BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Agensi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Agensi
Perusahaan
memiliki
tujuan
untuk
memperoleh
keuntungan
dan
memaksimalkan nilai dari perusahaan tersebut yang tercermin dalam harga saham
perusahaan yang bersangkutan, namun sebagai seorang manager mereka juga
memiliki keinginan selain hanya memaksimalkan kekayaan pemegang saham.
Seorang manager juga ingin memaksimalkan kekayaan pribadi yang dapat
menimbulkan terjadinya konflik kepentingan yang potensial. Konflik kepentingan
potensial yang dapat terjadi antara manager dengan pemegang saham disebut
sebagai agency theory. Konflik kepentingan di antara pihak manager dan
pemangku kepentingan dapat terjadi karena adanya pemisahan antara manager
dengan pemegang saham dan adanya ketidakmampuan pemegang saham dalam
mengambil keputusan bisnis sehingga semua keputusan diambil oleh manager.
Agency problem terjadi karena manager mementingkan dirinya sendiri sebagai
seorang agent dan mengesampingkan kepentingan pemegang saham sebagai
seorang principal. Agency problem juga dapat disebabkan karena pemegang
saham sulit memastikan kebenaran return yang mereka dapat atas modal yang
mereka investasikan.
Terdapat 2 tujuan teori agensi yaitu untuk meningkatkan kemampuan
principal dan agen untuk mengevaluasi lingkungan dimana suatu keputusan harus
diambil (the belief revision role) dan untuk mengevaluasi hasil keputusan yang
telah diambil supaya dapat memudahkan pengalokasian hasil tersebut antara
principal dengan agen (the performance evaluation role).
2.1.2. Teori Sinyal
Weston (2004) menyatakan bahwa buyback stock atau share repurchase
merupakan sebuah tindakan perusahaan publik yang membeli sahamnya sendiri
baik melalui proses tender offer dan open market. Dalam metode tender offer,
perusahaan mengumumkan kepada seluruh pemegang saham bahwa perusahaan
akan membeli kembali beberapa lembar sahamnya pada harga dan periode
tertentu yang telah ditetapkan. Metode open market, perusahaan membeli kembali
saham perusahaannya dengan jumlah yang relatif lebih kecil, pembelian kembali
dilakukan melalui broker dengan pembayaran komisi pada tingkat normal dan
pembelian pada harga pasar (tidak ada premium yang dibayarkan).
Dittmar (2000) mengatakan bahwa perusahaan melakukan buyback ketika
perusahaan mengalami kelebihan free cash flow. Ketika perusahaan mengalami
kelebihan free cash flow perusahaan dapat melakukan buyback karena kebijakan
tersebut dapat mengoptimalkan tingkat free cash flow perusahaan dan
menghindari akses managerial, selain itu Dittmar juga mengatakan bahwa
perusahaan melakukan buyback saat saham mengalami undervaluation dan hal
tersebut memberi sinyal ke pasar bahwa suatu saat harga saham tersebut akan naik
sesuai dengan nilai riilnya. Buyback juga dilakukan untuk mencegah
pengambilalihan oleh perusahaan lain. Kebijakan perusahaan untuk membeli
saham yang telah beredar di publik sebenarnya juga memberikan sinyal bahwa
saham bernilai undervalue dan suatu saat nilai saham tersebut akan naik kembali
sesuai dengan nilai riilnya. Rasbrant (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi penurunan harga saham adalah adanya penurunan
kepercayaan investor terhadap kinerja perusahaan. Badrinath dan Varaiya (dalam
Yarram, 2014) mengelompokkan motivasi yang mendasari program buyback yang
dilakukan perusahaan menjadi lima kelompok, yaitu untuk meningkatkan harga
saham, mengubah struktur modal, sebagai substitusi pembayaran dividen,
mencegah pelemahan pendapatan dan mengembalikan kelebihan arus kas kepada
shareholders. Li dan McNally (2007) menyatakan bahwa perusahaan melakukan
buyback untuk mendapatkan abnormal return dari program pengumuman
buyback tersebut.
Berdasarkan ketentuan Corporation Act (2001), terdapat 5 jenis buyback
yang diperbolehkan, antara lain:
1) open market buybacks or on-market repurchases
2) selective or private buybacks
3) equal access or tender-offer buybacks
4) employee share buybacks
5) odd-lot buybacks
Signalling Theory menjelaskan bahwa perusahaan memutuskan untuk
melakukan program buyback karena ingin memberitahukan kepada publik bahwa
di masa mendatang profitabilitas perusahaan akan lebih tinggi daripada
profitabilitas yang diharapkan oleh pasar dan akan terdapat peningkatan kinerja
operasi perusahaan di masa yang akan datang. Jagannathan dan Stephen (2000)
menyebutkan bahwa information signalling hypothesis memiliki dua bentuk
dasar, pertama yang biasa disebut dengan earnings signalling hypothesis.
Earnings signalling hypothesis berpendapat bahwa pengumuman buyback
memberikan sinyal mengenai adanya penambahan yang tidak terduga atas
pendapatan perusahaan di masa yang akan datang. Kedua, stock repurchase
memberikan sinyal kepada para pemegang saham bahwa saham perusahaan
mengalami undervaluation tanpa diikuti dengan adanya kenaikan pendapatan
perusahaan di masa yang akan datang. Comment dan Jarrel (1991) menyebutkan
bahwa perusahaan melakukan buyback ketika nilai sahamnya undervalue.
Adanya information signalling hypothesis merupakan akibat dari pasar
yang tidak efisien sehingga muncul asimetri informasi yang menyebabkan tidak
semua informasi perusahaan diketahui oleh pasar. Melalui buyback, perusahaan
yang mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan memberikan informasi
kepada pasar atau para pemegang sahamnya untuk meyakinkan bahwa saham
perusahaan memiliki nilai intrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga
pasarnya.
2.2. Ukuran Perusahaan
Dittmar (2000) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala
untuk menentukan besar kecilnya perusahaan dengan berbagai cara antara lain:
total aktiva, nilai pasar saham, total penjualan dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran
perusahaan dibagi menjadi 3, yaitu: perusahaan besar (large firm), perusahaan
menengah (medium size) dan perusahaan kecil (small firm). Vermaelen (1981)
menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan buyback ditandai dengan adanya
tingkat asimetri informasi yang tinggi. Asimetri informasi lebih sering terjadi di
perusahaan kecil karena pelaporan informasi di perusahaan kecil tidak didukung
oleh analis yang handal dan kurang adanya informasi yang beredar di pasar
mengenai perusahaan tersebut.
2.3. Leverage
Leverage adalah tingkat utang yang digunakan dalam sebuah struktur
modal perusahaan. Leverage diukur menggunakan debt to total asset ratio.
Semakin besar tingkat leverage maka semakin besar pula risiko financial distress
perusahaan, yakni ketidak cukupan dana perusahaan untuk melunasi bunga dan
pokok pinjaman yang sudah jatuh tempo. Welch (2011) mengatakan bahwa
leverage adalah sensitivitas nilai kepemilikan ekuitas yang berhubungan dengan
nilai yang mendasari suatu perusahaan. Semakin tinggi nilai leverage perusahaan
maka besar asset perusahaan yang dibiayai dari utang, namun semakin kecil
tingkat leverage maka semakin kecil pula asset perusahaan yang dibiayai oleh
utang.
2.4. Free Cash Flow
Free cash flow merupakan jumlah arus kas perusahaan yang dapat
digunakan untuk membeli kembali saham atau hanya untuk meningkatkan
likuiditas perusahaan. Jensen (1986) mengartikan free cash flow sebagai cash flow
berlebih yang dibutuhkan untuk mendanai semua projek yang memiliki Net
Present Value (NPV) positif. Brigham dan Daves (2006) menyatakan bahwa free
cash flow (FCF) merupakan arus kas yang tersedia untuk didistribusikan pada
para investor setelah perusahaan melakukan semua kegiatan investasi dalam aset
yang telah ditetapkan dan modal kerja utama untuk mempertahankan operasi yang
sedang berlangsung. John, et al (2003) dalam hasil penelitiannya menyatakan
bahwa free cash flow merupakan penggerak utama yang mempengaruhi
pengambilan keputusan buyback dalam sebuah perusahaan.
2.5. Undervaluation
Li et al (2007) menyatakan bahwa undervaluation merupakan kondisi
dimana saham perusahaan dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan nilai
bukunya. Hal ini tercermin dalam nilai market to book yang rendah. Dittmar
(2000) menyatakan bahwa undervaluation terjadi karena adanya asimetri
informasi antara perusahaan dengan pemegang saham sehingga terbentuklah
harga saham yang tidak sesuai dengan nilai riilnya. Ardana, et al (2013)
menyatakan bahwa penilaian saham yang terlalu rendah mencerminkan nilai
perusahaan dipersepsikan terlalu rendah oleh para investor. Manajemen
perusahaan sangat berkepentingan untuk menjaga agar nilai perusahaan tidak
menurun. Yarram (2014) menyatakan bahwa undervaluation adalah suatu motif
untuk melakukan buyback saham suatu perusahaan dengan cara mengirimkan
sinyal ke pasar dengan maksud untuk meningkatkan valuasi saham perusahaan
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keputusan
melakukan buyback telah diteliti sebelumnya. Penelitian tersebut antara lain:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No
Penulis
dan
Tahun
1
Yarram
(2014)
Judul
Variabel
Factors Influencing
On-market
Share
Repurchase
Decisions
in
Australia
Size, free cash flow,
changes in cash flow,
ratio of earnings to
price,
leverage,
dividend
payout,
franking proportion,
takeover, ESOP, board
size,
board
independence,
CEO
duality
Market capitalization,
nilai book-to-market,
ESOP,
abnormal
return
dari
h-20
sampai h-1, jumlah
saham yang akan di
buyback
Free cash flow, excess
debt, dividend yield,
market-to-book
2
Rasbrant
(2011)
3
Li
dan The
information
McNally content of Canadian
(2007)
open
market
repurchase
announcements
4
El
Houcine
(2013)
5
The Price Impact of
Open Market Share
Repurchases
Ownership Structure
and
Stock
Repurchase Policy :
Evidence
from
France
Kepemilikan
institusional,
kepemilikan
managerial,
ukuran,
kewajiban, free cash
flow, ROA, dividen
Hasil
Size
dan
independence
mempengaruhi
buyback.
board
keputusan
Pengumuman
program
buyback oleh board of
director
berhubungan
dengan abnormal return
yang terjadi dalam 2 hari.
Perusahaan
melakukan
program
buyback
jika
memiliki kelebihan free
cash flow
Terdapat pengaruh antara
kepemilikan
institusional
dengan pembelian kembali
saham perusahaan yang
dibuktikan dengan adanya
pendistribusian FCF dengan
cara buyback yang sudah
diedarkan sebagai cara
untuk mengontrol manager
dan membatasi penggunaan
FCF yang tersedia.
Lee,
Why
Do
Reits Funds from operation, REIT membiayai buyback
Hsieh
Engage in Open- debt-to-asset
ratio, dengan penerbitan utang
dan Peng Market Repurchase? market-to-book-ratio,
baru dan atau menjual asset
(2005)
firm size, growth
dan investasi. Motivasi
6
Aharoni, The Payout Policy
et
al of Australian Firms
(2011)
:
Dividends,
Repurchases
and
Soft Substitution
Repurchase, dividend
earnings ratio, firm
size, BM, the ratio of
cash to total assets,
ROA dan change in
earnings
7
Dittmar
(2000)
Why Do Firms cashflow, kas, marketRepurchase Stock ? to-book,
payout,
ukuran,
return,
leverage,
takeover,
opsi saham.
8
Jansson
dan
Olaison
(2010)
The
Effect
of
Corporate
Governance
on
Stock Repurchases:
Evidence
from
Sweden
Leverage,
dividend,
valuation,
threats
FCF,
firm
take-over
REIT untuk melakukan
buyback adalah karena
adanya opsi saham yang
dimiliki karyawan dan
kepemilikan saham REIT
sebagian besar dimiliki oleh
institusional
yang
cenderung untuk melakukan
buyback
daripada
pembagian dividen.
Penelitian ini mendukung
argumen soft substitution
yaitu
perusahaan
yang
melakukan buyback pada
periode ini akan menaikkan
dividennya
di
periode
mendatang, begitu juga
sebaliknya.
Kebijakan
buyback merupakan suatu
sinyal bahwa perusahaan
mengalami undervaluation.
Perusahaan
melakukan
buyback untuk memperoleh
keuntungan dari femomena
undervalue, pada periode
tersebut perusahaan harus
mendistribusikan kelebihan
kasnya.
Buyback tidak
mensubstitusikan kebijakan
pembaian
dividen.
Perusahaan
melakukan
buyback untuk mengubah
rasio leverage, menghindari
adanya pengambilalihan dan
efek dilusi dari opsi saham
Perusahaan dengan tata
kelola tradisional Swedia
lebih tangguh terhadap
kebijakan
buyback.
Perusahaan
melakukan
buyback untuk mengubah
leverage ke tingkat yang
optimal. Dividen berkorelasi
positif dengan buyback
sehingga keduanya tidak
saling menyubstitusikan.
9
Mufidah
(2011)
Stock Repurchase FCF, undervaluation
dan Faktor-Faktor dan leverage
yang
Mempengaruhinya
FCF, undervaluation dan
leverage
berpengaruh
terhadap dilaksanakannya
buyback. Variable FCF
berpengaruh secara parsial
terhadap
buyback,
sedangkan
variabel
undervaluation
dan
leverage tidak berpengaruh
secara parsial terhadap
buyback karena perusahaan
yang melakukan buyback
tidak berada pada kondisi
undervaluation
saat
melakukan
buyback.
Perusahaan
memiliki
kemampuan
untuk
menggunakan dana internal.
10
Ardana
dan
Rasyid
(2013)
Stock
Stock undervaluation,
Undervaluation,
debt to asset ratio dan
Debt to Assets Ratio cash flow
dan Cash Flow
untuk Memprediksi
Stock Repurchase
pada
Perusahaan
yang Terdaftar di
BEI Periode 20022009
Hasil
pengujian
menunjukkan bahwa Stock
Undervaluation, Debt to
Assets Ratio, dan Cashflow
perusahaan publik yang
terdaftar di BEI, baik secara
sendiri-sendiri
maupun
bersama-sama tidak dapat
digunakan
untuk
memprediksi
stock
repurchase.
2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disusun kerangka
konseptual penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Penelitian
Variabel Independen
Ukuran Perusahaan
Leverage
Variabel Dependen
H1 (+)
H2(-)
H3(+)
KEPUTUSAN
BUYBACK
Free Cash Flow
H4(-)
Undervaluation
2.8. Hipotesis
2.8.1. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Keputusan Buyback
Hipotesis ini didasarkan pada pemikiran bahwa telah terjadi asimetri
informasi dan agency cost yang disebabkan oleh ukuran perusahaan. Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa biaya agensi dapat disebabkan karena
adanya asimetri informasi antara manager dengan pemegang saham. Namun
Yarram (2014) mengatakan bahwa ketika perusahaan besar memiliki biaya agensi
yang besar, hal tersebut disebabkan karena adanya pelaporan informasi yang lebih
lanjut secara periodik yang dapat mengurangi adanya asimetri informasi, sehingga
disimpulkan bahwa perusahaan besar melakukan buyback untuk menyelesaikan
konflik keagenan antara manager dengan pemegang saham. Semakin kecil ukuran
perusahaan maka konflik keagenan yang muncul juga semakin besar sehingga
perusahaan akan melakukan buyback sebagai cara untuk mengatasi konflik
keagenan tersebut, namun kebijakan tersebut sulit dilakukan oleh perusahaan kecil
karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki perusahaan. Akibat terbatasnya
sumber daya yang dimiliki tersebut maka kebijakan buyback ditangkap oleh
investor sebagai sinyal bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan besar.
Yarram (2014) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh
terhadap keputusan buyback di suatu perusahaan.
H1: Terdapat pengaruh positif antara ukuran perusahaan dengan keputusan
perusahaan untuk melakukan buyback.
2.8.2. Pengaruh Leverage terhadap Keputusan Buyback
Hipotesis ini diturunkan karena buyback dapat meningkatkan leverage
perusahaan. Pada saat perusahaan melakukan buyback maka nilai ekuitas
perusahaan akan menurun sehingga rasio leverage perusahaan akan meningkat.
Perusahaan yang memiliki tingkat leverage tinggi memberikan sinyal bahwa
perusahaan sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya
sedangkan perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang rendah menandakan
bahwa perusahaan lebih banyak menggunakan modalnya sendiri untuk membiayai
asetnya sehingga saat perusahaan melakukan kebijakan buyback, salah satu motif
yang mendasarinya adalah keinginan perusahaan untuk memberikan sinyal bahwa
perusahaan akan meningkatkan leverage supaya struktur modal perusahaan bisa
optimal.
Mitchell dan Dharmawan (2007) menemukan bukti yang mendukung
hipotesis struktur modal pada aktivitas pembelian kembali di Australia. Mereka
menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara leverage dengan keputusan untuk
melakukan buyback karena perusahaan menargetkan struktur modal yang optimal
sehingga diperlukan kebijakan untuk melakukan buyback supaya proporsi ekuitas
menurun. Dittmar (2000) menyatakan bahwa perusahaan lebih memilih untuk
melakukan buyback jika rasio leverage di bawah angka yang ditargetkan supaya
dapat mencapai struktur modal yang optimal, semakin rendah tingkat leverage
maka perusahaan akan cenderung melakukan buyback supaya tingkat leverage
meningkat dan untuk mengoptimalkan struktur modal. Jansson dan Olaison
(2010) menyatakan bahwa perusahaan melakukan pembelian kembali untuk
meningkatkan leverage ketika tidak terdapat pemangku kepentingan yang bersifat
dominan sehingga tingkat leverage perusahaan menjadi optimal.
H2: Terdapat pengaruh negatif antara leverage dengan keputusan
perusahaan untuk melakukan buyback
2.8.3. Pengaruh Free Cash Flow terhadap Keputusan Buyback
Hipotesis free cash flow didasarkan pada berkembangnya ide bahwa
perusahaan lebih baik menginvestasikan kelebihan kasnya dalam bentuk investasi
saham perusahaan tersebut jika memang tidak terdapat jenis investasi yang bisa
menghasilkan return yang diharapkan (Jensen, 1986). Perusahaan yang memiliki
kas lebih besar dari kebutuhannya bisa menyebabkan terjadinya konflik keagenan
antara manajer dengan pemegang saham. Konflik keagenan tersebut terjadi karena
perusahaan dapat menginvestasikan kas tersebut dalam suatu investasi yang dapat
mengurangi nilai perusahaan. Jansen (1986) menyatakan bahwa salah satu cara
untuk dapat menyelesaikan konflik keagenan tersebut adalah dengan cara
meminimalisasi jumlah kas yang dimiliki perusahaan supaya bisa mengontrol
keputusan manajer dan cara untuk mengurangi kas perusahaan tersebut adalah
dengan melakukan buyback. Perusahaan yang melakukan buyback akan
memberikan sinyal kepada investor bahwa perusahaan telah melakukan investasi
atas saham perusahaan yang beredar dengan free cash flow yang dimiliki.
Penelitian Dittmar (2000) menyatakan bahwa cashflow dapat digunakan
untuk memprediksi stock repurchase. Li dan McNally (2007) juga menyatakan
bahwa free cash flow yang besar adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
keputusan untuk melakukan pembelian kembali saham oleh perusahaan. Brown
dan Norman (2010) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan buyback di
Australia merupakan perusahaan yang memiliki kelebihan kas. Doan et al (2011)
juga menyatakan bahwa buyback dilakukan untuk mendistribusikan peningkatan
cash flow yang diperoleh suatu perusahaan.
H3: Terdapat pengaruh positif antara free cash flow dengan keputusan
perusahaan untuk melakukan buyback
2.8.4. Pengaruh Undervaluation terhadap Keputusan Buyback
Hipotesis ini didasarkan pada pemikiran bahwa telah terjadi asimetri
informasi antara manajemen dengan perusahaan. Asimetri informasi tersebut
menyebabkan perusahaan mengalami misvalued. Ketika perusahaan mengetahui
bahwa sahamnya mengalami undervalue, perusahaan mengirimkan sinyal ke
pasar atau pemegang saham melalui adanya kebijakan buyback. Pada saat
perusahaan melakukan buyback maka akan terjadi transfer kekayaan dari
pemegang saham yang menjual sahamnya kepada manajemen dan pemegang
saham lainnya yang tidak menjual sahamnya. Akibat dari adanya kebijakan
buyback tersebut, harga saham perusahaan akan meningkat sehingga dapat
memperbaiki misvalue yang terjadi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li dan McNally (2007) menyatakan
bahwa perusahaan yang memiliki nilai rasio market to book rendah cenderung
lebih menyukai untuk melaksanakan stock repurchase, selain itu mereka juga
berpendapat bahwa perusahaan yang memiliki free cash flow yang besar juga
memiliki kecenderungan untuk melaksanakan stock repurchase.
H4: Terdapat pengaruh negatif antara undervaluation dengan keputusan
perusahaan untuk melakukan buyback
Download