BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Determinan Sosial Kesehatan 1. Definisi WHO (2008) mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah keadaan dimana orang dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke dalam tempat untuk menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya dibentuk oleh satu set yang lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan sosial dan politik (Bradly, 2012). Sebagian besar model yang sering digunakan dalam determinan sosial kesehatan adalah model yang dibuat oleh Dahlgren dan Whitehead (1991), yang mana model ini berusaha untuk menggambarkan cara dimana determinan sosial kesehatan membangun hubungan satu sama lain atau secara berlapis-lapis seperti gambar 2.1 dibawah ini : Gambar 2.1 Model Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Detereminan Kesehatan 7 8 Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead (1991) menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan lingkungan, sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah (modifiable factors). Gambar 2.1 memeragakan, individu yang kesehatannya ingin ditingkatkan terletak dipusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem lingkungan mikro pada level sel/molekul. Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) determinan kesehatan meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun merugikan kesehatan. Pada level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih rentan atau lebih kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku dan karakteristik individu dipengaruhi oleh pola keluarga, pola pertemanan dan norma-norma di komunitas. Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan komunitas, yang meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal sosial, jejaring sosial, dan sebagainya. Faktor sosial pada level komunitas dapat memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan yang menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level komunitas dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan dukungan sosial yag diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas. Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural: lingkungan pemukiman atau perumahan papan yang baik, ketersediaan 9 pangan, ketersediaan energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang layak. Lapisan terluar (level makro, hulu/upstream) meliputi kondisikondisi dan kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, hubungan internasional atau kemitraan global, investasi pembangunan eknomi, peperangan atau perdamaian, perubahan iklim dan cuaca, ekosistem, bencana alam (maupun bencana buatan manusia/ man made disaster seperti kebakaran hutan). Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan Dahlgren dan Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok dan komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari individu, baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan ekspektasi peran seorang dalam keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi kebijakan makro yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan makro. 2. Tingkatan Pengaruh Determinan Kesehatan Menurut Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam The Determinants of Health ada tiga tingkatan pengaruh determinan kesehatan yaitu : 10 a. Level I : Individu 1) Genetika Hal ini penting untuk menarik perbedaan antara dampak genetika pada individu dan populasi. Pada tingkat individu, poligenik mempengaruhi kemungkinan seseorang mengembangkan penyakit kronis atau kanker. Tidak ada gangguan gen tunggal, ada tidak adanya hubungan antara dikotomis kehadiran gen atau tidak adanya penyakit. Untuk penyakit kronis dan kanker gen berinteraksi dengan faktor lingkungan dan perilaku untuk mempengaruhi hasil. Studi migrasi menunjukkan bahwa hanya antara 10% dan 15% dari total kesehatan tingkat populasi dapat dikaitkan dengan genetik. Genetika masih memberikan pengaruh, tetapi lingkungan dan perilaku memberikan pengaruh lebih besar pada penyakit kronis, dan merupakan interaksi antara faktor-faktor yang menentukan dari hasil. 2) Biologi Berbagi penanda biologis telah ditentukan sebagai faktor risiko untuk penyakit. Baru-baru ini, penanda seperti inflamasi dan stres kronis memiliki bukti sangat terkait dengan hasil kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi jelas bahwa panjang telomer berhubungan dengan penuaan biologis dan memungkinkan sebagai indikator risiko jenis kanker dan penyakit kronis. Determinan biologi pada kanker serviks itu sendiri meliputi jenis kelamin (wanita), faktor pria, faktor genetik atau herediter, usia, 11 paritas, dan agen biologi yang lainnya seperti Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV. 3) Gender Jenis kelamin (sex) adalah fenomena biologis. Hal ini didefinisikan seks dalam hal kromosom dan manifestasi fisik pada tubuh. Gender konstruksi sosial yaitu dalam setiap orang memiliki budaya tertentu disosialisasikan ke pemahaman dari apa yang membuat seseorang laki-laki dan wanita berbeda. Istilah seks dan gender sering digunakan. Seks biologis mempengaruhi kemungkinan mengembangkan banyak penyakit yang umum misalnya menopause. Pengaruh jenis kelamin memberikan kerentanan penyakit dari mekanisme, kombinasi genetik, perilaku budaya dan faktor struktural 4) Etnisitas Etnisitas juga memiliki hubungan yang kompleks dengan kesehatan. Seperti genetik, biologis, perilaku budaya dan faktorfaktor struktural yang terlibat. Kanker serviks diyakini biasa dalam beberapa kelompok etnis seperti orang Afrika dan Latin pada Yahudi. Ini mungkin merupakan cerminan dari akses ke kesehatan, perilaku seksual dan kemiskinan (Kolawole, 2008). b. Level II : Komunitas Seperti lingkungan rumah, lingkungan tempat kerja, sosial yang lebih luas, pengaruh sistem pendidikan atau perawatan kesehatan. 12 c. Level III : Lingkungan Mencakup aspek yang lebih luas seperti air bersih, udara dan aspek fisik lainnya yang baik dengan lingkungan yang mendasar untuk kesehatan. Pada kanker serviks determinan lingkungan untuk terjadinya penyakit atau kanker serviks diantaranya adalah higine, nutrisi, obatobatan seperti diethylsibestrol (DES), lingkungan sosial budaya, determinan sosial ekonomi, buta huruf dan agama. B. Kanker Serviks 1. Definisi Menurut American Cancer Society (2014), kanker serviks dimulai pada sel yang melapisi serviks. Leher rahim adalah bagian bawah rahim (uterus). Hal ini kadang-kadang disebut servik uterus. Tubuh rahim (bagian atas) adalah dimana janin tumbuh. Serviks menghubungkan tubuh rahim ke vagina (jalan lahir). Bagian serviks paling dekat dengan tubuh rahim disebut endoserviks, bagian samping vagina adalah eksoserviks. 2 jenis utama dari sel meliputi serviks adalah sel skuamosa (pada eksoserviks) dan sel kelenjar (pada endoserviks). Tempat jenis sel ini bertemu disebut zona transformasi. Lokasi yang tepat dari zona transformasi perubahan seperti usia dan melahirkan. Sebagian besar kanker serviks dimulai pada sel zona transformasi. Sel–sel ini tidak tiba-tiba berubah menjadi kanker. Sebaliknya, sel-sel normal serviks secara bertahap mengembangkan perubahan pra kanker yang berubah menjadi kanker. Beberapa istilah untuk menggambarkan perubahan pra kanker termasuk Cervicl Intraepithel Neoplasm (CIN), Squamous Intraephitelial Lesion (SIL), dan displasia. 13 Perubahan ini dapat dideteksi dengan pap smear dan dilakukan untuk mencegah kanker berkembang. Kanker serviks dan pra kanker serviks diklasifikasikan berdasarkan bagaimana terlihat dibawah mikroskop. Ada 2 jenis utama kanker serviks yaitu sel skuamosa dan adenokarsinoma, tetapi 80% sampai 90% dari kanker serviks adalah karsinoma skuamosa. Kanker ini terbentuk dari sel-sel pada eksoserviks dan sel-sel kanker memiliki fitur sel skuamosa di bawah mikroskop. Sebagian besar jenis yang tersisa dari kanker serviks adalah adenocarcinoma. Adenokarsinoma adalah kanker yang berkembang dari selsel kelenjar. Adenokarsinoma serviks berkembang dari produksi lendir yang ada pada sel kelenjar endoserviks. Adenokarsinoma serviks tampaknya telah menjadi lebih umum dalam 20 sampai 30 tahun dan tidak umum, jika kanker serviks memiliki fitur dari kedua karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Ini disebut karsinoma adenosquamous atau karsinoma campuran. Meskipun kanker serviks mulai dari sel dengan perubahan pra kanker, hanya beberapa wanita dengan pra kanker serviks akan mengembangkan kanker. Perubahan dari pra kanker menjadi kanker biasanya memakan waktu bertahun-tahun, tetapi dapat terjadi dalam waktu kurang dari satu tahun. 2. Patofisiologi Menurut American Cancer Society (2014), bahwa karsinoma serviks timbul di batas antara epitel ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai Squamo-Columnar Junction (SCJ). Histologi antara epitel gepeng berlapis (squamos complex) dari porsio dengan epitel 14 kuboid/ silindris pendek selapis bersila dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita umur > 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Tumor dapat tumbuh : a. Eksofilik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis b. Endofilik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk mengadakan infiltrasi menjadi ullkus. c. Ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas. Serviks normal secara alami mengalami proses metaplasi/erosi akibat saling desak mendesak kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosif (metaplasia skuamosa) yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik melalui tingkatan NIS I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikroinvasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus (Ries et al. 2008) 3. Etiologi Kanker serviks merupakan pertumbuhan baru sel-sel epitel yang menimbulkan metastasis. Kanker serviks pada manusia yang disebabkan oleh infesi virus Human Pappiloma Virus (HPV). Terdapat sekitar 100 tipe virus HPV, diantara tipe tersebut terdapat jenis “high risk” dan “low risk”. Jenis high risk dapat menyebabkan kanker serviks, antara lain tipe 16 dan 18 yang paling banyak ditemukan pada kasus kanker serviks; sedangkan jenis 15 low risk antara lain tipe 6 dan 11 yang menyebabkan penyakit infeksi pada alat kelamin (Christine, 2008 dan Frazer, 2008). Kanker serviks didahului dengan timbulnya lesi prakanker yang disebut displasia atau Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) yang ditandai dengan terjadinya perubahan morfologi sel-sel imatur, inti sel atipik, perubahan rasio inti dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia akan berkembang menjadi bentuk-bentuk kanker serviks (Hacker, 2005 cit Rahmawanti, 2014). 4. Tanda dan Gejala Kanker Serviks Menurut American Cancer Society (2014) wanita dengan kanker serviks dini dan pra kanker biasanya tidak memiliki gejala. Gejala sering tidak dimulai sampai pra kanker menjadi kanker invasif yang benar dan tumbuh ke dalam jaringan didekatnya. Ketika ini terjadi, gejala yang paling umum adalah : a. Perdarahan vagina abnormal, seperti perdarahan setelah berhubungan seksual (senggama), perdarahan setelah menopause, perdarahan dan bercak antara periode menstruasi dan memiliki menstruasi lebih lama dari periode biasanya. Pendarahan setelah douching atau setelah pemeriksaan panggul merupakan gejala umum dari kanker serviks tapi tidak pra kanker. b. Adanya pengeluaran yang tidak biasa dari vagina discharge yang memungkinkan berisi darah dan mungkin terjadi antara periode atau setelah menopause c. Nyeri saat berhubungan seksual (senggama) 16 5. Penatalaksanaan Kanker Serviks Pilihan terapetik pada penderita kanker serviks yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi merupakan keputusan klinis yang sebaiknya dibuat bersama oleh ahli onkologi ginekologi dan ahli radioterapi. Hal ini tergantung pada usia dan keadaan umum penderita, penyebaran sel kanker dan ada tidaknya komplikasi yang abnormal sehingga penatalaksanaan terbaik dan pada penderita kadang-kadang hanya bersifat simtomatis (Painci et al. 2004 dan Monk, 2007). Pembedahan hanya dilakukan pada kanker serviks stadium IA-IIA sedangkan kanker serviks stadium IIB ke atas diberikan penatalaksanaan kombinasi kemoterapi dengan radioterapi (Waggoner, 2003 dan Monk, 2007). Penderita kanker serviks yang telah diberikan tindakan kuratif yang sesuai, maka perlu dilakukan tindak lanjut (follow-up) berupa identifikasi terhadap adanya komplikasi yang berhubungan dengan pengobatan dan intervensi jika muncul adanya penyakit yang berulang (recurrent). Strategi tindak lanjut yang sesuai pada penderita kanker serviks menurut Gynecology Cancer Disease Site Group (DSG) adalah sebagai berikut : a. Pada kunjungan tindak lanjut, harus dilakukan pemeriksaan fisik yang lengkap termasuk pemeriksaan pelvis dan rektal termasuk sitologi serviks. b. Jadwal kunjungan tindak lanjut yaitu setiap 3-4 bulan dalam 2 tahun pertama dan setiap 6-12 bulan dalam tahun ketiga sampai kelima. Setelah 5 tahun, dilakukan penilaian tahunan. 17 c. Pemeriksaan radiologis tidak perlu dilakukan secara rutin. (Elit et al, 2010) 6. Strategi Pencegahan Kanker Serviks Umumnya 43% dari semua kanker yang dapat dicegah yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Langkah-langkah utama termasuk meningkatkan kesehatan fisik, mengontrol kelebihan berat badan atau obesitas, merokok dan alkohol serta diet sehat kaya sayuran dan buah. Kanker serviks kini dianggap sebagai penyakit menular seksual dan dengan demikian dapat dicegah (Raproline, 1998 cit Kolawole, 2008). HPV adalah faktor etiologi utama yang berinteraksi dengan faktor risiko lain seperti perilaku seksual berisiko tinggi (jumlah pasangan seksual yang banyak dan usia dini hubungan seksual), merokok, kemiskinan dan lain-lain. Pencegahan HPV ini akan mencegah terjadinya kanker serviks. Pencegahan primer bertujuan mencegah kejadian atau timbulnya penyakit. Pencegahan primer dari kanker serviks melibatkan pengurangan risiko, vaksinasi, dan mungkin modifikasi diet atau suplemen (Kolawole, 2008). Pencegahan sekunder harus mengurangi prevalensi penyakit dengan deteksi dini pada orang tanpa gejala. Hal ini bertujuan untuk tahap pra-klinis penyakit (ACS, 2008). Langkah-langkah untuk pencegahan sekunder dari kanker serviks termasuk skrining menggunakan Pap Smear, tes HPV-DNA, inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), inspeksi visual dengan iodium lugol dan cervicography. Pencegahan tersier ditujukan pada orang dengan penyakit terbukti. Tujuannya adalah pengobatan dini dan tepat untuk mencegah terulangnya atau komplikasi. Ini termasuk perawatan paliatif 18 untuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sumber daya yang paling efektif untuk pencegahan adalah kombinasi dari vaksinasi HPV pra remaja, pendidikan seksual dan skrining pada perempuan usia 30 tahun keatas (Agosti dan Goldie, 2007 cit Kolawole, 2008). a. Pencegahan Primer Pencegahan primer ini melibatkan promosi dan peyuluhan, pengurangan risiko dan pengendalian IMS, pola hidup sehat, menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan hanya dengan satu pasangan dan penggunaan vaksinasi HPV dimana vaksinasi ini dapat mengurangi infeksi HPV karena kemampuan proteksinya adalah sebesar > 90%. Pesan promosi kesehatan akan mencakup penghentian merokok, mempromosikan diet sehat kaya vitamin. Faktor-faktor penentu lainnya seperti buta huruf, sosial budaya, jenis kelamin, kemiskinan, kebersihan, politik dan sistem kesehatan saat ini tidak ditunjukkan untuk pengendalian kanker serviks tetapi sebagai isu nasional yang lebih luas diluar kesehatan. Mempromosikan diet kaya karotenoid (vitamin A), asam askorbat dan folat. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek langsung pada regulasi pertumbuhan sel atau melalui peningkatan sistem kekebalan tubuh. Vitamin C, karena sifat antioksidan, menghambat onkogenesis, merangsang sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan stabilitas dan pemanfaatan folat (Kolawole, 2008). b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendasarkan pada risiko pasiennya yaitu pasien dengan risiko sedang dan tinggi. Pada pasien 19 dengan risiko sedang dan tinggi, hasil tes Pap yang negatif sebanyak 3 kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan 1 tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien atau partner hubungan seksual yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap setiap tahun. Pada pasien dengan risiko tinggi, bagi yang memulai hubungan seksual saat usia < 18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner hubungan seksual seharusnya melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap 6 bulan sekali terutama untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang. Upaya penyembuhan penyakit kanker serviks yaitu dengan pendeteksian dini, pendeteksian dilakukan dengan pap smear. Tes pap smear adalah upaya pengambilan cairan dari vagina untuk melihat kelainan sel disekitar leher rahim. Tes pap smear hanyalah satu langkah screening, bukan pengobatan. Oleh karena itu semakin dini gejala awal penyakit kanker rahim diketahui, semakin mudah pengobatan dan penangannya (Diananda, 2007). c. Pencegahan Tersier 1) Mewaspadai gejalanya. Seperti perdarahan, terutama setelah melakukan aktivitas seksual 2) Menghindari merokok. Wanita sebaiknya tidak merokok, karena dapat merangsang timbulnya sel-sel kanker melalui nikotin dikandung dalam darah 20 3) Menghindari pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran karena mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker 4) Menghidari pemakaian bedak pada vagina 5) Melakukan diet rendah lemak. Lemak memproduksi hormon estrogen, sementara endometrium yang sering terpapar hormon estrogen mudah berubah sifat menjadi kanker 6) Memenuhi kebutuhan vitamin C (buah dan sayur-sayuran) (Diananda, 2007) d. Pedoman Untuk Pencegahan Kanker Serviks dan Deteksi Dini Kanker Serviks The American Cancer Society (2014) merekomendasikan bahwa wanita mengikuti panduan ini untuk membantu mendeteksi kanker serviks secara dini. Berikut panduan ini juga dapat mendeteksi pra kanker yang dapat diobati untuk menjaga kanker serviks dari pembentukan. 1) Semua wanita harus mulai menguji kanker serviks (screening) pada usia 21-29 tahun. Harus mengikuti tes pap smear setiap 3 tahun. Pengujian HPV tidak boleh digunakan untuk screening pada kelompok diusia dini (dapat digunakan sebagai bagian dari tindak lanjut untuk tes pap smear yang abnormal) 2) Dimulai pada usia 30 tahun, cara yang lebih disukai untuk deteksi adalah dengan tes pap smear dikombinasikan dengn HPV menguji setiap 5 tahun sekali sampai usia 65 tahun. 21 3) Pilihan lain utuk wanita usia 30-65 tahun adalah setiap 3 tahun untuk mengikuti tes pap smear 4) Wanita yang berisiko kanker serviks karena sistem kekebalan tubuh (infeksi HIV, transpalantasi organ, atau penggunaan steroid jangka panjang) atau karena terkena DES dalam rahim mungkin perlu diperiksa lebih sering dan harus mengikuti rekomendasi dari tim perawatan kesehatan. 5) Wanita diatas 65 tahun yang telah memiliki skrining rutin dalam 10 tahun sebelumnya harus menghentikan skrining kanker serviks selama belum memiliki pra kanker seperti Cervical Intraepithel Neoplasm 2 dan 3 (CIN 2 atau CIN 3) ditemukan dalam 20 tahun terakhir. Wanita dengan riwayat CIN2 atau CIN3 harus tetap untuk megikuti tes untuk setidaknya 20 tahun setelah kelainan ditemukan. 6) Wanita yang telah dilakukan histerektomi total (pengangkatan rahim dan leher rahim) harus berhenti skrining (seperti tes pap smear dan tes HPV), kecuali histerektomi itu dilakukan sebagai pengobatan untuk serviks pra kanker atau kanker. Wanita yang telah menjalani histerektomi tanpa pengangkatan serviks disebut histerektomi supraserviks harus terus skrining kanker serviks sesuai dengan pedoman diatas. 7) Wanita dari segala usia tidak harus disaring setiap tahun dengan metode skrining 8) Wanita yang telah divaksinasi terhadap HPV masih harus mengikuti panduan ini. 22 7. Faktor Risiko Kanker Serviks Menurut American Cancer Society (2014) faktor risiko adalah sesuatu yang mengubah kesempatan untuk mendapatkan penyakit seperti kanker. Beberapa faktor risiko meningkatkan untuk terjadinya kanker serviks. Wanita tanpa faktor risiko jarang terkena kanker serviks. Beberapa faktor risiko meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan kanker serviks. Wanita tanpa faktor risiko ini tidak mengembangkan penyakit ini. Dalam faktor-faktor risiko hal ini membantu untuk fokus pada mereka yang dapat mengubah atau menghindari seperti merokok atau HPV, dari mereka yang tidak bisa dihindari seperti usia dan riwayat keluarga. Itu merupakan masalah penting meskipun untuk mengetahui faktor risiko yang tidak bisa diubah, karena itu lebih penting bagi wanita yang memiliki faktor-faktor risiko ini untuk mendapatkan tes Pap Smear untuk mendeteksi dini kanker serviks. Faktor risiko kanker serviks meliputi : a. Human Papilloma Virus (HPV) Menurut American Cancer Society (2014) bahwa faktor risiko terpenting untuk kanker serviks adalah infeksi oleh Human Papilloma Viru (HPV). HPV adalah sekelompok lebih dari 150 virus yang berhubungan, beberapa diantaranyan menyebabkan jenis pertumbuhan disebut papilloma, yang lebih dikenal sebagai kutil. HPV dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit, dan orang-orang yang melapisi alat kelamin, anus, mulut dan tenggorokan, tapi bukan darah atau organ seperti jantung atau paruparu. HPV dapat menyebar dari satu orang ke orang lain selama kontak kulit ke kulit. Salah satu cara penyebaran HPV adalah melalui hubungan seks, 23 termasuk vagina, anal dan bahkan seks ora. Berbagai jenis HPV menyebabkan kutil pada bagian tubuh yang berbeda. Beberapa jenis menyebabkan kulit pada tangan dan kaki. Jenis lain cenderung menyebabkan kutil pada bibir atau lidah. Bebetapa jenis HPV dapat menyebabkan kutil muncul pada sekitar daerah organ genital dan anal. Kutil ini mungkin hampir tidak terlihat atau hanya beberapa inci. Ini dikenal sebaga kutil kelamin atau kondiloma akuminata. HPV 6 dan HPV 11 adalah 2 jenis HPV yang menyebabkan sebagian besar kasus kutil kelamin. Ini disebut jenis risiko rendah HPV karena mereka jarang dikaitkan dengan kanker serviks. Jenis lain dari HPV risiko tinggi karena sangat terkait dengan kanker, termasuk kanker serviks, vulva, dan vagina pada wanita, kanker penis pada pria dan anal, kanker mulut pada pria dan wanita. Jenis risiko tinggi termasuk HPV 16, HPV 18, HPV 31, HPV 33, dan HPV 45. Infeksi HPV adalah umum, dan pada kebanyakan orang tubuh mampu membersihkan infeksi dengan sendirinya. Bagaimanapun infeksi tidak pergi dan menjadi kronis. Infeksi kronis terutama ketika itu adalah dengan jenis HPV risiko tinggi, dapat menyebabkan kanker tertentu seperti kanker serviks. Meskipun HPV dapat menyebar selama seksual termasuk hubungan seksual vagina, anal dan oral seksual. Infeksi HPV tampaknya dapat menyebar dari satu bagian tubuh yang lain misalnya infeksi dapat dimulai di leher rahim dan kemudian menyebar ke vagina. Tes pap smear adalah mencari perubahan sel serviks yang disebabkan oleh infeksi HPV. Tes lain mencari infeksi sendiri dengan mencari gen (DNA) dari HPV dalam sel. Untuk beberapa wanita, tes HPV digunakan bersamaan dengan 24 tes pap smear sebagai bagian dari skrining. Tes HPV juga dapat digunakan untuk membantu memutuskan apa yang harus dilakukan ketika seorang wanita memiliki hasil tes pap smear yang abnrmal ringan. Jika tes menemukan jenis risiko tinggi HPV, itu bisa berarti ia akan membutuhkan evaluasi penuh dengan kolposkopi. American Cancer Society (2014) menyatakan bahwa Infeksi Human Papillomavirus (HPV) telah diketahui sebagai penyebab kanker serviks. Wanita yang terinfeksi HPV lebih mudah dan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi lesi prakanker dibandingkan dengan wanita HPV negatif pada usia yang sama. Berbagai faktor atau faktor penentu yang terkait dengan kanker serviks dapat dilihat dengan menggunakan model Lalonde (1974). Hal ini termasuk biologi, gaya hidup, lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan. gender dan penentu politik sering mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan. HPV termasuk agen biologis adalah penentu utama dan penyebab terjadinya kanker serviks (Kolawole, 2008). b. Determinan Biologi 1) Perempuan Kanker serviks adalah keganasan perempuan. Anatomi perempuan dan berbagai perubahan yang terjadi dalam seumur hidup membuat kemungkinan terjadinya kanker leher rahim. Serviks sebagai bagian paling bawah dari rahim ditutupi dengan epitel yang mengalami perubahan yang berbeda sebagai perempuan yang tumbuh dewasa. Itu adalah bagian dari rahim dalam kontak dengan cairan vagina dan air 25 mani. Squamo Columnar Junction (SCJ) serviks mengalami metaplasia selama masa remaja dan merupakan target Human Papiloma Virus (HPV). Sehingga infeksi HPV serviks terjadi pada banyak wanita segera setelah mulai hubungan seksual maka terdapat hubungan antara kanker serviks dan awal coitus (Kolawole, 2008). 2) Faktor Pria Hal ini telah menyarankan bahwa serviks yang sering terpapar prostaglandin dengan banyaknya air mani dapat berkontribusi untuk transformasi sel maligna terinfeksi Human Papiloma Virus (HPV). Kanker serviks biasanya pada pasangan pria yang tidak disunat mungkin karena smegma di bawah kulup menguntungkan untuk terkena Human Papiloma Virus (HPV) dan Infeksi Menular Seksual lainnya. Suami dari wanita dengan kanker serviks juga lebih mungkin untuk memiliki kanker penis yang juga berhubungan dengan infeksi Human Papiloma Virus (HPV). Terkait antara pria yang disunat dan kanker serviks di Nigeria belum dieksplorasi lebih lanjut (Kolawole, 2008). 3) Faktor Genetik Tampaknya ada beberapa faktor genetik sebagai penyebab kanker serviks sebagai penyakit dapat terjadi dalam keluarga. Mungkin terdapat risiko 2-3 kali lebih tinggi jika ibu atau saudara perempuan memiliki penyakit kanker serviks. Hal ini mungkin karena ketidakmampuan genetik untuk membersihkan Human Papiloma Virus (HPV) atau kesamaan dalam faktor gaya hidup dan lingkungan (Kolawole, 2008) 4) Usia 26 Bertambahnya usia adalah sebagai penentu kanker serviks. penyakit ini sering terjadi pada wanita antara 4 dan 5 dekade. Studi dari Zaria-Nigeria, menemukan usia rata-rata wanita yang didiagnosis dengan kanker serviks menjadi 43 tahun dan antara 48 tahun (Abdul et al.2006 dan Adewuyi et al. 2008). Hal ini memungkinkan periode laten dari 1015 tahun antara paparan Human Papiloma Virus (HPV) setelah perilaku seksual dan perkembangan kanker serviks. Insiden penyakit pra kanker dan kanker serviks invasif meningkat setelah usia 30 tahun. Di Ibadan, Nigeria, meskipun prevalensi HPV memuncak di usia 25 tahun, akan bertahan di usia yang lebih tua yang mungkin menjelaskan tingginya insiden kanker serviks pada wanita jauh lebih tua 5) Paritas Data yang dikumpulkan dari penelitian kasus-kontrol pada penelitian kanker serviks menunjukkan bahwa wanita dengan tiga atau empat kehamilan penuh berisiko 2,6 kali lebih tinggi terkena kanker serviks dibandingkan wanita yang melahirkan tujuh kali atau lebih berisiko 3,8 kali. Alasan fisiologi dari hubungan ini belum diketahui dengan jelas, tetapi terdapat kemungkinan adanya faktor hormonal yang terkait dengan kehamilan atau trauma serviks pada saat melahirkan (Munoz et al. 2002). c. Agen Biologis Lainnya 1) Infeksi Menular Seksual Kehadiran Infeksi Seksual Menular lainnya terutama yang ulseratif seperti chancroid dan yang viral seperti Herpes Simplex Virus (HSV), HIV dianggap sebagai ko-faktor dalam angiogenesis kanker dan ada peningkatan 27 terkait dalam Infeksi Menular Seksual. Ini mungkin karena perilaku seksual menjadi perancu atau kemampuan terbatas untuk membersihkan Human Papiloma Virus (HPV). Terdapat prevalensi lebih tinggi dari HPV pada HSV pada wanita positif. Prevalensi antibodi anti HSV adalah 61,3% di Ibadan, Nigeria dan memiliki antibodi anti HSV memiliki OR sebesar 1,6 untuk HPV (Kolawole, 2008). 2) HIV Sifat yang tepat dari interaksi antara HIV, displasia serviks dan kanker serviks belum ditentukan. Namun, perempuan HIV positif memiliki insiden yang lebih tinggi dari kelainan Pap smear termasuk perubahan prakanker (Nappi, 2005). Meskipun kanker serviks invasif ditambahkan sebagai penyakit mendefinisikan AIDS oleh Pusat pengendalian penyakit di Atlanta pada tahun 1993, saat ini sedang ditantang karena kurangnya bukti yang kuat. Namun meta analisis ditemukan Odds Ratio (OR) untuk neoplasia serviks (CN=Cervical Neoplasia) dari 8,8 pada perempuan HIV positif dibandingkan dengan 5.0 pada perempuan HIV negatif. Terdapat interaksi jelas yang bergantung dosis ketika orang-orang dengan jumlah CD4 dipelajari kurang dari 200. Mekanisme yang disarankan untuk peran sebagai kofaktor mungkin untuk HIV pada neoplasia serviks termasuk HIV mempromosikan efek onkogenik HPV sehingga mengarah ke kegigihan infeksi HPV, replikasi yang lebih tinggi dan perkembangan meningkat. interaksi molekul antara HIV 1 'protein tat' dan Onkoprotein HPV juga dapat menyebabkan perkembangan (Chirenje, 2005). d. Determinan Gaya Hidup (Lifestyle) 28 Kanker serviks sebagai penyakit menular seksual dipengaruhi oleh gaya hidup, kebiasaan dan perilaku seksual. 1) Usia Pertama Kali Melakukan Hubungan Seksual Dimulainya awal aktivitas seksual terutama pada masa remaja dikaitkan dengan risiko lebih besar terkena kanker serviks karena kerentanan terhadap infeksi HPV (Ogunbode et al. 2005). Usia pertama kali melakukan seksual sebelum 18 atau 20 tahun adalah sebagaii determinan untuk terjadinya kanker serviks di kemudian hari (Kjaer et al. 2005 dan Vaccarella et al. 2006) Dalam International Agency for Research on Cancer (2005) disebutkan bahwa risiko terjadinya kanker serviks juga tinggi pada kalangan wanita yang menikah usia muda. Hubungan ini terkait dengan aspek lain dari perilkau seks seperti jumlah pasangan seks dan usia saat pertama kali melakukan hubungan seks. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa usia pertama kali melakukan hubungan seks erat kaitannya dengan kejadian kanker serviks (Singh dan Badaya, 2012). Meningkatnya risiko kanker serviks karena melakukan hubungan seks pada usia muda mungkin karena pengaruh hormon steroid terhadap infeksi HPV dan respons daya tahan tubuh penjamu terhadap HPV selama masa pra remaja dan remaja. Zona transformasi dari epitel serviks telah dikenal sebagai tempat dimana infeksi HPV cenderung menyebabkan kanker, dan kerentanan area ini dipercaya terkait dengan denudasinya dari epitel yang berlapis (stratified ephitelium), sehingga lapisan basal mudah terpapar terhadap HPV hanya dengan trauma yang kecil. Ketidakmatangan 29 secara biologis pada usia remaja juga ditunjukkan sebagai sebuah faktor kerentanan tambahan. Selama masa remaja dan kehamilan, serviks terpapar terhadap level-level perubahan hormon yang meningkat (Singer dan Monaghan, 2000). Penyebab peningkatan risiko terpapar HPV diduga karena faktor predisposisi biologi dari leher rahim yang belum matang selama masa remaja mungkin lebih rentan terhadap infeksi persisten HPV yang menyebabkan risiko untuk berkembangnya sel-sel kanker lebih besar. Louie et al (2009), menyimpulkan bahwa ketidakmatangan serviks secara biologis mencirikan sub populasi remaja perempuan dengan CIN dan dapat meningkatkan kerentanan epitel serviks terhadap HPV serta perubahan neoplastik. Puncak dari transmisi infeksi HPV biasanya terjadi di awal tahun pertama setelah dimulainya hubungan seks, karena infeksi HPV sangat mudah menular dan endemik (Rodriguez et al., 2010). Wanita yang melakukan hubungan seks pertama kali usia ≤ 17 tahun berisiko 2-3 kali untuk terkena kanker dibandingkan dengan yang berhubungan seks usia ≥ 20 tahun. Louie et al. (2010) melalui suatu analisa studi kasus kontrol tentang kanker serviks di 9 negara berkembang dengan jumlah 1.864 kasus dan 1.719 kontrol menyimpulkan bahwa wanita yang melakukan hubungan seks sewaktu usia muda merupakan faktor risiko untuk terpapar kanekr serviks janis karsinoma sel skuamosa ataupun adenokarsinoma. 30 2) Jumlah Pasangan Seksual Menurut International Collaboration of Epidemiological Studies of Cervical Cancer (2006), bahwa mempunyai pasangan seksual lebih dari satu orang merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kanker serviks. Berkembangnya kanker serviks erat hubungannya dengan perilaku seksual. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat lebih dari 10 kali bagi perempuan yang mempunyai pasangan seksual 6 orang ataupun lebih. Wanita memiliki banyak pasangan seks yang rentan terhadap HPV dan kanker serviks. Hal ini adalah karena lebih sering terpapar berbagai varian virus (Appleby et al. 2007). Pasangan dari pria yang telah memiliki pasangan berganda baik sebelum atau selama pernikahan saat ini juga dapat meningkatkan risiko kanker serviks (Hammoude et al. 2005). 3) Seks yang Tidak Aman Seks yang tidak aman merupakan penentu infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan kanker serviks. Penggunaan kondom menawarkan perlindungan parsial terhadap penularan Human Papilloma Virus (HPV) genital. Perlindungan parsial karena virus dapat ditumpahkan dari daerah yang tidak tercakup oleh kondom. Namun, beberapa wanita dengan Cervical Intraepithelial Neoplasm (CIN) memiliki regresi lebih spontan ketika pasangan mereka menggunakan kondom (Winer et al. 2006). Penggunaan kondom yang benar dan konsisten telah dikaitkan dengan perlindungan 70% terhadap Human Papilloma Virus (HPV) dan insiden lebih rendah dari kanker serviks. Pengaruh kondom dan spermisida pada kanker serviks meningkat dengan durasi penggunaan. Namun, terlepas dari kampanye 31 penggunaan kondom di Nigeria, hanya 47% pria dan 23% wanita dilaporkan kondom digunakan selama 'seks berisiko tinggi' dalam satu tahun terakhir, dan alasan untuk non digunakan meliputi berkurang kesenangan, ketidaknyamanan dan biaya. penggunaan rendah ini dapat menyebabkan insiden yang lebih tinggi dari HIV dan IMS lain yang dapat mempermudah infeksi HPV (Kolawole, 2008). 4) Kontrasepsi Oral Para peneliti menduga bahwa terdapat potensi hubungan jangka panjang antara penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang dengan perkembangan dari kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker serviks sampai dengan empat kali pada wanita yang terinfeksi HPV (Moreno et al, 2002 dan Naggar, 2014). Beberapa penelitian dari University Of Maryland Medical Center (UMMC) (2015), menunjukkan bahwa hormon dalam kontrasepsi oral membantu virus memasuki materi genetik dari sel-sel rahim. Perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral kurang untuk menggunakan diafragma, kondom, atau metode lain yang dapat membantu mengurangii risiko penularan HPV dan penyakit menular seksual lainnya. 5) Merokok Merokok mempunyai hubungan yang kuat dengan perkembangan lesi prakanker dan kanker. Merokok telah diidentifikasi secara konsisten sebagai kofaktor lingkungan yang mempengaruhi risiko kanker serviks. Penelitian menunjukkan bahwa wanita merokok berisiko dua kali terkena 32 kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok (Szarewski and Cuzki, 1998 dalam Naggar, 2014). e. Determinan Lingkungan Kanker serviks dipengaruhi oleh sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan fisik. itu biasa adalah Sub Sahara afrika (SSA), Amerika Latin dan Asia daripada Eropa dan Amerika. Hal ini mungkin karena faktor sosial ekonomi dan ketersediaan program skrining daripada iklim fisik. Negara dengan pendapatan yang tinggi memiliki prevalensi angka sama tinggi sekitar satu abad lalu sebelum timbulnya program skrining kanker serviks. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam distribusi HPV di seluruh benua, varian HPV 16 dari yang ditemukan di SSA dan Asia dianggap lebih ganas yang mengarah ke penyakit yang lebih agresif selama masa inkubasi lebih pendek. juga tinggal di daerah pedesaan untuk sebagian besar hidup seseorang secara mengejutkan dikaitkan dengan OR 4,9 di Algiers mungkin karena kemiskinan, manutrition atau kebersihan (Hamouda et al. 2005) 1) Higiene Genetalia Kebersihan gentalia pada alat kelamin perempuan merupakan perawatan diri pada organ eksterna yang terdiri dari mons veneris, labia mayora, klitoris, uretra, vagina, perineum dan anus (Uliyah, 2009). Menjaga kebersihan vagina dimulai dari memperhatikan kebersihan diri. Di Indonesia merupakan daerah yang beriklmi tropis. Udara panas dan lembab sering membuat banyak keringat. Dibagian tubuh yag tertutup dan lipatanlipatan kulit, seperti daerah alat kelamin. Kondisi ini menyebabkan 33 mikroorganisme jahat terutama jamur mudah berkembang biak, yang akhirnya bisa menimbulkan infeksi. Cara pemeliharaan alat reproduksi secara umum antara lain : 1) Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari 2) Membersihkan kotoran yang keluar dari alat kelamin dan anus dengan air atau kertas pembersih (tisu). Gerakan cara membersihkan anus pada wanita adalah dari vagina ke arah anus untuk mencegah kotoran dari anus masuk ke vagina 3) Tidak menggunakan air yang kotor untuk mencuci vagina 4) Dianjurkan untuk mencukur atau merapikan rambut kemaluan karena bisa ditumbuhi jamur atau kutu yang dapat menimbulkan rasa gatal dan tidak nyaman 5) Tidak menggunakan celana dalam yang terlalu ketat 6) Penggunaan pembilas vagina secukupnya, tidak berlebihan (Kusmiran, 2012). Secara umum menjaga kesehatan berawal dari menjaga kebersihan. Hal ini berlaku bagi kesehatan organ-organ seksual termasuk vagina. Berikut adalah cara membersihkan alat kelamin wanita (Manuaba, 2009 dan Kusmiran, 2012): 1) Secara teratur bersihkan bekas keringat yang ada disekitar alat kelamin dengan air bersih, lebih baik air hangat, dan sabun lembut terutama setelah buang air besar dan buang air kecil. Cara membasuh alat kelamin wanita yang benar adalah dari arah depan (vagina) ke belakang (anus). Jangan terbalik karena bakteri yang ada disekitar anus bisa 34 terbawa kedalam vagina. Setelah dibersihkan gunakan handuk bersih atau tisu kering untuk mengeringkannya. 2) Hati-hati ketika menggunakan kamar mandi umum, apabila akan menggunaka kloset duduk maka siramlah terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya penularan penyakit menular seksual. Bakteri, kuman, dan jamur bisa menempel di kloset yang sebelumnya digunakan oleh penderita penyakt menular seksual. 3) Tidak perlu sering menggunakan sabun khusus pembersih vagina. Vagina sendiri sudah mempunyai mekanisme alami untuk mempertahankan keasamannya. Keseringan menggunakan sabun khusus ini justru akan mematikan bakteri baik dan memicu berkembangnya bakteri jahat yang dapat menyebabkan infeksi. 4) Jangan sering menggunakan pantyliner. Gunakan pantyliner sesuai dengan kebutuhan, artinya ketika mengalami keputihan yang banyak sekali. Dan gunakan pantyliner yang tidak berparfum untuk mencegah iritasi. Sering-sering mengganti pantyliner saat keputihan. 5) Kebersihan daerah kewanitaan juga bisa dijaga dengan sering mengganti pakaian dalam dua kali sehari, untuk menjaga vagina dari kelembaban yang berlebihan 6) Bahan celana dalam yang baik harus menyerap keringat, misalnya katun. Hindari memakai celana dalam atau celana jeans yang ketat, kulit jadi susah bernafas dan akhirnya menyebabkan daerah kewanitaan menjadi lembab, berkeringat dan mudah menjadi tempat berkembang biak jamur yang dapat 35 menimbulkan iritasi. Infeksi sering terjadi akibat celana dalam yang tidak bersih. 7) Haid merupakan mekanisme tubuh untuk membuang darah kotor. Waktu haid, sering ganti pembalut karena pembalut juga menyimpan bakteri kalau lama tidak diganti. Bila dipermukaan pembalut sudah ada segumpal darah haid meskipun sedikit, sebaiknya segera mengganti pembalut. Gumpalan darah haid yang ada dipermukaan pembalut menjadi tempat sangat baik untuk perkembangan bakteri dan jamur. Oleh karena itu gantilah pembalut setiap kali terasa basah atau sekitar tiga jam sekali. a) Pembalut Wanita Pembalut wanita merupakan benda yang sangat vital bahkan telah menjadi kebutuhan pokok bagi kaum hawa ketika sedang menstruasi. Kongres Amerika H.R. 890 tahun 1999 menyatakan bahwa zat dioxin dan serat sintesis ditemukan pada pembalut wanita dan produksi sejenis yang lain berisiko tinggi terhadap kesehatan wanita termasuk kanker serviks. Zat dioxin dapat meresap ke dalam rahim apabila darah haid jatuh ke atas permukaan pembalut wanita yang akan dilepaskan melalui proses penguapan. Pembalut yang mengandung zat dioxin bercampur darah menstruasi yang tidak steril menyentuh permukaan vagina akan dihisap kedalam rahim. Selanjutnya bersama aliran darah terbawa menuju ke organ-organ tubuh yang lain (Syatriani, 2011). Salah satu penyebab wanita terjangkit infeksi vagina antara lain peggunaan pembalut yang tidak berkualitas. Kebanyakan produsen 36 pembalut wanita menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit pada sistem reproduksi wanita, seperti dismenorea (menstruasi yang sakit). Pembalut adalah produk sekali pakai sehingga para produsen mendaur ulang bahan baku kertas pulp dan menjadikannya bahan dasar untuk menghemat biaya produksi. Banyak bahan kimia yang digunakan dalam proses daur ulang untuk proses sterilisasi pada kertas bekas dan pemutih sehingga banyak mengandung zat dioxin yang lebih berbahaya seperti arsinekum. Dioxin mempercepat proses perkembangan semua jenis kanker, khususnya pada wanita. Kondisi ini menyebabkan gangguan terhadap organ reproduksi wanita (Syatriani, 2011). b) Penggunaan Sabun Kebiasaan mencuci vagina dengan antiseptik berupa obat cuci vagina dan deodoran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan vagina atau alasan lain dapat meningkatkan risiko kanker. Pemilihan cairan pembersih juga harus diperhatikan dengan memilih pembersih khusus area kewanitaan yang kadar pH-nya 3-4 dan ada izin dari Departemen Kesehatan. Hindari pembersih kewanitaan karena akan mengakibatkan kulit kelamin menjadi keriput dan mematikan bakteri yang mendiami vagina. Iritasi yang berlebihan dan terlalu sering dapat merangsang perubahan sel yang berakhir dengan kejadian kanker. Pencucian vagina menggunakan bahan kimia dengan kadar pH yang tidak cocok sebaiknya tidak dilakukan secara rutin, kecuali jika ada indikasi misalnya infeksi yang memerlukan pencucuian dengan zat-zat kimia 37 yang disarankan oleh dokter. Pembersih tersebut dapat membunuh kuman termasuk Bacillus doderlain di vagina yang memproduksi asam laktat untuk mempertahankan pH vagina (Syatriani, 2011 dan Sogukpmar et al. 2013). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mckee et al. (2009) yang berjudul vaginal hygiene and douching bahwa praktek douching dibentuk oleh norma-norma sosial dan budaya tentang kesehatan perempuan, reproduksi dan seksualitas. Douching merupakan bagian dari seperangakat praktek kebersihan dengan alasan untuk merasa bersih dan segar, pencegahan atau pengobatan infeksi. 2) Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya (Sediaoetama, 2010). Status gizi adalah kekebalan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi 3 jenis yaitu status gizi kurang, status gizi baik dan status gizi lebih (Almatsier, 2004). Status gizi adalah ekspresi dalam keadaan seimbang dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, 2007). Menurut Kolawole (2008) bahwa kekurangan beberapa zat meningkatkan risiko kanker serviks, melalui pengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Studi berdasarkan banyak populasi telah menyarankan bahwa makan makanan yang kaya folat (vitamin B9), vitamin A, beta karoten, selenium, vitamin E, dan vitamin C dari buah-buahan dan sayuran 38 dapat melindungi terhadap kanker serviks dan tingkat rendah dalam sel darah merah dan jaringan mungkin berhubungan Menurut Al-Naggar dalam bukunya Principles and Practice of Cancer Prevention and Control pada pasien obesitas tidak hanya meningkatkan risiko mengembangkan kanker, tetapi kematian mereka juga meningkatkan Body Mass Index (BMI). Obesitas telah diidentifikasi sebagai risiko untuk beberapa kanker termasuk kanker endometrium dan kanker payudar, usus besar dan rektum, esofagus, ginjal, pankreas, empedu, ovarium, serviks dan hati. 3) Determinan Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi yang rendah diketahui sebagai faktor risiko dari berbagai permasalahan kesehatan, termasuk kanker serviks. Wanita dengan status sosial rendah biasanya mempunyai pendapatan yang terbatas akses pelayanan kesehatan terbatas, gizi buruk dan tingkat kesadaran yang rendah tentang masalah kesehatan dan perilaku pencegahan. Faktor-faktor ini membuat mereka lebih mudah sakit dan tidak dapat menghindari penyakit-penyakit yang bisa dicegah, misalnya kanker serviks (Dos Santos Silva dan Beral, 1997 dalam Naggar, 2014). 4) Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan sosial budaya mempengaruhi gaya hidup dan perilaku seksual secara global. Terdapat beberapa variasi dalam prevalensi kanker serviks mungkin karena kebiasaan yang berlaku di berbagai daerah. Umumnya, kanker serviks telah menjadi kanker yang paling umum pada wanita di Nigeria. Namun di bagian selatan, sering kedua kanker payudara. 39 Usia pertama kali melakukan hubungan seksualny yang rendah di Nigeria dan tergantung pada budaya. Tingkat melek huruf yang lebih tinggi di Selatan Nigeria di mana anak perempuan juga cenderung untuk menyalin gaya hidup barat termasuk praktek seksual. di Utara, ada budaya Islam yang bisa dibilang berhubungan dengan status yang lebih rendah dari perempuan, tingkat melek huruf perempuan yang rendah dan pernikahan dini setelah Utara yang predominants (Advameg, 2007). Gadis-gadis yang menikah sebelum atau sesudah menarche sekitar 12-13 tahun dan biasanya untuk pria yang lebih tua. Oleh karena itu para wanita memiliki umur lebih lama seksual dan beresiko terkena Human Papilloma Virus (HPV) dan IMS lainnya dari mitra lebih berpengalaman dalam pernikahan. Poligami secara otomatis menyamakan dengan banyak pasangan seks yang merupakan penentu yang signifikan dari kanker serviks (Hammouda et al. 2005). Poligami adalah umum terutama di kalangan muslim. Kejadian perselingkuhan juga mungkin setinggi 11% (Mitsunaga et al. 2005). Hanya 15,6% wanita di Ibadan percaya suami mereka tidak pernah selingkuh. Hal ini meningkatkan risiko IMS dan kanker serviks, karena beberapa urusan ini dengan pekerja seks perempuan (Hammouda, 2005). Budaya mendorong kebebasan seksual tak terbatas untuk laki-laki, sementara mengharapkan perempuan untuk setia kepada mitra. (Mitsunaga et al. 2005). Meningkatkan frekuensi perceraian dan perkawinan ulang yang besarbesaran juga umum di Nigeria dapat terjadinya kanker serviks. Kebiasaan tertentu seperti jendela warisan; ketika seorang janda yang menikah dengan hubungan almarhum suaminya juga berisiko terjadinya 40 kanker serviks. Praktek 'berbagi pasangan' ketika seorang istri diperbolehkan untuk tidur dengan pengunjung dekat suaminya, dapat meningkatkan risik dari IMS (Kolawole, 2008). f. Pendidikan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 13 jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkarya pengetahuan yang diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka atau melalui jarak jauh. 1) Pendidikan Formal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 14 menyatakan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. a) Pendidikan Dasar Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 17 Pendidikan dasar meliputi : Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Seolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau yang sederajat. 41 b) Pendidikan Menengah Beradasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 18 pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. c) Perguruan Tinggi Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 19 pndidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi. 2) Pendidikan Nonformal Beradasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagaian besar penderita kanker serviks adalah berpendidikan rendah. Mungkin hal ini dapat dihubungkan dengan faktor sosial ekonomi 42 yang rendah pula yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perkawinan usia muda. Perkawinan usia muda berarti kemungkinan untuk mendapatkan faktor predisposisi semakin besar. Usia pertama kali koitus yang masih sangat muda meningkatkan kemungkinan terjadinya neoplasia intraepithelial serviks (Cervical Intraepithalial Neoplasia = CIN). Sperma yang pertama kali mengenai serviks mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya keganasan (Coppleson et al, 1976). Insiden kanker serviks telah terbukti lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah, dan orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung untuk didiagnosis dan harus patuh terhadap pengobatan. Self management merupakan komponen penting dari perawatann kanker serviks. Kepatuhan terhadap pengobatan terkait dengan pendidikan, mungkin dimediasi melalui tingkat penalaran yang lebih tinggi (WHO, 2011). g. Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota keluarga rumah tangga, mencakup gaji, upah dan pendapatan pensiunan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 225/KEP/2015 Tentang Upah Minimum Kabupaten/ Kota tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan pendapatan Kota Yogyakarta berdasarkan UMK adalah Rp. 1.452.400. Determinan sosial seperti penghasilan secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi kesehatan secara umum. Penentu ini membentuk 43 satu set posisi sosial ekonomi dalam hirarki kekuasaan, prestise, dan akses ke sumber daya. Posisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku, faktor resiko, status psikososial, kondisi hidup dan sistem kesehatan (WHO, 2011). Prevalensi dan insiden kanker serviks berhubungan dengan posisi sosial ekonomi dalam negara. Menurut Ernster (1999) status sosial ekonomi dan faktor rasial menentukan paparan lingkungan, faktor risiko perilaku, penggunaan perawatan kesehatan, dan sesuai dengan cara hidup yang dianjurkan, yang semuanta akan mempengaruhi etiologi dan prognosis penyakit. Penghasilan adalah indikator posisi sosial ekonomi yang langsung mengukur komponen dumber daya material. Pendapatan bukan merupakan variabel tunggal akan tetapi merupakan komponen yang terdiri dari: gaji, bonus, hobi, pemeliharaan anak, pembayaran, dan pendapatan lain (CSDH, 2007; Solar dan Irwin, 2010). Pendapatan yang lebih tinggi dan akumulasi kesejahteraan membuat seseorang lebih mampu untuk membayar iuran asuransi dan obat-obatan, untuk membeli makanan yang lebih bergizi, untuk mendapatkan kualitas perawata anak yang lebih baik dan untuk hidup di lingkungan dengan sumberdaya yang mendukung sekolah yang baik dan fasilitas rekreasi. Sebaliknya, ekonomi yang terbatas berarti membuat kehidupan sehari-hari penuh perjuangan, hanya menyisakan waktu sedikit untuk gaya hidup sehat dan mengurangi motivasi (Braveman et al, 2011) Faktor pendapatan berkaitan dengan gizi dan imunitas. Golongan pendapatan rendah memiliki kuantitas dan kualitas makanan kurang dan ini 44 mempengaruhi imunitas tubuh. Kelompok berpenghasilan rendah biasanya kurang terakses dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas termasuk pemeriksaan pap smear yang seharusnya dilakukan para wanita usia 35 tahun keatas. Wanita berpenghasilan rendah biasanya tidak memperhatikan status gizi dan imunitas. Penghasilan sangat berpengaruh terhadap kejadian kanker serviks. Para wanita yang berpenghasilan rendah tidak mampu membeli pembalut wanita yang berkualitas tinggi atau sabun pencuci vagina yang aman bagi kesehatan (Syatriani, 2011). h. Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Lingkungan yang sanitasinya buruk akan berdampak buruk pula bagi kesehatan. Berbagai jenis penyakit dapat muncul karena lingkungan yang bersanitasi buruk menjadi symber berbagai jenis penyakit (Kasnodiharjo, 2013). Sanitasi lingkungan rumah adalah prinsip-prinsip usaha untuk meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan : sanitasi air, sanitasi makanan, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vector dan binatang pengerat serta hygiene perumahan dan halaman (Riyadi, 1984). 1) Faktor lingkungan (Fisik, Biologis dan Lingkungan Sosial) Lingkungan fisik, biologis maupun sosial perlu diperhatikan dalam membangun rumah. Rumah di daerah pantai atau dataran rendah 45 sebaiknya dibuat agar terhindar dari banjir. Langit-langit rumah dibuat lebih tinggi dan lebih banyak ventilasi udara untuk mengurangi panas. Di daerah dataran tinggi atau di pegunungan, rumah sebaiknya dibuat agar ruangan dalam lebih hangat. Rumah di daerah rawan gempa juga perlu disesuaikan agar tidak mudah roboh. Bagi rumah yang dekat dengan hutan, dibuat agar aman dari serangan binatang buas. 2) Tingkat Kemampuan Ekonomi a) Bahan Bangunan Bahan bangunan tidak selalu harus mahal untuk memenuhi persyaratan kesehatan. Bahkan di daerah pedesaan banyak alternatif bahan bangunan yang murah seperti bambu dan kayu lokal. (1) Lantai Lantai sebaikna dari ubin, keramk atau semen agar tidak lembab dan tidak menimbulkan genangan atau kebecekan serta debu dibandingkan jika berlantaikan tanah. (2) Dinding Dinding rumah sebaiknya dibuat dari tembok, tetapi dengan ventilasi yang cukup. Sebenarnya di daerah tropis yang lebih cocok adalah bambu atau papan agar lubang-lubang pada dinding atau papan dapat berfungsi sebagai fentilasi (3) Atap genteng Atap genteng banyak dipakai oleh penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Disamping atap genteng cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan 46 bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikia, ada penduduk yang tidak mampu untuk membelinya, sehingga dapat diganti dengan atap daun rumbai atau daun kelapa dengan risiko lebih mudah terbakar. Sejumlah wilayah di Indonesia, atap seng biasa dipakai. Atap tersebut seng kurang cocok dipakai di daerah tropis karena dapat menimbulkan suhu panas di dalam rumah. b) Ventilasi Rumah yang sehat harus memungkinkan pertukaran udara dengan luar rumah. Karena itu, rumah harus dilengkapi dengan ventilasi yang cukup. Ada dua macam ventilasi yaitu : (1) Ventilasi Alamiah Ventilasi yang dibuat dalam bentuk lubang udara yang memungkinkan udara keluar atau masuk secara alamiah. Ventilasi ini memiliki keuntungan yaitu tanpa menggunakan alat untuk mengalirkan udara, sehingga bisa menghemat penggunaan energi. Namun, ventilasi alamiah ini merupakan jalan masuk nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu, sebaiknya tutup dengan ram kawat yang agak rapat. (2) Ventilasi Buatan Alat-alat khusus untuk mengalirkan udara, misalnya kipas angin, dan mesin penghisap udara. Selain tidak hemat energi, ventilasi jenis ini harus dijaga agar udara tidak berhenti atau membalik lagi. 47 c) Cahaya Rumah yang harus dibangun harus dirancang agar cahaya dapat masuk kedalam rumah dalam jumlah yang cukup. Jika ruangan dalam rumah kurang cahaya, maka udara dalam ruangan akan emnajdi media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. d) Luas Bangunan Rumah Rumah yang sehat juga harus memperhatikan kepadatan penghuninya. Selain tidak nyaman, rumah yang jumlah penghuninya tidak sebanding dengan luas rumah juga tidak sehat, baik secara fisik maupun sosial. Setiap orang yang tinggal dalam rumah membuthkan O2 yang cukup. Jika penghuni terlalu banyak, maka kebutuhan O2 tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan setiap penghuni secara sehat. Selain itu, rumah yang terlalu padat (over crowded) lebih memungkinkan terjadinya penularan berbagai jenis penyakit. Karena itu, luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. e) Fasilitas-fasilitas di dalam Rumah Sehat (1) Penyediaan Air Bersih Air merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, baik untuk minum, mandi maupun mencuci. Rumah yang sehat harus didukung oleh ketersediaan air bersih yang dalam jumlah yang cukup. Air yang tidak bersih dapat menimbulkan berbagai 48 penyakit karena dapat menjadi tempah tumpuh berkembangnya bakteri. (2) Pembuangan Tinja Setiap rumah sebaiknya memiliki pembuangan tinja masing-masing. Tempat pembuangan tinja yang dipakai secara bersama-sama oleh banyak keluarga dapat menimbulkan penularan berbagai penyakit. Tempat pembuangan tinja dibuat dari bahan yang mudah meloloskan tinja dan harus selalu bersih atau terawat. (3) Pembuangan Air Limbah (Air Bekas) Setiap penghuni pasti menggunakan air untuk berbagai keperluannya. Sebagai akan menjadi air limbah yang dibuang ke lingkungan. Pembuangan air limbah menjadi sangat penting, bukan hanya karena alasan bau dan pemandangan yang tidak sedap, tetapi karena air limbah sangat berbahaya bagi kesehatan. Karena itu, air limbah diupayakan dibuang pada saluran dan tempat pembuangan yang tertutup. (4) Pembuangan Sampah Seperti halnya air limbah, pembuangan sampah menjadi penting untuk diperhatikan karena alasan kesehatan, kenyamanan dan estetika. Tempat pembuangan sampah diupayakan agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah dijangkau serta tertutup agar tidak berkembangnya berbagai penyebab penyakit. menjadi tempat 49 (5) Fasilitas Dapur dan Ruang Keluarga Dapur dalam rumah merupakan fasilitas penting dan perlu diperhatikan pemeliharannya. Biasanay sampah dan sisasia makanan berada di dapur. Kondisi ini mengundang berbagai binatang yang dapat menjadi vektor berbagai jenis penyakit seperti tikus dan kecoa. Tempat memasak atau dapur yang bergabung dengan ruangan lainnya sangat tidak sehat karena asap limbah lainnya akan langsung mempengaruhi kesehatan dan kenayamanan penghuninya. (6) Sistem Pembuangan Air limbah adalah air kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada. Air limbah tersebut harus terlebih dahulu diolah sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan air limbah dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup terhadap pencemaran air limbah tersebut. Dalam batas tertentu sebenarnya lingkungan mampu menetralisir limbah atau melakukan pemurnian kembali. Namu, jika limbah yang dibuang ke lingkungan jumlahnya besar dan mengandung bahan-bahan pencemar berbahaya dan beracun, maka lingkungan tidak akan mampu melakukan pemurnian kembali (self purification). 50 f) Halaman Rumah Halaman rumah, selain diatat secara estetis, juga perlu memperhatikan persyaratan kesehatan. Halaman rumah yang tidak sehat dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: (1) Halaman rumah harus selalu kering dan rata, artinya mempunyai pengairan air (drainage) yang baik (2) Halaman rumah harus dilakukan perkerasan dengan baik, tidak berdebu (musim kemarau) dan tidak becek (musim hujan). Perkerasan halaman harus tetap ramah lingkungan artinya dapat dibuat sumur resepan, tanam, dan dapat meresapkan air hujan (3) Halaman ditanami rumput yang selalu dipotong pendek dan sebagian ditanami pohon rindang (4) Adanya pagar rumah dari tembol atau tumbuh-tumbuhan untuk mencegah terjadinya kecelakaan (5) Halaman rumah terlihat bersih dari segala jenis sampah (6) Adanya bak penampung air, resapan air, dan saluran drainase air hujan untuk emnunjang kebersihan, kesehatan, dan konservasi air tanah. Menurut Gunawan (2009), rumah sehat ialah tempat kediaman suatu keluarga yang lengkap berdiri sendiri, cukup awet, dan cukup kuat konstruksinya. Selain itu juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 51 a) Tersedia jumlah kamar/ruang yang cukup dengan luas lantai dan isi yang cukup besar, agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya untuk melakukan kegiatan hidup b) Memiliki tata letak ruangan yang baik agar memudahkan komunikasi dan perhubungan antar ruangan didalam rumah dapat lancar, tetapi juga menjamin kebebasan dan kerahasiaan pribadi masing-masing penghuni. c) Memiliki persediaan air bersih yang cukup banyak untuk diminum dan digunakan dalam pemeliharaan kebersihan penghuni serta seluruh rumah d) Tersedia perlengkapan untuk pembuangan air hujan, air kotor, sampah dan kotoran lain dengan cara memenuhi syarat-syarat kesehatan e) Konstruksi atap rumah yang cukup rapat dan tidak bocor f) Konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering, agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu, juga dapat menghindari kelembaban air tanah naik ke lantai. g) Terdapat ventilasi yang baik, agar pertukaran udara dapat berjalan dengan lancar dan selalu tersedia udara yang bersih dan sehat di dalam rumah h) Terdapat penerangan alami dan/ atau penerangan buatan yang cukup terang . 52 3) Sanitasi Lingkungan dan Kesehatan Kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku, keturunan. Lingkungan yang tidak sehat atau sanitasinya tidak terjaga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan yang minim atau sulit dijangkau dapat menularkan penyakitnya pada yang lain. Perilaku hidup yang tidak sehat seperti membuang sampah sembaranag, tidak mencuci tangan sebelum atau sesudah makan, buang air besar atau kecil dimana saja, mencuci atau mandi dengan air yang kotor merupakan perilaku yang dapat mengundang berjangkitnya berbagai jenis penyakit. Kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor keturunan karena sebagian dari penyakit diturunkan dari orang tuanya (Kasnodiharjo, 2013). Lingkungan dapat berperan menjadi penyebab langsung, sebagai faktor yang berpengaruh dalam menunjang terjangkitnya penyakit, sebagai medium transmisi penyakit dan sebagai faktor yang mempengaruhi perjalan penyakit. Udara yang tercemar secara langsung dapat mengganggu sistem pernapasan, air minum yang tidak bersih secara langsung dapat membuat sakit perut dan lain-lain. Udara yang lembab dapat berpengaruh dalam menunjang terjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan terkait erat dengan penyakit berbasis lingkungan, dimana kecenderungannya semakin meningkat akhir-akhir ini. Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih merupakan penyebab utama kematian di Indonesia . 53 Human Papilloma Virus dapat terjadi di lingkungan yang tidak bersih, sehingga lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan manusia karena berbagai faktor penyebab penyakit dipengaruhi oleh lingkungan. Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan terutama sarana air bersih (Kasnodiharjo, 2013). C. Penelitian yang Relevan 1. Mwaka et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Social, demographic, and healthcare factors associated with stage at diagnosis of cervical cancer: cross-sectional study in a tertiary hospital in in North Uganda”. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa pasien dan kesehatan dasar dan diagnosis pada wanita dengan diagnosis kanker serviks di Uganda Utara dengan maksud mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan stadium lanjut untuk menginformasikan dan meningkatkan kelangsungan hidup dari kanker serviks pada berpenghasilan rendah dan negara-negara berpenghasilan menengah. Desain yang digunakan cross sectional. Hasilnya adalah pada faktor sosial demografi, responden dengan pendidikan menengah dan tinggi tidak memungkinkan untuk didagnosis kanker serviks, dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pendidikan formal (OR=0.16 (95%, CI 0.03-0.87). Setelah disesuaikan dengan usia, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, kemungkinan kanker stadiun lanjut antara pasien dengan memiliki jumlah anak 509 adalah 0.27 (96% CI 0.08-0.96) kali kemungkinan kanker stadium lanjut antara perempuan dengan jumlah anak kurang dari 4. Pada faktor sosial ekonomi, pasien dengan pendapatan rendah memiliki alasan untuk tidak 54 memeriksakan diri ketenaga kesehatan lebih mungkin didiagnosis pada tahap kanker stadium lanjut 5.7 kali (95% CI 1,58-20.64). Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mwaka et al (2016) adalah pada variabel sosial demografi yaitu tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yaitu tingkat pendapatan. Perbedaannya adalah variabel sanitasi lingkungan, higine genetalia, jumlah pasangan seksual, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, kontrasepsi oral, nutrisi, analisis yang digunakan dan tempat penelitian. 2. Poorolajal dan Jenabi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “ The association between BMI and cervical cancer risk: a meta-analysis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara BMI dan kanker serviks. Meta analisis dilakukan untuk memperkirakan hubungan antara kelebihan berat badan dan obesitas dan risiko kanker serviks. Data independen diekstraksi dan dianalisis menggunakan odd rasio dan interval kepercayaan 95% (CI), pada dasar acak efek. Hasil dari kasus kontrol dan kohort, hubungan antara kanker serviks dan kelebihan berat badan diperkirakan masing-masing 1.03 (95% CI: 0.81, 1.25) dan 1.10 (95% CI: 1.03, 1.17). Menurut hasil kasus kontrol dan kohort, hubungan antara kanker serviks dan obesitas masing-masing adalah 1.40 (95% CI: 1.08, 1.71) dan 1.08 995% CI: 0.60, 1.52). tidak ada bukti heterogenitas dan pulikasi bias diamati. Temuan dari meta analisis ini menunjukkan bahwa kelebihan berat badan tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker serviks, namun obesitas yang lemah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Namun lebih banyak bukti, berdasarkan penelitian kohort prospektif besar, 55 diperlukan untuk memberikan bukti konklusif pada apakah atau tidak BMI dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Poorolajal dan Jenabi (2015) adalah pada variabel status gizi yang di ukur dari Body Mass Index (BMI) dan desain kasus kontrol yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel sanitasi lingkugan, higine gentalia, pedidikan, pendapatan, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, kontrasepsi oral dan analisis data dan tempat penelitian. 3. Lopez dan Hernandez (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Epidemiology Association Between Body Fat Percentage and Cervical Cancer; A Cross-sectional population-based survey of Mexico. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai langkah antopometrik sebagai faktor risiko potensial untuk kanker serviks. Analsisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian ini adalah prevalensi kanker serviks meningkat dari 514 (95% CI 321, 707) dan 680 (95% CI 494, 866) untuk 732 (95% CI 535, 928) per 100.000 penduduk pada subyek dengan berat badan normal, subyek kelebihan berat badan dan obesitas. Selain itu hubungan antara kanker serviks dan BFP (OR 1.027; CI 1.006, 1.048; p= 0.012) dan risiko meningkat dengan BFP ≥ 45% (OR 2.369; CI 95% 1.284, 4.369; p=0.006). Data ini menunjukkan tren antara indeks massa tubuh dan peningktan prevalensi kanker serviks. Selain itu data menunjukkan hubungan yang signifikan antara BFP dan kanker serviks, dan hubungan epidemiologi ini lebih tinggi sebagai meningkatnya BFP. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez dan 56 Herandez (2013) adalah pada status gizi yang dilihat dari Body Fat Percentage (BFP). Perbedaannya adalah variabel pendidikan, pendapatan, sanitasi lingkungan, higine genetalia, usia pertama melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan kontrasepsi oral. Analisis yang digunakan berbeda dan tempat penelitian yang berbeda. 4. Louie et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Early age at first sexual intercourse and early pregnancy are risk factors for cervical cancer in developing countries”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan kejadian kanker serviks invasif. Analisis terhadap penelitian yang dilakukan di 9 negara berkembang dengan 1864 kasus dan 1719 kontrol. Hasilnya adalah risiko untuk kejadian kanker serviks invasif pada wanita yang melakukan hubungan seks pertama kali dan hamil pertama kali pada usia ≤ 16 tahun dibandingkan dengan wanita yang melakukannya pada usia ≥ 20 tahun adalah 2,4 kali lipat. Penelitian ini memakai rancangan kasus kontrol, variabel yang diteliti adalah usia pertama hubungan seksual, paritas, penggunaan oral kontrasepsi, merokok, jumlah pasangan seksual, pendidikan dan riwayat pap smear. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Louie et al (2009) adalah rancangan penelitian, variabel penelitian diantaranya usia pertama hubungan seksual dan pendidikan. Sedangkan perbedaannya adalah pada lokasi penelitian, variabel penggunaan oral kontrasepsi, pendapatan, jumlah pasangan seksual, status gizi, sanitasi lingkungan rumah. 57 5. Melva (2008) dalam penelitiannya ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Leher Rahim pada Penderita yang Datang Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan’. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor yang mempengaruhi terjadi kanker leher rahim dengan rancangan studi Cross Sectional terhadap penderita kanker leher rahim sebanyak 60 kasus dan 60 tidak menderita kanker leher rahim. Hasil penelitian menggunakan uji chi square bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara 4 faktor yang menentukan terjadinya kanker leher rahim : usia pertama hubungan seks (p=0.000), paritas (p=0.034), ganti pasangan (0=0.020), infeksi kelamin (p=0.000). Hasil anaisis multivariat melalui uji regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh usia pertama melakukan hubungan seksual (p=0.005; rasio prevalensi 2.3) infeksi kelamin (p=0.000; rasio prevalensi 2.5). persamaan penelitian ini dengan penelitian Melva (2008) adalah pada variabel usia pertama kali melakukan hubungan seksual dan jumlah pasangan seksual. Sedangkan n adalah lokasi penelitian, rancangan penelitian dan variabel yang lainnya seperti pendidikan, pendapatan, kontrasepsi oral, status gizi, higine genetalia, dan sanitasi lingkungan rumah. 6. Cooper et al.(2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Determinants of sexual activity and its relation to cervical cancer risk among South African Women”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas seksual pada wanita dewasa dan risiko kanker serviks di Afrika Selatan. Variabel yang digunakan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal dan risiko kanker serviks. Informasi tentang usia pertama kali seksual dan 58 jumlah pasangan seksual. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dimana terdapat 524 kasus dan 1541 kontro di Rumah Sakit. Analisis yang digunakan adalah regresi logistik ganda. Hasil penelitian ini adalah dimana usia rata-rata untuk melakukan hubungan seksual pertama kali yaitu pada usia 17 tahun dengan jumlah pasangan seksual masingmasing 2. Seksual dini pada usia 17 tahun dikaitkan dengan pendidikan yang rendah, meningkatnya jumlah pasangan dan penggunaan alkohol. Memiliki jumlah pasangan seksual yang lebih banyak dikaitkan dengan usia dini pada saat melakukan seksual, single, dan penggunaan alkohol. OR untuk usia pertama kali seksual <16 tahun dan ≥ 4 memiliki mitra seksual dan risiko terkena kanker serviks adalah masing-masing 1,6 (95% CI 1,22,2) dan 1,7 (95% CI 1,2-2,2). Dapat dikatakan bahwa status ekonomi sosial yang rendah, konsumsi alkohol, dan single, dapat meningkatkan aktivitas seksual pada wanita Afrika Selatan. Pendidikan memiliki efek rancu. Risiko kanker serviks berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Inisiatif untuk tidak melakukan seks pada usia dini dan membatasi jumlah mitra seksual akan memberikan dampak yang positif pada risiko kanker serviks dan infeksi menular lainnya. Persamaan penelitian ini dengan peneltian Cooper et al (2007) adalah variabel penelitian yaitu usia pertama hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan pendidikan, rancangan penelitian, dan analisis yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel pendapatan, sanitasi lingkungan, higine genetalia, kontrasepsi oral dan tempat penelitian. 7. Hammouda et al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Cervical Carcinoma in Algiers, Algeria ;Human Papillomavirus and Lifestyle Risk 59 Factors. Metode yang dilakukan kasus kontrol sebanyak 198 kasus karsinoma serviks dan 202 kontrol. Selain infeksi HPV, hubungan seksual diluar nikah (OR=4.8), suami yang berhubungan seksual dengan wanita lain atau wanita pekerja seksual (OR=3.2) dan indikator sanitasi lingkungan yang buruk atau kebersihan yang buruk (OR=4.9), adalah faktor terkuat untuk karsinoma serviks. Penggunaan kontrasepsi oral tidak berhubungan dengan dengan terjadinya karsinoma serviks, multiparitas muncul sebagai faktor risiko yang signifikan setelah penyesuaian untuk kebiasaan seksual. Intra Uterine Device (IUD) menunjukkan risiko yang rendah terjadinya karsinoma serviks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Hammouda et al (2005) adalah variabel penggunan kontrasepsi oral, sanitasi lingkungan atau kebersihan yang buruk dan metode kasus kontrol. Perbedaannya adalah tempat penelitian dan variabel pendidikan, pendapatan, jumlah pasangan seksual, dan usia pertama kali melakukan hubungan seksual. 8. Vaisy et al (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Risk of Cancer with Combined Oral Contraceptive Use among Iranian Women”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara kejadian kanker seviks dan payudara dan kontrasepsi oral dalam 128 pasien Iran dengan kanker serviks dan 235 dengan kanker payudara dan jumlah yang sama pada responden kontrol. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan sel terorganisir pertanyaan. Analisis data menggunakan t-test, chi square dan uji fisher’s exact dan analisis pearson’s correlation. Hasilnya adalah korelasi antara kedua kanker serviks dan kanker payudara dan riwayat 60 penggunaan kontrasepsi oral. Sementara kanker serviks secara signifikan berkorelasi dengan lama peggunaan pil, payudara memiliki korelasi yang signifikan dengan jenis kontrasepsi oral dan usia penggunaan pertama kali. Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara kedua jenis kanker dan usia pemberhentian kontrasepsi oral, penggunaan, dan interval dari penggunaan terakhir. Penggunaan kontrasepsi oral dapat tiga kali lipat terjadinya kanker serviks dan kanker payudara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Vaisy et al (2014) adalah pada variabel penggunaan kontrasepsi oral. Perbedaannya adalah pada variabel sanitasi lingkungan, pendidikan, pendapatan, status gizi, higine gentalia, jumlah pasangan seksual, usia pertama kali melakukan seksual, analisis data yang digunakan dan tempat penelitian. 9. Li et al (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Neighborhood deprivation and risk of cervical cancer morbidity and mortality: A multilevel analysis from Sweden. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ada hubungan antara lingkungan yang kurang dan morbiditas dan mortalitas kanker serviks diluar tingkat individu. Analisis yang digunakan regresi logistik dengan model multilevel dengan karakteristik individu pada level pertama (umur, status perkawinan, pendapatan keluarga, pendidikan, status imigrasi, perkotaan/pedesaan, mobiditas, paritas dan jumlah mitra hubungan seksual) dan pada level kedua yaitu tingkat lingkungan yang kurang. Hasil ada hubungan yang kuat antara tingkat lingkungan yang kurang dan morbiditas dan mortalitas kanker serviks. Dalam model penuh, yang mengambil akun karakteristik tingkat 61 individu dan risiko kanker serviks masing-masing 1.25 dan 1.36 pada lingkungan yang kurang. Antara variabel lingkungan adalah lebih dari dua kesalahan standar menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam morbiditas dan mortalitas kanker serviks antara lingkungan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2012) adalah pada level individu diantaranya ada pendapatan, pendidikan dan jumlah mitra seksual pada level kedua adalah lingkungan dan analisis multilevel yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel higine genitalia, usia pertama melakukan hubungan seksual, status gizi, dan penggunaan kontrasepsi oral. 10. Roura et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “The Influence of Hormonal Factors on the Risk of Developing Cervical Cancer and Pre Cancer Results from the Epic Cohort”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi secara prospektif hubungan antara faktor hormonal dan risiko perkembangan serviks intraepithelial neoplasma kelas 3 (CIN 3)/ karsinoma in situ (CIS) dan invasif kanker serviks (ICC). Metode yang dilakukan yaitu dengan studi kohort. Hasil analisis kohort menunjukkan bahwa jumlah kehamilan jangka penuh positif terkait dengan CIN3/ risiko CIS (P- trend=0,03). Durasi penggunaan kontrasepsi oral dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan dari kedua CIN3/ CIS dan ICC (HR = 0.5, 95% CI:0.4-0,8). Sebuah penurunan risiko tidak signifikan dari ICC dengan pernah menggunakan Intrauterine Device (IUD) ditemukan dalam analisis kasus kontrol (OR=).6). analisis dibatasi untuk semua kasus dan HPV kontrol seropositif menghasilkan hasil yang sama, mengungkapkan 62 hubungan terbalik yang signifikan dengan IUD untuk gabungan CIN3/CIS dan ICC (OR=0.7) D. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang berpengaruh pada kejadian penyakit kanker serviks sebagai berikut (Gambar 2.2) Pendidikan Ibu Sosial Budaya Pekerjaan Pendapatan Sanitasi Lingkungan Rumah Higine Genetalia Status Gizi Ibu Jumlah Pasangan seksual Perilaku Seksual Suami Usia pertama kali melakukan seksual Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) Pemakaian kontrasepsi oral Metaplasia Skuamosa Ketidakseimbangan Hormon Kanker Serviks Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Determinan Sosial Kanker Serviks Keterangan : --------------- : Tidak diteliti : Diteliti 63 E. Hipotesis 1. Ada pengaruh pendidikan terhadap terjadinya kanker serviks. Pendidikan yang tinggi akan mengurangi risiko terjadinya kanker serviks 2. Ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap terjadinya kanker serviks. Pendapatan keluarga yang tinggi akan mengurangi risiko terjadinya kanker serviks. 3. Ada pengaruh usia pertama kali melakukan hubungan seksual (<20) terhadap terjadinya kanker serviks. Usia pertama kali melakukan hubungan seksual lebih dari 20 tahun akan mengurangi terjadinya risko kanker serviks 4. Ada pengaruh jumlah pasangan seksual terhadap terjadinya kanker serviks. Jumlah pasangan seksual yang rendah akan mengurangi risiko terjadinya kanker serviks 5. Ada pengaruh pemakaian kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama dengan tejadinya kanker serviks. Pemakaian kontrasepsi oral kurang dari 5 tahun akan mengurangi terajdinya risiko kanker serviks 6. Ada pengaruh status gizi terhadap terjadinya kanker serviks. Status gizi yang baik akan mengurangi terjadinya kanker serviks 7. Ada pengaruh higine genitalia terhadap terjadinya kanker serviks. Kebersihan genetalia yang bersih akan mengurangi risiko terjadinya kanker serviks. 8. Ada pengaruh sanitasi lingkungan rumah terhadap terjadinya kanker serviks. Lingkungan yang bersih mengurangi risiko terjadinya kanker serviks