1 2 PENERAPAN ASAS LEX SPORTIVA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEDAULATAN NEGARA (Analisis Resolusi Terhadap Benturan Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia Dengan Federasi Olahraga Internasional Dalam Penyelenggaraan Olahraga) oleh: Slamet Riyanto, SH, MH.1 Abstract Conflict of authority between the Government and the international sports federations have led to various obstacles in promoting sports and general welfare. Therefore it is necessary that the application of Lex Sportiva in line with Indonesia's sport legal system, which is based on the national legal system of Indonesia. In this context, in the interests of promoting the general welfare through sport, the state can intervene strategically, limited, and the focus according to the capacity and competence, particularly on collateral availability of sports infrastructure to ensure that all citizens may exercise their fundamental rights to exercise (football) comfortably and safe, as well as the warranty and respected Lex Sportiva as the legal system of international sports federations and the part of transnational legal systems along these interventions to manage, organize and resolve disputes in a healthy sport. Keywords:Principles Lex Sportive, Legal System in Indonesia, State Sovereignty I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.2Berdasarkan tujuan negara di atas, Pemerintah wajib secara terus-menerus melakukan upaya untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam semangat mencerdaskan kehidupan bangsa.Upaya memajukan kesejahteraan umum ini juga harus dilakukan dalam suasana perdamaian dunia yang berkeadilan sosial.Dan untuk memajukan kesejahteraan umum ini negara berfungsi menciptakan syarat dan kondisi serta infrastruktur yang harus tersedia agar warganegaranya mempunyai akses yang cukup dalam menggapai aspek-aspek kesejahteraan sosial tersebut. Ada banyak tafsir mengenai makna kesejahteraan umum sebagaimana rumusan tujuan negara di atas.Salah satunya tafsir memajukan kesejahteraan umum adalah bahwa negara wajib mengupayakan tercapainya tujuan setiap pribadi manusia, 1 Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam AsSyafiiyah Jakarta. 2 Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 3 yaitu keserasian aspek rohaniah dan jasmaniah.3Keserasian aspek rohaniah dan jasmaniah ini bisa tercapai dengan berbagai langkah dan kegiatan, termasuk yang sangat penting adalah dengan berolahraga secara teratur.Oleh karena itu pada hampir semua masyarakat di dunia ini, termasuk di Indonesia, melakukan kegiatan olahraga sebagai salah cara menyeimbangkan kehidupan rohaniah dan jasmaniahnya. Semua bangsa mengakui bahwa olahraga merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam kehidupan manusia.Olahraga telah menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat semua bangsa dan negara.Negara yang masyarakatnya gemar berolahraga mempunyai kecenderungan berada pada tingkat kesejahteraan umum yang lebih baik.4 Hal ini banyak tercermin dari tingkat kesejahteraan negaranegara maju di benua Amerika, Eropa, Australia, dan sebagian negara-negara Asia yang masyarakatnya gemar berolahraga secara teratur. Bahkan dewasa ini prestasi olahraga suatu negara dapat dijadikan sebagai cermin maju mundurnya sebuah negara, sekaligus makmur tidaknya masyarakat negara bersangkutan. Di Indonesia, motto olahraga nasional yaitu “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, merupakan konsep nasional untuk mewujudkan secara nyata pembangunan manusia seutuhnya sekaligus menjadi konsep memajukan kesejahteraan umum.5 Di tingkat internasional olahraga juga berperan besar dalam membangun semangat kebangsaan masyarakat (nasionalisme) dan kedaulatan suatu negara. Melalui olahraga, seorang atlet akan berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan pertandingan pada level dunia sehingga dapat membawa harum nama negaranya. Kemenangan atlet dalam sebuah pertandingan internasional akan diikuti dengan pengibaran bendera negara tersebut dibarengi dengan nyanyian lagu kebangsaan yang merupakan simbol-simbol kedaulatan suatu negara. Saat ini kegiatan olahraga tidak hanya menjadi bagian rutinitas jasmani individu sehari-hari, melainkan telah menjadi sebuah industri yang menglobal. Berbagai cabang olahraga, baik yang berada dalam jalur amatir maupun jalur profesional,6 telah menyelenggarakan kompetisi tingkat dunia. Peserta kejuaraan bisa atlet individu (perorangan), kelompok (group), maupun tim(team) baik yang 3 Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta : Rajawali, 1982, hlm.87. 4 Toho Cholik Mutohir dan Ali Maksum, Sport Development Index : Alaternatif baru Mengukur Kemajuan Pembangunan Bidang Olahraga (Konsep, Metodologi, dan Aplikasi), Jakarta: Penerbit Indeks, 2007, hlm. 5. 5 Singgih D. Gunarsa, Olahraga dan Pembangunan Manusia Indonesia, Makalah Seminar Sistem Keolahragaan Nasional, FPOK Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 2 Pebruari 2005. 6 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan pengertian bahwa olahraga amatir adalah olahraga yang dilakukan atas dasar kecintaan atau kegemaran berolahraga, sedangkan olahraga profesional diartikan sebagai olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga. 4 mewakili negara,klub, maupun perorangan.Cabang-cabang olahraga sepakbola, bola basket, tennis, bulutangkis, dan golf adalah contoh beberapa cabang olahraga yang secara rutin dan teratur menyelenggarakan kompetisi-kompetisi tingkat dunia. Khusus untuk cabang olahraga sepakbola perkembangannya luar biasa cepat dan sangat mencengangkan.Sepakbola telah menjadi sebuah kekuatan sosial yang sangat dahsyat yang mempengaruhi sendi-sendi dan tatanan masyarakat dan negara.Federation Internationale de Football Association (FIFA) sebagai induk organisasi sepakbola internasional telah berhasil mengorganisasikan dan membangun jembatan antar negara-negara anggotanya menjadi komunitas dunia tanpa dibatasi oleh batas-batas administrasi negara (boderless)7melalui kegiatan sepakbola. FIFA telah berhasil menyelenggarakan beragam kompetisi, seperti Piala Dunia dengan peserta tim sepakbola antar negara (FIFA World Cup), Piala Konfederasi dengan peserta tim sepakbola antar federasi benua (FIFA Confederation Cup), dan Piala Dunia Antar Klub dengan peserta pemenang masing-masing kejuaraan antar klub benua (FIFA Club World Cup). Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia (a global society) tidak luput dari imbas globalisiasi olahraga. Selain masuk dalam jaringan kompetisi cabang olahraga internasional karena menjadi anggota federasi internasional suatu cabang olahraga, Indonesia juga menjadi target jaringan konsumen penikmat kompetisi dunia tersebut. Siaran-siaran mengenai kompetisi sepakbola (English Premier League, Espanol Premier League, Bundesliga, Champion & Europe League, World Cup), bola basket (NBA), tenis (grandslam, ATP Master), bulu tangkis (All England, Kejuaraan Dunia, Master Series), maupun golf (Series Master) banyak mendominasi tayangan televis nasional dan menyedot puluhan juta pemirsa.Efek dari bergulirnya kompetisi cabang-cabang olahraga ini adalah perguliran roda ekonomi serta efek domino peningkatan kesejahteraan umum, terutama terhadap public interest, public opportunity, dan public infrastructure.8 Mereka adalah individu atau kelompok yang terlibat dalam kompetisi cabang olahraga seperti atlet, pelatih, pengurus dan pengelola klub, pelaku usaha/ pengelola stadion/fasilitas olahraga, pendukung (fans), supporter, pelaku usaha merchandise, serta pihak-pihak lain yang terkait. Kini olahraga tidak sekedar sebagai pertandingan dan menang-kalah di lapangan, tidak sekedar mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan ketika memenangkan pertandingan, tetapi memastikan bahwa olahraga menyenangkan semua umat manusia, membangun ekonomi dalam rangka 7 Hinca IP Panjaitan, Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA, Bagaimana Mendudukan Masalah PSSI dan Negara (Pemerintah Indonesia),Jakarta : Penerbit Gramedia, 2011, hlm. 1. 8 Ibid.hlm. 7. 5 memajukan kesejahteraan umum dan yang terpenting menciptakan perdamaian dunia.9 Sebagai upaya membangun sistem keolahragaan nasional yang kuat sekaligus antisipasi menggejalanya kegiatan olahraga secara global, Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Untuk melaksanakan undang-undang ini diterbitkan peraturan teknis berupa Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Olahraga. Kehadiran peraturanperaturan ini untuk sementara waktu dipandang sebagai cikal bakal Hukum Olahraga Nasional Indonesia10 yang dapat digunakan sebagai upaya membangun sistem keolahragaan nasional yang kuat terutama dalam menghadapi arus globalisasi olahraga. Meski demikian tidak sedikit kelompok yang memandang kehadiran peraturan perundang-undangan ini menimbulkan persoalan baru,yakni timbulnya dualisme pengaturan penyelenggaraan cabang olahraga.Kelompok ini dimotori oleh para pengurus induk organisasi cabang olahraga nasional, pengurus federasi internasional cabang olahraga, dan didukung oleh para ahli hukum olahraga (sport lawyer)yang dimotori oleh Hinca IP Panjaitan dari Indonesia Lex Sportiva Instituta Jakarta.11 Dalam kasus sepakbola Hinca bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa kehadiran Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional (selanjutnya disebut UU SKN) secara sadar dan tegas menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia melakukan intervensi atas penyelenggaraan sepakbola profesional di Indonesia12 yang secara nyata dilarang dalam Statuta FIFA.13 Persoalan dualisme ini timbul berkaitan dengan digunakannya secara mutlak hukum dan tata aturan federasi internasional cabang olahraga dalam 9 Hinca IP Panjaitan, Memperkenalkan Lex Sportiva Di Indonesia:Problema Dan Tantangan Dunia Olahraga di Indonesia dan Keterkaitannya Dengan Aspek Hukum, makalah Seminar Pembanguan Hukum Olahraga NasionalFakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2010. 10 Ibid. 11 Indonesia Lex Sportiva Intituta adalah pusat kajian lex sportiva yang didirikan oleh advokat Hinca IP Panjaitan di Jakarta pada tahun 2010 yang dimaksudkan sebagai wadah pengembangan hukum olahraga yang bertumpu pada azas lex sportiva. 12 Hinca IP Panjaitan, op. cit. 13 Lihat Statuta FIFA Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan “each member shall manage its affair independently and with no influences from third parties” dan ayat (2) yang menyatakan “a member’s bodies shall be either elected or appointed in that association. A member’s statutesshall provide for a procedure that guarantees the complete independence of the election or appointment”. 6 penyelenggaraan kompetisi cabang olahraga yang disebut sebagai lex sportiva.Secara sederhana Lex Sportiva dapat dirumuskan sebagai hukum yang khusus mengatur tentang olahraga yang dibentuk oleh institusi komunitas olahraga itu sendiri dan berlaku serta ditegakkan oleh lembaga olahraga itu sendiri tanpa intervensi dari hukum positip suatu negara dan tanpa intervensi dari hukum internasional.14Pada beberapa bagian dari tata aturan, lex sportivaini tegas-tegas menolak digunakannya hukum nasional suatu negara.Dalam penyelesaian sengketa antar unsur cabang olahraga mereka juga menolakcampur tangan atau intervensi pemerintah atau negara. Bahkan federasi internasional cabang olahraga ini tidak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada federasi nasional cabang olahraga dari negara peserta yang pemerintah atau negaranya melakukan campur tangan atau intervensi terhadap penyelenggaraan cabang olahraga ini. Peristiwa dijatuhkannya sanksi tidak boleh mengikuti kompetisi di tingkat dunia pernah dilakukan FIFA terhadap assosiasi sepakbola nasional Yunani, Albania, Iran, Ethiopia, Kuwait, Iraq, Polandia, Peru, dan Spanyol.Alasannya pemerintah negara-negara tersebut melakukan campur tangan terhadap asosiasi sepakbola nasionalnya yang menjadi anggotanya FIFA. FIFA menganggap dirinya adalah pemilik tunggal sepakbola di jagad raya dan karenanya berwenang penuh dan berkuasa serta berdaulat atas pengelolaan atas pengelolaa (mulai dari perencanaan dan pengaturan), penyelenggaraan, pengawasan serta pengendalian pertandingan sepakbola, termasuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pengelolaan dan pelaksanaan pertandingan sepakbola. FIFA merasa mempunyai sistem hukum sendiri dan berdaulat penuh, serta menyatakan dirinya tidak bisa (tidak mau) diintervensi oleh siapa pun termasuk oleh negara yang asosiasi sepakbolanya menjadi anggota FIFA.Bagi FIFA kewenangan negara hanya berwenang untuk menyediakan fasilitas dan infrastuktur sepakbola. Dalam konteks Indonesia, kehadiran peraturan perundang-undangan keolahragaan telah dimaknai oleh FIFA dan atau penganut lex sportiva di Indonesia sebagai bentuk campur tangan atau intervensi negara terhadap penyelenggaraan sepakbola yang menjadi kewenangannya, sehingga harus ditolak. Mereka berpandangan bahwa Hukum Olahraga Nasional Indonesia terpusat pada UU SKN dan ketiga Peraturan Pemerintahnya, dan peraturan perundang-undangan lainnya hanya boleh mengatur hal-hal yang berkaitan dengan olahraga dari sisi public interest-nya saja. Itupun dengan catatan bahwa norma-norma hukum dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia tersebut tidak mengintervensi terhadap Lex Sportiva.Jika 14 Ashari Setya, Otonomi Lex Sportiva Dikaitkan Dengan Suap Dalam Olahraga Di RUU KUHP, http://www. hukumpedia.com/1234abcd/otonomi-lex-sportiva-di-kaitkan-dengan-suapdalam-olahraga-di-ruu-kuhp, sebagai-mana telah dikutip dari http://www.lexsportiva.co.id/?lang&pagecontent&ids.6&id.29. 7 UU SKN dan peraturan perundang-undangan lainnya mengatur terlalu jauh dan masuk ke ranah lex sportiva, maka dapat dipastikan olahraga di Indonesia tidak diakui sebagai bagian dari olahraga internasional. Misalnya, jika Pemerintah Indonesia mencampuri urusan internal PSSI, maka dapat dipastikan PSSI akan dihukum oleh FIFA dengan mencoretnya sebagai anggota FIFA, dan akibatnya Tim Nasional Indonesia dan seluruh stakeholder sepakbola Indonesia tidak dapat berkiprah di jagat sepakbola profesional dunia. Dalam bentuk yang berbeda, dan dalam skala yang lebih kecil, sikap FIFA yang menolak campur tanganpemerintah hukum nasional suatu negara berpotensi untuk diikuti oleh beberapa federasi internasional cabang olahraga lainnya, misalnya IBF (International Badminton Federation), ATP (Assosciation Lawn Tennis Professional), danlain-lain yang secara rutin menyelenggaraan kompetisi. Penyebabnya tidak lain karena sistem keanggotaannya relatif sama dengan FIFA, sehingga norma-norma dalam statutanya relative juga sama. Sikap ini menyebabkan terjadinya benturan kewenangan antara negara disatu sisi dan federasi internasional cabang olahraga di sisi lain. Negara mempunyai kewajiban menegakkan kewenangannya dalam menjalankan hukum nasional sesuai kedaulatan yang dimilikiuntuk mewujudkan tujuan negara yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sementara di sisi lain federasi internasional cabang olahraga merasa memiliki kewenangan penuh atas penyelenggaraan cabang olahraga yang dipimpinnya sesuai statuta, bahkan merasa berdaulat atas federasi nasional cabang olahraga yang menjadi anggotanya.Benturan kewenangan ini harus diberikan solusi hukum yang tepat dan terarah.Di satu sisi Pemerintah harus diberi ruang untuk menjalankan kedaulatan negara dengan kewenangan melaksanakan amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum melalui penyelenggaraan olahraga. Sementara di sisi lain federasi olahraga internasional juga harus diberi ruang untuk melaksanakan kewenangannya melaksanakan, mengawasi, mengontrol, dan mengendalikan cabang olahraga yang dibinanya dan federasi nasional cabang olahraga yang menjadi anggotanya. Federasi olahraga internasional tidak boleh dibiarkan untuk menafsirkan sendiri kewenangannya terhadap sistem keolahragaan nasional yang tunduk pada sistem hukum nasional Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah pokok kajian ini adalah bagaimana penerapan asas lex sportiva dalam sistem hukum Indonesia dalam perspektif kedaulatan negara?Pokok kajian di atas dapat diperinci lebih lanjut dalam beberapa sub pokok masalah sebagai berikut : a. Bagaimana perwujudan kedaulatan negara melalui sistem keolahragaan nasional ? 8 b. Bagaimana benturankewenangan federasi cabang olahraga internasional dalam azas lex sportivadengan kewenangan Pemerintah Indonesia dalam sistem hukum Indonesia ? c. Bagaimana resolusi penerapan azas lex sportiva dalam sistem hukum Indonesia yang mampu mendukung kedaulatan negara? C. Metode Kajian Kajian ini mencoba menganalisis penerapan asas lex sportiva dalam sistem hukum Indonesia dalam perspektif kedaulatan negara. Kajian dilakukan dari sudut pandang hukum tata negara, khususnya berkaitan dengan benturan kewenangan federasi cabang olahraga internasional dalam azas lex sportivadengan kewenangan Pemerintah Indonesia dalam sistem hukum Indonesia dalam penyelenggaraan sistem keolahragaan nasional. Sifat penulisan makalah adalah deskriptif, dimana dilakukan penggambaran materi tulisan dalam bentuk pemaparan, disertai dengan dasar-dasar argumentasi hukum secara normatif. Data yang digunakan dalam pemaparan adalah data sekunder, yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder berupa buku teks, referensi, jurnal, hasil penelitian, serta tulisan-tulisan para ahli dan sarjana lainnya melalui studi kepustakan. Data pendukung lain diperoleh tulisan para ahli hukum dan stakeholder olahraga dari majalah, koran, serta e-magazine yang diakses dari internet. Data-data di atas dianalisis melalui metode analisis normati-kualitatif, dimana data-datayang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis secara kualitatif berdasarkan standar norma hukum dan aturan yang berlaku. II. SISTEM KEOLAHRAGAAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF KEDAULATAN NEGARA A. Penerapan Teori Kedaulatan Negara Dalam Penyelenggaraan Olahraga Sistem Keolahragaan Nasional berkaitan erat dengan kedaulatan negara. Keberhasilan suatu negara menata sistem keolahragaan nasional akan berpengaruh positif terhadap kedaulatan negara tersebut. Kemenangan atlet suatu negara dalam sebuah event kompetisi/pertandingan internasional akan menaikkan martabat negara tersebut karena upacara kemenangan itu ditandai dengan pengibaran bendera negara tersebut dibarengi dengan nyanyian lagu kebangsaan. Bendera dan lagu kebangsaan merupakan simbol-simbol kedaulatan suatu negara. Terkait dengan hal tersebut, maka pembahasan mengenai Sistem Keolahragaan Nasional tidak bisa dilepaskan dari pandangan teori kedaulatan negara dan negara kesejahteraan. Teori hukum tentang kedaulatan (souvereignity) erat kaitannya dengan aliran filsafat hukum positivisme.Karena itu teori kedaulatan ini banyak dibahas oleh para penggagas aliran positivisme seperti John Austin, HLA Hart, Hans 9 Kelsen, Friedman, dan Lon Fuller.15Aliran positivisme berpandangan perlunya memisahkan secara tegas antara moral dengan hukum atau antara hukum yang seharusnya dengan hukum yang berlaku. Dalam pandangan HLA Hart hukum tiada lain adalah perintah penguasa (law is command of the lawgivers)16. John Austin, tokoh utama aliran filsafat positivisme mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi suatu negara. Bagi Austin, hukum adalah perintah kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Hal yang penting bagi hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat, yakni negara, bagi tiap cita keadilan, karena hukum pada hakekatnya adalah “a rule laid down for guidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him”17 Kedaulatan (souvereignity) dalam arti sempitberarti kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.Sedangkan dalam arti luas kedaulatan adalah hak khusus untuk menjalankan kewenangan tertingi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang.18 Dalam pemahaman yang lebih kontekstual, Munir Fuady mendiskripsikan kedaulatan sebagai kekuasaan yang tertinggi, yangmengontroldan mengatur warganegara, mengatur apa yang menjadi tujuan dari suatu negara, mengatur berbagai aspek pemerintahan, dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk tetapi tidak terbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menetapkan dan menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak, menciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangai dan memberlakukan traktat, dan sebagainya.19 P.G. Osborn sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengatakan ada beberapa pendapat mengenai kedaulatan ini. Jean Bodin dalam bukunya De La Republique mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan yang absolut dan berkelanjutan dalam sebuah negara yang berada di atas hukum positif. Thomas Hobbes menyatakan dalam konsep kedaulatan terkandung makna “kemahakuasaan”. Sedangkan John Austin mengatakan bahwa orang atau badan atau pimpinan negara yang memiliki kedaulatan dapat membuat hukum positif yang akan diterapkan tergadap para anggota dari suatu masyarakat politik independen di bawah kekuasaan pemangku 15 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Penerbit Gramedia, 2002, hlm. 113. 16 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 35. 17 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 155. 18 M. Hanif Ariditya, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 27 Januari 2011. 19 Munir Fuady, Teori-Teori Besar ( Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta : Penerbit Kencana, 2013, hlm. 91. 10 kedaulatan tersebut. Dalam hal ini mayoritas dari masyarakat tersebut akan mematuhi kehendak dari pemangku kedaulatan yang bersangkutan.20 Sementara itu Lauddin Marsuni mengatakan kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.Dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara, kedaulatan negara dapat dirumuskan sebagai kemampuan suatu negara untuk menyelenggarakan kekuasaannya baik secara internal maupun secara eksternal sesuai konstitusi negara dan hukum internasional.21Karena berpijak pada kerangka konstitusi dan hukum Internasional, maka kedaulatan negara adalah ciri atau atribut hukum dari suatu negara.Kedaulatan Negara bersifat tunggal, asli dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun dan dari negara apapun atau negara dari benua apapun juga. Konstitusi negara dan hukum internasional mengajarkan dengan doktrin bahwa melanggar kedaulatan negara adalah kejahatan atau berarti perang, dan oleh sebab itu terhadap kedaulatan negara tidak ada tawar-menawar.22 Dalam konsep kedaulatan terkandung juga prinsip kewenangan (power), yakni suatu kebebasan (liberty), kekuasaan (authority), atau kemampuan (ability) yang dimiliki oleh seseorang atau sutau badan untuk melakukan suatu tindakan hukum yang dapat mengahasilkan suatu efek, kekuatan, paksaan, dominasi, dan control atas orang lain.23 Jean Bodinsebagaimana dikutip Marsuni mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, tidak bisa dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Kepala Negara, Pemerintah atau pemegang kekuasaan negara dapat berganti, tetapi kedaulatan negara kekuasaannya berlangsung terus tanpa terputus-putus.24 Senada dengan Bodin, Hobbes sebagaimana dikutip William Friedmann mengatakan kedaulatan memiliki empat sifat dasar, yaitu: (1) permanen, artinya kedaulatan itu tetap ada selama negara tetap berdiri; (2) asli, artinya kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi: (3) bulat, artinya kedaulatan kedaulatan itu tidak dapat dibagi-bagi, maksudnya bahwa kedaulatan itu merupakan satu-satunya kekuasaan yang tertinggi dalam negara; dan (4) tidak terbatas, artinya kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa-pun sebab apabila kedaulatan ini terbatas, tentu saja kedaulatan yang merupakan kekuasaan yang 20 Ibid. hlm.92. Lauddin Marsuni, Kedaulatan Negara, Harian Palopo Pos, 16 Maret 2015. 22 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan III : Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 224. 23 Munir Fuady, op.cit.hlm.93. 24 Lauddin Marsuni, op.cit. 21 11 tertinggi akan lenyap.25 Meski demikian, kedaulatan negara dasarnya tidak bersifat mutlak (absolut) karena ada sejumlah faktor lain yang membatasinya.26Menurut William Friedmann, salah satu aspek kedaulatan adalah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan,dandalam area itu undang-undang disamakan dengan hukum. Tidak ada batasan pada kekuasaan pembuat hukum dari kedaulatan.27 Dari berbagai pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa kedaulatan negara dapat diwujudkan melalui sistem hukum nasional yang dibangun di negara tersebut. Bagi Indonesia, kedaulatan negara dapat dimanifestasikan melalui sistem hukum nasional, yang antara lain bertumpu pada kemampuan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan secara efektif dan efisien. B. Sistem Keolahragaan Nasional Sebagai Perwujudan Kedaulatan Negara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) menyatakan bahwa Sistem Keolahragaan Nasional merupakan keseluruhan aspek keolahragaan yang saling terkait secara terencana, sistimatis, terpadu, dan berkelanjutan sebagai satu kesatuan yang meliputi pengaturan, pendidikan, pelatihan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan keolahragaan nasional.28Subsistem yang menjadi kesatuan sistem kelolahragaan nasional antara lain adalah pelaku olahraga, organisasi olahraga, dana olahraga, sarana dan prasarana olahraga, upaya dan peran serta masyarakat, dan penunjang keolahragaan termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan industri olahraga nasional yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak. Seluruh subsistem keolahragaan nasional ini diatur dengan memperhatikan keterkaitan dengan bidang-bidang lain serta upayaupaya yang sistematis dan berkelanjutan guna menghadapi tantangan subsistem antara lain, melalui peningkatan koordinasi antar lembaga yang menangani keolahragaan, pembinaan organisasi keolahragaan, pembinaan sumber daya manusia keolahragaan, pengembangan sarana dan prasarana, peningatan sumber dan pengelolaan pendanaan serta penataan sistem pembinaan olahraga secara menyeluruh.29 Menurut Pasal 2 dan Pasal 3 UU SKN, keolahragaan nasional diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berfungsi mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, dan sosial serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang 25 W. Friedmann, op.cit. 244-245. M. H. Ariditya, op.cit. 27 W. Friedmann, op. cit. hlm. 245. 28 Pasal 1 UU SKN 29 Penjelasan Umum UU SKN 26 12 bermartabat.30 Keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa.31 Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dinyatakan bahwa olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional sehingga keberadaan dan pembinaan olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional.32 Mengacu pada rumusan di atas, maka sistem keolahragaan nasional paling tidak mempunyai 2 (dua) titik singgung dengan kedaulatan negara. Titik singgung tersebut adalah : Pertama, tujuan keolahragaan nasional yang bersesuaian dengan hakekat kedaulatan negara, yakni memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Prestasi olahraga nasional diukur dari kemampuan segenap stakeholder olahraga dalam mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa dalam bingkai nilai-nilai sportifitas yang mendunia.Kedua, pada keberadaan dan pembinaan olahraga yang harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional. Prestasi olahraga dinyatakan berhasil apabila bersandar pada sistem hukum yang disusun oleh negara, bukan pada sistem hukum atau tata aturan yang dibuat oleh organisasi atau institusi di luar negara. III. BENTURAN KEWENANGAN ANTARA AZAS LEX SPORTIVA DENGAN SISTEM HUKUM NASIONAL INDONESIA A. Azas Lex Sportiva dan Kewenangan Federasi Olahraga Internasional Terhadap Cabang Olahraga Internasional Sebagai salah satu bentuk aktifitas manusia, olahraga memiliki karakter yang khas. Kekhasan olahraga adalah adanya seperangkat aturan yang disusun dan dipatuhi oleh komunitas suatu cabang olahraga sampai tingkat internasional.Karakter khusus olahraga tersebut telah menimbulkan isu hukum, yakni : hukum apakah yang mengatur olahraga termasuk organisasi olahraga internasional? Ada bermacam jawaban atas pertanyaan ini. Ada banyak juga perdebatan. Salah satu isu menarik terkait dengan pertanyaan itu adalah perdebatan konseptual para pakar hukum bidang olahraga ini mengenai penggunaan konsep lex sportiva. 30 Pasal 2 dan 3 UU SKN Pasal 4 UU SKN 32 Penjelasan Umum UU SKN 31 13 Secara sederhana Lex Sportiva dapat dirumuskan sebagai hukum yang khusus mengatur tentang olahraga yang dibentuk oleh institusi komunitas olahraga itu sendiri dan berlaku serta ditegakkan oleh lembaga olahraga itu sendiri tanpa intervensi dari hukum positip suatu negara dan tanpa intervensi dari hukum internasional.33 Dimitrios Panagiotopoulos menyatakan bahwa, “… Lex Sportiva is a legal order, which incorporates state-adopted law and the law adopted by the national and international bodies representing organized sport. These bodies operate to the standards of unions and in the context of the autonomy granted to such bodies and operate within states in a pyramid-like fashion and at international level in the form of a special relationship linking them to the relevant international sports federation. The law produced in this manner is thus a law which is, in essence, non-national law, which claims for itself direct and preferential application within sports legal orders and the par excellence law in sports life”.34 Dalam perdebatan akademis Lex Sportiva dipahami sebagai sebuah sistem hukum yang tidak berada dalam sistem hukum nasional dan juga tidak berada dalam sistem hukum internasional, tetapi memasuki wilayah sistem hukum transnasional.35Namun bukan berarti antara hukum nasional, hukum internasional dan hukum olahraga terpisah satu dengan yang lain, karena ketiganya saling berintegrasi satu dengan yang lain. Hukum Olahraga butuh Hukum Nasional, hukum Olahraga juga butuh Hukum Internasional.36 Sebagai contoh, dalam menjalankan suatu pertandingan, maka hukum nasional masuk di sana, seperti, keamanan, imigrasi, kesehatan, ketenagakerjaan dan sebagainya. Begitu juga hukum olahraga masih menggunakan hukum internasional, asas kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda dalam kontrak pemain dan asas hukum lainnya. Menurut Franck Latty sebagaimana dikutip Hinca Panjaitan, selain F Rigaux yang menggunakan ungkapan latin lex dalam meneliti aspek hukum olahraga, Th.Summerer juga telah melakukan studi dimana ia mengkualifikasikan anggaran dasar organisasi-organisasi olahraga internasional sebagai lex sportiva internationalis sui generis.37 33 Ashari Setya, Otonomi Lex Sportiva Dikaitkan Dengan Suap Dalam Olahraga Di RUU KUHP, http://www. hukumpedia.com/1234abcd/otonomi-lex-sportiva-di-kaitkan-dengan-suapdalam-olahraga-di-ruu-kuhp, sebagaimana telah dikutip dari http://www.lexsportiva.co.id/?lang&pagecontent&ids.6&id.29. 34 Ibid. 35 Hinca Panjaitan, Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA, Bagaimana Mendudukan Masalah PSSI dan Negara (Pemerintah Indonesia),Jakarta : Penerbit Gramedia, 2011, hlm.135. Lihat pula Hinca Panjaitan, hal. 135. Online book,http://books.google.com/books?id= t_tI6i6vDfcC&pg=PA135&lpg=PA135&dq=lex+sportiva+di+indonesia&source. 36 Ashari Setia, op.cit. 37 Ibid. 14 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lex Sportiva adalah peraturan yang dibuat oleh induk organisasi olahraga internasional seperti FIFA, FIBA, FINA, dan lain-lain.Bentuknya semacam AD/ART organisasi atau statuta organisasi,dimana setiap anggota harus tunduk terhadap AD/ART atau statutanya.Asas otonomi dalam olahraga ini misalnya dapat dilihat dalam Pasal 13 Statuta FIFA, yang menyatakan bahwa jika ada intervensi dari pihak ketiga, maka otomatis negara anggota akan di beri sanksi tegas oleh FIFA.38 Beberapa penulis menggunakan konsep lex sportiva dalam suatu cara superfisial untuk mendeskripsikan apa yang terjadi dengan globalisasi hukum olahraga. Menurut Foster, lex sportiva harus disamakan dengan global sports law. Secara garis besar dia memberikan pengertian pada global sports law sebagai suatu mantel penyelubung bagi diteruskannya pengaturan diri sendiri (selfregulation) oleh federasi-federasi olahraga internasional. Ini merupakan suatu klaim non-intervensi baik oleh sistem hukum nasional, maupun hukum internasional. Hal ini bertentangan dengan suatu rule of law dalam pengaturan olahraga internasional.Foster merasa penting untuk pertama-tama membedakan konsep internasional sports law. Hukum internasional berkaitan dengan hubungan antar negara. Karena itu international sports law dapat didefinisikan sebagai prinsip-prinsip hukum internasional yang di aplikasikan pada dunia olahraga.39 J.Najzingerdalam artikelnya berjudul Globalizing Sports Law40 mengemukakan pandangan senada. Dia memandang bahwa sebagai suatu proses otoritatif pembuat keputusan dan disiplin hukum, international sports law sebagai masalah hukum internasional dari hukum olahraga. Najzinger juga secara jelas melihat international sports law sebagai cabang dari hukum internasional. Dia menunjuk salah satu aspek utama dari international sports law adalah bahwa hukum tersebut menggunakan jus commune yang merupakan prinsip umum hukum internasional. Sebaliknya dengan global sports law yang oleh Foster didefinisikan sebagai suatu order hukum yang mandiri bersifat transnasional yang diciptakan oleh institusi-institusi global swasta (private global institutions) untuk mengatur 38 Pasal 13, StatutaFIFA. K. Foster, “Is There a Global Sports Law?” (2003: 21)dalam Entertainment and Sports Law Journal 1. Lihat pula Putera San Siro, Organisasi FIFA dan Hukum Olahraga,http://puterasansiro.blogspot.com/2012/07/blog-post.html, diakses 10 Maret 2015. Salah satu isu menarik terkait dengan pertanyaan itu adalah perdebatan konseptual para pakar hukum bidang olahraga ini mengenai penggunaan konsep International Sports Law dan Global Sport Law.Ken Foster, yang merupakan pemerhati masalah hukum dan dosen hukum di Universitas Warwick, dalam papernya yang berjudul “Is There A Global Law”, mengemukakan suatu perbedaan antara “International Sports Law” dan “Global Sports Law”. Menurut Foster, International Sports Law dapat diaplikasikan oleh pengadilan nasional. Sebaliknya, Global Sport Law secara implisit mengklaim kekebalan terhadap hukum nasional.39 40 J. Najzinger, “Globalizing Sports Law” (1999) hal 225, 227. Marquette Sports Law Journal 9, sebagaimana dikutip Putera San Siro, ibid. 39 15 olahraga internasional.Adapun karakter-karakter utamanya adalah:Pertama, aturan tersebut bersifat kontraktual yang kekuatan mengikatnya berasal dari perjanjianperjanjian yang diberikan kepada otoritas dan yurisdiksi federasi-federasi internasional.Kedua, ketentuan tersebut tidak tunduk pada dan diatur oleh hukum nasional. Seperti yang dikutip oleh Foster dari istilah Teubner, yang menyebutnya sebagai suatu global law without state.41 Ini merupakan aturan hukum mandiri terpisah dan mandiri secara global.Secara implisit hal ini mengandung pengertian bahwa federasi-federasi olahraga internasional tidak dapat diatur oleh pemerintahan dan pengadilan yurisdiksi hukum nasional. Mereka mengatur dirinya sendiri dan oleh institusi-institusi internalnya sendiri atau oleh institusiinstitusi eksternal yang mereka ciptakan. 42 Dalam praktiknya, pengaturan oleh federasi-federasi itu dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe, sebagaimana dikemukakan Foster, yakni: (Lex Ludica -The Rules of The Game (Aturan main), The Ethical Principles of Sport (Prinsip-prinsip Etika Olahraga), Lex Sportiva (Global Sport Law - Hukum Olahraga Global), dan International Sports Law (Hukum Olahraga Internasional)43.Hukum olahraga internasional ini mencakup prinsip-prinsip umum dari hukum yang secara otomatis berlaku pada olahraga, seperti; perlindungan dasar (basic protections) untuk due processdan hak-hak atas peradilan yang fair, dan hal-hal lain yang merepresentasikan adanya rule of law dalam olahraga. Sedangkan hukum olahraga global mencakup prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam aturan federasi olahraga internasional sebagai suatu private contractual order yang memiliki sifat pembedaan yang unik.44 Pergumulan pemikiran tentang konsep-konsep diatas membuat terbitnya tiga butir pemikiran dari beberapa pemikiran yang merupakan kesimpulan dari konferensi 12th International Congress on Sport Law yang diselenggarakan di Ljubljana, 2006 yang menyatakan:Pertama, Lex Sportiva merupakan suatu tatanan hukum berbentuk hukum yang diadopsi oleh badan-badan olahraga nasional dan internasional dan merupakan suatu isu penting bersifat fundamental bagi disiplin akademik bidang hukum olahraga.Kedua, hukum yang terkandung dalam aturanaturan Lex Sportiva sama sekali non-nasional, yang bersifat langsung, aplikasinya diutamakan dalam ketentuan-ketentuan hukum olahraga nasional dan merupakan hukum utama (primary laws) dunia olahragaKetiga, otonomi institusional dari federasi-federasi olahraga internasional dan masalah pengkajian legitimasi ketentuan-ketentuan Lex Sportiva dalam acuan rezim hukum dan badan-badan 41 GuntherTeubner, “Global Bukowina‟: Legal Pluralism in the World Society”, in Gunther Teubner (ed.) Global Law Without a State (Bookfield, Vermont: Dartmouth Publishing, 1997) at 23 sebagaimana dikutip Putera San Siro, ibid. 42 Ibid. 43 K. Foster,“Is There a Global Sports Law?”dalam Putera San siro., op.cit.hlm. 44 J.Najzinger,“Globalizing Sports Law” dalam Putera San Siro., op.cit. hlm. 133. 16 yang melakukan kajian merupakan masalah-masalah kunci dalam disiplin akademik hukum olahraga. Ketiga butir pemikiran tersebut dituangkan dengan maksud tujuan agar tidak adanya lagi tumpang tindih dalam penegakan peraturan di dalam dan di luar lapangan. Karena sering sekali terjadinya tumpang tindih dalam penegakan peraturan yang sesungguhnya bukan domain dari bagian hukum positif namun dilakukan, bahkan tidak jarang menimbulkan korban jiwa dengan alasan penegakan supremasi hukum tersebut. B. Benturan Kewenangan Antara Azas Lex Sportiva dengan Sistem Hukum Indonesia Titik singgung dalam sistem hukum yang menyentuh tata kelola keolahragaan nasional pada tiga ranah, yaitu sistem hukum nasional sebagai sistem hukum pertama, sistem hukum internasional sebagai sistem hukum kedua, dan sistem hukum transnasional sebagai sistem hukum ketiga. Ketiga sistem hukum ini saling bersentuhan dan seharus membentuk tautan yang erat sebagai satu kekuatan hukum plularis yang sejajar dan sederajat mewujudkan pengaturan dan pengelolaan keolahragaan nasional dan penyelesaiaan sengketa olahraga yang timbul di era globalsebagai salah satu sarana memajukan kesejahteraan umum. Namun berdasarkan pada uraian kewenangan pada dua sistem hukum di atas, maka jelas terlihat adanya benturan kewenangan dalam penyelenggaraan olahraga di Indonesia. Benturan kewenangan tersebut terjadi karena di satu sisi federasi olahraga internasional berpandangan, bahwa pengelolaan olahraga yang bersifat global mulai dari pengaturan, penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa olahraga di Indonesia merupakan kewenangan mutlak federasi olahraga internasional sebagai international society. Federasi olahraga internasional ini menyelanggarakan olahraga ini berdasarkan Lex Ludica (the Laws of the Game) dan mengorganisasikan olahraga berdasarkan sistem hukum sendiri berdasarkan statuta(Lex Sportiva) sebagai bagian dari sistem hukum transnasional.Federasi olahraga internasional menilai dengan mengatur sistem keolahragaan dalam UU SKN, berarti Pemerintah RI telah melakukan intervensi. Campur tangan inidinilai tidak hanya dilakukan secara strategis, terbatas dan fokus pada jaminan ketersediaan infrastruktur olahraga dan policy keolahargaan, melainkan sudah merupakan intervensi dalam arti campur tangan yang melampaui kompetensi dan kapasitasnya.45 Sementara di sisi lain Pemerintah Indonesia berdasarkan prinsip kedaulatan yang diperoleh dari negara berpandangan mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan olahraga di Indonesia karena berada di wilayah hukum Indonesia dalam batas-batas tidak melanggar hukum internasional.Hak ini 45 Hinca Panjaitan, Dalil-Dalil Disertasi, lampiran dalam Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA, op.cit. tanpa halaman. 17 dilaksanakan dalam kerangka sistem keolahragaan nasional yang diatur dalam UU SKN dan bergayut pada sistem hukum nasional. Beberapa contoh dapat diungkapkan benturan kewenangan Pemerintah dengan federasi olahraga internasional (FIFA) antara lain adalah : No. 1. 2. 3. Kewenangan Pemerintah Dalam UU SKN Pengelolaan olahraga dilakukan melalui mekanisme kewajiban melakukan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan yang menjadi domain dan kewenangan pemeriintah melalui BSANK Pengawasan dan pengendalian keolahragaan dilakukan Menteri dan dilaksanakan oleh lembaga independen yang dibentuk, yaitu Badan Pengawas Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) Penyelesaian sengketa organisasi keolahragaan melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan induk organisasi cabang olahraga, badan arbitrase dan lembaga alternative penyelesaian sengketa (APS), dan lembaga pengadilan sesuai yurisdiksinya. Kewenangan FIFA Dalam Statuta FIFA Pengelolaan sepakbola dilakukan oleh FIFA melalui lembaga khusus IFAB sebagai lembaga satu-satunya yang mempunyai kewenangan mutlak membuat dan memperbaharui law of the game sepakbola. Pengawasan dan pengendalian sepakbola dilakukan oleh FIFA melalui Executive Committee dari PSSI. Penyelesaian sengketa anggota FIFA wajib dilakukan melalui Komisi Disiplin dan Komisi Banding PSSI, serta dan Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) sebagai kepanjangan tangan dari Court Arbitration of Sport (CAS) sebuah lembaga peradilan olahraga yang dibentuk secara resmi oleh FIFA Benturan kewenangan di atas telah menyebabkan terjadinya tarik menarik kepentingan antara kedua belah pihak, dan merugikan para pelaku olahraga dan stakeholder olahraga pada umumnya.Contoh Kasus terakhir benturan kewenangan ini adalah mundurnya jadual pelaksanaan Kompetisi Sepakbola Liga Super Indonesia (Indonesia Super League - ISL) Tahun 2015 sebagai akibat belum adanya rekomendasi izin dari BOPI. BOPI berpendapat mempunyai wewenang untuk menahan rekomendasi dengan alasan agar klub-klub yang mempunyai masalah hukum (transfer pemain, izin pemain, menunggak gaji pemain, dan lainlain) menyelesaikan dulu permasalahannya. Sementara PSSI berpendapat bahwa 18 pelaksanaan kompetisi bukan kewenangan BOPI, tetapi merupakan kewenangan PSSI berdasarkan ketentuan Statuta FIFA. IV. PENERAPAN AZAS LEX SPORTIVA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA UNTUK MENDUKUNG KEDAULATAN NEGARA A. Penerapan Azas Lex Sportiva Dalam Sistem Hukum Indonesia. Benturan kewenangan antara Pemerintah dan federasi olahraga internasional telah menyebabkan berbagai hambatan dalam memajukan olahraga dan kesejahteraan umum. Karena itu perlu diupayakan agar penerapan Lex Sportiva sejalan dengan sistem hukum keolahragaan Indonesia yang bertumpu pada sistem hukum nasional Indonesia. Dalam konteks ini, untuk kepentingan memajukan kesejahteraan umum melalui olahraga, negara dapat melakukan intervensi secara strategis, terbatas, dan fokus sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya, khususnya pada jaminan ketersediaan insfrastruktur olahraga untuk memastikan semua warga negara dapat melaksanakan hak asasinya berolahraga (sepakbola) secara nyaman dan aman, serta jaminan berlaku dan dihormatinya Lex Sportiva sebagai sistem hukum federasi olahraga internasional dan bagian dari sistem hukum transnasional sepanjang intervensi tersebut untuk mengelola, menyelenggarakan dan menyelesaikan sengketa olahraga secara sehat. Untuk mengurangi benturan antara sistem hukum nasional Indonesia dengan Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai bagian dari sistem hukum olahraga - yang dapat menimbulkan gangguan hukum dan terganggunya otonomi/kewenangan dan kedaulatan federasi olahraga internasional - disarankan agar Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai sistem hukum transnasional berlaku dalam pengelolaan, penyelenggaraan, dan penyelesaian sengketa (olahraga) profesional secara global dapat diterima sebagai sistem hukum ketiga setelah sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional. Ini sesuai teori Hukum Pluralis dan konsekuensi dari teori kedaulatan pluralis, dan karenanya harus dipertimbangkan dalam sistem Hukum Tata Negara, khususnya tentang studi mengenai kedaulatan dan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum.Lex Sportiva- termasuk didalamnya Lex Ludica-yang disebut transnational sport law dapat dimaknasi sebagai bagian dari sistem hukum transnasional sebagau sistem hukum ke tiga dalam teori prularisme hukum setelah hukum sistem nasional dan sistem hukum internasional, bersifat otonom dan karenanya mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengelola, menyelenggarakan kompetisi sepakbola profesional, dan menyelesaikan sengketa olahraga yang timbul. Sementara itu adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Olahraga, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, dan Peraturan Pemerintah 19 Nomor 18 Tentang Pendanaan Olahraga yang merupakaan sistem hukum nasional Indonesia yang secara khusus mengatur tentang urusan keolahragaan tidak boleh dimaknai sebagai intervensi atau campur tangan Pemerintah Republik Indonesia terhadap pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan atas penyelenggaraan olahraga. UU SKN harus dimaknai sebagai upaya negara untuk menjalankan amanah konstitusi untuk memajukan kesejahteraan bagi seluruh warganegara Indonesia melalui olahraga. Kewenangan Pemerintah yang diberikan dalam UU SKN untuk mengatur, melaksanakan, membina, mengawasi, dan mengontrol penyelenggaraan olahraga adalah manifestasi kedaulatan negara, yang dibingkai dalam sistem keolahragaan nasional dalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia. Oleh karenanya UU SKN tidak melanggar azas-azas hukum internasional (baik publik maupun privat) serta prinsip-prinsip umum kepatutan dalam masyarakat internasional, termasuk tidak melanggar hukum dan tata aturan yang dibuat organisasi/komunitas olahraga internasional. UU SKN harus dimaknai sebagai upaya menggapai nilai-nilai kedaulatan Negara Republik Indonesia yang akan diwujudkan melalui berkibarnya bendera negara merah putih, dipasangnya lambang negaraburung garuda, dan dinyanyikannya lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh masyarakat Indonesia didalam stadion,maupun melalui layar televisi serta media massa lainnya ketika tim nasional Indonesia bertanding dengan tim nasional negara lain. Namun demikian, pelaksanaan UU SKN jangan sampai memasuki tindakan intervensi - dalam arti campur tangan –baik yang dilakukan pemerintah dan pihak ketiga lainya terhadap pelaksanaan dan tata kelola keolahragaan yang dilakukan federasi olahraga internasional. Karena jika sampai memasuki tindakan intervensi, maka akan mengakibatkan mengakibatkan dicoretnya federasi cabang olahraga nasional dari keanggotaan federasi olahraga internasional sesuai statuta federasi olahraga internasional. Pencoretan ini biasanya diikuti dengan sanksi larangan bagi federasi cabang olahraga nasional negara yang bersangkutan untuk turut serta beraktivitas melakukan pertandingan internasional didalam maumpun diluar negeri. B. Resolusi Benturan Kewenangan Pemerintah RI Dengan Kewenangan Federasi Olahraga Internasional Dalam Penyelenggaraan Olahraga Dalam Mendukung Kedaulatan Negara Untuk membangun keserasian hubungan antara kewenangan Pemerintah RI dengan kewenangan federasi olahraga internasional, dipandang perlu dilakukan beberapa langkah resolusi.Tujuannya agar norma-norma dalam UU SKN yang mewakili system hukum Indonesia sejalan dengan lex sportiva yang mewakili sistem hukum olahraga.Langkah pertama yang kiranya perlu dilakukan adalah melakukan harmonisasi sistem hukum nasional Indonesia dengan sistem hukum federasi olahraga internasional. Langkah ini tidak saja semata-mata demi 20 terjaganya keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia dengan sistem hukum olahraga yang bersifat transnasional - Lex Sportiva dan Lex Ludica - melainkan untuk menjaga nilai nilai kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam pusaran masyarakat global dunia melalui kompetisi olahraga, serta menghormati federasi olahraga internasional sebagai pengelola dan pelaksana kompetisi olahraga di tingkat dunia. Harmonisasi ini terhadap peraturan perundang-undangan ini bermuara pada keberpihakan terhadap policy yang menghormati keberadaan UU SKN (dan peraturan teknisnya) dan Lex Sportiva, dengan mempertimbangkan perwujudan nilai dan kehormatan atas kedaulatan negara serta ancaman sanksi dari federasi olahraga internasional. Untuk menghindari penafsiran yang keliru terntangadanya norma intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, baik melalui Undangundang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan maupun melalui putusan pengadilan, yang dapat mengakibatkan dicoretnya keanggotaan PSSI di FIFA dan larangan aktifitas berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 17 Statuta FIFA, maka dipandang perlu Pemerintah melakukan kajian yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari para ahli hukum dan stakeholder olahraga. Apabila hasil kajian telah memproleh kejelasan, jika dipandang perlu bisa dilakukan melakukan revisi atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, khususnya pada spirit pengatutan peran dan posisi negara dan komunitas olahraga (state dan society sport) dalam urusan keolahrahaan, dengan menempatkan prinsip penghormatan pada sistem hukum nasional, internasional, dan transnasional khususnya Lex Sportiva. Keberadaan sistem hukum nasional Indonesia yang secara khusus mengatur urusan keolahragaan harus ditempatkan dalam spirit intervensi dalam arti turun tangan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh alinea keempat Pembukaan UUD 1945, khususnya pada jaminan penciptaan infrastruktur olahraga yang cukup dan memadai dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh federasi olahraga internasional (lex Sportiva), sebagai perwujudan hak asasi setiap manusia serta jaminan rasa aman dan rasa nyaman menyelenggarakan kompetisi sepakbola profesional melalui mekanisme sistem perizinan. Selanjutnya state maupun state-organ dilarang dan tidak boleh memasuki apalagi melakukan intervensi dalam bentuk campur tangan terhadap Lex Ludica dan Lex Sportiva sebagai bagian dari sistem hukum transnasional. Sebab, selain bukan kompetensi dan bukan kapasitasnya, intervensi dalam bentuk campur tangan terhadap Lex Ludica dan Lex Sportiva dapat menimbulkan benturan hukum yang mengakibatkan terganggunya kedaulatan olahraga itu sendiri dan sekaligus 21 kedaulatan negara, yakni larangan tim olahraga berpartisipasi dalam even internasional. Agar sistem hukum nasional Indonesia mengatur sistem keoalahragaannya selaras dan tidak berbenturan dengan sistem hukum transnasional kiranya perlu dilakukan dialog yang sungguh-sungguh intensif antara Pemerintah RI dengan federasi cabang olahraga nasional dan federasi olahraga internasional untuk melakukan harmoni pengaturan dan peran state dan society dalam rangka memajukan kesejahteraan umum melalui olahraga yang bersifat global sesuai dengan amanah pembukaan UUD 1945 dalam kerangka sistem hukum nasional, sistem hukum internasional dan sistem hukum transnasional.Dialog itu diarahkan untuk menghasilkan suatu kesepakatan untuk menempatkan sistem hukum transnasional sebagai sumber hukum di Indonesia yang kedudukannya sama dengan sistem hukum nasional dan sistem hukum internasional, dengan atau tanpa mengubah substansi materi peraturan perundang-undangan yang ada didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan mengakui sistem hukum transnasional. Selain itu perlu memberikan dan mengembangkan pemahaman dan penguasaan sistem hukum transnasional khususnya Lex Sportiva dan Lex Ludica dalam lingkup urusan keolahragaan sebagai suatu yang sungguh-sungguh ada dan hidup bagi para organ penegak hukum di Indonesia. Mengingat kompleksitas dan kebutuhan hukum yang sangat besar dalam rangka mengelola dan menyelenggarakan kompetusu sepakbola profesional yang bersifat global serta menyelesaikan sengketa sepakbola profesional yang unik dan khusus, perlu dikembangkan pendidikan dan riset untuk mengembangkan Lex Sportiva di Indonesia seperti yang dilakukan di beberapa negara. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal : Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Penerbit Institusi Konpress, 2014. Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. -------------, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Penerbit Institusi Konpress, 2006. Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Penerbit Gramedia, 2002. 22 Fuady, Munir, Teori-Teori Besar ( Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta : Penerbit Kencana, 2013. Friedmann, William, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan III : Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 1994. Gunarsa, Singgih D., Olahraga dan Pembangunan Manusia Indonesia, Makalah Seminar Sistem Keolahragaan Nasional, FPOK Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 2 Pebruari 2005. Mutohir, Toho Cholik dan Ali Maksum, Sport Development Index : Alaternatif baru Mengukur Kemajuan Pembangunan Bidang Olahraga (Konsep, Metodologi, dan Aplikasi), Jakarta: Penerbit Indeks, 2007. Panjaitan, Hinca IP, Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA, Bagaimana Mendudukan Masalah PSSI dan Negara (Pemerintah Indonesia),Jakarta : Penerbit Gramedia, 2011. ---------- Memperkenalkan Lex Sportiva Di Indonesia:Problema Dan Tantangan Dunia Olahraga di Indonesia dan Keterkaitannya Dengan Aspek Hukum, makalah Seminar Pembanguan Hukum Olahraga NasionalFakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2010. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2012. Purbacarakan, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Hukum, Jakarta : Rajawali, 1982. Renungan Tentang Filsafat Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 2010. Makalah, Artikel, dan Internet : Lauddin Marsuni, Kedaulatan Negara, Harian Palopo Pos, 16 Maret 2015. M. Hanif Ariditya, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 27 Januari 2011. Ashari Setya, Otonomi Lex Sportiva Dikaitkan Dengan Suap Dalam Olahraga Di RUU KUHP, http://www. hukumpedia.com/1234abcd/otonomi-lexsportiva-di-kaitkan-dengan-suap-dalam-olahraga-di-ruu-kuhp, sebagai-mana telah dikutip dari http://www.lexsportiva.co.id/?lang&pagecontent&ids.6&id.29. 23 Hinca Panjaitan, hal. 135. Online book,http://books.google.com/books?id=t_tI6i6vDfcC&pg=PA135&lpg=P A135&dq=lex+sportiva+di+indonesia&source. K. Foster, “Is There a Global Sports Law?” (2003: 21)dalam Entertainment and Sports Law Journal 1 dalam Putera San Siro, Organisasi FIFA dan Hukum Olahraga,http://puterasansiro.blogspot.com/2012/07/blog-post.html, diakses 10 Maret 2015. J. Najzinger, “Globalizing Sports Law” (1999) hal 225, 227. Marquette Sports Law Journal 9, sebagaimana dikutip Putera San Siro, ibid. Putera San Siro, Organisasi FIFA dan Hukum Olahraga,http://puterasansiro.blogspot.com/2012/07/blog-post.html, diakses 10 Maret 2015. GuntherTeubner, “Global Bukowina‟: Legal Pluralism in the World Society”, in Gunther Teubner (ed.) Global Law Without a State (Bookfield, Vermont: Dartmouth Publishing, 1997) at 23 sebagaimana dikutip Putera San Siro, ibid. Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional . Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga Statuta FIFA 24