Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Semantik Semantik (imiron

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Semantik
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik (gengogaku) yang
mengkaji tentang makna. Semantik berasal dari sebuah kata semainen yang dalam
bahasa Yunani memiliki arti bermakna atau berarti. Objek kajian semantik antara
lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata
dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna
kalimat (bun no imi). Sedangkan menurut Ikegami (1991:3) adalah sebagai
berikut
ごくふつうの辞書で「意味論」(Semantics) という項を引いてみる
と、言語学の術語としての用法として「意味論を研究する学問」
(The study of meaning – The Random House Dictionary)といった定義
があげられている。この定義で一応はいいわけであるが、そのよう
に規定される意味論は言語学の一部門として他のどのような部門と
対立し、またどのような根拠に基づいてそのような部門が立てられ
るであろうか。
Terjemahan:
Seperti yang terdapat pada kamus umumnya, definisi dari semantik, seperti
penggunaan istilah di dalam linguistik, adalah ilmu yang mempelajari
tentang makna. Walaupun hanya dikatakan sekedarnya dengan definisi ini,
semantik ditetapkan seperti berikut ini, sebagai salah satu bidang di dalam
linguistik seperti apakah bidang ini berhadapan dengan bidang lainnya, lalu
berdasarkan lingkup yang bagaimana pulakah, seperti itulah bidang ini
terbentuk.
10 Selain itu, Hiejima (1991:1-3) menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang
mempelajari makna dari kata, frase dan kalimat. Lebih lanjut dijelaskan, apabila
melihat makna dengan sudut pandang secara objektif ataupun secara fisik, banyak
hal yang berbeda dan tidak sesuai, oleh karena itu dalam melihat makna ada
baiknya melihat dengan sudut pandang secara subjektif. Melihat dengan sudut
pandang subjektif diperlukan karena kata-kata yang digunakan oleh penutur
dalam menyampaikan suatu hal akan berbeda penyampaiannya apabila
disampaikan oleh penutur lain.
Secara garis besar, semantik adalah salah satu cabang linguistik yang
mempelajari tentang makna dari sebuah kata, frase atau kalimat. Dengan
mempelajari semantik, maka dapat diketahui makna yang ingin disampaikan oleh
penutur kepada petutur, baik makna yang dapat diketahui secara langsung maupun
makna yang tersirat.
2.1.1 Pengertian Makna Denotasi dan Makna Konotasi
Makna pada sebuah kata merupakan suatu hal tidak dapat diabaikan begitu saja,
karena dengan mengetahui tentang makna kata maka pemilihan kata yang tepat
untuk digunakan untuk suatu kalimat dapat dilakukan dengan baik sehingga
komunikasi yang terjadi dapat berjalan dengan lancar. Pada umumnya makna kata
dibedakan menjadi dua jenis yaitu makna kata yang bersifat denotasi dan makna
kata yang bersifat konotasi.
Keraf (2009 : 27-28) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan makna
denotasi adalah sebagai berikut
11 Makna denotasi disebut juga dengan beberapa istilah seperti: makna
denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna
referensial, atau makna proposisional. Disebut makna denotasional,
referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote)
kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut
makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau
pengetahuan; stimulus dan respons menyangkut hal-hal yang dapat dicerap
pancaindra dan rasio manusia. Makna ini disebut makna proposional karena
bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang
bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama,
adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.
Makna denotasi merupakan makna dari sebuah kata yang tidak mengandung
arti atau perasaan tambahan. Pada saat seseorang hanya ingin menyampaikan
informasi kepada orang lain, khususnya dalam bidang ilmiah, maka kata-kata
yang digunakan cenderung yang bersifat denotasi. Karena tujuan utama dari
penyampaian informasi tersebut adalah pengarahan yang jelas terhadap fakta
tanpa adanya interpretasi tambahan. Selain itu makna denotasi dapat dibedakan
atas dua macam relasi, yang pertama adalah relasi antara sebuah kata dengan
barang individual yang diwakilinya, dan yang kedua adalah relasi antara sebuah
kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya (Keraf,
2009 : 28-29).
Selain makna denotasi terdapat pula makna konotasi, dimana Keraf (2009 : 29)
mengungkapkan sebagai berikut
Konotasi atau makna konotasi disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif. Makna konotasi adalah suatu jenis makna
dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna
konotasi sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan
setuju – tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya pada pihak
pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa
pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.
12 Makna konotasi merupakan makna yang mengandung arti tambahan, perasaan,
atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dalam memilih katakata konotasi untuk digunakan bukanlah suatu hal yang mudah, tidak sama seperti
dalam memilih kata-kata yang bersifat denotasi. Pengetahuan akan pilihan kata
yang tepat sangatlah diperlukan, oleh karena itu pilihan kata atau diksi lebih
banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotasi. Apabila sebuah kata
mengandung konotasi yang salah, seperti contohnya kata kurus-kering digunakan
untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi,
maka kesalahan semacam itu mudah diketahui dan diperbaiki (Keraf, 2009 : 29).
Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan
interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa
manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotasi saja (Keraf, 2009 : 30).
2.1.2 Teori Analisis Medan Makna
Dalam sebuah bahasa, setiap kata menyandang makna yang dikandungnya dan
untuk mengetahui sebuah makna yang ingin disampaikan oleh seorang penutur,
perlu diketahui tentang konsep medan makna. Medan linguistis yang dikenal
dengan istilah medan makna ini menjelaskan tentang hubungan atau asosisasi
sebuah kata dengan kata lain yang pada akhirnya dapat menunjukkan makna dari
kata tersebut. Ferdinand de Saussure dalam Parera (1990 : 67) menyatakan bahwa
medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada
similaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan
asosiatif dengan penyebutan satu kata.
13 Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Robins (1992 : 83) mengenai medan
makna, dimana menurutnya makna sebuah kata tidak semata-mata tergantung
pada referensinya atau pada aspek makna lain yang dianggap sebagai sifat khas
kata tersebut yang terpisah dari kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan,
tetapi juga tergantung pada kehadiran kata-kata lain yang fungsi semantisnya
berhubungan dalam satu atau lebih cara.
Setiap kata, selain menyandang makna yang dikandungnya, juga berfungsi
sesuai dengan tugasnya dalam kalimat, dalam arti bahwa kata tersebut berkaitan
dengan kata-kata lain. Sehingga makna setiap kata ditentukan oleh kehadiran
kata-kata lain dalam kosakata bahasa dan makna kata dapat diubah kembali oleh
kemunculan kata-kata lain yang ditautkan terhadap kata tersebut (Robins, 1992 :
84). Oleh sebab itu, hubungan internal antara elemen-elemen yang terdapat di
dalam keseluruhan yang kompleks merupakan faktor yang sangat penting dalam
bahasa, karena dengan memperhatikan struktur yang terdiri dari berbagai elemen
yang saling terkait dapat menunjukkan fungsi dari elemen tersebut. Seperti yang
terdapat dalam medan makna, dimana hubungan atau asosiasi yang kompleks
antara suatu kata yang terkait dengan kata lain di dalam sebuah kalimat
merupakan hal yang penting karena dengan memperhatikan hal tersebut maka
dapat diketahui makna dari sebuah kata.
2.1.3 Teori Bahasa Figuratif (Majas)
Dalam menyampaikan suatu hal yang memiliki makna tersirat dalam sebuah
kalimat kepada orang lain, seorang penutur biasanya menggunakan bahasa
figuratif atau majas dalam menyampaikannya. Bahasa figuratif tersebut digunakan
14 dalam pengungkapan sebuah kalimat oleh penutur kepada petutur dengan maksud
menimbulkan imajinasi tambahan sehingga makna yang ingin disampaikan, yang
pada awalnya abstrak menjadi lebih nyata. Seperti yang diungkapkan oleh
Waluyo (1995 : 83), menurutnya bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan
penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara
tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau
bermakna lambang. Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan
apa yang dimaksudkan penyair karena:
1.
Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif
2.
Bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam
puisi, sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih
nikmat dibaca
3.
Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk
puisinya dan menyampaikan sikap penyair
4.
Bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang
disampaikan dengan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas
dengan bahasa yang singkat.
Bahasa figuratif atau yang biasa disebut majas ini dianggap lebih efektif dalam
penyampaian makna dari penutur kepada petutur karena dengan penggunaan
majas dalam sebuah kalimat, maka petutur akan mendapatkan gambaran yang
lebih jelas akan suatu hal yang ingin disampaikan oleh sang penutur. Majas dapat
mempengaruhi imajinasi petutur dalam menangkap makna yang ingin
disampaikan penutur. Selain itu, majas merupakan cara mengolah bahasa secara
imajinatif dan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan dari kekayaan seseorang
15 dalam berbahasa khususnya dalam hal bertutur kata atau menulis, seperti yang
diungkapkan oleh Pateda (2001:233) yang menjelaskan pengertian majas adalah
sebagai berikut
1. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau
menulis
2.
Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu
3. Keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra
4. Cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan
atau lisan.
Penggunaan majas dapat menimbulkan efek tertentu yang diinginkan oleh sang
penutur agar makna yang ingin disampaikan olehnya menjadi lebih nyata dan
lebih mudah dimengerti oleh petutur, selain itu majas dapat menjadi sebuah cara
khas atau ciri seseorang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya ke dalam
bentuk lisan maupun tulisan.
Menurut Keraf (2009:136) majas atau disebut pula gaya bahasa kiasan
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Dengan membandingkan
suatu hal dengan hal lain maka akan ditemukan perbedaan dan juga persamaan
antara kedua hal tersebut. Dari persamaan tersebut maka dapat digunakan katakata lain yang memiliki makna serupa untuk menggantikan penggunaan kata
tersebut dalam sebuah kalimat, dengan begitu kekayaan seseorang dalam
berbahasa dapat dimanfaatkan untuk mengolah bahasa secara imajinatif sehingga
makna dapat tersampaikan dengan baik.
16 2.1.4 Teori Majas Antropomorfisme
Dalam majas terdapat berbagai jenis pengandaian yang dapat diteliti lebih
lanjut, salah satu jenis majas yang menarik untuk diteliti lebih lanjut adalah
antropomorfisme. Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke
makhluk bukan manusia. Subyek antropomorfisme seperti binatang yang
digambarkan sebagai makhluk dengan motivasi manusia, dapat berpikir dan
berbicara, atau benda alam seperti angin atau matahari. Istilah antropomorfisme
berasal dari bahasa Yunani anthrōpos (manusia) dan morphē (bentuk). Horowitz
(2007 : 60) menyatakan bahwa “Anthropomorphism is, at its most general, the
assignment of human characteristics to objects, events, or nonhuman animals”
(Terjemahan : Secara umum antropomorfisme adalah memasangkan karakteristik
manusia ke suatu obyek benda atau hewan yang bukan manusia). Atau yang lebih
lanjut lagi dijelaskan sebagai berikut
Anthropomorphizing is a natural human tendency, thought to be the result
of a perceptual system designed to find order in a complex world.
Contemporary humans tend, perhaps like our forebears, to interpret a
landscape entirely free of human presence as thick with human faces: on a
slab of rock, in the gnarl of a tree knot, in the waxing moon, in a pendulous
flower. The lexicon used to describe the human body is pervasive in our
descriptions of nature: the shoulder of a hillside, the arms of a tree, the
fingers of a stream, the waist of a peninsula. (Horowitz, 2007:60)
Terjemahan:
Antropomorfisme adalah kecenderungan alamiah manusia, dianggap
sebagai hasil dari sistem perseptual yang dirancang untuk menemukan
keteraturan dalam dunia yang kompleks. Kecenderungan manusia
kontemporer, mungkin seperti nenek moyang kita, untuk menafsirkan
pemandangan sepenuhnya terlepas dari keberadaan manusia yang
digambarkan dengan wajah manusia: pada lempengan batu, di sebuah
simpul pohon, pada bentuk bulan, pada bunga yang menggantung. Leksikon
yang digunakan untuk menggambarkan tubuh manusia meresap dalam
17 deskripsi kita tentang alam: bahu bukit, lengan pohon, jari-jari aliran air,
pinggang sebuah semenanjung.
Dalam antropomorfisme, sebuah benda mati atau hewan yang bukan manusia
digambarkan sama seperti manusia yang memiliki panca indera dan anggota tubuh
yang lengkap, serta dapat melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh manusia,
seperti berjalan, berbicara, bahkan berpikir. Benda mati atau hewan tersebut
bukan hanya dapat melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh manusia tetapi
dalam antropomorfisme secara lebih khusus lagi, benda-benda tersebut memiliki
wujud seperti manusia pada umumnya. Salah satu contoh dari antropomorfisme
adalah tokoh utama dalam film Antz, yaitu Z. Dalam wujud yang sebenarnya Z
adalah seekor semut pekerja, tetapi dengan adanya antropomorfisme, di dalam
film tersebut Z memiliki wujud seperti manusia, memiliki anggota badan
layaknya manusia, dapat berjalan tegap dengan kedua kaki, memiliki panca indera
dan dapat melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh manusia seperti berbicara
dan berpikir. Para semut di dalam film tersebut juga memiliki karakter atau sifat
layaknya manusia, tetapi secara khusus di dalam antropomorfisme memiliki
anggota tubuh seperti manusia pada umumnya (Duffy, 2003 : 180).
2.2 Teori Kajian Puisi
Salah satu karya sastra yang menarik untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut
adalah puisi. Menurut Pradopo, puisi adalah struktur yang tersusun dari
bermacam-macam unsur dan sarana kepuitisan (2007 : 3). Puisi sebagai sebuah
karya sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek, seperti struktur dan unsur
18 puisi, jenis atau ragam puisi, serta dari sudut kesejarahan puisi, mengingat bahwa
dari waktu ke waktu puisi mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan evolusi selera dan perubahan konsep efeknya ( Riffaterre dalam Pradopo,
2007 : 3).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Pradopo, analisis puisi atau pengkajian puisi
terbagi atas dua bagian, yaitu:
2.2.1
Analisis Puisi Berdasarkan Strata Norma
Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta
jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dikotomis, yaitu pembagian dua
bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak
memuaskan, oleh karena itu perlu dilakukan pembagian yang lebih lanjut dari
struktur yang kompleks tersebut atau yang lebih dikenal dengan lapis norma
dalam puisi (Warren dalam Pradopo, 2007 : 14).
Lapis norma dibagi menjadi lima lapisan, pada lapisan pertama terdapat lapis
bunyi atau suara (sound stratum). Lapis bunyi pada sajak adalah semua satuan
bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu karena sajak tersebut berupa
satuan-satuan suara yang disusun sehingga menimbulkan arti. Hanya saja dalam
puisi, pembahasan tentang lapis puisi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau
pola bunyi yang bersifat istimewa, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan
efek puitis atau nilai seni (Pradopo, 2007 : 16). Lapis kedua adalah lapis arti (units
of meaning) yang berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat
yang kesemuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Lalu lapisan berikutnya
adalah lapisan ketiga, lapisan yang ditimbulkan oleh lapisan arti, berupa objek19 objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan dunia pengarang. Lapisan keempat
adalah lapisan dunia yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah implisit. Dan
lapisan terakhir adalah lapisan kelima atau lapisan metafisis yang menyebabkan
pembaca berkontemplasi. Analisis strata norma dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada, dengan demikian
akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas (Pradopo, 2007 :
15-19).
2.2.2 Analisis Puisi Berdasarkan Struktural dan Semiotik
Untuk mengetahui hubungan di dalam sebuah puisi antara unsur-unsur
dengan norma dan hubungan keseluruhan sebagai sebuah kesatuan yang utuh
perlu dilakukan tinjauan puisi secara menyeluruh dan dianalisis secara struktural.
Hal ini disebabkan oleh norma-norma puisi yang saling berhubungan erat
sehingga saling menentukan makna yang ada di dalamnya. Selain secara
struktural perlu juga dilakukan analisis secara semiotik, kerangka sejarah sastra,
dan latar belakang sosial budaya (Pradopo, 2007 : 117-120).
Analisis struktural adalah analisis puisi ke dalam unsur-unsur dan fungsinya,
yang maknanya dapat diketahui oleh hubungannya dengan unsur lain yang
terkandung di dalam struktur tersebut. Sedangkan analisis semiotik adalah analisis
terhadap tanda-tanda kebahasaan yang memungkinkan timbulnya makna yang
kemudian dicari tanda-tanda tambahan yang merupakan konvensi tambahan
dalam puisi. Lalu analisis latar belakang sejarah dan sosial budaya sastra adalah
analisis yang dilakukan terhadap kaitannya dengan karya sastra sebelumnya,
dalam hal ini puisi, karena sebuah karya sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan
melainkan meneruskan atau menyimpangi tradisi sastra yang telah ada
20 sebelumnya. Dan sebuah karya sastra tidak lepas dari kerangka sosial-budaya
masyarakat di tempat dimana karya sastra tersebut dituliskan. Oleh karena itu,
untuk mengetahui makna secara penuh dari sebuah karya sastra maka analisisanalisis yang telah disebutkan di atas harus dilakukan secara menyeluruh.
21 
Download