Perjanjian Jaminan Sebagai Accessoir Perjanjian Kredit Oleh: Mokhamad Khoirul Huda Ninis Nugraheni Abstract Article 1131 BW contained general guarantee in that, the guarantee puts all the debtor wealth is given to all parties that position as a creditor. Position of creditors with general guarantee only has position as concurrent creditors that means the same position with other concurrent creditors. To strengthen the position of creditors, it is necessary to make guarantee agreement. Position of guarantee agreement is constructed as accessoir agreement guaranteeing the strength of the guarantee agreement for security of lending by creditors, because the position of the guarantee agreement is accessoir. Accessoir agreements always follow the principle agreements that if the principle agreement essentially ends or delete it, then automatically accesoir agreement will expire or delete anyway. Thus, the existence of accesoir agreement, depending on the presence or absence of the principal agreement. Keywords: guarantee, guarantee agreements, accessoir agreements, creditor, debtor. PENDAHULUAN Kegiatan perekonomian dan perdagangan sangat membutuhkan adanya ketersediaan uang yang dapat diperoleh dengan cepat dalam rangka untuk melakukan transaksi-transaksi perdagangan, pengembangan usaha, penambahan modal, investasi, dan sebagainya. Oleh sebab itu salah satu instrumen untuk memperoleh modal dengan cepat adalah dengan kebijakan penyaluran kredit di masyarakat. Pihak pemberi kredit (Kreditor) dalam memberikan kredit ke penerima kredit (Debitor) harus mensyaratkan adanya jaminan demi keamanan modal dan kepastian hukum. Situasi demikian menjadi sangat penting berkaitan dengan keberadaan jaminan dalam pemberian kredit. Sejalan dengan hal tersebut, undangundang telah mengatur arti penting jaminan dalam penyaluran fasilitas kredit. Hal ini dapat kita jumpai dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas undangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) selanjutnya disingkat UU Perbankan, yang menyebutkan bahwa : "Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi 17 risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur.” Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. …... " Pada prinsipnya Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 telah mengatur adanya jaminan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berdasarkan Pasal 1131 BW, menyimpulkan bahwa kreditor dapat melaksanakan haknya terhadap semua harta benda debitor.1 Hal ini sesuai dengan pendapat J.Satrio, bahwa harta kekayaan debitor menjadi jaminan bagi pelaksanaan kewajiban debitor kepada semua pihak yang berkedudukan sebagai kreditor.2 Pasal 1131 BW tersebut tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan bagi 1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: BPHN, 1980, hlm.43. 2 J.Satrio, Hukum Jaminan : Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm.4-6. 18 kewajiban membayar utangnya kepada kreditor, tetapi juga menjadi jaminan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian.3 Sedangkan Pasal 1132 BW mengisyaratkan adanya pembagian hasil penjualan dari benda-benda jaminan yang dibagi diantara para kreditor secara seimbang dengan besarnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para kreditor terdapat kreditor-kreditor tertentu yang oleh undang-undang diberi kedudukan hukum lebih tinggi daripada para kreditor lainnya.4 Meskipun pada prinsipnya ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 BW telah memberikan jaminan kepada kreditor, namun hal itu dirasa belum memberikan perlindungan kepada kreditor. Kedua pasal tersebut hanya memberikan jaminan secara umum, tanpa adanya kedudukan yang didahulukan (droit de preference) sehingga tidak memberikan jaminan rasa aman bagi kreditor atas pelunasan kredit secara utuh. Oleh karena itu, undang-undang memberikan peluang kepada kreditor untuk meminta jaminan yang bersifat khusus, baik yang bersifat jaminan kebendaan maupun perorangan.5 3 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002, hlm.7. 4 Sri Soedewi, Op.Cit, hlm.44. 5 Menurut Subekti, jaminan dibedakan dalam jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang kreditor dengan orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitor. Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor dengan debitor, atau antara kreditor dengan orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban- Prakteknya pemberian jaminan dalam penyaluran kredit, akan diikat dalam perjanjian jaminan kebendaan. Lazimnya perjanjian jaminan kebendaan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan) yang keberadaannya digantungkan pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian accessoir selalu mengikuti perjanjian pokoknya sehingga jika perjanjian pokoknya berakhir atau hapus, maka secara otomatis perjanjian accesoir akan berakhir atau hapus pula. Dengan demikian keberadaan perjanjian accesoir, tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian pokok. Perjanjian Kredit Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, relatif lebih mudah jika dilakukan melalui interaksi dengan pihak lain. Nuansa dalam berinteraksi dengan pihak lain ini dalam bentuk kerjasama yang harus didasari dengan itikad baik. Jika masing-masing pihak mempunyai itikad baik, dimana interaksi yang diciptakan tidak hanya memikirkan keuntungan pribadi, maka interaksi tersebut akan berjalan dengan proporsional. Selain itu kerjasama akan mendapatkan hasil yang proporsional jika dibingkai dalam suatu aturan yang dibuat oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian akan ada perikatan diatara para pihak. Sebagaimana pendapat M. Isnaeni, perikatan itu lahir dari perjanjian.6 Kemudian Agus Yudha Hernoko7, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa istilah perjanjian mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kontrak. Ketentuan Pasal 1313 BW menjelaskan perjanjian sebagai ”suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Lawren M. Friedman, mendefinisikan pengertian kontrak dengan “Contracts is the body of law that by large concerns voluntary agreements”8. Kontrak adalah perangkat hukum yang umumnya berkenaan dengan perjanjian sukarela. Sedangkan pengertian kontrak dalam Terminology Hukum, InggrisIndonesia adalah suatu persetujuan antara dua pihak atau lebih yang karenannya masing-masing akan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu.9 Dalam Black’s Law Dictionary, kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. “Contract: An agreement between to or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing”. Its essentials are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of obligation. Berdasarkan batasan-batasan kontrak yang telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak mempunyai arti yang kurang lebih sama. 7 kewajiban debitor. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cet.10, Bandung, Alumni, 1982, hlm.25. 6 M. Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013, hlm.2 (selanjutnya M. Isnaeni – I). Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada Media Group,2010, hlm.15. 8 Lawren M. Friedman, American Law, New YorkLondon: W.W.Norton & Company, 1984, hlm. 141. 9 I.P.M.Ranuhandoko, Terminologi Hukum InggrisIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 168. 19 Dalam kaitan dengan fungsi kontrak, Yohanes Sogar Simamora10 berpendapat bahwa kontrak tidak akan lepas dari dunia bisnis dan kontrak mempunyai fungsi yang penting. Kontrak menjamin terlaksana dan terpenuhinya janji-janji yang dibuat oleh para pihak. Dengan demikian melalui kontrak dipastikan kehendak para pihak dapat terwujud. Lebih lanjut P.S Atiyah mengatakan, tujuan dasar kontrak itu ada tiga yaitu :11 (1) untuk menegakkan suatu janji dan melindungi harapan yang eksplisit maupun implisit, baik yang timbul dari perjanjian maupun bentuk-bentuk perilaku lainnya; (2) mencegah upaya memperkaya diri yang dilakukan secara tidak adil atau tidak sah; dan (3) mencegah terjadinya bentuk-bentuk dan sifat-sifat kerugian tertentu, terutama kerugian ekonomi dan memberikan kompensasi kepada pihak lain yang menderita kerugian. Berkaitan dengan penyaluran fasilitas kredit selalu diawali dengan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam uang atau dana dituangkan dalam perjanjian kredit. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, menyebutkan: "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga." Disimpulkan melalui perjanjian yang dibuat dalam penyaluran kredit maka diharapkan memperkuat kedudukan kreditor, yaitu dengan adanya janji debitor untuk melunasi utangnya. Ketentuan mengenai Perjanjian Kredit mengacu pada ketentuan perjanjian pinjam meminjam yang terdapat dalam Buku III, Bab XIII Pasal 1754 BW.12 Subekti, memberikan penjelasan bahwa dalam pemberian kredit pada hakekatnya adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754-1769 BW.13 Lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip 14 Trisadini, mengemukakan bahwa: “perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsesuil, sedangkan penyerahan uang adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua pihak. Masih menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit di Indonesia tergolong sebagai perjanjian bernama. Dalam aspeknya yang konsensuil Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Buku Referensi Hukum Perbankan: Hukum Jaminan, Surabaya: Revka Petra Media, 2013, hlm.4. 13 Subekti, Op.Cit, hlm. 3. Baca pula Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm. 4. 14 Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Loc.Cit. 12 10 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang, 2009, hlm.32. 11 P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, New York: Oxford University Press Inc, 1995, hlm.35. 20 perjanjian ini tunduk pada UU Perbankan dan bagian umum Buku III BW. Sedangkan dalam aspek riil perjanjian ini tunduk pada UU Perbankan.15 Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan, bahwa perjanjian kredit bukanlah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 BW. Hal ini didasari dari adanya perbedaan yang mendasar dari Perjanjian kredit dan perjanjian pinjam meminjam, yaitu dalam hal: a. Perjanjian kredit mempunyai sifat konsensuil, sedangakan perjanjian pinjam meminjam bersifat riil. Perjanjian kredit jelas-jelas mencantumkan syarat tangguh. Ditandatangani perjanjian kredit belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan dana tetapi masih digantungkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah. b. Tujuan penggunaan kredit diberikan bank kepada nasabah debitor tidak dapat dipergunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tidak tertentu yang ditetapkan di dalam perjanjian kredit. Pemakaian yang menyimpang dari tujuan menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara pihak. Tidak demikian dengan perjanjian pinjam meminjam nasabah debitor dapat leluasa mempergunakan dana tersebut. c. Tentang syarat cara penggunaanya. Pada kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu yaitu dengan menggunakan cek atau 15 Ibid. perintah pemindah bukuan (lazimnya dengan menerbitkan bilyet giro), sedangkan pada perjanjian pinjam meminjam uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditor kepada debitor dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitor akan menggunakan uang pinjaman dimaksud. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan, membawa konsekuensi bahwa perjanjian kredit itu harus ada sebelum adanya perjanjian accesoir. Perjanjian kredit menjadi dasar akan eksistensi perjanjian accesoir. Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir dimana perjanjian tersebut mengandung adanya kewajiban debitor kepada kreditor.16 Maksud dari pendapat tersebut bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir yang akan melahirkan hak pribadi/hak perorangan (persoonlijke overeenskomst) yang bersifat relatif. Dimana hak tersebut hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu yaitu, rekan sekontrak.17 Mengingat hak yang timbul dari perjanjian obligatoir adalah hak pribadi yang dimaksud adalah hak tagih sehingga dengan demikian posisi kreditor hanyalah pada posisi konkuren18. Sedangkan 16 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, (Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya), Bandung: Alumni, 1983 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I). 17 Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm.6 18Pada posisi ini BW dalam Pasal 1131 memberikan perlindungan kepada kreditor, yaitu seluruh harta debitor akan dijadikan jaminan atas utang-utang 21 sebagaimana diuraikan pada awal, kreditor mengharapkan keamanan modal dan kepastian hukum dalam penyaluran kreditnya. Dengan demikian tidaklah aman posisi kreditor saat ini, karena resiko tidak kembalinya modal sangat besar. Untuk itu dalam memperkuat posisinya kreditor mensyaratkan adanya perjanjian tambahan (accesoir) yang berupa perjanjian jaminan. Perjanjian Jaminan Perjanjian jaminan adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian pokok. Jadi sifatnya adalah ikutan atau accessoir, yang diadakan untuk kepentingan perjanjian pokok. Sehingga timbul dan hapusnya bergantung pada perjanjian pokok. Pengertian jaminan adalah suatu tanggungan yang dibenkan oleh debitor dan/atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin modalnya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accessoir dari perjanjian pokok oleh debitor dengan kreditor. Dalam prakteknya sering dibuat dalam bentuk perjanjian jaminan yang baik berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan, yang ditujukan untuk menjamin perjanjian pokok (perjanjian utang piutang, perjanjian kredit, dan sebagainya). Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengklasifikasikan jaminan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut debitor. Hanya saja hasil eksekusi dan pelelangan atas harta debitor itu, harus dibagi secara proporsional dengan kreditor-kreditor lain sesuai Pasal 1132 BW. Keadaan seperti inilah yang dimaksud kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren. 22 obyeknya, menurut kewenangan 19 menguasainya, sebagai berikut: a. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian; b. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus; c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan; d. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas benda tak bergerak; e. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan yang tanpa menguasai bendanya. Menurut Subekti, jaminan yang baik atau ideal adalah jaminan-jaminan yang 20 memenuhi persyaratan : a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukan; b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya; c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit (kreditur) dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima kredit (debitur). Dalam kerangka hukum di Indonesia, lembaga jaminan kebendaan dikenal adanya lembaga jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan, fidusia dan yang terakhir hak jaminan atas resi gudang. Lahirnya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 19 20 Sri Soedewi, Op. Cit, hlm.43-57. Ibid. 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No. 59 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No.78, selanjutnya disingkat UU Sistem Resi Gudang21, mendeklarasikan munculnya lembaga jaminan baru, yaitu hak jaminan atas resi gudang.22 Iswi Haryani menegaskan, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 dan Peraturan Bank Indonesia No. 9 Tahun 2007, lembaga jaminan kebendaan bertambah 21 Menurut Pasal 1 angka 1 UU Resi Gudang, Sistem resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian resi gudang. Konsideran Penjelasan UU Resi Gudang mengamanatkan bahwa sistem resi gudang seyogyanya mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri, baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. Hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka. Melalui Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat digunakan pengendalian harga dan persediaan nasional. Pengertian Sistem Resi Gudang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 UU Sistem Resi Gudang, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Resi Gudang merupakan alas hak (document of title) atas barang dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi. 22 Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm.116. jenisnya dengan hak jaminan atas resi gudang.23 Masih menurut Iswi, sistem resi gudang merupakan perkembangaan dari sistem jaminan fidusia dan gadai dengan obyek jaminan barang bergerak berupa stok hasil pertanian / perkebunan / perikanan.24 Jika terdahulu disampaikan bahwa perjanjian obligatoir melahirkan hak perorangan berupa hak tagih yang bersifat relatif, maka dalam perjanjian jaminan kebendaan (perjanjian kebendaan) melahirkan hak kebendaan (zakelijk recht) yang bersifat mutlak. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak untuk melahirkan, mengubah atau meniadakan hak kebendaan. 25 Dengan demikian maka, dari perjanjian kebendaan itu dilahirkan suatu hak yang mempunyai ciri, sifat atau karakter sebagai suatu hak kebendaan. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hak kebendaan mempunyai ciriciri sebagai berikut: 26 a. Hak kebendaan bersifat mutlak; Hak ini dapat ditegakkan terhadap siapapun. Tidak terbatas pada para pihak yang terkait, namun juga pihak lain yang akan terkait dikemudian hari. Dengan demikian demi hukum semua pihak harus menghormatinya. b. Hak kebendaan mempunyai zaakgevolg atau droit de suite; Hak zaakgevolg atau droit de suite akan tetap mengikuti bendanya ke Iswi Hariyani – Serfianto, Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.24. 24 Ibid, h.4. 25 Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, h.11 26 Sri Soedewi, Op.Cit, hlm.25-27. 23 23 tangan siapapun benda itu berada. Pemberian hak kebendaan ini dimaksudkan untuk memberikati kedudukan yang kuat kepada pemegang hak kebendaan. Hal ini berangkat dari pikiran, bahwa benda jaminan tetap menjadi pemilik pemberi jaminan dan pemberi jaminan pada asasnya selama penjaminan berlangsung tetap wenang untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda jaminan miliknya. c. Hak kebendaan mempunyai sifat droit de preference; Sifat droit de preference diatur dalam Pasal 1133 BW, yang menyatakan bahwa kreditor pemegang hak jaminan didahulukan dalam hal pelunasan pembayaran di antara para kreditor yang lain. Terkait dengan sifat droit de preference, seluruh lembaga jaminan kebendaan sudah mengatur secara jelas ketentuan droit de preference. d. Adanya gugat kebendaan. Hak ini memberikan kemungkinan macam-macam actie jika terdapat ganguan atas haknya. Actie dapat dilaksanakan terhadap siapapun, adapun wujudnya berupa: penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya, gugatan untuk pemulihan dalam keadaan semula, gugatan untuk penggantian kerugian dan sebagainya. e. Adanya kemungkinan untuk memindahkan hak kebendaan dapat dilakukan secara sepenuhnya. 24 M. Isnaeni27 sedikit berbeda dengan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menguraikan bahwa ciri pokok hak kebendaan yaitu: 1. Hak kebendaan bersifat mutlak; 2. Ada droit de suite; 3. Ada preferensi; 4. Mengandung asas prioritas, dimana menurut asas ini, hak kebendaan yang lahir lebih dahulu akan diutamakan dari pada yang lahir kemudian. Lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan asas-asas umum (algemene beginselen) yang terdapat dalam hak kebendaan, yang meliputi28: a. Asas sistem tertutup. Artinya hak kebendaan bersifat limitatif, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang. Diluar itu, dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak baru (dwingend recht). Lain perkataan kehendak para pihak itu tidak dapat mempengaruhi isi hak kebendaan; b. Asas hak mengikuti benda (zaaksgevolg, droit de suite). artinya 27 M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara, Surabaya, Dharma Muda, 1996, hlm.2 (selanjutnya M. Isnaeni – II). Baca pula Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm.117 – 118. 28 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet. II, Bandung, Alumni, 1997, hlm. 36-40. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman-II Periksa Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Disertasi), Cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 62. Baca pula Sri Soedewi, Op.Cit, hlm.36-40. hak kebendaan mengikuti bendanya di mana saja dan dalam tangan siapapun benda itu berada; Ketentuan mengenai asas ini tidak dijumpai secara tersurat maupun tersirat dalam pasal-pasal UU Resi Gudang. Jika kita bandingkan dengan jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia, hak kebendaan ini diatur secara jelas dalam undang-undang. Ketentuan dalam Gadai mengatur tentang asas droit de suite. Gadai merupakan hak kebendaan atas benda bergerak milik seseorang (Pasal 1152 ayat (3) juncto Pasal 528 BW), karenanya walaupun barangbarang yang digadaikan tersebut beralih atau dialihkan kepada orang lain, barang-barang yang digadaikan tersebut tetap atau terus mengikuti kepada siapa pun objek barangbarang yang digadaikan itu berada (droit de suite). Apabila barangbarang yang digadaikan hilang atau dicuri orang lain, maka kreditor pemegang gadai berhak untuk menuntut kembali. 29 Sifat droit de suite, juga dianut lembaga jaminan hipotek. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1163 ayat (2) BW, bahwa : “Benda-benda itu tetap dibebani dengan hak tersebut, di dalam tangannya siapa pun ia berpindah.” Berdasarkan ketentuan tersebut sebagai konsekuensi dari hak kebendaan, maka hak hipotek itu tetap mengikuti kebendaannya yang dijaminkan di dalam tangan siapa pun kebendaan jaminan itu berada atau dipindah. Walaupun benda jaminannya sudah berpindah tangan dan selanjutnya menjadi milik pihak atau orang lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk menuntut pelaksanaan eksekusi guna mengambil pelunasan piutangnya, jika debitor wanprestasi. Sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan juga mempunyai ciri sifat droit de suite, bahwa benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan walaupun beralih atau dialihkan, tetap mengikuti dalam tangan siapa pun benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut berada. Ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Terkait Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 No.42 selanjutnya disebut UUHT, menegaskan mengenai sifat droit de suite Hak Tanggungan : “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa objek tersebut berada.” Kemudian Penjelasan atas Pasal 7 UUHT menyatakan sebagai berikut : 29 M. Isnaeni-II, Op.Cit, hlm.46. 25 “Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji.” Selanjutkan ketentuan droit de suite dalam fidusia dapat disimak dari ketentuan Pasal 20 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa: “Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.” Lebih lanjut Penjelasan atas Pasal 20 UU Jaminan Fidusia menyatakan: “Ketentuan ini mengakui prinsip "droit de suite" yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem).” Keberadaan asas ini dalam suatu lembaga jaminan sangat penting, mengingat asas droit de suite dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditor, walaupun benda yang telah dijaminkan telah berpindah tangan (beralih atau 26 dialihkan) dan menjadi milik pihak ketiga, namun kreditor masih tetap mempunyai hak untuk mengambil pelunasan terhadap kredit. c. Asas publisitas (openbaarheid), maksudnya adalah “pengumuman” kepada masyarakat mengenai status kepemilikan; Pasal 1179 BW menyatakan bahwa pendaftaran ikatan hipotek harus dilakukan dalam daftar-daftar umum yang disediakan untuk itu. Dalam hal tidak ada pendaftaran, hipotek itu tidak mempunyai kekuatan apa pun, bahkan juga terhadap kreditor yang tidak mempunyai ikatan hipotek. Sedangkan menurut Pasal 13 ayal (1) UUHT Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) UU Jaminan Fidusia Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Dalam UU Resi Gudang, adanya asas publisitas masih menjadi pertanyaan. Apakah ketentuan Pasal 13 UU Resi Gudang mencerminkan asas publisitas. Pasal 13 UU Resi Gudang mengatur Penerima Hak Jaminan harus memberitahukan perjanjian pengikatan Resi Gudang sebagai Hak Jaminan kepada Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang. Pada Penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan Pemberitahuan ini memuat pula data perjanjian pokok utang piutang yang mendasari timbulnya jaminan. Pemberitahuan tersebut akan mempermudah Pusat tambahan (bijzaak) dan penolong ( hulpzaak).30 Registrasi dan Pengelola Gudang dalam rangka mencegah adanya penjaminan ganda serta memantau peredaran Resi Gudang dan memberikan kepastian hukum tentang pihak yang berhak atas barang dalam hal terjadi cedera janji. g. Asas dapat diserahkan. Artinya hak kepemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan bendanya. Perbuatan penyerahan dalam hubungannya dengan benda yang akan diserahkan yang dipengaruhi oleh perbedaan benda yang relatif penting yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. d. Asas spesialitas. Artinya dalam asas ini terdapat pada hak pada benda tetap yang bertujuan untuk menunjukkan kepemilikan, wujud, batas dan letak benda tersebut. h. Asas perlindungan. Meliputi perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik (te goede trouw), walaupun pihak yang menyerahkan tidak berwenang berhak (beschikkinson bevoegd) yang atur dalam Pasal 1977 BW. i. Asas absolut (hukum memaksa). Artinya hak kebendaan wajib dihormati atau ditaati orang lain. e. Asas Totalitas. Artinya hak kepemilikan hanya dapat diletakkan terhadap obyek secara keseluruhan, tidak dapat diletakkan hanya untuk bagianbagian benda. f. Asas accessie (verticale accessie perlekatan). Maksudnya suatu benda lazimnya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokoknya. Asas perlekatan menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (prinsipal). Melalui asas perlekatan ditentukan bahwa pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap, dengan perkataan lain status pemilik dari benda pelengkap mengikuti benda pokok. Bagian dari benda itu dibedakan beberapa kategori yaitu benda bagian (bestanddeel), benda benda Perjanjian kebendaan dalam beberapa hal undang-undang mensyaratkan dalam bentuk sepakat tertentu dan dituangkan secara tertulis. Hal ini nampak dalam ketentuanketentuan:31 1) Pasal 1151 BW, yang mensyaratkan bahwa perjanjian harus dalam bentuk tertulis; 30 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Martalena Pohan, Bab-Bab Tentang Hukum Benda, Surabaya: Bina Ilmu,1991, h.30-32. Mariam Darus Badrulzaman-II, Ibid, hlm.38 . 31 Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm.122. 27 2) Pasal 1171 BW, mengharuskan perjanjian pembebanan hipotik dalam bentuk akta otentik; 3) Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Terkait Dengan Tanah (disingkat UUHT), mensyaratkan bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemasangan Hak Tanggungan (APHT); 4) Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, menyatakan bahwa jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris (akta notariil); 5) Pasal 14 ayat 2 UU Sistem Resi Gudang, menyebutkan bahwa pembebanan Hak Jaminan terhadap resi gudang dibuat dengan Akta Perjanjian Hak Jaminan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perjanjian kebendaan bertujuan untuk melahirkan, mengubah atau meniadakan hak kebendaan. Dengan demikian berati jika debitor menjaminkan suatu benda, maka berarti mereka telah melepaskan atau mengalihkan sebagian kekuasaan mereka atas benda tersebut, untuk sementara waktu sampai dengan piutang kepada kreditor dilunasi. Perkataan lain perjanjian kebendaan menetapkan hak (jaminan) serta pengalihan (sementara) hak debitor atas suatu benda (obyek jaminan) kepada pihak kreditor. Kesimpulan Hak yang lahir dari perjanjian kredit adalah hak perorangan dan bersifat relatif, artinya hak tersebut dapat ditegakkan pada pihak tertentu khususnya rekan 28 sekontraknya. Pasal 1131 BW terkandung jaminan bersifat umum dalam arti jaminan itu meletak segenap harta debitor dan jaminan itu diberikan kepada semua pihak yang berkedudukan sebagai kreditor. Kedudukan kreditor dengan jaminan umum hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren, yang berarti berkedudukan sama dengan kreditor-kreditor konkuren lainnya. Untuk memperkuat posisi kreditor maka diperlukan adanya perjanjian jaminan. Kedudukan perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir (perjanjian tambahan) itu menjamin kuatnya perjanjian jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditur, karena kedudukan perjanjian jaminan yang bersifat accessoir tersebut memiliki beberapa akibatakibat hukum, yaitu: a. Perjanjian Accessoir tergantung pada Perjanjian Pokok; b. Hapusnya Perjanjian Accessoir tergantung pada Perjanjian Pokok; c. Jika Perjanjian Pokok batal, maka Perjanjian Accessoir juga ikut batal; d. Perjanjian Accessoir ikut beralih dengan beralihnya Perjanjian Pokok. e. Jika Perutangan Pokok beralih karena; Cessi, Subrogasi, maka Perjanjian Accessoir beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus . DAFTAR PUSTAKA Buku Atiyah, P.S, An Introduction to the Law of Contract, New York: Oxford University Press Inc, 1995. Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III, (Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya), Bandung: Alumni, 1983. _________, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet. II, Bandung: Alumni, 1997. Friedman, Lawren M., American Law, New York- London: W.W.Norton & Company, 1984. Hariyani Iswi dan Serfianto, Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Disertasi), Cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996. Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: BPHN, 1980. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cet.10, Bandung: Alumni, 1982. Usanti, Trisadini Prastinah,– Leonora Bakarbessy, Buku Referensi Hukum Perbankan : Hukum Jaminan, Surabaya: Revka Petra Media, 2013. Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Isnaeni, M., Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Martalena Pohan, Bab-Bab Tentang Hukum Benda, Surabaya: Bina Ilmu, 1991. Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Satrio, J., Hukum Jaminan : Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Simamora, Yohanes Sogar, Hukum Perjanjian : Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang, 2009. Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening Juncto 29