HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA

advertisement
HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA KARIR
DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(PerspektifHukum Islam danHukumPositif)
SKRIPSI
Diajukan untuk Mempenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
NABILA ALHALABI
NIM :1111044100020
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( AH W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan
dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan motivasi
dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan
tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-beda dapat
diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan
teman-teman penulis.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada
terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
pembantu Dekan I, II , III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku Ketua program Studi Hukum
Keluarga serta bapak Arip purqon, M.Ag. selaku sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga yang telah bekerja dengan maksimal.
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. Menjadi pembibing skripsi yang telah banyak
membimbing, memberikan pencerahan, motivasi semangat dan ilmunya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmuilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staff dan karyawan perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan bagian tata usaha Fakultas Syariah yang telah memberikan
pelayanan yang terbaik.
5. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Jayanih Mesir dan
ibunda Saanih yang telah memberikan motivasi serta arahan yang tak pernah
jenuh serta tiada henti mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Juga
kapada kakak-kakak penulis Idham Kholid, Latifah, Yulianah, Sahilah selalu
memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran yang tiada tara.
6. Sahabat-sahabatku yang terbaik Putri Rahmawati, Ayu Cyntia Dewi, imez,
Muhammad Fathinuddin, Abrar Zulsabrian, Faris Jamal, Devi Chairunnisa,
Nur Azizah, Nadia Nur Syahida, Kamelia Sari,
masukan, saran, motivasi dan menghibur penulis.
yang telah memberikan
7. Teman-teman program studi Peradilan Agama angkatan 2011 yang telah
memberikan saran dan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta
menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, do’a, motivasi
yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 20 Oktober 2015
Penulis
ABSTRAK
Nabila AlHalabi. NIM 1111044100020. HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI
WANITA KARIR DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA(Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif). Konsentrasi Peradilan Agama. Program Studi Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hak dan kewajiban istri yang
berprofesi sebagai wanita karir dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif,
dan untuk mengetahui hak dan kewajiban istri yang berkarir dalam perspektif wanita
karir di lingkungan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, penulis melakukan penelitian dengan
cara mewawancara secara langsung kepada beberapa responden yang berasal dari
seorang wakil Rektor, tiga orang wakil dekan dan satu pimpinan LPM (Lembaga
Penjaminan Mutu).
Kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah pada dasarnya
hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita karir dalam pandangan
Hukum Islam adalah sama dengan hak dan kewajiban istri yang tidak berprofesi
sebagai wanita karir, begitu juga dalam hukum positif tampak tidak ada perbedaan
antara istri yang berprofesi sebagai wanita karir ataupun istri yang hanya dirumah
saja. Selanjutnya menurut peraturan di Indonesia bahwa, hak dan kewajiban istri yang
berprofesi sebagai wanita karir dan yang tidak berprofesi sebagai wanita karir itu
sama, hak dan kewajiban tersebut diatur dalam pasal 30, 31, 32, 33 dan 34 dan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 83 dan 84.
Adapun hak dan kewajiban istri yang dimaksud diatas adalah hak mengenai
harta (mahar, maskwin dan nafkah) dan hak mendapat perlakuan baik dari suami.
Sedangkan kewajiban yang dimaksud diatas adalah taat dan patuh kepada suami
dalam batas-batas yang ditentukan oleh norma agama dan susila, mengatur dan
mengurus rumah tangga serta mejaga keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan
keluarga, memelihara dan mendidik anak sebagai amanah dari Allah, memelihara dan
menjaga kehormatan serta melindungi harta benda keluarga, dan menerima,
menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan
hemat dan bijaksana.
Dosen Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, M. Ag.
Kata kunci
: Hak, Kewajiban, Karir, Relasi, Peran Ganda, Profesi.
Bahan Pustaka
: 1990 sampai dengan 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN......................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Pembatasandan Perumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D. Metodelogi Penelitian................................................................................. 8
E. Review Studi Terdahulu ............................................................................ 12
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Hukum Islam ....................................16
B. Hak dan Kewajiban Istri dalam Perspektif Peraturan Perkawinan di
Indonesia ..................................................................................................... 33
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA KARIR DI UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Sekilas Tentang Objek Penelitian
1. Potret UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
....................................... 37
2. Beban Kerja Dosen dan Tanggung Jawab Jabatan Struktural di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta .............................................................. 41
3. Profile Informan ................................................................................ 48
B. Pandangan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terhadap Hak dan
Kewajiban Istri Bagi Wanita Karir
1. PengetahuanHukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri ...... 50
2. Pemahaman Hukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri...... 51
3. Perilaku Hukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri ............ 53
4. Pendapat Dosen Tentang Wanita Karir yang menjalankan Peran
Ganda dan Wanita Karir yang melalaikan Kewajibannya dalam
Rumah Tangga .................................................................................. 55
BAB IV
ANALISIS HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA KARIR
DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Relasi Suami Istri dalam Rumah Tangga............................................. 57
B. Hak dan Kewajiban Istri Wanita Karir ................................................ 58
C. Peran Ganda Wanita Karir .................................................................... 59
D. Kelalaian Istri Menunaikan Kewajibannya Karena Berprofesi Sebagai
Wanita Karir . ........................................................................................ 60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 62
B. Saran-saran ............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodohjodohan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan
antara pria dan wanita, seperti yang dinyatakan dalam surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:1
‫ﻡﹴ‬‫ﻘﹶﻮ‬‫ ﻟ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﻟﹶﺂﻳ‬‫ﻚ‬‫ﻲ ﺫﹶٰﻟ‬‫ﺔﹰ ۚﺇﹺﻥﹶّ ﻓ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺭ‬‫ّﺓﹰ ﻭ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ ﹸﻜﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻌﻞﹶ ﺑ‬ ‫ﺟ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻮﺍ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻨ‬‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﺍﺟ‬‫ﻭ‬‫ ﺃﹶﺯ‬‫ﻔﹸﺴِﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﹶﻟ ﹸﻜﻢ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺧ‬‫ﺗﻪ‬‫ﺎ‬‫ ﺁﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
(21/21:‫ﺮﻭﻥﹶ )ﺍﻟﺮﻭﻡ‬ ‫ﻔﹶ ّﻜﹶ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(QS. Arrum: [21] 21).
Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota
keluarga2. Untuk terwujudnya kebahagiaan tersebut Undang-Undang di Indonesia dan
juga Kompilasi Hukum Islam sudah menetapkan tentang hak dan kewajiban yang
harus di jalankan oleh masing-masing pihak. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
cet. 4, h. 28
2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, …, h. 22
1
2
1974 tentang Perkawinan juga berbunyi sebagai berikut pada pasal 30 suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat, dan pada Pasal 31 ayat (1) juga berbunyi hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Ayat (3) berbunyi
suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.3 Adapun hak dan kewajiban
suami istri di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 83 ayat (1) yang berbunyi
kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin kepada suami di
dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam, ayat (2) Istri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.4Allah
menghendaki dalam sebuah perkawinan harus dibangun relasi suami istri dalam pola
interaksi yang positif, harmonis, dan suasana hati yang damai, yang ditandai oleh
keseimbangan hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah akan terwujud jika
keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis yang mengatur relasi suami
istri dalam pergaulan sehari-hari.5
Al-Qur’an juga telah menentukan hak istri dari suaminya, yaitu persamaan
dalam hak dan kewajiban, sesuai dengan surat Al-Baqarah:
(228/2:‫ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻢ‬‫ﻴ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰ‬‫ﺰﹺﻳ‬‫ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﺔﹲ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﺩ‬‫ﻬﹺﻦ‬‫ﹶﻠﻴ‬‫ﺎﻝﹺ ﻋ‬‫ ﺟ‬‫ﻠﺮ‬‫ﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻑ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﻤﻌ‬ ‫ ﺑﹺﺎﻟﹾ‬‫ﻬﹺﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﺜﹾ ﹸﻞ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻬ‬‫ﻭ‬......
3
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. 1, h.
54
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademik Presindo, 2010, edisi pertama), h. 134
5
Mufidah, Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang Press,
2008) h. 178
3
Artinya: ”………..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada istrinya.” (Al-Baqarah: [2] 228).6
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 jelas bahwa, hak-hak istri sama dengan hakhak suami, begitu pula kewajiban masing-masing, kecuali tentang satu perkara, yaitu
menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Menjadi pemimpin itu merupakan hak
suami, sebab ia mempunyai wewenang dan kekuatan. Dalam pada itu ia wajib
melindungi istrinya dan memberi nafkahnya. Dan istri wajib mengikuti suaminya
menurut secara yang patut dalam pergaulan yang sopan. Oleh sebab itu, jika suami
hendak menyuruh istrinya sesuatu kewajiban, hendaklah ia ingat bahwa diatas
pundak kepalanya ada pula kewajiban yang setimpal dengan kewajiban istrinya itu.
Umpamanya jika lelaki menyuruh perempuannya memakai perhiasan yang cantik,
maka janganlah ia lupa, bahwa ia mesti pula memakai pakaian yang bagus.7
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya yang paling pokok adalah:8
a. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
b. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
c. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuati yang dapat menyusahkan suami.
d. Tidak bermuka masam di hadapan suami.
6
Mahmud Ash-Shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Yogyakarta: CV. Pustaka
Mantiq, 1993), cet. 5, h. 138
7
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung Jakarta, 2004 M 1425 H) cet. 73, h. 48
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
cet 4, ed 1, h. 158
4
e. Tidak menunjukkan keadaaan yang tidak disenangi suami.
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi kedalam dua bagian:9
1. Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafkah
2. Kewajiban yang tidak bersifat materi
Adapun pendapat M. Quraish Shihab dari segi hukum, istri tidak
berkewajiban sedikit pun untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarga,
dan kebutuhan keluarga yang lain walaupun dia memiliki kemampuan material.
Akan tetapi, dari segi pandangan moral dan esensi kehidupan rumah tangga, suamiisri dituntun agar bekerja sama, guna menciptakan keluarga sakinah dan harmonis,
yang antara lain lahir dari pemenuhan kebutuhan hidup, karena itu kerja sama dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga khususnya saat suami dalam kesulitan
merupakan tuntunan agama. Sekian banyak riwayat yang menjelaskan bahwa istri
para sahabat Nabi sering membantu suami mereka dalam pekerjaan-pekerjaan berat.
Tentu saja suami diharapkan pengertiannya serta “terima kasihnya” atas budi baik
sang istri itu, karena jika mengikuti pendapat Ibnu Hazm, istri berhak menerima dari
suaminya pakaian jadi dan makanan yang sudah siap.10
Seandainya kita memberikan kaum perempuan pekerjaan di luar rumah,
berarti kita telah memberikan beban di luar rumah sekaligus. Ia tidak akan memiliki
waktu untuk menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya. Tidak jarang kita
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007,
hal. 160
10
M. Quraish Shihab, 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, (Jakarta: Penerbit
Lentera Hati 2008) h. 572
5
melihat kaum perempuan yang berkarir di luar rumah menyiapkan kebutuhan rumah
di tempat kerjanya. Mereka sebenarnya sibuk dengan karirnya, akan tetapi tugas
rumah juga menantinya untuk menyediakan makanan, mendidik anak-anak dan
sebagainya, salah satu dari perempuan tersebut terkadang terlihat sangat lelah
sepulangnya dari kantor. Akan tetapi, sesampainya dirumah ia harus memasak,
memecahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh putra-putrinya ketika ia
berada di luar rumah. Setelah selesai dengan anak-anaknya, kini giliran suaminya
yang datang dan meminta haknya, akan tetapi seorang istri terlihat sangat lelah. 11
Islam tidak menghalangi kaum wanita untuk memasuki berbagai profesi
sesuai dengan keahliannya seperti menjadi guru, dosen, dokter, pengusaha, menteri
dan lain-lain. Akan tetapi, dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam. Misalnya tidak terbengakalai urusan
dan tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya bila
ia seorang yang bersuami, jika tidak mendatangkan yang negatif terhadap agama.12
Terlepas dari apa yang menjadi penyebabnya, realita sosial dewasa ini
mempelihatkan dengan jelas betapa kecenderungan manusia pada aktifitas kerja
ekonomis terasa semakin kuat. Pergaulan manusia untuk mendapatkan kebutuhan
hidup dan untuk sebagian orang mencari kesenangan materialistik-konsumtif telah
melanda hampir semua orang, laki-laki atau perempuan. Fenomena ini semakin
11
12
Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan Muslimah, h. 139
Huzaimah, T. yanggo, konsep Wanita dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Fikih, Dalam List M.
Markus Nasir dan Johan Hendrik Meuluman, Wanita Islam dalam Kajian Tekstrual dan Konsentrasi,
(Jakara: INIS, 1993), h. 28
6
nyata dalam era industri sekarang ini. Bahkan realita sosial juga memperlihatkan
bahwa perburuan manusia mencari kesenangan ekonomi dan “sesuap nasi” oleh
kaum perempuan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga
(mempunyai suami) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kaum perempuan
gilirannya harus melakukan peran ganda selain mengurus suami dan anak-anak
mereka juga mencari nafkah di luar.13
Islam telah meletakkan syarat-syarat tertentu bagi perempuan yang ingin
bekerja di luar rumah, yaitu: Karena kondisi keluarga yang mendesak, keluar
bersama mahramnya, tidak berdesak-desakan dengan laki-laki dan bercampur baur
dengan mereka, pekerjaan tersebut sesuai dengan tugas seorang perempuan.14
Dengan demikian, bagaimana hukum Islam dan peratu`ran perkawinan di Indonesia
memperlakukan istri yang berkarir tersebut? Apakah hak dan kewajiban istri yang
berkarir berbeda dengan hak dan kewajiban istri yang tidak berkarir? Apakah istri
yang ikut bekerja mencari nafkah keluarga yang semestinya hanya ditanggung suami
bisa memiliki hak lebih dalam keluarga, misalnya istri bisa sebagai pemimpin
keluarga atau bisakah istri yang berkarir kemudian melalaikan kewajibanya dirumah
akan kehilangan hak nafkah dari suaminya? Banyak persoalan lain yang muncul
terkait dengan hak dan kewajiban istri bagi wanita yang berkarir tersebut. Hal
13
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2002), cet. 2, h. 119-120
14
Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan Muslimah, h. 141
7
tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian guna membahas mengenai
“HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA KARIR DI UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA” (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif).
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.
Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis sangat perlu untuk membatasi
penelitian ini, agar permasalahan dalam skripsi ini tidak meluas serta menjaga
kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka penelitian ini akan
dibatasi hanya dengan dosen wanita di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga
sekaligus memiliki jabatan struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang mana jabatan tersebut diyakini akan menyita banyak waktu, tenaga
dan pikiran dari dosen wanita tersebut, sehingga diduga kuat akan mengurangi
waktu dan tenaga dan pikiran untuk suami, anak dan urusan rumah tangganya.
2.
Perumusan Masalah
Menurut penelitian pendahuluan oleh penulis, dosen wanita yang mengajar
sekaligus merangkap jabatan struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta adalah wanita karir yang bekerja diluar rumah meninggalkan suami dan
anak dalam kurun waktu yang sudah ditentukan berdasarkan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut pasal 34 ayat 2 No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
merupakan kewajiban istri menyatakan bahwa “istri wajib mengatur urusan rumah
8
tangga dengan sebaik-baiknya, dengan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh si
istri maka tentunya kewajiban istri tidak dapat dilakukannya dengan baik”. Maka
berdasarkan perumusan masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita karir dalam
pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif?
b. Bagaimana pandangan wanita karir di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terkait dengan hak dan kewajiban istri wanita karir?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam menyusun karya ilmiah ini, bertujuan antara lain
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita
karir dalam pandangan Hukum Islam dan pandangan Hukum Positif.
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban istri wanita karir di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Dalam bidang akademik memperkaya wawasan khususnya bagi penulis
serta pengembangan ilmu di bidang syariah khususnya dalam hukum
perkawinan di Indonesia.
b. Mengetahui hak dan kewajiban istri yang juga berprofesi sebagai wanita
karir.
9
D. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas
peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang di hadapi dalam penelitian
adalah sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya memandang
apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan
yang diperoleh di dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti
selama dilapangan termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus, yang
mengarahkan perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.15
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pendekatan
hukum sosiologi atau penelitian hukum empirik, yaitu penelitian yang
berdasarkan bukti kenyataan di lapangan atau realita sosial. Metode penelitian
dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif
yaitu pendekatan yang ditunjukan untuk meneliti pada hasil wawancara
mendalam (deep interview), kemudian menganalisis hasil data yang diperoleh
untuk mendapatkan kesimpulan penelitan. Pendekatan ini dimaksud untuk
mengetahui pandangan dosen wanita yang sekaligus memiliki jabatan
struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15
Burhan Bungin¸ Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), cet. 3, h.82
10
3. Sumber Data
a. Sumber Primer
Dalam penelitian hukum empirik, data primer diperoleh dari kesimpulan
dosen wanita yang sekaligus memiliki jabatan struktural di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berupa hasil wawancara dengan subjek
penelitian.
b. Di dalam penelitian ini, digunakan pula data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat yang dibedakan dalam beberapa macam:
1) Bahan hukum primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam
skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Hukum Islam
2) Bahan hukum sekunder yaitu: berupa buku-buku, makalah seminar,
jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, situs, testimony,
Koran maupun blog.
3) Bahan hukum tersier yaitu: berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan
sebagainya.
4.
Subjek dan Objek Penelitian
Untuk lebih fokusnya penelitian ini, lokasi yang akan digunakan adalah
Universitas UIN Syarif Hidayatulla Jakarta dan objek yang dituju adalah
dosen wanita yang sekaligus memiliki jabatan struktural di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu tidak mungkin mewawancarai
seluruh dosen wanita yang sekaligus memiliki jabatan struktural di
11
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, penulis hanya bisa
mewawancarai sebanyak 5 orang dosen wanita yang sekaligus memiliki
jabatan struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saja.
Penunjukkan 5 orang yang diwawancarai itu di tentukan secara kocok
(random). Adapun subjek dalam penelitian ini adalah penulis sendiri yang
berkeinginan untuk mengetahui bagaimana dosen wanita yang sekaligus
memiliki jabatan struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersebut terhadap hak dan kewajiban istri.
5.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum empirik ini, teknik yang digunakan untuk
mengumpulan data adalah sebagai berikut:
a. Wawancara: dilakukan dengan dosen wanita yang sekaligus memiliki
jabatan struktural di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
mendapat data mengenai hak dan kewajiban istri. Wawancara
dilakukan
dengan
cara
terstruktur
yaitu
wawancara
yang
pewawancaranya menerapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang
akan diajukan.16
b. Studi Pustaka: dilakukan untuk mendapatkan data tentang teori-teori
tentang hak dan kwajiban istri baik Hukum Islam maupun Peraturan
Perkawinan di Indonesia
16
Burhan Bungin¸ Metodologi Penelitian Kualitatif, …, h. 109
12
6.
Pedoman Penulisan Laporan
Teknik penulisan skripsi ini memiliki dasar acuan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”
yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press tahun 2012.
7.
Metode Analisis Data
Tahap terakhir dalam sebuah penelitian setelah dua kesimpulan adalah
analisis data. Tahapan tersebut dilakukan dengan menganalisis data yang
telah terkumpul dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan dalam
penelitian. Sedangkan kesimpulan ditarik dari metode induktif, yaitu
dengan menghimpun data dari konsep-konsep Al-Qur’an dan Hadist, serta
ditunjang dalam perundang-undangan yang telah diberlakukan dan hasil
wawancara dari dosen wanita yang sekaligus memiliki jabatan struktural di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Data yang terkumpul tersebut
dianalisis dan ditarik kesimpulan sehingga dapat menjawab inti batasan dan
rumusan masalah penelitian.
E.
Review Studi Terdahulu
Berdasarkan studi kepustakaan (Library research) yang penulis lakukan di
Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama, maka terdapat literatur skripsi yang
dapat dijadikan sebagai perbandingan, yaitu:
1.
Arofatul Inayah (102044124993/Peradilan Agama/Syariah dan Hukum)
Problematika Pernikahan Wanita Karir dan Pengaruhnya Terhadap
Pembentukan Keluarga Sakinah.
13
Pada skripsi ini membahas mengenai, pada umumnya wanita yang memilih untuk
bekerja/berkarir adalah karena adanya alasan-alasan tertentu antara lain yang
menjadi faktor adalah Karena masalah ekonomi. Selama wanita tersebut
dapat/sanggup untuk mejalankan fungsi ganda (Sebagai Ibu dan Karirnya) maka
kerukunan rumah tangganya akan dapat dipertahankan. Sebaliknya, jika dia tidak
sanggup untuk melaksanakan fungsi gandanya, maka tentu akan berakibat tidak
baik bagi kelangsungan rumah tangganya.
2.
Desi Amalia (107044101899/ Peradilan Agama/ Syariah dan Hukum)
Peranan Istri Dalam Memenuhi Nafkah Keluarga (Studi Kasus di Desa
Gunung Sugih, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Propinsi
Lampung)
Pada skripsi ini membahas mengenai, peranan istri dalam memberi nafkah
keluarga serta relevansinya dengan tanggung jawab nafkah dalam sistem
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
3.
Taufiqurrahman (205044100548/ Peradilan Agama/ Syariah dan Hukum)
Pengaruh Wanita Karir Terhadap Perceraian
Pada skripsi ini membahas mengenai, sejauh mana problematika wanita karir
tersebut dapat berpengaruh terhadap keutuhan rumah tangga, dengan
permasalahan-peramasalahan yang terjadi, apakah dapat memicu terjadinya
perceraian, serta mengklasifikasi wanita karir, peluang dan tantangan wanita.
14
Sedangkan perbedaan dari skripsi diatas penulis membahas tentang hak dan
kewajiban istri bagi wanita karir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif).
F.
Sistematika Penulisan
Bab I
Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, subjek
dan objek penelitian, teknik pengumpulan data, pedoman penulisan
laporan, metode analisis data, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab II
Merupakan landasan teori yang mencakup hak dan kewajiban istri
menurut hukum Islam dan peraturan perkawinan di Indonesia, hak dan
kewajiban
isteri menurut Hukum Islam, yang meliputi pandangan
ulama klasik dan juga pandangan ulama kontemporer. Selanjutnya akan
dipaparkan juga hak dan kewajiban istri dalam Perkawinan di Indonesia,
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Bab III
Hak dan kewajiban istri bagi wanita karir di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, sekilas tentang objek penelitian, potret UIN Syarif Hidayatullah
15
Jakarta, bean kerja dosen dan tanggung jawab jabatan structural di UIN
syarif Hidayatullah Jakarta, profile informan, pandangan dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap hak dan kewajiban istri yang
berprofesi sebagai wanita karir, pengetahuan huku dosen tentang hak
dan kewajiban istri, pemahaman hukum dosen tentang hak dan
kewajiban istri, perilaku hukum dosen tentang hak dan kewajiban istri,
pendapat dosen tentang wanita karir yang menjalankan peran ganda dan
wanita karir yang melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga.
Bab IV
Analisis atas hak dan kewajiban istri bagi wanita karir di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif), hak
dan kwajiban istri wanita karir, peran ganda wanita karir, kelalaian istri
menunaikan kewajibannya karena berprofesi sebagai wanita karir.
BAB V
Penutup, dafar pustaka, serta lampiran.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Hukum Islam
Konsep hak pada dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala
sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan wanita mempunyai
kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihi dengan satu
derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal
ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan
kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam
kewajiban. 1 Sebagaimana dalam Al-Qur’an juga telah menentukan hak istri dari
suaminya, yaitu persamaan dalam hak dan kewajiban, sesuai dengan surat AlBaqarah:
(228/2:‫ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻢ‬‫ﻴ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰ‬‫ﺰﹺﻳ‬‫ﷲ ﻋ‬
ُ ‫ﺍ‬‫ﺔﹲ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﺩ‬‫ﻬﹺﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎﻝﹺ ﻋ‬‫ ﺟ‬‫ﻠﺮ‬‫ﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻑ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﻦ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬ ‫ﻬﹺ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻱ ﻋ‬‫ﻣﺜﹾ ﹸﻞ ﺍﻟﱠﺬ‬ ‫ﻬﻦ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ ﻭ‬......
Artinya: ”………..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada istrinya.” (Al-Baqarah: [2] 228).
Ayat di atas menyebutkan bahwa hak yang dimiliki istri seimbang dengan
kewajiban yang harus ditunaikan istri; dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh istri
itu adalah hak suami. Dengan demikian, kalimat ‫ﻦ‬
‫ﻋَﻠﯿْ ِﮭ ﱠ‬
َ ‫ﻞ اﱠﻟﺬِي‬
ُ ْ‫ﻦ ﻣِﺜ‬
‫ َوَﻟﮭُ ﱠ‬sebenarnya ingin
1
Muhammad Albar, Wanita dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Daar Al-Muslim, Beirut) cet.
1 h. 18
16
17
menunjukkan bahwa hak yang dimiliki istri itu seimbang dengan hak yang dimiliki
suami. Kemudian, dengan adanya kalimat ‫ﻦ دَ َرﺟَ ٌﺔ‬
‫ﻋَﻠﯿْ ِﮭ ﱠ‬
َ ‫ل‬
ِ ‫ َوﻟِﻠ ﱢﺮ ﺟَﺎ‬yang oleh para mufasir
dipahami dengan kelebihan ‫( ﻟﺘﻜﻠﯿﻒ‬tanggung-jawab/kewajiban) bukan kelebihan
‫( ﺗﺸﺮﯾﻒ‬kemuliaan), menunjukkan ada satu kewajiban yang dibebankan kepada suami
tetapi tidak dibebankan kepada istri. Karena dalam logika keadilan “Di mana ada
kewajiban, disitu ada hak”, maka secara otomatis suami memiliki satu kelebihan hak
yang tidak dimiliki oleh istri.2
Al-Qurthubi dalam tafsirnya
mengatakan, “Allah Swt. Kemudian
menjelaskan, keutamaan laki-laki dibandingkan perempuan dalam hal warisan karena
laki-laki wajib membayar mahar dan memberi nafkah kepada keluarga, selain karena
keutamaan laki-laki itu pada akhirnya juga akan memberi keuntungan bagi
perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki memiliki akal dan daya nalar yang lebih kuat,
karena itu mereka berhak memegang kendali atas kehidupan perempuan. Dikatakan
pula laki-laki memiliki jiwa dan karakter yang lebih kuat ketimbang perempuan.
Karakter laki-laki didominasi oleh hawa panas dan kering yang membuatnya menjadi
keras dan kuat, sedangkan karakter perempuan didominasi hawa dingin dan lembap
yang membuatnya lembut dan lemah. Karena itu semua firman Allah, mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian hartanya,
laki-laki lalu memiliki hak
kepemimpinan atas perempuan.”3
2
Mesraini, Membangun Keluarga Sakinah, (Jakarta: Makmur Abadi Press (MA Press),
2010), cet. 1, h. 71
3
306
Abd al-Qadri Manshur, Buku Pintar Fiqih Wanita, (Jakarta: Penerbit zaman, 2009), cet. 1, h.
18
Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan
begitu pula istri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban
dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban4. Demikian pula kaum wanita
mempunyai hak atas suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di
atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kecuali jika setiap suami dan istri
memenuhi hak-hak diantara mereka. Adapun hak-hak istri adalah sebagai berikut:5
1.
Hak istri yang bersifat materi meliputi:
a. Hak mengenai harta, yaitu mahar atau maskawin dan nafkah.
Sebagaimana firman Allah surat An-nisa [4] ayat 4:
(4/4:‫ﺌﹰﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﺮﹺﻳ‬‫ﺌﹰﺎ ﻣ‬‫ﹺﻨﻴ‬‫ ﻫ‬‫ﻩ‬‫ﺎ ﻓﹶ ﹸﻜﻠﹸﻮ‬‫ﻧﻔﹾﺴ‬ ‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﺀٍ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ ﻟﹶ ﹸﻜﻢ‬‫ﻦ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹶﺔﹰ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻃ‬‫ ﻧﹺﺤ‬‫ﻬﹺﻦ‬‫ﺪ ﻗﹶﺎ ﺗ‬ ‫ﺎﺀَ ﺻ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﹼﻨﹺﺴ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ﻭ‬
Artinya: Berikanlah (Mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudia jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (An Nisa [4]
ayat 4)
Makna kata an nihlah dalam ayat di atas, adalah pemberian dan hadiah. Ia
bukan merupakan imbalan yang diberikan laki-laki karena boleh menikmati
perempuan, sebagaimana persepsi yang telah berkembang di sebagian
masyarakat. Sebenarnya dalam hukum sipil juga kita dapatkan bahwa
perempuan harus menyerahkan sebagian hartanya kepada laki-laki. Namun,
fitrah Allah telah menjadikan perempuan sebagai pihak penerima, bukan pihak
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),
5
Abu Musa Abdurrahim, Kitab Cinta Berjalan, (Jakarta: Gema insani 2011), cet. 1, h. 233
h. 160
19
yang harus memberi. 6 Penganut Mazhab Hanafi menetapkan batas minimal
mahar adalah sepuluh dirham. Sementara penganut Mazhab Maliki menetapkan
tiga dirham, tapi penetapan ini tidak berdasar pada dalil yang layak dijadikan
sebagai landasan, tidak pula hujjah yang dapat diperhitungkan. 7 Sedangkan
Mazhab Hanafi berpendapat bahwasanya tidak ada ketentuan terkait besaran
nafkah, dan bahwasanya suami berkewajiban memikul kebutuhan istri
secukupnya yang terdiri dari makan, lauk pauk, daging, sayur mayur, buah,
minyak, mentega dan semua yang dikonsumsi untuk menopang hidup sesuai
dengan ketentuan yang berlaku secara umum, dan bahwasanya itu berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan tempat, zaman dan keadaan. Mazhab Syafi’i tidak
mengaitkan pendapat besaran nafkah dengan batas kecukupan. Mereka
mengatakan nafkah ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat. Meskipun
demikikian, mereka sepakat dengan Mazhab Hanafi dalam mempertimbangkan
keadaan suami dari segi kelapangan ataupun kesulitan, dan bahwasanya suami
yang mengalami kondisi lapang, yaitu yang mampu memberikan nafkah dengan
harta dan penghasilannya, harus memenuhi sebanyak dua mud setiap hari (satu
mud kurang lebih setara dengan 543 gram). Sedangkan orang yang mengalami
kesulitan, yaitu yang tidak mampu memberikan nafkah dengan harta tidak pula
penghasilan, harus menafkahi sebanyak satu mud setiap hari.8
6
Yusuf Al Qardawi, Panduan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), cet 1, h.
7
Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 7”, h. 412
8
Wahbah Az-Zuhaili,“Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, h. 437
151
20
2.
Hak-hak istri yang bersifat non materi:
a. Hak mendapatkan perlakuan yang baik dari suami.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat An-nisa [4] ayat 19:
‫ﺍ‬‫ﲑ‬‫ﺍ ﻛﹶﺜ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻪ ﺧ‬ ‫ﻴ‬‫ﻪ ﻓ‬ ‫ﻞﹶ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻳ‬‫ﺌﹰﺎ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺷ‬‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺴ‬‫ﻦ ﻓﹶﻌ‬ ‫ﻮﻫ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻛﹶﺮﹺﻫ‬‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﻭﻋ‬
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak (Q.S. An-Nisa [4] ayat 19)
Kewajiban istri terhadap suami tidak berdasarkan paradigma lama dimana
posisi wanita lemah sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh pria
(suami). Sebaiknya cara melihat wanita tetap berdasarkan pada pengakuan atas
harkat dan martabat wanita yang mulia, selaras dengan hak-hak yang harus
diterima dari suaminya, kewajiban istri pun tidak terlepas dari upaya yang
bersangkutan mendukung terciptanya kehidupan keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah. 9 Adapun tujuan dari hak dan kewajiban suami istri
adalah suami istri dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar
dari susunan masyarakat, oleh karena itu suami istri wajib untuk saling
mencintai, saling menghormati, saling setia.10
b. Agar suami menjaga dan memelihara istrinya.
Maksudnya ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakan, agar
selalu
melaksanakan perintah Allah dan meningalkan segala larangan-Nya.
9
Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet 3, h. 188
10
http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/. (Diakses pada hari senin 1
juni 2015, jam 19.51)
21
Sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Tahrim [28] ayat 6:
(6/28:‫ﺍ )ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ‬‫ﺎﺭ‬‫ ﻧ‬‫ﻴ ﹸﻜﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺃﹶﻫ‬‫ ﻭ‬‫ ﹸﻜﻢ‬‫ﺁ ﺃﹶﻧﻔﹸﺴ‬‫ﻮﺍ ﹸﻗﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ﻳ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”. (Q.S. At-Tahrim [28] ayat 6).
c. Sabar dan kuat menghadapi masalah.11
Wanita bukanlah peri yang hanya ada dalam dunia khayal, melainkan dia
hanyalah manusia biasa yang bisa saja baik dan jahat, benar dan salah. Karena
itu, suami harus sabar dan kuat menghadapi masalah dalam rangka menjaga
keutuhan hidup suami istri agar tidak hancur. Laki-laki muslim sejati adalah
yang bijaksana dan menerima kenyataan atas apa yang dikhayalkan, sehingga
akal sehatnya lebih dikedepankan dari perasaanya. Mampu menahan dan
mengendalikan emosional tatkala perasaannya merasa tidak simpati kepada
sikap istrinya. Hal itu demi melanjutkan kehidupan rumah tangga sebagai
respon terhadap firman Allah dalam surat An-nisa [4] ayat 19:
‫ﺍ‬‫ﺜﲑ‬‫ﺍ ﻛﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻪ ﻓ‬ ‫ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻭﻳ‬ ‫ﺌﹰﺎ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺷ‬‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺴ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻑ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻛﹶﺮﹺﻫ‬
 ‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻤﻌ‬ ‫ ﺑﹺﺎﻟﹾ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
(19/4:‫)ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak (Q.S. 4 An-Nisa [4] ayat 19).
11
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Wanita dalam Fiqih Al-Qardhawi, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2009), cet. 1, h. 120
22
d. Jangan menghalanginya untuk pergi ke masjid.12
Al-Kirmani berkata: “Hal itu diperbolehkan jika aman dari fitnah.” AlBukhari meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya warahimahullohu, dari Nabi
SAW:
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﻨ‬‫ ﻤ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﻳ‬,‫ﺠﹺﺪ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﹾﳌﹶﺴ‬‫ ﹸﻛﻢ‬‫ﺪ‬‫ﺃﹶ ﹸﺓ ﺃﹶﺣ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻣ‬‫ﺖ‬‫ﺄﹾ ﺫﹶﻧ‬‫ﺘ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺳ‬
“Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka
janganlah menghalanginya.”
Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan
agama, bukan dalam hal kemaksiatatan. Diantara ketaatan istri kepada
suaminya adalah tidak keluar rumah kecuali dengan seizinnya (suami). 13
Sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan tentang hak suami terhadap istri:
‫ﻭﻟﹶﻮ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹾﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﻪ‬‫ﻌ‬‫ﻨ‬‫ ﻤ‬‫ﻪ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺗ‬ ‫ﺘ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺯ‬‫ﺝﹺ ﻋ‬‫ﻭ‬‫ﻖ ﺍﹾﻟﺰ‬ ‫ ﺣ‬:‫ﻝﹶ ﺍﷲ ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻗﺎ ﻝ‬‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ ﺍﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﻦﹺ‬‫ﺍﷲ ﺍﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﺖ‬‫ﺋﻤ‬‫ ﺍﹶ‬‫ﻤﻠﹶﺖ‬ ‫ﻪ ﻓﹶﺈﹺ ﹾﻥ ﻋ‬ ‫ﻀ‬‫ﻔﹶﺮﹺﻳ‬‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻟ‬‫ﺎ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﹺﻧﻪ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻡ ﻳ‬ ‫ﺼﻮ‬
 ‫ﻭﺍﹶﻥﹾ ﻟﹶﺎﺗ‬ ‫ﺍ ﺇﹺﻟﱢﺎ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺐ ﻭ‬
‫ ﹴ‬‫ ﹴﺮ ﹸﻗﺘ‬‫ﻠﹶﻰ ﻇﹶﻬ‬‫ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻋ‬
‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ﺍﹶﱠﻟﺎﹶ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻮﹺﺯ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻪ ﺍﹾﻟﹶﺎﺟ‬ ‫ ﻛﺎﹶ ﹶﻥ ﻟﹶ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻓﹶﻌ‬‫ﺌﹰﺎ ﺇﹶﻟﱠﺎﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻣﻦ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻄ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﺍﹶﻧ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹾ ﻣ‬‫ﻘﹶﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ﻭ‬
(‫ﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﻭﺩ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻇﹶﺎﻟ‬‫ ﻭ‬‫ ﹺﺟﻊ‬‫ﺮ‬‫ﻭﺗ‬ ‫ﺐﹺ ﺍﹶ‬‫ﻀ‬‫ﻜﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻠﹶﺎﺋ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﺍﷲ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﻌﻨ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ ﹶﻓﺈﹺﻥﹾ ﻓﹶﻌ‬‫ﻟﱠﺎ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪ‬‫ ﺍ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬
Dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Hak
suami terhadap istrinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya
kepadanya sekalipun sedang di atas punggung unta, tidak berpuasa walaupun
sehari saja selain dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia tetap berpuasa,
ia berdosa dan puasanya tidak diterima. Ia tidak boleh memberikan sesuatu
dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia memberinya maka
pahalanya bagi suaminya dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak keluar
dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka
12
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Panduan Lengkap Nikah (dari “A
sampai “Z”, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006), cet 1,2,3, h. 324
13
h. 159
Abdul Rahman GHozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
23
Allah melaknatnya dan para malaikat memarahinya sampai tobat dan pulang
kembali sekalipun suaminya itu zhalim. (HR. Abu Daud).
Kewajiban istri terhadap suami tidak berdasarkan paradigma lama
dimana posisi wanita lemah sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh
pria (suami). Sebaiknya cara melihat wanita tetap berdasarkan pada pengakuan
atas harkat dan martabat wanita yang mulia, selaras dengan hak-hak yang harus
diterima dari suaminya, kewajiban istri pun tidak terlepas dari upaya yang
bersangkutan mendukung terciptanya kehidupan keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah.14Adapun kewajiban istri kepada suami sebagai berikut:
1)
a.
Kewajiban Istri :
Hormat dan patuh kepada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh norma
agama dan susila.
Sebagaimana Firman Allah di dalam surat An-nisa [4] ayat 34:
‫ﺎﺕ‬‫ﺕ ﻗﹶﺎﻧﹺﺘ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺤ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻓﹶﺎﻟﺼ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﺍﻟ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻔﹶﻘﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﹺﺑﻤ‬‫ﺾ ﻭ‬
‫ ﹴ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻰٰ ﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻓﹶﻀ‬‫ﺎﺀِ ﺑﹺﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻮﻥﹶ ﻋ‬‫ﺍﻣ‬‫ﺎﻝﹸ ﻗﹶﻮ‬‫ﺟ‬‫ﺍﻟﺮ‬
‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮ‬‫ﺮﹺﺑ‬‫ﺍﺿ‬‫ﺎﺟﹺﻊﹺ ﻭ‬‫ﻀ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺠﺮ‬
 ‫ﺍﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻈﹸﻮ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻫﻦ‬ ‫ﻮﺯ‬‫ﻧﺸ‬ ‫ﺎﻓﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺨ‬‫ﻲ ﺗ‬‫ﺍﻟﻠﱠﺎﺗ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻆ ﺍﻟﱠﻠ‬
‫ ﹶ‬‫ﻔ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺐﹺ ﹺﺑﻤ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹾﻐ‬‫ ﻟ‬‫ﻈﹶﺎﺕ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺣ‬
﴾34/4 :‫ﺍ ﴿ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﺎ ﻛﹶﺒﹺﲑ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﺒﹺﻴﻠﹰﺎ ﺇﹺ ﱠﻥ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺳ‬‫ﻬﹺﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﻐ‬‫ﺗﺒ‬ ‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶﻃﹶﻌ‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. surat An-nisa [4] ayat 34).
14
Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, h. 188
24
Kewajiban istri terhadap suami yaitu bersikap taat dan patuh terhadap
suami dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah,
memelihara
kepentingan
suami
berkaitan
dengan
kehormatan
dirinya,
menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti beriskap
angkuh, menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya. Tetapi
kewajiban yang paling penting (hakiki) yang harus dijalankan dengan baik oleh
seorang istri adalah melayani dan mematuhi suaminya dalam hal yang
berhubungan dengan sebuah “kedekatan keluarga antara suami dan istri,
sehingga suami benar-benar terhibur dan hatinya selalu bahagia memiliki istri
yang dapat dipertanggung jawabkan.”15
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Ahzab [33] ayat 32:
‫ﻦ‬‫ﻌ‬‫ﺃﹶﺫﻃ‬‫ﺰﻛﹶﻮﺓﹶ ﻭ‬ ‫ ﺁﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ﻠﹶﻮﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺁﻟﺼ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﺁَﻗ‬‫ﻟﹶﻰ ﻭ‬‫ ﺁﻟﹾﹸﺄﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻠﻴ‬‫ ﺁﳉﹶﻬﹺ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻦ ﻭ‬ ‫ﺗﻜﹸ‬‫ﻴﻮ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻥﹶ ﻓ‬‫ﻗﹶﺮ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﻮﻟﹶ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬‫ﺍﷲَ ﻭ‬
(32:33 ‫ﺍﺏ‬‫ﺰ‬‫)ﺍﻷَﺣ‬
Artinya: “Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliyah dahulu; dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan
Rasulnya” (QS. Al-Ahzab [33:32].
Ayat di atas menganjurkan kepada wanita untuk menjaga kehormatan
dirinya dengan akhlak mulia, sekaligus berhias diri hanya untuk menyenangkan
suami, sehingga suami merasa senang berada di sisinya. Dalam kehidupan
sehari-hari, tidak sedikit wanita (istri) berdandan untuk menarik perhatian suami
tetangga atau sekedar memperoleh kekaguman sesama wanita, melalui cara ini,
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: PRENADA MEDIA, 2004), h. 185
25
menurut Islam, jelas kurang terpuji, karena bisa menjermuskan istri atau wanita
tersebut kepada perbuatan maksiat. Paling tidak, dia telah bersikap riya kepada
sesamanya.16
b.
Mengatur dan mengurus rumah tangga menjaga keselamatan dan mewujudkan
kesejahteraan keluarga.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat [51] ayat 29:
(‫ )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕ‬‫ﻴﻢ‬‫ﻘ‬‫ﺯ ﻋ‬ ‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ ﻋ‬‫ﻭﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﱠﺖ‬‫ ﻓﹶﺼ‬‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ﻲ ﺻ‬‫ ﻓ‬‫ﺗﻪ‬‫ﺃﹶ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻣ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ﻓﹶﺄﹶﻗﹾﺒ‬
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat [51] ayat 29).
Islam telah menyadari bahwa membina rumah tangga merupakan
kesepakatan dua belah pihak antara suami dan istri, oleh karena itu segala
sesuatunya harus dimusyawarahkan bersama. Termasuk pula dalam hal ini
adalah tata cara pembagian kerja rumah tangga. Pembagian kerja yang
bagaimana yang harus dilakukan agar suami dan istri bisa mencapai ketentraman
dalam rumah tangga harus dimusyawarahkan bersama. Kesepakatan harus dibuat
agar tidak ada satu pihak yang dirugikan. Dengan menyadari bahwa perkawinan
bertujuan untuk mencapai ketentraman kedua belah pihak yang menjalaninya,
maka tidaklah mungkin ini dicapai apabila pembagian kerja dalam rumah tangga
tidak adil.17
16
17
Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet ke 3, h, 7.
Istiadah, “Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama), h. 36
26
c.
Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Kahfi [18] ayat 46:
(18/46 :‫ﻠﹰﺎ )ﺍﻟﻜﻬﻒ‬‫ﲑ ﺃﹶﻣ‬ ‫ﺧ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺛﹶﻮﺍﺑ‬‫ّﺑﹺﻚ‬‫ ﺭ‬‫ﻨﺪ‬‫ﲑ ﻋ‬ ‫ﺖ ﺧ‬
 ٰ‫ﺤ‬‫ٰﻠ‬‫ﺖ ﺍﻟﺼ‬
 ٰ‫ﻘﻴ‬ ٰ‫ﺍﻟﺒ‬‫ّﻧﻴﺎ ۖ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ ﹸﺔ ﺍﳊﹶﻴﻮٰﺓ‬‫ﻨﻮﻥﹶ ﺯﻳﻨ‬‫ﺍﻟﺒ‬‫ﺍﳌﺎ ﹸﻝ ﻭ‬
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan.” (QS. Al-Kahfi
[18] ayat 46).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membiayai kehidupan dua orang anak
perempuan hingga berusia baligh, maka pada hari kiamat aku dan dia akan
datang seperti kedua hal ini, (beliau mengumpulkan kedua jarinya).”
Rasulullah Bersabda: “Barang siapa punya tiga orang anak perempuan
kemudian ia bersabar (menghadipnya), memberikan makan-minum dan pakaian
dari harta bendanya, maka ketiga gadis kecil itu akan menjadi penghalang
dirinya terhadap (serangan) api neraka.
Wanita mempunyai peranan penting dalam melahirkan umat terbaik,
wanita harus menjadi istri yang baik, ibu yang baik dan sekolah yang baik.
Betapa banyak wanita baik di umat ini yang telah dilahirkan ke dunia ini oleh
keberadaan para ibu yang kompeten, yaitu para ibu yang mendidik dan mengajari
anak-anaknya. Tidak diragukan lagi, andaikan umat ini ingin bangkit,
sebagaimana
kebangkitan
sebelumnya,
dan
ingin
kembali
menempati
kedudukannya yang dengan itu akan dimuliakan Allah, maka yang pertama-tama
adalah hendaknya memperbaiki didikan pertama, menerapkan adab-adab Islam
dan mengajarkan ilmu-ilmunya, sehingga dengan begitu, seorang ibu betul-betul
menjadi sekolah,
sebagaimana yang
telah
diungkapkan oleh
Ibrahim
rahimahullah: “Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya maka ia
27
akan mempersiapkan generasi yang bermoral baik.” 18 Pengaruh perempuan
dalam keluarga tidak terbatasi hanya untuk mendidik anaknya, tetapi termasuk
juga pengaruh yang ia miliki atas kehidupan laki-laki. Pengaruh ini sungguh
nyata, dan merefleksikan perhatian perempuan yang memfasilitasi langkah suami
mereka untuk meraih kesuksesan dalam kerja, atau telah mendampingi suami
mereka saat istirahat dan bersantai dari tuntutan kerja.19
d.
Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi harta benda keluarga.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Ahzab [33] ayat 35:
‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻈ‬‫ﺍ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺟ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ ﻣ‬‫ﻬﻢ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﺬﱠﺍﻛ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﲑ‬‫ ﻛﹶﺜ‬‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺍﻟﺬﱠﺍﻛ‬‫ ﻭ‬‫ﻈﹶﺎﺕ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺍﹾﻟﺤ‬‫ ﻭ‬‫ﻬﻢ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬‫ ﹸﻓﺮ‬‫ﲔ‬‫ ﻈ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺍﹾﻟﺤ‬‫ﻭ‬......
(35/33:‫)ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ‬
Artinya: “….Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, lakilaki dan perempuan yang menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 35)
e.
Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang
diberikannya dengan baik, hemat dan bijaksana.20
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-furqan [25] ayat 67:
(‫ﺎ )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻔﺮﻗﺎﻥ‬‫ﺍﻣ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﺘ‬‫ﻘﹾ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺮﹺﻓﹸﻮ‬‫ﻳﺴ‬ ‫ﺍ ﻟﹶﻢ‬‫ ﹶﻔ ﹸﻘﻮ‬‫ﺫﹶﺁ ﺍﹶﻧ‬‫ ﺍ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ﺍﱠﻟﺬ‬‫ﻭ‬
18
Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Daar Al-Muslim,
Beirut) cet. 1 h. 61
19
20
Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2003), cet. 1, h 127
Departemen Agama RI, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah Sakinah, (Jakarta: Dirjen
Bimas dan Haji, 2000) , h. 145
28
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, tapi adalah (pembelanjaan itu) tengah
tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan[25]: ayat 67).
Pada firman Allah yang dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebahagian
harta itu dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 219 adalah:21
(219/2:‫ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻔﹾﻮ‬‫ﻥﹶ ﹸﻗﻞﹺ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﻔ‬‫ﻳﻨ‬ ‫ﺎﺫﹶﺍ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﻧ‬‫ﺌﹶﹸﻠﻮ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫…ﻭ‬..
Artinya: “…dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “yang lebih baik dari keperluan”. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 219).
Ada persoalan yang muncul dalam fiqih ketika seorang istri harus
bekerja di luar rumah dan meniggalkan keluarganya. Para ahli fiqih sepakat
bahwa apabila itu terjadi, dia (istri) haruslah mendapat izin suaminya. Dia tidak
boleh meninggalkan suaminya begitu saja. Pelanggaran atas kewajiban ini (izin)
dapat dipandang sebagai nusyuz (tidak taat/tidak setia). Menurut para ahli fiqih
klasik, seorang istri diperbolehkan meninggalkan rumah, meskipun tanpa izin
suaminya, jika keadaan benar-benar darurat (memaksa).22
Sejalan dengan pendapat ini adalah catatan Zainuddin al-Malibari dalam
kitabnya yang cukup popular Fath al-Mu’in yang dikutip oleh Husein
Muhammad, ia mengatakan bahwa seorang istri diperbolehkan keluar dari
rumahnya tanpa di cap sebagai istri yang nusyuz untuk hal-hal sebagai berikut,
jika rumahnya akan roboh, jiwa dan hartanya terancam oleh penjahat dan maling,
21
22
Departemen Agama, AlQuran dan Tafsirnya, (20 Desember 1990), h. 54
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), cet 1, h. 127
29
mengurus hak-haknya di pengadilan, belajar ilmu-ilmu fardu’ain atau untuk
keperluan istifta (meminta fatwa) karena suaminya bodoh, atau untuk mencari
nafkah seperti dagang atau mencari sedekah pada orang lain atau bekerja selama
suaminya tidak bisa menafkahkannya. Kamal
bin Hummam dari madzhab
Hanafi dan fath al-Qadir, juga berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh
Husein Muhammad: Apabila dia (istri) seorang bidan, atau tukang memandikan
mayat, atau dia bermaksud menuntut hak atau memenuhi kewajiban terhadap
orang lain, maka dia diperoleh keluar baik dengan izin suaminya atau tidak.
Menurutnya hal-hal seperti itu termasuk fardu kifayah. Keluar rumah karena
memenuhi kewajiban kolektif ini dapat dibenarkan menurut syara’ (hukum
agama).23
Masalah yang timbul sekarang adalah berkaitan dengan keterlibatan
wanita dalam dunia profesi (karir) yang ruang geraknya di sector public,
sedangkan di sisi lain sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggung jawab dalam
masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat dan
kontroversi di kalangan cendikiawan muslim ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad yang
dikutip Siti Muri’ah contohnya, tidak membolehkan wanita (istri) bekerja di luar
rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam
menghadapi hidup daripada wanita. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari
nafkah sendiri maka al-‘Aqqad membolehkannya bekerja. Abdurrahman Taj
23
127
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiya atas Wacana Agama dan Gender, h.
30
yang dikutip oleh Siti Muri’ah juga berpendapat bahwa apabila seorang istri
bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari
berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa
waktu malamnya bersama suami maka apabila pihak suami rela dengan keadaan
tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib
memberinya (istri) nafkah, sebaiknya, jika (suami) tidak rela maka tidak (wajib)
memberinya (istri) nafkah.24
Rif’ah Rifi’at Tahtawi yang dikutip Siti Muri’ah juga menyatakan bahwa
tidak perlu ada perbedaan dalam memberikan kesempatan memperoleh
pendidikan antara anak wanita dan pria, agar dalam mengarungi kehidupannya
wanita dapat serasi mengimbangi terutama pasangan hidupnya. Dengan
pendidikan wanita diharapkan dapat memperoleh pekerjaan yang layak sesuai
dengan kemampuan dan kodratnya, sehingga hidupnya produktif. Sementara itu
al-Hatimi menyatakan bahwa wanita boleh bekerja, bahkan diperbolehkan pula
menduduki jabatan strategis atau peranan penting di masyarakat dengan catatan
tetap duduk pada ajaran syariat serta tidak menelantarkan peran utamanya
sebagai ibu rumah tangga.25
24
Agus Baedhowi, Kedudukan Isteri Sebagai Wanita Karir Menurut Pandangan Hukum
Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 (Tinjauan Tentang Kewajiban Nafkah Suami) dikutip pada tanggal
23Juli 2015, pkl. 2.03 PM
25
Agus Baedhowi, Kedudukan Isteri Sebagai Wanita Karir Menurut Pandangan Hukum
Islam dan UU No. 1 Tahun 197, h. 196
31
Dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi:
‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻮﻟﹶﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﻦ‬‫ﻌ‬‫ﺃﹶﻃ‬‫ﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﲔ‬‫ﻼﺓﹶ ﻭﺁﺗ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﺃﹶﻗ‬‫ ﺍﻷﻭﻟﹶﻰ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺝ‬‫ﺒﺮ‬‫ﻦ ﺗ‬ ‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺗﺒ‬ ‫ﻻ‬‫ ﻭ‬‫ﺗ ﹸﻜﻦ‬‫ﻮ‬‫ﺑﻴ‬ ‫ﻲ‬‫ﻥﹶ ﻓ‬‫ﻗﹶﺮ‬‫ﻭ‬
‫ﺍ‬‫ﻄﹾﻬﹺﲑ‬‫ﻢ ﺗ‬ ‫ﻛﹸ‬‫ﻄﹶﻬﹺّﺮ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻴ‬‫ ﹶﻞ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺲ‬‫ ﺍﻟﺮﹺّﺟ‬‫ ﹸﻜﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ ﹾﺬﻫ‬‫ﻴ‬‫ ﻟ‬‫ﺍﻟﱠﻠﻪ‬
Artinya: "dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias,
dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan
membersihkan (dosa) kamu sebersih-bersihnya." (Al-Ahzab [21] ayat 33).
Para mufassir memberikan tafsiran beragam terhadap ayat di atas. Siti
Muri’ah yang mengutip Al-Madudi menjelaskan bahwa tempat wanita di rumah
bukan berarti dilarang bekerja di luar rumah. Pembebasan dari pekerjaan luar
rumah, dimaksudkan agar mereka dapat berkonsetrasi dan terhormat dalam
menunaikan kewajiban rumah tangga. Karena itu jika memang dibutuhkan, boleh
saja ia bekerja di luar rumah asal menjaga kesucian diri dan menjaga rasa malu.
Senada dengan pendapat di atas. Ali Yafie yang dikutip Siti Muri’ah juga
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hak bekerja antara pria dan wanita dalam
Islam. Tetapi kewajiban nafkah dibebankan kepada pihak pria. Ketika masih
bersama orang tuanya, maka wanita memperoleh nafkah dari ayahnya. Namun
ketika sudah bersuami, ia dinafkahi oleh suaminya.26
Menurut Alimin yang mengutip Said Hawa berpendapat bahwa ayat ini
tidak berarti perempuan sama sekali tidak boleh keluar rumah, melainkan isyarat
yang halus bahwa perempuan lebih berperan dalam urusan rumah tangga. Ada
26
Agus Baedhowi, Kedudukan Isteri Sebagai Wanita Karir Menurut Pandangan Hukum
Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, h. 196
32
hal-hal khusus yang menyebabkan perempuan harus keluar rumah. Karena
menurutnya, ayat ini tidak menunjukkan perintah bahwa perempuan mutlak
tinggal di dalam rumah, namun boleh saja keluar dengan alasan-alasan tertentu.
Muhammad Quthub yang dikutiip Alimin juga menegaskan bahwa ayat ini bukan
larangan terhadap perempuan untuk bekerja. Islam tidak melarang perempuan
untuk bekerja. Hanya saja, Islam memang tidak mendorog hal tersebut. Islam
membenarkan mereka bekerja karena darurat dan tidak menjadikannya sebagai
dasar pertimbangan. Meskipun kelihatan bijak namun Muhammad Quthub belum
membuka jalan bagi perempuan untuk mengembangkan karir secara bebas. Ada
kesan bahwa kebolehan bekerja di luar rumah bagi perempuan hanya sebatas
menaggulangi bahaya kelaparan yang mengancam.27
Dengan demikian bahwa kedudukan seorang istri yang mencari nafkah
diluar rumah (sebagai wanita karir) pada dasarnya boleh menurut hukum Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab: ”Sebagian besar ulama
pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan boleh melakukan pekerjaan
apapun selama ia membutuhkan atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.28
27
Alimin, Pembagian Tugas dalam Keluarga. Dalam Sri Mulyatih (ed). Relasi Suami Istri
dalam Islam. (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004), h. 49
28
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qru’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2003), cet ke-25, h. 276
33
Resiko yang ditanggung istri jika istri melalaikan kewajibannya sebagai
istri para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak
atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang
mengakibatkan gugurnya nafkah. Hanafi berpendapat: Manakala istri mengeram
dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya,
maka dia masih di sebut patuh (muthiah), sekalipun dia tidak bersedia dicampuri
tanpa dasar syara’ yang benar. Penolakannya yang seperti itu, sekalipun haram,
tetap tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Bagi Hanafi, yang menjadi sebab
keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah beradanya wanita tersebut
dirumah suaminya. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada
hubungannya dengan kewajiban nafkah. Dengan pendapat ini, Hanafi berbeda
pendapat dengan seluruh mazhab lainnya. Sebab seluruh mazhab yang lain
sepakat bahwa, manakala istri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk
menggauli dirinya dan ber-khalwat dengannya tanpa alasan berdasar syara’
maupun rasio, akan dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas
nafkah. Bahkan Syafi’I mengatakan bahwa, sekedar kesediaan digauli dan berkhalwat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si istri tidak menawarkan
dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, ”Aku menyerahkan
diriku kepadamu”. Sebenarnya, yang dijadikan pegangan bagi patuh dan taatnya
seorang istri adalah ‘urf , dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut ‘urf,
seorang istri bisa disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila suaminya
meminta dirinya untuk digauli mereka tidak mensyaratkan bahwa si istri harus
34
menawarkan dirinya siang dan malam. Tapi bagaimanapun, di sini terdapat
beberapa masalah yang berkaitan dengan persoalan nusyuz dan taat ini.29
B. Hak dan Kewajiban Istri dalam Peraturan Perkawinan di Indonesia
Undang-Undang maupun pun KHI telah merumuskan secara jelas mengenai
tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan abadi
berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan
tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari
kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh karena itu perkawinan tidak
hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah agar
mendapatkan kebaikan di dunia dan diakhirat.30Dan kewajiban istri merupakan
hak bagi suami meskipun pada dasarnya setiap kewajiban suami merupakan hak
bagi istri namun secara khusus Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam telah merinci sebagai berikut:
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Bab VI
Pasal 30
suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
29
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1999),
cet. 4, h. 402
30
h. 159
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),
35
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukkan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukkan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan
oleh suami istri bersama.
Pasal 33
Suami Istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami
di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
36
2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal
80 ayat (4) Huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) Di atas berlaku kecuali kembali sesudah
istri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah.31
Dari pasal yang mengatur hak dan kewajiban istri dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdiri dari pasal
30, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34. Serta Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak ada
aturan secara jelas tentang hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita
karir, padahal sejak tahun 1974 (sejak disahkannya Undang-Undang Perkawinan)
apalagi pada tahun 1991 banyak perempuan atau istri yang berkarir tinggi, padahal
hukum itu berlaku mengikuti zaman, hukum yang terdahulu tidak bisa dipaksa untuk
diterapkan di zaman sekarang. Apabila illat hukum yang zaman dahulu sudah
berubah di zaman sekarang dalam hukum Islam/Fiqih yang dirumuskan oleh fuqaha
klasik, pada masa itu belum banyak wanita karir, sehingga wajar dalam kitab-kitab
fiqih mereka pembahasan hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita
karir itu tidak ditemukan. Hal ini berbeda dengan zaman sekarang, sudah sangat
banyak para istri yang berkarir tinggi di luar rumah, sehingga semestinya pembahasan
hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita karir harus sudah dimuat
secara jelas dalam materi Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
31
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademik Presindo, 2010, edisi pertama),
h. 134
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI BAGI WANITA KARIR
DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Sekilas Tentang Objek Penelitian
1. Potret UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dihitung dari berdirinya ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) pada tahun
1957, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini telah
berusia 56 tahun. Selama kurun waktu tersebut, lembaga pendidikan ini telah
menjalankan mandatnya sebagai institusi pembelajaran dan transimisi ilmu
pengetahuan, sebagai institut riset yang mendukung proses pengembangan ilmu dan
membangun bangsa, dan sebagai institusi pengabdian masyarakat yang terus
mendorong program-program peningkatan kesejahteraan sosial. Selama itu pula, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta telah melewati beberapa periode sejarah sehingga
sekarang ini telah menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia. Secara
singkat sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat dibagi kedalam beberapa
periode, yaitu periode perintisan, fakultas dan IAIN al Jam’iyah, periode IAIN Syarif
Hidayatullah, dan Periode UIN Syarif Hidayatullah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berdiri berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 031 tahun 2002. Sejarah
pendirian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan satu mata rantai sejarah
perkembangan perguruan tinggi Islam Indonesia.1
1
Komaruddin Hidayat dkk, Pedoman Akademik Program Starata 1 2014/2015, (Jakarta: Biro
Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN) hal. 4
37
38
Perubahan IAIN menjadi UIN meniscayakan perubahan arah dan target
pendidikan di UIN. Status institut, dulu sungguh membatasi ruang gerak dan
kompetensi absolute garapan bidang keilmuan, yaitu bidang keislaman. Dengan
status baru sebagai Universitas Islam Negeri, tugas pokok UIN Jakarta adalah
menyelenggararakn pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
di bidang ilmu agama Islam, ilmu pengetahuan umum, seni dan teknologi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan visi lembaga ini
adalah menjadi lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam mengintegrasikan aspek
kelimuan, keislaman dan keindonesiaan. Sejalan dengan visi diatas, misi yang
diemban UIN adalah:
a.
Menghasilkan sarjana yang memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan
global;
b.
Melakukan reintegrasi epistemologi keilmuan;
c.
Memberikan landasan moral terhaap pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) dan melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan
taqwa (imtaq);
d.
Mengembangkan keilmuan melalui kegiatan penelitian;
e.
Memeberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.2
2
Amelia Fauzia dkk,Realita dan Cita Kesehatan Gender di UIN Jakarta, (Jakarta: McGill
IAIN-Indonesia Sovial Equity Project 2004), cet 1, h. 44
39
Moto UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2007 UIN Syarif Hidayatullah
menetapkan Knowledge, Piety, Integrity sebagai mottonya. Motto ini pertama kali
disampaikan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,
dalam pidato wisuda sarjana ke-67 tahun akademik 2006-2007. Knowledge
mengandung arti bahwa UIN Syarif Hidayatullah memiliki komitmen menciptakan
sumber daya insan yang cerdas, kreatif dan inovatif. Piety mengandung pengertian
bahwa UIN Syarif Hidaytullah Jakarta memiliki komitmen mengembangkan inner
quality dalam bentuk kesalahan di kalangan sivitas akademika.3
Kehadiran IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 1960-an yang specialis
agama Islam dalam rangka penataan, penguatan dan pemantapan agama Islam dalam
bidang pendidikan (Fakultas Tarbiyah), sejarah dan sastra Arab (Fakultas Adab),
filsafat akidah Islam (Fakultas Ushuluddin), bidang hukum Islam (Fakultas Syariah)
dan kemudian bidang dakwah Islamiah (fakultas Dakwah), merupakan panggilan
zaman dan tuntutan kebutuhan yang sangat tepat antara lain karena “tuntutan” situasi
politik ideology atau ideology politik yang sangat kuat antara kaum nasionalis
“sekuler” di satu pihak dan pihak nasionalis agamis atau “Islami” di lain pihak.
Sementara kehadiran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun-tahun 2000-an juga,
merupakan jawaban yang tepat dalam merespon kebutuhan umat Islam Indonesia
khususnya dan bangsa Indonesia umumnya yang boleh jadi “telah merasa jenuh”
3
Komaruddin Hidayat dkk, Pedoman Akademik Program Starata 1 2014/2015, (Jakarta: Biro
Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN) hal. 10
40
dengan kegagalan demi kegagalan dalam melakukan pertarungan politik ideology
yang diwarnai dengan dikotomi hitam-putih antara faham negara agama dengan
faham negara sekuler (1945-1959) yang kemudian berimbas pada dikotomi
pendidikan (1945-an 2000-an), antara sekolah dengan madrasah dan seterusnya,
disamping dikotomi antara hukum sekuler dengan hukum agama [Islam] (1945-1970an), dan terutama dikotomi antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam
Syariah yang berjalan sangat panjang yakni sejak zaman penjajahan sampai tahun
1990-an.4
Dengan keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 031 tanggal
20 Mei 2002 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Upacara peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia Hamzah Haz pada 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke45 (Lustrum ke-9) serta pemancangan tiang pertama pembangunan kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta melalui dana Islamic Development Bank (IDB). Setelah
itu, program Konverensi UIN dibubarkan, dan didirikan secara bersamaan Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial dan Fakultas Sains dan Teknologi. Belakangan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menambah fakultas baru, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (Program Studi Kesehatan Masyarakat) berdasarkan surat keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1338/D/T/2004 Tahun 2004 tanggal 12 April
4
Amin Suma, FSH UIN Jakarta Potret, keadaan dan prospeknya, (Jakarta: FSH Press,
Ciputat) h. 37
41
2004 tentang ijin Penyelenggaraan program Studi Kesehatan Masyarakat (S1) pada
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor Dj.II/37/2004
tanggal 19 Mei 2004. Mulai tahun akademik 2009/2010 tiga program studi,
pemikiran Politik Islam dan Sosiologi Agama dari Fakultas Ushuluddan dan Filsafat,
dan Ilmu Hubungan Internasional dari Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, bergabung
ke dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Beban Kerja Dosen dan Tanggung Jawab Jabatan Struktural di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Peraturan
Rekor
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
Nomor
UIN.
01/HK.00.5/17/2013 perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012 tentang pedoman pengaturan beban kerja
dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun Mengenai beban kerja dosen
dikelompokkan ke dalam 4 bidang yaitu:
1. Bidang Pendidikan dan Pengajaran
a.
Adapun jenis-jenis beban kerja dosen pada bidang pendidikan dan pengajaran
adalah sebagai berikut:5
1) Melaksanakan perkuliahan/tutorial, membimbing, dan menguji;
2) Menyelenggarakan kegiatan pendidikan di laboratorium, praktik keguruan,
praktik bengkel/studio/teknologi pengajaran;
3) Membimbing seminar mahasiswa (konsorsium bidang ilmu);
5
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 6
42
b.
4) Membimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN), Praktik Kerja Nyata (PKN),
Kuliah Kerja Lapangan (KKL), Praktik Kerja Lapangan (PKL), Program
Lapangan Profesi (PLP), atau Kerja Praktik (KP).
5) Membimbing tugas akhir penelitian mahasiswa termasuk membimbing
pembuatan laporan hasil penelitian akhir;
6) Melaksanakan tugas sebagai penguji pada ujian akhir/munaqasyah;
7) Mengembangkan program perkuliahan;
8) Mengembangkan bahan kuliah;
9) Menyampaikan orasi ilmiah;
10) Menduduki jabatan pimpinan perguruan tinggi;
11) Membina kegiatan mahasiswa di bidang akademik dan kemahasiswaan
(seperti penasehat akademik);
12) Membimbing akademik dosen di bawah jenjang jabatannya;
13) Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran melalui detasering;
14) Melaksanakan kegiatan pengembangan diri untuk meningkatkan
kompetensi;
Melaksanakan jenis beban kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)
huruf a merupakan kegiatan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang
terpenting;
1) Beban kerja dosen pada bidang pendidikan dan pengajaran bersama-sama
dengan bidang penelitian dan pengembangan ilmu sekurang-kurangnya
sepadan dengan 9 (sembilan) sks dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas)
sks yang dilaksanakan di Universitas dalam satu semester;
2) Dosen berpangkat akademik Guru Besar wajib mengajar pada program studi
tingkat sarjana sekurang-kurangnya setara dengan 3 (tiga) sks per semester
2.
Bidang Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Dalam bidang Penelitian dan Pengembangan Ilmu beban kerja dosen adalah
sebagai berikut:
1) Jenis-jenis beban kerja dosen pada bidang penelitian dan pengembangan ilmu
adalah sebagai berikut:6
6
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 7
43
a.
b.
c.
d.
e.
Menghasilkan karya penelitian (ilmiah);
Menerjemahkan/menyadur buku ilmiah;
Mengedit/menyunting karya ilmiah;
Membuat rencana dan karya teknologi yang dipatenkan;
Membuat rancangan dan karya teknologi, rancangan dan seni
monumental/seni pertunjukan/karya sastra;
f. Melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu melalui
detasering, cuti penelitian (sabbatical leave), dan pencangkokan dosen
dengan menempuh cuti penelitian.
2) Beban kerja dosen pada bidang penelitian dan pengembangan ilmu bersamasama dengan bidang pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya sepadan
dengan 9 (sembilan) sks dan sebanyak-banyaknya 16 (lima belas) sks yang
dilaksanakan di lingkup Universitas;
3) Beban kerja dosen pada bidang penelitian dan pengembangan ilmu sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) di atas sekurang-kurangnya sepadan dengan 3
(tiga) sks yang dilaksanakan di Universitas dalam satu tahun;
4) Pelaporan pelaksanaan beban kerja dosen sebagai dimaksud pasal 7 ayat (3) di
atas dapat dilaporkan per semester;
3.
Bidang Pengabdian Masyarakat
Dosen juga berkewajiban melakukan Pengabdian Masyarakat. Kegiatan
Pengabdian Masyarakat dapat dilaksanakan secara terstuktur dan tidak terstuktur:7
Kegiatan pengabdian pada masyarakat secara terstruktur sebagai dimaksud
pasal 8 ayat (1) di atas adalah kegiatan yang dilakukan dengan agenda yang
sistematis; tersedia SDM, sarana dan prasarana; berjejaring, ketersediaan sumber
dana, rutin, berkesinambungan, tujuan dengan jelas terdefinisikan, melalui Pusat
Pengabdian kepada Masyarakat pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat (LP2M) UIN Jakarta.
7
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 8
44
Kegiatan pengabdian pada masyarakat secara tidak terstruktur sebagai
dimaksud pasal 8 ayat (1) di atas adalah kegiatan yang direncanakan secara mandiri
oleh dosen dan tidak memenuhi sebagian kriteria sebagaimana di atur Pasal 8 ayat (2)
di atas, baik melalui maupun tidak melalui Pusat Pengabdian kepada Masyarakat
pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M);
Adapun Jenis-jenis beban kerja dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat
adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Menduduki jabatan pimpinan organisasi dan institusi sosial;
Melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian;
Memberi latihan/penataran/penyuluhan/ceramah kepada masyarakat;
Memberi pelayanan kepada masyarakat atau kegiatan lain yang menunjang
pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan;
e. Membuat/menulis karya pengabdian kepada masyarakat.
f. Melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui detasering,
cuti penelitian (sabbatical leave), dan pencangkokan dosen.
Beban kerja pengabdian kepada masyarakat dapat dilaksanakan melalui kegiatan
pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh Universitas atau melalui
lembaga lain; Beban kerja dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) di atas sebanyak-banyaknya sepadan
dengan 3 (tiga) sks yang dilaksanakan di Universitas dalam satu semester.
4.
Bidang Penunjang
Dosen tidak hanya berkewajiban melakukan bidang pendidikan, bidang
penelitian dan pengembangan ilmu, dan pengabdian masyarakat, ternyata dosen
45
dalam beban kerjanya juga diwajibkan untuk melaksanakan tugas penunjang, jenisjenis beban kerja dosen tugas penunjang ini adalah sebagai berikut:
1) Jenis-jenis beban kerja dosen pada bidang penunjang adalah sebagai berikut:8
a. Menjadi anggota dalam suatu panitia/badan pada Universitas;
b. Menjadi anggota dalam suatu panitia/badan pada lembaga pemerintah;
c. Menjadi anggota organisasi profesi dosen;
d. Mewakili universitas/lembaga pemerintah duduk dalam suatu panitia antar
lembaga;
e. Menjadi anggota delegasi nasional dalam pertemuan internasional;
f. Berperan aktif dalam pertemuan ilmiah;
g. Mendapatkan tanda jasa/penghargaan;
h. Menulis buku pelajaran SLTA ke bawah;
i. Mempunyai prestasi di bidang olah raga/kesenian/sosial;
j. Menjadi anggota dalam Tim Penilai Jabatan Akademik dosen.
2) Beban kerja dosen pada bidang penunjang sebagaimana dimaksud pada Pasal 10
ayat (1) di atas dapat diperhitungkan sebanyak-banyaknya sepadan dengan 3 (tiga)
sks yang dilaksanakan di Universitas dalam satu semester;
3) Dosen yang mendapat tugas di luar sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1)
huruf b dan c, yang bersifat tetap dan menuntut bekerja penuh waktu, dan di luar
beban kerja utamanya dalam Tridharma Perguruan Tinggi dapat dimasukkan
sebagai bukan termasuk bidang penunjang.
Khusus bagi dosen yang bergelar guru besar ada kewajiban khusus:
1.
Kewajiban khusus guru besar adalah:9
a. Menulis buku;
b. Menghasilkan karya ilmiah; dan
c. Menyebarluaskan gagasan.
2. Pengaturan terhadap kewajiban khusus guru besar sebagaimana dimaksud pada
Pasal 11 ayat (1) huruf a berupa buku yang sesuai dengan rumpun keahliannya
8
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 10
9
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 11
46
dan atau sesuai dengan jabatan yang pernah atau sedang dijalankannya dan
diterbitkan oleh lembaga penerbit baik nasional maupun internasional yang
mempunyai ISBN (International Standard of Book Numbering System).
3.
Pengaturan terhadap kewajiban khusus guru besar sebagaimana dimaksud pada
Pasal 11 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
a. Menghasilkan karya penelitian baik mandiri maupun kelompok, termasuk
keterlibatan dalam membimbing penelitian untuk tesis atau disertasi;
b. Menerjemahkan atau menyadur buku ilmiah;
c. Mengedit/menyunting karya ilmiah;
d. Membuat rancangan dan karya teknologi, dan
e. Membuat rancangan karya seni dan/atau mendapatkan hak paten.
4. Pengaturan terhadap kewajiban khusus guru besar sebagaima dimaksud pada
Pasal 11 ayat (1) huruf c adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Publikasi karya pada jurnal ilmiah;
Pembicara pada seminar regional, nasional maupun internasional;
Menyampaikan orasi ilmiah;
Melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat;
e. Memberi latihan/penyuluhan/penataran pada masyarakat;
f. Menyebarluaskan temuan karya teknologi dan/atau seni;
g. Memberi pelayanan kepada masyarakat atau kegiatan lain yang menunjang.
Selain menjalankan beban kerja dosen sebagaimana diuraikan terdahulu sebagian
dosen tertentu, juga memiliki tugas tambahan sebagai pejabat struktural di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dimaksud dengan tugas tambahan
itu adalah:10
10
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 12
47
1.
2.
3.
Dosen dapat diberi tugas tambahan sebagai pimpinan Universitas, mulai dari
Rektor hingga Ketua Program Studi di Universitas;
Seluruh dosen yang menduduki jabatan sebagai pimpinan Universitas wajib
menjalankan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya 3 (tiga) sks;
Jenis jabatan tambahan dosen sebagai pimpinan Universitas adalah:
Jabatan
No
Jenis
Tugas
Tambahan
Bukan
Tugas
Tambahan
SKS/Semester
Rektor

Wakil Rektor

Dekan/Direktur Pascasarjana

Ketua
Lembaga/Kepala

Pusat/Kepala
Satuan
Wakil
Koordinator Kopertais
5.
Sekretaris
Lembaga

Universitas/Sekretaris Kopertais
6.
Wakil Dekan

7.
Kepala laboratorium/studio/bengkel

8.
Ketua Jurusan/Prodi

9.
Sekretaris Jurusan/Prodi

10. Koordinator/Fungsional
Khusus

pada Lembaga/Satuan/Pusat
4. Dosen yang diberi tugas sebagai koordinator/fungsional khusus pada
Lembaga/Satuan/Pusat pada tingkat Universitas wajib menjalankan beban kerja
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) SKS;
5. Dosen dengan tugas tambahan sebagai pimpinan Universitas tetap memiliki
kewajiban mengajar sebagai berikut dengan mempertimbangkan volume kerja
pada jurusan/program studinya. Bagi dosen yang diamanahi dalam jabatan
structural ini, dikenai durasi waktu yang dihabiskan untuk berada di dalam kantor
akan jauh lebih lama di banding dosen biasa. Hal ini tentu berakibat akan
mengurangi alokasi waktu untuk keluarga mereka di rumah.
1.
2.
3.
4.
48
3.
Profile Informan
a.
Dr. Sururin. Jabatan di Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu
menjadi Ketua LPM (Lembaga Penjaminan Mutu). Studi Pendidikan
menengah tingkat pertama di MTS Arrasyid Bojoneggoro Jawa Timur,
Pendidikan menengah tingkat atas di MAN Tambaberas Jombang, Studi
kesarjanaan [S1] diperoleh dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. S2nya di
IAIN Imam Bonjol, dan S3nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jumlah
anak ada 3, anak yang pertama umur 14 tahun, anak yang ke dua 12 tahun,
anak yang ke tiga 8 tahun.
b.
Dr. R. Yani’ah Wardani, MA. Jabatan di Universitas Negeri UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yaitu menjadi Wadek II bidang administrasi Umum dan
keuangan. Studi pendidikan menengah tingkat pertama di MTS AIN 1.
Pendidikan menengah tingkat atas di Aliyah Darul Hikam Bandung. Studi
kesarjanaan [S1] diperoleh dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pendidikan S2 dan S3nya juga di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jumlah
anak ada 3 orang, anak yang pertama berumur 29 tahun, anak yang kedua
berumur 27 tahun, dan anak yang ketiga berumur 24 tahun.
c.
Dr. Innayah, S.Pd, M.Si. Jabatan di Universitas Islam Negeri UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Wadek II FST dan aktifitas selain di UIN yaitu
membantu suami mengurusi perusahaan. Studi pendidikan menegah tingat
pertama di SMP Negri 1, pendidikan menegah tingkat atas di Pesantren
putuhiyah di Demak Jawa Tengah. Studi kesarjanaan [S1] diperoleh dari
49
Universitas Negeri Semarang. S2nya di UGM (Universitas Gadjah Mada)
dan S3nya di ITB (Institut Teknologi Bandung). Jumlah anak ada 2 orang,
anak yang pertama berumur 18 tahun, anak yang kedua berumur 14 tahun.
d.
Dr. Cahya Buana, M.Ag. Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta Wadek FDI,
dan aktifitas selain di UIN yaitu
Pengurus Majlis Alimat Internasinal, Pengurus Muslimat NU. Studi
pendidikan menegah tingat pertama di MTSN Tanggung Cianjur, pendidikan
menegah tingkat atas di MA. Darul Ulum Bogor. Studi kesarjanaan [S1], S2
dan S3 diperolehnya dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta .Jumlah anak ada
3 orang, anak yang pertama berumur 17 tahun, anak yang kedua berumur 14
tahun, anak yang ketiga berumur 6 tahun.
e.
Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si. Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai Wakil Rektor 1 dan aktifitas selain di UIN
yaitu Pengurus MUI Pusat. Studi pendidikan menengah tingkat pertama di
MTS AIN 1 dan pendidikan menegah tingkat atas di MAAIN 1. Studi
kesarjanaan [S1] diperolehnya dari IAIN Syarif Hidayatullah, sedangkan
S2nya Psikologi UI, dan S3nya di Psikologi UII-YAI. Jumlah anak ada 4
orang, anak yang pertama berumur 31 tahun, anak yang kedua berumur 28
tahun, anak yang ketiga berumur 21 tahun, anak yang keempat berumur 17
tahun.
50
B. Pandangan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terhadap Hak dan
Kewajiban Istri Bagi Wanita Karir
1.
Pengetahuan Hukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri
Berdasarkan dari hasil wawancara penulis dengan 5 informan yang terdiri
dari dosen-dosen wanita yang memiliki jabatan struktural di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dapat diambil kesimpulan bahwa 3 dari 5 informan
yang penulis wawancarai itu mengetahui adanya hak dan kewajiban istri menurut
Hukum Islam. Menurut yang mereka ketahui bahwa hak dan kewajiban istri itu
adalah hak diberi nafkah oleh suami baik nafkah lahir maupun bathin dan hak
mendapat perlakuan baik dari suami, hal ini diungkapkan oleh Dr. Innayah, S.Pd,
M.Si. Hal ini sesuai dengan pendapat yang telah diungkapkan oleh Dr. Cahya
Buana, M.Ag.
Pendapat yang cukup menarik adalah dari Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si.
(Warek 1) bahwa:“1. Hak istri Untuk dicintai, disayangi, dihormati. 2. Hak istri
untuk diberi nafkah (kewajban suami adalah memberi nafkah kepada istrinya) 3.
Hak istri untuk mendapatkan dukungan baik itu dengan pengembangan pribadi,
atau melakukan kegiatan-kegiatan tugas-tugas di dalam rumah tangga atau
dukungan dalam pengembangan karir. Sedangkan kewajiban istri menurut
beliau adalah 1. Yang utama istri harus taat kepada suaminya, sepanjang suami
itu tidak mengarahkan istrinya kepada hal-hal yang musyrik yang bertentangan
dengan syariat 2. Istri itu berkewajiban untuk melayani suami dalam hal apapun
kebutuhan-kebutuhan suami.”11
Selanjutnya terdapat 4 informan tidak mengetahui hak dan kewajiban istri
menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI di Indonesia
11
Wawancara langsung dengan Dr. fadhilah Suralaga, M.Si. (Warek 1). Pada tanggal 9
september 2015, pkl. 14:01. Diruang Rektorat lt.2
51
dengan alasan mereka tidak menggeluti bidang ini, dan tidak perduli dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Hal ini seperti di ungkapkan
oleh Dr. Cahya Buana, M.Ag. Beliau tunduk pada semua yang diatur dalam
aturan agama Islam. Dan satu informan lainnya menyatakan bahwa dia tidak
mengetahui secara tepat hak dan kewajiban istri menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Menurut pendapatnya KHI di Indonesia tersebut
disimpulkan dari Hukum Islam. Beliau menjelaskan bahwa Hak dan kewajiban
istri menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dan KHI di
Indonesia tetap hak istri adalah mendapat nafkah lahir bathin dan perlakuan baik.
Dan kewajibannya itu menjaga keutuhan dan kesejahteraan rumah tangga
tersebut.
2.
Pemahaman Hukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri
3 dari 5 informan yang penulis wawancarai memiliki pemahaman yang
sesuai dengan isi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI di
Indonesia, pemahaman mereka itu adalah bahwa istri itu wajib mengatur urusan
rumah tangga dan suami mencukupi nafkah, hal ini seperti di sampaikan oleh Dr.
Yani’ah Wardani, MA. Wadek III FAH. 12 Sedangkan menurut Dr. Fadhilah
Suralaga, M.Si. kewajiban istri menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 istri mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada
suaminya, menjaga kehormatannya, menjaga harta suaminya, dan menjaga
12
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA. (Wadek III FAH). Pada tanggal 18
Agustus 2015, pkl: 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
52
rumah tangganya.13Menurut pendapat Dr. Innayah, SPD. MSI. Wadek II FST hak
istri menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia No. 1 Tahun 1974 dan
KHI di Indonesia adalah mendapatkan nafkah lahir bathin.14
Kelima informan setuju dengan isi dari Undang-Undang Perkawinan
dan KHI di Indonesia khususnya tentang hak dan kewajiban istri. Sedangkan 2
informan yang lain, mereka tidak menegetahui dan tidak hafal isi dari UndangUndang perkawinan dan KHI di Indonesia tentang hak dan kewajiban istri.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban istri dalam berkeluarga hanya
berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits, menurutnya teori itu tidak penting
karena percuma kita mengetahui teori tetapi tidak bisa mempraktekannya di
dalam keluarga, hal ini seperti disampaikan oleh Dr. Cahya Buana, M.Ag.
(Wadek FDI) .15
Dari seluruh hasil wawancara penulis dengan informan, ada satu
pemahaman yang menarik yang bisa kita ambil yaitu dari Dr. Cahya Buana,
M.Ag. (PUDEK FDI) tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dna KHI di Indonesia yaitu “Saya tunduk
pada semua yang diatur dalam aturan Agama Islam kalau memang itu bukan
13
Wawancara langsung dengan Dr. Fadhilah Suralaga, M,Si. (Wakil Rektor 1). Pada tanggal
9 September 2015 diruang rektor lt.2
14
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan lt.2
15
Wawancara langsung dengan Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI). Pada tanggal 4
september 2015, pkl. 10.07, diruang Dekan lt.1
53
penafsiran, terkadang yang diambil itu adalah penafsiran-penafsiran dan hasil
pendapat para ulama yang belum tentu cocok dengan keadaan, tetapi dalam
aturan yang tertulis dalam Al-Qur’an ya ibu akan selalu tunduk terhadap apa
yang sudah di gariskan oleh agama. Tetapi dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada
kan pembagian job description antara laki-laki suami dan istri hanya secara
global saja bahwa suami adalah istilahnya qowamun, jelas kita harus
menempatkan itu, tapi kalau untuk job description ya gak seperti itu.”16
Artinya, beliau memahami bahwa Undang-Undang Perkwainan No. 1
Tahun 1974 maupun KHI di Indonesia yang mengatur tentang hak dan kewajiban
istri tidak begitu penting untuk beliau, karena menurut beliau percuma
memahami teori jika tidak bisa memperaktekkannya dalam kehidupan. Jadi
beliau lebih memilih tunduk kepada Al-Qur’an dan hadits.
Adapun yang dikritisi oleh Dr. Cahya Buana, M.Ag. (PUDEK FDI) dari
UUD Perkawinan Pasal 31 ayat 3 berbunyi “suami adalah kepala keluarga dan
istri ibu rumah tangga” yaitu penafsiran tetang “ibu rumah tangga” menurutnya
harus ada penjabaran, ia tidak setuju jika ibu rumah tangga hanya di istilahkan
dengan sumur, dapur, kasur karena kalimat tersebut membatasi kreatifitas
perempuan.17
3.
Perilaku Hukum Dosen Tentang Hak dan Kewajiban Istri
Kelima informan yang peneliti wawancarai ketika ditanya tentang cara
membagi waktu dan prioritas antara keluarga dan karir mereka memilki jawaban
16
Wawancara langsung dengan Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI). Pada tanggal 4
september 2015, pkl. 10.07, diruang Dekan lt.1
17
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan lt.2
54
yang serupa yaitu fokus dengan kedua-duanya dan seimbang dalam hal prioritas.
Ketika situasi keluarga yang membutuhkan prioritas, maka mereka akan lebih
memprioritaskan keluarga, tetapi jika karir yang lebih membutuhkan prioritas,
maka mereka akan memprioritaskan karir. Artinya mereka akan bertindak sesuai
situasi saja.
Ketika peneliti menanyakan “Seandainya suami atau anak mereka
menghendaki untuk berhenti bekerja agar bisa maksimal mengurusi suami atau
anak-anak, bagaimana sikap mereka”. Kelima informan memiliki jawaban yang
serupa juga, yaitu mereka tidak akan berhenti bekerja apabila memang tidak ada
alasan yang tepat dan masuk akal. Ada satu alasan informan yang menarik ketika
ditanya kenapa tidak mau berhenti bekerja, alasan dari Dr. Yani’ah Wardani,
MA. (Wadek FAH), beliau menyatakan bahwa alasan beliau bekerja dalam
bidang ini adalah untuk mengamalkan ilmunya sehingga tidak ada alasan untuk
beliau berhenti.18
Untuk masalah kendala yang dihadapi kelima informan menyatakan
bahwa menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga pasti ada kendalanya
tergantung bagaimana menyikapinya. Ada penyataan yang menarik dari salah
satu narasumber adalah Dr. Innayah, SPD. M.SI (Wadek FST), beliau
menyatakan bahwa “tidak ada kesulitan selama dijalani dengan santai, nyaman
18
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA (Wakil Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora). Pada tanggal 18 Agustus 2015, pkl. 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
55
dan saling memahami sehingga kesulitan-kesulitan tersebut tidak ditemukan.”19
Selain itu sebagian besar informan merasa tidak kesulitan menjalani peran
gandanya karena dibantu oleh PRT (pembantu rumah tangga), kecuali Dr.
Sururin (Ketua LPM) yang tidak memperkerjakan PRT (Pembantu Rumah
Tangga) tetapi mengambil mahasiswa untuk membantunya dengan imbalan
beliau membiayai kuliah mereka sampai lulus.
4.
Pendapat Dosen Tentang Wanita Karir yang menjalankan Peran Ganda
dan Wanita Karir yang melalaikan Kewajibannya dalam Rumah Tangga
Menurut lima informan, wanita karir yang menjalankan peran ganda tidak
masalah, asalkan mendapatkan kesepakatan bersama antara suami dan istri, baik
kesepakatan sebelum menikah atau kepakatan setelah menikah, meski ada
percekcokan antara keduanya. Pendapat keempat informan tentang wanita karir
yang berperan ganda apabila melalaikan kewajibannya sebagai istri itu tidak bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti diterima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah. Hal ini di sampaikan oleh pendapat Dr. Yani’ah Wardani, MA (Wadek
III FAH) bahwa “Tidak gugur kewajibannya mendapatkan nafkah dari suami,
dan suami harus memberi pengertian kepada istri.”20
19
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan lt.2
20
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA (Wakil Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora). Pada tanggal 18 Agustus 2015, pkl. 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
56
Berbeda lagi menurut pendapat Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI)
bahwa “Bisa gugur kewajiban nafkah suami apabila istri lalai menjalankan
kewajibannya, jika berpangku kepada hukum, Al-qur’an dan fiqih, tetapi jika
pada dasarnya adalah musyawarah, kekeluargaan dan kesepakatan bersama, tidak
bisa disebut lalai dan tetap mendapatkan nafkah dari suami.”21
21
Wawancara langsung dengan Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI). Pada tanggal 4
september 2015, pkl. 10.07, diruang Dekan lt.1
BAB IV
ANALISIS HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI YANG BERPROFESI WANITA
KARIR DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Relasi Suami Istri dalam Rumah Tangga
Relasi suami istri dalam rumah tangga menurut Dr. Sururin adalah:
“Kebetulan pendidikan saya lebih tinggi dari pada suami saya, saya sampai S3
suami saya S2 dan ketika saya menikah suami saya sedang menyelesaikan S2,
waktu itu tinggal ujian katika saya menikah sudah terdapaftar sebagai
mahasiswa S3, jadi dari awal sudah ada komitmen dari awal sudah saling
tahu”1. Relasi suami istri dalam rumah tangga menurut Dr. Yani’ah wardani,
MA adalah “Tetap, Dalam Islam kan suami tetap menjadi imam dari seorang
istri”.2Menurut Dr. Innayah, S.Pd. M.Si mengenai relasi suami istri dalam rumah
tangga bahwa “suami istri itu sama-sama harus saling menghormati, meghargai
dan kompak.”3menurut Dr. Cahya Buana, M.Ag bahwa relasi suami istri dalam
rumah tangga adalah relasi “Pertemanan.”4Menurut Dr. Fadhilah Suralaga, M,Si
bahwa relasi suami istri dalam rumah tangga adalah “baik menurut saya pola
1
Wawancara langsung dengan Dr. Sururin (Ketua LPM). Pada tanggal 4 September 2015 pkl.
10.07.
2
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA. (Wadek III FAH). Pada tanggal 18
Agustus 2015, pkl: 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
3
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
4
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
57
58
komunikasinya tidak sama seperti yang orang tua saya dulu tunjukkan atau
orang tua yang lebih dulu generasinya, bahwa seorang suami itu memang sangat
ketara bahwa dia itu lebih dominan di dalam keluarga tetapi untuk generasi saya
dan berikutnya itu sudah lebih kesetaraan itu ada, terlihat bahwa ada saling
menghormati, menghargai, mendukung termasuk dalam pengambilan keputusan
itu memang dibicarakan”5
Pada intinya kelima informan yang peneliti wawancarai berpendapat
bahwa relasi suami istri dalam rumah tangga adalah relasi pertemanan, suami
adalah sebagai imam, relasi kesetaraan, relasi kemitraan, relasi atau hubungan
para informan dengan keluarganya tetap baik-baik saja meskipun mereka sibuk
diluar rumah (menjadi wanita karir), tetapi meskipun begitu mereka menganggap
suami tetap menjadi imam dalam keluarga yang memiliki tanggung jawab yang
lebih, walaupun sebagian informan memiiliki suami yang financial dan
pendidikannya lebih rendah dari mereka tetapi mereka tetap menganggap bahwa
kodrat suami adalah sebagai imam dalam keluarga.
Ternyata pendapat mereka sama dengan hukum Islam bahwa suami istri
itu harus saling menghormati, menghargai, dan suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya yaitu menjadi imam keluarga, sebagaimana yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:
5
Wawancara langsung dengan Dr. Fadhilah Suralaga, M,Si. (Wakil Rektor 1). Pada tanggal 9
September 2015 diruang rektor lt.2
59
(228/2:‫ﻋﺰِﯾْﺰٌ ﺣَﻜِﯿْ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ ُ‫ﺟ ٌﺔ وَاﷲ‬
َ ‫ﻋﻠَﯿْ ِﮭﻦﱠ َد َر‬
َ ‫ل‬
ِ ‫ف َوﻟِﻠ ﱢﺮ ﺟَﺎ‬
ِ ْ‫ﻦ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُو‬
‫ﻋَﻠﯿْ ِﮭ ﱠ‬
َ ‫ﻦ ِﻣﺜْﻞُ اﱠﻟﺬِي‬
‫ َوَﻟﮭُ ﱠ‬......
Artinya: ”………..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.” (Al-Baqarah: [2] 228).
Selain sesuai dengan hukum Islam, pendapat mereka juga sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi,
hak dan kedudukkan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukkan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
B. Hak dan Kewajiban Istri Wanita Karir
Kelima informan ketika ditanya hak dan kewajiban istri wanita karir sama
dengan hak dan kewajiban istri yang hanya menjadi ibu rumah tangga, dan ini
adalah jawaban para informan. Menurut Dr. Sururin adalah “Kan sama ya,
tergantung kita menafsirkannya, tafsiran kepada kewajiban itu, itukan tidak
kemudian kalaupun jika tidak 3 rakaat kemudian batal, kan tidak
begitu”.6Menurut Dr. Yani’ah Wardani, MA adalah “Tidak ada bedanya, jadi
kalau ada istri yang berkarir jangan lupa akan kewajiban-kewajibannya kalau
dia menghargai suami, banyak wanita yang berkarir itu tidak butuh suami tapi
itu nauzubiilah sudah keluar rel dalam agama”. 7 Sedangkan menurut Dr.
6
Wawancara langsung dengan Dr. Sururin (Ketua LPM). Pada tanggal 4 September 2015 pkl.
10.07
7
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA. (Wadek III FAH). Pada tanggal 18
Agustus 2015, pkl: 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
60
Innayah, S.Pd. M.Si adalah “tidak berbeda”.8 Dan menurut Dr. Cahya Buana,
M.Ag adalah “hak dan kewajiban istri wanita karir sama dengan hak dan
kewajiban istri yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja, yang berbeda hanya
dari segi kuantitas waktu dan kualitas potensi”.9sedangkan menurut Dr. Fadhilah
Suralaga, M.Si adalah “sama.”10
Menurut perspektif kelima informan hak dan kewajiban istri wanita karir
sama dengan hak dan kewajiban istri yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja,
yang berbeda hanya dari segi kuantitas waktu dan kualitas potensi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Dr. Cahya Buana bahwa sebagai wanita karir kuantitas
pertemuan dengan keluarga akan lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang
hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi kuantitas yang banyak juga tidak bisa
menjamin kualitas yang lebih baik.
Secara Hukum Islam kedudukan seorang istri yang mencari nafkah diluar
rumah (sebagai wanita karir) pada dasarnya boleh. Sebagaimana yang dikatakan
oleh M. Quraish Shihab. Yang pada akhirnya, ”sebagian besar ulama
menyimpulkan bahwa perempuan boleh melakukan pekerjaan apapun selama ia
membutuhkan atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma
8
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
9
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
10
Wawancara langsung dengan Dr. Fadhilah Suralaga, M,Si. (Wakil Rektor 1). Pada tanggal
9 September 2015 diruang rektor lt.2
61
agama dan susila tetap terpelihara. Tetapi, secara tertulis belum diatur bagaimana
hak dan kewajiban wanita karir menurut Hukum Islam, begitu juga dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
C. Peran Ganda Wanita Karir
Peran ganda wanita karir menurut Dr. Sururin menyatakan bahwa
“Kalau kita tidak memahami bahwa yang kita lakukan yang terbaik untuk
keluarga kita, mungkin akan merasa menderita dan menjadi beban ganda, tetapi
kalau saya merasakan seperti itu, kalau saya tidak menyadari,. Tapi saya
menyadari apa yang saya bisa lakukan yang terbaik untuk keluarga saya”.11
Peran ganda wanita karir menurut Dr. Yani’ah Wardani, MA. Menyatakan bahwa
“Kalau istri itu punya pijakan agama dia gak akan menjadi beban dia tetap
berkarir seperti di organisasi di sini tetap saja gak jadi beban, asalkan suaminya
itu mengerti mendukung jadi sebenarnya keberhasilan istri itu tidak lepas dari
dukungan suami, begitu juga sebaliknya. Apalagi suami kalau berhasil itu atas
dukungan istri. 12 Peran ganda wanita karir menurut Dr. Innayah, SPd. M.Si
“Menurut saya tidak membebankan asalkan kita berstrategi dengan baik.” 13
Sedangkan Peran ganda wanita karir menurut Dr. Cahya Buana, M.Ag adalah
11
Wawancara langsung dengan Dr. Sururin (Ketua LPM). Pada tanggal 4 September 2015
pkl. 10.07
12
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA. (Wadek III FAH). Pada tanggal
18 Agustus 2015, pkl: 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
13
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
62
“Kalau landasan berfikir kita adalah landasan agama saya yakin tidak akan
pernah membebani, kecuali tadi kalau basicnya itu keikhlasan karena Allah itu
selesai semua persoalan, persoalanya bagaimana menempa kehidupan si
perempuan itu untuk meyakini bahwa peran ganda memang ada, mau diapain.
kalau saya si menikmati hidup dengan peran ganda, karena saya lebih bisa
memanfaatkan belajar dari kedua peran ini, peran dirumah saya pelajari,
mudah-mudahan insya Allah tidak ada kejomplangan antara kedua peran ini.”14
Menurut Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si tentang peran ganda wanita karir
beliau menyatakan bahwa “Buat saya tidak merugikan sepanjang itu kita
lakukan dan itu memang merupakan kewajiban kita jadi kalau suami membantu
tugas domestik ya itu tadi dalam konteks dia mensuport, kewajiban kita memang
untuk mengurus rumah tangga taat dan melayai suami, mendidik anak jadi kalau
misalnya sudah terpola selama ini istri peran domestik suami peran public
misalnya gitu, mungkin proporsinya tetap istri untuk domestic mestinya banyak
suami dalam public tapi untuk istri yang sekarang ini mendapat jabatan penting,
misalnya memang jadi walikota, gubernur, apalagi jadi presiden jadi direktur
diperusahan, jadi apa yang memang hampir banyak energynya untuk memikiran
orang lain misalnya. Maka dia harus pandai-pandai untuk mengatur memanage
(mempunyai asistan) jangan lupa juga bahwa dia adalah tetap istri tetap ibu
dari anak-anaknya jadi ga boleh kalau dia birokrat dan dia memperlakukan
14
Wawancara langsung dengan Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI). Pada tanggal 4
september 2015, pkl. 10.07, diruang Dekan lt.1
63
orang dirumah itu seperti bawahan misalnya gitu, suaminya jabatannya lebih
kecil incomenya lebih kecil jadi dia sok penguasa itu menrut saya ga bagus, jadi
didalam rumah istri itu harus berperan dengan baik. Dan itu juga dilakukan
dengan tenang tidak akan merasa rugi.”15
Pada initinya kelima informan menyatakan bahwa mereka tidak merasa
terbebani dengan peran gandanya sebagai wanita karir, yang juga sekaligus
sebagai ibu rumah tangga. Meskipun di awal pernikahan, mereka pasti ada
perdebatan antara suami dan istri. Namun, itu hal yang wajar karena harus
beradaptasi lebih dahulu dengan kebiasaan baru. Selain itu mereka semua
mensiasati dengan menyerahkan pekerjaan rumah kepada orang lain sebagai
perwakilan, sehingga mereka tidak terbebani lagi. Empat informan menyerahkan
kepada PRT sedangkan satu informan lagi menyerahkan kepada mahasiswa,
dengan demikian tampak bahwa kelima informan merasa nyaman saja dengan
peran ganda yang mereka lakukan.
Dengan demikian bahwa kedudukan seorang istri yang mencari nafkah
diluar rumah (sebagai wanita karir) pada dasarnya boleh menurut hukum Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab: ”Sebagian besar ulama
pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan boleh melakukan pekerjaan
apapun selama ia membutuhkan atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
15
Wawancara langsung dengan Dr. Sururin (Ketua LPM). Pada tanggal 4 September 2015 pkl. 10.07.
64
Kelima informan tetap menjalankan kewajibannya sebagai sebagai
seorang istri meskipun memiliki peran ganda sebagai wanita karir, hal ini tidak
menyalahi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 83 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi, kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam.
Dan istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
D.
Kelalaian Istri Menunaikan Kewajibannya Karena Berprofesi Sebagai
Wanita Karir
Ketika ditanya oleh peneliti apakah Kelalaian istri menunaikan
kewajibannya sebagai wanita karir dapat menyebabkan gugurnya hak menerima
nafkah, dan kelima infoman menjawab. Dr. Sururin menyatakan bahwa, “kok
saya tidak mengenal yang seperti itu ya, suami saya sangat memahami saya
dan suami saya juga sangat memahami saya, jadi ketika saya capek suami saya
gak akan nuntut.16dan Dr. Yani’ah wardani menyatakan bahwa “Tidak gugur
kewajibnnya, tetap saja, cuma suami harus pengertian kepada istri”. 17
sedangkan Dr. Innayah, S.Pd. M.Si menyatakan bahwa “kalau gugur si tidak
sampai sejauh itu ya, ya baiknya kompromi tadi suami saling mengingatkan
saling menegur dulu ada tahapan kan, saya fikir kalau suami seorang imam
16
Wawancara langsung dengan Dr. Sururin (Ketua LPM). Pada tanggal 4 September 2015
pkl. 10.07
17
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ah Wardani, MA. (Wadek III FAH). Pada tanggal
18 Agustus 2015, pkl: 12.47. Diruang Dekan FAH lt.2
65
yang baik ga sampai mikir lalai.”18sedangkan menurut Dr. Cahya Buana, M.Ag
menyatakan bahwa “Kalo saklek ya bisa, kalo kita mau berpangku kepada
hukum dan al-quran, fiqih dan sebagainya bisa, tapi kalau kita dasarnya
adalah musyawarah dan kekeluargaan dan kesepakatan bersama, perundingan
ya gak ada yang seperti itu intinya, tapi kalo saklek ya bisa kalau berdasarkan
hukum-hukum ya memang bisa, makanya banyak mengajukan gugatan cerai
dsb. Karena selalu di kepalanya itu cuma hak dan kewajban gak pernah
berbicara bagaimana untuk memajukan hak dan kewajiban itu untuk saling
berbagi.”19dan menurut Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si adalah “Yang idealnya
memang tidak harus begitu, yang idealnya tadi istri itu tau benar apa
kewajiban dan haknya jadi bisa dikatakan sebagai seorang manusia dia punya
hak untuk dirinya sendiri, dia punya hak untuk mengamalkan ilmunya, dia
punya hak untuk memperoleh penghasilan sendiri, karena siapapun akan
merasakan hal yang berbeda ketika dia membelanjakan sesuatu yang memang
hasil jerih payahnya sendiri dibandingkan dengan menerima saja”20
Pada intinya empat dari lima informan menjelaskan bahwa, ternyata
mereka menunaikan hak dan kewajibannya didalam rumah, lantaran karena
18
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST). Pada tanggal 26
Agustus 2015, pkl. 11.59, diruang Dekan FST lt.2
19
Wawancara langsung dengan Dr. Cahya Buana, M.Ag. (Wadek FDI). Pada tanggal 4
september 2015, pkl. 10.07, diruang Dekan lt.1
20
Wawancara langsung dengan Dr. Fadhilah Suralaga, M,Si. (Wakil Rektor 1). Pada tanggal
9 September 2015 diruang rektor lt.2
66
berprofesi sebagai wanita karir tidak menyebabkan gugurnya hak menerima
nafkah dari suami, karena mereka bekerja atas seizin suami terlebih dahulu,
tetapi satu informan lagi berpendapat bahwa bisa saja tidak mendapatkan nafkah
dari suami apabila istri lalai menunaikan hak dan kewajibannya, karena jika
berpangku kepada hukum, Al-qur’an dan fiqih, tetapi jika pada dasarnya adalah
musyawarah, kekeluargaan dan kesepakatan bersama, tidak bisa disebut lalai dan
tetap mendapatkan nafkah dari suami.
Dilihat dari Hukum Islam pendapat kelima informan sudah sesuai
dengan Hukum tersebut yaitu menurut pendapat Imam Hanafi yang menjadi
sebab keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah beradanya wanita
tersebut dirumah suaminya.
Untuk semua informan menyatakan bahwa hal tersebut tidak bisa
dianggap kelalaian, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 84 ayat (1)
yang berbunyi Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali satu
diantara informan menyatakan jika mereka berpangku kepada Al-Qur’an dan
Fiqih maka mereka bisa dianggap lalai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan pembahasan yang penyusun lakukan pada bab
terdahulu maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita karir dalam
pandangan Hukum Islam adalah sama dengan hak dan kewajiban istri yang tidak
berprofesi sebagai wanita karir, begitu juga dalam hukum positif tampak tidak ada
perbedaan antara istri yang berprofesi sebagai wanita karir ataupun istri yang hanya
dirumah saja. Selanjutnya menurut peraturan di Indonesia bahwa, hak dan kewajiban
istri yang berprofesi sebagai wanita karir dan yang tidak berprofesi sebagai wanita
karir itu sama, hak dan kewajiban tersebut diatur dalam pasal 30, 31, 32, 33 dan 34
dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 83 dan 84.
Adapun hak dan kewajiban istri tersebut secara rinci adalah hak mengenai
harta (mahar, maskwin dan nafkah) dan hak mendapat perlakuan baik dari suami.
Sedangkan kewajiban yang dimaksud adalah taat dan patuh kepada suami dalam
batas-batas yang ditentukan oleh norma agama dan susila, mengatur dan mengurus
rumah tangga serta mejaga keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga,
memelihara dan mendidik anak sebagai amanah dari Allah, memelihara dan menjaga
kehormatan serta melindungi harta benda keluarga, dan menerima, menghormati
pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan hemat dan
bijaksana.
67
68
Hak dan kewajiban istri yang berprofesi sebagai wanita karir dilingkungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah kelima informan menyatakan bahwa hak dan
kewajiban istri wanita karir sama dengan hak dan kewajiban istri yang hanya menjadi
ibu rumah tangga saja. Menurut mereka yang berbeda hanya dari segi kuantitas waktu
dan kualitas potensi.
Selanjutnya kelima informan menyatakan bahwa mereka tidak merasa
terbebani dengan peran gandanya sebagai wanita karir, yang juga sekaligus sebagai
ibu rumah tangga. Meskipun mereka menjadi wanita karir tidak menggugurkan hak
dan kewajibannya sebagai seorang istri sehingga mereka tetap berhak memperoleh
nafkah lahir dan bathin, sedangkan kewajibannya mereka tetap berkewajiban
mengurus keluarga mereka sekalipun dengan cara mempekerjakan PRT maupun
menyewa mahasiswa.
Pendapat kelima informan itu berangkat dari pemahaman bahwa relasi suami
istri dalam rumah tangga adalah relasi pertemanan, suami adalah sebagai imam, relasi
kesetaraan, relasi kemitraan. Dengan adanya relasi seperti yang dijelaskan tersebut
dapat mewujudkan keluarga yang damai dan tentram, karena berlandaskan dengan
komunikasi yang baik, kesepakatan dan musyawarah bersama meskipun istrinya
berperan sebagai wanita karir.
A. Saran-saran
1. Kepada Pemerintah, diharapkan supaya lebih tegas lagi dalam mengatur UndangUndang tentang hak dan kewajiban wanita karir, karena sampai saat ini belum
ada peraturan tertulis yang secara tegas menjelaskan hal.
69
2. Kepada wanita karir, diharapkan supaya lebih pintar lagi dalam membagi waktu
antara keluarga dan pekerjaan, sehingga dapat terjalinnya keluarga yang
harmonis.
3. Kepada masyarakat, diharapkan supaya lebih sadar lagi akan pentingnya
mengetahui hak dan kewajiban istri yang diatur dalam Undang-Undang
Perkwaninan maupun Kompilasi Hukum Islam.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Sa’dawi, Amru Wanita dalam Fiqih Al-Qardhawi, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: AkademikPresindo, 2010,
edisipertama)
Al Qardawi Yusuf, Panduan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka,
2004)
Albar Muhammad, Wanita dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Daar AlMuslim, Beirut)
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006
Amin Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2003)
Ash-Shabbagh Mahmud, KeluargaBahagiaDalam Islam, Yogyakarta: CV. Pustaka
Mantiq, 1993
Az-Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam WaAdillatuhujilid 7
Baedhowi Agus, Agus Kedudukan Isteri Sebagai Wanita Karir Menurut Pandangan
Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 (Tinjauan Tentang Kewajiban Nafkah
Suami)
71
Bungin Burhan¸Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001
Departemen Agama RI, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah Sakinah
,Jakarta: DIRJEN BIMAS DAN HAJI, 2000
Departemen Agama, AlQuran dan Tafsirnya, 20 Desember 1990
Fauzia Amelia dkk, Realita dan Cita Kesehatan Gender di UIN Jakarta,
Jakarta: McGill IAIN-Indonesia Sovial Equity Project 2004
Hidayat Komaruddin dkk, Pedoman Akademik Program Starata 1 2014/2015,
Jakarta: Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN
http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri
Indra Hasbi dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: PENAMADANI, 2004
Istiadah, “Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Jawad Mughniyah, Muhammad Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: LENTERA
BASRITAMA, 1999
Keluarga. Dalam Sri Mulyatih (ed). Relasi Suami Istri dalam Islam. Jakarta:
Pusat Studi Wanita, 2004
Manshur Abd al-Qadri, Buku Pintar Fiqih Wanita, Jakarta: Penerbit zaman,
2009
72
Mesraini, Membangun Keluarga Sakinah, (Jakarta: MakmurAbadi Press, MA
Press, 2010
Mufidah, Psikolog Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UINMalang Press, 2008
Muhammad Husain, Fiqih Perempuan, refleksi kyai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogyakarta: LkiS, 2002
Musa Abdurrahim, Abu Kitab Cinta Berjalan, Jakarta: Gemainsani 2011
Mutawalli As-Sya’rawi, Syaikh Fikih Perempuan Muslimah,
Nuruddin Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: PRENADA MEDIA, 2004
Quraish Shihab, M. 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta:
Penerbit Lentera Hati 2008
Quraish Shihab, M. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2003
Rahman Abdul Ghozali, Abdul Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010
SK Rektor 01/HK.00.5/17/2013 tentang perubahan atas peraturan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor UIN.01/HK.00.5/3/2012, pasal 6
73
Suma Amin, FSH UIN Jakarta Potret, keadaan dan prospeknya, Jakarta: FSH
Press, Ciputat
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2007
T.yanggo, Huzaimah, konsep Wanita dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Fikih,
Dalam List M. Markus Nasirdan Johan Hendrik Meuluman, Wanita Islam dalam
Kajian Tekstrual dan Konsentrasi, Jakara: INIS, 1993
Usamah Hafsh, Abu bin Abdir Razzaq bin Kamal ‘, Panduan Lengkap
NIKAh, dari “A sampai “Z”, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006
Wawancara langsung dengan Dr. fadhilahSuralaga, M.Si. (Warek 1).Pada
Wawancara langsung dengan Dr. Innayah, S.Pd. M,Si (Wadek II FST )
Wawancara langsung dengan Dr. CahyaBuana, M.Ag (PUDEK FDI)
Wawancara langsung dengan Dr. Yani’ahWardani, MA (Wakil Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora)
Yunus Mahmud, Tafsir Qur’an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung Jakarta,
2004 M - 1425 H
PERTANYAAN-PERTANYAAN WAWANCARA
A. Identitas Informan
1.
Nama Lengkap
: Dr. Sururin
2.
Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktifitas selain di
UIN: Ketua LPM
3.
Riwayat Pendidikan
a. Pendidikan Menengah Tingkat Pertama : MTS. Arrasyid Bojonegoro Jawa Timur
b. Pendidikan Menengah Tingkat Atas
: MAN Tambaberas Jombang
c. S1
: IAIN Sunan Ampel Surabaya
d. S2
: IAIN Imam Bonjol
e. S3
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.
Jumlah Anak
: 3 Anak
5.
Usia Anak
6.
a. Anak 1
: 14 Tahun
b. Anak 2
: 12 Tahun
c. Anak 3
: 8 Tahun
Alasan Berkarir
: karena dari pengembangan pribadi saya
sebagian dari akutalisasi diri saya, sebagian dari memanfaatkan ilmu yang selama ini
saya dapatkan
7.
Apakah suami mengizinkan untuk berkarir :
sebelum
saya
menikah
sudah
ada
komitmen dengan suami jadi saya sudah menjadi PNS sebelum menikah, sudah ada
komitmen kalau saya menikah saya harus diizinkan bekerja, karena kerja saya sebagai
dosen sangat fleksibel tidak banyak meninggalkan tugas-tugas saya sebagai ibu sebagai
istri dsb.
B. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? Apakah suami istri setara? (Kebetulan
pendidikan saya lebih tinggi dari pada suami saya, saya sampai S3 suami saya S2 dan
ketika saya menikah suami saya sedang menyelesaikan S2, waktu itu tinggal ujian katika
saya menikah sudah terdapaftar sebagai mahasiswa S3, jadi dari awal sudah ada
komitmen dari awal sudah saling tahu. Apakah suami harus tetap sebagai orang yang
lebih berkuasa dan lebih tinggi, sedangkan istri adalah selalu sebagai orang yang
lebih rendah dan yang dikuasai? (Mungkin bahasanya tidak lebih berkuasa kalau lebih
berkuasa itu konotasinya tidak baik, jadi bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang
bertanggung jawab terhadap sebuah keluarga, sebuah rumah tangga, tapi kalau suami
lebih berkuasa tidak setuju dengan bahasa itu, Karena bertanggung jawab bukan berarti
berkuasa saya tidak menggunakan bahasa yang lebih berkuasa, tapi bahasa suami itu
adalah bapak yang punya tanggung jawab kepada rumah tangga, saya masih
menggunakan pemahaman seperti itu walaupun ada hubungan relasi antara suami istri
tapi bahasanya lebih berkuasa saya tidak setuju dengan bahasa itu.) Ataukah suami atau
istri yang berpotensi lebih bagus, maka dialah yang lebi berkuasa? Ya, karena bahasa
itu tadi saya tidak setuju, bukan masalah kekuasaan tapi bagaimana kita berbagi. Suami
punya kelebihan punya kekurangan dan istri punya kelebihan punya kekurangan, ketika
dulu suami saya yang sering keluar, tetapi sekarang saya yang sering keluar tapi coba
untuk memahami dan untuk membangun pemahaman memang tidak mudah butuh proses,
butuh diskusi panjang bahkan kadang-kadang dihadapan anak saya. Walaupun kayanya
agak berdebat tetapi itulah relasi dalam rumah tangga yang mempunyai karakteristik yang
berbeda antara 1 keluarga dengan keluarga lain, dan yang menjadi catatan suami saya
mensuport penuh dalam kegiatan-kegiatan saya, ya saya sebagai istrinya sebagai
perempuan asalkan itu masih pada jalur yang benar, asalkan itu tidak keluar dari syari’at,
asalkan masih bisa menjaga diri, menjaga nama, menjaga semua itu. Suami saya memberi
kepercayaan penuh itu dan itu kenikmatan yang luar biasa bagi saya, karena banyak yang
kemudian tidak mendapatkan itu dari suaminya dan untuk bisa seperti itu ya memang dari
awal sudah ada kesepakatan.
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? Lalu apa saja keawajiban istri menurut
Hukum Islam?
3. Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia? Dan apa
saja kewajiban istri menurut Peraturan di Indonesia? Saya tidak hafal kalau menurut
peraturan, nanti istilahkan saudara beri saya itu kemudia pertanyaanya, ibu apakah ibu
sudah mengimplementasikan sesuai dengan UUD 1974 atau belum? Tapi saya kalau
disuruh ngafalin saya ga hafal gitu ya, ni menjadi kritik bagi kita semua pemerintah sudah
membuat UUD peraturan untuk masyarakat, peraturan untuk Rakyat Indonesia tetapi
rakyat sendiri juga tidak tau peraturan disini apa, saya pernah membaca itu tapi hanya
sekilas.
4. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam
Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Apakah ibu setuju?
Alasannya? Dalam sebuah rumah tangga itu ada hak dan kewajiban, kalo ada hak yang
kemudian mengikat, kewajiban yang sangat mengikat dan kewajiban yang sangat longgar
seperti tadi kewajiban istri untuk menjaga rumah tangga untuk memenuhi rumah tangga
berarti itu kan kewajiban yang sangat longgar artinya kalau tidak menjalankan haram
terus menjalankan fardhu gitu, kewajiban dari sebuah kesepakatan dan itu akhirnya bisa
berkembang bagi kami, menurut pendapat saya pribadi bahwa sebuah rumah tangga yang
dibagun dalam sebuah keluarga itu ya tanggung jawab bersama untuk bisa seperti itu
memang yang pertama kita harus melakukan perubahan melalui perundang-undangan tapi
untuk perundang-undangan tidak didasari atau tidak di dampingi dengan aturan-aturan
berikutnya implementasinya sama aja, dan yang paling spesifik dalam keluarga itu sendiri
merubah maindset ini kan dalam mengubah maindset ga mudah bahwa laki-laki ga tabu
didapur, laki-laki ga tabu untuk nyapu, laki-laki itu ndak tabu untuk mengurusi anak-anak
untuk nyetrika. Butuh maindset kalau tidak waduh! Repot sekali dan untuk merubah seperti
itu gak mudah dalam sebuah keluarga. Suami saya misalnya sekarang sudah biasa
masakin nasi goreng, mandiin anak, bareng-bareng nyapu, bareng-bareng nyetrika itu
biasa. Awalnya agak berat karena memang konsep, pola asuh, doktrin didalam keluarga
ini adalah seperti itu. Dan ini dipahami adalah seperti itu, mengapa? karena bapaknya
dulu seperti itu. Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi, Jika ada mohon berikan
saran/masukan ibu serta alasannya? Kita kan dalam dunia pendidikan dunia pendidikan
itu sangat strategis karena apa? Dalam dunia pendidikan itu kita melakukan perubahan
karena tersistem, beda dengan di lingkungan keluarga atau yang lain. Kenapa di dunia
pendidikan, pertama kali dunia pendidikan? Karena kita pertama kali hidup didunia
pendidikan dan pendidikan itu tersistem kalau sistem itu yang pertama adalah tujuan
pendidikannya apa? Apakah tujuan pendidikan sudah setara? materinya apakah sudah
taraf setara? itu bisa metode apakah begitu materinya tapi kita memperlakukannya dengan
cara yang tidak setara sama saja. Jadi kita bisa merubahnya dengan pendidikan dan
pendidikan itu sangat berjenjang mulai dari kalo sekarang ya bisa jadi TK, SD,SMP,SMA
bahkan sampai perguruan tinggi, jadi itu harus terstruktur itu harus tersistem. Jadi kita
berharap banyak untuk dunia pendidikan untuk merubah maindset merubah pemahaman,
merubah pandangan yang kemudian sangat bias gender, bahkan ada yang sampai
mengeritik tidak usahlah bahwa perempuan itu sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai
kepala keluarga toh banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga. kalau saya masih
dalam cara traditional bahwa laki-laki, bapak atau suami adalah kepala kerluarga karena
memang dalam realitasnya banyak yang kemudian bapak tidak berperan dalam kepala
keluarga apalagi jika sudah ngomong masalah PEKA (Persatuan Perempuan Sebagai
Kepala Rumah Tangga) karena apa? Karena mereka janda-janda kemudian disebutkan
disini suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan kemudian janda gak punya suami
bagaimana? Wah ini nomenklatur Undang-Undang nomenklatur itu hitam putih tidak bisa
ditafsirkan dengan cara penafsiran macam-macam, karena yang namanya UndangUndang (Peraturan) itu adalah hitam putih apa yang tertulis disitu. Lah kalo laki-laki
sudah meninggal atau suami sudah meninggal dia sebagai kepala keluarga nah disini, gak
ada perempuan sebagai kepala keluarga, lagi-lagi kaki saya diikat dikampus, gerakangerakan perempuan sudah tidak banyak mengikuti, tidak ikut bareng-bareng, kata suami
saya sekarang masanya sudah berbeda. Apakah ibu ketua PEKA? Saya bukan menjadi
ketua di PEKA tetapi tau PEKA gerakan itu, saya tau ada aktivis yang bergerak di bidang
itu, saya tau ada advokasi, ada upaya-upaya perempuan yang memperjuangkan,
perempuan yang memang kepala keluarga, itu banyak ribuan ratusan ribu anggota
keluarga tersebar ke berbagai provinsi karena cerai, meninggal dan lain-lain. Karena itu
awalnya banyak perempan-peremuan (inong inong bale) itu tidak punya suami sementara
kalau yang pertanyaan kamu, suami yang lebih berkuasa itu tadi saya tidak setuju, bukan
masalah kekuasaan tetapi bagaimana kita bisa sama-sama membangun keluarga saling
membangi, saling melengkapi.
5. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir,
tentu istri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk
kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut
akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam
rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan
menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang
hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, apakah hak dan kewajibannya
dalam keluarga sama saja dengan istri yang berkarir? Saya coba untuk melakukan
dua-duanya pagi hari saya menjalankan diri saya sebagai ibu rumah tangga, mau gimana
lagi, tapi kadang-kadang suami saya memahammi ketika malam misalnya semalam saya
mengerjakan tugas sampai jam 11 sampai jam 12 malam, sebelumnya sampai jam 2 suami
saya bisa memahami gak ada maslaah, ketika hari minggu libur suami saya tahu ketika
saya mengerjakan sampai jam 2 malam, shalat subuh kemudian saya tidur lagi gpp, gak
ada masalah yang penting sarapan sudah ada, ketika saya lagi tugas diluar kota tugas
sebagai ibu rumah tangga mengurusi anak-anak dan sebagainya di handle oleh suami
kalau mbaknya tidak ada, awalnya itu dengan suami saya gak nuntut karena doktrin, pola
asuh bagi saya sangat mempengaruhi pola asuh itu kehidupan-kehidupan pada masa
remaja
itu
sangat
mempengaruhi
maindset kepribadian-kepribadian,
pemikiran
berkembang pada masa anak jadi dari awal itulah kita harus saling memahami
beda apa bedanya?
Kalau
Kan sama ya, tergantung kita menafsirkannya, tafsiran kepada
kewajiban itu, itukan tidak kemudian kalaupun jika tidak 3 rakaat kemudian batal, kan
tidak begiitu, untuk bisa menafsirkan hak saya apa, kewajiban saya itu undang-undang
sudah mengatur secara saklek dalam sebuah keluarga prinsip-prinsipnya saja yang tidak
saklek dan jika kemudian Undang-undang itu juga salah karna dalam sebuah keluarga
prinsip-prinsipnya saja yang disampingkan jadi kita flexible prinsipnya adalah disitu
sharing saling memahami, pengertian, kewajiban-kewajiban prinsip dan syari’nya itu
dijalankan jadi bisa saling memahami Dan apa argumentasi ibu? Kalau sama, apa
argumentasinya? Tidakkah itu menjadi beban ganda bagi istri dan merugikan istri?
Kalau kita tidak memahami bahwa yang kita lakukan yang terbaik untuk keluarga kita,
mungkin akan merasa menderita dan menjadi beban ganda, tetapi kalau saya merasakan
seperti itu kalau saya tidak menyadari, tapi saya menyadari apa yang saya bisa lakukan
yang terbaik untuk keluarga saya, repotkan kalau tidak bisa memahami apalagi anak saya
sudah di pesantren
ketika saya dirumah belum bisa mendampingi anak saya dalam
belajar apalagi sekarang anak saya di pesantern saya belum bisa mendapingi mereka
belajar dengan baik malah sekarang sudah harus dilepas dari ibunya, jadi ketika saya
melakukan pekerjaan rumah dan sebagai wanita karir saya tidak merasa itu double
burden itu yang semakin saya memahami posisi kita malah semakin bersyukur Ya Allah
Alhamdulillah saya bisa berbagi untuk anak saya karena amanah terbesar dalam hidup
saya adalah anak-anak saya kalaupun saya diamanahkan menjadi ketua LPM yaitu
amanah dan besar menurut saya, dan amanah sangat besar bagaimana mutu universitas
ini, tapi amanah yang paling besar yang saya dapatkan adalah anak, jadi ketika
melakukan sesuatu dirumah ini untuk kebaikan anak saya ini untuk kebaikan keluarga
saya jadi saya tidak merasa double burden, saat ini karena apa? Karena saya juga tidak
menuntut yang macam-macam, saling memahami lah! Suami saya tahu kelemahan saya,
begitu pula saya tahu kelemahan suami saya
C. Perilaku Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
6. Karena saat ini ibu sudah terlibat aktif dalam penggapaian karir lebih bagus di
dunia kerja, lalu bagaimanakah cara ibu membagi waktu antara keluarga dengan
pekerjaan? Kebetulan anak saya itu sudah sekolah ya, jadi enak waktunya tidak begitu
menyita, mereka sekolah apalagi yang 2 anak saya sudah di pesantren kalau ibunya juga
kalo liburan jg belum tentu kesana jadi ya ini berdo’a saja ada tugas diluar jadi bisa
menengok anak di pesantren, jadi menurut saya ga ada masalah, pagi adalah waktu untuk
anak saya menyiapkan bekal mereka, kalau dulu malah biasa, kalo sekarang sudah kelas
3, sebelum kelas 3 itu apa-apa ibunya itu bagian juga mungkin konvensasi ditinggal
ibunya dan ibunya enjoy mereka sangat dekat dengan saya semua sangat dekat dengan
ibunya. Kalau anak saya sakit saya izin ke pimpinan “Prof mohon maaf saya izin dulu,
rektor tidak memarahi saya, kemarin juga saya izin prof saya ingin cuti karna ingin
mengurususi anak saya yang dipesanten dan beliau juga mengizinkan, jadi dari pihak
pimpinan menyuport dari keluarga menyuport, mungkin masalah ada pada diri saya
sendiri belum bisa berkembang untuk lebih maju lagi
Manakah yang lebih ibu
prioritaskan, keluarga ataukah karir? Hmm… saya memprioritaskan kedua-duanya jadi
gini, artinya dua-duanya penting menurut saya tapi sebenarnya anak itu lebih penting
sering kali saya sampaikan anak adalah amanah yang terbesar yang diberikan tuhan
kepada saya
walaupun kadang-kadang saya sering meninggalkan anak-anak saya.
Apakah ibu menjalankan peran ganda, pontarng-panting mengurus rumah tangga
dan kemudian kerja keras juga untuk kantor? Ya, tetapi saya coba untuk menjalankan
tugas saya dengan baik tidak menuntut yang macem-macem, sebagai dosen, sebagai ketua
LPM saya menjalaninya dengan nyaman, saya tidak punya target macem-macem jadi
bagaimana saya bekerja dengan baik berusaha bagaimana untuk kebaikan bagaimana
hidup saya bermanfaat jadi saya nyaman menikmati mensyukuri
7. Andai suami atau anak-anak ibu menghendaki ibu berhenti bekerja agar bisa fokus
menghurusi mereka, bagaimana sikap ibu? Selama ini karena saya sering melibatkan
anak-anak saya, kalau dulu saya di ormas saya selalu menyampaikan anak boleh dibawa
kalau ga boleh dibawa kasihan karena kita memperjuangkan hak anak, kita sendiri tidak
berbuat sesuatu untuk anak kita dan ketika saya jadi kepala PSGA dibuatin day care
bahwa anak itu harus mendapat perhatian dan mendapatkan hak-haknya.
Apa alasan
ibu mengambil sikap begitu? ya karena itulah prinsip hidup saya bagaimana bisa
bermanfaat untuk bersama jangan sampai menyakiti kalau bisa segala sesuatunya itu
dipaahmi lebih awal, jadi gak ada masalah, saya selalu memberikan pengertian kepada
anak saya ketika dia merasa berat ibunya keluar ya kadang-kadang, yang lainnya tidak
ada masalah, terutama dulu masih anak-anak dirumah banyak mahasiswa jadi kalau
ibunya pergi yang ngurusi apapun dia tuh ada, jadi kebutuhan anak itu sudah tertutupi
kalau tidak itu tanggung jawab saya dan suami saya untuk memenuhi, yang saya repot
mahasiswa pada mau lulus, kalau belum kan anak saya jadi punya teman, menemani pr
ada temennya, kalau dulu ada 3 perempuan 1 laki-laki khusus antar jemput yang
mengajarkan main yang 1 lagi pinter masak yang 1 lagi nemenin mengerjakan jadi
peraktis. jadi saya berusaha untuk memenuhinya, kalau saya ga pinter masak anak saya
mau makan ada yang nyediain, repotnya mahasiswa yang pinter masak yang sudah lulus
pulang, kerja. harus ada yang melatih lagi saya menerapkan pada diri saya rumah saya
adalah rumah untuk belajar.
8. Selama ini apa kendala yang ibu hadapi dalam menunaikan kewajiban istri dan
sekaligus sebagai wanita karir tersebut? . Kalau ibu tidak keberatan, bisakah kami
mendapatkan sharing pengalaman ibu tentang kesulitan-kesulitan itu dan upaya ibu
mengatasinya?
karena saya tidak mempunyi target yang macem-macem itu tadi saya merasanya nyaman
kendalanya justru pada diri saya misalnya tahun ini saya tidak punya nya karya, buku juga
belum punya jadi saya merasakan kendalanya pada diri saya sendiri ketika saya merasa
saya belum bisa mengembangkan diri dengan baik belum bisa berprestasi dalam hal karya
(akademis) karena saya sebagai dosen harus berkarya! kendalanya disitu jadi kendala
dalam pengembangan diri saya dan masalah penyakitnya ada di saya kenapa saya tidak
berfikir kreatif. Kalau kendala dalam kehidupan rumah tangga saya tidak menganggap itu
kendala, saya jalani dengan nyaman, suami saaya memahami saya saya memahami suami
saya.
D. Pendapat Informan tentang Peran Ganda dan Kelalaian Istri yang berkarir
menunaikan kewajibibannya dalam Keluarga
9. Bagaimana pendapat ibu terkait:
Istri yang melakukan peran ganda (di kantor dan di rumah tangga) karena suami
tidak maksimal menafkahi keluarga, apakah istri itu berhak mendapatkan hak lebih
dalam keluarga, misal istri bisa menjadi pemimpin/kepala keluarga? saling
memahami dan saling mengerti suami saya menerima kondisi saya, dan begitu juga
sebaliknya, seperti itu jg tidak mudah, maka dari awal harus ada kesepakatan sebelum
menikah. Saya tidak mau dimadu selama saya masih bisa menjalankan tugas saya, jangan
coba-coba poligami kalau poligami mending saya cerai, itukan bagian dari kesepakatan,
kalau saya menikah saya harus boleh kerja kalo tidak boleh tidak usah menikah dengan
saya itu kan bagian dari kesepakatan-kesepakatan Atau bisakah istri bertukar peran
dengan suami yaitu suami yang mengurus rumah tangga dan istri yang mencari
nafkah keluarga menjadi kepala keluarga? gini loh peran ganda itu saudara
mencanangkan apa? Karena ketika istri itu berkarir bukan berarti itu beban, itu adalah
pilihan ketika itu pilihan dengan penuh kesadaran dan maka saya kira itu bukan double
burden, peran ganda itu menjadi ringan kalau saudara itu bilangnya peran ganda ya itu
menjadi ringan karena itu pilihan beda kalau itu dengan paksaan dia terpaksa bekerja,
nah itu kan beda. Sangat berbeda jika dia bekerja karena aktualisasi, dia bekerja itu untuk
memanfaatkan ilmunya, dengan bakat yang ia punya. Kebetulan saya bekerja di tempat
dunia pendidikan jadi saya selalu memahamkan kepada anak saya “Nak..ibu itu kuliah,
ibu itu S1, S2, S3 belajar, jadi saatnya ibu membagi apa yang ibu pelajari, ibu harus
belajar lagi, dan ketika saya kemudian ikut workshop “Nak ibu juga harus belajar lagi,
jadi harus difahamkan. Alhamdulillah anak saya enjoy, pada awalnya anaknya tidak
bangga dengan ibunya tapi lama2 anak saya bangga dengan ibunya. Jadi harus
bagaimana anak itu bangga dengan ibunya dan semoga saja ibunya selalu bisa
membanggakan bagi anaknya, karena anak juga mendapatkan dampak dari ibunya.
Makanya saling memahami. Saya tau saya mempunyai kelemahan dan saya sampaikan ke
anak saya “Nak ibu punya kelemahan, ibu akan berusaha yang terbaik untuk anak-anak.
10. Bagaimana pendapat ibu, jika istri itu melakukan peran ganda sedangkan suaminya
mampu menafkahi keluarga, kemudian karena peran gandanya itu mengakibatkan
istri lalai menunaikan kewajibannya di rumah. Seperti istri lalai melayani kebutuhan
biologis suami karena istri kelelahan dik kantor, apakah kelalaian itu bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti di terima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah? Kok Saya tidak mengenal yang seperti itu ya, suami saya sangat memahami saya
dan suami saya juga sangat memahami saya, jadi ketika saya capek suami saya gak akan
nuntut. Jadi sering kali bahasannya bisa difahami, jadi ketika saya tidur suami saya tidak
mengganggu.
11. Bagaimana pendapat ibu tentang hak menerima nafkah dari suami bagi istri yang
berprofesi sebagai wanita karir? Apakah dengan kebebasan yang diberikan oleh
suami kepada istri yang berkarir tinggi itu berakibat gugurnya kewajiban suami
menafkahinya? Apa argumentasi ibu? Harta saya adalah harta suami harta suami
adalah harta saya jadi tidak mengenal istilah seperti itu, apa yang saya punya adalah
punya suami, hp saya suami tau begitu juga saya, suami saya tahu isi dompet saya, begitu
juga saya, begitu juga dengan anak saya, anak saya buka hp saya silahkan jadi saling
terbuka, mengkomunikasikan sesuatu dengan cara terbuka tidak ada rahasia, keterbukaan
itu ada kalau ada keterbukaan tidak ada ganjalan, ketika seperti itu kok jadi aneh ya
PERTANYAAN-PERTANYAAN WAWANCARA
A. Identitas Informan
1.
Nama Lengkap
: Dr. R. Yani’ah Wardani, MA
2.
Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktifitas selain di
UIN: Dosen Senior Wakil Dekan III (Bid. Kemahasiswaan) Sekretaris IV Muslimat NU
(Bid. Litbang dan Hub. Luar Negeri)
3.
Riwayat Pendidikan
f. Pendidikan Menengah Tingkat Pertama : Tsanawiyah IAIN UIN
g. Pendidikan Menengah Tingkat Atas
: Aliyah Darul Hikam bandung
h. S1
: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
i. S2
: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
j. S3
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.
Jumlah Anak
: 3 Orang
5.
Usia Anak
d. Anak 1
: 29 Tahun
e. Anak 2
: 27 Tahun
f. Anak 3
: 24 Tahun
6.
Alasan Berkarir
: Aktualisasi keilmuan yang saya miliki
7.
Apakah suami mengizinkan untuk berkarir : ya
B. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? Apakah suami istri setara? Apakah
suami harus tetap sebagai orang yang lebih berkuasa dan lebih tinggi, sedangkan
istri adalah selalu sebagai orang yang lebih rendah dan yang dikuasai? Tetap,
Dalam Islam kan suami tetap menjadi imam dari seorang istri Ataukah suami atau istri
yang berpotensi lebih bagus, maka dialah yang lebih berkuasa? ya gaklah, tetap
suami yang menjadi panutan imam ya, istri itu kalaupun harus berkarir hanya sebatas
membantu suami dalam perihal ekonomi, hanya membantu saja, tujuannya
karena
dalam diri saya pribadi menjadi dosen aktualisasi keilmuan saya yang harus diamalkan
karena itu kewajiban setiap orang harus mengamalkan ilmunya, kebetulan latar
belakang saya itu orang tua saya kyai pesantren ya memang harus dimanapun kita
harus memanfaatkan ilmu.
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? Hak istri menurut Hukum Islam Al
ummu madrosatun” ibu itu adalah madrosah, artinya harus bertanggung jawab kepada
pendidikan anaknya, walaupun dalam Al-Qur’an dalam surat Al-luqman itu yang mendidik
itu adalah seorang bapak “waijqola lumanu liibnihi wahuwa yaizuhu, yabunaya la tusyrik
billah, yang mendidik itu adalah seorang bapak, tapi dalam hal lain juga al ummu
madrosatul ula, ibu itu adalah madrosah tempat mendidik anak kalau ibunya baik insya
Alloh anaknya juga baik, pak harto mengapa menjadi seperti ini karena ibunya baik
karena ibunya seorang pendidik. Lalu apa saja keawajiban istri menurut Hukum
Islam? Yang tadi itu kewajiban mendidik anak, taat kepada suami selama suaminya itu fi
toatillah, kalau fi ma’siyatillah jangan diikuti suami itu.
8.
Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia? Itu
yang tadi saya bilang bahwa kewajiban suami adalah memberikan nafkah lahir dan
bathin, nafkah lahirnya suami harus memberikan nafkah secara materi kan, nafkah
bathinnya suami harus melayani istrinya secara biologis itu kewajiban suami, tetapi
kalau istri itu kewajibannya hanya sebatas pada mendidik anak, melayani suaminya,
namun hari gini gak bisa istri seperti itu apalagi hidup dijakarta istri itu harus
membantu juga ekonomi suami supaya anaknya bisa sejahtera menyekolahkan anaknya
kesekolah yang bagus, yang lebih baik pendidikannya, alangkah baiknya seorang istri itu
harus membantu suami sesuai dengan skil yang dia miliki, kalau saya memiliki skil
mengajar kenapa gak, kalau si istri mempunyai skill bisnis kenapa gak, membantu
ekonomi suami, itu lebih baik. Dan apa saja kewajiban istri menurut Peraturan di
Indoinesia? Karena ini syriah yah, kalo saya mengungguli sastra arab, tapi selain
wanita karir ibu berkarir di mana-mana selain jadi dosen menjabat sebagai Dosen
Senior Wakil Dekan III (Bid. Kemahasiswaan) organisatoris juga menjadi Sekretaris IV
Muslimat NU (Bid. Litbang dan Hub. Luar Negeri) dan seorang mubalighoh dibandung
ibu memegang majelis disana itu warisan dari ayah.
3. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam
Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Mengatur rumah tangga
dan suami itu wajib yah, tetapi plus istri menjadi wanita karir itu istri membantu ekonomi
suami, suami saya mencukupi untuk menafkahi, tetapi untuk lebih cukup lagi supaya anakanak kita bisa masuk kesekolah yang lebih bagus itu kan yang tau adalah ibu sendiri
padahal suami ibu itu professor doktor tetapi kembali ke tadi itu karena aktualisasi
keilmuan ibu yang mubazir kalau ga ibu manfaatkan, karena kewajiban muslimin dan
muslimat itu harus mengamalkan ilmunya Apakah ibu setuju? Memang itu kewajiban ya
setuju Alasannya? Arrizalu qowwamuna ala nnisa. Wabima anfaku nah suami ituwajib
banget memberikan nafkah kepada istri adapun istri mau berkiprah mau apa ya selama
masih ada dalam ridho suami kenapa gak. Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi,
Jika ada mohon berikan saran/masukan ibu serta alasannya? Saya kira undang-
undang itu sesuai dengan Alquran memang kewajiban suami memberikan nafkah,
memberikan tempat tinggal.
4. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir,
tentu isitri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk
kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut
akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam
rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan
menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang
hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, Selama istri itu tidak keluar dari hukum
dalam kewajiban dan agama tidak apa-apa misalnya dia meskipun berkarir bisa
memasakkan suami kalau tidak bisa memasak kan bisa menggaji pembantu yang pinter
masak yang lebih baik masak sendiri, kalau ibu sih masak sendiri bagaimanapun
kesibukan ibu. Jadi bagaimana kita mengatur waktu kalau selama masih saling
mendukung, tujuannya mendukung karir istri, istri mendukung karir suami itu sangat baik
apalagi ketika dari semua itu ditunjukan untuk pendidikan anak-anak saya yang lebih baik,
kalau si istri tidak sempat mengajarkan anaknya langsung kita kan bisa memasukkan
anaknya kelembaga yang lebih baik yang bisa dia mampu untuk membayarnya itu lebih
baik apakah hak dan kewajibannya dalam keluarga sama saja dengan istri yang
berkarir? Tidak ada bedanya, jadi kalau ada istri yang berkarir jangan lupa akan
kewajiban-kewajibannya kalau dia menghargai suami, banyak wanita yang berkarir itu
tidak butuh suami tapi itu nauzubiilah sudah keluar rel dalam agama Kalau beda apa
bedanya? Dan apa argumentasi ibu? ya bedalah kalau istri yang berkarir ya mesti dia
punya kelebihan dan bukan ibu rumah tangga biasa, ibu rumah tangga biasa sama ibu
rumah tangga yang berkarir beda.
Kalau sama, apa argumentasinya? Harus
memperhatikan anaknya suaminya Tidakkah itu menjadi beban ganda bagi istri dan
merugikan istri? Kalau istri itu punya pijakan agama dia gak akan menjadi beban dia
tetap berkarir seperti di organisasi di sini tetap saja gak jadi beban, asalkan suaminya itu
mengerti mendukung jadi sebenarnya keberhasilan istri itu tidak lepas dari dukungan
suami begitu juga sebaliknya. Apalagi suami kalau berhasil itu atas dukungan istri.
C. Perilaku Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
6. Karena saat ini ibu sudah terlibat aktif dalam penggapaian karir lebih bagus di
dunia kerja, lalu bagaimanakah cara ibu membagi waktu antara keluarga dengan
pekerjaan? Dulu waktu anak-anak masih kecil memang itu termasuk orang bertarget
umur 24 tahun sampe umur 30 tahun mau punya anak 3 jadi sampe umur 30 tahun pas
anak terakhir melahirkan, ya setelah 30 tahun melahirkan kesanaanya berkarir tapi kalau
cerita itu repotnya kaya apa namanya anak kecil 30 tahun sudah punya anak 3, dan harus
ada pembantu 2 sedangkan ekonomi belum mapan banget, jadi semuanya dijalani
Manakah yang lebih ibu prioritaskan, keluarga ataukah karir? Keluarga Apakah ibu
menjalankan peran ganda, pontang-panting mengurus rumah tangga dan kemudian
kerja keras juga untuk kantor? Kalau ibu si punya suami yang cukup. Jadi saya itu gak
terlalu untuk mencari nafkah karena aktualisasi keilmuan saya “sayang kalau tidak
dimanfaatkan, kalau bapak itu mampu, tida terlalu banyak beban tidak pontang panting
juga jalanin aja kaya air mengalir mau doktor aja ga sangka jadi doktor ya jalanin aja ga
pontang panting.
7. Andai suami atau anak-anak ibu menghendaki ibu berhenti bekerja agar bisa fokus
menghurusi mereka, bagaimana sikap ibu? Ya dulu kan ada pembantu ya jadi tidak
terlalu repot, tapi ibu juga meniti karir termasuk agak terlambat, karena saya
mendahulukan anak-anak, sekolah yang baik dan Alhamdulillah 3-3nya itu tidak ada yang
macem-macem pergaulan bebas gak ada. Kalau sekarang si keluarga, anak-anak sudah
nikah semua udah nikah satu tinggal dua dan itu masih sekolah. Jadi berkarir, ngapain di
rumah gak bakal ibu mau kalau disuruh dirumah. Apa alasan ibu mengambil sikap
begitu? ya aktualisasi keilmuan ibu itu tadi yang mubazir, tolabul ilmi faridhotun ala kulli
muslimin, itu bukan hanya tolab, tetapi mengamalkannya yang lebih berat, nanti diakhirat
ada peertangggung jawabannya bukan hanya harta benda yang ditanykan oleh allah yang
dipertanngung jawabkan tetapi juga ilmu, ilmu juga akan ditanya apakah anda dikasih
anugerah ilmu dari saya ”kata Alloh” kamu amalkan atau tidak? Berat banget jadi kita
punya ilmu harus diamalkan. Pertanggung jawaban di hadapan Allah Harta dan ilmu.
8. Selama ini apa kendala yang ibu hadapi dalam menunaikan kewajiban istri dan
sekaligus sebagai wanita karir tersebut? Banyak si kendaalanya, tapi alahadmulillah
masih bisa diatasi terus. Kalau ibu tidak keberatan, bisakah kami mendapatkan
sharing pengalaman ibu tentang kesulitan-kesulitan itu Kita harus keluar kota
menunaikan mukhtamar atau ini itu, sementara dirumah siapa yang masakin suami kan
masih berfikir begitu, intinya semuanya keridhoan suami itu yang membuat kita berkiprah
(berkarir), beda mungkin ya setiap istri jawabannya tergantung dari keimanan si istri. Ada
kan yang melempar amplop suami itu kecil nauzubillah, macam-macamlah istri yang
berkarir itu kalau tidak ada pijakan agama akan melecehkan suami. Berat itu.
dan upaya ibu mengatasinya? Kita meminta terus pengertian dari suami, meminta
dukungan dari suami, banyak sekali.
D. Pendapat Informan tentang Peran Ganda dan Kelalaian Istri yang berkarir
menunaikan kewajibibannya dalam Keluarga
9. Bagaimana pendapat ibu terkait:
Istri yang melakukan peran ganda (di kantor dan di rumah tangga) karena suami
tidak maksimal menafkahi keluarga, apakah istri itu berhak mendapatkan hak lebih
dalam keluarga, misal istri bisa menjadi pemimpin/kepala keluarga? tidak berhak,
rasulluah bersabda: “Andaikan Rasulullah membolehkan sujud kepada selain Allah maka
aku akan perintahkan untuk istri-istri itu untuk bersujud kepada suami” saking tingginya
derajat suami Atau bisakah istri bertukar peran dengan suami yaitu suami yang
mengurus rumah tangga dan istri yang mencari nafkah keluarga menjadi kepala
keluarga? itu sih budaya di padang, kalau diluar jawa itu ya istrinya masak suaminya
dirumah, bertentangan dengan surat annisa tadi itu “arrijalu qowwwamuna ala nisa’
bimafadolalloh, laki-laki itu adalah pemimpin dari perempuan dengan segala keutamaan
kelebihan si laki-laki tadi, di fisik aja lebih keras lebih tegar itu kelebihannya, sedangkan
dari segi mengambil keputsan dsb itu kebanyakannya laki-laki “wa bima anfaqu” dan
dengan apa? Dengan dia harus kasih nafkah tetap saja suami yang memberi nafkah,
adapun jikalau tidak mampu harus diadakan saling pengertian.
10. Bagaimana pendapat ibu, jika istri itu melakukan peran ganda sedangkan suaminya
mampu menafkahi keluarga, kemudian karena peran gandanya itu mengakibatkan
istri lalai menunaikan kewajibannya di rumah. Seperti istri lalai melayani kebutuhan
biologis suami karena istri kelelahan di kantor, apakah kelalaian itu bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti di teraima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah? Tidak gugur kewajibnnya, tetap aja, Cuma suami harus pengertian kepada istri
ada bilang katanya kalau istri diminta nafkah bathin dengan suami dengan alasan capek
dsb, itu akan dikutuk sampai subuh “ah itu hadist nya doif kali gak shohih” masa ada
hadist begitu, karena apa? Karena nabi Muhamad itu islam itu mengangkat derajat
perempuan, kalau begitu adanya betapa islam tidak mengangkat derajat perempuan, masa
karena ga mau diajak dilaknat sampai subuh, bisa dikasih setelah subuh, kalau istri lagi
capek begitu dan itu namanya suami ga pengertian jadi intinya saling pengertian dan
saling mendukung.
11. Bagaimana pendapat ibu tentang hak menerima nafkah dari suami bagi istri yang
berprofesi sebagai wanita karir? ya terima, harus terima dan suami juga harus memberi
nafkah, walaupun istri gajinya berapa kali lipat ya suami mesti memberi nafkah
semampunya suami kepada istri, dan si istri jangan menganggap remeh “ngenye”
Apakah dengan kebebasan yang diberikan oleh suami kepada istri yang berkarir
tinggi itu berakibat gugurnya kewajiban suami menafkahinya? Apa argumentasi
ibu? Tidak, tetap dalilnya surat annisa tadi.
PERTANYAAN-PERTANYAAN WAWANCARA
A. Identitas Informan
1.
Nama Lengkap
: Dr. Innayah, SPD. MSI
2.
Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Wadek II FST dan
aktifitas selain di UIN: membantu suami mengurusi perusahaan
3.
Riwayat Pendidikan
:
a. Pendidikan Menengah Tingkat Pertama : SMP Negri 1
b. Pendidikan Menengah Tingkat Atas
: Pesantren putuhiyah di Demak Jawa
Tengah
c. S1
: Universitas Negeri Semarang
d. S2
: UGM (Unviersitas Gadjah Mada)
e. S3
: ITB (Institut Teknologi Bandung)
4.
Jumlah Anak
:2
5.
Usia Anak
6.
a. Anak 1
: 18
b. Anak 2
: 14
Alasan Berkarir
: mengabdi ke suatu instansi terutama
mengamalkan ilmu yang sudah didapat, dapat gaji ya seneng aja
7.
Apakah suami mengizinkan untuk berkarir : iya
B. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? baik-baik aja, kalau ditanya relasi ya
relasi ada hubungan erat Apakah suami istri setara? ya jelas enggak kalau menurut
agama, tetapi kalau menurut masalah dunia bukan setara tetapi bekerja sama, saling
menghargai menghormati, Apakah suami harus tetap sebagai orang yang lebih
berkuasa dan lebih tinggi, berkuasa menurut saya tidak, tetapi menurut suami itu adalah
tetap imam dari seorang istri sedangkan istri adalah selalu sebagai orang yang lebih
rendah dan yang dikuasai? Ataukah suami atau istri yang berpotensi lebih bagus,
maka dialah yang lebi berkuasa?Ya tetap suami itu imam dari seorang istri. Kalau
masalah dunia itu tadi ya harus bekerja sama semua harus saling menghormati,
menghargai dan harus kompak
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? Hak itu diberi nafkah, nafkah lahir
dan bathin, hak mendapat perlakuan baik dari suami Lalu apa saja keawajiban istri
menurut Hukum Islam? Mengatur urusan rumah tangga menjaga keselamatan dan
mewujudkan kesejahteraan keluarga, memelihara dan mendidik anak sebagai amanah
Allah. Tapi menurut saya memasak mencuci itu bukan kewajiban ya, itu bisa dilakukan
bersama dan tidak harus bersama-sama, jika saya bisa delegasikan keorang ya saya
delegasikan dan suami saya tidak mewajibkan itu.
3. Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia?
Dan
apa saja kewajiban istri menurut Peraturan di Indonesia? Yang saya tau ya itu hak
mendapatkan nafkah lahir bathin
4. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam
Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Apakah ibu setuju?
Setuju Alasannya? Baik saja menurut saya buat apa tidak setuju..setuju-setuju saja
Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi, Jika ada mohon berikan saran/masukan
ibu serta alasannya? Suami adalah kepala kepala rumah tangga dan istri ibu rumah
tangga menurut saya lebih enak begini suami adalah kepala keluarga dan bekerja sama
dalam mengurus rumah tangga, kalau bekerja sama kan enak ya..
5. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir,
tentu isitri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk
kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut
akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam
rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan
menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang
hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, apakah hak dan kewajibannya
dalam keluarga sama saja dengan istri yang berkarir? Menurut saya kewajiban istri
yang berkarir dan tidak berkarir adalah sama, yang berbeda adalah wanita karir harus
bisa berstrategi untuk mengatur kewajibannya. kalau strategi saya nyuruh keorang, tapi
kadang-kadang saya meminta tolong kepada suami itu kan strategi bukan kewajiban
suami. Jadi misalnya suami saya minta tolong ini kalo sudah sepakat ya gak masalah,
bukan kewajibannya juga. Justru saya kurang setuju kalau saya wanita karir, saya lebih
setuju kalau yang laki-laki ini yang berkarir, kenapa wanita harus berkarir? Kalo dirumah
enak senyam senyum kipas kipas, karena saya sudah terjun dan merupakan pengabdian
karir itu tidak selalu mencari uang, mencari nafkah, karena karir saya disini pengabdian
bukan mencari nafkah. Tetapi terkadang itu perlu sentuhan wanita itu alasannya kenapa
berkarir, kalau penuh laki-laki itu tidak ada bunga-bunga begini didalam ruangan, dan
karena ada sentuhan wanita jadi manis kan jadi adem. Jadi memang perlu juga,
Kalau
beda apa bedanya? Dan apa argumentasi ibu? Kalau sama, apa argumentasinya?
Kalau dibedakan nanti pahala saya berkurang justru itu sementara kita berlomba-lomba
mencari pahala, misalkan berkarir terus, dirumah kapan? Kan dirumah ada banyak
pahala ibu rumah tangga itu penuh dengan pahala kewajibannya yang namanya menyusui
(memberi asi kepadaa anak) dan kita harus senang hati, justru menurut saya karir itu
suatu kelebihan jadi jangan menjadikan karir itu suatu beban untuk tidak mengurusi
rumah tangga, seharusnya kita bangga saya bisa berkarir saya bisa menguurus rumah
tangga, saya sering terapkan kepada anak mahasiswa saya kalau punya suami maka harus
bangga jadikan untuk lebih berprestasi. Dan begitu juga saya saya kelebihannya berkarir,
dan menjadi ibu rumah tangga juga harus berprestasi.
tidakkah itu menjadi beban
ganda bagi istri dan merugikan istri? Menurut saya tidak membebankan asalkan kita
berstrategi dengan baik.
C. Perilaku Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
6. Karena saat ini ibu sudah terlibat aktif dalam penggapaian karir lebih bagus di
dunia kerja, lalu bagaimanakah cara ibu membagi waktu antara keluarga dengan
pekerjaan? Manakah yang lebih ibu prioritaskan, keluarga ataukah karir? semua
diperioritaskan, tidak ada yang tidak diprioritaaskan, dua duanya berjalan seiring seiya
sekata jadi yang diproritaskan adalah masalahnya, bukan karirnya bukan keluarganya,
jadi kalau masalah dikampus lebih urgen ya harus didahului. Jadi masalahnya yang
diprioritaskan bukan dalam masalah ruang lingkup keluarga ataupun karir. Apakah ibu
menjalankan peran ganda, pontang-panting mengurus rumah tangga dan kemudian
kerja keras juga untuk kantor? Tidak perlu pontang panting, harus pandai mengatur
strategi
7. Andai suami atau anak-anak ibu menghendaki ibu berhenti bekerja agar bisa fokus
menghurusi mereka, bagaimana sikap ibu? Saya ga mungkin berhenti juga saya gamau
berhenti juga, jadi gini saat kita ga butuh kerja gak kerja, begitu butuh sudah umur tua
kita ngelamar gak mungkin, kita harus menitinya dari awal, ini memang susah diawal
tetapi harus bisa, begitu anak udah gede, kita mau ngapain? Setress malah dirumah. Apa
alasan ibu mengambil sikap begitu? Sikap saya adalah saya memberikan pengertian ke
mereka agar saya diizinkan untuk bekerja, karena bekerja bukan hanya mencari kepuasan
lahir tapi kepuasan bathin dengan bekerja saya bisa mengabdikan ilmu saya , saya akan
menunjukkan sikap dengan saya bekerja perhatian saya ke mereka itu tidak berkurang.
8. Selama ini apa kendala yang ibu hadapi dalam menunaikan kewajiban istri dan
sekaligus sebagai wanita karir tersebut? Kalau ibu tidak keberatan, bisakah kami
mendapatkan sharing pengalaman ibu tentang kesulitan-kesulitan itu dan upaya ibu
mengatasinya? Tidak ada kesulitan si, santai-santai saja, jadi kesulitan-kesulitan tidak
saya temukan secara fatal hanya kesulitan-kesulitan kecil saja. Kesulitan saya bisa diatasi
karena suami saya suami siaga suami yang baik banget, bapak ibu saya juga mendukung
saya ada disini, keluarga besar saya mendukung. Saya orang yang sangat beruntung di
dunia saya dari pagi loh disini dari jam 06.00 s/d 19.00 tetapi tidak ada masalah bagi
suami saya karena banyak yang back up.
D. Pendapat Informan tentang Peran Ganda dan Kelalaian Istri yang berkarir
menunaikan kewajibibannya dalam Keluarga
9. Bagaimana pendapat ibu terkait:
Istri yang melakukan peran ganda (di kantor dan di rumah tangga) karena suami
tidak maksimal menafkahi keluarga, apakah istri itu berhak mendapatkan hak lebih
dalam keluarga, misal istri bisa menjadi pemimpin/kepala keluarga? kepala rumah
tangga tidak perlu tapi ya itu tadi perlu kesepakatan bersama antara suami istri Atau
bisakah istri bertukar peran dengan suami yaitu suami yang mengurus rumah
tangga dan istri yang mencari nafkah keluarga menjadi kepala keluarga? boleh, kan
itu kesepakatan tapi gak boleh dituang-tuangin banyak istri yang ngelonjak
10. Bagaimana pendapat ibu, jika istri itu melakukan peran ganda sedangkan suaminya
mampu menafkahi keluarga, kemudian karena peran gandanya itu mengakibatkan
istri lalai menunaikan kewajibannya di rumah. Seperti istri lalai melayani kebutuhan
biologis suami karena istri kelelahan dik kantor, apakah kelalaian itu bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti di terima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah? Ya kalau gugur si tidak sampai sejauh itu ya, ya baiknya kompromi tadi suami
saling
mengingatkan saling menegur dulu ada tahapan kan, saya fikir kalau suami
seorang imam yang baik ga sampai mikir lalai.
11. Bagaimana pendapat ibu tentang hak menerima nafkah dari suami bagi istri yang
berprofesi sebagai wanita karir? harus tetap memberi nafkah, kewajiban suami memberi
nafkah tidak gugur tapi nafkah itu harus disesuaikan dengan kemampuan saumi mungkin
kemampuan suami itu lebih rendah dari pada istri itu sesuai kemampuan entah berapapun
itu harus, karena kewajiban makan dan sebagainya harus. Apakah dengan kebebasan
yang diberikan oleh suami kepada istri yang berkarir tinggi itu berakibat gugurnya
kewajiban suami menafkahinya, Apa argumentasi ibu? Tidak tetap tidak gugur , sesuai
kemampuan kalau suaminya yang kaya raya itu ya nafkahnya harus tinggi, ada yang tiap
tahun dikasihnya ada yang setiap bulan, kalau istrinya itu bekerja dan dia memberikan
kesuami ke anak-anak itu bukan suatu kewajiban itu dianggap sodaqoh itu mendapat
pahala lagi.
PERTANYAAN-PERTANYAAN WAWANCARA
1.
Identitas Informan
a.
Nama Lengkap
b.
Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktifitas selain di
: Dr. Cahya Buana, M.Ag.
UIN: WADEK FDI, Penus Majlis Alimat Internasinal, Pengurus Muslimat NU.
c.
Riwayat Pendidikan
a. Pendidikan Menengah Tingkat Pertama : MTSN Tanggung Cianjur
b. Pendidikan Menengah Tingkat Atas
: MA. Darul Ulum Bogor
c. S1
: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. S2
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. S3
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d.
Jumlah Anak
: 3 orang anak
e.
Usia Anak
a. Anak 1
: 17 Tahun
b. Anak 2
: 14 Tahun
c. Anak 3
: 6 Tahun
f. Alasan Berkarir
g.
: Mengeksplore kompetensi diri
Apakah suami mengizinkan untuk berkarir : Mengizinkan
2. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? Pertemanan Apakah suami istri
setara? Apakah suami harus tetap sebagai orang yang lebih berkuasa dan lebih
tinggi, sedangkan istri adalah selalu sebagai orang yang lebih rendah dan yang
dikuasai? sama saja suami istri tetapi dalam beberapa hal ada yang membedakan agar
posisi itu tidak terbalik-balik jadi posisi suami ditempatkan sebagai suami, istri sebagai
istri dalam beberapa hal ya ada persamaan ada perbedaan. Contohnya dalam hal
keagamaan tetap menempatkan suami sebagai imam kalau dalam keseharian saling
membantu tidak bisa dipisahkan, tidak mungkin kita hidup sendiri, satu sama lain harus
saling membantu Ataukah suami atau istri yang berpotensi lebih bagus, maka dialah
yang lebih berkuasa? tidak, harus saling menutupi, gak gitu! Kita prinsipnya adalah
tadi saya termasuk yang memiliki keyakinan bahwa suami adalah imam dalam keluarga
seburuk apapun menurut orang suami tetap adalah imam yang kita tempatkan sebagai
kepala kelurga
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? Mendapatkan nafkah lahir dan
batin, mendapatkan respect dari suami, ya kalau berbicara seperti itu kan belum tentu
didapatkan terkadang iya terkadang tidak tetapi kalau sudah berumah tangga tidak
berbicara lagi pada takaran itu, kalau bicara itu tidak selesai- selesai, tidak ada yang
selamat. Kalau kita membicarakan hak dan kewajiban gak akan ada rumah tangga yang
selamat. Nanti selalu menuntut satu dengan yang lainnya, yang ada itu bagaimana hak
dan kewajiban itu saling ditutupin satu sama lain Lalu apa saja keawajiban istri
menurut Hukum Islam? Kewajiban dalam rumah tangga sama saja dengan kewajiban
suami kecuali dalam konsep agama kalo suami yang wajib itu menafkahi tetapi dalam hal
saat ini kan tidak lagi seperti itu jadi kalau istri yang tidak berpenghasilan sama sama
berkontitusi dalam keluarga kalau mendidik ya bersama-sama mendidik, konsep mendidik
yaitu kebersamaan, suami punya fungsi mendidik anak istri juga sama sebagai istri juga
kalau misalkan menyiapkan kebutuhan rumah tangga, ya suami juga kewajiban yang
sama, apapun yang dilakukan adalah kewajiban bersama.
3. Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia? gak tau
saya, saya ga perduli sama UUD yang penting saya sama suami nyaman-nyaman aja udah
selesai Dan apa saja kewajiban istri menurut Peraturan di Indonesia? Gak! Gatau,
gak ngurus saya biarin aja yang penting damai rumah tangga, anak-anak damai.
4. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam
Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Saya tunduk pada semua
yang diatur dalam aturan Agama Islam kalau memang itu bukan penafsiran, terkadang
yang diambil itu adalah penafsiran-penafsiran dan hasil pendapat para ulama yang belum
tentu cocok dengan keadaan, tetapi dalam aturan yang tertulis dalam Al-Qur’an ya ibu
akan selalu tunduk terhadap apa yang sudah di gariskan oleh agama. Tetapi dalam AlQur’an sendiri tidak ada kan pembagian job description antara laki-laki suami dan istri
hanya secara global saja bahwa suami adalah istilahnya qowamun, jelas kita harus
menempatkan itu, tapi kalau untuk job description ya gak seperti itu
Apakah ibu
setuju? Alasannya? Alasannya. Jelas saya takut sama Allah itu saja, kalau saya bilang
bahwa karena memang saya adalah akan mematuhi apa yang sudah dirambukan oleh AlQur’an. Bahkan ketika konsep poligami orang-orang tidak setuju, walaupun saya tidak
melakukannya, saya akan tunduk bahwa poligami adalah jalan tuhan yang diberikan.
Asalkan bukan penafsiran-penafsiran bahwa perempuan itu harus dirumah. Itu kan bukan
Al-Qur’an yang menggariskan seperti itu. Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi,
Jika ada mohon berikan saran/masukan ibu serta alasannya? Dalam pasal 31 ayat 3
(suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga) yaitu penafsiran tetang ibu
rumah tangga yang harus ada penjabaran karena kalau ibu rumah tangga yang dirumah
saja ngurusin anak, kasur sumur dapur yaitu yang saya tidak mau dikatakan ibu rumah
tangga, perlu kejelasan dengan istilah ibu rumah tangga kalau kata-kata ibu rumah
tangga membatasi kreatifitas perempuan maka saya tidak setuju. Tetapi ibu rumah tangga
itu sebagai bahwa ini adala loh ibu rumah tangga, ini ada loh bapak rumah tangga peran
masing-masing juga ada, meskipun disitu harus saling mendukung antara peran suami
dengan peran istri yaitu persoalan dalam kata “ibu rumah tangga” itu mau dibawa
kemana gitu. Maindset kita terhadap ibu rumah tangga itu jangan
yang sekarang
ditafsirkan, kalau ibu rumah tangganya sumur kasur dapur saya tidak setuju. Kalau ibu
rumah tangga kita sebagai perempuan memiliki fungsi tersendiri dalam rumah tangga ya
saya setuju sebagai ibu rumah tangga.
5. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir,
tentu isitri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk
kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut
akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam
rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan
menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang
hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, apakah hak dan kewajibannya
dalam keluarga sama saja dengan istri yang berkarir? Yaitu si tergantung kerelaan
dari suaminya sama anak-anaknya kalau kita sebagai wanita karir sebagai kuantitas
pertemuan iya, akan lebih berkurang, tetapi dalam kuantitas yang banyak pun tidak
menjamin kualitas itu akan lebih baik kalau kuantitas berkurang, kualitas itu juga akan
dijaga, pertemuan antara anak dan suami itu kalau keseringan perempuan dirumah itu
akan jenuh. Banyak perempuan (istri) melakukan kekerasan terhadap anak, mereka
banyak yang dirumah terus, karena mereka ada kejenuhan yang hanya disitu-situ saja.
Menurut saya ga ada masalah. Dan kalaupun harus melakukan peran ganda iya itu
konskewensi yang harus ditangung karena Gak mungkin kita tidak ga melakukan peran
ganda itu karena kalau disini, dirumah anak bagian dari kehidupan kita, suami juga
meskipun tidak harus dalam pelayanan, tetapi tanggung jawab harus ditanggung secara
bersama-sama Kalau beda apa bedanya? 1. Bahwa perempuan yang berkarir diberikan
peluang untuk mengeksplor dirinya sendiri, dalam pergaulan secara sosial dia akan lebih
diakui oleh masyarakat secara financial memberikan tambahan lebih dalam berumah
tangga, secara individual diberiikan ruang untuk mengeksplor dirinya sendiri
mengembangkan kompetensi diri, secara sosial dia jelas akan lebih banyak bergaul
dengan orang-orang dan memberikan dampak yang positif karena dia secara sosial
memiliki pergaulan. Tetapi efeknya mungkin secara negatifnya tergantung pada individu
dia sendiri mampu ga memilah waktu untuk keluarga dan juga untuk karirnya. Kalau yang
kebablasan ya memang efeknya akan terjadi ya seperti itu, belum secara individual
bergaul dengan orang yang bukan muhrimnya dan itu juga adalah rambu-rambu yang
harus di perhatikan semua kembali kepada individu mampu ga untuk bertahan. Dan apa
argumentasi ibu? Kalau sama, apa argumentasinya? Kalau yang berkarir itu otomatis
ya kebalikannya, secara individual dia akan kurang tidak bisa menggali potensi dia, yang
ada difikiran tuh hanya keluarga saja, sehingga potensi yang dimiliki tidak bisa
tersalurkan, timbulnya adalah melampiaskan kejenuhan dirinya kepada anak. Dan saya ga
yakin juga dirumahnya akan rapih dsb, mungkin hanya menonton tv yang saya perhatikan
ya seperti itu, belum ngerumpi menurut saya plus minusnya ga terlalu jauh berbeda
dirumah atau diluar, itu tergantung individu didalam dirinya. Tidakkah itu menjadi
beban ganda bagi istri dan merugikan istri? Kalau landasan berfikir kita adalah
landasan agama saya yakin tidak akan pernah membebani, kecuali tadi kalau basicnya itu
keikhlasan karena Allah itu selesai semua persoalan, persoalanya bagaimana menempa
kehidupan si perempuan itu untuk meyakini bahwa peran ganda memang ada, mau
diapain. kalau saya si menikmati hidup dengan peran ganda, karena saya lebih bisa
memanfaatkan belajar dari kedua peran ini, peran dirumah saya pelajari, mudahmudahan insya Allah tidak ada kejomplangan antara kedua peran ini, senang-senang saja
saya menjadi peran ganda jadi ya ga terlalu menjadi beban, dirumah ada yang membantu
untuk mencucikan baju, sehingga fokus kepada anak dan suami itu lebih penting untuk
menjaga kerekatan dalam keluarga.
D. Perilaku Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
6. Karena saat ini ibu sudah terlibat aktif dalam penggapaian karir lebih bagus di
dunia kerja, lalu bagaimanakah cara ibu membagi waktu antara keluarga dengan
pekerjaan? Fokus, harus fokus, dua duanya harus fokus. Jadi ketika dalam pekerjaan
disini ya kita fokus dalam bekerja , dan dirumah itu persiapkan apa yang harus
disiapkan anak kita siapin sebelum berangkat, ketika dirumah hidup dengan anak dan
suami ketika disini hidup dengan pekerjaan kita, jangan berlebih-lebihan dipekerjaan
kelewatan di rumah tangga kelewatan, saya tidak membawa pekerjaan dirumah karena
mengganggu. Kecuali ada beberapa hal yang harus dikerjakan ya terpaksa untuk dibawa
kerumah, tetapi upayakan untuk tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah. Pekerjaan
kantor dikerjakan dikantor, dirumah dimaksimalkan waktu untuk keluarga. Manakah
yang lebih ibu prioritaskan, keluarga ataukah karir? sesuai dengan situasi jika di
keluarga memang membutuhkan kita tetap saya akan mengalahkan pekerjaa, tetapi jika
dikelurga juga bahwa yang harus mendapatkan prioritas maka prioritaskan pekerjaan.
Jadi bagaimana kita mengatur saja, hidup itu penuh dengan pilihan jadi ga bsa memilih
mana memilih mana jadi tergantung prioritas yang mana yang harus didahulukan dulu.
Jadi dua duanya insya alloh tidak akan bentrok Apakah ibu menjalankan peran
ganda, pontang-panting mengurus rumah tangga dan kemudian kerja keras juga
untuk kantor? Saya ga merasa pontang-panting, biasa saja hidup saya santai, badan
saya gemuk.
7. Andai suami atau anak-anak ibu menghendaki ibu berhenti bekerja agar bisa fokus
menghurusi mereka, bagaimana sikap ibu? Harus menjelaskan bahwa ya tadi latar
belakang, insya Alloh tidak ada yang memberhentikan persoalannya, karena mereka tau
selagi kita menempatkan pada posisi yang postif tidak akan diberhentikan, jadi anak suami
saya tidak pernah mendapatkan hambatan untuk itu karena mereka melihat kita sudah
professional sebagai ibu juga professional sebagai istri juga professional membantu
keluarga secara financial. Lalu apa alasannya? Kalau tanpa alasan ya saya akan menolak
kalau mereka memberi alasan yang memang betul itu adalah berhak untuk
memberhentikan saya, saya akan berenti, asalkan alasanya itu jelas. Apa alasan ibu
mengambil sikap begitu? saya menikmati hidup, karena saya punya hak untuk
mengembangkan potensi diri. Perempuan itu diberikan anugrah yang sama dengan lakilaki secara potensi, laki-laki juga ada yang lebih rendah potensinya, perempuan juga. Tapi
kan apabila potensi dimanfaatkan si laki-laki dan perempuan harus saling menghargai
potensi itu.
8. Selama ini apa kendala yang ibu hadapi dalam menunaikan kewajiban istri dan
sekaligus sebagai wanita karir tersebut? Untuk saat ini sudah tidak ada kendala,dulu
diawal-awal iya, karena mungkin perspepsi tentang suami istri, persepsi tentang diawal
membangun rumah tangga iya, karena persepsi bahwa suami itu harus sebagai kepala
keluarga (imam) yang memang menghadapi itu, jadi bahwa persepsi suami itu bahwa
saya adalah kepala keluarga bahwa saya kepala keluarga ada. Tapi kemudian pelan-pelan
diberikan pengertian dan juga dibuktikan bahwa kita itu bisa menjaga itu, itu penting.
Memang diawal awal tidak bisa dipungkiri persepsi laki-laki sebagai imam persepsi
perempuan sebagai ibu rumah tangga, tapi itulah pelan-pelan dibuktikan kepada
perempuan bahwa, bukan begtu loh membuktikan saja, ya perlu buktilah ya walaupun
ngotot ngotot dikit Kalau ibu tidak keberatan, bisakah kami mendapatkan sharing
pengalaman ibu tentang kesulitan-kesulitan itu dan upaya ibu mengatasinya? Ga bisa
ngatasin begitu, karena perlu bukti perlu alasan karena kita itu mampu loh untuk, jadi
diawal itu argument sama ngotot-ngotot ya sedikit agak ribut-ribut lah tapi kesininya itu
dengan bukti, bahwa yang diragukan oleh kaum laki-laki itu tidak terbukti, dan bahwa kita
masih bisa menjaga antara keluarga dan pekerjaan
D.
Pendapat Informan tentang Peran Ganda dan Kelalaian Istri yang berkarir
menunaikan kewajibibannya dalam Keluarga
9. Bagaimana pendapat ibu terkait:
Istri yang melakukan peran ganda (di kantor dan di rumah tangga) karena suami
tidak maksimal menafkahi keluarga, apakah istri itu berhak mendapatkan hak lebih
dalam keluarga, misal istri bisa menjadi pemimpin/kepala keluarga? gak bisa, saya
mengalami soalnya, saya posisinya seperti itu, waktu itu suami memang tidak, ya
ibaratnya berbandingan dengan saya ya namanya usha ya kadang-kdang ada kadang tidak
kadang dapet kadang tidak, tetapi saya tetap harus menempatkan suami saya sebgai
kepala keluarga dan pemimpin karena itu tadi landasan saya adalah berdasarkan agama
yang menempatkan laki-laki sebagai imam
Atau bisakah istri bertukar peran dengan suami yaitu suami yang mengurus rumah
tangga dan istri yang mencari nafkah keluarga menjadi kepala keluarga? gak ada
yang bisa ditukar-tukar, karena laki-laki punya fungsi sendiri dan perempuan juga punya
fungsi sendiri tidak mungkin ditukar-tukar jangan ngaco gitu loh pengen menukar-nukar
ya gak bisa!
10. Bagaimana pendapat ibu, jika istri itu melakukan peran ganda sedangkan suaminya
mampu menafkahi keluarga, kemudian karena peran gandanya itu mengakibatkan
istri lalai menunaikan kewajibannya di rumah. Seperti istri lalai melayani kebutuhan
biologis suami karena istri kelelahan dik kantor, apakah kelalaian itu bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti di terima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah? Kalo saklek ya bisa, kalo kita mau berpangku kepada hukum dan alquran, fiqih
dan sebagainya bisa, tapi kalau kita dasarnya adalah musyawarah dan kekeluarga dan
kesepakatan bersama, perundingan ya gak ada yang seperti itu intinya, tapi kalo saklek ya
bisa kalau berdasarkan hukum-hukum ya memang bisa, makanya banyak mengajukan
gugatan cerai dsb. Karena selalu di kepalanya itu Cuma hak dan kewajban gak pernah
berbicara bagaimana untuk memajukan hak dan kewajiban itu untuk saling berbagi
11. Bagaimana pendapat ibu tentang hak menerima nafkah dari suami bagi istri yang
berprofesi sebagai wanita karir? kalau menurut saya dalam agama memang sudah
dinyatakan sebagai hak memang harusnya didapatkan, tetapi besar kecilnya itu kan
tergantug kemampuan suami dan istri harus menerima karena secara agama memang itu
punya hak memang begitu, entah maudigunakan untuk anaknya untuk apa yang jelas itu
adalah haknya. Besar kecilnya kalau memangdalam posisi tidak punya suaminya ya
berari tidak diberi, tetapi dalam posisi ada ya ukurannya semampunya suami tapi itu
harus.
Apakah dengan kebebasan yang diberikan oleh suami kepada istri yang
berkarir tinggi itu berakibat gugurnya kewajiban suami menafkahinya? Apa
argumentasi ibu? Gak ada yang menggugurkan itu, karena didalam dalil pun tidak ada
ketika istri bekerja kemudian suami itu tidak menafkahinya itu tidak ada jadi apa alasan
kita untuk gugur menggugurkan gak ada. Kalau itu istrinya gak dinafkahi berarti gugur
pula mendapatkan pelayanan biologisnya ya sama aja intinya tidak akan ada selesai kalau
kita hanya membicarakan hak dan kewajiban ketika hak dan kewajban dia tidak terpenuhi
maka gak akan ada ini itu dan akhirnya tidak ada keluarga yang selamatkalau kaya gitu
A. Identitas Informan
1. Nama Lengkap
: Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si
2. Jabatan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta: Wakil Rektor 1 dan
aktifitas selain di UIN: Pengurus MUI Pusat
3. Riwayat Pendidikan
a. Pendidikan Menengah Tingkat Pertama : MTS AIN 1
b. Pendidikan Menengah Tingkat Atas
: MAAIN 1
c. S1
: IAIN Jakarta
d. S2
: Psikologi UI
e. S3
: Psikologi UII-UAI
4.
Jumlah Anak
: 4 orang anak
5.
Usia Anak
a. Anak 1
: 31 Tahun
b. Anak 2
: 28 Tahun
c. Anak 3
: 21Tahun
d. Anak 4
: 17 Tahun
6. Alasan Berkarir
: Sebenarnya dari awal saya selesai kuliah
sarjana lengkap itu tahun juli 1982 wisuda, kemudian bulan agustunya saya diminta oleh
ketua jurusan untuk mengajar menjadi asisten waktu itu jurusan IPS di fakultas tarbiah
dosennya adalah dari IKIP (Rawamangun) membutuhkan asisten, dan saya diminta
untuk jadi asisten mata kuliah metode khusus pengajaran IPS Pada waktu itu gitu, jadi
terpikir untuk bekerja tapi belum terpikir untuk menjadi dosen setelah diminta itu oh
yaudah saya suka dan saya jalani.
7. Apakah suami mengizinkan untuk berkarir
:sangat mengizinkan karena saya
bertemu dia saja saya sudah diangkat menjadi CPNS ketika memutuskan menikah saya
sudah pegawai negeri dan itu memang sestuatu yang harus dilakukan ya, karena
memang pengamalan ilmu
B. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? baik menurut saya pola komunikasinya
tidak sama seperti yang orang tua saya dulu tunjukkan atau orang tua yang lebih dulu
generasinya, bahwa seorang suami itu memang sangat ketara bahwa dia itu lebih
dominan di dalam keluarga tetapi untuk generasi saya dan berikutnya itu sudah lebih
kesetaraan itu ada, terlihat bahwa ada saling menghormati, menghargai, mendukung
termasuk dalam pengambilan keputusan itu memang dibicarakan Apakah suami istri
setara? Apakah suami harus tetap sebagai orang yang lebih berkuasa dan lebih
tinggi, sedangkan istri adalah selalu sebagai orang yang lebih rendah dan yang
dikuasai?
Kalau saya jelsakan tadi sebeanrya ga begitu, jadi kalau ada didalam
alquran dijelaskan arrijalu qowamuna alanisa bima …dia lebih tinggi diatas perempuan
karena kelebihan diantaranya menafkahi istrinya, tetap saja bahwa meskipun didalam
shalat perempuan tidak bisa menjadi imam laki-laki bukan berarti dia berkuasa jadi
relasi suami istri adalah relasi kemitraan, jadi relasi kemitraan yang saya lihat relasi
suami istri itu adalah suami kepala rumah tangga tetapi istri adalah pendamping jadi
kalau tidak ada pendampingnya ini dia akan mengalami penimpangan Ataukah suami
atau istri yang berpotensi lebih bagus, maka dialah yang lebi berkuasa? tidak ada
yang berkuasa menurut saya, apalagi isri menjadi penguasa didalam rumah jadi tidak
menurut saya, jadi tadi dengan konsep atau relasi kemitraan maka baik suami maupun
istri adalah pendamping dan mereka harus bisa saling mendukung, mengisi, melengkapi.
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? 1. Hak istri Untuk dicintai,
disayangi, dihormati. 2. Diberi nafkah (kewajban suami adalah memberi nafkah kepada
istrinya). 3. Didukung mendapatkan dukungan baik itu dengan pengembangan pribadi,
atau melakukan kegiatan-kegiatan tugas-tugas didalam rumah tangga atau dukungan
dalam pengembangan karir. Lalu apa saja keawajiban istri menurut Hukum Islam? 1.
Yang utama istri harus taat kepada suaminya, sepanjang suami itu tidak mengarahkan
istrinya kepada hal-hal yang musyrik yang bertentangan dengan syariat 2. Istri itu
berkewajiban untuk melayani suami dalam hal apapun kebutuhan-kebutuhan suami
3. Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia? Saya gak
tau persis tapi saya pikir undang-undang perkawinan atau perkawinan di NKRI ini di
inspirasi oleh nilai-nilai, salah satunya dari nilai-nilai ajaran islam sehingga menurut
saya hampir sama saja bahwa istri punya kewajiban untuk mememberikan pelayanan
kepada suaminya, kemudian didalam islam menjaga kehormatannya, menjaga harta
suaminya, menjaga rumah tangganya Dan apa saja kewajiban istri menurut Peraturan
di Indonesia? Hampir sama dengan yang tadi itu mungkin mengurus anak, mengurus
rumah tangga.
4. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam
Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Saya katakan tadi hampir
sejalan, jadi istri memiliki hak tapi suami juga memiliki hak jadi hak istri menjadi
kewajiban suami kewajiban istri menjadi hak suami jadi kalau tadi haknya adalah
mendapatkan perlindungan, kasih sayang. nafkah misalnya gitu maka dia mempunyai hak
untuk menjaga, nafkah atau harta benda suaminya menjaga dirinya, menjaga rumahnya
menjaga dan mendidik anak-anaknya meskipun sebenarnya pengertian nafkah dalam islam
itu kan lebih luas jadi bukan nafkah materi tetapi juga nafkah bathin termasuk nafkah
untuk mengurus rumah tangganya dan nafkahnya jadi yang saya ingat itu kalau istri tidak
mau menyusukan anaknya misalnya gitu ya. Itu memang memang kewajiban suami untuk
membuat istrinya mau mencari orang lain, atau misalnya pekerjaan pekerjaan rumah
tangga itu juga menjadi kewajiban suami juga bukan kewajiban istri. Apakah ibu setuju?
Sepanjang itu tadi sesuai dengan prinsip dasar bahwa saling menghormati, menghargai,
mendukung saya oke aja Alasannya? Mungkin apa yang pernah tidak disepakati oleh
orang bahwa kalau pemahaman mengenai istri taat kepada suami termasuk misalnya
kalau itstri bekerja tidak disetujui oleh suami sepertinya memang didahului dengan
komunikasi, Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi, Jika ada mohon berikan
saran/masukan ibu serta alasannya? mengenai KHI harta gono gini jadi kalau mislanya
istri itu mendapatkan harta gono gini dari suaminya sepanjang harta itu diperoleh dalam
kehidupan rumah tangga ketika mereka menikah, nah itukan saya menangkapnya adalah
untuk menghormati istri bagi istri yang tidak bekerja jadi kalau tidak bekerja diluar rumah
dalam konteks memperoleh income dia mengurus rumah tangganya dengan baik. Mendidik
anaknya dengan baik memenuhi semua suami dalam rumah tangga itu dia sebanarnya
bekerja juga yg harus mendapatkan penghargaan jadi dia juga berhak memperoleh
sebagian harta suaminya yang diperoleh selama perkawinan itu dan itu saya setuju kalau
itu direalisasikan. Tetapi belakang jika itu terbalik yg bekerja akhirnya istrinya yang
memperoleh income cukup banyak adalah istrinya lalu suaminya. Kadaang ada yang
nakal juga ketika cerai tapi saya nuntut harta gono gini kalau saya ga stuju dengan itu
5. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir,
tentu isitri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk
kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut
akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam
rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan
menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang
hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, apakah hak dan kewajibannya
dalam keluarga sama saja dengan istri yang tidak berkarir? Yg pertama bahwa setiap
manusia itu laki-laki dan perempuan sama saja kedudukannya dimata Tuhan jadi setiap
manusia itu wajib beribadah kepada Allah wajib menuntut ilmu “utlubul ilma minal mahdi
ila lahdi atau “tolabul ilmi faridhotun ala kulli muslmin wal muslimat” kalau laki-laki dan
perepuan muslimin dan muslimat itu punya kewajiban untuk menuntut ilmu kemudan ada
dikemukakan juga alilmu bila amalin kasajari bila samarin, jadi ilmu yang tidak
diamalkan itu sama saja dengan pohon yang tidak berbuah, bukan tidak bermanfaat tetapi
kurang manfaatnya, dalam konteks pemanfaatan ilmu itu sama saja untuk memperbaiki
kemampuan dan kinerja diri sendiri, meningkatkan Ibadan, meningkatkan kemampuan,
mengatasi masalah, meningkatkan perempuan untuk mengurus rumah tangga, itu sudah
bagus kalau seorang istri saya memilih bekerja dirumah, mengurusui rumah tangga saya,
mengurusi anak-anak saya berpendidikan baik kalau istri memilih seperti itu, itu bagus,
tapi kalau kemudian pengamalan saya ini tidak cukup diruang lingkup yang kecil saya
harus mengamalkan diruang lingkup yang lebih luas dimasyarakat misalnya menjadi guru,
menjadi dokter, menjadi doketr ga mungkin kalau dia Cuma ngobatin anak dan
keluarganya kan terlalu kecil ruang lingupnnya . Kemudian dia menjadi insyinyur, arsitek
dan gak mungkin dia Cuma membuat rumahnyna sendiri kan dia harus bisa
mengembangkan atau mengaplikasikan diri. Padahal kontenks yg seperti itu menurut saya
wanita yang memilih perkerja tadi bagus boleh aja tapi tadi ada fungsi kemitraan dalam
keluarga itu harus seizin suami disitulah tadi komunikasi harus dibangun dari awal istri
support mendukung suami suami juga harus mengdunkung istri, mungkin jika kamu bilang
peran ganda, mungkin bukan peran ganda peran ganda kan dua, multi. Jadi istri itu bisa
berperan sebagai dirinya sendiri, sebagai nenek sebagai anak sebagai guru sebagai
apapun dimasyarakt, didalam rumah saja dia sudah multi peran juga dengan kegiatan
diluar rumah. Kalau beda apa bedanya? Dan apa argumentasi ibu? Tidak bisa untuk
dihilangkan, jadi kalaupun perempuan itu melebarkan sayapnya dari melaksanakan
kewajiban di dalam rumah tangga dia tetap punya peran itu ga bisa, “karena saya bekerja
diluar rumah saya ga boleh tidak harus lagi melakukan pekerjaan dirumah” dan itu
jangan dianggap sebagai beban jadi kalau dianggap double burdon (beban) jalani
semuanya dengan tenang, jadi ketika saya menjalankan peran menjadi istri saya kan harus
melakukannya, kalau saya ingin dicintai maka saya harus mencintai, kalau saya ingin
diperhatikan maka saya harus memperhatikan, ketika saya punya anak jadi anak ini
adalah tanggung jawab suami istri bukan jadi beban atau kewaijban istri saja untuk
mengurus, merawat, mendidik anak. Jadi kalau istri berperan ganda atau lebih suaminya
juga harus begitu jika istri mencari nafkah diluar suaminya juga mencari nafkah diluar
makakedauanya juga harus punya tanggung jawab yang dibagi peran yang dibagi dalam
rumah tangga jika istri tidak bekerja diluar justru malah lebih fokus, kalau istri bekerja
diluar rumah maka dia lebih fokus untuk mengurusi urusan domestiknya harusnya harus
lebih berkualitas, harus lebih tinggi kinerjanya dirumah
Kalau sama, apa
argumentasinya? Serang perempuan itu (istri) berhak memperoleh nafkah dari suaminya
kalau dia juga bekerja dengan seizin suaminya itu maka dia juga sebenrnya hukumnya
yang saya tau harta yang dicari oleh istri itu adalah hak dia jadi kalau dia menfkan untuk
suami atau anak-anaknya itu dia bersedekah hukumnya. Tidakkah itu menjadi beban
ganda bagi bekerja istri dan merugikan istri? Buat saya tidak merugikan sepanjang itu
kita lakukan dan itu memang merupakan kewajiban kita jadi kalau suami membantu tugas
domestik ya itu tadi dalam konteks dia mensuport, kewajiban kita memang untuk mengurus
rumah tangga taat dan melayai suami, mendidik anak jadi kalau misalnya sudah terpola
selama ini istri peran domestik suami peran public misalnya gitu, mungkin proporsinya
tetap istri untuk domestic mestinya banyak suami dalam public tapi untuk istri yang
sekarang ini mendapat jabatan penting, misalnya memang jadi walikota, gubernur,
apalagi jadi presiden jadi direktur diperusahan, jadi apa yang memang hampir banyak
energynya untuk memikiran orang lain misalnya. Maka dia harus pandai-pandai untuk
mengatur memanage (mempunyai asistan) jangan lupa juga bhwa dia adalah tetap istri
tetap ibu dari anak-anaknya jadi ga boleh kalau dia birokrat dan dia memperlakukan
orang dirumah itu seperti bawahan misalnya gitu, suaminya jabatannya lebih kecil
incomenya lebih kecil jadi dia sok penguasa itu menrut saya ga bagus, jadi dialam rumah
istri itu harus berperan dengan baik. Dan itu juga dilakukan dengan tenang tidak akan
merasa rugi.
C. Perilaku Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri
6. Karena saat ini ibu sudah terlibat aktif dalam penggapaian karir lebih bagus di
dunia kerja, lalu bagaimanakah cara ibu membagi waktu antara keluarga dengan
pekerjaan? Saya memang sejak dulu dosen, kemudian pernah ngantor dulu memang
saya tidak mewajibkan diri saya utuk datang setiap pagi ontime di kampus misalnya,
saya tetap memprioritaskan urusan bahwa dirumah itu kalau sore oke mislanya lebih
tetapi memangzikalau diperlukan ya harus datang misalnya jam 7 harus disini (kantor)
ya jam 7 datang, jadi saya tidak melakukan setiap hari seperti itu, kemudian komunikasi
dengan siapaun yang dirumah itu, dengan suami, dengan anak-anak, dengan assistant
rumah tangga dengan siapun yang berhubungan dengan itu komunikasi dijaga ada
kontak ada control, ada diskusi ada musyawarah ada saling menyapa untuk saling
mengingatkan, menyenangkan itu sudah bisa dilakukan sepanjang itu. Untuk pekerjaan
juga diskusi bukan cuma dengan pasangan tetapi juga dengan anak-anak juga bisa.
Manakah yang lebih ibu prioritaskan, keluarga atahkah karir? kalau saya tidak ada
yang sangat prioritas ya intinya keluarga karena disitulah kita hdup, tetapi bukan berarti
bahwa saya memprioritaskan keluarga lalu saya bekerja seenaknya, seadanya tidak.
Ketika pekerjaan itu memang dihadapi memang secara professional harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya tetapi saya juga tidak mau menelantarkan kebutuhan saya dan
keluarga jadi kalau harus memilih misalnya ya itu tergantung kondisinya, kalau misalnya
pada saat tertentu urusan keluarga agak lebih dipentingkan maka saya akan mengurangi
kan bisa, misalnya peran saya disini kan bisa izin bisa cuti tapi tetap melakukan
kewajban-kewajibanatau mendelegasikan kewajiban tetapi yang penting tugas-tugas kita
tidak terbengkalai
Apakah ibu menjalankan peran ganda, pontang-panting
mengurus rumah tangga dan kemudian kerja keras juga untuk kantor? Ya ada si
memang, kadang kita merasa sangat lelah kadang-kadang pekerjaan mesti dibawa
pulang, ngerjainnya sampai jam 11 sampai jam 12 disini rapat, rapat, rapat kordinasi,
trus yang paraf yang ttd kalau mau wisuda kan ribuan yang akan diwisuda kemudian
ribuan itu juga yang harus di ttd transkip, biasanya kalau sudah bertumpuk-tumpuk saya
bawa pulang. Dikerjakan dirumah untuk pekerjaan yang tidak terlalu menguras fkiran
Cuma ttd tetapi butuh waktu, butuh tenaga jg.
7. Andai suami atau anak-anak ibu menghendaki ibu berhenti bekerja agar bisa fokus
menghurusi mereka, bagaimana sikap ibu? Alhamdulillahnya ga begitu, dan suami
sangat mensuport sejak awal tahu saya bekerja yang penting kita tidak kehilangan rasa
hormat kita terhadap dia, ga mentang-mentang saya kira ga ada rasionalnya kenapa dia
menyuruh kita berhenti, menurut saya si ibu-ibu yang bekerja itu anak-anak jadi lebih
mandiri, mereka bisa mengapresiasi, sepanjang ibu menjalankan fungsi dan tugasny
dengan sebaik-baiknya, jadi karna ibu bekerja ibu jadi sok dan memberikan perhatian
secara sikologis terutama kepada anak-anaknya saya fikir anaknya justru akan menjadi
merasa senang. Apa alasan ibu mengambil sikap begitu? saya ga bisa berenti karena
saya sudah menyukai pekerjaan saya, dan saya merasa tenang melakukan ini, menjadi
guru, dosen kan merasa senang saya sudah mengajar selama 32 th mahasiswa saya sangat
banyak dimana-mana bahkan yang sudah jadi pejabat-pejabat, jadi guru berperstasi dan
itu merupakan sesuatu yang disyukuri. Alhamdulillah selama ini saya pribadi bisa
menjalankan peran-peran itu dengan baik, mendapatkan support dari suami dari anakanak.
8. Selama ini apa kendala yang ibu hadapi dalam menunaikan kewajiban istri dan
sekaligus sebagai wanita karir tersebut? Kalau ibu tidak keberatan, bisakah kami
mendapatkan sharing pengalaman ibu tentang kesulitan-kesulitan itu dan upaya ibu
mengatasinya? Kadang-kadang bentrok kegiatan, antara kegiatan yang dirumah dan
kegiatan yang harus dilakukan ditempat bekerja itu membuat kita harus menyediakan
waktu yang ekstra tenaga dan fikiran yang ekstra itu kendala-kendalanya mungkin orang
yang sulit untuk melakukan cockling stess. Bisa jadi stress, sakit, marah-marah barang
kali itu yang mungkin bisa kalau lagi lupa keseimbangan antara kerja dan refreshing itu
kendala juga. Kadang-kadang “ah udahlah pengen berhenti aja kerja, atau mungkin
wonning itu ke fisik “ko fisiknya merasa lelah banget yah” kalau udah gitu harus sadar
diri dan harus melakukan istirahat.
D. Pendapat Informan tentang Peran Ganda dan Kelalaian Istri yang berkarir
menunaikan kewajibibannya dalam Keluarga
9. Bagaimana pendapat ibu terkait:
Istri yang melakukan peran ganda (di kantor dan di rumah tangga) karena suami
tidak maksimal menafkahi keluarga, apakah istri itu berhak mendapatkan hak lebih
dalam keluarga, misal istri bisa menjadi pemimpin/kepala keluarga? kalau kepala
rumah tangga itu dianalogikan dengan kekuasaan (dominan) menurut saya seharusnya si
ya jadi baik dalam hukum islam dalam hukum perkawinan di Indonesia saya kira tidak
dibenarkan seperti itu, meskipun suami adalah kepala rumah tangga dia tidak dibenarkan
untuk berlaku sewenang-wenang oleh istrinya sehingga untuk pengambilan keputusan
dalam keluarga itu tetap istri harus mendapatkan opsi, ketika istri yang mempunyai
kelebihan itu maka lebih lagi tidak boleh bersikap otoriter, kemudian merasa dominan,
merasa paling bagus kalau itu terjadi maka retaklah sudah komitmen di dalam rumah
tangga, suami kemudian menjadi inperior merasa rendah diri, merasa kurang berharga,
bisa menarik diri. Akibatnya dia bisa menarik diri, kemudian dia menunjukkan agnifitas
yang kemudian dia gak galak akhirnya menjadi galak, menjadi kasar dan tidak jarang
juga melakukan kekerasan yang dipicu oleh sikap sombong istri. Bahwa bisa difahami
rizki itu Alloh limpahkan kepada kita bisa melalui siapa, jadi dalam keluarga itu rizikinya
memang diturunkan melalui kinerja istrinya ya harus disyukuri rezeki dari keluarga yang
kemudian dinikmati oleh keluarga dan anak-anaknya seperti juga rezeki datang melalui
suaminya.
Atau bisakah istri bertukar peran dengan suami yaitu suami yang
mengurus rumah tangga dan istri yang mencari nafkah keluarga menjadi kepala
keluarga? dalam kondisi tertentu bisa jadi seperti itu, kalau suaminya sakit (kecelakaan.
Stroke) kan ga mungkin kemudian suami tidak menafkahi keluarga kemudian istri minta
cerai kalau masih punya komitmen dalam perkawinan itu dia bisa menjalankan fungsinya
untuk berganti suaminya bahkan tidak menjadi pengurus rumah tangga, tetapi malah
diurus juga. Jadi istri dia mencari nafkah, dia mengurus keluarga, termasuk mengurus,
merawat, dan membiayai pengobatan suaminya. Bisa jadi seperti itu, ada jugan
kondisinya yg suaminya agak sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan istrinya, jadi
istrinya punya skill yang kemudian memang dibuutuhkan oleh masyarakat atau lapangan
pekerjaan
istri ini kemudian dokter, pengusaha, kemudian lancar turunnya rezeki,
sementara suaminya lebih terampil dirumah. mengurus rumah, memanage rumah, dll. Bisa
jadi seperti itu. Tetapi dalam culture timur termasuk Indonesia hal yang seperti itu
sepertinya masih kurang di terima jadi kalau bertukan peran secara total itu kaayanya
memang kurang diterima. Suami-suami yang tidak bekerja mencari nafkah kemudian istri
yang bekerja tadi, sering kali ada istilah yang jelek lebel nya itu mempekerjakan istri.
Meskipun dia sendiri melakukan dengan tenang. Tapi sebaiknya tidak berganti peran total
karena secara hati nurani perempuan itu tetap pingin mendapatkan sesuatu dari
suaminya, bukan dia yang harus semua. Suatu saat terjadi bahwa dia mencari nafkah
sementara dia juga mengurus rumah tangga, suatu saat dia kelelahan dan dia akan
merasa ”ko aku yang kerja ya” mungkin dia merasa kurang nyaman juga dengan dirinya
sendri dan suaminya dan itu bisa menimbulkan krisis jadi sepanjang itu masih bisa
balance dalam culture kita misalnya suami tetap bekerja meskipun penghasilannya sedikit
dalam frame kita dalam masyarakat kita itu masih bisa diterima karena sekarang itu bisa
menerima kalau suami istri itu bekerja bersama. Gak lagi cuma suami yang bekerja tetapi
kalau istri yang bekerja full sedangkan suami full menggantikan peran dirumah itu
sepertinya menjadi timpang menurut kita, kalau misalkan mereka cuek dalam kondisi
apapun “itu kan yang menjalankan kami” itu tidak mempengaruhi perasaaan, fikiran dan
sikap mereka dalam hubungan dengan keluarganya itu oke, seperti orang barat ada yang
seperti itu meskipun tidak semuanya seperti itu.
10. Bagaimana pendapat ibu, jika istri itu melakukan peran ganda sedangkan suaminya
mampu menafkahi keluarga, kemudian karena peran gandanya itu mengakibatkan
istri lalai menunaikan kewajibannya di rumah. Seperti istri lalai melayani kebutuhan
biologis suami karena istri kelelahan di kantor, apakah kelalaian itu bisa
mengakibatkan gugurnya hak yang mesti di terima istri dari suaminya, seperti hak
nafkah? Yang idealnya memang tidak harus begitu, yang idealnya tadi istri itu tau benar
apa kewajiban dan haknya jadi bisa dikatakan sebagai seorang manusia dia punya hak
untuk dirinya sendiri, dia punya hak untuk mengamalkan ilmunya, dia punya hak untuk
memperoleh penghasilan sendiri, karena siapapun akan merasakan hal yang berbeda
ketika dia membelanjakan sesuatu yang memang hasil jerih payahnya sendiri
dibandingkan dengan menerima saja, walaupun suami itu bisa
mencukupi secara
berkecukupan baik nafkah keluarga istri mau beli apapun bisa misalnya gitu, tetapi itu
tidak menimbulkan kepuasan bathin apabila dia sendiri sebenarnya merasa mampu untuk
melakukan apapun, bukan dilihat dari segi incomenya, jadi bahwa saya bisa bekerja, saya
bisa mengajar, saya bisa menulis, mungkin kalau jadi pengamat, bahkan menjadi ketua
RT, ketua RW sekalipun karena dia sangat aktif dimasyarakat yang penting dia punya
aktualisasi diri dia bisa menunjukkan kompetensinya dan baktinya kepada orang lain,
kalau itu dilakukan tanpa harus mengurangi kewajibannya didalam rumah, jadi kalau
yang tadi itu saya katakan bahwa ga bisa karena salah satu kewajiban itu adalah melayani
suaminya termasuk mislanya menyediakan minumnya, menyediakan makannya, kemudian
bahkan mislanya kalau perlu menyediakan baju bersih, ruangan yang bersih, rumah yang
nyaman itu menjadi kewajiban istri juga walaupun tadi dia melaksanakan kewajiban itu
dia harus mendaptkan support dari suaminya jangan sampai yang saya katakan tadi
karena istri sudah punya karir bagus, sudah punya jabatan tinggi, punya income besar
lalu dia merasa bahwa suaminya itu adalah menjadi anak buahnya, bawahanya yang
kemudian dia lakukan dengan semaunya, itu gak begitu, jadi kalau misalnya kelelahan
sekali-kali ga bisa bikin minum, gak bisa menyediakan makan, ga bisa melayani kebutuhan
logistic itu asalkan dikomunikasikan dengan baik kemudian suami bisa menerima selesai.
11. Bagaimana pendapat ibu tentang hak menerima nafkah dari suami bagi istri yang
berprofesi sebagai wanita karir? tetap punya hak, kan tadi kewajiban suami member
nafkah kalau istri mencari nafkah dan mempunyai income sendiri itu haknya dia sendiri,
kalau dia mau membagi suaminya dan keluarganya itu sedekah gitu. Jadi dia punya hak
untuk mendapatkan nafkah dari suaminya, sedikit apapun tetapi bukan nilainya Apakah
dengan kebebasan yang diberikan oleh suami kepada istri yang berkarir tinggi itu
berakibat gugurnya kewajiban suami menafkahinya? Apa argumentasi ibu? Gak.
Tetap kewajibannya ada, maka itu saya katakan bahwa apapun yang bisa dilakukan istri
suami tetap menafkahi istri semampunya, jadi semampu dia (suami) jadi kalau memberi
istri seratus rupiah kita dikasih uangnya seratus ribu tapi keperluannya seratus juta
misalnya tetap aja gpp itu tetap diberikan, ya cuma jangan sampai istri yang menerima
nafkah kecil itu dibandingkan dengan penghasilan dia sendiri dan kemudian merendahkan,
meremehkan, menyombongkan dirinya, sehingga menyebabkan suami menjadi rendah diri,
menjadi merasa tidak berharga, dan akhirnya menunjukkan eksistensi ini di hadapan
orang lain, kalau istri tidak menghargai saya tidak menghormati saya, saya bisa ko
mendapatkan penghormatan, penghargaan dari perempuan lain, jangan salahkan seperti
itu.
Download