BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Money politics atau yang dikenal dengan sebutan politik uang, merupakan studi yang menarik untuk dielaborasi lebih jauh keberadaanya dalam proses pemilu yang menempatkan uang sebagai instrumen untuk memperoleh kekuasaan. Sebagai arena kontestasi untuk memperoleh kekuasaan, pemilu tidak lagi di lihat sebatas persaingan politik melalui gagasan, program dan visi-misi yang ditawarkan oleh para kontestan wakil rakyat. Akan tetapi pemilu dilihat pula sebagai arena persaingan ekonomi antar calon anggota legislatif dengan cara mengaluarkan uang sebanyakbanyaknya untuk dibagi-bagikan dengan berbagai bentuk dan cara, sebagai upaya untuk memobilisasi massa dan menjaring suara pemilih. Bagi partai politik dan calon anggota legislatif, money politics masih ditempatkan sebagai sumber daya sekaligus cara yang paling mutakhir untuk dilakukan dalam rangka memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam setiap pemilu. Pada pemilu legislatif tahun 2014 yang baru saja dilaksankan misalnya, berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas terhadap 536 responden sebanyak 69,2% masyarakat Indonesia mengkaui keberadaan politik uang yang dilakukan oleh calon anggota legislatif sebagai sarana menjaring suara masyarakat (Kompas, 28 April 2014: 14). Namun demikian sebetulnya money politics bukanlah barang baru di dunia kepemiluan di Indonesia, akan tetapi praktek ini semakin terbuka dan gencar dilakukan oleh para kontestan wakil rakyat pada era demokrasi liberal pasca reformasi. Proses liberalisasi politik yang ditandai dengan runtuhnya orde baru pada tahun 1998, tampaknya menjadi gerbang awal semakin terbukanya praktek money politics di Indonesia. Terbukanya ruang partisipasi sebesar-besarnya bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat di pemerintahan, melalui pemilihan umum secara langsung telah berhasil mendorong tingginya persaingan untuk memperoleh kekuasaan. Di lain pihak, diterpakannya sistem pemilu proposional terbuka dengan prinsip suara terbanyak yakni calon anggota legislatif yang mampu memperoleh suara terbanyak atau tertinggi yang berhak untuk menduduki kursi anggota legislatif. Semakin menambah tingginya drajat persaingan antar 1 kandidat dan partai politik untuk memperoleh kursi di pemerintahan dengan cara mendapatkan suara sebanyak-banyaknya melalui berbagai cara terutama money politics. Situasi seperti ini kemudian merubah logika kandidat dan partai politik dari representasi menjadi kompetisi elektoral. Logika kompetisi elektoral dengan orientasi untuk memperoleh suara terbanyak dalam rangka memperoleh kekuasaan iniliah yang kemudian mengakibatkan terjadinya marketisasi proses elektoral. Di tengah ketat dan tingginya persaing untuk mendulang suara sebanyakbanyaknya dalam pemilu, uang dijadikan sebagai instrumen alat tukar dengan suara masyarakat. Pada sisi lain pemilu sebagai arena politik, ditempatkan juga sebagai arena ekonomi yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam praktek perdagangan suara atau vote trading dalam pasar suara. Seorang pemilih menempatkan dirinya sebagai penjual yang akan memasarkan dan menawarkan suara yang ia miliki kepada calon anggota legislatif yang mampu membeli dengan penawaran tertitingi. Sedangkan seorang kandidat anggota legsilatif menempati posisi sebagai penjual yang menyediakan uang untuk membeli suara, dengan memberikan penawaran tertinggi kepada pemilih yang mau memberikan suaranya kepada kandidat tersebut pada hari pemungutan suara. Dengan ini uang menjadi alat tukar yang mampu di konversi menjadi perolehan suara yang kelak akan didapatkan oleh calon anggota legislatif. Di tengah keadaan seperti ini, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah mengapa uang selalu menjadi pilihan untuk dilakukan oleh calon anggota legislatif dalam rangka memperoleh suara terbanyak ?.Selain itu apakah uang yang telah diberikan oleh calon anggota legislatif berdampak pada adanya ikatan transaksi komersial dimana seorang pemilih berkewajiban untuk memberikan suaranya karena telah di beli oleh kandidat tersebut, padahal suara bukanlah barang yang dapat dipertukarkan atau diperjual-belikan dalam logika ekonomi. Di lain pihak, keberadaan money politics secara yuridis formal bertentang dengan aturan hukum yang ada. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 mengenai pemilu anggota legislatif pasal 86 ayat satu menegaskan: setiap calon anggota legislatif dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta pemilu dalam hal ini konstituen. Dari situlah kemudian studi menganai money politics dalam pemilu legislatif 2014 menarik rasa keingin tahuan penulis untuk melacak dan mengelaborasi lebih jauh keberadaanya kedalam sebuah penelitian yang lebih serius. 2 Sejauh ini studi mengenai money politics dalam ranah kajian ilmu politik di Indonesia masih terbilang minim. Studi mengenai money politics baru menjadi kajian serius dalam waktu lima tahun terakhir ini seiring dengan marketisasi sistem politik di Indonesia dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini (Abisono 2012: 3). Akan tetapi sejauh ini kajian mengenai money politics baru bergerak pada isu korupsi elektoral secara khusus pada tema sentral pendanaan partai politik financing political partys.Studi yang dilakukan oleh Kuskridho Ambardi (2009) misalnya mengenai “Mengungkap Politik Kartel” yang berusaha untuk menjelaskan mengenai keberadaan praktek perburuan rente atau rent seeking melalui dana non-budgeter yang dilakukan oleh partai politik untuk memenuhi kebutuhan finansialnya, baik untuk biaya oprasional organisasi maupun biaya kampanye partai politik tersebut. Begitu pula dengan studi yang dilakuan oleh Ari Dwipayana (2013) mengenai “Pembiayaan Gotong Royong Studi Tentang Dinamika Pembiayaan PDIP Pada Periode 1993-1999”, yang menjalaskan karakter pendanaan partai politik berikut dan pasang surut dari pendanaan partai yang berasal dari iuran anggota. Namun demikian bukan berarti studi mengenai money politics yang bergerak pada bekerjanya uang sebagai alat mobilisasi massa pada pemilu tidak tersentuh dan tidak ada sama sekali. Amazulian Rifai (2003) dalam studinya mengenai “Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah” berusaha menjelaskan terjadi praktek money politics dengan lokus pemilihan umum kepala daerah di beberapa tempat seperti Kalimantan Tengah, Kota Kupang, Kota Semarang, Lampung, Sumatera Selatan, dan lain sebagainya. Dalam studinya ia melihat berbgai pola distribusi uang dalam bentuk fresh money seperti pembagi-bagian uang yang dilakukan pada saat sebelum pemungutan suara di pagi hari, yang kemudian dikenal dengan sebutan serangan fajar. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Rifai menjelaskan pula mengenai besaran dana yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah dalam kampanye dalam rangka memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Tidak hanya Rifai yang sudah memulai studi mengenai praktek money politics dalam pemilu, Ilmia Astuti Rahyu (2006) dalam studinya mengenai “Kuasa Uang Atas Pemilu” menunjukan sedikit dan banyaknya uang yang dikeluarkan menjadi salah satu faktor penting dan penentu kemenangan seorang calon Bupati pada pemilu kepala daerah Kabupaten Sleman. Dalam hal ini uang yang dikeluarkan oleh kandidat di mulai sejak penjaringan calon Kepala Daerah pada level internal partai politik, sampai dengan dipergunakan untuk mendulang suara melalui vote buying. 3 Selain itu untuk mengetahui seberapa jauh uang mengambil peran utama dalam proses pemilu, Fatih Gama Absiono (2012) melakukan studi yang lebih spesifik untuk menjelaskan keberadaan makna dibalik money politics dalam proses pemilihan walikota Yogyakarta yang terjadi pada masyarakat pinggir Kali Code. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Abisono, dalam prakteknya keberadaan vote buying tidak sepenuhnya dimaknai berdasarkan nalar transaksi komersil, dengan skema penjual dan pembeli. Akan tetapi terdapat dimenasi moral yang dimilik oleh seorang pemilih dalam memaknai money politics.Dengan kata lain adanya money politics yang dilakukan oleh calon kepala daerah tidak sepenuhnya berpengaruh pada keterpilihan calon tersebut. Meski demikain sejauh ini fokus dari studi money politics hanya terpaku pada praktek pembelian suara (vote buying) dengan memberikan uang dalam bentuk fresh money semata seperti yang dilakukan oleh Rifai, Rahayu, dan Absiono. Padahal dalam prakteknya money politics sendiri menjelma dengan berbagi bentuk dan berbagai cara seperti, pork barrel yakni pemberian bantuan pembanguan fasilitas publik dalam bentuk public goods yang biasa diberikan kepada daerah pemilihan (dapil), baik pada level Kabupaten, Kecamatan, Desa, sampai dengan Dusun. Tidak hanya berhenti sampai disitu, sejauh ini studi-studi mengenai money politics yang sudah ada lebih banyak mengambil lokus pada pada proses pemilu kepala daerah. Sedangkan keberadaan studi money politics dengan lokus pemilihan umum anggota legislatif terbilang jarang. Untuk itu studi ini berusaha memberikan peta kajian baru mengenai money politics yang tidak hanya terfokus pada praktek vote buying semata melainkan pada bentuk dan cara bekerja pork barrel, dengan lokus kajian pada proses pemilu anggota legislatif 2014 di Dusun Tunjungan, Kabupaten Kulon Progo. Selain melihat cara bekerja dari money politics dalam proses elektoral, studi ini akan menjelaskan implikasi terhadapan perolehan suara yang didapatkan oleh calon anggota legislatif yang menggunakan money politics. Dusun Tunjungan, Desa Pengasih, Kabupaten Kulon Progo dipilih sebagai lokus dari penelitian ini karena karakter sosial, budaya, dan politik dari masyarakat pedesaan yang memiliki ciri khas tersendiri mampu memberikan cara pandang yang unik dalam dalam memaknai pemilu. Selain itu situasi tradisional dengan minimnya informasimenjadi lahan basah bagi setiap calon anggota legislatif untuk melakukan money politics sebagai sarana untuk memperoleh suara terbanyak. Pada sisi lain studi ini tidak memiliki tujuan untuk membandingkan antara 4 masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan. Sehingga pemilihan Dusun Tunjungan sebagai lokasi penelitian agar penelitian ini lebih terfokus dan terelaborasi lebih mendalam.Selain itu agar penelitian ini tidak melebar, penelitian ini dibatasi untuk melihat sejauh mana praktek money politics bekerja pada pemilihan umum Anggota DPR, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DPRD Kabupaten Kulon Progo.Mengingat penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus yang memiliki bounderis atau batasan penelitian agar lebih terfokus dan terelaborasi lebih dalam. Di samping itu semua, fokus studi yang berusaha untuk mengelaborasi mengenai praktek money politics di Dusun Tunjungan, Desa Pengasih, Kabupaten Kulon Progo ini merupakan salah satu bagian dari penelitian yang diselenggarakan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Universitas Gadjah Mada mengenai “Perilaku Pemilih Masyarakat DIY dalam Model Patronase-Klientelistik: Studi Kasus Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman”. Sehingga studi money politics yang penulis angkat dalam tulisan ini mengambil salah satu fokus lokasi penelitian yang diselenggarakan oleh tim peneliti JPP, yakni di Kabupaten Kulon Progo. B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan tersebut, adapun pertanyaan kunci yang berusaha untuk dijawab dalam penelitian ini ialah: 1. Bagaimana praktek money politics bekerja dalam pemilu legislatif 2014 di Dusun Tunjungan, Desa Pengasih Kabupaten Kulon Progo? 2. Bagaiamana implikasi perolehan suara yang didapatkan oleh calon anggota legislatif yang menggunakan money politics ? C. Tujuan Penelitian Adapun dua tujuan utama dari penelitian ini yang diantaranya : 1. Untuk mengetahui latar belakang, peran, dan cara bekerja money politics dalam proses pemilihan umum anggota legislatif 2014. 2. Untuk mengetahui implikasi perolehan suara yang didapatkan oleh kandidat yang menggunakanmoney politics. 5 D. Kerangka Teori Dalam rangka menjelaskan sejauh mana praktek money politics bekerja dalam pemilu legislatif 2014 di Dusun Tunjungan, studi ini akan dibantu oleh teori mengenai money politics yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah sekaligus menjadi framework teoritik dalam penelitian ini. Meski demikian teori mengenai money politics dibagi kedalam tiga kerangka konseptual yakni: Pertama, sebagai studi yang melihat uang selaku instrumen mobilisasi massa dalam pemilu, keberadaan uang yang dimaknai sebagai sumber daya dan kekuatan politik menjadi konsep awal yang akan digunakan dalam tulisan ini. Kedua, bentuk money politics baik vote buying dan pork barrel, akan digunakan dalam rangka melacak keberadaan jenis dan bentuk dari money politics di Dusun Tunjungan. Ketiga, konsep mengenai distribusi dan cara kerja dari money politics akan digunakan dalam tulisan ini guna melihat sejauh mana money politics berperan dalam proses elektoral dalam rangka mendulang suara masyarakat di Dusun Tunjungan. D.1 Uang Sebagai Sumber Daya Politik Uang dan politik merupakan pasangan serasi yang sulit untuk dipisahkan.Secara umum uang dalam nalar ekenomi menurut Robetson (1963: 8) dimaknai sebagai alat tukar atau alat yang dipergunakan untuk menunjukan sesuatu yang diterima secara luas sebagai pembayaran atas barang-barang, atau dipergunakan dalam bermacam-macam perdagangan lain. Selain itu uang juga dipahami sebagai penyimpan nilai atau alat ukur sumber daya kekayaan (Komarudin 1991: 396). Dengan kata lain, uang dapat dimaknai sebagai sumber daya yang melekat pada setiap individu yang memegangnya untuk digunakan dalam berbagai hal dan tujuan yang berhubungan dengan transaksi. Sedangkan dalam nalar politik makna uang tidak jauh berbeda dengan sudut pandang ekonomi yakni, sebagai sumber daya yang melekat pada setiap individu yang memilikinya dan mampu memberikan manfaat kewenangan serta kekuasaan bagi setiap pemegangnya dengan berbagai cara. Sehingga perbedaanya terletak pada cara penggunaaanya saja. Jika dalam sudut pandang ekenomi uang digunakan sebagai alat tukar barang atau jasa, sedangkan dalam sudut pandang politik uang digunakan sebagai alat tukar yang digunakan untuk merebut, 6 mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan. Secara lebih spesifik uang dalam nalar politik menurut Alexander (2003) merupakan : “Instrumen atau alat, yang memiliki arti penting untuk mengetahui bagaimana ia digunakan orang untuk mencoba mendapat pengaruh, atau di ubah menjadi sumberdayasumberdaya yang lain, atau dipergunakan secara berkombinasi dengan sunberdayasumberdaya yang lain dalam rangka meraih kekuasaan. Karena sifat universalnya, uang pun menjadi elemen penjeja (tracer element) dalam mempelajari kekuasaan politik”.(Alexander 2003: 29-31). Karakter konvertibilitas yang dimiliki oleh uang membuatnya mudah untuk dirubah dari kekuatan ekenomi menjadi kekuatan politik.Bagi Nassmacher (dalam Abisono 2012: 13) uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang memilikinya atau mereka yang memiliki wewenang untuk mendistribusikannya. Dengan kata lain, setiap individu yang memiliki uang memiliki pengaruh politik untuk menggalang dukungan dalam proses memperoleh kekuasaan. Termasuk dalam proses pemilihan umum yang menjadi arena untuk memperoleh kekuasaan. Logika mobilisasi sumber daya ini pada akhirnya berjalan pada dua arah yakni berkaitan dengan bagaimana sumber daya atau uang itu didapatkan dan bagaimana uang digunakan atau didistribusikan oleh setiap individu yang memilikinya dalam persaingan elektoral dengan tujuan untuk menggalang dukungan dan memperoleh kekuasaan (Absiono 2012: 14).Pada arah uang digunakan dan didistribuskan dalam presoses elektoral inilah yang kemudian menjadi area kajian studi ini. Dalam rangka memperoleh kekuasaan melalui pemilu, kampanye merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendulang suara masyarakat sebanyak-banyaknya. Akan tetapi terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kampanye, seperti yang diungkapkan oleh Badoh dan Husodo (2009: 5) paling tidak terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi kampanye dalam pemilu, yakni kandidat, program kerja, dan isu kandidat, organisasi kampanye (mesin politik) dan sumber daya (uang). Namun demkian, aspek sumber daya dalam hal ini uang menjadi salah satu aspek penentu berjalannya aktivitas politik. Tanpa uang aktvitas politik tidak akan bekerja dan aktivitas politik tidak akan bekerja tanpa adanya uang sebagai sumber daya, dengan kata lain uang merupakan modal penggarak berjalannya aktivitas politik. Jacobson mempertegas hal ini dengan mengatakan : 7 “Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it” (Uang saja tidak cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye. Uang menjadi penting karena kampanye memiliki pengaruh pada hasil pemilu dan kampanye tidak akan berjalan tanpa ada uang).(Jacobson 1980: 33 dalam Badoh & Husodo 2009: 5) Uang sebagai modal kampanye dalam sistem pendanaan partai politik terklasifikasi kedalam belanja kampanye partai politik atau campaign finance.Dalam kampanye sendiri uang dipergunakan sebagai instrumen yang digunakan untuk menjaring suara masyarakat sebanyakbanyaknya dalam pemilu. Menurut Ari Dwipayana (2010: 3) terdapat sembilan jenis pengeluaran dalam kampanye untuk memenangkan proses elektoral yang diantaranya: (1). Biaya tim sukses (tim kampanye); (2) Biaya survey dan konsultan politik; (3). Biaya pengadaan atribut kampanye; (4).Biaya untuk menyelenggarakan kampanye terbuka-tertutup termasuk mobilisasi massany; (5).Biaya kampanye di media cetak maupun elektronik; (6).Biaya untuk memberikan sumbangan ke kantong-kantong pemilih; (7). Biaya untuk membeli suara (vote buying); (8) Biaya untuk membaya saksi dalam proses pemungutan suara; (9). Biaya kampanye lainnya. Meski demikian dalam prakteknya penggunaan uang dalam kampanye sering kali digunakan dalam saluran non-konvensional yang bertentangan dengan aturan hukum yang ada untuk menjalankan kegiatan money politics, yakni menggunakan uang sebagai instrumen menjaring suara masyarakat melalui praktek transaski jual-beli suara antara pemilih dengan kandidat wakil rakyat dalam proses elektoral. Sehingga dengan ini uang yang pada awalnya memiliki fungsi sebagai sumber daya ekenomi dalam proses transaksi juali-beli barang dan jasa sekaligus akumulasi kekayaan, beralih fungsi menjadi sumber daya politik yang digunakan untuk proses transaksi jual-beli suara selaku political goods yang diakumulasikan untuk memperoleh kekuasaan dalam proses pemilu. D.2 Bentuk Money Politics Dalam Pemilu Uang yang dimaknai sebagai faktor penentu dalam membentuk berbagai aspek yang mampu menciptakan kekausaan, atau dengan kata lain sebagai sumber daya politik. Dalam proses pemilu menjelma dengan berbagai bentuk yang tidak hanya dapat dilihat sebatas pemberian fresh money kepada para pemilih. Hal ini tidak terlepas dari konsep money politics itu sendiri, menurut Schffer & Schedler (2007, dalam Sumarto 2014: 31) money politics melibatkan “pasar dukungan 8 politik” (electoral market) dengan “pembeli suara” (vote buyers) memberikan uang baik dalam bentuk utuh berdasarkan besaran nominalnya ataupun dalam bentuk barang dan jasa sesuai dengan apa yang diinginkan oleh “penjual suara” (vote sellers), dan penjual suara menyerahkan suaranya sebagai wujud imbalan atas uang atau barang dan jasa yang telah di terimanya. Sebagai strategi pemenang elektoral melalui pemberian materi, Susan. C Stokes (2011) menjelaskan hal ini dalam skema distributive politics atau politik distributif (lihat gambar I.1). Stoke memulai penjelasannya dengan membedakan material sumber daya yang didistribusikan sebagai strategi pemenangan bersifat publik menyeluruh atau tidak. Jika sumber daya yang didistribusikan bersifat publik dapat dikategorisasikan sebagai strategi pemenangan programatik, sedangkan jika tidak bersifat publik atau barang publik yang di “personalisasi” termasuk dalam strategi pemenangan non-programatik. Pada wilayah non-programatik inilah kemudian pemberian uang dengan maksud untuk meraih dukungan suara pemilih dalam pemilu sebagai praktek money politics hadir dalam dua bentuk yakni vote buying dan pork barrel. Gambar I.1 Skema Politik Distributif Stoke (2009: 7) Electoral Strategies Symbolic appeals Material Resources Programmatic (No bias) Non-Programmatic (bias) Constituency sevice (No quid pro quo) (quid pro quo) Distributive politics Clientelism: manipulation of (including pork barrel) Public policy, vote buying 9 Pertama, vote buying atau pembelian suara merupakan salah satu bentuk dari money politics yang menggunakan cara pemberian uang kepada pemilih dalam bentuk fresh money kepada pemilih. Stokes (2007 dalam Sumarto 2014: 30) menjelaskan secara sederhana praktek pembelian suara diartikan sebagai pertukaran antara uang dengan suara pemilih.Secara lebih jauh Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer (ed.) 2007: 17) praktek jual beli suara seperti kontrak atau lelang dimana pembeli menjual suara mereka pada penawar tertinggi. Dalam hal ini logika transaksi komersil bekerja dengan prinsip jika pembeli tidak memberikan penawaran tertinggi atau membayar, seorang penjual tidak akan memberikan suaranya kepada pembeli tersebut. Meski demikian, menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer (ed.) 2007: 18) tidak semua transaksi komersial dapat diartikan sebagai praktek pembelian suara, akan tetapi terdapat dua logika transaksi yang dapat dikatakan sebagai praktek pembelian suara yakni: (1) para aktor yang terlibat (penjual dan pembeli) terlibat dalam pertukaran yang efektif antara uang dengan suara, jika pembeli tidak membayar penjual tidak akan memberikan suaranya; (2) pembeli dan penjual mengerti apa yang sedang mereka lakukan, bahwa mereka memasuki hubungan timbal balik dari pertukaran antara uang dengan suara. Dalam hal ini pembelian suara melalui pendistirbusian sumber daya materi yang dilakukan oleh kandidat kepada pemilih memiliki harapan untuk memperoleh imbalan berupa suara dari pemilih kepada kandidat yang telah memberikanya uang. Pembelian suara atau vote buying, bergerak pada arena pasar dukungan politik dengan jenis barang-barang privat yang dipertukarkan dengan suara pemilh (private-goods electoral markets) (Sumarto 2014: 31).Ciri utama dari barang privat ini ialah uang dalam bentuk fresh money ataupun uang yang dibelikan dalam bentuk barang yang berasal dari kantong pribadi miliki calon anggota legislatif. Selain itu cakupan sasaran dari praktek vote buying sendiri ialah kepada individu ataupun rumah tangga dengan tujuan agar pemberian materi uang dapat langsung dirasakan secara personal. Meski demikian menurut Schaffer (2007, dalam Sumarto 2014: 30) pembelian suara yang dilakukan oleh kandidat wakil rakyat paling tidak memiliki tiga kriteria yang diantaranya: 1. Materi yang diberikan oleh politisi untuk ditukar dengan suara pemilih dibagikan beberapa hari atau beberapa jam menjelang pemilihan umum. 10 2. Target penerima materi yang dipertukarkan untuk memperoleh suara pemilih adalah individu dan atau rumah tangga. 3. Materi yang dipergunakan untuk membeli suara merupakan barang privat atau barang publik yang di “personalisasi” (Scaffer 2007: Hicken 2007, dalam Sumarto 2014: 30). Pada sisi lain Stokes (2007 dalam Sumarto 2014: 30) menambahkan kriteria terakhir dengan adanya kriteria yang digunakan oleh “pembeli” suara untuk memilih “penjual” suara adalah “apakah anda akan memilih saya?”. Dalam hal ini sebelum seorang calon anggota legislatif akan memberikan uang kepada pemilih, ia perlu memastikan apakah pemilih tersebut akan memberikan suaranya pada saat hari pemungutan suara. Akan tetapi dalam prakteknya seorang pembeli suara sebetulnya tidak memiliki instrumen kontrol yang mampu memastikan sekaligus menjamin, seorang pemilih akan memberikan suaranya pada hari pemungutan suara ketika sudah diberikan uang sebelumnya layaknya transaksi ekonomistik antara penjual dan pembeli dalam perdagangan barang dan jasa. Sehingga pada kondisi seperti ini seorang pembeli suara mengalami ketidakpastian akan suara yang akan diberikan atau tidak akan diberikan oleh penjual suara. Keberadaan hal ini menurut Schaffer dan Schedler (2007) tidak terlepas dari adanya hambatan obyektif dan subyektif dari praktek money politics.Pada sisi obyektif ketidakpastian atau ketidakpatuhan dari soerang penjual suara kepada pembeli suara berkaitan dengan adanya fakta bhawa sekalipun bekerja pada transaksi komersial, pembeli suara membeli tanpa lisensi yang berada dalam pasar gelap (black market) dari pada dalam pasar normal yang dilindungi secara legal (Schaffer & Schadler dalam Schaffer (ed.) 2007: 19).Maksudnya ialah, jual-beli suara merupakan praktek perdagangan yang bertentangan dengan aturan hukum yang ada atau illegal.Dalam hal ini para pembeli suara berhadapan dengan hukum dan nilai demokrasi yang memposisikan suara bukanlah sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Sekalipun sejalan dengan norma-norma masyarkat setempat, vote buying masih tetap illegal dimana hukum dan ancaman sanksi kepada pembeli suara masih ditegakan (Schaffer & Schadler, dalam Schaffer 2007 (ed.): 20). Dengan ini seorang penjual suara tidak berkewajiban dan tidak perlu hawatir untuk tidak memberikan suaranya kepada pembeli, karena hubungan transaksi ini tidak dilindungi oleh aturan hukum yang ada layaknya transkasi komersil barang dan jasa. 11 Sedangkan pada sisi subyektif seorang pemilih atau penjual suara dapat berpikir bahwa uang yang telah diberikan merupakan pemberian uang yang dilakukan oleh penjual suara dilandasi oleh kebaikan hati politisi tanpa suatu ikatan politik, yaitu kewajiban resiprokal untuk menyumbangkan suara politiknya kepada pembeli suara (Schaffer dan Schedler 2007, dalam Sumarto: 31). Adanya ketidakpastian dalam praktek vote buying secara lebih jauh menurut Schaffer dan Schadler tidak terlepas dari konstruksi makna pemilih yang berbeda terhadap pemberian yang dilakukan oleh kandidat. Paling tidak terdapat tiga identifikasi terhadap bentuk penawaran yang dilakukan oleh kandidat menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer 2007: 25) yang diantarnya : a. Sebagi sebuah uang muka yakni warga sebagai pemilih dalam model pasar klasik menganggap penawaran sebagai bentuk pembayaran atas jasa yang mereka berikan kepada kandidat berupa hak politik mereka. Pembayaran merupakan bentuk transaksi komersil. Sehingga jika pemilih menerima tawaran material, seorang pemilih mengetahui bahwa mereka diharapkan untuk memberikan suaranya di TPS sebagai bentuk kesepakatan atas penawaran yang diterima antar kedua belah pihak. b. Sebagai sebuah upah dalam hal ini pembayaran atau pemberian material yang dilakukan oleh kandidat didasari atas pemberian upah kepada pemilih yang telah mendukung terselenggaranya kampanye seperti menempel poster. Sehingga hubungan ini tidak berlandaskan pada asas pertukaran dengan suara pemilih. c. Sebuah hadiah yakni penawaran atau pemberian yang dilakukan oleh kandidat dengan konsekuensi menciptakan keharusan bagi masyarakat untuk memilih kandidat yang telah memberi mereka hadiah di kotak suara. Sebagai contoh dalam studi yang dilakukan oleh Rigger (1994: 21) para broker atau perantara di Taiwan memberikan hadiah kepada setiap rumah yang mereka kunjungi pada saat mempromosikan kandidat mereka. Kedua, pork barrel didefinisikan sebagai suatu bentuk penyaluran barang bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupaten/Kota bahkan desa dari pejabat terpilih (Schaffer 2007, dalam Sumarto 2014: 32).Pork barrel sering kali di identikan dengan proyek-proyek pembangunan ataupun perbaikan fasilitas publik yang dilakukan oleh 12 calon anggota legislatif, dengan tujuan untuk meningkatkan peluang keterpilihan politisi tersebut dalam pemilu. Jika dalam vote buying sumber daya material yang diberikan bersifat privat, sedangkan dalam pork barrel barang yang diberikan merupakan public goods dalam bentuk fisik.Untuk itu pork barrel bergerak pada arena barang-barang publik untuk dipertukarkan dengan suara pemilih (public-goods electoral markets) seperti pembangunan fasilitas publik ataupun program sosial (Sumarto 2104: 31).Target penerima pork barrel sendiri tidak secara personal tetapi menyeluruh berdasarkan wilayah geografis atau territorial tertentu seperti Kabupaten, Desa, Dusun, sesuai dengan daerah pemilihan dari calon anggota legislatif terkait. Sehingga sebelum proses pendistribusian program pembangunan fasilitas publik ini, biasanya seorang calon anggota legislatif bertanya “Apakah anda tinggal di Kabupaten saya ?” (Stokes 2007 dalam Sumarto 2014: 33). Di lain pihak, dana yang dikeluarkan bukan berasal dari kantong pribadi calon anggota legislatif, melainkan anggaran pembangunan atau program yang berasal dari dari pajak umum yang di pungut oleh pemerintah (Lancaster 1986 dalam Sumarto 2014: 32). Dengan kata lain pork barrel merupakan program pembangunan fasilitas publik yang sudah dicanangkan dan dianggarkan oleh pemerintah, akan tetapi dalam prakteknya diklaim sebagai produk hasil calon anggota legislatif terkait. Dalam hal ini terjadi personalisasi barang publik melalui klaim politik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif terhadap pembangunan fasilitas publik. Secara lebih spesifik Mayhew menjelaskan kalaim politik ini sebagai berikut: “Kalim politik atas distribusi program pembangunan atau kesejahteraan sosial menujukan pada sauatu tindakan yang dilakukan sesorang (dalam hal ini calon anggota legislatif) untuk menciptakan kepercayaan pemilih bahwa politisi tersebut yang bekerja secara personal sehingga mampu menghasilkan capaian/program yang diharapkan pemilih”(Mayhew 2008 dalam Sumarto 2014: 35) Dari sinilah kemudian pork barrel dapat diartikan sebagai strategi pemenangan yang dilakukan oleh calon anggota legislatif dengan mengklaim program pemerintah untuk mengikat pemilih selaku penerima program, yang tentunya tidak terlepas dari sebuah proses memperoleh suara terbanyak. Praktek ini banyak digunakan oleh para calon anggota legislatif incumbent untuk membuka peluang dukungan politik kembali dari pemilih di daerah pemilihan yang sama. 13 Selain itu pork barrel dalam prakteknya tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, karena dalam prakteknya pemberiyan yang dilakukan oleh kandidat baru dilaksanakan ketiak dia terpilih sebagai anggota legislatif dengan mendistribusikan uang dalam wujud program pemerintah terhadap daerah tertentu. Dengan ini perbedaan antar kedua bentuk money politics baik vote buying maupun pork barrel dapat dilihat dari tiga aspek yakni: cakupan atau sasaran dari pemberian sumber daya material apakah ditujukan pada individu secara personal atau keseluruhan masyarakat dalam satu wilayah, kemudian waktu pendistribusiannya apakah sebelum pemilu atau setelah pemilu, barang yang diberikan apakah privat atau public, dan terakhir kriteria memilih penerima. Secara lebih jauh perbedaan antara kedua bentuk money politics ini dapat kita lihat melalui tabel berikut : Tabel I.1 Perbedaan Antara Vote Buying dan Pork Barrel No. 1. Strategi Cakupan Waktu Produk Barang Kriteria Aturan Pemenangan Sasaran Distribusi Yang Memilih Hukum Dipertukarkan Penerima Pembelian Suara vote atau buying 2. Individu Pork Barrel Sebelum Barang pemilu private goods privat Apakah anda Illegal, akan terlarang rumah memilih tangga saya ? Kabupate n, Setelah Kota, pemilu Barang publik Apakah public goods anda tinggal diperobolehk- Kecamata di n, kabupaten Desa, Dusun, saya ? Daerah pemilihan (Sumber: Sumarto 2014: 33, dan Schffer (ed.) 2007) 14 Legall, an D.3 Cara Bekerja Money Poilitcs Dalam Proses Elektoral Skema bekerjanya money politics sendiri dalam proses pemilu cenderung beranekeragam. Mulai dari pembelian suara dalam pasar gelap secara tertutup para pembeli suara melakukan transaksi tanpa dilindungi oleh norma-norma sosial dan hukum (Absiono 2012: 15).Sampai dengan secara terbuka layaknya pertemuan pedagang dan pembeli di pasar.Meski demikian menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer (ed.) 2007: 25) money politics terutama dalam bentuk vote buying merupakan kegiatan terlarang yang sebagain besar dalam prakteknya tersembunyi dari inspeksi publik dan langkah-langkah yang dilakukan tidak mudah di amati.Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 61) secara lebih jauh mengungkapkan hampir diseluruh dunia praktek pembelian suara merupakan praktek terlarang, sehingga setiap kandidat perlu berahati-hati dan cukup sulit untuk mencapai sejumlah pemilih dengan diamdiam. Untuk itu menurut Wang dan Kurzman setiap kandidat yang akan melakukan vote buying memerlukan sebuah agen penghubung atau broker yang akan mendekati sejumlah pemilih yang cakupanya luas dan tidak mungkin dilakukan oleh kandidat itu sendiri. Cara bekerja money politics baik dalam bentuk vote buying maupun pork barrel dalam kampanye selalu melibatkan intermediary agent dengan tujuan untuk menghindari jeratan hukum yang ada secara diam-diam. Bagi Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64) dalam prosesnya pelibatan agen penguhubung sangat penting dalam setiap pemilihan umum untuk menjaring suara pemilih pada level lokal. Dalam pemilihan lokal di Taiwan misalnya, enam dari tujuh kandidat berhasil melakukan vote buying dengan memanfaatkan agen penghubung yang memiliki pemahaman akan daerah lokal. Untuk itu ketika seorang kandidat memutuskan untuk menggunakan money politics terdapat perbedaan keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang agen penghubung salah satunya ialah pemahaman mengenai daerah setempat. Dari situlah kemudian Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64) menjelaskan dalam proses pembelian suara seorang kandidat perlu menyewa politikus lokal atau agen penghubung lokal yang memiliki pengetahuan lokal secara terperinci dengan kriteria: seseorang yang mengatahui kepada siapa ia akan memberikan uang, seseorang yang dapat dipercaya, dan bagaimana hubungan ini dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilih. Pemahaman mengenai daerah setempat inilah kemudian yang akan memastikan ada atau tidak adanya resiko yang akan ditimbulkan dari praktek pembelian suara yang dilakukan. Hal ini 15 karena jika dalam proses perekrutan agen penguhubung tidak mampu memilih orang yang tepat, dapat membawa resiko pada diketahuinya skema pembelian suara yang dilakukan oleh kandidat (Wang & Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 65). Sehingga pemanfaatan jaringan pribadi kandidat yang memiliki kedekatan sosial di percaya oleh kandidat seperti teman satu sekolah, tetangga dalam satu daerah tempat tinggal, kepala desa, jaringan veteran, dan petani, sering kali dimanfaatkan sebagai agen penguhubung (Wang & Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 69). Pemanfaatan hubungan sosial pribadi yang dilakukan oleh kandidat sebagai agen penghubung bertujuan untuk mempermudah proses pendistribusian uang ke lokasi perumahan, yang sangat beresiko jika dilakukan oleh kandidat itu sendiri. Untuk itu menurut Wang dan Kurzman (dalam Schaffer 2007: 71) dalam proses perekrutan agen penghubung berlandaskan pada tiga kategorisasi hubungan sosial yakni: 1. Keluarga dengan memanfaatkan salah satu pemilih yang berasal dari satu keluarga dengan kandidat bisa keponakan ataupun sepepu untuk menjadi penghubung dalam proses pendistribusian uang kepada keluarganya sendiri ataupun tetangga pemilih. 2. Teman yakni memanfaatkan hubungan pertemanan antara kandidat dengan pemilih untuk mendistribuskan uang kepada saudara-saudara pemilih. 3. Tetangga yakni memanfaatkan tetangga diamanaia tinggal untuk mendistribusikan uang dari tetangga satu ke tetangga lainnya. Tidak hanya berhenti sampai disitu Aspinall (2013), mencoba melihat cara bekerja pendistribusian uang dengan memenfaatkan agen penghubung yang bersifat hierarki top-down mulai dari level tertinggi diduduki oleh partai politik dan calon anggota legislatif berikut dengan para donor yang memeberikan sumbangan atau modal kampanye kepada kandidat, kemudian di ikuti dengan tim pemenangan kampanye kandidat yang biasanya sesuai dengan level pemerintahan. Mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, sampai dengan kordinator tempat pemungutan suara (TPS) dan relawan. Pola seperti ini biasanya di sesuaikan dengan struktur tim kampanye yang dibuat oleh masing-masing kandidat. Tetapi terdapat pula struktur yang sengaja di buat diluar tim formal kampanye yang sifatnya bayangan. Selain itu aktor-aktor yang terlibat didalamnya tidak hanya berasal dari struktur formal tim pemenangan kampanye kandidat semata. 16 Tetapi memanfaatkan orang-orang terdekat maupun aktor-aktor formal maupun informal dengan menggunakan pendekatan kekerabatan ataupun professional yakni dengan skema pemberian upah. Secara lebih jauh Aspinall (2013) menjelaskan praktek pendistribusian money politics melalui strtuktur tim sukses sebagai berikut : Gambar I.2 Skeman Bekerjanya Money Politics Aspinall (2013) Pada sisi lain Rifai (2003: 75) mencoba melihat cara bekerja dari pemberian uang dalam bentuk lain yakni yang di sebut dengan sistem ijon sebagai suatu sistem bayar dimuka yang bersifat mengikat. Sistem ini diawali dengan adanya pendekatan oleh seseorang atau kelompok pemodal yang menyadari adanya potensi yang dimiliki oleh seseorang masyarakat untuk menjadi anggota dewan. Dari situlah kemudian proses pendekatan dan lobi di mulai oleh pemodal tersebut untuk mendorong individu masyarakat yang memiliki potensi ini, sampai pada akhirnya pemodal ini menyiapkan segala kebutuhnya mulai dari dana sampai dengan perlengkapan lainya untuk kampanye. Hal inilah yang kemudian mengikat hubungan antar kandidat tersebut dengan pemodal yang pola hubunganya berlanjut sampai dengan ia terpilih. 17 Pada sisi lain sistem ini tidak hanya bekerja pada konteks pemodal dan kandidat semata. Tetapi pada konteks kandidat dengan aktor lainnya dalam proses kampanye seperti yang terjadi antara tim sukses ataupun aktor lain yang memiliki pengaruh dan basis masssa. Biasanya aktoraktor ini menyadari adanya potensi sumber daya termasuk uang yang dimiliki oleh kandidat, dari situlah aktor setempat yang memiliki pengaruh berusaha untuk menjadi bagian dari tim kandidat dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya tersebut. Sehingga melalui aktor inilah kemudian uang disalurkan kepada pemilih. E. Definisi Konseptual E.1 Money Politics Politik uang merupakan pemanfaatan uang sebagai sumber daya ekeonomi menjadi sumber daya politik yang digunakan menggalang dukungan atau mobilisasi massa yang dilakukan oleh calon anggota legislatif ataupun partai politik dalam kampanye, dengan tujuan untuk memperoleh suara sebanyaknya-banyaknya proses elektoral. E.2 Vote Buying Pembelian suara atau vote buying merupakan salah satu bentuk dari money politics yang dilakukan dengan cara pemberian uang dalam bentuk fresh money selaku privat goods kepada pemilih. Secara sederhana vote buying dapat diartikan sebagai praktek pertukaran uang dengan suara dalam nalar transaksional.Target penerima vote buying sendiri bersifat personal kepada individu atau keluarga dan waktu pendistribusian uang dilakukan sebelum pemungutan suara. E.3 Pork Barrel Pork barrel merupakan salah satu bentuk dari money politics yang merubah wujud uang dalam bentuk private goods kedalam wujud public goods seperti pembangunan fasilitas publik yang cakupanya lebih luas seperti Kabupaten, Kecamatan, Desa, dan Daerah Pemilihan. Selain itu dana yang di peroleh didapatkan dari pemerintah, sehingga pork barrel merupakan klaim politik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif terhadap program pemerintah dengan tujuan untuk mengikat pemilih selaku penerima program untuk memberikan suaranya dalam hari pemungutan suara. 18 F. Metode Penelitian F.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.Metode kualitatif yang biasa digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit baru diketahui dan memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss & Corbin 2003: 5). Menjadi relevan untuk digunakan karena mampu memberikan pisau analisa yang lebih tajam dan detail dalam menjelaskan praktek money politics dalam pemilu legislatif yang selama ini sulit untuk dilacak keberadaanya. Belum lagi metode penelitian kualitatif tidak hanya melihat realitas perosalan dari permukaan semata, melainkan lebih mendalam dengan mengikutsertakan peneliti menjadi bagian dari realitas tersebut untuk melihat tata cara bekerjanya money politics yang dilakukan oleh calon anggota legislatif secara langsung. Sehingga mampu mengelaborasi lebih jauh keberadaan praktek money politics di Dusun Tunjungan. Sedangkan pendekatan studi kasus yang berupaya untuk menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, proses, atau kasus-kasus yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas dengan cara mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data (Creswell 2010: 20).Akan sangat membantu peneliti yang berusaha melihat money politics secara lebih spesifik pada kasus tertentu dalam hal ini masyarakat di dusun Tunjungan, Desa Pengasih, Kabupaten Kulon Progo pada pemilu legislatif 2014.Sehingga hal tersebut menjadi boundaris atau batasan yang diamanahkan oleh pendeketan studi kasus dalam melalakukan sebuah penelitian, agar lebih terfokus dengan lokus yang jelas dan tidak melebar dari rumusan masalah penelitian yang hendak dijawab. F.2 Teknik Pengumpulan Data Terdapat dua teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam studi ini.Pertama, dengan cara mencari sumber data primer melalui indepth interview dan observasi lapangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan empat aktor berbeda diantaranya: 1. Masyarakat umum: wawancara dilakukan kepada enammasyarakat Dusun Tunjungan yang sudah memiliki hak piliih, serta mengatahui jalanya pemilu legislatif 2014 seperti 19 kampanye dan juga praktek money politics yang dilakukan oleh kandidat. enam masyarakat ini terbagi kedalam dua klasifikasi masyarakat yakni ibu-ibu dan pemuda. Tiga orang ibu-ibu Dusun Tunjungan dipilih berdasarkan keaktifan diberbagai kegiatan dan juga kedekatan dengan kandidat anggota legislatif yang diantaranya: Suharini (61 tahun) sebagai ketua PKK, Muntamah (34 tahun) selaku istri dari kepala Dusun Tunjungan, dan Indah Purwati (35 tahun) sebagai masyarakat memiliki usaha batako yang sering kali disambangi oleh calon anggota legislatif untuk meminta dukunganya berikut para karyawanya. Sedangkan pemuda teridiri dari tiga orang pemuda yang aktif di karang taruna Dusun Tunjungan dan sebagian besar mengetahui praktek money politics yang dilakukan oleh kandidat yang diantaranya : Irfani Fathur Rahman (23 tahun) salah satu pemuda yang mengetahui praktek pendistribusian uang yang dilakukan oleh salah satu kandidat asal Dusun Tunjungan, kemudian Herman Widiyanto (29 tahun) dan Maryudi (30 tahun) yang ikut terlibat sebagai saksi salah satu kandidat yang melakukan praktek money politics. 2. Tokoh masyarakat: wawancara dilakukan terhadap tujuh tokoh masyarakat yang memiliki pemahaman akan kondisi Dusun Tunjungan pada pemilu legislatif, yang tentunya berkaitan dengan perederan money poilitics, serta memiliki latarbelakang yang berbedabeda dan peran yang berbeda-beda dalam pemilu legislatif 2014 yang diantaranya: Suwanto (43 tahun) selaku kepala Dusun Tunjungan, Supriyono (42 tahun) dan Supriyadi (42 tahun) selaku tokoh agama atau “Kaum” yang ikut terlibat dalam proses pendistribusian uang. Kemudian Supri (48 tahun) selaku ketua RW 11, Mujiyana (49 tahun) selaku ketua RT 28, dan Ahmad Saleh (34 tahun) selaku ketua karang taruna yang sebagian besar mengetahui adanya pemberian uang dalam masa kampanye. Selain itu terdapat pula Haryono (44 tahun) selaku masyarkat Tunjungan yang ikut terlibat sebagai Panitia Pengawas Kecamatan dan Joko Budiarto (55 tahun) selaku tokoh masyarakat setempat yang bekerja sebagai redaktur media cetak “Kedaulatan Rakyat”, yang tentunya memahami mengenai bentuk dan cara kerja money politics yang terjadi di Dusun Tunjungan. 3. Calon anggota legislatif: wawancara dilakukan pula terhadap pelaku dari praktek money politics di Dusun Tunjungan yang terdiri dari tiga calon anggota legislatif yang diantaranya: Tujo Biantoro (56 tahun) selaku calon anggota legislatif pada level DPRD 20 Kabupaten Kulon Progo berasal dari partai Hanura, dan Surana (50 tahun) selaku calon anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo yang berasal dari partai Gerindra. Selain itu pada level DPRD Provinsi DIY yakni Gunawan (49 tahun) selaku caleg incumbent yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN). 4. Penyelenggara pemilu: wawancara dilakukan kepada komisoner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Kulon Progo yang bernama Marwanto (45 tahun), dan kepada komisioner Pantia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Kulon Progo bernama Puja Rasa Satuhu (45 tahun). Keduanya dipilih berdasarkan pemahaman dan pengetahuan di lapangan yang membidangi urusan kepemiluan, yang tentunya mengetahui motif, bentuk, dan cara kerja money politics di Kulon Progo. Adanya ke empat aktor berbeda ini dipilih menjadi narasumber ini, kemudian akan semakin menguatkan argumentasi penelitian dalam rangka melacak lebih jauh kehadiran money politics di Dusun Tunjungan. Selain melakukan indepth interview dalam rangka memperoleh data penulis melakukan observasi terhadap ketiga calon anggota legislatif dalam proses kampanye yang dilakukan selama dua kali yakni pada hari Sabtu, 8 Februari 2014 pkl. 17.00 di pertemuan ibuibu PKK Dusun Tunjungan yang dijadikan sebagai sarana kampanye oleh Tujo Biantoro dan Gunawan, dan pada hari Senin, & 7 April 2014 pkl 16.30 dalam pertemuan calon anggota legislati Kabupaten Kulon Progo Daerah Pemilihan (Dapil) Pengasih-Kokap asal partai Hanura dikediaman Tujo Biantoro. Kedua, dengan cara mencari sumber data sekunder melalui pengumpulan litertarur atau referensi yang sesuai dengan penelitian seperti studi-studi mengenai perilaku pemilih yang sudah dilakukan oleh penelit-peneliti sebelumnya, dan juga dokumen-dokumen seperti undang-undang atau paraturan mengenai pemilu, serta dokumen terkait wilayah penelitian seperti data monografi. Data sekunder ini berfungsi untuk memperkaya dan memperkuat konsep serta data yang diperoleh dari data primer.Sehingga keduanya bersifat komplementer dalam rangka membangun argumentasi penelitian. 21 Tabel I.2 Teknik Pengumpulan Data Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Indepth interview Primer Observasi Literatur review Dokumen Sekunder Sumber Data Wawancara narasumber: masyarakat umum, tokoh masyarakat, caleg, KPU, Panwaslu, dan relawan demokrasi. Pengamatan terkait kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan proses pemungutan suara Buku-buku terkait Money politics Dokumen terkait : • Undang-undang dan perturan pemilu • Data media massa • Data kependudukan • Data hasil pemilu dan laporan dana kampanye F.3 Analisa Data Dalam melakukan analisa data teknik yang digunakan ialah melalui lima tahapan yang ditawarkan oleh Creswell (2010: 277). Pertama, mengolah dan mempersiapkan data-data mulai dari data primer serta sekunder yang dikumpulkan dalam satu kesatuan.Kedua, peneliti akan membaca dan mencermati data-data yang sudah ada untuk menangkap gagasan-gagasan yang tersirat didalam data tersebut, guna diklasifikasikan sesuai gagasan-gagasan yang ada agar lebih terfokus. Ketiga, peneliti mengklasifikasikan atau men-coding data-data yang ada sesuai dengan tema untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian ini.Keempat, menerapkan proses coding untuk membuat deskripsi atas kategori-kategori dan tema-tema untuk di analisis. Kelima, menghubungkan tema-tema untuk diinterpretasikan dan dideskripsikan kedalam laporan penelitian. Meski demikian, dalam melakukan proses analisa data tidak bersifat kaku dan liner harus sesuai dengan tahapan-tahapan tersebut, melainkan memungkikan bagi peneliti untuk melakukan analisa data secara interaktif 22 Gambar I.3 Skema Analisa Data Menghubungkan tema – tema/deskripsi sesuai dengan topik penelitian Tema – tema Deskripsi Mengklasifikasikan data/coding Membangun Argumentasi Penelitian Membaca dan mengolah data secara keseluruhan Data Mentah (Studi Pustaka, Dokumen, Transkrip wawancara) Sumber : diadopsi dari Creswell (2010: 277) F.4 Sistematika Bab Studi mengenai “Money Politics Dalam Proses Elektoral” akan ditulis kedalam lima bab. Bab pertama, berisikan mengenai pendahuluan yang didalamnya memuat latarbelakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab kedua, peneliti akan sedikit banyak membahas mengenai lanskap sosial dan politik dari Dusun Tunjungan sebagai wilayah penelitian dari tulisan ini. Selain memuat deskripsi letak wilayah secara geografis dan administratif, pada bab dua ini akan memuat deskripsi mengenai konteks sosial dan ekonomi dari masyarakat di Dusun Tunjunga yang tentunya akan mempengaruhi pada karakter pemilih disana. Disamping itu pemetaan calon anggota legislatif siapa saja yang terlibat dalam pertarungan memperebutakn suara disana, beserta dimensi elektoral dalam hal ini sistem pemilu proposional terbuka. Akan dibahas dalam bab dua untuk melihat arena terjadinya money politics sekaligus latar belakangnya. 23 Bab ketiga dari penelitian ini akan menjelaskan adanya pembatasan pasar suara yang diperankan oleh kepala Dusun Tunjungan untuk membatasi calon anggota legislatif lainnya yang berusaha untuk menjaring suara disana diluar calon anggota legislatif yang berasal dari warga Dusun Tunjungan. Selain itu praktek ini berimplikasi pada adanya pembatasan praktek money politics yang hanya terjadi pada dua kandidat yang berasal dari warga Dusun Tunjungan pada level DPRD Kabupaten Kulon Progo dan kandidat yang berasal dari Desa Pengasih pada level DPRD Provinsi yang sudah memiliki kedekatan dengan kepala Dusun Tunjungan. Selain itu pada bab tiga ini akan dibahas pula bentuk, cara kerja, berikut pemanfaatan agen penghubung atau broker dalam praktek money politics, yang memanfaatkan peran kepala Dusun dan tokoh agama setempat. Bab empat dari penelitian ini akan melihat pemaknaan masyarakat sekaligus implikasi perolehan suara yang ditimbulkan dari praktek money politics yang dilakukan oleh calon anggota legislatif pada pemilu 2014 di Dusun Tunjungan. Sedangkan bab lima, peneliti akan menyajikan kesimpulan akhir dari penelitian yang sudah dilakukan berikut saran yang perlu diperhatikan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang memiliki minat studi mengenai kepemiluan terutama money politics. 24