengan sistem
budaya masyarakat dan diperlakukan sebagai tokoh masyarakat sehingga
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat setempat yang memiliki
potensi dalam memberikan pelayanan kesehatan (Syafrudin, Hamidah,
2009).
Hasil penelitian oleh Abbas dan Kristiani (2006) bahwa sebagian
besar masyarakat masih menganggap bahwa tenaga medis (paramedis)
cenderung belum berpengalaman, karena rata-rata usia mereka sangat
muda sehingga masyarakat kurang percaya terhadap tindakan persalinan
yang dilakukan oleh bidan.
Faktor pendapatan dalam penelitian Bangsu (2001), bahwa biaya
persalinan yang murah menjadi alasan mereka memilih dukun bayi dalam
membantu persalinan karena pendapatan keluarga yang rendah. Meskipun
mereka memeriksakan kehamilan pada bidan, namun pada saat persalinan,
dukun bayi tetap menjadi pilihan karena tarif yang relatif murah.
Sejalan dengan hal di atas, hasil penelitian Abbas dan Kristiani
(2006) menemukan bahwa pemanfaatan bidan cenderung pada ibu dengan
pendapatan yang tinggi, sedangkan masyarakat dengan pendapatan
rendah justru memilih dukun bayi, karena mereka mempunyai persepsi
bahwa pertolongan persalinan pada bidan mahal dan beberapa masyarakat
yang menyatakan kurang percaya terhadap pelayanan kesehatan bidan di
desa, karena bidan masih terlalu muda dan belum menikah sehingga belum
mempunyai pengalaman terutama menolong ibu melahirkan.
Salah satu faktor predisiposisi ibu memilih penolong persalinan
adalah paritas yaitu banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh
seseorang (Manuaba, 2001). Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman
ditinjau dari sudut pandang kematian maternal, dan paritas tinggi (>4)
mempunyai angka kematian maternal tinggi. Risiko pada paritas pertama
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi dan dicegah dengan keluarga berencana.
Sebagian kehamilan pada paritas tinggi sering terjadi perdarahan saat
melahirkan jutru diusia yang rawan ini masyarakat lebih memilih bersalin
dengan dukun bayi karena adanya pengalaman sebelumnya (Sarwono,
2006).
2.2.1.2 Faktor-faktor Pendukung (Enabling factors)
Beberapa faktor pendukung yang memengaruhi ibu bersalin dalam
memilih penolong persalinan, yakni: sarana dan prasarana kesehatan,
akses terhadap fasilitas kesehatan, dan sarana prasarana dukun bayi.
Fasilitas kesehatan atau sarana dan prasarana kesehatan dibangun
sebagai tempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di masyarakat seperti
Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Polindes, Posyandu, dan obatobatan. Sebaliknya, bangunan sarana dan prasarana ini ditempat yang
mudah dijangkau oleh masyarakat untuk mempermudah mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Menurut Green dalam Notoatmodjo (2007), bahwa dengan adanya
fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat menimbulkan
keinginan
untik
menggunakan
sarana
kesehatan
dalam
menolong
persalinan jika sarana tersebut dapat dijangkau.
Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian Amirudin (2006) bahwa
keterjangkauan
sarana
pelayanan
kesehatan
berhubungan
dengan
pemilihan tenaga penolong persalinan yaitu 55,6% responden terjangkau
aksesnya menuju sarana kesehatan terdekat (bidan). Sedangkan 44,4%
akses menuju sarana kesehatan terdekat tidak terjangkau. Sebagian besar
responden yang terjangkau aksesnya menuju sarana kesehatan memilih
bidan untuk menolong persalinan. Sebagian besar responden yang tidak
terjangkau aksesnya memilih dukun bayi untuk menolong persalinannya.
Responden yang memilih pertolongan persalinan oleh dukun bayi umumnya
merupakan masyarakat yang jarak rumahnya menuju tempat dukun bayi
lebih dekat sedangkan responden yang memilih pertolongan persalinan oleh
bidan membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mendapatkan
pelayanan karena jaraknya yang lebih jauh. Ketersediaan dan kemudahan
menjangkau tempat pelayanan, akses terhadap sarana kesehatan dan
transportasi
merupakan
salah
satu
pertimbangan
keluarga
dalam
pengambilan keputusan mencari tempat pelayanan kesehatan.
2.2.1.3 Faktor Pendorong (reinforcing factors)
Ada tiga faktor pendorong yang memengaruhi ibu dalam pemilihan
penolong persalinan, yakni sikap dan perilaku tenaga kesehatan, sikap dan
perilaku dukun bayi, dan reference.
Sikap dan perilaku petugas kesehatan sangat menentukan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dengan sikap petugas
kesehatan yang ramah besar kemungkinan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan akan lebih banyak tetapi apabila tidak ramah
masyarakat akan beralih mendapatkan pelayanan yang lain. Dengan
demikian, pelayanan kesehatan diharapkan dapat mencerminkan sikap dan
perilaku profesional sesuai kode etik yang ada karena hasilnya sangat
menentukan sekali terhadap kunjungan pasien sehingga masyarakat dapat
menerima pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Bidan diakui
sebagai tenaga profesional yang akuntabel yang bekerja sebagai mitra
perempuan untuk memberi dukungan, asuhan dan nasihat selama masa
hamil, bersalin dan nifas. Dapat memimpin persalinan atas tanggung jawab
sendiri dan memberi asuhan kepada bayi. Asuhan ini mencakup upaya
pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan
anak, dan askes bantuan medis atau banyuan lainnya yang sesuai serta
melaksanakan tindakan kegawatdaruratan (IBI, 2001).
Dukun bayi dengan pelayanan yang diberikan berdasarkan budaya
yang dianut oleh masyarakat dapat menimbulkan keyakinan penuh untuk
memanfaatkan dukun bayi dalam pelayanan kesehatan mereka, bahkan
segala sesuatu yang disampaikan masyarakat akan dilakukan oleh mereka
seperti halnya tentang pantangan-pantangan saat hamil maupun saat
persalinan, dengan demikian masyarakat di sekitar mereka memanfaatkan
dukun bayi sebagai penolong persalinan mereka (Mamon, 2009).
2.3 Kerangka Teoritis
Adat Istiadat
Persepsi Jarak
Pemilihan Penolong
Persalinan
Akses Terhadap
Info Kesehatan
Dukungan
Suami
Pendidikan
Sosial Ekonomi
Pekerjaan
Download