I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan Keuangan

advertisement
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan Keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Laporan keuangan merupakan sarana
untuk mepertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik.
Salah satu parameter penting dalam laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja
manajemen adalah laba.
Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.1, informasi laba
merupakan informasi penting yang digunakan untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban
manajemen. Selain itu informasi laba membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir
earnings power perusahaan di masa yang akan datang. Pentingnya informasi laba disadari oleh
manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi laba. Manajer
mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham dan
debtholders, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan
kesejahteraan mereka sendiri. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan
masalah-masalah yang disebut dengan masalah keagenan (agency problem), selain itu
diindikasikan bahwa para manajer berusaha untuk memaksimalkan utilitinya dan nilai pasar
perusahaan (Scott, 2006). Sehingga mendorong timbulnya perilaku menyimpang,serta mengingat
pentingnya peranan laba dalam berbagai dalam berbagai proses pengambilan keputusan, terdapat
tendensi bagi manajer untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan perusahaan dengan berbagai
motif tertentu, yang dikenal dengan manajemen laba atau earnings management.
1
. Laba terlahir dari sebuah proses akuntansi yang memberikan kebebasan bagi
penyusunnya untuk memilih metode akuntansi, hal ini merupakan salah satu faktor pendorong
terjadinya manajemen laba. Manajer dapat menggunakan kebijakannya untuk menetapkan waktu
dan jumlah dari pendapatan dan biaya yang terjadi dalam perusahaan (Assih et al., 2005)..
Manajemen laba (earnings mangement) juga merupakan fenomena yang sukar untuk dihindari
karena fenomena ini merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual dalam penyusunan
laporan keuangan.
Kinerja perusahaan digunakan sebagai tolak ukur bagi para investor untuk melihat
perkembangan perusahaan. Parameter kinerja perusahaan yang mendapat perhatian utama dari
investor dan kreditor dari laporan keuangan adalah laba dan arus kas. Pada saat dihadapkan pada
dua ukuran kinerja akuntansi keuangan tersebut, investor dan kreditor harus yakin bahwa ukuran
kinerja yang menjadi fokus perhatian mereka adalah ukuran kinerja yang mampu
menggambarkan kondisi ekonomi perusahaan serta prospek pertumbuhan dimasa depan dengan
lebih baik. Oleh karena itu, selain kedua ukuran kinerja tersebut investor dan kreditor juga perlu
mempertimbangkan karakteristik keuangan setiap perusahaan. Karakteristik keuangan yang
berbeda-beda antar perusahaan menyebabkan relevansi angka-angka akuntansi yang tidak sama
pada semua perusahaan. Salah satu kinerja yang menarik perhatian para investor adalah kinerja
keuangan perusahaan.
Perekonomian yang semakin berkembang menyebabkan persaingan antar perusahaan
menjadi semakin ketat. Setiap perusahaan dituntut untuk seefektif dan seefisien mungkin. Dalam
pembahasan tentang manajemen laba dan kinerja keuangan perusahaan, keberadaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) hampir selalu menjadi sorotan publik dikarenakan fenomena dan
kritikan terhadap kinerja BUMN. Daya saing BUMN di Indonesia pada tingkat regional
2
mengalami
penurunan. BUMN di dalam operasionalisasinya, telah sejak lama menghadapi
banyak permasalahan dan tantangan, misalnya sebagian besar menderita kerugian karena
dikelola secara tidak efisien, produktivitas yang rendah, sehingga BUMN tidak memiliki
kemampuan untuk berkompetisi pada persaingan bisnis dalam pasar domestik maupun global
(Marwah,2003). Dengan globalisasi yang hampir pasti telah menjadi salah satu kekuatan yang
memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia,kegiatan bisnis dan
lingkungan kerja. Kekuatan ekonomi global menyebabkan dunia usaha, termasuk BUMN di
Indonesia perlu melakukan reorientasi terhadap struktur dan strategi usaha dengan melandaskan
strategi manajemen pada basis dunia usaha dan efisiensi biaya.
Namun (menurut
simatupang,2000 ) dalam prakteknya perusahaan swasta lebih banyak yang menggunakan
konsep tentang efisiensi dibandingkan BUMN sehingga perusahaan besar swasta lebih maju
dibandingkan BUMN. Hal ini memunculkan keyakinan konvensional yang beranggapan bahwa
BUMN merupakan salah satu akar inefisiensi negara.
Pemberitaan lain terkait dengan BUMN baru-baru ini adalah kinerja BUMN seringkali
dinilai belum memadai yang ditandai dengan masih rendahnya tingkat perolehan laba
dibandingkan dengan jumlah modal yang ditanamkan. Badan Pemeriksa Keuangan
mempertanyakan kinerja Badan Usaha Milik Negara disebabkan oleh kinerja BUMN yang terus
menerus dari tahun ke tahun tetapi dengan penyertaan Modal Negara yang diberikan terus
meningkat (republika.co.id,jakarta). Menteri Badan Usaha Milik Negara juga mengatakan bahwa
untuk mengurangi kecurangan yang terjadi di BUMN, salah satu langkah tepat yang harus
diambil adalah membuat perusahan-perusahaan BUMN agar segera go public. Menteri BUMN
juga berpendapat bahwa dengan go pulic, maka akan terhindar dari tekanan-takanan politik
3
karena perusahaan nantinya tidak lagi sepenuhnya menjadi milik negara dan harus bersaing
dengan perusahaan swasta lainnya (www.antaranwes.com).
Beberapa kasus tindakan earnings management tentang skandal pelaporan akuntansi
yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, World Com dan mayoritas perusahaan lain
di Amerika Serikat (Cornett, Marcuss, Saunders dan Tehranian, 2006). Beberapa kasus yang
terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan
keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005).
Dengan adanya fenomena dan banyaknya pemberitaaan BUMN di Indonesia peneliti
tertarik untuk meneliti kinerja keuangan dan manajemen laba BUMN yang nantinya akan
dibandingkan dengan perusahaan swasta. Beberapa penelitian menyatakan bahwa salah satu
aspek yang paling penting sebagai alasan mengapa pemerintah mereformasi BUMN adalah
harapannya ingin meningkatkan kinerja perusahaan, melalui peningkatan kinerja keuangan
(Meggison, Nash & van Randenborgh, 1994). Pendapat ini berkaitan dengan apa yang
dikemukakan peneliti Wattanakull T, (2002) yang menggambarkan secara konseptional bahwa
perusahaan kepemilikan pemerintah dikarakteristikkan sebagai perusahaan yang tidak efisien.
Gtovanni De Fraja. 1991 mengemukakan bahwa BUMN dapat meningkatkan kinerjanya jika
dikelola secara efisien. Penelitian menjadi inspirasi peneliti mengenai BUMN yaitu
menggambarkan tingkat manajemen laba yang lebih tinggi pada perusahaan swasta dibandingkan
BUMN di Cina di mana hasil ini bertentangan dengan keyakinan konvensional yang ada, dalam
penelitian tersebut dikatakan struktur insentif BUMN di Cina berbeda dengan perusahaan swasta
di mana orang-orang yang bekerja di BUMN di Cina tidak mendapat tekanan seperti rekan-rekan
mereka yang bekerja untuk perusahaan swasta (Liu dan Kenneth, 2011) . Untuk di Indonesia
sendiri penelitian ini jarang sekali diteliti dan merupakan topic yang cukup kontoversial.
4
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Liu dan Kenneth,2011 di mana selain
meneliti manajemen laba antara BUMN dan swasta, kinerja perusahaan juga merupakan
parameter yang penting bagi investor dan pemakai laporan keuangan lainnya. Salah satu kinerja
perusahaan adalah dilihat dari kinerja keuangan. Setelah melihat dan mendengar pemberitaan
kinerja BUMN, maka peneliti tertarik untuk meneliti analisis kinerja keuangan antara BUMN
dan swasta apakah terdapat perbedaan yang signifikan. Berdasarkan latar belakang di atas dan
juga mengembangkan penelitian terdahulu, penelitian ini dilakukan dengan judul “Analisis
Perbedaan Kinerja Keuangan dan Manajemen Laba antara Perusahaan Milik Negara
(BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)”
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakan masalah maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apakah kinerja keuangan perusahaan swasta lebih baik dari BUMN?
2. Apakah BUMN memiliki tingkat manajemen laba yang lebih tinggi dari perusahaan
swasta?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan bukti apakah kinerja keuangan perusahaan swasta lebih baik dari
BUMN.
2. Untuk memberikan bukti apakah manajemen laba di BUMN lebih tinggi dari
perusahaan swasta.
5
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi ilmiah, dan dapat
menjadi referensi serta bahan perbandingan bagi penelitian berikutnya.
2. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan sarana untuk memperluas wawasan dan pengetahuan
mengenai pasar modal Indonesia serta dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
3.Bagi para pemakai laporan keuangan dan praktisi penyelenggara perusahaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mengenai
perbandingan kinerja keuangan dan manajemen laba perusahaan BUMN dan swasta.
6
II KAJIAN TEORI DAN PENGEBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif (Positive accounting theory) sering dikaitkan dalam pembahasan
mengenai manajemen laba (earnings management). Teori akuntansi positif menjelaskan faktorfaktor yang mungkin mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang
optimal dengan tujuan tertentu.
Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang dapat digunakan perusahaan
tidaklah harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan harus diberi kebebasan untuk
memilih salah satu dari alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak
dan memaksimumkan nilai perusahaan. Karena adanya kebebasan bagi manajer untuk memilih
prosedur yang tersedia, maka menurut Scott (1997) manajer punya kecenderungan untuk
melakukan suatu tindakan yang oleh teori akuntansi positif dinamakan sebagai tindakan
oportunis (opportunistic behavior).
Jadi, tindakan oportunis adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh manajer dalam memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya atau
memaksimumkan kepuasannya.
Watts dan Zimmerman (1986) membuat tiga hipotesis yang secara umum dihubungkan
dengan perilaku oportunistik manajer (Scott, 1997). Berdasarkan ketiga hipotesis tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bonus plan hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang menggunakan bonus plan akan
cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan
7
laba
yang
dilaporkan
pada
periode
berjalan.
Hal
ini
dilakukan
untuk
memaksimumkan bonus yang mereka peroleh karena seberapa besar tingkat laba
yang dihasilkan seringkali dijadikan sadar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Jika
besarnya bonus terganting pada besarnya laba, maka manajer tersebut dapat
meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba setinggi mungkin. Dengan
demikian, diperkirakan bahwa manajer dari perusahaan yang mempunyai kebijakan
pemberian bonus yang berdasar pada laba akuntansi, akan cenderung memilih
prosedur akuntansi yang akan meningkatkan laba tahun berjalan.
2. Debt covenant hypothesis
Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan di dalam
perjanjian hutang (debt covenant). Sebagian besar perjanjian hutang mempunyai
syarat-syarat (covenants) yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian,
dinyatakan pula ketika perusahaan mulai mendekati terjadinya pelanggaran terhadap
debt covenant, maka manajer perusahaan akan berusaha menghindari terjadinya debt
covenant
tersebut
dengan
memilih
metode-metode
akuntansi
yang
dapat
meningkatkan laba. Pelanggaran terhadap debt covenant dapat mengakibatkan
timbulnya suatu biaya serta dapat menghambat kerja manajemen, sehingga dengan
meningkatkan laba (melakukan income increasing) manajemen berusaha untuk
mencegah atau setidaknya menunda hal tersebut.
3. Political cost hypothesis
Hipotsis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi perusahaan
maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan tersebut untuk menggunakan
pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan dengan tingkat laba
8
yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian luas dari kalangan konsumen dan media
yang nantinya juga akan
menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga
menyebabkan terjadinya biaya politis, di antaranya adalah muncul intervensi
pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain
yang dapat meningkatkan biaya politis.
2.1.2
Agency Theory
Menurut Anthony dan Govindarajan (1995) menyatakan bahwa konsep Agency theory
adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent (Widyaningdyah,2001). Agent bekerja
untuk principal, di mana agent melakukan tugas untuk memenuhi kepentingan principal. Salah
satu tugas yang diberikan oleh principal kepada agent adalah pemberian otoritas pengambilan
keputusan. Sebagai contoh pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham
sebagai principal mempekerjakan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent untuk bertindak
sesuai dengan kepentingan Pemegang saham.
Agency Theory mempunyai asumsi bahwa principal dan agent masing-masing mempunyai
motivasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan terjadinya konflik kepentingan
antara principal dan agent, konflik kepentingan ini akan semakin meningkat terutama karena
principal tidak dapat memonitor kegiatan agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah
bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham (principal).
Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent sedangkan agent
mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan kondisi
perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang
9
disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individu-indivisdu bertindak untuk
memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan asimetri informasi yang ada dimanfaatkan
sebaik mungkin oleh agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak perlu
diketahui oleh principal, adanya konflik kepentingan antara agent dan principal serta didukung
pula oleh adanya asimetris informasi membuat agent menyajikan informasi yang tidak
sebenarnya kepada principal apalagi jika informasi tersebut digunakan untuk pengukuran kinerja
agent.
2.2
Manajemen laba
2.2.1 Defenisi Manajemen laba
Menurut Scott (2000) manajemen laba adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh
manajer untuk mancapai tujuan khusus. Menurut saidi (2000) mengartikan manajemen lana
sebagai suatu tindakan yang terjadi karena adanya asimetri informasi yang terjadi antara manajer
dan pihak esksternal. Sugiri (1998) dan Widyaningdyah (2001) membagi definisi earnings
management menjadi dua, yaitu:
a) Definisi sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berhubungan dengan pemilihan metode
akuntansi. Manajemen laba dalam arti sempit ini didefinisikan sebagai perilaku
manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam
menentukan besarnya laba.
b) Defenisi luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi)
laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer tersebut bertanggung
10
jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabolitas ekonomis jangka
panjang unit tersebut.
Pada umumnya studi tentang manajemen laba dinyatakan dalam persektif oportunis.
Manajemen laba diartikan sebagai tindakan oportunis manajemen untuk memperoleh keuntngan
pribadi.
2.2.2 Pola Manajemen Laba
Pola yang dipilih manajemen dalam melakukan manajeman laba beraneka ragam
tergantung pada tujuan mereka melakukan manajemen laba.
Scott (1997) menyebutkan bahwa terdapat empat pola yang umumnya dipilih dalam
melakukan tindakan manajemen laba, yaitu:
1. Taking A Bath
Taking a bath sering disebut
big bath
dan dilakukan agar laba pada periode
berikutnya menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini dimungkinkan karena
manajemen menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan
mendatang pada periode sekarang.
2. Income Maximation
Income maximation dilakukan agar laba pada periode sekarang menjadi lebih tinggi
dari yang seharusnya. Pola ini dicontohkan dengan manajemen laba yang dilakukan
saat perusahaan dekat dengan posisi melanggar perjanjian hutang (debt covenant).
3. Income Minimation
Income minimation dilakukan agar laba periode sekarang lebih rendah dari yang
seharusnya. Pola ini dilakukan pada saat tingkat profitabilitas perusahaan cukup
11
tinggi. Contoh penerapan pola ini adalah pada saat perusahaan melakukan manajemen
laba untuk menghindari political cost.
4. Income Smoothing
Pola ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan mengurangi
fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat stabil. Pola ini pada
umumnya digunakan untuk tujuan pelaporan eksternal, karena kreditor sebagai pihak
eksternal relative menyukai tingkat laba yang stabil (Kusindratno dan Sumarta, 2005,
p.213).
2.2.3 Motivasi Manajemen Laba
Scott (1997) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang memotivasi manajer untuk
melakukan manajemen laba (Lontoh dan Lindrawati,2004) yaitu:
1. Motivasi bonus, manajer akan berusaha mencapai laba sesuai dengan yang
ditargetkan.
2. Motivasi kontraktual, missal untuk memperbesar bonus yang akan diterima atau
mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran perjanjian dalam kontrak hutang.
3. Motivasi yang bersifat politik, misalnya meghindari kebijakan atau regulasi tertentu.
4. Motivasi perggantian CEO, misalnya untuk menghindari oenggantian CEO karena
kinerja yang diaanggap buruk.
5. Penawaran saham perdana kepada public (IPO), misalnya untuk mencapai harga
saham yang lebih tinggi pada saat IPO.
6. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi tersembunyi yang
dimiliki perusahaan kepada investor.
12
2.2.4 Kebijakan Akuntansi Akrual
Dalam akuntansi, laporan keuangan disusun atas dasar akrual (accruals basis). Sehingga
seluruh seluruh transaksi ekonomi akan dicatat pada saat transaksi tersebut terjadi, dimana
revenue diakui pada saat dihasilkan dan expense diakui pada saar dikeluarkan, tanpa
memperdulikan aliran kas masuk atau kas keluar yang terjadi.
Suatu cara efektif untuk mencurangi pelaporan laba, namun sukar dideteksi adalah
melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan akrual. Menurut Healy (1985)
dan DeAngelo (1986) menyatakan bahwa total accruals terdiri dari discretionary accruals dan
non discretionary accrual.
Discretionary accruals dapat didefinisikan sebagai akrual yang dapat diatur oleh
manajemen. Dalam hal ini manajemen memiliki kefleksiblan untuk mengatur angka-angka yang
akan dilaporkan dalam laporan keuangan. Non discretionary accruals dapat didefinisikan
sebagai akrual yang tidak dapat diatur oleh manajemen sehingga angka yang dilaporkan dalam
laporan keuangan merupakan hasil yang berhubungan dengan aktivitas operasi perusahaan.
2.3
Kinerja Keuangan Perusahaan
Secara umum makna kata kinerja (performance) diartikan sebagai catatan hasil atau
prestasi yang telah dicapai, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bernardin and Russell (1993):
“performance is the record of outcome produced on a specified time period”. Kinerja adalah
catatan outcome yang dihasilkan dalam suatu periode. Kemudian Stolovitch and Keeps (1992)
menjelaskan bahwa kinerja adalah seperangkat hasil yang biasanya merujuk pada pencapaian
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Gomes (2003) menjelaskan bahwa kinerja
13
merupakan tingkat prestasi atau keberhasilam yang dicapai oleh suatu organisasi pada suatu
periode tertentu.
Dalam penelitian ini pengertian kinerja keuangan perusahaan merujuk kepada Gomes
(2003), di mana kinerja keuangan perusahaan adalah tingkat prestasi atau keberhasilan keuangan
yang dicapai oleh suatu perusahaan pada suatu periode tertentu. Tingkat prestasi atau
keberhasilan keuangan biasanya dikaitkan dengan tingkat laba yang diperoleh oleh perusahaan.
Ukuran kinerja keuangan yang dipakai adalah profitabilitas, yang diartikan sebagai kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba. Adapun alasan menggunakan ukuran kinerja profitabilitas
adalah: (1) Profitabilitas merupakan ukuran kinerja keuangan penting dan sering digunakan
dalam penelitian untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan (Barker and Cagwin, 2000;
Salama, 2003; dan Cagwin and Bouman, 2000); (2) Profitabilitas dapat mengukur kinerja
perusahaan secara keseluruhan dan dapat mengukur tingkat efisiensi dalam pengelolaan aset,
kewajiban, dan ekuitas perusahaan (Fraser and Ormiston, 1998); dan (3) Pemegang saham lebih
cenderung menggunakan profitabilitas, karena kestabilan harga saham sangat tergantung pada
tingkat keuntungan yang diperoleh dan penerimaan dividen dimasa yang akan datang (Agus
Sartono, 2001).
Rasio profitabilitas yang umum digunakan adalah
1) Gross profit margin (GPM)
Yaitu penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan dibagi penjualan bersih.
Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang
yang dijual.
14
2) Net profit margin (NPM)
Yaitu laba bersih dibagi penjualan. Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih
yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjulan yang dilakukan.
3) Return on asset (ROA = ROI)
Yaitu laba bersih dibagi dengan total aktiva. Rasio ini menggambarkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah asset yang
digunakan. Dengan mengetahui rasio ini, kita bisa menilai apakah perusahaan efisien
dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan. Rasio ini
juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena
menunjukkan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh
pandapatan.
4) Return on equity (ROE)
Yaitu laba bersih dibagi ekuitas. Rasio ini menunjukkan kesuksesan manajemen
dalam memaksimalkan tingkat pengembalian pada pemegang saham. Semakin tinggi
rasio ini akan semakin baik karena memberikan tingkat pengembalian yang lebih
besar pada pemegang saham.
5) Earning per share (EPS)
Yaitu laba bersih dibagi jumlah saham yang beredar. Rasio ini menggambarkan
tingkat pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham.
2.4
Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Hipotesis kinerja keuangan antara BUMN dan Perusahaan swasta
15
Badan Pemeriksa Keuangan mempertanyakan kinerja Badan Usaha Milik Negara
disebabkan oleh rasio deviden yang dihasilkan BUMN terus menerus dari tahun ke tahun tetapi
dengan penyertaan Modal Negara yang diberikan terus meningkat (Republika.co.id,jakarta).
Dalam prakteknya perusahaan swasta lebih banyak yang menggunakan konsep tentang
efisiensi dibandingkan BUMN sehingga perusahaan besar swasta lebih maju dibandingkan
BUMN. Hal ini terlihat dari hasil studi di beberapa negara mengarah pada kesimpulan yang
hanpir sama yakni terjadi inefisiesnsi di BUMN, di mana ongkos produksi barang dan jasa ratarata BUMN lebih tinggi dibandingkan perusahaan swasta. Di amerika serikat perbedaan biaya
produksi perusahaan negara dibandingkan usaha swasta mencapai 40%. Bagi Indonesia, biaya
produksi rata-rata BUMN antara tahun 1996 dan tahun 1998 lebih tinggi sekitar 28,8% hingga
49,5% dibandingkan biaya produksi swasta (Simatupang,2000).
Berdasarkan pemberitaan dan fenomena mengenai kinerja keuangan BUMN yang buruk
dan kurangnya penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian ini rumusan hipotesis yang
diajukan adalah :
Ha1 = Terdapat perbedaan kinerja keuangan antara Perusahaan Milik Negara (BUMN)
dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)
2.4.2 Hipotesis tingkat manajemen laba antara BUMN dan Perusahaan swasta
Manajemen laba merupakan hal yang lazim di antara badan usaha di negara-negara maju
dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Misalnya,Chaney dan Lewis (1995)
menemukan
bahwa
perusahaan
secara
konsisten
melakukan
manajeman
labauntuk
mempengaruhi nilai perusahaan di dunia dengan asimetris informasi. Dye (1989) menunjukkan
bahwa manajer sering memanajemen laba perusahaan untuk kelancaran kompensasi manajerial.
16
Lambert (1984) dan Trueman dan Titman (1988) menunjukkan bahwa para manajer cenderung
lebih suka menghindari risiko dan memanajemen laba untuk memiliki kelancaran insentif. Teoh
et al. (1998a dan 1998) menemukan bukti bahwa perusahaan menyesuaikan akrual diskresioner
untuk melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari laba bersih sebelum penawaran umum perdana
dan penawaran umum berpengalaman.
Dalam beberapa penelitian secara luas diyakini bahwa BUMN melakukan manajemen
laba yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan swasta. Ada beberapa keyakinan yang
menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, karena faktor-faktor seperti gangguan birokrasi, insentif
yang lemah, kurangnya kompetisi,tata kelola perusahaan yang buruk, kurang efisiensi, dan
perilaku tidak etis seperti korupsi dan penipuan (Boardman dan Vining, 1989 ; Megginson et al,
1994,; dan Shleifer, 1998).
Kedua, konflik keagenan lebih mungkin berkembang di BUMN daripada perusahaan
swasta karena terdapat konflik kepentingan yang lebih luas antara negara dan kelompok
minoritas pemegang saham dan antara pemilik dan manajer. Mengontrol konflik di antara
berbagai kelompok kepentingan di BUMN sulit dilakukan karena BUMN sering memiliki
lapisan organisasi yang lebih kompleks. Selain itu, pengawasan yang efektif tidak dapat
dipertahankan di BUMN mengingat bahwa tugas-tugas pemantauan yang sering dilakukan oleh
pejabat pemerintah tidak berjalan dengan baik. Singkatnya, konflik kepentingan ganda,
peningkatan asimetri informasi, pemantauan yang buruk, dan kolusi memperburuk masalah
keagenan di perusahaan negara dan menyebabkan perilaku oportunistik lebih manajerial seperti
manajemen laba.
Beberapa penelitian banyak dilakukan untuk meneliti tingkat manajemen laba di BUMN
beberapa negara. Untuk penelitian BUMN di Indonesia sendiri belum banyak dilakukan untuk
17
memperkuat keyakinan konvensional yang mengatakan bahwa perusahaan BUMN merupakan
akar inefisiensi negara. Dengan demikian dalam penelitian ini rumusan hipotesis yang diajukan
adalah :
Ha2 = Terdapat perbedaan tingkat manajemen laba antara Perusahaan Milik Negara
(BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)
18
III METODE PENELITIAN
3.1
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan BUMN dan BUMS yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia mulai tahun 2004-2011, kecuali untuk perusahaan di bidang
perbankan. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling,
yaitu dengan pendekatan pusposive sampling dengan kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan publik BUMN dan BUMS yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia antara
tahun 2004 -2011
2. Perusahaan termasuk industry manufaktur dan industry lain selain kelompok
perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan industry finance atau perusahaan
perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
3. Menerbitkan laporan keuangan auditan secara lengkap selama periode 2004 -2011
No
Kode
Nama Perusahaan
Jenis
Tanggal Listing
1
INAF
PT Indofarma (Persero) Tbk
Farmasi
17 April 2001
2
KAEF
PT Kimia Farma (Persero) Tbk
Farmasi
04 Juli 2001
PGAS
PT Perusahaan Gas Negara
Energi
15 Desember 2003
Energi
23 Desember 2002
Konstruksi
18 Maret 2004
3
(PGN) Tbk
PTBA
PT Tambang Batubara Bukit
4
Asam (PTBA) (Persero) Tbk
5
ADHI
PT Adhi Karya (Persero) Tbk
19
ANTM
PT Aneka Tambang
6
Pertambangan
27 November 1997
Pertambangan
19 Oktober 1995
Semen
08 Juli 1991
Telekomunikasi
14 November 1995
(ANTAM) Tbk
7
TINS
PT Timah (Persero) Tbk
SMGR
PT Semen Gresik (Persero)
8
Tbk
TLKM
PT Telekomunikasi Indonesia
9
(TELKOM) Tbk
3.2
Jenis dan Sumber Data.
3.2.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi laporan
keuangan yang dipublikasikan per 31 Desember 2004 sampai dengan 31 Desember 2011.
3.2.2 Sumber Data.
Penelitian ini dilakukan dengan mengakses langsung ke situs yang berhubungan dengan
Bursa Efek Indonesia, yaitu www.bapepam.go.id , www.idx.co.id atau langsung ke Pojok Bursa
&Galeri Valbury Asian Securities (VAST) Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
3.3
Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan empat kelompok kelompok variabel penelitian, yaitu variabel
manajemen laba pada Perusahaan Milik Negara (BUMN), variabel manajemen laba
pada
Perusahaan Milik Swasta (BUMS), variabel kinerja keuangan pada Perusahaan Milik Negara
(BUMN) dan variabel kinerja keuangan pada Perusahaan Milik Swasta (BUMS).
20
3.3
Definisi Operasional Variabel
Manajemen laba dalam penelitian ini diukur dengan proxy discretionary accruals (DA)
yang menggunakan model Modified Jones (Jones Modifikasian). Model perhitungan manajemen
laba adalah sebagai berikut:
𝑇𝐴𝑖𝑑
1
βˆ†π‘…πΈπ‘‰π‘–π‘‘ − βˆ†π‘…πΈπΆπ‘–π‘‘
𝑃𝑃𝐸𝑖𝑑
= 𝛼i (
) + 𝛽1𝑖 (
) + 𝛽2𝑖 (
) + πœ€π‘–π‘‘ … … … (1)
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
Total akrual untuk periode t dinyatakan dalam persamaan:
𝑇𝐴𝑖𝑑 = 𝑁𝐼𝑖𝑑 − 𝑂𝐢𝐹𝑖𝑑 … … … … … … … … … … … (2)
Keterangan:
𝑇𝐴𝑖𝑑
= Total Accrual perusahaan i pada tahun t
βˆ†π‘…πΈπ‘‰π‘–π‘‘
= Pendapatan bersih perusahaan I pada tahun t dikurangi pendapatan bersih pada
tahun t-1
βˆ†π‘…πΈπΆπ‘–π‘‘
= Piutang bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi piutang bersih pada tahun
t-1
𝑃𝑃𝐸𝑖𝑑
= Aktiva tetap (gross) perusahaan i pada tahun t
𝐴𝑖𝑑 − 1
= Total assets (total aktiva) perusahaan i pada tahun t-1
πœ€π‘–π‘‘
= Nilai residu perusahaan i pada tahun t
𝑁𝐼𝑖𝑑
= Laba bersih (Net Income) perusahaan i pada tahun t
𝑂𝐢𝐹𝑖𝑑
= Arus Kas (Operating Cash Flow) perrusahaan i pada tahun t
21
Non Dicretionary Accruals (NDA) dapat ditentukan dengan persamaan:
1
βˆ†π‘…πΈπ‘‰π‘–π‘‘ − βˆ†π‘…πΈπΆπ‘–π‘‘
𝑃𝑃𝐸𝑖𝑑
𝑁𝐷𝐴𝑖𝑑 = 𝛼i (
) + 𝛽1𝑖 (
) + 𝛽2𝑖 (
) … … … . … (3)
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
DA yang dilakukan oleh setiap perusahaan dapat dihitung dengan persamaan sbb:
𝐷𝐴𝑖𝑑
𝑇𝐴𝑖𝑑
1
βˆ†π‘…πΈπ‘‰π‘–π‘‘ − βˆ†π‘…πΈπΆπ‘–π‘‘
𝑃𝑃𝐸𝑖𝑑
=
= [𝛼i (
) + 𝛽1𝑖 (
) + 𝛽2𝑖 (
)] (4)
𝐴𝑖𝑑−1 𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
𝐴𝑖𝑑−1
Atau
𝐷𝐴𝑖𝑑 = 𝑇𝐴𝑖𝑑 − 𝑁𝐷𝐴𝑖𝑑 … … … … … … … … … … … (5)
Keterangan:
𝑁𝐷𝐴𝑖𝑑
= Non Descretionary Accruals perusahaan i pada tahun t
𝐷𝐴𝑖𝑑
= Dicretionari Accruals perusahaan i pada tahun t
Kinerja keuangan didefinisikan sebagai prestasi manajemen, dalam hal ini manajemen
keuangan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan
nilai perusahaan. Kinerja keuangan diukur dengan menggunakan rasio profitabilitas:
1. Gross Profit Margin (GPM)
πΊπ‘Ÿπ‘œπ‘ π‘  π‘ƒπ‘Ÿπ‘œπ‘“π‘–π‘‘ π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘–π‘› =
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž πΎπ‘œπ‘‘π‘œπ‘Ÿ
π‘₯ 100%
π‘ƒπ‘’π‘›π‘—π‘’π‘Žπ‘™π‘Žπ‘›
2. Net profit Margin (NPM)
𝑁𝑒𝑑 π‘ƒπ‘Ÿπ‘œπ‘“π‘–π‘‘ π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘–π‘› =
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž π΅π‘’π‘Ÿπ‘ π‘–β„Ž π‘†π‘’π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜
π‘₯ 100%
π‘ƒπ‘’π‘›π‘—π‘’π‘Žπ‘™π‘Žπ‘›
22
3. Return On Asset (ROA = ROI)
π‘…π‘’π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘› π‘œπ‘› πΌπ‘›π‘£π‘’π‘ π‘šπ‘’π‘›π‘‘ =
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž π΅π‘’π‘Ÿπ‘ π‘–β„Ž π‘†π‘’π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜
π‘₯ 100%
π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π΄π‘˜π‘‘π‘–π‘£π‘Ž
4. Return On Equity (ROE)
π‘…π‘’π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘› π‘œπ‘› πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦ =
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž π΅π‘’π‘Ÿπ‘ π‘–β„Ž π‘†π‘’π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜
π‘₯ 100%
π‘€π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘†π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–
5. Earnings Per Share (EPS)
πΈπ‘Žπ‘Ÿπ‘›π‘–π‘›π‘”π‘  π‘ƒπ‘’π‘Ÿ π‘†β„Žπ‘Žπ‘Ÿπ‘’ =
3.4
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž π΅π‘’π‘Ÿπ‘ π‘–β„Ž π‘†π‘’π‘ π‘’π‘‘π‘Žβ„Ž π‘ƒπ‘Žπ‘—π‘Žπ‘˜
π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž πΏπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘Ÿ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š
Model Penelitian
Model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari gambar berikut:
Uji Beda
Perusahaan milik
Perusahaan swasta
negara (BUMN)
(BUMS)
Kinerja Keuangan
Manajemen Laba
(Rasio Profitabilitas)
(discretionary accruals )
(R
23
3.5
Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dengan berpedoman pada data yang diperoleh dari data
sekunder berupa laporan keuangan (Neraca dan Laba Rugi) dan selanjutnya akan dianalisis
dengan menggunakan uji beda melalui program SPSS, dengan model yang digunakan
Independent Sample t-test. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
discretionary acrual, gross profit margin, net profit margin,Return On Asset, Return On Equity,
Earnings Per Share.
3.6
Analisis data
3.6.1 Statistik Deskriptif
Untuk membuktikan ada atau tidaknya perbedaan tingkat manajemen laba pada
Perusahaan Milik Negara (BUMN) dengan Perusahaan Milik Swasta (BUMS) terlebih dahulu
dihitung discretionary accrual masing-masing perusahaan dengan menggunakan model
Modified Jones (Jones Modifikasian). Untuk membuktikan ada atau tidaknya perbedaan kinerja
keuangan pada Perusahaan Milik Negara (BUMN) dengan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)
merujuk kepada Gomes (2003) dengan menggunakan rasio profitabilitas untuk pengukurannya.
3.6.2 Uji Normalitas
Merupakan suatu bentuk pengujian tentang kenormalan distribusi data. Tujuannya untuk
mengetahui apakah data yang diambil telah terdistribusi dengan normal atau belum. Terdistribusi
normal maksudnya data yang mengikuti bentuk distribusi normal dimana datanya memusat pada
nilai rata – rata dan median. Apabila data yang terdistribusi tidak normal maka dapat digunakan
statistik non parametrik atau sebaliknya data terdistribusi dengan normal dapat menggunakan
24
stastistik parametrik. Pengujian normalitas menggunakan uji Kolomogorov – Smirnov. Uji
Kolomogorov – Smirnov merupakan uji beda antara data yang diuji normalitasnya dengan normal
data baku. Jadi jika signifikansi di bawah 0,05 bearti terdapat perbedaan signifikan, dan jika di
atas 0,05 tidak terjadi perbedaan signifikan. Dan jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang
akan diuji mempunyai perbedaan signifikan dengan data normal baku, berarti data tersebut tidak
normal.
Rumus Kolomogorov – Smirnov (Cahyono, 2010)
NO
Xi
𝑍=
𝑋𝑖 − 𝑋̅
𝑆𝐷
𝐹𝑇
𝐹𝑆
| 𝐹𝑇 − 𝐹𝑆
|
1
2
3
4
5
dst
Keterangan:
Xi
= angka pada data
Z
= Transformasi dari angka ke notasi pada distribusi normal
FT
= Probabilitas komulatif normal
FS
= Probabilitas komulatif empiris
25
3.6.3 Uji Hipotesis
Uji Hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah manajemen laba Perusahaan Milik
Negara (BUMN) lebih tinggi dari Perusahaan Milik Swasta (BUMS) dan apakah kinerja
keuangan Perusahaan Milik Swasta (BUMS) lebih baik dari Perusahaan Milik Negara (BUMN)
Pengujian hipotesis ini dapat dilakukan setelah dilakukan pengujian normalitas. Uji normalitas
ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah data tersebut berdistribusi normal atau tidak. Menurut
Jogiyanto (2010), “Jika terdistribusi normal maka proses selanjutnya dalam pengujian hipotesis
dapat menggunakan perhitungan statistik parametrik. Sebaliknya, apabila tidak terdistribusi
normal maka dapat menggunakan perhitungan statistik nonparametrik”.
Pengujian hipotesis parametrik menggunakan independent sample T-Test dengan
memanfaatkan program komputer SPSS. Adapun hipotesis yang dibentuk untuk melakukan
independent sample T-Test adalah :
Hipotesis :
ο‚·
Ho1 : µ1 - µ0 = 0, yakni tidak ada perbedaan antara kinerja keuangan Perusahaan
Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS).
ο‚·
Ha1 : µ1 - µ0 ≠ 0, yakni ada perbedaan antara kinerja keuangan Perusahaan Milik
Negara (BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS).
ο‚·
Ho2: µ1 - µ0 = 0, yakni tidak ada perbedaan antara tingkat manajemen laba
Perusahaan Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)..
ο‚·
Ha2 : µ1 - µ0 ≠ 0, yakni ada perbedaan antara tingkat manajemen laba Perusahaan
Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Milik Swasta (BUMS)..
26
Rumus dari independent sample T-Test untuk sampel yang kecil yang populasinya
berdistribusi normal dan diasumsikan keduanya mempunyai varian yang sama , maka rumus dari
pengujian t (Jogiyanto, 2010) adalah:
𝑑=
Μ…Μ…Μ…1 − 𝑋
Μ…Μ…Μ…2 ) − (πœ‡1 − πœ‡2 )
(𝑋
1
1
𝑛1 + 𝑛2 )
√𝑆𝑝2 (
Dengan
𝑠𝑝2 =
(𝑛1 − 1)𝑠12 − (𝑛2 − 1)𝑠22
𝑛1 + 𝑛2 − 2
Notasi :
Μ…Μ…Μ…1 = nilai rata-rata sampel ke-1
𝑋
Μ…Μ…Μ…2 = nilai rata-rata sampel ke-2
𝑋
πœ‡1 = nilai rata-rata populasi sampel ke-1
πœ‡2 = nilai rata-rata populasi sampel ke-1
𝑆1 = deviasi standar sampel ke-1
𝑆2 = deviasi standar sampel ke-2
𝑠𝑝2 = varian dari sampel gabungan
𝑛1 = jumlah observasi di dalam sampel ke-1
𝑛2 = jumlah observasi di dalam sampel ke-2
Adapun kriteria hasil pada saat pengujian yaitu :
Cara pertama, membandingkan antara t hitung dengan t table :
ο‚·
Apabila t hitung < t tabel, maka Ha ditolak.
27
ο‚·
Apabila t hitung > t tabel, maka Ha diterima.
Cara kedua, melihat probabilities value (nilai p)
ο‚·
Apabila nilai p < 0,05, maka Ha diterima.
ο‚·
Apabila nilai p > 0,05, maka Ha ditolak.
28
Daftar Pustaka
Asyikin, Jumirin ; Tanu.S.V “ Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Antara Perusahaan
Farmasi Milik Pemerintah (BUMN) Dengan Perusahaan farmasi Swasta “ Paper
Presented at Jurnal Spread Vol.1(2001)
Daftar Listing Perusahaan BEI http://id.wikipedia.org
Ding, Yuan; Zhang, Huan; dan Zhang, Junxi.”Private vs State Ownwrship and Earning
Management” Paper presented at Journal compilation, 2001
Fenomena BUMN http://www.bumntrack.com
Gumanti,A.T “Earnings Management : Suatu Telaah Pustaka” Paper Presented at Jurnal
Akuntansi & Keuangan Vol.2 (2000):104-115
Hartono, Jogiyanto. 2010.Metodologi Penelitian Bisnis. BPFE UGM, Yogyakarta.
Informasi BUMN http://www.bumn.go.id
Keown, J.A ; Martin, D.J ; Petty, J.W ”Foundations of Finance” ed. Person-Prentice (2011)
Kuniawan, D.A “ Analisis Earnings Management dan Kinerja Jangka Pendek Pada Badan Usaha
Milik Negara yang Melakukan Initial Public Offering” Universitas Diponegoro,2011
Pemberitaan BUMN http://www.antaranews.com
Scott, William R. 2007. Financial Accounting Theory.4th edition. Prentice Hall : Canada
29
Sukwadi,Robby “ Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan Perusahaan yang Melakukan Right
Issue dan Perusahaan yang Tidak Melakukan Right Issue” Tesis S2, Universitas
Diponegoro, 2006
Usadha, I.P.”Analisis Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi Sebelum
dan Sesudah Merger dan Akuisisi” Universitas Udayana
Wang, Liu ; Yung, Kenneth.”Do State Enterprises Manage Earnings More Than Privately
Owned Firms?.” Paper presented at Journal of Business Finance & Accounting, 2011
30
Download