Modul Praktikum BA 2201 - Agroekologi TA 2015/2016 Editor: Tim Asisten Agroekologi 2016 Program Studi Rekayasa Pertanian Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung 2016 DAFTAR ISI Peraturan Praktikum Agroekologi 2016………………………………………. Modul 1: Mikroklimat………………………………………………………… Modul 2: Analisis Faktor Edafik……………………………………………… Modul 3: Dekomposisi…….………………………………………………….. Modul 4: Analisis Gulma di dalam Agroekosistem…………………………... Modul 5: Sensus Fauna di dalam Agroekosistem…………………………….. Modul 6: Kompetisi dalam Agroekosistem…………………………………... Modul 7: Preferensi Makan Herbivora……………………………………….. Modul 8: Nodulasi Rhizobium pada Tumbuhan Leguminosae……………….. Modul 9: Pengaruh Pohon terhadap Vegetasi………………………………… Modul 10: Pertanian Berkelanjutan…………………………………………… 2 3 4 8 14 17 24 32 37 41 44 48 PERATURAN PRAKTIKUM AGROEKOLOGI 2016 Kehadiran praktikan diwajibkan di seluruh kegiatan praktikum dan kuliah lapangan (100%). Segala bentuk surat izin dan surat sakit diberikan kepada koordinator asisten. Keterlambatan maksimum adalah 15 menit setelah praktikum dimulai. Apabila keterlambatan melebihi waktu yang ditentukan, maka nilai praktikum pada hari tersebut adalah nol. Penilaian praktikum meliputi tes harian, jurnal, laporan kuliah lapangan, UTS, presentasi akhir (tentatif), dan UAS. Apabila diketahui terdapat plagiasi dalam suatu jurnal atau laporan, maka nilai yang diberikan adalah nilai terkecil dari pihak yang melakukan plagiasi dibagi dengan jumlah orang yang melakukan plagiasi. Hal-hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan praktikum dilarang terjadi selama praktikum. Asisten berhak menyita segala benda yang dianggap mengganggu keberjalanan praktikum. Asisten berhak mengurani penilaian apabila praktikan tidak menyiapkan alat dan bahan yang diminta ataupun karena keterlambatan pengumpulan jurnal dan laporan. Kebersihan laboratorium wajib diperhatikan seluruh peserta kelas dan asisten selama kegiatan praktikum berlangsung. Kehilangan data pengamatan akan mengurangi setengah dari nilai yang diperoleh sekelompok praktikan yang bersangkutan. Kecurangan akademik akan diberikan sanksi yang sesuai. • • • • • • • • • 3 MODUL 1 MIKROKLIMAT I. Pendahuluan Agroekosistem merupakan suatu ekosistem yang dimodifikasi atau dirancang oleh dan dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Agroekosistem juga dapat diartikan sebagai wilayah terintegrasi yang digunakan untuk produksi komoditas pertanian. Agroekosistem sebagai suatu ekosistem memiliki dua komponen struktur dasar yang meliputi faktor biotik dan faktor abiotik. Salah satu faktor abiotik ekosistem yang akan memengaruhi kondisi agroekosistem adalah faktor mikroklimat. Analisis mikroklimat agroekosistem umumnya dilakukan pada parameter akses terhadap sinar matahari, temperatur udara, dan kelembaban udara. II. • • • • • III. 4 Tujuan Menentukan nilai intensitas cahaya pada lahan agroekosistem Menentukan nilai luas daun pada vegetasi lahan agroekosistem Menentukan nilai temperatur udara pada lahan agroekosistem Menentukan nilai kelembaban udara pada lahan agroekosistem Membandingkan kondisi mikroklimat pada lokasi lahan agroekosistem berbeda dengan menggunakan parameter intensitas cahaya, luas daun, temperatur udara, dan kelembaban udara. Alat dan Bahan IV. a. i. Cara Kerja Pengambilan Data Pendahuluan Sebelum melakukan pengukuran faktor mikroklimat, ditentukan terlebih dahulu tiga tumbuhan yang akan diambil sampel daunnya. Tumbuhan yang dipilih sebaiknya satu jenis/spesies dan memiliki ukuran yang cukup besar serta memiliki dua bagian yang bisa dicapai, yaitu bagian atas yang terpapar cahaya dan bagian bawah yang ternaungi. Setiap lokasi ditandai menggunakan GPS receiver hingga didapat koordinatnya. Gambar 1. GPS receiver ii. Luas Daun Tiga buah daun dari bagian atas dan bawah diambil dari setiap tumbuhan. Setiap daun diambil dari ketinggian yang sama. Luas daun dikonversikan dari satuan berat. Pada awalnya, sepotong kertas milimeter blok dengan luas yang ditentukan (misal 1 cm2) ditimbang hingga massanya diketahui (mk, massa kertas). Daun yang sudah diambil kemudian diletakkan pada kertas dan dijiplak sesuai pola yang terdapat pada kertas. Gambar 2. Pembuatan pola daun pada milimeter blok 5 Pola yang sudah didapat kemudian digunting dan ditimbang beratnya, sehingga luas daun dapat dikonversikan dengan menggunakan metode gravimetric (Sitompul dan Guritno dalam Khristyana et al., 2005). Keterangan : LD (luas daun), Wr (berat kertas replika daun), LK (Luas kertas acuan), Wt (berat kertas acuan) Ulangi langkah tersebut untuk setiap daun yang didapat. Catat hasil konversi pada jurnal atau lembar pengamatan yang disediakan. iii. Intensitas Cahaya Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter. Pengukuran dilakukan di tempat sampel daun diambil, baik pada bagian atas ataupun bawah tumbuhan. Nyalakan alat dalam keadaan sensor tertutup,atur skala rentang intensitas yang akan dipergunakan dan tekan tombol zero. Setelah itu, letakkan alat di tempat terbuka yang mewakili wilayah pengamatan dan buka penutup sensor. Tekan tombol record untuk memulai pencatatan intensitas cahaya, biarkan selama tiga menit. Catat nilai intensitas rata-rata selama pengamatan. Gambar 3. Lux meter iv. Temperatur dan Kelembaban Udara Temperatur dan kelembaban udara dapat diukur menggunakan sling psychrometer. Alat ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang diputar dan bagian yang tidak diputar. Bagian yang diputar berisi dua jenis termometer: thermometer basah (wet bulb thermometer) dan termometer kering (dry bulb thermometer). Bagian yang tidak diputar memuat skala yang dapat digunakan untuk membaca hasil pengukuran usai termometer diputar. Basahi kain pada 6 ujung termometer basah sebelum melakukan pengukuran. Setelah itu, putar sling selama tiga menit dengan posisi alat menjauh dari tubuh agar temperatur tubuh tidak memengaruhi pengukuran. Hasil pengukuran termometer dibaca sebagai temperatur basah dan temperatur kering. Temperatur kering pada termometer dibaca sebagai temperatur udara. Nilai temperatur kering dan basah kemudian dicocokkan ke tabel geser pada sling untuk menentukan nilai kelembaban udara (pada skala sling ditandai dengan lambang Y). Gambar 4. Sling psychrometer Referensi • Gliessman, S. R. 2015. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food Systems. 3rd Edition. London: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2014. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH – ITB. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH – ITB. • Modul Praktikum Proyek Ekologi. 2013. Program Studi Biologi, SITH – ITB. • Khristyana, L., E. Anggarwulan, dan Marsuni. 2005. “Pertumbuhan, Kadar Saponin dan Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada Pemberian Asam Giberelat (GA3)”. Biofarmasi, 3(1): 11-15. 7 MODUL 2 ANALISIS FAKTOR EDAFIK I. Pendahuluan Tanah merupakan materi yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan induk akibat aktivitas iklim dan organisme serta materi organik hasil proses dekomposisi yang mampu mendukung kehidupan. Komponen penyusun tanah terdiri dari partikel mineral (45%), bahan organik (5%), air (25%), dan udara (25%). Gambar 5. Komposisi tanah (Sumber: http://ag.arizona.edu/pubs/garden/mg/soils/soils.html) Pembentukan tanah secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor dengan rumus umum pembentukan tanah pembentukan tanah merupakan fungsi dan iklim (cl); aktivitas organisme (o); relief/topografi (r); tipe batuan induk (p), dan waktu (t). 𝑺 = 𝒇(𝒄𝒍, 𝒐, 𝒓, 𝒑, 𝒕…) Tanah merupakan substrat alami bagi tumbuhan dan habitat bagi detrivora serta mikroba karena di dalamnya terdapat mineral dan senyawa organik. Namun, mineral dan senyawa organik tersebut tidak dapat dimanfaatkan apabila kondisi fisika-kimia tanah di luar toleransi organisme yang tumbuh di dalam/di atasnya. Karena itu, faktor fisika-kimia tanah memengaruhi penyebaran organisme tanah baik secara vertikal (hewan tanah dan mikroba) maupun horizontal (vegetasi). Salah satu parameter yang penting untuk diamati adalah profil tanah. Profil tanah merupakan gambaran tanah secara vertikal, umumnya digambarkan sebagai zona 8 zona yang disebut horison tanah (Gambar 6). Pada prinsipnya terdiri dari horison A (surface soil/top soil), E (subsurface), dan B (subsoil). Horison B adalah zona ‘penumpukan’ (illuviation zone); tempat terkumpulnya mineral dan humus akibat proses pencucian/pelindian (leaching) dari horison A. Di bawah horison tanah utama tersebut terdapat horison C (batuan induk), dan R (bedrock). Beberapa profil tanah juga memiliki horison organik (litter zone) yang terbentuk dari materi organik dedaunan, ranting. Gambar 6. Profil tanah (Sumber: http://ag.arizona.edu/pubs/garden/mg/soils/soils.html) II. • Tujuan Menentukan proporsi masing-masing profil tanah pada lokasi yang telah ditentukan 9 • • • • • • • Menentukan temperatur tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan keasaman tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan kelembaban tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan kadar air tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan kadar organik dan mineral tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan bobot isi tanah pada lokasi yang telah ditentukan Menentukan porositas tanah pada lokasi yang telah ditentukan III. I. Cara Kerja Profil Tanah Profil tanah dapat diamati dengan menggunakan bor tanah Auger (Gambar 7) dengan mencuplik tanah sedalam 30 cm. Sampel tanah tersebut dapat ditentukan stratifikasi dan tebal lapisannya dengan melihat warna tiap lapisan tanah. Tanah pada kedalaman tertentu dapat dicuplik dengan alat ini untuk menganalisa kandungan air, organik, dan mineral. Gambar 7. Bor tanah (Auger) (Sumber: www.humboldtmfg.com) II. Temperatur Tanah Mula-mula lubang dengan diameter yang sama dengan termometer dibuat terlebih dahulu kemudian termometer dimasukkan ke dalamnya Kedalaman lubang bergantung dan tujuan pengukuran. Biarkan termometer berada di tanah selama kurang lebih 3 menit. 10 Gambar 8. Pengukur temperatur tanah (Weksler) III. Keasaman Tanah Keasaman tanah dapat diukur menggunakan tiga metode berikut : Pengukuran menggunakan pH-meter elektronik Pengukuran dengan pH-meter dilakukan dengan mencampurkan 10 gram tanah dan 20 ml akuades dalam beaker glass. Lakukan pengadukan menggunakan gelas pengaduk sesekali terhadap campuran selama 15 menit. Setelah itu, ukur keasaman dengan memasukan elektroda pH-meter ke dalamnya. Pengukuran pH meter dapat juga dilakukan dengan menggunakan larutan KCl 1 N. Pengukuran menggunakan soil tester Salah satu cara yang praktis untuk pengukuran pH di lapangan adalah menggunakan soil tester. Cara penggunaannya adalah dengan menancapkan keseluruhan sensor (probe) dan soil tester ke dalam tanah. Nilai keasaman dapat langsung dibaca dengan melihat jarum penunjuk. Setelah dipakai, segera bersihkan bagian sensor dari sisa-sisa tanah. i. ii. Gambar 9. Soil tester iii. Pengukuran menggunakan kertas pH universal Cara praktis lain mengukur keasaman tanah di lapangan adalah menggunakan kertas pH universal. Caranya, kertas pH ditekan langsung pada tanah yang ingin diketahui pH-nya (bila tanah dalam keadaan kering basahi dengan air akuades). Perubahan warna pada kertas pH universal ini menunjukkan sifat keasaman/kebasaan tanah. Nilai keasaman dapat diketahui dengan mencocokkan kertas uji tersebut pada bagan warna pH. IV. Penentuan kelembaban tanah Penggunaan soil tester adalah salah satu cara untuk menentukan kelembaban tanah dengan praktis. Cara penggunaannya adalah dengan menancapkan keseluruhan sensor (probe) dan soil tester ke dalam tanah sambil menekan tombol yang terdapat pada soil tester selama sekitar 3 menit. Nilai kelembaban dapat dibaca dengan melihat jarum penunjuk. Setelah digunakan segera bersihkan bagian sensor dari sisa-sisa tanah. 11 V. Penentuan kadar air tanah Tanah dicuplik menggunakan auger untuk mengambil lapisan tanah pada horison A dengan kedalaman sekitar 10 cm. Kemudian tanah ditimbang 15 gr dan dipindahkan ke dalam pinggan alumunium. Tanah dikeringkan dalam oven dengan temperatur 105oC selama 24 jam atau hingga beratnya konstan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam desikator hingga dingin, kemudian dihitung massa akhir. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut: VI. Penentuan bahan organik dan mineral total tanah Sampel tanah yang sudah dikeringkan pada cara kerja sebelumnya diambil sebanyak 5 gr dan dimasukkan pada cawan porselen kering yang telah diketahui massanya. Sampel kemudian dikeringkan hingga menjadi abu pada tungku pembakaran (furnace) pada temperatur 450oC selama 4 jam. Kandungan organik dan kandungan mineral tanah dihitung menggunakan rumus berikut: VII. Penentuan bobot isi Bobot isi atau bulk density (g/cm3) adalah perbandingan antara massa tanah pada keadaan kering konstan dengan volumenya. Parameter ini dapat digunakan untuk menentukan porositas sebagai indikator penetrasi akar dan aerasi tanah pada lapisan tanah yang berbeda. Nilai bobot isi bervariasi tergantung pada kelembapan dan tekstur tanah. Cara pencuplikan tanah untuk menentukan nilai bulk density menggunakan alat core sampler, berupa silinder logam/pipa paralon) tanpa alas dan tutup dengan tinggi dan diameter tertentu. Bibir silinder bagian bawah dibuat runcing untuk memudahkan dalam melakukan pencuplikan. Gambar 10. Core sampler untuk pencuplikan sampel tanah 12 Pada awalnya, permukaan tanah yang akan dicuplik dibersihkan dari rumput dan serasah. Core sampler ditekan dengan hati-hati dan tetap dalam posisi vertikal. Jika tanah cukup keras, core sampler dipukul dnegan hati-hati. Jika core sampler telah masuk sepenuhnya, potong tanah bagian bawah dengan pisau atau sekop. Ratakan tanah sejajar dengan mulut core sampler dengan pisau atau benang. Cuplikan tanah kemudian ditimbang berat segarnya dan dikeringkan dalam oven dengan temperatur 105oC selama 24 jam. Berat kering ditimbang. Bobot isi dapat dihitung menggunakan rumus berikut: VIII. Penentuan porositas tanah Jumlah, ukuran dan distribusi pori pada tanah digunakan sebagai indikator kondisi fisik tanah. Porositas tanah dapat memengaruhi aerasi, aliran air dan penetrasi akar di dalam tanah. Total porositas dihitung dari bulk density dan particle density (perbandingan massa partikel tanah dengan volumenya). Particle density atau kepadatan partikel tanah mineral berkisar antara 2,6-2,7 g/cm3. Pada tanah yang mengandung sedikit senyawa organik, kepadatan partikelnya 2,7 g/cm3, tanah dengan kandungan organik sedang 2,65 g/cm3 dan tanah dengan kandungan organik tinggi, kepadatan partikelnya lebih rendah lagi 2,6 g/cm3. Namun dalam praktiknya nilai total porositas seringkali dipakai angka 2,65 g/cm3. Total porositas tanah dinyatakan sebagai persentase volume total pori (rongga) yang diisi oleh udara dan air di antara partikel tanah berdasarkan nilai bulk density dan kepadatan partikel (particle density). Porositas dihitung menggunakan rumus berikut: Referensi • Gliessman, S. R. 2015. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food Systems. 3rd Edition. London: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2014. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Proyek Ekologi. 2013. Program Studi Biologi, SITH – ITB. 13 MODUL 3 DEKOMPOSISI I. Pendahuluan Pada suatu ekosistem terestrial, dekomposisi serasah adalah proses yang sangat penting untuk keberlanjutan kembalinya hara tanaman, terutama tanaman hutan, ke tanah. Jaringan daun dapat menyumbang 70% atau lebih dari serasah pada tanah di hutan, 30% lainnya terdiri dari ranting-ranting, batang, dan struktur reproduksi dari tanaman diatasnya. Proses dekomposisi serasah (D) bervariasi untuk setiap spesies tanaman yang berbeda, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari iklim dan edafik tanah), kualitas dari serasah (Q, jenis tumbuhan, umur tumbuhan, dan karakter bahan organik), dan komunitas fauna tanah (O), terutama cacing tanah, memungkinkan untuk mempercepat laju dekomposisi serasah di tanah. D = f(P, Q, O) Dekomposisi serasah sangatlah penting dalam suatu ekosistem, bila tidak terjadi proses dekomposisi maka materi organik yang telah mati akan terakumulasi di lingkungan sehingga peranan ekosistem menjadi tidak berfungsi dengan baik. Selama terjadinya proses dekomposisi juga terjadi mineralisasi unsuh hara N, P, S dan unsur hara mikro, serta terbentuk pula senyawa humus yang penting untuk keberlangsungan hidup tanaman. Perubahan-perubahan bentuk N dalam tanah dari bahan organik melalui beberapa maca proses, yaitu aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Pengujian dekomposisi serasah dapat dilakukan dengan beberapa metode, yakni dengan metode Mass Balance, metode Litterbag, metode Tethered Leaves, dan metode Cohort Layered Screen. Pada praktikum ini digunakan metode Litterbag yakni metode yang digunakan untuk menguji dekomposisi pada permukaan tanah, dengan menggunakan daun segar yang gugur ke permukaan tanah yang kemudian dikumpulkan ke dalam suatu kantong sampah yang terbuat dari bahan nylon atau kasa, lalu diletakkan di permukaan tanah, dan secara berkala dilakukan pengukuran massa daun yang tersisa. II. • • • • 14 Tujuan Menentukan penurunan bobot serasah (%) perminggu pada masing-masing lokasi yang telah ditentukan Menentukan laju dekomposisi serasah (%) perminggu pada masing-masing lokasi yang telah ditentukan Menentukan rata-rata laju dekomposisi serasah (%) pada masing-masing lokasi yang telah ditentukan Membandingkan rata-rata laju dekomposisi serasah dari setiap lokasi yang telah ditentukan Menentukan faktor yang paling berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah pada praktikum ini • III. Alat dan Bahan Alat Sling psychrometer Lux meter Soil tester Termometer tanah Timbangan analitik Oven Alat tulis Bahan Serasah daun segar Kantong sampah (litter bag) berbahan nylon atau kasa dengan mata jala 1mm ukuran 15 cm x 30 cm sebanyak 4 buah Pasak bambu 4 buah Kertas label Tali rafia Plastik ukuran 1 kg 1 pak Alumunium foil IV. Cara Kerja Lokasi praktikum terbagi menjadi dua bagian yakni yang ternaungi kanopi dan lokasi yang tidak ternaungi. Pada setiap lokasi diukur nilai faktor mikroklimat dan nilai faktor edafik tanah. Faktor mikroklimat yang diukur terdiri dari nilai temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya. Faktor edafik tanah yang diukur terdiri dari nilai temperatur tanah, kelembaban tanah, temperatur tanah, dan derajat keasaman tanah. Selanjutnya, dari masing-masing lokasi dikoleksi serasah daun segar sebanyak 100 gram untuk dimasukkan pada satu litter bag siap pakai, dilakukan sebanyak 4 kali di setiap lokasi praktikum. Dicatat kondisi persentase kerusakan serasah, fauna yang berada di lokasi, serta waktu pengambilan serasah. Serasah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam litter bag yang telah diberi label dan ditimbang, lalu litter bag yang telah terisi serasah diletakkan kembali di tempat semula (lokasi pengambilan sampel). Selanjutnya diamati dan dicatat kondisi fisik serasah dan fauna yang ada setiap 1 minggu selama 4 minggu. Setiap minggu serasah diukur penurunan bobot serasah (%) dan laju dekomposisi serasah (%). Penurunan bobot serasah dapat diketahui dengan menghitung berat kering serasah perminggunya. Berat kering serasah didapatkan dari serasah yang dikeringkan dalam oven 105oC selama 24 jam lalu ditimbang berat keringnya. Penurunan bobot serasah dapat ditentukan dengan: Dimana: Wo = berat serasah mula-mula (100 gram) Wt = berat kering akhir serasah (gram) per periode waktu (t) 15 W = penurunan bobot (%) Sedangkan laju dekomposisi dapat ditentukan dengan: Dimana: D = Laju dekomposisi (%) Referensi • Gliessman, S. R. 2015. Agroecology: The Ecology of Sustainable Fodd Systems. 3rd Edition. London: CRC Press. • Isbeanny, J. 2015. Tanah dan Dekomposisi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Karberg, N. J, N. A. Scott, dan C. P. Giardina. 2008. Field Measurements for Forest Carbon Monitoring. USA: Springer Science + Business Media B. V. 16 MODUL 4 ANALISIS GULMA DI DALAM AGROEKOSISTEM I. Pendahuluan Vegetasi atau komunitas tumbuhan terdiri dan berbagai populasi tumbuhan dengan kepentingan ekologis yang berbeda-beda. Kajian vegetasi berusaha untuk mengungkap sifat dari setiap populasi sehingga dapat menggambarkan keadaan vegetasi berdasarkan karakteristik populasi-populasi yang ada. Bentuk hidup dari suatu vegetasi dapat dibedakan berdasarkan 4 faktor, yakni berdasarkan daur hidup, lama hidup, habitus, dan habitat. Secara umum, vegetasi lahan pertanian dapat dikelompokkan ke dalam dua grup besar, yaitu tanaman budidaya dan gulma. Tanaman budidaya merupakan vegetasi yang menjadi fokus utama dan sengaja ditanam untuk diambil hasilnya, sedangkan gulma merupakan vegetasi liar yang tumbuh dengan spontan di lahan pertanian. Biasanya gulma berinteraksi negatif dengan tanaman budidaya dalam memanfaatkan habitat di lahan pertanian sehingga dianggap menurunkan produktivitas dan kualitas panen, baik karena menjadi inang hama atau patogen, menghambat aliran air, menjadi parasit, memberikan efek alelopati, dan sebagainya. Meskipun begitu, gulma juga diketahui dapat memberikan dampak positif apabila dikelola dengan baik. Gulma dapat digunakan sebagai bahan penutup tanah yang menyediakan materi organik, mengurangi/mencegah erosi lahan, menarik arthropoda bermanfaat, menginhibisi gulma lain melalui alelopati dan kompetisi serta membantu menjaga temperatur tanah di lahan pertanian. Adanya dampak negatif dan positif yang diberikan gulma, membuat petani penting untuk mengetahui jenis-jenis gulma yang terdapat pada lahan pertanian serta interaksinya dengan tanaman budidaya. Dengan demikian, petani dapat memanfaatkan keberadaan gulma secara optimal untuk menjaga produktivitas lahan. Dalam modul ini, analisis gulma di dalam agroekosistem akan dilakukan dengan menggunakan metode plot. Beberapa parameter penting yang diukur dalam analisis gulma yaitu jenis, penutupan/kerimbunan (coverage), frekuensi, indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) dan nilai penting. Berikut adalah penjelasan mengenai parameter tersebut : Kerimbunan (coverage) Kerimbunan atau penutupan dapat didefinisikan sebagai bagian dan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan. Seringkali istilah kerimbunan digunakan untuk mendefinisikan penutupan. Hal ini didasarkan pada daerah yang tertutup oleh proyeksi tumbuhan. Untuk pohon biasanya kerimbunan ditentukan berdasarkan penutupan kanopi, sedangkan untuk herba berdasarkan penutupan keseluruhan bagian herba tersebut. Penutupan kanopi merupakan proporsi dan diameter area • 17 yang tertutup oleh kanopi. Selain itu, kerimbunan pohon dinyatakan pula sebagai penutupan basal area. Basal area atau luas basal merupakan luas permukaan tanah yang ditutupi oleh batang pohon. Luas basal dapat ditentukan dan pengukuran diameter pohon pada ketinggian 1,5 m atau yang disebut sebagai Diameter at Breast-High (DBH). Kerimbunan absolut dihitung berdasarkan persentase daerah yang dikuasai oleh tumbuhan dalam suatu plot tanpa memperhitungkan penutupan jenis lainnya. Sementara itu, kerimbunan relatif adalah besar persentase penutupan suatu jenis dibandingkan dengan penutupan oleh jenis-jenis lainnya dalam plot. Bila pengukuran kerimbunan secara akurat sulit dilakukan, dapat digunakan estimasi kerimbunan dengan menggunakan skala, seperti yang dikembangkan oleh Daubenmire. Tabel 1. Estimasi Kerimbunan Skala Daubenmire *untuk analisis data, yang digunakan yaitu Nilai Tengah Kelas (%) Frekuensi Frekuensi ditentukan berdasarkan perjumpaan suatu jenis tumbuhan selama pengamatan dilakukan. Apabila tumbuhan A ditemukan di setiap kuadrat yang kita buat, maka frekuensi tumbuhan A tersebut adalah 100%. Sedangkan apabila tumbuhan A hanya dijumpai sebanyak 25 dari 100 plot yang dibuat, maka frekuensinya adalah 25%. • Indeks Keragaman Shannon-Wiener Keragaman jenis merupakan karakteristik unik pada tingkat komunitas dan suatu organisasi biologi yang dapat digambarkan oleh struktur komunitas. Penghitungan keragaman jenis yaitu dengan menggabungkan jumlah jenis (richness) dan distribusi individu dalam jenis (eveness). Suatu komunitas dikatakan memiliki keragaman jenis tinggi jika kelimpahan dan kehadiran jenis tinggi pula. Keragaman jenis yang tinggi mengindikasikan tingginya kompleksitas suatu komunitas. Interaksi populasi yang terjadi termasuk pemindahan energi (jaring makanan), predasi, kompetisi, dan relung menjadi kompleks dan komunitas sangat bervariasi pada keanekaragaman jenis yang tinggi. • 18 Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan. Berikut adalah rumus untuk penghitungan indeks Shannon-Wiener. H’= nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener pi = proporsi spesies ke-i ln = logaritma natural dari pi s = jumlah spesies dalam komunitas Pada umumnya, pi dihitung berdasarkan proporsi jumlah individu suatu spesies dibandingkan populasi total. Meskipun begitu, pada organisme modular, hal ini sulit untuk dilakukan sehingga diperlukan pendekatan lain untuk menghitung nilai H’. Pada modul ini, untuk gulma yang sebagian besar memiliki habitus herba dan bersifat modular, digunakan perhitungan pi didasarkan pada nilai kerimbunan/penutupan lahan oleh spesies tersebut. Nilai penting Nilai penting merupakan kuantitas kontribusi relatif suatu jenis terhadap komunitas tumbuhan secara keseluruhan. Secara umum, parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan nilai penting adalah kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi. Meskipun begitu, untuk tumbuhan dengan habitus herba, nilai penting ditentukan dari nilai parameter kerimbunan dan frekuensi saja. Nilai penting sebagai dasar penentuan tipe komunitas tumbuhan merupakan penjumlahan dan nilai-nilai relatif dari ketiga parameter tersebut. Nilai relatif setiap parameter diperoleh dengan cara membandingkan parameter tiap jenis dengan jumlah total setiap parameter. Misalnya, nilai kerapatan spesies A adalah perbandingan antara kerapatan spesies A terhadap nilai kerapatan seluruh spesies yang ditemukan. Ringkasan rumus perhitungan masing-masing parameter adalah sebagai berikut: • o Kerimbunan relatif (Kbr) tumb. A = (kerimbunan A / kerimbunan total) x 100% o Kerapatan relatif (Kpr) tumb.A = (kerapatan A / kerapatan total) x 100% o Frekuensi relatif (Fr) tumb. A = (frekuensi A / frekuensi total) x 100% o Nilai penting (NP) tumb. A = KbrA + KprA + FrA Berdasarkan rumusan di atas, untuk herba, nilai penting maksimum berjumlah 200%. Jenis-jenis tumbuhan yang didapat dari pencuplikan vegetasi kemudian disusun dalam sebuah tabel berdasarkan nilai penting terbesar hingga yang lebih 19 kecil. Nama genus dari dua spesies yang memiliki nilai penting tertinggi dapat digunakan untuk memberi nama komunitas/bentuk vegetasi tersebut. Misalnya, dua spesies yang memiliki nilai penting tertinggi adalah Macaranga tanarius dan Schima walichii, maka nama komunitasnya adalah Macaranga-Schima. Dalam kasus lahan pertanian, seharusnya nilai penting tertinggi dimiliki oleh jenis tanaman budidaya. Lahan pertanian dengan nilai penting gulma yang lebih tinggi menunjukkan lahan pertanian tersebut tidak sehat. II. Tujuan Praktikum ini bermaksud untuk menentukan status lahan agroekosistem berdasarkan kondisi gulma yang tumbuh di lokasi tersebut. Untuk mencapai maksud ini, terdapat beberapa tujuan praktikum yang harus terlebih dulu dijawab sebagai berikut: • Menentukan nilai rata-rata intensitas cahaya matahari pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai rata-rata kelembaban udara pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai rata-rata temperatur udara pada lahan agroekosistem. • Menentukan proporsi masing-masing profil tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai rata-rata derajat keasaman tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai rata-rata kelembaban tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai rata-rata temperatur tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan kadar air tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan kadar organik dan mineral tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan bobot isi tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan porositas tanah pada lahan agroekosistem. • Menentukan jenis-jenis gulma yang terdapat pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai kerimbunan jenis-jenis gulma pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai frekuensi jenis-jenis gulma pada lahan agroekosistem. • Menentukan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) vegetasi lahan agroekosistem • Menentukan status lahan agroekosistem menggunakan parameter keirmbunan, frekuensi, dan indeks keragaman vegetasi yang ada di lokasi tersebut. • Mengaitkan hubungan nilai rata-rata mikroklimat dan faktor edafik tanah dengan status lahan agroekosistem. • Membandingkan status lahan agroekosistem menggunakan parameter mikroklimat, edafik tanah, kerimbunan, frekuensi, dan indeks keragaman vegetasi yang ada di lokasi tersebut. 20 III. Alat dan Bahan IV. a. Cara Kerja Pengambilan Data Lakukan pengambilan data di lahan agroekosistem yang ditentukan oleh asisten kelompok anda. Lahan agroekosistem yang dipilih merupakan lahan budidaya tanaman dan gulma dengan habitus perdu dan herba. Data diambil dengan menggunakan metode plot berukuran 3 m x 3m sejumlah 2 buah plot yang didalamnya terdapat plot ukuran 1x1m sejumlah 2 buah tiap plot. Lokasi pembuatan plot dilakukan secara melempar tongkat/pasak ke area agroekosistem dengan keadaaan posisi tubuh membelakangi area. Pengambilan data sebaiknya dilakukan secara paralel untuk kedua plot jika memungkinkan. Namun apabila secara teknis tidak memungkinkan pengambilan data dapat dilakukan secara seri. Berikut adalah cara pengambilan data yang harus dilakukan pada setiap plot yang dibuat: i. Deskripsi Umum Catatlah lokasi geografis dan ketinggian area pengambilan data pada lembar pengamatan sesuai dengan yang tercantum pada GPS receiver. Kemudian, tuliskan deskripsi umum lokasi, cuaca, waktu dan informasi pengambilan data pada lembar pengamatan tersebut. ii. Pengambilan Data Mikroklimat dan Edafik Lakukan pengambilan data mikroklimat (temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya) dan faktor edafik (temperatur tanah, kelembaban tanah, keasaman tanah, dan faktor-faktor edafik lainnya) dengan metode yang telah disampaikan pada modul sebelumnya dengan 3 kali pengambilan pada setiap plot. Isikan data ke dalam lembar pengamatan sesuai contoh. iii. Pengambilan Data Vegetasi • Siapkan lembar pengamatan sesuai contoh. 21 • • • Isikan nama lokal atau nama ilmiah tanaman budidaya (jika diketahui) pada kolom nama tumbuhan. Hitunglah parameter kerimbunan/penutupan lahan gulma dan isikan di kolom kerimbunan. (Gunakan tabel Estimasi Kerimbunan Skala Daubenmire untuk mempermudah pekerjaan Saudara) Isikan nama lokal atau nama ilmiah gulma pada kolom nama tumbuhan. Jika keduanya tidak diketahui maka gunakan kode nama untuk menggantikannya seperti di bawah ini : Contoh Kode (misal: untuk kelompok 1) K1Sp1, K1Sp2, K1Sp3, K1Sp..., K1Spi • • Ambilah 1 sampel untuk setiap spesies gulma yang tidak diketahui namanya. Pastikan sampel yang diambil cukup representatif sehingga dapat digunakan untuk proses determinasi tumbuhan yang akan dilakukan di laboratorium. Sampel yang representatif membutuhkan filotaksis daun yang utuh dan organ generatif yang jelas. Tuliskan kode nama sampel pada etiket tumbuhan lalu ikatkan etiket pada sampel. Gambar 11. Pasak bambu • • • • iv. 22 Gambar 12. Plot Analisis Vegetasi 3 x 3m Potret semua sampel sehingga memperlihatkan setiap karakter penting sampel dan tuliskan kode namanya. Masukkan sampel ke dalam plastik bening dengan ukuran yang sesuai dan bawa ke laboratorium untuk identifikasi. Lakukan determinasi tumbuhan di bawah arahan asisten dengan menggunakan kunci determinasi. Manfaatkan potret tumbuhan untuk membantu memberikan gambaran sampel dalam kondisi yang masih segar. Pada proses analisis data, masukkan nama tumbuhan hasil determinasi untuk menggantikan kode nama. Analisis Data Untuk melakukan analisis komunitas vegetasi, terlebih dahulu perlu dilakukan transfer data dari lembar pengamatan lapangan ke lembar rekapitulasi analisis data. Rekapitulasi data dilakukan per lahan dengan komoditas yang sama. Lembar rekapitulasi data akan diberikan kemudian oleh asisten dalam bentuk softcopy. Berikut adalah parameter yang perlu dihitung berdasarkan data lapangan yang diambil: Kerimbunan relatif (Kbr) tumb. A = (kerimbunan A / kerimbunan total) x 100% • Frekuensi relatif (Fr) tumb. A = (frekuensi A / frekuensi total) x 100% • Nilai penting (NP) tumb. A = KbrA+KprA+FrA Setelah semua parameter dihitung, gunakan data yang Anda dapatkan untuk menjawab tujuan praktikum ini. Lakukan diskusi dengan kelompok Anda dan kelompok lain dari komoditas yang sama serta dengan asisten yang terlibat. Tuliskan hasil kerja Anda dalam jurnal praktikum dan kumpulkan pada asisten kelompok. • Referensi • Gliessman, Stephen R. 2015. Field and Laboratory Investigations in Agroecology 3rd Ed. North-West: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2014. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Proyek Ekologi. 2013. Program Studi Biologi, SITH – ITB. • Molles, Manuel C. 2010. Ecology: Concepts and Applications 5th Ed. New York: McGraw-Hill. 23 MODUL 5 SENSUS FAUNA DI DALAM AGROEKOSISTEM I. Pendahuluan Hewan, mayoritas heterotrof dalam sistem tanah, terdapat dalam jaring makanan yang rumit dengan beberapa tingkat trofik. Mulai dari pemakan materi organik sederhana hingga predator utama, hadir dalam tanah. Kelompok hewan dalam biota tanah sangat melimpah dan beragam. Organisme tanah dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Selain itu, di dalam tanah juga terdapat mikroorganismemikroorganisme yang berperan penting terhadap kesuburan tanah. Dalam praktikum ini, praktikan akan melakukan analisis mesofauna (Arthropoda) dan makrofauna (Arthropoda dan cacing tanah), serta mikroba tanah. Gambar 13. Klasifikasi umum fauna tanah berdasarkan panjang tubuh 1. Cacing Cacing tanah merupakan fauna tanah yang paling umum ditemukan dalam tanah. Cacing tanah termasuk ke dalam filum Annelida, kelas Oligochaeta, dan 24 ordo Opisthophora. Mereka hidup di habitat dengan air dan temperatur tanah mendukung; hutan, padang rumput tropis dan temperata. Cacing tanah berperan dalam memengaruhi struktur tanah dan membantu penguraian materi organik. Dalam habitatnya, cacing tanah menunjukkan distribusi spasial berkelompok (patchy) yang berkorespondensi dengan kondisi vegetasi, tekstur tanah, atau materi organik. Preferensi makan cacing tanah kemudian menentukan distribusi vertikal spesies dalam profil tanah. Oleh karena itu, kelimpahan dan biomassa cacing tanah merupakan faktor utama biologi tanah. Biasanya kelimpahan cacing tanah diukur dalam besaran massa per volume tanah. Tabel 2. Kisaran umum kelimpahan cacing tanah di berbagai jenis habitat Untuk mengumpulkan cacing tanah, terdapat beberapa teknik, yaitu pasif, perilaku, dan tidak langsung. Metode pasif yakni dengan menggali tanah mengikuti volume tertentu dan mengumpulkan cacing tanah dan kepompong yang ditemukan. Spesimen yang berhasil dikoleksi dapat langsung diawetkan dalam 70% etanol atau 5% formalin untuk penghitungan dan identifikasi lebih lanjut. Metode pasif dapat dilakukan dengan melakukan penyaringan maupun flotasi. Metode perilaku dapat dilakukan dengan memanfaatkan perilaku cacing tanah yang merespon terhadap stimulus tertentu misalnya panas, listrik, senyawa kimia, listrik, dan jebakan. Metode tidak langsung hanya menghitung cacing tanah yang tampak di permukaan. Metode ini tidak memberikan estimasi kuantitatif kepadatan populasi. Dalam praktikum ini, praktikan akan menggunakan metode pasif penyortiran dengan tangan. Metode ini dilakukan dengan mengukur populasi dengan besaran jumlah individu per satuan ruang tempat hidup (satuan luas, satuan volume atau satuan berat medium). Pada prinsipnya, metode ini mirip pengukuran kepadatan absolut pada vegetasi. Jika diketahul luas area tempat hidup hewan, kepadatan populasi absolut dapat dihitung. Untuk berbagai spesies hewan yang memperlihatkan ukuran tubuh yang bervariasi, ukuran populasi dapat lebih bermakna apabila dinyatakan dalam kepadatan biomassa (berat per satuan ruang dan bukan jumlah individu per satuan ruang). 25 2. Arthropoda Makro arthropoda adalah arthropoda yang memiliki pengaruh langsung terhadap tanah, dengan demikian memiliki pengaruh tidak langsung terhadap tanaman. Beberapa jenis makro arthropoda menggerakkan tanah dan mengubah strukturnya. Kumbang tanah misalnya, menggemburkan tanah padang rumput. Semut dan rayap juga dapat melakukan modifikasi terhadap serasah di permukaan tanah, yang menjadi bahan humus. Kelompok makro arthropoda juga memengaruhi microarthropoda di profil tanah yang lebih dalam atau makrofauna di permukaan tanah. Karena itu, memahami apa saja jenis makro arthropoda yang ada penting untuk mengarakterisasi suatu agroekosistem. Dalam suatu komunitas biotik, tidak selamanya populasi individu atau kerapatan populasinya dapat/perlu diukur. Oleh karena itu, informasi berupa kelimpahan atau kerapatan relatif dapat mencukupi data yang diperlukan. Meskipun besar populasi yang sebenarnya tidak diketahui, gambaran mengenal kelimpahan populasi berupa indeks dapat memberikan informasi berharga mengenai berbagai hal. Sebagai contoh, kita dapat mengetahui perbedaan populasi hewan di suatu area pada waktu yang berbeda atau pada komunitas yang berbeda. Arthropoda adalah kelompok hewan yang memiliki badan dan kaki yang bersegmen dan eksoskeleton. Menurut Reece dkk., (2011), filum Arthropoda terdiri dari 4 subfilum, yaitu Cheliceriformes, Myriapoda, Hexapoda, dan Crustacea seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakter empat kelas dalam filum arthropoda Berdasarkan klasifikasi terbaru, beberapa makroarthropoda yang umum ditemukan dalam tanah adalah termasuk ke dalam kelompok Isopoda (Crustacea), 26 Myriapoda, Scorpionida, dan Araneae (Chelicerata), serta serangga-serangga bersayap (Hexapoda). Gambar 14. Klasifikasi Arthropoda 3. Indeks Keanekaragaman Penghitungan keanekaragaman jenis merupakan proporsi jumlah spesies atau disebut juga kekayaan jenis. Beberapa indeks keanekaragaman menggunakan variabel jumlah jenis (s) dan jumlah total individu semua jenis (N). Salah satunya adalah Indeks Shannon-Wiener (H’): 27 𝐻′= −Σ𝑝𝑖 𝑙𝑛 𝑝𝑖 Dengan pi adalah perbandingan antara jumlah individu satu spesies dengan jumlah individu keseluruhan dalam contoh. Dalam studi tumbuhan, disebut nilai kerapatan relatif. II. • • • • III. 28 Tujuan Menentukan nilai keanekaragaman arthropoda terbang dengan metode sweeping net Menentukan nilai keanekaragaman arthropoda tanah dengan metode pitfall trap Menentukan kerapatan biomasa cacing tanah Menentukan hubungan faktor mikroklimat, edafik tanah, dan vegetasi terhadap nilai keanekaragaman arthropoda terbang dan arthropoda tanah, serta kerapatan biomassa cacing tanah pada lahan agroekosistem. Alat dan Bahan IV. 1. Cara Kerja Sweep net Sweep netting akan dilakukan pada area sisi luar plot analisis gulma (3x3m) di setiap plot. Pencuplikan dengan sweep net dilakukan dengan kecepatan konstan dengan mengibaskan net 25% bagian atas vegetasi, membentuk setengah lingkaran dengan diameter 2 m. Pengibasan dilakukan dalam rentang waktu maksimal 5 menit pada setiap subtransek. Kibasan dilakukan sambil berjalan dengan kecepatan konstan ke arah 45o bagian atas vegetasi, membentuk setengah lingkaran dengan diameter ± 2 m. Setelah melewati subtransek, sampel yang terambil dipindahkan ke plastik sampel untuk diidentifikasi di laboratorium. Analisis keanekaragaman dilakukan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner. 2. Pitfall trap Perangkap jebak yang digunakan berupa gelas plastik dengan diameter 6,5 cm dan volume 250 mL yang ditanam di dalam tanah sampai pinggir gelas sejajar dengan permukaan tanah lalu untuk mencegah masuknya air hujan maka diatas gelas dinaungi oleh atap yang memiliki tiang, dimana jarak antara atap dengan permukaan tanah antara 5 – 10 cm. Perangkap penjebakan dibuat sebanyak 1 set di setiap plot. Gambar 15. Satu set pitfall trap Untuk memudahkan identifikasi, Arthropoda yang berhasil ditangkap diawetkan (preservasi). Sebagai agen pembunuh spesimen, digunakan alkohol 70% yang dimasukkan ke dalam perangkap jebak sebanyak 1/3 bagian gelas. Pencuplikan (sampling) dilakukan siang hari. Perangkap jebak dipasang pada sore hari sebelum matahari terbenam dan sampel hewan yang terjebak dikumpulkan pada hari berikutnya setelah 24 jam diletakkan. Pada saat mengganti perangkap, pindahkan isinya ke dalam plastik dan diberi label yang sesuai. Identifikasi hewan sampel dilakukan di laboratorium. Penghitungan jumlah individu dilakukan untuk masing-masing kelompok taksa dan hasilnya 29 dimasukkan ke dalam tabel pengamatan. Analisis keanekaragaman dilakukan menggunakan indeks keanekaragaman H’ seperti yang telah dijelaskan pada modul sebelumnya. Gambar 16. Skema peletakan perangkap jebak yang ditaman sampai sejajar permukaan tanah (Sumber: http://www.archbold-station.org/discoveringflscrub/unit3/unit3b1.html) 3. Pencuplikan cacing Pilih area untuk pencuplikan sampel secara acak dan letakkan kuadrat dengan ukuran 30 cm x 30 cm. Cupliklah substrat di dalam kuadrat tersebut sampai kedalaman tanah 20 cm. Pindahkan seluruh sampel tanah tersebut ke atas bentangan alas plastik. Sampel kemudian disortir dengan tangan (hand sorting method) untuk mencari cacing tanah pada sampel tanah yang telah anda kumpulkan di atas plastik tersebut. Apabila pengambilan sampel telah dilakukan, jangan lupa untuk mengembalikan cuplikan tanah ke dalam lubang galian. Bersihkan cacing-cacing yang ditemukan dari partikel tanah dan kemudian timbang dengan menggunakan alat timbang digital dengan ketelitian 0,05 gr. Bila ditemukan beberapa jenis cacing tanah, pisahkan masing-masing jenis. Apabila dalam cuplikan tanah terdapat telur cacing (berwarna keputih-putihan, lunak dan berbentuk bulat dengan ujung lancip), kumpulkan telur tersebut bersama sampel cacing. Berdasarkan total berat cacing tanah dan luas kuadrat lakukan penghitungan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan: Bila ditemukan lebih dari satu jenis cacing, maka kepadatan biomassa dihitung untuk masing-masing populasi. Perbedaan spesies cacing tanah dapat diidentifikasi dari posisi klitelum dan jumlah segmen cacing tanah. 30 Gambar 17. Karakteristik ekstrenal umum dari perwakilan tiga famili cacing tanah: (a) Acanthodrilidae, (b) Megascolecidae, dan (c) Lumbricidae (Blakemore, 2002) Referensi • Blakemore RJ. 2002. Cosmopolitan Earthworms-an Eco-Taxonomic Guide to the Peregrine Species of the World. Australia: VermEcology. • Coleman, D. C., Crossley Jr., D. A. & Hendrix, P. F., 2004. Fundamentals of Soil Ecology. 2nd penyunt. New York: Elsevier Academic Press. • Gliessman, Stephen R. 2015. Field and Laboratory Investigations in Agroecology 3rd Ed. North-West: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2014. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Modul Praktikum Proyek Ekologi. 2013. Program Studi Biologi, SITH – ITB. 31 MODUL 6 KOMPETISI DALAM AGROEKOSISTEM I. Pendahuluan Interaksi yang terjadi antar individu tumbuhan pada suatu daerah tertentu dapat bersifat positif, negatif, atau tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi yang bersifat negatif artinya keberadaan tanaman individu lain dalam suatu ekosistem yang sama dapat mengurangi potensi sumberdaya yang tersedia bagi tanaman budidaya yang ditanam di daerah tersebut. Interaksi negatif ini sering disebut kompetisi. Kompetisi akan menyebabkan berkurangnya ruang, sinar matahari, nutrisi, dan mineral akibat adanya kompetisi. Kompetisi dibagi menjadi kompetisi intraspesifik dan kompetisi interspesifik. Kompetisi intraspesifik merupakan kompetisi yang terjadi dalam satu spesies yang sama. Sedangkan kompetisi interspesifik merupakan kompetisi yang terjadi pada beda spesies tanaman. II. • • III. Tujuan Memahami pola interaksi antar beberapa jenis tumbuhan budidaya, misalnya, dalam pengelolaan sistem pertanian tumpangsari. Mengamati pengaruh kompetisi intraspesifik dan interspesifik pada tanaman jagung dan kedelai. Alat dan Bahan Alat Silet Timbangan Bahan Polybag Benih Jagung Benih Buncis Tanah Pupuk Kertas Label IV. Cara Kerja Persiapan Percobaan/Penanaman 1. Tanam benih jagung dan buncis dalam polybag yang disediakan, baik secara terpisah maupun bersamaan, sesuai dengan pola kerapatan. Bagilah tugas agar semua perlakuan dapat tertanam, masing-masing dengan satu kali pengulangan. 2. Praktikan yang menanam pada polybag dengan kode J hanya perlu menanam benih jagung saja, sesuai dengan susunan pada Tabel 4. Demikian pula, praktikan yang menanam pada polybag dengan kode B hanya perlu menanam benih buncis saja sesuai dengan susunan pada Tabel 5. 32 Penanaman dilakukan dengan memasukkan satu benih pada masing-masing lubang yang telah dibuat dengan cetakan. Untuk perlakuan JB, tanam benih jagung dan buncis dengan susunan bergantian seperti pada Tabel 6. Sebagai contoh, polybag JB-16 akan memiliki 16 lubang yang ditanami dengan jagung, dan 16 lubang yang ditanami dengan buncis. Beri label yang jelas pada polybag untuk menunjukkan kode perlakuan/ kerapatan yang diberikan. 3. 4. Analisis Hasil Percobaan/Panen 1. Setelah lima minggu, tumbuhan akan dipanen. Masing-masing polybag akan dipanen kemudian data akan dikumpulkan menjadi data kelas. 2. Panen hanya dilakukan pada bagian tumbuhan di atas permukaan tanah. Pada saat panen, gunakan silet untuk memotong tumbuhan tepat di atas permukaan tanah. Timbang berat total dari spesies dalam polybag yang anda panen (apabila anda mengamati perlakuan JB, timbang tumbuhan jagung dan buncis secara terpisah). Catat juga jumlah individu yang ada, sehingga dapat dihitung berat rata-rata untuk masing-masing spesies. Gunakan Tabel 7 untuk mencatat data untuk pot yang anda panen. 3. Tuliskan data polybag anda pada tabel transparansi yang akan dikompilasi oleh asisten. Apabila data kelas telah terkumpul, buatlah grafik pada tempat yang telah disediakan (Gambar 18 dan 19), dan jawablah pertanyaan selanjutnya berdasarkan grafik yang telah diperoleh. Tabel 5. Pola Penanaman Jagung Kode Plot Tabel 4. Pola penanaman Buncis Pola penanaman Kode Plot Jumlah lubang J B-1 1 Pola penanaman B J-1 1 J-2 2 J J B-2 2 B B J-4 4 J J J J B-4 4 B B B B J-8 J-16 J-32 Jumlah lubang 8 J J J J J J 16 J J J J J J J J J J 32 J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J B-8 B-16 B-32 8 16 32 B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B 33 Tabel 6. Pola penanaman Jagung dan Buncis Kode Plot Jumlah lubang J Jumlah lubang B Pola penanaman JB-1 1 1 J B JB-2 2 2 J B B J JB-4 JB-8 JB-16 4 8 16 4 8 16 J B J B J B J B J B J B J B B J J B J B J J B B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B BJ B Hasil Pengamatan Tabel 7. Berat total dan individual jagung dan kedelai Spesies Jagung Buncis Jagung Buncis 34 Berat rataBerat total Kode pot Rata indiv. (g) (g) Jumlah Indiv. awal Jumlah Indiv. akhir Berattanamanrata-rata(g) KOMPETISI PADA JAGUNG: Masing-masing kotak di bawah ini (Gambar 18 dan 19) harus dilengkapi dengan dua garis grafik, yaitu berdasarkan berat rata-rata dan total tumbuhan jagung apabila ditanam dengan sesama jenis, dan apabila ditanam dengan kedelai. 14 81620242832 Jumlahindividudalamplot Berattanamanrata-rata(g) Gambar 18. Grafik Pertumbuhan Tanaman Jagung 14 81620242832 Jumlahindividudalamplot Gambar 19. Grafik Pertumbuhan Tanaman Jagung Polikultur KOMPETISI PADA KEDELAI Masing-masing kotak di bawah ini (Gambar 6.5A dan 6.5B) harus dilengkapi dengan dua garis grafik, yaitu berdasarkan berat rata-rata dan total tumbuhan 35 Berattanamanrata-rata(g) kedelai apabila ditanam dengan sesama jenis, dan apabila ditanam dengan jagung. 14 81620242832 Jumlahindividudalamplot Berattanamanrata-rata(g) Gambar 20. Grafik Pertumbuhan Tanaman Buncis 14 81620242832 Jumlahindividudalamplot Gambar 21. Grafik Berat Tanaman Buncis Polikultur Referensi • Gliessman, Stephen R. 2015. Field and Laboratory Investigations in Agroecology 3rd Ed. North-West: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Taufikurahman, Devi Choesin & Surasana. Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. 2002. SITH-ITB. 36 MODUL 7 PREFERENSI MAKAN HERBIVORA I. Pendahuluan Herbivora dalam agroekologi seringkali dianggap sebagai hama lahan pertanian. Sebagai organisme heterotrof, herbivora mengonsumsi jaringan tumbuhan sebagai sumber nutrisi. Namun, setiap jenis herbivora memiliki preferensi tersendiri dalam memilih sumber makanan. Ketika misalnya suatu serangga herbivora berhasil menemukan sebuah lahan pertanian monokultur yang merupakan sumber pakan utama, populasi serangga tersebut akan bertambah dengan sangat cepat dan menimbulkan kerugian besar pada lahan pertanian tersebut. Petani seringkali menggunakan pestisida buatan untuk membunuh herbivora, namun dampak negatif yang lebih besar malah ditimbulkan dari penggunaan pestisida tersebut. Misalnya, pestisida tersebut juga membunuh serangga-serangga lain yang memiliki peran penting sebagai polinator bagi berbagai tanaman yang ada di lahan pertanian. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengganti penggunaan pestisida buatan dengan memanfaatkan interaksi antara berbagai komponen dalam agroekosistem. Namun, tentu saja hal ini membutuhkan area pertanian dengan keanekaragaman dan kompleksitas yang tinggi sehingga potensi interaksi yang menguntungkan antara komponen ekosistem muncul. Salah satu bagian terpenting dari pengelolaan hama adalah mengetahui cara hidup dan perilaku setiap hama yang mungkin ada di lahan tersebut. Sebagai contoh, pada praktikum ini akan dilakukan pengamatan terhadap reaksi hama pertanian yang umum ditemui saat dihadapkan dengan beberapa jenis sumber makanan. Dengan pengetahuan ini, petani dapat mengelola agroekosistem dengan menyisipkan tanaman yang bisa mengusir hama dari tanaman komoditas utama. II. • Tujuan Menentukan preferensi makan serangga herbivora dalam suatu sistem sederhana dan kompleks. III. Alat dan Bahan Alat Cawan petri Gunting Timbangan analitik Spidol permanen Bahan Ulat (Spodoptera litura) Daun segar (tanaman kol, pakchoi, ubi, kacang, tembakau) Daun segar tumbuhan gulma Spons ukuran 2x2 cm yang dibasahi Milimeter blok 37 IV. a. Cara Kerja Persiapan percobaan Percobaan akan dilakukan menggunakan lima jenis tanaman komoditas yang berbeda. Masing-masing kelompok menyiapkan 12 buah cawan petri untuk tiga perlakuan dan empat pengulangan. Berikan tanda untuk setiap cawan seperti berikut : 1. Satu tanaman komoditas (Crop Only), ulangan 1-4 2. Campuran dua tanaman komoditas (Crop/Intercrop), ulangan 1-4 3. Campuran tanaman komoditas dan gulma (Crop/Weed), ulangan 1-4 Setiap jenis daun dipotong dengan ukuran 2x2 cm. Masukkan gabus dan daun secara hati-hati ke dalam cawan petri. Jangan sampai daun mengenai bagian spons yang basah. Lihat gambar di bawah untuk pengaturan masing-masing perlakuan dalam cawan petri. Gambar 22. Penyusunan tiga perlakuan Tabel 8. Pengaturan jenis tanaman yang digunakan pada perlakuan 1 Kol Kelompok 1 Kelompok 7 Pakchoi Kelompok 3 Kelompok 5 Ubi Kelompok 2 Kelompok 6 Kacang Kelompok 4 Kelompok 9 Tembakau Kelompok 8 Kelompok 10 Tabel 9. Pengaturan jenis tanaman yang digunakan pada perlakuan 2 Kol Kol Pakchoi Ubi Kacang Tembakau 38 Pakchoi Ubi Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kacang Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 Tembakau Kelompok 7 Kelompok 8 Kelompok 9 Kelompok 10 Tandai menggunakan spidol marker masing – masing cawan petri pada bagian tutup cawan, jenis tanaman yang digunakan, dan tandai masing – masing daun di bagian bawah cawan petri agar tidak tertukar. Penandaan pada cawan petri dilakukan seperti gambar di bawah ini. Gambar 23. Penanda cawan petri b. Percobaan Ulat dipuasakan selama 12 jam sebelum digunakan untuk percobaan. Setelah siap, masukkan 3 ekor ulat ke dalam cawan petri. Pada saat memasukkan ulat, diusahakan dimasukkan secara bersamaan ke dalam semua cawan petri. Apabila tidak memungkinkan, diusahakan agar ulat dimasukkan secara cepat ke masing – masing cawan petri, sehingga ulat masuk hampir bersamaan pada seluruh cawan petri. Cawan petri kemudian ditutup dan diletakkan di ruang dengan pencahayaan cukup dengan temperatur ruang selama 24 jam. Hindari cahaya matahari langsung. Setelah 24 jam, ukur luas daun yang tersisa dengan menggunakan metode konversi massa milimeter blok seperti yang telah dilakukan pada modul 1. Data yang didapatkan oleh semua kelompok dikompilasi untuk dibandingkan. Tabel 10. Contoh lembar kompilasi data per kelompok Tanaman 1 Tanaman 2 Perlakuan Crop Only Herbivora Gulma Daun 1 2 Ulangan 3 4 5 Ratarata Tanaman 1, 1 Tanaman 1, 2 Tanaman 1, 3 Tanaman 1, 4 Total area 39 dikonsumsi Rata-rata area dikonsumsi Tanaman 1, 1 Tanaman 1, 2 Tanaman 2, 1 Tanaman 2, 2 Total area Crop/ dikonsumsi Intercrop Rata-rata area dikonsumsi (Tanaman 1) Rata-rata area dikonsumsi (Tanaman 2) Tanaman 1, 1 Tanaman 1, 2 Gulma, 1 Gulma, 2 Total area dikonsumsi Crop/Weed Rata-rata area dikonsumsi (Tanaman 1) Rata-rata area dikonsumsi (Gulma) Referensi • Gliessman, Stephen R. 2015. Field and Laboratory Investigations in Agroecology 3rd Ed. North-West: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. 40 MODUL 8 NODULASI RHIZOBIUM PADA TUMBUHAN LEGUMINOSAE I. Pendahuluan Simbiosis mutualisme antara Rhizobium dengan tanaman Legum merupakan interaksi interspesifik yang sangat penting dalam sebuah agroekosistem. Interaksi ini berupa proses fiksasi nitrogen oleh Rhizobium sehingga nitrogen dalam bentuk molekul N2 di atmosfer yang sangat berlimpah dapat diubah menjadi bentuk yang tersedia bagi seluruh komponen biotik dalam agroekosistem. Nitrogen merupakan unsur esensial bagi tumbuhan karena dibutuhkan untuk membentuk senyawa seperti protein, DNA, dan RNA. Bakteri Rhizobium sebenarnya dapat hidup bebas di dalam tanah namun Rhizobium biasanya membentuk struktur yang disebut bintil atau nodul pada akar tumbuhan untuk mempertahankan kehidupannya. Begitu pula dengan tumbuhan Legum yang dapat tetap tumbuh tanpa keberadaan nodul akar. Namun, tumbuhan Legum dapat tumbuh lebih baik dan kuat dengan keberadaan bakteri Rhizobium dalam nodul. Gambar 24. Siklus Nitrogen II. • • • Tujuan Mempelajari metode ektraksi nodul dari sistem perakaran tumbuhan Menentukan hubungan antara fiksasi nitrogen dengan pertumbuhan tanaman Mengamati keberadaan dan karakteristik bakteri pemfiksasi nitrogen simbiotik Rhizobium dari bintil akar tanaman Menentukan bentuk struktur yang pleomorfik dari Rhizobium dalam sel • 41 akar tanaman III. Alat dan Bahan Alat Kawat oose Kaca objek Kaca penutup Mikroskop Soil tester Sekop Penggaris/meteran Lampu spiritus Saringan Termometer tanah Bahan Nodul akar Methylen blue Sarung tangan kain Kantung plastik Akuades Minyak imersi IV. 1. Cara Kerja Isolasi nodul (bintil akar) Identifikasi beberapa jenis tanaman Legum yang ditemukan di lapangan dan pilih perwakilan dari setiap jenis tanaman untuk dijadikan sampel. Tanah tempat pengambilan sampel akar juga diidentifikasi meliputi tipe tanah, tekstur tanah, dan pH tanah. Selanjutnya buat lingkaran menggunakan sekop dengan radius 15 cm di sekitar tanaman dan gali hingga kedalaman 20 cm lalu angkat gumpalan tanah beserta tanamannya. Tanah yang menempel dibersihkan dengan hati-hati dari bagian akar menggunakan tangan yang sudah dilapisi dengan sarung tangan. Hindari memotong bagian akar sekunder dari tanaman karena nodul dapat ditemukan juga pada akar lateral maupun akar tunggang. Sampel akar tanaman disimpan di dalam kantung plastik sampel dengan hati-hati (Gunakan kantung plastik berbeda untuk tanaman yang berbeda). Jika Legum mengandung benih, ambil benih tersebut dan simpan di lemari es untuk membantu pengujian atau identifikasi tanaman lebih lanjut. Sebelum pencucian akar, letakkan saringan tanah dengan ukuran yang sesuai di bawah setiap sampel akar untuk menampung nodul yang kemungkinan terlepas dari akar. Sampel akar dicuci dengan air mengalir (aliran air diusahakan tidak terlalu besar). Jika tidak akan langsung diamati, sampel segar dari nodul yang telah dibersihkan dapat disimpan selama satu malam di lemari es. Contoh nodul dari tanaman Legum dapat dilihat pada Gambar 25. 42 Gambar 25. Contoh nodul (bintil akar) pada tanaman Legum 2. a. b. Pemeriksaan bakteri nodul Cuci nodul dengan bersih Hancurkan nodul dengan cara menekannya dengan tangkai kawat Oose pada permukaan kaca obyek Buat apusan pada kaca obyek yang bersih dari cairan nodul yang pecah Biarkan kering dengan berangin-angin dekat nyala bunsen Warnai dengan methylene blue selama 1 menit Cuci slide dengan akuades Amati dengan perbesaran kuat (1000x) dengan bantuan minyak imersi Gambar bentuk struktur yang pleomorfik (T, V, X, Y atau bintang) yang merupakan ciri khas dari Rhizobium dalam sel akar tanaman yang membentuk bintil. Bentuk ini disebut bakterioid. c. d. e. f. g. h. Referensi • Gliessman, S. R. 2006. Field and Laboratory Investigation in Agroecology. 2nd Edition. Boca Raton: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Tisdale, S.L, W.L Nelson, & J.D Beaton. 1985. Soil Fertility & Fertilizer. 4th Edition. New York: MacMillan Publishing Company. 43 MODUL 9 PENGARUH POHON TERHADAP VEGETASI I. Pendahuluan Pohon merupakan salah satu komponen agrikultur yang umum ditemui. Jika pohon ditanami secara sengaja pada lahan pertanian, lahan tersebut dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Pohon memiliki berbagai manfaat dalam lahan pertanian terutama dalam mendukung produktivitas dan stabilitas agroekosistem. Pohon dapat mengubah kondisi ekosistem secara dramatis, misalnya perubahan struktur tanah, siklus nutrien, dan kelembaban tanah karena adanya akar pohon yang menembus masuk ke dalam tanah. Pohon juga memengaruhi berbagai kondisi di atas permukaan tanah, seperti pengurangan penetrasi cahaya yang menurunkan kelembaban udara dan evapotranspirasi. Oleh karena itu, pengaruh pohon dalam suatu agroekosistem menjadi menarik untuk dipelajari. II. Tujuan Menentukan pengaruh tutupan pohon terhadap parameter-parameter mikroklimat, edafik, dan biotik pada vegetasi dalam agroekosistem. III. IV. a. Alat dan Bahan Alat Luxmeter Kompas Pasak Meteran Gulung Wexler Core Sampler Penggaris Oven Furnace Cawan Keramik Bahan Plastik Bening 1 kg Alumunium Foil Karet Gelang Cara Kerja Persiapan Pengukuran Dari pohon yang akan ditentukan oleh asisten, buatlah transek ke arah utara, timur, selatan, dan barat sepanjang 5 m. Dari keempat transek tersebut, bagilah menjadi 10 titik yang sama rata. Pengukuran selanjutnya akan dilakukan pada titik yang ditentukan tersebut. 44 U B S T S Gambar 26. Transek pada pohon yang ditentukan b. Pengukuran Transmisi Cahaya Pengukuran transmisi cahaya terbagi menjadi dua, yaitu cahaya matahari utuh (full sunlight reading) dan cahaya matahari di titik yang ditentukan. Untuk mengukur cahaya matahari utuh, lux meter digunakan pada bagian yang tidak tertutup kanopi sama sekali di keempat arah mata angin. Kemudian penghitungan intensitas cahaya matahari pada titik-titik yang ditentukan dilakukan dengan mengukur di tempat sampel daun yang akan diambil, baik pada bagian atas ataupun bawah tumbuhan. Catat nilai intensitas rata-rata selama pengamatan. Persen transmisi cahaya didapat dengan membagi intensitas cahaya pada titik-titik tersebut dengan intensitas cahaya matahari utuh (ditulis lagi cara kerja) c. Pengukuran Data Edafik Pengukuran data edafik yang dilakukan adalah temperatur tanah, kandungan air tanah, kandungan organik, dan bobot isi. Sampel diambil dari 10 titik yang telah ditentukan sebelumnya dengan metode yang telah dijabarkan pada Modul 2 (ditulis lagi masing-masing cara kerja dari parameter data edafik). d. Pengukuran Ketebalan Serasah Pada 10 titik yang telah ditentukan tekan serasah yang ada, tancapkan ujung penggaris hingga menyentuh permukaan tanah. Catatlah ketebalan serasah dan karakteristik serasahnya. e. Pengukuran Tinggi Vegetasi Tumbuhan Bawah Pengukuran tinggi vegetasi tumbuhan bawah dilakukan hanya pada tumbuhan yang ada pada titik yang telah ditentukan sebelumnya. Jika pada titik tersebut tidak ditemukan tumbuhan, carilah tumbuhan yang jaraknya paling dekat dengan titik tersebut. Kemudian vegetasi yang dipilih diukur tingginya dengan penggaris. 45 f. Pengukuran Kekayaan Spesies Tumbuhan Bawah Buatlah plot dengan ukuran 50 x 50 cm pada garis transek yang telah ditentukan. Identifikasi tumbuhan bawah yang ada pada plot dan catat seluruh spesies yang berhasil diidentifikasi. Tabel 11. Kompilasi data pengaruh pohon dalam agroekosistem Pohon: Koordinat: Tanggal: Cuaca: Arah U T S No. Transmisi Cahaya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 46 Kadar Air Tanah Suhu Tanah Kandungan Organik Bobot Isi Tinggi Serasah Tinggi Tumbuhan Bawah Kekayaan Tumbuhan Bawah B 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Referensi • Gliessman, S. R. 2006. Field and Laboratory Investigation in Agroecology. 2nd Edition. Boca Raton: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. • Tisdale, S.L, W.L Nelson, & J.D Beaton. 1985. Soil Fertility & Fertilizer. 4th Edition. New York: MacMillan Publishing Company. 47 MODUL 10 PERTANIAN BERKELANJUTAN I. Pendahuluan Petani sebagai manusia yang bekerja dibidang pertanian merupakan manager dan sumber informasi bagi setiap lahan agroekosistem. Petani menyimpan segala bentuk pengetahuan mengenai setiap lokalitas di tempat mereka bertani, variasi dan ekstremitas iklim, sumber energi dan input materi yang perlu diberikan, hama yang perlu ditangani, jenis tanaman budidaya yang paling cocok diusahakan, kesuburan tanah dan bagaimana caranya agar tanah bisa tetap produktif. Penting bagi agroekolog untuk mendapatkan informasi dari petani mengenai praktik pertanian yang mereka terapkan terlepas dari tingkat keberlanjutan dari praktik tersebut. Bagaimanapun, salah satu kunci dalam agroekologi adalah bahwa pengetahuan lokal yang dimiliki petani merupakan awal keberlanjutan. Pada modul ini, anda diharuskan untuk melakukan pengambilan data dalam bentuk wawancara kepada narasumber yang bergerak dibidang pertanian terutama petani dalam kesehariannya melakukan pekerjaan di dalam agroeksistem. Informasi yang dikumpulkan akan mencakup praktik pertanian, pengetahuan dan motivasi bertani, tantangan dan masalah, penggunaan energi pada lahan yang mereka garap serta cara pandang mereka atas penggunaan energi pada lahan agroekosistem, dan lain-lain. Wawancara yang dilakukan tidak terikat kepada struktur pertanyaan dan bersifat dinamis dengan tujuan untuk medapatkan informasi yang dibutuhkan sebanyak mungkin, maka dari itu dibutuhkan pembahan akan modul ini secara keseluruhan dan keterampilan dalam berkomunikasi. II. • • • • • III. Tujuan Memahami peran manusia dalam agroeksistem. Menggali pengetahuan lokal terkait proses-proses dalam agroekosistem. Mempelajari isu ketersediaan, biaya dan keberlanjutan penggunaan energi pada lahan agroekosistem. Memahami persepsi petani atas penggunaan energi pada lahan agroekosistem. Mengetahui tingkat keberlanjutan dari agroekosistem Alat dan Bahan Alat Catatan lapangan Pensil 48 Audio recorder Kamera IV. a. Cara Kerja Pengambilan Data Lakukan pengambilan data di kawasan pertanian yang ditentukan oleh asisten. Pengambilan data dilakukan oleh 2-3 orang per kelompok. Setiap kelompok akan melakukan wawancara pada 3-5 narasumber. Wawancara yang dilakukan bersifat semi terstruktur. Setiap kelompok harus melakukan wawancara pada narasumber yang berbeda. Lakukan pengamatan pendahuluan sebelum Anda melakukan wawancara. i. Pendahuluan Pada bagian pendahuluan, pastikan Anda mencatat informasi selengkap mungkin terkait hal-hal di bawah ini. • Identitas pewawancara • Waktu pengambilan data • Lokasi geografis dan ketinggian area agroekosistem • Jenis tanaman budidaya yang ditanam • Rata-rata ukuran lahan garap per petani • Jenis praktik pertanian yang dilakukan • Masalah pertanian yang umum dialami di kawasan tersebut Informasi di atas bersifat umum. Anda bisa mendapatkannya melalui studi literatur, observasi langsung maupun bertanya kepada pihak yang terpercaya. Informasi pendahuluan ini berguna untuk menentukan bagaimana cara anda bersikap dan bertanya pada saat wawancara, juga sebagai pembanding dari informasi yang di dapatkan dari narasumber. Informasi pendahuluan ini kemudian ditulis di lembar pengamatan lapangan yang telah diberikan. ii. Wawancara Diskusikan dalam kelompok Anda, bagaimana teknis wawancara yang akan Anda lakukan. Konsultasikan dengan asisten apabila terdapat hal yang kurang dipahami. Berdasarkan tabel lembar pengamatan lapangan dan hasil pengamatan pendahuluan, buatlah daftar pertanyaan yang akan diajukan. Adaptasikan pertanyaan Anda terhadap individu yang akan diwawancarai. Biarkan cara pandang petani mengambil kontrol wawancara untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan menarik. Pergunakan bahasa yang sederhana. Temui petani yang akan Anda wawancarai. Perkenalkan diri Anda dan mintalah kesediaannya untuk diwawancarai. Gunakan perlengkapan wawancara (catatan dan audio recorder) dengan optimal. Dokumentasikan kegiatan wawancara yang Anda lakukan secara visual • • • • • • • • 49 menggunakan kamera. b. Analisis dan Pelaporan Data Data yang didapatkan dari wawancara ditulis di dalam lembar pengamatan lapangan yang diberikan. Bedakan lembar pengamatan untuk tiap narasumber yang berbeda. Kemudian buatlah ringkasan dari data yang anda dapatkan dan bandingkan dengan data yang didapatkan oleh kelompok lain. Lembar pengamatan lapangan kemudian dikumpulkan kepada asisten masing-masing kelompok. Berikut adalah beberapa pertanyaan acuan yang dapat digunakan dalam penyusunan laporan. • Apakah definisi yang Anda gunakan untuk menjelaskan konsep pertanian berkelanjutan? • Mengapa penting untuk memahami pengetahuan lokal yang dimiliki petani di suatu area pertanian? • Apakah pertanian yang dilakukan oleh petani sudah berkelanjutan? Mengapa? • Hal apa sajakah yang bisa didapatkan oleh peneliti dengan melakukan pengumpulan informasi terkait pengetahuan lokal petani? • Apakah pengetahuan atau praktik pertanian di suatu lokasi dapat diterapkan secara luas di lokasi lainnya? • Informasi apa sajakah yang didapat dari wawancara yang perlu diverifikasi secara ilmiah melalui penelitian agroekologi? • Bagaimanakah pola penggunaan sumber energi pada lahan pertanian? Bandingkan antara penggunaan input dengan sumber energi terbarukan dan tak terbarukan. • Hal apakah yang menyebabkan sulitnya penggunaan input dengan sumber energi yang bersifat terbarukan? • Apakah petani melihat penggunaan energi/pemberian input pada lahan pertanian dalam konteks keberlanjutan? • Hal apa yang perlu diubah (keadaan pasar, cara pandang petani, teknis pengerjaan pertanian) untuk mencapai pertanian berkelanjutan? c. Pengelompokan data dan penilaian data Setelah dilakukan pengumpulan data yang didapatkan, kemudian data yang didapatkan dikelompokkan ke dalam bidang ekologi, sosial dan ekonomi. Pada tiap bidang ini kemudian akan dibuat parameter-parameter yang akan menentukan tingkat keberlanjutan dari agroekosistem yang diuji. Parameter pada tiap bidang akan bergantung dari keadaan agroekosistem. 50 Contoh: • Parameter ekologi adalah indeks keberagaman Shannon-Wiener (H’) pohon, perdu, herba, nativeness, pH tanah, kelembaban, kadar air tanah dan kandungan organik tanah. • Parameter ekonomi adalah produktivitas produk, siklus tanam, pengolahan hasil produksi, dan pendapatan rata-rata. • Parameter sosial adalah kesetaraan umur dan gender, stakeholders, penggunaan sumberdaya lokal dan ketergantungan terhadap subsidi. Tiap parameter kemudian dinilai berdasarkan literatur yang dicari, dan dimasukkan ke dalam tabel seperti berikut: Tabel 12. Parameter Ekonomi suatu lahan agroekosistem Ekonomi Productivity Produktivitas perUnit (ubi) SiklusTanam (ubi) 1 2 3 4 Hasil Skoring 10-20ton perHA 20-25ton perHA 25-30 tonperHA >30ton perHA 8-10tonper hektar 1 4-5bulan 3.5-4 bulan 3-3.5bulan 3bulan 3bulan 4 <1500 1500- 3000 3000-4500 Produktivitas perUnit kurangdari (sapi) 10 L/sapi/hari Waktudan Frekuensi Pemerahan (sapi) Tidak dilakukan setiaphari Profit Pendapatan Rata-rata Costand Returns 10-15L/ sapi/hari 1kali 2kali sehari,pada sehari, pagihari padapagi Dilakukan pukul hari(pukul secara (05.0005.00tidak 06.00)atau 06.00)dan teratur sorehari sorehari (pukul (pukul 15.0015.0016.00) 16.00) < 1-1.7juta 1juta/bulan /bulan <0 >4500 L/masa 3600 laktasi lebihdari 15-20 12 20 L/sapi/hari liter/sapi/hari L/sapi/hari 0 1.7-2.4juta /bulan >2.4juta/ bulan >1 >2 3 2 2kalisehari (padapagi jam03:00 danpada sorehari pukul17:00) 4 1,29 juta/bulan 2 2-2,5 4 51 Hasil nilai dari tiap bidang kemudian disajikan dalam bentuk grafik spiderweb seperti berikut : Gambar 27. Spiderweb Parameter Keberlanjutan di Kawasan Ekowisata Cilembu Referensi • Bohlean, Patrick J., dan House, Gar. 2009. Sustainable Agroecosystem Management: Integrating Ecology, Economy and Society. North-West: CRC Press. • Gliessman, Stephen R. 2015. Field and Laboratory Investigations in Agroecology 3rd Ed. North-West: CRC Press. • Modul Praktikum Agroekologi. 2015. Program Studi Rekayasa Pertanian, SITH-ITB. 52