17 Perjanjian Jaminan Sebagai Accessoir Perjanjian Kredit Oleh

advertisement
Perjanjian Jaminan Sebagai Accessoir Perjanjian Kredit
Oleh:
Mokhamad Khoirul Huda
Ninis Nugraheni
Abstract
Article 1131 BW contained general guarantee in that, the guarantee puts all the debtor
wealth is given to all parties that position as a creditor. Position of creditors with general
guarantee only has position as concurrent creditors that means the same position with other
concurrent creditors.
To strengthen the position of creditors, it is necessary to make guarantee agreement. Position
of guarantee agreement is constructed as accessoir agreement guaranteeing the strength of
the guarantee agreement for security of lending by creditors, because the position of the
guarantee agreement is accessoir. Accessoir agreements always follow the principle
agreements that if the principle agreement essentially ends or delete it, then automatically
accesoir agreement will expire or delete anyway. Thus, the existence of accesoir agreement,
depending on the presence or absence of the principal agreement.
Keywords: guarantee, guarantee agreements, accessoir agreements, creditor, debtor.
PENDAHULUAN
Kegiatan
perekonomian
dan
perdagangan sangat membutuhkan adanya
ketersediaan uang yang dapat diperoleh
dengan cepat dalam rangka untuk
melakukan transaksi-transaksi perdagangan,
pengembangan usaha, penambahan modal,
investasi, dan sebagainya. Oleh sebab itu
salah satu instrumen untuk memperoleh
modal dengan cepat adalah dengan
kebijakan penyaluran kredit di masyarakat.
Pihak pemberi kredit (Kreditor) dalam
memberikan kredit ke penerima kredit
(Debitor) harus mensyaratkan adanya
jaminan demi keamanan modal dan
kepastian hukum. Situasi demikian menjadi
sangat penting berkaitan dengan keberadaan
jaminan dalam pemberian kredit.
Sejalan dengan hal tersebut, undangundang telah mengatur arti penting jaminan
dalam penyaluran fasilitas kredit. Hal ini
dapat kita jumpai dalam Penjelasan Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas undangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) selanjutnya
disingkat UU Perbankan, yang menyebutkan
bahwa :
"Kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam
pelaksanaannya
bank
harus
memperhatikan asas-asas perkreditan
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang sehat. Untuk mengurangi
17
risiko tersebut, jaminan pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah
debitur untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan
merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan
oleh
bank.
Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberikan
kredit,
bank
harus
melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dana prospek usaha dari
Nasabah debitur.”
Mengingat bahwa agunan sebagai salah
satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan
Nasabah debitur mengembalikan utangnya,
agunan hanya dapat berupa barang, proyek,
atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit
yang bersangkutan. …... "
Pada prinsipnya Burgerlijk Wetboek
(selanjutnya disingkat BW) dalam Pasal
1131 dan Pasal 1132 telah mengatur adanya
jaminan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
berdasarkan Pasal 1131 BW, menyimpulkan
bahwa kreditor dapat melaksanakan haknya
terhadap semua harta benda debitor.1 Hal ini
sesuai dengan pendapat J.Satrio, bahwa
harta kekayaan debitor menjadi jaminan
bagi pelaksanaan kewajiban debitor kepada
semua pihak yang berkedudukan sebagai
kreditor.2 Pasal 1131 BW tersebut tidak
hanya menentukan bahwa harta kekayaan
debitor demi hukum menjadi jaminan bagi
1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di
Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, Yogyakarta: BPHN, 1980,
hlm.43.
2
J.Satrio, Hukum Jaminan : Hak-Hak Jaminan
Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991,
hlm.4-6.
18
kewajiban membayar utangnya kepada
kreditor, tetapi juga menjadi jaminan bagi
semua kewajiban lain yang timbul karena
perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu
timbul karena undang-undang maupun
karena perjanjian.3
Sedangkan
Pasal
1132
BW
mengisyaratkan adanya pembagian hasil
penjualan dari benda-benda jaminan yang
dibagi diantara para kreditor secara
seimbang dengan besarnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para
kreditor terdapat kreditor-kreditor tertentu
yang oleh undang-undang diberi kedudukan
hukum lebih tinggi daripada para kreditor
lainnya.4
Meskipun pada prinsipnya ketentuan
Pasal 1131 dan Pasal 1132 BW telah
memberikan jaminan kepada kreditor,
namun hal itu dirasa belum memberikan
perlindungan kepada kreditor. Kedua pasal
tersebut hanya memberikan jaminan secara
umum, tanpa adanya kedudukan yang
didahulukan (droit de preference) sehingga
tidak memberikan jaminan rasa aman bagi
kreditor atas pelunasan kredit secara utuh.
Oleh
karena
itu,
undang-undang
memberikan peluang kepada kreditor untuk
meminta jaminan yang bersifat khusus, baik
yang bersifat jaminan kebendaan maupun
perorangan.5
3
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan :
Memahami
Faillissementsverordening
Juncto
Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2002, hlm.7.
4
Sri Soedewi, Op.Cit, hlm.44.
5
Menurut Subekti, jaminan dibedakan dalam jaminan
kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan
perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang
kreditor dengan orang ketiga yang menjamin
dipenuhinya
kewajiban-kewajiban
debitor.
Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara
kreditor dengan debitor, atau antara kreditor dengan
orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-
Prakteknya pemberian jaminan dalam
penyaluran kredit, akan diikat dalam
perjanjian jaminan kebendaan. Lazimnya
perjanjian
jaminan
kebendaan
dikonstruksikan sebagai perjanjian yang
bersifat
accesoir
(tambahan)
yang
keberadaannya
digantungkan
pada
perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.
Perjanjian accessoir selalu mengikuti
perjanjian pokoknya sehingga jika perjanjian
pokoknya berakhir atau hapus, maka secara
otomatis perjanjian accesoir akan berakhir
atau hapus pula. Dengan demikian
keberadaan perjanjian accesoir, tergantung
dari ada atau tidak adanya perjanjian pokok.
Perjanjian Kredit
Manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, relatif lebih mudah jika dilakukan
melalui interaksi dengan pihak lain. Nuansa
dalam berinteraksi dengan pihak lain ini
dalam bentuk kerjasama yang harus didasari
dengan itikad baik. Jika masing-masing
pihak mempunyai itikad baik, dimana
interaksi yang diciptakan tidak hanya
memikirkan keuntungan pribadi, maka
interaksi tersebut akan berjalan dengan
proporsional. Selain itu kerjasama akan
mendapatkan hasil yang proporsional jika
dibingkai dalam suatu aturan yang dibuat
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
bersama. Dengan demikian akan ada
perikatan diatara para pihak.
Sebagaimana pendapat M. Isnaeni,
perikatan itu lahir dari perjanjian.6
Kemudian Agus Yudha Hernoko7, dalam
bukunya Hukum Perjanjian menyatakan
bahwa istilah perjanjian mempunyai
pengertian yang sama dengan istilah
kontrak. Ketentuan Pasal 1313 BW
menjelaskan perjanjian sebagai ”suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.
Lawren M. Friedman, mendefinisikan
pengertian kontrak dengan “Contracts is the
body of law that by large concerns voluntary
agreements”8. Kontrak adalah perangkat
hukum yang umumnya berkenaan dengan
perjanjian sukarela. Sedangkan pengertian
kontrak dalam Terminology Hukum, InggrisIndonesia adalah suatu persetujuan antara
dua pihak atau lebih yang karenannya
masing-masing akan melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan tertentu.9
Dalam Black’s Law Dictionary, kontrak
diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua
orang atau lebih yang menciptakan
kewajiban untuk berbuat atau untuk tidak
berbuat sesuatu hal yang khusus. “Contract:
An agreement between to or more persons
which creates an obligation to do or not to
do a peculiar thing”. Its essentials are
competent parties, subject matter, a legal
consideration, mutuality of agreement, and
mutuality of obligation. Berdasarkan
batasan-batasan
kontrak
yang
telah
diuraikan, dapat dikatakan bahwa antara
perjanjian dan kontrak mempunyai arti yang
kurang lebih sama.
7
kewajiban debitor. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk
Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Cet.10, Bandung, Alumni, 1982, hlm.25.
6
M. Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata di
Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013,
hlm.2 (selanjutnya M. Isnaeni – I).
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta:
Prenada Media Group,2010, hlm.15.
8
Lawren M. Friedman, American Law, New YorkLondon: W.W.Norton & Company, 1984, hlm. 141.
9
I.P.M.Ranuhandoko, Terminologi Hukum InggrisIndonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 168.
19
Dalam kaitan dengan fungsi kontrak,
Yohanes Sogar Simamora10 berpendapat
bahwa kontrak tidak akan lepas dari dunia
bisnis dan kontrak mempunyai fungsi yang
penting. Kontrak menjamin terlaksana dan
terpenuhinya janji-janji yang dibuat oleh
para pihak.
Dengan demikian melalui
kontrak dipastikan kehendak para pihak
dapat terwujud.
Lebih lanjut P.S Atiyah mengatakan,
tujuan dasar kontrak itu ada tiga yaitu :11 (1)
untuk menegakkan suatu janji dan
melindungi harapan yang eksplisit maupun
implisit, baik yang timbul dari perjanjian
maupun bentuk-bentuk perilaku lainnya; (2)
mencegah upaya memperkaya diri yang
dilakukan secara tidak adil atau tidak sah;
dan (3) mencegah terjadinya bentuk-bentuk
dan sifat-sifat kerugian tertentu, terutama
kerugian
ekonomi
dan
memberikan
kompensasi kepada pihak lain yang
menderita kerugian.
Berkaitan dengan penyaluran fasilitas
kredit selalu diawali dengan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam uang
atau dana dituangkan dalam perjanjian
kredit. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 1 angka 11 UU Perbankan,
menyebutkan:
"Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga."
Disimpulkan melalui perjanjian yang
dibuat dalam penyaluran kredit maka
diharapkan memperkuat kedudukan kreditor,
yaitu dengan adanya janji debitor untuk
melunasi utangnya.
Ketentuan mengenai Perjanjian Kredit
mengacu pada ketentuan perjanjian pinjam
meminjam yang terdapat dalam Buku III,
Bab XIII Pasal 1754 BW.12 Subekti,
memberikan penjelasan bahwa dalam
pemberian kredit pada hakekatnya adalah
suatu
perjanjian
pinjam
meminjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754-1769
BW.13 Lebih lanjut Mariam Darus
Badrulzaman
sebagaimana
dikutip
14
Trisadini, mengemukakan bahwa:
“perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst) dari
penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan
merupakan hasil permufakatan antara
pemberi dan penerima pinjaman
mengenai hubungan hukum antara
keduanya. Perjanjian ini bersifat
konsesuil,
sedangkan
penyerahan
uang adalah bersifat riil. Pada saat
penyerahan
uang
dilakukan,
barulah
berlaku
ketentuan
yang
dituangkan dalam model perjanjian
kredit pada kedua pihak.
Masih
menurut
Mariam
Darus
Badrulzaman
perjanjian
kredit
di
Indonesia tergolong sebagai perjanjian
bernama. Dalam aspeknya yang konsensuil
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Buku Referensi Hukum Perbankan: Hukum Jaminan,
Surabaya: Revka Petra Media, 2013, hlm.4.
13
Subekti, Op.Cit, hlm. 3. Baca pula Trisadini
Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy, Op.Cit, hlm.
4.
14
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Loc.Cit.
12
10
Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian:
Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang, 2009,
hlm.32.
11
P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract,
New York: Oxford University Press Inc, 1995,
hlm.35.
20
perjanjian ini tunduk pada UU Perbankan
dan bagian umum Buku III BW. Sedangkan
dalam aspek riil perjanjian ini tunduk pada
UU Perbankan.15
Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan,
bahwa perjanjian kredit bukanlah perjanjian
pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam
Pasal 1754 BW. Hal ini didasari dari adanya
perbedaan yang mendasar dari Perjanjian
kredit dan perjanjian pinjam meminjam,
yaitu dalam hal:
a. Perjanjian kredit mempunyai sifat
konsensuil, sedangakan perjanjian
pinjam meminjam bersifat riil.
Perjanjian
kredit
jelas-jelas
mencantumkan
syarat
tangguh.
Ditandatangani perjanjian kredit
belumlah menimbulkan kewajiban
bagi bank untuk menyediakan dana
tetapi masih digantungkan pada
syarat-syarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu oleh nasabah.
b. Tujuan penggunaan kredit diberikan
bank kepada nasabah debitor tidak
dapat dipergunakan secara leluasa
untuk keperluan atau tujuan yang
tidak tertentu yang ditetapkan di
dalam perjanjian kredit. Pemakaian
yang menyimpang dari tujuan
menimbulkan hak kepada bank
untuk mengakhiri perjanjian kredit
secara pihak. Tidak demikian dengan
perjanjian
pinjam
meminjam
nasabah debitor dapat leluasa
mempergunakan dana tersebut.
c. Tentang syarat cara penggunaanya.
Pada kredit bank hanya dapat
digunakan menurut cara tertentu
yaitu dengan menggunakan cek atau
15
Ibid.
perintah pemindah bukuan (lazimnya
dengan menerbitkan bilyet giro),
sedangkan pada perjanjian pinjam
meminjam uang yang dipinjamkan
diserahkan seluruhnya oleh kreditor
kepada debitor dengan tidak
disyaratkan bagaimana cara debitor
akan menggunakan uang pinjaman
dimaksud.
Perjanjian kredit sebagai perjanjian
pendahuluan, membawa konsekuensi bahwa
perjanjian kredit itu harus ada sebelum
adanya perjanjian accesoir. Perjanjian kredit
menjadi dasar akan eksistensi perjanjian
accesoir.
Mariam
Darus
Badrulzaman,
berpendapat bahwa perjanjian kredit
merupakan perjanjian obligatoir dimana
perjanjian tersebut mengandung adanya
kewajiban debitor kepada kreditor.16
Maksud dari pendapat tersebut bahwa
perjanjian kredit merupakan perjanjian
obligatoir yang akan melahirkan hak
pribadi/hak
perorangan
(persoonlijke
overeenskomst) yang bersifat relatif.
Dimana hak tersebut hanya dapat
ditegakkan pada pihak tertentu yaitu, rekan
sekontrak.17
Mengingat hak yang timbul dari
perjanjian obligatoir adalah hak pribadi
yang dimaksud adalah hak tagih sehingga
dengan demikian posisi kreditor hanyalah
pada
posisi
konkuren18.
Sedangkan
16
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku
III, (Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya),
Bandung: Alumni, 1983 (selanjutnya disebut Mariam
Darus Badrulzaman I).
17
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Op.Cit, hlm.6
18Pada posisi ini BW dalam Pasal 1131 memberikan
perlindungan kepada kreditor, yaitu seluruh harta
debitor akan dijadikan jaminan atas utang-utang
21
sebagaimana diuraikan pada awal, kreditor
mengharapkan keamanan modal dan
kepastian
hukum
dalam
penyaluran
kreditnya. Dengan demikian tidaklah aman
posisi kreditor saat ini, karena resiko tidak
kembalinya modal sangat besar. Untuk itu
dalam memperkuat posisinya kreditor
mensyaratkan adanya perjanjian tambahan
(accesoir) yang berupa perjanjian jaminan.
Perjanjian Jaminan
Perjanjian jaminan adalah perjanjian
yang timbul karena adanya perjanjian
pokok. Jadi sifatnya adalah ikutan atau
accessoir, yang diadakan untuk kepentingan
perjanjian pokok. Sehingga timbul dan
hapusnya bergantung pada perjanjian pokok.
Pengertian jaminan adalah suatu tanggungan
yang dibenkan oleh debitor dan/atau pihak
ketiga kepada kreditor untuk menjamin
kewajibannya dalam suatu perikatan.
Lembaga jaminan ini diberikan untuk
kepentingan kreditor guna menjamin
modalnya melalui suatu perikatan khusus
yang bersifat accessoir dari perjanjian
pokok oleh debitor dengan kreditor.
Dalam prakteknya sering dibuat dalam
bentuk perjanjian jaminan yang baik berupa
jaminan kebendaan maupun jaminan
perorangan, yang ditujukan untuk menjamin
perjanjian pokok (perjanjian utang piutang,
perjanjian kredit, dan sebagainya).
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
mengklasifikasikan jaminan menurut cara
terjadinya, menurut sifatnya, menurut
debitor. Hanya saja hasil eksekusi dan pelelangan
atas harta debitor itu, harus dibagi secara
proporsional dengan kreditor-kreditor lain sesuai
Pasal 1132 BW. Keadaan seperti inilah yang
dimaksud kreditor hanya berkedudukan sebagai
kreditor konkuren.
22
obyeknya,
menurut
kewenangan
19
menguasainya, sebagai berikut:
a. Jaminan yang lahir karena ditentukan
oleh undang-undang dan jaminan
yang lahir karena perjanjian;
b. Jaminan yang tergolong jaminan
umum dan jaminan khusus;
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan
jaminan yang bersifat perorangan;
d. Jaminan yang mempunyai obyek
benda bergerak dan jaminan atas
benda tak bergerak;
e. Jaminan yang menguasai bendanya
dan jaminan yang tanpa menguasai
bendanya.
Menurut Subekti, jaminan yang baik atau
ideal
adalah
jaminan-jaminan
yang
20
memenuhi persyaratan :
a. Yang dapat secara mudah membantu
perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukan;
b. Yang tidak melemahkan potensi
(kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan (meneruskan) usahanya;
c. Yang memberikan kepastian kepada
si pemberi kredit (kreditur) dalam
arti bahwa barang jaminan setiap
waktu tersedia untuk dieksekusi, bila
perlu dapat mudah diuangkan untuk
melunasi hutangnya si penerima
kredit (debitur).
Dalam kerangka hukum di Indonesia,
lembaga jaminan kebendaan dikenal adanya
lembaga jaminan gadai, hipotik, hak
tanggungan, fidusia dan yang terakhir hak
jaminan atas resi gudang. Lahirnya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
19
20
Sri Soedewi, Op. Cit, hlm.43-57.
Ibid.
2006 tentang Sistem Resi Gudang,
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 No. 59 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2011, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011
No.78, selanjutnya disingkat UU Sistem
Resi Gudang21, mendeklarasikan munculnya
lembaga jaminan baru, yaitu hak jaminan
atas
resi
gudang.22
Iswi
Haryani
menegaskan,
dengan
diberlakukannya
Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 dan
Peraturan Bank Indonesia No. 9 Tahun 2007,
lembaga jaminan kebendaan bertambah
21
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Resi Gudang, Sistem
resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penerbitan,
pengalihan,
penjaminan,
dan
penyelesaian resi gudang. Konsideran Penjelasan UU
Resi Gudang mengamanatkan bahwa sistem resi
gudang seyogyanya mampu meningkatkan efisiensi
sektor agroindustri, baik produsen maupun sektor
komersial dapat mengubah status sediaan bahan
mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang
dapat diperjualbelikan secara luas. Hal ini
dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan
instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan,
dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif
dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi
kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa
berjangka.
Melalui Sistem Resi
Gudang dapat
memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha
dengan agunan inventori atau barang yang disimpan
di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat
dalam
menstabilkan
harga
pasar
dengan
memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan
sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang
dapat digunakan pengendalian harga dan persediaan
nasional.
Pengertian Sistem Resi Gudang dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 2 UU Sistem Resi Gudang, yaitu
kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi
Resi Gudang. Resi Gudang merupakan alas hak
(document of title) atas barang dapat digunakan
sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin
dengan komoditas tertentu dalam pengawasan
Pengelola Gudang yang terakreditasi.
22
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Op.Cit, hlm.116.
jenisnya dengan hak jaminan atas resi
gudang.23 Masih menurut Iswi, sistem resi
gudang merupakan perkembangaan dari
sistem jaminan fidusia dan gadai dengan
obyek jaminan barang bergerak berupa
stok hasil pertanian / perkebunan /
perikanan.24
Jika terdahulu disampaikan bahwa
perjanjian obligatoir melahirkan hak
perorangan berupa hak tagih yang bersifat
relatif, maka dalam perjanjian jaminan
kebendaan
(perjanjian
kebendaan)
melahirkan hak kebendaan (zakelijk recht)
yang bersifat mutlak. Perjanjian kebendaan
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak untuk melahirkan, mengubah atau
meniadakan hak kebendaan. 25 Dengan
demikian maka, dari perjanjian kebendaan
itu dilahirkan suatu hak yang mempunyai
ciri, sifat atau karakter sebagai suatu hak
kebendaan.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, hak kebendaan mempunyai ciriciri sebagai berikut: 26
a. Hak kebendaan bersifat mutlak;
Hak ini dapat ditegakkan terhadap
siapapun. Tidak terbatas pada para
pihak yang terkait, namun juga pihak
lain yang akan terkait dikemudian
hari. Dengan demikian demi hukum
semua pihak harus menghormatinya.
b. Hak
kebendaan
mempunyai
zaakgevolg atau droit de suite;
Hak zaakgevolg atau droit de suite
akan tetap mengikuti bendanya ke
Iswi Hariyani – Serfianto, Resi Gudang Sebagai
Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010, hlm.24.
24
Ibid, h.4.
25
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Op.Cit, h.11
26
Sri Soedewi, Op.Cit, hlm.25-27.
23
23
tangan siapapun benda itu berada.
Pemberian
hak kebendaan ini
dimaksudkan untuk memberikati
kedudukan yang kuat kepada
pemegang hak kebendaan. Hal ini
berangkat dari pikiran, bahwa benda
jaminan tetap menjadi pemilik
pemberi jaminan dan pemberi
jaminan pada asasnya selama
penjaminan
berlangsung
tetap
wenang untuk mengambil tindakan
pemilikan atas benda jaminan
miliknya.
c. Hak kebendaan mempunyai sifat
droit de preference;
Sifat droit de preference diatur dalam
Pasal 1133 BW, yang menyatakan
bahwa kreditor pemegang hak
jaminan didahulukan dalam hal
pelunasan pembayaran di antara para
kreditor yang lain. Terkait dengan
sifat droit de preference, seluruh
lembaga jaminan kebendaan sudah
mengatur secara jelas ketentuan droit
de preference.
d. Adanya gugat kebendaan.
Hak ini memberikan kemungkinan
macam-macam actie jika terdapat
ganguan atas haknya. Actie dapat
dilaksanakan terhadap siapapun,
adapun wujudnya berupa: penuntutan
kembali,
gugatan
untuk
menghilangkan gangguan-gangguan
atas
haknya,
gugatan
untuk
pemulihan dalam keadaan semula,
gugatan untuk penggantian kerugian
dan sebagainya.
e. Adanya
kemungkinan
untuk
memindahkan hak kebendaan dapat
dilakukan secara sepenuhnya.
24
M. Isnaeni27 sedikit berbeda dengan Sri
Soedewi
Masjchoen
Sofwan,
yang
menguraikan bahwa ciri pokok hak
kebendaan yaitu:
1. Hak kebendaan bersifat mutlak;
2. Ada droit de suite;
3. Ada preferensi;
4. Mengandung asas prioritas, dimana
menurut asas ini, hak kebendaan
yang lahir lebih dahulu akan
diutamakan dari pada yang lahir
kemudian.
Lebih
lanjut
Mariam
Darus
Badrulzaman, mengemukakan asas-asas
umum (algemene beginselen) yang terdapat
dalam hak kebendaan, yang meliputi28:
a. Asas sistem tertutup.
Artinya hak kebendaan bersifat
limitatif, terbatas hanya pada yang
diatur undang-undang. Diluar itu,
dengan
perjanjian
tidak
diperkenankan menciptakan hak-hak
baru
(dwingend
recht).
Lain
perkataan kehendak para pihak itu
tidak dapat mempengaruhi isi hak
kebendaan;
b. Asas
hak
mengikuti
benda
(zaaksgevolg, droit de suite). artinya
27
M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara, Surabaya,
Dharma Muda, 1996, hlm.2 (selanjutnya M. Isnaeni –
II). Baca pula Trisadini Prastinah Usanti – Leonora
Bakarbessy, Op.Cit, hlm.117 – 118.
28
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem
Hukum Benda Nasional, Cet. II, Bandung, Alumni,
1997, hlm. 36-40. (selanjutnya disingkat Mariam
Darus Badrulzaman-II Periksa Djuhaendah Hasan,
Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan
Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam
Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal
(Disertasi), Cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996, hlm. 62. Baca pula Sri Soedewi, Op.Cit,
hlm.36-40.
hak kebendaan mengikuti bendanya
di mana saja dan dalam tangan
siapapun benda itu berada;
Ketentuan mengenai asas ini tidak
dijumpai secara tersurat maupun
tersirat dalam pasal-pasal UU Resi
Gudang. Jika kita bandingkan
dengan jaminan gadai, hipotik, hak
tanggungan dan fidusia, hak
kebendaan ini diatur secara jelas
dalam undang-undang.
Ketentuan dalam Gadai mengatur
tentang asas droit de suite. Gadai
merupakan hak kebendaan atas benda
bergerak milik seseorang (Pasal
1152 ayat (3) juncto Pasal 528
BW), karenanya walaupun barangbarang yang digadaikan tersebut
beralih atau dialihkan kepada orang
lain, barang-barang yang digadaikan
tersebut tetap atau terus mengikuti
kepada siapa pun objek barangbarang yang digadaikan itu berada
(droit de suite). Apabila barangbarang yang digadaikan hilang atau
dicuri orang lain, maka kreditor
pemegang gadai berhak untuk
menuntut kembali. 29
Sifat droit de suite, juga dianut
lembaga jaminan hipotek. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1163
ayat (2) BW, bahwa :
“Benda-benda itu tetap dibebani
dengan hak tersebut, di dalam
tangannya
siapa
pun
ia
berpindah.”
Berdasarkan ketentuan tersebut
sebagai konsekuensi dari hak
kebendaan, maka hak hipotek itu
tetap mengikuti kebendaannya yang
dijaminkan di dalam tangan siapa
pun kebendaan jaminan itu berada
atau dipindah. Walaupun benda
jaminannya sudah berpindah tangan
dan selanjutnya menjadi milik pihak
atau orang lain, kreditor masih tetap
dapat menggunakan haknya untuk
menuntut pelaksanaan eksekusi guna
mengambil pelunasan piutangnya,
jika debitor wanprestasi.
Sebagai lembaga jaminan, Hak
Tanggungan juga mempunyai ciri
sifat droit de suite, bahwa benda
yang dijaminkan dengan Hak
Tanggungan walaupun beralih atau
dialihkan, tetap mengikuti dalam
tangan siapa pun benda yang
dijaminkan dengan Hak Tanggungan
tersebut berada. Ketentuan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang
Terkait Dengan Tanah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
1996 No.42 selanjutnya disebut
UUHT, menegaskan mengenai sifat
droit de suite Hak Tanggungan :
“Hak
Tanggungan
tetap
mengikuti
objeknya
dalam
tangan siapa objek tersebut
berada.”
Kemudian Penjelasan atas Pasal
7 UUHT menyatakan sebagai
berikut :
29
M. Isnaeni-II, Op.Cit, hlm.46.
25
“Sifat ini merupakan salah satu
jaminan khusus bagi kepentingan
pemegang Hak Tanggungan.
Walaupun
objek
Hak
Tanggungan sudah berpindah
tangan dan menjadi milik pihak
lain, kreditor masih tetap dapat
menggunakan haknya melakukan
eksekusi, jika debitur cidera
janji.”
Selanjutkan ketentuan droit de
suite dalam fidusia dapat disimak
dari ketentuan Pasal 20 UU Jaminan
Fidusia yang menyatakan bahwa:
“Jaminan Fidusia tetap mengikuti
Benda yang menjadi objek
jaminan Fidusia dalam tangan
siapapun Benda tersebut berada,
kecuali pengalihan atas benda
persediaan yang menjadi objek
Jaminan Fidusia.”
Lebih lanjut Penjelasan atas
Pasal 20 UU Jaminan Fidusia
menyatakan:
“Ketentuan ini mengakui prinsip
"droit de suite" yang telah
merupakan bagian dari peraturan
perundang-undangan Indonesia
dalam kaitannya dengan hak
mutlak atas kebendaan (in rem).”
Keberadaan asas ini dalam suatu
lembaga jaminan sangat penting,
mengingat asas droit de suite
dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan kreditor, walaupun
benda yang telah dijaminkan telah
berpindah tangan (beralih atau
26
dialihkan) dan menjadi milik pihak
ketiga, namun kreditor masih tetap
mempunyai hak untuk mengambil
pelunasan terhadap kredit.
c. Asas publisitas (openbaarheid),
maksudnya adalah “pengumuman”
kepada masyarakat mengenai status
kepemilikan;
Pasal 1179 BW menyatakan
bahwa pendaftaran ikatan hipotek
harus dilakukan dalam daftar-daftar
umum yang disediakan untuk itu.
Dalam hal tidak ada pendaftaran,
hipotek itu tidak mempunyai
kekuatan apa pun, bahkan juga
terhadap kreditor yang tidak
mempunyai
ikatan
hipotek.
Sedangkan menurut Pasal 13 ayal (1)
UUHT Pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan. Selanjutnya Pasal 11
ayat (1) UU Jaminan Fidusia Benda
yang dibebani dengan Jaminan
Fidusia wajib didaftarkan.
Dalam UU Resi Gudang, adanya
asas publisitas masih menjadi
pertanyaan. Apakah ketentuan Pasal
13 UU Resi Gudang mencerminkan
asas publisitas. Pasal 13 UU Resi
Gudang mengatur Penerima Hak
Jaminan harus memberitahukan
perjanjian pengikatan Resi Gudang
sebagai Hak Jaminan kepada Pusat
Registrasi dan Pengelola Gudang.
Pada Penjelasannya
disebutkan
bahwa ketentuan Pemberitahuan ini
memuat pula data perjanjian pokok
utang piutang yang mendasari
timbulnya jaminan. Pemberitahuan
tersebut akan mempermudah Pusat
tambahan (bijzaak) dan
penolong ( hulpzaak).30
Registrasi dan Pengelola Gudang
dalam rangka mencegah adanya
penjaminan ganda serta memantau
peredaran
Resi
Gudang
dan
memberikan
kepastian
hukum
tentang pihak yang berhak atas
barang dalam hal terjadi cedera janji.
g. Asas dapat diserahkan.
Artinya
hak
kepemilikan
mengandung
wewenang
untuk
menyerahkan bendanya. Perbuatan
penyerahan dalam hubungannya
dengan benda yang akan diserahkan
yang dipengaruhi oleh perbedaan
benda yang relatif penting yaitu
benda bergerak dan benda tidak
bergerak.
d. Asas spesialitas.
Artinya dalam asas ini terdapat
pada hak pada benda tetap yang
bertujuan
untuk
menunjukkan
kepemilikan, wujud, batas dan letak
benda tersebut.
h. Asas perlindungan.
Meliputi perlindungan untuk
golongan ekonomi lemah dan
perlindungan kepada pihak yang
beritikad baik (te goede trouw),
walaupun pihak yang menyerahkan
tidak
berwenang
berhak
(beschikkinson bevoegd) yang atur
dalam Pasal 1977 BW.
i. Asas absolut (hukum memaksa).
Artinya hak kebendaan wajib
dihormati atau ditaati orang lain.
e. Asas Totalitas.
Artinya hak kepemilikan hanya
dapat diletakkan terhadap obyek
secara keseluruhan, tidak dapat
diletakkan hanya untuk bagianbagian benda.
f. Asas accessie (verticale accessie perlekatan).
Maksudnya
suatu
benda
lazimnya terdiri atas bagian-bagian
yang melekat menjadi satu dengan
benda pokoknya. Asas perlekatan
menyelesaikan masalah status dari
benda pelengkap (accessoir) yang
melekat
pada
benda
pokok
(prinsipal). Melalui asas perlekatan
ditentukan bahwa pemilik benda
pokok dengan sendirinya merupakan
pemilik dari benda pelengkap,
dengan perkataan lain status pemilik
dari benda pelengkap mengikuti
benda pokok. Bagian dari benda itu
dibedakan beberapa kategori yaitu
benda bagian (bestanddeel), benda
benda
Perjanjian kebendaan dalam beberapa hal
undang-undang mensyaratkan dalam bentuk
sepakat tertentu dan dituangkan secara
tertulis. Hal ini nampak dalam ketentuanketentuan:31
1) Pasal 1151 BW, yang mensyaratkan
bahwa perjanjian harus dalam bentuk
tertulis;
30
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Martalena Pohan,
Bab-Bab Tentang Hukum Benda, Surabaya: Bina
Ilmu,1991, h.30-32. Mariam Darus Badrulzaman-II,
Ibid, hlm.38 .
31
Trisadini Prastinah Usanti – Leonora Bakarbessy,
Op.Cit, hlm.122.
27
2) Pasal 1171 BW, mengharuskan
perjanjian pembebanan hipotik dalam
bentuk akta otentik;
3) Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Terkait Dengan Tanah
(disingkat UUHT), mensyaratkan
bahwa pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan Akta Pemasangan
Hak Tanggungan (APHT);
4) Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia, menyatakan bahwa
jaminan fidusia dibuat dengan akta
notaris (akta notariil);
5) Pasal 14 ayat 2 UU Sistem Resi
Gudang,
menyebutkan
bahwa
pembebanan Hak Jaminan terhadap
resi gudang dibuat dengan Akta
Perjanjian Hak Jaminan.
Sebagaimana
telah
diuraikan
sebelumnya, bahwa perjanjian kebendaan
bertujuan untuk melahirkan, mengubah atau
meniadakan hak kebendaan. Dengan
demikian berati jika debitor menjaminkan
suatu benda, maka berarti mereka telah
melepaskan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan mereka atas benda tersebut, untuk
sementara waktu sampai dengan piutang
kepada kreditor dilunasi. Perkataan lain
perjanjian kebendaan menetapkan hak
(jaminan) serta pengalihan (sementara) hak
debitor atas suatu benda (obyek jaminan)
kepada pihak kreditor.
Kesimpulan
Hak yang lahir dari perjanjian kredit
adalah hak perorangan dan bersifat relatif,
artinya hak tersebut dapat ditegakkan pada
pihak
tertentu
khususnya
rekan
28
sekontraknya. Pasal 1131 BW terkandung
jaminan bersifat umum dalam arti jaminan
itu meletak segenap harta debitor dan
jaminan itu diberikan kepada semua pihak
yang berkedudukan sebagai kreditor.
Kedudukan kreditor dengan jaminan umum
hanya berkedudukan sebagai kreditor
konkuren, yang berarti berkedudukan sama
dengan kreditor-kreditor konkuren lainnya.
Untuk memperkuat posisi kreditor maka
diperlukan adanya perjanjian jaminan.
Kedudukan perjanjian jaminan yang
dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir
(perjanjian tambahan) itu menjamin kuatnya
perjanjian jaminan tersebut bagi keamanan
pemberian kredit oleh kreditur, karena
kedudukan perjanjian jaminan yang bersifat
accessoir tersebut memiliki beberapa akibatakibat hukum, yaitu:
a. Perjanjian Accessoir tergantung pada
Perjanjian Pokok;
b. Hapusnya Perjanjian
Accessoir
tergantung pada Perjanjian Pokok;
c. Jika Perjanjian Pokok batal, maka
Perjanjian Accessoir juga ikut batal;
d. Perjanjian Accessoir ikut beralih
dengan beralihnya Perjanjian Pokok.
e. Jika Perutangan Pokok beralih
karena; Cessi, Subrogasi, maka
Perjanjian Accessoir beralih juga
tanpa adanya penyerahan khusus .
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atiyah, P.S, An Introduction to the Law of
Contract, New York: Oxford
University Press Inc, 1995.
Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata
Buku III, (Hukum Perikatan Dengan
Penjelasannya), Bandung: Alumni,
1983.
_________, Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Cet. II, Bandung: Alumni,
1997.
Friedman, Lawren M., American Law, New
York- London: W.W.Norton &
Company, 1984.
Hariyani Iswi dan Serfianto, Resi Gudang
Sebagai Jaminan Kredit & Alat
Perdagangan, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan
Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain Yang Melekat Pada Tanah
Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal (Disertasi),
Cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996.
Undang-Undang No.4 Tahun 1998,
Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti,
2002.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum
Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, Yogyakarta: BPHN,
1980.
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian
Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Cet.10, Bandung: Alumni, 1982.
Usanti,
Trisadini Prastinah,– Leonora
Bakarbessy, Buku Referensi Hukum
Perbankan : Hukum Jaminan,
Surabaya: Revka Petra Media, 2013.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian:
Asas
Proporsionalitas
dalam
Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada
Media Group, 2010.
Isnaeni, M., Perkembangan Hukum Perdata
di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang
Grafika, 2013.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Martalena
Pohan, Bab-Bab Tentang Hukum
Benda, Surabaya: Bina Ilmu, 1991.
Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum
Inggris-Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 1996.
Satrio, J., Hukum Jaminan : Hak-Hak
Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1991.
Simamora,
Yohanes
Sogar,
Hukum
Perjanjian : Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa oleh
Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang,
2009.
Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan :
Memahami
Faillissementsverordening
Juncto
29
Download