KEBERHASILAN REPUBLIK ISLAM IRAN MENGINTEGRASIKAN SOFT SCIENCES DENGAN HARD SCIENCES Relevansi Untuk Dunia Kontemporer1 Husain Heriyanto2 Abstract Under the spirit and values of 1979 Islamic revolution, Iran has been a leading nation in both soft sciences and hard sciences. By the term ‘soft sciences’, it means any kind of human knowledge dealing with the meanings and employing qualitative methods such as religion, philosophy, ‘irfan, arts, and other human sciences. By the term ‘hard sciences’, it covers scientific knowledge dealing with the facts or numbers and employing quantitative methods such as mathematics, astronomy, physics, chemistry, biology, and medicine along with all their branches and applications in technology. Today, Iran is not only the land of philosophy (especially Islamic philosophy) and religious studies, but it is also one important center of excellence for science and technology in the world. Iran is the fastest growing country for science (Royal Society’s report in 2011). Nonetheless, the greater and more important role and contribution of Islamic Republic of Iran for contemporary world is its potential for establishing the integration of soft sciences and hard sciences. This capacity is very crucial and urgent for saving humanity and civilization from secularism and alienation as well as saving the earth from destruction and annihilation. One acute problem of modern thought is the divorce and conflict between soft sciences and hard sciences, between religion and science, between human and nature, and between ethics and technology. It is a result of secularism and materialism embedded in modern scientific enterprises. The emergence of Islamic Republic of Iran as a giant nation in religion, philosophy, science, and technology on the basis of Islamic world view is the best answer against secularism and materialism. Hence, the Islamic Republic of Iran has been and must be a model for Islamic world and any humanity-loving country across the world. The Islamic republic is a reality of what Muslim thinkers long thought about the idea of the development of science that is integrated with Islamic teachings and values. The existence of the Islamic Republic of Iran is a synthesis of spirituality and intellectuality based on Islamic realism. Pengantar Tema paper yang saya presentasikan dalam seminar Pekan Budaya Iran ini adalah salah satu butir jawaban saya terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Gholam-Ali 1 Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Internasional The Role and Contribution of Iranian Scholars for Islamic Civilization dalam rangkaian Pekan Budaya Republik Islam Iran yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, 8 Maret 2012. 2 Penulis adalah kandidat doktor filsafat dari Universitas Indonesia; dosen filsafat di Program Pascasarjana Universitas Indonesia; direktur Avicenna Center for Religion and Science Studies (ACRoSS); dan deputi direktur Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta periode 2003-2009. Husain Heriyanto Page 1 Haddal Adel dalam sebuah pertemuan di Teheran awal tahun ini. Penasehat senior pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dan Ketua Parlemen Iran 2004-2008 ini, bertanya kepada 14 peserta seminar riset dan workshop “Intellectuality and Spirituality: Islam and Contemporary Issues”3 tentang pandangan mereka terhadap Republik Islam Iran. Sebagai salah seorang peserta seminar, ketika itu saya menjawab bahwa di samping keberhasilan membangun republik yang mandiri dalam bidang budaya, politik, dan ekonomi atas dasar prinsip-prinsip Islam, Iran juga berhasil membangun tradisi sains modern yang unik dengan kemampuan mengintegrasikan rumpun ilmu pengetahuan kemanusiaan (soft sciences) dan rumpun ilmu pengetahuan alam (hard sciences). Paper ini akan menguraikan keberhasilan Iran dalam mengembangkan kedua rumpun ilmu pengetahuan ini atas dasar pandangan-dunia Islam serta relevansi keberhasilan integrasi keduanya untuk dunia kontemporer dan dunia Islam khususnya. 1. Pengertian Soft Sciences dan Hard Sciences Mari kita mulai pembahasan ini dengan penjelasan pengertian ‘soft sciences’ dan ‘hard sciences’. Pembagian ilmu pengetahuan ke dalam dua jenis ini sebetulnya tidak baku dalam studi akademis filsafat sains atau epistemologi. Dalam studi filsafat sains dikenal pembagian sains, dilihat dari subyek kajiannya baik yang murni maupun terapan, ke dalam empat kelompok utama, yaitu ilmu-ilmu formal (seperti matematika, logika, komputer), ilmu-ilmu alam (natural sciences seperti fisika, kimia, biologi), ilmu-ilmu sosial (social sciences seperti sosiologi, politik, antropologi sosial, psikologi sosial, ekonomi), ilmu-ilmu humaniora (human sciences seperti filsafat, sejarah, sastra, antropologi budaya, psikologi kognitif). Keragaman sains ini juga dicirikan dengan perbedaan metodologi di antara mereka. Ilmu-ilmu alam sepenuhnya bergantung pada metode eksperimen yang empiris (indrawi) dengan tujuan utama mencari penjelasan (eksplanasi) sebab akibat fenomena-fenomena alam. Sedangkan ilmu-ilmu sosial menggunakan metode observasi yang empiris-reflektif dengan tujuan pokok memahami (understanding) fenomena-fenomena sosial. Sementara itu, ilmu-ilmu humaniora lebih mengandalkan metode rasional-reflektif dan intuitif dengan 3 Seminar riset itu diselenggarakan oleh Al-Mustafa International University – Tehran dan berlangsung dari tanggal 16 Desember 2011 hingga 11 Januari 2012 yang diikuti oleh 14 peserta dari berbagai negara (Indonesia, Pakistan, Iran, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris). Husain Heriyanto Page 2 tujuan untuk memahami, menafsirkan dan memaknai fenomena-fenomena dan nilai-nilai kemanusiaan dengan catatan bahwa filsafat –sebagai ilmu induk- mencari pemahaman yang holistik dan radikal (mendasar) terhadap realitas secara umum. Dalam diskursus publik, penggolongan ilmu-ilmu seperti di muka mungkin dianggap rumit dan tidak mudah dimengerti. Kecuali itu, para sarjana filsafat sains sendiri kerap tidak sepakat mengenai metode dan cara penggolongan ilmu-ilmu tersebut. Misalnya, sebagian sarjana melakukan klasifikasi ilmu-ilmu lebih berdasarkan metode yang digunakan, alih-alih subyek kajiannya, sehingga lahir kategori ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu rasional.4 Ada juga yang membagi ilmu-ilmu secara sederhana ke dalam dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.5 Nah, salah satu kategorisasi yang populer dan kini banyak digunakan dalam wacana akademis yang lintas disiplin ilmu, tidak terbatas pada kalangan sarjana filsafat, adalah penggolongan ilmu-ilmu ke dalam dua kelompok, yaitu soft sciences (ilmu-ilmu lunak) dan hard sciences (ilmu-ilmu keras); selanjutnya demi konsistensi pengertian, dalam paper ini tetap digunakan istilah ‘soft sciences’ dan ‘hard sciences’ karena istilah ‘ilmu-ilmu lunak’ dan ‘ilmu-ilmu keras’ belum baku digunakan di percakapan akademis di tanah air. Istilah ‘soft’ (lunak) digunakan untuk menunjukkan penerapan metodologi yang lentur (tidak rigid) melainkan bervariasi dan plural sedangkan istilah ‘hard’ (keras) menggambarkan rigiditas atau kekakuan metodologi, yang biasanya dikenal dengan scientific method (metode ilmiah) Soft sciences adalah rumpun ilmu-ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang berhubungan langsung dengan eksistensi dan nilai kemanusiaan melalui penggunaan metode yang plural dan berjenjang (empiris, rasional, intuitif) baik yang bersifat teoritis murni (pure sciences) atau terapan (applied sciences). Oleh karena subyek dan obyek studi adalah sama-sama manusia maka soft sciences merupakan ilmu-ilmu yang langsung terkait dengan upaya pengenalan diri sendiri sebagai manusia, yakni pemahaman tentang kodrat, 4 Baca diantaranya Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: Chicago Univ. Press, 2003); Roger Trigg, Rationality & Science: Can Science Explain Everything? (Oxford: Oxford Univ. Press, 1999); atau Janet A. Kourany (ed.), Scientific Knowledge: Basic Issues in the Philosophy of Science (California: Wadsworth Pub. Co, 1987 5 Baca Roger Trogg, Understanding Social Sciences (Oxford: Blackwell, 2001); Stephen Cole, Making Science: Between Nature and Society (Massachusetts:Harvard Univ. Press, 1995); atau Alexander Rosenberg, Philosophy of Social Science, (Colorado:Westview Press, 1995). Husain Heriyanto Page 3 tujuan hidup, dan nilai-nilai yang melekat pada manusia. Jenis ilmu ini juga dengan sendirinya menyelami makna eksistensi manusia sekaligus makna eksistensi (realitas) itu sendiri secara umum. Hard sciences adalah rumpun ilmu-ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang tak berhubungan langsung dengan eksistensi dan nilai kemanusiaan melalui penggunaan metode yang umumnya empiris-induktif. Oleh karena obyek kajian bukanlah faktisitas manusia maka terdapat jarak antara subyek dan obyek, yang pada gilirannya ilmu-ilmu ini bersifat instrumental, mekanis, dan kuantitatif. Penguasaan ilmu-ilmu ini tidak langsung menyentuh pemahaman tentang makna keberadaan manusia dengan segenap atribut khas kemanusiaannya melainkan lebih kepada pemahaman tentang dan penguasaan terhadap alam. Ilmu-ilmu yang tergolong soft sciences adalah agama (ilmu-ilmu keagamaan), filsafat, tasawuf (‘irfan; sebagai suatu disiplin spiritual), sastra, seni, etika, psikologi, antropologi, sejarah, sosiologi, dan kebudayaan pada umumnya. Ilmu-ilmu ini meliputi baik ilmu murni (seperti teologi dalam agama atau psikologi kognitif dalam psikologi) maupun ilmu terapan (seperti fiqh dalam agama atau psikologi klinis dalam psikologi). Sedangkan ilmu-ilmu yang tergolong hard sciences adalah astronomi, fisika, kimia, biologi, matematika, komputer, kedokteran, dan berbagai teknologi yang merupakan terapan dari disiplin-disiplin ilmu tersebut seperti teknologi dirgantara, teknologi nuklir, petrokimia, nanoteknologi, rekayasa genetika, teknologi semi konduktor, teknologi sel punca, farmasi, dan beragam teknologi dan industri pada umumnya. Tabel 1 berikut memetakan ciri-ciri soft sciences and hard sciences untuk mempermudah pemahaman mengenai perbedaan antara kedua rumpun ilmu ini. Tabel 1. Perbedaan Soft Sciences dan Hard Sciences Tujuan Ciri-ciri Metode Contoh Soft Sciences Hard Sciences Memahami dan menafsir makna Bermuatan nilai, organis, kualitatif Rasional, intuitif, empiris Agama, filsafat, ‘irfan, seni, sastra, etika, sejarah, antropologi Deskripsi dan eksplanasi fakta Instrumental, mekanis, kuantitatif Rasional berbasis empiris Matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi kedokteran, ilmu-ilmu teknik dan rekayasa Husain Heriyanto Page 4 2. Iran: Tanah Kelahiran para Filsuf, Sufi, Teolog, dan Sastrawan Islam Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa Iran adalah tanah kelahiran para ‘ulama, filsuf, sufi, teolog, penyair, seniman, dan pemikir-budayawan Islam pada umumnya. Sejak fajar peradaban Islam menyingsing pada abad ke-8 M hingga abad ke-21 M sekarang Iran melahirkan para pemikir dan sarjana yang berpengaruh dan berkontribusi signifikan dalam pengembangan soft sciences yang berbasiskan pada pandangan-dunia Islam. Mengingat ruang yang terbatas, paper ini akan mendeskripsikan secara ringkas sumbangan para sarjana Iran terhadap peradaban Islam baik pada era keemasan Islam klasik maupun zaman sekarang. Yang dimaksudkan dengan sarjana Iran adalah mereka yang lahir di negeri Iran sekarang atau termasuk wilayah kebudayaan Persia seperti kawasan Transoksania (sekarang Uzbekistan) dan Balkh (sekarang Afghanistan). Sumbangan Iran terhadap pemikiran Islam bersifat lintas mazhab karena banyak ulama dan pemikir mereka yang menjadi tokoh berpengaruh dalam mazhab Syi‘ah dan Sunni. Sejumlah teolog kelahiran Iran seperti al-Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, al-Syahrastani, dan Fakhr al-Din al-Razi adalah tokoh-tokoh pemikir Sunni. Raghib al-Isfahani (w. 1058 M), yang lahir di kota budaya Isfahan, adalah pemikir sistem etika yang, menurut penelitian Yasien Mohamed (2006)6, berpengaruh besar terhadap teori etika al-Ghazali. Sedangkan alGhazali (w. 1111 M) sendiri, kelahiran Thus-Khurasan, boleh dikatakan teolog-sufi-pemikir agama yang paling berpengaruh di dunia Sunni terutama di kalangan penganut mazhab fiqh Syafi‘i dan kalam Asy‘ariyah hingga sekarang termasuk di Indonesia. Sementara al- Syahrastani (w. 1153 M) dan Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 M) merupakan teolog-teolog Sunni, sebagaimana halnya al-Ghazali, yang dikenal pertentangannya yang sengit terhadap beberapa gagasan filosofis Ibn Sina seperti ajaran tentang keazalian alam semesta. Sumbangan pemikir Iran kepada mazhab Sunni juga meliputi ilmu-ilmu Islam lainnya. Dua sarjana hadis terkemuka yang dianggap paling otoritatif (al-shahihain) dalam dunia Sunni, yaitu al-Bukhari (w. 870 M) dan Muslim (w. 875 M), adalah kelahiran Iran tepatnya masing-masing di kota Bukhara dan Nisyapur. Empat sarjana peneliti dan pengoleksi hadis lain yang terkemuka, yakni Ibn Majah (w. 886 M), Abu Daud (w. 888 M), al-Tirmidzi (w. 892 M), dan al-Nasa’i (w. 915 M), adalah juga kelahiran Iran atau setidaknya hidup di daerah 6 Baca Yasien Mohamed, The Path to Virtue: The Ethical Philosophy of al-Raghib al-Isfahani (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006). Husain Heriyanto Page 5 kebudayaan Persia. Koleksi buku hadis dari keenam tokoh inilah yang menjadi rujukan utama dan standar dalam mazhab Sunni, dikenal dengan al-Kutub al-Sittah (Kitab Yang Enam)7. Jadi, kaum Sunni menggunakan “Kitab Yang Enam” karya sarjana-sarjana Iran ini sebagai acuan induk kedua dalam sistem kajian tekstual agama Islam setelah al-Qur’an. Sementara itu, Iran terus memasok para pemikirnya untuk pengembangan ilmu-ilmu Islam di dunia Syi‘ah sejak awal Islam hingga hari ini. Meskipun Iran tidah identik dengan Syi‘ah dan sebaliknya Syi‘ah, tentu saja, juga tidak terbatas pada Iran, namun keduanya terpaut erat dan saling memberi. Dengan infrastruktur tradisi intelektual kebudayaan Persia yang sudah mapan sejak periode pra-Islam, Iran menjadi lahan subur bagi pengembangan ilmu-ilmu Islam; dan sebaliknya, Islam khususnya mazhab Syi‘ah memberi pencerahan spiritual dan intelektual kepada Iran dan membentuk wajah negara Persia ini sebagaimana yang kita kenal hari ini. Tak lama setelah rakyat Persia memeluk Islam pada abad pertama hijriah (abad ke-7 M), didirikanlah kota Qum sebagai salah satu pusat keilmuan di penghujung abad itu.8 Para pelajar Iran banyak yang mereguk hikmah dan ilmu-ilmu Islam di bawah bimbingan keluarga Nabi SAW khususnya Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja‘far Shadiq di Madinah, lalu Imam Musa al-Kazhim di Baghdad dan Imam ‘Ali al-Ridha di Khurasan. Menarik dicatat bahwa ketika Imam ‘Ali al-Ridha berkunjung ke kota-kota Ahwaz, Syiraz, Nisyapur, dan Merv di wilayah Khurasan, Iran bagian timur, beliau disambut hangat oleh rakyat dan ‘ulama setempat yang hendak memetik ilmu dan keagungan ajaran Islam langsung dari sumbernya yang agung, sang cucu Nabi SAW. Imam ‘Ali al-Ridha wafat pada 817 M dan dimakamkan di Thus (sekarang Masyhad), yang lalu menjadi kota suci dan pusat keilmuan Islam. Kisah ini merupakan sebuah episode yang menunjukkan bagaimana Syi‘ah sejak awal diterima dengan antusias di Iran dan lalu para ‘ulama dan sarjana mereka mengembangkan ajaran Islam ini sedemikian sehingga pada abad ke-16 M, Syi‘ah menjadi mazhab resmi negara Iran. Atas dasar itu, tokoh-tokoh ‘ulama dan sarjana Syi‘ah banyak muncul dari Iran selain tentunya juga dari Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Dalam bidang teologi, seorang sahabat 7 Kitab Yang Enam itu adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, dan Shahih al-Nasa’i 8 Baca ‘Allamah Tabataba’i, Shi‘a, edisi bahasa Inggirs terjemahan Seyyed Hossein Nasr (Qum: Ansariyan Publications, 2001), hal, 60. Husain Heriyanto Page 6 Imam ‘Ali al-Ridha, yaitu Fadhl ibn Syadzan al-Nisyaburi, merupakan teolog (mutakallim) Syi‘ah awal; dia lahir dan wafat di Nisyapur. Beliau juga seorang faqih dan ahli hadis. Menurut Murtadha Muthahhari (2002), dalam tradisi Syi‘ah seorang teolog biasanya juga ahli hadis dan sebaliknya, bahkan tak jarang adalah juga filsuf; fenomena ini sulit ditemukan di dunia Sunni yang biasanya terjadi perselisihan tajam antara ‘Ahli Hadis’ dan ‘Ahli Kalam’ sebagaimana juga antara ‘Ahli Kalam’ dan ‘Filsuf’.9 Keluarga Naubakhti melahirkan sejumlah teolog Syi‘ah seperti Fadhl ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht (yang juga penerjemah bahasa Persia – Arab di perpustakaan Bayt al-Hikmah pada abad ke-8 M), Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht, Isma‘il ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn alNaubakht, ‘Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht, dan Abu Sahl Isma‘il ibn ‘Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn al-Naubakht. Sedangkan Ibn Qubbah al-Razi dan Abu ‘Ali ibn Miskawayh (penulis kitab terkenal Tahdzib al-Akhlaq) adalah juga dua tokoh teolog Syi‘ah pada abad ke9 dan 11 M.10 Adapun teolog Syi‘ah termasyhur dan sangat berpengaruh adalah Nashir alDin al-Thusi (w. 1274 M). Teolog kelahiran Thus, Khurasan ini adalah juga filsuf, astronom dan matematikawan yang ulung. Al-Thusi membangun sistematika teologi filosofis untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban Islam melalui karyanya Tajrid al-I‘tiqad (Pensucian Keyakinan). Menurut Seyyed Hossein Nasr (1968)11, karya teologi-filosofis tersebut menjadi salah satu rujuan utama para ulama Syi‘ah hingga sekarang. Muthahhari menulis, “setelah penerbitan Tajrid, seluruh teolog (mutakallimin) – termasuk Mu‘tazilah dan Asy‘ari- mengikuti jalan yang sama, yakni mulai menggunakan metode filosofis untuk memecahkan persoalan-persoalan teologis”.12 Sumbangan Iran untuk ilmu hadis di dunia Syi‘ah persis sebagaimana yang terjadi di dunia Sunni. Jika ‘Kitab Yang Enam’ (al-Kutub al-Sittah) merupakan rujukan standar hadis dalam mazhab Sunni, maka ‘Kitab Yang Empat’ adalah rujukan standar hadis dalam Syi‘ah. Empat kitab rujukan tersebut adalah al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, al-Tahdzib alAhkam, dan al-Istibshar, yang berturut-turut ditulis oleh Tsiqat al-Islam Muhammad ibn Ya’qub al-Kulayni al-Razi (w. 940 M), Syaikh Shaduq Muhammad ibn Babawayh al-Qummi 9 Baca Murtadha Muthahhari, Understanding Islamic Sciences (London: ICAS Press, 2002), hal. 75. 10 Ibid., hal. 78. 11 Baca Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge-Massachusetts: Harvard University Press) 12 Muthahhari, Op.cit., hal. 72. Husain Heriyanto Page 7 (w. 991 M), Syaikh Abu Ja‘far al-Thusi (w. 1068 M), dan juga Syaikh al-Thusi.13 Syaikh alThusi, yang juga ahli fiqh melalui salah satu karyanya yang masih dipelajari hingga kini AlNihaya, adalah pembangun pusat studi Islam di Najaf, Irak setelah beliau meninggalkan kota kelahirannya Thus, Khurasan.14 Untuk disiplin ilmu-ilmu yang tergolong soft sciences lainnya seperti filsafat, tasawuf (‘irfan), dan sastra, sumbangan para sarjana Iran sangatlah menonjol dan signifikan, baik pada masa peradaban Islam klasik maupun era kontemporer. Kalau kita membaca bukubuku filsafat Islam entah aliran peripatetik (masysya‘iyyin), iluminasionis (isyraqiyyin), dan filsafat transendental (hikmah muta‘aliyyah) maka filsuf-filsuf Iran bukan saja tokoh-tokoh terkemuka, tetapi juga pendiri aliran-aliran filsafat Islam ini.15 Abu ‘Ali al-Husain Ibn Sina (w. 1037 M), kelahiran Bukhara dan wafat di Hamadan, adalah filsuf terkemuka yang membangun aliran peripatetik bersama-sama dengan Abu Nashr al-Farabi (w. 950 M). AlFarabi sendiri lahir di wilayah Transoksania dan berdarah campuran Persia dan Turki, namun dia dibesarkan di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad dan Isma’il ibn Ahmad, sebuah dinasti Samaniyyah rumpun Persia.16 Sementara itu, pendiri aliran iluminasionis adalah Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191). Filsuf yang dijuluki Syaikh al-Isyraq ini lahir di Suhraward, Iran barat laut.17 Sedangkan pendiri hikmah muta‘aliyyah (kerap diterjemahkan oleh Penerbit Mizan sebagai ‘filsafat hikmah’) adalah Muhammad ibn Ibrahim Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1640), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Tokoh filsafat hikmah ini, yang lahir di Syiraz, dianggap oleh para sarjana filsafat Islam telah berhasil mensintesiskan aliran peripatetik, iluminasionis, 13 Baca ‘Allamah Tabataba’i, A Shi‘ite Anthology (terjemahan William C. Chittick), dalam ‘Allamah Tabataba’i, A Series of Islam and Shi‘a (Qum: Ansariyan Publications, 2005), hal. 410. 14 Muthahhari, Op.cit., hal. 149. Sejumlah sarjana bahkan berargumen bahwa filsafat tidaklah berasal dari Yunani melainkan dari Timur, khususnya Iran. Dari sinilah filsafat lalu menyebar ke Asia Kecil dan Mediterania, Yunani, Ionia, Suriah, dan Libanon. Baca Sayyid Muhammad Khamenei, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Tehran: SIPRiN, 2004). 15 16 Baca Osman Bakar, Al-Farabi: Life, Works and Significance (Kuala Lumpur: Akademi Sains Islam Malaysia, 1987). 17 Hossein Ziai, Shihab al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist School, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy, Part I (London and New York: Routledge, 1996), hal. 434. Husain Heriyanto Page 8 ‘irfan, dan kalam yang bersumberkan teks-teks al-Qur’an dan Hadis ke dalam satu mazhab filsafat yang lebih mendasar dan holistik.18 Persis seperti dalam filsafat, para sarjana atau pencari kearifan Iran juga mendominasi tradisi tasawuf atau yang lebih dikenal di Iran sebagai ‘irfan. Sejak awal peradaban Islam hingga hari ini, para ‘urafa (sufi) asal Iran selalu hadir dalam pembahasan dan studi tasawuf. Tokoh sufi yang paling kita kenal di Indonesia dan sangat berpengaruh di dunia Sunni, yaitu Imam al-Ghazali, sebagaimana telah disebutkan di muka, adalah pemikir Iran kelahiran Thus-Khurasan. Sejumlah sufi besar Iran/Persia masa lalu yang karya-karyanya masih dipelajari hingga kini baik di dunia Islam ataupun dunia non-Islam, secara kronologis, dapat kita sebutkan, yakni: Ibrahim ibn Adham (w. 778), Fudayl ibn ‘Iyad (w. 803), Bayazid al-Bastami (w. 875), Bisyr al-Hafi (w. 842), Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 922), Abu ‘Ali alRudbari (w. 934), Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 988), Abu Fadhl ibn al-Hasan al-Sarakhsi (w. 997), Shaykh Abu al-Hasan al-Kharaqani (w. 1034), Abu Sa‘id ibn Abi al-Khayr (w. 1048), Abu al-Qasim Qusyairi al-Khurasani (w. 1074), Abu ‘Ali al-Daqqaq al-Nisyaburi (w. 1015), ‘Ali ‘Utsman al-Hujwiri (w. 1071), Khwajah ‘Abdullah al-Anshari (w. 1089), Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), ‘Ayn al-Qudhat al-Hamadani (w. 1132), Hakim Sana’i (w. 1131), Ahmad Jami (w. 1141), Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1134), Syaikh Najm al-Din Kubra (w. 1221), Syaikh Farid al-Din al-‘Aththar (w. 1221), Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar al-Suhrawardi (w. 1234), Mawlana Jalal al-Din Rumi (w. 1273), Fakhr al-Din al-‘Iraqi al-Hamadani (w. 1289), Sa‘di Syirazi (w. 1292), ‘Ala al-Dawla Simnani (w. 1336), ‘Abd al-Razzaq Kasyani (w. 1339), Hafiz Syirazi (w. 1389), Syaikh Mahmud Syabistari (w. 1337), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385), ‘Abd al-Karim al-Jili (w. 1410), Syah Ni‘matullah Wali (w. 1431), Sa‘in al-Din ‘Ali Tarakeh Isfahani, Muhammad Lahiji Nurbakhsyi (w. 1507), dan Abd al-Rahman Jami (w. 1492).19 Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa sebagian besar tokoh sufi yang digolongkan sebagai ‘Sufi Baghdad’ pun sebetulnya berasal dari Persia, misalnya Abu al-Qasim al-Junayd 18 Seyyed Hossein Nasr, Mulla Sadra: His Teachings, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy, Part I (London and New York: Routledge, 1996), hal. 644-645. 19 Tokoh-tokoh sufi Iran ini dirangkum dari bacaan terhadap dua volume buku The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300) dan The Heritage of Sufism (Volume II): The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150 – 1500), yang keduanya diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999). Husain Heriyanto Page 9 al-Baghdadi (w. 910), Abu al-Husayn al-Nuri (w. 908), dan Abu Bakr al-Syibli (w. 945).20 Sementara itu, Michel Chodkiewicz menerangkan bahwa sekalipun sufi besar Syaikh alAkbar Ibn al-‘Arabi tidak tergolong sufi Persia, namun adalah para sufi Persia yang menyebarluaskan doktrin sufi Ibn ‘Arabi ke berbagai belahan dunia. Menurutnya, tidak ada wilayah yang lebih aktif menekuni dan mengembangkan studi tentang Ibn ‘Arabi daripada Persia. Dia mencontohkan bagaimana seorang pemimpin Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini, yang juga seorang guru fiqh, filsafat dan ‘irfan, menulis tiga karya mengenai Ibn ‘Arabi, yaitu Syarh Du‘a al-Sahar (Beirut, 1982), Mishbah al-Hidayah (Beirut, 1983), dan Ta‘liqat ‘ala Syarh Fushush al-Hikam (Qum, 1986).21 Dalam bidang sastra, Iran pun memperkaya khasanah peradaban Islam melalui karya-karya sastra yang bercita rasa estetis yang tinggi dan memiliki nilai edukasi moral keagamaan yang dalam. Hal itu disebabkan fakta bahwa banyak penyair Iran adalah para sufi yang hendak mengekspresikan pengalaman religiusitasnya melalui syair yang indah sekaligus padat makna. Kita sebutkan saja di sini sejumlah penyair Iran yang karya-karyanya (umumnya ditulis dalam bahasa Persia) telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia termasuk bahasa Indonesia. Mungkin karya Rumi, Matsnawi-yi ma‘nawi bersama lima buku lainnya dan sekitar seratus ghazal (kumpulan bait-bait puisi yang biasanya terdiri dari delapan baris dan berirama sama di akhir setiap baris dalam satu bait), adalah karya sastra sufi yang paling populer di dunia dan juga Indonesia melalui penerbitan buku dan ghazal yang utuh, penggalan-penggalan puisi Rumi atau berupa komentar terhadap syair-syair Rumi. Sebelum Rumi, ada Hakim Sana’i dengan karyanya Hadiqa al-Haqiqa (Taman Kebenaran) dan Farid al-Din ‘Aththar dengan Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung). Selanjutnya, Sa‘id Nafisi mengatakan bahwa sebelum Sana’i, ‘Aththar, dan Rumi, telah muncul Abu Sa‘id ibn Abi al-Khayr sebagai penyair sufi pertama yang mempengaruhi 20 Seyyed Hossein Nasr, The Rise and Development of Persian Sufism, dalam The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 3. 21 Michel Chodkiewicz, The Futuhat Makkiya and Its Commentators: Some Unresolved Enigmas, dalam The Heritage of Sufism (Volume II): The Legacy of Medieval Persian Sufism (1150 – 1500), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 219 – 232. Husain Heriyanto Page 10 pekembangan literatur dan sastra Persia.22 Di luar empat penyair-sufi ini, kita juga mengenal Sa‘di Syirazi dengan dua karya epik moralnya Bustan (Taman) dan Gulistan (Taman Mawar); Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutip sebuah penggalan puisi Gulistan dan mengukirnya di pintu masuk Aula PBB. Kita juga mengenal Omar Khayyam, astronommatematikawan yang juga penyair dengan syair-syair empat baris yang disebut ruba‘iyyat dan quatrain. Ada pula Mahmud Syabistari dengan Gulsyan-e Raz (Taman Rahasia); juga Jami dengan puisi-puisi sufistik yang mendalam. Sementara itu, Seyyed Hossein Nasr berpandangan bahwa Hafiz adalah penyair-sufi yang terbesar dari seluruh penyair berbahasa Persia.23 Soft Sciences dalam Zaman Kontemporer Saya hendak mengakhiri ulasan mengenai prestasi dan kontribusi sarjana Iran era klasik dalam soft sciences terhadap peradaban Islam dan dunia pada umumnya dengan membuat sejumlah deskripsi singkat tentang peran dan sumbangan mereka dalam zaman modern. Dalam konteks ilmu-ilmu keagamaan Islam, Iran terus melahirkan sejumlah ‘ulama dan sarjana agama yang kreatif dan produktif mengembangkan ilmu-ilmu Islam melalui pendidikan, penelitian, penerbitan buku-buku bermutu dan pengembangan pusat-pusat studi Islam secara tradisional melalui madrasah-madrasah (hawzah ilmiah) yang tersebar di seluruh negeri dan juga secara modern melalui lembaga-lembaga pendidikan dan riset di berbagai perguruan tinggi. Imam Khomeini (w. 1989), ‘Allamah Tabataba’i (w. 1981), Murtadha Muthahhari (w. 1979), Ayatollah Jawadi Amuli, Ayatollah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan Ayatollah Ja‘far Subhani adalah beberapa contoh ‘ulama kontemporer Iran yang kehidupan dan buah penanya berpengaruh luas di seluruh dunia; karya-karya mereka menjadi referensi studi-studi Islam di berbagai perguruan tinggi di dunia Islam dan Barat.24 22 Dikutip oleh Terry Graham, Abu Sa’id ibn Abi al-Khayr and the School of Khurasan, dalam dalam The Heritage of Sufism (Volume I): Classical Persian Sufims from its Origins to Rumi (700 – 1300), yang diedit oleh Leonard Lewison (Oxford: Oneworld Publications, 1999), hal. 103. 23 Seyyed Hossein Nasr (1999), Op.cit., hal. 1. 24 Muhammad Fanaei Esykevari dalam bukunya Faylsufan Ma‘ashir Islami (Filsuf-filsuf Islam Kontemporer) menyebutkan 16 tokoh ‘ulama sekaligus filsuf-teolog-‘urafa Iran kontemporer, yaitu (berdasarkan urutan yang dibuat penulis), Imam Khomeini, ‘Allamah Tabataba’i, Ayatollah Syahid Murtadha Muthahhari, Dr. Mehdi Ha’iri Yazdi, Ayatollah Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Ayatollah Syahid Muhammad Baqir Shadr, ‘Allamah Muhammad Husain Heriyanto Page 11 Dalam studi filsafat dan tasawuf, posisi Iran sebagai ladang kelahiran para filsuf dan ‘urafa semakin mencolok pasca Ibn Rusyd. Ketika filsafat redup dan lenyap di sebagian besar dunia Islam setelah kemenangan kaum teolog ortodoks yang memusuhi filsafat, Iran justru terus bersinar melahirkan sejumlah pemikir dan pencinta ilmu dan hikmah yang kian mengukuhkan otentisitas dan jati diri sebagai pemikir Islam. “Filsafat Islam pasca Ibn Rusyd justru semakin berkarakter Islam dengan kelahiran Nashir al-Din al-Thusi, Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi, Mir Damad, dan Mulla Shadra”, kata Seyyed Hossein Nasr.25 Al-Thusi berhasil menghidupkan kembali filsafat peripatetik Ibn Sina yang mengandalkan kekuatan analisis logis dan diskursif, sebuah kecakapan yang sangat berguna bagi pengembangan tradisi dan budaya ilmiah. Syaikh al-Isyraq Suhrawardi menyuguhkan integrasi dua kebijaksanaan, yaitu hikmah bahtsiyyah (filsafat diskursif melalui pemikiran dan analisis logis) dan hikmah dzauqiyyah (filsafat intuitif melalui pensucian jiwa). Filsafat iluminasi ini dianggap lebih religius dan dekat dengan spiritualitas karena pensucian jiwa (tazkiyah al-nafs) menjadi metodologi yang terintegrasi dalam memecahkan problemproblem filosofis. Sedangkan filsafat Mulla Shadra (al-hikmah al-muta‘aliyyah), yang mensintesiskan metode burhan filsafat dan kasyf ‘irfan seraya menyimak makna al-Qur’an dan Hadis, merupakan lompatan besar dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, yang membuat filsafat Islam semakin berbeda dan jauh meninggalkan filsafat Yunani. Seyyed Hossein Nasr menjuluki Mulla Shadra sebagai metafisikawan Muslim terbesar26 sedangkan Henry Corbin menyebut kehadiran pemikiran Mulla Shadra sebagai sebuah revolusi dalam sejarah metafisika.27 Mungkin perlu disebutkan di sini bahwa ketika mayoritas dunia Islam hari ini mengalami krisis identitas menghadapi dominasi pemikiran dan budaya Barat modern sedemikian sehingga banyak kaum intelektual Muslim yang rendah diri di hadapan filsafat Taqi Ja‘fari, Ayatollah Sayyid Ridha Shadr, Ayatollah Hasan Zadeh Amuli, Ayatollah Jawadi Amuli, Ayatollah Muhammad Taqi Misbah, Ayatollah Ja‘far Subhani, Ayatollah Syeikh Yahya Anshari Syirazi, Ayatollah Agha Sayyid Ridah Syirazi, Ayatollah Sayyid Husayn Mushthafawi, dan Ayatollah Muhammad Gilani (Qum: The High Association of Islamic Philosophy, 2010). 25 Baca Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: SUNY Press, 2006). 26 S.H. Nasr menyebutkan hal ini dalam sejumlah karyanya, diantaranya Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), hal. 19), Mulla Sadra and His Teachings dalam History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996, hal. 646), dan Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: SUNY Press, 2006, hal. 223). 27 Sebagaimana dikutip oleh S.H. Nasr (1978), hal. 90. Husain Heriyanto Page 12 dan pemikiran Barat, para ‘ulama dan intelektual Iran justru aktif menawarkan filsafat dan pemikiran Islam kepada kaum sarjana dunia Islam dan Barat. Kita masih ingat bagaimana Imam Khomeini pada tahun 1988 berkirim surat kepada Mikhail Gorbachev, Presiden Uni Soviet ketika itu, yang isinya mengundang kaum intelektual Uni Soviet dan siapa saja yang berminat untuk mempelajari Islam melalui telaah karya-karya Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan Ibn ‘Arabi. Kini telah banyak sarjana Barat yang tidak saja belajar filsafat Islam di Qum, Masyhad, dan Teheran, tetapi mereka juga memperkenalkan pemikiran Ibn Sina, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra kepada dunia Barat sendiri. Sebagai contoh, Henry Corbin, filsuf Perancis yang pertama kali menerjemahkan Being and Time karya Heidegger ke dalam bahasa Perancis, memperkenalkan Mulla Shadra ke Eropa dengan menerjemahkan karya metafisika Shadra Kitab Al-Masya‘ir menjadi Le Livre des Penetrations Metaphysiques (Paris, 1964)28 setelah dia bersama Seyyed Hossein Nasr belajar kepada ‘Allamah Tabataba`i. Berbagai penelitian, seminar, konperensi, dan penerbitan buku dan jurnal mengenai filsafat Islam juga telah mengisi ruang-ruang intelektual Barat. Salah satu jurnal yang mengkaji filsafat Mulla Shadra adalah Transcendent Philosophy yang diterbitkan oleh Institute of Islamic Studies (IIS), London sejak tahun 2000. 3. Prestasi dan Kontribusi Iran dalam Hard Sciences Negara manakah yang tingkat perkembangan sains dan teknologinya paling tinggi dalam lima belas tahun terakhir ini? Mungkin banyak orang yang kaget jika mereka mendapatkan jawaban bahwa Iran adalah negara yang paling pesat dalam memajukan dan mengembangkan pelbagai jenis sains dan teknologi yang tergolong kelompok hard sciences. Bagaimana mungkin negeri mullah, yang kerap dipersepsikan secara salah oleh media massa Barat, yang dikuasai oleh Zionis, sebagai negara reaksioner bisa tampil mengejutkan dunia ilmiah dengan produktivitas karya ilmiah yang tumbuh 18 kali lipat terhitung dari tahun 28 Dinukil dari Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), hal. 17. Husain Heriyanto Page 13 1996 hingga 2008?29 Mengapa sebuah negeri, yang diisolasi secara politik serta diboikot dan dikenakan sanksi ekonomi selama 30 tahun oleh kekuatan adidaya Amerika Serikat dan aliansinya negara-nagara Eropa, bisa melahirkan output ilmiah meningkat 11 kali lebih cepat dari rata-rata dunia dan tercepat dari negara manapun (Deborah MacKenzie, New Scientist Magazine, 2010)? Sejumlah pusat studi perkembangan ilmiah internasional yang terdaftar dalam database Web of Science melaporkan ‘revolusi ilmiah’ Iran tersebut. Sebuah perusahaan analisis data di Montreal-Kanada, Science-Metrix, dalam laporan tahun 2010 menempatkan Iran sebagai negara teratas dalam tingkat pertumbuhan saintifik dengan produktivitas publikasi ilmiah 11 kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan dunia pada tahun 2009. Total output ilmiah Iran pertahun sudah melewati prestasi ilmiah negara-negara Swedia, Swiss, Israel, Belgia, Denmark, Finlandia, Austria, dan Norwegia. Diperkirakan pada tahun 2017 total output ilmiah Iran akan melampaui Kanada dan sejumlah negara maju lainnya. Penulis laporan tersebut, Eric Archambault, berkata, “Iran sedang menunjukkan pertumbuhan tercepat di dunia dalam sains”.30 Archambault menjelaskan bahwa publikasi Iran sangat melimpah pada bidangbidang sains dan teknologi nuklir, fisika partikel, dan kimia anorganik dengan kecepatan 250 kali dari pertumbuhan rata-rata dunia. Capaian ilmiah Iran juga berkembang pesat dalam kedokteran, pertanian, dirgantara (aerospace), komputer, nanoteknologi, rekayasa genetika, sel punca (stem cell), dan teknologi kloning. Dipaparkan dalam laporan itu bahwa salah satu prestasi ilmiah mutakhir Iran, yang memperoleh perhatian dunia, adalah peluncuran satelit Kavoshgar-3 (Explorer-3) ke ruang angkasa yang membawa hewan untuk percobaan, yaitu seekor tikus, dua kura-kura dan pelbagai cacing. Iran juga adalah negara Timur Tengah pertama yang memproduksi hewan transgenik dan telah menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang menguasai teknologi kloning sebagai bagian dari riset kedokteran dan penggunaan hewan klon untuk memproduksi antibodi manusia terhadap penyakit. Iran telah sukses mengklon seekor kambing bernama ‘Royana’, seekor domba bernama ‘Hanna’, dan dua ekor sapi dengan nama ‘Bonyana’ dan ‘Tamina’. 29 Lihat: http://www.newscientist.com/article/dn18546-iran-showing-fastest-scientific-growth-of-anycountry.html 30 Baca laporan pusat analisis data santifik ini pada : http://www.science-metrix.com/30years-Paper.pdf Husain Heriyanto Page 14 Laporan Royal Society Inggris31, sebuah komunitas ilmiah dunia yang terkenal, menyebutkan bahwa sejumlah negara berkembang seperti Iran, China, Brazil, Turki, dan India telah menjadi rival bagi superpower sains selama ini, yaitu Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Dengan tajuk Knowledge, Networks and Nations: Global Scientific Collaboration in the 21st Century, laporan itu mengungkap hasil penelitian Royal Society terhadap produktivitas negara-negara dunia sejak 1993 hingga 2008 dalam publikasi ilmiah dan anggaran belanja mereka untuk riset dan pengembangan sains. Hasilnya cukup mengejutkan bahwa Iran ternyata adalah negara yang paling cepat perkembangannya dalam sains (Iran is the fastest growing country for science). Pada tahun 1996, Iran melahirkan 736 paper ilmiah, tetapi pada 2008 ia memproduksi 13.238 kertas kerja ilmiah (yang berarti melonjak 18 kali lipat). Dalam alokasi anggaran untuk sains, Teheran telah mencanangkan sebuah agenda ‘revolusi saintifik’ melalui apa yang disebutnya Comprehensive Plan for Science (Rencana Menyeluruh untuk Sains), yaitu sebuah kebijakan dan program yang terkoordinasi dan dinamis untuk perencanaan evolusi strategis sistem sains, teknologi, dan inovasi, berdasarkan nilai-nilai Islam/Iran.32 Salah satu butir rencana itu adalah peningkatan tajam anggaran riset dan pengembangan sains sebesar 4 persen GDP pada tahun 2030 dari hanya 0,59 persen GDP pada tahun 2006. Sebagai perbandingan, Uni Eropa menginvestasikan 1,8 persen GDP untuk riset dan pengembangan sains. Menanggapi perkembangan baru tersebut, Sir Chris Llewellyn Smith, pimpinan penasehat Royal Society dan juga profesor asal Oxford University, berkomentar, Dunia ilmiah sedang berubah dan para pemain baru dengan cepat sedang muncul. Sejumlah negara berkembang telah menjadi tantangan bagi negara-negara yang selama ini superpower dalam sains. Dan secara kolektif, kehadiran pemain baru itu memiliki dampak besar. Kita harus terbuka pada sains. Kita tidak boleh puas dengan apa yang telah kita capai dan itu (perkembangan baru itu) adalah sebuah kolaborasi win-win bagi kita. Sains sedang tumbuh di mana saja.33 31 Lihat Mirror News 29 Maret 2011 pada http://www.mirror.co.uk/news/uk-news/china-and-iranchallenging-science-superpowers-119034 32 Dikutip dari ulasan Press TV dengan tajuk A Review of Iran's Scientific Achievement in 1390 (2011 M) pada edisi 27 Maret 2012. 33 Komentar Sir Chris Llewellyn Smith ini juga bisa dibaca pada laporan Financial Times kolom Science pada 28 Maret 2011: http://www.ft.com/cms/s/2/a8f6695e-5953-11e0-bc39-00144feab49a.html#axzz1HyjSRv9x Husain Heriyanto Page 15 Menurut The Institute for Scientific Information (ISN), para peneliti dan saintis Iran telah menerbitkan total 60.979 paper ilmiah pada jurnal-jurnal internasional utama selama 19 tahun (1990-2008). Namun, tahun-tahun sesudah itu, Iran dengan sangat cepat melipatgandakan penerbitan karya-karya ilmiahnya sebagaimana yang terangkum dalam Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Jumlah artikel ilmiah saintis Iran pada jurnal-jurnal internasional utama Tahun Total artikel 1990–2008 60.979 2009 15.000 2010 18.600 2011 33.000 Mungkin ada baiknya kita menengok prestasi dan kontribusi Iran dalam beberapa bidang sains dan teknologi. Selama ini dunia hanya heboh dengan program nuklir Iran, yang memang mengalami kemajuan signifikan. Dengan usaha dan jerih payah para sarjana Iran sendiri, yang memperoleh dukungan moral dan dana dari rakyat dan pemerintah Iran, negeri republik Islam ini telah bisa melakukan sebuah proses penting dalam teknologi nuklir, yaitu pengayaan uranium hingga 20 persen, yang berguna untuk keperluan riset-riset medis dan pembuatan isotop-isotop. Kini Iran sudah sepenuhnya menguasai siklus pembuatan bahan bakar nuklir. Iran tercatat sebagai negara ke-14 dalam teknologi energi nuklir, negara ke-7 dalam kemampuan memproduksi uranium hexafluoride (UF6), dan negara ke-6 yang telah mampu merancang dan peralatan fusi nuklir.34 Keberhasilan Iran dalam penguasaan teknologi energi nuklir tentu saja didukung oleh penguasaan terhadap ilmu-ilmu dasar seperti sains fisika dan material. Seorang saintis Iran, Ali Javan, berhasil menemukan laser gas pertama pada tahun 1960, dengan meneruskan studi optik yang diwariskan oleh Ibn al-Haitsam, ilmuwan Muslim Iran abad 11 M lalu.35 Kini Iran telah memproduksi pelbagai jenis laser untuk memenuhi kebutuhan medis dan industri. Salah satu terapan sains fisika dan material yang kini mendapat perhatian besar adalah nanoteknologi. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Abdolreza Simchi, saintis nanoteknologi Iran yang mendapat penghargaan sebagai Distinguished Researcher (Peneliti Terkemuka) oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad, nanoteknologi adalah sebuah disiplin baru dan 34 Lihat "Iran, 7th in UF6 production – IAEO official" Payvand.com. Retrieved 21 October 2011. 35 Untuk mengetahui karya dan sumbangan Ibn al-Haitsam untuk sains fisika dan optik, bisa baca, diantaranya Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, karya Husain Heriyanto (Jakarta: Mizan, 2011), hal. 143 – 153. Husain Heriyanto Page 16 interdisipliner di mana saintis dapat merekayasa atom dan molekul dalam skala nano, yakni 50 ribu lebih halus dari sehelai rambut manusia. Jika pada tahun 2000, Iran masih bertengger pada posisi ke-59 dan pada tahun 2007 menempati urutan ke-25, maka pada tahun 2011 melompat pada ranking ke-12 di dunia dalam penguasaan nanoteknologi. Dr. Simchi juga menjelaskan bahwa Syarif University of Technology, Teheran telah mendirikan pusat studi dan riset The Institute for Nanoscience dan Nanotechnology (INST).36 Iran juga mengembangkan sains komputer dan robotika. Sebuah pusat riset Ultra Fast Microprocessor Research Center di Amirkabir University of Technology, Teheran telah meluncurkan superkomputer pertama pada tahun 2001. Kapasitas superkomputer ini terus ditingkatkan sehingga pada tahun 2007 ia mampu memproses 860 milyar operasi per detik, dan pada tahun 2011 sudah melesat menjadi 34.000 milyar operasi per detik. Superkomputer yang sama juga telah diproduksi oleh Isfahan University of Technology dengan kapasitas 34.000 milyar operasi per detik dan kapasitas Graphic Processing Units (GPU) mencapai 32 milyar operasi per 100 detik. Superkomputer ini termasuk 500 superkomputer yang ada di dunia. Iran juga terlibat dalam riset dan pengembangan komputer masa depan, yaitu komputer kuantum. Karena sistem operasinya bekerja atas dasar koneksi antar atom dan partikel-partikel subatom (ion, foton, elektron), maka komputer kuantum ini dapat bekerja jauh lebih cepat daripada superkomputer tercepat sekarang.37 Matematika dan logika merupakan ilmu dasar komputer, dan dalam hal ini, seorang sarjana matematika Iran, Lotfi A. Zadeh, telah mengembangkan suatu logika baru yang berbeda dengan logika tradisional sebagaimana yang diperkenalkan oleh Aristoteles berabad-abad lalu. Zadeh mengajukan teori baru apa yang disebut ‘fuzzy set theory’ (teori himpunan fuzzy), yang menjadi basis perumusan fuzzy logic (logika fuzzy). Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul The Birth and Evolution of Fuzzy Logic pada acara penerimaan penghargaan Honda Prize oleh Honda Foundation pada tahun 1989 berkat teori barunya yang sangat berguna itu, dia berkata, 36 Lihat : http://en.nano.ir/ dan http://www.sciencedirect.com/science/journal/10263098/18/3 37 Lihat Beck, Jonathan. "Report says Iran has built a supercomputer | Iranian – Iran News | Jerusalem Post". Fr.jpost.com; "Iran unveils indigenous supercomputers". Payvand.com. Retrieved 21 October 2011, dan http://www.berr.gov.uk/files/file11959.pdf Husain Heriyanto Page 17 Tidak seperti sistem logika tradisional, fuzzy logic bertujuan untuk menyediakan sebuah model modus-modus penalaran yang bersifat aproksimasi ketimbang eksak. Dalam perspektif ini, fuzzy logic menjadi penting mengingat bahwa hampir seluruh penalaran manusia – dan khususnya penalaran akal sehat (common sense reasoning) – pada dasarnya bersifat aproksimasi. Pada hari ini, setelah 25 tahun saya mengajukan teori ini, kita telah menyaksikan berbagai penerapan fuzzy logic dalam berbagai disiplin seperti taksonomi, topologi, linguistik, teori automata, logika, teori kontrol, teori permainan, teori informasi, psikologi, pengenalan pola, kedokteran, hukum, ekonomi, manajemen, kecerdasan buatan (artifical intelligence), analisis keputusan, dan teori sistem.38 Terakhir, sebagai negeri yang mewarisi Ibn Sina dan Zakariya al-Razi, Iran memiliki perkembangan ilmu kedokteran yang cukup pesat setelah revolusi Islam 1979. Didorong oleh banyaknya korban luka dan cacat dalam perang Iran-Irak 1980-1988 akibat invasi Saddam al-Takrit, termasuk para korban serangan kimia pasukan Saddam, ahli bedah Iran menemukan teknik pembedahan syaraf otak yang berhasil menurunkan secara tajam resiko kematian para korban dan teknik itu telah menjadi prosedur standar di dunia medis sekarang. Transplantasi sejumlah organ vital seperti ginjal, jantung, liver, dan paru-paru telah rutin dilakukan oleh para dokter Iran sejak dasawarsa 1990. Pada tahun 2009, Iran berhasil mengembangkan paru-paru buatan, yang menempatkan Iran menjadi negara ke-6 yang menguasai teknologi ini. Disiplin ilmu baru neuroscience juga tengah berkembang di Iran. Iran telah membangun sejumlah pusat studi dan penelitian tentang neuroscience, termasuk pembukaan program PhD khusus bidang cognitive and computational neuroscience. Bioteknologi, salah satu bidang yang terkait erat dengan kedokteran, pun mengalami kemajuan pesat di Iran. Pada tahun 2006, ahli bioteknologi Iran telah memproduksi dan mengirimkan CinnoVex ke pasar internasional, yang menjadikan Iran sebagai produsen ketiga produk bioteknologi tersebut. Menurut David Morrison dan Ali Khademhosseini (dari Harvard-MIT dan Cambridge University), penelitian sel punca (stem cell) Iran menempati posisi 10 teratas dunia dan merupakan negara ke-2 yang paling maju dalam transplantasi sel 38 Lotfi A. Zadeh, The Birth and Evolution of Fuzzy Logic (a lecture presented on the occasion of the award of the 1989 Honda Prize, Tokyo, Japan), (lalu diterbitkan oleh Journal of the Japan Society for Fuzzy Logic and System, Tokyo, 1990), hal. 95 – 105. Husain Heriyanto Page 18 punca.39 Iran menginvestasikan 2,5 milyar dolar AS (setara dengan 22,5 Rp trilyun) khusus untuk riset sel punca ini selama lima tahun (2008-2013).40 Dalam hal penyediaan obatobatan, Iran telah memproduksi 97 persen dari kebutuhannya.41 Pada awal tahun 2012, Iran berhasil memproduksi 15 obat anti-kanker monoklon, yang selama ini hanya bisa diproduksi dua atau tiga perusahaan farmasi Barat.42 Menuju Kebangkitan Sains Peradaban Islam Kedua? Menyimak prestasi saintifik Iran yang gemilang pasca revolusi Islam termasuk bagaimana hanya dalam 30 tahun Iran sudah bisa mensejajarkan dirinya dengan negaranegara maju dalam penguasaan sains dan teknologi, sungguh beralasan jika kita katakan bahwa Iran telah melakukan sebuah ‘revolusi saintifik’, sebagai revolusi kedua setelah revolusi sosio-politik tahun 1979. Atau pernyataan yang lebih tepat adalah bahwa Iran telah melakukan revolusi saintifik sebagai bagian dari revolusi kebudayaan yang dimulai pada tahun 1979. Perkembangan sains dan teknologi Iran yang sangat pesat dalam tiga dasawarsa terakhir ini mengingatkan kita pada era keemasan kebangkitan sains dalam peradaban Islam masa klasik dari abad ke-8 hingga abad ke-14 M. Pada kurun waktu enam abad ini, peradaban Islam merupakan pusat peradaban dunia dengan kemajuan yang tinggi dalam sains (hard sciences) sebagaimana juga filsafat, ‘irfan dan sastra Islam (soft sciences). Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terhadap prestasi dan kontribusi peradaban Islam dalam lima bidang sains, yaitu matematika, astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran, saya menemukan bahwa hampir semua tokoh sarjana dan ilmuwan Muslim yang penting dan berpengaruh ternyata berasal dari Iran atau berlatar belakang Persia.43 Matematikawan Muslim utama asal Iran yang dimaksud adalah al-Khawarizmi (w. 850), sang penemu ilmu aljabar; Abu al-Wafa‘ al-Buzjani (w. 998), sang pengembang trigonometri; dan Umar Khayyam (w. 1124), sang perintis geometri analitik. Dalam astronomi, tokoh utama mereka adalah al-Fazari (w. 777), al-Farghani (w. 870), Umar Khayyam (w. 1124) – pembuat kalender 39 Lihat http://isg-mit.org/projects-storage/StemCell/stem_cell_iran.pdf Lihat http://www.payvand.com/news/08/nov/1059.htm 41 Diperoleh dari sebuah ulasan di Press TV, 22 May 2012 42 Lihat "Fars News Agency :: Ahmadinejad Stresses Iran's Growing Medical Tourism Industry". English.farsnews.com. 2012-01-17. 43 Baca selengkapnya Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011). 40 Husain Heriyanto Page 19 surya Jalali yang terpakai di Iran hingga kini-, Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274) – pendiri observatorium Maragha-, dan Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311). Satu-satunya astronom utama Muslim yang bukan kelahiran Iran adalah al-Battani (w. 929), yang berasal dari Harran, Suriah. Dalam fisika, para sarjana Iran juga mendominasi, sebut saja Abu ‘Ali al-Hasan Ibn-alHaitsam (w. 1039), peletak dasar ilmu optik; dan Abu al-Raihan al-Biruni (w. 1050), ilmuwan jenius yang menguasai matematika (penemu Dalil Sinus), astronomi (penulis ensiklopedi astronom Muslim Al-Qanun al-Mas‘udi), fisika (pencetus ide gravitasi; penghitung pertama keliling bumi dengan ketepatan 99,62 persen), tokoh eksperimentalis, dan sejarawansosiolog yang terkenal dengan karyanya, Kitab Tarikh al-Hind atau Al-Biruni’s India, yang menguraikan doktrin agama Hindu, sains dan adat istiadat India. Ada pula fisikawan Abu alHasan ‘Ali ibn Yunus (penemu teori bandul), Kamal al-Din la-Farisi (penemu teori pelangi), dan al-Khazini (penemu tekanan udara). Sementara dalam ilmu kimia dan kedokteran, sarjana Muslim asal Iran sepenuhnya juga mengisi kekayaan peradaban Islam. Tokoh kimia, Jabir ibn Hayyan (721-815), kelahiran Thus-Khurasan, dinobatkan oleh sejarawan Will Durrant sebagai Bapak Kimia (the Father of Chemistry). Uniknya, Jabir yang adalah murid Imam Ja‘far al-Shadiq (Imam keenam mazhab Syi‘ah), juga aktif dalam tasawuf dan metafisika. Ada pula Zakariyya al-Razi (w. 925), yang lebih tersohor sebagai dokter klinis, banyak memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kemajuan ilmu kimia khususnya kimia analitis. Terakhir, di dunia kedokteran, kita mungkin sudah mengenal Abu ‘Ali ibn Sina (w. 1037), yang makamnya di Hamadan sempat saya kunjungi tahun 2009, sebagai filsuf yang juga dokter termasyhur sedemikian sehingga dijuluki sebagai Father of Doctors (Bapak Para Dokter) atau Medicorum Principal (Raja Diraja Dokter). Karya masterpiece-nya dalam kedokteran adalah Al-Qanun fi al-Thibb (Konstitusi Ilmu Kedokteran) merupakan karya ilmiah yang paling banyak dibaca dan diterjemahkan ke bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa pada masa Renaisans. Sejarawan sains, George Sarton, menulis, Prestasi medis Ibn Sina sedemikian lengkap sehingga mengecilkan sumbangan yang lainnya dari seluruh dunia. Karya ilmiah Ibn Sina, The Canon of Medicine, merupakan Husain Heriyanto Page 20 referensi dasar dan utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang dibanding dengan buku-buku lainnya yang pernah ditulis.44 4. Kontribusi Unik Iran: Integrasi Soft Sciences dan Hard Sciences Uraian pada bagian dua dan tiga di muka, menggambarkan prestasi dan kontribusi para cendekiawan Iran dalam pengembangan soft sciences dan hard sciences, baik pada masa peradaban Islam klasik maupun era modern. Kegemilangan prestasi dalam masingmasing sains adalah satu hal, sedangkan kemampuan mengintegrasikan kedua rumpun besar sains – soft sciences dan hard sciences- adalah hal lain. Kontribusi suatu bangsa atau umat dalam salah satu sains, katakanlah sumbangan Yunani untuk filsafat atau Inggris untuk fisika atau Perancis untuk sosiologi atau Jepang untuk teknologi, adalah suatu hal yang sudah biasa dan jamak. Bahkan, ada sejumlah negara yang mampu mengembangkan pelbagai sains itu secara terpisah seperti Jerman dan Amerika Serikat yang melahirkan sarjana-sarjana dalam filsafat, sains alam, sains sosial, dan teknologi. Akan tetapi sangat sulit ditemukan sebuah negara atau umat yang mampu mengintegrasikan pelbagai jenis sains itu dalam sebuah bingkai metafisika dan kosmologi yang utuh (paradigma holistik). Kenyataannya, yang terjadi dalam dunia modern adalah konflik epistemologis dan etis yang tak berkesudahan antara rumpun soft sciences dan hard sciences, seperti pertikaian antara agama dan sains, filsafat dan sains, hermeneutika dan sains, etika dan sains, atau etika dan teknologi. Bahkan terjadi pula konflik laten sesama soft sciences seperti agama dan filsafat, agama dan tasawuf, agama dan sastra, atau filsafat dan tasawuf. Konflikkonflik ini secara teoritis tak terhindarkan karena paradigma masing-masing sains itu tidak saja saling terpisah tetapi saling bertolak belakang. Contohnya, sains alam modern umumnya dikembangkan di bawah pengaruh paradigma empirisme atau positivisme yang hanya mengakui pengetahuan yang bersumber pengalaman empiris/indrawi dan menganggap pengetahuan di luar pengalaman empiris sebagai hal yang ilutif dan subyektif belaka. Tentunya pandangan seperti ini mendorong para saintis melecehkan pengetahuan lainnya seperti agama, metafisika, etika, dan ilmu-ilmu kemanusiaan umumnya. Salah satu efek dari pandangan ini adalah munculnya doktrin ‘sains bebas nilai’ bahwa sains sama sekali tidak berurusan dengan nilai dan makna; dan hal ini telah menjadi rukum iman bagi 44 Ibid., hal. 200. Husain Heriyanto Page 21 kebanyakan saintis modern atau orang-orang yang menganut positivisme. Itulah sebabnya, mengapa materialisme, ateisme, dan pengingaran moralitas tumbuh berkembang bersamaan dengan perkembangan sains di dunia Barat modern. Dari sekian banyak sarjana dan cendekiawan yang mencermati isu ini, saya akan mengutip tiga tokoh representatif yang menyuarakan krisis paradigma sains modern dan efeknya yang sangat berbahaya bagi kelangsungan peradaban manusia. Filsuf A.N. Whitehead (w. 1947), yang juga ahli matematika dan sains, menuliskan karakter sains modern sebagai berikut, “Dalam pandangan sains modern, alam adalah sesuatu yang mati, sepi, tidak bersuara, tidak berbau, tidak berwarna; ia hanya kumpulan materi yang tidak bertujuan dan tidak bermakna.”45 Ludwig von Bertalanffy menulis, Pengetahuan kita tentang fisika sungguh mengagumkan. Sains biologi kita juga telah memadai untuk pengembangan bioteknologi dan kedokteran modern. Akan tetapi, yang tidak ada pada kita adalah pengetahuan yang memadai tentang manusia dan kebudayaan. Oleh karena itu, capaian yang tinggi dalam fisika memungkinkan kita lebih efektif melakukan kehancuran dan kerusakan di muka bumi melalui perang berteknologi tinggi alih-alih membangun keadilan dan kesetaraan. Kecanggihan bioteknologi dan kedokteran kita tidak mampu menghilangkan kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang makin menyolok di dunia modern. 46 Sementara seorang saintis nuklir Iran, Mehdi Golshani, profesor fisika di Syarif University of Technology dan juga pendiri the Institute for Humanities and Cultural Studies, menulis, Tidak ada keraguan bahwa sains dan teknologi telah mendatangkan keberkahan bagi umat manusia, tetapi utopia yang dijanjikan – sains dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk umat manusia – tidaklah terwujud. Sebaliknya, sains melahirkan peralatan dan senjata pemusnah massal dan kerusakan lingkungan; sains merusak keseimbangan aspek-aspek spiritual dan material kehidupan dan kemanusiaan. Konsekuensi destruktif sains ini disebabkan oleh pemisahan antara fakta dan nilai; sains dianggap tidak terkait dengan masalah-masalah kemiskinan, ketidakadilan, kehampaan moral, dan kekerasan.47 Dengan demikian, pencapaian yang tinggi dalam sains dan teknologi bukanlah kondisi yang memadai (sufficient condition) untuk perkembangan sebuah bangsa menuju 45 Whitehead, Science and the Modern World (New York: The Free Press, Macmillan, Co. 1967), hal. 54. 46 Ludwig von Bertalanffy, General System Theory (Middlesex: Penguin Books, 1973), hal. 51. 47 Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science (Tehran: IHCS, 2004), hal. 102. Husain Heriyanto Page 22 peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab. Hal itu juga berlaku pada bangsa/umat yang mungkin memiliki warisan kebudayaan religius dan spiritual yang kaya tetapi lemah dalam tradisi intelektual dan saintifik, maka bangsa/umat ini pun sulit menggapai peradaban yang tinggi. Sejarah umat manusia dan bangsa-bangsa telah diisi dengan pertarungan panjang – yang sebetulnya tak perlu- antara kearifan perennial dengan pengetahuan kontemporer, antara spiritualitas dan materialitas, antara spiritualitas dan intelektualitas, antara yang universal dan yang partikular, antara yang sakral dan yang profan. Dunia modern, yang dibentuk terutama oleh positivisme sains dan sekulerisme sejak tiga abad terakhir, yang kita saksikan hari ini sarat dengan konflik, kemunafikan, dan pengoyakan nilai-nilai suci kemanusiaan sedemikian sehingga seakan telah mengubur harapan dan visi untuk membangun peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab atas dasar kebenaran, keadilan, dan kearifan. Dalam konteks seperti itulah, saya mencoba mengangkat peran dan kontribusi apa yang bisa ditawarkan oleh Republik Islam Iran48 kepada dunia modern. Saya sudah memaparkan prestasi ilmiah Iran dalam kedua bidang, yaitu soft sciences (agama, filsafat, ‘irfan, sastra, kebudayaan) dan hard sciences (matematika, ilmu-ilmu alam, komputer, teknologi) secara terpisah pada pembahasan di muka. Mungkin capaian Iran dalam soft sciences dianggap sebagai hal yang lumrah mengingat revolusi 1979 berkarakter agama dan sosial budaya. Namun, prestasi Iran yang gemilang dalam hard sciences mungkin mengejutkan banyak orang. Hal itu bisa dipahami mengingat konstelasi politik internasional, yang dihegemoni oleh negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat, selalu membuat pelbagai hambatan dan kesulitan yang tiada henti terhadap republik Islam. Oleh karena itu, kisah bagaimana Republik Islam Iran yang tak hanya bisa bertahan menghadapi permusuhan sengit 33 tahun oleh adidaya AS dan konco-konconya tetapi juga malah mampu menyaingi mereka yang arogan dan imperialistik itu dalam kemajuan dan perkembangan saintifik, merupakan narasi menarik yang perlu pembahasan sendiri. Akan tetapi, dalam pandangan saya, ada peran dan kontribusi Republik Islam Iran yang lebih penting, urgen, dan unik, yaitu kemampuannya memajukan dan mengembangkan hard sciences dalam kerangka kerja pandangan-dunia Islam. Seperti yang 48 Setiap penggunaan kata ‘Iran’ dalam pengertian kontemporer hendaknya dipahami sebagai sebuah identitas ‘Republik Islam Iran’. Husain Heriyanto Page 23 saya katakan, kemajuan saintifik per se adalah satu hal, sedangkan kemajuan saintifik yang terintegrasi dalam bingkai paradigma yang berbasiskan filsafat dan teologi Islam adalah hal yang lain. Yang pertama, yakni kemajuan sains tanpa nilai, telah dilakukan oleh negaranegara Barat, dan kita sudah membahas efek-efeknya yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban. Sedangkan yang kedua merupakan sesuatu yang selama ini adalah cita-cita sejumlah pemikir Muslim yang menghendaki kemajuan sains berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan sejauh ini cita-cita itu hanya hadir dalam buku-buku dan seminarseminar mengenai dialog dan integrasi agama dan sains, relasi etika dan sains, atau humanisasi sains. Sangat sulit bagi kita untuk menemukan sebuah wilayah atau negara yang mampu mendemonstrasikan hubungan yang sinergis antara ajaran Islam dan sains atau secara umum antara agama dan sains. Republik Islam Iran adalah sebuah perkecualian karena ia telah bisa menjadi sebuah model untuk dunia Islam dan dunia kontemporer pada umumnya bagaimana membangun tradisi agama yang melahirkan kreativitas dan kemajuan saintifik dan sebaliknya mengelola perkembangan saintifik yang melayani agama dan kemanusiaan. Tentu saja, kiprah Republik Islam Iran sebagai model integrasi soft sciences dan hard sciences masih jauh dari kondisi ideal dan sempurna. Secara de facto, Iran masih dalam proses pembentukan dan penyempurnaan diri. Di sela-sela seminar Intellectuality and Spirituality: Islam and Contemporary Issues oleh Universitas Internasional Al-Mushthafa, saya berkesempatan mengunjungi sebuah seminar nasional di Universitas Syahid Behesyti, di Teheran dengan tema ‘Ulume Insani (Ilmu-ilmu Kemanusiaan). Menurut Profesor Hamidreza Ayatollahy49, Ketua Pengarah seminar tersebut, seminar bertujuan untuk mencari rumusan dan kerangka kerja mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan prinsip-prinsip Islam. Selama ini, ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, politik, dan ekonomi berakar pada pandangan-dunia dan filsafat Barat, yang banyak tidak sesuai dengan ajaran Islam. Filsafat dan pemikiran Islam mencoba membangun ilmu-ilmu sosial/humaniora yang berbasiskan pandangan-dunia Islam. Ini adalah sebuah contoh di lapangan bagaimana Iran selalu aktif dalam proses pembenahan diri menjadi model untuk 49 Atas dasar undangan Prof. Dr. Hamidreza Ayatollahy, saya bisa menghadiri seminar ‘Ulmue Insani tersebut di sebuah perguruan tinggi penting di Teheran dengan lokasi yang sangat indah di kaki pebukitan. Husain Heriyanto Page 24 umat Islam dan dunia umumnya bagaimana membangun paradigma yang holistik dan integral antara prinsip-prinsip Islam dengan semua disiplin ilmu. Meskipun demikian, secara epistemologis dan aksiologis, isu integrasi soft sciences dan hard sciences telah berhasil ditunjukkan oleh Republik Islam Iran. Kita masih ingat harihari pertama berdirinya republik Islam bagaimana pemimpin revolusi dan pendiri republik, Imam Khomeini, mengangkat dan mendukung kaum intelektual dan teknokrat seperti Mehdi Bazargan dan Abolhasan Bani Sadr mengelola pemerintahan serta menunjuk Syahid Murtadha Muthahhari, ‘ulama intelektual yang menulis buku-buku filsafat, memimpin Dewan Revolusi Islam. Hari ini republik Islam dipimpin oleh Ayatollah ‘Ali Khamenei, seorang ‘ulama mujtahid yang menyukai syair-syair filsuf Iqbal, dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, mantan seorang dosen dan walikota Teheran. Kedua pemimpin ini mendorong para pelajar untuk mengusai sains dan teknologi karena Islam dan untuk Islam. Republik Islam pun tidak segan-segan menginvestasikan anggaran negara sebesar mungkin untuk kemajuan dan perkembangan sains demi kebangkitan umat Islam. Isu integrasi soft sciences dan hard sciences ini adalah sebuah problem yang riel dan teramat penting untuk dunia modern, bukan retorika ideologis dan semacamnya. Mereka, yang mengetahui jantung pemikiran modern dan filsafat yang melambari perkembangan sains modern dengan segala problemanya yang akut, sangat paham dengan apa yang saya katakan ini.50 Eksistensi Republik Islam Iran adalah sebuah realitas yang mematahkan argumen sekulerisme bahwa agama harus dipisahkan dan diasingkan dari urusan sosial dan negara. Kemajuan Republik Islam Iran dalam sains dan teknologi yang diinspirasi dan dimotivasi oleh ajaran dan pemikiran Islam telah mengungkapkan karakter Islam yang sesungguhnya sebagai agama yang mampu membangun tradisi intelektualitas dan ilmiah demi kemanusiaan dan peradaban. Kebangkitan sebuah republik Islam di dunia modern adalah premis mayor; prestasi saintifik yang gemilang atas dasar pandangan-dunia Islam adalah premis minor, untuk sebuah kesimpulan bahwa pesan-pesan Islam untuk kehidupan yang lebih manusiawi dan kemanusiaan yang lebih beradab telah berada pada jalur yang menjanjikan akan lahirnya kembali peradaban Islam dalam tempo yang tak lama lagi. 50 Baca karya-karya Fritjof Capra, RD Laing, Seyyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Morris Berman, Ashley Montague, Schumacher, Roger Garaudy, Arnold Toynbee, Tu Wei-Ming, atau Daisaku Ikeda, yang mengkritik tajam sekulerisme dan materialisme yang bersembunyi di balik sains modern yang telah mengasingkan manusia dari Tuhan, alam, sesama, dan diri sendiri. Husain Heriyanto Page 25 5. Penutup (Rangkuman) Saya hendak mengakhiri tulisan ini dengan merangkum poin-poin penting yang perlu ditegaskan kembali dalam bentuk beberapa pernyataan, yakni: 1. Konflik laten dan berkepanjangan antara soft sciences dan hard sciences, khususnya antara agama dan sains, yang telah menjadi karakter sains modern yang sekuler merupakan problem akut yang mengancam kelangsungan peradaban manusia. 2. Integrasi soft sciences dengan hard sciences atau secara sederhana antara agama dan sains adalah sebuah kebutuhan mendesak dunia kontemporer untuk membangun peradaban yang manusiawi dan kemanusiaan yang beradab. 3. Republik Islam Iran, yang terus aktif dalam proses pembenahan diri, adalah sebuah model yang layak dikembangkan di dunia Islam dan dunia pada umumnya bagaimana menjalankan tradisi agama dan spiritualitas yang bersinergi dengan tradisi intelektual dan ilmiah. Husain Heriyanto Page 26