bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Asal Mula Musik Jazz
Gambar 1.1. Sebuah band jazz di New Orleans
Sumber: http://dogpossum.org/2010/08/new-orleans-jazz
Musik Jazz pertama kali tercetus di kota New Orleans, Amerika Serikat pada tahun 1891.
Diyakini bahwa musik ini merupakan ungkapan hati para buruh Afro-Amerika yang dilagukan dengan
pengaruh musik gospel ala Eropa, tribal drums bergaya Afrika, dan musik blues yang juga lahir dari
masyarakat kulit hitam Amerika.
Secara etimologis, kata “jazz” berasal dari bahasa slang Inggris-Amerika, jasm, yang sama
dengan kata jism, dan memiliki arti roh, energi, dan keberanian (spirit). Akan tetapi, jism juga sering
dikonotasikan dengan air mani, karena dahulu musik ini sering dimainkan di rumah bordil oleh orang
kulit hitam. Namun seiring perkembangan zaman, stigma negatif terhadap kata tersebut mulai
memudar.
Musik jazz mulai populer di kalangan masyarakat Amerika pada tahun 1920-an (era Jazz
Age). Pada akhir 1930-an, subgenre swing jazz semakin berpengaruh dalam permusikan Amerika
dan mencapai puncaknya di akhir 1950-an sebagai lahirnya jazz modern.
Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/sejarah-musik-jazz-dan-perkembangannya-di-indonesia
1.1.2. Perkembangan Musik Jazz di Indonesia
Sejarah musik Jazz di Indonesia memiliki berbagai versi, mengingat para pelaku sejarah
yang bisa menjadi alternatif narasumber telah tiada. Versi pertama, berdasarkan penuturan Sudibyo
Pr, seorang pengamat musik jazz, orang Indonesia pertama kali yang memainkan musik jazz
berasal dari Aceh. Diyakini pula, mereka adalah para tentara yang biasa diundang oleh para pejabat
`1
Hindia Belanda dan petinggi pribumi sebagai pengisi acara hiburan. Saat itu, musik jazz dimainkan
di gedung Societet, dimana tidak setiap pribumi bisa memasuki gedung tersebut.
Versi lain menyebutkan, bahwa periode masuknya musik jazz ke Indonesia bersamaan
dengan makin berkembangnya musik tersebut di New Orleans pada tahun 1900-an. Pada tahun
1920, tercatat bahwa di Makassar terdapat sebuah band bernama “Black & White” yang dipimpin
oleh komposer kebangsaan, yaitu Wage Rudolf Supratman. Sementara pada tahun 1930-an, Jacob
Sigarlaki memotori sebuah band yang juga beraliran jazz yang bernama “Melody Makers”. Musisi
lain juga terlibat dlaam band tersebut, seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta
Tjok Sinsu.
Gambar 1.2. Black & White Band
Sumber: http://kamidarisemua.files.wordpress.com/2011/10/band-black-and-white-wr-supratman.jpg
Ada juga yang meyakini, bahwa jazz masuk ke Indonesia dibawa oleh musisi Belanda pada
tahun 1922. Seorang pemain saksofon dari Belanda saat itu membentuk band yang beranggotakan
80% warga Indo-Belanda, sementara sisanya adalah pribumi.
Perkembangan jazz terus berlanjut. Pada tahun 1940-an, Hein Turangan membentuk grup
band jazz bernama Jolly Strings di Jakarta. Di era itu pula muncul kritikus jazz bernama Harry Liem
yang aktif menulis di koran “Jazz Wereld”. Tapi seusai Perang Dunia II, beliau pindah ke Amerika
dan meneruskan karirnya di sana.
Pada pertengahan tahun 1950-an, seorang pianis bernama Nick Mamahit merilis album
“Sarinande”. Waktu itu Nick didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim Espehana (bass). Ada
yang menyebut album ini sebagai tonggak rekaman musik jazz di Tanah Air.
Memasuki dekade 60-an, musik jazz Indonesia mulai merambah ke dunia hiburan malam
seperti bar atau kafe. Dari lingkungan tersebut, muncul musisi multi-instrumentalis, Bill Saragih, yang
kemudian melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia hingga Amerika. Bill Saragih antara
lain dikenal lewat kelompok “The Jazz Riders” yang pada mulanya dibentuk oleh Didi Pattirane. Tapi
setelah Didi Pattirane pindah ke New York, grup ini diteruskan oleh Didi Tjia dan Bill Saragih.
Namun, situasi politik orde lama yang cenderung anti-imperialis saat itu berdampak pada lambatnya
`2
perkembangan jazz, mengingat musik ini berasal dari Amerika Serikat. Jazz dimainkan secara
sembunyi-sembunyi, untuk menghindari tuduhan pro imperialis. Setelah tumbangnya orde lama,
tepatnya pada tahun 1967-an, para musisi jazz mulai aktif lagi.
Pada era awal orde baru (1967), grup Indonesia All Stars membuat sebuah gebrakan
karena berhasil tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”. Grup ini terdiri dari Bubi Chen (piano), Jopie
Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon).
Eksistensi mereka didukung oleh perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart
Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star. Ajang “Berlin Jazz
Festival” tersebut membuat Bubi Chen memperoleh tanggapan positif dari para penulis jazz
internasional dan lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art
Tatum1 of Asia”.
Gambar 1.3.Gitaris Jack Lesmana
Sumber: http://www.playthebeat.com/wp-content/uploads/2008/12/jack20lesmana1.jpg
Memasuki dekade 70-an, jazz Indonesia makin merebak dan mulai terpusat di beberapa
kota besar. Di Jakarta, Jack Lesmana kerap menggelar jazz di panggung-panggung, terutama di
areal Taman Ismail Marzuki, serta di layar kaca TVRI. Beliau juga aktif menghasilkan album
rekaman jazz. Saat itu, dikenal label rekaman Hidayat, sebagai label indie yang aktif memproduksi
rekaman-rekaman jazz. Kemudian muncul label lain bernama Pramaqua.
Di akhir era 70-an, berdirilah kafe bernama Green Pub di gedung Djakarta, yang lantas
menjadi tempat terpenting bagi pergerakan jazz di era 80-an. Pada era tersebut jazz juga mulai
menjadi trend di lingkungan kampus, terutama Universitas Indonesia lewat para mahasiswa Fakultas
Ekonominya. Pada waktu itu muncul Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama
Chaseiro yang antara lain didukung teman-teman sekampusnya seperti kakak beradik Helmie dan
Rizali Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani, atau Omen.
Art Tatum merupakan salah satu pianis jazz terbesar yang pernah ada yang telah meninggal dunia di tahun 1956
Sumber: http://www.pasarkreasi.com/news/detail/music/109/jejak-langkah-jazz-di-indonesia
1
`3
Perjalanan panjang jazz juga diwarnai dengan adanya klub-klub jazz yang sempat
bertaburan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Salah satu diantaranya adalah Jamz
milik pengusaha penggila jazz yakni Peter F. Gontha. Beliau sangat berperan meyakinkan para
musisi jazz kelas satu dunia untuk menggelar pertunjukan di Indonesia. Berkat jasanya pula, para
musisi jazz Indonesia bisa bermain di event-event jazz internasional.
Di era tahun 1980-an muncul pergelaran jazz lokal macam “Jazz Goes To Campus”. Juga
pada tahun 1988 juga terselenggara sebuah event jazz terkemuka, yakni Jakarta International Jazz
Festival atau yang lebih dikenal dengan nama Jak Jazz, atas gagasan Ireng Maulana. Acara ini
dihadiri musisi jazz dari Amerika, Eropa, dan Asia. Nama-nama terkemuka yang hadir saat itu
diantaranya Phil Perry, Lee Ritenour, Larry Corvell, Kazumi Watanabe, Frederick Noran Band, Igor
Brill Ensemble.
Gambar 1.4. Barry Likumahuwa Project
Sumber: http://www.ngayogjazz.com/wp-content/uploads/2012/09/BLP-MYPLACE_0531.jpg
Di era tahun 2000-an, jazz di Indonesia semakin berkembang. Banyak grup band
bermunculan, seperti Bali Lounge, Maliq & D’Essentials, Ecoutez, Parkdrive, Abdul & The Cofee
Theory, Barry Likumahuwa Project, dsb. Tak hanya itu, beberapa musisi jazz seperti Tompi, Raisa,
Glenn Fredly, Tohpati, Balawan, dan Yance Manusama juga sering berkolaborasi dengan sesama
musisi maupun grup lain.
Sumber: http://www.pasarkreasi.com/news/detail/music/109/jejak-langkah-jazz-di-indonesia
1.1.3. Komunitas Musik Jazz di Kota Surakarta
Para penggemar musik Jazz di Surakarta berkumpul dan menamakan diri “Solo Jazz
Society” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “So-Jazz”. Mereka terbentuk pada 25 Maret 2007
dengan diprakarsai oleh lima orang penggemar Jazz. Latar belakang terbentuknya So-Jazz
dikarenakan di Surakarta belum ada wadah bagi penggemar musik jenis Jazz. Berdasarkan
penuturan Monica Dyah, salah seorang pengurus So-Jazz, mulanya bukan bernama Solo Jazz
Society. Namun akhirnya karena suatu alasan maka diubah menjadi Solo Jazz Society. Sampai
dengan akhir tahun 2010, anggota dari Solo Jazz Society ada 40 orang yang kebanyakan berasal
`4
dari lingkup Kota Surakarta. Mayoritas anggotanya bermain dalam band dengan format yang dapat
berubah sewaktu-waktu. Jadwal dan tempat berlatih pun menyesuaikan waktu luang para
anggotanya.
Gambar 1.5. Parkiran Jazz di Balai Soedjatmoko
Sumber: Survey (2013)
Sebagai kegiatan rutin, setiap sebulan sekali Solo Jazz Society mengadakan Parkiran Jazz
di pelataran Balai Soedjatmoko. Mereka juga terlibat dalam hajatan musik jazz yang rutin diadakan
setiap tahunnya di Kota Surakarta, seperti Jazzin’ Lebaran dan Solo City Jazz. Animo masyarakat
Solo terhadap kegiatan tersebut sangat terasa dengan ramainya acara, terutama oleh anak muda.
Tidak hanya eksis di dunia musik Kota Surakarta, Solo Jazz Society juga mulai
menunjukkan keunggulannya di ajang berskala internasional. Melalui salah satu band-nya,
Streamline Quartet, mereka menjadi salah satu pengisi di Java Jazz Festival 2012. Band ini
beranggotakan Aditya Ong Permadi (piano), Aryo Ardityo (kontrabas), Daniel Hibriyanto (gitar) dan
Daniel Nugros (drum). Sebelumnya, mereka sering diundang di acara Ngayogjazz dan Jazz di
Bawah Kaki Langit Semarang. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kualitas musisi jazz dari Kota
Surakarta patut diperhitungkan di kancah musik nasional.
Sumber: http://www.koran-o.com/2012/hiburan/sojazz-meriahkan-java-jazz-festival-12776
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Permasalahan Umum
 Bagaimana memperkenalkan musik jazz sebagai bagian dari budaya yang berkembang di Kota
Surakarta.
 Bagaimana merubah paradigma masyarakat terutama di Kota Surakarta tentang musik jazz
sebagai musik yang mahal, membosankan, sulit, dan hanya untuk kalangan elit saja.
 Bagaimana menciptakan sebuah alternatif tempat berkumpul yang sesuai dengan citra komunitas
musik jazz Solo.
 Bagaimana mewujudkan wadah yang layak agar menarik bagi peminat maupun pemain musik
jazz.
`5
 Bagaimana menetapkan lokasi yang paling optimal agar terjaungkau oleh seluruh masyarakat
Kota Surakarta.
1.2.2. Permasalahan Khusus
 Bagaimana menentukan konsep yang diangkat sesuai dengan hasil analisis.
 Bagaimana metafora yang dilakukan agar kontekstual dengan budaya Kota Surakarta.
 Bagamana menentukan tipologi bangunan yang paling cocok sesuai dengan konsep.
 Bagaimana menentukan ruang-ruang yang dibutuhkan sebagai fasilitas musik serta hubungan
antar ruang.
 Bagaimana menentukan desain bangunan sesuai dengan metafora komunitas Solo Jazz Society.
 Bagaimana menyesuaikan konfigurasi ruang dengan dasar perancangan dan akustika.
 Bagaimana memilih spesifikasi material yang sesuai dengan karakter akustik maupun psikologis
masing-masing ruang.
1.3. Tujuan dan Sasaran
1.3.1. Tujuan
Merumuskan konsep dasar perancangan Musical Center sebagai wadah bagi komunitas
musik Solo Jazz Society, dengan mengedepankan fungsi yang sesuai dengan kebutuhan
penggunanya, sesuai dengan citra khas komunitas musik tersebut.
1.3.2. Sasaran
Menciptakan ide awal yang berkaitan dengan desain, pemilihan material, konfigurasi spasial
baik secara parsial maupun keseluruhan, sesuai dengan konsep yang telah dirumuskan dengan
prinsip metafora desain.
1.4. Lingkup Pembahasan
Pembahasan akan terfokus pada proses perumusan konsep bedasarkan pada karakter khas dari
komunitas jazz di Surakarta, pola kegiatan yang berlangsung, dan hal yang merepresentasikan citra Solo
Jazz Society sebagai bagian dari budaya Kota Surakarta. Berbagai sistem bangunan yang paling sesuai
dengan konsep awal juga akan dirumuskan di akhir konsep.
1.5. Metode Pembahasan
Penulisan Tugas Akhir ini melibatkan beberapa metode diantaranya:
`6
1.5.1. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan dengan mempelajari kajian teoritis serta normatif tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perancangan suatu ruang pertunjukan, terutama musik. Juga dilakukan
dengan mempelajari preseden gedung pertunjukan yang telah ada, baik melalui media cetak
maupun elektronik.
1.5.2. Pengamatan Lapangan
Mempelajari secara langsung kegiatan yang terjadi di lapangan dan bangunan yang telah
ada sebagai studi komparasi dari teori yang ada. Selain itu, menentukan alternatif lokasi site yang
paling potensial untuk perancangan bangunan.
1.5.3. Wawancara
Melakukan tanya jawab kepada para penggemar dan anggota komunitas sebagai bagian
dari penelitian.
1.5.4. Analisis Data
Mengumpulkan data yang telah diperoleh dan merumuskan masalah-masalah yang ada
untuk kemudian diolah menjadi landasan konseptual.
1.5.5. Penarikan Kesimpulan
Menarik kesimpulan dari proses analisis yang dilakukan untuk kemudian dirumuskan
menjadi konsep perancangan.
1.6. Sistematika Penulisan
Agar lebih tersusun secara sistematis, penyusunan laporan Pra-Tugas Akhir diklasifikasikan menjadi
beberapa bab seperti yang ercantum di bawah ini:
Bab I: Pendahuluan
Menjabarkan tentang latar belakang penuisan, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penulisan,
lingkup pembahasan, metode yang dilakukan, sistematika penulisan, serta keaslian penulisan.
Bab II: Metafora Arsitektur
Menjabarkan landasan dari metode perancangan yang akan digunakan secara teoritis dengan
beberapa contoh penggunaanya dalam desain.
Bab III: Tinjauan Teoritis
Berisi tentang penjelasan secara teoritis mengenai kaidah perancangan Arsitektural gedung
pertunjukan, musik, akustika ruang, fungsi dan kebutuhan ruang, serta program dan konfigurasi gedung
musik. Selain itu, membahas beberapa preseden yang berkaitan erat dengan tema yang dibahas.
`7
Bab IV: Tinjauan Lapangan dan Pendekatan Konsep
Membahas tentang kondisi terkini dari komunitas serta kajian empiris dari berbagai alternatif site
yang diajukan, karakteristik site, hubungan dengan lingkungan sekitarnya, serta argumen-argumen yang
menguatkan pemilihan site. Berisi pula tentang sintesis dari semua bab yang telah dibahas dan penentuan
pendekatan konsep yang diusung sebagai cara penyelesaian masalah yang paling ideal.
Bab V: Konsep Perancangan
Perumusan konsep perancangan serta alternatif ide-ide awal dari desain yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisis sebelumnya.
1.7. Keaslian Penulisan
Berikut beberapa tema Pra-Tugas Akhir yang serupa dengan topik yang diusung. Kesamaan tema
dengan Pra Tugas Akhir sebelumnya mayoritas dari fungsi sebagai gedung musik, namun tidak fokus pada
musik jazz maupun komunitasnya.
No.
1.
2.
3.
Judul
Music Center di Yogyakarta
Jogjakarta Musical Park
Fasilitas Musikal Terpadu di
Yogyakarta
Tabel 1.7.1. Tema Pra Tugas Akhir yang Serupa
Pengarang
Tahun
Objek
Fokus
Joko Prakosa
2004
Music Center
Akustik
Tian Erianto
2004
Taman Musik
Bangunan
Arry Wibowo
2005
Terpadu
Sekolah
Transformasi
Titik Puji Lestari
2004
Musik
Musikal
Rr. Sheila
Teori
2012
Rumah Musik
Primadewi Sanjaya
Kontemporer
Nova Putra
Transformasi
2011
Konservatori
Pamungkas
Musikal
4.
Model Sekolah Musik
5.
Rumah Musik Komunitas Art Musik
Today
6.
Konservasi Jazz di Yogyakarta
7.
Museum Musik Etnik Kontemporer
M.I.Krisna Adyasari
2011
Museum
8.
Commercial Musik Center di
Yogyakarta
J. Galuh Yuliawan
2010
Music Center
9.
Indie Musik Cafe Di Yogyakarta
Yan Perdana Putra
2009
Cafe
Arif Effendi
2009
Gedung
Pertunjukan
Musik
10.
11.
Gedung Pertunjukan Musik
Sebagai Rancangan Alternatif di
Kawasan Kapus Institut Seni
Indonesia (ISI) Bantul Yogyakarta
Bangunan Pertunjukan Musik,
Sebagai sebuah Landmark Kota
Yogyakarta
12.
Music Hall di Jogjakarta
13.
Yogyakarta Music Center
Gedung
Pertunjukan
Musik
Gedung
Nofriyandi
2005
Pertunjukan
Musik
Fitri Chandra
2009
Music Center
Sumber: Analisis (2013)
Dita Enana
2009
Pengalaman
Ruang
Optimasi
Ruang
Arsitektur
Minimalist
Lokasi
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta
Akustik
Yogyakarta
Pencitraan
Landmark
Yogyakarta
Interaksi
Pemusikpenikmat
Akustik
Yogyakarta
Yogyakarta
`8
1.8.
Kerangka Pemikiran
Diagram 1.1. Kerangka pemikiran dari isu menuju konsep
Sumber: Analisis (2013)
`9
Download