BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara umum maupun
khusus. Penyelidikan dan penyidikan dalam linguistik memiliki tujuan untuk menguak dan
menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta
bahasalah yang nantinya akan didapatkan (Kridalaksana, 2002: vii). Selanjutnya, sebagai
sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa, garapan linguistik dibedakan atas dua
pembagian besar yakni mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik merupakan
bidang linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa tanpa menghubungkannya
dengan aspek-aspek yang terdapat di luar bahasa. Makrolinguistik sendiri mempelajari
penerapan kajian bahasa terhadap hal-hal yang ada di luar bahasa. Biasanya, makrolinguistik
terkait dengan disiplin ilmu lain yang masih berhubungan dengan bahasa dalam praktiknya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bernaung di bawah bidang garapan
mikrolinguistik subdisiplin linguistik deskriptif. Linguistik deskriptif terdiri atas beberapa
tataran yang menjadi kerangka untuk membedah aspek kebahasaan dengan tujuan mengurai
unsur dan struktur internalnya. Tataran tersebut meliputi fonetik, fonemik, morfologi,
sintaksis, semantik, morfosintaksis, dan leksikologi (Soeparno, 2013: 26). Penelitian ini akan
berfokus pada salah satu tataran yang dimaksud, yakni tataran morfologi.
Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang khusus berbicara mengenai
pembentukan kata (word formation). Agar lebih jelas, Chaer (2008: 3) menguraikan secara
etimologis bahwa kata morfologi terbentuk dari gabungan kata morf yang berarti ‘bentuk’
dengan kata logi yang berarti ‘ilmu’. Dengan demikian, penggabungan kedua anggitan
1
2
tersebut menyuratkan konsep morfologi sebagai sebuah ‘ilmu yang mempelajari bentuk’.
Dengan merujuk kepada konsep tersebut, morfologi sejatinya benar-benar berfokus pada
kajian mengenai seluk-beluk bentuk kata, bagaimana kata itu dibentuk, juga bagaimana
mengkaidahkan struktur internal yang ada di dalamnya.
Istilah pembentukan kata dalam morfologi tentunya identik dengan proses morfologis
-sebagian linguis menyebutnya dengan proses morfemis- yang terbagi menjadi beberapa jenis
proses atau alat pembentuk. Proses morfologis merupakan proses kombinasi morfem dengan
morfem sehingga menghasilkan bentuk jadian. Proses-proses yang dimaksud berbeda-beda
pembagiannya oleh masing-masing ahli linguistik di Indonesia. Sebut saja Kridalaksana
(2009: 12) yang membagi proses morfologis menjadi enam macam yakni (1) derivasi zero,
(2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan) yang terbagi lagi menjadi
pemenggalan, kontraksi, akronimi, dan penyingkatan, (5) komposisi (perpaduan), serta (6)
derivasi balik (bandingkan: Samsuri, 1991: 190; Verhaar, 2010: 98; Chaer, 2008: 27; Parera,
2010: 18; Darwis, 2012: 15; dan Subroto, 2012: 21). Namun, yang patut dijadikan sorotan
adalah manakah dari kesemua proses yang telah terbagi tersebut yang benar-benar dapat
disebut sebagai pembentukan kata.
Pertanyaan tersebut muncul disebabkan oleh istilah pembentukan kata hanya berlaku
jika proses-proses tersebut menghasilkan kata-kata baru (lebih tepatnya leksem baru) dari
sebuah dasar (leksem). Artinya, identitas leksikal leksem yang mengalami proses morfologis
itu harus mengalami perubahan sehingga menjadi leksem yang berlainan. Proses inilah yang
disebut dengan proses derivasional dalam morfologi.
Dengan demikian, pengkategorian suatu proses morfologis dalam suatu bahasa,
apakah proses tersebut merupakan pembentukan kata atau bukan menjadi penting dan sudah
sepantasnya dilakukan. Sejalan dengan hal tersebut, pembagian morfologi sebenarnya
3
dipecah menjadi dua cabang utama yakni morfologi infleksional dan morfologi yang
menyuratkan pembentukan kata (word formation) yang terbagi atas derivasi dan komposisi
(periksa Matthews, 1974: 38).
Di atas disinggung tentang istilah identitas leksikal. Identitas leksikal yang dimaksud
di sini sebagaimana yang disebutkan oleh Verhaar (2010: 118) yaitu identitas berupa kategori
kelas kata dan maknanya. Perubahan identitas leksikal yang menyuratkan proses derivasional
menyaratkan adanya perubahan kategori kelas kata sekaligus maknanya. Sebagai contoh,
bentuk cinta yang digabungkan dengan konfiks {per-/-an} menjadi percintaan. Kata cinta
yang sebelumnya berkategori kelas kata adjektiva (selanjutnya disingkat A) berubah menjadi
percintaan yang berkelas kata nomina (selanjutnya disingkat N). Selanjutnya, ditilik dari segi
makna, kata cinta yang tadinya bermakna ‘suka sekali; sayang benar’ berubah menjadi
percintaan yang bermakna ‘perihal berkasih-kasihan antara laki-laki dan perempuan’ (KBBI
Edisi Ketiga, 2005). Fenomena yang demikian menunjukkan perubahan identitas leksikal
yang dapat digolongkan sebagai proses pembentukan kata atau disebut dengan proses
derivasional.
Proses yang derivasional ada juga yang tidak mensyaratkan perubahan kategori kelas
kata. Yang terpenting, fitur-fitur maknanya mengalami perubahan. Misalkan, kata camat
yang berkategori N berubah menjadi kecamatan yang sama-sama berkategori N. Bentukan
tersebut tetap digolongkan sebagai pembentukan kata (derivasi) dikarenakan adanya
perubahan makna jika diuji dengan tes penguraian fitur-fitur semantik oleh Subroto (2012:
11). Kata camat yang bermakna ‘kepala pemerintahan yang mengepalai kecamatan’
merupakan N yang merujuk kepada orang yang bernyawa (animate) sedangkan kata
kecamatan yang juga berkategori N bermakna ‘daerah bagian yang dikepalai seorang camat’
merupakan N yang merujuk pada tempat atau wilayah yang tak bernyawa (inanimate).
4
Fenomena lain yang tergolong derivasional dalam morfologi adalah fenomena
transposisi (konversi). Katamba (1993: 54) menyebut konversi sebagai bagian dari
pembentukan kata dengan tanpa adanya perubahan bentuk kata dari sebuah dasar. Artinya,
tanpa melalui penambahan apapun terhadap sebuah dasar, kelas katanya menjadi berubah
(bandingkan Kridalaksana, 2008: 247). Sebagai contoh peristiwa konversi, misalkan morfem
dasar gergaji. Morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata sekaligus yakni N
sekaligus V. Gergaji sebagai N dapat dilihat dalam kalimat Bonong membelah potongan kayu
itu menggunakan gergaji. Namun, dalam kalimat Gergaji kayu itu Bonong! (imperatif),
gergaji merupakan V. Fenomena konversi ini cukup produktif dalam bahasa Indonesia
(selanjutnya disingkat BI).
Anggitan derivasi pada uraian sebelumnya selalu menyinggung tentang leksem. Hal
tersebut memang beralasan karena paradigma leksem merupakan kata kunci penentuan
apakah sebuah proses morfologis itu merupakan derivasi ataukah infleksi. Jika perubahan
tersebut menyangkut berubahnya leksem menjadi leksem yang berlainan, perubahan itu
disebut dengan derivasi. Pedoman yang menggunakan paradigma leksem inilah yang akan
dianut dalam penelitian ini.
Pembahasan morfologi yang menggunakan perspektif derivasi telah banyak dilakukan
oleh ahli linguistik (linguis). Utamanya para linguis barat yang menjadikan bahasa-bahasa
bertipologi fleksi sebagai objek kajiannya. Subroto (2012: 3) pada bagian pendahuluan
bukunya menyebutkan bahwa istilah derivasi memang lebih akrab digunakan oleh para
linguis yang menjadikan bahasa Yunani dan Indo-Eropa sebagai bahan kajiannya. Linguis
Indonesia yang menjadikan BI sebagai bahan kajian masih relatif jarang menggunakan
perspektif derivasi dalam tulisannya.
5
Jika dicermati dengan saksama, hanya ada beberapa linguis Indonesia yang telah
memerikan kajian morfologi dengan perspektif derivasi dalam pembahasan bukunya. Para
ahli yang dimaksud di antaranya Simatupang (1983), Muhadjir (1984), Samsuri (1991),
Ba’dulu (2005), Chaer (2008), Kridalaksana (2009), Verhaar (2010), Parera (2010),
Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Beberapa di antara linguis tersebut,
Verhaar dan Subroto merupakan linguis yang relatif komprehensif dalam memerikan derivasi
baik secara teoretis maupun praktis dengan contoh-contoh yang memadai. Ahli lainnya hanya
menyinggung sekilas dalam bagian bukunya.
Penyebutan beberapa linguis tersebut dalam kesempatan ini hanya bermaksud untuk
menunjukkan bahwa kajian morfologi berdasarkan perspektif derivasi masih relatif sedikit
dan belum menyeluruh terkait dengan BI, terlebih lagi bahasa daerah. Hal ini pulalah yang
mendorong penulis untuk menjadikan bahasa daerah sebagai objek kajian dalam hal ini
bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar (selanjutnya disingkat BSDSB).
BSDSB adalah bahasa yang digunakan di daerah Kabupaten Sumbawa di pulau
bagian timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dialek Sumbawa Besar merupakan salah satu
dialek yang dianggap sebagai dialek standar dibanding dialek lainnya. Adapun dialek-dialek
lain yang dimaksud diantaranya dialek Tongo, Dialek Jereweh, dan dialek Taliwang sehingga
secara keseluruhan terdapat empat dialek (periksa Mahsun, 2007:48). Pemilihan BSDSB
sebagai objek penelitian dalam kesempatan ini dikarenakan relatif langkanya pembahasan
derivasi dalam dialek tersebut.
Penelitian derivasi dalam BSDSB ini sengaja dibatasi hanya dalam lingkup afiksasi
ditambah dengan fenomena konversi. Hal ini dengan pertimbangan bahwa afiksasi
merupakan proses yang paling produktif dalam kaitannya dengan pembentukan kata dalam
proses morfologis (lihat Bauer, 1988: 19). Afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks
6
pada sebuah morfem dasar ataupun bentuk dasar. Oleh karena itu, pembahasan derivasi
dalam penelitian ini selalu berhubungan dengan afiks-afiks BSDSB sebagai bahan dasarnya.
Selain hanya menitikberatkan kajian pada lingkup afiksasi, penelitian ini juga
bermaksud memfokuskan lingkup kerjanya dengan hanya membahas kelas verba (selanjutnya
disingkat V). Pemilihan V sebagai bahan utama dan batasan kajian disebabkan oleh sifat V
itu sendiri. Sebagai kelas kata yang terbiasa menduduki fungsi predikat dalam konstruksi
sintaksis, V merupakan kategori yang menentukan keberadaan kategori lain yang
mendampinginya. Sifat V yang demikian dapat ditelusuri dengan melihat perilaku sintaksis
dan semantisnya. Titik inilah yang sedikit membuat penelitian ini berbeda dari penelitian
sebelumnya. Selain menguraikan ihwal derivasi, penelitian ini juga sekaligus menghasilkan
uraian tentang makna semantis V dalam konstruksi kalimat BSDSB.
Proses morfologis dalam BSDSB hanya melibatkan jenis morfem afiks yang berupa
prefiks dan infiks sedangkan sufiks tidak ditemukan (kecuali sufiks persona). Sebagai
implikasi dari kenyataan tersebut, perpaduan afiks dalam BSDSB hanya memungkinkan
terbentuknya gabungan afiks dan konfiks (hanya pada awal morfem dasar). Adapun bentuk
afiks-afiks yang dimaksud berupa prefiks seperti {ba-}, {N-}, {kaN-}, {saN-}, {raN-},
{pa-}, {paN-}, {sa-}, dan {ka-}; berupa infiks yakni {-eN-}; serta berupa gabungan afiks
seperti {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}. Selain itu, ada juga prefiks yang
berupa pronomina persona seperi {ku-}, {tu-}, dan {mu-} dan prefiks yang menyuratkan kala
(tenses) seperti {ya-} dan {ka-}.
Karena hanya membahas V, afiks-afiks yang menjadi bahan kajian hanya afiks
BSDSB yang berfungsi membentuk V. Afiks-afiks BSDSB tersebut seperti {ba-}, {N-},
{saN-}, dan {kaN-}. Selanjutnya, karena hanya membahas pembentukan kata yang
berhubungan dengan V saja, pembentukan kata yang tergolong derivasi dalam penelitian ini
7
hanya membahas pembentukan kata menjadi V dari bentuk dasar berkelas kata lainnya. Kelas
kata lain yang dimaksud yakni berupa nomina (selanjutnya disingkat N), adjektiva
(selanjutnya disingkat A), V, numeralia (selanjutnya disingkat Num), pronomina (selanjutnya
disingkat Pron), dan adverbial (selanjutnya disingkat Adv). Perubahan dari bentuk dasar N,
A, Num, Pron, dan Adv menjadi V merupakan perubahan yang mengubah kategori kelas
kata. Sementara perubahan dari V menjadi V sendiri merupakan perubahan yang
mempertahankan kelas kata.
Sebagaimana dalam BI, BSDSB yang juga tergolong aglutinatif hampir menyuratkan
fenomena yang sama dalam hal pembentukan kata (derivasi). Beberapa fenomena derivasi
yang dapat ditemukan dalam BSDSB sangatlah banyak. Di antaranya, bentuk N yang berubah
menjadi V dengan pelekatan prefiks {ba-} dalam {ba-} + tonang (N) ‘kalung’ → batonang
(V) ‘berkalung’. Ada juga perubahan dengan melibatkan kategori kelas kata yang sama
seperti tari (V) ‘tunggu’ → batari (V) ‘melakukan kegiatan menunggu’ dan masih banyak
lagi variasi pembentukan kata yang melibatkan kategori kelas kata dan afiks juga kombinasi
afiks lainnya yang tergolong derivatif.
Demikian pula jenis derivasi yang bersifat konversi menjadi tambahan pembahasan
data yang menarik. Konversi dalam BSDSB juga melibatkan beberapa morfem dasar yang
sifatnya sama dengan BI. Artinya, morfem dasar tersebut mengemban dua kategori kelas kata
sekaligus dan tergolong cukup produktif. Beberapa data konversi yang dimaksud dapat
berkelas kata N sekaligus V seperti morfem dasar tutir ‘cerita’, ereng ‘aliran kecil sungai’,
dan dompas ‘tombak’. Kenyataan seperti ini juga dapat ditemukan pada bentuk dasar dengan
kelas kata yang lainnya seperti kelas kata A.
Seperti disebutkan sebelumnya, selain berfokus pada pembahasan mengenai derivasi
dalam BSDSB, tulisan ini juga bermaksud menerangkan berbagai jenis makna yang
8
dikandung oleh V dalam BSDSB. Pembahasan mengenai peran dan makna V dalam uraian
mengenai derivasi dalam tulisan ini dimaksudkan untuk dua hal. Pertama, penguraian peran
dan makna sangat membantu dalam menguraikan perubahan identitas leksikal secara
komprehensif. Kedua, pembahasan mengenai makna V tidak pernah dilakukan oleh peneliti
BSDSB terdahulu. Dengan maksud tersebut, penelitian ini hadir untuk menambah kekayaan
linguistik BSDSB utamanya bidang morfologi.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian mengenai derivasi termasuk jenis makna V
dalam BSDSB menjadi layak dan harus dilakukan secara komprehensif. Pengkategorian
mana yang termasuk pembentukan kata yang sebenarnya belum terlalu jelas dalam BSDSB.
Hal inilah yang mendorong tulisan ini hadir ke hadapan sidang pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mengkategorikan proses morfologis pada level
afiksasi. Pengkategorian yang dimaksud yakni manakah dari proses tersebut yang murni
sebagai fenomena pembentukan kata. Dengan mencermati uraian pada latar belakang serta
maksud penelitian, penelitian ini merumuskan tiga permasalahan besar yang akan diuraikan.
Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang
berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna
V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
b. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang
berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna
V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
9
c. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang
berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis makna
V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
d. Bagaimanakah proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar yang
berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenisjenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB?
1.3 Tujuan Penelitian
Sebagaimana masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengkategorikan proses morfologis dalam BSDSB menggunakan perspektif derivasi.
Dengan demikian, tujuan dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar
yang berkelas kata N, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis
makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
b. Untuk mendeskripsikan proses proses derivasional pembentukan V dari bentuk
dasar yang berkelas kata A, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenisjenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
c. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar
yang berkelas kata V, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta jenis-jenis
makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
d. Untuk mendeskripsikan proses derivasional pembentukan V dari bentuk dasar
yang berkelas kata Num dan Adv, afiks apa saja yang terlibat di dalamnya, serta
jenis-jenis makna V apa saja yang dihasilkan oleh proses tersebut dalam BSDSB.
10
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dalam rangka
mencari fakta-fakta baru tentang bahasa yang diteliti maupun manfaat secara praktis di luar
linguistik yang berhubungan dengan bahasa dalam lingkungan bermasyarakat.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah fakta-fakta baru dalam sistem BSDSB
yang sebelumnya memang telah banyak diteliti oleh para ahli. Penelitian ini akan dapat
menambah uraian baru mengenai morfologi menggunakan perspektif derivasi yang
dihubungkan dengan sintaksis dan semantik dalam BSDSB. Terutama pembahasan dari aspek
semantik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tambahan itu dimaksudkan bagi
perkembangan linguistik di Indonesia pada umumnya dan secara spesifik memperkaya
khazanah linguistik BSDSB pada khususnya.
Sebagai harapan tindak lanjut, data dan hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan
untuk memperbarui kamus bahasa Sumbawa yang masih memerlukan masukan yang
mendalam dari berbagai sudut pandang linguistik. Di sisi yang lain, penelitian ini juga
menyinggung perbandingan afiks bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang tergolong ke
dalam rumpun bahasa Austronesia. Perbedaan-perbedaan yang disajikan nantinya dapat
membantu para peneliti berikutnya untuk mengungkap fenomena perubahan bahasa-bahasa
daerah secara kualitatif. Hal ini mengingat adanya sebuah keteraturan perubahan yang
diperlihatkan oleh bahasa-bahasa tersebut berdasarkan letak geografisnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Pada praksisnya, seluruh penelitian diharapkan dapat berguna selain untuk
pengembangan teori juga untuk elemen-elemen yang berhubungan dengannya. Elemen-
11
elemen tersebut merupakan hal-hal yang berhubungan dengan hasil penelitian seperti
masyarakat BSDSB maupun masyarakat lain yang tertarik untuk mempelajari BSDSB.
Sejalan dengan itu, penelitian ini semoga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran mengenai
struktur BSDSB khususnya pada tataran morfologi. Beberapa hal yang diuraikan dalam
penelitian ini akan dapat membantu para pembelajar bahasa untuk lebih memengerti konsep
morfologi dalam BSDSB. Di sisi lain, bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya
bangsa juga dapat dilestarikan melalui perhatian dalam bentuk penelitian. Dengan demikian,
penelitian ini juga diharapkan menjadi bagian fungsi tersebut.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang menjadikan bahasa Sumbawa sebagai objek kajiannya telah banyak
dilakukan. Hampir semua dialek yang terdapat dalam bahasa ini pernah dijamah oleh para
peneliti yang mumpuni di bidangnya. Beberapa penelitian yang penting, utamanya mengenai
BSDSB lebih banyak berfokus pada kajian struktur. Struktur yang dimaksud yakni pada
tataran morfologi dan sintaksis. Penelitian-penelitian yang disebutkan di sini hanya yang
paling relevan dan berhubungan dengan kajian derivasi yang menjadi variabel dalam
penelitian ini.
1.5.1 Penelitian Sumarsono (1986) Berjudul Morfologi dan Sintaksis Bahasa
Sumbawa
Pembahasan morfologi yang dilakukan oleh Sumarsono pada kesempatan ini cukup
memuaskan. Sumarsono telah mendeskripsikan berbagai jenis proses morfologis yang
meliputi afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan sedikit mengenai proses kontraksi dalam
BSDSB. Pada level afiksasi, Sumarsono telah menyebutkan berbagai jenis afiks. Afiks-afiks
yang disebutkan oleh Sumarsono meliputi awalan, imbuhan pemanis, penanda kala, serta
12
imbuhan persona. Secara lengkap dan terstruktur, Sumarsono juga telah mendeskripsikan
fungsi dan makna afiks secara keseluruhan dalam BSDSB.
Sayangnya, penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1986) masih terdapat
kekurangan. Belum terdapatnya pemisahan sekaligus pengelompokkan afiks berdasarkan
korelasi bentuk dan maknanya menjadi koreksi oleh Mahsun (1990) dalam penelitiannya.
Penelitian ini juga tidak menyebutkan beberapa kombinasi afiks yang dimungkinkan terjadi
dalam BSDSB seperti konfiks dan gabungan afiks. Proses konversi yang menarik untuk
diperbincangkan juga tidak terdapat dalam penelitian ini.
Kelemahan lainnya dari penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono adalah tidak
tepatnya penentuan ketransitifan untuk beberapa jenis afiks. Misalkan, prefiks {N-} yang
dianggap sebagai pembentuk V transitif ketika bergabung dengan morfem dasar V. Padahal
jika dicermati, prefiks tersebut membentuk V intransitif ketika berada dalam konstruksi
kalimat. Sebagai contoh ketika {N-} bergabung dengan dasar tanam ‘tanam’ → nanam
‘melakukan kegiatan menanam’. Sebenarnya prefiks tersebut merupakan prefiks yang
membentuk V intransitif. Hal ini terbukti dengan penutur BSDSB yang biasa mengucapkan
kalimat Kami muntu nanam ‘Kami sedang melakukan kegiatan menanam (sesuatu)’. Di sisi
lain, penutur BSDSB tidak menerima kalimat *Kami muntu tanam ‘Kami sedang tanam’.
Morfem dasar tanam itu sendiri merupakan V yang transitif baik secara formal maupun
semantis. Dalam hal ini, tesis ini sepakat dengan pendapat Mahsun (1990) yang mengatakan
bahwa bentuk-bentuk seperti itu secara formal adalah bentuk yang intransitif dan hanya
secara semantis berwatak transitif.
13
1.5.2 Penelitian Seken dkk. (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa
Sebagaimana judulnya, penelitian yang dilakukan oleh Seken dkk. (1990) ini cukup
fokus dalam memerikan seluruh kaidah morfologi dalam BSDSB. Namun, secara sekilas,
penjelasan mengenai morfologi hampir sama dengan yang telah dilakukan oleh Sumarsono
(1986). Perbedaannya hanya berupa penambahan di sana-sini. Perbedaan tersebut seperti
adanya pembahasan peristiwa morfofonemik yang sama sekali luput dari penelitian yang
dilakukan oleh Sumarsono (1986). Namun, kekurangan-kekurangan yang terjadi masih sama
sebagaimana yang dilakukan oleh Sumarsono.
Menariknya, penelitian Seken dkk. ini telah menyinggung derivasi pada salah satu
sub-babnya. Namun, fenomena derivasi yang disampaikan belum komprehensif dan jelas.
Seken dkk (1990) hanya menyebut peristiwa derivasi sebagai peristiwa alih fungsi atau alih
jenis sedangkan infleksi adalah kebalikannya. Penjelasan yang demikian tentu belum dapat
memuaskan pembaca dalam memengerti ihwal derivasi. Padahal, peristiwa derivasi tidak
dapat diindikasikan hanya dengan melihat perubahan fungsi dan jenis semata. Ada banyak
indikator dalam penentuan apakah sebuah proses dikatakan derivasi atau infleksi. Selain itu,
fenomena konversi juga tidak disinggung dalam penelitian ini.
Kekurangan dalam penelitian ini adalah penjelasan ketransitifan bentuk turunan yang
dihasilkan melalui pelekatan prefiks tertentu yang relatif salah. Hal ini sama dengan
ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh Soemarsono sebelumnya. Hal tersebut disebabkan
oleh Seken dkk. yang menguraikan bentuk turunan BSDSB hanya pada lingkup morfologis
tanpa menghubungkannya dengan sintaksis. Selain itu, Seken dkk. juga menentukan
ketransitifan sebuah prefiks menggunakan padanan makna dalam BI. Hal semacam ini tidak
bermanfaat apa-apa dalam menguraikan fakta bahasa yang diteliti.
14
1.5.3 Penelitian Mahsun (1990) Berjudul Morfologi Bahasa Sumbawa Dialek Jereweh
Penelitian Mahsun (1990) ini menguraikan proses morfologis pada level afiksasi dan
reduplikasi sedangkan komposisi tidak dimasukkan dengan alasan pemfokusan kajian. Pada
lever afiksasi, Mahsun telah menjawab sekaligus mengoreksi kekurangan penelitian
sebelumnya berupa pemisahan dan pengelompokkan beberapa afiks berdasarkan korelasi
bentuk dan makna. Hal ini dilakukan Mahsun dengan alasan bahwa bentuk dan makna
merupakan dua komponen yang mampu menjelaskan perangai morfem dalam BSDJ. Konsep
pengelompokan dan pemisahan itulah yang juga digunakan dalam penelitian ini.
Seperti disebutkan di atas, penelitian ini menjadikan dialek Jereweh sebagai objek
pembahasannya. Berbeda dengan tesis ini yang menjadikan BSDSB sebagai bahan
pembahasannya. Terkait hal tersebut, Mahsun telah memaparkan bahwa perbedaan yang
terlihat antara BSDSB dengan BSDJ sebenarnya tidak terlalu jauh. Perbedaannya yang
disebut Mahsun hanya pada bidang leksikal (kosakata) dan pada bagian gramatika. Perbedaan
yang tersurat seperti pada afiks yang memarkahi makna pasif dan pemarkah posesif pada
konstruksi yang genetif. Pemarkah pasif pada BSDJ disebutkan Mahsun berupa prefiks {i-}
sedangkan pada BSDSB berupa prefiks {ya-}. Pemarkah posesif dalam BSDJ menggunakan
satuan lingual {N-} yang hanya muncul pada konstruksi genetif. Pemarkah posesif yang
seperti ini tidak terdapat dalam BSDSB.
Meskipun Mahsun (1990) telah menyatakan bahwa perbedaan yang tersurat antara
BSDSB dengan BSDJ tidak terlalu jauh, beberapa hal yang juga penting ternyata menjadi
luput dalam pembahasannya. Beberapa hal tersebut seperti afiks {ma-}, serta afiks {sa-}
yang hanya dimaknakan sebagai afiks imperatif (padahal dalam BSDSB sifat afiks ini bukan
hanya imperative dalam BSDSB). Jika memang hal tersebut tidak terdapat dalam BSDJ,
harusnya Mahsun telah menyebutkannya. Sementara, Mahsun hanya menyebut dua hal
15
sebagaimana disebut di atas. Selain itu, penentuan morfem beserta alomorfnya antara BSDSB
dan BSDJ juga menyuratkan perbedaan. Sejalan dengan hal tersebut, tesis ini akan berusaha
menguraikan secara lengkap ihwal V yang ada dalam BSDSB dengan perspektif derivasi.
Kemudian, terkait dengan pembahasan derivasi, Mahsun secara implisit telah
membahas proses pembentukan kata serta melibatkan beberapa kategori kelas kata yang
terdapat dalam BSDJ. Namun, pembagian proses pembentukan kata dengan perspektif
derivasi tidak disebutkan dalam penelitian ini. Dalam pada itu, peristiwa konversi yang juga
menarik juga tidak terdapat secara komprehensif dalam penelitian tersebut. Mahsun hanya
mencontohkan peristiwa konversi antara bentuk dasar yang berkelas kata N dan V saja.
Sementara bentuk dasar dengan kelas kata yang lain belum dibahas. Dengan demikian,
beberapa kekurangan yang terjadi berusaha disempurnakan dalam tesis ini. Termasuk pula
penambahan uraian dari sudut pandang sintaksis dan semantis yang belum pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya.
1.5.4 Penelitian Kasman (2002) Berjudul Morfologi dan Morfofonemik Bahasa
Sumbawa Dialek Tongo
Penelitian ini menjadikan salah dialek Tongo sebagai objek kajiannya. Beberapa
sistem afiks dalam dialek ini hampir mirip dengan sistem afiks yang ada pada dialek Jereweh
yang diteliti oleh Mahsun. Uraian mengenai derivasi juga telah dibahas dalam penelitian ini.
Sayangnya, pembahasan dilakukan dengan data yang sifatnya mewakili dan bertumpu pada
contoh proses semata.
16
1.5.5 Penelitian Ermanto (2008) Berjudul Derivasi dan Infleksi Verba Bahasa
Indonesia
Penelitian ini merupakan sebuah disertasi yang membahas derivasi dan infleksi V
dalam BI. Derivasi dan infleksi V yang menjadi variabel penelitian tercakup dalam kajian
morfologi pada dua tataran yaitu tataran afiksasi, konversi, dan reduplikasi. Proses derivasi
pada kedua tataran tersebut mengambil bentuk dasar yang berkelas kata N, A, dan V. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Ermanto ini sangat komprehensif dalam memerikan
proses derivasional sekaligus uraian mengenai sifat semantis V dalam BI.
Di sisi yang lain, tesis ini hanya berfokus membahas proses derivasi V pada tataran
afiksasi dan konversi saja tanpa menguraikan tataran reduplikasi dan masalah infleksi. Jika
penelitian Ermanto meneliti derivasi pembentuk V dalam BI dari bentuk dasar berupa N, A,
dan V saja, tesis ini mencoba membahas seluruh kemungkinan kelas kata yang membentuk V
seperti N, A, V, Num, dan Adv. Kemudian, terkait dengan objek penelitian, penelitian ini
menggunakan BSDSB sebagai objeknya. Dengan demikian, perbedaan yang jauh dapat
digariskan. Namun, prinsip derivasi yang diuraikan oleh Ermanto dalam disertasinya akan
dianut dalam penelitian ini.
Dengan memperhatikan seluruh uraian pada tinjauan pustaka, tesis ini sesungguhnya
berusaha untuk menjawab beberapa kekurangan yang terdapat dalam penelitian sebelumnya
yang relevan. Kekurangan itu utamanya belum dikategorikannya proses morfologis dalam
BSDSB menggunakan perspektif derivasi. Walaupun hanya berfokus pada verba, penelitian
ini dirasa mampu menjawab berbagai kekurangan tersebut seperti belum adanya pembahasan
mengenai fenomena konversi dan belum adanya uraian morfologi BSDSB yang dibumbui
dengan perspektif sintaksis dan semantis. Termasuk juga penentuan morfem dan alomorf
masing-masing afiks pembentuk V dalam BSDSB yang agak berbeda dengan penelitian
17
sebelumnya. Beberapa data yang relatif baru juga disertakan dalam penelitian ini. Data-data
baru tersebut ternyata luput dari cakupan penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori
Sebagai ilmu empiris, linguistik memiliki teori dan metode tersendiri dalam proses
penelitiannya agar sesuatu yang dihasilkan dalam rangka mengungkap fakta-fakta
kebahasaan dapat dipertanggungjawabkan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
seharusnya relevan dengan beberapa variabel yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam rumusan masalah penelitian. Beberapa hal yang dimaksudkan seperti konsep mengenai
morfologi dan pembagiannya, afiksasi, derivasi, kata dan leksem, serta kelas kata dalam
BSDSB.
1.6.1 Morfologi
Matthews (1991: 1) menyebutkan bahwa morfologi merupakan cabang dari linguistik
yang mempelajari berbagai bentuk kata. Dengan lebih rinci, Bauer (1988: 4) menjelaskan
bahwa morfologi diambil dari istilah dalam ilmu biologi dan merujuk kepada ilmu yang
mempelajari tentang bentuk. Namun, istilah morfologi yang digunakan dalam linguistik
menjadi studi yang mempelajari tentang bentuk kata.
Sejalan dengan itu, Verhaar (1986: 52) menguraikan pengertian morfologi sebagai
bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Istilah
gramatikal digunakan oleh Verhaar untuk menunjukkan bahwa sebuah kata masih dapat
dibagi-bagi berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya.
Dengan lebih merujuk kepada prosesnya, Parker (1986: 65) menyebutkan bahwa
“morphology is the study of word formation”. Parker menyebut morfologi sebagai sebuah
studi yang mempelajari tentang pembentukan kata. Pembentukan kata yang dimaksudkan
18
oleh Parker adalah bagaimana proses sebuah kata itu terbentuk dengan berbagai fenomena
internal di dalamnya. Sejalan dengan itu pula, Ramlan (1987: 21) menguraikan konsep
morfologi sebagai cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan mengkaji masalah perubahan
bentuk kata serta pengaruhnya terhadap golongan dan arti kata. Uraian yang diberikan oleh
Ramlan ini terlihat lebih rinci.
Dengan merujuk pada pendapat para ahli di atas, beberapa hal penting yang
fundamental dalam kaitannya dengan morfologi dapat dirumuskan. Morfologi merupakan
cabang linguistik yang mempelajari tentang bentuk kata. Bentuk dalam hal ini dapat dibagi
lagi uraiannya yakni bentuk berupa susunan unsur-unsur pembentuk kata (kegramatikalan),
proses yang menghasilkan bentuk kata dengan berbagai fenomena internalnya, dan dampak
yang terjadi setelah kata itu terbentuk. Dengan demikian, dapat diambil jalan tengah bahwa
morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata, bagaimana
kata itu dibentuk dengan berbagai seluk-beluknya, serta dampak yang terjadi dari proses
pembentukan kata itu.
1.6.2 Pembentukan Kata
Morfologi sebagai studi yang mempelajari tentang pembentukan kata terbagi menjadi
dua cabang besar yakni morfologi yang infleksional dan morfologi leksikal yang biasa
disebut juga dengan morfologi derivasional. Pembagian morfologi yang demikian telah
banyak disebutkan oleh beberapa ahli morfologi di dunia. Salah satunya adalah Bauer (1983)
(dalam Ermanto, 2008: 41) yang merangkum pembagian morfologi dalam bagan sebagai
berikut.
19
INFLEKSI
Morfologi
Pemertahanan Kelas Kata
DERIVASI
WORD FORMATION
Pengubahan Kelas Kata
P. Nomina
PEMAJEMUKAN
P. Verba
P. Adjektiva
Dengan mencermati bagan yang telah diberikan di atas, dapat diberikan penjelasan
sebagai berikut. Morfologi itu dibagi menjadi dua pembagian besar yakni morfologi yang
infleksional dan morfologi yang menyuratkan pembentukan kata (word formation).
Morfologi infleksional menghasilkan beberapa variasi bentuk dari leksem yang sama
disebabkan oleh tuntutan sintaksis.
Berikutnya, morfologi yang menyuratkan pembentukan kata terbagi menjadi dua jenis
yakni derivasi dan pemajemukan. Derivasi merupakan pembentukan kata yang menghasilkan
leksem-leksem baru dari sebuah leksem (dasar). Misalkan, sufiks bahasa Inggris -er yang
bergabung dengan V akan menghasilkan N seperti pada SHOOT ‘tembak’ (V) → SHOOTER
‘penembak’ (N). Selain memperlihatkan perubahan kategori kelas kata, perubahan makna
juga menandai proses ini (Katamba, 1993: 47). Selanjutnya, proses yang derivasional
berdasarkan perubahan kelas kata dibedakan menjadi derivasi yang mempertahankan kelas
kata seperti pada KING ‘raja’ (N) yang bergabung dengan sufiks -ship → KINGSHIP
‘pangkat raja’ (N) (periksa McCharty, 2002:49) dan derivasi yang mengubah kelas kata
seperti pada contoh SHOOTER di atas. Afiks-afiks yang berhubungan dengan proses tersebut
20
disebut dengan afiks derivasional. Jenis lainnya dari pembentukan kata adalah pemajemukan
yang terbagi lagi jenisnya berdasarkan kelas kata komponen pembentuknya. Jadi, yang
sebenarnya disebut sebagai pembentukan kata dalam proses morfologis adalah proses yang
derivasional dan pemajemukan.
1.6.3 Afiksasi
Morfologi identik dengan proses morfologis. Proses morfologis dalam BI berbedabeda pembagiannya oleh para linguis Indonesia. Namun, tidak satupun dari linguis tersebut
yang tidak menyertakan afiksasi dalam pembagiannya. Proses morfologis yang berupa
afiksasi merupakan yang paling umum digunakan dalam proses pembentukan kata di seluruh
dunia (Bauer, 1988: 19). Proses morfologis pada level afiksasi selalu melibatkan dua jenis
morfem atau lebih. Morfem yang terlibat yakni morfem afiks dan morfem dasar. Morfem
afiks merupakan morfem yang selalu terikat dengan morfem dasar dalam pembentukan kata
yang dibedakan atas prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan gabungan afiks. Morfem dasar adalah
morfem yang dilekati oleh morfem afiks dalam proses pembentukan kata (Subroto, 2012: 20).
Secara umum, afiksasi merupakan proses penambahan atau pengimbuhan afiks pada
bentuk dasar. Selanjutnya, afiks sebagai alat pembentuk -istilah Chaer (2008)- dalam proses
afiksasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis afiks yang digunakan dalam penelitian ini
menyitir pembagian afiks yang disampaikan oleh Kridalaksana.
Kridalaksana (2009: 28-30) membagi afiks menjadi tujuh jenis yakni (1) prefiks, (2)
infiks, (3) sufiks, (4) simulfiks, (5) konfiks, (6) suprafiks, dan (7) kombinasi afiks. Masingmasing jenis afiks tersebut dijelaskan sebagai berikut.
(1) Prefiks adalah afiks yang terletak di muka bentuk dasar seperti {me-}, {ter-},
{ber-}, dan {per-}.
21
(2) Infiks adalah afiks yang disisipkan di tengah bentuk dasar seperti {-el-}, {-em-},
{-er-}, dan {-in-}.
(3) Sufiks adalah afiks yang terletak di belakang bentuk dasar seperti {-an}, {-i}, dan
{-kan}.
(4) Simulfiks adalah afiks yang dileburkan secara segmental pada bagian awal bentuk
dasar seperti pada bentuk nyoto, nyate, ngopi, dan ngebut.
(5) Konfiks adalah afiks yang sekaligus hadir di depan dan di belakang bentuk dasar
dengan mengemban satu makna gramatikal. Konfiks biasa disebut dengan morfem
terbagi karena harus hadir secara serentak pada bentuk dasar. Contoh konfiks
seperti {ke-/-an}, {per-/-an}, dan {ber-/-an}.
(6) Suprafiks adalah afiks yang dihubungkan dengan ciri-ciri yang suprasegmrntal
seperti nada pada beberapa bahasa misalkan peninggian vokal pada suku akhir
adjektiva dalam bahasa Jawa. Suprafiks tidak terdapat dalam BSDSB yang
menjadi objek penelitian ini.
(7) Kombinasi afiks atau gabungan afiks adalah kombinasi dari dua afiks atau lebih
yang bergabung dengan dasar. Masing-masing afiks tetap membawa makna
gramatikal tersendiri. Afiks ini muncul bersama pada dasar dengan urutan
pelekatan yang berlainan seperti gabungan afiks {me-} dan {-kan} pada bentuk
kompleks menjatuhkan.
Jenis afiks di atas semuanya terdapat dalam BSDSB kecuali sufiks, simulfiks, dan
suprafiks. Afiks-afiks yang terdapat dalam BSDSB didominasi oleh prefiks. Prefiks-prefiks
yang dimaksud yakni {ba-} dan {ra-}, {N-}, {kaN-} dan {gaN-}, {saN-}, {raN-}, {pa-},
{paN-}, {sa-}, {ka-}, dan {ma-}. Ada juga berupa infiks seperti {-eN-}. Kemudian,
gabungan afiks yang dimungkinkan adalah {basa-} dan {pasa-} juga konfiks seperti {baka-}.
22
Gabungan afiks dan konfiks dalam BSDSB hanya dapat terjadi melalui penggabungan prefiks
karena tidak adanya sufiks. Jadi, dengan jumlah yang dominan dan seluruh afiks pembentuk
V adalah prefiks, jenis afiks tersebutlah yang dilibatkan dalam rangka menguraikan proses
morfologis dengan perspektif derivasi dalam BSDSB.
1.6.4 Derivasi
Penelitian ini menganut pembagian morfologi berdasarkan perspektif derivasi.
Penelitian ini menganut pengertian derivasi yang menekankan pada indikator perubahan
identitas leksikal. Setiap perubahan bentuk yang ikut mengubah identitas leksikal
digolongkan ke dalam proses yang derivasional.
Selanjutnya, perlu ditekankan pula bahwa penelitian ini mengakui adanya derivasi
yang mempertahankan kelas kata dan derivasi yang mengubah kelas kata. Prinsip ini perlu
ditekankan agar pemaparan pada bagian pembahasan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian tersebut berikut ini disampaikan berbagai pendapat para ahli baik ahli
morfologi barat maupun Indonesia yang juga menggunakan perspektif derivasi dalam
kajiannya. Beberapa penyampaian mengenai derivasi di bawah ini dan seterusnya juga
menyinggung ihwal infleksi sebagai bahan perbandingan.
1.6.4.1 Derivasi Menurut Pandangan Linguis Barat
Katamba (1993: 47) menyebutkan bahwa morfem-morfem afiks dalam proses
morfologis dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi utamanya. Morfem afiks
yang dimaksud yakni morfem yang derivasional dan morfem yang infleksional. Selanjutnya,
Katamba mengatakan bahwa morfem derivasional dan infleksional membentuk kata dengan
jalan yang berbeda.
23
Terkait dengan morfem derivasional, Katamba menyatakan bahwa morfem yang
derivasional merupakan morfem yang membentuk kata baru. Pembentukan kata yang baru
yang dimaksudkan oleh Katamba ini sejalan dengan konsep pembentukan leksem yang baru.
Katamba mempertegas uraiannya pada bagian akhir pembahasan bahwa afiks yang
derivasional digunakan untuk membentuk leksem yang baru dari leksem yang berlainan
sebelumnya.
Katamba menyodorkan beberapa indikator afiks digolongkan sebagai afiks yang
derivasional yakni dengan terwujudnya salah satu keadaan berikut ini. Pertama, afiks tersebut
memodifikasi secara signifikan makna bentuk dasar tempat afiks tersebut dilekatkan tanpa
mengubah kategori kelas katanya (kind (A) → (A) unkind). Kedua, afiks tersebut mengubah
kategori kelas kata sekaligus makna bentuk dasarnya (hard (A) → (N) hardship). Ketiga,
afiks tersebut mengubah subkelas gramatikal tanpa mengubah kategori kelas kata bentuk
dasarnya (friend (N konkret) → (N abstrak) friendship). Jika salah satu di antara ketiga
indikator tersebut terpenuhi, perubahan dan afiks tersebut tergolong derivasional (1993: 50).
Fromkin and Rodman (1993: 48-49) menyebutkan bahwa di dalam bahasa Inggris
terdapat morfem-morfem yang dikenal dengan morfem derivasional. Disebut demikian,
dikarenakan saat morfem-morfem tersebut bergabung dengan morfem lain seperti morfem
dasar, sebuah kata baru terbentuk. Sejalan dengan Katamba (1993), Fromkin and Rodman
juga menyebut bahwa morfem yang derivasional menyebabkan perubahan makna sekaligus
memungkinkan perubahan kategori kelas kata. Dalam bukunya, Fromkin and Rodman (1993)
mencontohkan sebuah V yang diakhiri dengan sufiks -able menghasilkan bentukan yang
berkelas kata A seperti morfem dasar ADORE (V) + -able → ADORABLE (A). Peristiwa
pelekatan sufiks yang derivasional itu terlihat mengubah kategori kelas kata berikut makna
dari dasar ke kata jadian yang dihasilkannya. Dalam pada itu, Fromkin and Rodman juga
24
menyatakan bahwa tidak semua morfem yang derivasional menyebabkan perubahan kategori
kelas kata. Misalkan bentuk-bentuk seperti theism (N) → monotheism (N), vicar (N) →
vicarage (N), dan sebagainya (lihat juga McCharty, (2002: 45-54).
Bauer (1988: 12-13) membagi imbuhan atau afiks menjadi dua jenis yakni afiks
derivasional dan afiks infleksional. Afiks yang infleksional merupakan afiks yang
menghasilkan bentuk-bentuk kata baru dari sebuah leksem. Afiks yang derivasional yakni
afiks yang menghasilkan sebuah leksem baru dari sebuah morfem dasar (yang juga leksem).
Selanjutnya, Bauer (1988) memaparkan tiga indikator dalam usaha untuk membedakan antara
afiks yang derivasional dan afiks yang infleksional.
Indikator yang dimaksud yakni sebagai berikut. Pertama, afiks yang mengubah
kategori kelas kata sebuah morfem dasar merupakan afiks yang derivasional. Namun, Bauer
juga memberikan catatan berupa saran bahwa afiks yang mengubah subkelas gramatikal
bentuk dasarnya juga termasuk ke dalam afiks yang derivasional. Kedua, afiks yang
derivasional memiliki makna yang tidak beraturan. Ketiga, Sebagai sebuah kaidah umum,
jika afiks infleksional ditambahkan ke dalam salah satu anggota dari kelas maka semua
anggota kelas tersebut dapat ditambahkan juga olehnya. Sebaliknya, afiks yang derivasional
tidak dapat secara sembarangan dilekatkan kepada seluruh anggota kelas. Oleh karena itu,
imbuhan infleksional produktif sepenuhnya sedangkan imbuhan derivasional tidak demikian.
O’Grady and Dobrovolsky (1992) juga memerikan perbedaan antara derivasi dan
infleksi. Sebagaimana linguis lainnya, O’Grady and Dobrovolsky juga memberikan
penjelasan mengenai cara membedakan mana yang termasuk peristiwa yang disebut dengan
infleksi dan mana yang termasuk derivasi. Kedua linguis tersebut mengawali pemaparannya
dengan menyebut bahwa kedua proses (derivasi dan infleksi) adalah proses yang sama-sama
terjadi atas penambahan sebuah afiks pada morfem dasarnya. Sampai pada tahap itu,
25
perbedaan di antara keduanya menjadi tidak begitu jelas. Ada tiga kriteria yang ditawarkan
untuk membedakan kedua istilah tersebut. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, afiks infleksi tidak mengubah kategori gramatikal sekaligus makna dari kata
yang mengalami proses morfologis. Sebaliknya, afiks derivasi dapat mengubah kategori dan
atau makna bentuk dasarnya dalam proses morfologis dalam rangka membentuk kata yang
baru. Contoh penambahan afiks yang berupa derivasi tanpa mengubah kategori kelas kata
oleh O’Grady and Dobrovolsky seperti pada kasus N → N dalam king + -dom → kingdom.
Perubahan yang terjadi pada subkelas gramatikalnya (fitur semantis) saja yakni dari person
‘orang’ menjadi place ‘tempat’. Kedua, berdasarkan urutannya, afiks derivasional selalu
mendahului afiks yang infleksional dalam proses pembentukan kata kompleks. Ketiga, afiksafiks yang infleksional selalu lebih produktif dibandingkan afiks derivasional. Hal ini
dikarenakan afiks terebut dapat ditambahkan pada seluruh anggota kelas sedangkan afiks
derivasional sifatnya terbatas (1992: 137-138).
Aronoff (1981: 2) mengawali pembahasan bukunya dengan menjelaskan perbedaan
antara derivasi dan infleksi. Derivasi dan infleksi disebutnya sebagai dua fenomena dalam
tataran morfologi. Infleksi menurut Aronoff murni tergolong ke dalam cakupan penandapenanda gramatikal seperti tense (kala), aspect (aspek), person (persona), number (jumlah),
gender (jenis kelamin), case (kasus), dan lainnya. Sementara itu, derivasi hanya terbatas pada
domain kategori leksikal. Secara implisit, Aronoff menyampaikan bahwa infleksi hanya
relevan untuk sintaksis sedangkan derivasi hanya terbatas pada cakupan morfologi leksikal.
Dengan demikian, batas-batas di antara keduanya menjadi jelas dan terang-benderang.
Dik dan Kooij (1994: 170-173) membedakan antara derivasi dan komposisi dengan
infleksi. Pembedaan yang dilakukan oleh kedua linguis tersebut sama dengan kategorisasi
yang dilakukan oleh ahli seperti Bauer (1988). Dik dan Kooij menyebutkan derivasi dan
26
komposisi adalah sarana dalam memperluas persediaan leksem dalam bahasa. Sebaliknya,
infleksi merupakan sarana menyiapkan leksem untuk penggunaan secara sintaksis. Perluasan
ketersediaan leksem dalam bahasa pada peristiwa derivasi dan komposisi dikarenakan kedua
peristiwa tersebut berdampak pada pembentukan leksem-leksem baru dari leksem yang
sebelumnya berlainan. Sementara itu, infleksi hanyalah perluasan dalam bentuk-bentuk
leksem saat berada di dalam konstruksi sintaksis.
Terkait derivasi, Dik dan Kooij sependapat dengan para ahli yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa ada derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata dan derivasi yang
mengubah kategori kelas kata. Dalam hal ini, Dik dan Kooij membaginya dengan istilah
derivasi pelestari golongan seperti pada oposisi bangsa (N) >< (N) kebangsaan yang
keduanya adalah N dan derivasi pengubah golongan seperti pada lelah (A) >< (N) kelelahan.
Berdasarkan pendapat para pakar morfologi barat tersebut dapat disarikan beberapa
hal mengenai derivasi. Pertama, derivasi selalu mensyaratkan perubahan makna atau fiturfitur makna. Perubahan fitur-fitur makna itu dapat ditandai oleh perubahan kelas kata atau
pemertahanan kelas kata. Jadi ada derivasi yang tetap mempertahankan kelas kata seperti
pada LURAH (N) → KELURAHAN (N) dan derivasi yang mengubah kategori kelas kata
seperti pada MAJU (V) → KEMAJUAN (N). Kedua, dengan adanya perubahan pada kategori
kelas kata dan atau maknanya, derivasi membentuk leksem yang baru yang berlainan dari
sebuah leksem yang menjadi dasarnya.
Berdasarkan uraian dari beberapa linguis barat di atas, perbedaan antara derivasi dan
infleksi menjadi cukup jelas. Patut dijadikan catatan sampai pada tahap ini adalah pemerian
derivasi dan infleksi yang dilakukan oleh linguis di atas dikarenakan bahasa yang menjadi
kajiannya adalah bahasa jenis fleksi. Di sisi lain, penelitian ini menjadikan BSDSB yang
bertipe aglutinasi sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, diperlukan pemaparan lebih
27
lanjut mengenai derivasi dan infleksi dari sudut pandang linguis Indonesia yang menjadikan
BI sebagai bahan kajiannya.
1.6.4.2 Derivasi Menurut Pandangan Linguis Indonesia
Pada bagian ini disampaikan beberapa pandangan para linguis Indonesia mengenai
derivasi. Uraian mengenai derivasi pada bagian ini juga disertakan dengan infleksi sebagai
perbandingan. Linguis-linguis yang disampaikan disini seperti Samsuri (1991), Chaer (2008),
Verhaar (2010), Putrayasa (2010), Wijana (2011), dan Subroto (2012). Seperti yang
disebutkan sebelumnya, linguis-linguis di Indonesia agak berbeda pendapat mengenai
perspektif derivasi dan infleksi jika diaplikasikan dalam BI.
Samsuri (1991) menjelaskan bahwa derivasi dan infleksi belum dapat secara tegas
dapat diterapkan ke dalam BI. Samsuri beralasan bahwa afiks-afiks dalam BI memiliki sistem
afiks yang berbeda. Untuk memperkuat alasannya, Samsuri mendefinisikan derivasi sebagai
konstruksi yang memiliki distribusi yang berbeda dengan bentuk dasarnya. Di sisi yang lain,
infleksi merupakan konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan bentuk
dasarnya. Adapun contoh yang diberikan seperti pada bentuk kompleks menggunting,
makanan, dan pelari dalam konstruksi kalimat berikut.
(1) Anak itu menggunting kertas.
(1a) *Anak itu gunting kertas
(2) Makanan itu sudah busuk.
(2a) *Makan itu sudah busuk.
(3) Amat ingin menjadi pelari.
(3a) *Amat ingin menjadi lari.
Berdasarkan contoh tersebut, Samsuri (1991) bermaksud menguatkan pendapatnya
yang mengatakan bahwa derivasi adalah konstruksi yang distribusi kata dasarnya sama
28
dengan bentuk kompleksnya. Pada kalimat (1), menggunting tidak menunjukkan distribusi
yang sama dengan gunting sehingga kalimat (1a) menjadi tidak berterima. Pada kalimat (2)
distribusi makanan jelas berbeda dengan dasar makan sehingga (2a) juga menjadi tidak
berterima. Pada kalimat (3) juga demikian adanya, distribusi antara pelari dengan lari terlihat
kontras dengan jelas sehingga kalimat (3a) tidak berterima. Jadi, konstruksi yang bertrisbusi
berbeda dengan dasarnya itulah yang diakui sebagai derivasi oleh Samsuri.
Di sisi yang lain, infleksi menurut Samsuri disebut sebagai konstruksi yang
menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menjelaskan konsep tersebut
dengan memberikan contoh seperti bentuk kompleks membaca dan dasar baca serta
mendengar dan bentuk dasar dengar. Agar lebih jelas, distribusi bentuk tersebut diberikan
dalam kalimat berikut.
(4) Saya membaca buku itu.
(4a) Saya baca buku itu.
(5) Engkau dengar suara itu.
(4a) Engkau dengar suara itu.
Kedua kalimat di atas dijadikan bukti oleh Samsuri sebagai dua bentuk yang
berdistribusi sama. Hal itu terbukti dengan berterimanya kalimat (4) dan (4a) sekaligus,
begitu pula dengan (5) dan (5a). Berdasarkan kenyataan tersebut, Samsuri berkesimpulan
bahwa afiks-afiks dalam BI belum menunjukkan keteraturan dalam memerikan fenomena
derivasi dan infleksi. Bentuk-bentuk seperti menggunting, membaca, dan mendengar
seharusnya memiliki distribusi yang sama dalam konstruksi kalimat dengan bentuk dasarnya.
Namun, menggunting ternyata derivasi sedangkan membaca dan mendengar merupakan
infleksi (bandingkan Subroto, 2012: 74).
29
Chaer (2008: 37) menjelaskan perbedaan antara derivasi dan infleksi dengan melihat
perubahan indentitas leksikal sekaligus dengan perubahan kategori kelas kata. Chaer juga
berpendapat bahwa kasus derivasi dan kasus infleksi terdapat dalam BI. Kasus infleksi
dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {me-} → membeli (V).
Kasus derivasi dicontohkan dengan morfem dasar beli (V) yang mendapat prefiks {pe-} →
pembeli (N).
Selanjutnya, masih dalam Chaer (2008: 38), dijelaskan bahwa kasus inflektif dalam
BI hanya terdapat pada bentuk-bentuk yang transitif. Chaer menyebut beberapa contoh
prefiks seperti {me-} yang digunakan untuk kebutuhan aktif transitif, {di-} untuk verba
transitif pasif tindakan, {ter-} untuk verba pasif keadaan, dan zero untuk verba imperatif.
Untuk masing-masing bentuk inflektif tersebut, Chaer memberikan contoh seperti membaca,
dibaca, terbaca, dan baca! (imperatif).
Selain kasus {me-}, {di-}, dan {ter-} yang diakui inflektif, Chaer (2008) juga
mengakui adanya kasus-kasus yang berhubungan dengan afiks tersebut sebagai kasus
derivatif. Contohnya, {me-} dengan bentuk dasar lompat → melompat, {di-} dengan bentuk
dasar maksud → dimaksud, dan {ter-} dengan bentuk dasar tidur → tertidur. Cara melihat
suatu bentukan yang menggunakan paradigma afiks inflektif yang tergolong kasus derivatif
adalah dengan mengoposisikan {me-} dengan {di-} dan {ter-}. Jika {me-} dapat dioposisikan
dengan {di-} dan {ter-} seperti pada kasus dibaca dan membaca maka afiks tersebut adalah
inflektif. Sebaliknya, jika {me-} tidak dapat dioposisikan dengan {di-} dan {ter-} seperti
pada *diduduk dan *terduduk maka afiks tersebut tergolong pada kasus derivasi. Sekilas
mencermati contoh tersebut, Chaer (2008) secara implisit mengakui adanya derivasi yang
mempertahankan kategori kelas kata.
30
Sesungguhnya, pendapat Chaer mengenai derivasi dan infleksi yang penentuannya
dilakukan dengan pengujian oposisi sejalan dengan pendapat Subroto (2013). Maksudnya,
ketika Chaer menentukan adanya afiks {meN-} yang bersifat derivasi sekaligus infleksi
melalui kemampuan oposisi morfem dasarnya dengan prefiks {di-} dan {ter-}, Subroto juga
menganut hal tersebut. Sebagaimana contoh yang disampaikan oleh Chaer bahwa ketika
sebuah morfem dasar dapat dioposisikan secara kompleks dengan {di-} atau {ter-}, bentuk
kompleks dari morfem dasar tersebut bersifat inflektif bila bergabung dengan prefiks
{meN-}. Begitu pula sebaliknya, jika tidak dapat dioposisikan, prefiks {meN-} yang
bergabung dengan bentuk dasar menjadi derivatif.
Pembagian dua jenis V digunakan oleh Subroto dan Chaer untuk menentukan derivasi
dan infleksi. Dua jenis V yang dimaksud dibagi ke dalam V kelas 1 (V1) dan V kelas (V2).
V1 merupakan V yang sistemnya ditandai dengan kemampuan melekatnya prefiks {meN-}
dan {di-} yang dapat beroposisi. Adapun contoh dari V1 seperti morfem dasar buat yang
dapat menjadi membuat dan dibuat. Kemudian, V2 merupakan jenis V yang sistemnya
ditandai dengan tidak mampunya pelekatan afiks {meN-} dan {di-} yang saling beroposisi.
Adapun contoh dari V2 seperti morfem dasar lari yang tidak dapat menjadi *melari dan
*dilari.
Agar lebih jelas, jika dihubungkan dengan prefiks {ber-}, penentuan derivasi dan
infleksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan pembagian V tersebut. Morfem dasar buat
yang sebelumnya transitif menjadi bentuk kompleks berbuat yang intransitif saat bergabung
dengan prefiks {ber-} dan perubahan tersebut tergolong derivatif. Sebaliknya, morfem dasar lari
bersifat inflektif saat bergabung dengan prefiks {ber-} menjadi bentuk kompleks berlari.
Pembagian dua jenis V inilah yang dimaksud dapat membantu dalam mengklasifikasikan
kaidah struktural derivasi dan infleksi.
31
Wijana (2011: 71-72) menyinggung masalah derivasi dan infleksi pada penjelasan
mengenai fungsi dan makna dalam proses morfologis. Wijana menggolongkan suatu proses
morfologis dikatakan derivatif jika proses tersebut mengalami perubahan kategori.
Sebaliknya, suatu proses morfologis dikatakan inflektif jika prosesnya tidak mengalami
perubahan kategori. Wijana mencontohkan prefiks {pe-} yang bergabung dengan dasar beli
(V) → pembeli (N) digolongkan derivatif dan {pe-} yang bergabung dengan sikat (N) →
penyikat (N) digolongkan inflektif karena tidak mengalami perubahan kategori.
Putrayasa (2010: 103-117) memberikan berbagai bentuk yang menyuratkan fenomena
derivasi dan infleksi secara khusus dalam dua bab bukunya. Dalam rangka menjelaskan ihwal
derivasi dan infleksi, Putrayasa banyak mengutip beberapa pendapat ahli lain seperti Samsuri
(1991). Selanjutnya, Putrayasa memberikan beberapa contoh yang termasuk derivasi dan
infleksi. Derivasi dicontohkan seperti pada gambar (N) + {meN-} → menggambar (V)
sedangkan infleksi dicontohkan seperti camat (N) + {ke-/-an} → kecamatan (N), raja (N) +
{ke-/-an} → kerajaan (N), lurah (N) + {ke-/-an} → kelurahan (N), dan seterusnya
(Putrayasa, 2010: 103 dan 115; bandingkan Subroto, 2012: 15-16).
Linguis Indonesia berikutnya yang menjelaskan morfologi derivasi dan infleksi dalam
bukunya adalah Verhaar (2010) dan Subroto (2012). Kedua linguis tersebut memiliki
kesepakatan dalam memerikan konsep derivasi dan infleksi. Kesepakatan yang dimaksud
yakni pada indikator yang digunakan dalam membedakan dua kasus tersebut. Indikator yang
dimaksud adalah identitas leksikal. Verhaar lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap
pembentukan kata yang mengubah identitas leksikal disebut dengan proses derivasi.
Sebaliknya, jika identitas leksikal dipertahankan dalam proses morfologis maka proses itu
digolongkan sebagai proses infleksi.
32
Verhaar (2010: 143-144) menjelaskan bahwa sebuah kasus disebut derivatif jika
identitas leksikalnya berubah dalam proses morfologis. Perubahan identitas itu ada yang
mengubah kelas kata dan ada juga yang mempertahankan kelas kata. Perubahan identitas
leksikal yang mengubah kelas kata dicontohkan oleh Verhaar seperti bentuk friend (N)
‘teman’ → befriend ‘menjadi teman’ (V) sedangkan perubahan yang mempertahankan kelas
kata dicontohkan dengan friend (N) ‘teman’ → friendship (N) ‘pertemanan’. Kasus yang
inflektif tidak mengubah identitas leksikal. Identitas leksikal yang disebutkan oleh Verhaar
terdiri atas dua asas yakni asas perubahan kategori kelas kata dan asas perubahan makna.
Dalam pada itu, tidak berubahnya kategori tetapi perubahan makna terjadi digolongkan ke
dalam derivasi.
Penting juga disampaikan di sini mengenai istilah yang diberikan untuk asal dan hasil
derivasi berdasarkan kelas katanya. Verhaar (2010: 151) menyebut bahwa setiap asal atau
masukan dan hasil atau keluaran dinamakan sesuai dengan kategori kelas kata. Misalkan
pembentukan pancing (N) → memancing (V). Verhaar menyebut dasar pancing yang
merupakan masukan dalam proses sebagai ‘nominal’ dan memancing sebagai hasil proses
atau keluaran sebagai verba sehingga dinamakan verba denominal. Begitu pula dengan kelas
kata yang lain, akan ditemukan beberapa istilah seperti nomina deverbal, nomina
deadjektival, adjektiva deverbal, dan sebagainya.
Sependapat dengan Verhaar, Subroto lebih memerinci kasus derivasi dan infleksi
sehingga menjadi lebih mudah dipahami. Dalam hal ini, Subroto menggunakan konsep
leksem dalam membedakan keduanya. Setiap perubahan yang mengubah leksem menjadi
leksem yang baru yang otomatis pula mengubah identitas leksikal dasarnya digolongkan ke
dalam proses yang derivasional sedangkan perubahan bentuk dari sebuah leksem yang sama
33
karena tuntutan sintaksis dan mempertahankan identitas leksikal disebut dengan proses yang
infleksional (2012: 10).
Subroto juga menyitir pendapat Verhaar (2010) dengan membagi dua jenis derivasi
berdasarkan perubahan identitas leksikal menjadi derivasi yang mengubah kategori kelas kata
dan derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata. Perubahan baju (N) → berbaju (V)
merupakan derivasi yang mengubah kategori kelas kata sedangkan perubahan raja (N) →
kerajaan (N) merupakan derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata. Semua bentukan
tersebut digolongkan sebagai derivasi karena identitas leksikal berupa fitur-fitur makna yang
dikandung ikut berubah. Perubahan baju (N) → berbaju (V) sudah jelas memperlihatkan
perubahan baik kelas kata maupun fitur maknanya. Perubahan raja (N) → kerajaan (N)
memperlihatkan tidak adanya perubahan kategori. Namun, perubahan dari segi fitur makna
dapat dijelaskan dengan model raja (N-Bernyawa) → kerajaan (N-Tak Bernyawa).
Perbedaan fitur makna yang demikian telah menunjukkan bahwa proses tersebut merupakan
derivasi. Konsep inilah yang dianut dalam penelitian ini.
Dalam menjelaskan infleksi, Subroto juga menggunakan konsep leksem ditambah
dengan keterangan tuntutan sintaksis. Tuntutan sintaksis yang dimaksud oleh Subroto
dicontohkan seperti leksem TEMBAK yang dapat berwujud tembak, menembak, ditembak,
kutembak, kautembak. Agar lebih jelas dapat disajikan beberapa konstruksi kalimat sebagai
berikut.
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
Tembak wanita itu!
Wahyu menembak Alina.
Alina ditembak (oleh) Wahyu.
Alina kutembak dengan secarik kertas biru.
Alina kautembak dengan senyuman.
34
Kemunculan berbagai bentuk leksem TEMBAK tersebut dikarenakan tuntutan kaidah
sintaksis dalam BI. Ketika kalimat yang dimunculkan imperatif, muncul bentuk leksem
TEMBAK pada (6). Ketika kalimat yang dimunculkan deklaratif dengan subjek sebagai
pelaku, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (7). Ketika subjek kalimat merupakan sasaran
dan pelaku bukan orang pertama atau kedua, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (8).
Ketika subjek kalimat sebagai sasaran dan pelaku merupakan orang pertama tunggal, muncul
bentuk leksem TEMBAK pada (9). Ketika subjek kalimat sebagai sasaran dan pelaku adalah
orang kedua tunggal, muncul bentuk leksem TEMBAK pada (10). Fenomena inilah yang
disebut sebagai kemunculan variasi bentuk sebuah leksem dikarenakan tuntutan kaidah
sintaksis. Variasi bentuk itulah yang disebut dengan peristiwa infleksi.
Demikianlah pandangan dari beberapa linguis Indonesia terkait kasus derivasi dan
infleksi. Sebagian besar memang telah menyetujui adanya fenomena derivasi sekaligus
infleksi dalam BI walaupun sebagian menyiratkan harus diadakan penelitian yang lebih
komprehensif. Dengan maksud menguatkan teori yang digunakan sebagai pedoman dalam
penelitian ini, penulis berpedoman pada teori yang telah disampaikan oleh para ahli
morfologi barat dan beberapa teori dari para linguis Indonesia yang sejalan dengannya seperti
Varhaar (2010) dan Subroto (2012).
Pemilihan pendapat para ahli tersebut disebabkan oleh kesamaan suara mengenai
pembedaan derivasi dan infleksi dengan mempertimbangkan perubahan identitas leksikal.
Implikasinya, diketahui derivasi yang mempertahankan kategori kelas kata dan derivasi yang
mengubah kategori kelas kata. Dalam pada itu, keseluruhan ahli -yang dianut pendapatnya
dalam penelitian ini- berpendapat sama bahwa infleksi lebih relevan ke arah sintaksis.
35
1.6.5 Leksem dan Kata
Konsep leksem sebaiknya disandingkan dengan konsep kata dalam bahasa. Subroto
(2012: 17) menyampaikan pengertian kata terdiri atas tiga pembagian yakni kata sebagai kata
fonologis, kata sebagai kata gramatikal, dan kata sebagai leksem. Kata secara fonologis
dilihat berdasarkan fonem-fonem yang menyusunnya baik dari jumlah, jenis, maupun
urutannya. Kata dalam pengertian fonologis dapat dicontohkan dengan bentuk padat dan
dapat. Kedua kata itu merupakan kata yang berbeda karena urutan fonem penyusunnya
berbeda meskipun jenis dan jumlah fonem penyusunnya sama. Jadi, ada kata dapat tersendiri
dan ada kata padat tersendiri secara fonologis.
Pengertian kata yang kedua adalah kata sebagai kata gramatikal. Pengertian kata yang
kedua ini erat kaitannya dengan kasus infleksi yang memperlihatkan variasi bentuk dari
sebuah leksem yang sama. Bentuk sleep, slept, sleeping, sleeps adalah variasi bentuk dari
sebuh leksem yakni SLEEP. Berbagai variasi yang muncul itu merupakan kata yang berbeda
berdasarkan kata dalam pengertian kata gramatikal. Hal tersebut dikarenakan masing-masing
kata tersebut memiliki kedudukan tersendiri dalam konstruksi sintaksis. Kemunculannya
bergantung pada tuntutan sintaksis. Jadi, bentuk-bentuk sleep, slept, sleeping, sleeps masingmasing merupakan kata yang berbeda secara gramatikal tetapi dari leksem yang sama yaitu
SLEEP. Dengan jelas, fenomena infleksi terlihat dalam pengertian kata secara gramatikal.
Selanjutnya, pengertian kata yang ketiga adalah kata sebagai leksem. Telah
disebutkan pada contoh-contoh sebelumnya bahwa bentuk-bentuk sleep, slept, sleeping,
sleeps merupakan variasi dari sebuah leksem yang sama yakni SLEEP. Jadi, kata-kata berupa
sleep, slept, sleeping, sleeps merupakan bentuk-bentuk kata dari sebuah kata yang sama yakni
leksem SLEEP. Pengertian kata yang ketiga ini menyuratkan konsep leksem sebagai satuan
abstrak yang terkecil. Dengan demikian, Subroto menyimpulkan definisi mengenai leksem
36
bahwa leksem merupakan satuan abstrak hasil abstraksi dari paradigma infleksional sebuah
bahasa yang terkecil, baik itu simpel maupun kompleks (Subroto, 2012: 19).
Dengan demikian, telah jelas bahwa konsep leksem dan kata sangat berkaitan erat
dengan konsep derivasi dan infleksi. Pengertian kata secara gramatikal membantu dalam
memahami infleksi. Pengertian kata secara leksikal atau leksem membantu dalam memahami
derivasi.
1.6.6 Konversi
Beberapa ahli morfologi dunia menggolongkan konversi ke dalam beberapa tipe lain
dari proses morfologis. Katamba, (1993: 54) menjelaskan bahwa ada sebuah strategi
alternatif pembentukan kata yang umumnya digunakan di dalam bahasa Inggris Kata-kata
bisa dibentuk tanpa mengubah bentuk dari kata input yang diketahui sebagai dasar. Katamba
menyebut fenomena tersebut dengan konversi. O’Grady and Dobrovolsky (1992: 133)
memerikan konversi sebagai proses yang menempatkan sebuah kata yang sudah ada ke dalam
sebuah kategori sintaktis yang baru. Meskipun proses tersebut tanpa menambahkan sebuah
afiks, konversi menyerupai proses derivasi dikarenakan perubahan dalam kategori.
Karenanya konversi kadang-kadang disebut zero derivation.
Lieber (2004: 89) juga membahas fenomena konversi di dalam bukunya. Lieber
menyebutkan bahwa konversi merupakan fenomena pembentukan kata dari sebuah kategori
leksikal ke kategori leksikal lainnya dengan jelas tanpa melalui perubahan bentuk. Pendapat
Lieber ini semakin menguatkan bahwa peristiwa konversi juga merupakan bagian dari
derivasi disebabkan oleh adanya perubahan kategori leksikal berikut identitas dalam
prosesnya.
37
Selaras dengan para ahli tersebut, Alwi dkk. (2003: 35) menyebut konversi dengan
istilah keanggotaan ganda. Istilah yang dimaksudkan oleh Awi dkk. ini bahwa ada beberapa
kata yang termasuk dalam dua kelas kata yang berbeda. Kata-kata yang dimaksud seperti
cangkul, gunting, dan jalan. Kata-kata tersebut dapat berperilaku sebagai V sekaligus dapat
berperilaku sebagai N. Dengan maksud memperjelas pendapatnya, Alwi dkk. mencontohkan
keanggotaan ganda tersebut salah satunya dalam contoh sebagai berikut. Kata cangkul pada
kalimat (a) merupakan N sedangkan cangkul pada kalimat (b) merupakan V.
a. Kami perlu cangkul (N).
b. Ladang itu belum kami cangkul (V).
Pendapat beberapa ahli tersebut kiranya lebih jelas dengan menyitir pengertian
konversi yang disampaikan oleh Kridalaksana. Kridalaksana (2008: 247) dalam kamusnya
menyebut konversi dengan transposisi sebagai sebuah proses sekaligus hasil perubahan
fungsi tanpa penambahan apapun seperti membaca (V) dan membaca (N). Perubahan yang
tanpa penambahan apapun oleh Kridalaksana bukan berarti tanpa kejadian apapun kemudian
kategori kelas bentuk tersebut berubah. Terkait hal tersebut, Parera (2010) menjelaskan
bahwa sebuah kata dapat berpindah kelas berdasarkan distribusinya secara sintaksis.
Pernyataan ini dapat dijelaskan dengan contoh yang diberikan oleh Kridalaksana sebelumnya
sebagai berikut.
(11) Tweetwood membaca buku.
(12) Membaca buku adalah hobi Tweetwood.
Kata membaca pada (11) berkategori V dan menduduki fungsi predikat dalam
konstruksi kalimat sedangkang membaca pada (12) berkategori N dan menduduki fungsi
subjek. Berdasarkan hal tersebut, cukup jelas bahwa perubahan kategori kelas kata yang
terjadi melalui transposisi adalah tanpa melalui penambahan apapun secara morfologis tetapi
38
melalui perubahan distribusi dalam sintaksis. Penambahan sesuatu secara morfologis juga ada
yang menyebabkan perubahan kategori kelas kata. Sesuatu itu adalah morfem afiks. Dengan
demikian, ada perubahan kelas kata secara morfologis melalui morfem afiks yang disebut
dengan derivasi dan ada pula perubahan kelas kata secara sintaksis yang juga tergolong ke
dalam proses yang derivasional yang disebut dengan konversi.
1.6.7 Sifat dan Makna V
Chafe (1970: 96) menyatakan bahwa kedudukan V dengan melihat sifat-sifat
semantisnya adalah sentral dalam sebuah konstruksi sintaksis. Chafe mengakui bahwa dalam
sebuah konstruksi selalu terdapat beberapa elemen yang membentuknya. Elemen yang
disebut oleh Chafe tersebut adalah elemen berupa predicate yang bersifat sentral dan elemen
yang mendampingi predicate yang disebut elemen peripheral –Chafe menyebut V sebagai
predicate dan N sebagai peripheral–. Selanjutnya, Chafe mengunakan istilah V sebagai
predicate dan N sebagai argument. Kedudukan V yang bersifat sentral bersifat menentukan
keberadaan argumen pendampingnya.
Sampai pada tahap ini, penting untuk diketahui beberapa sifat semantis V sebagai
sentral yang disebut oleh Chafe tersebut. Chafe membagi sifat-sifat semantis V menjadi
beberapa subkelas. Chafe (1970: 95-104) pada awalnya, membagi empat subkelas V menjadi
(1) V keadaan (state), (2) V proses (process), (3) V aksi (action), dan (4) V aksi proses
(action and process).
V keadaan (state) dapat diidentifikasi sebagai V yang menyatakan keadaan tertentu
seperti kering, patah, dan mati. V proses dapat diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan
‘apa yang terjadi pada N’. V proses ini menyatakan perubahan keadaan sebuah N seperti
mengering, meluas, dan bertambah. Selanjutnya, V aksi dapat diidentifikasi dengan
39
pengajuan pertanyaan ‘apa yang dilakukan oleh N’. Artinya, V aksi selalu menunjukkan
perbuatan V-nya seperti bernyanyi, berlari, dan tertawa. Terakhir, V yang mengandung sifat
aksi sekaligus proses yang disebut V aksi-proses dapat diidentifikasi dengan pengajuan
pertanyaan ‘apa yang dilakukan N dan apa yang terjadi pada N’. V aksi-proses ini merupakan
V yang berwatak transitif sehingga mewajibkan kehadiran dua buah N atau argumen.
Argumen (N) pertama mengisi fungsi subjek dan argumen (N) kedua mengisi fungsi objek. V
aksi-proses ini seperti menatap, memukul, dan membuang.
Berikutnya, Chafe (1970: 101-102) menyatakan adanya sifat semantis V yang
disebutnya sebagai V ambien (ambient). V ambien yang disebut Chafe merupakan V yang
berupa predikat dalam bahasa Inggris seperti It’s hot, It’s late, dan It’s Tuesday. Kehadiran
argumen It pada konstruksi tersebut oleh Chafe disebut sebagai argumen yang hadir hanya
pada struktur permukaan saja tanpa memiliki sifat tertentu dalam struktur semantis.
Tampubolon (dalam Suhandano 1991: 15) tidak mengakui adanya V ambien karena
fenomena semacam It oleh Chafe sebelumnya tidak terdapat dalam semua bahasa termasuk
BI. Namun, argumen It yang disampaikan oleh Chafe tersebut juga menyatakan sesuatu yang
dapat digolongkan sebagai penderita ketika mendampingi predikat dalam konstruksi. Oleh
karena itu, Tampubolon juga mengakui –karena argumen pendamping V proses dan V
keadaan adalah berperan penderita– adanya V ambien proses dan V ambien keadaan. Dengan
demikian, pembagian subkelas V yang disampaikan oleh Chafe menjadi enam yakni (1) V
keadaan, (2) V proses, (3) V aksi, (4) V aksi-proses, (5) V ambien keadaan, dan (6) V ambien
proses.
Dardjowidjojo (1993: 114) juga menggunakan pendekatan yang digariskan oleh
Chafe dalam tulisannya. Dardjowidjojo –dengan mengikuti pandangan Chafe– juga
menekankan kesentralan kata kerja (V) yang sangat mempengaruhi kehadiran dan sifat N
40
yang mendampinginya. Selanjutnya, kata kerja oleh Dardjowidjojo dibagi menjadi kata kerja
yang meliputi keadaan, proses, perbuatan, dan pengrasaan (eksperiential).
Dalam pada itu, Dardjowidjojo juga menjelaskan bahwa kata kerja keadaan
merupakan kata kerja yang menyatakan seseorang dalam keadaan tertentu. Kata kerja proses
disebutnya sebagai kata kerja yang memperlihatkan perubahan keadaan. Kata kerja proses ini
dapat menjawab pertanyaan ‘apa yang terjadi pada kata benda’. Kemudian, kata kerja
perbuatan merupakan kata kerja yang menyatakan perbuatan atau aktivitas yang dilakukan
oleh seseorang. Kata kerja perbuatan merupakan kata kerja yang dapat menjawab pertanyaan
‘apa yang dilakukan oleh kata bendanya. Terakhir, kata kerja pengrasaan merupakan kata
kerja yang menyebabkan seseorang mengalami periatiwa atau keadaan tertentu di luar
kemampuannya.
Berikutnya, senada dengan Chafe, Dardjowidjojo juga menyatakan kesentralan kata
kerja yang menentukan kehadiran kata benda yang mendampinginya memiliki hubunganhubungan di antara keduanya. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan mengenai sifat
atau peran kata benda ketika mendampingi kata kerja. Peran kata tersebut seperti peran
pelaku, yakni peran kata benda yang memelatuk suatu perbuatan; peran penderita, yakni
peran kata benda yang menderita keadaan tertentu yang disebutkan oleh kata kerjanya; dan
peran pengrasa, yakni peran kata benda yang merasakan kejadian atau fenomena tertentu
(1993: 116).
Ahli berikutnya yang membahas sifat semantis kata kerja serta hubungannya dengan
kata benda adalah Samsuri. Samsuri (1991: 352-360) –dengan berpedoman pada teori Chafe–
merumuskan berbagai sifat semantis V dalam BI. Berbeda dengan Chafe yang menggariskan
adanya 6 sifat semantis V dalam bahasa Inggris, Samsuri merumuskan 8 sifat semantis V
yang dimungkinkan dalam BI –Samsuri menyebut sifat semantis sebagai satuan semantis–.
41
Satuan semantis yang dirumuskan oleh Samsuri yakni (1) keadaan, seperti kering,
mati, dan erat; (2) proses, seperti mengering, memecah, dan menebal; (3) kegiatan, seperti
lari, menyanyi, dan membaca; (4) proses kegiatan, seperti mengeringkan dan membunuh; (5)
keadaan sekitar, seperti panas, malam, dan Sabtu; (6) kegiatan sekitar, seperti hujan dan
banjir; (7) kegiatan refleksif, seperti bercukur dan berdandan; serta (8) kegiatan jamak,
seperti bergocoh dan bertinju. Satuan semantis (1) – (6) terlihat sama dengan yang telah
digariskan oleh Chafe. Tambahan sesuai data dalam BI terlihat pada (7) dan (8).
Selanjutnya, sifat semantis V pada BI juga disampaikan oleh Ermanto (2008).
Ermanto (2008: 78-79) memodifikasi pembagian V oleh Chafe dengan maksud
menyesuaikannya dengan sifat semantis V pada BI. Ermanto memodifikasi pembagian
subkelas V menjadi (1) V keadaan yang terbagi menjadi dua yakni V keadaan dan V keadaan
perasaan, (2) V proses, (3) V perbuatan, dan (4) V tindakan.
Adapun uraian Ermanto terkait dengan fitur-fitur semantis yang membedakan
subkelas V hasil modifikasi tersebut sebagai berikut.
________________________________________________________________________
No.
Subkelas V
Fitur Semantis
Transitivitas
Fungsi dan Peran
________________________________________________________________________________
1
V Keadaan:
V Keadaan
‘keadaan situasi
V intransitif
S= objektif/pengrasa
objektif’
Ia ada di rumah.
V Keadaan Perasaan
‘keadaan, perasaan,
Ayah cinta kepada Ani.
pengrasa’
_______________________________________________________________________________
2
V Proses
‘kejadian, proses,
V intransitif
S= objektif/pengalam
objektif’
Gela situ jatuh. (Inannimate)
‘kejadian, proses
Adik jatuh. (Annimate)
pengalam’
________________________________________________________________________________
3
V Perbuatan
‘perbuatan, aktor’
V Intransitif
S= aktor
Anak itu sudah pulang.
________________________________________________________________________________
42
4
V Tindakan
‘agen, tindakan,
pasien’
V Transitif
S= agen
O= pasien
Polisi memukul penjahat.
Ayah mengangkat batu.
________________________________________________________________________________
Ermanto mengidentifikasi makna yang dikandung oleh V hampir sama dengan
beberapa ahli sebelumnya. V keadaan diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan ‘subjek
dalam keadaan apa’. V perbuatan diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan ‘apa yang
dilakukan oleh subjek’. V proses diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan ‘apa yang
sedang terjadi pada subjek’. V tindakan diidentifikasi dengan pengajuan pertanyaan ‘apa
yang dilakukan subjek terhadap objek’.
Dengan merujuk kepada teori tersebut, perubahan yang derivasional tanpa mengubah
kategori kelas kata dapat dijelaskan. Penjelasan yang dimaksud tentunya dengan penjelasan
perubahan identitas leksikal berupa pengujian fitur semantisnya. Sebagaimana secara khusus
pada V perubahan identitas leksikal dapat ditentukan berdasarkan pembagian subkelas
katanya.
Berdasarkan subkelas itu pula dapat dijelaskan bahwa perubahan yang derivasional
dapat mengubah subkelas V keadaan, V proses, dan V perbuatan (V intransitif) menjadi V
tindakan (V transitif) seperti pada morfem dasar ada, pecah, dan pulang → adakan,
pecahkan, pulangkan. Begitu pula sebaliknya dapat mengubah V tindakan menjadi V
perbuatan seperti pada ajar → belajar. Selain itu, derivasi yang mempertahankan kategori
kelas kata juga dapat menambahkan fitur-fitur semantis yang lain seperti benefaktif, direktif,
iteratif, resiprokal, dan semacamnya seperti pada bentukan beli (V tindakan) → belikan (V
tindakan benefaktif) (lihat Ermanto, 2008: 80-83).
Akhirnya, keseluruhan uraian sifat semantis V yang telah diuraikan di atas berada
dalam satu prinsip yang sama. Dengan demikian, uraian sifat semantis yang digunakan dalam
43
penelitian ini dalam rangka membahas BSDSB adalah sifat semantis yang telah diuraikan
oleh Ermanto. Penelitian ini menggunakan istilah makna V untuk menyebut pembagian V
oleh Chafe yang telah dimodifikasi oleh Ermanto. Pemilihan tersebut didasarkan pada
kemudahan dalam pengklasifikasian serta kesamaan maksud penelitian yang lebih dominan
membahas makna V turunan atau V bentuk kompleks.
1.6.8 Kelas Kata
Pembagian kelas kata dalam penelitian ini mengikuti sistem dan prinsip pembagian
kelas kata yang disampaikan oleh Kridalaksana. Kridalaksana (2009: 22) mempergunakan
istilah verba, adjektiva, nomina, dan seterusnya. Penyebutan kelas kata dengan kata kerja,
kata benda, dan kata sifat agak dikesampingkan. Penyebutan tersebut dihindari karena lebih
bersifat ekstralingual.
Kridalaksana memberikan alasan yang sangat logis mengenai hal tersebut. Pertama,
penggunaan istilah kerja akan memberi sugesti bahwa kategorisasi hanya sampai pada batas
kata padahal tataran di atasnya juga perlu pengkategorisasian yang serupa. Kedua, pemakaian
istilah verba, nomina, dan adjektiva akan memudahkan dalam pembentukan istilah turunan
seperti verbalisasi, nomina deverbal, verba deadjektival, dan semacamnya. Ketiga, istilah
benda, kerja, sifat merupakan istilah kategori pada ranah kehidupan di luar bahasa. Istilah
verba, nomina, dan adjektiva merupakan istilah yang berlaku dalam gramatika.
Pembagian kelas kata yang diberikan oleh Kridalaksana yakni (1) verba, (2) adjektiva,
(3) nomina, (4) pronominal, (5) numeralia, (6) adverbial, (7) interogativa, (8) demonstrativa,
(9) artikula, (10) preposisi, (11) konjungsi, (12) kategori fatis, dan (13) interjeksi. Pembagian
kategori kelas kata oleh Kridalaksana dipilih dengan alasan kelengkapan dan cakupan yang
luas. Namun, kategori kelas kata dalam BSDSB -terutama dalam kajian derivasi ini- tentu
44
tidak mencakup seluruh kategori yang telah dikemukakan di atas. Kategori kelas kata dalam
BSDSB yang menjadi bagian pembahasan dalam penelitian ini hanya mencakup verba (V),
nomina (N), adjektiva (A), numeralia (Num.), pronomina (Pron.), dan adverbia (Adv.).
Adapun penjelasan dari masing-masing kategori kelas kata tersebut sebagai berikut.
1.6.8.1 Verba
V merupakan salah satu kategori kelas kata yang dapat didampingi kata tidak dalam
konstruksi frase dan tidak dapat didampingi oleh preposisi di, ke, dari, sangat, lebih, dan
agak (Kridalaksana, 2008:254). Secara morfologis V dapat dibedakan menjadi dua jenis
yakni V dasar dan V turunan. V dasar merupakan V yang belum dilekati oleh afiks tertentu
seperti lari, makan, tidur, dan bangun sedangkan V turunan merupakan V yang telah dilekati
afiks tertentu dalam proses afiksasi seperti bentukan berlari, memakan, meniduri, dan
membangunkan.
Berdasarkan konsep sintaksis, V bertindak sebagai bagian yang paling penting dan
dominan dalam konstruksi kalimat. Setiap konstruksi kalimat hampir mewajibkan kehadiran
V sebagai konstituennya. Hadirnya V juga menjadi patokan hadirnya N sebagai argumen
pendampingnya. Sebagai konstituen yang biasanya mengisi fungsi predikat, V berhak
menentukan konstituen di sebelah kiri dan kanannya termasuk jumlah konstituen tersebut.
Hal inilah yang dimaksud dengan transitivitas V dalam sintaksis.
Sifat V dalam BSDSB hampir sama dengan sifat V dalam BI. Pengujian sebuah
bentuk yang tergolong V dalam BSDSB dilakukan dengan menambahkan kata muntu
‘sedang’ di depan V pada kalimat deklaratif dan menambahkan kata ngaro ‘tolong’ di depan
V pada kalimat imperatif. Secara morfologis, pengujian V juga dapat dilakukan dengan
meletakkan negasi nongka ‘tidak’ di depan V tersebut. Beberapa contoh V dalam BSDSB
45
berupa bentuk dasar seperti mole ‘pulang’ dan berupa bentuk turunan seperti balangan
‘berjalan’.
1.6.8.2 Nomina
N merupakan kategori yang secara sintaksis (1) tidak mempunyai potensi untuk
bergabung dengan partikel tidak, (2) mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari
(Kridalaksana, 1994: 68). Alwi dkk. (2003: 213) secara lebih lengkap menyebutkan bahwa
kelas kata N dapat ditelusuri dengan melihatnya dari sudut pandang sintaksis, segi semantis,
dan segi bentuk. Dari segi semantis, N merupakan kata-kata yang mengacu pada manusia,
binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Kata-kata tersebut seperti kucing, guru, meja,
dan kebangsaan.
Selanjutnya, dari segi sintaksis, N dapat ditentukan berdasarkan beberapa ciri seperti
(1) dalam kalimat yang predikatnya V, N cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau
pelengkap seperti bunga pada kalimat Bunga itu ditanam sebulan lalu; (2) N tidak dapat
diingkarkan dengan kata tidak tetapi dapat diingkarkan dengan kata bukan seperti pada
konstruksi *tidak semut seharusnya bukan semut; (3) N umumnya dapat diikuti oleh kelas
kata A, baik secara langsung maupun diantarai oleh kata yang seperti buku pada frase buku
yang baru. Kemudian, dari segi bentuknya secara morfologis, N dibagi menjadi N yang
berbentuk dasar dan N yang berbentuk turunan.
Peneliti BSDSB, Seken dkk. (1990: 105) menggolongkan N sebagai semua kata yang
menunjukkan benda atau yang dibendakan. Dalam hal ini, Seken dkk. membagi N menjadi N
dasar dan N turunan. N dasar dicontohkan dengan morfem dasar seperti bale ‘rumah’, rau
‘ladang’, tepung ‘jajan’, dan kebo ‘kerbau’. N turunan dicontohkan dengan bentuk kompleks
46
seperti kangada ‘perihal ada’, parenti ‘pegangan’, dan rasate ‘keinginan’. Pengujian terhadap
N dalam BSDSB dapat dilakukan dengan menambahkan negasi siong ‘bukan’ di depan N.
1.6.8.3 Adjektiva
A merupakan kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung
dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih,
sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti -er (honorer), -if
(sensitif), -i
(alami), atau (5) dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an seperti adil – keadilan,
halus – kehalusan, dan yakin – keyakinan (Kridalaksana, 1994: 59).
Alwi dkk. (2003: 171) menyatakan bahwa A merupakan kata yang menjadi
keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh N dalam kalimat. A yang
menjadi keterangan yang dimaksud itu berfungsi atributif. Keatributifannya memberi
keterangan tingkat kualitas atau keanggotan dalam suatu golongan. Beberapa contoh kata
yang memberikan kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan itu seperti berat, merah,
kecil, bundar, gaib, dan ganda. Selanjutnya, A juga dapat berfungsi sebagai predikat dalam
kalimat. Fungsi tersebut dapat mengacu ke suatu keadaan tertentu seperti mabuk, sakit,
basah, baik, dan sadar.
Alwi dkk. (2003) juga menyatakan bawah A juga dapat dicirikan oleh
kemungkinannya menyatakan tingkat kualitas dan tingkat bandingan acuan N yang
diterangkannya seperti penegasan dengan kata sangat dan agak sebelum A. Adapun tingkat
bandingan lainnya dinyatakan dengan pemakaian kata lebih dan paling.
Seken dkk. (1990: 109-110) menyebutkan bahwa secara semantis A merupakan kata
yang menunjukkan sifat atau keadaan (keadaan benda atau kejadian). Secara morfologis, A
tidak terlalu dapat didentifikasikan lebih jauh sedangkan secara sintaksis A adalah unsur inti
47
frase adjektiva. Adapun contoh A dalam BSDSB seperti morfem dasar angat ‘hangat’, lesik
‘kotor’, peno ‘banyak’, dan puti ‘putih’ dan bentuk kompleks seperti rangkonye ‘suka
cerewet’ dan ranilik ‘suka mengintip’. Pengujian terhadap A sendiri dalam BSDSB dapat
dilakukan dengan menambahkan adverbia keras ‘sangat’ dan paling ‘paling’ di depan A
tersebut.
1.6.8.4 Numeralia
Num merupakan kategori yang dapat (1) mendampingi N dalam konstruksi sintaksis,
(2) mempunyai potensi untuk mendampingi Num lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan
tidak atau dengan sangat (Kridalaksana, 1994: 79).
Alwi dkk. (2003: 275) menyebut Num sebagai kata bilangan yang digunakan untuk
menghitung jumlah wujud seperti orang, binatang, atau barang dan konsep. Contoh Num
seperti lima, setengah, dan beberapa pada frase lima orang, beberapa kesempatan, dan
setengah hari. Alwi dkk. membagi dua jenis Num yakni (1) Num pokok, yang memberi
jawaban atas pertanyaan “Berapa?” dan (2) Num tingkat, yang memberi jawaban atas
pertanyaan “Yang ke berapa?”.
Kategori Num sulit diidentifikasikan secara semantis dan morfologis dalam BSDSB.
Kategori ini hanya jelas jika sifatnya diidentifikasikan secara sintaksis. Beberapa contoh
kategori Num dalam BSDSB seperti sai ‘satu’, empat ‘empat’, sapulu ‘sepuluh’ sebagai
contoh dari Num. pokok dan kabalu ‘kedelapan’ dan kalima ‘kelima’ sebagai Num tingkat.
1.6.8.5 Adverbia
Adv merupakan kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia, atau
proposisi dalam konstruksi sintaksis (Kridalaksana, 1994: 81). Alwi dkk. (1990: 197)
menyebutkan bahwa perlunya pembedaan antara Adv Pada tataran frase dengan Adv Pada
48
tataran klausa. Pada tataran frase, Adv adalah kata yang menjelaskan V, A, atau Adv lain
seperti pada contoh Adv sangat menjelaskan V pada kalimat Ia sangat mencintai istrinya,
Adv selalu menjelaskan A pada kalimat Ia selalu sedih setelah kepergian pamannya, dan
Adv hampir menjelaskan Adv pada kalimat Ia hampir selalu dimarahi oleh gurunya.
Pada tataran klausa, Adv bertindak menjelaskan fungsi-fungsi sintaksis. Oleh karena
itu, fungsi yang sering diwatasi oleh Adv biasanya adalah fungsi predikat. Predikat dalam BI
biasanya diisi oleh kategori seperti V dan A. Namun, Adv juga dapat bertindak dalam
mewatasi beberapa kategori lainnya dalam fungsi sintaksis selain kategori pada fungsi
predikat tersebut. Kategori yang dimaksud seperti mewatasi N misalnya Adv saja dalam
konstruksi Guru saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini dan mewatasi Num. seperti dalam
konstruksi Saya hampir sepuluh kali tenggelam dalam kali itu.
Contoh Adv dalam BSDSB hampir sama dengan yang terdapat dalam BI. Adapun
contoh Adv dalam BSDSB seperti bentuk muntu ‘sedang’, nopoka ‘belum’, dan tone ‘tadi’.
Namun, dalam BSDSB kategori Adv tidak terlalu banyak yang dapat disertakan dalam proses
morfologis terkait pembentukan kata.
1.7
Metode Penelitian
1.7.1 Metode Penyediaan Data
Penyediaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan fenomena
kebahasaan yang menyuratkan bentuk-bentuk kompleks dalam morfologi BSDSB. Bentuk
kompleks yang dikumpulkan adalah bentuk yang dapat dipecahkan menjadi beberapa bagian
yakni bagian berupa afiks dengan bagian yang berupa bentuk dasar dalam BSDSB. Kedua
bentuk inilah yang menjadi bahan dalam kajian penelitian ini.
49
Pengumpulan bentuk itu direalisasikan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan
menyimak fenomena kebahasaan baik lisan maupun tulisan yang digunakan oleh para
penutur BSDSB. Kegiatan yang demikian itu disebut dengan metode simak dalam tahapan
penyediaan data. Selanjutnya, penyimakan dilakukan dengan teknik sadap yang beroperasi
dengan melakukan penyadapan terhadap kegiatan berbahasa para penutur. Penyadapan
dilakukan dengan tanpa terlibat dalam suasana percakapan penutur tersebut. Artinya, peneliti
hanya hadir dalam momentum kegiatan berbahasa para penutur tanpa terlibat langsung
melakukan percakapan (Sudaryanto, 1993: 133).
Selain data-data yang diperoleh dari metode simak, penelitian ini juga memanfaatkan
metode introspektif sebagai lumbung data. Mahsun (2012: 104) menyebut metode ini sebagai
metode penyediaan data melalui kekuatan intuisi kebahasaan seorang peneliti yang kebetulan
meneliti bahasa yang menjadi bahasa ibunya sendiri. Sebagaimana disebutkan, metode ini
digunakan karena peneliti merupakan penutur asli bahasa yang diteliti. Namun, pelaksanaan
metode ini juga tetap melibatkan informan demi menjaga objektivitas data. Maksudnya, datadata yang diciptakan oleh peneliti tidak sekadar diterima kemudian langsung digunakan
sebagai bahan analisis. Data-data tersebut kembali ditanyakan kepada informan yang
tepercaya sebagai validator. Perlakuan yang demikian semata-mata demi keobjektifan data
yang akan dianalisis (Djajasudarma, 2006: 19).
Di atas telah disebutkan bahwa metode introspektif menjadi salah satu yang sangat
diandalkan dalam penyediaan data. Implikasinya adalah keharusan melakukan proses validasi
kepada informan tepercaya yakni penutur BSDSB itu sendiri. Dengan demikian, metode
cakap dengan teknik dasar pancing juga harus dilakukan untuk mendukung pelaksanaan
seluruh proses tersebut. Metode cakap digunakan atas keharusan terlibatnya peneliti dalam
berkomunikasi langsung dengan informan dalam rangka memvalidasi data. Percakapan
50
dilakukan selain menanyakan kembali data yang telah dibuat dalam bentuk instrumen juga
melakukan pancingan-pancingan untuk memunculkan data baru. Data-data baru yang luput
dari ciptaan peneliti itu kemudian dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel data yang telah
disediakan (Mahsun, 2012: 95-96).
1.7.2 Metode Penganalisisan Data
Model analisis yang digunakan dalam rangka penganalisisan data dalam penelitian ini
disesuaikan dengan variabelnya yakni derivasi. Data-data berupa kata kompleks yang telah
tersedia pada tabel data kemudian diklasifikasikan dengan memisahkan morfem afiks dengan
bentuk dasarnya. Morfem afiks dimasukkan ke dalam tabel tersendiri dan bentuk dasar juga
dimasukkan ke dalam tabel tersendiri. Bentuk dasar itu kemudian diberi keterangan berupa
kategori kelas katanya. Keterangan kategori kelas kata diberikan kepada bentuk dasar yang
menjadi dasar bentukan sebelumnya juga kepada bentuk kompleks sebagai akibat
bergabungnya morfem afiks. Hal ini dilakukan untuk mengecek peristiwa yang mengubah
kategori kelas kata dengan yang mempertahankan kategori kelas kata.
Setelah seluruhnya diberi keterangan kategori kelas kata, selanjutnya, dilakukan tes
atau pengujian perubahan identitas leksikal yang diajukan oleh Verhaar (1975, dalam
Ermanto, 2008: 112). Pengujian ini dimaksudkan sebagai penentu penggolongan proses mana
yang termasuk derivasi dan proses mana yang termasuk infleksi. Hal ini berdasarkan pada
landasan teori yang telah digariskan bahwa penentuan derivasi ataukah infleksi adalah
melalui indikator berubah atau tidaknya identitas leksikal.
Adapun pengujian perubahan identitas leksikal tersebut dilakukan dengan tiga
tahapan yaitu: (1) tes kategori kelas kata, (2) tes penguraian fitur semantis (dekomposisi
leksikal oleh Verhaar), dan (3) tes struktur sintaksis. Ketiga tes tersebut dilalui bertahap
51
sesuai dengan urutannya. Jika tes pertama terpenuhi, sudah dapat dipastikan bahwa proses
tersebut merupakan derivasi (dikarenakan jelasnya perubahan kategori kelas kata). Jika tes
pertama meragukan (terdapat kategori kelas kata yang serupa), tes kedua dengan penguraian
fitur-fitur semantis dilakukan untuk menjelaskan perbedaan identitas leksikal. Selanjutnya,
tes ketiga berupa pengujian menggunakan konstruksi sintaksis hanya bersifat memantapkan
keputusan.
Dengan maksud memperjelas maksud di atas, tes kategori kelas kata (1) dilakukan
pertama kali untuk menentukan perubahan kategori kelas katanya. Jika kategori kelas kata
berubah misalkan pada bentukan lukit (N) ‘kulit’ → balukit (V) ‘berkulit’, proses tersebut
langsung dikategorikan ke dalam proses yang derivasional mengingat perubahan kategori
kelas kata berimplikasi pada perubahan identitas leksikal.
Selanjutnya, jika ditemukan perubahan yang tidak mengubah kategori kelas kata
(kelas kata dipertahankan seperti V→V), tes kedua (2) harus dilakukan yakni dengan
melakukan uji penguraian fitur semantis antara dasar dengan turunan. Jika fitur semantis
antara dasar dan turunannya ditemukan perbedaan, perubahan tersebut tergolong
derivasional. Sementara, jika fitur semantisnya terlihat serupa serta tidak terjadi perubahan,
perubahan tersebut tergolong infleksional. Hal ini didasarkan pada perubahan fitur-fitur
semantis berbanding lurus dengan berubahnya makna dan referen (identitas leksikal) antara
dasar dan turunan. Berikutnya, tes ketiga (3) yang menggunakan konstruksi sintaksis
diperlukan untuk memerikan sifat bentuk dasar menjadi bentuk turunan karena pelekatan
afiks tertentu.
Dengan maksud memperjelas ketiga tes di atas, data-data berikut ini disajikan.
(1) guru
(2) lukit
(3) do
‘guru’
‘kulit’
‘jauh’
(N)
(N)
(A)
→
→
→
(V)
(V)
(V)
baguru
balukit
baredo
‘berguru’
‘berkulit’
‘berjauhan’
52
(4) tanam ‘menanam’
(V-T Tindakan)
(V)
→
(V)
nanam ‘kegiatan menanam’
(V-I Perbuatan)
Data tersebut memperlihatkan bentuk dasar tokal, lukit, do, dan pulu masing-masing
merupakan V, N, dan A berbeda dengan turunannya yakni katokal, balukit, baredo, dan
rapulu yang seluruhnya berupa V pada (1) – (3). Perbedaan kategori kelas kata pada oposisi
tersebut membuktikan adanya perbedaan identitas leksikal. Dengan demikian, oposisi
tersebut digolongkan ke dalam perubahan yang derivasional. Sejalan dengan itu, afiks {ba-}
dalam proses tersebut merupakan afiks yang derivasional.
Begitu juga dengan oposisi tanam >< nanam pada (4) yang memperlihatkan
perubahan identitas leksikal dari V yang berwatak transitif dan bermakna tindakan sehingga
mewajibkan kehadiran peran agen (pelaku) dan pasien (penderita) berubah identitasnya
menjadi V yang berwatak intransitif serta bermakna perbuatan sehingga hanya mewajibkan
kehadiran peran agen saja. Oposisi tersebut tidak memperlihatkan perubahan kategori kelas
kata tetapi identitas leksikalnya berubah berdasarkan uji penguraian fitur semantis. Dengan
demikian, perubahan tersebut digolongkan derivasi. Dalam pada itu, afiks {N-} dalam proses
tersebut merupakan afiks derivasional.
Agar lebih mantap, pengujian dengan tes ketiga menggunakan konstruksi kalimat juga
dapat dilakukan seperti pada konstruksi kalimat (13) dan (13a) berikut ini.
(13)
Bibi
muntu tanam
baso
pang keban.
S: Pel. Asp. P: V-TT O: Pen Ket.
Bibi sedang menanam jagung di kebun.
(13a) Bibi
muntu nanam pang keban.
S: Pel. Asp.
P: V-IP Ket.
Bibi sedang menanam (sesuatu) di kebun.
53
V tanam ‘menanam’ pada konstruksi (13) merupakan V yang berwatak transitif serta
bermakna tindakan. Karena bermakna tindakan, V pada konstruksi tersebut mengharuskan
kehadiran argumen pengisi subjek dan argumen pengisi objek sekaligus. Sementara itu, pada
konstruksi (13), V yang menduduki fungsi predikat merupakan V yang bermakna perbuatan
sehingga berwatak intransitif. Hal ini menyebabkan V tersebut hanya membutuhkan sebuah
argumen pendamping yang mengisi fungsi subjek. Dengan demikian, kedua oposisi tersebut
digolongkan sebagai derivasi karena telah berbeda identitas leksikalnya.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Penganalisisan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terkait penyajian hasil penganalisisan
data yakni metode informal dan metode formal. Metode informal dimaksudkan sebagai
metode yang menyajikan kaidah-kaidah hasil analisis dengan menggunakan kata-kata biasa
(periksa Sudaryanto, 1995:145). Dengan langsung membaca, orang akan langsung paham
maksud yang tengah disampaikan.
Metode formal dimaksudkan sebagai metode yang menyajikan hasil analisis data
dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 2007:123). Aplikasi
metode formal dalam penelitian ini berisi beberapa lambang morfem berupa {…} seperti
pada {ba-}, tanda-tanda tertentu dalam pengkaidahan seperti “→” untuk melambangkan
“menjadi atau hasil” serta ‘….’ sebagai pengapit padanan dalam bahasa Indonesia dan
sebagainya.
1.8
Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi enam bab yang akan dijabarkan rinciannya dalam
subbab-subbab. Bab pertama adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan
54
metode penelitian. Bab kedua berisi uraian mengenai jawaban atas rumusan masalah yang
pertama yakni proses derivasi pembentukan V dari N. Bab ketiga berisi uraian mengenai
jawaban rumusan masalah yang kedua yakni proses derivasi pembentukan V dari A. Bab
keempat berisi uraian mengenai jawaban atas rumusan masalah yang pertama yakni proses
derivasi pembentukan V dari V. Bab kelima berisi uraian mengenai jawaban atas rumusan
masalah yang pertama yakni proses derivasi pembentukan V dari Pron, Num, dan Adv.
Terakhir, bab enam berisi penutup yang terdiri atas simpulan dan saran.
Download