BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan proses yang terjadi di permukaan bumi dan umumnya bersifat merusak seperti erosi, pelapukan, glasiasi, pengendapan, dan sebagainya. Sedangkan proses endogen merupakan proses yang terjadi di bawah permukaan bumi dan umumnya bersifat membangun. Seperti aktifitas vulkanisme, pengangkatan, perlipatan, dan sebagainya. Sedangkan menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai geologi bentang alam tersebut. Proses merupakan yang sedang terjadi pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan menjelaskan seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung dalam memodifikasi kondisi awal dari bentang alam. Analisis geomorfologi dilakukan melalui interpretasi foto udara/citra satelit dan peta topografi, sehingga diperoleh data kelurusan, pola kontur topografi, pola sungai, sudut lereng, kemiringan lapisan (dip slope), bentukan lembah sungai dan tingkat erosi yang terjadi. Data tersebut diolah dan dianalisis untuk menentukan satuan geomorfologinya berdasarkan klasifikasi Lobeck (1939) serta untuk memperkirakan proses geologi yang mempengaruhi pembentukannya. Jadi, analisis geomorfologi perlu dilakukan dalam sebuah pemetaan geologi, karena dari analisis geomorfologi dapat dibuat hipotesa awal bagaimana proses geologi bekerja dan membentuk bentang alam yang ada pada saat ini. 12 3.1.1 Penafsiran Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian, berdasarkan pada pengamatan peta topografi dan observasi langsung di lapangan, berupa bentangan alam bergelombang yang terdiri dari punggungan, perbukitan, dan lembah. Pada daerah penelitian titik tertinggi ± 987 m dpl di bagian Timur Laut (puncak Pasir Gombong). Beberapa puncak ketinggian lainnya antara lain 941 m dpl (puncak Pasir Subleg), 857 m dpl (puncak Pasir Bungbulang), dan beberapa puncak tinggi lainnya yang mewakili perbukitan di daerah penelitian. Perbedaan relief pada bentang alam di daerah penelitian disebabkan oleh perbedaan respon batuan terhadap proses yang terjadi di permukaan. Reaksi ini berupa proses yang terjadi dan tingkat ketahanan batuan terhadap proses denudasi yang berlangsung. Morfologi tinggian dan relief terjal merupakan ekspresi dari litologi yang resisten, dengan litologi berupa breksi, endapan vulkanik, dan batupasir. Sedangkan dataran dan lembah yang memiliki relief yang landai merupakan ekspresi dari litologi yang kurang resisten, dengan litologi berupa perselingan batupasir-batulempung. Daerah penelitian tersusun atas morfologi punggungan dan lembah dengan perbedaan elevasi yang relatif tajam. Keberadaan punggungan dan lembah tersebut mencerminkan perbedaan tingkat ketahanan material penyusunnya terhadap proses erosi yang terjadi. Punggungan dan perbukitan tersusun atas batuan dengan material penyusun yang relatif keras sehingga cukup stabil dan resisten terhadap proses denudasi dan struktur yang mempengaruhinya. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa punggungan dan perbukitan di daerah penelitian tersusun atas batupasir-batulempung, batugamping dan material vulkanik. Dataran dan lembah yang terletak di bagian Tenggara daerah penelitian disusun oleh batulempung dan Napal yang kurang stabil terhadap proses denudasi dan struktur yang mempengaruhinya. 13 Gambar 3.1 Diagram bunga (roset) komposit yang menggambarkan pola kelurusan pada daerah penelitian. Hasil analisa kelurusan sungai dan kelurusan bukit dari peta topografi, didapatkan arah umum dominan pada daerah penelitian adalah NE-SW (Gambar 3.1) yang diinterpretasi sebagai manifestasi sistem kekar yang berhubungan dengan struktur sesar anjak dan kemiringan lapisan batuan (jurus/strike lapisan). Selain itu terdapat arah umum lain yang berarah NW-SE yang diinterpretasikan sebagai manifestasi struktur sesar mendatar. 14 Gambar 3.2 Pola dan tipe genetik sungai daerah penelitian Sungai pada daerah penelitian menunjukkan pola aliran rektangular (Gambar 3.2) yang mencerminkan jejak sesar atau rekahan pada batuan yang beragam (Van Zuidam, 1985). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa aliran sungai pada daerah penelitian lebih dikontrol oleh struktur baik sesar dan rekahan. Menurut klasifikasi Davis, (1902) op.cit Thornbury, (1969), tipe genetik sungai di daerah penelitian terdiri dari (Foto 3.1) : 1. sungai obsekuen adalah sungai yang arah alirannya berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan, contohnya terlihat pada Sungai Cihonje, Sungai Cipetir, Sungai Citali, dan Sungai Cipateungteung. 2. sungai konsekuen adalah sungai yang arah alirannya searah dengan kemiringan lapisan batuan, contohnya terlihat pada Sungai Cinempel, Sungai Ciginting, Sungai Cilawang, Sungai Cimahpar, Sungai Cisokan, dan sebagian aliran Sungai Cikidang 3. sungai subsekuen adalah sungai yang arah alirannya sejajar dengan jurus lapisan batuan, contohnya terlihat pada Sungai Ciseupan dan sebagian aliran Sungai Cikidang. 15 CPTR-2 CMPR-4 CRWG-3 Foto 3.1 Tipe genetik sungai daerah penelitian, obsekuen (CPTR-2), subsekuen (CMPR-2), dan konsekuen CRWG-3) 3.1.2. Satuan Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dibagi berdasarkan klasifikasi Lobeck (1939). Klasifikasi ini berdasarkan pada tipe genetik atau proses dan faktor penyebab bentukan morfologi sehingga daerah penelitian dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi: Satuan Satuan Perbukitan Lipatan, Satuan Perbukitan Vulkanik, dan Satuan Dataran Aluvial. 3.1.2.1 Satuan Perbukitan Vulkanik Satuan perbukitan vulkanik ini meliputi 25 % dari luas daerah penelitian yang ditandai dengan warna merah muda pada peta geomorfologi (Lampiran E-I). Satuan ini berupa perbukitan di bagian Timur dan Barat daerah penelitian. Ketinggian topografinya berada diantara 525-871 mdpl. 16 Satuan ini memiliki kenampakan berupa morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam dengan pola kontur yang rapat dibandingkan dengan pola kontur perbukitan lainnya (Foto 3.2). Pola kontur yang rapat dapat ditafsirkan bahwa batuan penyusunnya adalah batuan yang relatif keras dan kompak. Dari pemetaan geologi didapatkan litologi berupa andesit dan breksi vulkanik pada satuan ini. Tahapan geomorfik pada Satuan Perbukitan Vulkanik termasuk ke dalam tahapan geomorfik muda. Tahapan gemorfik muda ditandai dengan lembah sungai yang sempit dan berbentuk V, dinding sungai terjal, dan tidak dijumpai dataran banjir. Satuan geomorf ini digunakan sebagai kawasan perkebunan. Foto 3.2 Satuan Perbukitan Vulkanik (dari CPT-9 ke arah Timur). 3.1.2.2 Satuan Perbukitan Lipatan Satuan ini menempati sekitar 74% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini memiliki ketinggian topografinya berada disekitar 450-974 mdpl. Satuan ini ditandai oleh bentuk morfologi punggungan yang memanjang dengan kemiringan lereng agak terjal – landai (Foto 3.3). Batuan penyusun satuan ini adalah batupasir, batulempung, batunapal, dan batugamping yang memiliki kemiringan lapisan batuan membentuk lipatan antiklin dan sinklin. Ekspresi morfologi berupa relief yang relatif lebih kasar hingga halus yang menunjukkan bahwa satuan ini memiliki tingkat resistensi tinggirendah terhadap erosi. 17 Foto 3.3 Unit Satuan Perbukitan Lipatan (dari lokasi CHJ-11 ke Timur) 3.1.2.3 Satuan Dataran Aluvial Satuan ini meliputi 2 % dari luas daerah penelitian. Satuan ini berupa dataran rendah dengan pola kontur yang renggang dan berada pada elevasi 450 – 500 mdpl (Foto 3.4). Satuan ini terletak di bagian tenggah dan Selatan daerah penelitian, yang ditandai dengan warna abu- abu. Satuan ini memiliki tahapan geomorfik dewasa dengan lembah sungai berbentuk U. Batuan penyusun satuan ini adalah endapan-endapan hasil erosi dan transportasi dari hulu sungai berupa pasir, lempung, kerikil, kerakal, dan bongkah dari batupasir, batugamping dan batuan beku andesitik. Foto 3.4Unit Satuan Dataran Aluvial (diambil di Sungai Cisokan, CSK-1) 18 3.2. Stratigrafi Berdasarkan data penelitian di lapangan dan berdasarkan data hasil analisa laboratorium, maka daerah penelitian dapat dikelompokkan kedalam 6 satuan tidak resmi dengan urutan dari tua ke muda sebagai berikut : Satuan Batugamping, Satuan Napal, Satuan Batupasir- Batulempung, Satuan Lava Andesit, Satuan Breksi, dan Satuan Aluvial dengan kolom stratigrafi daerah penelitian sebagai berikut : Gambar 3.3 Kolom stratigrafi daerah penelitian (tanpa skala) 19 Gambar 3.4 Peta geologi daerah penelitian 20 3.2.1 Satuan Batugamping Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batugamping terletak di Barat daerah penelitian (Gambar 3.4 dan Lampiran EIII) yang ditandai dengan warna biru pada peta geologi dan menempati 8% dari daerah penelitian. Satuan ini ditemukan di hilir Sungai Cisokan, Sungai Cisepan, Sungai Cipateungteng dan Pasir Masigit. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi didapat ketebalan Satuan ini sekitar 900-1.850 meter. Ciri Litologi Berdasarkan klasifikasi Dunham (1962) batugamping ini termasuk dalam fasies Wackestone dengan kandungan lumpur karbonat > 10% dengan ciri litologi bewarna putih kecoklatan, terpilah sedang, kemas terbuka, butiran terdiri butiran detritus dan foraminifera kecil, mollusca, dan algae. Matriks berupa lumpur karbonat dan semennya berupa sparry (Foto 3.5). Foto 3.5 Singkapan Batugamping di CSK-2 Umur Hasil analisis mikropaleontologi pada contoh batuan pada lokasi CPTG-4b menunjukkan kisaran umur N3-N5 biozonasi Blow (1969) yaitu Oligosen Akhir Miosen Awal (Lampiran A). Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti terdahulu yaitu 21 Martodjojo (1984) yang menyatakan umur Formasi Rajamandala adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal. Berdasarkan asosiasi foraminifera besar dan foraminifera plankton, Karmini (1981) op. cit Martodjojo (1984) menyatakan umur batugamping Formasi Rajamandala adalah N3. Dari paparan di atas disimpulkan bahwa satuan ini berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Lingkungan Pengendapan Berdasarkan ciri litiloginya dan kandungan fosil yang ditemukan, batugamping bioklastik ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi, umur, dan lingkungan pengendapan satuan batugamping ini, maka dapat disebandingkan dengan anggota batugamping Formasi Rajamandala (Martodjojo, 1984). Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi Satuan Batugamping dengan Satuan Batulempung di bawahnya tidak ditemukan. Menurut literatur, satuan ini menunjukkan suatu hubungan yang menjemari dengan satuan dibawahnya. 3.2.3 Satuan Napal Penyebaran dan Ketebalan Satuan napal ditandai dengan warna hijau muda pada peta geologi (Gambar 3.4 dan Lampiran E-III), terletak di Barat daerah penelitian, dan meliputi sekitar 7 % daerah penelitian. Satuan ini ditemukan di Sungai Cikarang, Sungai Cilawang, Sungai Cipateungteung, dan di Selatan Sungai Cisokan (Lampiran E-II, Peta Lintasan). Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi didapat ketebalan Satuan Napal ini sekitar 125-250 meter. 22 Ciri Litologi Satuan Napal hadir dengan sisipan batugamping, dengan napal sebagai komponen utama memiliki ciri litologi berwarna abu - abu, kompak, dan karbonatan (Foto 3.6). Batugamping yang hadir sebagai sisipan dengan napal memilki ciri bewarna putih, mud supported, fosil pecahan alga, foraminifera, dan mollusca. Berdasarkan klasifikasi Dunham (1962), batugamping bioklastik ini termasuk pada fasies Wackestone dengan kandungan lumpur karbonat > 10%. Sisipan Batugamping Foto 3.6 Singkapan batunapal dengan struktur paralel laminasi di CSP-1 Umur Hasil analisa mikropaleontologi pada contoh batuan dari lokasi CSPN-4 memperlihatkan kehadiran fosil foraminifera plankton Globigerinoides primordius, Globigerina tripartita dan Globigerina venezuelana (Lampiran A) yang menunjukkan kisaran umur N4-N5 pada Miosen Awal. Lingkungan Pengendapan Berdasarkan ukuran besar butir dan kandungan fosil foraminifera planktonnya, satuan ini diendapkan di laut dengan sistem arus energi rendah, di daerah laut dangkal. Hal ini menunjukkan terjadinya pendalaman lingkungan pengendapan dari satuan sebelumnya. Kesebandingan Stratigrafi 23 Berdasarkan kesamaan umur dan ciri litologi, satuan napal yang ditemukan pada daerah penelitian ini dapat disetarakan dengan satuan napal pada Formasi Rajamandala. Hubungan stratigrafi Satuan napal menutupi secara selaras satuan batugamping yang berada dibawahnya. 3.2.3 Satuan Batupasir-Batulempung Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batupasir-Batulempung pada peta geologi (Gambar 3.4 dan Lampiran E-III), ditandai dengan warna kuning, penyebarannya meliputi 56% dari daerah penelitian yang terletak di bagian Utara dan Selatan peta. Satuan ini tersingkap di Sungai Cihonje, Sungai Cipetir, Sungai Cinempel, Sungai Ciginting, Sungai Cirangkuang, hulu Sungai Citali, hilir Sungai Cilawang, hilir Sungai Cimahpar dan di sebagian Sungai Cisokan. Berdasarkan rekontruksi penampang geologi didapatkan ketebalan satuan 1.350-1.575 m. Ciri Litologi Satuan ini di bagian bawahnya dominan batulempung (Foto 3.7) dan semakin dominan batupasir di bagian atas (Foto 3.8). Batupasir, abu – abu, pilah sedang, kemas tertutup, agak karbonatan, porositas sedang, butir berbentuk membulat – menyudut tanggung yang terdiri atas kuarsa, plagioklas, dan mineral opak. Struktur sedimen yang ditemukan antara lain laminasi sejajar. Sedangkan batulempung memiliki ciri litologi bewarna abu – abu – gelap, kompak, dan agak karbonatan. 24 Foto 3.7 Singkapan satuan batupasir-batulempung yang didominasi batupasir Foto 3.8 Singkapan batulempung sisipan batupasir dengan struktur laminasi sejajar dan convolute 25 Sayatan tipis pada satuan batupasir (Lampiran C, Analisis Petrografi) menunjukkan batupasir dengan pilah sedang, kemas tertutup, kontak antar butir berupa point contact, long contact, concavo convex contact, mengandung butir sebanyak 60% yang terdiri atas kuarsa, plagioklas, dan mineral opak, berukuran pasir halus (0.1 – 0.3 mm), berbentuk membulat - menyudut tanggung dengan matrik lempung sebanyak 25% yang mulai terekristalisasi menjadi serisit dan 15% semen berupa mineral lempung. Berdasarkan klasifikasi Gilbert (1954) dinamakan batupasir Quartz-wacke. Pada bagian Utara daerah penelitian ditemukan lapisan batupasir – batulempung yang terbalik (Foto 3.9), diindikasikan dengan ditemukannya load cast pada bagian atas lapisan batupasir yang seharusnya pada kondisi normal load cast berada di bagian bawah lapisan. Foto 3.9 Singkapan batupasir yang terbalik dengan load cast pada bagian atas lapisan Umur Analisis mikropaleontologi (Lampiran B) yang diambil dari CTL–4b dan CHJ–12b didapatkan fosil foraminifera kecil planktonik yang memiliki kisaran umur N5–N7, berdasarkan biozonasi Blow (1969). Jadi secara umum satuan ini memiliki umur Miosen Awal. 26 Lingkungan Pengendapan Berdasarkan kehadiran fosil foraminifera bentos maka menandakan bahwa lingkungan pengendapan satuan ini adalah laut dangkal neritik tengah-neritik luar (20200 m). Kandungan material vulkanik yang terlihat pada sayatan petrografi menunjukkan adanya aktifitas vulkanisme. Menurut Martodjojo (1984), aktifitas tersebut masih berasal dari Selatan daerah penelitian yakni berasal dari gunungapi vulkanik bawah laut yang telah muncul ke permukaan. Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi, struktur sedimen dan umurnya maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Citarum yang dideskripsikan oleh Sudjatmiko (1972) pada peta lembar Cianjur. Sudjatmiko dalam penulisannya mengambil nama Citarum dari Martin (1887) yang kemudian dikutip oleh Van Bemmelen (1949). Lokasi tipenya ditemukan di Sungai Cinongnang, anak Sungai Citarum di Sukabumi dengan ketebalan 1.372 m oleh Suteja (1971) op. cit Martodjojo, (1984). Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan napal dibawahnya adalah selaras ditafsirkan dari kemenerusan waktu pengendapan. 3.2.4 Satuan Lava Andesit Penyebaran Satuan Andesit menempati sekitar 6% daerah penelitian, ditandai dengan warna merah pada Peta Geologi (Gambar 3.4 dan Lampiran E-III). Terletak di bagian Barat daerah penelitian, dan dapat ditemukan di bagian hulu Sungai Cisepan. 27 Foto 3.10 Singkapan Lava Andesit Ciri Litologi Satuan ini berupa batuan beku andesit (Foto 3.10). Singkapan yang ditemukan menunjukkan bahwa andesit yang tersingkap relatif segar. Batuan beku andesit ini memiliki ciri litologi berwarna abu-abu gelap-hitam dengan ukuran kristal halus atau afanitik, tetapi beberapa mineral masih dapat terlihat. Sayatan tipis (Lampiran C, Analisis Petrografi) menunjukkan bahwa batuan bersifat hipokristalin, trakhitik, dengan fenokris (50%) berupa plagioklas, piroksen, kuarsa, dan mineral opak dengan masadasar (40%) berupa piroksen dan plagioklas. Hasil pengamatan petrografi tersebut (Lampiran C) menunjukkan bahwa batuan ini diklasifikasikan sebagai Andesit. 28 Umur Dari kesamaan penyebaran satuan ini dengan penyebaran batuan vulkanik pada Peta Geologi Lembar Cianjur (Sujatmiko, 1972) maka satuan ini kemungkinan merupakan berumur pliosen. Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Satuan ini terendapkan secara tidak selaras. Berdasarkan ciri litologi di atas, satuan ini dapat disetarakan dengan endapan vulkanik muda (PL) yang berumur Pliosen (Sujatmiko, 1972) 3.2.5 Satuan Breksi Penyebaran dan Ketebalan Satuan breksi ini terletak di bagian Timur daerah penelitian, ditandai dengan warna merah muda, dan menempati 19% dari daerah penelitian. Berdasarkan rekontruksi penampang didapatkan ketebalan satuan ini 85 m. Ciri Litologi Satuan ini terdiri atas breksi volkanik (Foto 3.11) dan andesit (Foto 3.12). Umumnya satuan ini tersingkap dengan kondisi yang relatif segar. Breksi berwarna abu–abu gelap – hitam, fragmennya terdiri dari batuan beku basal dan andesit berukuran kerakal–bongkah, dan berbentuk menyudut–menyudut tanggung. Matriksnya terdiri dari pasir sedang–kasar. Sayatan tipis (Lampiran C, Analisis Petrografi) pada fragmen breksi ini didapatkan bahwa fragmen memiliki tekstur hipokristalin, porfiritik dengan 30% fenokris yang terdiri dari plagioklas, piroksen, kuarsa, k- feldspar, mineral opak, dan gelas sedangkan 40% dari masadasarnya terdiri dari plagioklas, piroksen, dan 29 gelas. Litologi lainnya berupa batu andesit berwarna abu-abu-hitam dengan ukuran kristal halus atau afanitik tetapi beberapa mineral masih dapat terlihat. Sayatan tipis dari fragmen breksi (Lampiran C, Analisis Petrografi) menunjukkan bahwa batuan bersifat hipokristalin, porfiritik, dengan fenokris (50%) berupa plagioklas, piroksen, kuarsa, dan mineral opak dengan masadasar (40%) berupa piroksen dan plagioklas. Hasil pengamatan petrografi tersebut (Lampiran C) menunjukkan bahwa batuan ini diklasifikasikan sebagai andesit. Foto 3.11 Singkapan breksi vulkanik di CLW-12 Foto 3.12 Singkapan breksi di CTL-12 30 Umur dan Lingkungan Pengendapan Dari kesamaan penyebaran satuan ini dengan penyebaran batuan vulkanik pada Peta Geologi Lembar Cianjur (Sujatmiko, 1972) maka satuan ini kemungkinan merupakan bagian dari Breksi Pliosen (Pb) dan berumur Pliosen-Plistosen. Satuan ini diendapkan secara tidak selaras di atas satuan lain. Hubungan ketidakselarasan dapat terlihat pada penyebaran lateral satuan ini pada peta geologi, adanya rumpang waktu antara satuan ini dengan satuan lain yang lebih tua. 3.2.6 Satuan Aluvial Satuan ini ditandai dengan warna abu-abu, menempati 2% dari daerah penelitian, dan merupakan satuan termuda pada daerah penelitian (Lampiran E-III). Foto 3.13 Satuan Aluvial di CSK-1 Satuan ini berupa endapan sungai yang belum terkonsolidasi dan terdiri dari materila lepas berukuran kerikil-kerakal (Foto 3.13). Endapan aluvial ditemukan di Selatan Sungai Cisokan dan hulu Sungai Citali. Fragmen yang ditemukan pada endapan ini adalah material dengan ukuran kerikil-bongkah yang terdiri dari batupasir, batulempung, batugamping, andesit, dan breksi. Satuan ini diperkirakan berumur holosen sampai dengan Resen yang diendapkan secara tidak selaras diatas lapisan yang lebih tua. 31 3.3 STRUKTUR DAERAH PENELITIAN Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian terdiri dari sesar – sesar anjak yang berarah Barat – Timur, sesar – sesar geser berarah Barat Laut – Tenggara, dan perlipatan dengan sumbu sejajar dengan arah sesar anjak. Bukti – bukti geologi yang didapatkan di lapangan berupa kekar gerus (shear fracture), kekar geser (gash fracture), cermin sesar (slicken side), dan kedudukan posisi stratigrafi. Sesar-sesar naik yang dijumpai di daerah penelitian terdiri dari Sesar Naik Cisokan, Sesar Naik Margaluyu, dan Sesar Naik Cicadas. Sesar naik tersebut memiliki arah umum relatif Barat-Timur dengan arah kemiringan sesar ke arah selatan. Sesar mendatar daerah penelitian berarah Barat Laut-Tenggara atau relatif tegaklurus terhadap arah sesar naik merupakan sesar mendatar menganan. Sesar-sesar mendatar ini dapat digolongkan kedalam tear fault yang memotong barisan sesar naik yang ada di daerah penelitian. Tear fault didefinisikan sebagai suatu sesar mendatar berskala kecil yang berasosiasi dengan struktur lainnya yaitu lipatan, sesar anjak ataupun sesar normal (Twiss dan Moore, 1992). Struktur lainnya yang dijumpai yaitu adalah struktur lipatan yang memiliki sumbu searah dengan arah jurus sesar anjak yaitu relatif Barat-Timur. Berdasarkan arah sumbu lipatan tersebut dapat kita ambil kesimpulan awal bahwa arah tegasan utama yang bekerja di daerah penelitian memiliki arah relatif Barat Laut - Tenggara. Secara lebih detail dan terperinci, analisis mengenai struktur geologi akan dibahas pada Bab Analisis Struktur Geologi. 32 Gambar 3.5 Peta struktur geologi daerah penelitian 33