ANAK LUAR NIKAH DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 (ANALISIS PUTUSAN MK TENTANG STATUS ANAK LUAR NIKAH) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Strata Satu (S1) Disusun oleh: AHMAD FARIZ IHSANUDDIN NIP: 106043201325 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الر حيم Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan ridloNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, penunjuk jalan kebenaran dan penyampai rahmat bagi semesta alam. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena dengan adanya mereka segala macam halangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Phill. J. M. Muslimin, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. v 4. Drs. H. Ahmad Yani., MA., selaku pembimbing I yang dengan penuh kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan ini yang mulanya masih tidak sempurna sehingga menjadi lebih layak dan berarti. Semoga kemudahan dan keberkahan selalu menyertai beliau dan keluarganya, Amin. 5. Drs. H. Siril Wafa, MA., selaku pembimbing II yang selalu memberikan arahan dan nasehat yang diberikan di sela-sela kesibukan waktunya sehingga dapat terselesaikannya penyusunan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat interaksi penyusun selama menjalani studi pada jenjang Perguruan Tinggi di Jakarta. 7. Buat Ayahanda (H. Matrodji) dan ibunda (Hj. Ru’yah) yang sangat saya cintai, mungkin kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan kasih sayang dan cinta kalian. Terimakasih banyak pak, bu, sudah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah lelah untuk menyayangi, menyemangati, menasehati, dan membimbing saya dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, tanpa doa dan dukungan dari bapak dan ibu mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang ini. 8. Buat kakak yang tercinta, (Edy Lutfi S.E., Syarif Hidayat S.T., Ruaidah S.S., Zulkarnaen S.E., dan Ahmad Fikry Ismail S.Kom.), terimakasih atas masukan dan sarannya dalam memberi semangat untuk menjalani kehidupan adikmu ini. vi 9. Tidak lupa pula untuk Teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006, Dwi Prasetyo SHI, Septian Rizki Yudha, Fauzi Ramdhan dan yang lainnya yang selalu mendukung untuk menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, dan atas semua kekurangan di dalamnya, baik dalam pemilihan bahasa, teknik penyusunan dan analisisnya sudah tentu menjadi tanggung jawab penyusun sendiri. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini, juga untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Penyusun berharap, skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya serta dapat menjadi khazanah dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam. Atas semua bantuanyang diberikan kepada penyusun, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang selayaknya, Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 08 Juli 2014 Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. i LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................... iii ABSTRAK ........................................................................................................................ iv KATA PENGANTAR........................................................................................................v DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 9 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 9 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 10 E. Metode Penelitian ........................................................................... 10 F. Sistematika Pembahasan ................................................................ 12 BAB II STATUS ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM KELUARGA ................................................................................... 13 A. Perkawinan dan Tata Caranya ........................................................ 13 B. Pengertian Anak Luar Nikah ......................................................... 23 C. Pembagian Jenis Anak Luar Nikah ................................................ 30 D. Status Anak Luar Nikah ................................................................. 34 E. Penjelasan Atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ..................................................................................... 39 viii BAB III JUDICIAL REVIEW DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ................................................................................... 43 A. Pengertian Judicial Review ............................................................ 43 B. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Tata Unsur Bidang.............. 45 C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ............................................... 49 BAB IV ANAK LUAR NIKAH DALAM JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ....................................... 50 A. Anak Luar Nikah Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974.. .............................................................................................. 50 B. Anak Luar Nikah Dalam Putusan Mahkamah konstitusi ............... 57 C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU- VIII/2010 Tentang Anak Luar nikah .............................................. 60 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 71 A. Kesimpulan..................................................................................... 71 B. Saran ............................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74 ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk melahirkan dan menciptakan kesinambungan keturunan. Secara naluriyah, pasangan suami istri pada umumnya sangat mendambakan akan kehadiran seorang anak yang akan menjadi pewaris keturunan, tempat curahan kasih sayang dan perekat tali perkawinan. Anak Merupakan Amanah Allah SWT yang telah di anugerahkan kepada pasangan suami istri yang telah menikah. Maka menjadi suatu kewajiban kepada suami istri untuk mendidik dan memelihara anak mereka selagi anak mereka masih belum bisa berdiri sendiri.1 Perkawinan tanpa kehadiran seorang anak akan terasa gersang dan tidak lengkap, karena kehadiran anak dalam rumah tangga memiliki banyak makna secara realitas, banyak dari pasangan suami istri yang ternyata belum berhasil mendapatkan keturunan meskipun hanya dengan seorang anak. Hal ini bisa saja terjadi baik ditinjau dari sudut medis maupun agama. Padahal secara rasional dan hitungan matematis, pasangan tersebut sebenarnya akan mampu membiayai anak-anak mereka, terutama bila dilihat dari kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan untuk memberikan pendidikan dan kesempatan mereka untuk mengasuh, mendidik dan membesarkan anakanak mereka. Anak secara Alamiah sebagai makluk Tuhan yang membutuhkan perlakuan dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan 1 Ayyub Hasan, Fikih Keluaraga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h 387 1 2 potensinya, sehingga tercerabutnya anak dari keadaan demikian berpotensi menghambat pencapaian kesejahteraan jiwa dan perkembangan yang optimal 2 Secara lahiriyah, mereka memang telah siap untuk menerima kelahiran anak tersebut, kendati pun yang ditunggu belum juga tiba. siap untuk memperoleh keturunan disebabkan beberapa faktor tertentu seperti lemahnya kondisi ekonomi atau ketidak siapan mental untuk mengasuh dan mendidik anak, namun mereka tidak dapat menghindar, karena kelahiran anak. 1. Status anak menurut Fiqih Status atau kedudukan merupakan sesuatu yang amat penting bagi seorang seseorang anak karena nantinya akan menentukan hak-hak dan kedudukan anak tersebut dengan orang tuanya. Dalam wacana fiqh, ketika seorang laki-laki mengadakan hubungan seksual dengan perempuan di luar pernikahan yang sah kemudian terjadi kehamilan dari hubungan tersebut maka langkah penyelamatan nasab anak tersebut dilakukan dengan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tersebut. Dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikahi wanita hamil. Mazhab Syafi'i menyatakan sah-sah saja dilangsungkan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh hukumnya untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan.3 Mazhab Hanafi menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim sampai dengan melahirkan 2 Yuli Fajar Susetyo, Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, (Jakarta: Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, 2007), h. 26. 3 Muhammad Jawad Mugniyah, Al Ahwal al-Syakhsiyyah a'la Mazahibil Al-Khamsnh , jilid .VI (Beirut: Dar al-'Ilm, Lil Malayin, t.th), h.601 3 dan melewati masa nifas.4 Sedangkan Hambali dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas mengenai pendapat para ulama tentang status hukum akad wanita hamil akibat zina maka selanjutnya akan terkait dengan masalah ada tidaknya 'iddah bagi wanita hamil akibat zina, sehingga akan terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Umumnya mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat wanita hamil akibat zina itu wajib 'iddah maupun tidak, namun sebagian ulama Hanafiyah (Abu Hanifah dan Muhammad) kurang konsisten, dimana setelah meyakini bahwa akad nikah bagi wanita hamil akibat zina hukumnya sah, keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, padahal salah satu tujuan dari akad adalah untuk menghalalkan persetubuhan. bahkan arti nikah sendiri bagi para ahli ushul Hanafiyah adalah "setubuh". Dalam kehati-hatian, yang paling hati-hati tentunya para ulama dari mazhab Malikiyah dan Hanabilah. Mereka melarang wanita hamil akibat zina melakukan pernikahan, bahkan Hanabilah mewajibkan bertobat sebelum melangsungkan akad nikah.5 4 Abi 'Isa Muhammad Ibn 'Isa Ibn Suwarah, Al-Jami al-Shahih Wa Huwa Sunan alTurmudzi, "Kitab Nikah", bab "al Ja'a Fi a- Rajuli Yasytani al-Jariyata Wahiya Hamil", jilid.III (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th), h.473. 5 Al-Basri, Abu al-Hasan 'Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Mawardi, al-Nukad wa al'Uyun: Tafsir al-Mawardi, ed. Ibn 'Abd al-Rahim, jilid.IV (Beirut: Dar al-Kutub al'IlmiyyahMuassasah al Kutub al- Saqafiyah,t.th) h.74. 4 Tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terpelihara keturunan nasab, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an surat an-Nahl (16) ayat 72 yang berbunyi: Artinya: "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” Pengertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad pernikahan yang sah. Dari pengertian tersebut maka nasab dapat dihubungkan dengan darah dan perkawinan yang sah. Semua anak yang dilahirkan di dunia ini, baik itu sebagai anak kandung, anak angkat, anak zina mempunyai kedudukan tersendiri. Adanya kedudukan tersebut mempengaruhi dalam menentukan perwalian, nasab, warisan dan hadhanah. Terkait dengan kedudukan anak luar nikah, perspektif fiqh dan menjelma menjadi kesepakatan dalam hukum Islam bahwa anak luar nikah tidak dianggap sebagai anak sah karena itu berakibat hukum ; a. Tidak adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah meski secara biologis dan geneologis anak itu adalah anaknya sendiri. 5 b. Tidak saling mewarisi Sebagai akibat lebih lanjut dari tidak adanya hubungan nasab, antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, maka mereka tidak dapat saling mewarisi satu sama lain. c. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah Pada dasarnya nasab anak luar nikah dihubungkan dengan ibunya ketika suami dari ibunya menolak anak tersebut, sesuai dengan hadis nabi : 6 Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: Anak itu adalah haknya pemilik ranjang dan pezinanya adalah penyesalan. (H.R. Jamaah kecuali Abu Dawud) Maka berdasarkan hadits tersebut menurut jumhur anak itu tidak dinasabkan pada ayah biologisnya meski ayahnya mengatakan itu adalah anaknya.7 2. Status Anak Luar Nikah Dalam UU. No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Menurut hukum perkawinan Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: "Anak sah adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah" 6 Syihabuddin Ahmad Ibnu Ali, Fath al-Bary (Kairo : Musthafa al-Babi al- Halabiy, 1378 H/ 1959M).juz2. no.hadits.52. 7 Cut Aswar, " Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina" dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.68. 6 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : " anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya Keanekaragam bangsa Indonesia membuat masyarakat Indonesia mempunyai kultur tersendiri yang bisa menjadi penghalang masyarakat Indonesia untuk membangun. Perubahan tidak langsung diterima dengan mudah sehingga hukum-hukum baru sulit untuk dijalankan. Contoh perkawinan harus dicatatkan. Namun kenyataannya masih tetap saja ada perkawinan yang tidak dicatatkan (pernikahan bawah tangan) dengan berbagai alasan. Padahal akibat yang ditimbulkan dari tidak tercatatnya perkawinan itu sangat besar sekali. Akibat itu bukan hanya berpengaruh pada diri sendiri melainkan akan berpengaruh juga kepada anak-anak mereka. Disinilah permasalahan yang akan diteliti langsung oleh peniliti. Hak-hak anak mulai dipertanyakan. 7 Manusia itu sudah mendapatkan haknya sejak masih dalam kandungan, yaitu hak mutlak.. Hak mutlak adalah hak yang diperoleh/sudah melekat pada diri manusia.8 Disamping hak mutlak manusia juga mendapat kan hak nisbi, yaitu hak tidak melekat pada diri seseorang sehingga hak tersebut hanya menjadi kewenangan dilihat dari aspek anak-anak sebagai generasi penerus justru lebih banyak memerlukan perhatian dibandingkan kelompak umur dewasa laju pembanguan suatu negara ditentukan oleh mereka. Tapi saat ini hak-hak mereka tidak didengar. Selama ini aspirasi mereka selalu dikebelakangkan, dianggap warganegara kelas dua yang tidak mengerti apa-apa. Padahal anak-anak usia sekolah sudah bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Sejak tahun 1954 hingga hari ini, jumlah negara yang menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia telah meningkat dari 50 menjadi 150 negara. Melalui peringatan tersebut masalah dan problema yang dihadapi anak-anak di dunia menjadi bahan perhatian negara-negara, organisasi dan lembaga-lembaga internasiaonal. Melalui peringatan itu juga berbagai sumber mengajukan laporan data statistik terbaru mengenai keadaan anakanak, masalah dan kesulitan yang mereka hadapi serta kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Dalam agama Islam, anak-anak memiliki hak-hak khusus, Islam bahkan menggolongkan pendidikan anak yang benar sebagai ibadah. Tidak hanya itu, pandangan kasih sayang juga terhitung sebagai amal kebajikan. 8 Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, h 6 8 Menghormati kedudukan anak dan kemuliaan anak-anak dianggap perlu di setiap situasi dan kondisi. Hak anak-anak, hak keluarga dan hak manusia, sudah dijelaskan dalam ajaran Islam. Islam telah menjelaskannya lebih lengkap dari apa yang dipaparkan oleh piagam hak asasi manusia atau konvensi hak anak sedunia. Salah satu kelebihan Islam ialah selain menyodorkan undang-undang dan metode juga menyuguhkan teladan hidup Nabi Muhammad SAW, beliau sangat menghormati hak-hak anak dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang. Setiap anak berhak untuk dianggap sebagai individu bebas yang mempunyai hak-hak. Anak-anak berhak untuk memiliki keluarga, tempat tinggal dan juga berhak atas pendidikan yang diinginkannya. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1,8 juta pekerja anak, 2,7 juta anak yang terlantar, lebih dari 50 ribu anak yang berkeliaran di jalanan. Di Indonesia, telah terjadi kecenderungan bahwa anak-anak semakin banyak dipekerjakan di bidang pariwisata, terutama di pantai- pantai, dan sering mendapat pelecehan seksual. Anak-anak memang selalu tidak dianggap penting. Apalagi hak-haknya. Tampaknya para wakil rakyat tidak begitu peka dengan masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi di media-media elektronik. Bahkan masyarakat pun salah menginterpretasikan ajaran agama. Selain anak-anak, perempuan pun ikut menjadi korban ketidakadilan yang mengatasnamakan agama. Masalahnya, orang-orang itu menafsirkan syariat 9 dan ajaran Islam secara serampangan. Mereka hanya berlindung di balik ayatayat yang ditafsirkan secara keliru. B. Identifikasi Masalah Dari pembahasan latar belakang masalah di atas jelas sudah apa tujuan dan keinginan yang penulis akan bahas yaitu status anak dalam pernikahan yang tidak dicatatkan di oleh pemerintah (pernikahan bawah tangan). Oleh karna itu penulis selaku mahasiswa syariah dan hukum berkeinginan mengangkat sebuah judul skripsi dengan judul “ANAK LUAR NIKAH DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974 (ANALISIS PUTUSAN MK TENTANG STATUS ANAK LUAR NIKAH)” C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam pembahasan latar belakang di atas, maka penulis membatasi penulisan skripsi ini pada ruang lingkup hukum Islam dan hukum positifnya saja agar cakupan dalam penulisan skripsi ini lebih fokus dan lebih spesifik. Setelah adanya pembatasan masalah,maka penulis merumuskan dua rumusan masalah dalam penelitian ini yang hendak dijawab, yaitu: 1. Bagaimana status anak luar nikah dalam UU perkawinan No 1 tahun 1974? 2. Bagaimana status anak luar nikah dalam putusan MK? 3. Bagaimana status anak luar nikah dalam fiqih? 10 D. Tujuan dan Manfaat Peneltian Penelitian ini bertujuan untuk memetakan diskursus mengenai status anak dalam dua perspektif yang berbeda, yaitu hukum Islam dan hukum Perdata di Indonesia. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mendeskripsikan status anak berdasarkan hukum Islam dan hukum Perdata di Indonesia 2. Untuk mendeskripsikan tentang persamaan dan perbedaan sistem hukum yang mengatur anak menurut hukum Islam dan hukum Perdata di Indonesia Penelitian yang memfokuskan pembahasannya pada tema besar status anak dalam pernikahan bawah tangan dalam perspektif hukum Islam dan hukum Perdata diIndonesia ini, setidaknya memberikan kegunaan berupa: 1. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui konsep mengenai status anak dalam perspektif hukum Islam dan hukum Perdata di Indonesia. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap tuntutan dinamika keilmuan, terutama pembaharuan hukum Islam di Indonesia. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang mengacu pada peraturanperaturan tertulis dan bahan-bahan hukum yang lainnya yang merupakan 11 data, selain itu juga untuk melihat bagaimana penerapannya atau pelaksanaanya dalam masyarakat melalui penelitian lapangan, juga bisa dilakukan dengan meninjau, melihat, serta menganalisis masalah dengan menggunakan pendekatan pada prinsip-prinsip dan asas-asas hukum.9 Metode pendekatan ini akan berfungsi sebagai pembatas masalah, sehingga apa yang akan terjadi yang menjadi permasalahan tidak meluas dan tidak mengurangi kebenarannya. Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library Research), yaitu dengan meneliti sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitanya dengan pembahasan. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik , yaitu mengumpulkan dan memaparkan pandangan hukum Islam dan hukum Perdata tentang status. anak tersebut, kemudian menganalisis dengan menggunakan teori yang sudah ada. 3. Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah berupa analisis deduktif, yaitu menganalisis data dari yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus. Disamping itu digunakan juga Metode Komparatif untuk membandingkan antara kedua sistem hukum tersebut sehingga diperoleh gambaran yang jelas baik dari sisi perbedaan maupun persamaannya. 9 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 1991), h 12 12 4. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skrisi ini, penuis berpedoman pada buku pedoman skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang Di Terbitkan Oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum Tahun 2007. F. Sistematika Pembahasan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bagian ini merupakan arahan dan acuan kerangka penelitian serta sebagai bentuk pertanggung jawaban penelitian. Bab II Dalam Bab ini Membahas Perkawinan dan tata caranya, Pengertian Anak Luar Nikah, Pembagian Jenis Anak Luar Nikah, Status Anak Luar Nikah, Penjelasan Atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Bab III Dalam Bab ini Membahas Pengertian Judicial Review, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Tata Unsur Bidang, Kewenangan MK. Bab IV Dalam Bab ini Membahas Anak Luar Nikah Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, Anak Luar Nikah Dalam Putusan MK, Analisi Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Anak Luar Nikah. Bab V Dalam Bab ini Menjelaskan Tentang Kesimpulan, Penutup, Dan Saran-Saran. BAB II STATUS ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM KELUARGA A. Perkawinan dan Tata Caranya Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlick Wetboek. Menurut pasal 26 BW bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang di tetapkan dalam kitab undang-undang hukum perdata.1 Anak adalah salah satu tujuan dari adanya suatu pernikahan atau perkawinan, yang dikatakan dengan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, bila hanya dikaitkan dengan ibu. bila dikaitkan dengan kedua orangtua, ibu dan bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya pernikahan yang sah antara kedua orangtuanya. Anak merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada hambanya, tidak semua insan di dunia diberi kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. oleh karena itu kehadiran anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan yang tiada tara, oleh karena itu harus dan wajib disyukuri dan tidak disangsikan lagi bahwa putra dan putri merupakan cinderamata yang tidak diragukan lagi, karena merupakan belahan jiwa setiap jiwa. Mereka adalah sumber kebahagiaan dan kesejukan yang mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia. karena mereka jugalah rezeki dicari dan lantarannya pula cita-cita dan harapan di gapai. 1 Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata (Jakarta : PT Intermasa, 2001), h.23. 13 14 Sudah menjadi Sunnahtullah, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup, hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat baik terhadap kedua pihak maupun terhadap keturunannya serta masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama ini. Seperti syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya hidup bersama itu. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam tentang perkawinan tersebut, maka akan dikemukakan beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli dan para sarjana seperti dikutip dibawah ini : 1. Hilman Hadikusuma, mengemukakan, “Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, sedangkan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci (sakramen, samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah 15 tangga serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masimg-masing”.2 2. HA. Zahri Hamid, memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut : “Pernikahan atau perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam”.3 Dari pendapat tersebut maka dapat diketahui bahwa pada umumnya pengertian perkawinan itu selalu dihubungkan dengan agama. Perkawinan merupakan hubungan laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada perikatan yang suci atas dasar hukum agamanya, bahwa pasangan yang berlainan jenis ini bukan sekedar untuk hidup bersama tetapi lebih dari itu, yakni mendirikan keluarga yang hidupnya bahagia.4 Sementara itu Undang-undang Perkawinan juga memberikan pengertian tentang perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan yang telah disebutkan sangatlah berbeda dengan pengertian menurut burgelijke wetboek yang memisahkan hukum perkawinan dengan ketentuan agama. Pasal 26BW mengatakan bahwa 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat-Hukum Agama, Bandung, CV Mandar Maju, 1990, hlm. 8 dan 10. 3 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1976, hlm. 1 4 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan diIndonesia, Bandung, Bina Cipta, 1976, hlm. 1 16 perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang hanya memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan artinya pasal ini hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.5 1. Asas-Asas Perkawinan Dalam Undang-undang perkawinan ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan. Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya dalam waktu yang bersamaan, seorang suami atau istri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain.6 Prinsip monogami ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa : “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Begitu pula berdasarkan ketentuan dalam ayat 3 Surat An-Nissa’, maka hukum Islam yang membolehkan poligami, ternyata menganut asas monogami. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat terakhir dari ayat 3 Surat An-Nisaa’ tersebut, yang menyatakan : “Kemudian jika kamu takut tidak 5 R. Subekti,Op-cit hlm. 25. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 265. 6 17 akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Dari ayat ini jelas, bahwa Allah SWT menganjurkan kita untuk beristri hanya seorang saja, karena apabila beristri lebih dari seorang dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil.7 Sementara itu perkawinan poligami diperbolehkan dalam hal-hal tertentu sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih seorang istri, meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan.” Bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Begitu juga apa yang ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sementara itu mengenai pengecualian poligami lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa : 7 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, hlm 266. 18 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (2) Persetujuan yang di maksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 2. Syarat Sahnya Perkawinan Suatu perkawinan dinyatakan sah apabila telah dilangsungkan menurut ketentuan yang diatur oleh negara berarti harus memenuhi syaratsyarat dan acara-acara yang ditentukan dalam hukum positif suatu negara. Pada umumnya cara untuk mendapatkan pengakuan ini berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974 telah diberlakukan Undang-undang Perkawinan sebagai hukum positif yang bersifat nasional dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu : Ayat (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 19 Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Hazairin menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-undang Perkawinan pertama-tama adalah hukum agama masing-masing pemeluknya.8 Oleh karena itu pengesahan perkawinan dilaksanakan menurut masing-masing hukum agama atau kepercayaan terlebih dahulu baru kemudian dicatat, jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk melanggar agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Budha seperti yang dijumpai di Indonesia maka suatu perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak perkawinan itu sendiri tidak dapat dicatatkan dikantor perkawinan, dengan perkataan lain, juga bukan perkawinan yang sah menurut hukum negara dan perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.9 Selanjutnya untuk menegaskan kembali bahwa yang menentukansah atau tidak suatu perkawinan adalah hukum agama masing-masing pihak yang ingin melangsungkan perkawinan maka dikeluarkanlah surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) 17 April 1989 kepada gubernur diseluruh Indonesia tentang catatan sipil. Surat ini dikeluarkan untuk menegaskan kembali 8 Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974, Jakarta, Tinta Mas, 1975, hlm. 56. 9 Wila Chandrawita Supriadi, Agama dan Kepercayaan, Projustitia 3 Juli 1997, hlm. 98. 20 proses pelaksanaan perkawinan yang telah ditetapkan Undang-undang Perkawinan dan Peraturan pelaksana Nomr 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam surat ini ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil pada hakekatnya dilakukan setelah pelaksanaan perkawinan menurut ketentuan suatu agama.10 Dalam praktik sering terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun perkawinan tersebut telah dilangsungkan secara agama dan kepercayaanya itu, kalau suatu perkawinan tidak dicatatat walaupun secara agama sah tapi perkawinan tersebut tidak diakui oleh Negara sehingga mengakibatkan hak istri dan anak terlanggar. Jadi menurut Undangundang Perkawinan, perkawinan sah apabila Pasal 2 ayat (1) Undangundang Perkawinan dipenuhi dan kemudian dicatat sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Mengenai sahnya perkawinan ditafsirkan berbeda beda oleh para ahli hukum Djoko Prakoso dalam bukunya menyatakan dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi pencatatan bukan syarat yang menentukan sahnya perkawinan.11 10 11 Surat Edaran Mendagri 1989. Djoko Prakoso, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), hlm. 20. 21 3. Syarat-Syarat Perkawinan Di Indonesia bagi yang ingin melangsungkan perkawinan harus melalui beberapa prosedur yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan, di bawah ini akan dibahas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam hal melangsungkan perkawinan. Syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut : a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun. d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 22 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. f. Suami istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. Syarat-syarat perkawinan dalam hukum Islam yakni harus memenuhi rukun dan syarat nikah, maksud dari syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan adalah: 23 a. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan. b. Dewasa. c. Kesamaan agama Islam. d. Tidak dalam hubungan nasab. e. Tidak ada hubungan (rodhoah) f. Tidak semenda (mushoharoh) Rukun perkawinan bagi masyarakat Islam merupakan segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan, maksudnya apabila syarat-syarat perkawinannya telah terpenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang harus dipenuhi.12 Rukun perkawinan mewajibkan adanya: a. Calon pengantin pria dan wanita. b. Wali. c. Saksi. d. Akad Nikah. B. Pengertian Anak Luar Nikah Anak sebagai keturunan dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Agama Islam memelihara keturunan, agar jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam menetapkan bahwa keturunan itu menjadi hak anak, anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin 12 R. Abdul Djamali, Hukum lslam, (Bandung: Madar Maju, 2002), hlm. 87. 24 menimpa dirinya.13 Namun tidak semua anak memiliki hak penuh sebagai anak. Anak-anak yang tidak beruntung ini oleh hukum dikenal dengan sebutan anak luar nikah. Sebagai anak luar nikah atau anak tidak sah tentu kedudukan hukumnya berbeda, yaitu yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan mereka yang tentu saja amat tidak menguntungkan. Anak-anak luar nikah baik yang lahir dari perkawinan yang tidak sah maupun hasil perbuatan zina, diasumsikan banyak terdapat di Indonesia dan sebagian besar dari mereka adalah berasal dari orang-orang yang beragama Islam.14 Anak luar nikah merupakan istilah yang dibentuk dari satu kata dan dua frasa yaitu kata anak dan frasa luar nikah. Anak menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.15 Dari segi lain kata "anak" dipakai secara umum baik untuk manusia maupun untuk binatang bahkan untuk tumbuh-tumbuhan. Dalam perkembangan lebih lanjut kata "anak" bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia tapi juga dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau anak Jawa, berarti anak itu lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.16 Anak dalam pengertian umum yang terdapat dalam masyarakat adalah seseorang manusia yang masih dibawah umur atau seorang manusia yang belum dewasa atau baligh. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa : 13 Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.13. 14 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.45. 15 Fuad Mod. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h.35. 16 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada, 2006) , h.78. 25 "Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan". Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, "anak adalah manusia yang masih kecil" atau "anak-anak yang masih kecil (belum dewasa)".17 Pengertian anak dalam hukum Islam dan hukum keperdataan adalah dihubungkan dengan adanya keluarga. Anak dalam hubungannya dengan keluarga terdapat istilah seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya. Diferensiasi pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial dari masingmasing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial fungsi, makna dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sangat berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum, sosial, ekonomi, politik dan HANKAM. Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.18 Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses ratifiksi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur17 DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Perkembangan Bahasa, Balai Pustaka, 1998), h.31. 18 (Jakarta: Pusat Pembinaan Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Penindang-imdangan (Medan: Pusataka Bangsa, 2008), h.46. 26 unsur ilmiah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilainilai spiritual yang diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam).19 Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al-Quran surat al-Isra (17) ayat 70: Artinya: "Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan." Ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur'an meletakan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus yang diperoleh melalui kehendak sang pencipta Allah SWT. Statement yang diberikan oleh Islam menjadikan bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum semakin objektif dalam memandang proses advokasi dan hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai khalifah fi al-ardhi di tengah-tengah masyarakat millennium ini. Pengertian status anak yang diberikan masing-masing sarjana hukum mengandalkan teori-teori yang dilandaskan pada alam semesta (natural of law) yang menekankan prinsip-prinsip the struggle for life and survival of the fittest (perjuangan untuk hidup yang kuat akan bertahan).20 19 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Penindang-imdangan. Hal 47 20 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung : Mizan, 2000), h.345. 27 Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah Allah SWT dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah anak haras dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Dalam kamus bahasa Arab anak disebut juga dengan ولد,21 satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan kearah abdi Allah yang saleh. Pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam penafsiran kata walad pada ayat 176 surat an-Nisa' yang mempunyai pengertian mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Pandangan ini sangat berbeda dengan ijma para fuqaha dan ulama yang dianut selama ini, bahwa yang dimaksud dengan walad dalam ayat tersebut hanya anak laki-laki saja, tidak termasuk anak perempuan. Namun demikian, pengertian walad dalam nash bisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan.22 Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukan hubungan keturunan dan kata ab tidak berarti mesti ayah kandung.23 Menurut Prof.Dr. Hamka anak ialah aliran dari air dan darah sendiri.24 21 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996),h.2039. 22 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar, 1990), h.95. 23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, jilid XV, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 614. 24 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz. XXI-XXII (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988), h. 195. 28 Adapun luar nikah merupakan makna negasi dari kata nikah atau pernikahan. Sedangkan pernikahan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Pekawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka luar nikah disimpulkan sebagai bukan dalam ikatan pernikahan atau berada di luar pernikahan yang sah baik secara agama dan kepercayaan maupun menurut perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemahaman kedua istilah anak dan luar nikah maka dapat didefinisikan anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian anak diluar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.25 Pengertian anak luar nikah atau luar kawin menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari akibat pergaulan/hubungan seks antara pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan yang sah antara mereka dan dari perbuatan ini dilarang oleh pemerintah maupun agama. Sedangkan dalam penjelasan umum Buku Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 186 disebutkan bahwa anak yang lahir 25 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia , h.80-81. 29 di luar perkawinan hanya mewarisi dari ibunya saja sedangkan terputus hubungan waris dengan ayah biologisnya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan dinamakan anak tidak sah atau anak diluar nikah yang disebut juga anak-anak alami (orrwettige onechte of natuurlijke kindereri). Namun secara tegas menurut hukum positif berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis dengan ibunya tapi tidak ada hubungan biologis dengan bapaknya.26 Berbeda dengan hukum Islam, hukum perdata cenderung lebih membatasi defmisi anak luar nikah yang diistilahkan anak luar kawin dalam Burgerlijk Wetboek hanya dibatasi pada hasil hubungan seksual bagi pelaku yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi.27 Sedangkan Islam mendefinisikan zina adalah untuk semua perbuatan hubungan kelamin baik dilakukan saat status tidak terikat pernikahan maupun dalam status terikat pernikahan yang implikasi status anak yang dihasilkan tetap anak zina. 26 Martiman Prodjohamijojo, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.II (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007), h.53. 27 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.108. 30 C. Pembagian Jenis Anak Luar Nikah Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua macam, yaitu; 1. Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat perkawinan dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin. 2. Apabila orang tua anak luar kawin tersebut masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin. Beda keduanya adalah luar kawin dapat diakui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkenneri) di pinggir akta perkawinannya.28 Dalam hukum Islam anak yang dapat dianggap sebagai anak di luar nikah adalah; 1. Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. 2. Anak mula 'anah, adalah. anak yang dilahirkan oleh seorang istri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh istrinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li 'an terhadap istrinya. 28 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.109. 31 3. Anak syubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara syubhat, yang dimaksud dengan syubhat dalam hal ini menurut Jawad Mughniyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu. 29 Menurut H. Haerusuko banyak faktor yang menyebabkan penyebab terjadinya anak luar nikah di antaranya adalah:30 1. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tetapi wanita tersebut tidak memiliki ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain; 2. Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya itu masih terikat perkawinan yang lain; 3. Anak yang lahir dari seorang wanita akibat perkosaan; 4. Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya; 5. Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai anak yang sah; 6. Anak yang dilahirkan dari seorang wanita padahal agama yang mereka peluk menentukan lain. Misalnya agama katolik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin dan melahirkan anak; 29 Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak diluar Nikah Menurut Hukum Islam (Jakarta: Makalah, KOWANI), h.2. 30 H. Haerusuko, Anak di luar Perkawinan, makalah pada Seminar Kowani, Jakarta, pada tanggai 14 Mei 1996, h.6. dikutip dari Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia , h. 81-82. 32 7. Anak yang lahir akibat pelarangan ketentuan negara mengadakan perkawinan misalnya wni dan wna tidak mendapat izin dari kedutaan besar ; 8. Anak yang lahir dengan tidak mengetahui kedua orang tuanya; 9. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat dari kantor pencatatan sipil atau dari kantor urusan agama; 10. Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanakan secara adat, tidak dilaksanakan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan. Mengenai status anak luar nikah, baik didalam hukum nasional maupun hukum Islam bahwa anak itu hanya dibangsakan pada ibunya, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya.31 Maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah. Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Menurut A. Rahman I. Doi menjelaskan bahwa zina berarti hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan. Hubungan kelamin tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya telah memiliki pasangan hidupnya masingmasing atau belum pernah rnenikah seperti istilah gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukurn perdata.32 Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina yaitu; 31 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 32 Abdur Rahman I.Doi, Hudud dan Kewarisan (Syariah II). Penerjemah Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, cet.I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h.35. 33 1. Zina muhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah. 2. Zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang hams dikenakan hukuman. Hanya saja hukurnan itu kuantitasnya berbeda, bagi penzina mulison dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak luar perkawinan.33 Anak luar kawin ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah antara seorang pria dan wanita, hal ini berarti merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan, dimana anak itu sebenarnya adalah tidak bersalah, tidak berdosa dan seharusnya tidak memikul akibat perbuatan kedua orang tua biologisnya. Kedua orang tua biologisnya lah yang harus bertanggung jawab dan menerima ganjaran.34 Dalam hukum Islam anak ini adalah manusia biasa dan normal serta hak hidupnya yang sama dengan manusia lainnya, ia memiliki hak asasi sama dengan manusia lainnya, hanya ia kehilangan hak seperti hak waris sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah.35 33 Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 35. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Kawin dan Akibat Hukumnya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 75. 34 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Bandung: Bumi Putera, 1991), h.69. 35 Zainudddin All, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h.45. 34 D. Status Anak Luar Nikah 1. Status Anak Luar Nikah Dalam Fiqh Status atau kedudukan merupakan sesuatu yang amat penting bagi seorang seseorang anak karena nantinya akan menentukan hak-hak dan kedudukan anak tersebut dengan orang tuanya. Dalam wacana fiqh, ketika seorang laki-laki mengadakan hubungan seksual dengan perempuan di luar pernikahan yang sah kemudian terjadi kehamilan dari hubungan tersebut maka langkah penyelamatan nasab anak tersebut dilakukan dengan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tersebut. Dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikahi wanita hamil. Mazhab Syafi'i menyatakan sah-sah saja dilangsungkan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh hukumnya untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan.36 Mazhab Hanafi menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas.37 Sedangkan Hambali dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas mengenai pendapat para ulama tentang status hukum akad wanita hamil akibat zina maka selanjutnya akan terkait dengan masalah ada tidaknya 'iddah bagi wanita hamil akibat zina, sehingga akan terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. 36 Muhammad Jawad Mugniyah, Al Ahwal al-Syakhsiyyah a'la Mazahibil Al-Khamsnh , jilid .VI (Beirut: Dar al-'Ilm, Lil Malayin, t.th), h.601 37 Abi 'Isa Muhammad Ibn 'Isa Ibn Suwarah, Al-Jami al-Shahih Wa Huwa Sunan alTurmudzi, "Kitab Nikah", bab "al Ja'a Fi a- Rajuli Yasytani al-Jariyata Wahiya Hamil", jilid.III (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th), h.473. 35 Umumnya mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat wanita hamil akibat zina itu wajib 'iddah maupun tidak, namun sebagian ulama Hanafiyah (Abu Hanifah dan Muhammad) kurang konsisten, dimana setelah meyakini bahwa akad nikah bagi wanita hamil akibat zina hukumnya sah, keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, padahal salah satu tujuan dari akad adalah untuk menghalalkan persetubuhan. bahkan arti nikah sendiri bagi para ahli ushul Hanafiyah adalah "setubuh". Dalam kehati-hatian, yang paling hati-hati tentunya para ulama dari mazhab Malikiyah dan Hanabilah. Mereka melarang wanita hamil akibat zina melakukan pernikahan, bahkan Hanabilah mewajibkan bertobat sebelum melangsungkan akad nikah.38 Tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terpelihara keturunan nasab, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an surat an-Nahl (16) ayat 72 yang berbunyi: Artinya: "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” 38 Al-Basri, Abu al-Hasan 'Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Mawardi, al-Nukad wa al'Uyun: Tafsir al-Mawardi, ed. Ibn 'Abd al-Rahim, jilid.IV (Beirut: Dar al-Kutub al'IlmiyyahMuassasah al Kutub al- Saqafiyah,t.th) h.74. 36 Pengertian nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad pernikahan yang sah. Dari pengertian tersebut maka nasab dapat dihubungkan dengan darah dan perkawinan yang sah. Semua anak yang dilahirkan di dunia ini, baik itu sebagai anak kandung, anak angkat, anak zina mempunyai kedudukan tersendiri. Adanya kedudukan tersebut mempengaruhi dalam menentukan perwalian, nasab, warisan dan hadhanah. Terkait dengan kedudukan anak luar nikah, perspektif fiqh dan menjelma menjadi kesepakatan dalam hukum Islam bahwa anak luar nikah tidak dianggap sebagai anak sah karena itu berakibat hukum ; a. Tidak adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah meski secara biologis dan geneologis anak itu adalah anaknya sendiri. b. Tidak saling mewarisi Sebagai akibat lebih lanjut dari tidak adanya hubungan nasab, antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, maka mereka tidak dapat saling mewarisi satu sama lain. c. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah Pada dasarnya nasab anak luar nikah dihubungkan dengan ibunya ketika suami dari ibunya menolak anak tersebut, sesuai dengan hadis nabi : 37 Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: Anak itu adalah haknya pemilik ranjang dan pezinanya adalah penyesalan. (H.R. Jamaah kecuali Abu Dawud) Maka berdasarkan hadits tersebut menurut jumhur anak itu tidak dinasabkan pada ayah biologisnya meski ayahnya mengatakan itu adalah anaknya.40 2. Status Anak Luar Nikah Dalam UU. No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Menurut hukum perkawinan Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: "Anak sah adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah" dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : " anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 39 Syihabuddin Ahmad Ibnu Ali, Fath al-Bary (Kairo : Musthafa al-Babi al- Halabiy, 1378 H/ 1959M).juz2. no.hadits.52. 40 Cut Aswar, " Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina" dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.68. 38 a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang hukum perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mqfttum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak dan kewajiban secara timbal balik. Secara implisit dapat ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara hukum Islam dengan hukum perkawinan nasional dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak dinyatakan secara tegas hubungannya dengan bapak biologis dalam pasal tertentu. 39 E. Penjelasan Atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawian Penjelasan Umum : 1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku berbagai golongan dalam masyarakat kita. 2. Dewasa ini berlaku sebagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut: a. bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat; b. bagi orang-orang Indnesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S.1993 Nomor 74); d. bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hokum adat; f. bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengam mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata. 40 3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatukan pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawina ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuanketentuan Hukum Agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. 4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntunan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawina adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, 41 kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agamadari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seoarang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip 42 untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu seta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan di putuskan bersama oleh suami-istri. 5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undangundang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada. BAB III JUDICIAL REVIEW DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Pengertian Judicial Review Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundangundangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung MA. Lebih jauh simak artikel perbedaan judicial review dengan hak uji materil. Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA - yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review. Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga 43 44 mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu. Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan revisi. Simak juga artikel Hierarki Peraturan Perundang-undangan (2). Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang. 45 B. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Tata Unsur Bidang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik, dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewajiban Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: 1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa a) penghianatan terhadap negara; b) korupsi; c) penyuapan; d) tindak pidana lainnya; 2. Atau perbuatan tercela, dan/atau 3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 46 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).41 Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) .42 berwenang untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 41 42 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ibid 47 b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan e. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam 48 Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel. Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.43 Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya Mahkamah Konstitusi.44 43 44 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK 49 C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sesuai dengan ketentuan pasal 24C ayat (1) 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembuburan partai politik, dan memutus hasil pemilihan umum. Selain itu, pasal 24C ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut undang-undang dasar. Berdasarkan kewenagannya untuk menguji konstitusionalitas, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentengan dengan undang-undang dasar. Begitupun terhadap suatu undang-undang, mahkamah konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan UUD. Dengan demikian, undangundang yang di hasilkan oleh legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh adanya pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi.45 Keberadaan lembaga pemutus sengketa kewenagan antar lembga Negara, sebagaimana ditugaskan kepada Mahkamah Konstitusi sekarang ini.46 Dengan uraian diatas tampak secara jelasperan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam system check and balances antar lembaga Negara. 45 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya Dalam system ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rineka cipta, 2006), hal. 31 46 Agung Susanto, Hukum acara perkara konstitusi: Prosedur Berpekara pada Mahkamah konstitusi, (Bandung: Mandar Maju,2006), hal 8 BAB IV ANAK LUAR NIKAH DALAM JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Anak Luar Nikah dalam UUD No 1 Tahun 1974. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Subekti perkawinan merupakan pertalian yang sah antara laki-laki dengan perempuan. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh laki-laki dan perempuan yang akan menjadi suami istri. Jika sudah mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan maka suami istri akan memiliki tanggungan dengan lahirnya anak. Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT Kepada orang tua, Masyarakat, Bangsa, Negara sebagai pewaris dari ajaran Islam, Pengertian ini memberikan Hak atau melahirkan Hak yang harus diakui, diyakini dan diamalkan.47 Ketentuan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 31.48 Anak dianggap sebagai subjek hukum karena memiliki hak dan kewajiban. Sayangnya terdapat aturan yang menganggap seorang anak tidak pernah ada jika anak mati ketika dalam kandungan. Dalam ajaran Islam, 47 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan, 1975, 48 Al Qur”an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1987, h. 428 h. 123. 50 51 Anak adalah amanat Allah kepada kedua orang tuanya, Masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai waris dari ajaran Islam, anak menerima setiap ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya49. Dalam hal ini anak yang lahir dari hubungan luar kawin yaitu laki-laki dan perempuannya tidak terikat perkawinan. Jika diakui sesuai aturan hukum adalah sah dan menjadi salah satu ahli waris menurut Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPer. Dalam pemahaman defenisi anak luar kawin harus jelas. Karena anak luar kawin dikelompokkan menjadi tigayaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang. Harus dibedakan pengaturannya dalam Pasal 272 jo 283 KUHPer mengatur tentang anak zina dan sumbang. Hanya anak luar kawin yang berhak mewaris sesuai yang memiliki akan untuk menjadi ahli waris. Ketentuan hukum.50 memberikan akibat hukum berbeda-beda atas status anak. Anak zina dan anak sumbang pada dasarnya merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah. Namun jika dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata. Anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda. Zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian.51 Mereka dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi sesuai Pasal 30 ayat (2) KUHPerdapat dikui dan disahkannya anak 49 Safuddin Mujtaba dalam Iman Jauhari (I),Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam,Pustaka Bangsa Press, Jakarta, h. 84. 50 51 Pasal 280 KUHPerdata Pasal 283 KUHPer jo Pasal 273 KUHP 52 sumbang menjadi menjadi anak sah berdasarkan Pasal 273 KUHPer. Namun perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina. MKRI sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD. Amanat dari konstitusi tersebut yang salah satunya memberikan kesempatan kepda MKRI untuk melakukan terobosan dan perubahan atas Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974. Sesuai dengan prinsip erga omnes maka putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 bersifat mengikat kepada publik dan tidak hanya pada para pihak yang berperkara di persidangan MKRI. Sehingga tidak mengherankan lahirnya pro dan kontra atas putusan MKRI yang memberikan pengakuan anak luar kawin terhadap hubungannya dengan biologisnya. Karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan dengan ayahnya. Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan tersebut berbunyi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Alasan hukum yang melatarbelakangi rechtfinding tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada 53 padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan. Putusan MKRI dengan terobosan hukumnya tersebut membuka titik terang hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan darah antara anak dan ayah dalam arti biologis bis dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Membuka kemungkinan hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin. Subjek hukum tersebut akan bertanggungjawab sebagai bapak biologis dan bapak hukumnya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum. Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan dengan cara ; 1. Pengakuan oleh sang ayah biologis; 2. Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut. Putusan MKRI menguatkan kedudukan ibu atas anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari anak luar kawin. Jika terdapat kemungkinan yang terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan sukarelaanak luar kawin. Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya.Pada saat itu juga akan timbul hubungan perdata dengan ayah biologis dan keluarganya dengan anak luar kawin yang diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan Pasal 280KUHPer yaitu “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.” 54 Namun selain berita untuk pengakuan anak luar kawin. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan MKRI No. 46/PUU-VIII/2010 tidak ada disebutkan mengenai akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin.Menjawab rumusan masalah dalam tulisan bahwa putusan MKRI berimplikasi status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Akta kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tahun Perkawinan. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.” Akta kelahiran anak luar kawin hanya tercantum nama ibunya. Hal ini jelas karena pada saat pembuatan akta kelahiran anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Dalam akta kelahiran anak luar kawin akan terdapat redaksi dilahirkannya seorang anak dengan nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sayangnya perlu dicatat bahwa bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest/sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini 55 diatur dalam Pasal 283 KUHPer. Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan yang berarti kedua tidak terikat perkawinan. Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan sedarah sedangkan anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan salah satu atau keduanya memiliki ikatan perkawinan lain. Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Anak luar kawin yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah biologisnya Pasal 280 KUHPer. Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu overspelig atau bloedsrhenning anak zinah. Ayah biologis dan anak luar kwain hanya terjadi hubungan perdata jika ada pengakuan yang diatur dalam Pasal 280 KUHPer. Tanpa pengakuan dari ayah biologis dan/atau ibunya, pada dasarnya anak itu bukan anak siapa-siapa dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun. Hubungan hukumorangtua dan anakyang sah didasarkan atas adanya hubungan darah. Hubungan hukumanak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya adalah hubungan darah. Hubungan darah dalam hal ini dipahami adalah pengakuan secara yuridis tidak hanya sekedar pengakuan biologis saja. 56 Jika berbicara soal kedudukan anak luar kawin di dalam hukum faktanya lebih rendah dibanding dengan anak sah. Bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Untuk dapat menjadi seorang ahli warisnya KUHPer telah menetapkan berdasarkan Pasal 832 KUHPer harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Terdapat juga kemungkinan dengan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPer. Sedangkan berdasarkan Pasal 836 KUHPer, ahli warisharus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Dengan disimpangi oleh Pasal 2 KUHPeryang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Dalam Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar kawin yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Maka anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat haruslah dilakukan dengan sukarela yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang. Sesuai Pasal 281 KUHPer untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin, bapak atau ibunya dan/atau kuasanya 57 berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. Pengakuan dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sesuai Pasal 281 ayat (2) KUHPer jo Pasal 272 KUHPer. Dengan adanya pengakuan ini akan berakibat anak luar kawin menjadi seorang anak sah. Melalui akta otentik seperti akta notaris yang diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPer dapat juga dilakukan untuk pengakuan anak luar kawin. Serta cara pengkauan terakhir dapat dilakukan dengan pembuatan aktaoleh pegawai catatan sipil untuk melakukan pendaftaran kelahiran catatan sipil. Pengakuan paksaan juga bisa dilakukan atas anak luar kawin. Dilakukan oleh anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri.Supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 287-289 KUHPer. Dengan syarat anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin yang terlahir dari ibu dan bapaknya yang tidak terikat perkawinan yang sah serta tidak tergolong anak zina atau anak sumbang. B. Anak Luar Nikah Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Kedudukan anak luar 58 kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) dari anak luar kawin. Dalam diskusi tersebut, menanggapi Putusan MK terhadap pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, . UU Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i. Apabila pasal 43 UU Perkawinan dihubungkan pasal 42 UU tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah. Disamping itu, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini sejalan dengan konsep Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya. Agama Islam menganut prinsip bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar kawin sekalipun. Putusan MK tersebut, UU No.8/2011 tentang Perubahan Atas UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Sekalipun pasal 1917 BW jo. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan 59 dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa, namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu UU terhadap UUD, karena itu putusan MK tentang anak luar kawin tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara.52 Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK dimaksud harus dibaca spiritnya sebagai “Payung Hukum Untuk Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah” sebagaimana diatur dalam UU N0. 1 Tahun 1974 jo. PP 9/1975 jo. INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus dilaksanakan secara proporsional yakni dikembalikan kepada peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adat istiadat setempat dengan tidak menafikan hukum agama yang bersangkutan. Putusan MK tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar nikah dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun l974. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep wasiyat wajibah. Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/ biaya penghidupan 52 Lihat Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 60 anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Inilah yang memicu timbulnya protes terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Andaikata dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum agamanya, niscaya tidak menimbulkan kontroversi.53 C . Analisis putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak luar nikah Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT Kepada orang tua, Masyarakat, Bangsa, Negara sebagai pewaris dari ajaran Islam, Pengertian ini memberikan Hak atau melahirkan Hak yang harus diakui, diyakini dan diamalkan.54 Ketentuan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 31 Masalah anak dalam pandangan Al-Qur’an menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya yaitu tanggung jawab Syariat Islam yang harus diemban dalam kehidupan berumah tangga, masyarakat bangsa dan Negara sebagai suatu yang wajib. Ajaran Islam meletakkan tanggung jawab dimaksud pada dua aspek yaitu : Pertama, aspek dhuniawiyah yang meliputi pengampunan dan keselamatan di dunia kedua, aspek ukhrawiyah yang 53 54 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan, 1975,h. 123. 61 meliputi pengampunan dan pahala dari tanggung jawab pembinaan, pemeliharaan dan pendidikan diatas dunia. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : a. Perorangan warga negara indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. c. Badan hukum public atau privat, atau d. Lembaga Negara 62 Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Th.1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: 1. kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UU No 1 Th 1974 tentang UUD NRI Th. 1945 Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “Setiap orang Pasal 2 ayat 2 berhak membentuk “Tiap-tiap keluarga dan melanjutkan keturunan menurut perkawinan peraturan dicatat perundang- melalui perkawinan yang sah “ undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 Pasal 43 ayat 1 “Setiap anak berhak atas kelangsungan “Anak yang dilahirkan di luar hidup, tumbuh, dan berkembang serta perkawinan hanya mempunyai berhak atas perlindungan dari kekerasan hubungan perdata dengan ibunya dan diskriminasi “ Pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ dan keluarga ibunya “ 63 Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. 64 Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan. Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya55. “Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas 55 Sirait Merdeka Aris, 2012. Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 46/PUU-VIII/2010, Tangga; 13 Februari 2012 Tentang Status Anak Luar Kawin 65 nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.56 Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?” Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta 56 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 66 kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut. Berdasarkan KUH Perdata dan UU Putusan MK Nomor 46/PUUPerkawinan VIII/2010 Surat Keterangan Hak Waris bisaanya Anak luar kawin berdasarkan dibuat oleh Notaris yang berisikan putusan MK keterangan mengenai pewaris, para ahli membuktikan ini dapat dengan ilmu waris dan bagian-bagian yang menjadi pengetahuan jika anak memiliki hak para ahli waris berdasarkan Kitab hubungan darah dengan ayahnya. Undang-Undang Hukum Perdata. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH pengetahuan Perdata bisa mendapat bagian waris pewaris melalui proses pengakuan maka adanya perbuatan anak anak tersebut yang mempunyai hak waris yang sama ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun besarnya dengan merupakan dengan ahli waris hukum lainnya. pengakuan ini sang anak maksimal Peraturan pelaksana putusan MK mendapat 1/3 bagian waris. ini belum ada sehingga masih Ketika pewaris meninggal, timbulah terdapat warisan dan ahli waris. Keberadaan bagaimana kekosongan anak luar hukum kawin 67 anak luar kawin yang sudah ditetapkan mendapat jaminan ia akan pengadilan tetap akan mendapatkan mendapatkan warisannya. bagian waris. Apabila ahli waris lain Kemajuan yang dibuat putusan menolak, nama sang ahli waris (anak MK luar kawin yang ini setelah mendapatkan pembuktian dilakukannya melalui ilmu pengakuan) sudah tercatat dan harus pengetahuan ahli waris lain tidak dimasukkan dalam surat keterangan dapat waris. menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara Notaris akan mengecek terlebih dahulu ilmu pengetahuan anak luar kawin berapa jumlah ahli waris yang tercatat ini adalah anak dari pewaris. oleh Negara. Dengan demikian jika ahli Surat keterangan waris di luar anak luar kawin yang dibuat namun waris dapat dapat terjadi mendapat pengakuan menyangkal, surat permasalahan dalam administrasi keterangan waris tidak dapat dibuat. pengurusan surat keterangan waris. Menurut analisis penulis berdasarkan ulama mazhab fiqih yang empat sepakat menyatakan bahwa nasab merupakan pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, kebawah, maupun kesamping. Nasab juga sebagai dasar fondasi yang kuat dalam membina dan melestarikan keutuhan kehidupan manusia, sebab pada hakikatnya nasab juga merupakan nikmat dan karunia besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, nasab harus dijaga kemurniannya. Disamping itu, nasab juga 68 merupakan persoaalan pokok kaitannya dengan struktur hukum keluarga yang lain, seperti hak hadhanah, nafkah, hukum kewarisan, dan masalah perwalian. Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan timbulnya hubungan nasab antara anak dengan orangtuanya, baik ayah maupun ibu. Dalam hal ini ulama mazhab fiqih yang empat sepakat menyatakan bahwa nasab anak kepada ibu kandungnya bisa disebabkan oleh adanya kelahiran, baik didasarkan atas pernikahan maupun di luar akad pernikahan. Hal ini bisa terjadi sebab disehubungan nasab yang bisa diperhitungkan secara yuridis adalah nasab anak kepada ayah kandungnya,bukan kepada ibu kandung, sehingga bisa dikatakan bahwa budaya masyarakat Islam adalah “patrilineal”, yaitu masyarakat yang mengutamakan garis keturuna dari pihak ayah. Adapun nasab anak kepada bapak kandungnya bisa ditetapkan melalui tiga faktor, yaitu melalui pernikahan yang sah, pernikahan fasid, dan melalui hubungan badan dengan syubhat. ketiga hal tersebut telah disepakati sebagai faktor-faktorpembentuk nasab anak kepada ayah kandung nya. Nasab adalah nikmat dan karunia besar yang diberikan Allah kepada hambanya, di mana ia hanya bisa ditimbulkan melalui cara dan jalan yang diizinkan Allah, yaitu pernikahan, bukan melalui perzinahan yang statusnya sebagai tindak pidana atau jarimah, sebab pelaku tindak pidana hanya layak mendapatkan hukuman bukan memperoleh nasab yang merupakan mikamt dari Allah.57 Putusan MK terkait anak yang dilahirkan di luar pernikahan, sebagai bentuk dikabulkannya permohonan uji materi atas pasal 43 ayat (1) UU 57 hal.216. M.Nurul Ifan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam (Jakarta : AMZAH, 2013) 69 perkawinan, walaupun kontroversi dan bahkan menimbulkan polemik berkepanjangan, namun hal ini harus diakui sebagai gebrakan atau terapi kejut bagi dinamisasi hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal ini penulis temukan pada fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya melalui ketentuan hukum : 1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. 2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. 3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. 4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl). 5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan: a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. 6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Fatwa MUI tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya sungguh sebagai sebuah fatwa yang sangat arif, bijak, 70 akomodatif, dan inspiratif bagi perkembanga dan dinamisai hukum Islam Indonesia, bukan hanya bidang hukum keluarga, tetapi juga merambah pda bidang hukum pidana Islam. Fatwa ini juga sebagai jawaban dan sekaligus jalan keluar terbaik bagi semua pihak, bahkan bisa sebagai masukan sangat berarti bagi pemerintah untuk segera membuat PP atau bahkan PERMA terkait putusan MK tentang anak yang lahir diluar perkawinan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah berdasarkan pasal 42, sedangkan pasal 43 Ayat (1) anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ayat (2) kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pada pasal 44 Ayat (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. Ayat (2) pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. 2. Sebelum adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan setelah adanya putusan MK No 46/PUUVIII/2010, anak dari hasil luar nikah tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. 71 72 3. Dalam terkait status anak luar nukah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah wanita hamil. Mazhab Syafi’I menyatakan sah-sah saja dilakukan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh hukumnya untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan. Terkait dengan kedudukan anak luar nikah, perspektif fiqih dan menjelma menjadi kesepakatan dalam hukum islam bahwa anak luar nikah tidak dianggap sebagai anak sah karena itu berakibat hukum : tidak adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, secara yuridis formal ayah tidak wajib menafkahkan meski secara biologis dan geneologis. tidak saling mewarisi, tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah. B. Saran 1. Di harapkan kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Pohuwato, jangan sekali-kali melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena akan menimbulkan ketidak pastian hukum, dalam hal ini yang disebut perkawinan siri yang tentunya banyak merajalela dikalangan masyarakat saat ini. 2. Mengingat banyaknya nikah siri di kalangan masyarakat, khususnya di daerah Pohuwato, maka kepada Pemerintah kiranya dapat lebih aktif 73 dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum tentang nikah siri dan dampaknya bagi anak. Karena dampak dari pernikahan ini sangatlah merugikan khususnya buat anak yang dilahirkan dari pernikahan siri nantinya. 3. Karena pada realitanya perkawinan siri ini susah untuk di hilangkan pada kebiasaan masyarakat populer saat ini ataupun akan datang, di tambah lagi sudah terbitnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 mengenai revisi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1. Maka diharapkan kepada aparat pemerintah agar dapat membuat aturan yang pasti mengenai perkawinan siri. DAFTAR PUSTAKA Al Barry, Zakariya Ahmad, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996 Ali, Syihabuddin Ahmad Ibnu, Fath al-Bary, Kairo : Musthafa al-Babi alHalabiy, 1378 H/ 1959M Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Aris Sirait Merdeka, 2012. Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 46/PUU-VIII/2010, Tangga; 13 Februari 2012 Tentang Status Anak Luar Kawin Asar, Cut, " Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina" dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.III Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994 DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa, Balai Pustaka, 1998 Djamali, R. Abdul, Hukum lslam, Madar Maju, Bandung, 2002 Djamil, Fathurrahman, Pengakuan Anak Luar Kawin dan Akibat Hukumnya Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994 Fachruddin, Fuad Mod., Masalah Anak Dalam Hukum Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991 _______________., Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991 Habib, Al-Basri, Abu al-Hasan 'Ali ibn Muhammad ibn, Al-Mawardi, al-Nukad wa al-'Uyun: Tafsir al-Mawardi, ed. Ibn 'Abd al-Rahim, jilid.IV, Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyyah-Muassasah al Kutub al- Saqafiyah,t.th Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat-Hukum Agama, Bandung, CV Mandar Maju, 1990 Haerusuko, Anak di luar Perkawinan, makalah pada Seminar Kowani, Jakarta, pada tanggai 14 Mei 1996, dikutip dari Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia 74 75 Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Isalam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1976 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz. XXI-XXII, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988 Hasan, Ayyub, Fikih Keluaraga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Maret 2004 Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974, Jakarta, Tinta Mas, 1975 I. Doi, Abdur Rahman, Hudud dan Kewarisan (Syariah II). Penerjemah Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, cet.I, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996 Ifan M.Nurul, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam Jakarta : AMZAH Jauhari, Iman, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam Peraturan Penindang-imdangan, Medan: Pusataka Bangsa, 2008 dan Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Dakwah alIslamiyah Shabab al-Azhar, 1990 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada, 2006 Mugniyah, Muhammad Jawad, Al Ahwal al-Syakhsiyyah a'la Mazahibil AlKhamsnh , jilid .VI, Beirut: Dar al-'Ilm, Lil Malayin, t.th Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Prakoso, Djoko, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara,1987 Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: Bumi Putera, 1991 Prodjohamijojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.II, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007 Satrio, J., Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, Bandung : Mizan, 2000 _______________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, jilid XV, Jakarta: Lentera Hati, 2004 76 Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata Jakarta : Pt intermasa 2001 Supriadi, Wila Chandrawita, Agama dan Kepercayaan, Projustitia 3 Juli 1997 Susetyo, Yuli Fajar, Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, Jakarta: Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, 2007 Suwarah, Abi 'Isa Muhammad Ibn 'Isa Ibn, Al-Jami al-Shahih Wa Huwa Sunan al-Turmudzi, "Kitab Nikah", bab "al Ja'a Fi a- Rajuli Yasytani al-Jariyata Wahiya Hamil", jilid.III, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th Tahido, Huzaemah, Kedudukan Anak diluar Nikah Menurut Hukum Islam, Jakarta: Makalah, K.OWANI Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Prektek, Jakarta, Sinar Grafika, 1991