7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Determinan Sosial Kesehatan 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Determinan Sosial Kesehatan
1. Definisi
WHO (2008) mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah
keadaan dimana orang dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke
dalam tempat untuk menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya
dibentuk oleh satu set yang lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan
sosial dan politik (Bradly, 2012).
Sebagian besar model yang sering digunakan dalam determinan
sosial kesehatan adalah model yang dibuat oleh Dahlgren dan Whitehead
(1991), yang mana model ini berusaha untuk menggambarkan cara dimana
determinan sosial kesehatan membangun hubungan satu sama lain atau
secara berlapis-lapis seperti gambar 2.1 dibawah ini :
Gambar 2.1 Model Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Detereminan
Kesehatan
7
8
Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead
(1991) menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh
individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan
lingkungan, sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya
dapat diubah (modifiable factors). Gambar 2.1 memeragakan, individu yang
kesehatannya
ingin
ditingkatkan
terletak
dipusat,
dengan
faktor
konstitusional (gen), dan sistem lingkungan mikro pada level sel/molekul.
Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) determinan
kesehatan meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan
ataupun merugikan kesehatan. Pada level mikro, faktor konstitusional
genetik berinteraksi dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan
apakah individu lebih rentan atau lebih kuat menghadapi paparan
lingkungan yang merugikan. Perilaku dan karakteristik individu dipengaruhi
oleh pola keluarga, pola pertemanan dan norma-norma di komunitas.
Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan komunitas,
yang meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas,
modal sosial, jejaring sosial, dan sebagainya. Faktor sosial pada level
komunitas dapat memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas
pada keadaan yang menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang
ada pada level komunitas dapat juga memberikan efek negatif bagi individu
dan tidak memberikan dukungan sosial yag diperlukan bagi kesehatan
anggota komunitas.
Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural:
lingkungan pemukiman atau perumahan papan yang baik, ketersediaan
9
pangan, ketersediaan energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah,
penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu, akses terhadap pendidikan yang berkualitas,
lapangan kerja yang layak.
Lapisan terluar (level makro, hulu/upstream) meliputi kondisikondisi dan kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya,
serta lingkungan fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di
lapisan luar adalah kebijakan publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik,
hubungan internasional atau kemitraan global, investasi pembangunan
eknomi, peperangan atau perdamaian, perubahan iklim dan cuaca, ekosistem, bencana alam (maupun bencana buatan manusia/ man made disaster
seperti kebakaran hutan).
Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan Dahlgren
dan Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu,
kelompok dan komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi
penuh dari individu, baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan
ekonomi, pemenuhan ekspektasi peran seorang dalam keluarga, komunitas,
tempat bekerja, dan realisasi kebijakan makro yang dapat memperbaiki
kondisi lingkungan makro.
2. Tingkatan Pengaruh Determinan Kesehatan
Menurut Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam The Determinants
of Health ada tiga tingkatan pengaruh determinan kesehatan yaitu :
10
a. Level I : Individu
1) Genetika
Hal ini penting untuk menarik perbedaan antara dampak
genetika pada individu dan populasi. Pada tingkat individu,
poligenik mempengaruhi kemungkinan seseorang mengembangkan
penyakit kronis atau kanker. Tidak ada gangguan gen tunggal, ada
tidak adanya hubungan antara dikotomis kehadiran gen atau tidak
adanya penyakit. Untuk penyakit kronis dan kanker gen berinteraksi
dengan faktor lingkungan dan perilaku untuk mempengaruhi hasil.
Studi migrasi menunjukkan bahwa hanya antara 10% dan 15% dari
total kesehatan tingkat populasi dapat dikaitkan dengan genetik.
Genetika masih memberikan pengaruh, tetapi lingkungan dan
perilaku memberikan pengaruh lebih besar pada penyakit kronis, dan
merupakan interaksi antara faktor-faktor yang menentukan dari hasil.
2) Biologi
Berbagi penanda biologis telah ditentukan sebagai faktor
risiko untuk penyakit. Baru-baru ini, penanda seperti inflamasi dan
stres kronis memiliki bukti sangat terkait dengan hasil kesehatan.
Dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi jelas bahwa panjang
telomer berhubungan dengan penuaan biologis dan memungkinkan
sebagai indikator risiko jenis kanker dan penyakit kronis.
Determinan biologi pada kanker serviks itu sendiri meliputi jenis
kelamin (wanita), faktor pria, faktor genetik atau herediter, usia,
11
paritas, dan agen biologi yang lainnya seperti Infeksi Menular
Seksual (IMS) dan HIV.
3) Gender
Jenis kelamin (sex) adalah fenomena biologis. Hal ini
didefinisikan seks dalam hal kromosom dan manifestasi fisik pada
tubuh. Gender konstruksi sosial yaitu dalam setiap orang memiliki
budaya tertentu disosialisasikan ke pemahaman dari apa yang
membuat seseorang laki-laki dan wanita berbeda. Istilah seks dan
gender sering digunakan. Seks biologis mempengaruhi kemungkinan
mengembangkan banyak penyakit yang umum misalnya menopause.
Pengaruh jenis kelamin memberikan kerentanan penyakit dari
mekanisme, kombinasi genetik, perilaku budaya dan faktor struktural
4) Etnisitas
Etnisitas juga memiliki hubungan yang kompleks dengan
kesehatan. Seperti genetik, biologis, perilaku budaya dan faktorfaktor struktural yang terlibat. Kanker serviks diyakini biasa dalam
beberapa kelompok etnis seperti orang Afrika dan Latin pada
Yahudi. Ini mungkin merupakan cerminan dari akses ke kesehatan,
perilaku seksual dan kemiskinan (Kolawole, 2008).
b. Level II : Komunitas
Seperti lingkungan rumah, lingkungan tempat kerja, sosial yang
lebih luas, pengaruh sistem pendidikan atau perawatan kesehatan.
12
c. Level III : Lingkungan
Mencakup aspek yang lebih luas seperti air bersih, udara dan
aspek fisik lainnya yang baik dengan lingkungan yang mendasar untuk
kesehatan. Pada kanker serviks determinan lingkungan untuk terjadinya
penyakit atau kanker serviks diantaranya adalah higine, nutrisi, obatobatan seperti diethylsibestrol (DES), lingkungan sosial budaya,
determinan sosial ekonomi, buta huruf dan agama.
B. Kanker Serviks
1. Definisi
Menurut American Cancer Society (2014), kanker serviks dimulai
pada sel yang melapisi serviks. Leher rahim adalah bagian bawah rahim
(uterus). Hal ini kadang-kadang disebut servik uterus. Tubuh rahim (bagian
atas) adalah dimana janin tumbuh. Serviks menghubungkan tubuh rahim ke
vagina (jalan lahir). Bagian serviks paling dekat dengan tubuh rahim disebut
endoserviks, bagian samping vagina adalah eksoserviks. 2 jenis utama dari
sel meliputi serviks adalah sel skuamosa (pada eksoserviks) dan sel kelenjar
(pada endoserviks). Tempat jenis sel ini bertemu disebut zona transformasi.
Lokasi yang tepat dari zona transformasi perubahan seperti usia dan
melahirkan. Sebagian besar kanker serviks dimulai pada sel zona
transformasi. Sel–sel ini tidak tiba-tiba berubah menjadi kanker. Sebaliknya,
sel-sel normal serviks secara bertahap mengembangkan perubahan pra
kanker
yang
berubah
menjadi
kanker.
Beberapa
istilah
untuk
menggambarkan perubahan pra kanker termasuk Cervicl Intraepithel
Neoplasm (CIN), Squamous Intraephitelial Lesion (SIL), dan displasia.
13
Perubahan ini dapat dideteksi dengan pap smear dan dilakukan untuk
mencegah kanker berkembang.
Kanker serviks dan pra kanker serviks diklasifikasikan berdasarkan
bagaimana terlihat dibawah mikroskop. Ada 2 jenis utama kanker serviks
yaitu sel skuamosa dan adenokarsinoma, tetapi 80% sampai 90% dari kanker
serviks adalah karsinoma skuamosa. Kanker ini terbentuk dari sel-sel pada
eksoserviks dan sel-sel kanker memiliki fitur sel skuamosa di bawah
mikroskop. Sebagian besar jenis yang tersisa dari kanker serviks adalah
adenocarcinoma. Adenokarsinoma adalah kanker yang berkembang dari selsel kelenjar. Adenokarsinoma serviks berkembang dari produksi lendir yang
ada pada sel kelenjar endoserviks. Adenokarsinoma serviks tampaknya telah
menjadi lebih umum dalam 20 sampai 30 tahun dan tidak umum, jika kanker
serviks
memiliki
fitur
dari
kedua
karsinoma
sel
skuamosa
dan
adenokarsinoma. Ini disebut karsinoma adenosquamous atau karsinoma
campuran. Meskipun kanker serviks mulai dari sel dengan perubahan pra
kanker, hanya beberapa wanita dengan pra kanker serviks akan
mengembangkan kanker. Perubahan dari pra kanker menjadi kanker
biasanya memakan waktu bertahun-tahun, tetapi dapat terjadi dalam waktu
kurang dari satu tahun.
2. Patofisiologi
Menurut American Cancer Society (2014), bahwa karsinoma serviks
timbul di batas antara epitel ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis
serviks yang disebut sebagai Squamo-Columnar Junction (SCJ). Histologi
antara epitel gepeng berlapis (squamos complex) dari porsio dengan epitel
14
kuboid/ silindris pendek selapis bersila dari endoserviks kanalis serviks.
Pada wanita SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada
wanita umur > 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Tumor dapat
tumbuh :
a. Eksofilik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai
masa yang
mengalami infeksi sekunder dan nekrosis
b. Endofilik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung
untuk mengadakan infiltrasi menjadi ullkus.
c. Ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks
dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Serviks normal secara alami mengalami proses metaplasi/erosi akibat
saling desak mendesak kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya
mutagen, porsio yang erosif (metaplasia skuamosa) yang semula fisiologik
dapat berubah menjadi patologik melalui tingkatan NIS I, II, III dan KIS
untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikroinvasif atau
invasif, proses keganasan akan berjalan terus (Ries et al. 2008)
3. Etiologi
Kanker serviks merupakan pertumbuhan baru sel-sel epitel yang
menimbulkan metastasis. Kanker serviks pada manusia yang disebabkan
oleh infesi virus Human Pappiloma Virus (HPV). Terdapat sekitar 100 tipe
virus HPV, diantara tipe tersebut terdapat jenis “high risk” dan “low risk”.
Jenis high risk dapat menyebabkan kanker serviks, antara lain tipe 16 dan 18
yang paling banyak ditemukan pada kasus kanker serviks; sedangkan jenis
15
low risk antara lain tipe 6 dan 11 yang menyebabkan penyakit infeksi pada
alat kelamin (Christine, 2008 dan Frazer, 2008).
Kanker serviks didahului dengan timbulnya lesi prakanker yang
disebut displasia atau Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) yang ditandai
dengan terjadinya perubahan morfologi sel-sel imatur, inti sel atipik,
perubahan rasio inti dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia akan
berkembang menjadi bentuk-bentuk kanker serviks (Hacker, 2005 cit
Rahmawanti, 2014).
4. Tanda dan Gejala Kanker Serviks
Menurut American Cancer Society (2014) wanita dengan kanker
serviks dini dan pra kanker biasanya tidak memiliki gejala. Gejala sering
tidak dimulai sampai pra kanker menjadi kanker invasif yang benar dan
tumbuh ke dalam jaringan didekatnya. Ketika ini terjadi, gejala yang paling
umum adalah :
a.
Perdarahan vagina abnormal, seperti perdarahan setelah berhubungan
seksual (senggama), perdarahan setelah menopause, perdarahan dan
bercak antara periode menstruasi dan memiliki menstruasi lebih lama
dari periode biasanya. Pendarahan setelah douching atau setelah
pemeriksaan panggul merupakan gejala umum dari kanker serviks tapi
tidak pra kanker.
b.
Adanya pengeluaran yang tidak biasa dari vagina discharge yang
memungkinkan berisi darah dan mungkin terjadi antara periode atau
setelah menopause
c.
Nyeri saat berhubungan seksual (senggama)
16
5. Penatalaksanaan Kanker Serviks
Pilihan terapetik pada penderita kanker serviks yaitu pembedahan,
kemoterapi dan radioterapi merupakan keputusan klinis yang sebaiknya
dibuat bersama oleh ahli onkologi ginekologi dan ahli radioterapi. Hal ini
tergantung pada usia dan keadaan umum penderita, penyebaran sel kanker
dan ada tidaknya komplikasi yang abnormal sehingga penatalaksanaan
terbaik dan pada penderita kadang-kadang hanya bersifat simtomatis (Painci
et al. 2004 dan Monk, 2007).
Pembedahan hanya dilakukan pada kanker serviks stadium IA-IIA
sedangkan kanker serviks stadium IIB ke atas diberikan penatalaksanaan
kombinasi kemoterapi dengan radioterapi (Waggoner, 2003 dan Monk,
2007). Penderita kanker serviks yang telah diberikan tindakan kuratif yang
sesuai, maka perlu dilakukan tindak lanjut (follow-up) berupa identifikasi
terhadap adanya komplikasi yang berhubungan dengan pengobatan dan
intervensi jika muncul adanya penyakit yang berulang (recurrent). Strategi
tindak lanjut yang sesuai pada penderita kanker serviks menurut Gynecology
Cancer Disease Site Group (DSG) adalah sebagai berikut :
a. Pada kunjungan tindak lanjut, harus dilakukan pemeriksaan fisik yang
lengkap termasuk pemeriksaan pelvis dan rektal termasuk sitologi
serviks.
b. Jadwal kunjungan tindak lanjut yaitu setiap 3-4 bulan dalam 2 tahun
pertama dan setiap 6-12 bulan dalam tahun ketiga sampai kelima.
Setelah 5 tahun, dilakukan penilaian tahunan.
17
c. Pemeriksaan radiologis tidak perlu dilakukan secara rutin.
(Elit et al, 2010)
6. Strategi Pencegahan Kanker Serviks
Umumnya 43% dari semua kanker yang dapat dicegah yaitu
pencegahan primer, sekunder dan tersier. Langkah-langkah utama termasuk
meningkatkan kesehatan fisik, mengontrol kelebihan berat badan atau
obesitas, merokok dan alkohol serta diet sehat kaya sayuran dan buah.
Kanker serviks kini dianggap sebagai penyakit menular seksual dan dengan
demikian dapat dicegah (Raproline, 1998 cit Kolawole, 2008). HPV adalah
faktor etiologi utama yang berinteraksi dengan faktor risiko lain seperti
perilaku seksual berisiko tinggi (jumlah pasangan seksual yang banyak dan
usia dini hubungan seksual), merokok, kemiskinan dan lain-lain. Pencegahan
HPV ini akan mencegah terjadinya kanker serviks. Pencegahan primer
bertujuan mencegah kejadian atau timbulnya penyakit. Pencegahan primer
dari kanker serviks melibatkan pengurangan risiko, vaksinasi, dan mungkin
modifikasi diet atau suplemen (Kolawole, 2008).
Pencegahan sekunder harus mengurangi prevalensi penyakit dengan
deteksi dini pada orang tanpa gejala. Hal ini bertujuan untuk tahap pra-klinis
penyakit (ACS, 2008). Langkah-langkah untuk pencegahan sekunder dari
kanker serviks termasuk skrining menggunakan Pap Smear, tes HPV-DNA,
inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), inspeksi visual dengan iodium
lugol dan cervicography. Pencegahan tersier ditujukan pada orang dengan
penyakit terbukti. Tujuannya adalah pengobatan dini dan tepat untuk
mencegah terulangnya atau komplikasi. Ini termasuk perawatan paliatif
18
untuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sumber daya yang paling
efektif untuk pencegahan adalah kombinasi dari vaksinasi HPV pra remaja,
pendidikan seksual dan skrining pada perempuan usia 30 tahun keatas
(Agosti dan Goldie, 2007 cit Kolawole, 2008).
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini melibatkan promosi dan peyuluhan,
pengurangan risiko dan pengendalian IMS, pola hidup sehat, menunda
aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan hanya dengan
satu pasangan dan penggunaan vaksinasi HPV dimana vaksinasi ini dapat
mengurangi infeksi HPV karena kemampuan proteksinya adalah sebesar
> 90%. Pesan promosi kesehatan akan mencakup penghentian merokok,
mempromosikan diet sehat kaya vitamin. Faktor-faktor penentu lainnya
seperti buta huruf, sosial budaya, jenis kelamin, kemiskinan, kebersihan,
politik dan sistem kesehatan saat ini tidak ditunjukkan untuk
pengendalian kanker serviks tetapi sebagai isu nasional yang lebih luas
diluar kesehatan. Mempromosikan diet kaya karotenoid (vitamin A),
asam askorbat dan folat. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek langsung
pada regulasi pertumbuhan sel atau melalui peningkatan sistem
kekebalan tubuh. Vitamin C, karena sifat antioksidan, menghambat
onkogenesis, merangsang sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
stabilitas dan pemanfaatan folat (Kolawole, 2008).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendasarkan pada risiko
pasiennya yaitu pasien dengan risiko sedang dan tinggi. Pada pasien
19
dengan risiko sedang dan tinggi, hasil tes Pap yang negatif sebanyak 3
kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan 1 tahun dan
atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien atau partner
hubungan seksual yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan
untuk melakukan tes Pap setiap tahun. Pada pasien dengan risiko tinggi,
bagi yang memulai hubungan seksual saat usia < 18 tahun dan wanita
yang mempunyai banyak partner hubungan seksual seharusnya
melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap 6 bulan sekali terutama untuk
pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat
penyakit seksual berulang. Upaya penyembuhan penyakit kanker serviks
yaitu dengan pendeteksian dini, pendeteksian dilakukan dengan pap
smear. Tes pap smear adalah upaya pengambilan cairan dari vagina
untuk melihat kelainan sel disekitar leher rahim. Tes pap smear
hanyalah satu langkah screening, bukan pengobatan. Oleh karena itu
semakin dini gejala awal penyakit kanker rahim diketahui, semakin
mudah pengobatan dan penangannya (Diananda, 2007).
c. Pencegahan Tersier
1) Mewaspadai gejalanya. Seperti perdarahan, terutama setelah
melakukan aktivitas seksual
2) Menghindari merokok. Wanita sebaiknya tidak merokok, karena
dapat merangsang timbulnya sel-sel kanker melalui nikotin
dikandung dalam darah
20
3) Menghindari pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran karena mengakibatkan iritasi di serviks
yang merangsang terjadinya kanker
4) Menghidari pemakaian bedak pada vagina
5) Melakukan diet rendah lemak. Lemak memproduksi hormon
estrogen, sementara endometrium yang sering terpapar hormon
estrogen mudah berubah sifat menjadi kanker
6) Memenuhi kebutuhan vitamin C (buah dan sayur-sayuran)
(Diananda, 2007)
d. Pedoman Untuk Pencegahan Kanker Serviks dan Deteksi Dini Kanker
Serviks
The American Cancer Society (2014) merekomendasikan bahwa
wanita mengikuti panduan ini untuk membantu mendeteksi kanker
serviks secara dini. Berikut panduan ini juga dapat mendeteksi pra
kanker yang dapat diobati untuk menjaga kanker serviks dari
pembentukan.
1) Semua wanita harus mulai menguji kanker serviks (screening) pada
usia 21-29 tahun. Harus mengikuti tes pap smear setiap 3 tahun.
Pengujian HPV tidak boleh digunakan untuk screening pada
kelompok diusia dini (dapat digunakan sebagai bagian dari tindak
lanjut untuk tes pap smear yang abnormal)
2) Dimulai pada usia 30 tahun, cara yang lebih disukai untuk deteksi
adalah dengan tes pap smear dikombinasikan dengn HPV menguji
setiap 5 tahun sekali sampai usia 65 tahun.
21
3) Pilihan lain utuk wanita usia 30-65 tahun adalah setiap 3 tahun untuk
mengikuti tes pap smear
4) Wanita yang berisiko kanker serviks karena sistem kekebalan tubuh
(infeksi HIV, transpalantasi organ, atau penggunaan steroid jangka
panjang) atau karena terkena DES dalam rahim mungkin perlu
diperiksa lebih sering dan harus mengikuti rekomendasi dari tim
perawatan kesehatan.
5) Wanita diatas 65 tahun yang telah memiliki skrining rutin dalam 10
tahun sebelumnya harus menghentikan skrining kanker serviks
selama belum memiliki pra kanker seperti Cervical Intraepithel
Neoplasm 2 dan 3 (CIN 2 atau CIN 3) ditemukan dalam 20 tahun
terakhir. Wanita dengan riwayat CIN2 atau CIN3 harus tetap untuk
megikuti tes untuk setidaknya 20 tahun setelah kelainan ditemukan.
6) Wanita yang telah dilakukan histerektomi total (pengangkatan rahim
dan leher rahim) harus berhenti skrining (seperti tes pap smear dan
tes HPV), kecuali histerektomi itu dilakukan sebagai pengobatan
untuk serviks pra kanker atau kanker. Wanita yang telah menjalani
histerektomi tanpa pengangkatan serviks disebut histerektomi supraserviks harus terus skrining kanker serviks sesuai dengan pedoman
diatas.
7) Wanita dari segala usia tidak harus disaring setiap tahun dengan
metode skrining
8) Wanita yang telah divaksinasi terhadap HPV masih harus mengikuti
panduan ini.
22
7. Faktor Risiko Kanker Serviks
Menurut American Cancer Society (2014) faktor risiko adalah sesuatu
yang mengubah kesempatan untuk mendapatkan penyakit seperti kanker.
Beberapa faktor risiko meningkatkan untuk terjadinya kanker serviks. Wanita
tanpa faktor risiko jarang terkena kanker serviks. Beberapa faktor risiko
meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan kanker serviks. Wanita tanpa
faktor risiko ini tidak mengembangkan penyakit ini. Dalam faktor-faktor risiko
hal ini membantu untuk fokus pada mereka yang dapat mengubah atau
menghindari seperti merokok atau HPV, dari mereka yang tidak bisa dihindari
seperti usia dan riwayat keluarga. Itu merupakan masalah penting meskipun
untuk mengetahui faktor risiko yang tidak bisa diubah, karena itu lebih penting
bagi wanita yang memiliki faktor-faktor risiko ini untuk mendapatkan tes Pap
Smear untuk mendeteksi dini kanker serviks. Faktor risiko kanker serviks
meliputi :
a. Human Papilloma Virus (HPV)
Menurut American Cancer Society (2014) bahwa faktor risiko
terpenting untuk kanker serviks adalah infeksi oleh Human Papilloma Viru
(HPV). HPV adalah sekelompok lebih dari 150 virus yang berhubungan,
beberapa diantaranyan menyebabkan jenis pertumbuhan disebut papilloma,
yang lebih dikenal sebagai kutil. HPV dapat menginfeksi sel-sel pada
permukaan kulit, dan orang-orang yang melapisi alat kelamin, anus, mulut
dan tenggorokan, tapi bukan darah atau organ seperti jantung atau paruparu. HPV dapat menyebar dari satu orang ke orang lain selama kontak kulit
ke kulit. Salah satu cara penyebaran HPV adalah melalui hubungan seks,
23
termasuk vagina, anal dan bahkan seks ora.
Berbagai jenis HPV
menyebabkan kutil pada bagian tubuh yang berbeda. Beberapa jenis
menyebabkan kulit pada tangan dan kaki. Jenis lain cenderung
menyebabkan kutil pada bibir atau lidah. Bebetapa jenis HPV dapat
menyebabkan kutil muncul pada sekitar daerah organ genital dan anal. Kutil
ini mungkin hampir tidak terlihat atau hanya beberapa inci. Ini dikenal
sebaga kutil kelamin atau kondiloma akuminata. HPV 6 dan HPV 11 adalah
2 jenis HPV yang menyebabkan sebagian besar kasus kutil kelamin. Ini
disebut jenis risiko rendah HPV karena mereka jarang dikaitkan dengan
kanker serviks. Jenis lain dari HPV risiko tinggi karena sangat terkait
dengan kanker, termasuk kanker serviks, vulva, dan vagina pada wanita,
kanker penis pada pria dan anal, kanker mulut pada pria dan wanita. Jenis
risiko tinggi termasuk HPV 16, HPV 18, HPV 31, HPV 33, dan HPV 45.
Infeksi HPV adalah umum, dan pada kebanyakan orang tubuh
mampu membersihkan infeksi dengan sendirinya. Bagaimanapun infeksi
tidak pergi dan menjadi kronis. Infeksi kronis terutama ketika itu adalah
dengan jenis HPV risiko tinggi, dapat menyebabkan kanker tertentu seperti
kanker serviks. Meskipun HPV dapat menyebar selama seksual termasuk
hubungan seksual vagina, anal dan oral seksual. Infeksi HPV tampaknya
dapat menyebar dari satu bagian tubuh yang lain misalnya infeksi dapat
dimulai di leher rahim dan kemudian menyebar ke vagina. Tes pap smear
adalah mencari perubahan sel serviks yang disebabkan oleh infeksi HPV.
Tes lain mencari infeksi sendiri dengan mencari gen (DNA) dari HPV
dalam sel. Untuk beberapa wanita, tes HPV digunakan bersamaan dengan
24
tes pap smear sebagai bagian dari skrining. Tes HPV juga dapat digunakan
untuk membantu memutuskan apa yang harus dilakukan ketika seorang
wanita memiliki hasil tes pap smear yang abnrmal ringan. Jika tes
menemukan jenis risiko tinggi HPV, itu bisa berarti ia akan membutuhkan
evaluasi penuh dengan kolposkopi.
American Cancer Society (2014) menyatakan bahwa Infeksi Human
Papillomavirus (HPV) telah diketahui sebagai penyebab kanker serviks.
Wanita yang terinfeksi HPV lebih mudah dan berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi lesi prakanker dibandingkan dengan wanita HPV
negatif pada usia yang sama.
Berbagai faktor atau faktor penentu yang terkait dengan kanker serviks
dapat dilihat dengan menggunakan model Lalonde (1974). Hal ini termasuk
biologi, gaya hidup, lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan. gender dan
penentu politik sering mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan. HPV
termasuk agen biologis adalah penentu utama dan penyebab terjadinya kanker
serviks (Kolawole, 2008).
b. Determinan Biologi
1) Perempuan
Kanker
serviks
adalah
keganasan
perempuan.
Anatomi
perempuan dan berbagai perubahan yang terjadi dalam seumur hidup
membuat kemungkinan terjadinya kanker leher rahim. Serviks sebagai
bagian paling bawah dari rahim ditutupi dengan epitel yang mengalami
perubahan yang berbeda sebagai perempuan yang tumbuh dewasa. Itu
adalah bagian dari rahim dalam kontak dengan cairan vagina dan air
25
mani. Squamo Columnar Junction (SCJ) serviks mengalami metaplasia
selama masa remaja dan merupakan target Human Papiloma Virus
(HPV). Sehingga infeksi HPV serviks terjadi pada banyak wanita segera
setelah mulai hubungan seksual maka terdapat hubungan antara kanker
serviks dan awal coitus (Kolawole, 2008).
2) Faktor Pria
Hal ini telah menyarankan bahwa serviks yang sering terpapar
prostaglandin dengan banyaknya air mani dapat berkontribusi untuk
transformasi sel maligna terinfeksi Human Papiloma Virus (HPV).
Kanker serviks biasanya pada pasangan pria yang tidak disunat mungkin
karena smegma di bawah kulup menguntungkan untuk terkena Human
Papiloma Virus (HPV) dan Infeksi Menular Seksual lainnya. Suami dari
wanita dengan kanker serviks juga lebih mungkin untuk memiliki kanker
penis yang juga berhubungan dengan infeksi Human Papiloma Virus
(HPV). Terkait antara pria yang disunat dan kanker serviks di Nigeria
belum dieksplorasi lebih lanjut (Kolawole, 2008).
3) Faktor Genetik
Tampaknya ada beberapa faktor genetik sebagai penyebab kanker
serviks sebagai penyakit dapat terjadi dalam keluarga. Mungkin terdapat
risiko 2-3 kali lebih tinggi jika ibu atau saudara perempuan memiliki
penyakit kanker serviks. Hal ini mungkin karena ketidakmampuan
genetik untuk membersihkan Human Papiloma Virus (HPV) atau
kesamaan dalam faktor gaya hidup dan lingkungan (Kolawole, 2008)
4) Usia
26
Bertambahnya usia adalah sebagai penentu kanker serviks.
penyakit ini sering terjadi pada wanita antara 4 dan 5 dekade. Studi dari
Zaria-Nigeria, menemukan usia rata-rata wanita yang didiagnosis dengan
kanker serviks menjadi 43 tahun dan antara 48 tahun (Abdul et al.2006
dan Adewuyi et al. 2008). Hal ini memungkinkan periode laten dari 1015 tahun antara paparan Human Papiloma Virus (HPV) setelah perilaku
seksual dan perkembangan kanker serviks. Insiden penyakit pra kanker
dan kanker serviks invasif meningkat setelah usia 30 tahun. Di Ibadan,
Nigeria, meskipun prevalensi HPV memuncak di usia 25 tahun, akan
bertahan di usia yang lebih tua yang mungkin menjelaskan tingginya
insiden kanker serviks pada wanita jauh lebih tua
5) Paritas
Data yang dikumpulkan dari penelitian kasus-kontrol pada penelitian
kanker serviks menunjukkan bahwa wanita dengan tiga atau empat
kehamilan penuh berisiko 2,6 kali lebih tinggi terkena kanker serviks
dibandingkan wanita yang melahirkan tujuh kali atau lebih berisiko 3,8
kali. Alasan fisiologi dari hubungan ini belum diketahui dengan jelas, tetapi
terdapat kemungkinan adanya faktor hormonal yang terkait dengan
kehamilan atau trauma serviks pada saat melahirkan (Munoz et al. 2002).
c. Agen Biologis Lainnya
1) Infeksi Menular Seksual
Kehadiran Infeksi Seksual Menular lainnya terutama yang ulseratif
seperti chancroid dan yang viral seperti Herpes Simplex Virus (HSV), HIV
dianggap sebagai ko-faktor dalam angiogenesis kanker dan ada peningkatan
27
terkait dalam Infeksi Menular Seksual. Ini mungkin karena perilaku seksual
menjadi perancu atau kemampuan terbatas untuk membersihkan Human
Papiloma Virus (HPV). Terdapat prevalensi lebih tinggi dari HPV pada HSV
pada wanita positif. Prevalensi antibodi anti HSV adalah 61,3% di Ibadan,
Nigeria dan memiliki antibodi anti HSV memiliki OR sebesar 1,6 untuk
HPV (Kolawole, 2008).
2) HIV
Sifat yang tepat dari interaksi antara HIV, displasia serviks dan
kanker serviks belum ditentukan. Namun, perempuan HIV positif memiliki
insiden yang lebih tinggi dari kelainan Pap smear termasuk perubahan prakanker (Nappi, 2005). Meskipun kanker serviks invasif ditambahkan sebagai
penyakit mendefinisikan AIDS oleh Pusat pengendalian penyakit di Atlanta
pada tahun 1993, saat ini sedang ditantang karena kurangnya bukti yang
kuat. Namun meta analisis ditemukan Odds Ratio (OR) untuk neoplasia
serviks
(CN=Cervical Neoplasia) dari 8,8 pada perempuan HIV positif
dibandingkan dengan 5.0 pada perempuan HIV negatif. Terdapat interaksi
jelas yang bergantung dosis ketika orang-orang dengan jumlah CD4
dipelajari kurang dari 200. Mekanisme yang disarankan untuk peran sebagai
kofaktor mungkin untuk HIV pada neoplasia serviks termasuk HIV
mempromosikan efek onkogenik HPV sehingga mengarah ke kegigihan
infeksi HPV, replikasi yang lebih tinggi dan perkembangan meningkat.
interaksi molekul antara HIV 1 'protein tat' dan Onkoprotein HPV juga dapat
menyebabkan perkembangan (Chirenje, 2005).
d. Determinan Gaya Hidup (Lifestyle)
28
Kanker serviks sebagai penyakit menular seksual dipengaruhi oleh gaya
hidup, kebiasaan dan perilaku seksual.
1) Usia Pertama Kali Melakukan Hubungan Seksual
Dimulainya awal aktivitas seksual terutama pada masa remaja
dikaitkan dengan risiko lebih besar terkena kanker serviks karena
kerentanan terhadap infeksi HPV (Ogunbode et al. 2005). Usia pertama kali
melakukan seksual sebelum 18 atau 20 tahun adalah sebagaii determinan
untuk terjadinya kanker serviks di kemudian hari (Kjaer et al. 2005 dan
Vaccarella et al. 2006)
Dalam International Agency for Research on Cancer (2005)
disebutkan bahwa risiko terjadinya kanker serviks juga tinggi pada kalangan
wanita yang menikah usia muda. Hubungan ini terkait dengan aspek lain
dari perilkau seks seperti jumlah pasangan seks dan usia saat pertama kali
melakukan hubungan seks. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa usia
pertama kali melakukan hubungan seks erat kaitannya dengan kejadian
kanker serviks (Singh dan Badaya, 2012).
Meningkatnya risiko kanker serviks karena melakukan hubungan
seks pada usia muda mungkin karena pengaruh hormon steroid terhadap
infeksi HPV dan respons daya tahan tubuh penjamu terhadap HPV selama
masa pra remaja dan remaja. Zona transformasi dari epitel serviks telah
dikenal sebagai tempat dimana infeksi HPV cenderung menyebabkan
kanker, dan kerentanan area ini dipercaya terkait dengan denudasinya dari
epitel yang berlapis (stratified ephitelium), sehingga lapisan basal mudah
terpapar terhadap HPV hanya dengan trauma yang kecil. Ketidakmatangan
29
secara biologis pada usia remaja juga ditunjukkan sebagai sebuah faktor
kerentanan tambahan. Selama masa remaja dan kehamilan, serviks terpapar
terhadap level-level perubahan hormon yang meningkat (Singer dan
Monaghan, 2000).
Penyebab peningkatan risiko terpapar HPV diduga karena faktor
predisposisi biologi dari leher rahim yang belum matang selama masa
remaja mungkin lebih rentan terhadap infeksi persisten HPV yang
menyebabkan risiko untuk berkembangnya sel-sel kanker lebih besar. Louie
et al (2009), menyimpulkan bahwa ketidakmatangan serviks secara biologis
mencirikan sub populasi remaja perempuan dengan CIN dan dapat
meningkatkan kerentanan epitel serviks terhadap HPV serta perubahan
neoplastik.
Puncak dari transmisi infeksi HPV biasanya terjadi di awal tahun
pertama setelah dimulainya hubungan seks, karena infeksi HPV sangat
mudah menular dan endemik (Rodriguez et al., 2010). Wanita yang
melakukan hubungan seks pertama kali usia ≤ 17 tahun berisiko 2-3 kali
untuk terkena kanker dibandingkan dengan yang berhubungan seks usia ≥
20 tahun.
Louie et al. (2010) melalui suatu analisa studi kasus kontrol tentang
kanker serviks di 9 negara berkembang dengan jumlah 1.864 kasus dan
1.719 kontrol menyimpulkan bahwa wanita yang melakukan hubungan seks
sewaktu usia muda merupakan faktor risiko untuk terpapar kanekr serviks
janis karsinoma sel skuamosa ataupun adenokarsinoma.
30
2) Jumlah Pasangan Seksual
Menurut International Collaboration of Epidemiological Studies of
Cervical Cancer (2006), bahwa mempunyai pasangan seksual lebih dari
satu orang merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kanker
serviks. Berkembangnya kanker serviks erat hubungannya dengan perilaku
seksual. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat lebih dari 10 kali
bagi perempuan yang mempunyai pasangan seksual 6 orang ataupun lebih.
Wanita memiliki banyak pasangan seks yang rentan terhadap HPV
dan kanker serviks. Hal ini adalah karena lebih sering terpapar berbagai
varian virus (Appleby et al. 2007). Pasangan dari pria yang telah memiliki
pasangan berganda baik sebelum atau selama pernikahan saat ini juga dapat
meningkatkan risiko kanker serviks (Hammoude et al. 2005).
3) Seks yang Tidak Aman
Seks yang tidak aman merupakan penentu infeksi Human Papilloma
Virus (HPV) dan kanker serviks. Penggunaan kondom menawarkan
perlindungan parsial terhadap penularan Human Papilloma Virus (HPV)
genital. Perlindungan parsial karena virus dapat ditumpahkan dari daerah
yang tidak tercakup oleh kondom. Namun, beberapa wanita dengan Cervical
Intraepithelial Neoplasm (CIN) memiliki regresi lebih spontan ketika
pasangan mereka menggunakan kondom (Winer et al. 2006). Penggunaan
kondom yang benar dan konsisten telah dikaitkan dengan perlindungan 70%
terhadap Human Papilloma Virus (HPV) dan insiden lebih rendah dari
kanker serviks. Pengaruh kondom dan spermisida pada kanker serviks
meningkat dengan durasi penggunaan. Namun, terlepas dari kampanye
31
penggunaan kondom di Nigeria, hanya 47% pria dan 23% wanita dilaporkan
kondom digunakan selama 'seks berisiko tinggi' dalam satu tahun terakhir,
dan alasan untuk non digunakan meliputi berkurang kesenangan,
ketidaknyamanan dan biaya. penggunaan rendah ini dapat menyebabkan
insiden yang lebih tinggi dari HIV dan IMS lain yang dapat mempermudah
infeksi HPV (Kolawole, 2008).
4) Kontrasepsi Oral
Para peneliti menduga bahwa terdapat potensi hubungan jangka
panjang antara penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang dengan
perkembangan dari kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi oral jangka
panjang dapat meningkatkan risiko kanker serviks sampai dengan empat
kali pada wanita yang terinfeksi HPV (Moreno et al, 2002 dan Naggar,
2014). Beberapa penelitian dari University Of Maryland Medical Center
(UMMC) (2015), menunjukkan bahwa hormon dalam kontrasepsi oral
membantu virus memasuki materi genetik dari sel-sel rahim. Perempuan
yang menggunakan kontrasepsi oral kurang untuk menggunakan diafragma,
kondom, atau metode lain yang dapat membantu mengurangii risiko
penularan HPV dan penyakit menular seksual lainnya.
5) Merokok
Merokok mempunyai hubungan yang kuat dengan perkembangan
lesi prakanker dan kanker. Merokok telah diidentifikasi secara konsisten
sebagai kofaktor lingkungan yang mempengaruhi risiko kanker serviks.
Penelitian menunjukkan bahwa wanita merokok berisiko dua kali terkena
32
kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok (Szarewski
and Cuzki, 1998 dalam Naggar, 2014).
e. Determinan Lingkungan
Kanker serviks dipengaruhi oleh sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan
fisik. itu biasa adalah Sub Sahara afrika (SSA), Amerika Latin dan Asia daripada
Eropa dan Amerika. Hal ini mungkin karena faktor sosial ekonomi dan
ketersediaan program skrining daripada iklim fisik. Negara dengan pendapatan
yang tinggi memiliki prevalensi angka sama tinggi sekitar satu abad lalu
sebelum timbulnya program skrining kanker serviks. Meskipun demikian, ada
perbedaan dalam distribusi HPV di seluruh benua, varian HPV 16 dari yang
ditemukan di SSA dan Asia dianggap lebih ganas yang mengarah ke penyakit
yang lebih agresif selama masa inkubasi lebih pendek. juga tinggal di daerah
pedesaan untuk sebagian besar hidup seseorang secara mengejutkan dikaitkan
dengan OR 4,9 di Algiers mungkin karena kemiskinan, manutrition atau
kebersihan (Hamouda et al. 2005)
1) Higiene Genetalia
Kebersihan gentalia pada alat kelamin perempuan merupakan
perawatan diri pada organ eksterna yang terdiri dari mons veneris, labia
mayora, klitoris, uretra, vagina, perineum dan anus (Uliyah, 2009).
Menjaga kebersihan vagina dimulai dari memperhatikan kebersihan diri. Di
Indonesia merupakan daerah yang beriklmi tropis. Udara panas dan lembab
sering membuat banyak keringat. Dibagian tubuh yag tertutup dan lipatanlipatan kulit, seperti daerah alat kelamin. Kondisi ini menyebabkan
33
mikroorganisme jahat terutama jamur mudah berkembang biak, yang
akhirnya bisa menimbulkan infeksi.
Cara pemeliharaan alat reproduksi secara umum antara lain :
1) Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari
2) Membersihkan kotoran yang keluar dari alat kelamin dan anus dengan
air atau kertas pembersih (tisu). Gerakan cara membersihkan anus pada
wanita adalah dari vagina ke arah anus untuk mencegah kotoran dari
anus masuk ke vagina
3) Tidak menggunakan air yang kotor untuk mencuci vagina
4) Dianjurkan untuk mencukur atau merapikan rambut kemaluan karena
bisa ditumbuhi jamur atau kutu yang dapat menimbulkan rasa gatal dan
tidak nyaman
5) Tidak menggunakan celana dalam yang terlalu ketat
6) Penggunaan pembilas vagina secukupnya, tidak berlebihan (Kusmiran,
2012).
Secara umum menjaga kesehatan berawal dari menjaga kebersihan.
Hal ini berlaku bagi kesehatan organ-organ seksual termasuk vagina.
Berikut adalah cara membersihkan alat kelamin wanita (Manuaba, 2009 dan
Kusmiran, 2012):
1) Secara teratur bersihkan bekas keringat yang ada disekitar alat kelamin
dengan air bersih, lebih baik air hangat, dan sabun lembut terutama
setelah buang air besar dan buang air kecil. Cara membasuh alat
kelamin wanita yang benar adalah dari arah depan (vagina) ke belakang
(anus). Jangan terbalik karena bakteri yang ada disekitar anus bisa
34
terbawa kedalam vagina. Setelah dibersihkan gunakan handuk bersih
atau tisu kering untuk mengeringkannya.
2) Hati-hati ketika menggunakan kamar mandi umum, apabila akan
menggunaka kloset duduk maka siramlah terlebih dahulu untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit menular seksual. Bakteri,
kuman, dan jamur bisa menempel di kloset yang sebelumnya digunakan
oleh penderita penyakt menular seksual.
3) Tidak perlu sering menggunakan sabun khusus pembersih vagina.
Vagina
sendiri
sudah
mempunyai
mekanisme
alami
untuk
mempertahankan keasamannya. Keseringan menggunakan sabun
khusus ini justru akan mematikan bakteri baik dan memicu
berkembangnya bakteri jahat yang dapat menyebabkan infeksi.
4) Jangan sering menggunakan pantyliner. Gunakan pantyliner sesuai
dengan kebutuhan, artinya ketika mengalami keputihan yang banyak
sekali. Dan gunakan pantyliner yang tidak berparfum untuk mencegah
iritasi. Sering-sering mengganti pantyliner saat keputihan.
5) Kebersihan daerah kewanitaan juga bisa dijaga dengan sering mengganti
pakaian dalam dua kali sehari, untuk menjaga vagina dari kelembaban yang
berlebihan
6) Bahan celana dalam yang baik harus menyerap keringat, misalnya katun.
Hindari memakai celana dalam atau celana jeans yang ketat, kulit jadi susah
bernafas dan akhirnya menyebabkan daerah kewanitaan menjadi lembab,
berkeringat dan mudah menjadi tempat berkembang biak jamur yang dapat
35
menimbulkan iritasi. Infeksi sering terjadi akibat celana dalam yang tidak
bersih.
7) Haid merupakan mekanisme tubuh untuk membuang darah kotor. Waktu
haid, sering ganti pembalut karena pembalut juga menyimpan bakteri kalau
lama tidak diganti. Bila dipermukaan pembalut sudah ada segumpal darah
haid meskipun sedikit, sebaiknya segera mengganti pembalut. Gumpalan
darah haid yang ada dipermukaan pembalut menjadi tempat sangat baik
untuk perkembangan bakteri dan jamur. Oleh karena itu gantilah pembalut
setiap kali terasa basah atau sekitar tiga jam sekali.
a) Pembalut Wanita
Pembalut wanita merupakan benda yang sangat vital bahkan
telah menjadi kebutuhan pokok bagi kaum hawa ketika sedang
menstruasi. Kongres Amerika H.R. 890 tahun 1999 menyatakan bahwa
zat dioxin dan serat sintesis ditemukan pada pembalut wanita dan
produksi sejenis yang lain berisiko tinggi terhadap kesehatan wanita
termasuk kanker serviks. Zat dioxin dapat meresap ke dalam rahim
apabila darah haid jatuh ke atas permukaan pembalut wanita yang akan
dilepaskan melalui proses penguapan. Pembalut yang mengandung zat
dioxin bercampur darah menstruasi yang tidak steril menyentuh
permukaan vagina akan dihisap kedalam rahim. Selanjutnya bersama
aliran darah terbawa menuju ke organ-organ tubuh yang lain (Syatriani,
2011).
Salah satu penyebab wanita terjangkit infeksi vagina antara lain
peggunaan pembalut yang tidak berkualitas. Kebanyakan produsen
36
pembalut wanita menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang
dapat mengakibatkan berbagai penyakit pada sistem reproduksi wanita,
seperti dismenorea (menstruasi yang sakit). Pembalut adalah produk
sekali pakai sehingga para produsen mendaur ulang bahan baku kertas
pulp dan menjadikannya bahan dasar untuk menghemat biaya produksi.
Banyak bahan kimia yang digunakan dalam proses daur ulang untuk
proses sterilisasi pada kertas bekas dan pemutih sehingga banyak
mengandung zat dioxin yang lebih berbahaya seperti arsinekum. Dioxin
mempercepat proses perkembangan semua jenis kanker, khususnya
pada wanita. Kondisi ini menyebabkan gangguan terhadap organ
reproduksi wanita (Syatriani, 2011).
b) Penggunaan Sabun
Kebiasaan mencuci vagina dengan antiseptik berupa obat cuci
vagina dan deodoran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan vagina
atau alasan lain dapat meningkatkan risiko kanker. Pemilihan cairan
pembersih juga harus diperhatikan dengan memilih pembersih khusus
area kewanitaan yang kadar pH-nya 3-4 dan ada izin dari Departemen
Kesehatan. Hindari pembersih kewanitaan karena akan mengakibatkan
kulit kelamin menjadi keriput dan mematikan bakteri yang mendiami
vagina. Iritasi yang berlebihan dan terlalu sering dapat merangsang
perubahan sel yang berakhir dengan kejadian kanker. Pencucian vagina
menggunakan bahan kimia dengan kadar pH yang tidak cocok
sebaiknya tidak dilakukan secara rutin, kecuali jika ada indikasi
misalnya infeksi yang memerlukan pencucuian dengan zat-zat kimia
37
yang disarankan oleh dokter. Pembersih tersebut dapat membunuh
kuman termasuk Bacillus doderlain di vagina yang memproduksi asam
laktat untuk mempertahankan pH vagina (Syatriani, 2011 dan
Sogukpmar et al. 2013).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mckee et al. (2009) yang
berjudul vaginal hygiene and douching bahwa praktek douching
dibentuk oleh norma-norma sosial dan budaya tentang kesehatan
perempuan, reproduksi dan seksualitas. Douching merupakan bagian
dari seperangakat praktek kebersihan dengan alasan untuk merasa
bersih dan segar, pencegahan atau pengobatan infeksi.
2) Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya
(Sediaoetama, 2010). Status gizi adalah kekebalan tubuh sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan
menjadi 3 jenis yaitu status gizi kurang, status gizi baik dan status gizi lebih
(Almatsier, 2004). Status gizi adalah ekspresi dalam keadaan seimbang
dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk
variabel tertentu (Supriasa, 2007).
Menurut Kolawole (2008) bahwa kekurangan beberapa zat
meningkatkan risiko kanker serviks, melalui pengaruh pada sistem
kekebalan tubuh. Studi berdasarkan banyak populasi telah menyarankan
bahwa makan makanan yang kaya folat (vitamin B9), vitamin A, beta
karoten, selenium, vitamin E, dan vitamin C dari buah-buahan dan sayuran
38
dapat melindungi terhadap kanker serviks dan tingkat rendah dalam sel
darah merah dan jaringan mungkin berhubungan
Menurut Al-Naggar dalam bukunya Principles and Practice of
Cancer Prevention and Control pada pasien obesitas tidak hanya
meningkatkan risiko mengembangkan kanker, tetapi kematian mereka juga
meningkatkan Body Mass Index (BMI). Obesitas telah diidentifikasi sebagai
risiko untuk beberapa kanker termasuk kanker endometrium dan kanker
payudar, usus besar dan rektum, esofagus, ginjal, pankreas, empedu,
ovarium, serviks dan hati.
3) Determinan Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah diketahui sebagai faktor risiko
dari berbagai permasalahan kesehatan, termasuk kanker serviks. Wanita
dengan status sosial rendah biasanya mempunyai pendapatan yang terbatas
akses pelayanan kesehatan terbatas, gizi buruk dan tingkat kesadaran yang
rendah tentang masalah kesehatan dan perilaku pencegahan. Faktor-faktor
ini membuat mereka lebih mudah sakit dan tidak dapat menghindari
penyakit-penyakit yang bisa dicegah, misalnya kanker serviks (Dos Santos
Silva dan Beral, 1997 dalam Naggar, 2014).
4) Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan sosial budaya mempengaruhi gaya hidup dan perilaku
seksual secara global. Terdapat beberapa variasi dalam prevalensi kanker
serviks mungkin karena kebiasaan yang berlaku di berbagai daerah.
Umumnya, kanker serviks telah menjadi kanker yang paling umum pada
wanita di Nigeria. Namun di bagian selatan, sering kedua kanker payudara.
39
Usia pertama kali melakukan hubungan seksualny yang rendah di Nigeria
dan tergantung pada budaya. Tingkat melek huruf yang lebih tinggi di
Selatan Nigeria di mana anak perempuan juga cenderung untuk menyalin
gaya hidup barat termasuk praktek seksual. di Utara, ada budaya Islam
yang bisa dibilang berhubungan dengan status yang lebih rendah dari
perempuan, tingkat melek huruf perempuan yang rendah dan pernikahan
dini setelah Utara yang predominants (Advameg, 2007). Gadis-gadis yang
menikah sebelum atau sesudah menarche sekitar 12-13 tahun dan biasanya
untuk pria yang lebih tua. Oleh karena itu para wanita memiliki umur lebih
lama seksual dan beresiko terkena Human Papilloma Virus (HPV) dan IMS
lainnya dari mitra lebih berpengalaman dalam pernikahan.
Poligami secara otomatis menyamakan dengan banyak pasangan
seks yang merupakan penentu yang signifikan dari kanker serviks
(Hammouda et al. 2005). Poligami adalah umum terutama di kalangan
muslim. Kejadian perselingkuhan juga mungkin setinggi 11% (Mitsunaga et
al. 2005). Hanya 15,6% wanita di Ibadan percaya suami mereka tidak
pernah selingkuh. Hal ini meningkatkan risiko IMS dan kanker serviks,
karena beberapa urusan ini dengan pekerja seks perempuan (Hammouda,
2005). Budaya mendorong kebebasan seksual tak terbatas untuk laki-laki,
sementara mengharapkan perempuan untuk setia kepada mitra. (Mitsunaga
et al. 2005). Meningkatkan frekuensi perceraian dan perkawinan ulang yang
besarbesaran juga umum di Nigeria dapat terjadinya kanker serviks.
Kebiasaan tertentu seperti jendela warisan; ketika seorang janda yang
menikah dengan hubungan almarhum suaminya juga berisiko terjadinya
40
kanker
serviks.
Praktek
'berbagi
pasangan'
ketika
seorang
istri
diperbolehkan untuk tidur dengan pengunjung dekat suaminya, dapat
meningkatkan risik dari IMS (Kolawole, 2008).
f. Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 13 jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkarya pengetahuan yang diselenggarakan dengan
sistem terbuka melalui tatap muka atau melalui jarak jauh.
1) Pendidikan Formal
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 14 menyatakan bahwa jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
a) Pendidikan Dasar
Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 17
Pendidikan dasar meliputi : Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Seolah Menengah
Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau yang sederajat.
41
b) Pendidikan Menengah
Beradasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 18
pendidikan
menengah
merupakan
lanjutan
pendidikan
dasar.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
c) Perguruan Tinggi
Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 19
pndidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi.
2) Pendidikan Nonformal
Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26
satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan
bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap mengembangkan diri, mengembangkan profesi,
bekerja, usaha mandiri, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Sebagaian besar penderita kanker serviks adalah berpendidikan
rendah. Mungkin hal ini dapat dihubungkan dengan faktor sosial ekonomi
42
yang rendah pula yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
perkawinan usia muda. Perkawinan usia muda berarti kemungkinan untuk
mendapatkan faktor predisposisi semakin besar. Usia pertama kali koitus
yang masih sangat muda meningkatkan kemungkinan terjadinya neoplasia
intraepithelial serviks (Cervical Intraepithalial Neoplasia = CIN). Sperma
yang pertama kali mengenai serviks mempunyai pengaruh yang besar
terhadap terjadinya keganasan (Coppleson et al, 1976).
Insiden kanker serviks telah terbukti lebih tinggi pada kelompok
pendidikan rendah, dan orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah cenderung untuk didiagnosis dan harus patuh terhadap pengobatan.
Self management merupakan komponen penting dari perawatann kanker
serviks. Kepatuhan terhadap pengobatan terkait dengan pendidikan,
mungkin dimediasi melalui tingkat penalaran yang lebih tinggi (WHO,
2011).
g. Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh
anggota keluarga rumah tangga, mencakup gaji, upah dan pendapatan
pensiunan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan
dalam rumah tangga. Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 225/KEP/2015 Tentang Upah Minimum Kabupaten/
Kota tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan pendapatan
Kota Yogyakarta berdasarkan UMK adalah Rp. 1.452.400.
Determinan sosial seperti penghasilan secara tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi kesehatan secara umum. Penentu ini membentuk
43
satu set posisi sosial ekonomi dalam hirarki kekuasaan, prestise, dan akses
ke sumber daya. Posisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku, faktor
resiko, status psikososial, kondisi hidup dan sistem kesehatan (WHO, 2011).
Prevalensi dan insiden kanker serviks berhubungan dengan posisi sosial
ekonomi dalam negara. Menurut Ernster (1999) status sosial ekonomi dan
faktor rasial menentukan paparan lingkungan, faktor risiko perilaku,
penggunaan perawatan kesehatan, dan sesuai dengan cara hidup yang
dianjurkan, yang semuanta akan mempengaruhi etiologi dan prognosis
penyakit.
Penghasilan adalah indikator posisi sosial ekonomi yang langsung
mengukur komponen dumber daya material. Pendapatan bukan merupakan
variabel tunggal akan tetapi merupakan komponen yang terdiri dari: gaji,
bonus, hobi, pemeliharaan anak, pembayaran, dan pendapatan lain (CSDH,
2007; Solar dan Irwin, 2010).
Pendapatan yang lebih tinggi dan akumulasi kesejahteraan membuat
seseorang lebih mampu untuk membayar iuran asuransi dan obat-obatan,
untuk membeli makanan yang lebih bergizi, untuk mendapatkan kualitas
perawata anak yang lebih baik dan untuk hidup di lingkungan dengan
sumberdaya yang mendukung sekolah yang baik dan fasilitas rekreasi.
Sebaliknya, ekonomi yang terbatas berarti membuat kehidupan sehari-hari
penuh perjuangan, hanya menyisakan waktu sedikit untuk gaya hidup sehat
dan mengurangi motivasi (Braveman et al, 2011)
Faktor pendapatan berkaitan dengan gizi dan imunitas. Golongan
pendapatan rendah memiliki kuantitas dan kualitas makanan kurang dan ini
44
mempengaruhi imunitas tubuh. Kelompok berpenghasilan rendah biasanya
kurang terakses dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas termasuk
pemeriksaan pap smear yang seharusnya dilakukan para wanita usia 35
tahun keatas. Wanita berpenghasilan rendah biasanya tidak memperhatikan
status gizi dan imunitas. Penghasilan sangat berpengaruh terhadap kejadian
kanker serviks. Para wanita yang berpenghasilan rendah tidak mampu
membeli pembalut wanita yang berkualitas tinggi atau sabun pencuci vagina
yang aman bagi kesehatan (Syatriani, 2011).
h. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya. Lingkungan yang sanitasinya buruk akan berdampak buruk pula
bagi kesehatan. Berbagai jenis penyakit dapat muncul karena lingkungan
yang
bersanitasi
buruk
menjadi
symber
berbagai
jenis
penyakit
(Kasnodiharjo, 2013).
Sanitasi lingkungan rumah adalah prinsip-prinsip usaha untuk
meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang
dapat
menimbulkan
penyakit,
melalui
kegiatan-kegiatan
untuk
mengendalikan : sanitasi air, sanitasi makanan, pembuangan kotoran, air
buangan dan sampah, sanitasi udara, vector dan binatang pengerat serta
hygiene perumahan dan halaman (Riyadi, 1984).
1) Faktor lingkungan (Fisik, Biologis dan Lingkungan Sosial)
Lingkungan fisik, biologis maupun sosial perlu diperhatikan
dalam membangun rumah. Rumah di daerah pantai atau dataran rendah
45
sebaiknya dibuat agar terhindar dari banjir. Langit-langit rumah dibuat
lebih tinggi dan lebih banyak ventilasi udara untuk mengurangi panas.
Di daerah dataran tinggi atau di pegunungan, rumah sebaiknya dibuat
agar ruangan dalam lebih hangat. Rumah di daerah rawan gempa juga
perlu disesuaikan agar tidak mudah roboh. Bagi rumah yang dekat
dengan hutan, dibuat agar aman dari serangan binatang buas.
2) Tingkat Kemampuan Ekonomi
a) Bahan Bangunan
Bahan bangunan tidak selalu harus mahal untuk memenuhi
persyaratan kesehatan. Bahkan di daerah pedesaan banyak alternatif
bahan bangunan yang murah seperti bambu dan kayu lokal.
(1) Lantai
Lantai sebaikna dari ubin, keramk atau semen agar tidak
lembab dan tidak menimbulkan genangan atau kebecekan serta
debu dibandingkan jika berlantaikan tanah.
(2) Dinding
Dinding rumah sebaiknya dibuat dari tembok, tetapi dengan
ventilasi yang cukup. Sebenarnya di daerah tropis yang lebih
cocok adalah bambu atau papan agar lubang-lubang pada
dinding atau papan dapat berfungsi sebagai fentilasi
(3) Atap genteng
Atap genteng banyak dipakai oleh penduduk Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa. Disamping atap genteng cocok
untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan
46
bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun
demikia, ada penduduk yang tidak mampu untuk membelinya,
sehingga dapat diganti dengan atap daun rumbai atau daun
kelapa dengan risiko lebih mudah terbakar. Sejumlah wilayah
di Indonesia, atap seng biasa dipakai. Atap tersebut seng
kurang cocok dipakai di daerah tropis karena dapat
menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
b) Ventilasi
Rumah yang sehat harus memungkinkan pertukaran udara
dengan luar rumah. Karena itu, rumah harus dilengkapi dengan
ventilasi yang cukup. Ada dua macam ventilasi yaitu :
(1) Ventilasi Alamiah
Ventilasi yang dibuat dalam bentuk lubang udara yang
memungkinkan udara keluar atau masuk secara alamiah.
Ventilasi ini memiliki keuntungan yaitu tanpa menggunakan alat
untuk mengalirkan udara, sehingga bisa menghemat penggunaan
energi. Namun, ventilasi alamiah ini merupakan jalan masuk
nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu,
sebaiknya tutup dengan ram kawat yang agak rapat.
(2) Ventilasi Buatan
Alat-alat khusus untuk mengalirkan udara, misalnya
kipas angin, dan mesin penghisap udara. Selain tidak hemat
energi, ventilasi jenis ini harus dijaga agar udara tidak berhenti
atau membalik lagi.
47
c) Cahaya
Rumah yang harus dibangun harus dirancang agar cahaya
dapat masuk kedalam rumah dalam jumlah yang cukup. Jika
ruangan dalam rumah kurang cahaya, maka udara dalam ruangan
akan emnajdi media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit.
d) Luas Bangunan Rumah
Rumah yang sehat juga harus memperhatikan kepadatan
penghuninya.
Selain
tidak
nyaman,
rumah
yang
jumlah
penghuninya tidak sebanding dengan luas rumah juga tidak sehat,
baik secara fisik maupun sosial. Setiap orang yang tinggal dalam
rumah membuthkan O2 yang cukup. Jika penghuni terlalu banyak,
maka kebutuhan O2 tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
setiap penghuni secara sehat. Selain itu, rumah yang terlalu padat
(over crowded) lebih memungkinkan terjadinya penularan berbagai
jenis penyakit. Karena itu, luas bangunan yang optimum adalah
apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang.
e) Fasilitas-fasilitas di dalam Rumah Sehat
(1) Penyediaan Air Bersih
Air merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,
baik untuk minum, mandi maupun mencuci. Rumah yang sehat
harus didukung oleh ketersediaan air bersih yang dalam jumlah
yang cukup. Air yang tidak bersih dapat menimbulkan berbagai
48
penyakit karena dapat menjadi tempah tumpuh berkembangnya
bakteri.
(2) Pembuangan Tinja
Setiap rumah sebaiknya memiliki pembuangan tinja
masing-masing. Tempat pembuangan tinja yang dipakai secara
bersama-sama oleh banyak keluarga dapat menimbulkan
penularan berbagai penyakit. Tempat pembuangan tinja dibuat
dari bahan yang mudah meloloskan tinja dan harus selalu bersih
atau terawat.
(3) Pembuangan Air Limbah (Air Bekas)
Setiap penghuni pasti menggunakan air untuk berbagai
keperluannya. Sebagai akan menjadi air limbah yang dibuang ke
lingkungan. Pembuangan air limbah menjadi sangat penting,
bukan hanya karena alasan bau dan pemandangan yang tidak
sedap, tetapi karena air limbah sangat berbahaya bagi kesehatan.
Karena itu, air limbah diupayakan dibuang pada saluran dan
tempat pembuangan yang tertutup.
(4) Pembuangan Sampah
Seperti halnya air limbah, pembuangan sampah menjadi
penting
untuk
diperhatikan
karena
alasan
kesehatan,
kenyamanan dan estetika. Tempat pembuangan sampah
diupayakan agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah
dijangkau
serta
tertutup
agar
tidak
berkembangnya berbagai penyebab penyakit.
menjadi
tempat
49
(5) Fasilitas Dapur dan Ruang Keluarga
Dapur dalam rumah merupakan fasilitas penting dan
perlu diperhatikan pemeliharannya. Biasanay sampah dan sisasia makanan berada di dapur. Kondisi ini mengundang berbagai
binatang yang dapat menjadi vektor berbagai jenis penyakit
seperti tikus dan kecoa. Tempat memasak atau dapur yang
bergabung dengan ruangan lainnya sangat tidak sehat karena
asap limbah lainnya akan langsung mempengaruhi kesehatan
dan kenayamanan penghuninya.
(6) Sistem Pembuangan
Air limbah adalah air kombinasi dari cairan dan sampah
cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan,
perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air
permukaan dan air hujan yang mungkin ada. Air limbah tersebut
harus terlebih dahulu diolah sebelum dibuang ke lingkungan.
Pengolahan
air
limbah
dimaksudkan
untuk
melindungi
lingkungan hidup terhadap pencemaran air limbah tersebut.
Dalam
batas
tertentu
sebenarnya
lingkungan
mampu
menetralisir limbah atau melakukan pemurnian kembali. Namu,
jika limbah yang dibuang ke lingkungan jumlahnya besar dan
mengandung bahan-bahan pencemar berbahaya dan beracun,
maka lingkungan tidak akan mampu melakukan pemurnian
kembali (self purification).
50
f) Halaman Rumah
Halaman rumah, selain diatat secara estetis, juga perlu
memperhatikan persyaratan kesehatan. Halaman rumah yang tidak
sehat dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah:
(1) Halaman rumah harus selalu kering dan rata, artinya mempunyai
pengairan air (drainage) yang baik
(2) Halaman rumah harus dilakukan perkerasan dengan baik, tidak
berdebu (musim kemarau) dan tidak becek (musim hujan).
Perkerasan halaman harus tetap ramah lingkungan artinya dapat
dibuat sumur resepan, tanam, dan dapat meresapkan air hujan
(3) Halaman ditanami rumput yang selalu dipotong pendek dan
sebagian ditanami pohon rindang
(4) Adanya pagar rumah dari tembol atau tumbuh-tumbuhan untuk
mencegah terjadinya kecelakaan
(5) Halaman rumah terlihat bersih dari segala jenis sampah
(6) Adanya bak penampung air, resapan air, dan saluran drainase air
hujan untuk emnunjang kebersihan, kesehatan, dan konservasi
air tanah.
Menurut Gunawan (2009), rumah sehat ialah tempat kediaman
suatu keluarga yang lengkap berdiri sendiri, cukup awet, dan cukup kuat
konstruksinya. Selain itu juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
51
a) Tersedia jumlah kamar/ruang yang cukup dengan luas lantai dan isi
yang cukup besar, agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh
penghuninya untuk melakukan kegiatan hidup
b) Memiliki tata letak ruangan yang baik agar memudahkan
komunikasi dan perhubungan antar ruangan didalam rumah dapat
lancar, tetapi juga menjamin kebebasan dan kerahasiaan pribadi
masing-masing penghuni.
c) Memiliki persediaan air bersih yang cukup banyak untuk diminum
dan digunakan dalam pemeliharaan kebersihan penghuni serta
seluruh rumah
d) Tersedia perlengkapan untuk pembuangan air hujan, air kotor,
sampah dan kotoran lain dengan cara memenuhi syarat-syarat
kesehatan
e) Konstruksi atap rumah yang cukup rapat dan tidak bocor
f) Konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering, agar
mudah dibersihkan dari kotoran dan debu, juga dapat menghindari
kelembaban air tanah naik ke lantai.
g) Terdapat ventilasi yang baik, agar pertukaran udara dapat berjalan
dengan lancar dan selalu tersedia udara yang bersih dan sehat di
dalam rumah
h) Terdapat penerangan alami dan/ atau penerangan buatan yang cukup
terang .
52
3) Sanitasi Lingkungan dan Kesehatan
Kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi lingkungan, pelayanan
kesehatan, perilaku, keturunan. Lingkungan yang tidak sehat atau
sanitasinya tidak terjaga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Begitu
pula dengan pelayanan kesehatan yang minim atau sulit dijangkau dapat
menularkan penyakitnya pada yang lain. Perilaku hidup yang tidak sehat
seperti membuang sampah sembaranag, tidak mencuci tangan sebelum
atau sesudah makan, buang air besar atau kecil dimana saja, mencuci atau
mandi dengan air yang kotor merupakan perilaku yang dapat
mengundang
berjangkitnya
berbagai
jenis
penyakit.
Kesehatan
masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor keturunan karena sebagian dari
penyakit diturunkan dari orang tuanya (Kasnodiharjo, 2013).
Lingkungan dapat berperan menjadi penyebab langsung, sebagai
faktor yang berpengaruh dalam menunjang terjangkitnya penyakit,
sebagai
medium
transmisi
penyakit
dan
sebagai
faktor
yang
mempengaruhi perjalan penyakit. Udara yang tercemar secara langsung
dapat mengganggu sistem pernapasan, air minum yang tidak bersih
secara langsung dapat membuat sakit perut dan lain-lain. Udara yang
lembab dapat berpengaruh dalam menunjang terjangkitnya penyakit yang
disebabkan oleh bakteri atau virus.
Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan terkait erat
dengan penyakit berbasis lingkungan, dimana kecenderungannya
semakin
meningkat
akhir-akhir
ini.
Penyakit-penyakit
berbasis
lingkungan masih merupakan penyebab utama kematian di Indonesia .
53
Human Papilloma Virus dapat terjadi di lingkungan yang tidak bersih,
sehingga lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan
manusia karena berbagai faktor penyebab penyakit dipengaruhi oleh
lingkungan. Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan terutama sarana air bersih (Kasnodiharjo, 2013).
C. Penelitian yang Relevan
1. Mwaka et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Social,
demographic, and healthcare factors associated with stage at diagnosis of
cervical cancer: cross-sectional study in a tertiary hospital in in North
Uganda”. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa pasien dan kesehatan
dasar dan diagnosis pada wanita dengan diagnosis kanker serviks di Uganda
Utara dengan maksud mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan
dengan stadium lanjut untuk menginformasikan dan meningkatkan
kelangsungan hidup dari kanker serviks pada berpenghasilan rendah dan
negara-negara berpenghasilan menengah. Desain yang digunakan cross
sectional. Hasilnya adalah pada faktor sosial demografi, responden dengan
pendidikan menengah dan tinggi tidak memungkinkan untuk didagnosis
kanker serviks, dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki
pendidikan formal (OR=0.16 (95%, CI 0.03-0.87). Setelah disesuaikan
dengan usia, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, kemungkinan
kanker stadiun lanjut antara pasien dengan memiliki jumlah anak 509 adalah
0.27 (96% CI 0.08-0.96) kali kemungkinan kanker stadium lanjut antara
perempuan dengan jumlah anak kurang dari 4. Pada faktor sosial ekonomi,
pasien
dengan
pendapatan
rendah
memiliki
alasan
untuk
tidak
54
memeriksakan diri ketenaga kesehatan lebih mungkin didiagnosis pada
tahap kanker stadium lanjut 5.7 kali (95% CI 1,58-20.64). Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mwaka et al (2016)
adalah pada variabel sosial demografi yaitu tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi yaitu tingkat pendapatan. Perbedaannya adalah variabel sanitasi
lingkungan, higine genetalia, jumlah pasangan seksual, usia pertama kali
melakukan hubungan seksual, kontrasepsi oral, nutrisi, analisis yang
digunakan dan tempat penelitian.
2. Poorolajal dan Jenabi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “ The
association between BMI and cervical cancer risk: a meta-analysis. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara BMI dan kanker
serviks. Meta analisis dilakukan untuk memperkirakan hubungan antara
kelebihan berat badan dan obesitas dan risiko kanker serviks. Data
independen diekstraksi dan dianalisis menggunakan odd rasio dan interval
kepercayaan 95% (CI), pada dasar acak efek. Hasil dari kasus kontrol dan
kohort, hubungan antara kanker serviks dan kelebihan berat badan
diperkirakan masing-masing 1.03 (95% CI: 0.81, 1.25) dan 1.10 (95% CI:
1.03, 1.17). Menurut hasil kasus kontrol dan kohort, hubungan antara kanker
serviks dan obesitas masing-masing adalah 1.40 (95% CI: 1.08, 1.71) dan
1.08 995% CI: 0.60, 1.52). tidak ada bukti heterogenitas dan pulikasi bias
diamati. Temuan dari meta analisis ini menunjukkan bahwa kelebihan berat
badan tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker serviks, namun
obesitas yang lemah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Namun lebih banyak bukti, berdasarkan penelitian kohort prospektif besar,
55
diperlukan untuk memberikan bukti konklusif pada apakah atau tidak BMI
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Persamaan penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Poorolajal dan Jenabi (2015)
adalah pada variabel status gizi yang di ukur dari Body Mass Index (BMI)
dan desain kasus kontrol yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel
sanitasi lingkugan, higine gentalia, pedidikan, pendapatan, usia pertama kali
melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, kontrasepsi oral
dan analisis data dan tempat penelitian.
3. Lopez dan Hernandez (2013) dalam penelitiannya yang berjudul
“Epidemiology Association Between Body Fat Percentage and Cervical
Cancer; A Cross-sectional population-based survey of Mexico. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai langkah antopometrik
sebagai faktor risiko potensial untuk kanker serviks. Analsisis yang
digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian ini adalah prevalensi
kanker serviks meningkat dari 514 (95% CI 321, 707) dan 680 (95% CI 494,
866) untuk 732 (95% CI 535, 928) per 100.000 penduduk pada subyek
dengan berat badan normal, subyek kelebihan berat badan dan obesitas.
Selain itu hubungan antara kanker serviks dan BFP (OR 1.027; CI 1.006,
1.048; p= 0.012) dan risiko meningkat dengan BFP ≥ 45% (OR 2.369; CI
95% 1.284, 4.369; p=0.006). Data ini menunjukkan tren antara indeks massa
tubuh dan peningktan prevalensi kanker serviks. Selain itu data
menunjukkan hubungan yang signifikan antara BFP dan kanker serviks, dan
hubungan epidemiologi ini lebih tinggi sebagai meningkatnya BFP.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez dan
56
Herandez (2013) adalah pada status gizi yang dilihat dari Body Fat
Percentage (BFP). Perbedaannya adalah variabel pendidikan, pendapatan,
sanitasi lingkungan, higine genetalia, usia pertama melakukan hubungan
seksual, jumlah pasangan seksual, dan kontrasepsi oral. Analisis yang
digunakan berbeda dan tempat penelitian yang berbeda.
4. Louie et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Early age at first
sexual intercourse and early pregnancy are risk factors for cervical cancer
in developing countries”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan kejadian kanker
serviks invasif. Analisis terhadap penelitian yang dilakukan di 9 negara
berkembang dengan 1864 kasus dan 1719 kontrol. Hasilnya adalah risiko
untuk kejadian kanker serviks invasif pada wanita yang melakukan
hubungan seks pertama kali dan hamil pertama kali pada usia ≤ 16 tahun
dibandingkan dengan wanita yang melakukannya pada usia ≥ 20 tahun
adalah 2,4 kali lipat. Penelitian ini memakai rancangan kasus kontrol,
variabel yang diteliti adalah usia pertama hubungan seksual, paritas,
penggunaan
oral
kontrasepsi,
merokok, jumlah pasangan
seksual,
pendidikan dan riwayat pap smear. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian Louie et al (2009) adalah rancangan penelitian, variabel
penelitian diantaranya usia pertama hubungan seksual dan pendidikan.
Sedangkan
perbedaannya
adalah
pada
lokasi
penelitian,
variabel
penggunaan oral kontrasepsi, pendapatan, jumlah pasangan seksual, status
gizi, sanitasi lingkungan rumah.
57
5. Melva (2008) dalam penelitiannya ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Kanker Leher Rahim pada Penderita yang Datang Berobat di
RSUP H. Adam Malik Medan’. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor
yang mempengaruhi terjadi kanker leher rahim dengan rancangan studi
Cross Sectional terhadap penderita kanker leher rahim sebanyak 60 kasus
dan 60 tidak menderita kanker leher rahim. Hasil penelitian menggunakan
uji chi square bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara 4 faktor
yang menentukan terjadinya kanker leher rahim : usia pertama hubungan
seks (p=0.000), paritas (p=0.034), ganti pasangan (0=0.020), infeksi
kelamin (p=0.000). Hasil anaisis multivariat melalui uji regresi logistik
ganda menunjukkan ada pengaruh usia pertama melakukan hubungan
seksual (p=0.005; rasio prevalensi 2.3) infeksi kelamin (p=0.000; rasio
prevalensi 2.5). persamaan penelitian ini dengan penelitian Melva (2008)
adalah pada variabel usia pertama kali melakukan hubungan seksual dan
jumlah pasangan seksual. Sedangkan n adalah lokasi penelitian, rancangan
penelitian dan variabel yang lainnya seperti pendidikan, pendapatan,
kontrasepsi oral, status gizi, higine genetalia, dan sanitasi lingkungan
rumah.
6. Cooper et al.(2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Determinants of
sexual activity and its relation to cervical cancer risk among South African
Women”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
aktivitas seksual pada wanita dewasa dan risiko kanker serviks di Afrika
Selatan. Variabel yang digunakan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal
dan risiko kanker serviks. Informasi tentang usia pertama kali seksual dan
58
jumlah pasangan seksual. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus
kontrol dimana terdapat 524 kasus dan 1541 kontro di Rumah Sakit.
Analisis yang digunakan adalah regresi logistik ganda. Hasil penelitian ini
adalah dimana usia rata-rata untuk melakukan hubungan seksual pertama
kali yaitu pada usia 17 tahun dengan jumlah pasangan seksual masingmasing 2. Seksual dini pada usia 17 tahun dikaitkan dengan pendidikan
yang rendah, meningkatnya jumlah pasangan dan penggunaan alkohol.
Memiliki jumlah pasangan seksual yang lebih banyak dikaitkan dengan usia
dini pada saat melakukan seksual, single, dan penggunaan alkohol. OR
untuk usia pertama kali seksual <16 tahun dan ≥ 4 memiliki mitra seksual
dan risiko terkena kanker serviks adalah masing-masing 1,6 (95% CI 1,22,2) dan 1,7 (95% CI 1,2-2,2). Dapat dikatakan bahwa status ekonomi sosial
yang rendah, konsumsi alkohol, dan single, dapat meningkatkan aktivitas
seksual pada wanita Afrika Selatan. Pendidikan memiliki efek rancu. Risiko
kanker serviks berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Inisiatif
untuk tidak melakukan seks pada usia dini dan membatasi jumlah mitra
seksual akan memberikan dampak yang positif pada risiko kanker serviks
dan infeksi menular lainnya. Persamaan penelitian ini dengan peneltian
Cooper et al (2007) adalah variabel penelitian yaitu usia pertama hubungan
seksual, jumlah pasangan seksual, dan pendidikan, rancangan penelitian,
dan analisis yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel pendapatan,
sanitasi lingkungan, higine genetalia, kontrasepsi oral dan tempat penelitian.
7. Hammouda et al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Cervical
Carcinoma in Algiers, Algeria ;Human Papillomavirus and Lifestyle Risk
59
Factors. Metode yang dilakukan kasus kontrol sebanyak 198 kasus
karsinoma serviks dan 202 kontrol. Selain infeksi HPV, hubungan seksual
diluar nikah (OR=4.8), suami yang berhubungan seksual dengan wanita lain
atau wanita pekerja seksual (OR=3.2) dan indikator sanitasi lingkungan
yang buruk atau kebersihan yang buruk (OR=4.9), adalah faktor terkuat
untuk karsinoma serviks. Penggunaan kontrasepsi oral tidak berhubungan
dengan dengan terjadinya karsinoma serviks, multiparitas muncul sebagai
faktor risiko yang signifikan setelah penyesuaian untuk kebiasaan seksual.
Intra Uterine Device (IUD) menunjukkan risiko yang rendah terjadinya
karsinoma serviks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hammouda et al (2005) adalah variabel penggunan
kontrasepsi oral, sanitasi lingkungan atau kebersihan yang buruk dan
metode kasus kontrol. Perbedaannya adalah tempat penelitian dan variabel
pendidikan, pendapatan, jumlah pasangan seksual, dan usia pertama kali
melakukan hubungan seksual.
8. Vaisy et al (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Risk of Cancer with
Combined Oral Contraceptive Use among Iranian Women”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara kejadian kanker
seviks dan payudara dan kontrasepsi oral dalam 128 pasien Iran dengan
kanker serviks dan 235 dengan kanker payudara dan jumlah yang sama pada
responden kontrol. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan sel
terorganisir pertanyaan. Analisis data menggunakan t-test, chi square dan
uji fisher’s exact dan analisis pearson’s correlation. Hasilnya adalah
korelasi antara kedua kanker serviks dan kanker payudara dan riwayat
60
penggunaan kontrasepsi oral. Sementara kanker serviks secara signifikan
berkorelasi dengan lama peggunaan pil, payudara memiliki korelasi yang
signifikan dengan jenis kontrasepsi oral dan usia penggunaan pertama kali.
Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara kedua jenis
kanker dan usia pemberhentian kontrasepsi oral, penggunaan, dan interval
dari penggunaan terakhir. Penggunaan kontrasepsi oral dapat tiga kali lipat
terjadinya kanker serviks dan kanker payudara. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan oleh Vaisy et al (2014) adalah pada
variabel penggunaan kontrasepsi oral. Perbedaannya adalah pada variabel
sanitasi lingkungan, pendidikan, pendapatan, status gizi, higine gentalia,
jumlah pasangan seksual, usia pertama kali melakukan seksual, analisis data
yang digunakan dan tempat penelitian.
9. Li et al (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Neighborhood
deprivation and risk of cervical cancer morbidity and mortality: A
multilevel analysis from Sweden. Tujuan penelitian adalah untuk
menganalisis apakah ada hubungan antara lingkungan yang kurang dan
morbiditas dan mortalitas kanker serviks diluar tingkat individu. Analisis
yang digunakan regresi logistik dengan model multilevel dengan
karakteristik individu pada level pertama (umur, status perkawinan,
pendapatan keluarga, pendidikan, status imigrasi, perkotaan/pedesaan,
mobiditas, paritas dan jumlah mitra hubungan seksual) dan pada level kedua
yaitu tingkat lingkungan yang kurang. Hasil ada hubungan yang kuat antara
tingkat lingkungan yang kurang dan morbiditas dan mortalitas kanker
serviks. Dalam model penuh, yang mengambil akun karakteristik tingkat
61
individu dan risiko kanker serviks masing-masing 1.25 dan 1.36 pada
lingkungan yang kurang. Antara variabel lingkungan adalah lebih dari dua
kesalahan standar menunjukkan perbedaan
yang signifikan dalam
morbiditas dan mortalitas kanker serviks antara lingkungan. Persamaan
penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2012) adalah pada level individu
diantaranya ada pendapatan, pendidikan dan jumlah mitra seksual pada level
kedua adalah lingkungan dan analisis multilevel yang digunakan.
Perbedaannya adalah variabel higine genitalia, usia pertama melakukan
hubungan seksual, status gizi, dan penggunaan kontrasepsi oral.
10. Roura et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “The Influence of
Hormonal Factors on the Risk of Developing Cervical Cancer and Pre
Cancer Results from the Epic Cohort”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi secara prospektif hubungan antara faktor hormonal dan risiko
perkembangan serviks intraepithelial neoplasma kelas 3 (CIN 3)/ karsinoma
in situ (CIS) dan invasif kanker serviks (ICC). Metode yang dilakukan yaitu
dengan studi kohort. Hasil analisis kohort menunjukkan bahwa jumlah
kehamilan jangka penuh positif
terkait dengan CIN3/ risiko CIS (P-
trend=0,03). Durasi penggunaan kontrasepsi oral dikaitkan dengan
peningkatan risiko yang signifikan dari kedua CIN3/ CIS dan ICC (HR =
0.5, 95% CI:0.4-0,8). Sebuah penurunan risiko tidak signifikan dari ICC
dengan pernah menggunakan Intrauterine Device (IUD) ditemukan dalam
analisis kasus kontrol (OR=).6). analisis dibatasi untuk semua kasus dan
HPV kontrol seropositif menghasilkan hasil yang sama, mengungkapkan
62
hubungan terbalik yang signifikan dengan IUD untuk gabungan CIN3/CIS
dan ICC (OR=0.7)
D. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang berpengaruh pada kejadian penyakit kanker
serviks sebagai berikut (Gambar 2.2)
Pendidikan
Ibu
Sosial Budaya
Pekerjaan
Pendapatan
Sanitasi Lingkungan
Rumah
Higine
Genetalia
Status Gizi
Ibu
Jumlah
Pasangan
seksual
Perilaku Seksual
Suami
Usia pertama kali
melakukan seksual
Infeksi Human Papilloma
Virus (HPV)
Pemakaian
kontrasepsi oral
Metaplasia
Skuamosa
Ketidakseimbangan
Hormon
Kanker
Serviks
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Determinan Sosial Kanker Serviks
Keterangan :
---------------
: Tidak diteliti
: Diteliti
63
E. Hipotesis
1. Ada pengaruh pendidikan terhadap terjadinya kanker serviks. Pendidikan
yang tinggi akan mengurangi risiko terjadinya kanker serviks
2. Ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap terjadinya kanker serviks.
Pendapatan keluarga yang tinggi akan mengurangi risiko terjadinya kanker
serviks.
3. Ada pengaruh usia pertama kali melakukan hubungan seksual (<20)
terhadap terjadinya kanker serviks. Usia pertama kali melakukan hubungan
seksual lebih dari 20 tahun akan mengurangi terjadinya risko kanker serviks
4. Ada pengaruh jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya kanker serviks.
Jumlah pasangan seksual yang rendah akan mengurangi risiko terjadinya
kanker serviks
5. Ada pengaruh pemakaian kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama dengan
tejadinya kanker serviks. Pemakaian kontrasepsi oral kurang dari 5 tahun
akan mengurangi terajdinya risiko kanker serviks
6. Ada pengaruh status gizi terhadap terjadinya kanker serviks. Status gizi
yang baik akan mengurangi terjadinya kanker serviks
7. Ada pengaruh higine genitalia terhadap terjadinya kanker serviks.
Kebersihan genetalia yang bersih akan mengurangi risiko terjadinya kanker
serviks.
8. Ada pengaruh sanitasi lingkungan rumah terhadap terjadinya kanker serviks.
Lingkungan yang bersih mengurangi risiko terjadinya kanker serviks
Download